PROBLEMATIKA HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERKAIT DENGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/ PMK. 010/ 2012 Nur Amin Solikhah (Mahasiswa S2 Program MKN FH UNS) email :
[email protected] Pranoto Al. Sentot Sudarwanto (Dosen Fakultas Hukum UNS) Abstract The aim of this research has to study about is the Indonesian Monetary Minister Regulation No. 130/ No. 42 about Fiducially Guarantee (UUJF). To achieve this aim, so, it has been researched about normative law, uses secondary data, consist from primary and secondary law materials. The method of research uses Based on research has done, it get the results that regulation of Indonesian Monetary Minister No. 130/ debits and other related parties; therefore, it needs the amendment, especially articles 5, 11 and 17 of UUJF
Keywords Abstrak Tujuan penelitian dan penulisan ini untuk mengetahui apakah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia telah sinkron dengan Undang-Undang Nomor 42 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan penelitian hukum normatif, menggunakan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode penelitian menggunakan metode deduktif kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan interpretasi berdasarkan kata undangundang dan interpretasi sistematis. Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada prinsipnya tidak sinkron dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 dan masih terdapat banyak kekurangan. Kurang lengkapnya pasal-pasal dalam UUJF mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi kreditor, debitor dan para pihak yang berkepentingan, sehingga diperlukan amandemen khususnya Pasal 5, Pasal 11 dan Pasal 17 UUJF. Kata Kunci: Problematika hukum, jaminan fidusia, pembiayaan konsumen
A. Pendahuluan Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang keseluruhan bagiannya meliputi aspek kegiatan masyarakat. Berkaitan dengan upaya
peningkatan perekonomian masyarakat maka perlu dilaksanakannya program-program yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Salah satu program tersebut adalah pemberian kredit pada masyarakat sehingga dapat memperkuat permodalan yang nantinya dapat meningkatkan taraf hidup 7
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
masyarakat pada umumnya. (Jamal Wiwoho, 2011:87) Kredit menurut ketentuan Pasal 1 angka (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah :“penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga”. (Abdul Kadir Muhammad, Rilda Murniati, 2000:58) Pemberian kredit diperlukan suatu jaminan, dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (amandemen IV) Pasal 28 D ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum. Pasal 28 J Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (amandemen IV) juga menjelaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Kaitannya dengan Bank atau Lembaga Pendanaan, saat akan menerima permohonan kredit dari nasabah perlu melakukan analisis kredit terlebih dahulu. analisis kredit tersebut meliputi: 1. Latar belakang nasabah/ perusahaan nasabah; 2. Prospek usaha yang akan dibiayai; 3. Jaminan yang diberikan; 4. Hal-hal lain yang ditentukan oleh Bank. (Jamal Wiwoho, 2011:61) Berdasarkan analisis yang diberlakukan oleh pihak Bank atau Lembaga Pendanaan, jaminan menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan disetujui atau tidaknya permohonan kredit. Jaminan dapat terbagi dalam dua kategori, yaitu: 1. Jaminan perseorangan atau dalam istilah hukum disebut , jaminan perseorangan menimbulkan hak-hak perseorangan, sehingga terdapat hubungan hukum secara khusus antara kreditor dan orang yang menjamin pelunasan hutang debitor. 2. Jaminan kebendaan atau dalam istilah hukum disebut , jaminan ini 8
merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu, berupa bagian dari harta kekayaan debitor atau penjamin, sehingga memberikan kedudukan preference (diutamakan) kepada kreditor daripada kreditor lainnya atas benda tersebut. Tujuan dari jaminan kebendaan tersebut adalah saat debitor wanprestasi (kredit macet), kreditor dapat menjual benda yang menjadi objek jaminan untuk memenuhi hutang debitor. (Irma Devita, 2012:4) Jaminan fidusia merupakan salah satu bentuk agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan ( ). Kontruksi jaminan fidusia adalah penyerahan hak milik secara kepercayaan, atas kebendaan atau barang-barang bergerak milik debitor kepada kreditor dengan penguasaan fisik atas barang-barang itu tetap pada debitor. Dengan ketentuan bahwa jika debitor melunasi hutangnya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, maka kreditor berkewajiban untuk mengembalikan hak milik atas kebendaan atau barang-barang bergerak milik atas kebendaan atau barang-barang tersebut kepada debitor. Dalam khazanah ilmu hukum, penyerahan kebendaan seperti itu dinamakan constitutum possessorium. ( Munir Fuadi, 2003:5) Lembaga ja minan fidusia itu sendiri sesungguhnya sudah sangat tua dan digunakan pada masyarakat Romawi. Dalam hukum Romawi, lembaga jaminan ini dikenal dengan nama cum creditore contracta yaitu janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor. Isi dari janji tersebut adalah bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda sebagai jaminan untuk utangnya dengan kesepakatan bahwa debitor tetap akan menguasai secara fisik benda tersebut dan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitor bilamana utangnya sudah dibayar lunas. Berbeda dengan gadai (pand) yang mengharuskan penyerahan secara fisik benda yang digadaikan, dalam pemberi fidusia tetap menguasai benda yang menjadi obyek fidusia, sehingga pemberi fidusia dapat menggunakan benda dimaksud dalam menjalankan usahanya. ( Fred B.G Tumbunan, 2000:18) Terjadinya krisis dalam bidang hukum jaminan pada pertengahan sampai dengan akhir abad 19, mengakibatkan terjadinya pertentangan berbagai kepentingan. Krisis mana ditandai dengan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaanperusahaan pertanian yang melanda negara Belanda,
Nur Amin Solikhah. Problematika Hukum Undang-Undang Nomor 42 Tahun ...
bahkan seluruh negara-negara di Eropa. Akibat dari permasalahan tersebut diatas, maka lahirlah lembaga jaminan fidusia yang keberadaannya didasarkan pada yurisprudensi. Sebagai salah satu jajahan negara Belanda, Indonesia pada waktu itu juga merasakan imbasnya. Untuk mengatasi masalah tersebut lahirlah peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57). Peraturan ini mengatur mengenai peminjaman uang, yang diberikan dengan jaminan panenan yang akan diperoleh dari suatu perkebunan. Dengan adanya peraturan ini maka dimungkinkan untuk mengadakan jaminan atas barang-barang bergerak, atau setidak-tidaknya kemudian menjadi barang bergerak, Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia, diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hoogge-rechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Sejak keputusan tersebut kehidupan lembaga jaminan fidusia semakin diminati oleh pelaku usaha khususnya yang membutuhkan kredit bank dengan jaminan barang bergerak yang masih dapat dipergunakan untuk melanjutkan usahanya tanpa harus melepaskan kekuasaan atas barang jaminan itu secara fisik. Berbeda dengan jaminan kebendaan bergerak yang bersifat possessory, seperti gadai, jaminan fidusia memungkinkan sang debitor sebagai pemberi jaminan untuk tetap menguasai dan mengambil manfaat atas benda bergerak yang telah dijaminkan tersebut. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) dapat disebut sebagai undang-undang reformasi, dalam artian undangundang ini dibuat karena mengikuti perkembangan masyarakat Indonesia secara menyeluruh, baik meliputi sosial, budaya, hukum, dan ketahanan ekonomi, hal yang menjadikan UUJF sebagai undang-undang reformasi karena sebagai pelengkap hal-hal yang tidak diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, sedangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan juga terbentuk sebagai realisasi terhadap Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. ( Mariam Darus Badrulzaman, 2004:9) Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Seiring dengan semakin banyak permintaan kredit
dalam masyarakat, maka seharusnya pendaftaran jaminan fidusia semakin meningkat. Namun kenyataannya masih banyak jaminan fidusia yang tidak didaftarkan oleh pihak kreditor. Untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia, maka dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fiduasia bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. Secara hukum untuk adanya jaminan fidusia sebagaimana dalam UUJF tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia. Keragu-raguan tentang wajib atau tidaknya pendaftaran tersebut diperkuat dengan kendala tidak adanya jangka waktu pendaftaran jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, sehingga hal tersebut akan mengurangi kepercayaan para pelaku bisnis khususnya kreditur sebab sifat spesialitas dan publisitas serta hak preferent (droit de preference) atau hak untuk didahulukan terhadap kreditor lain pasti mengalami kendala dan dispute apabila debitor melakukan wanprestasi serta berpotensi fidusia ulang. Penerima fidusia yang tidak melakukan perikatan fidusia jelas bertentangan dengan legal spirit yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) yang menegaskan bahwa “Pembebanan jaminan fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia”. Sekalipun tidak dilakukannya perikatan fidusia tidak mengandung sanksi berdasarkan UUJF tersebut. Dalam hal ini sama sekali tidak ada kepastian hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan tidak akan memperoleh perlindungan hukum. Menurut Sutan Remy Sjadeini kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan dalam pembebanan jaminan fidusia, sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan jaminan fidusia dengan akta notaris tanpa alasan yang jelas, mengingat di dalam praktik
9
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
selama ini, perjanjian fidusia cukup dibuat dengan akta di bawah tangan. ( Sutan Remy Sjahdeini, 2000:43) Ternyata pada saat itu juga tidak menuai masalah dalam pelaksanaannya. Dalam prakteknya memang masih banyak kredit dengan jaminan fidusia ini tidak didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia. Padahal salah satu tujuan dari pendaftaran fidusia itu adalah untuk kepastian hukum bagi kreditor sendiri, disamping itu tentunya harus selalu ditaati karena undang-undang jaminan fidusia sudah diberlakukan dan mengikat semenjak diundangkan. Sebagaimana teori hukum Hans Kelsen yang menyatakan bahwa apapun isi dari suatu norma, dan apapun perbuatan manusia memungkinkan untuk menjadi isi suatu norma, dapat memperoleh validitasnya. Suatu norma adalah valid dan mengikat hanya berdasarkan persyaratan bahwa telah dibuat dalam bentuk tertentu dan lahir dengan prosedur dan peraturan tertentu. ( Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006:97) Karena Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) adalah hukum positif yang berlaku bagi jaminan fidusia, maka tentunya pelanggaran terhadap keharusan pembebanan dan pendaftran jaminan fidusia ini dalam segala bentuk kelalaian dan/atau kesengajaan baik yang disebabkan oleh pemberi fidusia, penerima fidusia atau notaris dapat dianggap melakukan suatu perbuatan melanggar hukum. Ketidaktegasan UUJF ini juga merupakan salah satu faktor penyebab lainnya dari ketidaksesuaian antara pelaksanaan jaminan fidusia dengan aturan hukum jaminan fidusia tersebut. Hal ini menjadi faktor dominan disamping faktor biaya tentunya, karena untuk suatu undang-undang yang sudah berlaku selama 14 tahun lebih namun tidak mempunyai kekuatan mengikat yang maksimal. Apabila tujuan dari pengundangan aturan tersebut tidak tercapai, maka UUJF tersebut perlu dikaji ulang dan dilakukan restrukturisasi. Salah satu asas yang menjadikan dasar pentingnya sinkronisasi dan harmonisasi antara peraturan undang-undang dengan peraturan pemerintah, peraturan daerah, maupun peraturan menteri adalah Asas Ne Bis Vexari Rule, yaitu merupakan asas yang menghendaki agar setiap tindakan administrasi negara harus didasarkan atas undang-undang dan hukum, tujuan dari asas tersebut adalah agar tidak terjadi adanya tumpang tindih hukum dan peraturan yang diberlakukan yang 10
menjadikan hukum atau peraturan yang lebih tinggi dilemahkan oleh peraturan yang lebih rendah baik secara terbentuknya maupun secara hierarki susunan tata peraturan perundang-undangan, sehingga dapat terciptanya kepastian hukum bagi rakyat Indonesia. Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka perlu dikaji apakah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/ PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fiduasia bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia telah sinkron dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
B. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang akan digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau disebut juga data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum disusun secara sistematis dan juga dikaji untuk selanjutnya dapat ditarik kesimpulan atas apa yang diperoleh. Dengan demikian penelitian ini identifikasi konsekuensi metode atas konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto mengenai konsep hukum yang kedua yaitu hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Langkah awal dari penelitian ini adalah menginventarisasi hukum positif yang berlaku. Hukum positif yang telah diinventarisasi kemudian dipilih menurut norma-normanya untuk menentukan mana yang merupakan norma hukum dan mana yang bukan merupakan norma non hukum. Hasil norma-norma yang telah dipilih tersebut ditelaah untuk melihat kesesuaiannya atau sinkronisasi, pencerminan asas-asas dan hierarki tata urutan perundang-undangan. Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Sifat dari ilmu hukum adalah ilmu yang preskriptif dan terapan. (Peter Mahmud Marzuki, 2006:22 ) Penelitian ini bersifat prespektif karena berusaha menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai
Nur Amin Solikhah. Problematika Hukum Undang-Undang Nomor 42 Tahun ...
preskipsi dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapi. (Peter Mahmud Marzuki, 2006:35) Metode yang lazim digunakan di dalam penalaran hukum adalah metode deduktif, sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduktif ini berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47)
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Yang dimaksud dengan peraturan perundangundangan secara gramatikal dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 angka 2 yaitu Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Dalam melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundangundangan yang terkait dengan pendaftaran jaminan fidusia, penelitian ini berpedoman secara yuridis kepada jenis dan hierarki perundang-undangan Republik Indonesia yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 7 ayat (1) terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. Akan tetapi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komosi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya.” Sinkronisasi peraturan perundang-undangan selain memperhatikan susunan hierarki peraturan perundang-undangan juga memperhatikan tentang asas dan norma yang terkandung didalamnya. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Sinkronisasi terhadap sistematika hukum Membahas mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas mengenai Teori Stuffenbou karya Hans Kelsen. Di dalam ajaran tersebut, Hans Kelsen berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hirarkis, dimana norma yang di bawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma di atasnya, demikian seterusnya hingga sampai akhirnya regresus ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi (Grondnorm). ( Maria Farida, 1998:8) Pemikiran tentang hierarki peraturan perundang-undangan merupakan akibat dari pengaruh pemikiran tentang hukum oleh Hans Kelsen, hukum termasuk dalam norma yang nomodynamic karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya. ( Maria Farida, 1998:9) Hierarki atau tata urut peraturan perundangundangan di Indonesia telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan pengaturan, yang satu sama lain memiliki perbedaan sekaligus kesamaan, yaitu Tap MPRS Nomor XX/1966, Tap MPR Nomor III/2000 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dalam Tap MPRS Nomor XX/1966 belum ada kejelasan pemaknaan peraturan perundang-undangan, sehingga terdapat bentuk hukum yang bersifat einmalig dan yang berupa staatsfundamental norm masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Penyempurnaan dalam Tap MPR Nomor III/2000 justru menimbulkan inkonstitusionalitas hierarki, terutama karena penenpatan Perpu di bawah UUD. 11
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
Sistematik a hukum peraturan perundang-undangan telah dijelaskan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Untuk No
1.
2. 3. 4. 5. 6.
7.
Jenis dan Hierarki Pasal 7 ayat (1) Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendaftaran Jaminan Undang-Undang Nomor 12 Tahun Fidusia 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan UUD Republik Indonesia Tahun 1945 a. Pembukaan alenia keempat, yaitu: “….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, memcerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..,” b. Pasal 5 ayat (1), yaitu : Presiden berhak mengajukan rancangan undang-uadang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. c. Pasal 20 ayat (1), yaitu : Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. d. Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5), yaitu : (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat __ Undang-Undang Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Keputusan Presiden __ Peraturan Daerah Propinsi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jamianan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota __
Setelah himpunan peraturan perundangundangan tentang pendaftaran jaminan fidusia telah dikelompokkan berdasarkan masingmasing jenisnya, maka dapat diketahui bahwa berdasarkan teori Hans Kelsen maka kedudukan 12
mengetahui taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang pendaftaran jaminan fidusia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai grundnorm yang memuat norma dasar tugas negara untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia dan seluruh wilayah kedaulatan Indonesia.
Nur Amin Solikhah. Problematika Hukum Undang-Undang Nomor 42 Tahun ...
Adapun Pasal 5, Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan teori Hans Kelsen merupakan Artinya norma dasar dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan tugas negara dalam perlindungan rakyat dan serta wilayah Indonesia, dijabarkan dalam peraturan dasar dalam Pasal 5, Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya inventarisasi peraturan perundang-undangan yang hierarkinya di bawah Undang-Undang dasar 1945, yang terkait dengan pendaftaran jaminan fidusia adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Kemudian inventarisasi peraturan perundang-undangan yang hierarkinya di bawah Undang-Undang, yang terkait dengan pendaftaran jaminan fidusia adalah Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Pada akhirnya peraturan perundangundangan yang hierarkinya di bawah Peraturan Pemerintah, yang terkait dengan pendaftaran jaminan fidusia adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jamianan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. Peraturan Menteri pada masa pemerintahan dahulu disebut sebagai Keputusan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundangundangan yang setingkat lebih rendah dari Peraturan Presiden. Kewenangan Menteri untuk membentuk suatu Peraturan Menteri ini bersumber dari Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, oleh karena Menteri-menteri itu adalah pembantu-pembantu Presiden yang menangani bidang-bidang tugas pemerintahan yang diberikan kepadanya. (Maria Farida, 1998: 199) Dalam hubungannya dengan suatu Peraturan Menteri, maka Menteri-menteri yang dapat membentuk suatu Peraturan Menteri adalah Menteri-menteri yang memegang suatu Departemen, sedangkan Menteri Koordinator, dan Menteri Negara hanya dapat membentuk suatu peraturan yang berlaku secara intern, dalam arti keputusan yang tidak mengikat
umum. Peraturan Menteri adalah suatu keputusan yang bersifat mengatur (regeling). 2.
Sinkronisasi terhadap asas-asas peraturan perundang-undangan Penelitian dilakukan dengan tetap berpedoman pada asas perundang-undangan yakni: a. Undang-undang tidak berlaku surut; b. Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi; c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, jika pembuatnya sama; d. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang terdahulu; e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat; f. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu melalui pembaharuan dan/atau pelestarian. Pemahaman tentang asas “Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi” (lex superior derogaat legi inferiori) adalah apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah tersebut harus dikesampingkan. Hierarki peraturan perundang-undangan pada dasarnya berpedoman pada Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/ PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia bila dilihat dari asas-asas peraturan perundang-undangan pada prinsipnya ada ketidaksinkronan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan fidusia (UUJF). Ada penyimpangan yang penulis temukan yaitu dalam peraturan menteri tersebut diatur mengenai sanksi jika tidak didaftarkan dan jangka waktu pendaftaran. Sedangkan dalam UUJF tidak ada pasal yang menerangkan hal-hal tersebut. 13
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
Peraturan Menteri Keuangan Republik I ndonesia Nomo r 130 /P MK.010/ 2012 Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia tersebut dalam Pasal 5 diterangkan tentang sanksi secara lengkap, sebagai berikut: a. Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: 1) peringatan 2) pembekuan kegiatan usaha; atau 3) pencabutan izin usaha b. Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturutturut dengan masa berlaku masing-masing 60 (enampuluh) hari kalender. c. Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi peringatan. d. Dalam hal masa berlakunya peringatan ketiga, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. e. Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan secara tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan, yang berlaku selama jangka waktu 30 (tigapuluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. f. Dalam hal masa berlakunya sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. g. Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usa ha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) 14
h.
Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.
Sanksi yang terdapat dalam peraturan menteri keuangan tersebut sebenarnya terdapat penyimpangan dengan asas-asas peraturan perundang-undangan. Penyimpangan terhadap salah satu asas yaitu tentang asas “Undangundang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi” (lex superior derogaat legi inferiori) adalah apabila terjadi tertentangan antara peraturan perundang- undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah tersebut harus dikesampingkan. Dengan adanya penyimpangan asas lex superior derogaat legi inferiori, maka Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia tidak sinkron dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan Peralihan (jika diperlukan). Ketentuan Peralihan ini bisa dijadikan dasar untuk menambah, mengubah pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
Nur Amin Solikhah. Problematika Hukum Undang-Undang Nomor 42 Tahun ...
a. b. c.
d.
menghindari terjadinya kekosongan hukum; menjamin kepastian hukum; memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Undang-Undang Nomor 42 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) tersebut terdapat banyak kekurangan terutama pada pasal yang akan penulis sebutkan sebagai berikut : a. Pasal 5 ayat (1) mengatakan : “Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam ba hasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia” tetapi tidak ada sanksi yang tegas bila dibuat dibawah tangan, b. Pasal 11 ayat (1) menyatakan : “Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan” tetapi tidak diatur tentang jangka waktu pendaftarannya. c. Pasal 17 menyatakan : “Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar”, tetapi tidak ada kewajiban dari undang-undang terhadap Notaris untuk mengecek alat bukti atau obyek jaminan fidusia sehingga rawan fidusia ulang. D en g a n a d a n y a k e k u r a n g a n d an ketidaksinkronan pasal dalam UUJF maka perlu dilakukan suatu perubahan peraturan perundang-undangan, apalagi jika terdapat ketentua n-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang tidak sesuai lagi dengan situasi atau kondisi yang berlaku dalam masyarakat. Perubahan suatu peraturan perundang-undangan dapat meliputi hal-hal sebagai berikut : (Maria Farida, 1998: 179) a. Menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau menghapus ketentuan yang sudah ada, baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya. b. Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lain, baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya.
D. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia tidak sinkron dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia (UUJF). Terdapat banyak kekurangan UUJF, terutama pada pasal yang akan penulis sebutkan sebagai berikut. 1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) mengatakan : “Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia” tetapi tidak ada sanksi yang tegas bila dibuat dibawah tangan, 2. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) menyatakan : “Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan” tetapi tidak diatur tentang jangka waktu pendaftarannya. 3. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) menyatakan: “Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar”, tetapi tidak ada kewajiban dari undang-undang terhadap Notaris untuk mengecek alat bukti atau obyek jaminan fidusia sehingga rawan fidusia ulang.
E. SARAN 1.
Penulis memberikan saran sebagai berikut: Presiden bersama DPR perlu melakukan amandemen Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) khususnya Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 17 dengan mengatur secara tegas kewajiban pembuatan Akta Jaminan Fidusia secara Notariil beserta kewajiban pengecekan alat bukti atau obyek, batas waktu pendaftaran jaminan fidusia, dan sanksi yang sesuai jika tidak mendaftarkan jaminan fidusia supaya lebih memberikan kemanfaatan, keadilan,
15
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
2.
3.
dan kepastian hukum tentang batas waktu pendaftaran dan tidak berpotensi konflik akibat penundaan pendaftaran, karena apabila ditunda pendaftarannya maka kreditor tidak mempunyai hak eksekutorial title dan tidak mempunyai hak preferent untuk dilakukan pelunasan hutangnya. Dalam membuat Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, Presiden bersama DPR perlu dilakukan kajian Naskah Akademik, menyelenggarakan diskusi publik (public hearing) dan konsultasi publik kepada para pemangku kepentingan supaya produk yang dihasilkan dapat memberikan rasa kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Notaris berkewajiban mendaftarkan Jaminan Fidusia kepada Kemenkumham saat ini sudah dilakukan dengan cara on-line, supaya apa yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak dapat terakomodasi sehingga dapat meningkatkan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) bagi negara, juga aspek yuridis serta kepastian hukum bagi masing-masing pihak tercapai .
Daftar Pustaka
Hans Kelsen. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. terjemahan Raisul Muttaqien. Bandung : Nuansa dan Nusa Media Irma Devita Purnamasari. 2011. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan. Ctk. Kedua. Bandung : Mizan Media Utama ____________________. 2012. Hukum Jaminan Perbankan. Ctk Kedua. Bandung : Mizan Pustaka Jamal Wiwoho. 2011. Hukum Perbankan Indonesia. Ctk Pertama. Surakarta : UNS Press Jhony Ibrahim.2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Ctk. Ketiga. Malang : Banyumedia Publishing Jimly Asshiddiqie. 2010. Perihal Undang-Undang. Ctk. Ketiga. Jakarta : Raja Grafindo Persada ______________dan M.Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI Komaruddin dan Yooke Tjumparmah Komaruddin. 2000. Kamus istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta : Bumi Aksara
Buku
Maria Farida Indrati Soeprapto. 1998. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta : Kanisius
Abdul Kadir Muhammad. Rilda Murniati. 2000. . Ctk. Pertama. Bandung : Citra Aditya Bakti
_______________________. 2007. Ilmu Perundangundangan Proses dan Teknik Pembentukannya. Ctk. Kelimabelas. Yogyakarta : Kanisius
Achmad Ali. 2009. Theory) dan Teori Peradilan (Judicial prudence) Termasuk Interprestasi Undang. Jakarta : Kencana
______________________. 2007. Ilmu Perundangundangan (1) Jenis, Fungsi, Materi Muatan. Ctk. Kesatu. Yogyakarta : Kanisius
BPHN. 1997/1998. Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belansa Bahasa Indonesia. BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI Bagir Manan. 1992. Dasar-Dasar PerundangUndangan Indonesia. Ctk. Pertama. Jakarta : Ind Hill.Co Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta : Sinar Grafika Budiono Kusumohohadimidjojo. 1999. Ketertiban yang Adil (Problematik Filsafat Hukum). Jakarta : Grasindo 16
Mariam Darus Badrulzaman. 2004. Kompilasi Hukum Jaminan. Ctk. Pertama. Bandung : Mandar Maju M. Solly Lubis. 1994. Filsafat ilmu dan Penelitian. Bandung : Mandar Maju ____________. 1998. Perundang-Undangan. Bandung : Mandar Maju _____________. 2009. Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan. Bandung : Mandar Maju
Nur Amin Solikhah. Problematika Hukum Undang-Undang Nomor 42 Tahun ...
Munir Fuadi. 2003. Jaminan Fidusia Cetakan Kedua Revisi. Ctk. Kedua. Bandung : Citra Aditya Bakti
Bachtiar Sibarani. 2000. “Aspek Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia”. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 11, hlm. 20-23
_________. 2002. Hukum tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek. Ctk. Ketiga. Bandung : Citra Aditya Bakti
Betty Dina Lambok. 2008. “Akibat Hukum Persetujuan Tertulis dari Penerima Fidusia kepada Pemberi Fidusia untuk Menyewakan Objek Jaminan Fidusia kepada Pihak Ketiga”, Jurnal Hukum Pro Justitia, edisi no 3 Vol. 26, Juli
N.E Algra, H.R.W. Gokkel. diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata et.al. 1983. Kamus istilah Hukum Fockema Andreae (Belanda-Indonesia). Bandung : Binacipta Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Ctk. Kedua. Jakarta : Kencana Permata Media Group Rodiyah Tangwun. 2011. Teknik PerundangUndangan. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro Sidharta. 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir. Bandung : Refika Aditama Sutarno. 2004. Aspek-Aspek Perkreditan Pada Bank. Ctk. Kedua. Bandung : Alfa Beta Tan Kamelo. 2004. Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan. Ctk. Pertama. Bandung : Alumni
Jurnal Hukum dan Makalah Ahmad Sanusi. 2007. “Evaluasi Pendaftaran Fidusia dalam Rangka Meningkatkan Jasa Pelayanan Hukum Guna Menciptakan Kepastian Hukum”. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, edisi no.2 Vol.1, Oktober Aria Suyudi. 2008. “Jaminan Fidusia dan Potensinya dalam Mendorong Laju Ekonomi”. Banking, 16 Agustus Arie Hutagalung. 2008. “Praktek Pembebanan dan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan di Indonesia”. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38, edisi no.2, Jakarta, Badan Penerbit FHUI, April-Juni , hlm. 162 Aermadepa. 2012. “Pendaftaran Jaminan Fidusia, Masalah dan Dilema dalam Pelaksanannya”. Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, edisi no.1 Vol.5. Juni, hlm. 1979-5408
Leonard J. Theberge. 2003. “Law and Economic Development, Journal of International Law and Policy”, Vol.9, 1980, dimuat dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, Jakarta Mariam Darus. 1999. “Mengatur Hukum Jaminan Fidusia : Dengan Undang-Undang dan Penerapan Sistem Pendaftaran”, Jurnal Hukum Bisnis Vol.9, hlm. 62-65 Markus Suryoutomo. 2008. “Efektivitas Pelaksanaan UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Sebagai Agunan Kredit Bank”, Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat, Fakultas Hukum UNTAG Semarang, edisi no.1 Vol. 6, Oktober, hlm. 36 Marluluk Pardede. 2006. “Implementasi Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Kredit Di Indonesia”, Laporan Akhir Penelitian Hukum, Badan Pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta Muladi. 2009. “Pentingnya Lembaga Jaminan Fidusia Dalam Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Nasional, Seminar Nasional ‘Problematika Dalam Pelaksanaan Jaminan Fidusia Di Indonesia: Upaya Menuju Kepastian Hukum)”, Fakultas Hukum USM, 16 Desember , hlm.3 Nurbaningsih. 2004. “Hierarki Baru Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Mimbar Hukum, edisi no.48 Vol.10, November , hlm. 56-61 Shandra Lisya Wandasari. 2013. “Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Mewujudkan Pengurangan Risiko Bencana”, , hlm. 147 Sri Mulyani. 2010. “Rekontruksi Pemikiran Yuridis Integral Dalam Pembaharuan Sistem Hukum Jaminan Fidusia Berpilar Pancasila”, Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat,
17
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
edisi no.2 Vol.7, April, Fakultas Hukum UNTAG Semarang, hlm.1 Sutan Remy Sjahdeini. 2000. Komentar Pasal Demi Pasal UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia : “Apakah Undang-Undang ini Telah Memberikan Solusi Kepada Kepastian Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.10, hlm 38-48
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/ PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
Data Elektronik Diah Sulistyani Muladi. 2013. Amandemen Undang-Undang Jaminan Fidusia Segera, Medianotaris.com, 27 Juni , diunduh tanggal 16 Agustus 2014, 15:39 WIB _____________. 2013. Awas Notaris Harus HatiHati, Medianotaris.com, 10 April , diunduh tanggal 16 Agustus 2014, 16:40 WIB fahrizayusroh. 2013. Sejarah Jaminan Fidusia. diakses dari http://fahrizayusroh.wordpress. com/2012/01/18/sejarah-jaminan- fidusia. html. diunduh 16 Desember 2014, 11.00 WIB
18
Fred. B. G. Tumbunan. 2000. Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia , Medianotariat.com, Jakarta , diunduh 06 Februari 2014 , 11.20 WIB Jusman Putra. 2013. Pengaruh Hans Kelsen Terhadap Sistem Perundang-Undangan Di Indonesia (Teori Hukum), hukum on-line. com, diunduh tanggal 06 Februari 2014, 10:25 WIB Mona Tobing. 2013. Multifinance Tidak Wajib Daftar Jaminan Fidusia, hukum on-line. com, diunduh tanggal 12 Februari 2014 , 09:41 WIB Sinkronisasi Undang-Undang. http://www. penataanruang.net/ta/p2/ Sinkronisasi Undang-Undang/Bab 4. Pdt, diunduh tanggal 8 Desember 2013, 20.30 WIB Suhendar Abas, 2011. Stufenbau Teori Hans Kelsen dan Tinjauan Terhadap Tata Urutan Perundang-Undangan di Indonesia, hukum on-line.com, diunduh tanggal 23 Mei 2014, 23:40 WIB Sutan Akhmad Jambek. 2013. Masalah Hukum Jaminan Fidusia dan Pertanggungjawaban Para Pihak, diakses dari http://s2.hukum. univpancasila.ac.id, diakses tanggal 29 Oktober 2014 , 10.30 WIB Taufiqurrohman Syahuri. 2010. Konstitusionalitas Regulasi Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, hukum on-line.com, diunduh tanggal 13 Desember 2014, 12.00 WIB Teddy Anggoro. 2014. Parate Eksekusi : Hak Kreditur Yang Menderogasi Hukum Formil (Suatu Pemahaman Dasar dan Mendalam), diakses dari http://www.scribd.com/doc/6588967/ Artikel-Parate-Executie), diunduh tanggal 12 Agustus 2014, 21.00 WIB Tommy Utama. 2013. Mengkritisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/ PMK.010 Tahun 2012, Tommy Utama Blogspot.com, diunduh tanggal 13 Agustus 2014, 20.30 WIB.