Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
TINJAUAN YURIDIS PEMILIKAN TANAH DENGAN STATUS HAK MILIK OLEH WARGA NEGARA ASING MELALUI JUAL BELI DENGAN PINJAM NAMA (NOMINEE) DISERTAI PERNYATAAN DAN KUASA MENJUAL (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.: 82/PDT.G/2013/PN.DPS) Ratna Dyah Purwaningsih ( Mahasiswa S2 Program MKN FH UNS ) Email :
[email protected] atau
[email protected] Purwono Sungkowo Raharjo I Gusti Ayu KRH Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract This study aims to determine how the Denpasar District Court decision No. 82 / PDT.G / 2013 / PN.DPS when viewed from the aspect of national land laws and court rulings are ideal . To achieve these objectives, the normative legal research by case approach and the approach legislation. The type of data used are secondary data through document study, then analyzed using descriptive analytical techniques . From the results of this research is that a court decision in the case that authors carefully where the disputed land is sold by auction and the proceeds were used to repay the investment that has been embedded Plaintiffs are not in accordance with the national law of the land. For according to the national law of the land should fall to the ground state. However, the decision was in accordance with a court ruling that ideal. The ideal Keywords: land property rights, foreign nationals, nominee agreement Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor : 82/PDT.G/2013/PN.DPS apabila ditinjau dari aspek hukum tanah nasional dan putusan pengadilan yang ideal. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan penelitian hukum normatif dengan pendekatan kasus dan pendekatan undang-undang. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder melalui studi dokumen, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif analitis. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa putusan pengadilan dalam kasus yang penulis teliti dimana tanah obyek sengketa dijual secara lelang dan hasilnya digunakan untuk membayar investasi Penggugat yang sudah tertanam tidaklah sesuai dengan hukum tanah nasional. Sebab menurut hukum tanah nasional seharusnya tanah jatuh pada Negara. Akan tetapi putusan tersebut telah sesuai dengan putusan pengadilan yang ideal. Putusan hakim yang ideal mampu melahirkan putusan yang mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Kara Kunci : tanah hak milik, warga negara asing, perjanjian nominee
132
Ratna Dyah Purwaningsih. Tinjauan Yuridis Pemilikan Tanah dengan Status Hak Milik ...
A. Pendahuluan Tanah merupakan harta yang sangat bernilai dimana setiap tahunnya selalu memiliki nilai jual yang tidak pernah surut. Tanah memiliki peran yang sangat penting dalam setiap kehidupan dan kegiatan usaha manusia. Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi (Achmad Rubaie,2007:1). Banyaknya warga negara asing yang hendak berinvestasi dan menetap di Indonesia, tentu saja memerlukan tanah untuk dapat mewujudkan maksud-maksudnya tersebut. Menanggapi keperluan warga negara asing tersebut untuk mendapatkan tanah, kemudian Pemerintah mengaturnya dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang selanjutnya disebut UUPA. UUPA mengatur mengenai bentuk-bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing, berupa hak pakai dan hak sewa (Pasal 42 sub b dan Pasal 45 sub b UUPA). Warga negara asing dilarang memiliki tanah dengan status hak milik, dengan cara apapun, dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa : Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu
badan hukum, kecuali yang ditetapkan pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Walaupun pemerintah telah memberikan penguasaan tanah kepada warga negara asing berupa hak pakai dan hak sewa, namun dengan berbagai pertimbangan orang asing yang ingin berinvestasi di Indonesia tetap menghendaki dengan status hak milik. Karena, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pada kenyataannya nilai jual hak milik lebih tinggi dibandingkan dengan hak-hak yang lain, sedangkan memiliki batas waktu, apabila batas waktunya habis maka hak pakai haruslah diperpanjang. Begitu pula dengan hak sewa yang memiliki batas waktu. Upaya untuk memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki hak atas tanah yang dilarang UUPA adalah dengan melakukan jual beli atas nama seorang warga negara Indonesia. Atau dilakukan upaya pembuatan perjanjian antara warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut dengan cara pemberian kuasa, yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa (warga negara Indonesia) dan memberikan kewenangan bagi penerima kuasa (warga negara asing) untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut ( Maria SW. Sumardjono, 2006 : 162 ). Dengan meminjam nama seorang warga negara Indonesia, maka secara tidak langsung pemilik sebenarnya adalah warga negara asing tersebut. Untuk itu ia berhak melakukan segala sesuatu terhadap tanah tersebut, baik menjual ataupun menjaminkan serta segala hal dapat dilakukan terhadap tanah tersebut. Dengan demikian, secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan. 133
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Perjanjian pinjam nama (nominee), pernyataan dan kuasa menjual dapat dibuat secara bawah tangan oleh para pihak sendiri maupun secara notariil oleh dan dihadapan notaris. Perlunya perjanjian-perjanjian tertulis ini dibuat dihadapan seorang notaris adalah untuk menjamin kepastian hukum serta untuk memenuhi hukum pembuktian yang kuat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Kebutuhan akan pembuktian tertulislah yang mengkehendaki pentingnya lembaga notariat ini ( R. Soegondo Notodisoerjo, 1993 : 1). Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus selaras dengan mereka yang menjalankan tugas jabatan notaris sebagai orang yang dapat dipercaya (Habib Adji, 2011 : 34). Untuk itulah setiap orang menaruh kepercayaan besar kepada seorang notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menyelesaikan persoalan berkaitan dengan legalitas usahanya maupun penguasaan aset-aset mereka. Produk yang dihasilkan oleh notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah berupa akta otentik atau akta notaris (notariil). Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta notaris (Habib Adji, 2011 : 34). Akta otentik dengan sendirinya (tak perlu dibuktikan) mempunyai kekuatan bukti, baik secara formil maupun secara materiil, jadi/dengan lain perkataan pembuktian itu dianggap melekat pada akta itu (sempurna) (Komar Andasasmita,1984 : 49). Setiap akta notaris harus mengandung unsur kebenaran, kelengkapan dan keabsahan. Akta notaris tidak boleh mengandung unsur kebohongan dan adanya kerjasama yang dilarang oleh undangundang jabatan notaris dan kode etik. Suatu perjanjian pinjam nama menjadi tidak telaksana dengan baik manakala terdapat salah satu pihak yang ingkar janji. Hal tersebut 134
kemudian mengakibatkan pihak lain menjadi dirugikan secara materiil khususnya. Jalan yang ditempuh kemudian mengadakan gugatan ke pengadilan untuk bisa mendapatkan haknya kembali. Salah satu kasus tersebut terjadi di Denpasar, Bali. Penggugat adalah Warga Negara Inggris yaitu Susan Eileen Mather dan tergugat I adalah I Nyoman Sutapa, tergugat II Farhat Said, tergugat III Eddy Nyoman Winarta, S.H ( Notaris Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, Bali), dan Tergugat IV Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung, Bali. Gugatan yang diajukan oleh penggugat diatas telah dijatuhi putusan dengan Nomor : 82/PDT.G/2013/PN.DPS. Putusan tersebut menyatakan bahwa tergugat I, tergugat II dan tergugat III telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pengadilan memerintahkan BPN (turut tergugat) untuk mengembalikan sertifikat tanah tersebut keatas nama tergugat I. Kemudian menjualnya secara lelang dan hasil jualnya digunakan untuk mengembalikan investasi penggugat sebesar Rp. 12.000.000.000,- (duabelas milyar). Kasus yang penulis teliti memperlihatkan bahwa pada awalnya notaris juga membantu melancarkan jalan warga negara asing agar secara tidak langsung dapat memiliki dan menguasai tanah hak milik. Hal tersebut dilakukan dengan tetap membuatkan Akta Pernyataan dan kuasa menjual sesuai dengan permintaan dari para pihak. Sedangkan masing-masing pihak jelas paham dan mengerti, bahwa hal tersebut bertentangan dengan UUPA. Putusan pengadilan tersebut, jika dilihat dari hukum tanah nasional yaitu pasal 26 ayat (2) UUPA tidaklah sesuai, akan tetapi jika ditinjau dari aspek putusan pengadilan yang ideal, maka putusan tersebut adalah sesuai. Putusan tersebut memberikan rasa keadilan khususnya bagi para pencari keadilan. Putusan pengadilan yang ideal adalah putusan yang dapat memberikan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Ratna Dyah Purwaningsih. Tinjauan Yuridis Pemilikan Tanah dengan Status Hak Milik ...
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penting untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut mengenai pemilikan tanah dengan status hak milik oleh warga negara asing melalui jual beli dengan pinjam nama (nominee) disertai pernyataan dan kuasa menjual. Hal ini khususnya terkait bagaimanakah putusan pengadilan diatas jika ditinjau dari hukum tanah nasional dan putusan pengadilan yang ideal. Dengan demikian dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan pihak-pihak yang memiliki permasalahan sama dalam hal pemilikan tanah oleh warga negara asing yang dilarang oleh UUPA.
B. Metode Penelitian Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana, dilakukan dengan metode ilmiah, bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada ( Bambang Waluyo, 1991 : 6 ). Metode merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sitematis ( Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar,2003 : 42). Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tatacara seorang ilmuwan dalam mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya (Soerjono Soekanto,1986:6). Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode yang dipakai adalah penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009 : 13), yang didukung dengan data sekunder, yaitu berupa kasus pemilikan hak atas tanah oleh warga negara asing, putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan perundangundangan (statute approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 93 ). Penelitian ini merupakan deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang berusaha menggambarkan masalah hukum, sistem hukum, dan mengkajinya atau menganalisanya sesuai dengan kebutuhan dari penelitian tersebut ( Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret, 2013 : 6 ). Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan. Data Sekunder dalam penelitian hukum terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa norma dasar Pancasila, UndangUndang Dasar 1945, Undang - undang, Yurisprudensi dan Traktat, serta berbagai peraturan perundang-undangan sebagai peraturan organiknya. Bahan hukum sekunder berupa rancangan peraturan perundangundangannya, buku-buku hasil karya para sarjana dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, juga dapat berupa putusan-putusan hukum pengadilan yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitian. indeks komulatif (Ronny Hanitijo Soemitro, 1992 : 53 ).
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan bagi warga asing baik hanya sekedar berwisata atau juga tidak sedikit yang berbisnis. Bisnis yang dijalankan sangat erat kaitannya dengan tanah dan bangunan yang dijadikan sebagai tempat usaha, kantor, pabrik ataupun rumah tempat tinggal. Dengan demikian orang asing yang hendak menanamkan modalnya pastilah
135
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
berupaya untuk memiliki legalitas terhadap kepemilikan atau penguasaan atas tanah. Permasalahan yang kerap kali timbul berkaitan dengan penguasaan hak atas tanah yaitu bahwa orang asing dilarang memiliki tanah dengan status hak milik sebagaimana berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPA yang berbunyi “ Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Adanya kecenderungan seseorang untuk memiliki hak atas tanah yang berstatus hak milik karena merupakan hak yang terkuat dan terpenuh serta tidak ada kedaluwarsanya. Hal inilah yang menyebabkan seseorang akan berupaya mengambil jalan pintas agar dapat menguasai hak milik atas tanah dengan suatu perbuatan hukum yang dilarang. Kasus tersebut diatas banyak terjadi di Denpasar, Bali, yang salah satunya adalah kasus antara penggugat warga negara Inggris yaitu Susan Eileen Mather dan Tergugat I adalah I Nyoman Sutapa, tergugat II Farhat Said, Tergugat III Eddy Nyoman Winarta,S.H (Notaris Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, Bali), dan Tergugat IV adalah Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung, Bali. I Nyoman Sutapa (Tergugat I) merupakan seorang teman yang dikenal oleh Susan (Penggugat) disebuah restoran yang sering dikunjunginya. Penggugat awalnya menyampaikan keinginannya untuk membeli rumah di kawasan Kuta kepada Tergugat I, namun oleh Tergugat I, penggugat disarankan untuk membeli tanah kosong dan membangun sebuah Villa ketimbang membeli rumah. Mengingat Penggugat tidak berdomisili di Indonesia, akhirnya Penggugat menyetujui saran dari tergugat I. Kemudian pada tahun 1998, Penggugat membeli tanah hak milik didaerah Kerobokan. Karena penggugat adalah warga negara asing yang tidak diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah di Indonesia, maka oleh tergugat I disarankan untuk Untuk meyakinkan penggugat, kemudian dibuat dan ditandatanganilah pernyataan 136
dari tergugat I bahwa pemilik sebenarnya dari tanah tersebut adalah penggugat dan kuasa untuk menjual dari tergugat I kepada Penggugat. Selama ini, penggugat tidak pernah memegang sertifikat asli karena telah dipercayakan dipegang oleh Tergugat I. Pada tahun 2005, dibuat perjanjian yang berisi penegasan kembali tentang uang untuk membeli dan membangun villa (Obyek sengketa) berasal dari penggugat. Perjanjian tersebut tidak lain adalah merupakan suatu bentuk perjanjian pinjam nama atau nominee. Dalam perjanjian juga ditambahkan kesepakatan menjual villa dengan harga tertinggi, dengan sepengetahuan Penggugat. Suatu hari tanpa sepengetahuan penggugat, oleh Tergugat I kepada tergugat II dihadapan jauh dibawah harga pasar yang hanya untuk kepentingan pribadinya sendiri, hal ini sangat merugikan pihak penggugat, yang kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. Tujuan dari suatu proses di muka pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimanakah hukum yang seharusnya dalam suatu kasus. Putusan adalah hasil yang di dasarkan pada pengadilan atau dengan kata lain putusan dapat berarti pernyataan Hakim disidang pengadilan yang berisi pertimbangan menurut kenyataan, pertimbangan hukum (Fence M.Wantu, 2011 : 108 ). Dari beberapa proses taupun tahapantahapan yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara, putusan dan bagaimana putusan itu dilaksanakan adalah suatu tahapan ataupun hasil akhir dari persidangan yang menjadi tujuan dari para pihak yang berperkara. Sebab putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk menuntut haknya berdasarkan putusan pengadilan tersebut, baik secara sukarela maupun dengan paksaan.
Ratna Dyah Purwaningsih. Tinjauan Yuridis Pemilikan Tanah dengan Status Hak Milik ...
Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang berperkara dan memiliki kekuatan eksekutorial yang artinya bahwa putusan pengadilan dapat dilaksanakan secara paksa oleh para pihak dengan bantuan alatalat negara terhadap para pihak yang tidak melaksanakan putusan secara sukarela. Dalam gugatan yang diajukan oleh penggugat tersebut telah dijatuhkan putusan oleh majelis hakim yang menyatakan bahwa Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pertimbangan majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan tergugat I dan tergugat II melakukan jual beli terhadap obyek sengketa dengan harga jauh dibawah pasar adalah merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan penggugat. Putusan tersebut telah sesua, sebab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, syarat-syarat atau unsur-unsur dari adanya perbuatan melawan hukum antara lain adalah adanya perbuatan yang melawan hukum, harus terdapat kesalahan yang dilakukan oleh seseorang atau orang-orang terhadap orang lain, harus ada kerugian yang ditimbulkan, harus ada hubungan causal atau sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan. Tergugat I jelas telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap penggugat secara sengaja. Terminologi melawan hukum mencakup substansi yang lebih luas, yaitu baik perbuatan yang didasarkan pada kesengajaan maupun kelalaian (Rosa Agustina, 2003 : 36 ).Tergugat I telah mengingkari perjanjiannya sehingga menimbulkan banyak kerugian yang harus diderita oleh penggugat terutama kerugian materiil. Menurut pendapat penulis,
sebenarnya Penggugat juga sangat jelas dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum. Sebab nyata-nyata Penggugat dan Tergugat I bekerjasama mengelabuhi hukum tanah yang berlaku di Indonesia yaitu UUPA. Tindakan yang dilakukan oleh Penggugat diatas secara sosiologis telah melanggar ketentuan-ketentuan UUPA yang melarang warga asing memiliki tanah hak milik baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam hal ini secara yuridis tanah hak milik adalah tercatat atas nama Tergugat I, namun secara sosiologis pemilik sebenarnya adalah Penggugat. I Gusti Ngurah Putra Wijaya sebagai pejabat notaris, berdasarkan undang-undang jabatan notaris memiliki wewenang membuat suatu akta Notaris. Akta yang dibuat oleh notaris itu memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Artinya bahwa kebenaran isi dari akta tersebut tidak perlu dibuktikan lagi sebab tidak diragukan lagi kebenarannya. Berbeda dengan akta dibawah tangan yang kebenaran isinya perlu ada pembuktian dari para pihak yang bersangkutan. Kekuatan pembuktian yang sempurna suatu akta otentik diatur dalam Pasal 1870 BW yang menyatakan : “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.” Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebalinya secara memuaskan dihadapan persidangan pengadilan (Sjaifurrachman dan Habib adji, 2011 : 8). Notaris adalah suatu jabatan yang memiliki pekerjaan dengan keahlian khusus, menuntut untuk memiliki pengetahuan luas, tanggungjawab yang besar dan berat dalam melayani kepentingan umum mengenai
137
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
hubungan-hubungan hukum antar pihak yang bersangkutan, khususnya dalam pembuatan akta-akta otentik. Notaris dalam pembuatan akta bagi pihak-pihak yang berkepentingan menggunakan jasanya, seharusnya tidak hanya semata-mata menuangkan apa yang menjadi keinginan para pihak begitu saja. Akan tetapi Notaris juga harus melakukan analisis terlebih dahulu terhadap keinginan-keinginan kliennya tersebut sebelum menuangkannya ke dalam akta otentik, sehingga isi akta tersebut tidak melanggar ataupun bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang berlaku. Sebab akta tersebut bisa memungkinkan timbulnya sengketa diantara para pihak. Untuk itulah seorang Notaris haruslah profesional dalam menjalankan tugas dan jabatannya tersebut, agar dapat selalu menjaga kepercayaan masyarakat dalam kepengurusan legalitas usaha dan segala urusan dibidang pertanahan. Selanjutnya dalam putusan hakim menyatakan bahwa perjanjian jual beli Nomor 52 tanggal 12 Januari 2012, kuasa nomor 53 tanggal 12 Januari 2012, dan akta jual beli nomor 304/2012 tanggal 6 Agustus 2012 adalah batal. Sebab dalam akta perjanjian No. 52 tanggal 12 Januari 2012 pasal 2 alenia kedua berbunyi apabila pihak pertama mau membatalkan jual beli ini atau membeli kembali maka pihak pertama berjanji dan mengikat diri akan memberi konpensasi sebesar Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) kepada pihak kedua sehingga total yang harus dibayarkan pada pihak kedua sebesar Rp. 6.500.000.000,- (enam milyar lima ratus juta rupiah) sesuai dengan harga jual. Perjanjian yang dilakukan antara Tergugat I dengan Tergugat II dihadapan Tergugat III adalah konsep perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali. Dalam pertimbangan hakim menyatakan bahwa segala perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali harus dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan undang –undang. Oleh karena itu, maka akta no. 52 tanggal 12 Januari 2012 138
adalah tidak sah, dinyatakan batal dengan alasan dua pelanggaran hukum yaitu : a. Perjanjian tersebut dibuat dengan kontruksi hukum perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali b. Perjanjian tersebut cacat kehendak m el anggar ketent uan pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian antara Tergugat I dan Tergugat II mengandung unsur atau penyalah gunaan keadaan, dimana Tergugat I berada pada posisi tawar yang rendah. Dalam penyalahgunaan keadaan terdapat suatu ketidak seimbangan hubungan dari para pihak yang bersangkutan. Penyalahgunaan keadaan atau mengandung unsur cacat kehendak. Penyalahgunaan keadaan yakni menikmati keadaan orang lain yang kedudukannya lebih lemah tidak menyebabkan isi atau maksud suatu perjanjian menjadi tidak diperbolehkan, akan tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan oleh pihak yang lebih unggul tersebut menjadi tidak bebas. Walaupun dalam membuat suatu perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak, dimana setiap orang bebas melakukan perjanjian dalam hal apapun dan dengan siapapun sebatas tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun apabila perjanjian tersebut mengandung unsur penyalahgunaan keadaan, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, karena syarat subyektif dalam pasal 1320 KUHPerdata tidak terpenuhi yaitu kesepakatan tidak diberikan secara bebas melalui kehendak, dengan kata lain perjanjian tersebut cacat kehendak. Perjanjian yang mengandung unsure cacat kehendak berakibat dapat dibatalkannya perjanjian tersebut. Akan tetapi, sebelum ada suatu putusan pembatalan yang berkekuatan hukum tetap, maka perjanjian tersebut masih tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum. Kemudian dalam putusan pengadilan hakim juga memerintahkan Badan Pertanahan
Ratna Dyah Purwaningsih. Tinjauan Yuridis Pemilikan Tanah dengan Status Hak Milik ...
Nasional (BPN) Kabupaten Badung, Bali (Turut Tergugat) untuk mengembalikan M 2 (seribu empat ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung – Bali kembali lagi menjadi atas nama I Nyoman Sutapa (Tergugat I) dan memerintahkan agar obyek sengketa tersebut dijual dengan cara dilelang. Kemudian hasil penjualan secara lelang atas tanah sengketa yang telah didapat digunakan untuk membayar investasi yang sudah ditanam Penggugat sebesar Rp. 12.000.000.000,00 (duabelas milyar). Dimana dalam pertimbangan hakimnya juga menambahkan bahwa hasil penjualan secara lelang setelah dikurangi Rp. 12.000.000.000,00 (duabelas milyar) untuk membayar atau mengembalikan investasi dari Penggugat, kemudian sisanya dikembalikan kepada Tergugat I digunakan untuk membayar hutangnya kepada Tergugat II sebesar Rp. 6.500.000.000,- (enam milyar lima ratus juta rupiah) sebagai akibat dibatalkannya jual beli tanah obyek sengketa tersebut antara Tergugat I dengan Tergugat II. Putusan tersebut berdasarkan pertimbangan hakim, dimana dalam pertimbangannya yang menyatakan batal perjanjian nomor 52 tanggal 12 tahun 2012, maka seluruh perjanjian yang mengikuti perjanjian tersebut menjadi batal pula yaitu akta kuasa nomor 52 tanggal 12 Januari 2012 dan aka jual beli nomor 304 tanggal 06 Agustus 2012. Dengan dinyatakannya batal hak milik nomor 5135/Kerobokan Kelod dinyatakan pula tidak berkekuatan hukum. Kemudian hakim menimbang bahwa dengan dinyatakannya sertifikat tanah hak milik tersebut menjadi todak berkekuatan hukum maka aadalah adil untuk mengembalikan tanah I I Nyoman Sutapa. Jika kita kembali melihat ketentuan Pasal 26 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap jual beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali ”. Apabila kita pahami dengan cermat pasal tersebut diatas, maka sebenarnya perjanjian yang dilakukan oleh Penggugat bersama Tergugat I secara tidak langsung bermaksud untuk memindahkan kepemilikan tanah hak milik kepada Penggugat yang merupakan seorang warga Negara asing. Dengan demikian perjanjian tersebut adalah batal demi hukum, perjanjian dari semula dianggap tidak pernah ada, begitu pula dengan hak dan kewajiban yang ditimbulkan akibat adanya perjanjian tersebut juga dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi. Sehingga perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I tidak lagi memiliki legalitas hukum dan tidak berkekuatan hukum. Sehingga para pihak tidak perlu mengadakan tuntuan pembatalan. Walaupun para pihak yang membuat perjanjian adalah cakap untuk melakukan perjanjian. Maria S.W Sumardjono mengungkapkan bahwa : Kedudukan WNA dalam perjanjian semacam itu sangat lemah karena dua alasan: Pertama, walaupun kedua belah pihak cakap bertindak dan mengikatkan diri secara sukarela tetapi ”causa” nya adalah palsu atau terlarang karena perjanjian itu mengakibatkan dilanggarnya ketetntuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Pasal 1335 menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dengan causa palsu
139
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Perjanjian yang dibuat antara WNI dan WNA tersebut didasarkan pada causa yang palsu, yakni perjanjian nyang dibuat dengan pura-pura serta menyembunyikan causa yang sebenarnya yang tidak diperbolehkan. Dalam hal ini, perjanjian itu dianggap sudah batal dari semula dan hakim berwenang karena jabatannya mengucapkan pembatalan itu, walaupun tidak diminta oleh sesuatu pihak (pembatalan mutlak). Kedua, tidak semua perjanjian yang dibuat mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. Hanya perjanjian yang sah yang mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian perjanjian pura-pura tidak mempunyai kekuatan mengikat karena dibuat tidak sah (Maria S.W. Sumardjono, 2007 : 85 ) . Ketentuan diatas sebenarnya sudah bisa dipahami dengan jelas bahwa seharusnya tanahnya kembali pada negara. Sebab Penggugat dan Tergugat I mengakui dan terbukti nyata-nyata telah bekerjasama mengelabuhi ketentuan hukum tanah Indonesia dengan secara tidak langsung memindahkan kepemilikan tanah hak milik kepada Penggugat melalui Tergugat I. Perbuatan yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat I telah melanggar ketentuan hukum tanah nasional yang berlaku. Putusan tersebut tidaklah sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil disebut hukum acara perdata. Putusan hakim pengadilan dalam kasus yang penulis teliti telah memenuhi asas-asas dalam hukum acara perdata, dimana hakim harus mengadili seluruh bagian gugatan, tetapi hakim dilarang menjalankan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut. Hakim pengadilan hanya menjatuhkan putusan sebagian dari apa yang dituntut dan tidak menjatuhkan putusan yang 140
tidak menjadi tuntutan para pihak. sebab dalam beracara perdata, hakim bersifat pasif, sehingga hakim tidak menentukan ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa kepadanya, tapi yang menentukan adalah para pihak sendiri. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. Hakim dalam hal ini hanya membantu para pencari keadilan saja agar tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun, apabila Pasal 26 ayat (2) UUPA diterapkan, maka dapat berakibat pada tidak tercapainya tujuan hukum, sebab putusan tersebut tidak memberikan kemanfaatan dan rasa keadilan khususnya bagi warga negara asing. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai negara hukum, maka seyogyanya suatu hukum dapat berperan dengan baik dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan adanya hukum adalah untuk dapat menjaga keamanan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Suatu putusan hukum yang tidak dapat memberikan rasa keadilan, maka sama halnya bahwa hukum belum bisa ditegakkan dengan baik dan tujuan hukumpun menjadi tidak tercapai. Hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili. Hakim, sebagai salah satu pejabat kekuasaan kehakiman yang melaksanakan proses peradilan, termasuk juga proses peradilan perdata, sudah tentu mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap lahirnya putusan (R. Benny Riyanto, 2008 : 52 ). Didalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim tidak hanya mendasarkan pada hukum tertulisnya saja yaitu undang-undang, akan tetapi juga harus mendasarkan pada hukum adat setempat. Hakim, idealnya harus mampu melahirkan putusan yang mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan ( Elisabeth
Ratna Dyah Purwaningsih. Tinjauan Yuridis Pemilikan Tanah dengan Status Hak Milik ...
Nurhaini Butarbutar, 2011 : 62 ). Oleh karena itu, seorang hakim didalam menjatuhkan suatu putusan, harus benar-benar cermat, bijaksana dan berhati-hati. Putusan hakim yang dirasa adil bagi satu pihak, belum tentu dapat dirasakan adil pula bagi lain pihak. Seorang hakim pengadilan harus dapat memberikan putusan yang sebisa mungkin bisa diterima dengan baik oleh masyarakat dan dapat memberikan kepuasan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Sebab hukum tertulis yang ada tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Mengadili suatu perkara bagi hakim yang paling utama dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah suatu alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya. Ada kemungkinannya terjadi suatu peristiwa, yang m eskipun sudah ada peraturan hukumnya, akan tetapi penyelesaiannya lain. Untuk itulah hakim wajib menggali hukum dalam memutuskan suatu perkara untuk dapat menghasilkan putusan yang memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi para pencari keadilan. Hakim harus senantiasa mendasarkan pada hukum yang berlaku dalam arti luas, yang meliputi undang-undang sebagai hukum positif, kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, serta pendapat para ahli dalam menjatuhkan putusan. Putusan hakim tidak harus mendasarkan pada undang-undang yang ada jika undang-undang tersebut dirasa tidak dapat memberikan rasa keadilan dan manfaat bagi masyarakat, terutama bagi para pencari keadilan. Put usan hakim pengadil an dalam perkara yang penulis teliti, telah memenuhi suatu kriteria putusan hakim yang ideal. Sebab putusan tersebut telah memberikan rasa keadilan dan manfaat bagi para pihak yang bersengketa. Putusan yang telah dijatuhkan dan berkekuatan hukum tetap juga memberikan suatu kepastian hukum. Hakim dalam memutuskan perkara tersebut
telah mempertimbangkan peristiwa yang sebenarnya dan mendasarkan pada hati nurani, memutuskan dengan memperhatikan rasa keadilan khususnya bagi para pihak. Dimana warga negara asing dengan tujuannya untuk dapat berinvestasi jangka panjang di Indonesia, akan tetapi karena dihadapkan pada suatu hukum yang tidak memungkinkan baginya untuk dapat secara langsung memiliki tanah hak milik, maka dengan cara meminjam nama warga negara Indonesia melalui perjanjianperjanjian baru kemudian ia dapat memiliki tanah tersebut secara tidak langsung. Pasal 26 ayat (2) UUPA memang cukup jelas, dimana dalam kasus yang penulis teliti seharusnya berakibat tanah jatuh pada Negara dan Negara yang kemudian berwenang untuk mengambil alih penguasaan atas tanah hak milik yang merupakan obyek sengketa. Sehingga, jika dilihat atau dipandang dari segi hukum tanah nasional, putusan tersebut tidaklah sesuai. Putusan mengembalikan tanah hak milik ke atas nama Tergugat I kemudian dijual lelang secara langsung atau tidak langsung telah meniadakan kewenangan dari negara untuk mangambil alih tanah yang lahir dari suatu perbuatan yang melawan hukum. Akan tetapi, jika dipandang dari aspek putusan hakim yangn ideal, maka putusan tersebut adalah sesuai. Putusan hakim yang ideal adalah putusan yang dapat memberikan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa.
D. Kesimpulan Putusan pengadilan yang memerintahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Badung, Bali (Turut Tergugat) untuk mengembalikan Sertifikat Hak Milik No. 5135, seluas 1.450 M2 (seribu empat ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kelurahan Kerobokan Kelod, Bali kembali lagi menjadi atas nama I Nyoman Sutapa (Tergugat I) dan memerintahkan agar obyek sengketa tersebut dijual lelang dimana hasil lelang digunakan 141
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
untuk mengembalikan investasi Penggugat yang sudah tertanam tidaklah sesuai dengan pasal 26 ayat (2) UUPA, sebagai hukum tanah nasional, dimana seharusnya tanah jatuh pada negara dan negara yang kemudian berwenang untuk mengambil alih penguasaan atas tanah hak milik tersebut. Akan tetapi, sebaliknya Putusan hakim pengadilan teersebut telah memenuhi kriteria putusan hakim yang ideal. Sebab putusan tersebut telah memberikan rasa keadilan dan manfaat bagi para pihak yang bersengketa. Putusan yang telah dijatuhkan dan berkekuatan hukum tetap juga memberikan suatu kepastian hukum. Hakim dalam memutuskan perkara telah mempertimbangkan peristiwa yang sebenarnya dan mendasarkan pada hati nurani, memutuskan dengan memperhatikan rasa keadilan bagi para pihak.
E. Saran Pejabat yang berwenang dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan seyogyanya membuat peraturan bagaimana cara mewadai kasus-kasus yang sudah jelas banyak terjadi dan tetap akan terjadi khususnya di Bali, agar yang demikian ini tetap bisa dilaksanakann tetapi tidak ada hukum positif yang dilanggar. Seyogyanya juga seorang notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah bisa jauh lebih bijak dan berhati-hati dalam melayani atau membuatkan suatu perjanjian atau akta-akta lain. Persoalan yang mungkin saja ditimbulkan akibat dari pembuatan akta-akta tersebut harus dipahami terlebih dahulu secara baik-baik dan kemudian dikaji lebih dalam lagi. Jangan hanya karena lebih mementingkan persoalan materi, kemudian banyak pihak dapat terjebak dengan praktik yang beresiko tersebut. Bagi warga negara Indonesia sendiripun baiknya lebih sadar hukum, untuk tidak membantu warga asing dalam melancarkan usahanya yang
142
melanggar hukum tanah nasional yang telah berlaku, sebab hal tersebut sangat merugikan negara.
Daftar Pustaka Achmad Rubaie. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Malang : Bayumedia. Bambang Waluyo. 1991.Penelitian Hukum dalam Praktek Elisabeth Nurhaini Butarbutar. “Kebebasan Hakim Perdata Dalam Penemuan Hukum Dan Antinomi Dalam Penerapannya”. Jurnal Mimbar Hukum. Volume 23 Nomor 1. FH UGM. Yogyakarta. 2011. F e n c e M . Wa n t u . 2 0 11 . K e p a s t i a n Hukum,Keadilan dan Kemanfaatan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Habib Adji. 2011. Hukum Notaris Indonesia. Cetakan Ketiga. Bandung: Refika Aditama. Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 2003. Metodologi Penelitian Sosial, Bandung : PT.Bumi Aksara. Komar Andasasmita. 1984. Notaris I. Cetakan II. Bandung: Sumur Bandung. Maria SW. Sumardjono. 2006. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta : Kompas. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. R. Benny Riyanto. “Kebebasan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Perdata di Pengadilan Negeri”. Jurnal Hukum Yustitia, Volume 74, Surakarta, FH UNS, 2008.
Ratna Dyah Purwaningsih. Tinjauan Yuridis Pemilikan Tanah dengan Status Hak Milik ...
Ronny Hanitijo Soemitro. 1992. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Ghallia Indonesia.
Soerjono Sukanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta : Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cetakan ke – 11.
Sjaifurrachman dan Habib Adji. 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam pembuatan Akta. Bandung : CV. Mandar Maju.
Universitas Sebelas Maret. 2013. Penulisan dan Pembimbingan Tesis. Surakarta : Program Studi Magister Kenotariatan.
143