KETENTUAN PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN PROTOKOL ALAMAT INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Oleh : Cecep Sutrisna/NPM. L21070002 ABSTRAK Perkembangan teknologi komputer, teknologi informasi dan teknologi komunikasi menyebabkan munculnya tindak pidana baru yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana konvensional. Penyalahgunaan komputer tidak terlepas dari sifatnya yang khas sehingga membawa persoalan yang rumit dipecahkan berkenaan dengan masalah penanggulangannya. Penyalahgunaan Protokol Alamat Internet (Fake Internet Protocol Address) pertama dikembangkan sebagai alasan keamanan, hal ini untuk menjaga adanya serangan hacking dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun pada perkembangannya penggunaan Fake IP Adress ini digunakan untuk kejahatan antara lain pengiriman Email secara terus menerus yang mengakibatkan kemacetan pada server, pemalsuan alamat web server, sampai perusakan data base. Berdasarkan uraian unsur-unsur dalam Pasal 30 sampai dengan, Pasal 35 Undang-Undang ITE, ternyata tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara jelas mengenai penyalahgunaan Penyalahgunaan Alamat Internet, sehingga diperlukan suatu modernisasi/kebijakan kriminal terhadap penyalahgunaan Protokol Alamat Internet ini sebagai upaya perlindungan masyarakat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Modernisasi dan pembaharuan hukum dapat dilakukan dengan perubahan atau penambahan pasal-pasal yang berisi ketentuan pidana dalam Undang-Undang ITE, membuat undang-undang khusus yang mengatur kejahatan di internet (cyber crime) secara khusus yang terpisah dari Undang-Undang ITE cyberlaw, dimasukan dalam KUHPidana Nasional mendatang, yang merupakan pembaharuan hukum pidana, membentuk kerjasama yang baik antara pihak kepolisian dengan Departemen komunikasi dan informasi yang berkepentingan dalam pengaturan/regulasi di bidang teknologi Informasi serta pengelola jaringan internet, hal ini dapat dibentuk dalam suatu cyber task force. Keyword : Protokol Alamat Internet, Keajahatan Internet, Fake Internet Protocol Address
A. Pendahuluan Hukum merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat. Dalam setiap masyarakat selalu ada sistem hukum. Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan antara kepentingan atau hasrat 1
2
individu yang egoistis dan kepentingan bersama agar tidak terjadi konflik. Kehadiran hukum adalah untuk menegakan keseimbangan perlakuan antara hak perorangan dengan hak bersama. Hukum mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia yang menitikberatkan pada pembangunan di segala bidang, hampir setiap bidang kehidupan diatur oleh peraturanperaturan hukum. Melalui penormaan terhadap tingkah laku manusia ini hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia. Campur tangan hukum yang semakin meluas kedalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan. B. Arif Sidharta mengatakan : ”Banyak faktor yang terkait dengan upaya mewujudkan hukum yang efektif, antara lain substansi hukum itu sendiri, aparatur penegak hukum dan budaya hukum masyarakat, merupakan faktor yang paling dominan dalam upaya mewujudkan hukum yang efektif, mengingat budaya hukum merupakan keseluruhan nilai, sikap, perasaan, perilaku dan kesadaran hukum.” 1 Hukum harus bisa menjadi institusi yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat. Bagi suatu masyarakat yang sedang membangun, hukum selalu dikaitkan dengan usaha-usaha untuk meningatkan taraf kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik, sebab melalui norma hukum yang dimaksud maka diharapkan ketertiban dan kepastian dapat terpenuhi sehingga mampu mewujudkan apa yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat. Pembangunan Nasional di Indonesia telah mencapai era tinggal landas. Hal ini antara lain ditenggarai oleh semakin meningkatnya dua faktor utama yang dianggap sebagai kunci keberhasilan pembangunan dalam rangka memenuhi tuntutan era globalisasi, yaitu pertumbuhan ekonomi dan perkembangan pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan 1
B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum : Sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1999, hlm. 76.
3
Teknologi (IPTEK). Salah satu produk IPTEK yang kecanggihannya berkembang pesat dan hampir menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat modern adalah teknologi komputer. Kemajuan teknologi dan industri yang merupakan hasil dari budaya manusia di samping membawa dampak positif, dalam arti dapat didayagunakan untuk kepentingan umat manusia juga membawa dampak negatif terhadap perkembangan dan peradaban manusia itu sendiri. Dampak negatif ini disebut dengan sisi gelap teknologi maju. Pada dimensi yuridis munculnya budaya cyber sebagai produk masyarakat informasi ternyata melahirkan prilaku menyimpang yang tergolong baru yaitu kejahatan yang bersaranakan teknologi informasi "internet". JE Sahetapy menyatakan : ”Kejahatan erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju kehidupan masyarakat, maka kejahatan juga ikut semakin maju. Kejahatan juga menjadi sebagian dari budaya itu sendiri. Hal ini berarti semakin tinggi budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya.”2 Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti berpikir, berkreasi, dan bertindak dapat diekspresikan di dalamnya, kapanpun dan dimanapun. Kehadirannya telah membentuk dunia tersendiri yang dikenal dengan dunia maya (Cyberspace) atau dunia semu yaitu sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang menawarkan realitas yang baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata). Transaksi bisnis online saat ini berkembang dengan sangat pesat sehingga orang dapat melakukan transaksi perbankan melalui Komputer, Laptop, Handphone, PDA atau perangkat lainnya dengan aman. Komunikasi antar perangkat komputer ini dimungkinkan dengan adanya 2
JE. Sahetapy dalam buku Abdul Wahid, Kriminologi. Raja grafindo Persada, Jakarta, Jakarta, 1996.
4
Internet Protocol Adress (selanjutnya disingkat IP Adress) perangkat komputer (device) sehingga dapat berkomunikasi satu sama lain, setiap komunikasi Internet membutuhkan adanya konektivitas IP Adress, dan dalam setiap komunikasi tersebut semua data IP Adress akan terekam dalam
data
web server,
sehingga akan bermanfaat
jika terjadi
penyalahgunaan atau kejahatan yang terkait dalam jaringan internet (cybercrime), beberapa kasus kejahatan yang terjadi di Internet dapat tercatat dengan bantuan penelusuran IP Adress. Transaksi bisnis online dapat berlangsung dengan baik karena adanya pengalamatan di Internet (IP Adress) sehingga dua atau lebih perangkat (device) dapat berkomunikasi dengan baik. Dengan IP Adress ini dapat diketahui lokasi dari suatu server atau sebaliknya dari sisi server akan dikenali darimana suatu komunikasi atau interaksi berawal. Karena setiap aksesibilitas di Internet akan terekam dalam bentuk data elektronik. IP Adress mempunyai peran yang sangat penting dalam proses penelusuran kejahatan di internet (cybercrime) dan dalam hal ini Internet Service Provider memiliki data setiap aktifitas kliennya, Internet Service Provider sudah selayaknya diberikan beban pertanggungjawaban atas data aktivitas setiap kliennya.3 Kriminalisasi terhadap perbuatan dunia maya muncul ketika dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang sebelumnya belum/kurang diatur baik oleh hukum pidana maupun oleh undang-undang khusus di bidang Teknologi Informasi. Hukum selalu berkembang dan semakin diperluas untuk mencakup situasi atau perubahan teknologi informasi yang terus berkembang dalam kehidupan masyarakat, perubahan hukum akan menuntut masyarakat dunia maya untuk menyesuaikan dengan hukum yang baru tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya hukum sendiri belum dapat mengatasi secara riil terhadap permasalahan-permasalahan yang 3
Agus Rahardjo, Kebijakan Kriminalisasi Penanganan Cybercrime di Indonesia, http://www.unsoed.ac.id/news
5
ditimbulkan oleh teknologi khususnya teknologi informasi. Salah satu bukti konkretnya adalah timbulnya berbagai kejahatan di dunia virtual yang ternyata belum bisa diatasi sepenuhnya oleh hukum. B. Pembahasan Hukum pidana sebagai bagian hukum publik eksistensinya bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dan negara dengan melakukan perimbangan yang serasi dan selaras antara kejahatan di satu pihak, dan tindakan penguasa secara sewenang-wenang di lain pihak. Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa ada sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap warga negara setiap hari yang tidak disadarinya dan juga aparat negara, seperti misalnya polisi yang berdiri di perempatan jalan mengatur lalu lintas (Law enforcement). Di samping itu pelaksanaan hukum dapat terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim. Ini sekaligus merupakan penegakan hukum. Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa dalam menegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (rechticherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).4 Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Fiat justitia et pereatmundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan).
Sebaliknya
masyarakat
mengharapkan
manfaat
dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum. Demikian juga keadilan adalah hal yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yang harus dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Undang-Undang
ITE
dibentuk
atas
pertimbangan
bahwa
Pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan
pertumbuhan 4
perekonomian
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 36.
nasional
untuk
mewujudkan
6
kesejahteraan
masyarakat;
bahwa
pemerintah
perlu
mendukung
pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara
aman
untuk
mencegah
penyalahgunaannya
dengan
memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia; Pasal 3 Undang-Undang ITE menjelaskan tentang asas dan tujuan Teknologi Informasi bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Kemudian Pasal 4 Undang-Undang ITE merumuskan : Pemanfaatan
Teknologi
Informasi
dan
Transaksi
Elektronik
dilaksanakan dengan tujuan untuk: a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi Pasal 1 Butir (2) mengatur Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Fenomena tindak pidana teknologi informasi merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya konvensional. Tindak pidana teknologi informasi muncul bersamaan dengan lahirnya revolusi teknologi informasi. Barda Nawawi Arief menunjuk pada kerangka (sistematik) Draf Convention on Cyber Crime dari dewan eropa (Draf No. 25, Desember 2000). Beliau menyamakan peristilahan antara keduanya dengan
7
memberikan
defenisi
cyber
crime
sebagai
“crime
related
to
technologi,computer, and the internet” atau secara sederhana berarti kejahatan yang berhubungan dengan teknologi, komputer dan internet.
5
Cybercrime sering diidentikan sebagai Computer Crime. The US. Departement of Justice memberikan pengertian Computer Crime sebagai : “ ... any illegal act requiring knowledge of Computer technology for its perpetration, investigation, or presecution”6. Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu : “any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data”. Peraturan pidana yang dibuat pada suatu masa tertentu sesuai dengan kebutuhan akan penegakannya pada masa itu, akan tetapi ketika kejahatan itu sendiri telah berkembang maka peraturan pidana itu tidak lagi sesuai dengan kebutuhan penegakannya terhadap kejahatan dalam masa yang lain yang sudah lebih maju, sehingga diperlukan perubahan dan penyesuaian dengan kondisi pada masa sekarang. Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa: “kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana teknologi informasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan
hukum
pidana
formulasinya.
Selanjutnya
kriminalisasi
bukan
(penal menurut
sekedar
policy), Barda
kebijakan
khususnya Nawawi
Arif
kebijakan kebijakan
menetapkan/merumuskan/
memformulasikan perbuatan apa yang dapat dipidana (termasuk sanksi pidananya), melainkan juga mencakup masalah bagaimana kebijakan
5
Ibid. Andi Hamzah dan Boedi D. Marsita, Aspek-aspek Pidana Dibidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hlm. 4. 6
8
formulasi/legislasi itu disusun dalam satu kesatuan sistem hukum pidana (kebijakan legislatif) yang harmonis dan terpadu.7 Kejahatan sebagai “a human and social problem” menurut Ancel tidak begitu saja mudah dipaksakan untuk dimasukan ke dalam perumusan suatu peraturan undang-undang8. Ini tidak berarti bahwa hakim pidana tidak memutus berdasar undang-undang dan harus menolak pidana.
Digunakannya
hukum
pidana
sebagai
sarana
untuk
menanggulangi kejahatan adalah merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum di Indonesia tidak lagi dipersoalkan, yang menjadi masalah adalah garis-garis kebijakan atau pendekatan bagaimanakah yang sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana itu “tujuan akhir dari kriminal ialah “perlindungan masyarakat” untuk mencapai tujuan utama
yang
sering
disebut
dengan
berbagai
istilah
misalnya
:
kebahagiaan warga masyarakat/penduduk (happiness of the citizens) kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan ( wholesome and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social welfare) atau untuk mencapai keseimbangan (equality). Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai “older philosophy of crime control”9. Dilihat
sebagai
suatu
masalah
kebijakan,
maka
ada
yang
mempermasalahkan apakah perlu kejahatan ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana. Kebijakan sosial dengan tujuan hendak mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social defence) adalah sejalan dengan konsep yang dianut oleh Marc Ancel (penganut aliran defense sosial yang lebih moderat). Menurut Marc Ancel 7
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 259. 8 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm.155 9
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm. 149.
9
sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa : “Tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Perlindungan individu maupun masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana yang mendasari kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap si pelanggar dalam hubungannya dengan hukum secara murni maupun pidana merupakan lembagalembaga (institusi) yang harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana Marc Ancel menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari pernyataan sosial.”10 Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga menjadi tugas pembuat hukum (legislatif). Menurut Barda Nawawi Arief bahwa tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan adalah tahap formulasi, oleh karena itu kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.11 Melihat demikian penting dan strategisnya kebijakan formulasi maka dalam menetapkan/merumuskan suatu perbuatan pidana beserta sanksi yang dikenakan pada tahap kebijakan formulasi tersebut harus dilakukan secara cermat dan tepat. Hal ini sesuai dengan kongres PBB IX tentang “pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar” Di Kairo tanggal 29 April s/d 08 Mei 1995 yang menyatakan (… The Correctional system ispart of crime police and interelatif with all the sectors of crime prefention and justice. 10 11
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 154. Ibid. hlm. 35.
10
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah ”politik kriminal” menurut Sudarto merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. 12 Definisi ini diambil dari definisi Marc Ancel yang merumuskan politik kriminal sebagai ”the rational organization of the control of crime by society”.13 Berdasarkan kerugian yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address ini menurut penulis perlu penanganan yang sangat serius terhadap pelaku sehingga dapat membuat jera pelaku Pasal 30 Undang-Undang ITE, unsur tindak pidana yang pertama adalah (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hokum mengakses computer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apapun, menjerat pelaku penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address dapat diterapkan melalui pasal ini, namun apabila pelaku penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address ini menggunakan akses penyedia
perubahan
IP
Address,
penyidik
akan
kesulitan
membuktikan/menjerat pelaku dengan pasal ini. (2) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hokum mengakses computer dan/atau system elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, pelaku penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address tidak selalu bertujuan memperoleh informasi elektronik, sehingga sulit untuk menjerat pelaku dengan ayat (2) ini, (3) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hokum mengakses computer dan/atau system elektronik Perbuatan mengakses computer orang lain secara tanpa hak, perbuatan Fake Internet Protocol Address dapat saja diterapkan dengan Pasal 30 tersebut, dengan alas an bahwa perbuatan meniru atau mengambil identitas IP address sebagai milik pelaku dapat dikategorikan sebagai pelanggaran atas Pasal 30 ini, namun permasalahannya adalah tidak 12
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, ,Bandung , 1977 , hlm. 38. Marc Ancel, Social Defence (terjemahan dari La Nouvelle Defence Sociale),London,1965, hlm. 209. Lihat dalam Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,Op.Cit, hlm.38. 13
11
setiap pengguna Fake Internet Protocol Address ini mendapatkan akses secara melawan hokum, ada beberapa webserver tertentu yang memang menyediakan akses untuk mengganti IP Address, sehingga penerapan Pasal 30 ini kurang tepat terhadap pelaku Fake Internet Protocol Address. Pasal 31 Undang-Undang ITE mengatur bahwa unsur pertama (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hokum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau system elektronik tertentu milik orang lain, pelaku penyalahgunaan fake internet protocol address kadang melakukan tindakan penyadapan, sehingga kemungkinannya kecil pelaku dapat dijerat dengan pasal ini (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hokum melakukan intersepsi
atas
transmisi
informasi
elektronik
dan/atau
dokumen
elektronik yang yang tidak bersifat public dari, ked an di dalam suatu computer dan/atau system elektronik tertentu milik orang lain, baik yang. Tindakan Fake Internet Protocol Address memang disertai dengan perbuatan intersepsi dan penyadapan, sehingga penerapan Pasal 31 ini akan kurang efektif apabila ternyata pelaku Fake Internet Protocol Addressini tidak terbukti melakukan tindakan penyadapan dan intersepsi. Actus reus dari tindak pidana tersebut di atas adalah “intersepsi atas transmisi”, perlu ditekankan bahwa perbuatan melakukan intersepsi tersebut hanya dalam hal sedang berlangsungnya transmisi atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Mens rea dari tindak pidana tersebut di atas adalah “dengan sengaja”. Objek dari actus Reus tindak pidana tersebut adalah “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik. Artinya, seorang hanya dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (2) jo. Pasal 47 Undang-Undang ITE apabila melakukan intersepsi atau transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik.
12
Pelaku hanya dapat dipidana apabila intersepsi yang dilakukan selama berlangsungnya transmisi atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut harus merupakan informasi elektronik yang tidak bersifat publik. Artinya, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik bukan bersifat publik. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik itu harus di intersepsi dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu. Intersepsi itu tidak harus menyebabkan terjadinya perubahan
apapun
maupun
tidak
harus
menyebabkan
adanya
penghilangan, dan/atau tidak harus menyebabkan penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan, yang dimaksud dengan : -
Perubahan adalah terjadinya perubahan Informasi Elektronik
dan/atau dokumen elektronik akibat intersepsi tersebut. -
Penghilangan adalah hilangnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik akibat intersepsi tersebut. -
Penghentian adalah terjadinya penghentian transmisi informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang berlangsung akibat intersepsi tersebut. Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut harus “milik orang lain”. Apabila intersepsi tersebut dilakukan terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik pelaku sendiri, maka perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut pasal ini. Pelaku intersepsi tersebut hanya dapat dipidana apabila perbuatan tersebut dilakukan tanpa hak atau melawan hukum. Artinya apabila dilakukan berdasarkan otoritas, baik otoritas itu didapat karena jabatannya atau karena telah memperoleh izin atau persetujuan dari pemilik
informasi
elektronik
dan/atau
dokumen
elektronik,
maka
perbuatan melakukan intersepsi tersebut bukan merupakan tindak pidana menurut pasal tersebut.
13
Pasal 52 Ayat (2), apabila perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ditujukan terhadap komputer dan/atau sistem elektronik serta informasi elektronik dan/atau sistem elektronik serta informasi elektronik milik pemerintah dan atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga. Pasal 32 Undang-Undang ITE mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
memindahkan,
menyembunyikan
suatu
Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik. Unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 32, yaitu (1) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hokum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan,
memindahkan,
menyembunyikan
suatu
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain
ini mengarah kepada perbuatan hacking atau cracking, namun tidak semua
tindakan/perilaku
Fake
Internet
Protocol
Address
dapat
memenuhi unsur dari Pasal 32 Undang-Undang ITE dimana unsur-unsur dari Pasal 32 yaitu: pertama, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum, kedua, dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. Unsur kedua dari Pasal 32 ini tidak selalu terpenuhi oleh pelaku penyalahgunaan Fake Internet
Protocol
Address,
karena
tidak
selamanya
pelaku
penyalagunaan Fake internet Protocol Address ini melakukan aktivitas hacking/cracking sesuai dengan unsur kedua dari Pasal 32 UndangUndang ITE ini. Pasal 33 Undang-Undang ITE mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan
14
apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 33 tersebut dapat diancam dengan sanksi pidana berdasarkan Pasal 49 yang berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Actus reus dari tindak pidana tersebut adalah “tindakan apapun”. Mens rea dari tindak pidana tersebut adalah “dengan sengaja”. Yang penting berkenaan dengan berlakunya Pasal 33 tersebut adalah sasaran dari actus reus yang ditentukan dalam Pasal tersebut harus berupa sistem elektronik. Selain yang menjadi sasaran adalah sistem elektronik juga harus diperhatikan bahwa akibat tindakan tersebut berupa terganggunya sistem elektronik yang menjadi sasarannya.. Konsekuensi yang demikian itu adalah karena tindak pidana dalam pasal ini dirumuskan sebagai tindak pidana materiil. Artinya pelaku hanya dapat dipidana apabila akibat perbuatan pelaku telah terjadi. Di dalam praktik, gangguan yang terjadi terhadap sistem elektronik itu adalah berupa tidak bekerjanya atau berfungsinya sistem elektronik tersebut sebagaimana mestinya. Pasal 34 Undang-Undang ITE mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara
khusus
dikembangkan
untuk
memfasilitasi
perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. Pasal ini hanya dapat dikenakan kepada para penyelenggara Fake Internet Protocol Address baik dengan menggunakan perangkat keras
15
(hardware) ataupun menggunakan perangkat lunak (software) yang disediakan untuk diakses pihak lain, dapat dikategorikan secara tanpa hak atau melawan hukum apabila IP Address yang disediakan didapatkan dari pihak lain secara tanpa hak, tetapi jika IP Address yang disediakan adalah milik mereka selaku penyelenggara, maka unsur tanpa hak atau melawan hukum tidak terpenuhi. Berdasarkan
uraian
unsur-unsur
pasal
tersebut
diatas,
penulis
berpendapat bahwa ketentuan pidana yang terdapat dalam UndangUndang ITE tidak mengatur secara jelas mengenai penyalahgunaan Fake Internet protocol Address. Penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address ini belum diatur secara jelas baik dalam ketentuan hukum secara umum maupun dalam ketentuan pidana dalam Undang-Undang ITE, sehingga menurut penulis perbuatan (commission) dari pelaku penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address bukan merupakan tindak pidana, padahal perbuatan penyalahgunaan Fake IP address ini telah berakibat merugikan pihak korban, dan juga telah meresahkan masyarakat, khususnya masyarakat pengguna internet dan perusahaan-perusahaan pengguna layanan internet, maupun pemerintah. Evaluasi terhadap kebijakan dalam cybercrimes tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan formulasi dalam perundangundangan tersebut. Evaluasi atau kajian ulang ini perlu dilakukan, karena ada keterkaitan erat antara kebijakan formulasi perundang-undangan (legaslative
policy)
dengan
kebijakan
penegakan
hukum
(law
enforcement policy) dan kebijakan pemberantasan/penanggulangan kejahatan (criminal policy). Kelemahan kebijakan formulasi hukum pidana, akan berpengaruh pada kebijakan penegakan hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan. Sekiranya suatu perbuatan dinilai masih bisa diatasi dengan sarana yang ada maka tidak perlu dilakukan kriminalisasi dalam tingkat legislasi, tetapi jika suatu perbuatan dianggap sangat berbahaya dan mengancam
16
masyarakat serta piranti hukum yang ada tidak mampu atau belum ada maka kebijakan legislatif/formulatif harus sesegera mungkin melakukan kriminalisasi. Norma di masyarakat berkembang mengikuti juga perkembangan kebudayaan masyarakat, termasuk didalamnya perkembangan teknologi informasi yang telah mengubah berbagai kebiasaan dan struktur kehidupan masyarakat, sehingga perbuatan (ommission) yang dilakukan di internet saat ini dinilai sebagai perbuatan yang jahat menurut norma masyarakat, antara lain perbuatan penyebaran Virus komputer walaupun perbuatan ini belum dikriminalisasi secara khusus dalam ketentuan pidana,
namun
perbuatan
tersebut
dapat
dikategorikan
sebagai
perbuatan jahat, termasuk juga perbuatan penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address. Penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address saat ini sudah menunjukan angka yang sangat tinggi, sehingga perlu penanggulangan terhadap kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan Fake Internet Protocol Address tersebut. Jumlah IP Address saat ini diseluruh dunia adalah terdapat 3,083,856,896 IP Address, ini menggambarkan bahwa jumlah IP Address melebihi dari jumlah pengguna internet sendiri yang hanya berkisar 2.000.000.000, banyak diantaranya IP Address ini dipergunakan dengan menyamarkan IP Address yang asli dengan Fake Internet Protocol Address, penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address ini telah menciptakan kejahatan yang kerugiannya tidak dapat diduga sebelumnya, berbagai bentuk kejahatan teknologi informasi (cybercrimes) terbentuk. Dilihat dari sudut criminal policy, upaya penanggulangan terhadap penyalahgunaan Fake Internet Protocol Adress yang merupakan jenis dari cyber crime tentunya tidak dapat dilakukan secara parsial dengan hukum pidana (sarana penal), tetapi harus ditempuh pula dengan pendekatan integral/sistemik. Sebagai salah satu bentuk dari hitech crime, wajar bila upaya penanggulangan penyalahgunaan Fake Internet
17
Protocol Adress juga harus ditempuh dengan pendekatan teknologi (techno
prevention).
Disamping
itu
diperlukan
pula
pendekatan
budaya/kultural, pendekatan edukatif dan bahkan pendekatan global (kerja sama internasional) karena kejahatan ini melampaui batas-batas negara atau bersifat transnational/ transborder. Modernisasi
dan
pembaharuan
hukum
dapat
dilakukan
dengan
perubahan atau penambahan pasal-pasal yang berisi ketentuan pidana dalam Undang-Undang ITE, yaitu antara Pasal 27 sampai dengan Pasal 37, karena pasal tersebut sulit untuk menjerat pelaku penyalahgunaan Fake internet Protocol Address, selain penambahan atau Perubahan terhadap Undang-Undang ITE dapat pula dibuat pembaharuan hukum dengan membuat undang-undang khusus yang mengatur kejahatan di internet (cyber crime) secara khusus yang terpisah dari Undang-Undang ITE cyberlaw, seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia dan Singapura. Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undangundang khusus hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, menyebabkan munculnya bermacammacam undang-undang khusus. Ketentuan mengenai penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address ini dapat pula dimasukan dalam KUHPidana Nasional mendatang, yang merupakan pembaharuan hukum pidana,
dimana hukum yang hidup
dimasyarakat dan kesadaran hukum masyarakat, harus diadopsi menjadi hukum nasional, karena kejahatan-kejahatan yang terkait dengan teknologi
informasi
saat
ini
sudah
sangat
memprihatinkan
dan
masyarakat sadar akan bahaya atau kerugian yang ditimbulkan dari cybercrime ini.
18
Penulis menganalisis mengenai kebijakan kriminalisasi berkaitan dengan penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address ini dengan berdasarkan pada pendapat Barda Nawawi Arif yang mengatakan
suatu upaya
kriminalisiasi terhadap tindak pidana mayantara perlu memperhatikan hal-hal fundamental, diantaranya : Pertama, untuk terwujudnya tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara material dan spiritual berdasarkan Pancasila; Penulis berpendapat bahwa kejahatan penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address bermula dari kejahatan komputer berupa peningkatan kualitas kecanggihan teknologi komputer. Berbagai hasil pengamatan baik dari media masa (cetak dan elektronik), penelitian lapangan, menunjukan bahwa kejahatan penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address memiliki dampak yang sangat serius terhadap perkembangan sosial masyarakat itu sendiri. Sehingga upaya kriminalisasi adalah cara yang paling tepat, dimana kebijakan kriminalisasi ini pada hakikatnya merupakan penanggulangan kejahatan sekaligus satu kesatuan dengan upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan rakyat (social welfare). Dengan kata lain tujuan final dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Tujuan pembangunan Nasional. Kedua, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus
merupakan perbuatan
yang tidak
dikehendaki, tidak disukai atau dibenci oleh warga masyarakat yaitu perbuatan yang merugikan atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban. Selain itu harus pula dipertimbangkan sejauh mana perbuatan tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai
fundamental yang berlaku dalam masyarakat. Terhadap hal yang kedua ini penulis berpendapat bahwa kejahatan penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address adalah khas
19
yaitu
ekses
negatif
dari
masyarakat
informasi.
Kejahatan
penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address berbeda dan lain dari kejahatan yang telah ada dan dikenal sebelumnya dalam Hukum Teknologi Informasi sebagaimana aksioma kejahatan tiada lain adalah produk masyarakat itu sendiri (crime is a product of society its self). Dampak negatif kejahatan ini menyedot perhatian masyarakat baik nasional, regional bahkan internasional. Ini pertanda bahwa kejahatan ini serius dan berbahaya bagi masyarakat. Jika di kaji lebih jauh berbagai kekhawatiran, kecemasan dan warning untuk segera membuat klep pengaman terhadap kejahatan penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address ini kepada masyarakat luas. Bentuk Kejahatan yang ditimbulkan dari Fake IP address yang kemudian menyerang IP address korban saat ini dapat dikategorikan sebagai cyber teroris, karena akibat yang ditimbulkan dari penyalahgunaan IP Address ini, begitu besarnya kerusakan yang terjadi atau ditimbulkan apabila pelaku berhasil melumpuhkan jaringan listrik dari satu ibukota suatu negara, melumpuhkan sistem jaringan komputer suatu markas biro intelejen nasional, melumpuhkan jaringan komputer suatu bank sentral suatu
negara,
jaringan
penerbangan,
mengacaukan
situs-situs
pemerintah khususnya yang berkaitan dengan kepemilikan data-data rahasia Negara, dan lain sebagainya. Ketiga, Perhitungan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) dari penggunaan
hukum
pidana
tersebut,
yaitu
apakah
biaya
mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegak hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai. Kejahatan penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address dapat menimbulkan kerugian secara materiil. Hal ini banyak dilakukan terhadap webserver yang mempunyai nilai bisnis besar seperti layanan perbankan online, data server milik pemerintah, dan webserver perusahaan-
20
perusahaan besar. Sehingga akibat dari kejahatan ini menimbulkan kerugian yang sangat besar bahkan mencapai triliyunan rupiah. Sehingga menurut penulis sangat diperlukan kebijakan kriminalisasi terhadap kejahatan ini karena dipandang dari segi perhitungan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) yaitu biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai. Bekerjanya/berfungsingnya
hukum
pidana
memerlukan
sarana
pendukung yang lebih bervariasi dan Sumber Daya Manusia yang lebih berkualitas, sedangkan untuk mencapai hal tersebut membutuhkan sumber biaya yang cukup besar. Sebaiknya Anggaran sekalipun dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan seluruh proses pidana, namun hendaknya diusahakan memanfaatkan anggaran yang tersedia secara berhasil dan berdaya guna. Keempat, kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas dan keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai. Untuk hal ini menurut pendapat penulis yang dapat dilakukan yaitu membentuk kerjasama yang baik antara pihak kepolisian dengan Departemen komunikasi dan informasi yang berkepentingan dalam pengaturan/regulasi di bidang teknologi Informasi serta pengelola jaringan internet, sehingga terjalin sinergi untuk melakukan penegakan hukum di bidang teknologi informasi yang terpadu, hal ini dapat dibentuk dalam suatu cyber task force. Cyber task force ini nantinya akan berperan dalam proses upaya penegakan hukum, baik yang yang bersifat preventif maupun represif. Dalam penanganan kejahatan teknologi informasi diperlukan adanya kerjasama
Internasional
dalam
karakteristik
kejahatan
teknologi
transnasional
dan
kejahatan-kejahatan
borderless, cybercrime
proses
penegakan
informasi
sehingga yang
akan
hukumnya,
(cybercrime) sulit
melibatkan
yaitu
mengungkap
jaringan-jaringan
21
Internasional, seperti dalam beberapa kasus penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address
ini melibatkan jaringan serta lokasi negara
yang berbeda, sehingga membutuhkan kerjasama antara aparatur penegakan hukum di Negara kita dengan aparatur penegakan hukum di Negara lain. C. PENUTUP Kesimpulan 1.
Berdasarkan uraian unsur-unsur dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-Undang ITE, ternyata tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara jelas mengenai penyalahgunaan Fake Internet protocol Address, sehingga terhadap pelaku penyalahgunaan Fake Internet Protocol Address tidak mudah untuk menjerat pelakunya. Sehingga pelaku tersebut dapat lolos dari jerat hukum, karena belum ada pengaturan pidana yang bersifat jelas.
2.
Evaluasi terhadap kebijakan dalam cybercrimes tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan formulasi dalam perundangundangan tersebut. Modernisasi dan pembaharuan hukum dapat dilakukan dengan perubahan atau penambahan pasal-pasal yang berisi ketentuan pidana dalam Undang-Undang ITE, yaitu antara Pasal 27 sampai dengan Pasal 37.
Saran Saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut : 1. diperlukan upaya reorientasi, restrukturisasi undang-undang yang mengatur masalah pemanfaatan teknologi komputer. Berdasarkan kajian
pengaturan
cybercrime
dibutuhkan
evaluasi
kebijakan
kriminalisasi berupa perubahan dan penyusunan delik-delik baru terhadap kebijakan kriminalisasi tindak pidana teknologi informasi pada masa yang akan datang, khususnya pengaturan mengenai Fake Internet Protocol Addaress.
22
2. Meningkatkan fasilitas, pengetahuan dan spesialisasi terhadap aparat penegak hukum dibidang cyber serta upaya pengamanan sistem informasi melalui kerjasama dengan Internet Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet serta perlunya perhatian pertanggungjawaban provider, merupakan solusi dalam penanggulangan penegakan hukum tindak pidana teknologi informasi di masa yang akan datang. Meningkatkan komitmen strategi/prioritas nasional terutama aparat penegak hukum dalam penanggulangan kejahatan di dunia maya oleh karena itu pembentukan cybertask force dari lingkup pusat hingga ke daerah perlu dipertimbangkan agar ada satuan tugas khusus yang menangani kasus-kasus cybercrime.