UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM PROSES MENINGGALKAN JALAN TEROR DISERTASI (RINGKASAN) Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor di bidang Psikologi yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Indonesia di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M. Met. Pada hari Rabu, 13 Januari 2016, pukul 10.00 WIB
Gazi NPM. 1006784115
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JANUARI 2016
i
TIM PEMBIMBING Promotor Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si Ko-promotor 1 Dr. Bagus Takwin, M.Hum Ko-promotor 2 Dr. Mirra Noor Milla, S.Sos., M.Si
TIM PENGUJI Ketua Sidang Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA Anggota Prof. Dr. Enoch Markum Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Prof. Dr. Faturrahman Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta Prof. Dr. Bambang Pranowo Guru Besar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si, Ph.D Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dr. Adriana Soekandar, M.Sc Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KETUA PROGRAM STUDI DOKTOR FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA Prof. Dr. Guritnaningsih A. Santoso
ii
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan anugerah dan berkah sehingga dengan perkenan-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Pengalaman dalam proses kuliah dan penulisan disertasi ini menyadarkan penulis bahwa hidup ini adalah rangkaian ikhtiar panjang dalam mencari takdir bagi pribadi penulis. Rasa syukur terus terucap di dalam hati dan lisan karena melalui proses belajar dan penulisan disertasi ini, penulis bertemu dengan orang-orang hebat yang telah memberikan pembelajaran dan hikmah yang luar biasa bagi perjalanan akademis dan karir. Penghargaan dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si selaku Promotor yang selalu memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan kepada penulis sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini. Terima kasih Prof. Hamdi..Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Dr. Bagus Takwin, M. Hum selaku kopromotor 1 yang telah memberikan masukan dan sentuhan berharga atas disertasi ini. Saya juga harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Mirra Noor Milla selaku kopromotor 2. Masukan dan koreksi Mba Mirra atas disertasi ini membuat isinya semakin halus dan terarah dibandingkan sebelum dikoreksi. Terima kasih Mba Mirra atas waktu dan kesediaan mengoreksi disertasi dengan detil. Rasa terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada Ketua Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Guritnaningsih dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA selaku ketua tim sidang promosi. Terima kasih juga kepada Dr. Adriana Soekandar Ginanjar, MS selaku Wakil Dekan bidang pendidikan, peneliitan dan kemahasiswaan, serta Dra. Corrina D.S. Riantoputra, M.Com., Ph.D selaku Wakil Dekan bidang sumber daya, ventura dan administrasi umum beserta segenap jajaran staff di bawahnya atas bantuan administrasi selama menjadi mahasiswa program doktor. Rasa terima kasih yang dalam dan tulus penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr. Bambang Pranowo, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Faturrochman MA, Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si., Ph.D dan Dr. Adriana S. Ginanjar selaku tim penguji. Terima kasih atas saran dan masukan Bapak dan Ibu yang sangat berharga. Ucapan terima kasih disampaikan kepada para dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Sarlito Wirawan, Sarwono, Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si, Dra. Siti Dharmayati Bambang Utoyo, MA., Ph.D, Robby Muhammad, Ph.D, Dr. Rudolf Woodrow Matindas, Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si, Dr. Bagus Takwin, M. Hum, Dra. Ike Anggraika, M.Si. Terima kasih atas ilmu yang Bapak dan Ibu ajarkan sehingga menambah wawasan dan mengilhami penulis untuk mempersiapkan dan menulis disertasi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada para tenaga kependidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yaitu Mas Irwan, Mba Siti Mariam, Mas Robin, Pak Suroko dan lain-lain yang telah membantu kelancaran administrasi. Khusus untuk Pak Suroko terima kasih atas semua bantuan terkait urusan administrasi sehingga melancarkan proses studi doktor saya.. Terima kasih saya ucapkan kepada para guru dan mentor yang telah mengajarkan saya selama kuliah di program sarjana. Di antara mereka perlu saya sebutkan: almarhuman Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ibu Dr. Netty Hartati, M.Si., Ibu Dra Zahratun Nihayah, M.Si., dan Ibu Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si. serta semua dosen dan guru yang tidak disebutkan namanya satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima kasih, semoga ilmu dan pengalaman yang diberikan bisa menjadi amal jariah. Terima kasih tidak lupa saya ucapkan kepada para mantan dekan Fakultas Psikologi UIN Jakarta (Dr. Netty Hartati, M.Si dan Jahja Umar Ph.D) yang telah mendorong penulis untuk melanjutkan studi S3 dan memberikan izin untuk konsentrasi belajar demi menambah wawasan dan ilmu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi UIN Jakarta yang telah memberikan kemudahan dan dukungan selama proses penyelesaian studi S3 saya. Terima kasih disampaikan pula kepada Dr. Abdul Rahman Saleh, Ikhwan Lutfi, M.Si dan Dr. Diana Mutiah, M.Si selaku wakil dekan yang telah memberi dukungan moral. Kepada semua rekan dosen dan tenaga kependidikan Fakultas Psikologi UIN Jakarta, saya ucapkan terima kasih atas persahabatan yang tulus dan kemitraan yang kokoh di antara kita iii
sehingga semua proses menjalankan tugas dan kewajiban sebagai dosen dan mahasiswa doktoral bisa berjalan dengan lancar. Terima kasih kepada Pusat Kehidupan Keagamaan dan Pusat Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Kemenag RI, CSRC dan Puslitpen UIN Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari pengalaman meneliti.. Terima kasih kepada para petinggi Densus 88 Mabes Polri yang telah memberikan kesempatan berdiskusi tentang terorisme dan membuka akses untuk bertemu dengan para pelaku teror di Indonesia. Terima kasih disampaikan kepada Bapak dan Ibu petinggi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Bapak Brigjen Agus yang kini menjadi Panglima Kodam, Prof. Dr. Irfan Idris, Bapak Dr. Muslih Nasoha yang saat ini kembali bertugas di Kemenhankam, Bapak Kolonel Marinir Jon, Bapak Kolonel Marinir Andi, Mbak Phobe, Mas Sholehudin dan lain-lain yang tidak disebutkan namanya satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mitra dalam kegiatan deradikalisasi BNPT sehingga membuka akses bagi saya dengan para pelaku teror di dalam penjara maupun di luar penjara. Terima kasih kepada para kepala Lapas yang pernah saya kunjungi. Kalapas Porong, Kalapas Semarang, Kalapas Tangerang, Kalapas Luwuk, Kalapas Makasar, Kalapas Cipinang termasuk jajaran di bawahnya atas izin dan kesempatan berkunjung untuk menemui para warga binaan penjara dari kalangan teroris. Terima kasih saya sampaikan juga kepada teman-teman seangkatan: Mba Arum, Mba Kiki, Mba Dyah Rini, Mba Okta, Mba Marli, Mba Sita, Mba Rini, Mba Iwus, Mba Beby, Mba Tika, Mba Melani, Pak Lukman, Kang Gume, Mas Lutfi dan Mas Dadang. Kekompakan dan persahabatan yang tulus memberikan warna tersendiri dalam kehidupan akademis saya. Mudahmudahan persahabatan ini akan meneguhkan jaringan kerja akademis kita di masa depan. Terima kasih disampaikan pula kepada semua dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan Fakultas Psikologi UIN Jakarta atas dukungan moral dan kehangatan persahabatan dan kemitraan selama penulis berinteraksi dan bekerja di kantor. Terima kasih yang sebesarbesarnya saya sampaikan kepada Eci dan Diki yang telah bersedia menjadi paranim, semoga dimudahkan dalam proses kuliah dan segera menulis disertasi.. Saya juga harus menyampaikan terima kasih kepada Diktis Kemenag RI yang telah memberikan beasiswa selama tujuh semester dan bantuan studi dari UIN Jakarta selama dua semester sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah dan penulisan disertasi dengan baik. Semoga Diktis dan UIN Jakarta berjaya dalam mengembangkan dunia pendidikan dan perguruan tinggi Islam demi kemaslahatan umat dan bangsa. Terima kasih kepada Muje dan tim yakusanya yang telah membantu dalam proses transkrip rekaman dan proses tehnis lainnya serta nama-nama lain yang tidak disebutkan satu per satu. Semoga kalian selalu sukses dalam mengejar cita-cita dan masa depan. Saya juga berterima kasih kepada kawan-kawan pegiat “Laboratorium Psikologi Politik UI pimpinan Bang Hamdi : Mba Mira, Mas Cahyo, Mba Whinda, Mba Sukma yang sekarang jadi dosen Unibraw, Mas Diki, Mas Alim dan nama-nama lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih saya kepada kalian. Suasana diskusi dan gairah serta kuriositas intelektual yang saya dapat dalam suasana kontak akademis di ruangan ini membuat saya semakin mencintai ilmu pengetahuan dan gemar membaca.. Saya bersyukur dipertemukan dengan orang-orang hebat seperti kalian... Disertasi ini saya persembahkan untuk almarhum abah tercinta, H. Said Saleh Saloom, dan emak tersayang, almarhumah Jawirah, yang telah membesarkan dan mendidik saya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Semoga pesan abah bahwa ilmu adalah warisan paling berharga dalam hidup bisa diwariskan lagi kepada anak-anak; dan semoga teladan emak sebagai orang yang tangguh dalam membesarkan dan mendidik anak bisa ditiru. Terima kasih kepada Bang Zaed Saloom almarhum yang selalu menjadi teman diskusi saat masih hidup semoga Bang Zaed bahagia di alam sana. Terima kasih saya sampaikan pula kepada Bang Hizam Saloom, yang selalu bahagia dan bangga dengan capaian adik-adiknya, juga kepada adik-adik saya: Fadlika Saloom, Najah Saloom, Hilwah Saloom, Nurimamah Saloom dan Faiz Saloom yang selalu mendukung setiap langkah saya, serta para keponakan. Kepada keluarga besar Saloom di manapun dan keluarga besar dari pihak emak di Lombok, terima kasih atas dukungan kalian. iv
Kepada mertua saya, Ibu Faizah dan Drs. Kurtubi almarhum, semua ipar saya: Kang Fatur, Ridwan (alm), Ina Rosdiana dan suami, Syifaurrahmah dan suami, serta Oman yang sedang belajar di Turki, terima kasih atas dukungan dan doa kalian. Semoga Allah memberikan kebahagiaan dan ketenangan. Terakhir tetapi yang paling utama dan inti, saya ingin menyampaikan terima kasih dan cinta yang tulus kepada isteri tersayang, Ummu Athiyah, yang telah mendampingi penulis selama 12 tahun lebih dan telah memberikan tiga orang anak yang sehat dan pintar dengan segala sukaduka yang menyertai. Terima kasih, isteriku, belahan jiwaku yang tetap setia sampai saat ini. Saya juga merasa perlu berterima kasih kepada anak-anak saya: Averrous Saloom (Bang Iyus/Verrous), Imtiyazussaomi Saloom (Kakak Tiyas) dan si bungsu Fawwaz Muluki Saloom (Adik Luki) yang memberi keceriaan dan kebahagian dalam kehidupan sehari-hari kami. Abah sangat menyayangi kalian dan berharap semoga kelak kalian bisa meraih pendidikan formal tertinggi dengan waktu yang lebih cepat dan lebih berkualitas dibandingkan apa yang abah capai sekarang ini.
v
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul Disertasi
: Gazi : Ilmu Psikologi : Dinamika Relasi Sosial Dalam Proses Meninggalkan Jalan Teror
Studi tentang proses radikalisasi dan terorisme telah banyak dilakukan, namun studi tentang proses meninggalkan jalan teror masih sangat kurang. Untuk mengisi kekurangan itu, studi disertasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa para pelaku teror di Indonesia meninggalkan jalan teror. Studi disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode grounded research. Lima orang mantan pelaku teror dan anggota Jamaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam aksi terorisme dan pelatihan militer dipilih untuk menjadi subyek studi dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan studi. Lebih dari 40 orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan pertemanan dipilih untuk menjadi narasumber studi. Data studi dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan subyek studi dan dianalisis dengan teknik grounded theory. Dari hasil studi diperoleh tema-tema tertentu melalui proses open coding, pengelompokan ke dalam kategori tertentu atau dikonseptualisasi menjadi relasi sosial dan meninggalkan jalan teror. Kemudian, dihasilkan teori berbasis data tentang dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror. Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan teror, ada rasa bersalah menjadi penyebab penting meninggalkan jalan teror, ada perubahan keyakinan tentang konteks jihad tetapi jihad tetap ada di dalam pikiran subyek. Selain itu, disimpulkan bahwa ada tiga dimensi relasi sosial yang ditemukan yaitu dimensi personal, organisasi dan sosial. Relasi sosial mendorong meninggalkan jalan teror melalui evaluasi individual dan kolektif dan tindakan mengubah keyakinan tentang jihad dan outgroup. Kelemahan dan rekomendasi studi didiskusikan. Kata Kunci : Grounded research, teroris, relasi sosial, deradikalisasi, disengagement,
vi
ABSTRACT Name Study Program Judul Disertasi
: Gazi : Psychology : Dynamic of Social Relation in Process of Leaving Terrorism
Many studies on the radicalization and terrorism processes have been conducted. However the study on process of leaving terrorism is still overlooked. To fill this gap, present study attempted to address the question of how and why terrorists leave terrorism in Indonesia. This research employed qualitative method with grounded theory as design and tool of analysis. Five former terrorists and members of Jamaah Islamiyah who have involved in terror action and military training were selected as respondents of the study. More than 40 people who have family relation, kindship and friendship were selected as research resources. Data were taken by direct in-depth interview and were analyzed using grounded theory technique. Through open coding process, specific themes were found and then grouped into some categories, and through selective coding process a theory on leaving terrorism was built. The theory insisted on role of dynamic of social relation in process of leaving terrorism. Based on the analysis, it can be concluded that terrorists could leave terrorism, guilty feeling was one cause of leaving terrorism, and belief about jihad context could be changed although the idea of jihad could not be left. Besides, it was concluded that there were three dimensions of social relation dynamic: personal dimension, organizational dimension, and social dimension. Social relation dynamic pushed terrorists to leave terrorism through individual and collective evaluation and belief change on jihad context and outgroup attitudes. Weaknesses and recommendations of the study were further discussed. Key words : Grounded research, terrorist, jihad, social relation, deradicalization, disengagement. .
vii
DAFTAR ISI Halaman Judul Dalam................................................................................. .............. Tim Pembimbing Dan Tim Penguji...... .................................................... ................. Ucapan Terima Kasih................................................................................... .............. Abstrak...................................................................................................... .......... ...... Daftar Isi.................................................................................................. ........... Daftar Tabel.......................................................................................... .......... .......... Daftar Gambar..................................................................................... ........... .......... Latar Belakang ......................................................... ........ .................... ......... A Pertanyaan Penelitian............................................................. ........ ................ B Tujuan Penelitian.................................................................... ........ ................ C Telaah Literatur .................... .................... .................... .................... ........... D Metode Penelitian.................... .................... .................... .................... .......... E Hasil Penelitian.................... .................... .................... .................... ............. F Pembahasan Hasil Penelitian.................... .................... .................... ............. G Kesimpulan.................... .................... .................... .................... .................... H Rekomendasi.................... .................... .................... .................... ................ H Daftar Pustaka.................... .................... .................... .................... ............... Riwayat Hidup.................... .................... .................... .................... ..............
viii
: : : : : : : : : : : : : : : : : :
i ii iv viii x xii xiii 1 5 5 5 10 11 26 33 34 34 41
DAFTAR TABEL
1
Profil subyek penelitian..................................................................... ........
11
2
Pola meninggalkan jalan teror............................................................ .........
12
3
Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek............... .........
14
4
Perubahan pandangan tentang konteks jihad..................................... .........
15
5
Dari homogenitas outgroup ke heterogenitas outgroup..................... .........
15
6
Gambaran rasa bersalah..................................................................... .........
17
7
Identitas kelompok versus identitas personal..................................... .........
18
8
Konflik nilai personal versus nilai kelompok.................................... .........
18
9
Deideologisasi jihad........................................................................... .........
20
10 Gambaran penurunan komitmen.....................................................................
21
11 Konflik interpersonal......................................................................... .........
24
12 Kontak dengan orang lain di luar kelompok...................................... .........
25
ix
DAFTAR GAMBAR
1 Dinamika konflik pemimpin-pengikut................................................ ............. 2 Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror........... .............
x
23 26
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2
Pedoman wawancara......................................................... Singkatan dan inisial..........................................................
xi
205 206
xii
RINGKASAN A. Latar Belakang Masalah Pelaku teror meninggalkan jalan teror? Apa mungkin? Inilah pertanyaan dan ungkapan skeptis yang muncul di masyarakat terkait pernyataan mantan pelaku teror yang menyesali aksi pengeboman di Bali. Telah banyak media massa, baik cetak maupun audio-visual termasuk media sosial seperti youtube mengabarkan tentang sejumlah pelaku teror yang menyesali keterlibatan dalam aksi menghancurkan dua tempat hiburan malam Sari Club’s dan Paddy’s Pub yang terkenal di Jalan Legian Kuta Bali (Imron, 2009; 2010; Tim Lazuardi Birru, 2010) Pelaku teror Bom Bali yang sampai saat ini masih ditahan di penjara narkoba, AI, menyatakan penyesalannya melalui buku autobiografinya yang berjudul “Ali Imron Sang Pengebom”. AI mengungkapkan bahwa keterlibatannya dalam tragedi Bom Bali 1 adalah suatu kesalahan besar dalam hidupnya. Sebelumnya ia menolak keras rencana pengeboman di Bali walaupun akhirnya ia terlibat dan bahkan berperan penting (Imron, 2009). Pelaku teror lainnya yaitu UP yang pernah dipenjara di Guantanamo, pernah dipenjara di Mako Brimob Depok Jawa Barat dan sekarang dipenjara di Lapas Porong Surabaya Jawa Timur, juga mengungkapkan penyesalannya di depan publik yang diliput media massa. Pria keturunan Arab yang digambarkan sebagai “orang berbahaya” ini menangis dan menyesali apa yang telah dia lakukan dalam aksi Bom Bali, 10 Oktober 2002 (Balipostvideo, 2012). Untuk menunjukkan bahwa meninggalkan jalan teror benar-benar dilaksanakan, subyek utama melakukan hal-hal yang memperkuat persepsi publik tentang keputusan mereka. Misalnya, NA, AA, dan AI menghabiskan waktunya untuk memberikan penyadaran kepada rekan-rekan dan mantan anak buahnya di Jamaah Islamiyah melalui program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Mabes Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Tim Penulis Lazuardi Birru, 2010; 2011). Sementara UP menunjukkannya dengan ikut apel bendera Harkitnas di Lapas Porong Sidoarjo Jawa Timur (Syafidri, 2015). Fakta ini tentu saja mengagetkan banyak pihak, penyesalan beberapa teroris pelaku bom Bali atas keterlibatan mereka dalam aksi teror menyisakan keraguan dan pertanyaan di tengah masyarakat. Benarkah mereka menyesali keterlibatannya dalam aksi teror? Keraguan ini beralasan karena aksi teror seolah-olah tidak pernah selesai walaupun aparat keamanan terutama Densus 88 Mabes Polri telah melakukan penangkapan besar-besaran, bahkan menembak mati sebagian pelaku teror yang melakukan perlawanan. Hal itu menjelaskan mengapa muncul adigium “terorist is terrorist” (Horgan & Bjorgo, 2009) yaitu keyakinan sebagian orang bahwa pelaku teror tidak mungkin bertobat atau kembali ke jalan normal. Selain itu, banyak juga pendapat berlawanan yang mengatakan bahwa menjadi teroris bukan karena faktor bawaan melainkan karena multifaktor seperti faktor sosial-politik. Oleh karena itu, kemungkinan meninggalkan jalan teror pada kaum teroris selalu ada karena menjadi teroris lebih sebagai respon terhadap persoalan sosial-politik yang kompleks. Pendapat yang terakhir ini menyatakan bahwa “a terrorist is made not born” (Moghaddam, 2005; 2006; 2007). Pro-kontra seputar kemungkinan teroris meninggalkan jalan teror menimbulkan teka-teki yang tidak berujung dan perlu dijawab dalam penelitian ini. Terorisme dan aksi teror dengan segala bentuknya telah berlangsung cukup lama, tetapi ancamannya terhadap masyarakat dunia sampai saat ini belum berakhir (McCormick, 2003; Levin & Amster, 2003; Steven & Gunaratna, 2004; Wright, 2010). Hal itu membuat pemegang kebijakan dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk Psikologi, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri terdorong melakukan kajian mendalam tentang motivasi terorisme (Levin & Amster, 2003), guna memahami penyebab terorisme, bagaimana memberantas terorisme dan menanggulangi dampaknya (Sinai, 2008; Lawal, 2002; Ekici & Sahliyeh, 2009; Jacobson, 2010). Para ahli berbeda pendapat dalam menanggapi kemungkinan berakhirnya aksi teror. Misalnya, Jones dan Libicki (2008) berpendapat bahwa semua kelompok teroris akan berakhir seiring berlalunya waktu. Pertanyaannya: Mungkinkah terorisme berakhir dan bagaimana mereka akan berakhir? Apakah karena dikalahkan aparat keamanan (polisi dan militer)? Ataukah karena memperoleh kemenangan? Atau alasan lain? (Jones & Libicki, 2008). Pertanyaan-pertanyaan itu penting dijawab agar diperoleh gambaran yang jelas dan kongkrit tentang bagaimana seharusnya menghadapi aksi teror yang marak terjadi akhir-akhir ini. 1
Untuk hal ini, diperlukan upaya keras untuk memahami proses dan dinamika psikologi dan sosial yang dialami seorang teroris secara individual. Mengapa meninggalkan jalan teror dan memilih cara-cara non kekerasan untuk mewujudkan cita-cita dan ideologi kelompok adalah pertanyaan penting yang belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini (Jacobson, 2010; Horgan, 2005; 2007; 2008; 2011; Crenshaw, 1981; Borum, 2004; Horgan 2009; Bjorgo, 2009; Ashour, 2008). Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terutama dari sisi psikologi diharapkan akan menjelaskan bagaimana mengakhiri kekerasan dan lambat-laun akan mengurangi –untuk tidak mengatakan mengakhiri— radikalisme dengan kekerasan. Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok memasuki terorisme (Hoffman, 2006; Sageman, 2004; 2003; Crenshaw, 1990; Bloom, 2005; Milla, 2010). Begitupula, peneliti yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok bertahan dalam terorisme (Sprinzak, 2005; Kydd & Walter, 2006). Namun penelitian tentang mengapa keluar sangat terbatas (Bjorgo, 2009; Horgan& Bjorgo, 2009; Horgan, 2009; Garfinkel, 2007; Jacobson, 2010). Dari jumlah yang terbatas itu, belum banyak yang dilakukan di Indonesia. Di antaranya, riset Yayasan Prasasti Perdamaian (Andrie, 2012), Hwang dkk (2013) dan Hwang (2015). Menurut saya, riset tim YPP tidak menggunakan basis teori Psikologi yang kuat sehingga tidak tergambar dengan baik dinamika psikologis yang dialami para teroris. Sementara itu, riset Hwang dkk (2013) dan Hwang (2015) lebih fokus pada peristiwa kekerasan di Poso yang lebih banyak bernuansa konflik antarkelompok Islam dan Kristen dengan subyek yang bukan prototipe Jamaah Islamiyah. Kedua riset terakhir meneliti anggota kelompok jihadis yang dibentuk oleh mantan anggota Jamaah Islamiyah, sedangkan penelitian ini lebih difokuskan pada peristiwa bom Bali dengan subyek yang benar-benar prototipe anggota Jamaah Islamiyah. Pentingnya penelitian tentang pilihan meninggalkan jalan teror pada sebagian mantan narapidana teroris atau narapidana teroris yang masih dipenjara di Indonesia menemukan relevansi dan momentum yang tepat seiring bertambahnya jumlah individu yang mengungkapkan penyesalannya berada di jalan teror. Diketahui sebanyak 160-250 mantan narapidana teroris dan narapidana teroris di penjara-penjara Indonesia telah memilih meninggalkan jalan teror (wawancara personal dengan tim YPI). Fenomena ini tentu saja menarik dan memerlukan penjelasan teoritis dari sudut pandang Ilmu Psikologi terutama Psikologi Sosial. Dengan mengetahui mengapa dan bagaimana para teroris meninggalkan kelompok dan cara kekerasan diharapkan dapat diperoleh informasi penting tentang bagaimana seharusnya menangani teroris dan kelompoknya di Indonesia. Banyak ilmuwan yang sepakat bahwa gerakan terorisme memiliki sifat mendaur-ulang dirinya sendiri (Fink & Harne, 2008). Ia akan terus mengalami proses patah tumbuh hilang berganti, atau mengalami metamorfosis, baik secara gerakan maupun secara ideologi (Salahuddin, 2011). Akibatnya, menurut Fink dan Harne (2008), tidak banyak ilmuwan yang tertarik dan memberikan perhatian besar terhadap proses atau mekanisme sosial dan psikologi yang dialami anggota teroris secara individual yang keluar dari jaringan teroris (Fink & Harne, 2008). Horgan dan Bjorgo (2009) menyebutkan bahwa kurangnya perhatian ilmuwan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi individu teroris keluar dari kelompok teror atau faktor-faktor yang mengubahnya menjadi pribadi yang menolak cara-cara kekerasan atau radikal karena perhatian mereka yang lebih fokus untuk membahas akar penyebab radikalisme. Sebagai konsekuensinya, sebagian besar energi tertumpah untuk membahasnya. Setidaknya, taktik ini akan dapat mengurangi jumlah pelaku teroris dan kemungkinan resiko menjadi teroris bagi individu yang radikal atau tergabung dalam kelompok radikal (Horgan, 2009; Jacobson, 2010). Dalam Psikologi terorisme terdapat banyak konsep untuk menjelaskan tindakan dan pengalaman meninggalkan ideologi kekerasan atau perilaku kekerasan, di antaranya adalah konsep deradikalisasi dan disengagement (Horgan, 2009; Muluk, 2009; Ashour, 2009). Jumlah penelitian yang mengkaji tentang mekanisme deradikalisasi dan disengagement belum begitu banyak (Horgan, 2009). Kendati demikian, terdapat banyak program deradikalisasi yang dijalankan sejumlah pemerintah dari beberapa negara dimana disebutkan bahwa hampir sebagian besar program deradikalisasi yang ada tidak berlandaskan kepada hasil penelitian (Horgan, 2009). Perubahan ideologi dan tingkah laku sangat erat kaitannya dengan Ilmu Psikologi (Ardila, 2002; Baumeister & Finkel., 2010). Oleh karena itu, penelitian psikologi tentang 2
meninggalkan jalan teror sangat diperlukan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa meninggalkan jalan teror terjadi. Selama ini, deradikalisasi lebih banyak difokuskan pada ideologi melalui metode dialog atau debat antara subyek program dengan imam atau ustadz yang menguasai ajaran dan ideologi Islam, tetapi memiliki cara pandang yang moderat (Barret & Bokhari, 2009; Boucek, 2009; Abuza, 2009; Ashour, 2008). Penekanan deradikalisasi pada perubahan ideologi bisa menimbulkan biaya dan konsekuensi yang tinggi, apalagi jika ideologi itu bersumber dari ajaran agama atau kitab suci (Solahuddin, 2010; Ashour, 2009; Horgan, 2009; Amirsyah, 2012). Pada kasus deradikalisasi ideologi pada kaum jihadis-Islamis, muncul persepsi dan pemahaman di kalangan Muslim tertentu bahwa deradikalisasi identik dengan deislamisasi (pendangkalan ajaran Islam) karena ajaran jihad merupakan ajaran penting yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis (Amirsyah, 2012). Maka, bisa dikatakan bahwa ajaran dan perintah berjihad tidak mungkin hilang dari pikiran kaum jihadis. Pro-kontra tentang kemungkinan menghilangkan ideologi negara Islam dan semangat jihad masih menjadi pertanyaan banyak pihak yang belum terjawab sampai saat ini. Sejumlah studi menunjukkan bahwa keberhasilan melepaskan individu dari kelompok dan aksi terorisme tidak selalu melalui program deradikalisasi (Milla, 2011; Horgan, 2008; Bjorgo & Horgan, 2008). Individu yang mengikuti program dalam masa penahanan mungkin menunjukkan kerjasama yang sangat baik agar dapat segera keluar dari penjara (Milla, 2011). Jadi, keterlibatan dalam program deradikalisasi hanya digunakan sebagai taktik agar bisa segera keluar dari penjara. Setelah mereka bebas, diperlukan insentif yang lebih kuat agar dapat menahan mereka kembali dalam aksi (lebih bersifat tingkah laku). Hal ini dapat menjelaskan mengapa santunan ekonomi lebih banyak menunjukkan hasil dibandingkan program counter-ideology (Jhonson, 2009, Muluk, 2009; Morris, 2010; Horgan & Braddock, 2010; Milla, 2011). Selain santuan ekonomi, program yang bersifat rehabilitasi sosial-politik cenderung menunjukkan hasil yang baik (Jones & Libicki, 2008; Reinares, 2011; Ashour, 2009). Itu semuanya menyangkut faktor dari luar diri pelaku teror. Lantas, adakah faktor dari dalam diri sendiri pelaku teror seperti rasa bersalah dan penyesalan seperti yang diperlihatkan AI, UP dan AA sebagai pendorong kuat dalam meninggalkan jalan teror? Beberapa peneliti telah melakukan studi tentang meninggalkan jalan teror misalnya Horgan (2009), Bjorgo (2009), Jacobson (2009), Garfinkel, (2007) Demant & Graaf, (2010), Reinares (2011), Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes (2012), Kruglanski, Gelfand dan Gunaratna, (2011), Kruglanski dan tim (2014) dan Hwang (2015). Ditemukan bahwa faktor fisik dan psikologis menjelaskan kenapa seorang teroris atau radikal meninggalkan jalan kekerasan. Faktor fisik berkaitan dengan perubahan peran di dalam organisasi termasuk pemenjaraan oleh aparat keamanan, sedangkan faktor psikologis berkaitan dengan perasaan kecewa terhadap berbagai hal dan dinamika yang terjadi di dalam kelompok (Horgan, 2009). Penelitian lain oleh Bjorgo (2009) dan Jacobson (2009) menemukan bahwa hal-hal negatif dan tidak mengenakkan yang terjadi di dalam kelompok menjadi penyebab meninggalkan jalan teror dan dianggap sebagai faktor pendorong, dan ada pula hal-hal positif yang menyenangkan di luar kelompok dianggap sebagai daya tarik untuk keluar dari jalan teror. Bjorgo menyebutnya sebagai faktor penarik (Bjorgo, 2009; Jacobson, 2010). Peneliti lain seperti Demant dan Graaf (2010) melihat dari sisi lain, yaitu dari sisi komitmen. Penelitian Demant dan Graaf (2010) menyimpulkan bahwa pilihan meninggalkan jalan teror berkaitan dengan sejauhmana komitmen seorang pelaku teror atau seorang radikal terhadap kelompok dan ideologi yang diperjuangkan. Jika komitmen menurun atau menghilang maka pilihan meninggalkan kelompok dan jalan teror tidak terelakkan terjadi dalam waktu yang tidak lama. Sedangkan Reinares (2011) menyimpulkan bahwa deradikalisasi dan disengagement berhubungan dengan persepsi personal terhadap berbagai perubahan sosial dan politik yang terjadi pada tingkat negara, dinamika kelompok dan pengalaman yang dialami setiap individu selama menjadi aktivis kelompok ekstrim. Disley dkk (2012) menemukan bahwa intervensi tertentu seperti program deradikalisasi dan disengagement yang dirancang secara khusus merupakan faktor penting yang bisa menjelaskan kenapa meninggalkan jalan teror. Sedangkan Kruglanski dkk (2011; 2014) melihat bahwa deradikalisasi dan disengagement bisa dijelaskan dengan melihat faktor motivasi pelaku 3
teror terutama yang berkaitan dengan kebermaknaan diri. Jika makna dan kebermaknaan diri telah diraih maka besar kemungkinan deradikalisasi dan disengagement terjadi (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014). Ditegaskan oleh Kruglanksi dkk (2014) bahwa keberhasilan meraih makna dan kebermaknaan merupakan motivasi terbesar mengapa meninggalkan jalan teror. Dugaan peneliti, hal ini justeru tidak terjadi pada kasus teroris Indonesia yang memutuskan meninggalkan jalan teror. Ada motivasi lain yang menggerakkan mengapa mereka meninggalkan jalan teror. Oleh karena itu, motivasi apa yang mendorong para teroris dan radikal di Indonesia memilih meninggalkan jalan teror penting untuk diketahui. Penulis menduga rasa bersalah merupakan faktor pendorong meninggalkan jalan teror pada pelaku teror dari kalangan anggota Jamaah Islamiyah Indonesia. Hal ini hemat penulis belum pernah disinggung oleh para peneliti deradikalisasi dan disengagement sebelumnya. Ditekankan oleh Kruglanski dkk (2011) dan Kruglanski dkk (2014) bahwa persepsi individu terhadap jihad juga bisa menjelaskan apakah ia telah meninggalkan jalan teror dan ideologi berbasis kekerasan. Jika jihad tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya alat mencapai tujuan kelompok maka deradikalisasi dan disengagement telah terjadi, misalnya cara damai seperti dakwah (Kruglanski, Chen, Dechesne, Fishman, & Orehek, 2009; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011; Kruglanski, Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014). Kruglanski dkk (2014) dan Jacobson (2010) juga menyimpulkan bahwa faktor proses sosial atau dinamika sosial yang meliputi individu berpengaruh besar terhadap pilihan meninggalkan jalan teror. Misalnya, interaksi dan dialog dengan pihak eksternal di luar kelompok (Jacobson, 2010; Hwang, 2015). Bagaimana dengan pelaku teror di Indonesia? Apakah faktor-faktor itu berperang dalam proses meninggalkan jalan teror? Mengetahui sejauhmana persepsi dan keyakinan terhadap ideologi penting dilakukan untuk menetapkan apakah seorang pelaku teror telah berjarak dengan radikalisme atau justeru semakin mendekat (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014). Sikap dan pandangan terhadap jihad bisa menggambarkan apakah seseorang masih bertahan dalam radikalisme atau beralih menuju sikap moderat (Kanruglanski dkk, 2014; Jacobson, 2010; Milla, 2011). Jihad adalah kendaraan untuk mencapai cita-cita penegakan daulah Islamiyah atau negara dengan sistem khilafah (Abbas, 2005; Ali, 2006; Abuza, 2007; 2009; Golose, 2010). Tanpa jihad seorang pejuang yang menegakkan negara Islam tidak bisa disebut jihadis atau kaum mujahid (Ashour, 2008). Pelekatan label jihadis atau kaum mujahidin terhadap kelompok yang mengklaim memperjuangkan terwujudnya cita-cita negara Islam atau sistem khilafah menjadi hal yang lumrah (Ashour, 2008; Azuzi, In press; Gunaratna & Ali, 2009). Bahkan kerapkali indikator radikalisme Islam dikaitkan dengan sejauhmana dan bagaimana jihad dipersepsi dan diyakini (Chusniyah, 2012; Hafez, 2006; Kruglanski, 2013; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011; Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014). Hal itu karena sejatinya jihad bukan hanya bermakna al-qital (berperang) tetapi bermakna lain yang lebih luas dan berkonotasi positif seperti cara-cara damai untuk mencapai sesuatu yang mulia. (Al-Hadlaq, 2011; Al-Makhzumi, Tanpa Tahun; Ghazali, 2011; Azuzi, In press). Cara memahami jihad dalam konotasi damai tanpa kekerasan inilah yang disebut dengan faham moderasi Islam yang melahirkan kaum muslim moderat (Abuza, 2009; Al-Hadlaq, 2011; Ashour, 2011; Pranowo, 2011; Kruglanski A. W., et al., 2014). Perubahan cara memahami jihad dari domain kekerasan menuju domain kedamaian dan tanpa kekerasan atau perubahan dari kutub Islam radikal menuju kutub Islam moderat dianggap komponen penting dalam proses deradikalisasi dan disengagement (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014; Ashour, 2009). Inilah poin penting yang perlu diketahui dari para jihadis untuk memastikan terjadinya proses meninggalkan jalan teror, yaitu apakah ada perubahan atau perbaikan pemahaman tentang jihad (Azuzi, in press; Ashour, 2009). Dengan demikian, pertanyaan penting yang perlu diajukan terkait para jihadis meninggalkan jalan teror adalah bagaimana keyakinan mereka terhadap jihad, penegakan daulah Islam dan hal-hal yang terkait dengannya. Apakah mereka masih tetap memahami jihad sebatas al-qital (berperang) saja ataukah telah bergeser seperti keyakinan dan pemahaman umat Islam mainstream? 4
Sejumlah penelitian seperti penelitian Bjorgo (2009), Gafinkel (2009), Jacobson (2009), Reinares (2011), Kruglanski dkk (2014) dan Hwang (2015) menekankan pentingnya pengaruh komponen proses sosial terhadap pilihan meninggalkan jalan teror. Dengan merujuk kepada temuan penelitian pada ranah radikalisasi dan keterlibatan dalam jaringan teror, Moghaddam (2007) dan Sageman (2004) juga menduga bahwa proses dan dinamika sosial yang melingkupi teroris dan kaum radikal turut memberikan kontribusi terhadap proses deradikalisasi dan pencegahan terorisme. Mirahmadi & Farooq (2010) juga menekankan bahwa deradikalisasi berbasis sosial atau komunitas diperlukan untuk mempersempit ruang gerak kaum radikal dalam menyebarkan pemahaman keagamaan yang radikal dan ekstrim di tengah masyarakat. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror di Indonesia? B.
Pertanyaan Penelitian Dari uraian di atas dan telaah literatur penelitian tentang deradikalisasi dan disengagement di Indonesia, terdapat banyak masalah penelitian yang belum terjawab tentang mengapa para teroris meninggalkan jalan teror. Inilah pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam penelitian disertasi ini. Selain itu, tentu saja terdapat sejumlah pertanyaan turunan dari pertanyaan pokok terutama menyangkut motivasi individual meninggalkan jalan teror, sikap dan persepsi terhadap jihad serta dinamika psiko-sosial atau proses sosial yang dialami para subyek penelitian. Semua itu akan dibuat dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan akan dicoba untuk dijawab dalam disertasi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:1)Bagaimana pelaku teror di Indonesia meninggalkan jalan teror? 2)Bagaimana rasa bersalah mendorong proses meninggalkan jalan teror? 3)Bagaimana pelaku teror di Indonesia memahami jihad dan kaitannya dengan konteks waktu dan tempat? 4) Bagaimana faktor personal, organisasi dan sosial mendorong pelaku teror di Indonesia dalam meninggalkan jalan teror? 5) Bagaimana dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Memberikan sumbangan baru dalam pengembangan teori psikologi terorisme, khususnya yang berkaitan dengan meninggalkan jalan terorisme (deradikalisasi dan disengagement). 2) Mengetahui faktor psikologis dan sosial yang mempengaruhi pilihan meninggalkan jalan teror (deradikalisasi dan disengagement) pada pelaku teror dan anggota organisasi radikal di Indonesia. D. Tinjauan Literatur Pengertian Meninggalkan Jalan Teror Paling tidak ada dua konsep yang kerapkali digunakan para peneliti untuk menjelaskan makna meninggalkan jalan teror yaitu deradikalisasi dan disengagement. Deradikalisasi adalah meninggalkan jalan teror secara kognitif yaitu meninggalkan ideologi yang menjadi basis hidup dan perjuangannya dalam meraih tujuan pribadi dan kelompok dari alam pikirannya. Disengagement adalah meniadakan cara-cara kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam mewujudkan tujuan kelompok walaupun dengan tetap menganut ideologi itu (Horgan, 2009; Bjorgo, 2009). Deradikalisasi Secara kebahasaan, deradikalisasi adalah anonim dari radikalisasi. Dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa radikalisme berasal dari kata radices yang berarti: “a concerted attempt to change the status quo (Jary & Jary, 1991). Disebutkan oleh Horgan (2009) dan Garfinkel (2007) bahwa upaya perubahan selalu melibatkan mekanisme psikologis dan sosial tertentu. Hal itu sebagaimana disebutkan Jary dan Jary (1991), Moghaddam (2006) dan Choudhury (2009) karena radikalisasi adalah proses psikologis dan sosial di mana kepercayaan terhadap suatu sistem bernegara menurun tajam. Ashour (2009) memberikan tiga point penting yang bisa menjelaskan deradikalisasi yaitu perubahan cara memahami ideologi, penolakan terhadap cara-cara kekerasan dan lebih banyak 5
menerima keragaman (deradikalisasi ideologi, deradikalisasi tingkah laku, dan deradikalisasi organisasi. Kisah tentang Ed Husein seorang anak muda Muslim kelahiran Inggris yang menjadi seorang Muslim fundamentalis pada usia 16 tahun menguatkan hal itu. (Husein, 2007). Kembali kepada moderasi Islam atau kembali menjadi Muslim moderat adalah esensi dari deradikalisasi atau disengagement dalam perspektif teori Significance Quest dari Kruglanski (2004) dan Kruglanski dkk (2014) Ashour (2003). Pengalaman Husein yang tertuang dalam buku “The Islamist” dapat memberikan pemahaman dan dugaan kuat bahwa sikap dan cara pandang keagamaan seseorang bersifat dinamis dan bisa berubah (Husein, 2007). Keinginan terhadap perubahan radikal bisa terjadi melalui cara damai maupun cara keras. Banyak pihak beranggapan keinginan terhadap perubahan radikal adalah keinginan yang normal, sebaliknya perubahan radikal yang menggunakan cara-cara teror dan kekerasan dikategorikan tidak normal (Sinai, 2008; Bongar, et.al, 2007). Kekerasan berbasis radikalisasi mencakup sikap dan tingkah laku yang terkait kekerasan politik (Choudhury, 2009; Al-Asymawy, 2004). Kekerasan pada ranah tingkah laku bermula dari kekerasan pemikiran dan kognitif )Smelser, 2007) Tingkah laku bermula dari pikiran, Para psikolog sosial percaya bahwa sikap dapat memprediksi tingkah laku (Prisilia & Crano, 2008), baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Ajzen, 2005; Prisilia & Crano, 2008). Ajzen dkk misalnya menyatakan bahwa sikap dapat memprediksi tingkah laku melalui perantara variabel lain, misalnya intensi (Ajzen, Brown, & Carvajal, 2004; Ajzen, 2005). Fazio dkk (1990) menyimpulkan bahwa jika sikap diaktifkan dengan motivasi dan kapasitas kognitif yang memadai maka sikap akan dapat memprediksi tingkah laku sehingga terjadi konsistensi antara sikap dan tingkah laku (Ajzen, 2005). Dalam konteks terorisme, seorang biasa menjadi pelaku teror dan kekerasan diawali dari proses radikalisasi pemikiran yang berkombinasi dengan multifaktor seperti solidaritas dan persepsi ketidakadilan (Moghaddam, 2006; Milla, Faturochman, & Ancok, 2012; Talbot, In press; Chusniyah, 2012; Kruglanski, 2014). Kondisi sebaliknya bisa juga terjadi yaitu perubahan dari seorang teroris menjadi orang yang bukan teroris atau orang biasa (Garfinkel, 2007) atau paling tidak dalam posisi meninggalkan jalan teror walaupun ideologi terkait tetap dianut di dalam pikiran mereka (Horgan, 2008; 2009; 2011; Bjorgo & Horgan, 2009). Terkait itu, para ahli sepakat bahwa sikap dapat berubah karena dinamis dan hasil proses belajar (Maio &Haddock, 2007) termasuk terkait ideologi kekerasan menjadi ideologi perdamaian dan sikap positif terhadap keragaman (Garfinkel, 2007; Jhonson, 2009; Jacobson, 2010). Garfinkel (2007) membuktikan hal itu penelitian kualitatif tentang transformasi personal pada sejumlah tokoh agama Islam dan Kristen di Nigeria Afrik aatau penelitian Jacobson (2010) mengenai sejumlah individu pelaku teror yang memilih meninggalkan jalan teror. Isu tentang perubahan sikap dan tingkah laku merupakan tema penting dalam psikologi, bahkan dianggap sebagai tugas inti dari Ilmu Psikologi (Prislin & Crano, 2008; Maio & Haddock, 2007). Dalam kajian psikologi terorisme, deradikalisasi dan disengagement seperti yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah upaya persuasif mengubah sikap radikal menjadi sikap yang moderat (BNPT, 2013; Boucek, 2011; Ashour, 2011; Garfinkel, 2007; Jhonson, 2009). Deradikalisasi dianggap juga sebagai suatu proses tranformasi spiritual atau konversi keagamaan (Garfinkel, 2007; Hood, Hill, & Spilka, 2009; Paloutzian & Park., 2005). Transformasi meliputi reorientasi pandangan dan arah pemikiran tetapi tidak otomatis menimbulkan perubahan struktur kepribadian dasar (Garfinkel, 2007). Ungkapan “sekali menjadi teroris tetap menjadi teroris” yang kerapkali disampaikan dalam berbagai forum semakin kuat menunjukkan pesimisme masyarakat terhadap kemungkinan perubahan pada individu-individu teroris, kaum radikal dan ekstrimis (Bjorgo dan Horgan, 2009). Dalam konteks Indonesia, kesimpulan sementara ini diperkuat pula oleh fakta historis tentang DI/TII yang menunjukkan bahwa ideologi jihad atau ideologi penegakan negara Islam atau ideologi penegakan sistem pemerintahan khilafah tidak hilang, tetapi mengalami metamorfosis atau penyesuaian waktu, atau bisa juga bersinergi dengan ideologi yang lain. Misalnya, metamorfosis atau sinergi ideologi NII dengan ideologi salafi jihadi seperti yang terjadi pada kasus Abdullah Sungkar, ABB dan tokoh kelompok garis keras lainnya (Ramakrishna, 2005; 6
2009; Jacobson, 2010; Solahudin, 2011; Baidlowi, 2011; Helmy, 2011; Thaha, 2011). Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam aksi teror pada akhirnya tidak lagi melakukannya dan bahkan memutuskan untuk meninggalkan jalan kekerasan dan teror selamalamanya (Bjorgo & Horgan, 2009; Pranowo, 2011). Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggunakan dan rehabilitasi dan mendefinisikannya sebagai upaya sistematis untuk melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi inklusif, damai dan toleran serta melakukan pembinaan keagamaan, kepribadian, dan kemandirian kepada teroris termasuk keluarganya (BNPT, 2013). Mengapa keluarga? Berdasarkan telaah Sagemen (2004) dan Solahudin (2011) tentang jaringan teroris ditemukan bahwa regenerasi ideologi ekstrim terjadi di antara ayah dan anak atau bahkan cucu. Tahap selanjutnya adalah reedukasi .Penekanan reedukasi adalah penguatan pemikiran, pemahaman, sikap moderat dan terbuka dengan memberikan pencerahan mengenai ajaran agama dan kebangsaan serta nilai-nilai kedamaian dan toleransi (BNPT, 2013). Tahap terakhir adalah resosialisasi yaitu upaya pembinaan yang integratif untuk membaurkan wbp teroris dan mantan wbp teroris serta keluarga agar dapat hidup dengan masyarakat berdasarkan nilai dan tatanan hidup bermasyarakat yang baik, saling menghargai dan penuh kedamaian. (BNPT, 2013). Disengagement Disengagement adalah proses menghentikan aktivitas teror. Disengagement tidak selalu berarti perubahan ideologi atau keyakinan. Menurut Horgan dan Altier (In press) disengagement berbeda dengan proses deradikalisasi walaupun kadang-kadang keduanya saling berkaitan. Individu bisa saja meninggalkan terorisme tanpa harus mengalami deradikalisasi dan penghapusan ideologi kekerasan. Reinares (2011) menguatkan pendapat itu melalui penelitian kualitatif terhadap 35 orang mantan anggota ETA. Keduanya bisa terjadi secara terpisah. Disengagement merupakan proses yang kompleks menyangkut sosial dan psikologis yang dapat membantu kita memahami proses deradikalisasi dan mengandung inisiatif counter-terrorism, (Horgan, 2009; Jhonson, 2009) yang dapat diterapkan dalam mencegah masuknya individu potensial ke dalam jaringan kelompok teror. Menurut Horgan (2009) dan Bjorgo (2009), disengagement lebih penting daripada deradikalisasi. Hasil wawancara Horgan (2009) yang dilakukan sejak tahun 2006 sampai tahun 2008 menemukan bahwa hampir sebagian besar mantan teroris lebih tepat bila dianggap sebagai individu-individu yang mengalami disengagement dibanding sebagai individu-individu yang mengalami deradikalisasi. Hampir sebagian besar dari mereka sulit untuk mengubah ideologi jihad karena ajaran jihad sendiri memiliki dasar yang kuat di dalam Al-Quran. Kerapkali muncul anggapan bahwa meolak atau menegasikan jihad berarti keluar dari Islam (Imron, 2010; Sarwono, 2012; Amirsyah, 2012). Menjauhkan seseorang dari lingkungan sosial tertentu yang relevan merupakan langkah penting untuk mencegah keterlibatannya dalam aksi kekerasan atau aksi teror di masa yang akan datang. Dalam kajian psikologi sosial yang paling awal disebutkan bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh dua determinan penting yaitu faktor kepribadian dan faktor lingkungan. Para ahli psikologi sosial seperti Kurt Lewin sepakat bahwa lingkungan sosial kerapkali lebih kuat pengaruhnya dibandingkan kepribadian (Reis, 2010). Tentu yang dimaksudkan dengan lingkungan sosial di sini adalah lingkungan kelompok yang kohesif sebagaimana pendapat Baumeister (2010) yang menyebutkan bahwa seseorang yang menjadi anggota kelompok yang kohesif bisa jadi akan mengalami deindividuasi yaitu gejala meleburnya jiwa individu ke dalam jiwa kelompok sehingga dalam situasi seperti ini individu tidak lagi bisa mempertahankan pikiran dan perasaannya yang unik. Konsekuensinnya, seseorang bisa terpengaruh oleh gejala groupthink atau termotivasi untuk bergabung dalam kekerasan massal atau kekerasan yang dilakukan banyak orang (Baumeister, 2010) termasuk di antaranya adalah terjebak dalam aksi teror sebagaimana klaim AI mengenai keterlibatannya dalam aksi Bom Bali 2 (Imron, 2010). Menurut Baumeister (2010), motivasi anggota kelompok untuk terlibat dalam berbagai aktivitas kelompok termasuk aktivitas yang buruk dan jahat dapat dilihat dari dua pendekatan 7
yaitu pendekatan yang menekankan proses dalam kelompok dan pendekatan yang menekankan proses antarkelompok. Dalam perspektif yang pertama seseorang yang menjadi anggota kelompok merasa harus menemukan cara-cara tertentu agar bisa diterima dan dianggap sama oleh anggota kelompok yang lain. Kerapkali kelompok mempersyaratkan anggotanya untuk berlaku sama atau bertindak sama dengan yang lain sehingga dicapai kesesuaian dan kecocokan. Perspektif yang kedua menekankan bagaimana individu melakukan identifikasi diri yang kuat dengan kelompoknya sebagai modal atau dasar dalam berinteraksi dengan anggota kelompok lain. Anggota kelompok biasanya akan memperlihatkan loyalitas dan komitmen kepada kelompok yang bersaing, berprasangka dan bahkan memusuhi kelompok lain (Baumeister, 2010). Anggota kelompok biasanya juga berbagi emosi yang sama tentang anggota kelompok lain atau kelompok lain terutama jika ada sejarah persaingan atau sejarah kerjasama yang berlangsung di antara kelompok-kelompok yang terlibat. Sejauhmana individu dalam kapasitasnya sebagai anggota kelompok tertentu mengalami dan mengekspresikan emosi terhadap kelompok lain atau anggota kelompok lain maka emosi semacam itu dapat disebut sebagai emosi berbasis kelompok atau emosi berbasis antarkelompok (Manstead, 2010). Pikiran dan emosi yang berbasis kelompok ini akan berakhir manakala seseorang menarik diri atau ditarik dari lingkaran kelompok yang mempengaruhinya, kemudian dimasukkan ke dalam lingkaran pengaruh lain yang berbeda. Turner dkk (2006) menyebut hal itu sebagai akibat dari kecenderungan konformitas yang dialami individu ketika berada dalam kelompok. Walaupun di saat yang sama di dalam kondisi pengaruh kelompok, individu bisa saja memperlihatkan independensinya atau persepsi otonomi untuk memilih kelompok lain dan keluar dari kelompok pertama. Barelle (in press) menggunakan nalar dalam kriminologi dalam melihat proses meninggalkan jalan teror. Menurutnya, jika ekstrimisme kekerasan dilihat sebagai suatu kejahatan dan meninggalkan jalan teror terjadi sebagai akibat dari penangkapan maka deradikalisasi dan reintegrasi sosial merupakan bidang rehabilitasi. Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa meninggalkan jalan teror mengandung dua dimensi yaitu dimensi meninggalkan terorisme secara kognitif atau secara ideologi (deradicalization) dan meninggalkan kekerasan (disengagement). Model Meninggalkan Jalan Teror Model Pendorong dan Penarik Faktor pendorong adalah hal-hal negatif dan tidak mengenakkan di dalam kelompok sedangkan faktor penarik adalah peluang atau kekuatan sosial yang menarik dan lebih menjanjikan di luar lingkungan kelompok. (Bjorgo (2006; 2009) Model dari Bjorgo ini sebenarnya model yang jamak digunakan dalam bidang ilmu sosial, misalnya model dari Cronin (2009) yang menggunakan penjelasan sosiologis untuk melihat fenomena kehancuran kelompok teroris. Pertama, terbunuhnya atau tertangkapnya pemimpin kelompok oleh pemerintah atau penguasa. Kedua, kegagalan kelompok dalam melaksanakan proses dan mekanisme transisi pada generasi muda. Ketiga, tercapainya tujuan kelompok. Misalnya, pada kasus ETA (Reinares, 2011). Keempat, transisi menuju suatu transisi politik yang legitimate. Misalnya, kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Kelima, kehilangan dukungan dari rakyat atau publik karena rakyat atau publik adalah pihak yang hendak diperjuangkan. Keenam, tindakan represif dari aparat keamanan, misalnya pada kasus Jamaah Islamiyah di Indonesia. Ketujuh, pengalihan bentuk kekerasan dari terorisme ke bentuk kekerasan lainnya. Model Psikologis dan Fisik Menurut Horgan (2009) ada dua faktor yang mempengaruhi individu meninggalkan jalan teror, yaitu faktor psikologi dan faktor fisik. Faktor psikologis umumnya berkaitan dengan kekecewaan anggota kelompok terhadap banyak tingkah laku atasan atau rekan sejawat yang tidak senonoh dan tidak sopan, sedangkan faktor fisik diwakili oleh penangkapan, pemenjaraan, dan kematian. Horgan (2009) menyebutkan bahwa faktor psikologi terdiri dari: Pertama, perasaan kecewa karena ketidaksesuaian antara cita-cita dan mimpi awal dengan kenyataan di lapangan. Ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kedua, kekecewaan karena adanya ketidaksepakatan 8
internal mengenai isu-isu taktis. Ketiga, kekecewaan karena perbedaan strategi, politik dan ideologi di dalam internal kelompok teroris. Keempat, pengalam burn-out. Kelima, perubahan dan pertentangan prioritas personal seperti menikah, memiliki anak, menjadi semakin berumur atau semakin tua (Horgan, 2009; 2011; Fink & Hearne, 2008; Garfinkel, 2007; Ebaugh, 1988). Selain faktor psikologis, terdapat faktor fisik yang juga turut memberikan kontribusi terhadap keputusan atau pilihan seorang teroris dan radikal meninggalkan kelompok atau meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror yang menjadi strategi kelompok. Horgan (2009) menggambarkan faktor fisik sebagai faktor di mana perubahan peran seseorang terjadi dalam suatu organisasi teroris. Berpindah dari posisi sebagai pelaku langsung dalam aksi teror kepada jabatan atau posisi pelengkap merupakan kejadian yang umum terjadi pada jaringan teroris sesuai dengan temuan wawancara Horgan dengan para teroris dan para pendukung teroris. Model Komitmen Demant et.al (2008) mencoba menggunakan konsep komitmen organisasi dari Allen & Meyer (1990) untuk menjelaskan proses dan dinamika disengagement dari aksi teror. Menurut mereka, ada tiga faktor yang memberikan sumbangan terhadap disengagement individu yaitu faktor normatif, faktor afektif, dan faktor kontinyuan (Choudhury, 2009; Harris, 2010; Meyer & Allen, 1997). Kenapa komitmen? Itu karena komitmen mengandung intensi untuk bertahan dalam aksi atau kelompok. Oleh karena itu, kelompok teroris akan berusaha membangkitkan komitmen yang tinggi agar anggota tetap bertahan di dalam kelompok dan tidak memiliki keinginan keluar (Meyer & Allen, 1991; Choudhury, 2009; Harris, 2010) Berdasarkan logika itu, komitmen yang rendah atau yang hilang sama sekali bisa menjelaskan kenapa seorang anggota teroris meninggalkan terorisme (Choudhury, 2009; Harris, 2010) Model Struktural, Organisasi dan Personal Reinares (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya tentang para teroris kelompok ETA bahwa faktor penyebab meninggalkan jalan teror terdiri dari 3 yaitu faktor struktural, faktor organisasi dan faktor personal. Reinares (2011) juga menggaribawahi bahwa konsep penting yang menghubungkan antara faktor struktural dan faktor organisasi di satu sisi dengan deradikalisasi dan disengagement di sisi lain adalah persepsi subyektif dari para teror Model Fisik, Psikologis, Sosial dan Intervensi Dengan metode REA (Rapid Evidence Assessment) pada sejumlah kelompok ekstrim, gang anak jalanan, sekte kultus keagamaan, kelompok esktrim sayap kanan (right wing extrimist) dan kelompok kejahatan terorganisir, Disley dkk (2012) menemukan 6 faktor yang mempengaruh disengagement, yaitu ikatan sosial yang positif terutama dengan pihak luar, kematangan psikologis dan perubahan dalam prioritas hidup, rasa kecewa terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kelompok dan ideologi, pekerjaan dan pendidikan, serta pengalaman burnout (Horgan, 2009; Bjorgo, 2009; Garfinkel, 2009). Temuan Disley dkk menunjukkan pada kelompk teroris Islam yang dipengaruhi Al-Qaida, faktor pekerjaan/pendidikan dan burnout tidak mempengaruhi disengagement, sedangkan pada kelompok street gang perubahan peran dan burnout sama sekali tidak menjadi pendorong disengagement (Jacobson, 2010). Temuan berbeda diperoleh pada kasus kelompok kultus keagamaan. Hampir keenam faktor tersebut mempengaruhi disengagement pada anggota-anggotanya, sedangkan pada kelompok ekstrimis sayap kanan, hanya faktor rasa kecewa yang tidak mempengaruhi disengagement dan pada kelompok penjahat terorganisir, pengalaman burnout merupakan satu-satunya yang mempengaruhi (Bjorgo, 2009; Demant dkk, 2009). Melalui tehnik tertentu maka diperoleh pada mulanya tiga komponen model meninggalkan kelompok ekstrim dan luar biasa yaitu komponen fisik, komponen psikologis, dan komponen sosial. Oleh karena banyak literatur yang membahas tentang program deradikalisasi dan disengagement di berbagai negara tetapi belum dimasukkan sebagai faktor penyebab meninggalkan jalan teror maka tim Disley memasukkannya sebagai faktor keempat di luar faktor fisik, psikologis dan sosial (Disley dkk, 2012). Pertanyaan menarik muncul, kenapa intervensi dalam bentuk program deradikalisasi dan disengagement belum dianggap sebagai faktor penentu perubahan personal pada kaum teroris? Hal itu disebabkan karena banyak peneliti yang 9
meragukan keberhasilan program tersebut disebabkan adanya kesulitan dalam menentukan tingkat keberhasilannya (Horgan, 2009) Model Motivasi, Ideologi dan Proses Sosial Kruglanski dkk (2014) membuat model radikalisasi dengan tiga komponen penting yaitu komponen motivasi terutama terkait quest for significance, komponen ideologi, dan komponen proses sosial atau dinamika sosial. Motivasi yang dimaksudkan di sini lebih menekankan pada pencarian makna personal yang mengarahkan seseorang dalam mencapai tujuan, sedangkan komponen ideologi merupakan alat untuk meraih kebermaknaan dan komponen proses sosial atau dinamika sosial terkait dengan siapa seseorang berbagi kekerasan, mendapatkan justifikasi ideologi dan bagaimana memprosesnya untuk meraih tujuan E. Metode Penelitian Pendekatan Penelitian Peneliti memandang bahwa pendekatan kualitatif adalah pendekatan paling tepat dan relevan yang bisa digunakan dalam penelitian in. Hal itu karena tema penelitian ini yaitu deradikalisasi dan disengagement adalah tema yang langka dan sulit serta tidak banyak dialami oleh banyak teroris termasuk di Indonesia. Disain Penelitian Penulis memilih disain grounded theory sebagai disain penelitian dengan beberapa alasan: Pertama, penelitian tentang meninggalkan jalan teror ini berkaitan dengan proses sosial atau aksi sosial dengan penekanan pada pertanyaan: apa yang terjadi dan bagaimana orang-orang saling berhubungan satu sama lain. (Charmaz, 2006; Sbaraini, Carter, Evans, & Blinkhorn, 2011). Kedua, penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan dan mengembangkan suatu teori yang menjelaskan tentang meninggalkan jalan teror (deradikalisasi dan disengagement) yang menjadi concern dan perhatian banyak orang. Ketiga, sebagai metode yang menekankan penemuan dan pengembangan teori dari data empirik di lapangan, grounded theory atau grounded research dianggap mumpuni untuk dijadikan sebagai alat dalam menjelaskan deradikalisasi dan disengagement pada mantan teroris yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah. Subyek Penelitian Para subyek penelitian diambil dari kalangan kalangan anggota Jamaah Islamiyah Indonesia dan mantan aktivis Islam radikal lainnya yang dianggap memahami dan bisa menjelaskan perihal kaum jihadis di Indonesia, misalnya mantan anggota NII. Untuk menggenapkan dan menyempurnakan data penelitian ini, peneliti juga memilih sejumlah individu terkait (stakeholder masalah terorisme) yang dianggap mengetahui masalah terorisme di Indonesia seperti pejabat mabes polri, para petinggi dan staff Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terutama yang membawahi bidang deradikalisasi, Densus 88 Mabes Polri dan LSM yang bekerja dalam bidang penanggulangan terorisme. Mereka dipilih untuk dimintakan masukan dan pendapat mengenai para teroris atau mantan teroris yang bisa diakses dan bisa diwawancarai untuk keperluan penelitian ini. Selanjutnya mereka akan disebut sebagai narasumber penelitian. Kriteria Subyek Penelitian Subyek penelitian terdiri dari 5 orang dengan sejumlah kriteria yang sesuai dengan tema dan tujuan penelitian, yaitu: 1. Pelaku teror yang pernah menjadi anggota Jamaah Islamiyah dan pernah terlibat dalam aksi teror atau pelatihan militer, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. 2. Menyatakan diri atau dinyatakan telah mengungkapkan penyesalan atas keterlibatan di dalam aksi teror dan keanggotaan dalam jaringan Jamaah Islamiyah. 3. Bersedia diwawancara dan dimintakan informasi seputar keterlibatannya dalam aksi teror dan perannya dalam jaringan Jamaah Islamiyah.
10
Informan Penelitian Untuk memperkuat informasi dan data, sekaligus sebagai penerapan dari tehnik triangulasi maka dipilih sejumlah narasumber peneliti yang berjumlah lebih dari 20 orang. Para subyek terdiri dari lingkaran terdekat para mantan teroris yang menjadi subyek utama seperti keluarga dan kerabat, teman dan sesama anggota Jamaah Islamiyah, mantan anggota Negara Islam Indonesia yang mengerti tentang gerakan Islam radikal di Indonesia, kaum radikal dari kalangan Kristen di Poso, aparat kepolisian, aktivis LSM yang bergerak di bidang deradikalisasi dan disengagement, serta tokoh dan pegiat BNPT. Pengumpulan informasi dan data dari para narasumber dilakukan dengan wawancara, fokus group discussion (FGD) atau perbincangan informal. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara, pengamatan partisipatif, dan analisis dokumen termasuk dokumen yang tersimpan di situs internet atau media sosial Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik grounded theory. F. Hasil Penelitian Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian berisi gambaran subyek, tema-tema yang diperoleh terutama melalui hasil wawancara dengan para subyek penelitian melalui proses open coding, dan tema inti atau kategori utama (hasil dari proses axial coding) Gambaran Singkat Subyek Penelitian Tabel 1.Profil subyek penelitian AI NA Membantu Membantu Bukti kepolisian kepolisian meninggalkan dalam anti dalam anti jalan teror terorisme terorisme
Id Kembali bersosialis asi dengan masyarakat
Pendidikan Pelatihan Militer Posisi Keterlibatan dalam terorisme
SMA Afganistan
Pesantren Afganistan
Pesantren Tidak ada
Anggota Bom Natal Bom Bali
Ketua Mantiqi Pelatihan militer Mindanao
Anggota Bom Natal Bom Bali
Aktivitas saat ini
Menjalani hukuman penjara
Membantu kepolisian dalam gerakan deradikalisasi
Sopir taksi di PKU
AA Menjadi tim ahli BNPT dan melakukan gerakan deradikalisasi STM dan LPBA Afganistan
UP Mengkuti apel bendera harkitnas
Penasehat mantiqi Pelatihan militer Mindanao Perekrutan anggota JI di Malaysia dan Australia Ustad dan dai yang mengajarkan faham salafi di Indonesia
Anggota Bom Natal Bom Bali
SMA Afganistan
Menjalani hukuman penjara
Disengagement Meninggalkan jalan teror diwujudkan dengan melakukan banyak hal yang relevan dengan upaya mengurangi aksi teror dan kekerasan berbasis agama. Hal itu dilakukan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kapasitas subyek penelitian. Setelah menyatakan keluar dari Jamaah Islamiyah pada 23 April 2003, NA memilih melakukan kegiatan penyadaran kepada bekas anak buah dan kawan-kawannya melalui berbagai program deradikalisasi yang dilaksanakan kepolisian, BNPT atau lembaga lain. Saat ditawarkan kepolisian untuk bekerjasama dengan kepolisian dalam melakukan kegiatan deradikalisasi, muncul keraguan pada diri NA karena takut dianggap berkhianat. Tetapi dengan
11
mempertimbangkan kepentingan umat Islam dan masyarakat Indonesia maka NA akhirnya menerima. Subyek lain, AA menyampaikan hal yang sama. Menurutnya, ia memutuskan untuk membantu pemerintah melalui BNPT agar generasi muda selamat dari jeratan ekstrimisme dan radikalisme keagamaan yang dapat mendorong mereka ke dalam terorisme. Pilihan membantu BNPT dalam menyadarkan para yuniornya dalam gerakan Islam radikal bukan tanpa resiko. AA dikecam dan dimusuhi oleh para aktivias gerakan Islam radikal karena dianggap bersekutu dengan thogut. Sebagian dari subyek penelitian yang memutuskan meninggalkan jalan kekerasan memilih cara lain yang lebih rasional untuk memberi makna dan kemanfaatan bagi umat Islam. Media dakwah dan taklim dipilih karena dianggap strategi yang paling tepat dan tuntunan dari senior mereka dalam gerakan Islam sebagaimana dinyatakan AA. Id, subyek lain yang bermukim di Pekanbaru menyatakan akan berdakwah dan taklim di lingkungan keluarga terdekat. Sebab, selama bergelut dengan dunia jihad, waktunya tersita sehingga menyebabkan dirinya kurang perhatian terhadap anak dan isteri. AI menyatakan bahwa dialog dan diskusi tentang pemahaman jihad dan bagaimana pelaksanaannya yang tepat dan sesuai dengan kaidah fikih merupakan kegiatan yang akan dia lakukan selama berada di penjara. Sementara UP menyebutkan bahwa dirinya ingin berkumpul dengan keluarga dan menjadi orang Islam yang baik sesuai dengan aturan negara dan pemerintah. Bentuk atau pola meninggalkan jalan teror pada subyek penelitian dapat digambarkan dalam bentuk matrik berikut ini. Tabel 2. Pola meninggalkan jalan teror Subyek Gambaran meninggalkan jalan teror AI Tetap menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak kekerasan atas nama jihad AA Keluar dari Jamaah Islamiyah dan membantu BNPT dalam kegiatan deradikalisasi NA Keluar dari Jamaah Islamiyah dan membantu pemerintah dalam melawan teror yang mengatasnakamakan Islam UP Ingin mengikuti aturan NKRI Id Ingin mengajar kajian keislaman, tetapi tidak menyatakan keluar atau tetap bertahan di dalam Jamaah Islamiyah Keterangan: Kategori 1 (AI), kategori 2 (AA, NA dan UP), dan kategori 3 (Id)
Berdasarkan tabel 2 meninggalkan jalan teror dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tetap menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak jalan teror, keluar dari Jamaah Islamiyah dan melakukan gerakan deradikalisasi, dan tidak jelas keanggotaannya dalam Jamaah Islamiyah tetapi menolak jalan teror. Proses Meninggalkan Jalan Teror Proses meninggalkan jalan teror digambarkan melalui tahap evaluasi kelompok dan evaluasi individual yang kemudian melahirkan perubahan pandangan tentang konteks tempat dan waktu berjihad dan perubahan sikap terhadap musuh. Sebelum evaluasi terkait bom Bali 1, tempat dan waktu berjihad tidak menjadi pertimbangan utama tetapi setelahnya, waktu dan tempat benarbenar menjadi pertimbangan dalam menentukan keterlibatan dalam jihad. Evaluasi kelompok versus evaluasi personal Evaluasi atas aksi bom Bali 1 dibagi menjadi dua bagian yaitu evaluasi kelompok yang dihadiri oleh tim eksekutor bom Bali 1 dan orang-orang yang terkait secara tidak langsung dengan pelaksanaan amaliah. Setelah bom meledak di Bali, para pelaku berkumpul di rumah kontrakan AM di Solo bersama anggota Jamaah Islamiyah lainnya yang tidak terlibat langsung. Pertemuan itu semula hanya untuk merayakan “keberhasilan” peledakan bom di Bali, tetapi ternyata juga untuk melakukan evaluasi kolektif atas pelaksanaannya. AI menceritakan bahwa pertemuan itu bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan bom Bali. Dalam pertemuan itu ditemukan banyak kesalahan tehnis seperti tidak menghapus kode motor yang seharusnya dilakukan oleh tim sehingga kemungkinan polisi bisa mengendus siapa di balik tragedi bom Bali sangat besar. Di dalam pertemuan itu disarankan agar setiap orang harus 12
melakukan ntisipasi yang diperlukan seperti melarikan diri sejauh mungkin dari kejaran aparat keamaan. Oleh karena itu, setiap orang dibekali uang Rp. 500.000 untuk biaya di persembunyian. Ketika AI dan Amrozi datang dari Lamongan ke Solo, UP telah terlebih dahulu ada di rumah kontrakan bersama IS dan AM. UP yang dikenal sebagai ahli intelijen dan penyamaran mengusulkan agar melakukan antisipasi jika polisi melakukan penangkapan besar-besaran terhadap anggota Jamaah Islamiyah. Subyek yang lain, NA dan AA tidak berada di tempat pertemuan karena mereka tidak tahu sama sekali tentang bom Bali. NA dan AA berada di lokasi lain. NA menceritakan situasi pengejaran dan penangkapan oleh aparat kepolisian terutama densus 88 pada saat itu. Itulah yang menjadi pemicu mengapa ia harus bermigrasi atau berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. AA juga menceritakan situasi pasca bom Bali saat mana aparat Densus 88 menangkap siapapun yang pernah melakukan kontak dengan para pelaku utama bom Bali yang telah tertangkap seperti Mukhlas dan Amrozi atau orang yang diduga menjadi anggota Jamaah Islamiyah. Melihat situasi itu, AA berusaha bersembunyi dari kejaran aparat Densus 88 walaupun ia merasa tidak pernah terlibat dalam aksi bom apapun di Indonesia. Selain evaluasi kelompok, evaluasi yang bersifat individual juga dilakukan oleh subyek penelitian. AI melakukan perenungan dan evaluasi selama pelarian dan pengejaran oleh aparat Densus 88, mulai dari rumahnya di Tenggulun Lamongan Jawa Timur sampai ujung timur Pulau Kalimantan. Perenungan dan evaluasi diri itu membawanya menuju penyesalan yang mendalam atas tragedi Bom Bali yang menewaskan banyak orang yang tidak berdosa. Perenungan dan evaluasi juga dilakukan Id dalam pelarian dan persembunyiannya dari kejaran Densus 88. Id membayangkan betapa menderitanya para korban yang cacat tetapi tidak terkait dengan tujuan dirinya dan kelompoknya. Pengalaman merasakan penderitaan para korban diduga menjadi pemicu Id harus mengevaluasi diri atas apa sepak terjangnya di dunia teror. Berbeda dengan AI dan Id yang terlibat langsung dalam kasus bom Bali, NA yang juga merupakan anggota dan petinggi JI tidak terlibat langsung. Kendati demikian, NA justru merasakan dampaknya. NA harus melarikan diri karena Densus 88 dan aparat kepolisian melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap semua anggota dan petinggi Jamaah Islamiyah tanpa pandang bulu. NA banyak mengalami kesulitan dalam pelarian. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi NA, seperti kesulitan berkomunikasi dengan isteri dan anak-anaknya setelah tertangkap aparat Densus 88 membawanya kepada kesimpulan bahwa keterlibatannya sebagai aktivis pergerakan Islam radikal seperti Jamaah Islamiyah tidak tepat. Sebagai salah satu petinggi Jamaah Islamiyah, NA tidak pernah setuju dengan penggunaan aksi bom dan kekerasan lainnya seperti fai (mengambil rampasan perang dengan merampok) sebagai cara memperjuangkan Jamaah Islamiyah. Sementara AA memiliki cerita lain. Seperti NA, AA juga tidak dilibatkan dalam Bom Bali 12 Oktober 2002. Sebagai salah satu petinggi JI, AA sejak lama menyimpan benih ketidakpuasan terhadap sepak terjang Jamaah Islamiyah. Ketidakpuasannya terutama menyangkut perubahan arah perjuangan Jamaah Islamiyah yang semula dalam jangka pendek dan menengah ditujukan untuk kepentingan dakwah dan idad serta penanaman ideologi, tetapi diubah untuk berjihad dan aksi kekerasan. Kisah yang menarik juga dijelaskan oleh UP. UP adalah pelaku Bom Bali I yang paling akhir ditangkap. UP menjelaskan, setelah melaksanakan aksi bom Bali ia segera melarikan diri dan bersembunyi di berbagai tempat termasuk ke Filipina dan menikahi gadis setempat. Kemudian bersama isterinya ia melanjutkan pelarian ke Afganistan. Menurut UP, keputusannya ke Afganistan sebagai hasil evaluasi diri yang mengantarkannya pada kesimpulan bahwa ia tidak boleh lagi melaksanakan jihad di luar wilayah konflik seperti Bali. Banyak korban tidak berdosa dari bangsa sendiri yang berjatuhan dan menimbulkan nestapa bagi keluarga mereka. Hal itu mendorongnya ke dalam satu titik di mana UP harus melakukan evaluasi diri terkait perjuangannya dalam gerakan Islam. Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan para subyek penelitian dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini.
13
Tabel 3 Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek Subyek Evaluasi Kelompok Evaluasi Individual Id Bom Bali lebih banyak Menyesal, banyak korban tidak berdosa. mudharat dibanding manfaat AI Banyak kesalahan dalam tahap Menyesal, Bali menjadi target perencanaan dan praktek UP Banyak kekeliruan, polisi Menyesal, mengorbankan bangsa sendiri bergerak cepat, rencana pelarian udah disiapkan NA Mengapa banyak kesulitan dihadapi pasca bom Bali 1 AA Sering tidak setuju dengan teman-temanya, harus segera keluar dari JI dan memilih jalur dakwah
Berdasarkan tabel 3 ada dua subyek yang tidak mengikuti evaluasi kelompok karena keduanya tidak menjadi eksekutor langsung bom Bali 2, sedangkan ketiga lainnya adalah pelaku bom Bali dan oleh karenanya ikut dalam evaluasi kelompok, sedangkan evaluasi individual dilakukan oleh kelima subyek di tempat pelarian atau di tempat persembunyian. Perubahan Penilaian tentang Konteks Jihad Hasil evaluasi yang lama dan proses menyerap makna dari pengalaman beraktivitas di Jamaah Islamiyah adalah munculnya perubahan penilaian tentang konteks jihad. Perubahan penilaian tentang konteks jihad dialami oleh pelaku teror. Misalnya, AI yang semula menganggap Indonesia sebagai tempat jihad yang sah dengan indikasi keterlibatannya dalam berbagai aksi pengeboman seperti bom Filipina dan bom Bali, pada akhirnya berpandangan bahwa Bali bukan tempat yang tepat untuk pelaksanaan jihad. Perubahan itu menggambarkan dinamika berpikir AI tentang bagaimana menerapkan jihad. NA yang pernah memimpin mantiqi 3 (Poso dan Philipina) berpandangan bahwa Hambali dan kawan-kawan yang terlibat dalam berbagai aksi pengeboman di Indonesia, mulai dari bom natal 2000, bom kedubes Philipina, bom Bali dan bom Mariot tidak sabar menunggu waktu yang tepat untuk menggelorakan jihad. Dalam pandangan NA, persiapan secara ekonomi dan keuangan perlu disiapkan, oleh karena itu, Poso sebagai bagian dari mantiqi 3 yang NA pimpin direncanakan menjadi sentra ekonomi dan keuangan untuk membiayai aktivitas Jamaah Islamiyah. Tim ekonomi dan tim dakwah Jamaah Islamiyah menyiapkan situasi dan kondisi sampai datang waktu berjihad. DaIam pandangan NA, idad bukan hanya mencakup persiapan yang bersifat militeristik tetapi juga persiapan secara finansial dan ekonomi. Hal itu karena gerakan Islam seperti Jamaah Islamiyah membutuhkan dana operasional yang tidak sedikit. Keinginan dan rencana NA, salah satu mantan petinggi Jamaah Islamiyah yang sekarang berbalik melawan teman-temanya sesama anggota Jamaah Islamiyah untuk menjadikan Poso dan sekitarnya sebagai zona aman (qaidah aminah), tidak mendapatkan tanggapan positif dari pimpinan pusat JI di Pulau Jawa. Meledaknya Bom Bali membuat rencana baik tersebut menjadi hancur berantakan. Bahkan, bukan hanya itu, seluruh jaringan kerja Jamaah Islamiyah dilumpuhkan oleh aparat kepolisian dengan melakukan pengejaran dan penangkapan. Id menyatakan bahwa jihad adalah perang. Tidak ada pengertian lain jihad di luar perang. Di belakang hari, Id dan kawan-kawan menyadari bahwa pelaksanaan jihad di Bali tidak sesuai konteks waktu dan tempat menurut fikih jihad yang mereka pelajari. Konsekuensi dari kesalahan menentukan konteks jihad adalah kegagalan karena bertentangan dengan apa yang dikehendaki Islam tentang jihad. AA tidak sepakat dengan pandangan Hambali yang menganggap Indonesia sebagai negara konflik. Sejak lama AA berpandangan bahwa Indonesia bukanlah wilayah konflik atau wilayah perang sehingga jihad dilegalkan. Bagi AA, menganggap Indonesia sebagai wilayah jihad saat ini adalah kesalahan besar yang tidak bisa ditolerir. AA juga menegaskan bahwa tujuan pendirian Jamaah Islamiyah sesuai dengan namanya adalah untuk menyiapkan kelompok umat Islam dengan pemahaman dan semangat berjihad. Jihad digelorakan ketika semua anggota Jamaah Islamiyah dan umat Islam memahami makna jihad yang sesungguhnya. Maka, menurut 14
AA saat itu (saat peledakan bom Bali dan sampai saat ini) adalah masa penyiapan mental dan pemahaman tentang Islam termasuk jihad UP menegaskan hal yang sama bahwa Indonesia bukan wilayah konflik, karenanya tidak boleh dijadikan sebagai tempat berjihad. Sebelum kejadian bom Bali 1, UP dikenal sebagai orang yang banyak terlibat dalam berbagai aksi bom di Indonesia seperti bom Natal 2000. Perubahan pandangan berlangsung dalam waktu yang lama setelah mengalami banyak peristiwa dan pengalaman personal di berbagai tempat dan situasi. Tabel 4. Perubahan pandangan tentang konteks jihad Subyek Pandangan semula AI Indonesia tempat berjihad (Ambon dan Poso) NA Jihad ada waktunya Id Indonesia negara perang AA Indonesia bukan negara perang UP Indonesia wilayah penuh konflik
Perubahan pandangan Indonesia bukan tempat berjihad Tidak berubah Indonesia bukan negara perang Tidak berubah Indonesia bukan wilayah konflik
Pada tabel 4 perubahan pandangan tentang konteks jihad dialami oleh tiga subyek sedangkan dua subyek lainnya memiliki pandangan yang tidak berubah yaitu bahwa jihad di Indonesia tidak tepat. Ada dua alasan mengapa jihad di Indonesia dilarang, yaitu alasan tempat dan waktu (Indonesia bukan wilayah konflik dan jihad belum saatnya dilakukan di Indonesia) Perubahan Sikap (Homogenitas versus heterogenitas outgroup) . Perubahan sikap sosial dialami oleh para subjek utama seperti cara pandang dalam menentukan kawan dan lawan. Pandangan yang mengarah kepada sikap yang cenderung tidak menyamaratakan lawan dan sikap melunak mulai muncul. Misalnya, pandangan AI tentang orang Kristen terkait kasus Ambon dan Poso yang cenderung menggambarkan homogenitas outgroup. Sebelum ditangkap karena kasus bom Bali 1, AI dikenal sebagai orang yang juga terlibat dalam berbagai aksi bom dengan target gereja dan umat Kristiani, seperti kasus bom natal. Sikap sosial yang positif terhadap kelompok non Muslim juga tercermin pada diri Id yang juga pernah terlibat dalam kasus bom Natal tahun 2000. Id mulai menyadari bahwa tidak ada alasan membenci kaum Nasrani hanya karena mendapatkan informasi bahwa Kaum Kristiani dan kalangan gereja merencanakan sesuatu yang merugikan umat Islam di masa yang akan datang. Perubahan sikap yang sama ditunjukkan oleh NA setelah ditangkap dan dipenjara. Menurut NA, informasi negatif yang dia peroleh tentang kaum Nasrani berubah drastis ketika di dalam penjara diperlakukan dengan baik oleh para petinggi kepolisian yang beragama Nasrani, termasuk ketika ditempatkan satu sel dengan kelompok Geng Coker asal Maluku. AA yang pernah dibesarkan dalam tradisi NU dan pernah menjadi anggota NII menceritakan bagaimaan ia mengalami perubahan sikap terhadap outgroup, dari sikap memusuhi menjadi sikap yang netral dan bersahabat. Semua kelompok di luar kelompoknya, apalagi Non Muslim seperti Kristen adalah pihak yang dia benci tetapi melalui proses waktu AA melihat mereka sebagai sesama umat Islam dan sesama anak bangsa. Sementara itu, UP yang dijuluki sebagai manusia paling berbahaya oleh Amerika Serikat dan pernah disayembarakan dengan hadiah yang besar menegaskan bahwa ia tidak membenci Barat tetapi yang ia benci Israel karena menduduki Palestina secara ilegal. Perubahan sikap para subyek dari titik yang cenderung homogen dalam melihat kelompok lain menuju titik yang cenderung heterogen dalam melihat outgroup dapat digambarkan dalam tabel berikut ini. Tabel 5. (Perubahan sikap) Dari homogenitas ke heterogenitas outgroup Subyek Inti Pernyataan AI Bahwa tidak semua orang Kristen setuju dengan ulah Kristen Ambon dan Poso, padahal sebelumnya menganggap Kristen Ambon dan Poso harus dilawan
15
Id NA AA UP
Motivasi terlibat bom natal 2000 karena benci Kristen secara keseluruhan, setelah ditangkap dan dipenjara mulai memilah-milah antara yang pantas dimusuhi dan tidak dimusuhi. Sebelum satu penjara dengan tokoh pemuda Kristen, sangat benci, setelah satu penjara, bersahabat. Dulu memusuhi NKRI termasuk Kaum Kristen, tetapi sekarang sangat menghargai Tidak membenci Barat tapi Israel
Berdasarkan tabel 5 dapat dikatakan bahwa ada perubahan pandangan yang bersifat homogenitas (penyamarataan) tentang non Muslim dan Barat menjadi pandangan yang mengakui keragaman outgroup dan keharusan melakukan pemilahan antara yang baik dan buruk dari mereka. Perubahan pandangan tentang outgroup, misalnya kaum Kristen Indonesia yang selama ini dianggap seragam memusuhi orang Islam, terjadi pada NA, AI dan Id. Keterlibatan AI dalam kasus Ambon maupun Poso digerakkan oleh kesadaran bahwa kaum Kristen lokal menyerang dan berlaku zalim terhadap umat Islam di kedua wilayah itu. Sedangkan kaum Kristen di luar Ambon dan Poso memberi dukungan dalam berbagai bentuk yang bisa dilakukan. Setelah mengalami pengalaman sosial dalam berbagai situasi dan konteks maka AI menyadari bahwa tidak semua orang Kristen memusuhi umat Islam. Faktor Personal Faktor personal terdiri dari tiga konsep yaitu rasa bersalah, konflik identitas personal versus identitas kelompok, dan konflik nilai personal versus nilai kelompok. Ketiga konsep tersebut akan dijelaskan sebagaimana berikut ini. Rasa bersalah versus tidak bersalah. Evaluasi personal dan kolektif yang telah dilakukan melahirkan rasa bersalah diantaranya karena banyak korban berjatuhan dari kalangan orang-orang yang seiman sebagaimana dinyatakan oleh Id. Rasa bersalah Id ditandai oleh kebingungan, kesedihan, kengerian dan stress yang kuat. Sebagai alumni Pesantren Ngruki yang mengerti Al-Quran, Id tersentak saat membuka kembali lembaran Al-Quran terutama menyangkut kafarah (denda) pembunuhan dalam Islam. Hasil evaluasi AI di dalam pelarian menghasilkan rasa bersalah dan penyesalan sebagaimana Id. AI menyatakan penyesalannya berulang kali untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar merasa bersalah telah melakukan aksi pengeboman yang menelan banyak jiwa. Hal yang sama juga diungkapkan oleh UP. Ia benar-benar menyesal telah melibatkan diri dalam aksi Bom Bali yang pada mulanya tidak ia setujui. Tetapi akhirnya ia ikut terlibat karena keinginan kelompok yang harus diikuti. Keterlibatannya dalam bom Bali yang membuat dijebloskan ke penjara telah melahirkan penyesalan dan rasa bersalah yang mendalam. Selaku petinggi Jamaah Islamiyah yang memimpin mantiqi 3 dan mentor pelatihan militer di Afganistan dan Mindanao, NA merasa bersalah tepatnya merasa bertanggungjawab karena sebagian pelaku bom Bali adalah murid-murid yang pernah ia latih dalam bidang keahlian senjata dan perakitan bom seperti UP. NA merasa ikut bertanggungjawab atas tindakan rekanrekannya dan bekas murid yang pernah dibina di Afganistan. Pertanggungjawaban yang dikhawatirkan NA terutama di hadapan Allah adalah tentang terbunuhnya orang-orang yang tidak berdosa karena ulah rekan-rekan dan murid-muridnya. Satu-satunya subyek yang tidak merasa bersalah atas tragedi bom Bali adalah AA. Hal itu karena AA merasa tidak tahu-menahu tentang bom Bali dan sejak lama ia menentang keras keinginan Hambali untuk melakukan amaliyah istisyhad di Indonesia. Kendati demikian, pada konteks tertentu, AA tetap merasa bersalah karena tidak mampu mencegah sepak terjang Hambali dalam mempengaruhi anggota JI dalam melakukan amaliyah. Dengan ungkapan yang didasarkan atas pemahama terhadap Al-Quran, AA menjelaskan bahwa membunuh satu orang yang tidak berdosa di dalam Islam sama dengan membunuh seluruh manusia. Hal itu untuk menunjukkan betapa aksi bom yang mengorbankan banyak nyawa tidak berdosa merupakan perbuatan dosa yang sangat besar. Rasa bersalah karena terbunuhnya banyak orang dari kalangan Muslim itu menyebabkan Id merasa harus melaksanakan kafarah yaitu kewajiban memberi makan kaum miskin dan kaum lemah atau berpuasa berturut-turut selama dua bulan. Perasaan bersalah biasanya diikuti dengan 16
perasaan malu. Hal itu pula yang dirasakan oleh UP. Penyesalan UP telah disiarkan secara luas melalui saluran televis dan media sosial. UP menegaskan bahwa aksi bom Bali di mana UP menjadi anggota tim bukanlah jihad di jalan Allah sebagaimana yang diyakini sebelumnya terutama oleh kawan-kawannya. Hal yang sama dirasakan Id. Membayangkan apa yang dirasakan para korban bom Bali ia kasihan dan didera rasa bersalah terutama kepada mereka yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan dirinya sebagai jihadis dan Jamaah Islamiyah sebagai organisasi yang hendak melakukan balas dendam terhadap orang Barat. Dinamika rasa bersalah pada subyek penelitian dapat digambarkan dalam matrik di bawah ini. Tabel 6 Gambaran rasa bersalah Subyek Gambaran Rasa Bersalah Id Muncul perasaan ngeri dan tertekan karena banyak orang Islam yang terbunuh sementara belum ada kejelasan bagaimana kafarah (denda membunuh orang tidak berdosa) diselesaikan. AI Rasa bersalah dalam menentukan Bali sebagai target amaliyah. Rasa bersalah makin menguat manakala diketahui bahwa amaliah itu atas inisiatif dan perinah Hambali dkk, bukan inisiatif dan perintah Jamaah Islamiyah. UP Rasa bersalah muncul karena jihad dengan target Bali tidak memiliki dasar yang kuat. NA Rasa bersalah karena bertanggungjawab sebagai senior dan petinggi Jamaah Islamiyah yang telah membina dan melatih sebagian dari pelaku teror Bom Bali 1 AA Rasa bersalah karena tidak mampu mencegah Hambali dalam melaksanakan fatwa Osama bin Laden yang bertentangan dengan kebijakan Jamaah Islamiyah.
Berdasarkan tabel 6, rasa bersalah disebabkan oleh tiga hal yaitu ketidakjelasan pembayaran kafarah (hukuman membunuh secara tidak sengaja), penentuan target yang tidak sesuai ketentuan dan kaidah jihad, dan rasa bertanggungjawab sebagai petinggi organisasi. Konflik Identitas personal versus identitas kelompok. Penonjolan identitas personal atas identitas kelompok (sebagai anggota Jamaah Islamiyah) dan komponen identitas lainnya terlihat jelas pada subyek penelitian ini. Misalnya, AA dengan tegas menyebutkan bahwa beberapa bulan setelah bom Bali meledak ia secara terbuka menyatakan telah menarik baiatnya kepada Jamaah Islamiyah. AA merasa lebih bangga disebut sebagai penganjur ahlussunnah wal jamaah dan muallim dibandingkan sebagai mantan penasehat Jamaah Islamiyah untuk mantiqi ukhra di Australia. AA merasa sangat kecewa karena ulah teman-temannya yang melakukan aksi pengeboman yang membuatnya tidak nyaman menjadi penasehat Jamaah Islamiyah wilayah Australia. Jabatan yang cukup bergengsi di kalangan aktivis gerakan Islam radikal itu. AA lebih senang menyebut dirinya sebagai muballigh ustad yang mengajarkan faham salafi. Hal yang sama juga dinyatakan NA. Dengan tegas NA menyatakan bahwa ia tidak lagi menjadi anggota Jamaah Islamiyah sejak tahun 2003 dan memilih untuk membongkar Jamaah Islamiyah dan melawan cara kekerasan yang tetap dipertahankan kawan-kawan dan muridmuridnya. Sebagai anggota dan petinggi Jamaah Islamiyah, NA telah banyak berjuang dan bekerja untuk tanzhim yang bercita-cita menegakkan Daulah Islamiyah di Asia Tenggara sehingga harus mengorbankan keluarganya. Sementara itu, AI merasa cara berjihad yang ditempuh kawan-kawannya termasuk dirinya saat Jamaah Islamiyah masih aktif telah membuat dirinya menjadi pesakitan yang tidak berharga. AI sangat sedih melihat dua kakak (Mukhlas dan Amrozi) yang sangat dia hormati menjadi pesakitan yang digelandang polisi dalam keadaan diborgol. UP yang dianggap paling berbahaya oleh Amerika menyatakan dengan tegas bahwa ia mencintai Indonesia karena dilahirkan dan dibesarkan di negeri ini. Menurut UP, apapun bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa ia masih menjadi bagian dari NKRI. UP ingin menunjukkan perasaannya tentang Indonesia yang berbeda dengan dengan kawan-kawannya yang membenci Indonesia dan pemerintah RI. Menonjolnya identitas personal atas identitas kelompok juga diperlihatkan oleh Id ketika bertemu dan berdebat tentang amaliyah jihad dengan sejumlah figur penting Jamaah Islamiyah dalam persembunyiannya pasca bom Bali di sejumlah tempat di Indonesia. Id tidak lagi sefaham dalam memahami jihad dengan aktivis Jamaah Islamiyah lainnya. Konflik identitas personal dan identitas kelompok para subyek penelitian digambarkan dalam tabel berikut ini. 17
Tabel 7.Identitas Kelompok versus Identitas Personal No Subyek Identitas kelompok sebelum bom Bali meledak 1 AA Merasa bangga saat menjadi anggota dan penasehat Jamaah Islamiyah mantiqi ukhra. 2 NA Merasa bangga karena banyak berkorban untuk Jamaah Islamiyah. 3
AI
4
UP
5
Id
Merasa bangga menjadi jihadis yang berafiliasi ke JI Menolak NKRI Merasa bangga menjadi bagian dari kaum jihadis
Identitas personal setelah bom Bali Merasa lebih bangga disebut sebagai pribadi dai dan muballigh tanpa afiliasi JI Merasa dirugikan secara personal dengan peristiwa bom Bali 1 hingga akhirnya melawan dan membongkar JI. Merasa sedih melihat kedua kakak sebagai pesakitan yang terhina Menerima NKRI dengan mengikuti apel kesetiaan Melapaskan diri dari kaitan dengan Jamaah Islamiyah
Berdasarkan tabel 7, dapat dikatakan bahwa pergeseran identifikasi kelompok menuju identifikasi personal pada semua subyek penelitian ditandai dengan berkurangnya kebanggan sebagai anggota atau petinggi Jamaah Islamiyah dan munculnya kecenderungan untuk membanggakan diri sendiri. Konflik nilai personal versus nilai kelompok. Pertentangan antara nilai personal versus nilai kelompok mewarnai dinamika psikologis pada anggota Jamaah Islamiyah dalam memandang bom Bali. Kecenderungan bergantung pada pikiran sendiri dalam menilai kasus bom Bali dan kasus lainnya terlihat jelas pada para subyek penelitian. Perubahan penilaian terjadi dengan membandingkan pernyataan dan tindakan yang pernah dilakukan sebelum bom Bali dan sesudahnya. Misalnya, NA memiliki pandangan berbeda dengan pandangan sebagian besar anggota Jamaah Islamiyah atau aktivis pergerakan Islam radikal dalam melihat para pelaku bom Bali. NA melihat mereka bukanlah mujahid sejati sebagaimana yang dinyatakan ABB sebagai simbol kelompok Jamaah Islamiyah dalam berbagai kesempatan. Di sini, pandangan NA tentang siapa mujahid sejati merepresentasikan nilai personal NA versus nilai kelompok yang diwakili oleh pandangan ABB. Pertentangan antara nilai personal dan nilai kelompok adalah pertentangan yang berlangsung terus dalam proses kelompok sebagaimana digambarkan oleh AI. AI menggambarkan bagaimana pendapat pribadinya tentang medan jihad bertentangan dengan pendapat kelompok. Menurut AI, sebelum pelaksanaan bom Bali ia kerap mengemukakan pandangannya bahwa Indonsia termasuk Bali tidak tepat dijadikan sebagai target aksi pengeboman tetapi pendapat kelompok atau jamaah tepatnya lingkaran tertentu di dalam Jamaah Islamiyah yang cenderung bersepakat untuk melaksanakan amaliah tidak dapat dilawan. Sikap dan tindakan yang lahir dari konformitas sosial itu melahirkan penyesalan karena tidak sesuai dengan hati nurani dan keyakinan pribadi. Misalnya, seorang narasumber yang berpandangan bahwa Indonesia bukan tempat yang tepat untuk pelaksanaan aksi bom tetapi dengan terpaksa harus mengikuti keinginan kelompok dan senior kelompok walaupun harus melanggar hati nurani dan keyakinan personal. Oleh karena itu, UP menolak keras jika dianggap melarikan diri ketika media memberitakan keberadaan dan penangkapannya di Afganistan. Keputusan keluar dari Indonesia ia pandang sebagai ekspresi keyakinan tentang jihad yang harus dilakukan di daerah konflik seperti Afganistan, Chehnya dan Philipina. Pandangan dan keyakinan yang bertentangan antara pribadi dan kelompok dalam melihat suatu persoalan pada titik tertentu menjadi kekuatan untuk melepaskan diri dari pengaruh kelompok. Pertentangan nilai personal dan kelompok dialami oleh AA ketika Hambali merekrut pengebom di Australia dengan mengatasnamakan Jamaah Islamiyah. AA menolaknya dengan tegas karena menurutnya amaliyah bom bukanlah cara yang dibenarkan Islam. Hal yang hampir sama dialami oleh Id ketika harus berhadapan dengan keteguhan Azahari untuk meneruskan cara-cara pengeboman untuk berjuang dalam suatu pertemuan di Bengkulu dalam pelariannya pasca bom Bali. Id berpendapat bahwa amaliyah bom lebih banyak efek negatifnya bagi Jamaah Islamiyah dibandingkan efek positifnya, tetapi Azahari yang masih 18
terpengaruh dengan pandangan Hambali yang mewakili pimpinan mantiqi 1 lebih memilih aksi bom karena lebih semarak dan bisa memberikan pesan kepada publik. Konflik nilai personal dengan nilai kelompok pada subyek penelitian tergambar dalam matrik berikut ini. Tabel 8. Nilai personal versus nilai kelompok Subyek Nilai personal NA Pelaku bom Bali 1 bukan mujahid dan syahid UP
Meminta maaf atas tragedi bom Bali
AA
Menolak keinginan Hambali untuk melakukan aksi bom terhadap kedutaan Amerika di Australia
Id
Amaliah pengeboman dihentikan karena lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya
Nilai kelompok Pelaku bom Bali 1 mujahidi dan syahid (diwakili ABB) Tidak perlu meminta karena dianggap bukan sikap yang konsisten Keinginan Hambali sebagai representasi kelompok untuk melakukan aksi bom terhadap kedutaan Amerika di Australia Amaliah pengeboman harus diteruskan agar JI bergema ke manamana (diwakili NMT)
Berdasarkan tabel 8 dapat dikatakan bahwa pertentangan antara nilai personal dan nilai kelompok dialami oleh semua subyek penelitian dalam konteks yang berbeda. Tetapi secara umum, pertentangan atau konflik nilai personal versus nilai kelompok berkaitan dengan bagaimana menyikapi kesyahidan pelaku bom Bali 1, perlunya meminta maaf terhadap keluarga korban bom dan masyarakat Indonesia, target amaliah jihad dan cara menerapkannya. Faktor Organisasi Faktor organisasi terdiri dari dua konsep yaitu deideologisasi jihad dan penurunan komitmen. Deideologisasi Jihad versus ideologisasi jihad. Jika dalam proses radikalisasi, ideologisasi jihad merupakan alat untuk menguatkan identitas sebagai jihad, misalnya melalui internalisasi semangat dan pemahaman thoifah manshurah maka dalam proses meninggalkan jalan teror, deideologisasi jihad menjadi menonjol dengan melakukan eksternalisasi semangat dan pemahaman thoifah manshurah. AI misalnya merasa tidak nyaman dan kesal dengan orang-orang yang melabel diri mereka sebagai mujahid tetapi tidak mencerminkan karakter seorang mujahid. Bagi AA yang memilih menolak atau meninggalkan jalan teror, batasan dan ketentuan Al-Quran tentang jihad sangat jelas dan terang-benderang. Pelanggaran terhadap ketentuan itu menjadi garis demarkasi antara kaum jihadis yang menganggap saat ini sebagai masa idad dengan kaum jihadis yang menganggap saat ini jihad perlu dikobarkan. Pelanggaran terhadap etika dan norma berjihad serta perbuatan buruk dengan melakukan aksi bom disebabkan oleh banyak hal, diantaranya yaitu kebencian kepada orang kafir yang berlebihan, pemahaman yang keliru dan terlalu harfiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, pemahaman yang tidak utuh dan nafsu amarah yang berlebihan. Dalam Islam, menurut jihadis yang menolak kekerasan, berjihad atau memerangi kaum kafir bukan bersifat ofensif tetapi bersifat defensif, yaitu jihad untuk membela diri. konsekuensi dari sifat ofensif pada jihad maka harus dipilah antara mereka yang pantas diperangi dan yang tidak pantas diperangi. Jika hal itu tidak dilakukan maka berarti pelanggaran terhadap etika dan norma berjihad sebagaimana yang telah diajarkan dan ditulis para ulama dalam kitab-kitab fikih yang membahas jihad. : Menjadi jihadis itu pilihan Allah. Demikian Id meyakini, karena tidak semua orang bisa dan berani berjihad. onsekuensi jihad sangat berat bagi jihadis dan keluarganya. Jihadis sejati adalah orang yang meyakini bahwa jihad tidak pernah berhenti sampai kemenangan bisa diraih oleh umat Islam. Oleh karena itu, Id tidak berani melakukan klaim sebagai jihadis sejati karena ia sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai kelompok jihadis. Sementara itu, UP yang kerapkali dijuluki “manusia berbahaya” karena ahli dalam penyamaran dan perakitan bom terutama oleh Amerika Serikat tidak lagi meyakini bahwa jihad itu bisa dilakukan tanpa mengenal waktu dan tempat karena jihad itu tugas abadi. Semula, UP meyakini bahwa jihad itu bisa dilakukan di mana saja, lalu setelah bom Bali meledak dan terjadi penangkapan besar-besaran oleh aparat kepolisian, UP berkeyakinan bahwa jihad harus dilakukan 19
di wilayah konflik. Saat ini UP berpandangan bahwa jihad yang harus dilakukan adalah jihad untuk menafkahi keluarga. Sedangkan jihad di wilayah konflik itu sebaiknya dilakukan oleh orang setempat. Proses deideologisasi jihad yaitu perubahan keyakinan tentang jihad sebagai tugas abadi agaknya harus disikapi dengan sikap yang realistis apalagi pada pelaku teror yang sedang dihukum di penjara dengan hukuman yang lama seperti UP. Gejala terjadinya proses deideologisasi jihad pada subyek penelitian dapat digambarkan melalui tabel berikut ini: Tabel 9 Deideologisasi jihad Subyek Gejala deideologisasi jihad AI Jihadis tidak membunuh orang yang tidak berdaya dan terlalu mudah mengklaim diri sebagai jihadis AA Pengakuan para pelaku teror sebagai thoifah manshuroh tetapi melanggar ketentuan dan batasan berjihad dianggap keliru NA Menganggap para pelaku teror salah dalam memahami ayat jihad, dikuasai nafsu amarah, dan pelaksanaan fai yang keliru Id Tidak berani mengklaim diri sebagai jihadis pilihan Allah UP Jihad terikat syarat waktu dan tempat, tidak semua orang bisa berjihad di wilayah konflik, dan jihad tidak terbatas dalam pengertian perang.
Berdasarkan tabel 9 dapat disimpulkan bahwa proses deideologisasi jihad ditandai dengan munculnya keyakinan bahwa jihad abadi adalah pemahaman yang tidak realistis. Klaim sebagai thoifah manshurah yaitu kaum pilihan yang bertugas melakukan jihad abadi adalah pemahaman yang diperdebatkan. Intinya, jihad bukan semata-mata dalam pengertian perang abadi tetapi bisa dalam arti di luar perang abadi atau di luar pemahaman perang itu sendiri. Penurunan Komitmen. Komitmen dan loyalitas anggota adalah hal penting dalam sebuah kelompok. Tanpa komitmen dan loyalitas dari anggota, suatu kelompok terutama pada kelompok gerakan bawah tanah seperti Jamaah Islamiyah tidak dapat dijamin akan bertahan. Dalam penelitian ini, penurunan komitmen dan loyalitas terhadap Jamaah Islamiyah terjadi karena mempersepsi pemimpin tertinggi tidak konsisten dengan sikap dan pendirian terhadap organisasi. Sejumlah subyek penelitian mengungkapkan keraguan mereka terhadap tujuan berjihad Jamaah Islamiyah karena penerimaan tokoh penting sekaliber ABB terhadap tawaran menjadi ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Majelis Mujahidin Indonesia adalah organisasi yang menghimpun kaum radikal Islam di Indonesia yang pengesahan organisasinya didasarkan atas akte notaris yang ditunjuk negara. Bagi sejumlah anggota Jamaah Islamiyah, termasuk subyek penelitin ini. Bagi mereka, penerimaan ABB terhadap tawaran menjadi ketua MMI menunjukkan inkonsistensi seorang pemimpin dari suatu organisasi radikal dan kelompok gerakan bawah tanah. Pengangkatan ABB sebagai ketua Majelis Mujahidin Indonesia menimbulkan prokontra di kalangan anggota Jamaah Islamiyah. Mereka terpolarisasi menjadi dua kutub atau kelompok. Kutub pertama adalah kelompok yang tidak mempersoalkan pengangkatan tersebut karena MMI menghimpun kaum jihadis yang ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia. Kutub kedua adalah kelompok yang mempersoalkan hal itu karena mengindikasikan inkonsistensi Ust ABB sebagai tokoh panutan di dalam tubuh Jamaah Islamiyah. Pilihan ini dinilai tidak konsisten oleh banyak anggota Jamaah Islamiyah sehingga sebagian dari mereka menolak keberadaan MMI karena bertentangan dengan prinsip fundamental Jamaah Islamiyah yang menganggap pemerintah NKRI sebagai thogut. Perpecahan di tubuh Jamaah Islamiyah karena penerimaan Abu Bakar menjadi ketua MMI menyebabkan Jamaah Islamiyah seperti tanpa pilot. Sebagian anggota Jamaah Islamiyah tidak bisa dikendalikan dan bergerak sendiri-sendiri sesuai keinginan masing-masing. Puncak dari keadaan kacau dan tanpa kendali yang terjadi di dalam tanzhim Jamaah Islamiyah adalah Bom Bali yang mengejutkan dunia dan menimbulkan kemarahan semua orang. Pemerintah dan aparat kepolisian melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap semua orang yang terkait Jamaah Islamiyah. Hal itu menimbulkan kecemasan dan ketidakpastian di kalangan anggota dan pejabat Jamaah Islamiyah sehingga mereka memilih mencabut baiat sebagai anggota JI dan berjuang membela Islam dengan cara yang berbeda seperti memilih jalur pendidikan dan dakwah sebagaimana dituturkan AA salah satu subyek penelitian berikut ini. Komitmen dan loyalitas terhadap Jamaah Islamiyah mulai luntur seiring memanasinya dinamika di tubuh organisasi gerakan bawah tanah ini. Kepemimpinan yang tidak jelas dan gerak 20
organisasi yang tidak terarah membuat pelaku teror berpikir untuk memilih jalan masing-masing. UP yang dikabarkan mengikuti apel kesetiaan kepada NKRI di Lapas Porong Surabaya jauh-jauh hari memperlihatkan tanda-tanda akan berubah sebagaimana dia nyatakan. Sementara Id menjelaskan bahwa ia ingin menjadi warganegara yang biasa dan melebur dengan masyarakat. Id ingin mendidik isteri dan anak-anaknya dengan pendidikan agama yang ia peroleh dari pesantren. Pasca bom Bali dan harus dipenjara karena itu, ia tidak ingin kembali ke keluarga dan mencari nafkah untuk mereka apapun yang bisa dilakukan. AI, satu-satunya subyek yang menyatakan tetap menjadi anggota Jamaah Islamiyah, mulai memperlihatkan komitmen yang meluntur terhadap kelompok. AI tidak sepakat dengan pilihan kekerasan dan teror yang dilakukan para pelaku teror yunior yang dibina oleh anggota Jamaah Islamiyah lainnya. Oleh karena itu, ia menentang keras cara jihad yang menggunakan cara teror dan kekerasan terhadap aparat kepolisian. Penurunan komitmen subyek terhadap organisasi Jamaah Islamiyah dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 10. Gambaran penurunan Komitmen Subyek Gambaran penurunan komitmen NA Mulai ragu dengan Jamaah Islamiyah AA Merasa tidak perlu lagi bertahan di dalam JI dan memutuskan keluar dan memilih cara sendiri dalam memperjuangkan Islam UP Tidak mempersoalkan Pancasila dan NKRI Id Ingin mengurus keluarga AI Masih merasa sebagai anggota Jamaah Islamiyah, tetapi tidak menyukai pemimpin JI yang membiarkan aksi teror atau mendukung teror secara diam-diam.
Merujuk kepada tabel 10 maka dapat dinyatakan bahwa penurunan komitmen ditandai dengan munculnya keraguan terhadap tujuan perjuangan Jamaah Islamiyah, memutuskan keluar dari jaringan kelompok dan memilih jalan perjuangan Islam yang damai, tidak lagi mempersoalkan Pancasila dan NKRI, kembali mengurus keluarga, dan terakhir, walaupun masih menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak kepemimpinan yang pro kekerasan. Faktor Sosial Faktor sosial terdiri dari tiga konsep yaitu konflik pemimpin versus pengikut, konflik interpersonal dan kontak dengan outgroup. Konflik Pemimpin versus Pengikut. Sebagai suatu proses kelompok, apapun yang terjadi di antara pemimpin dan pengikut mempengaruhi eksistensi dan kekompakan kelompok. Tanpa pemimpin yang dapat diterima kelompok atau pengikut yang taat kepada kelompok maka mustahil kelompok akan bertahan lama. Alih-alih bertahan dan menguat, kelompok yang diwarnai hubungan yang bermasalah antara pemimpin dan pengikut akan menyebabkan kelompok menjadi kacau dan hancur, baik karena dihancurkan oleh orang dalam atau dihancurkan oleh pihak luar. Terdapat banyak konsep yang menjelaskan bagaimana hubungan antara pemimpin dan pengikut, misalnya antara lain adalah kepercayaan atau trust. Kepercayaan atau trust kepada senior, pemimpin kelompok atau amir jamaah menjadi indikator penting relasi pemimpin-pengikut. Jika kepercayaan kepada pemimpin mulai luntur maka relasi di antara keduanya bermasalah dan menyebabkan suasana hubungan tidak kondusif dan meningkatkan kecenderungan individu keluar dari lingkaran kelompok serta memilih jalan yang berbeda. Itulah suasana hubungan pemimpin dan pengikut yang memburuk di dalam tubuh Jamaah Islamiyah saat dipimpin ABB. Keputusan pimpinan pusat kerapkali berlawanan dengan aspirasi anggota yang mengerti situasi lapangan. Intinya, kepercayaan terhadap amir mulai luntur. Melunturnya kepercayaan anggota JI terhadap Amir ABB karena ketidaktegasan beliau dalam menyelesaikan suasana carut-marut yang berlangsung di dalam tubuh Jamaah Islamiyah. Ketidaktegasan ABB mencerminkan kepribadiannya yang lemah dalam memimpin gerakan bawah tanah semacam Jamaah Islamiyah. Kelemahan kepemimpinan terjadi karena cara berpikir yang sederhana dan tidak rumit, tanpa pertimbangan yang matang dan argumen yang berdasarkan wawasan yang luas tentang kejamaahan. Akibatnya, pergerakan-pergerakan yang tidak terkendali
21
di dalam organisasi tidak dapat dikendalikan dan cenderunga dibiarkan padahal bisa membahayakan masa depan jamaah. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh AA. Inkonsistensi pemimpin dalam banyak hal sangat penting dalam suatu organisasi, termasuk dalam organisasi Jamaah Islamiyah. Inkonsistensi mempengaruhi kepercayaan anggota terhadap pemimpin dan bagaimana individu bertahan di dalamnya. Inkonsistensi pemimpin, baik sebagai individu maupun representasi kelompok bukan hanya mempengaruhi kepercayaan anggota tetapi juga mempengaruhi semua tingkah laku yang terkait kelompok. Dalm penelitian disertasi ini penggunaan istilah dan konsep yang tidak jelas dan tidak konsisten dengan konteks situasi dan tempat ternyata menimbulkan keraguan anggota dan selanjutnya mengarah menuju berkurangnya komitmen dan loyalitas terhadap kelompok dan pemimpin. Dalam konteks Jamaah Islamiyah, hal ini juga terjadi dan dialam oleh anggota Jamaah Islamiyah yang memiliki pemahaman yang dalam tentang Bahasa Arab dan kajian keislaman. Kerapkali dipersoalkan mengenai penggunaan nomenklatur militer dalam struktur Jamaah Islamiyah padahal organisasi ini dibangun untuk tujuan dakwah dan taklim serta idad atau menyiapkan umat Islam menyongsong munculnya masa berjihad di Indonesia sebagaimana dinyatakan oleh AA. Ketidaktegasan ABB pengganti Abdullah Sungkar selaku imam Jamaah Islamiyah merupakan faktor penting yang mendorong sebagian anggota Jamaah Islamiyah memilih meniggalkan kelompok. Mereka beralasan kemimpinan Ustad ABB yang sangat lemah menyebabkan roda organisasi Jamaah Islamiyah tidak berjalan dengan baik. Banyak anggota JI yang bergerak sendiri-sendiri tanpa kendali ABB, misalnya Mukhlas dan Hambali yang membuat rencana dan aksi pengeboman dengan mengatasnamakan Jamaah Islamiyah. Hal itu merugikan anggota-anggota jamaah secara individual dan Jamaah Islamiyah secara organisasi, misalnya, akibat aksi bom yang dilakukan oleh Mukhas maka anggota Jamaah Islamiyah yang tidak tahu persoalan juga dikejar dan ditangkap. Dibandingkan dengan Abdullah Sungkar, ketegasan ABB jauh di bawahnya. Di era kepemimpinan Abdullah Sungkar, pergerakan anggota Jamaah Islamiyah terkontrol sehingga tidak ada yang berani melakukan tindakan sendiri-sendiri. Prinsip berjamaah yaitu keharusan makmum atau anggota mengikuti imam benar-benar dijalankan dengan tegas. Semua anggota menuruti instruksi pemimpin sehingga kerja organisasi berjalan dengan rapi dan baik sebagaimana dinyatakan subyek penelitian berikut ini. Ketidaktegasan ABB dalam memimpin Jamaah Islamiyah adalah karakteristik pribadi yang melekat sejak lama di dalam dirinya. Sebab, berbagai kenyataan yang menggambarkan ketidaktegasannya telah berlangsung sejak lama sampai menjelang ia dipenjara karena kasus pelatihan militer di Aceh. Walaupun banyak saksi dan pelaku yang memperkuat keterlibatan ABB dalam kasus itu tetapi tetap saja ia mengingkarinya. Itulah sebabnya mengapa tidak banyak anggota Jamaah Islamiyah yang berharap bahwa organisasi bisa berjalan dengan baik di bawah kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan ABB yang kurang tegas dalam memberikan arahan dan instruksi kerapkali dipersoalkan anggota Jamaah Islamiyah. Ketidaktegasan itu membuka peluang oknum tertentu seperti Hambali untuk memanfaatkan situasi dengan membuat gerakan yang tidak diketahui pimpinan markaz. Hal itu sebagaimana dinyatakan seorang subyek penelitian berikut ini: Di mata anggota Jamaah Islamiyah yang menyimpan rasa kecewa terhadap ABB, pemimpin JI seharusnya tidak hanya melihat persoalan dari sisi bagaimana syariat diterapkan tetapi juga melihat dari kemaslahatan jamaah. Sebagai pemimpin, pertimbangan rasionalitas seperti untung-rugi atau manfaat dan kerusakan harus diprioritaskan demi kepentingan keberlangsungan organisasi. Dalam pandangan mereka, persetujuan dan penolakan usulan kegiatan atau aksi tidak cukup dengan pertimbangan syariat tetapi juga pertimbangan kemaslahatan jamaah sebagaimana pernyataan subyek penelitian berikut ini. Secara organisasi, Jamaah Islamiyah tidak pernah merancang aksi pengeboman di Indonesia maupun di luar Indonesia karena jamaah ini dibangun untuk melaksanakan dakwah dan taklim walaupun bernuansa ekstrim dan radikal. Hal itu dilakukan dalam rangka i’dad atau menyiapkan sumber daya untuk menghadapi situasi dan kondisi menuju jihad yang sesungguhnya. 22
Konsistensi pengikut atau anggota Jamaah Islamiyah dalam mempertahankan doktrin, strategi dan taktik perjuangan dipersoalkan. Bagi anggota Jamaah Islamiyah yang memilih meninggalkan jamaah dan atau meninggalkan jalan kekerasan sebagaimana yang dilakukan Imam Samudera dan kawan-kawan, ketidakpastian situasi dalam tubuh Jamaah Islamiyah telah melahirkan orang-orang yang indisiplin terhadap nilai dan doktrin jamaah. Orang-orang itu lebih memilih mentaati Osama bin Laden daripada memilih ABB. Jika pengikut mengikuti figur tokoh di luar petinggi jamaah maka itu berarti ada masalah dalam hubungan pemimpin-pengikut. AA adalah salah satu jihadis mantan anggota Jamaah Islamiyah yang lebih mengidolakan mentor dan guru-gurunya semasa belajar di Akademi Militer Mujahidin Afganistan dibandingkan petinggi Jamaah Islamiyah. Bagi subyek jihad di negara yang tidak mengalami konflik adalah kesalahan besar dan menyalahi kaidah fikih jihad yang telah disepakati para ulama salafussalih. AA merujuk penolakannya kepada pendapat Abdullah bin Azam. NA sebagai pimpinan mantiqi 3 merasakan ada gejala perpecahan di tingkat pimpinan puncak Jamaah Islamiyah dalam menjalankan roda organisasi. Perpecahan itu disebabkan oleh kesediaan ABB untuk memimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Penerimaan ABB untuk memimpin MMI yang didirikan berdasarkan akte notaris menunjukkan inkonsistensi sebagai pribadi yang menganggap pemerintah RI thogut. Hal senada juga disampaikan oleh AA. Penerimaan ABB untuk memimpin MMI menimbulkan polarisasi kelompok antara yang pro dan kontra. AA sendiri berada dalam barisan yang kontra dan menganggap hal itu sebagai sikap tidak konsisten dari seorang pemimpin. Dinamika konflik pemimpin-pengikut yang berlangsung di kalangan teroris di Indonesia dapat digambarkan sebagaimana berikut ini:
Gambar 1. Dinamika konflik pemimpin-pengikut Berdasarkan gambar 1 maka dapat dikatakan bahwa konflik pemimpin-pengikut berlangsung melalui empat tahap yaitu tahap terbentuknya persepsi negatif terhadap pemimpin, tahap kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin, tahap polarisasi dan kekacauan internal kelompok, dan tahap pergerakan anggota tanpa kontrol pemimpin. Konflik Interpersonal. Konflik interpersonal di antara sesama anggota atau antara senior dan yunior atau antara pimpinan dan bawahan juga menjadi faktor penting yang menjelaskan kenapa pilihan meninggalkan jalan teror terjadi. Tentu saja pengaruh konflik interpersonal terhadap pilihan meninggalkan jalan teror berlangsung dalam rangkaian proses yang panjang. Contoh, riak-riak kecil yang mewarnai hubungan interpersonal dalam tim kecil eksekutor Bom Bali.
23
Kekesalan dan kekecewaan atas tingkah laku yang lain kerapkali membekas di dalam hati sehingga menodai persahabatan dan menumbuhkan benih perpecahan. Perbedaan pendapat mengenai hal-hal kecil tetapi dianggap besar oleh yang lain sehingga dapat mengotori kesucian jihad sering terjadi, seperti mendengarkan musik dangdut dan pop. Kedua jenis musik ini dianggap sebagai musik jahiliah yang menodai nilai jihad dan perjuangan menegakkan Islam seperti yang dilakukan Imam Samudera. Akhirnya perdebatan dan perbedaan pendapat mengenai hal itu bisa diselesaikan dengan baik, bukan hanya karena argumen Imam Samudera yang masuk akal yaitu sebagai bagian dari tehnik penyamaran, tetapi juga karena posisinya sebagai komandan lapangan yang harus dihormati. Kendati demikian, kejadian itu memberikan pengalaman dan kesan yang buruk bagi AI dan Id yang juga terlibat sebagai pelaksana lapangan aksi Bom Bali. Pertengkaran bukan saja bersifat verbal dan adu argumen, tetapi juga dengan menondongkan senjata ke teman sendiri, dan penyebabnya karena hal-hal sepele. Bagi subyek penelitian yang terlibat dalam aksi tersebut, seperti AI dan Id hal itu kerapkali menimbulkan perasaan tidak nyaman di hati. Seharusnya perdebatan karena hal-hal sepele tidak perlu terjadi karena merusak semangat dan motivasi tim untuk melaksanakan amaliyah istisyhad dalam persepsi mereka. Berbagai bentuk perpecahan dan silang pendapat di antara para aktivis gerakan Islam garis keras menimbulkan benih keraguan pada sebagian anggota. Misalnya, NA menunjukkan secara eksplisit bahwa perpecahan yang terjadi di dalam tubuh Jamaah Islamiyah membuatnya ragu-ragu terhadap arah perjuangan para seniornya, walaupun akhirnya hilang ditelan waktu. Poin penting yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah bahwa benih keraguan terhadap kelompok telah muncul sejak lama, tetapi keraguan tersebut muncul-tenggelam seiring perjalan waktu. Ketidakharmonisan hubungan interpersonal di kalangan pelaku teror dan anggota Jamaah Islamiyah di antaranya disebabkan oleh kecenderungan persaingan dan klaim senioritas di antara mereka. Misalnya, AA menegaskan bahwa persaingan di antara anggota Jamaah Islamiyah pasti ada karena saat itu organisasi ini memiliki dana yang sangat banyak, baik dari sumbangan anggota ataupun para donatur. UP juga mengiyakan hal itu dan menegaskan bahwa persaingan di dalam suatu kelompok tidak bisa dihindari apalagi untuk organisasi seperti Jamaah Islamiyah. Tabel 11 Konflik interpersonal Subyek Pernyataan atau pengalaman konflik AI Pengalaman konflik tentang lagu jahiliah (dangdut, pop dan lain-lain) dengan IS Id Penegasan tentang adanya konflik interpersonal sampai pada tingkat menggunakan senjata atau kekerasan NA Pernyataan tentang konflik interpersonal, baik pada level pimpinan maupun anggota JI, yang membuatnya tidak nyaman. AA Persaingan karena memperebutkan kedudukan dan status di antara anggota Jamaah Islamiyah pasti ada karena fasilitas mewah dari JI UP Penegasan tentang adanya konflik interpersonal sampai pada tingkat yang mengganggu hubungan
Berdasarkan tabel 11 dapat dikatakan bahwa konflik interpersonal terjadi dengan beragam tingkatan, mulai dari konflik interpersonal tentang hal-hal yang sepele seperti musik sampai pada konflik interpersonal yang terjadi karena memperebutkan jabatan, status dan fasilitas dari Jamaah Islamiyah. Kontak dengan outgroup. Kontak yang intensif dengan anggota outgroup ternyata memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan keyakinan pelaku teror tentang konsep musuh. Pengalaman salah satu petinggi Jamaah Islamiyah berinteraksi dengan Non Muslim atau Kristiani di dalam penjara telah mengubah pandangannya tentang Kaum Kristiani. Dalam sebuah wawancara dengan reporter TV Mumria yang berbahasa Arab, NA mengungkapkan bahwa ia mengubah cara pandangnya tentang Non Muslim terutama tentang Kaum Nasrani setelah berinteraksi dengan dua pribadi Nasrani di dalam penjara. Ia begitu terkesan dengan sikap dan tingkah laku kedua tokoh Gang Coker terhadap dirinya. Menurutnya, kedua orang Nasrani itu sangat baik, simpatik dan banyak membantu dirinya dalam banyak hal sehingga mengubah cara pandangnya tentang Kaum Nasrani. 24
Pengalaman yang hampir sama juga dialami oleh subyek penelitian yang lain yaitu AI. Perubahan cara pandang seperti ini dialami oleh AI setelah ia banyak berinteraksi dengan aparat keamanan seperti Densus 88 Mabes Polri maupun para petugas penjara di mana ia ditahan. Id juga bercerita bagaimana interaksinya dengan non Muslim saat di penjara dan pengalamannya sebagai sopir taksi yang membawa turis Barat termasuk orang Australia membuka pikirannya bahwa mereka tidak seburuk yang ada di dalam pikirannya selama ini. Interaksi yang intensif dengan pihak lain termasuk kepolisian ternyata juga memberikan kesan positif tersendiri sebagaimana yang dialami NA. Pada mulanya NA dipenuhi oleh prasangka dan sikap permusuhan terhadap aparat kepolisian, karena di dalam pikirannya telah terbentuk persepsi bahwa mereka adalah musuh yang harus dilawan. Kebaikan dan keramahan aparat kepolisian membua hatinya luluh, apalagi ia merasakan mereka sangat menghargai dirinya sebagai kaum jihadis yang berpikir jernih dan anti teror atau kekerasan sebagaimana yang ia nyatakan. AA yang pernah bertugas sebagai dai Jamaah Islamiyah di Australia bercerita bagaimana ia bergaul dengan orang Barat dalam tugas dakwah dan taklimnya. AA bercerita, kontak dengan orang Barat yang non Muslim di Australia adalah sesuatu yang biasa ia lakukan. Bahkan, banyak dari orang bule yang memilih menjadi muallaf . UP juga menyatakan hal yang kurang lebih sama. Bertemu dengan banyak pribadi dari berbagai kelompok membuatnya menyadari bahwa keragaman itu anugerah Allah yang harus dihadapi dengan rasa syukur. UP menyatakan ia tidak membenci Kaum Nasrani atau Barat tetapi yang ia benci kaum Yahudi karena mereka telah menguasai Palestina secara tidak sah. Kontak dengan orang lain di luar kelompok dapat digambarkan sebagaimana tabel atau matrik di bawah ini. Tabel 12. Kontak dengan outgroup Subyek Bentuk Kontak NA Kontak dengan polisi Kristen dan narapidana Kristen AI Kontak dengan polisi Kristen dan napi Non Muslim AA Kontak dengan orang Barat dan Non Muslim dari berbagai bangsa Id Kontak dengan narapidana non Muslim dan orang Barat UP Kontak dengan non Muslim
Tempat atau waktu Tahanan dan penjara Rutan Narkoba Mapolda Jaya Saat menjadi dai Jamaah Islamiyah di Australia Saat ditahan di penjara dan saat menjadi sopir taksi di Pekanbaru Di penjara
Berdasarkan tabel 12 dapat dikatakan bahwa kontak dengan orang lain di luar kelompok berlangsung dalam berbagai konteks situasi dan tempat seperti saat pemeriksaan oleh aparat kepolisian non Muslim, saat di dalam penjara dengan narapidana non Muslim, dan saat di luar penjara dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Pengembangan Teori Proses penelitian ini diakhiri dengan mengembangkan teori yang menjelaskan tentang dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror pada pelaku teror di Indonesia. Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror di Indonesia dijelaskan dalam bentuk gambar atau skema sebagaimana berikut ini.
25
Gambar. 2. Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror G. Pembahasan Hasil Penelitian Kategori Meninggalkan Jalan Teror Meninggalkan jalan teror terdiri dari tiga kategori. Pertama, tetap merasa sebagai anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak penggunaan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan ideologis. Kedua, keluar dari Jamaah Islamiyah dan melakukan gerakan deradikalisasi atau penyadaran untuk tidak melakukan klaim jihad dengan menggunakan kekerasan. Ketiga, tidak menyatakan secara jelas apakah keluar dari Jamaah Islamiyah atau tetap bertahan, tetapi menolak cara-cara kekerasan seperti aksi bom massal.Jika merujuk kepada teori Horgan dan Bjorgo (2009) maka kategori pertama dan ketiga mencerminkan disengagement sedangkan kategori kedua mencerminkan deradikalisasi. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan teror, baik dalam arti meninggalkan ideologi atau meninggalkan cara-cara kekerasan. Ini bertentangan dengan kesimpulan Horgan (2009; 2011) yang menyatakan bahwa para pelaku teror yang berbasis ideologi Islam seperti Jamaah Islamiyah atau Al-Qaida hanya sampai pada tingkat meninggalkan kekerasan sedangkan ideologi negara Islam tetap dipertahankan. Proses Menuju Disengagement Evaluasi merupakan tema penting yang ditemukan dalam proses meninggalkan jalan teror. Evaluasi terbagi menjadi dua, yaitu evaluasi kelompok yang dilakukan oleh para pelaku teror yang terlibat langsung dalam eksekusi bom Bali 1, dan evaluasi individual dilakukan oleh semua anggota Jamaah Islamiyah, baik yang terlibat dengan bom Bali 1 maupun yang tidak terlibat dalam situasi dikejar dan ditangkap pihak kepolisian serta sorotan bahkan kecaman dari publik. Evaluasi kelompok dan individual sebagai temuan penting dalam penelitian psikologi teror secara eksplisit belum ada. Tetapi rasa kecewa sebagai akibat dari persepsi individual 26
terhadap dinamika organisasi dan pengalaman personal dikemukakan oleh Horgan (2009) dan Reinares (2011). Menurut peneliti, rasa kecewa dan persepsi negatif terhadap perubahan struktural, dinamika organisasi dan pengalaman personal adalah output dari proses evaluasi kelompok maupun evaluasi individual. Evaluasi sejumlah anggota Jamaah Islamiyah bahwa banyak kesalahan yang dilakukan pada tahap perencanaan dan eksekusi adalah faktor penting yang menghantarkan para pelaku kepada penyesalan atas aksi teror pada kasus Bom Bali Tahun 2002 (Imron, 2010). Dalam bahasa Postmets dkk (2005), proses dan mekanisme ini disebut komunikasi intragroup (Postmes, Haslam, & Swaab, 2005; Saloom, 2012. Penyesalan dan rasa bersalah para teroris atas perbuatan destruktif di masa lalu menjadi petunjuk awal bahwa mereka memungikinkan untuk meninggalan jalan teror. Disebutkan oleh Garfinkel (2007) dan Jacobson (2010) bahwa penyesalan adalah titik permulaan bagi para teroris dan kaum radikal untuk memasuksi fase perubahan personal dari pribadi yang pro kekerasan menuju pribadi yang anti kekerasan dan pro perdamaian. Disebutkan pula oleh Horgan (2009) dan Harris (2010) penyesalan biasanya terjadi karena munculnya rasa kecewa terhadap banyak hal ketika seseorang berada di dalam kelompok teror. Dari perspektif teori identitas sosial, perasaan bersalah dan berdosa muncul karena telah melukai ingroup sendiri yaitu umat Islam yang diklaim sebagai kelompok yang dibela oleh para teroris (Tajfel & Turner, 1986). Melukai apalagi membunuh orang Islam sama saja dengan melukai dan membunuh diri sendiri. Jika alasan mereka melakukan aksi teror adalah untuk menunjukkan pembelaan; utk melakukan balas dendam atas penderitaan mereka akibat ulah kaum kafir maka bagaimana alasan mereka jika yang membuat umat menderita dan terluka adalah mereka sendiri? (Saloom, 2012). Penjelasan di atas diperkuat oleh penelitian Mackie dan Smith (2002) yang menyimpulkan bahwa individu dapat mengalami emosi-emosi tertentu karena kepentingan ingroup yang terganggu (Castano E., 2011). Di antarnya karena mempersepsi telah menyakiti saudara sendiri sesama umat Islam. Alih-alih melakukan pembelaan terhadap kepentingan umat Islam justeru dalam persepsi publik, mereka melukai perasaan sesama umat karena merenggut jiwa sebagian mereka dan mencemarkan nama Islam dengan tindakan mereka yang destruktif. Hal ini erat kaitannya dengan dukungan publik terhadap terorisme dan kekerasan politik (Pyszczynski, Abdollahi, Solomon, Greenberg, Cohen, & Weise, 2009; Levin S. , Henry, Prato, & Sidanius, 2009; Sidanius, Henry, Pratto, & Levin, 2009) Dalam penelitian ini, disebutkan ada dua alasan penting mengapa jihad dilarang, yaitu Indonesia bukan wilayah konflik dan belum tiba saatnya berjihad karena Indonesia masih menjadi dominasi umat Islam. Hali ini juga menyiratkan bahwa semangat jihad tidak hilang dari para pelaku teror. Hal itu menurut dugaan peneliti karena ajaran jihad tercantum secara eksplisit di dalam Al-Quran maupun Hadis sehingga tidak mungkin seorang Muslim akan menghilangkan konsep itu dari pikirannya (Amirsyah, 2012). Oleh karena itu, Amirsyah menegaskan ajaran jihad tidak mungkin dihapuskan oleh siapapun. Sementara itu, Azuzi (In press) menegaskan bahwa jihad tidak boleh dilakukan tanpa mengikuti ketentuan para ulama. Pemahaman para mantan pelaku teror dan atau anggota gerakan Islam garis keras di Indonesia setidaknya dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga pemahaman atau keyakinan. Pertama, pemahaman jihad sebagai perang (al-qital) tetapi harus memenuhi syarat dan ketentuan. Dalam hal ini, setiap orang bertanggungjawab untuk melakukannya. Dalam bahasa fikih (bagian dari hukum Islam), hal itu disebut fardhu ain. Kedua, pemahaman dan keyakinan yang sama dengan yang pertama tetapi tidak semua orang bertanggungjawab melakukannya atau hukumnya fardhu kifayah. Ketiga, pemahaman jihad bukan hanya sebatas berperang tetapi juga pemahaman lain di luar perang seperti berjihad untuk menafkahi keluarga. Perdebatan tentang konteks jihad juga berhubungan dengan konsep “musuh jauh dan musuh dekat” dalam perspektif kelompok Islam radikal di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Disebutkan oleh Schmitt (2008) bahwa konsep musuh jauh merujuk kepada Negara Barat sedangkan musuh dekat merujuk kepada pemerintah negara setempat. Ramakrishna (2009) menyatakan bahwa dalam konteks Jamaah Islamiyah Indonesia, musuh jauh adalah Amerika Serikat dan musuh dekat adalah penguasa NKRI yang kerapkali dianggap sebagai thogut. Kategori musuh dekat bukan hanya meliputi pemerintah NKRI tetapi juga pemerintah negara27
negara kawasan Asia Tenggara seperi Filipina atau Malaysia (Chalk, Rabasa, Rosenau, & Piggott, 2009). Pihak pendukung “amaliyah jihad” di luar ketentuan fikih dianggap berfaham agama dangkal dan bahkan bertentangan pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang jihad, ulama yang kerapkali menjadi rujukan kaum salafi jihadis (Bayyah, 2007). Itulah mengapa cara memperjuangkan Islam yang relevan dengan ruang dan waktu di Indonesia adalah jalur dakwah dan taklim. Secara umum, dakwah dan taklim ala salafi menjadi pilihan utama karena ada hubungan yang kuat antara kaum jihadis dan dakwah wahabi-salafi (Wiktorowicz, 2005; 2006). Tentang sikap terhadap outgroup, penelitian ini memperlihatkan terjadinya perubahan pandangan pelaku teror, dari homogenitas yaitu cara melihat non Muslim terutama kaum nasrani sebagai orang-orang yang seragam dalam memusuhi Islam, menjadi heteroginitas yaitu cara melihat non Muslim sebagai orang-orang yang beragam dalam memperlakukan umat Islam. Pelaku teror yang semula membenci gereja dan Kaum Kristiani tanpa pemilahan karena dianggap tidak berhenti merencanakan pemufakatan jahat untuk menghancurkan Islam di Indonesia secara perlahan mulai bergeser menjadi sikap yang netral bahkan cenderung memilah-milah antara sesiapa yang memusuhi dan sesiapa yang bersahabat. Disebutkan oleh Brown dan Gaertner (2003) bahwa perubahan sikap terhadap ingroup atau outgroup bersifat dinamis. Kawan bisa menjadi lawan atau sebaliknya lawan bisa menjadi kawan (Jacobson, 2010; Garfinkel, 2007). Disebutkan pula oleh Garfinkel (2007), dinamika itu menggambarkan proses transformasi personal pada pelaku teror. Transformasi personal disebabkan oleh beragam faktor sebagaimana pada pelaku teror di kelompok lain, misalnya Kelompok ETA di Spanyol (Reinares, 2011). Disebutkan oleh Reinares (2011), faktor-faktor itu meliputi faktor pengalaman personal, faktor dinamika organisasi dan faktor perubahan struktural dengan persepsi subyektif sebagai konsep kunci. Temuan penelitian memperlihatkan ada gejala atau kecenderungan outgroup homogenity pada anggota kelompok teroris. Outgroup homogentiy adalah kecenderungan seseorang untuk menganggap homogen atau sama semua anggota kelompok lain tanpa mampu memilih dan memilah mana anggota yang relevan dan tidak relevan dengan masalahnya (Hogg & Abrams, 1998; Saloom, 2012). Dalam konteks teori identitas sosial, kecenderungan ini terjadi manakala identifikasi seseorang terhadap kelompok sendiri sangat kuat, tetapi di sisi lain, sikap permusuhan terhadap kelompok lain juga tidak kalah kuatnya. Para ahli psikologi sosial penganut teori identitas menyebutnya dengan mekanisme “ingroup favoritism and outgroup homogenity” (Descamps, Claude, & Devos, 1998; Hogg & Abrams, 1998; Haslam, Reicher, & Reynolds, 2012) yaitu kecenderungan menganggap baik dan indah semua yang ada pada kelompok dan anggota kelompok sendiri, tetapi sebaliknya ada kecenderungan menganggap buruk dan dosa, semua hal yang terkait dengan kelompok lain. Poin penting yang relevan dengan tema disertasi ini adalah bahwa kecenderungan outgroup homogenity atau ketidakmampuan membedakan mana kawan dan mana lawan mengakibatkan dampak yang luar biasa dan mempengaruhi munculnya rasa bersalah dan berdosa. Dinamika Relasi Sosial dan Meninggalkan Jalan Teror. Ada tiga motivasi atau penyebab meninggalkan jalan teror yaitu faktor personal, faktor organisasi dan faktor sosial. Pergeseran identitas kelompok menuju identitas personal pada subyek penelitian ditemukan dengan indikasi berkurangnya kebanggaan sebagai anggota atau petinggi Jamaah Islamiyah, di satu sisi, dan kecenderungan membanggakan diri sendiri di sisi lain. Dalam penelitian disertasi ini, ada kecenderungan subyek penelitian menonjolkan identitas personal dibandingkan identitas sosial sebagai anggota atau petinggi Jamaah Islamiyah. Penonjolan identitas personal atas identitas sosial merupakan indikasi bahwa pengaruh dan motivasi kelompok tidak lagi sekuat sebelumnya. Perubahan identitas dan motivasi berbasis kelompok menjadi identitas dan motivasi berbasis personal diindikasikan oleh keinginan dan kecenderungan membantu pemerintah atau aparat kepolisian dalam melawan terorisme serta terlibat dalam berbagai agenda deradikalisasi (Jacobson, 2010; Rabasa, Pettyjohn, & Jeremy J. Ghez, 2010). Dalam literatur radikalisme Islam termasuk di Indonesia, penguasa yang tidak menerapkan sistem pemerintahan Islam dan menggunakan sistem demokrasi ala Barat dianggap 28
sebagai thogut (pengusa zalim) yang wajib diperangi (Baasyir, tanpa tahun; Ghazali, 2011; Solahudin, 2011). Penguasa thogut dianggap sebagai musuh dekat yang harus diperangi sebelum memerangi musuh jauh seperti Amerika dan sekutu-sekutunya (Solahudin, 2011; Ramakrishna, 2009). Persepsi dan pikiran semacam itu diinternalisasi oleh anggota kelompok radikal melalui proses indoktrinasi yang berlangsung lama dan bertahap sehingga pada titik tertentu menjadi doktrin dan motivasi kelompok yang tidak mudah dihilangkan (Moghaddam, 2007; Sagemen, 2004; Milla, 2009). Jika perilaku yang ditunjukkan berbanding terbalik dengan perilaku yang umumnya ditunjukkan anggota kelompok ekstrimis Islam dalam konteks kerjasama melawan teror maka hal itu berarti terjadi pergeseran identitas yang bersifat kelompok menuju identitas yang bersifat personal. Dalam perspektif teori identitas sosial, ketika identitas yang berbasis sosial menonjol maka anggota kelompok mungkin akan memperlihatkan kesamaan emosi dan merespon secara emosional peristiwa-peristiwa yang relevan dengan kemauan dan kesejahteraan kelompok walaupun secara personal ia tidak merasa nyaman dengan peristiwa-peristiwa tersebut (Baumeister & Finkel., 2010; Hogg, Abrams, Otten, & Hankle, 2004; Ellemers, Spears, & Doosje, 2002). Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa penolakan awal subyek penelitian terhadap keinginan dan rencana kelompok untuk melakukan aksi Bom Bali dikalahkan oleh keharusan memperlihatkan kesamaan emosi, pikiran dan tindakan pribadi dengan kelompok sehingga mekanisme psikologis tersebut memaksa dirinya untuk ikut dan terlibat dalam aksi tersebut. Oleh karena itu, jika individu berhasil melepaskan diri dari jeratan identitas kelompok maka ia telah berhasil membebaskan diri norma dan aturan kelompok. Dalam teori identitas sosial, hal ini bisa dijelaskan dengan model interaktif pembentukan identitas. Model ini meletakkan relasi interpersonal dan intrapersonal sebagai konsep penting yang dapat mempengaruhi dinamika identitas. Jika komunikasi interpersonal dengan orang-orang tertentu menonjol maka pikiran dan perasaan mereka akan sangat mempengaruhinya, sebaliknya jika komunikasi intrapersonal yang menonjol maka pertimbangan individual akan lebih dominan (Saloom, 2012; Postmes, Haslam, & Swaab, 2005). Jika dilihat dari perspektif teori identitas sosial, kecenderungan pelaku teror menyalahkan beberapa ide dalam memilih target pengeboman menunjukkan bahwa ia tidak lagi satu identitas. Artinya, terjadi pergeseran lokus identitas dari sosial ke personal. Subyek tidak lagi merasa terikat dengan cara pandang kelompok dalam melihat target dan sasaran jihad (Postmes & Jetten, 2006; Saloom, 2012; Knipperberg, 2000; Schneider, George, Carroll, & Middleton, 2011).Dengan logika terbalik dapat dikatakan, jika kepentingan peribadi didahulukan atas kepentingan kelompok maka identitas personal lebih menonjol dibanding identitas kolektif. Konflik nilai personal dan nilai kelompok menjadi temuan penelitian yang menarik. Nilai yang dianut secara personal kerapkali bertentangan dengan nilai yang dianut kelompok. Perubahan keyakinan dan sikap menunjukkan perubahan nilai keagamaan dari radikal menuju moderat (Ashour, 2011; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011; Barret & Bokhari, 2008). Disebutkan bahwa bersikap moderat dan mengurangi komitmen terhadap penggunaan kekerasan adalah esensi dari pengertian deradikalisi (Ashour, 2011; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011; Kruglanski, Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014). Dengan demikian, semakin personal nilai yang dianut seseorang maka ia semakin terbebas dari jebakan nilai kelompok. Jika terjadi perubahan keyakinan dan sikap terhadap pemerintah yang thogut, misalnya menjadi positif, dan berlanjut dengan ikut berpartisipasi aktif dalam program deradikalisasi maka hal itu berkaitan dengan perubahan nilai atau perspektif, dari nilai dan perspektif kelompok menjadi nilai personal (Christensen, Rothgerber, Wood, & Matz, 2004; Cragin & Daly, 2004; Postmes, Haslam, & Swaab, 2005; Cragin K, 2007; Milla, 2009). Salah satu faktor penting yang mendorong seseorang keluar dari kelompok adalah inkonsistensi kelompok atau anggota kelompok dalam menerapkan nilai, norma dan ideologi kelompok. Inkonsistensi tersebut seringkali menimbulkan perselisihan pendapat dan konflik interpersonal yang tinggi di antara anggota kelompok (Demant, Slootman, Buijs, & Tillie, 2008). Wright (1988) dan Skonovd (1988) sebagaimana dikutip Demant dkk (2012) menyebutkan bahwa konflik interpersonal mengenai banyak hal, baik hal kecil maupun hal besar, yang terjadi dalam suatu kelompok dapat memicu keraguan anggota terhadap misi dan tujuan 29
kelompok yang kemudian berlanjut dengan kekecewaan. Pada titik tertentu kekecewaan tersebut melahirkan keputusan meninggalkan kelompok (Demant, Slootman, Buijs, & Tillie, 2008; Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes, 2012). Disonansi antara pikiran dan perasaan dialami para teroris. Ada dua elemen informasi yang saling bertabrakan yang membuat mereka tidak nyaman secara kognitif. Ketidaknyamanan pikiran inilah yang menjadi faktor penting terjadinya behavioral disengagement pada kasus ekstrim kanan di daratan Eropa yang dikaji oleh Demant dkk (Demant, Slootman, Buijs, & Tillie, 2008) Merujuk kepada Teori Disonansi Kognitif dari Festinger (1957), pernyataan bahwa pelaku teror merasa tidak nyaman karena melihat orang lain bersikap dan bertingkah laku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan ideologi yang dianut kelompok. (Gawronskia & Strack, 2004). Oleh karena motif dasar manusia adalah konsistensi personal, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain, maka manusia secara psikologis akan selalu berusaha mengejar konsistensi kognitif dengan mengubah sikap, mengubah tingkah laku atau kepentingan personal terhadap objek sikap (Gawronskia & Strack, 2004). Dalam rangka meraih konsistensi kognitif dilakukan perubahan sikap terhadap misi kelompok dan selanjutnya mengubah tingkah laku mereka dengan meninggalkan cara teror yang menjadi pilihan kelompok (Jacobson, 2010). Hal penting yang perlu dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah perbedaan dalam memahami konsep dan penerapan jihad. Perbedaan ini menggambarkan adanya proses deideologisasi jihad. Bagi anggota Jamaah Islamiyah yang masih radikal, jihad adalah tugas abadi sebagai konsekuensi dari keyakinan tentang thoifah manshurah. Tetapi bagi anggota Jamaah Islamiyah yang mengalami deideologisasi, jihad itu bukan tugas abadi. Jihad tergantung kebutuhan dari sisi tempat dan waktu. Penelitian Post (2007) menemukan bahwa pemikiran keagamaan yang fundamentalis dan ideologi kebencian yang dipelihara dari satu generasi ke generasai berikutnya terbukti menjadi bahan bakar penggerak teror (Post, 2007). Bjorgo (2002) mengemukakan bahwa hilangnya kepercayaan terhadap ideologi dan politik kelompok atau pergerakan merupakan salah satu alasan kenapa muncul keinginan meninggalkan kelompok. Kehilangan kepercayaan terhadap ideologi dan politik kelompok menimbulkan keraguan dan anggapan keliru terhadap jalan yang ditempuh (Bjorgo & Horgan, 2009). Biasanya keyakinan itu berubah setelah meninggalkan kelompok sehingga hal itu dapat dikatakan sebagai akibat sekaligus penyebab meninggalkan kelompok (Bjørgo, 2002; Jacobson, 2010). Hilangnya daya tarik ideologi sebagai penyebab keputusan meninggalkan jalan teror cukup menonjol. Demant, Slootman, Buijs, dan Tillie (2008) menjelaskan bahwa ideologi dan cita-cita kelompok yang tidak menarik lagi bagi para pelaku teror menunjukkan bahwa komitmennya kepada organisasi dan ideologi penegakan negara khilafah menurun. Temuan Bjorgo (2009) tentang hilangnya daya tarik ideologi dan cara kerja gerakan pada anggota NeoNazi sebagai pemicu meninggalkan kelompok nampaknya juga terjadi pada Jamaah Islamiyah Indonesia pimpinan ABB. Keputusan subyek penelitian meninggalkan kelompok dipengaruhi oleh persepsinya bahwa anggota Jamaah Islamiyah salah dalam memahami jihad dan penerapannya. Cara pandang subyek ini sama dan sesuai dengan pandangan Bayyah (2007) seorang ulama yang menulis tentang “al-irhab (teroris). Bayyah (2007) menjelaskan bahwa jihad bukan untuk menyerang dan menghancurkan penganut agama lain tetapi sebagai bentuk pembelaan ketika umat Islam diserang orang lain. (Bayyah, 2007/1428H). Dalam pandangan para mantan jihadis yang menjadi subyek penelitian ini, jihad di jalan Allah bukan hanya untuk membunuh tetapi memiliki tujuan yang mulia, salah satunya adalah untuk memberantas kemusyrikan. Selain itu, jihad fi sabilillah harus memenuhi syarat dan rukun jihad sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai kitab fikih jihad karangan para ulama yang muktabar (Harian Jawa Pos Edisi 18 Desember 2007). Meyer dan Alien (1997) serta Harris (2010) menyebut hal ini sebagai gejala penurunan komitmen normatif terhadap organisasi dengan indikator penolakan terhadap cara segelintir anggota Jamaah Islamiyah yang menggunakan kekerasan membabi-buta dan pengeboman untuk mencapai tujuan yang cenderung mengarah kepada tujuan pribadi, bukan tujuan kelompok. (Meyer & Alien, 1997; Harris, 2010)
30
Disebutkan oleh Harris (2008), salah satu indikasi hilangnya komitmen organisasi pada pelaku teror adalah keyakinan bahwa apa yang dilakukan kelompoknya salah dan oleh karena itu ia harus keluar agar tidak terjerumus di dalam kesalahan yang besar. Disebutkan pula oleh Demant, Slootman, Buijs, & Tillie(2008) dan Harris (2010) bahwa variabel komitmen dapat menjelaskan kenapa seseorang meninggalkan jaringan terorisme. Munculnya persepsi negatif terhadap apa yang dilakukan kelompok atau organisasi menunjukkan terjadinya penurunan komitmen organisasi yang bersifat normatif (Meyer & Allen, 1997). Penurunan komitmen normatif terhadap kelompok organisasi ditandai dengan beberapa indikator yaitu hilangnya daya tarik ideologi, perubahan sudut pandang pribadi terhadap ideologi, masa depan yang diinginkan tidak tercapai dan penolakan terhadap cara-cara yang digunakan kelompok dalam mencapai tujuan (Harris, 2010). Disebutkan oleh Meyer dan Allen (1997) bahwa komitmen terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu komitmen afektif, kontinyuan dan normatif. Komitmen afektif merujuk kepada kelekatan emosi individu dengan organisasi, komitmen kontinyuan merujuk kepada keinginan untuk bertahan atau keluar dari organisasi biaya hidup dan ganjaran yang diperoleh, sedangkan komitmen normatif menggambarkan perasaan diwajibkan bertahan dalam organisasi. Disimpulkan dari studi Cronbach dan Meehl (1955) serta penelitian Mobley (1977) bahwa komitmen berhubungan dengan pikiran meninggalkan jalan teror. Individu dengan posisi yang tinggi lebih kecil kemungkinan keluar dari pekerjaan dibandingkan individu dengan posisi rendah (Blau, 1985) Hasil penelitian menunjukkan ada empat tahap konflik pemimpin-pengikut yaitu terbentuknya persepsi negatif pengikut terhadap kelompok, hilangnya kepercayaan terhadap pemimpin, polarisasi dan keriuhan kelompok, dan situasi kelompok yang berlangsung tanpa kontrol pemimpin. Tidak disangsikan lagi bahwa konflik pemimpin-pengikut berpengaruh terhadap tingkah laku pengikut (Cheng, 2003; Schneider, George, Carroll, & Middleton, 2011; Haslam & Platow, 2001; ) termasuk dalam proses radikalisasi (Milla, Faturochman, & Ancok, 2012) dan deradikalisasi (Bjorgo, Danselaar, & Grunenberg, 2009). Persepsi anggota terhadap pemimpin berperan penting dalam proses deradikalisasi dan disengagement. (Reinares, 2011) menjelaskan bahwa persepsi personal pelaku teror terhadap pemimpin dan bagaimana pemimpin menjalankan roda organisasi berdampak besar terhadap pilihan meninggalkan jalan teror. Jacobson (2010) mempertegas bahwa para pelaku teror lebih memilih menjadi mantan dibandingkan bertahan di dalam jaringan teror, salah satu diantaranya karena persepsi negatif terhadap senior dan pimpinan yang tidak konsisten dan ketegasan pemimpin. Harris (2010) menganggap hal itu sebagai bentuk kegagalan pemimpin dalam mengelola organisasi. Selain karena kegagalan dalam memimpin, Harris juga menyinggung kompetisi dan persaingan di antara anggota kelompok dalam memperebutkan posisi tertentu juga menjadi penyebab muncul kekecewaan terhadap gerakan. Haslam dkk (2012) melihat bahwa ketidakmampuan pemimpin mengelola anggota terjadi karena anggota merasa memiliki identitas ingroup yang tidak sama dengan pemimpin. Ketidaksamaan identitas ditunjukkan oleh pikiran, perasaan dan tingkah laku yang berbeda antara satu orang dengan orang lain dalam kelompok yang sama(Haslam & Platow, 2001). Kritikan atas ketidaktegasan pemimpin seperti yang disampaikan subyek penelitian utama dan sejumlah subyek penelitian sekunder, dalam bahasa Disley dkk (2012) merupakan salah satu faktor penting yang mendorong munculnya keinginan untuk keluar dari kelompok atau organisasi ekstrim dan teroris(Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes, 2012). Konsistensi seorang pemimpin merupakan syarat penting jika organisasi Jamaah Islamiyah diinginkan tetap bertahan dan mampu mencapai tujuan yang dimaksudkan bersama oleh semua anggota. (Abbas, 2005). Gejala semacam itu jika merujuk kepada konsep Meyer dan Ailen menggambarkan ada masalah dengan komitmen afektif para anggota terhadap organisasi (Meyer & Alien, 1997). Komitmen afektif yang terganggu dalam konteks kajian psikologi terorisme diindikasikan oleh kegagalan pemimpin dalam mengelola organisasi dan anggota-anggotanya agar bisa bergerak dalam satu irama yang menggambarkan kesamaan identitas dan tujuan yang hendak dicapai. (Harris, 2010). Kekecewaan terhadap kelompok terutama terhadap pemimpin dan senior kelompok merupakan indikasi penting kohesivitas kelompok yang bermasalah pada kasus kelompok radikal dan pelaku teror (Horgan, 2009). Disebutkan oleh Borden dan Horowitz (2002) jika deskripsi 31
tugas sebagai konsekuensi dari posisi setiap orang di dalam kelompok dilanggar dan diabaikan maka itu menandakan ada masalah dalam hal relasi sosial dan tugas kelompok. Menurut Imron (2010) dan Abbas (2005) kombinasi pemahaman agama yang keras dan kepemimpinan yang lemah menimbulkan dampak yang tidak baik terhadap organisasi dan anggota-anggotanya. Akibatnya, pemimpin mengalami kesulitan dalam mengontrol anggota disebabkan oleh identifikasi kelompok yang melemah (Hogg, Abrams, Otten, & Hankle, 2004). Sejumlah penelitian berbasis Teori Identitas Sosial misalnya penelitian Haslam dan Platow (2007) menyimpulkan bahwa identitas sosial memediasi hubungan positif antara kepemimpinan dan tingkah laku organisasi (Schneider, George, Carroll, & Middleton, 2011). Dengan kata lain, jika kepemimpinan suatu kelompok baik dan diterima semua anggota maka tingkah laku anggota organisasi akan menjadi baik, terkontrol dan mudah diatur. Sebaliknya jika kemimpinan dalam suatu kelompok buruk, misalnya tidak tegas dan tidak konsisten, maka anggota akan sulit untuk dikontrol karena mereka tidak percaya dengan kepemimpinan yang ada (Hogg, 2001). Disebutkan dalam literatur psikologi sosial bahwa kohesivitas kelompok ditandai dengan keterikatan dan kekompakan satu anggota kelompok dengan anggota kelompok lainnya. Kohesivitas kelompok adalah suatu proses multi-facet, kendati demikian, setidaknya komponen utama kohesivitas terdiri dari empat hal: relasi sosial, relasi tugas, persepsi kesatuan dan emosi (Kuppens & Yzerbyt, 2012; Brown & Gaertner, 2003; Borden & Horowitz, 2002). Hubungan interpersonal merupakan determinan penting yang mempengaruhi proses kelompok termasuk apakah seseorang akan tetap bertahan di dalam kelompok atau meninggalkannya (Baumeister & Finkel., 2010). Disebutkan dalam model sosialisasi pembentukan kelompok dari Moreland and Levine’s (1982), sosialisasi mewarnai proses kelompok. Jika sosialisasi berjalan dengan baik maka eksistensi kelompok akan utuh tetapi sebaliknya, jika tidak berjalan dengan baik maka kelompok akan bubar atau pada derajat yang paling tinggi, anggota akan meninggalkan kelompok (Baumeister, 2010). Sosialisasi yang dimaksudkan Moreland Levine (1982) adalah bagaimana setiap anggota bisa menjalankan fungsinya sebagai anggota menyangkut kewajiban dan tanggungjawab termasuk dalam kontek hubungan interpersonal (Baumeister & Finkel., 2010). Disebutkan bahwa John Thibaut and Harold Kelley (1959) mengembangkan teori pertukaran sosial untuk menjelaskan bagaimana hubungan interpersonal mempengaruhi eksistensi kelompok melalui proses dan mekanisme psikologis seperti rasa suka, harmoni hubungan dan trust. Rasa suka dan hubungan yang harmonis di antara anggota kelompok dalam konteks kelompok kecil dapat mempengaruhi keutuhan kelompok. Sebaliknya, rasa suka dan ketidakharmonisan hubungan dapat mengancam keutuhan kelompok atau mendorong individu secara personal meninggalkan kelompoknya (Hogg & Vaughan, 2010; Baumeister, 2010). Hubungan interpersonal dalam kelompok ekstrim sangat mempengaruhi keputusan individu apakah akan tetap bertahan di dalam kelompok atau keluar untuk memilih jaringan lain (Jhonson, 2009; Ramakrishna, 2009). Disebutkan oleh Ramakrishna (2009) hal-hal kecil yang mengganggu hubungan interpersonal menjadi faktor penting yang mendorong munculnya rasa kecewa dan pilihan keluar dari kelompok. AI, salah satu pelaku tragedi Bom Bali menyebutkan dalam buku berjudul “Ali Imron Sang Pengebom” bagaimana senior tim melakukan hal-hal yang menodai kesucian gerakan sehingga menimbulkan benih keraguan terhadap para senior dan ideolog gerakan (Imron, 2010). Masalah hubungan interpersonal menjadi tem utama dalam kajian psikologi sosial (Hogg & Vaughan, 2010). Seorang anggota kelompok bisa saja mengalami rasa kecewa karena tindakan anggota kelompok yang lain sehingga mengubah pikiran dan perasaan yang semula positif menjadi negatif (Baumeister & Finkel., 2010). Disebutkan oleh Horgan (2009), rasa kecewa kerapkali terjadi dalam proses pergaulan di antara anggota kelompok radikal. Hal yang sama ditemukan juga oleh Reinares (2011) dalam penelitianya tentang kaum pemberontak ETA di Spanyol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontak dengan orang lain dalam berbagai seting seperti di penjara dengan aparat kepolisian dan narapidana yang non Muslim atau kontak dengan non Muslim terutama dengan Kaum Kristen dalam kehidupan sehari-hari menjelaskan mengapa subyek penelitian meninggalkan jalan teror. Ini sejalan dengan penelitian Allport (1956). Allport menggagas hipotesis kontak yang menyebutkan bahwa kontak dan komunikasi yang teratur 32
dengan anggota kelompok yang berbeda dapat mengurangi prasangka dengan syarat-syarat tertentu (Dixon, 2001). Hipotesis ini mendapatkan penguatan secara empirik dari banyak penelitian yang dilakukan para peneliti psikologi sosial dalam bidang kajian hubungan antarkelompok (Dixon, 2001; Dovidio, Gaertner, & Kawakami, 2003; Brewer, 2010; Hogg & Abrams, 1998). Sikap negatif seperti prejudice terhadap kelompok lain sangat mungkin berubah menjadi sikap positif seperti persahabatan jika terjadi kontak atau interaksi antarkelompok. Pernyataan ini menggambarkan apa yang dialami oleh salah satu subyek penelitian setelah mengalami interaksi atau kontak sosial yang intensif dan reguler dengan anggota kelompok lain yang sangat dimusuhi (Hogg, Abrams, Otten, & Hinkle, 2004). Umumnya para individu anggota kelompok ekstrimis Islam atau kelompok pelaku teror memandang negatif terhadap Non Muslim terutama Umat Nasrani. (Jamhari, 2005; Muluk & Sumaktoyo, 2010; Hasan & Abubakar, 2011; Al-Makassary, 2004). Cara memahami teks-teks keagamaan yang harfiah terutama menyangkut hubungan sosial bisa jadi akan berubah manakala seseorang mengalami pengalaman nyata yang menyenangkan dengan orang yang berbeda (Ji & Ibrahim, 2009). Pengalaman berinteraksi dengan orang yang berbeda dalam kondisi yang menyenangkan dan penuh persahabatan akan membuka wawasan sempit menjadi lebih terbuka sehingga menerima orang lain dengan baik (Hogg & Abrams, 1998; Brewer, 2010). Penolakan terhadap outgroup lebih disebabkan karena kurang informasi dan pengetahuan mengenai orang lain yang berbeda sehingga pikiran dan perasaan lebih didominasi oleh prasangka (Brown, 2010). Dengan demikian, semakin tinggi intensitas kontak dengan orang lain dari outgroup yang menjadi target maka semakin terbuka peluang untuk mengubah sikap permusuhan menjadi sikap persahabatan (Brewer & Gaertner, 2003). Jika merujuk kepada model kontak dan kategorisasi terutama dalam hal persilangan kategori (Brewer & Gaertner, 2003; Faturochman, 2008) sebagaimana dijelaskan sebelumnya maka pengalaman kontak yang dialami para pelaku teror mencerminkan persilangan campuran ingroup-outgroup atau outgroup-ingroup. Contoh, pengalaman NA yang mengalami kontak dengan Geng Coker yang Kristen sebagai contoh menggambarkan bahwa mereka ingroup dalam pengertian sama-sama sebagai warga binaan penjara yang tinggal satu sel tetapi mereka berbeda dalam hal agama dan keyakinan. Kontak outgroup dengan model persilangan kategori seperti ini dinilai cukup positif (Lihat Faturochman, 2008). Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bagaimana kekuatan lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Dalam pandangan Kurt Lewin, tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor intrapersonal dan interpersonal. Kurt Lewin membuat semacam rumusan bahwa tingkah laku seseorang adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan yang ia simbolkan dengan B = f (P, E). Itulah kekuatan relasi sosial (Baumeister & Finkel., 2010). H. Kesimpulan Peneliti menyimpulkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan teror. Meninggalkan jalan teror bukan berarti meninggalkan ajaran jihad. Setidaknya, ada tiga variasi meninggalkan jalan teror. Pertama, tetap menjadi anggota kelompok Islam garis keras tetapi menolak jika kekerasan dan teror digunakan untuk meraih tujuan ideologis. Kedua, keluar dari kelompok Islam garis dan memilih jalan lain yang berseberangan. Ketiga, tidak menunjukkan tanda-tanda tetap di dalam kelompok garis keras atau tanda-tanda keluar, tetapi menolak cara kekerasan dan aksi teror yang merugikan banyak orang tidak berdosa. Rasa bersalah dan penyesalan terjadi pada setiap pelaku teror yang menjadi subyek penelitian. Rasa bersalah itu semakin kuat muncul pada diri subyek setelah evaluasi kelompok dan individual dilakukan. Rasa bersalah menyangkut tiga hal yaitu jatuhnya korban tidak berdosa, penentuan jihad tanpa dasar pertimbangan keagamaan, dan tanggungjawab sebagai petinggi organisasi. Ideologi negara Islam bisa hilang dari alam pikiran para pelaku teror karena gagasan ini masih menjadi perdebatan di kalangan para aktivis gerakan Islam. Sementara ajaran jihad tidak bisa hilang karena ajaran jihad diyakini merupakan ajaran Islam yang memiliki dasar kuat di dalam Al-Quran dan hadis. Meninggalkan jalan teror didorong oleh tiga faktor yaitu faktor personal seperti rasa bersalah, menonjolnya identitas personal dan nilai personal; faktor organisasi seperti kecenderungan deideologisasi jihad, dan penurunan komitmen; dan faktor sosial seperti
33
konflik pemimpin-pengikut, konflik interpersonal, kontak dengan orang lain di luar kelompok sendiri (outgroup contact). Secara keseluruhan, proses meninggalkan jalan teror pada pelaku teror di Indonesia terutama yang menjadi subyek penelitian disertasi ini mengambarkan dinamika relasi sosial yang kuat menyangkut individu dengan dirinya sendiri (intrapersonal) individu dengan individu lain (interpersonal), individu dengan organisasi atau kelompok (intragroup), dan individu dengan masyarakat dalam konteks kehidupan sosial, politik dan budaya. I. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya maka peneliti merekomendasikan sebagai berikut: 1. Penelitian tentang pengalaman mantan teroris meninggalkan jalan teror perlu dikembangkan dengan mengeksplorasi pikiran dan perasaan yang muncul sebelum, sesaaat dan sesudah pilihan meninggalkan dilakukan. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi hambatan dan kendala psikologis yang dialami mantan kombatan. Dari hasil penelitian dan pengalaman berinteraksi dengan para kombatan dan terduga teroris, ada keinginan dan kecenderungan untuk meninggalkan jalan teror karena dianggap tidak tepat lagi sebagai alat atau metode berjuang di tengah penolakan umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Namun, terdapat banyak kendala dan hambatan yang dialami seperti penerimaan masyarakat dan kekhawatiran akan mengalami berbagai kesulitan dalam menjalankan kehidupan normal di tengah masyarakat, termasuk kesulitan ekonomi. Oleh karena itu, penelitian yang mengkaji sejauhmana hambatan-hambatan tersebut berpengaruh terhadap pilihan keluar dari jaringan teror perlu dilakukan. 2. Penelitian disertasi ini memperlihatkan betapa perasaan bersalah dan berdosa kepada Tuhan menjadi salah satu faktor pendorong disengagement pada subyek penelitian. Hal itu terjadi karena keyakinan bahwa membunuh orang yang tidak berdosa, baik Muslim maupun non Muslim sebagai dosa besar dan penyebab tidak masuk surga muncul ke permukaan kesadaran. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang memunculkan rasa takut Tuhan di kalangan pelaku teror. 3. Penelitian ini menemukan bahwa deideologisasi jihad yaitu perubahan pemahaman tentang thoifah manshurah yang dilekatkan kepada kepada diri sendiri dan kelompok juga menjelaskan mengapa pelaku teror meninggalkan jalan teror. Terkait dengan hal itu, perlu dilakukan penelitian secara psikologis tentang bagaimana jihad dan konsep thoifah manshurah membentuk identitas diri dan kelompok sebagai jihadis pilihan Tuhan yang ditugaskan berjihad sepanjang hayat. 4. Penelitian ini menemukan bahwa relasi intensif dengan orang lain terutama dengan orang lain di luar kelompok yang selama ini dianggap sebagai musuh dapat mengubah cara pandang dan keyakinan tentang kawan dan lawan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjut tentang outgroup contact pada pelaku teror atau anggota gerakan radikal dan ekstrimis Islam di Indonesia. 5. Di waktu yang akan datang perlu dilakukan penelitian psikologi teror dengan metode gabungan (mixed methods) dan melibatkan bukan hanya pelaku teror tetapi juga anggota kelompok Islam garis keras yang dianggap potensial menjadi pelaku teror dengan tehnik analisis canggih berbasis komputer seperti NVivo. DAFTAR PUSTAKA Abbas, N. (2005). Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. Abuza, Z. (2009). The rehabilitation of Jamaah Islamiyah detainees in South East Asia: a preliminary assessment. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 193-211). Oxon: Routledge. Alonso, R. (2009). Leaving terrorism behind in Nothern Ireland and the Basque Country: reassessing anti-terrorist policies and the peace processes. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 88-112). Oxon: Routledge. 34
Amirsyah. (2012). Meluruskan salah faham terhadap deradikalisasi: pemikiran, konsep dan strategi pelaksanaan. Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu. Ashour, O. (Autumn 2007). Lion tamed? An inquiry into the causes of deradicalization of armed Islamist movement: the case of the Egyptian Islamic group. The Middle East Journal, 61, 4, ProQuest Social Science Journal, hal. 596. Azuzi, H. b. (In press). Qadhaya al-irhab wa al-unf wa at-thatharruf fi mizan al-Quran wa assunnah. Maroko: Kulliyat As-Syariah Jamiah Al-Qarawiyyin Faas Maghrib . Balipostvideo. (2012). (7 Mei 2012) Sidang Bom Bali 2 sambil menangis, Umar Patek minta maaf. http://youtube.com/watch?v=4diBVXvl6hc. Bandura, A. (1990). Selective activation and mechanism of moral disengagement. Sosial Issues, Volume 46, No.1, 27-46. Barelle, K. (In press). Disengagement From Violent extrimism. Monash: Global Research Center. Barrett, R., & Bokhari, L. (2009). Deradicalization and rehabilitation programmes targeting religious terrorists and extrimists in the Muslim world: an overview. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 170180). Oxon: Routledge. Baumeister, R. F., & Finkel., E. J. (2010). Advanced Social Psychology : The State Of The Science. Oxford: Oxford University Press, Inc. Beg, S., & Bokhari, L. (2009). Pakistan: in search of a disengagement strategy. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 224-242). Oxon: Routledge. Bjorgo, T. (1999). How gangs fall apart: process of transformation and disintegration of gangs. Paper presented at the 51st Annual Meeting of the American Society of Criminology, 1720 November 1999. Didowload Januari 2012. Toronto Canada: American Society of Criminology. Blazak, R. (2001 ). White Boys to Terrorist Men: Target Recruitment of Nazi Skinheads. AMERICAN BEHAVIORAL SCIENTIST, Vol. 44 No. 6, February , 982-1000. Bloom, M. (2005). Dying to kill: the allure of suicide terror. New York: Columbia University Press. Bongar, B., Brown, L. M., Beutler, L. E., Breckenridge, J. N., & Zimbardo, P. G. (2007). Psychology of Terrorism. Oxford: Oxford University Press. Borum, R. (2008). Psychology of terrorism. Florida: University of Florida Press. Boucek, C. (2011). Extremist disengagement in Saudi Arabia: prevention, rehabilitation and aftercare. In R. Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin, Terrorist Rehabilation and CounterRadicalisastion: New Approach to Counter Terrorism (pp. 70-90). New York: Routledge. Brown, R. (2000). Social Identity Theory: Past Achievements, Current Problems, and Future Challenges. European Journal of Social Psychology 30 , 745-778. Buchan, N. R., Brewer, M. B., Grimalda, G., Wilson, R. K., Fatas, E., & Foddy, M. (n.d.). The role in social identity in global cooperation. in press. Castano, E., Leidner, B., & Slawuta, P. (2008). Social identification processes, group dynamics and the behaviour of combatants. International Review of Red Cross Volume 90 Number 870 June, 259-271. Choudhury, T. (2009). Stepping out: Supporting exit strategies form violence and extreme. Washington DC: Institute for Strategic Dialogue. Crenshaw, M. (2006). The war on terrorism: is the US winning? No name: Real Institut Elcano. Creswell, J. W. (2009). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. California: Sage Publication Inc. Cronin, A. K. (2009). How terroris campaign end. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorist Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 49-65). New York: Routledge. Davis, J. M. (2002). Countering international terrorism: perspectives from international psychology. In C. E. Stout, The Psyhcology of Terrorism: Program and Practices in Response and Prevention. volume Four. (pp. 33-56). Westport CA: Praeger. Demant, F., & Graaf, B. D. (2010). How To Counter Radical Narratives:Dutch Deradicalization Policy in the Case of Moluccan and Islamic Radicals. Studies in Conflict & Terrorism 33 DOI: 10.1080/10576101003691549, 408–428. 35
Dovidio, J. F. (2013). Bridging intragroup processes and intergroup relations: Needing the twain to meet. British Journal of Social Psychology, 52 , 1–24. Drummond, J. T. (2002). From the northwest imperative to global jihad: Social psychological aspects of the construction of the enemy, political violence, and terror. In C. E. Stout, The Psychology of Terrorism: A Public Understanding (pp. 49-98). Westport CT: Praeger Publisher. Ekici, S. (2009). Needs and membership in terrorist organizations. Dissertation prepared for the degree of Doctor of Philosophy. Nort Texas: University of North Texas. Enders, W., & Sandler, T. (2000). Is transnational terrorism becoming more threatening? Journal of Conflict Resolution Vol 44 No. 3 June 2000, 307-332. Faturochman. (2008). Model-model psikologi kebhinekatunggalikaan dan penerapannya di Indonesia. Jurnal Psikologi Indonesia No. 1, 61-72. Fink, N. C., & Hearne, E. B. (2008). Beyond terrorism: deradicalization and disengagement from violent extremism. London: International Peace Institute. Forest, J. J. (2006). Exploring root causes of terrorism: An introduction. In J. J. Forest, The Makng of A Terrorist: Recruitment, Training and Root Causes (pp. 1-16). West Port: Praeger Security International. Forest, J. J. (2009). Static and interactive frames of terrorism analysis. Paper prepared for the CATO Institute Confrence, "Shaping the New Administration's Counterterrorism Strategy," January 12, 2009. West Point: CATO Institute. Garfinkel, R. (2007). Personal transformations: moving from violence to peace. Washington DC: United States Institute of Peace. Ghazali, K. (2011). Mereka Bukan Thagut: Meluruskan Salah Paham Tentang Thagut. Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu. Ginges, J., Hansen, I., & Norenzayan, A. (2009). Religion and Support for Suicide Attacks. Psychological Science Volume 20, No. 2, 224-230. Glaser, B. G., & Strauss, A. L. (2006.Cetak Ulang). The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research,. London: Aldine Transaction. Goertzet, T. G. (2002). Terrorist beliefs and terrorist lives. In C. E. Stout, The Psychology of Terrorism: A Public Understanding (pp. 97-112). Westport CT: Praeger Publisher. Goulding, C. (2002). Grounded Theory: A Practical Guide for Management, Business and Market Researchers. London: Sage Publication. Group, I. C. (2008). Indonesia: Industri Penerbitan Jamaah Islamiyah, Asia Report No. 147, Februarti 2008. Brusssel: International Crisis Group. Gunaratna, R., & Ali, M. B. (2009). Deradicalization initiatives in Egypt: Preliminary insight. Studies in Conflict an Terrorism, 32:277-291 DOI:10.1080/10576100902750562. Gunaratna, R., & Hassan, M. F. (2011). Terrorist rehabilitation: the Singapore experience. In R. Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin, Terrorist Rehabilitation and Counter-Radicalisation: New Approach to Counter Terrorism (pp. 36-58). New York: Routledge. Gvineria, G. (2009). How does terrorism end? In P. K. Davis, & K. Cragin, Social Science for Counterterrorism: Putting the Pieces Together (pp. 257-291). Santa Monica CA: Rand Corporation. Hafez, M. M. (2006). Political repression and violent rebellion in the Muslim world. In J. J. Forest, The Making of A Terrorist: Recruitment, Training and Root Causes (pp. 74-91). West Port: Praeger Security International. Hall, R. E. (2003). A note on September eleventh: the Arabization of terrorism. The Social Science Journal 40 , 459-464 doi:10.1016/S0362-3319(03)00042-9. Hamm, M. S. (2009). Prison Islam in the age of sacred terror. Brit. J. Criminol, 49, 667-685; doi:10.1093/bcj/azp035. Harigrove, F., & Mcleod, D. M. (2008). Circle drawing toward high risk activism: the use of Usrah and Halaqa in Islamist radical movement studies. Journal of Conflict and Terrorism (31), 399-411. Harris, K. J. (2010). Review: Disillusionment with Radical Social Groups. Australian Counter Terrorism Conference (pp. 30-39). Perth Western Australia: Edith Cowan University.
36
Haslam, S. A., & Platow, M. J. (2001). The Link Between Leadership and Followership: How Affirming Social Identity Translates Vision Into Action. PSPB, Vol. 27 No. 11, November , 1469-1479. Hogg, M. A. (2001). A social identity theory of leadership. Personality and Social Psychology Review , Vol. 5, No. 3, 184–200. Homans, K. J., & Boyatzis, C. J. (2010). Religiosity, Sense of Meaning, and Health Behavior in Older Adults. The International Journal for the Psychology of Religion, 20:, 173–18. DOI: 10.1080/10508619.2010.481225. Hood, R. W., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The psychology of religion : an empirical approach. New York: The Guilford Press. Hood, R. W., Jr., P. C., & Williamson, W. P. (2005). The Psychology of Religious Fundamentalism. New York: Guilford Press. Horchem, H. J. (1991). The decline of the red army faction. Terrorism and Political Violence, Volume 3, Issue 2, 1991, 61-74, http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09546559108427104. Horgan, J. (2005). The Psychology of Terrorism. New York: Routledge. Horgan, J. (2011). Disengagement from terrorism. Journal of Personality and Social Psychology, 56. Horgan, J., & Braddock, K. (2010). Rehabilitating the terrorists?: challenges in assessing the effectiveness of deradicalization programs. Terrorism and Political Violence, 22:2, 267291 DOI 10.1080/09546551003594748. Hornsey, M. J. (2008). Social identity theory and self-categorization theory: A historical review. Social and Personality Psychology Compass 2/1, 204-222. Huddy, L. (2001). From social to political identity: A critical examination of social identity theory. Political Psychology, 22 No. 1 Maret 2001, 127-156. Hudson, R. A. (1999). The sociology and psychology of terrorism: who becomes a terrorist and why? Washington DC: Federal Research Division, Library of Congress. Husein, E. (2007). The Islamist. London: Penguin Books. Hussein, M. E., Hirst, S., Salyers, V., & Osuji, J. (2014). Using grounded theory as a method of inquiry: Advantage and disadvantage. The Qualitative Report Volume 19 How to Article 13, 1-15. Hwang, J. C. (2015). The Disengagement of Indonesian Jihadists: Understanding the Pathways. Terrorism and Political Violence, 1-9. DOI: 10.1080/09546553.2015.1034855. Jacobson, M. (2010). Terrorist dropouts: learning from those who have left. Washington: The Washington Institute for Near East Policy. Jhonson, A. K. (2009). Assesing the affectiveness of deradicalization programs on Islamist extrimists. Monterey California: Naval Postgraduate School. Jones, M., & Alony, I. (2011). Guiding the use of grounded theory in doctoral studies -an example from the Australian film industry. International Journal of Doctoral Studies Volume 6, 95-114. Kelly, R. E. (2008). From the global war on terror to containmen: an opinion brief. Perspectives on Terrorism, Volume II, Issue 4, Februari 2008, hal. . Krueger, A. B. (2007). What makes a terrorist : economics and the roots of terrorism : Lionel Robbins lectures. New Jersey: Princeton University Press. Kruglanski, A. W., Chen, X., Dechesne, M., Fishman, S., & Orehek, E. (2009). Yes, No, and Maybe in the World of Terrorism Research: Reflections on the Commentaries. Political Psychology, Vol. 30, No. 3, 401-417. Kruglanski, A. W., Gelfand, M. J., & Gunaratna, R. (2011). Aspects of deradicalisation. In R. Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin, Terrorist Rehabilitation and Counter Terrorism: New Approaches to Counter Terrorism (pp. 135-145). New York: Routledge. Kuppens, T., & Yzerbyt, V. Y. (2012). Group-based emotions: The impact of social identity on appraisals, emotions, and behaviors. Basic and Applied Social Psychology 34, 34-20 DOI: 10.1080/01973533.2011.637474.
37
Lankford, A. (2010). Do suicide terrorist exhibit clinically suicidal risk factors? A review of initial evidence and call for future research. Aggression and Violent Behavior 15, 334-340. Larrick, R. P., & Bolles, T. L. (1995). Avoiding regret ini decisions with feedback: A negotiation example. Organizational Behavior and Human Decision Process Vol. 63 No. 1 July, 8797. Levin, B., & Amster, S.-E. (2003). An analysis of the legal issues relating to the prevention of nuclear and radiological terrorism. American Behavioral Scientist, Vol. 46 No. 6 February 2003, 845-856. Loo, R. (2002). Belief in a just world: support for independent just world and unjust world dimensions. Personality and Individual Differences 33 , 703-711. Lutz, J. M., & Lutz., B. J. (2005). Terrorism : origins and evolution. New York: PALGRAVE MACMILLAN™. Maio, G. R., & Haddock, G. (2007). Attitude Change. In A. W. Kruglanski, & E. T. Higgins, Social Psychology: Handbook of Basic Process (pp. 565-586). New York: The Guilford Press. Manstead, A. S. (2010). The social psychology of emotion. In R. F. Baumeister, & E. J. Finkel., Advanced social psychology : the state of the science (pp. 101-137). New York: Oxford University Press, Inc. Marsella, A. J., & Moghaddam, F. M. (2004). The origin and nature of terrorism: Foundations and issues. Journal of Aggression Maltreatment & Trauma Vol 9 No. 1/2, 19-31 DOI: 10.1300/J146v9n01_02. Marshal, M. G. (2002). Global terrorism: an overview and analysis. Maryland: Center for Systemic Peace. McCauley, C. (2007). Psychological issues in understanding terrorism and the response to the terrorism. In B. Bongar, L. M. Brown, L. E. Beutler, J. N. Breckenridge, & P. G. Zimbardo, Psychology of Terrorism (pp. 13-31). Oxford: Oxford University Press. Mccauley, C., Scheckter, S., College, B. M., & Mawr, B. (2008). What's Special about U.S. Muslims? The War on Terrorism as Seen by Muslims in the United States, Morocco, Egypt, Pakistan, and Indonesia. Studies in Conflict & Terrorism 31, 1024–1031 DOI: 10.1080/10576100802400193. McCormick, G. H. (2003). Terrorist decision making. Annu. Rev. Polit. Sci. 2003. 6, 473-507. Mendelson, M. E. (2008). A systems understanding of terrorism with implication for policy. A dissertation presented in partial fulfillment of the requirement for the doctor degree of philosophy . Akron: The Graduate Faculty of The University of Akron. Merari, A. (2009). Academic research and government policy on terrorism. Terrorism and Political Violence, 13 (4), hal. 1-14. Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1990). The measurement and antecedents of affective continuance and normative commitment to the organization. Journal of Occupational 63, 23-35. Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. Los Angeles: Sage Publication. Milla, M. N., Faturochman, & Ancok, D. (2012). The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers. Asian Journal of Social Psychology, 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007. Mirahmadi, H., & Farooq, M. (2010). A community based approach to countering radicalization: a partner for America. Washington DC: World Organization for Resource and Education Development. Moghadam, A. (2006). The roots of terrorism. New York: Infobase Publishing. Moghadam, F. M., Taylor, D. M., Lambert, W., & Schmidt, A. E. (1995). Attribution and discrimination: A studi of attribution to the self, to the group and to external factors among Whites, Blacks and Cubans in Miami. Journal of Cross Cultural Study Vol. 26 No.2, March , 209-220. Morris, M., Eberhard, F., Reviera, J., & Watsula, M. (2010). Deradicalization: A review of the literature with comparison to findings in the literatures on deganging and deprograming. Durham: Institute for Homeland Security Solutions. Muluk, H. (2009, September 2 ). Teroris kambuh? Majalah Gatra , p. 106. 38
Nauman, P. R. (2010). Prisons and terrorism: radicalisation and deradicalisation in 15 countries. London: ICSR & START. Noricks, D. M. (2009). Disengagement and deradicalization: processes and programs. In P. K. Davis, & K. Cargin, Social Science for Counterterrorism: Putting the Pieces Together (pp. 299-320). Santa Monica CA: Rand National Defense Research Institute. Oakes, P. (2003). The root of all evil in intergroup relation?: Unearthing the categorization process. In R. Brown, & S. Guartner, Intergroup process. Oxford: Blackwell Publishing. Pettigrew, T. F., & Tropp, L. R. (2006). A meta-analytic test of intergroup contact theory. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 90, No. 5, 751-783 DOI: 10.1037/00223514.90.5.751. Phillips, P. J., & Pohl, G. (2011). Terrorism, identity,psychology and defence economics. International Research Journal of Finance and Economics, Issue 77, 102-113. Pillar, P. R. (2006). Superpower foreign policy: A source for global resentment . In J. J. Forest, The Making of A Terrorist: Recruitment, Training and Root Causes (pp. 31-44). West Port: Praeger Security International. Porta, D. D. (2009). Leaving underground organizations: a sociological analysis of the Italian case. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 66-77). Oxon: Routledge. Post, J. M. (2007). The key role of psychological operations in countering terrorism. In J. J.F.Forest, Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: International Perspectives, Volume 1-3 (pp. 380-396). Westport: Praeger Security International. Postmes, T., & Jetten, J. (2006). Individuality and the Group: Advances in Social Identity. London: Sage Publication. Pranowo, M. B. (2011). Orang Jawa Jadi Teroris. Jakarta: Penerbit Alvabet. Prislin, R., & Crano, W. D. (2008). Attitude and attitude change: The fourth peak. In W. D. Crano, & R. Prislin, Attitude and Attitude Change (pp. 3-18). New York: Psychology Press. Rabasa, A., Pettyjohn, S. L., & Jeremy J. Ghez, C. B. (2010). Deradicalizing Islamist extrimist. Santa Monica CA: RAND. Ralph W. Hood, J., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The Psychology of Religion: An empirical Approach. The Guilford Press: New York. Ramakrishna, K. (2005). Delegitimizing global jihadi ideology in Southeast Asia. Contemporary Southeast Asia, 27. 3; ProQuest Social Science Journals, pages 343-369. Rao, H., Davis, G. F., & Ward, A. (2000). Embeddedness, social identity and mobility: Why firms leave the Nasdaq and join the New York Stock Exchange. Administrative Science Quarterly, Vol. 45 No. 2 Juni , 268-292. Rapaport, D. C., & Alexander, Y. (1982). The Morality of Terrorism: Religious and Secular Justifications. New York: Pergamont. Reich, W. (2009). Understanding terrorist behavior: the limits and opportunities of psychological inquiry. In J. Victoroff, & A. W. Kruglanski, The pyschology of terrorism: classic and contemporary insight (pp. 23-34). New York: Psychology Press. Reinares, F. (2011). Exit from terrorism: A Qualitative empirical study on disengagement and deradicalization among members of ETA. Terrorism and Political Violence 23, 780-803 DOI: 10.1080/09546553.2011.613307. Ribetti, M. (2009). Disengagement and beyond: a case study of demobilization in Colombo. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 152-169). Oxon: Routledge. Roberts, N., & Everton, S. F. (2010). Strategies for combating dark networks. Journal of Social Structure. Volume 12, 1-32.Ross, J. I. (2006 ). Will terrorism end? New York: Infobase Publishing. Sagemen, M. (2004). Understanding terror network. Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania Press. Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia. Jakarta: Alvabet & Lakip. Schrimshaw, E. W., & Siegel, K. (2003). Perceived Barriers to Social Support from Family and Friends among Older Adults with HIV/AIDS. Journal of Health Psychology, Vol 8(6) 738–752; 038241. 39
Schwartz, S. J., Dunkel, C. S., & Waterman, A. S. (2009). Terrorism: an identity theory perspective. Journal of Studies in Conflict and Terrorism (32), 537-559 DOI: 10.1080/10576100902888453. Seager, P. (2014). Social Psychology: A Complete Introduction . London: Hodder & Stoughton. Sidanius, J., Henry, P., Pratto, F., & Levin, S. (2009). Arab attribution for the attack on America: the case of Lebanese subelites. In J. Victoroff, & A. W. Kruglanski, The Psychology of Terrorism (pp. 269-279). East Sussex: Psychology Press. Silke, A. (2009). Cheshire-cat logic: the recurring theme of terrorist abnormality in psychological research. In J. Victoroff, & A. W. Kruglanski, The Psychology of Terrorism: Clasic and Contemporary Insight (pp. 95-108). New York: Psyhcology Press. Sinai, J. (2008). How to definie terrorism. Perspektives on Terrorism, Volume 2, Issue 4, hal. . Smelser, N. J., & Mitchel, F. (2002). Terrorism: Perspectives from the behavioral and social sciences. Washington DC: The National Academic Press. Solahudin. (2011). NII sampai JI: salafi jihadisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu. Steven, G. C., & Gunaratna, R. (2004). Counterterrorism: A reference handbook. California: ABC-CLIO, Inc. Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. In S. Worchel, & W. G. Austin, Psychology of Intergroup Relations (pp. 7-24). Illinois: Nelson-Hall Inc. Taspinar, O. (2009). Fighting radicalism, not terrorism: Root causes of an international actor redefined. SAIS Review, Vol XXIX No. 2, 75-86. Taylor, M. (2010). Is terrorism a group phenomenon? Aggression and Violent Behavior, 15, 121129. Tim Penulis Lazuardi Birru. (2011). Kutemukan Makna Jihad. Jakarta: Lazuardi Birru. Ungerer, C. (2011). Jihadists in jail: Radicalisation and the Indonesian prison experience. Canbera: Australian Strategic Policy Institut. Victoroff, J., & Kruglanski, A. W. (2009). Psychology of Terrorism. New York: Psychology Press. Wessels, M. (2002). Terrorism, social justice, and peace building. In C. E. Stout, The psychology of terrrorism: program and practices in response and prevention (pp. 57-76). Westport CT: Praeger. White, J. B., Langer, E. J., Yariv, L., & IV, J. C. (2001). Frequent social comparison and destructive emotions and behaviors: the dark side of social comparison. Journal of Adult Development Vol. 13 No. 1 March 2001. DOI: 10.1007/s10804-006-9005-0, 36-44. Wiktorowicz, Q. (2006). Anatomy of Salafi Movement. Studies in Conflict and Terrorism (29), 207-239. doi: 10.1080/10576100500497004. Worchel, S. (1986). The role of cooperation in reducing intergroup conflict. In S. Worchel, & W. G. Austin, Psychology of Intergroup Relation (pp. 288-304). Chicago: Nelson-Hall Publisher.
40
RIWAYAT HIDUP Identitas Personal Nama :
Gazi, S.Psi. M.Si
Tempat/Tgl Lahir
Mataram Lombok, 14 Desember 1971
Pekerjaan
Dosen
Alamat Rumah
Jl. Pasar Jengkol Kampung Curug Rt. 05 Rw. 01 No.21 Babakan Setu Tangerang Selatan
Alamat Kantor
Fakultas Psikologi UIN Jakarta Jl. Kertamukti 5 Ciputat Tangerang Selatan
Telp Kantor
021-7433060
HP:
08128480195
Email
[email protected] atau
[email protected]
Keluarga Nama
Hubungan
Pekerjaan
Ummu Athiyah, S.Psi
Isteri
Guru
Averrous Saloom
Anak Pertama
Siswa SMP/Mts Kelas 2
Imtiyazussaomi Saloom
Anak Kedua
Siswi SD Kelas 5
Fawwaz Muluki Saloom
Anak Ketiga
PAUD
Riwayat Pendidikan Tinggi Tahun Perguruan Tinggi
Jurusan/Prodi
1991-1994
LIPIA Jakarta (Non gelar)
Bahasa Arab dan Ilmu Keislaman
1995-2000
Fakultas Psikologi UIN Jakarta (S.Psi)
Program Studi Psikologi
2001-2004
Program Magister Sains Fakultas Psikologi UI Depok (M.Si)
Psikologi Sosial
41
Pengalaman Penelitian Tahun Judul Penelitian
Jenis Hibah
Sumber Dana
2015 Transformasi Personal Pada Mantan Pelaku Kriminal
Penelitian Publikasi Nasional
Puslitpen LP2M UIN Jakarta
2015 Efektivitas Penggunaan Dana BOS untuk Madrasah
Penelitian Evaluasi
Pusat Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Kemenag RI
2013 Dukungan Terhadap Kekerasan
Penelitian Individual
Lemlit UIN Jakarta
2012 Toleransi Beragama di Lampung 2011 Dari Orang Biasa Menjadi Teroris: Kajian Psikologi Terorisme
Pusat kehidupan keagamaan Balitbang Kemenag RI Penelitian Kelompok
Lemlit UIN Jakarta
2010 Infiltrasi Radikalisme Penelitian hibah di Masjid: Studi Kasus kerjasama CSRC UIN di Bogor Jakarta dan Yayasan Lazuardi Birru
CSRC UIN Jakarta dan Yayasan Lazuardi Birru
2010 Pengaruh Relijiusitas dan Self Efficacy Terhadap Komitmen Tugas Dosen
Lemlit UIN Jakarta
Penelitian Individual
Karya Ilmiah (Buku/Bagian Buku/Artikel) Tahun Judul Penulis 2014
Mengenal Teori-Teori Psikologi Sosial Kontemporer
2014
Bahasa dan Berpikir
2013
Pengantar Psikologi Politik
2013 2012
Melawan terorisme: Deradikalisasi atau Disengagement Psikologi Agama
Gazi Saloom
Gazi Saloom Gazi Saloom dan Ima Sri Rahmani Gazi Saloom
Gazi Saloom dan Faozah 42
Buku/Jurnal Buku diterbitkan oleh UIN Press Bagian dari Buku Psikologi Umum (F.Psi UIN Jakarta) Buku diterbitkan oleh UIN Press Jurnal Ilmiah Dialog Balitbang Kemenag RI, terakreditasi LIPI Buku diterbitkan oleh UIN Press
2012
2011
2010
Meninggalkan Jalan Teror : Perspektif Teori Identitas Sosial Hubungan MayoritasMinoritas Dalam Perspektif Psikologi Sosial: Studi Kualitatif di Bogor Pengantar Psikologi Sosial
Gazi Saloom
Bagian dari buku/proseding temu ilmiah nasional Ikatan Psikologi Sosial Indonesia Artikel Jurnal ilmiah Dialog, Balitbang Kemenag RI, terakreditas LIPI
Gazi Saloom
Ikhwan Lutfi, Gazi Saloom dan Hamdan Yasun
Presentasi di Forum Nasional dan Internasional Tahun Judul
Buku diterbitkan oleh UIN Press
Acara dan Penyelenggara
2015
Leaving Terrorism
Konfrensi Internasional Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, FISIP UIN Jakarta di Jakarta
2015
Dukungan atas Kekerasan
Temu Ilmiah Nasional, Ikatan Psikologi Sosial Indonesia dan Prodi Psikologi Universitas Udayana Bali
2014
Inkonsistensi Pemimpin Sebagai Penyebab Meninggalkan Jalan Teror
Temu Ilmiah Nasional, Himpunan Psikologi Indonesia di Menado Sulawesi Utara
2013
Leaving Terrorism in Psychological Perspective
Konfrensi Internasional, Asian Association of Social Psychology (AASP) dan Fakultas Psikologi UGM di Yogyakarta
2012
Meninggalkan Jalan Teror Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial
Temu Ilmiah Nasional, Ikatan Psikologi Sosial Indonesia dan Fakultas Psikologi UIN Syarif Qasim Pekanbaru di Pekanbaru
2011
Perilaku Sosial Dalam Islam
Seminar Nasional, Asosiasi Psikologi Islami dan Fakultas Psikologi UIN Jakarta di Ciputat
2010
Contact and Prejudice
Konfrensi Internasional, Asian Association of Indigenous Psychology dan Fakultas Psikologi UGM di Yogyakarta
43