Majalah
CIVITAS
Vol.11/Tahun 7/ November 2012
IMPERIALISME Majalaholeh CivitasLembaga | November 2012 Diterbitkan Pers Mahasiswa Media Center STAN
1
“
We shall defend our island, whatever the cost may be, we shall fight on our beaches, we shall fight on the landing grounds, we shall fight in the fields and in the streets, we shall fight in the hills, we shall never surrender.
“
Winston Churchill (1874-1965)
2
Majalah Civitas | November 2012
editorial
T
ak dapat dipungkiri, perekonomian kerap menjadi pintu gerbang segala hal. Dengan ekonomi, masyarakat saling terhubung satu sama lain. Berkat ekonomi, negara satu dan lainnya dapat bersahabat sekaligus saling mengeruk manfaat. Coba tengok sejarah Turki sebelum abad ketujuh belas. Saat itu, Turki merupakan sebuah negara dengan perekonomian yang mapan. Namun, lambat laun Turki mengalami kejatuhan sejak kedatangan bangsa Eropa pada abad ketujuh belas. Bukan penjajahan fisik yang memberangus bangsa itu. Perdaganganlah yang menjadi gerbang keruntuhan Kesultanan Turki. Sekian tahun sejak sejarah Kesultanan Turki bergulir, muncul sistem-sistem ekonomi yang kini diterapkan di negara-negara dunia. Liberaliskapitalis dan sosialis menjadi dua konsep utama. Namun pada praktiknya, tak ada negara yang benarbenar mutlak mendasarkan diri pada satu sistem ekonomi. Sebut saja Korea Utara yang mengaku menggunakan paham sosialis, tetapi ternyata sangat bergantung pada Rusia. Sekarang, Korea Utara pun menjadi lebih terbuka, semenjak Kim Jong-Il mangkat. Jadi, seberapa pentingkah sistem ekonomi bagi suatu negara? Membahas sistem ekonomi, membuat kita bertanya-tanya sistem ekonomi apa yang sebenarnya dianut oleh negara kita sendiri. Ada yang bilang Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila, yang tentunya berlandaskan sila-sila dalam Pancasila, dengan tujuan utama menyejahterakan rakyat. Namun, seiring perkembangan zaman, banyak yang mengatakan
Majalah Civitas | November 2012
bahwa kini ekonomi Indonesia cenderung liberal. Indonesia mencoba menjadi bangsa yang terbuka, tetapi nampaknya menjadi terlalu berlapang diri. Lihat saja persentase kepemilikan bangsa asing di lahan-lahan Indonesia. Bila angka tersebut terlalu sulit ditemukan, coba tengok kanan kiri. Sepertinya mudah menemukan barang-barang berlabel “made in negara X” di sekeliling kita. Fenomena hibah yang beberapa kali muncul di media pun kerap menimbulkan spekulasi. Struktur anggaran Indonesia sangat memungkinkan negara ini untuk terbuka pada uluran bantuan luar negeri, hibah salah satunya. Tanpa mengesampingkan manfaat hibah, kita tidak dapat membendung pertanyaan yang timbul kemudian: motif apakah yang ada di balik pemberian hibah oleh negaranegara sahabat tersebut? Membaca sekilas ragam informasi di atas, sejenak membuat bulu roma bergidik. Paradoks tentang ekonomi selalu menarik, apalagi jika dikaitkan dengan eksistensi negara berkembang macam Indonesia ini. Ditambah lagi, masyarakat Indonesia sekarangcenderung konsumtif terhadap produk asing dan lebih bangga terhadapnya ketimbang produk-produk dalam negeri. Dahulu, Bung Karno pernah risau akan kehadiran neokolonialisme-imperalisme di Indonesia. Akankah kekhawatiran itu terbukti? Menjadi hal yang penting bahwa generasi bangsa harus mulai mewaspadai kehadiran neokolonialisme-imperialisme di tengah negara ini. Akhir kata, di tengah masa penantian akan kejelasan masa depan kampus beserta para mahasiswa dan lulusannya, silakan menikmati suguhan kami. Selamat membaca!
3
DAFTAR ISI
liputan UTAMA
6
Terang dan Gelap
22
35
SELIDIK
37
OPINI obrolan BENGKEL
jalanJALAN
62
58
SATIRE
Oxford or New York?
Rumah Baru BEM STAN
Menerawang Nasib Tiga Angkatan
76
Menuju Politik 2014: Demokrasi atau Oligarki?
85
Tentang Lupa
KESEHATAN
BUDAYA
61 97
50
66
PSIKOLOGI
Untung Rugi Minuman Berenergi
27 96
Sekolah Pencetak Koruptor?
Harus Eksis Meski Dana Tipis
POLITIK
89
41
Menempa Mental Bersama Kopassus
69
SASTRA
Bertahan di Ujung Tanduk
english CORNER
EKONOMI
Di Genggaman Seorang Tentara Republik
Mengulik Organda Asal Madura
WAWANCARA
KAMPUS
78
28
MOTIF
The Creativepreneur, Helmy Yahya
Keindahan Laut Jawa dari Sudut Jepara
Izin Kusut Bisnis Waralaba
13 Spiral Sejarah Negeri Jajahan 17 Di Balik Hibah, Berkah atau
Musibah?
Personel Baru D’Cinnamons Bawa Hoki
45 Identitas Abu-abu 46 Menyelami Kesadaran 48 Masih Punya Akal Sehat 54 Mereguk Pesona
71
Menelusuri Esensi Sistem Ekonomi
LENTERA
Tradisionalisme Pasar Tradisional, Mulai Tergores Modernisasi
32
8
BIDIK
93
UUK Istimewakan Yogyakarta
Susunan
Pemimpin Umum Tri Hadi Putra Sekretaris Umum Novia Fatma Ratwindayanti Bendahara Umum Salsabila Ummu Syahidah Pemimpin Redaksi Sarah Khaerunisa Sekretaris Redaksi Ericha Utami Putri Redaktur Pelaksana Media Cetak Tendi Aristo Redaktur Pelaksana Media Siber Nadia Rizqi Cahyani Redaktur Bahasa Rizki Saputri Kepala Penelitian dan Pengembangan Muamaroh Husnantiya Manajer Produksi Tyas Tri Mur Wahyu Setyo Rini Staf Produksi Grandis Pradana M. Manajer Desain Grafis Annisa Fitriana Staf Desain Grafis Luthfian Hanif Fauzi Nomor Telepon: 085755572372 Pos-el:
[email protected] Laman: mediacenterstan.com
Redaksi
Penyunting Ericha Utami Putri Rizki Saputri Sarah Khaerunisa Layouter Annisa Fitriana Desain Cover Nadia Rizqi Cahyani Reporter Annisa Fitriana Ericha Utami Putri Muamaroh Husnantiya Nadia Rizqi Cahyani Novia Fatma Ratwindayanti Rizki Saputri Salsa Ummu Syahidah Sarah Khaerunisa Tendi Aristo Tri Hadi Putra Tyas Tri Mur Wahyu Setyo Rini Kontributor Chairul Azhar Diena Novianti Masruroh Erny Murniasih Fitriana Astuti Sida Nur Ariyanti Ilustrator Tri Hadi Putra Rizki Saputri Fotografer Muamaroh Husnantiya Nadia Rizqi Cahyani
lentera
Terang dan Gelap
I
a kehilangan penglihatannya sejak berusia empat tahun. Mulai saat itu, ia kecil harus membiasakan diri dengan hitam, dengan kegelapan. Ia harus belajar melihat segalanya dengan mata yang bukan sekadar indra penglihatan. Mata hati dan perasaan, ia harus mengasahnya kuat-kuat, untuk dapat menangkap potret dunia tempatnya berpijak.
gedung-gedung pencakar langit. Ketika kecepatannya ditambah, Viviera menjadi sangat ketakutan. Viviera lebih memilih untuk menutup matanya kembali daripada menyaksikan sekeliling. Benda-benda dirasa semakin dekat, semakin besar. Viviera merasa bendabenda sekitar akan menghampirinya, menerkam dan menabraknya.
Luc de Viviera, begitu Rhenald Kasali menyebut namanya dalam Re-Code Your Change DNA. Empat tahun pertama dalam hidup, ia masih dapat menyimpan memori tentang gambaran dunia. Setelahnya, seperempat abad bukanlah masa yang singkat bagi Viviera. Selama itu ia mesti membiasakan diri untuk bersahabat dengan gulita meski ia berada di sekeliling cahaya. Sepanjang itu, ia mesti belajar memvisualisasikan sendiri semua yang didengar, segala yang diraba, seluruh yang dihidu1), dan segenap yang dikecap.
Persepsi terhadap jarak dan kecepatan tidak dapat diambil begitu saja, sang ahli persepsi menyimpulkan. Viviera harus belajar ulang tentang itu seperti yang kita lakukan semasa kanak-kanak dulu.
Baru di usia yang sudah menapak angka tiga puluh, Viviera mendapat kabar gembira. Seseorang telah bersedia mendonorkan mata untuknya. Pada hari Viviera menerima kabar tersebut, sang malaikat pergi meninggalkan dunia untuk selamanya. Hingga pada hari itu pula, Viviera yang buta harus menjalani operasi untuk mendapatkan penglihatannya kembali. Berhasil, sukses. Viviera dapat melihat kembali setelah operasinya rampung. Tanpa harus berimajinasi, kini Viviera mampu menyaksikan seluruh isi bumi. Senang dan bahagia, itu pasti. Namun, tidak pada awalnya.
*** Orang-orang yang terbiasa “melihat” dalam gelap, ternyata butuh kekuatan ekstra untuk dapat menerima cahaya. Kisah Luc de Viviera menjadi sebuah analogi nyata bagi yang ingin melakukan hijrah dalam hidupnya. Bahwa menjemput kebaikan bukanlah suatu yang mudah. Pun untuk entas dari kubangan yang gelap, perjuangan berat menjadi syarat yang tak dapat ditawar. Kebiasaan menjadi zona nyaman tersendiri bagi setiap orang. Betapa pun anehnya menurut umum, seberapa pun tidak wajarnya di mata orang lain, jika suatu hal sudah menjadi rutinitas, ia akan menjadi sebuah kelaziman yang diterima oleh akal dan hati pelakunya. Habit, tidak menjadi masalah selama ia merangkul kebaikan. Namun ia akan menjadi petaka jika jalan beriring dengan keburukan. Bandit paling jahat sekali pun pasti butuh penyesuaian diri ketika pertama kali memasuki
Untuk mengamati perkembangannya, seorang ahli persepsi diminta menemani Viviera selama beberapa bulan. Laporan perkembangan mengatakan bahwa Viviera melewati hari-hari pertama penglihatannya dengan penuh ketakutan. Sebulan pertama bersama mata baru menjadi sebuah mimpi buruk bagi Viviera. Apa yang selama ini ia bayangkan dalam pikiran, ternyata berbeda dengan apa yang diterjemahkan oleh indra penglihatannya. Sang ahli persepsi bercerita. Suatu ketika ia dan Viviera sedang mengendarai mobil di antara
6
Majalah Civitas | November 2012
lentera dunia yang kelam. Nuraninya sebagai manusia, yang cenderung pada cahaya, harus bergulat dengan pikiran yang memerintahkan untuk masuk ke dalam gelap. Seperti Viviera kecil yang harus beradaptasi dengan kebutaannya. Yang membuat beda, Viviera tak punya pilihan selain hidup dalam kegelapan. Sementara penjahat, selalu punya pilihan: bertahan dengan cahaya atau menjerumus ke dalam gelap. Sementara orang lain cenderung gelisah jika dilingkup kegelapan, Viviera dengan otomatis merasakan nyaman di dalamnya. Hanya karena gelap sudah menjadi hal yang biasa. Hanya karena dirinya telah berhasil beradaptasi dengan tidak wujudnya cahaya. Begitu pula dengan penjahat atau bandit kelas kakap. Tersebab ia memilih jalan hidup yang kelam, berusaha beradaptasi dengannya, hal-hal yang buruk menjadi hal yang biasa. Nuraninya telah terbui jeruji besi penuh karat, hanya karena ia memutuskan untuk berkawan dengan jahat. Hanya karena ia membiarkan dirinya terbungkus jalan hidup yang gelap. Kehidupan selalu menawarkan pilihan bagi setiap jiwa. Gelap atau terang, bergantung pada keputusan setiap insan. Seperti kata Plato dalam kutipannya yang terkenal, “Maka benar jika dikatakan bahwa mata akal serupa dengan mata kepala. Dan barang siapa mengingat hal itu ketika menyaksikan orang yang penglihatannya kabur dan lemah, tidak akan serta-merta tertawa. Sebelumnya ia akan bertanya apakah jiwa lelaki itu berasal dari kehidupan yang lebih terang sehingga tidak dapat melihat dengan baik karena tak terbiasa dengan kegelapan, atau ia baru saja kembali dari kegelapan lalu memasuki hari yang cerah sehingga menjadi pening karena limpahan cahaya.” Gelap atau terang, hanya butuh adaptasi untuk bisa bersahabat dengan mereka. Keputusan ada di tangan pribadi masing-masing. Viviera telah bersahabat dengan keduanya; gelap, lalu terang. Keduanya butuh proses penyesuaian yang sama-sama sulit. Pun dengan setiap jiwa, berhak memilih apakah gelap atau terang yang menjadi dunianya. Dan dengan karunia berupa akal dan hati nurani, seharusnya setiap jiwa tidak akan sulit untuk menjaga kobaran keyakinan akan yang benar dan yang suci. *** Vokabuler: 1) Hidu: mencium, membaui. Majalah Civitas | November 2012
7
liput
IMPERIALISME Ada garis merah yang menghubungkan antara Turki, Uni Soviet, Korea, juga Amerika dengan pasar-pasar di jalanan sempit sekitar kita. Korea Selatan berhasil bukan karena kuasa tangan tak tampak. Turki jatuh bukan karena tentara-tentara yang berarak. Dan tak pernah ada bukti sejarah yang berkata bahwa bantuan "mereka" benar sekadar cuma-cuma. Bagaimana, Indonesia? Kemudian kita hanya bisa membandingkan satu per satu jejak sejarah yang katanya selalu berulang.
Reporter: Muamaroh Husnantiya Rizki Saputri Tri Hadi Putra
8
Majalah Civitas | November 2012
liput Washington Consensus 1. perdagangan bebas 2. liberalisasi pasar modal 3. nilai tukar mengambang 4. angka bunga ditentukan pasar 5. deregulasi pasar 6. transfer aset dari sektor publik ke sektor swasta 7. fokus ketat dalam pengeluaran publik pada berbagai target pembangunan sosial
Menelusuri Esensi Sistem Ekonomi “Without comparisons to make, the mind does not know how to proceed.” —Alexis de Tocqueville
8. anggaran berimbang 9. reformasi pajak 10. perlindungan atas hak milik dan hak cipta
S
ekitar 27 tahun yang lalu, kakak kandung Soe Hok Gie pernah menulis sebuah artikel ekonomi di harian Kompas. Soe Hok Djin, nama pria itu, berbicara mengenai dua sistem ekonomi yang saling membelakangi. “Kapitalisme atau Sosialisme, Pelajaran dari Dua Korea” begitu judul artikel tersebut.
dapat berjalan dengan lancar. Sedangkan di sisi lain, pendukung sosialisme beranggapan bahwa penyelenggaraan aktivitas ekonomi harus dilakukan dengan perencanaan negara, supaya tidak ada lagi kesenjangan antara miskin dan kaya. Teori ini juga sangat anti kepada bantuan luar negeri yang hanya membuat ketergantungan saja.
Waktu itu, Korea Utara dan Korea Selatan menjadi negara yang sangat menarik untuk dibandingkan, apalagi terkait dengan dua teori ekonomi yang saling menghujamkan mata pisaunya kepada satu sama lain. Korea Utara dengan sosialismenya dan Korea Selatan dengan kapitalismenya, menjadi lahan para pendukung teori masing-masing untuk mencari kelemahan satu sama lain, dan mengunggulkan teori yang didukungnya.
Pada akhirnya, artikel garapan Soe Hoek Djin tersebut meruncing kepada satu simpulan ironis. Korea Selatan ternyata tidak sekapitalis yang dibayangkan. Perkembangan ekonomi yang diperlihatkan oleh negara itu bukanlah sepenuhnya ulah tangan tak tampak ala Adam Smith, tapi lebih kepada pelaksanaan aktivitas ekonomi yang bersifat etatisme, alias dengan campur tangan negara yang besar.
Pendukung kapitalisme mengatakan bahwa hanya dengan mekanisme pasarlah, segalanya
Pun dengan Korea Utara, yang malah justru menderita “ketergantungan”, alergi terbesar
Majalah Civitas | November 2012
9
liput penganut sosialisme. Ternyata, industri-industri di Korea Utara masih harus dibantu oleh Rusia dalam hal teknis dan keuangannya. *** Perang Dingin yang terjadi pada tahun 1947—1991 seperti hanya memberikan dua pilihan pada dunia, sosialis-komunis yang didalangi oleh Uni Soviet atau ideologi liberalis-kapitalis yang digawangi oleh Amerika Serikat. Setelah perang tersebut usai dengan keruntuhan Uni Soviet di era 1991, ideologi liberalis-kapitalis kemudian berpenetrasi (sebagian orang menganggapnya “dipenetrasikan”) hampir di seluruh negara. Kekalahan perang yang diderita oleh Uni Soviet memang seakan memproklamasikan kepada dunia mengenai kekalahan sebuah ideologi: sosialis-komunis. Bahkan, sebelum kehancurannya, ideologi Uni Soviet dapat dikatakan telah terlebih dahulu runtuh, yakni saat Gorbachev, Pemimpin Uni Soviet periode 1985—1991, mencoba merampingkan komunisme di Uni Soviet lewat perestroika, sebuah gerakan restrukturisasi politik dan ekonomi. Dalam tulisan ini, sepertinya kita perlu mengerucutkan pembahasan hanya dalam lingkup sistem ekonomi. Kemudian melakukan simplifikasi penjabaran pada keempat ideologi tersebut: sosialis, komunis, liberalis, dan kapitalis. Sosialis dan komunis, walaupun adalah dua teori yang berbeda, pada dasarnya memiliki konsep yang sama. Kedua teori ini beranggapan
10
bahwa pemerintah harus ikut campur dalam keberlangsungan kegiatan di negaranya. Yang membedakan mereka adalah tingkat keekstreman, ideologi komunis lebih ekstrem daripada sosialis. Apalagi dengan anggapan yang jamak beredar, bahwa sistem kemasyarakatan sosialis adalah persiapan menuju bentuk yang komunis. Di sisi yang berbeda, liberalis-kapitalis, atau yang dalam frasa Perancis disebut laissezfaire, mengusung teori bahwa campur tangan pemerintah hanya akan merusak mekanisme pasar. Tugas negara bukanlah untuk mengintervensi agar distribusi kekayaan merata, bukan juga untuk menjadikan sebuah negara makmur atau untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan. Karena, menurut teori ini, semuanya itu seharusnya disandarkan pada sistem pasar (Adam Smith, The Wealth of Nation). Pasca perang dua ideologi, kondisi sistem ekonomi dunia pun masih seperti berada dalam bayang-bayang peperangan. Ibarat rantai yang menghubungkan dua bandul—ujung kanan dengan bandul kapitalis dan ujung kiri dengan bandul sosialis—posisi perekonomian sebuah negara kini seperti hanya terbatas di sepanjang rantai tersebut. Pilihannya hanya tinggal: cenderung sosialis, atau cenderung kapitalis. Teori mengenai sistem ekonomi pun berkembang, walaupun sepertinya hanya berupa turunan dari kedua teori tersebut. Sampai saat ini, di sekolah-sekolah atau dalam buku-buku pelajaran ekonomi dasar, kita juga hanya diajarkan tiga
Majalah Civitas | November 2012
liput pengelompokkan sistem ekonomi secara umum: sosialisme/etatisme, kapitalisme, atau campuran. Diselang zaman, dunia seperti tak banyak menyisakan tempat bagi sosialis untuk meninggalkan jejak. Negara-negara sosialis perlahan-lahan mulai melepas beberapa pakemnya. China, misalnya, yang sudah memakai sistem kapitalis dalam perekonomiannya—walaupun masih dengan regulasi pemerintah yang cukup ketat. Laos, satu dari sekian negara komunis yang tersisa, semenjak 1986 telah perlahan melepas kontrol ekonominya dengan mengizinkan perusahaan swasta berdiri. Lebih jauh, Laos merupakan salah satu anggota ASEAN dan diberitakan akan segera bergabung dengan World Trade Organization (WTO). Kuba dan Korea Utara, seperti yang banyak diberitakan di media, juga sudah mulai membuka diri. Seiring dengan adanya globalisasi dan teoriteori mengenai perdagangan bebas, pemakaian sistem laissez-faire berkembang di hampir seluruh negara. Memaksa negara untuk membuka diri, mengendurkan proteksi, dan menyerahkan nasibnya pada tangan tak tampak, salah satunya agar pertumbuhan ekonomi mereka tinggi. Dari sana, berbagai pertanyaan timbul. Apakah itu baik? Apakah itu buruk? Ulah siapa? Amien Rais dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia menceritakan bahwa dunia seperti terkena hipnotis globalisasi melalui tangan Ronald Reagan (Washington) dan Margaret Thatcher (London) pada akhir abad ke-20. Dengan adagiumnya, TINA (There is No Alternative), Reagan menggulirkan pemahaman bahwa tiada alternatif lain bagi dunia saat itu, kecuali globalisasi— termasuk di dalamnya interkoneksi ekonomi antarnegara. Washington Consensus dengan sepuluh rekomendasi ekonominya juga memicu kepercayaan dunia pada janji masa depan dunia yang lebih indah, dengan globalisasi. Para pendukung globalisasi berpendapat, globalisasi akan mengantarkan dunia kepada
keseimbangan ekonomi internasional, pemerintahan-pemerintahan yang bebas utang, pasar yang lebih berwibawa, serta kebahagiaan abadi yang diperoleh manusia yang berujung pada siklus sejarah yang akan patah, berakhir, dan akhirnya sejarah akan mati. Apalagi yang hendak diraih ketika kebahagiaan abadi sudah tercipta? “History will indeed be dead,” ungkap mereka, seperti yang tertulis pada The Collapse of Globalism karya penulis Kanada, John Ralston Saul. Kini, apa yang terjadi? Kita menyaksikan globalisasi semakin lusuh. Semakin jauh panggang dari api. Kesenjangan sosial-ekonomi—yang dikatakan dapat diatasi dengan globalisasi—makin menjadi. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh UNDP pada tahun 2000, memasuki tahun 1960, dua puluh persen penduduk paling kaya di dunia sudah mampu menguasai 70,2% kekayaan dunia. Sedangkan 20% penduduk paling miskin hanya kebagian 2,3% kue pendapatan saja. Penghujung tahun 1990, seperlima penduduk paling kaya itu sudah menikmati 86% kemakmuran dunia. Sedangkan seperlima yang paling miskin hanya bisa mengais-ngais 1% kemakmuran saja. Kini? Angka tersebut sudah menjadi 88% untuk seperlima orang terkaya, dan 0,85% untuk seperlima orang termiskin di dunia. Imperialisme ekonomi, yang menyusup di dalam globalisasi, lama-lama mulai memunculkan wujud aslinya. Tak Boleh Matang Seorang ekonom Jerman pernah memberikan gambaran mengenai kondisi perekonomian dunia dengan analogi atap rumah. Menggambarkan bahwa Barat menaiki atap rumah dengan tangga, dan kemudian, setelah sampai di atap, mereka menyembunyikan tangga tersebut. Menyuruh negara-negara berkembang dan tertinggal secara kemapanan menaiki atap rumah tanpa alat bantu apa pun. Begitulah kira-kira gambaran yang paling tepat akan kondisi perekonomian di dunia. Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi Kelembagaan Universitas Brawijaya,
Majalah Civitas | November 2012
11
liput dalam kesempatan wawancara dengan Civitas, menceritakan bahwa Inggris periode 1700—1800 menetapkan kebijakan proteksi besi dan baja dengan tarif hingga 400%. Tarif impor yang sangat mahal tersebut menjadikan industri dalam negeri makin berkembang. Proteksi tersebut dilakukan hingga mereka mapan, baru kemudian Inggris menerima keterbukaan dalam perekonomiannya terhadap negara lain. Di saat Inggris dan juga negara-negara maju lain butuh waktu untuk menguatkan perekonomian negaranya, mereka tidak memberi waktu kepada negara Dunia Ketiga untuk memperkuat kondisi perekonomiannya terlebih dahulu, sebelum melepas kondisi perekonomiannya ke pasar. Alhasil, walaupun banyak contoh keberhasilan dari negara yang meliberalisasi ekonominya, lebih banyak lagi yang tidak berhasil dan makin terseok-seok. Sistem Ekonomi, Penting? Selain pelajaran dari dua Korea seperti yang dipaparkan sebelumnya, mari kita lihat lompatan China dari yang tadinya penganut etatisme, kemudian perlahan mengadopsi ekonomi berbasis pasar, seperti yang pernah dibahas pada Majalah Civitas edisi 10 lalu, Literasi, dalam rubrik Ekonomi. China memang melakukan perubahan, tetapi perubahannya dilakukan secara gradual dan selektif. Masih banyak instrumen untuk melindungi negara mereka, misal dalam lalu lintas modal. Mereka tidak melakukan privatisasi secara eksesif. Perusahaan negara masih dijaga agar jangan sampai jatuh ke tangan swasta. China masih memiliki porsi yang cukup besar bagi pemerintah untuk mengatur. Lebih jauh, sistem kemasyarakatannya masih tetap komunis. Sistem ekonomi, penting atau tidak, rasanya malah tidak penting untuk dijawab. Korea Selatan yang sukses dengan pengaturan oleh negara, Korea Utara yang seharusnya mandiri dan malah sempat ketergantungan dengan Rusia, China yang melesat tanpa harus berbelit-belit antara sistem ekonomi dan kemasyarakatannya, sepertinya sudah mengajarkan kita banyak hal.
menurut Erani sudah terlalu liberal, agaknya harus mendefinisikan ulang arahan ekonominya. Komunisme telah “kalah” dan liberalisasi ekonomi tidak pernah menjamin kemakmuran sebuah negara. Mari kita lihat Buthan, satu-satunya negara yang mengukur kebahagiaan, bahkan memakai “Kebahagiaan Nasional Bruto” sebagai pengganti PDB. Seperti yang diungkapkan Raja Buthan saat menanggapi tudingan seorang wartawan dari Financial Times (Britania Raya) pada 1987, bahwa perkembangan perekonomian di Bhutan lambat, dia berkata, “Kebahagiaan Nasional Bruto lebih penting daripada Produk Domestik Bruto.” Uniknya, dalam survei terakhir yang diatur oleh Universitas Leicester di Britania Raya, Bhutan diurutkan sebagai tempat paling bahagia ke-8 di muka bumi. Liberalisasi ekonomi juga tidak menjamin sebuah negara dapat “diterima” dengan mudah oleh negara-negara pendahulunya. Tengok saja Turki, yang walau nyatanya sudah sangat terbaratkan dengan sekulerisasinya, masih ditolak penuh keraguan kala menginginkan masuk dalam Uni Eropa. Yang jelas, bagaimana caranya agar negara kita bisa resistan dari pengaruh dan dikte asing. Dapat menguatkan perekonomian (walaupun mungkin di antaranya dengan mematenkan dan menuangkan sistem ekonomi yang memang cocok untuk negara yang bersangkutan ke dalam sebuah aturan yang mengikat). Yang terpenting, menjadi mandiri sehingga nantinya, negara tidak mudah terbawa arus dan tetap fokus pada cita-cita pembangunannya.
Kita memang perlu untuk terus membandingkan kondisi-kondisi dan perputaran sejarah yang ada. Apa yang cocok dan apa yang tidak cocok diterapkan di kultur sebuah negara. Indonesia, yang
12
Majalah Civitas | November 2012
liput
Spiral Sejarah Negeri Jajahan
Pandangan bahwa penjajahan adalah akibat dari kekalahan dalam pertempuran fisik tak selamanya benar. Ada fragmen yang luput dari catatan, yang saat ini, sedang beranjak merepetisi.
Membaca Jejak Turki Jika sejarah dapat digambarkan sebagai jalan panjang dengan banyak simpang, maka tahun 1924 adalah persimpangan paling tajam yang dilalui masyarakat Turki. Jalan sejarah sepanjang tujuh abad harus dihentikan di banyak dimensi. Selain sistem hidup sekuler yang mulai dipaksakan, ekonomi pun menemui persimpangan baru dalam sistem dan pelakunya. Rupanya, perubahan ekonomi ini membawa pengaruh signifikan dalam proses imperialisme Turki saat itu. Seorang sejarawan keturunan Afghanistan yang bermukim di Amerika, Tamim Ansari, menuliskan analisisnya dalam buku Dari Puncak Baghdad tentang pengaruh ekonomi dalam kejatuhan Kesultanan Turki.
Majalah Civitas | November 2012
13
liput Tamim menggambarkan ada banyak kelompok masyarakat di Turki pada era kesultanan (kekhalifahan). Orang Yahudi yang berduyun-duyun datang dari Eropa. Selain itu ada komunitas Kristen Ortodoks Timur, komunitas Kristen Armenia, komunitas Islam Sunni, komunitas Islam Syiah, komunitas Islam Arab, dan belum lagi kelompokkelompok tarekat yang semuanya memiliki hukum dan aturannya masing-masing. Walaupun dalam pelaksanaannya, mereka tetap tunduk dalam aturan undang-undang Turki—yang terdiri dari aturan sultan dan aturan syekh (kepala agama Islam). Tiap-tiap kelompok ini saling bertanggung jawab terhadap kekhasan perannya. Sebagaimana peran orang-orang Arab yang dikhususkan di bidang agama dan pendidikan, orang Turki pada urusan militer dan politik, orang Persia dalam urusan seni dan sastra, dan lain sebagainya. Tak hanya kelompok-kelompok yang mewakili bangsa-agama, Turki juga memiliki kelompok-kelompok serikat yang masing-masing menjalankan bisnis “khas” golongan mereka. Mereka menjalankan bisnis pakaian, perumahan, perabot rumah tangga, senjata, dan sebagainya, tergantung kekhasan masing-masing serikat. Biasanya, serikat-serikat ekonomi ini terbagi berdasarkan golongan tarekat. Semuanya berjalan paralel, diatur secara vertikal dan horizontal. Bagaimana dengan sistem ekonomi? Dalam peran, hampir serumit sistem kemasyarakatannya. Namun, dalam perputarannya, ekonomi bergerak secara sederhana. Petani dan pedagang membayar pajak kepada sultan yang uangnya akan digunakan untuk membiayai aparatur negara (tentara, polisi, pemungut pajak, pegawai harem, dan lainnya). Aparatur negara yang dibiayai oleh pajak akan menjaga keberlangsungan usaha bagi petani dan pedagang sehingga mereka dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan uang, dimana uang tersebut akan digunakan untuk membayar pajak lagi kepada sultan—yang uangnya untuk membiayai aparatur negara. Begitu seterusnya.
sana. Eropa sedang memulai perannya sebagai produsen, yang pada akhirnya mendorong pebisnis di sana untuk melakukan pembelian bahan baku besar-besaran dari pedagang Turki. Dengan banyaknya emas di tangan, orang-orang Eropa tersebut bisa membeli dengan harga yang lebih mahal dari harga pasaran. Awalnya, sultan tersenyum melihat hal ini. Emas mengalir ke dalam kesultanan tanpa perlu ada tindakan aktif dan signifikan dalam perekonomian. Namun, kelompok serikat yang selama ini menjadi produsen inti mulai menjerit. Bahan baku dalam negeri dihabiskan oleh pembeli-pembeli dari Eropa yang mampu membeli dengan harga lebih mahal. Industri dalam negeri Kesultanan Turki mulai gulung tikar. Inflasi mulai menunjukan efeknya. Rotasi ekonomi yang berputar sederhana di antara golongan industri dan aparatur negara mulai terganggu. Golongan industri—kecuali produsen bahan baku—yang mulai kehabisan bahan baku hampir tak mampu lagi memproduksi barang yang harga bahan bakunya melonjak. Muncullah golongan penyelundup baru, mendatangkan barang jadi dari Eropa ke dalam Turki. Dari sana, masyarakat Turki mulai menunjukkan ciri hidup masyarakat konsumtif. Sedangkan di sisi lain, inflasi tengah membelit kelompok masyarakat dengan penghasilan tetap, termasuk aparatur negara yang selama ini menjadi “beban” yang harus dibiayai sultan. Tentaranya, pembantu-pembantu istananya, haremnya, dan lainnya. Kemudian, Turki mulai mendapat julukan The Old Sick Man, lemah pemerintahannya, dan mundur perekonomiannya. Lebih lanjut Tamim Ansari menjelaskan, “Bahwa pedaganglah, dan bukan tentara, yang meruntuhkan Kesultanan Turki.”
Abad ke tujuh belas, datanglah orang-orang Eropa. Mereka masuk ke sistem ini dengan banyak emas di tangannya. Emas-emas itu mereka peroleh dari daratan Amerika yang di masa itu masih sebuah daerah koloni. Di saat yang hampir bersamaan, industrialisasi sedang membaik di Benua Eropa
14
Majalah Civitas | November 2012
liput Turki tidak pernah diberangus habis oleh sekelompok tentara. Hanya perdagangan, yang berlangsung dalam waktu sangat lama, yang melemahkan kesultanan ini. Sedangkan proses intervensi Eropa dalam politik dan militer, hanyalah sebuah proses yang sangat kemudian. Mereka-reka Jejak Indonesia Bagi Ibnu Khaldun, sejarah lebih membentuk spiral berputar ketimbang sebuah garis lurus. Ada pengulangan peran dan peristiwa, hanya saja, dengan waktu dan pelaku yang berbeda. Pemilu 2009 adalah momen paling kritis bagi bangsa ini untuk mempelajari apa yang salah dan apa yang benar dengan sistem ekonomi pasar (liberal), menyusul isu yang berhembus saat itu, yang mengatakan bahwa Boediono adalah ekonom yang pro pasar. Ekonomi pasar, sederhananya seperti digambarkan dalam The Wealth of Nations karangan Adam Smith, adalah kondisi dimana segala faktor produksi, dibiarkan bergerak secara alami—tanpa intervensi pemerintah. Dimana efisiensi akan tercapai mengikuti pergerakan permintaan dan penawaran yang akan saling menyesuaikan. Lantas, adakah kaitannya ekonomi pasar dengan kejatuhan suatu bangsa? Kwik Kian Gie dalam laman pribadinya (kwikkiangie. com) memberikan gambaran ketidaksepakatannya pada konsep ekonomi pasar ini.
Kwik Kian Gie Permainan yang sedang dilangsungkan oleh “pemain ekonomi pasar baru” ini, sepola dengan yang terjadi di Era Kesultanan Turki. Jika di Turki, kedatangan pembeli Eropa secara perlahan mematikan industri dalam negeri dan menguatkan posisi Eropa—yang tadinya hanya pembeli bahan baku menjadi produsen utama—maka di Indonesia, para neoliberalis ini disinyalir selalu berusaha menempatkan “asing” sebagai produsen dalam negeri. Kwik mensinyalir hal tersebut pada pengelolaan Blok Cepu, yang habis masa kontrak pada 2010, namun diperpanjang hingga 2030. Padahal ada pihak-pihak yang menyatakan mampu mengelolanya tanpa bantuan asing. Ahmad Erani Yustika, seorang Guru Besar Ilmu Ekonomi Kelembagaan di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, memberikan tanggapannya dalam kesempatan wawancara oleh Civitas. Ia menggambarkan bahwa pola ekonomi dewasa ini, merupakan upaya terbaru dari negara dunia kedua dan ketiga untuk “menjalankan kembali” kolonialisme.
Kwik mencontohkan, ada sebuah pabrik rokok yang dengan modal besarnya, mereka dapat membeli rokok-rokok pesaingnya. Lalu rokok-rokok itu disuntik cairan sabun dan kemudian dijual lagi di pasar. Beberapa hari lagi, rokok itu rusak, dan merek tersebut tak lagi laku di pasaran.
Kita berpegang pada tiga ciri penjajahan model lama yang pernah diperlihatkan sejarah. Pertama, adanya kesenjangan kemakmuran antara penjajah dan negara jajahan. Kedua, hubungan yang eksploitatif antara negara jajahan dan negara penjajah. Ketiga, negara terjajah sebagai pihak yang lemah kehilangan kedaulatannya dalam arti yang luas.
Menurutnya, semua itu bisa saja terjadi manakala perekonomian diserahkan saja ke pasar, tanpa ada intervensi pemerintah.
Berkaitan dengan itu, Erani menyampaikan analisisnya dalam pola hubungan antara kolonialisme dan imperialisme.
Lebih lanjut, Kwik mengkhawatirkan adanya permainan korporatokrasi dalam sistem ekonomi dewasa ini. Memang, ekonomi pasar mutlak tak sedang dijalankan di negeri ini, namun ada pemainpemain ekonomi pasar baru (neoliberalis) yang sedang bergulat di perekonomian Indonesia.
Sebelum abad dua puluh bergulir, negara-negara menggunakan kolonialisme untuk menguasai negara lain secara politik. “Jadi, negara itu dicaplok, yang kebanyakan lewat peperangan.” Ujar Erani. “Jadi (melalui kolonialisme) negara itu diambil secara politik.”
Majalah Civitas | November 2012
15
liput Memasuki abad kedua puluh, sebagian besar negara terjajah memerdekakan dirinya secara politik. Sehingga ada kedaulatan yang menyejajarkan negara-negara terjajah ini dengan negara-negara penjajahnya terdahulu. Kedaulatan inilah yang mengantarkan PBB mengeluarkan maklumat antikolonialisme. Namun maklumat itu tak lantas menghentikan upaya Negara Dunia Pertama (Amerika dan Eropa Barat) dan Negara Dunia Kedua (Uni Soviet dan negara-negara komunis) untuk menemukan instrumen terbaru demi menguasai negara lain. Instrumen baru inilah yang disebut imperialisme. “Mereka (Negara Dunia Pertama dan Kedua), menguasai negara lain melalui metode ekonomi, yang tidak lain adalah liberalisasi dan globalisasi ekonomi itu,” ujar Erani. Pada metode baru ini, negara-negara berkembang alias dunia ketiga diminta untuk tidak menutup diri, tidak memberikan barrier dalam perekonomian yang menghalangi masuknya investasi asing. Melalui metode ini pula, negara-negara dunia ketiga dibatasi dalam pemberian subsidi, bahkan hingga taraf meniadakan sepenuhnya. Proses liberalisasi dan globalisasi ini, menurut Erani, dimulai dari Putaran Uruguay, yaitu suatu wadah perundingan yang pada puncaknya menghasilkan World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Dalam WTO ini, semua negara bersepakat melakukan liberalisasi ekonomi. “Manusianya harus mobile, barangnya harus mobile, jasanya harus mobile, enggak boleh ada halangan,” ujar Erani. Hanya saja, menurut Erani, kekuatan ekonomi negara dunia ketiga tak sebanding dengan kekuatan negara-negara maju. Hal ini ia ilustrasikan dari jumlah investasi Indonesia yang mencapai 75 % investasi berasal dari asing.
Ahmad Erani Y. Menghalau Arus Spiral Sejarah Indonesia, dalam pandangan Erani, kini sudah terlalu liberal. Menurut penuturannya, ketika kepemilikan saham bank oleh asing di negaranegara ASEAN maksimal hanya 45%, kepemilikan asing di bank-bank di Indonesia bisa mencapai 99%. Dari sektor perdagangan, di antara anggota ASEAN, Indonesia menjadi yang paling membuka diri dan mengendurkan proteksi. “Kita (sebenarnya) memiliki konstitusi yang bagus dalam UUD 1945, misalnya (dengan) adanya keadilan sosial yang lebih tinggi daripada individu. Berdasarkan azas kekeluargaan.” Menurut Erani, kesalahan besar yang Indonesia lakukan adalah dengan tidak menurunkan UUD 1945 ke dalam Undang-undang Sistem Ekonomi. Sehingga, kebijakan ekonomi mudah sekali berubah, dan tak jarang, terbawa arus. “Di Indonesia, dulu pernah diinisiasi Undangundang Demokrasi Ekonomi, tapi sampai sekarang mandek, tidak dibahas lagi.”
Erani juga mengemukakan bahwa, instrumen ekonomi dalam bentuk liberalisasi dan globalisasi ini yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menguasai ekonomi negara berkembang tanpa menguasi politik.
Ia mengilustrasikan Jerman sebagai contoh negara yang menerapkan undang-undang mengenai sistem ekonomi. Dengan Undang-undang Sistem Ekonomi Pasar Sosial-nya, siapapun presiden dan apapun kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah Jerman, tidak akan keluar dari jalur UU Sistem Ekonomi Pasar Sosial.
“Jadi ideologi imperialisme dan kolonialisme itu sama dalam satu hal, sama-sama penjajahan. Hanya instrumennya saja yang berbeda, kalo dulu politik, sekarang ekonomi.” Imbuh Erani.
“Salah satu tugas terpenting di bidang ekonomi adalah merumuskan UU Sistem Ekonomi Nasional, berdasarkan konstitusi dan Pancasila,” pungkasnya.
16
Majalah Civitas | November 2012
liput
Di Balik Hibah, Berkah atau Musibah?
A
ristoteles, penyandang gelar Bapak Ilmu Pengetahuan mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, yang mau tak mau harus berinteraksi dengan sesamanya. Tak hanya manusia, negara pun membutuhkan interaksi dengan sesamanya, karena sejatinya negara adalah manusia, atau badan hukum yang dimanusiakan (rechtpersoon). Hubungan antarnegara tersebut juga turut didorong rasa membutuhkan satu sama lain terutama dalam hal kerja sama di bidang ekonomi dan politik. Pada akhirnya, keniscayaan hubungan antara satu negara dengan negara lain tak dapat dipungkiri. Dalam International Relations, Goldstein menuturkan bahwa power (kekuatan) dan interest (tujuan) adalah komponen utama dan asal muasal terjadinya hubungan internasional. Lebih lanjut lagi, power didefinisikan sebagai perpaduan antara pengaruh persuasif untuk menggerakkan orang lain melalui janji-janji maupun pemberian keuntungan, dengan kekuatan koersif seperti ancaman-ancaman atau perampasan hak-hak yang condong kepada kekuatan militer.
Majalah Civitas | November 2012
Dilema Bantuan Luar Negeri Ingat petikan senandung “Kasih Ibu”? Sayangnya dalam hubungan internasional yang penuh dengan konflik kepentingan antarnegara, hibah tidak selalu berlandas pada ketulusan memberi seperti kasih ibu. Secara teori, motif sebuah negara mendonorkan bantuannya ke negara lain terbagi ke dalam dua kategori. Pertama, bantuan luar negeri yang bersifat dan bermotifkan politik, serta kedua, yang bertujuan dan bermotifkan ekonomi. Kembali ke definisi power dalam hubungan internasional oleh Goldstein, tentang pengaruh persuasif untuk menggerakkan orang lain melalui janji-janji maupun pemberian keuntungan, kita dapat mengambil praduga awal, bahwa mungkin saja hibah maupun bantuan luar negeri (yang biasanya diberikan dari negara mampu ke negara berkembang) sebenarnya adalah suatu metode untuk menggerakkan, atau frontalnya, mengendalikan negara penerima tersebut. Buruknya kesan masa lalu terhadap negara penjajah yang awalnya hanya ingin berdagang pun turut
17
liput mendistorsi kepercayaan masyarakat akan hibah asing. Definisi hibah menurut apa yang tertuang dalam PP Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/ atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri. Definisi tersebut, secara umum, juga berlaku bagi negara kebanyakan. Bertolak dari definisi, kita mungkin hanya menemukan bahwa negara penerima hibah memang mendapat keuntungan dari mekanisme hibah, yakni dengan perolehan barang atau jasa dengan “cuma-cuma”. Kemudian, apa keuntungan yang didapat dengan memberi hibah? Mengapa sebuah negara mau menjadi donor hibah? Apa motifnya? Apa alasannya? Mungkinkah benar-benar murni memberi tanpa perlu alasan? Dalam bukunya, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Michael P. Todaro menyatakan bahwa pada dasarnya, tidak ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan secara jelas bahwa negara-negara donor yang bersedia membantu pihak atau negara lain itu, tidak mengharapkan suatu imbalan tertentu, entah itu berupa imbalan politik, ekonomi, militer, dan sebagainya.
Marshall (Marshall Plan), yang bertujuan untuk membangun kembali perekonomian Eropa Barat yang luluh lantak akibat Perang Dunia II. Menyusuri garis waktu yang bergulir, maka kita akan tahu bahwa program yang dicanangkan tersebut berguna untuk mencegah meluasnya komunisme secara internasional, didasari fakta bahwa kemiskinan adalah ladang subur pertumbuhan komunisme. Memasuki Perang Dingin awal dekade 1950-an, Amerika terus menjalarkan bantuannya ke negaranegara dunia ketiga yang dianggap “bersahabat”, tak peduli negara yang dibantu menjalankan pemerintahannya secara demokratis, tak peduli negara yang dibantu itu ternyata korup, asalkan tetap pro Barat dan antikomunis). Motif politis bantuan luar negeri Amerika Serikat makin tercium tatkala Fidel Castro memimpin Kuba dan membawa ancaman penjalaran komunis ke Amerika Latin, di era 1960-an. Alliance for Progress, pakta kerja sama antara Amerika Serikat dan Amerika Latin, langsung disusun dengan aneka retorika serba muluk dan penuh harapan sebagai reaksi atas ancaman komunis yang mulai membayang.
Malah lebih lanjut, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa kebanyakan, hibah diperoleh dengan motif tertentu—yang justru menguntungkan negara pendonor. Menapakkan lagi ingatan kita ke akhir dekade 1940-an, saat Pemerintah federal Amerika Serikat mengirimkan bantuan luar negeri secara besar-besaran di bawah komando Rencana
18
Majalah Civitas | November 2012
liput Segera setelah keamanan global, khususnya ancaman komunisme, mulai kehilangan urgensinya—berganti dengan masalah krisis dolar, kecamuk perang Vietnam, dan peningkatan anarkisme di tubuh masyarakat AS—Alliance for Progress dan segala bantuan luar negeri lainnya mengalami stagnansi, dan menjadi semakin hilang peran dan maknanya. Intinya, acapkali bantuan luar negeri dijadikan sebagai alat bagi negara donor untuk mengejar kepentingannya sendiri, sehingga tak usah heran, pemberian bantuan luar negeri memang kadang tidak mengikuti kebutuhan relatif negara calon penerimanya. Berakhirnya Perang Dingin dengan keruntuhan Uni Soviet (dan seluruh negara Dunia Kedua beserta komunisme yang dibawanya), membuat sebagian orang bertanya-tanya, apakah motivasi politik dalam pemberian bantuan luar negeri juga lantas hilang dengan lenyapnya perang dua ideologi itu? Maka, marilah kita jawab simpulan sejarah dengan rangkaian sejarah lainnya, yakni dengan menelusuri peristiwa Perang Teluk yang terjadi di tahun 1991. Masih terekam dengan jelas, pergerakan negaranegara Barat yang tiba-tiba memberikan bantuan besar-besaran kepada negara-negara “bersahabat”, macam Turki dan Mesir, dengan menyediakan pangkalan militer. Kontroversi Hibah Alutsista
melaui media dan jejaring sosial, menanggapi hibahhibah tersebut secara beragam. Namun, berporos ada satu hal: kecurigaan. Indonesia memang relatif lebih tertinggal dibanding negara lain semisal Amerika, Rusia, Australia, atau tak usah jauh-jauh, negara tetangga Malaysia, dari segi teknologi. Sedang di sisi lain, beberapa negara (yang lebih maju) merasa tak lagi membutuhkan alat atau kendaraan perang tersebut karena dirasa sudah ketinggalan dari segi teknologi. Apa salahnya menerima hibah tersebut ketika Indonesia memang membutuhkan? Maka kita kembali lagi pada motif pemberian hibah yang sudah dijelaskan di atas. Terkadang, memang tersemat motif politik-ekonomi dalam bantuan luar negeri yang jika kita tidak selektif dalam memilihnya, kitalah yang akan direpotkan di kemudian hari. Sebut saja salah satunya adalah hibah Pesawat Hercules C-103 dari Australia yang disinyalir hanya berupa rongsokan kurang layak pakai. Seperti yang dikutip dari beritasatu.com, hibah tersebut dinilai oleh Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, hanya sebagai pancingan agar Indonesia mau membeli beberapa unit pesawat yang lain. Bahkan, mungkin saja bantuan berupa hibah tersebut digunakan untuk membelokkan visi pembangunan pertahanan Indonesia.
Hal yang kini populer digadanggadang menjadi penyebab paranoia masyarakat terhadap hibah adalah rasa was-was akan dimata-matai. Dicurigai ada seribu satu jalan yang dapat dijadikan sebagai sarana negara donor untuk menyadap data-data Indonesia, lewat perantara barang atau jasa hibah. Selain itu, hibah juga dianggap sebagai penyebab melonjaknya tingkat konsumerisme dan ketergantungan negara Indonesia terhadap produk asing. Yang selama ini santer menjadi perdebatan publik adalah hibah berupa alutsista (Alat Utama Sistem Senjata). Masyarakat, Majalah Civitas | November 2012
19
liput Kasus yang lain adalah hibah alutsista berupa puluhan kapal tempur bekas pakai angkatan laut Jerman Timur. Meski awalnya tawaran hibah tersebut terlihat menggiurkan karena bebas biaya perolehan, kini yang terjadi malah sebaliknya. Biaya perawatan kapal tempur tersebut membengkak dan hanya menjadi beban anggaran. Penyebabnya? Butuh biaya perawatan yang besar untuk peralatan dan mesin yang telah mencapai batas ekonomis dibanding dengan perawatan peralatan yang masih di dalam masa ekonomis.
Ujung-ujungnya, merembet lagi ke arah sektor ekonomi. Seolah dengan diberi hibah, kita digiring untuk menjadi konsumen bagi negara donor. Pendapatan Pemerintah Hibah (dalam miliar Rupiah) Tahun
Jumlah
2006
1834,1
2007
1697,8
Meski alutsista bekas itu diperoleh dalam bentuk hibah, tetap saja pada akhirnya negara harus mengeluarkan biaya mahal untuk retrofit1) atau upgrade-nya.
2008
2304
2009
1666,6
2010
3023,0
Hibah, Amankah?
2011
4662,1
2012
825,1
Hibah membawa pengaruh positif dalam hal transfer pengetahuan, teknologi, dan budaya dari negara yang lebih maju ke negara yang sedang berkembang. Dalam hal ini, Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), berpendapat demikian. Sebenarnya jika ditilik dari segi ekonomi, tidak ada korelasi positif antara hibah terhadap pertumbuhan ekonomi. Penjelasannya mudah saja, karena sebuah negara hanya tinggal menerima. Tidak ada kegiatan ekonomi berupa investasi yang dilakukan, dan tentunya tanpa investasi tidak ada roda ekonomi yang diputar. Di Indonesia, masyarakat sendiri terkadang memberi pandangan negatif terhadap hibah, terutama pada hibah berbentuk alutsista, mengingat alutsista merupakan sektor vital dalam keberlangsungan negara. Anggapan negatif yang muncul biasanya berupa kekhawatiran bahwa senjata atau alat perang yang dihibahkan tersebut merupakan sarana spionase terhadap kondisi Indonesia. Namun, sebenarnya, terdapat hal lain yang juga perlu dipikirkan masak-masak—selain ketakutan akan spionase atau meningkatnya budaya konsumtif—yakni kepastian anggaran. Dalam perawatannya, terkadang hibah yang berupa barang membutuhkan onderdil dan perawatan yang hanya bisa dilakukan oleh negara donor.
20
Sumber: Data pokok Indonesia 2006-2012 Lantas, apa yang perlu diwaspadai dari hibah? Mungkin kita perlu menelaah lagi kata-kata salah seorang mantan pejabat urusan bantuan luar negeri Pemerintah federal Amerika Serikat. “Salah paham yang paling besar mengenai program bantuan luar negeri adalah anggapan awam bahwa kita hanya mengirimkan uang begitu saja ke luar negeri. Kenyataannya tentu tidaklah demikian. Pengiriman bantuan luar negeri resmi tersebut biasanya terwujud… untuk mendukung dan membangun proyek-proyek pembangunan tertentu yang telah kita teliti dan setujui.” Atau juga, pernyataan terbuka dari salah seorang mantan Menteri Kabinet Kerajaan Inggris yang menangani urusan pembangunan luar negeri, “Jadi, sebenarnya pemberian bantuan luar negeri tersebut merupakan alat untuk menjamin kepentingan jangka panjang kita (pendonor) sendiri.” Belum lagi, hibah dapat menimbulkan suatu fenomena yang, mengutip sebuah jurnal ilmiah yang ditulis oleh Kurniawan Adi, disebut grant trap. Jika debt trap menggambarkan bagaimana upaya yang dilakukan negara-negara berkembang untuk membangun dengan cara meminjam sumber dana internasional yang justru membawa negara-negara tersebut makin terjerat dan kecanduan utang Majalah Civitas | November 2012
liput dikarenakan salah kelola oleh pemerintah, grant trap bukanlah hal yang sama, namun serupa. Grant trap seperti yang dimaksudkan oleh Kurniawan menggambarkan kondisi pengelolaan hibah luar negeri di Indonesia. Dalam laporan realisasi pengelolaan hibah yang dikeluarkan oleh DJPU, tercatat bahwa jumlah hibah Indonesia pada semester 1 tahun 2012 adalah sebesar $5.214.070,00 yang berasal dari World Bank dan Asian Development Bank, serta 94.802.027 AUD dari pemerintah Australia. Jumlah yang terbilang fantastis mengingat jumlah tersebut belum termasuk hibah yang tidak melalui pemerintah. Hibah jenis ini juga perlu diwaspadai, yakni hibah yang langsung diberikan oleh donor asing kepada lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Saat pemerintah tidak dapat mengawasi, maka riskan akan terjadi injeksi-injeksi kepentingan asing. Namun masyarakat Indonesia dinilai sudah cukup cerdas untuk mengawasi. Membicarakan hibah layaknya membicarakan globalisasi, ada dampak positif yang kita peroleh, dan jika tidak berhati-hati akan ada juga dampak negatifnya. Tidak mungkin kita menutup diri terhadap globalisasi, karena akan ada banyak faedah dan nilai tambah yang hilang jika sikap introver tersebut diterapkan. Pun demikian terhadap hibah, jangan terlalu menutup diri, cukup berhati-hati. Pada akhirnya akan timbul pertanyaan yang lain: setinggi apa kita harus memasang dinding kewaspadaan tersebut? Sejarah berkata banyak, belajarlah dari pengalaman. Vokabuler: 1.) Retrofit: (bahasa Inggris) tambahan teknologi baru atau pelengkap komponen pada sistem yang lama.
Majalah Civitas | November 2012
21
selidik
Tradisionalisme Pasar Tradisional, Mulai Tergerus Modernisasi The Invisible Hand yang merupakan buah pikir Adam Smith tak lebih merupakan sebuah perpanjangan dari hukum rimba, di mana mereka yang kuat akan bertahan dengan menindas yang lemah.
22
Majalah Civitas | November 2012
selidik
P
enjajahan terus berkembang dari masa ke masa, mengambil bentuknya yang paling klasik yakni kolonialisme, hingga kini telah berevolusi menjadi bentuk penjajahan modern yang samar, imperialisme. Kecurigaan terhadap imperialisme seringkali dimuarakan pada bentuk penjajahan modern oleh bangsa lain. Hingga saat ini, sistem ekonomi, budaya, bahasa, bahkan sistem pendidikan Indonesia tak pernah terbebas dari injeksi imperialisme oleh bangsa asing. Padahal tanpa disadari, imperialisme mengambil bentuk penjajahannya yang lain. Lebih halus. Lebih berbahaya. Bentuk lain dari imperialisme tersebut dinyatakan secara gamblang oleh Samsul Rizal, seorang pengamat ekonomi Indonesia, sebagai bentuk penjajahan oleh bangsa sendiri. Sebuah kondisi di mana Indonesia secara de jure telah merdeka dari bangsa asing, namun secara de facto belum merdeka dari penjajahan bangsa sendiri. Imperialisme bentuk ini berbahaya karena tidak tampak, namun secara perlahan menggerogoti dari dalam. Bentuk lain imperialisme ini muncul pada fenomena pasar di tanah air. Beberapa tahun yang lalu, orang memandang sebelah mata akan kehadiran pasar modern berupa swalayan atau mal. Alasannya sederhana, pesimisme harga. Dengan pengemasan dan tempat yang sementereng itu, pastilah harga barang yang disediakan pun tak kalah mentereng. Anggapan yang—mungkin—salah, namun bisa juga benar mengingat beberapa tahun lalu tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat perputaran uang di tanah air tidak setinggi saat ini. Namun anggapan itu perlahan mulai tersingkir seiring dengan perkembangan pola pikir dan tingkat pendapatan masyarakat. Kini, pandangan masyarakat mulai terbuka, harga yang disajikan di swalayan atau mal tidak selalu lebih mahal dibanding yang ada di pasar tradisional. Pun harga yang dulunya terlihat relatif mahal bagi masyarakat, kini terlihat wajar seiring peningkatan pendapatan mereka. Perlahan, keberadaan pasar tradisional mulai tergeser oleh pasar-pasar modern. Para pengusaha mikro dan kecil mulai tersingkir oleh mereka yang berkapital melimpah. Saat ini muncul perspektif lain yang cukup berbahaya bagi kelangsungan pasar tradisional: Majalah Civitas | November 2012
ada trade-off yang harus dibayar lebih ketika menginginkan belanja ekonomis di pasar tradisional, dibanding di pasar swalayan. Pengorbanan tersebut dapat berupa kenyamanan yang hilang, perbendaharaan harga yang harus selalu aktual, dan mungkin kemampuan menawar yang harus terasah. Sebuah pengorbanan yang tergolong mahal jika dibandingkan dengan kenyamanan dan kepastian harga yang ditawarkan pasar modern. Atas dasar ketertarikan terhadap keberlangsungan pasar tradisional, Selidik akan membahas mengenai kebiasaaan berbelanja masyarakat. Hal-hal yang ditelusuri terkait dengan kebiasaan dan minat belanja masyarakat pada pasar tradisional dan modern. Metode yang dipakai adalah metode survei melalui media siber kepada responden yang merupakan pengguna internet. Penyebaran kuesioner dilaksanakan selama sebelas hari, sejak 24 September hingga 4 Oktober 2012. Dalam tenggat waktu yang telah ditentukan tersebut, terkumpul data sebanyak 186 suara. Dalam survei ini Selidik memberikan definisi khusus mengenai apa yang dimaksud dengan pasar tradisional dan pasar modern untuk menghindari perbedaan penafsiran responden. Selidik mempersempit definisi kedua pasar tersebut. Pasar tradisional didefinisikan sebagai tempat terjadinya jual beli di mana masih terjadi proses tawar menawar, contohnya pasar lokal, pedagang keliling, maupun kios-kios kecil. Sedangkan pasar modern didefinisikan sebagai tempat terjadinya jual beli di mana sudah tidak terjadi proses tawar menawar, atau dengan kata lain, harga yang diberikan oleh penjual adalah harga pas. Contohnya adalah mal, swalayan, dan minimarket. Mayoritas responden dalam survei ini adalah mahasiswa atau pelajar, yakni sebanyak 83% atau sebanyak 154 responden. Sedang sisanya adalah pegawai dan pekerja lainnya sejumlah 21 responden, dan sebanyak 11 responden abstain. Usia responden pun beragam, namun kawula muda berusia 11 s.d. 20 tahun masih mendominasi dengan persentase 71%. Sedangkan untuk usia 21 sampai dengan 30 tahun hanya sebanyak 49 responden atau 26%, sisanya sebanyak 3 % responden berusia lebih dari tiga puluh tahun. Dapat ditarik kesimpulan bahwa nantinya, hasil dari survei ini akan mencerminkan
23
selidik pendapat dan gaya hidup kawula muda terhadap pasar tradisional.
Ketika disuguhkan pilihan—berbelanja di pasar tradisional atau pasar modern—masyarakat ternyata lebih memilih untuk berbelanja di pasar modern. Sebanyak 81% atau 151 orang responden lebih memilih berbelanja di pasar modern untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Sedang yang biasa berbelanja di pasar tradisional untuk membeli kebutuhan sehari-hari hanya 15% atau 35 responden. Alasan pilihan tempat berbelanja tersebut terutama didasari faktor lokasi (25%) dan keyamanan dalam berbelanja (23%). Faktor lain yang cukup kuat dalam pemilihan tempat belanja adalah faktor kelengkapan dan kualitas barang (18%) serta kepraktisan saat berbelanja (17%). Sedang faktor harga menjadi alasan yang minoritas, hanya sebesar 7% responden yang memilih faktor harga sebagai alasan utama dalam pemilihan tempat berbelanja.
Masing-masing jenis pasar memiliki komoditas tersendiri yang menjadi keunggulan dan daya tariknya. Pasar tradisional misalnya, menjadi pilihan utama pembeli dalam berbelanja barang yang tidak tahan lama seperti sayuran dan bahan makanan. Sedang hanya sedikit pembeli yang memilih untuk membeli produk-produk tahan lama seperti perkakas, kosmetik, sandang, dan aksesoris di pasar tradisional—mereka cenderung membelinya di pasar modern. Meskipun demikian, ternyata animo pembelian bahan makanan di pasar tradisional dan pasar modern sama-sama tinggi. Sebanyak 89 responden membeli bahan makanan ketika berbelanja di pasar tradisional, dan 67 responden juga membeli bahan makanan ketika berbelanja di pasar tradisional. Sesuai hasil survei di atas, pasar tradisional sebaiknya dirancang agar mempunyai komoditas unggulan semisal bahan makanan dan sayuran segar.
24
Majalah Civitas | November 2012
selidik
Terjadi hubungan yang berbanding terbalik antara animo dan frekuensi masyarakat dalam berbelanja di pasar tradisional. Dari 186 responden, hanya sekitar 8 orang yang sering berbelanja di pasar tradisional (setiap hari). 43 responden cukup sering berbelanja di pasar tradisional (sekali dalam seminggu), 60 jarang (sekali dalam sebulan), dan 74 sangat jarang atau bahkan tidak pernah (lebih dari sebulan sekali) berbelanja di pasar tradisional.
Pasar Tradisional, ke Mana? Secara teoretis, dengan mudah dan idealisnya seseorang mengatakan bahwa kelangsungan pasar tradisonal sangat penting karena tidak hanya menyangkut konsumsi, namun lebih kompleks lagi, pertumbuhan ekonomi sektor mikro dan kesejahteraan rakyat kecil. Namun teori hanya sebatas teori dan realita berkata lain; pasar tradisional relatif lebih sepi pengunjung. Seiring dengan menjamurnya swalayan dan mal-mal, pasar tradisional malah sebaliknya semakin kehilangan gairah.
Majalah Civitas | November 2012
Meskipun beberapa orang berpendapat bahwa pasar tradisional “tidak bersalah” atas fenomena ini dan tak patut dipersalahkan, sejatinya seiring perkembangan zaman memang diperlukan penyesuaian terhadap pasar tradisional agar keberadaannya tidak semakin tergerus oleh
25
selidik keberadaan pasar modern. Sebanyak 77% responden berpendapat bahwa sebaiknya manajemen pada pasar tradisional diperbaiki agar dapat bersaing dengan pasar modern. Hanya 8% responden yang berpendapat bahwa pasar tradisional harus tetap dipertahankan seperti semula. Tidak ada responden yang berpendapat bahwa pasar-pasar tradisional yang ada diganti seluruhnya dengan pasar swalayan. Menurut Erani, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), salah satu jalan keluar yang dianggap efektif adalah dengan diberlakukannya sistem zonasi. Hal ini menyadur sistem yang diberlakukan di negaranegara Barat di mana mal-mal tidak boleh dibangun di dalam kota atau di pusat pemukiman penduduk agar tidak mematikan sektor industri mikro dan kecil. Solusi yang terbilang efektif mengingat menurut hasil survei, faktor utama yang menjadi pertimbangan berbelanja adalah faktor lokasi. Dengan adanya sistem zonasi mal, masyarakat digiring untuk berbelanja di lokasi berbelanja yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Hasil survei ini kiranya cukup jadi pecutan untuk kita. Meskipun teori ekonomi mengatakan bahwa invisible hand adalah pencipta keseimbangan paling ideal, namun menjadi tidak ideal ketika diterapkan di Indonesia yang bersistem ekonomi kerakyatan. Karena tujuan ekonomi kerakyatan bukan hanya tingkat kesejahteraan yang tinggi, namun juga pemerataan pendapatan. Walaupun Adam Smith mengatakan bahwa mekanisme pasarlah yang menciptakan keseimbangan, namun faktanya, keseimbangan yang tercipta adalah keseimbangan yang semu di mana yang berjaya adalah mereka yang bermodal besar. Ketika pemilik saham pada pasar-pasar modern berjaya, dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi makro, di sisi lain banyak pengusaha mikro dan kecil yang gulung tikar. Memang, peranan pemerintah sebagai legislator masih diperlukan agar liberalisme pasar tidak semakin memperlebar kesenjangan ekonomi, dan tentunya, pilihan kita sebagai konsumen turut mempengaruhi keberlangsungan pasar tradisional.
[Muamaroh Husnantiya]
26
Majalah Civitas | November 2012
satire
Majalah Civitas | November 2012
27
motif
Mengulik Organda Asal
MADURA
Forum Silaturahmi Mahasiswa Madura (Forsimma) adalah organisasi daerah (organda) yang menaungi seluruh mahasiswa yang berasal dari Pulau Madura. Sesuai namanya, organisasi ini menjadi wadah untuk menjalin silaturahmi bagi mahasiswa serta alumni yang berasal dari empat kabupaten yang ada di Pulau Madura, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
28
Majalah Civitas | November 2012
motif
F
orsimma dibentuk pada tahun 2001 atas gagasan empat orang alumni yang masih tercatat sebagai mahasiswa aktif saat itu. Mereka adalah Hanafi Firdaus, Hendra Meygautama, Iwan, dan Cherry.
Saat pertama kali terbentuk, anggotanya berjumlah sepuluh orang. Organisasi yang pada periode ini diketuai oleh Raden Gigih Garuda Wibisana, mahasiswa tingkat II Spesialisasi Akuntansi Pemerintahan, dibentuk untuk beberapa tujuan. Pertama, sebagai sarana informasi dan silaturahmi mahasiswa Madura se-Jakarta, terutama yang berada di STAN. Kedua, untuk membantu mahasiswa asal Madura yang baru saja merantau ke Jakarta. Ketiga, untuk menyebarkan informasi mengenai sekolah-sekolah kedinasan yang ada kepada siswa-siswa SMA se-Madura—mengingat minimnya informasi tentang sekolah kedinasan. Keempat, membantu siswa lulusan SMA agar lebih mudah masuk STAN, di antaranya dengan membagi pengalaman dan tips, salah satunya melalui try out, karena tidak ada lembaga yang mengkoordinasi hal tersebut sebelumnya. Sejak awal pendiriannya, Forsimma menekankan bahwa seluruh anggotanya adalah satu keluarga, didasarkan pada ikatan kedaerahan dan kesukuan yang sama. Sehingga kuatnya ikatan antara alumni dengan anggota yang masih aktif tidak sebatas saling mengenal saja. Ikatan antara alumni dengan anggota aktif Forsimma mirip seperti hubungan seorang anak dengan kampung halamannya. Alumni yang sudah tergolong mapan selalu menyempatkan diri untuk sekadar bermalam di base camp Forsimma yang diberi nama “le pan torot”
Majalah Civitas | November 2012
setiap kali berkunjung ke Jakarta, demi sekadar menyapa dan berbaur dengan adik-adiknya. Forsimma tergolong organisasi kecil, mengingat anggotanya yang hanya berkisar belasan orang di setiap masanya. Namun, hal tersebut tidak menjadi penghambat bagi Forsimma untuk turut aktif dalam berbagai kegiatan kampus yang melibatkan organisasi kedaerahan. Salah satunya, pada tahun 2011 Forsimma bekerja sama dengan Departemen Seni dan Budaya BEM STAN menyelenggarakan Kuliah Umum Budaya (Kulumbud). Bahkan, pada tahun 2010 dan 2011, secara berturut-turut Forsimma berhasil menjadi runner-up Organda Expo dalam acara Heritage and Organda Expo. Sayangnya, pada tahun 2012 Forsimma tidak ikut serta dalam Festival Budaya Nusantara karena terbatasnya anggota. Saat ini tercatat hanya ada dua belas mahasiswa aktif yang tergabung di dalamnya. Seperti halnya organda lain, Forsimma memiliki kegiatan yang menjadi agenda rutin setiap tahunnya. Acara tahunan terbesar yang rutin diselenggarakan Forsimma adalah Try Out USM STAN serentak di empat kabupaten di Pulau Madura. Selain itu, seluruh anggota Forsimma juga getol mensosialisasikan STAN ke sekolah-sekolah setiap kali pulang kampung saat liburan. Sesuai tujuan awal pendiriannya, acara ini merupakan wujud kepedulian Forsimma kepada adik-adik sedaerahnya, agar dapat lebih mengenal dan mempersiapkan diri untuk lulus USM STAN. Pada setiap kesempatan, Forsimma juga berusaha untuk selalu ikut serta dalam kegiatan kampus, terutama di bidang kesenian sebagai upaya memperkenalkan kebudayaan Madura kepada mahasiswa maupun masyarakat luas. Di bidang
29
motif sosial, baru-baru ini Forsimma menambahkan acara buka bersama anak yatim pada daftar agenda rutinnya. Sementara itu, dalam rangka mempererat hubungan antaranggota—di samping sebagai ajang refreshing—setiap tahunnya Forsimma mengadakan makrab bagi para anggotanya. Selain itu, setiap minggu Forsimma juga mengagendakan acara bebas yang dapat diisi dengan kegiatan seperti olahraga, makan bersama, nonton bareng, atau sekadar kumpul layaknya keluarga sambil membuat dan menyantap rujak khas Madura bersama-sama.
“Ikatanantaraalumnidengananggota aktifForsimmamiripsepertihubungan seoranganakdengankampung halamannya.” [Fitriana Astuti]
30
Majalah Civitas | November 2012
www.mediacenterstan.com
Majalah Civitas | November 2012
31
wawancara
Personel Baru
D’Cinnamons
Bawa Hoki
Bona
S
ejak awal kemunculannya pada tahun 2004, D’Cinnamons dikenal sebagai grup musik beraliran unplugged accoustic. Grup musik ini terdiri dari tiga personeldengan formasi satu vokal, dua gitar akustik, dan satu bas. Setelah ditinggalkan bassist Louise Laura Lalitanaya (Laut) pada awal 2009, D’Cinnamons sempat hanya beranggotakan Diana Widoera (Dodo) sebagai vokalis-gitaris dan Ismail Bonaventura (Bona) sebagai gitaris.
Dodo
Pertengahan 2011, bergabungnya Riana Mayasari (Nana) di posisi bassist membuat D’Cinnamons kembali ke formasi awalnya. Mengenai hal ini, Bona dan Dodo sebagai personel lama mengakui kehadiran Nana sebagai pembawa hoki bagi D’Cinnamons. Konsep musik D’Cinnamons itu seperti apa? Dodo: Kita yang pasti masih pop akustik. Jadi kalau teman-teman dengar di album, mungkin lagunya terdengar mellow-mellow sedikit gitu, tapi kalau di (penampilan) live kita tampilkan lebih cheerful dan ceria. Kenapa memilih konsep akustik?
Nana
32
Dodo: Sebenarnya pilihan akustik sudah kita pilih dari tahun 2004. Nah, kebetulan tahun 2004 enggak ada tuh yang akustikan. Jadi waktu itu kita pilih (genre) akustik supaya beda sama yang lain. Tapi kalau sekarang sudah banyak yang akustikan. Dan
Majalah Civitas | November 2012
wawancara sekarang, di tahun 2012 ini, tantangan kita adalah untuk konsisten di bidang akustik.
sama dua teman saya ini yang luar biasa. Musician!
Pangsa pasar D’Cinnamons siapa aja sih?
Bona: Dan dibantu sama Allah yang pasti.
Bona: Awalnya, mahasiswa tingkat akhir sampai eksekutif muda aja sih. Sekarang, dari anak SD sampai kakek-kakek juga ada.
Dengan kehadiran Nana, ada warna baru di D’Cinnamons?
Dodo: Nah, itu. Kalau lagu udah masuk ke pasar,enggak tau gimana, tiba-tiba bisa meluas sendiri. Apa yang menginspirasi karya-karyaD’cinnamons? Bona: Biasanya dari kehidupan sehari-hari, inspirasi ceritanya gitu ya, rata-rata dari situ. Kalau saya lebih ke imajinasi. Yang di album kedua, kalau saya (inspirasinya) imajinasi, harapan, dan kayak gitu-gitu. Dodo: Kalau Dodo lebih (ke) curhat, pengalaman pribadi. Masih tentang relationship-lah. Nana: Penginnya inspiring sih. Kalau inspirasinya, dari diri sendiri juga. Sama, kehidupan pribadi.
Dodo: Pasti! Pasti ada. Di musiknya sendiri, Nana main basnya kan lebih powerful dibanding yang dulu, jadi warna barunya ada macemmacem. Dari lagunya juga, lagu Nana tuh unik-unik. D’Cinnamons sedang sibuk apa? Sepertinya akhirakhir ini jarang tampil di televisi. Dodo: Kenapa jarang? Karena kita sering off air. (Di) acara-acara musik kayak Dahsyat(kita) emang jarang (tampil). Kalau kemarin sih sempat (tampil) di Dahsyat. Itu agak bosen karena kalau kita (tampil) di televisi seperti Dahsyat (atau) Inbox, kita enggak boleh live performance. Jadi kita enggak boleh main
Bona: Motivasi hidup pokoknya. Kalau Nana ini inspirasinya dari Mario Teguh. Dari lagu-lagunya D’cinnamons, semangat apa yang ingin ditularkan ke pendengar? Bona: Yang pasti pesan-pesan moral yang positif. Dodo: Pesan-pesan pertemanan, pesan-pesan positif, semua berasal dari pikiran kita. Sebagai personel yang terhitung baru, gimana adaptasi Nana dengan personel D’Cinnamons yang lain? Nana: Susah-susah gampang sih sebenarnya. Karena saya kan pindah ke akustik, ada beberapa adaptasi yang harus dilakukan. D’cinnamons juga udah jalan, berarti saya harus lari. Bona: Tapi Nana pinter. Jadi, cepet gitu “nyangkutnya”. Nana: Adaptasi pasti ada, kalau masalah susah gampangnya, alhamdulillah dibantu Majalah Civitas | November 2012
33
wawancara gitar beneran. Mereka cuma mementingkan image, visual. Secara pribadi aku enggak nyaman nyanyinya. Jadi kemarin sempat ditolak tim juga yang (undangan dari) Dahsyat, Inbox. Mengenai album terbaru, kenapa judulnya Atlantis? Bona: Background-nya. Jadi di album D’Cinnamons yang ini ada judul lagunya Atlantis. Nah, kebetulan konsep cover albumnya juga ngikutin ke Atlantis. Kita foto-foto di daerah pantai di Bali, banyak batu karang-batu karang. Atlantis kan pusat kebudayaan, banyak hal-hal berbau positif juga di situ. Dodo: Kalau diasosiasiin sama musik-musik di albumnya, ini sebenarnya lebih beragam. Ada yang galau, ada yang semangat, macem-macemlah pokoknya. Jadi kayak budaya di Atlantis gitu. Atlantis itu kaya sekali akan budaya. Interested dan itu ada di Indonesia, jadi kita harus bangga. Setelah delapan tahun berkiprah, apa yang membuat D’Cinnamons eksis sampai sekarang?
Yang bikin kita eksis mungkin karena bertahan. Susah untuk bertahan, susah banget. Lebih gampang untuk bikin band baru daripada kita mempertahankan sesuatu yang sama untuk jangka waktu yang cukup lama. Bahkan untuk jadi legenda, itu bener-bener a lot of work. Terus yang paling susah itu saat kita kehilangan personel sebenarnya. Sempat down, sempat jatuh bangun juga, kita sempat sampai ke titik nol lagi. Kita enggak punya siapa-siapa, kita enggak tahu mau kemana juga. Tapi, setelah itu Nana dateng. Alhamdulillah, enggak tahu kenapa setelah Nana masuk, semuanya lancar banget. Dari job, ada aja yang ngundang. Mimpi apa yang belum tercapai oleh D’Cinnamons? Bona: Kita enggak muluk-muluk deh, yang penting album keluar dulu aja. Terus berikutnya, kontrak tiga album kita selesaiin. Habis itu gimana nanti. Tetap berkarya yang pasti. [Annisa Fitriana/Ericha Utami P.]
Bona: Persahabatan. Dodo: Bener, kita tuh di sini bersahabat. Sama tim, semua bersahabat. Buat kita tuh enggak ada industri musik, musik adalah sarana untuk berekspresi. Sound engineer kita, dia berekspresi, mengeluarkan seluruh tenaganya. Kru juga. Nah, kita saling menghargailah. Bahkan sopir kita juga nyeni loh.
34
Majalah Civitas | November 2012
wawancara
The Creativepreneur,
Helmy Yahya
L
ama besar di dunia hiburan kreatif Indonesia, si “Raja Kuis” Helmy Yahya kembali berkreasi. Juni lalu alumnus D-4 STAN tahun 1990 ini telah menelurkan film musikal anak Ambilkan Bulan. Misinya sederhana, menyelamatkan memori bocah-bocah Indonesia dari berondongan lagu-lagu dewasa zaman sekarang. Ia lantas mengangkat lagu-lagu anak ciptaan A.T. Mahmud ke dalam filmnya. Helmy yang sempat dipercaya menjadi “arsitek” upacara Pembukaan SEA Games XXVI di Palembang ini pun terus berbagi ideide kreatifnya. Helmy menerima wawancara dengan Civitas dalam kesempatan Picsets (Public Speaking and Enterpreneurship Seminar) Juli lalu. Berikut petikan wawancara kami dengan ayah tiga anak ini. Tiba-tiba bikin film “Ambilkan Bulan”, apa yang mau ditularkan?
Majalah Civitas | November 2012
Saya akan menggagas gerakan peduli lagu anak-anak. Ada keprihatinan kita bahwa anak-anak sekarang menyanyikan lagu yang tidak cocok untuk mereka. Nyanyi lagu Iwak Peyek, nyanyi lagu Keong Racun. Karena memang tidak ada lagu anak-anak. Jadi, ayamtelur mau mulai dari mana, ya kitalah mulai duluan. Jadi, kita berharap anakanak menyanyikan lagu yang cocok untuk usia mereka. Kita berharap bahwa gerakan ini akan sukses kalau orang tua mendukung. Ya cucilah dosa selama ini, membiarkan anak-anak terekspos dengan lagu yang belum pantas. Jadi, sekarang enggak zamannya lagi cuma protes: orang tua yang galau karena tidak ada lagu anak, enggak ada film anak, ini kita buat lagunya dan filmnya. Ya, ajak anakanaknya nonton. Kalau enggak, ya selesai. Orang Indonesia kan banyak begitu. Galau doang, protes doang. Tapi, they don’t do something. Do something!
35
wawancara
Tahun depan saya akan membuat film lagi ya. Mungkin karyanya Ibu Soed. Jadi mohon doanya. Tadi (dalam seminar Picsets), saya sudah (jadi) bagian dari proses creative enterpreneurship.
Passion saya (adalah) sesuatu yang membahagiakan saya. Berorganisasi, tergantung organisasinya. Mungkin kalau sekarang enggak. Saya lebih kepada organisasi perusahaan. Bagaimana memilih satu tim untuk mencapai sesuatu seperti saya menjadi Opening-Closing Sea Games (yang) melibatkan puluhan ribu orang.
Kalau Anda kreatif dengan film, bidang kreatif apa yang cocok untuk mahasiswa?
Sudah banyak hal yang dicoba, mau coba dunia apa lagi?
Kerja macam apa sih, tergantung orangnya ya. Ada yang skill-nya di sastra, ada yang skill-nya di organisasi, ada skill-nya di musik. Yang saya katakan tadi dalam seminar, gali potensi.
Saya mau mengalir saja. Menimang cucu, bersama istri, bersama anak saya.
Habis bikin film, apa lagi cara Anda untuk “menyelamatkan” anak-anak sekarang?
Saya sangat mengapresiasi, hari ini hanya satu kelas di STAN, yang membuat acara sepeti ini: Picsets. Wow. Bisa ngundang saya, bisa ngundang Edwin, dan diorganisasikan cukup rapi gitu. Ya, mungkin kemampuan mengorganisasikan juga adalah sesuatu yang (patut) kita apresiasi. Mungkinkah jadi PNS saja bisa kaya? Ya kalau (jadi) PNS (saja), itu enggak bakal kaya. Lucu kalau ada PNS kaya, pasti korupsi. Ya, walaupun dimensi kaya beda-beda kan. Tapi enggak bisa dikotomi begitu, gitu loh ya. Jadi, kita itu enggak cuma ngomong kaya, kita ngomongin tentang happiness, tentang kebahagiaan. Tidak semua juga orang kaya, happy. Ada orang kaya justru sakit-sakitan. Saya sudah bilang, apapun pilihannya, lakukan yang terbaik. Asal itu sesuai kata hati. Kenapa Anda lebih memilih dunia hiburan? Ya, kadang kan saya ada pilihan. Saya melihat, kayaknya saya lebih cocok kalau saya di luar. Jadi, saya lebih memilih kompetisi yang lebih di luar daripada hanya berkompetisi dari teman teman sendiri. Ruang saya di pegawai negeri sudah terlalu sempit untuk saya. Saya pikir, saya lebih cocok berada di luar. Saya orangnya suka mencoba, setelah mencoba jadi ketahuan mana yang cocok mana yang tidak.
Di tengah pemberitaan miring di media, apa pesan Anda untuk mahasiswa ? Ya kalau ada (yang) merasa nama STAN buruk, menurut saya enggaklah. Apa rusak STAN, oleh dua tiga orang perbuatan gitu saja. Tapi saya berpesan, anak-anak STAN harus menyandang nama besar almamater. Kita harus tunjukkan bahwa semuanya tidak seperti itu, dan yang seperti itu bukan alumni STAN saja. Mungkin tempat lain banyak ya. Kita cuma bingung kenapa setiap kali asal sekolahnya diungkapkan, ya sudahlah, ya. Mungkin kecemburuan orang. Berpikirlah positif. Jadi, kita berharap sebagai alumni, bagaimana menjaga kebesaran nama STAN. Tiap kali kita mencapai sesuatu itu pasti angin yang menerpa lebih keras lagi. Kita harus selalu siap dan kuat. Kompak! Enggak perlu juga saling menyalahkan. Tapi, saling mengingatkan. Teman-teman dari alumni, kan banyak juga yang dari kampung kali ya. Begitu mendapatkan peluang, malah gamang. Kita semuakan fraksi utusan daerah. Jadi, kadang-kadang mental kita harus siap. Kalau skill oke, mental oke, berarti untuk menjadi sukses itu perlu mentality. Siap atau tidak, mari kita menyiapkan itu!
[Ericha Utami P./Tendi Aristo]
Passion Anda apa?
36
Majalah Civitas | November 2012
opini
Bertahan di Ujung Tanduk
B
eberapa bulan lalu saya dan beberapa teman sempat berbincang perihal Ujian Saringan Masuk (USM) STAN. Saya mendapat kabar bahwa USM akan diadakan sekitar pertengahan Juli, dan pernyataan ini diperkuat dengan berita pegawai-pegawai STAN yang mengikuti pelatihan penyelenggaraan USM demi mempertahankan penghargaan level internasional yang didapat dua tahun lalu. Belum lagi, teman saya bercerita tentang ditolaknya peminjaman Gedung G di bulan Juni dengan alasan akan digunakan untuk persiapan USM.
Majalah Civitas | November 2012
Keyakinan saya terhadap dibukanya USM STAN menguat, ponsel menjadi sibuk menjawab pertanyaan adik-adik seberang kota yang penasaran dengan kampus kita ini. Kapan USM-nya? Pendaftarannya bagaimana? Persyaratannya apa saja? Sampai pada akhirnya BPPK secara resmi mengumumkan di laman official-nya, bahwa tidak akan ada USM STAN di tahun 2012. Harapan yang terbersit bahwa saya akan memiliki kembali adik tingkat, mengabur. Hal ini sekaligus
37
opini memupuk kekecewaan saya terhadap inovasi kebijakan pemerintah baru-baru ini. Sebagai mahasiswa STAN, tentu wajar jika berpandangan demikian. Tidak sedikit teman-teman kampus yang juga menyatakan kekecewaannya, terutama setelah jabatan Menteri Keuangan lepas dari tangan Sri Mulyani. Beberapa peraturan baru terkesan mendiskreditkan posisi mahasiswa Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), STAN khususnya. Lahirnya PMK 215 di awal tahun ini, misalnya, yang sedikit membuat ricuh mayoritas mahasiswa kita. Hampir seluruh mahasiswa di sini yang belajar dengan mimpi bersekolah, lulus, dan bekerja dalam zona nyaman, terusik dengan hadirnya peraturan baru yang menetapkan penyaringan kembali fresh graduate Kampus Ali Wardhana lewat psikotes. Kebijakan lainnya adalah moratorium yang berakhir Desember 2012, yang sempat membuat lulusan STAN tahun 2011 luntang-lantung tak keruan selama tiga bulan. Isu pembubaran STAN, yang konon selalu muncul setiap tahun, pun makin terasa kebenarannya. Mulai tahun kemarin, STAN tak lagi menerima mahasiswa D-3. Bahkan dosen saya pernah mengatakan bahwa STAN akan bermetamorfosis menjadi universitas di tahun ini, entah bagaimana sistemnya nanti.
BHP? Hal ini telah dibahas oleh Nurhidayati dalam tulisannya, “BLU STAN atau BLU BHP STAN?” di mediacenterstan.com Februari 2010. Isu dibubarkannya STAN ini juga makin marak akibat bumbu-bumbu media massa yang memojokkan kampus kita sebagai penebar benih generasi korup. Dari yang sudah jelas benar seperti Gayus Tambunan, atau yang masih berbau fitnah macam Dhana atau Ajib. Lapangan pekerjaan nanti, seperti yang telah teman-teman sadari, memang rentan fitnah, rawan kejahatan. Tidak menutup kemungkinan bahwa kita akan terjerumus ke sana; kalau tidak kena fitnah, ya memang karena iman tidak cukup tebal untuk melawan hawa nafsu berbuat curang demi mendapat keuntungan barang sedikit. Mahasiswa STAN seperti menjadi public enemy, sepanjang waktu menghimpun dan mengurus harta rakyat, salah sedikit almamater dihujat. Tidak yang sudah bekerja, tidak yang masih mahasiswa, tak jarang kena caci-maki, minimal cemoohan dari masyarakat sekitar. Kemudian kita melakukan pembelaan mati-matian, biasanya mengatasnamakan kita yang adalah sumber utama SDM Kementerian Keuangan. Pertanyaannya, apa memang masih pantas kita beranggapan demikian? Kualitas pendidik dan muatan pembelajarannya memang tak ada yang menafikan. Namun, apakah kualitas mahasiswanya sejalan seiringan?
STAN didirikan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 45 Tahun 1974 juncto Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1967 dengan landasan hukum PMK No.1/PMK/1977, yang memuat secara rinci sistem pendidikan, struktur pendidik, dan para mahasiswanya. Untuk peraturan terkait ikatan dinas, STAN merujuk pada KMK No.289/ KMK.014/2004 tentang Ketentuan Ikatan Dinas bagi Mahasiswa Program Diploma Bidang Keuangan di Lingkungan Departemen Keuangan. Sekilas peraturan-peraturan ini memang tidak bermasalah, hingga pada tahun 2010 disahkan PP Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan. Berlakunya kebijakan baru ini mengakibatkan PTK terkait harus menyesuaikan bentuk dan sistemnya agar tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah tersebut.
Pertama terkait akademis. Skill dalam mengelola keuangan, pengetahuan pajak, wawasan dalam peraturan keuangan negara dan lain sebagainya, dosen HKN saya, Bapak A.Y. Suryanajaya berpendapat bahwa seharusnya kita memang menguasai, karena dalam kacamata masyarakat awam, kita adalah ahli keuangan.
Untuk yang penasaran mengapa STAN makin tidak jelas, ini dia alasannya: karena bagaimanapun, STAN harus mengikuti aturan main—mau jadi BLU, atau
Benar, sebagian alumnus STAN memang menjadi ahli keuangan negara. Kalaupun tidak ahli, kinerja mereka jempolan, karena mengelola keuangan
38
Saya tidak akan bicara secara ilmiah dengan data statistik dan sebagainya. Yang ingin saya tekankan ialah apa yang saya dengar dan apa yang saya tangkap dari komentar orang-orang yang berinteraksi dengan mahasiswa dan alumni STAN.
Majalah Civitas | November 2012
opini negara tak dibutuhkan SDM yang guyonan. Mengapa saya mengungkit hal ini? Karena ada sumber yang mengatakan bahwa terdapat tenaga kerja pasokan dari STAN dengan kinerja mengecewakan. Disinyalir, alumni STAN macam ini ialah hasil belas kasihan para dosen. Sifat subjektif dosen dalam penilaian memang kadang menjadi buah simalakama. Ketika seorang dosen memberikan vonis nilai rendah terhadap mahasiswa yang belajar segan drop out tak mau, sang dosen dianggap tak memiliki welas asih untuk mempertahankan sang murid. Namun apabila rasa tak tega membiarkan mahasiswa berkemampuan buruk untuk terus lanjut, jika nantinya instansi terkait yang menerima tenaga kerja tersebut merasa dirugikan, maka pertanyaannya juga akan dilempar kepada pendidik: “Bagaimana bisa mahasiswa macam ini bertahan di kampus?” Maka saya hanya bisa berandai-andai akan adanya sistem penilaian yang benar-benar transparan dan melaksanakan ketegasan batas-batas kompetensi dengan melempar jauh-jauh sifat subjektif seorang dosen. Ya, andai-andai saja. Kedua, perihal moral. Sudah sering saya mendengar cerita perilaku tak terpuji beberapa oknum terhadap atasan atau pun terhadap pekerjaan. Mulai dari alumni yang tidak mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan “remeh” karena baginya tidak ada hubungannya dengan yang selama ini dipelajari; perilaku meremehkan terhadap rekan kerja yang lebih tua namun secara pangkat lebih rendah; atau sikap saling melindungi ketika rekan kerja satu almamater melakukan kesalahan—rasa tidak enak lebih tepatnya, jika mengoreksi pekerjaan teman sendiri. Itu perihal moral di lingkungan kantor, belum di masyarakat sekitar. Suatu sore saya berbincang dengan seorang tetangga, dan mendapati beliau berkeluh kesah akan kondisi mahasiswa STAN saat ini. Menurutnya, mahasiswa sekarang kurang dekat dengan warga sekitar, bahkan rasa toleransi sebagai sesama penduduk yang tinggal dalam satu wilayah harus dipertanyakan. Sudah jarang mahasiswa yang membantu kegiatan kampung sekitar. Ditambah mahasiswa yang sering menimbulkan keributan di malam hari. Sadar atau Majalah Civitas | November 2012
tidak, hal tersebut membuat penduduk sekitar yang ingin beristirahat merasa terganggu. Omelan dari tetangga kanan kiri sudah sering dilontarkan pada mahasiswa, akan tetapi fenomena ini tak kunjung reda. Beliau bahkan bercerita bahwa dirinya pernah menyiram mahasiswa yang ribut ini dengan air karena omelannya tak dihiraukan. Bukan apa-apa, selain merasa terganggu, beliau juga ingin melindungi mahasiswa ini sebelum pemuda kampung yang merasa terganggu maju dengan kekerasan. Mendengarnya, saya benar-benar malu. Penuturan kawan lain menyebutkan, beberapa kali RT atau RW mengajak mahasiswa untuk bekerja bakti. Dalam satu wilayah kos sekitar kampus tentu banyak jumlah mahasiswa. Yang datang? Satu dua gelintir saja. Atau cerita yang ini: kisah tabrak lari yang terjadi di sekitar jalan depan kampus. Saya merasa tidak percaya ketika kawan saya menuturkan pelakunya adalah mahasiswa kampus sendiri. Padahal, saya yakin semua mahasiswa STAN adalah orang-orang yang baik akal budinya, mana mungkin menjadi pelaku tabrak lari. Ternyata, e, ternyata, ujar saksi mata pelakunya memakai kemeja dan celana bahan seperti mahasiswa STAN, ditambah kartu identitas berkalung biru. Kalung biru, siapa lagi kalau bukan anak STAN, katanya.
O,anakSTAN.Sudahmaububar, kalautingkattigataklulustakbisalagi mengulang,sekarangorangyangtaksuka tambah di mana-mana. Organisasi menjadi hal selanjutnya yang patut dibicarakan. Seperti telah kita ketahui selama ini, STAN merupakan PTK paling dinamis di Indonesia dengan segala kegiatan kemahasiswaannya. Dari yang berbau politik, rohani, hingga seni. Dari yang berumur baru beberapa hari, hingga berpuluh tahun, semua ada untuk mewadahi kompetensi non-akademis mahasiswa. Sepaham saya, semua organisasi dan komunitas di sini telah matang dan memiliki kesinambungan dari periode satu ke periode lainnya. Kaderisasinya
39
opini mantap. Ditambah karena selama ini sampai dua tahun yang lalu perguliran generasi mahasiswa baru sebagai sumber daya manusia jumlahnya mencukupi. Kini banyak punggawa kegiatan mahasiswa yang merasa kebingungan karena sedikitnya SDM. Kurang panitia, minim peserta, sudah biasa. Beberapa warga sekitar kampus yang menggawangi kegiatan sosial semacam mengajar anak-anak kurang beruntung atau sekedar mengajar baca tulis Alquran di masjid pun mengakui mulai sepinya relawan mahasiswa akhir-akhir ini.
sehingga kita lupa mengintrospeksi diri sendiri, atau terlalu optimis sehingga tidak melihat kanan-kiri yang seharusnya bisa dibenahi. Untuk mencari pembelaan, kita biasanya berkutat menyusuri sejarah, mengais fakta yang bisa kita gunakan untuk kembali merajut citra yang indah sebagai orang yang mengusung nama STAN sebagai almamater. Untuk mencari harapan indahnya masa depan yang akan kita jalani nanti, kita sibuk menyalahkan pihak-pihak yang menyudutkan, mencari kambing hitam akan jatuhnya harapan yang kita bawa ketika memasuki kampus ini.
Saya juga yakin bahwa banyak para anggota organisasi dan komunitas yang mulai pusing memikirkan bagaimana memperpanjang usia wadah kegiatan mereka. Karena cinta, tentu tak rela mereka menyaksikan organisasi dan komunitas yang sudah dibangun bertahun-tahun kandas begitu saja di tengah jalan. Apalagi jika sudah menelurkan berbagai macam prestasi dan kenangan yang memorable.
Salahkah? Tidak sepenuhnya. Silakan merepresentasikan diri sebagai mahasiswa STAN, kampus dengan prestasi sekian, atau mengkritisi kebijakan dewan terhormat dengan alasan sedemikian.
Beberapa gagasan pun muncul dari orang- sekitar, seperti melanjutkan organisasi sesedikit apapun orang di kampus, atau menitipkan seluruh aset pada lembaga untuk nantinya dipakai kembali jika memang ada generasi yang melanjutkan, atau membuat kitab petunjuk abadi menjalankan organisasi ini dan itu. Ya, memang, ketika kegiatan kita memiliki nilai-nilai luhur dan kebaikan, mengapa tidak dilanjutkan? Intinya, hal ini akan menjadi PR kita semua dalam tenggat waktu yang dekat.
Bolehlah saya mengajak kawan-kawan semua untuk menjadi generasi emas, generasi kampus yang katanya terakhir, untuk menjadi agent of change yang sebenarnya. Untuk saya, pengabdian kata kuncinya. Baik untuk kemaslahatan kampus atau masyarakat. Membuka mata, untuk melihat peluang di sekitar kita yang akan membawa diri menjadi lebih baik. Berlatih mengikhlaskan hati untuk melayani masyarakat, dengan terjun ke dalamnya, mengaplikasikan potensi yang kita punya, sekaligus menumbuhkannya ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan macam yang lebih banyak.
Semoga penyalur aspirasi mahasiswa dan eksekutornya di kampus sudah mulai memikirkan bagaimana memberlangsungkan organisasiorganisasi dan komunitas-komunitas mahasiswa ini. Bercanda sedikit, lagian, saya sendiri juga pusing kalau memikirkan siapa yang akan menjadi panitia wisuda angkatan saya. Bukan, bukan berarti saya ingin menjadi korlak, hanya ikut pusing saja. Masa mau wisuda bergantian? Lelah tentu. Mau pakai event organizer? Mahal kabarnya. Mengajukan pegawai Sekretariat sebagai panitia? Takut bilangnya. O, dilema. Jadi, apa sebenarnya yang ingin saya katakan? Bisa jadi pandangan saya ini pesimis, skeptis. Akan tetapi saya merasa ini lebih baik daripada kita terus berfokus pada hal-hal yang membanggakan
40
Hanya mengingatkan saja kawan, bahwa kita sebagai mahasiswa juga seharusnya sepadan dengan apa yang kita bawakan.
Karenakitaadalahgenerasiyang akanberhasilbertahandarikerasnya guncangan,dariujungtandukkeujung lain yang lebih tinggi! [Diena Novianti M.] Penulis adalah mahasiswa kelas 3-Y Spesialisasi Akuntansi Pemerintahan Majalah Civitas | November 2012
opini
Sekolah Pencetak Koruptor?
S
ejak dulu STAN merupakan kampus yang prestisius dengan segudang stigma yang melekat padanya. Saya teringat saat mendaftarkan diri untuk ikut tes ujian STAN di kampus Jurangmangu pada tahun 1993. Saat itu saya melihat mahasiswa STAN adalah mahasiswa yang super serius, dengan kaca mata yang tebal dan buku-buku yang tidak kalah tebal pula. Saya hanya bisa bergumam, “OMG... Kampus STAN tempatnya orang pintar semua. Can I make it?” Setelah saya akhirnya bisa kuliah di STAN, saya pun tersadar bahwa teman-teman saya memang Majalah Civitas | November 2012
orang-orang berkualitas dari daerahnya masingmasing. Berteman dengan orang-orang pintar pastinya memiliki tantangan tersendiri. Selain itu, saya juga sempat merasakan shock lingkungan, karena kampus STAN adalah kampus nusantara. Hampir semua suku bangsa ada di STAN, sehingga mahasiswa yang berasal dari Jakarta (daerah asal saya) menjadi minoritas. Tapi dari keberagamannya itulah kemudian saya belajar banyak hal, terutama bagaimana bersosialiasi dalam dinamika keberagaman.
41
opini Saat lulus dari STAN pun, stigma yang diberikan kepada alumni STAN oleh para senior di kantor tidak terlepas dari “jebolan kampus pintar”. Untuk itu, banyak sekali anak STAN yang langsung diberdayakan oleh para senior. Hal ini terbukti efektif bahwa lulusan STAN sudah ready to work karena memang sejak kuliah telah diajarkan untuk menjadi lulusan yang siap pakai. Lihat saja dari pilihan program spesialisasi yang sudah dijuruskan untuk konsumsi hampir tiap Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. Dengan demikian, tidak heran jika lulusan STAN dianggap lebih siap untuk bekerja bila dibandingkan dengan lulusan dari perguruan tinggi lain. Tetapi, yang sangat disayangkan adalah saat lulusan STAN terbuai dengan sebuah comfort zone; bahwa alumni STAN adalah lulusan berkualitas, bahwa lulusan STAN adalah lulusan yang siap pakai. Kenyamanan tersebut ternyata hanya sebuah fatamorgana yang akhirnya menjadi sebuah death trap. Tak jarang saya menyaksikan kawan-kawan saya enggan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan alasan sudah terlalu nyaman dengan suasana pekerjaan. Yang lebih sedih lagi adalah jika penempatan mereka di daerah terpencil tidak memungkinkan untuk meneruskan kuliah lagi. Hal ini tentunya sangat disayangkan, mutiaramutiara tersebut akhirnya kurang bisa berkilau karena kurang dipoles—atau tidak mau dipoles lagi. Kondisi tersebut dalam jangka panjang ternyata mengakibatkan proses kaderisasi petinggi di tubuh Kemenkeu yang berasal dari STAN menjadi kurang optimal. Biar bagaimanapun, jika ingin survive dalam dunia birokrasi, maka portofolio pendidikan menjadi sangat penting. Ijazah D-3 dengan nilai cum laude saja tidak cukup untuk dilirik menduduki jabatan tertentu. Tidak hanya itu saja, lambatnya proses kaderisasi sumber daya yang berkualitas juga antara lain disebabkan dengan kenyataan bahwa banyak alumni berkualitas yang hengkang dari Kementerian Keuangan. Hal ini menyebabkan banyak alumni junior yang belum mendapatkan kaderisasi secara optimal dari alumni senior. Lalu, apakah alumni STAN yang tersisa di birokrasi adalah alumni bejat yang tidak laku di pasaran dan yang tidak mau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi?
42
“Tetapi, yang sangat disayangkanadalahsaat lulusanSTANterbuai dengansebuahcomfort zone...” Well, terus terang hal ini sempat menggelitik alam bawah sadar saya, apalagi dengan hantaman media nasional yang sangat gencar menggiring opini tertentu kepada publik terhadap keberadaan STAN sejak kasus Gayus Tambunan merebak. Ditambah lagi, belakangan ini juga muncul kasus-kasus lainnya yang juga mencoba menghubungkan antara oknum-oknum tertentu dengan STAN. Alhasil, saat ini tidak bisa disalahkan jika kemudian opini masyarakat telah tergiring bahwa STAN adalah sekolah pencetak koruptor. Coba kita renungkan, apakah ada sekolah atau kampus yang menginginkan lulusannya menjadi seorang koruptor? Tentu saja tidak. Segenap civitas akademika malah sangat menghujat perilaku korup yang dilakukan oleh lulusannya. Tapi yang menggelitik dan menjadi pertanyaan, mengapa ketika kasus Gayus dan beberapa lainnya merebak ke permukaan, seluruh media sontak menghubungkannya dengan almamater mereka—STAN? Mengapa ketika kasus korupsi lain yang saat ini sedang santer dibicarakan dan melibatkan politisi serta the rulling party tidak dikaitkan dengan di mana mereka dulu sekolah? STAN boleh jadi merupakan sekolah yang memiliki prestise yang sangat tinggi. Bagaimana tidak, untuk bisa masuk ke STAN ujian saringannya begitu ketat. Belum lagi dengan sistem drop out (DO) yang diterapkan kepada mahasiswa sehingga tidak ada tempat untuk mereka yang hanya ingin “sekedar kuliah”. Ditambah lagi, lulusan STAN hampir semuanya mendapatkan pass ticket untuk menjadi PNS di Kementerian Keuangan. Walaupun pass ticket tersebut harus ditunjukkan dengan kelulusan atas serangkaian tes untuk bisa diangkat sebagai PNS, misalnya dengan mengikuti ujian prajabatan dan tes kesehatan. Mungkin dengan segala bentuk fasilitas dan kenyamanan inilah yang kemudian membentuk opini bahwa STAN adalah kampus elite dan kampus yang dibiayai oleh rakyat (dari pajak). Hal ini menyebabkan tuntutan masyarakat atas lulusan STAN menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan lulusan perguruan
Majalah Civitas | November 2012
opini tinggi lainnya, termasuk dalam hal pemberantasan korupsi. Masyarakat menganggap bahwa lulusan STAN harus bebas dari korupsi, di mana memang terbukti selama ini hanya beberapa kasus saja yang muncul ke permukaan. Setiap kesempatan saya mengajar di STAN, saya selalu mengatakan bahwa saya tidak sedang mengajar para calon pelaksana di Kementerian Keuangan, tapi saya sedang mengajar calon pemimpin-pemimpin di Kementerian Keuangan. Untuk itu, saya selalu membiasakan diri untuk memberikan value added dengan pencerahan mengenai lingkungan kerja, empati, pengabdian kepada masyarakat, serta semangat untuk membangun korps yang lebih baik. Mungkin tidak terlalu muluk-muluk jika saya kemudian memberikan contoh-contoh perilaku alumni STAN yang baik dan bisa dijadikan panutan, serta eksis di masyarakat. Banyak sekali lulusan STAN yang sudah eksis di masyarakat dan negara ini, tapi sayangnya nyaris tidak terpublikasikan dan tidak dihubungkan dengan STAN. Tidak hanya itu, jika melihat mata kuliah yang diajarkan di STAN, terdapat pula mata kuliah yang memberikan materi-materi mengenai kode etik PNS dan Kemenkeu, serta kapita selekta. Mungkin hanya STAN sajalah sekolah yang mengajarkan mengenai kode etik PNS karena memang lulusan STAN diharapkan langsung memiliki dasar-dasar pengetahuan mengenai etika PNS. Namun sepertinya hal ini menjadi marginal manakala ada pemberitaan yang kurang seimbang mengenai dugaan mafia korupsi yang diduga melibatkan lulusan STAN. Sungguh sebuah kondisi yang sangat tidak menyenangkan tatkala peribahasa “gara-gara nila setitik maka rusak susu sebelanga” sedang dihadapi oleh segenap civitas akademika dan lulusan STAN. Dibutuhkan kearifan dan kedewasaan dalam beropini sehingga istilah “sekolah pencetak koruptor” tidak menjadi stigma atas dugaan perilaku korup yang dilakukan oleh lulusan STAN. Pun, juga tidak terjadi lagi di perguruan tinggi lainnya. [Erny Murniasih] Penulis adalah alumnus Program D-3 Anggaran STAN angkatan masuk tahun 1993. Sekarang bekerja di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Majalah Civitas | November 2012
43
obrolan bengkel
Identitas Abu-abu Kualitas sebuah percakapan dinilai dari interaksi yang terjadi. Percakapan satu arah? Itu bukan percakapan, melainkan monolog. Pun ketika rasa ingin tahu hanya muncul dari satu pihak, itu disebut wawancara. Demi mendapatkan sebuah percakapan berkualitas, pernahkan kalian melakukan suatu hal yang tak lazim, seperti menyamarkan identitas misalnya? ***
K
ereta menjadi transportasi publik favorit saya untuk bepergian, baik melancong, pulang kampung, ataupun sekadar berjalanjalan bersama kawan. Ada semacam kedekatan dan kontak langsung terhadap ricuhnya rutinitas orangorang di atas kereta. Dan yang paling penting, ada sensasi baru yang diperoleh ketika kita tanpa sengaja “terciprat” warna-warni kehidupan orang lain. Pelajaran-pelajaran berharga—pengorbanan, kesetiaan, perjuangan, keramahtamahan—saya temukan terutama ketika berada di kereta kelas ekonomi. Ketika saya terlibat sebuah percakapan di kereta, pertanyaan pembuka yang umum terjadi adalah, “Ke Jakarta, kuliah atau kerja?” Jika saya menjawabnya dengan kuliah, otomatis akan timbul pertanyaan selanjutnya, “Di mana?” Kemudian, biasanya, spontan saya menjawab: STAN. “Oh, STAN ya,” komentar si penanya, biasanya sambil mengangguk-angguk. Pertanyaan
44
selanjutnya, “STAN masih ikatan dinas?” Dan kemudian muncullah pertanyaan-pertanyaan lain seputar STAN. Ketika saya mencoba mengalihkan pembicaraan, misalnya dengan bertanya mengenai kehidupan si lawan bicara, atau mengajak diskusi— tentang tata ruang, kemacetan, persaingan hidup, atau harga barang-barang di Jakarta—tetap saja, seringnya si lawan bicara akan kembali ke minat utamanya: STAN. Sekali dua kali, oke. Namun jika hal ini terjadi di setiap perjalanan saya? Bosan juga rasanya. Di sinilah terjadi titik balik. Ketika ditanya tempat kuliah, STAN tidak lagi menjadi jawaban saya. Saya akan menjawab Bintaro. Jawaban ini masih masuk dalam koridor kejujuran sebab STAN memang berlokasi di Bintaro. Namun suatu ketika, timbul suatu keisengan. Entah mengapa, saya menginginkan sebuah percakapan yang berkualitas dan saya berpikir itu tidak akan saya dapatkan jika saya memunculkan identitas diri sebagai mahasiswi STAN. Lantas dengan setengah ragu namun tetap yakin, saya berpura-pura menjadi mahasiswi Universitas X, sebuah perguruan tinggi negeri yang bukan kedinasan. Dan benar saja, setelah saya memperkenalkan diri sebagai mahasiswi Universitas X, terciptalah percakapan yang aduhai dengan seorang bapak. Kami berdiskusi, saling berargumen, juga beradu cerita. Menyoal pendidikan, doktrin kepastian
Majalah Civitas | November 2012
obrolan bengkel gaji PNS, sistem keuangan di perusahaan swasta, kesenjangan perekonomian antarprovinsi, penatnya kehidupan di ibu kota, dan topik lainnya. Si Bapak mengajukan topik, saya menanggapinya. Terkadang manggut-manggut karena argumennya, tetapi tak jarang juga saya mengajukan premis yang berseberangan. Kami mengobrol, bercerita, tanpa dihantui pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin saya bahas: tentang STAN. Cerita yang lain. Pernah suatu ketika, saya dan seorang kawan sesama mahasiswa Kebendaharaan Negara sedang dalam perjalanan ke Banyuwangi. Kami bertemu seorang bapak yang menanyakan tempat kuliah kami beserta jurusannya. Kawan saya ini lantas membisiki saya, “Jangan bilang kebendaharaan negara, bilang saja akuntansi, lebih umum.” Kuliah di mana? Jakarta. Jurusan? Akuntansi. Setelah itu, percakapan yang tak kalah aduhai terjadi. Dari percakapan singkat tersebut mata saya setidaknya menjadi lebih terbuka mengenai pandangan orang-orang di luar pemerintahan. Dalam dunia jurnalistik, mungkin inilah salah satu upaya untuk mencapai netralitas: melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang. *** Saya pernah bertanya kepada seorang kawan, “Pernahkan kamu merasa tidak pede, enggan, atau malu ketika harus menjawab STAN sebagai kampusmu?” Si kawan menjawab: pernah. Artinya, bukan saya saja yang mengalaminya. Krisis identitaskah? Mungkin orang lain akan menyebut apa yang saya lakukan ini sebagai krisis identitas, rasa kurang percaya diri akan identitas yang sebenarnya. Ketika orang-orang di sekitar kita—orang tua, sanak saudara, tetangga, atau teman semasa SMA—bangga dan mungkin sedikit iri karena
Majalah Civitas | November 2012
kita dapat berkuliah di STAN, ironi jika kita malah menyembunyikan identitas diri. Memang, kampus kita didera berbagai isu miring di media karena nila yang ditorehkan beberapa alumnus. Belum lagi akhir-akhir ini seolah kebijakan kementerian relatif tidak memihak pada kita. Tapi, kualitas lulusan STAN, siapa yang menyangsikan? Saya sendiri lebih suka menganggap yang saya alami ini sebagai efek samping dari kebosanan: menginginkan percakapan yang berbeda dan berkualitas, di mana hal tersebut tidak mudah didapatkan ketika saya dengan gamblang menyebutkan identitas kampus saya. Daripada terpaku pada persoalan krisis-identitasatau-bukan, dan menyalahkan diri sendiri karena dianggap tidak terlalu bangga dengan identitas kampus, lebih baik kita ambil sisi positifnya. Setidaknya, dengan mencoba hal baru, kita pun akan mendapat pengalaman dan pengetahuan baru. Ini bukan berarti saya menyarankan untuk berbohong. Namun, cobalah berpikir out of the box dengan melihat sebuah permasalahan tidak hanya dari satu sudut pandang. Dunia kita tidak sebatas dunia pemerintahan. Ada banyak hal lain yang belum kita ketahui, masih ada informasi yang tidak kita dapat di bangku perkuliahan, dan banyak kabar yang tidak terungkap oleh media. Karenanya saya berpikir, untuk memperoleh informasi-informasi tersebut, kita boleh, atau mungkin perlu, menyamarkan identitas. *** Kembali ke perbincangan saya dengan si Bapak dimana saya berpura-pura menjadi mahasiswi Universitas X. Di akhir perbincangan, si Bapak kemudian menceletuk ,”Dulu saya juga pernah bertemu mahasiswa ngereta ke Jakarta. Tapi dia bukan dari Universitas X, dia dari STAN.” Saya terdiam, gamang sejenak. Kemudian, hanya senyum kikuk yang terbit dari wajah saya. [Muamaroh Husnantiya]
45
obrolan bengkel
Menyelami Kesadaran
T
eringat cerita seorang kawan tentang dua penyelam di Taman Laut Bunaken. Ia membacanya dari buku Jalan Cinta Para Pejuang yang ditulis dengan sangat lembut oleh Salim A. Fillah. Dikisahkan, seorang penyelam sedang menikmati indahnya pesona laut dengan perlengkapan selam, komplet. Di kedalaman tertentu ia bertemu dengan penyelam lain yang sama sekali tidak menggunakan peralatan selam. Dalam hati ia bergumam, “Hebat!” Si penyelam pertama kemudian menyelam lebih dalam lagi. Matanya menangkap penyelam kedua juga melakukan hal yang sama, sehingga bertambahlah kekaguman penyelam pertama. Dihampirinya penyelam kedua, dinyatakanlah
46
kekagumannya pada penyelam tanpa alat bantu tersebut. “Hebat sekali! Luar biasa!” teriaknya takjub ketika sudah bersisian dengan penyelam kedua. Menanggapi itu, dengan tenaga yang dikerahkan sepenuhnya, penyelam kedua berteriak memaki di telinga si pengagum. Benar, memaki. Karena ternyata, penyelam kedua sedang tenggelam. *** Dalam cerita tersebut, Salim menganalogikan laut indah Bunaken sebagai lautan kehidupan Majalah Civitas | November 2012
obrolan bengkel yang harus diselami dengan kesadaran. Karena dengan kesadaran, manusia bisa mengerahkan pikiran dan indra untuk menikmati indahnya hidup sebagaimana si penyelam telah mempersiapkan peralatan selam untuk menikmati keindahan bawah laut. Sementara penyelam yang tenggelam hanya mampu merutuk, mengumpat, gelagapan, bahkan kesakitan di tengah luasnya keindahan Bunaken.
Menjalanihiduptanpa kesadaranmembuatkita sampaipadakeadaan‘tibatiba’yangseakanterlewat dari kesadaran kita.
dijumpa. Makin panik tatkala melihat jam, waktu tak lagi senggang. Walakhir, saya hanya bisa membenarkan perkataan dosen statistika saya ketika kami ketahuan baru mengerjakan tugas sesaat sebelum beliau memulai mata kuliah, “Ya, memang pekerja keras, tetapi dalam tanda kutip. (Pekerja keras) di akhir.” Sekali lagi, ‘pekerja keras di akhir’. Sebuah ironi bagi orang-orang yang enggan disebut suka menunda-nunda. Sebuah tohokan bagi yang ingin disebut luar biasa. Berkaca lagi, mungkin selama ini usaha kita menyelami laut dengan penuh kesadaran, hanya sebatas hasta. [Salsabila Ummu S.]
Seperti saat menyadari bahwa tiba-tiba kita sudah jadi mahasiswa tingkat akhir, sedangkan rasanya baru kemarin berpenat-penat di Gedung G untuk daftar ulang. Keadaan ‘tiba-tiba’ yang sama juga mungkin terjadi menjelang pekan ujian. Ketika waktu delapan minggu yang terus bergulir serasa tak cukup mendorong kesadaran kita untuk memberi yang terbaik selama hari-hari kuliah. Biasanya beralasan, “Ah nanti, bisa mengandalkan kisi-kisi.” Kemudian hidup kita menjadi tenang-tenang saja. Mengabaikan kesadaran yang kadang timbul untuk mengingatkan. Barulah satu atau dua minggu menjelang hari H, kita menjadi sadar sesadar-sadarnya. Membeli paket soal bahas. Sibuk mengikuti tentir. Mengumpulkan kisi-kisi dalam bentuk apapun. Apa saja. Meski umumnya tidak semua materi mampu terjamah dalam waktu yang sedemikian singkat, kita tetap melakukan itu dengan dalih, “Sekedar menenangkan hati.” Jam begadang yang sebelumnya diisi dengan menghabiskan beberapa babak game online atau beberapa seri drama Korea, saat ujian diganti dengan berkutat bersama berlembar-lembar materi dan kisi-kisi. Kepanikan bertambah saat menyadari betapa banyak materi yang luput dipelajari. Malah sibuk mengira-ngira, soal apa yang esok mungkin
Majalah Civitas | November 2012
47
obrolan bengkel
B
eberapa waktu lalu saya sempat menyaksikan sebuah talkshow yang menghadirkan Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan. Tak perlulah saya ceritakan seperti apa talkshow tersebut, yang jelas cukup banyak perkataan Menteri nyentrik ini yang menginspirasi. Telinga saya tergelitik dengan salah satu istilah yang beliau utarakan, yaitu mengenai “pembunuhan akal sehat”.
Dalam talkshow tersebut, Dahlan Iskan mengatakan bahwa belakangan ini sedikit demi sedikit telah terjadi pembunuhan akal sehat di masyarakat. Untuk menghidupkan kembali akal sehat tersebut, Dahlan Iskan pun melakukan aksi-aksi eksentrik— yang menurut beberapa kalangan tidak wajar jika dilakukan oleh seorang Menteri. Menteri Negara BUMN ini kemudian mencontohkan salah satu aksinya, membuka pintu tol dalam kota Jakarta pada 20 Maret dan 9 April 2012. Menurut pandangan beliau, kemacetan tidak seharusnya terjadi. Namun, saking seringnya masyarakat berhadapan dengan kemacetan, hal tersebut kian hari kian dianggap wajar terjadi. Masyarakat Jakarta pun telah memaklumi kemacetan sebagai suatu keniscayaan, khususnya di pagi dan sore hari.
48
Masih Punya Akal Sehat Melalui aksinya, Dahlan Iskan ingin menunjukkan pada masyarakat bahwa apa pun alasannya, kemacetan itu bukan hal yang wajar, apalagi bila kemacetan itu disebabkan oleh “keteledoran” oknum yang menganggap macet-itu-biasa, seperti kasus pintu tol yang tak kunjung dibuka pagi itu. Dari sekian banyak contoh aksi Dahlan Iskan, saya membuat definisi sederhana tentang “pembunuhan akal sehat”. Pembunuhan akal sehat adalah suatu kondisi ketika hal-hal yang mulanya dianggap sebagai hal yang salah atau tak wajar terjadi, justru dianggap sebagai hal biasa yang lazim terjadi, atau kebalikannya, hal yang mulanya dianggap sebagai hal yang benar atau wajar terjadi justru dianggap sebagai hal yang tak lazim terjadi. Sekarang kita kesampingkan dulu aksi-aksi Dahlan Iskan yang berupaya menghidupkan kembali akal sehat yang sedang dibunuh perlahan itu. Mahasiswa, mari kita renungkan, adakah aksi-aksi sederhana dari kita? Atau jangan-jangan, kita tengah menjadi pembunuh bagi akal sehat kita sendiri? Kita ambil contoh yang simpel saja, yakni soal terlambat atau bahasa anak mudanya, ngaret. Seberapa sering kita berpikir untuk datang mepet
Majalah Civitas | November 2012
obrolan bengkel dengan jadwal yang ditentukan pada suatu pertemuan? Apakah sesering kita berkumpul dengan kawan-kawan, rapat organisasi, atau bahkan tatap muka kuliah? Mungkin dengan alasan sesederhana bahwa akan ada orang lain yang datang lebih telat, atau malah sampai berkeyakinan bahwa jadwal tersebut sudah dibuat untuk mengantisipasi adanya keterlambatan, tanpa sadar, kitalah para pembunuh akal sehat. Kalau demikian, harus bagaimana lagi kita memaknai frasa “tepat waktu”? Seharusnya kita paham bahwa kebiasaan ngaret bukanlah kebiasaan yang baik, pun bukan kebiasaan yang bisa diwajarkan terjadi. Namun, sepertinya otak kita sudah “di-install ulang” sehingga menganggap lazim hal macam itu. Masih soal ngaret, kita ambil contoh lain yang pasti juga dekat dengan kita yang masih mahasiswa ini. Seberapa sering kita menunda-nunda menyelesaikan pekerjaan? Begitu saja berlapang dadakah kita menerima julukan prokrastinator gara-gara mengerjakan tugas (atau tugas-tugas?) mepet dengan batas akhir pengumpulan? Tugas apa sajalah. Tugas kuliah, tugas organisasi, atau mungkin tugas sederhana macam “tolong nanti foto makrab kelas diunggah ya”. Menyebut istilah prokrastinator, saya jadi teringat satu istilah lagi, SKS (Sistem Kebut Semalam—atau Sejam?). Lagi-lagi, menurut penafsiran sederhana saya, kalau prokrastinator adalah sebutan bagi pelaku, SKS adalah sebutan bagi perilakunya. Seberapa sering kita menjalankan sistem SKS dalam menghadapi ujian? Mungkin memang tak semua dari kita sering atau pernah menjalankan sistem semacam itu. Namun, pasti ada kan kawan kita yang seperti itu? Terlepas dari argumen bahwa cara belajar tiap orang berbeda-beda atau tiap orang punya karakter masing-masing, sesungguhnya kita tau bahwa
“Yangperlukitalakukanadalah mengaturjadwaldenganbaik,agar pekerjaanyangsalingtindihitudapat terselesaikandenganbaikpula.“ Majalah Civitas | November 2012
kebiasaan menunda-nunda pekerjaan bukanlah hal yang benar untuk dilakukan. Sebut saja alasan bahwa kita punya kesibukan yang padat setiap harinya, sehingga harus ada trade-off antara yang harus disegerakan dan yang bisa dikerjakan kemudian. Anggap saja alasan itu benar. Yang perlu kita lakukan adalah mengatur jadwal dengan baik, agar pekerjaan yang saling tindih itu dapat terselesaikan dengan baik pula. Namun, sebagai mahasiswa yang juga diberi amanah untuk duduk manis di bangku kuliah, ada baiknya tugas kuliah tak lantas jauh dikesampingkan dari tugas organisasi. Itu hanya pendapat saya, yang—sebut saja—baru sadar kalau punya tanggung jawab untuk belajar. Lupakan tentang organisasi. Ada satu hal lagi yang terbersit dalam pikiran saya terkait tugas-tugas kuliah ini. Pernahkah kita melabeli oknum teman kita dengan sebutan nerd atau menuduhnya “psytrap” gara-gara rajin mengerjakan tugas dan rajin belajar? Walaupun memang, sebagian orang memberi label itu hanya untuk bercanda. Baiklah. Menurut saya, mereka hanya sedang menjadi mahasiswa dengan tipe pembelajar. Mungkin kelak mereka akan jadi profesor atau peneliti ternama karena memang lebih fokus mendalami ilmu. Ada beberapa hal yang kini dianggap lazim, tetapi ada pula yang kini justru dianggap tak lazim (bagi sebagian orang). Masih ada banyak hal yang seharusnya bisa akrab dengan dunia anak muda macam kita-kita ini, seperti ikut seminar sana-sini, berkegiatan sosial di mana-mana, atau fenomena si kaya yang bersahabat dengan si miskin, atau mungkin sesederhana menyapa pengamen jalanan. Saya jadi teringat lagi tentang aksi-aksi Dahlan Iskan yang menurut beliau memang lazim dilakukan oleh seorang pemimpin. Pemimpin itu tugasnya melayani bukan dilayani, begitu kata beliau. Masih menganggap hal seperti itu aneh atau masih mencoba mencari-cari alasan terkait ngaret dan “nelat”? Jika kalian memilih opsi dua, mungkin otak kalian perlu di-install ulang agar tak sekarat karena praktik “pembunuhan akal sehat”. Masih berharap punya akal sehat, kan? [Ericha Utami P.]
49
english corner
OXFORD OR NEW YORK ?
A
ctually, Britain (United Kingdom) was noted as the biggest colonizer in this earth. On the colony period, it also succesfully planted the British culture to the people, including the language: English. The country which liberated from British used English as their official language. Some countries, such as USA, Canada, and Australia, use English as their official language. The rest of the countries colonized by Britain, such as India, Singapore, and Malaysia, use English as the second language. Based on the number of speaker and the growth of that language, English is now becoming one of international language.
less than those of other aspects of the language in terms of mutual intelligibility.
British expansion to North America has changed the history of English. It developed to be two different dialects, British English and American English. According to Wikipedia, differences between the two include pronunciation, grammar, vocabulary, spelling, punctuation, idioms, format of dates and numbers, although the differences in written and most spoken grammar structure tend to be much
One more important thing, sometimes the same word could make confusion among the speakers because of the unique accents that heard so weird or could not be understood.
50
A small number of words have completely different meanings in the two dialects or are even unknown or not used in one of the dialects. Nevertheless, it remains the case that, although speaking American and British English are generally mutually intelligible, there are enough differences to cause occasional misunderstandings, or at times, embarrassment—for example some words that are quite innocent in one dialect may be considered vulgar in the other.
We could easily find these differences. When we watch movie for example, we can differentiate the pronunciation of the actors—e.g. from Harry Majalah Civitas | November 2012
english corner
Potter and Spiderman. When we read the news from, let’s say between The BBC and The New York Times, we can also find the difference. Or even, when we directly talk to the native speakers from those two countries. For certain person, this difference tends to create the misunderstanding and embararrassment just because the same word has the very far meaning from what they used to know. I want to show you up the differences between American English and British English. We take an example in the terms of collective nouns. In British English, we could use both the singular and plural verb forms for the collective nouns, according to the emphasis of our subject (whole as a body or individual). So, the noun as office, team, and country can use either singular or plural verb forms. One exception, “government” is always noted as plural in British English.
Majalah Civitas | November 2012
Oppositely, in American English, collective nouns are almost always singular in construction. For example, the correct sentence for “Angola adalah pemenang kontes Miss Universe”, the construction would be; Br.Eng: Angola were the winner of Miss Universe Pageant. (Angola was noted as a country, so we can use plural verb form); or Am. Eng: Angola was the the winner of Miss Universe Pageant. So, if you find weird sentence like I mentioned above, do not judge that it is wrong. Maybe that person used the grammar for British English. Next, the past tense and past participle of the verbs learn, spoil, spell, burn, dream, smell, spill, leap, and others, can be either irregular (learnt, spoilt, etc.) or regular (learned, spoiled, etc.). In British English, both irregular and regular forms are allowed, but for some words (such as smelt and leapt) there is a strong tendency towards the irregular forms,
51
english corner especially by users of Received Pronunciation. For other words (such as dreamed, leaned, and learned) the regular forms are somewhat more common. In most accents of American English, the irregular forms are never or rarely used (except for burnt, leapt and dreamt). The t endings may be encountered frequently in older American texts. Usage may vary when the past participles are used as adjectives, as in burnt toast. Moreover, in British English, the past participle proved is strongly preferred to proven; in American English, proven is now about as common as proved. (Both dialects use proven as an adjective and in formulas such as not proven). About the vocabulary, actually there is no significant difference between American English vocabularies and British English vocabularies. We just have to make mutual adjusment for some words. For instance, the word “bill” is commonly used in UK, American recognized it as “invoice”. There will be no problem occurred, because bill also has the near meaning with invoice in The US, as well as invoice in UK. But, sometimes there are some ambiguities happen because the same word have the very different interpretation and have a tendency to create the misunderstanding among the two speakers. One of the example is word “to table” that created a misunderstanding during a meeting of the Allied Forces. In British English “to table an item on an agenda” means to open it up for discussion whereas in American English, it means to remove it from discussion, or at times, to suspend or delay discussion. Sometimes the confusion is more subtle. Then, in American English the word quite used as a qualifier is generally a reinforcement. For example, “I’m quite hungry” means “I’m very hungry”. In British English quite (which is much more common in conversation) may have this meaning, as in “quite right” or “quite mad”, but it more commonly means “somewhat”, so that in British English “I’m quite hungry” can mean “I’m somewhat hungry”. This divergence of use can lead to misunderstanding. The hot topic relates to differences between American English and British English is on the pronunciation. People who usually speak with American dialects most likely do not understand
52
the British accents, and so does the opposite. What does make this happen so far? Historically, the British keeps pronouncing the roots of English. So, they just follow the tradition of their ancestors about spelling and speaking. The Americans actually more creative, they could remove or add “something” to make the language better and sweeter to be heard. These are some common facts why the pronunciation can be different: 1. Americans used to pronounce r whereas British did not, especially at the end of a word. So, the word “are” would be heard “a…r” in American English and “a…” in British English 2. We are difficult to differentiate “can” and “can’t” in American English, because they pronounce the two as “kaen”. But in British English, “can” pronounced as “kaen” and “can’t” pronounced as simple “kahn” (Northern UK) or “ké” (Southern UK) so we could easily know their meanings. 3. Americans tend to pronounce word like reduce, seduce, or duce more relaxively (only the sound of d heard) whereas the British like to add the sound of j, so it could be pronounced as “red(j) uce”. 4. Americans usually reduce pronunciation of the word by removing some alphabets. For example, word “facts” would be pronounced as “fax” (pronunciation of t was removed), but British always pronounce it completely as “Fac...ts”. 5. In British English, the pronunciation for the word which has suffix, the way to read is by pronounce the “root word”. For example, word “organisation” comes from word “organise”, so the pronunciation is “o’genaizasyen”. But, in American English, the pronunciation of word that has suffix is normal. So, it is “organisesyen”. Those are just corner info about the differences between American English and British English. So far, we had known why it can be converged, various pronunciation, and misunderstanding occurred. By this information, at least we can be more wisely to learn English, do not quickly judge that something wrong in the written English, and we could understand if people speak with “weird accents”.
Majalah Civitas | November 2012
english corner From now on, we could also start choosing our preference to learn more, American or British English. If you are the person who does not like the “rigid standard” of pronunciation, your true choice is American English. Or, if you want to learn the pure English, you could choose the British English. Whatever your choice is, the most important thing is that we could know at least the common difference between the two, so if we have a chance to socialize with them, we know what they talk about, and no more misunderstanding or embarrassment happen to us. [Chairul Azhar] The writer is a member of Ministry of Debate STAN English Club (SEC) 2012/2013
Majalah Civitas | November 2012
53
jalan-jalan
Mereguk Pesona Keindahan Laut Jawa
dari Sudut Jepara
54
Majalah Civitas | November 2012
jalan-jalan
Laut Jawa selalu asyik untuk dikunjungi. Pasir pantai yang putih dan arus yang tenang seakan menjadi daya tarik tersendiri karena dianggap dapat merehatkan sejenak hati dan pikiran dari kesibukan sehari-hari. Siapa sangka, Jepara, yang lebih dikenal dengan kerajinan ukirnya, ternyata memiliki pesona Laut Jawa yang tak kalah memukau.
M
engunjungi Kota Jepara, tak lengkap rasanya jika tak mencicipi asinnya Laut Jawa. Kota yang menyandang gelar The World Carving Center ini ternyata memiliki banyak sekali tempat wisata pantai yang indah.
adalah sebuah kolam sentuh (touch pool) yang berisi ikan air tawar yang bisa dipegang oleh pengunjung. Selain itu, jika ingin merasakan sensasi fish spa oleh ikan-ikan Garra rufa dari Turki, kita juga bisa mendapatkannya di tempat ini.
Salah satu tempat yang bisa disinggahi adalah Pulau Panjang. Seperti namanya, pulau ini mempunyai bentuk memanjang. Terletak di sebelah barat Jepara, pulau seluas ±19 hektar ini terlihat begitu hijau dari kejauhan. Mudah saja menyambangi pulau tersebut. Pantai Kartini dan Pantai Tirta Kusuma, contohnya, yang merupakan dua gerbang menuju pulau tersebut. Kali ini, saya memilih Pantai Kartini sebagai gerbang menuju Pulau Panjang.
Kembali ke Pulau Panjang, untuk mencapai pulau tersebut dari Pantai Kartini, kita harus menumpang kapal motor dengan tarif senilai Rp13.000,00 untuk dewasa dan Rp8.500,00 untuk anak-anak. Harga tersebut sudah termasuk sarana transportasi untuk kembali ke Pantai Kartini.
Tiket masuknya adalah sebesar Rp5.000,00 per kepala. Sebagai pantai yang notabene hanya tempat lewat, sebagian orang mungkin akan menganggap bahwa harga tersebut terlalu mahal.
“..seakantempatinimampu menghadirkanmusimgugur di bumi Indonesia.”
Pantai Kartini memiliki sebuah bangunan berbentuk kura-kura raksasa, ialah Kura-kura Ocean Park. Di dalam bangunan tersebut terdapat beberapa akuarium dengan aneka koleksi biota laut. Untuk masuk ke sana, kita perlu membeli tiket seharga Rp17.500,00 untuk orang dewasa dan Rp12.500,00 untuk anak-anak. Kura-kura Ocean Park juga menyediakan 3-D Theater sederhana bagi pengunjung yang ingin menikmati suguhan visual. Untuk masuk ke dalamnya, kita perlu merogoh kocek sebesar Rp10.000,00. Fasilitas lain yang dimiliki Kura-kura Ocean Park Majalah Civitas | November 2012
Kapal bertuliskan “Sapta Pesona” itu pun kemudian akan melaju kencang meninggalkan dermaga Pantai Kartini. Selama sekitar satu jam perjalanan, kita diajak mengitari Pulau Panjang sebelum akhirnya merapat ke dermaga. Deburan ombak di sepanjang perjalanan ternyata mampu membuat kapal berayun kencang dan menyebabkan sedikit pusing. Bagi yang mabuk laut, sebaiknya jangan lupa membawa kantung plastik atau obat antimabuk untuk berjaga-jaga— walaupun rasa pusing dan mabuk seharusnya dapat segera terobati dengan pemandangan yang indah dan air laut yang jernih. Dari atas perahu, kita dapat melihat ikan-ikan berenang dan burung camar beterbangan. Kombinasi pesona yang biasanya hanya dapat kita lihat di film dokumenter tentang alam. Sesampainya di sana, baliho besar bertuliskan “Selamat Datang di Pulau Panjang” terbentang menyambut kedatangan. Untuk masuk ke Pulau
55
jalan-jalan
Panjang, kita harus membayar lagi sebesar Rp5000,00 per orang. Menurut saya, inilah salah satu kekurangan jika ingin berwisata ke Pulau Panjang: repot. Saya harus beberapa kali mengeluarkan dompet untuk membayar di setiap pos, entah itu di Pantai Kartini, dermaga perahu motor, juga ketika memasuki Pulau Panjang. Begitu pun halnya dengan 3-D Theater di Kura-Kura Ocean Park.
dari tumpukan batu koral besar setinggi 70 cm. Tanggul tersebut dibangun mengelilingi hampir separuh pulau—sedikit menghalangi pemandangan. Walaupun begitu, dengan keberadaan tanggul tersebut anak-anak akan lebih aman karena tidak akan bermain terlalu jauh dari bibir pantai. Bagian laut di selatan Pulau Panjang yang tidak banyak berombak juga membuatnya cocok sebagai tempat main dan berbasah-basahan di laut.
***
Di sisi sebelah barat, terdapat dermaga yang sudah tidak terpakai. Dermaga tersebut dimanfaatkan oleh nelayan sekitar untuk memancing. Ada juga makam Syekh Abu Bakar, seorang tokoh ulama di Jepara. Di tempat tersebut ada pendopo, masjid, dan sumber air yang disebut “air berkah” yang dipercaya penduduk setempat dapat memberikan kesehatan dan keselamatan.
Sesampainya di Pulau Panjang, hamparan pasir putih dan hijaunya pepohonan memanjakan pandangan kita. Beberapa toko suvenir yang berjualan alat pancing dan jaring mulai terlihat ketika kita melalui pintu masuk. Pulau Panjang dikelilingi laut dangkal dengan dasar laut berupa terumbu karang. Di sini, sekitar sepuluh meter panjangnya dari bibir pantai, air laut dangkal terbentang. Airnya juga sangat jernih sehingga kita dapat dengan mudah melihat sekumpulan ikan-ikan kecil berenang. Di sekeliling pantai, terdapat banyak sekali pohon bakau dengan akar menjuntai indah. Beberapa di antaranya memiliki ranting yang sudah rapuh, jadi berhati-hati saja jika ingin memanjat. Jika kita melihat ke sebelah selatan pulau, maka kita akan menemukan semacam tanggul yang disusun
56
Jalan setapak yang dibuat di sekeliling pulau memudahkan kita melihat-lihat sekitar. Sepanjang jalan setapak, kita dapat menemui bermacammacam pohon besar dan tinggi, serta pemandangan yang berhias semak dan perdu. Beberapa pohon yang banyak kita temui adalah pohon randu, dadap, asem jawa, dan bahkan pohon pinus yang sudah berumur ratusan tahun. Beberapa pohon memiliki bunga yang berwarna-warni. Saya datang ketika pohon-pohon tersebut sedang berguguran daun dan bunganya, seakan tempat ini mampu menghadirkan musim gugur di bumi Indonesia.
Majalah Civitas | November 2012
jalan-jalan Sayangnya, di beberapa titik harus tercium bau yang sangat menyengat akibat bangkai hewan. *** Untuk kembali ke Pantai Kartini, biasanya kapal menunggu sampai penumpang penuh terlebih dahulu. Perjalanan kembali dari Pulau Panjang lebih singkat karena kapal tidak mengitari pulau seperti ketika berangkat. Hal tersebut justru baik, karena kondisi kapal yang sempit dan ramai mungkin akan membuat sebagian orang merasa kurang nyaman. Maka, alangkah baiknya jika cepat sampai.
srimping. Harga kerang rata-rata Rp10.000,00— Rp12.000,00/kg. Untuk minumannya, ada es gempol dan adon-adon cara yang merupakan minuman khas kota ini. Bagi yang ingin menginap, banyak sekali penginapan yang tersedia di pinggir pantai dengan harga cukup terjangkau. Jangan lupa juga membeli oleh-oleh khas Jepara seperti ikan kering, ikan asap, atau kerajinan ukir Jepara yang sangat khas dan unik itu. [Nadia Rizqi Cahyani]
Bagi pecinta kuliner, cemilan khas Bumi Kartini yang harus dicicipi adalah kerang rebus. Beberapa jenis kerang yang ditawarkan yaitu kerang darah, kerang hijau, kerang batik, kerang tiram, dan
Majalah Civitas | November 2012
57
kampus
Harus Eksis Meski Dana Tipis Mulai tahun 2011, program D-3 Reguler STAN rehat sampai waktu yang belum dapat dipastikan. KM STAN yang selama ini “terlena” dengan pemasukan dari iuran ribuan mahasiswa D-3 Reguler, kini harus tetap eksis dengan dana pas-pasan.
S
eptember lalu, Kementerian Keuangan resmi mengumumkan tidak adanya Ujian Saringan Masuk STAN untuk tahun 2012. Pengumuman yang dirilis melalui laman BPPK tersebut menyebutkan secara gamblang bahwa pada tahun 2012 STAN tidak membuka penerimaan mahasiswa baru untuk tahun akademik 2012/2013. Hal ini menjadi krusial mengingat kebijakan tersebut dapat memengaruhi berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh elemen kampus (elkam). Selain itu, dana yang biasanya mengalir dari iuran daftar ulang mahasiswa baru ke pundi KM STAN setiap awal tahun ajaran kini harus bernilai nihil karena tidak adanya pendaftaran mahasiswa baru. Seluruh elemen kampus pun harus melakukan penghematan ekstra agar kegiatan kemahasiswaan tetap berjalan. Anggaran LK dan UKM Turun Drastis Untuk menunjang kegiatan kemahasiswaan, tahun ini beberapa elkam hanya dapat menggunakan dana yang bersumber dari saldo dana tahun kemarin. Akibatnya, penurunan jumlah pemasukan terjadi di sejumlah elkam. “Proporsi berkurang banyak. Dana yang dikelola tahun kemarin sekitar Rp535 jutaan, sedangkan tahun ini hanya Rp300 jutaan,” jelas Menteri Keuangan BEM STAN yang juga merangkap Bendahara KM STAN, Ismet Eliskal. Menurut Ismet, penurunan dana cukup drastis terutama bagi Lembaga Keagamaan (LK) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Sistem alokasi dana kedua elkam tersebut berdasarkan penerimaan
58
tahun sebelumnya atau dengan kata lain jatah dari mahasiswa yang masuk tahun ini akan langsung digunakan sebagai pendanaan tahun depan. Jadi, jatah LK dan UKM tahun ini hanya berasal dari mahasiswa D1 tahun lalu yang masuk di pertengahan masa kerja BEM 2011/2012. LK yang periode lalu mendapat jatah hingga Rp123 juta,tahun ini hanya kebagian Rp12 juta. Hal tersebut tidak berlaku bagi badan kelengkapan lain seperti BEM, BLM, HMS, dan LPM. BEM misalnya, elemen kampus tersebut langsung mengalokasikan jatah pemasukannya untuk tiga periode. Dengan begitu, walaupun tahun ini tidak ada penerimaan mahasiswa baru, BEM tetap memiliki dana yang berasal dari iuran daftar ulang mahasiswa baru tahun 2010. Sementara itu, BAK yang dananya belum dianggarkan pada tahun 2010 juga harus mengalami penurunan jatah yang cukup signifikan. Jika tahun kemarin BAK mendapat Rp24 juta, tahun ini terpaksa dipotong hingga 80% menjadi Rp4,84 juta. Meski sistem alokasi dana yang ditetapkan bagi LK dan UKM berisiko tinggi, Ismet menyatakan tidak akan ada perubahan sistem alokasi. “Kita coba konsisten dulu dengan apa yang sudah ada, karena kalau dirombak hasilnya bakal beda,” jelasnya. Bagi UKM, pembagian dana didasarkan pada beberapa hal seperti prestasi, proker, dan jumlah anggota. Dana bagi UKM yang berprestasi dan keanggotaannya stabil akan tetap dipertahankan. Dengan begitu, jika terjadi penurunan dana, tidak akan sedrastis UKM yang lain.
Majalah Civitas | November 2012
kampus Dari perbandingan data realisasi anggaran tahun 2011/2012 dan data APB KM STAN yang disahkan melalui Ketetapan BLM Nomor 018/TAP.02/ BLM/IX/2012, rata – rata UKM dibawah Depora mengalami penurunan 15—38%. Pemotongan anggaran per UKM-nya mulai dari Rp50 ribu hingga Rp200 ribu. Secara keseluruhan, penurunan paling tajam dirasakan PKAKP, yakni dari Rp1,75 juta menjadi Rp1 juta. UKM Scene, Mafos, Aksara, Alir, Sabdanusa, dan Voca Wardhana yang berada dibawah Depsenbud tidak mengalami penurunan, tetap Rp500 ribu per UKM. Demikian pula dengan AlLughoh yang berada dibawah Departemen PPSDM, tetap Rp750 ribu. Sementara itu, tahun ini SEC tidak mendapat jatah karena pada periode lalu sudah mendapat dana hibah sebesar Rp750 ribu. Harapkan Transfer Sukarela Berbagai hal dilakukan BEM beserta badan kelengkapan lainnya untuk menghemat pengeluaran, salah satunya adalah diselenggarakannya Elkam Union pada September lalu. Dengan adanya musyawarah elemen kampus tersebut, kegiatan-kegiatan yang memiliki karakteristik serupa diharapkan bisa dijalankan bersama sehingga mampu menghemat dana dan sumber daya manusia. BEM sendiri juga telah melakukan pemangkasan anggaran untuk beberapa proker yang berprioritas rendah.
“Kita fokuskan penggunaannya untuk pengembangan diri mahasiswa. Jangan sampai kita gunakan hanya untuk hiburan,” jelas Achmad Tri Budiawan selaku Presiden Mahasiswa BEM STAN 2012/2013. Lebih lanjut, Ismet menjelaskan perubahan anggaran di tengah masa kepengurusan sangat mungkin terjadi. Ia juga menyampaikan usulan agar elkam yang merasa anggarannya berlebih mau mentransfer sebagian jatahnya ke elkam yang mendapat porsi sedikit. “Misal elkam yang satu merasa anggarannya sudah besar dan efisien lalu ingin mentransfer ke elkam yang lain, kita sih fleksibel. Kita sudah komunikasikan ke BLM juga dan ada inisiatif dari BLM (untuk) dibuatkan ketetapan tersendiri untuk itu,” papar Ismet. Masih menurut Ismet, sifat transfer ini masih sukarela, tergantung masing-masing elkam. Ia hanya berharap, karena semua berada dalam lingkup KM STAN, elkam yang dananya berlebih hendaknya mau mentransfer kelebihannya kepada elkam lain sehingga kesinergisan antarelkam dapat terwujud. [Sarah Khaerunisa/Tyas T.M.W.S.R.]
Anggaran Pendapatan dan Belanja KM STAN 2012/2013 Belanja Transfer No 1 2 3 4 5 6 7
BK Badan Legislatif Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Spesialisasi Badan Audit Kemahasiswaan Lembaga Keagamaan Lembaga Pers Mahasiswa Unit Kegiatan Mahasiswa Badan Otonom TOTAL
Majalah Civitas | November 2012
Anggaran Rp 19.407.273 Rp 53.281.449 Rp 4.840.000 Rp 12.260.000 Rp 32.174.496 Rp 14.250.000 Rp Rp 136.213.218
59
kampus
Rincian Belanja Transfer UKM No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
60
UKM SAFF Al Lughoh SEC (TOEFL) PKAKP Speak STAN IC Basket Voli Chess Interest Club Tenis STAN Billiard Badminton Karate Taekwondo Aikido Tenis Meja Futsal Setia Hati Merpati Putih Perisai Diri Scene Mafos Alir Sabdanusa Aksara Voca Wardhana KSR PMI Unit STAN TOTAL
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Anggaran 500.000 750.000 1.000.000 1.000.000 300.000 600.000 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000 400.000 300.000 400.000 250.000 600.000 250.000 400.000 250.000 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000 1.500.000 14.250.000
Majalah Civitas | November 2012
BIDIK
Biar saja reruntuh mencipta elegi Sebab takdirnya bukan abadi Boleh saja puing-puing merebah pasrah Ia hanya akan mengekal dalam sejarah
Satu hal yang tak boleh mati Semangat untuk terus berbenah diri Sebab hilang naungan bukan musibah Bagi yang jeli meraba hikmah
Majalah Majalah Civitas Civitas || November November 2012 2012
61
kampus
MenempaMental Bersama Kopassus Program Capacity Building STAN 2012 bagi 1.731 mahasiswa STAN angkatan 2009 telah terlaksana pada 11—29 September 2012. Markas Kopassus di Cijantung dipilih sebagai lokasi kegiatan untuk menempa mental para mahasiswa yang kini telah menyandang gelar alumni tersebut.
C
apacity Building diadakan dalam tiga gelombang keberangkatan. Gelombang pertama berlangsung pada tanggal 11—18 September 2012, kemudian dilanjutkan gelombang kedua pada tanggal 18—25 September 2012. Terakhir adalah gelombang ketiga yang hanya berlangsung selama lima hari, dengan waktu efektif tiga hari, yakni pada 25—29 September 2012. Capacity Building gelombang ketiga terpaksa berakhir lebih awal karena markas Kopassus akan digunakan untuk persiapan menyambut HUT TNI pada 5 Oktober 2012.
dalam membina soft skill mahasiswa. Evaluasi pelaksanaan PKL atau Studi Lapangan tahun ini juga menjadi salah satu pertimbangan pelaksanaan Capacity Building.
Tak Terencana di Awal Tahun
Tidak adanya penyelenggaraan USM STAN tahun ini juga turut mempermudah pelaksanaan Capacity Building. SDM STAN yang biasanya terserap dalam penyelenggaraan USM STAN dapat dialihkan untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut.
Realisasi program Capacity Building ini tak lepas dari beragam masukan yang diterima Lembaga, baik dari dalam maupun luar kampus. Kegiatan Ceramah Umum yang diadakan selama ini, dirasa kurang
62
“Rata-rata objek (yang menjadi lokasi) kita PKL itu mengatakan anak STAN itu pintar-pintar. Kalau disuruh mengerjakan sesuatu itu bagus. Tapi ada kurang sedikit, dalam hal attitude,” papar Ali Tafriji, Kepala Subbidang Tata Laksana Pendidikan Pembantu Akuntan yang juga merupakan PIC Capacity Building STAN 2012.
Majalah Civitas | November 2012
kampus tetapi kegiatan untuk mengembangkan soft skill dirasa masih kurang. “Dari hasil review kita ditemukan yang soft skill ini masih kurang. Maka dari itu kita berimprovisasi, apa sih yang bisa kita lakukan,” tutur Ali. Berangkat dari hal-hal tersebut, Capacity Building pun dilaksanakan guna menanamkan integritas, disiplin, dan jiwa korsa ke dalam benak para mahasiswa, berdampingan dengan nilai-nilai Kementerian Keuangan lainnya. Kopassus dipilih sebagai partner Lembaga dalam Capacity Building karena dianggap telah berpengalaman dalam mengadakan kegiatan semacam ini. Porsi dalam mendidik kalangan sipil dan militer jelas berbeda, dan Kopassus dinilai mengetahui hal tersebut dengan tepat.
Walaupun tak direncanakan sejak awal tahun anggaran maupun awal tahun ajaran, Capacity Building tetap dapat terselenggara. Status STAN sebagai BLU membuat sebagian dana yang dimiliki STAN dapat digunakan dengan lebih fleksibel, termasuk salah satunya untuk mengadakan Capacity Building. Lebih lanjut soal dana, dalam Capacity Building ini mahasiswa juga mendapatkan uang saku yang sifatnya dipersamakan dengan uang saku mahasiwa selama PKL. Hanya saja, uang saku tersebut tidak diberikan secara tunai, tetapi dalam bentuk natura.
Pada tiga hari pertama, peserta dibina mental, fisik, nasionalisme, dan kebersamaannya oleh Kopassus. Pembentukan jiwa korsa menjadi salah satu poin utama Capacity Building dengan cara membaurkan peserta dari beragam kelas dan spesialisasi, baik laki-laki maupun perempuan, dalam satu kompi. Tiga hari selanjutnya, peserta mendapatkan materi mengenai integritas, penyusunan APBN, dan pembinaan mental. Sebagian besar peserta Capacity Building menuturkan bahwa mulanya dongkol terhadap kegiatan ini. Namun, anggapan tersebut berubah setelah menjalani pelatihan.
“Tolong dipahami, Capacity Building ini ada uang sakunya per mahasiswa, disetarakan dengan uang saku PKL. Tapi Anda enggak terima duit, tapi dalam bentu natura, makanan sehari-hari,” jelas Ali.
“Mungkin awalnya kita berpikir, dilatih sama Kopassus itu bakalan mengerikan. Tapi ternyata begitu di sana, beda gitu. Beda ketika mereka (Kopassus) melatih militer, dengan melatih sipil. Semua diperlakukan sesuai dengan kemampuan kita. Tidak ada hukuman fisik yang terlalu memberatkan,” tutur Bayu Sundoro, peserta Capacity Building gelombang pertama.
Pengembangan Soft Skill
Tiga Puluh Persen Mahasiswa STAN Tak Sehat
Terdapat dua jenis kemampuan yang sudah seharusnya dimiliki oleh mahasiswa STAN dan Lembaga berkewajiban untuk mengembangkan keduanya: hard skill dan soft skill. Hard skill telah diperoleh mahasiswa melalui kegiatan perkuliahan,
Sehari sebelum keberangkatan, peserta Capacity Building terlebih dahulu melakukan tes kesehatan. Tes kesehatan dilakukan di Poliklinik STAN oleh dokter yang telah ditunjuk Lembaga.
Majalah Civitas | November 2012
63
kampus Dari hasil tes kesehatan tersebut, peserta dibagi dalam tiga kategori. Peserta yang dibolehkan mengikuti semua kegiatan termasuk dalam kategori pertama dengan predikat sehat. Kategori kedua dan ketiga masing-masing berpredikat kurang sehat dan tidak sehat. Peserta kurang sehat tidak diperkenankan mengikuti kegiatan fisik, sedangkan peserta tidak sehat disarankan tidak beraktivitas apa pun selain memerhatikan jalannya kegiatan. Pada Capacity Building gelombang pertama dan kedua, peserta yang masuk kategori ketiga masih turut diberangkatkan ke Cijantung. Namun, hal tersebut tak dipraktikkan kembali di gelombang ketiga. Beberapa kasus terkait kesehatan para peserta kategori tiga pada dua gelombang sebelumnya membuat Lembaga tak lagi mau ambil risiko dengan tetap memberangkatkan mereka. Itulah sebabnya tak kurang dari lima puluh peserta batal berangkat pada Capacity Building gelombang ketiga,. Lebih lanjut, Ali menuturkan bahwa dari tes kesehatan tersebut diperoleh informasi bahwa terdapat tiga puluh persen mahasiswa STAN yang tidak sehat.
Informasi tersebut semakin mengukuhkan kebijakan Lembaga untuk memasukkan poin tes kesehatan dalam rangkaian proses USM STAN berikutnya, yang telah dirilis pada USM STAN 2011 lalu. Belum Ada Dasar Hukum Sebagai kegiatan yang tak direncanakan sejak awal tahun, Capacity Building kali ini belum mempunyai dasar hukum yang tegas meskipun ditemukan kata “wajib” dalam pengumuman penyelenggaraannya. Dari total 1.731 mahasiswa D3 STAN angkatan 2009 yang diwajibkan ikut, hanya 1.661 mahasiswa yang berangkat. Ada yang terhalang faktor kesehatan, ada pula yang absen tanpa keterangan sama sekali. Sanksi riil bagi peserta yang mangkir Capacity Building juga bisa dikatakan tidak atau belum ada. Hal tersebut dibuktikan dengan tetap ikutnya mereka dalam prosesi yudisium dan wisuda, tanpa ada hukuman atau persyaratan khusus sebelumnya. Beragam kondisi dan data peserta yang mengikuti Capacity Building ini telah disampaikan pada Direktur STAN. Kebijakan atas penggunaan data tersebut sepenuhnya diserahkan kepada Direktur STAN, yang hingga saat ini belum dapat dipublikasikan. Lembaga menyediakan sertifikat yang menerangkan keikutsertaan dalam Capacity Building. Namun, sertifikat ini hanya diberikan kepada para peserta yang masuk dalam kategori sehat dan benar telah mengikuti seluruh rangkaian kegiatan Capacity Building. Pengecualian tentu diberikan kepada peserta berkategori sehat yang termasuk dalam gelombang ketiga. Meski hanya lima hari, para peserta ini dianggap telah menunaikan kewajiban menjalani Capacity Building.
“Dan ini jadi evaluasi yang cukup besar, terutama untuk proses USM. Di USM itu, ada syarat mahasiswa harus sehat toraksnya. Nah kayaknya mahasiswa enggak pada dicek ini (toraksnya). Bahkan dokter kita mengatakan 30% anak STAN itu enggak sehat.”
64
Capacity Building Tahun Depan Terkait penyelenggaraan Capacity Building bagi mahasiswa D3 STAN angkatan 2010, Ali mengaku bahwa telah dilakukan pembicaraan awal dengan Kopassus.
Majalah Civitas | November 2012
kampus “Kemarin ini saat wisuda, Komandan Kopassus kan datang. Saya katakan untuk bersiap tahun depan, dengan mahasiswa lebih banyak, sekitar 2500-an. Bisa sampai enam minggu itu.” Komunikasi secara informal pun telah dilakukan dengan Direktur STAN, Kusmanadji. Secara informal pula, Kusmanadji telah menyampaikan keinginan untuk mengadakan Capacity Building lebih dari satu minggu. Ketika disinggung mengenai waktu pasti penyelenggaraan Capacity Building selanjutnya, Ali belum dapat memberikan kepastian sebab masih terdapat beberapa kemungkinan dengan beragam pertimbangan. Salah satunya adalah masukan dari Kopassus yang menyarankan kegiatan tersebut tak diadakan mendekati bulan Oktober, agar tak terpaksa harus dihentikan di tengah jalan layaknya Capacity Building STAN 2012 gelombang ketiga. Sebagai PIC Capacity Building, Ali Tafriji menuturkan bahwa kegiatan ini telah cukup memberikan pengaruh positif bagi para pesertanya. Lebih lanjut, Ali berharap efek tersebut tak hanya bertahan dalam hitungan minggu, tetapi dalam jangka panjang. Untuk penyelenggaraan selanjutnya, Ali berharap Capacity Building sudah memiliki dasar hukum yang tegas. [Ericha U.P./Tyas T.M.W.S.R.]
Majalah Civitas | November 2012
65
kampus
Rumah Baru BEM STAN Peristiwa kebakaran yang menimpa Sekretariat BEM STAN pada 31 Juli lalu hanya menyisakan puing-puing sisa kebakaran. Bangunan yang sudah bertahun-tahun menjadi markas para eksekutif mahasiswa itu kini tampak dipenuhi arsip-arsip dan aset BEM yang hangus terbakar. Menurut hasil laporan pemeriksaan polisi, korsleting listrik menjadi penyebab kejadian tersebut.
P
enghujung Juli 2012 menjadi hari bersejarah bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar kampus STAN. Pasalnya, masyarakat dikejutkan oleh kobaran api yang melahap habis Sekretariat BEM STAN pada Selasa pagi (31/07/2012). Meski tidak memakan korban dan tidak merambat ke bangunan lain, peristiwa yang terjadi saat bulan Ramadan tersebut tidak menyisakan satu pun aset BEM yang terdapat di TKP. Arsip-arsip, proyektor, sound system, barang-barang titipan dari UKM semisal STAN Music Club (SMC) ludes terbakar. Polisi bersama BEM dan Sekretariat STAN sempat merencanakan agenda pemeriksaan bersama, tetapi hal itu mengalami tiga kali penundaan sehingga pemeriksaan baru dilakukan setelah Lebaran. Itu pun tidak melibatkan BEM secara langsung. Ketika ditanya mengapa BEM tidak dilibatkan secara langsung dalam pemeriksaan, Achmad Tri Budiawan selaku Presiden Mahasiswa BEM STAN 2012/2013 mengatakan bahwa selain agenda liburan yang menjadi penghambat, pergantian Kepala Sekretariat STAN juga menjadi alasan lain.
66
Majalah Civitas | November 2012
kampus “Karena (kepala) sekre sekarang sudah berganti, Pak Agus. Dan mungkin Pak Baihaki (Kepala Sekretariat STAN 2010—2012) butuh laporan pertanggungjawaban yang cepat. Jadi waktu itu perkuliahan belum masuk, tapi dari Lembaga sudah bergerak sendiri,” papar Achmad. Meski tidak dilibatkan secara langsung dalam pemeriksaan, Achmad mengaku BEM selalu aktif dan kooperatif selama proses pemeriksaan berlangsung. “Data inventaris sudah kita siapkan, pertanyaan dari Lembaga selalu kita jawab, tiap (ada) panggilan kita selalu datang juga. Mungkin partisipasi kita seperti itu. Dan kita siap kalau misalkan nanti dari hasil pemeriksaan itu ada pemeriksaan lanjutan,” paparnya.
BEM dan BLM sudah berencana melakukan pemeriksaan ke TKP guna meninjau secara langsung puing-puing yang tersisa. Dari pemeriksaan itu diharapkan BEM dapat menyimpulkan apakah semua aset memang habis terbakar atau masih ada barang-barang yang bernilai pakai. “Biar BLM juga tahu gitu, sebagai perwakilan mahasiswa, tahu kondisi riilnya seperti apa,” imbuh Wima. Namun, karena tidak sedikitnya agenda yang harus dijalankan oleh kedua elemen kampus tersebut, ditambah dengan terbatasnya jumlah personel BLM, pemeriksaan diperkirakan baru dapat terealisasi setelah jadwal UTS mahasiswa D-3 Reguler berakhir, yakni sekitar tengah November.
Sampai saat ini, progres penyelidikan kepolisian baru menghasilkan Laporan Segera yang berisi informasi bahwa kebakaran disebabkan oleh korsleting listrik. Polisi tidak menemukan adanya indikasi human error pada peristiwa tersebut. Mengingat laporan final belum dirilis, masih ada kemungkinan dilakukan pengusutan lanjutan.
Total Kerugian Capai Rp50 Juta
Sekretariat BEM yang terletak di perumahan dosen tersebut merupakan aset Lembaga yang dimanfaatkan oleh BEM. Berdasarkan penyelidikan, ludesnya Sekretariat BEM dikategorikan sebagai kejadian luar biasa sehingga Lembaga memberlakukan penghapusan langsung terhadap bangunan tersebut.
“Di BEM kan tanggung jawabnya ada yang dipegang properti, ada yang dipegang Kominfo, dan kalau buku-buku dipegang PSDM. Kalau dari (Biro) Properti sendiri, setelah dihitung-hitung berdasarkan data yang ada, total kerugian sekitar 51 sampai 52 juta,” papar Muhammad Sopyan selaku Kepala Biro Properti BEM STAN 2012/2013.
Bangunan yang kini penuh dengan puing-puing sisa kebakaran itu sudah bisa diakses untuk beberapa kepentingan. BEM sudah mengantongi izin dari Sekretariat STAN untuk bisa memasuki bangunan tersebut. Mereka juga telah menyampaikan kepada pihak satuan pengamanan yang bertanggung jawab atas penjagaan TKP untuk memberi izin masuk kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Sopyan menambahkan, tidak ada ada aset yang selamat kecuali satu sound portable, satu paket wireless microphone, satu LCD, satu router, dan satu roll cable. Aset-aset tersebut selamat bukan karena ada di TKP lantas tidak tersentuh api. Sewaktu peristiwa kebakaran berlangsung, barang-barang tersebut tidak berada di Sekretariat BEM karena sedang dipinjam dan belum dikembalikan.
“Kita sudah sampaikan langsung ke satpamnya juga, bahwa kalau misalnya BEM atau pihak lain yang memang memerlukan masuk ke dalam, dipersilakan untuk masuk. Cuma, harus seizin BEM dulu,” jelas Wima Adang nugraha, Wakil Presiden Mahasiswa BEM STAN 2012/2013.
Sejak awal kepengurusan hingga pertengahan Oktober, BEM sudah melakukan pengadaan barang, yakni dua buah sound portable, satu LCD, dan satu paket wireless microphone.
Majalah Civitas | November 2012
Peristiwa kebakaran ini menyebabkan BEM menanggung kerugian hingga Rp 50 juta. Nilai tersebut baru berdasarkan data Biro Properti, belum termasuk aset-aset yang berada di bawah tanggung jawab Departeman Kominfo dan PSDM.
“Jadi sampai saat ini ada dua LCD, dua sound portable, satu paket mic wireless juga (diadakan),
67
kampus dan perlengkapan-perlengkapan lain,” ujar Sopyan menjelaskan aset-aset yang sekarang dimiliki BEM. Rumah Baru Akibat peristiwa kebakaran itu, kini BEM menggunakan ruang D-103b sebagai rumah sementaranya. BEM juga tetap mencari alternatif tempat lain yang bisa dijadikan sebagai Sekretariat BEM yang baru. “Kalau misalnya ada dan tempatnya lebih baik, nanti kami akan pindah. Tapi di situ (D-103b), insya Allah kita akan beberapa bulan menempati,” ujar Wima. Mengenai alternatif tempat, pihak BEM sudah mencoba meminjam salah satu ruangan di Student Center, tetapi pihak Sekretariat STAN belum mengizinkan. Ketika ditanya mengapa tidak mencoba alternatif menyewa kos di sekitar kampus, Wima mengungkapan bahwa BEM tidak menganggarkan biaya sewa bangunan dalam APB-nya.
alhamdulillah (sudah) dikasih tempat di sini (D-103b) sampai bulan Juni 2013,” ujar Wima menanggapi wacana tersebut. Terkait peristiwa kebakaran ini, Adenency Bekti Utami selaku Sekretaris Jenderal BEM STAN 2012/2013 menyatakan harapan positifnya, “Walaupun dengan kondisi yang bisa dibilang cukup memprihatinkan, kami berharap ke depannya BEM tetap bisa melayani mahasiswa dengan optimal. Karena Lembaga hanya tahu kalau apa pun urusan mahasiswa dengan Lembaga (harus) lewat (perantara) BEM, berarti otomatis dengan tanggung jawab yang diberikan seperti itu, kami dari BEM juga harus mawas diri untuk terus memperbaiki diri dan bisa melayani mahasiswa dengan optimal.” [Sarah Khaerunisa/Tyas T.M.W.S.R.]
Lebih lanjut Wima menuturkan, ketika Kepala Sekretariat STAN masih dijabat oleh Baihaki, muncul wacana bahwa Lembaga akan membangun sekretariat BEM yang baru di kawasan Plasa Mahasiswa, di sekitar jalan menuju Gedung KNPK. Masih menurut Wima, Baihaki mengatakan pembangunan tersebut akan menggunakan anggaran tahun 2012. “Apakah itu benar atau tidak, kita belum cross check lagi. Yang pasti, apa pun kondisinya, sekarang kita
68
Majalah Civitas | November 2012
kampus
Menerawang Nasib Tiga Angkatan Hampir sepanjang tahun ini, sejak Oktober 2011 hingga Oktober 2012, lulusan STAN tahun 2011 terus menunggu kepastian akan status kepegawaian. Penantian tersebut akhirnya berakhir dengan adanya Surat Keputusan (SK) Pengangkatan CPNS terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2012.
R. Danang Siswandono
K
epastian telah adanya SK tersebut diperoleh dari Kasubbag Penempatan Sumber Daya Manusia Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, R. Danang Siswandono. Danang menuturkan bahwa berkas SK tersebut kini sedang berada di Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Penerbitan SK akan dilakukan setelah semua berkas selesai diurus oleh BKN dan Kementerian Keuangan. Danang tak bisa memberikan kepastian waktu mengenai hal ini sebab BKN sendiri menyerahkan kembali berkas-berkas tersebut kepada Kementerian Keuangan secara bertahap. “Kalau anak-anak (angkatan 2008) yang sekarang, mereka sudah bisa bernapas lega. Karena sudah fix, (berkas) sudah masuk ke BKN, sudah siap tanda tangan. Cuma nunggu di BKN, nunggu keluar. Fix 1 Oktober 2012 mereka sudah SK CPNS.” Dari total 1.607 lulusan STAN tahun 2011 yang ditempatkan di unit-unit Kemenkeu, sebanyak 1.606 orang akan mendapatkan SK Pengangkatan CPNS. Hanya ada satu orang yang mengundurkan diri dari Kemenkeu dengan alasan kesehatan. Majalah Civitas | November 2012
Belum CPNS Sejak Maret Adanya kebijakan terkait moratorium yang berlaku hingga 31 Desember 2012 serta birokrasi di Kementerian PAN dan RB membuat formasi kepegawaian yang telah diajukan Kemenkeu lama disetujui oleh Menpan. Hal ini yang menjadi sebab ketidakjelasan status lulusan STAN tahun 2011. Menindaklanjuti fakta tersebut, Kemenkeu pun meramu strategi baru untuk memperjelas status alumni STAN ini. Setelah melakukan beragam negosiasi, Kemenkeu melalui Setjen Kemenkeu, akhirnya mengeluarkan SK Penempatan Instansi pada Februari 2012. Terhitung sejak 1 Maret 2012, lulusan STAN tahun 2011 telah mulai bekerja di instansi masing-masing. Namun, karena belum memiliki SK Pengangkatan CPNS, mereka bekerja dengan status magang. Hal itulah yang menyebabkan mereka tidak memperoleh gaji secara penuh, layaknya gaji pegawai pada golongannya.
69
kampus “(Misalnya) mereka minta sepuluh orang (mahasiswa STAN), berarti mau enggak mau kan (dapatnya) tiga nilai range atas, tiga di tengah, pokoknya semua sama rata.” Terkait penempatan wilayah, Setjen Kemenkeu sudah tak lagi ambil bagian. Kebijakan penempatan daerah sepenuhnya merupakan kewenangan unitunit Eselon 1 karena mereka lebih paham teknis di lapangan. Lulusan STAN tahun 2012 Seperti halnya lulusan STAN tahun 2011, para lulusan tahun 2012 masih harus menunggu kepastian penempatan dan pengangkatan mereka. Sangat terbuka kemungkinan bahwa para lulusan ini akan melalui masa tunggu. Bila tak kunjung ada kejelasan mengenai status mereka, Kemenkeu lagi-lagi akan melakukan manuver dengan membuat kebijakan baru, seperti yang dilakukan terhadap lulusan tahun 2011. “Kalaupun ternyata belum ada kejelasan, mereka akan dimagangkan.” Calon Lulusan 2013 SK Pengangkatan CPNS belum dapat dipastikan waktu penerbitannya. Namun, Danang memastikan bahwa setelah SK itu turun, lulusan STAN tahun 2011 yang kini berstatus magang di Kemenkeu akan memperoleh hak-haknya. “Yang pasti, 1 Oktober itu kepegang. Kalaupun (SK Pengangkatan CPNS) dikasihnya Januari atau Februari, hak-hak (mereka akan) mereka dapat,” jelas Danang. Kebijakan Penempatan Terkait penempatan instansi, Danang menuturkan bahwa IPK merupakan salah satu komponen pertimbangan. Dari sekian banyak mahasiswa, dibuat beberapa kelompok range IPK. Jumlah dalam setiap range tersebut dialokasikan ke unitunit Eselon 1 secara merata dan seimbang sesuai kebutuhan unit. Selain IPK, nilai yang diperoleh dari tes-tes lain juga berpengaruh.
70
Mahasiswa STAN angkatan 2010 direncanakan lulus pada tahun 2013. Menurut prediksi Danang, kemungkinan tak ada permasalahan berarti dalam alur penempatan dan pengangkatan CPNS. Kebijakan moratorium yang berakhir pada 31 Desember 2012 merupakan salah satu sebab birokrasi kepegawaian akan dapat berjalan sebagaimana mestinya. SK Pengangkatan CPNS biasanya telah keluar terhitung mulai tanggal 1 Desember pada tahun yang bersangkutan atau dalam hal ini pada Desember 2013. “Kalian jalani kuliah, biarkan sistem yang jalan. Kita enggak mungkin menelantarkan,” pesan Danang. [Ericha U.P./Tendi Aristo]
Majalah Civitas | November 2012
ekonomi
Izin Kusut Bisnis Waralaba Dari yang tadinya murni restoran, makin mirip pasar swalayan. Majalah Civitas | November 2012
71
ekonomi
M
impi Henri Honoris terjawab sudah. Pemegang lisensi 7-Eleven Indonesia sekaligus selaku Presiden Direktur PT Modern Putra Indonesia ini, mengisahkan dirinya hingga bisa menggaet 7-Eleven masuk ke dalam negeri. Henri berkata, sudah saatnya 7-Eleven kembali membuka lisensi bisnis setelah 17 tahun lamanya. “Terakhir mereka buka lisensi adalah pada tahun 1993 untuk China dan Makau,” ungkap Henri. Indonesia bukanlah target 7-Eleven dalam mengembangkan ekspansi bisnisnya kala itu—Indonesia bukanlah saran yang baik. Henri mengatakan kalau 7-Eleven akan lebih baik meritelkan usahanya di Jerman, Perancis, Vietnam, atau India. Pada tahun 2006, usaha yang sedang digawangi Henri lagi lesu. Dia memutar otak mencari lahan bisnis yang baru. “Pada 2006 saya memutuskan untuk mencari bisnis baru dan ketemu 7-Eleven yang belum ada di Indonesia,” ujarnya. Henri harus menunggu cukup lama agar lisensi bisnis yang ditawarkannya kepada 7-Eleven dikabulkan. Ia terus mengontak tawaran itu via email sampai nyaris putus asa. “Dua tahun kirim email tidak ada jawaban, kita hampir menyerah. Tetapi orang tua saya bilang terus, ‘tetap kirim email’.” Kisahnya. Usaha Henri berbuah manis. Setelah menunggu dua tahun, gayung bersambut. Ia kemudian diundang untuk interviu. Enam bulan menunggu jawaban, pada November 2009, Henri terpilih sebagai Master Franchisee ke-18. “7-Eleven percaya sekali dengan konsep entrepreneurship, karena 39.000 gerainya yang lain dikelola oleh UKM,” ujarnya. Belum lagi, konsep menjual makanan dan minuman siap saji yang ditawarkan Henri berbeda jauh dengan konsep 7-Eleven di luar negeri yang cuma menjajakan barang kebutuhan sehari-hari. Kini, bisnis yang sedang populer itu kian naik daun. Pemandangan kalangan muda keluar masuk gerai 7-Eleven jadi lazim. Mereka bahkan bisa tahan menghabiskan waktu berjam-jam sepulang sekolah atau saat istirahat kerja di gerai peritel asal Amerika Serikat—yang sejak tahun 2005 kepemilikan saham terbesarnya dipegang oleh perusahaan Jepang itu. Tak cuma 7-Eleven, saudaranya, Lawson, yang
72
pertama kali beroperasi pada 14 Juni 1975 di Jepang itu pun sedang naik muruahnya1). Mirip Cendawan2) Musim Hujan Tempat nongkrong seperti 7-Eleven dan Lawson itu mirip cendawan musim hujan. Seperti yang dilansir oleh detik finance (19/06/2012), setelah dua tahun bercokol di Indonesia, 7-Eleven yang berizin restoran itu sudah memiliki 73 gerai. Sebagian besar terletak di Jakarta dan telah mampu melayani 75.000 pelanggan per hari.
Jika7-Elevenberhasil menggoyangpasar,bukan tidakmungkinpemainlain akan segera antre.
Ketua Umum Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Anang Sukandar, memaparkan dua jalur yang memungkinkan peritel asing tembus ke Indonesia. Pertama, dengan dua pilihan cara franchise3), yaitu dengan menunjuk franchise secara individual atau lewat pemodal lokal. Kedua, adalah dengan joint venture4), yakni setelah peritel asing mendapat izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mereka berfungsi sebagai perwakilan dari peritel yang bersangkutan di Indonesia, yang selanjutnya bisa melakukan penunjukan master franchise (detik finance, 07/11/2008). Joint venture yang dipilih 7-Eleven ini memudahkan ekspansi. Mereka tak perlu menunggu seorang pembeli franchise untuk sekadar membuka gerai baru. Semuanya strategis. Asal punya uang dan lapak, satu atau sepuluh gerai dalam waktu serentak bukan masalah. Masuknya 7-Eleven ke Indonesia adalah dengan menggandeng mitra lokal, PT Modern Internasional Tbk., yang merupakan bagian dari Modern Group. Di awal, gerai asing ini sempat terbentur aturan Majalah Civitas | November 2012
ekonomi bahwa pemain asing di bidang ritel paling tidak harus mempunyai luas gerai 1200 m2 sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI). Tentu hal ini akan sulit diwujudkan jika ingin tetap sebagai convenience store. Selama ini, konsep convenience store diartikan sebagai gerai yang menjual makanan dan minuman siap saji dengan rata-rata ukuran bangunan berkisar seluas 200 m2. Selain itu, memang umumya convenience store mempunyai luas kurang dari 1200 m2. Pun pada awal masuk tersebut izin yang dikantongi 7-Eleven adalah Surat Tanda Penerima Waralaba (STPW) dari Kementerian Perdagangan (detik finance, 24/02/2010). STPW milik 7-Eleven menyatakan bahwa gerai itu akan menjalankan usahanya sebagai restoran, bukan convenience store (detik finance, 16/06/2010). Masalah mulai mencuat ketika investigasi Kemendag menemukan sejumlah gerai waralaba ini tidak sesuai dengan format perizinannya. Hanya berizin restoran, 7-Eleven mulai menjual beragam produk makanan (ritel) yang mirip kafetaria. Tak beda dengan Lawson—yang dalam izin usahanya adalah melakukan penjualan ritel—gerai ini kemudian mempraktikkan ritel dan kafetaria secara bersamaan. Manajer Humas 7-Eleven, Neneng Mulyati, mengaku bahwa perizinan yang dikantongi 7-Eleven bukanlah untuk minimarket. “Izinnya memang untuk restoran semuanya,” ujar Neneng ketika dihubungi oleh Tempo (13/02/2012). Neneng mengatakan izin tersebut diterimanya dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Kepala Biro Perekonomian Provinsi DKI Jakarta, Adi Arianta mengaku hanya 23% minimarket di ibu kota yang mengantongi izin. “Dari 1.868 minimarket, yang memiliki izin sebanyak 422,” ujar Adi dalam jumpa pers di Balai Kota, Jumat (10/02/2012). Jumlah tersebut merupakan data yang dilaporkan pada tahun 2011 (Tempo, 10/02/2012). Sebelum lebaran tahun lalu, Kementerian Perdagangan telah melayangkan surat teguran kepada waralaba restoran, 7-Eleven. Teguran serupa juga disampaikan kepada waralaba sejenis, Lawson. Apalagi, beberapa usaha ritel lainnya yang tumbuh subur mulai mengikuti konsep usaha Lawson dan 7-Eleven. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Majalah Civitas | November 2012
Negeri Kementerian Perdagangan, Gunaryo, mengatakan, “Anda juga bisa lihat, terutama di Jabodetabek, dari yang tadinya murni ritel, perlahan mulai menambahkan payung-payung untuk makan.” Tren kebutuhan akan konsep belanja yang modern di masyarakat kian dilirik pemodal asing.
Peraturandaerahyangbelum matangdikhawatirkanbisa membiarkanpemodalasing menjebolpasartanpakendali. Imbasnya,sejumlahminimarket pundapatbertebarandengan izin liar. Dari data terakhir tahun 2011 yang diperoleh Sudin Tata Ruang dan Pengawasan dan Penertiban Bangunan Jakarta, ada sekitar 1.192 minimarket yang akan direlokasi atau diputihkan. Ini terkait pendirian yang menyimpang dari izin dan yang tak berizin sama sekali. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun ambil langkah untuk mengevaluasi keberadaan minimarket serta restoran 7-Eleven yang beroperasi 24 jam itu. Hanya 15 dari 57 gerai 7-Eleven yang tersebar di lima wilayah DKI Jakarta, yang berizin lengkap (Tempo, 13/02/2012). Menanggapi hal itu, Instruksi Gubernur Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penataan dan Penertiban Minimarket dan 7-Eleven di Jakarta pun rilis. Salah satu isi pokok dari Instruksi Gubernur itu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) diminta menata dan menertibkan 7-Eleven. Langkah ini dilakukan dengan memproses perizinan 7-Eleven yang lokasinya sesuai dengan peruntukan dan sudah memenuhi ketentuan penyelenggaraan usaha restoran. Disparbud kemudian akan menertibkan gerai 7-Eleven berdasarkan Ingub Nomor 12 Tahun 2012 dengan tiga ketentuan. Pertama, Disparbud akan memproses perizinan 7-Eleven yang lokasinya
73
ekonomi sesuai dengan peruntukan dan memenuhi ketentuan Peraturan Gubernur Nomor 20 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan usaha restoran dengan mengikutsertakan satuan kerja perangkat daerah/unit kerja perangkat daerah. Kemudian, Disparbud berwenang memberikan sanksi administrasi kepada pemilik 7-Eleven yang memiliki izin usaha tetap pariwisata bidang penyediaan makanan dan minuman jenis kafetaria sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan. Di samping itu, Disparbud akan melakukan evaluasi terhadap lokasi yang belum mendapatkan izin. Gerai-gerai dengan izin liar nantinya akan mendapat sanksi berupa peringatan, penghentian kegiatan usaha sementara, hingga sanksi penghentian usaha permanen. “Izin yang mereka peroleh adalah izin rumah makan. Kita peringatkan mereka. Ini bukan semangat antibisnis ya, ini kita semangatnya mau mengajak mereka untuk lebih mengikuti peraturan,” ujar Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Industri Indonesia, Amir Karamoy. Menurutnya, teguran pemerintah kepada toko waralaba 7-Eleven dan Lawson soal perizinan bisa mempengaruhi iklim investasi Indonesia. “Sebab, justru ke depannya, usaha model seperti itu yang akan berkembang,” (Tempo, 6/9/2012). Beberapa kalangan menilai kebijakan pemerintah lewat teguran-teguran semacam itu dikhawatirkan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Menurut Wakil Ketum Asosiasi Pengusaha Rite Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta, kebijakan untuk memperketat izin usaha waralaba asing di tanah air akan membuat investor asing berpikir dua kali untuk berinvestasi. “Kalau bagi kita sebagai pelaku usaha itu tidak ada pilihan, kita akan ikuti peraturan pemerintah. Tapi kalau untuk asing, itu akan berpengaruh, mereka akan pilih-pilih investasi di bidang waralaba,” jelasnya.
Kembali ke izin awal, duo peritel asing 7-Eleven dan Lawson yang tengah mendapat peringatan, akhirnya bersedia untuk menjalankan usaha sesuai izin yang diperoleh. Gunaryo mengatakan, “7-Eleven siap dan akan mempertahankan konsep kafetaria, dan Lawson siap untuk kembali ke arah ritel.” (Tempo 14/09/2012).
Kalangan pro ritel asing mengharapkan tak ada distorsi usaha dari pemerintah dalam bisnis ini, melainkan dukungan dari pemerintah untuk melihat bisnis ritel sebagai diversifikasi. Belum lagi, konsep ritel atau kafetaria tak hanya menyuguhkan makanan atau minuman semata, tapi juga unsur hiburan dalam berbelanja seperti yang diungkapkan Wakil Sekretaris Jendral Aprindo, Satria Hamid, “Ritel adalah bisnis yang sangat berkembang, konsumen Indonesia banyak ekspektasinya. Mereka ingin belanja, dan ada entertain-nya. Itu yang mereka tangkap.”
Tidak ada keberpihakan teguran yang disampaikan Gunaryo, melainkan bersifat universal untuk semua peritel. Gunaryo menyanggah kecondongan pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan 7-Eleven dan Lawson. “Tidak ada arah untuk satu waralaba tertentu, ini berlaku untuk nasional dan internasional waralaba, jadi semangatnya kebersamaan,” tegasnya.
Pemerintah memastikan waralaba 7-Eleven dan Lawson tidak lagi terganjal aturan. Kedua waralaba tersebut siap kembali ke perizinan usaha awal, setelah sempat bermasalah dengan konsep perizinan mereka. “7-Eleven dan Lawson akan menghilangkan barang yang melanggar izin,” ungkap Gunaryo di Kantornya, Jakarta (Okezone, 14/9/2012).
Setali tiga uang, izin yang diperketat itu, sekaligus disebut Gunaryo untuk melindungi usaha ritel dalam negeri yang bermodal kecil. Pasalnya, tidak ada kesempatan yang diberikan pemerintah kepada pemodal asing untuk berinvestasi di sektor ritel kecil. “Jadi ada juga yang tidak bisa bermain di sektor ritel, lalu mengajukan izin restoran atau kafetaria,” ujarnya.
Gunaryo menjelaskan, 7-Eleven dan Lawson bisa mengakali berkurangnya konten penjualan dengan menambah jenis makanan yang dijual agar terhindar dari penurunan omzet.
Pendapat berseberangan dilayangkan Ketua Komite Tetap Waralaba dan Lisensi Kamar Dagang dan
74
Tak ada masalah sebenarnya bagi peritel untuk berinovasi bisnis. Hanya saja, tidak melampaui 10% dari format izin yang dipegang. Seperti yang dijelaskan Gunaryo, “Kita tidak melarang inovasi, gerai manapun silakan berinovasi. Sekarang apotek jual minuman, ada. Rumah sakit jual makanan, ada. Majalah Civitas | November 2012
ekonomi Yang terpenting adalah 90% core (intinya) sesuai dengan izin yang didaftarkan,” (detik finance, 24/08/2012). Pembenahan kebijakan dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia mengenai penyelenggaraan waralaba diharapkan bisa menjadi penjelas batas izin usaha yang tidak mematikan iklim bisnis ritel asing atau mengorbankan usaha kecil tradisional. “Kami akan terus melakukan penertiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga dapat menciptakan lingkungan usaha dengan sistem waralaba yang lebih kondusif terutama untuk pengembangan usaha kecil dan menegah,” tegas Gunaryo. [Tendi Aristo]
Vokabuler: 1)
2)
Muruah: kehormatan diri, harga diri, nama baik. Cendawan: jamur (tumbuhan tidak berdaun dan membiak dengan spora).
3)
Franchise: (bahasa Inggris) waralaba.
4)
Joint venture: (bahasa Inggris) kongsi.
Majalah Civitas | November 2012
75
politik
Menuju Pemilu 2014:
Demokrasi atau Oligarki?
H
ukum rimba menyatakan bahwa yang kuat akan menang dan yang lemah pada akhirnya akan kalah dan tertindas. Hukum tersebut masih sama artinya, yang membedakan sekarang adalah indikator penentuan kuat. Kini, sepertinya sudah menjadi rahasia umum bahwa seseorang yang memiliki uang adalah dia yang berkuasa. Kondisi tersebut tak jauh berbeda dalam dunia perpolitikan Indonesia yang semakin memanas searah dengan isu pemilu dan pemilukada. Patut menjadi perhatian ketika hukum, kekuasaan, politik, status, dapat begitu saja dibeli oleh sekelompok orang melalui kekayaan yang mereka miliki. Jika kita lihat dari sisi penumpukan kekayaan, pada Era Reformasi, tampak jelas betapa mereka yang kaya menjadi semakin kaya dan mereka yang miskin malah semakin tidak berdaya. Mengutip data dari Capgemini dan Merrill Lynch, hasil kajian profesor jebolan Northwestern University, AS, Jeffrey Winters, menunjukkan bahwa pada tahun 2010 sejumlah 43.000 WNI kaya yang hanya mewakili kurang dari 1% penduduk Indonesia, memiliki kekayaan setara dengan 25% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Lebih menarik lagi, jika kita mengumpulkan 40 orang terkaya se-Indonesia, kekayaan kumulatifnya akan setara dengan 10,3% PDB Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa gap ekonomi di Indonesia sangat besar.
76
Besarnya gap ekonomi di Indonesia yang dibarengi dengan praktik “pembelian” kekuasaan menarik perhatian para pengamat politik. Pandanganpandangan mereka kemudian mengerucut pada satu bentuk pemerintahan: oligarki. Kekuasaan itu biasanya ditentukan oleh kekuatan harta kekayaan, kekuatan militer, pengaruh politik, atau kombinasi dari ketiganya. Aristoteles menyebut oligarki sebagai pemerintahan oleh segelintir orang yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri.
“Oligarki kerap dipandangsebagai sebuah bentuk pemerintahanyang hanyamewakilidan dikuasaiolehsegelintir orang.”
Kendaraan Itu Bernama Parpol Dalam bukunya, Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in An Age of Markets, Robison dan Hadiz menyatakan bahwa rezim oligarki berhasil mengukuhkan diri pasca-kejatuhan Soeharto. Pada awalnya, para konglomerat dan kelompok politik-bisnis keluarga lama—zaman pemerintahan Soeharto—perlahan mundur ke belakang. Mereka tidak lagi bisa mengandalkan Majalah Civitas | November 2012
politik rezim otoriter-sentralistis untuk melindungi kepentingan mereka dan memperoleh dispensasi atas utang-utang mereka.
“Tidak akan negeri ini melahirkan negarawan atau regenerasi. Karena negeri ini sudah dikepung oleh oligarki parpol. Bohong saja.”
Utang luar negeri dan masuknya International Monetary Fund (IMF) dipandang oleh Robison dan Hadiz sebagai faktor penting yang memungkinkan model kekuatan politik-bisnis keluarga tetap dapat bertahan dan mengakar.
Pasalnya, partai politik merupakan tempat pengaderan politikus yang akan menjadi pejabatpejabat pemerintah. Jika partai politik telah disetir oleh oligarch, maka ruang gerak dari pengaderan itu menjadi sempit. Tidak lagi membuahkan regenerasi politikus kualitas jempolan, namun hanya akan mengacu pada arahan dari oligarch—yang tentunya hanya dilakukan untuk melindungi kepentingankepentingannya.
Kini, kekuatan kelompok politik-bisnis keluarga itu telah masuk ke dalam sentra-sentra pemerintahan dan politik di pusat dan daerah. Bahkan, sejumlah daerah membentuk semacam plutokrasi—sebuah model pemerintahan dengan kekuasaan berada di tangan orang-orang kaya yang berbasis keluarga. Tengok saja Banten, di mana: Profesor H. T.B. Khasan Sochib merupakan ayahanda dari Gubernur Banten, Atut Chosiyah; ayahanda dari Walikota Serang, Jaman; ayahanda dari Wakil Bupati Serang, Tatu Hasanah; mertua dari Walikota Tangerang Selatan, Airin Rahmi Diani; suami dari Wakil Bupati Pandeglang, Heryani; mertua dari Ketua Golkar Banten dan anggota DPR RI, Hikmat Tomet; mertua dari anggota DPRD Banten, Aden; kakek dari anggota DPD Banten, Andika Hazrumi; dan terakhir, kakek mertua dari Wakil DPRD Kabupaten Serang, Ade Rossy Chaerunnisa. Kembali dalam pembahasan kekuatan politikbisnis, kita akan menemukan kondisi di mana mereka menggunakan partai politik sebagai kendaraannya. Demi kepentingan kelompoknya, mereka melakukan penetrasi ke dalam partai politik untuk merebut jabatan-jabatan strategis negara. Menjadikan partai politik cenderung pragmatis, hanya ingin mendulang suara saat pemilu saja, sehingga memilih politikus yang mempunyai uang banyak atau terkenal tanpa melihat kualitas. Akibatnya, banyak politikus tanpa kompetensi mumpuni mencoba unjuk gigi. Dalam sebuah kesempatan, Radhar Panca Dahana, seorang budayawan mengemukakan pendapatnya, Majalah Civitas | November 2012
Menggerogoti Demokrasi Perhimpunan Pendidikan Demokrasi menyatakan bahwa perbedaan oligarki dengan demokrasi berada pada kepentingan siapa yang diwakili dan diperjuangkan. Pada oligarki, yang didahulukan adalah kepentingan para pemegang kekuasaan, sementara pada demokrasi kepentingan yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak, bahkan tanpa melihat lagi batas-batas apakah orangorang tersebut merupakan konstituennya atau bukan. Dengan kata lain, dalam pemerintahan demokratis kekuasaan juga berada di tangan sedikit orang, namun penggunaannya ditujukan bagi kemaslahatan bersama, bukan bagi kepentingan perorangan, keluarga, kerabat, atau teman dekat. Menurut pengamat politik Audy Wuisang, sistem pemilu jangan berhenti pada demokrasi prosedural yang bisa disusupi kekuatan uang, tapi harus menuju demokrasi yang lebih substantif. “Demokrasi yang oligarki itu sangat berbahaya,” ujarnya. Praktik demokrasi untuk mempertahankan uang, kekuasaan, posisi, dan status pasti memunculkan oligarki besar. Oligarki besar menjelma dalam bentuk gabungan dari oligarki negara, pasar, dan partai politik.
77
politik Oligarki kekuasaan masih membelenggupartai-partaipolitik, sehinggamenggangguproses demokrasi,bahkandidalampartai itu sendiri.
Pemilu 2014 merupakan salah satu titik tonggak tumpuan pembaharuan yang diharapkan. Wujud konkret usaha dalam mengikis oligarki, yakni dengan lebih cermat, lebih selektif, dan lebih cerdas dalam menjatuhkan pilihan, baik untuk legislatif maupun eksekutif di semua tingkat. [Novia Fatma R.] Sumber: politik.kompasiana.com/2011/07/20/rakyat-bantenhentikan-kerajaan-keluarga-di-propinsi-anda/
Apabila dibiarkan terus-menerus, oligarki ini akan bercampur semakin erat dengan demokrasi yang kini kita jalankan. Para oligarch itu bisa semakin tak terkendali karena tak ada yang mampu menguasainya. Mereka dapat dengan mudah membiayai para politikus pada masa kampanye, membeli para penegak hukum, dan bahkan bisa menentukan pejabat-pejabat publik. Sejumlah oligarch mungkin juga sanggup mempengaruhi rumusan undangundang di parlemen, berkelit dari kewajiban pajak, serta mengelak dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaannya.
politik.kompasiana.com/2012/06/14/oligarki-dandemokrasi p2d.org/index.php/kon/52-31-april-2011/274-oligarkikanker-dalam-rahim-demokrasi.html republika.co.id/berita/nasional/politik/11/11/20/ luyv1o-sistem-pemilu-mengarah-ke-praktek-oligarki
Memisahkan oligarki dengan demokrasi bukan perkara yang mudah karena para oligarch telah menempel kuat pada tubuh partai politik. Bahkan Robert Michels, sosiolog asal Jerman, dalam tesisnya menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pekerjaan mustahil, karena merupakan keniscayaan yang melekat dalam diri institusi maupun organisasi. Meskipun demikian, kebaruan dalam politik bisa menekan sedemikian rupa potensi-potensi oligarkipredasi untuk berkembang, dan bagi penulis, itu bukan hal yang mustahil ketika seluruh rakyat meluruskan kembali demokrasi yang telah tertatih dijalankan. Menurut Ray Rangkuti, aktivis pemantau pemilu, tantangan ke depan demokrasi di Indonesia adalah menciptakan sebanyak-banyaknya politikus yang benar dalam kultur demokrasi yang benar. Dengan begitu, distribusi kekuasaan tidak didominasi oleh segelintir kelompok. Semua itu butuh pembaharuan yang konsisten, utamanya adalah penegakan hukum yang efektif dan konsisten baik di tingkat pusat maupun daerah.
78
Majalah Civitas | November 2012
sastra
Di Genggaman Seorang Tentara Republik oleh: Sida Nur Ariyanti
“Engkau benar kala berkata bahwa aku tak pantas memegang senjata. Katamu, aku lebih cocok berlumur debu kapur daripada tersiram debu mesiu.”
Majalah Civitas | November 2012
79
sastra
D
esember 1947
kulit kayu. Apapun, asal bukan batu sabak—terlalu riskan karena bisa dihapus oleh pihak yang tidak
Ras,
berkepentingan. Kemudian, tiap waktu senggang
Jika kau membaca ini, mungkin rambut
kita sudah memutih semua, wajah kita sudah keriput dan kedua pasang mata kita sudah kabur, namun bagaimanapun kedua tangan kita tetap bergandengan, di depanku ada secangkir
tiba, aku akan menuliskan rapi-rapi catatan berantakan itu dalam daluang2) ini. Satu per satu. Agar aku tak lupa. Agar engkau tahu. Ras,
kopi mengepul dan aku membacakan surat ini
Masih marahkah engkau, karena aku keras kepala
padamu dan cucu kita yang tertawa-tawa. Atau
memilih masuk Akademi Militer? Memilih menjadi
mungkin saat itu hanya ada kau, karena aku sudah
tentara republik, menelantarkan pekerjaanku
tiada. Ah, tapi mungkin waktu itu aku sudah
sebelumnya menjadi guru sementara Sekar baru
mengijabkabulkan putri kita dan sudah menjotos
genap setahun?
pria yang berani melamarnya—engkau selalu berkata aku terlalu menyayangi Sekar. Atau yang paling tidak ingin kuharapkan, benda ini datang berbarengan dengan lembaran yang tak diharapkan siapapun. Jika bisa, aku ingin hal pertama yang terjadi. Tapi jikalau tidak memungkinkan, setidaknya jangan yang ketiga. Aku masih ingin mengecupmu sekali lagi. Dan lagi. Dan lagi. Mungkin untuk bilangan yang tak terbatas. Ah, aku bisa membayangkan engkau tengah mesem1) sekarang. Dan lesung pipit bak sumur dalam milikmu itu akan muncul di pipimu.
Sungguh tak mengapa. Pun bila engkau mengutuk garwa3) kurang ajar-mu ini. Sungguh, aku pantas menerimanya. Tapi engkau tahu sendiri bukan? Betapa semangat cinta tanah airku terlampau menggebu? Betapa bahkan aku baru berani melamarmu di hari kemerdekaan? Hanya berselang dua jam setelah aku mendengar Bung Karno membacakan proklamasi republik tercinta lewat radio di balai desa? Betapa karena masih terpengaruh kegembiraan kemerdekaan, aku memberanikan diri menikahimu hanya dengan selembar jarit4) dan Al Quran—tanpa
*** Ras, Adalah hari ketujuh di kamp ketika aku mulai memikirkan untuk menulis ini. Bukan surat. Hanya catatan yang kutulis untukmu. Catatan yang terkadang kutulis di berbagai kertas yang bisa kudapat kala kurasakan hal yang tak bisa kubendung sendiri. Terkadang pula kutuliskan segalanya dalam lembaran daun kering ataupun
80
Tak mengapa bila engkau masih marah, Ras.
uang, emas, apalagi permata? Engkau tak tahu betapa aku gembira kala itu, Ras. Laksana jutaan bintang jatuh di hadapanku, hingga bisa kudapatkan bidadari sepertimu. Bathari5) jelita yang menerima pinanganku kala Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara. Apsari6) ayu yang sabar menemani malam-malamku, bersedia makan gaplek dan hidup seadanya dari uang hasil kerjaku sebagai guru yang tak seberapa.
Majalah Civitas | November 2012
sastra Ah, tunggu sebentar. Sepertinya aku harus meninju
Terakhir, Wayan. Orang Bali yang pendiam. Jarang
sedikit teman-teman sekamarku. Mereka mencuri
sekali kami melihatnya berucap. Namun sekali ia
lihat dan kini sedang mengataiku banci karena
berkata, si kurang ajar Thomas pun akan mematuhi.
alinea yang terakhir kutulis tadi. Tunggu sebentar.
Seram sekali. Tapi seperti Togar, sungguh baik ia
Baiklah, sudah. Endang, Togar, Thomas dan Wayan
sebenarnya.
sudah mendapatkan ganjarannya sekarang. Ah,
Berlima, kami selalu ramai. Kalau bukan karena
oya, lupa kiranya aku memperkenalkanmu pada
si Togar bertengkar dengan Thomas, banyolan
keempat kawanku.
Endang yang mengundang tawa, ya, bentakanku
Yang pertama, Endang—dengan e layaknya berucap kembang—orang Sunda, senang sekali ia
menegur mereka. Wayan tetap tenang apapun yang terjadi.
memakan lalap. Macam kambing saja. Susah pula ia
Kami belajar banyak hal di sini, Ras. Kedisiplinan,
berkata f. Selalu p. Kavaleri pun ia ucapkan kapaleri.
kepatuhan, kesigapan, nasionalisme. Selain segala
Konyol dia.
macam bela diri, membaca peta, cara mengokang
Lalu Togar, asli Sibolga. Seorang Kristen, yang kebetulan waktu pendaftaran dulu diwawancarai sebelum aku. Agak kesal aku kala mendengar kolonel pewawancaranya menanyai ia pertanyaan yang terlalu memojokkan agamanya. Laakum
bedil, bagaimana membuat gaman8) dari benda apapun yang ada—tak sekadar bambu, ranting kayu pun harus kami bisa olah jadi gaman—juga ilmu kewarganegaraan. Kami belajar di mana-mana, tak hanya di kamp.
diinukum waliyadiin, bukan? Jadi kurasa tak masalah
Oya, aku mendapatkan satu jilid Max Havelaar yang
apapun agamanya. Senang aku kala kudengar
lebih bagus daripada yang ada di sekolah desa.
jawabannya yang cerdas. Ya, agamanya memang
Pulang nanti akan kuperlihatkan padamu. Engkau
mengajarkan untuk “memberikan pipi kirimu jika
suka kisah Saidjah dan Adinda di dalamnya bukan?
ditampar pipi kananmu”. Tapi agamanya juga
Aku selalu ingat syair yang engkau suka.
mengajarkan untuk “membayar mata dengan mata”. Ia bilang itu seperti agama kita. Aku tak tahu harus menyela atau tidak kala itu. Sedikit kasar, tapi sungguh baik orangnya.
Aku tak tahu di mana aku kan mati. Banyak orang mati kulihat di Badur. Mereka dikafani, dan ditanam di dalam tanah ; Bila aku mati di Badur, dan aku ditanam di luar desa,
Thomas, asli Jakarta—pernah belajar di universitas di Leiden tapi tidak lulus, Indo dia. Ayahnya 7)
Nederlander sementara ibunya bumiputra. Berat pula nasibnya. Ayah ibunya mati di kerusuhan di kala awal masa kemerdekaan. Tapi sungguh menyebalkan sekali sifatnya. Karenanya kami sering lupa bila ia bernasib malang awalnya.
arah ke timur di kaki bukit dengan rumputnya yang tinggi ; Maka Adinda akan lewat di sana, tepi sarungnya perlahan mengingsut mendesir rumput… Aku akan mendengarnya.*) ***
Majalah Civitas | November 2012
81
sastra Ras,
mengenai daging manusia. Awalnya, isi perutku
Dalam pelatihan pertama kali itulah aku memegang bedil—namanya Sten Gun, Ras, jenis ringan—dan seketika pula kaget aku dengan beratnya. Juga dengan kecepatan lontar pelornya. Engkau benar
bergolak kala peluru itu menancap di tubuh lawan. Namun kelamaan aku kebas dan yang pertama itu mendadak bertambah menjadi entah berapa puluh kali.
kala berkata bahwa aku tak pantas memegang
Engkau pasti bertanya-tanya, tidakkah aku ragu
senjata. Katamu, aku lebih cocok berlumur
melontarkan peluru? Tidakkah aku bimbang di
debu kapur daripada tersiram debu mesiu. Dan
tengah pertempuran? Seharusnya aku ragu,
sungguh, baru ketika peluru itu menembus
seharusnya. Namun entah kenapa, segala
gedebok yang kami pakai sebagai sasaran latihan
keraguanku lenyap di detik lengan Endang
tembak, aku baru mengerti. Kala itu aku bertanya-
tersambar peluru. Persis ketika ada murid
tanya, bagaimanakah rasanya jika peluru yang
mengajakku berdebat masalah nasionalisme.
kutembakkan itu menembus tubuh seseorang?
Segalanya terasa jernih tiba-tiba. Dan komando
9)
Ah, ya, ya. Jangan pasang wajah begitu, Ras. Aku sudah menduga dahimu akan berkerut dan engkau
kelompok kecil kami yang awalnya dipegang Togar beralih kepadaku tanpa siapapun sadari.
akan menyeletuk, “Kukata juga apa, Mas.” Tapi,
Kami selamat, Ras. Dari puluhan orang di Akademi,
Ras, aku berusaha. Sungguh. Aku berjuang. Setiap
hanya kami yang selamat dan saat itu hanya ada
hari, setiap saat, supaya bisa menjadi pejuang
satu hal yang terpikir: kami harus ke selatan!
yang akan bisa dibanggakan tanah air, yang bisa
Menerjang gunung dan memilih bertahan di balik
dibanggakan Sekar. Aku berjuang agar Sekar bisa
kerimbunan hutan, kami harus sampai ke kamp
mendongakkan kepala dengan bangga. Suatu hari,
tentara rakyat di Yogyakarta.
ia akan berkata dengan bangga, “Bapakku tentara republik yang gagah berani. Bapakku pahlawan!”
Bertahan hidup di alas10) ternyata tidak sesulit yang kukira, Ras. Kami hanya harus siap tidur beralaskan
Namun, Ras, pada suatu malam kamp diserang
tanah dan beratapkan langit. Perihal makanan,
tiba-tiba. Sebatalion tentara Belanda mendadak
Togar ternyata ahli berburu dan Wayan mahir
melempari kamp dengan granat dan memborbardir
membedakan tanaman beracun dan tidak. Thomas,
kami dengan mitraliur di tengah malam. Kami tak
meski menyebalkan, dia pandai membaca peta dan
ada yang menyangka. Sama sekali. Namun, entah
menggunakan kompas. Yang sulit hanyalah perihal
untung atau tidak, kami berlima sedang ditugaskan
air dan menjaga Endang. Dia bisa berjalan, tapi luka
berjaga waktu itu. Kami memang mengantuk,
peluru di lengannya membuat badannya panas.
sedikit. Tapi kami jauh lebih siap menghadapi
Thomas sudah membebat lukanya dengan sobekan
serangan daripada yang lain.
bajuku dan tumbukan daun kaca piring sebagai obat
11)
Desing peluru, debam bom menguak bumi, cipratan darah, amis aroma besi. Ras, itu perang pertamaku.
darurat, namun tetap saja Endang butuh penisilin dan tidak seorang pun dari kami memilikinya.
Pertama kali pula peluru yang kutembakkan
82
Majalah Civitas | November 2012
sastra Hari ketiga kami berjalan dan kondisi Endang
Yogyakarta. Sedikit gemetar aku, bukan karena
semakin mengkhawatirkan. Kami berada di sekitar
takut tapi karena semangat. Ini akan jadi misi resmi
kaki gunung Merapi, markas pejuang seharusnya
pertamaku.
sudah dekat, tatkala seketika terdengar suara tembakan. Kami diserang, Ras! Bukan oleh tentara Belanda. Bukan oleh KNIL. Itu pribumi! Bumiputra.
Kusudahi dulu catatanku kali ini, lusa akan kutulis lagi.
Kontan saja kami tiarap dan aku segera berteriak:
***
Kami bukan musuh! Kami tentara republik! Namun tetap saja, peluru hampir saja menyambar kepalaku. Setelah perundingan yang cukup alot—takkan sudi lagi aku mendengar sumpahan Togar dan melihat kepala Thomas hampir melayang karena kesombongannya sendiri—kami dilucuti dan digiring ke suatu tempat. Dan syukur alhamdulillah, tempat itu kamp tentara republik. Kami sampai, Ras. Dengan ini Togar akan tertolong! Ada cukup obat untuk ia di sini dan kami, terlepas dari sambutan tak mengenakkan
“Sudah kau kenali siapa saja yang mati, Sersan?” “Siap. Sudah, Kapten. Dan kami menemukan ini di tangan salah seorang tentara, Kapten.” “… Siapa?” “Nomor tiga dari kanan, Kapten.” “… Oh. Aku tahu dia. Akan kuurus ini.” “Siap, Kapten.”
tadi, mendapat perlakuan yang cukup layak. Kami
Si Kapten menghela napas. Lagi-lagi. Sebuah surat
mendapat sedikit makanan dan pakaian ganti, juga
lain untuk dikirimkan dengan surat pemberitahuan
sedikit banyak celaan yang dimampirkan ke telinga
kematian. Ia mengira-ngira, bilakah selembar
kami.
daluang di sakunya juga akan bernasib sama.
Dikata mereka kami pengecut karena telah kabur dari medan perang. Masa iya kami harus mengobral
Teruntuk semua pahlawan tanpa nama,
nyawa di sana? Panas kupingku dibuatnya. Untung
Teruntuk semua penerusnya, yang tak menyadari
saja kolonel yang mengurus kami baik orangnya,
apa yang telah diwarisinya,
Ras. Kami ditanya macam-macam. Semua kujawab sebisaku, berganti-ganti dengan Thomas, Togar
Kebumen, 26 Agustus 2012
dan Wayan. Lepas itu kami diperbolehkan istirahat.
***
Kami juga ditempatkan sebagai anak buah Kolonel Sardi.
*)
Syair Saidjah untuk Adinda, Bab XVII Max Havelaar
karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker.
Ras, Catatan ini kutulis di kamp dan nanti malam kami akan bergerilya menyerbu rombongan truk Belanda berisi amunisi yang akan menyuplai ke kota
Majalah Civitas | November 2012
83
sastra Vokabuler: 1)
Mesem : (bahasa Jawa) tersenyum.
2)
Daluang: kain atau kertas yang dibuat dari kulit pohon.
3)
Garwa: (bahasa Jawa) pasangan hidup; bisa suami atau istri tergantung konteks penggunaannya.
4)
Jarit: kain batik panjang.
5)
Bathari: (bahasa Jawa) bidadari, dewi kayangan.
6)
Apsari: (bahasa Jawa) bidadari, dewi kayangan.
7)
Indo: (istilah) digunakan untuk menyebut peranakan campuran antara orang kulit putih (biasanya ayahnya) dengan pribumi (biasanya ibunya), lazim digunakan di zaman pendudukan dulu.
8)
Gaman: senjata.
9)
Gedebok: batang pisang.
10)
Alas : (bahasa Jawa) hutan.
11)
Mitraliur: senapan mesin.
84
Majalah Civitas | November 2012
psikologi
Tentang Lupa Saya bukannya pelupa, hanya sering tidak ingat saja.
S
uatu ketika Anda sedang menuju Kantor
Kejadian di atas mungkin belum pernah Anda
Pusat Direktorat Jenderal Pajak untuk
alami, namun bayangkan jika hal tersebut terjadi
membahas serta mengumpulkan suatu
pada Anda. Mungkin hal pertama yang Anda
tugas karena dosen Anda hanya mau tugas
lakukan adalah mengeluh atas kecerobohan Anda,
tersebut dalam bentuk hard copy. Tak lama setelah
mengumpat pada diri sendiri, atau mungkin Anda
memasuki Gedung KP DJP, Anda menyadari bahwa
langsung mencari cara masuk ke KP DJP tanpa KTM.
KTM Anda tertinggal di rumah kos Anda yang berada di Jalan Sarmili, belasan kilometer jauhnya dari tempat Anda berdiri. ***
Lupa memang sesuatu yang wajar dan lumrah terjadi. Hanya saja efek pada diri sendiri dan lingkunganlah yang menjadikan lupa sebagai sesuatu yang kerap kali menyusahkan dan tidak menyenangkan.
Majalah Civitas | November 2012
85
psikologi Proses Terjadinya Lupa Dewasa ini ada empat cara untuk menerangkan proses lupa. Keempatnya tidak saling bertentangan, melainkan saling mengisi. 1. Apa yang telah kita ingat, disimpan dalam bagian tertentu di otak. Kalau materi yang harus diingat itu tidak pernah digunakan, maka karena proses metabolisme otak, lambat laun jejak materi itu terhapus dari otak sehingga kita tidak dapat mengingatnya kembali. Jadi, karena tidak digunakan, materi itu lenyap sendiri. 2. Mungkin pula materi itu tidak lenyap begitu saja, melainkan mengalami perubahan-perubahan secara sistematis, mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Penghalusan: materi berubah bentuk ke arah bentuk yang lebih simetris, lebih halus,
Lupamerupakanistilahyangsangat populerdimasyarakat.Dariharike haridanbahkansetiapwaktupastiada orang-orangtertentuyanglupaakan sesuatu,entahhalitutentangperistiwa ataukejadiandimasalampau,atau sesuatuyangakandilakukan,mungkin jugasesuatuyangbarusajadilakukan. Fenomena(tersebut)dapatterjadipada siapapunjuga,takpeduliapakahorang ituanak-anak,remaja,orangtua,guru, pejabat,profesor,petani,dansebagainya. (Syaiful Bahri Djamarah, 2008: 206)
dan kurang tajam, sehingga bentuk yang asli
hambatan retroaktif. Sebaliknya, mungkin pula
tidak diingat lagi.
materi yang baru kita pelajari tidak dapat masuk
b. Penegasan: bagian-bagian yang paling
dalam ingatan, karena terhambat oleh adanya
mencolok dari suatu hal adalah yang paling
materi lain yang terlebih dahulu dipelajari,
mengesankan. Karena itu, dalam ingatan,
hambatan seperti ini disebut hambatan proaktif.
bagian-bagian ini dipertegas, sehingga
4. Ada kalanya kita melakukan sesuatu yang
yang diingat hanyalah bagian-bagian yang
disebut represi. Peristiwa-peristiwa mengerikan,
mencolok, sedangkan bentuk keseluruhan
menakutkan, penuh dosa, menjijikan, dan
tidak begitu diingat.
sebagainya, atau semua hal yang tidak dapat
c. Asimilasi: bentuk yang mirip botol, misalnya,
diterima oleh hati nurani akan kita lupakan
akan kita ingat sebagai botol, sekalipun
dengan sengaja (sekalipun proses lupa yang
benda itu bukan botol. Dengan demikian,
sengaja ini terkadang tidak kita sadari, terjadi
kita hanya ingat sebuah botol, tetapi tidak
di luar alam kesadaran kita). Pada bentuknya
ingat bentuk yang asli.
yang ekstrem, represi dapat menyebabkan
3. Kalau mempelajari hal yang baru, kemungkinan
amnesia, yaitu lupa nama sendiri, orang tua,
hal-hal yang sudah kita ingat, tidak dapat kita
anak-istri, dan semua hal yang bersangkut paut
ingat lagi. Dengan kata lain, materi kedua
dengan dirinya. Amnesia ini dapat ditolong atau
menghambat diingatnya kembali materi
disembuhkan melalui psikoterapi atau melalui
pertama. Hambatan seperti ini disebut
suatu peristiwa yang sangat dramatis sehingga
86
Majalah Civitas | November 2012
psikologi menimbulkan kejutan kejiwaan pada penderita.
berpotensi ke arah lupa-lupa ingat. Kerancuan
(Ahmad Fauzi, 1997: 52-54)
struktur kognitif menyebabkan sejumlah kesan menjadi samar-samar, kesan itu menjadi sebentuk
Lupa Versus Hilang Ingatan
bayang-bayang dalam ketidakpastian. Menjadi sesuatu hal yang direpresentasikan dalam bentuk
Lupa ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut
kesan mengapung di antara alam bimbang sadar
atau memproduksi kembali apa-apa yang
dan alam bawah sadar. Sehingga, ingatan yang
sebelumnya telah kita pelajari.
timbul karena kesadaran akibat adanya rangsangan
Secara sederhana, Gulo (1982) dan Reber (1988)
dari luar atau usaha mengingat-ingat terjelma dalam
mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan
bentuk gejala ujung lidah, hampir ingat, atau lupa-
mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah
lupa ingat, yang berarti tidak lupa, cuma kurang
dipelajari atau dialami.
pasti.
Sedangkan hilang ingatan adalah hilangnya kemampuan untuk mengingat atau menimbulkan
Meningkatkan Kemampuan Memori
kembali, yang disebabkan oleh hilangnya suatu informasi dan pengetahuan dari akal kita. Dalam hal
Secara umum usaha-usaha untuk meningkatkan
lupa, informasi dan pengetahuan yang tersimpan
kemampuan memori harus memenuhi tiga
dalam ingatan tidak hilang, hanya lemah untuk
ketentuan sebagai berikut:
ditimbulkan kembali. Lupa-Lupa Ingat
Kadang-kadangkitamengingatsesuatudari ingatanjangkapanjangkitadanmerasa seolah-olahkitahampirmengingatnya,tetapi tidakmengingatbetulapayanginginkita ingatitu,entahitunamaseorangteman, tempatberlangsungnyakejadiantertentu, tanggallahirseorangpahlawannasioanal, dansebagainya.“Hampiringat”inidisebut “gejala ujung lidah”. Syaiful Bahri Djamarah, dalam bukunya Psikologi Belajar, menjelaskan bahwa pengorganisasian struktur kognitif yang kurang baik dan sistematik Majalah Civitas | November 2012
1. Proses memori bukanlah suatu usaha yang mudah. Mekanisme dalam proses mengingat sangat membantu organisme dalam menghadapi berbagai persoalan sehari-hari. Seseorang dikatakan “belajar dari pengalaman” karena ia mampu menggunakan berbagai informasi yang telah diterimanya di masa lalu untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya saat ini. 2. Bahan-bahan yang akan diingat harus mempunyai hubungan dengan hal-hal lain. Khusus mengenai hal ini, konteks memegang peranan penting. Memori sangat dibantu bila informasi yang dipelajari mempunyai kaitan dengan hal-hal yang sudah dikenal sebelumnya. Konteks dapat berupa peristiwa, tempat, nama sesuatu, perasaan tertentu, dan lain-lain. Konteks ini memberikan retrieval cues1) atau karena itu mempermudah recognition.
87
psikologi 3. Proses memori memerlukan organisasi. Salah satu pengorganisasian informasi yang sangat dikenal adalah mnemonik (bahasa Yunani: 2)
mnemosyne, yaitu dewi memori dalam mitologi Yunani). Informasi diorganisasi sedemikian
Vokabuler: 1) Retrieval cues: isyarat pengambilan kembali sebuah informasi. 2) Mnemonik: rumus atau ungkapan untuk membantu mengingat-ingat sesuatu.
rupa (dihubungkan dengan hal-hal yang sudah dikenal) sehingga informasi yang kompleks
Sumber:
mudah untuk diingat kembali.
http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan. blogspot.com/2011/01/lupa-menurut-psikologi-
Merapikan Ingatan
belajar.html
Setiap orang pernah mengalami lupa, dan imbas dari lupa itulah yang sebenarnya sering menyusahkan. Tapi bukankah mekanisme lupa sebenarnya memang menguntungkan bagi manusia? Apa jadinya jika ingatan tak menyediakan cara melupakan? Ribuan, bahkan jutaan memori
http://edupsi.wordpress.com/2010/04/13/penyebabmudah-lupa-tips-menghilangkan-kebiasaan-pelupa/ http://arifnurohmnan.wordpress.com/2011/02/05/ psikologi-lupa-dan-transfer-belajar/
akan menumpuk tanpa kita bisa hindari. Mau berlari, berlari kemana? Disini, lupa adalah hal kodrati yang memang diperuntukkan bagi manusia—manusia memerlukannya. Lagipula, mengantisipasi kelupaan akan hal-hal penting dapat kita akali sendiri, misalnya membuat catatan kecil tentang apa yang harus dilakukan, memasang pengingat di telepon genggam, bahkan mungkin kita sudah sering menyuruh seseorang untuk mengingatkan kita tentang sesuatu. Intinya adalah bagaimana kita merapikan ingatan. Menajamkan kesan dalam ingatan-ingatan yang penting, memilah hal mana yang harus diletakan dalam ingatan kita yang teratas, dan mana yang harus ditindih, ditimpa, dan dihapus pelan-pelan. [Annisa Fitriana]
88
Majalah Civitas | November 2012
kesehatan
Untung Rugi Minuman Berenergi Kebutuhan manusia yang tak terbatas mendorong manusia untuk terus beraktivitas. Terkadang waktu 24 jam masih terasa kurang saking banyaknya aktivitas yang harus dilaksanakan. Majalah Civitas | November 2012
89
kesehatan
T
ingginya kebutuhan manusia akan asupan nutrisi, di tengah waktu yang terasa singkat, mendorong beberapa orang untuk memproduksi makanan dan minuman instan. Salah satu produknya adalah minuman berenergi. Tak tanggung-tanggung, produsen-produsen ini menjanjikan “kekuatan super”, seperti yang ditunjukkan dalam iklan-iklannya. Namun, benarkah minuman ini bermanfaat seperti yang digemborgemborkan para produsen?
Kandungan Minuman Berenergi
Pengertian Minuman Berenergi
Minuman berenergi secara umum terdiri atas gula, vitamin B, dan sejumlah besar kafeina. Beberapa produsen lalu menambahkan taurin, guarana, asam amino, Ginkgo biloba, ginseng, serta beberapa vitamin dan mineral lainnya untuk menambah khasiat minuman tersebut. Untuk menarik minat konsumen, produsen juga menyediakan minuman berenergi dalam berbagai rasa dan warna yang menarik dengan menambahkan zat penambah rasa dan pewarna.
Sesuai dengan namanya, minuman berenergi ialah minuman yang dapat memberikan tambahan “energi” pada tubuh yang mengonsumsinya. Minuman energi berbeda dengan minuman ringan dan minuman isotonik. Minuman ringan hanya mengandung air, penambah rasa, dan gula. Minuman ini digemari karena rasanya yang enak dan dapat memberikan kesegaran. Sementara itu, minuman berenergi mengandung kafeina dan zat-zat lain yang dipercaya meningkatkan tenaga dan stamina. Berbeda dengan minuman berenergi, minuman isotonik mengandung elektrolit yang lebih berkhasiat dalam mengatasi dehidrasi. Sejarah Minuman Berenergi Adanya minuman berenergi bermula dari sebuah minuman yang diberikan di rumah sakit di Inggris dengan nama Lucozade Energi, yang digunakan untuk membantu proses penyembuhan pasien.
Padatahun1949,diAmerika Serikat beredar Dr. Enuf, minumanbuatanWilliamMark Swartzyangdiklaimmengandung vitaminB,kafeina,dangulatebu. Lipovitan merupakan minuman pertama yang berlabel minuman berenergi. Lipovitan pertama kali beredar pada tahun 1962 di Jepang, dengan pasar utama para pekerja kasar dan pegawai yang bekerja hingga larut malam. Lipovitan menambahkan taurin dalam produknya untuk meningkatkan efek kafeina, yang pada umumnya telah ada dalam sebagian besar minuman ringan pada saat itu.
90
Di Indonesia, Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) menggolongkan minuman berenergi sebagai minuman kesehatan. Hal ini didasarkan pada komposisi minuman jenis ini yang dipercaya dapat menambah energi dan memberikan stimulan. Namun, Inggris dan Amerika Serikat sejak beberapa tahun terakhir telah menggolongkannya sebagai minuman ringan.
Manfaat Minuman Berenergi Salah satu jurnal dalam The Physician and Sportsmedicine menyebutkan bahwa minuman berenergi dapat mempercepat reaksi tubuh dan meningkatkan daya tahan tubuh bagian atas. Selain itu, sebagaian besar konsumen minuman berenergi mengungkapkan bahwa minuman ini dapat menghilangkan kantuk dan membuat tubuh lebih bersemangat. Manfaat ini diperoleh dari kafeina, komposisi utama minuman berenergi. Dalam salah satu jurnal Mayo Clinic Proceedings edisi November disebutkan bahwa kadar kafeina dalam minuman berenergi ternyata dua kali lebih banyak daripada kadarnya dalam kopi dan teh. Hal ini membuat efek kafeina dalam minuman berenergi lebih cepat terasa. Kafeina, yang lebih familiar dengan nama kafein, memang dipercaya dapat meningkatkan daya konsentrasi serta meningkatkan kewaspadaan. Vitamin B juga dipercaya dapat menambah energi bagi tubuh. Dalam proses pembentukan energi sel, vitamin B berperan dalam mengubah karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi. Peran ini utamanya dipegang oleh vitamin B-12. Taurin pun dipercaya dapat meningkatkan kadar oksigen yang diedarkan dalam darah sehingga mempercepat proses pembentukan energi. Penambahan Ginkgo biloba dan ginseng juga diyakini mampu
Majalah Civitas | November 2012
kesehatan menggantikan energi yang telah terpakai selama beraktivitas. Risiko Minuman Berenergi Klaim dari para produsen atas manfaat beragam zat yang terkandung dalam minuman berenergi ternyata masih dipertanyakan. Bila diteliti lebih lanjut, kadar kafeina yang terlalu tinggi justru berdampak buruk. Tubuh manusia memiliki batas toleransi terhadap kafeina dan setiap orang memiliki ambang batas kafeina tersendiri, tergantung jenis aktivitas dan usia. Namun, sebaiknya manusia mengonsumsi kafeina tidak lebih dari 150 mg per hari, sedangkan kandungan kafeina dalam minuman berenergi per sajiannya mencapai 50—200 mg. Oleh karena itu, minuman berenergi sebaiknya tidak dikonsumsi lebih dari tiga kali sehari, apalagi bila disertai dengan meminum kopi atau teh. Konsumsi kafeina yang berlebihan dapat menyebabkan ketagihan, susah tidur, sakit kepala, kram, tekanan darah naik, bahkan dapat menyebabkan stroke dan serangan jantung. Selain itu, konsumsi taurin melebihi batas aman, 1—4 mg per hari, juga dapat mempengaruhi memori jangka pendek dan denyut jantung. Walaupun minuman berenergi dapat memberikan kesegaran, minuman ini sebenarnya justru memicu dehidrasi. Kafeina, taurin, dan gula merupakan senyawa diuretik1) sehingga mengonsumsi minuman berenergi ketika tubuh membutuhkan cairan adalah suatu kekeliruan. Manfaat kandungan vitamin B dalam minuman berenergi pun tampaknya masih menjadi pertanyaan. Vitamin B memang berperan dalam proses pembentukan energi dan kekurangan vitamin B dapat menurunkan produksi energi sel, tetapi konsumsinya pun harus sesuai kebutuhan. Kelebihan vitamin B dalam tubuh justru akan terbuang lewat urin. Risiko lain yang harus dihadapi oleh konsumen minuman berenergi adalah kandungan gula sebagai pemanis dan pengawet minuman tersebut. Jumlah gula dalam minuman berenergi ternyata sangat tinggi, hampir sama dengan kandungan dalam minuman ringan. British Medical Journal pernah memuat hasil penelitian mereka terhadap seratus empat merek minuman berenergi. Hasilnya menyebutkan bahwa semuanya mengandung gula dalam jumlah besar. Majalah Civitas | November 2012
Sementara itu, Mayo Clinic Proceedings edisi November menuliskan bahwa dalam satu takaran saji minuman berenergi terkandung setidaknya seperempat cangkir gula. Konsumsi gula berelebihan dapat mengakibatkan kerusakan gigi, obesitas, dan peningkatan kadar gula dalam darah. Beberapa merek mengaku bebas atau rendah gula, tetapi justru label inilah yang harus diwaspadai. Untuk mendapatkan minuman rendah gula, produsen minuman berenergi menggantinya dengan gula tambahan. Gula tambahan ini berkadar lemak tinggi walaupun bersifat rendah kalori. Salah satu gula tambahan yang sering dipakai ialah HFCS karena harganya yang jauh lebih murah dibanding jenis gula lainnya. Makanan dan Minuman Pengganti Minuman Berenergi Bagi mereka yang benar-benar membutuhkan tambahan energi, tetapi tidak ingin terkena efek samping dari minuman berenergi yang penuh zat kimia, berikut makanan dan minuman yang dapat menambah energi secara alami. a. Pisang Pisang mengandung kalium, vitamin B, antioksidan, dan elektrolit yang baik untuk menambah stamina setelah beraktivitas. b. Air kelapa Air kelapa mengandung elektrolit yang tinggi. Elektrolit dapat menghilangakan rasa haus dan mengganti cairan tubuh lebih baik daripada air putih biasa. Kelebihan elektrolit dalam tubuh akan dibuang dalam urin. c. Susu cokelat Susu cokelat selain mengandung elektrolit dan kalium juga mengandung potasium dan magnesium yang dapat membantu meningkatkan stamina setelah banyak beraktivitas. d. Minuman isotonik Minuman ini mengandung elektrolit dalam jumlah banyak dan cukup untuk menghilangkan dahaga karena kehilangan
91
kesehatan banyak cairan melalui keringat selama beraktivitas. Namun, minuman isotonik yang banyak beredar mengandung gula yang tinggi sehingga konsumsi minuman ini dianjurkan sesuai kebutuhan saja. Minuman berenergi sebenarnya mengandung banyak manfaat bagi tubuh. Namun, minuman ini hanya tepat dikonsumsi oleh orang-orang yang banyak beraktivitas atau beraktivitas berat, itu pun selama dalam jumlah yang wajar.
[Tyas T.M.W.S.R.]
Vokabuler: 1) Diuretik: obat pendorong produksi air seni
92
Majalah Civitas | November 2012
budaya
UUK Istimewakan Yogyakarta
Majalah Civitas | November 2012
Menjelang pergantian Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2008, Daerah Istimewa Yogyakarta bergejolak. Permasalahan timbul karena adanya perbedaan pendapat antara DPRD dan masyarakat dalam menentukan calon yang akan diajukan.
93
budaya
M
asyarakat Yogyakarta menginginkan agar cagub dan cawagub adalah Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Namun, kondisi saat itu tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk mengabulkan keinginan tersebut karena tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur keistimewaan DIY. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pun tidak mengatur bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam harus menduduki posisi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta. Gejolak ini merupakan kelanjutan dari gejolak yang pernah terjadi sebelumnya, yakni saat terjadinya kekosongan kepala daerah karena wafatnya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam VIII pada tahun 1998. Kemudian Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono X, tetapi tidak diangkat sebagai gubernur. Tidak adanya aturan dalam UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang secara tegas mengatur bahwa Sultan dan Paku Alam yang sedang bertahta juga merupakan gubernur dan wakil gubernur, menimbulkan perdebatan antara masyarakat, legislatif, dan pemerintah meski pada akhirnya Sri Sultan Hamengku Buwono X disetujui menjadi gubernur oleh presiden kala itu, B.J. Habibie. Peraturan mengenai pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY sedikit mendapat titik terang saat munculnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa keistimewaan DIY bersifat tetap, dengan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang mempertimbangkan keturunan kesultanan dan keturunan pakualaman. Namun, gejolak kembali muncul pada tahun 2000, ketika DPRD DIY mengusulkan untuk mengisi jabatan wakil gubernur yang berasal dari keturunan KGPAA Paku Alam VIII, bukan dari Paku Alam yang saat itu sedang bertahta, yakni Paku Alam IX. Meski tuntutan rakyat diindahkan oleh DPRD, hasil pemilu menunjukkan kemenangan Paku Alam IX sebagai gubernur, mengalahkan Anglingkusumo, saudara dari ibu yang berbeda.
94
Berawal dari rangkaian gejolak inilah mulai diusulkan adanya undang-undang yang secara khusus mengatur keistimewaan Yogyakarta. Namun, draf Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) yang telah dibuat oleh Pemprov DIY dan DPRD DIY kurang ditanggapi oleh pemerintah dan DPR hingga menjelang berakhirnya masa jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX. Akhirnya DPRD memutuskan memproses satu pasang cagub-cawagub, yaitu Sultan dan Paku Alam. Usulan RUUK kembali diajukan pada akhir tahun 2008. Kali ini hambatan terjadi pada proses pembahasan karena perbedaan pendapat dalam hal penetapan atau pemilihan gubernur. Pada tahun 2010, RUUK diajukan dengan konsep Sultan sebagai gubernur utama dan Paku Alam sebagai wakil gubernur utama, sedangkan gubernur dan wakil gubernur ditetapkan dengan mekanisme pemilihan. Proses panjang RUUK ini kemudian berakhir pada 31 Agustus 2012 dengan disahkannya Undang-undang Keistimewaan (UUK) DIY, yaitu UU Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY . Secara substansi, UU Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY memberikan kewenangan kepada DIY dalam urusan keistimewaan, di antaranya adalah tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, kelembagaan pemerintah, kebudayaan, serta pertanahan dan tata ruang. Adanya UU tersebut semakin menguatkan keistimewaan Yogyakarta. Sejak 67 tahun lalu Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam VIII selaku Adipati Kadipaten Pakualaman menyatakan melebur ke Republik Indonesia dengan posisi istimewa melalui maklumat 5 September 1945. Berbeda dengan bentuk keistimewaan daerah lain seperti Aceh dan Jakarta, keistimewaan Yogyakarta adalah dalam hal Sultan dan Paku Alam sebagai kepala daerah. Pengangkatan Sultan dan Paku Alam sebagai kepala daerah merupakan salah satu paugeran (sistem suksesi internal keraton .red) keraton yang menjadi bagian budaya Yogyakarta. Selama ini paugeran keraton hanya menjadi peraturan yang diketahui oleh kalangan internal keraton. UUK memfasilitasi agar paugeran keraton dapat diketahui khalayak.
Majalah Civitas | November 2012
budaya Yogya Kota Budaya Yogyakarta memang layak disebut sebagai kota budaya yang perlu dipertahankan keistimewaannya. Sejak didirikan pada tahun 1755 oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I, Yogyakarta mampu mempertahankan berbagai warisan budaya yang dimilikinya. Tak heran jika Yogyakarta disebut juga sebagai museum hidup kebudayaan Jawa. Keraton tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal bagi raja beserta para abdi dalem-nya, tetapi juga sebagai tempat wisata budaya. Keraton Ngayogyakarta terbuka bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Selain menampilkan koleksi keraton, tempat ini berperan dalam upaya melestarikan dan memperkenalkan budaya. Upaya yang dimaksud di antaranya dengan memberi kesempatan kepada pengunjung untuk melihat aktivitas abdi dalem serta menyuguhkan penampilan budaya yang berbeda setiap harinya, mulai dari musik gamelan, aneka macam pertunjukan wayang, tarian, macapat, hingga membatik. Bahkan keraton juga menawarkan kelas belajar nembang macapat, menulis dan membaca huruf Jawa, menari klasik, serta mendalang.
digunakan untuk proses penetapan kepala daerah, penataan kelembagaan Pemprov DIY, serta tata ruang dan pertanahan. Dana ini berasal dari pajak daerah yang tidak sepenuhnya dikembalikan ke DIY. Usaha untuk melestarikan budaya tak lepas dari upaya adaptasi dengan adanya globalisasi yang memungkinkan terjadinya akulturasi budaya. Menanggapi hal ini, dalam wawancara dengan kabaremagazine.com, Sri Sultan berpendapat bahwa adanya globalisasi budaya tidak akan menjadi masalah ketika akulturasi berlangsung secara intergratif, yaitu ketika budaya lokal mampu menyerap unsur-unsur budaya asing. Hal tersebut justru dapat memperkokoh keberadaaan, menambah daya tahan, serta mengembangkan identitas budaya masyarakat setempat. Sebaliknya, dominasi budaya asing dalam proses akulturasi akan memusnahkan kearifan dan keunggulan lokal yang bisa bermuara pada kehancuran budaya lokal dan hilangnya jati diri suatu bangsa.
Salah satu tradisi unik keraton adalah olahraga panahan tradisional yang disebut jemparingan. Jemparingan rutin diadakan setiap 35 hari sekali pada Selasa Wage. Hal ini dilakukan untuk memperingati hari lahir Sri Sultan Hamengkubuwono X yang bertepatan pada Selasa Wage. Salah satu perbedaan antara jemparingan dengan olahraga panahan biasa adalah setiap peserta diwajibkan mengenakan pakaian pakaian adat, surjan/peranakan, jarit, dan blangkon untuk pria, serta jarit dan kebaya untuk wanita. Selain itu, kesatria panah membidik sasarannya dalam posisi duduk bersila. Mulanya, jemparingan merupakan kegiatan prajurit keraton. Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi ini menjadi sarana lomba olah raga bagi masyarakat umum.
“Kita perlu berupaya membangkitkan kembali kesejatian budaya Indonesia di tengah dominasi budaya global, dengan memposisikan budaya etnik Nusantara sebagai pilar-pilar penyangganya, untuk kemudian ditata kembali melalui restorasi budaya,” jelas Sri Sultan.
Kini, dengan disahkannya UU Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, pelestarian budaya di Yogyakarta akan mendapat perhatian yang lebih besar. Hal tersebut tak lepas dari 90% dana keistimewaan yang diperoleh DIY yang dialokasikan untuk kebudayaan. Sementara itu, 10% sisanya
jogjainfo.net kabaremagazine.com nationalgeographic.co.id pariwisata.jogja.go.id yogyescom/.id
Majalah Civitas | November 2012
Sri Sultan Hamengku Buwono X
[Salsabila Ummu S.] Sumber: Kedaulatan Rakyat, Jumat Pahing 31 Agustus 2012
95
SATIRE 96
Majalah Civitas | November 2012
BIDIK Kampus tak ramai lagi. Melihat transformasi Gedung B, kemudian kita merutuki, “Untuk apa bangun-bangun lagi?” Wahai mahasiswa, hitungan minggu atau paling lambat bulan, gedung ini mungkin sudah kokoh kembali. Lantas,bagaimanakah semangat kita? Sudahkah ia bangkit berdiri?
Majalah Civitas | November 2012
97
98
Majalah Civitas | November 2012