NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001
Departemen Keuangan RI
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
BAB.I PENDAHULUAN Pendahuluan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan penjabaran rencana kerja para penyelenggara negara untuk kurun waktu satu tahun. Dalam bentuk yang paling ringkas, APBN dituangkan ke dalam suatu format yang memuat pengelompokan jenis transaksi berkaitan dengan rencana kegiatan penyelenggaraan negara menurut pengaruhnya terhadap posisi keuangan negara dalam kurun waktu setahun. Transaksi-transaksi yang berkaitan dengan rencana kegiatan tersebut dikategorikan ke dalam kelompok pendapatan negara dan hibah, belanja negara, dan pembiayaan anggaran. Pendapatan negara dan hibah merupakan kelompok transaksi yang berakibat pada meningkatnya posisi aktiva bersih (net worth) dalam neraca keuangan negara, sedangkan belanja negara berakibat sebaliknya. Dengan perkataan lain, pendapatan dan hibah mencerminkan target nominal rupiah yang akan dicapai melalui pelaksanaan rencana kerja para penyelenggara negara dalam menggali sumber-sumber penerimaan negara. Sedangkan belanja negara mencerminkan pagu tertinggi dana yang dialokasikan untuk masing-masing kegiatan yang tercakup dalam rencana kerja para penyelenggara negara. Selisih negatif atau positif pendapatan negara dan hibah setelah dikurangi belanja negara merupakan defisit atau surplus anggaran. Selisih negatif akan dibiayai dengan dana yang dihasilkan oleh kegiatankegiatan (transaksi) yang dikelompokkan dalam pembiayaan anggaran. Kelompok pembiayaan anggaran merupakan kategori transaksi yang tidak menimbulkan perubahan pada aktiva bersih, karena setiap transaksi yang termasuk dalam kelompok pembiayaan akan mempengaruhi sisi aktiva (assets) dan kewajiban (liabilities) dari neraca keuangan negara, dalam jumlah yang sama, atau dapat menimbulkan terjadinya perubahan struktur assets dan liabilities namun tidak mempengaruhi posisi keseimbangan neraca keuangan negara.
Departemen Keuangan RI
APBN merupakan penjabaran rancangan rencana kerja penyelenggaraan negara dalam satu tahun.
Pendapatan negara dan hibah mengakibatkan posisi aktiva bersih negara meningkat, sedangkan belanja negara berakibat sebaliknya.
Selisih negatif atau positif pendapatan negara dan hibah setelah dikurangi belanja negara selama setahun merupakan defisit atau surplus anggaran.
2
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Penetapan APBN merupakan manifestasi pelaksanaan kewajiban konstitusional pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi antara lain, "Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang". Sebagai suatu kebijakan publik, proses penyusunan APBN tidak hanya berkaitan dengan penanganan teknis penganggaran (budgeting), analisis ekonomi dan sosial, juridis formil dan konstitusional kenegaraan, akan tetapi juga merupakan bagian dari proses politik. Sehubungan dengan hal tersebut, mekanisme penyusunannya tidak sepenuhnya dimulai pada pihak pemerintah saja, melainkan didahului dengan adanya Pembicaraan Pendahuluan antara Pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR RI, serta komisi-komisi DPR RI dengan masing-masing mitra kerjanya. Forumforum tersebut dimaksudkan untuk menyamakan pandangan tentang arah dan target-target umum yang akan dicapai dalam penyelenggaraan negara pada suatu tahun anggaran. Proses politik tersebut akan berlanjut sampai dengan proses pembahasan dengan panitia anggaran dan pada tahap akhir akan ditetapkan melalui rapat paripurna DPR.
Penetapan APBN merupakan manifestasi pelaksanaan kewajiban konstitusional pemerintah sesuai dengan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Beberapa prinsip umum yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan APBN 2002 antara lain adalah APBN yang disusun harus (i) mendorong terciptanya APBN yang semakin sehat pada masa yang akan datang; (ii)sedapat mungkin dapat menjamin dipertahankannya kesinambungan anggaran; dan (iii) selalu didasarkan pada kemampuan penyediaan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri. APBN 2002 merupakan APBN ketiga yang diajukan pemerintah sebagai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 19992004 dan merupakan APBN yang pertama di bawah Kabinet Gotong Royong. Selain mengacu kepada GBHN 1999-2004, penyusunan APBN tahun anggaran 2002 juga mengacu kepada Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, Repeta 2002, kesepakatankesepakatan yang dicapai dalam rapat-rapat pembicaraan pendahuluan dengan DPR, serta program kerja Kabinet Gotong Royong. Sebagai suatu rencana kerja penyelenggara negara yang mencakup berbagai program dan atau kegiatan yang akan diselenggarakan oleh badan eksekutif, legislatif dan judikatif dalam tahun anggaran 2002, maka penyusunan APBN 2002 juga harus
Departemen Keuangan RI
Prinsip umum penyusunan APBN 2002 adalah menciptakan APBN yang semakin sehat, berkesinambungan, dan bertumpu pada kemampuan pembiayaan dalam negeri. APBN 2002 merupakan tahun ke-3 pelaksanaan GBHN 1999-2004.
3
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan dan perkiraan-perkiraan terhadap faktor-faktor baik eksternal maupun internal yang mempengaruhi APBN tahun anggaran 2002. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya terdiri atas faktor kondisi perekonomian nasional dan perekonomian dunia, serta perkembangan pelaksanaan APBN sampai pada periode terkini. Nota Keuangan dan APBN 2002, secara berurutan akan memberikan penjelasan tentang asumsi dasar penyusunan RAPBN 2002 pada Bab II, yang secara ringkas memuat uraian kinerja ekonomi Indonesia tahun 2001, perkembangan ekonomi global, kondisi sosial politik dan keamanan, dan kebijakan ekonomi makro Indonesia tahun 2002, yang mendasari perkiraan asumsi indikator ekonomi makro dalam APBN 2002. Asumsi tersebut mencakup pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, nilai tukar rupiah, harga minyak internasional, dan tingkat produksi minyak mentah Indonesia. Asumsi-asumsi dasar tersebut telah disesuaikan dengan kesepakatan dengan DPR. Selanjutnya, pada Bab III dijelaskan mengenai perkembangan pelaksanaan keuangan negara (APBN) selama tiga tahun terakhir yang meliputi periode tahun anggaran 1999/2000, 2000 dan 2001. Pada Bab ini diuraikan secara ringkas mengenai arah perkembangan pendapatan negara dan hibah, belanja negara dan pembiayaan anggaran, serta berbagai kebijakan yang berpengaruh terhadap perkembangan masingmasing unsur dalam setiap komponen APBN selama periode waktu tahun anggaran 1999/2000-2001. Sedangkan Bab IV adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2002 yang secara ringkas menjelaskan mengenai target pendapatan negara dan hibah, rencana belanja negara, kondisi keseimbangan umum dan defisit APBN, serta pembiayaan defisit anggaran untuk tahun anggaran 2002. Di samping target besaran-besaran APBN secara nominal dan persentasenya terhadap PDB, Bab ini juga menguraikan berbagai langkah kebijakan atau rencana tindakan yang akan ditempuh selama tahun anggaran 2002 yang diperkirakan akan mendukung pencapaian besaran-besaran yang dianggarkan dalam APBN 2002. Sejalan dengan strategi jangka menengah untuk mengurangi defisit anggaran secara bertahap hingga mencapai posisi keseimbangan Departemen Keuangan RI
APBN 2002 disusun dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal, serta perkembangan pelaksanaan APBN tahun anggaran 2001.
Bab II memuat uraian mengenai asumsi indikator ekonomi makro tahun anggaran 2002.
Bab III menjelaskan perkembangan pelaksanaan APBN tiga tahun terakhir.
Bab IV menjelaskan APBN 2002 dan berbagai kebijakan pendukungnya.
4
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
anggaran dalam tahun anggaran 2004/2005, maka defisit anggaran tahun anggaran 2002 diperkirakan pada tingkat 2,5 persen terhadap PDB dibandingkan dengan 3,7 persen terhadap PDB tahun 2001. Dengan sasaran pencapaian target defisit sebesar 2,5 persen terhadap PDB tersebut diperkirakan situasi keuangan negara dalam tahun anggaran 2002 secara umum masih sangat ketat. Melalui Nota Keuangan dan APBN 2002 ini diharapkan pemerintah dapat memberikan penjelasan berkenaan dengan pokokpokok program dan atau kegiatan, termasuk kebijakan yang menjadi landasannya, yang tercakup di dalam setiap komponen yang masuk dalam kelompok pendapatan negara dan hibah, belanja negara dan pembiayaan anggaran, serta penjelasan tentang asumsi-asumsi dasar yang dipergunakan dalam penyusunan APBN 2002 dan kaitannya dengan aspek ekonomi lainnya. Dengan demikian diharapkan agar semua pihak yang berkepentingan (stake holders) dapat memahami kondisi perekonomian yang melingkupi dan mempengaruhi besaran-besaran yang diusulkan pemerintah dalam APBN 2002.
Departemen Keuangan RI
Secara umum situasi keuangan negara tahun 2002 masih ketat.
5
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
BAB II ASUMSI DASAR PENYUSUNAN APBN 2002
Pendahuluan Besaran-besaran APBN 2002 ditentukan terutama oleh perkiraan perkembangan ekonomi Indonesia tahun 2002 secara keseluruhan dan berbagai kebijakan strategis pemerintah di bidang fiskal. Berbagai variabel ekonomi makro yang secara langsung mendasari penyusunan APBN 2002 meliputi pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$), suku bunga SBI 3 bulan, harga minyak mentah internasional, dan tingkat produksi minyak mentah Indonesia. Perkembangan ekonomi Indonesia tahun 2002 dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi Indonesia tahun 2001, perkembangan ekonomi global dalam tahun 2002, kondisi sosial, politik dan keamanan dalam negeri tahun 2002, dan kebijakan ekonomi makro serta kebijakan restrukturisasi di berbagai bidang yang akan dilaksanakan dalam tahun 2002.
Besaran-besaran APBN 2002 ditentukan oleh perkembangan ekonomi makro dan kebijakan fiskal tahun 2002.
Perekonomian Indonesia tahun 2001 mengalami tekanan.
Kinerja Ekonomi Indonesia Tahun 2001 Dalam tahun 2001, perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat, terutama yang bersumber dari depresiasi rupiah yang berlebihan, laju inflasi yang relatif tinggi, naiknya suku bunga, serta tingginya risiko ketidakpastian yang bersumber dari kondisi politik dan keamanan dalam negeri. Selain itu, perkembangan perekonomian global yang lebih rendah dari yang diperkirakan semula turut memberikan tekanan yang kurang menguntungkan bagi perekonomian nasional. Sebagai antisipasi terhadap perkembangan tersebut di atas, pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan di bidang fiskal dan melakukan penyesuaian terhadap perkiraan kinerja ekonomi Indonesia tahun 2001. Selanjutnya, membaiknya kondisi politik dan kemananan dalam negeri seiring dengan lancarnya pergantian pemerintahan pada pertengahan tahun 2001, langkah antisipatif atas berbagai kebijakan fiskal yang diarahkan untuk tetap menjaga fiscal sustainability dengan memberikan stimulus ekonomi
Departemen Keuangan RI
Kinerja ekonomi tahun 2001 menunjukkan pertumbuhan yang melambat.
6
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
terbatas, serta kebijakan moneter yang akan diarahkan untuk menjaga kestabilan harga-harga dan nilai tukar rupiah, telah berperan untuk mengurangi tekanan yang berlebihan terhadap perkembangan ekonomi tahun 2001. Secara umum, kinerja perekonomian Indonesia tahun 2001 menunjukkan pertumbuhan yang melambat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 3,5 persen. Pertumbuhan 2001 ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun 2000 sebesar 4,8 persen, namun masih lebih baik dari negara-negara tetangga. Sementara itu, laju inflasi selama tahun 2001 (y-o-y) diperkirakan sebesar 11,9 persen, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat rata-rata Rp10.219, dan tingkat suku bunga SBI 3 bulan rata-rata 16,4 persen. Perkembangan Ekonomi Global World Economic Outlook Desember 2001 memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 2002 tidak lebih baik dari tahun 2001, yaitu sekitar 2,4 persen. Pertumbuhan ekonomi dunia yang relatif stagnan tersebut terutama ditengarai berasal dari melemahnya perekonomian dinegara-negara maju. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan melambat dari 1 persen dalam tahun 2001 menjadi 0,6 persen dalam tahun 2002. Ekonomi Jepang diperkirakan akan melemah dalam tahun 2002 dengan pertumbuhan negatif 1,0 persen setelah mengalami pertumbuhan negatif sebesar 0,4 persen dalam tahun 2001. Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa juga mengalami pertumbuhan yang melambat dari 1,7 persen dalam tahun 2001 menjadi 1,3 persen dalam tahun 2002. Perkembangan ekonomi negara-negara maju yang melemah tersebut diperkirakan akan memberikan tantangan yang lebih besar bagi kinerja perekonomian Indonesia dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, khususnya dalam kaitannya dengan aktivitas perdagangan internasional dan menarik masuknya invesatasi asing. Oleh karena itu, selain mencari peluang sebaik-baiknya ditengah-tengah lesunya perekonomian negara-negara maju, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2002 diutamakan kepada bangkitnya kembali permintaan domestik sehubungan dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat dan semakin mantapnya restrukturisasi ekonomi yang diupayakan dengan berbagai kebijakan ekonomi makro dan mikro secara komprehensif.
Departemen Keuangan RI
Pertumbuhan ekonomi negaranegara maju tahun 2002 melemah dibandingkan dengan tahun 2001.
7
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Kondisi Sosial, Politik, dan Keamanan Kondisi sosial, politik dan keamanan yang merupakan salah satu faktor penentu bagi percepatan pemulihan ekonomi nasional diharapkan semakin membaik secara signifikan dalam tahun 2002. Sukses dan lancarnya pergantian kepemimpinan nasional sesuai hasil Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tanggal 2326 Juli 2001 diperkirakan merupakan awal membaiknya kondisi sosial, politik, dan keamanan dalam negeri. Kondisi tersebut diperkirakan akan semakin baik seiring dengan berjalannya waktu sampai akhir tahun 2001. Selanjutnya dalam tahun 2002 kondisi sosial, politik, dan keamanan diharapkan akan semakin baik dan mantap. Membaiknya stabilitas sosial, politik, dan keamanan dalam tahun 2002 secara signifikan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia dan luar negeri akan masa depan perekonomian Indonesia. Meningkatnya kepercayaan masyarakat tersebut akan mendorong pertumbuhan konsumsi dan investasi masyarakat, serta mendorong meningkatnya investasi luar negeri ke Indonesia, baik investasi langsung maupun investasi tidak langsung. Hal ini lebih lanjut akan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kinerja ekonomi Indonesia.
Kondisi sosial, politik, dan keamanan diharapkan semakin baik pada tahun 2002.
Kebijakan Ekonomi Makro Indonesia Tahun 2002 Dalam tahun 2002, kebijakan ekonomi makro diarahkan untuk mencapai pemulihan ekonomi berkelanjutan yang lebih bertumpu pada kemampuan sendiri (self-sustained recovery) yang akan diupayakan melalui serangkaian kebijakan moneter, fiskal, restrukturisasi perusahaan dan pemulihan aset-aset BPPN, serta kebijakan restrukturisasi di berbagai sektor publik. Dalam tahun 2002, kebijakan moneter akan tetap diarahkan pada upaya pengendalian tekanan inflasi dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Untuk itu, kebijakan moneter akan terus dilakukan untuk meminimalisasi kelebihan likuiditas dalam perekonomian. Dalam pelaksanaannya, kebijakan moneter akan dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya kenaikan suku bunga secara drastis dan berlebihan, sehingga tidak membahayakan proses pemulihan perbankan dan perekonomian secara keseluruhan. Penyerapan kelebihan likuiditas tersebut dilakukan terutama melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT), khususnya lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI), intervensi rupiah, Departemen Keuangan RI
Kebijakan ekonomi makro tahun 2002 diarahkan untuk mencapai pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan moneter diarahkan pada pengendalian inflasi dan stabilisasi nilai tukar rupiah.
8
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
dan sterilisasi valas. Sejalan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional, target inflasi, dan perkiraan nilai tukar rupiah, maka tingkat pertumbuhan uang primer dalam tahun 2002 ditargetkan sekitar 12-14 persen. Sementara itu, kebijakan keuangan negara dalam tahun 2002 tetap diarahkan pada upaya untuk mewujudkan APBN yang sehat, memelihara ketahanan fiskal yang berkelanjutan, dan memberikan stimulus fiskal dalam batas kemampuan keuangan negara guna mendukung proses pemulihan ekonomi. Kebijakan keuangan negara tersebut akan dilaksanakan secara selaras dan konsisten dengan kebijakan ekonomi makro lainnya. Kinerja Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) merupakan salah satu kunci pokok dalam rangka pemulihan kembali ekonomi Indonesia. Peranan BPPN sangat penting dan strategis dalam proses restrukturisasi perusahaan, baik bank maupun bukan bank. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas BBPN akan tetap dijaga dalam rangka menjamin keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas BPPN. Sementara itu, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Komite Pengawas (Oversight Committee) juga akan didorong untuk melaksanakan tugasnya secara lebih optimal. Untuk memperkuat fundamental ekonomi bagi proses pertumbuhan ekonomi jangka menengah, pemerintah juga akan melaksanakan reformasi struktural di berbagai bidang, seperti perbaikan sistem pengadaan sektor publik dan kebijakan pengelolaan keuangan, reformasi BUMN, reformasi pelayanan publik, dan program pengentasan kemiskinan. Selain itu, fungsi pengawasan internal pemerintah akan ditingkatkan sehingga mampu mengidentifikasikan dengan cepat dan tepat orang/pejabat yang bertanggung jawab atas terjadinya kasus-kasus yang merugikan negara dan selanjutnya diambil tindakan hukum secara konkrit.
Target pertumbuhan uang primer tahun 2002 sekitar 12-14 persen.
Kebijakan keuangan negara akan dilaksanakan secara selaras dan konsisten dengan kebijakan ekonomi makro lainnya.
Transparansi dan akuntabilitas BPPN harus tetap dijaga dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
Reformasi di berbagai bidang diperlukan untuk memperkuat fundamental ekonomi .
Indikator Ekonomi Makro Dalam APBN 2002 Dengan kondisi sebagaimana diuraikan di atas, kinerja ekonomi Indonesia dalam tahun 2002 diperkirakan akan mengalami kemajuan
Departemen Keuangan RI
9
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
dibandingkan dengan tahun 2001. Secara garis besar kemajuan tersebut tercermin pada beberapa indikator utama ekonomi makro, yang digunakan sebagai dasar penentuan besaran-besaran APBN 2002. Salah satu faktor penting dalam mencapai kinerja ekonomi tersebut adalah adanya koordinasi yang baik antara kebijakan fiskal dan moneter. Oleh karena itu, koordinasi tersebut akan semakin ditingkatkan dan dimantapkan dalam tahun 2002.
Kinerja ekonomi nasional tahun 2002 diperkirakan semakin baik.
Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter akan semakin meningkat.
Tabel II.1 Kerangka Ekonomi Makro, 2001-2002
Indikator
2001*)
2002*)
1.
Pertumbuhan ekonomi (persen)
3,5
4,0
2.
Inflasi (persen)
11,9
9,0
3.
Nilai tukar rupiah per US$
10.219
9.000
4.
Suku bunga SBI 3 bulan (persen)
16,4
14,0
5.
Harga minyak internasional (US$/barel)
24,6
22,0
6.
Produksi minyak Indonesia (juta
1,32
1,32
barel/hari) *) Perkiraan
Pertumbuhan Ekonomi Setelah tumbuh sebesar 4,8 persen dalam tahun 2000, ekonomi Indonesia diperkirakan akan tumbuh lebih rendah dalam tahun 2001, yaitu sebesar 3,5 persen. Namun, dalam tahun 2002 pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan menguat kembali menjadi 4 persen. Perkiraan tersebut didasarkan pada ekspektasi akan membaiknya berbagai faktor ekonomi dan nonekonomi terutama dari sisi internal. Secara sektoral, pertumbuhan sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor lainnya diperkirakan masing-masing mencapai sebesar 1,4 persen, 5,6 persen, dan 4,0 persen. Dari sisi permintaan konsumsi diperkirakan akan menyumbang sebesar 2,9 persen dan investasi sebesar 1,8 persen. Sementara itu sektor eksternal (ekspor bersih) menyumbang sebesar negatif 0,7 persen yang terdiri dari ekspor
Departemen Keuangan RI
Sumber pertumbuhan ekonomi tahun 2002 didorong oleh konsumsi swasta, investasi, dan ekspor.
10
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
sebesar 2,9 persen dan impor sebesar negatif 3,6 persen. Membaiknya konsumsi terutama didorong oleh konsumsi swasta. Hal tersebut selain disebabkan oleh membaiknya ekspektasi masyarakat akan masa depan perekonomian Indonesia, juga dipengaruhi oleh kondisi tingkat harga di dalam negeri yang relatif terkendali sehingga daya beli masyarakat semakin baik. Disamping itu, suku bunga yang menurun juga diperkirakan akan mendorong pertumbuhan konsumsi swasta.
Kinerja investasi tahun 2002 diperkirakan akan lebih baik dibandingkan tahun 2001. Membaiknya kondisi sosial, politik, dan keamanan, serta proses restrukturisasi perbankan, perusahaan, dan hutang luar negeri swasta diharapkan akan mampu mendorong perkembangan sektor riil terutama melalui peningkatan penyaluran kredit kepada sektor swasta dan peningkatan arus masuk modal asing (PMA), baik berupa investasi portofolio maupun investasi langsung. Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju dalam tahun 2002 diperkirakan akan melemah dibandingkan dengan tahun 2001, sehingga menekan permintaan ekspor Indonesia, khususnya ekspor bukan minyak bumi dan gas alam. Selain itu, harga minyak dunia diperkirakan akan sedikit lebih rendah dibanding tahun sebelumnya sehingga penerimaan ekspor minyak bumi dan gas alam diperkirakan akan lebih rendah. Sekalipun demikian, total ekspor diperkirakan masih tumbuh lebih tinggi dibandingtahun 2001, yang terutama didukung oleh ekspor nonmigas. Hal ini dengan pertimbangan bahwa restrukturisasi ekonomi dalam negeri berjalan lebih baik sehingga daya saing ekspor Indonesia semakin tinggi, di samping ekspor utama Indonesia adalah produk-produk yang permintaannya cukup tinggi.
Departemen Keuangan RI
11
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Demikian juga halnya dengan impor diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi sejalan dengan meningkatnya kegiatan perekonomian dalam negeri. Laju Inflasi Selama tahun 2001 inflasi diperkirakan mencapai 11,9 persen yang disebabkan oleh oleh melemahnya kurs rupiah yang diikuti dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) pada bulan Juni, serta tingginya permintaan akan barang jasa yang disebabkan oleh berlangsungnya hari raya keagamaan secara bersamaan menjelang akhir tahun. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM dan TDL tersebut telah mendorong inflasi yang cukup tinggi dalam bulan Juli yang mencapai 2,12 persen. Meskipun inflasi bulan Agustus 2001 mengalami inflasi negatif sebesar 0,21 persen, namun menjelang akhir tahun, laju inflasi mengalami peningkatan yang cukup tajam hingga mencapai 1,72 persen dalam bulan November 2001 yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan menjelang berlangsungnya hari raya keagaaman secara bersamaan.
Dalam tahun 2002 laju inflasi diperkirakan akan menurun menjadi 9,0 persen. Beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan laju inflasi tahun 2002 antara lain adalah (i) menguatnya nilai tukar rupiah sejalan dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian Indonesia, (ii) tersedianya barang dan jasa dalam jumlah yang cukup dan semakin lancarnya distribusi, sejalan dengan semakin dinamisnya perekonomian daerah, (iii) kebijakan fiskal yang hati-hati Departemen Keuangan RI
Tekanan inflasi dalam tahun 2001 disebabkan oleh kebijakan harga dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Penurunan inflasi karena menguatnya rupiah, lancarnya distribusi barang, serta kebijakan fiskal dan moneter yang hati-hati.
12
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
melalui pengendalian defisit APBN yang diupayakan turun dari sekitar 3,7 persen dari produk domestik bruto (PDB) dalam tahun 2001 menjadi sekitar 2,5 persen dalam tahun 2002, dan (iv) kebijakan moneter yang hati-hati dan konsisten dengan target pertumbuhan uang primer sebesar 12-14 persen. Nilai Tukar Rupiah Dalam tahun 2000, nilai tukar rupiah rata-rata sebesar Rp 8.421 per US$, kemudian pada semester I tahun 2001 rata-rata nilai tukar rupiah menunjukkan kecenderungan melemah hingga mencapai Rp11.313 per US$ pada Juni 2001. Selanjutnya nilai tukar sedikit melemah menjadi Rp11.717 per US$ pada bulan Juli 2001. Setelah Sidang Istimewa MPR rupiah menguat tajam hingga mencapai tingkat Rp 8.829 per US$ pada bulan Agustus 2001 dan selanjutnya melemah hingga mencapai Rp10.115 per US$ pada bulan November 2001. Secara keseluruhan nilai tukar rupiah dalam tahun 2001 mencapai ratarata sebesar Rp10.219 per US$.
Penguatan nilai tukar rupiah antara lain karena koreksi terhadap rupiah yang masih undervalued, dan membaiknya kondisi sosial, politik, dan keamanan.
Dalam tahun 2002, nilai tukar rupiah diperkirakan rata-rata sebesar Rp9.000 per US$. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut dimungkinkan mengingat nilai tukar rupiah pada level sekitar Rp9.500an masih di bawah nilai normalnya (undervalued). Hal ini ditunjukkan oleh nilai tukar rupiah riil yang telah mengalami depresiasi riil sekitar 77 persen bila dibandingkan dengan tahun dasar 1996/1997 (tahun sebelum krisis ekonomi). Suatu mata uang yang undervalued akan cenderung menguat sampai ke tingkat nilai wajarnya. Sesuai dengan perhitungan yang dilakukan nilai wajar rupiah berada pada kisaran Rp
Departemen Keuangan RI
13
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
8.000-Rp 8.500. Selain itu, perkiraan membaiknya stabilitas sosial, politik dan keamanan dalam negeri tahun 2002 diharapkan akan memberikan sentimen dan ekspektasi positif bagi masyarakat, terutama para pelaku pasar, baik domestik maupun asing, akan penguatan nilai tukar rupiah. Sementara itu, membaiknya perekonomian dunia diperkirakan juga akan menurunkan tekanan terhadap rupiah. Suku Bunga SBI 3 bulan
Suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan turun menjadi 14 persen tahun 2002
Suku bunga SBI 3 bulan selama tahun 2001 diperkirakan mencapai rata-rata sebesar 16,4 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga SBI 3 bulan tahun 2000 yang mencapai sebesar 14,3 persen. Peningkatan ini sehubungan dengan kebijakan moneter yang cenderung ketat karena masih melemahnya nilai tukar rupiah dan tingginya laju inflasi. Dalam tahun 2002, sejalan dengan perkiraan laju inflasi, nilai tukar rupiah, dan kebijakan moneter, suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan akan turun menjadi rata-rata 14 persen. Harga Minyak Mentah Internasional Kenyataan menunjukkan bahwa harga minyak internasional sangat berfluktuasi sehingga sangat sulit untuk memperkirakannya. Dalam kurun waktu 1996-2001, harga minyak mentah berada dalam kisaran US$12-US$24 per barel.
Harga minyak tahun 2002 diperkirakan rata-rata sekitar US$22 per barel.
Dalam tahun 2002 harga minyak mentah internasional diperkirakan rata-rata sekitar US$22 per barel atau lebih rendah dari
Departemen Keuangan RI
14
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
perkiraan tahun 2001 yang mencapai US$24 per barel. Sampai dengan bulan Juni 2001, harga minyak mentah di pasar internasional relatif stabil. Selain karena faktor supply dan demand, kestabilan ini juga diperkirakan karena kesepakatan Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada sidang tanggal 17 Januari 2001 untuk memotong produksi minyak sebesar 1,5 juta bph (barel per hari) yang berlaku mulai tanggal 1 Februari 2001. Pada awal semester II 2001 harga minyak mempunyai kecenderungan menurun sehingga OPEC mengumumkan rencana penurunan jumlah produksi minyak mentahnya lagi sebesar satu juta barel per hari yang direncanakan mulai 1 September 2001.
Dari sudut pandang supply dan demand, naiknya impor minyak mentah Amerika Serikat untuk memperbaiki stok dalam negeri Amerika Serikat, dapat diterjemahkan sebagai peningkatan permintaan minyakmentah. Tingginya permintaan dibarengi dengan terbatasnya penawaran minyak mentah dunia akibat pemotongan produksi OPEC dan keputusan Irak untuk menunda ekspor minyak mentah mereka (sesuai dengan United Nations/PBB oil-for-food programme) seharusnya dapat mendorong naiknya harga minyak mentah dunia. Namun, kenaikan harga ini menurut beberapa lembaga riset internasional diperkirakan sulit terjadi mengingat kenaikan permintaan minyak mentah tersebut masih bersifat regional (hanya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri Amerika Serikat). Untuk benua Asia dan Amerika Latin, permintaan minyak mentah cenderung melemah sedangkan untuk benua Eropa, inflasi yang relatif tinggi, yang diikuti dengan naiknya suku bunga regional dapat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi
Departemen Keuangan RI
15
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
sehingga diperkirakan akan menekan permintaan minyak mentah dunia. Dengan asumsi ceteris paribus yang didukung oleh perkiraan berbagai lembaga riset internasional di atas ditambah dengan beberapa faktor seperti antara lain stock policy dari negara-negara industri yang besarnya tidak jauh berbeda dengan tahun 2000 dan tahun 2001, cuaca yang mendukung, serta control supply yang relatif berhasil, maka harga minyak mentah dunia untuk tahun 2002 diperkirakan sekitar US$22 per barel. Tingkat Produksi Minyak Mentah Indonesia Tingkat produksi minyak Indonesia merupakan angka yang didasarkan pada kuota OPEC dan kapasitas tingkat produksi minyak Indonesia. Dalam tahun 2002 tingkat produksi minyak mentah Indonesia diperkirakan sekitar 1,320 juta barel per hari, atau sama dengan produksi tahun 2001. Tidak adanya kenaikan produksi migas ini sehubungan dengan penurunan produksi secara alamiah (natural decline) pada beberapa sumur produksi yang ada dan adanya gangguan keamanan di daerah-daerah tertentu, sementara jumlah penemuan cadangan migas baru relatif kecil karena semakin terbatasnya sumbersumber migas.
Departemen Keuangan RI
Tingkat produksi minyak Indonesia pada tahun 2002 yang didasarkan ada kuota OPEC diperkirakan sekitar 1,320 juta barel per hari.
16
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
BAB III PERKEMBANGAN APBN
Pendahuluan Peran pemerintah melalui kebijakan fiskal dalam melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi perekonomian pada masa krisis sangat dominan. Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah menjadi motor utama dalam menggerakkan perekonomian agar dapat kembali ke posisi sebelum krisis karena sektor swasta belum dapat berperan secara optimal. Dalam masa krisis, alokasi pengeluaran pemerintah meningkat cukup tajam guna mengakomodasikan berbagai program untuk mengatasi krisis, seperti kebijakan subsidi, perlindungan terhadap masyarakat miskin yang terkena dampak krisis, dan pemberian stimulus fiskal terutama untuk membantu pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Namun, upaya pemulihan dan perlindungan terhadap masyarakat tersebut belum dapat dilakukan secara maksimal berkaitan dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi pada sisi penerimaan negara dan pembiayaan anggaran. Pemerintah tetap melakukan ekspansi fiskal untuk melanjutkan program pemulihan ekonomi. Namun secara bersamaan tetap berupaya menyehatkan APBN dengan mengurangi defisit anggaran, yaitu melalui peningkatan disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta penghematan dan penajaman prioritas pengeluaran. Agar dapat memperoleh ruang gerak yang lebih besar dalam melaksanakan program-program pemulihan, pemerintah juga melakukan negosiasi ulang (rescheduling) dan percepatan restrukturisasi utang luar negeri sesuai dengan kemampuan keuangan negara, yang pelaksanaannya dilakukan secara transparan.
Selama masa krisis peranan pemerintah melalui kebijakan fiskal sangat dominan dalam melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Ekspansi fiskal masih diperlukan, namun upaya penyehatan APBN tetap menjadi prioritas.
Pendapatan Negara dan Hibah Selama tiga tahun terakhir, pendapatan negara dan hibah menunjukkan perkembangan yang menarik. Meskipun krisis ekonomi menimbulkan dampak semakin menyusutnya basis penerimaan
Departemen Keuangan RI
Krisis ekonomi berdampak pada penyusutan basis penerimaan pajak
17
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
perpajakan, namun berbagai langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan mampu memberikan hasil positif. Berbeda halnya dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di luar penerimaan sumber daya alam (SDA), krisis ekonomi telah menyebabkan terjadinya
secara umum, namun upaya intensifikasi dan ekstensifikasi, serta penyempurnaan peraturan perpajakan mampu meningkatkan pendapatan negara.
penurunan laba sebagian besar BUMN. Sementara itu, penerimaan hibah dari beberapa negara dan lembaga donor meningkat selama masa krisis, namun realisasinya tidak sebesar yang diperkirakan semula. Secara keseluruhan pendapatan negara dan hibah meningkat dari Rp187,8 triliun (16,6 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp299,9 triliun (20,3 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Peningkatan ini terutama didukung oleh kenaikan penerimaan perpajakan, yakni dari 11,1 persen terhadap PDB dalam tahun anggaran 1999/2000, meningkat menjadi 12,5 persen terhadap PDB dalam APBN Perubahan tahun anggaran 2001.
Penerimaan Perpajakan Dalam periode 1999/2000-2001, perkembangan penerimaan perpajakan didukung oleh peningkatan penerimaan pajak dalam negeri, khususnya pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), serta penerimaan cukai. Penerimaan pajak dalam negeri meningkat Rp53,4 triliun, yaitu dari Rp120,9 triliun (10,7 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000, menjadi Rp174,2 triliun (11,8 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Peningkatan tersebut terutama berkaitan dengan (i) membaiknya pertumbuhan ekonomi, (ii) pelaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan, dan (iii) penyempurnaan berbagai peraturan perpajakan.
Departemen Keuangan RI
Dalam kondisi krisis penerimaan pajak dalam negeri masih mampu memberikan kontribusi yang cukup berarti.
18
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, penerimaan pajak perdagangan internasional meningkat Rp5,5 triliun, yaitu dari Rp5,0 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000, menjadi Rp10,5 triliun (0,7 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Pesatnya peningkatan pajak perdagangan internasional tersebut terutama disebabkan oleh depresiasi nilai rupiah yang mengakibatkan nilai transaksi dalam rupiah menjadi lebih besar. Sebaliknya, dalam denominasi mata uang asing perkembangan jenis penerimaan ini cenderung melambat. Hal ini berkaitan dengan masih besarnya fasilitas atas barang impor, khususnya pembebasan bea masuk atas produk tertentu terutama barang modal, serta kian rendahnya tarif pajak/pungutan ekspor dalam rangka mendorong kegiatan ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Penerimaan PPh meningkat cukup signifikan, yakni dari Rp72,7 triliun (6,4 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000, menjadi Rp92,8 triliun (6,3 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001, yang berarti meningkat Rp20,1 triliun. Selain karena pengaruh perkembangan kondisi ekonomi makro, peningkatan penerimaan tersebut juga merupakan hasil dari upaya-upaya (i) ekstensifikasi wajib pajak terutama melalui program penyisiran (canvassing) wajib pajak, (ii) intensifikasi pemungutan pajak, terutama melalui pengawasan yang lebih intensif terhadap wajib pajak potensial, dan (iii) peningkatan penegakan hukum (law enforcement).
Depresiasi nilai rupiah berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak perdagangan internasional.
Peningkatan penerimaan PPh terutama didukung oleh pelaksanaan intensifikasi, ekstensifikasi, dan penegakan hukum (law enforcement).
Selanjutnya, meskipun kondisi perekonomian belum pulih sepenuhnya, upaya-upaya yang dilakukan selama tiga tahun terakhir
Departemen Keuangan RI
19
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
mampu mendorong bergeraknya beberapa sektor tertentu. Dengan bergeraknya kegiatan ekonomi pada gilirannya akan mendorong peningkatan penerimaan PPN dan PPnBM. Dalam kurun waktu 1999/2000-2001, penerimaan PPN dan PPnBM meningkat sebesar Rp22,7 triliun, yaitu dari Rp33,1 triliun (2,9 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000, menjadi Rp55,8 triliun (3,8 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Berbagai kebijakan yang mendukung peningkatan penerimaan PPN dan PPnBM tersebut antara lain meliputi (i) ekstensifikasi wajib pajak, terutama melalui penyisiran (canvassing) pengusaha kena pajak (PKP) yang penyerahan barang kena pajaknya dilakukan di pusat-pusat perbelanjaan besar (mall), (ii) pencabutan berbagai fasilitas PPN dan PPnBM yang diberikan kepada pengusaha kena pajak tertentu, (iii) pencairan tunggakan secara aktif, (iv) peningkatan penyuluhan, pelayanan kepada wajib pajak, serta pemeriksaan sederhana di lapangan, dan (v) perbaikan administrasi dan penegakan hukum.
Peningkatan PPN dan PPnBM terutama didukung oleh program canvassing dan kebijakan pencabutan berbagai fasilitas PPN dan PPn BM.
Sementara itu, perkembangan penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan Rp2,2 triliun, yaitu dari Rp4,1 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000, menjadi Rp6,3 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Berbagai upaya intensifikasi dan perbaikan administrasi penerimaan PBB telah ditempuh untuk meningkatkan penerimaan PBB, namun tidak kondusifnya situasi sosial dan politik mengakibatkan terganggunya proses pungutan jenis pajak ini. Dalam tahun anggaran 2001 telah diberlakukan undang-undang baru tentang BPHTB yang antara lain mengatur tentang pelaksanaan ekstensifikasi BPHTB melalui perluasan cakupan objek pajak dalam rangka mengantisipasi perkembangan bentuk dan terminologi dari perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Peningkatan penerimaan PBB dan BPHTB didukung oleh intensifikasi dan perbaikan administrasi perpajakan.
Perkembangan penerimaan cukai selama tiga tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat. Dalam tahun anggaran 1999/2000 penerimaan tersebut mencapai Rp10,4 triliun (0,9 persen terhadap PDB), selanjutnya dalam tahun anggaran 2001 meningkat menjadi Rp17,6 triliun (1,2 persen terhadap PDB), atau meningkat Rp7,2 triliun. Beberapa faktor yang mendorong peningkatan penerimaan ini adalah (i) peningkatan produksi barang kena cukai (BKC), sejalan dengan
Peningkatan penerimaan cukai terutama didukung oleh kenaikan produksi BKC dan kenaikan HJE.
Departemen Keuangan RI
20
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
meningkatnya permintaan atas produk BKC, (ii) peningkatan harga jual eceran (HJE) hasil tembakau sekitar 5-10 persen, (iii) pemberantasan terhadap pita cukai palsu, dan (iv) pengawasan terhadap peredaran BKC. Penerimaan pajak lainnya, yang terutama bersumber dari bea meterai juga menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam tiga tahun terakhir, yaitudari Rp0,6 triliun (0,05 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp0,9 triliun (0,09 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2000, dan diperkirakan meningkat menjadi Rp1,7 triliun atau 0,1 persen terhadap PDB dalam tahun anggaran 2001. Peningkatan tersebut, tidak terlepas dari perkembangan ekonomi yang mempengaruhi nilai transaksi terkena bea meterai. Berbagai upaya yang ditempuh untuk meningkatkan penerimaan pajak lainnya antara lain seperti menaikkan tarif bea meterai dalam tahun 2000, meningkatnya kepatuhan pemakaian benda meterai, mesin teraan meterai, dan pencetakan tanda lunas bea meterai.
Peningkatan penerimaan pajak lainnya dipengaruhi oleh meningkatnya kepatuhan pemakaian benda meterai.
Sementara itu, realisasi penerimaan bea masuk dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari Rp4,2 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp9,8triliun (0,7 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh menurunnya pemberian fasilitas dan pembebasan bea masuk yang semula diberikan pada impor barang modal dan bahan baku untuk industri tertentu, serta upaya-upaya pencegahan terhadap terjadinya praktek-praktek penilaian barang impor yang lebih rendah dari nilai yang semestinya (underinvoicing). Selain itu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat menyebabkan penerimaan dalam rupiah menjadi lebih besar.
Peningkatan penerimaan bea masuk terutama melalui pencabutan beberapa fasilitas pembebasan bea masuk dan pencegahan praktek underinvoicing.
Realisasi penerimaan pajak/pungutan ekspor dalam periode 1999/2000-2001 menunjukkan kecenderungan yang menurun, yaitu dari Rp0,8 triliun (0,07 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000, menjadi Rp0,7 triliun (0,04 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Kondisi tersebut disebabkan terutama oleh kebijakan penurunan tarif pajak ekspor terhadap produk crude palm oil (CPO) dan turunannya.
Penurunan penerimaan pajak ekspor terutama akibat kebijakan penurunan tarif .
Tabel III.1
Departemen Keuangan RI
21
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
PERKEMBANGAN PENERIMAAN PERPAJAKAN, 1999/2000-20011) (Dalam Triliun Rupiah)
Uraian
1999/200
20002)
2001
PAN % thd.
Reali- % thd.
Penye- % thd. Peru- % thd.
sasi
PDB
suaian PDB bahan PDB
120,9 10,7
108,8 11,0
174,3 11,9 174,2 11,8
1. Pajak Penghasilan
72,7
6,4
57,1 5,8
95,0
6,5
92,8
6,3
2. PPN dan PPnBM
33,1
2,9
35,0 3,5
53,5
3,6
55,8
3,8
3. PBB
3,5
0,3
3,6
0,4
5,1
0,3
4,8
0,3
4. BPHTB
0,6
0,05
0,9
0,1
1,2
0,1
1,5
0,1
5. Cukai
10,4
0,9
11,3 1,1
17,6
1,2
17,6
1,2
6. Pajak Lainnya
0,6
0,05
0,9
0,09
1,9
0,1
1,7
0,1
Perdagangan5,0
0,4
7,0
0,7
11,0
0,7
10,5
0,7
4,2
0,4
6,7
0,7
10,4
0,7
9,8
0,7
Pajak/Pajak0,8
0,1
0,3
0,0
0,6
0,7
0,7
0,7
PDB
I. Pajak Dalam Negeri
II. Pajak Internasional 1. Bea Masuk 2. Pungutan Ekspor
Jumlah
125,9 11,1
115,8 11,7
185,3 12,6 184,7 12,5
1) Disesuaikan dengan klasifikasi baru 2) Periode 1 April sampai dengan 31 Desember 2000
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mengalami peningkatan Rp53,2 triliun, dari Rp61,9 triliun (5,5 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp115,1 trliun (7,8 peren terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Dalam periode tersebut penerimaan SDA migas menjadi penyumbang terbesar dalam PNBP, yakni rata-rata sekitar 71-74 persen dari total PNBP atau sekitar 4-5 persen terhadap PDB.
Departemen Keuangan RI
Sebagian besar PNBP bersumber dari penerimaan SDA migas.
22
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Penerimaan SDA minyak bumi mengalami peningkatan yang cukup tajam,dari Rp33,1 triliun (2,9 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000, menjadi Rp60,0 triliun (4,1 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Meningkatnya penerimaan minyak bumi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni (i) naiknya harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) di pasar internasional, (ii) melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan (iii) relatif tidak berubahnya tingkat produksi (lifting) minyak. Sementara itu, penerimaan SDA gas alam dari hasil liquid natural gas (LNG) dan liquid petroleum gas (LPG) selama periode waktu yang sama juga mengalami peningkatan, yang antara lain disebabkan oleh (a) peningkatan harga LNG dan LPG dipasar internasional, dan (b) melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam tahun anggaran 2001 harga LNG dan LPG masing-masing diperkirakan mencapai US$4,5070 per MMBTU dan US$260,28 per Mton. Sementara itu, perkembangan penerimaan SDA di luar migas, yang meliputi pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan relatif stabil dalam jumlah yang relatif kecil, yakni sekitar 0,2-0,3 persen terhadap PDB selama tiga tahun terakhir. Kecuali untuk tahun anggaran 2000, penerimaan SDA kehutanan mengalami peningkatan yang cukup tajam menjadi 0,9 persen terhadap PDB terutama karena adanya setoran akumulasi saldo penerimaan dana reboisasi tahun-tahun sebelumnya. Mulai tahun 2001 penerimaan negara bukan pajak dari SDA merupakan
Departemen Keuangan RI
Penerimaan SDA migas dipengaruhi oleh harga minyak mentah, nilai tukar, dan tingkat produksi (lifting).
Akumulasi saldo dana reboisasi sampai dengan tahun 2000 telah disetor keAPBN tahun 2000.
23
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
jenis penerimaan yang dibagihasilkan kepada daerah, sehingga upaya optimalisasi pengelolaan jenis penerimaan ini secara otomatis akan berdampak pada peningkatan pengeluaran untuk transfer dana perimbangan ke daerah. Dari sisi upaya penyehatan APBN, peningkatan penerimaan SDA di masa mendatang tidak lagi sepenuhnya berdampak pada penurunan defisit. Namun pada sisi lain optimalisasi tersebut akan memperkuat basis penerimaan daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Perkembangan penerimaan negara bukan pajak dari bagian pemerintah atas laba BUMN relatif stabil pada tingkat sekitar 0,5 persen terhadap PDB selama tiga tahun terakhir. Namun demikian secara nominal, bagian pemerintah atas laba BUMN tersebut meningkat dari Rp5,4 triliun (0,5 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000, menjadi Rp10,4 triliun (0,7 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Krisis ekonomi yang berdampak pada hampir semua sektor ekonomi, juga menimbulkan dampak langsung terhadap penurunan laba beberapa BUMN tertentu. Dalam kaitan ini, dalam beberapa tahun terakhir telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan laba BUMN, antara lain dengan meningkatkan kinerja dan kesehatan BUMN melalui penerapan praktek-praktek good corporate governance dalam tubuh BUMN, yang dilaksanakan antara lain dengan (a) mendorong peran aktif dan tanggung jawab Komisaris/Dewan Pengawas dalam memberikan pendapat kepada manajemen BUMN, (b) memperjelas peran dan tanggung jawab direksi dalam kaitannya dengan tujuan utama masingmasing BUMN, (c)mengeluarkan dokumen statement of corporate intent (SCI), yaitu dokumen yang memuat targetkinerja dan indikator lain yang harus dipertanggungjawabkan BUMN, yang dapat diakses publik, dan (d) menerapkan sistem insentif berdasarkan kinerja (Performance Incentive System/PIS) untuk mendorong kinerja direksi. Sementara itu, perkembangan penerimaan PNBP lainnya, yang merupakan penerimaan yang bersumber dari berbagai penerimaan negara bukan pajak yang dikelola oleh departemen/lembaga pemberi pelayanan kepada masyarakat secara nominal masih menunjukkan peningkatan meskipun relatif kecil. Dalam tahun anggaran 1999/2000, penerimaan ini mencapai Rp11,0 triliun (1,0 persen terhadap PDB), dan dalam tahun anggaran 2001 meningkat menjadi Rp18,0 triliun (1,2
Departemen Keuangan RI
Upaya peningkatan penerimaan laba BUMN dilakukan melalui peningkatan kinerja dan kesehatan BUMN.
Dalam tiga tahun terakhir PNBP lainnya meningkat, meskipun kecil.
24
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Berbagai upaya yang selama ini dilakukan dalam rangka meningkatkan penerimaan tersebut meliputi (i) peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan kepada publik, (ii)menyesuaikan beberapa tarif pungutan yang sudah tidak sesuai dengan kondisi ekonomi, (iii)meningkatkan kualitas pengelolaan PNBP, khususnya yang berkaitan dengan administrasi dan tata cara penyetorannya, (iv)meningkatkan pengawasan, dan (v) meningkatkan kerjasama antara instansi terkait, terutama dalam rangka menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan PNBP lainnya. Tabel III.2 PERKEMBANGAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK, 1999/2000-20011) (Dalam Triliun Rupiah) Uraian
1999/2000 PAN
2000 2)
% thd Reali- %
2001 thd Penye- % thd Peru- % thd
PDB
sasi
PDB
suaian PDB
bahan PDB
61,9
5,5
89,2
9,0
100,7 6,9
115,1 7,8
a. Sumber Daya Alam 3) 45,5
4,0
76,0
7,7
79,4
5,4
86,7 5,9
b. Bagian Laba BUMN
5,4
0,5
3,9
0,4
9,0
0,6
10,4 0,7
c. PNBP Lainnya
11,0
1,0
9,3
0,9
12,3
0,8
18,0 1,2
-
-
-
-
-
-
-
61,9
5,5
89,2
9,0
100,7 6,9
I. Penerimaan Bukan Pajak
II. Hibah
Jumlah
-
115,1 7,8
1) Disesuaikan dengan klasifikasi baru. 2) Periode 1 April sampai dengan 31 Desember 2000. 3) Untuk tahun 1999/2000 tidak termasuk pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan.
Hibah Dalam beberapa tahun terakhir khususnya setelah terjadinya krisis ekonomi, Indonesia menerima hibah dari berbagai negara atau lembaga donor. Hibah tersebut diterima dalam bentuk dana tunai, barang (in kind), maupun jasa tenaga ahli (technical assistance) yang diberikan baik kepada pemerintah pusat, daerah, maupun secara langsung kepada masyarakat, kelompok masyarakat, ataupun lembaga
Departemen Keuangan RI
Hibah diadministrasikan melalui APBN sejak tahun anggaran 2001.
25
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
swadaya masyarakat (non governmental organization/NGO). Mengingat banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengadministrasian hibah, terutama terkait dengan pemberi hibah (donor) dan penerima hibah yang sebagian adalah swasta dan diterima dalam bentuk inkind dan technical assistance, maka pencatatan dalam APBN mulai dikembangkan pada tahun 2001. Dalam tahun anggaran 2001, hingga bulan April 2001, pemerintah telah menandatangani hibah dengan beberapa negara/lembaga donor antara lain yang berasal dari Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat. Hibah yang ditandatangani dalam tahun anggaran tersebut hanya sebagian yang disalurkan melalui APBN, dan belum tentu sepenuhnya terealisir dalam tahun anggaran bersangkutan. Belanja Negara Dalam tiga tahun terakhir, anggaran belanja negara naik secara tajam, dariRp231,9 triliun (20,4 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi sekitar Rp354,5 triliun (24,0 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh membengkaknya beban anggaran belanja pemerintah pusat dari Rp202,0 triliun (17,8 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadisekitar Rp272,1 triliun (18,4 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001, serta meningkatnya alokasi pengeluaran transfer kepada daerah dari Rp29,9 triliun (2,6 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi sekitar Rp82,4 triliun (5,6 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Faktor utama penyebab bertambah besarnya beban anggaran belanja pemerintah pusat dalamkurunwaktu tersebut adalah naiknya pengeluaran rutin dalam jumlah cukup besar akibat krisis ekonomi, dan adanya kebutuhan untuk memberikan stimulus secara terbatas pada perekonomian nasional sesuaidengan kemampuan fiskal. Sementara itu, peningkatan alokasi transfer untuk daerah pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya tuntutan untuk merealisasikan secara konsisten pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan desentralisasi fiskal berdasarkan UndangUndang Nomor 25 Tahun1999.
Krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi fiskal menyebabkan beban belanja negara meningkat tajam.
Tabel III.3
Departemen Keuangan RI
26
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
PERKEMBANGAN BELANJA NEGARA, 1999/2000-20011) (Dalam Triliun Rupiah) Uraian
1999/2000 PAN
20002)
2001
% thd. Reali- %
Penye- % thd. Peru- %
PDB
suaian PDB
sasi
thd.
bahan thd.
PDB I. Belanja Pemerintah Pusat
PDB
202,0 17,8
187,1 18,9
258,8 17,6
272,1 18,4
a. Belanja Rutin
156,8 13,8
161,4 16,3
213,4 14,5
232,7 15,8
b. Belanja Pembangunan
45,2
4,0
25,7
2,6
45,7
3,1
39,4 2,7
29,9
2,6
33,9
3,4
81,5
5,6
82,4 5,6
a. Dana Bagi Hasil3)
4,0
0,4
3,5
0,4
20,3
1,4
21,2 1,4
b. Dana Alokasi Umum4)
25,9
2,3
30,4
3,1
60,5
4,1
60,5 4,1
0,7
0,05
0,7
II. Dana Perimbangan
c. Dana Alokasi Khusus Jumlah
231,9 20,4
221,0 22,4
340,3 23,2
0.05
354,5 24,0
1) Disesuaikan dengan klasifikasi baru 2) Periode 1 April sampai dengan 31 Desember 2000 3) Untuk tahun 1999/2000 dan 2000 berupa dana pembangunan daerah (DPD) dari PBB dan BPHTB 4) Untuk tahun 1999/2000 dan 2000 berupa SDO dan DPD non-PBB dan BPHTB
Pengeluaran Rutin Depresiasi nilai tukar rupiah, naiknya tingkat bunga dan laju inflasi, serta perkembangan kondisi sosial dan politik sebagai dampak krisis yang terjadi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir telah mendorong beban pengeluaran rutin mengalami peningkatan secara drastis. Apabila dalam tahun anggaran 1999/2000 realisasi pengeluaran rutin baru sekitar Rp156,8 triliun (13,8 persen terhadap PDB), maka dalam tahun anggaran 2001 pengeluaran tersebut meningkat menjadi Rp232,7 triliun (15,8 persen terhadap PDB). Sebagian besar dari jenis pengeluaran ini merupakan pengeluaran yang bersifat nondiscretionary, seperti pembayaran bunga utang, subsidi, dan belanja pegawai, sehingga hampir tidak tersisa ruang gerak yang mencukupi bagi pemerintah untuk melakukan manuver dalam pengelolaan kebijakan fiskal.
Departemen Keuangan RI
Pengeluaran rutin yang bersifat nondiscretionary membengkak akibat dampak krisis.
27
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Dalam tiga tahun terakhir, pembayaran bunga utang mengalami peningkatan yang sangat tajam, dari Rp 42,9 triliun (3,8 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp 95,5 triliun (6,5 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Pengeluaran ini merupakan kontributor utama penyebab membengkaknya beban pengeluaran rutin dan sangat sensitif terhadap perubahan tingkat bunga, nilai tukar dan inflasi. Hal tersebut menyebabkan APBN menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi berbagai variabel ekonomi makro. Peningkatan pembayaran bunga utang yang dramatis ini dipicu oleh membengkaknya pembayaran bunga utang dalam negeri dari Rp22,2 triliun (2,0 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi sekitar Rp66,2 triliun (4,5 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Kewajiban ini harus dipenuhi sebagai konsekuensi dari penerbitan (i) surat utang kepada Bank Indonesia dalam rangka program penjaminan sekitar Rp218,3 triliun dan (ii) obligasi negara bagi program rekapitalisasi perbankan dalam negeri sebesar Rp428,4 triliun, sebagai pilihan kebijakan untuk menyelamatkan bank-bank dalam negeri dan mempertahankan keberadaan sistem pembayaran nasional. Dari komposisi obligasi yang telah diterbitkan Pemerintah, sebagian besar (sekitar 51 persen) dalam bentuk bunga mengambang (variable rate), sedangkan 49 persen sisanya dengan suku bunga tetap (fixed rate) tiga persen. Exposure dari obligasi rekap terhadap resiko tingkat bunga (interest rate risk) relatif tinggi, hal ini mengakibatkan pengaruh perubahan tingkat bunga SBI terhadap beban bunga obligasi menjadi sangat besar. Sebagai gambaran, dalam tahun anggaran 2001, setiap kenaikan atau penurunan 1 persen tingkat bunga SBI tiga bulan dapat mengakibatkan timbulnya tambahan atau pengurangan beban pembayaran bunga utang dalam negeri sekitar Rp 2,2 triliun. Demikian halnya dengan pembayaran bunga utang luar negeri, dalam tiga tahun terakhir bebannya juga mengalami peningkatan yang cukup significant, dari sekitar Rp 20,7 triliun (1,8 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp29,3 triliun (2,0 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Di samping disebabkan oleh bertambah besarnya utang baru yang bersumber dari pinjaman bilateral dan multilateral dalam kerangka paket program pemulihan ekonomi, peningkatan pembayaran bunga utang luar negeri
Departemen Keuangan RI
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, beban pembayaran bunga utang meningkat dua kali lipat.
Beban bunga utang dalam negeri sangat sensitif terhadap perkembangan tingkat bunga.
28
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
tersebut juga merupakan akibat dari adanya depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Depresiasi rupiah dan kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional merupakan dua faktor penyebab utama membengkaknya beban subsidi BBM dalam tiga tahun terakhir, yakni dari Rp40,9 triliun (3,6 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi sekitar Rp68,4 triliun (4,6 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Timbulnya subsidi merupakan konsekuensi dari kebijakan penetapan harga BBM yang lebih rendah dari harga pasarnya berkaitan dengan upaya stabilisasi harga dan perlindungan sosial kepada masyarakat miskin. Pemberian subsidi dianggap kurang efektif, selain karena kurang tepat sasaran, dalam prakteknya juga lebih banyak dinikmati oleh golongan masyarakat berada yang merupakan konsumen BBM terbesar. Di samping itu, subsidi harga BBM tersebut juga mendorong terjadinya penggunaan BBM secara ilegal, serta pemborosan penggunaan energi.
Bunga utang luar negeri naik cukup significant karena depresiasi rupiah dan tambahan utang baru.
Di lain pihak, beban subsidi non-BBM dalam tiga tahun terakhir justru cenderung menurun, dari Rp25,0 triliun (2,2 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp13,2 triliun (0,9 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Penurunan ini terutama disebabkan oleh dihapuskannya beberapa jenis subsidi secara bertahap, seperti subsidi pupuk, subsidi harga gula, subsidi jagung dan kedelai, serta subsidi pakan ternak. Pada saat ini, subsidi non-BBM yang diakolasikan berupa (i) subsidi pangan, yang diberikan dalam bentuk penyediaan beras murah untuk masyarakat miskin melalui program operasi pasar khusus (OPK) beras Bulog, (ii) subsidi listrik akibat penetapan tarif dasar listrik (TDL) yang lebih rendah dari harga pokok produksinya, dan (iii) subsidi bunga kredit program untuk Kredit Usaha Tani, Kredit Koperasi, Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA), Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS)dan Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), termasuk beban resiko (risk sharing) bagi kredit yang tidak dapat ditagih kembali (default).
Beban subsidi BBM membengkak, selain karena harga minyak mentah yang tinggi, juga akibat depresiasi rupiah.
Sementara itu, persentase pengeluaran untuk belanja pegawai (pusat) terhadapPDB naik dari sekitar 2,9 persen (Rp32,7 triliun) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi 3,0 persen (Rp29,4 triliun) dalam
Dalam tiga tahun terakhir subsidi nonBBM cenderung menurun.
Departemen Keuangan RI
29
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
tahun anggaran 2000, namun kembali mengalami penurunan menjadi sekitar 2,7 persen (Rp39,5 triliun) dalam tahun anggaran 2001. Kenaikan beban belanja pegawai pada tahun 2000 dibandingkan tahun 1999/2000 terutama disebabkan oleh diberlakukannya kebijakan perbaikan penghasilan bagi para pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, dan pensiunan dalam periode tersebut antara lain berupa pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) secara nominal sejak 1 April 1999 sampai dengan 1 Oktober 2000 yang jumlah keseluruhannya mencapai Rp285 ribu untuk setiap pegawai. Sedangkan penurunan beban belanja pegawai pada tahun 2001 berkaitan dengan adanya proses penyelesaian pengalihan lebih dari dua juta orang pegawai pusat ke daerah, yang menyebabkan berkurangnya beban anggaran untuk belanja gaji pegawai pusat. Selaras dengan perkembangan belanja pegawai, dalam kurun waktu yang sama realisasi belanja barang mengalami penurunan dari sekitar Rp 10,8 triliun (1,0 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp9,6 triliun (0,7 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001. Perkembangan beban belanja barang tersebut berkaitan dengan langkah-langkah efisiensi, perkembangan volume kegiatan operasional dan pemeliharaan terhadap aset-aset negara, perkembangan tingkat harga barang dan jasa, serta perkembangan proses penyelesaian pengalihan personil, peralatan, pembiayaan, dan dokumen (P3D) sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Dalam tahun anggaran 2001, TPP yang diberikan selama tiga tahun terakhir diintegrasikan ke dalam gaji pokok.
Proses penyelesaian pengalihan P3D berdampak pada berkurangnya beban belanja barang pemerintah pusat.
Pengeluaran Pembangunan Sejalan dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian nasional, kebutuhan alokasi pengeluaran pembangunan untuk pemberian stimulus guna merangsang kegiatan perekonomian dan penanggulangan dampak krisis ekonomi, cenderung makin dibatasi dan diprioritaskan hanya untuk proyek-proyek yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Pengetatan ini menyebabkan rasio pengeluaran pembangunan yang dikelola pemerintah pusat terhadap PDB dalam tiga tahun terakhir cenderung menurun, yaitu dari Rp45,2 triliun (4,0 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp39,4 triliun (2,7 persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001.
Departemen Keuangan RI
Alokasi pengeluaran pembangunan untuk pemberian stimulus semakin berkurang sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi.
30
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Pada saat krisis ekonomi mencapai kondisi terburuk pada tahun 1998/1999 dan 1999/2000, pengeluaran pembangunan lebih banyak tercurah untuk program-program penanggulangan dampak krisis. Sebagian besar dari pengeluaran pembangunan tersebut dialokasikan untuk proyek-proyek dan kegiatan yang dapat menciptakan dan memperluas lapangan kerja (proyek padat karya), serta mendukung upaya pemenuhan kebutuhan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan, yang berfungsi sebagai jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat yang rentan terhadap dampak negatif krisis ekonomi. Prioritas alokasi anggaran pembangunan pada tahun 2000 lebih dititikberatkan pada sektor-sektor di bidang ekonomi, seperti transportasi, perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan dan koperasi, pertanian dan kehutanan, serta pertambangan dan energi. Di luar bidang ekonomi, alokasi pengeluaran pembangunan lebih banyak tercurah pada sektor-sektor penyediaan fasilitas pelayanan dasar di bidang kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, perumahan dan permukiman, serta jasa pelayanan umum. Dalam upaya mencegah membengkaknya defisit anggaran sehubungan dengan penyehatan APBN di masa-masa mendatang, telah dilakukan langkah-langkah penghematan dan penajaman skala prioritas pemanfaatan anggaran pembangunan proyek-proyek sektoral di berbagai departemen/lembaga. Langkah-langkah tersebut telah berhasil menghemat pengeluaran pembangunan sektoral sekitar Rp3,3 triliun (0,2 persen terhadap PDB),sehingga pengeluaran pembangunan untuk departemen/ lembaga yang semula dianggarkan Rp17,2 triliun (1,2 persen terhadap PDB) realisasinya diperkirakan menurun menjadi Rp13,9 triliun (0,9 persen terhadap PDB). Sementara itu, untuk menanggulangi dampak negatif terhadap penduduk miskin akibat pemberlakuan kebijakan pengurangan subsidi energi (BBM dan listrik), maka melalui pengeluaran pembangunan juga telah dialokasikan dana sekitar Rp2,0 triliun atau sekitar 0,1 persen terhadap PDB bagi Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PPD-SE). Dana ini dialokasikan untuk (i) tambahan penyediaan pangan murah melalui operasi pasar khusus (OPK) beras bagi sekitar 1,2 juta kepala keluarga miskin, (ii) penyediaan bantuan
Departemen Keuangan RI
Pada saat krisis berlangsung alokasi pengeluaran pembangunan banyak tercurah untuk program jaring pengaman sosial.
Prioritas alokasi pengeluaran pembangunan lebih banyak dicurahkan untuk penyediaan fasilitas pelayanan dasar.
Dalam paket kebijakan penyesuaian APBN 2001, telah dilakukan penghematan proyekproyek sektoral pada departemen/lembaga.
Untuk mengurangi dampak negatif kenaikan harga BBM dan TDL, telah dialokasikan dana untuk program penanggulangan dampak pengurangan subsidi energi.
31
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
khusus murid (BKM) bagi 3,2 juta murid SD/MI, 1,4 juta murid SMP/MTs, 475 ribu murid SMU/SMK/MA, dan 15.861 mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin dan korban kerusuhan; bantuan khusus sekolah (BKS) bagi 3.980 SD/MI, 2.309 SMP/MTs dan 745 SMU/SMK/MA; bantuan pendidikan luar sekolahbagi 400 pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), 50 ribu murid paket A dan 150 ribu murid paket B, serta 1.000 tutor paket A dan 15.000 tutor paket B, (iii) penyediaan pelayanankesehatan dalam bentuk pelayanan rujukan bagi 1,23 juta penduduk miskin di 441 rumah sakit, vaksinasi bagi 906,3 ribu jiwa bayi dan balita, penyediaan obat generik bagi 47,9 juta penduduk miskin dan penyediaan bantuan operasional untuk 157 panti lanjut usia, 167 panti anak terlantar, dan 385 panti sosial cacat, (iv)penyediaan prasarana air bersih bagi permukiman rawan air dan konsentrasi penduduk miskin di perkotaan di 3.258 kelurahan/desa; (v)penyediaan dana bergulir bagi 1.000 lembaga kredit mikro (LKM), (vi)penyediaan bantuan dana langsung untuk pemberdayaan masyarakat pesisir di 125 kabupaten/kota, serta (vii)penyediaan subsidi angkutan bagi 18 operator kapal penyeberangan jarak pendek, operator kereta rel listrik (KRL) dan kereta kelas ekonomi, 14 operator bus besar dan 15 operator bus sedang. Dana Perimbangan Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, sejak tahun 2001 transfer dana dari APBN ke daerah dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan. Pengalokasian dana perimbangan ini selain ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD, juga bertujuan untuk mengurangi/memperkecil perbedaan kapasitas fiskal antardaerah. Sebelum tahun 2001, perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam APBN diwujudkan melalui alokasi pengeluaran transfer ke daerah, berupa (i)subsidi daerah otonom (SDO) atau dana rutin daerah (DRD), dan (ii) anggaran yang didaerahkan dalam bentuk dana pembangunan daerah (DPD) termasuk dana bagi hasil PBB dan BPHTB. Rasio jumlah pengeluaran transfer kedaerah dalam bentuk DRD dan DPD termasuk bagi hasil PBB dan BPHTB terhadap PDB terus meningkat dari 2,6 persen dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi 3,4 persen dalam tahun anggaran 2000. Sedangkan pada tahun
Departemen Keuangan RI
Dana perimbangan merupakan bentuk pengeluaran transfer sejak desentralisasi fiskal dan otonomi daerah.
Rasio transfer dana APBN terhadap PDB ke daerah berupa DRD, DPD maupun dana perimbangan terus meningkat.
32
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
2001 dana perimbangan diperkirakan sebesar Rp82,4 triliun atau 5,6 persen terhadap PDB, yang masing-masing berupa dana bagi hasil (DBH) 1,4 persen terhadap PDB, dana alokasi umum (DAU) 4,1 persen terhadap PDB, dan dana alokasi khusus (DAK) 0,05 persen terhadap PDB. Penerimaan negara yang telah dibagihasilkan ke daerah melalui APBN pada tahun anggaran 1999/2000 dan 2000 baru dari sektor perpajakan, yaitu PBB dan BPHTB. Selain itu, sebagian dari penerimaan sumber daya alam (SDA) nonmigas terutama yang berasal dari kehutanan dan pertambangan umum, sekalipun belum tercatat dalam APBN, sesungguhnya juga telah dibagihasilkan ke daerah, melalui mekanisme penyetoran langsung oleh pengusaha di sektor kehutanan dan pertambangan umum atas kewajiban yang menjadi hak daerah ke kas daerah, dan yang menjadi hak pemerintah pusat ke rekening menteri teknis yang bersangkutan. Komponen pengeluaran transfer ke daerah yang paling besar adalah dana alokasi umum (DAU). Dalam tahun anggaran 1999/2000 dan 2000 dana alokasi umum tercermin dalam APBN pada subsidi daerah otonom (SDO) atau dana rutin daerah (DRD), dan dana pembangunan daerah (DPD), selain yang bersumber dari penerimaan PBB dan BPHTB. Dalam tahun anggaran 1999/2000 realisasi DRD dan DPD masing-masing mencapai Rp17,5 triliun (1,5 persen terhadap PDB) dan Rp8,4 triliun (0,7 persen terhadap PDB), sedangkan dalam tahun anggaran 2000 realisasinya masing-masing mencapai Rp17,6 triliun (1,8 persen terhadap PDB) dan Rp12,8 triliun (1,3 persen terhadap PDB). Dalam tahun anggaran 2001, besarnya dana alokasi umum (DAU) diperkirakan 4,1 persen terhadap PDB. Penyaluran DAU dalam tahun anggaran 2001 untuk masing-masing daerah setiap bulannya ditetapkan sebesar seperduabelas dari pagu yang tercantum dalam alokasi DAU sebagaimana tertuang dalam Keppres Nomor 181 Tahun 2000. Dana alokasi khusus (DAK), yang baru diimplementasikan dalam tahun anggaran 2001 ditetapkan sebesar Rp0,7 triliun atau 0,05 persen terhadap PDB, yang seluruhnya bersumber dari dana reboisasi (DR) dan untuk kegiatan reboisasi di daerah penghasil.
Sebelum UU PKPD bagi hasil penerimaan telah dilaksanakan berupa PBB dan BPHTB.
DAU merupakan porsi terbesar dari komponen dana perimbangan dan jumlahnya mencapai 4,1 persen dari PDB pada tahun 2001.
DAK tahun 2001 berasal dari dana reboisasi.
Keseimbangan Umum dan Defisit APBN Departemen Keuangan RI
33
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Dalam upaya penyehatan APBN dan pencapaian fiscal sustainability, selama tiga tahun anggaran terakhir telah dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi defisit anggaran, sebagaimana tercermin pada rasio defisit APBN terhadap PDB yang menurun dari 3,9 persen dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi 1,5 persen dalam tahun anggaran 2000, dan diperkirakan mencapai 3,7 persen dalam tahun anggaran 2001. Defisit anggaran ditentukan oleh perkembangan yang terjadi pada sisi pendapatan dan pada sisi belanja negara. Dalam tahun anggaran 1999/2000 belanja negara mencapai Rp231,9 triliun (20,4 persen terhadap PDB), sedangkan pendapatan negara pada tahun anggaran tersebut mencapai Rp187,8 triliun (16,6 persen terhadap PDB), sehingga terdapat defisit anggaran sebesar Rp44,1 triliun (3,9 persen terhadap PDB). Sementara itu pada tahun anggaran 2000 belanja negara mencapai Rp221,0 triliun (22,4 persen terhadap PDB), sedangkan pendapatan negara pada tahun tersebut sebesar Rp205,0 triliun (20,7 persen terhadap PDB), sehingga terdapat defisit anggaran Rp15,0 triliun (1,5 persen terhadap PDB). Pada tahun anggaran 2001 belanja negara menjadi Rp340,3 triliun (23,2 persen terhadap PDB), sedangkan penerimaan negara berjumlah Rp286,0 triliun (19,5 persen dari terhadap PDB), sehingga diperkirakan terdapat defisit anggaran sebesar Rp54,3 triliun (3,7 persen terhadap PDB).
Defisit APBN diupayakan menurun secara bertahap, sejalan dengan upaya penyehatan APBN guna mencapai fiscal sustainability.
Pembiayaan Defisit Anggaran Pembiayaan defisit anggaran dalam tiga tahun anggaran terakhir diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber pembiayaan dalamnegeri, sebagaimana tercermin dari peningkatan proporsi peran pembiayaan dalam negeri dalam pembiayaan defisit anggaran. Di lain pihak, pembiayaan yang berasal dari pinjaman luar negeri akan terus diupayakan untuk makin berkurang. Pada tahun anggaran 1999/2000 rasio pembiayaan dalam negeri terhadap PDB mencapai 1,3 persen, sedangkan pada APBN Perubahan tahun 2001 mencapai sekitar 3,0 persen. Sementara rasio pembiayaan luar negeri bersih terhadap PDB menurun dari sekitar 2,6 persen dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi 0,7 persen terhadap PDB dalam APBN-P tahun anggaran 2001.
Pembiayaan defisit anggaran diutamakan menggunakan sumber pembiayaan dalam negeri.
Realisasi pembiayaan defisit anggaran dalam tahun anggaran Departemen Keuangan RI
34
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
1999/2000 mencapai Rp44,1 triliun, atau 3,9 persen terhadap PDB, sementara sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) berjumlah Rp1,9 triliun atau 0,2 persen terhadap PDB. Realisasi tersebut antara lain bersumber dari pembiayaan dalam negeri sebesar Rp14,7 triliun dan pembiayaan luar negeri bersih sebesar Rp29,4 triliun. Pembiayaan dalam negeri berasal dari sisa lebih pembiayaan anggaran sebesar Rp1,9 triliun dan nonperbankan dalam negeri Rp16,6 triliun. Sedangkan pembiayaan luar negeri bersih berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp49,6 triliun dikurangi pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp20,2 triliun. Sementara itu, pada tahun 2000, defisit anggaran dibiayai dari pembiayaan dalam negeri sebesar Rp5,4 triliun (0,6 persen terhadap PDB) dan pembiayaan luar negeri bersih Rp9,6 triliun (1,0 persen terhadap PDB). Sedangkan pada APBN-P tahun angggaran 2001, defisit anggaran dibiayai dari dalam negeri Rp44,2 triliun dan pembiayaan luar negeri bersih Rp10,5 triliun, atau masing-masing sekitar 3,0 persen dan 0,7 persen terhadap PDB. Sumber-sumber pembiayaan dalam negeri tersebut berasal dari privatisasi BUMN, penjualan aset program restrukturisasi perbankan, dan penjualan obligasi pemerintah. Sedangkan pembiayaan luar negeri bersih terdiri dari pinjaman program dan pinjaman proyek, yang masing-masing sekitar 0,7 persen dan 1,3 persen terhadap PDB dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebesar 1,3 persen terhadap PDB.
Tabel III.4 PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN DEFISIT, 1999/2000-20011) (Dalam Triliun Rupiah)
Departemen Keuangan RI
35
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Uraian
1999/2000 PAN
I.
% thd. Penye- %
thd. Peru- % thd.
sasi
PDB
suaian PDB
bahan PDB
14,7
1,3
5,4
0,6
34,4
2,3
44,2
3,0
(1,9)
(0,2)
(13,5)
(1,4)
-
-
7,6
0,5
1,5
18,9
1,9
34,4
2,3
36,6
2,5
29,4
2,6
9,6
1,0
19,9
1,4
10,5
0,7
Pinjaman
Luar49,6
4,4
17,2
1,7
40,1
2,7
30,3
2,0
Pokok
Utang(20,2)
(1,8)
(7,6)
(0,8)
(20,2)
(1,4)
(19,8) (1,3)
3,9
15,0
1,5
54,3
3,7
54,7
1. Perbankan Dalam Negeri
2. Nonperbankan Dalam Negeri 16,6
Pembiayaan Luar Negeri 1. Penarikan
thd. Reali-
2001
PDB Pembiayaan Dalam Negeri
II.
%
20002)
Negeri 2. Pembayaran
Luar Negeri (Amortisasi) Jumlah
44,1
3,7
1) Disesuaikan dengan klasifikasi baru 2) Periode 1 April sampai dengan 31 Desember 2000
Tabel III.5 RINGKASAN PERKEMBANGAN PELAKSANAAN OPERASIONAL FISKAL PEMERINTAH, 1999/2000 - 2001 1) (Dalam Triliun Rupiah)
Departemen Keuangan RI
36
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Uraian
1999/2000
2000 2)
2001
PAN
% thd RealiPDB sasi
% thd Penye- % thd Perub- % thd PDB suaian PDB bahan PDB
187,8
16,6
205,0
20,7
286,0
19,5
299,8 20,3
187,8
16,5
205,0
20,7
286,0
19,5
299,8 20,3
125,9
11,1
115,8
11,7
185,3
12,6
184,7 12,5
120,9
10,7
108,8
11,0
174,3
11,9
174,2 11,8
b. Pajak Perdagangan5,0 Internasional 2. Bukan Pajak 61,9
0,4
7,0
0,7
11,0
0,7
10,5
5,5
89,2
9,0
100,7
6,9
115,1 7,8
a. Sumber Daya Alam 3) 45,5
4,0
76,0
7,7
79,4
5,4
86,7
5,9
b. Bagian Laba BUMN
5,4
0,5
3,9
0,4
9,0
0,6
10,4
0,7
c. PNBP Lainnya
11,0
1,0
9,3
0,9
12,3
0,8
18,0
1,2
-
-
-
-
-
-
-
-
231,9
20,4
221,0
22,4
340,3
23,2
354,5 24,0
I. Belanja Rutin
156,8
13,8
161,4
16,3
213,4
14,5
232,7 15,8
II. Belanja Pembangunan
45,2
4,0
25,7
2,6
45,4
3,1
39,4
2,7
1. Pembiayaan Rupiah
20,8
1,8
9,4
1,0
21,7
1,5
19,7
1,3
2. Pembiayaan Proyek
24,4
2,2
16,3
1,6
23,7
1,6
19,7
1,3
29,9
2,6
33,9
3,4
81,5
5,6
82,4
5,6
C. Surplus/Defisit (A - B)
(44,1)
(3,9)
(15,0)
(1,5)
(54,3)
(3,7)
(54,7) (3,7)
D. Pembiayaan Anggaran
44,1
3,9
15,0
1,5
54,3
3,7
54,7
3,7
I. Dalam Negeri
14,7
1,3
5,4
0,6
34,4
2,3
44,2
3,0
1. Perbankan Dalam Negeri
(1,9)
(0,2)
(13,5)
(1,4)
-
-
7,6
0,5
2. Nonperbankan DN
16,6
1,5
18,9
1,9
34,4
2,3
36,6
2,5
29,4
2,6
9,6
1,0
19,9
1,4
10,5
0,7
49,6
4,4
17,2
1,7
40,1
2,7
30,3
2,0
(1,8)
(7,6)
(0,8)
(20,2)
(1,4)
(19,8) (1,3)
A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Pendapatan Dalam Negeri 1. Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri
II. Hibah B. Belanja Negara
III. Dana Perimbangan
II. Luar Negeri 1. Penarikan Pinjaman LN
2. Pembayaran Pokok Utang(20,2) Luar Negeri (Amortisasi)
0,7
Memorandum: Produk Domestik Bruto
1.134,6
988,3
1.468,1
1.476,2
1) Disesuaikan dengan klasifikasi baru. 2) Periode 1 April sampai dengan 31 Desember 2000. 3) Tahun Anggaran 2000 tidak termasuk penerimaan SDA pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan.
Departemen Keuangan RI
37
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
BAB IV ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 Pendahuluan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2002 disusun di tengah-tengah munculnya rasa optimisme yang tinggi terhadap prospek dan upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional,seiring dengan mulai tumbuhnya kembali kepercayaan masyarakat dan para pelaku pasar, baik di dalam maupun di luar negeri terhadap terbentuknya pemerintahan baru yang dipilih melalui proses yang demokratis dan konstitusional. Momentum yang cukup kondusif tersebut harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mempercepat proses penyelamatan dari krisis multidimensional yang berkepanjangan.
APBN 2002 disusun di tengah rasa optimisme masyarakat dan pelaku pasar terhadap prospek pemulihan ekonomi seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru.
Kondisi tersebut menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan, pembahasan, dan penetapan APBN tahun 2002. Di samping itu, penetapan APBN 2002 juga telah mempertimbangkan perkembangan realisasi pendapatan negara, belanja negara, defisit APBN, dan pembiayaan anggaran dalam tahun anggaran 2001 dan pola kecenderungan dalam beberapa tahun sebelumnya. Perkembangan tahun 2001 digunakan sebagai landasan dalam membuat perhitungan dasar (base-line-projections) berbagai besaran APBN 2002. Pertimbangan lainnya yang juga menjadi dasar penetapan APBN 2002 adalah berbagai kebijakan strategis di bidang fiskal, serta program-program dan sasaransasaran pembangunan sebagaimana digariskan dalam GBHN 1999-2004 dan Propenas 2000-2004.
Penyusunan APBN tahun 2002 didasarkan pada (i) asumsi dasar ekonomi makro, (ii)perkembangan APBN tahun 2001, serta (iii) GBHN 19992004, dan Propenas 2000-2004.
Dalam tahun 2002, kebijakan keuangan negara diarahkan pada upaya untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dengan tetap mengupayakan pemberian stimulus fiskal dalam batas-batas kemampuan keuangan negara guna mendukung proses pemulihan ekonomi, serta memantapkan proses desentralisasi dengan tetap mengupayakan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah sesuai azas keadilan, sepadan dengan besarnya kewenangan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Departemen Keuangan RI
Kebijakan keuangan negara tahun 2002 diarahkan pada perwujudan fiscal sustainability, pemberian stimulus fiskal, dan mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
38
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Untuk menunjang terwujudnya fiscal sustainability, ada dua langkah strategis yang harus dijabarkan dalam APBN 2002. Pertama, mengupayakan penurunan secara significant volume dan rasio defisit anggaran negara terhadap PDB minimal sama atau lebih rendah dari sasaran tahun 2001 yang ditetapkan dalam perencanaan jangka menengah APBN (medium-term-budget) seperti tertuang dalam Propenas. Kedua, menurunkan rasio stock utang pemerintah, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri terhadap PDB (debt-to-GDPratio). Pada akhir tahun 2002, diharapkan rasio utang pemerintah mencapai sekitar 77 persen terhadap PDB, dengan rasio utang luar negeri sekitar 42 persen terhadap PDB. Untuk itu dipersiapkan langkahlangkah guna meningkatkan pendapatan negara, mengendalikan belanja negara, dan mengoptimalkan pilihan pembiayaan defisit anggaran negara.
Fiscal sustainability diupayakan melalui (i) penurunan rasio defisit anggaran terhadap PDB, dan (ii) rasio stok utang pemerintah terhadap PDB menjadi 77 persen pada akhir 2002.
Penetapan besaran-besaran APBN 2002 juga berpedoman pada sasaran yang tertuang dalam Propenas untuk tahun 2002, dan kesepakatan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Pembicaraan Pendahuluan APBN 2002, yang antara lain menyepakati target defisit anggaran 2-3 persen terhadap PDB, dan kenaikan harga BBM dalam negeri rata-rata tertimbang 30 persen mulai Januari 2002. Secara garis besar APBN 2002 ditetapkan sebagai berikut :
Kesepakatan dengan DPR RI : defisit 2-3 persen dari PDB, dan harga BBM naik 30 persen.
Tabel IV.1 RINGKASAN APBN 2001 DAN APBN 2002 (Dalam Triliun Rupiah) Uraian
2001
2002
Penyesuaian
% PDB
thd Peru bahan
286,0
19,5
299,8
20,3
301,8
17,9
1. Pajak
185,3
12,6
184,7
12,5
219,6
13,0
2. Bukan Pajak
100,7
6,9
115,1
7,8
82,2
4,9
B. Belanja Negara
340,3
23,2
354,6
24,0
344,0
20,4
C. Defisit Anggaran (A-B)
- 54,3
- 3,7
- 54,7
- 3,7
- 42,1
- 2,5
D. Pembiayaan Anggaran (C=D)
A. Pendapatan Negara
% thd APBN PDB
% thd PDB
54,3
3,7
54,7
3,7
42,1
2,5
1. Dalam Negeri
34,4
2,3
44,2
3,0
23,5
1,4
2. Luar Negeri, Neto
19,9
1,4
10,5
0,7
18,6
1,1
Memorandum Domestik Bruto
:
Produk 1.468,1
Departemen Keuangan RI
1.476,2
1.685,4
39
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Pendapatan Negara dan Hibah Pendapatan negara dan hibah dalam tahun anggaran 2002 yang seluruhnya bersumber dari penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai Rp301,8 triliun (17,9 persen terhadap PDB). Secara nominal penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak tersebut mengalami peningkatan, namun rasio terhadap PDB-nya menurun dibanding tahun sebelumnya, terutama karena menurunnya PPh penerimaan migas.
Pendapatan negara dan hibah direncanakan mencapai 17,9 persen dari PDB.
Penerimaan Perpajakan Penerimaan perpajakan ditetapkan mencapai Rp219,6 triliun (13,0 persen terhadap PDB), sejalan dengan membaiknya berbagai variabel yang menentukan penerimaan perpajakan, seperti pertumbuhan ekonomi, perkembangan tingkat harga umum, dan nilai tukar rupiah terhadap dolarAmerika Serikat. Untuk mendukung tercapainya sasaran penerimaan tersebut, akan ditempuh berbagai kebijakan yang meliputi upaya intensifikasi pemungutan pajak, ekstensifikasi subjek/objek pajak, dan peningkatan pelayanan kepada wajib pajak. Kebijakan umum tersebut diimplementasikan terhadap semua jenis pajak, yang selanjutnya masing-masing akan dijabarkan secara lebih spesifik dalam kebijakan operasionalnya. Berdasarkan asumsi besaran variabel-variabel ekonomi makro yang diperkirakan akan dicapai dalam tahun anggaran 2002, serta didukung oleh berbagai kebijakanyang telah dan akan ditempuh di bidang pajak penghasilan (PPh), penerimaan PPh direncanakan mencapai Rp104,5 triliun (6,2 persen terhadap PDB), yang terdiri dari PPh nonmigas Rp88,8 triliun (5,3 persen terhadap PDB) dan PPh migas Rp15,7 triliun (0,9 persen terhadap PDB). Hal ini berarti bahwa penerimaan PPh secara rasio terhadap PDB mengalami penurunan sebesar 0,1 persen terhadap PDB dibandingkan tahun anggaran 2001 yang mencapai Rp92,8 triliun atau 6,3 persen terhadap PDB. Hal ini disebabkan oleh menurunnya penerimaan PPh migas, meskipun peran PPh nonmigas makin meningkat. Penerimaan PPh nonmigas dalam tahun anggaran 2002 ditetapkan 27,4 persen lebih tinggi dari sasaran tahun anggaran 2001. Penerimaan tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal, baik
Departemen Keuangan RI
Rencana penerimaan perpajakan didasarkan pada perkiraan membaiknya berbagai variabel penerimaan pajak dan kebijakan yang akan ditempuh dalam bidang perpajakan.
Penerimaan PPh diperkirakan 6,2 persen dari PDB.
Penerimaan PPh nonmigas diperkirakan meningkat 27,4 persen dari target tahun anggaran 2001.
40
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
yang berdampak positif maupun negatif. Faktor eksternal yang berdampak positif antara lain adalah pertumbuhan ekonomi makro yang diperkirakan lebih baik dari tahun sebelumnya, yang akan berdampak positif terhadap peningkatan basis pemungutan PPh nonmigas. Sementara itu, faktor internal berkaitan dengan berbagai kebijakan yang telah dan akan ditempuh di bidang PPh. Kebijakan yang ditempuh di bidang PPh nonmigas antara lain penerapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, upaya ekstensifikasi melalui kerjasama dengan RT/RW agar setiap kartu keluarga diberi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan mewajibkan bagi orang pribadi yang memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk menjadi wajib pajak. Di samping itu, juga akan diberlakukan perubahan terhadap perundangundangan yang selama ini merupakan faktor penghambat bagi pelaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Perubahan undang-undang tersebut meliputi amandemen atas Undang-Undang tentang Perbankan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998), serta ketentuan tentang monitoring lalu lintas devisa dan pencatatan transaksi keuangan yang memberikan akses kepada aparat pajak. Kebijakan pendukung lainnya adalah pengembangan sistem informasi dan monitoring perpajakan yang terintegrasi dan on-line antar unit-unit terkait.Dalam hal pemberlakuan kebijakan mengenai pengampunan pajak (tax amnesty) saatini masih diperlukan persiapan yang matang dan teliti dalam pelaksanaannya, serta perlu ditekankan bahwa kebijakan tersebut hanya dilakukan sekali saja, tidak berulang-ulang. Dengan demikian, diharapkan tidak menimbulkan hasil yang kontraproduktif dan moral hazard. Sementara itu, sasaran penerimaan PPh migas dalam APBN 2002 diperkirakan menurun Rp7,4 triliun atau 32,0 persen dari kondisinya dalam tahun 2001. Target penerimaan PPh migas tersebut didasarkan atas asumsi produksi minyak diperkirakan 1.320 MBCD, harga minyak US$22 per barel, dan nilai tukar Rp9.000,00 per US$. Sasaran penerimaan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) dalam tahun anggaran 2002 ditetapkan Rp70,1 triliun (4,2 persen terhadap PDB) yang berarti meningkat Rp14,3 triliun atau sekitar 25,5 persen dari
Departemen Keuangan RI
Kebijakan yang ditempuh di bidang PPh nonmigas dengan melakukan perubahan UU yang menghambat pelaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi.
Penerimaan PPh Migas diperkirakan menurun 32,0 persen dari target tahun anggaran 2001.
Penerimaan PPN dan PPnBM diperkirakan meningkat 25,5 persen dari sasaran tahun anggaran 2001.
41
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
sasaran tahun anggaran 2001. Perkiraan penerimaan tersebut didasarkan pada asumsi membaiknya beberapa indikator ekonomi makro dalam tahun anggaran 2002, dan didukung oleh berbagai kebijakan yang telah dan akan ditempuh di bidang PPN dan PPnBM. Dalam tahun anggaran 2002 kebijakan umum yang ditempuh dalam rangka optimalisasi penerimaan PPN dan PPnBM meliputi program intensifikasi pemungutan pajak, ekstensifikasi subjek pajak, serta peningkatan pelayanan perpajakan. Kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi tersebut ditempuh antara lain melalui (i) kenaikan dan penurunan tarif PPnBM untuk beberapa komoditi tertentu, (ii) program penyisiran (canvassing) wajib pajak (WP) pedagang eceran yang melakukan kegiatan di sentra-sentra ekonomi, seperti mall, shopping center, plaza, toko dan usaha dagang penjual bahan bangunan, dan (iii) pengenaan PPN di Pulau Batam. Sementara itu, untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak akan dilakukan percepatan proses restitusi.
Peningkatan penerimaan PPN dan PPnBM antara lain didukung oleh program canvassing.
Atas dasar pertimbangan terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan di bidang pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (PBB dan BPHTB), sasaran penerimaan PBB dan BPHTB dalam tahun anggaran 2002 ditetapkan sebesar Rp8,1 triliun. Penerimaan tersebut berasal dari PBB Rp5,9 triliun atau 0,4 persen terhadap PDB dan BPHTB Rp2,2 triliunatau 0,1 persen terhadap PDB. Apabila dibandingkan dengan kinerjanya dalam tahun anggaran 2001, target penerimaan PBB dan BPHTB dalam tahun anggaran 2002 menunjukkan kenaikan sebesar 29,3 persen. Untuk mendukung tercapainya sasaran penerimaan PBB dan BPHTB telah dikeluarkan kebijakan pemberlakuan undang-undang baru tentang BPHTB, yang mengatur pelaksanaan ekstensifikasi BPHTB melalui perluasan cakupan objek pajak, peningkatan kerjasama dengan pemerintah daerah, Badan Pertanahan Nasional, notaris/PPAT serta instansi lain yang terkait, serta penertiban administrasi tunggakan untuk mendukung pelaksanaan penagihan aktif.
Peningkatan sasaran BPHTB didukung oleh kebijakan ekstensifikasi.
Selanjutnya, penerimaan cukai dalam tahun anggaran 2002 ditetapkan akanmeningkat cukup signifikan, yaitu dari Rp17,6 triliun (1,2 persen terhadapPDB) dalam tahun anggaran 2001 menjadi Rp22,4 triliun (1,3 persenterhadap PDB) dalam tahun anggaran 2002.
Kebijakan penerimaan cukai antara lain disebabkan oleh kenaikan tarif HJE dan peningkatan kepatuhan membayar cukai.
Departemen Keuangan RI
42
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Optimisme pencapaiantarget penerimaan cukai tersebut didasarkan pada kebijakan dibidang cukai yang akan ditempuh, antara lain meliputi (i) kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE), (ii)peningkatan kepatuhan pengusaha kenacukai dalam membayar cukai, serta (iii) peningkatan pengawasan atas peredaran objek cukai sejak dari proses produksi, hingga distribusi, dan pemasarannya. Sementara itu, penerimaan pajak lainnya dalam tahun anggaran 2002 ditetapkan mencapai Rp1,9 triliun atau 0,1 persen terhadap PDB. Sasaran penerimaan pajak lainnya tersebut tidak terlepas dariperanan kebijakan di bidang pajak lainnya yang meliputi langkah-langkah intensifikasi, ekstensifikasi, dan peningkatan pengawasan yang diimplementasikan melalui (i) upaya peningkatan kepatuhan pemakaian benda meterai, mesin teraan, dan pencetakan tanda lunas beameterai, (ii)peningkatan pencegahan atas peredaran meterai tempel palsu, (iii)pemantauan penyaluran meterai secara periodik, dan (iv)perubahan atas Undang-Undang Bea Meterai yang mengatur tentang kenaikan tarif bea meterai. Penerimaan bea masuk dalam tahun anggaran 2002 ditetapkan mencapai Rp12,2 triliun (0,7 persen terhadap PDB), yang berarti Rp2,4 triliun atau sekitar 24,6 persen lebih tinggi dari kondisinya dalam tahun anggaran 2001. Untuk mencapai sasaran penerimaan tersebut, akan ditempuh berbagai kebijakan sepertipemungutan bea masuk di Pulau Batam, peningkatan kelancaran arus barang impor, intensifikasi pengawasan, pemberantasan penyelundupan, serta pengurangan fasilitas dan pembebasan bea masuk yang semula diberikan pada impor barang modal dan bahan baku untuk industri tertentu. Selain itu, juga ditempuh upaya-upaya untuk mencegah terjadinya praktek-praktek penilaian barang impor yang lebihrendah dari nilai yang semestinya (underinvoicing), penyempurnaan sistem dan prosedur kepabeanan, pelaksanaan penagihan piutang bea masukdengansurat paksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku, danintensifikasi pemeriksaan barang dengan pengelolaan resiko (risk management). Penerimaan pajak/pungutan ekspor dalam tahun anggaran 2002 ditetapkan mencapai Rp0,3 triliun (0,02 persen terhadap PDB), yang berarti terjadipenurunan dibandingkan tahun 2001 yaitu 0,04 persen terhadap PDB. Faktor yang mempengaruhi penerimaan tersebut adalah
Departemen Keuangan RI
Pencapaian sasaran penerimaan pajak lainnya, antara lain didukung oleh kebijakan penyesuaian tarif dan pemantauan penyaluran meterai.
Peningkatan penermaan bea masuk antara lain didukung oleh kebijakan pengurangan fasilitas bea masuk dan pencegahan praktek underinvoicing.
Penerimaan pajak/pungutan ekspor diperkirakan menurun sejalan dengan kebijakan penurunan tarif pajak ekspor.
43
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
penguatan nilai tukar rupiah terhadapdolar Amerika Serikat, volume, dan harga patokan ekspor, sertakebijakan penurunan tarif pajak ekspor terhadap produk CPO danturunannya yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2001. Sementara itu, untuk mengamankan dan mengoptimalkan penerimaan pajak/pungutan ekspor tersebut ditempuh langkah-langkah seperti intensifikasi penagihan pajak/pungutan ekspor terhadap eksportir yang menunggak, pemantauan atas pembayaran dan pengawasannya, peningkatan koordinasi dengan instansi terkait dalam monitoring harga internasional, serta peningkatan kepatuhan eksportir dalam membayar pajak ekspor. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Membaiknya kondisi ekonomi, penyesuaian tarif berbagai jenis penerimaan departemen/lembaga, upaya peningkatan kinerja BUMN, serta peningkatan pengawasan di dalam pemungutan dan penyetoran PNBP ke Kas Negara, merupakan faktor penting dalam pencapaian target PNBP tahun anggaran 2002 yang ditetapkan Rp82,2 triliun atau 4,9 persen terhadap PDB. Penerimaan tersebut terdiri dari penerimaan sumber daya alam (SDA) Rp63,2 triliun (3,7 persen terhadap PDB), bagian Pemerintah atas laba BUMN Rp10,4 triliun, (0,6 persen terhadap PDB), dan PNBP lainnya Rp8,7 triliun (0,5 persen terhadap PDB). Penerimaan SDA berasal dari SDA minyak bumi dan gas alam, SDA pertambangan umum, SDA kehutanan, dan SDA perikanan. Penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam dalam tahun anggaran 2002 disusun berdasarkan asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude oil Price/ICP) di pasar internasional US$22,0 per barel, tingkat produksi minyak mentah termasuk kondensat mencapai 1.320 ribu barel per hari, dan rata-rata nilai tukar rupiah Rp9.000,00 per dolar Amerika Serikat. Berdasarkan asumsi tersebut, penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam masing-masing direncanakan akan mencapai Rp44,0 triliun (2,6 persen terhadap PDB) dan Rp14,5 triliun (0,9 persen terhadap PDB). Sementara itu, penerimaan SDA pertambangan umum merupakan salah satu sumberdaya alam di luar migas yang diharapkan akan dapat memberikan kontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara. Halinisejalan dengan berbagai kebijakan yang ditempuh, antara lainpeningkatan kegiatan eksplorasi, namun tetap memperhatikan Departemen Keuangan RI
Beberapa faktor penting dalam peningkatan PNBP adalah penyesuaian tarif, peningkatan kinerja BUMN, serta pengawasan pemungutan dan penyetoran ke kas negara.
Penerimaan SDA migas didasarkan atas asumsi harga minyak mentah US$ 22/barel, produksi 1.320 MBCD, dan nilai tukar rupiah Rp9.000 per US$.
Kontribusi penerimaan SDA pertambangan umum meningkat.
44
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
kelestarian fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, penciptaan iklim investasi yang kondusif, peningkatan pengolahan mineral di dalam negeri, peningkatan efektivitas dan produktivitas operasi penambangan dan pengolahan, serta peningkatan bimbingan teknis dan manajemen usaha pertambangan. Berdasarkan kebijakan dan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam tahun anggaran 2002, penerimaan SDA pertambangan umum ditetapkan akan mencapai Rp1,3 triliun atau 0,1 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut meliputi penerimaan dari iuran tetap/landrent Rp0,05 triliun, dan penerimaan iuran eksplorasi dan eksploitasi/royalty Rp1,29triliun. Tuntutan terhadap perbaikan pengelolaan SDA kehutanan, agar dapat menjaga kelestarian lingkungan dan sekaligus mampu memberikan kontribusi yang memadai bagi penerimaan negara semakin meningkat. Sehubungan dengan hal itu, akan ditempuh berbagai kebijakan, antara lain (i) menciptakan dan membangun suatu sistem pengawasan dalam pembangunan kehutanan secara efisien, efektif dan transparan sesuai prinsip-prinsip good governance, (ii) membentuk institusi penyelenggaraan kehutanan yang bersifat terpadu antara pusat, propinsi, dan kabupaten/kota, (iii) melanjutkan upaya pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan (bertahan dalam jangka panjang), dan (iv) pergeseran kebijakan yang berorientasi kepada pengelolaan kayu (timber management) menjadi pengelolaan sumber daya (resource based management). Berdasarkan berbagai kebijakan tersebut, dalam tahun anggaran 2002 penerimaan SDAkehutanan ditetapkan mencapai Rp3,0 triliun (0,2 persen terhadap PDB), yang meliputi iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) Rp0,06 triliun, provisisumber daya hutan (PSDH) Rp0,9 triliun, dan dana reboisasi Rp2,0triliun. Di sisi lain, kekayaan sumber daya perikanan juga merupakan salah satupotensi yang cukup besar untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak melalui pemanfaatan sumber daya ikan dan peningkatan pelayanan publik di bidang perikanan. Selain menyumbang penerimaanbagi negara, SDA perikanan juga secara langsung mendukung pengembangan potensi keuangan daerah, mengingat 80 persen dari penerimaan tersebut akan menjadi penerimaan daerah. Dalam rangkameningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap penerimaan negara bukan pajak, berbagai kebijakan penyempurnaan dan pengefektifanPeraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2000 tentang
Departemen Keuangan RI
Kebijakan pemanfaatan SDA kehutanan berorientasi kepada pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan (sustainable development).
Kebijakan di bidang SDA perikanan meliputi penyempurnaan peraturan yang berlaku dan penanggulangan penangkapan ikan secara ilegal.
45
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Tarifatas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada DepartemenKelautan dan Perikanan terus dilakukan, termasuk penyusunandan penjabaran aturan pelaksanaannya. Di samping itu dilakukan juga pengawasan di lapangan secara efektif untuk menanggulangipenangkapanikan illegal di wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan langkah-langkah kebijakan tersebut, dalam tahun anggaran2002 penerimaan SDA perikanan diharapkan dapat mencapai Rp0,3 triliun. Rencana penerimaan dari bagian Pemerintah atas laba BUMN dalam tahun anggaran 2002 selain dipengaruhi oleh kondisi perekonomian, juga mempertimbangkan adanya faktor nonekonomi seperti gejolak sosialdanpolitik yang berkembang di dalam negeri. Dalam rangka mengantisipasi perubahan-perubahan yang berdampak negatif terhadap penerimaan Pemerintah atas laba BUMN, Pemerintah telah melakukanberbagai upayastrategis, antara lain meliputi peningkatan kesehatan dan kinerjaBUMN yang disertai dengan berbagai penyempurnaan, baik yang menyangkut organisasi, manajemen dan operasional BUMN, maupun penerapan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat (good corporate governance). Berdasarkan perkembangan faktor-faktor ekonomi dan nonekonomi, serta kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah, maka penerimaan Pemerintah atas laba BUMN dalam tahun anggaran 2002 ditetapkan sebesar Rp10,4 triliun atau 0,6 persen terhadap PDB. Kebijakan di bidang PNBP lainnya akan diselaraskan dengan perubahan-perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999. Perubahan tersebut menyangkut tugas pokok instansi/unit kegiatan pelayanan dan pengelolaan dana pemerintah pada departemen/LPND, maupun pengalihan fungsi departemen dari pusat ke daerah. Penyerahan sebagian kewenangan kepada daerah akan membawa konsekuensi kepada pengalihan sebagian penerimaan negara bukan pajak, yang semula diterima oleh pemerintah pusat. Untuk itu, beberapa langkah penting akan ditempuh untuk mencapai sasaran penerimaan tersebut, antara lain dengan melakukan berbagai penyesuaian tarif, dengan tetap mempertimbangkan perkembangan perekonomian nasional, perkembangan kegiatan usaha di sektor riil, serta beban biaya yang harus ditanggung pemerintah atas
Departemen Keuangan RI
Kebijakan penerimaan laba BUMN diarahkan peningkatan kesehatan dan kinerja BUMN.
Penerimaan PNBP lainnya cenderung menurun sehubungan pengalihan kewenangan kepada daerah dalam rangka otonomi dan desentralisasi fiskal.
46
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
penyelenggaraan kegiatan pelayanan dan pengaturan di bidang PNBP lainnya. Di samping itu, di dalam pos PNBP lainnya juga menampung penerimaan yang bersumber dari pelunasan piutang yang berasal dari rekening dana investasi (RDI) sebesar Rp4,1 triliun. Berdasarkan langkah kebijakan dan upaya tersebut, dalam tahun anggaran 2002 PNBP lainnya yang dapat dihimpun diperkirakan mencapai Rp8,7 triliun atau 0,5 persen terhadap PDB. Hibah Sebagaimana tahun-tahun anggaran sebelumnya, besarnya hibah yang akan diterima dalam satu tahun anggaran sulit untuk diperkirakan, mengingataliran dana hibah sifatnya searah dan tidak ada kewajiban untuk membayar kembali. Dengan demikian jumlah dan realisasinya sangat ditentukan oleh donor, sementara itu bentuknya juga tidak dapat ditentukansebelum adanya penandatanganan hibah. Dalam tahun anggaran 2002 besarnya hibah belum dapat ditetapkan dengan pasti mengingat belumterjadinya penandatanganan kontrak yang secara tegas mencatumkan bahwa hibah tersebut akan direalisir dalam tahun 2002. Dengan demikianapabila tetap dibuat proyeksi, pada gilirannya akan mempersulitpengalokasian hibah di sisi belanja negara dan justru menimbulkan ketidakpastian pengelolaan APBN. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan APBN 2002 nanti, bila ternyata terdapatsejumlah hibah yang diterima pemerintah, maka realisasi hibah tersebut akan dilaporkan dalam Laporan Semester maupun APBN Perubahan.
Penerimaan hibah tahun anggaran 2002 akan dilaporkan pada APBN Perubahan 2002.
Tabel IV.2 PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH APBN 2001 dan APBN 2002 (Dalam Triliun Rupiah) 2001
2002
Uraian
Penyesuaian
% thd PeruPDB bahan
% PDB
thd APBN % thd PDB
A. Penerimaan Dalam Negeri
286,0
19,5
299,8
20,3
301,8 17,9
I. Penerimaan Perpajakan
185,3
12,6
184,7
12,5
219,6 13,0
1. Pajak Dalam Negeri
174,3
11,9
174,2
11,8
207,0 12,3
a. Pajak Penghasilan
95,0
6,5
92,8
6,3
04,5 6,2
b. PPN dan PPnBM
53,5
3,6
55,8
3,8
70,1
4,2
c. P B B
5,1
0,3
4,8
0,3
5,9
0,4
d. BPHTB
1,2
1,5
0,1
2,2
0,1
Departemen Keuangan RI
0,1
47
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
e. Cukai
17,6
1,2
17,6
1,2
22,4
1,3
f. Pajak Lainnya
1,9
0,1
1,7
0,1
1,9
0,1
Internasional
11,0
0,7
10,5
0,7
12,6
0,7
a. Bea Masuk
10,4
0,7
9,8
0,7
12,3
0,7
b. Pajak Ekspor
0,6
0,0
0,7
0,0
0,3
0,0
Bukan Pajak
100,7
6,9
115,1
7,8
82,2
4,9
1. Sumber Daya Alam
79,4
5,4
86,7
5,9
63,2
3,7
2. Bagian Laba BUMN
9,0
0,6
10,4
0,7
10,4
0,6
3. PNBP Lainnya
12,3
0,8
18,0
1,2
8,7
0,5
B.Hibah
-
-
-
-
-
-
Jumlah
286,0
19,5
299,8
20,3
301,8 17,9
2. Pajak Perdagangan
II. Penerimaan Negara
Belanja Negara Dalam APBN 2002, volume anggaran belanja negara ditetapkan mencapai Rp344,0 triliun. Jumlah ini berarti 20,4 persen terhadap PDB, atau turun sekitar 3,6 persen bila dibandingkan dengan rasio total belanja negara terhadap PDB tahun 2001 sekitar 24,0 persen. Penurunan rasio ini terutama disebabkan oleh turunnya anggaran belanja pemerintah pusat, sedangkan alokasi anggaran belanja bagi daerah justru dianggarkan meningkat seiring dengan peningkatan dana perimbangan sebagai akibat dari peningkatan penerimaan dalam negeri bersih, maupun adanya alokasi anggaran baru berupa dana otonomi khusus dan penyeimbang. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Dalam APBN 2002, volume anggaran belanja pemerintah pusat ditetapkan Rp246,1 triliun atau 14,6 persen terhadap PDB. Jumlah ini secara nominal turun 9,6 persen, sedangkan rasionya terhadap PDB lebih rendah sekitar 3,8 persen bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi volume anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun anggaran 2001 sebesar Rp272,1 triliun atau 18,4 persen terhadap PDB. Penurunan ini seluruhnya berasal dari penurunan pengeluaran rutin, sementara volume pengeluaran pembangunan justru dianggarkan mengalami peningkatan.
Departemen Keuangan RI
Anggaran belanja negara tahun 2002, ditetapkan Rp344,0 triliun atau 20,4 persen terhadap PDB.
48
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Pengeluaran Rutin Volume pengeluaran rutin dalam tahun anggaran 2002 ditetapkan Rp193,8 triliun atau 11,5 persen terhadap PDB, turun 4,3 persen terhadap PDB bila dibandingkan dengan total pengeluaran rutin dalam APBN-Perubahan tahun anggaran 2001 sekitar 15,8 persen terhadap PDB. Penurunan ini terutama disebabkan oleh berkurangnya beban subsidi dan pembayaran bunga utang dalam jumlah yang cukup significant.
Anggaran belanja pemerintah pusat tahun 2002 secara nominal turun sekitar 9,6 persen dari tahun 2001.
Dalam tahun 2002 pengeluaran untuk subsidi ditetapkan Rp41,6 triliun (2,5 persen terhadap PDB), turun dari beban subsidi APBN-P tahun anggaran 2001 yang mencapai 5,5 persen terhadap PDB. Faktor utama penyebab penurunan tersebut adalah berkurangnya beban subsidi BBM dari sekitar Rp68,4 triliun (4,6 persen terhadap PDB) dalam tahun 2001 menjadi Rp30,4 triliun (1,8 persen terhadap PDB). Pada dasarnya ada tiga faktor penyebab berkurangnya beban subsidi BBM dalam tahun anggaran 2002, yaitu (i) makin menguatnya perkiraan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dari Rp9.600,0 menjadi Rp9.000,0 per US$, (ii)lebih rendahnya asumsi harga minyak mentah internasional, dari US$24 menjadi US$22 per barel, serta (iii) adanya kebijakan atau rencana tindak (policy measures) untuk menaikkan harga BBM dalam negeri mulai bulan Januari 2002. Langkah penyesuaian harga BBM dalam negeri dimaksud pada dasarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari tahapan strategi besar (grand strategy) untuk menghapus subsidi BBM pada tahun 2004 sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas 2000-2004. Sejalan dengan kenaikan harga BBM, perlu diambil langkah-langkah nyata dalam meningkatkan efisiensi operasional Pertamina, serta langkah tegas terhadap penyelundupan BBM. Kenaikan harga BBM memang disadari merupakan pilihan kebijakan yang sangat tidak populer, karena akan memberikan dampak terhadap meningkatnya biaya transportasi, harga barang dan jasa yang menggunakan komponen BBM, dan pengaruh psikologis secara tidak langsung terhadap kenaikan harga barang dan jasa lainnya secara umum. Namun, keputusan itu merupakan pilihan optimal di antara policy options yang ada dalam mengalokasikan anggaran yang terbatas, setelah Departemen Keuangan RI
Rasio pengeluaran rutin terhadap PDB turun 4,3 persen dari APBN-P 2001 akibat berkurangnya beban subsidi dan bunga utang.
Rasio beban subsidi terhadap PDB turun sekitar 3,0 persen dari tahun 2001.
Upaya penurunan beban subsidi BBM dilakukan melalui kenaikan harga BBM mulai bulan Januari 2002; peningkatan efisiensi Pertamina; serta pemberantasan penyelundupan.
49
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
mempertimbangkan manfaat yang lebih besar dari side effect yang ditimbulkannya. Pengalaman membuktikan bahwa dari pelbagai hasil studi dan penelitian tentang dampak kenaikan harga BBM dapat diketahui bahwa laju inflasi dari administered price BBM kurang signifikan. Di lain pihak, kenaikan harga BBM justru akan mendorong penghematan penggunaan energi, meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya, serta mencegah praktek-praktek penyelundupan BBM. Dampak yang paling besar dari kenaikan harga BBM adalah pengurangan beban subsidi BBM dalam APBN yang akan memberikan kesempatan dan memperluas ruang gerak untuk melakukan realokasi anggaran kepada berbagai program lainnya yang dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang berhak menerimanya, baik berupa peningkatan daya beli masyarakat kurang mampu, maupun mendorong penciptaan dan perluasan lapangan kerja. Sehubungan dengan itu, perencanaan, sosialisasi kebijakan, dan strategi pelaksanaannya harus dipersiapkan secara matang. Demikian pula pengeluaran untuk subsidi non-BBM dalam tahun anggaran 2002 ditetapkan Rp11,2 triliun atau 0,7 persen terhadap PDB, turun 0,2 persen terhadap PDB bila dibandingkan dengan bebannya dalam APBN-P tahun anggaran 2001, yaitu sekitar 0,9 persen terhadap PDB. Dari jumlah tersebut, pengeluaran untuk subsidi listrik dianggarkan Rp4,1 triliun atau 0,2 persen terhadap PDB, sedangkan subsidi bunga kredit program dan subsidi pangan masing-masing dianggarkan Rp2,2 triliun dan Rp4,7 triliun. Upaya untuk mengurangi beban subsidi listrik dalam tahun anggaran 2002, akan ditempuh melalui langkah-langkah yang bersifat administratif (administrative measures) seperti meningkatkan efisiensi dalam proses pembangkitan hingga distribusi listrik oleh PT PLN, dan menghilangkan praktek-praktek pencurian listrik, maupun dengan kebijakan yang bersifat up-front measures, yaitu menaikkan tarif dasar listrik (TDL) secara bertahap rata-rata 4 persen hingga 6 persen setiap triwulan. Kebijakan kenaikan TDL ini dimaksudkan agar dalam waktu tiga tahun ke depan PT PLN dapat mencapai titik impas, dan harga listrik akan mencerminkan harga ekonominya. Agar lebih mencerminkan keadilan dan pemerataan, pemberian subsidi akan lebih
Departemen Keuangan RI
Kenaikan harga BBM merupakan pilihan kebijakan yang sangat tidak populer.
Pengurangan beban subsidi BBM berarti memberi kesempatan dan memperluas ruang gerak programprogram lain untuk memperoleh alokasi anggaran.
Beban subsidi nonBBM tahun 2002 turun 0,2 persen terhadap PDB dari tahun 2001.
Untuk mengurangi beban subsidi listrik akan dilakukan kenaikan TDL secara bertahap sekitar 4 hingga 6 persen per triwulan.
50
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
diarahkan secara langsung kepada sekitar 19,6 juta pelanggan listrik di bawah 450 VA dengan pemakaian maksimum 30 KwH per bulan. Sementara itu, subsidi pangan yang dianggarkan dalam tahun anggaran 2002 akan dialokasikan untuk menjamin distribusi dan ketersediaan beras dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat miskin, melalui operasi pasar khusus (OPK). Subsidi yang tersedia diharapkan akan mampu menjangkau sekitar 9,8 juta kepala keluarga (KK) miskin, di mana masing-masing KK yang menjadi target subsidi akan menerima 20 kilogram beras per bulan selama 12 bulan, dengan harga Rp1.000,00 per kilogram. Selain merupakan operasi pasar yang bersifat rutin, sebagian dari program ini merupakan salah satu bentuk kompensasi langsung kepada masyarakat kurang mampu yang terkena dampak kenaikan harga BBM dan TDL. Dalam pada itu beban subsidi bunga kredit program akan dialokasikan untuk memenuhi kewajiban pemerintah atas beban subsidi bunga berbagai skim kredit program, baik kredit yang pendanaannya berasal dari eks-KLBI, surat utang yang dikelola oleh tiga BUMN, yaitu PT Permodalan Nasional Madani (PNM), Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI), maupun bank-bank umum yang ikut serta dalam penyediaan kredit usaha tani (KUT) dan kredit ketahanan pangan (KKP). Dalam tahun anggaran 2002, beban bunga utang ditetapkan Rp88,5 triliun atau sekitar 5,3 persen terhadap PDB, turun 1,2 persen terhadap PDB dari beban pembayaran bunga utang dalam APBN-P tahun anggaran 2001 sebesar 6,5 persen terhadap PDB. Penurunan ini disebabkan oleh turunnya beban bunga utang dalam negeri maupun bunga utang luar negeri dari masing-masing 4,5 persen terhadap PDB dan 2,0 persen terhadap PDB dalam tahun 2001 menjadi 3,5 persen terhadap PDB dan 1,7 persen terhadap PDB pada tahun 2002. Beban pembayaran bunga utang dalam negeri untuk tahun 2002 ditetapkan Rp59,5 triliun atau sekitar 67,2 persen dari total beban bunga utang, sedangkan sekitar 32,8 persen (Rp29,0 triliun) merupakan bunga utang luar negeri. Upaya untuk mengurangi beban bunga utang dalam negeri antara lain dilakukan melalui program pertukaran antara aset-aset yang telah direstrukturisasi dengan obligasi yang dimiliki bank-bank (asset-bonds swap). Selain itu, karena pengaruh suku bunga (SBI 3 Departemen Keuangan RI
OPK beras merupakan program kompensasi kepada sekitar 9,8 juta kepala keluarga (KK) masyarakat miskin.
Subsidi bunga kredit program merupakan subsidi bunga atas skim kredit program eks KLBI.
Beban bunga utang tahun 2002 turun 1,2 persen terhadap PDB dari tahun 2001.
Upaya mengurangi beban bunga utang dalam negeri akan dilakukan melalui asset-bonds-swap, disamping koordinasi dengan otoritas moneter untuk mengusahakan suku bunga SBI yang wajar
51
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
bulan) mempunyai peranan yang cukup signifikan terhadap pembengkakan beban pembayaran bunga utang dalam negeri, khususnya yang bersumber dari obligasi dengan tingkat bunga mengambang (variable rate), maka koordinasi dengan pihak otoritas moneter menjadi faktor yang sangat penting dalam mengupayakan kestabilan suku bunga SBI pada tingkat yang wajar dan realistis. Sementara itu, upaya untuk mengurangi beban pembayaran bunga utang luar negeri akan ditempuh antara lain dengan (i) mengurangi jumlah pinjaman luar negeri baru (new loan) secara bertahap, (ii) mengupayakan pinjaman baru dengan persyaratan yang seringan mungkin, dan (iii) mempercepat penarikan komitmen pinjaman yang sudah ada. Di lain pihak, alokasi anggaran yang disediakan untuk belanja pegawai pusat dalam tahun anggaran 2002 diperkirakan mencapai Rp41,3 triliun (2,5 persen terhadap PDB), naik sekitar 4,6 persen bila dibandingkan dengan belanja pegawai pada APBN-P tahun anggaran 2001. Peningkatan beban belanja pegawai dalam tahun 2002 tersebut terutama disebabkan oleh naiknya alokasi anggaran untuk gaji dan pensiun serta uang makan danlauk pauk. Alokasi anggaran gaji dan pensiun ditetapkankan naik dari Rp33,3 triliun atau 2,3 persen terhadap PDB dalam tahun 2001 menjadi Rp34,0 triliun atau 2,0 persen terhadap PDB dalam tahun 2002. Ada dua faktor penyebab naiknya anggaran gaji dan pensiun dalam tahun anggaran 2002. Pertama,adanya rencana penyesuaian tunjangan bagi beberapa jabatan fungsional tertentu yang selama beberapa tahun terakhir belum pernah mengalami kenaikan. Kedua, diperlukannya anggaran untuk menampung kenaikan pangkat/golongan, dan kenaikan gaji berkala (acress). Sementara itu, pagu anggaran uang makan dan lauk pauk direncanakan naik dari Rp2,1 triliun atau 0,1 persen dari PDB pada tahun 2001 menjadi Rp2,8 triliun atau 0,2 persen dari PDB pada tahun 2002 karena adanya rencana kenaikan uang makan dan lauk pauk bagi anggota TNI dan Polri sebesar Rp2.500 per orang per hari. Dalam pada itu, komponen belanja pegawai lainnya, seperti tunjangan beras, lainlain belanja pegawai dalam negeri serta belanja pegawai luar negeri hampir tidak mengalami perubahan dari beban tahun sebelumnya, yaitu masing-masing sekitar 0,1 persen terhadap PDB.
Departemen Keuangan RI
. Pengurangan beban bunga utang luar negeri dilakukan antara lain dengan membatasi pinjaman baru.
Belanja pegawai pusat naik sekitar 4,6 persen dari beban tahun sebelumnya, karena adanya rencana penyesuaian beberapa jenis tunjangan fungsional tertentu yang selama ini belum pernah dinaikkan.
Alokasi anggaran untuk belanja barang tahun 2002 secara nominal naik sekitar 34,4 persen dari tahun 2001.
52
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Seperti halnya pada belanja pegawai, anggaran yang dialokasikan untuk belanja barang secara nominal naik sekitar 34,4 persen, dari Rp9,6 triliun atau 0,7 persen dari PDB dalam APBN-P tahun anggaran 2001 menjadi Rp12,9 triliun atau 0,8 persen dari PDB pada tahun 2002. Anggaran tersebut diperlukan untuk mendukung lancarnya kegiatan operasional pemerintahan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, serta menunjang tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat. Anggaran belanja barang dalam negeri akan dialokasikan antara lain untuk pengadaan sarana kerja, biaya langganan daya dan jasa, biaya perjalanan dinas pada seluruh departemen/LPND, serta memenuhi biaya pemeliharaan berbagai aset negara dan hasil pembangunan. Sedangkan anggaran belanja barang luar negeri akan digunakan terutama untuk mendukung kegiatan operasional kantorkantor perwakilan pemerintah di berbagai negara sahabat.
Alokasi anggaran untuk pengeluaran rutin lainnya tahun 2002 sekitar 0,6 persen terhadap PDB.
Di lain pihak alokasi anggaran untuk pengeluaran rutin lainnya dalam tahun 2002 diperkirakan mencapai sekitar 0,6 persen terhadap PDB. Alokasi anggaran pengeluaran rutin lainnya tersebut antara lain direncanakan untuk pengembalian dana reboisasi, pembayaran jasa surveyor, bantuan untuk partai politik dan biaya sidang tahunan MPRRI, pembayaran tunggakan dan klaim pihak ketiga, biaya perawatan beras Bulog, serta bantuan kepada KONI. Di luar pos-pos tersebut, pengeluaran rutin lainnya juga menampung dana cadangan tanggap darurat yang akan digunakan antara lain untuk penanggulangan masalah pengungsi, bencana alam, serta mengantisipasi terjadinya ketidaksesuaian rencana tindak (policy measures) dengan implementasinya. Pengeluaran Pembangunan Dalam tahun anggaran 2002 pengeluaran pembangunan yang dikelola pemerintah pusat ditetapkan Rp52,3 triliun atau sekitar 3,1 persen terhadap PDB. Jumlah ini secara nominal naik sekitar 32,7 persen dari perkiraan realisasi anggaran belanja pembangunan pemerintah pusat dalam tahun anggaran 2001.
Sesuai dengan semangat otonomi daerah, pengeluaran pembangunan pemerintah pusat digunakan terutama untuk membiayai tugas dan kewenangan pemerintah pusat yang meliputi bidang agama, Departemen Keuangan RI
Pengeluaran pembangunan tahun anggaran 2002 ditetapkan sekitar 3,1 persen dari PDB, secara nominal naik sekitar 32,7 persen.
53
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
hukum, aparatur negara, keuangan, politik dan hubungan luar negeri, serta pertahanan dan keamanan. Di samping itu, anggaran tersebut juga dialokasikan untuk pemerataan pembangunan antardaerah melalui pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, khususnya dalam penyediaan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat. Dalam tahun anggaran 2002, prioritas alokasi pengeluaran pembangunan pemerintah pusat akan lebih diarahkan terutama untuk mendukung upaya penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta penyediaan pelayanan kebutuhan dasar manusia yang lebih baik danmerata. Penciptaan lapangan kerja dan penurunan tingkat kemiskinan pada dasarnya sangat tergantung pada pemulihan ekonomi yang dicerminkan oleh meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, intervensi langsung melalui anggaran pemerintah, sekalipun terbatas masih sangat dibutuhkan. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah dengan mengefektifkan alokasi dana yang tersedia untuk mendorong kegiatan penciptaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan, serta mendorong kegiatan usaha produktif masyarakat. Dalam kaitan ini, fokus pengeluaran pembangunan akan lebih diarahkan pada sektor : 1. Pertanian, kehutanan, dan perikanan, yang lebih diarahkan pada (i)pemberdayaan petani dan masyarakat perdesaan dengan memberikan bantuan modal untuk penyediaan bibit, pupuk dan obat-obatan, pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan pemasaran, serta perbaikan pelayanan penyuluhan dan informasi; (ii)mendukung peningkatan ketahanan pangan dan perbaikan gizi, pengembangan peternakan dalam rangka peningkatan gizi, pengembangan perkebunan rakyat yang berorientasi ekspor, serta pembangunan perikanan dan kelautan dalam rangka meningkatkan potensi ekonomi di dalamnya, dan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil, dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
Prioritas alokasi belanja pembangunan akan diarahkan pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas SDM, serta penyediaan pelayanan kebutuhan dasar.
Pembangunan pertanian diarahkan pada peningkatan ketahanan pangan dan perbaikan gizi, pengembangan perkebunan rakyat yang berorientasi ekspor, serta pembangunan perikanan dan kelautan.
Sasaran utama pembangunan pengairan adalah mempertahankan tingkat pelayanan prasarana.
2. Pengairan, untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana yang telah dibangun melalui kegiatan pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi/rawa primer, sekunder dan waduk, pengembangan Departemen Keuangan RI
54
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
jaringan irigasi primer dan sekunder, prasarana pengendalian banjir dan pengamanan pantai, serta pengelolaan sumber-sumber air. 3. Perhubungan, dengan arah kegiatan pemeliharaan, pembangunan, dan pengembangan aksesibilitas, serta pelayanan jaringan perhubungandalam rangka meningkatkan mobilitas barang dan orang. 4. Keuangan dan koperasi, dalam rangka pengembangan usaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi, melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, peningkatan akses kepada sumber daya produktif, serta pengembangan kewirausahaan dan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi (PKMK) berkeunggulan kompetitif. Program utama bidang pendidikan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah mempercepat penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajar Dikdas), dengan sasaran untuk tahun anggaran 2002 antara lain tercapainya angka partisipasi kasar (APK) SD-MI mencapai 118,6 persen, dan SLTP-MTs 74,3 persen. Pada dasarnya ada dua prasyarat pokok untuk mencapai sasaran dimaksud, yaitu (i)peningkatan daya tampung sekolah, dan (ii) penyediaan bantuan biaya pendidikan kepada peserta didik, terutama yang kurang mampu. Daya tampung sekolah akan diupayakan melalui pembangunan unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB) secara realistis di daerah-daerah dimana masih banyak anak usia 7-15 tahun yang belum tertampung di sekolah (SD, MI, SLTP, dan MTs) yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana belajar seraya meningkatkan mutu pendidikan. Sementara bantuan biaya pendidikan akan diupayakan dengan pengalokasian anggaran pembangunan untuk (a) melanjutkan program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, termasuk upaya beasiswa untuk menarik anak usia jenjang pendidikan dasar yang masih berada di luar sistem sekolah akibat faktor kemiskinan, dan (b) memberikan dana perbantuan dalam bentuk hibah (block grant) yang ditujukan untuk peningkatan mutu pendidikan jenjang pendidikan dasar dan prasekolah, yang pelaksanaannya diutamakan dalam bentuk imbal swadaya.
Sasaran pembangunan perhubungan adalah meningkatkan mobilitas barang dan orang.
Sasaran pembangunan keuangan dan koperasi adalah pengembangan usaha skala mikro, kecil menengah, dan koperasi.
Program utama dalam sektor pendidikan adalah percepatan penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Pembangunan kesehatan diprioritaskan untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.
Sementara itu, di bidang kesehatan, prioritas alokasi pengeluaran
Departemen Keuangan RI
55
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
pembangunan akan ditujukan antara lain untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, terutama bagi penduduk miskin, yang didukung pula oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia kesehatan dan manajemen pembangunan kesehatan. Di bidang kesejahteraan sosial, program pokok tahun anggaran 2002 adalah meningkatkan dan memperluas pelayanan kesejahteraan sosial, terutama bagi penduduk miskin, anak terlantar, anak jalanan, lanjut usia, penyandang cacat, tuna sosial, serta korban bencana alam dan kerusuhan.
Pembangunan hankam diarahkan untuk mengatasi gangguan kamtibmas dan kamdagri oleh Polri, dan upaya menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di bidang keamanan dan penegakan hukum, alokasi pengeluaran pembangunan akan diprioritaskan terutama untuk mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), serta penanganan masalah keamanan dalam negeri (kamdagri) oleh Polri dengan didukung oleh TNI, dengan melaksanakan beberapa kegiatan seperti penyelenggaraan operasi kamtibmas, kamdagri dan penegakan hukum, pengembangan kekuatan dan kemampuan Polri, serta penyusunan/penyempurnaan peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan TNI dalam menangani masalah kamdagri. Di bidang pertahanan, prioritas alokasi pengeluaran pembangunan akan diutamakan untuk meningkatkan profesionalisme TNI dan kemampuan operasi alutsista (alat utama sistem senjata) dalam upaya mencegah disintegrasi nasional dan menjaga keutuhan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, serta membantu Polri dalam menciptakan stabilitas dalam negeri. Di bidang pembangunan hukum, alokasi pengeluaran pembangunan akan diprioritaskan terutama untuk melakukan penyempurnaan dan pembentukan peraturan perundang-undangan, peningkatan kualitas hakim dan aparat penegak hukum lainnya, penuntasan berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan pelanggaran hak azasi manusia yang hingga saat ini masih belum terselesaikan, peningkatan budaya hukum bagi masyarakat dan aparat penyelenggara negara, serta untuk mendukung prasarana dan sarana hukum yang memadai. Tabel IV.3 BELANJA NEGARA APBN 2001 dan APBN 2002 (Dalam Triliun Rupiah)
Departemen Keuangan RI
56
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Uraian
2001
2002
Penyesuaian 258,8
Perubahan 17,6
%thd PDB 272,1
%thd PDB 18,4
246,1
% thd PDB 14,6
I. Belanja Pemerintah Pusat a. Belanja Rutin
213,4
14,5
232,7
15,8
193,8
11,5
b. Belanja Pembangunan
45,4
3,1
39,4
2,7
52,3
3,1
II. Belanja Untuk Daerah
81,5
5,6
82,4
5,6
97,9
5,8
1. Dana Perimbangan
81,5
5,6
82,4
5,6
94,5
5,6
a. Dana Bagi Hasil
20,3
1,4
21,2
1,4
24,6
1,5
b. Dana Alokasi Umum
60,5
4,1
60,5
4,1
69,1
4,1
c. Dana Alokasi Khusus
0,7
0,05
0,7
0,05
0,8
0,05
-
-
-
-
3,4
0,2
a. Dana Otonomi Khusus
-
-
-
-
1,4
0,1
b.Dana Penyeimbang
-
-
-
-
2,0
0,1
340,3
23,2
354,5
24,0
344,0
20,4
2.Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang
Jumlah
APBN
Belanja untuk Daerah Anggaran belanja yang diperuntukkan bagi daerah dalam APBN 2002 berjumlah Rp97,9 triliun atau 5,8 persen terhadap PDB. Berbeda dengan tahun 2001, alokasi anggaran untuk daerah ini selain mencakup dana perimbangan juga meliputi dana otonomi khusus dan penyeimbang. Dana Perimbangan Dalam upaya mengurangi atau memperkecil kesenjangan fiskal antardaerah yang selama ini masih terjadi, dalam tahun anggaran 2002 dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan formulasi dana perimbangan. Seiring dengan meningkatnya penerimaan dalam negeri, dalam tahun 2002 transfer kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan dianggarkan Rp94,5 triliun atau meningkat 14,7 persen dari jumlah dana perimbangan tahun 2001. Namun, rasionya terhadap PDB tetap, yaitu 5,6 persen. Dana Bagi Hasil
Dana perimbangan dalam tahun 2002 secara nominal naik 14,7 persen dari alokasinya dalam tahun anggaran 2001.
Dari keseluruhan alokasi dana perimbangan, transfer dana bagi hasil dalam tahun anggaran 2002 diperkirakan mencapai Rp24,6 triliun, naik sekitar 16,2 persen dari dana bagi hasil tahun 2001, sedangkan
Departemen Keuangan RI
57
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
rasionya terhadap PDB naik menjadi 1,5 persen. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh naiknya dana bagi hasil pajak sekitar 27,0 persen, yang bersumber dari kenaikan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 dan pasal 25/29 orang pribadi 23,4 persen, pajak bumi dan bangunan (PBB) 20,6 persen, serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) 57,1 persen. Demikian pula, dana bagi hasil yang berasal dari sumber daya alam (SDA) gas alam dan pertambangan umum naik, masing-masing 26,3 persen dan 10,0 persen. Sebaliknya, alokasi dana bagi hasil bukan pajak yang berasal dari SDA minyak bumi turun 3,3 persen dari alokasinya dalam tahun 2001. Penurunan dana bagi hasil SDA ini terutama disebabkan oleh lebih rendahnya perkiraan sasaran penerimaannya sejalan dengan asumsi menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, lebih rendahnya harga minyak mentah, dan menurunnya produksi (lifting) minyak menjadi 1,320 juta barel per hari. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan PP Nomor 104 Tahun 2000, alokasi untuk daerah dari bagi hasil minyak bumi dan gas alam masing-masing ditetapkan 15 persen dan 30 persen dari penerimaannya setelah dikurangi pajak. Namun, sejalan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, besarnya alokasi dana bagi hasil dari minyak bumi dan gas alam untuk kedua propinsi tersebut masing-masing akan ditambah 55 persen dan 40 persen sehingga masing-masing mencapai 70 persen dari penerimaannya setelah dikurangi pajak. Perimbangan bagi hasil ini akan berlaku selama 8 tahun untuk propinsi NAD dan 25 tahun untuk propinsi Papua sejak tahun 2002, selanjutnya pada tahun kesembilan bagi propinsi NAD dan tahun keduapuluhenam bagi propinsi Papua perimbangan tersebut akan berubah masing-masing menjadi 50 persen dari penerimaannya setelah dikurangi pajak
Alokasi dana bagi hasil dalam tahun 2002 naik 16,2 persen dari alokasinya dalam tahun anggaran 2001, akibat naiknya bagi hasil pajak baik PPh perorangan maupun PBB dan BPHTB, serta bagi hasil SDA gas alam dan pertambangan umum.
Sesuai UU otonomi khusus untuk propinsi NAD dan Propinsi Papua, alokasi bagi hasil SDA minyak bumi dan gas alam untuk kedua propinsi tersebut dalam tahun anggaran 2002 akan ditambah masing-masing 55 persen dan 40 persen.
Dana Alokasi Umum Sesuai dengan Pasal 7 UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, besarnya dana alokasi umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen
Departemen Keuangan RI
58
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
dari penerimaan dalam negeri bersih, yaitu penerimaan dalam negeri setelah dikurangi dengan dana bagi hasil dan DAK yang bersumber dari dana reboisasi. Alokasi DAU diharapkan dapat menciptakan pemerataan berdasarkan pertimbangan bahwa potensi fiskal dan kebutuhan dari masing-masing daerah berbeda. Dengan kata lain, DAU berperan untuk mengatasi kesenjangan horisontal (horizontal imbalance) antardaerah. Berkaitan dengan itu, agar lebih mencerminkan azas keadilan dan pemerataan, dalam tahun anggaran 2002 dilakukan kaji ulang terhadap formula DAU tahun anggaran 2001, dan sekaligus mereformulasi DAU yang akan digunakan dalam perhitungan alokasi DAU dalam tahun anggaran 2002. Reformulasi tersebut dilakukan mengingat dalam pelaksanaan alokasi DAU dalam tahun anggaran 2001 ditemukan beberapa kelemahan yang menyangkut masalah keadilan horisontal dalam alokasi DAU antardaerah, utamanya bagi daerah-daerah yang mempunyai karakteristik hampir sama.
Alokasi DAU dalam tahun anggaran 2002 dianggarkan 25 persen dari penerimaan dalam negeri bersih.
Alokasi DAU diharapkan mampu berperan untuk mengatasi kesenjangan horisontal antardaerah.
Perubahan yang mendasar dari konsep formulasi DAU dalam tahun anggaran 2002 dibandingkan dengan formulasi DAU dalam tahun anggaran 2001 adalah penyempurnaan beberapa variabel, baik variabel kebutuhan fiskal daerah (fiscal needs) maupun variabel potensi fiskal daerah (fiscal capacity), dan model perhitungan dari formulasi DAU yang ada dalam PP Nomor 104 Tahun 2000, dengan tidak menyimpang dari ketentuan yang ada dalam UU Nomor 25 Tahun 1999. Variabel kebutuhan fiskal daerah meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, kepadatan penduduk, indeks harga bangunan, dan kesenjangan kemiskinan (poverty gap). Sedangkan variabel potensi fiskal daerah meliputi PDRB industri dan jasa, serta bagi hasil SDA, PBB dan BPHTB, dan PPh orang pribadi.
Formulasi DAU dalam tahun anggaran 2002 merupakan penyempurnaan atas variabel kebutuhan fiskal daerah dan variabel potensi fiskal daerah, serta model perhitungan yang ada dalam PP Nomor 104 Tahun 2000.
Berdasarkan perkiraan sasaran penerimaan dalam negeri dalam tahun anggaran 2002 sebesar Rp301,9 triliun, dan dana bagi hasil, serta dana reboisasi yang ada dalam dana alokasi khusus sebesar Rp25,4 triliun, maka besarnya DAU yang akan ditransfer ke daerah dalam tahun anggaran 2002 direncanakan mencapai Rp69,1 triliun atau 73,1 persen dari total dana perimbangan. Jumlah ini secara nominal naik 14,2 persen dari total DAU tahun 2001, sedangkan rasionya terhadap PDB tetap, yaitu 4,1 persen. Dari jumlah tersebut, pemerintah propinsi
Dana alokasi umum tahun 2002 secara nominal naik 14,2 persen dari alokasi tahun sebelumnya.
Departemen Keuangan RI
59
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
akanmemperoleh bagian 10 persen yang mencapai Rp6,9 triliun (0,4 persen terhadap PDB), sedangkan pemerintah kabupaten/kota akanmendapatkan alokasi 90 persen yang mencapai Rp62,2 triliun (3,7persen terhadap PDB). DAU bagian pemerintah propinsi tersebut naiksekitar 13,1 persen dari alokasi DAU propinsi tahun 2001, sedangkan alokasi DAU kabupaten/kota mengalami peningkatan 14,3 persen dari tahun2001. Dana Alokasi Khusus Dana alokasi khusus (DAK) disediakan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus. Ada tiga kriteria dari kebutuhan khusus seperti ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertama, kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus dana alokasi umum. Kedua, kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Ketiga, kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Dengan demikian DAK pada dasarnya merupakan transfer yang bersifat spesifik untuk tujuan-tujuan yang sudah digariskan (spesific grant).
DAK merupakan transfer yang bersifat spesifik, yang diberikan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus.
Dalam tahun anggaran 2002, besarnya DAK dianggarkan Rp0,8 triliun atau 0,05 persen terhadap PDB, naik 14,3 persen dari alokasi DAK dalam tahun anggaran 2001, yang seluruhnya akan digunakan untuk membiayai kegiatan reboisasi. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang Dalam tahun anggaran 2002, selain dalam bentuk dana perimbangan, dana yang dialokasikan ke daerah juga dalam bentuk dana otonomi khusus dan dana penyeimbang. Dana otonomi khusus disediakan khusus untuk Propinsi Papua, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yaitu sebesar 2 persen dari jumlah dana alokasi umum (DAU). Sementara itu, dana penyeimbang disediakan agar DAU yang diterima daerah dalam tahun anggaran 2002 tidak lebih kecil dari DAU yang diterima dalam tahun anggaran 2001 ditambah dengan dana kontinjensi. Adapun besarnya dana otonomi khusus adalah Rp1,4 triliun, sedangkan dana penyeimbang adalah Rp2,0 triliun, dengan rincian Rp1,2 triliun untuk propinsi dan sisanya Rp0,8 triliun untuk kabupaten/kota.
Departemen Keuangan RI
Dalam tahun anggaran 2002, DAK dianggarkan Rp0,8 triliun.
Dana otonomi khusus disediakan khusus untuk Propinsi Papua, sedang-kan dana penyeimbang disediakan agar tidak ada daerah yang menerima DAU 2002 lebih kecil dari DAU 2001 ditambah dana kontinjensi.
60
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Keseimbangan Umum dan Defisit APBN Dalam rangka memelihara momentum dan kesinambungan proses pemulihan ekonomi yang tengah berlangsung, akan terus dilakukan langkah-langkah peningkatan pendapatan negara dan pengendalian belanja negara. Upaya-upaya tersebut akan direfleksikan dalam defisit APBN 2002 yang diperkirakan mencapai 2,5 persen terhadap PDB, yang berarti lebih kecil bila dibandingkan dengan defisit tahun anggaran 2001 yang mencapai sekitar 3,7 persen terhadap PDB. Defisit tersebut terjadi atas dasar perkiraan pendapatan negara dan hibah yang dapat dihimpun dalam APBN tahun anggaran 2002 mencapai Rp301,9 triliun (sekitar 17,9 persen terhadap PDB), sedangkan belanja negara sebesar Rp344,0 triliun (20,4 persen terhadap PDB).
Defisit APBN 2002 diperkirakan mencapai 2,5 persen terhadap PDB.
Pembiayaan Defisit Anggaran Dalam tahun anggaran 2002 sisi pembiayaan anggaran menghadapi tantangan yang makin berat. Apabila pemerintah tidak mengambil langkah kebijakan, maka pembiayaan luar negeri bersih dalam tahun 2002 diperkirakan akan negatif yang berarti total penarikan pinjaman luar negeri, tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pembiayaan bagi pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. Pembiayaan luar negeri bersih yang negatif masih tetap tidak terelakkan, meskipun pada tahun 2002 pemerintah masih akan memperoleh penjadwalan kembali (rescheduling) utang luar negeri melalui forum Paris Club II atas kewajiban tahun 2002 sekitar US$0,7 miliar. Pembiayaan luar negeri bersih yang negatif ini akan mengurangi kemampuan pembiayaan luar negeri untuk menutup defisit anggaran. Agar negatif pembiayaan tidak terjadi, maka sebagai konsekuensinya pemerintah harus mengambil langkah dengan mencari pinjaman baru dan atau mengupayakan untuk melakukan rescheduling terhadap utang yang jatuh tempo. Di samping itu, sebagai konsekuensinya, pembiayaan anggaran yang bersumber dari dalam negeri, yaitu dari privatisasi dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan akan diupayakan secara optimal. Pada tahun anggaran 2002 pemerintah juga merencanakan akan menerbitkan obligasi negara baru untuk menutup kebutuhan pembiayaan APBN.
Departemen Keuangan RI
Pembiayaan dari luar negeri tahun anggaran 2002 digunakan untuk melengkapi sumbersumber dalam negeri.
61
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Penerbitan obligasi baru tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong perkembangan pasar obligasi negara di masa datang. Program privatisasi akan tetap dilanjutkan dalam tahun anggaran 2002 antara lain dengan mengembangkan berbagai metode privatisasi seperti penjualan strategis (strategic sales) dan penawaran saham perdana (initial public offering). Optimalisasi pelaksanaan privatisasi akan didukung oleh langkah-langkah (a) peningkatan sosialisasi program privatisasi, (b) peningkatan koordinasi dengan departemen/instansi terkait, dan (c) mempelajari kemungkinan penerapan berbagai alternatif metode privatisasi. Beberapa BUMN yang direncanakan akan diprivatisasi dalam tahun anggaran 2002 antara lain PT Angkasa Pura I, PT Atmindo, PT Cambrics Primissima, PT Cipta Niaga, PT Danareksa, PT Industri Gelas, PT Intirub, PT Perkebunan Nusantara VIII, dan PT Tambang Timah Tbk. Dari privatisasi yang akan dilakukan terhadap berbagai BUMN tersebut, diharapkan akan diperoleh dana tunai sebesar Rp6,5 triliun (0,4 persen terhadap PDB). Dari jumlah tersebut sebagian diantaranya akan digunakan untuk menutupi defisit pembiayaan anggaran sekitar Rp3,9 triliun. Sedangkan Rp2,6 triliun akan digunakan untuk membeli kembali obligasi pemerintah, dalam rangka mengurangi volume utang dalam negeri pemerintah. Sementara itu, pembiayaan dalam negeri yang bersumber dari penjualan aset program restrukturisasi perbankan diupayakan dapat memberikan kontribusi dalam bentuk tunai sebesar Rp35,3 triliun. Dari hasil penjualan aset dalam bentuk tunai tersebut, Rp19,5 triliun (1,2 persen terhadap PDB) diantaranya digunakan untuk pembiayaan defisit anggaran dalam tahun anggaran 2002, sedangkan sisanya sebesar Rp15,8 triliun akan digunakan untuk membeli kembali obligasi pemerintah. Dana tersebut diharapkan akan diperoleh dari unit-unit penerimaan yang ada di BPPN yang meliputi (i)asset management investment (AMI) sebagai hasil dari setoran debitur dan hasil penyelesaian aktiva eks bank, asset management credit (AMC) yang merupakan hasil setoran pemegang saham, dan (ii) bank restructuring unit (BRU) sebagai hasil dari penyelesaian penyertaan di bank. Agar diperoleh hasil yang optimal, penjualan atas aset-aset akan diprioritaskan pada aset-aset yang sangat diminati oleh pasar dan tidak memiliki masalahhukum di belakangnya. Di samping itu, perkembangan dan kecenderungan pasar dari industri aset yang akan dijual tersebut
Departemen Keuangan RI
Privatisasi BUMN tetap dilanjutkan namun dilaksanakan secara selektif.
Kontribusi penjualan aset program restrukturisasi perbankan dalam pembiayaan defisit diperkirakan mencapai Rp19,5 triliun.
62
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
akan selalu dimonitor dalam rangka menentukan waktu penjualan yang paling tepat. Pada tahun anggaran 2002 BPPN juga diharapkan dapat merestrukturisasi aset perbankan yang akan ditukar dengan obligasi rekap melalui program asset bond swap. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi utang pemerintah, yang pada gilirannya akan mengurangi beban utang dalam negeri di masa mendatang. Untuk tahun anggaran 2002 direncanakan akandilakukan pertukaran aset dengan obligasi sebesar Rp7,5 triliun. Disamping dimaksudkan untuk mengurangi beban bunga dan pokok obligasi yang timbul akibat rekapitalisasi, pertukaran aset ini juga diharapkan dapat mempercepat proses pengalihan aset kembali ke sistem perbankan sehingga yield aset-aset produktif dan nilai investasi di bank menjadi lebih meningkat. Sementara itu, dalam tahun anggaran 2002, obligasi pemerintah seri VR-0001 untuk program rekapitalisasi perbankan akan jatuh tempo padabulan Juli 2002 yang jumlahnya mencapai Rp3,9 triliun. Untuk membeli kembali obligasi tersebut dalam tahun anggaran 2002 pemerintah akan menerbitkan obligasi baru dengan terms and conditions yang berbeda, yang sekaligus dimaksudkan untuk merangsang pasar sekunder obligasi negara sehingga dalam jangka panjang diharapkan obligasidapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan dan sebagai alat pengaturan kas pemerintah (cash management purposes) serta mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan yang berasal dari luar negeri.
Pada tahun anggaran 2002 masih diperlukan penjadwalan kembali pembayaran pokok utang luar negeri.
Peranan pembiayaan defisit yang berasal dari luar negeri dalam tahun anggaran 2002 diperkirakan akan sangat terbatas, mengingat tingginya kekurangpastian sumber pembiayaan. Dalam tahun anggaran 2002 jumlah pencairan pinjaman proyek diperkirakan mencapai Rp25,8 triliun. Pembiayaan dalam bentuk pinjaman proyek tersebut sebagian besar akan berasal dari Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) dan Jepang (Japan Bank for International Cooperation). Sementara itu, kewajiban pembayaran pokok atas pinjaman yang jatuh tempo pada tahun 2002 diperkirakan mencapai Rp43,9 triliun. Jumlah tersebut telah memperhitungkan penundaan cicilan pokok utang luar negeri yang jatuh tempo pada bulan Januari sampai dengan Maret 2002 sesuai dengan Paris Club II, sebesar US$0,7 miliar. Mengacu pada kondisi tersebut dalam tahun anggaran 2002 masih akan diupayakan pinjaman program melalui forum Consultative
Departemen Keuangan RI
63
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Group on Indonesia dan penjadualan kembali pembayaran pokok utang luar negeri melalui forum Paris Club III. Dari upaya tersebut diharapkan akan diperoleh pembiayaan luar negeri sebesar Rp36,7 triliun. Secara keseluruhan pembiayaan luar negeri bersih dalam tahun anggaran 2002 diperkirakan sebesar Rp18,6 triliun (1,1 persen terhadap PDB). Tabel IV.4 PEMBIAYAAN DEFISIT APBN 2001 dan APBN 2002 (Dalam Triliun Rupiah) Uraian
2001
I. Pembiayaan Dalam Negeri 1. Perbankan Dalam Negeri
Penyesuaian 34,4 -
% thd PDB Perubahan 2,3 44,2 7,6
% PDB 3,0 0,5
34,4
2,3
36,6
19,9
1,4
1. Pinjaman Proyek
23,8
2.Pembayaran Pokok Utang Luar Negeri (Amortisasi) 3.Pinjaman Program dan Penundaan Cicilan Utang
2. Nonperbankan Dalam Negeri II. Pembiayaan Luar Negeri
Jumlah
2002 thd
APBN 23,5 -
% thd PDB 1,4 -
2,5
23,5
1,4
10,5
0,7
18,6
1,1
1,6
19,7
1,3
25,8
1,5
(20,2)
(1,4)
(19,8)
(1,3)
(43,9)
(2,6)
16,3
1,1
10,6
0,7
36,7
2,2
54,3
3,7
54,7
3,7
42,1
2,5
*) Termasuk penundaan cicilan utang Paris Club II sekitar US$0,7 miliar.
Departemen Keuangan RI
64
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Lampiran 1 RINCIAN PENERIMAAN PERPAJAKAN, APBN 2001, DAN APBN 2002 (Dalam Miliar Rupiah) Uraian (1) A. Pajak Dalam Negeri I. Pajak Penghasilan (PPh) 1. PPh Migas a. PPh Minyak Bumi b. PPh Gas Alam 2. PPh Nonmigas a. PPh Pasal 21 b. PPh Pasal 22 b.1. PPh Pasal 22 Nonimpor b.2. PPh Pasal 22 Impor c. PPh Pasal 23 d. PPh Pasal 25/29 d.1. PPh Pasal 25/29 Pribadi d.2. PPh Pasal 25/29 Badan e. PPh Pasal 26 f. PPh Final dan Fiskal Luar Negeri
APBN 2001 Perubahan (2)
APBN 2002
% ∆ thd. APBN-P
(3)
(4)
174.188,8 207.028,9
18,9
92.767,2 104.497,2
12,6
23.071,0 8.546,4 14.524,6 69.696,2 15.747,0 5.992,0 1.197,8 4.794,3 5.125,3 29.579,8 679,3 28.900,5 1.598,1 11.654,0 55.840,8
15.681,9 4.967,1 10.714,8 88.815,3 19.451,7 7.962,5 1.995,1 5.967,4 14.981,8 30.570,5 903,4 29.667,1 2.128,1 13.720,7 70.099,8
- 32,0 - 41,9 - 26,2 27,4 23,5 32,9 66,6 24,5 192,3 3,3 33,0 2,7 33,2 17,7 25,5
6.289,4
8.129,2
29,3
4.800,0 1.489,4 17.621,9
5.924,2 2.205,0 22.352,9
23,4 48,0 26,8
1.669,5
1.949,7
16,8
10.547,8
12.598,6
19,4
9.827,6
12.249,0
24,6
720,2
349,6
- 51,5
184.736,6 219.627,5
18,9
II. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM) III. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 1. PBB 2. BPHTB IV. Cukai V. Pajak Lainnya B. Pajak Perdagangan Internasional I. Bea Masuk II. Pajak/pungutan Ekspor
JUMLAH
Departemen Keuangan RI
65
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Lampiran 2 RINCIAN PENERIMAAN BUKAN PAJAK, APBN 2001, DAN APBN 2002 (Dalam Miliar Rupiah) Uraian (1) A. Penerimaan SDA 1. Minyak Bumi 2. Gas Alam 3. Pertambangan Umum i. Iuran tetap ii. Iuran Eksplorasi dan ekspoloitasi (Royalti) 4. Kehutanan i. Iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) ii. Provisi sumber daya hutan (PSDH) iii.Dana reboisasi 5. Perikanan
APBN2001 Perubahan
APBN 2002
% ∆ thd. APBN-P
(2)
(3)
(4)
86.658,3
63.195,4
- 27,1
60.037,7 21.847,0 1.627,1 19,4 1.607,7 3.000,6 48,1 1.201,1 1.751,4 145,9 10.439,9
44.013,3 14.524,3 1.340,0 46,7 1.293,3 3.026,0 60,3 922,5 2.043,2 291,8 10.351,4
- 26,7 - 33,5 - 17,6 140,7 - 19,6 0,8 25,4 - 23,2 16,7 100,0 - 0,8
18.006,8 258,6 596,0 246,1 2.470,6 22,4 6.046,1 9.043,7 - 676,6
8.700,0 173,4 1.505,2 877,9 1.971,3 20,0 4.100,2 52,0 0,0
- 51,7 - 32,9 152,6 256,7 - 20,2 - 10,6 - 32,2 - 99,4 - 100,0
115.105,0
82.246,8
- 28,5
B. Bagian Laba BUMN C. PNBP lainnya 1. Rutin Luar Negeri 2. Penerimaan Pendidikan 3. Penerimaan Penjualan 4. Penerimaan Sewa dan Jasa 5. Penerimaan Kejaksaaan dan Peradilan 6. Penerimaan Kembali Pinjaman 7. Penerimaan Lain-lain 8. Pengembalian PNBP Lainnya JUMLAH
Departemen Keuangan RI
66
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Lampiran 3 PENERIMAAN DAN PENGELUARAN REKENING DANA INVESTASI (RDI), APBN 2001, DAN APBN 2002 (Dalam Miliar Rupiah) Uraian
APBN 2001 Perubahan
APBN 2002
(2) 7.291,6
(3) 6.333,1
(4) - 13,1
766,6
1.482,1
93,3
a. Pokok
431,9
1.148,0
165,8
b. Bunga
333,6
333,1
- 0,1
1,1
1,0
-11,8
159,4
89,3
- 44,0
a. Pokok
22,3
41,8
88,1
b. Bunga
117,5
47,1
-59,9
19,6
0,4
-98,1
250,0
-
-100,0
6.115,6
4.709,7
-22,1
a. Pokok
4.026,9
2.091,4
-48,1
b. Bunga
2.074,0
2.660,3
28,3
14,7
10,0
-32,0
1.245,5 1.173,7
2.232,9 2.143,6
79,3 82,6
1.081,7
2.048,8
89,4
92,0
94,8
3,0
71,8
89,3
24,4
6.046,1*) 4.100,2
-32,2
(1) A. Penerimaan I. Penerimaan Pinjaman RDI
c. Biaya Komitmen/denda II. Penerimaan Pinjaman Rekening Pemerintah Daerah (RPD)
c. Biaya Komitmen/denda III.Penarikan Tunggakan Pinjaman Daerah Melalui Pemotongan DAU IV.Penerimaan Pinjaman Subsidiary Loan Agreement (SLA)
c. Biaya Komitmen/denda
% D thd. APBN-P
B. Pengeluaran I.Pengeluaran RDI a. Pemberian/pencairan Pinjaman RDI b. Pencairan Jasa Bank SLA II.Pengeluaran RPD Surplus disetor ke APBN
*) Termasuk tambahan dari penarikan atas tunggakan pinjaman daerah melalui pemotongan DAU sebesar Rp250,0 miliar.
Departemen Keuangan RI
67
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Lampiran 4 PENGELUARAN RUTIN BERDASARKAN SEKTOR DAN SUBSEKTOR, APBN 2001 DAN APBN 2002 (Dalam Miliar Rupiah)
Nomor Kode
Uraian
(1)
(2)
APBN APBN 2002 % D Thd. 2001*) APBN-P Perubahan (3)
(4)
22,4
(5)
01
Sektor Industri
24,5
9,4
01.1
Subsektor Industri
02
Sektor Pertanian, Kehutanan, Kelautan, dan Perikanan
22,4
24,5
9,4
773,3
849,1
9,8
02.1
Subsektor Pertanian
315,4
321,2
1,8
02.2
Subsektor Kehutanan
424,4
499,0
17,6
02.3
Subsektor Kelautan dan Perikanan
33,5
28,9
- 13,7
03
Sektor Pengairan
28,4
29,6
4,2
03.1
Subsektor Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan
27,6
28,7
4,0
03.2
Subsektor Pengembangan dan Pengelolaan Sumber-sumber Air
0,8
0,9
12,5
04
Sektor Tenaga Kerja
125,8
153,5
22,0
04.1
Subsektor Tenaga Kerja
05 05.1
Sektor Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasional, Keuangan, dan Koperasi Subsektor Perdagangan Dalam Negeri
05.2
Subsektor Perdagangan Luar Negeri
05.3
Subsektor Pengembangan Usaha Nasional
05.4
Subsektor Keuangan
05.5
Subsektor Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
06
Sektor Transportasi, Meteorologi dan Geofisika
06.1 06.2
125,8
153,5
22,0
199.379,8
158.585,8
- 20,5
8,4
9,4
11,9
70,6
77,3
9,5
-
-
-
199.260,1
158.455,4
- 20,5
40,7
43,7
7,4
403,2
435,2
7,9
Subsektor Prasarana Jalan
18,2
19,1
4,9
Subsektor Transportasi Darat
38,8
41,7
7,5
06.3
Subsektor Transportasi Laut
198,6
214,4
8,0
06.4
Subsektor Transportasi Udara
73,9
79,9
8,1
06.5
Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan
73,7
80,1
8,7
07
Sektor Pertambangan dan Energi
345,2
323,0
- 6,4
07.1
Subsektor Pertambangan
335,3
309,2
- 7,8
07.2
Subsektor Energi
08
Sektor Pariwisata, Pos, Telekomunikasi, dan Informatika
08.1 08.2
9,9
13,8
39,4
103,2
130,4
26,4
Subsektor Pariwisata
42,2
62,2
47,4
Subsektor Pos, Telekomunikasi dan Informatika
61,0
68,2
11,8
09
Sektor Pembangunan Daerah
61,4
51,9
- 15,5
09.1
Subsektor Otonomi Daerah
46,3
49,4
6,7
09.2 10
Subsektor Pengembangan Wilayah dan Pemberdayaan Masyarakat Sektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, dan Tata Ruang
15,1 482,9
2,5 492,2
- 83,4 1,9
10.1
Subsektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
10.2
Subsektor Tata Ruang dan Pertanahan
11 11.1
12,5
13,1
4,8
470,4
479,1
1,8
Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Pemuda dan Olah Raga
4.425,1
4.561,9
3,1
Subsektor Pendidikan
3.907,5
4.004,6
2,5
Departemen Keuangan RI
68
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
11.2
Subsektor Pendidikan Luar Sekolah
11.3
Subsektor Kebudayaan Nasional
410,9
434,0
5,6
91,4
94,6
3,5
11.4
Subsektor Pemuda dan Olah Raga
12
Sektor Kependudukan dan Keluarga
15,3
28,7
87,6
665,3
692,6
4,1
12.1
Subsektor Kependudukan dan Keluarga
665,3
692,6
4,1
13
Sektor Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan
622,2
333,4
- 46,4
13.1
Subsektor Kesejahteraan Sosial
28,2
63,5
125,2
13.2
Subsektor Kesehatan
594,0
269,9
- 54,6
13.3
Subsektor Pemberdayaan Perempuan
-
-
-
14
Sektor Perumahan dan Permukiman
45,6
47,7
4,5
14.1
Subsektor Perumahan
0,03
0,1
232,3
14.2
Subsektor Permukiman
15
Sektor Agama
15.1
Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama
15.2
Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama
16
Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
16.1
Subsektor Pelayanan dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
16.2
Subsektor Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
16.3 16.4
Subsektor Kelembagaan, Prasarana, dan Sarana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Subsektor Statistik
165,2
173,7
5,1
17
Sektor Hukum
1.343,9
1.533,6
14,1
17.1
Subsektor Pembinaan Hukum Nasional
1.174,6
1.330,3
13,3
17.2
Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum
169,3
203,3
20,1
18
Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan
5.429,2
5.559,8
2,4
18.1
Subsektor Aparatur Negara
5.055,3
5.145,6
1,8
18.2
Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan
373,9
414,2
10,8
19
1.654,3
2.523,8
52,6
19.1
Sektor Politik Dalam Negeri, Hubungan Luar Negeri, Informasi, dan Komunikasi Subsektor Politik Dalam Negeri
71,0
94,1
32,5
19.2
Subsektor Hubungan Luar Negeri
1.541,6
2.391,3
55,1
19.3
Subsektor Informasi dan Komunikasi
20
Sektor Pertahanan dan Keamanan
20.1 20.2
45,6
47,6
4,4
1.759,2
1.392,2
- 20,9
385,7
272,0
- 29,5
1.373,5
1.120,2
- 18,4
594,4
646,8
8,8
2,3
2,6
13,0
370,0
446,8
20,8
56,9
23,7
- 58,3
41,7
38,4
- 7,9
14.531,3
15.373,9
5,8
Subsektor Pertahanan
9.243,8
9.874,8
6,8
Subsektor Keamanan
5.287,5
5.499,1
4,0
232.796,1
193.740,9
- 16,8
JUMLAH
Departemen Keuangan RI
69
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Lampiran 5 PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SEKTOR DAN SUBSEKTOR, APBN 2001, DAN APBN 2002 (Dalam Miliar Rupiah) Nomor Kode
Uraian
APBN 2001*) Perubahan
(2)
(3)
(4)
749,9
1.813,1 141,8
749,9
1.813,1 141,8
(1)
APBN 2002
%D Thd. APBN -P (5)
01
Sektor Industri
01.1
Subsektor Industri
02
Sektor Pertanian, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan
2.479,7
3.708,6
49,6
02.1
Subsektor Pertanian
1.703,6
2.564,2
50,5
02.2
Subsektor Kehutanan
126,2
191,5
51,7
02.3
Subsektor Kelautan dan Perikanan
952,9
46,6
03
Sektor Pengairan
4.268,7
3.712,5 - 13,0
03.1
Subsektor Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan
2.135,8
1.989,8 - 6,8
03.2
Subsektor Pengembangan dan Pengelolaan Sumber-sumber Air
2.132,9
1.722,7
04
Sektor Tenaga Kerja
128,4
167,6
19,2 30,5
04.1
Subsektor Tenaga Kerja
05 05.1
Sektor Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasional, Keuangan, dan Koperasi Subsektor Perdagangan Dalam Negeri
05.2
Subsektor Perdagangan Luar Negeri
70,5
05.3
Subsektor Pengembangan Usaha Nasional
26,7
05.4
Subsektor Keuangan
05.5
Subsektor Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
06
Sektor Transportasi, Meteorologi dan Geofisika
3.218,6
06.1
Subsektor Prasarana Jalan
1.933,7
142, 6 4.116,1 112,9
06.2
Subsektor Transportasi Darat
293,5
1.169,3 298,4
06.3
Subsektor Transportasi Laut
154,2
913,2
06.4
Subsektor Transportasi Udara
820,7
1.379,5
06.5
Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan
07
Sektor Pertambangan dan Energi
07.1
Subsektor Pertambangan
07.2
Subsektor Energi
08
Sektor Pariwisata, Pos, Telekomunikasi dan Informatika
08.1
Subsektor Pariwisata
08.2
Subsektor Pos, Telekomunikasi dan Informatika
09
Sektor Pembangunan Daerah
09.1
Subsektor Otonomi Daerah
09.2
Subsektor Pengembangan Wilayah dan Pemberdayaan Masyarakat
1.617,5
10
Sektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, dan Tata Ruang
464,2
652,7
40,6
10.1
Subsektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
380,9
474,0
24,4
10.2
Subsektor Tata Ruang dan Pertanahan
Departemen Keuangan RI
649,9
128,4
167,6
30,5
5.591,2
921,0
28,4
52,6
83,5 85,2
150,5 113,5 49,9
86,9
5.287,6
52,0 - 99,0
178,0
616,0 246,1
16,5 2.410,5
7.809,8
492, 2 68,1
231,7 1.304 ,2 3.778,1 56,7
38,2
41,1
7,6
2.372,3
3.737,0
57,5
748,9 73,4
1.685,9 125,1 102,4
39,5
675,5
1.583,5 134,4
1.617,5
3.648,9 125,6
-
83,3
72,7
-
3.576,2 121,1
178,7 114,5
70
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
11
Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Pemuda dan Olah Raga
9.186,7
11.307,5
23,1
11.1
Subsektor Pendidikan
8.845,3
10.813,7
22,3
11.2
Subsektor Pendidikan Luar Sekolah
269,6
343,5
27,4
11.3
Subsektor Kebudayaan Nasional
39,7
59,1
48,9
11.4
Subsektor Pemuda dan Olah Raga
12
Sektor Kependudukan dan Keluarga
257,7
325,6
26,3
12.1
Subsektor Kependudukan dan Keluarga
257,7
325,6
26,3
13
Sektor Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan
3.940,8
4.907,8
24,5
13.1
Subsektor Kesejahteraan Sosial
900,0
1.280,0
42,2
13.2
Subsektor Kesehatan
3.025,3
3.589,9
18,7
13.3
Subsektor Pemberdayaan Perempuan
14
Sektor Perumahan dan Permukiman
14.1
Subsektor Perumahan
14.2
Subsektor Permukiman
786,4
330,0 4.130 ,8 806,2 2,5
15
Sektor Agama
136,4
86,0 - 37,0
15.1
Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama
15.2
Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama
116,0
16
Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
590,9
712,8
16.1
Subsektor Pelayanan dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
231,5
189,8 - 18,0
16.2
212,2
276,9
30,5
78,2
144,1
84,3
16.4
Subsektor Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Subsektor Kelembagaan, Prasarana dan Sarana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Subsektor Statistik
17
Sektor Hukum
277,5
17.1
Subsektor Pembinaan Hukum Nasional
24,4
17.2
Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum
253,1
520,7 105,7
18
Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan
463,8
1.307,3 181,9
18.1
Subsektor Aparatur Negara
437,9
1.252,7 186,1
18.2
Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan
19 19.1
Sektor Politik Dalam Negeri, Hubungan Luar Negeri, Informasi, dan Komunikasi Subsektor Politik Dalam Negeri
19.2
Subsektor Hubungan Luar Negeri
19.3
Subsektor Informasi dan Komunikasi
20 20.1 20.2
Subsektor Keamanan
16.3
32,1
15,5 794,2 7,8
20,4
69,0
91,2 184,1
37,9 144,5 1.136,2
40,5
43,1
98,5
45,5 - 60,8
102,0
20,6
47,8
545,6
96,6
24,9
2,0
25,9
54,6 110,8
171,6
154,8 - 9,8
16,3 13,6
18,8 19,7
15,3 44,9
141,7
116,3 - 17,9
Sektor Pertahanan dan Keamanan
1.884,5
3.917,3 107,9
Subsektor Pertahanan
1.065,8
2.895,1 171,6
818,7 JUMLAH
Departemen Keuangan RI
39.381,7
1.022,2
24,9
52.299,1 32,8
71
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Lampiran 6 RINCIAN DANA PERIMBANGAN, APBN 2001 DAN APBN 2002 (Dalam Miliar Rupiah) Uraian
APBN 2001 Perubahan
APBN 2002
(1)
(2)
(3)
A. Dana Bagi Hasil
% ∆ thd APBN-P (4)
21.183,1
24.600,4
16,1
9.310,7
11.945,5
28,3
- Pajak Penghasilan (Psl 21 & Psl 25/29 OP)
3.285,3
4.071,0
23,9
- Pajak Bumi dan Bangunan
4.664,8
5.669,5
21,5
1. Pajak
- Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
1.360,6
2.205,0
62,1
11.872,4
12.654,9
6,6
- Minyak Bumi
6.030,6
5.784,6
- 4,1
- Gas Alam
3.807,6
4.778,6
25,5
- Pertambangan Umum
967,1
1.072,0
10,8
- Kehutanan
833,8
786,2
- 5,7
- Perikanan
233,4
233,4
0,0
60.516,7
69.114,1
14,2
2. Sumber Daya Alam
B. Dana Alokasi Umum 1. Propinsi 2 Kabupaten C. Dana Alokasi Khusus 1. Dana Reboisasi 2. Nondana Reboisasi JUMLAH
Departemen Keuangan RI
6.051,7
6.911,4
14,2
54.465,0
62.202,7
14,2
700,6
817,3
16,7
700,6
817,3
16,7
_
_
_
82.400,4
97.968,8
18,9
72
Nota Keuangan dan APBN Th. 2001
Lampiran 7 RINCIAN PEMBIAYAAN ANGGARAN, APBN 2001 DAN APBN 2002 (Dalam Miliar Rupiah) Uraian (1)
APBN 2001 Perubahan (2)
APBN 2002 (3)
% ∆ thd APBN-P (4)
I. Pembiayaan Dalam Negeri 1. Perbankan Dalam Negeri 2. Nonperbankan Dalam Negeri a. Privatisasi b. Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan c. Penerbitan Obligasi Negara (neto) - Penerbitan Obligasi - Pembayaran Kembali Pokok Obligasi
44.188,9 7.550,6 36.638,3 5.000,0 30.980,2 658,1 658,1 _
23.500,8 _ 23.500,8 3.952,2 19.548,6 _ 3.930,5 (3.930,5)
- 46,8 - 100,0 - 35,9 - 21,0 - 36,9 - 100,0 497,2 _
II. Pembiayaan Luar Negeri (neto) 1. Pinjaman Proyek 2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri (Amortisasi) 3. Pinjaman Program dan Penundaan Cicilan Utang
10.538,1 19.660,0
18.633,7 25.830,0
76,8 31,4
(19.745,8) 10.623,9
(43.966,8) 36.770,5
122,7 246,1
54.727,0
42.134,5
-23,0
JUMLAH
Departemen Keuangan RI
73