Kualitas Pelayanan Sektor Publik: Tetap Menjadi Issue Penting1 Oleh. Haris Faozan
Latar Belakang
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat saat ini telah mendorong perkembangan dan peningkatan bidang jasa pelayanan baik yang dijalankan oleh pemerintah maupun swasta. Perkembangan sektor jasa layanan tersebut tumbuh seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan dan kebutuhan publik. Karena tuntutan dan kebutuhan publik yang demikian inilah maka para pihak penghasil jasa terdorong untuk meningkatkan kecepatan, kemudahan dan kesederhanaan dalam pelayanan mereka guna mencapai hasil pelayanan yang berkualitas (service exellence). Pada era ’90 an, kualitas pelayanan (service quality) mulai menjadi sorotan yang luar biasa. Prinsip “putting the customers first” semakin bergema sehingga organisasiorganisasi penghasil jasa berlomba-lomba menerapkan prinsip tersebut. Namun demikian ternyata hal itu tidaklah semudah membalik tangan. Karena untuk dapat menerapkan prinsip tersebut sebuah organisasi penghasil jasa harus juga memahami konsep manajemen perubahan (change management) sehingga mampu menerapkan strategi yang terpadu dan menyeluruh (integrated and holistic strategy) agar efisiensi dan efektivitas dapat dicapai (Rich & Mifflin dalam Berger et al. (eds), 1994). Hal tersebut tidak saja berlaku bagi organisasi privat akan tetapi organisasi publik pun demikian apabila tidak menginginkan citranya semakin terbenam. Tulisan ini pertama-tama akan membahas mengenai makna kualitas pelayanan. Kemudian akan dilanjutkan dengan membahas tentang arti penting kualitas pelayanan di era sekarang. Tulisan ini akan ditutup dengan sebuah kesimpulan.
Kualitas Pelayanan
Pelayanan (service) sebagai suatu produk seringkali sulit didefinisikan dibandingkan dengan mendefinisikan produk yang berupa barang (goods). Oleh karena muncul definisi yang memiliki pemahaman secara lebih luas. Gronroos (1990) membuat elaborasi dari berbagai definisi tentang pelayanan sebagai berikut: A service is an activity or series of activities of more or less intangible nature that normally, but not necessarily, take place in interactions between the customer and the service employee and/or physical resources or goods and/or systems of the service provider, which are provided as solution to customer problems.
1
Terbit dalam “Jurnal Administrasi Negara”, STIA-LAN Makassar. Vol. 7.No. 4/Nop. Tahun 2001.
1
Sementara dipihak lain, Gummesson (1987) membuat definisi sederhana sebagai usaha menemukan definisi yang lebih dapat diterima, yaitu “services are something which can be bought and sold but which you can not drop on your foot”. Yang jelas terdapat perbedaan yang mendasar antara sebuah organisasi yang menghasilkan produk intinya berupa pelayanan dengan sebuah organisasi yang menghasilkan produk intinya berupa barang. Hal itu sebagaimana dinyatakan Gabott & Hogg (1997) terdapat perbedaan diantara produk-produk dimana inti dari yang dijual adalah sebuah pelayanan dengan kemungkinan dibarangi dengan barang, dengan produk-produk dimana intinya adalah sebuah barang secara fisik dimana elemen pelayanan digunakan sebagai tambahan (augmentation) untuk keunggulan daya saing. Meskipun terminologi “pelayanan” itu sendiri seringkali sulit didefinisikan akan tetapi semua produk memiliki karakteristik atau atribut berdasarkan kondisi yang ditawarkan. Menurut Lovelock (1981) dan Gronroos (1978) sebagaimana dikutip Gabott & Hogg (1997) bahwa pelayanan dapat diidentifikasi beberapa karakteristiknya yaitu intangibility, heterogeneity, inseparability, perishability and the concept of ownership. Karakteristik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Intangibility merupakan satu dari beberapa karakteristik pelayanan yang sangat penting dimana hal itu tidak memiliki dimensi fisik. Seringkali pelayana digambarkan dengan menggunakan benda-benda yang dapat diraba tetapi hal ini dapat menjelaskan fundamental alamiah pelayanan yang pada dasarnya bersifat tidak dapat diraba (intangible). Hal ini mengisyaratkan bahwasanya para pelanggan tidak dapat melihat, menyentuh, mendengar, merasakan atau mengendus sebuah pelayanan, mereka hanya bisa mengalami (experience) pelaksanaan dari sebuah pelayanan. Karena demikian inilah maka persepsi dari sebuah pelayanan merupakan hal yang sangat subyektif dan konsep yang abstrak. 2. Karakteristik pelayanan adalah tidak dapat dipisahkannya (inseparability) aspek produksi dan konsumsi dari sebuah transaksi. Pelayanan adalah sebuah kinerja, dimana pembeli atau pelanggan bekerjasama dengan penyedia (provider) agar apa yang diinginkan para pembeli/pelangga dapat dipenuhi. 3. Keberanekaan (heterogeinity) pelayanan merupakan juga sebuah fungsi keterlibatan manusia dalam proses penyampaian dan konsumsi (delivery and consumption process). Hal ini pula yang menyebabkan pengalaman orang per orang dalam menerima pelayanan, karena proses penyampaian pelayanan dilakukan juga oleh orang per orang yang berbeda. 4. Ketidaktahanan (perishability) pelayanan menggambarkan kondisi nyata sebuah produk. Pelayanan tidak dapat disimpan sebagaimana sebuah barang. Dengan demikian pada pelayanan dibutuhkan maka pelayanan pada saat itu juga harus tersedia. 5. Konsep kepemilikan (concept of ownership) dalam palayanan sangat berbeda dengan konsep kepemilikan barang. Dalam pelayanan, pembeli/pelanggan hanya dapat menggunakannya sementara waktu, sehingga apa yang dimiliki adalah manfaat dari sebuah pelayanan itu bukannya pelayanan itu sendiri.
2
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa kualitas pelayanan menjadi semakin penting bagi organisasi-organaisasi penghasil layanan. Gronroos (1984) mengusulkan dua tipe kualitas pelayanan, yaitu teknikal dan fungsional (technical and fuctional) dimana keduanya memberikan kontribusi kepada kualitas pelayanan yang dirasakan (perceived service quality). Technical quality sering dapat dinilai dalam kondisi obyektif, sedangkan functional quality dirasakan melalui cara yang lebih subyektif. Technical quality misalnya transfer uang dari satu rekening bank ke rekening bank lain, sedangkan functional quality misalnya sikap, aksesibilitas, penampilan sebuah bank. Di pihak lain Peters dan Waterman maupun Lassem membagi kualitas pelayanan ke dalam hard and soft quality (dalam Gabott & Hogg, 1997). Hard quality meliputi strategi, struktur, dan sistem organisasi. Sedangkan soft quality diantaranya meliputi skills, staff atau style. Hard and quality mempengaruhi perjalanan hari demi hari suatu hubungan dan keduanya mempengaruhi satu dan yang lainnya. Sejalan dengan pemikiran di atas, Szmigin (1993) mengidentifikasi beberapa situasi yang dapat menimbulkan perubahan masalah hard/soft quality: 1. Change in top management. 2. Change in company objectives. 3. Change in decision-making unit. 4. Change in specific objectives relating to the supplier/client relationship. 5. Change in personnel on the supplier side. 6. Reduced interest shown by supplier to buyer, possibly for one the reasona above, e.g. change in company objectives. Sementara itu, Zeithaml et al. (1990) mengidentifikasi lima kesenjangan yang kerap terjadi dalam pelaksanaan layanan dan penerima layanan, yang dikenal dengan Gap Model (lihat gambar 1). Kesenjangan tersebut yaitu: 1. kesenjangan antara harapan pelanggan mengenai pelayanan (Expected Service) dengan persepsi manajemen (Management Perception of Customer Expectation). 2. kesenjangan antara persepsi manajemen (Management Perception of Customer Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification). 3. kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification) dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery). 4. kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan (External Communication to Customers) dengan proses penyampaian pelayanan (Service Delivery). 5. kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service) dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service).
3
Gambar 1 Conceptual Model Of Service Quality CUSTOMER Word-of-Mouth Communication
Personal needs
Past Experience
Expected Service
Gap 5 Gap 1
Percieved service
Service Delivery
Gap 4
External Communication To Customers
Gap 3
PROVIDER
Service Quality Specification
Gap 2 Management Perception of Customer Expectation
Sumber: Delivering Quality Service, Zeithaml, et al., (1990), p.46 Dari kesenjangan-kesenjangan tersebut perlu dilakukannya pendekatan agar tingkat keinginan atau harapan dan persepsi pelanggan dapat dipenuhi. Dalam riset eksplorasinya, Parasuraman et al. (1985) mengidentifikasi sepuluh dimensi utama yang menentukan kualitas pelayanan. Kesepuluh dimensi tersebut menurut mereka adalah: 1. Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal ini berarti perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak saat pertama (right the first time). Selain itu juga perusahaan yang bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang telah disepakti. 2. Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan.
4
3. Competence, artinya dalam suatu perusahaan memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu. 4. Access, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama saluran komunikasi yang dihubungi, dan lain-lain. 5. Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian dan keramahan yang dimiliki para contact personal (seperti resepsionis, operator telepon, dan lainlain). 6. Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka pahami serta mendengarkan saran dan keluhan. 7. Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Hal ini mencakup nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakteristik pribadi contact personnel, dan interaksi dengan petugas. 8. Security, yaitu aman dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik (phisical safety), keamanan finansial (financial security) dan kerahasiaan (confidentiality). 9. Understanding/knowing the customer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan. 10. Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang dipergunakan, representasi fisik dari jasa. Dalam perkembangannya, Parasuraman merangkum sepuluh dimensi menjadi lima dimensi kualitas pelayanan (SERVQUAL). Kelima dimensi kualitas ini digunakan sebagai kriteria perwujudan pelaksanaan pelayanan yang berkualitas dimana dimensi ini harus diperhatikan dalam perbaikan pelaksanaan pelayanan, yaitu: 1. Bukti langsung (tangibles), terdiri dari : penampilan fisik bangunan serta sarana dan prasarana yang mendukung; penampilan petugas saat memberikan pelayanan atau saat pelaksanaan pelayanan. 2. Kehandalan (reliability), terdiri dari : kecakapan/ keakuratan petugas dalam memberikan pelayanan; ketepatan waktu dalam memberikan pelayanan 3. Kepekaan/daya tanggap (responsiveness), terdiri dari: kemudahan petugas untuk dihubungi; kemauan petugas untuk memberikan pertolongan kepada pelanggan 4. Jaminan (asurance), terdiri dari : pengetahuan, kesopanan dan sikap untuk dapat dipercaya yang dimiliki oleh petugas sehingga tidak menimbulkan keraguan dan resiko yang mungkin timbul akibat pelayanan yang diberikan. 5. Kemampuan untuk memahami kebutuhan pelanggan (emphaty), terdiri dari: kepedulian/perhatian dari petugas secara individual terhadap pengguna layanan Dalam model berikutnya (lihat gambar 2), Zeithaml, et al. (1990) menggambarkan tentang bagaimana cara melakukan pengukuran dan meningkatkan peningkatan kualitas secara berkelanjutan. Model ini menjadi kian penting untuk diperhatikan agar apa yang menjadi harapan para pengguna layanan dapat dipenuhi secara bertahap dan
5
berkesinambungan. Sebuah model dibuat untuk memberikan gambaran secara lebih ringkas atau sederhana mengenai sesuatu hal. Gambar 2 Process Model for Continuous Measurement and Improvement of Service Quality
Do your customers perceive your offerings as meeting or exceeding their expectations? No
Yes
Continue to monitor customer’s expectations and perceptions
Yes Do you have an accurate understanding of customer’s expectations?
No
Take corrective action
No
Take corrective action
Yes Yes Are there specific standards in place to meet customer’s expectation?
Yes Do your offering meet or exceed the standards? Yes
No
Take corrective action
Yes Is the information communicated to customers about your offering accurate?
No
Take corrective action
Sumber: Delivering Quality Service, Zeithaml, et al., (1990), p.47 Namun demikian model pelayanan yang dimunculkan pun seringkali menjadi perdebatan. Hal demikian wajar karena banyak terdapat sudut pandang yang harus dijelajahi, sedangkan latar belakang profesional/ pendidikan, kemampuan, tenaga, pikiran, biaya dan waktu yang tersedia relatif terbatas. Pada dasarnya model-model kualitas pelayanan yang telah dikembangkan merupakan sesuatu yang saling melengkapi. Keadaan demikian perlu dipahami karena ilmu pengetahuan yang bersifat
6
aplikatif senantiasa berkembang mengikuti perkembangan realitas yang terjadi di dalam suatu kehidupan.
Arti Penting Kualitas Pelayanan Publik Di Era Sekarang
Pada esensinya tercapainya kualitas pelayanan di sektor publik –dimana aparatur pemerintah sebagai pelakunya- merupakan salah satu bentuk akuntabilitas publik. Turner (2000) menduga terdapat 2 tujuan prinsip dari akuntabilitas pemerintahan Indonesia, yaitu pengecekan terhadap korupsi dan peningkatan pelayanan. Khusus mengenai peningkatan pelayanan di sektor publik, Turner (2000) menekankan perlunya penerapan Standar Pemberian Pelayanan Minimum (Minimum Service Provision Standard/MSPS) dengan alasan guna mempertahankan tingkat pelayanan publik yang sudah ada pada masa transisi ke otonomi daerah dan kemudian membantu perbaikan pelayanan tersebut. Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat publik sebagai massa (earth) di mana seluruh bangunan resmi pemerintahan seharusnya mengakar (down rooted)2.
Dengan penerapan MSPS tersebut organisasi pemerintah penghasil jasa pelayanan mau tidak mau harus memiliki indikator dan standar kinerja secara jelas. Namun demikian indikator kinerja beserta langkah-langkah kinerja tersebut pun tidak akan menghasilkan perbaikan dan kepemerintahan yang baik kecuali hal tersebut terkait dengan strategi perbaikan kualitas (Turner, 2000). Salah satu strategi jangka menengah dan jangka panjang yang dipandang tepat dalam upaya meningkatkan pelayanan badan-badan di pemerintah daerah adalah melalui penggunaan piagam warga atau klien (client/citizen charter). Salah satu negara yang telah menerapkan piagam warga adalah Malaysia3. Piagam warga berisi tentang pernyataan tertulis berkaitan dengan hasil pemberian pelayanan kepada warga masyarakat dari badan-badan pemerintah tersebut. Piagam warga merupakan standar pelayanan dimana warga masyarakat berhak menyampaikan keluhan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan strandar pelayanan yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan diperlukan reformasi proses kerja di dalam organisasi pemerintahan baik Pusat maupun Daerah. Salah satu contoh menarik adalah yang terjadi di Philipina. Pada tahun 1994, Komite PNS Philipina (Philippine Civil Service Commission) melancarkan program kampanye kepuasan penduduk/warga yang disebut “Citizens Now, Not Later” (St. Thomas, 1995). Pada dasarnya mekanisme reformasi ini ditujukan untuk memperbaiki kinerja PNS dengan mengggunakan tekanan luar untuk memaksa sistem internal. Program kampanye ini mengadopsi norma-norma standar perilaku dan pelayanan kepada klien. 2 Lihat Rusadi Kantaprawira, Partisipasi Publik dalam menegakkan Akuntabilitas Aparatur Negara, Makalah Lokakarya Nasional Pemantapan Sistem dan Pelaksanaan AKIP, LAN-BPKP, Jakarta, 16 Mei 2000. 3 Informasi lebih detil tentang hal ini, lihat A.B.A. Rahman, 1995. Administative Improvement in the Malaysian Civil Service: Implementation of the Client’s Charter, Asian Review of Public Administration, 7 (2) 53-66.
7
Adalah menarik juga jika kita tengok pengalaman di Jerman. Beberapa kota di Jerman secara intensif telah mempraktekan perbaikan kualitas pelayanan publik sejak awal ‘90 an. Perbaikan kualitas pelayanan publik tersebut selain dipicu oleh New Public Management, TQM, dan ISO 9000, juga didorong oleh krisis keuangan negara. Dampak dari semua itu, dibangun unit-unit pelayanan pemerintah yang disebut Burgeramt atau Burgerburo (kantor atau dinas rakyat) yang menyatukan berbagai jasa layanan administratif dari berbagai instansi, antara lain statistik dan kependudukan; rumah dan bangunan; kendaran (STNK, SIM); dan pajak. Para pengguna jasa layanan tersebut dapat meminta berbagai layanan dalam waktu yang relatif singkat antara 40-50 menit (Hill & Klages dalam Wibawa & Purbokusumo, 1998).
Kesimpulan
Meskipun terminologi pelayanan memiliki makna abstrak, namun demikian banyak pakar mencoba merumuskannya agar dapat dijadikan rujukan. Dari definisi-definisi tersebut akhirnya dapat pula diidentifikasi berbagai karakteristik pelayanan yaitu intangibility, heterogeneity, inseparability, perishability and the concept of ownership. Membicarkan pelayanan berarti tidak lepas dari makna kualitas pelayanan itu sendiri. Tolok ukur pelayanan yang berkualitas dapat cermati melalui: bukti langsung (tangibles); kehandalan (reliability); kepekaan/daya tanggap (responsiveness); jaminan (asurance); dan kemampuan untuk memahami kebutuhan pelanggan (emphaty). Tolok ukur tersebut berlaku universal, artinya berlaku dimana saja dan bagi organisasi apa saja –publik maupun privat. Kualitas pelayanan bagi sektor publik terkait sangat erat dengan keberadaan organisasi publik itu sendiri baik di Pusat maupun Daerah. Mengapa hal ini menjadi issue penting? Jawabannya sederhana, otonomi daerah digalakkan dalam rangka mempercepat jalur pelayanan bagi masyarakatnya. Lebih jauh lagi dapat diartikan bahwa pemerintah – Pusat dan Daerah- harus mampu memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakatnya. Berkualitasnya pelayanan yang diberikan pemerintah –Pusat dan Daerah- dapat dijadikan tolok ukur kinerja mereka. Dengan demikian dapat digarisbawahi bahwa kualitas pelayanan merupakan satu issue yang sangat sensitif, baik saat ini maupun pada masa-masa yang akan datang.
8
Referensi Gabbott, Mark and Hogg, Gillian (eds). 1997. Contemporary Services Marketing Management: A Reader, The Dryden Press, London. Gronroos, C. 1984, ‘A Service Quality Model and Its Marketing Implication’. European Journal of Marketing 18 (4): 36-44. Gronroos, C. 1990. Service Management and Marketing: Managing The Moment of Truth in Service Competition. Lexington Marketing Association, Maxwell Macmillan. Kantaprawira, Rusadi . 2000. Partisipasi Publik dalam menegakkan Akuntabilitas Aparatur Negara, Makalah Lokakarya Nasional Pemantapan Sistem dan Pelaksanaan AKIP, LAN-BPKP, Jakarta, 16 Mei 2000. Parasuraman, A., Zeithaml, V. and Berry, L. (1985) ‘A Conceptual Model of Service Quality and Its Implications for Future Research’. Journal of Marketing (Fall):41-50. Rahman, A.B.A. 1995. Administative Improvement in the Malaysian Civil Service: Implementation of the Client’s Charter, Asian Review of Public Administration, 7 (2) 53-66. Rich, Anthony C. and Mifflin, Kenneth E. “Game Plan for the Next Dynamic”. dalam Berger et.al (eds), 1994. The Change Management Handbook: A Road Map to Corporate Transformation.Irwin Professional Publishing. Chicago. St. Thomas, P.A. 1995. Client Satisfaction as a Performance Measure in the Philippine Civil Service, Asian Review of Public Administration, 7 (2) 100-107. Szmigin, Isabelle T.D. 1993,’Managing Quality in Business-to-Business Services’,European Journal of Marketing 27 (1):5-21 Turner, Mark . 2000. Implementing Accountability in Autonomous Region, Discussion Paper in Interim Workshop “Support for the Urgent ang Inportant in the Decentralization Process”, ADB-DEPDAGRI, Jakarta 27-28 Juli 2000. Wibawa, Samodra dan Purbokusumo, Yuyun. 1998. Peningkatan Kualitas Pelayanan Administrasi, JKAP Vol 2, No.2 Zeithaml, Valarie A., et. al. (1990). Delivering Quality Service.Balancing Customer Perceptions and Expectations. The Free Press. New York.
9