1 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
PELAPORAN DAN PENGENDALIAN BIAYA KUALITAS SEBAGAI SARANA UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADA PERUSAHAAN BATIK TULIS SIDO MAKMUR SENDANGAGUNG PACIRAN LAMONGAN
Noer Rafikah Zulyanti *) Universitas Islam Lamongan
Abstrak Persaingan yang semakin kompetitif mendorong perusahaan untuk melaksanakan kegiatan operasionalnya secara efesien agar tetap bertahan. Dewasa ini perusahaan menyadari akan pentingnya kualitas produk suatu barang sehingga perusahaan secara berkesinambungan berusaha untuk memperbaiki kualitas produk yang di hasilkannya.Pada penulisan skripsi ini metode penelitian yang di gunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif dan menghasilkan kesimpulan yaitu perusahaan BATIK TULIS SIDO MAKMUR SENDANGAGUNG PACIRAN LAMONGAN belum menerapkan pencatatan dan pelaporan biaya kualitas. Pencatatan dan pelaporan biaya kualitas dapat membantu manajer mengukur besarnya masalah kualitas. Dari laporan biaya kualitas selama 2 periode dapat di lihat bahwa total biaya kualitas mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Prosentase total biaya kualitas terhadap penjualan aktual pada tahun 2012-2013 menunjukan angka 2-3% setiap tahunya. Hal tersebut merupakan hasil yang di capai perusahaan dalam melakukan pengendalian kualitas terhadap produknya selama periode tersebut. Oleh karena itu perlu di alkukan perencanaan dan pengendalian biaya kualitas untuk membantu pihak manajemen perusahaan dalam mengendalkan besarnya biaya kualitas yang timbul. Dengan di terapkanya pelaporan dan pengendalian biaya kualitas secara khusus, di harapkan kualitas produk maupun tingkat produktivitas perusahaan dapat di tingkatkan dan dapat di ketahui secara pasti berapa biaya yang telah di keluarkan perusahaan untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan standar kualitas sehingga akan mudah untuk melakukan analisis lebih lanjut mengenai program pengembangan kualitas yang telah di lakukan. Kata kunci : Pelaporan, Pengendalian biaya kualitas, produktivitas LATAR BELAKANG Dewasa ini sebagian perusahaan telah menyadari akan pentingnya kualitas produknya yang berupa barang dan jasa sehingga perusahaan secara berkesinambungan terus berusaha untuk melakukan perbaikan kualitas pada setiap jenis produk yang di hasilkan. Hal tersebut didasarkan akan semakin tingginya tingkat persaingan dagang dengan makin bertambahnya produk-produk sejenis dari perusahaan lain. Perjuangan untuk tetap bertahan dalam persaingan tersebut juga semakin keras karena konsumen telah semakin sadar akan kualitas barang yang akan di konsumen memahami pentingnya kulitas sebagai dasar menentukan produk mana yang akan di pilih. Artinya perusahaan tidak mempunyai cara lain untuk memikat konsumen,yaitu hanya dengan memberikan kualitas yang terbaik yang dapat di berikan dalam produknya.Agar suatu perusahaaan dapat bertahan hidup, perusahaan harus memperhatikan 3 aspek penting yaitu : flesibilitas, produk bermutu, dan biaya (cost effective). aspek penting lainnya adalah produk bermutu (berkualitas) dan biaya mutu produk
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
berupa barang dan jasa yang baik serta biaya merupakan faktor penting lainnya dalam menjamin keunggulan perusahaan dari para pesaingnya. konsumen akan selalu memilih produsen atau perusahaan yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki kualitas yang baik dengan biaya serendah mungkin. selanjutnya yang harus di perhatikan adalah bahwa upaya peningkatan kualitas tidak dapat di pisahkan dengan usaha peningkatan produktivitas. Menurut Mulyadi (2007:382) menyatakan bahwa produktivitas berhubungan dengan produksi keluaran secara efesien dan terutama di ajukan pada hubungan antara keluaran (output) dengan masukan (input) yang di gunakan untuk menghasilkan keluaran tersebut. Perhatian produktivitas bukan hanya tertuju pada output, tetapi juga input. Suatu perusahaan di sebut produktif bila dapat mempertahankan tingkat output dengan penggunaan input.di dalam persaingan yang semakin kompetitif seperti sekarang ini, perusahaan yang tidak berproduksi secara produktif akan kalah bersaing, dan sebaliknya hanya perusahaan yang beroperasi secara produktif yang dapat
2 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
tetap bertahan dan memperoleh keuntungan. Banyak perusahaan perusahaan yang jauh dari efisien dalam melakukan proses produksinya. Banyaknya pemborosan dalam proses produksi yang menyebabkan harga jual semakin tinggi sehingga produk menjadi sulit bersaing di pasaran.kondisi tersebut masih di tambah dengan tingginya tingkat internal failure maupun external failure sehingga produktivitas perusahaan menjadi semakin rendah masalah masalah tersebut sebenarnya bisa di antisipasi apabila pihak manajemen punya satu sarana monotoring yang dapat memberikan informasi akurat tentang biaya- biaya yang terjadi dalam setiap kegiatan produksi perusahaan, Selama ini biaya yang timbul di anggap sebagai biaya produksi sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk mengetahui sejauh mana masalah kualitas yang sedang di hadapi serta tingkat kemajuan perbaikan kualitas telah berhasil di laksanakan.menyusun laporan dan melakukan pengendalian biaya kualitas merupakan salah satu langkah yang dapat di ambil perusahaan untuk menciptakan produk yang berkualitas tinggi dengan biaya yang paling ekonomis. Menurut Hasen Mowen (2000:18), Tujuan utama dari pelaporan biaya kualitas adalah untuk meningkatkan kemampuan dan memfasilitasi manajer dalam melakukan perencanaan, pengendalian, serta pengambilan keputusan.dengan menyusun laporan tersebut, perkembangan biaya kualitas yang terjadi dapat selalu di amati oleh pihak manajemen. Pengendalian terhadap berbagai macam biaya kualitas tersebut pada akhirnya dapat menciptakan produktivitas tertentu. Perbaikan kualitas pada produk yang di hasilkan mampu meningkatkan produktivitas proses produksi, perbaikan kualitas berati menggurangi terjadinya produk cacat atau pengerjaanya ulang suatu produk, hal ini berati penggurangan sumber daya yang di gunakan. Dengan demikian peningkatan produktivitas di karnakan output yang meningkat dan input yang menurun jadi perbaikan kualitas sangat erat hubunganya dengan peningkatan produktivitasnya. Dengan meminimalkan biaya kegagalan serta penurunan total biaya kualitas yang di sertai oleh peningkatan kualitas, maka biaya yang di perlukan untuk menghasilkan produk tersebut akan berkurang serta dengan berkurangnya jumlah produk cacat yang di hasilkan akan menambah jumlah output berati peningkatan produktivitas perusahaan.
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang di gunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan alasan bahwa penelitian di lakukan dengan tujuan menginterprestasikan hasil analisis dari laporan biaya kualitas bedasarkan pemahaman, pemikiran dan presepsi penulis tanpa di lakukan pengujian dengan metode statistik. Dalam sebuah penelitian metode teknik analisis data yang di gunakan dalam Skripsi ini menggunakan Langkah-Langkah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi dan memisahkan semua data biaya kualitas dari biaya produksi yang ada dalam perusahaan untuk produk yang di hasilkan. 2. Melakukan pengelompokan biaya kualitas yang teridentifikasi ke dalam empat kategori biaya kualtas, yaitu biaya pencegahan, biaya penilaian, biaya kegagalan internal dan biaya kegagalan eksternal. 3. Menyusun laporan biaya kualitas perusahaan ke tiga tipe pelaporan biaya kualitas, yaitu bedasarkan penjualan aktual, bedasarkan anggaran dan bedasarkan trend satu tahun. 4. Melakukan analisis terhadap perkembangan biaya kualitas bedasarkan tiga metode pelaporan tersebut. 5. Melakukan pengukuran produktivitas secara persial pada input produksi yang berupa biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik 6. Mengidentifikasi manfaat yang dapat di peroleh atas perencanaan biaya kualitas bagi peningkatan produktivitas. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah di dapat oleh penulis maka penulis memberikan analisa dengan perencanaan dan pengendalian biaya kualitas yang berkesinambungan di harapkan dapat di peroleh hasil yang lebih baik dari pengelolaan kegiatan-kegiatan yang di lakukan dalam mencapai kualitas yang telah di tetapkan sebelumnya, sehingga produk yang di hasilkan dapat memuaskan konsumen. Pihak manajemen perusahaan melakukan perencanaan dan pengendalian biaya kualitas, perusahaan juga harus merencanakan tindakan-tindakan khusus yang di perlukan untuk meenciptakan kondisi yang lebih baik pada priode berikutnya. 1. Berdasarkan penjualan aktual
3 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Metode ini bertujuan untuk memantau sebesar 2,2 : 2,5 adanya peningkatan rasio pelaksanaan operasional biaya kualitas dengan produktivitas bahan baku menunjukan bahwa menggunakan penjualan bersih aktual sebagai pemakaian bahan baku dalam menghasilkan dasar analisis. Dari hasil laporan biaya kualitas output adanya peningkatan biaya pencegahan yang telah disusun dapat di lihat bahwa total dan penilaian sehingga mengurangi adanya biaya kualitas tahun 2013 mengalami scarp dan rework.Rasio produktivitas tenaga penurunan di banding total biaya kualitas tahun kerja langsung pada tahun 2012 dan 2013 2012, Total biaya kualitas dengan hasil adalah sebesar 2,5:4,0 adanya peningkatan penjualan aktual pada tahun 2012 sebesar keterampilan para perkerja yang telah 3,26% kemudian mengalami penurunan sebesar mendapatkan pendidikan dan pelatihan dari 1,82% pada tahun 2013 penurunan total biaya perusahaan. Keterampilan bagian produksi yang kualitas ini menunjukan bahwa perusahaan semakin meningkat tersebut menyebabkan telah melakukan pengendalian ini dapat jumlah produk cacat atau produk gagal menjadi berjalan secara optimal dan mendorong menurun dan perusahaan sedikit melakukan peningkatan penjualan perusahaan. pengerjaan ulang produk, Rasio produktivitas 2. Bedasarkan biaya kualitas satu periode biaya overhead pabrik pada tahun 2012 dan sebelumnya 2013 adalah sebesar 52,4 : 93,7 adanya Analisis biaya kualitas bedasarkan satu periode peningkatan rasio produktivitas biaya overhead sebelumnya di lakukan dengan cara pabrik ini meenunjukan adanya penambahan meembandingkan biaya kualitas yang terealisasi pada biaya perawatan mesin atau peraratan periode berjalan dengan periode sebelumnya. produksi oleh perusahaan sehingga berdampak Analisis tersebut menunjukan penyimpangan positif pada peningkatan kualitas produk yang yang terjadi apakah menguntungkan atau di hasilkan karena pemakaian mesin atau merugikan bagi perusahaan. Hasil analisis yang peraratan yang optimal. disusun pada biaya kualitas menunjukan bahwa pada tahun 2013 terjadi selisih sebesar Hubungan biaya kulitas terhadap Rp.4.237.000 dibandingkan dengan tahun 2012. produktivitas Hal ini menujukan bahwa perusahaan terus Hubungan biaya kualitas dengan produktivitas berusaha meningkatkan biaya pencegahan dan sangat berkaitan karena dengan adanya penilaian dan berusaha menurunkan baiaya perbaikan kualitas terhadap produk akan kegagalan produk agar produktivitas berpengaruh terhadap produktivitas perusahaan. perusahaan dapat di tingkatkan. Apabila pelaporan dan pengendalian biaya 3. Pengukuran produktivitas bahan baku, kualitas selalu di amati maka pihak manajemen tenaga kerja langsung dan biaya overhead dapat memperoleh informasi mengenai pabrik. perkembangan biaya kualitas sehingga dapat di Perbaikan kualitas berati mengurangi terjadinya gunakan untuk melakukan perbaikan guna produk cacat atau pengerjaan ulang suatu meningkatkan produktivitas perusahaan. produk. Peningkatan produktivitas di karnakan Hubungan biaya kualitas dalam meningkatkan jumlah output yang meningkat dan penggunaan produktivitas apakah dengan adanya pelaporan output yang menurun. Dari hasil pengukuran dan pengendalian biaya kualitas dapat produktivitas yang telah di sunsun diatas dapat meningkatkan produktivitas dijelaskan dalam di analisis mennjukan bahwa produktivitas table dibawah ini: bahan baku pada tahun 2012 dan 2013 adalah . Tabel 1: Perbandingan Biaya Kualitas Terhadap Produktivitas keterangan tahun 2012 tahun 2013 biaya kualitas Rp 31.891.000 Rp. 36.128.000 3,26% 1,86% produksi 7.649 unit 14.713 unit 994.370.000 1.986.255.000 produktivitas 52,5% 70,1% Sumber data: data intern yang di olah penulis
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
4 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Dari hasil analisis di atas dapat di jelaskan bahwa biaya kualitas pada tahun 2012 sebesar dan mengalami penurunan sebesar pada tahun 2013 dengan jumlah produksi dari tahun 2012 ke tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 3,26% dan mengalami penurunan sebesar 1,86% pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 99% Selisih total produksi tahun 2013 sebesar Rp.994.370.000 Dengan tahun 2012 sebesar Rp.1.986.255.000 Peran biaya kualitas terhadap produktivitas Peran biaya kualitas terhadap produktivitas tidak lain adalah untuk mengukur tingkat produktivitas perusahaan karena dengan menerapkan atau memakai pelaporan dan pengendalian biaya kualitas memudahkan perusahaan dalam mengetahui seberapa besar output yang di hasilkan input yang di gunakan. Dari hasil tabel diatas di sebutkan total produktivitas tahun 2012 sebesar dan total produktivitas tahun 2013 sebesar . ini menunjukan kalau perusahaan batik tulis SIDO MAKMUR sendangagung paciran lamongan mengalami peningkatan dari adanya pengendalian biaya kualitas. Sehingga korelasi antara biaya kualitas terhadap produktivitas yaitu apabila biaya kualitas semakin menurun maka produktivitas akan meningkat dan biaya kualitas tidak termasuk dalam perhitungan HPP (harga pokok produksi) akan tetapi perhitungan biaya kualitas dapat di gunakan sebagai sarana untuk mengukur kualitas perkerjaan dan produktivitas perusahaan PEMBAHASAN Pelaporan biaya kualitas bedasarkan penjualan dapat memberikan manfaat bagi pihak manajemen dalam membuat suatu analisis mengenai jumlah biaya yang telah di keluarkan oleh perusahaan. Perencanaan dan pelaporan biaya kualitas dapat di gunakan oleh manajemen untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan biaya kualitas, sehingga dapat di gunakan untuk melakukan perbaikan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan. Pihak manajemen perusahaan melakukan perencanaan dan pengendalian biaya kualitas, perusahaan juga harus merencanakan tindakan-tindakan khusus yang di perlukan untuk meenciptakan kondisi yang lebih baik pada priode berikutnya. Tindak lanjut ini merupakan hal terpenting dari di sunsunya laporan biaya kualitas tidak di ikuti dengan tindak lanjut atas keadaan yang tercermin dalam
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
laporan tersebut, maka pelaporan biaya kualitas percuma sumber daya. Selanjutnya, dalam perencanaan dan pengendalian biaya kualitas yang menjadikanya sebagai dasar bagi pengambilan keputusan yang sesuai dengan menggunakan metode sebagai berikut: 1. Bedasarkan penjualan aktual Metode ini menggunakan penjualan bersih aktual sebagai dasar analisis 2. Bedasarkan biaya kualitas satu priode sebelumnya Metode ini menggunakan cara perbandingan biaya kualitas yang terealisasi periode berjalan dengan periode sebelumnya. 3. Pengukuran biaya bahan baku , tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik Metode ini menggunakan cara membandingkan output yang di hasilkan dengan input yang di gunakan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil analisis dan uraian serta pembahasan yang penulis kemukakan dan di dukung dengan data, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Selama ini perusahaan telah melakukan kegiatan dalam mencapai kualitas sehingga data-data yang menyangkut biaya kualitas telah ada, namun perusahaan belum menerapkan sistem pencatatan dan pelaporan biaya kualitas secara khusus sebagai sarana untuk perencanaan dan pengendalian biaya kualitas. Biaya yang timbul di anggap sebagai baiaya produksi sehingga manajemen perusahaan mengalami kesulitan untuk mengetahui sejauh mana masalah kualitas yang sedang di hadapi serta tingkat kemajuan kualitas yang telah di laksanakan. 2. Dari hasil laporan biaya kualitas selama 2 periode dapat di lihat bahwa total biaya kualitas terus mengalami penurunan setiap tahunya. Hal ini menunjukan kalau perusahaan melakukan pengendalian kualitas terhadap produknya selama periode tersebut, meskipun perusahaan belum mengidentifikasikan kategori-kategori ke dalam biaya kualitas, presentase total biaya kualitas terhadap total penjualan aktual telah menunjukan \angka penurunan yang cukup baik. 3. Pada tahun 2012 ke tahun 2013 terjadi peningkatan produktivitas pada input produksi perusahaan. Walaupun perusahaan belum menerapkan laporan biaya kualitas secara
5 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
khusus, akan tetapi nampak adanya peningkatan kualitas berupa semakin menurunya biaya produk gagal dan di ikuti pula dengan peningkatan rasio produktivitas selama jangka waktu tersebut. Perbaikan kualitas memiliki dampak secara langsung terhadap peningkatan produktivitas perusahaan. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah di kemukakan di atas, maka penulis mencoba untuk mengemukakan saran antara lain sebagai berikut : 1. Perusahaan harus terus meningkatkan perhatian terhadap kualitas produknya agar pelaksanaan perencanaan dan pengendalian kualitas tetap berjalan dengan baik. 2. Pelaporan biaya kualitas perlu di sunsun oleh perusahaan untuk mendukung keberhasilan program pengendalian kualitas yang selama ini telah di lakukan. 3. Perlu adanya tindakan perbaikan secara terus menerus pada penerapan laporan biaya kualitas yang benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan agar produktivitas akan dapat semakin di tingkatkan. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur penelitian. Suatu pendekatan praktek. Edisi revisi VI. Jakarta : Rineka cipta. Blotcher, chen, lin. 2000. Manajemen Biaya. Edisi pertama. Di Terjemahkan A.Susty Ambarriani jakarta: salemba empat.
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Dina hikmah Wati, 2004, pelaporan dan pengendalian biaya kualitas sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan produktivitas perusahaan (studi kasus pada PT.X), skripsi, surabaya, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Hansen, Don R. And Maryanne M. Mowen, 2000 Akuntansi Manajemen. Jilid 2, Jakarta: Erlangga. http://jasa pembuatan web.c0.id/ artikel ilmiah/tujuan dan manfaat pengukuran produktivitas, pengendalian biaya. Mulyadi, 2000. Akuntansi Biaya. Edisi lima, yogyakarta : Aditiya Media. Mulyadi, 2007. Sistem Perencanaan dan pengendalian manajemen, jakarta: salemba empat. Suryadi prawirosentono, Drs. 2002. Manajemen Mutu Terpadu: total quality management, jakarta : Bumi Aksara. Sugiyono, prof.Dr.2011. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D. Edisi revisi, Bandung : CV.alfabeta ________2012. Pedoman penyusunan skripsi, fakultas ekonomi. Universitas islam Lamongan
6 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING Dhevy Nayasari Sastradinata *) *)
Dosen Fakultas hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK Iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem pegawai kontrak, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja, sedangkan untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu Pasal 64, Pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan Pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti yaitu Bagaimana perngaturan tentang outsourcing menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan Bagaimana tanggung jawab perusahaan penyedia jasa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pekerja outsourcing. Kata kunci :Penyedia jasa, Perbuatan melawan hukum, Pekerja Outsourcing. PENDAHULUAN Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya.Iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).Salah satu solusinya adalah dengan sistem pegawai kontrak, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Gagasan awal berkembangnya outsourcing (Alih Daya) adalah untuk membagi resiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk ketenagakerjaan. Outsourcing (Alih Daya) merupakan bisnis kemitraan dengan tujuan memperoleh keuntungan bersama, membuka peluang bagi berdirinya perusahaan-perusahaan
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
baru di bidang jasa penyedia tenaga kerja, serta efisiensi bagi dunia usaha. Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja.Pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (Pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Keputusan. 101/Menteri/ VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah Pasal 64, Pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan Pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). UndangUndang tersebut dapat dipergunakan dan berfungsi untuk menyelesaikan masalah tanggung jawab perusahaan penyedia jasa dalam perbuatan melawan hukum
7 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
yang dilakukan oleh pekerja outsourcing adalah a. Dapat dijadikan literatur dibidang hukum khususnya hukum perdata b. Dapat digunakan bagi pihak yang terkait dalam penyelesaian permasalahan pekerja, yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum. Peranan perusahaan outsourcing yang merupakan pihak ketiga dalam perjanjian kerja antara perusahaan dengan tenaga kerja membawa dampak hubungan pertanggungjawaban, pada perusahaan yang memberikan jasa keamanan kepada perusahaan yang membutuhkan. Maka perusahaan tersebut dapat pula dimintai pertanggung jawaban apabila perbuatan melawan hukum yang dilakukan pekerja outsourcing dapat merugikan perusahaan peminta jasa tenaga kerja. Rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah a. Bagaimana pengaturan tentang outsourcing menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003? b. Bagaimana tanggung jawab perusahaan penyedia jasa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pekerja outsourcing? METODE PENELITIAN Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian pengaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Selain itu juga digunakan pendekatan analisis (Analitical Approach), pendekatan ini maksudnya menganalisa tanggung jawab perusahaan penyedia jasa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pekerja outsourcing. Adapun bahan yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundangundangan, yang penulis uraikan dan dihubungkan sedemikian rupa. Cara pengolahan data dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan kongkrit yang dihadapi. HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Terhadap Tanggung Pengaturan Tentang Outsourcing Untuk menentukan tingkatan tanggungjawabnya, dan yang
bertanggungjawab, berikut akan dijelaskan beberapa prinsip tanggung jawab: 1 a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru bisa dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan. Dalam Kitab Undang–Undang Hukum Perdata Pasal 1365, yang dikenal sebagai perbuatan melawan hukum, mensyaratkan terpenuhinya unsur pokok yaitu: a. Adanya perbuatan b. Adanya unsur kesalahan c. Adanya kerugian yang diderita d. Adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan dan kerugian. 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability), sampai dapat membuktikan sebaliknya. Prinsip pembuktian ini dalam hukum pidana baru diterapkan pada tindak pidana korupsi. 3. Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, misal hukum pengangkutan. 4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Istilah strict liability ini sering diidentikkan dengan tanggung jawab mutlak. Ada pakar yang membedakan antara strict liability dengan absolute liability. Pada strict liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misal force majeur. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Pembedaan tanggung jawab tersebut juga dapat dilihat dari ada tidaknya hubungan kausalitas antara subyek yang bertanggungjawab dengan kesalahan. 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan. Prinsip ini sangat menguntungkan pelaku usaha karena dalam klausul perjanjian selalu mencantumkan pembatasan tanggung jawab yang dikenal
Jawab besar wajib
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
1
Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. h.87.
8 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
dengan klausul eksonerasi atau lepas dari tanggung jawab. Dalam melaksanakan pengaturan tentang outsourcing menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu :
2. Pengaturan Tentang Outsourcing Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Outsourcing merupakan perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh karena semua kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan maupun tenaga kerja yang seharusnya menjadi urusan dan ditangani langsung oleh perusahaan pengguna dialihkan kepada perusahaan penyedia jasa untuk kemudian ditangani dan menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa, maka itu perjanjian outsourcing sebagai perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan asas-asas hukum kontrak, yang meliputi asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikatnya perjanjian. Pada asas kebebasan berkontrak, terdapat kebebasan kehendak yang mengimplikasikan adanya kesetaraan minimal. Di sini antara pekerja dengan pemberi kerja harus mempunyai kedudukan yang sama tidak dalam kedudukan sub ordinasi (di bawah perintah) harus sebagai mitra kerja. Pada asas kekuatan mengikatnya kontrak, ditentukan oleh isi kontrak itu sendiri, kepatutan atau iktikad baik, kebiasaan dan peraturan perundang-undangan.
3. Perusahaan Penyedia Jasa Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.3 4. Perbuatan Melawan Hukum Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu antara lain kerugiankerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung, kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Secara prinsip, pelaku Perbuatan Melawan Hukum telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan wajib mengganti kerugian (moril dan materil) terhadap pihak-pihak yang telah dirugikan (saudara serta pembeli) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Berbicara tentang Perbuatan Melawan Hukum tentunya akan menghadapkan kita pada hal menentukan apakah suatu perbuatan itu merupakan Perbuatan Melawan Hukum atau wanprestasi. Hal ini terjadi karena mungkin saja hal yang kita nilai sebagai Perbuatan Melawan Hukum ternyata hanya merupakan wanprestasi semata. Kita perlu mengingat kembali bahwa wanprestasi terjadi apabila seorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian
2
3
1. Pengertian Perusahaan Mengenai pengertian perusahaan ini secara ilmiah terdapat beberapa pendapat, diantaranya adalah: Menurut pemerintah Belanda perusahaan ialah keseluruhan perbuatan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba. Menurut Molengraff, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barangbarang, atau mengadakan perjanjianperjanjian perdagangan. 2
H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Hukum Dagang Indonesia 1. Djambatan. Jakarta 2003. halaman 15.
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Djumadi. 2008. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 49-54.
9 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
tersebut tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5. Tanggung Jawab Perusahaan Penyedia Jasa Akibat Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Pekerja Outsourcing Bahwa meluasnya tanggung jawab berkaitan dengan perbuatan melawan hukum merupakan konsekuensi logis dari perkembangan peradaban manusia itu sendiri, terutama dimulai ketika pola relasi antara manusia yang satu dengan yang lain semakin kompleks. Harus diakui konsep hukum common law jauh lebih berkembang dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pengusaha atau perusahaan penyedia jasa ini dibandingkan dengan system hukum kita (civil law). Dalam sistem common law, doktrin Respondeat Superior Liability adalah salah satu doktrin utama yang diterima luas sebagai dasar pertanggungjawaban perusahaan penyedia jasa dalam konteks menjalankan pekerjaan. Menurut doktrin respondeat superior ini, seorang perusahaan penyedia jasa bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai atau karyawannya jika karyawan tersebut bertindak masih dalam cakupan menjalankan pekerjaannya atau dalam lingkup pekerjaannya. Perumusan pertanggungjawaban dalam Pasal 1367 KUH Perdata sebagai mana disebutkan di atas, masih sangat umum dan luas sehingga agak menyulitkan dalam aplikasinya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pengaturan tentang outsourcing adalah diawali dengan adanya kesepakatan antara perusahaan pengguna tenaga kerja (jasa) dengan perusahaan penyedia jasa, kesepakatan tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian kerjasama pemborongan penyediaan tenaga kerja, setelah itu perusahaan penyedia jasa melakukan perjanjian dengan pekerja. 2. Tanggung jawab perusahaan penyedia jasa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan pekerja outsourcing yaitu seorang perusahaan penyedia jasa bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai atau karyawannya jika karyawan tersebut bertindak masih dalam cakupan menjalankan pekerjaannya atau dalam lingkup pekerjaannya. Perumusan pertanggungjawaban dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Hukum Perdata sebagai mana disebutkan di atas, masih sangat umum dan luas sehingga agak menyulitkan dalam aplikasinya. Saran 1. Agar setiap perusahaan yang menggunakan jasa tenaga kontrak (outsourcing) dapat memberikan hak-hak pekerja kontrak menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. 2. Agar para pekerja kontrak dalam melakukan pekerjaan dapat bekerja dengan baik dan sekaligus hak-hakya sebagai pekerja dapat dipenuhi/diperjuangkan, maka pemerintah seharusnya memfasilitasi pekerja kontrak (outsourcing) dalam memperoleh hak-haknya dengan membuka posko-posko pengaduan terhadap tenaga kerja, melalui asosiasi tenaga kerja di dalam perusahaan yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad. Hukum Perusahaan Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Abdul. R Saliman. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Kencana Prenada Media, Jakara, 2004. Ahmadi Miru. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2008. Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen.: Sinar Grafika. Jakarta, 2008. Djumadi. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2008. H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Hukum Dagang Indonesia 1, Djambatan. Jakarta, 2003. Johnny Ibrahim, Teori Metode Penelitian Normatif, Banyu Media Publishing, Malang , 2005. Lalu Husni. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta, 2002. Sentosa Sembiring. Hukum Dagang. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
10 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
PARADIGMA BARU PENGEMBANGAN MANAJEMEN MADRASAH Tsalits Fahami (FKIP Universitas Islam Lamongan)
Abstract: The new paradigm of madrasah management development that must be addressed is the managerial problems. Sothat educational institutions Madrasah should be able to manage, direct and guidestudents to face the changes and is able to create scholars, educators and parents in thefuture. The effective Madrasah in general have a number of characteristics of the process asfollows: The process of teaching and learning effectiveness is high, strong leadershipmadrasah, madrasah environment that is safe and orderly, effective management of educational personnel, Madrasah has a quality culture, Madrasah has cohesive teamwork, Smart, and Dynamic, Madrasah has the authority (self-reliance), high participation of madrasah citizens and public, Madrasah has openness (transparency) management, Madrasah has a willingnessto change (psychological and physical), Madrasah get evaluation and continuous improvement, Madrasah is responsive and adaptable to the needs, Having good communication, Madrasah has accountability, Madrasah has the ability to maintain sustainability. Kata kumci : Paradigma baru, Manajemen madrasah
Pendahuluan Pembicaraan tentang manajemen akhirakhir ini hangat dibincangkan. Hal tersebut bukan saja merupakan hal baru bagi dunia pendidikan. Sumber daya manusia merupakan unsure aktif dalam penyelenggaraan organisasi. Sedangkan unsure-unsur yang lainnya merupakan unsure pasif yang bisa diubah oleh kreativitas manusia. Dengan pengelolaan (nanajemen) yang berkualitas, diharapkan akan dapat mengkondisikan unsurunsur yang lain agar bisa mencapai tingkat produktifitas suatu organisasi. Madrasah diyakini menjadi lembaga pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik pada ranah yang lebih komprehensif, seperti aspek intelektual, moral, spiritual, dan keterampilan secara padu. Madrasah diyakini akan mampu mengintegrasikan kematangan religius dan keahlian ilmu modern kepada peserta didik sekaligus (suprayogo, 2007). Dengan kemampuan itu, madrasah akan mampu pula mencetak insan-insan cerdas, kreatif, dan beradab untuk menghadapi era globalisasi. Memperbincangkan mengenai lembaga pendidikan yang bernama madrasah, agaknya akan selalu menarik dan tidak ada habishabisnya. Terlebih yang dibicarakan adalah dari aspek manajemennya. Karena manajemen dalam suatu lembaga apa pun akan sangat
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
diperlukan, bahkan – disadari atau tidak – sebagai prasyarat mutlak untuk tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam lembaga tersebut. Semakin baik manajemen yang diterapkan, semakin besar pula kemungkinan berhasilnya lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Demikian pula sebaliknya. Realitas di lapangan lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah tingkat produktifitas masih jauh dari yang diharapkan. Madrasah sebagai lembaga pendidikan formal sering kurang mampu mengikuti dan menanggapi arus perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat. Selama ini madrasah danggap sebagai lembaga pendidikan islam yang mutunya lebih rendah dari pada mutu lembaga pendidikan lainnya, terutama sekolah umum, walaupaun beberapa madrasah justru lebih maju dari pada sekolah umum. Namun keberhasilan beberapa madrasah dalam jumlah yang terbatas itu belum mampu menghapus kesan negative yang sudah terlanjur melekat (Qomar, 2007). Dunia pendidikan masa depan perlu semakin mengintegrasikan kedalam berbabagai kegiatannya. Baik yang bersifat kurikuler maupun ekstra kurikuler. Dalam kehidupan budaya, globalisasi menantang dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang kenal,
11 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
mencintai dan mampu mengekspresikan budaya bangsanya seraya mampu menjalin dialog terbuka dan kritis dengan budayabudaya lain. Kalau tidak, yang akan muncul adalah generasi yang tak punya identitas atau yang gamang, takut dan bingung menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. Untuk itu diperlukan manajemen pendidikan yang professional. Pengertian Manajemen Dalam kamus besar Bahasa Indonesia manajemen diartikan ; proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran; Pejabat pimpinan yang bertanggungjawab atas jalannya perusahaan dan organisasi (kamus besar Bahasa Indonesia, 1990). Istilah manajemen dalam bahasa Indonesia belum ada keseragaman dalam menerjemahkan, diantaranya adalah manajemen, management, pengolahan, pembinaan, ketatalaksanaan, pengurusan, kepemimpinan, pemimpin, ketatapengurusan dan sebagainya. Ada kaitan yang erat antara organisasi, administrasi dan manajemen. Organisasi ialah sekumpulan dari sekelompok orang yang mengadakan suatu aktivitas bersama untuk mmencapai tujuan bersama. Mulamula mereka mengintegrasikan sumbersumber materi maupun sikap para anggota yang dikenal sebagai manajemen, dan barulah mereka melaksanakan kegiatankegiatan untuk mencapai cita-cita tersebut. Baik manajemen maupun melaksanakan kegiatan itu disebut administrasi. Pada abad ini telah banyak para teoritis maupun para praktisi yang yang menaruh minat untuk mempelajari ilmu manajemen, baik bedasarkan study konsepsi maupun berdasarkan penelitian yang telah mereka lakukan, karena banyaknya tinjauan mereka sehingga banyak definisi yang mereka ajukan sesuai dengan disiplin ilmu tempat mereka berpijak. Namun pada pada prinsipnya mereka berbendapat bahwa manajemen sebagi suatu keahlian, kemahiran, kemampuan dan ketrampilan (seni) dan sebagai ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam setiap aktifitas. Pengertian manajemen sebagaimana yang dikemukakan para ahli yang tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, antara lain :
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
John D. Millet dalam bukunya management the public dikutup oleh Maman Ukas dalam pengantar management, membatasi managemen sebagai berikut ; manajemen diartikan sebagai suatu proses pengarahan, penjurusan dan pemberian fasilitas kerja kepada orang-orang yang diorganisasikan dalam kelompok-kelompok formal untuk mencapai tujuan yang diharapkan. M. Manullang dalam bukunya DasarDasar Management bahwa manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan dari Humam and Natural recuces (terutama Human rescurces) untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu. Sedangkan menurut Dale bahwa manajemen sebagai 1). Mengelola orangorang, 2). Pengambilan keputusan, 3). Proses mengorganisasi dan memakai sumber-sumber untuk menyelesaikan tujuan yang sudah ditentukan. Suatu pandangan yang bersifat umum mengatakan bahwa manajemen ialah proses mengintegrasikan sumber-sumber yang berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan suatu tujuan. Yang dimaksud sumber disini ialah mencakup orang-orang, alat-alat, media, bahanbahan, uang, dan sarana. semuanya diarahkan dan dikoordinasikan agar terpusat dalam rangka menyelesaikan tujuan. Bedasarkan batasan yang telah dikemukakan diatas dan terlepas dari sudut mana para ahli tersebut memberikan batasan, maka manajemen dapat diartikan sebagai seni dan ilmu dalam perencanaan, perorganisasian, pengarahan, pemberian motivasi dan pengawasan terhadap orang mekanisme kerja untuk mencapai tujuan yang selalu ditetapkan. Dari definisi manajemen tersebut diperoleh unsur-unsur sebagai berikut : 1. Unsur sifat. a. Manajemen sebagai suatu seni (art) yaitu sebagai suatu keahlian, kemahiran, kemampuan dan ketrampilan dalam aplikasi ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. b. Manajemen sebagai suatu ilmu (science) yaitu merupakan akumulasi
12 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
yang telah disistematisasikan dan diorganisasikan untuk mencapai suatu kebenaran umum. 2. Unsur fungsi a. Perencanaan (planing) yaitu suatu proses dan rangkaian kegiatan untuk menetapkan terlebih dahulu tujuan yang diharapkan pada suatu jangka waktu tertentu atau periode waktu yang telah ditetapkan, serta tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. b. Perorganisasian (organizing). Yaitu suatu proses dan rangkaian kegiatan dalam pembagian pekerjaan yang derencanakan untuk diselesaikan oleh anggota kelompok pekerjaan, penentuan hubungan yang baik diantara mereka, dan pemberian lingkungan dan fasilitas pekerjaan yang sepatutnya. c. Pengarahan (directing), yaitu suatu rangkaian kegiatan dalam rangka memberikan petunjuk atau intrksi dari seorang atasan kepada bawahan/beberapa bawahan atau kepada orang yang diorganisasikan dalam kelompok formal dan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. d. Pengawasan (controling). Yaitu suatu proses dan rangkaian kegiatan untuk mengusahakan agar sesuatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana dan tahapan tersebut, diadakan suatu tindakan perbaikan seperlunya (corerrective actin). Manajemen Madarasah dapat diartikan sebagai aktifitas memadukan sumbersumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan Madrasah yang telah ditentukan sebelumnya.
Pengertian Madrasah Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitab Taurat’. Kata "madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola. Secara teknis, dalam proses belajarmengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam). Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmuilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan". Sejarah Kelahiran Madrasah di Indonesia Kehadiran lembaga pendidikan Islam di Nusantara tidak lama berselang setelah masuk dan tersebarnya Islam, justru proses Islamisasi diperkuat oleh lembaga pendidikan sebagai medianya (Tjandrasasmita, 2007). Madrasah tidak lahir secara instan, melainkan ia bagian dari pembaruan pendidikan sistem pendidikan sebelumnya, seperti maktab, kuttâb, istana, kedai buku, shuffah, halaqah, masjid, khân, ribâth, toko buku dan perpustakaan. Sedangkan di Indonesia madrasah ia merupakan bagian dari pembaruan pendidikan sistem pendidikan masjid, pesantren, meunasah, rangkang, dayah, dayah teuku cik
13 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
dan surau. Baik masjid, pesantren, surau, dayah, rangkang dan meunasah tidak memiliki perbedaan yang berarti sebagai sebuah sistem pendidikan. Azyumardi (2003) Perbedaannya adalah keragaman, kekayaan dan elastisitas pendidikan Islam. Islam nyaris menjadikan pranata-pranata di Nusantara yang telah berlaku di komunitas setempat sebagai basis penyiaran Islam, agar dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat setempat, yang kemudian diislamisasikan. Kelahiran madrasah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarahnya, yakni merupakan respon atau ketidakpuasan terhadap dua hal, Pertama, stagnasi atau ketertinggalan sistem yang diterapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional yang ada di Indonesia, seperti Surau, Meunasah, dan Pesantren. Lembaga-lembaga pendidikan ini umumnya, (a) memiliki manajemen pendidikan yang konvensional dan tradisional, yang cenderung terpusat pada seseorang, terutama kyai atau buya, sehingga kepemimpinan (leadership) bersipat individual atau tidak kolektif; (b) mempertahankan sistem pendidikan yang tradisional, yakni menggunakan metode yang konvensional (yakni sorogan dan bandungan) serta menerapkan kurikulum pembelajaran yang cenderung berorientasi pada penghapalan dan pemahaman ilmu-ilmu agama (doktriner); dan (c) mereka cenderung menafikan [bahkan sebagian mengharamkan] untuk mempelajari ilmu-ilmu "umum",seperti matematika, logika, fisika, kimia, biologi, hingga teknologi. Tidak salah, sebagian orang menyebutkan bahwa lembaga pendidikan tradisional hanya mempelajari ilmu yang berorientasi pada keakhiratan atau berakhlakul karimah, sedang aspek kecerdasan (melek ipteks), seringkali diabaikan. Kedua, sistem pendidikan sekolah umum -- untuk tidak menyebut sekuler-- yang diterapkan oleh pemerintah (Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru). Pada institusi pendidikan ini, ilmu-ilmu sains modern dan teknologi dipelajari, dan sebaliknya ilmu-ilmu agama "dimarginalkan" atau dipinggirkan. Siswa dicetak menjadi cerdas dan pintar, serta profesional, tetapi mengabaikan aspek "baik" dalam perilaku/etika. Umumnya, siswa-siswa diajarkan menggunakan metode yang modern dan diorientasikan untuk mempelajari ilmuilmu yang dibutuhkan untuk memenuhi lapangan kerja atau industri. Dengan kata lain,
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
siswa dicetak sebagai pekerja atau berorientasi kerja atau "materi' (upah atau uang). Dari kegelisahan ini, sebagian pemikir pendidikan Islam, kemudian mengambil upaya untuk mengkonvergensi sistem pendidikan dari keduanya. Hasil konvergensi inilah yang kemudian, kini, menghasilkan institusi pendidikan yang bernama "madrasah". Potret sederhananya dapat dilihat dalam kurikulumnya yang merupakan gabungan dari dua jenis kurikulum, yakni kurikulum yang ada pada lembaga pendidikan tradisional [misal pesantren] dan kurikulum sekolah. Hasilnya adalah integrasi ilmu dan pendidikan karakter [akhlak mulia]. Madrasah tidak hanya mendidik siswa cerdas dan pintar, tetapi berakhlak mulia; atau dengan kata lain, cageur, pinter, dan bageur. Inilah keunggulan dari madrasah. Dari segi kurikulum, madrasah pun mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Berdasarkan pada undang-undang ini, madrasah memiliki kesetaraan dengan sekolah (umum). Perbedaannya hanya terletak pada penekanannya terhadap matpel agama Islam. Inilah yang menyebabkan madrasah diasumsikan “lebih Islami” daripada sekolah lainnya. Selebihnya, Kemenag RI pun berusaha merumuskan dan mengimplementasikan, apa yang disebut para ahli sebagai, “nuansa islam” dalam kurikulum. Paradigma Baru Pengembangan Manajemen Madrasah Dalam memenuhi target jangka pendek, Madrasah harus mampu memberikan arahan dan menuntun anak didik secara massal, untuk menjadi umat beragama (Islam) yang mampu menghadapi dan menjalani perubahan, sedangkan untuk jangka panjang, penekanannya adalah bahwa Madrasah mampu melahirkan ulama’, pendidik, orang tua yang konsisten menunjukkan kemampuan dalam mengarahkan dan menuntun anaknya agar menjadi generasi berkemajuan dunia atas landasan keakhiratan. Sisi pertama yang cukup tertantang adalah masalah kualifikasi tenaga kependidikan. Aspek tersebut menuntut para pengampu Madrasah masa sekarang dan masa mendatang adalah mereka yang
14 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
tidak hanya sekedar menguasai ajaran agama secara kontektual, tapi juga tekstual dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Sisi lainnya adalah bahwa para pengampu yang qualified tersebut, harus membuktikan kemampuannya dengan menghindarkan proses pembelajarannya pada semata-mata pencapaian target kognitif. Sebab aspek afektif dan spikomotorik merupakan penentu tersosialisasikannya ajaran-ajaran moral dan budi pekerti pada perkembangan prilaku anak didik, sebagai calon ulama’, calon pendidik dan orang tua di masa datang. Dalam konteks ini, maka keberadaan para pengampu disetiap jenjang Madrasah, lebih kuat tuntutan tanggungjawab moral dibanding tanggungjawab kedinasan. Jabatan memang untuk mencari nafkah sebagaimana juga profesi-profesi lain. Tapi keberadaannya dilingkari oleh tanggungjawab untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang sangat tegas menunjukkan sasaran moral, ketrampilan dan kecerdasan. Dalam konteks tersebut, maka kelemahan-kelemahan lain yang dinilai masih disandang madrasah, dan melemahnya dalam menjawab tantangan yang dibawa zaman, perlu segera dibenahi. Arahnya bukan untuk bersaing, tetapi senuhnya untuk memenuhi dan melaksanakan tanggungjawab untuk melahirkan manusia-manusia yang bijaksana, cendekia dan bermoral. Ini sekaligus sebagai antisipasi keberadaan Madrasah untuk tidak semakin marginal dalam percaturan global, dalam Indonesia modern dan Indonesia Industrial. Kepala Madrasah misalnya bisa berperan sebagai administrator dalam mengemban misi, sebagai manajer dalam memadukan sumber-sumber pendidikan dan sebagai supervisor dalam membina guru-guru pada proses mengajar, ini berarti organisasi sekolah melaksanakan administrasi, manajemen dan supervisi. Walaupun ada manajemen disekolah yang dilaksanakan oleh kepala sekolah, namun pada hakekatnya manajemen itu ada pada setiap unit kerja Madrasah, naumun dalam praktek sehari-hari kepala-kepala unit kerja itu tidak bisa disebut manajer, sehingga seolah-olah di situ tidak ada
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
manajemen, walaupun mereka melakukan pekerjaan manajer. Pengembangan Manajemen Madarasah dengan manangani individu-individu peserta didik yang hidup dinamis dan unik yang sedang berkembang dan tumbuh, bantuhan dan kesempatan berkembang kearah positif inilah yang harus dicapai oleh manajemen Marsah, manajemen ini membutuhkan banyak variasi, kreasi dan kiat, sebab manajemen ini bermuara pada keberhasilan proses pendidikan, dengan demikian kapanpun penyelenggara Madrasah memegang peranan utama dalam lembaga pendidikan. jadi penyelenggara Madarasah mutlak harus seorang professional dalam manajemen pendidikan. Kewajiban-kewajiban seorang penyelenggara Madrasah : 1. menjadi manajer dengan tugas-ugas sebagai berikut : a. mengadakan prediksi tentang kemungkinan perubahan lingkungan. b. Merencanakan dan melakukan inovasi dalam pendidikan c. Menciptakan strategi dan kebijakan lembaga agar proses pendidikan tidak mengalami hambatan. d. Menagakan perencanaan dan menemukan sumber-sumber pendidikan. e. Menyediakan dan mengkoodinasi fasilitas pendidikan f. Melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan agar tidak terlanjur berbuat kesalahan. 2. menjadi pemimpin: a. memimpin semua bawahan b. memotivasi agar bekerja dengan rajin dan giat c. meningkatkan kesejahteraan para bawahan d. mendisplin para pendidik dan pegawai dalam melaksanakan tugasnya. 3. Sebagai supervisi atau pengawas a. mengawasi dan menilai cara kerja dan hasil kerja pendidik dan pegawai b. memberi supervisi dalam meningkat cara bekerja c. mencari dan memberi peluang untuk meningkatkan profesi para penddidik. 4. sebagai pencipta iklim bekerja dan belajar yang kondusif. 5. Sebagai pencipta lingkungan bekerja dan belajar yang kondusif.
15 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
6. Mejadi administrator lembaga pendidikan dengan tugas menyelenggarakan kegiatan kegiatan rutin yang dioperasikan oleh para personalia lembaga. 7. Menjadi koordinator kerjasama lembaga pendidikan dengan masyarakat. Oleh karena itu dalam memasuki abad XXI, reposisi dan reaktualisasi Madrasah merupakan keharusan, antara lain lewat transformasi Madrasah yang bertumpu pada tiga pilar; a). Reformasi aspek regulatori pendidikan; dititik beratkan pada reformasi kurikulum, b). reformasi aspek profesi, c). Reformasi manajemen Madrasah. Ini ditujukan untuk mengubah pusat-pusat pengambilan keputusan dan kendali pendidikan pada level yang lebih dekat dengan proses belajar-mengajar. Dalam reformasi manajemen Madrasah yang harus dilakukan adalah ; pertama, memberikan kesempatan yang lebih luas kepada kepala Madrasah untuk mengambil keputusan berkaitan dengan pendidikan. Bentuk kebijakan ini adalah menumbuhkan school based management. Kedua, memberikan kesempatan yang luas kepada warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengelola sekolah. Dengan demikian peran masyarakat akan semakin besar untuk kemudian mewujudkan cummunity based school (Zamroni, 2001). Untuk memasuki era globalisasi Madrasah harus bergeser kearah pendidikan yang berwawasan global, dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global bearti menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, Madrasah berwawasan global menuntut kebijakan pendidikan tidak semata sebagai kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifaat demokratis, fleksibel dan adaptif. Madrasah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut: a. Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi Madrasah yang menerapkan manajemen peningkatan mutu berbasis madrasah (MPMBM) memiliki efektivitas proses
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik. PBM bukan sekadar memorisasi dan recall, bukan sekadar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). b. Kepemimpinan madrasah yang kuat Pada madrasah yang menerapkan MPMBM, kepala madrasah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala madrasah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong madrasah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran madrasahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala madrasah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu madrasah. Secara umum, kepala madrasah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya madrasah, terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan madrasah. c. Lingkungan madrasah yang aman dan tertib Madrasah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, madrasah yang efektif selalu menciptakan iklim madrasah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan kepala madrasah sangat penting sekali.
16 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari madrasah. Madrasah hanyalah merupakan wadah. madrasah yang menerapkan MPMBM menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala madrasah. Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya, tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan MPMBM adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik. e. Madrasah memiliki budaya mutu Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga madrasah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjasama; (e) warga madrasah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga madrasah merasa memiliki Madrasah . f. Madrasah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh MPMBM, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga Madrasah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam madrasah, antar individu dalam madrasah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga madrasah .
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
g. Madrasah memiliki kewenangan (kemandirian) Madrasah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi madrasahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, Madrasah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya. h. Partisipasi yang tinggi dari warga madrasah dan masyarakat Madrasah yang menerapkan MPMBM memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga madrasah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya. i. Madrasah memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan madrasah merupakan karakteristik madrasah yang menerapkan MPMBM. Keterbukaan/ transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol. j. Madrasah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan pisik) Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga madrasah . Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh madrasah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap yang dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik. k. Madrasah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk
17 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di madrasah . Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu madrasah secara keseluruhan dan secara terus menerus. Perbaikan secara terus-menerus harus merupakan kebiasaan warga madrasah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggungjawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu. l. Madrasah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan Madrasah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, madrasah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, Madrasah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. m. Memiliki Komunikasi yang Baik Madrasah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga madrasah, dan juga madrasah-masyarakat, sehingga kegiatankegiatan yang dilakukan oleh masingmasing warga madrasah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan madrasah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran madrasah yang telah dipatok. Selain itu, komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak, dan cerdas, sehingga berbagai kegiatan madrasah dapat dilakukan secara merata oleh warga madrasah n. Madrasah memiliki akuntabilitas Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan madrasah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orangtua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MPMBM telah mencapai tujuan yang dikendaki
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada madrasah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat. Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja madrasah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orangtua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orangtua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggung jawaban dan penjelasan madrasah atas kegagalan program MPMBM yang telah dilakukan. o. Madrasah memiliki kemampuan menjaga sustainabilitas Madrasah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik alam program maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan madrasah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. madrasah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi madrasah-madrasah negeri. Penutup Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa paradigma baru pengembangan managemen madrasah adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan pengkontrolan aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya.
18 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Paradigma baru pengembangan manajemen madrasah yang harus segera dibenahi adalah masalah manajerialnya. Sehingga lembaga pendidikan Madrasah harus mampu memanaj, mengarahkan dan menuntun anak didik menghadapi perubahan dan mampu melahirkan ulama’, pendidik dan orang tua dimasa yang akan datang. Madrasah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut: Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi, Kepemimpinan madrasah yang kuat, Lingkungan madrasah yang aman dan tertib, Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, Madrasah memiliki budaya mutu, Madrasah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis, Madrasah memiliki kewenangan (kemandirian), Partisipasi yang tinggi dari warga madrasah dan masyarakat, Madrasah memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen, Madrasah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan pisik), Madrasah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan, Madrasah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, Memiliki Komunikasi yang Baik, Madrasah memiliki akuntabilitas, Madrasah memiliki kemampuan menjaga sustainabilitas. Apa yang diuriakan tulisan ini, masih telaah awal dan belum dan belum merupakan kesimpulan final, karena diskursus intektual tentang pengembangan manajemen perlu terus dikembangkan. Hal ini dalam kerangka ikut aktif dalam menemukan formulasi paradigma baru pengembangan manajemen Madrasah ideal. baik dalam tataran teoi maupun parktis. Wallahua’lam Bisshawab. Daftar Rujukan A. Admadi dan Y. Setianingsih (ed), Tronformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga, Yogyakarta: Kanisus, 2000 Abuddin Nata, Metodologi Study Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 Ahmad Suyuthi, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jurnal Studi Islam
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Akademika Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan, Volume 5, Nomor 1, Juni 2011 Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Ciputat: Logos, 2003. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Ciputat: Logos, 2002. Bedjo Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja, Bandung: Sinar Baru, 1989 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1990. Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah Gagasan, Aksi dan Solusi Pembangunan Madrasah, Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2007. Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1988. Made Pidarta , Landasan pendidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan bercorak Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1997 Maman Ukas, Pengantar Ilmu Management, Bandung: IKIP Bandung, 1997. M. Manullang, Dasar-Dasar Management, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1997. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (ed), Pendidikan Islam Dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Adtya Media, 1997 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2007
Nurcholish Majid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997. S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Bandung: Jemmars, 1992 Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2007. Tim. MKDK, Ilmu Pendidikan, Surabaya: IKIP Surabaya, 1992 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. II, 1991
19 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi tantangan Menuju Civil Society, Yogyakarta: Biagraf Publishing, Yogyakarta, 2001 Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Biagraf Publishing, 2000
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
20 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
MENUMBUHKAN JIWA KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
Maskun *) Dosen Fakultas Teknik Universitas Islam Lamongan Abstrak Fluktuasi pertumbuhan suatu bangsa tidak terlepas dari meningkatnya jumlah penduduk yang berjiwa wirausaha. Kurangnya jumlah masyarakat yang memiliki jiwa wirausaha di Indonesia, antara lian disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang kewirausahaan, etos kerja yang kurang menghargai kerja keras. Dalam hal ini, sikap mental yang baik dalam mendukung pembangunan, khususnya pertumbuhan perekonomian, perlu ditanamkan pada diri individu masing-masing masyarakat khususnya oleh mahasiswa. Berdasarkan hasil penelitian bahwa keberhasilan sesorang ditentukan oleh pendidikan formal hanya sebesar 15% dan selebihnya 85% ditentukan sikap mental atau kepribadian. Saat ini pengangguran tidak hanya berstatus lulusan SD sampai SMA saja, tetapi banyak juga sarjana. Perusahaan makin selektif menerima karyawan baru sementara tingkat persaingan semakin tinggi. Tidak ada jaminan seorang sarjana memperoleh pekerjaan. Sebagai mahasiswa yang ingin membangun jiwa wirausaha, harus mampu belajar merubah sikap mental yang kurang baik dan perlu dimulai dengan kesadarn dan kemauan untuk mempelajari ilmu kewirausahaan kemudian menghayati dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kata Kunci : kewirausahaan, mahasiswa, program kewirausahaan. Latar Belakang Ada beberapa identifikasi masalah yang mempengaruhi wacana penumbuhan kreatifitas pada mahasiswa. Yaitu : a. Terdapat banyak sarjana pengangguran, b. kurangnya kesadaran mahasiswa dalam dunia kewirausahaan, c. tidak adanya sosialisasi kewirausahan terhadap mahasisiwa dan d) saat ini sangat di perlukan mahasiswa yang kreatif dan inovatif dalam kewirausahaan. Keempat faktor ini merupakan permasalahan yang muncul dan perlu dicarikan solusi dan pemikiran yang mendalam dari praktisi akademis maupun pemerintah dalam rangka menumbuhkan kreativitas mahasiswa dalam meningkatkan jiwa kewirausahaan pada mahasiswa. Perlu diingat bahwa wirausaha di Indonesia sangat minim dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Rumusan permasalahan dari makalah ini adalah bagaimana menumbuhkan jiwa kewirausahaan mahasiswa untuk menopang perekonomian yang akan datang , dan bagaimana hasil yang nampak setelah di terapkanya jiwa kewirausahaan dalam diri mahasiswa itu sendiri. Pengertian Mahasiswa Mahasiswa adalah sebutan bagi orang-orang yang melanjutkan studinya diperguruan tinggi, mahasiswa selalu memiliki kedudukan lebih tinggi dimata masyarakat karena mereka dianggap bahwa mahasiswa adalah jaminan didunia kerja selepas dari itu mahasiswa harus belajar dengan baik agar berhasil didunia kerja. Menurut fakta masih banyak lulusan mahasiswa yang menjadi pengangguran, jadi tidak sepenuhnya anggapan dari masyarakat semua itu benar. Mahasiswa mempunyai peranan yang amat penting bagi masyarakat selain belajar
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
mahasiswa merupakan penyalur aspirasi masyarakat ke dunia kerja. Mahasiswa mempunyai banyak akses untuk menyalurkan keterampilan yang di peroleh di bangku perkuliahan untuk memajukan masyarakat untuk berwirausaha. Kewirausahaan Wirausaha adalah kemampuan untuk berdiri sendiri, berdaulat, merdeka lahir batin, sumber peningkatan kepribadian, suatu proses dimana orang mengajar peluang, merupakan sifat mental dan sifat jiwa yang selalu aktif, dituntut untuk mampu mengelola, menguasai, mengetahui dan berpengalaman untuk memacu kreatifitas. Robert Argene (2003: 1) mengartikan wirausaha sebagai usaha-usaha yang mempunyai keunggulan tertentu untuk memodifikasi produk lama menjadi produk baru, dengan menciptakan lapangan pekerjaan, yang memanfaatkan pemberdayaan manusia dan kekayaan alam lainnya. Dapat di simpulkan bahwa pengertian kewirausahaan/kewiraswastaan adalah semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang baik atau memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan memanfaatkan sumber kekayaan yang ada dengan bersumber pada kekayaan sendiri. Perlu diingat bahwa kegiatan wirausaha akan menunjang ekonomi keluarga / pemerintah, baik industri dan perdagangan. Pertumbuhan industri yang diikuti kemajuan perdagangan akan melahirkan kesempatan kerja baru. Lapangan kerja
21 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora baru ini akan menampung tenaga kerja baru, yang pada hakekatnya mengurangi pengangguran, mengatasi ketegangan sosial, meningkatkan taraf hidup masyarakat, memajukan ekonomi bangsa dan negara, pada akhirnya menentukan pula keberhasilan pembangunan nasional. Wirausaha dalam bekerja selalu menekankan segi kemampuannya untuk berdiri sendiri bukan berarti dia tidak mau bekerja sama dengan orang lain, seperti diungkapkan (Soersarsono Wijadi, 1988: 22). Berdiri sendiri dalam arti wirausaha tidak di artikan sebagai suatu tindakan menutup diri sendiri atau menyendiri, akan tetapi lebih di tekankan pada pengertian kepercayaan pada dirinya sendiri yang memang sangat di perlukan dalam mengatasi hidup. Berdasarkan dari pendapat di atas maka dapat di simpulkan bahwa seorang wira usaha dalam bekerja selalu menekankan segi kemampuan: 1) Kepercayaan pada diri sendiri. 2) Rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan. 3) Berkemauan keras untuk maju. 4) Berdisiplin dan menghargai waktu. 5) Inovatif. 6) Pengelolaan usaha. 7) Pengambilan resiko yang layak. Ciri-ciri Wirausaha Diungkapkan oleh Amin Aziz (1978) dalam Sugeng Karjito (1995; 29) bahwa wirausaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Innovational menemukan dan menerima ideide baru dalam berproduksi. b. Capital Acumulation (pembinaan modal) yakni menginginkan pemupukan modal yang di gunakan untuk proses kelangsungan selanjutnya. c. Leadhership (kepemimpinan) yang menunjuk ciri merancang, melaksanakan an mengarahkan pada proses tujuan. d. Risk taking (keinginan mengambil resiko) dengan mempertimbangkan dan menerima resiko yang layak. e. Manajerial (pinata laksanaan) yang baik untuk di terapkan untuk merencanaka, melaksanakan, mengevaluasi produksi yang telah di jalankan. Membangun Jiwa Wirausaha Pada Mahasiswa Jiwa wirausaha dan pantang menyerah, memang tidak dimiliki oleh semua orang. Ada orang-orang yang sejak kecil memiliki jiwa yang kuat dan pantang menyerah menghadapi permasalahan yang dihadapinya, tetapi ada pula orang-orang yang jika tidak disuruh atau ditunjukkan secara jelas, tidak bisa berbuat apa-apa alias pasif dalam menghadapi kehidupan. Namun bukan berarti jiwa itu tidak bisa dibangkitkan. Menurut teori yang sekarang dianut oleh banyak pengembang bahwa jiwa kewirausahaan
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
itu bisa dibangkitkan melalui pembelajaran dan pelatihan. Salah satu alternatif untuk membangkitkan jiwa wirausaha mahasiswa adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan tentang kewirausahaan. Mungkin setiap mahasiswa yang akan lulus dari perguruan tinggi, perlu dikasih wawasan dan bekal tentang kewirausahaan. Pembekalan secara teoritis tentang kewirausahaan bisa dilakukan secara bersama-sama dalam satu gedung pertemuan selama beberapa hari, lalu dilanjutkan dengan survey ke beberapa perusahaan atau tempat usaha yang mungkin bisa diaplikasikan oleh para mahasiswa. Adapun dorongan yang diupayakan untuk membangun jiwa mahasiswa untuk berwirausaha dari pemerintah dan perkampusan yaitu peran corporate social responsibility(CSR) kian nyata. Tak hanya menjaga citra perusahaan, CSR kini sudah mulai masuk kampus untuk menumbuhkan sikap wirausaha di kalangan mahasiswa. Kewajiban pelayanan sosial berbagai korporasi masih terlalu jamak disinonimkan sebagai kewajiban moral bagi lingkungan sosial secara ala kadarnya.Tak heran bila terkadang CSR masih belum dilihat sebagai satu hal penting dalam memberikan manfaat lebih besar CSR sebetulnya memiliki kekuatan dahsyat daripada sekadar yang kita bayangkan selama ini. Lebih dari itu, CSR bisa menjadi sarana sangat efektif dalam membangun jiwa wirausaha para mahasiswa Executive Director CSR dari CSR Indonesia, koperasi di dalam negeri bisa melakukan berbagai langkah dalam mengarahkan program CSR sebagai instrumen pendorong lahirnya sikap wirausaha mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Di antaranya menjadikan perguruan tinggi sebagai mitra perusahaan dengan cara membuka dirinya dalam kegiatan penelitian dan pemagangan yang dilakukan perguruan tinggi. “Bisa juga (perusahaan) menyediakan dukungan finansial dan sumber daya lain untuk mempromosikan CSR dan menyediakan berbagai jenis dukungan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan businessman up. terutama yang berkaitan dengan bisnis inti perusahaan dengan melibatkan perguruan tinggi, koperasi sebaiknya mengubah paradigma bahwa program CSR semata-mata bertujuan memberikan citra yang baik bagi perusahaan. Lebih dari itu, dia menilai, CSR bisa membangun komunitas (community development) wirausaha. CSR juga bisa digunakan sebagai investasi komunitas (community investment) tersebut. “Seperti program pengenalan kewirausahaan dilingkungan kampus semacam ini, perusahaan dapat membantu meningkatkan pemahaman dosen dan mahasiswa, sekaligus memotivasi mereka menjadi para pelaku usaha pada masa depan,” katanya. perusahaan selama ini menempatkan CSR sebagai bagian dari strategi
22 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora “mematuhi” dan “melampaui” atas berbagai tantangan sosial di lingkungan sekitarnya. Dengan bersikap mematuhi, perusahaan tersebut berbuat untuk berbagai perubahan signifikan dalam kinerja sosial dan lingkungan. “Sedangkan dengan sikap melampaui, perusahaan akan melakukan perubahan kinerja sebelum mendapat tekanan dari masyarakat,” mahasiswa sekarang sudah harus menanamkan diri kemandirian berupa jiwa wirausaha. Dengan begitu, diharapkan mahasiswa siap hidup mandiri selepas meninggalkan bangku kuliah. “Ubah paradigma dari sekarang dari job seeker menjadi job creator. Bentuk karakter yang produktif, jangan konsumtif. Bersiap menghadapi berbagai kendala yang dapat menghambat kemajuan usaha kita,” bekal pertama yang harus dimiliki mahasiswa dalam membentuk jiwa wirausahanya adalah memiliki keyakinan kuat dalam menggapai cita-citanva melalui aktivitas kewirausahaan. para mahasiswa untuk mengembangkan minat berwirausaha ini sejak di bangku kuliah “Unpad telah menjaring berbagai proposal kewirausahaan dari mahasiswa untuk ditindaklanjuti menjadi sebuah usaha bisnis baru yang dijalankan mahasiswa dengan bantuan pembiayaan dari berbagai pihak, seperti pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas dan pihak perbankan.” Kendati begitu, para dosen juga berperan penting dalam mendorong jiwa wirausaha mahasiswa para dosen bisa menyisipkan dan menggiatkan materi kewirausahaan ini kepada para mahasiswa melalui materi perkuliahan Pemerintah berharap, jumlah wirausaha dalam negeri bisa naik menjadi 2%-3% dari saat ini 0,18% melalui pendidikan kewirausahaan di berbagai lembaga pendidikan dalam negeri. Tahun 2010 misalnya, ditargetkan 10.000 mahasiswa siap menjadi wirausaha muda yang mandiri. Depdiknas melalui Ditjen Dikti memiliki banyak skema dalam mendorong wirausaha mahasiswa. Skema pertama adalah pemberian dana bantuan kepada perguruanperguruan tinggi sebagai bentuk bantuan permodalan bagi mahasiswa dalam Program Mahasiswa Wirausaha (PMWi Dikti). Skema ini diterapkan melalui perguruan tinggi negeri badan hukum milik negara 1 BUMN sebesar Rp2 miliar, Rp l miliar untuk universitas, institut dan sekolah tinggi negeri non BUMN, Rp500 juta untuk politeknik negeri, dan Rp l miliar untuk setiap Koordinator Perguruan Tinggi Swasta. Skema kedua adalah pendampingan mahasiswa yang menerima bantuan permodalan. Melalui skema ini telah melatih 1000 dosen dari 300an perguruan tinggi dalam Training Trainer Dosen Kewirausahaan yang bekerja sama dengan Universitas Ciputra Enter-preneurship Center (UCECI.) Skema ketiga merealisasikan program Cooperative Academic Education (COOP Program). Melalui program ini diikuti memberikan pengajaran wirausaha bagi mahasiswa S-l yang
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
telah mencapai semester enam dan diberikan kesempatan bekerja di industri, perusahaan, dan usaha kecil dan menengah (UKM selama 3-6 bulan). Skema keempat, membangun jaringan sinergi business intellectual government (BIG) antara Depdiknas dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Pemerintah dalam hal ini Dikti melalui ditjen Simlitabmas senantiasa menganggarkan anggaran yang begitu besar untuk perguruan tinggi dalam rangka meningkatkan jiwa kreatifitas mahasiswa dalam kewirausahaan. Persoalannya adalah sosialisasi dan pembinaan yang mendalam kepada para mahasiswa agar tergugah untuk meningkatkan kemampuan diri untuk ikut dan berpartisipasi dalam program tersebut. Peluang Wirausaha Mahasiswa Fakultas Teknik Sejak pemberlakuan kurikulum muatan lokal di Fakultas Teknik , program studi memasukkan mata kuliah kewirausahaan di kurikulum pembelajaran. Aplikasi dari mata kuliah ini bukan hanya diimplimentasikan dalam bentuk terori saja, melainkan harus diwujudkan dalam sosialisasi pelaksanaan wirausaha itu sendiri sebagai output dari pembelajaran. Melihat perkembangan teknologi informasi dan elektronika di masa sekarang, peluang-peluang wirausaha sangat terbuka lebar. Ada beberapa peluang wirausaha yang dapat dikembangkan diantaranya : a. Pada sektor jasa, masing-masing program studi dapat mengaplikasikan keahliannya di bidang konsultasi jasa konstruksi, jasa konsultasi teknik informasi dan komputer dan juga konsultasi di bidang kelistrikan. b. Pada sektor marketing, masing-masing program studi dapat bersosi lisasi di bidang wirausaha penjualan produk aplikasi program software, produk perencanaan gambar konstruksi dan perencanaan biaya konstruksi dan bagi prodi elektro dapat berkreasi dengan inovasi-inovasi produk elektronika sederhana semisal : power suply, inverter rakitan, service elektronika dll. c. Sektor-sektor berbasis masyarakat yang memiliki kesesuaian dengan program studi atau umum yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan atau peluang usaha. Masing-masing pengelolaan produk dan jasa haruslah dikelola dan dimanage dengan baik dan terstruktur dengan tahapan-tahapan : sosialisa, pembinaan dan evaluasi berkesinambungan sehingga produk dan jasa dapat bersaing di pasar dan memiliki standarisasi tertentu. Dikti dalam hal melatih mahasiswa dalam berwirausaha melaksanakan program PKM kewirausahaan yang berkelanjutan tiap tahun. Ini menunjukkan betapa peluang-peluang mahasiswa dalam mengembangkan ide-ide kewirausahaan
23 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora dalam program PKM semakin terbuka lebar. Hal ini juga menumbuhkan semangat mereka untuk berlomba-lomba berkreasi dan melakukan inovasi peluang usaha yang memungkinkan untuk dilaksanakan.
PENUTUP Usaha menumbuhkembangkan kewirausahaan di kalangan mahasiswa ini untuk: (1) meningkatkan kualitas daya saing alumni dalam pasar kerja; (2) memfasilitasi mahasiswa dalam hal menemukan karir di dunia kerja; (3) membangun dan mengembangkan mahasiswa atau calon alumni sebelum terjun ke dunia kerj ; (4) memberikan pengalaman berwirausaha; (5) mengurangi masa tunggu lulusan; (6) memperpendek masa penyesuaian saat bekerja; (7) membina calon ”pemimpin” di dunia usaha atau pencipta kerja. Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan kreatif dan inovatif (create new and different) yang dijadikan kiat, dasar, sumber daya, proses, dan perjuangan untuk menciptakan nilai tambah barang dan jasa yang dilakukan dengan keberanian untuk menghadapi resiko. 2. Kewirausahaan pada dasarnya adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang maksimal.
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan kewirausahaan adalah sebagai beri kut: (1) memiliki komitmen yang tinggi dan tekad yang kuat; (2) berambisi untuk mencaripeluang; (3) memiliki semangat kerja yang tinggi dan tidak mudah putus asa; (4) percaya diri yang kuat; (5) memiliki k reativitas yang tinggi ; (6) memiliki kemampuan melihat masa depan denganperencanaan yang tepat; (7) tahan terhadap resiko dan ketidakpastian; (8) memiliki kemampuan memimpin orang banyak.
PUSTAKA Buchari Alma 2006, Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung Endang Tri W, 2008. Upaya Menumbuhkembangkan Kewirausahaan di kalangan Mahasiswa. Jurnal Akmenika UPY. Vol 2 2008 Mas’ud M, 2005, Kewirausahaan, BPFE, Yogyakarta. Panji A dan Djoko S, 2002, Koperasi, Kewirausahaan, dan Usaha Kecil , Bineka Cipta, Jakarta. Rani Kusawara, 2007, Bisnis Sampingan untuk Mahasiswa , Trans Media Pustaka, Jakarta. Suryana,2003, Kewirausahaan, Salemba Empat , Jakarta Sutrisno Wibowo, 2007, Makalah CDMUMY dan Program Belajar Bekerja Terpadu, Seminar Pengembangan Diri Mahasiwa, UMY
24 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
PERTANGGUNG JAWABAN PERUSAHAAN PERS TERKAIT DENGAN LIPUTAN KRIMINAL (DELIK PERS) Ayu Dian Ningtias *) *)
Dosen Fakultas Teknik Universitas Islam Lamongan
ABSTRAKSI Pers sebagai media informasi merupakan pilar ke-empat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya kesimbangan dalam suatau negara. Berbicara mengenai pers maka tidak akan lepas berbicara mengenai kebebasan pers, karena kebebasan pers merupakan bagian penting atau ruh hidup matinya pers. Kebebasan pers yang bertanggung jawab merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara dalam memperjuangkan kemajuan bangsa dan rakyatnya. Ini menjadi keniscayaan dalam masyarakat yang demokratis. Kebebasan pers seperti ini sangat perlu dan penting, bukan hanya bagi para pekerja pers, tetapi juga bagi seluruh rakyat dan bangsa. Tanpa kebebasan pers, mustahil jurnalis atau pers akan mampu menjalankan tugas/peran sosialnya dengan baik dan optimal. Kata kunci : pertanggungawaban perusahaan pers, liputan kriminal, delik pers PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pers merupakan institusi yang memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan opini publik dan efektif penyebarluasan informasi. 4 Dibanding mekanisme penyebaran informasi lainnya, seperi seminar, lokakarya, penataran, rapat umum dan sebagainya. Pers memiliki potensi menjangkau audien jauh lebih banyak dan menyebarkan informasi ke lingkungan yang lebih jauh, lebih luas dalam waktu relatif yang singkat. Sejak awal perkembangannya, surat kabar sebagai media massa tertua sudah menjadi lawan nyata ketidak terbukaan informasi. Surat kabar dan media massa seringkali berada pada posisi lemah dan amat mudah ditundukkan oleh kekuasaan.5 Selama 60 tahun merdeka, Indonesia pernah mengalami beberapa kali kebebasan pers, yaitu pada awal kemerdekaan, selama Republik lndonesia menerapkan sistem pemerintahan Kabinet Parlementer, pada awal Pemerintahan Orde Baru dan para era Reformasi saat ini. Pada waktu-waktu lainnya, kebebasan pers di Indonesia mengalami berbagai tekanan. Setidak-tidaknya ada enam 4
Oemar Seno Adji, Mass Media Hukum, Erlangga, Jakarta, 1997,hal. 13. 5 MacQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, suatu Pengantar (Terjemahan), Airlangga, Jakarta, 1989: hal10.
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
ketentuan hukum yang dapat dicatat yang membatasi kebebasan pers di Indonesia, yaitu: (1) Peperti Nomor 10 tahun 1960 tentang Surat Izin Terbit; (2) Peperti Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengawasan Dan Promosi Perusahaan Cetak Swasta; (3) Kepres Nomor307 tahun 1962 tentang Pendirian LKBN Antara; (4) Dekrit Presiden Nomor 6 Tahun 1963 tentang Pengaturan Memajukan Pers; (6) Peraturan Menpen Tahun 1970 tentang Surat Izin Terbit, dan (6) Peraturan MenpenNomor 1 Tahun 1984 tentang SIUPP6. Dari berbagai peraturan perundangan tersebut, salah satu diantaranya yang mendapat sorotan selama pemerintahan Orde Baru adalah Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun 1984 tentang SIUPP, karena ketentuan hukum ini memberikan kekuasaan yang amat luas kepada pemerintah dalam membatasi kebebasan pers melalui pembekuan perusahaan penerbitan pers sewaktu-waktu, yang sangat bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 28. Sekarang ini keberadaan jurnalisme warga seperti tidak terbatas dan terkontrol. Bermunculannya saluran media baru sejenis facebook, twitter, blog, atau youtube memberi tantangan baru bagi masyarakat dalam pengembangan informasi di luar media pers. 6
Anwar, Rosihan dalam Jurnal Pers
Indonesia, Nomor 5 Tahun XIX, Maret 1999
25 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Melalui saluran media baru tersebut diharapkan informasi yang berkembang di masyarakat tidak berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri Berbeda dengan perusahaan pers. Perusahaan pers, menurut UU No.40/1999 tentang Pers, harus berbadan hukum sehingga dapat diketahui keberadaan dan penanggungjawabnya. Untuk membangun jurnalisme warga yang baik, Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers diharapkan dapat dijadikan panduan. Perusahaan pers menurut pasal 1 angka 2 UU Pers adalah : “Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi”. Perusahaan pers sebagai penyelenggara penerbitan dan sebagai penanggung jawab dalam hal penerbitan yang harus dilakukan secara preventif, edukasi dan represif. Preventif dalam hal ini penerbit (perusahaan pers) harus bertanggung jawab memberikan edukasi terhadap SDM (sumber daya manusia) / wartawan / redaktur tentang persaingan penerbitan pers saat ini. Dan juga melihat assetaset perusahaan bila terjadi delik pers harus banyak memberikan kode etik- kode etik tentang pers / jurnalistik . Represif dalam hal ini adalah perusahaan pers meminta pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan sesasional / delik pers/ untuk menggunakan hak jawab terlebih dahulu jika dirasa tidak bisa maka baru melakukan mediasi dengan dewan pers. Dan apabila belum mendapatkan kesepakatan maka dapat melakukan gugatan. Pers yang meliputi media cetak dan media elektronik dan media lainnya, merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan tersebut. Kebebasan pers kadang kebablasan karena berita atau tayangan yang diekspose mediacetak/elektronik telah menyimpang dari koridor hukum,budaya dan agama. Dimana jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan sebagai unsur kesalahan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Delik pers disebut juga sebagai tindak pidana pers , yaitu suatu tindak pidana yang
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
berkaitan dengan fungsi pers. 7 subyek hukum pers antara lain ; pers , perusahan pers dan organisasi pers. 8 sebagai subyek hukum pers perusahaan pers sebagai koorporasi dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana. Adanya subyek hukum korporasi ini telah memerluas asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Pada mulanya hanya dikenal asas “ Siapa yang berbuat, maka ia yang bertanggungjawab” untuk subyek hukum orang, kemudian diperluas menjadi asas “Siapa yang bertanggungjawab, maka ia yang berbuat”. Dalam menetapkan siapa yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang dimuat di media yang melanggar hukum adalah redaksi, karena redaksilah yang menurut organisasi pers sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang dimuat dalam media yang dipimpinnya.9 Hal ini terlihat pada Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999: “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khususnya untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.” Atas dasar ketentuan tersebut, merupakan kewajiban hukum bagi media cetak memuat kolom nama, alamat dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan. Atas dasar ketentuan tersebut dan sesuai dengan kebiasaan dalam menjalankan profesi di bidang pers (masyarakat pers) bahwa yang bertanggung jawab adalah redaksi. Perusahaan pers dituntut untuk memfasilitasi kebebasan pers, yang sangat rentan dengan pelanggaran pidana pers, disisi lain perusahaan pers harus tetap menjalankan fungsinya sebagai badan hukum berkepentingan komersial. Dan sebagai perusahaan perusahaan pers terus bersaing dengan perusaahaan lain tentang bagaimana eksistensi perusahaan pers dalam terus bersaing dengan memperhatikan kaidahkaidah jurnalistik dan delik pers dalam persaingan usaha antar perusahaan pers. Apabila perusahaan pers terjerat delik pers dan kemudian dihukum maka perusahaan tersebut bisa bangkrut atau gulung tikar atau tidak terbit lagi akibat persaingan tidak sehat, 7
8
9
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Seminar Nasional“Mengurai Delik Pers dalam RUU KUHP” Hotel Sofyan Betawi,Kamis, 24 Agustus 2006. hal. 23. Kejahatan Pers Dalam Perspektif Hukum dalam http://angga.org. diakses pada tanggal 12 januari 2012. Rifqi Sjarief Assegaf , Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, Edisi 3, 2004, hal. 35.
26 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
melainkan karena kewajiban membayar tuntutan ganti rugi. Demikian juga kalau pimpinan perusahaan terlalu sering dijatuhi hukuman karena delik pers oleh majelis hakim, akan mengancam eksistensi media bersangkutan akibat citranya di mata publik sudah hancur yang akan mempengaruhi kelangsungan perusahaan pers tersebut . Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas timbul permasalahan hukum sebagai berikut ; Bagaimana pertanggung jawaban perusahaan pers terkait delik pers ? KAJIAN PUSTAKA Pers adalah salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum dan terbitsecara teratur berupa buku-buku, majalahmajalah, surat kabar dan barang-barangcetakan yang lain bersifat sebagai sarana penyebarluasan informasi. Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan pengertian delik atau pertanggungjawaban pidana pers dalam skripsi ini adalah semua kejahatan yangdilakukan melalui sarana pers.Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak didapatkan suatu rumusan yang pasti tentang pers. Dengan demikian untuk mengetahui kriteria yangharus dipenuhi oleh suatu kejahatan melalui pers dapat dikatakan sebagai delik pers.Oemar Seno Adji dengan berpedoman kepada pendapat dari W.F.C. VanHattun memberikan tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu delik persantara lain : 10 1 . H ar us d i l akukan d engan b a r a ng cet akan 2. Perbutan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran dan perasaan. 3. Perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menumbuhkan suatu kejahatan, apabila kenyataan tersebut dilakukand engan tulisan-tulisan. Kriteria ketiga itulah yang khusus dapat mengangkat suatu delik menjadi delik pers. Tanpa dipenuhinya kriteria tersebut, suatu delik tidak akan memperoleh sebutandelik pers dalam arti yuridis.Pendapat lain soal delik pers
disampaikan R.Moegono. Menurutnya, delik persharus memenuhi beberapa syarat antara lain :11 1. Perbuatan yang diancam hukuman harus terdiri dari pernyataan pikiran dan perasaan orang. 2. Harus dilakukan dengan barang cetakan . 3. Harus ada publikasi Unsur ketiga inilah yang paling menentukan, karena tanpa publikasi tak akan mungkin ada delik pers. Dari kedua pendapat di atas, jelas bahwa suatu delik baru dikatakan memenuhi syarat sebagai delik pers, jika perbuatan kejahatan itu mengandung pernyataan pikiran atau perasaan seseorang yang kemudian diwujudkan dalam bentuk barang cetakan dan disebarluaskan kepada khalayak ramai atau dipublikasikan. Delik pers dalam KUHP bukanlah suatu delik yang diatur suatu bab tertentu, melainkan delik-delik yang tersebar dalam beberapa pasal dalam KUHP. Pertanggungjawaban penerbit diatur dalam pasal 61 KUHP sebagai berikut: a. Jika kejahatan dilakukan dengan memprgunakan percetakan, maka penerbit(uitgever) sebagai demikian tidak dituntut jika pada barang cetakan itu disebutkan nama dan tempat tinggalnya dan sipembuat itu sudah diketahui, atau pada waktu diberi peringatan yang pertama kali sesudah penuntutan muali berjalandiberitahukan oleh penerbit. b. Peraturan ini tidak berlaku, jika sipembuat kejahatan pada waktu barang cetakanitu diterbitkan tak dapat dituntut atau berdiam di luar negeri. Dari ketentuan pasal tersebut dapat kita lihat bahwa seorang penerbit tiidak akandapat dituntut apabila; 1. Pada barang cetakan telah dimuat nama dan tempat tinggal penerbit; 2. Penulis, penggambar atau pembuat berita tersebut sudah diketahui atau sesudah penuntutan sudah berjalan pada waktu itu diberi peringatan pertama kepada penerbit. Pembuat termasuk pemotret, pelukis atau penggambar.P embuatnya dapat dituntut
10
11
Dewan Pers, 2003, Delik Pers Dalam Hukum Pidana, Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional, Jakarta. Hal 66.
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
R.Moegono, Kumpulan Kuliah Delik Pers, Tindaka Pidana Korupsi, Tindak Pidana Ekonomo PadaPusdiklat Kejaksaan Agung RI (Jakarta, 1975) hal. 14.
27 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
pada waktu diterbitkan tulisan, gambar atau potretoleh penerbit. Artinya sipenulis atau penggambar dari pemberitaan tersebut tidak dalam sakit ingatan atau tidak meninggal dunia pada waktu pemberitaan itu diterbitkan. Disamping itu perlu diingat bahwa dalam perusahaan penerbitan pers seperti dimaksudkan oleh pasal 14 Undang-undang Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 danUndang-undang Perubahan kedua Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, (UU NO. 21/ 1982) ditetapkan bahwa "Pimpinan suatu penerbit persterdiri atas Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Perusahaan". Denganadanya ketentuan tersebut timbul permasalahan di tangan siapakah letak tanggung jawab jika terjadi suatu tindk pidana pers. Dalam hal ini kita harusmenghubungkannya dengan ketentua pasal 15 dari Undang-undang Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 danUndang-undang Perubahan Kedua Undangundang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagai berikut Pokok Pers, (UU NO. 21/ 1982) ditetapkan bahwa "Pimpinan suatu penerbit pers terdiri atas Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Perusahaan". Dalam ketentuan pasal 15 dari Undangundang Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 danUndang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagai berikut : (1) Pimpinan Umum bertanggungjawab atas keseluruhan penerbitan baik kedalam maupun keluar. (2) P er t an ggunga n j awab P i m p i n a n U m um t er had ap hukum d ap atdipindahkan kepada Pimpinan Redaksi mengenai isi penerbitan(redaksional) dan kepada Pimpinan Perusahaan mengenai soalsoal perusahaan. (3) Pimpinan Redaksi bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksional danwajib melayani hak jawab dan koreksi. (4) Pimpinan Redaksi dapat memindahkan pertanggungjawabannya terhadaphukum mengenai sebuah tulisan kepada anggota redaksi yang lain ataukepada penulisnya yang bersangkutan. Melihat ketentuan Pasal 15 Undangundang Nomor 11 Tahun 1966 sebagaimana
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
telah diubah dengan Undang-undang Nomot 4 Tahun 1967 dan Undang undang Perubahan Kedua tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, terutama dalam ayat (4) bahwa pertanggun jawaban pidana terhadap deli pers terletak pada pihak siapa pertanggung jawaban hukum dilimpahkan ketika berita itu diterbitkan. Bisa pada Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi, anggota redaksi atau bahkan pada penulisnya,tergantung pada ada atau tidaknya pemindahan pertanggung jawaban. Untuk memudahkan ada atau tidaknya pemindahan pertanggung jawaban hukum dalam penerbitan pers, di dalam undang-undang seharusnya sudah ditentukan bahwa pemindahan pertanggung jawaban hukum tersebut hanya bisa dilakukan secara tertulis. Karena disamping memudahkan dalam pembuktian, juga akan menjamin adanya kepastian hukum dalam pertanggungjawaban penerbitan pers. Seperti dalam kasus Bambang Harymurti sebagai pemimpin Redaksi Majalah Tempo dijatuhi vonis 1 tahun penjara. Kemudian pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pada tingakt kasasi, MA menyatakan bahwa Bambang Harymurti tidak terbukti secara sah atas dakwaan primair, Pasal 311 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat(1) KUHP dan Susidair, Pasal 310 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, dan membebaskan Bambang Harymurti dari segala dakwaan.12 Berdasarkan putusan di atas, yang menjadi alasan pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab terhadap berita yang dimuat didalam media adalah karena pemimpin redaksi adalah orang yang bertanggung jawab diseluruh bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita. Pemimpin redaksi sebagai orang yang bertanggung jawab dalam hal pemberitaan yang merugikan kehormatan dan nama baik orang lain, sesuai dengan sistem pertanggungjawaban pidana dianut uu pers yaitu pertanggungjawaban dengan sistem bertangga (Stair System) yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi harus bertanggung jawab terhadap sajian didalam pers. Stair system biasa pula disebut fiktif pertanggung jawaban karena yang melakukan perbuatan (delik pers) bukan 12
http://majalah.tempointeraktif.com/ tanggal 12 januari 2012
diakses
pada
28 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
dia melainkan orang lain, tetapi dia harus bertanggung jawab. Sebelum adanya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sistem pertanggung jawaban pidana atas sajian pers diatur dalam pasal 15 ayat (4) UU No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Pers yang bunyinya sebagai berikut : Pemimpin umum bertanggung jawab atas keseluruhan penerbitan baik ke dalam maupun keluar; Pertanggungjawaban pemimpin umum terhadap hukum dapat dipindahkan kepada pemimpin redaksi mengenai isi penerbitan dan kepada pemimpin perusahaan mengenai soal-soal perusahaan; Pemimpin redaksi bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksionil dan wajib melayani hak jawab dan koreksi. Pemimpin redaksi dapat memindahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum, mengenai suatu tulisan kepada anggota redaksi atau kepada penulisnya yang bersangkutan. Dalam mempertanggungjawabkan terhadap hukum, pemimpin umum, pemimpin redaksi, anggota redaksi atau penulisnya mempunyai hak tolak. Wartawan yang karena pekerjaanya mempunyai kewajiban menyimpan rahasia, dalam hal ini nama, jabatan, alamat, atau identitas lainnya dari orang yang menjadi sumber informasi, mempunyai hak tolak. Ketentuan-ketentuan hak tolak akan diatur oleh pemerintah, setelah mendengar pertimbanganpertimbangan dari dewan pers. Ketentuan ini memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban yang bisa dialihkan kepada anggota redaksi yang lain. Dimana pemimpin redaksi dapat mengalihkan tanggung jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain atau kepada penulisnya yang memang mungkin pelaku delik pers. Sistem pertanggungjawaban pidana ini disebut pertanggung jawaban pidana dengan sistem air terjun (Waterfall System). Berbeda dengan pertanggungjawaban pidana sistem air terjun (Waterfall System), pertanggungjawaban pidana sistem bertangga (Stair System) pemimpin redaksi harus bertanggungjawab terhadap tulisan (gambar) yang menyerang kehormatan dan nama baik orang lain.meskipun pemimpin redaksi tidak memenuhi 2(dua) hal pokok dalam penetapan ada atau tidaknya pertanggung jawaban pidana dari pemimpin redaksi.
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
PENUTUP Kesimpulan Dalam ketentuan pasal 15 dari Undangundang Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagai berikut : 1. Pimpinan Umum bertanggungjawab atas keseluruhan penerbitan baik kedalam maupun keluar. 2. P e r t a n ggunga n j a wa b P i m p i n a n U m um t e r ha d ap hukum d a p a tdipindahkan kepada Pimpinan Redaksi mengenai isi penerbitan(redaksional) dan kepada Pimpinan Perusahaan mengenai soalsoal perusahaan. 3. Pimpinan Redaksi bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksional danwajib melayani hak jawab dan koreksi. 4. Pimpinan Redaksi dapat memindahkan pertanggungjawabannya terhadaphukum mengenai sebuah tulisan kepada anggota redaksi yang lain ataukepada penulisnya yang bersangkutan. DAFTAR BACAAN Buku Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Hukum Pidana , Badan Universitas Diponegoro, 2007,Semarang. Artadi, Ibnu, Hukum Pidana dan Dinamika Kriminalitas , Syariah Fakultas Hukum Unswagati 2006, Cirebon. Borjesson, Kristina, Mesin Penindas Pers , Terj. Yanto Musthofa, Q-Press, 2006,Bandung. Dewan Pers, Delik Pers Dalam Hukum Pidana, Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional, 2003, Jakarta. _ _ _ _ _ _ _ _. Data Penerbitan Pers Indonesia. 2006, Dewan Pers Jakarta. Girsang, Juniver, Penyelesaian Sengketa Pers , Gramedia Pustaka Utama, 2007,Jakarta. Oemar Seno Adji, Mass Media Hukum, Erlangga, 1997,Jakarta. MacQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, suatu Pengantar (Terjemahan), Airlangga, Jakarta, 1989 Panjaitan, Hinca IP dan Siregar, Amir Effendi, 1001 Alasan UU Pers Lex Spesialis, Serikat Penerbit Surat kabar, 2004,Jakarta
29 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
USING REALIA TO IMPROVE VOCABULARY MASTERY RIRYN FATMAWATY1) 1)Email :
[email protected]
ABSTRACT Language is a system of arbitrary conventionalized vocal, written or gestural symbols that enable members of a given community to communicate intelligibly with one another (Douglas Brown: 2000). There are many kinds of language in the world. One of them is English. As we know, English is the international language that is important to be mastered, especially to face the globalization era. In education, realia include objects used by educators to improve students’ understanding of other cultures and real life situations. A teacher of foreign language often employs realia to strengthen students’ associations between words for everyday objects and the objects themselves. Realia consists of actual objects or items or facsimiles there of, which are used in the classroom to illustrate and teach vocabulary or to serve as an aid to facilitate language acquisition and production. It allows language learners to see, hear and in some cases touch the objects. The results of this study show that the teaching and learning process of vocabulary (concrete noun) by using realia have been implemented maximally. All of the teaching learning processes are conducted based on the planning that have been planned. It can be seen from the result of observation during the process of it. Then about the students’ responses toward the implementation of realia in vocabulary (concrete noun) teaching and learning process can be seen from the result of questionnaire. It shows that the realia technique are accept well by the students. They participate actively during the teaching learning process. For about the students’ improvement in mastery vocabulary (concrete noun), the results of this study show that realia can improve the students vocabulary mastery (concrete noun). It can be seen from the results of students’ assessment, the scores always improve in every meeting. Keywords : Realia, Improve, Vocabulary, Mastery
INTRODUCTION Language is a system of arbitrary conventionalized vocal, written or gestural symbols that enable members of a given community to communicate intelligibly with one another (Douglas Brown: 2000). There are many kinds of language in the world. One of them is English. As we know, English is the international language that is important to be mastered, especially to face the globalization era. One of English’s component is vocabulary. Vocabulary is a core component of language proficiency and provides much of the basis for how well learners speak, listen, read and write. Without an extensive vocabulary and strategies for acquiring new vocabulary, learners often achieve less than their potential and may be discouraged from making use of language learning opportunities around them such as listening to the radio, listening to native speaker, using the language in different contexts, reading or watching television (Jack and Willy: 2002). The
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
statements above show how important vocabulary in learning English is. Teaching English vocabulary is not as easy as we think. The teacher often find the problems during the process of it. The common problems found are about the lack of students’ vocabulary and students’ boredom. Both of those problem make the students are unmotivated well during the process of teaching learning. To overcome those problems, the teacher must think more about how to create the students motivation, in order to make them are not bore and participate actively during the learning teaching process. In education, realia include objects used by educators to improve students’ understanding of other cultures and real life situations. A teacher of foreign language often employs realia to strengthen students’ associations between words for everyday objects and the objects themselves. Realia consists of actual objects or items or facsimiles thereof, which are used in the classroom to illustrate and teach vocabulary or to serve as
30 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
1. 2. 3. 4.
an aid to facilitate language acquisition and production. It allows language learners to see, hear and in some cases touch the objects. The using of realia can attrack the students interest in learning English vocabulary. When the students are interested in learning process, they will be motivated to participate actively in the class. It is because, students feel the learning teaching process are interesting, fun and not bore. Moreover, realia will make the students are easier to memorize words, because they directly see the real objects and have correct concept in their minds about that words. Not all of vocabulary can be introduced by realia. In this study is specified on concrete noun. Marcella Frank (1972) said, a concrete noun is a word for a physical object that can be perceived by the senses, we can see, touch, smell the object (flower, girl). The kinds of concrete noun that are introduced by realia in this study, based on the English materials of the students. METHOD The design of this study is Collaborative Classroom Action Research (CCAR). Iskandar (2009) defined Classroom action research is an action done by the teacher or collaborates with another people that has purpose to improve the quality of learning process in the classroom. Collaborative action research processes strengthen the opportunities for the results of research on practice to be fed back into educational system in a more substantial and critical way. Anne Burns (2003) said, They have the advantage of encouraging teachers to share common problems and to work cooperatively as a research community. In this case, the researcher collaborated with the English teacher of MTs. Sunan Drajat Sugio lamongaan at seventh class. Suharsimi Arikunto (2008) classified, there are some experts suggesting the different model of action research, but generally, there are four steps that common to be passed, they are: Planning Implementing Observing Reflecting The first step of this study was begun with preliminary study to identify the students of MTs. Sunan Drajat lamongan at seventh class as the object in this study and to get more information about students’ problem in
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
mastering vocabulary. It was conduct on December 1, 2009. In the first preliminary study, the researcher met the headmaster of MTs. Su to discuss about the plan to do research in that school. Next, the second preliminary study, the researcher met the English teacher at seventh class for an informal interview and direct observation in the teaching learning process. After doing them, the analysis was found and the data from preliminary study was used to set up the next action. The subject of this study was the students at the seventh class. The researcher choosed the seventh class based on the assumption that vocabulary mastery of the students in this level are still low and lack. Considering, the students of junior high school especially seventh class, they just graduated from elementary school and some characteristics of children were still they have. Based on this case, the students needed an interesting technique to motivate them in the learning process. Therefore, it is suitable to use a technique that was called as realia to help them learning vocabulary. There are five classes at the seventh class, they are from 7-A until 7-E and each class is consist of 35 students. From 7-A until 7-E, the researcher chooses 7-B because this class is easier to control than the other class, according to the information of English teacher in that school. The data of this study was taken from the seventh class students at MTs. Sunan Drajat Sugio Lamongan that is located on Jl. Raya No. 397 Sugio Lamongan. The researcher choosed this school as the setting of this study for some reasons. First, the English ability of the students were still low, especially their vocabulary mastery. Second, the technique of realia never had been implemented before. Finally, the location of this school was easy to be reached because it was on the edge of highway. The study was conducted under the following steps: planning, implementing, observing and reflecting. The model of action research can be illustrated as the following picture:13
13
Ibid
31 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Planning Reflecting
Cycle I
Implementing
4.
Observing Planning Reflecting
Cycle II
Implementing
2. Observing ?
1.
a.
b.
c.
d.
1.
2.
3.
Picture 3.1 (The illustration model of action research by Suharsimi Arikunto) Planning In this step, the researcher and her collaborative teacher made a preparation based on the problem that had been identified in the preliminary study. Both of them, prepare a suitable model of lesson plan, instructional material, media and instrument. Lesson Plan In conducting the study, the lesson plan of realia technique in teaching vocabulary (concrete noun) was made by the researcher and collaborative teacher. It described the activities of teacher and students during the teaching learning process. Instructional Material In this study, both the researcher and collaborative teacher prepared the instructional material that would be taught to the students. Media The media used in this study were real objects. The researcher and collaborative teacher prepared kinds of realia (real things) based on the material of students. All of those realia were brought into the class to be introduced one by one to the students. Instrument In order to make easier the process of data collection, some instruments were needed. The instruments used by the researcher in this study were: Observation Checklist The observation checklist was used to observe the activities of the teacher and students during the teaching learning process in the classroom. Field Note The field note was used to make a note of problem or weakness appeared during the teaching learning process in the class. Assessment
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
3.
4.
1.
2.
The assessment was used to know how far the students master of the material that had been taught. Questionnaire The questionnaire was used to know students’ opinion about realia technique in teaching vocabulary. It was also used to know whether the technique was helpful to solve their problem in learning vocabulary. Implementing The next step was implementing. What the researcher and collaborative teacher had planned in the planning step was implemented in this step. Observing The observing step was done while the implementing step was being done. The observer observed the class during teaching learning process. The component that was observed based on the observation checklist and made field note toward the weaknesses appeared during teaching learning process. Reflecting In the reflecting step, the researcher and collaborative teacher evaluated the results during teaching learning process. The weaknesses were identified to be looked for the solution, so it would be better in the next cycle. The data of this study was collected through assessment, observation and questionnaire: Assessment Assessment is the series of questions or exercise and the other tool that are used to measure the skill, knowledge, intelligence, ability or talent that is had by individual or group (Suharsimi Arikunto: 2002). In this study, the assessment was done in the last section of each meeting, to measure how far the students master of vocabulary given. Observation According to Burhan Nurgiyantoro (2001) observation is an evaluation by observing to the object directly, accurately and systematically. This observation was about the situation of teaching learning process when the teacher implemented realia technique in teaching vocabulary (concrete noun). The components that observed were about how was the material given to the students by using realia, how did the teacher implement realia to introduce vocabulary (concrete noun) and how were the student’s activities in the class when realia was implemented.
32 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
In this observation, the researcher made form of observation checklist. The observer gave thick sign (√) to the every component in the observation checklist and field note toward the weaknesses appeared during teaching learning process. 3. Questionnaire Based on Sanapiah Faisal (1989), questionnaire is a tool of data collection that consist of question list in writing that is pointed to the subject or respondent of study. The questionnaire was used to know students’ opinion about realia technique in teaching vocabulary. It was also used to know whether the technique was helpful to solve their problem in learning vocabulary. There were some questions in the questionnaire made to find out about what were the students’ responses toward the material given by using realia, what were the students’ responses toward the implementation of realia in teaching learning process and what were the problems that might arise during the implementation of realia in teaching learning process. The questionnaire was done in last section of the last meeting. Before the students answer the questionnaire, the researcher would explain each question in the questionnaire. After all the data had been collected, then they were analyzed. First, the data was obtained from assessment. The analysis was done from the result of test. The score was summed up to find the average score. The data was contain of how far the students master of vocabulary given in each meeting. Second, the data was obtained from observation, the analysis was done by describing the process of teaching learning vocabulary by realia in the class. The data that was contain of how was the material given to the students by using realia, how did the teacher implements realia to introduce vocabulary (concrete noun) and how were the students activities in the class when realia was implemented. Third, the data was obtained from questionnaire, the analysis was done from result of students’ answer toward the questions in questionnaire. The data was contain of what were the students responses toward the material given by using realia, what were the students’ responses toward the implementation of realia in teaching learning process and what was the problem that might arise during the
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
1. a. 1.
2.
implementation of realia in teaching learning process. The researcher will describe all results of the study based on the explanations above. And to make them clear, the researcher describes all of them one by one in these following sections. A. Result of the Study Result of the Learning and Teaching 33 Process First Meeting Planning It was held on May 8, 2013. The time used was 2 x 40 minutes. The teacher was the researcher. The researcher used realia in teaching learning process. The material was about “Things Around Us 1” and the topic was about “Classroom Equipments”. The researcher took material from text book. Implementing Before the teaching learning process was started by the researcher, the collaborative teacher (English teacher of that school) introduced the researcher to the students. After that, the teacher let researcher to start the lesson. The researcher said greeting to the students then checked the students’ attendance and gave motivation to the students. a. Pre-Realia Activity In the pre-realia activity, the researcher wrote topic on the whiteboard and asked students some questions related to the topic. Then, the researcher gave statements related the topic to stimulate students background knowledge. b. While-Realia Activity In this activity, the researcher showed realia (real things) in front of the class, then introduced the name of realia, wrote it on whiteboard and pronounce it loudly. Next, the researcher asked students to pronounce it together, after that asked some of the students to pronounce it alone. The researcher asked the students to write the name and meaning of realia in the book. The researcher repeated these activities until all of the vocabulary were introduced. To refresh the students’ mind and to make students’ comprehension and memorization stronger, the researcher conducted a game in the while of teaching learning process. The name of game was “Whispering Game”. The researcher divided students into some groups. Each group made a line, then the researcher whispered two words
33 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
to the last student of each line (the words of each group were different). The student that got words from the researcher must whispered them to the other students in one group. After that, the students in first line of each group must wrote the words were whispered on whiteboard. And, the group that could write words correctly and quickly was the winner of this game. Next step after conducted the game was assessment. The researcher gave questions that related with the material that was taught. It must be collected to be scored by the researcher. c. Post-Realia Activity After conducting the assessment, the researcher reviewed the content of material and checked the students’ comprehension, then made conclusion of the material. Before closing class, the researcher evaluated teaching learning process by asking the students about the difficulties and responses toward the using of realia technique. 3. Observing In first meeting, the observer was the English teacher of that school. The teacher observed cycles during the teaching learning process that were conducted by the researcher and signed the observation checklist that was provided by the researcher while made notes of the weaknesses during teaching learning process. According to observer, the condition of class in first meeting was very crowded especially when the researcher showed realia in front of the class. Some of the students stood up, some others came forward and the others just sat on their desk. It might caused of that day was the first meeting for students and researcher and also the first time using realia in teaching learning process. This condition was natural because they still need to adapt with the new person and new technique. Then, about the material was quite good. The material made students interesting and it was understandable by the students. And about the time, the researcher had managed the time well. All of the activities during teaching learning process could be finished at the time. For about the researcher’s performance was good, the voice could be heard by the students. Then, about the researcher’s explanation and instruction were clear enough
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
4.
-
-
b. 1.
2.
but sometimes the researcher was too fast in giving instruction. It made the students often asked researcher to repeat the instruction. When the researcher explained material, the researcher was not only in front of class but the researcher also walked around the students to make sure that all of students could catch the material that was taught by the researcher. Reflecting According to the explanation of observation above, the researcher and teacher made some reflection, that were: First, because in first meeting the condition of class was very crowded, so, in the next meeting, the researcher must be able to control it. It was to keep the effectiveness of teaching learning in the class. Second, because in first meeting the researcher too fast in giving instruction, so, in the next meeting, the researcher must be slower. It was to avoid the repetition of teacher’s instruction that was often asked by the students. Second Meeting Planning It was held on May 15, 2013. The time used was 2 x 40 minutes. The teacher was the researcher. The researcher used realia in teaching learning process. The topic was about “Things Around Us 1” and the material was about “School Equipments”. The researcher took material from text book. Based on the reflection in first meeting, the researcher planned everything to be better in the second meeting. Implementing The researcher started the learning teaching process by saying greeting to the students then checked the students’ attendance and gave motivation to the students. a. Pre-Realia Activity In the pre-realia activity, the researcher wrote topic on the whiteboard and asked students some questions related to the topic. Then, the researcher gave statements related the topic to stimulate students background knowledge. b. While-Realia Activity In this activity, the researcher showed realia (real things) in front of the class, then introduced the name of realia, wrote it on whiteboard and pronounce it loudly. Next, the researcher asked students to pronounce it together, after that asked some of the students to pronounce it alone. The researcher asked the students to write the name and meaning of
34 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
realia in the book. The researcher repeated these activities until all of the vocabulary were introduced. To refresh the students’ mind and to make students’ comprehension and memorization stronger, the researcher conducted a game in the while of teaching learning process. The name of game was “Matching Game”. The researcher divided students into some group. Then, the students prepared one table for each group in front of the class. After that, the researcher gave some papers to each group (the papers consist of some words in English and their meaning in Indonesia). Next, the students work in group to match the words and meanings. The students must put the words and meanings on the table in front of class that had prepared for each group. Last, the group that could match the words and meanings correctly and put them on table quickly was the winner. Next step after conducted the game was assessment. The researcher gave questions that related with the material that was taught. It must be collected to be scored by the researcher. c. Post-Realia Activity After conducting the assessment, the researcher reviewed the content of material and checked the students’ comprehension, then made conclusion of the material. Before closing class, the researcher evaluated teaching learning process by asking the students about the difficulties and responses toward the using of realia technique. 3. Observing In second meeting, the observer was the English teacher of that school. The teacher observed cycles during the learning teaching process that were conducted by the researcher and signed the observation checklist that was provided by the researcher while made notes of the weakness during learning teaching process. According to observer, the condition of class in second meeting was still crowded, especially when the researcher showed realia in front of the class. Some of the students stood up, some others came forward and the others just sat on their desk. It might caused that the realia technique to introduce vocabulary still new for them. So, it attracted students’ attention.
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
4.
-
-
c. 1.
2.
Then, about the material was quite good. The material made the students interesting and it was understandable by the students. And about the time, in this second meeting the time did not manage well. The researcher spent many times in conducting the game. It took the time of assessment, so the students were hurry in finishing their task and cheated each other. For about the researcher’s performance was good, the voice could be heard by the students. Then, about the researcher’s explanation and instruction were clear and slower than the first meeting. When the researcher explained material, the researcher was not only in front of class but the researcher also walked around the students to make sure that all of students could catch the material that was taught by the researcher. Reflecting According to the explanation of observation above, the researcher and teacher made some reflection, that were: First, similar with the first meeting, the condition of class in second meeting also still crowded. It might caused the researcher use the new way in introducing vocabulary (realia), so it attracted the students’ attention. And, for the next meeting, the researcher must be able to control it. Second, in this second meeting, the researcher could not manage time well. The researcher spent many times in conducting the game, as the result, the time for assessment was less. This condition made students were hurry in finishing the task and cheated each other. So, for the next meeting, the time must be controlled well. Third Meeting Planning It was on May 22, 2013. The time used was 2 x 40 minutes. The teacher of third meeting was the researcher. The researcher used realia in teaching learning process. The topic was about “Things Around Us 2” and the material was about “Kitchen Equipments”. The researcher took material from the text book. Based on the reflection in second meeting, the researcher planned everything to be better in the third meeting. Implementing The researcher started the learning teaching process by saying greeting to the
35 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
a.
b.
c.
3.
students then checked the students’ attendance and gave motivation to the students. Pre-Realia Activity In the pre-realia activity, the researcher wrote topic on the whiteboard and asked students some questions related to the topic. Then, the researcher gave statements related the topic to stimulate students background knowledge. While-Realia Activity In this activity, the researcher showed realia (real things) in front of the class, then introduced the name of realia, wrote it on whiteboard and pronounce it loudly. Next, the researcher asked students to pronounce it together, after that asked some of the students to pronounce it alone. The researcher asked the students to write the name and meaning of realia in the book. The researcher repeated these activities until all of the vocabulary were introduced. To refresh the students’ mind and to make students’ comprehension and memorization stronger, the researcher conducted a game in the while of teaching learning process. The name of game was “Guessing Name Game”. The researcher divided students into some groups. Then, all of the students of each group prepared one piece of paper. The researcher showed realia one by one and asked the students to write down names of those realia. After that, the researcher gave time to all groups to discuss with their friends in one group about the answer. Last, the group that could collect the answer (in one piece of paper) correctly and quickly in front of the class was the winner. Next step after conducted the game was assessment. The researcher gave questions that related with the material that was taught. It must be collected to be scored by the researcher. Post-Realia Activity After conducting the assessment, the researcher reviewed the content of material and checked the students’ comprehension, then made conclusion of the material. Before closing class, the researcher evaluated teaching learning process by asking the students about the difficulties and responses toward the using of realia technique. Observing In third meeting, the observer was the English teacher of that school. The teacher observed cycles during the learning teaching
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
process that were conducted by the researcher and signed the observation checklist that was provided by the researcher while made notes of the weakness during teaching learning process. According to observer, the condition of class in third meeting was good enough. It was better than the first and second meeting. The researcher had closed with students and they began familiar with realia in the teaching learning process. Then, about the material was quite good. The material made students interesting and it was understandable by the students. And about the time, the researcher had managed time well. All of the activities during teaching learning process could be finished at the time. But, there was a bit trouble when the researcher conducted game. There were some students did not pay attention and made noisy in the class, they did not participate actively in the game. For about the researcher’s performance was good. The researcher’s voice was loud and could be heard by the students well. The researcher’s explanation and instruction were clear. 4. Reflecting According to the explanation of observation above, the researcher and teacher made a reflection, that was according to observation of the observer, the whole process of learning teaching in third meeting was good. But, there was a bit trouble. It was about students’ naughty, there were some students made noisy and did not pay attention dyring the game. For the next meeting, the teacher must able to manage this problem, the teacher must make sure that all of the students are participate in the whole of teaching learning activities. d. Fourth Meeting 1. Planning It was held on May 29, 2013. The time used was 2 x 40 minutes. The teacher of fourth meeting was the researcher. The researcher used realia in learning process. The topic was about “Things Around Us 2” and the material was about “Drink and Food Materials”. The teacher took material from the text book. Based on the reflection in third meeting, the researcher planned everything to be better in the fourth meeting. 2. Implementing
36 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
The researcher started the learning teaching process by saying greeting to the students then checked the students’ attendance and gave motivation to the students. a. Pre-Realia Activity In the pre-realia activity, the researcher wrote topic on the whiteboard and asked students some questions related to the topic. Then, the researcher gave statements related the topic to stimulate students background knowledge. b. While-Realia Activity In this activity, the researcher showed realia (real things) in front of the class, then introduced the name of realia, wrote it on whiteboard and pronounce it loudly. Next, the researcher asked students to pronounce it together, after that asked some of the students to pronounce it alone. The researcher asked the students to write the name and meaning of realia in the book. The researcher repeated these activities until all of the vocabulary were introduced. To refresh the students’ mind and to make students’ comprehension and memorization stronger, the researcher conducted a game in the while of teaching learning process. The name of game was “Last Letter Game”. The teacher divided students into some group. Then, all of the students prepared one piece of paper. The teacher wrote on whiteboard the last letter of each word that related with realia (the teacher gave clue with mention the number of letter). After that, the teacher gave time for each group to discuss about the answer with their friends in one group. Last, the group that can answer correctly and quickly was the winner. Next step after conducted the game was assessment. The researcher gave questions that related with the material that was taught. It must be collected to be scored by the researcher. c. Post-Realia Activity After conducting the assessment, the researcher reviewed the content of material and checked the students’ comprehension, then made conclusion of the material. Before closing class, the researcher evaluated teaching learning process. Next, in this last meeting, the researcher distributed questionnaire to the students and asked them to collect it. The result of questionnaire would show students’ opinion about the using of
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
realia technique to improve students’ vocabulary mastery. 3. Observing In forth meeting, the observer was the English teacher of that school. The teacher observed cycles during the learning teaching process that were conducted by the researcher and signed to observation checklist that was provided by the researcher while made notes of the weakness during teaching learning process. According to observer, the condition of class in fourth meeting was good. The class condition was not crowded anymore. The students participate actively during teaching learning process. Then, about the material was quite good. The material made students interesting and it was understandable by the students. And about the time, the teacher had managed time well. All of the activities during teaching learning process could be finished at the time. For about the teacher’s performance was good. The teacher’s voice was loud and could be heard by the students. And, the teacher’s explanation and instruction were clear. 4. Reflecting According to the explanation of observation above, the researcher and teacher made a reflection, that was according to observation of the observer, the whole process of learning teaching in fourth meeting was good. The students participate actively during teaching learning process. The realia technique had been accepted well by them. 2. Result of the Questionnaire To know the students’ responses toward teaching learning process, the researcher gave questionnaire to the students. The questionnaire consists of 10 questions and it was given to the students in the last meeting. After that, the researcher analyzed every number of questions one by one. To measure the students’ responses, researcher used the pattern:
The questions of questionnaire can be seen in appendix. The results of questionnaire are:
37 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
For question number 1, do the students like to learn English using realia technique? the results are:
Table 4.1 No 1. 2. 3. 4.
Criteria Sangat senang Senang Kurang senang Tidak senang
Score 20 % 65,71 % 8,57 % 5,71 %
For question number 2, how does the using of realia technique in the English class? the results are: Table 4.2 No 1. 2. 3. 4.
Criteria Sangat bagus Bagus Kurang bagus Tidak bagus
Score 20 % 51,43 % 17,14 % 11,43 %
For question number 3, does the teacher explain material using realia technique clearly? the results are: Table 4.3 No 1. 2. 3. 4.
Criteria Sangat jelas Jelas Kurang jelas Tidak jelas
Score 20 % 77,14 % 2,86 % 0%
For question number 4, does the teacher explain material using realia technique maximally? the results are: Table 4.4 No 1. 2. 3. 4.
Criteria Sangat maksimal Maksimal Kurang maksimal Tidak maksimal
Score 37,14 % 48,57 % 14,29 % 0%
For question number 5, does the using of realia technique help the students to comprehend the lesson material? the results are: Table 4.5 No 1. 2. 3. 4.
Criteria Sangat membantu Membantu Kurang membantu Tidak membantu
Score 20 % 65,71 % 8,57 % 5,71%
For question number 6, does the material given to the students by using realia technique is interesting? the results are: Table 4.6 No 1. 2. 3. 4.
Criteria Sangat menarik Menarik Kurang menarik Tidak menarik
Score 37,14 % 57,14 % 5,71% 0%
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
For question number 7, does the using of realia make the students more motivated in learning vocabulary? the results are: Table 4.7 No 1. 2. 3. 4.
Criteria Sangat termotivasi Termotivasi Kurang termotivasi Tidak termotivasi
Score 54,29 % 22,86 % 14,29 % 8,57 %
For question number 8, do the students have progress in mastering vocabulary during the using of realia technique? the results are: Table 4.8 No 1. 2. 3. 4.
Criteria Sangat ada Ada Kurang ada Tidak ada
Score 42,86 % 51,43 % 5,71 % 0%
For question number 9, do the students often find difficulties during the using of realia technique? the results are: Table 4.9 No 1. 2. 3. 4.
Criteria Sangat sering Sering Kurang sering Tidak sering
Score 0% 2,86 % 31,43 % 65,71 %
For question number 10, does the realia technique needed to use in the school? the results are: Table 4.10 No 1. 2. 3. 4.
Criteria Sangat perlu Perlu Kurang perlu Tidak perlu
Score 45,71 % 54,29 % 0% 0%
From the result of questionnaire above, it shows that the students response well toward the implementation of realia in their teaching learning process. 3. Result of the Assessment To measure the students’ comprehension to the material, the researcher gave assessment to the students in each meeting. The assessment was given during four meetings. The kinds of assessments that were given in each meeting, can be seen in appendix. The assessments that were given in every meeting, then were scored by the researcher. All of the students’ scores in each
38 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
meeting are summed up to get the average scores. To measure the average score, researcher used the pattern:
The results of them, can be seen in the table 4.11 below: Table 4.11 No
Students
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
AR AL AMH AP. AN T AT BD BJU CU CNT DA EP FRE HY IJ MA MB MH MFD MK MT NDC NP PW RB RC RS RN SA SH SK SAL SA TAP YS Total Score Average Score
I 8 8 10 7 8 8 6 9 8 10 9 6 8 9 6 7 7 10 7 9 6 10 8 8 6 8 10 6 8 6 9 8 7 10 6
Scores II 10 8 10 9 9 9 8 9 8 10 10 7 8 9 7 7 9 10 8 10 7 10 9 8 8 9 10 7 10 8 9 8 8 10 7
III 10 10 10 9 10 10 8 9 9 10 10 7 9 10 8 8 10 10 10 10 8 10 10 10 8 10 10 7 10 9 10 10 8 10 9
IV 10 10 10 10 10 10 9 10 10 10 10 8 10 10 8 8 10 10 10 10 8 10 10 10 9 10 10 9 10 9 10 10 9 1 9
276
303
326
336
7,9
8,7
9,3
9,6
From the result of assessment above, it shows that realia is the effective technique for the students in learning vocabulary. The student’s scores always improve in each meeting. B. Discussion of the Study 1. Learning and Teaching Process From the results during teaching learning process, the researcher makes the analysis that the weaknesses during teaching learning process from first meeting until last meeting that often happened are about the students’ crowded and their naughty. This condition was natural, considering the students are still at seventh class of junior high school. At this level, the students are categorized as
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
adolescent learner that is often seen as the problem students. But, during four meetings, the students have followed all activities in teaching learning process well. According to Harmer (2007), adolescence is bound up, after all, with a pronounced search for identity and a need for self esteem, adolescents need to feel good about themselves and valued. All of this is reflected in the secondary student who convincingly argued that a good teacher is someone who knows our name. 2. Questionnaire From the results of questionnaire, the researcher makes an analysis that the students’ of 7 B at MTs. Sunan Drajat Sugio Lamongan, as the object of this study response well toward the implementation of realia in their teaching learning process. The students can be more interested and motivated when realia implemented in their class. This results can be seen from the students’ responds toward ten questions that are given by the researcher in questionnaire. All of students answers in the questionnaire are analyzed for each number and categorize one by one. The results of questionnaire are shown in percentage forms. For the clear and complete questionnaire results can be seen in table 4.1 until 4.10. 3. Assessment From the results of assessment during four meetings, the researcher makes an analysis that realia is the effective technique in teaching learning vocabulary especially concrete noun. This result can be seen from the students’ scores that always improve for each meeting. The result of all tests from first until fourth meeting can be seen clearly and completely in table 4.11. In that table, the scores of students one by one during fourth meeting and the average scores of them are shown. CONCLUSION Based on the data in last chapter, the researcher can make some conclusions: The results of this study show that the teaching and learning process of vocabulary (concrete noun) by using realia have been implemented maximally. All of the teaching learning processes are conducted based on the planning that have been planned. It can be seen from the result of observation during the
39 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
process of it. Then about the students’ responses toward the implementation of realia in vocabulary (concrete noun) teaching and learning process can be seen from the result of questionnaire. It shows that the realia technique are accept well by the students. They participate actively during the teaching learning process. For about the students’ improvement in mastery vocabulary (concrete noun), the results of this study show that realia can improve the students vocabulary mastery (concrete noun). It can be seen from the results of students’ assessment, the scores always improve in every meeting. REFFERENCES Anne Burns, (2003) Collaborative Action Research for English Language Teachers, Cambridge: Cambridge University Press Burhan Nurgiyantoro, (2001) Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, Yogyakarta: PT BPFE H. Douglas Brown, (2000) Principles of Language Learning and Teaching (fourth
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
edition), Longman: San Fransisco State University Iskandar, (2009) Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: Gaung Persada Press Jack C. Richards and Willy A. Renandya, (2002) Methodology in Language Teaching (an anthology of current practice), Cambridge: Cambridge University Press Jeremy Harmer, (2007) The Practice of English Language Teaching (fourth edition), Longman: Pearson Education Limited Marcella Frank, (1972) Modern English (a practical reference guide), (USA: PrenticeHall, Inc Suharsimi Arikunto, (2002) Prosedur Penelitian (suatu pendekatan praktek edisi revisi v), Jakarta: PT Rineka Cipta Suharsimi Arikunto, (2008) Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: Bumi Aksara Sanapiah Faisal, (1989) Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada http://en.wikipedia.org/wiki/realia (August 29, 2009 07.00 p.m.) http://www.usingenglish.com (October 10, 2009 09.00 a.m.)
40 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Petunjuk bagi Pengirim Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 1. Artikel yang ditulis untuk Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian atau kajianpustaka yang mempunyai kontribusi baru di bidang Ilmu Sosial. Naskah diketik degan huruf TimesNew Roman, ukuran 11 pts, dengan spasi ganda, dicetak pada kertas HVS kuarto sepanjang maksimum15 halaman, dan diserahkan dalam bentuk print-out sebanyak 3 eksemplar beserta disketnya. Berkas(file) dibuat dengan Microsoft word. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai attacment e-mail ke alamat:
[email protected] 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan dibawah judul artikel. Jikapenulis terdiri 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama;nama penulis-penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Dalam halnaskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yangnamanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan mencantumkan alamat e-mail untukmemudahkan komunikasi. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai, disertai judul pada masingmasingbagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikeldicetak dengan huruf besar ditengah-tengah, dengan huruf sebesar 14 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atautebal dan miring), dan tidak menggunakan angka/nomor pada judul bagian:PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI)Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) Peringkat
3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri)
4. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak(maksimum 200 kata); kata kunci; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang dan tujuan atauruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian); penutup ataukesimpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak(maksimum 200 kata) yang berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan (tanpajudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil;pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk) 6. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yangdiutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi)atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. 7. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurang (nama, tahun). Pencantuman sumberpada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan.Contoh: (Davis, 2003: 47). 8. Daftar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis dankronologis. Buku: Anderson, D, W., Vault, V. D. & Dickson, C. E. 1999. Problem and Prospects for the Decades Ahead: Competency Based Teacher Education. Berkeley: McCutchan Publising Co. Buku kumpulan artikel: Saukah, A. & Waseso, M.G. (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (Edisi ke-4, cetakan ke1). Malang: UM Press. Artikel dalam buku kumpulan artikel: Russel, T. 1998. An Alternative Conception: Representing Represensation. Dalam P.J. Black & A. Lucas (Eds), Children’s Informal Ideas in Science (hlm. 62-84). London: Routledge. Artikel dalam jurnal atau majalah: Kansil, C.L. 2002. Orientasi Baru Penyelenggaraan Pendidikan Program Profesional dalam Memenuhi kebutuhan Dunia Industri. Transpor, XX (4): 57-61. Artikel dalam koran: Pitunov, B. 13 Desember, 2002. Sekolah Unggulan ataukah Sekolah Pengunggulan? Majapahit Pos, hlm. 4 & 11. Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): Jawa Pos. 22 April, 1995. Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. 3. Dokumen resmi: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1978. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Depdikbud. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT. Armas Duta Jaya. Buku terjemahan: Ary, D., Jacobs, L.C. & Razavieh, A. 1976. Pengantar Penelitian Pendidikan. Terjemahan oleh Arief Furchan. 1982. Surabaya: Usaha Nasional. Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Kuncoro, T. 1996. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Magang di STM Nasional Malang Jurusan Bangunan, Program Studi Bangunan Gedung: Suatu Studi Berdasarkan Kebutuhan Dunia Usaha Jasa Konstruksi. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP MALANG.
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
41 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Makalah seminar, lokakarya, penataran: Waseso, M.G 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah. Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya Penulisan Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, 9-11 Agustus. Internet (karya individual) Hitchcock, S., Carr, L. & Hall, W. 1996. A Survey of STM Online Journals, 1990-1995 : The Calm before the Storm, (Online), (http://journal.ecs.soton.ac.uk/survey/survey.html, diakses 12 Juni 1996) Internet (artikel dalam jurnal online): Kumaidi. 1998. Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan Tesnya. Jurnal Ilmu Pendidikan. (Online), jilid 5,No. 4,(http://www.malang.ac.id, diakses 20 Januari 2000). Internet (bahan diskusi): Wilson, D. 20 November 1995. Summary of Citing Internet sites. NETTRAIN Discussion List, (Online), (
[email protected], diakses 22 November 1995). Internet (e-mail pribadi): Naga, D.S (
[email protected]). 1 Oktober 1997. Artikel Untuk JIP. E-mail kepada Ali Saukah (
[email protected]). 9. Tata cara penyajian kutipan, table, dan gambar mencontoh langsung tata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan BahasaIndonesia yang Disempurnakan (Depdikbud, 1987). Artikel bahasa Inggris menggunakan ragam baku. 10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari reviewers yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting, kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis. 11. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah. 12. Segala sesuatu yang menyangkut perjanjian pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel tersebut.
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562