Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
| 39
Komitmen Kebijakan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja (Studi pada Mitra Produksi Sigaret (MPS) KUD Tani Mulyo Lamongan) Noer Rafikah Zulyanti *) *)
Dosen Fakultas Ekonomi Prodi Manajemen Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) MPS KUD Tani Mulyo Lamongan, mengetahui kesesuaian kebijakan K3 dengan peraturan yang berlaku, dan mengetahui komitmen kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai upaya perlindungan tenaga kerja pada MPS KUD Tani Mulyo Lamongan.Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dan sebagai obyek penelitian adalah Mitra Produksi Sigaret (MPS) KUD Tani Mulyo Lamongan. Dengan menggunakan teknik purposive sampling peneliti mengumpulkan data dari key informan, dan teknik probability sampling dari 469 karyawan produksi sebagai sample penelitian. Untuk mengetahui komitmen kebijakan K3 di MPS KUD Tani Mulyo, peneliti meneliti 4 elemen, yaitu sumber daya, komunikasi dan kepedulian, pelatihan dan kompetensi, dan tugas dan wewenang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa :(a) MPS KUD Tani mulyo telah berkomitmen dengan kebijakan K3 sesuai dengan Permenaker Nomor PER.05/MEN/1996. (b) Elemen sumber daya, dengan telah menepatkan organisasi K3 (P2K3) pada posisi yang dapat menentukan keputusan perusahaan, yaitu dengan diketuai oleh direktur utama secara langsung, menyediakan sumberdaya manusia, sarana dan anggaran/dana yang diperlukan di bidang K3. (c) Elemen komunikasi dan kepedulian, MPS KUD Tani Mulyo hendaknya perlu memperhatikan motivasi karyawan dalam berperilaku sehingga tujuan akhir proses komunikasi dapat tercapai yaitu berperilaku aman dan dengan menerepakan sistem hadiah dan hukuman dalam penerapan K3. (d) Elemen pelatihan dan kompetensi, MPS KUD Tani Mulyo melaksanakan pelatihan secara internal dan eksternal untuk meningkatkan kompetensi personel dalam bidang K3. (e) Elemen tugas dan wewenang MPS KUD Tani Mulyo telah menetapkan personel yang mempunyai tanggung jawab dan wewenang yang jelas. (f) MPS KUD Tani berhasil dalam komitmennya untuk melindungi karyawannya dengan keberhasilan penerapan kebijakan K3, hal ini dapat dibuktikan dengan selalu diraihnya penghargaan zero accident (kecelakaan nihil) sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2011. Kata kunci : kebijakan K3, komitmen, perlindungan tenaga kerja Pengantar Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja sangat penting bukan saja untuk mengendalikan risiko kecelakaan kerja, terlebih-lebih jika dikaitkan dengan kondisi perekonomian, yang mana jika terjadi kecelakaan kerja akan dapat mengakibatkan kerugian material/asset pada perusahaan maupun nasional. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Ksehatan Kerja merupakan salah satu untuk menjamin konsistensi dan efektivitas perusahaan dalam mengendalikan sumber bahaya dan dapat meminimalkan risiko, mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta memaksimalkan efisiensi perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing perusahaan. Melalui penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dilaksanakan dengan konsisten dan berkesinambungan, kejadian yang tidak diinginkan atau dapat menimbulkan kerugian dapat dicegah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan kewajiban pengusaha melindungi tenaga kerja dari potensi bahaya yang dihadapi. Dalam pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja itu sendiri juga mengacu pada Permenaker RI Nomor : Per.05/MEN/1996 pasal 3 ayat 1 dan 2 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang Volume 1 No. 2 Tahun 2013
menyatakan bahwa ―Setiap perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemran lingkungan dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)‖ . Menurut data terakhir, pada tahun 2006 terjadi 95.624 kasus kecelakaan kerja, sedangkan pada tahun 2007 terjadi 65.474 kasus kecelakaan kerja. Pada tahun 2008, kasus kecelakaan kerja di Indonesia ditargetkan menurun hingga 50%. Dengan semakin menurunnya angka kecelakaan kerja, diharapkan dapat membantu berkembangnya dunia usaha, investasi dan memacu peningkatan produktivitas nasional (Depnakertrans : 2011). Berkaitan dengan pelaksaan SMK3 , Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia memberikan apresiasi yaitu dengan dianugrahkannya penghargaan kepada 254 perusahaan yang berhasil menerapkan SMK3 berdasarkan evaluasi hasil audit dari Lembaga Audit. Jumlah ini meningkat 6,7% dibanding tahun 2011 yang sebanyak 238 perusahaan (Depnakertrans : 2011). MPS Tani Mulyo adalah mitra dari PT.Hanjaya Mandala Sampoerna yang khusus untuk memproduksi rokok lintingan tangan alias sigaret ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
kretek tangan (SKT) yang sampai saat ini memiliki jumlah tenaga kerja mencapai 1500 orang. Yang mana sekitar 1300 orang diantara pekerja berpendidikan SD, SMP, dan SLTA, berhubungan dengan produksi langsung. Pengelolaan yang tentu saja tidak mudah bagi perusahaan. Sehubungan dengan tingkat keselamatan dan kesehatan kerja MPS Tani Mulyo menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai bentuk komitmen manajemen perusahaan untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja yang aman bagi pekerja. Komitmen perusahaan adalah elemen inti keberhasilan dari Sistem Manajemen Keselamtan dan Kesehatan Kerja (SMK3), selain beberapa elemen yang merupakan rangkaian proses yang terintegrasi dengan sistem manajemen lain yang ada dalam perusahaan bagi terpenuhinya ekspektasi performansi SMK3 yaitu menjamin tersedianya lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi seluruh tenaga kerja. Kajian Empiris Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) secara optimal dilakukan oleh perusahaan saat akan dilakukan audit saja dan setelah dilakukan audit penerapan SMK3 mengalami kemunduran yang cukup berarti, bahkan rekomendasi upaya perbaikan yang disarankan tim audit diabaikan. Dari hasil penelitian dijelaskan pula bahwa penerapan SMK3 yang lebih baik akan dapat meningkatkan produktifitas, begitu pula sebaliknya (Edi Subroto,2002). Sementara Soerono (2005), menyatakan bahwa penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja termasuk dalam kategori cukup. Hal ini didukung dengan data yang menyatakan bahwa jumlah kecelakaan dan penyakit akibat kerja selam 3 tahun terakhir mengalami penurunan. Dita Artaningtiyas (2007) menyatakan dalam penelitiannya bahwa permasalahan promotif adalah perilaku/kebiasaan karyawan yang tidak biasa makan pagi, istirahat teratur, dan terbatasnya pengetahuan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), terutama pada karyawan yang tidak mempunyai dasar pendidikan kesehatan. Masalah preventif adalah perlindungan terhadap bahaya-bahaya fisik, kimia, biologi, dan zat-zat berbahaya di tempat kerja. Masalah penerapan ergonomi adalah karyawan yang bekerja belum sesuai dengan protap (prosedur tetap) dan adanya ruangan alat yang mempercepat kelelahannya. Masalah kuratif adalah belum adanya prosedur tetap untuk pelayanan kesehatan tenaga honorer. Sedangkan untuk permasalahan yang menyangkut K3 yang pertama adalah komitmen dan kebijakan adalah sosialisasi dan tidak adanya dukungan dana khusus untuk K3. Masalah pelaksanaan SMK3 adalah sosialisasi protap yang belum menyeluruh dan petugas K3 yang belum memiliki keahlian khusus. Masalah pengukuran dan evaluasi pada SMK3 adalah belum ada standart operasional prosedur (SOP) untuk evaluasi K3. Sementara Zaman Tarigan (2008) menyatakan program-program Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) telah diterapkan di Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 40
pabrik kelapa sawit Tanjung Harapan Medan seperti rekruitmen, pendidikan, dan pelatihan dan penggunaan alat pelindung diri. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang menggunakan alat pelindung diri antara lain helm dipakai sekitar 89,48% pekerja yang seharusnya menggunakan, sepatu boot dipakai 63,34% pekerja, sarung tangan dipakai 72,73% pekerja, penutup telinga dipakai 62,50% pekerja, penutup mulut dipakai 77,78% pekerja, pelindung dada dipakai 53,34% pekerja yang seharusnya menggunakan. Perlu disarankan pengawasan yang baik yaitu dengan pengecekan dan penggunaan alat pelindung diri, perawatan berkala, dan penyuluhan dari manajemen pabrik dengan mengadakan pelatihan Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Kajian Teoritis Administrasi Istilah Administrasi berasal dari kata latin ad dan ministrare yang artinya membantu, melayani, dan atau mematuhi. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah administration, sedangkandalam bahasa Belanda dikenal istilah administratie yang artinya setiap penyusunan keterangan-keterangan secara sistematis dan pencatatannya secara tertulis dengan maksud untuk memperoleh suatu ikhtisar mengenai keterangan-keterangan itu dalam keseluruhannya dan dalam hubungannya satu sama lain (Joko Widodo MS, 2003). Administrasi adalah usaha dan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan (Kamus Terbaru Bahasa Indonesia : 2008). Sedangkan menurut Dr. Sondang P. Siagian (1996) yang dikutip oleh Joko Widodo, administrasi dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses kerja sama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pengertian lain yang diberikan oleh Herbert A. Simon dalam Joko Widodo (2003 : 2) menyatakan sebagai berikut, in its broadest sense, administrationcan be difined as the activities of group cooperating to accomplish common goals. Dalam pengertian yang luas, administrasi dapat dirumuskan sebagai kegiatan dari kelompok orangorang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan pada dasarnya administrasi adalah : merupakan suatu proses kerja sama yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Administrasi Negara Menurut John M. Pfiffner and Robert V. Presthus yang dikutip Adi Supardi (2009), mengemukakan: Administrsi Negara adalah pelaksanaan kebijaksanaan Negara yang telah digariskan oleh badan-badan politik yang representative (Public Adminiration involve the implementation of public wich has been outlined by representative political bodies). Sedangkan menurut Leonard D. White dalam bukunya yang berjudul “Introduction tot the study of public Administration” yang dikutip Adi Supardi (2009) mengemukakan : Adminitrasi Negara terdiri atas semua/seluruh ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
aktivitas/kegiatan yang bertujuan pemenuhan atau pelaksanaan kebijaksanaan Negara (public administration concists of all these operation having for their purpose the fulfillment or enforcement of public policy). Administrasi Niaga Pengertian administrasi Niaga menurut Prof. Dr..s. prajudi Admosudidjo (1982) adalah suatu pengertian yang mencakup dua pengertian menjadi satu, yaitu : Administrsi Niaga adalah adminitrasi dari pada suatu organisasi niaga secara keseluruhan, bilamana organisasi niaga tersebut merupakan perusahaan, maka administrasi niaga tersebut dijalankan oleh Direksi dari pada perusahaan. Administrasi Niaga adalah administrasi yang mengejar tercapainya tujuantujuan yang bersifat kewiraniagaan (business objective), dalam pengertian ini, administrasi niaga tersebut dijalnkan oleh setiap manager dalam suatu organisasi niaga. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Administrsi Niaga adalah proses kerjasama dari kelompok orang untuk mencapai keuntungan / laba yang sebesar-besarnya. Perbedaan Administrasi Negara dan Administrasi Niaga Menurut Sondang P. Siagian (1996), membedakan administrasi Negara (publik) dan adminstrasi niaga (bisnis) dilihat dari beberapa faktor / aspek antara lain sebagai berikut : (a) Tujuan. Administrasi Negara berusaha meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat (welfare state). Sedangkan administrasi bisnis berusaha meningkatkan kegiatan / usaha melalui akumulasi modal, investasi, dan lain sebagainya.(b) Motif. Administrasi Negara berorientasi pada public services, yang efisien, efektif, dan ekonomis. Sedangkan administrasi bisnis berorientasi pada profit making yang setinggi-tingginya. (c) Sifat layanan. Administrasi Negara berorientasi pada seluruh lapisan masyarakat, sedangkan administrasi bisnis pada sebagian masyarakat yang mampu membayar layanan. (d) Wilayah Yuridiksi. Administrasi Negara batas wilayah yuridiksi sama dengan batas-batas wilayah kekuasaan Negara, sedangkan administrasi bisnis batas wilayah kekuasaan tidak jelas. (e) Kekuasaan. Kekuasaan administrasi Negara berasal dari rakyat melalui lembaga-lembaga perwakilan, sedangkan administrasi bisnis ditentukan oleh modal , skill, yang dimilikinya. (f) Orientasi Politik. Idealnya administrasi Negara (birokrasi) netral, karena berfungsi sebagai abdi semua golongan/lapisan masyarakat. Sedangkan administrasi bisnis cenderung memihak pada pemegang kekuasaan. (g) Cara Kerja. Administrasi Negara cenderung lebih lamban, karena kurang adanya kompetisi dan terlalu legalitas, sedangkan administrasi bisnis cenderung lebih cepat dan efisien. Kebijakan Publik dan Kebijakan Bisnis Kebijakan publik menurut Dye (1992), adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan (public policy is whatever Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 41
governments choose to do or not to do). Anderson dalam Islamy (1997) mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Sedangkan kebijakan bisnis merupakan studi tentang fungsi dan tanggung jawab pimpinan perusahaan dalam menghadapi problema yang mempengaruhi karakter dan keberhasilan perusahaan secara keseluruhan. Kebijakan bisnis juga dapat didefinisikan sebagai ketetapan atau keputusan manajemen untuk mencapai tujuan masa depan perusahaan yang merupakan pedoman dalam melakukan aktivitas bisnis. Proses Pembuatan Kebijakan Menurut William N. Dunn (2003:43) proses pembuatan kebijakan dapat divisualisasikan dalam lima tahap, yaitu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. (a) Penyusunan agenda. Pada tahap ini pembuat kebijakan melakukan perumusan masalah, yaitu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan baru.(b) Formulasi kebijakan. Peramalan merupakan kegiatan yang dilakukan pada tahap ini. Dengan peramalan akan dapat menguji masa depan yang plausible, potensial, dan secara normative bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik dari berbagai pilihan.(c) Adopsi kebijakan. Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakna tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternative yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasi melalui peramalan. Ini membantu para pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan.(d) Implementasi kebijakan. Pada tahap implementasi kebijakan, pengambil kebijakan melakukan pemantauan atas kebijakan yang telah ada sebelumnya. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari akibat kebijakan atau program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukanletak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan.(e) Penilaian. Penilaian dilakukan untuk mengevaluasi tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan.
Implementasi Kebijakan Donald S. Van Mater dan Carl E. Horn dalam The Policy Implementations Process, Administration and Society yang dikutip oleh Joko Widodo, menguraikan batasan implementasi sebagai : ―Policy implementation encompasses those action by public and private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objevctives set forth in prior ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
policy decisions. This includes both one time efforts to transform decisions into operational terms, as well as continuing efforts to achieves the large and small changes mandated by policy decisions”. Implementasi kebijakan menekankan pada suatu tindakan-tindakan, baik yang dilakuakan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok), swasta, yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini, pada suatu saat berusaha untuk mentransformasikan keputusan menjadi pola operasional, serta melanjutkan usaha tersebut untuk mencapai perubahan baik yang besar maupun kecil yang diamanatkan oleh keputusan kebijakan tertentu. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Permasalahan yang melatarbelakangi sehingga ditetapkannya kebijakan K3 oleh perusahaan(Disnakertrans: 2012) adalah : (a) Kebutuhan terhadap pentingnya K3 bagi perusahaan belum menjadi prioritas. (b) Keterlibatan pimpinan perusahaan terhadap K3 pada umumnya masih kurang. (c) Penerapan K3 pada umumnya masih pada perusahaan-perusahaan yang berpotensi bahaya tinggi seperti pada sector migas, petrokimia, dan pada perusahaan asing. (d) Keterbatasan pegawai pengawas keselamatan dan kesehatan kerka di Kabupaten/Kota baik secara kuantitas maupun kualitas merupakan kendala pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah. (e) Penegakan hokum terhadap pelanggaran norma/peraturan perundangan di bidang ketenagakerjaan masih belum optimal. Kebijakan K3 merupakan perwujudan dari komitmen pucuk pimpinan yang mamuat visi dan tujuan organisasi, komitmen dan tekad untuk melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja (Soehatman Ramli, 2010 : 71). Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Berdasarkan pendapat Leon C. Megginson (1981:364) dalam Anwar Prabu Mangkunegara (2005) menyatakan bahwa istilah keselamatan mencakup kedua istilah risiko keselamatan dan risiko kesehatan. Dalam bidang ketenagakerjaan, kedua istilah risiko tersebut dibedakan. Keselamatan kerja menunjukkan kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian di tempat kerja. Risiko keselamatan merupakan aspek-aspek dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan kebakaran, ketakutan aliran listrik, terpotong, luka memar, keseleo, patah tulang, kerugian lat tubuh, penglihatan, dan pendengaran. Semua itu sering dihubungkan dengan perlengkapan perusahaan atau lingkungan fiisik dan mencakup tugas-tugas kerja yang membutuhkan pemeliharaan dan latuhan. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan bagian dari Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 42
sistem manajmen secara keseluruhan meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif (Peraturan Perundangan dan Pedoman Teknis SMK3: 2011). Saat ini terdapat berbagai bentuk sistem manajemen K3 yang dikembangkan oleh berbagai lembagai dan institusi di dalam dan di luar negeri antara lain :(a) Sistem Manjemen Five Star dari British Safety Council, UK. Dikembangkan oleh lembaga K3 di Inggris sekitar tahun 1970, Lembaga ini memberi penghargaan kepada perusahaan yang berprestasi berbentuk pedang keselamatan (Sword of Honour). (b) British Standart BS 8800 Guide to Occuptional Health and Safety Management System. Merupakan standar tentang SMK3 yang diberlakukan di Inggris dan negara lainnya. (c) International Safety Rating System (ISRS) dari ILCI/DNV. Sistem ini memberi peringkat kinerja K3 suatu perusahaan melaui audit dan sistem skoring atau nilai.Process Safety Management, OHSA Standard CFR 29 1910.119. Merupakan SMK3 yang dirancang khusus untuk industri proses beresiko tinggi seperti perminyakan dan petrokimia. (d) Sistem Manajmen K3 dari Depnaker RI. Sistem ini telah banyak dikembangkan oloeh perusahaan di Indonesia dan kinerjanya akan diaudit oleh Sucofindo. (e) American Petroleum Instutute : API9100A: Model Environmental Health and Safety (EHS) Management System. Lembaga ini mengeluarkan pedoman tentang sistem manajmen keselamatan kerja dan lingkungan. (f) American Petroleum Institute:API RP750, Management of Process Hazards. (g) ILO-OSH 2001 : Guideline on OHS Management System. Lembaga perburuhan dunia ini juga mengembangkan pedoman SMK3 yang banyak digunakan ssebagai acuan oleh berbagai negara dan perusahaan. (f) E&P Forum : Guidelines for development and Aplicatin of HSE Management System. Penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja Berdasarkan peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) setiap perusahaan atau tempat kerja wajib melaksanakan SMK3, yang mana merupakan suatu sistem yang diterapkan guna mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Untuk mengusahakan agar tenaga kerja maupun orang lain yang berada di tempat kerja serta sumber produksi, proses produksi dan lingkungan kerja dalam keadaan aman dan sehat. Maka penerapan SMK3 berdasarkan pedoman penerapannya meliputi :(1) Komitmen dan kebijakan pimpinan perusahaan, (2) Perencanaan, (3) Penerapan , (4) Pengukuran dan evaluasi, (5) Tinjauan ulang dan peningkatan oleh pihak manajemen. ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Perlindungan Tenaga Kerja Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 86, ―Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas‖ : (a) Keselamatan dan kesehatan kerja; (b) Moral dan kesusilaan; dan (c) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Kecelakan mempengaruhi produktivitas perusahaan. Seperti yang dikemukakan oleh Soehatman Ramli (2010 : 15), bahwa di dalam proses produksi, produktivitas ditopang oleh tiga pilar utama yaitu Kuantitas (Quantity), Kualitas (Quality), dan Keselamatan (Safety) seperti yang tergambar pada segitiga produktivitas. Seperti dipaparkan pada gambar 1 berikut : keselam atan
produktivitas
kualitas
kuantitas
Gambar 1. Segitiga Produktivitas dan K3 Komitmen Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sebagai Upaya Perlindungan Tenaga Kerja Komitmen ibarat energi yang menggerakkan roda kebijakan K3 organisasi. Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja yang tertuang dalam PER.05/MEN/1996 mensyaratkan agar manajmen menunjukkan komitmennya terhadap pelaksanaan SMK3 dengan menetapkan kebijakan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen sebagai suatukeadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keangotaannya dalam organisasi. Sedangkan Mathis dan Jackson dalam Sopiah (2008) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai derajad dimana karyawan percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya. Komitmen kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja pada MPS KUD Tani Mulyo ditunjukkan melalui keberhasilan penerapan kebijakan K3. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil empat elemen penentu keberhasilan penerapan kebijakan K3 yaitu sumber daya, komunikasi dan kesadaran, pelatihan dan pengembangan, dan tugas dan wewenang. Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 43
Metodologi Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dan sebagai obyek penelitian adalah Mitra Produksi Sigaret (MPS) KUD Tani Mulyo Lamongan. Dengan menggunakan teknik purposive sampling peneliti mengumpulkan data dari key informan, dan teknik probability sampling dari 469 karyawan produksi sebagai sample penelitian. Untuk mengetahui komitmen kebijakan K3 di MPS KUD Tani Mulyo, peneliti meneliti 4 elemen, yaitu sumber daya, komunikasi dan kepedulian, pelatihan dan kompetensi, dan tugas dan wewenang Hasil Penelitian dan Pembahasan MPS KUD Tani Mulyo Lamongan telah mengintegrasikan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Kebijakan K3 ini merupakan komitmen perusahaan menyangkut masalah kualitas keselamatan dan kesehatan dalam menjalankan proses dan aktivitas bisnis. Kebijakan ini memberikan kerangka kerja bagi operasi bisnis perusahaan yang harus dipahami oleh karyawan MPS Lamongan dan semua orang yang berkepentingan (kontraktor, subkontraktor, karyawan ). Kebijakan K3 MPS Lamongan dituangkan dalam bahasa yang mudah dipahami dan diletakkan di lokasi area kerja yang mudah dijangkau oleh umum. Hasil observasi menunjukkan bahwa, di beberapa area kerja seperti area produksi, bengkel, Laboratorium Quality Control (QC), ruangan manajemen, pos security, bahkan di kantin-kantin tempat karyawan beristirahatpun terpasang kebijakan K3. Hal ini bertujuan selain mudah dijangkau oleh umum, juga untuk mengembangkan program K3 secara menyeluruh dan terintegrasi dalam rangka pencegahan dan mitigasi potensi terjadinya kerugian terhadap seseorang. Sejarah perkembangan kebijakan K3 pada MPS Lamongan tidaklah semulus pencapaian produktivitas selama perusahaan berdiri. Seperti diketahui sejak tahun 2010-2012, MPS KUD Tani Mulyo mendapatkan penghargaan dengan kategori Platinum sebagai penghargaan atas pencapaian produktifitas “Excellence in Everything” . Pada saat observasi penelitian, temuan data periode th 2009 – 2011, peneliti mendapatkan kebijakan K3 yang ditandatangani oleh Martin G. King, President Director PT HM Sampoerna, pada 15 Nopember 2008. Yang berbunyi sebagai berikut : ―Adalah Kebijakan Perusahaan, sebagai salah satu unit bisnis Philip Morris International, untuk mencapai misi memberikan sensasi merokok terbaik bagi perokok dewasa, hari ini dan masa yang akan datang. Perusahaan berkomitmen untuk menyediakan tempat kerja yang sehat dan aman, mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta mencegah polusi lingkungan. Hal ini merupakan tanggung jawab bersama antara perusahaan dan karyawan, dimana keberhasilan dari kebijakan ini sepenuhnya terletak pada keterlibatan dari semua karyawan dengan cara menjalankan kebiasaan kerja yang terbaik dalam bidang kualitas lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Hasil wawancara yang dilakukan dengan sekretaris P2K3, ibu Zunifa, MPS KUD Tani Mulyo Lamongan, menerangkan bahwa, di th 2008 hingga th 2011 Kebijkan K3 ada, namun tidak tercatat, terorganisir, dan implementasinya belum secara efektif dilakukan. Terlebih komitmennya terhadap keesuaian dengan undang-undang, peraturan, dan ketentuan lain yang berlaku. Perusahaan cukup berkomitmen dengan 5R saja yaitu : Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin. Kendala yang dihadapi pada saat itu adalah sumber daya manusia yang masih belum berkompeten dalam bidang K3, berikut anggaran yang harus disiapkan oleh perusahaan untuk K3 sangatlah besar. Namun demikian, perusahaan tetap menunjukkan komitmennya terhadap keselamatan dan kesehatan kerja bagi karyawan dan orang lain di tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat, sehingga tiga elemen produktivitas, yaitu kualitas, kuantitas, dan keselamatan bisa terwujud. Hal ini dapat dibuktikan, pada tahun 2004 - 2005 perusahaan mendapatkan sertifikat Kecelakaan Nihil dan pada tahun 2007 - 2012 perusahaan kembali mendapatkan sertifikat Zero Accident, untuk performansinya dengan kategori nol terhadap kecelakaan akibat kerja. Pada tahun 2010, kebijakan K3 mulai ditinjau kembali keberadaannya oleh manajemen perusahaan, dengan membuat SOP (Standard Operational Procedure),dan Instruksi Kerja pada setiap level pekerjaan. Efektivitas Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, sebagai sarana untuk pelaksanaan suatu kebijakan, MPS Lamongan berkomitmen untuk meningkatkan performansi operasi secara efektif dan kontinyu sesuai strategi dan tujuan perusahaan, undang-undang, dan peraturan pemerintah, serta persyaratan lainnya. Pada tahun 2012, tepatnya tgl 1 Februari 2012 telah ditetapkan Kebijakan K3 MPS KUD Tani Mulyo yang ditandatangani oleh Direktur Utama, Ir.H. Djoko Wahyudi. Berikut adalah isi kebijakan K3 MPS KUD Tani Mulyo Lamongan: ―Kebijakan Lingkungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja MPS KUD Tani Mulyo Lamongan adalah kebijakan perusahaan untuk menyediakan tempat kerja yang aman dan sehat bagi karyawan, kontraktor, pengunjung, dan masyarakat sekitar guna :‖(a) Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja serta polusi lingkungan. (b) Menjamin agar setiap sumber produksi dapat dipakai secara aman dan efisien. (c) Menjamin agar setiap proses produksi dapat berjalan lancar. Komitmen terhadap peraturan perundangan yang dilakukan oleh MPS KUD Tani Mulyo Lamongan adalah minimal setiap awal tahun mengupgrade data peraturan perundangan pada Disnaker Kabupaten Lamongan. Selain itu, dari pihak Disnaker juga secara insidental melakukan kunjungan ke perusahaan untuk memberitahukan adanya peraturan perundangan K3 yang baru. Kegiatan sosialisasi juga dilaksanakan dalam rangka program perlindungan tenaga kerja dan pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan. Seperti yang baru-baru dilaksanakan pada bulan Juli 2012 Disnaker Kabupaten Lamongan melaksanakan Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 44
sosialisasi SMK3 yang bekerja sama dengan PT. Abdi Karya Abadi Surabaya. Yang mana setiap perusahaan yang berada di area Lamongan-Gresik –Surabaya yang memiliki kewajiban menerapkan SMK3 menjadi pesertanya, termasuk MPS KUD Tani Mulyo Lamongan. Up date yang dilakukan oleh sekretaris P2K3 tertera dalam Daftar Peraturan Perundangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang mana dalam daftar tersebut dicantumkan apakah perubahan perundangan telah diimplementasikan (compliance = C) atau belum diimplementasikan (non compliance = NC). Contoh untuk topik yang berkaitan dengan K3 umum yakni penerapan pasal 13 UU no 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, ― barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alatalat pelindung diri yang diwajibkan.‖ Peraturan tersebut sudah berstatus ―C‖, evaluasi dilakukan oleh Ibu Zunifa (ahli K3 Umum), dan diterbitkan pada per tanggal 20 Januari 2012. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah pola penerapan kebijakan K3 MPS KUD Tani Mulyo yang merupakan bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan perusahaan. Kelemahan sistem manajemen mempunyai peranan yang sangat besar sebagai penyebab kecelakaan, karena sistem manjemenlah yang mengatur unsur-unsur produksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa kecelakaan merupakan manifestasi adanya kesalahan manajemen yang menjadi penyebab masalah dalam proses produksi. Keberhasilan penerapan kebijakan K3 berarti pula pencapaian tujuan perusahaan. Seperti diketahui bahwa kegiatan MPS KUD Tani Mulyo adalah produksi dengan sistem padat karya, yang berarti sumber daya manusia yang dalam hal ini adalah para pekerja produksi yang memiliki peran utama dalam menghasilkan produk unggul dan kompetitif , maka tenaga kerja dikelola sedemikian rupa yang dituangkan dalam suatu bentuk peraturan bersama yang baik benar, dan proporsional bagi kedua belah pihak yaitu Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara perusahaan dan karyawan. Indikator keberhasilan komitmen perusahaan terhadap penerapan kebijakan K3 adalah bahwa sejak tahun 2003 – 2011 perusahaan mendapatkan sertifikat Zero Accident yaitu penghargaan atas pencapaian kecelakaan nihil, oleh perusahaan selama satu tahun. Untuk tahun 2012, kecelakaan yang tercatat sebagian besar tergolong first aid, artinya karyawan tidak sampai kehilangan hari kerja mereka. Ada beberapa kecelakaan yang mengakibatkan sampai kehilangan hari kerja, namun tipe kecelakaannya adalah lalu lintas pada saat karyawan pulang atau berangkat kerja. Berikut rekapitulasi data laporan kecelakaan periode Januari – September 2012.
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Tabel 1. REKAPITULASI DATA KECELAKAAN PERIODE JANUARI – SEPTEMBER 2012 MPS KUD TANI MULYO LAMONGAN No 1
Bulan Januari
2
Februari
3
Maret
4
April
5
Mei
6
Juni
7
Juli
8
Agustus
9
September
Sumber Kecelakaan 1.Pisau Push Cutter 2.Sepeda Motor 1.Pisau Push Cutter 2.Sepeda Motor 1.Pisau Push Cutter 2.Sepeda Motor 1.Pisau Push Cutter 2.Sepeda Motor 1.Pisau Push Cutter 2.Sepeda Motor 1.Pisau Push Cutter 2.Sepeda Motor 1.Pisau Push Cutter 2.Sepeda Motor 1.Pisau Push Cutter 2.Sepeda Motor 1.Pisau Push Cutter 2.Sepeda Motor
Jumlah 7 3 4 1 5 3 4 3 5 3 3 4 4 0 3 0 1 2
Sumber : Poliklinik MPS KUD Tani Mulyo Lamongan Sedangkan dalam proses produksi, setiap sumber/bahan produksi dapat dipakai secara aman dan efisien, serta dapat berjalan dengan lancar. Hal ini terbukti sejak diselenggarakannya program penghargaan untuk produktivitas oleh PT. HM. Sampoerna, pada tahun 2010 sampai dengan 2012 MPS KUD Tani Mulyo mereaih penghargaan dalam kategori ―Excellence in Everything‖ Simpulan Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan penelitian mengenai komitmen kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada MPS KUD Tani Mulyo yakni : 1. MPS KUD Tani Mulyo memiliki kebijakan K3 yang mulai diimplemetasikan secara efektif dan terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan sejak tanggal 12 Februari 2012. 2. Penerapan kebijakan K3 secara umum telah sesuai dengan Permenaker Nomor PER.05/MEN/1996, yaitu menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja demi tercapainya tujuan kebijakan K3. 3. Dalam penelitian ini ada empat elemen yang menentukan keberhasilan dalam penerapan kebijakan K3 sebagai komitmen MPS KUD Tani Mulyo atas kebijakan K3 sebagai upaya perlindungan karywan adalah sumber daya, komunikasi dan kepedulian , pelatihan dan kompetensi , tugas dan wewenang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : a. Sebagai komitmennya atas ketersediaan sumber daya, MPS KUD Tani Mulyo telah menempatkan organisasi K3 yaitu P2K3 pada posisi yang dapat menentukan keputusan perusahaan dan sebagai ujung tombak pelaksanaan K3 di perusahaan, Ahli K3 yang bersertifikasi sebagai lead auditor dalam Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 45
audit internal, regu balakar dan tim evakuasi yang berpartisipasi aktif menjalankan tugas sesuai dengan prosedur. Mesin dan sarana yang digunakan telah bersertifikasi untuk kelayakan penggunannya. MPS KUD Tani Mulyo juga memberikan dukungan berupa penyediaan dana guna terealisasinya program kerja tahunan K3. b. Pada elemen komunikasi, ada 3 indikator yaitu penyampaian pesan/informasi K3, bertindak jika terjadi kondisi darurat, dan memastikan karyawan bekerja dengan benar dan aman, sedangkan untuk elemen kepedulian ada 2 indikator yaitu, peran pengawas dan peran rekan kerja. Pada indikator penyampaian pesan/informasi mengenai tujuan kebijakan dan beberapa istilah K3 menunjukkan, lebih dari 50% karyawan bagian giling (GL) dan push cutter (PC) menyatakan tidak paham hal ini berbanding lurus dengan peran pengawas, hasil analisis menunjukkan lebih dari 50% karyawan GL dan PC menyatakan pengawas mereka tidak pernah menyampaikan informasi mengenai adanya kebijakan K3. Sebaliknya pada bagian pack dan bandrol, lebih dari 50% karyawan paham dengan tujuan adanya kebijakan K3 yang berbanding lurus dengan peran pengawas yang menunjukkan lebih 60% karyawan menyatakan pengawas mereka sering menyampaikan informasi tujuan adanya kebijakan K3. Hal ini dikarenakan jumlah karyawan GL dan PC yang jauh lebih banyak daripada bagian pack dan bandrol serta tingkat kesulitan pekerjaan dan intensitas pekerjaan bagian GL dan PC lebih tinggi dari pada bagian pack dan bandrol. Untuk Indikator bertindak jika terjadi kondisi bahaya dan memastikan karyawan bekerja dengan benar dan aman menunjukkan lebih dari 55% karyawan bagian GL dan PC menyatakan paham pada indikator bertindak jika terjadi kondisi darurat, dan 80% lebih karyawan bagian pack dan bandrol menyatakan paham untuk bekerja dengan benar dan aman. Hal ini sejalan dengan peran pengawas (bagian GL, PC, pack, dan bandrol) yang menunjukkan rata-rata lebih dari 70% karyawan menyatakan pengawas sering memberikan informasi tentang tindakan yang harus diambil pada saat kondisi darurat dan untuk memastikan bekerja dengan benar dan aman. Dengan demikian MPS KUD Tani Mulyo telah berhasil dalam mengembangkan perilaku aman sebagi bentuk kesadaran karyawan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja, yang secara tidak langsung MPS KUD Tani Mulyo telah berhasil mengkomunikasikan tujuan kebijakan K3. c. Elemen pelatihan dan kompetensi mengantarkan karyawan MPS KUD Tani Mulyo kearah sumber daya manusia yang berkompeten dalam bidang K3. MPS KUD Tani Mulyo berkomitmen untuk menyediakan sumber daya yang berkompeten dalam rangka mencapai tujuan penerapan kebijakan K3. Hal ini dubuktikan, perusahaan melaksanakan pelatihan untuk mengembangkan SDM nya dalam bidang K3 baik secara internal yang dilakukan oleh perusahaan sendiri maupun ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
secara eksternal dari PT. HM Sampoerna atau dengan instansi terkait dan lembaga yang berkompeten. d. Komitmen atas tugas dan wewenang yaitu dengan menempatkan personel yang memepunyai tanggung jawab dan wewenang yang jelas dalam penanganan keselamatan dan kesehatan kerja, dibuktikan dengan selama pelaksanaan simulasi keadaan darurat, setiap petugas yang terdiri dari tim balakar dan tim evakuasi bekerja sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. e. MPS KUD Tani berhasil dalam komitmennya untuk melindungi karyawannya baik dari kecelakaan maupun penyakit akibat kerja dengan keberhasilan penerapan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), hal ini dapat dibuktikan dengan selalu diraihnya penghargaan zero accident (kecelakaan nihil) sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2011. Daftar Pustaka Admosudirdjo, S. Prajudi, Dr., Prof., 1982, Administrasi dan Managemen Umum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Bird, E, Frank, 1989, Commitmen. Georgio: Institute Publishing Loganville. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Lamongan, 4 Juli 2012, Sosialisasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Keraj (SMK3). Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Lamongan, 7 Juli 2012, Sosialisasi SMK3 : Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam Rangka Terwujudnya Budaya K3 di Jawa Timur. Dunn, N, William, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi kedua. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Dye, Thomas R., 1992, Understanding Public Policy. Englewood Clifts, New Jersey USA : Prince Hall. Edwards III, C, George, 1980, Implementing Publick Policy. United State of America (USA) : Congressional Quarterly Press. Irfan, Islamy, 1997, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Cetakan kedelapan. Jakarta : Bumi Aksara. Ismail, Nawawi, M.Si., M.P.A., Dr., Prof., H., 2009, Perilaku Administrasi : Kajian, Teoritik, dan Pengantar Praktik. Surabaya : ITS Press. Judge dan Robins SP, 2007, Perilaku Organisasi. Jakarta : Salmenba Empat. Kementrian Tenega Kerja dan Transmigrasi RI Direktorat Jendral Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, 2011, Peraturan Perundangan dan Pedoman Teknis Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 46
Kementrian Tenega Kerja dan Transmigrasi RI Direktorat Jendral Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Direktorat Pengawasan Norma K3, 2012, Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2012. Leopold, John (edited), 2002, Human Resources in Organisations. England : Ashford Colour Press. Ltd. Mangkunegara, Prabu, A.A. Anwar, M.si., Psi., Drs., 2005, Manajemen Sumber Daya Perusahaan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Mitra Produksi Sigaret (MPS) KUD Tani Muyo Lamongan, 2010, Manual Sistem Manajemen Lingkungan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nazir, Mohammad, Ph.D., 2009, Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia. Ramli, Soehatman, 2010, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja : OHSAS 18001. Jakarta : Dian Rakyat. Rosyidi, Suherman, M.Com., Drs., Ec., Pengantar Teori Ekonomi. Surabaya : Duta Jasa. Siagian, P, Sondang, 1996, Bunga Rampai Manajemen Modern. Jakarta : PT. Gunung Agung. Simanjuntak, Payaman J, 1985, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta : LPFE UI. Sopiah, 2008, Perilaku Organisasi. Yogyakarta : Andi. Suma‘mur, P.K, M.Sc., Dr., 1987, Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta : PT. Saksama. Suma‘mur, P.K, M.Sc., Dr., 1988, Hiegene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Jakarta : PT. Saksama. Sugiyono, Dr., Prof., 2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Supardi, Adi, Perbedaan Administrasi Negara dan Niaga, URL : http://adisupardi.blogspot.com, 23 Juli 2009. Syartini, Titi, 2010, Laporan Penelitian : Penerapan Sisitem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Dalam Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja di PT. Indofood CBP Sukses Makmur Divisi Noodle Cabang Semarang. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Usman, Hardius dan Nachrowi, D, Nachrowi, 2006, Pendekatan Popoler dan Praktis : Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta : LPFE UI. Widodo, Joko, MS., Dr., 2003, Bunga Rampai : Teori, Konsep, dan Issue Strategik kontemporer Administrasi Publik (Diktat Kuliah). Program Studi Magister Administrasi (MA) Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
| 47
Efektivitas Pelatihan Dalam Meningkatkan Kompetensi Tutor Tutorial Tatap Muka Pada Universitas Terbuka (Kasus: Tutor Pada Universitas Terbuka Di Provinsi Aceh) Malta*) *)
Dosen pada FMIPA Universitas Terbuka dpk. UPBJJ-UT Banda Aceh
[email protected]
ABSTRAK Melalui pelatihan diharapkan kompetensi tutor dapat meningkat. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan sistem pelatihan yang berkualitas merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan kompetensi tutor. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Sejaumanakah tingkat efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? (2) Sejauhmanakah tingkat kompetensi tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? (3) Sejauhmanakah hubungan antara pelatihan dengan tingkat kompetensi tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2010 pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. Populasi penelitian adalah semua tutor tutorial tatap muka Universitas Terbuka di provinsi Aceh tahun 2009 yang telah mendapatkan pelatihan, yaitu sebanyak 237 orang. Sampel penelitian dipilih dari tutor pada daerah yang paling banyak terdapat tutor, yaitu Aceh Timur sebanyak 66 orang dan Aceh Tengah sebanyak 13 orang. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif korelasional. Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh termasuk kategori rendah; (2) tingkat kompetensi tutor termasuk kategori rendah; (3) Aspek-aspek pelatihan yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kompetensi tutor adalah kesesuaian materi dengan kebutuhan tutor, strategi penyampaian oleh instruktur, interaksi dengan peserta, dan penggunaan media. Kata Kunci: efektivitas, pelatihan, kompetensi, dan tutor PENDAHULUAN Latar Belakang Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh (PTTJJ) mempunyai karakteristik yang unik, yang membedakannya dari perguruan tinggi tatap muka. Perbedaan tersebut menyangkut berbagai aspek, satu di antaranya adalah dalam sistem pembelajaran. Jika perguruan tinggi tatap muka lebih menekankan pembelajaran dalam bentuk tatap muka, maka sesuai dengan hakikatnya, PTTJJ melakukan pembelajaran dengan jarak jauh. Sistem pembelajaran jarak jauh didukung oleh berbagai komponen, salah satu diantaranya tutorial. Tutorial merupakan salah satu komponen penting dalam penyelenggaraan PTTJJ. Mahasiswa yang belajar dengan sistem jarak jauh dituntut untuk mampu mandiri dalam menyelesaikan segala masalah belajar yang dihadapinya. Bahan-bahan tercetak berupa modul serta surat-surat melalui media massa merupakan teman akrab yang setia mendampingi mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Namun, para mahasiswa ini tidak jarang menghadapi kesepian dan kejenuhan, rasa terisolasi dan rasa kesendirian yang kadang-kadang menurunkan semangat belajar dan akhirnya mengarah kepada drop out. Hasil berbagai penelitian yang berkaitan dengan tingginya angka drop-out mengungkapkan bahwa mahasiswa yang belajar dengan sistem jarak jauh umumnya menghadapi dua jenis masalah, yaitu (1) masalah yang berkaitan dengan pencapaian dan pemerolehan kemampuan dan (2) masalah yang berkaitan dengan motivasi belajar (Flinck & Flinck, 1990). Untuk mengatasi masalah ini PTTJJ Volume 1 No. 2 Tahun 2013
mengembangkan sarana komunikasi/interaksi dua arah, yaitu antara mahasiswa dengan tutor/pengurus. Interaksi/komunikasi tersebut pada umumnya diwujudkan dalam bentuk tutorial. Peran tutor sangat penting dalam pelaksanaan tutorial. Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh (PTTJJ) harus memiliki tenaga akademik dengan kualifikasi dan kuantitas yang memadai untuk mengembangkan dan mengelola program tutorial. Kualifikasi dan kemampuan tutor perlu terus ditingkatkan, sehingga setiap tutor mampu menjalankan fungsinya secara optimal. Salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi tutor adalah dengan mengadakan pelatihan bagi tutor. Melalui pelatihan dapat ditingkatkan kompetensi dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Universitas Terbuka di Provinsi Aceh telah melaksanakan pelatihan dengan maksud meningkatkan kompetensi tutor dalam mengembangkan dan mengelola program tutorial; tetapi dalam kenyataannya kompetensi tutor masih rendah (Mariana dkk, 2009). Oleh karena itu perlu diupayakan pengembangan sistem pelatihan dalam upaya meningkatkan kompetensi tutor dalam mengembangkan dan mengelola program tutorial. Upaya-upaya dalam mengembangkan sistem pelatihan tutor dapat dilakukan terlebih dahulu dengan mengetahui sejauhmana tingkat efektivitas pelatihan tutor yang pernah dilakukan dan mengkaji apa saja aspek-aspek pelatihan yang berhubungan dengan tingkat kompetensi tutor. Seberapa efektif pelatihan dalam meningkatkan kompetensi tutor dan apa saja aspek-aspek dalam ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
pelatihan yang berhubungan dengan tingkat kompetensi tutor menjadi masalah menarik untuk diteliti dan menjadi alasan penelitian ini. Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Sejaumanakah tingkat efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? (2) Sejauhmanakah tingkat kompetensi tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? (3) Sejauhmanakah hubungan antara pelatihan dengan tingkat kompetensi tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? Berdasarkan rumusan masalah; tujuan penelitian adalah: (1) Mengetahui tingkat efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. (2) Mengetahui tingkat kompetensi tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. (3) Mengetahui hubungan antara pelatihan dengan tingkat kompetensi tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. Tinjauan Pustaka Efektivitas Menurut Danfur (2009) efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai; semakin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya. Suatu program/kerja disebut efektif jika pencapaian target output seharusnya > output realisasi, yang diukur dengan cara membandingkan output seharusnya dengan output realisasi. Arifin (2009) mendefinisikan efektivitas adalah melakukan hal yang benar pada saat yang tepat untuk jangka waktu yang panjang. Efektivitas adalah sebagai ukuran suksesnya organisasi, sebagai kemampuan organisasi untuk mencapai segala keperluannya, organisasi harus mampu menyusun dan mengorganisasikan sumber daya untuk mencapai tujuan. Berdasarkan pengertian-pengertian efektivitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) yang telah dicapai, yang dijalankan dengan prosedur yang benar dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada, serta target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Pelatihan Menurut Nitisemito (Kristina, 2009) pelatihan adalah suatu kegiatan dari organisasi yang bermaksud untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku, ketrampilan dan pengetahuan dari para anggota organisasi yang sesuai dengan keinginan organisasi yang bersangkutan. Menurut Simamora (Kristina, 2009) pelatihan adalah proses sistematik pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional. Menurut Armstrong (Kristina, 2009) training is a planned process to modify attitude, knowledge or skill behavior through learning experience to achieve effective peformance in an activity or of activities. Pelatihan, dengan demikian, merupakan suatu usaha Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 48
untuk meningkatkan tanggung jawab mencapai tujuan organisasi. Pelatihan merupakan proses keterampilan kerja timbal balik yang bersifat membantu, oleh karena itu dalam pelatihan seharusnya diciptakan di suatu lingkungan dimana para karyawan dapat memperoleh atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan, sehingga dapat mendorong mereka untuk dapat bekerja lebih baik supaya dihasilkan output yang diharapkan. Berdasarkan pendapat diatas mengenai tujuan pelatihan maka dapat disimpulkan bahwa adanya pelatihan diharapkan dapat mengembangkan karyawan sesuai dengan kompetensinya, dapat menggunakan keahliannya sesuai dengan perubahan teknologi, karyawan akan lebih berorientasi pada pengembangan organisasi, meningkatkan kinerja karyawan dan untuk pengembangan karir, sehingga adanya pelatihan diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan pribadi setiap karyawan. Kompetensi Syah (2002) menyatakan bahwa pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan. Istilah kompetensi diartikan sebagai ―kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas‖ atau sebagai ―memiliki keterampilan yang disyaratkan‖. Kata kompetensi dipilih untuk menunjukkan tekanan pada ―kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan‖ (Suparno, 2001). National Council of State Boards of Nursing Inc., (Shellabear, 2002) menyatakan bahwa kompetensi adalah penerapan dari pengetahuan yang bersifat interpersonal, pembuatan keputusan dan keterampilan (psychomotor skills) yang diharapkan dalam menjalankan suatu peran. Kompetensi dapat diterjemahkan sebagai penerapan dari pengetahuan, kemampuan, dan karakteristik individu yang akan menghasilkan kinerja yang menonjol (Stone dan Beiber, 1997). Menurut Spencer dan Spencer (1993), kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang, yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau suatu situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang beragam. Tingkat kompetensi seseorang, dengan demikian dapat digunakan untuk memprediksi bahwa seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Kompetensi juga menentukan cara-cara seseorang dalam berperilaku atau berpikir, menyesuaikan dalam berbagai situasi, dan bertahan lama dalam jangka panjang. Kompetensi dalam penelitian ini adalah kemampuan tutor dalam melaksanakan kegiatan tutorial sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tutorial Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) mendefinisikan tutorial sebagai:(1) pembimbingan kelas oleh seorang pengajar (tutor) untuk seorang mahasiswa atau sekelompok kecil mahasiswa, atau (2) pengajaran tambahan melalui tutor. Sedangkan tutor didefinisikan sebagai (1) orang yang memberi pelajaran ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
kepada seseorang atau sejumlah kecil siswa ( di rumah, bukan di sekolah), atau (2) dosen yang membimbing sejumlah mahasiswa di pelajarannya. Bertitik tolak dari definisi tersebut, dilihat dari aktivitasnya, tutorial berarti mengajar orang lain atau memberikan bantuan belajar kepada seseorang. Bantuan belajar tersebut dapat diberikan oleh orang yang lebih tua atau yang sebaya. Kegiatan tutorial melibatkan orang yang mengajar/memberi bantuan yang disebut tutor dan orang yang belajar atau yang diberi bantuan belajar (tutee). Terdapat bahan/sumber belajar di antara tutor dan tutee, yang merupakan sumber ilmu yang dikaji oleh tutee bersama tutor. Selanjutnya, di antara tutor dan tutee terjadi interaksi atau komunikasi, dan inilah yang merupakan inti dari tutorial. Menurut Wardani (2000),pada Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh (PTTJJ) sangat diperlukan pengelolaan tutorial secara serius dan berkesinambungan; diperlukan perencanaan yang cermat dan evaluasi yang rutin untuk pengembangan program tutorial. Kerangka Berpikir Penelitian ini ingin mengetahui tingkat efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. Efektivitas pelatihan diduga berhubungan dengan tingkat kompetensi tutor. Hubungan antar peubah penelitian disajikan pada gambar 1. Pelatihan (X)
Kompetensi Tutor (Y)
Karakteristik Tutor
Gambar 1. Kerangka Berpikir Efektivitas Pelatihan Tutor Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis penelitian adalah: terdapat hubungan antara efektivitas pelatihan dengan kompetensi tutor tutorial tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah semua tutor tutorial tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh tahun 2009 yang telah mendapatkan pelatihan, yaitu sebanyak 237 orang. Sampel penelitian dipilih dari tutor pada daerah yang paling banyak terdapat tutor, yaitu Aceh Timur sebanyak 66 orang dan Aceh Tengah sebanyak 13 orang.
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif korelasional yang dilaksanakan untuk melihat hubungan antara peubah-peubah penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Penelitian terdiri dari peubah bebas yaitu efektivitas pelatihan (X); dan peubah terikat yaitu kompetensi tutor (Y). Untuk mengetahui adanya hubungan dilakukan uji statistik menggunakan korelasi Rank Spearman dan untuk menjelaskan substansi hasil uji statistik digunakan pendekatan kualitatif. Definisi Operasional Definisi operasional dalam kegiatan penelitian ditetapkan untuk mencegah terjadinya kesalahan arah terhadap konsep yang telah ditetapkan, dengan demikian pengukuran terhadap peubah dapat dilakukan secara jelas dan terukur. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah: Efektivitas Pelatihan Tutor (X) 1. Materi (X1) adalah tingkat kecukupan dan kesesuaian materi pelatihan. 2. Waktu (X2) adalah tingkat kecukupan jumlah jam pelatihan. 3. Instruktur (X3) adalah tingkat kualitas instruktur pelatihan. Kompetensi Tutor (Y) Kompetensi Tutor adalah tingkat pemahaman dan penerapan responden terhadap konsep tutorial, Rancangan Aktivitas Tutorial (RAT) / Satuan Aktivitas Tutorial (SAT), dan model-model tutorial. HASIL DAN PEMBAHASAN Efektivitas Pelatihan Tutor Indikator efektivitas pelatihan tutor yang diukur dalam penelitian ini adalah: (1) materi, (2) waktu, dan (3) instruktur. Deskripsi selengkapnya, disajikan pada Tabel 1. Materi Peubah materi yang diukur dalam penelitian ini adalah cakupan materi, sistematika penyajian materi, manfaat materi yang dirasakan oleh tutor, dan kemutakhiran materi. Tabel 1. Deskripsi Efektivitas Pelatihan Tutor No 1
Efektivitas Pelatihan (X) Materi
2
Waktu
3
Instruktur
Kategori
Persen
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
41,8 44,3 13,9 49,4 25,3 25,3 41,8 26,6 31,6
Keterangan: n = 79 Rancangan Penelitian
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 49
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Cakupan materi pelatihan diberikan berdasarkan arahan materi yang telah ditetapkan Pusat Pengembangan Instruksional Universitas Terbuka (PPI-UT), meliputi: Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ), Peta Konsep, Perencanaan Tutorial, Pengembangan Model Tutorial, Pelaksanaan Tutorial, Pemberian dan Penilaian Tugas, Pengembangan Bahan Presentasi, dan Pemanfaatan Sumber Belajar. Persentase tutor yang merasa puas dengan cakupan materi yang diberikan pada pelaksanaan pelatihan adalah 58,2 %.. Tutor yang merasa puas menyebutkan bahwa materi yang disampaikan sudah runut melingkupi sistem pembelajaran di UT yang harus dipahami tutor serta konsep/praktek tutorial yang ideal. Sedangkan tutor yang merasa kurang puas dengan cakupan materi, menyebutkan bahwa materi yang disampaikan belum mengakomodir konsep tutorial yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa UT yang sebagian besar berusia di atas usia ideal peserta didik pendidikan strata satu. Sistematika penyajian materi memperhatikan prinsip alur: sederhana ke rumit dan sedikit ke banyak. Pada saat pelatihan, pemberian materi didahului dengan konsep dan kemudian diikuti contoh. Sebagian besar (62,3 %) tutor merasa puas dengan sistematika penyajian materi dan menyebutkan bahwa sistematika yang disajikan dalam pelatihan, memudahkan untuk memahami materi. Tutor yang merasa kurang puas dengan sistematika penyajian materi, menyebutkan bahwa penyajian materi tidak dilakukan secara konsisten, terkadang dimulai dengan konsep tetapi sering juga penyajian materi belum dijelaskan konsepnya tetapi sudah langsung dimulai dengan pemecahan kasus oleh peserta pelatihan. Lima puluh sembilan persen tutor menyebutkan bahwa materi pelatihan bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan sebagai tutor dalam pelaksanaan tutorial tatap muka. Tutor menyebutkan bahwa materi pelatihan menambah wawasan tentang bagaimana hakekat sesungguhnya konsep pendidikan jarak jauh yang merupakan ‗jiwa‘ pelaksanaan tutorial. Semua pokok bahasan utama materi berdasarkan arahan materi dari PPI-UT, yang selalu up to date dan berdasarkan masukan pustaka mutakhir. Delapan puluh dua persen tutor mengakui kemutakhiran materi yang disajikan pada pelatihan tutor. Waktu Peubah waktu yang diukur dalam penelitian ini adalah tingkat kecukupan jumlah jam pelatihan. Total jumlah jam pelatihan adalah 40 jam pelatihan dan satu jam pelatihan setara dengan 45 menit. Empat puluh sembilan persen tutor menyebutkan bahwa jumlah jam pelatihan tidak cukup, mengingat banyaknya materi yang disajikan pada saat pelatihan. MenurutWoolfolk (1993) tidak ada ketentuan baku jumlah jam untuk suatu pelatihan, penentuan jumlah jam pelatihan disesuaikan dengan karakteristik peserta, kerumitan materi, dan tujuan yang ingin dicapai; namun penelitian Iskandar (2008) menemukan bahwa jumlah jam pelatihan di bawah 100 jam tidak signifikan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik yang berada pada level pemula. Tutor Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 50
tutorial tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh Aceh termasuk pada level pemula dalam hal pemahaman tentang konsep tutorial, walaupun telah bertahun-tahun melakukan kegiatan tutorial tetapi masih ‗konsisten‘ dengan cara-cara belajar pada perkuliahan tatap muka. Instruktur Peubah instruktur yang diukur dalam penelitian ini adalah strategi penyampaian oleh instruktur, rasio latihan/praktek dengan teori, interaksi dengan peserta, dan penggunaan media. Strategi penyampaian materi oleh instruktur disesuaikan dengan tujuan pelatihan dan karakteristik peserta pelatihan. Salah satu tujuan pelatihan adalah mengupayakan para tutor supaya mampu menerapkan konsep pelaksanaan tutorial, sehingga instruktur ketika menyampaikan materi secara langsung mempraktekkan/ menggunakan konsep tutorial supaya peserta dapat memahami konsep yang dimaksud seperti membagi para peserta pelatihan dalam beberapa kelompok diskusi (diskusi kelompok adalah salah satu model dalam tutorial). Disamping itu, strategi penyampaian juga menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa. Peserta pelatihan terdiri dari orang dewasa sehingga strategi penyampaian materi oleh instruktur mengadopsi sistem pendidikan orang dewasa yang berorientasi kebutuhan peserta didik bukan berorientasi subject matter. Enam puluh sembilan persen tutor peserta pelatihan menyatakan puas terhadap strategi penyampaian materi oleh instruktur. Rasio teori dengan latihan/praktek pada saat pelatihan tutor berkisar 60:40. Instruktur menyampaikan teori terlalu lama dan latihan di kertas/bahan kerja tentang hal yang sudah dijelaskan hanya sedikit, di akhir sesi. Banyaknya materi yang akan disampaikan dan sedikitnya waktu menjadi kendala untuk membuat rasio yang proporsional/ideal. Sembilan puluh empat persen tutor peserta pelatihan menyatakan kurang dan tidak puas dengan rasio antara penyampaian teori dengan latihan/praktek dan mengusulkan supaya dijadwalkan waktu yang cukup untuk latihan/praktek dalam pelaksanaan pelatihan tutor, supaya dapat dipahami dengan baik setiap item materi pelatihan. Interaksi instruktur dengan peserta pelatihan tutor sangat intens. Susunan kursi dan meja diruangan pelatihan dibuat sedemikian rupa sehingga peserta dengan mudah dapat berinteraksi dengan instruktur, peserta tidak merasa sebagai murid yang sedang diajari oleh guru tetapi instruktur adalah sebagai fasilitator untuk membantu peserta dalam proses pembelajaran. Instruktur menerapkan konsep diskusi dalam penyampaian materi dan tidak seperti ceret yang menuangkan air ke dalam gelas. Lima puluh delapan persen peserta pelatihan merasa puas dengan tingkat interaksi antara instruktur dan peserta. Instruktur masih kurang dari sisi penggunaan media dalam kegiatan pelatihan tutor. Beberapa pokok bahasan menggunakan power point, tetapi tidak semua materi secara keseluruhan. Padahal media, seperti: tampilan CD interaktif, tampilan tiga dimensi, adalah ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
salah satu alat untuk mendukung proses pembelajaran kepada peserta didik dapat berlangsung secara efektif. Delapan puluh tujuh persen tutor peserta pelatihan tidak/kurang puas terhadap penggunaan media oleh instruktur dalam kegiatan pelatihan tutor. Kompetensi Tutor Kompetensi Tutor yang diukur dalam penelitian ini adalah tingkat pemahaman dan penerapan tutor terhadap konsep tutorial, RAT/SAT, dan model-model tutorial. Sebagian besar tutor (45,6 %) yang telah mendapatkan pelatihan tidak memahami konsep tutorial/model-model tutorial, tidak memahami RAT/SAT secara komprehensif, tidak menerapkan konsep tutorial dalam pelaksanaan tutorial serta tidak menggunakan RAT/SAT dalam kegiatan tutorial. Lebih dari 40 % tutor yang telah mendapatkan pelatihan kurang memahami konsep tutorial/modelmodel tutorial dan RAT/SAT, tidak konsisten menerapkan konsep tutorial dalam pelaksanaan tutorial. Hanya 13,9 % dari tutor yang telah mendapatkan pelatihan yang memahami dengan baik konsep tutorial/model-model tutorial, RAT/SAT dan menerapkan konsep tutorial dalam pelaksanaan tutorial serta menggunakan RAT/SAT dalam kegiatan tutorial. Korelasi Pelatihan dengan Kompetensi Tutor Tutorial Tatap Muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh Terdapat sembilan sub peubah yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat korelasi pelatihan dengan kompetensi tutor Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. Sembilan peubah yang dimaksud adalah: cakupan materi, sistematika penyajian materi, manfaat materi yang dirasakan oleh tutor, kemutakhiran materi, waktu, strategi penyampaian oleh instruktur, rasio latihan/praktek dengan teori, interaksi dengan peserta, dan penggunaan media. Korelasi sub peubah pelatihan dengan kompetensi tutor tutorial tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh, disajikan pada Tabel 2. Manfaat materi yang dirasakan oleh tutor berhubungan positif sangat nyata (koefisien korelasi = 0,939) dengan tingkat kompetensi tutor, artinya semakin bermanfaat materi pelatihan bagi tutor maka semakin tinggi tingkat kompetensi tutor. Hal ini sejalan dengan pendapat Rogers (1995) yang menyebutkan bahwa materi ajar/pelatihan harus punya relevansi dengan kebutuhan klien.
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 51
Tabel 2. Korelasi Pelatihan dengan Kompetensi Tutor No
Sub Peubah
Koefisien korelasi
1
Cakupan materi
0,055
2
Sistematika penyajian materi
0,037
4
Manfaat materi yang dirasakan oleh tutor Kemutakhiran materi
5
Waktu
6
Strategi penyampaian oleh instruktur
7
Rasio latihan/praktek dengan teori
8
Interaksi dengan peserta
0,865 **
9
Penggunaan media
0,431 **
3
0,939 ** 0,212 0,092 0,765 ** 0,334
Keterangan tabel: n = 79 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01 Tutor tutorial tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh punya latar belakang dan pengalaman dalam pendidikan sistem tatap muka, sehingga dalam melakukan kegiatan tutorial sistem pembelajaran yang dilakukan mengikut kepada sistem belajar tatap muka. Pelatihan tutor yang dilakukan dengan pemaparan tentang materi sistem belajar jarak jauh dan konsep tutorial, telah membuka wawasan tutor dan mengubah sistem pembelajaran yang dilakukan pada kegiatan tutorial mengikut kepada konsep pendidikan jarak jauh. Strategi penyampaian oleh instruktur berhubungan positif sangat nyata (koefisien korelasi = 0,765) dengan tingkat kompetensi tutor, artinya semakin baik strategi penyampaian oleh instruktur dalam pelatihan tutor maka semakin tinggi tingkat kompetensi tutor. Pada pelaksanaan pelatihan tutor, instruktur dalam menyampaikan materi pelatihan memperhatikan aspek karakteristik peserta pelatihan dan berorientasi kepada peserta sebagai subjek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa instruktur harus punya inovasi dalam menyampaikan materi kepada peserta pelatihan supaya tujuan pelatihan dapat dicapai secara optimal serta Universitas Terbuka harus berupaya untuk mengembangkan kompetensi instruktur supaya kreatif dalam menemukan inovasi dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Winkel (1986) yang menyebutkan bahwa inovasi dalam sistem pembelajaran adalah bagian dari strategi dalam proses belajar mengajar yang akan menentukan hasil belajar. Interaksi dengan peserta berhubungan positif sangat nyata (koefisien korelasi = 0,865) dengan tingkat kompetensi tutor, artinya semakin tinggi tingkat interaksi instruktur dengan peserta dalam pelatihan tutor maka semakin meningkat kompetensi tutor. Melalui interaksi, peserta pelatihan dapat menyatakan secara eksplisit materi yang belum dimengerti atau segala sesuatu yang menjadi kendala dalam penerapan konsep tutorial selama ini dan melalui interaksi juga, instruktur dapat mengetahui apa yang menjadi ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
masalah/kebutuhan tutor dalam pelaksanaan tutorial sehingga hal tersebut dapat didiskusikan. Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan penelitian oleh Ningkeula (2008) bahwa faktor interaksi selama pelatihan mempengaruhi hasil belajar peserta pelatihan. Penggunaan media berhubungan positif sangat nyata (koefisien korelasi = 0,431) dengan tingkat kompetensi tutor, artinya semakin tinggi tingkat penggunaan media dalam pelatihan tutor menjadikan kompetensi tutor makin tinggi. Media merupakan salah satu alat bantu dalam proses pembelajaran, melalui media dapat diberikan ilustrasi dan penjelasan tambahan. Media juga dapat menambah daya tarik dan semangat peserta untuk mencermati materi pelatihan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hasibuan (1994) yang menyatakan bahwa tingkat kesulitan materi bahan ajar dapat diminimalkan dengan bantuan media yang interaktif. Hal penelitian ini menunjukkan bahwa instruktur bersama Universitas Terbuka harus merancang suatu media pendukung/tambahan dalam kegiatan pelatihan tutor, dan tidak hanya mengandalkan power point versi teks.
KESIMPULAN / REKOMENDASI Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Tingkat efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh termasuk kategori rendah, pelatihan yang dilakukan belum secara signifikan dapat meningkatkan kompetensi tutor. (2) Tingkat kompetensi tutor termasuk kategori rendah, sebagian besar (86,1 %) tutor yang telah mendapatkan pelatihan kurang memahami konsep tutorial/modelmodel tutorial, kurang memahami RAT/SAT secara komprehensif, dan belum menerapkan konsep tutorial secara total dalam pelaksanaan tutorial serta belum menggunakan RAT/SAT dalam kegiatan tutorial secara konsisten. (3) Aspek-aspek pelatihan yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kompetensi tutor adalah kesesuaian materi dengan kebutuhan tutor, strategi penyampaian oleh instruktur, interaksi dengan peserta, dan penggunaan media. Rekomendasi Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, disarankan beberapa hal sebagai berikut: (1) Materi pelatihan harus dikembangkan dengan contoh-contoh yang aktual dan mutakhir dan tidak hanya mengandalkan materi pokok dari Pusat Pengembangan Instruksional Universitas Terbuka. (2) Universitas Terbuka sebaiknya secara konsisten dan berkala selalu mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik instruktur pelatihan tutor. (3) Pelatihan seyogyanya berorientasi klien/peserta didik sebagai subjek dan bukan berorientasi subject matter.
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 52
DAFTAR PUSTAKA Arifin. (2009). Efektivitas Usaha Anggota Koperasi yang Peduli Lingkungan. http://www.smecda.com. Balai Pustaka. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Danfur. (2009). Definisi Efektivitas. http://dansite.wordpress.com. Flinck, R. & Flinck, A. W. (1990). Handbook for Tutor.Colombo: Department of Distance Education. Hasibuan, S. (1994). Kebutuhan Pelatihan dan Beberapa Aspek Makro Pelatihan, Permasalahan Ekonomi, 540, 10. Iskandar S. (2008). Hubungan Pendidikan dan Pelatihan Terhadap Kompetensi Pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe. Jurnal Studi Pembangunan USU. http://repository.usu.ac.id. Kristina, N.N. (2009). Mengembangkan Program Pelatihan. http://simkesugm06. wordpress.com. Mariana, dkk. (2009). Kompetensi Tutor Melaksanakan Tutorial Tatap Muka Pada Program S1 PGSD di UPBJJ-UT Banda Aceh. Laporan Hasil Penelitian. Ningkeula, I. (2008). Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan dalam Meningkatkan Pengetahuan dan Sikap Peserta Pelatihan Pada Balai Pelatihan dan Pengembangan KB Surabaya, Jurnal Personnel Management. http://garuda.dikti.go.id. Rogers, E.M. (1995). Diffusion of Innovations. New York: The Free Press. Shellabear, S. (2002). Competency Profiling: Definition and Implementation [abstrak]. Training Journal. August 2002. Spencer, L.M dan Spencer S.M. (1993). Competence at Work: Models for Superior Performance. New York: John Wiley & Sons, Inc. Stone, B.B dan Bieber S. (1997). Competencies: A New Language for Our Work. Journal of Extension 35 (1). http://www.joe.org/joe/1997february/iwl.sht.ml. Suparno, S. (2001). Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Depdiknas. Syah, M. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wardani, IGAK. (2000). Program Tutorial dalam Sistem Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh. Jurnal PTJJ, 1(2), 41-52. Winkel, W.S. (1986). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Woolfolk, W.S. (1993). Educational Psychology. Needham Heigts, Boston, MA: Pearson Education Inc., dan Allyn and Bacon
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
| 53
Homeschooling: Another Perspective In Global Education Uzlifatul Masruroh Isnawati *)
[email protected] Islamic University of Lamongan
Abstract Regarding the flaw and the criticism towards formal schools, due to the different learners‘ need, different views on school policy, or even the questions about the facts on how schools are no longer ―comfort zone‖ place for children.Thus the idea of home schooling is worth to consider. Instead going to a regular school, parents were home schooled their children regarding the benefits they take into account. Considering the learners and parents preference, home schooling is worth to consider as an alternative choice in educational ―market‖ and policy in our country. It is important to see this paradigm objectively and proportionally as the education takes role in this globalization era. A. Brief History According to Wikipedia, the free encyclopedia, homeschooling , also called home education, home learning , or homeshool is the education of children at home, typically by parents or professional tutors, rather than in a public or private school. Home schooling may also refer to instruction in the home under the supervision of correspondence schools or umbrella schools. Although prior to the introduction of of compulsory school attendance laws, most childhood education occured within the family or community, home schooling in the modern sense is an alternative in developed countries to formal education. Historically, this education model became a hot issue in 1964 when John Caldwell Holt, an American educator published a book entitled ― How children failed which criticized traditional schools. The book was based on a theory he had developed as a teacher—that the academic failure of school children was caused by pressure placed on children in schools. Holt began making appearances on Major TV talk shows and writing book for Life Magazine. In his follo-up work, How children learn , in 1967, he tried to demonstrate the learning process of children and why he believed school short circuits this process. They asserted that formal school before ages 812 not only lacked of the anticipated effectiveness, but was actually harmful for children. The Moores began to publish their view that formal schooling was damaging young children academically, socially, mentally, and even psysiologically. They presented evidence that childhood problem or disorder such as juvenile delinquency, nearsightedness increased enrollment of students in special education classes and behavioral problems were the result of increasingly enrollment of the students. Further, the Moores cited studies demonstrating that orphans who were given surrogate mothers were measurably more intelligent , with superior long term effect—eventhough the mothers were mentally retarded teenagers—and that illiterate tribal mothers in Africa produced children who were socially and emotionally more advanced than typical Volume 1 No. 2 Tahun 2013
western children, by western standards of measurements. The primary assertion was the bound and emotional development made at home with parents during these years produced critical long term results that were cut short by enrollment in schools, and could neither be replaced nor afterward corrected in an institutional setting. Recognizing a necessity for early out-of-home care for some children particularly special needs and attrractively impoverished children, and children from exceptionally inferior homes—they maintained that the vast majority of children are far better situated at home – even with mediocre parents – than with the most gifted and motivated teachers in a school setting (assuming that the child has a gifted and motivated teacher). They described the difference as follows: ― This is like saying, if you can help a child by taking him off the cold street and housing him in a warm tent, then warm tents should be provided for all children – when obviously most children already have even more secure housing‖. B. Home schooling in Indonesia The development of home schooling in Indonesia has not been known precisely since there is no research regarding this specifically . The term home schooling is, thus a relatively new in Indonesia. However, home schooling will no longer be a new program if it is is viewed as a concept as of learning process taking place out of formal school. It is due to the very fact, that according to Dr. Seto Mulyadi, some famous historical figures Ki Hajar Dewantara and Buya Hamka practiced and experienced this education model. Meanwhile another world-wide figure experienced homeschooling is Thomas Alfa Edison and Bill Gates. In addition, we probably also familiar with the terms long distance learning like e-learning, or SMU or open University (universitas terbuka), Ppendidikan Kejar (Kelompok Belajar) Paket A dan Paket B can also be classified into home schooling. Basically home schooling is an alternative education which emphasizes flexible curricullum in teaching (Kompas, 29/8/2005) ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
In line with those figures, Helen Ongko (50), a mother who home schooled her child. She even had to travel to Singapore and Malaysia attending seminars on home schooling. ―we were facing economic srisis at that time, so we had much time at home. It seemed to be enjoyable teaching and studying together with the children, ― explained Helen who started teaching her kids in 2000 ( Kompas, 13/3/2005). Meanwhile, Danang Sasongko, the Secretary General of Homeschooling Association and Alternative Education (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif or Asah Pena) says that unlike in some developed countries , home schooling is relatively a new trend in Indonesia. He further explains that there are three types home schooling (henceforth HS). First, single homeschooling (HS tunggal). It is initiated by a single family and carried it at home. Secondly, compound homeschooling (HS majemuk) which comprises two families. The last is community homeschooling (HS Komunitas). This community model is created using tutorial teaching method. Kak Seto and Neno Warisman are two out of some people establishing and chairing this type of homeschooling. Accordingly, based on articel 7 of the Indonesian Education law (Undang-undang No. 20/2003) gives parents the right to select how to educate their children. In May 2007 the Department of Education published a manual detailing the requirements for home schooling. The manual suggests home schools to register and require testing at certain levels, but currently there is no enforcement of these requirements. Home schoolers are not automatically awarded high school diplomas, so to passing into university may be difficult. In other words, in national education, based on section 1 of national education system act of 2003, the department of national education categorizes home schooling as informal education. Although government does not set up the content standard and the process of informal education, the output and outcome are equal to that of formal education (formal school) and non-formal after the learners pass the final-exam using national standard (section 27, chapter 2). C. Benefits and Drawbacks of Home schooling Regarding of its controversy, home schooling has shown some benefits for the learners. In terms of parents‘ concern, it is obvious that parents assurely observe how the the child learns and progresses at any subject matter they learn. Children who learn quickly will not be held back just because the rest of the class does not progress as fast as they do. A child who has problem keeping up with a class that go beyond other students will not be put under pressure of falling behind or feeling undesired for holding the rest of the class back. In a conventional classroom, a child might have to wait days or even a week grades and feedback on projects, test papers, assignments, and many more. Home schooling offers child‘s immediate feedback so they know which one is appropriate or not. Immediate feedback is one of the advantages of homeschooling which makes learning becomes more effective. Further, parents are more confortable and focus on the child‘s learning. Through home schooling , thus Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 54
they are able to focus on the educational subjects that are more beneficial to their child‘s knowledge and future prospect. Knowing that their children in safe and comfort environment, parents do not have reasons to show their anxiety about the negative and unfavourable environment on their children such as verbal agressiveness. Since more than 1 million kids who are educated at home know that it has a long going for it, students who are home schooled may benefit from the one-one attention. For instance, if you don‘t understand something in math, the whole class won‘t be moving on without you – you might be the whole class ! and if you really excell at something , you can keep learning more at your own pace. Students who are homeschooled also may get out in their communities more than other kids their age. They may get to experience hands-on education at museums, libraries, business, marinas, and other community resources. They also might volunteer or participate in ―service learning‖ where they take on local projects. Home schooling gives students lots of advantages – such as more flexibility than local schools to focus on specific subjects needed for a future career. So, if one attends local school and know or have a chance to meet a home-schooled student, children can learn a lot from each other. However, home schooling is not as simple as sitting down with mom or dad and opening whichever book you feel like. Laws, regulation, and requirements vary across different countries, and it‘s up to home schoolers to comply with local regulations. So, home schooling can be a lot of works for parents; They need to know what the law requires them to teach, resrach sources on those subject (and learn more about the subjects if there are gaps in their knowledge), and then do the actual teaching. It‘s not just the parents who need to do more work when it comes to home schooling: often the students do too. As home-schooled kids become teens and old enough to guide their learning, they may be left more on their own to find resources and find resources and do their own research. (it may be challenging at the time, but working independently like this can put homeschooled kids ahead of the game when it comes to preparing for their upper level of education or in college life). A kid who‘s home schooled may not have the convenience of some school facilities, such as a gymnasium, science lab, or art studio. These may be less important for little kids, who can do their science projects in the kitchen or have art class outdoors. But when it comes to teaching teens, home-schooling parents may need to find a way around such limitations. Some parents who home school their kids form groups so their students can join together for art classes or group learning activities, like field trips. And some public schools let home-schooled kids participate in certain classes or extracurricullar activities. Sharing lesson time can be good for home-schooled students for another reason: It provides social interaction that they might not have if they‘re not part of class. ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
D. Notabled Home schooled Individuals Regardless the drawbacks of home schooling might bring about, numerous historical and public figures were home-eduvated. They are, Abraham Lincoln (1808-1865) the 16th president of United States, received very little schooling, but was an avid reader and taught himself how to read, write, and do arithematics. Andrew Wyeth (1917) an American realist painter was taken out of school at vey young age because of illness; he then received an art education from his parents. Bode Miller (1977), an American alpine skier, was home-schooled by his parents until he was ten. Che Guevara (1928), left-wing guerrilla leader in Cuba, Africa, and Bolivia and prison commandant and national bank president in cuba, born in Argentina, was educated at home mainly by his mother, until the age of 13. E. Some Points to Ponder There at least three important points to consider about home schooling. First, students‘ social development although one-one instruction greatly contribute on students, but some potential probles might appear. Parents concern for what skills being taught or exposed in school setting. They assurely the children learn value which meet to their perspective, but not other. Some experts regard this kind of protection as unrealistic and potentially harmful to the child. Due to the fact that children grow up in the real world—a world made up of the diversity views oxposed by different people. Interaction with peers from diverse background prepare the students how to communicate and to survive with his/her capacity. On the other hand, formal schools allow the students to do so. In fact, formal schools allow young people to learn to navigate the sometimes-troubled water which caused by the social diversity. Meanwhile many experts also believe that the ability to interact with people outside the family circle is necessary for success and happiness in life. Students naturally gain interactive skill in the classroom, playgrounds, and cafetaria of formal schools did. Unless parents whom home schooling their kids make significance efforts to create social situations for interaction with children outside the family, therefore parents run the risk of stunting their children‘s development of the social skill necessary towards the complex society. Secondly, due to the sustainability of continuing the study. Home schooling results on better students‘ academic performance. It is gained from one-one attention. Besides, many parents who promote home schooling have teaching preparation or experience. Nevertheless, students might face difficulties in their future education endeavors if home schooling is not aligned with formal school curricullum. Home schooled students sometimes returned to their former formal school settings, and many of these students plan
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 55
to attend the college or university level. Preparing for college admission is a significant chore that you should take into account when you consider home schooling. This risk should be recognized by the parents to anticipate. And the third is about the social concerns. In a broad sense, home schooling may reduce the democratic value. As we can see that democratic requires harmony within the diverse society. In short, people have to know how to deal with others who might be different from them. When learning takes place in isolation, early learners do not experience. The democratic environment will work only if the cooperative and team working run and remain the differences. Peer engagement allows favourable democratic life. F. Conclusion and Recommendation Several valid arguments support homeschooling under the ideal circumtances. Learning at home allos one-on-one instruction that is not possibly happened at formal schools. Although professional educators devote their careers to their students, they can not equally meet to the kind of unconditional commitmtnt to long-term development of a child provided by most parents. Those who are willing to invest the great personal effort on their children‘s education can be adequately effective in homeschooling their children. Regardless on homeshooling controversy, one thing for sure—homeschooling is not for everyone. It is a matter of choice and ―taste‖ for parents. It also requires personal commitment between both parents and the children as the learners. And when the commitment is made, the society remains expects that it is including a commitment to teach the students live in a bigger world. For parents who choose home shcooling their children, they are to provide opportunity for the students to have social interaction for their children.
References: Brown, J. Home Schooling: Its Advantageswww.homeschoolingcatalog.com accessed on February,10, 2013 Houston, P.D. 2008 Should you Homeschool Your Child? Microsoft Corporation: Microsoft ® Encharta ® http:/en. Wikipidia .org/wiki/hpmeschooling#colomnone# http:/www.perspectifbaru.com/wawancara/570 Kompas Cyber media, 29/9/2005. Rumah kelasku, dunia sekolahku Quinn. S. 2008. The Common Advantages of Home schooling.www.associatedco ntent.com/user/16759/styephnie-quinn.html, accessed on March, 24, 2013. Simbolon, P.S. 2007. Home schooling: Sebuah Pendidikan Alternatif. http:/pormadi .wordpress.com/author/pormadi, accessed on April, 15, 2013
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
| 56
Pembinaan Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Teoretis Dan Praktis Fathurrahman*) *)
Dosen FKIP Universitas Islam Lamongan Email :
[email protected]
Abstrak Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, wacana mengenai profesionalisme guru gencar dibicarakan di Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga faktor tersebut merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guru profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai menurut ukuran Indonesia. Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi. Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Kata Kunci : Pembinaan profesionalisme guru, teoriti dan praktis A. Pendahuluan Termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut perlu keterlibatan berbagai komponen pemangku kepentingan (stakeholder) dan berbagai upaya implementasinya. Hal tersebut dilakukan agar pengembangan pendidikan, khususnya di sekolah dapat dilakukan dengan baik dan optimal sehingga memberikan peluang yang sangat besar untuk keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Komponen yang paling penting dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan adalah pendidik dan tenaga kependidikan utamanya guru sebagai pendidik. Komponen ini dianggap paling penting karena merupakan ujung tombak pelaksanaan suatu program pendidikan yang dilakukan pada kegiatan pembelajaran di kelas. Oleh sebab itu, tinggi rendahnya kualitas guru sangat mempengaruhi tinggi rendahnya keberhasilan tujuan pembelajaran. Artinya bahwa suatu kegiatan pembelajaran akan berjalan dengan baik dan optimal untuk mencapai tujuan yang diharapkan jika guru memiliki kompetensi dan performansi pada bidang yang diajarkannya. Sebaliknya, kegiatan pembelajaran tidak akan berhasil dengan baik jika guru tidak memiliki kompetensi dan performansi untuk mengelola pembelajaran secara baik dan benar. Di antara kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh seorang guru menurut Undang-Undang Nomor 14 Volume 1 No. 2 Tahun 2013
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik salah satunya adalah dalam hal melaksanakan pembelajaran sesuai kurikulum.Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk selalu mengembangkan diri sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Permasalahannya adalah apakah konsepsi teoretis profesionalisme guru yang disematkan pada guru yang telah bersertifikasi itu linear dengan realitas praksis di ruang-ruang pembelajaran? Tulisan ini akan mengkaji dari perspektif teoretis dan praksis mengenai profesionalisme guru dengan tujuan: 1) Menelaah perspektif teoretis peningkatan profesionalisme guru, 2) Merumuskan strategi pembinaan dan pemberdayaan profesionalisme guru dalam perspektif praksis, dan 3) Praksis pembinaan dan pengembangan profesional guru melalui supervisi. Rumusan tujuan tersebut dalam rangka sinkronisasi ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
pembinaan profesionalitas guru antara perspektif teoretis dan praksis sebagai upaya mewujudkan profesionalisme guru.
B. Peningkatan Profesionalisme Guru dalam Perspektif Teoritis Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia semakin dituntut untuk memenuhi terwujudnya profesionalisme dan kebutuhan global. Tuntutan ini menjadi sangat berat ketika kita melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Rendahnya kualitas pendidikan tersebut sebagai akibat dari kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik yang masih rendah pula. Keadaan seperti ini masih berlangsung paling tidak sampai saat ini, data yang menyedihkan berdasar hasil the Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) dan Progress in International Reading Literacy Studies (PIRLS) 2011, yang diselenggarakan the International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan dipublikasikan pada 11 Desember 2012, selayaknya membangunkan kita semua, termasuk para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, akan risiko yang akan dihadapi bangsa ini bila pendidikan tidak ditangani dengan tepat. Secara rata-rata, kemampuan siswa-siswa Indonesia dalam matematika, sains, dan membaca sangat mencemaskan. Siswa kelas delapan menempati urutan ke-38 dari 42 negara untuk matematika dengan rata-rata 386 dan urutan ke-40 untuk sains dengan ratarata 406. Tingkat Penalaran TIMSS, yang diselenggarakan empat tahun sekali, didesain untuk menilai dua dimensi, yaitu penguasaan siswa atas materi ajar (konten) dan proses berpikir siswa.Assessment kelas delapan untuk matematika meliputi bilangan, aljabar, geometri, serta data dan peluang. Adapun sains meliputi biologi, kimia, fisika, dan ilmu bumi. Proses berpikir yang dinilai dalam matematika dan sains terdiri dari knowing (mengetahui), applying (menerapkan), dan reasoning (bernalar). Dalam ketiga assessment tersebut, pencapaian siswa dibagi berdasarkan empat patokan dengan mengacu ke rata-rata yang diperoleh, yaitu low international benchmark (400),intermediate benchmark (475), high international benchmark (550), dan advanced international benchmark (625). Hasil TIMSS 2011 untuk matematika menunjukkan tidak ada siswa Indonesia yang mencapaiadvanced international benchmark, 2% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 15% mencapai intermediate benchmark (turun dari 19% di 2007), dan 43% mencapai low international benchmark (turun dari 48% di 2007). Dengan demikian, 57% siswa kelas delapan kita bahkan belum berhasil mencapai low international benchmark, yang menggambarkan tingkat berpikir terendah di saat siswa baru sampai pada tahap menyelesaikan masalahmasalah sederhana dengan mengikuti prosedur yang telah biasa digunakan.Tingkat pencapaian tertinggi, yaitu advanced international benchmark, antara lain, meliputi kemampuan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber, mengambil kesimpulan dan Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 57
melakukan generalisasi, dan menyelesaikan masalahmasalah yang membutuhkan beberapa tahapan penyelesaian. Untuk sains, tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 3% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 19% mencapai intermediate benchmark (turun dari 27% di 2007), dan 54% mencapai low international benchmark (turun dari 65% di 2007). Artinya, 46% siswa belum berhasil mencapai kategori terendah tersebut, yang menggambarkan pengenalan siswa akan fakta-fakta dasar di bidang sains dan kemampuan menginterpretasi diagram yang sederhana, melengkapi tabel sederhana dan mengaplikasikan pengetahuanpengetahuan dasar ke dalam situasi nyata. Advanced international benchmark, antara lain, menggambarkan kemampuan siswa dalam mengomunikasikan konsep-konsep yang abstrak dan kompleks di bidang sains serta mengombinasikan informasi dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalahmasalah dan mengambil kesimpulan.Pencapaian siswa kelas empat dalam membaca relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian siswa kelas delapan dalam matematika dan sains. Tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 4% mencapai high international benchmark (naik dari 2% di 2006), 28% mencapai intermediate bench mark (naik dari 19% di 2006), dan 66% mencapai low international benchmark (naik dari 54% di 2007). Artinya, 34% siswa masih belum mampu menemukan hal-hal spesifik ataupun informasi yang sesungguhnya telah dinyatakan secara eksplisit dalam teks yang diberikan. Menelaah capaian prestasi yang rendah tersebut tentunya sebagai dampak dari sistem pembelajaran yang belum optimal dan salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas, kualifikasi dan kompetensi guru, yang cenderung unqualified, underqualified, dan mismath. Diberlakukannya UU Guru-Dosen dan SNP yang mensyaratkan guru harus S-1, merupakan titik tolak upaya pemberdayaan dan pengembangan untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru harus dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu, pemberlakuan Otoda dan otonomi pendidikan adalah instrumen penting untuk menyokong dan meretas persoalan yang sangat kompleks ketika menyangkut kompetensi profesi guru. Dalam bingkai ini, munculnya UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru-Dosen dan Peraturan Mendiknas nomor 11 tahun 2005 serta SNP (Standar Nasional Pendidikan) merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme dan memprofesikan guru. Dengan asumsi bahwa guru sebagai profesi yang profesional dengan segala kompetensi yang harus dimiliki, akan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, output, maupun outcome. Hal ini akan menjadi kenyataan apabila kita menjalankan amanah dalam perundangan tersebut yang mengatakan bahwa ‖Pendidik dan Tenaga Kependidikan harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi (pedagogik, kepribadian, profesional, sosial) sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memilik kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Paulina, 2006). ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama agar suatu pekerjaan bisa dikategorikan sebagai profesi menurut Macionis (1987: 498), yakni landasan pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik (Rosidi, 2007). Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Tampaknya, kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (selfregulated training and practice). Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan kerja profesional. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Karena itu, sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau instansi yang mempekerjakan, maupun yang diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobilobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan sanksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait. Pasal 42 Undang-undang Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tampak sudah sejalan dengan prinsip profesionalisme menurut tinjauan teoretik akademik. Berkenaan dengan organisasi profesi, ditegaskan sebagai berikut: Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan: a. menetapkan dan menegakkan kode etik guru; b. memberikan bantuan hukum kepada guru; c. memberikan perlindungan profesi guru; d. melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan e. memajukan pendidikan nasional. Namun demikian, bila yang dimaksudkan adalah pengaturan praktik kependidikan secara otonom oleh Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 58
guru, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan, serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi. Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather thanself-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Kecintaan pada bidang pekerjaan dan pengabdian kepada masyarakat merupakan salah satu landasan etika pekerjaan profesional. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi. Untuk memecahkan permasalahan belum terpenuhinya sebagian aspek persyaratan keprofesionalan guru, diperlukan suatu sistem pembinaan professional guru secara berkesinambungan. Dalam pasal 39 ayat (2) UU SISDIKNAS dinyatakan bahwa Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada msyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Tersuratnya sebutan professional untuk tenaga pendidik (guru), menuntut harus dipenuhinya berbagai persyaratan professional oleh guru. Surya (2005) merekomendasikan hal yang harus dilaksanakan dalam rangka mereposisi jabatan guru menjadi jabatan professional sebagai berikut: (1) Pemerintah harus ada kemauan dan komitmen politik untuk menempatkan posisi guru dalam keseluruhan pendidikan nasional dan memberikan penghargaan sesuai dengan hak dan martabatnya. Penataan kembali berbagai perundangundangan dan produk hokum yang berkaitan dengan pendidikan, agar lebih sesuai dengan tuntutan yang berkembang. Dalam penataan ini dapat dilakukan perbaikan perundang-undangan yang telah ada, dan menghasilkan produk baru termasuk undang-undang khusus tentang guru. (2) Mewujudkan suatu sistem manajemen guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam satu institusi yang meiliki kewenangan nasional secara terpadu yang sistematik, sinergik, dan simbiotik. Seluruh aspek manajemen guru yang mencakup antara lain rekrutmen, pendidikan, penempatan, pembinaan, dan pengembangan berada dalam satu sistem pengelolaan tunggal yang professional dan proporsional. Pengelolaan yang lebih bersifat birokratis harus digeser menjadi pengelolaan yang lebih bersifat ―pemberdayaan‖ dengan suatu mobilitas yang terbuka baik secara vertical maupun horizontal sesuai dengan kesempatan dan kompetensinya serta memperhitungkan berbagai variable individual. (3) Pembenahan sistem pendidikan dan pelatihan guru yang lebih fungsional ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
untuk lebih menjamin dihasilkan kualitas professional guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dilihat dari posisi dan perannya, guru memerlukan kompetensi pribadi dan profesi agar mampu mampu melaksanakan proses pendidikan secara mendasar. Oleh karena itu pendidikan dan latihan guru hendaknya lebih berorientasi pada pembentukan dan pemberdayaan kepribadian guru professional, lingkungan kehidupan pendidikan, dinamika adaptasi yang tinggi, pengembangan dedikasi kependidikan, dsb. Pendidikan guru pada masa kini harus menggunakan strategi yang lebih mengarah pada pembentukan kepribadian dan kompetensi, memiliki ketrkaitan dengan lingkungan dan kebutuhan. (4) Pengembangan satu sistem remunerasi (gaji dan tunjangan lainnya) bagi para guru secara adil, bernilai ekonomis, serta memiliki daya tarik sedemikian rupa sehingga merangsang para guru melakukan tugasnya dengan penuh dedikasi dan memberikan kepuasan lahir batin. Sejalan dengan rekomendasi UNESCO/ILO, dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan guru Indonesia, sistem penggajian guru harus dibangun sebagai satu kulminasi kesatuan berbagai variable yang saling terkait yaitu: (1) jenjang pendidikan tempat guru bertugas, (2) tingkat pendidikan, (3) pengalaman/masa kerja, (4) beban kerja, (5) kreativitas, (6) lokasi atau lingkungan kerja, (7) kepangkatan. Rekomendasi tersebut mengisyaratkan bahwa dalam usaha mereposisi guru ke posisi jabatan professional harus dilakukan melalui manajemen terpadu yang melibatkan berbagai unsur dan memperhatikan berbagai variabel yang berpengaruh, serta dilakukan secara berkelanjutan. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam membina profesionalisme guru juga harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai komponen baik komponen struktural maupun non-struktural dan dilaksanakan secara berkelanjutan. Arah pembinaan guru ditekankan kepada pencapaian kemampuan dan keterampilan. melaksanakan pembelajaran yang meliputi penggunaan: 1) open-ended inquiry, 2) collaborative learning, 3) active participation during lecture, 4) in cooperation of relevan material and 5) integration of the laboratory experiences with the lectur material (Wagner, 2001). Komponen-komponen tersebut merupakan indikator keprofesionalan guru yang menjadi tolok ukur keberhasilan proses pembinaan. Membina profesionalisme guru berarti praktek professional dari supervisor dan organisasi profesi untuk membantu guru mencapai indicator tersebut di atas. Guru yang menunjukkan indikator-indikator seperti di tersebut di atas dalam melaksanakan pembelajaran diharapkan akan menjadi jaminan mutu pendidikan (education quality assurance). Manejemen pembinaan professional guru dilakukan dengan pendekatan TQM yang mendudukan setiap orang sebagai manajer dalam posisinya dan semua komponen terlibat di dalamnya (Sallis, 1993). Berdasarkan prinsip TQM, dalam pelaksanaan pembinaan professional guru diarahkan harus terjadi tarnsformasi budaya dari budaya tradisional ke budaya mutu (cultural change), serta proses perbaikan/peningkatan dilaksanakan secara berkesinambungan (continuous improvement). Sebagai Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 59
contoh program penataran guru untuk kemampuan guru dalam menguasai bahan ajar (content) seharusnya dilaksanakan secara terencana dengan tujuan yang jelas dan metode sesuai. Apabila kigiatan penataran ini dilakukan asal tugas penyelenggaraan selesai tiadka akan berdampak pada peningkatan kemampuan guruguru tersebut. Dalam kaitan ini budaya ―asal selesai‖ seharusnya diubah kepada budaya ―penyelenggaraan berkualitas‖ Seperti telah diuraikan di bagian Pendahuluan makalah ini, untuk membina profesionalisme guru telah tersedia berbagai lembaga atau organisasi profesi baik di tingkat pusat maupun daerah. Lembaga/organisasi tersebut dipersiapkan Pusat dan Daerah untuk membantu para guru dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengajar. Komponen-komponen tersebut dapat dibagai menjadi dua kategori yaitu, kategori structural dan kategori nonstruktural. Komponen Pembina yang termasuk kategori strukutral antara lain Kepala Sekolah, Pengawas, LPMP, PPPG. Sedangkan yang termasuk kategori nonstruktural antara lain MGMP, KKG, dan PGRI. C. Strategi Pembinaan dan Pemberdayaan Profesionalisme Guru dalam Perspektif Praktis Meskipun guru telah mendapatkan sertifikasi sebagai guru profesional pasca uji portofolio atau pendidikan dan latihan profesional guru sebagai implementasi UU Guru dan Dosen, yang dapat diasumsikan mereka telah memiliki kecakapan kognitif, afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pembangunan pendidikan kekinian, maka guru dituntut untuk terus menerus berupaya meningkatkan kompetensinya secara dinamis. Mantja (2002) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi tersebut tidak hanya ditujukan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, namun yang lebih penting adalah kemamuan diri untuk terus menerus melakukan peningkatan kelayakan kompetensi. Sergiovanni (dalam mantja, 2002) menegaskan bahwa teachers are axpected to put their knowledge to work to demonstrate they can dothe job. Finally, professional are expected to engage in a life long commitment to selfimprovement. Self improvement is the will-grow competency area. Pernyataan Sergiovanni tersebut memberikan petunjuk bahwa asumsi profesionalisme guru pasca sertifikasi seyognya menjadi spring board bagi guru untuk terus menerus menata komitmen melakukan perbaikan diri dalam rangka meningkatkan kompetensi. Peningkatan kompetensi atas dorongan komitmen diri diharapkan akan mampu meningkatkan keefektifan kinerjanya di sekolah. Komitmen untuk meningkatkan kefektifan kinerja sangat berkaitan dengan pencapaian tujuan program, yaitu program pembelajaran yang diharapkan mampu menghasilkan output dan outcome yang mencapai standar. Jika guru memiliki komitmen untuk mengembangkan kompetensi diri secara terus menerus, maka proses-proses perencanaan, pengembangan, penerapan, pengelolaan, dan penilaian program pembelajaran diyakini akan dapat dilakukan sesuai dengan tuntutan kekinian. Penjelasan di atas ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
mengindikasikan, bahwa komitmen diri dan strategistrategi manajemen sangat dibutuhkan dalam rangka memfasilitasi guru meningkatkan profesionalismenya. Sinergi antara komitmen guru dan strategi manajemen akan melahirkan proses kolaborasi yang efektif untuk meningkatkan kompetensi. Pada saat ini, guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari sebelumnya lebih bersifat physical asset menuju paradigma knowledge basedcompetition. Perubahan paradigma tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan, sehingga mereka mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Pemantapan sumber daya guru sebagai intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian yang dimilikinya, sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah perubahan yang terjadi. Strategi pemberdayaan merupakan salah satu cara pengembangan guru melalui employee involvement. Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman (2002), dapat dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala sekolah untuk meberikanwewenang dan tanggung jawab yang proporsional, menciptakan kondisi saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Upaya ini, pada satu sisi merupakan proses kaderisasi, di sisi lain adalah untuk mengakomodasi proses peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan. Untuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan guru, dapat digunakan model pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003) dengan paradigma-paradigma desire, trust, confident, credibility, accountability, communication. Paradigma desire merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan kepada guru untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang, (b) memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan guru, (c) mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi untuk meningkatkan kinerja, dan (d) menggambarkan keahlian team dan melatih guru untuk melakukan self-control. Paradigma trust mencakup upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan kepada guru untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan waktu dan sumber daya pendukung yang mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d) menghargai perbedaan pandangan dan mengakui kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e) menyediakan akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja. Paradigma Confident merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) mendelegasikan tugas-tugas yang dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 60
mengakomodasi gagasan dan saran guru, (c) memperluas tugas dan membangun jaringan dengan sekolah dan instansi lain, dan (d) menyediakan jadwal job instruction dan mendorong munculnya win-win solution. Beberapa upaya kepala sekolah terkait dengan paradigma credibility, adalah (a) memandang guru sebagai partner strategis, (b) menawarkan peningkat standar tinggi di semua aspek kinerja guru, (c) mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada guru lain untuk melakukan perubahan secara partisipatif, dan (d) menggagas win-winsolution dalam mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan tujuan dan penetapan prioritas. Paradigma accountability merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas yang terdefinisikan secara jelas dan terukur, (c) melibatkan guru dalam penentuan standar dan ukuran kinerja, (d) memberikan bantuan dan saran kepada guru dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e) menyediakan periode dan waktu pemberian feedback. Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah untuk (a) menetapkan kebijakan open door communication, (b) menyediakan waktu untuk memperoleh informasi dan mendiskusikan permasalah secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk cross-training. Di samping enam paradigma pemberdayaan guru tersebut, faktor lingkungan sekolah juga sangat menentukan pelaksanaan program pemberdayaan. Caudron (dalam Wahibur Rokhman, 2003) menganjurkan enam hal penting untuk membangun lingkungan sekolah yang kondusif bagi pelaksanaan program pemberdayaan. Enam hal tersebut, adalah (1) work teams and information sharing, (2) training and resources, (3) measurement and feedback, (4) reinforcement, (5) responsibility, dan (6) flexibilityprocedure. Membentuk work teams and information sharing sangat penting bagi sekolah, karena di dalam tim terdapat peluang yang besar terjadinya sharing knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala sekolah. Setiap individu diharapkan mampu menyajikan unjuk kerja dan mempengaruhi secara positif kepada yang lain dalam meningkatkan kompetensi. Sharing knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala sekolah terjadi melalui proses-proses komunikasi terbuka tentang kekuatan dan kelemahan kinerja mereka serta mencermati tantangan dan peluang yang mereka hadapi seiring dengan perkembangan pendidikan. Pemberdayaan training and resources sangat penting untuk menunjang peningkatan profesionalisme guru. Training team memiliki peran penting untuk menjaga kekompakan dalam penyelesaian berbagai masalah di sekolah. Hal ini penting, karena pemberdayaan bagi guru tidak hanya untuk tujuantujuan independent empowering, tetapi juga interdependent empowering. Namun, training sangat membutuhkan penyediaan fasilitas da sumber daya lain yang dibutuhkan guru dalam meningkatkan kompetensinya. Measurement sangat dibutuhkan untuk memperoleh data ada atau tidaknya peningkatan dan ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
kemajuan yang dialami guru. Konsep pengukuran tidak bisa dilepaskan dari konsep standar. Hasil pengukuran yang dibandingkan dengan standar akan berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kinerja yang dilakukan oleh guru. Namun pasca pengukuran memerlukan adanya feedback secara cepat. Hal ini penting, karena feedback akan memberi peluang bagi guru untuk menampilkan kinerja yang lebih baik. Dukungan manajemen dengan pemberian reinforcement secara terus menerus akan mendukung dan memotivasi guru. Pada hakikatnya, semua manusia (termasuk guru) merasa respektif terhadap penghargaan yang diterima atas prestasi yang dicapainya. Kepala sekolah atau pengawas perlu memberikan penilaian yang baik atas prestasi kerja yang bisa dicapai oleh guru. Kepala sekolah wajib melakukan sosialiasi atas prestasi yang dicapai guru di sekolah. Memberikan kepercayaan kepada para guru untuk melakukan pekerjaan yang sesuai akan membangun responsibility guru terhadap tugas yang menjadi kewajibannya. Kepercayaan tersebut akan membangkitkan kreativitas dan inovasi mereka yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja dan produktivitasnya. Pemberian wewenang memiliki nilai strategis bagi guru dalam hal meningkatkan rasa percaya diri mereka sebagai akibat dirinya merasa dihargai, penting, dan dibutuhkan keberadaanya di sekolah. Dengan demikian, guru akan mengerahkan seluruh pengetahuan dan keahliannya untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Flexibility procedure sangat dibutuhkan di sekolah, karena sangat memudahkan dalam pengambilan keputusan. Prosedur yang fleksibel akan mendukung sekolah dalam melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan zaman seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Di samping itu, akan memberi peluang pula bagi guru untuk mampu beradaptasi dan meningkatkan kompetensi, sehingga lebih siap dalam berkompetisi. D. Pembinaan dan Pengembangan Profesionalisme Guru melalui Supervisi Fase vital dalam pembinaan dan pengembangan profesionalisme guru adalah supervisi. kepala sekolah berfungsi sebagai supervisor pengajaran di sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab mengkoordinasikan semua program pengajaran. Para guru mengharapkan agar kepala sekolah menggunakan sebagian besar waktunya untuk perbaikan dan peningkatan pengajaran. Oleh sebab itu, kepala sekolah hendaknya memiliki kompetensi kepemimpinan pengajaran dalam melaksanakan tugasnya sebagai supervisor. Dia hendaknya memiliki pemahaman tentang cara yang tepat dalam melaksanakan supervisi. Fungsi supervisi pendidikan adalah sebagai layanan atau bantuan kepada guru untuk mengembangkan situasi belajar mengajar. Konsep supervisi sebenarnya diarahkan kepada pembinaan. Artinya kepala sekolah, guru dan para personel lainnya di sekolah diberi fasilitas untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.Menurut Anwar dan Sagala (2009) Supervisor mempunyai fungsi-fungsi utama, antara lain:
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 61
a. Menetapkan masalah yang betul-betul mendesak untuk ditanggulangi. b. Menyelenggarakan inspeksi, yaitu sebelum memberikan pelayanan kepada guru, supervisor lebih dulu perlu mengadakan inspeksi sebagai usaha mensurvai seluruh sistem yang ada. c. Memberikan solusi terhadap hasil inspeksi yang telah di survai. d. Penilaian e. Latihan, dan f. Pembinaan atau pengembangan. Dilihat dari fungsi yang telah ada, tampak jelas peranan supervisi pendidikan. Peranan supervisi dapat dikemukakan oleh berbagai pendapat para ahli yang menyimpulkan tetang tugas dan fungsi supervisor: a. Koordinator, sebagai koordinator supervisor dapat mengkoordinasi program-program belajar mengajar, tugas-tugas anggota staf berbagai kegiatan yang berbeda-beda diantara guru-guru. b. Konsultan, sebagai konsultan supervisor dapat memberikan bantuan, bersama mengkonsultasikan masalah yang dialami guru baik secara individual maupun secara kelompok. c. Pemimpin kelompok, supervisor dapat memimpin sejumlah staf guru dalam mengembangkan potensi kelompok, pada saat mengembangkan kurikulum, materi pelajaran dan kebutuhan profesional guru secara bersama-sama. d. Evaluator, supervisor dapat membantu guru dalam menilai hasil dan proses belajar, dapat menilai kurikulum yang sedang dikembangkan. Konsepsi umum pendidikan mengenal supervisi sebagai salah satu usaha menstimulir, mengkoordinir dan membimbing secarr kontinyu pertumbuhan guruguru di sekolah baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran dengan demikian mereka dapat menstmulir dan membimbing pertumbuan tiap-tiap peserta secara kontinyu, serta mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern. Wilem Mantja (2002) mendefinisikan bahwa, supervisi diartikan sebagai kegiatan supervisor (jabatan resmi) yang dilakukan untuk perbaikan proses belajar mengajar (PBM). Ada dua tujuan (tujuan ganda) yang harus diwujudkan oleh supervisi, yaitu; perbaikan (guru -murid) dan peningkatan mutu pendidikan. Willem Mantja memandang supervisi sebagai kegiatan untuk perbaikan (guru murid) dan peningkatan mutu pendidikan Glickman (dalam Mantja 2002) memperkenalkan pendekatan supervisi pengembangan (developmental supervision). Pendekatan tersebut bertolak dari kenyataan, bahwa pada dasarnya proses supervisi adalah proses belajar. Dalam proses supervisi, hubungan antara kepala sekolah analog dengan hubungan antara guru dan siswa. Guru dalam melayani siswa memiliki kewajiban untuk memhamami semua karakteristik siswa. Demikian pula, kepala sekolah dalam melakukan supervisi pada para guru, hendaknya guru diperhatikan sebagai individu, karena adanya perbedaanpernedaan individual guru dalam perkembangan manusiawinya. Perlakuan seperti itu sangat diperlukan, lebih-lebih guru dituntut untuk terlibat secara langsung dalam ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
peningkatan kualitas pendidikan. Pendekatan supervisi perlu didasarkan atas perkembangan, kebutuhan, dan karakteristik guru. Pendekatan tersebut erat kaitannya dengan dua unsur penting keefektifan guru dalam menjalankan tugas keprofesionalan,nyaitu komitmen dan kemampuan berpikir abstraks. Komitmen guru merupakan banyaknya waktu dan tenaga yang mampu dicurahkan oleh guru tersebut bagi siswa dan menunjang profesinya. Komitmen diistilahkan sebagai kepedulian, yang dapat diklasifikasi atas tiga kategori, kepedulian terhadap diri sendiri, terhadap siswa, dan terhadap profesionalisasi. Kemampuan berpikir abstraks, adalah kemampuan kognitif berbasis pengalaman konkrit, mampu mengidentifikasi tindakan kekinian untuk membantu siswa belajar secara efektif, dan mampu mengidentifikasi tindakan yang akan datang yang lebih memberikan kesuksesan pelayanan bagi siswa. Kemampuan abstraks diistilahkan sebagai kompleksitas kognitif. Perpaduan antara kepedulian dan kompleksitas kognitif melahirkan tiga tahapan perkembangan profesional, yaitu perkembangan tingkat rendah, sedang, dan tinggi. Tahapan perkembangan tersebut membutuhkan fasilitas supervisi pengembangan, yang dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu (1) supervisi direktif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian pada diri sendiri dengan kompleksitas kognitif rendah, (2) supervisi kolaboratif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian kepada siswa dan kompleksitas kognitif menengah, dan (3) supervisi nondirektif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian profesional dengan kompleksitas kognitif tinggi. Pola-pola tindakan supervisor yang berorientasi pada supervisi direktif adalah clarifying, presenting, demonstrating, directing, standardizing, reinforcing. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk mengarahkan kegiatan dalam perbaikan pembelajaran, menetapkan prangkat standar untuk perbaikan pembelajaran, menggunakan sarana dan berbagai dorongan untuk meningkatkan pembelajaran. Tampak, bahwa dalam supervisi direktif, tanggung jawab cenderung lebih banyak pada kepala sekolah dibandingkan dengan tanggung jawab guru. Dalam supervisi kolaboratif, pola-pola tindakan supervisor adalah listening, clarifying, pressenting, problem solving, negotiating, initiating. Pola-pola tindakan tersebut mengindikasikan bahwa antara kepala sekolah dan guru berbagi tanggung jawab. Kepala sekolah berupaya mendengarkan persepsi guru tentang masalah pembelajaran yang dihadapinya. Atas dasar persepsi guru, kepala sekolah menawarkan gagasan pemecahan masalah. Proses tersebut melahirkan alternatif pemecahan masalah yang kemudian disepakati untuk diterapkan dalam pembelajaran. Beranjak dari pemahaman kepala sekolah, bahwa guru adalah mampu berkembang dan mengembangkan dirinya ke arah yang lebih profesional, maka pola tindakan yang dapat dilakukan dalam supervisi nondirektif, adalah listening, clarifying, encouraging, pressenting, negotiating, accomodating teacher-initiated.
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 62
Tindakan-tindakan tersebut bertolak dari premis, bahwa proses belajar bagi guru diwarnai oleh pengalaman pribadinya, sehingga pada akhirnya guru tersebut akan mampu memecahkan masalahnya sendiri. Bagi guru, pemecahan masalah yang dimaksud adalah upaya memperbaiki dan meningkatkan pengalaman belajar siswa di kelas. Peranan kepala sekolah adalah mendengarkan, tidak memberi pertimbangan, membangkitkan kesadaran sendiri, dan mengklarifikasi pengalaman-pengalaman guru. Kepala sekolah lebih menekankan refleksi atau bertanya untuk memperoleh informasi dengan tujuan membuka komunikasi dalam pertemuan supervisi mereka. Peranan kepala sekolah dalam menjalankan supervisi seperti itu akan membuat persepsi guru menjadi positif. E. Kesimpulan Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk selalu mengembangkan diri sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, wacana mengenai profesionalisme guru gencar dibicarakan diIndonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting,yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga faktortersebut merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guruprofesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorongterwujudnya proses dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitaspendidikan. Guru kompeten dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikuttunjangan profesi yang memadai menurut ukuran Indonesia. Sekarang ini, terdapatsejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah memperoleh tunjanganprofesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Fakta bahwa guru telah tersertifikasimerupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi. Kompetensiguru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensiprofesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Permasalahannya adalah apakah konsepsi teoretis profesionalisme guru yang disematkan pada guru yang telah bersertifikasi itu linear dengan realitas praksis di ruang-ruang pembelajaran. Program sertifikasi guru merupakan upaya pemerintah untuk mengidentifikasi guru-guru berkualitas. Guru berkualitas yang terbukti dari hasil sertifikasi dijadikan dasar untuk memberikan tunjangan profesi. Guru yang memperoleh tunjangan profesi dikategorikan sebagai guru yang profesional. Untuk menjamin konsistensi profesionalisme guru seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
seni, diperlukan upaya-upaya peningkatan profesionalisme secara berkesinambungan. Secara preskriptif, dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengembangan, dan penelitian tindakan kelas merupakan dimensi-dimensi teoretis alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru. Dukungan kompetensi manajemen diperankan oleh kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah. Strategi pemberdayaan dan supervisi pengembangan merupakan peran sentral kepala sekolah. Ketiga dimensi teoretis tersebut berlandaskan pada filosofi humanistik, bahwa guru yang harus berkembang secara profesional, pada dasarnya dapat meningkatkan profesionalismenya secara mandiri. Oleh sebab itu, peran kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, dan supervisi pengembangan tidak lebih dari sekadar fasilitas dan pijakan bagi guru untuk meningkatkan komitmen. Daftar Pustaka Macionis, John J. 1987. Sociology. Englewood Cliffs, New Jersey: Pentice-Hall. Inc Mantja, W. 2002. Manajemen pendidikan dan supervisi pengajaran. Malang: Wineka Media. McIntosh, J. E. 2005. Valuing the collaborative nature of professional learning communities. Tersedia pada http://www.nipissingu.ca/oar/PDFS/V82E.pdf.
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 63
Rosidi, Sakban. 2008, Penelitian Tindakan, Praksis Pendidik Profesional. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional, Kerjasama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur dan PP Un-Nur Malang, tanggal 25 Mei 2008. Saiful Sagala, 2009, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta Sallis, E. (1993), Total Quality Management in Education, London: Kogan Page Limited Surya Dharma. 2003. Pengembangan SDM berbasis kompetensi. Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma baru manajemen sumber daya manusia. 105120. Yogyakarta: Amara Book. Surya, M. (2005), Profesi Guru Dalam Kenyataan dan Harapan, Makalah Semiloka Nasional Profesionalisasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, , Bandung, FIP-UPI Wagner E (2001), Development and Evaluation of a Standards-Based Approach to Instruction in General Chemistry, Elektronic Journal of Science Education Vol. 6 No. 1 Wahibur Rokhman, J. 2003. Pemberdayaan dan komitmen: Upaya mencapai kesuksesan organisasi dalam menghadapi persaingan global. Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma baru manajemen sumber daya manusia. 121-133. Yogyakarta: Amara Book.
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
| 64
Posisi Dan Fungsi Teori Dalam Penelitian Kualitatif Madekhan *) *) Dosen Program Studi Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Lamongan Abstract There is a growing interest on qualitative methodology as evidence by an increasing number of qualitative research design employed in social science researches. In qualitative inquiry process, the role of theory in the field of social science and where it situates in the research framework has always created a challenge for the researchers. However, inconclusive and differing opinions have so far been documented about the position and function of theory in qualitative research. The purpose of this paper is to build a general perspective in terms of the position and function of theory in qualitative research methodology applicable to social science research. Review of literatures on these issues were presented and discussed. As a result, mostly argue that theory in qualitative research is not in terms of testifying the validity or accuracy, event or experience in real-life cannot always or necessarily be based on theory, yet the significant role of theory in literature review is an undeniable fact. Here, theory is a road guidance in qualitative research. Key Words: qualitative, social research, position and function of theory. I. PENGERTIAN PENELITIAN KUALITATIF Setiap penelitian bermaksud untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan itu adakalanya berupa teori, yang merupakan penjelasan terhadap gejala-gejala, dan adakalanya berupa knowledge yang merupakan konsep-konsep atau polapola regulasi yang terdapat di alam ini. Selain itu, penelitian juga bermaksud untuk menemukan pengetahuan yang berupa strategi-strategi untuk pemecahan suatu masalah. Pada dasarnya penelitian kualitatif dapat digunakan untuk ketiga maksud tersebut (Bahar, 2011). Untuk menggali ragam pengetahuan yang disebut di atas, penelitian kualitatif mempunyai caranya sendiri, yang berbeda dari penelitian kuantitatif. Jika penelitian kuantitatif bertolak dari suatu teori dan kemudian bermaksud untuk mengujinya, maka dalam penelitian kualitatif tidak demikian halnya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertolak dari ketidaktahuan, artinya peneliti belum memiliki pengetahuan tentang obyek yang diteliti, termasuk jenis data dan kategori-kategori yang mungkin ditemukan. Karena itu, penelitian kualitatif tidak menggunakan teori yang sudah ada sebagai dasar pengembangan teoritiknya. Penelitian kualitatif berangkat dari suatu komitmen untuk memperoleh data secara alamiah: peneliti beranggapan bahwa pemerolehan pengetahuan secara sistematik harus berada dalam suasana alamiah ketimbang dalam suasana artifisial atau buatan seperti eksperiman (Marshall dan Rossman (1989). Lebih sistematis dikemukakan Bryman (1988, hal 61-69) bahwa penelitian kualitatif memiliki 6 kriteria, sebagaimana dalam tabel 1 berikut:1
1
dalam Silverman 1993 hal 23-25
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
1 2 3 4 5 6
Tabel 1. Kriteria Penelitian Kualitatif Melihat melalui mata dari ... atau menurut perspektif subjek. Menggambarkan detail-detail kebiasaan di dalam kehidupan sehari-hari; Memahami tindakan dan makna dalam konteks sosialnya. Menekankan waktu dan proses Lebih terbuka dan desain penelitiannya relatif tidak terstruktur, Menghindari konsep dan teori pada tahap permulaan.
Bila mengacu Tabel 1 di atas maka Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Terdapat perbedaan mendasar antara peran landasan teori dalam penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif, penelitian berangkat dari teori menuju data, dan berakhir pada penerimaan atau penolakan terhadap teori yang digunakan. Sedangkan dalam penelitian kualitatif peneliti bertolak dari data yang sarat dengan konteks, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu teori. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya, secara umum tujuan penelitian kualitatif adalah untuk ―menemukan‖. Menemukan berarti sebelumnya belum pernah ada atau belum diketahui. Bisa dikatakan bahwa pendekatan kualitatif lebih menekankan pada esensi dari fenomena yang diteliti. Kebenaran dari hasil analisis penelitian kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat digeneralisasi. Hasil analisis penelitian kualitatif naturalistik lebih bersifat membangun, mengembangkan maupun menemukan teori-teori sosial. Dengan metode ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
kualitatif, maka peneliti dapat menemukan pemahaman yang luas dan mendalam terhadap situasi sosial yang kompleks, memahami interaksi dalam situasi sosial tersebut sehingga dapat ditemukan hipotesis, pola hubungan yang akhirnya dapat dikembangkan menjadi teori. II.
PENGERTIAN TEORI Teori adalah seperangkat dalil mengenai hubungan antara berbagai konsep. Dalam penelitian kualitatif, teori yang sudah ada memiliki kegunaan yang cukup penting, teori dalam penelitian kualitatif digunakan secara lebih longgar, teori memungkinkan dan membantu untuk memahami apa yang sudah diketahui secara intuitif pada saat pertama, tetapi bersifat jamak untuk berubah sebagaimana teori sosial berubah. Pada umumnya teori bagi penelitian kualitatif berguna sebagai sumber inspirasi dan pembanding (Bahar, 2011). Kedudukan teori sendiri dalam penelitian hendaknya dipahami dari keterkaitannya dengan kedudukan hipotesis, metode dan metodologi. Pada tabel 1 di bawah ini, Silverman (1993, hal 1) dengan jelas menggambarkan kedudukan teori di tengah tiga konsep dasar dalam penelitian. Tabel 2. Konsep Dasar dalam Penelitian KONSEP
PENGERTIAN
RELEVANSI
Teori
Serangkaian konsep penjelas
Sesuai Kegunaan
Hypotesis
Pernyataan/proposisi yang bisa diuji
Validitas
Metodologi
Pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian
Sesuai Kegunaan
Metode
Suatu teknik penelitian tertentu.
Harus sebangun dengan teori, hipotesis dan metodologi
Sebagaimana pada tabel 2, teori menyediakan serangkaian konsep penjelas (explanatory concepts). Tanpa sebuah teori, tidak akan terlaksana penelitian. Di dalam penelitian sosial, contoh teori adalah fungsionalisme (yang mengkaji fungsi-fungsi pranata sosial), behaviorisme (yang melihat semua perilaku dalam kerangka stimulus dan respon), dan interaksi simbolik (yang memusatkan bagaimana kita mengkaitkan makna-makna simbolis dengan relasirelasi interpersonal. Dengan demikian teori merupakan sumber tenaga bagi penelitian, dimana seiring perkembangan zaman, teori dikembangkan dan dimodifikasi oleh berbagai penelitian. Di sini diyakini bahwa ketika didayagunakan teori tidak pernah salah, namun hanya
dalam pemahaman lebih ataupun kurang berguna Silverman (1993, hal 2).2 Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa oleh peneliti bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penelitian kualitatif juga bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan atau dalam konteks sosial. Dalam kaitannya dengan teori, penelitian kualitatif bersifat menemukan teori. III.
TEORI BAGI KUALITATIF
PENELITI
Dari sisi kememadaian, dalam penelitian kualitatif yang bersifat holistik, jumlah teori yang harus dimiliki peneliti kualitatif jauh lebih banyak di bandingkan penelitian kuantitatif karena harus disesuaikan dengan fenomena yang berkembang di lapangan. Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau menguasai semua teori sehingga wawasannya lebih luas, dan dapat menjadi instrumen penelitian yang baik. Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam. Walaupun peneliti kualitatif dituntut untuk menguasai teori yang luas dan mendalam, namun dalam melaksanakan penelitian, peneliti kualitatif harus mampu melepaskan teori yang dimiliki tersebut dan tidak digunakan sebagai panduan dalam menyusun instrument dan sebagai panduan dalam menyusun panduan untuk wawancara, dan observasi. Peneliti kualitatif dituntut dapat menggali data berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh partisipan atau sumber data. Peneliti kualitatif harus bersifat ―perspektif emic‖ artinya memperoleh data bukan ―sebagai seharusnya‖, bukan berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi dilapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh partisipan/sumber data. Oleh karena itu penelitian kualitatif jauh lebih sulit dari penelitian kuantitatif, karena peneliti kualitatif harus berbekal teori yang luas sehingga mampu menjadi ―human instrument‖ yang baik. Penelitian kualitatif jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian kuantitatif karena data yang terkumpul bersifat subyektif dan instrument sebagai alat pengumpul data adalah peneliti itu sendiri. Dengan kebutuhan akan teori yang memadai, maka untuk dapat menjadi instrument penelitian yang baik, peneliti kualitatif dituntut untuk memiliki wawasan yang luas, baik wawasan teoritis maupun wawasan yang berkaitan dengan konteks sosial yang diteliti yang berupa nilai, budaya, keyakinan, hukum, adat-istiadat yang terjadi dan berkembang pada konteks sosial tersebut. Bila peneliti tidak memiliki wawasan yang luas, maka peneliti akan sulit membuka pertanyaan pada sumber data, sulit memahami apa yang terjadi, tidak akan mampu memahami analisis secara induktif terhadap data yang diperoleh, padahal pendekatan induktif memberikan panekanan pada pemahaman yang 2
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 65
David, Silverman, Interpreting Qualitative Data, Sage Publication, London, 1993 ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
kompresif atau ―holistik" mengenai situasi sosial yang ditelaah. Artinya, kehidupan sosial dipandang sebagai pelibatan serangkaian peristiwa yang saling berpautan, yang perlu untuk digambarkan secara lengkap oleh peneliti kualitatif. IV. POSISI DAN FUNGSI TEORI DALAM PENELITIAN KUALITATIF Menurut J.W Creswell (1998), peneliti kualitatif perlu menyadari perlunya dan tata cara penggunaan perspektif teori di dalam kajiannya. Ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan, prediksi dan generalisasi tentang bagaimana aspek-aspek kehidupan manusia berperan. Teori-teori tersebut mungkin diajukan oleh peneliti pada filosofis yang abstrak dan luas ataupun tingkat yang lebih konkrit dan substansial. Pertanyaan pokoknya, antara lain adalah: haruskah sebuah kacamata teori tertentu membingkai penelitian tersebut sehingga melahirkan pertanyaan penelitian dan menyarankan sudut pandang di dalamnya? Yang jelas, bagaimanapun juga memang ada baiknya seorang peneliti untuk mempertimbangkan sebuah teori digunakan dalam penelitiannya. Pengertian membingkai di sini tidak lain adalah menggunakan sebuah teori ilmu tertentu untuk menginterpretasikan temuan penelitian dan bukan untuk menentukan variabel-variabel yang perlu ditemukan, apalagi untuk membuktikan kebenaran sebuah teori. Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya penggunaan tersebut berada pada garis yang kontimum dari awal hingga akhir proses penelitian, tinggal pada posisi mana pada garis tersebut sebuah teori akan digunakan di masing-masing tradisi penelitian kualitatif3. Sementara Bahar (2011), menyatakan bahwa posisi teori pada pendekatan kualitatif harus diletakkan sesuai dengan maksud penelitian yang dikerjakan. Pertama, untuk penelitian yang bermaksud menemukan teori dari dasar, paling tidak ada tiga aspek fungsi teori yang dapat dimanfaatkan; a. Konsep-konsep yang ditemukan pada teori terdahulu dapat "dipinjam" sementara (sampai ditemukan konsep yang sebenarnya dari kancah) untuk merumuskan masalah, membangun kerangka berpikir, dan menyusun bahan wawancara; b. Ketika peneliti sudah menemukan kategori-kategori dari data yang dikumpulkan, ia perlu memeriksa apakah sistem kategori serupa telah ada sebelumnya. Jika ya, maka peneliti perlu memahami tentang apa saja yang dikatakan oleh peneliti lain tentang kategori tersebut. Hal ini dilakukan hanya untuk perbandingan saja, bukan untuk mengikutinya; dan c. Proposisi teoritik yang ditemukan dalam penelitian kualitatif (yang memiliki hubungan dengan teori yang sudah dikenal) merupakan sumbangan baru untuk memperluas teori yang sudah ada. Demikian pula, jika ternyata teori yang ditemukan identik dengan teori yang sudah ada, maka teori yang ada dapat dijadikan sebagai pengabsahan dari temuan baru itu. 3
Lebih jelas karya John W. Cresswell ini bisa dibaca pada saduran dengan judul Desain dan Model Penelitian Kualitatif oleh Dr. M. Djauzi Moedzakir, M.A, UNM, Malang, 2010
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 66
Kedua, untuk penelitian yang bermaksud memperluas teori yang sudah ada, teori tersebut bermanfaat bagi peneliti pada tiga hal berikut; a. Penelitian dapat dimulai dari teori terdahulu tersebut dengan merujuk kerangka umum teori itu. Dengan kata lain, kerangka teoritik yang sudah ada bisa digunakan untuk menginterpretasi dan mendekati data. Namun demikian, penelitian yang sekarang harus dikembangkan secara tersendiri dan terlepas dari teori sebelumnya. Dengan demikian, penelitian dapat dengan bebas memilih data yang dikumpulkan, sehingga memungkinkan teori awalnya dapat diubah, ditambah, atau dimodifikasi; b. Teori yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk menyusun sejumlah pertanyaan atau menjadi pedoman dalam pengamatan/wawancara untuk mengumpul data awal; dan c. Jika temuan penelitian sekarang berbeda dari teori yang sudah ada, maka peneliti dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa temuannya berbeda dengan teori yang ada.
Peneliti kualitatif dituntut mampu mengorganisasikan semua teori yang dibaca. Landasan teori yang dituliskan dalam proposal penelitian lebih berfungsi untuk menunjukkan seberapa jauh peneliti memiliki teori dan memahami permasalahan yang diteliti walaupun permasalahan tersebut masih bersifat sementara. Oleh karena itu landasan teori yang dikemukakan bukan merupakan harga mati, tetapi bersifat sementara. Peneliti kualitatif justru dituntut untuk melakukan ―grounded research‖, yaitu menemukan teori berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Ada dua bentuk perangkat yang digunakan dalam merancang kerangka konseptual sebagai panduan kerja dalam penelitian kualitatif. Kedua perangkat dimaksud adalah ―paradigma alamiah‖ (naturalistic paradigm) dan pola pengembangan pengetahuan dalam ―bidang ilmu‖ yang diteliti. Pada dasarnya kedua perangkat ini bersifat saling melengkapi, di mana paradigma alamiah mengarahkan kegiatan penelitian, dari mana dimulai dan ke mana arahnya, serta bagaimana cara atau proses kerjanya, sedangkan bidang ilmu mempertegas obyek material atau substansi yang layak diteliti. Pandangan mendasar yang menjadi asumsi paradigma alamiah adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada polapola interaksi atau perilaku tertentu yang terjadi secara ajeg. Jika peneliti dapat mendeteksi dan menemukan pola-pola itu, maka ia dapat menyusunnya menjadi suatu teori. Inilah yang dimaksudkan dalam grounded theory bahwa penelitian kualitatif merupakan satu upaya untuk membangun teori dari dasar. Jadi, teori itu sesungguhnya ditemukan dari masyarakat melalui penelitian yang sistematis. Oleh karena itu, penelitian kualitatif sama sekali tidak bermaksud untuk menguji teori, dan bahkan tidak bertolak dari variabel-variabel yang direduksi dari suatu teori. Sungguh tidak relevan jika penelitian kualitatif dimulai dengan teori atau konsep/variabel yang digunakan teori sebelumnya,
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
karena akan menghambat pengembangan rumusan teori baru. Sejalan dengan asumsi di atas, peneliti kualitatif tidak membawa konsep-konsep yang diperoleh dari teori (yang sudah ada) ke lapangan, melainkan berusaha memahami dan memaknai fenomena sesuai dengan pemahaman dan pemaknaan yang diberikan oleh subyek yang diteliti. Ini sangat prinsip dalam penelitian kualitatif. Strategi ini disebut dengan pendekatan emik, yaitu suatu prinsip pemaknaan fenomena berdasarkan pemahaman "orang dalam", dengan menggunakan ukuran-ukuran yang ditemukan di lapangan. Dasar pijakan penelitian ini ialah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti. Bertolak dari prinsip paradigma alamiah, proses data kualitatif selalu menggunakan metode berpikir induktif. Prinsip pokok teknik analisa ini ialah mengolah dan menganalisa data menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur dan mempunyai makna. Tujuan akhir penelitian kualitatif ialah menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan atau pembangunan suatu teori baru. Perangkat yang kedua adalah pola pengembangan ilmu sosial, yang pada mulanya metode-metode kualitatif muncul dari penelitian-penelitian antropologi, etnologi, serta aliran fenomenologi dan aliran idealisme. Karena metodemetode ini bersifat umum dan terbuka maka ilmu sosial lainnya mengadopsi sebagai sarana penelitiannya. Ada dua istilah yang sering dipakai dalam penelitian, kerangka teoritis dan kerangka konseptual. Istilah kerangka teoritis banyak dipakai dalam penelitian kuantitatif, tidak pada penelitian kualitatif, sedangkan istilah kerangka konseptual lebih tepat digunakan pada penelitian kualitatif. Dasar pertimbangannya adalah, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan deduksi logis dari suatu teori untuk perumusan hipotesis, sedangkan penelitian kualitatif lebih pada upaya pembentukan konsep-konsep dari data lapangan menuju pemahaman terhadap fenomena atau terbentuknya suatu teori. Pada hakikatnya, kerangka konseptual adalah suatu rancangan yang dapat menegaskan tentang dimensidimensi kajian utama penelitian serta mengungkap tentang perkiraan hubungan-hubungan antara dimensidimensi tersebut. Atas dasar itu, kerangka konseptual merupakan panduan bagi peneliti dalam proses penelitiannya, baik memutuskan karakeristik data yang harus dikumpulkan, strategi dalam melakukan kategorisasi, maupun dalam penemuan relasi antara kategori. Kapan waktu yang paling tepat melakukan perancangan kerangka konseptual dalam penelitian kualitatif? Ini menjadi diskusi yang tidak berujung di kalangan ahli kualitatif. Jika dilakukan dari awal, mungkin sekali membuat ketidakbebasan bagi peneliti untuk menemukan fenomena yang asli, karena pikirannya telah terfokus untuk memperhatikan hanya pada fokus khusus. Hal ini merupakan pengebirian karakter penelitian kualitatif. Tetapi jika kerangka konseptual dirancang belakangan, dapat mengakibatkan pengumpulan data serampangan dan bisa jadi menghadirkan data yang melimpah-ruah. Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 67
Diskusi yang tidak pernah selesai ini menjadi faktor munculnya berbagai pola perancangan kerangka konseptual di kalangan peneliti kualitatif. Ahli antropologi dan fenomenologi berpendapat, realitas sosial itu cukup kompleks, karena itu peta-peta konseptual yang konvensional akan menjadi kendala. Sebab, latar, fenomena-fenomena, dan pelaku-pelaku yang paling bermakna tidak akan dapat diramalkan sebelum penelitian lapangan. Jadi, kerangka konseptual seharusnya muncul secara empiris di lapangan sewaktu penelitian berjalan. Tidak semua penelitian harus menghasilkan teori. Sebagian dari hasil penelitian itu tidak dimungkinkan untuk dilanjutkan ke perumusan teori, dan karena itu harus dihentikan sampai pada penemuan formulasiformulasi konseptual dan tema-tema budaya. Penelitian yang sampai pada penemuan tema-tema seperti itu juga cukup penting, sebab tema-tema yang memuat keterangan deskriptif itu dapat disusun secara sistematis ke dalam bentuk konsepsi -konsepsi dekriptif yang kaya dengan definisi, informasi, dan atau abstraksi dari gejala-gejala sosial. Atas dasar itu, seorang peneliti kualiatif tidak mesti memaksakan diri untuk menemukan ―teori‖ dari kancah, bahkan ia dapat saja merancang sebuah penelitian yang hanya sampai pada penemuan tema-tema untuk disusun ke dalam pengetahuan deskriptif yang bersifat informatif. Akhirnya, perumusan teori dimulai dengan mereduksi jumlah kategori-kategori sekaligus memperbaiki rumusan dan integrasinya. Modifikasi rumusan semakin minimal, sekaligus isi data dapat terus semakin diperbanyak. Atribut terori yang tersusun dari hasil penafsiran/pemaknaan dilengkapi terus dengan data baru, dirumuskan kembali dalam arti diperluas cakupannya sekaligus dipersempit kategorinya. Jika hal itu sudah tercapai dan peneliti telah merasa yakin akan hasilnya, pada saat itu peneliti sudah dapat mempublikasikan hasil penelitiannya.
V. KESIMPULAN Dasar penelitian kualitatif berada di seputar upaya memperoleh data secara alamiah. Bagaimana peneliti berupaya memperoleh pengetahuan secara sistematik dalam suasana alamiah, tidak artifisial atau buatan. Atas sifatnya demikian, maka teori dalam penelitian kualitatif, memiliki kegunaan yang cukup penting. Teori dalam penelitian kualitatif digunakan untuk memungkinkan dan membantu peneliti kualitatif memahami apa yang sudah diketahui secara intuitif pada saat pertama, tetapi pada fase berikutnya bisa berubah sebagaimana teori sosial berubah. Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau menguasai semua teori sehingga wawasannya lebih luas, dan dapat menjadi instrumen penelitian yang baik. Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam. Oleh karena itu penelitian kualitatif jauh lebih sulit dari penelitian kuantitatif, karena peneliti kualitatif harus berbekal teori yang luas sehingga mampu menjadi ―human instrument‖ yang baik. Penelitian kualitatif jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian kuantitatif karena data ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
yang terkumpul bersifat subyektif dan instrument sebagai alat pengumpul data adalah peneliti itu sendiri. Fungsi dan posisi sebuah teori dalam pengertian sederhana adalah bingkai dari sebuah penelitian kualitatif. Di sini tidak lain adalah menggunakan sebuah teori ilmu tertentu untuk menginterpretasikan temuan penelitian dan bukan untuk menentukan variabelvariabel yang perlu ditemukan, apalagi untuk membuktikan kebenaran sebuah teori. Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya, fungsi dan posisi teori berada pada garis yang kontimum dari awal hingga akhir proses penelitian, tinggal pada posisi mana pada garis tersebut sebuah teori akan digunakan di masing-masing tradisi penelitian kualitatif. Akhrinya, sebagaimana ditemukan dalam beberapa literatur metode penelitian (Moleong, 1999; Creswell, 2002, Lindloft, 1995), menyebutkan bahwa metode penelitian kualitatif lebih bersifat induktif. Artinya langkah penelitian yang harus didahulukan adalah data berdasarkan fakta, gejala, fenomena, realitas yang menjadi tema, kemudian diolah, diproses, sehingga akhir penelitian dapat menjadi proposisi, model atau bahkan teori. Hampir semua disepakati bahwa teori pada penelitian kualitatif bukan untuk diuji keabsahan, kebenaran atau kesalahannya, melainkan sebagai ―guidance‖ atau ―petunjuk jalan‖ saja.
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 68
Daftar Bacaan : Bahar, Hartati, Teori dalam Penelitian Kualitatif, http://tatikbahar.blogspot.com/2011/01/teoridalam-penelitian-kualitatif.html, diakses November 2012. David, Silverman, Interpreting Qualitative Data, Sage Publication, London, 1993. Gempur Santoso, Fundamental Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Cetakan pertama: Juli 2005, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2005. Moedzakir, Djauzi, M.A, Desain dan Model Penelitian Kualitatif, Universitas Negeri Malang, 2010 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990. Purwoko, Bambang, Penelitian Kualitatif, Bahan Kuliah S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Universitas Gajah Mada, 2008. Siregar, Parluhutan. Teori dan Kerangka Konseptual, http://google.or.id//teori dalam penelitian kualitatif.htm. di akses September 2008 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2006 Widoyoko, EP, Analisis Kualitatif Dalam Penelitian Sosial, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo, 2007
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
| 69
Mengintegrasikan Soft Skill Dalam Pembelajaran Interaktif (Sebuah telaah kritis atas artikel ilmiah : Integrating Soft Skills Through Active Learning In The Management Classroom)
*)
Rusydan*) Dosen FKIP Unisla Lamonggan
Abstrak : Penerapan active learning yang merupakan suatu ide yang cemerlang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penerapan atribut soft skill di ruang kelas di Indonesia, misalnya, lebih banyak lagi tugas presentasi, diskusi kelompok, sampai role play. Dengan tujuan, semakin mengasah kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama. Hal ini penting sebagai aplikasi pendidikan yang bukan sekadar bagaimana dosen mengajar dengan baik (teacher centre learning), tapi bagaimana mahasiswa bisa belajar dengan baik (student centre learning). Lulusan Perguruan Tinggi kita dihadapkan pada kenyataan dan problematika masyarakat yang memerlukan ketangguhan kompetensi personal tinggi. Oleh karenanya diperlukan suasana pembelajaran di kelas yang berorientasi pada pengembangan soft skill mahasiswa. Kata kunci: Integrasi, soft skill, pembelajaran interaktif A.
Pendahuluan Permasalahan Pendidikan di Indonesia saat ini diungkapkan oleh Muchlas Samani dalam bukunya Menggagas Pendidikan Bermakna bahwa Pendidikan kita tampaknya terlalu teoritik, seperti di awang-awang, tidak membumi, dan memisahkan siswa dari kehidupan sehari-hari. Pendidikan kita tidak membekali siswa bagaimana mengahadapi kehidupan nyata di masyarakat. Lulusan perguruan tinggi hanya memiliki ijazah, namun tidak memiliki kompetensi. Akibatnya, mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dunia kerja. Sorotan tersebut terutama ditujukan kepada lulusan dari perguruan tinggi. Terdapat jurang yang lebar/gap (mismatch) antara lulusan di perguruan tinggi dengan dunia kerja yang memberikan pekerjaan. Menurut survei yang diterbitkan National Association of Colleges and Employers (NACE) di Amerika Serikat pada tahun 2002 dari hasil jajak pendapat 457 pengusaha, bahwa Indeks Prestasi (IP) hanya menempati urutan ke 17 dari 20 kualitas yang dianggap penting dari seorang lulusan universitas. Kualitas yang ada di peringkat atas justru merupakan kemampuan yang tidak terlihat (intengible) namun sangat diperlukan, seperti kemampuan berkomunikasi, integritas dan bekerjasama. Kemampuan tersebut dikenal dengan istilah soft skill. Berdasarkan pernyataan tersebut maka tulisan ini bermaksud untuk menelaah kritis atas artikel jurnal berjudul Integrating Soft Skills Through Active Learning In The Management Classroom. Sebuah artikel hasil penelitian yang dilakukan oleh Chynette NealyUniversity of Houston-Downtown dimuat dalamJournal of College Teaching & Learning Volume 2, Number 4 April 2005. Telaah kritis jurnal ini akan mengambil fokus teori yang digunakan, Kedua, telaah akan difokuskan pada metode, baik metode pelaksanaan training maupun metode analisa data. Dan yang terakhir telaah akan Volume 1 No. 2 Tahun 2013
mengulas sumbangan apa yang dapat diberikan dari artikel ini baik dalam konteks pengembangan ilmu maupun tataran praktis. B. Gambaran umum jurnal Kemampuan untuk menggunakan interpersonal skill merupakan hal yang sangat esensial dalam dunia kerja. Interpersonal skill, yang dianggap sebagai soft skill menunjuk pada kemampuan komunikasi, mendengarkan, penyelesaian masalah kelompok, hubungan antar budaya dan customer service. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pentingnya interpersonal skill dalam dunia bisnis dan industri. Dan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa soft skill menempati urutan teratas sebagai kemampuan yang dicari pada setiap pencari kerja. Data dari NACE pada job outlook 2000 menunjuk pada tiga top soft skill yang paling dibutuhkan yakni komunikasi verbal (4,61), teamwork (4,61) dan interpersonal (4,54). Hasil tersebut digunakan sebagai feedback dari dunia bisnis dan industri yang sering merasa kecewa dengan para sarjana atau lulusan yang dianggap kurang memiliki kemampuan tersebut. Data tersebut digunakan oleh para instruktur manajemen untuk memodifikasi kurikulum dan teknik pengajaran untuk mempersiapkan pemimpin bisnis masa depan dengan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja pada abad 21. Penelitian ini bertujuan untuk menguji active learning dan hubungannya dengan perkembangan soft skill dan mengukur signifikansi pengajaran dari para instruktur manajemen pada mahasiswa tahun pertama dan atau mahasiswa nontradisional. Yang kedua adalah menyediakan strategi belajar yang dapat diadaptasi di kelas dalam kuliah manajemen. Penelitian ini menggunakan populasi sebagai partisipasi yang menjadi sampel adalah 20 orang mahasiswa suatu universitas urban yang berasal dari 70 ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
orang mahasiswa di dua kelas manajemen. Terdiri dari 13 orang wanita dan 3 orang pria. 8 orang African American, 12 orang Hispanic. Berusia antara 25 sampai dengan 45 tahun. 5 orang tidak bekerja, 9 orang bekerja part time dan 6 orang bekerja full time. Tahapan Program penlitian terdiri dari 3 tahap. Pertama mahasiswa di beri kuliah dan diskusi tentang soft skill yang dibutuhkan dalam berbagai kondisi dan kepemimpinan. Ke dua diberi ujian tentang soft skill yang dibutuhkan pada dunia bisnis saat ini. Yang terakhir dibagi dalam 6 kelompok dan diberi tugas berupa studi kasus tentang 3 hal yakni (a) Communicaton and technology, partisipan diminta untuk menganalisa permasalahan yang berkait dengan komunikasi dan teknologi, seperti mengevaluasi jon application, membuat resume, memberikan peringatan dan pengumuman kepada karyawan, memimpin rapat, interview dan sebagainya. Tujuannya agar para partisipan tersebut memiliki keterampilan komunikasi baik personal maupun kelompok. (b) Human relations, partisipan diminta untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hambatan karena kesadaran budaya yang rendah dan diskriminasi. Tujuannya agar partisipan memiliki keterampilan mendengarkan dan memahami perbedaan budaya. (c) Records and information management, partisipan dihadapkan pada tantangan etik, dan diminta untuk mengembangkan kode etik berkaitan dengan komitmen perusahaan terhadap tanggung jawab dan kesadaran social. Tujuannya agar partisipan mampu mengembangkan kesadaran etik tentang soft skill yang dikembangkan diantaranya mengartikulasikan ide-ide, berfikir kritis, dan etika kerja yang merefleksikan tanggung jawab. Data dianalisa berdasarkan hasil laporan dari para partisipan baik secara lisan maupun tulisan, dan diresumekan secara deskriptif. Laporan tersebut berisi pengalaman partisipan menerapkan teori dalam praktek kerjanya dan menunjukkan bahwa partisipan telah mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan mengaplikasikan soft skil yang dibutuhkan dalam manajemen dan berpengaruh positif terhadap perilaku organisasi. Partisipan juga mampu menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang rasional serta mengembangkan rencana dan kelompok kerja yang kolaboratif. Di bawah ini adalah daftar soft skill yang dapat diidentisikasi dan dikembangkan oleh partisipan selama pelaksanaan kegiatan active learning: a. Mendapatkan kepercayaan diri b. Meningkatkan kemampuan komunikasi baik lisan maupun tulisan c. Keinginan yang besar untuk menerima ide dari orang lain d. Respek yang tinggi khususnya dari mahasiswa tradisional e. Mendapatkan kredibilitas berdasarkan pengalaman kerja f. Mahasiswa menghargai seniornya karena pengalaman hidupnya g. Mendapatkan pengalaman dan pemahaman tentang budaya lain h. Belajar mengenai aspek negatif dari stereotip
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 70
i. Belajar bahwa active learning informatif dan menyenangkan j. Berteman dengan yang lain meskipun orang tersebut kurang aktif di kelas k. Mengatasi rasa malu l. Belajar tentang teknologi dan aplikasinya m. Belajar untuk tidak setuju tanpa rasa marah. n. Mendapatkan kepercayaan bahwa tujuan dapat dicapai melalui pembimbingan baik oleh instruktur maupun sejawat. o. Mengenali pentingnya organisasi dan hubungan antar karyawan Proses yang telah dilalui oleh partisipan memberikan banyak keuntungan diantaranya partisipan belajar untuk beradaptasi dan menemukan metodenya sendiri untuk memahami materi perkuliahan. Beberapa implikasi yang dapat diambil dari penelitian tersebut adalah: a. Meneruskan penelitian tentang efektifitas active learning b. Para instruktur diharapkan selalu mengeksplorasi kesempatan untuk mengintegrasikan active learning dalam aktifitas perkuliahan. c. Kolaborasi antara akademisi dan praktisi untuk mengidentifikasikan soft skill dan kemampuan lain yang dibutuhkan oleh para karyawan. d. Struktur organisasi yang flat dan meningkatkan populasi mahasiswa menuntut adanya perubahan strategi mengajar yang masih tradisional dan up date kurikulum. Penelitian ini dilandasi oleh hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain, yakni : 1. Mishel and Bernstein (1994) yang menyatakan bahwa transformasi pada angkatan kerja yang berhubungan erat dengan perubahan-perubahan diantaranya mahasiswa non tradisional yang memasuki dunia perguruan tinggi. Berdasarkan data Departemen Pendidikan AS menunjukkan bahwa setengah dari mahasiswa tahun pertama berusia diatas 24 tahun, dan sepertiganya berusia di atas 35 tahun. 2. Kebutuhan untuk memperkecil skill gap dengan meningkatkan kemampuan para pekerja agar memiliki keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja yang global, kompetitif dan berteknologi. Keadaan tersebut membutuhkan transformasi metode pengajaran. Menurut Fink (1999) an Black (2002) untuk menjawab hal tersebut para pengajar perlu mengubah pengajaran yang bersifat tradisional ke model pembelajaran yang adaptif yang berfokus pada pendekatan yang terintegrasi dan lebih melibatkan siswa. 3. Allen (2000) menyatakan bahwa materi perkuliahan harus mengandung aktivitas pembelajaran yang bervariasi sehingga mahasiswa dapat berperan dalam budaya akademik dan memperkaya kehidupannya melalui proses sharing dengan para pengajarnya. 4. Giezkowski (1992) menyatakan bahwa instruktur yang mampu menyesuaikan diri dengan mahasiswa yang sudah matang (mature students) mengalami peningkatan dalam proses pengajaran dan kelasnya menjadi sangat dinamis, sebab mahasiswa tersebut ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
cenderung lebih fokusdalam menerapkan apa yang dipelajari, lebih bermotivasi, dan menunjukkan perilaku yang unggul. Pengalaman hidupnya memperkaya diskusi di kelas serta mendorong baik mahasiswa maupun pengajarnya untuk membandingkan antara teori dan realita. 5. Bean (1996), Sutherland and Bonwell (1996) dan Silberman (1996) active learning direkomendasikan untuk memperluas pemahaman dan interpersonal skill seperti komunikasi, penyelesaian masalah dan team work. 6. Lucas (1997) mengatakan bahwa active learning merupakan pendekatan simulasi atau game yang memiliki 4 karakteristik yakni (a) mencari arti dan pemahaman, (b) fokus pada tanggung jawab siswa, (c) menekankan pada keterampilan dan pengetahuan, (d) pendekatan terhadap kurikulum yang menempatkan lulusan pada setting sosial dan karir yang lebih luas. C. Telaah Kritis 1. Topik Artikel Topik artikel ini sangat menarik, mengingat bahasan mengenai soft skill saat ini sedang hangat dibicarakan. Jumlah lapangan pekerjaan dan pelamar kerja yang tidak sebanding membuat persaingan menjadi ketat. Tatapi kenyataannya banyaknya pelamar kerja tidak diimbangi dengan kualitas individual yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Berdasarkan laporan World Compettivenes Yerabook (2004), tingkat daya saing Sumber Daya Manusia Indonesia di limgkungan regoional ASEAN berada paling bawah. Misalnya Singapura berada di peringkat 2, Malaysia peringkat 16, Thailand peringkat 29 dan Filipina 52. Para pelamar kerja khususnya lulusan perguruan tinggi yang diharapkan memiliki kualitas personal yang unggul ternyata kurang tangguh, tidak jujur, cepat bosan, tidak bisa bekerja teamwork, sampai minim kemampuan berkomunikasi lisan dan menulis laporan dengan baik. Hal ini tidak terlepas dari peran PT yang idealnya sebagai pusat pengajaran, selama ini hanya menekankan pengajaran pada keahlian dan keterampilan fisik (hard skill) Padahal waktu terjun di DU/DI banyak aspek soft kill seperti kemampuan berkomunikasi yang baik, kejujuran, etos kerja tinggi, tahan banting dan aspek-aspek lain yang tidak di ajarkan tetapi sangat berperan dalam DU/DI tersebut. Soft Skill didefinisikan sebagai ―personal and interpersonal behaviors that develop and maximize human performance (e.g. coaching, team building, decision making, initiative). Menurut Patrick S. O'Brien dalam bukunya Making College Count, soft skill dapat dikategorikan ke dalam 7 area yang disebut Winning Characteristics, yaitu, communication skills, organizational skills, leadership, logic, effort, group skills, dan ethics. Kemampuan nonteknis yang tidak terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan itu, disebut soft skill. Dan survei dari National Association of College and Employee (NACE), USA (2002), kepada Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 71
457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting seorang juara. Hasilnya berturut-turut adalah kemampuan komunikasi, kejujuran/integritas, kemampuan bekerja sama, kemampuan interpersonal, beretika, motivasi/inisiatif, kemampuan beradaptasi, daya analitik, kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi, berorientasi pada detail, kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, indeks prestasi (IP >= 3,00), kreatif, humoris, dan kemampuan berwirausaha. 2. Teori yang digunakan Penelitian ini didasari pada hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh para peneliti terdahulu, diantaranya adanya kebutuhan praktis akan metode pembelajaran yang menjembatani antara kebutuhan dunia usaha dan pelaksanaan pengajaran di PT. Ketidakseimbangan pendidikan di ruang kuliah yang lebih bertumpu pada hard skill, tentu saja perlu segera diatasi, antara lain dengan memberikan bobot lebih kepada pengembangan soft skill. Implementasi soft skill tersebut dapat dilakukan baik melalui kurikulum maupun kegiatan ekstrakurikuler. Penerapan active learning yang digagas oleh Bean (1996), Sutherland and Bonwell (1996) dan Silberman (1996) merupakan suatu ide yang cemerlang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penerapan atribut soft skill di ruang kelas di Indonesia, misalnya, lebih banyak lagi tugas presentasi, diskusi kelompok, sampai role play. Dengan tujuan, semakin mengasah kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama. Hal ini penting sebagai aplikasi pendidikan yang bukan sekadar bagaimana dosen mengajar dengan baik (teacher centre learning), tapi bagaimana mahasiswa bisa belajar dengan baik (student centre learning). 3.
Sumbangan bagi dunia pendidikan
Artikel ini memiliki sumbangan yang cukup signifikan bagi perkembangan dunia pendidikan. Penelitian di Eropa menyebutkan, kesuksesan seseorang di dunia usaha 80% ditentukan oleh kemampuan softskill dan 20% kemampuan hardskill. Akan tetapi, didalam sistem pendidikan saat ini seperti di paparkan dalam Rakerwil Pimpinan PTS tahun 2006 bahwa 10 % adalah soft skills sedangkan 90 % adalah hard skills. Model pendidikan tinggi pada umumnya masih fokus pada keterampilan teknis (hard skill) 90 persen di bandingkan pengembangan kemampuan lunak (Soft skills) yaitu 10 persen. Sementara itu, National Association Of College and Employers (NACE) pada tahun 2005 melaporkan bahwa pada umumnya para pengguna lulusan membutuhkan keahlian kerja berupa soft skill 82 persen dan hard skill 18 persen. Oleh karena itu dibutuhkan adaptasi kurikulum untuk meningkatkan hasil belajar siswa yang berorientasi pada soft skill.
4. Kelemahan artikel Kelemahan dari artikel penelitian ini diantaranya adalah tidak mendasarkan pada teori-teori ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
tentang soft skill. Meskipun proses pembelajaran merupakan penekanan pada penelitian ini tetapi soft skill sebagai out come dari penelitian ini tetap harus dianalisa secara mendalam. Metodologi yang digunakan hanya bersifat deskriptif, sehingga tidak dapat disimpulkan apakah memang ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan sebelum dan sesudah penelitian. Akan lebih baik bila didesain dengan eksperimen dan digunakan kelompok control. Dengan demikian maka sample dapat diperbanyak dan lebih melibatkan banyak unsur budaya. Partisipan adalah orang African American dan Hispanic, tidak ada satupun orang Amerika asli, hal ini tentunya akan membawa dampak strereotip dan prejudice yang sangat tidak diharapkan. D. Penutup Kesimpulan Dari uraian yang telah disampaikan, maka dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama artikel jurnal internasional yang berjudul Integrating Soft Skills Through Active Learning In The Management Classroom yang dilakukan oleh Chynette NealyUniversity of Houston-Downtown dimuat dalamJournal of College Teaching & Learning Volume 2, Number 4 April 2005 sangat menarik untuk dijadikan kajian. Kondisi masyarakat di Indonesia khususnya angkatan kerjanya yang memiliki kualitas personal rendah, dapat menjadi cermin bahwa soft skill yang merupakan salah satu aspek penting dari kualitas personal seseorang masih belum mendapat perhatian. Dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi mestinya mampu merespon kondisi ini dengan merevisi kurikulum pendidikannya berikut pada metode
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 72
pembelajaran agar kondisi pembelajaran di kelas dapat menstimulasi munculnya kemampuan soft skil. Proses integrasi materi soft skill dalam mata kuliah dan praktek pengelolaan kelas menjadi keniscayaan bagi pendidik dalam memimpin pembelajaran yang pada gilirannya akan mampu menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang kompeten dibidangnya serta tangguh dalam menghadapi dinamika masyarakat global.
DAFTAR RUJUKAN As‘ad, M. 1986. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberti Daft, R.I. 1986.Organization: A Micro/Macro Approach. Glenview, Illinois: Scot, Foresman and Company. Hughes, R.J. & Kapoor J.R. 1976. Business. Boston: Houghton Mifflin Company. Luthan, F. 1985. Organizational Behavior(4th ed), Singapore: Mc Graw Hill Book Company. Moore, G.W.1983. Developing and Evaluating Educational Research. Toronto: Little Brown & Company (Canada) Limited. Owens, R.G. 1991. Organizational Behaviourin Education (4th ed). London: Prentice Hall International Inc. Santoso, Slamet. Integrasi Soft Skill Mahasiwa di Perkuliahan;Langkah letih Pengembangan dan Pendekatan Pendidikan di PT. (slametsantoso.multiply.com/journal/item/6 124k. diakses tanggal 26 Oktober 2008) Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
| 73
Upaya Meningkatkan Produktivitas Menulis Melalui Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Mahasiswa STKIP PGRI Lamongan Abd. Ghofur* *)
Tenaga Pengajar di STKIP PGRI Lamongan
Abstrak Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan produktivitas menulis Mahasiswa di STKIP PGRI Lamongan.Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan observasi terkait tingkat produktivitas menulis mahasiswa. Hasil observasi menunjukan bahwa tingkat produktivitas menulis mahasiswa masih minim, walaupun ada, itupun masih banyak unsur copy paste. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan terhadap kelas tersebut. Tindakan penelitian dengan strategi pembelajaran berbasis masalah ini dilakukan dalam dua siklus. Siklus yang pertama kelas dibuat dalam bentuk kelompok. Hasil siklus pertama cukup baik, cuma masih belum merata untuk masing-masing individu. Hasil evaluasi dan refleksi menunjukan perlu tindakan pada siklus kedua. Pada tahapan ini hasil evaluasi menunjukan bahwa masing-masing individu mampu membuat karya tulis orisinil sesuai masalah yang dikaji. Kata Kunci: Produktivitas Menulis, Strategi pembelajaran berbasis masalah.
PENDAHULUAN Menulis penting bagi kehidupan manusia. Sebab menulis merupakan proses berpikir, kegiatan berkomunikasi, serta merupakan kemampuan yang perlu dimiliki seorang pembelajar, terutama mahasiswa (Yuningtyas, 2010). Kemampuan menulis memiliki peran penting dalam keberhasilan mahasiswa untuk menyelesaikan studinya. Beberapa pembelajaran dalam perkuliahan, menuntut mahasiswa dapat menghasilkan sebuah tulisan. Bahkan, di akhir masa studinya, mahasiswa harus membuat laporan penelitian. Namun, aktivitas menulis di kalangan mahasiswa dapat dikatakan belum berjalan baik. Hal ini disebabkan menulis dianggap kegiatan yang sulit dan kurangnya kesadaran membaca di kalangan mahasiswa untuk meningkatkan kualitas tulisan mereka (Yuningtyas, 2010). Ini bukan perkara biasa. Sayang, tak semua orang menganggap penting hal ini. Akademisi tak terampil berkarya tulis, sungguh sebuah ironi. Harus ada upaya luar biasa yang mesti dilakukan agar budaya baca tulis marak di masyarakat kampus. Produktivitas dalam berkarya tulis idealnya menjadi ciri khas dari kehidupan masyarakat ilmiah di lingkungan kampus. Dalam konteks kekinian, tidak perlu malu mengakui, kaum intelektual Indonesia belum produktif berkarya tulis. Di Malaysia, rata-rata per tahun terbit sekitar 6.000 sampai 7.000 judul buku baru. Sementara di Indonesia baru terbit sekitar 4.000 sampai 5.000 judul buku baru (Sapa'at, 2012). Ironisnya, hal ini tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih besar 10 kali lipat dari jumlah penduduk Malaysia. Idealnya, 60.000 judul buku baru setiap tahunnya muncul di pasaran, buah pemikiran dari 61.889 dosen berkualifikasi magister dan 12.081 dosen berkualifikasi doktor di PTN dan PTS seluruh Indonesia. Dengan perhitungan seperti itu, untuk mengejar Malaysia saja, setiap dosen di Indonesia harus menulis satu buku setiap tahunnya (Sapa'at, 2012).
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
Bagaimana dengan produktivitas menulis para mahasiswa di Indonesia? Hampir bernasib sama dengan para dosennya, memprihatinkan. Prof. Alwasilah dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 16 responden etnografis (mahasiswa S1, S2, S3) di kampus Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, mayoritas responden menilai bahwa pendidikan nasional Indonesia tidak membekali mahasiswa dengan kemampuan menulis paper (75%), tidak mengajari kemampuan berpikir kritis (68%), dan menulis paper merupakan tugas akademik yang paling sulit (75%) (Sapa'at, 2012). Kondisi ini menuntut keprihatinan, lantaran pegiat pendidikan yang seharusnya giat menelurkan karya tulis sepertinya dalam kondisi mlempem. Memang kondisi ini tidak bisa dilihat dari sudut pandang sepihak saja. Namun butuh kajian yang sistematis untuk bisa menggenjot produktivitas menulis dikalangan pegiat pendidikan, khususnya para mahasiswa. Mengacu pada latar belakang masalah diatas, rumusan masalah penelitian tersebut yakni apakah Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan produktivitas menulis Mahasiswa STKIP PGRI Lamongan?. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan produktivitas menulis Mahasiswa STKIP PGRI Lamongan. Menurut Rusydiawan (2011) Produktivitas dapat digambarkan dalam dua pengertian yaitu secara teknis dan financial. Pengertian produktivitas secara teknis adalah pengefesiensian produksi terutama dalam pemakaian ilmu dan teknologi. Sedangkan pengertian produktivitas secara financial adalah pengukuran produktivitas atas output dan input yang telah dikuantifikasi.Suatu perusahaan industry merupakan unit proses yang mengolah sumber daya (input) menjadi output dengan suatu transformasi tertentu. Dalam proses inilah terjadi penambahan nilai lebih dibandingkan sebelum proses, sehingga produktivitas dapat diukur berdasarkan pengukuran berikut: ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Produktivitas = Output yang dihasilkan / Input yang dipergunakan; Pencapaian Tujuan / Penggunaan sumber-sumber daya; Efektivitas pelaksanaan tugas / Efisiensi penggunaan sumber daya; Efektivitas / Efisiensi. KAJIAN TEORI Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM) dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat tiga ciri utama dari SPBM. Pertama, SPBM merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasinya SPBM ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan mahasiswa. SPBM tidak mengharapkan siswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui SPBM siswa aktif berfikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. SPBM menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berfikir secara ilmiah. Berfikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berfikir deduktif dan induktif. Proses berfikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berfikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu: sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas, (Sanjaya, 2008). Arends (Hipni, 2011) menyatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik, sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri. Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu dan meningkatkan keterampilan berpikirkritis dan menyelesaikan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting. Pendekatan pembelajaran Berbasis Masalah ini mengutamakan proses belajar dimana tugas dosen harus memfokuskan diri untuk membantu mahasiswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan masalah penggunaannya di dalam tingkat berpikir lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar (Nurhayati Abbas dalam Hipni, 2011). Dosen dalam model pembelajaran berdasarkan masalah berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukan masalah dan pemberi fasilitas penelitian. Selain itu dosen menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inquiri dan intelektual mahasiswa. Pembelajaran berdasarkan masalah hanya dapat terjadi jika dosen dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan. Pembelajaran berdasarkan masalah juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan aktivitas belajar mahasiswa, baik secara individual maupun secara kelompok. Di sini guru berperan sebagai pemberi
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 74
rangsangan, pembimbing kegiatan siswa, dan penentun arah belajar siswa (Nurhayati Abbas dalam Hipni, 2011). Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa sebagai hasil penyelidikan mereka. Penilaian proses dapat digunakan untuk menilai pekerjaan siswa tersebut, penilaian itu antara lain asesmen kenerja, asesmen autentik dan portofolio. Penilaian proses bertujuan agar guru dapat melihat bagaimana siswa merencanakan pemecahan masalah melihat bagaimana siswa menunjukkan pengetahuan dan keterampilan. Karena kebanyakan problema dalam kehidupan nyata bersifat dinamis sesuai perkembangan jaman dan konteks/lingkungannya, maka perlu dikembangkan model pembelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif mengembangkan kemampuannya untuk belajar (Learning how to learn). Dengan kemampuan atau kecakapan tersebut diharapkan siswa akan mudah beradaptasi (Nurhayati Abbas dalam Hipni, 2011). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa semester V Prodi Pendidikan Ekonomi dan PPKn STKIP PGRI Lamongan. Proses penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dimulai pada bulan November 2012 sampai dengan Januari 2013. Dalam prakteknya penelitian ini terbagi dalam dua siklus. Sebagai langkah awal peneliti melakukan pengumpulan data yang obyektif, sehingga data yang dihasilkan bukan sekedar asumsi atau data yang bersifat subyektif. Pada siklus pertama dimulai pada minggu pertama bulan November 2012 sampai minggu pertama bulan Desember 2012. Kemudian dilanjutkan dengan siklus kedua dengan konsep dan format yang hampir sama dengan siklus pertama, cuma ada beberapa hal yang membedakanya. Pada siklus kedua ini konsep dan pelaksanaan sudah mulai matang karena peneliti sudah mengantongi data dan informasi terkait objek yang menjadi penelitian, sehingga bisa dijadikan acuan. Sikluss kedua ini dilaksanakan pada minggu keempat bulan Desember 2012 sampai minggu kedua bulan Januari 2013. Setiap siklus memuat perencanaan atau revisi perencanaan, pelaksanaan tindakan dan observasi, evaluasi dan diakhiri dengan refleksi. Pada siklus pertama membutuhkan waktu yang relatif lama, hal ini dikarenakan Perencanaan yang ada pada siklus pertama memuat secara umum seluruh siklus. Perencanaan atau revisi perencanaan pada siklus kedua membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat.
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Perencanaan Umum
Perencanaan Ulang
Tindakan dan observasi
Tindakan dan observasi Evaluasi 2 Evaluasi 1 Penyusunan Laporan
Refleksi
Gambar 1: Pelaksanaan Penelitian Tindakan Pada siklus satu terdiri dari tiga tindakan yaitu tindakan pertama, kedua, dan ketiga. Ketiga tindakan pada siklus satu dilaksanakan setiap jam mata kuliah strategi belajar mengajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Kemudian pelaksanaan tindakan observasi bersamaan dengan pelaksanaan siklus. Sedangkan evaluasi dilaksanakan dua kali. Untuk melengkapi siklus pertama dilakukan refleksi sebagai bahan renungan atas segala aktivitas yang telah dilaksanakan pada siklus pertama. Pada siklus pertama dibuat dalam bentuk kelompok berdasar asumsi-asumsi peneliti dan hasil pengamatan serta wawancara lepas dengan beberapa mahasiswa yang menjadi sasaran penelitian. Hasil pengumpulan data awal terkait kemampuan mahasiswa, kemudian peneliti membuat daftar kelompok sesuai kemampuan siswa yang dengan sistim heterogen, sehingga dalam setiap kelompok saling melengkapi antara personil masing-masing kelompok. Peneliti membagi kelas yang berjumlah 21 mahasiswa menjadi 4 kelompok. Pada siklus kedua mahasiswa dianggap sudah mumpuni dan mandiri dalam membuat karya tulis menggunakan Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah dengan sistim individu. Observasi yang dilakukan selama proses pembelajaran menggunakan Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah pada tahapan pertama yang menggunakan sistim kelompok adalah dengan mengamati interaksi antar anggota tiap kelompok dalam berbagi peran menyelesaikan tugas. Beberapa hal yang menjadi bahan observasi adalah 1) Sistematika Tulisan, 2) Penggunaan tata bahasa, 3) Substansi tulisan dengan masalah, 4) Orisinilitas tulisan. Beberapa kriteria yang menjadi bahan observasi karena menjadi tolok ukur pelaksanaan pembelajaran tahap selanjutnya. Observasi pada tahapan kedua menggunakan sistim individu, komponen pengamatan sama dengan yang ada pada sistem kelompok. Pada tahapan ini diharapkan menjadi tolok ukur peningkatan produktivitas mahasiswa dalam menulis karya tulis menggunakan Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah. Volume 1 No. 2 Tahun 2013
Refleksi penelitian dilakukan dalam rangka untuk melihat lebih detail pelaksanaan selama proses tindakan pembelajaran, segala tindakan yang sudah dirancang dan dilaksanakan apakah sudah berjalan secara efektif dan optimal apa belum, sehingga bisa dirumuskan beberapa strategi yang lebih tepat dalam proses tindakan selanjutnya. Refleksi ini dilakukan setelah berakhirnya siklus kesatu, tepatnya setelah selesai proses evaluasi pertama. Secara umum refleksi ini dilakukan untuk melihat produktivitas karya tulis mahasiswa menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah.
Tabel 1. Hasil Evaluasi Siklus I Kriteria Kelompok
Satu
80
85
76
80
Dua
79
82
74
75
Tiga
85
75
80
86
Empat
87
90
78
88
Lima
95
87
80
80
Substansi tulisan dengan masalah Orisinilita s tulisan
Penggalian Data Awal
SIKLUS 2
Pengguna an tata bahasa
SIKLUS 1
Evaluasi ini dilakukan sebagai wujud penilaian dan koreksi dari metode yang dipakai. Evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan tes dan form penilaian yang sudah dimodifikasi peneliti. Hal ini dilakukan sebagi pedoman dan acuan seberapa efektif pembelajaran menggunakan metode ini. Evaluasi ini dilakukan dua kali, Evaluasi pertama dilakukan setelah berakhirnya siklus pertama, sedangkan evaluasi kedua dilaksanakan pada siklus kedua.
Sistematik a Tulisan
Adapun skema siklus dapat dilihat sebagaimana bagan dibawah ini.
| 75
Beberapa instrumen penelitian yang digunakan dalam rangka mengumpulkan data untuk menjawab rumusan masalah adalah; (1) Instrumen Pengamatan, (2) Instrumen Angket sebelum dan sesudah pembelajaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus pertama, mahasiswa dibuat dalam bentuk kelompok. Setiap kelompok mendapatkan materi tentang teknik menulis dan pengembangannya. Namun sebelum pembelajaran dimulai, mereka diberikan angket untuk mengetahui kondisi awal mahasiswa. Hasil pemberian angket diketahui bahwa 80% dari seluruh mahasiswa belum pernah membuat karya tulis. Kemudian 85% mahasiswa kesulitan untuk membuat karya tulis. Lalu, 30% yang mengetahui penggunaan kosa kata dan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selama empat kali pertemuan dalam melakukan tindakan, ada beberapa perkembangan yang cukup ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
signifikan. Hasil observasi menunjukan bahwa 85% mahasiswa mampu membuat karya tulis sederhana dengan Strategi belajar berbasis masalah. Setelah dirasa cukup melakukan tindakan, langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi. Hasil evaluasi menunjukan bahwa mahasiswa yang tergabung dalam kelompok mampu membuat karya tulis sederhana sesuai kriteria yang diharapkan. Langkah berikutnya adalah melakukan refleksi, dimana hasilnya adalah melakukan tindakan lagi dalam siklus kedua. Sebab, secara kelompok mereka mampu membuat karya tulis, namun secara individu belum terbukti. Siklus kedua, mahasiswa sudah melakukan kegiatan secara individu. Mereka diberikan tindakan sama seperti pada siklus pertama. Hasil observasi yang dilakukan saat tindakan berlangsung cukup signifikan. Tercatat, ada 80% mahasiswa mampu membuat karya tulis sederhana secara mandiri dan orisinil. Setelah melakukan tiga kali tindakan, hasilnya cukup memuaskan. Pada tahap evaluasi, para mahasiswa 90% sudah mampu mengembangkan dan membuat karya tulis. Setidaknya, dalam dua siklus, mereka telah menghasilkan dua kali karya tulis. Sehingga intensitas menulis akan terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas menulis mereka. SIMPULAN Berdasarkan hasil tindakan dan observasi dalam penelitian dapat disimpulkan bahwa strategi belajar berbasis masalah mampu meningkatkan produktivitas menulis mahasiswa. Hal ini didasarkan pada tingkat keberhasilan mahasiswa menghasilkan karya tulis. Sebab, sebelumnya mereka kesulitan membuat karya tulis, walaupun ada, lebih pada copy paste. Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Sebab, pada siklus pertama hasilnya belum menyeluruh. Sebab, pada siklus pertama dilakukan dalam bentuk kelompok.
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 76
Pada siklus yang kedua, para mahasiswa telah mampu membuat karya tulis secara mandiri dan orisinil. Sehingga kesimpulannya, strategi belajar berbasis masalah mampu mengupayakan peningkatan produktivitas menulis mahasiswa yang mengambil mata kuliah Media Pembelajaran semester V Prodi Ekonomi dan PPKn STKIP PGRI Lamongan. DAFTAR PUSTAKA Hipni. Rohman. 2011. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah [online] (http://hipni.blogspot.com/2011/09/strategipembelajaran-berbasis-masalah.htm , diakses tanggal 03 Januari 2013) Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Sapa'at. Asep. 2012. Akademisi Miskin Karya Tulis, Tanya Mengapa?, [online] (http://www.kesekolah.com/artikel-danberita/berita/akademisi-miskin-karya-tulis-tanyamengapa.html, diakses tanggal 26 Desember 2012) Sopa, Ikhwan. 2012. Definisi Produktivitas, [online] (http://produktivitas.qacomm.com/blog/definisiproduktivitas.html, diakses tanggal 26 Desember 2012) Yuningtyas, A. F. 2010. Pengaruh penerapan strategis sisnacalisting terhadap kemampuan menulis artikel mahasiswa. Skripsi prodi bahasa dan sastra Indonesia jurusan sastra indonesia fakultas sastra Universitas Negeri Malang: diterbitkan. Rusydiawan, Imaniar. 2011. Meningkatkan Produktivitas Produksi dengan Optimalisasi Sistem Infrastruktur TI Menggunakan Metoda IT Balanced Scorecard. Thesis Magister Teknik Elektro, Universitas Mercu Buana: diterbitkan.
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
| 77
Akibat Hukum Pengangkatan Anak Jatmiko Winarno *) *) Dosen Fakultas Hukum Unisla
ABSTRAKSI Anak merupakan amanat sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga serta dilindungi karena dalam diri seorang anak melekat harkat, martabat dan hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi keberadaannya. Perlindungan hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Perlindungan terhadap anak menjadi penting karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Pengangkatan anak tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). KUHPerdata hanya mengatur ketentuan tentang pengakuan anak di luar kawin yang diatur dalam Buku I Bab XII bagian ketiga, tepatnya pada Pasal 280 sampai Pasal 289. Mengingat meningkatnya kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak dan kultur budaya masyarakat telah lama mempraktikkan pengangkatan anak, maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsbald 1917 No.129 yang isinya mengatur secara khusus mengenai lembaga pengangkatan anak yang termuat dalam Bab II pasal 5 sampai dengan pasal 15 yang lebih dikenal dengan istilah adopsi. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan permasalahan yaitu Bagaimana syarat dan tata cara pengangkatan anak? Dan Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak? Kata kunci : anak angkat, akibat hukum A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga serta dilindungi karena dalam diri seorang anak melekat harkat, martabat dan hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi keberadaannya. Perlindungan hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Perlindungan terhadap anak menjadi penting karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Volume 1 No. 2 Tahun 2013
Tahun 1983 disamping menjadi pedoman bagi hakim-hakim di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia dalam hal menerima, memeriksa dan memutus permohonan pengesahan pengangkatan anak juga merupakan produk hukum yang dibentuk guna melengkapi peraturan perundang-undangan yang tidak mencukupi dalam hal pengaturan mengenai pengangkatan anak. Selain itu pada kenyataannya, cara pemeriksaan maupun bentuk serta isi pertimbangan dalam putusan Pengadilan Negeri di bidang pengangkatan anak menunjukkan adanya kesalahan-kesalahan yang kurang menguntungkan. Padahal sangat diharapkan dari putusan-putusan semacam itu merupakan faktor yang determinan (menentukan). Permohonan pengangkatan anak berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 dibedakan antara: 1. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak antar-WNI (Domestic Adoption); 2. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat WNI (Intercountry Adoption); dan 3. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat WNA (Intercountry Adoption). Sedangkan putusan terhadap permohonan tersebut menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Penetapan : dalam hal pengangkatan anak ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
tersebut terjadi antar-WNI(Domestic Adoption). 2. Putusan : dalam hal anak yang diangkat oleh orang tua angkat WNI berstatus WNA atau dalam hal anak yang diangkat tersebut berstatus WNI diangkat oleh orang tua angkat WNA (Intercountry Adoption). Mengenai akibat hukum pengangkatan anak di Pengadilan Negeri, Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak menyatakan bahwa isi putusan dalam pertimbangan hukum hendaknya jangan dilupakan hukum apa yang diterapkan. Pada umumnya dalam hal ini diterapkan hukum dari pihak yang mengangkat, kadang-kadang diperlukan perhatian juga terhadap adanya segi-segi dari hukum antargolongan yang disebabkan oleh perbedaan suku atau golongan, mungkin peleburan.
mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya sendiri.6 Oleh sebab itu, diaturlah kctentuan mengenai pengangkatan anak (adopsi) yang berlaku bagi masyarakat dalam Staatsblad 1917 No.129 khususnya Bab II. Pengertian pengangkatan anak tidak ditemukan dalam pasal-pasal Staatsblad tersebut untuk mengetahui pengertian pengangkatan anak dapat dibaca dalam pasal-pasalnya, antara lain Pasal 5 yang menyatakan sebagai berikut : 1. Apabila seorang laki-laki, beristri atau telah pernah beristri, tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran, maupun keturunan karena pengangkatan, maka bolehlah ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya. 2. Pengangkatan yang demikian harus dilakukan oleh si orang laki-laki tersebut bersama-sama dengan istrinya, atau jika dilakukannya setelah perkawinannya bubar, oleh dia sendiri. 3. Apabila kepada seorang perempuan janda, yang tidak telah kawin lagi. oleh suaminya yang telah meninggal dunia, tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagaimana termaksud dalam ayat kesatu pasal ini, maka boleh pun ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya. Jika sementara itu si suami yang telah meninggal dunia, dengan surat wasiat telah menyatakan tak menghendaki pengangkatan anak oleh istrinya, maka pengangkatan itu pun tak boleh dilakukannya. Ketentuan pasal tersebut mengatur mengenai calon orang tua angkat. Sedangkan anak angkat dapat diketahui dari Pasal 6 Staatsblad 1917 No.129 yang menyatakan sebagai berikut : Yang boleh diangkat hanya orang-orang Tionghoa lakilaki yang tak beristri pun tak beranak, dan tidak telah diangkat oleh orang lain. Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut pengertian pengangkatan anak (adopsi) berdasarkan Staatsblad 1917 No.129 adalah pengangkatan anak Tionghoa laki-laki oleh seorang laki-laki beristri atau pernah beristri atau seorang janda cerai mati, tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis baik karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan, yang berakibat hukum anak yang diangkat mendapat nama keluarga yang mengangkat, berkedudukan sebagai anak sah, putus segala hubungan perdata dengan keluarga asalnya, tidak mewaris dari keluarga sedarah asalnya dan mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengangkatnya.
B. Tujuan Penelitian 1. Untuk mngetahui bagaimana syarat dan tata cara pengangkatan anak. 2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum pengangkatan anak.
II. Kajian Teori Pengertian pengangkatan anak ada bermacammacam, masing-masing pakar mengemukakan pendapatnya sendiri-sendiri bedasarkan ketentuanketentuan yang terdapat dalam hukum adat, agama dan kepercayaan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kita hingga kini tidak mengenal adanya lembaga pengangkatan anak (di negara asalnya telah terjadi perkembangan bahwa B.W. Nederland sekarang telah mengenal lembaga adoptie)4. Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang perkawinan sebagai bentuk hidup bersama bukan untuk mengadakan keturunan.5 Selain dalam hukum adat, pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad 1917 No.129, khususnya Bab II. Di dalam Staatsblad tersebut pengangkatan anak dikenal dengan istilah adopsi. Adapun Hal yang menjadi latar belakang diaturnya lembaga pengangkatan anak (adopsi) dalam Hukum Perdata Barat adalah Kitab Undangundang Hukum Perdata diberlakukan pula untuk golongan Tionghoa dimana masyarakat mengenal adanya pengangkatan anak (adopsi). Menurut tradisi mereka, dalam keluarga harus ada anak lakilaki untuk melanjutkan keturunan dalam garis keturunan lurus laki-laki. Karena, hanya anak yang wajib memelihara kuburan dan sembahyang abu untuk nenek moyang. Oleh karena itu, jika tidak ada keturunan laki-laki maka seyogyanya
Tujuan Pengangkatan Anak Hakikat dari suatu perkawinan adalah bertujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam masyarakat suatu keluarga dianggap sebagai keluarga yang lengkap apabila keluarga tersebut terdiri dari suami, istri dan anak. Namun pada
4
Soetojo Prawirohamijojo, 2000, Hukum Orang dan Keluarga (Personen En Familie-Recht), Surabaya : Airlangga University Press, hal. 194. 5 Ali Afandi, 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta, hal.149. Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 78
6
Soetojo Prawiroharridjojo, Op cit, hal. 194. ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
kenyataannya banyak keluarga yang tidak lengkap atau dengan kata lain tidak memiliki anak. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, mungkin karena belum mempunyai anak atau bahkan karena pasangan suami istri tersebut memang tidak dapat memiliki anak. Berdasarkan hal tersebut, maka pengangkatan anak merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan tersebut. Imam Sudiyat dalam bukunya mengatakan bahwa pengangkatan anak tidak hanya dilakukan oleh keluarga yang tidak memiliki anak, tetapi tidak jarang pengangkatan anak juga dilakukan oleh keluarga yang sudah mempunyai anak. Dari hal tersebut diketahui bahwa bukan hanya pasangan suami istri yang tidak rnempunyai anak saja yang dapat melakukan pengangkatan anak, namun mereka yang telah mempunyai anak pun dapat pula melakukan pengangkatan anak.7 Pasal 5 ayat (1) Staatsblad 1917 No.129 mengatakan bahwa, "Bila seorang laki-laki yang kawin atau pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki naik karena perhubungan darah maupun karena pengangkatan anak, dapat mengangkat seorang sebagai anak laki-lakinya. Dari ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa yang mendorong seorang untuk mengangkat anak (mengadopsi) adalah karena tidak mempunyai anak laki-laki dalam keluarganya. Hal tersebut disebabkan Staatsblad tersebut menganut filosofi dan budaya masyarakat keturunan Tionghoa yang didasarkan adat istiadat dan kepercayaan mereka. Pengangkatan anak lakilaki dimaksudkan untuk melanjutkan pemujaan kepada leluhur yang hanya dapat dilakukan oleh seorang anak laki-laki. Selain itu, pengangkatan anak laki-laki juga untuk mempertahankan garis keturunan karena masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Sehingga apabila mereka tidak mempunyai seorang anak laki-laki mereka akan berusaha mendapatkannya dengan jalan mengangkat anak laki-laki. Dalam hukunn adat, tujuan dari pengangkalan anak tersebut dibedakan dari masingmasing daerah. Hal tersebut didasarkan pada sistem kekeluargaan yang dikenal dalam masyarakat Indonesia yaitu, patrilineal, matrilineal dan parental. Namun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak menunjukan adanya persamaan diantara sistem kekeluargaan satu dengan sistem kekeluargaan yang lain. Sifat kesamaan dalam hukum adat tetaplah sama. Isti Sulistyorini berpendapat bahwa tujuan pengangkatan anak sangat bervariasi, antara lain: 1. Karena tidak mempunyai anak. 2. Karena belas kasihan. 3. Karena hanya mempunyai anak laki-laki maka diangkatlah anak perempuan dan sebaliknya.
4.
Sebagai upaya memancing agar segera mempunyai anak karena, lama tidak mengandung. 5. Untuk mempererat tali persaudaraan. 6. Untuk menambah/membantu dalam usaha. 7. Karena unsur budaya.8 Motivasi yang beragam tersebut disebabkan karena keberagaman suku, adat dan kebiasaan di Indonesia. Terlaksananya proses pengangkatan anak tersebut tidak terlepas dari parapihak baik orang tua kandung maupun orang tua angkat. Para pihak mempunyai latar belakang yang mendasari pelaksanaan pengangkatan anak tersebut. Ikut sertanya orang tua kandung dalam pelaksanaan pengangkatan anak antara lain disebabkan oleh: a. Merasa tidak mampu untuk membesarkan anaknya; b. Melihat adanya kesempatan untuk meringankan beban oleh karena ada yang ingin mengangkat anak; c. Adanya imbalan pada persetujuan anak kandungnya diangkat oleh orang tua angkat; d. Nasib atau pandangan orang lain disekelilingnya; e. Ingin anaknya tertolong material selanjutnya; f. Masih mempunyai anak lainnya; g. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendiri; h. Merasa bertanggung jawab atas masa depan anaknya; i. Tidak menghendaki anak yang dikandungnya karena hubungan yang tidak sah.9 Pada mulanya pengangkatan anak mengandung maksud untuk memenuhi kebuluhan dan kepentingan orang tua yang mengangkat anak yang antara lain untuk memperoleh anak dalam hal orang tua angkat tersebut tidak mempunyai anak. Namun dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat, pengangkatan anak dilaksanakan dengan maksud dan tujuan tidak lagi semata-mata untuk kepentingan orang tua angkat lagi tetapi demi kesejahteraan dan masa depan anak. Ketentuan mengenai pengangkatan anak yang terdapat dalam Surat Edaran Mahkamat Agung No.6 Tahun 1933 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979, Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Undang-undang No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menunjukkan kesungguhan untuk mewujudkan pelaksanaan pengangkatan anak yang didasarkan pada tujuan kesejahteraan anak. Pada Surat Edaran Mahkamah Agung No.61 Tahun 1983, perwujudan pengangkatan anak dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan 8
7
Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat dan Sketsa, Yogyakarta: Liberty, hal. 102. Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 79
Isti Sulistyorini, Loc.Cit. Arif Gosida. 1985. Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademika, hal. 26. 9
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
anak tercermin dari proses pemeriksaan terhadapan pengangkatan anak tersebut. Dalam hal tersebut, hakim-hakim pengadilan harus memperoleh gambaran yang benar tentang motivasi pengangkatan anak, hak dari pihak yang akan melepaskan anak maupun pihak yang akan mengangkat anak. Apabila diketahui ada alasan dari para orang tua angkat dalam pelaksanaan pengangkatan anak tersebut yang menyebabkan berkurangnya jaminan kesejahteraan terhadap calon anak angkat, maka dapat dijadikan alasan bagi hakim untuk menolak pengangkatan anak tersebut. Pengangkatan anak yang didasarkan pada pengutamaan kesejahteraan anak ini didorong oleh keinginan mewujudkan hak-hak anak seperti yang tertuang dalam "Declaration of theRight of The Child" (Deklarasi Hak-Hak Anak) yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1959. Tujuan pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dipertegas dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan unian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak ada bermacam-macam. Tujuan pengangkatan anak (adopsi) bagi orang Tionghoa sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1917 No.129 adalah untuk meneruskan keturunan laki-laki. Tujuan pcngangkatan anak menurut hukum Adat bersifat variatif. Menurut hukum Islam, pengangkatan anak bertujuan sebagai suatu amal yang baik. Sedangkan pengangkatan anak menurut peraturan perundangundangan yang berlaku bertujuan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Macam- macam Pengangkatan Anak Musthofa Sy. dalam bukunya mengelompokan pengangkatan anak berdasarkan beberapa kategori, diantaranya kewarganegaraan orang tua angkat, status perkawinan calon orang tua angkat, keberadaan anak yang akan diangkat dan akibat hukum pengangkatan anak. Dilihat dari kewarganegaraan orang tua angkat, pengangkatan anak dibedakan menjadi dua macam, yaitu pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (domestic adoption) dan pengangkatan anak internasional (intercountry adoption). Domestic adoption adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua angkat WNI terhadap anak angkat WNI. Sedangkan intercountry adoption adalah pengangkatan anak, yang dilakukan oleh orang tua angkat WNI terhadap anak angkat WNA atau pengangkatan anak yang
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 80
dilakukan oleh orang tua angkat WNA terhadap anak angkat WNI.10 Dilihat dari status perkawinan calon orang tua angkat, pengangkatan anak dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat berstatus belum kawin (single parent adoption), pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat berstatus kawin dan pengangkatan anak yang dilakukan oleh janda atau duda (posthurrus adoption).11 Dilihat dari keberadaan anak yang akan diangkat, pengangkatan anak dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan terhadap calon anak angkat yang berada dalam kekuasaan orang tua kandung atau orang tua asal (private adoption), pengangkatan anak yang dilakukan terhadap calon anak angkat yang berada dalam organisasi social (non private adoption) dan anak angkat yang tidak berada dalam kekuasaanorang tua asal maupun organisasi sosial misalnya anak yang ditemukan karena dibuang oleh orangtuanya.12 Dilihat dari akibat hukum pengangkatan anak, dalam kepustakaan hukum biasanya membedakan pengangkatan anak menjadi dua macam, yaitu pengangkatan anak berakibat hukum sempurna (adoption plena) dan pengangkatan arak berakibat hukum terbatas (adoption minus plena).13 Berdasarkan uraian di atas, jika dilihat dari akibat hukumnya, maka pengertian pengangkatan anak (adopsi) berdasarkan Staatsblad 1917 No. 1129 dapat dimasukan ke dalam pengangkatan anak berakibat hukum sempuma (adoption plena). Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat bersifat variatif, sehingga pengangkatan anak menurut hukum adat ada yang termasuk pengangkatan anak berakibat hukum sempurna (adoption plena) dan ada pula vang termasuk pengangkatan anak berakibat hukum terbatas (adoption minus plena). Sedangkan pengangkatan anak menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undang yang berlaku dapat dimasukan ke dalam pengangkatan anak berakibat hukum terbatas (adoption minus plena). Dasar Hukum Pengangkatan Anak Pengangkatan anak melibatkan peran pengadilan diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Staatsblad 1917 No.l29. pengadilan mempunyai kewenangan untuk memberi izin pengangkatan anak bagi janda cerai mati apabila izin dari keluarga mendiang suaminya tidak diperoleh izin pengadilan itu harus disebutkan dalam akta pengangkatan anak. Ketentuan yang membolehkan janda cerai mati untuk melakukan pengangkatan anak adalah 10
Musthofa Sy., Op.cit. hal. 42. Ibid 12 Ibid 13 Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, 1983, Sendisendi Hukum Perdata International, Jakarta: Rajawali, hal. 44-45. 11
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
pengecualiaan dengan beberapa syarat sebagrimana Pasal 5 ayat (3) Staatsblad tersebut mengatur. Syarat lain bagi jauda perlu mendapatkan kata sepakat dari saudara laki-laki yang telah dewasa dan ayah mendiang suaminya lebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4). Apabila izin dari keluarga mendiang suaminya tidak diperoleh, maka izin dapat diperoleh melalui izinpengadilan. Pengangkatan anak golongan Tionghoa hanya untuk laki-laki, sehingga menutup peluang pengangkatan anak perempuan melalui notaris. Keinginan WNI keturunan Tionghoa untuk melakukan pengangkatan terhadap anak perempuan tidak tertampung oleh lembaga tersebut dannotaris menolak terhadap pengangkatan anak yang demikian. Demikian pula pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat yang belum menikah. Untuk bisa melakukan pengangkatan anak yang demikian Itu harus ditempuh melalui putusan pengadilan. Putusan-putusan pengadilan telah mengisi kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam perkembangan lembaga pengangkatan anak. Pengangkatan anak melalui pengadilan akan memberikan perlindungan kepentingan anak dan kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan European Convention on the Adoption of Children (Konvensi Adopsi Den Haaag Tahun 1965) yang menetapkan bahwa penetapan atau putusan pengadilan merupakan syarat esensial bagi sahnya pengangkatan anak. Dalam perkembangannya, permohonan pengangkatan anak melalui pengadilan semakin banyak. Semula hanya dikenal pengangkatan anak menurut Staatsblad 1917 Mo. 129 dan hukum adat namun kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Rl No.7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil memungkinkan pengangkatan anak untuk memperoleh tunjangan anak. Selain itu, berdasarkan Pasal 2 Undang-undanp, No.62 Tahun 1958 banyak terjadi pengangkatan anak warga negara asing yang belurn berumur 5 (lima) tahun oleh warga Negara Indonesia.14 Jumlah permohonan pengangkatan anak yang diajukan ke Pengadilan Negeri terus bertambah, baik yang dikumulasikan dengan gugatan perdata maupun diajukan dalam permohonan khusus. Hal ini menunjukan pergeseran variasi motif pengangkatan anak dan kebutuhan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan untuk memperoleh kepastian hukum hanya dapat dilakukan melalui putusan pengadilan.15 Dalam perkembangannya, khusus mengenai pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat WNA melalui notaris, Menteri Kehakiman dengan Surat edaran No.THA 1/1/2 tanggal 24 Februari 14
Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hal. 36-37 15 Musthofa Sy., 2008, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana, hal. 55. Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 81
1978 melarang notaris membuatkan akta pengangkatan anak dan pengangkatan anak tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri. Atas keluarnya surat edaran tersebut, Menteri Sosial menindaklanjuti dengan Surat Edaran No.Huk 3-1-58.78 tanggal 7 Desember 1978. Selanjutnya Mahkamah Agung RI memberikan petunjuk mengenai pengangkatan anak antar-negara (intercountry adoption) dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 tanggal 7 April 1979.16 Berdasarkan SEMA Ko.6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979, pengangkatan anak yang dilakukan oleh golongan Tionghoa melalui notaris tidak dibenarkan tetapi harus melalui pengadilan. 17 Demikian pula berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977, anak angkat dapat diajukan untuk mendapattunjangan anak bagi Pegawai Negeri Sipil, maka banyak permohonan pengangkatan anak yang diajukan ke Pengadilan Negeri.18 Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 membedakan pengangkatan anak menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: a. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak antar-WNI (domesticadoption). b. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat WNl (intercountry adoption). c. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat WNA (intercountry adoption). Dengan belakunya Surat Edaran Mahkamah Agung No.5 Tahun 1983 maka Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 dianggap tidak berlaku lagi. Pengadilan yang dimaksud untuk pengangkatan anak pada saat itu adalah Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama di lingkungan Peradilan Umum. Peradilan Unnnn adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.Kekuasaan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri sebagaipengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilantingkat banding, Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana danperdata di tingkat pertama. Berdasarkan ketentuan tersebut dapatditafsirkan bahwa Pengadilan Negeri sebagai peradilan umum, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan segala perkara pidana dan perdata di tingkat pertama, 16
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 260. Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum, BeberapaYurisprudensi Perdata yang penting serta Hubungan Ketentuan Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal. 551. 18 Amir Martosedono, 1999, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Semarang Dahara Prize, hal. 23-28. 17
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
kecuali peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan secara khusus kepada pengadilan lain (attributie van rechismacht), yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tala Usaha Negara. Kewenangan terhndap perkara pengangkatan anak belum ada pelimpahan kepada pengadilan lain pada saat itu, oleh karenanya semua perkara yang berkaitan pengangkatan anak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. III. Hasil Penelitian Dan Pembahasan A. Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan Anak Pada prinsipnya tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pengangkatan anak dilakukan dengan penetapan dari pengadilan. Hal tersebut karena penetapan pengadilan tersebut hanya berfungsi untuk menguatkan pengangkatan anak yang dilakukan dan untuk lebih memberikan jaminanhukum pengangkatan anak adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum adat, hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yangbersangkutan. Sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut tergantung pada dipenuhi atau tidaknya syarat-syarat dan tata cara dalam melakukan pengangkatan anak. Sebagai contoh yaitu dalam hal harus adanya persetujuan dari masing-masing pihak, baik pihak yang mengangkat anak ataupun pihak yang akan melepaskan anak tersebut. Jika tidak ada persetujuan dari salah satu pihak, maka pengangkatan anak tersebnt dianggap tidak sah. Menurut hukum adat, syarat dan tata cara pengangkatan anak pada umumnya dilaksanakan dengan beberapa cara. Cara tersebut sangat bergantung pada tujuan dan akibat hukum dari dilakukannya perbuatan pengangkatan anak tersebut, yaitu:19 1. Pengangkatan Anak Secara Terang Dan Tunai Pengangkatan anak dalam cara ini dilakukan olch masyarakat yang yang menganut perbuatan hukum pengangkatan anak sebagai perbuatan hukum untuk menjadikan anak orang lain sebagai anak kandung. Anak angkat pada masyarakat ini selain dimasukan ke dalam ikatan somah (rumah tangga) orang tua angkatnya, ia juga secara sosial dimasukkan pula ke dalam ikatan kekerabatan orang tua angkatnya. Selain itu anak angkat menduduki posisi sebagai ahli waris dari orangtua angkatnya baik terhadap harta benda yang bersifat materiil maupun untuk benda-benda imateriil (gelar-gelar adat dan kebangsaan). Secara terang berarti bahwa pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan sepengetahuan dan dihadapan kepala persekutuan (kepala adat) dengan melakukan 19
Afdol, 2007, Pengangkatan Anak dan Aspek hukumnya Menurut Hukum Adat, Suara Uldilag Vol.3 No.XI September 2007, MA RI, Jakarta, hal.63. Volume 1 No. 2 Tahun 2013
2.
| 82
upacara-upacara adat. Hal ini dilakukan dengan maksud agar khalayak ramai dapat mengetahui bahwa telah terjadi tindakan untuk memutuskan hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya sendiri dan memasukan anak angkat tersebut ke dalam ikatan hak dan kewajiban orang tua angkat dan kerabat angkatnya. Hal tersebut terdapat dalam pengangkatan anak di Bali. Di Bali pemutusan hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya ditandai dengan adanya upacara pembakaran seutas benang (tali) hingga putus. Sedangkan di daerah Pasemah (Sumatera Selatan), pengangkatan anak dilakukan secara terang dihadapan orang sedusun (laman dusun). Sedangkan yang dimaksud dengan secara tunai adalah pengangkatan anak tersebut harus disertai dengan pemberian atau pembayaran adat, berupa benda-benda magis, uang atau pakaian. Pengangkatan anak dianggap telah selesai dengan adanya pemberian-pemberian tersebut. Pada saat itu juga anak angkat beralih bubungan hukumnya dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkatnya. Pengangkatan anak selesai seketika itu juga dan tidak mungkin ditarik kembali (eenmalig).20 Prinsip terang ini juga terdapat di Bali melalui pembayaran adat berupa 1000 (seribu) kepeng. Sedangkan di Jawa Timur terdapat satu lembaga yang menyatakan pengangkatan anak itu suatu perbuatan kontan, yaitu dengan pembayaran mata uang sejumlah rong wang segobang (17 ½ sen) kepada orang tua kandung sebagai sarana magis untuk memutus ikatan anak dengan orang tua kandungnya. 21 Pengangkatan Anak Tidak Secara Terang Dan Tunai Pengangkatan anak yang tidak bertujuan untuk menjadikan anak angkat sebagai anak kandung tidak harus dilakukan secara terang dan tunai. Di Jawa, pengangkatan anak pada umumnya tidak memutus pertalian kerabat antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya. Sifat pengangkatan anak pada masyarakat ini umumnya hanya untuk memasukan anak angkat itu ke dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkatnya saja. Anak angkat dalam hal ini tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan orang tua angkatnya. Anak angkat yang diangkat pada umumnya adalah keponakannya sendiri, baik laki-laki atau perempuan. Dasar pengangkatan anak seperti ini adalah untuk: a. Untuk memperkuat pertalian orang tua anak yang diangkat;
20
Bushar Muhammad, 1985, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 33 21 Imam Sudiyat, Op.cit. hal. 103. ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
b.
3.
Kadang-kadang oleh sebab belas kasihan, jadi pengangkatan anak untuk menolong anak angkat tersebut; c. Berhubungan dengan kepercayaan, jika mengangkat anak akan mendapat anak sendiri; d. Mungkin pula untuk mendapat laki-laki di rumah yang dapat membantu pekerjaan orang tua angkat sehari-hari.22 Pada bentuk pengangkatan anak pada masyarakat di atas, perbuatan hukum pengangkatan anak itu tidak dilakukan secara terang dan tunai. Bahwa hal tersebut tidak harus dilakukan di hadapan dan sepengetahuan kepala adat untuk keabsahannya. Selain itu tidak ada keharusan untuk melakukan pemberian-pemberian atau pembayaran adat kepada orang tua kandung dari anak angkat tersebut. Pengangkatan anak pada masyarakat ini tidak memutus hubungan hukum hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Sehingga ia tetap akan bertindak sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya. Sementara itu anak angkat juga berhak memperoleh bagian dari harta gono-gini orang tua angkatnya sebagai anggota rumah tangga dari orang tua angkatnya. Akibat dari tidak dilakukannya pengangkatan anak secara terang dan tunai maka pada mayarakat ini sering terjadi keraguraguan apakah anak tersebut telah diangkat sebagai anak dari orang tua angkatnya sehingga mempunyai hak-hak tertentu terhadap hartapeninggalan orang tua angkatnya kelak, atau anak tesebut hanya sebagai anak yang dipelihara saja sehingga tidak mempunyai hakhak tersebut. Meskipun demikian, Soepomo dalam bukunya mengatakan, bahwa : Bagaimanapun juga dengan mengambil anak sebagai anak angkat dan memelihara anak itu hingga menjadi orang dewasa yang kuat gawe, maka timbul dan berkembanglah hubungan rumah tangga (gezinsverhouding) antara bapak dan ibu angkat disatu pihak dan anak angkat di lain pihak. Hubungan rumah tangga ini menimbulkan hak-hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, yang mempunyai k konsekuensi terhadap harta benda rumah tangga tersebut.23 Pengangkatan Anak Hanya Secara Tunai Saja Secara terbatas perbutan pengangkatan anak yang hanya dilakukan secara tunai saja dapat ditemui dalam masyarakat Indonesia. Sebagai contoh pada masyarakat suku Rejang (Bengkulu), seorang ayah yang karena perkawinannya tidak berhak atas seorang anak pun yang lahir dari perkawinannya. Hal tersebut disebabkan karena si ayah tersebut
| 83
hanya mampu membayar kurang dari setengah uang adat (pelapik) yang disyaratkan oleh pihak keluarga istrinya pada saat perkawinannya. Maka secara adat semua anak yang lahir dari perkawinannya akan masuk klan (tobo) ibunya dan si ayah tidak berhak untuk itu. Meskipun demikian, hukum adat daerah tersebut masih memberi kesempatan kepada si ayah untuk mengambil seorang anak dari perkawinannya itu untuk dimasukan ke dalam klan-nya sendiri. Agar dapat melakukan hal tersebut, si ayah harus melakukanpembayaran uang adat yang disebut dengan uang pedaut kepada istrinya. Adanya pemberian uang pedaut dari si ayah kepada keluarga istrinya yang berakibat si ayah dapat memasukan anak itu ke dalam klannya itu dan pada saat bersamaan memutuskan hubungan hukum anak Itu dengan ibunya (istrinya) dan kerabat ibunya itu dipandang sebagai suatu perbuatan pengangkatan anak pula. Hanya saja pada bentuk pengangkatan anak semacam ini tidak perlu dilakukan secara terang yang harus dilakukan dengan upacara-upacara adat dan dengan bantuan oleh kepala persekutuan (pasirah) sehingga semua orang lain mengetahuinya. Hal tersebut disebabkan karena hanya terjadi pergeseran hubungan hukum terhadap orang-orang yang telah hidup sekeluarga (serumah tangga) tersebut.24 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa pengangkatan anak berdasarkan hukum adat dapat dilakukan secara terang yang berarti wajib dilakukan dengan upacara-upacara adat dan dengan bantuan kepala adat dan tunai yaitu dengan pembayaran adat berupa sejumlah uang atau benda-benda yang mempunyai nilai magis oleh keluarga yang mengangkat anak bagi keluarga kandung dari anak yang diangkat. Selain itu pengangkatan anak berdasarkan hukum adat juga dapat dilakukan tidak secara terang dan tunai serta dapat pula dilakukan hanya secara tunai saja. Sedangkan Staatsblad 1917 No. 129 menentukan bahwa pihak-pihak yang dapat melakukan pengangkatan anak (adopsi) adalah: a. Seorang laki-laki yang sudah atau pernah kawin tapi tidak mempunyai keturunan laki-laki, baik karena hubungan darah maupun dari pengangkatan anak. b. Dilakukan oleh suami istri secara bersamasama dan apabila perkawinan telah bubar, maka dapat dilakukan oleh pihak suami sendiri. c. Jika suami meninggal lebih dahulu tanpa meninggalkan keturunan laki-laki, maka janda yang tidak kawin lagi dapat mengadopsi anak laki-laki sebagai
22
Soepomo, 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 102. 23 Ibid Volume 1 No. 2 Tahun 2013
24
Abdullah Siddik,1980, Hukum Adat Rejang, Jakarta: Dalai Pustaka, hal. 232. ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
anaknya (adoptie posthuum). Adopsi oleh janda dilarang jika suami dalam wasiatnya menyatakan bahwa ia tidak menghendaki adopsi oleh jandanya. Staatsblad 1917 No. 129 menentukan bahwa adopsi hanya dapat dilakukan terhadap seorang laki-laki dari golongan Tionghoa yang tidak kawin dan tidak mempunyai anak serta belum diadopsi oleh orang lain. Selain itu harus diperhatikan perbedaan usia antara anak yang akan diadopsi dengan orang tua angkatnya. Perbedaan umur tersebut adalah paling sedikit 18 (Jelapan belas) tahun lebih muda dari usia suami dan paling sedikit 15 (lima belas) tahun lebih muda dari usia istri atau janda yang mengadopsinya. Jika yang diadopsi itu seorang anak dari keluarga sedarah, misalnya dari saudara pihak laki-laki atau wanita akan mengadopsi anak laki-laki dari pamannya, maka hal ini tidak diperkenankan. Berdasarkan Stoatsblad 1917 No.129 adopsi juga harus dilakukan dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak, yaitu baik pihak yang melepaskananak dan pihak orang tua angkat. Untuk lebih jelasnya kata sepakat dalam melakukan adopsi tersebut harus dilakukan dengan cara seperti tersebut dibawah ini: 1. Antara suami istri yang hendak mengangkat anak harus ada kesepakatan. Hal ini berarti bahwa seorang laki-laki yang telah beristri tidak dapat mengadopsi anak bila istrinya tidak memberikan kesepakatan dan menolak untuk ikut serta menandatangani akta notaris. 2. a. Jika yang diangkat itu anak sah, maka harus ada kata sepakat dari bapak dan ibu kandungnya. Kalau salah satu dari mereka sudah meninggal maka harus ada kata sepakat dari pihak orang tua yang masih hidup baik itu bapak ataupun ibunya. Namun dalam hal pihak ibu kandung yang masih hidup dan kemudian dia kawin lagi atau jika kedua orang tua dari anak telah meninggal dunia, maka harus ada kata sepakal dari pihak wali anak angkat atau dari Balai Harta Peninggalan. b. Jika yang diaugkat tersebut anak luar kawin, maka harus ada kata sepakat dari orang tua yang mcngakuinya. Bila salah satu dari orang tua yang mengakuinya tersebut telah meninggal, maka harus ada kata sepakat dari atau ibunya yang masih hidup. Dalam hal orang tua tersebut tidak lagi mengakui atau keduanya mengakui tapi sudah meninggal, maka harus ada kata sepakat dari walinya atau dari Balai Harta Peninggalan. 3. Jika yang akan diadopsi telah mencapai umur 15 tahun, maka anak yang Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 84
bersangkutan harus memberikan juga kesepakatannya. 4. Bila adopsi dilakukan oleh seorang janda maka diperlukan kesepakatan dari saudara ipar laki-laki yang telah dewasa (meederjarig) dan ayah mendiang suaminya. Jika mereka tidak ada lagi atau orang-orang tersebut tidak bertempat tinggal di Indonesia, maka diperlukan kesepakatan dari dua anggota laki-laki sedarah yang telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia dari pihak ayah suami sampai dengan derajat keempat. Jika tidak diperoleh kesepakatan (toestemming) dari sanak keluarga yang dimaksud oleh pasal 8 ayat (4), karena mereka bukan ayah atau wali dari anak yang diangkat atau tidak ada sanak keluarga laki-laki sampai dengan derajat keempat, maka kesepakatan tersebut dapat digantikan dengan kuasa dari hakim (Pengadilan Negeri) di tempattinggal sang janda. Keputusan pengadilan yang diberikan atas permohonan janda tersebut tak dapat diajukan banding ataupun kasasi. Staatsblad 1917 No.129 juga menentukan bahwa adopsi hanya dapat dilakukan dengan akta notaris. Jika yang berkepentingan tidak dapat menghadap sendiri di muka notaris, maka boleh diwakili oleh seorang kuasa yang diangkat dengan akte notaris yang khusus dibuat untuk keperluan itu. Semua Kesepakatan yang diperlukan dapat diberikan dengan menggunakan akta notrris tersendiri, kecuali ayah atau wali dari sang anak yang akan menyerahkan anak itu untuk diadopsi. Setiap orang yang berkepentingan berhak meminta pada Catatan Sipil agar diberi catatan mengenai adopsi itu di pinggir akta kelahirannya. Tetapi, tanpa adanya catatan adopsi tersebut tidak dapat digunakan untuk menentang keabsahan adopsi. Dengan kata lain, tidak ada akibat hukumnya apabila catatan adopsi tersebut tidak dibuatkan. Adopsi berdasarkan Staatsblad 1917 No. 129 tidak dapat dibatalkan atas dasar kesepakatan bersama. Sedangkan adopsi anak perempuan dan adopsi dengan cara lain daripada akta notaris adalah batal demi hukum. Adopsidapat dinyakan batal apabila bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, atau ayat (2) dan (3) pasal 10. Untuk pengangkatan anak yang dimintakan pengesahannya ke Pengadilan Negeri maka harus dilakukan menurut ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 Tentang penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979. Syarat dan bentuk surat permohonan dalam pengangkatan anak tersebut menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 adalah sebagai berikut: ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
1.
Permohonan tersebut diajukan dengan cara lisan dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri maupun dengan cara tertulis dengan menggunakan surat permohonan. 2. Dapat diajukan oleh pemohon sendiri atau kuasanya. Namun demikian,meskipun pemohon memakai seorang kuasa, dia wajib hadir dalam pemeriksaan sidang di Pengadilan Negeri. 3. Surat permohonan tersebut dibubuhi materai secukupnya. 4. Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnyameliputi tempat tinggal domisili dari anak yang diangkat tersebut. Di dalam surat permohonan tersebut harus memuat: 1. Motivasi yang dijadikan dasar diajukannya permohonan pengangkatananak tersebut. 2. Penjelasan mengenai tujuan pengangkatan anak, yaitu terutama untuk kepentingan calon anak angkat yang bersangkutan serta adanya gambaran mengenai kemungkinan hari depan anak tersebut setelah pengangkatan anak terjadi. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 menentukan bahwa pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia dapat dilakukan baik terhadap pihak-pihak di luar panti asuhan atau yayasan sosial (private adoption) maupun terhadap anak-anak yang berada dalam panti asuhan atau yayasan sosial. Dalam hal anak yang akan diangkat tersebut berada dalam panti asuhan atau yayasan sosial, maka Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 menentukan bahwa surat permohonan pengangkatan anak tersebut harus dilampiri dengan surat izin tertulis dari menteri sosial. Dalam surat izin tersebut hanya menyatakan bahwa yayasan atau organisasi sosial yang bersangkutan telah diijinkan bergerak dibidang pengangkatan anak serta bagi calon anak angkat harus mempunyai izin tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang ditunjuk yang menyatakan bahwa anak tersebul telah diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat. Untuk pengangkatan anak secara umum yang dilakukan melalui yayasan atau rumah sakit, dilaluikan sebagai berikut: Seorang, yang bermaksud melakukan pengangkatan anak mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada yayasan, panti asuhan atau rumah sakit biasanya ada syaratsyarat yang harus dipenuhi. Karena undangundang yang khusus mengenai pengangkatan anak belum ada, maka yang dipakai sebagai pedoman adalah Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 85
mengatur mengenai tata cara pengangkatan anak dari yayasan atau rumah sakit yaitu dengan cara diajukan permohonan dari pihak yang ingin mengangkat anak yang isinya antara lain identitas dari orang mengangkat baik itu merupakan pasangan suami istri, janda atau duda atau bahkan orang yang masih berstatus lajang, pekerjaan dan alamat tempat tinggal. Dalam permohonan tersebut harus disertai alasan-alasan dan tujuan dari perbuatan pengangkatan anak. Demikian juga identitas dari anak yang akan diangkat (nama, umur, tempat asil atau tempat tinggal harus dicantumkan). Apabila anak tersebut masih mempunyai orang tua kandung maka dibuatkan surat persetujuan yang ditandatangani oleh lurah dan camat. Andaikata anak yang diangkat sudah tidak mempunyai orang tua atau saudara-saudara maka yang berwenang adalah yayasan atau rumah sakit yang mengasuh anak tersebut. Khusus bagi pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia yang dilakukan terhadap anak-anak yang berada dalam panti asuhan atau yayasan sosial maka pelaksanaannya didasarkan menurut ketentuan yang berlaku dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 menentukan tata cara permohonan untuk mendapat izin pengangkatan anak antar Warga NegaraIndonesiayaitu sebagai beikut: 1. Mengajukan pemohonan untuk mendapatkan ijin pengangkatan anak secara tertulis diatas kertas bermaterai cukup kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi dimana yayasan atau organisasi sosial tersebut berada. 2. Tembusan dari surat permohonan tersebut disampaikan kepada Menteri Sosial melalui Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial. 3. Kemudian diadakan penelaahan dan penelitian atas perrnohonan yang diajukan kepada Kantor Wilayah Departemen Sosial dibantu oleh Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak Provinsi. 4. Berdasarkan laporan sosial dari pekerja sosial tersebut maka kepala sektor provinsi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya permohonan pengangkatan anak tersebut apabila ditolak maka harus disebutkan alasan-alasannya. Selain itu, di dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 tersebut juga menentukan bahwa umur orang tua angkat minimal 30 tahun dan maksimal 45 tahun dan mereka harus telah menikah minimal 5 tahun. Akan tetapi Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 memberikan pengecualian dalam hal pasangan suami isteri ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
tersebut telah dinyatakan dengan surat keterangan dokter bahwa mereka tidak mungkin mempunyai anak atau melahirkan anak. Sehingga berkaitan dengan hal tersebut maka mereka dapat melakukan pengangkatan anak walaupun usia perkawinannya belum mencapai 5 tahun. Mengenai selisih umur antara orang tua angkat dengan anak angkat tidak diatur dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun 1993. Hal tersebut diatur dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No.41 Tahun 1984 yaitu selisih umurnya minimal 20 tahun. Sedangkan alasan yang digunakan untuk mengangkat anak yang berasaldari panti asuhan atau yayasan sosial menurut Surat Keputusan Menten Sosial No.41 Tahun 1984 adalah sebagai berikut: 1. Tidak mungkin mempunyai anak. 2. Belum mempunyai anak. 3. Hanya mempunyai anak kandung seorang. 4. Mempunyai seorang anak angkat dan tidak mempunyai anak kandung. Selanjutnya dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun 1993 alasan bahwa hanya mempunyai seorang anak angkat dan tidak mempunyai anak kandmg tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat dilakukannya pengangkatan anak. Selain alasan-alasan tersebut, calon orang tua angkat juga harus mampu dalam hal ekonomi dan sosial. Hal tersebut bertujuan tidak lain untuk kesejahteraan dan kepentingan calon anak angkat. Lebih jauh lagi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun 1993 bersifat melengkapi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983. Hal tersebut antara lain dalam hal minimal usia perkawinan calon orang tua angkat untuk melakukan pengangkatan anak adalah 5 tahun, sementara hal tersebut tidak diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983. Mengenai batas usia calon orang tua angkat, di dalam Surat Kepulusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 menentukan maksimal 45 tahun dan minimal 30 tahun. Hal tersebut bertujuan agar anak angkat dapat dipelihara dan dididik oleh calon orang tua angkatnya sampai dewasa. Selain itu Surat Kepatusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 juga mengatur mengenai selisih usia antara anak angkat dengan calon orang tua angkat, yaitu 20 tahun. Kedua hal tersebut juga tidak diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983. Ketentuan mengenai syarat-syarat pengangkatan anak kemudian diubah dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Dengan berlakunya ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 86
tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah tersebut. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Hingga saat ini, peraturan perundangundangan yang secara khusus mengatur mengenai pengangkatan anak belum ada, begitu pula hingga saat ini belum ada pengatnran yang pasti mengenai akibat hukum dari pelaksanaan pengangkatan anak. Dalam ketentuan-ketentuan pengangkatan anak menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat EdaranMahkamah Agung No.2 Tahun 1979 maupun Surat Keputusan Menteri SosialNo.41/HUR/NEP/VII/1984 maupun penyempurnaannya yaitu Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tidak disebutkan mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak. Namun demikian di dalam pasal 39 ayat (2) Undang-undang No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 4 Peraturan Pemerinlah No.54 Tahon 2007 dinyatakan bahwa, "Pengangkatan anak berdasarkan tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan". Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan dilakukannya pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua Kandungnya. Sedangkan pengangkatrn anak (adopsi) menurut Staatsblad 1917 No. 129 menimbulkan akibat hukum bahwa anak yang diangkat oleh suami istri sebagai anak mereka, dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan suami istri tersebut. Hubungan peidata antara orang tua dengan sanak keluarganya di satu pihak dengan anak tersebut di lain pihak menjadi putus, dengan perkecualianyang disebutkan dalam pasal 14 bila anak yang diadopsi itu mempunyai nama keluarga lain, karena hukum akan memperbolehkan nama keluarga dari ayah yang mengadopsi. Jika seorang suami mengadopsi anak setelah perkawinan bubar, maka anak tersebut dianggap lahir dari perkawinan pria tersebut yang telah bubar karena kematian istrinya. Maksud ketentuan tersebut adalah anak itu harus dianggap telah dilahirkan dari suatu perkawinan fiktif, yaitu perkawinanantara ayahnya dengan seorang wanita yang sesungguhnya tidak ada, yang telah bubar karena istri telah meninggal dunia. Beberapa pakar berpendapat bahwa maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa adopsi oleh seorang suami setelah perkawinan bubar hanya mempunyai akibat hukum terhadap dia sendiri dan sanak keluarganya akan tetapi tidak terhadap bekas istri atau sanak keluarganya. Lain halnya jika seorang janda mengadopsi anak setelah suaminya meninggal dunia, maka anak ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
yang diadopsi hanya dapat dianggap sebagai ahli waris suami dari ibu angkatnya jika suami tidak memberikan ketentuan-ketentuan atau harta peninggalannya di dalam wasiatnya, maka hal ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam wasiat suami yang telah meninggal dunia tidak dapat diganggu gugat oleh anak angkat. Dengan demikian maka anak angkat tidak mempunyai legitime portie atas warisan suami dari ibu angkatnya. Selain itu, pasal 13 ayat (1) memerintahkan apabila seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan istri yang berwenang untuk mengadopsi, maka Balai Harta Peninggalan wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu dan mendesak untuk menyelamatkan dan mengurus harta peninggalannya yang akan jatuh pada anak yang diadopsi. Sedangkan hak-hak pihak ketiga yang dapat dipengaruhi olehadopsi ini tetap ditangguhkan sampai dengan dilakukannya adopsi. Tenggang waktu penangguhan itu selambat-lambatnya selama yang dimaksud oleh pasal 12 ayat (3) yaitu satu bulan. Adopsi yang telah dilakukan dalam jangka waktu enam bulan setelah meninggalnya suami atau janda dalam tenggang waktu itu telah meminta izin dari hakim seperti yang dimaksud dalam pasal 9. lalu dalam waktu satu bulan setelah izin atau kuasa itu diperoleh, ia baru menggunakan haknya. Apabila seorang janda yang melakukan adopsi, maka anak tersebut dianggap sebagai anak yang lahir dari janda tersebut dengan suaminya yang telah meninggal. Dari pengertian tersebut anak angkat akan mendapatkan bagian warisan almarhum ayah angkatnya sejauh tidak ditentukan lain dalam surat wasiat almarhum semasa hidupnya dan sejauh adopsi tersebut dilakukan dalam jangka waktu 6 bulan terhitung mulai saat meninggalnya almarhum. Kemudian Pasal 14 Staatsblud 1917 No. 129 menjelaskan bahwa, adopsi berakibat putusnya hubungan hukum antara anak yang diadopsi dengan orang tuanya sendiri, kecuali: 1. Mengenai larangan kawin yang berdasar atas suatu tali kekeluargaan. 2. Mengenai peraturan hukum pidana yang berdasar pada tali kekeluargaan. 3. Mengenai ganti rugi biaya-biaya perkara dan sandera. 4. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi. 5. Mengenai bertindak sebagai saksi. Ditinjau dari hukum adat, pengangkatan anak tidak selalu mengakibatkan terputusnya hubungan perdata dengan orang tua kandung. Meskipun pada umumnya dengan terjadinya pengangkatan anak, orang tua angkat akan menggantikan kedudukan orang tua kandung. Sehingga tanggung jawab orang tua kandung akan beralih kepada orang tua angkat.25
25
Isti Sulistyowati, Loc. Cit.
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 87
Pada dasarnya akibat hukum yang timbul dari pengangkatan anak itu tidak terlepas hubungannya dengan tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh B. Bastian Tafal bahwa : Pengangkatan anak yang dilakukan tanpa disertai dengan upacaraupacara khusus dan tanpa surat-surat, maka pengangkatan anak seperti ini tidak memutus pertalian keluarga antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Meskipun secara lahiriah hubungan anak itu terputus dengan orang tua kandungnya karena dimasukan ke dalam keluarga orang yang mengangkatnya, tetapi secara batiniah hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya tetap ada. Kemudian dengan saudara angkat timbul hubungan seperti layaknya saudara kandung dan dengan keluarga ataukerabat dari orang tua angkatnya dianggap sebagai sanak keluarganya sendiri. Selanjutnya dalam upacara perkawinan bagi anak angkat perempuan, maka yang menjadi wali nikahnya adalah orang tua kandungnya atau saudara laki-laki sekandung dari anak angkat tersebut.26 Dalam hal hubungan dengan orang tua kandungya tidak terputus, maka hak dan kewajiban anak angkat masih bercabang dua yaitu terhadap orang tua angkat maupun terhadap orang tua kandung. Hal ini mempunyai konsekuensi lebih lanjut bahwa anak angkat yang tidak terputus hubungannya dengan orang tua kandung akan menerima warisan baik dari orang tua kandung maupun dari orang tua angkat. Keadaan seperti ini biasanya terjadi pada masyarakat parental. Akan tetapi sesuai dengan keanekaragaman sistem hukum pengangkatan anak di berbagai daerah di Indonesia, maka pandangan masyarakat dalam hubungannya dengan kedudukan anak angkatpun beraneka ragam pula. Kadang anak angkat mendapat warisan dari orang tua angkat berupa harta asal dan harta bersama, tetapi terkadang hanya harta bersama saja.27 Sedangkan pengangkatan anak menurut Hukum Islam pada dasarnya diperbolehkan tapi semata-mata hanya didasarkan pada tujuan untuk membantu anak-anak terlantar dan hal itu tidak membawa akibat hukum apapun. Hal ini disebabkan karena dalam hukum Islam ada larangan pengangkatan anak dalam pengertian adopsi yaitu pemberian status kepada anak sama dengan status anak kandung. : Pengangkatan anak menurut Agama Islam tidak membawa akibat hukum dalam hak hubungan darah, perwalian dan pewarisan dengan orang tua kandungnya. Anak angkat tetap memakai nama orang tua kandungnya dan tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya.28
26
B. Bastian Tafal, 1989, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, Jakarta : Rajawali Press, hal. 85. 27 Isti Sulistyorini, Loc. Cit. Hal. 27 28 M. Budiarto, Op.cit, hal. 2. ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
IV. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pada prinsipnya tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pengangkatan anak dilakukan dengan penetapan dari pengadilan. Hal tersebut karena penetapan pengadilan tersebut hanya berfungsi untuk menguatkan pengangkatan anak yang dilakukan dan untuk lebih memberikan jaminanhukum pengangkatan anak adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum adat, hukum agama dan kepercayaan dari masingmasing pihak yangbersangkutan.Sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut tergantung pada dipenuhi atau tidaknya syaratsyarat dan tata cara dalam melakukan pengangkatan anak. Sebagai contoh yaitu dalam hal harus adanya persetujuan dari masing-masing pihak, baik pihak yang mengangkat anak ataupun pihak yang akan melepaskan anak tersebut. Jika tidak ada persetujuan dari salah satu pihak, maka pengangkatan anak tersebnt dianggap tidak sah. Menurut hukum adat, syarat dan tata cara pengangkatan anak pada umumnya dilaksanakan dengan beberapa cara. Cara tersebut sangat bergantung pada tujuan dan akibat hukum dari dilakukannya perbuatan pengangkatan anak tersebut, yaitu: a. Pengangkatan Anak Secara Terang Dan Tunai b. Pengangkatan Anak Tidak Secara Terang Dan Tunai c. Pengangkatan Anak Hanya Secara Tunai Saja 2. Akibat hukum pengangkatan anak menurut menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tidak disebutkan mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak. Namun demikian di dalam pasal 39 ayat (2) Undang-undang No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 4 Peraturan Pemerinlah No.54 Tahon 2007 dinyatakan bahwa, "Pengangkatan anak berdasarkan tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan". Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan dilakukannya pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua Kandungnya.Sedangkan pengangkatrn anak (adopsi) menurut Staatsblad 1917 No. 129 menimbulkan akibat hukum bahwa anak yang diangkat oleh suami istri sebagai anak mereka, dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan suami istri tersebut.
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 88
B. Saran 1. Hakim Pengadilan Negeri hendaknya memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengangkatan anak khususnya Undangundang No.3 Tahun 2006. 2. Para pihak yang terlibat dalam pengangkatan anak hendaknya mengetahui akibat hukum dari pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Sehingga diharapkan para pihak dapat mengetahui kedudukan dan hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkat maupun anak angkat dengan orang tua kandungnya.
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Abdul Manar, 2005, Penerapan Hukum Acara perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada Media. Abdullah Siddik.1980, Hukum Adat Rejang, Jakarta: Balai Pustaka. Ali Afandi, 1997, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta. Amir Martosedono, 1999, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Semarang: Dahara Prize. Arif Gosida, 1985, Masalah Perlidungan Anak, Jakarta: Akademika. A. Rachmad Budiono, 1999, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti. Bastian Tafal, 1989, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya Dikemudian Hari, Jakarta: Rajawali Press. Bushar Muhammad, 1985, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Prajnya Paramita. Djaja Meliala, 1982, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Bandung: Tarsito. Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat Dan Sketsa, Lamongan: Liberty. Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang 2006 Muderis Zaini, 1985, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Bina Aksara Jakarta . M. Budiarto, 1991, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Jakarta: Akademika Presindo. M. Yahya Harahap, 1990, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini. M. Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika. Musthofa Sy., 2008, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana. Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, 1983, Sendi-sendi Hukum Perdata International, Jakarta: Rajawali. Retno Wulan S., 1979, Wanita Dan Hukum, Bandung: Alumni. Satria Effendi M. Zein, 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana.
ISSN : 2302-3562
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Soepomo 1977, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita. Soerjono Soekamto, 1992, Intisari Hukum Keluarga, Bandung: Citra Aditya Bakti. Soetojo Prawirohamidjojo, 2000, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie.-Recht), Surabaya: Airlangga University Press. Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Lamongan: Liberty. Surojo Wignodipuro, 1982. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung. Zakaria Ahmad Al-Barry, 2004, Hukum Anak-Anak Dalam Islam (Saduran, Dra. Chadijah Nasution), Jakarta: Bulan Bintang. Afdol, 2007, Pengangkatan Anak dan Aspek Hukumnya Menurut Hukum Adat, Suara Uldilag Vol.3 No.XI September 2007. H. Sarmin, 2007, Hukum Formil dan Materil Penetapan Pengaesahan / Pengangkatan Anak Pada Peradilan Agama, Suara Uldilag Vol. I No XI September 2007. Isti Sulistyorini, 1997, Adopsi Menurut Staatsblad 1917 No. 129 Dan Kaitannya Dengan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, PENA, Jurnal Ilmu pengetahuan Dan Teknologi: V (9). M. Karsayuda, 2007, Pengangkatan Anak dari Keluarga Non-muslim di Pengadilan Agama, Suara Undilag Vol.3 No.XI September 2007. Muslich Mauzi, 1984, Beberapa Bentuk Pengangkatan Anak Di Indonesia Menurut Hukum Islam, Walisongo, Edisi II Mei 1984.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-undang No.l Tahun 1974 Tentang Perkawinan; Undang-undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak; Undang-undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum; Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; Undang-undang No.4 'l'ahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman; Undang-undang No.8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.2 Tahun 1985 Tentang Peradilan Umum; Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam; Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak; Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979; Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979;
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Staatblad No.l29 Tahun 1917;
Volume 1 No. 2 Tahun 2013
| 89
ISSN : 2302-3562