VOLUME 01 NO 1, APRIL 2010
ISSN No. 2086-8480
grouper
JURNAL ILMIAH FAKULTAS PERIKANAN UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
Muntalim ; Prevalensi Dan Derajat Infeksi Dactylogyrus Sp Pada Insang Benih Bandeng (Chanos chanos) Di Tambak Tradisional Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan Tri Wahyudi ; Pengaruh Pemberian Exaton-F Pada Pakan Dengan Dosis Yang Berbeda Terhadap Laju Pertumbuhan Dan Fcr Juvenil Ikan Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) Endah Sih Prihatini ; Pengaruh Pemberian Tepung Kepala Udang Sebagai Substitusi Tepung Ikan Dalam Ransum Terhadap Laju Pertumbuhan Udang Windu ( Penaeus monodon Fab ) Pada Stadia Post Larva Wachidatus Sa’adah ; Analisa Usaha Budidaya Udang Vannamei (Lithopenaeus vannamae) Dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan Jawa Timur Pudiastiono ; Pengaruh Pemberian Probiotik Biolife Aquaculture Dengan Frekuensi Berbeda Terhadap Kelulushidupan Dan Pertumbuhan Udang Windu ( Penaeus monodon Fab ) Pada Stadia Pasca Larva 15 – 45 Suryatmoko ; Kajian Penambahan Tepung Tapioka Dan Susu Skim Terhadap Penerimaan Konsumen Pada Produk Nugget Ikan Mas (Cyprinus carpio) Nanuk Qomariyati ; Pengaruh Perbedaan Jarak Letak Dan Waktu Perendaman Alat Tangkap Bubu Rajungan (Portunus pelagicus) Terhadap Hasil Tangkapan Di Wilayah Perairan Brondong Lamongan Jawa Timur Abdul Malik ; Pengaruh Pemberian Suplemen Dan Probiotik Terhadap Hasil Panen Bandeng ( Chanos chanos ) Di Desa Kentong Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan
FAKULTAS PERIKANAN UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN Ikan Untuk Masa Depan
ISSN No. 2086-8480
GROUPER JURNAL ILMIAH FAKULTAS PERIKANAN UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN Jurnal Ilmiah Fakultas Perikanan Universitas Islam Lamongan diterbitkan sebagai media penyampaian ilmu, teknologi, dan informasi ilmiah di bidang perikanan. Jurnal ini memuat tulisan berupa ringkasan hasil penelitian, hasil pengabdian masyarakat, kajian pustaka dan atau review jurnal. Penasehat Rektor UNISLA Pembantu Rektor I UNISLA Pembantu Rektor II UNISLA Pembantu Rektor III UNISLA Pembantu Rektor IV UNISLA Pemimpin Redaksi Ir. Muntalim, MMA Sekretaris Redaksi Ir. Tri Wahyudi, MMA Ir. Endah Sih Prihatini Drs. Farid Wajdi, M. Pd Dewan Redaksi Wachidatus Sa’adah, S. Pi Ervita Wahyuning Dyah, S. Pi Prasetya Wahyu Kusuma, S. ST. Pi Staf Redaksi Lailiyatul Musdalifah, S. Pi Panca Refti, S. Pi Faisol Mas’ud, S. Si Sri Hartati, S. St. Pi Tata Usaha / Sirkulasi Lailiyatul Musdalifah, S. Pi Desain Sampul Prasetya Wahyu Kusuma, S. ST. Pi
GROUPER | Volume 01 No. 01, April 2010
i
ISSN No. 2086-8480 Alamat Redaksi Kampus Pusat UNISLA Jl. Veteran 53A Lamongan, Telp / Fax 0322 – 324706 Website : www.unisla.ac.id VISI Menjadikan Fakultas Perikanan Universitas Islam Lamongan sebagai lembaga pendidikan tinggi di bidang perikanan yang mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas, professional, kreatif berbasis teknologi diatas landasan iman dan takwa. MISI Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat yang berkualitas dan berkelanjutan dalam rangka pemanfaatan / pengembangan sumberdaya lokal secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mengantisipasi kebutuhan masyarakat. TUJUAN Menghasilkan sarjana Strata Satu ( S-1 ) yang memiliki kualitas, profesionalisme, dan kreatifitas yang tinggi sesuai dengan kebutuhan pasar serta memiliki jiwa kewirausahaan berdasar pada perkembangan teknologi.
Tim Redaksi Menerima Jurnal Karya Tulis Ilmiah Hasil Penelitian, Pengabdian Masyarakat, Kajian Pustaka Dan Atau Review Jurnal Dalam Bentuk Naskah Beserta Softcopy-nya. * di alamat : Kampus Pusat UNISLA, Jl. Veteran 53A Lamongan, Telp / Fax 0322 – 324706 Website : www.unisla.ac.id Contact person : Prasetya W. Kusuma, S.ST.Pi (0811328174), email :
[email protected]
Dewan redaksi berhak menyeleksi, memilih, dan mengedit naskah karya tulis yang masuk.
ii
GROUPER | Volume 01 No. 01, April 2010
ISSN No. 2086-8480
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................................
i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................
iii
Muntalim ; Prevalensi Dan Derajat Infeksi Dactylogyrus Sp Pada Insang Benih Bandeng (Chanos chanos) Di Tambak Tradisional Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan .........
1
Tri Wahyudi ; Pengaruh Pemberian Exaton-F Pada Pakan Dengan Dosis Yang Berbeda Terhadap Laju Pertumbuhan Dan Fcr Juvenil Ikan Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) .....
9
Endah Sih Prihatini ; Pengaruh Pemberian Tepung Kepala Udang Sebagai Substitusi Tepung Ikan Dalam Ransum Terhadap Laju Pertumbuhan Udang Windu ( Penaeus monodon Fab ) Pada Stadia Post Larva ..............................................................................
17
Wachidatus Sa’adah ; Analisa Usaha Budidaya Udang Vannamei (Lithopenaeus vannamae) Dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan Jawa Timur ...................................................................
24
Pudiastiono ; Pengaruh Pemberian Probiotik Biolife Aquaculture Dengan Frekuensi Berbeda Terhadap Kelulushidupan Dan Pertumbuhan Udang Windu ( Penaeus monodon Fab ) Pada Stadia Pasca Larva 15 – 45 ...............................................................
31
Suryatmoko ; Kajian Penambahan Tepung Tapioka Dan Susu Skim Terhadap Penerimaan Konsumen Pada Produk Nugget Ikan Mas (Cyprinus carpio) ........................
37
Nanuk Qomariyati ; Pengaruh Perbedaan Jarak Letak Dan Waktu Perendaman Alat Tangkap Bubu Rajungan (Portunus pelagicus) Terhadap Hasil Tangkapan Di Wilayah Perairan Brondong Lamongan Jawa Timur ........................................................................
49
Abdul Malik ; Pengaruh Pemberian Suplemen Dan Probiotik Terhadap Hasil Panen Bandeng ( Chanos chanos ) Di Wilayah Desa Kentong Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan ...........................................................................................................................
57 iii
GROUPER | Volume 01 No. 01, April 2010
PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI Dactylogyrus sp PADA INSANG BENIH BANDENG (Chanos chanos) DI TAMBAK TRADISIONAL KECAMATAN GLAGAH KABUPATEN LAMONGAN Muntalim DOSEN UNISLA ABSTRAK Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui Prevalensi dan Derajat Infeksi Dactylogyrus sp pada insang benih bandeng (Chanos chanos) di tambak tradisional kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan telah dilakukan pada bulan Oktober 2007, dengan menggunakan sampel benih bandeng sebanyak 5 ekor tiap tambak pembenih dan diulang sebanyak 3 kali ulangan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan acak Lengkap (RAL). Data hasil penelitian dianalisa menggunakan statistik ANAVA (Analisis Variansi) dan jika terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Difference) 5 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prevalensi Dactylogyrus sp pada insang benih banding (Chanos chanos) di desa Dalung (53,33%) dan desa Pedurungan (86,67%) terdapat perbedaan yang nyata. Desa Rayung (66,67%) dan desa Dalung (53,33%) tidak ada beda nyata. Sedangkan hasil pengamatan derajat infeksi Dactylogyrus sp pada insang benih bandeng (Chanos chanos) berbeda nyata pada semua lokasi. Desa Pedurungan mempunyai rata-rata derajat infeksi tertinggi (7,95 ind. Parasit/ekor), diikuti desa Rayung (6 ind. Parasit/ekor), dan desa Dalung (2,06 ind. Parasit/ekor). Kata kunci : : Benih Bandeng (Chanos chanos), Dactylogyrus sp, Prevalensi, Derajat Infeksi PENDAHULUAN Bandeng (Chanos chanos) merupakan ikan bernilai ekonomis penting yang banyak di pelihara di tambak-tambak air payau di Indonesia. Ikan ini merupakan konsumsi yang berperan penting dalam memenuhi kebutuhan protein masyarakat karena harganya relatif murah. Untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat budidaya bandeng telah berkembang dengan pesat. Dalam budidaya bandeng (C.chanos), salah satu masalah yang dihadapi adalah adanya ketersediaan benih bandeng (C.chanos) yang mencukupi. Kebutuhan akan benih bandeng (C.chanos) di Indonesia diperkirakan sekitar 1.209 juta ekor per tahun (Anonim, 1990). Kebutuhan akan benih bandeng baru terpenuhi sekitar 63 %. Diduga perkembangan industri penangkapan ikan tuna akhir – akhir ini yang menggunakan ikan benih bandeng (C.chanos) ukuran 200-300 gr sebagai umpan untuk meningkatkan kebutuhan akan benih bandeng (C.chanos). Disamping itu sejak tahun 1987 pemerintah membuka peluang ekspor benih bandeng (C.chanos) dengan kuota ekspor 600 juta ekor per tahun yang berarti kebutuhan benih akan meningkat dengan pesat (Anonim, 1988). Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam menunjang keberhasilan usaha pembenihan adalah penyediaan lingkungan yang sesuai atau dikehendaki benih bandeng (C.chanos) sehingga diperoleh kelangsungan hidup yang tinggi. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam budidaya bandeng (C.chanos) tradisional diantaranya adalah oksigen terlarut, salinitas, suhu, pH, serta senyawa kimia seperti NH3. Perkembangan parasit dan penyakit di pacu seiring dengan memburuknya
kualitas lingkungan perairan (Cameron, A. 2002). Perkembangan penyakit parasiter ini perlu di pantau setiap saat, sehingga wabah penyakit yang besar dapat dihindari. Untuk memonitor populasi suatu parasit pada ikan dapat dilakukan dengan melakukan identifikasi parasit yaitu dengan cara menghitung Prevalensi dan Derajat infeksi. Prevalensi adalah presentasi ikan yang terserang parasit atau proporsi dari organismeorganisme dalam keseluruhan populasi yang ditemukan terjadi pada ikan pada waktu tertentu dengan mengabaikan kapan mereka terjangkit. Sedangkan Derajat infeksi adalah jumlah rata-rata parasit per ikan yang terinfeksi dinyatakan dalam parasit/ekor (Mulyana et al., 1990). Jenis-jenis parasit yang sering menyerang benih bandeng adalah Dactylogirus sp, Gyrodactylus sp, Ichtyopthirius sp, Lernaea sp, Myxobolus sp, dan Tricodina sp (Mulyana et al., 1990). Pada tahun 1990 serangan penyakit Dactylogirus sp dapat menyebabkan kematian sekitar 50 % dari ikan yang terinfeksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Dactylogirus sp merugikan dan berbahaya bagi usaha budidaya bandeng, terutama ukuran benih (Kabata, 1985). Dactylogirus sp merupakan parasit yang sering menyerang pada insang terutama pada ikan bandeng. Parasit ini selama hidupnya berada pada tubuh ikan dan hanya akan meninggalkan inangnya apabila inangnya mati, kemudian ratusan larva Dactylogirus sp menetas dan mencari inang baru. 2 Dampak infeksi Dactylogirus sp yang cukup berbahaya adalah menyerang pada insang dengan menggunakan kaitnya yang menyebabkan warna filamen insang sedikit pucat. Pendarahan terjadi seiring dengan terjadinya kerusakan dan kehancuran 1
Lamella insang dan darah menggumpal sehingga proses respirasi terganggu (Scholz, 1999). Menurut Scolz (1999) benih bandeng (C.chanos) umumnya rentan terhadap parasit Dactylogirus sp yang biasanya menyerang pada insang. Sehingga pengamatan prevalensi dan derajat infeksi sangat penting dilakukan untuk mengetahui tingkat serangan dan penyebaran parasit pada suatu perairan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam usaha penanggulangan dan pencegahan wabah parasit pada ikan khususnya bandeng (C.chanos) (Kabata, 1985). Sampai saat ini penelitian mengenai infeksi ektoparasit Dactylogirus sp pada benih bandeng (C.chanos) di kecamatan Glagah kabupaten Lamongan belum dilakukan. Dari kejadian ini maka sangat penting dilakukan penelitian tentang infeksi ektoparasit Dactylogirus sp pada benih bandeng (C.chanos) di kabupaten tersebut, karena benih ikan umumnya rentan terhadap serangan parasit sehingga dapat menimbulkan kerugian cukup besar. Ikan bandeng juga memiliki ketahanan terhadap suhu perairan yang tinggi mencapai 40°C (Girl el al, 1986). Secara alami ikan berpijah di laut. Larva ikan bandeng wring di jumpai di sepanjang pantai terutama pada bulan — bulan tertentu. Larva terutama di jumpai di sepanjang pantai yang landai, berpasir, dan berair jernih serta kaya akan plankton seperti di daerah pantai utara pulau Jawa, Bali, Lombok, dan pantai Timur Sumatera Utara (Dana, 1990). Musim pemijahan bandeng di Indonesia terjadi dua kali dalam satu tahun yaitu bulan Februari - Mei dengan puncak antara bulan Maret - April dan bulan Juli Desember dengan puncak antara bulan September Oktober (Giri et al, 1986). METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2007 di Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan. Pemilihan lokasi berdasarkan data Dinas Perikanan kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan dimana ketiga desa ini merupakan tambak yang sering terinfeksi penyakit dan mempunyai kualitas air yang jelek. Ketiga desa tersebut antara lain : a. Desa Dalung, tambak pendederan dengan luas 12 x 9 m terletak diantara lahan-lahan yang digunakan untuk lahan pertanian. Mata air berasal dari Sungai Bengawan Solo yang melewati Lamongan. b. Desa Rayung, tambak pendederan dengan luas tambak 14 x 11 m. Mata air berasal dari aliran air Bengawan Solo yang mengalir setiap saat.
c.
Dusun Pedurungan, Desa Dukuh Tunggal, tambak pendederan dengan luas tambak 17 x 12 m. Mata air berasal dari buanganbuangan dari petambak lainnya. Identifikasi parasit dilakukan di Laboratorium Program Studi Biologi FMIPA ITS Surabaya. Alat, Bahan dan Cara Kerja 1)
Pengambilan Sampel Benih Bandeng ( Chanos chanos ) P e n e l i t ia n ini m e n g g u n a ka n metode e ks p e r i m e n d e n ga n t e k n i k pengambilan sample secara acak. Sampel yang diambil adalah benih banding (C. chanos) berumur 2 bulan dengan ukuran kira - kira 6 - 7 cm sebanyak 5 ekor per tambak sebanyak tiga kali ulangan. Sehmgga jumlah sampel seluruhnya yang diambil adalah 15 ekor tiap tambak pembenih. Dalam satu tambak jumlah bandeng kurang lebih 100 ekor. Menurut penelitian Prasetya. et al. 2004, pengambilan sampel sebanyak 5% sudah mewakili dari seluruh populasi di tambak. Parameter yang diamati adalah Dactylogyrus sp yang ditemukan. Sampel Bemh bandeng (C. chanos) kemudian dibawah ke Laboratorium Program Studi Biologi FMIPA ITS Surabaya untuk diamati bagian insangnya. 2) Pengamatan Dactylogyrus sp. Pengamatan Dactylogyrus sp. pada insang benih bandeng (Chanos chanos) dilakukan dengan cara menusuk bagian kepala (otak) menggunakan skalpel, kemudian tutup insang (operculum) dan lembaran insang digunting. Masing-masing lembaran insang baik kiri maupun kanan diletakkan diatas gelas benda, kemudian dikerok dengan skalpel dan ditetesi satu tetes larutan garam fisiologis (0,85 % NaCL) setelah itu preparat ditutup dengan gelas penutup. Preparat tersebut kemudian diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 x, dan dihitung banyaknya Dactylogyrus sp dengan hand counter. Identifikasi Dactylogyrus sp mengacu pada pustaka dari Schaperclaus, W. 1992. Fish Disease Volume 2. Banyaknya Dactylogyrus sp kemudian dihitung prevalensi dan derajat infeksinya dengan rumus : a.
Analisa Data Prevalensi Jumlah ikan yang terserang penyakit
Prevalensi =
x 100 % Jumlah sample ikan yang diamati
b.
Analisa Data Derajat Infeksi Jumlah parasit yang menyerang ikan
Derajat Infeksi =
x 100 % Jumlah ikan yang terserang parasit 2
3) Analisa Kualitas Perairan Pengamatan kualitas air berfungsi untuk mengetahui karakteristik dari perairan pada saat pengumpulan data di ketiga lokasi. Pengamatan kualitas air dilakukan pada setup pengambilan sampel. Kualitas air yang diukur meliputi : a. Suhu Air Suhu air diukur dengan cara inengguna kan ther mometer. Dimana thermometer dicelupkan ke dalam air tambak kurang lebih 3 — 5 menit. Kemudian dibaca skala yang ditunjukkan pada thermometer. Suhu air dinyatakan dalam °C. b. pH Air pH air diukur dengan cara menggunakan kertas pH. Air tambak diteteskan pada kertas pH dan dicocokkan dengan skala indicator yang terdapat pada indicator pH. c. Salinitas Salinitas air diukur dengan refraktometer. Prinsip refraktometer ditetesi dengan aquades agar skala indicator normal. Kemudian dibersihkan dengan kertas tissue. Air tambak di teteskan pada prisma yang telah bersih dan refraktometer ditutup. Nilai salinitas ditunjukkan pada angka skala indikator. Salmitas dinyatakan dalam (%). d. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dalam sampel tambak diukur dengan menggwlakan DO meter tipe HOMI 666 224 pada masing-masing lokasi selama pengambilan sampel. Oksigen terlarut dinyatakan dalam satuan ppm. e. Bahan Organik (NH3 dan H2S) Pengujian bahan organik dilakukan dengan cara sampel air diambil pada masing-masing lokasi selama pengambilan sampel kemudian dianalisa di laboratorium teknik lingkungan ITS Surabaya. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pengambilan sampel benih bandeng di tiap tambak pembenih di ulang sebanyak 3 kali. Parameter yang diamati adalah Dactylogyrus sp yang ditemukan.
uji LSD (Least Significan Difference) dengan taraf a = 5 % (Gomez, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Dactylogyrus sp Pada Insang Benih Bandeng (chanos chanos) Populasi suatu parasit pada ikan dapat dimonitor melalui identifikasi parasit yaitu dengan cara menghitung prevalensi dan derajat infeksinya (Mulyana, 1990). Prevalensi adalah presentasi ikan yang terserang penyakit dibagi dengan jumlah sampel ikan yang diamati. Prevalensi hanya untuk mengetahui presentase jumlah ikan yang terserang penyakit disetiap lokasi. Sedangkan untuk mengetahui kelimpahan atau besarnya serangan parasit pada ikan per individu dilakukan dengan cara menghitung derajat infeksi, sehingga dapat diketahui berapa besar tingkat serangan parasit pada tiap ikan. Hasil uji statistik ANOVA (Analisis Variansi) dan LSD (Least Significant Difference) pada taraf 5 % diketahui bahwa rata-rata prevalensi Dactylogyrus sp pada insang benih bandeng (C. chanos) di desa Dalung (53,33 %) dengan Rayung (66,67 %) tidak berbeda nyata. Desa Rayung (66,67 %) dengan desa Pedurungan (86,67 %) juga tidak berbeda nyata tapi antara desa Dalung dengan dengan desa Pedurungan berbeda nyata (Tabel 1). Tabel 1 Prevalensi Ductylogyrus sp pada insang benih banding (C. chanos) di Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan. Prevalensi (%) Desa
Ratarata (%)
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Dalung
40
60
60
53,33a
Rayung
80
60
60
66,67ab
Pedurungan
80
80
100
86,67b
Analisa Data
Keterangan : Angka-angka yang di ikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % berdasarkan uji LSD
Data yang te lah diper oleh ber upa Prevalensi da n Derajat infeksi Dactylogyrus sp dianalisa dengan Anova (Analysis of Varians). Jika terdapat perbedaan prevalensi dan derajat infeksi antar tambak pembenih maka untuk mengetahui tambak mana yang berbeda digunakan
Grafik rata-rata prevalensi Dactylogyrus sp pada insang benih bandeng (C.chanos) di kecamatan Glagah kabupaten Lamongan (Gambar 4.1) menunjukkan bahwa tingkat serangan Dactylogyrus sp yang paling tinggi terjadi di desa Pedurungan yaitu sebesar 86,67 %.
3
bahwa derajat infeksi Dactylogyrus sp pada insang benih bandeng (C. chanos) di desa Pedurungan mempunyai reta-rata derajat infeksi tertinggi (7,95 ind. Parasit/ekor), d i i kuti d e sa Ra yu n g (6 i n d. P ar asit/e kor ), dan desa Da lun g ( 2,0 6 in d. Parasit/ekor).
Gambar 1. Grafik rata-rata prevalensi Dactylogyrus sp pada insang benih banding (C. chanos) di Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan. Derajat Infeksi Dactylogyrus sp Pada Insang Benih Bandeng (C chanos) Derajat infeksi adalah jumlah rata – rata parasit per ikan yang terinfeksi dinyatakan dengan parasit/ekor. Hasil uji statistik ANOVA (Analisis Vuriansi) dan LSD (Least Significant Difference) pada taraf 5 % diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata disetiap lokasi penelitian, Desa Dalung sebesar 2,06 ind. Parasitlekor, Desa Rayung sebesar 6 ind. Parasit/ekor dan Desa Pedurungan sebesar 7,95 ind. Parasit/ekor. Derajat infeksi Dactylogyrus sp di desa Pedurungan menunjukkan rata-rata yang lebih tinggi di bandingkan dengan derajat infeksi di Desa Dalung dan Desa Rayung (Tabel 4.2). Tabel 2.
Derajat infeksi Dactylogyrus sp pada insang benih banding (C. chanos) di kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan. Derajat Infeksi
Desa
Ratarata
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Dalung
2,5
2,67
1
2,06a
Rayung
6
5,67
6,33
6b
8,25
8
7,6
7,95c
Pedurunga n
Gambar
2.
Grafik rata-rata derajat infeksi Dactylogyrus sp pada insang benih bandeng (C, chanos) di Kecamatan Glagah Kabupaten Larnongam
Prevalensi dan Derajat Infeksi Dactylogyrus sp Pada Insang Benih Bandeng (Chanos chanos) Penyakit ikan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan baik secara langsung atau tidak langsung. gangguan itu dapat disebabkan oleh organisme lain, pakan atau kondisi lingkungan yang kurang menunjang kehidupan ikan. Timbulnya serangan penyakit ikan di tambak merupakan basil interaksi yang tidak serasi antara ikan, kondisi lingkungan dan organisme penyakit (Afrianto&Liviawati, 1992). Hasil pengamatan mikroskopis Dactylogyrus sp yang di temukan di insang benih bandeng (C. chanos) pada semua lokasi penelitian adalah Dactylogyrus sp pada fase dewasa dengan ciri morfologi tubuh berbentuk seperti daun, mempunyai sucker tunggal dengan beberapa kait sebagai organ untuk menempel pada inang (Gambar 4.3.). Kait tersebut akan masuk ke dalam jaringan ikat pada lamela insang sehingga mengakibatkan wawa filamen insang menjadi sedikit pucat.
Keterangan : Angka-angka yang di ikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % berdasarkan uji LSD Grafik rata-rata derajat infeksi Dactylogyrus sp pada insang benih bandeng (C. chanos) di kecamatan Glagah kabupaten Lamongan menunjukkan 4
III 8 8
7
I 7 8
7
8
7
II
pH
8
III
II 10
23
10 21
22
10 21
20
24
4,00
4,01
I
3,40
Keterangan : I II III
Salinitas ( 0/oo)
II II I I 4,00 3,39
4,00
4,00 3,40
4,00
III 27 27 28
27 27 28
27 28 28
Dalung Rayung
Rata-rata prevalensi (86,67 %) dan derajat infeksi (7,95 ind. Parasit/ekor) di desa Pedurungan lebih tinggi di bandingkan dengan dua desa lainnya (desa Dalung prevalensi 53,33 derajat infeksi 2,06 ind. parasitlekor dan desa Rayung prevalensi 66,67 derajat infeksi 6 ind. parasit/ekor). Prevalensi Dactylogyrus sp di desa Pedurungan ini tergolong tinggi, didasarkan atas penelitian Senni (2002) bahwa nilai prevalensi di atas 70 % menunjukkan tingkat serangan parasit yang tinggi sedangkan nilai dibawah 70 % tergolong rendah. Tetapi bila dilihat pada nilai derajat infeksinya sebesar 2,06 - 7,95 parasit per ekor tergolong rendah (Tabel 4.2), didasarkan pada penelitian Desrina (2002) y 9 menyatakan bahwa derajat infeksi 4,5-8,8 parasit/ekor tergolong tidak tinggi. Selain itu berdasar penelitian Uspenskaja (1961) dalam Scharperclaus (1992) menyatakan bahwa derajat infeksi Dactylogyrus sp yang tinggi dan dapat menimbulkan kematian jika nilainya rata-rata 102,6 parasit/ekor (ukuran panjang tubuh ikan rata-rata 21,6 mm). Kisaran panjang tubuh bandeng yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5-10 cm, sehingga jika diubah dengan nilai yang sama, maka derajat infeksi yang tinggi yang dapat menyebabkan kematian bandeng 90%. Berdasarkan Tabel 4.1 prevalensi Dactylogyrus sp desa Pedurungan mempunyai nilai paling tinggi yaitu 86,67 %. Tingginya nilai tersebut di duga disebabkan oleh lingkungan 31 perairan yang buruk. Menurut Noble & Noble (1989) prevalensi parasit juga disebabkan oleh lingkungan perairan yang buruk yang menunjang parasit dapat tumbuh dan berkembang.
DO (mgi)
Pedurunga n
Gambar 3. Daglylogyrus sp hasil penelitian yang ada di insang benih bandeng (Chanos chanos). Keterangan : kart (a), mata (b). Perbesaran 100 X.
II
Suhu Air ( oC) I
DESA
Tabel 3. Hasil Pengukuran Kualitas Air dari tambak pengambilan sampel bench bandeng (C. chanos) di Kabupaten Lamongan.
= Pengukuran hari pertama = Pengukuran hari kedua = Pengukuran hari ketiga
Hasil pengukuran kualitas air seperti tingginya salinitas, rendahnya DO, dan tingginya NH 3 ( Tabel 3 ) di semua lokasi penelitian, terutama desa Pedurungan menunjukkan kualitas air yang buruk. Kisaran DO yang diamati adalah 3,40- 4 ppm, pada kisaran ini ikan dapat hidup tetapi pertumbuhannya terhambat serta mengalami stres, sehingga menyebabkan turunnya daya tahan tubuh ikan bandeng. Hal ini sesuai dengan basil penelitian Afrianto dan Liviawaty (1992) yang menyatakan bahwa kisaran DO normal yang baik untuk pertumbuhan ikan adalah diatas 5 ppm. Kandungan DO yang rendah (< 5 ppm) akan mempengaruhi suplai oksigen ketubuh ikan berkurang sehingga proses respirasi juga akan terganggu dan akibatnya ikan mengalami stres. Kualitas perairan yang lain seperti halnya pH di tiap-tiap desa tersebut apabila dibandingkan dengan pH perairan yang ideal bagi kehidupan ikan ternyata masih memiliki kriteria yang layak. Hal ini dikemukakan oleh Boyd dan Lichtkoppler (1979), bahwa nilai pH yang berkisar antara 6,9 – 8,0 masih memenuhi kriteria rata-rata yang layak untuk produksi benih. Walaupun kisaran pH di tiap-tiap desa tersebut laya k untuk kehidupan benih namun justru meningkatkan prevalensi Dactylogyrus sp. Hal ini diduga bahwa kondisi pH perairan yang ideal bagi kehidupan benih tersebut cocok bagi perkembangan siklus hidup dan penyebaran Dactylogyrus sp (Schaperclaus, 1992). 5
Kisaran suhu di desa Dalung sebesar 27°C, desa Rayung berkisar antara 27-28°C, clan desa Pedurungan sebesar 28 °C dinilai tidak begitu membahayakan bagi ikan. Karena menurut Ahmad, T dan Ratnawati, E (2002) ikan bandeng masih hidup normal pada suhu 27-35 °C. Tetapi kondisi suhu yang semakin tinggi justru memberi peluang bagi berkembangnya parasit Dactylogyrus sp. Hal ini didukung oleh pernyataan Schaperclaus (1992) dimana parasit Dactylogyrus sp selain sering menyerang pada musim kemarau, juga memerlukan waktu untuk berkembangbiak antara 27 - 28 hari suhu 8°C, 10 - 15 hari suhu 12 °C, 3 - 5 hari suhu 20 °C dan 1 – 4 hari suhu 24 - 28 °C (Schaperclaus, 1992). Rata – rata penetasan telur tergantung suhu, pada suhu yang rendah maka memerlukan berbulanbulan untuk menetaskan, sedang pada suhu tinggi akan menetas sekitar 4 hari hal ini membuat penanggulangan Dactylogyrus sp sangat sulit (http//www.fishnet/disease.htm). Kondisi kua litas per airan yan g t idak be gitu bai k dise mu a loka si mengakibatkan benih bandeng menjadi stres dan menurun daya tahan tubuhnyasehingga mudah terserang parasit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Afrianto dan Liviawaty (1992) yang menyatakan bahwa pengaruh serangan parasit te r ha da p i ka n ter ga n t u n g dar i je n is dan ju m la h m i kr o or ga n ism e ya n g menyerangnya, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi perairan saat itu dan daya tahan tubuh ikan. Sela in f aktor pe rairan, tinggin ya pr eva lensi dan d eraja t inf eksi Dactylogyrus sp di desa. Pedurungan di duga disebabkan oleh kondisi geografi lingkungan tambak pembenih. Hal ini dilihat dari keberadaan lokasi tambak desa Pedurungan paling rendah di banding dengan desa lainnya, sehingga selalu mendapat aliran air dari tambak lainnya. Kondisi demikian memungkinkan larva ektoparasit dari tambak lain masuk kedalam tambak pedurungan (Bhagawati et al, 1991). Larva yang masuk kedalam tambak siap untuk menginfeksi inang baru. Perkembangan larva ini kemudian mencapai dewasa dan matang seksual di insang ikan. Ukuran benih juga mempengaruhi tingginya nilai prevalensi dan derajat infeksi. Fenomena ini menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran ikan justru akan semakin rentan terhadap Dactylogyrus sp. Hal ini disebabkan karena pada ukuran benih semua organ tubuh belum berfungsi secara sempurna sehingga dapat dikatakan bahwa benih merupakan fase yang sangat kritis dan mudah terserang parasit (Komarudin, 1991).
bandeng (chanos chanos) berturut-turut dari yang tertinggi adalah desa Pedurungan (86,67 %), desa Rayung (66,67 %) dan desa Dalung (53,33 %). Derajat infeksi Dactylogyrus sp pada insang benih banding (C. chanos) antara desa yang satu dengan yang lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata, derajat infeksi Dactylogyrus sp di desa Pedurungan mempunyai rata-rata tertinggi (7,95 ind. Parasit/ekor), diikuti desa Rayung (6 ind. Parasit/ekor), dan desa Dalung (2,06 ind. Parasit/ekor). Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaturan sirkulasi air terhadap tambak pembenih. REFERENSI Anonim,
1993. Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Penyakit Ikan. Direktorat Bina Sumber Hayati, Direktoraty Jendral Perikanan. Jakarta. 41 p.
Anonim, 1988. Studies on The Maturation and Spawning of Milk Fish in Captivity. Progress Report Oktober – December. USA. 87 p Anonim,
1990. Workshop on Larval Culture of The Milk Fish ( C hanoschanos). Gondol Research Station. Bali. Indonesia. Prepared by : The Oceanic Insatute. Hawai. 102 p.
Ahmad, T, dan Ratnawati, E. 2002. Budidaya Bandeng Secara Intensq' Penebar Swadaya. Bogor. Afrianto,
E dan Liviawaty, E. 1992. Pengendalian Hama & Penyakit Ikan, Kanisius. Yogyakarta. 89 p.
Amlacher, E. 1961. Texbook of Fish Disease (Translated by : D. A. Controy and R. L. Herman).TFH Publication Germany. 302 p. Balmer, J. H. S, 1965. Development : Eggs ang Larvae., dalam : W. S. Hoar and D. J. Randall (End), Fish Physiologi III. Academic Press. New York.
KESIMPULAN DAN SARAN
Bhagawati, D.,Petrus, H. T.,Siti, R., 1991. Mengenal Ektoparasit Penyebab Penyakit Ikan Pada Kolam Rakyat di Desa Beji Purwokerto. KKI Tidak di Publikasikan. Fakultas Biologi UNSOED. Purwokerto.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat prevalensi Dactylogyrus sp pada insang benih
Brotowidjoyo, M. D.,1987. Parasit dan Parasitisme. Media Sarana Press. Jakarta. 6
Cahyono, B. 2000. Budidaya Ikan Air Tawar : Ikan Bandeng, Ikan Nila, Ikan Gurami. Cetakan Kelima. Kanisius. Yogyakarta. 113 p. Cameron, A. 2002. Survey 7bolbox for Aquatic Animal Diseases. A. Practical Manual and Software Package. ACIAR Monograph No.94 Chauduri, H. 1977. Observation on Artivical Fertilization of Eggs and The Embryonic and Larva Development of Milk Fish Chanos chanos. Forsskal. 13 : 95-113. Chandler, A. C. 1950. Introduction to Parasitology With Special Reference to The Parasites (?I'Afan. John Wiley & Sons. Inc. New York. Dana, D dan S. L. Angka, 1990. 11usalah Penyakit Parasit dan Bakteri PadaIkan Air Tawar Berta Cara Penanggulangannya. Bala] PenelitianPerikanan Air Tawar, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.Bogor. 10-23 p. Dana, A. 1990. Analysis of The Effect of rear in g Te mper atu re o n The Prevalence of Myxosporea in Exsperimentally Infected Common Carp (Cyprinus carpio L.) Asian Fisheries Science. 3:329-335. Dalimunthe, S. 1990. Jervis ParaW Yang Dyumpai Pada Ikan Yang Di Pelihara Di Jawa Timur. Dalam Prosiding Seminar II Penyakit Ikan dan Uclang. Ba lai Pe neliti an P er ika nan A ir Ta war , Pusat P enel itian Dan Pe nge m ban gan Pe ri kana n, B og or . 109-115 p. Dja ni , S. 1 99 3. A I asal ah P eny ak it Pa d a Dala m Budi day a Man L a ut. Pr osi din g Si m p osi u m P e r ika nan I. Ja kar ta. 15 7- 1 62 p. Dae lami, D. A. 20 01. Agar M an Se h at . Pe nebar Swa da ya , J a ka r ta . Du i jn, C. V. J. 19 7 3. Disease of Fis hes. Ilif f e B ooks. Lon d on. 37 2p. Ef f en die, M. 1. 19 9 7. Biolo g i Pe ri k an a n. Pusta ka N usata ma . Y og yka rt a. 16 3 p. Ef f en die, M. I. 1 97 8. Meto d e B iol ogi Perik an an I ( Sa udi Natu ral Hist o ry) . Fa ku lta s P er ik anan IP B. B ogor .
G omez, K. A and A. A. Gomez. 19 95. Prose du r St atistik Untuk Pe neliti a n P ert ani a n . Edisi Kedua. Diter je ma h ka n Oleh E . Sja msu ddi n da n J usti ka. S. Baha r sja h. Ul P r ess. Ja kar ta. 69 8 p. Gir l, N. A, A. P n' yo n o, dan Tr id jok o, 19 86. P emij ah a n da n Pe melihar a an L arva B an de ng ( Cha n os c h an os) . Bu di da ya P antai H ( 1- 2) . Ba ndu n g. Had] , S. 197 8. Stati stik a j ilid H . Ga d jah Ma da Uni ve rsit y P re ss. Y og ya ka rt a.3 66 p. H or ri son, F. W, 19 91. Micr osc opic Anat omf n v Hine , P . M., B. K. Di ggle s, M. J. D. P ar son s, A. P rin gle da n B. B ull. 20 02. The Effe cts of St reso rs on The Diam ic s of Bona mia Ex itiosu s Hi ne , C oche n nesLau re a u & Be rt he , I nf ecti ons in Fla t Oyste rs O stre a Ch il ens is ( Phili pp i) . Jur n of Fis h Diseases. 25 : 54 5- 5 54. Kaba ta. 1 98 5. P a ra sites a nd Di se ase F ish Cult ure in t he Tro pics . Ta yl or & P ra ncis Inc. P hilade lp hi a. 318 p. K omar udi n, O. 19 8 6. K eta h an an Lim a Str ain Ik o n M as Ter ha d ap I nfek si ,Vvx os p or id ia. Bulle ti n P eneli tian P er ikana n dar at . 5( 1) :1- 3. K omar udi n, O. , O. P r asen o, da n Azwar , Z. I. 1 99 1. I nfe k si Pa ra si t Pa da Be nih I k an Ma s Y a ng Dipeli h ara di Kol am De n ga n Siste m Ae ra si. Bulle ti n P enel itian P er ikanan Dar at. 10 ( 1) : 121- 12 5. Mul ya na, R. I. Riadi , S. L. A n gka , dan A. Ru k ya n i 1 99 0. Pemak ai an Sistem Sa rin ga n Un t uk Me nc eg ah I nfek si Para sit P ad a Beni h I ka n. Dal am Prosi din g Semi n ar I I P eny akit I kan D an U da n g. Ba lai P eneli tian P er ikana n Air Ta wa s, P usat P enelit ian Dan P en g emba n ga n P er ikana n, Bada n Pe nelit ian Dan P enge m ban ga n P er ta nia n Ba gor . 16 9- 1 73 p. Moll er , H & K, A nde r s. 19 86. Disea se an d Para sites oj'A 4 arj n e Fishes. Ver lag Moller , Je rman. 7
Mo yl e . P . B. and J ose p h . J . Ce ch- Jr. 200 0. Fishes An Int ro duc tion to I chthyol o gy. 4 E dit io n. P r ent iceHall Inc . USA. Nels on, J .S. 198 4. F ish e s of T he Worl d. 2 Edit io n. J on h Wi l e y S on In c. USA. 12 1p. Nic ke ll, T. A. da n Dispe rsal Hilluf 1hi s O kla. Acad. N oble ,
M. S. E win g. 1 98 9. of I cht hy op ht hi ri u s ( Cilio p hor a ) . Proc. Sci. 6 9: 23- 3 5.
E . R. & N ob le, G. A. 19 8 9. Para si tol o gi B iolo gi P arasit Hewa n. Edi si Kelim a. UG M. Pr e ss. Yog ya kar ta.
P ost , G. 1 98 3. Tex tb oo k of F ish He al th. TFH P ubl ica ti on. Un ited St ates.25 6 p. Sant os o.
B. 1 99 3. P etunj uk Pr akti s Budi day a I ka n B an den g . Ceta ka n Pe r tama. Kanisiu s. Y og ya ka rt a. 83 p..
Stic kne y, R. R . 1 99 4. Pri nc iple s of Aqu ac ult ure . J oh n Wi le y an d S on s. 5 02 p. Tr ima ri a m, A dan 1. Rus ti kawa ti, 1 99 0. Mas al ah P eny ak it Z oo pa ra sit Dalam Peme lih ar aa n B enih I kan Air Ta war. Da la m Pr osi din g Semi nar Ha ma P en ya ki t I ka n da n Udan g. Bala i P enel itia n P er ikanan Air Ta wa r , P usa t Pe nelit ian Dan P enge m ban ga n P er i kana n, B a dan P enelit ian Dan P en g emba n ga n P er taman. B ogor . 39- 4 6 p. Vent ura ,
M. T. da n J.M. Gri zzle , 1 98 7. Ev alu atio n of po rtal s o f e ntry of Ae romo n as hydr o phil a i n C ha n nel catfi sh. Aqu ac ultur e , 6 5 : 2 0521 4.
Z on ne vel d , N., A. Hui sma n, da n J. H. B oon, 19 9 1. Pri nsi p - P rinsi p Budi day a Ik an. Gr amedi a P ust aka Utama. Ja kar ta. 33 6 p.
Saani n, H. 1 96 8. Ta kson o mi du n K u ntji I dentifi k asi I kan. B inat ji pt a. Ban du n g, Seni, 2 00 1 . Deraj at Ins i den si d an Der aj at I nfeksi M yxo b olu s sp Pa da In sa n g Ben ih Karp er( Cy pri n u s carp io) di Ka bu pa ten Y eman. U ni ve rsita s Gaja h Ma da. Sch olz , T. 19 99. P ara site s i n C ult ured an d Fe ral Fi sh. Vet er inar y Pa r asi tol og y 8 4 3 17- 3 3 5 . Schap er clau s, W. 1 9 9 2. F ish Volume 2. R otter da m.
Di sea se
Ster ba, G. 1 98 9. F re sh w ater Fi shes of T he Worl d. V ol ume I. C osm o Pub licat i on. New Delhi. 46 9 p. Sudar t o da n L. Dha nna. 19 90. Uji B a n din g Kela ng su ng a n Hi du p B enih I kan Ban de n g (C ha n os c ha no s) R as local. B ulle tin P enelit ian Pe r ikanan Dar at. 9( 1) :1 04- 1 0 7 Su gi yon o, 1 9 9 7. Stati stik a Unt uk Pen elitia n. Ceta ka n Pe rt ama. Alf abeta . Ba nd un g. 1 9 4 p.
8
PENGARUH PEMBERIAN EXATON-F PADA PAKAN DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN DAN FCR JUVENIL IKAN IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp) Ir. Tri Wahyudi, MMA DOSEN UNISLA ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Exaton-F pada pakan dengan dosis yang berbeda terhadap laju pertumbuhan dan FCR juvenile ikan Nila Merah (Oreochromis sp). Hasil penelitihan menunjukkan bahwa pemberian Exaton-F pada pakan juvenile ikan Nila Merah dengan dosis yang berbeda berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan konversi pakan (FCR) juvenile Ikan Nila Merah. Nilai tertinggi rata-rata laju pertumbuhan sesaat diperoleh pada perlakuan C (dosis 10 ml/kg) 2,43 % kemudian diikuti oleh perlakuan E (dosis 20 ml/kg) 1,55 %, B (dosis 5 ml/kg) 1,54 % D (dosis 15 ml/kg) 1,50 % dan A (dosis 0 ml/kg) 1,44 %. Nilai ratarata konversi pakan (FCR) tertinggi dicapai pada perlakuan C sebesar 1,70 gr/gr diikuti E sebesar 4,82 gr/gr, A sebesar 5,11 gr/gr, D sebesar 5,11 gr/gr, B sebesar 5,32 gr/gr. Perlakuan berpengaruh (tidak berbeda nyata) terhadap persentase kelangsungan hidup dan kualitas air ikan Nila Merah. Dimana persentase kelangsungan hidup tertinggi diperoleh pada perlakuan C ( dosis 10 ml/kg) dan A (dosis 0 ml/kg) (100 %) dan terendah pada perlakuan B (dosis 5 ml/kg) 95,55%). Kata kunci : Exaton-F, Ikan Nila Merah, FCR PENDAHULUAN Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) merupakan jenis ikan yang diintroduksikan dari luar negeri. Bibit ikan ini didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan air Tawar pada tahun 1969 (Djarijah, 1995). Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani ikan di seluruh Indonesia. Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya yang enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah. Selama ini pengembangannya budidaya ikan nila merah tidak banyak mengalami masalah, namun ada salah satu masalah yang perlu diperhatikan yaitu masalah pakan pakan ini berperan sangat penting bagi pertumbuhannya. Pada kondisi yang masih juvenile ikan ini membutuhkan pakan yang mempunyai kandungan protein yang tinggi. Pertumbuhan pada ikan selain dipengaruhi oleh pakan, juga dipengaruhi oleh kesehatan ikan. Ikan yang sakit nafsu makannya berkurang/berhenti makan. Selain bermanfaat dalam meningkatkan ketahanan tubuh, Exaton-F juga dapat memperbaiki kualitas air. Menurut Widarto (2004), salah satu cara untuk memacu pertumbuhan ikan adalah mengggunakan bahan–bahan alami yang dapat merangsang pertumbuhan ikan itu sendiri, seperti tanaman obat keluarga (Toga) yang dicampurkan pada pakan ikan. Exaton-F merupakan hasil olahan dari ekstrak berbagai tanaman obat tradisional diseluruh
Nusantara dan diproses dengan cara fermentsai sehingga senyawa-senyawa organic (tanaman obat tersebut) terurai menjadi unsus-unsur yang lebih sederhana sehingga muda diserap oleh jaringan tubuh ikan. Exaton-F adalah formula alami untuk meningkatkan produktifitas dan mempertahankan kontiyunitas produksi usaha perikanan. Sebagai terobosan baru dengan pengobatan internal, sasaran utama Exaton-F adalah melakukan pencegahan sebelum penyakit tersebut timbul, karena bagaimanapun juga pencegahan jauh lebih murah dan menguntungkan dari pada mengobati. Metode pengobatan Exaton-F pada pakan dapat memacu pertumbuhan ikan, hal ini harus sesuai dengan pemberian dosis/takaran yang sesuai dengan resistensi ikan itu sendiri. Menurut Widarto ( 2004), pemberia Exaton-F dengan dosis 15 ml/kg pakan sudah dapat memacu pertumbuha ikan bandeng. Untuk mengetahui dosis penggunaan Exaton-F yang terbaik maka perlu dilakukan penelitian tentang dosis yang optimal guna mendapatkan laju pertumbuhan juvenile ikan Nila Merah yang terbaik dan nilai Feed Convertion Ratio (FCR) yang terendah. MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium FMIPA BIOLOGI ITS Surabaya. Waktu penelitian dimulai pada bulan April – Mei 2007. 9
Materi Penelitian
Tabel 2. Nilai gizi pakan pellet PT Central Proteina Prima Merk 581
1) Hewan Uji Hewan uji ang digunakan untuk penelitian ini adalah juvenil ikan Nila Merah (Oreochromis sp) yang berukuran 3-5 cm dengan berat ± 3 gram/ekor. 2) Wadah Wadah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan akuarium berukuran 40 x 30 x 30 ccm, sebanyak 15 buah. 3) Air Media Air Media percobaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan air sumur dan diisikan ke akuarium yang masing-masing dengan ketinggian 25 cm. 4) Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian sebagaimana yang tercantum dalam Tabel. 1 Tabel. 1 Peralatan yang digunakan dalam penelitian. No
Nama Alat
Kegunaan
1
Oxymeter tipe Handylab
Mengukur Suhu dan DO
2
Timbangan
Menimbang bahan
3
Aerator + batu aerasi
Supplay Oksigen
4
Erlenmeyer 250 ml
Mengambil air
5
Selang
Menyipon
6
Serok/Scoop net
Mengambil ikan
7
Botol semprot
Menyemprot/Tempat air
8
Bak Saring
Mengambil ikan
9
Suntikan/Siring
Mengambil larutan Exaton
10
Gelas Ukur
Mengukur volume air
11
Plastik
Menyimpan ikan
12
pH pen
Mengukur pH
5) Bahan Percobaan - Exaton –F - Pakan pellet - Kaporit
Kandungan Pakan
Kadar (%)
Protein
30-32
Lemak
3-5
Serat
4-6
Abu
5-8
Kadar Air
11-13
Metode Penelitian Metode penelitian yang di gunakan adalah metode eksperimen, yaitu metode dengan melakukan serangkaian percobaan untuk melihat suatu hasil yang akan menjelaskan bagaimana kedudukan hubungan antara variabel yang diselidiki. Menurut Nazir (1988), tujuan penelitian eksperimen ini adalah untuk men yelid iki ada tid aknya hub ungan seb ab akib at terseb ut dengan cara memberikan perlakuan tertentu pada beberapa kelompok eksperimen. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara observasi langsung yaitu teknik pengambilan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki, baik pengamatan itu dilakukan di dalam situasi yang sebenarnya maupun situasi buatan yang khusus diadakan (Surakhmad, 1989). Sedangkan data yang diamati adalah: Berat ikan per akuarium setiap seminggu sekali FCR Survival rate Kualitas air (pH,DO,Suhu dan Amoniak) per akuarium setiap seminggu 1) Rancangan Percoban Rancangan Percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan acak Lengkap (RAL). Hal ini didasarkan pada media eksperimen yang dibuat homogen, seperti hewan uji, umur ikan/berat ikan, jumlah hewan uji, wadah, air tawar, pH, DO, jumlah aerasi, intensitas cahaya, dan tempat yang sama (Marmon, 1992). Penelitian ini menggunakan 3 kali ulangan pada 5 macam perlakuan. Sehingga dalam penelitian
10
terdapat 15 unit percobaan. Kelima level perlakuan tersebut adalah sebagai berikut : Perlakuan A : Dosis 0 ml/kg Perlakuan B : Dosis 5 ml/kg Perlakuan C : Dosis 10 ml/kg Perlakuan D : Dosis 15 ml/kg Perlakuan E : Dosis 20 ml/kg Model statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yij= µ + T1+ ∑ij i = 1 , 2 , 3 , … , t T= 1,2,3,…., r Dimana, = nilai pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan Yid ke-j µ = nilai tengah umum Ti = pengaruh perlakuan ke-i ∑ij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-I ulangan ke-j r = jumlah ulangan pada perlakuan ke-i t = jumlah perlakuan
2) Batasan Variabel a) Laju pertumbuhan sesaat adalah : besarnya perubahan bobot rata-rata individu ikan menurut waktu (Hariati, 1989). b) Fees Convertion Ratio (FCR) adalah : perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi denan pertambahan bobot badan (Mujiman, 1991). c) Exaton – F merupakan ekstrak berbagai tanaman obat tradisional di seluruh Nusantara. Diproses dengan cara fermentasi sehingga senyawa-senyawa organik (tanaman obat tersebut) terurai menjadi unsur-unsur yang lebih sederhana sehingag mudah diserap oleh jaringan tubuh ikan (Widarto, 2004). d) Juvenil ikan Nila Merah (Oreochromis sp) adalah ikan Nila Merah (Oreochromis sp) yang berumur kurang lebih 20 hari dan berukuran 3 – 5 cm (Suyanto, 2002). Prosedur Penelitian 1) Persiapan Sebelum pelaksanaan kegiatan penelitian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan persiapan materi yang akan dipakai dalam penelitian, meliputi persiapan alat, bahan dan ikan yang akan dipergunakan.
a) Alat Wadah berupa akuarium disusun dalam unit percobaan sesuai dengan rencana denah percobaan. Akuarium dibersihkan dan disterilkan menggunakan Kaporit.
Pengaturan sirkulasi dan aerasi untuk bak-bak penelitian. b) Ikan Ikan diletakkan dalam bak penampungan bervolume 1 m 3 air dengan kondisi air media yang sama selama kurang lebih 3 hari agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan setempat.
2) Pelaksanaan Penelitian Menimbang ikan uji dan memasukkan ke akuarium dengan kepadatan 15 ekor/akuarium. Pemberian pakan sebesar 5 % terhadap berat biomas, pada pukul 06.00, 12,00, 16.00 WIB. Sebelumnya dilakukan pencampuran dengan Exaton-F. Adapun cam pencampuran Exaton-F dalam pakan adalah: a. Memasukkan pakan yang diberikan ke dalam bak plastik. b. Menyiramkan atau memercikkan larutan Exaton-F yang sudah diencerkan dengan air bersih secukupnya dan diaduk dengan rata. c. Mengangin-anginkan pakan selama ± 30 menit agar larutan Exaton-F meresap ke dalam pakan. Untuk menjaga kualitas air media, dilakukan pengambilan feces dan sisa pakan setiap harinya dengan cara menyimpan sejumlah air yang ada di akuarium. Pengukuran kualitas air (pH) setiap seminggu sekali pada waktu yang sama. Suhu dan DO diukur setiap hari, pukul 06.00, 12.00 dan 16.00 WIB. Penghitungan pertumbuhan ikan dilakukan setiap 7 hari sekali dengan menimbang seluruh ikan uji pada setiap akuarium. Kemudian dilakukan penyesuaian jumlah pakan untuk diberikan pad. hari selanjutnya. FCR dihitung dengan membagi antara jumlah pakan yang diberikan dan perubahan berat badan ikan uji setiap 7 hari sekali. SR (%) dihitung. Parameter Uji Penelitian 1) Parameter Uji Utama Parameter uji utama yang diukur dalam penelitian ini meliputi : Pertumbuhan ikan diukur dengan menggunakan rumus laju pertumbuhan sesaat ikan Nila Merah ( Oreochromis sp) yaitu : Wt = Wo.egt
11
Dari uji beda nyata terkecil (BNT) di atas dapat dilihat bahwa. perlakuan C (dosis 10 ml/kg) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap perlakuan A (dosis 0 ml/kg), perlakuan B (dosis 5 ml/kg), perlakuan D (dosis 15 ml/kg) dan p erlakuan E (dosis 20 ml/kg).Sedangkan perlakuan A (dosis 0 ml/kg) menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap perlakuan B (dosis 5 ml/kg), perlakuan D (dosis 15 ml/kg) dan perlakuan E (dosis 20 ml/kg). Perlakuan B (dosis 5 ml/kg) menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap perlakuan A (dosis 0 ml/'kg), perlakuan D (dosis 15 ml/kg) dan perlakuan E (dosis 20 ml/kg). Perlakuan D (dosis 15 ml/kg) juga menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan A (dosis 0 ml/kg), perlakuan B (dosis 5 ml/kg) dan perlakuan E (dosis 20 ml/kg).
dimana, Wt = berat rata-rata ikan pada waktu tertentu (gr) Wo= Berat rata-rata ikan pada waktu t = 0 (gr) t = waktu pengamatan (hari) g = laju pertumbuhan e = bilangan konstanta 2,71828 (Efendi,1979)
Feed Convertion Ratio (FCR) = Jumlah Pakan yang diberikan Wt – Wo
FCR = Nilai Konversi pakan Wt = Berat rata-rata ikan pada waktu tertentu (gr) Wo = Berat rata-rata ikan pada waktu t = 0 (gr)
2) Parameter Uji Penunjang Tingkat Kelangsungan Hidup/Survival Rate (SR) = Jumlah Ikan Hidup Akhir Penelitian x100% Jumlah Ikan Awal Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Laju Pertumbuhan Seaat
Kualitas air Kualitas air yang diamati selarna penelitian meliputi Suhu, pH dan Oksigen terlarut yang berfungsi untuk menjaga stabilitas lingkungan hidup ikan nila merah. Pengukuran suhu dan DO dengan Oxymeter tipe HandyLab, sedangkan pH menggunakan pH pen. Analisa Data Dari data yang terkumpul dicatat dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap respon parameter uji digunakan analisa sidik ragam atau uji F. jika uji F berbeda nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan ke uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan dan untuk mengetahui dosis mana yang terbaik maka dilakukan uji beda nyata terkecil (BNT) seperti pada Tabel dibawah ini : T ab el 1 . D a fta r B NT Laj u P er t u mb u ha n j uv e ni l i ka n Ni la Mera h Oreochronfiv sp). D= 1,50
Perlaku A = an 1,44 A = 1,44
-
D = 1,50
0,06
ns
B = 1,54
B = 1,54
E = 1,5
C= 2,43
Notasi a
-
a
0,10ns
0,04ns -
a
E = 1,55
0,11ns
0,05 ns
0,01ns
C = 2,43
**
**
**
0,99
0,93
Ket : * * ( Berbeda Sangat Nyata) ns (Tidak Berbeda Nyata)
-
0,89 0,88 **
a -
b
Dari hasil penelitian maka dapat dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai laju pertumbuhan juvenil ikan Nila Merah (Oreochromis sp) yang hasilnya dapat dilihat sebagai berikut. Tabel 5. Laju Pertumbuhan Seaat Juvenil Ikan Nila Merah (Oreochromis Sp) Laju Pertumbuhan Seaat Perlakuan % BW/Minggu Arc sin √% A 0,063 1,44 B 0,073 1,54 C 0,180 2,43 D 0,070 1,50 E 0,073 1,55 Keterangan : Data merupakan hasil rata-rata dari 3 kali ulangan Untuk dapat mengetahui pengaruh perlakuan terhadap laju pertumbuhan Juvenil Ikan Nila Merah dilakukan analisa sidik ragam atau uji F seperti berikut Tabel 6. Analisa Sidik Ragam Laju Pertumbuhan Sesaat Juvenil Ikan Nila Merah (Oreochromis Sp) Sumber Db JK Keragaman Perlakuan 4 2,05 Galat 10 0,14 Total 14 Ket : ** (berbeda sangat nyata
KT
F hit
0,512 0,014
36,57**
F Tabel 5% 1% 3,48 5,99
Dari analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian Exaton-F dengan dosis yang berbeda 12
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap laju pengaruh tidak berbeda nyata terhadap perlakuan A (dosis 0 ml/kg), perlakuan B (dosis 5 ml/kg) dan perlakuan D (dosis 15 ml/kg). Ikan sebagaimana hewan lain harus mendapatkan energi dari makanan yang dikonsumsi Beberapa unsur pokok makanan seperti protein, karbohidrat dan lemak digunakan ikan dalam proses katabolisme dan anabolisme (pertumbuhan). Pertumbuhan juvenil ikan Nila Merah (Oreochro mis sp) pada masingmasing perlakuan disebabkan adanya masukan energi yang berasal dari makanan buatan (pellet). Menurut Suyanto (1994) pertumbuhan ikan Nila Merah (Oreochromis sp) selain dipengaruhi tersedianya makanan juga dipengaruhi oleh kualitas air tempat hidupnya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perlakuan pemberian Exaton – F dengan dosis yang berbeda memberikan respon yang berbeda sangat nyata terhadap laju pertumbuhan juvenil ikan Nila Merah (Oreochromis sp). Laju pertumbuhan juvenil ikan Nila Merah (Oreochromis sp) tertinggi diperoleh pada perlakuan C (dosis 10 ml/kg), diikuti berturutturut oleh perlakuan E (dosis 20 m1/kg), perlakuan B (dosis 5 ml/kg), perlakuan D (dosis 15 ml/kg) dan yang terakhir adalah perlakuan A (dosis 0 ml/kg). Hal tersebut membuktikan bahwa pakan yang menggunakan tambahan Exaton-F (B, C, D dan E) telah dapat dimanfatkan oleh juvenil sehingga dapat diasumsikan bahwa juvenil sudah mengalami proses adaptasi terhadap pakan tersebut. Artinya pengaruh enzim yang terkandung dalam Exaton-F pada pakan buatan berfungsi efektif dalam tubuh (pencernaan) ikan. Hal ini sesuai dengan pemyataan Murtidjo (2001), bahwa Exaton termasuk golongan makanan tambahan pelengkap yang membantu pencernaan yaitu perangsang pertumbuhan yaitu berupa enzim yang berfungsi efektif didalam tubuh ikan dan memberikan efek antara lain membantu mengefektifkan p enggunaan zat-zat makanan, mencegah p er tumb uhan mikroorganisme yang dapat menghasilkan amoniak yang berlebihan dan mengand ung nitro gen d alam usu s, me mp erlancar ab sorb si dalam usus, memperbaiki konsumsi makanan, mencegah dan mengobati penyakit yang bersifat patologis di saluran usus. Perlakuan dengan penambahan dosis Exaton – F yang lebih tinggi dari perlakuan C (dosis 10 ml/kg pakan) yaitu perlakuan D (dosis 15 ml/kg pakan) dan perlakuan E (dosis 20 ml//kg pakan) diperoleh laju pertumbuhan yang lebih rendah. Hal tersebut diduga bahwa semakin tinggi dosis Exaton-F pada pakan buatan, maka tingkat
pemanfaatan pakan serta efektifitas dan efisiensi kerena bakteri pengurai dalam pencernaan akan semakin rendah. Apabila terlalu banyak probiotik dalam pakan akan menjadi racun terhadap sistem pencernaannya karena me mp engaru hi keasa ma n d alam la mb u ng d an ak hi mya me mp e ngar uhi pertumbuhannya. Keasaman atau pH dalam lambung (RCI) sekitar 4 - 4,5, jika terjadi penurunan akibat dosis bakteri pengurai berlebihan, maka akan terjadi ketidakseimbangan sistem pencernaan (Suriawiria, 1996). Seperti halnya pencernaan pada manusia, apabila terlalu banyak minum probiotik (yakult) akan menyebabkan keasaman lambung yang tinggi sehingga menyebabkan sakit diare (Anonymous, 2001). Menurut Teruohuga dan Wididana (1996), penggunaan EM-4 dalam bentuk cair langsung melalui media pemeliharaan ikan gurami, menghasilkan pertumb uhan tertinggi dengan dosis EM 4 0,4 mg/l, sedangkan menurut Sudarmanto (2000), penggunaan probiotik Aqua Simba dalam bentuk cair langsung melalui media pemeliharaan ikan gurami, menghasilkan pertumbuhan tertinggi dengan konsentrasi 10 ppm. Grafik hubungan (kurva respon) antara perlakuan dosis Exaton-F yang berbeda terhadap laju pertumbuhan juvenil ikan Nila Merah dapat dilihat pada Gambar di bawah ini :
39
Gambar 2. Grafik Hubungan antara Dosis Exaton-F pada pakan terhadap Laju Pertumbuhan Ikan Nila Merah Selama Penelitian Kelangsungan Hidup (SR) Tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) adalah persentase ikan yang hidup setelah jangka
13
waktu tertentu. Jumlah juvenil ikan Nila Merah (Oreochromis sp) yang hidup selama penelitian. Tabel 11. Data Kelangsungan Hidup (%) Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) tiap perlakuan selama penelitian Perlakuan A B C D E Total
1 100 93,33 100 100 93,33 486,66
Ulangan 2 100 93,33 100 100 100 493,33
3 100 100 100 93,33 100 493,33
Total 300 286,66 300 293,33 293,33 1473,33
RataRata 100 95,55 100 97,77 97,77 491,09
Hasil p enelitia n me nu nj uk kan b a h wa masi ng -masi ng p er lakua n memberikan respon yang tidak berbeda nyata atau perlakuan tidak berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup juvenil tkan Nita Merah (Oreochromis sp). Hal tersebut dibuktikan dari hasil sidik ragam tingkat kelangsungan hidup juvenile ikan Nila Merah selama penelitian tidak berbeda nyata. Dari penelitian didapatkan hasil bahwa, kelangsungan hidup ikan Nila Merah (Oreochromis sp) tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa penambahan Exaton-F dalam pakan tidak memberikan efek negatif bagi kelangsungan hidup ikan. Sebagaimana dikatakan oleh Widarto (2004), bahwa hadirnya zat kekebalan pada Exaton-F yang benar-benar menjadi terobosan barn yang belum pernah ada sebelumnya, sehingga membuat kasus kematian gurami setelah berumur I bulan dapat dihindari. Usaha praktis pencegahan ikan sakit adalah melalui pemberian pakan dengan campuran probiotik dengan tujuan untuk kesehatan ikan dan mencegah terjadinya penyakit. Keuntungan spesial penggunaan makanan probiotik adalah pencegahan terjadinya stress pada ikan seperti penanganan saat pengangkutan (De Wet, 2003). Kualitas Air Selama penelitian dilakukan pengukuran parameter kualitas air sebagai parameter penunjang. Kualitas air yang diukur meliputi Suhu, pH dan Oksigen terlarut (DO). Data basil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Lampiran. 6. Bila hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan kualitas air yang seharusnya, maka kualitas air ini masih berada pada kisaran normal. Adapun kisaran kualitas air dari hasil penelitian tertera pada Tabel dibawah ini :
Tabel 13. Nilai Kisaran Kualitas Air Selama Penelitian No 1
Parameter Suhu (oC)
Kisaran 23,1-25,0
2
pH
7,0-7,5
3
DO (mg/l)
5,3-6,7
Pustaka 21 – 32 0C (Boy 1982) 6,5 – 8,5 (Anoymous 2003) Minimal 5 mg/l (Anoymous 2003)
KESIMPULAN Dari Hasil peneitian tentang pengaruh pemberian Exaton-F pada pakan dengan dosis yang berbeda teradap laju pertumbuhan dan konversi pada juvenile ikan Nila Merah dapat disimpulkan bahwa : - Perlakuan pemberian Exaton-F pada pakan juvenil ikan Nila Merah memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap laju pertumbuhan sesaat dan konversi pakan (FCR) tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup (SR). SR tertinggi sebesar 100 % dan FCR terbaik sebesar 1,70. - Perlakuan pemberian Exaton-F pads pakan buatan juvenil ikan Nila Merah (Oreochromis sp) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas air baik suhu, pH maupun oksigen terlarut. Suhu rata-rata selama penelitian sebesar 23,1 T – 25,0 T, pH rata-rata sebesar 7,0 – 7,5 dan oksigen ter] arut rata-rata sebesar 5,3 – 6,7 mg/l. Kualitas air tersebut masti h pads kisaran yang layak untuk kehidupan juvenil ikan Nila Merah (Oreochronus sp). Dari Hasil peneitian tentang pengaruh pemberian Exaton-F pada pakan dengan dosis yang berbeda teradap laju pertumbuhan dan konversi pada juvenile ikan Nila Merah dapat disarankan sebagai berikut : - Untuk meningkatkan laju p ertumb uhan j uvenil ikan Nila merah (Oreochromis sp) sebaiknya menggunakan Exaton yang dicampur dalam pakan dengan dosis 10 ml/kg pakan. - Perlu dilakukan penelitian lajliutan tentang perlakuan pemberian Exaton – F pada pakan terhadap jenis ikan yang berbeda . - Perlu dakukan penelitian lebih lanjut tentang pemberian Exaton pada pakan juvenile ian Nila Merah terhadap daya cerna ikan,daya cerna protein dan energi.
14
REFERENSI Anggorodi, 1985. Nutrisi Gramedia. Jakarta.
Ternak
Unggas.
Anonymous, 1991. Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Nila. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian- Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Albaster, J.S dan R. Lloyd, 1984. Water Qualyty Criteria for Fresh Water Fish. Food and Agriculture Organization of the United Nations. London. Boyd, C.B, 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Compaq. New York. Budiyanto, M.A-K-, 2000, Pemanfaatan Molase dalam Produksi Nata De Coco. Laporan Penelitian DPP UMM. Lembaga Penelitian UMM. Buwono, I. B., 2000. Kebutuhan Asam Amino Essenasial dalam Ransum Ikan. Penerbit Kanisjus. Yogyakarta. Cholik, FA Wiyono dan R. Arifudin, 1989. Pengelolaan Kualitas Air Kolam. INFIS Manual Seri No. 36. Departemen Pertanian. Dlr'en Perikanan Jakarta. Davies, D. L., 1982. A Course Manual in Nutrition and Growth. The Australian International Development Programme. Melbourne. De wet, L, 2003, Fish Nutrition, http; wwwVoguelph-ca/ fish nutrition/pubt. html. Djarijah, A. S., 1995. Nila Merah Pembenihan don Pembesaran secara Intensif. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Endang, D.,1997. Pengaruh Pemanfaatan Limbah Industri sebagai Pupuk terhadap Kepadatan dan Keragaman Plankton didalam Budidaya Ikan Nila Merah (Oreochromis sp). Hasil Penelitian Thesis Program Pasca Sarjana Brawijaya Malang Hariati, A. 1989. Diktat Kuliah Makanan Ikan.
Nuffic/Unibraw/Lisw/Fish Fisheries Project. Universitas Brawijaya. Malang. Juli, A.M. 1979 Poultry Husbandry. 3 rd Ed. Mc Graw Hill Book Company. New York Marmono, E. A. 1992. Rancangan Percobaan. Penerbit Fapet UNSOED. Purwokerto. Murtidjo,B.A, 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. Nort, M.O, and DO, Bell., 1978 Commercial Chicken Production Manual 2 Editon. Avi Company. Inc. Westport, ithac. New York.. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Penerbit Bina Cipta Bandung. Santoso, U,.1996. Budidaya Ikan Nila. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sudarmanto, A. 2000. Pemberian Mikroba Probiotik Lokal untuk Meningkatkan Nafsu Makan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lac). Laporan PKL, Fakultas Biologi, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, UNSOED. Purwokerto Sugiarto, 1988. Teknik Pembenihan Ikan Mujair dan Ikan Nila. CV. Simplex. Jakarta. Surakhhmad, W. 1989. Pengantar Ilmiah. Penerbit Tarsito. Bandung.
Penelitian
Sutini, L. 1989. Monitoring Oksigen Terlarut dalam Rangka Pengelolaan Kualitas Air Suatu Perairan. Fakultas Perikanan Unibraw. Malang. Suyanto, R. 2002. Swadaya. Jakarta
Nila.
Penerbit
Penebar
Terouhuga dan Wididana, G.N, 1996. Teknologi Effektive Mikroorganisme (EM). Indonesia Kyusel Nature Farming Societies (IKNFSO) PT. Songgolangit Persada, Jakarta. Treawavas, E. Speciation. Lowe-MC. Culture of
1982 Tilapia. Taxonomy and In : R.S.V. Pulin and R.H. Connel (eds). The Biolfgy and Tilapias. ICLARM Conference 15
Proceedings. ICLARM. Manla, Philippines. Wahyu, J. 1982. Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Widarto 2004. Exaton –F.CV. Gunung makmur. Malang. Zonneveld, N., E.A. Huismen and J.H. Boon 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Gramedia. Jakarta.
16
PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG KEPALA UDANG SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG IKAN DALAM RANSUM TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN UDANG WINDU Endah Sih Prihatini, S.Pi DOSEN UNISLA ABSTRAK Dalam rangka meningkatkan expor non migas, salah satu upaya yang bisa dilakukan ialah budidaya udang windu. Keberhasilan usaha budidaya udang ditunjukkan oleh cepatnya laju pertumbuhan atau rendahnya mortalitas, akhirnya meningkatkan produksi. Dalam usaha intensif makanan buatan mutlak diperlukan. Tepung kepala udang adalah alternatif bahan pilihan yang bisa digunakan sebagai campuran makanan buatan bagi udang. Diharapkan nantinya tepung kepala udang dalam ransum bisa meningkatkan laju pertumbuhan dan pertumbuhan udang. Penelitian yang dilakukan penulis di Unit Pembinaan Pembenihan Udang Wind (UPPUW) Pasir Putih Situbondo. Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung kepala udang sebagai substitusi tepung ikan dalam ransum terhadap laju pertumbuhan udang windu dan tujuannya adalah mendapatkan prosentase tepung kepala udang dalam ransum yang memberikan laju pertumbuhan terbaik. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan pengambilan data secara observasi langsung sedangkan analisa datanya dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga kali ulangan. Adapun kelima perlakuan adalah prosentase tepung kepala udang sebesar 0 prosen (A), 3 prosen (B), 6 prosen (C), 9 prosen (D), dan 12 prosen (E), dalam hal ini sebagai variabel X, sebagai variabel Y adalah udang windu yang diukur laju pertumbuhannya. Berdasarkan uji sidik ragam dan uji BNT didapatkan bahwa prosentase protein tepung kepala udang dalam ransum menunjukkan perbedaan nyata terhadap laju pertumbuhan harian individu. Hubungan antara prosentase tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum (X) dengan laju pertumbuhan harian individu udang windu : Y = –0,03624X2 + 0,2449X + 6,1534 Laju pertumbuhan harian terbesar adalah 6,753. prosentase dengan pemberian ransum 4,1 prosen protein tepung kepala udang sehingga dapat disimpulkan bahwa prosentase protein tepung kepala udang dalam ransum yang memberikan hasil maksimum berkisar antara 3,8 prosen sampai dengan 4,4 prosen. Kata Kunci : Tepung Kepala Udang, Ransum, Laju Pertumbuhan, Udang Windu A. Latar Belakang B. Udang merupakan komoditi yang makin menonjol dalam budidaya di tambak. Selain mempunyai nilai ekonomis yang tinggi baik di pasaran dalam dan luar negeri juga produksi udang yang berasal dari penangkapan yang kurang terkendali (Anonymous, 1980). Pakan diperlukan sebagai sumber energi pemeliharaan pertumbuhan udang (Anonymous, 1985). Untuk itu dalam membuat pakan udang perlu disusun komposisinya dengan baik. Persyaratan pakan buatan untuk udang antara lain, pakan harus tenggelam, punya aroma yang disukai udang, memenuhi nilai gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Protein dari bahan hewani lebih tinggi mutunya dari protein nabati, karena protein hewani lebih mudah dicerna oleh udang dan sebaran aminonya lebih lengkap. Sedangkan protein nabati mengandung lugnin yang sukar dicerna udang (Jangkaru, 1974). Tepung ikan merupakan bahan baku makan yang penting karena proteinnya tinggi mengandung mineral dan vitamin tetapi jika digunakan secara tungal tanpa dicampur sumber protein lain tidak memberikan pengaruh nyata bagi udang (Poernomo, 1979). Sedangkan tepung kepala udang adalah bahan yang baik bagi
makanan udang karena proteinnya tinggi, aromanya disukai udang, harga relatif murah (Djunaidah dan Saleh, 1984). Dengan melihat sifat-sifat kedua tepung diatas diharapkan penggunaan tepung kepala udang sebagai campuran atau pengganti tepung ikan. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Adakah prosentase tepung kepala udang dalam ransum berpengaruh pada laju pertumbuhan udang windu? 2. Berapa prosentase tepung kepala udang dalam ransum yang bisa memberikan laju pertumbuhan udang windu yang baik? D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : - Untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung kepala udang sebagai subtitusi tepung ikan dalam ransum terhadap laju pertumbuhan udang windu dan untuk mendapatkan prosentase tepung kepala udang dalam ransum yang memberikan laju pertumbuhan yang terbaik. 17
E. Landasan Teori 1. Biologi Udang Windu Dalam dunia perdagangan, udang windu dikenal dengan nama tiger prawn (Mudjiman, 1984). Adapun klasifikasi udang windu menurut Storer dan Usinger (1957) adalah sebagai berikut : Phillum : Arthropoda Subphillum : Mandibulata Klas : Crustacea Sub Klas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Penaidae Genus : Penaeus Species : Peneaus Monodon Fab. Menurut Unar (1965) dalam Toro dan Sugiarto (1979) udang bersifat benthik, hidup pada permukaan dasar laut. Habitat yang disukai udang adalah dasar laut yang biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir. Benih stadia post larva umumnya ditemukan di sepanjang pantai melandai dengan pasang terendah dan pasang tertinggi sekitar 2 meter, dengan aliran kecil dasarnya berpasir dan berlumpur dengan batu-batu kecil atau cangkang kerang (Poernomo, 1968 dalam Toro dan Sugirto, 1979). Dinyatakan pula bahwa tubuh udang dilihat dari luar terdiri dari 2 bagian yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut kepala, yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada menyatu dan dinamakan kepala dada (chepalotorax). Abdomen mempunyai ekor dibagian belakang, semua badan peserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Menurut Martosudarmo dan Ranoemihardjo (1980), dalam perkembangan udang penaeid, stadia larva mengalami perubahan bentuk dan ganti kulit berkali-kali. Larva nauplius berganti kulit sampai 6 kali dan menjadi Nauplius substadium VI dalam waktu 2 hari. Kemudian berubah menjadi Zoea berganti kulit 3 kali, substadium III selama 4-6 hari. Kemudian menjadi Mysis terdiri 3 tengkatan, berganti kulit sampai 3 kali, selama 4-5 hari. Selanjutnya menjadi stadia post larva berganti kulit sampai 20 kali (Soeseno, 1987). 2. Kepala Udang Kepala udang merupakan limbah (hasil buangan) pada proses pengolahan udang untuk ekspor. Udang besar biasanya dipotong kepalanya sekitar 30 prosen dari berat seluruh tubuhnya (Mudjiman, 1984). Kepala udang dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk diantaranya diolah menjadi terasi, petis dan lain-lain. Dalam percobaan di Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BBPMHP) dapat diinformasikan bahwa tepung kepala udang mengandung
cholesterol yang cukup tinggi yang diperlukan untuk pertumbuhan udang. Kepala udang juga dapat diolah menjadi tepung kepala udang. Dalam tepung kepala udang terdapat zat chitin yang sukar dicerna oleh udang. Untuk memperkecil jumlah chitin tersebut dapat dilakukan pengayakan untuk membuang bagian yang kasar. Analisa komposisi kimia tepung kepala udang adalah sebagai berikut protein 53,74%, lemak 6,65%, abu 7,72%, air 17,28%. Tepung kepala udang mengandung protein yang cukup tinggi di samping itu kandungan asam aminonya mirip dengan kandungan asam amino pada tubuh udang, untuk itu tepung kepala udang windu, serta diharapkan dapat memberikan pertumbuhan yang baik bagi udang windu (Anonymous, 1988) 3.
Makanan Udang Windu Makanan buatan untuk udang dapat dipertimbangkan dari 2 garis pertumbuhan udang yaitu makanan buatan untuk stadia larva atau post larva dan makanan buatan untuk stadia tokolan (juvenil) dan dewasa (Manik dan Djunaidah, 1980). Untuk menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya udang membutuhkan nutrisi yang secara kualitatif dan kuantitatif harus memenuhi persyaratan yang sesuai dengan kebutuhan udang tersebut (Anonymous, 1987a). Nutrisi yang diperlukan adalah protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Zat-zat tersebut harus ada dalam makanan yang secara fisiologis berfungsi sebagai zat pengatur kelangsungan hidup seperti pertumbuhan, reproduksi. Kekurangan salah satu gizi tersebut bisa mengakibatkan menurunnya kegiatan udang, timbulnya penyakit maupun kematian (Anonymous, 1987b). Diantara zat-zat makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, maka protein merupakan salah satu bahan utama yang diperlukan untuk pertumbuhan (Bardach et al, 1972). Protein tidak tergantung hanya pada sumbernya, tetapi juga asam aminonya serta daya cernanya (Anggoridi, 1979). Kandungan protein dalam ransum yang optimal untuk udang berkisar antara 20-75 prosen (Manik dan Djunaidah, 1980). Lemak dalam makanan mempunyai peranan yang penting sebagai sumber energi (Manid dan Djunaidah, 1980). Jika kandungan lemak dalam ransum mencukupi dalam rubuh maka asam amino tidak digunakan untuk sintesa protein. Karbohidrat dalam makanan digunakan sebagai sumber energi, udang memerlukan karbohidrat selain pembakaran dalam proses metabolisme juga untuk sintesa chitin dalam kulit keras (Manik dan 18
Djunaidah). Vitamin merupakan komponen yang dibutuhkan udang dalam jumlah sedikit (Mudjamin, 1984). Mineral diperlukan udang untuk pembentukan jaringan tubuh, proses metabolisme dan keseimbangan osmosis (Manid dan Djunaidah, 1980) 4.
5.
Kebutuhan Energi Untuk Pertumbuhan Udang Windu Makanan yang diberikan dapat mempunyai kandungan energi yang dapat dipergunakan untuk memelihara hidup, kegiatan seharihari, pertumbuhan dan reproduksi (Stickney, 1979). Lebih lanjut ditegaskan oleh Wentherly (1972 dalam Abdullah (1984) bahwa makanan yang dikonsumsi ikan atau udang akan mensuplai kebutuhan energi yang sebagian besar akan digunakan untuk mencari makan, sebagian untuk proses metabolisme, sebagian untuk perkembangan jaringan tubuh dan sebagian lagi dikeluarkan dalam bentuk feses, urine dan bahan buangan lainnya. Selanjutnya kegunaan energi secara fisiologis sebagai kelebihan dari yang dibutuhkan untuk proses metabolisme akan disimpan sebagai jaringan tubuh dalam proses pertumbuhan dan digunakan untuk reproduksi (Webb, 1979). Sedangkan besarnya kandungan energi yang terdapat dalam faeces yang hilang sebesar 15 prosen dari energi yang dikonsumsi tiap harinya, hilang sebagai urine 3 – 5 prosen termasuk buangan lainnya (Winberg, 1956 dalam Elliot, 1979). Hilangnya energi 15 prosen dalam faeses sangat tinggi untuk makanan buatan (Webb, 1979). Untuk mengurangi kehilangan energi dalam faeses maka dalam menyusun ransum makanan buatan perlu diperhatikan bahwa makanan mudah dicerna dan mempunyai keseimbangan energi. Kualitas Air Kualitas air yang terpenting dalam mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan atau udang diantaranya ialah oksigen, suhu, pH, salinitas dan amoniak, dimana jika dalam keadaan ekstrim akan mempengaruhi pertumbuhan dan bahkan berakibatkan fatal (Effendi, 1978). Kualitas air dalam bak pemeliharaan menurut disebabkan oleh penumpukan (akumulasi) bahan-bahan kotoran (tinja) dan pembusukan dari makanan yang tidak termakan (Anonymous, 1987)
F. Materi dan Metode Penelitian 1. Materi Penelitian Udang uji adalah udang windu pada stadia post larva dengan berat 0,06 – 0,076 gram/ekor, berasal dari penetasan satu induk yang diperoleh dari Unit Pembinaan
Pembenihan Udang Windu (UPPUW) Pasir Putih Situbondo 2.
Metode Penelitian dan Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimen dengan observasi langsung. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Sastrosupadi, 1979 dan Sudjana, 1985) dengan syarat sebagai berikut, udang uji dari hasil penetasan satu induk dan punya ukuran yang sama, dilakukan di laboratorium, penelitian menggunakan 70% protein hewani yaitu 40% protein tepung rebon dan 30% protein tepung ikan dan atau tepung kepala udang. Dari prosentase protein yang digunakan dalam ransum (40%) atau 12%. Penelitian menggunakan 2 kali ulangan. Pengaruh dari tiap perlakuan diuji dengan analisa sidik ragam atau uji F dan uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara prosentase protein tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum dengan laju pertumbuhan harian digunakan Analisa Regresi, parameter uji adalah laju pertumbuhan harian individual (Anonymous, 1977) a=
t
Wt 1 x 10 prosen Wo
PROSEDUR PENELITIAN 1) Masa persiapan. Pemilihan bahan antara lain tepung ikan teri, tepung rebon, tepung kepala udang, tepung kedele dan yeast. Proses pembuatan makanan uji meliputi penggilingan, pengayaan, penimbangan, pencampuran, penyimpanan (Anonymus, 1980). 2) Persiapan bak percobaan 15 bak diletakkan secara acak. Sebelumnya bak dicuci dengan larutan clorin 150 ppm dan dikeringkan selama 10 jam. Kemudian bak diisi air 15 liter dan diaerasi sebagai sumber oksigen dan aerasi sisa makanan yang terkumpul disiphon. 3) Adaptasi udang uji terhadap makanan uji Udang uji diadaptasi terhadap air uji, sebelum diadaptasi dengan makanan uji, udang dipuasakan terlebih dahulu selama 1 malam selanjutnya diberi perlakuan yaitu A (0%), B (3%), C (6%), D (9%), E (12%) 4) (1) Penimbangan udang uji (2) Pengukuran kualitas air, salinitas, suhu, oksigen, NH3, penimbangan makanan uji, pemberian makanan uji dan penyimpanan dan penggantian air. G. Hipotesis Diduga bahwa prosentasi protein tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum akan 19
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap laju pertumbuhan udang windu pada stadia post larva. H. Hasil Penelitian Tabel 1: Formulasi ransum makanan buatan untuk udang windu Protein Lemak KH Serat Abu (%) (%) (%) (%) (%)
Bahan T. ikan teri T. kepala udang T. rebon T. kedele Yeast
Air DE (%) (kkal/kgh)
69,05 53,74
5,29 6,65
4,01 0,98 5,44 15,23 2888,725 14,61 7,72 17,28 2335,885
59,4 48,81 59,20
3,6 5,58 0,00
3,2 34,45 5,65 5,51 38,93 0,00 4,95
21,6 7,58 6,12
2403,800 3257,710 3336,420
Tabel 2: Formulasi ransum yang diinginkan (protein 40%) Ransum Ransum Ransum Ransum Ransum Bahan A B C D D dasar I II I II I II I II I II T.I. 30 12 22,5 9 15 6 7,5 3 0 0 T T.K. 0 0 7,5 3 15 6 22,5 9 30 12 U T.R 40 16 40 16 40 16 40 16 40 16 T.K Yea st
20
8
20
8
20
8
20
8
20
8
10
4
10
4
10
4
10
4
10
4
Tabel 4: Daftar sidik ragam laju pertumbuhan harian udang windu (Penaeus monodon Fab.) F. tabel JK db JK KT F.hit 1% 5 % Perlakuan 4 9,7816 2,4454 4,0247* 5,99 3,48 Acak 10 6,076 0,6076 Total 14 15,8576 * = berbeda nyata Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa laju pertumbuhan harian udang windu dipengaruhi oleh prosentase protein tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum, pengaruhnya adalah nyata ( Ftabel 5 % < Fhit < Ftabel 1 %). Untuk mengetahui perbedaan dari masing-masing perlakuan, maka diadakan pengujian dengan menggunakan uji BNT ( Beda Nyata Terkecil ) seperti di bawah ini. BNT 5% = t 5% (db acak) x 2 x KT acak Ulangan = 1,81 x = 1,1521 BNT 1% = t 1% (db acak) x = 2,76 x
Tabel 3: Kandungan energi bahan penyusun ransum Ransum Ransum Ransum Ransum Ransum Bahan A B C D E T.I.T T.K.U T.R T.K Yeast Kanji M.I M.K T.M Rodh C.M.C
173,7871 0,0000 269,3603 163,9008 67,5676 50,0000 25,0000 25,0000 141,3440 30,0000 52,3462 1000,000 Energi(kkal) 3000,000 Protein (%) 40 Lemak (%) 8 KH (%) 32,61
130,3403 55,8243 269,3603 163,9008 67,5676 50,0000 25,0000 25,0000 142,8774 30,0000 39,8493 1000,000 3000,000 40 8 32,07
86,8936 111,6487 269,3603 163,9008 67,5676 50,0000 25,0000 25,0000 144,4108 30,0000 27,3522 1000,000 3000,000 40 8 32,57
43,4468 167,4730 269,3630 163,9008 67,5676 50,0000 25,0000 25,0000 138,1783 30,0000 23,3931 1000,000 3000,000 40 8 31,6
0,0000 223,2974 269,3603 163,9008 67,5676 50,0000 25,0000 25,0000 147,4777 30,0000 2,3580 1000,000 3000,000 40 8 31,74
C.M.C = Carboxyl Methyl Cellulose sebagai bahan perekat Dari hasil penelitian, pemeliharaan benih udang windu (Penaeus monodon Fab.) dengan pemberian prosentase protein tepung kepala udang yang berbeda menghasilkan laju pertumbuhan harian udang windu yang berbeda di tiap-tiap perlakuan
2 x 0,6076 3
2 x KT acak Ulangan
2 x 0,6076 3
= 1,7567 Tabel 5: Daftar Beda Nyata Terkecil dari laju pertumbuhan harian udang windu (Penaeus monodon Fab.) Perlakuan
Total
Rata-rata
Notasi
E D A C B
15,41 17,69 18,41 19,68 20,29
4,47 5,9 6,14 6,56 6,8
a b b b b
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa udang windu yang diberi ransum 3 % protein tepung kepala udang (perlakuan B) menghasilkan laju pertumbuhan harian palinh tinggi yaitu : 6,8 %, sedangkan perlakuan E (12%) menghasilkan laju pertumbuhan harian paling kecil yaitu sebesar 4,47%. Untuk mengetahui hubungan antara presentase protein tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum dengan laju pertumbuhan harian udang windu dilakukan analisa regresi dengan polynomial orthogonal yang didapatkan hasil seperti pada tabel di bawah ini :
20
Pertumbuhan dari udang windu monodon Fab.) selama penelitian :
Tabel 6: Analisa regresi dengan Polynomial orthogonal laju pertumbuhan harian udang windu dengan prosentase protein tepung kepala udang yang berbeda dengan ransum. F. tabel SK db JK KT F.hit 5 %1 % 4 9,7817 Perlakua 1 n 5,292 5,292 8,71** 3,485,99 1 - Linier 4,469 4,469 7,355** 1 0,0013 0,0013 0,002 Kuadratik 1 0,0194 0,0194 0,03 10 6,076 0,6076 - Kubik - Kuartik Acak ** = Berbeda sangat nyata
Y (berat – gram)
Dari tabel diatas dan perhitungan di dapat hubungan antara prosentase protein tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum dengan laju pertumbuhan harian udang windu berupa persamaan regresi kuadratik sebagai berikut : Y = -0,03624 X² + 0,2949 X + 6,1534, laju pertumbuhan harian paling besar yaitu 6,753 % dicapai dengan pemberian ransum 4,1 % protein tepung kepala udang. Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
X : waktu (hari)
Gambar 2: Pertumbuhan udang windu (Penaeus monodon Fab.) yang diberi makanan dengan prosentase protein tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum selama penelitian I.
Y (Laju pertumbuhan harian individu udang windu dalam prosen)
X (Prosentase protein tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum – prosen)
Gambar 1 : Hubungan antara laju pertumbuhan harian individu udang windu (Y) dengan prosentase protein tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum (X)
(Penaeus
Pembahasan Dari hasil analisa sidik ragam bahwa laju pertumbuhan harian udang windu dipengaruhi nyata oleh prosentasi protein tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ransum uji pada setiap perlakuan mempunyai kualitas yang berbeda. Padahal setiap perlakuan yang digunakan isoprotein dan isokalori, sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas ransum tidak hanya ditentukan nilai tinggi rendahnya protein dan energi yang terkandung dalam ransum, tetapi yang paling pokok adalah nilai dan protein sebagai energi. Asam amino essensial yang berpengaruh besar terhadap metabolisme makanan adalah methionin dan lisin (Wahyu, 1985). Menurut Li et al (1976) dalam Poernomo, 1979 bahwa laju pertumbuhan harian udang windu yang baik adalah 7%. Dari gambar terlihat bahwa laju pertumbuhan harian individu udang windu mencapai kenaikan dari perlakuan A (0%) sampai titik maksimum dan kemudian menurun tajam dengan bertambahnya prosentase protein tepung kepala udang. Hal ini menunjukkan kecenderungan penurunan asam amino pembantas dalam ransum dengan meningkatnya prosentase protein tepung kepala udang dalam ransum. Tepung kepala udang yang mutunya rendah dapat dilengkapi dengan bahan dasar lain seperti : tepung kedele, tepung ikan teri tepung rebon dan yeast. Dengan melihat keadaan ini program 21
diversifikasi (pengakeragaman) bahan dasar makan amat penting karena dengan cara ini mutu protein bahan makanan dapat saling mendukung dan meningkatkan. Laju pertumbuhan harian individu udang windu adalah laju metabolisme udang atau ikan dalam mengelolah makanan yang masuk sampai ke jaringan tubuh setiap hari. Moulting (pergantian kulit) dan perubahan bentuk merupakan pertumbuhan, dan ini terjadi mulai dari stadia nauplius, zoea, mysis, post larva dan udang dewasa (Martosudarmo dan Ranoemihardjo, 1980), sehingga dikatakan Wickins (1976) laju pertumbuhan merupakan suatu fungsi dari frekuensi moulting dan diikuti dengan perubahan ukuran tubuh. Dan selanjutnya dikatakan bahwa salah satu faktor yang sangat mempengaruhi moulting adalah makanan buatan yang diberikan sehingga dengan pemberian makanan yang cukup dan memenuhi syarat gizi akan meningkatkan moulting maka laju pertumbuhan akan semakin tinggi. Kualitas air pada penelitian diperoleh sebagai berikut : Sanitasi = 31 - 31,2 promil, Oksigen = 6,1 - 6,3 ppm, Suhu = 27,1 – 27,7oC, pH = 7,3 – 7,62, NH3 = 0,0025. Kisaran tersebut menunjang kelayakan untuk pertumbuhan udang windu. J.
Kesimpulan Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa : - Prosentase tepung kepala udang yang berbeda dalam ransum berpengaruh terhadap laju pertumbuhan harian udang windu. - Berdasarkan uji BNT, prosentase tepung kepala udang dalam ransum yang terbaik adalah ransum 3 prosen dengan memberikan laju pertumbuhan harian sebesar 6,8 prosen. - Dari hasil analisa regresi didapat hubungan antara prosentase tepung kepala udang dalam ransum terhadap laju pertumbuhan udang windu : Y = – 0,03624X2 + 0,2949X + 6,1534 Dimana : Y : Laju pertumbuhan harian (prosen) X : Prosentase tepung kepala udang dalam ransum (prosen) Nilai X maksimum adalah 4,1 dan Y maksimum = 6,753 - Tepung kepala udang dipakai pengganti tepung ikan, hanya berfungsi untuk penganekaragaman bahan makanan (bahan campuran) kurang baik dipakai sebagai pengganti tepung ikan.
Anonymous, 1988. Teknis pengolahan hasil Perikanan. Sub Dinas Bina Mutu. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. 40 hal. Anggoridi, 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Fakultas Peternakan . Institut Pertanian Bogor. Bogor . 261 hal. Bardach, J.H. Ryther and W.O Mclarney, 1972. Aquaculture the Farming and hosbndry of freshwater and marine organism. Willey and Interscience. New york 868 page. Brett, J.R. and Groves, 1979. Phisiological energetics In Hoar, Randall and Brett Phisiologis. Volume VIII Academyc Press. New York. Lomdon. 120 p. Cholik, Fuad dan Alie Poernomo, 1987. Pengelolaan mutu air tambak untuk budidaya udang intensif. Balai Penelitian budidaya pantai. Maros. Jangkaru, Zulkifli, 1974. Makanan ikan. Lembaga penelitian Perikanan. Direktorat Jendral Perikanan. Bogor . 50 hal. Manik, Ruben dan Iin S. Djunaidah, 1980. Makanan buatan untuk larva udang penaeid. Dalam Anonymous, 1980 Pedoman pembenihan udang penaeid. Direktorat Jendral Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta . hal : 117 – 124. Manik, Ruben dan Kisto Mintardjo, 1980. Kolam ipukan. Dalam Anonymuos, 1980. Pembenihan udang penaeid Direktorat Jendral Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta . hal : 117 – 124. Martosudarmo dan Ranoemihardjo, 1980. Biologi udang penaeid. Dalam Anonymous, 1980. Pembenihan udang penaeid. Direktorat Jendral Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta . hal : 1 – 21. Mudjiman Ahmad, 1984. Makanan Ikan. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. 190 hal. Poernomo, Ali IR, 1979. Budidaya Udang. Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi. LON LIPI. Jakarta. Soeseno, Slamet, 1987. Budidaya ikan dan udang dalam tambak. PT Gramedia. Jakarta . 148 hal.
REFERENSI Anonymous, 1987. Balai Pembenihan udang : Desain Pengoperasian dan Pengelolaannya. INFIS seri no 56. 1987. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta . 128 hal.
Stickey, Castell, Hardy, Ketcla, Lovell and Wilson, 1983. Nutritional requirement of warmwater, fishes and shellfishes. National Research Councill. National Academic Press. Washington. D.C. 103 p. 22
Sudjana, 1985. Desain dan analisis eksperimen. Penerbit Tarsito. Bandung . 337 hal.
Wahyu, Juju, 1985. Ilmu nutrisi unggas. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Gadjah Mada University Press. Bogor . 143 hal.
Surachmad, Winarno, 1983. Pengantar penelitian ilmiah. Penerbit Tarsito. Bandung . 285 hal
23
ANALISA USAHA BUDIDAYA UDANG VANNAMEI (Lithopenaeus vannamei) DAN IKAN BANDENG (Chanos-chanos Sp.) DI DESA SIDOKUMPUL KECAMATAN LAMONGAN KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR Wachidatus Sa’adah DOSEN UNISLA ABSTRAK Dewasa ini arah pembangunan perikanan telah berubah dari perikanan tangkap ke perikanan budidaya. Perubahan trend tersebut disebabkan karena manusia semakin memahami bahwa sumber daya ikan yang menjadi target penangkapan semakin berkurang (Djoni Irianto dan Wiwik Heny Winarsih, 2001). Perkembangan tehnologi bandeng sangat lambat jika dibanding udang, hasilnya sering rugi. Sesuai dengan perkembangan zaman, budidaya udang vannamei diharapkan bisa menaikkan produksi,, menaikkan pendapatan bahkan meningkatkan kelayakan hidup masyarakat. Penulis melakukan penelitian di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan. Penelitian ditujukan untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng dan menguntungkan untuk diusahakan. Penelitian ini menggunakan studi kasus. Data yang langsung dari sumbernya dengan cara observasi 1 partisipasi aktif dan wawancara dan data sekunder ialah data yang diperoleh tak langsung misalnya buku literatur, monografi desa dan lain-lain. Analisa yang digunakan adalah Imbang Penerimaan atau R/C Ratio, Analisa Titik Impas dan Rentabilitas. Sampel yang diambil 15 orang petani tambak. Ternyata disimpulkan bahwa usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng layak dan menguntungkan untuk diusahakan dengan hasil sebagai berikut : R/C Ratio = 1,7, Rentabilitas rata-rata 69,96%, dan BEP (Analisa Titik Impas) = 2,868427 Kata Kunci : Analisa Usaha, Budidaya Udang Vannamei, Ikan Bandeng A. Latar Belakang Sektor perikanan memiliki sumberdaya yang sangat potensial sebagai sumber potensi baru, seiring dengan semakin berkurangnya sumberdaya pada sektor pertanian yang banyak digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi yang lain. Potensi sumberdaya ikan yang terkandung dalam wilayah perairan nasional memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang paling tinggi, yaitu 37% dari spesies ikan yang ada di dunia. Hal ini memberi gambaran betapa besarnya potensi perikanan di Indonesia (Anonymous, 1993) Budidaya ikan bandeng (Chanos-chanos) telah lama dilakukan di Indonesia, terutama untuk kebutuhan konsumsi. Bandeng memiliki sifat euryhaline sehingga dapat dibudidayakan di air asin, payau, dan tawar. Perkembangan teknologi budidaya bandeng berjalan sangat lambat jika dibandingkan dengan udang. Hasilnya pun sering kali rugi. Budidaya udang vannamei (lithopenarus vannamei) merupakan salah satu alternatif pemecahan untuk mengatasi kegagalan budidaya bandeng dengan upaya pergantian varietas di sektor perikanan, dimana species ini lebih tahan terhadap penyakit. (Anonymous, 2003). Udang vannamei secara resmi ditetapkan sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001 dan mengalami perkembangan yang sangat cepat. (Anonymous, 2004). Di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan terdapat usaha budidaya udang vannamei dan bandeng dan usaha ini masih dalam taraf percobaan maka dari itu perlu dilakukan analisis
apakah usaha budidaya udang vannamei dan bandeng yang sudah ada menguntungkan atau tidak dari segi ekonomis. Perumusan Masalah Dari latar belakang dirumuskan masalah sebagai berikut ; 1. Bagaimana gambaran budidaya udang vannamei dan ikan bandeng ? 2. Bagaimana kelayakan usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng dan menguntungkan untuk diusahakan ? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mendapatkan gambaran / tentang usaha budidaya vannamei dan ikan bandeng. 2. Untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng sehingga bisa diketahui apakah usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng layak dan menguntungkan untuk diusahakan. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan : 1. Sebagai media latih bagi penulis untuk membahas masalah yang ada pada penelitian yang penulis lakukan. 2. Sebagai tambahan informasi bagi kepustakaan Fakultas Perikanan Unisla yang bisa dijadikan penelitian berikutnya yang masih berkaitan dengan masalah tersebut. 24
Hipotesa Penelitian Diduga bahwa usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan Jawa Timur adalah layak dan menguntungkan untuk diusahakan. B. Tinjauan Pustaka 1. Biologi Udang Vannamei Ciri-ciri Udang Vannamei : - Warna bening kecoklatan atau kehitamhitaman - Kulit licin, lebih tipis dari udang windu - Jika stres berwarna putih kapas - Meloncat jika ada kejutan cahaya - Kanibalisme rendah - Tempat hidup didasar dan melayang dalam air (dapat ditebar dengan kepadatan tinggi > 100 ekor / m2) - Suka mengaduk dasar kolam - Kebutuhan kadar protein 30-32 % - Nafsu makan sangat rakus, namun fluktuatif - Nafsu makan dikontrol lewat anco - Saat panen melawan arus, banyak tertinggal Kelebihan Udang Vannamei adalah : - Cara budidaya relatif lebih mudah - Reatif tahan terhadap penyakit - Harga jual relatif lebih tinggi - Produktifitas tinggi 2.
3.
Biologi Ikan Bandeng Menurut Ghufron, M. (1997), ikan bandeng (Chanos-chanos) diklasifika-sikan sebagai berikut : Filum : Chordata Klas : Pisces Ordo : Malacopterygii Family : Chanidae Genus : Chanos Species : Chanos-chanos Bandeng mempunyai ciri-ciri : ekor bercak, badan memanjang kepala tanpa gigi, lubang hidung terletak di depan mata, mata diselaputi oleh selaput bening, sirip punggung terletak jauh di belakang tutup insang dan tubuhnya ditutupi oleh sisik-sisik kecil. Memiliki sirip punggung 14-16, sirip dada 16-17, sirip perut 11-12 dan sisik garis rusuk sebanyak 75-80 buah. Selain itu ciri khas lain dari deskripsi ikan bandeng ini adalah warna badan hijau keperakan di bagian atas, kepekaan di bagian tengah serta putih bawah di bagian bawah. Panjangnya dapat mencapai 75 cm (Anonymous, 2000). Operasional Pembesaran Vannamei dan Bandeng - Penebaran Benih
Udang
Kematian benih udang vannamei dan benih bandeng sering disebabkan oleh karena stress pada waktu penanganan, karena perubahan lingkungan yang mendadak. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan aklimatisasi yaitu mencampurkan air dari wadah pengangkut dan air tambak pada bak plastik yang dilakukan secara bertahap. Aklimatisasi dihentikan jika benih udang vannamei dan bandeng sudah bergerak lincah (2-3 jam). Kemudian benih secara perlahan ditebar ke petak tambak. - Pengelolaan Kualitas Air Pengelolaan kualitas air merupakan suatu hal yang mendapat perhatian utama terutama di tambak yang kepadatannya tinggi karena penurunan kualitas air berakibat buruk terhadap pertumbuhan dan kehidupan udang vannamei dan bandeng. Kualitas air yang baik untuk kehidupan dan pertumbuhan udang dan ikan ialah Suhu : 28oC, PH adalah 7,5-9, oksigen terlarut 5-9 ppm, salinitas 5-10 promil. (Kungvankij, et al, 1986). - Pemberian Pakan Pemberian pakan dalam budidaya udang atau ikan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pakan yang digunakan dan meminimalkan limbah pakan dalam tambak. Langkah yang harus diterapkan antara lain : 1) Pakan tidak kadaluarsa dan memenuhi gizi standart nutrisi sesuai dengan SNI. 2) Pakan harus bermutu baik dan tidak mengandung penyakit. 3) Mengamati konsumsi setiap pemberian akan dengan ancho. - Pemasaran dan Pasca Panen Menurut Mudjaman A. (1988) bahwa pemeliharaan ikan atau udang biasanya berlangsung 5-6 bulan. Tetapi bila kondisi tambak baik, pengelolaan sampai 3-4 bulan bisa dipanen sebagian dan sisanya dipanen total. Setelah udang dan bandeng dipanen maka diadakan pencucian bersih dan diadakan pemilihan untuk udang dimasukkan blong ditambah es, sedangkan ikan bandeng dimasukkan dalam keranjang ditata secara teratur (Anonymous, 2003) - Pemasaran Menurut Hanafiah AM dan Saifuddin Am, 1983 pemasaran sering disebut penjualan. Sasaran pemasaran adalah memindahkan barang dari penjual ke pihak pembeli dengan harga yang memuaskan.
25
4.
5.
Biaya Usaha Biaya usaha disini adalah merupakan biaya investasi dan biaya operasional yang dibutuhkan selama umur usaha melakukan kegiatan produksi (Soekartawi, 2002). Biaya yang digunakan pada usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng ialah : - Biaya tetap Ialah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi termasuk tambak dan pompa air. - Biaya variabel Ialah biaya yang jumlahnya berubah-ubah tergantung skala produksi per siklus, termasuk : benih, pakan, kapur, pupuk, bahan bakar / bensin / solar. Analisa Usaha Data yang menunjang aspek ekonomis meliputi : a. Revenue Cost Ratio (R/C) Ialah perbandingan total penerimaan yang diperoleh dengan total biaya yang dikeluarkan (Soekartawi, 2002) R/C = TR TC
b.
c.
Dimana : TR : Total penerimaan TC : Total cost / total biaya Analisa Titik Impas (BEP) Ialah analisis titik impas dimana dapat diperhitungkan batas kwantitas produksi yang mengalami keuntungan dan kerugian pada usaha perikanan yang dilakukan petani atau nelayan (Riyanto B, 2006) FC BEP = 1 VC / TR Dimana : FC : Fixed cost (biaya tetap keuntungan) VC : Variabel cost / biaya variabel TR : Total revenue / total penerimaan Rentabilitas Ialah perbandingan antara laba dari kegiatan usaha tani (keuntungan) dengan seluruh modal yang digunakan dalam usaha tani tersebut. Laba Rentabilitas = x 100 Total Modal
C. Materi dan Metode Penelitian - Materi Penelitian Materi penelitian ini adalah petani tambak yang melakukan usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan.
- Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah metode kasus dimana peneliti akan mendapat gambaran yang luas dan lengkap dari subyek yang diteliti, karena ada anggapan bahwa sifat-sifat individu merupakan gambaran dari individu yang lain maka hasil dari studi kasus dengan metode analisa sering kali dijadikan hipotesis bagi suatu penelitian yang meliputi daerah dan populasi yang lebih luas. - Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya dengan cara observasi, partisipasi aktif dan wawancara. - Observasi adalah melakukan pengamatan secara sistematis terhadap segala yang diteliti. - Partisipasi aktif adalah mengikuti secara langsung segala kegiatan yang ada di dalam usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng. - Wawancara ialah mengikuti / mengadakan tanya jawab secara langsung kepada petugas terkait dan petani yang melakukan usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng. Data sekunder ialah data yang diperoleh tidak langsung dan sumbernya diambil dari buku literatur, monografi desa, statistik Dinas PKP dan lain-lain yang digunakan untuk melengkapi data primer. - Cara Pengambilan Sampel Di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan terdapat 105 orang yang melakukan usaha budidaya. Namun yang melakukan usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng berjumlah 50 orang. Untuk lebih menyeragamkan responden yang diambil serta untuk lebih memudahkan dalam penganalisaannya maka ditetapkan syaratsyarat. - Lahan usaha luasnya 1 ha. - Formulasi pakan teratur Dari petani tambak 50 orang yang memenuhi persyaratan berjumlah 15 orang. - Analisis Data Analisis data adalah suatu proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data yang telah terkumpul dalam penelitian kemudian diolah dan dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah imbangan penerimaan dan biaya, analisa titik impas serta rentabilitas. D. Hasil dan Pembahasan 26
1. Keadaan Umum Daerah Penelitian Letak dan Geografis Daerah Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Desa Sidokumpul adalah desa di daerah perkotaan yang jaraknya 1 km dari Kabupaten Lamongan. Lama tempuh ke ibukota kabupaten terdekat 0,15 jam. Jarak ke kecamatan 1,5 km dengan lama tempuh 0,25 jam. Daerah termasuk dataran dengan ketinggian 7 m dari atas permukaan air laut dengan curah hujan 2.000 mm/th. Wilayah batas Desa Sidokumpul adalah : Sebelah utara : Desa Glugu Kecamatan Deket Sebelah Selatan : Kelurahan Jetis Kecamatan Lamongan Sebelah Barat : Desa Tumenggungan Kecamatan Lamongan Sebelah Timur : Desa Banjarmendalan Kecamatan Lamongan Luas Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan = 496,227 ha. Luas sawah tambak 236 ha. Hampir separuh dari luas Desa Sidokumpul sebagai sawah tambak, kondisi alamnya yang demikian memungkinkan sekali untuk mengembangkan usaha perikanan yaitu usaha sawah tambak.
8
Abdul Rohman
300
100
9 10
Subeki Seno
200 300
100 100
11 12
Sunaryo Tikno
350 300
100 120
13
Ali
500
100
14
Sumitro
500
100
15
Sudiono
300
150
Jumlah
5200
1535
Rata-rata
346,7
102,3
2. Usaha Budidaya Udang Vannamei dan Ikan Bandeng Usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan yang dilakukan petani tambak termasuk semi intensif disebabkan penggunaan pakan alami dan pakan buatan, pergantian air dengan memompa air lebih dari 10 kali. Tambak yang dikelola berukuran 1 ha. Hal ini menurut Taufik A. (1988) bahwa persyaratan tehnik tambak udang, untuk tambak semi intensif berukuran 0,5 – 1 ha dan pergantian air 5 sampai 20 kali, pakan buatan dan pakan alami, padat penebaran 10-25 / m2. Tabel : Data Produksi dari udang vannamei dan ikan bandeng per hektar masing-masing petani tambak
No
Nama Petani Tambak
Produksi (kg) Udang Ikan Vannamei Bandeng 400 100
1
Sutisno
2
H. Abdullah
500
100
3
H. Bonari
400
100
4
Ach. Fuad
300
100
5 6
Said Sunari
200 250
100 90
7
Sumijan
400
75 27
3. Keragaan Budidaya Udang Vannamei dan Ikan Bandeng di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan Untuk meningkatkan produk dari budidaya udang vannamei dan ikan bandeng antara lain adalah : - Persiapan tambak Sebelum benih ditebar di tambak, tanah tambak diolah lebih dahulu. Adapun pengolahan tambak adalah petakan tambak mula-mula dikeringkan dan lumpurnya dikeluarkan untuk mempertinggi dan menutupi kebocoran dari pematang selanjutnya tanah dibajak - Setelah selesai pengolahan, tambak dikeringkan sampai retak-retak +15 hari tergantung cuaca. Selama proses pengeringan dilakukan kegiatan perbaikan pematang pembersihan caren dan pematang dasar tambak. - Setelah itu tanah tambak perlu dikapur. Tanah dalam keadaan macak-macak saat diadakan pengapuran. - Sehari setelah pengapuran maka tanah tambak dipupuk. Caranya sewaktu tanah tambak masih dalam keadaan basah / macak-macak pupuk ditebar secara merata di permukaan tambak. Pemupukan dilakukan beberapa kali untuk menambahkan pakan alami.
- Kemudian tambak diairi setinggi 70-100 cm. air didapat dari muara sungai Bengawan Solo dan air hujan. - Penyediaan benih adalah faktor yang sangat penting dalam usaha budidaya udang atau ikan. Benih ikan bandeng (nener) dibeli di tempat pemasaran benih yang berjarak 3 km (di Desa Pandanan). Nener yang dibeli berukuran 1 cm dengan harga Rp 65.000,setiap reannya. Benih diangkut dengan kantong plastik. Sedang benih udang vannamei (benur) berasal dari F1 dari CP Prima dengan ukuran +1 cm setiap reannya. Penebaran benih dilakukan pagi hari pukul 06.00 WIB atau pukul 17.00 WIB. Karena pada saat itu suhu air tambak rendah, kandungan oksigennya terlarut baik berasal dari hasil proses asimilasi pada siang hari. Benih yang ditebar untuk 1 ha tambak untuk udang vannamei 10 rean sampai dengan 25 rean sedangkan bandeng 2-3 rean per hektarnya. - Selama masa pemeliharaan dilakukan, kontrol kualitas air antara lain suhu, oksigen, PH, salinitas, kecerahan disamping itu benih juga diberi makan. Ikan yang diberikan pada tambak udang vannamei dan ikan bandeng adalah pakan alami dari pemupukan. Sedangkan pakan buatan berupa pellet serta makanan tambahan berupa jagung dan karak. Pemberian pakannya dilakukan setiap hari. Pengaturan air dilakukan 3-4 hari sekali dengan memompa air. Untuk mengetahui kepadatan stock udang vannamei dan ikan bandeng dalam tambak serta untuk mengetahui ukuran udang vannamei dan ikan bandeng untuk konsumsi maka dilakukan sampling. Penangkapan dengan ancho kemudian ditambang untuk diketahui jumlah udang per kg. Masa pemanenan udang vannamei dan ikan bandeng adalah 3 bulan. Udang vannamei berjumlah 90-100 per kilogram dan ikan bandeng berjumlah 10 per kg. Setelah udang vannamei dan ikan bandeng dipanen maka diadakan pencucian dengan air kemudian udang vannamei dan ikan bandeng diadakan pemilahan. Untuk ikan bandeng dimasukkan ke dalam keranjang secara teratur sedangkan udang vannamei dimasukkan dalam blong serta diberi es. Kemudian udang vannamei dan ikan bandeng diadakan penimbangan. Setelah itu dibawa ke pasar ikan Lamongan untuk dijual. 4. Biaya Produksi / Biaya Usaha Biaya yang digunakan oleh seluruh responden adalah biaya sendiri dari harta kekayaan pribadi. Lahan yang digunakan dinilai dalam 28
bentuk harga sewa tanah tersebut di pasaran saat ini yaitu antara Rp 5.000.000,sampai dengan Rp 6.000.000,per tahun per ha. Biaya yang digunakan meliputi biaya tetap antara lain tanah, pompa air, waring seser, gayung dan lain-lain. Dan biaya variabel antara lain ialah membeli benih, membeli kapur, solar, pupuk urea atau TSP, pakan pellet, jagung, karak, biaya panen. 5. R/C Ratio R/C Ratio adalah merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya (Soekartawi, 2001). Dari penelitian dihasilkan bahwa R/C ratio rata-rata = 1,7. Berarti setiap Rp 100,- yang dikeluarkan kegiatan usaha diperoleh penerimaan sebesar Rp 170,- hasil ini disebabkan faktor produksi bagus, pemilihan benih baik, aklimatisasi benih terhadap lingkungan juga baik. 6. Rentabilitas Rentabilitas (RE) suatu perusahaan menunjukkan perbandingan antara laba dengan modal yang menghasilkan laba atau kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Dari penelitian diperoleh hasil RE rata-rata = 69,96%. Hal ini disebabkan petani tambak dalam mengolah tambaknya memperhatikan pengolahan tanah, aklimatisasi benih terhadap lingkungan tambak, pengaturan air, pemberian makanan tambahan atau buatan sehingga menghasilkan produksi yang tinggi. Dilihat dari rentabilitas tersebut berarti budidaya udang vannamei dan ikan bandeng tersebut layak diusahakan. 7. Analisa Titik Impas (BEP) Analisa Break Even Point adalah tehnik untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan, dan volume kegiatan. BEP mendasarkan pada hubungan antara biaya (cost) dan penghasilan penjualan (revenue). Apabila suatu perusahaan hanya mempunyai biaya variabel maka tidak akan muncul masalah BEP, masalah baru muncul jika perusahaan memiliki biaya tetap. (Husnan S., Suwarsono, 1994) Dari penelitian didapatkan bahwa hasil BEP rata-rata adalah Rp. 2.868.447,-. Ini berarti bahwa petani tambak mengalami impas bila total penerimaan sebesar Rp 2.868.447,- dengan kata lain petani tambak tidak untung dan tidak rugi. Dari hasil penelitian semua petani tambak pada dasarnya BEP lebih kecil dari total penerimaan, ini berarti petani tambak mempunyai keuntungan dalam mengolah tambaknya. Petani selalu memperhatikan dalam pengolahan tanah, pemilihan benih dan aklimatisasi terhadap lingkungan, pemberian pupuk, pemberian
pakan, pengaturan air sehingga diperoleh produksi yang tinggi, berarti pula usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng layak untuk diusahakan. 8. Kwalitas Air Dari hasil penelitian pengamatan kwalitas air adalah suhu 29oC – 31oC, PH adalah 6-7,5, salinitas 10-15 promil dan hal tersebut layak untuk usaha budidaya E. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usaha budidaya udang vannamei dan ikan bandeng layak dan menguntungkan untuk diusahakan. Usaha yang dilakukan pemilik tambak tergolong semi intensif ditinjau dari luas lahan dan pemberian pakan alami dan pakan buatan. Dari analisa ekonomi diperoleh hasil sebagai berikut : Ratio Cost (R/C) rata-rata 1,7, Rentabilitas rata-rata 69.96%, dan Analisa Titik Impas (BEP) : 2,868,427. REFERENSI Anonymous (2003). Informasi Budidaya Udang Vannamie Semi Intensif, Tradisional Plus di Jawa Timur. PT. Central Protein Prima. Anonymous (2005). Petunjuk Teknik Budidaya Udang Vannamie yang Berkelanjutan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara Anonymous, (1993). Pengelolaan Air Untuk Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian Jakarta. Djoni Irianto dan Wiwik Heny Winarsih. (2001). Diseminasi Tehnologi Budidaya Laut di Jawa Timur, Jurnal Litbang, Sumber Daya Alam dan Tehnologi, Volume 1 No. 1 Agustus 2001, Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Timur. Surabaya. Hanafiah, AM dan Saefuddin AM. (1983). Tata Niaga Hasil Perikanan, Universitas Indonesia. Kungvankij and TE. Chua J. Pudadera. (1986). Shrimp Culture, Operation and Management Network Aquaculture Centres in Asia BangkokThailand. Diterjemahkan Hardjono M. AM dan Suyanto. Mudjiman, A. (1988). Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Rahardi F, dkk. (2001). Agribisnis Perikanan. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. 29
Riyanto. (2006). Struktur Pembelajaran Perusahaan. PT. Gahlia. Jakarta.
Taufik, A. (1988). Seminar Budidaya Udang Intensif Peubah Penting Mutu Air Tambak Udang. Patra Utama Human Resources Development.
Soekartawi. (2002). Agribisnis Teori & Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
30
PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK BIOLIFE AQUACULTURE DENGAN FREKUENSI BERBEDA TERHADAP KELULUSHIDUPAN DAN PERTUMBUHAN UDANG WINDU ( Penaeus monodon Fab ) PADA STADIA PASCA LARVA 15 – 45 Pudiastiono DOSEN UNISLA ABSTRAK Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lamongan, pada bulan Maret – April 2009. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi pemberian probiotik yang tepat untuk mendapatkan kualitas air yang dominan guna mendukung kelulushidupan dan pertumbuhan udang windu pada stadia pasca larva 15 – 45. Metode penelitian yang digunakan metode eksperimen dan rancangan percobaan yaitu Rancangan Acak Lengkap ( RAL ), dengan 3 perlakuan dan 1 kontrol dengan 3 kali ulangan. Udang windu stadia pasca larva 15 – 45 dipelihara dalam ember plastik dengan volume 5 liter dan tidak dilakukan penggantian air. Parameter yang diamati kelulushidupan, pertumbuhan, amonia, nitrit, bahan organik, kelimpahan bakteri, suhu salinitas DO dan pH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik dengan frekuensi 4 kali ( setiap minggu ) selama pemeliharaan 1 bulan paling baik untuk meningkatkan kelulushidupan udang windu, kelimpahan bakteri non patogen, serta mengurangi akumulasi amonia, nitrit, dan bahan organik dalam air. Tetapi tidak berpengaruh terhadap suhu, DO, Salinitas dan pH. Kata kunci : udang windu, probiotik PENDAHULUAN Meningkatnya permintaan pasar komoditi udang dengan harga jual yang cukup tinggi menjadi pendorong berkembangnya usaha pertambakan. Dengan menggunakan teknologi budidaya udang pola intensif, para petambak mengandalkan produksi guna memenuhi target ekspor non migas. Perkembangan selanjutnya usaha ini semakin tidak terkendali dan tidak lagi memperhatikan daya dukung lingkungan. Hal tersebut baru dirasakan oleh petambak setelah menurunnya produksi udang dari tahun ke tahun. Penurunan tersebut sebagai akibat dari seringnya terjadi kasus penyakit udang, terutama banyak menyerang tambak-tambak intensif yang pengelolaannya tidak memperhatikan daya dukung lahan (Edy dan Busono, 2001). Budidaya udang intensif dengan menggunakan padat penebaran benur tinggi yang tentunya harus diimbangi dengan pemberian pakan buatan yang lebih banyak, dimana pakan yang diberikan tersebut oleh udang hanya dimanfaatkan sekitar 75% dari total pakan. Sisanya 10% larut dalam air dan 15% tidak termanfaatkan oleh udang (Haliman, 2001). Sisa pakan yang tidak termanfaatkan oleh udang ditambah dengan hasil metabolit udang tersebut yang akan meningkatkan akumulasi bahan organik diperairan. Semakin banyaknya bahan organik di perairan maka beban yang diterima perairan untuk melakukan aktifitas purifikasi (pemulihan) secara alami semakin berat. Didaerah sepanjang pantau utara jawa merupakan salah satu contohnya. Sejak tahun 1992 di daerah
ini sering terjadi kematian udang secara mendadak dan masalsetelah masa pemeliharaan 2 bulan, yang disebabkan oleh bakteri vibrio dari jenis menyala (Edy dan Busono, 2000). Pada perkembangannya tidak hanya dari jenis bakteri saja tetapi virus juga ikut menyerang seperti misalnya: Monodon boculovirus White spot, dan yang terakhir ditemukan juga penyakit Yellow head virus. Jasadjasad tersebut umumnya bersifat oportunistik, menyerang udang pada kondisi yang kurang baik, sehingga dianggap sebagai efek sekunder yang dihubungkan dengan strees lingkungan terutama lingkungan eksternal yang kurang stabil, kepadatan tinggi dan ketidak seimbangan bakteri pengurai. Melihat kondisi tersebut para peneliti banyak mencari pemecahan masalah yang dihadapi dalam budidaya udang, diantaranya dengan pemberian probiotik. Menurut Edy dan Busono (2000) probiotik merupakan produk dari bioteknologi, berisi strain bakteri di alam yang yelah diseleksi dan berfungsi untuk membantu proses purifikasi bahan organik di perairan. Dengan perbaikan kondisi kualitas perairan tersebut diharapkan dapat memicu pertumbuhan udang windu. MATERI DAN METODE Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen, yaitu mengadakan percobaan untuk melihat suatu hasil. Hasil yang akan didapat menegaskan bagaimana hubungan kausal antara variabel – variabel yang diselidiki dan seberapa 31
besar hubungan sebab akibat tersebut dengan cara memberilan perlakuan – perlakuan tertentu pada beberapa kelompok eksperimental dan menyediakan kontrol untuk perbandingan ( Nazir, 1988). Perlakuan yang digunakan adalah perbedaan frekuensi pemberian probiotik Biolife Aquaculture yaitu pemberian 0 kali, 1 kali, 2 kali 4 kali dalam satu bulan pemeliharaan dan dilakukan pengulangan 3 kali. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap ( RAL ), karena medium yang digunakan bersifat homogen dan dilakukan didalam ruangan, sehingga yang mempengaruhi hasil percobaan adalah pengaruh perlakuan dan faktor kebetulan ( semua faktor yang ada dalam media percobaan ) saja ( Sastrosupadi, 1973 ). Parameter Penelitian 1.
Laju pertumbuhan udang windu
Laju pertumbuhan udang windu diketahuidengan melakukan pengukuran bobot udang pada awal dan akhir percobaan laju pertumbuhan spesifik ( SGR ) dihitung dengan menggunakan rumus : SGR=
LnWt Dimana : SGR Wt gram ) Wo gram ) t
LnWo t
x 100 %
: Laju Pertumbuhan Specific % BW per hari. : Bobot rata – rata udang pada akhir percobaan ( : Bobot rata – rata udang pada awal percobaan ( : Lama waktu percobaan
Kelulushidupan ( SR ) udang windu SR =
Nt x100% No
Dimana : SR : Kelulushidupan ( % ) Nt : Jumlah udang windu setelah akhir penelitian ( Individu )
Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu dengan menggunakan thermometer, oksigen terlarut menggunakan oksimeter, pH menggunakan pH meter dan ammonia dan nitrit dengan menggunakan titrasi. Perhitungan jumlah koloni bakteri dilakukan dengan menggunakan metodeTotal Plate Count ( TPC ), dengan menggunakan rumus Volk dan Wheeler ( 1989 ), Yaitu
Bo = ( D ) * ( C ) Dimana : Bo : jumlah Bakteri dalam 1 ml Cuplikan Asli D : Faktor Penggenceran C : Jumlah Koloni yang dihitung
Pengukuran kandungan bahan organik total melalui perhitungan : TOM ( mg/l) =
( x y ) x31,6 x0,01x1000 50ml
Dimana : X : ml titran untuk air sampel Y : ml titran untuk aquades 31,6 : Seperlima dari BM KMNO4 melepaskan 5 oksigen dalam reaksi ini 0,01 : Normalitas KMNO4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kelulushidupan Kelulushidupan udang windu sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidupnya. Kondisi lingkungan yang menurun menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan pada udang dan pada kondisi yang ekstrim akan menyebabkan kematian pada udang yang dipelihara. Rata – rata persentase kelulushidupan pada media pemeliharaan tanpa pemberian probiotik ( A ) berada pada kelulushidupan yang terendah yaitu 68%, sedangkan untuk perlakuaan frekuensi pemberian probiotik B; C; dan D berturut –turut 78,67% , 85,33% , dan 90,67% Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan semakin seringnya frekuensi pemberian probiotik, semakin tinggi nilai kelulushidupan udang windu yang diperoleh. Hal tersebut dapat terjadi karena kondisi kualitas air, semuanya berada pada kondisi yang dapat ditolelir oleh kelulushidupan udang windu. Sedangkan kondisi kualitas air untuk perlakuan dengan pemberian probiotik masih berada pada kondisi optimal bagi pertumbuhan udang windu. Hal ini sesuai dengan pendapat Hear, (1975) dalam Hermawan (2001) bahwa kelulusanhidupan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Secara alamiah setiap rganisme mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungan dalam batas-batas tertentu atau disebut tingkat toleransi. Jika perubahan lingkungan terjadi diluar kisaran suatu hewan maka cepat atau lambat hewan-hewan tersebut akan mati. Peningkatan kelulusan hidup pada media dengan memberikan probioyik yang lebih sering, dikarenakan pada media tersebut memiliki kondisi kualitas air yang lebih baik. Hal tersebut terjadi karena hasil dekomposisi bahan organik oleh bakteri akan merubah kondisi kualitas air (Wiadya, et, al, 2000) Disamping itu bakteri yang biasanya terkandung didalam probiotik seperti streoptomyces dan lactobacillus dapat menghasilkan antibiotika alami dan penekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan. Sehingga pengaruh merugikan yang biasanya muncul akibat akumulasi sisa makanan 32
dan metabolisme yang memacu bakteri patogen dapat terkurangi.
peningkatan
Pertumbuhan . Hasil pengukuran terhadap berat tubuh Udang windu selama penelitian berkisar antara 0,008 – 0,1038 gr. Laju pertumbuhan spesifik (SGR) ratarata berat udang windu hasil pengamatan perlakuan pemberian probiotik dengan frekwensi yang berbeda terendah pada perlakuan A (tanpa pemberian) yaitu rata-rata 6,67% BW/hari, sedangkan untuk perlakuan frekwensi probiotik B, C dan D memberikan hasil berturut-urut 7,31 % ; 7,313% ; dan 7,424% BW/hari. Data laju pertumbuhan spesifik rat-rata memperlihatkan bahwa pada pemberian probiotik dengan frekwensi pemberian sebanyak 4 kali dalam periode pemeliharaan 1 bulan memberikan laju pertumbuhan udang windu yang terbesar yaitu 7,424% BW/hari. Namun setelah dilakukan analisa sidik ragam diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan berat tubuh udang windu pada taraf nyata 95%. Hasil yang tidak berbeda nyata, karena bakteri probiotik tidak secara langsung mempengaruhi pertumbuhan udang windu. Disamping itu pada analisa kualitas air yang diukur, kondisi kualitas air masih berada pada kondisi yang dapat ditolerir untuk pertumbuhan udang windu sehingga pada media air yang tanpa pemberian probiotik laju petumbuhan masih dalam kondisi baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Effendie, (1985) bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya adalah keturunan, jenis kelamin; sedangka faktor luar meliputi makanan, kualitas air, parasit dan penyakit. Akan tetapi pada perlakuan dengan pemberian probiotik mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih baik terutama pada perlakuan pemberian probiotik sebanyak 4 kali pada masa pemberian 1 bulan. Kualitas Air Kualitas air yang diukur dalam penelitian berada pada kisaran yang masih dapat ditolelir oleh udang. Untuk lebih lengkap kualitas air yang diukur selama penelitian dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini: Tabel 1 Data kualitas air selama penelitian No
Parameter Kualitas Air
Hasil pengukuran Maks
Min
Kisaran optimal
Keterangan: Manik dan Mintoharjo 1980 Mahasri 1999 Anonymous 1998 Purnomo dalam Basuki 2001 Suprapto 2002
1.
Suhu air sangat erat pengaruhnya terhadap proses kimiawi dan biologi . Suhu air juga erat hubungannya dengan kosentrasi oksigen terlarut dalam air dan laju konsumsi hewan air. Suhu air berbandinga terbalik dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam air. tetapi berbanding lurus dengan laju konsumsi oksigen hewan air. Nilai kisaran suhu selama masa penelitian masih berada dalam kondisi optimal untuk pertumbuhan. Menurut Manik dan Mintoharjo (1980), suhu diatas 32o C akan menyebabkan stres pada udang dan suhu diatas 35o C akan mengakibatkan kematian pada udang. Dari data yang diperoleh dilakukan analisis sidik ragam diperoleh hasil perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap suhu harian selama periode penelitian (F hitung < F tabel 5% atau 0,81 < 4,068). Perubahan – perubahan suhu yang terjadi tiap hari pengamatan relatif kecil hal ini disebabkan karena unit-unit percobaan ditempatkan di ruangan tertutup dan diberikan lampu 60 watt, sehingga pengaruh perubahan suhu oleh panas matahari relatif kecil. 2.
Suhu
31
29,5
20 – 31a
2
DO
6,6
4,8
4,8 - 6,7b
3
Salinitas
20
30
10 - 30c
4
pH
8,6
6,94
7,5 - 8,5b
5
Amonia
0,21
0,13
0 - 0,5d
6
Nitrit
0,33
0,004
0 - 0,25b
7
Bahan Organik
16,43
8,216
20 ppm
Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut merupakan salah satu peubah kualitas air yang mempengaruhi peubah lain seperti suhu, salinitas, bahan organik terlarut dan derajat keasaman ( pH ). Oksigen terlarut digunakan organisme dalam proses metabolisme baik untuk pertumbuhan, gerak maupun pergantian sel – sel yang rusak( Ahmad, 1989 ). Menurut Mahasri ( 1999), jumlah oksigen yang dibutuhkanuntuk pernafasan udang tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktifitasnya. Batas minimumnya adalah 3 ppm, sedangkan oksigen terlarut optimum pada budidaya udang berkisar 5 – 10 ppm Analisis sidik ragam diperoleh hasil bahwa perlakuan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap kadar oksigen terlarut selama periode penelitian. Tidak berpengaruhnya kadar kelarutan oksigen dalam unit – unit percobaan dikarenakan pada setiap unit perlakuan diberikan aerasi untuk menyuplai oksigen terlarut pada media pemeliharaan. 3.
1
Suhu
Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi semua ion – ion terlarut dalam air yang dinyatakan dalam mg/l atau bagian per sejuta atau promil ( Boyd, 1982 ). Salinitas berhubungan erat dengan fungsi fisiologis 33
organisme perairan dalam mengatur keseimbangan tubuh akibat tekanan osmotik yang diterimanya. Selama penelitihan salinitas air media berada pada kisaran 20- 30 ppt. Pada data analisa sidik ragam diperoleh hasil bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbada nyata terhadap salinitas harian selama periode penelitian. 4.
pH
Nilai pH dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan udang secara langsung. Menurut mahasri (1999 ), bahwa pengaruh langsung pH rendah terhadap udang adalah udang menjadi keropos dan kulitnya menjadi lembek. Penurunan pH dapat terjadi sebagai akibat proses respirasi dan pembusukan zat – zat organik. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar pH harian selama periode penelitian. 5.
Amonia
Amonia dalam air terdiri dari dua bentuk yaitu amonia dalam bentuk ion ( NH4+ ) dan amonia bukan ion ( NH3 ). Menurut Boyd 1982 amonia yang bukan ion sangat beracun bagi udang tetapi amonia dalam dalam bentuk ion tidak berbahaya bagi udang kecuali dalam konsentrasi yang sangat tinggi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan hasil yang berbedasangat nyata terhadap kadar aminia di ari media. ( F hitung > F tabel 5% atau 18,73> 7,59). Hal ini di duga bahwa pemberian bakreti probiotik di perairan memberikan pengaruh terhadap kandungan amonia di air media selama masa pemeliharaan yang tidak dilakukan penyiponan dan pergantian air selama masa pemeliharaan. Menurut Boyd ( 1982 ) amonia dalam air berasal dari sisa – sisa metabolisme, sisa pakan yang tidak termakan dan pembusukan senyawa – senyawa. Dari hasil menunjukan bahwa pemberian frekuensi sebanyak 4 kali selama masa pemeliharaan selama 1 bulan aktifitas bakteri probiotik lebih optimal untuk mendegradasi amonia dalam air media pemeliharaan. Menurut Brock, et al., ( 1994 ), penurunan nilai kandungan disebabkan aktifitas bakteri Nitrosomonas dan nitrobacter yang memanfaatkan ion amonium yang terbentuk guna berlangsungnya proses nitrifikasi. 6.
Nitrit
Nitrit merupakan salah satu bentuk senyawa nitrogen dalam air. Nitrit tersebut berasal dari oksidadi amonia oleh bakteri nitrosomonas. Kadar nitrit selama pengamatan berkisar antara 0,004 – 0,36 mg/l. Nilai ini masih berada pada kisaran yang
aman bagi kehidupan udang windu yaitu sebesar 0,5 – 5 mg/l ( Boyd, 1982 ) Hasil dari analisis sidik ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata ( F Hitung > Ftabel 5% atau 7,16 > 7,59 ) terhadap penurunan kandungan nitrit pada air media pemeliharaan. Sehingga menunjukkan bahwa pemberian probiotik dengan frekuensi sebanyak 4 kali selama masa pemeliharaan 1 bulan memberikan hasil yang lebih baik untuk menekan jumlah nitrit pada air media pemeliharaan. Hal ini di duga bahwa bakteri pengurai nitrit mempunyai daya kerja optimal hanya dalam 1 minggu sehingga pada saat terjadi penurunan populasi bakteri pengurai , dibutuhkan penambahan dari luar.hal ini seperti pada penelitian sudirjo, et al., ( 2001 ) tentang kultur bakteri super-NB yang menunjukkan bahwa bakteri tumbuh baik dan mencapai puncak pertumbuhan pada hari ke lima dan selanjutnya mengalami penurunan. Menurut Rao ( 1994 ), perubahan nitogen menjadi nitrat diawali dengan mineralisasi nitrogen dalam bahan organik yang berakibat terbentuknya amonium, kemudian aktifitas bakteri nitrosomonas yang mengoksidadi amonium menjadi nitrit, dan aktifitas bakteri nitrobakter yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Menurut Nester, et al., ( 1984 ) mekanisme proses nitrifikasi oleh bakteri terjadi dalam 2 tahap yaitu :
Tahap pertama
NH4+ + 1,5 O2 NO2- + 2 H+ + H2O + Energi Nitrosomonas
Tahap Kedua
NO2+ + ½ O2
Nitrobacte r NO3 + Energi
Keseluruhan NH4+ + 2 O2 NO3+ + 2 H+ + H2O 7.
Bahan Organik Total
Bahan organik ádalah komponen yang berupa rantai carbón dan hidrogen termasuk nitrogen, phospor atau eleven – eleven lain. Komponen – Komponen tersebut berasal dari organismo hidup. Kandungan bahan organik total selama panelitian berkisar antara 15,8 – 8,216 mg/l. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda sangat nyata terhadap perubahan – perubahan nilai bahan organik total yang terdeteksi ( F hitung > F tabel 1% atau 18,51 > 7,59) Sehingga disimpukan bahwa perlakuan pemberian frekuensi probiotik yang berbeda menunjukkan pemberian probiotik dengan frekuensi 4 kali selama masa pemeliharaan 1 bulan mempunyai kandungan bahan organik total lebih rendah pada air media pemeliharaan dibandingkan dengan 34
perlakuaan lainnya. Hal tersebut di karenakan jenis bakteri yang biasa digunakan dalam menyusun probiotik mempunyai fungsi antara lain untuk mendegradasi bahan organik. Dengan demikian laju degradasi bahan organik bahan organik di perairan akan semaki efisien. Menurut pendapat Sunarto ( 2001 ), bakteri memainkan peranan penting dalam pengolahan air yang mengandung limbah organik, karena mereka mampu mengoksidasi limbah organik ini melalui proses oksidasi aerobik. Menurut Sudirjo, et al., hasil penelitian terhadak aktifitas bakteri super NB mampu menurunkan kandungan bahan organik dalam air dan efektifitasnya baru terjadi estela hari ke -8.
koalitas air, kelulushidupan dan pertumbuhan udang windu dapat disimpulkan sebagai berikut : Perlakuan probiotik dengan frekuendi pemberian sebanyak 4 kali selama satu bulan pemeliharaan membantu menjaga koalitas air seperti amonia, nitrit, kandungan bahan organik dan kelimpahan bakteri di perairan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap parameter kualittas air lainnhya seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan pH. penberian probiotik dengan frekuensi yang berbeda tidak berpengaruh terhadap laja pertumbuhan berat udang windu, Namur berpengaruh nyata terhadap kelulushidupan udang windu. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada skala pertambakan yang sebenarnya sehingga pengaruh probiotik yang digunakan tersebut lebih nyata.
Kelimpahan Bakteri Kelimpahan bakteri dihitung berdasarkan jumlah koloni yang muncul pada air media dengan tingkat pengenceran 10.000 kali. Hasil analisis sidik ragam menujukkan hasil yang berbeda nyata ( F hitung > F tabel 5% atau 4,234 > 4,067 ) terhadap kelimpahan bakteri pada media pemeliharaan udang windu. Hal ini berarti bakteri pobiotik yang di aplikasikan dapat hidup dan berkembang dalam air. Menurut Ludd dan Buttler ( 1970 ) dalam mustofa et al., ( 2001), Bakteri akan tetap melakukan fungsi yang relatif sama walaupun terjadi perubahan lingkungan karena bakteri dapat memproduksi enzim dan beradap tasi dengan lingkungan baru. Sehingga dapat dijelaskan bahwa peningkatan jumlah bakteri terlihat sangat nyata pada pemberian probiotik dengan frekuensi 4 kali dalam 1 bulan pemeliharaan. Kondisi di atas menunjukkan kemampuan bakteri untuk hidup dan berkembang biak setelah satu minggu akan mengalami penurunan sehingga dengan pemberian probiotik pada perlakuan 4 kali pemberian dalam masa pemeliharaan 1 bulan akan tetap mengoptimalkan jumlah bakteri dalam air. Semakin seringnya pemerian frekuensi probiotik akan berpengaruh terhadap kelimpahan bakteri di perairan. Pada kondisi yang demikian diharapkan bakteri probiotik yang ditanam akan menyaingi populasi bakteri patogen yang ada di perairan. Haliman, ( 2001 ) menyatakan aplikasi probiotik akan menimbulkan kompetisi terhadap bahan organik, ruang hidup, dan oksigen ( untuk bakteri aerob ) antara bakteri probiotik dengan bakteri patogen, sehingga desempatan berkembang dari bakteri patogen berkurang dengan demikian wabah penyakit yang biasa ditimbulkan dapat di tekan.
REFERENSI Ahmad, T. 1989 Oksigen Terlarut dan Peubah Mutu Air Lain Yang Penting Dalam Tambak. Balai Penelitian Pantai Budidaya Pantai Short Course Budidaya Udang inensif. Jakarta. 1 -23 Hal Anonymous 1998. Pedoman Pengelolaan Tambak Udang Windu. CP Prima. Surabaya. 36 Hal Boyd C.E. 1982. Water Quantity Management In Pond Fish Culture. Fishery Education and Tarining Institute. Alabama.319 Hal Brock,T.D.;M.T Madigan; J.M.Martikno dan J Parker, 1994. Biology of Microorganism. Prentice – Hall Inc. New Jersey. 909 Hal Edy M.H dan E, Busono. 2000 Penerapan Probiotik Sebagai Upaya Kelola Lingkungan Internal Tambak Udang Windu ( Penaeus monodon Fabr. ) Untuk mencegah Kegagalan Panen. Makalah pada dialog solusi dan aksi Penganan Kematian Udang di Tambak di KRI Teluk Banten Ujung Surabaya. Tanggal 8 Mei 2000. 8 hal Haliman R.W, 2001 Aplikasi Probiotik Di Tambak Udang. Seminar dan Pelatihan Budidaya Udang Windu Air Tawar Di Surabaya. 8 Hal Mahasri G. 1999. Manajemen Kualitas Air. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya. 113 Hal
KESIMPULAN
Mustofa.A, Nurjjanna, Rosiana.S, dan Sutrisyani. 2001 Pemanfaatan bakteri penggurai bahan organic asal tanah gambut pada tanah dari tambak udang intensif. Jurnal Perikanan Indonesia volime 7 no 1 Tahun 2001 31 – 40 Hal.
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pemberian probiotik dengan frekuensi yang berbeda terhadap
Nester, E.W.;C.E. Robert; M.E. Lidstrom; N.N. Pearsal dan M.T. Nester, 1964. Microbiology. 3’rd 35
edition. Holt – Saunder International Edition, Japan.875 Hal
Media Budidaya Udang Windu ( Penaeus monodon Fab ) Biosain, Vol 1 No 3. 41 Hal
Nurdjana. M.L, B. Martosudarmo, dan Anindiastuti. 1980. Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jendral Perikanan Depertemen Pertanian Yakarta.
Suprapto 2002. Petunjuk Operasional Laboratorium Mini Untuk Tambak Udang. UD. Tirta Lampung. 14 Hal
Rao,N.N.S. 1994 Mikrooranisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press. Yakarta.353 Hal Sastrosupsdi, A 1973 Statistik Percobaan. Lembaga pengembangan Tanaman Industri. Balai Pengembangan penelitian Pertanian. Madang 296 Hal Sudirjo, Marsoedi, dan A.M. Hariati. 2001 Efektifitas Bakteri Super NB dalam Mengendalikan Laju Akumulasi Bahan Organik dan Kualitas Air
Wiadnya, D.R.G., A.M. Harianti dan Murachman. 2000. Prinsip Zero Growth Pollution Pada Budidaya Air Payau: Alternatif Solusi Penanganan Kematian Udang windu di Jawa Timur. Makalah pada dialog solusi dan aksi penanganan Kematisn udang di tambak Di KRI Teluk Banten Ujung Surabaya.10 Hal Volk Wesley. A dan Margaret F Wheeler 1989. Mikrobiologi Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta 107 Hal
36
KAJIAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA DAN SUSU SKIM TERHADAP PENERIMAAN KONSUMEN PADA PRODUK NUGGET IKAN MAS (Cyprinus carpio) Suryatmoko DOSEN UNISLA ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menentukan kisaran konsentrasi tepung tapioka dan susu skim yang terbaik dalam pembuatan nugget ikan mas. pada penelitian utama. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan dua faktor yang diulang tiga kali, yaitu faktor konsentrasi tepung tapioka (T) dan faktor konsentrasi susu skim (S). Faktor konsentrasi tepung tapioka terdiri dari tiga taraf, yaitu: 20% (T1), 30% (T2) dan 40% (T3). Sedangkan faktor konsentrasi susu skim terdiri dari tiga taraf, yaitu: 7,5% (S1), 15% (S2) dan 22,5% (S3) Data hasil percobaan pada penyimpanan 0 hari dan 14 hari ditata dalam tabel analisis ragam terhadap rasa, aroma, tekstur dan penampakan. Apabila hasil yang diperoleh melalui analisa ragam menunjukkan adanya pengaruh pebedaan antar perlakuan (P<0,05 atau P<0,01), maka diuji lebih lanjut dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Perbedaan kombinasi konsentrasi tepung tapioka dan susu skim berpengaruh nyata pada nilai kesukaan panelis terhadap rasa dan aroma, sedangkan pada tekstur berpengaruh sangat nyata tetapi tidak berpengaruh pada penampakan nugget yang dihasilkan. Analisa keputusan dengan metode nilai harapan menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan T1S2, yaitu tepung tapioka dan susu skim 20%:15% merupakan kombinasi perlakuan terbaik. Hasil rata-rata nilai uji organoleptik pada penyimpanan 0 hari masing-masing sebesar: rasa 6,12 (menyukai); aroma 5,55 (menyukai); tekstur 5,58 (menyukai) dan penampakan 5,68 (menyukai). Rata-rata nilai uji organoleptik pada penyimpanan 14 hari masing-masing sebesar: rasa 5,95 (menyukai); aroma 5,55 (menyukai); tekstur 5,52 (menyukai) dan penampakan 5,38 (agak menyukai). Pengujian kualitas kombinasi perlakuan nugget ikan mas terbaik menunjukkan bahwa kadar protein nugget pada penyimpanan 0 hari sebesar 9,25% dan 14 hari sebesar 10% (SNI baso ikan mempunyai syarat minimal kadar protein sebesar 9%). Sedangkan nilai tekstur nugget pada penyimpanan 0 hari dan 14 hari masing-masing sebesar 42N dan 48N. Keyword : Nugget, Ikan Mas (Cyprinus carpio) PENDAHULUAN Nugget merupakan salah satu jenis makanan siap saji yang cukup popular di masyarakat. Biasanya nugget dibuat dari daging yang memiliki potongan relatif kecil dan tidak beraturan, kemudian diolah menjadi ukuran yang lebih besar.
dengan teknik yang berbeda-beda, seperti: kolam, sawah, genangan-genangan rawa-sawah, danau, sungai dan karamba. Ikan mas tumbuh baik sampai ketinggian 800 meter di ats permukaan laut. Klasifikasi ikan mas menurut Chumcal (2000), adalah sebagai berikut:
Nugget ikan yang dijual di pasaran kebanyakan menggunakan bahan dasar ikan tenggiri atau udang. Untuk lebih menganekaragamkan pilihan bagi konsumen perlu dibuat nugget ikan
Kingdom Phylum Klas Ordo Famili Genus Spesies
: Animalia : Chordata : Actinopterygii : Cypriniformes : Cyprinidae : Cyprinus : Cyprinus carpio
TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi kimia yang terkandung dalam daging ikan mas dapat dilihat pada Tabel 1.
Ikan Mas (Cyprinus carpio) Ikan mas di Jawa Timur biasanya disebut sebagai ikan tombro. Ikan ini mempunyai sifat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga cocok untuk dipelihara di berbagai lingkungan 37
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Ikan Mas per 100 gram Kandungan Air (g) Protein (g) Energi (kal) Lemak (g) Kalsium (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI)
Jumlah 80 16 86 2 20 2 150
Sumber: Fachruddin, 1997
Nugget Menurut Moedjiharto (2002), nugget adalah produk olahan yang menggunakan teknologi restrukturisasi dengan memanfaatkan potongan daging yang relative kecil dan tidak beraturan kemudian melekatkannya kembali menjadi ukuran yang lebih besar dibantu bahan pengikat. Lebih lanjut Manulang dan Tanoto (1995) mendefinisikan nugget sebagai suatu bentuk produk olahan daging yang merupakan bentuk emulsi minyak dalam air. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan produk ini dititikberatkan pada kemampuan mengikat antara partikel daging dan bahan-bahan lain yang ditambahkan (Rahardjo et al., 1995). Proses pembuatan nugget menurut Gozali et al. (2001), meliputi tahap pencampuran adonan, pencetakan adonan dan pengukusan. Selanjutnya nugget kukus diiris dalam bentuk potongan empat persegi dan dilapisi dengan bahan pelapis dan digoreng. Tepung Tapioka Tepung tapioka banyak digunakan sebagai bahan pengisi dalam pengolahan pangan karena memiliki kemampuan menyerap air, dalam suhu panas akan terbentuk gel sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki tekstur produk olahan pangan (Mc William, 1997). Lebih lanjut Peranginangin et al. (1999), menyatakan bahwa penambahan tepung tapioka akan meningkatkan rendemen yang diperoleh dan menurunkan biaya produksi dalam pengolahan produk olahan daging ikan. Susu Skim Menurut Buckle et al. (1987), susu skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak.
Belitz and Grosch (1987), menyatakan bahwa protein utama susu merupaka protein konyugasi (protein yang mengandung senyawa lain bukan protein) yang disebut fosfoprotein yang tersusun oleh protein dan fosfat yang mengandung lesitin, dimana lesitin ini tidak terdapat dalam daging ikan (Gaman dan Sherrington, 1994). Sebagai emulsifier, lesitin berperan dalam meningkatkan efek shortening lemak di dalam adonan serta melindungi dari penurunan mutu. Lesitin dapat meningkatkan homogenitas system dan wet ability semua komponen sehingga memudahkan pembuatan adonan dan mengoptimalkan distribusi komponen tepung (Hartayanie et al., 2001). Bumbu-Bumbu 1) Garam Dapur Garam dapur (NaCl) digunakan sebagai salah satu bahan pengawet yang sering sikombinasikan dalam proses pengasapan dan pengeringan (Buckle et al., 1987). Lebih lanjut Fachruddin (1997), menyatakan bahwa selain sebagai bahan pengawet, garam dapur juga berfungsi merangsang cita rasa dan menambah rasa enak produk. 2) Bawang Putih Bawang putih (Allium sativum) merupakan salah satu komoditi pertanian yang banyak dibutuhkan di dunia karena manfaatnya sebagai bahan penambah rasa sedap atau wangi pada beberapa jenis makanan (Santoso, 1988). Dalam umbi bawang putih terdapat sejenis minyak atsiri, dengan baunya yang khas bawang putih yang diberi nama ‘allicin’. Allicin merupakan zat aktif yang mempunyai daya bunuh terhadap bakteri sehingga dapat berfungsi sebagai bahan pengawet (Rismunandar, 1986). 3) Lada Lada (Piper ningrum L) mempunyai sifat yang khas, yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas sehingga menjadi bahan penyedap dari hamper seluruh masakan di beberapa penjuru dunia. Rasa pedas lada adalah akibat adanya zat piperin, piperanin dan chavicin. Sedangkan aroma dari biji lada, adalah akibat adanya minyak atsiri yang terdiri dari beberapa jenis minyak terpen (Rismunandar, 1987). Bahan Pelapis 1) Putih Telur Putih telur menempati 60% dari seluruh telur (Syarif dan Irawati, 1998). Berat rata-rata putih telur pada telur ayam, adalah 33,0 gram. Zat 38
makanan putih telur yang terbanyak adalah albumin dan yang paling sedikit adalah lemak (Hadiwiyoto, 1983).
= Nilai keuntungan yang diharapkan
2) Tepung Roti Tepung roti disebut juga remah roti atau tepung panir yang sebagian besar penggunaannya untuk melapisi produk daging atau sejenisnya yang kemudian mengalami tahap pembekuan (Matz, 1992).
= Keadaan dasar yang berbeda
= Probabilitas tiap keadaan dasar xi
= Keputusan yang diperhitungkan = Perolehan pada keadaan dasar f(xi.dj)
dan keputusan dj
Pembuatan Nugget Ikan Menurut Aryani (2002), proses pembuatan nugget ikan diawali dengan membersihkan daging ikan segar dari kepala, tulang, sisik, isi perut, ekor dan dicuci bersih kemudian dipotong kecil-kecil (dicincang). Selanjutnya daging ikan digiling kemudian dicampur dengan bahan tambahan (tepung tapioka, air dan bumbu) dan diaduk hingga rata. Proses berikutnya, yaitu mencetak adonan ke dalam cetakan dan ditutup dengan aluminium foil dan dikukus. Setelah itu nugget didinginkan dan diiris dengan menggunakan pisau stainless steel dengan ukuran 2x2x1 cm. Irisan nugget kemudian dilumuri putih telur dan digulirkan pada tepung roti. Selanjutnya nugget digoreng dalam minyak panas pada suhu ±170oC selama 2 menit. Uji Organoleptik Pengujian organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan yang menyangkut penilaian seseorang mengenai sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi (Sukarto, 1981). Pada pengujian ini panelis mengemukaan tanggapan pribadi, yaitu kesan yang berhubungan dengan kesukaan atau tanggapan senang tidaknya terhadap kualitas yang dinilai berdasarkan skala kesukaan yang disediakan. Analisa Keputusan Pada penelitian ini, analisa keputusan dilakukan dengan menggunakan metode Nilai Harapan yang diharapkan untuk memilih suatu keputusan yang mempunyai pay off (keuntungan atau kegunaan) yang maksimum (Siagian, 1987). Persamaan matematis untuk nilai pay off yang diharapkan ditunjukkan dengan persamaan berikut:
Uji Kualitas Uji kualitas produk selain berdasarkan pada uji organoleptik juga bisa dilakukan dengan alat. Dalam hal ini, pengujian yang dipilih adalah uji protein dan tekstur. Pengujian protein dilakukan dengan metode Gunning (Soedarmadji et al., 1984), sedangkan pengujian tekstur dilakukan dengan alat Moshanto Hardness. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging giling ikan mas, tepung tapioka, susu skim, bumbu-bumbu (garam, bawang putih dan lada), putih telur ayam ras, tepung roti dan minyak goreng. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan nugget ikan mas, adalah: pisau stainless steel, baskom, blender, loyang, aluminium foil, thermometer 200oC, timbangan, kukusan, deep frying dan kompor. Metode Penelitian 1) Penelitian Pendahuluan Penelitian ini menggunakan ikan mas sebagai bahan utama, kemudian diberi perlakuan penambahan tepung tapioka sebagai bahan pengisi dan susu skim sabagai emulsifier. Formula yang diterapkan dalam penelitian pendahuluan ini menggunakan konsentrasi tepung tapioka sebesar 20% dan 30% yang mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Rumiyati (2002) dan Amertaningtyas (2000). Sedangkan konsentrasi susu skim sebesar 5%, 10% dan 15% yang merujuk apada penelitian Praptiningsih et al. (2001). Kisaran formula tersebut digunakan sebagai dasar penentuan konsentrasi tepung tapioka dan susu skim pada penelitian utama. Pengamatan yang dilakukan adalah pengaruh perlakuan di atas terhadap kualitas nugget yang 39
dihasilkan meliputi penampakan, rasa, tekstur dan aroma. 2) Penelitian Utama Penelitian utama menggunakan Rancangan acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan dua faktor yang diulang tiga kali, yaitu faktor konsentrasi tepung tapioka (T) dan faktor konsentrasi susu skim. Faktor konsentrasi tepung tapioka terdiri dari tiga taraf, yaitu: 20% (T1), 30% (T2) dan 40% (T3). Sedangkan faktor konsentrasi susu skim terdiri dari tiga taraf, yaitu: 7,5% (S1), 15% (S2) dan 22,5% (S3). Penentuan faktor tersebut berdasarkan formula yang memiliki rasa dan tekstur yang tepat dari penelitian pendahuluan. Data hasil percobaan pada penyimpanan 0 hari dan 14 hari ditata dalam table analisa ragam terhadap rasa, aroma, tekstur dan penampakan.
2. Analisa Keputusan Data uji organoleptik selanjutnya digunakan sebagai dasar penentuan alternatif pembuatan nugget ikan mas yang terbaik dengan menggunakan Metode Nilai Harapan. Prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut: a. Memberikan skor/probabilitas pada setiap parameter uji rasa, aroma, tekstur dan penampakan dengan total skor sama dengan satu. b. Menghitung nilai harapan dengan cara mengalikan nilai rata-rata setiap kombinasi perlakuan dengan skor sesuai parameter ujinya. c. Menjumlahkan total nilai harapan pada setiap kombinasi perlakuan d. Kombinasi perlakuan dengan total nilai harapan tertinggi merupakan alternatif yang terbaik
Tabel 2. Formulasi Adonan Nugget Ikan Mas Bahan Daging Ikan Tepung Tapioka Susu Skim Bubuk Garam Bawang Putih Lada
T1S1 100 20 7,5 3 5 1
T1S2 100 20 15 3 5 1
T123 100 20 22,5 3 5 1
T2S1 100 30 7,5 3 5 1
Perlakuan T2S2 T2S3 100 100 30 30 7,5 7,5 3 3 5 5 1 1
Apabila hasil yang diperoleh melalui analisa ragam menunjukkan adanya pengaruh perbedaan anta perlakukan (P<0,05% atau P<0,01), maka diuji lebih lanjut dengan uji Beda nyata terkecil (BNT). Metode Analisa 1. Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap rasa, aroma, tekstur dan penampakan nugget ikan mas. Kepada panelis disajikan sampel yang diatur secara satu per satu dan diminta menilai sampel berdasarkan kesenangannya menurut skala nilai yang disediakan. Skala kesukaan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Skala Kesukaan dan skala Numerik Skala Kesukaan Sangat menyukai Menyukai Agak menyukai Netral Agak tidak menyukai Tidak menyukai Sangat tidak menyukai
Skala Numerik 7 6 5 4 3 2 1
T3S1 100 40 7,5 3 5 1
T3S2 100 40 7,5 3 5 1
T3S3 100 40 7,5 3 5 1
3. Uji Kualitas Setelah melalui tahap analisa keputusan, nugget ikan mas terbaik yang dihasilkan selanjutnya dilakukan pengujian kualitas, berupa uji protein, dan tekstur pada lama penyimpanan 0 hari dan 14 hari. Pengujian kadar protein menggunakan metode Gunning dan pengujian tekstur menggunakan alat Moshanto hardness. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Organoleptik 1. Rasa Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata (P<0,05) antara perlakuan konsentrasi tepung tapioka dan konsentrasi susu skim terhadap rasa nugget ikan mas yang dihasilkan. Masing-masing perlakuan juga memberikan pengaruh yang sangat nyata secara tunggal (P<0,01).
Sumber: Sukarto, 1981
40
Tabel 4. Rata-rata Nilai Rasa Nugget Ikan Mas Perlakuan
Rata-rata Penyimpanan Penyimpanan 0 hari 14 hari
T1S1 T1S2 T1S3
5,63c 6,12a 5,77b
5,48 5,95a 5,63b
T2S1 T2S2 T2S3
5,58cd 5,77b 5,67c
5,45d 5,60bc 5,52cd
T3S1 T3S2 T3S3
5,43e 5,60cd 5,52de
5,25e 5,52cd 5,52cd
Gambar 2. Histogram Rata-rata Nilai Kesukaan terhadap Rasa Nugget Ikan Mas pada Perlakuan Tepung Tapioka Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa nilai kesukaan tertinggi panelis terhadap rasa terdapat pada konsentrasi terendah tepung tapioka (T1=20%). Nilai rasa nugget ikan yang dihasilkan semakin menurun seiring dengan jumlah tepung tapioka yang ditambahkan dalam formula.
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Tabel 10 menunjukkan bahwa pada penyimpanan 0 hari, perlakuan penambahan tepung tapioka 20% dan penambahan susu skim 15% (T1S2) mempunyai nilai rata-rata rasa yang tertinggi, yaitu sebesar 6,12. Perlakuan T1S2 berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Perlakuan T1S3 dan T2S2 berbeda nyata dengan perlakuan T2S3, T1S1, T3S2, T2S1, T3S3, T3S1 dan T1S2. Perlakuan T2S3 dan T1S1 berbeda nyata dengan perlakuan T3S3, T3S1, T1S2, T1S3 dan T2S2. Perlakuan T3S2 dan T2S1 berbeda nyata dengan perlakuan T3S1, T1S2, T1S3 dan T2S2. Perlakuan T3S3 berbeda nyata dengan perlakuan T1S2, T1S3, T2S2, T2S3 dan T1S1. Perlakuan T3S1 berbeda nyata dengan perlakuan T1S2, T1S3, T2S2, T1S1, T2S3, T2S1 dan T3S2. Pada penyimpanan 14 hari, perlakuan T1S2 mempunyai nilai rata-rata rasa yang tertinggi, yaitu sebesar 5,95. Perlakuan T1S2 berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Perlakuan T1S3 berbeda nyata dengan perlakuan T2S3, T3S2, T3S3, T1S1, T2S1, T3S1 dan T1S2. Perlakuan T2S2 berbeda nyata dengan perlakuan T1S1, T2S1, T3S1 dan T1S2. Perlakuan T2S3, T3S2 dan T3S3 berbeda nyata dengan perlakuan T3S1, T1S2 dan T1S3. Perlakuan T3S1 berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya.
Gambar 3. Histogram Rata-rata Nilai Kesukaan terhadap Rasa Nugget Ikan Mas pada Perlakuan Susu Skim Dari Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa nilai kesukaan panelis terhadap rasa nugget ikan mas rendah pada konsentrasi susu skim terendah (S1=7,5%). Nilai kesukaan tersebut naik ketika konsentrasi susu skim pada formula ditambah. Sedang pada penambahan berikutnya nilai kesukaan panelis mengalami penurunan.
Rata-rata nilai kesukaan panelis terhadap rasa nugget ikan mas disajikan pada Gambar 2,3 dan 4. Gambar 4. Histogram Rata-rata Nilai Kesukaan terhadap Rasa Nugget Ikan Mas pada Kombinasi Perlakuan Tepung Tapioka dan Susu Skim Dari Gambar 4 diketahui bahwa pada penyimpanan 0 hari, rata-rata nilai kesukaan terhadap rasa nugget ikan mas berkisar antara 5,43-6,12 (agak menyukai-menyukai). Pada penyimpanan 14 hari, rata-rata nilai kesukaan terhadap rasa nugget ikan mas berkisar antara 5,25-5,95 (agak menyukai-menyukai). 41
Nilai rasa nugget tertinggi pada kombinasi perlakuan T1S2 ini diduga karena pada konsentrasi tepung tapioka yang semakin berkurang, rasa nugget ikan mas semakin gurih atau paling tersa ikan dan bumbunya. Rasa gurih nugget ini ditunjang oleh penggunaan susu skim 15% sehingga menimbulkan rasa gurih yang tidak enek. 2. Aroma Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata (P<0,05) antara perlakuan konsentrasi tepung tapioka dan konsentrasi susu skim terhadap aroma nugget ikan mas yang dihasilkan. Masing-masing perlakuan juga memberikan pengaruh yang sangat nyata secara tunggal (P<0,01).
Perlakuan T1S1 berbeda nyata dengan perlakuan T3S2, T3S3, T2S1, T3S1 dan T1S3. Perlakuan t2s2 berbeda nyata dengan perlakuan T3S1, T1S3, T1S2 dan T2S3. Perlakuan T3S2, T3S3 dan T2S1 berbeda nyata dengan perlakuan T3S1, T1S3, T1S2, T2S3 dan T1S1. Perlakuan T3S1 berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Rata-rata nilai kesukaan panelis terhadap aroma nugget ikan mas dapat disajikan pada Gambar 5, 6 dan 7.
Tabel 5. Rata-rata Nilai Aroma Nugget Ikan Mas Perlakuan T1S1 T1S2 T1S3
Rata-rata Penyimpanan Penyimpanan 0 hari 14 hari 5,45bc 5,43c 5,55b 5,55b 5,68a 5,72a
T2S1 T2S2 T2S3
5,28d 5,42c 5,58b
5,28d 5,37cd 5,48b
T3S1 T3S2 T3S3
4,83e 5,38cd 5,48bc
4,80e 5,33d 5,32d
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada penyimpanan 0 hari, perlakuan penambahan tepung tapioka 20% dan penambahan susu skim 22,5% (T1S3) mempunyai nilai rata-rata aroma yang tertinggi, yaitu sebesar 5,72. Perlakuan T1S3 berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Perlakuan T2S3 dan T1S2 berbeda nyata dengan perlakuan T1S1,T2S2,T3S2,T2S1,T3S1 dan T1S3. Perlakuan T3S3 berbeda nyata dengan perlakuan T2S1, T3S1 dan T1S3. Perlakuan T1S1 dan T2S2 berbeda nyata dengan perlakuan T2S1, T3S1, T1S3, T2S3 dan T1S2. Perlakuan T3S2 berbeda nyata dengan perlakuan T3S1, T1S3, T2S3 dan T1S2. Perlakuan T2S1 berbeda nyata dengan perlakuan T3S1 berbeda nyata dengan semua kombinasi perlakuan lainnya. Pada penyimpanan 14 hari, perlakuan T1S3 mempunyai nilai rata-rata aroma yang tertinggi, yaitu sebesar 5,68. Perlakuan T1S3 berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Perlakuan T1S2 dan T2S3 berbeda nyata dengan perlakuan T2S2, T3S2, T3S3, T2S1, T3S1, dan T1S3.
Gambar 5. Histogram Rata-rata Nilai Kesukaan terhadap Aroma Nugget Ikan Mas pada Perlakuan Tepung Tapioka Gambar 5 di atas menunjukkan bahwa nilai kesukaan tertinngi panelis terhadap aroma terdapat pada konsentrasi terendah tepung tapioka (T1=20%). Nilai aroma nugget ikan yang dihasilkan semakin menurun seiring dengan jumlah tepung tapioka yang ditambahkan dalam formula.
Gambar 6. Histogram Rata-rata Nilai Kesukaan terhadap Aroma Nugget Ikan Mas pada Perlakuan Susu Skim Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa nilai kesukaan tertinggi panelis terhadap aroma terdapat pada konsentrasi tertinggi susu skim (S3=22,%). Nilai aroma nugget ikan yang dihasilkan semakin naik seiring dengan jumlah susu skim yang ditambahkan dalam formula. 42
Tabel 6. Rata-rata Nilai Tekstur Nugget Mas Perlakuan T1S1 T1S2 T1S3 T2S1 T2S2 T2S3
Gambar 7. Histogram Rata-rata Nilai Kesukaan terhadap Rasa Nugget Ikan Mas pada Kombinasi Perlakuan Tepung Tapioka dan Susu Skim Gambar 7 menunjukkan bahwa pada penyimpanan 0 hari, rata-rata nilai kesukaan terhadap aroma nugget ikan mas berkisar antara 4,83-5,72 (agak menyukai-menyukai). Pada penyimpanan 14 hari, rata-rata nilai kesukaan terhadap aroma nugget ikan mas berkisar antara 4,8-5,68 (agak menyukai-menyukai). Nilai aroma yang tertinggi pada kombinasi perlakuan T1S3 ini diduga karena dengan konsentrasi tepung tapioka sebesar 20% tidak mengurangi aroma yang ditimbulkan senyawasenyawa volatil yang ada pada daging ikan, bahan-bahan serta bumbu-bumbu yang digunakan. Penggunaan konsentrasi susu skim sebesar 22,5% semakan menambah aroma harum nugget ikan mas. Menurut Syarif dan Irawati (1998), susu memiliki aroma harum serta berbau khas susu. Hal ini menyebabkan dengan semakin berkurangnya susu skim yang digunakan, aroma nugget ikan mas semakin disukai oleh panelis. 3. Tekstur Tekstur suatu bahan pangan sangat mempengaruhi rasa bahan pangan tersebut, tekstur yang baik akan mendukung cita rasa suatu bahan pangan. Menurut deMan (1997), tekstur merupakan aspek penting dari mutu makanan, kadang-kadang lebih penting dari bau, rasa dan warna. Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang sangat nyata antara perlakuan konsentrasi tepung tapioka dan konsentrasi susu skim terhadap tekstur nugget ikan mas yang dihasilkan. Masing-masing perlakuan juga memberikan pengaruh yang sangat nyata secara tunggal (P<0,01).
Ikan
Rata-rata Penyimpanan Penyimpanan 0 hari 14 hari 5,48 5,63c 5,95a 6,12a 5,63b 5,77b 5,58cd 5,77b 5,67c
5,45d 5,60bc 5,52cd
5,25e 5,43e T3S1 5,52cd 5,60cd T3S2 5,52cd 5,52de T3S3 Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji BNT 1%.
Tabel 6 menunjukkan bahwa pada penyimpanan 0 hari, perlakuan penambahan tepung 20% dan penambahan susu skim 7,5% (T1S1) mempunyai nilai rata-rata tekstur yang tertinggi, yaitu sebesar 5,80. Perlakuan T1S1 berbeda sangat nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Perlakuan T2S1 berbeda sangat nyata dengan T2S2, T3S2, T2S3, T3S3 dan T1S1. Perlakuan T1S2, T3S1 dan T1S3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan T2S3, T3S3 dan T1S1. Perlakuan T2S2 dan T3S2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan T3S3, T1S1 DAN T2S1. Perlakuan T2S3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan T3S3, T1S1, T2S1, T1S2, T3S1 dan T1S3. Perlakuan T3S3 berbeda sangat nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Pada penyimpanan 14 hari, perlakuan T1S1 mempunyai nilai rata-rata tekstur yang tertinggi, yaitu sebesar 5,62. Perlakuan T1S1 berbeda sangat nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Perlakuan T1S2 berbeda sangat nyata dengan T2S2, T1S3, T2S3, T3S2, T3S3 dan T1S1. Perlakuan T3S1 dan T2S1 berbeda sangat nyata dengan T1S3, T2S3, T3S2, T3S3 dan T1S1. Perlakuan T2S2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan T3S2, T3S3, T1S1 dan T1S2. Perlakuan T1S3 dan T2S3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan T3S3, T1S1, T1S2, T3S1 dan T2S1. Perlakuan T3S2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan T3S3, T1S1, T1S2, T3S1, T2S1 dan T2S2. Perlakuan T2S3 berbeda sangat nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Adanya perbedaan nilai kesukaan terhadap tekstur nugget ikan mas yang sangat nyata ini diduga karena adanya kombinasi tepung tapioka dan susu skim yang berbeda-beda sehingga mereka memiliki kemampuan yang berbeda-beda pula dalam berikatan dengan matriks partikel daging ikan. Tekstur nugget ikan mas yang terbentuk ini merupakan matriks gel antara protein daging 43
(aktin dan miosin), protein susu, pati, air dan lemak. Rata-rata nilai kesukaan panelis terhadap tekstur nugget ikan mas dapat disajikan pada Gambar 8, 9, 10.
Gambar 10. Histogram Rata-rata Nilai Kesukaan terhadap Tekstur Nugget Ikan Mas pada Perlakuan Tepung Tapioka
Gambar 8. Histogram Rata-rata Nilai Kesukaan terhadap Tekstur Nugget Ikan Mas pada Perlakuan Tepung Tapioka Gambar 8 di atas menunjukkan bahwa nilai kesukaan tertinggi panelis terhadap tekstur terdapat pada konsentrasi terendah tepung tapioka (T1=20%). Nilai tekstur nugget ikan yang dihasilkan semakin menurun seiring dengan jumlah tepung tapioka yang ditambahkan dalam formula. Hal ini disebabkan karena penambahan tepung tapioka yang tinggi akan menghasilkan nugget yang memiliki kekenyalan tinggi tetapi liat saat digigit.
Gambar 10 menunjukkan bahwa pada penyimpanan 0 hari, rata-rata nilai kesukaan terhadap tekstur nugget ikan mas berkisar antara 4,87-5,80 (agak menyukai-menyukai). Pada penyimpanan 14 hari, rata-rata nilai kesukaan terhadap tekstur nugget ikan mas berkisar antara 5,03-5,62 (agak menyukai-menyukai). Nilai tekstur yang tertinggi pada kombinasi perlakuan T1S1 ini diduga disebabkan oleh gel yang terbentuk pada proses pembuatan nugget lebih lemah dibanding perlakuan yang lain sehingga lebih lunak saat digigit. Nilai kesukaan tekstur yang terendah pada kombinasi perlakuan T3S3 diduga karena gel yang terbentuk lebih kuat atau kompak dibanding perlakuan yang lain sehingga saat digigit teksturnya lebih liat dan susah untuk putus waktu digigit. Tekstur nugget yang seperti ini kurang disukai oleh panelis. 4. Penampakan Penampakan suatu produk akan mempengaruhi ketertarikan panelis terhadap produk tersebut. Menurut Tranggono et al.(1989), jika pangan tidak dapat diterima secara estetis, pangan tidak akan mendapat kesempatan untuk berperan pada pemenuhan kebutuhan gizi seseorang.
Gambar 9. Histogram Rata-rata Nilai Kesukaan terhadap Tekstur Nugget Ikan Mas pada Perlakuan Susu Skim Peningkatan konsentrasi susu skim sebagai emulsifier pada adonan nugget ternyata menurunkan tingkat kesukaan terhadap tekstur nugget yang dihasilkan. Makmoer (2004), menyatakan bahwa pemakaian emulsifier yang berlebihan menyebabkan adonan menjadi sangat kental sehingga menghasilkan produk akhir yang kurang bagus.
Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diterapkan tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap nilai penampakan nugget ikan mas yang dihasilkan. Hal ini diduga karena bahan pelapis yang digunakan pada semua perlakuan adalah sama, yaitu berupa putih telur dan tepung roti.
44
baik dibanding dengan kombinasi perlakuan lainnya. Kombinasi perlakuan T1S2 memiliki total nilai harapan tertinggi. Hal ini disebabkan uji organoleptik dari parameter rasa memiliki nilai rata-rata yang paling tinggi. Untuk produk nugget ikan mas, parameter rasa dianggap sebagai parameter yang paling penting dibandingkan dengan parameter lainnya, sehingga memiliki nilai probabilitas (Pb) tertinggi.
Tabel 7. Rata-rata Nilai Penampakan Nugget Ikan Mas Perlakuan T1S1 T1S2 T1S3
Rata-rata Penyimpanan Penyimpanan 0 hari 14 hari 5,42 5,48 5,38 5,68 5,32 5,20
T2S1 T2S2 T2S3
5,10 5,17 5,38
5,33 5,22 5,17
T3S1 T3S2 T3S3
5,27 5,48 5,13
5,33 5,63 5,28
Nugget ikan mas yang dihasilkan memiliki warna kecoklatan. Hal ini disebabkan oleh adanya reaksi Maillard, yaitu reaksi kimia antara gula dan asam amino dari protein (Winarno, 1997). Rata-rata nilai kesukaan terhadap penampakan nugget ikan mas hasil penelitian pada penyimpanan 0 hari berkisar antara 5,10-5,68 (agak menyukaimenyukai). Sedangkan pada penyimpanan 14 hari berkisar antara 5,17-5,63 (agak menyukaimenyukai). Rata-rata nilai kesukaan terhadap penampakan nugget ikan mas dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Histogram Rata-rata Nilai Kesukaan terhadap Rasa Nugget Ikan Mas pada Kombinasi Perlakuan Tepung Tapioka dan Susu Skim Analisa Keputusan
Perhitungan nilai-harapan masing-masing kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9. Tabel 8. Hasil Perhitungan Nilai Harapan pada Penyimpanan 0 Hari Nilai Ratarata
Nilai Harapan (NH)
Total NH
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5792 1.3032 1.5080 1.2056
5.5960
6.12 5.55 5.58 5.68
0.28 0.24 0.26 0.22
1.7136 1.3320 1.4508 1.2496
5.7460
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.77 5.72 5.50 5.20
0.28 0.24 0.26 0.22
1.6156 1.3728 1.4300 1.1440
5.5624
T2S1
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.58 5.28 5.63 5.10
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5624 1.2672 1.4638 1.1220
5.4154
T2S2
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.77 5.42 5.47 5.17
0.28 0.24 0.26 0.22
1.6156 1.3008 1.4222 1.1374
5.4760
T2S3
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.67 5.58 5.33 5.38
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5876 1.3392 1.3858 1.1836
5.4962
T3S1
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.43 4.83 5.58 5.27
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5204 1.1592 1.4508 1.1594
5.2898
T3S2
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.60 5.38 5.43 5.48
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5680 1.2912 1.4118 1.2056
5.4766
T3S3
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.52 5.48 4.87 5.13
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5456 1.3152 1.2662 1.1286
5.2556
Kombinasi Perlakuan
Parameter Uji
1S1
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.64 5.43 5.80 5.48
T1S2
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
T1S3
Pb
Hasil analisa Keputusan dengan metode nilai harapan menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan T1S2, yaitu tepung tapioka dan susu skim 20%:15% merupakan kombinasi perlakuan terbaik dengan total nilai harapan tertinggi, yaitu 5,75 pada penyimpanan 0 hari dan 5,62 pada penyimpanan 14 hari. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi T1S2 dari segi kualitas lebih 45
Tabel 9. Hasil Perhitungan Nilai Harapan pada Penyimpanan 14 Hari Kombinasi Perlakuan
T1S1
T1S2
T1S3
T2S1
T2S2
T2S3
T3S1
T3S2
T3S3
Parameter Uji
Nilai Ratarata
Pb
Nilai Harapan (NH)
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.48 5.45 5.62 5.42
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5344 1.3080 1.4612 1.1924
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.95 5.55 5.52 5.38
0.28 0.24 0.26 0.22
1.6660 1.3320 1.4352 1.1836
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.63 5.68 5.37 5.32
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5764 1.3632 1.3962 1.1704
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.45 5.28 5.47 5.33
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5260 1.2672 1.4222 1.1726
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.60 5.37 5.42 5.22
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5680 1.2888 1.4092 1.1484
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.52 5.48 5.37 5.17
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5456 1.3152 1.3962 1.1374
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.25 4.80 5.48 5.33
0.28 0.24 0.26 0.22
1.4700 1.1520 1.4248 1.1726
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.52 5.33 5.30 5.63
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5456 1.2792 1.3780 1.2386
Rasa Aroma Tekstur Penampakan
5.52 5.32 5.03 5.28
0.28 0.24 0.26 0.22
1.5456 1.2768 1.3078 1.1616
Total NH
5.4960
5.6168
5.5062
5.3880
5.4144
5.3944
5.2194
5.4414
5.2918
Uji Kualitas Hasil pengujian kualitas kadar protein dan tekstur pada kombinasi perlakuan terbaik (T1S1) dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil Pengujian Kadar Protein dan Tekstur Nugget Ikan Mas Parameter Protein (%) Tekstur (Newton)
Penyimpanan 0 Hari 14 Hari 9,25 10 42 48
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat adanya perbedaan pada kadar protein dan nilai tekstur meskipun tidak terlalu menyolok. Kadar protein yang dimiliki nugget tidak mengalami perubahan selama penyimpanan beku (pada suhu kurang lebih -18oC). Dan kualitasnya cukup bagus karena nilainya masih di atas syarat mutu baso ikan (SNI baso ikan yang dianggap sebagai produk sejenis mempunyai syarat minimal kadar protein sebesar 9,25%). Nilai tekstur nugget pada penyimpanan 0 hari sebesar 42N dan mengalami peningkatan menjadi 48N pada penyimpanan 14 hari. Hal ini disebabkan adanya proses penyimpanan beku sebelum tahap penggorengan. Proses pembekuan akan menyebabkan terbentuknya kristal-kristal es yang apabila digoreng akan mencair dan digantikan oleh masuknya minyak goreng dalam nugget yang memungkinkan terbentuknya ikatan matrik gel yang semakin kompak dan berpengaruh terhadap pengerasan tekstur nugget yang dihasilkan, sehingga nugget pada penyimpanan 14 hari memiliki nilai tekstur yang lebih tinggi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1. Perbedaan kombinasi tepung tapioka dan susu skim berpengaruh nyata pada nilai kesukaan panelis terhada rasa dan aroma, sedangkan pada tektur berpengaruh sangat nyata tetapi tidak berpengaruh pada penampakan nugget yang dihasilkan. 2. Kombinasi konsentrasi tepung tapioka 20% dan susu skim 15% (T1S2) menghasikan nugget ikan mas terbaik. 3. Hasil pengujian kualitas kombinasi perlakuan nugget ikan mas terbaik menunjukkan adanya perbedaan pada kadar protein dan nilai tekstur pada penyimpanan 0 hari dan 14 hari. REFERENSI Amertaningtyas, D. 2000. Pengaruh Penggunaan Tapioka dan Tapioka Modifikasi serta Lama Pengukusan yang Berbeda terhadap Kualitas Nugget Ayam Petelur Afkir. Tesis. Program Studi Ilmu Ternak. Kekhususan Teknologi Hasil Ternak. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya. Malang. Unpublished.
46
Aryani. 2002. Karakteristik Tapioka Komposit dari Tapioka Termodifikasi serta Aplikasinya dalam Produksi Nugget Ikan Gabus (Ophiochepalus striatus). Tesis. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian. Kekhususan Teknologi Hasil Perikanan. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya. Malang. Unpublished. Belitz, H.D. and W. Grosch. 1986. Food Chemistry. Springer-Verlag Berlin. Heidelberg. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Alih Bahasa: Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit UI Press. Jakarta. Chumchal, M. 2000. Cyprinus carpio (common carp). The Regents of The University of Michigan. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/a ccaunts/cyprinus/c.carpio$narrative.html deMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. Alih Bahasa: Kosash Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Abon. Penerbit Kanisius. Jakarta. Gaman, P.M. dan K.H. Sherrington. 1994. Ilmu Pangan. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Gozali, T., A.D. Sutrisno, D. Ernida. 2001. Pengaruh Waktu Pengukusan dan Perbandingan jamur Tiram terhadap Karakteristik Nugget jamur Tiram Putih (Plyeroyus florida). Makalah Seminar Nasional Teknologi Pangan Semarang. 9-10 Oktober 2001. Buku A. Perhimpunan Teknologi Pangan dan Rekayasa. Semarang. Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty. Yogyakarta. Hartayanie, L., A.R. Pratiwi dan L.D. Puspasari. 2001. Tingkat Substitusi Tepung Koro Kecipir sebagai Emulsifier dalam Formulasi Roti Tawar. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pangan Semarang. 9-10 Oktober 2001. Buku B. Perhimpunan Teknologi Pangan dan Rekayasa. Semarang.
Makmoer, H. 2004. Serba-Serbi: Mengenal Bahan-bahan Pembuatan Kue dan Cake. Edisi 24/VIII. Februari 2004. Klub NOVA. PT. Gramedia. Jakarta. Matz, S.A. 1992. Bakery Technology and Engineering. Third Edition. Van Nostrand Reinhold. AVI. New York. McWilliam, M. 2000. Food Experimental Perspective. 4th Edition. Prentice Hall Upper Sadder River. New Jersey. Moedjiharto, T.J. 2002. Usaha Industri Rumah Tangga Fish Nugget. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan fakultas Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Peranginangin, R., Sugiyono, Fawzia Y.N. dan Nasran S. 1999. Pengembangan Produk Baru dari Lele Dumbo (Clarias geriepinus). Prosiding Seminar Nasional. Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia dengan Kantor Manajemen Pangan dan Hortikultura Republik Indonesia. Jakarta. Praptiningsih, Y.S., W.S. Windrati dan Tamtarini. 2001. Karakteristik Sosis Kacang Tunggak dengan Penambahan Lemak dan Susu Skim. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pangan Semarang. 9-10 Oktober 2001. Buku A. Perhimpunan Teknologi Pangan dan Rekayasa. Semarang. Rahardjo, S., D.R. Dexter, R.C. Worfel, J.N. Sofos, M.B. Solomon, G.W. Shults and G.R. Schmidt. 1995. Quality Characteristic of Restructured Beef Steak Manufactured by Various Techniques. J. Food. Sci., 60(1), 68-71. Rismunandar. 1986. Membudidayakan Lima Jenis Bawang. Penerbit Sinar Baru. Bandung. Rismunandar. 1987. Lada, Budidaya dan Tata Niaganya. Penebar Swadaya. Jakarta. Santoso, H.B. 1988. Bawang Putih. Kanisius. Yogyakarta. Pengaruh Perbedaan Rumiyati. 2002. Komposisi Tepung Terigu dan Tapioka terhadap Mutu Nugget Ikan Hiu (Charcatinus limbatus). Skripsi. Fakultas Perikanan. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang. Unpublished. 47
Siagian,
P. 1987. Penelitian Operasional. Universitas Indonesia. Jakarta.
Soedarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ketiga. Liberti. Yogyakarta. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Kedua. Gadjah Mada University. Yogyakarta. Sukarto, S.T. 1981. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. IPB. Bogor. Syarif, R. dan Irawati. 1988. Pengolahan Bahan untuk Industri Pertanian. PT. Media Sarana Utama Perkasa. Jakarta. Tranggono, Sutardi dan Suparmo. 1989. Bahan Tambahan Pangan. (Food Additives). Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Winarno .1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
48
PENGARUH PERBEDAAN JARAK LETAK DAN WAKTU PERENDAMAN ALAT TANGKAP BUBU RAJUNGAN (Portunus pelagicus) TERHADAP HASIL TANGKAPAN DI WILAYAH PERAIRAN BRONDONG, LAMONGAN JAWA TIMUR Nanuk Qomariyati DOSEN UNISLA ABSTRACT This research was conducted in the waters Brondong Lamongan in April-June 2008. The purpose of this study is to determine whether the use of distance and location of different soaking time influence on the blue swimmer crab catches of blue swimmer crab trap fishing gear. This study uses a combination of four treatments with four replications (groups), as treatment is the distance lies 15 m long with 9.5 hours of immersion (A1) and the distance between the location of 15 m with a dipping time of 13.5 hours (A2) and the distance between the location of 18 m with a dipping 5.9 h (B1) and the distance between the location of 18 m with a dipping time of 13.5 hours (B2). From the research the influence of location and distance difference soaking fishing gear to catch trap catches obtained at 27.30 kg A1, A2, amounting to 32.80 kg, 26.25 kg for B2 and B1 19:40 kg. Based on the calculation of variance reveals that the interaction between location and distance of soaking time did not significantly affect the catch is obtained, as well as the use of different soaking time also showed no significant effect on the catch. But by using a different layout spacing showed significant effect on catches of blue swimmer crabs are diperoleh.Penggunaan combination of location and distance swimming crab soaking Bubu can not significantly affect the catch, as well as the use of different soaking time in the afternoon did not show the differences in catches of blue swimmer crabs significantly. But with the use of a shorter distance location (15 m) may indicate that there were significant to the results obtained tangkapn small crab. Keyword : fishing gear, blue swimming crab (Potunus pelagicus) PENDAHULUAN Indonesia yang merupakan negara maritim itu diperkirakan mempunyai potensi sumber daya perikanan sebesar 6,6 juta ton per tahun, dengan perkiraan sebesar 4,5 juta ton per tahun terdapat pada perairan teritorial dan 2,1 juta ton per tahun terdapat di perairan ZEEI. Dari sejumlah besar potensi perikanan Indonesia itu tingkat pemanfaatan oleh masyarakat nelayan baru mencapai 40% (Nontji 2002). Negara Indonesia memiliki hak atas kekayaan alam pada Zona Ekonomi Esklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2, dan hak atas pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam di laut lepas di luar batas 200 mil ZEEI, serta mempunyai potensi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat besar pada berbagai bidang usaha terutama pada bidang perikanan (Anonymous, 2003a). Potensi perikanan yang sangat besar juga harus diikuti oleh perkembangan teknologi khususnya dibidang perikanan sehingga dapat menunjang proses pemanfaatan sumberdaya laut yang sangat melimpah, baik sumberdaya ikan, rumput laut, serta berbagai jenis biota laut yang lain. Hak atas kekayaan alam baik pada perairan pantai sampai pada laut lepas di luar batas ZEEI, akan dapat termanfaatkan dengan baik dengan penggunaan teknologi yang lebih maju yang akan mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Jawa Timur yang merupakan bagian dari salah satu propinsi di Indonesia, mempunyai panjang pantai sekitar 16.000 km dengan produksi ikan laut mencapai 288.816 ton pada tahun 1999. Jawa Timur memiliki tidak kurang 79 pulau-pulau kecil yang terpusat di Kepulauan Madura. Jumlah tersebut merupakan 0,44% dari jumlah seluruh pulau yang ada di wilayah Indonesia (Anonymous, 2003a). Dari produksi perikanan di Jawa Timur tersebut. Kabupaten Lamongan memiliki panjang pantai 47 km dan produksi ikan pada tahun 2003 dari penangkapan di laut sebesar 39.934,38008 ton yang berasal dari 5 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang ada di Kabupaten Lamongan dengan nilai sebesar Rp.139.770.330.280,00 (Anonymous, 2004a). Rajungan (Portunus spp), yang tergolong hewan dasar laut/ bentos yang dapat berenang kedekat permukaan laut pada malam hari untuk mencari makan, rajungan juga sering disebut swimming crab yang artinya kepiting berenang. Walau tergolong kepiting, dalam perikanan/ perdagangan ikan, rajungan dibedakan dari kepiting (Scylla serrata). Kepiting hidup di perairan payau, di hutan mangrove/ di dalam lubang-lubang pematang tambak. Rajungan dan kepiting tergolong dalam satu suku atau famili. Di Indonesia terdapat delapan jenis rajungan, tapi yang terbanyak dipasarkan dan yang paling komersial adalah
50
Portunus pelagicus yang tergolong hewan pemakan daging. Di Brondong yang g merupakan sentra perikanan laut terbesar di kawasan timur, hasil laut berupa rajungan (sejenis kepiting laut) dari Pantai Lamongan itu ternyata sudah lama diakui kualitasnya di pasar mancanegara, karena terbukti selama beberapa tahun terakhir sejak 1994 ini para konsumen di negara Amerika Serikat (AS) menjadi pembeli reguler kekayaan laut tersebut. Untuk mengeksploitasi rajungan di perairan Brondong, dikembangkan suatu alat dalam usaha penangkapan rajungan di Brondong yaitu bubu rajungan, alat ini digunakan kan sebagai pengganti penggunaan alat tangkap gillnet dasar yang biasa digunakan dalam penangkapan rajungan, alat penangkap rajungan ini dipasang secara tetap di dalam air untuk jangka waktu tertentu. Perangkap terbuat dari kawat besi, jaring, dan tali pengikat, rajungan tertangkap karena terperangkap di dalam dal bubu tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2007 dan bertempat di perairan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. TINJAUAN PUSTAKA Bubu (Portable Traps) Menurut Nomura dan Yamazaki (1975), bubu merupakan alat tangkap trap net yaitu menangkap ikan dengan perangkap. Berdasarkan ukurannya ada yang kecil, sedang dan besar. Sedangkan menurut Sudirman et al (2004), trap (perangkap) adalah alat penangkap ikan yang dipasang secara tetap di dalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan mempersulit keluarnya. Alat ini biasanya dibuat dari bahan alami seperti bambu, kayu atau bahan buatan lainnya seperti jaring. Secara umum bubu memiliki bentuk persegi empat yang dapat dibuat dari bahan rotan, kayu, besi dan lain sebagainya. Bentuk bubu selain persegi empat juga dapat dibentuk sesuai dengan rupa bentuk tertentu. Pada bagian depan dan belakng biasanya terdapat pintu masuk yang biasa disebut dengan injap dimana semakin kedalam maka injap semakin kecil. Injap memiliki fungsi untuk memerangkap hasil tangkapan dengan membiarkan atau memudahkan ikan masuk tetapi menghalangi dan menyulitkan untuk ikan keluar (Anonymous, 2000). Alat Tangkap Bubu Rajungan Bubu rajungan merupakan jenis bubu dasar dimana menurut Sudirman et al (2004), bubu dasar dapat
dibuat dari anyaman bambu, anyaman rotan, dan anyaman kawat. Bentuknya bermacam bermacam-macam, ada yang silinder, setengah lingkaran, empat persegi panjang dan sebagainya, dan dalam pengoperasiannya dapat memakai umpan atau tidak.
Gambar 1. Bubu rajungan
Bubu rajungan yang digunakan nelayan di Kecamatan Brondong memiliki beberapa bagian : 1. Badan atau tubuh bubu Badan bubu terbuat dari anyaman kawat yang berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 52 cm, lebar 35 cm dan tinggi bubu 20 cm serta ditutupi dengan jaring yang terbuat dari nylon dengan mesh size 2,5 cm. 2.
Bukaan tempat mengeluarkan hasil tangkapan
Lubang bang tempat mengeluarkan hasil tangkapan terletak pada bagian tengah bubu, dimana bubu ini merupakan bubu lipat sehingga pada saat bubu dibuka rajungan dapat diambil dengan mudah, pada lubang ini dilengkapi semacam kunci yang digunakan saat bubu akan ditutup up dan digunakan lagi. 3. Mulut bubu atau injap Mulut bubu berfungsi untuk tempat masuknya rajungan yang terletak pada kedua ujung bubu. Posisi mulut bubu menjorok kedalam badan atau tubuh bubu, semakin ke dalam mulut bubu semakin kecil sehingga menyulitkan rajungan untuk keluar. 4. Tempat umpan Tempat umpan terbuat dari kawat yang dibentuk sedemikian rupa sehingga memudahkan umpan terpasang dan sulit untuk terlepas, tempat umpan terletak tepat dibagian tengah bubu, umpan untuk bubu rajungan biasanya terdiri dari ri ikan rucah. Bubu rajungan terbuat dari kawat dan jaring trawl yang memiliki mesh size 2,5 cm. Bubu rajungan tersebut tidak menggunakan pemberat karena 51
melihat dari bahannya yang terbuat dari kawat sehingga memudahkan dalam proses tenggelamnya bubu rajungan tersebut. Umpan Dalam pengoperasiannya sebelum dilakukan operasi penangkapan terlebih dahulu dilakukan pemasangan umpan. Pemasangan umpan dilakukan 2 jam sebelum menuju fishing ground. Umpan yang digunakan pada bubu rajungan adalah ikan dodok atau diamond trevally (Alectis indica) dimana untuk setiap 100 buah bubu dibutuhkan sekitar 4,5 kg ikan dodok sebagai umpan.
Gambar 2. Rajungan
MATERI DAN METODE
Rajungan (Portunus spp)
Materi Penelitian
Hasil tangkapan yang dominan pada alat tangkap bubu rajungan adalah rajungan (Portunus spp) yang tergolong biota dasar laut/ bentos dan dapat berenang ke dekat permukaan laut pada malam hari untuk mencari makan, juga sering disebut swimming crab yang artinya kepiting berenang (Juwana dan Kasijan, 2000). Di Brondong yang merupakan sentra perikanan laut terbesar di kawasan Jawa Timur, hasil laut berupa rajungan (sejenis kepiting laut) dari pantai Lamongan itu ternyata sudah lama diakui kualitasnya di pasar mancanegara karena terbukti selama beberapa tahun terakhir sejak 1994 ini para konsumen di negara Amerika Serikat (AS) menjadi pembeli reguler kekayaan laut tersebut (Anonymous, 2001).
Penelitian ini menggunakan alat tangkap bubu rajungan (portable traps) yang dioperasikan di perairan Brondong sebagai obyek penelitian sekaligus jumlah hasil tangkapan rajungan yang diperoleh.
Rajungan merupakan tangkapan utama nelayan yang menggunakan alat tangkap bubu rajungan. Rajungan merupakan hewan nokturnal yang aktif mencari makan pada malam hari, rajungan hidup pada daerah pantai dengan dasar pasir berlumpur, kulit luar keras dan lebarnya dua kali panjangnya. Pada kulit luar di samping di belakang mata terdapat 9 buah duri, diantaranya yang terakhir jauh lebih besar dan lebih panjang. Kaki pertama jauh lebih besar dan lebih panjang dari kaki-kaki lainnya dan mempunyai capit yang kuat ujungnya. Bentuk kaki bulat panjang dan mempunyai tonjolan kecil di sekitar kaki. Kaki yang terakhir (di belakang) ujungnya pipih bulat. Kaki-kaki semuanya berbulu kecuali kaki yang pertama. Rajungan jantan mempunyai warna dasar biru dengan totol-totol putih, sedang yang betina mempunyai warna dasar hijau gelap. Ruas pertama dan kedua dari kaki berwarna putih. Ukuran : lebar karapas dapat mencapai 18 cm.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Metode eksperimen merupakan suatu bentuk kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari sesuatu yang dikenakan pada subjek yang diselidiki (Arikunto, 1995). Metode ini mengadakan penelitian terhadap pengaruh jarak peletakan dan lama perendaman bubu rajungan yang berbeda terhadap hasil tangkapan rajungan. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data skunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan secara langsung kepada obyek yang diteliti. Sedangkan untuk data sekunder berasal dari Lembaga Pemerintah, Lembaga Swasta, Studi Pustaka dan dari laporan lainnya. Teknik Pengambilan Data Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung, yang didapatkan dari hasil penelitian terhadap gejala obyek yang diselidiki, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan yang khusus diadakan. Untuk mengumpulkan data primer dapat digunakan beberapa metode, antara lain observasi, wawancara, dan partisipasi aktif (Surakhmad, 1985). Data Sekunder Data sekunder adalah data yang terlebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang di luar peneliti sendiri. Pengumpulan data sekunder dapat diperoleh dari pustaka-pustaka, laporan-laporan, 52
lembaga pemerintah dan masyarakat (Surakhmad, 1985). Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Menyiapkan 4 unit kapal penangkapan dengan 200 bubu untuk setiap unitnya. Dengan ketentuan : a. Kapal I : dengan jarak peletakan 15 m dan waktu perendaman 9,5 jam b. Kapal II : dengan jarak peletakan 15 m dan waktu perendaman 13,5 jam c. Kapal III : dengan jarak peletakan 18 m dan waktu perendaman 9,5 jam d. Kapal IV : dengan jarak peletakan 18 m dan waktu perendaman 13,5 jam Sedangkan ukuran kapal, ukuran bubu dan mesin kapal relatif sama. 2.
Menentukan Lay Out percobaan
Tabel. 1. Lay out percobaan Perlakuan
Trip (Kelompok)
Lama Jarak
opera
Total
I
II
III
IV
1
A11
A12
A13
A14
T1
2
A21
A22
A23
A24
T2
1
B11
B12
B13
B14
T3
2
B21
B22
B23
B24
T4
K1
K2
K3
K4
M
si A B Total
JK Kelompok = (K12 + K22 + K32 + K42) 4
- FK
JK Perlakuan Kombinasi = (T12 + T22 + T32 + T42) 4 JK Lama Operasi = (T1 + T2)2 + (T3 + T4)2 -… FK 8 JK Jarak= (T1 + T3)2 + (T2 + T4)2 - FK… 8
…
JK Interaksi
=C–D–E
JK Galat
=A–D–E–F
Penyusunan dan manajemen data pada penelitian ini merupakan tahapan kedua. Setelah data yang diperlukan terkumpul maka data disusun dan dianalisa. Analisa ragam pada rancangan percobaan ini adalah sebagai berikut : Tabel 2. Analisa ragam Sebaran Keragaman Kelompok
F db
JK
KT
F Hitung
3
B
B/3
(B/3),(G/6)
3
C
C/3
(C/3),(G/6)
1
D
D/1
(D/1),(G/6)
Jarak
1
E
E/1
(E/1),(G/6)
Interaksi
1
F
F/1
(F/1),(G/6)
Galat
9
G
G/6
Total
15
P. Kombinasi Lama Operasi
F
5
1
%
%
Analisa data yang dilakukan adalah Analysis of Variance (ANOVA) bila F hitung < 5 % dinyatakan tidak berbeda nyata, 5 % < F hitung < 1 % dinyatakan berbeda nyata dan F hitung > 1 % berbeda sangat nyata (Yitnosumarto,1993). Apabila uji F memberikan kesimpulan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui perlakuan yang memberikan hasil tangkapan terbaik dengan membandingkan selisih rata-rata perlakuan dengan uji BNT 5% dan 1% dengan ketentuan sebagai berikut : Selisih BNT 5% berarti tidak berbeda nyata BNT 5% < selisih < BNT 1% berarti berbeda nyata.
Keterangan : A : Jarak peletakan 15 m B : Jarak peletakan 18 m 1 : Lama perendaman 9,5 jam 2 : Lama perendaman 13,5 jam Faktor Koreksi (FK) = M2/16 JK Total = (A112 + A122 +……+ B242) - FK
Analisa Data
……A ……B ……C - FK
Untuk uji BNT di atas dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan di bawah ini : BNT : t tabel 5 % (db acak)* SED BNT : t tabel 1 % (db acak)*SED Dimana :
…D
SED perlakuan E
2 KTG g
Keterangan : ……F KTG = KT galat g = Jumlah kelompok
……G
53
KEADAAN DAERAH PENELITIAN Topografi dan Geografi Kecamatan Brondong terletak pada posisi 112 17’ 13’’ BT sampai 112 18’ 17’’ BT dan 06 51’ 45’’ LS sampai 06 52’ 55’’ LS dengan ketinggian dari permukaan air laut sebesar 0,5 meter sampai 5 meter. Kecamatan Brondong terdiri dari 9 desa, 25 dusun, 84 RW dan 284 RT. Luas wilayah dari Kecamatan Brondong sekitar 7.820,9 ha. Kecamatan Brondong mempunyai suhu 29 sampai 36, sedangkan penelitian ini dilakukan di Desa Sedayulawas yang mempunyai luas 760,401 ha. Wilayah perairan laut Brondong mempunyai panjang pantai 17,2 km dari Kecamatan Paciran sampai Desa Lohgung. Bentuk pantai landai dengan kelandaian 25-30, dasar perairan berlumpur dengan kedalaman 30 – 60 meter. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tangkapan Rajungan Hasil tangkapan rajungan secara keseluruhan dalam penelitian adalah sebesar 105.75 kg. Rajungan yang tertangkap dalam jumlah tersebut didominasi oleh jenis Portunus pelagicus (rajungan) dan hanya beberapa ekor saja dari jenis Charybdis fariatus (rajungan karang). Pada perlakuan A (jarak letak 15 m) didapatkan hasil tangkapan rajungan sebesar 60.1 kg dan pada perlakuan B (jarak letak 18 m) didapatkan hasil tangkapan sebesar 45.65 kg. Pada lama perendaman 9.5 jam (perlakuan 1) didapatkan hasil tangkapan rajungan sebesar 46.70 kg sedangkan lama perendaman 13.5 jam (perlakuan2) didapatkan hasil tangkapan rajungan sebesar 59.05 kg. Pada perlakuan antara jarak letak dengan lama perendaman didapatkan hasil tangkapan rajungan yang paling banyak adalah pada perlakuan A2 (jarak letak 15 m dan lama perendaman 13.5 jam) sebesar 32.80 kg, kemudian pada perlakuan A1 (jarak letak 15 m dan lama perendaman 9.5 jam) sebesar 27.30 kg, selanjutnya pada perlakuan B2 (jarak letak 18 m dan lama perendaman 13.5 jam) sebesar 26.25 kg, dan yang terakhir pada perlakuan B1 (jarak letak 18 m dan lama perendaman 9.5 jam) sebesar 19.40 kg. Untuk lebih jelasnya hasil tangkapan rajungan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Analisa data hasil tangkapan rajungan selama penelitian Kelompok
Perlak uan
I
II
III
Total
IV
Rata -rata
1
8.3
6.5
6.7
5.8
27.30
6.83
2
8.8
6.9
10.8
6.3
32.80
8.20
1
4
5.5
5.7
4.2
19.40
4.85
2
5.7
5.95
6.4
8.2
26.25
6.56
Total
26.80
24.85
29.60
24.50
105.75
A
B
Analisa Data Hasil Tangkapan Rajungan Analisa data digunakan untuk mencari pengaruh yang paling utama pada penelitian ini dan dilakukan dengan analisa sidik ragam yang diteruskan uji lanjutan pada hasil tangkapan rajungan yang diperoleh. Untuk analisa sidik ragam dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel 4. Analisa sidik ragam (uji F) pengaruh jarak letak dan lama perendaman yang berbeda terhadap hasil tangkapan rajungan Sidik Ragam
db
JK
KT
Fhit
F
F
5%
1%
Kelompok
3
4.10
1.37
0.69ns
3.86
6.99
Perlakuan
3
22.70
7.57
3.82ns
3.86
6.99
Jarak
1
13.05
13.05
6.59 *
5.12
10.56
Waktu
1
9.53
9.53
4.81ns
5.12
10.56
Interaksi
1
0.12
0.12
0.06ns
5.12
10.56
Galat
9
17.78
1.98
Total
15
kombinasi
Keterangan : ns : tidak berbeda nyata * : berbeda nyata ** : berbeda sangat nyata
Dari Tabel 5. pada hasil uji F di atas dapat diketahui bahwa : 1. Perlakuan jarak letak yang berbeda berpengaruh nyata, sehingga terima H1 pada taraf uji 5 %, sedangkan pada perlakuan lama perendaman tidak berpengaruh secara nyata sehingga terima H0. 2. Interaksi antara jarak letak dan lama perendaman tidak berpengaruh secara nyata sehingga terima H0. Pengaruh Jarak Letak Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Dari hasil analisa di atas dapat diketahui bahwa perlakuan jarak letak yang berbeda akan memberikan hasil tangkapan yang berbeda pula. Untuk melihat sejauh mana perbedaan jarak letak terhadap hasil tangkapan dapat dilihat pada uji 54
Tabel 5. Hasil uji BNT pengaruh perbedaan jarak letak terhadap hasil tangkapan rajungan A
B
30.05
22.83
30.05
-
7.22**
a
22.83
-
-
b
Rata- rata
Notasi
Keterangan : ns : tidak berbeda nyata * : berbeda nyata ** : berbeda sangat nyata
Perlakuan jarak letak yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap jumlah rajungan yang tertangkap. Perlakuan terbaik adalah perlakuan A yaitu dengan menggunakan jarak letak 15 m. Dengan jarak letak yang lebih kecil maka peletakan bubu dapat memaksimalkan luasan fishing ground yang ada, dengan demikian hasil tangkapan yang diperoleh diharapkan dapat lebih optimal. Namun jarak peletakan bubu harus disesuaikan dengan luasan fishing ground yang ada karena apabila jarak letak terlalu jauh ditakutkan akan keluar dari fishing ground yang ada pada daerah tersebut. Hubungan Lama Perendaman Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Dari hasil analisa yang didapatkan diketahui bahwa dengan menggunakan lama perendaman yang berbeda tidak memberikan hasil tangkapan rajungan yang berbeda nyata. Untuk lengkapnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
Hasil Tangkapan (kg)
Hubungan Lama Perendaman Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan 70 60 50 40 30 20 10 0
Hubungan Lama Perendaman Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan
9.5
13.5
Lama Perendaman (jam)
Gambar 3. Hasil tangkapan rajungan berdasarkan lama perendaman yang berbeda .
Grafik di atas menunjukan bahwa hasil tangkapan rajungan dengan menggunakan lama perendaman
yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan perbedaan lama perendaman adalah pada siang hari sedangkan lama perendaman pada malam hari relatif sama, disebabkan hal ini maka hasil tangkapan tidak berbeda nyata disebabkan rajungan merupakan hewan nocturnal yang mencari makan pada malam hari sedangkan pada siang hari beristirahat. Interaksi Jarak Letak dan Lama Perendaman terhadap hasil tangkapan Rajungan Dari hasil perhitungan uji F untuk interaksi antara jarak letak dan lama perendaman terhadap hasil tangkapan tidak memberikan berpengaruh nyata. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini : Interaksi antara Jarak Letak dan Lama Perendaman Terhadap Hasil Tangkapan Hasil Tangkapan (kg)
BNT (Beda Nyata Terkecil) pada Tabel 5. sebagai berikut :
40 30
Interaksi antara Jarak Letak dan Lama Perendaman Terhadap Hasil Tangkapan
20 10 0 A1
A2
B1
B2
Interaksi antara Jarak Letak dan Lama Perendaman
Gambar 4. Interaksi jarak letak dan lama perendaman
Dari grafik di atas diketahui bahwa hasil tangkapan rajungan terbesar adalah A2 (jarak letak 15 m dan lama perendaman 13.5 jam) sebesar 32.80 kg, diikuti A1 (jarak letak 15 m dan lama perendaman 9.5 jam) sebesar 27.30 kg, kemudian B2 (jarak letak 18 m dan lama perendaman 13.5 jam) sebesar 26.25 kg, dan terakhir B1 (jarak letak 18 m dan lama perendaman 9.5 jam ) sebesar 19.40 kg. Hasil tangkapan rajungan yang diperoleh tidak berbeda nyata hal ini disebabkan karena pada dasarnya lama perendaman yang dilakukan pada saat rajungan mencari makan relatif sama dan yang berpengaruh hanyalah pada jarak letak yang berbeda. Sehingga interaksi antara keduanya tidaklah berbeda nyata. KESIMPULAN
Penggunaan jarak letak yang berbeda dalam pengoperasian alat tangkap bubu rajungan memberikan hasil tangkapan yang berbeda nyata dimana pada penggunaan jarak letak yang lebih pendek (15 m) lebih baik dari pada jarak letak yang lebih panjang (18 m).
55
Penggunaan lama perendaman yang berbeda dalam pengoperasian alat tangkap bubu rajungan tidak memberikan hasil tangkapan yang berbeda nyata. Hal ini disebabkan lama perendaman berbeda pada siang harinya, sedangkan pada lama perendaman malam hari relatif sama dan rajungan sendiri merupakan hewan nocturnal yang mencari makan di malam hari. Interaksi antara jarak letak dan lama perendaman terhadap hasil tangkapan tidak memberikan hasil tangkapan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya lama perendaman yang dilakukan pada saat rajungan mencari makan relatif sama dan yang berpengaruh hanyalah pada jarak letak yang berbeda. Sehingga interaksi antara keduanya tidaklah berbeda nyata.
__________. 2003c. Daftar Ikan yang Tertangkap dengan Alat Tangkap Bubu. Dalam www.pelabuhanperikanan.or.id __________. 2003d. Podhopthalmus vigil : Long Eyed Swimming Crab. Dalam www.godofinsect.com __________. 2004a. Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Lamongan 2004. Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan Lamongan. Lamongan. 24 hal __________. 2004b. Gill Nets, Trammel Nets, Casting Nets and Landing Nets. Dalam www.seamaster.com.tw __________. 2005. Diamond Trevally (Alectis indica). Dalam www.mfrdmd.org.my
Sebaiknya dalam melakukan penangkapan rajungan, jarak letak yang digunakan menyesuaikan dengan luasan fishing ground yang menjadi lokasi penangkapan.
__________. 2006. Portunus sanguinolentus : Three Spotted Crab. Dalam www.bookshop.frdc.com.au
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dalam penangkapan rajungan dengan menggunakan umpan yang berbeda.
Arikunto, S. 1995. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. 645 hal
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dalam penangkapan rajungan dengan menggunakan warna jaring pembungkus bubu yang berbeda.
REFERENSI Anonymous. 2000. Warisan Budaya Malaysia “Bubu : Peralatan Menangkap Ikan”. www.malaysiana.pnm.my __________. 2001. Rajungan Lamongan Diminati Pasar Amerika. www.surya.co.id __________. 2002. Fishing Singapore’s Inexplicable Bedok Jetty. Dalam www.pacific.net.sg __________. 2003a. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 1999. Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur. Surabaya __________. 2003b. Kumpulan Materi Pelatihan Penyusunan Tata Ruang Wilayah Pesisir Untuk Petugas. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang
Dahuri, R., 2001. Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa Indonesia yang Maju, Makmur dan Berkeadilan. Makalah pada acara temu akrab CivaFPi, tanggal 25 Agustus 2001. Bogor Juwana, S dan Kasijan. 2000. Rajungan : Perikanan, Cara Budidaya dan Menu Masakan. Djambatan. Jakarta. 138 hal Moosa, K. 1993. Mengenal Kepiting Bakau dan Rajungan. Dalam kumpulan kliping Kepiting. Pusat Informasi Pertanian Trubus. Jakarta Murachman. 1987. Pengetahuan Hasil-hasil Perikanan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang Nedelec, C. 2000. Definisi dan Klasifikasi Alat Tangkap Ikan. Penerjemah : Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang. Diterbitkan sesuai ketentuan The Food and Agriculture Organization of the United Nation oleh Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang. Semarang 120 hal
56
PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN DAN PROBIOTIK TERHADAP HASIL PANEN BANDENG ( Chanos chanos ) DI WILAYAH DESA KENTONG KECAMATAN GLAGAH KABUPATEN LAMONGAN Abdul Malik DOSEN UNISLA ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan dan menerapkan teknik pembesaran ikan bandeng dan untuk mengetahui perbedaan hasil panen bandeng dengan penambahan suplemen dan probiotik dengan pembesaran ikan bandeng tanpa perlakuan. Berdasarkan hasil pemeliharaan penggunaan suplemen dan probiotik dapat membantu dalam mempercepat pertumbuhan bandeng. Berat gelondongan pada awal penebaran 42 g/ekor, jumlah penebaran pada tiap tambak 10.000 ekor sehingga padat penebarannya 5 ekor/m2. Konversi pakan yang didapatkan sebesar 0,89 setelah 55 hari pemeliharaan untuk bandeng dengan perlakuan (penambahan suplemen dan probiotik) sedangkan bandeng tanpa perlakuan konversi pakannya lebih besar, yaitu 1,15 . Setelah pemeliharaan 55 hari didapatkan tingkat kelangsungan hidup pada bandeng yang mendapat perlakuan sebesar 99,13 % dengan persentase laju pertumbuhan harian sebesar 3,38 %. Sedangkan bandeng tanpa perlakuan didapatkan tingkat kelangsungan hidup 99,8 %, dengan persentase laju pertumbuhan 1,28%. Berdasarkan hasil pengamatan di kolam, kualitas air dapat dikatakan layak karena masih dalam batas toleransi. Hal ini dapat dilihat dari kisaran suhu yang berkisar antara 27 0C – 29 0C, salinitas berkisar antara 6 – 10 ppt sedangkan untuk pH berkisar antara 6,8 – 7,9. Kata kunci : pertumbuhan bandeng, suplemen pakan, probiotik PENDAHULUAN Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan strategis dibandingkan komoditas perikanan lainnya karena teknologi pembesaran dan pembenihannya telah dikuasai dan berkembang di masyarakat, persyaratan hidupnya tidak memerlukan kriteria kelayakan yang tinggi karena toleran terhadap perubahan mutu lingkungan dan merupakan sumber protein ikan yang potensial bagi pemenuhan gizi serta pendapatan masyarakat petambak dan tuna. Bahkan Kuo (1985) dalam Cholik et al., (2005), menyatakan pendapatnya bahwa ikan bandeng dapat bertahan hidup dalam kisaran salinitas antara 8 – 105 ppt. Pembudidayaan bandeng merupakan salah satu upaya diversifikasi akibat kemerosotan mutu lingkungan yang diakibatkan oleh mewabahnya penyakit pada udang. Sehingga berdampak pada menurunnya produksi udang dan banyaknya tambak yang terlantar karena pemilik mengalami kerugian. Bandeng menurut Ahmad dan Yakob (1998), adalah komoditas yang tahan terhadap perubahan mutu lingkungan dan diharapkan dapat mempertahankan produktivitas lahan tambak. Perkembangan teknologi budidaya bandeng berjalan sangat lamban, namun menurut Ahmad dan Yakob (1998), bandeng tetap menjadi komoditas budidaya yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia. Hal ini sebagai
konsekuensi logis dari laju pertambahan penduduk dan kesadaran masyarakat akan arti penting protein ikan. METODA PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari tanggal 1 Maret 2008 sampai 28 Mei 2008, berlokasi di Desa Kentong, Kec. Glagah, Kab. Lamongan. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan kegiatan penelitian adalah sebagai berikut : Alat Tabel 1. Alat Yang Digunakan No. 1. 2. 3. 4.
Alat Petakan tambak Timbangan Penggaris Thermometer
Unit 2 petak 1 buah 1 buah 1 buah
5.
1 buah
6.
Hand Refraktometer pH Pen
7. 8.
Jaring Jala
1 buah 1 buah
9.
Pompa diesel
1 unit
1 buah
Spesifikasi Luas 2.000 m2 Ketelitian 10 gr Ketelitian 1 cm Thermometer alkohol (1 0C) Hanna, Germany (1 ‰) Hanna, Germany (0,1) Waring Mesh size 1x1 cm 8 PK,Domfeng
57
Bahan Tabel 2. Bahan Yang Digunakan No. 1. 2. 3. 4. 4. 5. 6.
Bahan Nener Pellet Suplemen “Profed” Probiotik “EM4” Pupuk Kapur Air
Ukuran 16 cm Kode SCAU 2 20 ml/kg pakan 3 ppm NPK CaCO3
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah dengan melakukan pengamatan dan mengikuti kegiatan langsung di lapangan selama melaksanakan penelitian pemeliharaan pembesaran ikan bandeng di Desa Kentong, Kec. Glagah, Kab. Lamongan. Selain itu melakukan wawancara kepada pihak– pihak terkait untuk melengkapi data yang tidak dapat didapatkan selama kegiatan penelitian. Metode Kerja Metode kerja yang dilakukan pada penelitian ini adalah mengikuti kegiatan secara rutin, mengamati, menganalisa dan mencatat langsung, mulai dari teknik persiapan tambak, pemeliharaan ikan bandeng hingga metode panen. Metode Pengamatan Pengamatan dilakukan pada dua petakan tambak dengan melakukan dua perlakuan untuk mengetahui perbandingan diantara keduanya, seperti pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup (survival rate). Perlakuan pertama dilakukan dengan menggunakan penambahan suplemen dan aplikasi probiotik sedangkan perlakuan kedua tanpa menggunakan penambahan suplemen dan aplikasi probiotik. Pengamatan kesehatan ikan bandeng dilakukan pada kedua petakan. Frekuensi pengamatan dilakukan setiap hari, pada waktu pagi hari (pukul 08.00) dan sore hari (pukul 16.00), atau disesuaikan dengan kondisi di tempat penelitian. Pengamatan kesehatan ikan bandeng dilakukan bersamaan dengan kegiatan pemberian pakan. Namun, apabila ikan bandeng yang dipelihara tidak diberikan pakan buatan, pengamatan terhadap ikan bandeng tetap dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah dibuat dan disesuaikan juga dengan kondisi di tempat penelitian. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan kegiatan dan pengukuran secara langsung. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui wawancara langsung dengan ketua
pokdakan di lokasi kegiatan atau pihak yang berhubungan dengan kegiatan penelitian. Data Primer 1.
Persiapan Pemeliharaan a. Pemilihan Lokasi Data pemilihan lokasi diperoleh dengan cara pengamatan keadaan lokasi yang ingin dijadikan tempat budidaya, baik tata letak maupun kualitas air yang ada. b. Persiapan Wadah Data persiapan wadah diperoleh dengan cara melakukan beberapa kegiatan, seperti : pengeringan, pengapuran, pengisian air, dan penebaran nener. Pengeringan dilakukan pada saat proses pemeliharaan akan dimulai. Air yang terdapat di dalam tambak dibuang ke kali pembuangan dengan menggunakan pompa. Proses pengeringan berlangsung selama ± 7 hari atau sampai tanah kelihatan retak-retak. Kegiatan selanjutnya adalah pengapuran, jenis kapur yang digunakan, yaitu kapur pertanian sebanyak 25 kg. Tahap akhir dalam persiapan wadah ialah pengisian air. Pengisian air ini dilakukan secara bertahap, pengisian pertama sampai kedalaman 10 cm. Kemudian dilanjutkan pengisian kedua sampai kedalaman 70 cm. Setelah pengisian air selesai, nener dari petak penggelondongan mulai ditebar ke tambak melalui proses aklimatisasi terlebih dahulu. c. Persiapan Aplikasi Probiotik Sebelum digunakan probiotik harus dikultur terlebih dahulu melalui proses fermentasi. Cara kultur kedua probiotik ini, yaitu : Campurkan 10 Kg. pisang yang telah diblender dengan 20 liter EM-Aktif dan aduk secara merata dan simpanlah selama 24 jam sebelum digunakan. Gunakan pada pemberian pakan atau langsung d tebar di tambak. 2. Pemberian pakan Data pemberian pakan diperoleh dengan cara mengetahui padat tebar pada petakan tambak. Pemberian pakan dilakukan setiap hari dengan cara dipusatkan pada satu titik di tambak. 3. Panen Data panen yang diambil diantaranya teknik pemanenan dan hasil panen. Data yang diperoleh dengan cara penelitian langsung ataupun dari data sebelumnya yang pernah dilakukan.
58
Data Sekunder Data sekunder didapatkan dari hasil pengamatan, wawancara, dan data-data dari laporan kegiatan budidaya yang berkaitan dengan pembesaran bandeng ditempat penelitian. Metode Analisa Data
Kelangsungan hidup diperoleh dengan cara menghitung jumlah nener bandeng pada awal dan akhir pemeliharaan dengan menggunakan rumus (Effendi, 1979), sebagai berikut : SR = (Nt/No) x 100 % Keterangan : Nt = jumlah benih akhir (ekor) No = jumlah benih awal (ekor)
Metode analisa data yang digunakan dalam penulisan laporan penelitian ini adalah analisa deskriptif dan analisa kuantitatif. Analisa deskriptif yaitu menjabarkan kegiatan pemeliharaan ikan bandeng di tambak dan kendala yang dihadapi dibandingkan dengan literatur yang ada dan pendapat para ahli. Sedangkan analisa kuantitatif hanya menggunakan analisa teknis. Analisa teknis digunakan untuk menganalisa data hasil sampling ikan bandeng pada setiap petakan tambak.
3) Konversi Pakan (Food Convertion Ratio) Penghitungan nilai konversi pakan atau FCR (Food Convertion Ratio), yaitu perbandingan antara pakan yang digunakan dengan daging ikan yang dihasilkan. Konversi pakan dihitung dengan menggunakan rumus menurut Ditjen Perikanan Budidaya (2004) : Jumlah Pakan yang Habis Digunakan FCR = Biomassa Ikan yang Dihasilkan
Analisa Teknis 1) Laju Pertumbuhan Melakukan sampling pertumbuhan satu minggu sekali untuk mengetahui laju pertumbuhan berat dan panjang ikan bandeng, yaitu dengan cara mengambil beberapa ekor untuk dijadikan sampel dari populasi ikan yang kemudian diukur panjang total dan berat ikan. Perhitungan laju pertumbuhan harian menurut Effendi (1979), dapat dilakukan dengan menggunakan rumus : DGR (cm/hari) =
1 2 t
Keterangan : AT1 = rata-rata panjang total akhir (cm) AT2 = rata-rata panjang total awal (cm) t = waktu pemeliharaan (hari)
Sedangkan untuk perhitungan laju pertumbuhan harian dalam persen menurut Ricker dan Brett, (1979) dalam Chumaidi dan Priyadi (2003), adalah sebagai berikut : Ln Wt – Ln Wo G=
x 100 % T
Keterangan : G = Laju pertumbuhan harian (% bobot tubuh / hari ) Wt = Bobot rata-rata individu pada akhir penelitian (g) Wo = Bobot rata-rata individu pada awal penelitian (g) T = Lama penelitian
2) Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate / SR) Melakukan pendataan dan pengontrolan jumlah ikan yang mati setiap harinya untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup nener tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penyediaan Nener Benih bandeng atau sering disebut nener, dalam kegiatan pembesaran bandeng ini berasal dari Gondol, Provinsi Bali yang dibeli dari seorang pengumpul di Lamongan. Lama transportasi benih dari pengumpul ke tambak memakan waktu kurang lebih 1 jam. Seperti yang dianjurkan Ahmad dan Yakob (1998), bahwa transportasi benih dari hatchery ke tambak tidak lebih dari 12 jam. Persiapan Tambak Sebelum dilakukan kegiatan pemeliharaan, tambak yang akan digunakan dipersiapkan terlebih dahulu. Persiapan tambak dilakukan untuk membuang sisa bahan beracun dan bibit penyakit. Kegiatan selama proses persiapan tambak ini antara lain, yaitu : pengeringan atau pengurasan tambak, perbaikan pematang, pengapuran dan pemupukan serta pengisian air yang dilakukan secara bertahap. Air diisi secara bertahap dengan tujuan agar kotoran yang terbawa masuk ke dalam tambak bisa diendapkan terlebih dahulu dan untuk menstabilkan suhu air di dalam tambak serta untuk menumbuhkan pakan alami. Sehingga saat nener dimasukkan suhu air tambak sudah stabil. Waktu yang biasanya dibutuhkan untuk mempersiapkan tambak yaitu selama kurang lebih 14 hari. Penebaran Penebaran gelondongan dilakukan pada pagi hari saat suhu masih rendah untuk mengurangi tingkat stress yang dialami ikan dan dapat menekan tingkat mortalitas. Suhu air tambak pada saat penebaran 59
adalah 27 0C dengan nilai pH 6,8. Hal yang harus diperhatikan sebelum penebaran adalah kesehatan dan vitalitasnya. Penebaran gelondongan ini melalui proses aklimatisasi (Ditjenkan, 1994) yang meliputi suhu, salinitas dan pH. Ukuran gelondongan pada saat ditebar yaitu 40 g/ekor dan panjangnya 16 cm dengan jumlah penebaran pen 10.000 ekor.
melalui proses metabolisme dan dicerna. Semua pakan yang dicerna akan diserap oleh tubuh. Adanya penyerapan energi ergi ini akan mengubah komposisi tubuh ikan yang dapat menunjukkan adanya pertumbuhan. Sedangkan pakan yang tidak termakan atau sisa dari proses metabolisme akan dikeluarkan melaui insang dan ginjal dalam bentuk ammonia, urine, dan bahan buangan lainnya.
Aklimatisasi suhu dilakukan dengan cara mengapungkan kantong plastik dipermukaan air selama kurang lebih 15 menit atau sampai permukaan dalam plastik mengembun, sedangkan aklimatisasi terhadap perubahan lingkungan dilakukan dengan memasukkan sukkan air sedikit demi sedikit sampai ikan keluar dari kantong plastik dengan sendirinya.
Pakan buatan yang diberikan untuk bandeng masa pertumbuhan ditunjukkan pada Gambar 1.
Selain waktu dan cara penebaran, hal lain yang harus diperhatikan adalah padat penebaran. Padat penebaran harus disesuaikan dengan daya dukung lahan (carrying capacity). ). Sebelum penebaran jumlah gelondongan yang akan ditebar dihitung jumlahnya. Padat tebar gelondongan pada petak pembesaran ini adalah 5 ekor/m2. Padat penebaran ini sesuai dengan pendapat William et al., (1987) dalam Mayunar (2002), bahwa dengan padat penebaran tinggi akan meningkatkan resiko kematian dan memperlambat pertumbuhan bobot individu. Selain itu, akan terjadi kompetisi terhadap kebutuhan makanan, ruang gerak, dan kondisi lingkungan. Pakan Pakan berfungsi sebagai sumber energi bagi kehidupan, pertumbuhan, dan reproduksi ikan. Melalui proses metabolisme pakan akan menjadi energi bagi ikan untuk melakukan aktivitasnya. Pemberian pakan haruslah dapat dikonsumsi ikan secara utuh sehingga pakan tidak ada yang terbuang. Berikut ini akan diuraikan iuraikan mengenai pakan yang diberikan selama pemeliharaan pembesaran bandeng, yaitu : a) Pakan Buatan Pakan buatan yang diberikan adalah jenis pakan pellet terapung. Pellet tersebut merupakan hasil produksi dari PT. Matahari Sakti dengan kode pakan SCAU 2 dan an ukuran diameter pelletnya 3,3 mm. Komposisi nutrisi pakannya ialah sebagai berikut : protein 19 – 22 % ; kadar air (max) 10 % ; lemak (min) 5 % ; serat kasar (max) 8 % dan kadar abu (max) 15 %. Bentuk pellet yang mudah hancur, tidak cepat tenggelam, mempunyai aroma yang merangsang nafsu makan dan tidak berbau tengik merupakan ciri pakan yang disukai ikan menurut Ahmad et al., (1999). Pemberian pakan pellet disebar pada satu tempat untuk mempermudah dalam pengontrollan pakannya. Selanjutnya ikan akan memakan makanannya
Gambar 1.. Pakan Buatan Untuk Bandeng (Kode Pakan SCAU 2).
b) Penambahan Suplemen Makanan tambahan (suplemen) yang lebih dikenal dengan istilah probiotik menurut Fuller (1987) dalam Irianto (2003), berupa sel-sel sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi hewan inang yang mengkonsumsinya melalui penyeimbangan flora mikroba intestinalnya. Pemberian suplemen atau feed additive ke dalam pakan ikan sebagai mediumnya mempunyai manfaat, antara lain : meningkatkan dan menyehatkan fungsi pencernaan sehingga penyerapan nutrisi lebih maksimal, dapat meningkatkan immunitas ikan terhad terhadap pathogen, mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan nafsu makan ikan. Suplemen yang digunakan selama pemeliharaan yaitu suplemen dengan merk dagang Bio Feed Additive Profed yang mengandung mikrobia pencernaan, herba obat terpilih, nutrisi esensial, vitamin, dan mineral yang berfungsi dalam mempercepat pertumbuhan dan perkembangan ikan. Prinsip kerjanya sendiri menurut Feliatra et al., (2004), adalah pemanfaatan kemampuan mikroorganisme dalam memecah atau menguraikan rantai panjang karbohidrat, protein dan lemak yang menyusun pakan yang diberikan. Kemampuan ini diperoleh karena adanya enzim-enzim enzim khusus yang dimiliki mikroba untuk memecah ikatan tersebut. Enzim tersebut biasanya tidak dimiliki oleh ikan dan makhluk air lainnya. Kalaupun ada kualitas 60
dan kuantitasnya sangatlah terbatas. Pemecahan molekul-molekul molekul kompleks ini menjadi molekul sederhana jelas akan mempermudah pencernaan lanjutan dan penyerapan oleh saluran pencernaan ikan. Penambahan suplemen ini dimaksudkan sebagai pembanding antara bandeng yang diberi suplemen (dengan perlakuan) dan bandeng yang tidak diberi ri suplemen (tanpa perlakuan). Suplemen yang diberikan mulai dilakukan sejak penebaran nener hingga menjelang panen, dengan cara mencampurkannya ke dalam pakan ikan (pellet). Suplemen yang digunakan berbentuk cairan dan sebelum diberikan pakan dihitung terlebih dahulu jumlahnya. Dosis pemberian suplemen untuk 1 kg pakan sebanyak 20 ml dan diberikan padaa saat pemberian pakan terbanyak, yaitu pada pagi hari, sehingga suplemen yang digunakan selama pemeliharaan pembesaran bandeng ini sebanyak 15.414 ml. Penggunaan suplemen ini sangat disarankan pada kolam/tambak dengan kepadatan tinggi. Gambar 2 menunjukkan jenis suplemen selama kegiatan pembesaran bandeng.
Gambar 2. Suplemen Yang Digunakan Selama Pemeliharaan.
c) Frekuensi Pakan Pakan buatan dalam budidaya intensif sangat diperlukan karena pakan ini menjadi pakan utama bagi bandeng dan membantu proses pertumbuhannya. Peningkatan pakan yang dikonsumsi ikan menurut Groves (1979) dalam Chumaidi dan Priyadi (2003), selalu diikuti secara proposional dengan peningkatan laju metabolisme harian sehingga berakibat terjadinya peningkatan pertumbuhan ikan. Pemberian pakan sebanyak 5 % diberikan pada 2 minggu pertama sedangkan untuk 6 minggu berikutnya rikutnya pakan yang diberikan sebanyak 3 % dari biomassa ikan, penentuan jumlah pakan ini juga selalu diikuti dengan monitoring biomassa ikan setiap satu minggu sekali. Frekuensi pemberian pakan dua kali dalam sehari, yaitu pagi hari pukul 08.00 dan sore pukul 16.00 WIB. Aktivitas pemberian pakan semuanya dilakukan pada siang hari, seperti yang dianjurkan oleh Ditjenkan (1993), dalam pendapatnya bahwa
gelondongan bandeng lebih banyak makan pada siang hari daripada malam hari. Pakan membutuhkan waktu 27 – 50 menit untuk melewati usus pada stadium gelondongan 60 g. d) Konversi Pakan Salah satu faktor yang menunjukkan tumbuhnya bandeng adalah efektivitas dan efisiensi pakan yang digunakan. Konversi pakan atau Food Convertion Ratio (FCR) merupakan perbandinga perbandingan antara pakan yang digunakan dengan daging ikan yang dihasilkan. Rasio konversi pakan menunjukkan kecenderungan bahwa makin besar ukuran ikan yang ditebar, makin kecil nilai konversi pakan yang dihasilkan dan kaitannya pula dengan lamanya periode pemeliharaan. araan. Perbedaan percepatan pertumbuhan yang ditunjukkan dari dua perlakuan yang dilakukan terlihat dari nilai konversi pakannya. Selain itu, Schmittou (1991), dalam pendapatnya menyatakan bahwa konversi pakan sangat berhubungan dengan jumlah dan kualitas pakan yang diberikan. Makin baik kualitas pakan yang digunakan, makin efisien penggunaan pakannya berarti konversi pakan yang dihasilkan makin kecil. Selama kegiatan pembesaran bandeng, nilai konversi yang didapat pada bandeng dengan perlakuan penambahan han suplemen dan probiotik, yaitu 0,89 dengan jumlah total pakan yang digunakan sebanyak 2.238,4 kg. Sedangkan pada bandeng tanpa perlakuan jumlah total penggunaan pakannya sebanyak 1.379,84 kg dengan nilai konversi pakan sebesar 1,15. Salah satu faktor pendukung endukung kecilnya nilai konversi pakan yang dihasilkan oleh bandeng dengan perlakuan adalah dikarenakan bandeng yang mendapat tambahan suplemen, fungsi pencernaannya lebih mampu menyerap nutrisi pakan secara maksimal sehingga pakannya menjadi lebih efisien walaupun jumlah pakan hariannya semakin besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2004), dalam pernyataannya bahwa semakin besar ukuran ikan maka feeding rate-nya nya semakin kecil, tetapi jumlah pakan hariannya semakin besar. Jumlah penggunaan pakan pada da kedua perlakuan ini setiap minggunya mengalami peningkatan sesuai dengan hasil perhitungan sampling bandeng, yaitu dari hasil penghitungan biomassa dikali feeding rate. Selama masa pemeliharaan bandeng, kisaran feeding rate atau persentase jumlah pakan yang digunakan berkisar antara 3 – 5 %. Pemberian pakan 5 % diberikan pada dua minggu pertama dengan frekuensi pemberian pakan 2 kali dalam satu hari. Persentase pakan ini kemudian diturunkan menjadi 3 % pada minggu ketiga sampai minggu terakhir pemeliharaan araan atau minggu kedelapan. Frekuensinya pun tetap dua kali dalam satu hari.. Persentase pemberian pakan ini sesuai dengan pendapat Ahmad et al., (1999), bahwa 61
kisaran jumlah pakan 3 – 4 % dari bobot biomassa terbukti paling menguntungkan jika frekuensi pemberian pakannya benar. Monitoring Hidup
Pertumbuhan
dan
Kelangsungan
Pengamatan pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan bandeng selama pemeliharaan meliharaan dan juga untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidupnya. Monitoring laju pertumbuhan dilakukan dengan cara sampling dan selama waktu pemeliharaan sampling dilakukan setiap minggu. Cara sampling pada budidaya bandeng ini dilakukan dengan cara men menjaring ikan menggunakan jala. Selanjutnya ikan yang tertangkap ke dalam jala diambil kemudian dihitung berat dan panjangnya. Laju Pertumbuhan Berdasarkan pertumbuhan berat rata rata-rata harian atau Average Daily Growth (ADG), didapatkan laju pertumbuhan sebesar 3,82 g/hari pada bandeng dengan perlakuan. Hal ini berbeda dengan bandeng tanpa perlakuan yang laju pertumbuhan hariannya lebih kecil, yaitu 1,45 g/hari. Bandeng dengan perlakuan mempunyai nilai laju pertumbuhan yang lebih besar karena adanya penambahan suplemen pada pakan ikan (pellet). Suplemen pakan ini bermanfaat dalam meningkatkan fungsi pencernaan ikan sehingga penyerapan nutrisi lebih maksimal, nafsu makan ikan pun bertambah dan akhirnya pertumbuhan ikan akan kan berjalan lebih cepat. Nilai ini didapatkan dari hasil sampling setiap minggunya. Gambar 3 menunjukkan grafik pertumbuhan bandeng selama pemeliharaan sampai pemanenan.
Grafik tersebut menunjukkan bahwa bandeng yang mendapatkan perlakuan pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan bandeng tanpa perlakuan yang pertumbuhannya relatif lebih lambat. Ukuran berat penebaran, padat penebaran, luas tambak dan masa pemeliharaan pemeliharaa yang sama, yaitu 55 hari bandeng dengan perlakuan mampu mencapai berat 255 g/ekor panjang 30 cm sedangkan bandeng tanpa perlakuan beratnya hanya mencapai 123 g/ekor dan panjangnya 23 cm. Hasil perhitungan laju pertumbuhan harian dalam persen juga menunjukkan nunjukkan perbedaan antara bandeng dengan perlakuan dan tanpa perlakuan. Bandeng dengan perlakuan mempunyai persentase laju pertumbuhan harian sebesar 3,38 % / hari. Namun, laju pertumbuhan harian bandeng tanpa perlakuan menunjukkan persentase yang lebih kecil, yaitu 1,28 % / hari. Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup atau survival rate (SR) diperoleh dengan cara menghitung jumlah ikan bandeng pada awal dan akhir pemeliharaan dengan menggunakan rumus (Effendi, 1979) dan hasilnya adalah sebagai berikut :
Bandeng dengan perlakuan 9.957 ekor
SR =
x 100 % 10.000 ekor
= 99,57 %
Bandeng tanpa perlakuan :
9.913 ekor SR =
Grafik Pertumbuhan Ikan
x 100 % 10.000 ekor
= 99,13 %
berat (gr)
300 200
perlakuan
100 0 123456
789
Minggu Ke -
Gambar 3. Grafik Pertumbuhan Ikan
tanpa perlakuan
Tingkat kelangsungan hidup pada bandeng tanpa perlakuan sedikit lebih kecil, yaitu 99,13 % daripada bandeng dengan perlakuan yang kelangsungan hidupnya mencapai 99,57 %. Aplikasi Probiotik Salah satu langkah alternatif agar ikan tetap mempunyai pertahanan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri pathogen adalah dengan penggunaan probiotik. Hal ini menurut http://www.akuatika.net (2007), karena sifat sif probiotik yang bisa menjadi biokontrol melalui berbagai mekanisme misalnya memproduksi senyawa penghambat. Selain itu, menurut Luis Balca´zar et al., (2006), muncul kekhawatiran aplikasi antibiotik pada ikan konsumsi terhadap
62
manusia dapat menyebabkan mutasi kromosom pathogen. Probiotik yang digunakan dalam pengelolaan kualitas air selama pemeliharaan bandeng yaitu probiotik dengan merk dagang EM4. Penggunaan probiotik ini dengan cara mengkultur probiotik tersebut melalui proses fermentasi. Probiotik EM4 bermanfaat, antara lain : Meningkatkan pertahanan tubuh ikan/udang SR,Meningkatkan pertumbuhan dan size ikan/udang, meningkatkan imunostimulan / daya tahan ikan/udang, meningkatkan daya tahan tubuh ikan/udang sehingga mengurangi pengunaan Antibiotik, efisiensi energi dan pengelolaan kualitas air, memfermentasi sisa pakan, kotoran, cangkang udang di dasar tambak, meningkatkan oksigen terlarut (DO) dan air menjadi bersih sehingga tidak diperlukan penggantian air berulang-ulang, menguraikan gas-gas amoniak, metan dan hydrogen sulfide, mempertahankan kualitas linkungan, aman dan Ramah lingkungan. EM4 mengandung Sebagian besar mengandung mikroorganisme Lactobacillus sp. bakteri penghasil asam laktat, serta dalam jumlah sedikit bakteri fotosintetik Streptomyes sp. dan ragi. EM-4 mampu meningkatkan dekomposisi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen. Pemberian EM4 yang telah dilakukan fermentasi sebanyak 1-3 ppm atau pada saat penggantian air sesuai dengan kondisi air dan dilakukan 1 minggu sekali. Gambar 4 menunjukkan jenis probiotik yang digunakan selama masa pemeliharaan.
Panen bandeng konsumsi ini dilakukan pada pagi hari agar dapat langsung dipasarkan. Pemanenan dilakukan secara total dengan cara memasang jaring untuk mengiring ikan ke suatu sisi tambak. Jaring kemudian dibentuk persegi panjang untuk memudahkan saat pemindahan ikan ke dalam wadah (bak terpal). Setelah itu, ikan yang sudah terjaring dimasukkan ke dalam suatu wadah untuk dihitung jumlahnya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pemeliharaan penggunaan suplemen dan probiotik dapat membantu dalam mempercepat pertumbuhan bandeng. Berat gelondongan pada awal penebaran 42 g/ekor, jumlah penebaran pada tiap tambak 10.000 ekor sehingga padat penebarannya 5 ekor/m2. Konversi pakan yang didapatkan sebesar 0,89 setelah 55 hari pemeliharaan untuk bandeng dengan perlakuan (penambahan suplemen dan probiotik) sedangkan bandeng tanpa perlakuan konversi pakannya lebih besar, yaitu 1,15 . Setelah pemeliharaan 55 hari didapatkan tingkat kelangsungan hidup pada bandeng yang mendapat perlakuan sebesar 99,13 % dengan persentase laju pertumbuhan harian sebesar 3,38 %. Sedangkan bandeng tanpa perlakuan didapatkan tingkat kelangsungan hidup 99,8 %, dengan persentase laju pertumbuhan 1,28%.
Gambar 4. Probiotik Yang Digunakan Dalam Pembesaran Bandeng.
Panen Pemanenan merupakan kegiatan akhir dalam kegiatan pembesaran bandeng. Ukuran konsumsi (250 gr) menjadi patokan dilakukannya pemanenan. Cara pemanenan harus dilakukan secara hati-hati dan benar agar ikan tidak terluka karena dapat menurunkan harga jual ikan pada saat dijual.
63
Penambahan suplemen dan aplikasi probiotik ini sebaiknya terus dilanjutkan agar didapatkan data yang lebih akurat dan bisa diterapkan kepada petambak terutama pada tambak yang padat penebarannya tinggi.
Berkelanjutan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jepara. Djamin, Z. 1990. Perencanaan dan Analisa Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
REFERENSI Ahmad, T dan M. J. R. Yakob. 1998. Budidaya Bandeng Intensif di Tambak. Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Loka Penelitian Perikanan Pantai. Bali.
Effendi, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Cetakan Pertama Yayasan Dewi Cukaray. Bogor. Effendi, I. 2004 . Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.
_________., E. Ratnawati dan M. J. R. Yakob. 1999. Budidaya Bandeng Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta.
Feliatra., I. Effendi dan E. Suryadi. 2004. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Probiotik dari Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam Upaya Efisiensi Pakan Ikan. Jurnal Natur Indonesia. Universitas Riau. Pekan Baru.
Atmomarsono, M dan V. P. H. Nikijuluw. 2003. Pedoman Investasi Komoditas Bandeng di Indonesia. Direktorat Sistem Permodalan dan Investasi. Jakarta.
Hadie, W dan J. Supriatna. 2000. Teknik Budidaya Bandeng. Bhratara. Jakarta.
Buttner, J. K., R. W. Soderberg, dan D. E. Terlizzi. 1993. An Introduction to Water Chemistry in Freshwater Aquaculture. Northeastern Regional Aquaculture Center. University of Massachusetts Dartmouth. Massachusetts. Chumaidi dan Priyadi, A. 2003. Pengaruh Perbedaan Dosis Pakan Alami (Tubifex sp) dan Padat Penebaran Benih Ikan Gurame (Osphronemus gouramy Lac) Terhadap Efisiensi Pakan. Prosiding Volume 4. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. Cholik, F., A.G. Jagatraya., R.P. Poernomo dan A. Jauzi. 2005. Akuakultur Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa. Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) dengan Taman Akuarium Air Tawar TMII. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan. 1991. Petunjuk Teknis Budidaya Campuran Udang dan Bandeng. Direktorat Bina Produksi. Jakarta. ________________________. 1993. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. ________________________. 1994. Petunjuk Teknis Usaha Pembesaran Ikan Bandeng di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Intensif yang
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Idel, A dan S. Wibowo. 1996. Budidaya Tambak Bandeng Modern. Gita Media Press. Surabaya. Ismail, A., Manadiyanto dan S. Hermawan. 1998. Kajian Usaha Bandeng Umpan dan Bandeng Konsumsi pada Tambak di Kamal Jakarta Utara. Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Loka Penelitian Perikanan Pantai. Bali. Jangkaru, Z. 1993. Pengembangan Perikanan Kolam di Wilayah Beriklim Basah Tanpa Irigasi. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. _________. 1995. Pembesaran Ikan Air Tawar di Berbagai Lingkungan Pemeliharaan. Penebar Swadaya. Jakarta. _________. 2003. Memelihara Ikan di Kolam Tadah Hujan. Penebar Swadaya. Jakarta. Kasmir dan Jakfar. 2006. Studi Kelayakan Bisnis. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Luis Balca´zar, J., I. de Blas., I. Ruiz-Zarzuela., D. Cunningham., D. Vendrell dan J. L. Mu´zquiz. 2006. The Role of Probiotics in Aquaculture. Veterinary Microbiology. http://www.aquaculturemai.org/php. Martosudarmo, B., E. Sudarmini dan B. S Ranoemihardjo. 1984. Biologi Bandeng (Chanos
64
chanos Forskal). Pedoman Budidaya Tambak. Balai Budidaya Air Payau. Jepara. Mayunar. 2002. Budidaya Bandeng Umpan Semi Intensif dengan Sistem Modular pada Berbagai Tingkat Kepadatan. Laporan Kegiatan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jepara. Mudjiman, A. 1987. Budidaya Tambak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Bandeng di
Purnamawati. 2002. Peranan Kualitas Air Terhadap Keberhasilan Budidaya Ikan di Kolam. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. ISSN No. 0852/894. Volume 8. No. 1. Jakarta. Rangkuti, F. 2000. Business Plan Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisa Kasus. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Schmittou, H. R. 1991. Cage Culture : A Method of Fish Production in Indonesia. Fiseries Research and Development Center. Susanto, Heru. 2003. Membuat Kolam Ikan. 2003. Penebar Swadaya. Jakarta. Soeharto, I. 1997. Manajemen Proyek Dari Konseptual Sampai Operasional. Erlangga. Jakarta. Wardana, I dan E. Pratiwi. 2002. Pengembangan Budidaya Bandeng Disesuaikan dengan Tipe Lahan yang Tersedia (Laut, Tambak dan Tawar). Warta Penelitian Perikanan Indonesia. ISSN No. 0852/894. Volume 8. No. 1. Jakarta. http://akuatika.net. 2007. Probiotik dan Efisiensi Pakan pada Ikan.
65