Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 1 - 6 PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
Nidaul Khairi1), Mukhni2), Minora Longgom Nasution3) 1)
FMIPA UNP, email:
[email protected] 2,3) Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNP Abstract
The mathematical problem solving abilities is one of the abilities that should be had by everyone in mathematical learning. In the senior high school, the mathematical problem solving abilities of the students still not optimal yet. One of the learning approach to increase the mathematical problem solving abilities is Realistic Mathematics Education (RME). The purpose of this research is to know the influence of RME toward the mathematical problem solving abilities of the students grade XI IPA 1 in SMA Negeri 1 Kecamatan Akabiluru. The type of this research is the quasi-experimental research with the Randomized Control Group Only Design. Based on analysis of the test, the mathematical problem solving abilities of the students using RME is better than the mathematical reasoning of the students using the conventional learning. Keywords – mathematical problem solving abilities, realistic mathematics education PENDAHULUAN Matematika merupakan ilmu yang berkembang dengan pesat, baik isi maupun aplikasinya. Dasar dari perkembangan matematika adalah logika berpikir manusia yang akan membentuk pemikiran logis, kritis, dinamis dan sistematis. Pemikiran yang terbentuk akan dapat membantu manusia dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, tujuan pembelajaran matematika adalah agar siswa mampu: (1)Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.[1] Kelima tujuan pembelajaran matematika di atas merupakan pokok penting yang harus dilakukan guru dalam proses pembelajaran matematika. Tujuan pertama merupakan pemahaman konsep matematika, setelah peserta didik memahami konsep matematika, peserta didik dituntun untuk memiliki kemampuan menalar yang
baik. Peserta didik yang menguasai penalaran matematika yang baik berarti memiliki pemahaman konsep yang juga bagus. Kemudian guru juga melatih dan mengajarkan peserta didik untuk memecahkan masalah matematika, kemampuan komunikasi matematis dan terakhir sikap menghargai matematika. Tujuan matematika tersebut merupakan tahapan hirarki yang seharusnya diajarkan guru. Tujuan pembelajaran matematika yang terdapat dalam GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran) ialah untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi perubahan dunia yang dinamis dengan menekankan penalaran logis, rasional, dan kritis, serta memberikan katerampilan kepada mereka untuk mampu menggunakan matematika dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari.[2] Pentingnya kemampuan pemecahan masalah dalam mata pelajaran matematika terlihat dari penyusunan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) matematika yang sebagian besar komponen SK dan KD tersebut terdapat kemampuan pemecahan masalah yang harus dikuasai oleh peserta didik. Inti dari belajar memecahkan masalah oleh peserta didik ialah untuk membuat peserta didik terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak hanya memerlukan ingatan saja. Tetapi peserta didik juga harus bisa menyelesaikan soal-soal yang menantang dan soal-soal yang tidak rutin.[3] Kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soalsoal yang menantang dan tidak rutin tersebut merupakan salah satu dari ciri kemampuan pemecahan masalah matematika. Sedangkan menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004, peserta didik dikatakan memiliki kemampuan pemecahan masalah apabila memenuhi indikator-indikator kemampuan pemecahan masalah yaitu sebagai berikut:
1
Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 1 - 6 1) menunjukan pemahaman masalah 2) mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah 3) menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk 4) memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat 5) mengembangkan strategi pemecahan masalah 6) membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah 7) menyelesaikan masalah yang tidak rutin. Peserta didik yang memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah matematika dengan soal-soal yang menantang dan soal tidak rutin tersebut tidak hanya berasal dari kemampuan peserta didik saja, tetapi juga dilatih oleh guru dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang menuntun untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik ialah proses pembelajaran yang bersifat realistik. Hal ini disebabkan karena masalah yang rumit akan lebih mudah dimengerti dan diselesaikan jika masalah tersebut merupakan masalah yang real yaitu masalah yang berasal dari kehidupan sehari-hari dalam arti kata bahwa masalah yang konkret akan lebih mudah dimengerti dari pada masalah yang abstrak. Pembelajaran yang bersifat realistik merupakan pembelajaran yang dimulai dengan masalahmasalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari untuk membuat peserta didik tertarik untuk menyelesaikannya. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SMA N 1 Kecamatan Akabiluru pada tanggal 11 – 15 Juli 2013, pembelajaran yang dilakukan guru tidak dimulai dengan pembelajaran yang bersifat realistik. Guru memulai pembelajaran dengan materi dan rumus-rumus yang langsung dicatat di papan tulis. Kemudian guru menjelaskan materi tersebut dan diikuti dengan pemberian contoh soal, tetapi contoh soal yang diberikan masih tergolong kepada contoh soal yang rutin bukan contoh soal yang tidak rutin. Selama proses pembelajaran berlangsung sebagian peserta didik memperhatikan penjelasan guru tetapi sebagian yang lain masih berbicara satu sama lain dengan temannya. Setelah contoh soal selesai dikerjakan oleh guru, proses pembelajaran dilanjutkan ke materi berikutnya, materi tersebut disajikan dari bentuk-bentuk umum untuk menemukan konsep dan rumus matematikanya. Kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik ini juga berdampak kepada hasil tes awal peserta didik yang masih rendah. Berikut ini merupakan hasil tes awal dengan indikator pemecaham masalah yang diberikan kepada semua peserta didik kelas XI IPA SMAN 1 Kecamatan Akabiluru. TABEL 1 PERSENTASE KETUNTASAN TES AWAL PESERTA DIDIK
Kelas XI IPA 1 XI IPA 2 XI IPA 3
Jumlah Siswa 21 23 23
Persentase nilai 75 33,3 26,1 34,7
Persentase nilai < 75 66,7 73,9 65,3
Tabel 1 di atas menunjukan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik masih belum optimal. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah peserta didik salah satu diantaranya dipengaruhi oleh pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh guru. Seseorang akan berusaha untuk memecahkan masalah jika mereka diajarkan tahap-tahap untuk memecahkan masalah, mulai dari mengenali sebuah masalah, memodelkan kedalam matematika hingga mencari solusi untuk permasalahan yang mereka hadapi. Kurangnya kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah matematika akan berpengaruh kepada sulitnya peserta didik untuk mengahadapi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan serta kemampuan berfikir yang didapat ketika seseorang memecahkan masalah diyakini dapat ditransfer atau digunakan orang tersebut ketika menghadapi masalah di dalam kehidupan sehari-hari, karena setiap orang selalu dihadapkan dengan masalah[3]. Berdasarkan ungkapan tersebut maka pembelajaran pemecahan masalah ialah salah satu tindakan yang dilakukan oleh guru agar peserta didik termotivasi untuk menerima tantangan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan guru untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik ialah pendekatan pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Hal tersebut disebabkan karena pembelajaran dengan pendekatan PMR melibatkan peserta didik secara aktif untuk menemukan sendiri konsep matematika yang diawali oleh pemberian masalahmasalah realistik kepada peserta didik. Filosofi PMR yang dilontarkan oleh Fruedenthal bahwa matematika sebagai suatu kegiatan atau lebih dikenal dengan ungkapan mathematics as a human activities, dan belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (doing mathematics). Sejalan dengan hal tersebut [4] menuliskan bahwa: “ Freudenthal takes his starting point in the activity of mathematics, whether pure or applied mathematicians. He characterizes mathematical activity as an activity of solving problems,looking for problems and organizing a subject matter”. Fruedenthal menyebutkan bahwa aktivitas matematika yang dimaksud merupakan aktivitas dari pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisir kelompok masalah. Dalam pendekatan PMR peserta didik belajar untuk mematematikakan masalah-masalah yang kontekstual. Sehingga diharapkan peserta didik bisa mengenali pemasalahan dengan baik dan memberikan solusi yang tepat untuk permasalahan tersebut. Pendekatan pembelajaran matematika realistik tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat yang selanjutnya diikuti oleh contoh soal. Namun pada PMR sifat-sifat, teorema-teorema itu diharapkan ditemukan kembali oleh peserta didik. Kegiatan pembelajaran PMR dalam pembelajaran di kelas, dimulai dari masalah yang nyata dan memberi kebebasan kepada peserta didik untuk dapat mendiskripsikan, menginterpretasikan dan
2
Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 1 - 6 menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya sendiri sesuai dengan pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik. Setelah itu peserta didik bisa mengembangkan lebih lanjut pengetahuan tersebut ke tingkat yang lebih tinggi.[3] PMR memiliki lima karakteristik yaitu: (1) Penggunaan konteks, (2) Penggunaan model untuk mematematisasi progresif, (3) Pemanfaatan hasil konstruksi, (4) Interaktivitas, dan (5) Keterkaitan.[2] Bedasarkan rasional yang dikemukakan di atas, maka permasalahan yang dibahas adalah “Bagaimanakah perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas XI IPA SMAN 1 Kecamatan Akabiluru selama belajar dengan menerapkan pendekatan PMR? dan Apakah kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas XI IPA SMAN 1 Kecamatan Akabiluru yang belajar dengan menerapkan pendekatan PMR lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik yang belajar dengan pembelajaran konvensional?”. Sejalan dengan rumusan masalah tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah “Untuk mengetahui perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas XI IPA SMAN 1 Kecamatan Akabiluru selama belajar dengan menerapkan pendekatan PMR dan untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas XI IPA SMAN 1 Kecamatan Akabiluru yang belajar dengan menerapkan pendekatan PMR lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik yang belajar dengan pembelajaran konvensional”.
dan variabel terikat yaitu kemampuan pemecahan masalah peserta didik. Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil tes kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang soalnya dibuat berdasarkan indikator kemampuan pemecahan masalah matematika dan data sekunder berupa jumlah dan keadaan peserta didik yang diperoleh dari guru matematika dan tata usaha SMAN 1 Kecamatan Akabiluru tahun pelajaran 2013/2014. Instrumen yang digunakan terdiri dari kuis dan tes akhir. Kuis bertujuan untuk melihat perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik sedangkan tes akhir untuk melihat pengaruh pendekatan pembelajaran PMR terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik. Tes kemampuan pemecahan masalah matematika berupa soal essay yang dibuat berdasarkan indikator kemampuan pemecahan masalah. Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data ini berupa perkembangan kemampuan pemecahan masalah peserta didik dan kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang dianalisis menggunakan statistika dengan berpedoman pada rubrik penskoran kemampuan pemecahan masalah. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian berupa perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik dilihat dari nilai kuis yang diperoleh peserta didik untuk setiap pertemuan. Persentase perolehan nilai kuis tersebut dirinci seperti pada Tabel 3 berikut: TABEL 3 PERSENTASE DISTRIBUSI SKOR KUIS
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian kuasieksperimen dengan rancangan “Randomized Control Group Only Design” [6]. Penelitian ini menggunakan dua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen adalah kelas yang sengaja diberikan perlakuan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran PMR, sementara kelas kontrol tidak diberi perlakuan. Rancangan tersebut dapat digambarkan dalam Tabel 2 berikut: TABEL 2 RANCANGAN PENELITIAN
Group Treatment Posttest Eksperimen X T Kontrol T Pengambilan sampel dengan Simple Random Sampling yaitu pengambilan sampel secara acak. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara pengundian. Kelas yang terundi pertama ditetapkan sebagai kelas eksperimen dan kelas yang terundi kedua ditetapkan sebagai kelas kontrol. Hasil undian tersebut diperoleh kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 3 sebagai kelas kontrol. Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu pembelajaran dengan menggunakan pendekatan PMR
Indikator 1
2
3
4
Skor 0 1 2 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2
Kuis I (%) 9,52 47,62 42,86 9,52 42,86 47,62 0,00 9,52 57,14 33,33 0,00 23,81 76,19 0,00
Kuis II (%) 4,76 38,09 57,14 0,00 9,52 71,43 19,05 0,00 38,09 52,38 9,52 28,57 33,33 38,09
Kuis III (%) 0,00 4,76 95,24 0,00 4,76 4,76 90,48 4,76 4,76 4,76 85,72 9,52 42,86 42,86
Keterangan: Indikator kemampuan pemecahan masalah matematika: 1. Menunjukan pemahaman masalah 2. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah 3. Mengembangkan strategi pemecahan masalah 4. Membuat dan menaksirkan model matematika suatu masalah
3
Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 1 - 6 Berdasarkan Tabel 3 di atas terlihat bahwa perkembangan kemampuan pemecahan masalah yang didapatkan peserta didik mengalami peningkatan. Peserta didik yang mengikuti kuis sebanyak 21 orang untuk masing-masing kuis I, kuis II dan kuis III. Soalsoal yang terdapat pada kuis merupakan soal pemecahan masalah, dimana setiap soal kuis terdapat empat indikator pemecahan masalah yang menjadi langkah untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah. Selama proses pembelajaran dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik terjadi peningkatan dan penurunan skor yang didapatkan peserta didik untuk setiap indikator soal pemecahan masalah. Secara rinci perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematika dianalisis untuk setiap indikator sebagai berikut: A. Indikator 1: Menunjukan Pemahaman Masalah Pemahaman terhadap masalah untuk soal pemecahan masalah matematika merupakan langkah awal yang menentukan keberhasilan jawaban yang akan dibuat, peserta didik akan sulit menyelesaikan prosedur pengerjaan yang benar jika masalah yang ditanya dari soal belum dipahami. Walaupun terlihat sederhana tetapi jika suatu masalah tidak dipahami maka akan terjadi kekeliruan jawaban dan sebagainya. Pemahaman masalah ini juga bisa ditujukan dengan menentukan kompenen pada soal yang diketahui dan ditanya dengan bahasa sendiri. Peserta didik yang memenunjukan pemahaman masalah terlihat dari jawaban peserta didik yang membuat komponen diketahui, ditanya dan cara atau proses jawaban. Nilai skor untuk indikator 1 terdiri dari nilai skor 0, 1, dan 2. Perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik pada kuis yang telah dilakukan untuk indikator 1 dapat dilihat dari diagram berikut ini: 100% 90% 80%
Persentase
70%
Kuis I
60% 50%
Kuis II
40%
Kuis III
Pemahaman masalah yang ditunjukan dengan membuat komponen diketahui, ditanya dan proses jawab tersebut tidak dikerjakan oleh semua peserta didik. Dari hasil jawaban dari peserta didik terdapat 53% peserta didik yang menyelesaikan jawaban tanpa menulis komponen soal seperti diketahui, ditanya dan jawaban. Tetapi hasil jawaban akhir yang didapatkan peserta didik merupakan jawaban yang benar. Hal ini bukan berarti bahwa perserta didik belum bisa memahami soal pemecahan masalah dengan baik akan tetapi peserta didik belum terbiasa menyelesaikan soal dengan menuliskan komponen seperti diketahui, ditanya dan dijawab. Berikut ini merupakan salah satu peserta didik yang menjawab kuis dengan benar akan tetapi jawaban peserta didik tersebut tidak menuliskan komponen diketahui, ditanya dan dijawab.
Gambar 2. Jawaban peserta didik
B. Indikator 2: mengorganisasikan Data dan Memilih Informasi yang Relevan dalam Pemecahan Masalah Pada indikator 2 terdapat 4 nilai skor yaitu nilai skor 0, skor 1, skor 2, dan skor maksimum 3. Pencapaian yang didapatkan peserta didik untuk indikator ini juga mengalami peningkatan dan penurunan pada skor 0, 1, 2, dan 3 untuk setiap kuis yang diadakan pada akhir pertemuan. Peningkatan yang cukup signifikan pada indikator ini terlihat dari persentase yang dicapai oleh peserta didik untuk skor maksimum yaitu skor 3, disamping itu skor yang lain mengalami peningkatan dan juga penurunan. Pencapaian persentase jumlah peserta didik pada indikator 2 untuk setiap skornya dapat dilihat dari gambar di bawah ini :
30% 10% 0%
Skor 0
Skor 1
Skor 2
Gambar 1. Grafik peserta didik yang menunjukan pemahaman masalah
Pada Gambar 1 terlihat perolehan skor 0 mengalami penurunan dari kuis I hingga kuis III, begitupula dengan skor 1 yang juga mengalami penurunan. Sedangkan skor 2 mengalami peningkatan untuk setiap kuisnya. Hal ini menunjukan bahwa peserta didik telah memahami masalah.
Persentase
20%
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Kuis I Kuis II Kuis III
Skor 0
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Gambar 3. Grafik peserta didik mengorganisasikan data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah
4
Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 1 - 6
Persentase
C. Indikator 3: Mengembangkan Strategi Pemecahan Masalah Mengembangkan strategi pemecahan masalah berarti melakukan prosedur penyelesaian masalah berdasarkan rencana dan pemahaman terhadap masalah yang didapat dari indikator sebelumnya. Indikator 3 juga terbagi menjadi empat nilai skor yaitu 0, 1, 2, dan 3. Hasil pencapaian nilai tiap skor pada indikator mengembangkan strategi pemecahan masalah dapat dilihat dari gambar diagram berikut ini: 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Pada Indikator ini peserta didik diminta untuk menyimpulkan jawaban akhir peserta didik ke dalam permasalahan yang diminta. Tetapi hal tersebut tidak dituliskan oleh peserta didik, hal ini disebabkan karena peserta didik tidak terbiasa menyimpulkan dan menafsirkan jawaban. Ditambah lagi, bahwa guru juga tidak meminta peserta didik untuk menyimpulkan dan menafsirkan jawaban ke dalam permasalahan awal soal pemecahan masalah. Berikut ini merupakan salah satu jawaban peserta didik yang menjawab pertanyaan dengan benar, tetapi tidak menyimpulkan dan menafsirkan jawaban yang mereka peroleh:
Kuis I Kuis II Kuis III
Skor 0
Skor 1 Skor 2 Skor 3
Gambar 4. Grafik peserta didik mengembangkan strategi pemecahan masalah
D. Indikator 4: Membuat dan Menaksirkan Model Matematika Suatu masalah Indikator terakhir untuk menyelesaiakan soal pemecahan masalah pada penelitian ini ialah menafsirkan, menginterpretasikan dan menyimpulkan jawaban yang didapatkan dari proses penyelesaian menjadi jawaban yang diminta oleh soal. Indikator ini merupakan langkah terakhir dalam penyelesaian soal pemecahan masalah matematika. Perkembangan yang didapatkan untuk indikator ini pada setiap kuis yang dilaksanakan mengalami fluktuasi. Hal ini terjadi karena peserta didik tidak terbiasa menjawab soal dengan menyimpulkan jawaban akhir yang didapatkan peserta didik. Peserta didik cendrung hanya menyelesaikan proses jawaban tanpa menyimpulkan atau menginterpretasikan jawabannya. Berikut ini ialah gambar perkembangan kemampuan pemecahan masalah untuk setiap kuis yang diadakan: 80% 70% 60%
Kuis I
Persentase
50% 40%
Kuis II
30%
Kuis III
20% 10% 0% Skor 0
Skor 1
Skor 2
Gambar 6. Jawaban peserta didik tanpa kesimpulan dan tafsiran jawaban
Untuk mengetahui pengaruh PMR terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik dilakukan tes akhir sesuai dengan indikator soal pemecahan masalah matematika yang dapat dilihat pada tabel berikut ini TABEL 4 HASIL TES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
Kelas
N
Eksperimen Kontrol
21 23
X maks 71,4 59,62
X min 40 33,75
x
s
71,37 59,62
11,0 8,65
Berdasarkan Tabel 4 nilai rata-rata yang diperoleh kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Selain itu nilai tertinggi dan terendah kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Nilai tertinggi kelas eksperimen adalah 71,4 dan nilai terendah 40,00 dengan rata-rata 71,37, sedangkan untuk kelas kontrol nilai tertinggi 59,62 dan terendah 33,75 dengan rata-rata 59,62. Simpangan baku kelas eksperimen adalah 11,00 dan simpangan baku kelas kontrol adalah 8,65.
Gambar 5. Grafik peserta didik membuat dan menafsirkan model matematika suatu masalah
5
Vol. 3 No. 1 (2014) Jurnal Pendidikan Matematika : Part 2 Hal 1 - 6 Uji hipotesis dalam penelitian ini adalah “Kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas XI IPA 1 Kecamatan Akabiluru yang menggunakan pendekatan pembelajaran PMR lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik yang menggunakan pembelajaran konvensional”. Untuk membuktikan hipotesis ini diterima atau ditolak maka harus diuji terlebih dahulu kesamaan rata-ratanya. Sebelum melakukan uji kesamaan rata-rata maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Kesimpulan yang diperoleh kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas sampel berdistribusi normal dan berhomogenitas variansi yang sama, maka untuk uji hipotesis dilakukan uji-t. Berdasarkan hasil uji-t tersebut, diperoleh bahwa nilai Pvalue adalah 0,0000. Berdasarkan nilai Pvalue yang diperoleh H0 ditolak, yang berarti tes kemampuan pemecahan masalah kedua kelas sampel tidak memiliki kesamaan rata-rata, maka disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas eksperimen lebih baik daripada pemecahan masalah matematika peserta didik kelas kontrol. Kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol tentu ditunjang oleh penerapan pembelajaran yang menggunakan PMR. Pendekatan pembelajaran PMR menyajikan masalah-masalah matematika yang bersifat abstrak menjadi permaslahan yang realisti yaitu permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini disebabkan karena proses pembelajaran dimulai dari permasalahan yang bersifat riil, sehingga peserta didik tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penyelesaian dari permasalahan tersebut. “Aspek pembelajaran matematika dimulai dari mengajukan masalah (soal) yang riil bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna”.[5] Selain itu, pendekatan pembelajaran matematika realistik tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifatsifat yang diikuti oleh contoh soal. Namun pada PMR sifat-sifat, teorema-teorema itu diharapkan ditemukan kembali oleh peserta didik. Kegiatan pembelajaran PMR dalam pembelajaran di kelas, dimulai dari masalah yang nyata (masalah riil) dan memberi kebebasan kepada peserta didik untuk dapat mendiskripsikan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya sendiri sesuai dengan pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik. Setelah itu peserta didik bisa mengembangkan lebih lanjut pengetahuan tersebut ke tingkat yang lebih tinggi.[2]
Pendekatan pembelajaran PMR menuntut peserta didik untuk berfikir lebih kreatif unntuk menemukan konsep matematika. Guru menuntun peserta didik untuk menemukan konsep matematika yang sedang dipelajari. Selain itu tujuan pemberian masalah riil untuk mengantarkan peserta didik menyelesaikan masalah non rutin. Lima langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR menurut [2] yaitu: (1) Diawali dengan masalah dunia nyata, (2) Mengidentifikasi konsep matematika yang relevan dengan masalah lalu mengorganisasi masalah sesuai dengan konsep matematika, (3) Menyelesaikan masalah matematika , dan (4) Menerjemahkan kembali solusi matematis ke dalam situasi nyata, termasuk mengidentifikasi keterbatasan dari solusi. Pada pelaksanaan proses pembelajaran dengan pendekatan PMR di SMA N 1 Kecamatan akabiluru untuk kelas eksperimen, pembelajaran dimulai dengan mengikuti langkah-langkah atau sintaks PMR akan tetapi dalam menyelesaikan masalah matematika peserta didik cendrung pasif dalam mengungkapkan jawaban ataupun pendapatnya. Ditambah dengan peserta didik yang tidak terbiasa menyelesaikan soal dengan menerjemahkan kembali atau menyimpulkan jawaban yang telah dibuat oleh peserta didik. Sehingga penerapan PMR tidak berjalan dengan yang semestinya. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik dengan pendekatan pembelajaran PMR pada kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Kecamatan Akabiluru tahun pelajaran 2013/2014 lebih baik daripada kemamapuan pemecahan masalah peserta didik kelas konvensional. Guru diharapkan dapat menerapkan pendekatan pembelajaran PMR karena pendekatan ini dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik. DAFTAR RUJUKAN [1]
Depdiknas. 2006. Permendiknas Nomor 22 tentang Standar Isi Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas [2] Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik. Yogyakarta: Graha Ilmu [3] Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi. Yogyakarta: Depdiknas. [4] Gravemeijer, Keano. 1994. Developing Realistic
Mathematics Education.Utrecth: CD-β Press [5] Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip Banjarmasin [6] Suryabrata, Sumadi. (2006). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
6