NEGARA ISLAM DI JAWA 1500-1700
SYAMINA
NEGARA ISLAM DI JAWA 1500-1700 K. Subroto
Laporan Khusus Edisi 4 / Maret 2017 Gambar cover: Peta Pulau Jawa Kuno Pertama “Iava Maior”, Karya Barent Langenes 1612
ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis. Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:
[email protected] Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3 EXECUTIVE SUMMARY — 4 Muqaddimah — 7 Episode Pertama — 10 Negara Islam Kesultanan Demak Bintoro — 10 Kemunculan Kesultanan Demak — 10 Penetapan Dasar Negara — 11 Berlakunya Hukum Islam — 11 Kejayaan Demak dengan Foreign Policy-nya — 13 Negara Islam Jepara — 15 Negara Islam Cirebon — 17 Syariat Islam di Negara Islam Cirebon — 19 Negara Islam Banten — 19 Lahirnya Jayakarta — 21 Kejayaan Banten dengan Syariat Islam — 22 Negara Islam Giri di Gresik — 23 Episode Kedua — 27 Negara Islam Mataram — 27 Awal Pembentukan Mataram Era Panembahan Senapati — 27 Masa Kejayaan Mataram, Sultan Agung (1613 – 1645) — 29 Hukum Islam di Mataram — 31 Perekonomian Kesultanan Mataram — 34 Kehidupan Sosial keagamaan serta Peran Ulama — 34 Peran di bidang kebudayaan Islam — 35 Sistem Politik Kesultanan Mataram — 35 Politik Luar Negeri — 35 Kezaliman Amangkurat Menghancurkan Mataram — 39 Kesimpulan — 45 Daftar Pustaka — 46
3
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
EXECUTIVE SUMMARY
S
ejarah menjadi amat penting dalam perjalanan peradaban manusia. di tengah masyarakat sebagai pelajaran hidup yang telah dilalui oleh pendahulunya. Selain untuk mengungkap jatidiri suatu bangsa atau peradaban, sejarah juga sebagai bahan motivasi dan sekaligus bahan instrospeksi, supaya tidak terjatuh di lubang yang sama, mengulang kesalahan yang sama yang pernah dialami generasi sebelumnya. Karena sejarah pasti akan selalu terulang dengan aktor yang berbeda. Sejarah umumnya ditulis oleh pemenang dengan perspektif pemenang juga tentunya. Demikianlah kenyataan yang berlaku di seluruh dunia. Dan pemenang dalam persaingan sebuah peradaban yang kemudian menjadi penguasa menggantikan peradaban sebelumnya berusaha sekuat tenaga mengecilkan kontribusi lawannya dalam memajukan masyarakat, atau bahkan kalau bisa berusaha menguburnya sehingga peradaban yang dikalahkan tidak akan pernah bangkit kembali dan menjadi ancaman bagi penguasa pemenang. Demikian jualah yang terjadi dengan sejarah Indonesia. Sebuah nama yang baru muncul di tahun 1850 di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia No. 4 yang awalnya disebut Indunesians (Indu, bahasa Latin, artinya: India; Nesia, asal katanya adalah nesos, bahasa Yunani, artinya: kepulauan), yang artinya Kepulauan Hindia. Penulisan sejarah Indonesia dipelopori oleh para sarjana sejarah berkebangsaan Belanda, negara yang terlibat peperangan selama ratusan tahun hampir di seluruh pelosok Nusantara dengan para penguasa lokal dengan misi penjajahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah yang ditulis Belanda dengan perspektif penjajah berusaha memandang sejarah Indonesia umumnya dan Jawa khususnya dengan sudut pandang penjajah Barat.
4
Penulisan sejarah Indonesia mengecilkan peran Islam dan politik Islam dengan berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan kejayaan politik negaranegara sebelum negara Islam berdiri di Nusantara. Hal demikian wajar karena selama ini hampir di semua daerah, penjajah Belanda selalu berhadapan dengan ulama dan pemimpin Islam ketika berusaha menancapkan kepentingan penjajah. Para ulama dan pemimpin Islam selalu mengumandangkan seruan jihad untuk mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh orang kafir Belanda.
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Dengan kenyataan itu para orientalis Belanda memandang Islam sebagai ancaman terhadap keberlangsungan misi penjajahan. Sebagaimana pandangan seorang ahli strategi Belanda, Cristian Snouck Hurgronje yang memandang Islam sebagai faktor penghalang misi penjajahan terutama yang disebutnya sebagai Islam Politiek. Oleh karena itu Belanda berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan politik Islam dalam mengatur masyarakat Indonesia. Di sisi lain didorong penelitian dan penulisan sejarah kegemilangan peradaban pra-Islam, khususnya kejayaan kerajaan Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan. Bahkan ada yang menyebut eksistensi negara Islam sebagai ”ilusi”, sesuatu yang tidak pernah ada, atau “utopia”, hanya sebuah impian belaka. Tulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat sejarah era pra Islam. Bahkan De Graaf menyebut bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah Jawa dan Bali yang diterbitkan dalam bahasa Belanda di abad 20 yang meneliti dan mengulas peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang datang dari India. Pandangan sejarah ala Barat lebih menonjolkan uraian-uraian ilmiah tentang masa Hindu-Jawa. Jadi upaya deislamisasi sejarah Islam memang disengaja oleh penjajah Belanda sebagai pionir penulis sejarah Nusantara, sebagai salah satu upaya untuk mencegah kebangkitan kembali institusi politik yang berdasarkan Islam yang merepotkan bahkan mengancam kepentingan penjajahan. Seorang Sejarawan Belanda, De Graaf mengakui bahwa selama hampir satu abad telah banyak waktu dan biaya dihabiskan untuk mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunan-bangunan kuno pra-Islam, yaitu candi-candi, tetapi penyelidikan terhadap bangunan dan naskah kuno zaman Islam diabaikan. Dampaknya para peneliti sejarah saat ini kesulitan mencari sumber referensi tulisan sejarah Indonesia kecuali dari tulisan-tulisan sejarawan Belanda. Maka kita dapati bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah sejak masa penjajah Belanda sampai saat ini selalu menonjolkan kegemilangan peradaban Syiwa-Budha Majapahit dan mengecilkan peran era Islam dalam memajukan masyarakat. Kenyataannya, kejayaan politik dan peradaban Islam masa Demak dan Mataram tidak kalah dengan kejayaan era Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara yang berdasarkan Islam bukan sebuah ilusi tapi sebuah fakta sejarah yang berusaha ditutup-tutupi. Negara Islam yang besar, Kesultanan Demak dan Mataram serta negara-negara yang lebih kecil sesudahnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara. Berdasar pasal 1 konvensi Montevideo 27 December 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan dengan Negara lain. Demak telah mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara Islam dengan konstitusi negara berdasar syariat Islam. Hukum-hukum Islam diberlakukan baik pada pejabat maupun rakyat jelata. Pengadila syariat didirikan untuk menyelesaikan berbagai
5
Edisi 4 / Maret 2017
SYAMINA masalah yang timbul di masyarakat. Rakyat diperintahkan untuk menjalankan ibadah dengan contoh dan teladan dari pemimpin dan ulama. Demak juga menjalankan politik luar negeri, dengan melakukan Jihad, mengirim pasukan Angkatan Lautnya melawan penjajah kafir Portugis di Malaka. Dan melakukan pembebasan-pembebasan wilayah di tanah Jawa. Demak juga melakukan upaya memakmurkan rakyatnya dengan berbagai upaya meningkatkan ekonomi baik dalam bidang pertanian, perdagangan, industri dan hasil laut. Negara Islam Mataram merupakan negara Islam yang besar di Tanah Jawa setelah era Demak. Mataram telah mendirikan peradilan Surambi yang pelaksanaannya berdasarkan syariat Islam. Islam dijadikan sebagai konstitusi negara. Mataram melakukan kebijakan politik luar negeri dengan melakukan jihad, dengan mengirim pasukan infanteri melawan penjajah kafir Belanda di Batavia. Berdasarkan fakta sejarah, negara Islam telah ada dan berdaulat di Tanah Jawa pada tahun 1500-1700 M. Jadi bila ada ide atau wacana yang menginginkan kembalinya negara Islam di tanah Jawa (sebagaimana di masa lampau) bukan sebuah ilusi atau utopia, tapi merupakan upaya mengikuti jejak nenek moyang dan bagian dari upaya menghidupkan kearifan lokal.
6
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
NEGARA ISLAM DI JAWA 1500-1700
Muqaddimah Tulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat sejarah era praIslam. Bahkan De Graaf menyebut bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah Jawa dan Bali yang diterbitkan dalam bahasa Belanda di abad 20 yang meneliti dan mengulas peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang datang dari India. Pandangan sejarah ala Barat lebih menonjolkan uraian-uraian ilmiah tentang masa Hindu-Jawa.1 Penulisan sejarah Indonesia mengecilkan peran Islam dan politik Islam dengan berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan kejayaan politik negara-negara sebelum negara Islam berdiri di Nusantara. Hal demikian wajar karena selama ini hampir di semua daerah, penjajah Belanda selalu berhadapan dengan ulama dan pemimpin Islam ketika berusaha menancapkan kepentingan penjajah. Para ulama dan pemimpin Islam selalu mengumandangkan seruan jihad untuk mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh orang-orang kafir Belanda. Upaya deislamisasi sejarah Islam di Indonesia disengaja oleh penjajah Belanda sebagai pionir penulis sejarah Nusantara, sebagai salah satu upaya untuk mencegah kebangkitan kembali institusi politik yang berdasarkan Islam yang merepotkan bahkan mengancam kepentingan penjajahan. Dengan kenyataan itu para orientalis Belanda memandang Islam sebagai ancaman terhadap keberlangsungan misi penjajahan. Sebagaimana pandangan seorang ahli strategi Belanda, Cristian Snouck Hurgronje yang memandang Islam sebagai faktor penghalang misi penjajahan terutama yang disebutnya sebagai Islam Politiek.2 Oleh karena itu Belanda berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan politik Islam dalam mengatur masyarakat Indonesia. Di sisi lain didorong penelitian dan penulisan sejarah kegemilangan peradaban pra-Islam, khususnya kejayaan kerajaan Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan. Seorang Sejarawan Belanda, De Graaf mengakui bahwa selama hampir satu abad 1 2
Lihat; De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Grafitipers Jakarta, 1985. h.2-3 K. Subroto, Strategi Snouck Mengalahkan Jihad di Nusantara, Laporan Khusus Edisi 1 / Januari 2017
“
Belanda berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan politik Islam dalam mengatur masyarakat Indonesia. Di sisi lain didorong penelitian dan penulisan sejarah kegemilangan peradaban praIslam, khususnya kejayaan kerajaan Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan.”
7
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
“
Selama hampir satu abad telah banyak waktu dan biaya dihabiskan (pemerintah Hindia Belanda) untuk mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunanbangunan kuno pra-Islam, yaitu candi-candi, tetapi penyedikan terhadap bangunan kuno zaman Islam diabaikan.” — De Graaf
telah banyak waktu dan biaya dihabiskan (pemerintah Hindia Belanda) untuk mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunan-bangunan kuno praIslam, yaitu candi-candi, tetapi penyedikan terhadap bangunan kuno zaman Islam diabaikan. Maka untuk menyeimbangkan hal itu perlu diadakan penelitian secara ilmiah terhadap naskah-naskah Jawa dan Belanda serta penyelidikan kepurbakalaan (era Islam) di bekas kediaman raja, masjid, tempat pemakaman, kelenteng Cina, pemukiman-pemukiman kuno serta penggalian dan penyelidikan tanah.3 Kemunduran dan jatuhnya dinasti Shiwa-Budha Majapahit pada kuartal pertama abad ke-16 dan berdirinya negara Islam Demak berarti akhir dari sebuah peradaban tua dan babak baru peradaban Islam. Kemunculan Islam sebagai sebuah institusi politik tidak berlangsung secara tiba-tiba. Banyak tahap yang sudah dilalui dalam kurun waktu yang panjang sejak kejayaan Majapahit. Bahkan sebelum itu para wali, ulama, habaib dan juru dakwah bahu-membahu memperkenalkan Islam sebagai solusi kehidupan duniawi maupun ukhrowi. Para penyebar Islam berasal dari Timur Tengah, India dan China disamping para juru dakwah lokal setelahnya. Saat kejayaan Majapahit, muslim menjadi bagian dari pilar kejayaan itu. Dan saat peradaban Syiwa-Budha sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena tidak mampu menjawab tantangan dan berbagai problem yang muncul, peradaban Islam telah siap menggantikan dan meneruskan perannya sebagai sebuah institusi politik yang memimpin pembangunan secara fisik dan non fisik di Jawa dan Nusantara pada umumnya. Islam menjadi dominan di Jawa dengan beberapa tahapan. Komunitas Pedagang Islam dari berbagai bangsa yang telah lama membangun pengaruh di kota-kota pelabuhan pantai utara membuahkan hasil yang memuaskan, kemudian mengambil alih kendali wilayah pantai utara tersebut dari penguasa lokal pengikut dari ShiwaBudha Majapahit. Mereka mengakui kekuasaan raja Majapahit dan menjadi vasal (negara bagian/kadipaten) Majapahit. Puncaknya, runtuhnya Majapahit setelah lemah dan kalah dalam perang melawan adipadi Keling dan kemudian Demak sekitar tahun 1527. Setelah Majapahit Runtuh, Raden Fatah sebagai adipati Demak kemudian mendeklarasikan diri sebagai Sultan, pemimpin sebuah Negara Islam Pertama di Jawa, Demak Bintoro.4 Ekonomi Kerajaan Majapahit di pedalaman Jawa Timur berbasis pertanian, khususnya padi. Komunitas perdagangan Jawa dan luar negeri (terutama India dan Cina), telah ada di beberapa kota pelabuhan di pantai utara selama berabad-abad, fasilitas pelabuhan menawarkan rute perdagangan internasional dari India dan China ke Kepulauan Rempah-rempah. Beberapa pusat perdagangan komersial di Pantai Utara Jawa juga memiliki kapal laut untuk perdagangan ke India, Semenanjung Melayu, Cina, Filipina dan negara-negara di kawasan sekitarnya.5 Pada saat Islam berkembang di kepulauan Indonesia, Bandar-bandar sepanjang pantai pulau Jawa merupakan tempat yang sangat menarik bagi para pedagang
8
3 4 5
De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, op.cit. h.11 Dr H. J. De Graaf And Tiieodore G. Th. Pigeaud, Islamic States In Java 1500-1700, Springer-Clence Business Media, B.V. h.3 De Graaf And Pigeaud, Islamic States In Java, op.cit.h.6
SYAMINA internasional. Bandar-bandar itu menjadi pangkalan, tempat transit untuk mengisi perbekalan dan menjadi tempat transaksi perdagangan berbagai jenis barang. Di situ para pelaut membeli bekal berupa beras dan air bersih untuk perjalanan berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dengan menggunakan kapal layar. Melimpahnya persediaan beras dan hasil-hasil pertanian serta suburnya tanah membuat bandar-bandar di Jawa saat itu menjadi sangat menarik bagi para pedagang dan pelaut. Bandar-bandar Jawa juga menjadi tempat penimbunan (gudang) rempah-rempah.6 Suma Oriental yang ditulis seorang informan portugis, Tome Pires, melukiskan keadaan Jawa sekitar tahun 1515. Menurutnya perpindahan kekuasaan politik ke tangan orang Islam terjadi dengan dua cara; Pertama: Bangsawan-bangsawan Jawa dengan sukarela memeluk Islam di daerah kekuasaannya dan tetap berkuasa, dan kemudian pedangang-pedagang Islam dan para ulama memperoleh kedudukan tinggi. Kedua: orang-orang Islam dari berbagai suku bangsa bertempat tinggal di pemukiman tersendiri di bandar-bandar dan membuat benteng pertahanan di pemukiman tersebut. Dari benteng tersebut juga diadakan serangan terhadap pemukiman orang-orang kafir untuk menguasai pemerintahan Bandar.
Edisi 4 / Maret 2017
“
Dalam kajian ilmu Tata Negara modern, dikenal 2 bentuk negara atau pemerintahan yaitu; monarchie (kerajaan) dan republik.”
Cara pengislaman yang pertama yang awalnya dipakai untuk pengislaman di pantai-pantai utara Jawa timur, misalnya di Tuban. Cara kedua terjadi di Bandarbandar pantai utara Jawa Tengah seperti Demak dan Jepara.7 Tulisan ini disusun menjadi dua episode untuk memudahkan dalam memahami karakteristik negara Islam yang serupa dalam setiap episode. Misalnya episode pertama; negara Islam Kesultanan Demak dan negara-negara yang lebih kecil sesudahnya mempunyai karakteristik yang hampir sama. Berdasar pasal 1 konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan dengan Negara lain.8 Maka dalam tulisan ini akan dibahas apakah kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu (tahun 1500 – 1700) memenuhi syarat untuk disebut sebagai sebuah negara atau negara Islam. Dalam kajian ilmu Tata Negara modern, dikenal 2 bentuk negara atau pemerintahan yaitu; monarchie (kerajaan) dan republik. Duguit membedakan antara republik dan monarchie berdasarkan bagaimana kepala negara diangkat. Jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk pemerintahan disebut monarchie, pelaksana kekuasaan negara disebut raja. Jika kepala negara dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu maka negaranya disebut republik, pelaksana kekuasaan negara disebut Presiden.9 6 7 8 9
De Graaf, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke1-16, Grafitipers Jakarta, cetakan ketiga 1989. h.24-25 Ibid. h.28-29 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit : RajaGrafindo, 2003), hal. 3 Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.5, (Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 167 lihat juga; Hans Kelsen, General Theory of Law and State , (New York: Russell & Russell, 1961), hlm. 283
9
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Saat itu, bentuk negara yang dikenal di seluruh dunia adalah bentuk kerajaan, sehingga yang dipakai negara-negara Islam saat itu adalah bentuk negara kerajaan. Sampai sekarangpun sistem ini masih dipakai di banyak negara di berbagai belahan dunia, misalnya Brunei Darussalam, Oman, Qatar, Saudi Arabia, Vatikan, dan lainlain.
Episode Pertama Negara Islam Kesultanan Demak Bintoro Kemunculan Kesultanan Demak Kesultanan Demak, pada awalnya hanyalah sebuah perkampungan di desa Glagahwangi yang dibangun di hutan Bintara. Singkat cerita, desa Glagahwangi telah berubah menjadi sebuah kadipaten di bawah Majapahit yang ramai dan diberi kebebasan menjalankan ibadah serta menyebarkan agama Islam. Kemudian para Walipun sepakat untuk mendirikan Masjid Agung guna menopang dan mengembangkan kadipaten Bintara. Setelah Masjid Agung selesai dibangun, para Wali bermusyawarah untuk menentukan program dan fase perjuangan lebih lanjut. Mereka berencana mendirikan Negara Islam dengan merumuskan tiga pokok pikiran, yaitu: tentang dasar negara Islam, tentang pemegang kekuasaan negara Islam, dan tentang rencana dan strategi mencapai negara Islam. Di era Kerajaan Majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar asing maka pemerintah Kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar. Alasannya, pegawai muslim pada masa itu kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan beragama Islam. Mengenai rancangan dan strategi mencapai negara Islam, para Wali mempunyai siasat yang matang dan kongkrit. Setelah Kerajaan Majapahit dikalahkan oleh Prabu Girindrawardana dari Keling Kediri, maka Kadipaten Demak Bintara menyiapkan strategi untuk menyerang Majapahit yang telah dikuasai raja Keling Kediri. Setelah Majapahit kalah, maka kadipaten Demak resmi memproklamasikan diri sebagai kesultanan Islam dengan Raden Fatah sebagai sultannya. Pada tahun 1481 M Setelah pasukan Majapahit dapat dikalahkan oleh pasukan Kadipaten Demak sesuai saran para Walisongo, Raden Fattah menyerahkan pemerintahan sementara Kerajaan Majapahit, kepada Sunan Giri dalam beberapa saat, sambil melihat perkembangan dampak dari jatuhnya pemerintahan Prabu Girindrawardhana dan sekaligus menunggu saat yang tepat untuk penobatan Raden Fattah menjadi Sultan Kasultanan Demak Bintoro. Menurut pendapat Graaf, dengan tanpa kesulitan Raden Fattah berhasil mengalahkan Majapahit. Untuk memusnahkan segala bekas kekafiran dan penolak
10
SYAMINA bala, maka Sunan Giri memegang pimpinan tertinggi terlebih dahulu selama 40 hari, baru kemudian diserahkan kepada Raden Fattah Padahari Senin (Soma) Kliwon malam Selasa Legi tanggal 11 malam 12 Rabiul Awal 860 H/ 16 Mei 1482 M dengan sengkalan “Warna Sirna Catur Nabi”, maka secara resmi kadipaten Demak berubah menjadi Kesultanan Demak dan Raden Fattah atau Adipati Bintoro dilantik menjadi Sultan Demak oleh Sunan Ampel.10
Penetapan Dasar Negara Tentang dasar negara Islam dapat disingkap dan simpulkan dari berita-berita dalam Walisana dan Babad Demak, yaitu tentang perdondi kiblat (perselisihan paham para Wali tentang arah kiblat) Masjid Demak. Menurut kitab Tembang Babad Demak, peristiwa itu dilukiskan sebagai berikut: Takir lemungsir pritgantil/ wus pinasang kinancingan/ datan antara usuke/ lawan reng wus pinakon/ mastaka gya pinasang/ wus ngadeg sengkalanipun/ lawang trus gunaning janmal// nulya sagung para Wali/ amawes leresing keblat/ nanging pradondi rembuge/ ana kang ngoyong mangetan/ sawiji datan rembag/ mesjid ingoyong mangidul/ daredah rembag ing wuntat. Menurut Atmodarminto terhadap peristiwa ini beberapa ahli babad Jawa menyatakan bahwa Masjid dalam cerita ini harus diartikan secara majazi (kiasan/ sanepan) bukan Masjid hakiki. Adapun yang dimaksud tidak lain ialah Negara Islam, sedang kiblat yang diperselisihkan itupun bukan kiblat hakiki tetapi kiasan yang berarti pedoman atau dasar-dasar Negara Islam.
Edisi 4 / Maret 2017
“
Menurut Atmodarminto dan didukung Widji Saksono, rekaman peristiwa itu mengandung isyarat, bahwa wali songo meyakini supremasi hukum Islam, yaitu suatu negara harus berpegang pada ajaran Islam murni (mustika Islam) yang berkiblat di Mekah, yaitu alQur’an dan Hadis Nabi.”
Sementara itu, mustaka (puncak) melambangkan nilai-nilai yang luhur, suci dan tertinggi di atas nilai-nilai lainnya (top qualities). Menurut Atmodarminto dan didukung Widji Saksono, rekaman peristiwa itu mengandung isyarat, bahwa wali songo meyakini supremasi hukum Islam, yaitu suatu negara harus berpegang pada ajaran Islam murni (mustika Islam) yang berkiblat di Mekah, yaitu al-Qur’an dan Hadis Nabi.11
Berlakunya Hukum Islam Kerajaan Demak tidak hanya mengatur masalah pernikahan dan ibadah murni saja, melainkan juga masalah waris, muamalah, jinayah dan siyasah (pidana dan politik), hukum acara peradilan dan lain-lain, dimana aturan-aturan tersebut didasarkan pada hukum Islam. Tidak sebagaimana konsepsi Snouck Hurgronje yang memisahkan urusan ibadah dan politik.12 Untuk pelaksanaan hukum Islam, Sultan Demak menyusun kitab kumpulan undang-undang dan peraturan pelaksanaan hukum yang diberi nama Salokantara.
10 11 12
Subroto, Kesultanan Demak Negara Yang Berdasar Syariat Islam Di Tanah Jawa, SYAMINA Edisi II Januari 2016, h.30-31 lihat juga: M. Khafid Kasri & Pujo Semedi. Op.Cit. h 65-68 Naili Anafah. Op.Cit. h 4. Atmodarminto, Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik KeIslaman dan Keagamaan (Jakarta: Milenium Publiser, 2000), hlm. 45-62. Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hlm. 127-130. Lihat tulisan kami sebelumnya : Strategi Snouck Mengalahkan Jihad di Nusantara, Laporan Khusus Edisi 1 / Januari 2017
11
Edisi 4 / Maret 2017
SYAMINA Kepala mahkamah agung disebut jeksa dalam kitab hukum tersebut. Nama Sunan Kalijaga dimungkinkan berhubungan dengan kata qadhi (hakim) dalam Islam.
“
Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam merupakan undang-undang resmi kerajaan Demak yang berisi mengenai ketentuan perdata, pidana, dan hukum acara yang bersumber pada tata hukum Islam dan kemudian dijadikan salah satu sumber hukum kerajaan–kerajaan berikutnya (Pajang dan Mataram).”
Setelah Kesultanan Islam Demak berdiri, para Wali menempati jabatan sebagai pujangga, ngiras kinarya pepunden, jaksa yang mengku perdata atau sebagai karyawan terhormat, termasuk jaksa penjaga perdata atau undang-undang. Para Wali selalu mengawasi Sultan dalam memegang mandat menjalankan roda kepemimpinannya. Khusus Sunan Giri, beliau dipanggil dengan sebutan panatagama sekaligus memangku jabatan sebagai penghulu. Ia menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman-pedoman tatacara di keraton. Dalam hal ini Sunan Giri dibantu oleh Sunan Kudus yang juga ahli dalam soal perundang-undangan peradilan, pengadilan dan mahkamah termasuk hukumhukum acara formal. Mereka merumuskan masalah siyasah jinayah (pidana) yang meliputi: had, qisas, ta’zir termasuk perkara zina dan aniaya, ’aqdiyah (perikatan, kontrak sosial) syahadah (persaksian, termasuk perwalian), masalah imamah (kepemimpinan), siyasah (politik), jihad (perang sabil), kompetisi dan panahan, janji (nadzar), perbudakan, perburuhan, penyembelihan, ’aqiqah (jw: kekah), makanan, masalah bid’ah dan lain-lain. Selanjutnya, masalah munakahat (pernikahan), merupakan tugas Sunan Giri dan Sunan Ampel serta lembaga-lembaga sosialnya. Mereka bertugas menyusun aturan perdata/adat istiadat dalam keluarga dan sebagainya, yang meliputi soal dan pasal-pasal tentang khitbah (peminangan), nikah-talak-rujuk, pembentukan usrah (unit keluarga) dan adat istiadatnya termasuk hadanah (pengasuhan), perwalian, pengawasan serta fara`id (waris). Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam merupakan undang-undang resmi kerajaan Demak yang berisi mengenai ketentuan perdata, pidana, dan hukum acara yang bersumber pada tata hukum Islam dan kemudian dijadikan salah satu sumber hukum kerajaan–kerajaan berikutnya (Pajang dan Mataram). Dalam naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam dijelaskan bahwa hukum yang berlaku di kerajaan Demak berdasarkan hukum Islam dengan berpegang pada al-Qur’an dan Hadis. Hal ini ditegaskan dalam pembukaan undang-undang dan sering juga ditegaskan kembali pada bagian yang lain dengan redaksi kata yang berbeda. Disebutkan dalam naskah Serat AnggerAngger Suryangalam: “sang ratu puniko dene anrapaken ukumullah” “dosane tan anglakokan sak pakeme aksarane, angowahi sapangandikaning Allah tangala, kang tinimbalaken dawuhing kangjeng Nabi kito Mukammad salalu ngalaihi wasalam”.
12
Sedangkan dalam Serat Suryangalam disebutkan “ukumullah kang den gawe pangilon” (hukum Allah dijadikan sebagai pedoman).
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Serat Angger-Angger Suryangalam berisi tata hukum Islam yang bersumber pada kitab Anwar, sesuai dengan konsep formulasi Pangeran Adipati Ngadilaga (Senopati Jinbun atau Raden Fatah) yang dituangkan dalam undang-undang oleh Raden Arya Trenggono (Sultan Demak III) yang saat itu masih menjabat sebagai jaksa, undangundang ini kemudian disebut sebagai Undang-Undang Jawa Suryangalam, undangundang ini kemudian dijadikan sebagai salah satu sumber hukum kerajaan-kerajaan berikutnya (Pajang dan Mataram).13
Kejayaan Demak dengan Foreign Policy-nya Kesultanan Islam Demak, menjadikan dirinya sebagai tonggak perjuangan untuk menyebarkan agama Islam pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16. Untuk itu, kesultanan Demak meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke wilayah barat Pulau Jawa, melainkan juga ke wilayah timur pulau tersebut, bahkan juga ke daerah-daerah luar Jawa. Pada tahun 1527 tentara Demak menguasai Tuban, tahun berikutnya menguasai Wirosari (Purwodadi, Jateng), kemudian tahun selanjutnya menyerang Gagelang (Madiun sekarang), kemudian Mendangkungan (sekarang daerah Blora, 1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan (1542), Wilayah Gunung Penanggungan (1543), Memenang (nama kuno Kerajaan Kediri, 1544), dan Sengguruh (1545).14
Pada waktu jatuhnya Malaka ke tangan orang Portugis pada tahun 1511 Masehi, Demak justru mencapai kejayaannya. Pati Unus (Adipati Yunus) salah satu sultan Demak, sangat giat memperluas dan memperkuat kedudukan Kerajaan Demak sebagai negara Islam. Pada tahun 1513 ia bahkan memberanikan diri untuk memimpin sebuah armada besar menggempur Malaka untuk mengusir orang Portugis.15 Ketika Demak sebagai kota pelabuhan sedang mengalami kejayaan politis, agama, kebudayaan dan perdagangan, penguasa sangat memperhatikan penyebaran agama. Kebesaran dan luasnya pengaruh Demak tentu ditopang oleh sebuah kekuatan yang sangat solid, diantara penopang kekuatan dan disegani dari sisi pengaruh adalah Wali Songo. Peranan Wali Songo memang sangat sentral di Demak dan Islamisasi Jawa, para wali tersebut memiliki otoritas temporal dan spiritual yang sangat kuat. 13 14 15
Naili Anafah, Legislasi Hukum Islam Di Kerajaan Demak (Studi Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam), IAIN Walisongo Semarang, 2011. Ensiklopedi Islam, Jilid 1, Jakarta: Departemen Agama, 1993, hlm. 297-299 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004. h. 61
13
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
“
Selain perluasan wilayah tentu masalah kejayaan tidak hanya dilihat dari luasnya wilayah atau daerah yang takluk, jauh daripada itu penyebaran Islam sebagai tonggak perjuangan tentu harus diakui sebagai keberhasilan Demak sebagai sebuah kerajaan yang merakyat. Wali songo sebagai sentral dari penyebaran Islam di Jawa memiliki peran yang sangat strategis dalam penyebaran agama Islam dan kokohnya pondasi awal kesultanan Demak, meskipun keberadaan para wali di luar ring pemerintahan.”
14
Perluasan wilayah dan mitra kerajaan pun kian bertambah di sepanjang pantai utara Jawa, hal ini berkat kebesaran nama para Wali Songo. Di sebelah barat berdiri dua kerajaan Islam yang cukup berpengaruh, yakni Cirebon dan Banten. Dua kerajaan ini mampu menggeser dominasi kerajaan Padjajaran. Pendiri dua kerajaan tersebut adalah salah seorang dari sembilan wali yakni Sunan Gunung Djati. Selain perluasan wilayah tentu masalah kejayaan tidak hanya dilihat dari luasnya wilayah atau daerah yang takluk, jauh daripada itu penyebaran Islam sebagai tonggak perjuangan tentu harus diakui sebagai keberhasilan Demak sebagai sebuah kerajaan yang merakyat. Wali songo sebagai sentral dari penyebaran Islam di Jawa memiliki peran yang sangat strategis dalam penyebaran agama Islam dan kokohnya pondasi awal kesultanan Demak, meskipun keberadaan para wali di luar ring pemerintahan.16 Sebuah laporan Portugis menyatakan, bahwa diantara raja-raja Islam, raja Kesultanan Demaklah yang paling gigih dan terus-menerus memerangi orang-orang Portugis, yang dipandang sebagai orang Kafir. Seperti ketika Malaka jatuh ke tangan kekuasaan Portugis pada tahun 1511, Raden Fatah mengirimkan putranya sendiri, Adipati Unus untuk memimpin pasukan Islam dari Demak guna menghancurkan kedudukan Portugis di Malaka. Peristiwa penting lainnya, pada tahun 1527, Fatahillah (seorang ulama terkemuka dari Pasai yang menikah dengan adik Sultan Trenggono) diutus oleh Sultan Trenggono untuk mengislamkan Jawa Barat. Akhirnya, ia berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Setelah kemenangan itu, maka nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta.17 Di bawah kekuasaan Sultan Trenggono pula, sisa Keraton Mataram Kuno di pedalaman Jawa Tengah dan Singasari Jawa Timur bagian selatan berhasil dikuasai olehnya.18 Sultan Trenggono juga berhasil membawa Islam masuk ke daerah Jawa Barat.19 Ia memang disebut-sebut sebagai sultan yang membawa Kesultanan Demak menuju masa kejayaan.
16 17 18 19
Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004 h. 6 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2010, hlm. 66 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga; Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004, hlm. 36 Ahmad al-‘Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbarmedia, 2003, hlm.450.
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Di Pulau Borneo, Kalimantan, Kesultanan Demak juga berhasil memberikan pengaruhnya sampai ke Kesultanan Banjar. Sebuah sumber menyebutkan bahwa calon pengganti Raja Banjar pernah meminta agar sultan Demak mengirimkan tentara guna menengahi masalah pergantian raja Banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh Jawa pun masuk Islam dan oleh seorang ulama, pewaris itu diberi nama Islam. Tersebut pula bahwa selama masa Kesultanan Demak, Raja Banjar setiap tahun mengirim upeti kepada kesultanan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasaan beralih kepada Raja Pajang di Jawa Tengah. Pengaruh Kesultanan Demak di Banjar membuka peluang untuk pengembangan Islam di kawasan tersebut. Para sultan setempat menjadi pelopor utama berkembangsuburnya Islam di Kalimantan. Pada masa-masa selanjutnya Kerajaan Kotawaringin menjadi Islam (1620), demikian pula Kesultanan Kutai (1700).20
Negara Islam Jepara Jepara untuk pertama kalinya mengalami perkembangan pesat pada masa pemerintahan Arya Timur. Pada tahun 1470 Jepara masih merupakan pelabuhan/ wilayah yang tidak berarti dan hanya memiliki penduduk antara 90 sampai 100 orang. Setelah Pati Unus memegang tampuk pemerintahan menggantikan kedudukan Patih Jepara, penguasa baru ini berhasil menarik banyak orang dan memperluas wilayahnya sampai ke tanah sebrang, yakni sampai ke daerah Bangka Tanjungpura, Pulau Laue dan sejumlah pulau lainnya. Demikian keterangan Tome Pires yang selanjutnya mengatakan, Pati Unus telah berhasil membuat negerinya menjadi negeri besar. Di samping itu, Tome Pires juga memujinya sebagai Raja Jawa yang paling terkenal karena kekuatanya dan pergaulannya yang baik dengan rakyatnya. Bahkan Tome Pires menyebut Pati Unus hampir sebesar Raja Demak, sekalipun Jepara berada dibawah Demak, yang mempunyai lebih banyak penduduk dan negeri. Pada waktu itu Jepara telah berhasil mempunyai kedudukan yang baik dalam lintas perdagangan Nusantara. Dengan terus terang Tome Pires mengakui, kota 20
Ensiklopedi Islam, Jilid 1, Jakarta: Departemen Agama, 1993, hlm.299
15
Edisi 4 / Maret 2017
“
Keberadaan Portugis di Malaka sangat menggangu aktifitas perdagangan dan pelayaran pedagangpedagang Islam, termasuk Demak, lebih-lebih karena ekspansi Portugis selain didorong oleh motif ekonomi komersial juga didorong oleh misi agama yaitu meneruskan Perang Salib melawan orangorang Islam.”
SYAMINA Jepara mempunyai sebuah teluk dengan sebuah pelabuhan yang indah. Di depan pelabuhan terdapat tiga buah sungai, di mana kapal-kapal besar dapat memasukinya. Tome Pires juga memuji pelabuhan Jepara sebagai pelabuhan yang paling baik dari sekian banyak pelabuhan yang pernah diceritakannya dan berada dalam keadaan yang paling baik. Setiap orang yang akan pergi ke Jawa dan Maluku akan singgah di Jepara.21 Pada abad XVI Demak merupakan kerajaan Islam terkuat di pulau Jawa dan memegang hegemoni di antara kota-kota pantai Utara Jawa. Namun secara praktis kota-kota itu tetap berdiri sendiri. Di masa jaya Kesultanan Demak, Jepara juga menjadi tempat tinggal para pedagang dan pelaut, Jepara sebagai pusat penyebaran agama Islam dan pusat kekuasaan politik, Jepara juga memegang peranan penting dalam bidang perdagangan. Perdagangan yang dijalankan Demak dan Jepara ialah beras dan bahan pangan yang lainnya. Jepara menjadi pelabuhan penting setelah Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511. Malaka dijadikan sebagai pelabuhan peristirahatan dan perbekalan bagi kapal-kapal Portugis. Selain itu juga dijadikan sebagai pos militer untuk melindungi perdagangan mereka. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menimbulkan pertimbangan-pertimbangan baru dalam bidang politik dan ekonomi pada bagian pertama abad 16. Perkembangan kerajaan-kerajaan Islam baru tidak hanya pusat politik, tetapi juga memegang peranan penting dalam perdagangan dan rempah-rempah serta bahan pangan lainnya. Keberadaan Portugis di Malaka sangat menggangu aktifitas perdagangan dan pelayaran pedagang-pedagang Islam, termasuk Demak, lebih-lebih karena ekspansi Portugis selain didorong oleh motif ekonomi komersial juga didorong oleh misi agama yaitu meneruskan Perang Salib melawan orang-orang Islam.22 Masa-masa keemasan dan kemakmuran Demak mulai pudar pada saat Kematian Sultan Trenggana pada tahun 1546. Sesudah pertempuran berdarah antara para calon pengganti raja di ibu kota Demak, para penguasa kerajaan yang terkemuka berkumpul di Jepara untuk memusyawarahkan hari depannya. Dengan demikian di Jawa mulai mendirikan kerajaan Kalinyamat, kota Kalinyamat kira-kira 18 km dari Jepara masuk ke pedalaman, ditepi jalur ke Kudus, pada abad ke-16 menjadi tempat kedudukan raja-raja Kota Pelabuhan. D.H. Burger mengatakan bahwa meskipun daerahnya kurang subur, namun di wilayah kekuasaan Ratu Kalinyamat terdapat empat kota pelabuhan sebagai pintu gerbang perdagangan di pantai utara Jawa Tengah bagian timur yaitu Jepara, Juwana, Rembang, dan Lasem. Oleh karena itu wajar apabila Ratu Kalinyamat dikenal sebagai orang yang kaya raya. Kekayaannya diperoleh melalui perdagangan Internasional, terutama dengan Malaka dan Maluku. Jepara merupakan penyuplai beras yang dihasilkan daerah pedalaman. Selain berperan sebagai pelabuhan transit juga menjadi pengekspor gula, madu, kayu, kelapa, kapuk, dan palawija. Apalagi Ratu Kalinyamat tidak hanya sebagai penguasa politik, tetapi juga sebagai pedagang.
16
21 Panitia Penyusun Hari Jadi Jepara Pemerintah kabupaten Tingkat I, 1998, 11-12 22 Tim Penyusun Naskah Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat, Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat Sebuah Sejarah Ringkas (Jepara:1991), 32.
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Kemasyhuran kepemimpinan Ratu Kalinyamat sampai ke seluruh penjuru Nusantara, hal ini didasarkan dari berita Portugis yang melaporkan bahwa ada hubungan antara Ambon dan Jepara. Pemimpin-pemimpin “Persekutuan Hitu” di Ambon ternyata beberapa kali meminta bantuan Jepara melawan orang Portugis dan juga melawan suku yang lain yang masih satu keturunan, yaitu orang-orang Hative. Betapa besar kekuasaan Ratu Kalinyamat nampak dari usahanya menyerang orang Portugis di Malaka pada tahun 1550 atau 1551 yang kemudian di ulanginya pada tahun 1574.
Menurut De Couro pada tahun 1550 Raja Johor menulis sepucuk surat kepada Ratu Kalinyamat, mengajak Ratu Jepara itu melakukan jihad melawan orangorang Portugis di Malaka. Dalam surat itu Raja Johor juga menyatakan, di Malaka telah terjadi kekurangan bahan pangan. Ratu Kalinyamat menjawab seruan itu dengan mengirim sebuah armada yang kuat. Dalam serangan tersebut telah muncul 200 buah kapal besar dari negeri-negeri Islam yang telah bersekutu menyerang Malaka, 40 buah di antaranya berasal dari Jepara, memuat 4000 sampai 5000 orang Prajurit. Armada itu dipimpin seorang Panglima Jawa yang disebut dengan nama julukan “Sang Adipati”, seorang lelaki yang gagah berani.23
Negara Islam Cirebon Kerajaan Cirebon adalah sebuah Kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 masehi, dan merupakan pelabuhan penting di jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan “jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di
“
Menurut De Couro pada tahun 1550 Raja Johor menulis sepucuk surat kepada Ratu Kalinyamat, mengajak Ratu Jepara itu melakukan jihad melawan orangorang Portugis di Malaka.”
17 23
Amin Budiman, Komplek Makam Ratu Kalinyamat, 35.
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
“
Perbedaan lain dengan para Walisongo ialah bahwa Syarif Hidayatullah selain sebagai ulama juga umara’, ia juga sebagai Sultan di Cirebon. Berbagai bukti kejayaan kepemimpinannya antara lain Masjid Merah Panjunan (+ 1480) dan masjid Agung Sang Cipta Rasa (1500).”
Banten dan Cirebon adalah kawasan di Jawa Barat yang pertama kali Islam diperkenalkan. Penduduknya sebagian besarnya adalah pedagang berdarah campuran. Menurut sumber naskah Jawa, Cirebon diislamkan oleh salah seorang wali songo yang bernama Sunan Gunung Jati. Setelah mendirikan komunitas Muslim pertama di Banten, Nurullah (Sunan Gunung Jati) kemudian memerintah juga di Cirebon. Setelah kematian Sultan Trenggana pada tahun 1546, Nurullah di tahun 1550-an memutuskan untuk pindah ke Cirebon di mana ia hidup sebagai ulama sampai kematiannya pada tahun 1570. Pengaruh spiritualnya di Jawa Barat sangat besar, meskipun tidak sebesar pengaruh Sunan Giri di Gresik Jawa Timur. Era Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, dapat dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon. Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan hukum Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah. Salah satu di antara kontribusi Syarif Hidayatullah adalah bahwa ia menjadi salah seorang dewan Walisongo di Jawa. Syarif Hidayatullah mendapatkan tugas berdakwah di Cirebon (Jawa Barat), Banten, dan Sunda Kelapa (Jakarta). Tugas itu digambarkan sebagai berikut; “Kanjeng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana”. (Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca matera, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan).24 Perbedaan lain dengan para Walisongo ialah bahwa Syarif Hidayatullah selain sebagai ulama juga umara’, ia juga sebagai Sultan di Cirebon. Berbagai bukti kejayaan kepemimpinannya antara lain Masjid Merah Panjunan (+ 1480) dan masjid Agung Sang Cipta Rasa (1500). Syarif Hidayatullah pernah beberapa kali menikah; pernikahan pertama dengan Retna Pakungwati (Putri Pangeran Cakrabuana) dikaruniai dua anak, yaitu: Ratu Ayu (istri Fatahillah) dan Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad Arifin); pernikahan kedua dengan Ong Tien (Putri Cina, berganti nama Rara Sumanding) tidak berlangsung lama, karena Ong Tien meninggal dunia; pernikahan ketiga dengan Nyi Mas Retna Babadan (Putri Ki Gedeng Babadan); keempat dengan Dewi Kawunganten (Putri Ki Gedeng Kawunganten, Banten) dikaruniai dua anak, yaitu:; Ratu Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I); kelima dengan Nyi Mas Rara
18 24
Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah, Tangerang : Transpustaka, 2011. hlm. 90.
SYAMINA Kerta (Putri Ki Gedeng Jatimerta) dikaruniai dua anak: Pangeran Jaya Lelana dan Pangeran Brata Lelana.25 Pada masa itu, Cirebon dikenal juga sebagai “Jalur Sutra”‟. Adanya Pelabuhan Muara Jati yang berada di lalu lintas utama kawasan tersebut telah menjadi arena perdagangan internasional. Pelabuhan yang ramai dan jalur utama transportasi yang menghubungkannya dengan wilayah-wilayah lain menyebabkan kota tersebut tampil dengan keterbukaan dan menerima, atau paling tidak, menjadi tempat persinggahan bagi setiap budaya, gerakan, dan pemikiran yang melintasi kawasan tersebut.26
Syariat Islam di Negara Islam Cirebon Di Kerajaaan Cirebon sudah ada undang-undang hukum Islam yang dipakai yang dikenal dengan Pepakem. Di Cirebon, Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang menteri itu diputuskan menurut undang-undang Islam Jawa. Kitab hukum yang digunakan, yaitu Pepakem Cirebon, yang merupakan kumpulan macam-macam hukum Jawa-kuno memuat kitab hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan Adilulah.27
Negara Islam Banten
Edisi 4 / Maret 2017
“
Di Kerajaaan Cirebon sudah ada undangundang hukum Islam yang dipakai yang dikenal dengan Pepakem. Di Cirebon, Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon.”
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, diaspora para pedagang muslim terjadi, sebagian dari mereka pindah ke Banten. Keramaian Banten bertambah, juga karena para pedagang Eropa yang datang dari arah ujung selatan Afrika dan Samudera Hindia mau tidak mau harus melalui Selat Sunda. Di samping itu, pelabuhan Banten pun dilalui oleh kapal-kapal dagang yang datang dari dan menuju ke arah barat laut melalui Selat Bangka. Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, diduga sudah memiliki hubungan dengan dunia luar sejak awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan yang dikunjungi para saudagar dari luar. Ketika Islam dibawa oleh para pedagang Arab ke timur, Banten telah menjadi sasaran dakwah Islam. Menurut berita Tome Pires, pada tahun 1513 di Cimanuk, sudah dijumpai orang-orang Islam. Jadi, setidaknya pada akhir abad ke-15, Islam sudah mulai diperkenalkan di pelabuhan milik Kerajaan Hindu Sunda. Ketika Sunan Ampel Denta pertama kali datang ke Banten, ia mendapati orang Islam di Banten, walaupun penguasa di situ masih beragama Hindu. Islamisasi Banten, diawali oleh Sunan Ampel, kemudian dilakukan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang usaha Syarif Hidayatullah bersama 98 orang muridnya meng25 26 27
Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 756-757 Mahrus El-mawa, Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568) dalam Jumantara Vol. 3 No. 1 (2012) hlm. 100 - 127 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia. Edisi Revisi, Penerbit; RajaGrafindo Persada Jakarta, 2003. hlm. 114115. Dalam Neni Vesna Madjid, Perkembangan Hukum Islam Dari Waktu Ke WaktuPada Kerajaan-Kerajaan Islam Di Nusantara, h.12. http:// fhunilak.ac.id/
19
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Islamkan penduduk Banten. Secara perlahan-lahan, Islam dapat diterima masyarakat sehingga banyak orang masuk Islam, bahkan Bupati Banten, yang merasa tertarik dengan ketinggian ilmu dan akhlak Syarif Hidayatullah, menikahkan adiknya, yang bernama Nyai Kawunganten, dengan wali penyebar Islam di Sunda ini. Dari perkawinan ini lahirlah dua anak yang diberi nama Ratu Winahon (dalam sumber lain disebut Wulung Ayu) dan Hasanuddin. Dalam Babad Banten diceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin), terus berusaha untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Mereka pergi ke arah selatan, ke Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 orang yang setelah mendengar ajaran Islam disampaikan ayah dan anak itu, semuanya menyatakan masuk Islam. Di lereng Gunung Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya. Setelah ilmu yang dikuasai Hasanuddin sudah dianggap cukup, Sunan Gunung Jati memerintahkan supaya anaknya itu berkelana sambil menyebarkan agama Islam kepada penduduk negeri.28 Kesultanan Banten pada awalnya merupakan sebuah wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Demak dan kemudian beralih ke Kesultanan Cirebon, pasca runtuhnya Kesultanan Demak sepeninggal Sultan Trenggana.29 Setelah tahun 1570, Banten di bawah Sultan Hasanuddin, memisahkan diri dari Cirebon. Wilayah kekuasaan Kesultanan Banten sejak tahun 1570 hingga 1670 meliputi daerah Jayakarta (lepas ke tangan VOC sejak 1619), Banten (seluruh daerah propinsi Banten sekarang) dan sebagian besar daerah Lampung. Batas daerah kekuasaan Banten di barat hingga ke perbatasan dengan Kesultanan Palembang, di sebelah timur berbatasan dengan kota benteng Batavia dan punggung timur gunung Halimun yang menjadi kekuasaan Mataram sejak Sultan Agung.30 Pemilihan Surosowan sebagai ibu kota Kesultanan Banten, tampaknya didasarkan atas pertimbangan antara lain karena Surosowan lebih mudah dikembangkan sebagai bandar pusat perdagangan. Oleh karena Banten semakin besar dan maju, maka pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi negara bagian Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai raja di Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan. Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten telah menjadi pelabuhan besar di Jawa, sejajar dengan Malaka. Sebuah sungai membagi Kota Banten menjadi dua bagian. Sungai itu dapat dilayari oleh perahu jenis Jung dan Galen. Pada satu tepi sungai berjajar benteng-benteng yang dibuat dari kayu yang dilengkapi dengan meriam.31 Kemunculan Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak menaklukkan penguasa lokal di Banten, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. 28
20
29 30 31
Lubis (ed.), Kesultanan Banten, Sejarah Tatar Sunda. Jilid I, 2003, Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES Indonesia, cet. I 2004. Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm.69 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, (Yogyakarta: KANISIUS, 1994), hlm.30 Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES Indonesia, 2003, cet. I 2004. Ebook chm
SYAMINA Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara. Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut. Setelah ia kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada puteranya, Hasanuddin. Hasanuddin menikah dengan puteri Demak dan diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam, yaitu ke Lampung dan daerah sekitarnya di Sumatera Selatan. Pada tahun 1568, di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang. Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya dalam sumber-sumber sejarah yang menceritakan kelahiran Banten ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di Banten. Banten sejak semula memang merupakan vassal dari Demak. Hasanuddin wafat kira-kira tahun 1570 dan digantikan oleh anaknya, Yusuf. Setelah sembilan tahun memegang tampuk kekuasaan, pada tahun 1579 Yusuf menaklukkan Pakuwan yang belum menganut Islam dan waktu itu masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah ibu kota kerajaan itu jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Walaupun telah memeluk Islam, mereka diperbolehkan tetap memakai pangkat dan gelar yang disandang sebelumnya.
Edisi 4 / Maret 2017
“
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah.”
Karena Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 maka aktivitas perdagangan pindah ke Aceh, Banten, Cirebon dan Demak termasuk para pedagang dari Arab, Persi dan Cina. Mereka tidak mau melewati Malaka karena Portugis menetapkan aturan pajak/cukai dagang yang tinggi serta memonopoli perdagangan dan perlakuan yang kasar terutama kepada pedagang muslim.
Lahirnya Jayakarta Perluasan Islam di Banten sejalan dengan perkembangan pelabuhan Banten, sementara untuk wilayah Timur pengembangan agama Islam didorong oleh kerajaan Demak, Sultan Trenggono, raja Demak ke-3 pengganti Adipati Unus bercita-cita meluaskan Islam di seluruh pulau Jawa. Melihat perluasan agama Islam yang pesat hal ini mengkhawatirkan raja Padjajaran Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi, maka ia mengirim anaknya Surawisesa untuk mengadakan persahabatan dengan Portugis di Malaka karena khawatir mereka di serang oleh Demak, Cirebon dan Banten. Portugis menyetujui akan membantu Padjajaran asal mereka diijinkan mendirikan Benteng di Sunda Kelapa.
21
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
“
Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kerajaan Banten adalah kerajaan yang paling ketat melaksanakan hukum Islam. Di masa Sultan Ageng, diberlakukan hukum potong tangan kanan selanjutnya potong tangan kiri untuk pencurian harta secara berturutturut senilai sekurang-kurang nya satu gram emas.”
Mendengar perjanjian tersebut Sultan Trengono marah dan segera mengirim pasukan di bawah pimpinan Fatahillah tahun 1527. Dengan bantuan penduduk Padjadjaran Fatahillah dapat menaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa, atas persetujuan Sultan Demak dan Syarif Hidayatullah Fatahillah diangkat menjadi adipati Sunda Kelapa, yang kemudian diganti menjadi Jayakarta. Penguasaan Sunda Kelapa mempunyai arti penting bagi kerajaan Demak karena: 1. Dengan dikuasainya Banten dan Demak, maka akan memudahkan pengembangan pengaruh Islam ke Pajajaran di kemudian hari. 2. Banten dapat dijadikan tempat yang strategis bagi perluasan wilayah Demak ke Pantai selatan Sumatera, Lampung dan Palembang yang kaya lada, cengkeh, dan kopi. 3. Dengan dikuasainya pantai utara Jawa yaitu Banten, Cirebon dan Sunda Kepala maka kekhawatiran Demak atas pengaruh Portugis di Pulau Jawa dapat diatasi. 4. Banten juga dijadikan pusat penyebaran agama Islam untuk masyarakat Jawa Barat dan sebagian sumatera selatan yang animis.32
Kejayaan Banten dengan Syariat Islam Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, dan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.33 Pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa, Banten merupakan Kesultanan Islam di Nusantara yang mempunyai hubungan internasional, baik dengan Kesultanan Aceh yang mendapat gelar Serambi Makkah ataupun Kesultanan Mughal di India. Bahkan, Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Sultan Haji karena ia menunaikan ibadah Haji, gelar yang pertama kali di miliki raja Jawa. Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kerajaan Banten adalah kerajaan yang paling ketat melaksanakan hukum Islam. Di masa Sultan Ageng, diberlakukan hukum potong tangan kanan selanjutnya potong tangan kiri untuk pencurian harta secara berturut-turut senilai sekurang-kurang nya satu gram emas.34 Sultan Ageng mempunyai mufti Syaikh Yusuf al-Makasari yang melihat dari nama nya, berasal dari Makasar. Sejak muda, Sultan Ageng (yang waktu itu masih
22
32 33 34
Encep Supriatna, Tokoh Penyiar Agama Islam Berikut Wilayahnya, https://www. file.upi.edu Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam University Press. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 142
SYAMINA putra mahkota) bersahabat dengan Muhammad Yusuf yang sesudah belajar di kampungnya sendiri di Makasar, singgah di Banten dan kemudian belajar ke Aceh selanjutnya ke Makkah selama ± 30 tahun. Sekembalinya di Indonesia, Kerajaan Makassar telah dikalahkan Belanda, maka Yusuf yang telah menjadi ulama besar diminta untuk menjadi mufti di Banten sekaligus menjadi menantu sahabatnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten, selain melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri juga menghukum orang yang menggunakan opium dan tembakau. Hukuman berat juga dilaksanakan terhadap pelaku pelanggaran seksual. Demikianlah keberagamaan kerajaan Banten beserta pelaksanaan syariat Islam kelihatan lebih ketat dibandingkan kerajaan Islam lainnya di Jawa. Ini terjadi karena Banten yang mempunyai hubungan internasional dengan Negara Islam besar, sehingga menjadi tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional. Bangsa lain yang berdagang di Banten antara lain Persia, Arab, Keling, Koja, Pegu, Cina, Melayu. Walaupun kedudukan Banten kemudian kalah dengan Jayakarta (yang kemudian menjadi Batavia) yang dijadikan pusat perdagangan oleh Belanda, sehingga Banten menjadi mundur, Sultan Ageng di tawan Belanda, Syaikh Yusuf di buang, tetapi pelaksanaan syariat Islam masih tetap ketat. Ketika pada tahun 1813 Kesultanan Banten dibumihanguskan oleh Daendels, keturunan Sultan Ageng masih terus mengembangkan syariah Islam, salah seorang di antaranya adalah Al-Nawawi al-Bantani (1813-1897 M).35
Edisi 4 / Maret 2017
“
Di Banten, selain melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri juga menghukum orang yang menggunakan opium dan tembakau. Hukuman berat juga dilaksanakan terhadap pelaku pelanggaran seksual.”
Negara Islam Giri di Gresik Setelah mengadakan aktifitas dakwahnya dengan melalui perdagangan, lama kelamaan akhirnya dalam diri Sunan Giri timbul pikiran untuk merealisasikan pesan yang pernah diberikan oleh gurunya di Pasai, yaitu mendirikan tempat sebagai pusat untuk berda’wah. Raden Rahmat, guru beliau sangat menyetujui dan mendukung rencana tersebut. Demikian juga ibu angkatnya yang ada di Gresik memberikan izin untuk melaksanakan tugas itu. Untuk mendapatkan tempat yang strategis sesuai dengan yang disarankan oleh gurunya (Syeh Awwalul Islam). Sunan Giri bermunajat mohon pertolongan kepada Allah, beliau kemudian berjalan menuju bukit yang letaknya berada di sebelah selatan kota Gresik itu bukit Giri. Di sekitar bukit itu akhirnya ditemukan sebuah tempat yang sekarang terletak di desa Sidomukti. Di tempat inilah Sunan Giri mulai mendirikan Masjid dengan pesantren serta mendirikan rumah untuk para keluarganya. Pada taraf perkembangan, tempat tersebut menjadi pusat kekuasaan Giri, yaitu dengan terwujudnya kedaton Giri.36 Kekuasaan Giri setelah wafatnya Raden hahmat (1475 M) menjadi lebih besar, sebab antara Ampel Denta dengan Gresik digabungkan ke Gresik atas izin raja Majapahit.37 Dalam perkembangan selanjutnya, pusat lembaga dakwah yang telah didirikan oleh Sunan Giri juga mengalami perkembangan fungsi, jika pada awalnya khusus 35 Rifa’I Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Telaah Atas Karya Klasik, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 39. 36 Ali Eri'an, Op.cit, hal. 43-44 37 Hamka, Sejarah Umat Islam, Jld. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hal. 145-146
23
Edisi 4 / Maret 2017
“
Sunan Giri berusaha menyebarkan Islam ke wilayah timur dengan mengirim para muballigh ke daerah tersebut. Diantaranya ke pulau Madura, Kangean, Bawean, Ternate, dan Haruku di kepulauan Maluku.”
SYAMINA untuk aktifitas pendidikan keagamaan, maka sejak meninggalnya Raden Rahmat, pusat keagamaan itu juga sebagai pusat kegiatan politik. Hal ini disebabkan adanya legalitas yang telah diberikan oleh pemerintah Majapahit kepada Sunan Giri yang telah menjadikan Giri sebagai daerah pusat gubernuran atas Gresik dan Surabaya.38 Kekuasaan Giri yang berpusat di Kedaton Giri merupakan pola pemerintahan ulama, sebagai embrio berdirinya kerajaan Islam Demak, dari Girilah para ulama menyusun satu kekuatan dan memfokuskan segala aktifitas yang menyangkut kepentingan umat Islam pada saat itu. Sinar-sinar Islam mulai dipancarkan ke berbagai daerah di Nusantara terutama daerah-daerah yang masih berbau Hindu dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Dengan keagungan dan kebesaran Islam dalam waktu yang relatif singkat, daerahdaerah di sekitar Giri seperti Tuban telah berkiblat kepada Giri, demiklan juga dengan para bupatinya segera memeluk agama Islam.39 Sunan Giri berusaha menyebarkan Islam ke wilayah timur dengan mengirim para muballigh ke daerah tersebut. Diantaranya ke pulau Madura, Kangean, Bawean, Ternate, dan Haruku di kepulauan Maluku.40 Dalam menjalankan wewenangnya sebagai pimpinan ulama selain aktif mengajarkan agama kepada ummat, beliau juga menentukan kebijaksanaan politik ummat Islam yang berjalan pada waktu itu. Dengan sikap kharismatik dan kebijakan yang telah dimiliki maka segala persoalan yang menyangkut kelangsungan Islam terutama dibidang politik, beliaulah yang menentukan bahkan sebagai faktor utama dalam pengangkatan seorang Sultan atau Raja.41 Maka Sunan Giri oleh penulis Barat disebut sebagai semacam ‘Paus Jawa’ atau imam Jawa. Kedudukan Sunan Giri yang begitu penting di mata masyarakat, akan lebih mempermudah untuk melancarkan pengaruhnya terhadap para penguasa daerahdaerah kecil yang ada di pesisir utara laut Jawa yang menjadi bawahan Majapahit, juga para penguasa yang ada di wilayah Nusantara bagian Timur seperti Kalimantan, Maluku dan sebagainya. Telah diberitakan bahwa raja Ternate, Zaenal Abidin (14861500) masuk Islam juga karena mendapatkan dakwah Sunan Giri di kedaton Giri. Menurut hikayat Tanah Hitu yang ditulis oleh Rijali, bahwa yang mengantar raja Zaenal Abidin ke Giri adalah Jamilu dari Hitu. Bahkan sekembali nya dari Jawa, raja tersebut membawa muballigh yang bernama Tuhubahalul.42 Dengan adanya para penguasa yang telah memeluk Islam tersebut, secara politis Sunan Giri dapat mempengaruhi mereka dalam mengendalikan pemerintahannya. Maka segala hal yang berkaitan dengan urusan pemerintahannya baik di segi politik, ekonomi, pendidikan maupun kebudayaan, sedikit banyak akan dapat diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Sejalan dengan pertumbuhan Islam di Jawa Timur yang telah dimotori oleh Raden Rahmat dan Sunan Giri berkembang begitu pesat dan mempunyai pengaruh
24
38 Thomas Arnold, The preaching Of Islam, Terj. Nawawi Rambe, Wijaya, Jakarta, 1977, hal. 333. 39 Umar Hasyim, Sunan Giri, Penerbit Menara Kudus, 1979 , hal 81 40 Rahman, Pengantar Sejarah Jawa Timur, Jld I, Autometie, sumenep, 1979, hal. 143 41 Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat, LP3ES, Jakarta, 1987, hal. 121 42 Mawarti Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid. III, PN. Balai pustaka, Jakarta, 1984. h.22
SYAMINA sangat besar terhadap masyarakat khususnya pada masyarakat pesisir utara Jawa Timur. Sementara dipihak pemerintahan pusat Majapahit terjadi kemunduran akibat terjadinya pergolakan politik. Lama kelamaan penguasa Majapahit menaruh kecurigaan terhadap gerakan yang dilakukan oleh Sunan Giri, sehingga pihak Majapahit di bawah kekuasaan Wirabhumi (1478 M) berusaha menghancurkan pusat dakwah di Giri, tetapi mengalami kegagalan karena pertahanan Sunan Giri cukup kuat. Hal ini adalah bukti yang menunjukkan berkembang pesatnya peranan kekuasaan politik Giri dibawah pimpinan Sunan Giri. Berangkat dari kegagalan serangan tersebut dan melihat semakin berpengaruhnya Islam terhadap kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Timur yang telah dipelopori oleh Sunan Giri dan Raden Rahmat, maka Raja Majapahit berusaha kompromi dengan kedua tokoh tersebut, yaitu dengan jalan mengakuinya sebagai orang-orang besar kerajaan Majapahit.43 Raden Rahmat, bersama para ulama lainnya telah sepakat menempuh jalur diplomasi dalam menghadapi tekanan Majapahit, tetapi adanya situasi politik yang semakin buruk, yaitu adanya serangan yang telah dilancarkan oleh Dyah Ranawijaya Girindrawardhana dari Keling atas Majapahit, maka menjadikan Sunan Giri bersikap ofensif terhadap pemerintahan Majapahit yang dikuasai pemberontak. Penyerbuan Girindrawardhana tersebut terjadi pada tahun 1478 M. yang mengakibatkan jatuhnya Majapahit ke tangan pemberontak.44 Menurut penilaian sunan Giri, sebetulnya yang lebih berhak menggantikan kedudukan kekuasaan Majapahit adalah Raden Fatah, bukan Girindrawardhana. Ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Raden Fatah adalah putera Bhre Kertabumi sebagai penguasa Majapahit pada waktu itu. Maka dengan memihak Demak, Sunan Giri bersama-sama para wali yang lain mendampingi Raden Fatah untuk mengadakan operasi terhadap ibu kota Majapahit yang ada di tangan pemberontak; dan akhirnya pemberontak dari Keling dapat ditundukkan dan Majapahit dapat direbut kembali. Maka kemudian berdirilah kerajaan Islam Demak pada tahun 1478 M.45
Edisi 4 / Maret 2017
“
Lama kelamaan penguasa Majapahit menaruh kecurigaan terhadap gerakan yang dilakukan oleh Sunan Giri, sehingga pihak Majapahit di bawah kekuasaan Wirabhumi (1478 M) berusaha menghancurkan pusat dakwah di Giri, tetapi mengalami kegagalan karena pertahanan Sunan Giri cukup kuat.”
Ketika Demak mencapai kemenangan dan menggantikan kedudukan Majapahit, Sunan Giri sebagai pimpinan ulama pada saat itu segera mengangkat Raden Fatah untuk dinobatkan sebagai Raja pertama di kerajaan Islam Bintara Demak. Sedangkan Sunan Giri sendiri diangkat sebagai menteri dan merangkap sebagai penasehat hulubalang kerajaan.46 Kedaton Giri menjadi daerah bawahan Demak, tetapi penguasa pusat memberikan hak otonomi bagi Giri. Hal ini dapat diterima, sebab kekuasaan Giri waktu itu adalah sebagai pendukung yang dapat dijadikan sebagai patner dalam menegakkan kerajaan Demak. Sehingga dalam mengendalikan kekuasaannya selama
43 Umar Hasyim, op.cit, hal. 84 44 Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan-kerajaan Hindu Jawa Ban Timbulnya Negara-negara Islam Di Nusantara, Bhatara, Jakarta, 1968, hal. 407 juga; Umar Hasyim, op.cit, hal. 56-57 45 Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta 1981, hal. 274-275 46 Umar Hasyim, op.cit, hal. 86
25
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
pemerintahan Demak berlangsung, tetap mendapatkan kebebasan untuk berkuasa hingga beliau wafat, yaitu pada tahun 1506 M.47 Mengenai keadaan ekonomi di Gresik pada abad ke-16, Tome Pires menyatakan bahwa; Gresik sebagai kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling penting di seluruh Jawa. Ia memberitakan adanya transaksi yang dilakukan oleh kapal-kapal dari Gujarat, Calicut, Bengalen, Siam, Cina, dan Liu-kiu dengan Gresik. Serta ada aktifitas perdagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda.48
Para pelaut dan pedagang Gresik telah memperkenalkan nama Giri di Abad ke18 dan 17 di banyak pantai-pantai timur Nusantara. Dalam kisah di Lombok, Giri mempunyai kedudukan penting, disebutkan Pangeran Prapen dari Giri (penerus sunan Giri) dengan armadanya singgah di Pulau Sulat dan Sungian. Ia telah berhasil menundukkan Raja kafir di teluk Lombok untuk mengakui kekuasaan Islam. Kemudian ia memasuki tanah Sasak dan berlayar ke Sumbawa dan Bima. Dalam ekspedisi kedua berusaha membebaskan Bali namun gagal karena perlawanan sengit Raja Dewa Agung. Tahun 1565 orang-orang Hitu mengadakan perjanjian dengan Raja Giri untuk mendapat perlindungan dari tentara Portugis. Para prajurut Jawa kurang lebih selama 3 tahun berada di suatu tempat yang beberapa tahun sesudahnya masih disebut sebagai “Kota Jawa”. Pada permulaan abad 17 tidak jarang orang Belanda bercerita tentang seorang ulama yang mereka namakan “Paus Islam” atau “Raja Imam”. Di bidang politik dan ekonomi para sunan di Giri mempunyai kedudukan jauh lebih penting dibanding dengan sunan-sunan di Cirebon atau Kudus. Selama dua abad, Giri mampu mempertahankan eksistensinya dari mulai masa Majapahit sampai masa Mataram.49 Setelah tahun 1589 Kedaton Giri menjadi tempat berlindung bagi Raja-Raja Jawa Tengah dan Jawa Timur yang wilayahnya diduduki tentara Mataram. Saat Sultan Agung berkuasa, raja terakhir giri tidak mau tunduk di bawah Mataram, sehingga
26
47 48 49
Panitia Penelitian Dan Pemugaran Sunan Giri, Sejarah dan da'wah Islamiyah Sunan Giri, Cet. I, II, Malang, 1974. h. 129 dan 150 De Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, op.cit. h.174 Ibid. h.193
SYAMINA Sultan Agung telah berhasil merebut Surabaya kemudian mengutus Pangeran Pekik dari Surabaya (keturunan Sunan Ampel) untuk menaklukkan Giri.
Episode Kedua Negara Islam Mataram Nama Mataram berasal dari nama bunga, sejenis bunga Dahlia yang berwarna merah menyala. Ada juga nama Mataram yang dihubungkan dengan Bahasa Sansekerta, Matr yang berarti Ibu, sehingga nama Mataram diberi arti sama dengan kata Inggris Motherland yang berarti tanah air atau Ibu Pertiwi. Sebelum tahun 1000 M daerah ini telah berkembang suatu peradaban yang ditinggalkan oleh kerajaan Hindu. Pada abad ke-14 saat Majapahit mencapai puncak kejayaan, bumi Mataram dipandang kurang penting. tidak terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa para Raja Mataram kuno yang hidup beberapa abad sebelumnya masih dikenang di Majapahit.50
Awal Pembentukan Mataram Era Panembahan Senapati Mataram pada mulanya hanyalah merupakan hutan yang penuh tumbuhan tropis di atas puing-puing istana tua Mataram Hindu, lima abad sebelum berdirinya kerajaan Mataram (Islam) yang kita bicarakan sekarang ini. Wilayah ini di akhir abad ke-16 (pada masa pemerintahan Sultan Pajang - Jaka Tingkir) telah dibedah kembali oleh seorang Panglima Pajang “Ki Gede Ngenis” yang kemudian populer dengan Ki Pemanahan dengan suatu misinya untuk memasukkan wilayah tersebut ke dalam pengaruh Islam di bawah panji kerajaan Pajang. Wilayah Mataram dianugerahkan Sultan Pajang kepada Ki Gede Ngenis beserta puteranya, yang kelak menjadi Panembahan Senopati, atas jasa mereka mengalahkan musuh negara Pajang, Aria Penangsang di Jipang Panolan.
Edisi 4 / Maret 2017
“
Mengenai keadaan ekonomi di Gresik pada abad ke-16, Tome Pires menyatakan bahwa; Gresik sebagai kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling penting di seluruh Jawa. Ia memberitakan adanya transaksi yang dilakukan oleh kapal-kapal dari Gujarat, Calicut, Bengalen, Siam, Cina, dan Liu-kiu dengan Gresik. Serta ada aktifitas perdagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda.”
Ki Pamanahan, disinyalir sebagai penguasa Mataram yang patuh dan taat kepada Sultan Pajang. Ia mulai naik tahta di istananya yang baru di Kotagede pada tahun 1577 M sampai tutup usianya di tahun 1584.51 Setelah wafat ia diganti putranya, ngabehi Loring Pasar, yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Pajang sebagai Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama (karena keberaniannya dan kemahirannya dalam berperang) atau mashur dengan Panembahan Senopati.52 Berbeda dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh sebagai kerajaan bawahan Pajang, ia sengaja mengabaikan kewajibannya sebagai raja bawahan dengan tidak seba atau sowan tahunan terhadap raja Pajang. Konsekuensinya raja Pajang memutuskan untuk menyelesaikan pembangkangan Mataram dengan jalan kekerasan dan kekuatan senjata. Ekspedisi penyerbuan di bawah komando Sultan Pajang sendiri itu mengalami kegagalan karena bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan bercerai berainya prajurit Pajang. 50
Prof. a. Daliman, Islamisasi dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit ombak, 2012), hlm.176-180 51 H.J. De Graaf dan T.H. G. T.H. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, terj. Grafiti press dan KITLY, PT Grafiti pers. Jakarta. 1985, hal. 277-282. 52 Kartodirdjo, Sejarah Xasional. III. hal. 286
27
Edisi 4 / Maret 2017
“
Sutawijaya dinilai berhasil membangun Mataram. Wilayah yang dikuasai Kesultanan Mataram adalah Mataram, Kedu, dan Banyumas. Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan ia menguasai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di sebelah timur hanya Blambangan, Panarukan, dan Bali yang masih tetap merdeka. Lainnya tunduk pada kekuasaan Senapati Sedangkan di pantai laut Jawa Rembang, Pati, Demak, Pekalongan mengakui kekuasaan Mataram.”
SYAMINA Beberapa saat kemudian, sekembalinya dari ekspedisi yang gagal itu, Sultan Pajang meninggal dunia. Momentum ini dimanfaatkan oleh Panembahan Senopati untuk memproklamasikan dirinya sebagai penguasa di seluruh Jawa.53 Senapati memiliki cita-cita hendak mengangkat kerajaan Mataram sebagai penguasa tertinggi di seluruh Jawa menggantikan Pajang. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Senapati mengambil dua langkah penting, pertama memerdekakan diri dari pajang dan kedua memperluas wilayah kerajaan Mataram ke seluruh Jawa.54 Senopati Mataram merupakan figur penguasa yang agresif. Semenjak ia menobatkan dirinya menjadi penguasa banvak sekali kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan sebagian di Jawa Timur menjadi ajang taklukannya. Tercatat pada masa berkuasanya (1584-1601 M), Pajang dan Demak dapat ditaklukan pada tahun 1588 (konon semenjak peristiwa ini ia mendapat gelar Panembahan) menyusul kemudian Madiun pada tahun 1590 dan Jepara pada tahun 1599. Pada tahun yang bersamaan Tuban juga diserang yaitu tahun 1598 dan 1599 tetapi masih dapat bertahan hingga diduduki pada tahun 1619 oleh Sultan Agung.55 Sutawijaya dinilai berhasil membangun Mataram. Wilayah yang dikuasai Kesultanan Mataram adalah Mataram, Kedu, dan Banyumas. Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan ia menguasai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.56 Di sebelah timur hanya Blambangan, Panarukan, dan Bali yang masih tetap merdeka. Lainnya tunduk pada kekuasaan Senapati Sedangkan di pantai laut Jawa Rembang, Pati, Demak, Pekalongan mengakui kekuasaan Mataram.57 Panembahan Senopati mangkat pada tahun 1601 digantikan putranya yang bernama Mas Jolang atau Ki Gede Mataram yang kemudian masyhur dengan julukan Panembahan Sedo Ing Krapyak, yang memerintah tahun 1601 sampai 1613. Dalam menjalankan roda pemerintahan Sultan yang baru naik tahta ini tidak memiliki watak agresif sebagaimana bapaknya, ia lebih cenderung mengadakan pembangunan dibanding ekspansi. Banyak sekali dijumpai bangunan-bangunan yang sebelumnya tidak ada, seperti : Prabayeksa (tempat kediaman raja) dibangun pada tahun 1603, Taman Danalaya pada tahun 1605, membuat lumbung di Gading tahun 1610 dan lain-lain. Maka ia terkenal sebagai raja yang ahli membangun. Kecenderungan yang ia sukai ialah berburu, ia mempunyai daerah khusus untuk perburuan yang dinamakan dengan krapyak.58 Raden Mas Jolang diberi gelar Sultan Hanyakrawati. Ia memerintah pada tahun 1601-1613. Pada masa pemerintahannya, sering terjadi perlawanan dari wilayah pesisir, yang merupakan salah satu penyebab mengapa RM Jolang tidak mampu memperluas wilayah Kesultanan Mataram. Menjelang wafatnya, RM Jolang menunjuk Raden Mas Rangsang sebagai penggantinya. Setelah dilantik, RM Rangsang diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahaman.
28
53 Ibid. h.285 54 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 70 55 Ibid, h.295 56 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 70 57 Prof. dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007), hlm. 226 58 H.J. De Graaf, Puncak Kajayaan Mataram. Penerbit Pustakan Grafiti pers. Jakarta. Cet. I. 1986, h22-23
SYAMINA Ia memerintah dari tahun 1613-1645. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Mataram mengalami kejayaan.59
Masa Kejayaan Mataram, Sultan Agung (1613 – 1645) Raden Mas Rangsang diangkat menjadi Raja baru yang memakai nama Sultan Agung Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman. Jika para pendahulunya mengambil ibukotanya di Kota Gede, maka Sultan Agung mengambil ibukotanya di Karta. Tempat yang terletak kira-kira 5 km di sebelah barat daya Kota Gede. Secara adminsitratif sekarang Karta merupakan sebuah dusun di desa Pleret. Sultan Agung dikenal dengan politik ekspansinya, sehingga bukan Jawa saja yang ingin dikuasainya melainkan wilayah Nusantara. Musuh-musuh Sultan Agung bukan saja kerajaankerajaan yang ada di pesisir dan kerajaan Hindu di Blambang, tetapi juga para penguasa asing yang berusaha menjajah Nusantara. Misalnya, Portugis dan Belanda. Oleh karena itu, wajarlah jika semenjak diangkatnya, ia selalu mengangkat senjata dalam rangka menerapkan taktik ekspansi.60
Edisi 4 / Maret 2017
“
Sultan Agung dikenal dengan politik ekspansinya, sehingga bukan Jawa saja yang ingin dikuasainya melainkan wilayah Nusantara.”
Berbeda sekali dengan ayahnya, ia termasuk figur pemimpin yang keras dan tegas tetapi bijaksana. Nampaknya karakter itu ia warisi dan almarhum kakeknya. Ia juga yang telah meneruskan ekspansi-ekspansi ke berbagai wilayah yang pada masa Panembahan Senopati masih belum tuntas.61 Sultan Agung dikenal sebagai raja yang kuat, bijaksana, cakap, dan perekonomian masyarakat Mataram berkembang sangat pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang melimpah ruah. Wilayah kekuasaan Mataram juga bertambah luas setelah masa pemerintahan Sultan Agung.62
Sultan Agung terkenal sebagai raja Mataram yang tangkas, cerdas, dan taat dalam menjalankan agama Islam. Oleh sebab itu, pada masa pemerintahannya, kerajaan Islam Mataram mencapai puncak kejayaannya dan menjadi kerajaan terbesar di pulau Jawa pada saat itu. Menurut kesaksian salah seorang saudagar dari Eropa yakni Balthasar van Eyndhoven, menyatakan bahwa Sultan Agung adalah seorang 59 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, Penerbit Kurnia Kalam Sejahtera Yogyakarta, 1994. h.24-25 60 Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus, 2007), hlm.8587 61 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nsantara Abad XVI dan XVII, h.25 62 Komandoko, Atlas pahlawan Indonesia, Yogyakarta: Quantum Ilmu 2011, h.322.
29
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
“
Pakaian yang dikenakan Sultan Agung tidak jauh berbeda dengan pakaian orang Jawa pada umumnya yang terbuat dari kain dalam negeri berbatik putih biru. Sultan juga menggunakan kopyah dari kain linen yang dipastikan adalah kuluk putih yang sejak masuknya agama Islam dikenakan oleh mereka yang taat beribadah.”
Sultan yang tidak bisa dianggap remeh. Wajahnya kejam, layaknya kaisar dengan dewan penasehatnya yang memerintah dengan keras, seperti memerintah sebuah negara besar. Pada tahun 1614, Balthasar bersama Van Surck pergi ke Mataram untuk mengucapkan selamat atas pengangkatan Raja sebagai pemangku pemerintahan. Pada saat itu ia memperkirakan bahwa usia raja sekitar 23 tahun, oleh sebab itu Sultan diperkirakan lahir pada tahun 1591.63 Mengenai penampilan Sultan, pakaian yang dikenakannya juga cukup menarik perhatian. Pakaian yang dikenakan Sultan Agung tidak jauh berbeda dengan pakaian orang Jawa pada umumnya yang terbuat dari kain dalam negeri berbatik putih biru. Sultan juga menggunakan kopyah dari kain linen yang dipastikan adalah kuluk putih yang sejak masuknya agama Islam dikenakan oleh mereka yang taat beribadah, ditambah lagi dengan keris di badan bagian depan serta ikat pinggang dari emas. Pada bagian jemarinya dihiasi cincin dengan banyak intan yang gemerlapan. Keris di sini dipakai di depan yang berbeda dengan kebiasan orangorang Jawa pada umumnya.64 Mengenai sifat-sifatnya yang menarik perhatian adalah sifat ingin tahu, dan bertindak tegas. Sifat keingintahuannya terlihat dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan Sultan kepada De Haen tentang peta dunia. Sultan ingin melihat letak negara Belanda, Inggris, dan Spanyol. Ia juga menanyakan tentang arti-arti sebuah nama termasuk nama para gubernur jenderal pun ingin diketahuinya. Selain pertanyaan yang diajukan hanya untuk menambah pengetahuan, ada juga pertanyaan yang berhubungan dengan politik, misalnya tentang jumlah meriam di Banten. Begitu kerasnya Sultan dalam bertindak, juga dialami oleh seorang tahanan Belanda, yang dilemparkan ke buaya-buaya karena dituduh melakukan perbuatan sihir. Di samping dikenal sebagai seorang yang berwatak keras, Sultan adalah sosok raja yang tidak mudah percaya dengan orang lain, bahkan termasuk keluarganya sendiri. Ia beranggapan bahwa di lingkungannya yang terdekat, juga terdapat seorang penghianat, paling tidak pembohong. Menghadapi kondisi semacam ini, ia hanya dapat bersikap selalu waspada.65 Raja terkenal sebagai seorang muslim yang saleh. Sebagai seorang raja yang taat dalam beragama, ia tekun menjalankan perintah agama dan beribadah. Sultan Agung secara teratur pergi ke masjid, dan para pembesar istana diharuskan mengikutinya. Berbeda dengan para penggantinya yang hanya mengirim pejabat istana ke masjid untuk shalat jum’at, tetapi ia sendiri tetap di rumah. Pada Grebeg Pasa Sultan Agung juga pergi ke masjid bersama rakyatnya. Dan pada masanya para tawanan diwajibkan dikhitan dengan ancaman hukuman mati bila menolak.66 Hendrick de Haen dalam tulisannya tentang perjalanannya sebagai utusan pada tahun 1622, menyatakan bahwa para pembesar Mataram tiap hari jumat pagi harus
30
63 64 65 66
De Graaf dan Puncak Kajayaan Mataram. h.102
Graff, Puncak Kekuasaan Mataram, h.122
De Graff, Puncak Kekuasaan Mataram, h.123-125 Ibid. h.107
SYAMINA hadir ketika raja pergi ke Masjid. Bahkan pada masa itu masjid ada di setiap desa.67 Jumat pagi jam 9 Raja dan semua pejabat Istana sudah hadir di Masjid.68 Seperti itulah gambaran Sultan tentang ketaatannya pada agama Islam, ada beberapa petunjuk bahwa sejak sebelum berlakunya tarikh Islam, Sultan Agung lebih sungguh-sungguh dalam mentaati aturan agama Islam, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya. Pada tahun 1630 M para prajurit Mataram dapat dikenali dengan ciri khas mereka yang berambut pendek dan memakai kuluk putih. Tidak lama sebelum wafat, Sultan juga menyuruh untuk memangkas rambutnya. Hal ini merupakan petunjuk bahwa Sultan agung memang raja mataram yang taat beragama. Van Goens menggambarkan Sultan sebagai tokoh yang mempunyai pengetahuan luas tentang watak seseorang, kearifan yang mendalam, dan sebagai orang yang berhati keras.69
Hukum Islam di Mataram Pada tahun 1633 Sultan Agung telah berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem penanggalan tahun baru bagi seluruh kerajaan Mataram, yaitu model perhitungan kalender Jawa (saka) yang disesuaikan dengan penanggalan Hijriyah.70 Sebagaimana diketahui, sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang dikenal di Jawa didasarkan pada sistem Matahari yang lebih terkenal dengan kalender Saka. Sementara Islam memakai kalender dengan sistem bulan (Qamariyah) yang juga disebut sebagai kalender Hijriyah. Sultan Agung mencoba menyelaraskan kedua sistem itu dengan menyatukannya serta menjadikannya sebagai kalender resmi Mataram. Ciri kalender tersebut adalah penggunaan sistem bulan (Hijriyah) dengan menggunakan tahun Saka. Dalam sistem baru ini terdapat perubahan nama bulan, misalnya bulan Safar dalam tahun Hijriyah menjadi Sapar dalam tahun Jawa, Rajab menjadi Rejeb, Dzulka’idah menjadi Dulkangidah, Muharram menjadi Sura, dan Ramadhan menjadi Pasa. Ciri lain terlihat pada hari yang dikenal sebagai hari pasaran yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing, Wuku, dan Wuwu. Sistem ini diresmikan pada tanggal 8 Agustus 1633 / 1 Muharam 1043 atau 1 Sura 1555 tahun Jawa.
Edisi 4 / Maret 2017
“
Sultan Agung juga mendorong proses Islamisasi kebudayaan Jawa. Ia mengadakan pembaharuan tata hukum yang disesuaikan dengan hukum Islam, dan memberi kesempatan bagi peranan para ulama dalam lapangan hukum Negara.”
Sultan Agung juga mendorong proses Islamisasi kebudayaan Jawa. Ia mengadakan pembaharuan tata hukum yang disesuaikan dengan hukum Islam, dan memberi kesempatan bagi peranan para ulama dalam lapangan hukum Negara.71 Perubahan itu pertama-tama diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata yang dipimpin oleh Raja sendiri. Pengadilan Pradata diubah namanya menjadi pengadilan Surambi, karena pengadilan ini tidak lagi mengambil tempat persidangan
67 68 69 70 71
Ibid. h.117 Ibid. h.125 Bakdi Soemanto, Cerita Rakyat dari Yogyakarta 3 (Yogyakarta: Grasindo, 2003), h. 2 Purwadi, Sejarah Raja-raja Jawa, Sejarah Kehidupan Kraton Dan Perkembangannya Di Jawa, Yogyakarta : Media Abadi, 2007 h.312
Salman Inskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia (Bandung: MIZAN, 2009), 76 juga; Purwadi, Sejarah Raja-raja Jawa, 312
31
Edisi 4 / Maret 2017
SYAMINA di Sitiinggil, melainkan di serambi Masjid Agung. Perkara-perkara kejahatan yang menjadi urusan pengadilan ini dinamakan kisas.72
“
Bentuk dan sistem pemerintahan kerajaan Islam di Indonesia yang nampaknya meninggalkan ciriciri pada sistem pemerintahan Republik Indonesia dewasa ini, adalah kerajaan Mataram di Jawa.” — Zaini Ahmad Noeh
Melaksanakan keadilan menjadi perhatian utama bagi seorang raja. Menurut istilah yang lebih tua, mbeneri, untuk melakukan keadilan yang kini makin kurang sering digunakan dan telah diganti dengan kata ngadili. Kata ngadili berasal dari Bahasa Arab ‘adl’ (adil, secara harfiah, berarti menjadikan lurus, membetulkan). Kata yang lebih tua tadi sepenuhnya sesuai dengan gagasan untuk meluruskan keseimbangan, ketenangan, dalam pengertian keselarasan diartikan dalam konteks Jawa dalam hubungan mikrokosmos dan makrokosmos.73 Negara kosmis erat hubungannya dengan konsep raja yang bersifat dewa, yaitu anggapan bahwa raja adalah titisan dewa atau keturunan dewa. Konsep dewa-raja atau ratu-binathara ini pada periode kerajaan Islam tidak menempatkan raja pada kedudukan yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai kalifatullah, wakil Allah di dunia. Namun penurunan derajat ini tidak mengubah atau mengurangi kekuasaan raja terhadap rakyat. Dalam hal ini rakyat tetap dituntut untuk tunduk kepada rajanya. Konsep ratubinthara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah. Wahyu nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan; wahyu hukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan wenang murba wasesa, artinya berkuasa dan bertindak dengan kekuasaannya; wahyu wilayah, yang melengkapi dua wahyu yang telah disebutkan di atas, memberi pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan kepada rakyatnya.74 Selain itu menarik diungkapkan apa yang dikemukakan oleh Zaini Ahmad Noeh, bahwa di antara bentuk dan sistem pemerintahan kerajaan Islam di Indonesia yang nampaknya meninggalkan ciri-ciri pada sistem pemerintahan Republik Indonesia dewasa ini, adalah kerajaan Mataram di Jawa, terutama ciri dalam menempatkan bidang agama sebagai bagian dari pemerintahan umum. Jabatan keagamaan di tingkat desa disebut Kaum, Amil, Modin, Kayim, Lebai, dan sebagainya selalu ada di samping Kepala Desa. Pada tingkat kecamatan atau kewedanaan selalu ada seorang Penghulu Naib, yang kini dikenal sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Pejabat Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR). Pada tingkat kabupaten, seorang bupati didampingi oleh seorang Patih untuk bidang-bidang pemerintahan umum dan seorang Penghulu Kabupaten di bidang agama. Sistem pemerintahan adat istiadat dan kebiasaan pemerintahan di Jawa mirip dengan bentuk susunan pemerintahan Mataram di mana ada tiga serangkai jabatan, yaitu Raja/Bupati, Patih, dan Penghulu (termasuk tata kotanya dengan pola; Keraton, Alun-Alun, dan Masjid) sebagai manifestasi gelar Raja Mataram yang berbunyi: Hingkang Sinuhun (yang dipertuan), Senopati Hing Ngalogo (Panglima Perang), Sayidin Panagatama Kalipatullah (Pengatur Urusan Agama sebagai Pengganti
32
72 Dr.Th.W. Juynball, Handleiding tot de kennis van de Mohammedaansche wet,dalam Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1978), hlm.17 73 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau:Studi tentang masa Mataraam II, abad XVI sampai XIX. (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1985). hlm.102 74 B.J.O.ScHrieke,Indonesian Sociological Studies, Part.2, (The Hague-Bandung:W van Hoeve Ltd,1957), hlm.105
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Rasulullah). Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya disebut “Kaum”, yang jumlahnya untuk setiap ibukota (pusat dan kabupaten) selalu tidak kurang dari 40 orang, jumlah itu adalah untuk memenuhi syarat sahnya shalat Jum’at sesuai ajaran Madzhab Syafi’i dan mereka memperoleh tanah jabatan (lungguh) di belakang masjid besar yang disebut kampung Kauman. Adapun sasaran tugas mereka adalah pelayanan bidang peribadatan dan urusanurusan keagamaan. Sedangkan tugas mengatur dunia dibebankan kepada Pepatih Dalem (Patih) sebagai pelaksana pemerintahan umum dan sekaligus pemerintahan militer.75 Perkara-perkara kejahatan yang menjadi urusan pengadilan Surambi dinamakan kisas. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Pengadilan Surambi mempunyai arti suatu nasehat (advis) kepada raja di dalam mengambil keputusannya.” 76 Salah satu produk hukum penting di Keraton Kasunanan Surakarta adalah Angger Nawala Pradata yang memuat aturan-aturan hukum berbagai jenis tindakan hukum sekitar tata kehidupan masyarakat di bawah pemerintahan Kasunanan Surakarta. Namun aturan hukum dalam Angger Nawala Pradata ini konon sudah mulai dirumuskan sejak zaman Kerajaan Mataram Islam yang merupakan cikalbakal dari berdirinya Kasunanan Surakarta. Dari masa ke masa, Angger Nawala Pradata mengalami amandemen atau pembaharuan karena desakan dan pengaruh Kolonial Belanda.77 Amandemen Angger Nawala Pradata tidak terlepas dari pengaruh kolonial Belanda. Larson mengatakan, bahwa situasi politik Kasunanan sangat dipengaruhi oleh sikap dari pihak Kasunanan sendiri terhadap pemerintah Belanda, Mangkunegaran, penduduk dan wilayah di luar kerajaan.78 Pengaruh hukum Barat terhadap undang-undang yang berlaku di kerajaan ini konon berlangsung sejak tahun 1709 ketika Pakubuwono I (1705-1719) masih bertahta di Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Ketika itu, Pakubuwono I membahas sebuah perjanjian dengan Belanda, salah satunya mencakup tata cara pelaksanaan pengadilan.79 Dalam perjanjian 1709 tersebut Sunan harus menyerahkan pelaksanaan pengadilan dan tanah di sebelah timur Gunung Merapi dan Gunung Merbabu kepada pemerintah Belanda.80 Di kerajaan Mataram, pelaksanaan hukum Islam di bawah Sultan Agung dibagi menjadi Peradilan Surambi81 yang menangani perkara-perkara kejahatan pidana (Kisas). Pimpinan peradilan secara de jure berada ditangan Sultan dan secara de facto dipimpin oleh penghulu dengan dibantu oleh beberapa ulama sebagai anggota.82
75 Noeh, Zaini Ahmad, Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam “Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia”, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., Jakarta: PP-IKAHI, 1994. h.105 76 Tresna R. “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”. Pradnya Paramita. Jakarta 1978.Cetakan Ke-3. h. 17-18. 77 Angger Nawala Pradata Kasunanan; http://kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/hukum/ 78 G. D Larson, Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, (Yogyakarta: UGM Press, 1989), hal., 5. 79 Angger Nawala Pradata Kasunanan; http://kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/hukum/ 80 Achmad Ridwan (Skripsi);"Perkembangan Pengadilan Pradata Masa Reorganisasi Bidang Hukum di kasunanan Surakarta tahun 1893-1903"; Universitas Sebelas Maret Surakarta – 2010 81 Dinamakan Peradilan Surambi karena pelaksanaanya dilakukan di Serambi Masjid Agung. Realitas ini juga terjadi di beberapa daerah lainnya di Indonesia. 82 Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia, (Jakarta: Pustaka, 2006), hlm. 72. Lihat juga R. Tresna, 1978, Peradilan Agama dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1978), hlm. 17-18.
33
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
“
Penggunaan gelar Sayidin Panatagama oleh Senopati menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya Mataram telah dinyatakan sebagai negara Islam. Raja berkedudukan sebagai pemimipin dan pengatur agama. Mataram menerima agama dan peradaban Islam dari kerajaankerajaan Islam pesisir yang lebih tua.”
Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam mengambil keputusan. Sultan tidak pernah mengambil putusan yang bertentangan dengan nasihat pengadilan Surambi.83
Perekonomian Kesultanan Mataram Negara Mataram tetap merupakan negara agraris yang mengutamakan pertanian. Selain beras, Mataram juga menghasilkan gula kelapa dan gula aren. Hasil gula tersebut berasal dari daerah Giring di Guningkidul. Gula kelapa dan gula aren itu diekspor ke luar melalui Tembayat dan Wedi.84 Dasar-dasar kehidupan maritim tidak dimiliki oleh Mataram. Laut Selatan Jawa gelombangnya terlalu besar sehingga pembuatan pelabuhan di pantai selatan tidak mungkin. Kesultanan Mataram yang sedang dalam taraf pembangunan tidak berhasil memiliki pelabuhan dan tidak menjadi negara Maritim. Kesultanan Mataram menjadi negara pertanian karena pusat kerajaannya berada di pedalaman.85
Kehidupan Sosial keagamaan serta Peran Ulama Pada masa pemerintahan Sultan Agung, para ulama yang ada di kesultanan Mataram dapat dibagi dalam tiga bagian. Yaitu ulama yang masih berdarah bangsawan, ulama yang bekerja sebagai alat birokrsi, ulama pedesaan yang tidak menjadi alat birokrasi. Sebagai penguasa Mataram, Sultan Agung sangat menghargai para ulama karena mereka mempunyai moral dan ilmu pengetahuan tinggi. Jika ingin membuat kebijakan, Sultan Agung selalu meminta nasihat dan pertimbangan kepada para ulama.86 Ulama pada saat itu sedang konsentrasi menggarap Islamisasi terhadap budayabudaya yang masih melekat di hati masyarakat Mataram. Sunan Kalijaga misalnya, beliau adalah ulama yang selalu berusaha keras agar ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat yang sudah kuat nilai kepercayaan terhadap ajaran dan doktrin budaya sebelum Islam. Berbagai cara telah beliau tempuh termasuk melalui karya seni yang telah mentradisi di masyarakat.87 Penggunaan gelar Sayidin Panatagama oleh Senopati menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya Mataram telah dinyatakan sebagai negara Islam. Raja berkedudukan sebagai pemimipin dan pengatur agama. Mataram menerima agama dan peradaban Islam dari kerajaan-kerajaan Islam pesisir yang lebih tua. Sunan Kalijaga sebagai penghulu terkenal di masjid Agung Demak mempunyai pengaruh besar di Mataram. Tidak hanya sebagai pemimpin rohani, tetapi juga sebagai pembimbing di bidang politik.88 Namun peran ulama menjadi tergeser semenjak Mataram dikuasai oleh Amangkurat I. Pada saat itu terjadi de-islamisasi. Banyak ulama yang dibunuh
34
83 Cik Hasan Bisri,Peradilan Agama ….., Op. Cit., hlm. 114 84 Daliman, Islamisasi, hlm. 188-189 85 Slamet muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa, hlm. 226 86 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, hlm. 74-75 87 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hlm. 30-31 88 Daliman, Islamisasi, hlm. 190
SYAMINA sehingga kehidupan keagamaan merosot, sementara dekadensi moral menghiasi keruntuhan pamor Mataram akibat dari campur tangan budaya asing.89
Peran di bidang kebudayaan Islam pada masa pemerintahan raja yang ketiga, Sultan Agung gagasan untuk mengembangkan kebudayaan dapat dimulai. Diambillah unsur-unsur peradaban dari daerah-daerah pesisir Utara dan Jawa Timur yang dapat mempertinggi martabat keraton Mataram dibidang kebudayaan sesuai dengan kedudukannya sebagai istana raja penguasa tertinggi di seluruh tanah Jawa juga dalam hal penyebaran agama Islam, menyatukan diri dengan unsur-unsur Hindu-Budha yang disebut dengan Islam Sinkretis.90 Pada masa Sultan Agung diperintahkan untuk menulis sebuah kitab induk semacam ensiklopedi Jawa yang dinamakan Babat Kerajaan Mataram, sering disebut juga Babad Tanah Djawi yang sampai sekarang masih ada dan banyak menjadi sumber kajian dan penelitian sejarah Jawa. Penyusunan babad ini dilakukan setelah perubahan gelar menjadi sultan sekitar tahun 1641 M. 91
Sistem Politik Kesultanan Mataram Sistem politik Mataram yang sifatnya intern, terutama menyangkut konsolidasi tata pemerintahan, seperti sistem birokrasi, sistem penggantian raja, masing-masing periode hampir tidak mengalami perbedaan, akan tetapi dalam hal penguasaaan wilayah, kadang-kadang mengalami naik-turun. Seperti pada masa Panembahan Senopati, ia mampu mengangkat martabat Mataram ke strata yang lebih tinggi, yakni menjadikan Mataram berdiri sendiri (yang semula merupakan daerah bawahan Kerajaan Pajang). Ketika kendali pimpinan beralaih ke tangan susuhunan Amangkurat I martabat Mataram menjadi merosot kembali, wilayah kekuasaan mulai menciut karena hubungannya dengan kolonial Belanda.
Edisi 4 / Maret 2017
“
Pada masa Sultan Agung diperintahkan untuk menulis sebuah kitab induk semacam ensiklopedi Jawa yang dinamakan Babat Kerajaan Mataram, sering disebut juga Babad Tanah Djawi yang sampai sekarang masih ada dan banyak menjadi sumber kajian dan penelitian sejarah Jawa.”
Keabsahan kedudukan dan kekuasaan raja mataram, diperoleh karena warisan. Secara tradisional pengganti raja-raja ditetapkan putra laki-laki dari istri permaisuri dan selir pun biasa dinobatkan sebagai pengganti raja. Apabila dari keduanya tidak mendapatkan anak laki-laki, maka paman atau saudara laki-laki tua dari ayahnya bisa menjadi pengganti.
Politik Luar Negeri Mengenai politik luar negerinya, diantara penguasa Mataram bisa ditemui perbedaan yang mencolok dalam menghadapi penetrasi Barat. Ada yang menempuh sikap kompromistis dan ada pula yang antipati sama sekali. Pada masa Panembahan Senopati, usaha tersebut memang belum ditemui. Hal ini disebabkan walaupun saat itu orang-orang Eropa sudah berada di Nusantara, konsentrasi politik sedang dicurahkan untuk konsolidasi dan penguasaan kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
89 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hlm. 30-31 90 Daliman, Islamisasi, hlm. 191-192 91 De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, op.cit. h.281-282
35
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
“
Dalam setiap misi sampai penaklukan Surabaya kekuatan tentara Sultan Agung selalu berhasil gemilang mengalahkan musuh-musuhnya. Pada tahun 1615 total kekuatan tentara Mataram tidak kurang dari 300.000 pasukan.”
Sedangkan pada masa Raden Mas Jolang, kehadiran Belanda diterima dengan baik di akhir kekuasaannya. Berbeda dengan penguasa Mataram berikutnya, Sultan Agung, beliau termasuk penguasa yang antipati pada kompeni. Berbagai usaha telah dikerahkan untuk mengusir keberadaan dan membendung penetrasinya yang kian kuat di bumi Nusantara.92
Politik ekspansi Sultan Agung didukung oleh kekuatan tentaranya yang terkenal perkasa dan sulit terkalahkan dalam peperangan. Dalam setiap misi sampai penaklukan Surabaya kekuatan tentara Sultan Agung selalu berhasil gemilang mengalahkan musuh-musuhnya. Pada tahun 1615 total kekuatan tentara Mataram tidak kurang dari 300.000 pasukan. Ada semacam wajib militer di Mataram saat itu. Di samping pasukan pengawal di istana dan pasukan reguler, masih ada pasukan milisi yang terdiri dari para penduduk desa yang dikerahkan atas perintah Raja. Para milisi ini tidak dibayar oleh raja, tetapi sebagai tugas wajib untuk membela negara dengan sukarela. Untuk memobilisasi milisi diperlukan beberapa tahapan. Untuk daerah di sekitar keraton mobilisasi dilakukan dengan pukulan-pukulan gong di semua sudut Karta diikuti desa-desa dan kota-kota di sekitarnya. Dalam setengah hari raja dapat mengumpulkan 200.000 orang bersenjata. Dengan persenjataan yang sederhana dan tanpa perbekalan mereka sering terancam kelaparan. Kelebihan tentara Sultan Agung adalah kedisplinan dan semangat tempur yang tinggi sehingga mampu melakukan tugas-tugas berat. Di seluruh Nusantara mungkin sulit ditemukan kemampuan militer yang demikian.93 Beberapa misi Sultan Agung diantaranya yaitu mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir kompeni (VOC) dari Batavia. Beberapa wilayah telah terwujud telah ia taklukkan, Mataram melakukan beberapa penyerangan di sekitar Jawa Timur. Pada tahun 1614 M Mataram menyerang Surabaya bagian selatan; Ujung Timur Pulau Jawa, Malang, dan Pasuruan. Ia juga dapat menduduki Wirasaba pada tahun 1615 M. Penaklukan Wirasaba ini dirasa sangat penting, hal itu dikarenakan merupakan pintu masuk ke Surabaya. Kemudian pada tahun 1616 M, pasukan dikirim melalui pantai Utara dan dapat menaklukkan Lasem dan terus ke Timur sampai Pasuruan. Bahkan pada tahun
36
92 93
Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hlm. 28-29 De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, h.128-130
SYAMINA 1620 M pasukan Mataram dengan melalui laut menyerang Surabaya dan setelah itu Madura ditaklukkan dan disatukan dalam satu pemerintahan di bawah keturunan kepangeranan Madura dengan ibukota Sampang.94 Surabaya, yang merupakan saingan berat Mataram, setelah diserbu beberapa kali akhirnya takluk (1625) berikut Giri (1636) dan Blambangan di tahun 1639.95 Yang menarik, pada tahun 1625 Surabaya ditaklukkan bukan karena diserang melainkan karena rakyatnya mati kelaparan akibat strategi blokade yang dilakukan Mataram.96 Saat itu Sultan Agung adalah raja yang paling kuat di Nusantara dan paling luas wilayah kekuasaannya. Di Jawa, hanya Banten dan Batavia yang tidak berhasil ditaklukkannya. Sementara itu, sebagian wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Bali menyatakan tunduk kepada Mataram.97
Edisi 4 / Maret 2017
“
Saat itu Sultan Agung adalah raja yang paling kuat di Nusantara dan paling luas wilayah kekuasaannya. Di Jawa, hanya Banten dan Batavia yang tidak berhasil ditaklukkannya. Sementara itu, sebagian wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Bali menyatakan tunduk kepada Mataram.”
Dengan jatuhnya Surabaya maka seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur (kecuali Blambangan) bersatu di bawah naungan Mataram. Persatuan ini diperkuat lagi oleh Sultan Agung dengan mengikat para adipatinya dengan tali perkawinan dengan putri-putri Mataram. Ia sendiri menikah dengan putri Cirebon, sehingga daerah ini juga mengakui kekuasaan Mataram.98 Setelah Surabaya dapat ditaklukan, Sultan Agung memusatkan penyerangan ke Batavia. Batavia pada masa itu masih ada konflik dengan Banten. Walaupun hubungan Banten dan Batavia tegang sejak dulu, Banten tidak ingin Batavia jatuh ke tangan Mataram. Pada Hari Natal 1627, Banten mengadakan usaha yang tidak matang untuk menguasai Batavia dengan tiba-tiba, tetapi gagal.99 Usaha ekspansi ke wilayah Barat (Jakarta - yang saat itu dikuasai VOC), dilakukan Sultan Agung pada tahun 1628 dan 1629, akan tetapi gagal dan bahkan banyak menelan korban di pihak Mataram. Hal ini disebabkan disamping sistem persenjataan yang kalah canggih juga karena adanya seorang prajurit Mataram yang membelot dan memihak kepada Belanda serta menunjukkan gudang perbekalan Mataram yang berada di Tegal. Akhirnya logistik itupun dibakar oleh Kompeni dan banvak prajurit
94 H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram. h.137 95 Kartodirdjo. Sejarah Nasional. III. h. 295. 96 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta : Serambi, 2005, h.86 97 Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho. D, Membangun Indonesia Emas: model pembangunan Indonesia Baru menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005), 32 98 R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 61 99 H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1990), 137
37
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Mataram yang mati kelaparan. Disinyalir pula bahwa pada saat serangan itu terjadi prajurit Mataram sedang dilanda wabah malaria.100 Serangan Sultan Agung terhadap VOC di Batavia dilakukan pada tahun 1628 dan 1629. Perlawanan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pertama, Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran Kompeni Belanda di Batavia dapat membahayakan kesatuan Negara terutama Pulau Jawa.101 Pihak Belanda telah melakukan apa yang telah diperingatkan oleh Sultan Agung agar tidak merebut suatu bagian Pulau Jawa yang ingin diperintahnya sendiri sebagai penguasa tunggal. Kedua, Sultan Agung sempat mengajukan beberapa tawaran kepada VOC, tetapi ditolak. Pada tahun 1621, personel VOC yang ditawan dipulangkan ke Batavia beserta pengiriman beras. VOC mengirimkan perutusan-perutusannya kepada Sultan Agung pada tahun 1622, 1623, dan tahun 1624, tetapi permintaan Sultan Agung akan bantuan angkatan laut VOC dalam rangka menaklukkan Surabaya, Banten, dan Banjarmasin ditolak oleh pihak VOC. Maka tidak ada satu alasan pun bagi Sultan Agung untuk membiarkan kehadiran VOC di Pulau Jawa.102 Ketiga, bagi Sultan Agung, Batavia merupakan kota yang dapat merugikan kerajaannya. Hubungan antara Mataram dan Malaka dipersulit oleh Batavia.103 Keempat, Imperialisme Belanda dengan VOC nya mempunyai dua rencana kejahatan. Pertama, dalam proses mempercepat perebutan kekuasaan ekonomi Islam. Kedua, berlomba-lomba untuk memperoleh hegemoni antar Imperialis Barat di Nusantara dan Kerajaan Katolik Portugis juga Spanyol serta Kerajaan Protestan Anglikan Inggris. Di bawah kondisi tantangan Imperialis Protestan Belanda ini, Sultan Agung melancarkan serangan ke Batavia pada tahun 1628-1629.104 Bulan April 1628 Kyai Rangga, bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan beberapa syarat dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang dengan VOC. Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala. Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan
38
100 101 102 103 104
Kartodirdjo. Sejarah Xasional. III. hal. 296 J.B.Sudarmanto, Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2007), 260 Ade Soekirno, Cerita Rakyat Jawa Tengah: Pangeran Samber Nyawa (Jakarta: Grasindo, 1993), 89 Poesponogoro, et al, Sejarah Nasional Indonesia III, 364. Suryanegara, Api Sejarah, jilid 1, Surya Dinasti - Tria Pratama Bandung 2015, h.181.
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Pada masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang juga tunduk di bawah Mataram adalah Palembang dan Jambi di Pulau Sumatra serta Sukadana dan Martapura (Banjarmasin) di pulau Kalimantan. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu. 105
Kezaliman Amangkurat Menghancurkan Mataram Amangkurat I lahir sekitar tahun 1619 M. Sejak umur 5 – 15 Tahun (1624-1634) dididik oleh Tumenggung Mataram. Ia diangkat sebagai sultan Mataram pasca mangkatnya Sultan Agung. Masa kekuasaanya berlangsung antara tahun 1646-1677, suatu masa yang dianggap sebagai tanda kemunduran Kerajaan Mataram. Bukan hanya sumber Belanda yang menyebutkan demikian, melainkan Babad Tanah Jawa garapan Meinsma juga mengakui hal tersebut : Kala semanten sang nata sabarang karsanipun ewah kalijan adatipun, asring misesa tijang, tansah nggelaraken sijasat. Para boepati, mantri toewin para sentana sami lampah alap-alapan ing kalenggahanipun, sakelangkung resah tataning nagari. 105 De Graf, Puncak Kekuasaan Mataram, Op.cit. h.286-288
39
Edisi 4 / Maret 2017
“
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.”
SYAMINA Tijang samatawis sami miris manahipoen, sarta asring grahana woelan toewin srengenge; djawah salah mangsa, lintang koemoekoes in sabendaloe ketingal. Djawah awoee oetawi lindoe. Akatah delajat ingkang ketingal. Poenika pratandanipoen, jen negari bade risak. “Ketika itu raja bertindak sekehendaknya sendiri, tidak seperti biasanya. Ia sering melakukan tindak kekerasan, dan selalu bermain siasat. Para Bupati, para mantri dan keluarga istana bertindak semaunya dengan menyalah-gunakan kedudukan mereka. Tertib bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering terjadi gerhana bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan bintang berekor terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak pertanda jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan rusak.” Kekuasaan absolut Amangkurat I telah terlihat semenjak ia terpilih jadi Sultan Mataram tahun 1646 M. Pertama-tama ia memindahkan ibukota kerajaan dari Karta ke Plered tahun 1647 M. Berbeda dengan keraton di Karta yang terbuat dari kayu, kali ini sang Sultan membangun Keraton yang terbuat dari batu bata dan dikelilingi parit besar. Utusan Belanda, Abraham Verspreet mengunjungi keraton Plered pada tahun 1668, mengkonfirmasi keadaan tersebut. Ia menggambarkan keraton Plered layaknya sebuah pulau di tengah danau. Keraton yang berada di tengah parit buatan itu seakan-akan menggambarkan jiwa Amangkurat yang terasing karena pada dasarnya ia memang mencurigai siapapun. Konon, setiap malam tiba seluruh kompleks Kraton disterilkan dari laki-laki. Hanya ia sendiri yang tinggal bersama ribuan wanita, abdi dalem, dan istri-istrinya. Konon lagi terdapat tiga puluh prajurit wanita cantik yang disebut prajurit Trinisat Kenya dengan setia selalu menjaganya. Pada tahun-tahun pertama kekuasaannya, Amangkurat telah menampakkan sifat arogansinya. Sebelum ia menjadi Sultan dan masih menjadi putra mahkota, ia pernah terlibat skandal dengan istri seorang abdi dalem senior bernama Tumenggung Wiraguna. Skandal ini kemudian dilaporkan kepada Sultan Agung, namun tidak berhasil menggoyang posisinya sebagai Putra Mahkota.106 Ketika telah berkuasa, Amangkurat I menumpahkan kebenciannya kepada Tumenggung Wiraguna dengan mengirimnya ke Timur untuk menumpas ekspansi pasukan Bali di Blambangan. Di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu, Wiraguna dibunuh orang kepercayaan Raja. Tidak hanya itu, Amangkurat juga memerintahkan pasukannya untuk membasmi semua orang yang pernah terlibat melaporkan tindakan skandal yang dahulu dilakukannya kepada ayahnya Sultan Agung. Perintah tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa ribuan wanita dan anak yang tidak bersalah, termasuk keluarga Tumenggung Wiraguna.
40
Demikianlah pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan Amangkurat I tidak dapat membuatnya merasa semakin aman. Konon setiap kali sang Sunan keluar keraton, ia dikawal oleh 2000 orang prajurit bertombak. Ia juga membunuh hampir semua pejabat tinggi (peninggalan ayahnya, Sultan Agung) dan menggantinya dengan abdi-abdi pengikutnya sehingga tampaknya ia tidak mempercayai lagi 106 De Graaf, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, h.2-3
SYAMINA pembesar-pembesar dari kalangan keluarganya sendiri. Begitu mudahnya sang Sunan membunuh orang, sehingga seorang pejabat Belanda, Michielsen, pernah berkomentar bahwa “Semoga suatu saat sang Sunan akan jenuh mengalirkan darah orang“. Adik sang Sultan Amangkurat, Pangeran Alit merasa turut terancam karena kedekatannya dengan Tumenggung Wiraguna. Ketika seluruh teman-teman terbaiknya telah dibantai, Pangeran Alit mulai mendekati pemuka-pemuka Islam untuk menghilangkan kecurigaan terhadapnya. Di saat yang bersama ia mengumpulkan teman-temannya untuk mempersiapkan serangan terhadap sang Kakak. Mengetahui hal tersebut, Amangkurat I tidak perlu pikir panjang untuk menghabisi pendukung adiknya. Terpancing atas provokasi tersebut, Pangeran Alit dengan kekuatan sekitar 60 orang pendukungnya, menyerbu alun-alun keraton dalam sebuah “pertarungan penghabisan berdarah” pada tahun 1647.
Edisi 4 / Maret 2017
“
Amangkurat I menilai bahwa adanya ulama atau santri dalam pemerintahannya akan sangat berbahaya, terutama bagi tahtanya.”
Kekuatan Pangeran Alit tersebut tidak sebanding dengan pasukan Sunan sehingga dapat dibasmi dengan mudah, hingga menyisakan Pangeran Alit seorang. Menurut catatan Belanda yang dipercaya, sang Sultan akhirnya membiarkan para prajuritnya untuk membunuh pangeran Alit atas alasan “pembelaan diri”, dengan itu bersihlah tangan Amangkurat dari darah adiknya sendiri. Akibat pemberontakan ini adalah munculnya kecurigaan Amangkurat I terhadap kaum ulama atau para pemimpin Islam. Amangkurat I menilai bahwa adanya ulama atau santri dalam pemerintahannya akan sangat berbahaya, terutama bagi tahtanya.107 Amangkurat memerintahkan empat pembesar istana untuk mengerahkan anak buahnya menyebar ke empat penjuru mata angin dan berusaha keras supaya “jangan seorangpun dari pemuka-pemuka agama (ulama) dalam seluruh yuridiksi Mataram yang luput dari pembunuhan”. Sehingga kemudian dibuatlah sebuah daftar para pemimpin agama terkemuka dan mereka semua dikumpulkan di halaman istana. Kemudian sekitar 5.000 - 6.000 orang, yang terdiri dari kaum ulama, beserta para keluarganya baik itu pria, wanita dan anak-anak dibantai dengan keji (1647 M).108 Sang Susuhunan selanjutnya merevisi administrasi peradilan, yang diperkenalkan oleh ayahnya, dan membatasi yurisdiksi pengadilan agama (Surambi).109 Pada tahun 1659, Amangkurat kembali melakukan pembunuhan, kali ini terhadap Mertuanya sendiri, Pangeran Pekik beserta anggota keluarganya yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap sang Raja. Sultan Amangkurat I juga membuat kebijakan-kebijakan yang kontrofersial yaitu; pertama, tidak lagi menghargai para ulama bahkan berusaha untuk menyingkirkannya. Pada masanya ribuan ulama Syahid dibunuh Sultan Amangkurat I. Kedua, menghapus lembaga-lembaga agama yang ada di Kesultanan, seperti menghapus Mahkamah Syariah yang telah dibentuk oleh Ayahnya. Ketiga, membatasi perkembangan Islam dan melarang kehidupan Agama mencampuri 107 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 142. 108 De Graaf, Disintegrasi Mataram.., op.cit. h. 38 109 Rochmat Gatot Santoso, Kebijakan Politik Dan Sosial-Ekonomi Di Kerajaan Mataram Islam Pada Masa Pemerintahan Amangkurat I (1646-1677), Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarya 2016. h.9
41
Edisi 4 / Maret 2017
SYAMINA masalah kesultanan. Keempat, membangun kerjasama dengan penjajah Belanda yang menjadi musuh bebuyutan Ayahnya.
“
Kegemilangan barisan Madura dan Makasar untuk menguasai wilayah pesisir di Jawa mencapai puncaknya pada bulan Desember 1676 M dan Januari 1677 M. Barisan ini berhasil menduduki Demak, Semarang, Kendal, Kaliwungu, Pekalongan, Tegal, dan akhirnya Cirebon dan Indramayu. Daerah-daerah pesisir kemudian berhasil direbut kembali dari pasukan Trunojoyo dengan bantuan VOC.”
Demikianlah gambaran tindakan Amangkurat I yang mempengaruhi masa kehancuran Mataram, bahkan dalam laporan umum VOC di Batavia tanggal 16 Desember 1659, dikemukakan keyakinan bahwa apabila peperangan terjadi, Sang Sultan “tidak akan mudah meninggalkan istana Mataram karena di luar istana itu ia tidak merasa aman; dan ia pun tidak akan mempercayakan sebagian kekuatan tentaranya kepada pembesar manapun, karena kezaliman pemerintahan yang dilakukannya menjadikan ia ditakuti dan dibenci setiap orang”. Prediksi kompeni tersebut benar terjadi. Para penguasa lokal mulai menunjukan ketidaksukaanya terhadap penguasa Mataram. Satu per satu pangeran penguasa kadipaten dan anggota keluarga Sunan sendiri mulai menentang kekuasaanya. Cara Amangkurat I dalam memerintah yang zalim telah mendatangkan kemarahan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, Raden Kajoran, seorang ulama keturunan Sunan Bayat, melakukan perlawanan. Ia menyusun kekuatan dari para santri dan rakyat pedesaan. Raden Kajoran mendapat dukungan dari Raden Anom, anak Sultan Amangkurat I dan Trunojoyo bangsawan dari Madura, yang kemudian menjadi menantu Raden Kajoran. Kekuatan semakin kuat ketika Karaeng Galesong bangsawan dari Gowa Makassar bergabung. Namun perkembangan selanjutnya, Adipati Anom melakukan pengkhianatan, yakni dengan keluar dari aliansi. Trunojoyo merupakan putra dari Demang Malaya, yang pernah tinggal di Mataram bersama ayahnya. Sewaktu masih berada di Mataram, Trunojoyo telah banyak melihat kekejaman serta penyimpangan yang terjadi di istana, sehingga Trunojoyo kemudian memutuskan untuk tinggal di Sampang bersama dengan keluarga pamannya, Cakraningrat II. Selama berada di istana, ayahnya dibunuh (1656 M) dan dirinya terancam. Hal inilah yang akhirnya menjadi salah satu alasan mengapa Trunojoyo sangat membenci Amangkurat I.110 Pemberontakan semakin meluas, ketika pasukan Trunojoyo dan Makasar memperoleh kemenangan di berbagai daerah pesisir utara Jawa, seperti: Surabaya, Gresik, Sidayu, Tuban, Rembang, dan Lasem. Barisan Trunojoyo, atas nama Islam, menyeru pada orang-orang Jawa agar mendukung mereka mengalahkan Amangkurat I yang bekerjasama dengan orang kafir, Belanda. Seruan ini mendapatkan tanggapan yang positif, salah satunya dari Panembahan Giri (keturunan sunan Giri), yang sangat merestui gerakan ini. Ia mengatakan bahwa Mataram tidak akan pernah sejahtera selama VOC masih berada di Jawa. Hal ini sekaligus menunjukkan adanya semangat anti-VOC. Ditambah lagi kejahatan Amangkurat tehadap para ulama yang sulit dilupakan. Kegemilangan barisan Madura dan Makasar untuk menguasai wilayah pesisir di Jawa mencapai puncaknya pada bulan Desember 1676 M dan Januari 1677 M. Barisan ini berhasil menduduki Demak, Semarang, Kendal, Kaliwungu, Pekalongan, Tegal,
42
110 Capt. R. P. Suyono, Peperangan Kerajaan di Nusantara: Penelusuran Kepustakaan Sejarah, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003, hlm.66 dan M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 86 dan 161
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
dan akhirnya Cirebon dan Indramayu. Daerah-daerah pesisir kemudian berhasil direbut kembali dari pasukan Trunojoyo dengan bantuan VOC.111
Untuk menghadapi kekuatan Trunojoyo, Amangkurat mulai mendekati VOC untuk membantunya. VOC lebih suka berhubungan dengan Amangkurat daripada dengan Trunojoyo yang dianggap berbahaya. Pada bulan Desember 1676 VOC mengutus Speelman ke Jepara dengan 1200 orang tentara untuk membantu Amangkurat. Sebagai gantinya, Kompeni menuntut Amangkurat mengganti kerugian perang dan memberikan sebagian daerah kekuasaanya. Singkatnya pada tanggal 28 Juni 1677 pasukan Trunajaya berhasil mengalahkan kekuatan Mataram-VOC dan memasuki keraton Mataram di Plered. Namun sebelumnya, pada malam hari Amangkurat I beserta beberapa anggota keluarga dan putranya telah melarikan diri dari Keraton, bermaksud menuju Cirebon untuk berlindung ke Belanda. sementara istana diserahkan kepada putranya, Pangeran Puger (kelak menjadi Pakubuwana I). Amangkurat kemudian wafat dalam upaya pelarian tersebut, pada tanggal 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas. Sebelumnya ia berwasiat agar anaknya, Mas Rahmat kembali bekerja sama dengan VOC untuk merebut kembali tahta dari tangan Trunajaya.112 Mas Rahmat inilah yang nantinya bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kasultanan Mataram. Amangkurat I juga berwasiat untuk dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Amangkurat II memerintah dari tahun 1677 sampai tahun 1703 M. Sebelum Amangkurat I wafat, ia sudah menetapkan Adipati Anom sebagai Sultan Mataram yang baru. Setelah dilantik, Adipati Anom diberi gelar Sultan Amangkurat II ia segera melanjutkan kerjasamanya dengan Belanda untuk merebut kembali tahta Mataram. Dalam perjanjian di Jepara Belanda menginginkan wilayah timur Karawang dan upah dalam bentuk uang sebagai pengganti biaya perang. Setelah perjanjian 111 Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 191 112 M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 166
43
Edisi 4 / Maret 2017
SYAMINA Jepara ditandatangani, Amangkurat II dan Belanda melakukan penyerangan ke Mataram dan berhasil memukul mundur aliansi Raden Kajoran. Dengan demikian, Sultan amangkurat II berhasil merebut kembali tahta Mataram.
Walaupun Sultan Amangkurat II meduduki Mataram dan berusaha mengembalikan fungsi ulama, tetapi persoalan Mataram semakin runyam dengan campur tangan Penjajah Belanda.113 Sejak 1743 Mataram hanya memiliki wilayahwilayah Begelen, Kedu, Yogjakarta, dan Surakarta. Tragisnya, Mataram harus terpecah menjadi dua oleh perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dengan rajanya Susuhan (Pakubuwono) dan Kesultanan Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I).
Pada tahun 1757, Surakarta pecah lagi menjadi wilayah yang dikuasai Pakubuwono dan wilayah yang dikuasai Mangkunegara I. Hal ini juga terjadi di Yogyakarta yang terpecah menjadi 2 yaitu wilayah Kesultanan yang dikuasia Sultan Hamengku Buwono III dan Kadipaten Pakualaman yang dipimpin Bendara Pangeran Natakusuma atau lebih dikenal dengan Pakualam I.114
44
113 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, hlm. 77-80 114 Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 85-87
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Kesimpulan Eksistensi negara yang berdasarkan Islam bukan sebuah ilusi tapi sebuah fakta sejarah. Negara Islam yang besar, Kesultanan Demak dan Mataram serta negaranegara yang lebih kecil sesudahnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah Negara atau negara Islam. Demak dan Mataram serta negara yang lebih kecil lainnya telah menjadikan Islam sebagai konstitusi negara dan membentuk lembaga peradilan yang memutuskan hukumnya berdasar syariat Islam. Hukum Islam diberlakukan bagi seluruh pejabat maupun rakyat di negara-negara tersebut. Dilengkapi dengan jihad fi sabilillah (perang sabil) melawan penjajah kafir sebagai kebijakan politik luar negerinya. Berdasarkan fakta sejarah di atas terlihat bahwa; negara-negara Islam tersebut mengalami kejayaan dan masa keemasan ketika konsisten dengan syariat Islam. Sebaliknya mulai dan mulai mundur, merosot dan menuju kehancuran ketika berpaling dan mulai meninggalkan ajaran Islam. Berdasarkan fakta sejarah, negara Islam telah ada dan berdaulat di Tanah Jawa pada tahun 1500-1700 M. Jadi jika ada wacana untuk mengembalikan negara Islam di tanah Jawa bukan sebuah ilusi atau utopia, tapi merupakan upaya mengikuti jejak nenek moyang dan bagian dari upaya menghidupkan kearifan lokal (local wisdom). (K. Subroto)
45
Edisi 4 / Maret 2017
SYAMINA
Daftar Pustaka
Achmad Ridwan (Skripsi);”Perkembangan Pengadilan Pradata Masa Reorganisasi Bidang Hukum di kasunanan Surakarta tahun 1893-1903”; Universitas Sebelas Maret Surakarta – 2010 Ade Soekirno, Cerita Rakyat Jawa Tengah: Pangeran Samber Nyawa (Jakarta: Grasindo, 1993) Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah, Tangerang : Transpustaka, 2011. Ahmad al-‘Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbarmedia, 2003 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid 1, Penerbit Surya Dinasti Bandung cet.2 tahun 2015 Bakdi Soemanto, Cerita Rakyat dari Yogyakarta 3 (Yogyakarta: Grasindo, 2003), Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009) Capt. R. P. Suyono, Peperangan Kerajaan di Nusantara: Penelusuran Kepustakaan Sejarah, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia. Edisi Revisi, Penerbit; RajaGrafindo Persada Jakarta, 2003 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010) Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2010 Encep Supriatna, Tokoh Penyiar Agama Islam Berikut Wilayahnya, https://www. file.upi.edu Ensiklopedi Islam, Jilid 1, Jakarta: Departemen Agama, 1993 Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam University Press. G. D Larson, Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, (Yogyakarta: UGM Press, 1989) G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, (Yogyakarta: KANISIUS, 1994)
46
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho. D, Membangun Indonesia Emas: model pembangunan Indonesia Baru menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005) H. J. De Graaf And Tieodore G. Th. Pigeaud, Islamic States In Java 1500-1700, Springer-Clence Business Media, B.V. H.J. De Graaf dan T.H. G. T.H. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, terj. Grafiti press dan KITLY, PT Grafiti pers. Jakarta. 1985 H.J. De Graaf, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, Pustaka Grafitipers Jakarta, cet. I tahun 1987 H.J. De Graaf, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Kajian Sejarah Politik Abad ke15 dan ke1-16, Grafitipers Jakarta, cetakan ketiga 1989 H.J. De Graaf, Puncak Kajayaan Mataram. Penerbit Pustakan Grafiti pers. Jakarta. Cet. I. 1986 H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1990) Hamka, Sejarah Umat Islam, Jld. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1981 Hans Kelsen, General Theory of Law and State , (New York: Russell & Russell, 1961) Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit : RajaGrafindo, 2003) J.B.Sudarmanto, Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2007) K. Subroto, Strategi Snouck Mengalahkan Jihad di Nusantara, Laporan Khusus Edisi 1 / Januari 2017 Komandoko, Atlas pahlawan Indonesia, Yogyakarta: Quantum Ilmu 2011, Lubis (ed.), Kesultanan Banten, Sejarah Tatar Sunda. Jilid I, 2003, Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES Indonesia, cet. I 2004. Mahrus El-mawa, Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568) dalam Jumantara Vol. 3 No. 1 (2012) Mawarti Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid. III, PN. Balai pustaka, Jakarta, 1984 Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.5, (Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti, 1983), Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1978) Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus, 2007)
47
Edisi 4 / Maret 2017
SYAMINA Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2004 Naili Anafah. Op.Cit. h 4. Atmodarminto, Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik KeIslaman dan Keagamaan (Jakarta: Milenium Publiser, 2000) Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES Indonesia, 2003, cet. I 2004. Ebook chm Noeh, Zaini Ahmad, Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam “Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia”, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., Jakarta: PP-IKAHI, 1994 Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia, (Jakarta: Pustaka, 2006), hlm. 72. Lihat juga R. Tresna, 1978, Peradilan Agama dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1978) Panitia Penelitian Dan Pemugaran Sunan Giri, Sejarah dan da’wah Islamiyah Sunan Giri, Cet. I, II, Malang, 1974 Prof. a. Daliman, Islamisasi dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit ombak, 2012) Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004 Purwadi, Sejarah Raja-raja Jawa, Sejarah Kehidupan Perkembangannya Di Jawa, Yogyakarta : Media Abadi, 2007
Kraton
Dan
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Yogyakarta: Kanisius, 1987) Rahman, Pengantar Sejarah Jawa Timur, Jld I, Autometie, sumenep, 1979 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta : Serambi, 2005 Rifa’I Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Telaah Atas Karya Klasik, Bandung: Mizan, 1987 Rochmat Gatot Santoso, Kebijakan Politik Dan Sosial-Ekonomi Di Kerajaan Mataram Islam Pada Masa Pemerintahan Amangkurat I (1646-1677), Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarya 2016 Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta 1981 Salman Inskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia (Bandung: MIZAN, 2009) Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan-kerajaan Hindu Jawa Ban Timbulnya Negara-negara Islam Di Nusantara, Bhatara, Jakarta, 1968
48
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau:Studi tentang masa Mataraam II, abad XVI sampai XIX. (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1985).
SYAMINA
Edisi 4 / Maret 2017
Subroto, Kesultanan Demak Negara Yang Berdasar Syariat Islam Di Tanah Jawa, SYAMINA Edisi II Januari 2016 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996 Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat, LP3ES, Jakarta, 1987 Thomas Arnold, The preaching Of Islam, Terj. Nawawi Rambe, Wijaya, Jakarta, 1977 Tim Penyusun Naskah Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat, Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat Sebuah Sejarah Ringkas (Jepara:1991) Tresna R. “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”. Pradnya Paramita. Jakarta 1978.Cetakan Ke-3. Umar Hasyim, Sunan Giri, Penerbit Menara Kudus, 1979 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, Penerbit Kurnia Kalam Sejahtera Yogyakarta, 1994
49