Arif Amani
NKRI NEGARA ISLAM & KHILAFAH Merangkai Islam Indonesia
Penerbit amantinah publisher
NKRI, Negara Islam & Khilafah : Merangkai Islam Indonesia Oleh : Arif Amani Copyright @ 2014 by Arif Amani
Penerbit : amantinah publisher Cetakan I – 2014
email :
[email protected] twitter : @inazamani, @nkriniikhilafah fb : merangkai islam indonesia
diterbitkan melalui : nulisbuku.com
PERSEMBAHAN
Untuk Ayah dan Ibuku Semoga Sehat Selalu Dalam Keberkahan
Shollu ‘Ala Nabiy Ya Muhammad, Ya Sayyidi
Untuk Indonesia Kejayaan Negeri Madani
“kita tidak pernah mati, jiwa kita yang akan masuk surga, bukan yang lainnya. jiwa yang bersih dari kebencian dan permusuhan. jiwa yang memutih menjadi makhluk surga”
P
ENGANTAR PENULIS
“Allahu ghoyatuna (Allah tujuan kami), Muhammad qudwatuna (Muhammad teladan kami), Al Quran dusturuna (Al Qur’an penuntun kami), Jihad sabiluna (Jihad jalan kami), Syahid asma ’amalina (Syahid cita kami tertinggi)”
Tatkala mati menjadi cita-cita, Israel dipenjara ketakutan. Inilah ideologi kematian. Manusia yang menginginkan kematian, menang dengan kematian dirinya. Membunuhnya, hanyalah kemenangan semu. Celakanya, dia hanya bercita-cita mati di tangan musuh yang dia cita-citakan untuk mati pula. Kematian, bukanlah kekalahan. Kematian, bukanlah teror. Lawan mana yang tidak akan frustasi? Di sisi lain, tentara-tentara Israel berperang karena tugas, gaji, dan ‘remunerasi’. Mereka ingin hidup dan pulang dengan sebuah boneka Barbie untuk seorang bidadari kecilnya. Prajurit berseragam itu tahu, peluru-peluru yang mengoyak-oyak tubuh itu, tak membuat lawan takut. Perang yang tidak ada harapan untuk berhenti, membuat mereka yang memilih cita-cita hidup, dilanda frustasi. Bagaimana mengalahkan mereka yang hanya punya satu cita-cita, meledakkan diri? Lawan telah merampas sebuah kekayaan hidup berdamai dan kedamaian. Adakah kesejahteraan, minus rasa aman? iv
Merangkai Islam Indonesia
Kemudian, Amerika pun frustasi mengejar al-Qaeda yang syaraf-sayaraf takutnya telah mati. Amerika mungkin tak menduga, mereka harus melawan ‘orang-orang yang telah mati’. Berapa ratus juta dollar lagi, akan dikeluarkan? Kini, mereka sedang melakukan proyek besar perburuan ‘ruh bergentayangan’. Kaki memang masih menyentuh teriknya debu-debu gurun, namun jiwa mereka telah sakau melakukan perjalanan panjang menuju surga. Mereka tak butuh membaca Psikologi Kematian milik Komarudin Hidayat. Kadar optimis menghadapi kematian, telah over dosis. Kematian bukanlah sesuatu yang mencekam. Bahkan, mereka memanggil-manggil Izrail. Malaikat yang paling mereka rindukan. Izrail, kesinilah! Selangkah lagi, mereka akan meminang tujuh puluh bidadari. Perempuan yang matanya lebih jeli dari Angelina Jolie. Satu lagi, setiap jengkal tubuh bidadari masih perawan. Lekukan-lekukan itu masih utuh, tak tersentuh. Pilihan mati yang sepadan. Surga, bukanlah ilusi, walaupun minim kesaksian mimpi bertemu Kanjeng Nabi. Surga, telah tampak benar di depan mata. Apakah tentara Amerika memiliki ‘ilusi’ tentang bidadari? “Wa ‘indahum qoshirotu ath-thorfi ‘iin.”( Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya, Ash-Shaffat : 48). “Lam yath mitshunna insun qoblahum wala jannun” (tidak disentuh oleh manusia sebelum mereka, dan tidak pula –disentuh- oleh jin, Ar-Rahman : 56). Syahid asma ’amalina. Mereka hanya jatuh cinta kepada bidadari. Maka, di dunia pun memilih menduakan cintanya. Ada kawin tiga, bahkan kawin lima. Dia ingin mati, Merangkai Islam Indonesia
v
tapi tak melupakan syahwatnya. Mungkin, karena kawin lima itulah, mereka terobsesi dengan bidadari. Tidak ada perempuan di dunia yang memuaskan imaginasinya tentang bidadari, sang cinta sejati. Seringkali, perempuan-perempuan itu lelah, kehilangan mata jelinya. Uh! Kau tak menarik lagi. Lalu, setelah mereka mati? Biarlah janda-janda itu kembali menjadi tanggungan pemiliknya. Allah. Hidup di dunia begitu sederhana, bukan? Biarlah saudara-saudaranya yang lain memberi janda-janda itu kawin dua. Perempuan-perempuan itu tak pernah menikah dengan orang yang hidup. Tentu saja, mereka tak benar-benar merasakan kehidupan. Perempuan dan janda itu ikhlas. Mereka hanya tahu, hidup untuk mengabdi kepada laki-laki. Dia rela berbagi, bahkan kepada bidadari. Bukankah, perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki? Sungguh durhaka, perempuan yang menuntut keadilan kepada laki-laki. Perempuan paripurna, adalah mereka yang siap dimadu, siap menjadi janda, dan siap dengan kawin dua. Hidup untuk suami yang telah mati. Lakilaki yang paripurna imannya. Hanya dengan memilih mati, jalan satu-satunya menggertak Amerika dan Israel. Memilih hidup, linear dengan menyerah. Mati, memang harus ditanggung, agar musuh tak cepat jumawa. Darurat militer akan abadi dengan teror. Mereka menyebutnya perang gerilya. Lebih baik mati berkalang tanah. Mati, tidak menjadikan manusia terjajah di dunia. Isy kariman au mut syahidan (Hidup mulia atau mati syahid). Tidak ada third way. Mereka yang memilih hidup dan menyerah, telah berteman dengan Amerika. Pilihan pertama,
vi
Merangkai Islam Indonesia
musuh pergi. Pilihan kedua, mati. Tidak ada kata damai. Tidak! Tidak ada tanah yang harus dibagi. Semua, miliki kami. Namun, tetap ada yang menyukai jalan ketiga, bukan? Seperti di dalam doa, fi al-dunya hasanah, baru disusul fi al-akhiroti hasanah. Terlalu banyak, perintah Tuhan untuk membentuk kehidupan sosial yang berperadaban. Gerilya, itu nomaden, tak memiliki status quo. Peradaban itu memiliki rumah, memilih hidup. Berdamai, tak selalu terjajah. Barat memang bukan penjajah kedaulatan di abad twitter ini. Mereka tak merampas tanah. Namun, imperialisme purba dikekalkan atas nama kepentingan nasional. Perusahaan multinasional, menggantikan senapan untuk merampok. Dulu peluru, kini kertas. Emas putih hingga emas hitam melayang bersama transaksi elektronik. Kenapakah sebuah bangsa bersedia dijajah dengan sebuah kertas? Kekuasaan de facto menjadi semu. Kedaulatan tergadaikan. Penipuan. Kebodohan. Mungkin, keduanya. Berdamai, bolehlah dimaknai lelah, mungkin kalah. Namun kalah, tak linear dengan menyerah. ‘Terlalu sedikit’, perintah Tuhan untuk memilih kematian. Terlebih, mencari jurisprudensi perintah Tuhan, untuk meledakkan diri. Tuhan berbicara, jauh sebelum tentara Inggris memanggul senapan. Agama ini, bukan agama kematian. Selalu ada jalan ketiga, sebelum memilih keputusasaan, memilih jalan buntu, pilihan terakhir berupa kematian. Agama mengamanatkan cita-cita kolektif di dunia, baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur. Agama kehidupan.
Merangkai Islam Indonesia
vii
Kemudian, di beberapa lagu-lagu nasyid, jargon ini dinyanyikan. Hanya butuh sebuah drum, suara senapan, dentuman granat, dan ledakan bom. Lewat internet, radio, dan komputer, file dibagi-bagi. Rakyat sipil, kini tak takut suara pesawat tempur. Mereka tidak kaget dengan senapan mesin. Nasyid itu mengakrabkan rakyat sipil dengan sebuah latar pertempuran. Pekik ‘Allahu Akbar’ begitu gagah dalam nasyid itu. Teriakan seorang yang mati bunuh diri. Bom yang mengkoyak tubuh, kemudian menyebar menjadi cita-cita kolektif ke seluruh dunia. Uniknya, laki-laki yang telah mati itu kemudian tak butuh lagi Amerika dan Israel untuk benar-benar mati. Mereka yang memilih berdamai dengan Amerika adalah Amerika. Mereka yang memilih hidup, hanyalah laki-laki pengecut yang takut mati. Mereka yang menukar khalifah dengan nasionalisme. Mereka yang menukar Islam dengan Pancasila. Mereka yang menukar ‘potong tangan’ dengan penjara. Mereka yang memilih demokrasi adalah Amerika. Ya! Mereka meniru Amerika menghormat kepada bendera. Mereka telah syirik dan kafir, dengan melantunkan ‘Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami’. Negara ini telah disembah. Berhala. Thoghut. Ini Amerika. “Waqtuluhum haitsu tsaqiftumuhum” (Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka). Akhirnya, kematian bisa dia dapatkan begitu dekat. Mudah sekali caranya. Telah terjadi di sebuah kota wali. Laki-laki yang telah mati memasuki masjid saat iqomat dan meledakkan diri. Dia tidak lagi butuh sholat untuk bertemu bidadari. Di sebuah penjara, lelaki lain yang telah mati, memvonis lelaki
viii
Merangkai Islam Indonesia
yang meledakkan diri telah kafir. Membombradir masjid adalah perbuatan Israel. Tidak mengenal sholat adalah tentara Israel. Dia dipenjara setelah memvonis kafir seorang Presiden. Jika, seluruh lelaki yang memilih hidup memilih hijrah, lelaki yang memilih mati tetap saja memilih mati. Kata Kanjeng Nabi, ‘Man baddala dinahu faqtuluhu’ (barang siapa menukar agamanya, maka bunuhlah). Kemudian, seluruh lelaki yang memilih mati itu berhalunisasi memiliki agama. Bagi mereka, itu adalah hakikat. Ideologi yang disebar oleh para megalomania itu, kemudian menjadi anonim. Terlalu banyak yang memiliki. Mungkin, kisah propaganda Nazi telah diulang. Nazi punya Hitler. Namun, propaganda itu tak selurus Hitler. Terlalu banyak imam. Terlalu banyak yang ingin mati. Terlalu banyak tafsir tentang Amerika. Mulai terdengar teriakan, Indonesia adalah Amerika. “Bukan! Dunia ini Amerika.” sahut yang lain. Meniru Kanjeng Nabi, mungkin linear dengan ‘menjadi’ Nabi. Mereka bukan Nabi, tak juga mengaku Nabi. Mereka hanya meniru berbicara dengan kuasa seorang Nabi. Akhirnya, para lelaki itu ‘menjadi’ Nabi. Tatkala suara tunggal yang dikehendaki, kemudian kata kafir mewabah. Bukankah tak paripurna sunnah Nabi, tanpa mewarisi otoritas Kanjeng Nabi? Saling melempar bom tak terhindarkan. Para laki-laki yang memilih mati terjebak dalam pertengkaran, sebagai pemilik ijtihad kematian yang benar, tunggal, dan mutlak. Sekali lagi, untuk bertemu bidadari, tak butuh lagi Amerika, terlebih Israel. Merangkai Islam Indonesia
ix
Apakah ramalan dalam paragraph di atas rasional? Mungkin, pembaca telah menyaksikannya sebagai sebuah fakta. Maka, slogan peradaban harus ‘dihidupkan’ kembali. Bukan slogan yang memilih mati, namun memilih kehidupan. Jika tidak, niscaya idelogi kematian ini akan merampas kedamaian. Tak ada lagi hidup yang benar benar hidup. Ideologi kematian, bernafsu dengan kata kafir, untuk mewujudkan mati. Kita perlu nyanyian berwatak sosial dan menggembirakan agar Islam memilih hidup. Kata ganti ‘aku’ dan ‘kami’ terlalu personal. Kepentingan ‘kita’ seharusnya menjadi ideologi baru. Bukan hanya aku pemilik al-Qur’an, namun juga kamu dan mereka. Bukan hanya kami yang mencita-citakan jihad, namun kita semua. Slogan egosentris, menjadikan manusia bengis. Tak ada watak humanis. Musuh. Musuh. Musuh. Jalan untuk mati. Aku hanya butuh mati untuk bertemu bidadari. Titik. Agama berhenti. Kemudian, hadrah dan marawis memilih kegembiraan. Bukan mengajarkan Allahu Akbar dengan segala kemarahannya. Hadrah memilih Laa ilaha illaah dengan penuh khusuk. Bukan Allahu Akbar yang diteriakkan dengan mata terbelalak dan mata merah. Laa ilaha illah dilantunkan dengan nikmatnya goyangan kepala dan wajah tertunduk. Hampir-hampir mereka kebanjiran cerita pertemuan dengan Kanjeng Nabi. Goyangan kepala itu mengimaginasikan kerinduan kepada Kanjeng Nabi. Inilah agama orang-orang yang memilih hidup. Dalam mimpi para wali, Kanjeng Nabi tak berwasiat meledakkan diri. Tak memilih mati.
x
Merangkai Islam Indonesia
Surga adalah kehidupan, bukan kematian Surga adalah kedamaian, bukan kebencian. Pemilik surga adalah hati yang hidup dan damai. Kiranya, buku ini memilih hidup daripada mati. Selama tiga tahun, semangat hidup itu, penulis rangkai dalam Buletin Suara Santri. Selamat membaca!
Arif Amani, Penulis
Merangkai Islam Indonesia
xi