Sekretariat Negara Republik Indonesia
Posisi Strategis Sekretariat Negara dalam Sistem Pemerintahan Presidensial dalam NKRI
Dr. Saafroedin Bahar Mantan Staf Ahli dan Asisten Menteri Sekretaris Negara, 1989-1999. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pengantar Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya dalam hati, dalam merumuskan konstitusi untuk suatu negara Indonesia yang merdeka pada tahun 1945, setelah memilih bentuk negara kesatuan dan menolak bentuk negara federal, pertimbangan apa yang menyebabkan para Pendiri Negara ---yang umumnya memperoleh pendidikan tingginya di negeri Belanda ataupun di Indonesia yang dijajah negeri Belanda--- sampai memilih sistem pemerintahan presidensial dan menolak sistem pemerintahan parlementer. Secara retrospektif dapat dikatakan, bahwa sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan akan mengandung risiko berganda, yaitu kekuasaan pemerintahan yang teramat besar di tingkat nasional dengan sistem pengambilan keputusan yang sangat sentralistik. Latar belakang penolakan sistem pemerintahan parlementer pernah diutarakan dalam kesempatan lain oleh Ir. Soekarno, yang antara lain menyatakan bahwa seorang wakil buruh yang dapat menjatuhkan seorang menteri di parlemen bisa saja keesokan harinya diberhentikan oleh majikannya. Saya percaya bahwa para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia yang lain juga mempunyai pandangan yang sama. Tetapi mengapa memilih sistem pemerintahan presidensial menurut model negara federal Amerika Serikat, yang besar kemungkinan tidak demikian difahami oleh para Pendiri Negara ini? Seperti kita ketahui bersama, walaupun mungkin terlihat wah, namun kekuasaan dan pengaruh seorang presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dalam negara federal seperti di Amerika Serikat tidaklah demikian besar. Sebabnya ialah oleh karena kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dalam negara federal tersebut hanyalah merupakan residual power dari kekuasaan dasar yang dimiliki baik oleh countries maupun states. Tidak demikian halnya dengan kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan, yang secara implisit berarti bahwa seluruh kekuasaan pemerintahan, sejak dari pusat sampai ke daerah, akan berasal dari sang presiden, oleh karena dalam sistem ini presiden adalah pemerintah dan pemerintah adalah presiden.Pemilihan Sistem Presidensial Ada empat dugaan saya mengenai latar belakang pemilihan sistem pemerintahan presidensial dalam negara kesatuan Republik Indonesia ini. Pertama , karena secara konseptual sistem pemerintahan presidensial memang satu-satunya alternatif terhadap sistem pemerintahan parlementer. Seperti kita ketahui, hampir seluruh Pendiri Negara menyadari kelemahan sistem parlementer seperti yang mereka saksikan di Eropa Barat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jadi, kalau menolak sistem pemerintahan parlementer, pilihannya otomatis ya sistem pemerintahan presidensial. Kedua , oleh karena sistem pemerintahan presidensial ini dirasa mampu mewadahi konsep tradisional ‘manunggaling kawulo lan gusti' serta gagasan democratie met leiderschap yang sudah lama ditimang-timang oleh sebagian pemimpin pergerakan Indonesia sejak sebelum Perang Dunia Kedua, antara lain oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo dan Ki Hajar Dewantara. Tidak mustahil ada penjelasan ketiga , yaitu oleh karena sistem pemerintahan presidensial bisa dioperasikan sebagai suatu updated version dari pemerintahan monarki absolut yang sering terdapat di kerajaan-kerajaan tradisional Indonesia sendiri, yang wujud konkritnya dalam konteks sejarah Mataram sudah dijelaskan demikian jernih oleh Soemarsaid Murtono. Dan penjelasan keempat , yaitu belum disadarinya secara penuh akibat yang mungkin timbul dari kombinasi sistem pemerintahan presidensial dalam suatu negara kesatuan, seperti yang kita alami dalam dasawarsa-dasawarsa sesudahnya. Namun ada suatu teka teki lain, yaitu mengapa Drs. Mohammad Hatta, yang sejak mudanya memperjuangkan konsep daulat rakyat , tidak begitu gigih menolak sistem pemerintahan yang berpotensi mereduksi kedaulatan rakyat yang demikian dekat di hati beliau? Perkiraan saya, selain beliau juga menolak sistem pemerintahan parlementer yang beliau saksikan sendiri sewaktu studi di negeri Belanda antara tahun 1921-1932, juga oleh karena beliau merasa berhasil memperjuangkan suatu klausul pengamanan terhadap sistem pemerintahan presidensial ini, yaitu Pasal 28 UndangUndang Dasar 1945, yang mengakui hak rakyat untuk menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan. Beliau nampaknya yakin bahwa hak rakyat untuk menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan ini akan dapat mencegah suatu hal yang sangat dikhawatirkan beliau, yaitu penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan. Dengan kata lain, Hatta memandang sistem pemerintahan presidensial sebagai the lesser evil, yang masih bisa dikendalikan melalui kebebasan rakyat untuk menyatakan pendapat. Bagaimana pengalaman sejarah kita mengenai sistem pemerintahan ini sejak tahun 1945? Pengalaman kita memang menunjukkan dengan sangat meyakinkan betapa tidak andalnya suatu sistem pemerintahan parlementer bagi Indonesia yang bermasyarakat majemuk, dan sedang berjuang untuk membangun kesejahteraan rakyatnya. Dengan kata lain, penolakan para Pendiri Negara terhadap sistem pemerintahan parlementer ada benarnya. Kabinet jatuh bangun dalam waktu singkat akibat sengketa partai-partai yang berkoalisi, yang selalu berujung pada penarikan menteri-menterinya. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 January, 2017, 07:01
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Jatuh bangunnya kabinet berarti tidak dapat dilaksanakannya dengan mantap program-program yang telah ditetapkan. Namun, juga sangat jelas bahwa sistem pemerintahan presidensial yang diharapkan akan dapat memberikan stabilitas pemerintahan, ternyata juga mempunyai kelemahan seperti yang dikhawatirkan Hatta, yaitu kecenderungan sentralisme yang nyaris mematikan kreativitas dan prakarsa penduduk, yang terjadi selama hampir empat dasawarsa, antara tahun 1959 – 1998. Demikianlah, sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 praamandemen 1999-2002 telah ‘melahirkan' dua orang presiden Indonesia yang amat besar kekuasaannya dan karena itu telah mengambil keputusan-keputusan yang nyaris tidak dapat dikoreksi siapapun juga, baik di tingkat pusat, juga ---atau apalagi--- di tingkat daerah. Kedua presiden ini naik dan jatuh dalam situasi krisis nasional, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik. Gerakan Reformasi sejak tahun 1998 memungkinkan ditatanya kembali sistem pemerintahan melalui empat kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Dewasa ini kita masih menganut sistem pemerintahan presidensial dalam suatu bentuk negara kesatuan, tetapi bersamaan dengan itu titik berat kekuasaan telah beralih dari presiden ke parlemen, yang pada saat ini mempunyai kekuasaan yang amat besar, bukan hanya dalam legislasi, anggaran, dan pengawasan pemerintahan, tetapi juga bidang-bidang yang tradisional termasuk dalam executive privilege, seperti pengangkatan duta-duta besar. Suatu masalah baru ternyata telah timbul sewaktu seorang tokoh nasional yang populer terpilih sebagai presiden dengan mayoritas suara yang meyakinkan, tetapi partainya sendiri tidak memperoleh dukungan suara yang memadai di parlemen, yang kini mempunyai kekuasaan demikian besar. Mau tidak mau, presiden harus memperhitungkan kekuatan parlemen ini, walau sesungguhnya jika perlu, presiden bisa meng- appeal langsung kepada rakyat. Namun hal itu jelas tidak mudah dilakukan, sehingga sistem pemerintahan presidensial Indonesia pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 bisa disifatkan sebagai suatu ‘sistem pemerintahan presidensial dengan rasa parlementer'. Demikianlah, kelihatannya kita masih tetap bagaikan terombang-ambing antara sistem pemerintahan parlementer yang secara formal telah ditolak, dengan sistem pemerintahan presidensial yang kelihatan masih belum memperoleh formatnya yang tepat. Baru tiga bulan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku, pada bulan Oktober 1945 telah keluar Maklumat Wakil Presiden yang mengangkat Sjahrir sebagai Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat, semacam parlemen, yang secara efektif telah mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Selama sepuluh tahun berikutnya, antara tahun 1949 sampai dengan tahun 1959, baik Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 maupun Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer ini. Seperti dapat diduga, walau bisa diacungi jempol dalam memberi peluang bagi kekuatan-kekuatan demokratis, namun pemerintahan parlementer ini selain tidak mampu menyejahterakan rakyat, juga tidak berhasil memadamkan rangkaian pemberontakan yang terjadi berlarut-larut hampir di seluruh daerah di Indonesia. Seluruh gonjang ganjing itu diharapkan berakhir mulai tahun 1959, dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sewaktu Republik Indonesia menganut kembali sistem pemerintahan presidensial. Sejarah menunjukkan bahwa sistem pemerintahan presidensial berdasar Undang-Undang Dasar 1945 yang dilaksanakan ‘secara murni dan konsekwen' ini bisa menyajikan pemerintahan yang lebih stabil ---kendati semu--- dan jika dikelola dengan baik dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dapat memberikan dasar-dasar kesejahteraan rakyat. Hal itu terlihat antara tahun 1969-1983. Namun sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan ini juga mengandung time bomb yang berbahaya, yaitu jika integritas the incumbent president serta lingkungannya dapat dikompromikan oleh demikian banyak godaan kekuasaan. Hal itu terjadi antara tahun 1984 – 1997. Demikian banyak keputusankeputusan strategis telah dibuat oleh presiden yang mempunyai kekuasaan yang teramat besar tersebut, yang dalam jangka pendek dan menengah memberi kesan mampu memenuhi aspirasi dan kepentingan orang banyak, tetapi bersamaan dengan itu tanpa dapat dihambat juga memberikan lebih banyak kepada ‘aspirasi dan kepentingan' lingkaran dalam kepresidenan. Sejarah membuktikan bahwa sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk yang merosot ini mempunyai akibat yang fatal bagi bangsa dan negara dalam perspektif jangka panjang. Beberapa contoh yang dapat dikutip dalam hal ini adalah kebijakan melakukan pinjaman luar negeri dalam jumlah yang amat besar, serta eksploitasi sumber daya alam yang habis-habisan, diiringi oleh tumbuh dan berkembangnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebagai akibatnya, sejak tahun 1997 sampai sekarang, Indonesia terjerat dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang belum terlihat tanda-tanda kapan akan berakhirnya. Seluruhnya itu berlangsung pada saat negara-negara Asia lainnya bukan saja sudah pulih tetapi juga sudah mulai melejit. Ringkasnya, kita menganut sistem pemerintahan parlementer selama 14 tahun, baik bentuk negara federal maupun dalam bentuk negara kesatuan, yang disusul oleh sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan selama 47 tahun berikutnya. Sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan ini berlangsung baik dengan format lama yang memberikan kekuasaan penuh hampir tanpa batas kepada presiden, maupun dalam format baru yang memberikan kekuasaan yang amat besar kepada parlemen. Ternyata seluruhnya belum berhasil mewujudkan dua tujuan nasional dan empat tugas pemerintahan yang tercantum demikian lugas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak akan diubah lagi.Posisi Sekretariat Negara Lantas dimana posisi Sekretariat Negara, suatu lembaga pemerintahan yang secara sistemik dan secara struktural http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 January, 2017, 07:01
Sekretariat Negara Republik Indonesia
paling dekat dengan seorang presiden, yang membantu dan melayaninya dalam segala kegiatannya sehari-hari ? Sepintas lalu ---dan pada awal terbentuknya--- peranan Sekretariat Negara dan Sekretaris Kabinet memang tidaklah terlalu menonjol, seperti terlihat dalam masa jabatan Sekretaris Negara pertama di tahun 1945. Kegiatan beliau nampaknya tidak lebih dari kegiatan seorang office manager. Namun, Sekretariat Negara juga bisa mempunyai posisi yang amat strategis, sewaktu jabatan Menteri Sekretaris Negara dijabat oleh Soedharmono, S.H. yang selain menjadi Menteri, juga menjabat sebagai Ketua Umum Golongan Karya dan ketua dari tim pembelian barang-barang pemerintah. Sungguh menarik untuk memperhatikan bahwa Menteri Sekretaris Negara berikutnya, Dr. (h.c) Moerdiono yang ingin berkonsentrasi dalam tugas khusus sebagai Menteri Sekretaris Negara dan memohon kepada Presiden agar dibebaskan dari tugas sebagai ketua tim pembelian barang-barang pemerintah. Dari sejarah politik Indonesia akan sangat menarik untuk diketahui jika pada suatu saat dapat ditulis secara lengkap dan dikaji secara mendalam sejarah peran Sekretariat Negara ini dalam mendukung para presiden dalam melaksanakan tugasnya baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Penulis yakin bahwa banyak yang bisa dikisahkan oleh Menteri Sekretaris Negara maupun para mantan Menteri Sekretaris Negara ini tentang bagaimana suatu kebijakan kepresidenan disiapkan, dibahas, serta diputuskan. Sekedar catatan, di Amerika Serikat telah cukup lama dibentuk sebuah Center for the Study of the Presidency, yang mulanya berkantor di New York kemudian memindahkannya ke Washington , D.C. Menjelang tersusun dan terbitnya buku sejarah Sekretariat Negara tersebut, berikut ini adalah sekedar renungan penulis yang pernah memperoleh kehormatan berdinas di lembaga negara ini selama satu dasa warsa, 1989 – 1999, baik sebagai Staf Ahli maupun sebagai Asisten Menteri Sekretaris Negara Bidang Persatuan dan Kesatuan Bangsa di bawah tiga orang Menteri Sekretaris Negara, Dr. (h.c.) Moerdiono, Prof. Dr Muladi, S.H, dan Ir. Akbar Tanjung, mencakup kurun kepresidenan Jenderal Soeharto dan Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie. Menurut pandangan penulis, pada dasarnya ada dua peran penting Sekretariat Negara dalam sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan, yang dapat disebut sebagai fungsi pelayanan atau service functions dan fungsi politik atau political functions. Ke dalam fungsi pelayanan bisa dimasukkan antara lain kegiatan penyelenggaraan teknis sidang kabinet, pelayanan rumah tangga kepresidenan dan protokoler, serta pengamanan presiden dan keluarganya; sedangkan ke dalam fungsi-fungsi politik antara lain termasuk penyaringan usul inisiatif rancangan undangundang serta produk legislatif kepresidenan lainnya, pelayanan koordinasi pemerintahan, serta penyiapan draft pidato kenegaraan serta pidato-pidato kepresidenan lainnya. Tanpa mengecilkan peranan fungsi pelayanan, berikut ini penulis mencoba untuk menelaah fungsi politik, yang langsung atau tidak langsung akan memberikan posisi strategis kepada Sekretariat Negara. Adalah jelas bahwa sebelum suatu rancangan undang-undang yang dirancang oleh departemen-departemen pemerintahan memperoleh persetujuan Presiden untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat RI , rancangan tersebut akan dikaji oleh Sekretariat Negara. Fungsi pengkajian Sekretariat Negara ini jelas sangat strategis, dan tidak jarang selain memerlukan wawasan yang luas serta keahlian yang mendalam dari setiap pejabatnya, juga tidak jarang akan memakan waktu jika suatu rancangan undang-undang tersebut benar-benar diinginkan mempunyai keandalan filosofis, sosiologis, dan yuridis ( filosofische, sociologische, en juridische gelding ). Fungsi ini semakin penting jika diingat bahwa tidak jarang terlihat bahwa suatu rancangan undang-undang yang diajukan oleh suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen terasa demikian terpaku dalam visi dan kepentingan sektornya sendiri belaka. Lebih dari itu, tidak mustahil bahwa secara tidak sadar suatu rancangan undang-undang yang diusulkan suatu departemen bukan saja abai terhadap kepentingan orang banyak tetapi juga bisa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Contoh dari jenis yang terakhir ini adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, yang bukan saja telah meniadakan eksistensi demikian banyak masyarakat hukum adat yang ada di luar Jawa, tetapi juga telah meniadakan hak masyarakat hukum adat tersebut terhadap tanah ulayatnya. Pelayanan koordinasi pemerintahan jelas tidak kalah pentingnya dari kajian terhadap demikian banyak rancangan undang-undang dan produk legislatif kepresidenan lainnya. Jika kita jumlah seluruh lembaga pemerintahan yang dalam pelaksanaan tugasnya dapat melapor kepada Presiden, baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui menterinya masing-masing, kita akan kaget sendiri sembari bertanya dalam hati, bagaimana caranya Presiden dapat melakukan koordinasi terhadap semua kegiatan kelembagaan tersebut. Jika kita ingat pada saat ini ada 35 orang menteri, 25 buah lembaga pemerintahan non departemen, 34 orang gubernur, dan 87 orang duta besar dan duta, 2 orang wakil tetap Pemerintah RI di PBB. 30 orang konsul jenderal dan konsul, maka ada 183 orang pejabat yang secara teoretikal dapat ---dan ada kalanya harus--- melapor langsung kepada Presiden! Jika kita mengingat bahwa salah satu kritik terbesar terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia adalah demikian susahnya melakukan koordinasi, yang berakibat setiap lembaga pemerintahan terpaksa melakukan kegiatannya secara sendiri-sendiri dengan visi sektoralnya masing-masing. Mau tidak mau, resmi atau tidak resmi, siap tidak siap, Sekretariat Negara-lah yang harus melakukan semacam koordinasi de facto terhadap keseluruhan kegiatan pemerintahan yang demikian luas. Sebagai konsekuensinya, juga mau tidak mau, resmi atau tidak resmi, siap tidak siap, Sekretariat Negara menempati posisi yang sangat strategis dalam sistem pemerintahan presidensial. Tidaklah http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 January, 2017, 07:01
Sekretariat Negara Republik Indonesia
mengherankan bahwa mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid pernah mengatakan Sekretariat Negara sebagai ‘suatu negara dalam negara'. Penyiapan pidato kenegaraan serta pidato-pidato kepresidenan lainnya jelas merupakan suatu tugas Sekretariat Negara yang tidak bisa dipandang enteng, khususnya jika presiden sadar bahwa setiap ucapannya ---baik yang benar maupun apalagi yang salah--- akan mempunyai dampak politik yang besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sehubungan dengan demikian padatnya agenda kepresidenan, adalah merupakan suatu kemustahilan bagi seorang presiden untuk menyusun sendiri pidato-pidatonya. Bahkan seorang orator yang piawai seperti Ir. Soekarno ada kalanya harus menyerahkan penyiapan pidatonya kepada orang lain yang dipercayanya baik secara pribadi maupun secara politik. Dahulu Ir. Soekarno pernah mempercayakan penyusunan naskah pidatonya kepada seorang tokoh Partai Komunis Indonesia , Nyoto (atau Nyono? ), sudah barang tentu dengan memperhitungkan konsekuensi politiknya. Mungkin oleh karena itulah di Amerika Serikat dalam jajaran The Executive Office of the President diangkat seorang pejabat khusus untuk tugas ini, yaitu seorang Presidential Speechwriter. Perlu kita sadari bahwa setiap pidato presiden sesungguhnya adalah suatu policy statement , yang akan menjadi rujukan dan catatan sejarah pemerintahannya. Oleh karena itu setiap pidato presiden selain harus mencerminkan visi pribadi presiden tentang setiap masalah, juga harus memperkirakan, merespons, dan membangun feedback masyarakat yang positif terhadap visinya itu. Oleh karena itu pula, Sekretariat Negara perlu menyiapkan sekelompok pejabat staf yang mahir menyiapkan initial drafts dari pidatopidato presiden untuk akhirnya diserut final oleh Menteri Sekretaris Negara. Ada sedikit catatan tentang manajemen Sekretariat Negara di negeri lain. Sekitar tahun 1994 Prof Dr. Soerjanto Poespowardojo dan saya ditugaskan untuk mengadakan semacam studi banding ke tiga negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, yaitu Korea Selatan, Amerika Serikat dan Perancis. Dengan menyadari sistem pemerintahan presidensial di Korea Selatan secara teknis masih berlangsung dalam kedaan perang dengan Korea Utara ---sehingga agak sukar dijadikan contoh untuk keadaan di Indonesia--- berikut ini penulis mencoba untuk menguraikan The Executive Office of the President di Amerika Serikat dan Secretaire General du Gouvernment di Perancis. Struktur dasar dari The Executive Office of The President yang dipergunakan sekarang dengan segala modifikasinya, bermula pada tahun 1939, sewaktu disadari bahwa Presiden memerlukan bantuan untuk melaksanakan tugas-tugasnya, yang sesungguhnya dalam sistem pemerintahan federal tidaklah demikian berat. The President needs help, demikian semboyan yang dicanangkan saat itu untuk mendorong disusunnya suatu kantor kepresiden yang lebih efektif. Sesuai dengan bentuk negara federal, maka kantor kepresidenan Amerika Serikat ini hanya mengelola fungsi-fungsi pemerintahan federal yang bersifat residual itu saja. Suatu cara bekerja yang amat menarik bagi Prof. Soerjanto Poespowardojo dan saya adalah bahwa rapat ‘kabinet' berlangsung setiap minggu, yang didahului dengan pengiriman suatu laporan mingguan para menteri ( secretaries) yang masing-masingnya hanya boleh mengirimkan paling banyak dua halaman saja, memuat masalahmasalah pokok dalam bidangnya. Seluruh laporan mingguan menteri tersebut diberi kata pengantar dan penutup oleh The White House Chief of Staff. Presiden kemudian membubuhkan disposisi ringkas pada laporan mingguan gabungan tersebut, untuk kemudian dilaksanakan oleh para secretaries tersebut. Semuanya kelihatan koq berjalan mulus-mulus saja. Menurut penglihatan kami berdua pada saat itu, bagian paling penting dari Gedung Putih adalah National Security Council yang mempunyai mengikuti, menganalisis, memberikan rekomendasi kebijakan, dan jika perlu mengendalikan seluruh masalah keamanan dan pertahanan Amerika Serikat, terutama masalah hubungan luar negeri, dimana secara tradisional terletak peran dan kekuasaan terbesar dari seorang Presiden Amerika Serikat. Sekedar selingan, mengingat berkepanjangannya bencana alam di Indonesia, mungkin bermanfaat untuk membentuk semacam National Security Council Indonesia yang selain mengemban fungsi-fungsi komando pertahahan keamanan juga didiberi fungsi tambahan deteksi dini dan reaksi cepat terhadap setiap bencana alam yang dapat mengancam setiap waktu. Secretaire General du Gouvernement di Perancis pada dasarnya berfungsi seperti The Executive Office of the President di Amerika Serikat, termasuk dengan format laporan mingguan para menteri dan disposisi singkat presiden yang berbunyi: oui ( setuju), non ( tidak setuju), dan vu ( sudah saya baca), Itu saja. Ada suatu ciri khas dari Secretaire General du Gouvernement Perancis ini, yaitu hanya para lulusan terbaik dari perguruan tinggi yang bisa diterima menjadi pegawai di kantor kepresidenan tersebut. Dengan kualitas pegawai setinggi itu, maka proses penyusunan suatu rancangan undang-undang dapat ditugaskan kepada seorang --- ulangi seorang --pejabat staf saja, di bawah supervisi seorang pejabat senior. Kelihatannya tidak ada kesulitan bagi pejabat staf yang piawai untuk melakukan tugasnya tersebut, termasuk untuk mempertahankan rancangannya itu di depan parlemen, oleh karena bahan-bahan referensi hukum dan peraturan perundang-undangan tersedia dengan lengkap, baik dalam bentuk perpustakaan maupun akses elektronik terhadap bank data.Penutup Kami berdua ---Prof Soerjanto Poespowardojo dan saya--- bersepakat bahwa Sekretariat Negara Republik Indonesia sebaiknya dirancang menurut model Secretaire General du Gouvernement Perancis ini, bukan saja karena efisiensinya sudah teruji, tetapi juga oleh karena Republik Perancis menganut bentuk negara kesatuan. Selain itu, kami berdua sangat tertarik dengan kenyataan bahwa Perancis menganut sistem pemerintahan semi-presidensial, dalam bentuk http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 January, 2017, 07:01
Sekretariat Negara Republik Indonesia
bahwa Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tetapi untuk pengendalian pemerintahan sehari-hari sang Presiden menunjuk seorang Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada Parlemen. Dengan demikian, maka Presiden dapat menempatkan dirinya sebagai head of state menurut model kepemimpinan the solidarity maker yang dianjurkan Herbert Feith, sedangkan sang Perdana Menteri berperan sebagai the administrator. Kedua didukung oleh Secretaire General du Gouvernement yang kualitas personilnya demikian prima.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 January, 2017, 07:01