INTEGRISME: NEGARA ISLAM Dalam hubungan dunia Barat dan Islam, tampak adanya dua teori kenegaraan dengan konsep perundang-undangan yang seolah-olah tidak bisa ditengahi. Disatu sisi, Laizismus menawarkan konsep Undang Undang yang memisahkan agama dan negara dalam jarak yang jauh - kalau tidak mau dibilang pemisahan total. Konsep ini paling konsekuen dijalankan di Perancis, sementara di kebanyakan negara Barat lainnya seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman masih ada keterkaitan antara agama dan negara (pelajaran agama, do’a di kelas, pajak gereja, hari raya, menganggap suci hari Minggu). Pemisahan agama dan negara, dalam arti ‘conditio sine qua non’, dipandang sebagai syarat utama penegakan Demokrasi negara hukum yang asli. Konsep ini berseberangan dengan integrisme Islam, sebuah konsep penyatuan agama dan negara dalam negara demokrasi. Untuk itu kedua pihak menemukan semboyan-semboyan yang mengena. Pihak Nasrani suka mensitir ayat Bibel, berikan pada kaisar milik kaisar, pada Tuhan milik Tuhan. 1 Sementara pihak Islam menyerukan Din wa Daula (Islam: agama dan negara). Walaupun semboyan ini tidak ditemukan di dalamnya, seluruh wahyu al-Qur’an mendukung integrisme. Al-Qur’an memandang seorang muslim sebagai makhluk moral, yang tanpa batasan – termasuk sebagai warga negara, berpikir dan bertindak teosentris. Islam memandang manusia dalam seluruh aspeknya. Umat Islam memandang konsepsi Barat ilusi belaka, bahkan sebagai penipuan terhadap diri sendiri. Bagi mereka hal-hal berikut ini aksiomatis sifatnya: - Tidak mungkin ada negara yang bebas dari ideologi. Netralitas dan Laizisme juga sebuah Weltanschauung. Penolakan ideologi juga sebuah ideologi. - Usaha pemisahan agama dan negara bisa mengakibatkan pribadipribadi menderita sisopren, karena tidak ada manusia yang sanggup melaksanakan ajaran agama sepotong-potong secara temporer. Orang yang benar-benar beriman tak kan sanggup menyimpan keyakinannya di lemari. Pada masa sebelum Machiavelli dan bahkan sampai abad ke 19, orang Kristen juga masih berpikir seperti itu. Kemudian, transformasi Kristen Eropa ke tata negara dunia baru merupakan kemenangan manusia sekuler yang haus kekuasaan atas manusia transendental. Sejak itu, di Eropa Timur maupun Barat, berlangsung pemitosan dan sakralisasi negara dengan teori-teori politiknya, yang
1
Barangkali Yesus hanya menuntut, agar membayar pajak negara dengan mata uang negara 69
dampaknya sangat besar, yang mengambil posisi sebagai pengganti metafisik. 2 Karena itu dunia Islam bereaksi sangat sensitif, jika ada di antara mereka yang mempersoalkan masalah Din wa Daulah – seperti orang Mesir Ali Abd al-Razzaq – dan mengusulkan negara Islam sekuler. Formulasi resminya bukan agama adalah negara, tapi agama dan negara. Dengannya dipahami, bahwa keduanya tidak identis, melainkan mempunyai wilayah sendiri-sendiri, yang dengan cara islami dipertemukan kembali dalam keharmonisan. Dengannya tampil masalah teori negara Islam yang baku, tema yang banyak dikaji di Barat, di antaranya oleh peneliti Jerman Gustav von Grunebaum 3 dan Tilman Nagel 4 . Masalah ini tidak mudah mudah dipecahkan, 5 meskipun terdapat (tapi tidak banyak) pakar-pakar kenegaraan Islam terkemuka seperti al-Farabi (wafat 950), 6 Nizam al-Mulk Tusi (1018-1092) 7 dan yang paling terkemuka al-Mawardi (974-1058) 8 . Problematika penjabarannya adalah, ia harus dikembangkan dari basis al-Qur’an yang tidak banyak. Oleh karena itu kaum fundamentalis yang rasional memandangnya sebagai suatu ‘karya manusia’. Kenyataannya, al-Qur’an – yang diwahyukan setelah Platon, tapi sebelum Dante, Carlyle dan Hegel – sama sekali tidak membicarakan negara seperti yang dijumpai sekarang ini. Ia lebih banyak menyinggung kesatuan masyarakat dalam ikatan moral – ummah, yang merupakan lingkungan yang tepat tempat Islam berkembang. Dari al-Qur’an, yang dari 6000-an ayatnya hanya 200 yang mengandung aturan dan norma-norma, hanya dapat disaring tiga elemen:
Prinsip
presidial, di mana puncak kekuasaan negara bukan suatu kollegium atau politbiro, melainkan satu kepala negara (Khalifah atau Amir) yang merupakan penerus Nabi, tetapi tidak berfungsi sebagai wakil Tuhan seperti Paus. 9
Prinsip
musyawarah, di mana kekuasaan eksekutif sebagaimana legislatif dilaksanakan berdasarkan musyawarah. 10
2
S. Parvez Manzoor, Islam as Politics, Muslim Book Review 1990, nr. 4, hal. 3 dan seterusnya Lihat juga buku karyanya Der Islam im Mittelalter, Munich 1963 4 Staat und Glaubensgemainschaft im Islam, 2 Jilid, Munich 1981 5 Disini sebagai pilihan diantara banyaknya theori negara Islam, Alfred von Kremer, Geschichte der herrschenden Ideen im Islam, Leipzig 1868; Ed. K. Ferdinand dan M. Mozaffari, Islam, State and Society, London 1988; P.J. Vatikiotis, Islam and the State, London 1987;dan yang lainnya 6 Bandingkan pembahasan dari M. M. Syarif, A History of Muslim Philosophy, Jilid 1, Wiesbaden 1963, hal. 704 7 Buku Seni Siyasat Kenegaraan, Zurich 1959 8 Lihat penjelasan dari M.M.Syarif, ibid, hal. 717 9 al-Qur’an S. 4:59, 2:30 10 al-Qur’an S. 3:159; 42:38 3
70
Prinsip
Islam sebagai agama negara 11 , ini membutuhkan seorang pemimpin negara yang muslim dan seluruh tatanan hukum al-Qur’an sebagai dasar hukum yang paling tinggi, termasuk perlindungan terhadap minoritas.
Dari dasar-dasar ini dapat dilahirkan prinsip demokrasi, dengan cara hak-hak ummat dan keadilan yang diperintahkan al-Qur’an menjamin, bahwa musyawarah tadi sifatnya tidak hanya sebagai masukan tapi juga mengikat 12 . Konsep ini kita temukan dalam uraian Muhammad ‘Abduh, Rasyid Rida dan Maulana Abu A’la alMaududi. Generasi berikut diwakili oleh Muhammad Asad, Fathi Osman dan Said Ramadan. 13 Memang demokrasi Islam tidak dilihat sebagai kedaulatan rakyat yang terbatas. Parlemen Islam juga seperti parlemen yang lainnya sebuah konstitusi, yang disini nilai-nilai al-Qur’an, yang dalam arti sempit Syari’ah, untuk menjadi perhatian.di dalam kerangka yang bisa dibentangkan jauh ini, maka adanya kemungkinan untuk membentuk secara konkret organisasi organisasi negara, undang-undang ekonomi, hukum pidana dan lain lain, karena al-Qur’an dalam pandangan ini mempunyai fleksibilitas yang maksimum. Melalui jalan ini, Muhammad Asad dengan Bukunya yang membuka jalan itu, ‘the Principles of State and Government in Islam’ (Gibraltar 1980) sebagai buah segar suatu buah karya hidup, yang membuktikan, bahwa sebuah negara Islam yang ideal mempunyai hukum pidana, republik yang berparlemen dengan suatu undang undang, dimana titik titik dasar (hak asasi manusia, sifat multipartai, perlindungan kaum minoritas, pembagian kekuasaan) bisa cocok, apabila tetap ditetapkan bahwa pemimpin negara itu muslim, agama negara itu islam dan al-Qur’an sebagai norma dasar yang paling tinggi. Sejarah islam terdahulu mendasari sesuatu tradisi yang demokratis, tetapi tidak memaksa: Khalifah pertama Abu Bakar dipilih setelah eliminasi dengan calon lainnya secara terbuka di Saqifah. Tetapi kajadian ini tidak diulangi sehingga tidak jelas menjadi Sunnah. Khalifah kedua ‘Umar dipilih pada tahun 634 secara aklamasi tanpa calon yang lain, khalifah ketiga Utsman tahun 644 M dipilih melalui suatu pemilihan, tetapi pemilihan ini di batasi dengan 6 syarat khusus, dimana aristriokrat kepercayaan, termasuk Ali dibawahnya dibatasi. Muslim yang terdahulu mempunyai rasa sangat patuh, taat terhadap al-Sabiqun (yang terdahulu masuk Islam), al-Muhajirun (yang berhijrah dari Mekkah) dan al-Ashabiyun (yang terdekat dengan Nabi).
11
al-Qur’an S. 4:59 berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu.” 12 Untuk Pengikatan Khalifah kepada hasil musyawarah dapat lebih lanjut dalam Tafsir The Message of the Qur’an, Muh. Asad, Gibraltar 1980, catatan kaki 122 terhadap QS. 3:159 13 Fathi Osman, Modern Islamist and Democracy, ARABIA, London 1986, hal.9 71
Dan mereka melihat itu sebagai syarat untuk mengkualifikasi para calon. Generasi setelahnya telah tertanam pada mereka akan teori Imam, yang mana tuntutan akan kepribadiannya sangat tinggi sehingga dalam pemahaman Fatimiyah sebagai suatu ‘kepribadian dengan kualitas hakekat diri yang lebih tinggi‘ (Tilman Nagel). Trend ini juga terjadi pada awal dunia Kristen yang sekarang pada masa zaman demokrasi tidak lagi menjadi trend. Dimana masa ini itu menjadi prinsip demokrasi yang fundamental, dimana sebagai kualifikasi calon dalam suatu pemilihan tidak boleh lagi dituntut selain dari hasil dari pemilu itu sendiri. Persamaan dalam sisi hukum yang berarti kopral, bintang film atau kepala dinas rahasia mempunyai kesempatan yang sama seperti seorang profesor yang terpandang di bidang tata negara untuk menjadi kepala negara. Untuk diperbandingkan dengan situasi dalam Islam dimana kualifikasinya lebih berkaitan dengan kepercayaan oleh karena itu ini menjadi tidak populer. Dengan latar belakang sejarah seperti ini maka interpretasi tradisional Islam membiarkan adanya bentuk-bentuk negara yang berbeda, sejauh masih dalam Konsensus sehingga dilegitimasi. Figur seorang otokrat yang baik dan adil sekarang masih hidup díantara para pemuda. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa demokrasi dapat secara relatif paling aman untuk memecahkan persoalan inti suatu negara: quis custodiet custodes? (siapa yang mengontrol para pengontrol). Ini bisa terjadi karena proses demokrasi merupakan cara yang paling cocok untuk menghindari suatu penyalahgunaan kekuasaan. Problem pengontrolan ini secara jelas juga terjadi di tata kehidupan bersama Islam, karena nilai peraturan dalam al-Qur’an tidak menjamin secara langsung tetapi hanya melalui Undang Undang suatu negara. Melalui hubungan ini, konstitusi setelah Nabi Muhammad berhijrah dari Mekkah ke Madinah, dimana ia menjadi kepala negara, memainkan suatu peranan, seperti pada ‘periode keemasan’ dipimpin oleh Khalifah (khulafat ar-Rasyidun) dari tahun 632-661 M, dimana secara benar seluruh aspek zaman pendahulu Islam tanpa pengecualian menjadi ukuran. Pandangan saya terhadap konstitusi yang luar biasa, teori keadilan yang revolusioner, dan yang berpandangan jauh kedepan, yang sekarang dikenal sebagai Sahifah atau kitabu-r-Rasul, 14 ini untuk dunia sekarang tidak lagi berarti banyak, tetapi tidak bisa dipandang sebagai suatu yang bertentangan dengan demokrasi Islam, disebabkan Konstitusi ini : berasal dari suatu keadaan khusus dimana hidup berdampingan antara keturunan Yahudi dan keturunan Muslim, sehingga mempunyai karakter yang hanya untuk sementara waktu dan yang paling penting ini merupakan hasil kehadiran utusan 14
Muh. Hamidullah, The First Written Constitution in the World, Terbitan ke 3, Lahore 1975; Yusuf Abbas Hasymi, Kitabu-r-Rasul --The Constitutional Dictation of Muhammad, Karachi 1984. 72
dari Allah yang merupakan syarat yang tidak akan bisa dipenuhi oleh kepala negara manapun. Melalui keadaan yang dikemukakan diatas tidak perlu menjadi heran bahwa muslim (seperti yang terjadi pada sejarah Kristen) mendapatkan karakter tata negara yang berbeda seperti: loyalitas yang berasal kepada kepala suatu suku, rezim yang hanya mempunyai satu sistem partai, diktator yang berkharisma militer, monarki, teokrasi. 15 Para muslim hanya merasakan suatu kehidupan demokrasi yang sedikit. 16 Secara jelas melalui yang dikemukakan diatas, bahwa Islam sama sekali tidak mengharapkan suatu bentuk negara teokrasi seperti Iran dibawah Khomeini, dimana seluruh kekuasaan berada ditangan ahli agama yang menjadi satu, sebagai mahkamah tertinggi dan sekaligus politik. Kebalikannya, tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang mengemukakan kekuasaan organisasi politik. Bertolak pada ‘Din wa daula’, pemerintah mempunyai fungsi yang spesifik seperti juga para Imam. Yang dalam teori Islam satu sama lain mempunyai hubungan, tetapi berbeda satu sama lain. Jika kaum muslimin lupa bahwa: tindakan politik suatu medan aksi yang cepat mati; Tuhan mentolerir pemerintah tetapi tidak menempatkan suatu pemerintahan, Islam tidak mengenal Pastor, Pendeta, yang bisa membawa teokrasi Islam ke pandangan yang lalim, ya suatu mimpi yang 17 sangat buruk, seringkali teokrasi dipandang secara umum sebagai yang tidak islami. 18 Akhirnya dapat dipertanyakan, bagaimana, yang sekarang ini seluruh dunia Arab.
pandangan suatu negara yang memberikan citra politik di
Tentu jelas bahwa gerakan yang bersifat ‘Islam’ Jamal al-Din al-Afghani (1838 - 1897) berinduk dari ‘Pan Islamica’ yang dimotivasi oleh rasa anti-Barat. Permasalahan yang sebenarnya ialah: pengembalian harkat bangsanya, pengembalian kemerdekaan politik, budaya dan ekonomi dari pemerintah kolonial. Lewat cara ini secara tidak sengaja mereka telah juga melontarkan bentuk demokrasi Barat, mereka mengenal itu sebagai: alat untuk menaklukan para kolonial, percobaan de-islamisasi, pemaksaan terhadap kristenisasi dan secara defakto sebagai pembuka jalan ateisme.
15
Abdul Rahman Abdul Kadir Kurdi, The Islamic State: sebuah Studi berdasar kepada Konstitusi Suci Islam, London 1984; James V. Schall, Reason, Revelation and Foundation of Political Philosophy, London 1987 16 Turki sekarang ini tidak dapat dipahamai dengan demokrasi Islam, juga tidak menampakkan diri sebagai Republik Laizistis. Ahmed Fouzi Sehimi menyebutnya dengan “un pays de Musulmans mains NON un pays musulman”. 17 Parvez Manzoor, The Muslim Book Review 1990, Nr. 4, halaman 12 18 Muh. Said al-Asmawy, L’Islamisme contre l’Islam, Paris 1989 (terjemahan dari”al-Islam al-Siyasi”, Kairo 1987); Said Ramadan, ibid, halaman 13 73
Pada reaksi tujuan yang seperti ini maka Islam mempunyai arti penting, karena Islam tidak hanya sebagai batasan terhadap dunia Barat, penemuan kembali identitasnya dan harga dirinya, tetapi juga merupakan suatu jalan alternatif antara kapitalisme dan sosialisme yang membawa mereka dari perkembangan yang kurang normal menjadi suatu autonomi yang mempunyai jiwa budaya. Islam sejauh itu menjadi aliran perantara dan politik, tetapi kenyataannya Islam bukan hanya menjadi aliran perantara dan aliran politik. Sejak pendirian Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan program pelurusannya melalui Hasan al-Banna (19061949), 19 dimana unsur keagamaan menjadi lebih dominan. Ini bisa mengakibatkan suatu kesalahan besar, jika elemen agama yang otentik salah mengartikan fenomena pembaharuan, tanpa memperjelas daya tariknya. Dalam masa revolusi tentu saja gerakan Islam mempunyai konsep yang revolusioner, dimana jika perlu membenarkan tindakan kekerasan (lihat bab: Toleransi atau kekerasan?). Tidak banyak yang memperhatikan bahwa dalam al-Quran tidak termuat satupun kata revolusi, yang sebaliknya terdapat di Bibel dan Perjanjian Baru. Ini berangkat dari kebutuhan perubahan terhadap dunia materi dan jiwa. 20 Pemulaan revolusi politik yang merupakan upaya yang terintegrasi dengan cara Islam untuk merevolusi negara-negara Arab, yang sekarang sering disebut ‘kafir’, tidak dengan jalan yang lebih membutuhkan kesabaran ‘dari bawah’, tetapi melalui jalan pintas ‘dari atas’. Terhadap pertanyaan ini apabila kita perhatikan dengan lebih seksama, ternyata lebih dari sekedar taktik semata tetapi merupakan pemisahan jiwa gerakan pembaharuan Islam. Kebalikannya - seperti al-tabligh al-islami di Pakistan beranggapan bahwa suatu negara Islam hanya dapat ditimbulkan melalui perubahan terhadap manusia Islam itu sendiri, jadi merupakan gerakan terhadap individu, misi kedalam. Alasan lainnya melalui pendidikan kader yang dekat dengan pusat kekuasaan, juga di Inggris atau Jerman, yang mengacu kepada organisasi awam Katolik Spanyol Opus Dei. Saya, walaupun bertemu secara pribadi dengan beberapa pemimpin dari kelompok-kelompok integrasi, tidak bisa meramal, bentuk negara apa yang timbul lewat kemenangan politik seperti di Alzajair atau Tunisia, Yordania atau Mesir. Dengan titik berat program seperti ‘al-Qur’an sebagai Undang Undang kita’ (Hasan al-Banna) dan tesis seperti “hanya ada dua partai yaitu partai Tuhan dan partai setan“ atau “seluruh kedaulatan ditangan Allah“ sebenarnya kita hanya bisa menganalisa secara sedikit, selama pengertian yang konkret tentang syari’ah masih kabur. 19 20
Lima Wasiat Hasan al-Banna, Chicago 1978 Hamam Boukhari, Le Coran et la Revolution, El-Moujahid, Aljazair, 1989, halaman 13
74
Sayangnya saya mempunyai alasan untuk mengatakan bahwa gerakan reformasi dengan ‘pelaksanaan terhadap Syari’ah’ yang secara kualitas banyak terwakili, tidak mengacu kepada syari’ah yang terikat dengan hukum-hukum al-Qur’an tetapi mengacu kepada seluruh bangunan hukum Islam ortodoks pada abad 14/15. 21 Kapan dan dimana ini terjadi, bertemu satu dengan yang lain hasil dari gerakan kaum muslimin radikal (Integrist, Islamist) dengan konservatif (Tradisionalist, Ortodokst) menuju suatu aksi kebersamaan, Apakah fenomena yang saling menyentuh hal hal yang ekstrem ini merupakan hal yang baru ?.
21
Begitu kuatnya anggapan ini, terjadi dari Roswitha Badry, Mustafal Kamal Wasfi dan Mimpi atas suatu “Undang Undang Islam”, dalam: Gottes ist der Orient - Gottes ist der Okzident, kumpulan tulisan untuk Falaturi, Koeln 1991, halaman 83 dan seterusnya. 75