MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 539
Mutu Pendidikan dan Sistem Informasi Mutu Kemas Imron Rosyadi Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Mutu pendidikan adalah hal yang mutlak di era persaingan sekarang, yang lebih mementingkan kualitas atau mutu ketimbang kuantitas. Lembaga pendidikan yang bermutu akan dicari oleh para siswa, sementara lembaga yang tidak berkualitas akan ditinggalkan. Mutu pendidikan akan mudah diperoleh bila memanfaatkan sistem informasi. Artikel ini membahas tentang mutu pendidikan dan sistem informasi mutu tersebut. Argumen yang dibangun adalah kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sesuatu yang bermutu tidak banyak berguna bila tidak diinformasikan, sementara informasi tentang sesuatu yang tidak bermutu juga akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Kata-kata Kunci: mutu pendidikan, standar mutu, sistem informasi.
Pendahuluan Dewasa ini, dunia ditandai dengan perubahan yang kian cepat. Hal tersebut diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Tak ada lagi halangan jarak; batas-batas geografis, administratif, politis, dan sosial-budaya hilang. Informasi tentang belahan dunia mana pun bisa diakses semua orang dengan gampang Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
540 KEMAS IMRON ROSYADI
dan tersedia setiap saat. Revolusi informasi mengakibatkan dunia semakin terbuka. Di dalam dunia yang terbuka itu, persaingan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan, tak terkecuali di dalam pendidikan. Untuk memenangkan persaingan itu, kualitas atau mutu menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Hanya yang bermutu sajalah yang dapat survive atau mampu bertahan di dalam sebuah persaingan yang ketat. Di dalam dunia yang terbuka pula, penguasaan atas sistem informasi menjadi hal yang juga niscaya. Segala hal kemudian bisa diperoleh informasinya melalui sebuah sistem yang terpadu. Di dalam pendidikan, mutu juga penting memanfaatkan sistem informasi agar bisa digunakan oleh banyak stakeholder pendidikan.
Mutu Pendidikan Dalam dunia yang demikian, manusia dituntut berusaha tahu banyak (knowing much), berbuat banyak (doing much), unggul (being exellence), punya hubungan dan kerja sama dengan orang lain (being sociable), memegang teguh nilai-nilai moral (being morally). Intinya, butuh manusia yang unggul, bermoral, dan pekerja keras (Sukmadinata, dkk., 2006: 6), yang dasar-dasarnya tentu saja ditanamkan ketika manusia tersebut masih muda, yakni ketika dalam usia pendidikan.1 Di sini lembaga pendidikan yang bermutu menjadi sebuah keniscayaan. Mutu berkenaan dengan penilaian bagaimana suatu produk memenuhi kriteria, standar, atau rujukan tertentu (Sagala, 2007: 169). Menurut Sukmadinata, dkk. (2006: 8), program mutu sebenarnya berasal dari dunia bisnis. Dalam bisnis, baik yang bersifat produksi maupun jasa, program mutu merupakan program utama sebab kelanggengan (sustainability) dan kemajuan (improvement) usaha sangat ditentukan oleh mutu sesuai dengan permintaan dan tuntutan pengguna. Di sini apa yang disebut permintaan dan tuntutan selalu berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Sejalan dengan itu, mutu produk atau jasa layanan yang diberikan harus ditingkatkan. Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 541
Dewasa ini, mutu bukan hanya menjadi masalah dalam bidang bisnis, tetapi juga dalam bidang lainnya seperti pemerintahan, layanan sosial, keamanan dan ketertiban, termasuk pendidikan. Di dalam dunia pendidikan, standar mutu dapat dirumuskan melalui hasil mata pelajaran skolastik yang dapat diukur secara kuantitatif dan pengamatan yang bersifat kualitatif, khususnya untuk pendidikanpendidikan sosial. Rumusan mutu pendidikan, menurut Sagala (2007, 169), bersifat dinamis dan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Kesepakatan tentang konsep mutu ini dikembalikan kepada rumusan acuan atau rujukan yang ada seperti kebijakan pendidikan, proses belajar-mengajar, kurikulum, sarana-prasarana, fasilitas pembelajaran, dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, konsep mutu amat luas. Ravik Karsidi (2005: 2) bahkan mengatakan mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara, yakni setiap definisinya bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Namun secara umum, menurut Karsidi, mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan, yang dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses dan hasil belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Sebagaimana dalam dunia bisnis, pembicaraan tentang mutu menyangkut unsur-unsur yang terkait, yaitu produk dan jasa, penghasil produk/jasa, pelanggan, kebutuhan dan harapan, produk/ jasa yang bermutu dan kepuasan. Produk dan jasa adalah hasil yang diproduksi karena ada yang memerlukan. Orang yang membuat produk atau jasa disebut penghasil produk/jasa, sedangkan orang yang memerlukan produk/jasa itu disebut pelanggan. Adapun kebutuhan dan harapan adalah cerminan dari apa saja yang diharapkan atau dibutuhkan oleh pelanggan dari pihak penghasil produk/jasa. Adanya produk/jasa yang disebut bermutu bila dapat memenuhi atau bahkan melebihi dari sekedar kebutuhan dan harapan pelanggan/penggunanya, yang ditandai dengan kepuasan. Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
542 KEMAS IMRON ROSYADI
Menurut Margono Slamet (dalam Karsidi, 2005: 4-5), ciri-ciri mutu (sebagai bentuk pelayanan pelanggan) adalah (1) ketepatan waktu pelayanan, (2) akurasi pelayanan, (3) kesopanan dan keramahan (unsur menyenangkan pelanggan), (4) bertanggung jawab atas segala keluhan (complain) pelanggan, (5) kelengkapan pelayanan, (6) kemudahan mendapatkan pelayanan, (7) variasi layanan, (8) pelayanan pribadi, (9) kenyamanan, (10) dan ketersediaan atribut pendukung. Adapun sifat-sifat pokok mutu jasa, menurut Slamet (dalam Karsidi, 2005: 6-7) mengandung unsur-unsur: 1. Kepercayaan (reliability). Keterpercayaan dapat dihasilkan dari sikap dan tindakan seperti: jujur, tepat waktu pelayanan, terjaminnya rasa aman dengan produk/jasa yang dipergunakan/ diperoleh, dan ketersediaan produk/jasa saat dibutuhkan pelanggan. 2. Keterjaminan (assurance). Keterjaminan suatu mutu jasa dapat ditimbulkan oleh kondisi misalnya penghasil produk/jasa memang kompeten dalam bidangnya, obyektif dalam pelayanannya, tampil dengan percaya diri dan meyakinkan pelanggannya. 3. Penampilan (tangibility). Penampilan adalah sosok dari produk/ jasa dan hasil karyanya, seperti bersih, sehat, teratur dan rapi, enak dipandang, serasi, berpakaian rapi dan harmonis, dan buatannya baik. 4. Perhatian (emphaty). Empati adalah berusaha merasakan apa yang dialami oleh pelanggan (“seandainya saya dia”). Cara berempati dapat dinyatakan dengan penuh perhatian terhadap pelanggan, melayani dengan ramah dan memuaskan, memahami keinginan pelanggan, berkomunikasi dengan baik dan benar, dan bersikap penuh simpati. 5. Ketanggapan (responsiveness). Ketanggapan adalah ungkapan cepat tanggap dan perhatian terhadap keluhan pelanggan. Ungkapan tersebut dapat dinyatakan dengan cepat memberi respons pada permintaan pelanggan dan cepat memperhatikan Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 543
dan mengatasi keluhan pelanggan. Sementara menurut Krajewski & Ritzman ( dalam Wibowo, 2008: 272-273), pelanggan melihat mutu atau kualitas melalui dimensidimensi berikut: 1. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to spesificstions). Pelanggan mengharapkan produk atau jasa yang mereka dapatkan memenuhi atau melebihi tingkat mutu seperti yang ditawarkan; mutu ditentukan kesesuaiannya dengan spesifikasi yang ditawarkan. Dalam sisten jasa, kesesuaian dengan spesifikasi juga perlu, walaupun tidak menghasilkan sesuatu yang “dapat disentuh”. Spesifikasi dalam operasi jasa berkaitan dengan ketepatan waktu pelayanan atau kecepatan dalam memberikan tanggapan atas keluhan pelanggan. 2. Nilai (value). Nilai menunjukkan seberapa baik produk atau jasa mencapai tujuan yang dimaksudkan pada harga pelanggan bersedia membayar. Mutu diukur dari harga yang dibayar untuk produk atau jasa. Berapa nilai produk atau jasa dalam pikiran pelanggan tergantung pada harapan pelanggan sebelum membeli. 3. Kecocokan digunakan (fitness for use). Kecocokan digunakan menunjukkan seberapa baik produk atau jasa mewujudkan tujuan yang dimaksudkan; pelanggan mempertimbangkan fitur produk atau kenyamanan pelayanan. Mutu ditentukan oleh seberapa jauh kecocokan barang atau jasa untuk digunakan. Aspek ini termasuk penampilan, gaya, daya tahan, keandalan, keahlian, dan kegunaan. 4. Dukungan (support). Dukungan yang diberikan perusahaan terhadap produk atau jasa sangat penting bagi pelanggan. Dukungan dapat berupa layanan purnajual produk. 5. Kesan psikologis (psychological impressions). Orang sering mengevaluasi mutu produk atau jasa atas dasar kesan psikologis seperti citra atau estetika. Dalam pelayanan, kontak langsung atau penampilan menjadi penting. Pekerja yang berpakaian sopan, bersahabat, dan simaptik dapat memengaruhi persepsi pelanggan terhadap mutu pelayanan. Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
544 KEMAS IMRON ROSYADI
Dalam kerangka pengembangan mutu, usaha pendidikan tidak lain merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya, utamanya kepada mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut. Wibowo (2008: 274-275) mengatakan bahwa dimensi mutu jasa ditunjukkan hal-hal berikut: 1. Time and timeliness, menunjukkan berapa lama pelanggan harus menunggu pelayanan dan diselesaikan pada waktunya. 2. Completeness, menunjukkan apakah yang diminta pelanggan disediakan. 3. Courtesy, menunjukkan bagaimana pelanggan dilayani oleh pekerja. 4. Accessibility and convenience, menunjukkan tentang seberapa mudah pelanggan mendapatkan pelayanan. 5. Accuracy, menunjukkan apakah pelayanan berjalan baik setiap saat. 6. Responsiveness, menunjukkan seberapa baik perusahaan bereaksi terhadap situasi yang tidak seperti biasanya. Dalam dunia pendidikan, menurut Sallis (Karsidi, 2005: 7), para pelanggan dapat terdiri atas berbagai unsur paling tidak empat kelompok. Pertama, pelanggan adalah orang yang belajar, bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar, yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orangtua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja. Mereka disebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Ketiga, pelanggan yang bersifat tersier, yakni lapangan kerja. Mereka bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yang berasal dari internal lembaga. Mereka adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 545
administrasi serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial. Seperti disebut sebelumnya bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga harus memerhatikan kebutuhan dan harapan masing-masing pelanggan di atas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan. Selain kebutuhan untuk melayani pelanggan, urgensi program mutu dalam pendidikan juga karena di dalam lapangan tersebut masih terdapat banyak persoalan menyangkut mutu. Sukmadinata, dkk. (2006: 8) merinci masalah mutu di bidang pendidikan sebagai berikut: Banyak masalah mutu dihadapi dalam dunia pendidikan, seperti mutu lulusan, mutu pengajaran, bimbingan dan latihan dari guru, serta mutu profesionalisme dan kinerja guru. Mutu-mutu tersebut terkait dengan mutu manajerial para pimpinan pendidikan, keterbatasan dana, sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan, media, sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim sekolah, lingkungan pendidikan, serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan. Semua kelemahan mutu dari komponen-komponen pendidikan tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan.
Dari pendapat tersebut tampak bahwa kelemahan-kelemahan mutu berujung pada rendahnya hasil pendidikan. Menurut Ace Suryadi (1999: 106), hasil pendidikan adalah akibat dari adanya proses pendidikan, baik proses manajerial maupun proses pengajaran, sebagai sistem yang dapat dimanipulasi pengelola sistem pendidikan dengan mengendalikan beberapa instrumen kebijakan. Secara garis besar, hasil pendidikan dibagi menjadi dua jenis, yaitu keluaran pendidikan (educational output) dan dampak pendidikan Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
546 KEMAS IMRON ROSYADI
(educational outcome). Lebih jauh Suryadi (1999: 106-107) menjelaskan keduanya sebagai berikut: Keluaran pendidikan adalah hasil yang secara langsung dapat dicapai setelah berlangsungnya suatu sistem pendidikan pada suatu jenis atau jenjang pendidikan tertentu. Keluaran pendidikan selalu dikaitkan secara internal di dalam sistem pendidikan itu sendiri yang dapat diketahui melalui pengukuran, baik pengukuran langsung maupun tidak langsung. Keluaran pendidikan sebagai hasil dari pengukuran langsung antara lain adalah jumlah lulusan, jumlah lulusan yang melanjutkan sekolah, dan sejenisnya, sedangkan hasil dari pengukuran tidak langsung adalah nilai ujian akhir. Kedua jenis keluaran pendidikan tersebut sangat penting diukur untuk mengetahui apakah sistem pendidikan secara internal berjalan efisien atau tidak. Dampak pendidikan adalah hasil pendidikan yang tidak secara langsung dapat diketahui setelah proses pendidikan selesai. Untuk mengetahui dampak pendidikan perlu ditunggu beberapa periode waktu tertentu setelah lulusan pendidikan terjun ke dalam masyarakat, dunia kerja, atau setelah menempuh pendidikan lebih lanjut. Dampak pendidikan selalu dikaitkan secara eksternal dengan sistem-sistem lain, seperti sistem ekonomi, ketenagakerjaan, sosial budaya, dan dampak politis.
Kalau dibandingkan antara pendapat Sallis tentang pelanggan pendidikan dan hasil pendidikan menurut Suryadi di atas, maka pelanggan pertama dan kedua dalam pandangan Sallis, yakni pelajar atau pelanggan primer (primary external customers) dan orangtua atau lembaga pengirim pelajar atau pelanggan sekunder (secondary external customers), berkaitan langsung dengan keluaran pendidikan menurut Suryadi. Sedangkan pelanggan lainnya, yakni masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers) dan lembaga pendidikan itu sendiri (internal customers), lebih berkenaan dengan dampak pendidikan. Hasil pendidikan baik keluaran pendidikan maupun dampak pendidikan merupakan ujung dari upaya peningkatan mutu. Sukmadinata, dkk. (2006: 8) sendiri mengatakan bahwa kelemahan mutu dari komponen-komponen pendidikan tersebut berujung pada rendahnya hasil pendidikan. Artinya, mustahil pendidikan atau Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 547
sekolah mengelurakan hasil yang bermutu jika tidak melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Juga merupakan hal mustahil terwujud proses pendidikan yang bermutu tanpa didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula. Karena itu, proses pendidikan yang bermutu harus didukung oleh personalia seperti administrator, guru, konselor, dan tata usaha yang bermutu serta profesional; sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas, media, biaya, manajemen. Mutu tersebut bersifat menyeluruh, mencakup semua komponen, pelaksana, dan kegiatan pendidikan atau disebut dengan mutu total atau total quality. Dalam mutu total, pendidikan bermutu mensyaratkan semua komponen pendidikan bermutu, tidak dapat hanya satu atau sebagian komponen saja. Faktor-faktor yang terlibat dalam pengembangan mutu pendidikan secara sistemik dapat dilihat pada gambar 1. Ada dua hal yang setidaknya terbaca dari gambar tersebut. Pertama, mutu lulusan atau output ditentukan oleh banyak faktor yang bisa dibagi dalam empat kategori, yakni instrumen input, RAW input, enviromental input, dan proses pendidikan. Dari keempat faktor tersebut, yang terpenting adalah proses pendidikan. Faktor ini menjadi sentral karena percuma semua input bagus tetapi proses buruk. Bila itu terjadi, hasil atau output pun akan buruk pula. Sementara itu, walaupun input buruk, jika proses pendidikannya sangat bagus, ada harapan atau kemungkinan untuk menjadi baik. Beberapa kasus siswa dari sekolah seadanya di pelosok daerah yang kemudian bisa menjadi duta dalam olimpiade internasional menjadi bukti hal tersebut (bdk. Johannes Surya, 2008). Di dalam proses pendidikan itu, ada banyak pihak terlibat. Selain guru atau teaching staff yang sentral, ada juga tenaga kependidikan bukan guru (non teaching staff) (Syaefudin & Kurniatun, 2005: 104 dst.). Kedua, karena pentingnya proses pendidikan tersebut, diperlukan jaminan agar tenaga kependidikan bekerja secara profesional sehingga pada gilirannya akan melahirkan hasil pendidikan yang bermutu. Di sini diperlukan apa yang disebut pengawasan atau supervisi (lebih jauh tentang supervisi, dapat dilihat Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
548 KEMAS IMRON ROSYADI Instrumen Input - Kebijakan pendidikan - Program pendidikan-kurikulum - Personel: KS, guru, staf TU - Sarana, fasilitas, media, biaya
RAW Input - Intelek - fisik sehatan - Sosial-afektif -Peer group
Proses Pendidikan - Pengajaran - Pelatihan - Pembimbingan - Evaluasi - Ekstrakurikuler - Pengelolaan
Output - Pengetahuan - Kepribadian - Performansi
Enviromental Input - Lingkungan sekolah - Lingkungan keluarga - Masyarakat - Lembaga sosial, unit kerja
Gambar 1: Peta Komponen Pendidikan sebagai Sistem dalam subbab di bawah). Selain itu, yang terpenting dalam semua faktor tersebut adalah perlu adanya program mutu atau adanya upaya peningkatan mutu pendidikan. Program dimaksudkan untuk mencapai kemajuan atau peningkatan mutu yang dilandasi suatu perubahan terencana, bukan sekadarnya atau secara serampangan. Jadi ada yang dinamakan strategi peningkatan mutu. Setidaknya ada dua strategi dalam peningkatan mutu pendidikan (Sagala, 2007: 170). Pertama, peningkatan mutu pendidikan yang berorientasi akademis. Tujuannya untuk memberi dasar minimal dalam perjalanan yang harus ditempuh untuk mencapai mutu pendidikan yang disyaratkan oleh tuntutan zaman. Kedua, peningkatan mutu pendidikan yang berorientasi pada keterampilan Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 549
hidup yang esensial yang dicakupi oleh pendidikan yang berlandasan luas, nyata, dan bermakna. Dalam kaitan dengan strategi yang akan dipilih, menurut Sagala (2007: 170), peningkatan mutu pendidikan sangat terkait dengan relevansi pendidikan dan penilaian berdasarkan pada kondisi aktual mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu, kata Sagala (2007: 170): Telaah terhadap mutu situasi aktual merupakan titik berangkat dalam menempuh perjalanan ke situasi ideal yang didahului oleh suatu batas ambang sebagai landasan minimal, dan mencakup mutu pendidikan yang dipertanggungjawabkan serta yang ditandai oleh suatu tolok ukur sebagai norma ideal.
Untuk melaksanakan program mutu tersebut, diperlukan beberapa dasar yang kuat. Sukmadinata, dkk. (2006: 9) merinci dasardasar tersebut dan menjelaskannya sebagai berikut: a. Komitmen pada perubahan. Pemimpin atau kelompok yang ingin menerapkan program mutu harus memiliki komitmen atau tekad untuk berubah. Pada intinya, peningkatan mutu adalah melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih berbobot. Lazimnya, perubahan tersebut menimbulkan rasa takut, sedangkan komitmen dapat menghilangkan rasa takut. b. Pemahaman yang jelas tentang kondisi yang ada. Banyak kegagalan dalam melaksanakan perubahan karena melakukan sesuatu sebelum sesuatu itu jelas. c. Mempunyai visi yang jelas terhadap masa depan. Hendaknya, perubahan yang akan dilakukan berdasarkan visi tentang perkembangan, tantangan, kebutuhan, masalah, dan peluang yang akan dihadapi pada masa yang akan datang. Pada awalnya, visi tersebut hanya dimiliki oleh pimpinan atau seorang inovator, kemudian dikenalkan kepada orang-orang yang akan terlibat dalam perubahan tersebut. Visi dapat menjadi pedoman yang akan membimbing tim dalam perjalanan pelaksanaan program. d. Mempunyai rencana yang jelas. Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
550 KEMAS IMRON ROSYADI
Mengacu pada visi, sebuah tim menyusun rencana dengan jelas. Rencana menjadi pegangan dalam proses pelaksanaan program mutu. Pelaksanaan program mutu dipengaruhi oleh faktor-faktor internal ataupun eksternal. Faktor-faktor internal dan eksternal tersebut akan selalu berubah. Rencana harus diupdate sesuai dengan perubahan-perubahan. Tidak ada program mutu yang terhenti (stagnan) dan tidak ada dua program yang identik karena program mutu selalu berdasarkan dan sesuai dengan kondisi lingkungan. Program mutu merefleksikan lingkungan pendidikan di mana pun ia berada. Di dalam pendidikan, penerapan program mutu perlu berpegang pada prinsip-prinsip berikut: a. Peningkatan mutu pendidikan menuntut kepemimpinan profesional dalam bidang pendidikan. Manajemen mutu pendidikan merupakan alat yang dapat digunakan oleh para profesional pendidikan dalam memerbaiki sistem pendidikan bangsa kita. b. Kesulitan yang dihadapi para profesional pendidikan adalah ketidakmampuan mereka dalam menghadapi “kegagalan sistem” yang mencegah mereka dari pengembangan atau penerapan cara atau proses baru untuk memperbaiki mutu pendidikan yang ada. c. Peningkatan mutu pendidikan harus melakukan loncatanloncatan. Norma dan kepercayaan lama harus diubah. Sekolah harus belajar bekerja sama dengan sumber-sumber yang terbatas. Para profesional pendidikan harus membantu para siswa dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan guna bersaing di dunia global. d. Uang bukan kunci dalam usaha peningkatan mutu. Mutu pendidikan dapat diperbaiki jika administrator, guru, staf, pengawas, dan pimpinan kantor Diknas mengembangkan sikap yang terpusat pada kepemimpinan, team work, kerja sama, akuntabilitas, dan rekognisi. Uang tidak menjadi penentu dalam peningkatan mutu. e. Kunci utama peningkatan mutu pendidikan adalah komitmen Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 551
f.
g.
h.
i.
pada perubahan. Jika semua guru dan staf sekolah telah memiliki komitmen pada perubahan, pimpinan dapat dengan mudah mendorong mereka menemukan cara baru untuk memperbaiki efisiensi, produktivitas, dan kualitas layanan pendidikan. Guru akan menggunakan pendekatan yang baru atau model-model mengajar, membimbing, dan melatih dalam membantu perkembangan siswa. Demikian juga staf administrasi, ia akan menggunakan proses baru dalam menyusun biaya, menyelesaikan masalah, dan mengembangkan program baru. Banyak profesional di bidang pendidikan yang kurang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam menyiapkan para siswa memasuki pasar kerja yang bersifat global. Ketakutan terhadap perubahan, atau takut melakukan perubahan akan mengakibatkan ketidaktahuan bagaimana mengatasi tuntutantuntutan baru. Program peningkatan mutu dalam bidang komersial tidak dapat dipaksa secara langsung dalam bidang pendidikan, tetapi membutuhkan penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan. Budaya, lingkungan, dan proses kerja tiap organisasi berbeda. Para profesional pendidikan harus dibekali oleh program yang khusus dirancang untuk menunjang pendidikan. Salah satu komponen kunci dalam program mutu adalah sistem pengukuran. Denagn menggunakan sistem pengukuran memungkinkan para profesional pendidikan dapat memperlihatkan dan mendokumentasikan nilai tambah dari pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan, baik terhadap siswa, orang tua, maupun masyarakat. Masyarakat dan manajemen pendidikan harus menjauhkan diri dari kebiasaan menggunakan “program singkat”, peningkatan mutu dapat dicapai melalui perubahan yang berkelanjutan tidak dengan program-program singkat.
Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
552 KEMAS IMRON ROSYADI
Sistem Informasi Mutu Untuk memahami istilah sistem informasi mutu, berikut akan diuraikan pengertian masing-masing kata pembentuk istilah tersebut. Sistem pada dasarnya adalah sekolompok unsur yang erat hubungannya satu dengan yang lain, yang berfungsi bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Secara sederhana, suatu sistem dapat diartikan sebagai suatu kumpulan atau himpunan dari unsur, komponen, atau variabel yang terorganisir, saling berinteraksi, saling tergantung satu sama lain, dan terpadu. Kamus Webster Unabridged (dalam Amsyah, 2001: 27) mendefinisikan sistem sebagai elemenelemen yang saling berhubungan membentuk satu kesatuan atau organisasi. Menurut Arief Suadi (dalam Halim, dkk., 2003: 3), sistem adalah sekelompok komponen yang masing-masing saling menunjang—saling berhubungan maupun tidak—yang keseluruhannya merupakan sebuah kesatuan. Sistem itu merupakan kegiatan yang telah ditentukan caranya dan biasanya dilakukan berulang-ulang. Sistem berupa hal yang ritmis, berulang kali terjadi, atau langkah-langkah terkoordinasi yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara Mulyadi (1996: 415) mendefinisikan sistem sebagai suatu jaringan prosedur yang dibuat dengan pola yang terpadu untuk melaksanakan kegiatan pokok perusahaan. Dari definisi-definisi sistem yang menurut Zulkifli Amsyah (2001: 27) “mendekati dengan keperluan” tersebut, dapat dirinci halhal berikut: a. Setiap sistem terdiri atas unsur-unsur. b. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian terpadu sistem yang bersangkutan. c. Unsur tersebut bekerja sama untuk mencapai tujuan sistem. d. Suatu sistem merupakan bagian dari sistem lain yang lebih besar. Sebagai sebuah pendekatan, sistem lahir dari pemikiran bahwa karyawan dapat bekerja maksimal atau bekerja sama dengan baik dalam organisasi sangat dipengaruhi oleh perilaku keorganisasian (organizational behavior) mereka. Hal sama juga berlaku dalam Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 553
pekerjaan dan kerja sama informasi. Terlebih, sebagaimana nanti dipaparkan di bawah, pekerjaan informasi dalam organisasi sangat rumit karena mencakup berbagai unit, subunit, dan subsubunit pada berbagai tingkat transaksi dan manajemen masing-masing serta hubungan satu sama lain. Untuk melokalisasikan dan mengelompokkan pekerjaan informasi agar lebih mudah dikerjakan dan bekerja sama dalam berbagai corak dan bentuk organisasi, diperlukan pendekatan sistem. Pendekatan sistem merupakan bagian dari perilaku keorganisasian. Pendekatan sistem merupakan satu dari tiga pendekatan tentang perilaku keorganisasian (organizational behavior). Menurut Amsyah (2001: 19-20), dalam studi perilaku keorganisasian terdapat tiga teori yang yang disebut dengan tiga schools (mazhab), yakni manajemen ilmiah (scientific management), hubungan manusia (human relations), dan sistem (systems). Manajemen ilmiah diprakarsai olh Frederick W. Taylor pada 1911-1930-an. Dalam manajemen ilmiah, pekerjaan dalam organisasi dikelompokkan mulai dari pengelompokan besar sampai terkecil. Tiap pekerja atau sekelompok kecil pekerja mengerjakan bagian pecahanpecahan kecil tersebut. Dengan demikian pekerja dapat berkonsentrasi penuh dalam bidangnya, waktu penyelesaian lebih singkat, dan hasilnya lebih banyak. Pada umumnya upah diberikan atas hasil per satuan pekerjaan, sehingga bila produktivitas meningkat, pemilik akan memeroleh keuntungan. Di sisi lain, pekerja pun memeroleh upah besar. Di sini pekerja hanya mengejar uang dan waktu kerja tidak diperhatikan sehingga muncul masalah kesehatan yang pada gilirannya terjadi penurunan produktivitas. Ketika produktivitas turun, pekerja merugi dan pengusaha pun rugi. Karena pengusaha tak mau merugi, dia merekrut tenaga kerja baru. Konsep ini dikenal sebagai konsep yang menguntungkan pemilik dan merugikan pekerja (Amsyah, 2001: 20). Kelemahan konsep itu kemudian berusaha direvisi oleh pendekatan hubungan manusia yang diprakarsai oleh Chester Barnard pada 1930-1960-an. Konsep ini memperbaiki pekerja sebagaia Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
554 KEMAS IMRON ROSYADI
manusia, dengan menentukan jumlah jam kerja selama delapan jam sehari atau 40 jam seminggu, sehingga pekerja mempunyai waktu istirahat cukup. Di samping itu, kesehatan pekerja mendapat perhatian. Konsep ini dikenal sebagai konsep pengelolaan yang menguntungkan pekerja (Amsyah, 2001: 20-21). Gabungan dari konsep pengelolaan manajemen ilmiah dan hubungan manusia memang membawa kemajuan organisasi, namun menimbulkan kerumitan terkait hubungan-hubungan pekerjaan antarunit organisasi. unit-unit tersebut perlu bekerja terintegrasi agar tujuan keseluruhan organisasi dapat tercapai secara maksimal, efisien, dan efektif. Kebutuhan akan cara pengelolaan organisasi seperti itu memunculkan konsep baru yang disebut pendekatan sistem. Pendekatan ini muncul pada 1960-an, dipelopori oleh Herbert A. Simon, Daniel Katz, Robert L. Kahn, dan James G. Miller. Konsep ini memandang organisasi sebagai suatu sistem dan unit-unitnya sebagai subsistem-subsistem, subsubsistem, dan seterusnya (Amsyah, 2001: 21). Menurut Marciariello & Kirby (dalam Halim, dkk., 2003: 3), ada dua bentuk sistem yang berlaku, yakni sistem formal dan informal. Lebih lanjut Halim, dkk. (2003: 3-4) menerangkan keduanya sebagai berikut: Sistem formal adalah sistem yang memungkinkan pendelegasian otoritas dimana sistem formal memperjelas struktur, kebijakan, dan prosedur yang harus diikuti oleh anggota organisasi. pendokumentasian struktur, kebijakan dan prosedur secara formal ini membantu anggota organisasi dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sistem struktur, prosedur dan respon yang terpola membantu manajemen dalam merencanakan dan mengelola strategi dalam memenuhi tujuan organisasi dengan tetap memperhatikan faktor lingkungan yang ada. Sedangkan sistem informal adalah sistem yang lebih berdimensi hubungan antarpribadi yang tidak ditunjukkan dalam struktur formal. Biasanya dalam organisasi ada dimensi informal seperti itu. Dalam kegiatan organisasi, banyak tindakan manajemen yang tidak sistematis. Hal ini disebabkan oleh keadaan yang tidak Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 555 memungkinkan bagi seorang manajer untuk menggunakan aturan sistem yang telah ditetapkan, sehingga manajer menggunakan pertimbangan pribadinya dalam bertindak. Kegiatan seperti ini biasanya berkaitan dengan interaksi antara manajer yang satu dengan yang lainnya dan manajer dengan bawahannya. Ketetapan sistem itu sendiri akhirnya tergantung pada kemampuan manajer mengatur seseorang, tidak lagi berdasarkan aturan yang ditentukan oleh sistem tersebut.
Ada pula yang membagi sistem menjadi sistem terbuka dan tertutup. Sistem terbuka adalah sistem yang dalam bekerja dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, sedangkan sistem tertutup kebalikannya, yakni dalam bekerja tidak dipengaruhi faktor-faktor luar. Pembagian terakhir ini dikritik oleh Zulkifli Amsyah. Menurutnya (2001: 29), Penyebutan adanya sistem tertutup itu kurang tepat, karena yang namanya tertutup itu pun tetap akan dapat dipengaruhi faktor luar. Sudah sifat sistem, yaitu saling berkaitan, saling ketergantungan, saling berhubungan, dan saling isi mengisi, baik sesama unsur dalam sistem yang sama maupun dengan sistem lain yang lazim disebut makro sistem, ataupun antara sesama subsistem dengan subsistem lainnya dalam suatu sistem.
Dari semua pembagian sistem, menurut Amsyah (2001: 29), yang tepat untuk keperluan pekerjaan informasi, sebagaimana nanti dijelaskan lebih jauh di bawah, adalah sistem fisik dan sistem nonfisik. Sementara istilah informasi sekarang sudah sangat dikenal. Kata ini muncul dalam bidang apa pun, tak terkecuali di bidang pendidikan. Dalam pembicaraan umum, istilah ini sering dimaksudkan sebagai berita atau keterangan, yang terkadang diidentikkan dengan data (Mirfani & Suryadi, 2005: 207). Memang dalam sistem informasi manajemen (SIM), data dan informasi punya kaitan sangat erat. Gordon B. Davis (dalam Amsyah, 2001: 289), misalnya, mendefinisikan informasi sebagai: Data yang sudah diproses menjadi bentuk yang berguna bagi pemakai, dan mempunyai nilai pikir yang nyata bagi pembuatan keputusan pada saat sedang berjalan atau untuk prospek masa depan.
Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
556 KEMAS IMRON ROSYADI
Definisi tersebut, menurut Amsyah (2001: 289), menekankan kenyataan bahwa data harus diproses dengan cara-cara tertentu untuk menjadi informasi dalam bentuk dan nilai yang berguna bagi pemakainya. Selain kedua data dan informasi, ada juga yang disebut sistem dan manajemen. Pemahaman terhadap keempat hal itu, menurut Mirfani & Suryadi (2005: 207), penting untuk masuk kepada pengertian dan pemahaman sistem informasi. Mengutip dari Gordon B. Davis, Mirfani & Suryadi (2005: 207) memberi pengertian tentang data dan informasi sebagai berikut: Data is defined as groups of non-random symbols which represent quantities, actions, things, etc. Data is formed from characters. These maybe alphabetic, numeric, or special symbols such us *,$ and 1. Data is organized for processing purpose into data structures file structures, and databases... (information) is data that has been processed into a form that is meaningful to the recipient and is or real or perceived value in current or prospective decision. (Data didefinisikan sebagai kelompok-kelompok simbol tak acak yang merepresentasikan kuantitas, aksi, benda-benda, dll. Data dibentuk dari huruf-huruf. Dia bisa jadi abjad, angka, atau simbol khusus seperti *,$ dan 1. Data dikelompokkan untuk memproses tujuan ke dalam susunan data, susunan file, dan database... (informasi) adalah data yang diproses ke bentuk yang mempunyai makna bagi penerima dan atau ke bentuk riil atau nilai yang disadari untuk kepentingan saat ini atau masa depan.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa data merupakan bahan bagi penyusunan informasi. Untuk menjadi informasi, data diproses dengan prosedur, teknik, dan cara sesuai kepentingan. Dengan kata lain, informasi adalah data terpilih yang telah diproses dalam suatu sistem untuk menjadikannya berarti. Gambar 2 menjelaskan definisi tersebut. Lebih jauh Mirfani & Suryadi (2005: 208) memberikan ilustrasi tentang perbedaan data dan informasi berikut: ... bila catatan mingguan seorang guru tentang kehadiran siswa selama satu caturwulan yang belum atau tidak dikaitkan dengan Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 557
Data
Pemrosesan - Prosedur - Teknik - Cara
INFORMASI
Gambar 2: Keterkaitan Anasir Informasi Sumber: Mirfani & Suryadi (2005: 208) kepentingan suatu tindakan, seperti apa yang harus diambilnya terhadap siswa tertentu yang absen sebanyak sekian kali, hanyalah merupakan data belaka. Akan tetapi di kala keputusan harus dibuatnya, manakala seorang siswa absen melebihi batas toleransi yang ditentukan, maka dari data tersebut guru akan memeroleh informasi setelah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan, pemilihan dan penghitungan. Artinya ada langkahlangkah atau suatu proses yang ditempuh sehingga data yang digunakan itu memberi arti bagi pengambilan keputusan.
Pekerjaan sistem informasi yang utama adalah mengolah data menjadi informasi. Untuk dapat diolah menjadi informasi sesuai kebutuhan, data harus otentik. Data yang otentik berasal dari fakta. Proses mendapatkannya seperti dalam penelitian. Data otentik berguna sebagai fakta pengingat, yang dapat digunakan sebagai bukti bukti alternatif, bukti hukum, bukti sejarah, bukti dokumentasi, dan sebagainya. Dalam kegiatan organisasi, data menjadi sesuatu yang penting dan vital. Data ini digunakan untuk keperluan manajemen. Hubungan fakta, data, arsip, dan informasi dapat dilihat dalam gambar 3. Sebelumnya dikatakan pekerjaan sistem informasi yang utama adalah mengolah data menjadi informasi. Hal itu karena pada dasarnya adalah bahan mentah yang harus ditangani dan ditempatkan dalam hubungannya yang berarti sebelum data tersebut menjadi berguna bagi penerimanya. Untuk menyusun data agar menjadi berarti, beberapa operasi atau pengolahan harus dilakukan, yakni Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
558 KEMAS IMRON ROSYADI
Fakta Dicatat/rekam
Data
Disimpan
Diproses
Komputer
Arsip Disimpan
Keluaran
Informasi
Gambar 3: Hubungan Fakta, Data, Arsip, dan Informasi Sumber: Mirfani & Suryadi (2005: 209)
sebagai berikut (Mirfani & Suryadi, 2005: 211): 1. Capturing, yaitu pencatatan data dari suatu peristiwa atau kejadian dalam suatu bentuk, yaitu formulir-formulir kepegawaian, pesanan-pesanan pembelian, dan sebagainya. 2. Verifying, yaitu pemeriksaan, pengecekan atau pengesahan data untuk menjamin agar data tersebut dapat diperoleh dan dicatat secara cermat. 3. Classifying, yaitu menempatkan unsur-unsur data dalam kategori-kategori khusus yang memberikan arti bagi si pemakai. 4. Penyortiran, yaitu menempatkan unsur-unsur data dalam suatu rangkaian urutan khusus atau rangkaian yang telah dilakukan sebelumnya. 5. Summarizing, yaitu menggabungkan atau mengumpulkan unsurunsur data dalam salah satu dari dua cara. Misalnya pertama secara matematika kemudian mengurangi secara logika. 6. Calculating, yaitu penanganan data secara ilmu hitung dan atau logika. 7. Storing, yaitu menempatkan data ke dalam suatu media Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 559
penyimpanan seperti kertas, microfilm, dan sebagainya, dimana data dapat dipelihara untuk pemasukan dan pengambilan kembali apabila diperlukan. 8. Retrieving, yaitu pencarian sampai ketemu dan mendapatkan tambahan bagi unsur-unsur data khusus dari media di mana unsur-unsur data tersebut disimpan. 9. Reproduksi, yaitu memperbanyak data dari satu media ke media yang lain atau dalam kedudukan yang lain dalam media yang sama. 10. Disseminating-communicating, yaitu penyebaran dan pemindahan data dari satu tempat ke tempat lain. Dilihat dari sumber datanya, informasi dibedakan menjadi informasi internal dan informasi eksternal (Amsyah: 291-292). Informasi internal adalah suatu produk sampingan (by-product) yang terjadi karena adanya kegiatan operasional umum atau biasa (normal) suatu organisasi. Informasi ini umumnya bersifat historis, statis, dan faktual. Sementara informasi eksternal adalah informasi yang bersumber dari data di luar kegiatan operasional organisasi atau perusahaan. Informasi juga dibedakan menjadi dua jenis, yakni informasi substantif dan informasi fasilitatif. Pembagian ini untuk memudahkan dan mengurangi kerumitan menelaah data yang sangat beragam dan banyaknya data (Amsyah, 2001: 293-294). Informasi substantif adalah informasi yang berkaitan dengan kegiatan substantif, yakni kegiatan pokok sebuah organisasi yang merupakan kegiatan atau bidang utama organisasi sesuai tujuan organisasi bersangkutan. Sedangkan informasi fasilitatif adalah informasi yang berkaitan dengan kegiatan fasilitatif, yakni kegiatan pendukung suatu organisasi. Zulkifli Amsyah (2001: 296-298) membedakan bentuk-bentuk informasi menjadi (1) informasi uraian, yakni yang disajikan dalam bentuk uraian; (2) informasi rekapitulasi atau informasi yang disajikan secara ringkas dengan hasil akhir berupa perhitungan atau kalkukasi atau gabungan perhitungan yang berisikan angka-angka yang disajikan dalam bentuk kolom atau tabel; (3) informasi gambar, yang disajikan Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
560 KEMAS IMRON ROSYADI
dalam bentuk gambar atau bagan; (4) informasi model atau informasi dalam bentuk formulir dengan model-model yang dapat memberikan nilai ramalan atau prediksi sebagai alternatif bagi pembuatan keputusan; (5) informasi statistik, yang disajikan dalam bentuk angka dalam grafik atau tabel; (6) informasi formulir, yaitu yang dibuat dalam bentuk formulir dengan format isian yang sudah ditentukan dan disesuaikan dengan keperluan kegiatan masing-masing; (7) informasi animasi atau informasi multimedia, yakni informasi dalam bentuk gambar animasi dengan suarau atau video; (8) informasi simulasi atau informasi mengenai kegiatan nyata yang dibentuk serupa dengan ukuran lebih kecil atau dengan komputer sehingga mirip dengan kegiatan sebenarnya dengan skala lebih kecil. Sementara keluaran informasi ada dua macam, yaitu laporan dan jawaban pertanyaan. Laporan umumnya diklasifikasikan menurut waktu penerbitan atau tujuan penggunaan, yakni (1) laporan periodik (periodic reports) atau laporan terjadwal (scheduled reports); (2) laporan atas permintaan atau laporan tidak terjadwal (unscheduled reports); (3) laporan perkecualian (exception reports), yakni untuk situasi atau kondisi tertentu; (4) laporan spesial, disiapkan untuk keperluan yang bersifat informasional yang tidak terantisipasi; (5) laporan prediktif, yakni untuk meramalkan kecenderungan masa depan. Keluaran informasi dalam bentuk jawaban pertanyaan adalah informasi yang berasal dari pertanyaanpertanyaan (inquiries) yang memerlukan jawaban cepat sebagai teknik pengumpulannya, biasanya dalam bentuk database. Sebagaimana disebut di atas, informasi adalah data yang sudah diproses menjadi bentuk yang berguna bagi pemakainya, artinya ada yang dinamakan nilai informasi. Nilai muncul karena informasi berusaha memberi kejelasan dari suatu ketidakpastian atau untuk mengurangi ketidakpastian. Informasi adalah alat bantu untuk mengurangi ketidakpastian itu. Makin besar bantuannya dalam mengurangi ketidakpastian, makin tinggi nilai informasinya. Nilai informasi sendiri, menurut Amsyah (2001: 316) ditentukan oleh lima hal, yakni (1) ketelitian (accuracy); (2) ketepatan waktu Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 561
(timeliness); (3) kelengkapan (complete); (4) keringkasan (conciseness); (5) keseuaian (relevancy). Setelah informasi dihasilkan, yakni dari pengolahan data, masih terdapat kegiatan lanjutan yang dilakukan terhadapnya, yang disebut tindak lanjut informasi (information follow-up). Tindak lanjut itu (Amsyah, 2001: 319) bisa dalam bentuk (1) komunikasi (communicating); (2) penyimpanan (storing); (3) penemuan kembali (retrieving); (4) reproduksi (reproducing). Informasi dapat dikomunikasikan untuk keperluan internal dan eksternal organisasi. Komunikasi internal adalah komunikasi antarorganisasi sendiri, baik pusat, cabang, maupun perwakilan. Komunikasi eksternal adalah komunikasi dengan organisasiorganisasi lain. Mengomunikasikan informasi dapat dilakukan dalam bentuk rapat, pelaporan, arus informasi rutin (flow of information), dan pengiriman. Informasi dapat pula disimpan dalam file-file seperti kotak atau kabinet arsip untuk pemakaian di waktu yang akan datang. Penyimpanan ini penting bila nilai informasi itu tinggi dan masih akan dipakai untuk bukti atau referensi. Informasi yang sudah disimpan, yang di masa lain diperlukan dan diambil kembali, itulah yang dinamakan penemuan kembali (retrieving). Metode penemuan kembali sesuai dengan cara penyimpanan. Cara penemuan kembali informasi yang disimpan secara manual bisa berdasarkan subjek, nama, geografi, atau nomor. Informasi juga bisa diperbanyak atau direproduksi. Ini bukan mengubah data (informasi tersebut menjadi data baru) menjadi bentuk lain, melainkan sekadar mengubah informasi yang tersedia dari satu bentuk ke bentuk lain, misalnya dari tertulis dalam lembaran menjadi data digital. Sementara mutu, sebagaimana telah banyak dibahas sebelumnya, berkenaan dengan penilaian bagaimana suatu produk memenuhi kriteria, standar, atau rujukan tertentu (Sagala, 2007: 169). Mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan, yang dapat Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
562 KEMAS IMRON ROSYADI
diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses dan hasil belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan (Karsidi, 2005: 2). Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa informasi mutu adalah data-data tentang keberhasilan dan proses belajar yang diproses sehingga menjadi bermakna. Sementara sistem informasi adalah suatu sistem dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian yang mendukung fungsi operasi organisasi yang bersifat manajerial dengan kegiatan strategi dari suatu organisasi untuk dapat menyediakan kepada pihak luar tertentu dengan informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan. Dengan demikian, sistem informasi mutu dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang menyediakan informasi mutu bagi semua tingkatan dalam organisasi tersebut kapan saja diperlukan. Sistem itu menyimpan, mengambil, mengubah, mengolah, dan mengomunikasikan informasi mutu yang diterima menggunakan sistem informasi atau peralatan sistem lainnya. Hal itu penting karena lapangan kehidupan dan kegiatan manusia apa pun memerlukan informasi. Sanders sebagaimana dikutip Mirfani & Suryadi (2005: 212) mengatakan bahwa terdapat tiga elemen kegiatan kemanusiaan, yaitu informasi, energi, dan material. Bahkan dikatakan informasi merupakan substansi dari seluruh aktivitas intelektual manusia. Menurut Sanders (dalam Mirfani & Suryadi, 2005: 213), ada lima hal yang memberikan tekanan terhadap tuntutan pengembangan informasi bagi organisasi-organisasi sosial, seperti halnya organisasi pendidikan: 1. Peningkatan volume tulis-menulis. Dalam hal ini penanganan kesanggupan pada kebanyakan organisasi makin membebani dikarenakan oleh (1) semakin besar dan rumitnya organisasi, (2) bertambahnya tuntutan terhadap data yang bersumber dari luar, dan (3) permintaan para administrator terhadap informasi yang banyak. Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 563
2.
Permintaan ketepatan waktu. Dalam pertambahan volume informasi sering terjadi pengurangan kecepatan dalam pemrosesan. Para manajer meminta informasi yang tepat waktu. Sebab sekalipun mereka menerima informasi tentang sesuatu hal yang sesungguhnya pasti dalam waktu singkat, informasi yang mengurangi unsur ketidakpastian malah seiring terlambat. 3. Permintaan kualitas. Banyak administrator pendidikan bertanggung jawab dalam mengawasi kegiatan terhadap sejumlah besar sekolah yang terpencar pada suatu wilayah. Mereka mesti memiliki informasi yang akurat jika melakukan kontrol terhadap yang semestinya. Akan tetapi manakala suatu operasi pengolahan data tertahan dan melampaui kemampuan rencana semula, maka ketidakakuratan mulai menampakkan diri. Kekurangan memadai kontrol mengakibatkan kurang memadainya unjuk kerja. Maka dari itu sewajarnya ia akan menuntut kualitas yang lebih baik terhadap informasi yang diterimanya. 4. Tekanan dari perubahan lingkungan luar. Perubahan yang cepat telah terjadi di bidang sosial, ekonomi, dan teknik. Bagaimanapun hal tersebut mempunyai pengaruh yang berarti bagi lingkungan di mana suatu organisasi berada, bagi perencanaan yang para manajer harus melakukannya, dan bagi informasi yang harus mereka miliki. 5. Biaya. Peningkatan biaya pekerjaan klerk, material, dan ongkosongkos lain bertalian dengan operasi pengolahan data akhirnya menuntut perhatian manajerial. Di dalam pendidikan, informasi bukan hanya dibutuhkan bagi penyelenggaraan pendidikan, tapi menjadi bagian esensial pendidikan itu sendiri. Keberadaannya dalam pendidikan semakin penting karena pendidikan sekarang telah menjadi institusi atau terlembagakan (institutionalized schooling). Mirfani & Suryadi (2005: 212) mengatakan, Dalam perkembangan upaya pelembagaan pendidikan tersebut ternyata makin membentuk jaringan yang amat kompleks. Hal itu nampak pula pada sistem nasional pendidikan Republik Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
564 KEMAS IMRON ROSYADI Indonesia yang melibatkan hampir semua departemen dan atau instansi pemerintahan serta upaya-upaya swasta yang dikelola langsung oleh masyarakat. Lebih jauh lagi bahkan telah terjadi kerja sama antarnegara baik bilateral maupun multinasional. Dalam keadaan demikian sudah tentu tekanan terdapat (terhadap?—KIR) pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menjadi semakin kompleks. Maka konsekuensinya adalah tersedianya informasi yang komprehensif dan memadai menjadi semakin penting. Ini artinya informasi kependidikan harus terus ditingkatkan agar senantiasa menjadi bermutu.
Penutup Di atas telah dipaparkan tentang mutu pendidikan dan sistem informasi mutu pendidikan. Beberapa hal dapat disimpulkan dari pemaparan tersebut. Pertama, di zaman sekarang, pendidikan sering dinilai sebagaimana sebuah “barang”, yakni berdasarkan kualitasnya. Penilaian seperti itu menuntut pendidikan yang bermutu. Hanya pendidikan bermutu yang akan “dibeli” oleh masyarakat. Sedangkan pendidikan yang tidak bermutu akan ditinggalkan. Kedua, mutu pendidikan ditentukan oleh banyak faktor. Salah satu yang terpenting adalah proses pendidikan. Ketiga, mutu pendidikan penting untuk diinformasikan kepada publik, yang menuntut adanya informasi mutu. Informasi mutu pendidikan adalah data-data tentang keberhasilan dan proses belajar yang diproses sehingga menjadi bermakna. Keempat, antara mutu pendidikan dan informasi mutu mesti seiring jalan. Mutu yang baik menuntut adanya sistem informasi yang berkualitas, sedangkan informasi yang baik saja tidak cukup bila yang diinformasikan tidak bermutu. Catatan: 1 . Usia pendidikan di Indonesia dibagi setidaknya menjadi empat, yakni usia prasekolah (yakni TK atau RA), usia sekolah dasar (SD atau MI), usia sekolah menengah (SMP atau MTs dan SMA atau MA), serta usia pendidikan tinggi (perguruan tinggi atau PT).
Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 565
DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Akdon & Aan Komariah (2005). “Supervisi Pendidikan”, dalam Deni Koswara & Cepi Triatna (ed). Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan UPI. Buchori, Mochtar (2005). Evolusi Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Insist. Mirfani, Aceng Muhtaram & Suryadi (2005). “Sistem Informasi Pendidikan dan Ketatausahaan”, dalam Deni Koswara & Cepi Triatna (ed). Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan UPI. Hamalik, Oemar (2005). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Handayani, Titik, Soewartoyo, dan Makmuri Sukarno (2009). “Implementation of the Compulsary Nine-Year Basic Education Program: Opportunities and Constraints at Household and Community Level”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, vol. 2: 191-202. Hanief, A. (2008). “Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi: Studi tentang Kebijakan dan Impelementasinya dalam Penjaminan Mutu dan Akreditasi Perguruan Tinggi di Indonesia”. Disertasi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Hirawan, Wan A. (2004). “Efektivitas Implementasi Kebijakan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV dalam Meningkatkan Kinerja Pejabat Struktural Eselon 4 di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sukabumi”. Disertasi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. LPMP Provinsi Jambi (2009). Hasil Supervisi Sekolah: Penerapan Standar Nasional Pendidikan Jenjang SMA. Laporan tidak diterbitkan. Reigelkuth, Charles M. (1983). Instructional-Design Theories and Models: An Overview of Their Current Status. USA: Lawrence Erlbaum Associates Inc. Sagala, Syaiful (2007). Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sagala, Syaiful. (2008). Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta. Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
566 KEMAS IMRON ROSYADI
Satori, Djam’an & Ruswandi Hermawan (2005). “Wawasan Dasar Pengelolaan Pendidikan”, dalam Deni Koswara & Cepi Triatna (ed). Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan UPI. Sa’ud, Udin S. & Asep Suryana (2005). “Masalah Kontemporer Pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional”, dalam Deni Koswara & Cepi Triatna (ed). Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan UPI. Sholeh, Munawar (2007). Cita-cita Realita Pendidikan: Pemikiran dan Aksi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Institute for Public Education (IPE). Sirozi, Muhammad (2004). Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989. Jakarta: INIS. Soedijarto (2009). “Some Notes on the Ideals and Goals of Indonesia’s National Education System and the Inconsistency of its Implementation: A Comparative Analysis”. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, vol. 2: 1-12. Suhardan, Dadang (2005). “Organisasi dan Manajemen Pendidikan Nasional”, dalam Deni Koswara & Cepi Triatna (ed). Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan UPI. Sukmadinata, Nana Syaodih, dkk. (2006). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah: Konsep, Prinsip, dan Instrumen. Bandung: Refika Aditama. Sumintono, Bambang (2009). “School-Based Management Policy and Its Practices at District Level in the Post New Order Indonesia”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, vol. 2: 41-67. Suryadi, Ace (1999). Pendidikan Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: Balai Pustaka. Susanta SA., Eddy & Deni Koswara (2005). “Pengawasan dan Penilaian Satuan Pendidikan”, dalam Deni Koswara & Cepi Triatna (ed). Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan UPI. Sutrisno dan Muhammad Rusdi (2007). “Analisis Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah di Provinsi Jambi”. Jurnal Pendidikan Inovatif, Vol. 3 No. 1: 25-31. Sutrisno dan Nuryanto (2008). “Profil Pelaksanaan Kurikulum Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012
MUTU PENDIDIKAN DAN SISTEM INFORMASI MUTU 567
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Provinsi Jambi: Studi Evaluatif Pelaksanaan KTSP SD, SMP, dan SMA”. Makalah disampaikan dalam Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan 2008. Syaefuddin, Aas & Taufani C. Kurniatun (2005). “Pengelolaan Tenaga Kependidikan”, dalam Deni Koswara & Cepi Triatna (ed). Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan UPI. Tajudin, H. (2008). “Efektivitas Manajemen Pelatihan Guru di Kabupaten Indramayu”. Disertasi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Tilaar, H.A.R. (2006) Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta. Wahyudi (2005). “Manajemen Konflik dalam Meningkatkan Produktivitas Organisasi”. Disertasi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Wibowo (2008). Manajemen Kinerja. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Zulfikar, Teuku (2009). “The Making of Indonesian Education: An Overview on Empowering Indonesian Teachers”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, vol. 2: 13-39. Undang-undang dan Peraturan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Pusat dan Daerah. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1989 tentang Pendidikan Dasar. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan.
Media Akademika, Vol. 27, No. 4, Oktober 2012