KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH
PENULIS
EDITOR
Dr. B. Raksaka Mahi
Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak
(Universitas Indonesia)
(Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya
Dr. Hefrizal Handra
(Universitas Gajah Mada)
(Universitas Andalas)
Dr. Fauziah Zen (Universitas Indonesia)
LAPORAN TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2013 Didukung oleh:
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
ii |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
Acknowledgement
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
Buku Municipal Development Funds Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah ini disusun oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan didukung oleh Program Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD).
Disclaimer Pandangan dan pendapat dalam buku Municipal Development Funds Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah ini bersumber dari Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan tidak menggambarkan pandangan Pemerintah Australia.
iv |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Daftar Isi
Kata Pengantar Direktur Program AIPD.............................................. vii Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan............... ix Ringkasan Eksekutif............................................................................ xi 1
Pendahuluan................................................................................
1
1.1. Tujuan dan Pertanyaan Penelitian...........................................
6
1.2. Metodologi............................................................................
7
1.3. Sistematika Penulisan.............................................................
7
2
Kebutuhan Indonesia Terhadap Perantara Pembiayaan untuk
Infrastruktur Daerah....................................................................
9
2.1. Kondisi Infrastruktur Daerah Saat Ini......................................
9
2.2. Keterbatasan Skema Pinjaman Daerah Saat ini....................... 18
2.3. Besarnya Biaya Transaksi Pembiayaan Proyek Infrastruktur
2.4. Kebutuhan untuk Mekanisme Persetujuan Pinjaman
Daerah................................................................................... 21 Kompetitif.............................................................................. 24
2.5. Kebutuhan untuk Memupuk Modal dalam Jangka Panjang... 25
v
3
MDF: Prinsip, Karakteristik, dan Praktik Negara Lain.................. 28
3.1. Definisi dan Cakupan Municipal Development Funds............. 28
3.2. Implementasi MDF di Berbagai Negara.................................. 31
3.3. Sumber Modal MDF............................................................... 34
3.4. Pentingnya MDF Bagi Kota-Kota Negara Berkembang............ 35
4
MDF Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah di
Indonesia...................................................................................... 38
4.1. Analisis Awal Fungsi dan Permodalan MDF ........................... 38
4.2. Analisis Kerangka Institusional MDF....................................... 40
4.3. Bentuk Ideal Institusi Perantara Pembiayaaan:
BLU atau BUMN? . ................................................................. 50
4.4. Anatomi Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Saat Ini...... 51
4.5. Opsi Kelembagaan MDF dalam Jangka Pendek...................... 54
5
Desain Kebijakan.......................................................................... 62
5.1. Desain Insentif....................................................................... 62
5.2. Struktur Modal....................................................................... 64
5.3. Model Pengelolaan................................................................. 66
5.4. Proteksi Pinjaman................................................................... 66
5.5. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam ............. 68
5.6. Kelembagaan MDF ................................................................ 71
5.7. Kerjasama dengan Entitas Lain............................................... 72
6
Kesimpulan dan Rekomendasi..................................................... 74
7
Daftar Pustaka............................................................................. 77
8
Lampiran...................................................................................... 81
8.1. Rangkuman Mengenai Findeter dan TNUDF . ........................ 81
8.2. Hasil Survei Awal Kepada Pemangku Kepentingan Pinjaman
vi
Daerah Tentang Minat Terhadap MDF.................................... 85
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Kata Pengantar Direktur Program AIPD
S
ejak tahun 2012, Program AIPD mendukung Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melalui Tim Asistensi Ke menterian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF), terutama
untuk pengembangan kebijakan desentralisasi fiskal berbasis penelitian (research based policy).
Pada tahun 2013 TADF mendapatkan mandat untuk melaksanakan em
pat kajian dan penyusunan sejumlah policy brief. Hasil kajian tersebut telah didokumentasikan dalam empat judul buku berikut ini: 1) Pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK): Kondisi dan Strategi ke Depan; 2) Municipal Development Funds sebagai Alternatif Pembiayaan Infra struktur Daerah; 3) Evaluasi Regulasi Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pengaruhnya ter hadap Upaya Peningkatan Kualitas Belanja Daerah; 4) Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pa jak Daerah dan Retribusi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Daerah.
Sedangkan hasil policy brief yang disusun oleh TADF didokumentasikan
dalam buku Policy Brief 2013.
Kami mengharapkan bahwa kelima buku tersebut dapat berkontribusi
untuk dialog kebijakan yang dapat memperkuat implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia, terutama untuk dampak peningkatan layanan publik bagi masyarakat. Jessica Ludwig-Maaroof Direktur Program
vii
viii |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
D
inamika hubungan keuangan pusat dan daerah yang juga dipengaruhi oleh perubahan kondisi global maupun dinamika politik perlu men dapatkan perhatian serius dari Pemerintah Pusat karena sangat ber
kaitan dengan berbagai kebijakan yang langsung berdampak pada penyeleng garaan layanan publik oleh Daerah. Oleh karenanya, perbaikan kebijakan yang didasarkan pada hasil kajian yang sifatnya netral, jujur, dan ilmiah harus dila kukan secara terus menerus.
Dalam rangka melakukan perbaikan kebijakan yang berbasis penelitian
atau research based policy, maka Kementerian Keuangan telah menjalin kerjasama dengan Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF). TADF beranggotakan para akademisi dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia dan para pakar di bidang desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pada tahun 2013, TADF telah melakukan empat buah pene litian dan menghasilkan 7 (tujuh) buah policy brief dan 1 (satu) buah policy note.
Salah satu hasil penelitian tersebut adalah “Municipal Development
Funds Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah”. Penelitian ini pada dasarnya berusaha untuk menawarkan alternatif penyediaan sumber pembiayaan infrastruktur bagi Pemerintah Daerah. Alternatif pembiayaan
ix
tersebut adalah pengembangan Municipal Development Fund (MDF), seba gaimana yang telah diterapkan dibeberapa negara lain. Berdasarkan bestpractices yang ada tim peneliti menyimpulkan bahwa MDF bisa dikembangkan di negara Indonesia agar kebutuhan daerah akan pembiayaan infrastruktur yang kontinyu dan jangka panjang bisa dipenuhi melalui penyediaan dana dari institusi MDF. Untuk itulah, Pemerintah Indonesia diharapkan agar segera merintis upaya untuk menyiapkan Institusi MDF.
Rekomendasi lain yang sangat menarik untuk ditindaklanjuti dari pene
litian ini adalah perlu disusun tujuh buah desain kebijakan strategis dalam rangka mengoptimalkan potensi MDF di masa mendatang. Desain kebijakan strategis tersebut meliputi desain insentif, struktur modal, desain pengelolaan, proteksi pinjaman, kriteria daerah yang berhak meminjam, kelembagaan MDF dan kerjasama dengan entitas lain.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini dan juga kepada Australia Indonesia Partnership for Decentralization yang telah mendukung terlaksana nya rangkaian kegiatan TADF 2013. Kami berharap bahwa hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik di Indonesia. Direktur Jenderal,
Boediarso Teguh Widodo
x
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Daftar Gambar
Gambar 1. Persentase Akses Penduduk terhadap Air Bersih (1993–2009)....... 11 Gambar 2. Peningkatan Panjang Jalan Kota/Kabupaten dan Provinsi (ribu km). 11 Gambar 3. Kualitas Jalan Kabupaten/Kota di Indonesia (2001-2009).............. 12 Gambar 4. Kemampuan Pembiayaan Infrastruktur Daerah............................. 13 Gambar 5. Profil Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota........................ 14 Gambar 6. Incomplete Market Pembiayaan Infrastruktur Perkotaan............. 17 Gambar 7. Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia.......................................... 17 Gambar 8. Pinjaman dan Belanja Modal Daerah Sebagai Persentase Terhadap Belanja Daerah (Riil).......................................................................... 21 Gambar 9. Struktur MDF Secara Umum.......................................................... 29 Gambar 10. Tahapan dalam Pengadaan Proyek Infrastruktur............................ 30 Gambar 11. Tantangan dalam Urbanisasi......................................................... 36 Gambar 12. PIP dan PT. SMI Sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah Pusat........ 53 Gambar 13. Opsi Kelembagaan MDF dalam Jangka Pendek............................. 55 Gambar 14. Tahapan Transisi PIP Menuju BUMN Pelaksana MDF...................... 59 Gambar 15. Desain Insentif MDF...................................................................... 63 Gambar 16. Alternatif Sumber Modal Bagi MDF............................................... 65 Gambar 17. Model Pengelolaan........................................................................ 66 Gambar 18. Proteksi Pinjaman.......................................................................... 67 Gambar 19. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam..................... 69 Gambar 20. Kerjasama MDF dengan Entitas Lain............................................. 73 Gambar 21. Operasional Findeter..................................................................... 83 Gambar 22. Operasional TNUDF....................................................................... 84
xi
Daftar Tabel
Tabel 1. Penduduk Urban dan Rural di Indonesia................................
2
Tabel 2. Persentase Penduduk Urban Per Provinsi di Indonesia,
2005-2025...................................................................................
2
Tabel 3. Pemerintah Daerah Kreditor dengan Outstanding Debt
per 31 Desember 2012........................................................... 19
Tabel 4. Jumlah Pokok Kredit Macet Pemerintah Daerah
per 31 Desember 2012 . ........................................................ 20
Tabel 5. Ringkasan Persyaratan Pinjaman Daerah................................ 22 Tabel 6. Rincian Salah Satu Portofolio Proyek Investasi Infrastruktur
TNUDF.................................................................................... 23
Tabel 7. Berbagai Tipe Pembiayaan Perantara untuk Pemerintah Daerah. 31 Tabel 8. Tantangan dalam Implementasi MDF di Negara Lain.............. 32 Tabel 9. Beberapa Contoh Sukses Implementasi MDF.......................... 33 Tabel 10. Berbagai Skema Pemodalan MDF........................................... 34 Tabel 11. Perbandingan Bentuk Kelembagaan Penyedia Infrastruktur... 41 Tabel 12. Anatomi Kelembagaan Formal Institusi Penyedia Infrastuktur
di Indonesia........................................................................... 51
Tabel 13. Perbandingan PIP dengan PT. SMI.......................................... 53 Tabel 14. Fungsi Lembaga Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia......... 54
xii
Ringkasan Eksekutif
D
iperkirakan akan terjadi peningkatan penduduk perkotaan, namun antisipasi Pemerintah Daerah dalam penyediaan infra struktur masih rendah.
•
Kawasan perkotaan merupakan mesin utama perekonomian, di mana
setengah kegiatan perekonomian dunia berjalan. Kini, kawasan perkota an di berbagai negara dihadapkan pada tantangan laju urbanisasi yang tinggi. Distribusi populasi perkotaan dunia diperkirakan akan mencapai angka 70% pada tahun 2050 (UNDESA, 2012). •
Pembangunan infrastruktur di daerah, khususnya di perkotaan sangatlah penting dilakukan untuk mengantisipasi peningkatan penduduk yang tinggal di perkotaan. Untuk Indonesia, diperkirakan sekitar 68% populasi Indonesia akan hidup di wilayah perkotaan pada akhir tahun 2025. Pe ningkatan penduduk perkotaan (urban) ini akan terjadi hampir semua Provinsi di Indonesia.
•
Namun demikian, upaya Pemerintah Daerah dalam mengantisipasi ur banisasi ini masih sangat minim. Hal ini terlihat dari besarnya belanja modal Pemerintah Daerah tidak lebih dari 0,7% dari total PDRB pada periode 1997-2009. Ini berakibat kurangnya penyediaan berbagai infra struktur dasar. Hingga saat ini hanya 50% penduduk perkotaan di Indo nesia yang menikmati layanan air bersih, dengan proporsi yang semakin
xiii
menurun tiap tahun, sedangkan jaringan drainase hanya ada di 11 kota besar (Bank Dunia, 2009). Salah satu kendala dalam peningkatan infrastruktur adalah penyediaan sumber pembiayaan bagi Pemerintah Daerah. •
Bentuk infrastruktur yang saat ini sangat diperlukan oleh Pemerintah Daerah adalah infrastruktur lingkungan (environmental infrastructure) yang umumnya tidak memberikan pendapatan proyek yang menjanji kan (non-revenue generating project).
•
Untuk membiayai infrastruktur ini, Pemerintah Daerah memerlukan sumber pembiayaan tidak saja dari dana perimbangan maupun Penda patan Asli Daerah (PAD), tetapi juga dari pinjaman daerah, baik dengan meminjam dari Pemerintah Pusat maupun lembaga keuangan, ataupun dengan menerbitkan surat utang.
•
Sangat tidak mudah bagi Pemerintah Daerah untuk menemukan sumber pinjaman jangka panjang. Saat ini sebagian besar pinjaman daerah ada lah warisan masa lalu dari Pemerintah Pusat melalui mekanisme pene rusan pinjaman (Subsidiary Loan Agreement). Skema pinjaman SLA masih bersifat supply-driven, jumlahnya relatif terbatas dan akses pinjamannya pun tidak terbuka bagi semua Pemerintah Daerah. Sedangkan pinjaman demand-driven melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dikeluhkan per syaratan dan besaran bunganya.
•
Di berbagai negara, kebutuhan pembiayaan infrastruktur jangka panjang ini dapat dipertemukan dengan berbagai sumber dana melalui sebuah lembaga perantara pembiayaan, yang sering disebut sebagai MDF (Mu nicipal Development Fund).
Terdapat 7 (tujuh) alasan mengapa Indonesia memerlukan kehadiran MDF dalam pembiayaan infrastruktur daerah: 1. Sebagai sumber pembiayaan jangka panjang untuk infrastruktur daerah. 2. Menutup gap (celah) dalam penyediaan infrastruktur daerah, baik secara kuantitas maupun kualitas infrastruktur.
xiv
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
3. Melengkapi pasar penyediaan infrastruktur daerah, khususnya untuk pasar pembiayaan infrastruktur lingkungan (environmental infrastruc ture) yang bersifat non-revenue generating. 4. Masih adanya berbagai keterbatasan pada skema pinjaman daerah saat ini, baik pinjaman dari Pemerintah Pusat lewat Pusat Investasi Pemerintah maupun mekanisme penerusan pinjaman (SLA), pinjaman dari lembaga keuangan bank dan non-bank, maupun penerbitan surat utang. 5. Memenuhi kebutuhan untuk penyediaan pinjaman yang kompetitif. 6. Kebutuhan untuk memupuk modal bagi pembiayaan infrastruktur di masa depan, yang dapat dilakukan melalui penerbitan obligasi, saham khusus, saham biasa, pinjaman kepada pihak luar, dan kumulasi keun tungan usaha. 7. Mengurangi biaya transaksi pembiayaan proyek-proyek infrastruktur daerah. Dalam jangka panjang, MDF juga dapat melakukan pengumpul an (pooling) berbagai proyek infrastruktur daerah, untuk kemudian diter bitkan obligasi dalam jumlah yang signifikan dalam rangka membiayai semua proyek tersebut di daerah. Bentuk MDF yang optimal bagi Indonesia adalah MDF yang menyalurkan Pinjaman daerah secara langsung kepada Pemerintah Daerah (first-tier) dan memiliki kelembagaan berbentuk BUMN. •
Dengan kondisi saat ini, bentuk MDF yang optimal untuk Indonesia ada lah institusi yang memberikan pinjaman kepada daerah, bukan yang memberikan hibah, dan juga tidak bertindak sebagai Bank Obligasi yang membeli obligasi dari Pemerintah Daerah.
•
Selain itu institusi MDF Indonesia adalah MDF yang memberikan pinjam an langsung kepada Pemerintah Daerah (first-tier), dan bukanlah MDF yang menyalurkan pinjaman daerah melalui lembaga keuangan lain (second-tier).
•
Berdasarkan analisa kelembagaan menggunakan 12 (dua belas) aspek ber ikut ini: pertanggungjawaban (liability), orientasi perusahaan, investasi, permodalan, keputusan untuk memberikan pinjaman, sumber pendanaan, proteksi pinjaman, peraturan pendirian, koordinasi, manajemen, pasar mo
R I NGK ASAN E K SE K U TI F
xv
dal, dan pengawasan, dapat disimpulkan bahwa bentuk terbaik untuk institusi MDF di Indonesia adalah BUMN (Badan Umum Milik Negara). Terdapat 3 (tiga) opsi kelembagaan MDF dalam jangka pendek, yaitu (1) Transisi melalui BUMN yang ada saat ini, (2) Transisi melalui BLU yang ada saat ini, dan (3) Membuat BLU Baru. 1. Transisi melalui BUMN yang ada:
Saat ini terdapat PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) sebagai BUMN yang bergerak dalam pembiayaan infrastruktur nasional dan daerah, terutama melalui mekanisme PPP (Public Private Partnership). Apabila PT. SMI di minta melaksanakan fungsi MDF tersebut, maka MDF ini akan menjadi unit di bawah PT. SMI yang khusus melakukan pinjaman infrastruktur kepada Pemerintah Daerah. Untuk melaksanakan kewajiban ini, PT. SMI memerlukan peningkatan instrumen keamanan pinjaman, yang dapat diusulkan kepada Pemerintah: (1) PT. SMI dapat melakukan intercept DAU (Dana Alokasi Umum), (2) PT. SMI dapat meminta jaminan aset dari Pemerintah Daerah, (3) PT. SMI dapat meminta komitmen dari DPRD melalui penerbitan Perda. Selain itu, PT. SMI memiliki kepentingan men jaga credit rating-nya, Penyertaan Modal Negara (PMN) sebagai modal awal MDF lebih baik dicatatkan sebagai hibah ekuitas dibandingkan dengan utang, karena langsung mempengaruhi Debt-to-Equity Ratio (DER), aktivitas MDF juga dapat dicatatkan dalam buku terpisah (subledger).
2. Transisi melalui BLU yang ada:
Saat ini BLU yang telah aktif melakukan pinjaman daerah adalah PIP (Pusat Investasi Pemerintah). Sebagai pengelola kekayaan negara untuk diinvestasikan (sovereign wealth fund) (PP 1/2008), PIP memiliki mandat yang sangat luas baik dalam skala maupun cakupan tujuan manfaat. Di lain pihak, tujuan dan skala MDF sangat spesifik tetapi memerlukan ke leluasaan ruang gerak yang sulit dilakukan jika masuk dalam sistem birokrasi. Seandainya MDF dimasukkan ke dalam PIP, maka ada tambahan tugas baru untuk PIP, yang memerlukan penyesuaian yang tidak seder hana untuk mencapai tujuan MDF. Selain itu, mengingat bahwa dalam
xvi
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
jangka menengah, MDF yang ideal haruslah berbentuk BUMN, maka diperlukan sebuah mekanisme transisi dari bagian BLU menjadi BUMN yang harus dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Momen pen tahapan ini sangat penting, mengingat bahwa menjadi MDF yang kom petitif haruslah MDF yang dapat mengakses pasar modal secara leluasa, yang hanya dapat dilakukan oleh BUMN. 3. Transisi dengan mendirikan BLU baru:
Mendirikan BLU baru adalah sebuah opsi dengan maksud tidak meng ganggu sistem di PIP sebagai pilihan transisi, karena untuk mencapai tujuan efektif MDF perlu dalam format BUMN. Namun pada akhirnya harus tetap diingat bahwa secara konteks tujuan besar, yaitu untuk men jadi sebuah MDF potensial dalam jangka menengah dan jangka panjang, maka pengalaman internasional membuktikan bahwa bentuk BLU baru inipun bukanlah bentuk optimal untuk sebuah pendirian MDF. Jadi, bila opsi membentuk BLU baru ini yang akan dipilih, maka diperlukan juga sebuah tahapan, yang memungkinkan bahwa bentuk BLU ini akan menjadi bentuk BUMN di dalam jangka menengah.
Untuk menjadi MDF yang potensial, setidaknya perlu dibuat sebuah de sain kebijakan yang meliputi 7 (tujuh) kebijakan strategis: 1. Desain Insentif: Insentif dapat diberikan dalam bentuk fiskal dan nonfiskal. Insentif fiskal dapat diberikan dalam bentuk subsidi modal, subsidi bunga pinjaman, atau masa tenggang waktu memulai cicilan pemba yaran. 2. Struktur Modal: Struktur modal awal MDF dapat berupa 100% modal atau dengan komposisi modal-utang. Modal murni dapat menekan biaya pinjaman, jika dipandang dari sisi neraca keuangan institusi karena tanpa cost of funds; walaupun opportunity cost dari alokasi tersebut harus dipertimbangkan dari sisi kebijakan fiskal. Sumber modal murni dapat berasal dari swasta atau non-swasta 3. Model Pengelolaan: Pengelolaan MDF harus bersifat independen, profesional, dan efisien. Dewan direksi dipagari oleh prinsip hard budget constraint sehingga tidak ada dana tambahan Pemerintah untuk menu
R I NGK ASAN E K SE K U TI F
xvii
tup kerugian karena kesalahan manajemen. Sistem reward and punish ment juga harus mengacu pada pasar. 4. Proteksi Pinjaman: Pinjaman selalu mengandung risiko gagal bayar (Non-Performing Loan, atau NPL). Lembaga pinjaman harus mempunyai cara untuk meminimasi risiko gagal ini. Desain dari proteksi pinjaman akan memerlukan beberapa perubahan dalam Undang-undang maupun cukup berupa peraturan Menteri. 5. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam: Jika Pemda me mang belum mampu meminjam, maka seharusnya mendapatkan sum ber pembiayaan lain seperti hibah. Pinjaman diberikan hanya pada dae rah yang mempunyai kapasitas untuk membayar pinjaman dengan kriteria meminjam yang jelas dan transparan. 6. Kelembagaan MDF: Dari uraian sebelumnya, untuk membentuk MDF yang independen, profesional, dan efisien, dari berbagai bentuk institusi yang telah dielaborasi, solusi ideal mengerucut pada pembentukan sebuah BUMN baru. Dalam jangka pendek telah diuraikan beberapa opsi yang dapat dipilih oleh Pemerintah. 7. Kerjasama dengan Entitas Lain: MDF perlu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk penyediaan Technical Assistance dan Capacity Building ke Pemda.
xviii
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
1
D
Pendahuluan
engan diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, maka keber hasilan pembangunan ekonomi daerah menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Langkah penting
yang harus diambil oleh Pemerintah adalah pengembangan strategi pemberdayaan perekonomian daerah melalui pembangunan infrastruktur— khususnya di daerah perkotaan1—sebagai simpul penghubung pertumbuhan ekonomi di daerah.
Kawasan perkotaan merupakan mesin utama perekonomian, di mana
setengah kegiatan perekonomian dunia berjalan. Kini, kawasan perkotaan di berbagai negara dihadapkan pada tantangan laju urbanisasi yang tinggi. Distribusi populasi perkotaan dunia diperkirakan akan mencapai angka 70% pada tahun 2050 (UNDESA, 2012).
Tren yang sama juga terjadi di Indonesia. Selama kurun waktu 50 tahun
terakhir, telah terjadi peningkatan yang signifikan dari proporsi populasi per
1
Yang dimaksud dengan “perkotaan” adalah daerah yang memiliki ciri-ciri urban, dan bukan secara khusus merujuk kepada daerah dengan klasifikasi Kota menurut Kementerian Dalam Negeri. Di masa kini, banyak Kabupaten yang juga telah menunjukkan ciri-ciri urban (Simatupang, 2008).
1
kotaan terhadap total populasi (lihat Tabel 1), yaitu dari dari 17,2 % di tahun 1971 menjadi 49,8% di tahun 2010.
Tabel 1. Penduduk Urban dan Rural di Indonesia Tahun
Penduduk Urban (juta jiwa)
Penduduk Rural (juta jiwa)
Total (juta jiwa)
Penduduk Urban (%)
1971
20,5
98,9
119,4
17,17
1980
32,8
114,1
146,9
22,33
1990
55,5
123,8
179,3
30,95
2000
85,8
117,7
203,5
42,16
2010
118,3
119,3
237,6
49,79
Sumber: diolah dari data Sensus 2010 BPS (www.bps.go.id)
Gambaran yang lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Pada tahun 2005,
hanya terdapat 6 provinsi (di luar DKI Jakarta) yang memiliki proporsi pendu duk urban lebih dari 50% total populasi. Pada akhir tahun 2025, diperkirakan jumlah itu akan meningkat menjadi 26 provinsi. Laju urbanisasi yang sangat tinggi tergambarkan dari selisih jumlah penduduk urban dalam periode 20252005 tersebut: Provinsi Jawa Tengah dan Lampung akan bertambah proporsi populasi urbannya sebanyak 25,2% selama kurun waktu 20 tahun. Sehingga, sekitar 68% populasi Indonesia akan hidup di wilayah perkotaan pada akhir tahun 2025. Peningkatan populasi urban ini terutama akan terjadi di 25-30 kota megapolitan dan metropolitan yang kini ada.
Tabel 2. Persentase Penduduk Urban Per Provinsi di Indonesia, 2005-2025 2005
2015
2025
Selisih 20252005
DKI Jakarta
100,0
100,0
100,0
0,0
DI Yogyakarta
64,3
75,2
82,8
18,5
Banten
60,2
73,0
81,5
21,3
Provinsi
2
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
2005
2015
2025
Selisih 20252005
Jawa Barat
58,8
72,4
81,4
22,6
Bali
57,7
70,7
79,6
21,9
Kalimantan Timur
62,2
69,9
75,9
13,7
Jawa Tengah
48,6
63,1
73,8
25,2
Jawa Timur
48,9
63,1
73,7
24,8
Riau
50,4
62,1
71,1
20,7
Nusa Tenggara Barat
41,9
55,2
66,0
24,1
Sulawesi Utara
43,4
55,7
65,7
22,3
Kepulauan Bangka Belitung
47,8
56,5
63,9
16,1
Sumatera Utara
46,1
54,4
63,5
17,4
Kalimantan Selatan
41,5
51,6
60,6
19,1
Kalimantan Tengah
34,0
47,2
58,8
24,8
Bengkulu
35,2
46,5
56,5
21,3
Sumatera Barat
34,3
45,3
55,6
21,3
Sumatera Selatan
38,7
47,0
54,6
15,9
Gorontalo
31,3
42,8
53,2
21,9
Lampung
27,0
39,8
52,2
25,2
Nanggroe Aceh Darussalam
28,8
39,7
49,9
21,1
Jambi
32,4
40,6
48,4
16
Sulawesi Selatan
32,2
38,8
46,7
14,5
Kalimantan Barat
27,8
34,8
43,7
15,9
Sulawesi Tenggara
23,0
28,5
35,5
12,5
Maluku Utara
29,7
31,5
33,6
3,9
Sulawesi Tengah
21,0
24,9
29,9
8,9
Maluku
26,1
27,9
29,9
3,8
Nusa Tenggara Timur
18,0
23,5
29,3
11,3
Papua
22,8
24,3
26,0
3,2
Provinsi
Sumber: diolah dari estimasi BPS & LD FEUI dalam datastatistik-indonesia.com
PE NDAH U L U AN
3
Kawasan perkotaan selama ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Pertumbuhan penduduk perkotaan akan berimbas kepada mening katnya kebutuhan terhadap berbagai layanan publik dan terutama, infra struktur. Tanpa dibarengi penyediaan layanan publik dan infrastruktur yang baik, urbanisasi justru dapat menghambat kemajuan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kualitas hidup penduduk daerah tersebut.
Ketidaksiapan banyak Pemerintah Daerah dalam mengantisipasi urbani
sasi terlihat dalam penyediaan berbagai infrastruktur dasar yang masih buruk. Jumlah belanja modal Pemerintah Daerah tidak lebih dari 0,7% dari total PDRB pada periode 1997-2009. Akibatnya, hanya 50% penduduk perkotaan di Indo nesia yang menikmati layanan air bersih, dengan proporsi yang semakin me nurun tiap tahun, sedangkan jaringan drainase hanya ada di 11 kota besar. Juga, meskipun pasca-desentralisasi terdapat penambahan panjang jalan yang signifikan, kondisi jalan di Indonesia justru semakin memburuk karena minimnya pemeliharaan dan meningkatnya beban transportasi darat (Bank Dunia, 2009).
Dengan kondisi tersebut, merupakan suatu prioritas genting bagi Peme
rintah Daerah untuk memperbaiki perencanaan daerah, dan meningkatkan kinerja penyediaan berbagai infrastruktur: transportasi, air, pengolahan lim bah, energi, komunikasi, dsb. Sementara beberapa tipe infratruktur relatif mu dah dipenuhi lewat penyediaan swasta (mis. energi, komunikasi) karena mudah dikomersialkan, penyediaan infrastruktur-infrastruktur dasar lainnya membu tuhkan insentif dan intervensi dari pemerintah karena eksternalitasnya yang tinggi, dan sifatnya yang viable secara ekonomi, tidak secara komersial. Con toh infrastruktur dasar adalah barang publik seperti jalan raya dan infrastruktur lingkungan (environmental infrastructure) seperti pengolahan limbah, dan air.
Infrastruktur dasar memiliki ciri khas padat modal, dengan investasi ber
sifat jangka panjang, serta memberikan eksternalitas tinggi kepada daerahdaerah sekitarnya (interjurisdictional spillover). Sifat eksternalitas antardaerah yang tinggi ini mengakibatkan tidak mudahnya membebankan retribusi atas penggunaan fasilitas infrastruktur tersebut; pada umumnya hasil dari retribusi ini tidak akan mampu menutup biaya investasi. Selain itu, perencanaan infra struktur lingkungan juga rawan dipengaruhi politik dan birokrasi.
4
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Hal-hal di atas menyebabkan tipe infrastruktur tersebut tidak diminati oleh
pihak swasta, sehingga tidak dapat diharapkan untuk tersedia melalui meka nisme pasar. Padahal di sisi lain, dengan kapasitas anggaran yang terbatas— dimana sebagian besar penerimaan adalah untuk pembayaran pegawai dan kebutuhan rutin lainnya—Pemerintah Daerah telah terbukti sulit untuk dapat menyediakan cukup infrastruktur dasar bagi masyarakatnya melalui ang garan.
Di masa lalu, pembiayaan untuk infrastruktur dasar mayoritas berasal
dari anggaran Pemerintah Pusat. Selain itu, pembiayaan juga berasal dari hibah maupun pinjaman yang sebagian besar berupa pinjaman yang dite ruskan dari luar negeri (yakni Subsidiary Loan Agreement sebagai two-step loan atau Penerusan Pinjaman Luar Negeri). Namun, praktik ini menuai ba nyak kritik. Karena perencanaannya yang bersifat top-down, acapkali program yang dijalankan tidaklah sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Daerah. Selain itu, risiko kurs serta anuitas pinjaman menambah beban pinjaman Pemerintah Daerah: pada akhirnya bunga pinjaman menjadi berkali lipat dibandingkan pokoknya. Juga, pinjaman melalui skema SLA tidaklah berkesinambungan karena berbasis program yang didorong oleh donor asing.
Skema lainnya yang kemudian dibuka, baik melalui Rekening Dana
Investasi (RDI), Rekening Pembangunan Daerah (RPD) pada masa Orde Baru, maupun Pusat Investasi Pemerintah (PIP) pada masa reformasi, ternyata juga tidak dapat diandalkan. RDI dan RPD—sebagai suatu rekening Pemerintah Pusat—mengalami masalah supply-driven yang mirip dengan SLA, dan tidak pernah mendapatkan kejelasan institusi. Sementara itu, pembiayaan melalui PIP—meskipun telah mengadopsi sepenuhnya prinsip demand-driven, dan dilaksanakan melalui Badan Layanan Umum yang diharapkan lebih lincah— tetap tidak beranjak dari birokrasi yang panjang. Bunga yang cukup tinggi, setara dengan bunga pasar, pun membuat skema pinjaman melalui PIP tidak begitu atraktif bagi Pemerintah Daerah.
Tentu saja, di atas kertas juga telah diundangkan bahwa Pemerintah Dae
rah dapat meminjam kepada pasar, baik kepada lembaga keuangan bank dan non-bank, maupun lewat penerbitan surat utang. Namun regulasi pinjaman daerah yang terlewat rigid (penerimaan dan aset daerah tidak diperbolehkan sebagai pinjaman, surat utang hanya boleh diterbitkan melalui pasar modal,
PE NDAH U L U AN
5
dsb), justru menghambat Pemerintah Daerah untuk memanfaatkan dana yang ada di pasar. Lembaga keuangan tidak ingin memberikan pinjaman kepada Daerah karena tidak adanya kolateral, sedangkan penerbitan surat utang me lalui pasar modal masih problematik di sisi municipality credit rating, karena tidak adanya rujukan kinerja masa lalu untuk memeringkat keuangan Daerah.
Dengan berbagai kendala yang ada pada berbagai skema pembiayaan
infrastruktur yang telah ada—baik anggaran Pemerintah Daerah, skema-ske ma pinjaman daerah dari Pemerintah Pusat, maupun sumber pembiayaan dari swasta—perlu suatu skema alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan Pemerintah Daerah akan sumber pembiayaan infrastruktur yang terbuka, ber kesinambungan, berbasis demand-driven, profesional, dan atraktif bagi Pe merintah Daerah. Hal ini dapat dilakukan melalui suatu perantara pembiaya an (financial intermediary) yang menghimpun dan menyalurkan dana kepada Pemerintah Daerah.
Financial intermediary ini berupa suatu Municipal Development Fund
(MDF) yang dikhususkan untuk tujuan peningkatan infrastruktur, seperti yang telah dijalankan di beberapa negara. Kajian MDF berikut ini adalah sebuah upaya untuk lebih memahami sejauh mana MDF dapat dimanfaatkan diman faatkan sebagai sebuah instrumen pembiayaan untuk pembangunan infra struktur daerah di Indonesia. Dalam kajian ini akan dibahas secara rinci bebe rapa argumentasi tentang perlunya MDF dibangun di Indonesia serta rencana pengembangan kelembagaan MDF di Indonesia.
1.1. Tujuan dan Pertanyaan Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian aplikatif untuk mendukung peng ambilan kebijakan di bidang pinjaman daerah. Secara khusus, penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa tujuan: a.
Melakukan kajian terhadap pentingnya dibentuk MDF bagi Indonesia.
b. Melakukan kajian terhadap bentuk-bentuk institusi yang tepat agar MDF dapat berfungsi sesuai yang diinginkan. c.
Melakukan kajian terhadap kebijakan-kebijakan pokok yang perlu diim plementasikan bila MDF berfungsi.
d. Melakukan inventori permasalahan dan solusinya dari MDF dalam men jalankan fungsi-fungsinya. 6
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Laporan ini mencoba memenuhi tujuan penelitian dengan menjawab
beberapa pertanyaan di bawah ini: a.
Pinjaman Daerah untuk pembangunan infrastruktur dirasakan belum optimal: Perlukah, tetapi perlukah Indonesia memiliki MDF?
b. Bila MDF dirasakan perlu untuk Indonesia, bentuk kelembagaan apakah yang tepat untuk MDF? c.
Pokok-pokok kebijakan apa saja yang diperlukan oleh MDF untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya?
1.2. Metodologi Untuk menjawab ketiga pertanyaan riset, Tim Penulis menggunakan beberapa metodologi yang digunakan: a.
Focus Group Discussion dengan berbagai pihak (Instansi Pusat, Daerah, mitra pembangunan, serta lembaga keuangan) untuk mengetahui minat dan kebutuhan daerah terhadap pembiayaan infrastruktur.
b. Analisis deskriptif terhadap berbagai data sekunder mengenai kondisi infrastruktur dan pinjaman daerah kini. c.
Studi literatur untuk menganalisis dan membandingkan berbagai model MDF di berbagai negara.
d. Institutional Development Process (Metode Analisa Kelembagaan). Cakupan analisis ini antara lain mencakup regulasi, business process dan kelembagaan MDF, sumber pendanaan MDF, pengelolaan MDF, dsb.
1.3. Sistematika Penulisan Laporan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Pada bagian pertama, 1. Penda huluan, dijelaskan latar belakang yang mendasari kajian mengenai MDF, berikut Tujuan dan Pertanyaan Penelitian, Metodologi, serta Sistematika Pe nulisan. Pada bagian kedua, 2. Kebutuhan Indonesia Terhadap Perantara Pem biayaan untuk Infrastruktur Daerah, Tim meneguhkan berbagai argumen yang melatarbelakangi perlunya suatu perantara pembiayaan di Indonesia untuk menjawab kondisi pembiayaan infrastruktur daerah saat ini. Bagian ketiga, MDF: Prinsip, Karakteristik, dan Praktik Negara Lain, memaparkan hasil studi literatur mengenai berbagai model MDF di negara lain. Analisis kelembagaan
PE NDAH U L U AN
7
mengenai model institusi MDF yang cocok untuk kasus Indonesia ada di ba gian keempat, 4. MDF Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah di Indonesia. Sementara itu, bagian selanjutnya, 5. Desain Kebijakan, memapar kan berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan dalam desain kebijakan pen dirian MDF, 6. Kesimpulan dan Rekomendasi terangkum dalam bagian terakhir, 7. Daftar Pustaka, dan 8. Lampiran..
8
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
2
‘‘
Kebutuhan Indonesia Terhadap Perantara Pembiayaan untuk Infrastruktur Daerah
T
erdapat suatu celah yang besar dalam pembiayaan infrastruktur di Indonesia. Skema-skema pembiayaan infrastruktur yang telah ada tidaklah optimal—memiliki kendalanya masing-masing dan tidak mampu membiayai kebutuhan infrastruktur, terutama infrastruktur dasar untuk kawasan perkotaan. Dibutuhkan suatu terobosan bentuk pembiayaan infrastruktur baru melalui perantara pembiayaan (financial intermediary) untuk dapat mengisi celah tersebut.
’’
2.1. Kondisi Infrastruktur Daerah Saat Ini Percepatan pembangunan infrastruktur daerah di Indonesia, khususnya di kawasan perkotaan, membutuhkan tidak saja perencanaan yang baik, namun
9
juga dukungan pembiayaan yang jelas. Dalam era desentralisasi, pembangun an infrastruktur publik di daerah menjadi tanggung jawah Pemerintah Dae rah. Sayangnya, keinginan untuk membangun layanan publik yang baik kadang terkendala oleh kemampuan daerah menyediakan pendanaan untuk infra struktur tersebut.
Pendapatan Pemerintah Daerah yang berasal dari dana perimbangan mau
pun Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukanlah satu-satunya sumber pendanaan untuk membangunan infrastruktur di perkotaan. Pemerintah Daerah dapat memperoleh pembiayaan dengan melakukan pinjaman daerah, baik dengan meminjam maupun menerbitkan surat utang. Di berbagai negara, kebutuhan pembiayaan infrastruktur ini dapat dipertemukan dengan berbagai sumber dana melalui sebuah lembaga perantara pembiayaan.
Mengingat kondisi infrastruktur daerah di Indonesia saat ini, dan menya
dari besarnya kebutuhan untuk pelayanan publik di daerah, khususnya di kawa san perkotaan di masa mendatang, pembentukan lembaga perantara pembi ayaan menjadi sangat penting. Beberapa alasan strategis yang melatarbelakangi pentingnya Indonesia untuk memiliki lembaga perantara pembiayaan untuk pembiayaan infrastruktur dasar di daerah akan diuraikan dalam bagian ini.
2.1.1. Masih Besarnya Celah dalam Penyediaan Infrastruktur Daerah Laju urbanisasi yang cepat telah menjadi tantangan utama bagi banyak ne gara di dunia—termasuk di Indonesia. Namun kuantitas dan kualitas infrastruk tur dasar—terutama di perkotaan—masih cenderung buruk. Jaringan drainase hanya ditemukan di 11 kota, hanya sekitar 2% dari penduduk perkotaan Indo nesia yang memperoleh akses terhadap sistem sanitasi. Selain itu, pada tahun 2009 hanya sekitar 50% penduduk di Indonesia yang memperoleh akses terhadap air bersih, seperti yang terlihat dalam Gambar 1. Penduduk daerah perdesaan mengalami perbaikan akses terhadap air bersih, tetapi kondisi pen duduk daerah perkotaan pasca-desentralisasi justru memburuk. Dapat diduga, bahwa daerah perkotaan memiliki beban yang lebih besar akibat laju per tumbuhan penduduk yang lebih pesat.
10
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Gambar 1. Persentase Akses Penduduk terhadap Air Bersih (1993–2009) Sumber: Bank Dunia (2012)
Gambaran lain dari keterbatasan fasilitas publik di perkotaan terlihat dari
kondisi jalan. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, panjang jalan di Kabupa ten dan Kota mengalami peningkatan sepanjang periode 1978-2008—khususnya pada periode pasca-desentralisasi ketika terjadi peningkatan yang tajam (lihat Gambar 2). Pertumbuhan total panjang jalan di Indonesia ditumpu oleh kinerja pertumbuhan panjang jalan Pemerintah Kabupaten/Kota, dari 292 ribu kilome ter pada tahun 2001 menjadi 353 ribu kilometer pada tahun 2007.
Gambar 2. Peningkatan Panjang Jalan Kota/Kabupaten dan Provinsi (ribu km) Sumber: Bank Dunia (2013a)
K ebutuhan Indonesia T erhadap P erantara P embiayaan untuk I nfrastruktur Daerah
11
Namun, bila dilihat dari Gambar 3, yakni ditinjau dari segi kualitas jalan,
maka kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota masih perlu diperbaiki. Jumlah jalan Kabupaten/Kota yang memiliki kualitas baik masih berada di bawah 40% dari total panjang jalan untuk periode 2001-2009, sementara kondisi jalan yang jelek maupun rusak kurang lebih sekitar 40% juga dalam periode yang sama. Ini menandakan masih buruknya kondisi jalan di Kabupa ten dan Kota.
Gambar 3. Kualitas Jalan Kabupaten/Kota di Indonesia (2001-2009) Sumber: Bank Dunia (2013a)
Dari gambaran di atas, sangat nyata terdapat sebuah celah kebutuhan
yang signifikan terhadap investasi infrastruktur lingkungan (environmental infrastructure) seperti air dan sanitasi. Selain itu, infrastruktur yang terkait de ngan transportasi, khususnya jalan, juga tampak mengalami celah kebutuhan yang besar. Untuk itu, Pemerintah Daerah harus memikirkan strategi pembi ayaan yang tepat untuk infrastruktur lingkungan maupun transportasi yang relatif masih sangat kurang.
Berdasarkan penelitian Tim Pokja Pinjaman Lunak pada tahun 2012, ter
dapat celah yang signifikan antara kebutuhan daerah untuk pembangunan infrastruktur dengan besarnya alokasi belanja modal terhadap pendapatan daerah (Gambar 4). Pada penelitian terdahulu, kira-kira separuh responden Pemerintah Daerah menjawab mereka hanya memiliki 10-40% kapasitas pem biayaan infrastruktur.
12
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Gambar 4. Kemampuan Pembiayaan Infrastruktur Daerah Sumber: TADF (2012)
2.1.2. Terbatasnya Sumber Pembiayaan Jangka Panjang untuk Infrastruktur Daerah Pada dasarnya, investasi infrastruktur perkotaan dapat dibagi menjadi 3 kate gori:
Pertama, adalah investasi yang bersifat barang publik murni, seperti
taman kota, jalan dalam kota, jembatan, yang pembiayaannya sepenuhnya dapat berasal dari pajak dan pinjaman daerah.
Kedua, adalah investasi yang lebih memiliki sifat seperti barang swasta
(private goods), yaitu air bersih dan tempat pembuangan sampah. Untuk ka tegori ini, pembiayaan dapat berasal dari retribusi. Namun demikian, bila retri busi diterapkan sepenuhnya dalam rangka penggantian biaya investasi, maka dapat dipastikan bahwa tarif retribusi akan tinggi. Oleh karena itu, pada umum nya tarif retribusi disubsidi untuk mengurangi tingginya tarif yang dibebankan kepada masyarakat pengguna.
Ketiga, proyek investasi yang menghasilkan penerimaan (revenue gene
rating projects) seperti jalan tol maupun jembatan berbayar. Untuk jenis inves tasi ini, maka pembiayaannya dapat sepenuhnya berasal dari pungutan yang dibebankan kepada pengguna fasilitas infrastruktur tersebut.
Dengan melihat ke 3 jenis kategori investasi tadi, setidaknya untuk inves
tasi kategori pertama dan kedua sangat membutuhkan peran dari pendapatan daerah. Selain itu beberapa jenis investasi pada infrastruktur lingkungan dan
K ebutuhan Indonesia T erhadap P erantara P embiayaan untuk I nfrastruktur Daerah
13
trasportasi, membutuhkan pembiayaan dengan jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran (multi-year investment).
Bila investasi tersebut akan sepenuhnya dibiayai sendiri melalui sumber
pendapatan Pemerintah Daerah, maka terdapat keterbatasan, karena pada umumnya anggaran belanja Pemerintah Daerah sudah tidak lagi fleksibel, karena telah terikat kepada berbagai kebutuhan wajib tertentu dan untuk pembiayaan satu tahun anggaran. Sebagai gambaran, berikut ini adalah ber bagai kemungkinan sumber pendapatan Pemerintah Daerah dan keterbatas annya:
Dana Alokasi Umum (DAU): Meskipun transfer Pemerintah Pusat (uta
manya DAU) menjadi pendapatan yang besar bagi banyak Pemerintah Daerah di Indonesia, komponen belanja pegawai masih menjadi komponen paling signifikan dalam belanja Pemerintah Daerah.
Gambar 5. Profil Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Sumber: diolah dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2012)
Sekitar 40% dari belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota merupakan
belanja pegawai, apabila dibandingkan dengan pendapatan DAU, maka pen dapatan DAU di hampir semua Kabupaten/Kota habis untuk belanja pegawai, seperti yang terlihat dalam Gambar 5 di atas.
14
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Dana Alokasi Khusus (DAK): Beberapa DAK saat ini memang ditujukan
untuk pembangunan infrastruktur di daerah, misalnya DAK untuk pembangun an jalan. Namun demikian, berdasarkan peraturan yang ada, penetapan besar nya DAK dilakukan setiap tahun, dan tidak berbasis kepada multi-year invest ment. Oleh karena itu untuk infrastruktur yang tidak dapat diselesaikan dalam satu tahun anggaran, akan mengalami ketidakpastian.
Dari uraian di atas, sangatlah jelas bahwa saat ini Pemerintah Daerah masih
sangat memerlukan sumber dana pembiayaan infrastruktur dengan keterbatas an pendapatan yang dimilikinya saat ini, terutama untuk pembiayaan yang ber sifat multi-year (lebih dari satu tahun anggaran). Dalam kaitan ini, maka lembaga MDF memiliki kapasitas untuk mengumpulkan berbagai sumber dana yang dapat dialokasikan untuk membiayai investasi jangka menengah dan panjang.
2.1.3 Pasar Pembiayaan Infrastruktur Sebagai Suatu Incomplete Market Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disampaikan bahwa kebutuhan pem biayaan infrastruktur di perkotaan sangatlah besar, namun secara makro ekonomi ketersediaan sumber dananya masih terbatas. Keterbatasan skema pembiayaan infrastruktur yang ada saat ini dapat dilihat dalam Gambar 6. 1. Skema pembiayaan infrastruktur melalui mekanisme PPP, umumnya diminati untuk pembiayaan infrastruktur yang bersifat komersial, yaitu jalan tol, bandar udara, pelabuhan, pasar. Pemerintah Indonesia telah berupaya agar mekanisme pembiayaan PPP ini dapat berjalan dengan baik, tetapi mekanisme ini masih mengalami berbagai hambatan dalam implementasinya di Indonesia. Meskipun suatu saat PPP akan dapat ber kembang, tetapi pembiayaan via PPP tidak dapat dijadikan tumpuan untuk infrastruktur dasar, karena hanya cocok untuk diterapkan untuk proyek-proyek dengan karakteristik tertentu. Di negara maju seperti Ing gris dan Afrika Selatan, pembiayaan PPP hanya sekitar 5-10% dari total pembiayaan infrastruktur, sedangkan di Australia dan Korea sekitar 1015%.
K ebutuhan Indonesia T erhadap P erantara P embiayaan untuk I nfrastruktur Daerah
15
2. Pinjaman langsung dari perbankan: bagi perbankan, pinjaman untuk pembangunan infrastruktur, khususnya kepada Pemerintah Daerah, ma sih dianggap kurang menarik karena setidaknya dua alasan: (1) Tingkat pengembalian investasi untuk infrastruktur umumnya lama. (2) Risiko gagal bayar (default) dari Pemerintah Daerah masih cukup tinggi. Oleh karena itu, sumber pendanaan dari perbankan dan lembaga keuangan non-bank menjadi sangat terbatas. Pilihan pinjaman langsung dari bank dan lembaga keuangan non-bank masih belum berkembang di Indo nesia. 3. Pembiayaan dari APBD. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pem biayaan melalui APBD masih sangat terbatas. Melihat keterbatasan keuang an daerah pada umumnya, maka sumber pembiayaan dari APBD hanya mampu untuk melakukan perbaikan secara marjinal pada fasilitas publik yang mengalami kerusakan, seperti jalanan kota, taman dan lampu jalan. Sifatnya lebih kepada rehabilitasi daripada investasi baru. 4. Pembiayaan investasi daerah yang bersifat multi-year melalui lem baga perantara pembiayaan (financial intermediaries). Skema pen danaan ini memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan di Indonesia. Fokus dari pembiayaannya adalah pembangunan fasilitas da sar publik, seperti air bersih, sanitasi, tempat pembuangan sampah dan transportasi dalam kota. Pertimbangannya tidak semata-mata dari segi keuangan, namun lebih pada segi efisiensi ekonomis, jadi bukanlah se mata-mata proyek yang menghasilkan pendapatan (revenue-generating projects). Saat ini dapat dikatakan bahwa terjadi kevakuman (ketiadaan) pembiayaan untuk kebutuhan investasi ini. Yang terjadi saat ini masih merupakan pinjaman dari Pusat, yang dikelola melalui sistem pinjaman SLA (Subsidiary Loan Agreement) yang sangat terbatas dan tidak pasti. Oleh karena itu, salah satu bentuk ideal untuk memenuhi kekosongan pasar ini adalah dengan membentuk lembaga perantara pembiayaan seperti MDF (Municipal Development Fund).
16
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Skema pembiayaan PPP (Public-Private Partnership), penerbitan obligasi --------------
Proyek berskala besar, berjangka panjang, yang menciptakan penerimaan dan menarik bagi swasta. Jumlahnya terbatas.
Pinjaman langsung dari perbankan --------------
Proyek berskala menengah dan besar, yang dianggap bankable. Saat ini tidak berkembang karena bank menganggap pinjaman daerah berisiko.
Pembiayaan investasi daerah yang bersifat multi-year melalui lembaga perantara pembiayaan (financial intermediary)
--------------
Proyek berskala dan berjangka menengah dan panjang, umumnya tidak dapat menciptakan penerimaan karena eksternalitas yang tinggi. Proyek-proyek ini saat ini tidak memiliki dukungan pembiayaan yang jelas, sehingga ada bagian yang tak lengkap dalam pembiayaan infrastruktur perkotaan.
Pembiayaan melalui APBD --------------
Pemeliharaan dan proyek berskala kecil dengan jangka pendek.
Gambar 6. Incomplete Market Pembiayaan Infrastruktur Perkotaan Sumber: Bank Dunia (2013c)
Pilihan Pembiayaan: 1. PPP + Privatisasi (terbatas) 2. Pinjaman komersial (bank): mahal dan umumnya jangka pendek 3. Bonds dan Pasar Modal: belum siap 4. Pinjaman dari Lembaga Keuangan/Bank Pembangunan MDF mengisi sebagian peran ini
Pembiayaan yang belum ada sumber dananya: IDR 300-400 Triliun (Nominal 2012) Gambar 7. Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia K ebutuhan Indonesia T erhadap P erantara P embiayaan untuk I nfrastruktur Daerah
17
Apabila kebutuhan belanja infrastrukur di Indonesia dihitung secara kasar
(10% dari Produk Domestik Bruto), maka pembiayaan infrastruktur di Indo nesia membutuhkan sumber pembiayaan lain sebesar 300-400 triliun rupiah per tahun. Tentu saja, sebagian dari belanja ini akan disumbangkan oleh privat. Namun, belanja infrastruktur privat menunjukkan tren menurun (Bank Dunia, 2013a). Pilihan pembiayaan lain yang dapat dilakukan adalah PPP dan priva tisasi, maupun utang oleh Pemerintah, baik melalui pinjaman maupun pener bitan obligasi. MDF akan membantu mengisi sebagian celah pembiayaan me lalui pinjaman dari lembaga keuangan non-bank kepada Pemerintah Daerah.
2.2. Keterbatasan Skema Pinjaman Daerah Saat ini Skema pinjaman yang tersedia bagi Pemerintah Daerah saat ini adalah melalui SLA (Subsidiary Loan Agreement) dan pinjaman daerah yang dilakukan oleh PIP (Pusat Investasi Pemerintah). Di masa lalu pernah terdapat mekanisme pinjaman melalui Rekening Dana Investasi (RDI) dan Rekening Pembangunan Daerah (RPD), yang dianggap bermasalah, sehingga tidak lagi dilanjutkan.
Pada masa lalu, pinjaman SLA—terutama yang berada di bawah program
IUIDP (Integrated Urban Infrastructure Development Program)—telah dikritik atas sifatnya yang supply-driven, yang didesain oleh lembaga donor asing tanpa melibatkan Pemerintah Daerah dalam perencanaannya (Lewis, 2007). RPD kemudian didirikan pada tahun 1988 sebagai respon terhadap permin taan Pemerintah Daerah akan mekanisme pembiayaan infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan SLA, terutama dari sisi kecocokan permintaan Pemerintah Daerah akan pembiayaan. Meskipun ada sedikit perbaikan, seba gian besar proyek yang didanai RPD masih berupa proyek yang direncanakan oleh Pemerintah Pusat (Departemen Pekerjaan Umum).
Mekanisme pinjaman SLA, RDI, dan RPD telah digunakan Pemerintah
Indonesia untuk menyalurkan pinjaman jangka panjang kepada Provinsi, Kabupaten/Kota, dan PDAM (BUMD). Secara jumlah, pinjaman Pemerintah Daerah lewat mekanisme SLA dan RPD sangat kecil; sepanjang tahun 19752004 hanya ada 838 transaksi pinjaman. Umumnya, jangka waktu pinjaman SLA, RDI, dan RPD adalah sekitar 18-20 tahun, dengan grace period selama 3-5 tahun, dengan komposisi cicilan-pokok berupa anuitas (Lewis, 2007).
18
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Saat ini, skema pinjaman SLA jumlahnya relatif terbatas dan akses pinja
mannya pun tidak terbuka (no open access) bagi semua Pemerintah Daerah. Pada umumnya Pemerintah Pusat telah memiliki ketentuan tentang daerah yang dapat memperoleh fasilitas pinjaman SLA. Mekanisme pinjaman SLA juga tidak kompetitif, tidak memiliki kriteria penetapan yang jelas (non criteriabased lending). Bila dilihat praktek pinjaman SLA yang pernah terjadi, misalnya pinjaman SLA kepada PDAM untuk penyediaan air bersih, tampak bahwa pin jaman tersebut diberikan tanpa kriteria yang jelas. Sebagai akibatnya, bebe rapa PDAM yang tidak memiliki kinerja keuangan yang baik juga tetap mem peroleh kesempatan meminjam, dan menimbulkan banyak kejadian gagal bayar pada sejumlah PDAM. Non Performing Loan (NPL) pada PDAM sangatlah besar, dan belum terselesaikan hingga saat ini.
Tabel 3. Pemerintah Daerah Kreditor dengan Outstanding Debt per 31 Desember 2012 Pemerintah Daerah
BUMD
RDI
8
13
RPD
79
195
SLA
144
197
Jumlah
231
405
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan (2012)
Pada tahun 2010, utang jatuh tempo Pemerintah Daerah dan PDAM me
lalui mekanisme SLA, RDI, dan RPD, adalah sebesar 5,1 Trilliun rupiah. Sebagian besar utang ini adalah utang PDAM, dimana dari 205 PDAM yang mendapatkan pinjaman, 175 menunggak (Direktorat Jenderal Perbendaharaan, 2010). Bu ruknya tingkat gagal bayar PDAM telah memaksa Pemerintah Pusat untuk me lakukan restrukturisasi utang. Pada tahun 2012, kredit pokok macet Peme rintah Daerah tetap didominasi oleh BUMD PDAM, dengan total kredit pokok macet sejumlah 564 miliar rupiah (lihat Tabel 4).
K ebutuhan Indonesia T erhadap P erantara P embiayaan untuk I nfrastruktur Daerah
19
Tabel 4. Jumlah Pokok Kredit Macet Pemerintah Daerah per 31 Desember 2012 (juta rupiah) Pemerintah Daerah
BUMD
Jumlah
RDI
13.489
8.604
22.093
RPD
26.090
349.220
375.311
SLA
44.872
206.645
251.517
Total
84.451
564.469
648.920
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan (2012)
Gagalnya SLA, RDI, dan RDP sebagai sumber pembiayaan infrastruktur
daerah berbasis pinjaman, serta stagnannya pinjaman daerah kepada lem baga keuangan bank, membuat Pemerintah Pusat memberi mandat kepada Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk menja lankan fungsi sebagai lembaga penyalur pinjaman daerah.
Tahun 2013, PIP menyalurkan pinjaman daerah sebesar 1,56 triliun
rupiah. Jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan total kelolaan dana PIP sebesar 26,4 triliun rupiah pada tahun yang sama. Fungsi lembaga penyedia pinjaman daerah yang tidak maksimal ini ditengarai akibat berben turan dengan mandat lain yang juga dijalankan PIP, yakni sebagai lembaga pengelola sovereign wealth fund, yang merupakan mandat utamanya.
Di luar itu, Pemerintah Daerah mengeluhkan panjangnya birokrasi dan
tingginya bunga pinjaman yang diberikan oleh PIP. Cukup banyak juga usulan pembiayaan proyek kepada PIP yang tidak disetujui, karena berbagai persya ratan yang kurang. Salah satu yang dianggap menyulitkan Pemerintah Daerah adalah diperlukannya Peraturan Daerah yang disetujui DPRD sebagai wujud komitmen melakukan pinjaman kepada PIP. Selain itu Pemerintah Daerah masih menganggap ketentuan tingkat bunga yang diberikan PIP masih diang gap tinggi, dimana tinggi bunga adalah berbasis kepada tingkat bunga SBI ditambah tingkat bunga untuk menutup administrasi dan keuntungan, yang berakibat berkurangnya minat Pemerintah Daerah meminjam kepada PIP.
20
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Gambar 8. Pinjaman dan Belanja Modal Daerah Sebagai Persentase Terhadap Belanja Daerah (Riil) Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2012)
Berbagai mekanisme pinjaman daerah yang telah ada masih belum da
pat mengembangkan kinerja pinjaman daerah. Meskipun terlihat tren positif dalam lima tahun terakhir, pinjaman daerah masih merupakan setitik kecil komponen anggaran Pemerintah Daerah, dengan proporsi pinjaman daerah Provinsi/Kabupaten/Kota selama 5 tahun berturut-turut konsisten di bawah 1% apabila dibandingkan dengan total belanjanya. Selama 5 tahun terakhir, (2007-2012), belanja modal daerah stagnan dan cenderung menurun, dari kisaran sepertiga total belanja daerah, menjadi di bawah seperempat total belanja daerah (22,27%).
2.3. Besarnya Biaya Transaksi Pembiayaan Proyek Infrastruktur Daerah Pembiayaan infrastruktur di mata Pemerintah Daerah membutuhkan belanja modal yang besar, yang mana memerlukan keterlibatan sektor swasta untuk turut meningkatkan kemampuan pembiayaan ini. Idealnya dapat diperoleh biaya yang murah untuk jangka panjang, sehingga APBD dapat juga diman faatkan optimal untuk keperluan lainnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi dewasa ini mening
katkan kemampuan penawaran dana dari pihak swasta, yang dapat diman faatkan untuk membiayai proyek infrastruktur. Namun, proyek infrastruktur
K ebutuhan Indonesia T erhadap P erantara P embiayaan untuk I nfrastruktur Daerah
21
daerah, khususnya infrastruktur lingkungan, masih belum menjadi minat bagi investor swasta ini, karena dua alasan: pertama, pada umumnya pinjaman daerah yang dibutuhkan untuk pembiayaan proyek ini tidaklah besar, yang berakibat tingginya biaya transaksi. Kedua, beragamnya sumber-sumber pen dapatan daerah yang dipergunakan untuk membiayai bunga pinjaman (debt service), yang memiliki beragam risiko yang berbeda.
Tabel 5. Ringkasan Persyaratan Pinjaman Daerah Investasi Pemerintah Pusat
22
PPLN
LK Bank/NonBank
Surat Utang
Pemangku kepenting an
Kemenkeu
Kemenkeu, Kemendagri
Kemenkeu, Kemendagri, Gubernur
Kemenkeu
Kisaran bunga
> Bunga pasar
11,5%-11,75% (Lewis, 2007)
> Bunga pasar
Belum ada contoh
Dokumen untuk appraisal
RPJMD, audit WTP 3x berturutturut, APBD, persetujuan DPRD, dsb
Rekomendasi Kemendagri, RPJMD, audit WTP 3x berturutturut, APBD, persetujuan DPRD, dsb
Rekomendasi Kemendagri, RPJMD, audit WTP 3x berturutturut, APBD, persetujuan DPRD, dsb
Persetu juan DPRD, credit rating (hingga saat ini hanya ada shadow rating), dsb
Status
Terbatas
Terbatas, mayoritas supply-driven
Terbatas
Belum ada contoh
Jangka
Menengah & Panjang
Menengah & Panjang
PendekPanjang
Panjang
Lama proses
>1 tahun
> 1 tahun
> 1 tahun
Belum ada contoh
Jaminan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kegiatan serta barang yang melekat pada kegiatan tsb
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Tabel 5 tersebut di atas menunjukkan bahwa persyaratan pinjaman
daerah masih tergolong tinggi, misalnya tingkat bunga. Selain itu prosedur yang diperlukan dalam melakukan proses pinjaman daerah juga harus meng ikuti prosedur yang panjang, yaitu perlunya persetujuan DPRD.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu lembaga perantara pembiayaan yang
dapat mengurangi biaya transaksi pinjaman daerah, baik lewat prosedur yang lebih dipermudah, maupun lewat inovasi baru. Misalnya, mengumpulkan (pooling) berbagai kebutuhan investasi Pemerintah Daerah ini, dan kemudian mengelolanya menjadi paket investasi yang menarik, untuk mengurangi risiko dan juga biaya transaksi. Dengan menggunakan mekanisme pooling ini, maka lembaga perantara
pembiayaan membuka akses (open-access) bagi setiap jenis daerah, baik Ka bupaten/Kota besar maupun kecil, yang memiliki rencana investasi infrastruk tur dan berminat untuk mendapatkan pembiayaan berbasis kriteria. Sebagai ilustrasi, lembaga perantara pembiayaan Tamil Nadu Urban Development Fund (TNUDF) membuat bundling berbagai proyek pembangunan infrastruktur lingkungan dan transportasi di Provinsi Tamil Nadu, India. Dengan pooling berbagai proyek infrastruktur ini, maka biaya transaksi untuk penerbitan obli gasi daerah menjadi lebih murah dan dibebankan secara proporsional kepada Pemerintah Daerah sesuai ukuran proyeknya. Contoh salah satu portofolio investasi infrastruktur yang telah diterbitkan obligasinya oleh TNUDF dapat dilihat dalam Tabel 6.
Tabel 6. Rincian Salah Satu Portofolio Proyek Investasi Infrastruktur TNUDF No
Rincian
Biaya proyek
Pagu pinjaman
Pinjaman tersalurkan
Skema Penyediaan Air 1
Ambattur Municipality
336,56
67,32
67,32
2
Tambaram Municipality
182,00
109,20
109,20
3
Madhavaram Municipality
325,00
195,00
105,75
4
Rajapalayam Municipality
85,00
51,00
51,00
K ebutuhan Indonesia T erhadap P erantara P embiayaan untuk I nfrastruktur Daerah
23
No
Rincian
Biaya proyek
Pagu pinjaman
Pinjaman tersalurkan
Daerah Sekitar Perkotaan / Adjacent Urban Areas (AUA) 5
(i) Alandur Municipality
427,00
403,00
403,00
6
(ii) Pammal Municipality
378,00
357,00
357,00
7
(iii) Ankapathur Town Panchayat
188,00
178,00
178,00
8
(iv) Ullagaram Town Panchayat
298,00
281,00
281,00
9
(v) Porur Town Panchayat
579,00
547,00
547,00
10
(vi) Maduravoyal Town Panchayat
146,00
138,00
138,00
11
(vii) Valsaravakkam Town Panchayat
189,00
179,00
179,00
12
(viii) Meenambakkam Town Panchayat
17,00
16,00
16,00
Madurai Corporation
1407,00
500,00
325,00
Total
4557,56
3021,52
2757,27
Drainase Bawah Tanah 13
Sumber: www.tnuifsl.com
2.4. Kebutuhan untuk Mekanisme Persetujuan Pinjaman Kompetitif Prosedur dan mekanisme persetujuan pinjaman melalui lembaga perantara pembiayaan semacam MDF memungkinkan penerapan sistem keberhatihatian untuk menghindari gagal bayar. Untuk itu setiap Pemerintah Daerah yang akan melakukan pinjaman dievaluasi tidak saja kemampuan membayar kembali pinjaman, namun juga kesediaannya untuk membuka rekening ber sama yang merupakan rekening untuk pengembalian pinjaman (escrow account).
Untuk mengurangi risiko gagal bayar, maka MDF dapat menetapkan ting
kat bunga dan nilai tukar tetap. Selain itu MDF juga memiliki petunjuk kriteria
24
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
yang jelas, yang secara mudah dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi batas kemampuan pinjaman Pemerintah Daerah, berdasarkan kepada kapa sitas pembayaran hutang.
Berikut ini adalah beberapa mekanisme yang umumnya diterapkan oleh
MDF untuk memperkuat persetujuan pinjaman ke pemerintah kota: a.
Terdapat kriteria pinjaman yang jelas
b. Sistem penilaian proposal pinjaman dilakukan oleh lembaga indepen den c.
Latar belakang pinjaman masa lalu diperhitungkan (credit history)
d. Memiliki jaminan pemda yang diperkuat dengan esrow account e.
Pinjaman obligasi dievaluasi atas dasar rating-nya oleh lembaga rating independen
Pengalaman dua MDF yang dianggap sukses dalam tingkat pengembalian
pinjaman, yaitu MUFIS (Republik Ceko) dan FINDETER (Kolombia) bekerja sama dengan bank swasta untuk sepenuhnya melakukan analisa kelayakan kredit dari Pemerintah Daerah untuk semua aspek risiko dan menggunakan sistem komersial untuk melakukan penagihan/pembayaran pinjaman.
Namun demikian, metode evaluasi kelayakan kredit yang ketat ini me
merlukan persyaratan tersendiri, yaitu adanya kestabilian pendapatan peme rintah kota. Untuk kasus Indonesia, sebenarnya hal ini tidaklah sulit, meng ingat bahwa porsi terbesar dari pendapatan pemerintah kota adalah berasal dari dana transfer, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU), yang selama ini telah terbukti stabil dan pasti, dari segi besarannya maupun penyalurannya setiap bulan ke daerah.
2.5. Kebutuhan untuk Memupuk Modal dalam Jangka Panjang Salah satu kelebihan dari MDF adalah dapat menarik investor-investor baru yang tertarik untuk melakukan pembiayaan infrastruktur perkotaan. Dengan demikian terjadi peningkatan modal pada MDF. Selain itu, kelebihan dari MDF adalah, keuntungan yang diperoleh dari pembiayaan infrastruktur dapat di pupuk kembali untuk menambah modal. Dengan demikian, lembaga MDF
K ebutuhan Indonesia T erhadap P erantara P embiayaan untuk I nfrastruktur Daerah
25
dapat memiliki struktur permodalan yang kuat dan pada akhirnya mampu meningkatkan pinjaman untuk pembiayaan infrastruktur perkotaan.
Sifat pemupukan modal ini akan makin besar apabila bentuk kelemba
gaannya adalah sebuah perseroan terbatas, atau lembaga yang pengelolaan nya terpisah dari pemerintah. Lembaga ini dengan demikian akan meningkat kan kapasitas modalnya untuk lebih jauh menarik investor yang berminat melakukan investasi pembiayaan infrastruktur kota, khususnya infrastruktur lingkungan, dalam durasi jangka menengah dan panjang.
Untuk meningkatkan modal, maka dapat dilakukan beberapa cara:
1. Menerbitkan obligasi. Keuntungan dari penerbitan obligasi oleh MDF adalah memungkinkannya untuk memperoleh tingkat bunga yang lebih rendah, karena umumnya tingkat bunga obligasi memperoleh perlakuan tingkat pajak yang lebih rendah. Namun demikian, bagi MDF yang pada tahun tertentu tidak memiliki kinerja yang baik, tetap diwajibkan melaku kan pembayaran bunga obligasi ini kepada pembelinya. Selain itu, seba gai pilihan alternatif ekspansi dari sebuah MDF, maka sangat tergantung dari ukuran MDF itu sendiri. Bila MDF yang masih relatif kecil, maka pem beli obligasinya umumnya menginginkan tingkat bunga yang lebih tinggi, yang pada akhirnya membebani MDF yang bersangkutan. 2. Menerbitkan Saham Khusus (Preferred Stock). MDF dapat memilih un tuk menerbitkan saham preferred untuk meningkatkan modalnya. Pem beli saham ini akan memperoleh status khusus dalam hal MDF memiliki masalah keuangan.Selain itu pemilik saham khusus ini juga akan mem peroleh keistimewaan dalam hal memperoleh terlebih dahulu dividen yang dibayarkan. 3. Menerbitkan Saham biasa (Common Stock). Apabila MDF dalam per kembangannya memiliki kinerja keuangan yang sangat baik, maka salah satu sumber utama dalam meningkatkan modal adalah dengan mener bitkan saham biasa, yang dilakukan di pasar modal. Prosesnya adalah me lalui IPO (initial public offering). Pada umumnya untuk penerbitan saham ini dapat dibantu oleh sebuah Bank/Lembaga Investasi yang setuju untuk membeli saham tersebut pada harga minimum tertentu, dalam kasus ma syarakat tidak tertarik membeli saham yang ditawarkan oleh MDF ter sebut. 26
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
4. Melakukan Pinjaman. Pada umumnya, karena fungsinya yang jelas, yaitu pembiayaan infrastruktur jenis tertentu (misalnya infrastruktur lingkung an), maka sebuah MDF dapat melakukan ekspansi melalui pinjaman ke pada lembaga komersial tertentu. Selain itu, bila komposisi kepemilikan nya masih didominasi oleh pemerintah, maka dimungkinkan MDF tersebut untuk memperoleh pinjaman berbunga murah dari lembaga internasio nal, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan lainnya. 5. Mempergunakan Kumulasi dari Keuntungan (profit). Strategi dasar dari sebuah korporasi untuk melakukan pemupukan modal adalah me lalui laba yang ditahan (retained earnings). Besarnya laba yang ditahan ini berbeda-beda untuk setiap jenis MDF yang melakukan pengembangan sektor yang berbeda.
K ebutuhan Indonesia T erhadap P erantara P embiayaan untuk I nfrastruktur Daerah
27
MDF: Prinsip, Karakteristik, dan Praktik Negara Lain
3
‘‘
M
unicipal Development Funds merupakan suatu perantara pembiayaan (financial intermediary) yang dikhususkan kepada pembiayaan infrastruktur bagi Pemerintah Daerah. MDF dapat memberikan pembiayaan berbasis utang maupun hibah, baik dengan cara memberikan pinjaman langsung, tak langsung, menerbitkan surat utang, maupun meneruskan hibah.
’’
3.1. Definisi dan Cakupan Municipal Development Funds.
Berbagai bentuk dan peran MDF di berbagai negara telah dibahas pada bab sebelumnya. Walaupun bentuk kelembagaan memiliki perbedaan antara satu MDF dengan MDF lainnya, namun pada dasarnya setiap MDF memiliki fungsi yang kurang lebih sama, yaitu :
28
1. Membentuk dan meningkatkan modal 2. Memberikan pinjaman modal kepada pemerintah kota atau lembaga investasi pembangunan infrastruktur kota. 3. Melakukan penagihan pinjaman berikut bunganya.
Gambar 9. Struktur MDF Secara Umum
Davey (1988) mendeskripsikan Municipal Development Fund sebagai
berikut: “A municipal development fund is a pool of money operated at a level above individual subnational governments that is available to the subnational government for investment purposes. The main objective of these pools of funds is to mobilize resources from private lenders, the central government, and donor agencies, and to make these resources available for investment in urban infrastructure.”
Dari definisi di atas, terlihat bahwa MDF berperan layaknya institusi khu
sus yang mengumpulkan berbagai sumber dana. MDF didesain untuk sebagai perantara Pemerintah Daerah mengakses sumber pembiayaan untuk penye diaan infrastruktur.
Beberapa literatur melaporkan bahwa MDF memiliki perbedaan-perbe
daan dalam wilayah kerjanya (lihat Peterson, 1996, dan Alm, 2010). Area tang
MDF: P rinsip , Karakteristik, dan Praktik Negara L ain
29
gungjawab yang nantinya akan dimandatkan kepada MDF harus berpijak pada tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan batasan-batasan yang dimiliki. Proyekproyek infrastruktur dapat dipecah menjadi 5 tahapan yang tergambar dalam bagan di bawah ini. Fokus pada satu atau dua tahapan dapat menjadi salah satu kunci sukses MDF dalam menjalankan bisnisnya. Dalam hal ini, fokus MDF adalah kepada pendanaan/pembiayaan infrastruktur daerah.
Gambar 10. Tahapan dalam Pengadaan Proyek Infrastruktur
Lembaga MDF harus menjalankan beberapa fungsi dasar sebagai berikut:
•
Menghimpun modal agar dapat menyalurkan lebih banyak kredit kepada Pemerintah Daerah;
•
Menyediakan pinjaman untuk Pemerintah Daerah/lembaga lain dalam rangka penyediaan infrastruktur daerah;
•
Menarik angsuran pinjaman.
Dalam menyediakan pembiayaan kepada Pemerintah Daerah, MDF me
lakukan beberapa tugas: (1) uji kelayakan keuangan/ekonomi; (2) menentukan pendanaan yang tepat bagi proyek yang berbeda; (3) pengawasan pelaksa naan proyek (perencanaan/selama konstruksi/setelah konstruksi); (4) pendam pingan teknis; (5) penyaluran pinjaman. Fungsi-fungsi tersebut dalam dilaksa nakan seluruhnya atau melimpahkan sebagian fungsi ke lembaga yang lain.
Sangat penting bagi MDF untuk melaksanakan kemampuan utamanya
untuk mencapai kinerja yang efektif dan efisien. Mengabaikan prinsip ini dapat
30
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
menyebabkan MDF terpapar oleh berbagai risiko yang beragam. Apabila dike lola secara profesional, MDF pada akhirnya akan dapat meningkatkan efisiensi dalam investasi proyek infrastruktur di daerah, dan meningkatkan transparansi keuangan daerah.
Sebagai penyalur pinjaman, MDF harus menjalankan beberapa fungsi da
sar sebagai berikut: - -
Menghimpun modal agar dapat menyalurkan lebih banyak kredit kepada Pemerintah Daerah Menyediakan pinjaman untuk Pemerintah Daerah/lembaga lain dalam rangka penyediaan infrastruktur daerah
-
Menarik angsuran pinjaman berikut bunga
-
Memiliki kriteria pinjaman yang jelas
-
Memiliki mekanisme pengaman (kolateral, escrow account, dsb)
-
Berkesinambungan (memupuk modal)
Dengan memegang prinsip: -
Bersifat open-access (dapat diakses semua Pemerintah Daerah)
-
Memperhitungkan credit history debitur
-
Appraisal yang independen
-
Manajemen risiko dan portofolio yang baik
3.2. Implementasi MDF di Berbagai Negara Tabel 7. Berbagai Tipe Pembiayaan Perantara untuk Pemerintah Daerah Penyalur Pinjaman (First-Tier Lender) Basis
Utang
Dana Awal
Berbagai sumber
Penyalur Pinjaman Level Kedua (Second-Tier Lender)
Bank Obligasi
Penyalur Hibah
Hibah Berbagai sumber
Berbagai sumber
Pemerintah, Mitra Pem bangunan
MDF: P rinsip , Karakteristik, dan Praktik Negara L ain
31
Debitur
Pemerintah Daerah
Lembaga Keuangan yang memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
-
Akses ke Pasar Modal
Dimungkinkan
Dimungkinkan
Terintegrasi
-
Pemupukan Modal
Dimungkinkan
Dimungkinkan
Dimung kinkan
-
Contoh
TNUDF, India
Findeter, Kolombia
Bond Bank, Amerika Serikat
RIF, Australia
Sumber: kompilasi Tim dari berbagai sumber
Menjadi hal yang penting untuk memahami bahwa mengimplementasikan
MDF bukan sebuah tugas yang mudah. Meskipun beberapa negara menunjuk kan keberhasilan dalam implementasi MDF, beberapa negara lainnya meng alami pengalaman yang buruk. MDF yang terbukti berhasil dalam implemen tasinya ternyata didukung oleh penerapan disiplin pasar dan keuangan serta penilaian proyek yang ketat. Tabel berikut ini menyajkan beberapa pelajaran berharga dari beberapa negara tentang berbagai tantangan yang mereka hadapi dalam implementasi MDF:
Tabel 8. Tantangan dalam Implementasi MDF di Negara Lain Negara: Institusi MDF India: Tamil Nadu Urban Development Fund (TNUDF)
Tantangan/Permasalahan dengan Implementasi MDF • • • •
32
Sektor swasta belum menyuntikkan modal tambahan dan belum melaksanakan skema pembiayaan bersama di tingkat daerah Adanya kompetitor bagi lembaga ini yang justru dibentuk oleh pemerintah Tamil Nadu Jatuhnya tingkat suku bunga membuka ruang kompetisi dengan lembaga pembiayaan lainnya Prinsip-prinsip pasar tidak sepenuhnya diterapkan, karena institusi MDF dijalankan sebagai badan pemerintah bukan sebagai konsep Kerjasama Pemerintah-Swasta.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Negara: Institusi MDF
Tantangan/Permasalahan dengan Implementasi MDF
Nepal: Town Development Fund Board (TDBF)
•
• • • • • • •
Pemerintah Daerah memiliki kapasitas yang terbatas dalam mempersiapkan studi kelayakan proyek dan detailed engineering design untuk pinjaman yang mereka ajukan Pemerintah Daerah memiliki kompetensi yang terbatas dalam memulai sebuah proyek dan penyusunan dokumen pengajuan pinjaman Sengketa dengan masyarakat karena buruknya pengelolaan masyarakat dan perubahan terhadap desain teknis yang sudah disepakati di awal Kartel kontraktor menjadi hambatan untuk mendapatkan kontraktor yang layak Prosedur birokrasi yang tidak efisien Diperlukan persetujuan dari kementerian tertentu Adanya kepentingan politik terselubung Batas atas pinjaman yang terlalu rendah.
Kolombia: FINDETER
Krisis keuangan (1999-2001) memaksa FINDETER untuk mengurangi persetujuan pinjamannya menjadi COP (Colombian Peso) 229 miliar
Georgia
Tidak terlalu banyak Pemerintah Daerah yang mampu melakukan pinjaman untuk utang jangka pendek dan menengah.
Sumber: kompilasi Tim dari berbagai sumber
Sebaliknya, aspek keberhasilan MDF disajikan secara singkat dalam tabel
di bawah:
Tabel 9. Beberapa Contoh Sukses Implementasi MDF Negara: MDF Kolombia: FINDETER
Dampaknya Terhadap Penyediaan Infrastruktur
Nilai Kredit yang Disetujui
Keberhasilan dalam pembayaran dari sektor pelayanan publik (30% dari pembayaran); jalan & transportasi (30%) dan fasilitas pendidikan (13%)
COP (Colombia Peso) 37 miliar pada tahun 1990, naik menjadi COP 413,5 miliar dan mencapai COP 1,02 triliun pada 2003
MDF: P rinsip , Karakteristik, dan Praktik Negara L ain
33
Georgia
• •
Peningkatan kualitas pelayanan publik, 83 proyek infrastruktur disetujui oleh MDF (2002); 55% pinjaman dialokasikan untuk perbaikan jalan perkotaan dan 20% lainnya untuk air bersih dan saluran pembuangan;
USD (United States Dollar) 17 juta pada tahun 2002
Sumber: kompilasi Tim dari berbagai sumber
3.3. Sumber Modal MDF Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa tidak ada sumber dana tunggal bagi sebuah MDF dan sumber permodalannya bervariasi untuk beberapa ne gara. Namun demikian, APBN adalah sumber dana awal yang standar bagi ope rasional awal MDF karena seringkali MDF dibentuk atas inisiatif pemerintah. Akses terhadap pasar modal yang lebih luas dan kompetitif sepenuhnya ter gantung dari peringkat kredit yang diperoleh MDF yang ditentukan oleh kinerja keuangannya. Kinerja keuangan ini juga ditentukan oleh baik tidaknya penerapan disiplin pasar dan rendahnya kredit macet. Memastikan bahwa Pemerintah Daerah yang meminjam dana mampu membayar angsuran kreditnya dengan lancar adalah aspek yang paling utama untuk mencapai peringkat kredit yang baik. Di bawah ini adalah contoh internasional tentang berbagai sumber dana MDF:
Tabel 10. Berbagai Skema Pemodalan MDF
34
Negara: MDF
Peme rintah dan/atau Donor
Tabungan Peme rintah Daerah
Lembaga Simpanan
Pasar Modal
Pasar Kredit Daerah
Brazil: PrAM/PIMES
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Kolombia: FINDETER
Ya
Tidak
Ya
Ya (kecil)
Ya
Rep. Ceko: MUFIS
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Ekuador: BEDE
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Honduras: BANMA
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Indonesia: RDP1
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Yordania: CVDB
Ya
Ya
Ya
Parsial
Tidak
Kenya: LGLA
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Maroko: FEC
Ya
Ya
Ya
Partial
Tidak
Filipina: MDF
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Sumber: Peterson (1996)1
3.4. Pentingnya MDF Bagi Kota-Kota Negara Berkembang Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian awal tulisan ini, Pemerintah Dae rah harus mewaspadai peningkatan populasi di tahun-tahun mendatang. Urbanisasi yang sangat pesat memicu peningkatan kebutuhan akan pelayanan publik dan infrastrukur yang lebih banyak dan lebih baik kualitasnya. Sayang nya, kota-kota di negara berkembang memiliki keterbatasan kapasitas untuk meningkatkan pendanaan karena terbatasnya ruang fiskal atau rendahnya keberanian birokrat untuk mengelola risiko. Bahkan ketika terdapat akses ter hadap pasar modal dan ruang fiskal yang cukup, Pemerintah Daerah sering kali tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam pengelolaan keuangan dan proyek. Ketika tantangan tersebut diatasi secara bertahap, urbanisasi akan terus terjadi dan kebutuhan akan infrastruktur akan terus meningkat.
Bersamaan dengan fenomena urbanisasi, Pemerintah Daerah terutama
di negara-negara berkembang yang menerapkan desentralisasi fiskal tetap diharuskan untuk: (1) meningkatkan daya saing ekonomi lokal; (2) memenuhi 1
Catatan untuk Indonesia: Beberapa ahli menganggap bahwa Rekening Pembangunan Daerah (RPD) di Indonesia di masa lalu adalah suatu bentuk MDF.
MDF: P rinsip , Karakteristik, dan Praktik Negara L ain
35
kebutuhan akan layanan publik; (3) memperluas dan melakukan diversifikasi basis pajak daerah; (4) mengupayakan pendanaan bagi investasi. MDF mengisi kebutuhan Pemerintah Daerah akan sumber dana investasi yang berkelanjutan untuk menyediakan kebutuhan infrastruktur di daerah.
Gambar 11. Tantangan dalam Urbanisasi
Pengalaman internasional mengungkapkan bahwa pinjaman jangka
panjang terpapar beberapa risiko (risiko gagal bayar, risiko kurs, risiko politik, risiko pasar, risiko makroekonomi, dsb). Risiko-risiko ini memerlukan skema pendanaan yang berbeda. Sebagai contoh, negara-negara di Amerika Utara cenderung mengandalkan pada obligasi Pemerintah Daerah, negara-negara Eropa Barat mengandalkan bank pembangunannya. Sementara itu, negaranegara berkembang seringkali tidak dapat mengakses pasar modal sehingga menerbitkan obligasi daerah menjadi sesuatu yang sulit dilakukan. Negaranegara ini cenderung menerapkan skema pendanaan berlapis, secara lang sung atau melalui lembaga keuangan intermedier (Venkatachalam, 2005). MDF adalah suatu bentuk financial intermediary (lembaga keuangan intermedier)
Terdapat beberapa manfaat yang mungkin dapat dituai dari penerapan
MDF: 1. Aksesibilitas Pemerintah Daerah kepada pasar kredit berarti bahwa Pe merintah Daerah memiliki akses terhadap sumber belanja modal; 2. Kesiapan proyek yang lebih baik. Pemerintah Daerah didorong untuk meng akses pasar kredit dan juga berusaha untuk layak mendapatkan pinjaman
36
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
dengan cara mengusahakan persiapan pengajuan proyek yang baik dan juga adanya dukungan teknis; 3. Jumlah dan kualitas infrastruktur yang dibangun dengan memanfaatkan fasilitas kredit dari MDF. Aspek ini dapat dilihat sebagai salah satu indika tor bahwa tujuan utama pendirian MDF telah tercapai. 4. Kinerja MDF yang membuatnya mampu mengakses pasar kredit interna sional. Sebagai contoh adalah BNG di Belanda yang mendapatkan invest ment grade dari lembaga pemeringkat internasional. Hal tersebut menun jukkan bahwa BNG berhasil mengelola pinjamannya. Investment grade akan membuat MDF memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mening katkan dana dari pasar modal internasional.
MDF: P rinsip , Karakteristik, dan Praktik Negara L ain
37
4
‘‘
MDF Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah di Indonesia
D
i Indonesia, MDF dapat didirikan sebagai pemberi pinjaman first-tier (langsung). Idealnya, MDF merupakan institusi yang fleksibel dan independen, sehingga bentuk institusi BUMN adalah bentuk ideal. Tetapi yang juga penting untuk ditilik adalah strategi jangka pendek dalam pelaksanaan MDF.
’’
4.1. Analisis Awal Fungsi dan Permodalan MDF 4.1.1. Bentuk Pembiayaan: Pinjaman vs Hibah vs Bank Obligasi Seperti yang telah dikemukakan pada Bab sebelumnya, untuk membentuk sebuah MDF, memiliki 3 (tiga) alternatif fungsi utama yang dapat dijalankan, yaitu memberikan hibah, menjadi bank obligasi, atau berkonsentrasi sebagai lembaga pinjaman kepada daerah.
38
1. Hibah: Saat ini peraturan hibah yang ada barulah bersifat hibah yang merupakan penerusan pinjaman pusat ke daerah. Sejauh ini belum ada kerangka hukum untuk hibah bersifat demand-driven. Secara lebih men dasar lagi, keberadaan hibah yang tidak memerlukan kewajiban pengem balian dana dapat menjadi moral hazard. Oleh karena itu, dapat disimpul kan bahwa MDF yang akan dikembangkan di Indonesia sebaiknya tidak berfungsi memberikan hibah. 2. Bank obligasi: Berdasarkan pengalaman dari Negara lain, seperti di Ame rika Serikat, maka MDF yang berfungsi sebagai Bank Obligasi memiliki dukungan yang kuat dari Pemerintah Daerah, yang menerbitkan obligasi daerah. Namun demikian, bila fungsi ini yang akan diutamakan bagi MDF di Indonesia, maka akan memiliki hambatan mendasar, karena Pemerin tah Daerah hanya diperbolehkan menjual surat utang di pasar modal, dan sampai saat ini belum ada satupun Pemerintah Daerah yang telah menerbitkan surat utang. Oleh karena itu, MDF yang akan dibentuk di Indonesia tidak akan dapat menjalankan fungsi sebagai Bank Obligasi dalam waktu dekat. 3. Pinjaman daerah: Pemberian pinjaman kepada Pemerintah Daerah telah dilakukan dalam periode yang cukup lama di Indonesia, namun demikian kurang berjalan dengan baik, dan hasilnya belum optimal. MDF yang di kembangkan di Indonesia sebaiknya memiliki fokus pemberian pinjaman kepada daerah, karena pinjaman daerah sekaligus juga memperbaiki governance dan accountability dari Pemerintah Daerah.
4.1.2. Level Pembiayaan: First-Tier vs Second-Tier MDF dapat menyalurkan pinjaman pada first-tier (langsung) maupun secondtier (tidak langsung). Mengingat kondisi pinjaman daerah saat ini yang sangat minim, maka dapat dipastikan tidak akan tercapainya skala ekonomi untuk mendirikan MDF yang merupakan penyalur pinjaman second-tier (menyalur kan dana kepada lembaga keuangan, yang kemudian lembaga keuangan tersebut meminjamkannya kepada Pemerintah Daerah). Oleh karena itu, un tuk Indonesia, sebaiknya MDF harus menjadi penyalur pinjaman langsung kepada Pemerintah Daerah (first-tier lender). Dalam jangka panjang, ketika pasar
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
39
pembiayaan daerah sudah berkembang, Indonesia dapat saja mengadopsi kedua bentuk model pembiayaan, baik first-tier maupun juga second-tier.
4.1.3. Komposisi Modal: Debt vs Equity MDF yang didirikan dengan 100% modal yang dialokasikan pemerintah akan memiliki perilaku organisasi yang berbeda dengan MDF yang memiliki kewa jiban untuk mengembalikan utang. MDF yang memiliki kewajiban pengembali an utang diharapkan akan lebih responsible dan accountable. Namun demi kian, utang yang tinggi akan menyebabkan cost of fund yang juga tinggi, dan ini akan mempengaruhi loan pricing untuk pinjaman daerah yang disa lurkan oleh MDF, melalui peningkatan bunga bagi debitur. Oleh karena itu, MDF yang akan dibentuk untuk Indonesia haruslah memiliki proporsi ekuitas dan utang dalam jumlah yang tepat.
4.2. Analisis Kerangka Institusional MDF Kata “kelembagaan” sering diterjemahkan dengan “organisasi”, namun de mikian “kelembagaan” memiliki definisi yang berbeda dalam New Institutional Economics (NIE). Pada literatur NIE, Kelembagaan definisikan sebagai “aturan formal dan informal beserta mekanisme penegakannya yang membentuk perilaku individu dan organisasi dalam masyarakat” (North, 1990). Berbeda dengan definisi organisasi, dimana definisi organisasi adalah, Sebuah kesatu an yang terdiri dari sekelompok orang yang bertindak secara bersama-sama dalam rangka mencapai tujuan bersama (Burki dan Perry, 1998).
Organisasi dan individu mencapai kepentingan mereka di dalam sebuah
struktur Kelembagaan berupa aturan-aturan formal (hukum, peraturan, kon trak, hukum konstitusional) dan aturan informal (etika, kepercayaan, dan normanorma yang tidak tertulis lainnya). Organisasi kemudian memiliki aturan in ternal (yaitu kelembagaan) untuk menangani permasalahan personalia, ang garan, pengadaan dan prosedur pelaporan, yang membatasi perilaku ang gota mereka. Dengan demikian, kelembagaan merupakan struktur insentif (pendorong) bagi perilaku organisasi dan individu.
Dalam kajian ini, untuk melakukan pemilihan kelembagaan yang tepat
bagi MDF di Indonesia, maka dilakukan tinjauan terhadap bentuk kelembagaan
40
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
yang ada, yaitu Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Umum Milik Negara (BUMN). Perbedaan yang secara khusus dimiliki dari kedua bentuk kelemba gaan tersebut akan dikaji kepentingannya dalam konteks untuk pengem bangan sebuah MDF di Indonesia. Untuk itu dilakukan tinjauan terhadap be berapa aspek berikut ini: 1. Pertanggungjawaban (liability) 2. Orientasi perusahaan 3. Investasi 4. Permodalan 5. Keputusan untuk memberikan pinjaman 6. Sumber pendanaan 7. Proteksi pinjaman 8. Peraturan pendirian 9. Koordinasi 10. Manajemen 11. Pasar modal 12. Pengawasan
Tabel 11. Perbandingan Bentuk Kelembagaan Penyedia Infrastruktur Aspek
BLU
BUMN
Pertanggungjawaban
Tidak terbatas (unlimited liability) à implikasinya risiko fiskal ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat Soft budget constraint
Terbatas (limited liability) Risiko fiskal tidak ditanggung Pemerintah Pusat Hard budget constraint
Orientasi
Pelayanan masyarakat (dapat menjadi moral hazard, dianggap sebagai subsidi)
Profit-oriented dan juga sebagai bentuk intervensi Pemerintah à sesuai dengan UU BUMN (dapat diberi target) (dapat dipandang sebagai perintis untuk missing/incomplete market: pinjaman jangka panjang yang untuk infrastruktur)
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
41
Aspek
42
BLU
BUMN
Investasi
Investasi jangka panjang dibatasi
Fleksibel dalam investasi jangka panjang
Permodalan
Kepemilikan 100% Pemerintah Pencatatan utang masih belum jelas Secara teoritis dapat mengakumulasikan modal, tetapi umumnya laba dihabiskan, sebagian disetor sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Kepemilikan bisa beragam Utang dapat dicatatkan eksplisit. Dapat mengakumulasi dan menghimpun modal dari berbagai sumber
Keputusan untuk memberikan pinjaman
Ditentukan oleh Kepala BLU (dan Komite Investasi apabila pinjaman sangat besar)
Otonom dan dapat dipertanggung jawabkan (Pemerintah Pusat sebagai regulator)
Sumber pendanaan
Terbatas, terutama dari APBN
Terbuka untuk berbagai sumber (kecuali simpanan)
Proteksi pinjaman
Dapat melakukan intercept berupa pemotongan DAU (Dana Alokasi Umum) daerah, dengan kuasa dari Menteri Keuangan.
Memerlukan mekanisme jaminan lainnya, misalnya berupa escrow account.
Peraturan pendirian
Peraturan Menteri Keuangan
Peraturan Pemerintah dengan persetujuan Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri Teknis
Koordinasi
Internal Kementerian
Dapat melibatkan lembaga lain sebagai pemangku kepentingan
Manajemen
Cenderung lebih birokratis
Dapat diperamping dan diharapkan profesional
Pasar modal
Sulit mengakses pasar modal (penerbitan surat utang dilakukan oleh Kementerian Keuangan)
Dengan status PT Tbk, dapat melakukan penghimpunan modal masyarakat melalui pasar modal, dengan berstatus PT, dapat menerbitkan efek surat utang
Pengawasan
Pengawasan internal dan eksternal (BPK)
Dewan Komisaris dan BPK
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
4.2.1. Aspek Pertanggungjawaban (Liability) Sesuai dengan perundang-undangan yang ada, apabila MDF yang akan diben tuk adalah sebuah BLU, maka sesuai fungsinya, BLU adalah sebuah unit yang diperuntukkan untuk menjalankan berbagai kebijakan belanja Pemerintah Pusat. Dalam konteks ini, bila sebuah BLU memiliki tugas untuk menyalurkan pinjaman kepada Pemerintah Daerah, maka sumber pendanaannya sepenuh nya berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Pertang gungjawaban menjadi tidak terbatas, karena pada dasarnya Pemerintah Pu sat adalah yang menanggung risikonya. Dalam konteks ini, maka pelaksanaan kegiatan pada sebuah BLU dapat menghasilkan soft-budget constraint.
Sebaliknya, bila MDF merupakan sebuah bentuk BUMN, bentuk pertang
gung-jawaban ini memiliki keterbatasan, sebatas modal yang dimilikinya. Namun demikian, BUMN ke depan dapat mengembangkannya sesuai dengan strategi peningkatan modal yang ada. Oleh karena itu, sebuah MDF yang berbentuk BUMN akan memberikan risiko fiskal yang kecil bagi pemerintah bila terjadi gagal bayar oleh Pemerintah Daerah. Dengan liablity yang terba tas, maka pengelolaan MDF dalam bentuk BUMN akan dapat mengikuti hard budget constraint. Dengan demikian, ditinjau dari aspek liability, tampaknya bentuk MDF yang ideal adalah sebuah BUMN, karena memberika risiko fiskal yang lebih kecil bagi pemerintah.
4.2.2. Aspek Orientasi Perusahaan Badan Layanan Umum (BLU) didirikan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan ke uangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan prak tek bisnis yang sehat. Pengertian dari pernyataan tersebut adalah bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya, BLU tidak menjadikan profit sebagai tujuan utama BLU. Namun, orientasi BLU yang ditujukan untuk melayani ma syarakat dapat menimbulkan potensi moral hazard karena dianggap sebagai salah satu bentuk dari subsidi Pemerintah.
Di lain pihak, BUMN berbentuk perseroan terbatas dituntut untuk dapat
menyetor dividen kepada Pemerintah Pusat, selain mengemban misi sebagai
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
43
penyedia barang dan jasa yang berkualitas bagi masyarakat. Oleh karena itu, BUMN berusaha untuk melaksanakan proyek-proyek yang feasible secara keuangan maupun membuat sebuah proyek yang pada awalnya kurang la yak menjadi layak melalui bimbingan teknis dan persiapan proyek yang ma tang serta dalam beberapa kasus menyediakan fasilitasi kepada dana penja minan infrastuktur.
Secara singkat bentuk BUMN lebih berorientasi pada penciptaan keun
tungan dan sebagai bentuk intervensi pemerintah seperti yang telah diama natkan dalam UU BUMN. Dari tinjaun aspek orientasi ini, bila diharapkan bah wa sebuah MDF dapat memupuk keuntungan yang sustainable secara institusi, maka atas dasar ini bentuk MDF yang tepat adalah BUMN.
4.2.3. Aspek Investasi Pada umumnya sebuah BLU diperkenankan untuk memungut biaya atas jasa pendanaan yang diberikan kepada mitranya. Jasa pendanaan ini adalah salah satu bentuk investasi yang dapat dilakukan BLU khususnya di bidang infra struktur melalui penyertaan modal maupun pemberian pinjaman. Beberapa BLU juga diperkenankan untuk melakukan pembelian saham dan pembelian surat utang untuk mengisi portfolio usahanya. Namun demikian, investasi yang sifatnya jangka panjang umumnya dibatasi. Investasi jangka panjang ini meliputi penyertaan modal, pemilikan obligasi untuk jangka panjang, atau investasi langsung dalam bentuk pendirian usaha. BLU
BUMN di lain pihak juga memiliki strategi investasi yang beragam. BUMN
umumnya memiliki keleluasaan yang lebih besar dari BLU dalam melakukan investasi jangka panjang. Sebuah BUMN dapat melakukan aksi korporasi, baik untuk investasi jangka pendek maupun jangka panjang sejauh portfolio tersebut dinilai mampu memberikan imbal hasil yang optimum dengan risiko yang mampu dikelola oleh perusahaan.
Dari tinjauan terhadap kemampuan melakukan investasi, maka dapat
disimpulkan bahwa bentuk MDF sebagai BUMN akan memiliki fleksibilitas yang lebih besar dan ini sangat diperlukan dalam rangka pengembangan MDF tersebut dalam jangka panjang.
44
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
4.2.4. Aspek Permodalan Sebuah BLU memperoleh modalnya dari anggaran Pemerintah. Dalam istilah BLU sebenarnya tidak mengenal istilah modal, tetapi biasa disebut sebagai anggaran, yang dialokasikan pemerintah setiap tahun berdasarkan atas rencana belanja BLU yang bersangkutan.
Di pihak lain, sebuah BUMN yang keseluruhan sahamnya masih dimiliki
oleh pemerintah juga tergantung pada alokasi pemerintah. Namun demikian, kedudukan BUMN berbeda dengan BLU, karena modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Laba yang diperoleh BUMN dapat ditahan dan kemudian memperkuat struktur permodalan BUMN yang bersangkutan. Sementara itu, Laba bersih dari BLU dapat disetor ke APBN sebagai komponen Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Oleh karena kedudukannya sebagai bagian dari pemerintah, maka mo
dal BLU tidak terbagi atas saham-saham layaknya BUMN. BUMN dapat me nambah ataupun memperoleh modal dari saham dan penerbitan surat utang yang dihimpun dari masyarakat (dana pihak ketiga). Untuk merubah struktur permodalan BUMN, diperlukan Peraturan Pemerintah sedangkan struktur permodalan (anggaran) BLU tidak memerlukan Peraturan Pemerintah karena BLU dapat menambah struktur modalnya melalui anggaran tambahan dari Pemerintah.BLU juga dapat menambah kemampuan keuangannya melalui pendapatan-pendapatan yang diperoleh dari keuntungan investasi yang di dapat, barang atau dana yang diamanatkan oleh pihak lain untuk dikelola BLU dan sumber pendapatan lainnya yang sah.
Ditinjau dari aspek permodalan, tampak bahwa kemampuan MDF seba
gai BUMN akan lebih menguntungkan karena memiliki fleksibilitas dan ke mampuan meningkatkan permodalan yang lebih luas, tidak tergantung dari satu sumber, yaitu pemerintah. Sebuah MDF yang berupa BLU hanya dapat diuntungkan dari segi permodalan apabila Pemerintah memiliki kapasitas tidak terbatas dalam memberikan modal (anggaran) kepada BLU yang ber sangkutan.
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
45
4.2.5. Aspek Keputusan Untuk Memberikan Pinjaman Pada dasarnya untuk pengambilan keputusan terdapat mekanisme yang ham pir sama antara sebuah BLU dengan sebuah BUMN. Kedua bentuk institusi tersebut dapat menerapkan analisis yang objektif untuk melakukan penilaian kelayakan pemberian pinjaman. BLU dapat mensyaratkan calon debitur untuk mengajukan proposal dan telah memiliki studi kelayakan atas proyek yang diusulkan untuk dibiayai BLU. Kemudian akan dilakukan proses assessment terhadap risiko dan kelayakan dari proyek tersebut dari sudut pandang kre ditur. Keputusan final untuk pinjaman dalam jumlah tertentu dapat langsung ditentukan oleh Kepala BLU setelah mendengarkan masukan dan analisis dari subordinasinya. Namun demikian, keputusan untuk alokasi yang lebih besar memerlukan pesetujuan pemerintah.
BUMN di sisi lain memiliki otonomi dalam memberikan persetujuan pin
jaman dan pemerintah berfungsi sebagai regulator saja. BUMN ini juga mela kukan analisis kelayakan proyek yang akan didanai. Namun, BUMN dapat terjun langsung dalam menyusun pre-feasibility studies proyek bersangkutan secara sendiri maupun menggandeng pihak lain. Setelah dinilai layak, BUMN akan melaksanakan proses selanjutnya seperti market sounding, penyiapan dokumen pelelangan, asistensi pelaksanaan pelelangan dan dukungan untuk tercapainya Financial Close (Perolehan Pembiayaan). Proses yang diambil ini sejalan dengan visi perusahaan yang ingin menjadi fasilitator/katalis penye diaan infrastruktur terutama melalui proyek KPS. Proses pengambilan kepu tusan berada di level dewan direksi.
Dari aspek keputusan memberikan pinjaman, pada dasarnya bila MDF
berupa sebuah BLU ataupun BUMN tidaklah terlalu berbeda, pada skala jum lah pinjaman tertentu. Namun demikian, pada skala pinjaman yang besar, dapat terjadi MDF yang berupa BLU memerlukan proses yang lebih panjang dan rumit karena melibatkan proses birokrasi pemerintahan. Sebaliknya, dalam bentuk sebagai BUMN, maka pengambilan keputusan untuk skala pinjaman besar dapat melalui persetujuan dari dewan komisaris, yang merupakan bagian dari birokrasi internal perusahaan.
46
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
4.2.6. Aspek Sumber Pendanaan Sejalan dengan keterangan yang telah disebutkan pada aspek permodalan, sebuah BLU mengandalkan sumber pendanaan dari Pemerintah, dan tidak diperbolehkan untuk mencari pendanaan dari pasar, dengan kata lain BLU tidak diperbolehkan untuk menghimpun dana dari masyarakat. Sedangkan BUMN dapat mencari pendanaan dari berbagai macam sumber kecuali dari proses penghimpunan dana masyarakat (deposit).
Atas dasar ini, maka kemampuan MDF yang berbentuk BUMN akan lebih
unggul dalam menghimpun dana dibandingkan bila MDF tersebut berbentuk BLU.
4.2.7. Aspek Proteksi Pinjaman Peraturan perundangan hanya memungkinkan MDF untuk memberikan un secured loan (pinjaman tanpa jaminan/agunan). Biasanya, unsecured loan memiliki bunga yang lebih tinggi sebagai bentuk proteksi. Apakah bunga akan tetap atraktif? Mekanisme proteksi apa sajakah yang dapat dilakukan agar MDF dapat menjaga suku bunga yang atraktif tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian? Apakah mungkin membuat escrow account? Apakah perlu mekanisme intercept (mis. pemotongan DAU)?
Sebuah BLU dengan peraturan menteri, dapat memberikan pinjaman
kepada debitur misalnya Pemerintah Daerah tanpa mensyaratkan adanya agunan (collateral). Risiko default akan diantisipasi dengan skema intercept dimana BLU, melalui Kementerian Keuangan dapat melakukan pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pemerin tah Daerah yang tidak lancar dalam membayar angsuran pinjaman. BLU dapat pula meminta debitur untuk membuka rekening khusus yang ditujukan untuk pembayaran angsuran pinjaman (escrow accounts).
Di lain pihak, BUMN menekan risiko default khususnya dalam proyek
KPS dengan skema penerapan agunan. Skema penjaminan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan derajat kelayakan sebuah proyek infrastruktur. Skema penjaminan lainnya adalah melalui pembukaan rekening yang dituju kan khusus untuk pembayaran angsuran pinjaman (escrow accounts). Skema
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
47
pembayaran dengan menggunakan escrow account ini juga dapat dilakukan oleh sebuah BLU.
Berdasarkan tinjauan atas keamanan pinjaman, dapat disimpulkan
bahwa, sebuah MDF yang berbentuk BLU memiliki instrumen untuk memasti kan keamanan pinjaman yang lebih beragam daripada sebuah BUMN. Namun seberapa efektif instrumen tersebut dapat dimanfaatkan, terpulang kepada MDF yang bersangkutan.
4.2.8. Aspek Peraturan Pendirian Dari aspek pendiriannya, maka sebuah BLU memiliki kemudahan dalam pro ses pendiriannya, karena umumnya hanyalah berdasarkan keputusan menteri yang bertanggung jawab atas kegiatan utama dari BLU tersebut. Karena BLU adalah instrumen belanja dari pemerintah yang dilakukan oleh kementerian, maka pendirian BLU sangat tergantung dari keputusan menteri. Sebaliknya, untuk proses pendirian BUMN memerlukan proses yang lebih komprehensif, dan tidak saja diusulkan oleh salah satu kementerian, namun harus disetujui oleh berbagai stakeholder yang terkait dengan kegiatan utama BUMN terse but.
Dengan demikian, dari aspek pendirian kelembagaan, maka pendirian MDF
yang berbentuk BLU akan lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan BUMN.
4.2.9. Aspek Koordinasi Koordinasi BLU cukup dilaksanakan dalam internal Kementerian maupun BLU sendiri. Namun demikian, ketika berhadapan dengan pengajuan pendanaan untuk jumlah yang besar, maka rentang koordinasi akan meningkat dan meli batkan organisasi kementerian. Sebuah BUMN di lain pihak, tidak terlalu melibatkan Pemerintah kecuali apabila salah satu Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah memiliki kegiatan proyek yang akan didanai atau dikerja samakan dengan BUMN. Koordinasi BUMN dengan pihak lain semisal lem baga multi/bilateral, lembaga donor maupun swasta juga tidak memerlukan keterlibatan pemerintah secara rutin.
Dengan demikian, dari segi aspek koordinasi tampaknya MDF berbentuk
BUMN tidak akan melibatkan banyak stakeholder dalam pelaksanaan kegiat
48
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
annya, khususnya memberikan pinjaman daerah. Baik pinjaman dalam jum lah kecil maupun besar dapat ditangani sendiri dalam instansi MDF yang berbentuk BUMN tersebut.
4.2.10. Aspek Manajemen Sebuah BLU umumnya dikepalai oleh seorang birokrat dari lingkungan Ke menterian dibantu oleh PNS yang ditugaskan. Oleh karena itu, karakteristik manajemen yang cenderung menonjol adalah birokraktik yang cenderung kaku. Di sisi lain, BUMN dapat diisi oleh para profesional yang berkompeten di bidangnya dan menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) dan nilai-nilai perusahaan yang berbeda dengan nilai-nilai birokrasi sehingga da pat lebih fleksibel dalam hal operasional dan pengembangan bisnisnya (stream lined). Walaupun BLU memiliki fleksibilitas yang sama atas anggaran penda patannya, namun aksi “korporasi” yang dilakukan tidak terbebas dari hierarki organisasi Kementerian induknya.
Dari aspek manajemen ini, dapat disimpulkan bahwa MDF berbentuk
BUMN akan cenderung tidak terlalu birokratis dalam pengelolaan dan peng ambilan keputusannya dibandingkan dengan MDF yang berbentuk BLU.
4.2.11. Aspek Pasar Modal Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa BLU tidak dapat mengakses pasar modal untuk meningkatkan anggarannya kecuali dari pendapatan dari imbal hasil atau dividen yang diperoleh dari penempatan dananya di portfolio sa ham atau obligasi jangka pendek.
Di lain pihak, BUMN dapat menerbitkan obligasi korporasi untuk menda
patkan dana tambahan untuk diputar sebagai investasi dalam sebuah proyek. Namun, penjualan saham BUMN harus berbentuk perseroan terbatas agar dapat mengakses pasar modal secara luas. Oleh karena itu untuk BUMN yang akan masuk pasar modal, harus melakukan perubahan status dari perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka (ketika telah memenuhi syarat) dan juga peraturan lain yang mendukung adanya perubahan dalam struktur kepemi likan saham.
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
49
Oleh karena itu, dari segi akses pasar modal, maka sebuah MDF yang ber
bentuk BUMN akan lebih diuntungkan karena memiliki akses untuk mening katkan modal yang lebih besar, sejauh BUMN tersebut telah menjadi Per usahaan Terbuka.
4.2.12. Aspek Pengawasan Sebuah BLU memiliki Satuan Pengawas Internal sebagai satuan yang melaksa nakan fungsi pengawasan pelaksanaan tugas BLU. Sebagai bagian dari lem baga negara, maka BLU juga menjadi subjek BPK untuk pelaksanaan adminis trasi keuangan negara.
BUMN, sesuai dengan Undang Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN,
akan diawasi oleh Dewan Komisaris sebagai perwakilan dari pemegang saham. Dengan permodalan yang berasal dari keuangan negara, maka BUMN juga menjadi subjek pemeriksaan oleh BPK dalam aspek pengadministrasian ke uangannya. Dengan diterbitkannya Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER-02/BL/2012 tentang Pedoman Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan Infra struktur, maka aktifitas usaha BUMN akan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menggantikan fungsi Bappepam-LK yang dahulu berada di bawah Kementerian Keuangan.
Dari segi pengawasan tampaknya MDF yang berbentuk BUMN akan
memiliki pengawasan yang ketat dan berjenjang. Demikian juga dengan MDF yang berbentuk BLU. Pada dasarnya keketatan pengawasan dari kedua ben tuk kelembagaan tersebut akan relatif sama.
4.3. Bentuk Ideal Institusi Perantara Pembiayaaan: BLU atau BUMN? Dari tinjauan atas berbagai aspek penting di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk terbaik dari MDF bila hendak dikembangkan oleh Indonesia adalah sebuah BUMN (Badan Umum Milik Negara). Berbagai fleksibilitas yang dimiliki khususnya dalam hal kemampuannya melakukan pemupukan modal, mem peroleh sumber pendanaan dan strategi investasi jangka panjang, serta se cara langsung tidak memiliki risiko fiskal yang besar bagi keuangan negara
50
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
(APBN) menjadi alasan-alasan pokok pentingnya MDF dalam bentuk sebuah BUMN dan bukanlah dalam bentuk BLU.
4.4. Anatomi Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Saat Ini Sebagai bentuk intervensi Pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan infrastruktur daerah, pembiayaan pinjaman daerah oleh MDF dapat berupa investasi Pemerintah Pusat (yang dilakukan melalui Pusat Investasi Pemerintah -PIP) ataupun pinjaman lewat lembaga keuangan non-bank (yang dilakukan melalui BUMN, misalnya PT.Sarana Multi Infrastruktur - SMI).
Penyertaan modal pemerintah dalam bentuk BUMN memerlukan per
aturan pemerintah untuk realisasi penanaman modal maupun penambahan penanaman modalnya. Ijin usaha BUMN tersebut, dalam hal ini BUMN disah kan dengan peraturan setingkat menteri (dalam hal ini Menteri Keuangan). Sedangkan untuk BLU, pelaksanaannya secara bertahap dan kemudian me ningkat menjadi BLU penuh disahkan dengan peraturan setingkat menteri, sebagai contoh untuk PIP (Pusat Investasi Pemerintah) dibentuk dengan meng gunakan Peraturan Menteri Keuangan RI dan Keputusan Menteri Keuangan RI. Dasar hukum yang lebih tinggi dalam pendirian PIP adalah UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara (pasal 41) dan Peraturan Pemerintah No.8/2007 jo Peraturan Pemerintah No.1/2008 tentang Investasi Pemerintah.
Tabel 12. Anatomi Kelembagaan Formal Institusi Penyedia Infrastuktur di Indonesia Institusi/ Aspek PT. SMI
Peran katalis/fasilitator bagi pemilik proyek dan investor + pendanaan
UU
PP - PP No. 66 Tahun 2007 - PP No. 85 Tahun 2010 - PP No. 104 Tahun 2012
Peraturan setingkat Menteri - Keputusan Menteri Keuangan No. 100/ KMK.06/2011 - Keputusan Menteri Keuangan No. 396/ KMK.01/2009
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
51
PIP
Pendanaan bagi investasi Pemerintah --> menentukan playing field dengan lembaga
Pasal 41 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004
PP No. 8 Tahun 2007 jo PP No. 1 Tahun 2008
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1005/KMK.05/2006 - Keputusan Menteri Keuangan Nomor 52/ PMK.01/2007 - Keputusan Menteri Keuangan Nomor 91/ KMK.05/2009
Sumber: situs resmi PT. SMI dan PIP serta beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan
Pada saat ini ke dua lembaga tersebut, yaitu PIP dan PT. SMI telah melak
sanakan beberapa fungsi dasar dari MDF, yaitu memberikan pinjaman untuk proyek yang diajukan oleh pemerintah kota/kabupaten dalam rangka menda nai proyek infrastruktur di daerahnya.
Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan masih sedikitnya jumlah
proyek di daerah yang didanai adalah masih terbatasnya sosialisasi tentang peranan lembaga pembiayaan di atas, terbatasnya proyek yang cocok dibiayai dengan skema pembiayaan yang ada atau rendahnya kemauan daerah untuk mengajukan proposal kredit karena alasan regulasi ataupun keengganan untuk memasuki disiplin pasar.
Apabila tujuan besar yang ingin dicapai adalah meningkatkan kuantitas
dan kualitas infrastruktur di daerah khususnya di perkotaan, maka diperlukan sebuah diseminasi informasi tentang alternatif mekanisme pembiayaan be serta lembaga pembiayaan yang saat ini sudah ada agar Pemerintah Daerah tertarik untuk mencari alternatif pendanaan infrastruktur di daerahnya.
Dari kondisi existing tersebut, kita dapat melihat bahwa kedua bentuk
kelembagaan tersebut berbeda jika dilihat dari sudut pandang pelaksanaan pengadaan infrastruktur. Bentuk kelembagaan yang berbeda memungkinkan adanya keterbatasan/keleluasaan dalam ruang gerak operasionalnya. Beberapa paragraf berikut mencoba untuk menampilkan perbedaanperbedaan dua bentuk lembaga pembiayaan infrastruktur dalam beberapa aspek. Kedua lembaga tersebut yaitu BLU PIP dan PT. SMI sebagai BUMN di bawah Kementerian Keuangan RI.
52
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Investasi Pemerintah Pusat
Badan Layanan Umum (contoh: PIP)
Pinjaman Lewat Lembaga Keuangan Non-Bank
Badan Usaha Milik Negara (contoh: PT SMI)
Intervensi Pemerintah
Gambar 12. PIP dan PT. SMI Sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah Pusat
Institusi-insitusi yang telah ada saat ini yang menjalankan peran penye
diaan pinjaman daerah:
Tabel 13. Perbandingan PIP dengan PT. SMI Aspek
BLU: Pusat Investasi Pemerintah
BUMN: PT. SMI
Mandat
Mandat utama berinvestasi sebagai sovereign wealth fund
Mandat utama terkait dengan project development untuk PPP
Kinerja Selama Ini
Investasi pinjaman daerah kurang dari 15% portofolio
Belum ada proyek yang berhasil masuk ke dalam pipeline.
Kemungkinan Sebagai Institusi MDF
Akan berkonflik dengan mandat utamanya. Juga membutuhkan serangkaian perubahan kebijakan agar dapat menjalankan fungsi sebagai MDF.
PIP adalah sebuah unit kerja di bawah Kementerian Keuangan RI yang
menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Sedangkan PT. SMI adalah BUMN yang bergerak di bidang fasilitasi dan juga pendanaan proyek infrastruktur yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah RI. Ke dua lembaga ini memiliki cakupan operasional yang berbeda, seperti telah disarikan dalam tabel berikut ini.
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
53
Tabel 14. Fungsi Lembaga Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia
Institusi
PT. SMI
BLU PIP
Peni laian Proyek
Alter natif Sumber Dana
Persi apan & Pelak sanaan Proyek
Jasa Konsul tasi Proyek
Pena rikan Ang suran Pinjam an
Mana jemen Risiko
√
√ (Saat ini masih 100% Peme rintah RI)
√
√
√
√
√
X (hanya dari APBN)
X
X
√
√
Sumber: Disarikan dari situs resmi PT. SMI dan PIP
4.5. Opsi Kelembagaan MDF dalam Jangka Pendek Seperti yang telah diuraikan dalam analisis kelembagaan, bentuk ideal bagi sebuah MDF yang akan dikembangkan di Indonesia adalah sebuah BUMN baru. Namun demikian, dalam upaya untuk membentuk sebuah BUMN baru, diperlukan berbagai proses, prosedur dan persyaratan yang biasanya tidak mudah dipenuhi dalam jangka pendek (satu tahun).
Mengingat urgensi dari pembangunan infrastruktur di daerah saat ini,
maka perlu dipertimbangkan beberapa opsi jangka pendek yang dapat dipilih oleh pemerintah, dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pokok MDF terse but, apabila pemerintah berkehendak untuk menjalankan beberapa kegiatan pokok MDF saat ini.
Opsi jangka pendek ini adalah sebuah rencana transisi menuju ke bentuk
MDF yang ideal yaitu sebuah BUMN, seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Berikut ini adalah beberapa opsi yang dimungkinkan dalam jangka pen
dek:
54
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
1. Transisi dari BUMN yang telah ada. 2. Transisi dari BLU yang telah ada 3. Membentuk BLU baru.
Gambar 13. Opsi Kelembagaan MDF dalam Jangka Pendek
4.5.1. Transisi dari BUMN yang telah ada Untuk mewujudkan MDF dalam waktu yang tidak terlalu lama, salah satu kemungkinan yang dielaborasi adalah “menitipkan” MDF pada BUMN yang sudah ada. Saat ini PT. SMI adalah BUMN yang mempunyai fokus untuk men dukung pembangunan infrastruktur di Indonesia melalui fungsinya sebagai katalisator/fasilitator antara pemilik proyek dan investor. Dua aktivitas utama PT. SMI adalah memberikan fasilitas advisory dan menyediakan pinjaman pembiayaan bersama (co-financing). PT. SMI juga mempunyai posisi strategis dalam pembangunan infrastruktur berskema PPP dimana sponsor utama pembiayaan adalah pihak swasta.
Jika MDF dijadikan bagian dari PT. SMI, maka Pemerintah perlu melakukan
beberapa perubahan/penyesuaian untuk mengadopsi tujuan dan karakteristik MDF yang agak berbeda dengan tujuan PT. SMI saat ini. Selain itu, PT. SMI juga mempunyai kepentingan untuk menghimpun modal dari luar, sehingga perlu menjaga credit rating yang baik. Memasukkan MDF sebagai suatu divisi
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
55
baru di PT. SMI akan membawa beberapa konsekuensi, misalnya perlunya pe nambahan sumber daya, penyesuaian terhadap aturan atau acuan pemberian pinjaman, mempengaruhi neraca keuangan PT. SMI, dan sebagainya.
Dalam skenario MDF sebagai anak perusahaan PT. SMI, PT. SMI bukanlah
satu-satunya pemegang saham, tetapi idealnya ada dua atau tiga pemegang saham lainnya. Penyertaan modal Pemerintah dititipkan melalui PT. SMI karena PT. SMI mempunyai bisnis yang sejalan dan kompetensi yang sesuai untuk menjadi pengawas/shareholder dari MDF. Pendirian MDF sebagai anak perusa haan PT. SMI perlu dikaji lebih serius, terutama aspek proses legal dan dam paknya terhadap kinerja dan operasional PT. SMI.
Untuk menjaga kepastian pengamanan pinjaman, BUMN MDF memerlu
kan beberapa skenario yang memerlukan campur tangan Pemerintah: 1. Saat ini BUMN tidak memiliki instrumen untuk mengamankan pinjaman ke daerah. Berbeda dengan PIP, maka PT. SMI atau BUMN MDF tidak me miliki kemampuan untuk melakukan intercept, yang berupa pemotongan DAU/DBH Pemerintah Daerah yang mengalami masalah dalam pengem balian pinjamannya. Oleh karena itu, salah satu aspek yang diusulkan oleh PT. SMI adalah diberikannya kemampuan untuk melakukan intercept yang berupa pemotongan DAU, untuk Pemda yang mengalami masalah da lam pinjamannya. Mekanisme ini dapat diberikan secara tidak langsung, artinya yang akan melakukan eksekusi dari intercept ini bukanlah PT. SMI, melainkan Kementerian Keuangan, selaku regulator dan Ditjen terkait yang akan melaksanakan pemotongan DAU kepada Pemda yang tidak mengembalikan pinjaman kepada BUMN MDF. Untuk itu perlu disusun desain kerja yang jelas antara Kementerian Keuangan dan BUMN MDF terkait dengan operasional intercept ini, misalnya bagaimana mekanisme agar Pemerintah bisa membayarkan uang tersebut ke MDF. 2. Opsi lain adalah dengan membuat rekening bersama (escrow account). Namun hal ini berpotensi melanggar aturan pelarangan memberikan kola teral (jaminan pinjaman) dari Pemda sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah tidak diperbolehkan men jadikan pendapatan daerah dan aset daerah sebagai jaminan pinjaman. Untuk itu, sebagai upaya untuk memperkuat penjaminan atas pinjaman
56
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
daerah, maka diusulkan agar Pasal 55 (2) UU No. 33 Tahun 2004 direvisi sehingga memungkinkan penjaminan kolateral untuk pinjaman daerah. 3. Untuk proteksi pinjaman, selain kedua kebijakan tersebut, pada dasarnya BUMN MDF juga dapat memberikan persyaratan komitmen dari Peme rintah Daerah untuk melakukan pembayaran pinjaman sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Salah satu bentuk yang dapat dilakukan adalah, setiap pinjaman daerah tersebut harus disetujui oleh DPRD dan dituangkan dalam suatu Perda (Peraturan Daerah) yang menyatakan ke sediaan Pemerintah Daerah untuk melunasi pinjaman sesuai tenor dan tidak tergantung pada pergantian pejabat kepala daerah. Praktek ini telah dilakukan oleh PIP, dan keliatannya cukup berhasil dalam mengelola pinjaman daerah yang telah diberikan oleh PIP. Pertanyaannya, seberapa jauh sebuah BUMN dapat menerapkan ketentuan ini kepada sebuah Pemerintah Daerah, termasuk DPRD. Sedikit berbeda dengan PIP, yang posisinya sebagai belanja investasi melekat pada fungsi Pemerintah Pusat, yang dapat menerapkan ketentuan penerbitan Perda tersebut. Mung kinkah BUMN MDF dapat menerapkan ketentuan ini untuk setiap pin jaman daerah yang akan diberikan? Hal ini membutuhkan kajian menge nai aspek legal formal dan teknis secara lebih mendalam. 4. Agar credit rating PT. SMI dapat terjaga, maka aktivitas MDF perlu dicatat kan dalam buku yang terpisah (sub-ledger). Pencatatan Penyertaan Modal Negara (PMN) awal untuk MDF sebagai hibah akan memberikan efek netral terhadap kinerja keuangan PT. SMI. Ini berlawanan dengan pencatatan PMN sebagai utang, yang antara lain dapat langsung menghempaskan Debt-to-Equity Ratio (DER) PT. SMI. 5. Di sisi lain, masuknya dana titipan untuk modal BUMN MDF melalui PT. SMI membuat pencatatan ekuitas PT. SMI meningkat. Yang patut dipikir kan adalah bagaimana supaya BUMN MDF ini dapat bekerja cepat sehing ga modal kerjanya cepat tersalurkan sebagai investasi jangka panjang. Dengan demikian, nilai Return on Equity (ROE) PT. SMI tidak menjadi turun akibat penempatan dana ke MDF.
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
57
4.5.2. Transisi dari BLU yang telah ada PIP sebagai BLU telah melakukan beberapa pinjaman ke daerah berbasis pro yek. Model pinjaman yang dijalankan oleh PIP adalah suatu model pinjaman pemerintah sebagai bagian dari kebijakan fiskal, atau dengan kata lain, PIP sebagai BLU menjalankan fungsi belanja investasi Kementerian Keuangan. Hal ini berbeda dengan MDF yang bukan bertindak sebagai spending agent dari Kementerian Keuangan untuk menyalurkan dana APBN. Sebagai BLU, PIP terikat pada sistem birokrasi dan mempunyai tujuan dan aktivitas sendiri. PIP sendiri saat ini telah mempunyai kapasitas dan metode untuk menjalankan tugas tersebut.
BLU—seperti yang dibahas pada aspek institusional—memiliki beberapa
keterbatasan sistem yang tidak mendukung tujuan MDF seperti yang diusul kan. Sebagai bagian dari exercise untuk mengelaborasi semua kemungkinan pendirian MDF dalam jangka pendek, seandainya PIP akan mengemban tugas sebagai MDF, maka ada beberapa hal yang harus dicarikan solusinya, terutama: (a) apakah PIP dapat mengubah konsep pemberian pinjaman dari projectbased ke entity-based? Pinjaman MDF disematkan pada kemampuan Pemda (capacity of borrower) sebagai entitas debitur yang akan bertanggung jawab untuk menjalankan proyek dan membayar kembali pinjaman, bukan pada kemampuan proyek untuk menghasilkan penerimaan dan membayar pinjam an, (b) bagaimana dampak MDF terhadap sistem yang melingkupi PIP jika MDF memerlukan penghimpunan dana atau menerima dana hibah sebagai komponen insentif pada calon peminjam, dan (c) apakah konsep MDF yang ramping dan independen dapat terwujud jika didirikan sebagai bagian dari PIP yang telah mapan dengan kondisi tersendiri untuk melaksanakan bebe rapa tugas lain yang diamanatkan pada PIP.
Mandat PIP sebagai pengelola kekayaan negara untuk diinvestasikan
(sovereign wealth fund) sesuai dengan PP No. 1 Tahun 2008 sangat luas baik dalam skala maupun cakupan tujuan manfaat. Di lain pihak, tujuan dan skala MDF sangat spesifik tetapi memerlukan keleluasaan ruang gerak yang sulit dilakukan jika masuk dalam sistem birokrasi. Dalam melaksanakan tugasnya yang besar tersebut, PIP sebagai lembaga yang relatif baru tampaknya masih dalam proses, karena jumlah modal kelolaan yang belum tersalurkan masih cukup besar.
58
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Seandainya MDF dimasukkan ke dalam PIP, maka ada tambahan tugas
baru untuk PIP dan kondisi baru yang memerlukan penyesuaian yang tidak sederhana untuk mencapai tujuan MDF. Hal ini berpotensi mengganggu PIP dalam menjalankan tujuan dan tugasnya saat ini, dan mungkin menuntut “pe ngorbanan” PIP jika mengutamakan memenuhi konsep MDF. Dalam jangka menengah, MDF yang ideal adalah berbentuk BUMN, hal ini merupakan fak tor yang harus dipertimbangkan secara serius: apakah PIP atau divisi MDF PIP dalam jangka menengah bisa ditransformasikan ke dalam bentuk BUMN?
Untuk tetap memegang teguh hasil analisis kelembagaan, dimana ben
tuk terbaik untuk MDF adalah berupa BUMN, maka opsi jangka pendek dengan “menitipkan” fungsi MDF kepada PIP dilakukan melalui sebuah mekanisme transisi secara bertahap yang dapat diilustrasikan dalam Gambar berikut ini:
Gambar 14. Tahapan Transisi PIP Menuju BUMN Pelaksana MDF
Gambar 14 menunjukkan ilustrasi tahapan transisi jika fungsi MDF dalam
jangka pendek diintegrasikan ke dalam PIP. Karena MDF mempunyai karak teristik dan tujuan tersendiri, maka untuk membuat PIP dapat melaksanakan dengan segera fungsi MDF ini, diperlukan sebuah penugasan baru oleh Men teri Keuangan. Dalam statusnya sebagai sebuah BLU dengan beberapa keter
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
59
batasan, maka fungsi utama MDF yang pertama akan dilaksanakan oleh PIP adalah memberikan pinjaman daerah. Walaupun PIP saat ini telah melakukan pinjaman daerah, namun pinjaman yang akan diberikan oleh PIP sebagai MDF tidak terbatas pada project based financing namun juga entity based financing untuk infrastruktur daerah yang tidak menghasilkan penerimaan (non-revenue generating project). Sumber pembiayaan PIP dalam melaksanakan fungsi MDF ini adalah dana kelolaan PIP yang belum disalurkan yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, agar Indonesia memiliki sebuah
MDF yang kuat dan strategis sebagai institusi pembiayaan infrastruktur dae rah, maka bentuk MDF yang optimal adalah berupa BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Oleh karena itu, diperlukan sebuah itikad yang besar untuk mewujud kan cita-cita ini. Salah satu bentuk komitmen yang dapat dilakukan pemerintah adalah saat menugaskan pelaksanaan fungsi MDF kepada PIP, Menteri Keuangan juga memberikan batasan waktu transisi fungsi MDF di dalam PIP. Dalam skenario yang dibuat oleh kajian ini, Menteri Keuangan menetapkan waktu transisi selama 3 tahun bagi MDF untuk berada dalam PIP dengan tugas utama melakukan penyaluran pinjaman daerah untuk infrastruktur daerah, baik revenue maupun non-revenue generating projects. Setelah itu, PMK menyatakan sebuah komitmen untuk menjadikan MDF sebagai BUMN pada tahun ke-4, dengan fungsi yang lebih luas yaitu tidak saja menyalurkan pin jaman tapi juga memiliki kemampuan menghimpun modal dari sumber di luar pemerintah.
Di masa depan MDF diharapkan menjadi BUMN yang tumbuh dan sinam
bung, dengan jumlah modal yang makin meningkat. Dengan kemampuan MDF untuk beritengrasi ke Pasar Modal, maka tidak hanya BUMN MDF yang akan mendapatkan keuntungan untuk menghimpun modalnya sendiri, tetapi juga membuka kemungkinan buat menawarkan bonds paket investasi proyek Pemda secara kumpulan.
4.5.3. Transisi dengan BLU Baru Alternatif lain yang dipertimbangkan adalah membentuk MDF sebagai suatu BLU baru. Dalam konteks konsep ideal MDF seperti yang dituliskan sebelumnya pada subbab ini, pada masa depan MDF akan berbentuk BUMN. Mendirikan
60
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
BLU baru dengan maksud tidak mengganggu sistem di PIP sebagai pilihan tran sisi, karena untuk mencapai tujuan efektif MDF perlu dalam format BUMN.
Jadi kondisi yang disyaratkan adalah BLU MDF hanyalah bersifat semen
tara, untuk kemudian ditransformasikan sebagai BUMN baru. Secara biaya (termasuk biaya perubahan, biaya administrasi, dan sebagainya), membentuk BLU baru ini akan lebih murah dibanding mengubah PIP, karena hal ini terkait dengan tujuan utama PIP sebagai Sovereing Wealth Fund, yang perlu menye suaikan dengan fungsi MDF untuk melakukan pinjaman daerah yang memiliki risiko besar terutama untuk non-revenue generating projects.
Namun pada akhirnya harus tetap diingat bahwa secara konteks tujuan
besar, yaitu untuk menjadi sebuah MDF potensial dalam jangka menengah dan jangka panjang, maka pengalaman internasional membuktikan bahwa bentuk BLU baru inipun bukanlah bentuk optimal untuk sebuah pendirian MDF. Jadi, bila opsi membentuk BLU baru ini yang akan dipilih, maka diperlu kan juga sebuah tahapan, yang memungkinkan bahwa bentuk BLU ini akan menjadi bentuk BUMN di dalam jangka menengah. Tahapan yang akan ditem puh kurang lebihnya mirip dengan tahapan transisi dengan BLU yang sudah ada (PIP).
MDF Sebagai Alternatif P embiayaan I nfrastruktur Daerah di I ndonesia
61
Desain Kebijakan
5
‘‘
D
esain kebijakan yang mencakup insentif, struktur modal, model pengelolaan dan kriteria penting lainnya diperlukan sebagai koridor untuk mencapai tujuan yang diinginkap. Pemilihan Opsi jangka pendek diikuti dengan persyaratan kondisi untuk mempersiapkan MDF menjadi BUMN setelah tiga tahun.
’’
5.1. Desain Insentif
Insentif dapat diberikan dalam bentuk fiskal dan non-fiskal. Insentif fiskal dapat diberikan dalam bentuk subsidi modal, subsidi bunga pinjaman, atau masa tenggang waktu memulai cicilan pembayaran.
Subsidi modal cocok untuk proyek berskala menengah-besar atau untuk
Pemerintah Daerah (Pemda) yang tidak mempunyai keleluasaan besar dalam kapasitas fiskalnya. Seperti halnya dalam dukungan Vialibity Gap Funding (VGF) yang diberikan pemerintah melalui Permenkeu No.223/PMK.011/2012 untuk proyek PPP, insentif biaya konstruksi dapat diberikan hanya jika kriteria
62
tertentu dipenuhi, misalnya: ukuran proyek minimal Rp 100 miliar dan subsidi tidak mendominasi dari keseluruhan nilai proyek. Keunggulan dari subsidi modal adalah menurunkan biaya proyek yang ditanggung pembangun se hingga dapat menekan ongkos pengembalian, misalnya melalui user charges yang lebih rendah.
Gambar 15. Desain Insentif MDF
Subsidi bunga pinjaman memberikan efek psikologis “pinjaman murah”
bagi Pemerintah Daerah peminjam, walaupun dalam kalkulasi total pemberi pinjaman, subsidi bunga dapat diatur pada nilai yang sama dengan subsidi modal. Subsidi ini akan meningkatkan popularitas MDF sehingga cocok un tuk alat marketing. Meskipun demikian, bunga pinjaman yang terlalu rendah dapat menimbulkan insentif psikologis seakan proyek tersebut proyek murah yang tidak membutuhkan komitmen tinggi. MDF dapat memanfaatkan sub sidi bunga dengan menetapkan bunga pinjaman di bawah bunga komersial yang berlaku tetapi tidak terlalu rendah, sehingga tetap menutup biaya ope rasi, cost of funds, dan menambah akumulasi modal. Pada saat ini tingkat
DE SAI N K E B I J AK AN
63
bunga PIP berada pada kisaran 9% per tahun dengan masa tenggang 12 bulan, sedangkan dari studi TADF tahun 2012 diperkirakan angka 3% sebagai tingkat bunga pinjaman yang dianggap Pemda sesuai. Dari pengalaman TNDUF, biaya operasional berada pada kisaran di bawah 0,5%, sehingga jika MDF dapat beroperasi secara efisien, tingkat bunga 3%-5% sudah cukup untuk menutup semua biaya dan tujuan di atas yang mencakup biaya operasi, biaya pinjaman/ekuitas, dan tambahan modal.
Masa tenggang memulai pengembalian utang atau grace period me
rupakan penundaan yang dapat dikuantifikasi dan dihitung secara ekuivalen sebagai subsidi fiskal, karena adanya konsep time value of money. Penundaan cicilan memberikan ruang bagi Pemda untuk melakukan konsolidasi anggaran dan menerima manfaat proyek sebelum memulai kewajiban cicilan.
Selain insentif fiskal, dimungkinkan untuk memberi insentif non-fiskal
yang berupa: fasilitas bantuan teknis untuk persiapan proyek (Project Develop ment Fund / PDF), pembangunan kapasitas penyelenggara proyek di daerah (capacity building), bantuan teknis untuk perbaikan sistem di Pemda, serta bantuan untuk mendapatkan credit rating dari pemeringkat. Insentif nonfiskal ini penting untuk meningkatkan kemampuan Pemda dalam meren canakan, melaksanakan dan mengelola proyek infrastruktur, membangun sistem yang lebih baik untuk Pemda yang lebih kredibel, kompeten, dan transparan, serta mengurangi risiko kegagalan.
5.2. Struktur Modal Struktur modal awal MDF dapat berupa 100% modal atau dengan komposisi modal-utang. Modal murni dapat menekan biaya pinjaman, jika dipandang dari sisi neraca keuangan institusi karena tanpa cost of funds; walaupun oppor tunity cost dari alokasi tersebut harus dipertimbangkan dari sisi kebijakan fiskal. Mengingat bahwa tujuan MDF adalah meningkatkan investasi infrastruktur daerah yang menjadi permasalahan nasional selama dekade terakhir, maka justifikasi opportunity cost menjadi valid. Sumber modal murni dapat berasal dari Pemerintah atau Non Pemerintah seperti ilustrasi pada Gambar 16.
64
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Gambar 16. Alternatif Sumber Modal Bagi MDF
Konsekuensi pilihan modal atau utang yang berasal dari Pemerintah
adalah potensi munculnya problem soft budget constraint dimana pengelola MDF akan merasa dana tersebut lunak dan tidak ada sanksi keras jika tidak bisa memenuhi target. Kecenderungan untuk disiplin dalam pengelolaan dana akan semakin tinggi jika dana tersebut terikat dengan kondisi yang ketat dan konsekuensinya ditegakkan. Biasanya hal ini berlaku jika entitas kreditur ada lah entitas yang berbeda dari pengelola, semisal kreditur utang dari pemerin tah/lembaga internasional/swasta dan pengelola dari kalangan profesional independen.
Selain itu, utang yang berasal dari lembaga luar negeri mempunyai kon
sekuensi fiskal ke APBN, melalui kewajiban pemerintah sebagai debitur. Karena itu, salah satu proposal modal yang patut dipertimbangkan adalah komposisi ekuitas dominan dari Pemerintah ditambah ekuitas/utang langsung dari lembaga non-pemerintah yang tidak berbentuk two-step loan. Tetapi utang dari lembaga non-pemerintah mungkin akan didapat pada tingkat bunga lebih tinggi dari 2,5% sehingga tidak mungkin MDF memberikan pinjaman dengan kisaran bunga 3%.
Pilihan terbaik untuk tahap awal pendirian adalah komposisi modal murni
campuran, yaitu berasal dari APBN dan pemodal lainnya. Pemilik modal lain nya bisa berasal dari mana saja, sepanjang komposisi saham mereka cukup
DE SAI N K E B I J AK AN
65
signifikan untuk memberi suara dan melakukan pengawasan aktif, tetapi tidak tunggal sehingga tidak ada dominasi satu pemilik modal.Ke depannya, terbuka kemungkinan MDF menambah utang sebagai modal kerja tambahan, misalnya melalui penerbitan bonds.
5.3. Model Pengelolaan Pengelolaan MDF harus bersifat independen, profesional, dan efisien. Dewan direksi dipagari oleh prinsip hard budget constraint sehingga tidak ada dana tambahan Pemerintah untuk menutup kerugian karena kesalahan manajemen. Sistem reward and punishment juga harus mengacu pada pasar, sehingga MDF mampu menarik best talents di kalangan profesional dan fleksibel untuk mengganti direktur dan staf yang tidak berhasil dalam menjalankan misi MDF. Harus dibuat Key Perpormance Indicator (KPI) yang jelas dan terukur sebagai target kerja pengelola dan acuan evaluasi.
Gambar 17. Model Pengelolaan
5.4. Proteksi Pinjaman Pinjaman selalu mengandung risiko gagal bayar (Non-Performing Loan/NPL). Lembaga pinjaman harus mempunyai cara untuk meminimasi risiko gagal ini. Dalam kasus pinjaman dari Pemerintah ke daerah yang dilakukan oleh Men teri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa oleh Menteri Keuangan (ter
66
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
masuk PIP), sanksi bagi daerah penunggak melalui pemotongan DAU dan atau DBH telah diatur dalam PMK No 47/PMK.07/2011 , dengan memperhati kan kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan. Intersep ini memberikan satu sistem pengaman dari NPL bagi PIP. Hal ini membuka satu opsi kemungkinan apakah MDF dapat menggunakan sistem intersep dana transfer sebagai pembayaran otomatis ketika Pemda gagal bayar.
Gambar 18. Proteksi Pinjaman
Cara pengamanan pinjaman lainnya adalah melalui pemanfaatan escrow
account atau rekening khusus proyek yang dapat diakses oleh kreditur. Escrow account dapat dijadikan rekening yang memakai auto-debet untuk pembayaran cicilan pada saat Pemda tidak gagal bayar, atau membayar cicil an otomatis saat Pemda gagal bayar ke rekening kreditur.
Selain itu, patut diperhatikan PP No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman
Daerah, pasal 5 yang menyatakan bahwa (i) Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain, dan (ii) Pendapatan Daerah dan/atau barang milik daerah tidak dapat dijadikan jaminan Pinjaman Daerah. Hal ini akan berpengaruh pada jenis pelaksana proyek yang ditunjuk Pemda, apakah terpisah atau merupakan bagian dari Pemda. Selain itu pendapatan dan aset daerah tidak dapat dijadikan kolateral pinjaman. Dari sini terlihat bahwa peraturan yang ada saat ini membatasi ruang gerak pinjaman yang berbasis proyek sehingga MDF akan menganut konsep pinjaman berbasis entitas peminjam (Pemda). Ini juga merupakan konsep pinjaman yang
DE SAI N K E B I J AK AN
67
dilakukan oleh TNUDF. Proyek merupakan alasan legal bagi daerah untuk mengajukan proposal pinjaman ke MDF tetapi kemampuan meminjam dan membayar pinjaman akan diputuskan berdasarkan kondisi dan kapasitas Pemerintah Daerah tersebut. Dalam hal ini, MDF menyediakan solusi bagi Pemda untuk membangun infrastruktur yang menyediakan layanan publik walaupun tidak menghasilkan pemasukan atau cashflow proyek tidak cukup untuk mencapai titik impas utang.
Sistem pengaman yang mungkin dipilih akan dikaji lebih jauh lagi –ter
masuk kelebihan dan kekurangannya– dalam studi teknis pendirian MDF. Secara prinsip, ada dua hal yang menjadi spirit sistem tersebut: (i) memilih peminjam yang mempunyai risiko gagal minimal, dan (ii) mempunyai exit stra tegy untuk menyelesaikan NPL. Karena itu proses penyaringan bagi Pemda yang ingin mengajukan pinjaman akan menjadi filter pertama dan utama sebelum memutuskan memberikan pinjaman. Hal ini sesuai dengan konsep MDF yang memberi pinjaman dengan mengutamakan penilaian terhadap profil peminjam, bukan hanya profil proyek.
5.5. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam Kriteria peminjam merupakan hal yang paling penting karena sistem tidak menginginkan adanya kegagalan secara struktural. Jika Pemda memang be lum mampu meminjam, maka seharusnya mendapatkan sumber pembiayaan lain seperti hibah. Pinjaman diberikan hanya pada daerah yang mempunyai kapasitas untuk membayar pinjaman.
Kriteria peminjam secara umum mencakup dua hal, pertama adalah
kriteria yang menunjukkan potensi kemampuan meminjam, dan kedua adalah kemampuan meyakinkan kreditur. Pengertian pertama mencakup kondisi ekonomi dan keuangan daerah sedangkan kriteria kedua berkaitan dengan hal teknis semisal membuat proposal yang memenuhi syarat dan menunjukkan komitmen yang serius.
68
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Gambar 19. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam
Potensi daerah untuk meminjam ditunjukkan oleh beberapa penilaian
yang mencakup: a) keadaan ekonomi daerah, b) kinerja anggaran, c) du kungan politik daerah, d) kapasitas manajemen proyek, e) transparansi dan akuntabilitas, f) strategi pembiayaan (belanja modal) dan pengelolaan utang, dan g) jaminan yang dapat diberikan.
Kemampuan daerah untuk meyakinkan kreditur ditunjukkan antara lain
melalui: a) proposal meminjam yang memenuhi standar, dan b) kemampuan bernegosiasi dan menunjukkan komitmen. Kedua hal ini berkaitan erat de ngan kapasitas Pemda. Tampaknya cukup banyak Pemda yang mampu me menuhi kriteria pertama, yaitu kondisi ekonomi dan keuangan daerah yang memenuhi syarat, tetapi belum tentu mempunyai kemampuan untuk mem buat proposal pinjaman dan bernegosiasi. Hal ini mendukung adanya sistem yang diusulkan sebelumnya yaitu alokasi dana insentif non-fiskal dalam ben tuk Capacity Building dan Technical Assistance.
Barang publik lokal yang berkaitan dengan kualitas kesejahteraan ma
syarakat dan pendukung aktivitas ekonomi masyarakat umumnya dimiliki oleh daerah Kabupaten dan Kota. Tetapi Pemerintah Provinsi juga memiliki wewe
DE SAI N K E B I J AK AN
69
nang untuk membangun jalan provinsi, rumah sakit provinsi, sistem integrasi antar daerah untuk air bersih, sanitasi dan lingkungan, dan beberapa barang publik provinsi lainnya. Berdasarkan FGD dan penyebaran kuesioner yang di lakukan pada tahun 2012, yang mencakup Provinsi dan Kabupaten/Kota, di temukan bahwa potensi meminjam untuk membangun infrastruktur muncul dari kedua jenis pemerintahan. Dengan demikian, diusulkan bahwa MDF da pat meminjamkan dana infrastruktur baik kepada Pemerintah Provinsi mau pun Pemerintah Daerah, sepanjang memenuhi kriteria jenis infrastruktur dan kriteria pinjaman.
Pembahasan mengenai eligibitas Pemerintah Daerah untuk meminjam
tidak akan dapat lepas dari pembahasan mengenai tunggakan pinjaman daerah saat ini. Saat ini ratusan Pemerintah Daerah dan BUMD tercatat me miliki total tunggakan kepada Pemerintah Pusat dari rejim pinjaman masa lalu berupa Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah sebesar hampir 30 triliun rupiah (Direktorat Jenderal Perbendaharaan, 2012). Apabila dihitung secara kasar dengan menggunakan asumsi sederhana sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku saat ini, dimana seluruh Pemerintah Daerah dapat meminjam hingga 75% dari kapasitas APBD me reka, dengan total defisit nasional sebesar 2,5%, maka sesungguhnya kapa sitas maksimal Pemerintah Daerah untuk menyerap pinjaman daerah untuk infrastruktur dari berbagai sumber dapat mencapai angka 91 triliun rupiah. Dengan adanya tunggakan pinjaman daerah kepada Pemerintah Pusat warisan masa lalu, angka itu turun menjadi sekitar 60 triliun rupiah.
Salah satu problematika penyelesaian tunggakan tersebut adalah keti
dakjelasan mekanisme pembayaran kembali. Karena itu, diperlukan suatu stra tegi untuk penyelesaian tunggakan pinjaman daerah masa lalu untuk mem perbesar kapasitas Pemerintah Daerah dalam menyerap pinjaman, sekaligus juga menyelesaikan kendala administrasi di beberapa Daerah yang secara kapasitas fiskalnya mampu meminjam tetapi terdiskualifikasi karena masih memiliki tunggakan pinjaman dari masa lalu.
70
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
5.6. Kelembagaan MDF Dari uraian sebelumnya tentang berbagai bentuk institusi yang telah diela borasi untuk membentuk MDF yang independen, profesional, dan efisien, kita sampai pada solusi ideal yang mengerucut pada pembentukan sebuah BUMN baru. Jika Pemerintah memilih melakukan hal ini, maka perlu disiapkan draft PP dan kerjasama dengan Kementerian Negara BUMN. Keperluan pem bangunan infrastruktur daerah perlu direspon secepatnya melalui berbagai jalan yang mungkin. Jika Pemerintah menginginkan pendirian MDF dalam jangka pendek, strategi yang mungkin diambil adalah memilih opsi dengan proses administrasi dan politik yang sesederhana mungkin.
Opsi yang tersedia adalah mendirikan MDF sebagai salah satu divisi
PT SMI. Jika MDF dititipkan di bawah PT SMI maka proses pembentukan akan lebih sederhana tetapi masih perlu kajian lebih dalam mengenai efektivitas bentuk ini. Dengan tujuan dan tugas MDF yang spesifik dan cukup kompleks karena memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah yang diikat oleh berbagai peraturan perundangan, maka pendirian divisi MDF pada PT SMI berpotensi menambah beban PT SMI saat ini dan berpotensi mengganggu tujuan utama didirikannya PTSMI. Selain itu, usulan untuk mempunyai kom posisi modal campuran antara pemerintah (>50%) dan pihak swasta lainnya, tidak sesuai dengan status PT SMI yang sahamnya 100% dimiliki pemerintah.
Opsi selanjutnya adalah membentuk MDF sebagai anak perusahaan
PT SMI. Jika pemerintah memilih untuk mendirikan MDF sebagai salah satu anak perusahaan PT SMI, sebaiknya pemilik modal adalah campuran, bukan hanya PT SMI. Dari sisi legal formal, proses yang diperlukan tidak rumit yaitu melalui keputusan RUPS. Tetapi untuk pemodalan, permintaan dana baru dari APBN memerlukan persetujuan dari Kementerian Keuangan dan juga dari DPR. Hal ini bisa menjadi kendala serius dari sisi waktu.
Pilihan lainnya yang terbuka adalah mendirikan MDF sebagai bagian
dari PIP (Pusat Investasi Pemerintah). Sebagai BLU yang sudah beroperasi dan dibawah otoritas penuh Menteri Keuangan pilihan ini adalah pilihan yang mungkin bisa dilaksanakan dalam waktu yang paling singkat dibanding opsi lainnya. Selain itu, opsi terakhir yang mungkin adalah pendirian BLU MDF (baru) sebagai transisi ke BUMN. BLU ini bisa mendapatkan modal yang
DE SAI N K E B I J AK AN
71
disuntikkan dari PIP sebagai bagian dari investasi PIP. Kedua opsi terakhir ini hanya memerlukan keputusan pada tingkat Peraturan Menteri Keuangan.
Dua pilihan terakhir, yaitu MDF dalam bentuk BLU atau bagian dari PIP
harus dipandang sebagai proses transisi menuju PT. MDF, demi menjaga agar di masa depan fungsi dan tujuan MDF tercapai. Proses transisi ini harus diberi kerangka yang jelas dan terukur, termasuk: (i) lama waktu transisi, (ii) proses yang dilakukan pada masa transisi, (iii) prinsip yang harus diterapkan oleh MDF PIP atau BLU MDF, dan (iv) model pengelolaan MDF PIP atau BLU MDF. Lama waktu transisi sebaiknya dibatasi maksimum 3 tahun, dengan pertimbangan bahwa waktu tersebut cukup untuk mempersiapkan PP BUMN dan melakukan koordinasi serta sosialisasi. Sementara itu MDF PIP selama masa 3 tahun ini diharapkan sudah melakukan fungsinya yang men cakup membangun sistem seperti SOP, audit, dan sebagainya, serta menya lurkan pinjaman, membantu membangun kapasitas Pemda, dan mengaku mulasikan pengalaman dan pengetahuan (experience and knowledge accum mulation).
Proses yang perlu dilakukan adalah merumuskan model pengelolaan
MDF yang akan dilakukan pada saat MDF menjadi BUMN, melakukan moni toring dan evaluasi dari pinjaman yang disalurkan untuk menyempurnakan SOP, dan membuat rencana pengelolaan dan penghimpunan modal sebagai BUMN.
5.7. Kerjasama dengan Entitas Lain Jika MDF didirikan, baik sebagai BUMN baru, maupun sebagai BLU MDF, tetap dimerlukan kerjasama dengan berbagai pihak. MDF dapat menjalin kerjasama dengan PT SMI dalam penyediaan Technical Assistance dan Capacity Building bagi Pemda. Kerjasama juga dapat dilakukan dengan PIP, terutama untuk menangani aspek administrasi daerah yang dipelajari dari pengalaman PIP memberikan pinjaman ke daerah.
72
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Gambar 20. Kerjasama MDF dengan Entitas Lain
Selain itu, kerjasama dengan pihak yang relevan dan kompeten di bidangnya akan sangat membantu efektivitas dan percepatan pekerjaan MDF. Pihak luar ini semisal lembaga penilai kelayakan proyek, konsultan dalam bidang analisis investasi yang spesifik, lembaga pemeringkat, konsultan manajemen proyek, penilai dampak lingkungan, perbankan, dan sebagainya. Kerjasama ini diper lukan untuk mendukung konsep lembaga MDF yang ramping, independen dan profesional; sehingga pekerjaan yang bersifat tidak reguler dan berubahubah sebaiknya dilakukan dalam bentuk outsourcing.
Prinsip di atas juga berlaku jika Pemerintah memilih mendirikan MDF di
bawah PIP sebagai transisi. MDF bisa memanfaatkan kompetensi PIP dan be kerjasama dengan pihak lain. Apapun keputusan Pemerintah mengenai ben tuk MDF, masih memerlukan studi mengenai aspek legal formal dan teknis, yang diturunkan dari prinsip-prinsip yang diuraikan dalam laporan ini. Peme rintah juga perlu memperhatikan dan memberikan batasan timing yang tepat: mulai dari kegiatan tindak lanjut, waktu terbentuknya MDF, dan masa transisi (jika bukan BUMN) sampai target 3 tahun pertama dari MDF ini.
DE SAI N K E B I J AK AN
73
6
Kesimpulan dan Rekomendasi
L
aporan ini mengelaborasi alasan dibutuhkannya pendirian MDF dengan prinsip dasarnya di Indonesia, serta memuat aspek kelembagaan dan teknis yang terkait. Dapat disimpulkan bahwa MDF dibutuhkan sebagai
salah satu alternatif untuk mengisi celah pembiayaan infrastruktur daerah. MDF tidak mengeliminasi atau bersaing dengan institusi lain yang sudah ada, tetapi bersifat melengkapi. Dengan karakteristiknya yang tersendiri, tugas MDF tidak akan mengganggu tugas PIP atau PT. SMI.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi, kebutuhan infra
struktur akan terus meningkat. MDF bukanlah suatu one-stop-solution yang dapat menyelesaikan segala permasalahan pembiayaan infrastruktur daerah. Di masa depan diharapkan berbagai alternatif pembiayaan infrastruktur dae rah dengan skema yang lebih maju—seperti penerbitan obligasi daerah dan implementasi PPP untuk daerah—akan lebih berkembang.
Laporan ini mengusulkan bahwa, MDF di Indonesia sebaiknya didesain
sebagai first-tier lender, yakni sebagai pemberi pinjaman tangan per tama/langsung kepada Pemerintah Daerah. Tujuan MDF harus dibuat fokus dan terukur sehingga mudah untuk bergerak dan dievaluasi. Jenis proyek/ subsektor yang dapat dibiayai dari pinjaman MDF harus dibatasi dan jelas. Kriterianya adalah barang publik lokal yang menjadi tugas Pemda, terutama:
74
(i) infrastruktur dasar: air bersih, sanitasi, pengelolaan sampah, transportasi (jalan, jembatan, terminal umum), irigasi; (ii) infrastruktur kesehatan (RS dan fasilitas kesehatan lainnya), dan (iii) infrastruktur pendidikan: sekolah dasarmenengah.
Secara institusional MDF idealnya berbentuk BUMN dengan modal
kombinasi dari APBN (dominan) dan sumber lainnya. Pada awal pendirian MDF, sebaiknya modal tidak mengandung utang. Ketiadaan utang dalam dana awal MDF dimaksudkan untuk menghindari cost of funds yang tinggi, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi tingginya bunga kepada Peme rintah Daerah selaku peminjam. Utang juga mengandung konsekuensi tam bahan beban fiskal jangka panjang, terutama kepada APBN. Tetapi di masa depan, MDF memungkinkan untuk mempunyai utang sebagai tambahan modal kerja. Bentuk BUMN dianggap paling tepat untuk mengakomodasi peran negara sebagai institusi yang independen, profesional, dan cukup fleksibel dalam mengelola (termasuk menghimpun dan menyalurkan) dana serta tidak membebani keuangan negara dalam jangka panjang. APBN juga tidak akan terpapar dengan berbagai potensi risiko yang dihadapi MDF.
Laporan ini juga memaparkan berbagai opsi pendirian MDF dalam
jangka pendek beserta berbagai konsekuensinya, yaitu memulai MDF dari BUMN yang ada saat ini (PT. SMI), memulai MDF dari BLU yang ada saat ini (PIP) maupun membuat BLU baru. Masing-masing memiliki kele bihan dan kelemahannya sebagai pilihan jangka pendek. Dari pembahasan sebelumnya, kajian ini mengusulkan jika pemerintah memilih opsi jangka pendek (BLU) maka dibatasi hanya untuk waktu maksimal 3 tahun, dan selanjutnya ditransformasikan ke dalam bentuk BUMN, karena bentuk optimal MDF –yang telah terbukti dengan pengalaman internasional– adalah bentuk BUMN.
Pemodalan dari beberapa sumber diusulkan untuk meningkatkan azas
kepatuhan Good Corporate Governance (GCG) dengan pengawasan yang lebih baik dari beberapa pemegang saham utama. Idealnya, selain pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas (perkiraan sekitar 51-60%) ada 2-3 pemo dal lain dengan komposisi saham masing 15-20%. Dengan demikian, penga wasan akan cukup efektif tapi tidak rumit. Penyertaan modal pemerintah da pat dititipkan melalui sebuah BUMN yang telah memiliki fokus infrastruktur,
K esimpulan dan R ekomendasi
75
misalnya PT. SMI, sehingga prosedur berdirinya MDF sebagai anak perusahaan dari BUMN yang sudah ada akan lebih sederhana jika dibandingkan dengan mendirikan MDF sebagai BUMN yang baru.
Untuk menentukan besaran modal MDF yang optimal, dibutuhkan studi
yang lebih mendalam mengenai analisis kebutuhan pinjaman daerah, teruta ma untuk mengidentifikasi daerah yang memiliki proyek potensial sebagai pilot project MDF. Namun, dalam perkiraan kasar sementara, modal awal MDF adalah sebesar Rp 3-4 triliun, yang disuntikkan bertahap selama 3 tahun.1 MDF akan mempunyai paling tidak dua akun terpisah, yang pertama untuk mengadministrasikan pinjaman pada Pemda, dan yang kedua untuk mem biayai dukungan non-fiskal (capacity building, bantuan teknis, persiapan un tuk mendapatkan credit rating, dan sebagainya).
MDF memberi pembiayaan untuk proyek yang diusulkan oleh Pemerintah
Daerah; baik proyek dengan skala satu Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, mau pun proyek berskala antardaerah (antar Provinsi/Kabupaten/Kota). Pembiayaan diberikan apabila proyek dan kreditur memenuhi kriteria-kriteria tertentu, de ngan fokus penilaian kelayakan pada profil peminjam (Pemda yang bersang kutan).
Untuk menjamin agar MDF dibentuk dan dioperasikan sesuai dengan ha
rapan, perlu dilakukan studi mendalam mengenai berbagai aspek, yang antara lain mencakup kebutuhan pinjaman daerah dan upaya membentuk kesiapan pasar, simulasi biaya modal, struktur dan komposisi modal, biaya operasional, income stream, alokasi subsidi, persentase pembiayaan outsourcing, struktur organisasi, target kinerja, sistem insentif, kriteria proyek dan pinjaman, financing windows (pemisahan dana untuk kebutuhan terpisah), dan hubungan kerja sama dengan pihak lain.
1
Dengan modal awal Rp 1 triliun di tahun pertama, dan ditambahkan tiap tahun sampai tahun ketiga, MDF akan beroperasi dengan menangani sekitar 2-4 peminjam baru setiap tahun. Asumsi yang dipakai adalah: rata-rata lama pinjaman 10 tahun ditambah grace period 2 tahun atau selama masa konstruksi, bunga 3-4%, profit ditahan menjadi akumulasi kapital sampai 3 tahun pertama, alokasi dana untuk subsidi project preparation adalah 10% dari modal, dan biaya operasional maksimal 1% dari modal tahun pertama.
76
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Daftar Pustaka
Alm, James. 2010. Municipal Finance of Urban Infrastructure: Knowns and Unknowns. Massachusetts. Wolfensohn Center for Development. Bank Dunia. 2009. Indonesia--The Rise of Metropolitan Regions: Towards Inclusive and Sustainable Regional Development. Diakses melalui http://www.urbanknowledge.org/ur/docs/Indonesia_Report.pdf pada 1 September 2013. Bank Dunia. 2012. Indonesia Water Investment Roadmap 2011-2014. Diakses melalui http://water.worldbank.org/sites/water.worldbank.org/files/ publication/WATER-Indonesia-Water-Investment-Roadmap-20112014.pdf pada 1 September 2013. Bank Dunia. 2013a. Indonesia Economic Quarterly: Pressure Mounting. Diakses melalui http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/docu ment/EAP/Indonesia/IEQ-MARCH-2013-English.pdf pada 1 September 2013. Bank Dunia. 2013b. Planning, Connecting, and Financing Cities Now: Priorities for City Leaders. Diakses melalui http://siteresources.worldbank.org/ EXTSDNET/Resources/Urbanization-Planning-Connecting-Financing2013.pdf pada 23 November 2013. Bank Dunia. 2013c. Program Pembangunan Perkotaan Nasional (P3N) Bap penas.
77
Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2012. Ancaman Alami, Bencana Tidak Alami: Ekonomi untuk Pencegahan yang Efektif (Natural Hazards, Unnatural Disasters: The Economics of Effective Prevention). Jakarta. Penerbit Salemba Empat. Burki, Shahid J., dan Guillermo E. Perry. 1998. Beyond the Washington Con sensus: Institutions Matter. World Bank. Davey, Kenneth J. 1988. Municipal Development Funds and Intermediaries (Vol. 32). World Bank Publications. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan. 2010. Data Pinjaman Daerah SLA, RDI, dan RPD. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan. 2012. Data Pinjaman Daerah SLA, RDI, dan RPD. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. 2012. Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2000-2012. Gyawali, Hemant. 1997. A Case Study on Municipal Development Fund in Nepal. USAID. Lewis, Blane D. 2007. On-lending in Indonesia: Past Performance and Future Prospects. Bulletin of Indonesian Economical Studies, 43(1), 35-58. North, D. C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Perfor mance. Cambridge University Press. Peterson, George. 1996. Using Municipal Development Funds to Build Muni cipal Credit Markets. World Bank, Washington DC. Peterson, George E. dan Annez, Patricia Clarke. 2007. Financing Cities: Fiscal Responsibility and Urban Infrastructure in Brazil, China, India, Poland and South Africa. New Delhi. SAGE Publication. Sadewa, Puraya Yudhi. 2013. Meningkatkan Peran PIP Dalam Pembiayaan Infra struktur Indonesia. Danareksa Research Institute. Serageldin, Mona, David Jones, François Vigier and Elda Solloso. 2008. Muni cipal Financing and Urban Development. Nairobi. UN Habitat. Simatupang, Wita. 2008. “Conurbations in Java, Indonesia”, prosiding 44th ISOCARP Congress 2008, diakses melalui http://www.isocarp.net/data/ case_studies/1279.pdf pada 28 November 2013.
78
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Siregar, Soritaon. 2013. Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur Daerah. Disampai kan dalam Investment Gathering dan Workshop Pinjaman Daerah Pu sat Investasi Pemerintah, Kementerian Keuangan, Batam 4 Juli 2013. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF). 2012. Potensi Penyediaan Pinjaman Lunak ke Daerah untuk Pembiayaan Infra struktur. Jakarta: DJPK Kementerian Keuangan. Venkatachalam, Pritha. 2005. Innovative Approaches to Municipal Infrastruc ture Financing: A Case Study on Tamil Nadu, India. London. Development Studies Institute LSE. United Nations, Department of Economic and Social Affairs (UNDESA). 2012. 2011 Revision of World Urbanization Prospects. Diakses melalui http:// esa.un.org/unup/pdf/FINAL-FINAL_REPORT%20WUP2011_Annex tables_01Aug2012_Final.pdf pada 1 September 2013. Utomo, Wahyu. 2013. Peran PIP dalam Pembangunan Infrastruktur Daerah. Disampaikan dalam Investment Gathering dan Workshop Pinjaman Daerah Pusat Investasi Pemerintah, Kementerian Keuangan, Batam 4 Juli 2013. Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No. 8/2007 jo Peraturan Pemerintah No. 1/2008 tentang Investasi Pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 66/2007 tentang Penyertaan Modal Negara Repu blik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur Peraturan Pemerintah No. 85/2010 jo No. 104/2012 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur Peraturan Pemerintah No. 30/2011 tentang Pinjaman Daerah Peraturan Menteri Keuangan No.223/PMK.011/2012 Peraturan Menteri Keuangan No 47/PMK.07/2011
DAFTAR PU STAK A
79
Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER-02/BL/2012 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1005/KMK.05/2006 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 Keputusan Menteri Keuangan No. 396/KMK.01/2009 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 91/KMK.05/2009 Keputusan Menteri Keuangan No. 100/KMK.06/2011 www.bps.go.id www.datastatistik-indonesia.com www.iif.co.id www.iigf.co.id www.ptsmi.co.id www.pip-indonesia.com www.smf-indonesia.co.id www.tnuifsl.com
80
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Lampiran
8.1. Rangkuman Mengenai Findeter dan TNUDF1 8.1.1. Findeter Di Kolombia, bank komersial belum memiliki pengalaman meminjamkan ke pada Pemerintah Daerah hingga akhir 1990an. Pasar pembiayaan daerah ber kembang semenjak ada stimulasi dari Financiera de Desarrollo Territorial (Findeter). Findeter, yang didirikan pada 1989 sebagai lembaga keuangan semi-publik yang independen secara hukum, bertindak sebagai pemberi pin jaman tangan kedua (second-tier) yang mendorong pemberi pinjaman tangan pertama/komersial (first-tier) untuk membiayai Pemerintah Daerah. Dengan menurunkan biaya pinjaman, Findeter meningkatkan minat bank komersial untuk memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah.
Findeter merediskon pinjaman yang disalurkan oleh bank komersial
kepada Pemerintah Daerah; metode ini dapat membuat penyaluran pinjaman kepada Pemerintah Daerah lebih atraktif secara finansial bagi bank komersial. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa Pemerintah Daerah mengajukan aplikasi pinjaman kepada bank komersial. Bank komersial dan Findeter kemudian menilai aplikasi tersebut, dan, jika disetujui, bank komersial kemudian mem
1
Disadur dari Bank Dunia (2013b) dan rangkuman dari FGD dengan Rajivan Krishnaswamy (Eks-CEO TNUDF) dan Dianna Bonilla Pereira (Findeter).
81
berikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Findeter, pada gilirannya, akan memberikan pendanaan kepada bank komersial dengan suku bunga terdiskon yang sudah disepakati sebelumnya. Bank komersial ini bertanggungjawab penuh untuk mengembalikan pendanaan yang telah diperoleh dari Findeter, terlepas dari kinerja pembayaran dari Pemerintah Daerah. Sehingga, seluruh risiko kredit ditanggung oleh bank komersial. Pemerintah Daerah juga harus membuat rekening khusus (escrow account) tempat penyimpanan transfer dari Pemerintah Pusat. Bank komersial memiliki hak utama untuk memotong penerimaan Pemerintah Daerah melalui rekening tersebut, apabila telah jatuh tempo. Bank komersial, kemudian meneruskan penjaminan ini kepada Findeter. Sehingga, apabila bank peserta mengalami masalah likuiditas, Findeter tetap dapat mengumpulkan cicilan (lihat gambar di bawah).
Findeter telah mendorong bank komersial untuk menawarkan pinjaman
jangka panjang kepada Pemerintah Daerah pada tingkat suku bunga yang menarik. Findeter juga memungkinkan pembiayaan jangka panjang hingga 15 tahun, dimana jangka pinjaman biasanya hanya 3-5 tahun. Dalam kurun waktu 1990 hingga 2003, Findeter telah menyalurkan pembiayaan sebesar 2 miliar dollar AS dalam bentuk pinjaman kepada lebih dari 700 kota, dan pada 2006 hingga 2010, jumlah yang disalurkan adalah 4 miliar dollar AS. Di samping itu, Findeter dapat menjaga tingkat pinjaman bermasalah di ba wah 2 persen.
Findeter telah sukses menunjukkan dirinya sebagai lembaga keuangan
yang sehat. Meskipun pada awalnya Findeter bergantung kepada sokongan dari donor—terutama dari Inter-American Development Bank dan Bank Du nia—pendapatan dari pinjaman yang sedang berjalan telah dapat membiayai lebih dari 78 persen aktivitasnya sejak 2006. Selain itu, Findeter telah men capai credit rating lokal setingkat AAA (dari Duff & Phelps), yang telah mem bantunya mengakses sumber pendanaan yang lebih murah.
82
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Gambar 21. Operasional Findeter Sumber: diterjemahkan dari Bank Dunia (2013b)
8.1.2. TNUDF Pada akhir tahun 1990an, Pemerintah Daerah Tamil Nadu di India menghadapi tantangan untuk memenuhi kebutuhan investasi infrastruktur dan menambah suplai untuk layanan dasar perkotaan yang masih sangat kurang. Kondisi ini disebabkan oleh terbatasnya kapasitas teknis dan finansial dari Pemerintah Daerah, dan kurangnya pembiayaan jangka panjang. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mendirikan Tamil Nadu Urban Development Fund (TNUDF) pada 1996 sebagai perantara pembiayaan pertama di India yang merupakan kerjasama publik dan swasta, yang bertujuan untuk memperbaiki pembiayaan jangka panjang untuk infrastruktur perkotaan di Tamil Nadu. Selain itu, cakupan luas TNUDF termasuk menarik dana swasta ke dalam infra struktur perkotaan dan mefasilitasi akses Pemerintah Daerah kepada pasar modal.
TNUDF memiliki kerangka institusional dan manajerial yang efisien. TNUDF
merupakan badan hukum yang otonom, di luar pemerintah, dan juga memi liki bagian ekuitas dari 3 lembaga keuangan swasta di India. Struktur ini men dukung hubungan positif dengan sektor privat, dan memfasilitasi pengambilan keputusan investasi yang efisien.
L AM PI R AN
83
TNUDF menarik dana swasta dengan penerbitan obligasi dan memfasilitasi skema pembiayaan yang inovatif seperti credit pooling, sekuritisasi, dan pembiayaan publik-swasta. -
Penerbitan obligasi. Pada tahun 2000, TNUDF telah berhasil menerbitkan obligasi domestik (59,3 juta dolar AS) dengan rating LAA, yang menan dakan tingkat keamanan tinggi dan risiko sedang, berkat posisi keuangan TNUDF yang kuat. Di India, obligasi tersebut menjadi penerbitan obligasi tak beragun (unsecured) dan tak bergaransi (nonguaranteed) pertama yang sukses oleh suatu lembaga perantara pembiayaan.
-
Penghimpunan pembiayaan. TNUDF mewadahi fasilitas credit pooling untuk pembiayaan Pemerintah Daerah yang memiliki kapasitas pembi ayaan terbatas, terutama daerah-daerah kecil. Dalam skema ini, proyekproyek air dan sanitasi yang kecil kemudian dihimpun bersama dalam satu penerbitan obligasi, untuk kemudian dibayar kembali lewat pene rimaan proyek. Penerbitan ini menerima rating AA dari Fitch.
Gambar 22. Operasional TNUDF Sumber: diterjemahkan dari Bank Dunia (2013b)
84
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
-
Sekuritisasi. TNUDF menstrukturkan refinancing (pembiayaan kembali) dari proyek Bypass Madurai, proyek jalan toll pertama yang berbasis user charge. Setelah fasilitas tersebut mulai menciptakan penerimaan, Peme rintah Daerah kemudian menerbitkan obligasi untuk membiayai kembali pinjaman yang dilakukan oleh TNUDF pada tingkat bunga yang lebih rendah. Obligasi tersebut terjual sepenuhnya kepada bank-bank dan investor lainnya.
-
Pembiayaan PPP. TNUDF membantu refinancing (pembiayaan kembali) dari jembatan Karur, jembatan berbayar pertama di India dengan skema pembiayaan PPP Build-Operate-Transfer (BOT). Penerbitan obligasi dijamin dengan kontrak yang memungkinkan pembangun/pemilik untuk meningkatkan tarif hingga 8 persen per tahun. Proyek tersebut memiliki kontribusi modal yang besar dari pembangun/pemilik.
Tinggal pembayaran kembali yang tinggi (sekitar 98 persen) telah me
mungkinkan TNUDF untuk membiayai dan mendukung proyek infrastruktur perkotaan yang lebih luas (181 pinjaman kepada 732 Pemerintah Daerah dengan total kumulatif pinjaman disetujui sebanyak 95 juta dollar AS pada Februari 2012). Selain itu, keberhasilan TNUDF juga berkat dukungan berbagai donor seperti Bank Dunia, ADB, ICA, dan grup perbankan KfW di Jerman.
8.2. Hasil Survei Awal Kepada Pemangku Kepentingan Pinjaman Daerah Tentang Minat Terhadap MDF 8.2.1. Latar Belakang Studi Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) ta hun fiskal 2012 mengenai pinjaman daerah menyimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memerlukan suatu bentuk intervensi untuk menggalakkan pinjaman daerah. Kesimpulan tersebut terutama didasari oleh temuan bahwa skema-skema pinjaman daerah yang telah ada tidaklah cukup efisien, efektif, serta atraktif bagi Pemerintah Daerah selaku calon debitur. Faktor yang men jadi penghalang antara lain adalah bunga pinjaman yang tinggi, serta biro
L AM PI R AN
85
krasi yang panjang yang harus ditempuh Pemda untuk dapat menerima pin jaman (TADF, 2012).
Pada tahun fiskal 2013, TADF menindaklanjuti studi tersebut dengan
mengeksplorasi kemungkinan Municipal Development Fund (MDF) sebagai bentuk intervensi yang dapat mengatasi kelesuan pinjaman daerah dan membantu Pemda mendapatkan sumber dana untuk membangun infrastruktur non-komersil. Sebagai bagian dari studi, diadakan beberapa Focus Group Discussion (FGD) bersama beberapa pemangku kepentingan untuk memperoleh respon mereka terhadap ide MDF.
FGD yang pertama diadakan 3 September 2013 di Jakarta, terdiri dari 3
sesi: (i) internal Kementerian Keuangan, (ii) pihak regulator lembaga keuangan serta lembaga keuangan bank dan non-bank, (iii) lembaga donor. FGD yang kedua dan ketiga diadakan di Jakarta dan Surabaya, pada 17 dan 20 September 2013, yang masing-masing menyasarkan ke Pemerintah Daerah (DKI Jakarta, dan Indonesia bagian Timur).
Selain itu, Tim juga mengadakan FGD dengan ahli MDF India (Rajivan
Krishnaswamy, Eks-CEO TNUDF) dan ahli MDF Kolombia (Dianna Bonilla Pereira, Direktur Penelitian dan Pengembangan Findeter) di Hotel Borobudur Jakarta, 25-27 November 2013.
86
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
8.2.2. Hasil & Analisis 8.2.2.1. Kebutuhan Infrastruktur & Minat Meminjam Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah memiliki kebutuhan yang tinggi untuk membangun in frastruktur yang non-revenue generating, dibandingkan dengan infrastruktur yang revenue-generating/komersil (misalnya MRT, monorel). Kebanyakan infrastruktur non-komersil yang dibutuhkan oleh Daerah adalah jalan, jem batan, sanitasi (pengolahan sampah & limbah), serta air. Data dari 9 Peme rintah Daerah yang disurvei menunjukkan bahwa jumlah proyek infrastruktur non-komersil yang terencanakan selama 5 tahun mendatang adalah hampir 2 kali lipat jumlah infrastruktur komersil.
Dalam membangun infrastruktur, Pemerintah Daerah masih sangat
mengandalkan sumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dibandingkan dengan sumber-sumber dana lainnya. Temuan yang cukup menarik adalah bahwa responden Pemerintah Daerah mengandalkan PPP di peringkat kedua sebagai sumber pembiayaan pembangunan infra struktur (terutama transportasi massal MRT dan monorel), meskipun sampai saat ini di Indonesia belum ada satupun proyek berskema PPP yang telah ber jalan. Beberapa Daerah mendapatkan pinjaman untuk pembangunan infra struktur dari Pemerintah Pusat dengan skema Penerusan Pinjaman Luar Negeri (PPLN), tetapi pinjaman ini dikeluhkan karena sifat perencanaannya yang top-down, serta anuitas yang dirasakan kurang adil, dimana besaran bunga yang harus dibayarkan jauh melebihi pinjaman pokok.
L AM PI R AN
87
Namun, kritik terhadap Penerusan Pinjaman Luar Negeri tidaklah menyu
rutkan minat Pemerintah Daerah untuk mendapatkan pinjaman. Meskipun keputusan Pemerintah Daerah untuk meminjam juga sangat dipengaruhi oleh Kepala Daerah yang sedang menjabat, sebagian besar Pemerintah Dae rah responden masih memiliki rencana melakukan pinjaman untuk memba ngun infrastruktur. Pinjaman daerah tersebut dilakukan baik dengan peng ajuan pinjaman ke lembaga keuangan bank dan non-bank (misal Pusat Inves tasi Pemerintah), maupun dengan penerbitan obligasi. Sayangnya, regulasi pinjaman daerah yang rigid menghambat tumbuhnya pinjaman daerah. Aki batnya, pinjaman kepada lembaga keuangan harus menjalani birokrasi yang panjang seperti yang dituntut oleh regulasi (umumnya memakan waktu 1-2 tahun), sedangkan penerbitan obligasi hanya dibatasi melalui pasar modal, sehingga membutuhkan kapasitas Pemerintah Daerah yang tinggi untuk dapat menangani segala aspek yang berkaitan. Untuk penerbitan obligasi, Pemerintah Daerah responden masih dalam taraf meningkatkan kapasitas melalui berbagai bantuan teknis Pemerintah Pusat dan mitra pembangunan.
88
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Dengan berbagai kendala yang dihadapi untuk dapat melakukan pin
jaman daerah—dimana kendala-kendala tersebut seyogyanya bermuara pada regulasi pinjaman daerah yang rigid—Pemerintah Daerah menjadi menaruh harapan tinggi kepada Pemerintah Pusat sebagai penyelia pinjaman.
8.2.2.2. Respon Pemerintah Daerah terhadap Ide MDF Indonesia dirasakan memerlukan suatu institusi yang berperan sebagai Mu nicipal Development Funds (MDF) untuk menampung permintaan Pemerintah Daerah terhadap sumber pembiayaan multi-year untuk infrastruktur nonkomersil. Sebagian besar Pemerintah Daerah responden berminat memanfa atkan pinjaman lunak jangka panjang dari Pemerintah Pusat untuk infra struktur. Perlu dicatat bahwa responden Pemerintah Provinsi DKI (diwakili Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) menjawab “Tidak” hanya untuk situasi saat ini, dan tidak menutup kemungkinan bahwa DKI juga ingin men dapatkan pinjaman lunak jangka panjang dari Pemerintah Pusat di masa mendatang. 1, 14%
A pakah P emerintah Daerah berminat memanfaatkan pinjaman lunak jangka panjang dari P emerintah P us at untuk infras truktur? Iya 6, 86%
Tidak
R es ponden: 7 Pemerintah Daerah: - 2 Pemerintah Provinsi - 5 Pemerintah Kabupaten/Kota
L AM PI R AN
89
Atas MDF sebagai penyalur pinjaman lunak jangka panjang dari Peme
rintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, sebagian besar responden dari ber bagai latar belakang menjawab bahwa pendirian MDF memiliki urgensi yang tinggi, dengan berbagai alasan.
Institusi responden yang merasa MDF memiliki urgensi tinggi, berpen
dapat bahwa fasilitas pinjaman daerah MDF dapat menjadi terobosan untuk dapat mengatasi masalah laju pertumbuhan kebutuhan infrastruktur yang jauh melampaui laju kapasitas pembangunan Daerah. Fasilitas pinjaman dae rah MDF juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan Pemerintah Daerah akan sumber pembiayaan infrastruktur yang dikelola secara profesional dan akuntabel. Di sisi lain, pinjaman daerah juga menuntut Pemerintah Daerah menjadi lebih transparan.
Sedangkan institusi responden yang merasa pendirian MDF belum pen
ting berpendapat bahwa skema-skema pinjaman daerah yang ada saat ini su dah cukup mumpuni, hanya belum dioptimalkan. Juga, apabila fasilitas pin jaman daerah MDF dikelola oleh Pemerintah Pusat bukan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, maka akan timbul risiko bagi Pemerintah Pusat jika terjadi gagal bayar. Selain itu, ide mengenai MDF ini dipandang belum me miliki kejelasan dari aspek kelembagaan serta sumber pendanaannya.
90
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Institusi responden memiliki beberapa pendapat tentang prinsip-prinsip
apa sajakah yang harus dimiliki MDF sebagai fasilitas pinjaman daerah:
Di antara berbagai alasan, aspek good corporate governance menduduki
peringkat pertama. Institusi responden juga berpendapat penting bagi MDF untuk menjadi kekayaan negara yang dipisahkan agar risikonya tidak menular kepada keuangan negara. Bersamaan dengan itu, institusi responden merasa kan pentingnya MDF untuk memiliki segi kelembagaan yang jelas agar tidak terjadi tumpang tindih fungsi, karena saat ini juga terdapat Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang berbentuk Badan Layanan Umum (BLU), dan PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang keduanya juga menjalankan fasilitas pinjaman daerah. Tidak kalah pen tingnya adalah bagaimana MDF dapat menjaga agar ongkos pinjaman cukup murah agar bunga yang dikenakan kepada Pemerintah Daerah tidaklah setinggi seperti skema-skema yang ada saat ini (yakni sebesar BI rate ditambah 2%
L AM PI R AN
91
apabila Pemerintah Daerah meminjam melalui PIP, atau sebesar bunga pasar apabila Pemerintah Daerah meminjam kepada lembaga keuangan bank).
Mengenai aspek kelembagaan, sebagian institusi responden tidak me
miliki gambaran siapakah yang seharusnya menjalankan peran sebagai MDF. Sedangkan jumlah responden yang memiliki pendapat MDF seharusnya dija lankan oleh/bukan oleh PIP adalah berimbang. Responden yang menjawab MDF dapat dijalankan oleh PIP berpendapat bahwa PIP cukup profesional dan telah memiliki mandat yang sesuai, sedangkan sebaliknya, responden yang menjawab MDF harus dijalankan oleh lembaga selain PIP berpendapat bahwa PIP memiliki tujuan yang berbeda dengan MDF, juga PIP memiliki keterbatasan dana dan skala prioritas.
92
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
Institusi responden berpendapat bahwa tantangan yang akan ditemui
dalam pendirian MDF sebagai fasilitas pinjaman kepada Pemerintah Daerah terutama akan berupa tantangan dari segi regulasi, institusi, serta sumber pendanaan.
Mengenai sumber pendanaan untuk MDF, sebagian besar institusi res
ponden (terutama dari pihak lembaga keuangan dan regulatornya) berpen dapat bahwa sumber dana haruslah datang dari Pemerintah Pusat. Sedangkan sebagian besar responden Pemerintah Daerah sendiri justru berpendapat bahwa dana untuk MDF dapat berasal dari Pemerintah Pusat dan Swasta, di mana adanya bagian swasta diharapkan akan dapat meningkatkan profesio nalisme MDF yang pada akhirnya juga akan menekan ongkos pinjaman. Res ponden Pemerintah Daerah juga berharap bahwa di masa depan, MDF harus dapat menghimpun dana dari masyarakat, agar dapat berkesinambungan.
8.2.2.3. Kesimpulan •
Pemerintah Daerah membutuhkan sumber pembiayaan untuk pemba ngunan infrastruktur yang dapat diandalkan selain APBD, terutama un tuk membangun infrastruktur non-komersil.
•
Pemerintah Daerah berharap kepada Pemerintah Pusat untuk dapat me nyediakan fasilitas pinjaman daerah jangka panjang yang atraktif dan efisien.
L AM PI R AN
93
•
MDF, sebagai bentuk intervensi untuk menggalakkan pinjaman daerah untuk pembangunan infrastruktur, mendesak untuk segera didirikan. MDF harus menjunjung aspek good corporate governance, berupa keka yaan negara yang dipisahkan agar meminimalkan risiko terhadap ke uangan negara, serta memiliki kelembagaan yang jelas.
•
Pendirian MDF akan menemui tantangan terutama dari segi regulasi, institusi, serta sumber pendanaan.
•
Sumber pendanaan MDF dapat berasal dari Pemerintah Pusat maupun Swasta, dengan komposisi yang sesuai agar ongkos pinjaman menjadi murah. Ke depannya MDF harus dapat menghimpun dana dari masya rakat agar dapat berkesinambungan tanpa bantuan dari APBN.
8.2.2.4. Lampiran Kuesioner FGD 3 September 2013: Sesi Internal Kementerian Keuangan Untuk menggiatkan pinjaman/hibah daerah dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur, salah satu alternatif adalah dengan membangun institusi Municipal Development Fund. MDF akan difokuskan untuk mengelola pinjaman/hibah ke daerah untuk pembangunan infrastruktur.
1.
Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang urgensi pendirian MDF di Indo nesia? a)
Penting
b)
Saat ini belum penting
c)
Tidak Perlu didirikan
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ........... 2.
MDF dapat dikembangkan berbasis institusi PIP (Pusat Investasi Pemerin tah). Menurut Bapak/Ibu, apa hambatan yang akan ditemui bila MDF dikembangkan dalam PIP?
94
a)
…………………………………
b)
…………………………………
c)
…………………………………
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
3.
Sebaliknya, apa hambatan bila MDF dikembangkan secara terpisah dari PIP?
4.
a)
…………………………………
b)
…………………………………
c)
…………………………………
Menurut Bapak/ibu, darimana sebaiknya sumber-sumber pendanaan untuk MDF? a)
Pemerintah
b)
Swasta
c)
Pemerintah dan Swasta
d)
Lainnya
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ........... 5.
Bagaimana menjamin keberlangsungan ketersediaan sumber dana untuk MDF? a)
Apakah selalu dianggarkan dalam APBN?
b)
Apakah sumber dana sebaiknya dari Pinjaman dan Hibah Luar Ne geri?
c)
Apakah sumber dana merupakan earmark dari salah satu komponen penerimaan negara?
6.
Prinsip-prinsip apa yang sepengetahuan Bapak/ibu perlu dimiliki oleh MDF bila hendak dibuat untuk Indonesia? …………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………
7. Tantangan apa yang perlu dipikirkan ke depan dalam membentuk MDF di Indonesia. a)
Jangka pendek
b)
Jangka menengah
c)
Jangka panjang
L AM PI R AN
95
8.2.2.5. Lampiran Kuesioner FGD 3 September 2013: Sesi Regulator & Lembaga Keuangan Untuk menggiatkan pinjaman/hibah daerah dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur, salah satu alternatif adalah dengan membangun institusi Municipal Development Fund. MDF akan difokuskan untuk mengelola pinjaman/hibah ke daerah untuk pembangunan infrastruktur.
1.
Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang urgensi pendirian MDF di Indo nesia? a)
Penting
b)
Saat ini belum penting
c)
Tidak Perlu didirikan
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: …………………………………...……… 2.
MDF dapat dikembangkan berbasis institusi PIP (Pusat Investasi Pemerin tah). Namun demikian MDF dapat juga berdiri sendiri, bagaimana pendapat Bapak/Ibu?
3.
a)
…………………………………
b)
…………………………………
Bagaimana peran Perbankan dan Lembaga Keuangan lainnya dalam hubungannya dengan MDF? a)
Bekerja-sama
b)
Competitive
c)
Lainnya
Mohon disampaikan argumentasinya. 4.
Menurut Bapak/ibu, darimana sebaiknya sumber-sumber pendanaan untuk MDF? a)
Pemerintah
b)
Swasta
c)
Pemerintah dan Swasta
d)
Lainnya
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ………………………………...…………
96
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
5.
Bagaimana menjamin keberlangsungan ketersediaan sumber dana untuk MDF? a)
Apakah selalu dianggarkan dalam APBN?
b)
Apakah sumber dana sebaiknya dari Pinjaman dan Hibah Luar Negeri?
c)
Apakah sumber dana merupakan earmark dari salah satu komponen penerimaan negara?
6.
Prinsip-prinsip apa yang sepengetahuan Bapak/ibu perlu dimiliki oleh MDF bila hendak dibuat untuk Indonesia? ……………………………………………………
7.
Tantangan apa yang perlu dipikirkan ke depan dalam membentuk MDF di Indonesia. a)
Jangka pendek
b)
Jangka menengah
c)
Jangka panjang
8.2.2.6. Lampiran Kuesioner FGD 3 September 2013: Sesi Lembaga Donor
The rate of infrastructure development in Indonesia has been slower. Under the context of fiscal decentralization, some sectors and types of infrastructure have been transferred to the Subnational Government (SNG) as local infrastruc ture. Regions usually complain for lacking of funds to build their infrastructure. MDF is one alternative to provide SNGs with additional source of funds to de velop infrastructure projects, in the form of loans, grants, or combination of both. 1.
What do you think about the idea of establishing an MDF (for infrastruc ture) in Indonesia? Why? On what factors that the government should pay careful attention?
2.
Currently, MOF has Government Investment Center (PIP= Pusat Investasi Investasi) that channel government’s money in some activities including
L AM PI R AN
97
equity in SOEs and loan for Subnational Government. Given broad objec tives assigned to PIP, some critics point the potential of ineffectiveness. The MDF will have a specific focus on lending to SNGs for infrastructure projects. Thus, MDF will be likely set up as a separate body outside PIP.
How do you see this option?
What are the potential problems and advantages of separating MDF from PIP?
3.
One possible structures of MDF is as follows:
While stages of MDF development are as follows:
To be able to work professionally, MDF should be equipped by majo
rity of market actors and some senior government officers. The merit-based salary and performance-based promotion will attract best talents from labor market in this field. MDF experts should consist of financial experts, civil engineers, project managers, lawyers, and investment analysts. The body should be kept small but of high productive.
98
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
The main function of MDF core team is to develop the efficient and
effective system, including the rules to ensure GCG compliance. It will involve several regulatory functions as mandated by Finance Minister. The tasks to assess detailed technical proposal can be done by independent assessor. The tasks to manage disbursement and collect repayment can also be delegated to appropriate institutions such as banks or other finan cial institutions.
In the next stage, MDF can take another focus on business develop
ment. The task of this division is to look at regional prospects, to encourage market for loans, to list the potential sectors/projects, and to work with other stakeholders in developing Subnational Government Rating System. We hope that in the future, SNG can have larger access to the capital mar ket directly or through MDF, thus MDF is a catalyst to achieve that goal. Could you please share your thoughts on this idea? 4.
What are possible and suitable sources of fund for MDF? Why?
5.
Could you share your thoughts on what you think it will be important aspect for Indonesian effort to establish MDF? It could from your knowledge or experience both from Indonesia and the world.
8.2.2.7. Lampiran Kuesioner FGD 17 September 2013: Pemerintah Daerah DKI Jakarta A. Keperluan Pembangunan Infrastruktur dan Pembiayaannya. 1.
Proyek-proyek pembangunan infrastruktur apa sajakah yang menjadi
2.
Darimanakah sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah
urgensi Pemda saat ini dan 5 tahun mendatang? tersebut? Apakah dari APBD saja? Adakah sumber-sumber yang berasal dari Hibah? 3.
Bagaimana Bapak/Ibu menentukan skema pembiayaan yang tepat (skema pembiayaan APBD murni, campuran APBN-APBD, PPP, Privatisasi, dsb) untuk suatu proyek infrastruktur di DKI?
L AM PI R AN
99
B. Pinjaman Daerah. 4.
Adakah rencana untuk melakukan pinjaman daerah untuk pembiayaan
5.
Dari siapakah diharapkan pinjaman daerah diperoleh? Pemerintah Pusat?
infrastruktur tersebut? Perbankan? Lainnya? 6.
Bagaimana proses penentuan keputusan meminjam untuk pembiayaan proyek infrastruktur di DKI? Apa kriterianya? Bagaimana urutan proses dilakukan dan siapa pengambil keputusan utama? Berapa lama biasanya waktu yang diperlukan dalam suatu proses keputusan pinjaman? Bagai mana Pemda menentukan cara/sumber pengembalian pinjaman? Apakah ada Tim Ahli yang merumuskan perhitungan dan memberikan rekomen dasi keputusan untuk meminjam atau tidak?
7.
Apa saja permasalahan yang dirasakan pemda untuk memperoleh pin jaman a)
Dari Pusat?
b)
Dari Perbankan?
c)
Dari Institusi lainnya?
d)
Dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP), pernahkan meminjam dan untuk apa?
8.
Apakah Pemda berniat menerbitkan Obligasi Daerah? Bila Tidak, sebutkan alasan-alasannya!
9.
Jika Pemerintah Pusat menyediakan fasilitas pinjaman lunak (tingkat bu nga 3%) jangka panjang untuk membiayai pembangunan infrastruktur di Daerah, apakah Pemerintah DKI Jakarta berminat memanfaatkannya?
10. Sektor/proyek apa yang akan dipilih untuk dibiayai dari pinjaman lunak tsb? 11. Menurut penilaian Bapak/Ibu dari sisi kapasitas fiskal dan kemampuan menyerap, berapa kisaran pinjaman lunak yang optimal untuk Pemda DKI (bisa dalam satuan nominal Rupiah, atau dalam persentase terhadap APBD/PAD/PDRB DKI)? 12. Pemerintah Pusat juga menyediakan fasilitas penjaminan dan dukungan fiskal untuk proyek dalam skema Public-Private Partnership (PPP). Tetapi sampai saat ini belum ada Pemda yang sudah merealisasikan skema ini dalam pembangunan proyek di daerah. Menurut Bapak/Ibu, apakah Pemda
100
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
DKI mempunyai proyek yang sesuai untuk diajukan sebagai proyek PPP? Apakah ada masalah/hambatan dalam merencanakan proyek dengan skema PPP? Jika ya, apakah hambatan tersebut?
C. Municipal Development Fund (MDF) 13. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang urgensi pendirian MDF di Indo nesia? a)
Penting
b)
Saat ini belum penting
c)
Tidak perlu didirikan
d)
Tidak tahu
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: …………………........………………….. 14. Menurut Pemda, permasalahan apakah yang akan ditemui bila di Indo nesia dibuat MDF? 15. Apakah Pemda berniat untuk melakukan pinjaman melalui MDF? 16. Menurut Bapak/Ibu, darimana sebaiknya sumber-sumber pendanaan untuk MDF? a)
Pemerintah
b)
Swasta
c)
Pemerintah dan Swasta
d)
Lainnya
17. Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ……………………………………………
8.2.2.8. Lampiran Kuesioner FGD 20 September 2013: Pemerintah Daerah Indonesia Bagian Timur
A. Keperluan Pembangunan Infrastruktur dan Pembiayaannya. 1.
Proyek pembangunan infrastruktur apa sajakah yang menjadi urgensi saat ini & 5 tahun mendatang?
2.
Darimanakah sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah tersebut? a) APBD
b) Hibah
c) Pinjaman
d) Lainnya
L AM PI R AN
101
3.
Bagaimana Bapak/Ibu menentukan skema pembiayaan yang tepat untuk suatu proyek infrastruktur di daerah Bapak/Ibu? a)
APBD Murni apabila …….
b)
Campuran APBN-APBD apabila……..
c)
Public Private Partnership (PPP) apabila…..
d)
Privatisasi apabila …………………..
B. Pinjaman Daerah. 4.
Adakah rencana untuk melakukan pinjaman daerah untuk pembiayaan infrastruktur tersebut? a)
Ada
b)
Tidak ada
Alasan :…………………………….. 5.
6.
Dari siapakah diharapkan pinjaman daerah diperoleh? a)
Pemerintah Pusat
b)
Perbankan
c)
Lainnya : (Sebutkan)
Mohon dijelaskan proses penentuan keputusan meminjam untuk pem biayaan proyek infrastruktur di daerah Bapak/Ibu dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut ini: a)
Apa kriteria proyek yang dibiayai pinjaman daerah?
b)
Bagaimana urutan proses dilakukan dan siapa pengambil keputusan utama?
c)
Berapa lama biasanya waktu yang diperlukan dalam suatu proses keputusan pinjaman? Bagaimana Pemda menentukan cara/sumber pengembalian pinjaman?
d)
Apakah ada Tim Ahli yang menghitung dan merekomendasikan keputusan meminjam?
7.
Uraikan beberapa permasalahan yang dirasakan pemda untuk memper oleh pinjaman a)
Dari Pusat?
b)
Dari Perbankan?
c)
Dari Institusi lainnya?
d)
Dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP), pernahkan meminjam dan untuk apa?
102
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH
8.
9.
Apakah Pemda berminat menerbitkan Obligasi Daerah? a)
Berminat.
b)
Tidak Berminat ( sebutkan alasannya)
Jika Pemerintah Pusat menyediakan fasilitas pinjaman lunak (tingkat bunga 3%) jangka panjang untuk membiayai pembangunan infrastruktur di Daerah, apakah Pemda berminat memanfaatkannya? a)
Berminat (Sebutkan Alasannya)
b)
Tidak Berminat (Sebutkan alasannya)
10. Sektor/proyek apa yang akan dipilih untuk dibiayai dari pinjaman lunak tsb? 11. Menurut penilaian Bapak/Ibu dari sisi kapasitas fiskal dan kemampuan menyerap, berapa kisaran pinjaman lunak yang optimal untuk Pemerintah Daerah? 12. Pusat juga menyediakan fasilitas penjaminan & dukungan fiskal dalam skema PPP. Tetapi sampai saat ini belum ada yang sudah merealisasikan. Menurut Bapak/Ibu, Pemda mempunyai proyek yang sesuai sebagai pro yek PPP? Apakah ada hambatan dalam merencanakan proyek dengan skema PPP? Jika ya, apakah hambatan tersebut?
C. Municipal Development Fund (MDF) 13. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang urgensi pendirian MDF di Indo nesia?
a)
Penting
b)
Saat ini belum penting
c)
Tidak perlu didirikan
d)
Tidak tahu
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ……………………………………………
14. Menurut Pemda, permasalahan apakah yang akan ditemui bila di Indo nesia dibuat MDF? 15. Apakah Pemda berniat untuk melakukan pinjaman melalui MDF? 16. Berminat 17. Kurang Berminat (alasan)
L AM PI R AN
103
18. Menurut Bapak/Ibu, darimana sebaiknya sumber-sumber pendanaan un tuk MDF?
104
a)
Pemerintah
b)
Swasta
c)
Pemerintah dan Swasta
d)
Lainnya
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ……………………………………………
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI A LT ERNA TI F PE M B I AYAAN I NFR ASTR U K TU R DAE R AH