Analisis Pajak, Retribusi, DAU, BHP dan BHBP: Sebuah Pendekatan Cluster (Studi Pada 8 Pemerintah Kota dan 29 Pemerintah Kabupaten di Propinsi Jawa Timur Periode 2002 – 2007) Abstract The purpose of this research is to mapping ability of region financial at 37 municipal in Province of Jawa Timur for 2002 – 2007 and to find out difference municipal revenue namely tax, retribution, share of tax result and no tax result also general allocation fund among one cluster with other cluster. The samples of study are realization of region expense and revenue budget in 2002 – 2007 at 37 municipal. The result of study with cluster test indicate there is 3 cluster namely semi independent cluster, independent cluster and independent cluster. The other result also indicate there is difference at research variables namely tax, retribution, share of tax result and no tax result and general allocation fund among one cluster with other cluster. Keyword: municipal, revenue, cluster,
1. Latar Belakang Secara geografis, demografis dan topografis masing-masing Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) di Propinsi Jawa Timur mempunyai perbedaan potensi sumber daya, baik Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), maupun Sumber Daya Ekonumi (SDE). Ada Pemkot/Pemkab yang mempunyai SDA yang berlimpah, tetapi ada pula Pemkot/Pemkab yang mempunyai SDA minim. SDM pada Pemkot/Pemkab pada satu wilayah memiliki pendidikan diatas rata serta kompetensi dan keahlian yang dapat dihandalkan, tetapi pada Pemkot/Pemkab lain, SDMnya masih dibawah rata-rata dan perlu adanya peningkatan skill dan kemampuan. Terdapat Pemkot/Pemkab dengan SDE yang baik, tetapi ada pula Pemkot/Pemkab yang masih perlu adanya pembekalan dan pelatihan untuk peningkatan SDE. Konsekuensi adanya keragaman dalam SDA, SDM dan SDE membuat Pemkot/Pemkab di Propinsi Jawa Timur mengalami perbedaan dalam penerimaan daerah berupa pajak dan retribusi maupun transfer dari Pemerintah Pusat/Propinsi berupa Dana Alokasi Umum (DAU). Hal ini akan menyebabkan Pemkot/Pemkab di Propinsi Jawa Timur akan terbagi atas wilayah mandiri, semi mandiri dan bergantung. Wilayah mandiri adalah wilayah yang mempunyai tingkat ketergantungan kepada Pemerintah Pusat/Propinsi relatif rendah dikarenakan pendapatan daerahnya relatif tinggi, sedangkan transfer dari pemerintah pusat relatif rendah. Wilayah semi mandiri merupakan wilayah yang mempunyai tingkat ketergantungan sedang disebabkan pendapatan daerahnya maupun transfer dari pemerintah pusat relatif sedang. Wilayah bergantung adalah wilayah yang mempunyai tingkat ketergantungan tinggi dikarenakan pendapatan daerahnya relatif kecil, sedangkan transfer dari pemerintah pusat relatif tinggi. Dengan adanya pengelompokkan wilayah-wilayah yang terbagi atas wilayah mandiri, semi mandiri, dan bergantung, maka Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat harus bersinergi dalam strategi dan kebijakan sehingga wilayah yang mandiri tetap dalam kondisi tersebut, sedangkan wilayah bergantung menjadi wilayah semi mandiri bahkan mandiri dan wilayah semi mandiri menjadi wilayah mandiri. Dengan adanya strategi dan kebijakan yang sinergi antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, maka kesenjangan keuangan, baik antar pemerintah daerah sendiri (horizontal
1
imbalances) maupun pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (vertical imbalances) dapat diberikan solusi serta tidak menjadi permasalahan ekonomi dan politik. Hal ini dikarenakan masalah keuangan terutama kesenjangan fiskal merupakan isu yang krusial dalam era otonomi ini. Untuk menentukan strategi dan kebijakan yang tepat, perlu dilakukan pemetaan keuangan daerah pada Pemkot dan Pemkab di Propinsi Jawa Timur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak dan retribusi, transfer antar pemerintah yang lebih tinggi berupa Bagi Hasil Pajak (BHP), Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Selama ini penelitian mengenai pemetaan keuangan daerah khususnya pada Pemkot/Pemkab di Propinsi Jawa Timur belum dilakukan. Untuk itu, penelitian ini akan memetakan keuangan daerah yang dalam hal ini terdiri dari pajak dan retribusi daerah, Dana BHP, Dana BHBP dan DAU pada Pemkot/Pemkab di Propinsi Jawa Timur. Tujuan penelitian ini untuk memetakan kemampuan keuangan daerah pada 8 Pemkot dan 29 Pemkab di Propinsi Jawa Timur pada Tahun 2002 – 2007 serta mengetahui perbedaan penerimaan pajak dan retribusi daerah, BHP, BHBP serta DAU antara cluster yang satu dengan cluster yang lain. 2. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis Pajak dan Retribusi Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Sumber-sumber penerimaan tersebut dapat berupa pajak dan retribusi. Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang (UU) No. 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Peraturan perundangundangan tersebut mengatur antara lain: jenis, objek, subjek, dasar pengenaan, dan tarif pajak daerah maupun retribusi daerah serta ketentuan umum yang mengatur tata cara pemungutan pajak dan retribusi. Selain jenis pajak dan retribusi yang diatur dalam UU dan PP tersebut, untuk daerah kabupaten/kota juga diberikan kewenangan menetapkan jenis pajak dan retribusi baru sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU, sedangkan untuk daerah propinsi hanya diberikan kewenangan untuk menetapkan jenis retribusi baru di luar yang ditetapkan dalam UU. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan retribusi daerah, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 27 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut hampir di semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teori maupun praktik merupakan jenis pungutan yang baik. Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif artinya kabupaten/kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 34 Tahun 2000 dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Besarnya tarif definitif untuk pajak kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda), namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU. Retribusi daerah terdiri atas 3 (tiga) golongan, yaitu: 1. Retribusi Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta
2
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan; 2. Retribusi Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemda dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta; 3. Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu Pemda dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Pada kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Timur pajak dan retribusi daerah antar kabupaten/kota mempunyai perbedaan dalam jumlah komponen dan cakupannya tersebut. Perbedaan tersebut dikelompokkan dalam cluster-cluster yang terdiri dari kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur berdasarkan dana pajak dan retribusi daerah. Mengacu pada hal tersebut, maka dapat dihipotesiskan sebagai berikut: HA1: Terdapat perbedaan antara cluster satu dengan cluster lainnya dalam hal penerimaan dana pajak daerah. HA2: Terdapat perbedaan antara cluster satu dengan cluster lainnya dalam hal penerimaan dana retribusi daerah. Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Pajak (BHP) adalah pembagian seluruh atau sebagian hasil hasil penerimaan pajak dari suatu tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkatan pemerintahan di bawahnya dalam rangka pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan adanya BHP ini dlatarbelakangi oleh: 1. Tingginya kebutuhan pembiayaan dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan di daerah, tidak seimbang dengan besarnya pendapatan daerah itu sendiri; 2. Keterbatasan kemampuan Pemerintah Daerah dalam pengumpulan dana secara mandiri; 3. Adanya jenis penerimaan pajak dan atau bukan pajak yang berdasarkan pertimbangan tertentu pemungutannya harus dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, namun obyek dan atau subyek pajaknya berada di daerah; 4. Memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah; 5. Memberikan insentif kepada daerah dalam melaksanakan program Pemerintah Pusat; 6. Memberikan kompensasi kepada daerah atas timbulnya beban dari kegiatan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat. Bagian BHP yang diterima oleh daerah ditentukan berdasarkan formula sesuai dengan peraturan yang berlaku. BHP terdiri dari: a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan; b. Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan: c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 25, dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Pada kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Timur dana BHP antar kabupaten/kota mempunyai perbedaan dalam jumlah komponen dan cakupan dana BHP tersebut. Perbedaan tersebut dikelompokkan dalam cluster-cluster yang terdiri dari kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur berdasarkan dana BHP. Mengacu pada hal tersebut, maka dapat dihipotesiskan sebagai berikut: HA3: Terdapat perbedaan antara cluster satu dengan cluster lainnya dalam hal penerimaan dana BHP. Bagi Hasil Bukan Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP) berasal dari: a. Penerimaan kehutanan yang berasal dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; b. Penerimaan pertambangan umum yang berasal dari penerimaan iuran tetap (landrent)
3
dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; c. Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional yang dihasilkan dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan; d. Penerimaan pertambangan minyak yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; e. Penerimaan pertambangan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; dan f. Penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagian Pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. Pada kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Timur dana BHBP antar kabupaten/kota mempunyai perbedaan dalam jumlah komponen dan cakupan dana BHBP tersebut. Perbedaan tersebut dikelompokkan dalam cluster-cluster yang terdiri dari kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur berdasarkan dana BHBP. Mengacu pada hal tersebut, maka dapat dihipotesiskan sebagai berikut: HA4: Terdapat perbedaan antara cluster satu dengan cluster lainnya dalam hal penerimaan dana BHBP. Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan transfer pemerintah Pusat kepada Daerah bersifat “Block Grant” yang berarti kepada Daerah diberi keleluasaan dalam penggunaannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah dengan tujuan untuk menyeimbangkan kemampuan keuangan antar Daerah. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto (PDN) yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). PDN Neto merupakan penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada Daerah. DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan penghitungan DAU-nya ditetapkan sesuai Undang-Undang (UU). DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan umum. Layanan umum antara lain penyediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan infrastruktur, dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto perkapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Jumlah penduduk merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan pelayanan publik di setiap daerah. Luas wilayah merupakan variabel mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah daratan. Indeks Kemahalan Konstruksi merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relatif antar daerah. Produk Domestik Regional Bruto merupakan cerminan potensi dan aktivitas perekonomian suatu daerah yang dihitung berdasarkan total output produksi kotor dalam suatu wilayah. Indeks Pembangunan Manusia merupakan variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Kebutuhan pendanaan suatu Daerah dihitung dengan pendekatan total pengeluaran rata-rata nasional. Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan DBH di luar Dana Reboisasi. Proporsi DAU antara daerah propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan
4
kewenangan antara propinsi dan kabupaten/kota. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah kabupaten/kota. Bobot daerah kabupaten/kota merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh daerah kabupaten/kota. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi hasil celah fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Pemerintah Pusat merumuskan formula dan penghitungan DAU dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). DPOD adalah lembaga independen yang dibentuk guna memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka penyelenggaraan kebijakan Desentralisasi. Pada kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Timur celah fiskal dan alokasi dasar berbeda-beda antar kota/kabupaten. Selain itu, juga adanya perbedaan terkait dengan kebutuhan pendanaan yang diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto perkapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Perbedaan tersebut dikelompokkan dalam cluster-cluster yang terdiri dari kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur berdasarkan penerimaan DAU. Mengacu pada hal tersebut, maka dapat dihipotesiskan sebagai berikut: HA5: Terdapat perbedaan antara cluster satu dengan cluster lainnya dalam hal penerimaan DAU. 3. Metoda Penelitian 3.1. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah laporan realisasi APBD Pemkot/Pemkab di Propinsi Jawa Timur. Sampel dalam penelitian ini adalah 37 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur yang terdiri dari 29 kabupaten dan 8 kota mulai tahun 2002 sampai tahun 2002 yang telah diadministrasikan dengan baik dan telah dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik dan Departemen Keuangan. 3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data kuantitatif yang meliputi data keuangan realisasi APBD yakni pajak, retribusi, BHP, BHBP dan DAU. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui dinas atau instansi yang terkait, yaitu Badan Pusat Statistik Jawa Timur serta secara online di situs-situs Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan yang berkaitan dengan variabel penelitian. 3.3. Metoda Analisis Berdasarkan pada hipotesis yang diajukan, maka metoda analisis yang digunakan dengan uji cluster. Pengujian cluster ini untuk memetakan variabelvariabel penelitian dalam cluster-cluster tertentu serta membedakan apakah ada perbedaan yang signifikan pada variabel-variabel tersebut antara cluster satu dengan cluster lainnya. Untuk memetakan tersebut digunakan K-Means Cluster, yaitu metode untuk menentukan cluster dimulai dengan menentukan terlebih dahulu jumlah cluster yang diinginkan, dalam hal ini tiga cluster yang dinamakan cluster mandiri, cluster semi mandiri dan cluster bergantung.
5
4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil Pengujian Variabel Dengan K-Means Cluster Hasil pengujian cluster dengan K-Means Cluster untuk menentukan pemetaan cluster dan perbedaan antara cluster satu dengan cluster yang lain pada masingmasing variabel yang diuji. Variabel-variabel yang diuji adalah pajak daerah, retribusi daerah, BHP, BHBP dan DAU. 4.2. Pemetaan Cluster Hasil pengujian pada variabel pajak, retribusi, BHP, BHBP, dan DAU dengan menggunakan uji K-Mean cluster dapat dilihat pada tabel 4.1. sebagai berikut ini. Tabel 4.1. uji K-Mean cluster Initial Cluster Centers
Pajak Retribusi Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum
Iteration 1 2 3 4 5 6 7
1 23684.590 20842.040 62884.330 52551.290 795059.000
Cluster 2 305405.050 166977.820 278157.210 432387.360 453753.000
3 285873.000 10212.650 11974.100 67098.000 121252.000
Iteration History(a) Change in Cluster Centers 1 2 3 300081.287 65333.457 305920.741 34358.229 140719.652 11356.375 16306.044 .000 6192.642 15875.446 .000 5592.033 5472.556 .000 2071.495 1842.869 .000 710.019 .000 .000 .000 Final Cluster Centers
Pajak Retribusi Bagi HasilPajak Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum
1 23782.564 21514.795 44386.337 30986.938 385147.000
Cluster 2 270597.077 153664.153 326334.483 275195.653 223541.959
3 9345.281 8802.061 21245.135 3791.910 429788.675
Berdasarkan tabel 4.1. tersebut terbentuk tiga cluster yang masing-masing cluster mempunyai ciri yang berbeda antara cluster satu dengan cluster lainnya. Cluster 1 mempunyai nilai pajak, retribusi, BHP, BHP yang sedang dan DAU yang sedang. Cluster 2 mempunyai nilai pajak, retribusi, BHP, BHP yang tinggi dan DAU yang rendah. Cluster 3 mempunyai nilai pajak, retribusi, BHP, BHP yang rendah dan DAU yang tinggi. Cluster 1 dapat dikatakan wilayah yang semi mandiri, hal ini dikarenakan nilai pendapatan daerah berupa pajak, retribusi, BHP dan BHBP adalah 6
sedang dan transfer dari pemerintah propinsi atau pemerintah pusat berupa DAU juga nilainya sedang. Cluster 2 dapat dikatakan wilayah yang mandiri, hal ini dikarenakan nilai pendapatan daerah berupa pajak, retribusi, BHP dan BHBP adalah tinggi dan transfer dari pemerintah propinsi atau pemerintah pusat adalah rendah. Cluster 3 dapat dikatakan wilayah yang bergantung, hal ini dikarenakan nilai pendapatan daerah berupa pajak, retribusi, BHP dan BHBP yang rendah dan transfer dari pemerintah propinsi atau pemerintah pusat adalah tinggi. Strategi atau kebijakan untuk merubah dari wilayah bergantung menjadi wilayah semi mandiri atau mandiri dan wilayah semi mandiri menjadi wilayah mandiri yaitu dengan mempermudah perizinan untuk investasi, baik investasi asing maupun domestik berupa pelayanan satu atap, menggali potensi pajak serta mengoptimalkan kemampuan sumber daya alam yang ada, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Untuk strategi atau kebijakan mempertahankan wilayah mandiri supaya tetap mandiri dengan menjaga dan memelihara iklim yang sudah kondusif dalam investasi, memberikan insentif baik finansial maupun non finansial terhadap institusi dan instansi yang berkontribusi besar terhadap daerah, mendorong dan mendukung institusi yang dapat memberikan nilai tambah dan nilai guna terhadap pertumbuhan dan perkembangan wilayah. 4.3. Perbedaan Variabel-Variabel Antara Satu Cluster Dengan Cluster Lainnya Setelah terbentuk 3 cluster pada tabel 4.1, langkah selanjutnya adalah mengukur apakah variabel-variabel yang telah membentuk cluster tersebut mempunyai perbedaan signifikan antara cluster satu dengan cluster lainnya. Hasil output ANOVA dapat dilihat pada tabel 4.2. sebagai berikut ini. Tabel 4.2. Hasil output ANOVA ANOVA Cluster Error Mean Square df Mean Square Pajak 102502721945.631 2 696611627.795 Retribusi Daerah 33084405768.846 2 141170600.931 Bagi Hasil Pajak 143702703799.106 2 577958810.336 Bagi Hasil Bukan Pajak 119131172576.649 2 928843555.579 Dana Alokasi Umum 5090860814.12 933433497962.687 2 4
F
Sig.
df 219 219 219 219
147.145 234.358 248.638 128.258
.000 .000 .000 .000
219
183.355
.000
Number of Cases in each Cluster Cluster
1 2 3
59.000 3.000 160.000 Valid 222.000 Missing .000 Berdasarkan tabel 4.2. tersebut semakin besar angka F pada suatu variabel dan angka signifikansinya dibawah 0,05, semakin besar pula perbedaan variabel tersebut pada ke tiga cluster yang terbentuk. Sebaliknya semakin kecil angka F, maka semakin kecil perbedaan tersebut, hingga sampai angka tertentu perbedaan itu sudah tidak ada lagi. Dari tabel 4.2 dapat diketahui bahwa variabel pajak antara cluster satu dengan cluster lainnya mempunyai perbedaan yang signifikan. Hasil ini mendukung hipotesis HA1 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara cluster satu dengan cluster
7
lainnya dalam hal penerimaan dana pajak daerah. Perbedaan ini dikarenakan tiap-tiap wilayah mempunyai jumlah, cakupan dan intensitas penerimaan pajak yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Variabel retribusi antara cluster satu dengan cluster lainnya mempunyai perbedaan yang signifikan. Hasil ini mendukung hipotesis HA2 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara cluster satu dengan cluster lainnya dalam hal penerimaan dana retribusi daerah. Perbedaan ini dikarenakan tiap-tiap wilayah mempunyai jumlah, cakupan dan intensitas penerimaan retribusi yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Pada variabel BHP antara cluster satu dengan cluster lainnya mempunyai perbedaan yang signifikan. Hasil ini mendukung hipotesis HA3 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara cluster satu dengan cluster lainnya dalam hal penerimaan dana BHP. Perbedaan ini dikarenakan tiap-tiap wilayah mempunyai jumlah, cakupan dan intensitas penerimaan BHP yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Variabel BHBP antara cluster satu dengan cluster lainnya mempunyai perbedaan yang signifikan. Hasil ini mendukung hipotesis HA4 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara cluster satu dengan cluster lainnya dalam hal penerimaan dana BHBP. Perbedaan ini dikarenakan tiap-tiap wilayah mempunyai jumlah, cakupan dan intensitas penerimaan BHBP yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Pada variabel DAU antara cluster satu dengan cluster lainnya mempunyai perbedaan yang signifikan. Hasil ini mendukung hipotesis HA5 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara cluster satu dengan cluster lainnya dalam hal penerimaan DAU. Perbedaan ini dikarenakan tiap-tiap wilayah mempunyai celah fiskal dan alokasi dasar yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Pada semua variabel yang menjadi penelitian tersebut memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 atau kelima variabel tersebut berbeda signifikan antara cluster satu dengan cluster lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing cluster mempunyai karakteristik tersendiri. 5. Simpulan, Saran dan Keterbatasan Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut, maka simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Terbentuk tiga cluster yang masing-masing cluster mempunyai ciri yang berbeda antara cluster satu dengan cluster lainnya. 2. Cluster 1 adalah wilayah semi mandiri, cluster 2 merupakan wilayah mandiri dan cluster 3 adalah wilayah bergantung. 3. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kelima variabel tersebut berupa pajak, retribusi, BHP, BHBP dan DAU antara cluster satu dengan cluster lainnya. Saran Untuk peneliti selanjutnya diharapkan tidak hanya meneliti pada variabel pajak, retribusi, BHP, BHBP, dan DAU saja melainkan pada semua pos-pos yang ada pada keuangan daerah, baik dari sisi pendapatannya yang bersumber dari PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah maupun pada sisi belanja dan pembiayaan. Begitu juga dengan wilayah yang akan menjadi objek penelitian selanjutnya diharapkan tidak hanya pada Pemkot dan Pemkab di Propinsi Jawa Timur, melainkan pada semua Pemkot dan Pemkab di Indonesia. Keterbatasan Penelitian ini memiliki keterbatasan berupa data penelitian hanya pada tahun 2002 – 2007, variabel-variabel yang digunakan hanya terkait dengan penerimaan
8
daerah khususnya berupa pajak, retribusi, BHP, BHBP dan DAU dan obyek penelitian hanya Pemkot/Pemkab di Propinsi Jawa Timur.
Daftar Pustaka Abdullah, Rozali. 2000. Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif. Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Aronson, J. Richard and Schwartz, Eli. 2003. Management Policies in Local Goverment Finance. Published for the ICMA University. Bratakusumah, Deddy Supriady dan Solihin, Danang. 2002. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Bastian, Indra. 2006. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. ------------------. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Penerbit BPFE UGM. Yogyakarta. Bird, Richard M and Vaillancourt, Francois. 1998. Fiscal Decentralization in Developing Countries. Published by the Press Syndicate of the University of Cambridge. United Kingdom. Cooper, Donald R dan Schindler, Pamela, S, 2001, Business Research Methods, Seventh Edition, McGraw-Hill. Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Hair, Joseph F, Anderson, Rolph E, Tatham, Ronald L, dan Black, William C, 1998, Multivariate Data Analysis, Fifth Edition, Prentice-Hall International, Inc. Halim, Abdul. 2002. Akuntansi dan Pengendalian Keuangan Daerah. Penerbit UPP AMP YKPN. Yogyakarta. -----------------. 2001. Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Harun, Hamrolie. 2005. Analisis Ketersediaan Dana Pembangunan Daerah. Penerbit BPFE UGM. Yogyakarta. Henley, D et all. 1989. Public Sector Accounting and Financial Control. Published by Chapman & Hall. London. --------------------. 2005. Analisis Peningkatan PAD. Penerbit BPFE UGM Yogyakarta. Kitchen, Richard L. 1988. Finance for The Developing Countries. Published by John Wiley & Sons. New York. Mardiasmo. 2002. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Rosen, Harvey S. 2002. Public Finance. Sixth Edition. Published by Mc Graw-Hill Companies, Inc. Setiaji, Wirawan dan Adi, Priyo Hadi. 2007. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah Otonomi Daerah: Apakah Mengalami Pergeseran?. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar. Sidik, Machfud dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Yani, Ahmad. 2002. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
9
----------------------. 2002. Bahan Workshop Evaluasi Formula DAU TA 2002 dan Penyempurnaannya Untuk DAU TA 2003. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Jakarta. ----------------------. 2008. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah. Departemen Keuangan Republik Indonesia. ----------------------. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Penerbit Fokusmedia. Bandung. ----------------------. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Penerbit Fokusmedia. Bandung.
10