KATA PENGANTAR DR. Harifin A. Tumpa, SH.,MH
Relasi yang intim antara hakim dan hukum merupakan sesuatu yang tidak mungkin "diceraikan". "Menceraikan" keduannya adalah sama dengan memisahkan jiwa dari tubuh. Jika jiwa bercerai dengan tubuh, maka tubuh yang material akan rubuh, karena yang menjadi penopangnya adalah jiwa. Hukum tidak mungkin bisa terlihat tanpa diterapkan oleh aparat hukum. Hakim adalah salah satu aparat hukum. Maka hakim adalah "yang material" dari hukum, sementara hukum adalah jiwa yang menggerakan hakim untuk memutuskan. Kombinasi antara "jiwa hakim", "jiwa hukum", dan "hakim sebagai manusia yang material", maka dari sanalah lahir keputusan hukum yang holistik. Yakni suatu keputusan hukum yang di dasarkan atas nalar filosofis, sosiologis dan yuridis. Ketiganya membentuk di dalam satu bingkai yang dibungkus oleh lahirnya suatu putusan yang adil. *** Dalam konteks negara modern, kebutuhan hukum antar Negara juga menjadi talc terhindarkan. Maka regulasi merupakan sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan. Dalam konteks ini, perkara perdata, pidana, Tata Negara, dan HAM adalah merupakan sesuatu yang tidak lahir dari ruang hampa sosial. Ada settingan sosial, politik, ekonomi dan kultural yang melekat di dalamnya. Ada ruang "lain" yang datang mengintervensi. Sebab itu, tidak ada Negara yang bisa berdiri tanpa pengaruh dari Negara lain. Sehingga Werner Menski menyebutnya dengan teori
Triangular Concept of Legal Pluralism untuk menyebut hukum di era global. Hukum tidak lagi tunggal, tetapi hukum adalah merupakan kombinasi antar berbagai budaya, ideologi, sistem dan situasi politik. *** Sebab itu, keputusan hukum, akan ditentukkan oleh apa yang dianut oleh hakim melalui pendekatan yang dilakukan serta paradigm yang dianut. Ada tiga judul buku saya yang terbit bersamaan dengan buku ini dengan judul yang berbeda, yakni: (1) Relevansi Konvensi New York Dengan Eksistensi Dan Implimentasi Keputusan Arbitrase Asing Di Indonesia (2) Menakar Nalar Putusan Hakim Dalam Perkara Perdata; (3) Memahami Sumber Hukum, Jenis, Azas-Azas Dan PrinsipPrinsip Dalam Arbitrase Di Indonesia. Ketiga buku ini terbit pada saat yang bersamaan, setelah sebelumnya terbit buku yang berjudul "Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia". Ketiga buku ini, telah diperiksa oleh editor yang saya percaya adalah Para penulis hebat, telah memiliki banyak buku dan tulisan di berbagai media massa. Seperti, DR. Hamzah Hakim, DR. Slamet Sampurno Soewondo dan Fajlurrahman Jurdi. Ketiganya telah menulis beberapa buku, dan mereka pula yang bekerja sama mengedit buku saya yang terbit pertama. Oleh karena itu, saya menghaturkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada ketiga editor karena tanpa dorongan dan kerja keras mereka, buku ini tidak mungkin terbit. Juga terima kasih kepada Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia
yang telah
menerbitkan buku ini. Sebuah Pusat kajian yang telah banyak menerbitkan buku-
buku politik, ekonomi dan hukum. Buku ini saya persembahkan kepada Istri dan anak saya yang telah setia menemani dan sabar menunggu ditengah tumpukan kesibukan yang tiap hari menyita waktu. Sehingga waktu yang seharusnya untuk mereka, terkadang harus "dikorupsi" karena mengurus kepentingan bangsa dan Negara. Tetapi istri saya selalu meniupkan energi dan keyakinan, bahwa mengurus bangsa dan umat adalah merupakan persoalan banyak orang dan bernilai ibadah. Mementingkan urusan umat dan bangsa diatas kepentingan pribadi adalah merupakan sikap seorang muslim yang beriman. Mudah-mudahan kehadiran buku ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran di bidang hukum. Saya sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk perbaikan penulisan selanjutnya. Selamat membaca. Jakarta, 01 Februari 2010 Harifin A. Tumpa
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................... 5 DAFTAR ISI ................................................................. 9 Bagian Pertama ARBITRASE SEBAGAI PRANATA UNTUK MENYELESAIKAN SENGKETA DI INDONESIA DAN DI LUAR NEGERI 11 A.
Arbitrase Sebagai Salah Satu Bentuk Ajudikasi
B.
Macam-Macam Klausula Arbitrase ............ 22
C.
Arbitrase di Indonesia ................................. 28
D.
Arbitrase dan Penanaman Modal Asing ..... 29
E.
Sengketa Mengenai Arbiter ........................ 53
11
Bagian Kedua KETERIKATAN INDONESIA KEPADA KONVENSI NEW YORK ................................................. 67 A.
Indonesia adalah Bagian Dari Dunia. ........ 67
B.
Peraturan Perundangan Indonesia Yang Berlaku Untuk Menunjang Pelaksanaan Konvensi New York 1958. ............................ 77
C.
Pengertian Putusan Arbitrase Asing ............. 87
D.
Pendeponiran Putusan Arbitrase Asing ........ 90
Bagian Ketiga ANALISA TERHADAP PUTUSAN-PUTUSAN M_AHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE LUAR NEGERI ......................................................... 101 A. Kekuatan Mengikat Suatu Putusan Asing ...... 101 C.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Indonesia. .................................................... 131
D.
Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing ............................................................. 148
DAFTAR PUSTAKA ................................................. 161 CURRICULUM VITAE, ............................................ 165 BIODATA EDITOR ................................................... 173
Bagian Pertama ARBITRASE SEBAGAI PRANATA UNTUK MENYELESAIKAN SENGKETA DI INDONESIA DAN DI LUAR NEGERI
A. Arbitrase Sebagai Salah Satu Bentuk Ajudikasi Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka. Metode pertentangan (adversarial) dalam penyelesaian sengketa di Amerika Serikat sudah umum dan telah menjadi model yang diakui dalam seluruh proses perkara ajudikasi dan ajudikasi semu. Namun, ajudikasi publik baik yang bersifat adversarial yang dianut oleh negaranegara "Common Law" maupun yang bersifat inquisatorial yang dianut oleh negara-negara yang menganut Civil Law, kadang-kadang dirasakan tidak memuaskan dalam penyelesaian sengketa.1 Hal ini disebabkan oleh karena cara ajudikasai tersebut, mempunyai banyak kelemahan, walaupun di lain pihak juga mempunyai keunggulan-keunggulan. Oleh karena itu orang kemudian mencari jalan lain untuk menyelesaikan suatu sengketa. Sebagai contoh, pencapaian konsensus bersama (Community consensus finding) dalam hukum adat Indonesia, di samping menyelesaikan sengketa tertentu, juga 1
Catherine, Tay Swee Kian: Resolving Disputes by Arbitration, hal 29, menunjukkanperbedaan peranan Hakim di negara-negara yang menganut sistem Common Law dengan negara yang menganut Civil Law. Ia menyatakan bahwa : "Under the common Law System, the judge does not take an active role when conducting the case. He only makes sure that the rules of procedure and evidence of a trial are followed so that there is fair play on both sides. This is not the same as the inquisitorial roles of a civil law judge who takes an active role in investigating into the case.
membantu membangun dan melindungi komunitas.2 Gary Goodpaster memberikan suatu ilustrasi yang menunjukkan satu kategorisasi sederhana mengenai proses penyelesaian sengketa yang paling umum digunakan, yang tersusun dan konflik atau pertikaian yang paling hebat sampai kepada kerjasama atau kolaborasi yang paling baik.3
Proses ajudikasi yaitu rnelalui proses litigasi (ajudikasi publik) tetapi dalam proses arbitrase (ajudikasi privat) para pihak melepas hak inereka untuk memutuskan sengketa mereka sendiri dan sebagai gantinya mempercayakannya kepada seorang ajudikator. Dalam proses ajudikasi tersebut, balk hakim maupun arbiter mencari bukti-bukti dan menerapkan hukum. Dunia perdagangan termasuk perdagangan Internasional, pada umumnya
2
Gary, Goodpaster : Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, ARBITRASE Indonesia, Ghana Indonesia, 1995, hal. 1 3 Ibid, hal. 3
orang akan memilih lembaga arbitrase, oleh karena lembaga peradilan (ajudikasi publik), tidak memenuhi harapan mereka, balk ditinjau dan segi efisiensi maupun biaya. Oleh karena itu dalam dunia perdagangan, khususnya perdagangan international, peranan lembaga Arbitrase Komersial Internasional semakin penting untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dagang Internasional. Hampir setiap hari arbitrase Komersial Internasional ini berlangsung diberbagai tempat di dunia.4 Hal ini disebabkan oleh karena perjanjianperjanjian Internasional pada umumnya memasukkan klausula arbitrase dalam perjanjian mereka, apabila terjadi dispute. Demikian populernya lembaga arbitrase tersebut, sehingga, lembaga arbitrase International Chamber Of Commerce (I.C.0 atau Kamar Dagang Internasional) misalnya setiap tahun harus menangani perkara lebih dari 300 perkara setiap tahunnya.5 Sebab-sebab Para Pihak Memilih Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Pilihan para pihak terhadap lembaga Arbitrase tersebut antara lain disebabkan:6 Pertama; para pihak memilih arbitrase dengan harapan akan memperoleh penyelesaian yang lebih balk dan arbitrase, akan tetapi sepanjang mengenai pokok
4
Alan, Redfern, dan Martin, Hunter, Law and practice of International Commercial Arbitration, London Sweet Maxwell, 1986, Hal.1 5 Mauro, Robino - Sumartono, International ARBITRATION Law, Kluwer, 1996, Hal.167 6 Londong, Tinneke, Op.Cit, hal. 39, Lihat juga SUBEKTI, Memahami ARBITRASE, Pustaka Peradilan Jilid VII, hal.2,4,5.
perkara tetap dikehendaki satu penyelesaian sebagaimana akan diputus oleh pengadilan (litigation). Kritik yang sering dilontarkan terhadap pengadilan adalah bahwa proses pengadilan lamban sehingga akan menelan biaya yang tinggi. 7 Catharine T.S.K menyatakan bahwa "Arbitration compared to litigation has it advantages. It is generally quicker and more informal8! Di samping itu dalam proses pengadilan, asas peradilan yang terbuka merupakan hal yang dihindari oleh pengusaha. Di dalam Arbitrase sudah ditentukan bahwa putusan arbitrase hanya satu tingkat, tidak dapat dibanding ataupun dikasasi. Hal ini berarti bahwa biayapun dengan sendirinya akan berkurang. Para pengusaha menghindari publisitas atas sengketa yang ada di antara mereka, karena rahasia perusahaan tidak diinginkan diketahui oleh saingan dagang mereka dan masyarakat pada umumnya. Rahasia dagang dan technical know-how, kekurangan, kwalitas barang-barang, Kerugian keuangan, dan kesulitan yang dihadapi oleh perusahaan pada umumnya, tetap dapat dirahasiakan terhadap pihak ketiga. Pubilikasi putusan arbitrase dengan menyebut identitas para pihak tidak diperbolehkan, kecuali dengan persetujuan mereka. Kedua; Pemeriksaan arbitrase tidak semata-mata didasarkan pada peraturan
7
Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena ada kasus seperti kasus Hotel Kartika Plaza, Justru rnenunjukkan sebaliknya. 8 Catharine T.S.K., op cit hal.31.
hukum atau teori-teori hukum belaka, tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek, teknis, ekonomis, dan keadilan social. Itulah sebabnya arbiter tidak perlu Seorang sarjana hukum, tetapi biasanya diambil dari kalangan bisnis yang mengenal masalah yang diperkarakan. Ketiga; arbitrase menjamin bahwa perkara ditangani oleh arbiter yang kompeten dan ahli di bidangnya. Dibandingkan dengan pengadilan yang hakimnya mungkin tidak menguasai seluk beluk biding yang menjadi sengketa, karena Hakim Pengadilan dalam menangani perkara tergantung pada pembuktian dan keterangan ahli. Arbiter dipilih untuk memberikan putusan berdasarkan pengetahuan teknis yang dimilikinya. Di samping itu arbiter dipilih sendiri oleh para pihak yang bersangkutan yang tidak mungkin dilakukan dalam proses litigasi. Catharine T.S.K. menyatakan "An important advantage that arbitration has over litigation is the freedom of the parties to choose arbitrators in whom they have confidence, whereas in litigation, the parties cannot choose the judges, who may have little or no experience in the field in which the dispute arises".9 Mengenai pemilihan arbiter ini Undang-undang No.30 tahun 1999 menentukan syarat-syarat untuk menjadi arbiter (pasal 12). Di dalam pasal 22 Undang-undang tersebut ditentukan adanya hak ingkar terhadap arbiter apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil 9
Ibid
putusan. Pengajuan hak ingkar terhadap arbiter Di dalam pasal 23 Undang-undang No. 30 tahun 1999 ditentukan kemana hak ingkar itu diajukan. Apabila arbiter diangkat oleh Ketua Pengadilan maka hak ingkar diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (pasal 23 ayat 1). Bila hak ingkar diajukan terhadap arbiter tunggal maka hak ingkar diajukan kepadanya dan bila hak ingkar diajukan kepada Majelis arbiter maka hak ingkar diajukan kepada Majelis. Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan tuntutan tersebut dan apabila tuntutan diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan, maka arbiter pengganti harus diangkat dengancara yang berlaku bagi pengangkatan arbiter yang digantikan. Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak hak ingkar tersebut maka arbiter melanjutkan tugas-tugasnya (pasal 25). Menyangkut hak ingkar tersebut, terdapat sebuah kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (terdaftar dengan No.21/Pdt.P/2000/PN.Jkt.Sel). Permohonan hak ing]car tersebut diajukan oleh Pengacara B.S.U, terhadap Arbiter Prof.DR.P.A., SH (dan BANI). Arbiter tersebut ditunjuk oleh PT.H.K. dan D.G.T.M, dalam perkara permohonan Arbitrase antara Joint Operation DGTMPT.HK sebagai pemohon lawan B.S.U. sebagai termohon di Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Alasan hak ingkar adalah karena penunjukan arbiter oleh Pemohon Arbitrase
melalui kuasa hukumnya adalah bertentangan dengan peraturan prosedure BANI juncto Surat Kuasa dan pemohon Arbitrase kepada Kuasa Hukumnya adalah cacat hukum sehingga tidak syah dan segala tindakan Arbiter batal, hal itu didasarkan pada :
hanya 1 hari sebelum diajukan surat permohonan Arbitrase oleh Pemohon Arbitrase kepada BANI melalui kuasa hukumnya telah terlebih dahulu dilakukan penunjukan terhadap arbiter sebagai arbiter pilihannya pada perkara pemohon arbiter yang ternyata belum diajukan kepada BANI. Hal ini menurut pemohon hak ingkar bertentangan dengan pasal 2 ayat 3, peraturan Prosedure BANI yang berbunyi "Dalam surat permohonan tersebut pemohon dapat menunjuk (memilih) seorang arbiter, atau menyerahkan penunjukan arbiter itu kepada Ketua BANI.
atas permohonan arbitrase yang diajukan oleh pemohon arbitrase, termohon arbitrase (pemohon hak ingkar) mengajukan eksepsi, terutama "eksepsi kewenangan absolut BANI", karena antara Termohon Arbitrase dengan
Pemohon
Arbitrase
secara
yuridis
tidak
pernah
ada
(never
existed)perjanjian yang sah berdasarkan klausula arbitrase, sehingga Termohon arbitrase menolak dilanjutkannya Permohonan Arbitrase kepada BANI karena yang berwenang memutus sengketa adalah
Pengadilan Negeri yang telah dikemukakannya.
bahwa keberatan yang diajukan oleh Termohon Arbitrase oleh arbiter dianggap tidak berdasar karena menurut arbiter bahwa penunjukan arbiter yang dilakukan lebih dahulu dan permohonan arbitrase tidak bertentangan dengan pasal 2 ayat 3 Peraturan Prosedure BANI.
bahwa di samping itu arbiter telah jelas memihak pemohon arbitrase, dengan menyuruh Termohon Arbitrase untuk membuktikan secara berlebihan unsur kekaburan dan ketidak pastian (obscuur libel) mengenai nama pihak Termohon (yang diajukan oleh termohon arbitrase sebagai eksepsi) dan kemudian Arbiter nyata-nyata menolak eksepsi yang diajukan Termohon arbitrase, sehingga arbiter diragukan independensinya.
Dengan alasan-alasan tersebut pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk 1.
menerima hak ingkar dan Termohon arbitrase seluruhnya;
2.
menyatakan batal penunjukan arbiter yang dilakukan Pemohon Arbitrase sebelum diajukannya Permohonan Arbitrase oleh Pemohon Arbitrase kepada BANI.
3.
menyatakan batal segala tindakan hukum arbiter.
4.
menyatakan arbiter diganti dan sidang perkara Permohonan Arbitrase antara Pemohon Arbitrase lawan Pemohon hak ingkar dan BANI ditunda sampai ada
pengganti Arbiter yang sah menurut Undang-undang No.30 tahun 1999. 5.
menyatakan putusan ini mengikat dan tidak dapat dilawan. Atas permohonan hak ingkar tersebut, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan
dengan
penetapannya
tanggal
16
Pebruari
2000
No.21/Pdt.P/2000/PN.Jkt.Selatan telah mengambil putusan yang diktumnya adalah: 1.
menyatakan menerima hak ingkar dan termohon arbitrase seluruhnya;
2.
menyatakan batal penunjukan arbiter yang dilakukan pemohon arbitrase sebelum diajukannya permohonan arbitrase oleh permohonan arbitrase kepada BANI.
3.
menyatakan batal segala tindakan hukum arbiter;
4.
menyatakan arbiter diganti dan sidang perkara permohonan arbitrase antara pemohon arbitrase antara pemohon arbitrase lawan pemohon hak ingkar di BANI ditunda sampai ada pengganti Arbiter aquo yang sah menurut Undangundang No.30 Tahun 1999.
5.
menyatakan putusan ini mengikat dan tidak dapat diajukan banding. Adipun dasar pertimbangan hukum penetapan tersebut adalah sebagai berikut : "Menimbang, bahwa Pengadilan merasa perlu menjelaskan terlebih dahulu bahwa sesuai ketentuan Pasal 24 Undang-undang No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatifpenyelesaian sengketa dalam Pasal 24 ayat 1 ditegaskan "Arbiter yang diangkat tidak dengan Penetapan Pengadilan, hanya dapat diingkari dengan alasan yang baru diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah pengangkatan arbiter yang bersangkutan. Menimbang,
bahwa berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dan pemeriksaan ternyata bahwa hanya satu hari sebelum diajukan surat permohonan arbitrase a quo oleh pemohon arbitrase kepada BANI melalui kuasa hukumnya GD dan Partners, ternyata pula bahwa pemohon Arbitrase melalui kuasa hukumnya tersebut telah terlebih dahulu melakukan penunjukan terhadap arbiter sebagai arbiter pilihannya pada perkara permohonan arbitrase a quo yang ternyata belum diajukan kepada BANI. Bahwa penunjukan arbiter demikian terbukti telah bertentangan dengan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Prosedure BANI dengan surat kuasa terurai pada bukti P.S a dan P.5 b. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.6 Pemohon telah mengajukan
tuntutan
hak
ingkar
dengan
surat
Rep.No.044/
F.T.A
JMH/BANI/I/2000 tanggal 24 Januari 2000 pada BANI dan Majelis Arbitrase Perkara antara Joint Operator DGTM PT.I-JK lawan PT.BSU pengajuan nana memenuhi syarat yang ditentukan di dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-undang No.30 tahun 1999... jo Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.30 tahun 1999 a quo. Menimbang, bahwa alasan yang baru diketahui kemudian dan masih dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-undang No.30 tahun 1999 yaitu arbiter sebelumnya, juga telah ditunjuk Pemohon Arbitrase melalui kuasa hukumnya GD dan Partners sebagai arbiter pada perkara permohonan arbitrase yang sedang diperiksa dan disidangkan dan BANI dengan tuntutan wanprestasi yang sama dengan perkara arbitrase a quo;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian bukti-bukti dan argumentasi pemohon terurai di atas, Pengadilan melihat bahwa cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan oleh karenanya patut dikabulkan". Dari penetapan tersebut di atas, penulis akan memberikan beberapa catatan 1. Apakah permohonan hak ingkar, cukup diajukan sebagai permohonan Voluntair yang tidak memerlukan pihak lain (lawannya) untuk hadir. Menurut hemat saya bahwa suatu hak ingkar yang diajukan oleh seseorang adalah berhadapan dengan hak orang lain yang diingkari, sehingga pemohon hak ingkar tidak dapat diperiksa secara voluntair, tetapi harus diperiksa secara contradictoir. Karena hanya dengan menghadirkan pihak lawan, informasi yang diterima oleh Hakim lebih berimbang. Prinsip "hoar en wederhoor" dalam perkara ini wajib diterapkan. 2. Permohonan pemohon hak ingkar tidak konsisten. Di satu pihak ia berpendapat bahwa kompetensi absolut arbitrase tidak ada, tetapi dilain pihak ia menuntut penggantian arbiter. 3. Pemohon hak ingkar (yang dibenarkan oleh Hakim) menyatakan bahwa ada hal yang baru diketahui kemudian yaitu arbiter yang sama juga menangani perkara dalam perkara permohonan Arbitrase yang sama pihaknya dalam perkara permohonan arbitrase yang sekarang diajukan hak ingkarnya oleh pemohon hak ingkar (termohon' arbitrase). Dalil ini kelihatannya tidak masuk akal. Mana mungkin pihak-pihak dalam perkara permohonan arbitrase terdahulu tidak
diketahui arbiternya. Kesimpulan Hakim yang membenarkan dalil pemohon hak ingkar adalah akibat tidak didengarnya pihak lawan dan pemohon. 4. bahwa penunjukan arbiter tunggal terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan pihak-pihak. Oleh karena itu adalah tidak masuk akal bilamana pemohon hak ingkar belum memberikan persetujuan atau penunjukan arbiter yang diingkari tersebut. Apalagi ternyata bahwa termohon arbitrase telah melakukan eksepsinya (yang ternyata ditolak oleh arbiter). Dari uraian di atas maka penulis berpendapat bahwa penetapan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak lain. Penetapan tersebut hanya mengikat pihak pemohon. BANI dan Pemohon arbitrase tidak tenikat dengan penetapan tersebut, dan oleh karenannya BANI dapat terus memeriksa perkara pemohon arbitrase yang diajukan kepadanya. Keempat ; Para pedagang luar negeri menghindar dan diberlakukannya hukum asing, yang mungkin mereka tidak kenal. Hal ini umumnya terjadi pada negaranegara yang sedang berkembang misalnya Indonesia. Pengusaha asing biasanya menganggap bahwa hukum negara-negara berkembang tersebut sulit untuk bisa dimengerti, yang mereka gambarkan seakanakan berada dalam ruangan yang gelap-gulita. Kelima ; bahwa yang diinginkan oleh para pihak adalah putusan arbitrase yang dapat diterima dan dilaksanakan secara suka rela oleh pihak yang kalah. Bila ini terjadi maka hubungan baik akan tetap terjalin untuk dimasa yang akan dating.
Keenam ; Karena sengketa yang mereka hadapi adalah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin diselesaikan oleh pengadilan. Khususnya di dalam hal dimana
arbiter
diminta
untuk
menginterpretasikan,
menyempurnakan,
menyesuaikan atau merubah suatu kontrak karena telah timbul perubahan (bindend advies). Namun syaratnya, para pihak sebelumnya telah memberikan kepada arbiter wewenang untuk memberikan bindend advies tersebut. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu menandatangani kontrak terdapat hal-hal pokok yang belum diketahui. Misalnya kontrak pembuatan jalan, sering diperlukan perubahan karena situasi dan kondisi tanah. Atau memang para pihak sengaja memberi kekosongan dalam kontrak karena pada waktu kontrak ditanda-tangani para pihak belum mempunyai informasi yang tepat. Sebagai contoh adalah kontrak dan Lloyd's mengenai penyelamatan kapal. Perusahaan yang bergerak di bidang maritime solvage ini menempatkan dibeberapa tempat yang penting alat-alat dan kelompok orang-orang untuk menyelamatkan kapal yang menjadi korban dan bahaya laut. Bagaimana penyelamat-penyelamat ini harus dibayar tidak dapat ditentukan pada waktu bantuan dan penyelamatan diperlukan. Oleh karena itu dalam kontrak demikian ditentukan bahwa pembayaran akan • ditentukan melalui arbitrase oleh Lloyd's pada waktu, semua faktor-faktor yang berhubungan dengan penyelamatan tersebut telah diketahui.
Perjanjian yang memuat klausula arbitrase yang ditandatangani oleh Para pihak untuk menyerahkan sengketa (dispute) mereka kepada arbitrase adalah merupakan suatu Foundation Stone bagi suatu arbitrase komersial International modern. 10 Tidak akan ada arbitrase tanpa adanya klausul itu dalam perjanjian mereka. B. Macam-Macam Klausula Arbitrase Alan Redfern dan Martin Hunter memberikan contohcontoh klausula atau perjanjian arbitrase yang direkomendasikan oleh lembaga perdagangan/arbitrase terkemuka :11 1.
Klausul arbitrase yang diusulkan oleh American Arbitration association "Any controversy or claim arising out of or relating to this agreement, or the breach thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the Commercial Arbitration Rules and supplementary procedures for a international commercial arbitration of the American Arbitration Association, and judgment upon the award rendered by the Arbitrator(s) may be entered in any court having jurisdiction thereof".
2.
Klausul arbitrase yang diusulkan oleh Cairo Regional Centre for Commercial Arbitration : "Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to this
10 11
Alan, Refern dan Martin, Hunter, Op.Cit. hal.3 Ibid.
contract, or the breach, termination, or invalidity threof, shall be decided by arbitration in accordance with the Rules for Arbitration of the Cairo Regional Arbitration Centre". 3.
Klausul arbitrase yang diusulkan oleh Euro-Arab Chamber of Commerce "Any Dispute out or in accordance with this contract shall be finaly settled in accordance with the arbitration provisions in the Rules of conciliation, arbitration and expertise of the Euro—Arab Chambers of Commerce, by one or more arbitrator(s) appointed in accordance with the said Rules".
4.
Klausul arbitrase yang diusulkan oleh International Chamber of Commerce "All disputes arising in connection with the present contract shall be finally settled under the Rules of (conciliation and) Arbitration of the International Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordance with the said Rules".
5.
Klausul arbitrase yang diusulkan oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes "The parties hereby consent to submit to the International Centre for Settlement of Investment Disputes any dispute ralating to or arrissing out of this Agreement for settlement by arbitration pursuant to the Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States".
6.
Klausul arbitrase yang diusulkan oleh Regional Centre for Arbitration di
Kuala Lumpur "Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to this contract, or the breach, termination or invalidity thereof, shall be decided by arbitration of the Kuala Lumpur Regional Arbitration Centre". 7.
Klausul arbitrase yang diusulkan oleh London Court of Arbitration "Any dispute arising out of or ini connection with this contract, including any question regarding itsexistence, validity or termination, shall be referred to any finally resolved by arbitration under the Rules of the London Court of International Arbitration, which Rules are deemed to be incorporated by reference into this clause".
8.
Klausul arbitrase yang diusulkan oleh Permanent Court of Arbitration "The parties agree to submit any dispute derived from the present contract or from those resulting therefrom to a procedure of arbitration. For this purpose the parties shall apply to the services of the Bureau of the Permanent Court of Arbitration at the Hague. They shall accept the "set of rules on arbitration and conciliation in international disputes between two parties of which only one is a state" elaborated by the Bureau in the year 1962; however, they will be free to replace the rules of procedure by other ones on which they should have agreed".
9.
Klausul arbitrase yang diusulkan oleh Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce : "Any dispute connection with this agreement shall be finally settled by
arbitration in accordance with the Rules of Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce". Konvensi-konvensi dan Peraturan Hukum tentang Hukum Acara dalam pemeriksaan Arbitrage. Untuk mempermudah penyelesaian sengketa yang bersi. fat international melalui pengadilan telah diusahakan caracara untuk mengatasi perbedaan procedure karena perbedaan dalam sistem hukum. Antara lain, pada akhir abad ke 19 di Eropah dan Amerika Latin, pada tahun 1889 di Montevideo, South American Conference on Private International Law yang pertama telah menghasilkan "Convention on Procedural Law" yang ditanda tangani oleh negara-negara Argentina, Bolivia, Brazil, Chili, Paraguay, Peru dan Uruguay. Kurang lebih 4 tahun kemudian Konperensi Den Haag pertama On. Private International Law diadakan di dalam tahun 1904. Konperensi Den Haag keempat inenghasilkan Convention On Civil Procedure tanggal 17 Juli 1905 yang isinya mengkoordinasikan hubungan judisiil antara negara—negara Eropah. Sekarang Konperensi Den Haag ini (yang kesembilan) telah menghasilkan Convention Abolishing the Reqpirement of Legalization For Foreign Public Documents, sedangkan Konvensi Den Haag kesepuluh telah menghasilkan Convention on the SERVICE ABROAD of Judicial and Extra Judicial Documents.12 Di dalam bidang arbitrase, kebutuhan untuk menghapus halangan dan hambatan
12
Asikin, Kusumaatmadja, ARBITRASE Perdagangan Internasional, Pustaka Peradilan, Jilid VIE, Mahkamah Agung, 1997, hal.37
bagi penyelesaian sengketa, juga terasa Harmonisasi di bidang arbitrase ini tentu akan lebih mullah dilakukan dibanding dengan pengadilan, karena arbitrase selalu didasari pada kehendak para pihak. Di bidang arbitrage Internasional, dunia perdagangan telah mendorong adanya arbitrase tersebut, antara lain pada tahun 1919 di Paris didirikan Court of Arbitration dan International Chamber of Commerce. Konvensi—konvensi Internasional yang lain mengenai pengembangan arbitrase dapat kita lihat:13 Treaty on the Law of Procedure dan disepakati 4 Januari
1.
1889 dan 19 Maret 1990 dalam Kongres negara—negara Amerika Selatan. Protocol
2.
Jenewa
mengenai
klausula
arbitrase
(Jenewa
Protocol on Arbitration Clauses) 24 September 1923 yang di persiapkan oleh Liga Bangsa-Bangsa. Konvensi Jenewa mengenai Pelaksanaan Putusan—putusar. Arbitrase Asing,
3.
26 September 1927 (selanjutnya disebut Konvensi Jenewa) 4.
Bustamante Code of1928 (selanjutnya disebut Bustamante Code).
5.
Konvensi PBB mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, 10 Juni 1958 (selanjutnya disebut Konpensi New York).14
13
Hula, Adolf, opo.cit, hal.7 Konpensi Telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, dengan KEPPRES No. 34 Tahun 1981 14
6.
Konvensi Eropah mengenai Arbitase Komersial Internasional 21 April 1961 dibuat dengan bantuan Komisi Ekonomi P88 untuk Eropah (selanjutnya disebut Konvensi Eropah).
7.
Perjanjian yang berhubungan dengan penetapan Konvensi Eropah mengenai Arbitrase Komersial Internasional Desember 1961 yang dibuat oleh Dewan Eropah (selanjutnya Perjanjian Dewan Eropah).
8.
Konvensi mengenai Penyelesaian penanaman Modal antara negara dan negara lain 18 Maret 1965 yang dibuat dengan bantuan Bank. 15 Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (selanjutnya disebut Konvensi Washington). Di samping Konvensi-konvensi yang sudah jadi tersebut, masih terdapat
sejumlah Rancangan Konvensi yang belum berlaku, yaitu :16 1. Rancangan UNIDROIT yaitu Draft of a Uniform Law on Arbitration in respect of International Relation of Private Law, yang dibuat tahun 1937 dan diubah tahun 1953 oleh The International Institute for the Unification of Privat Law (UNIDROIT). 2.
Rancangan Konvensi OAS, yaitu Draft Convention on International Commercial Arbitration, yang dibuat pada tahun 1956 oleh the Inter American Judicial Committee.
15
Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1968 16 HuaLa, Adolf; op.cit, hal.8, sampai saat ini penulis belum, dapat bahan apakah di antara rancangan tersebut sudah ada yang menjadi conventie.
3.
The QAS Draft Uniform Law yaitu Draft Uniform Law on Inter American Judicial Committee.
4.
C.E. Uniform Law yaitu European Convention Providing a Uniform Law on Arbitration of 1966 yang dibuat oleh Dewan Eropah.
5.
The Annex to the Draft Convention on the Protection of Foreign Property of 1967 dibuat oleh sebuah peradilan Arbitrase.
6.
C.E. Protocol yaitu Protocol on the Recognition and Enforcement of Arbitral Awards of 1967, yang dibuat oleh Dewan Eropah. Di samping Konvensi dan rancangan Konvensi tersebut, sudah ada Rules
arbitrase yaitu :17 1.
Rules on International Commercial Arbitration of 1950, dibuat oleh The International Law Association (selanjutnya disebut Copenhagen Rules).
2.
Rules on Arbitration in International Private Law yang terdapat dalam the Resolutions of the International Law. Institute yang disetujui di Amsterdam pada tahun 1957 (Amsterdam Rules) dan di Neuchatel tahun 1959 (Neuchatel Rules) selanjutnya kedua rules tersebut disebut The Neuchatel Rules.
3.
Ecak Rules for International Commercial Arbitration of 1966, dibuat oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Asia dan Timur Jauh (selanjutnya disebut ECAFE Rules).
4.
17
Arbitration Rules of the United Economic Commission for Europe 01 1966
Ibid, hal. 9-10
(selanjutnya disebut the European Rules).
C. Arbitrase di Indonesia Apabila kita melihat sejarah arbitrase di Indonesia, maka akan terlihat bahwa sejak zaman Hindia Belanda, masalah arbitrase ini telah diatur yaitu dalam pasal 641 sampai dengan 651 Reglement op de Rechtsvordering (Stbl 1847 - 52 jo Stb. 1949 — 63). Namun di dalam ketentuanketentuan tersebut tidak diatur pelaksanaan keputusan dan arbitrase (wasit) asing. Walaupun di dalam perundang-undangan tersebut telah diatur tentang arbitrase, namun dalam praktek penyelesaian sengketa di Indonesia masih langka dilakukan. Hal ini mungkin disebabkan karena institusi (badan arbitrase) yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) masih baru dan belum cukup dikenal atau dipercayai keahliannya. Akibatnya adalah bahwa sengketa pada umumnya diserahkan kepada badan peradilan. Badan peradilan yang menangani setiap persengketaan kelihatannya cukup kewalahan, sehingga perkara dan tahun ketahun semakin menumpuk. 18 Penyelesaian sengketa kadang-kadang harus menunggu 5 (lima) sampai 7 (tujuh) tahun. Pada tahun 1977, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) memprakarsai berdirinya BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA
18
Sebagai gambaran perkara perdata di Mahkamah Agung sampai September 1999., tunggakan berjurnlah 10.545 buah perkara.
(BANI) yang sifatnya arbitrage permanent. 19 Menurut Anggaran Dasarnya, tujuan diadakannya Badan tersebut adalah untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa perdata yang bersifat internasional (Pasal 1) . Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) tersebut terdiri atas seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, beberapa Anggota Tetap dan sebuah Sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris. Ketua, Wakil Ketua dan Para Anggota Tetap merupakan pengurus (board of managing directors) badan tersebut. Sedangkan para Anggota Tidak Tetap merupakan arbiter yang dapat ditunjuk (dipilih) oleh para pihak untuk menjadi tim arbiter akan memeriksa dan memutus sengketa mereka.20 Sebenarnya setelah Indonesia merdeka, terutama dengan masuknya nodal asing di Indonesia, kebutuhan akan Undangundang Nasional tentang Arbitrase sangat didambakan. Seperti yang Rita lihat, terjadi perkembangan dan perubahan yang prinsipil di dalam politik pemerintahan dalam bidang Ekonomi dan Keuangan pada tahun 1966.2160) Dengan TAP MPRS No.23/ 1966/MPRS, di dalam BAB. VIII tentang hubungan ekonomi internasional ditentukan bahwa demi kebutuhan pembangunan nasional maka modal asing diperlukan keikutsertaannya. D. Arbitrase dan Penanaman Modal Asing Untuk melaksanakan Ketetapan MPRS tersebut, maka dikeluarkan Undangundang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Di dalam 19
Subekti, op cit, hal.6. Ibid 21 Z. Asikin Kusumaatmadja, Opcit.hal 34 20
konsideransnya sub.( disebutkan bahwa penggunaan ekonomi Indonesia serta digunakan dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang dalam waktu dekat belum atau tidak dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri. Untuk menarik investor pemerintah juga telah meratifikasi konvensi Washington (Convention on the Settlement of Investment Disputes Between and National of Other States) dengan Undang-undang No.5 Tahun 1968. Dengan adanya kedua Undang-undang tersebu pemerintah telah memberikan kesempatan bagi para invest° asing untuk menanamkan modalnya dalam wilayah Republi. Indonesia dan mengakui dengan resmi adanya kemungkinai tidak hanya mempergunakan
arbitrase
melainkan
jug
menggunakan
arbitrase
yang
diselenggarakan secara inter nasional dalam suatu Badan Internasional.22 Selain dan itu, dalam perkembangan ekonomi dunia, misalnya AFTA (Asean Free Trade Area), WIPO (World Intellectual Property Organization) dan sebagainya, diperlukan jaminan penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi dalam hubungan tersebut. C.F.G. Sunaryati Rartono dalam seminar nasional tentang kesiapan Tata Hukum Ekonomi Indonesia Dalam Menyongsong Era Regionalisasi Ekonomi ASEAN, melalui AFTA, menyarankan sebagai berikut : "Pelaksanaan AFTA suatu saat dapat menghadapi kemungkinan terjadinya sengketa antar anggota ataupun antar AFTA (Asean Free Tarde Area) dengan negara non anggota, karena itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa 22
Ibdi, hal 35
yang cepat, tepat dan efisien berdasarkan ketentuan yang telah digariskan bersama. Dalam hal ini perlu dimantapkan lembaga arbitrase perdagangan international (commercial Arbitration) naupun cara-cara penyelesaian sengketa yang lain seperti mediasi, konsultasi dan sebagainya".23 Walaupun pembentukan BANI tersebut di atas, dibentuk sebelum adanya undang-undang Arbitrase, namun akhir-akhir ini lembaga tersebut telah banyak digunakan oleh para pelaku bisnis di Indonesia. Mungkin dengan melihat kenyataan-kenyataan yang berkembang tersebut, maka pemerintah bersama DPR telah membuat Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada tanggal 12 Agustus 1999 Undang-undang No.30 Tahun 1999 yang mengatur tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diundangkan dalam Lembaran Negara 1999 No.138. Materi dan Undang-undang ini pada umumnya telah menampung hal-hal yang selama ini telah berlaku atau dilaksanakan.
Arbitrase sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa dalam negeri menurut Undang-undang No.30 Tahun 1999.
Di dalam konsiderans Undang-undang No.30 Tahun 1999 ini disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian 23
Sunaryati Hartono, Pembangunan Hukum Ekonomi Nasional Dalam Menyongsong Pembentukan Konvensi Perdagangan Bebas ASEAN',. Hukum dan Pernbangunan No.2 tahun XXIV April 1994, hal 120.
sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya. Hal ini dapat dimengerti oleh karena ketentuan yang mengatur arbitrase ini diatur di dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) yang sudah berumur lebih dari 150 tahun. Di dalam Pasal 2 Undang-undang ini ditentukan ruang lingkup dan Undangundang No. 30 ini yaitu mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa yang timbul atau mungkin timbul dan hubungan hukum itu akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui penyelesaian sengketa alternatif. Apabila di dalam suatu perjanjian terdapat adanya klausula arbitrase maka hal tersebut sudah menjadi kompetensi absolut dan arbitrase. Artinya adalah bahwa badan peradilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa yang bersangkutan (Pasal 3) Adanya kesepakatan an tar pihak untuk menyerahkar penyelesaian sengketa mereka kepada forum arbitras( menyebabkan pengadilan tidak berwenang lagi (onbevoegd, memeriksa dan mengadili perkara mereka.24 Tetapi Hoge Raad Belanda, 25 menganut pendirian yang berbeda. Suatu tangkisan atas dasar adanya perjanjian untuk menyerahkan penyelesaian sengketa
24
Pieters, Sanders, Arbitrage in Bewogen Beweging, dalam Een Goede Prosesorcie, opstel len aangeboden aan in W.L. Haardt Kluwer, Deventer 1983 hat.254 25 Setiawan, Op cit, hal. 163-164
melalui arbitrase bukanlah suatu eksepsi, tentang ketidak wenangan (exeptie van onbevoegdheid), akan tetapi semata-mata mengenai persoalan apakah gugatan penggugat dapat diterima atau tidak. Ia bukan eksepsi, melainkan tangkisan tentang pokok perkara (verweer ten princip. ale) yang masih juga dapat diajukan di dalam tingkat banding, asal solo tangkisan itu tidak bertentangan dengan tangkisan yang sebelumnya telah dijatuhkan di Pengadilan Tingkat Pertama (lihat putusan HR 6 Desember 1925, NJ 1925, halaman 1293) . Sebagaimana kita ketahui bahwa menurut sistem Rv di tingkat banding tergugat tidak dibenarkan lagi mengajukan eksepsi yang tidak langsung mengenai pokok perkara. Hakim menyatakan gugatan itu tidak dapat diterima, bukan karena jabatannya, melainkan karena
semata-mata
adanya
tangkisan
dan
tergugat.
Judex
factidapat
menyimpulkan bahwa apabila tergugat selama berlangsungnya sidang telah memberikan jawaban tanpa inengajukan tangkisan tentang adanya perjanjian arbitrase, maka secara diam-diam is telah melepaskan haknya untuk mengajukan tangkisan tersebut. Juga dapat disimpulkan bahwa seorang tergugat yang mengajukan gugatan dalam rekonpensi yang didasarkan atas perjanjian yang memuat klausula itu telah melepaskan haknya untuk mengajukan tangkisan tentang adanya klausula arbitrase dalam gugatan konvensi (putusan HR, 8 Januari 1925 hal.350). Pendapat-pendapat tersebut didasarkan pada pendirian bahwa suatu klausula arbitrase adalah "niet van openbare orde".
Kalau kita melihat Putusan-putusan dari Mahkamah Agung Indonesia, terlihat bahwa apabila ada klausula arbitrase maka pengadilan umum tidak berwenang. Mahkamah Agung di dalam putusannya tanggal 22 Pebruari 1982, perkara Ahyu Foresty Company Limited, menyatakan bahwa dalam hal adanya klausula arbitrase Pengadilan Negeri tidak berkuasa mengadili perkara itu.26 Ahyu Forest] Company Limited yang berkedudukan di Korea dan memilih domisili di kantor salah seorang Pengacara di Jakarta digugat oleh partner usahanya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pengadilan menerima dan mengabulkan gugatan penggugat, meskipun tergugat, Ahyu Foresty rnengajukan eksepsi perihal adanya klausula arbitrase di dalam Basic Agreement for Joint Venture yang telah ditutup antara penggugat dan tergugat. Ditingkat banding putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Ditingkat Kasasi Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dibatalkan, keberatan pemohon kasasi (Ahyu Foresty) yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai Dewan Arbitrase sebagaimana disebutkan di dalam Basic Agreement for Joint Venture telah mengikat para pihak sebagai undang-undang (Pasal 1338 8W) dan karenanya putusan Judex Facti telah bertentangan dengan Pasal 615 Rv, dibenarkan. Mahkamah Agung dan membatalkan putusan Judex Fact] dan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini. Di dalam putusan Mahkamah Agung yang lain yaitu No.1371 K/Pdt/1989
26
Lihat Majalah Hukum dan Pembangunan, Nopember 1981, hal.596
tertanggal 29 Juni 1995, dalam perkara antara Yacobus Busono la wan Banque Francaise Du Commerce Exterieur dan Ateliers Allibe & CLE, dipertimbangkan : "keberatan-kebera tan ini dapat dibenarkan, karena JudexFacti telah melanggar tata cara mengadili yang ditentukan oleh Undang-undang seperti yang ditegaskan di dalam Pasal 3 (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang dipertegas lagi dengan yurisprudensi tetap yang memberi wewenang absolut kepada arbitrase penyelesaian sengketa yang timbul dan perjanjian apabila dalam perjanjian termuat klausula arbitrase. bahwa ternyata dalam perjanjian tanggal 23 April 1982 terdapat klausula arbitrase di dalam Pasal 10. Begitu juga di dalam perjanjian tanggal 15 September 1982 di dalam Pasal 9 ada disepakati klausula arbitrase; bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut para pihak telah sepakat secara pacturn de Compremittendo, bahwa penyelesaian sengketa yang timbul dan perjanjian harus diselesaikan oleh lembaga arbitrase. Berarti sejak semula para pihak telah sepakat menyingkirkan kewenangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dan perjanjian dan sepenuhnya secara absolut jatuh menjadi kewenangan arbitrase sesuai dengan yang digariskan di dalam penyelesaian Pasal 3 (1) Undangundang No.14 Tahun 1970".27
27
Pertimbangan yang senada juga ditemui dalam putusan Mahkamah Agung tertanggal 27 Pebruari 1998, No.142 K/Pdt/1996 dalam perkara Pimpinan PT. Asuransi Puri Asih cabang Padang vs Sidi Sabirin.
Di dalam perkara tersebut Yacob Busono menggugat Banque Francaise Du Commerce Exterieur Cs atas dasar perjanjian kredit antara penggugat dengan tergugat I. Gugatan penggugat tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Walaupun tergugat telah mengajukan eksepsi yang intinya adalah, bahwa dalarn perjanjian mereka tertanggal 23 April 1982 Pasal 11 dan tanggal 15 September 1982 Pasal 10, disebutkan secara tegas bahwa "The owner and the contractor shall settle amicably any dispute arising between them. In case dispute cannot be solve amicably : the dispute shall be finally settled by one or two arbitrators in accordance with the United Nation Commissions on International Law (Uncitral) arbitration rule", sehingga dengan adanya klausula ini Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini. Di dalam perkara antara PT. Asuransi Hastin (Penggugat) berlawanan dengan PT. Pool Asuransi Indonesia (Tergugat) Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang mengadili perkara ini ditingkat pertama menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini oleh karena didalam Polis Kebakaran Indonesia (PSKI) yang disepakati oleh Penggugat dengan Tergugat didalam pasal XXI ditentukan bahwa apabila terjadi perselisihan antara Penanggung dan Tertanggung, maka perselisihan tersebut akan diselesaikan oleh Arbitrase. Putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi DKI tertanggal 14 Oktober 1997 No.558/Pdt/1997/ PT.DKI dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Utara berwenang untuk memeriksa perkara ini dan oleh karena itu
Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk memeriksa pokok perkara; Selanjutnya Pengadilan Tinggi mempertimbangkan bahwa di dalam Facultative Fire Reinsurance Slip tidak dicantumkan secara tegas bahwa dalam hal ada sengketa, hal tersebut akan diselesaikan znelalui arbitrase. Seandainyapun di dalam perjanjian ditentukan secara tegas berlakunya kondisi klausula pasal XXI PSKI, selain sengketa mengenai besarnya kerugian dan kerusakan, pan pihak tetap bebas memilih upaya hukum yang ditempuh, termasuk menyerahkan perkaranya melalui Pengadilan Negeri. Di tingkat Kasasi putusan Pengadilan Tinggi tersebut dibatalkan dan Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 10 September 1999 No.3942 K/Pdt/1998, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa dengan adanya klausula di dalam Pasal XXI PSKI yang menentukan bahwa bila terjadi perselisihan maka akan diselesaikan secara arbitrase, hal mana berarti bahwa sengketa ini merupakan kompetensi absolut dan arbitrase dan Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini. Bahkan di dalarn putusan Mahkamah Agung tertanggal 15 Januari 1998 No.1688 K/Pdt/1991, lebih jauh lagi menafsirkan kompetensi arbitrase tersebut. Di dalam putusan tersebut dipertimbangkan antara lain sebagai berikut : Menimbang, dalam perkara ini Judex
Facti telah melarnpaui
batas
kewenangannya, karena telah melanggar ketentuan pasal VIII Agreement (persetujuan) yang tercantum dalam surat bukti P - 1; Dalam pasal ini para pihak secara tegas menyepakati semua persengketaan yang timbul akan diselesaikan
secara damai that any and all disputes arrising out of this contract shall, as for as possible be settled amicably); Bahwa pengertian amicable atau amicably (secara damai), adalah penyelesaian di luar proses peradilan atau litigasi dengan sistem adversarial, tetapi diselesaikan dengan cara persaudaraan riendly) di luar proses peradilan biasa (ordinary court); Pada laziinnya penyelesaian sengketa dengan klausula amicable, merupakan rangkaian yang tidak terpisah dengan klausula arbitrase (arbitral clause); Acuan penerapan klausula amicable: Prioritas penyelesaian sengketa, harus ditempuh para pihak melalui negoizasi secara persaudaraan untuk inencapai perdamaian; Apabila tidak tercapai perdamaian, penyelesaian ditingkatkan melalui arbitrase. Berdasarkan tata cara penyelesaian sengketa (settlement method) yang dikemukakan di atas apabila berhadapan dengan klausula amicable, Pengadilan Negeri sebagai peradilan biasa tidak berwenang untuk ima, memeriksa dan mengadilinya, sebab klausula tersebutmener telah menial bulkan akibat hukum (legal effect) kompetensi absolut penyelesaian jatuh menjadi yurisdiksi perdamaian atau arbitrase; Dengan demikian Pengadilan Negeri harus menyatakan din tidak berwenang untuk mengadili, karena apa yang disengketakan berada diluar yurisdiksi absolut peradilan biasa.
Sekiranyapun klausula amicable di dalam kasus ini terbatas untuk penyelesaian damai tanpa dikaitkan dengan penyelesaian melalui arbitrase, langkah pertama penyelesaian sengketa yang harus ditempuh para pihak adalah Tempuh dulu secara formil penyelesaian damai sesuai dengan klausula amicable; Sekiranya sudah ditempuh cara penyelesaian damai secara formil tidak dicapai penyelesaian, Baru dapat dimintakan penyelesaian melalui Pengadilan Negeri; Sebab dengan adanya amicable clausula, penyelesaian pertama (the first resort) adalah perdamaian dan Pengadilan Negeri menjadi the last resort (tahap akhir) apabila tidak tercapai perdamaian. Menimbang, dan basil pemeriksaan berkas perkara dalam tingkat kasasi, tidak ada fakta dan bukti bahwa para pihak telah mengupayakan penyelesaian perdamaian secara formil. Oleh karena itu, gugat mengandung cacat formil dan selama penyelesaian damai belum ditempuh para pihak, belum terbuka kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang timbul dalam kasus ini". Dengan demikian menjadi pertanyaan adalah apakah arbitrase tersebut merupakan suatu peradilan. Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 3 (1) Undangundang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa semua peradilan diseluruh Indonesia adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan Undang-undang. Di dalam penjelasan dan pasal tersebut disebutkan bahwa di camping Peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan yang
dilakukan oleh bukan Badan Peradilan. Namun di bagian lain dikatakan bahwa "Setiawan, Malasalah-masalah Hukum dalam Arbitrase, Pustaka Peradilan Jilid penyelesaian perkara diluar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan. jadi arbitrase adalah suatu bentuk peradilan, walaupun ia adalah suatu bentuk penyelesaian perkara di luar pengadilan, sehingga W.C.L. Van der Grinten menyebutnya sebagai "particuliere rechtspraak"." Kesimpulan yang menyebutkan arbitrase adalah suatu bentuk peradilan oleh karena arbitrase adalah suatu bentuk peradilan dan mempunyai kesamaan ciri dan suatu lembaga peradilan. F.E Van der Hijden" menyebutkan 4 ciri dari suatu peradilan yaitu : 1.
there should be a settlement of a conflict;
2.
the conflict must be decided on the basic law;
3.
it should be decided by a third party;
4.
and the parties in the conflict should be bound by the decision.
Melihat keempat ciri itu, maka keempat ciri tersebut ada pada arbitt;age sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Para arbiter pada dasarnya menentukan suatu sengketa menurut peraturanperaturan hukum, tetapi juga selalu harus memperhatikan kebiasaan, kepatutan dan keadilan. Arbitrase masih juga dapat dinamakan peradilan meskipun ia tidak hanya
berwenang memutus menurut hukum, melainkan juga untuk memutus menurut kebijaksanaan - goede mermen naar Kecenderungan untuk memutus berdasar asas ex aequo et bono atau als goede mennen naar billijkheid juga tampak di lingkungan peradilan formal. Peranan Hakim dalam menafsirkan suatu perjanjian atas dasar azas itikad balk semakin besar pula." Hakekat sebenarnya suatu perjanjian, maksud tersembunyi para pihak, interpretasi terhadap apa yang telah disepakati dan akhirnya peranan unsur itikad tidak balk memberikan kemungkinan yang cukup besar - juga dalam kerangka peradilan formal - untuk mengadakan suatu penyimpangan dari hukum yang berlaku, apabila Hakim berpendapat bahwa penerapan peraturan yang berlaku jelas-jelas tidak (tapi sering tidak dilakukan oleh hakim yang cenderung menerapkan interprestasi harfiah saja sehingga mengakibatkan peradilan yang yuridis formal belaka). Seorang arbiter seperti juga halnya dengan seorang Hakim, adalah pihak ketiga yang tidak boleh memihak. Apabila terdapat kenyataan bahwa arbiter atau Hakim itu merupakan pihak dari salah satu partai,35 maka pihak yang lain mempunyai hak ingkar. Di dalam Pasal 2 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ditentukan sebagai berikut : 1.
Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan kerugian bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil
keputusan. 2.
Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan salah satu pihak atau kuasanya. Hal ini mutlak benar, karena biasanya para pihak masing-masing memilih
seorang arbiter, dan masing-masing memilih arbiter ketiga (yang tidak berfihak) sebagai Ketua/Umpire. Putusan arbitrase juga mengikat kedua belch pihak yang berperkara, seperti halnya juga putusan Hakim. Dan dengan demikian putusan arbitrase juga mempunyai kekuatan eksekutorial. Di dalam rumusan ketentuan Pasal 60 Undangundang No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dan di dalam rumusan ketentuan Pasal 61 ditentukan bahwa apabila para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, maka putusan dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersangkutan. Perintah ini biasanya disebut sebagai eksequator. Dahulu pada waktu Rechterlijke Organisatie dan Rechtsvordering masih berlaku, di dalam rumusan ketentuan Pasal 163 (2) RO dinyatakan bahwa Mahkamah Agung (Hoog gerechtsho.0 mengadili dalam tingkat banding (hoger beroep) terhadap putusan-putusan arbitrase di seluruh Indonesia apabila tuntutannya tidak ternyata kurang dan £500 (lima ratus gulden). Kemudian rumusan ketentuan Pasal 641 Rv menyatakan bahwa terhadap putusan-putusan wasit yang diberikan dalam tingkat pertama sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 163 RO dapat dimintakan banding kepada Mahkamah Agung (Hoog Gerechtshof) apabila pokok perselisihan berharga lebih dan £500 kecuali jika dalam kompromi pihak-pihak secara tegas (ultdrukkeln'k) menyata-kan melepaskan haknya untuk banding, Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1950 LN 1950 No.30 yaitu Undangundang tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, Pasal 15 Jkt.Selatan tanggal 16 Pebruari 2000, yang telah dibahas didepan. ditentukan bahwa Mahkamah Agung juga memutuskan pada tingkatan peradilan kedua atas putusan-putusan. Wasit yang ternyata mengenai nilai harga Rp. 25.000,- atau lebih yang acaranya diatur di dalam Bab VI tentang jalan Pengadilan pada tingkat kedua bagi putusan-putusan Wasit. Undang-undang No.1 tahun 1950 ini kemudian dicabut oleh Undang-undang No.13 Tahun 1970 (pasal 70). Di dalam Dab IV paragraf 2 tentang kekuasaan Mahkamah Agung, tidak ternyata terdapat ketentuan adanya kewenangan Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutuskan pada tingkat kedua atas putusan wasit. Undang-undang No.14 Tahun 1970 pun (yang mencabut Undang-undang No.13/1965) tidak menentukan dan mengatur tentang adanya kewenangan Mahkamah Agung memeriksa dan memutuskan dalam tingkat kedua (banding) atas putusan wasit. Undang-undang No.14 Tahun 1985 yaitu Undang-undang Mahkamah Agung juga tidak mengatur dan menentukan adanya kewenangan Mahkamah Agung untuk
memeriksa dan mengadili dalam tingkat kedua terhadap putusan wasit. Apabila kita melihat Putusan-putusan Mahkamah Agung, sesudah berlakunya Undang-undang No.14 Tahun 1985, dapat dikatakan bahwa semua menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili dan memeriksa perkara-perkara dalam tingkat banding (atau kasasi) terhadap putusan yang diambil oleh arbitrase." Putusan-putusan yang dapat disebutkan di sini adalah : 1. Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Juli 1997 No.01/ Banding/Wasit/1994 antara PT. Sukandi Bogarasa Indonesia lawan PT. Dharmala Intiland. " Walaupun Mahkamah Agung tidak lagi berwenang untuk memeriksa perkara banding atas putusan wasit, namun perkara yang ditemui oleh Mahkamah Agung berupa banding atas putusan wasit (arbitrase) masih saja ada untuk itu. 2.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Nopember 1996 No.01/Banding/Wasit/1996 dalam putusan antara PT. Santosa Asir Jaya lawan PT. Telkom Wilayah Usaha Telkom III SumBagSel."
3.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Juni 1999 No.01/ Banding/Wasit/1999 dalam perkara antara Jaw Johan Jahya Sutandar lawan PT. Jaya Nur Sukses Di dalam putusan
Mahkamah Agung tanggal
8 Juli
1996 No.
01/Banding/Wasit/96, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa karena Undang-undang No.14 Tahun 1985 tidak memberikan kewenangan kepada
Mahkamah Agung untuk bertindak sebagai peradilan banding atas putusan wasit, maka
Mahkamah
Agung
tidak
berwenang
untuk
memeriksa
permohonan banding atas putusan arbitrase. Tetapi di dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Juni 1999 No.01/Banding/ Wasit/1999, yang menjadi pertimbangannya adalah "Menuitut ketentuan Pasal 641 (1) Rv Jo Pasal 377 RIB antara lain menentukan bahwa banding terhadap putusan wasit diperkenankan, kecuali apabila para pihak secara tegas melepaskan haknya untuk banding". -
bahwa Pasal 21.1 dan Pasal 21.4 dan "Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli satuan Rumah Susun' antara kedua belah pihak tanggal 4 Nopember 1994 dinyatakan antara lain bahwa "Arbitrase akan menetapkan keputusannya secara tertulis dan memuat hal-hal yang menjadi dasar dan keputusan tersebut, keputusan mana adalah keputusan akhir yang mengikat (final dan binding) dan karenanya para pihak berjanji dan mengikatkan diri untuk tunduk, mematuhi dan melaksanakan. keputusan tersebut dan apabila diperlukan, pelaksanaan dan keputusan dimaksud akan dilaksanakan dengan bantuan Pengadilan Negeri yang berwenang untuk itu", hal mana dapat ditafsirkan bahwa kedua belah pihak pada saat membuat dengan kata lain mereka telah melepaskan haknya untuk banding tersebut. Melihat kedua dasar pertimbangan tersebut di atas, maka apabila kita melihat
pertimbangan di dalam perkara No.01/ Banding/Wasit/1999, bahwa apabila tidak ada klausula melepaskan haknya untuk banding dapat diartikan Mahkamah Agung
berwenang untuk mengadilinya. Oleh karena itu menurut pendapat penulis pertimbangan Mahkamah Agung yang pertama No.01/banding/wasit/1994 adalah lebih tepat untuk menutup kemungkinan banding atas putusan arbitrase. Dan alangkah baiknya bila Pengadilan Negeri tidak lagi menerima permohonan banding yang diajukan oleh para pihak yang diajukan Melalui Pengadilan Negeri. Walaupun dan putusan tersebut di atas terlihat bahwa pada pokoknya lembaga peradilan (khususnya Pengadilan Umum) telah mengakui adanya kompetensi absolut dan arbitrase bila dalam perjanjian ada klausula untuk itu, namun masih juga kita jumpai adanya putusan yang menyimpang dan itu. Hanya saja bahwa penyimpangan itu tidaklah terlalu banyak, karena masih adanya pandangan bahwa Klausula arbitrase bukan public orde. Klausula Arbitrase dan Kontrak Standar Di dalam perkara antara Ny.Tan Tio Sardhono melawan PT.Priscopi Insurance Company LTD, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya tanggal 4 Juni 1986 No.512/Pdt/G/ 1985 mempertimbangkan bahwa: Klausula arbitrase a quo merupakan pactum de compremi- ttendo, yang sesuai perkembangan hukum barn, menurut pendapat Majelis dewasa ini tidak dapat dibenarkan untuk asuransi, terutarna in casu, karena perkara ini tidak sekedar quantum dan tanggung gugat yang tidak dipermasalahkan, melainkan tanggung gugat itu sendiri, yang bersifat yuridis benar. Karena polis a quo merupakan perjanjian standar yang dirumuskan sepihak oleh penanggung, penafsiran ketentuanketentuan termasuk
klausula arbitrasenya, harus dilakukan contra prate renten (Pasal 1349 BW) . Selain dari itu, klausula arbitrase a quo adalah kabur dan tidak jelas, sehingga memberi peluang bagi suatu pihak untuk mengulur waktu mengenai pengangkatan arbiter dan dengan demikian melawan azas peradilan sederhana, cepat, biaya ringan. Sebaliknya demikian majelis, klausula arbitrase a quo mengandung diskriminasi karena a pa bila penanggung yang hendak melancarkan tindakan hukum, maka hukum tersebut akan melalui Pengadilan, sedangkan lain pihak hak tersebut tidak diberikan kepada tertanggung. Menurut Majelis, penggugat menjadi beneficiary strooman belaka dalam claim ansuransi a quo. Kasus a quo berkaitan dengan tindakan pidana dan karenanya menyangkut coal ketertiban umum (public orde, public policy) , sehingga pada hakekatnya perkara a quo tidak boleh dijamah arbitrase dan klaustfla arbitrase a quo tidak dapat mencakupnya sehingga perkara a quo harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding." Dan putusan ini terlihat, bahwa karena kontrak ini didasarkan pada kontrak standard yang dirumuskan sepihak oleh penanggung, maka penafsirannya dilakukan dengan contra proferentem yaitu jika ada keragu-raguan, maka persetujuan harus ditafsirkan bagi kerugian orang yang. minty diadakan perjanjian dan keuntungan pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian. Mengenai standard kontrak ini, beberapa dasawarsa terakhir meningkat dengan tajam. Dalam perkembangan PT.DKI . Putusan ini tidak dimohonkan kasasi sehingga kita tidak dapat mengetahui pendapat dan Mahkamah Agung.
yurisprudensi Indonesia, Hakim atas permintaan dan para pihak dapat menyatakan suatu syarat menjadi batal. Hal ini terlihat misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur riba. Di Inggris, pada tahun 1977 telah diundangkan Unfair Contract Terms Act, yang merupakan kelanjutan dan The Sales of Goods Act tahun 1893. Keadaan Undang-undang ini memberikan kewenangan pada Hakim untuk menentukan apakah dalam suatu kontrak tertentu terdapat syarat yang memberatkan ataukah tidak, serta apakah syarat itu pantas atau tidak." Dalam kasus yang lain, terlihat pula Mahkamah Agung tidak mengharuskan adanya klausula arbitrase dalam perjanjian. Kasus PT. United Contractor dengan PT. Intan Cemerlang, Mahkamah Agung" berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, sudah tepat dan benar, yang menyirnpulkan: -
klausula arbitrase yang tercantum di dalam Pasal 21 Surat Perjanjian hanya merupakan formalitas.
-
lagi pula ada adagium, bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, belum dapat menyelesaikan sebagaimana yang diharapkan.
-
dengan demikian meskipun ada klausula arbitrase, pengadilan tetap berwenang memeriksa dan mengadili sengketa yang timbul dan perjanjian ". Kemungkinan Untuk Pembatalan Arbitrase. Walaupun di dalam Pasal 60 Undang-undang No.30 Tahun 1999, dinyatakan bahwa putusan arbitrase bersilat final dan
"Putusan Mahkamah Agung tertanggal 10 Pebruari 1983 No.3804 K/Sip/1983 yang mempertimbangkan bahwa perjanjian jual bell dengan hak membeli kembali praktek dipakai untuk menghindari Undang-undang jual hell uang (gled schieters ortodonatie) sama dengan riba. Putusan Mahkamah Agung tertanggal 4 Mei 1988, No.3179 K/Pdt/1984. mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, namun di dalam Pasal 70 Undang-undang No.30 Tahun 1999, masih dimungkinkan putusan arbitrase itu dibatalkan. Permohonan pembatalan itu dapat diajukan kepada Ketua pengadilan Negeri (Pasal 72) Adapun alasan untuk membatalkan suatu putusan arbitrase adalah: 1.
surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2.
setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan atau;
3.
perkara diambil dan hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemalsuan sengketa (Pasal 70)
Di dalam Peraturan BANI dan UNCITRAL ARBITRATION tidak meriptur pembatalan arbitrase ini. Menurut Yahya Harahap, apabila Rule yang disepakati tidak mengatur pembatalan, maka ada 2 pendapat : a. Pendapat pertama, pembatalan berpedoman kepada ketentuan Rv. Hal ini barangkali dimungkinkan kalau rule disepakati Peraturan BANI. Alasannya, selain dan pada Peraturan BANI sangat singkat, pada umumnya pasal-pasal
peraturan ini banyak merujuk kepada ketentuan Rv. Lagi pula ketentuan Rv, sebagai perundang-undangan arbitrase yang berlaku sebagai pedoman arbitrase domestik nasional, jangkauannya meliputi prosedur peraturan BANI. Lain halnya jika rule yang disepakati konvensi Internasional. Konvensi arbitrase Internasional sifatnya meliputi transnasional. Oleh karena itu Rv tidak bisa mencampuri meskipun konpensi internasional tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. b. Pendapat kedua, tertutup selamanya. Pembatalan yang terbuka adalah upaya interpretasi (interpretation of the award); koreksi (correction of the award) tambahan (additional award) Menurut pendapat penulis ketentuan di dalam Pasal 70 Undang-undang No.30, merupakan ketentuan yang mengikat, sehingga tidak perlu di persoalkan apakah Rule yang dipakai oleh Arbitrase mengatur atau tidak mengatur adanya pembatalan. Apabila suatu putusan arbitrase asing akin dilaksanakan di Indonesia, dan ternyata ada alasan untuk membatalkannya, maka Pasal 70 tersebut dapat digunakan. Keputusan Arbitrase Asing yang Diatur Dalam Undangundang No.30 tahun 1999 Undang-undang No.30 Tahun 1999 mempergunakan istilah putusan Arbitrase Internasional untuk putusan yang diambil oleh arbitrase di luar wilayah hukum Indonesia. Di dalam penjelasan umum butir 9 disebutkan sebagai berikut : Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu
lembaga arbitrase atau arbitor perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbitrase perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional". Dan rumusan ini maka ada hal yang menurut hemat penulis kurang tepat. Istilah Arbitrase Internasional dapat menimbulkan persepsi yang salah. Apabila dalam Undangundang tersebut
tidak diberikan pengertian apa
arbitrase
Internasional tersebut, maka orang dapat mempunyai assosiasi pemikiran bahwa ada suatu Badan Internasional yang menangani arbitrase. Orang mungkin berfikir bahwa arbitrase Internasional tersebut adalah sama dengan lembaga Mahkamah Internasional yang ada di Den Haag. Menurut hemat saya bahwa istilah yang tepat adalah arbitrase asing atau luar negeri atau arbitrase internasional, kalau arbitrase itu dilaksanakan oleh badan arbitrase seperti ICSID, misalnya. Kemudian dalam rumusan tersebut di atas, pembuat Undang-undang mempergunakan fiksi yaitu "dianggap suatu putusan arbitrase internasional". RuTnusan mi apabila ditafsirkan secara a Con trario dengan kalimat sebelumnya, maka dapat ditafsirkan bahwa ada putusan arbitrase yang diambil oleh arbitrase dalam negeri Republik Indonesia dapat juga dipandang sebagai putusan arbitrase asing atau arbitrase internasional. Kalau demikian halnya maka kita akan dihadapkan pada persoalan hukum yang sangat rancu. Pengaturan pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional (luar negeri) diatur didalam Bab VI Bagian Kedua, Pasal 65 sampni dengan Pasal 69
Undang-undang No.30 Tahun 1999. Pasal 65 mengatur tentang kompetensi. Di dalam pasal ini ditentukan bahwa hanya Pengadilan Negeri Jakarta. Pusat yang berwenang nenanqani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional. Ketentuan mi sama dengan Pasal 1 PERMA No.1 tahun 1990. Pasal 66 mengatur tentang syarat-syarat dan suatu putusan arbitrase Internasional (luar negeri) yang dapat dilaksanakan di Indonesia, syarat-syarat tersebut adalah a. putusan ini dijatuhkan oleh Arbitrase (badan atau perorangan) di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersamasama dengan Negara Indonesia terikat dalam suatu Konvensi Internasional mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional. Ketentuan ini sama dengan Pasal 3 ayat (1) PERMA No.1/ 1990. Syarat ini menganut azas Resiprositas. Dari azas ini, dapat diartikan bahwa tidak semua putusan arbitrase asing dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia." Putusan arbitrase asing yang diakui dan dapat dieksekusi hanya terbatas pada putusan yang diambil di negara asing yang mempunyai hubungan ikatan dengan Republik Indonesia dalam ikatan bilateral atau yang terikat bersama dengan negara Republik Indonesia dalam suatu konvensi internasional. b.
putusan itu termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Ketentuan ini berbeda dengan rumusan di dalam Pasal 3 ayat (2) PERMA No.1 tahun 1990, yang merumuskan bahwa hanya yang masuk dalam ruang lingkup hukum
dagang menurut hukum Indonesia. Rumusan didalam Pasal 65 b tersebut dapat menimbulkan permasalahan penafsiran yaitu apabila antara negara Republik Indonesia dengan negara dimana putusan Arbitrase tersebut dibuat terdapat perbedaan mengenai apa yang masuk dalam pengertian hukum perdagangan. c.
tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Hal ini sama dengan Pasal 3 ayat (3) PERNA No.1 tahun 1990.
d.
putusan Arbitrase Internasional (luar negeri) dapat dilaksanakan apabila telah memperoleh eksequatur dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ketentuan ini berbeda dengan Pasal 3 ayat (4) PERMA No.1 tahun 1990. Didalam PERMA tersebut ditentukan bahwa eksequatur atau putusan Arbitrase Asing diberikan oleh Mahkamah Agung. Permasalahan yang muncul dengan perbedaan ini adalah bagaimana menyelesaikan pemohon eksequatur yang sekarang ini masih ada di Mahkamah Agung dan belum diputus. Aturan peralihan yang termuat di dalam Bab X Undang-undang No.30 tahun 1999 tidak mengaturnya. Saya berpendapat bahwa permohonan exequatur yang belum diputus oleh Mahkamah Agung harus diserahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
e.
apabila salah satu pihak yang bersengketa dalam arbitrase Luar Negeri adalah Pemerintah maka putusan Arbitrase Luar Negeri tersebut baru dapat dilaksanakan bilamana telah mendapat eksekuatur dan Mahkamah Agung. Pasal 67 ayat (1) sama dengan Pasal 5 ayat (1) sedangkan Pasal 67 ayat (2)
sama dengan Pasal 5 ayat (4) PERNA No.1 Tahun 1990. Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) mengatur tenting putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili permohonan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional (luar negeri). Putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan permohonan, tidak dapat diajukan banding atau kasasi, sedangkan apabila permohonan tersebut ditolak maka pemohon dapat mengajukan kasasi. Penggvnaan istilah putusan dalam pasal 68 tersebut dapat menimbulkan salah pengertian, karena menurut acara perdata dalam praktek peradilan istilah putusan hanya dikenal dalam perkara gugatan. Apabila perkara tersebut bersifat permohonan maka perkara tersebut diselesaikan dengan bentuk penetapan." Pada waktu PERMA No-1 tahun 1990 masih berlaku maka Eksequatur yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dilakukan dalam bentuk Penetapan. Apakah di dalam Undang-undang No.30 tahun 1999 ini, dikehendaki eksequatur ataupun penolakan eksequatur harus dalam bentuk putusan, tidak jelas. "Didalam praktek peradilan hanya ada 2 macam permohonan yang diputuskan : 1.
Permohonan Kepailitan karena berdasarkan ketentuan Undang-undang No.4 tahun 1998.
2.
Permohonan Pengangkatan anak antar warga negara yang berbeda (Inter Country adoption) karena berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tabun 1979 Jo SEMA No.6 Tahun 1983.
Tetapi apabila kita mengacu pada ketentuan Pasal 67 (1) Undang-undang No.30 Tahun 1999 tersebut, maka bentuknya
adalah penetapan, karena dalam pasal tersebut disebutkan permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional. Menurut Pasal 637 Rv bentuk dan eksequator adalah : pemerintah Ketua Pengadilan Negeri yang berisi catatan, putusan arbitrase yang bersangkutan dapat dieksekusi; catatan tersebut dituliskan di atas putusan arbitrase tersebut; apabila perintah akan dikeluarkan, dibuat salinannya. Tentang perbuatan salinan tersebut, menurut hemat penulis, setelah Ketua Pengadilan Negeri memberikan eksequatur maka selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan "Surat Penetapan" yang berisi perintah pelaksanaan eksekusi. Perintah pelaksanaan tersebut baru dikeluarkan apabila :
keputusan arbitrase tidak dilaksanakan dengan sukarela deli salah satu pihak;
ada permintaan dan salah satu pihak. Jadi dengan mengacu kepada ketentuan Rv tersebut, dan praktek selama ini,
penulis berpendapat bahwa eksequatur (yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing) cukup dilakukan dengan penetapan balikan cukup dengan memberikan fiat di sudut kiri atas putusan arbitrase yang bersangkutan. Akan tetapi apabila Pengadilan Negeri menolak untuk memberikan eksequatur (eksequatur ditolak), maka penolakannya tersebut harus dilakukan dengan putusan, karena dalam Pasal 68 (2) Undang-undang No.30 Tahun 1999 menentukan bahwa putusan Ketua Pengadilan Negeri yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi." Undang-undang ini tidak mengatur tata cara mengajukan kasasi, sehingga
menurut pendapat penulis, hukum acara yang berlaku adalah Undang-undang No. 14 Tahun 1985. Di dalam ayat 4 Pasal 68 tersebut, ditentukan pula bahwa putusan Mahkamah Agung yang disebut di dalam Pasal 66 huruf c, tidak dapat digunakan upaya perlawanan. Di dalam hukum acara perdata, dikenal dua macam bentuk perlawanan yaitu perlawanan terhadap putusan Verstek (Pasal 129 (1) HIR/153 (1) RBg), dan perlawanan terhadap sita eksekusi atau sita jaminan (Pasal 195 ayat (6) jo Pasal 227 (3) FUR /206 (6) RBg) Menurut pendapat saya bahwa yang dimaksudkan dengan perlawanan di sini adalah perlawanan terhadap eksequatur. Ini berarti bahwa setelah putusan arbitrase mendapatkan eksequatur dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung dengan send i rinya putusan arbitrase Asing sudah harus dilaksanakan. Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah Pasal 66 huruf e, apakah penetapan Mahkamah Agung dapat diajukan Peninjauan Kembali. Apabila kita mengacu Kepada Pasal 67 UU No.14 tahun 1985 dimana ditentukan bahwa : "Permohonan Peninjauan Kembali putusan perkara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasar alasan-alasan sebagai berikut : Maka putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dimohonkan PK Tetapi sebenarnya apa yang dilakukan oleh Mahkamah Agung di dalam menangani putusan Arbitrase luar negeri, tidak mengambil suatu putusan dalam arti memutuskan suatu sengketa, melainkan Mahkamah Agung hanya memberikan persetujuan atau tidak
memberi persetujuan atas pelaksanaan suatu putusan arbitrase. Dan dengan demikian penetapan Mahkamah Agung yang diambil berdasarkan pasal 66 e tersebut tidak dapat dimohonkan Peninjauan Kembali. Hal tersebut telah membuktikan pula bahwa penggunaan istilah "putusan' di dalam memberikan exequatur tidaklah tepat. E. Sengketa Mengenai Arbiter Siapa yang berwenang memutus sengketa arbiter? Apakah sengketa arbiter menjadi yurisdiksi pengadilan atau badan kuasa (badan arbitrase) yang telah ditunjuk berdasar kesepakatan para pihak? Umpamanya salah satu pihak mengajukan keberatan atau perlawanan kepada salah seorang arbiter yang ditunjuk oleh pihak lain. Bisa juga terjadi, salah satu pihak keberatan kepada salah seorang arbiter yang ditunjuk oleh badan kuasa yang telah disepakati. Misalnya, para pihak telah sepakat menunjuk BANI sebagai badan arbitrase dan sekaligus memberi kuasa kepada BANI untuk menunjuk arbiter yang akan duduk dalam Mahkamah Arbitrase, salah satu pihak keberatan terhadap salah seorang arbiter. Pengadilan atau BANI-kah yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut? Persoalan keberatan terhadap seorang arbiter yang diajukan salah satu pihak, pada hakikatnya barn merupakan sengketa yang sungguh-sungguh apabila pihak lawan tidak menyetujui keberatan. Sekiranya pihak lawan dapat menyetujui, mungkin mereka dapat mencapai penyelesaian untuk menunjuk arbiter pengganti berdasar kesepakatan. Tetapi kalau pihak lawan tidak setuju dan tetap ingin mempertahankan arbiter yang dilawan, sulit untuk mencari penyelesaian berdasar kesepakatan. Misalnya, pihak claimant telah menunjuk seorang arbiter. Pihak
respondent keberatan terhadap arbiter tersebut. Terhadap keberatan, pihak claimant menolak dan tetap mempertahankan arbiter yang ditunjuknya. Pengadilan atau badan mana yang berwenang memeriksa dan memutus? Kira-kira demikian permasalahan yang bisa timbul mengenai sengketa terhadap arbiter. Untuk mencari jawaban badan mana yang berwenang menyelesaikan sengketa arbiter yang terjadi, pada dasarnya bertitik tolak dari perjanjian arbitrase itu sendiri. Dari segi perjanjian ditentukan badan mana yang berwenang menyelesaikan sengketa arbiter. Dengan demikian, dijumpai beberapa versi tata cara penyelesaian perlawanan terhadap arbiter. 1. Menurut Versi Rv Diselesaikan Pengadilan Apabila perjanjian arbiter tidak menunjuk suatu badan kuasa yang akan bertindak sebagai arbitrase, penyelesaian persengketaan mengenai arbiter jatuh menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Penyelesaian persengketaan arbiter akan diputus dan diangkat oleh hakim. Penyelesaian dan pengangkatan arbiter akan dilakukan hakim atas permohonan salah sate pihak. Tata cara penyelesaian persengketaan arbiter yang demikian diatur dalam Pasal 619 Rv. Menurut pasal tersebut, apabila para pihak mengikat diri bahwa persengketaan yang timbul dari perjanjian akan diserahkan penyelesaiannya kepada seorang atau beberapa orang arbiter, kemudian para pihak tidak mencapai kata sepakat untuk menunjuk arbiter, atas permohonan pihak yang palint berkepentingan, arbiter atau para arbiter akan diangkat oleh hakim. Pengadilan atau hakim yang akan bertindak menyelesaikan berpedoman pada kompetensi relatif. Jika sekiranya
sengketa yang terjadi menurut kompetensi yang diatur dalam Pasal 118 HIR menjadi kewenangan relatif PN Bandung maka yang berwenang menyelesaikan sengketa arbiter adalah PN Bandung. Akan tetapi seperti yang sudah disinggung di atas, melekatnya kewenangan absolut pengadilan untuk menyelesaikan sengketa arbiter, apabila perjanjian arbitrase tidak menunjuk suatu badan arbitrase tertentu atau perjanjian tidak menunjuk suatu rule arbitrase tertentu. Ikatan perjanjian arbitrase yang disepakati para pihak hanya memuat klausula yang bersifat umum. Misalnya, klausula hanya mengatakan: "perselisihan yang timbul akan diselesaikan atau diserahkan kepada arbitrase". Atau klausulanya hanya menyatakan arbitration to be settled inJakarta. Klausula semacam ini, tunduk sepenuhnya kepada ketentuan arbitrase yang diatur dalam pasal-pasal Rv. Oleh karena itu, apabila timbul sengketa arbiter di antara para pihak, cara penyelesaian tunduk sepenuhnya kepada ketentuan Pasal 619 Rv. Adalah keliru anggapan bahwa setiap sengketa arbiter yang terjadi di antara para pihak diselesaikan melalui pengadilan. Kekeliruan anggapan tersebut, tampaknya cenderung diperpegangi oleh sementara hakim tanpa mempersoalkan bagaimana isi perjanjian. Supaya hakim tidak sampai tergelincir menyelesaikan apa yang bukan kewenangannya, pada scat menerima permohonan sengketa arbiter, dia harus lebih dulu meneliti secara cermat isi perjanjian. Apabila rumusan klausula arbitrase bersifat umum tanpa menunjuk suatu badan atau rule arbitrase tertentu, barulah hakim berwenang untuk memeriksa dan memutus berdasar Pasal 619 Rv. Tetapi apabila perjanjian arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo
maupun pada akta kompromis telah ada menunjuk badan atau rule arbitrase tertentu, gugur hak dan kewenangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa arbiter. Atau bisa juga terjadi gugurnya kewenangan pengadilan meskipun klausula arbitrase yang dituangkan dalam perjanjian pactum de compromittendo bersifat umum, apabila sesudah terjadi perselisihan para pihak telah sepakat menunjuk badan atau rule arbitrase tertentu. Misalnya, klausula arbitrase bersifat umum. Setelah terjadi perselisihan, guna merealisasi klausula arbitrase yang bersifat umum tadi, para pihak tidak mencapai kata sepakat menunjuk BANI atau ICC sebagai badan arbitrase yang akan menyelesaikan persengketaan. Dalam kasus yang demikian, apabila terjadi sengketa penunjukan arbiter di antara para pihak, pengadilan tidak lagi berwenang untuk memeriksa dan memutus berdasar Pasal 619 Rv. Badan yang akan menyelesaikan tunduk kepada ketentuan Peraturan Prosedur BANI atau ICC rules. 2. Penyelesaian Sengketa Arbiter oleh Badan atau Rule yang Disepakati Di samping adanya kemungkinan penyelesaian sengketa arbiter jatuh kewenangannya
kepada
pengadilan
melalui
ketentuan
Pasal
619
Rv,
persengketaan semacam itu akan jatuh kewenangannya kepada suatu badan arbitrase tertentu dan bahkan mungkin akan diperiksa dan diputus oleh Permanent Court of Arbitration di Den Haag. Badan arbitrase mana yang akan berwenang menyelesaikan tergantung pada isi perjanjian arbitrase. a. Sengketa Arbiter Diselesaikan Ketua BANI Jika para pihak baik dalam pactum de compromittendo yang langsung melekat
bersamaan dalam perjanjian pokok maupun yang disepakati kemudian dalam akta kompromis telah menetapkan kesepakatan perselisihan akan diselesaikan BAN1, penyelesaian sengketa mengenai arbiter akan ditentukan dan diputus menurut ketentuan Peraturan Prosedur BAN1. Tentang hal itu Pasal 5 ayat (6) telah menggariskan, apabila salah satu pihak keberatan terhadap seorang arbiter yang ditunjuk oleh Ketua BANI, diwajibkan mengajukan alasan. Kalau alasan dapat diterima, Ketua BANI akan menunjuk arbiter lain. Barangkali ada yang berpendapat, kewenangan Ketua BAN! untuk menyelesaikan sengketa arbiter hanya terbatas terhadap kasus arbiter yang ditunjuk sendiri oleh Ketua BANI. Sedang sengketa arbiter yang ditunjuk sendiri oleh para pihak tidak termasuk kewenangan BAN1 tetapi menjadi kewenangan pengadilan. Pendapat itu ada benarnya jika Pasal 5 ayat (6) dikaitkan melalui pendekatan penafsiran sistematik dengan ayatayat sebelumnya, terutama ayat (4) dan (5). Pasal 5 ayat (4) menjelaskan, apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, Ketua BAN1 akan menunjuk suatu tim yang terdiri dari? tiga orang arbiter. Penunjukan arbiter yang demikian menurut ayat (4) apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketa mereka. Dalam peristiwa yang demikian, kewenangan penunjukan arbiter jatuh kepada Ketua BANI. Apabila salah satu pihak mengajukan keberatan terhadap arbiter yang ditunjuk Ketua BANI, Ketua BANI pula yang akan menyelesaikan penunjukan arbiter pengganti. Kalau begitu, cakupan kewenangan Ketua BANI menyelesaikan sengketa arbiter hanya terbatas pada sengketa arbiter yang ditunjuk
Ketua BANI. Tidak meliputi sengketa arbiter yang ditunjuk para pihak. Misalnya, para pihak telah sepakat dalam klausula arbitrase, menunjuk BANI sebagai badan kuasa arbitrase. Berarti masing-masing pihak berhak menunjuk seorang arbiter. Dengan klausula arbitrase yang demikian menurut Pasal 5 ayat (3) Peraturan BANI, arbiter ketiga yang langsung akan bertindak sebagai ketua arbiter, ditunjuk oleh Ketua BANI. Lantas salah satu pihak mengajukan keberatan terhadap arbiter yang ditunjuk pihak lawan, sehingga timbul sengketa mengenai penunjukan arbiter. Menurut pendapat sementara kalangan, persengketaan arbiter dalam kasus yang semacam itu, tidak termasuk kewenangan Ketua BANI untuk menyelesaikan. Karena menurut Pasal 3 ayat (6) jo. ayat (4), kewenangan Ketua BANI menyelesaikan sengketa arbiter, hanya terbatas sepanjang para pihak tidak menunjuk sendiri arbiter sehingga penunjukan jatuh menjadi kewenangan Ketua BANI. Dan apabila salah satu pihak keberatan atas penunjukan yang dilakukan Ketua BAN!, penyelesaian sengketa, peniih menjadi kewenangan Ketua BANI. Tetapi kalau sengketa terjadi terhadap arbiter yang ditunjuk para pihak, berada di luar kewenangan Ketua BANI, tapi beralih menjadi kewenangan pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 619 Rv. Tanpa mengurangi pendapat dan penerapan yang dikemukakan di atas, ada pula sebenarnya pendapat yang lain. Menurut pendapat ini, apabila para pihak telah sepakat menunjuk BANI sebagai arbitrase, para pihak sepenuhnya harus tunduk kepada Peraturan BANI untuk menyelesaikan sengketa arbiter. Apalagi Pasal 5 ayat (6) telah mengatur tenting penyelesaian arbiter. Pendapat ini bertitik tolak dari
pendekatan penafsiran sistematika. Dari sudut pendekatan sistematika, Pasal 5 merupakan aturan tata cara pengangkatan dan penyelesaian sengketa arbiter. Meskipun secara tersurat seolah-olah Pasal 5 ayat (6) jo. ayat (4), hanya menyinggung tata cara penyelesaian sengketa arbiter yang ditunjuk Ketua BANI, ketentuan tersebut harus dibaca secara inklusif meliputi tata cara penyelesaian sengketa arbiter yang ditunjuk para pihak. Pendapat ini selain berdasar alasan penafsiran sistematik, didukung pula oleh alasan tujuan cara-cara penyelesaian arbitrase yang bersifat sederhana dan cepat. Secara perkiraan nyata, sudah pasti lebih sederhana dan lebih cepat penyelesaian sengketa arbiter yang bagaimanapun bentuknya apabila dilakukan oleh Ketua BANI jika dibanding dengan tata cara penyelesaian melalui pengadilan. Oleh kareiaa itu, dengan adanya kesepakatan para pihak menunjuk BANI sebagai badan kuasa arbiter, kesepakatan tersebut dengan sendirinya mengandung konsekuensi ganda. Utama, sepenuhnya para pihak terikat dan menundukkan diri kepada ketentuan Peraturan BANI. Kedua, segala sengketa yang terjadi balk mengenai sengketa arbiter apalagi sengketa pokok yang langsung timbul dari perjanjian, sepenuhnya menjadi kewenangan BANI. Pendapat yang kedua tampak lebih praktis dan realistis. Pendapat tersebut mampu menghindari proses penyelesaian sengketa arbiter yang berbelit apabila sengketa arbiter alam kasus yang seperti itu dilimpahkan menjadi kewenangan pengadilan. Cuma belum dapat dilakukan pemantauan, ke arah mana praktek lebih cenderung. Apakah kewenangan Ketua BANI meliputi segala jenis sengketa arbiter tanpa mempersoalkan ditunjuk para pihak atau ditunjuk Ketua BANI.
Sebabnya belum dapat dilakukan pemantauan, masih langkah sekali kasus sengketa arbiter yang terjadi pada kurun masa yang lalu. Namun kita yakin, di masa-masa yang akan datang permasalahan sengketa arbiter akan merupakan salah satu masalah yang tak dapat diabaikan, jika dilihat arus semakin besarnya minat dan kesadaran masyarakat bisnis untuk menyelesaikan persengketaan melalui arbitrase. b. Sengketa Arbiter Kewenangan Chairman ICSID Apabila para pihak telah mengikat kata sepakat menunjuk ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) sebagai badan kuasa arbitrase, berarti para pihak telah menundukkan diri sepenuhnya kepada ketentuanketentuan yang diatur dalam Convention on the Settlement Disputes Between State and National of Other States. Salah satu organ puncak penggerak yang berfungsi menjalankan kebijaksanaan roda ICSID, diatur dalam Pasal 4 dan 5. Menurut pasal tersebut puncak tertinggi kekuasaan ICSID berada di tangan The Administrative Council yang anggotanya diwakili oleh setiap Contracting State (negara anggota peserta Konvensi). Ketua Administrative Council yang disebut Chairman adalah Presiden Bank Pembangunan Dunia (Bank for Reconstruction and Development). Dengan sendirinya secara ex officio menjadi Chairman of the Administrative Council. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 5. Sehubungan dengan permasalahan sengketa arbiter dikaitkan dengan salah satu fungsi dan kewenangan Administrative Council dalam ICSID ialah menyelesaikan pertikaian atau ketidaksepakatan terhadap penunjukan arbiter.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 dan 38, telah diatur tata cara penunjukan arbiter. Menurut Pasal 37 para pihak yang telah sepakat menundukkan diri kepada ICSID, boleti sepakat hanya menunjuk arbiter tunggal atau arbiter majelis yang terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya ganjil (any uneven number). Penunjukan siapa yang menjadi arbiter merupakan hak sepenuhnya para pihak. Lebih lanjut, apabila para pihak tidak mencapai kata sepakat tentang jumlah dan tata cara penunjukan arbiter, Mahkamah Arbitrase (arbitml tribunal) harus terdiri dari tiga orang arbiter. Masing-masing pihak berhak menunjuk seorang arbiter, sedang arbiter ketiga yang akan dud.uk sebagai Ketua Mahkamah Arbitrase, ditunjuk atas kesepakatan para pihak. Sekiranya dalam jangka waktu 90 hari dari tanggal pemberitahuan pendaftaran permohonan gugat, Mahkamah Arbitrase belum juga terbentuk oleh karena para pihak berselisih pendapat dalam penunjukan arbiter, sengketa yang demikian dapat diajukan oleh salah satu pihak kepada Chairman of Administrative Council melalui Sekretaris Jenderal ICSID. Dengan adanya permohonan, Pasal 38 member! hak dan kewenangan penuh kepada Chairman untuk menyelesaikan penunjukan arbiter. Namun dalam melaksanakan kewenangan, tersebut harus lebih dulu mengadakan konsultasi dengan kedua belah pihak. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 dan 38, apabila para pihak telah sepakat memilih ICSID sebagai badan kuasa arbitrase yang akan bertindak menyelesaikan persengketaan yang timbul dari perjanjian, setiap perbedaan dan keberatan mengenai penunjukan arbiter adalah menjadi kewenangan Chairman of the
Administrative Council ICSID untuk menyelesaikan. Kewenangan ini bersifat absolut, dan menyingkirkan kesewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutusnya. Dengan adanya pilihan para pihak tunduk kepada ICSID, ketentuan Pasal 619 Rv tidak berlaku lagi kepada para pihak apabila timbul kasus perbedaan dan perselisihan pendapat mengenai penunjukan arbiter. Jika ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 ICSID dibanding dengan ketentuan Pasal 5 Peraturan Prosedur BANI, ketentuan ICSID lebih rapi dan lebih pasti. Ketentuannya tidak mengandung keraguan sebagaimana yang diatur Pasal 5 Peraturan BANI. Secara tuntas dan menyeluruh melimpahkan kewenangan penyelesaian penunjukan sengketa arbiter kepada Chairman of the Administrative Council dengan cara pengaturan yang jauh lebih sederhana. Kesederhanaan itu terjadi oleh karena Pasal 37 dan 38 tidak membedakan cara penyelesaian sengketa arbiter yang ditunjuk oleh para pihak dengan yang ditunjuk oleh Chairman. Pokoknya, segala bentuk pengaduan keberatan atas jumlah dan tata cara penunjukan arbiter, kewenangan penyelesaiannya menjadi fungsi Chairman of the Administrative Council ICSID. c. Sengketa Arbiter Menjadi Kewenangan Badan Kuasa dan atau Permanent Court of Arbitration
Seperti yang sudah pernah dijelaskan, salah satu rule yang mengatur Mahkamah Arbitrase ialah UNCITRAL Arbitration Rules (Arbitration Rules of the United Nations Commission on International Trade Law). UNCITRAL merupakan aturan arbitrase yang dikeluarkan sebagai resolusi Sidang Majelis Umum PBB
(General Assembly) yakni Resolusi 31/98 tanggal 15 Desember 1976. Setiap orang yang ingin penyelesaian persengketaan menurut tata cara yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rules, dapat mengadakan kesepakatan untuk itu. Apabila para pihak yang mengadakan perjanjian memuat klausula arbitrase yang menunjuk UNCITRAL Arbitration Rules, berarti mereka telah menundukkan din sepenuhnya kepada semua ketentuan yang ada di dalamnya, termasuk aturan tata cara penyelesaian perselisihan atau perlawanan terhadap penunjukan arbiter. Mengenai permasalahan penunjukan arbiter yang diatur dalam UNCITRAL, sangat luas ruang lingkupnya. Hal itu sudah dibahas pada bagian uraian UNCITRAL Arbitration Jules. Oleh karena itu, tidak akan dibicarakan lagi pada bagian ini. Yang ingin dipersoalkan, hanya sekedar membicarakan kewenangan tata cara penyelesaian sengketa atau perlawanan terhadap arbiter. Untuk itu kita langsung mencermati ketentuan Pasal 12 jo. Pasal 6 dan 9. jika ada perlawanan dari salah satu pihak terhadap arbiter yang ditunjuk, kemudian perlawanan : -
Tidak disetujui oleh pihak lawan, atau
-
Arbiter yang dilawan tidak mengundurkan diri,
Maka penyelesaian sengketa atau perlawanan akan diputus oleh: 1)
Apabila penunjukan dilakukan oleh suatu badan kuasa arbitrase yang disepakati para pihak, penyelesaian dilakukan oleh badan kuasa yang bersangkutan. Misalnya, para pihak sepakat menunjuk badan kuasa BANI sebagai arbitrase, tetapi rule yang mereka pilih adalah UNCITRAL
Arbitration Rules. Lantas antara pihak terjadi perselisihan mengenai penunjukan arbiter. Dalam hai ini yang akan menentukan penyelesaiannya menjadi
akewenangan
BANI. Bukan menjadi kewenangan pengadilan
berdasar Pasal 619 Rv. 2)
Apabila penunjukan arbiter dilakukan para pihak dan surat penunjukan telah ada pula ditunjuk badan kuasa arbitrase misalnya ICC. Lantas timbul mengenai penunjukan arbiter. Penyelesaian akan diputus oleh ICC meskipun arbiter yang ditunjuk oleh para pihak.
d. Sengketa Arbitrase Kewenangan Pengadilan Hares dibedakan mengenai persengketaan arbiter dengan persengketaan arbitrase. Persengketaan arbiter adalah perselisihan atau perlawanan yang ditujukan terhadap salah seorang arbiter yang ditunjuk. Fokus sengketa ditujukan kepada pribadi salah seorang anggota arbiter yang ditunjuk dan duduk dalam Mahkamah Arbitrase. Sebaliknya, sengketa atau perlawanan yang diajukan salah satu pihak terhadap arbitrase, menyangkut tentang badan kuasa arbitrase yang ditunjuk dalam kesepakatan. Fokus sengketa ditujukan kepada arbitrase institusional yang akan bertindak menyelesaikan dan memutus sengketa. Arbitrase institusional mana di antara salah satu yang berwenang untuk menyelesaikan dan memutus sengketa. Apakah BANI atau ICSID. Atau bisa juga, sengketa yang timbul mengenai arbitrase institusional atau arbitrase ad hoc. Misalnya pihak claimant berpendapat, sesuai dengan klausula arbitrase yang mereka sepakati yang akan bertindak menyelesaikan dan memutus sengketa adalah arbitrase institusional BAN1 atau
ICC. Sebaliknya pihak respondent berpendapat lain. Menurut dia, sesuai dengan klausula pihak arbitrase badan kuasa yang disepakati adalah arbitrase ad hoc. Siapakah atau instansi mana yang berwenang untuk menyelesaikan dan memutus persengketaan tersebut? Agar lebih jelas, mari kita ambil salah satu contoh kasus yang telah pernah terjadi dalam praktek, yakni kasus PT Batu Mulia Utama lawan SSC (Sainrapt Et Brice-Societe Auxileare D 'Enterprises Routiere Colas-w). Dalam hal ini PT Batu Mulia bertindak sebagai claimant, dan SSC sebagai respondent. Pada tanggal 14 November 1981 telah ditandatangani agreement jual beli pasir Taut. Dalam agreement maupun berikut amandemen, telah ditentukan kesepakatan bahwa para pihak menundukkan diri hanya kepada hukum Republik Indonesia, yang berbunyi: "This agreement shall be governed by the laws of the Republic of Indonesia. For the implementation and consequences of this Agreement, all parties choose permanent and irrevocable domicile at the office the Register at the court of First Instance in Jakarta" (Pasal 18 Agreement). Akan tetapi di samping ketentuan Pasal 18 Agreement, Pasal 23 memuat klausula arbitrase yang menegaskan: "All disputes arising in connection with this Agreement shall befinally settled under the Rules of Conciliations and Arbitration of the International Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordance with the rules ofarbitration shall be held in Jakarta, Indonesia ". Persengketaan timbul mengenai pelaksanaan pembayaran. Menurut pihak PT Batu Mulia Utama telah melaksanakan kewajiban memenuhi pembayaran jumlah pasir yang diperjanjikan. Akan tetapi pihak SSC menolak penagihan pembayaran.
Sengketa diajukan PT Batu Mulia Utama ke PN Jakarta Pusat''''. Terhadap gugatan pihak SSC mengajukan eksepsi yang pada pokoknya menyatakan pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mencampuri perkara, karena apabila dalam suatu perjanjian telah ditentukan klausula arbitrase, persoalannya tidak dapat diajukan ke pengadilan. PN Jakarta Pusat menerima eksepsi dan menyatakan gugat tidak dapat diterima (niet onvankehike verklaard). Akan tetapi dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Jakarta" membatalkan putusan tingkat pertama. Lucunya tingkat banding menerima eksepsi, tapi mengabulkan sebagian pokok perkara. Padahal, jika secara konsekuen tingkat banding menerima eksepsi, putusan yang semestinya dijatuhkan harus berdasar atas alasan kompetensi, dengan menyatakan pengachlan tidak berwenang mengadili, dan tidak mungkin lagi mengabulkan pokok perkara. Kenyataan, yang dikabulkan Pengadilan Tinggi sebenarnya bukan pokok perkara tentang wanprestasi (pembayaran tagihan). Yang dikabulkan ialah memerintahkan bahwa sengketa antara penggugat dan tergugat harus diselesaikan melalui BANI di Jakarta dalam waktu 8 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut, pihak SSC mengajukan permohonan kasasi. Salah satu keberatan kasasi yang diajukan menyatakan bahwa tingkat banding telah tidak melaksanakan tata cara mengadili yang ditentukan undangundang. Pada satu segi putusan menerima eksepsi dari tergugat. Seharusnya putusan harus konsekuen menyatakan diri tidak berwenang memeriksa perkara. Namun pada segi lain, tingkat banding telah mencampuri pokok perkara dan
memerintahkan agar perkara diselesaikan oleh BANI, sedang dalam agreement, tegas-tegas telah disepakati menunjuk badan kuasa arbitrase di bawah ketentuan International Chamber of Commerce (ICC Rules). Oleh karena itu, meskipun Pasal 18 Agreement menyatakan mengenai dipakainya hukum Indonesia dalam menyelesaikan persengketaan, tidak berarti perkara harus diajukan ke pengadilan atau melalui BANI. Tetapi harus sesuai dengan Pasal 23 agreement yang berisi klausula arbitrase, persengketaan diselesaikan oleh arbitrase di bawah ketentuan ICC Rules dan hukum Indonesia serta tempat kedudukan arbitrasenya di Jakarta. Dengan demikian, putusan tingkat banding bertentangan dengan Pasal 1338 KUH Perdata. MA dalam tingkat kasasi mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan SSC, dan menganggap putusan Pengadilan Tinggi Jakarta salah menerapkan hukum dengan alasan-alasan sebagai berikut: "Bahwa artikel 23 dari agreement telah menentukan All disputes rising in connection with this agreement shall be finnally settled under the Rules of Conciliation and arbitration of International Chamber Of Commerce by one or more arbitration appointed in accordance with the rules the arbitration shall be hold in Jakarta Indonesia ". "Hal itu menentukan secara tegas ICC yang akan menyelesaikan perselisihan paham (disputes) yang timbul, karena meskipun dipilih hukum Indonesia dan pilihan domisili adalah di Kepaniteraan PN Jakarta, hal itu tidak mengakibatkan yang harus menyelesaikan sengketa adalah BANI." Jika putusan tersebut diamati, dapat disimpulkan beberapa kaidah hukum
yang dapat disadur sebagai berikut : i.
apabila perjanjian menurut klausula arbitrase, mutlak pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili pokok sengketa yang timbul dari perjanjian,
ii.
Pilihan hukum dan pilihan domisili tempat kedudukan arbitrase, tidak berpengaruh terhadap penunjukan arbitrase yang telah disepakati dalam perjanjian,
iii.
Penyelesaian pokok sengketa yang timbul dari perjanjian, tetap mutlak menjadi kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan dan memutus, akan tetapi persengketaan yang timbul mengenai badan arbitrase mana apakah BANI atau ICC - yang berwenang untuk itu adalah merupakan kompetensi pengadilan untuk menentukan.
Dari pliitusan tersebut, dibedakan kewenangan menyelesaikan perselisihan dari segi pokok sengketa yang timbul dari perjanjian dengan sengketa yang menyangkut perselisihan badan arbitrase yang akan bertindak menyelesaikan sengketa. Mengenai perselisihan pokok sengketa, mutlak menjadi kewenangan arbitrase. Sedang mengenai sengketa tentang badan arbitrase mana yang akan bertindak, menjadi kewenangan pengadilan untuk menentukan.
Bagian Kedua KETERIKATAN INDONESIA KEPADA KONVENSI NEW YORK
A. Indonesia adalah Bagian Dari Dunia. Tidak ada situ negarapun di dunia ini yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan, hubungan dan kerja sama dengan negara lain. Lahirnya GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) dan AFTA (Asean.Free Trade Area), di mana Indonesia telah menandatanganinya, menunjukkan bahwa Indonesia tidak mungkin bisa mengisolasikan dirt, walaupun mungkin keikutsertaannya akan membawa konsekwensi negatif.1) Agus Brotosusilo, GATT : Uruguay Round dan kepentingan Indonesia Hukum dan Pembangunan No.6 Tabun XXII Desember 1992, hal 580, memberikan gambaran bahwa keikut sertaan Indonesia dalam perjanjian Interna-sional tidak selalu menguntungkan. Dikatakan bahwa :"Bagi Indonesia Uruguay Round benar-benar merupa-kan buah simalakama". Henerima Uruguay Round akan menimbulkan konsekwensi yang tidak ringan terhadap dunia usaha Indonesia untuk berhadapan langsung dalam persaingan dengan dunia usaha negaranegara maju, tanpa perlindungan langsung dari pemerintah yang selama ini telah biasa dinikmati. The International Herald Tribune memproyeksikan sebagian bestir negara peserta - kecuali kawasan dari negara-negara Afrika sub Sahara akan mendapat tambahan pendapatan dalam "Gross Domestic Productnya" bila GATT disepakati. Sebaliknya menolak Uruguay Round akan
membawa dunia usaha Indonesia menjadi katak dalam tempurung, yang hanya asik dengan dirinya sendiri. Keterasingan dari lalu lintas perdagangan Internasional akan menim-bulkan kerugian yang nilainya tidak akan lebih kecil dart konsekwensi akibat keikutsertaan Indonesia dalam GATT". jadi opihila Indonesia mengajukan kerja sama dan bantuan India-nevia lain di dunia, maka mau tidak mau Indonesia harus ikut dalam perjanjian internasional. lagi seperti yang telah diuraikan dimuka Indonesia masih sangat membutuhkan modal dari negara maju. Negara-negara maju barn akan memberikan bantuan modalnya apabila merasa mendapatkan perlindungan yang memadai. Oleh karena itu seperti yang dikatakan oleh Sunarjati Hartono
2)
, perlu
diperhatikan pentingnya harmonisasi hukum nasional dengan perjanjian hukum Internasional dan Regional. Harmonisasi tersebut dapat dalam bentuk ratifikasi perjanjian tersebut atau menyesuaikan perundang-undangan nasional dengan perjanjian Internasional yang telah ada. Dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958, maka berarti Indonesia telah -terikat untuk melaksanakan ketentuan konvensi. Di samping itu masih ada beberapa hal lagi sehingga Indonesia terikat dengan konvensi New York 1958 tersebut : a. Pada tanggal 5 Agustus 1981, dengan Keputusan Presiden No.34 tahun 1981, Konvensi New York 1958 "the Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards" dinyatakan berlaku bagi Negara Republik Indonesia. Pada tanggal 7 Oktober 1981, Republik Indonesia diakui
oleh PBB sebagai peserta Konvensi New York tersebut. Sebelum Indonesia mengakui atau mengesahkan Konvensi. New York tersebut, banyak pengusaha dari luar negeri dan organisasi-organisasi dagang luar negeri agak kecewa karena Republik Indonesia yang menganjurkan penanaman modal luar negeri untuk perkembangan industrinya dan hendak memperbesar lalu lintas dagang internasionalnya, ternyata konvensi. Hal ini disebabkan karena mereka khawatir bahwa investasi mereka tidak dilindungi di Indonesia, terutama apabila terjadi suatu sengketa. Sebelum Indonesia meratifikasi Konvensi New York terdapat keraguan yang cukup mendasar atas persoalan apakah putusan arbitrase luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia. Yang menjadi perdebatan adalah apakah konvensi Jenewa tentang pengakuan Arbitrase Luar Negeri 1927 yang telah diumumkan dalam Staatsblad Hindia Belanda 1933 No.132, masih berlaku atau tidak. Persoalan ini muncul oleh karena sebelum Proklamasi Kemerdekaan, Konvensi Jenewa berlaku di Hindia Belanda. Apakah setelah Indonesia merdeka, konvensi tersebut masih tetap mengikat Republik Indonesia yang berdaulat ataukah tidak ? Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Sudargo Gautama, yang mengemukakan argumentasi bahwa Konvensi Jenewa 1927 masih tetap berlaku, karena di dalam peraturan peralihan Konperensi Meja Bundar tetap dinyatakan bahwa berkenaan dengan pengakuan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada Indonesia, maka persetujuan internasional akan tetap berlaku
untuk Republik Indonesia. Dengan demikian Kon-vensi Jenewa yang tercakup dalam Staatsblad 1933 No.132 masih harus berlaku, kecuali apabila Republik Indonesia telah membatalkannya dan menyampaikan pernyataan tidak terikat lagi pada konvensi itu (stelsel passilf. Hal ini sama dengan prinsip mengenai peralihan kekuasaan antara negara (State Succession) yang pada umumnya berlaku dalam hukum internasional publik. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu Indonesia akan keluar dari konvensi, maka Perdana Menteri Juanda secara tegas menyatakan kepada Administrator Konvensi Bern bahwa Indonesia tidak mau lagi terikat pada konvensi tersebut.5) Hal ini tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah. Apabila kita melihat putusan-putusan pengadilan maka nyata bagi kita bahwa prinsip State Succession juga diakui. Dalam penetap4n Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 19 Juni 1981 H0.2288/1979/P antara Navigation Maritime Bulgare dengan PT.Nizwas dipertimbangkan bahwa Staatsblad No.132 jo 133 tahun 1933 dan Konperensi Jenewa 26 September 1927, masih tetap berlaku karena belum ada peraturan yang mencabutnya ataupun melarangnya. Begitu pula dalam putusan Mahkamah Agung No.2944 K/Pdt/ 1983 tanggal 29 Nopember 1984 yang mengadili perkara tersebut diatas dalam tingkat kasasi mengakui adanya State Succession dalam stelsel passip, namun Mahkamah Agung menyatakan tidak mengikat mutlak, dengan alasan bahwa sesudah perang Dunia II, keadaan dunia telah berubah, dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru dan bentuk negara-negara
yang
sedang
berkembang
yang
dikuasai
oleh
aliran
Interdependensi (saling ketergantungan) yang mantap adanya "Common Concern of the Family of Nations" tentang keadaan dunia sebagai peserta/anggota dari konvensi New York tersebut. b. Dalam rangka pelaksanaan Ketetapan MPR No.XXIII/ 1966/ MPRS, khususnya Bab VIII tentang hubungan ekonomi, maka dikeluarkan Undang-undang No.1 Tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing (U.U.PMA). Di dalam Konsiderans Undang-undang tersebut huruf f dinyatakan bahwa pemakaian modal asing harus dipergunakan secara maksimal untuk dapat mempercepat perkembangan ekonomi Indonesia serta digunakan dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang dalam waktu dekat belum dan atau tidak dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri. Di dalam Pasal 21 Undang-undang No. 1 Tahun 1967 ditentukan bahwa "Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakantindakan yang mengurangi hak menguasai dan/ atau mengurus perusahaan yang bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian". Bila diadakan tindakan seperti tersebut diatas, maka pemerintah wajib memberikan kompensasi atau ganti rugi yang disetujui kedua belah pihak ( pasal 21 (1) ) . Jika jumlah, macam atau tata cara pembayaran kompensasi tersebut ada perselisihan maka akan diselesaikan oleh arbitrase yang akan mengikat kedua belah pihak (pasal 22 (2)). Arbitrase yang akan menyelesaikan sengketa
terse-but terdiri dari 3 orang yaitu satu orang dipilih oleh Pemerintah Indonesia dan satu orang dipilih oleh Pemilik Modal, dan satu orang lagi yang otomatis menjadi Ketua dipilih oleh para arbiter yang telah di pilih oleh Pemerintah dan pemilik Modal. Dari sini terlihat bahwa arbitrase yang akan dipilih tersebut ada kemungkinan akan dilakukan oleh arbiter asing dan/ atau dilakukan di luar wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian maka Konvensi New York yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, dengan sendirinya mengikat Indonesia untuk dipatuh i. c. Pihak Indonesia banyak mengadakan Investment Guarantee Agreements atau perjanjian dengan pemerintah asing, untuk melindungi masing-masing kepentingan antara lain yang dapat disebut : 1.
Perjanjian dengan Kerajaan Inggris tanggal 27 April 1976, yang telah dituangkan dalam Keputusan Presiden No.3 Tahun 1977, yang berjudul Protection of Investment.
2.
P&janjian dengan Negeri Belanda, tanggal 7 Juli 1968, dituangkan dalam Keputusan Presiden No.303 Tahun 1988, yang berjudul "Overeenkomst Inzake Economische Samen werking en Protocol".
3.
Perjanjian dengan Jerman Barat, tanggal 8 Nopember 1968, Keputusan Presiden No.7 Tahun 1969, yang berju-dul "Agreement Concerning Encouragement and Reciprocal Protection of Investment".
4.
Perjanjian dengan Perancis, tanggal 14 Juni 1975, Keputusan Presiden
No.10 Tahun 1975, yang berjudul. Agreement on the Encouragement and Protection of French Investment in Indonesia". Walaupun dalam perjanjian tersebut tidak diatur secara khusus pelaksanaan putusan arbitrase asing, namun dalam perjanjian tersebut terdapat sejumlah prinsip sebagai berikut : a.
National Treatment Clause, yaitu bahwa setiap pihak akan memberikan perlakuan yang sama bagi warga negara para pihak seperti yang diberikan oleh para pihak kepada warga negaranya sendiri.
b.
Most favoured nation clause, yaitu warga negara para pihak akan mendapatkan perlakuan yang sama dan adil ( fair and equitable treatment).
Kedua prinsip tersebut di atas dilaksanakan sesuai dengan asas resiprositas dan kepentingan bersama. Dengan adanya konvensi New York 1958 tersebut diatas maka setiap perjanjian investment guaranty agreement yang telah ada maupun yang masih akan diadakan mengikat Indonesia untuk melaksanakannya sesuai isi dan maksud dari Konvensi New York. d. Indonesia telah meratifikasi Convention on the Settlement of Investment Disputes between State and Nationals of Other States, dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1968 tanggal 29 Juni 1968. Di dalam penjelasan umum Undang-undang tersebut disebutkan : "Konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warga
negara asing mengenai penanaman modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States) untuk selanjutnya disebut Konvensi, mengatur penyelesaian perselisihan antara suatu negara dengan perorangan atau Perusahaan Asing yang menanam modalnya di negara tersebut dengan jalan damai (conciliation) atau arbitrase (arbitra-tion)". Di dalam penjelasan umum Undang-undang tersebut selan-jutnya disebutkan pula bahwa walaupun konvensi berlaku untuk suatu negara, namun tidak ada keharusan untuk menyelesaikan sengketa menurut konvensi, karena syarat penyelesaian sengketa menurut konvensi tersebut adalah persetujuan kedua belch pihak yang berselisih. Dengan berlakunya konvensi New York, maka putusan- putusan arbitrase asing wajib dilaksanakan oleh negara-negara yang menjadi anggota konvensi berdasarkan asas Reprositas. e. Sudah banyak negara di dunia telah menerima Konvensi New York tersebut, terutama negara-negara ASEAN. Sampai dengan tahun 1995 sudah ada 101 negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Ini berarti bahwa bila Indonesia tidak melaksanakan konvensi tersebut, maka is akan terkucil. Di camping itu, bila Indonesia tidak meratifikasi konvensi-konvensi tersebut, maka akan banyak sekali perjanjian-perjanjian bilateral yang harus diadakan, yang tentunya akan memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Keuntungan dan kerugian bila Indonesia ikut dalam konvensi New York. Dari segi keuntungan :
1.
Menghindari perjanjian-perjanjian bilateral yang banyak, yang akan memakan biaya dan waktu.
2.
Indonesia tidak terkucil dari percaturan perdagangan d u
3.
Investor asing akan merasa aman menanamkan modalnya di Indonesia.
4.
Berdasarkan asas resiprositas, Indonesia akan diperlakukan sama di negara lain yang terikat dengan konvensi, bilamana kepentingan Indonesia atau warga negara Indonesia akan dilaksanakan di Indonesia. Kerugian yang mungkin timbul dengan berlakunya konvensi New York 1958.
Pertama : Tidak dapat disangkal bahwa Indonesia masih merupakan negara yang sedang berkembang. Tenaga (skill) yang terampil boleh dikatakan masih sangat kurang, sehingga di dalam membuat kontrak-kontrak dagang internasional, yang pada umumnya menggunakan bahasa dan hukum asing, mungkin akan merugikan pihak Indonesia. Baru-baru ini terjadi sengketa antara pihak PLN dengan mitra asingnya. Setelah Reformasi ternyata perjanjian yang dibuat sangat merugikan PLN, sehingga PLN digugat dalam lembaga Arbitrase, dan PLN dihukum untuk membayar kerugian lebih dari 500 juta Dollar Amerika. Ketidak trampilan pihak Indonesia dalam perjanjian itu digambarkan oleh Sunarjati Hartono sebagai berikut : "Keluhan yang biasanya dikemukakan oleh pihak asing adalah bahwa cara berunding dengan pihak Indonesia kurang memuaskan, oleh karena pihak Indonesia hanya bersedia mengadakan persetujuan mengenai soal-soal yang
umum dan garis-garis besar saja serta segala sesuatu yang hanya diterangkan ke dalam istilah-istilah yang samar-samar seperti disetujui dalam prinsip, beritikad baik, dan lain sebagainya. Akibatnya adalah bahwa di dalam menghadapi pelaksanaan perusahaan segala hal yang mengenai detail harus dirundingkan kembali, hal mana memakan waktu yang lama dan kesabaran yang besar. Sebaliknya pihak Indonesia mengeluh bahwa pihak asing terlalu mempersoalkan hal-hal yang remeh, sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka hanya mau cari aman saja dan hendak membebankan segala kewajiban kepada pihak Indonesia belaka. Hal ini dikuatkan lagi oleh sikap bangsa Indonesia yang sungkan (segan) menentukan semua syarat-syarat perjanjian secara terperinci, oleh karena sikap seperti itu dianggap tidak sopan, karena kurang percaya kepada pihak lain. Tambahan pula, karena usaha-usaha semacam ini merupakan usaha yang baru, maka pihak Indonesia sulit dapat membayangkan masalahmasalah apa yang akan timbul di masa depan berbeda dengan pihak asing yang sudah pernah atau mungkin sudah biasa melakukan perjanjianperjanjian semacam itu apalagi kalau pihak asing yang bersangkutan merupakan suatu multinational enterprise. 6) Apabila terjadi perjanjian yang demikian merugikan bagi pihak Indonesia, maka Indonesia akan sulit membantu warganya. Kedua Dengan tidak adanya peraturan perundangan yang memadai maka akan sulit bagi Hakim Indonesia untuk menangkal putusan-putusan arbitrase yang didalamnya mungkin terjadi
pelanggaran kepentingan nasional. Munir Fuady, menyatakan sebagai berikut : "Perkembangan bisnis tentu juga berinteraksi dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Selanjutnya akan bermuara juga kearah perkembangan hukum. Interaksi antara ilmu clan tekhnologi ini dengan bidang hukum mempunyai refleksi paling sedikit dalam dua hal. Pertama : temuan-temuan tekhnologi menghasilkan produk-produk yang disamping berdampak positif, tetapi juga berdampak negatif bagi masyarakat, sehingga diperlukan aturan baru untuk mengaturnya. Kedua : pemanfaatan perkembangan ilmu dan tekhnologi untuk kepentingan hukum, sehingga diperlukan formulasi baru terhadap sektor hukum. Dewasa ini, dunia hukum internasional sedang dalam disintegrated. Di satu pihak, tatanan hukum lama yang berasal dari hukum kolonial dan hukum adat, bahkan hukum yang dibentuk setelah kemerdekaan banyak yang telah using. Dan dipihak lain, tatanan alternatif dan hukum baru belum juga terbentuk. Bahkan platform yang jelas belumpun diketahui. Ditambah dengan sektor
pertumbuhan ekonomi
yang semangatnya
digenjot
menggebu-gebu terciptalah distorsi dalam bidang hukum. bisnis, yang juga akan terrefleksi kepada distorsi kedalam sektor bisnis dan ekonomi itu sendiri. Konsekwensi logisnya tidak terlalu mengherankan jika dewasa ini sangat merajalelanya terjadinya praktek bisnis yang tidak fair.
B. Peraturan Perundangan Indonesia Yang Berlaku Untuk Menunjang Pelaksanaan Konvensi New York 1958. Yang akan dibahas pada bagian ini hanya yang menyangkut peraturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, lembaga arbitrase telah dikenal dalam perundang-undangan Indonesia. Hal ini terlihat pada Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (Staatblad 1847 No.50 jo 1849 jo 63) yang diatur dalam pasal 615 sampai dengan 651. Setelah Indonesia merdeka, peraturan tersebut masih tetap berlaku, berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut. Pada waktu itu ada 3 badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerintah Kolonial yaitu : Pertama : badan bagi ekspor hasil bumf Indonesia; Kedua ketiga
: badan arbitrase kebakaran; : badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan. Namun dalam kenyataannya masih kurang sekali yangmenggunakan arbitrase,
baik secara nasional maupun internasional. Walaupun telah menjadi kesepakatan, baik antara ilmuwan maupun para praktisi bahwa ketentuan-ketentuan dalam RV dapat digunakan, akan tetapi hanya dianggap sebagai pedoman. Ketentuan-ketentuan dalam RV yang berasal dari abad ke 19 tersebut selama ini berlaku tanpa banyak mengalami perubahan, sehingga tidak mengikuti perubahan-perubahan yang begitu cepat, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini akan terlihat dengan jelas, kalau RV sama sekali tidak mengatur aspek-aspek luar negeri atau internasional dari suatu
arbitrase yang sedemikian berkembangnya scat ini. Seperti misalnya kontrak-kontrak internasional atau konvensi internasional yang diikuti oleh banyak negara. Salah saw konvensi yang telah diuraikan di muka adalah Konvensi New York 1958 tentang Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Awards (Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri) . Konvensi ini telah disyahkan dengan Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981. Tetapi menjadi pertanyaan, apakah pengesahan suatu konvensi perjanjian Internasional, cukup dilakukan dengan Keputusan Presiden, ataukah hal ini harus dilaksanakan dengan Undang-undang. Di dalam pasal 11 Undang-undang Dasar 45 disebutkan bahwa Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. Ini berarti bahwa untuk mengesahkan suatu perjanjian Internasional adalah dalam bentuk Undang-undang bukan dalam bentuk Keputusan Presiden. Penulis tidak mengerti mengapa hal tersebut dapat berubah, oleh karena sebelumnya terlihat dalam pengesahan konpensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal Asing yang dikenal dengan Konvensi Washington, disahkan dengan Undang-undang No.5 Tahun 1968, bukan dengan Keputusan Presiden. Walaupun produk pengesahan konvensi tersebut yang menurut hemat saya adalah tidak tepat, namun tidak pernah dipersalahkan para ahli ataupun pengadilan,
sehingga dianggap tetap syah berlaku, sehingga menjadi hukum kebiasaan. Tentang berlakunya Konvensi New York setelah adanya KEPRES No.31 Tahun 1981, masih terdapat dua pendapat : Pendapat yang pertama berpendirian bahwa dengan adanya KEPRES No.31 Tahun 1981 tersebut maka putusan arbitrase asing dapat langsung dilaksanakan di Indonesia sepanjang putusan arbitrase asing memenuhi asas reprositas. Pendapat ini merujuk kepada artikel III Konvensi New York, yang menentukan: "There shall not be imposed substantially more onerous condition of higher fees of charges on the recognition of enforcement of arbitral awards to which this convention applies than are imposed on the recognition or enforcement of domestic arbitral awards". Pendapat yang kedua, berpendapat bahwa putusan arbitrase asing tidak begitu saja dapat dilaksanakan di Indonesia. Mahkamah Agung dalam putusannya No.2944 K/Pdt/1983 tanggal 29 Nopember 1989 yang telah disinggung dimuka, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa mengenai Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981 tentang pengesahan Konvensi New York, sesuai dengan praktek hukum yang berlaku harus ada peraturan pelaksanaannya. Bahwa ternyata karena peraturan pelaksanaan belum ada maka Mahkamah Agung menolak untuk melaksanakan putusan Arbitrase asing tersebut. Pendapat yang kedua ini didasari pada suatu asumsi bahwa bagaimanapun juga
putusan Arbiter Asing tetap merupakan putusan dari negara asing. Ia tidak sama dan tidak dapat diperlakukan sama dengan putusan dalam negeri, artikel IV dari konvensi menyebutkan : "To obtain the recognition and Enforcement mentioned in the preceding article, the party applying for recognition and enforcement shall, at the time the application supply : a.
the duly authenticated originil award or a only certified copy thereof ;
b.
the originil referred to in agreement II or a duly certified copy thereof'.
Ketentuan ini merupakan persyaratan-persyaratan bagi pelaksanaan Arbitrase asing yang berbeda, bila dibandingkan persyaratan-persyaratan bagi pelaksanaan putusan arbitrase dalam negeri. Begitu pula dalam pasal V memungkinkan suatu putusan arbitrase asing untuk ditolak apabila pihak termohon eksekusi menunjukkan adanya bukti-bukti sebagaimana disebut dalam artikel V tersebut. Siapa yang berwenang untuk menentukan dipenuhinya atau tidaknya persyaratan?. Dalam deklarasi tersebut meru-pakan persoalan tersendiri yang memerlukan pengaturan apakah penilaiannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri ataukah ditentukan oleh Mahkamah Agung. Dalam hubungan pelaksanaan Konvensi New York tersebut, pada tanggal 1 Juli 1982. Badan Arbitrase Nasional Indonesia, menulis surat yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang pada pokoknya menanyakaniapakah
Konvensi New York sudah berlaku atau belum, untuk menghilangkan keragu-raguan dari
masyarakat.
Atas
dasar
surat
tersebut,
Direktur
Hukum
dan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman mengirim surat tertanggal 22 September 1982 yang ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Negeri seluruh Indonesia, serta isi surat tersebut adalah bahwa sejak tanggal pengesahannya Konvensi New York 1958, oleh Kepres No.34 Tahun 1981, maka mulai saat itu dapat diterapkan dan diberlakukan di Indonesia. Namun ternyata bahwa surat tersebut tidak pernah diikuti oleh praktek peradilan. Sembilan tahun setelah adanya REPRESS No.34 Tahun 1981 tersebut barulah Mahkamah Agung membuat aturan pelaksanaan yang merupakan hukum acara dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing. Peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tersebut adalah PERMA No.1 Tahun 1990. Isi dari PERMA tersebut adalah memuat ketentuan tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagai akibat keikut sertaannya Negara Republik Indonesia pada The New York Convention 1958. Peraturan ini dikeluarkan karena ternyata pemerintah tidak mengantisipasinya, walaupun sudah ada putusan Mahkamah Agung yang menolak untuk melaksanakan putusan arbitrase asing, karena belum adanya peraturan pelaksanaan. Peraturan Mahkamah Agung ini merupakan perwujudan dari salah satu fungsi dari Mahkamah Agung yaitu fungsi mengatur (Regelende functie) Di dalam peraturan tersebut diatur antara lain : a.
yang diberi wewenang untuk melaksanakan putusan Arbitrase Asing ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
b.
yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing adalah putusan yang dinyatakan oleh suatu Badan Arbitrase/ Arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu Badan Arbitrase/Arbitor perorangan yang menurut hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase Asing.
c.
suatu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan dalam wilayah hukum Republik Indonesia bila memenuhi syarat-syarat : 1.Putusan dijatuhkan oleh suatu badan Arbitrase/ Arbitor perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat dalam suatu Konvensi International, berdasar asas Timbal Balik (Resiprositas).
10. Dalam Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam Bab III diatur kekuasaan Mahkamah Agung yaitu :
2.
1.
Fungsi Mengadili (Justitiele Functie);
2.
Fungsi Mengatur (Regelende Functie);
3.
Fungsi Judicial Review;
4.
Fungsi Pengawasan (Toeziende Functie);
5.
Fungsi Nasehat (Advieserende Functie);
6.
Dan fungsi-fungsi lain berdasar Undang-undang. Putusan-putusan Arbitrase Asing itu hanyalah terbatas pada bidang yang menurut hukum Indonesia masuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.
3.
Tidak bertentangan dengan Ketertiban Umum.
4.
Telah mendapat Eksekuatur dari Mahkamah Agung R.I.
d. yang berwenang untuk memberikan eksekuatur adalah Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Muda Hukum Perdata Tertulis. e. Tata cara untuk memperoleh eksekuatur tersebut adalah sebagai berikut : -
Putusan tersebut harus dideponir (didaftarkan) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
-
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengirimkan berkas pemohon eksekusi Arbitrase Asing tersebut kepada Panitera/Sekjen Mahkamah Agung R.I. untuk memperoleh Exequator.
-
Pengiriman berkas pemohon ke Mahkamah Agung dilatsanakan paling lambat 14 hari setelah diterimanya permohonan tersebut dengan disertai : 1.
asli putusan atau turunan putusan Arbitrase Asing yang telah dinyatakan otentik, sesuai dengan ketentuan otentikasi dokumen asing, serta naskah terjemahan resminya, sama dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
2.
asli perjanjian/turunan perjanjian yang menjadi dasar putusan Arbitrase Asing.
3.
keterangan dari Perwakilan Diplomatik Indonesia di negara di mana putusan Arbitrase Asing itu diberikan yang menyatakan negara pemohon secara bilateral atau secara bersamasama dengan Indonesia dalam suatu Konvensi Internasional.
f. setelah Eksekuatur diberikan oleh Mahkamah Agung, maka pemohon yang bersangkutan dikirim kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pelaksanaan putusan dilakukan menurut ketentuan Hukum Acara Perdata (HIR dan RBg). Setelah berlakunya PERMA No.1 Tahun 1990 tersebut, maka mekanisme pengaturan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Asing telah berjalan, walaupun belum memenuhi harapan. Pelaksanaan Permohonan Pelaksanaan Kcputusan Arbitrase Asing di Indonesia Dari data-data yang diperoleh sejak tahun 1991, telah diterima 16 permohonan Eksekuatur, yang telah dise-lesaikan adalah 13 perkara, yang semuanya dikabulkan. Sekarang ini masih ada 3 pemohon yang belum diselesaikan. Pada tanggal 12 Agustus 1999, Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa, diundangkan dan dimuat dalam Lembar Negara Tahun 1999 No.138. Undang-undang ini telah dinanti-nantikan, karena pada umumnya orang berharap, terutama dunia bisnis, agar disputes (persengketaan) akan dapat diselesaikan dengan cepat, adil dan biaya yang ringan. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan dirasakan sangat lamban. Tentunya harapan kita Undang-undang ini dapat memenuhi harapan tersebut. Undang-undang No.30 Tahun 1999 Berikut ini kami akan mencoba untuk membahas Undangundang tersebut, khususnya yang berkaitan dengan pelaksa-naan putusan Arbitrase Asing. Terbitnya Perma No.1 Tahun 1990 adalah langkah yang diambil oleh Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan hukum (Rechts vacuum). Hal ini
ditempuh oleh karena Konvensi New York 1958 telah diratifikasi, namun tidak berjalan oleh karena lembaga peradilan menemui jalan buntu, mengenai bagaimana cara melaksanakan Konvensi New York tersebut. Di dalam pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh Komisi Ad hoc PERSAHI tentang Kerangka Landasan Pembangunan Hukum dinyatakan antara lain sebagai berikut : Kerangka
Landasan
Pembangunan
Hukum
ada
kaitannya
dengan
Pembangunan Hukum itu sendiri pada dasarnya ialah membentuk tata hukum sebagai suatu sistem, berarti termasuk penerapan dan ketegasannya. Pembangunan hukum ini juga dapat kita lihat sebagai usaha membentuk satu sistem dari pelbagai sistem yang ada .................... ". Pemikiran tentang mekanisme ini dapat dilakukan secara deduktif spekulatif dalam arti berpangkal pada peraturan umum yang bersifat mendasar (ada yang menyebutnya hukum pokok) yang mengakomodasi teori hukum Indonesia. Baru kempdian berpangkal pada peraturan-peraturan tersebut diasumsikan kita dapat membuat hukum selanjutnya yang memegang sektor-sektor pembangunan nasional (hukum yang sektoral). Pemikiran secara deduktif - spekulatif ini secara akademik mungkin tepat namun secara praktis menumbuhkan komitmen yang berat, apalagi bila dibatasi kurun waktu penyusunannya yang dalam hal ini lima tahun. Kita juga dapat menyusun Kerangka Landasan Pembangunan Hukum secara induktif,
empiris,
berpangkal
pada
pengalaman-pengalaman,
kemudian
membentuk hukumnya. Dengan demikian kita dapat menyatakan bahwa kita mulai dapat yang khusus (spesies), baru kemudian mengadakan kodefikasi yang bersifat genus (pokok). Dengan demikian justru yang sektoral terbentuk lebih dahulu, baru kemudian yang bersifat umum (pokok) dengan suatu abstraksi dari hal-hal yang bersifat khusus. Demikianlah kemungkinan-kemungkinannya apakah kita hanya menganggap Kerangka Landasan Pembangunan Hukum hanya merupakan suatu pengaturan. Akan tetapi apakah kita saja membangun suatu sistem hukum nasional, kita tidak dapat semata-mata membatasi diri dari pada mengutamakan pembentukan peraturan umum yang bersifat pokok. Kita harus secara simultan membentuk sistem dan membentuk peraturan- perundang-undangan (hukum positif) . 11) Apabila kita melihat pembentukan Undang-undang Arbitrase ini, maka sebenarnya hal ini merupakan pelaksanaan amanat yang diisyaratkan oleh Undangundang No.14 Tahun 1970 yang merupakan Undang-undang Pokok kekuasaan Kehakiman (genus). Kita tidak heran bahwa kelahiran Undangundang ini disambut dengan gembira karena hampir 30 tahun masyarakat menunggunya. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan-putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan. Di dalam penjelasan umum Undang-undang No.30 Tahun 1999 tersebut,
disebutkan landasan filosofis diadakannya Undang-undang ini yaitu lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan antara lain: a.
dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b.
dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrasi.
c.
para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d.
para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya, serta proses ditempat penyelenggaraan arbitrase, dan -------
e.putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Di dalam penjelasan umum tersebut juga dijelaskan bahwa satu-satunya kelebihan proses arbitrase dari proses litigasi adalah sifat kerahasiaannya karena putusan-putusannya tidak dipublikasikan. Kelebihan-kelebihan arbitrase yang disebut di atas tidak semuanya benar, karena di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari proses arbitrase. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati dari pada litigasi, terutama dalam hal yang berkaitan dengan kontrak bisnis Internasional. Ditinjau dari landasan sosiologis, penjelasan umum Undang-undang No.30 Tahun 1999 di atas menyatakan sebagai berikut :
"Dengan perkembangan dunia dan perkembangan lalu lintas di biding perdagangan baik nasional maupun internasional serta perktmbangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terciapat dalam reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi, sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan condition sine qua non, sedangkan hal terse-but tidak diatur dalam Reglement Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar
terhadap
Reglemen
Acara
Perdata
(Reglement
op
de
Rechtsvordering), baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan". Pertimbangan yuridis sehingga Undang-undang ini dikeluarkan, dapat kita lihat dalam konsiderans Undang-undang No.30 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke Peradilan Umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. b. peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya.
C. Pengertian Putusan Arbitrase Asing Barangkali masih ingat, pada waktu membicarakan pengertian putusan arbitrase dalam negeri. sudah disinggung juga apa yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing. Tanpa mengurangi hal yang telah disinggung, ada baiknya pengertian putusan arbitrase asing lebih diperjelas pada bagian ini. Somber rujukan yang dapat memberi kejelasan tentang pengertian putusan arbitrase asing bertitik tolak dari ketentuan Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 1990 dan Pasal 1 ayat (1) Konvensi New York 1958. 1. Putusan Dijatuhkan di Luar Wilayah Indonesia Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 1990 menegaskan, yang dimaksud dengan putusan arbitrase yang dijatuhkan (diambil) diluar wilayah hukum Republik Indonesia. Di sini, yang menjadi ciri putusan arbitrase asing didasarkan pada faktor "wilayah" atau territory. Setiap putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar teritorial Republik Indonesia, dikualifikasi sebagai putusan arbitrase asing. Ditinjau dari segi pengertian hukum internasional, yang disebut wilayah hukum suatu negara ialah teritorial negara yang bersangkutan ditambah dengan kawasan tempat terletaknya perwakilan diplomat yang ada di berbagai negara sahabat. Teritorial yang disebutlah yang dimaksud dengan wilayah hukum Republik Indonesia. Apabila putusan arbitrase dijatuhkan di kawasan lingkungan tempat diplomatik Indonesia di luar negeri, putusan tersebut tidak termasuk putusan arbitrase asing. Putusan itu termasuk putusan arbitrase domestik (dalam negeri). Ciri putusan arbitrase asing yang didasarkan pada "faktor teritorial", tidak
menggantungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum. Meskipun pihakpihak yang terlibat dalam putusan terdiri dari orang-orang Indonesia, dan sama-sama warga negara Indonesia, jika putusan dijatuhkan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, dengan sendirinya menurut hukum, putusan tersebut dikualifikasi putusan arbitrase asing. Dalam hal ini, faktor territorial mengungguli faktor kewarganegaraan atau faktor tata hukum. Kesamaan kewarganegaraan maupun kesamaan tata hukum yang berlaku terhadap para pihak, tunduk sepenuhnya kepada faktor teritorial. Dengan demikian, sangat mudah mengenal putusan arbitrase yang didasarkan pada faktor teritorial. Asal putusan dijatuhkan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, tergolong danidisebut "putusan arbitrase asing". Apa yang digariskan pada Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 1990 sama cirinya dengan yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi New York 1958. Dalam pasal inipun, faktor utama menentukan ciri putusan arbitrase asing didasarkan pada faktor territory. Ditegaskan, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing ialah arbitral awards made in the territorial of a state other then the state yakni setiap putusan arbitrase yang dibuat di luar teritorial suatu negara yang diminta pengakuan dan eksekusinya di negara lain, tergolong putusan arbitrase asing. Cuma dalam konvensi New York 1958, faktor teritorial langsung dikaitkan dengan permintaan pengakuan dan eksekusi (recognition and enforcement). Artinya, untuk menegaskan apakah suatu putusan termasuk putusan arbitrase asing, tidak terlepas kaitan faktor territorial dengan permintaan pengakuan dan eksekusi. Seolah-olah, permasalahan
apakah suatu putusan termasuk putusan arbitrase asing, apabila putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar teritorial suatu negara diminta pengakuan dan eksekusi kepada negara tersebut. Pengaitan ini memang logis. Misalnya, meskipun suatu putusan suatu putusan arbitrase dijatuhkan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, belum perlu mengkaji dan mempermasalahkan apakah itu putusan tersebut arbitrase asing atau tidak. Relevansi untuk menentukan kepastian apakah putusan tersebut arbitrase asing atau tidak, apabila ada permintaan kepada Pengadilan Negeri agar putusan itu diakuai dan dieksekusi. Selama belum ada permintaan pengakuan dan eksekusi, tidak perlu repot-repot untuk mengetahui dan meneliti setiap putusan yang dijatuhkan diluar teritorial kita. Kalau begitu, tanpa mengurangi faktor teritorial sebagai faktor yang "menentukan" (determinant) apakah suatu putusan termasuk putusan arbitrase asing atau tidak, Pasal 1 ayat (1) Konvensi New York 1958 masih menggantungkan syarat kepada faktor, berupa the recognation and enforcement of such awards are sought. Kepada faktor teritorial digantungkan syarat adanya permintaan pengakuan dan eksekusi terhadap putusan arbitrase yang bersangkutan. Syarat permintaan dan eksekusi pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dengan teritorial. Faktor teritorial baru efektif menentukan adanya arbitrase asing, apabila pengakuan dan eksekusi dimintakan kepada negara lain di luar negara di mana diputus. Sekiranya suatu di negara itu juga, dia tidak tergolong arbitrase asing, tapi termasuk putusan domestik. 2. Para Pihak Boleh Perorangan atau Badan Hukum Menurut kalimat berikutnya Pasal 1 ayat (1) menjelaskan pihak-pihak suatu
putusan arbitrase asing boleh terdiri between persons, whether physical, or legal. Pihak-pihaknya boleh terdiri antara “perseorangan" atau antara "badan hukum". Bisa antara perseorangan dengan perseorangan. Boleh antara perseorangan dengan badan hukum atau antara badan hukum dengan badan hukum. Sebenarnya persoalan yang ditentukan di sini, hanya berkisar pada masalah subjek yang terlibat dalam putusan. Subjek yang terlibat hanya terbatas pada perorangan secara fisik. Tapi bisa saja subjeknya terdiri dari "badan hukum". Sedang masalah subjek ini sama sekali tidak ikut sebagai faktor untuk menentukan apakah putusan merupakan arbitrase asing atau tidak. Sana sekali persoalan pihak tidak mempengaruhi faktor teritorial. Siapa pun yang menjadi subjek yang terlibat dalam putusan, apakah itu antara perseorangan dengan perorangan atau badan hukum dengan badan hukum, tidak menjadi soal bagi faktor teritorial. Asal putusan dijatuhkan di luar wilayah hukum negara Republik Indonesia, termasuk putusan arbitrase asing. 3. Putusan Boleh Diambil Arbitrase Ad Hoc atau Institutional Menurut penegasan Pasal I ayat (1) konvensi New York 1958, pengertian putusan arbitrase asing, termasuk putusan yang diambil oleh Mahkamah arbitrase "ad hoc" maupun oleh Mahkamah }fang bernaung di bawah arbitrase "institusional". The term awards shall include not only awards by arbitrators appointed lb r each but also those made by permanent arbitral bodies to which the parties have sumitted. Jadi, putusan yang dijatuhkan oleh jenis arbitrase yang mana pun, asal putusan dijatuhkan di luar wilayah hukum suatu negara, dan kemudian
pengakuan dan eksekusinya diminta kepada negara lain, putusan tersebut di golongkan putusan arbitrase asing. D. Pendeponiran Putusan Arbitrase Asing Seperti halnya putusan arbitrase dalam negeri, putusan arbitrase asing yang akan diminta pengakuan dan eksekusinya di Indonesia, harus lebih dulu "dideponir". Peraturan yang dijadikan pedoman dalam masalah deponir putusan arbitrase asing, pada prinsipnya tunduk mengikuti ketentuan Pasal 634 dan 635 Rv. Jadi, baik mengenai pendeponiran putusan arbitrase domestik dan asing, pada dasarnya mengikuti ketentuan yang sama. Hanya ada perbedaan kecil mengenai tempat pendeponiran. Memang pada umumnya, bahkan telah menjadi asas dan doktrin, mengenai aturab tata cara pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing, berpegang pada ajaran jus sanguinus. Dengan demikian, segala ketentuan yang menyangkut eksekusi putusan arbitrase asing tunduk mengikuti aturan hukum negara di tempat mana pengakuan dan eksekusi diminta. Jika pengakuan dan eksekusi diminta di Indonesia, tata cara pelaksanaan tunduk mengikuti hukum yang berlaku di Indonesia. Pendirian yang mengajarkan eksekusi putusan arbitrase asing tunduk pada asas jus sanguinus, misalnya ditemukan dalam penegasan Pasal 54 ayat (3) ICSDI, yang mengatakan "Execution of the award shall be governed by laws concerning the execution of judgment in force in state whose territories such execution is sough". Tujuan daripada asas yang memperlakukan ketentuan hukum nasional suatu negara
dalam tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing, untuk menghormati dan mempertahankan integritas kedaulatan hukum negara yang bersangkutan. Oleh karena aturan tata cara pendeponiran putusan arbitrase asing dengan putusan arbitrase dalam negeri, segala uraian yang berlaku mengenai pendeponiran putusan arbitrase dalam negeri, berlaku terhadap putusan arbitrase asing. Namun demikian, ada yang akan dibicarakan, sepanjang hal yang menyimpang dari ketentuan pendeponiran yang diatur Pasal 634 dan 635 Rv. 1. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Pendeponiran Jika pendeponiran putusan arbitrase dalam negeri dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya putusan dijatuhkan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 634 ayat (1) Rv., sedang pendeponiran putusan arbitrase asing, dilakukan semuanya disentralisir di kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendeponiran putusan arbitrase asing, menjadi kompetensi relatif tunggal Pengadilan Negeri. Jakarta Pusat. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 1 Perma No. 1 Tahun 1990 yang berbunyi : "Yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing, adalah pengadilan Negeri Jakarta Pusat". Dari negara many pun putusan arbitrase asing dating, harus dideponir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tidak ada pilihan lain. Oleh karena itu, sahnya pendeponiran mesti mengikuti ketentuan Pasal 1 Perma Tahun 1990. Ketentuan ini rasional clan realistis. Memberi kemudahan dan kepastian bagi dunia luar. Ditinjau
dari segi transportasi dan komunikasi, Jakarta lebih representatif dibanding dengan kota lain sell ingga layak untuk mendudukkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi sentra penanganan putusan arbitrase asing. Apalagi dihubungkan dengan kewenangan pemberian exequatur berada ditangan Mahkamah Agung, pemberian penugasan urusan penyelesaian pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing hanya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedikit banyak mengandung manfaat. Jarak antara kedua instansi tersebut dari segi geografis dalam waktu singkat. Apalagi kalau semua urusannya dilakukan dan dilayani dengan profesional sesuai dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan yang digariskan Pasal 4 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, pensentralisasian penanganan urusan putusan arbitrase asing di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mungkin akan sangat efektif. 2. Boleh Dideponir Turunan Putusan Sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 634 dan 635, hal-hal yang mesti disampaikan pada waktu melakukan deponir putusan arbitrase, terdiri dari : -
Asli putusan, dan
-
Asli atau salinan resmi surat penunjukan arbiter. Menurut ketentuan ini, secara togas dinyatakan yang harus dideponir ialah
surat "asli putusan". Sepanjang mengenai putusan, yang dideponir ialah aslinya. Tidak diperkenankan untuk medeponir salinan. Sedang mengenai surat penunjukan (pengangkatan) arbiter, boleh dideponir asli atau salinan resmi. Lain halnya mengenai pendeponiran putusan arbitrase asing. Ketentuan Pasal 5 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 1990 secara tersirat membenarkan pendeponiran
turunan (salinan) putusan. Jadi boleh asli, tapi bisa juga salinan. Tidak mutlak mesti aslinya yang dideponir. Penggarisan yang ditemukan dalam Perma tentang kebolehan pendeponiran salinan putusan, sejalan dengan ketentuan Pasal IV ayat (1) huruf a Konvensi New York 1958. Pasal ini menjelaskan, untuk memperoleh pengakuan dan eksekusi (exequatur) putusan, permohonan harus dilengkapi dengan the duly authenticated original award or a duly certificated copy there of: Jadi, permohonan boleh dilengkapi dengan asli putusan yang autentik (authenticated original award) tapi boleh juga salinan resmi (certificated copy). Dengan adanya ketentuan yang membolehkan pendeponiran salinan putusan, khusus terhadap putusan arbitrase asing, tidak mutlak diterapkan ketentuan Pasal 634 Rv. Oleh karena itu, kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak boleh mempersulit pelaksanaan pendeponiran atas alasan karena yang disampaikan hanya salinan. Hal itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Sikap yang demikian jelas-jelas melampaui batas kewenangan. 3. Dokumen yang Harus Dideponir Mari kita lihat kembali ketentuan Pasal 634 dan 635 Rv. Berdasar pasal-pasal tersebut, yang harus disampaikan arbiter atau kuasa yang ditugaskan melakukan pendeponiran, hanya terdiri dari : -
Asli putusan, dan
-
Asli atau salinan resmi penunjukan arbiter. Hanya dua jenis surat yang di deponir di kepaniteraan, jika yang hendak
dideponir putusan arbitrase dalam negeri. Tidak demikian halnya dalam pendeponiran putusan arbitrase asing. Berpedoman kepada ketentuan Pasal 5 Ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990, ada beberapa jenis dokumen yang harus disampaikan untuk diserahkan kepada panitera pada saat pendeponiran. Persyaratan dan penyerahan semua jenis dokumen merupakan syarat sahnya pendeponiran. Persyaratan dan penyerahan semua jenis dokumen merupakan syarat sahnya pendeponiran. Persyaratan yang seperti itu sangat berkaitan erat dengan bahgan penelitian dan penilaian terhadap pemberian exequatur. Semua jenis dokumen dimaksud menjadi bahan kajian bagi Mahkamah Agung untuk mengabulkan atau menolak pemberian exequatur. Rupanya Perma No. 1 Tahun 1990 berpendapat, penelitian pemberian exequatur terhadap putusan arbitrase asing, tidak memadai jika hanya didasarkan atas putusan dan surat penunjukan arbiter. Diperlukan bahan yang lebih luas dan lebih lengkap sebagai tambahan terhadap jenis dokumen yang harus diserahkan kepada penitera pada saat pendeponiran. Penyampaian dan penyerahan semua jenis dokumen merupakan syarat sahnya pendeponiran. Persyaratan yang seperti itu sangat berkaitan erat dengan bahan penelitian dan penilaian terhadap pemberian exequatur. Semua jenis dokumen dimaksud menjadi bahan kajian bagi Mahkamah Agung untuk mengabulkan atau menolak pemberian exequatur. Rupanya Perma No. 1 Tahun 1990 berpendapat, penelitian dan penilaian pemberian exequatur terhadap putusan arbitrase asing, tidak memadai jika hanya didasarkan atas putusan dan surat penunjukan arbiter. Diperlukan bahan yang lebih
luas dan lebih lengkap sebagai tambahan terhadap jenis dokumen yang dideponir yang harus diserahkan kepada panitera waktu melakukan deponir putusan arbitrase asing terdiri dari : i.
Asli putusan atau salinan resmi putusan,
ii.
Naskah terjemahan resmi ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia,
iii.
Asli atau salinan perjanjian yang menjadi dasar putusan yang telah diautentikasi sesuai dengan ketentuan autentikasi yang berlaku terhadap dokumen-dokumen asing,
iv.
Naskah terjemahan resmi surat perjanjian dasar putusan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia,
v.
Keterangan dari perwakilan diplomatik Indonesia di negara mana putusan arbitrase asing di buat, yang menyatakan bahwa negara permohonan terikat secara bilateral dengan negara Indonesia atau terikat bersamasama dengan negara Indonesia dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Adalah layak, pada pendeponiran putusan arbitrase asing, jenis dokumen lebih banyak dibanding dengan pendeponiran putusan arbitrase dalam negeri. Malahan keharusan melampirkan surat perjanjian termasuk surat perjanjian arbitrase pada pendeponiran,
selayaknya
ketentuan
ini
tidak
hanya
berlaku
terhadap
perndeponiran putusan arbitrase asing saja, tapi diterapkan juga terhadap pendeponiran putusan arbitrase dalam
negeri. Sebab kalau surat perjanjian tidak ikut diserahkan pada waktu pendeponiran, apa yang menjadi bahan bagi pejabat yang berwenang memberi exequatur untuk menguji apakah putusan sesuai dengan apa yang disengketakan. Dari rnana mungkin mengetahui putusan melampaui batas dari apa yang diperjanjikan, jika perjanjian arbitrase tidak ikut dilampirkan (diserhkan) pada waktu pendeponiran, dari mina kita tabu rules yang mereka sepakati. Tanpa dokumen tersebut, tidak mungkin diketahui secara pasti komposisi dan jumlah anggota arbiter yang disepakati para pihak. Semua masalah-masalah yang dikemukakan, penelaahan putusan saja. Oleh karena itu, kurang lengkap jenis dokumen yang harus dideponir berdasar ketentuan Pasal 634 dan 635 Rv. Sedang apa yang diatur dalam Perma No. 1 tahun 1990, dianggap sudah memadai. Sudah sepantasnya, ketentuan Perma dijadikan pedoman secara analogis dalam pendeponiran putusan arbitrase dalam negeri, supaya peneilitian pemberian exequatur yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri Lebih sempurna dan lebih seksama. 4. Tenggang Waktu Pendeponiran Sangat disayangkan Perma No. 1 Tahun 1990 tidak mengatur ketentuan tentang batas tenggang waktu pendeponiran putusan arbitrase asing Padahal masalah itu sangat perlu diatur secara pasti, mengingat batas tenggang waktu pendeponiran yang ditentukan dalam Pasal 634 Rv., mengandung dua Jenis batas tenggang waktu yang berbeda atas dasar lingkungan geografis Indonesia. Untuk lingkungan Jawa Madura batas tenggang waktunya 14 hari, terhitung sejak tanggal putusan arbitrase
dijatuhkan Sedang untuk lingkungan wilayah di luar Jawa-Madura, 3 bulan terhitung sejak tanggal putusan dijatuhkan Adanya dua macam jenis batas tenggang waktu dihubungkan dengan pendeponiran putusan arbitrase asing, bisa menimbulkan masalah. Batas tenggang waktu mana yang hina dipegang dan diterapkan terhadap arbitrase asing Apakah tenggang waktu yang berlaku untuk Jawa Madura atau luar Jawa-Madura? Jika yang dipegang sebagai pedoman analogis tenggang waktu untuk Jawa-Madura tentu orang lain bisa juga mempergunakan pendekatan analogis dengan tenggang waktu luar Jawa, Madura Timbul pertanyaan Apakah kedua batas tenggang waktu tersebut, sama-sama bisa dipergunakan dalani pendeponiran putusan arbitrase asing? Tentu tidak mungkin sama-sama bisa dipergunakan. Harus dipilih salah satu di antaranya. Yang Iebih tepat dipakai adalah batas tenggang waktu yang berlaku untuk luar Jawa-Madura. Dengan demikian, batas tenggang waktu pendeponiran putusan arbitrase asing adalah 3 bulan dan tanggal putusan dijatuhkan Kenapa batas tenggang waktu itu yang dipilih? Alasannya, didasarkan kepada beberapa faktor. Faktor Pertama: pengurusan penyelesaian dokumendokumen yang harus diserahkan, memerlukan waktu yang relatif panjang. Seperti yang sudah dikatakan, pendeponiran putusan arbitrase asing, mewajibkan penyerahan beberapa jenis dokumen. Di samping penyerahan asli atau salinan resmi putusan beserta terjemahan resmi putusan, juga harus diserahkan ash atau salinan resmi serta terjemahan resmi surat perjanjian. Selain daripada itu, harus pula diserahkan surat keterangan dan perwakilan
diplomatik Indonesia yang berada di negara di tempat nana putusan dijatuhkan, yang menyatakan bahwa negara tersebut benar terikat hubungan bilateral dengan Indonesia ataupun sama-sama terikat secara multilateral dengan negara Indonesia tentang perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing. Dari sekian jenis jumlah dokumen yang diserahkan, tentu memerlukan waktu pengurusan. Terutama mengenai penyelesaian pengurusan terjemahan serta surat keterangan dan perwakilan diplomatik Indonesia. Tidak mungkin diselesaikan dalam tempo satu dun bar. Paling tidak dibutuhkan waktu satu atau dua minggu. Atas alasan ini, secara realists tidak layak dan tidak memadai batas tenggang waktu 14 hari seperti yang berlaku untuk daerah Jawa Madura. Waktunya sangat sempit, jika dibanding dengan waktu yang dibutuhkan mengurus persiapan dan penyelesaian dokumen-dokumen yang mesti diserahkan. Faktor keclua : transportasi dan komunikasi. Meskipun diakui, pada saat sekarang dunia sudah sedemikian rupa kecilnya, di mana jarak antara satu negara dengan negara lain sudah terbuka beban, sehingga antar negara dan benua dapat ditempuh dalam bilangan waktu singkat, pengurusan perjalanan antara satu negara ke negara lain, mash tetap memerlukan pengurusan yang memakan waktu. Pengurusan transp4rtasi tidak dapat diabaikan. Kendala komunikasi, baik yang berupa prasarana perangkat keras maupun prasarana perangkat lunak seperti masalah bahasa dan sistem tata hukum dan administrasi yustisial, dapat diperkirakan merupakan hambatan atas kelancaran penyelesaian segala macam urusan yang
memerlukan waktu pendekatan yang agak memadai, sehingga tidak mungkin dapat diatasi dalam jangka waktu 14 hari dari tanggal putusan dijatuhkan. Dari alasan yang dikemukakan di atas, kita cenderung memilih batas jangka waktu pendeponiran putusan arbitrase asing adalah 3 bulan sejak tanggal putusan dijatuhkan. dianalogikan dengan batas tenggang waktu yang berlaku untuk luar Jawa Madura. Batas waktu ini lebih realistic memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Terlampau kejam dan kurang manusiawi, menerapkan analogi batas jangka waktu 14 hari yang berlaku untuk Jawa-Madura. Memang, kalau secara geografis oleh karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terletak di Pulau Jawa, ada benarnya untuk menerapkan batas angka waktu 14 hari. Cuma penerapan itu kurang mempertimbangkan berbagai faktor secara integralistik. Demikian berbagai hal yang perlu disinggung mengenai pendeponiran putusan arbitrase asing. Hal-hal yang diutarakan pada bagian in, merupakan tambahan aturan terhadap uraian pendeponiran putusan arbitrase dalam negeri, yang berlaku juga terhadap pendeponiran putusan arbitrase asing. Seperti halnya mengenai pihak yang wajib melakukan pendeponiran, sama dengan apa yang berlaku terhadap pendeponiran putusan arbitrase dalam negeri yakni ditugaskan kepada salah seorang anggota arbiter atau oleh seorang kuasa yang khusus mereka tunjuk untuk itu. Juga aturan lain yang berlaku seperti: i. Pembuatan akta deponir oleh penitera :
Dan di tandatangani oleh penitera, serta
Orang yang melakukan pendeponiran,
ii.
Pembayaran biaya pendeponiran
iii.
Pemberitahuan pendeponiran kepada para pihak,
Semua ketentuan itu berlaku terhadap pendeponiran putusan arbitrase asing. Itu sebabnya diperingatkan, bahwa rules yang mengatur pendeponiran putusan arbitrase asing, sama dengan pendeponiran putusan arbitrase dalam negeri. Samasama berpedoman kepada ketentuan Pasal 634 dan 635 Rv. Cuma khusus untuk pendeponiran putusan arbitrase asing, ada tambahan aturan dalam Perma No. 1 Tahun 1990. Tambahan aturan itu mengenai sentralisasi pendeponiran di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tambahan aturan mengenai jumlah dan jenis dokumen yang harus diserahkan pada pendeponiran, lebih banyak ragamnya dibanding dengan jenis dokumen yang harus diserahkan pada pendeponiran arbitrase dalam negeri. Selain daripada itu, pada pendeponiran putusan arbitrase, juga berlaku ketentuan ketidakabsahan pendeponiran yang melampaui batas tenggang waktu yang ditentukan. Cuma dalam hal ini, kita berpendapat, batas jangka pendeponiran yang layak dan realistis, dianalogikan dengan batas jangka waktu yang berlaku untuk luar Jawa-Madura yakni 3 bulan terhitung dari tanggal putusan dijatuhkan.
Bagian Ketiga ANALISA TERHADAP PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE LUAR NEGERI
A. Kekuatan Mengikat Suatu Putusan Asing Pada masa Perang Dunia I, seorang opsir tentara Inggris yang bernama Platt diinternir di Negeri Belanda. Opsir tersebut mempunyai hubungan istimewa dengan seorang wanita Belanda yang sudah bersuami. Untuk menunjukkan cinta sang opsir ini membelikan sebuah mantel bulu binatang seharga 40.000 Gulden, di toko milik Kuhne, Kneuterdijk 2, Den Haag. Namun sebelum mantel tersebut dibayar lunas, sang opsir tersebut meninggal dunia. Pemilik toko tersebut kemudian menggugat ahli waris Platt, agar supaya mereka memenuhi perjanjian (pembayaran) di hadapan Pengadilan Inggris. Tetapi hakim Inggris ternyata berpendapat bahwa gugatan tersebut didasarkan pada jual beli yang menurut hukum Inggris dipandang sebagai ongeoorloofde oorzaak (sesuatu sebab yang tidak halal) dan oleh karenanya gugatan Kuhne ditolak. Kuhne (pemilik toko) tidak berputus asa, is menggu-gat ahli waris Platt dihadapan Hakim Belanda . Para ahli waris Platt berpendirian bahwa perkara tersebut telah diputus oleh Pengadilan Inggris, yang tentunya mengikat pula Kuhne. Rechtbank dan Raad van Justitie mempunyai pendirian yang sama yaitu
bahwa hakim harus meneliti kasus demi kasus, untuk menetapkan sejauh mana kekuatan suatu putusan asing mengikat bagi para pihak. Menurut Hakim tersebut dalam perkara yang bersangkutan Kuhne terikat pada putusan Pengadilan Inggris, karena ia telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Inggris, yang berarti bahwa ia telah dengan sukarela mengikatkan dirinya. Apabila kemudian Kuhne menyatakan tidak terikat pada putusan Inggris tersebut, karena tidak menguntungkan baginya, maka hal tersebut menunjukkan adanya indikasi itikad buruk dan bertentangan dengan kepatutan dan kesamaan hukum. Kuhne kemudian mengajukan kasasi kepada Hoge Raad dengan alasan bahwa putusan asing tidak mempunyai "gezag van gewijsde" dan bahwa keadaankeadaan yang dikonstatir oleh Raad van Justitie tidal< rnenyebabkan terikatnya Kuhne pada putusan tersibut. Alasan tersebut ditolak Hakim kasasi, yang membenarkan pertimbangan dari Raad van Justitie yang menyatakan bahwa Hakim Belanda harus meneli-ti kasus demi kasus kekuatan hukum setiap putusan hukum asing. Pendirian tersebut tidaklah bertentangan dengan Pasal 1954 BW (yang sama dengan Pasal 1917 BW Indonesia), karena selain dari itu Pengadilan Tinggi juga telah menyimpulkan dengan benar bahwa putusan hakim asing tidak memiliki "kracht van gewijsde" dinegara Belanda. Pendirian tersebut tidak bertentangan dengan pasal 431 (1) Rv, yang mengatur tentang eksekusi putusan Hakim asing. Dalam kasus ini tidak masalah eksekusi putusan asing (karena gugatan Kuhne ditolak di Inggris). Keterikatan terhadap putusan Hakim atas dasar itikad baik,
juga tidak bertentangan dengan Undang-undang khususnya dengan Pasal 1374 dan Pasal 1375 BW (yang sama, dengan Pasal 1338 dan Pasal 1339 BW Indonesia). Pendirian Hoge Raad tersebut, yang lebih dikenal dengan Bontmantel Arrest I 1)
, yang disusul dengan arresmya tanggal 24 Juni 1932 (Hongaarse hypotheek) dan
tanggal 1 April 1938 (Zwitserse Kind II) mengakhiri kontroversi dalam masalah kekuatan mengikat suatu putusan hakim asing. Sebelum munculnya arrest tersebut, kontroversi terhadap ketentuan Pasal 431 Rv. Didalam ayat 1 ditentukan bahwa kecuali yang ditentukan di dalam Pasal 985 sampai dengan Pasal 994 (adanya kemungkinan untuk eksekusi putusan asing berdasarkan suatu perjanjian/verdrag), putusan hakim asing tidak dapat dieksekusi di negara Belanda. Di dalam ayat 2 dari pasal tersebut menentukan bahwa persoalannya dapat diajukan untuk diperiksa dan diputus sebagai suatu perkara barn di Nederland. Ketentuan ini menimbulkan beberapa penafsiran dan pendirian. Ada yang menafsirkan dan berpendapat bahwa Pasal 431 (2) Rv tersebut hanya tidak membolehkan (melarang ?) pelaksanaan putusan hakim asing secara paksa. Untuk selebihnya terserah kepada Hakim. Belanda sendiri untuk memberikan penilaian tentang kekuatan dari putusan hakim asing tersebut. Ada pula yang berpendapat bahwa ketentuan tersebut hanya ditujukan pada putusan yang condemnatoin yang dalam hal ini tidak dapat diberikan suatu kekuatan mengikat. Apabila orang yang menang perkara di luar negeri dengan putusan yang demikian itu, dan menginginkan hal itu dilaksanakan di Indonesia,
maka ia terlebih dahulu harus mengajukan perkara baru. Untuk putusanputusan lain selain dari yang bersifat condenmatoin seperti putusan yang menolak gugatan, putusan-putusan yang bersifat declaratoir dan konstitutXhakim bebas memberikan kekuatan bukti menurut pendapatnya. Mungkin dapat diajukan suatu perkara baru, namun hal itu tidak selalu demikian. Dengan adanya Bontmantel arrest tersebut maka ketentuan Pasal 431 ayat 2 Rv tersebut lebih jelas. Di dalam suatu putusan hakim asing perlu diperhatikan beberapa hal, sebagai berikut : 1. Putusan Hakim Asing Sebagai Suatu Fakta Hukum Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Asing merupakan suatu fakta bukan dianggap sebagai (putusan) hukum. Contohnya : a.
apabila hakim memerintahkan seseorang untuk membayar sejumlah uang kepada orang lain, dan pembayaran tersebut telah dilakukan, maka hakim negara lain tidak dapat menentukan bahwa pembayaran itu adalah merupakan pembayaran yang tidak diwajibkan ( on verschuldig d);
b.
seseorang yang ditunjuk di dalam suatu perkara kepailitan berdasarkan suatu putusan asing, demi hukum dapat bertindak sebagai kurator di dalam negeri.
c.
apabila seseorang ditunjuk oleh Hakim Asing, sebagai wali, niaka demi hukum orang yang bersangkutan dapat bertindak untuk kepentingan orang yang berada dalam perwaliannya di manapun.
d.
apabila dalam hukum asing terdapat beberapa ketidak jelasan yang
kemudian
diselesaikan
oleh
para
pihak
berdasarkan
"vaststelling
overeenkonist" (perjanjian penentu) maka persetujuan tersebut memiliki oorzaak. 2. Kekuatan bukti dari suatu putusan Hakim (bewilzende kracht) Putusan hakim asing dapat dianggap sebagai suatu akte otentik yang dibuat sesuai dengan peraturan-peraturan hukum yang berlaku di tempat putusan tersebut diucapkan. Oleh karenanya putusan tersebut memberikan pembuktian terhadap apa yang dinyatakan sebagai peristiwa-peristiwa itehjk voorgevallen) dalam putusan tersebut. Umpamanya tergugat hadir dan telah mengajukan sangkalan, telah didengar saksi-saksi dan sebagainya. Selain dari pada itu suatu putusan dapat juga disimpulkan kebenaran materiil (materiels juistheid) dari pada apa yang diberikan sebagai keterangan. Lepas dari kedudukannya sebagai akte otentik, suatu putusan hakim asing dapat juga dianggap sebagai suatu sumber persangkaan (vermoedens). Persangkaan tentang kebenaran materiil dari apa yang diterangkan oleh para saksi atau apa yang diakui oleh para pihak, akan tetapi juga per-sangkaan yang berkenaan dari apa yang oleh hakim asing tersebut ditetapkan sebagai pengikat para pihak berdasarkan faktafakta yang terbukti. Pendapat yang terakhir ini mendapat pengakuan terhadap kekuatan mengikat suatu putusan hakim asing. Kekuatan pembuktian dari suatu putusan, walaupun dalam pengertian yang
sangat lugs, maka kita juga harus menyadari bahwa walaupun putusan merupakan akta otentik pada prinsipnya selalu terbuka suatu pembuktian sebaliknya, dan oleh karenanya dapat diajukan perkara baru di dalam negeri sesuai dengan Pasal 431 (2) Rv. 3. Kekuatan mengikat putusan Hakim (bindende kracht) Apabila kekuatan mengikat ini diterima, maka yang dapat dianggap benar bukan hanya fakta-fakta yang dite-tapkan sebagai terbukti, akan tetapi kesimpulan tentang adanya suatu hubungan hukum tertentu, harus juga dianggap benar. Diktum putusan hakim juga dianggap mengikat para pihak meskipun tanpa daya eksekusi (executoriale werking) . Kekuatan mengikat suatu putusan Hakim asing tidaklah sama dengan kracht van gewhisde dalam ketentuan Pasal 1917 dan Pasal 1918 KUHPerdata Indonesia, karena pasal-pasal ini hanya berlaku bagi putusan-putusan Hakim di dalam negeri Indonesia. Kekuatan mengikat putusan-putusan Hakim Indonesia berasal dari putusan-putusan itu sendiri.
4)
Tidak demikian halnya dengan
kekuatan mengikat putusan hakim yang dijatuhkan di luar negeri. Hakim-hakim Indonesia tidak mempunyai kewajiban untuk mengakui putusan-putusan hakim asing tersebut, baik yang menyangkut fakta-fakta yang dipandang terbukti maupun akibat hukum dari kewajiban-kewajiban yang timbul bagi para pihak. Artinya adalah bahwa hakim Indonesia boleh menerimanya atau menolaknya. Apabila Hakim menolaknya, maka pihak yang ingin menuntut suatu kewajiban hukum dari pihak lain, atau ingin agar hubungan hukum dinyatakan
mengikat, harus mengajukan gugatan baru di dalam negeri. Apa yang diuraikan di atas adalah yang menyangkut putusan hakim asing, tetapi karena nilai dari suatu putusan arbitrase adalah sama dengan putusan hakim, maka apa yang telah penulis uraikan di atas juga berlaku bagi putusan arbitrase asing, sepanjang antara negara-negara yang bersangkutan tidak ada perjanjian balk bilateral maupun multilateral. Masalah pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing hingga kini masih merupakan masalah yang cukup besar. Hal ini terutama disebabkan oleh karena pihak yang kalah di dalam suatu sengketa arbitrase telah mencari alasan agar supaya putusan tersebut tidak terlaksana. Lebih lagi bila pengadilan nasional tidak memberikan dukungan yang positif. Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diajukan kembali, yang dalam Bahasa Latin disebut "Res Judicata pro Veritata" yang artinya adalah dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum mengikat. Apa yang telah diselesaikan oleh Hakim tidak boleh lagi diajukan kembali Hakim dimasa yang akan datang (liter liniri oprtet). Pada hal peranan pengadilan pada konteks diharapkan untuk memaksakan pelaksanaan tersebut. Christopher H.Schreuer berpandangan, bahwa : "It is only at the last stage, when it comes to enforcement, that the victorious litigant ultimately depends on the authority of domestic courts". 5) Rene David memberikan alasan apa sebab keputusan arbitrase asing itu sulit
untuk dilaksanakan yaitu oleh karena kontrak dibuat oleh para pihak sehingga untuk melaksanakan isi kontrak tersebut tidak banyak masalah, sedangkan keputusan arbitrase dibuat oleh pihak ketiga (arbitor), dan biasanya pihak yang kalah selalu keberatan. 6) Masalah ini yang merupakan kelemahan utama saat ini bagi arbitrase komersial internasional di Indonesia.') Masyarakat internasional telah berusaha untuk menembus kesulitan dan kelemahan tersebut. Dan berbagai usaha terlihat yaitu dimulai pada tahun 1927, seperti di dalam Konvensi Jenewa tentang Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase yang kemudian diperbaharui oleh Konvensi New York tahun 1958. Umumnya yang menjadi kendala adalah pelaksanaan (eksekusi) putusan oleh pihak yang kalah. Tentang pengakuan kekuatan mengikat suatu putusan arbitrase asing pada umumnya telah diterima oleh negara yang terikat dengan Konvensi New York tersebut. Menurut Huala Adolf dan A Chandrawulan bahwa timbulnya masalah tersebut karena merupakan refleksi dari peraturan atau konvensi internasional pada umumnya, Christoper H Schreuer, Recent Developments, Cambridge : Grotius Kesulitan serupa juga dialami oleh arbitrase komersial domestik. termasuk Konvensi New York 1958, yakni kalau konvensi international tidak mengatur prosedur yang detail, namun hanya mengatur hal-hal yang pokok saja. Di dalam lingkup nasional, Konvensi Internasional ini diibaratkan sebagai Undang-
undang Pokok yang memerlukan penjabaran lebih lanjut oleh Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri dan lain-lain sebagainya, yang kesemuanya merupakan Implementing Legislation. Keadaan ini menambah ruwetnya cara pelaksanaan keputusan arbitrase. Sebenarnya ketika Konvensi New York ini lahir, banyak harapan digantungkan untuk memperbaiki pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing, khususnya para anggota konvensi. Keputusan Supreme Court America di dalam kasus Arbitarse Komersial Internasional yang cukup terkenal yaitu Schenk V Alberto - Culven tahun 1973, menyatakan bahwa : "The goal of the Convention, and the principal purpose underlyinpAmerican adoption and implementation of it, was to encourage the recognition and enforcement of commercial arbitration agreements in International contracts and to unify the standards by which agreements to arbitrate are observed in the signatory coun-tries" . Di dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa Konvensi New York dimaksudkan untuk menggalakkan pengakuan dan pelak-sanaan perjanjian arbitrase dalam kontrak Internasional dan agar keputusan arbitrase yang dikeluarkan dapat dilaksanakan di Negara - negara anggota konvensi. Ada dua persyaratan pokok bagi negara-negara yang akan melaksanakan Konvensi New York tersebut yaitu : Persyaratan reprositas (Reprocity - reservation) Yaitu suatu negara baru akan
menerapkan ketentuan konvensi apabila keputusan arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga anggota konvensi New York. Apabi-la dibuat oleh negara yang bukan anggota, maka negara anggota tidak wajib menerapkan ketentuan konvensi, kecuali bila ada perjanjian bilateral, e.
Persyaratan komersial, yaitu suatu negara yang telah meratifikasi konvensi New York hanya akan menerapkan ketentuan konvensi terhadap sengketa "komersial" menurut hukum nasionalnya. Konvensi New York pada dasarnya mengandung 5 prinsip, yaitu: 10) Prinsip pertama yaitu bahwa konvensi ini menganut peranan pengakuan dan
pelaksanaan keputusan-keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan keputusan pengadilan nasional. Prinsip kedua, yaitu bahwa konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu ditarik dalam keputusan pengadilan nasional. Prinsip Ketiga, yaitu konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process). Prinsip keempat, yaitu konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumen tapi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan konvensi, yaitu : a.
dokumen keputusan asli atau copynya yang sah;
b.
dokumen perjanjian arbitrase yang asli atau copy yang sah. Prinsip kelima, yaitu konvensi New York lebih lengkap, lebih komprehensip
dari pada hukum nasional pada umumnya. Bahwa dengan hukum nasional pada umumnya yang hanya mengatur tentang pelaksanaan (enforcement) suatu pengadilan Huala Adolf, ibid, hal 198. (termasuk arbitrase). Konvensi New York di samping mengatur tentang pelaksanaan, juga mengatur tentang pengakuan (recognition) terhadap suatu keputusan arbi-trase. Walaupun Konvensi New York tersebut diadakan untuk memudahkan pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing, namun masih banyak hambatan yang dapat dipakai oleh hakim nasional untuk menyatakan putusan arbitrase asing tersebut tidak dapat dilaksanakan. Pasal V Konvensi New York membuka kemungkinan bagi para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan penolakan keputusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut kepada hakim. Ada 7 (tujuh) alasan yang dapat dipakai oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yaitu : a.
Para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut di dalam Pasal II ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau menurut hukum negara di mana keputusan tersebut dibuat (apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku). Mahkamah Agung Yunani (Hero pagos) pernah menolak pelaksanaan keputusan
arbitrase yang dibuat di New York, karena perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal II konvensi. Meskipun para pihak telah membuat perjan-jian arbitrase secara tertulis, namun kemudian terungkap bahwa salah sate pihak tidak mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian tersebut. Di samping itu terungkap pula bahwa tergugat tidak diikutsertakan di dalam persidangan yang diadakan oleh arbitrase. "). b. Pihak terhadap mana keputusan diminta, tidak diberitahu secara patut tentang penunjukan arbiter dalam persidangan arbitrase atau tidak dapat mengajukan kasusnya. Di dalam kasus Person & Wittemore Overseas Co vs Societe Genenale de I'Industrie du Papier (PAKTA), pengadilan menyatakan bahwa ketentuanketentuan konvensi menyetujui penerapan Standard forum peradilan nasional untuk due process ini. Pihak Persons & Wittemore menolak keputusan arbitrase ini dengan alasan bahwa arbitrase ini telah menolak untuk mendengarkan keterangan dari seorang saksi. Kebanyakan kesaksian para saksi diberikan melalui surat resmi raja. Hakim menolak alasan ini sebagai alasan untuk tidak melaksanakan keputusan arbitrase. Hakim menganggap, bahwa hal ini adalah "resiko yang melekat dalam suatu perjanjian
yang
menyerahkan
sengketa
kepada
arbitrase".
Pengadilan
berpendapat bahwa para arbiter telah bertindak sesuai dengan kewenangan yang ada padanya. Di dalam kasus yang lain, yaitu kasus Biotromik Mess and Therapiegeraete
GMBH & C vs Medford Medical Instrument Co, pihak yang kalah mcngklaim transaksinya tidak mating (final) . Pengadilan menolak argumentasi tersebut karena hal itu tidak ada sangkut pant dengan masalah yang lebih terbatas dari pada memberitahukan dari kesempatan untuk mendengar kesaksian. c.
Keputusan yang diberitahukan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase atas keputusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar hal-hal yang seharusnya diputuskan. Di dalam keputusan kasus Persons & Wittermore, masalah ini juga dibahas. Di dalam keputusan tersebut, pengadilan menyatakan menolak keberatan dari Person & Wittermore, dengan pertimbangan bahwa penolakan terhadap pelaksanaan suatu keputusan arbitrase luar negeri harus ditafsirkan secara sempit, Penafsiran yang sempit tersebut adalah sesuai dengan ketentuan pelaksanaan seperti yang dimaksud dalam konvensi. Di dalam sengketa tersebut pengadilan menyatakan keputusan pembayaran kerugian atas hilangnya produksi meskipun kontraknya menyatakan bahwa tidak satupun pihak akan bertanggung jawab atas hilangnya produksi. Pembelaan ditolak atas dasar bahwa arbiter-arbiter telah menafsirkan kontrak dengan memasukkan hilangnya produksi dalam keputusannya.
d. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak atau tidak sesuai dengan hukum nasional. e.
Keputusan tersebut belum mengikat terhadap pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di mana keputusan tersebut dibuat.
Mendrut Rene David, ketentuan ini memungkinkan suatu keputusan arbitrase dianggap tidak mengikat jika pihak yang kalah berkeberatan terhadapnya, karena ketentuan pasal ini hanya menyebutkan bahwa keputusan tersebut adalah mengikat (binding) bukannya final. 12) Dua alasan lainnya ditemukan di dalam Pasal V ayat 2 yaitu : a.
Materi yang disengketakan tidak dapat diselesaikan oleh arbitrase menurut hukum negara tempat arbitrase berlangsung. Di dalam perkara C.MI. International Inc vs Islamic Republic of Iran (Ministry of Roads and Transport. Dewan Arbitrase (The Iran - Us Claim Tiibunal) berpendapat bahwa hukum Nasional yang mengatur perkara tersebut tidak dapat ditentukan. Dewan berpendapat meskipun di dalam klausul arbitrase diten-tukan bahwa hukum negara bagian IDAHO (AS) yang akan mengatur perjanjian tersebut, namun Dewan tidak dapat menerapkan perjanjian tersebut karena tidak terikat (not reigidly tied to the law of contract, at least insofar as the assesment of damages is concerned) .1.3)
b. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan tersebut bertentangan dengan Ketertiban Umum. Public Policy ini adalah konsep yang masih kabur dan selalu berubah serta menarik banyak perhatian dari hakim. Di samping itu public policy ini ditafsirkan berbeda-beda dari satu negara dengan negara lain. 14). 4. Praktek Pelaksaan Konvensi New York Di Beberapa Kawasan a. Negara-negara Eropah Timur seperti, Bulgaria, Cekoslowakia, Hungaria,
Polandia, Rumania dan Uni Soviet tergabung di dalam organisasi kerjasama ekonomi yang disebut Council for Material Economic Assistence (CHEA).
16
>
Negara-negara tersebut telah meratifikasi Konvensi New York. Di dalam meratifikasi konvensi tersebut, semua negara anggota CMEA tersebut tidak mengajukan persyaratan Resipositas. Di samping itu Hungaria dan Bulgaria mensyaratkan adanya peningkatan di bidang komersial. Hal ini berakibat bahwa apabila tidak ada perjanjian bilateral (atau multilateral) antara negara-negara Eropa Timur dengan negara lain, tidak dapat dilaksanakan di salah satu negara Eropah Timur tersebut. Di negara Romania, di dalam hukum acaranya (Pasal 375) disebutkan bahwa dibutuhkan resiprositas untuk melaksanakan putusan pengadilan. Menurut doktrin yang berlaku di negara ini, yang dimaksud dengan putusan Pengadilan termasuk juga arbitrase asing. Sewaktu Rumania meratifikasi konvensi, pemerintahnya menyatakan bahwa konvensi New York dapat diterapkan terhadap keputusankeputusan yang dibuat di negara lain yang bukan peserta konvensi New York, hanya atas dasar resiprositas yang dibuat berdasarkan perjanjian bersama antara pihak. Di negara anggota CMEA lainnya, pelaksanaan keputusan arbitrase asing, menurut ketentuan hukum nasionalnya, tetap dimungkinkan meskipun tidak ada perjanjian resiprositas dengan negara dimana keputusan tersebut dibuat. Namun demikian hal itu baru akan dilaksanakan jika resiprositas dapat dijamin akan dilaksanakan pula di negara di many keputusan arbitrase tersebut dibuat. Disini
terlihat bahwa walaupun tidak ada perjanjian resiprositas, setiap negara masih tetap mensyaratkan adanya jiwa dan makna asas tersebut di dalam praktek. Preseden Mahkamah Agung Uni Sovyet, ketika meratitikasi konvensi New York mengatakan bahwa negaranya akan menerapkan ketentuan Konvensi New York terhadap keputusan-keputusan arbitrase negara lain yang bukan anggota konvensi, hanya atas dasar resiprositas. 17) Kesimpulannya adalah di negara Eropah Timur (sebelum pecahnya negaranegara Komunis) di dalam prakteknya harus ada perjanjian baik bilateral maupun multilateral untuk dilaksanakannya suatu putusan arbitrase asing. Disamping asas resiprositas tersebut juga negara Eropa Timur mensyaratkan pula bahwa putusan tersebut bersifat final dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. b. Di negara-negara Arab yang telah meratifikasi Konvensi New York adalah Syria, Mesir, Jordania dan Arab Saudi. Meskipun keempat negara tersebut telah meratifikasi konvensi, namun di dalam pelaksanaannya masih terdapat perbedaan di dalam penerapannya, sehingga kadang menimbulkan kesulitan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di negara Arab tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan pada hal-hal sebagai berikut : 1.
Konvensi New York menyamakan antara putusan arbitrase di luar negeri dengan putusan pengadilan di dalam negeri, pada hal di negara Arab putusan arbitrase asing tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan putusan hakim di dalam negerinya.
2.
Prinsip di dalam Konvensi New York adalah keputusan arbitrase asing
diakui tanpa harus melalui ke-putusan dari negara bersangkutan. Tetapi oleh negara - negara Arab menempatkan keputusan arbitrase asing itu pada landasan yang sama sebagai suatu keputu-san, baik yang menunjuk kepada hukum tentang pelaksanaan putusan - putusan arbitrase asing atau secara diam-diam tanpa melalui aturan perundangan. Hal ini berakibat bahwa sebelum keputu-san itu dinyatakan mengikat maka keputusan arbitrase asing tersebut tidak diakui. 3.
Konvensi New York menghindari adanya proses pelaksanaan ganda. Namun di negara-negara Arab, justeru adanya pelaksanaan ganda ini dibutuhkan di dalam pelaksanaannya.
4.
Di dalam Konvensi New York hanya dibutuhkan dua dokumen untuk pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing, yaitu putusan asli atau copynya yang syah dari perjanjian penunjukan arbitrase atau copynya yang syah. Pada hal di negeri Arab selain kedua dokumen tersebut, masih diperlukan adanya dokumen lain, yaitu adanya bukti yang menunjukkan bahwa putusan arbitrase asing tersebut bersifat final. Di samping itu masih diperlukan dokumen yang menunjukkan bahwa keputusan tersebut telah didahului dan dibuat menurut suatu aturan pelaksanaan (an enforcement order) yaitu keputusan telah diberitahukan secara patut dan kedua belah pihak telah dipanggil kepersidangan secara patut pula.
5.
Konvensi New York mencakup pengakuan dan pelaksa-naan suatu
putusan arbitrase asing, sedangkan pada hukum nasional negara Arab hanya menyangkut pelaksanaan kompetensi saja. 5. Pelaksanaan Konvensi New York Di Amerika Serikat. Pada waktu Amerika Serikat meratifikasi Konvensi New York, maka negara ini mengajukan 2 persyaratan yaitu Resiprositas dan Komersil. Yang dimaksud dengan per-syaratan Komersil di sini adalah "maritime transaction and contracts evidencing a transactions involving commerce". 18) Pada umumnya keputusan-keputusan arbitrase asing dilaksanakan dengan sukarela dengan baik oleh pengusahapengusaha Amerika. Hanya sedikit di antara putusan arbitrase asing itu yang memerlukan legalisasi dari pengadilan nasional Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat sangat mendukung adanya arbitrase komersial Internasional. Pelaksanaan Konvensi New York Di Indonesia 1. Pelaksanaan keputusan arbitrase pada umumnya Pasal 615 Rv menegaskan : -
diperbolehkan untuk menyerahkan sengketa kepada seorang atau beberapa orang arbiter (Pasal 615 ayat 1 Rv);
-
dan juga diperkenankan mengikatkan diri antara satu pihak dengan pihak lain untuk menyerahkan sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari (Pasal 615 ayat 3 Rv). Jika ketentuan tersebut di atas dihubungkan dengan rumusan ketentuan Pasal
620 Rv ayat 2, maka kekuasaan dari arbiter tidak boleh ditarik (onherroepelijk),
kecuali bila disetujui oleh para pihak secara tegas. Ini membawa konsekuensi bahwa putusan yang dijatuhkan oleh arbiter mempunyai kekuatan mengikat (bindende kracht) bagi para pihak. Kekuatan mengikat tersebut dalam arti : -
sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
-
kekuatan hukum yang tetap (kracht van grewijsde); tidak boleh dibatalkan secara sepihak, dan
-
apabila ditarik atas kesepakatan bersama, maka kesepakatan tersebut baru berlaku atau mengikat terhitung saat kesepakatan tersebut dibuat;
a. Keputusan arbitrase sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Maknanya adalah bahwa putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial. Suatu putusan dapat dikatakan mempunyai kekuatan eksekutorial apabila putusan tersebut mengandung suatu perintah (condemnatoir). Sudikno Martokusumo, berpendapat bahwa : "Putusan Hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi dari pada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan. 20) Suatu putusan yang bersifat deklaratoir ataupun konstitutif tidaklah mengandung suatu kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Putusan yang bersifat deklaratoir hanya bersifat menerangkan atau menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata, misalnya A adalah ahli waris dari B. Putusan yang bersifat konstitutif hanya bersifat meniadakan suatu keadaan hukum baru atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru. Misalnya putusan yang menyatakan
perkawinan putus karena perceraian atau putusan yang menyatakan seseorang berada dalam pailit. Putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh arbiter bersifat final dan mengikat. Demikian ditegaskan di dalam rumusan ketentuan Pasal 60 Undang-undang No.30 tahun 1999. Ini berarti upaya hukum untuk memeriksa materi sengketa sudah tertutup. Dahulu pada waktu berlaku Undang-undang No.1 Tahun 1950 (L.N.1950 No.30) tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, di dalam rumusan ketentuan Pasal 15 ditentukan bahwa Mahkamah Agung juga memutus pada tingkat peradilan kedua (banding) atau putusan wasit yang ternyata mengenai nilai barang Rp.250.000,- atau lebih yang acaranya diatur dalam Bab VI . tentang jalan pengadilan pada tingkat kedua bagi putusan wasit, Pasal 108 sampai dengan Pasal 111. Dengan pengaturan tersebut, maka setiap pemohon banding atas putusan wasit diperiksa dan diputus berdasar Undangundang No. 1 tahun 1950 tersebut. Selain dari apa yang telah diuraikan oleh penulis di atas, sebelum berlakunya Undang-undang No. 14 Tahun 1985 di dalam rumusan ketentuan Pasal 163 (2) R.O dinyatakan bahwa Mahkamah Agung (Hoog Gerechtshoi) mengadili dalam tingkat banding (hoger beroep) terhadap putusan-putusan arbitrase di seluruh Indonesia apabila tuntutannya tidak kurang dari £500 (lima ratus gulden), sedangkan rumusan ketentuan Pasal 641 Rv menyatakan bahwa terhadap putusan wasit yang diberikan dalam ting-kat pertama sesuai dengan ketentuan dalam rumusan ketentuan Pasal 163 R.O. dapat dimintakan banding kepada Mahkamah
Agung (Hoogerechtshoi) apabila pokok perselisihan berharga lebih dari 1.500 (lima ratus gulden), kecuali dalam kompromi pihak-pihak secara tegas (uitdrukkelijk) menyatakan melepaskan haknya untuk banding. Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tersebut di atas, dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 13 Tahun 1965 (Pasal 70). Di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 1965 tersebut, yang juga mengatur tentang kekuasaan Mahkamah Agung (Bab IV Paragraf 2), tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang adanya kewenangan Mahkamah Agung untuk memeriksa dan menentukan pada tingkat kedua (tingkat banding) atas putusan wasit. Undang-undang No. 13 Tahun 1965 kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 14 Tahun 1965. Di dalam Undang-undang terakhir ini, baik di dalam Bab III yang mengatur kekuasaan Mahkamah Agung, maupun di dalam Bab IV yang mengatur Hukum Acara Mahkamah Agung, tidak menentukan tenting adanya kewenangan Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus dalam tingkat banding (tingkat kedua) atas Putusan Wasit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa putusan wasit tidak dapat dimohonkan banding. Hal tersebut di atas ditegaskan di dalam putusan Mahkamah Agung terhadap pemohon banding atas putusan dari arbitrase atau wasit. Hal ini terlihat di dalam putusan Mahkamah Agung dalam perkara:
1. No. 1/ Banding/ Wasit/ 1994, Di dalam Perkara Srikandi Bogarasa Indonesia, selaku Penggugat Arbitrase melawan PT Dharmala Intiland (Dahulu PT. Wisma Dharmala Sakti selaku Tergugat Arbitrase). Sengketa mereka diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), berdasarkan perjanjian tanggal 1 Mei 1987, yang menentukan antara lain bahwa apabila terjadi perselisihan maka penyelesaiannya adalah melalui,arbitrase. Sengketa tersebut kemudian diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia Ad Hoc di dalam putusannya tanggal 29 Juni 1993 yang pada intinya gugatan penggugat dikabulkan sebagian dengan menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp. 80.602.974,60, (dari gugatan berjumlah Rp.1.098.705.048, - dan sejumlah peralatan restoran). Penggugat tidak menerima putusan tersebut dan memohon banding ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung di dalam putusannya tanggal 8 Juli 1997 menyatakan permohonan banding dari pemohon banding tidak dapat diterima, dengan pertimbangan pada pokoknya. Mahkamah Agung berdasarkan Undangundang No. 14 Tahun 1985 tidak diberi wewenang untuk memeriksa dan memutus dalam tingkat banding atas suatu Putusan Wasit. 2. No. 1/ Banding/ Wasit/ 1996, di dalam perkara antara PT. Santoso Asih Jaya sebagai pemohon arbitrase berlawanan dengan PT. Telkom Wilayah Usaha Telkom III Sumatera bagian Selatan dan PT.Telkom Pusat sebagai termohon Arbitrase. Sengketa diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), berdasarkan perjanjian tanggal 16 Januari 1992 No.Te1.5/HK.010/
W03-400/92. Kemudian diadakan Amandamen Pertama tanggal 16 Juli 1993 untuk lokasi Palembang Centrum, selain dari itu masih ada perjanjian untuk lokasi
Palembang
Sungai
Buah
ter-tanggal
16
Januari
1992
No.Te1.6/1/HK.010/W03-400/92. Sengketa tersebut diputuskan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dengan putusannya tanggal 29 Nopember 1995 No.5/XI/05/ARB/ BANI/95, yang mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Putusan BANI tersebut tidak diterima oleh Termohon Arbitrase dan kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung di dalam putusannya tanggal 15 Nopember 1996, menyatakan permohonan banding dari pemohon banding tidak dapat diterima dengan dasar pertimbangan bahwa Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan lagi untuk memeriksa dan memutus perkara dalam tingkat banding atas suatu putusan Arbitrase atau Wasit, karena Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tidak memberi kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk hal tersebut. 3. No.01/Banding/Wasit/1994, di dalam perkara antara Jaw Johan Yahya Sutandar selaku Pemohon Arbitrase melawan PT Jaya Nur Sukses sebagai Termohon Arbitrase. Sengketa mereka diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdasarkan perjanjian pengikatan Jual Beli tanggal 4 Nopember 1994. Tuntutan Pemohon adalah mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo et bono). Tuntutan dari Pemohon arbitrase dikabulkan oleh Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) tanggal 7 Desember 1998 No.5/XII-09/ARB/BANI/98. Termohon arbitrase tidak menerima putusan tersebut, dan mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung di dalam putusannya tanggal 14 Juni 1999, menyatakan bahwa Mahkamah Agung tidak mempunyai kewewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu permohonan banding atas putusan arbitrase atau wasit, karena Undang-undang No. 14 tahun 1985 tidak memberikan kewenangan untuk itu. Oleh karena itu permohonan banding dari pemohon banding dinyatakan tidak dapat diterima. Dari putusan Mahkamah Agung tersebut di atas terlihat bahwa suatu putusan arbitrase atau wasit langsung berkekuatan hukum tetap dan dengan demikian mempunyai kekuatan eksekutorial. Hanya raja di dalam perkara-perkara yang diajukan kepada Arbitrase tersebut terlihat belum adanya keseragaman atau penyebutan bagi pihak-pihak baik yang menuntut maupun yang dituntut. Di dalam putusan No.01/Banding/ Wasit/1994, pihak yang menuntut disebut sebagai penggugat dan yang ditun-tut disebut sebagai tergugat, sedangkan dalam 2 (dua) perkara yang disebut terakhir, penuntutnya disebut sebagai pemohon dan yang dituntut sebagai termohon. Mana sebenarnya diantara kedua istilah tersebut yang lebih tepat. Menurut hemat penulis, sebaiknya pihak yang menuntut disebut sebagai pihak penggugat dan pihak tertuntut disebut sebagai tergugat, dengan alasan sebagai berikut :
1.
bahwa istilah pemohon dan termohon biasanytt digunakan dalam perkara voluntair,
2.
perkara voluntair berakhir dengan penetapan;
3.
suatu penetapan isinya pada umumnya bersifat declara toir.
b. Tidak boleh dibatalkan secara sepihak Sebagaimana halnya dengan perjanjian, maka suatu putusan arbitrase tidak dapat diingkari secara sepihak, karena munculnya perkara tersebut adalah karena adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk menyerahkan persengketaan yang muncul kepada arbitrase. Dengan demikian putusan arbitrase mengikat kedua belah pihak. Di dalam sengketa antara PT. DJI (sebagai I Penggugat) lawan PT. IDL (sebagai tergugat) dan BANI (sebagai turut tergugat) yang diajukan di Pengadilan Negeri Surabaya dengan putusan No.783/Pdt.G/1999/-PN.Sby. Kasus posisi dari kasus tersebut adalah sebagai berikut : 1.
PT DJI dan PT. IDL telah mengikatkan diri dalam kontrak tanggal 4 Nopember 1994 untuk melaksanakan pekerjaan proyek penyelesaian dan pemasangan "Curtain wall" bagi JSEB Kawasan Niaga Terpadu Sudirman Kavling 52-53 Jakarta Selatan dengan nilai kontrak Rp.18.870.090.000,ditambah
dengan
pekerjaan
tambahan
(varation
order)
senilai
Rp.580.516.000,2.
Di dalam perjanjian tersebut terdapat klausula "In the event such dispute or difference cannot be settled within (30) days after giving
of written notice by one party to another (Notice of Dispute) both parties agree to submit the dispute to a board of Arbitration conducted in accordance with the Rule of Arbiration Procedures of the Indonesia Board of Arbitration (BANI) by one more arbitrators appointed in accordance with that Rules". 3.
Menurut Penggugat, Tergugat sebagai kontraktor tidak mampu memenuhi kewajibannya (keterlamba-tan) sehingga kontrak dihentikan, dan Penggu-gat telah menyelesaikan sendiri bangunan tersebut dengan biaya yang lebih besar.
4.
Karena kontrak dihentikan maka PT. IDL (tergugat) mengajukan persengketaannya melawan PT. DJI kepada BANI.
5.
Badan
Arbitrase
Nasional
Indonesia
(BANI)
dalam
putusannya tertanggal 3 Desember 1999 No.5/XII-13/ARB/ BANI/99 telah mengabulkan permohonan dari PT.IDL dan menghukum Termohon untuk membayar kewajiban dan pengganti kekurangan sebesar Rp.6.228.941.991,-, selambatlambatnya 30 hari setelah putusan diucapkan dengan denda 1% perbulan setiap keterlambatan. 6.
Putusan
tidak
diterima
oleh
PT.
DJI,
dengan
alasan
bahwa
arbitrase/wasit tidak menampakkan ciri-ciri khasnya yaitu membvat jalurjalur kompromi di mana pihak pemohon dan termohon tidak diperkenankan terlebih dahulu dalam suatu meja perundingan dengan turut tergugat sebagai mediator/wasit sehingga mendapatkan kesimpulankesimpulan berarti dan kemudian diurnurnkan dalam W arahan dalam bentuk solusi terbaik.
7.
Karena
PT.
DJI
tersebut
tidak
menerima
putusan
arbiter
maka is mengajukan gugatan ke Pengadi-lan Negeri Surabaya dengan meminta tuntutan agar putusan BANI tertanggal 3 Desember 1999 tersebut tidak memiliki kekuatan eksekusi (non executable) dan menuntut tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp.13.857.785.744,52,- ditambah dengan biaya 5% setiap bulan sampai dieksekusi. 8.
Pihak PT. IDL telah mendeponir putusan BANI tersebut di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada tanggal 21 Desember 1999 No.019/Wasit/1999/ PN.Jkt.Pusat, tetapi PT. DJI menyatakan bahwa pendeponiran tersebut tidak syah karena seharusnya pendaftaran dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, lagi pula putusan BANI tersebut tidak ditanda tangani oleh Sekretaris. Di dalam jawabannya Tergugat telah mengajukan eksepsi yang pada pokoknya menyatakan bahwa Penga-dilan Negeri Surabaya tidak kompeten mengadili perkara tersebut. Pengadilan Negeri Surabaya di dalam putusannya tertanggal 9 Maret 2000 No.703/Pdt.G/1999/ PN.Sby, telah mengambil putusan, dengan pertimbangan sebagai berikut : "Bahwa
sekarang
dipertanyakan
apakah
substansi
putusan
BANI
No.5/XII/3/ARB/BANI/ 1999, yang diakui eksistensinya oleh para pihak dapat diajukan gugatan lagi kepada Pengadilan Negeri ? Bahwa Majelis dalam menangani perselisihan hukum tersebut merujuk dan
berdasar Undang-undang No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang mulai berlaku tanggal 12 Agustus 1999 (LNRI Tahun 1999, No.138); Bahwa dari ketentuan Undang-undang No. 30 tahun 1999, Majelis secara lengkap menguraikan tentang jurisdiksi kewenangan Pengadilan Negeri terhadap adanya putusan Arbitrase dan mengutip Pasal 3, Pasal 11 dan Pasal 60 yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 3 Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase; Pasal 11 1.
Adanya perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
2.
Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undangundang ini.
Pasal 60 Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Menimbang, bahwa dari ketiga ketentuan dalam Undang-undang Nomor. 30 Tahun 1999 di atas Majelis berpendapat bahwa dengan adanya putusan BANI
N0.5/XII/3/ARB/BANI/1999, antara Penggugat dan Tergugat yang nota bene putusan aquo bersifat final dan mengikat kesemua belah pihak (bindende kracht), karenanya dasar dan alasan-alasan hukum eksepsi Tergugat dan Turut Tergu-gat adalah tepat dan benar menurut hukum yaitu Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini; Menimbang, bahwa sepanjang alasanalasan hukum adanya cacad atas putusan dan pendaftarannya pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang seharusnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Majelis berpendapat bahwa alasan hukum, karena eksistensi dan substansi putusan BANI No.5/XII/3/ ARB/BANI/1999, sah dan diakui kebenarannya, sedangkan proses pendaftaran untuk pelaksanaan eksekusinya dan seterusnya adalah sifatnya administratif yang nota bene tidak dapat menjadi dasar pembenaran atau alasan untuk menyampingkan substansi putusan BANI aquo. Menimbang, bahwa selain itu dalam perkara aquo tidak ditemukan adanya : a.
Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b.
Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau
c.
Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah saw pihak dalam pemeriksaan sengketa; sebagaimana yang
ditentukan di dalam rumusan ketentuan Pasal 70 Undang-undang No.30 Tahun 1999;
Dari
pertimbangannya
tersebut,
Majelis
hakim
menyatakan
bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini. Sampai scat ini kami belum mengetahui apakah putusan tersebut diterima oleh kedua belah pihak ataukah masih diajukan upaya hukum banding. Putusan tersebut menurut hemat penulis sudah proporsional, karena telah mencerminkan nilai hukum yang universal serta sesuai dengan jiwa dan makna Undang-undang No. 30 Tahun 1999. Di dalam perkara yang lain di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Reg.No.601/Pdt.G/ 1999/PN. Jkt.Pst. Pihak-pihak dalam perkara ini adalah PT. F.C.S lawan PT. B.N.R. Sengketa kedua permasalahan tersebut, diajukan kepada BANI, dengan Registrasi No.5/VIII-08/ARB/BANI/99. Pada tanggal 19 Agustus 1999, perkara tersebut diputus dengan amar : "Menghukum dan memerintahkan PT. BNR (Termohon) / membayar kewajiban dan penggantian kerugian sebesar Rp.4.742.650.625,27,- dalam waktu 30 hari setelah putusan ini diucapkan kepada PT. FTS (pemohon)". Putusan tersebut ternyata tidak dilaksanakan oleh Termohon. Dan oleh karenanya Pemohon mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar termohon diberikan aan maning/teguran. Berdasarkan teguran tersebut, maka termohon membuat surat pernyataan tertanggal 19 Oktober 1999 yang menyatakan kesanggupannya untuk membayar secara menyicil, dimana di dalam butir pernyataan 2.9. pernyataan tersebut menyatakan : "Apabila ternyata pada hari dan tanggal terse-but pada butir 2.2, butir 2.3 dan
butir 2.5 yang dijanjikan, BNR tidak dapat melaksanakan kewajibannya berdasarkan surat pernyataan ini, maka terhitung 5 (lima) hari kerja sejak pemberitahuan oleh FTS kepada BNR mengenai hal ini dan ternyata BNR tetap tidak dapat melaksanakan pembayaran, maka FTS berhak melaksanakan eksekusi putusan BANI tersebut". Ternyata PT. BNR, hanya membayar cicilan Rp.300.000.000,- pada tanggal 22 Oktober 1999 dan membayar ganti rugi Rp.50.000.000,- pada tanggal 5 Nopember 1999, selanjutnya tidak membayar lagi. Karena PT. BNR tidak memenuhi perjanjian, maka PT. FTS mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah membuat penetapan tanggal 9 Nopember 1999 No.226/Eks/99 untuk memanggil termohon dengan mendelegasikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk diberikan teguran (aanmaning) agar dalam waktu 8 hari setelah tanggal penegoran tersebut melaksanakan isi putusan BANI. Namun ternyata PT. BNR bukannya membayar cicilan, malahan selaku termohon eksekusi mengajukan bantahan eksekusi dengan No.601/Pdt.G/1999/ PN.Jkt.Pst tanggal 26 Nopember 1999. Pada tanggal 2 Desember 1999 Pemohon Eksekusi mengajukan permohonan sita eksekusi atas milik dari PT. BNR yang ada di Tabanan Bali dan oleh Ketua Pengadilan Negeri telah diterbitkan penetapan tanggal 8 Desember 1999. Pada tanggal 27 Desember 1999 Pengadilan Negeri Tabanan melakukan sita Eksekusi akan
lapangan golf milik termo-hon di Tabanan. Namun pada tanggal 28 Desember 1999 keluar putusan provisi (putusan sela) yang memerintahkan agar supaya putusan BANI ditunda pelaksanaannya. Menurut pernohon eksekusi putusan tersebut diambil oleh Hakim sebelum Pemohon memberikan jawabannya, bahkan belum sempat menghadiri sidang. Di dalam petitum gugatan provisi termohon eksekusi menuntut kepada Pengadilan
Negeri
untuk
menunda
Pelaksanaan
eksekusi
putusan
BANI
Reg.No.5/VIII/08/ARB/ BANI/1999 tanggal 19 Agustus 1999 sampai adanya putusan dalam perkara ini. Terhadap putusan ini di dalam putusan sela tersebut dinyatakan bahwa menyatakan "menunda Pelaksanaan
Eksekusi
putusan BANI Reg.
No.5/VIII/08/ARB/BANI/ 1999 tertanggal 19 Agustus 1999 sampai adanya suatu putusan yang mempunyai kekuatan hokum tetap". Di dalam pandangan penulis putusan ini sangat memprihatinkan, oleh karena Hakim yang mengambil putusan sela tersebut keprofesionalannya sangat diragukan karena : 1. Hakim yang bersangkutan tidak memahami dengan baik kapan suatu gugatan dan putusan provisi dapat dilakukan dan apa saja yang dapat diminta untuk provisi. Di dalam kamus Belanda-Indonesia, Fockema-Andrea dinyatakan antara lain: Provisional : sementara, bij voorraad; Provisionele eis : tuntutan sementara. provisionele vonnis : putusan sementara, mengenai ketetapan sementara dari Hakim selama memeriksa pokok perkara. 21)
Sudikno menyatakan bahwa putusan provisi adalah putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak bersengketa agar semen-tara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.' Di dalam praktek peradilan, tuntutan provisi dan putusan provisi diambil apabila timbul suatu insiden yang memerlukan tindakan yang segera dari Hakim, misalnya selama dalam proses berjalan (dalam perkara perceraian) si suami diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada anak dan istrinya (kewajiban alimentasi). Atau dalam perkara sewa menyewa, dimana rumah yang disewa oleh penggugat dirusak atapnya oleh pemilik rumah (tergugat), pada hal waktu itu musim hujan. Dalam hal ini Penggugat dapat menuntut sementara proses berjalan pihak tergugat dihukum untuk memperbaiki atap rumah tersebut. Arbiter yang menangani perkara tersebut tetap menjatuhkan putusannya : "In the Matter of An ARBITRATION; "BUMEUGAH"- Moa d.d. 20-09-91 Final Award". Di dalam putusan tersebut, Penjual diperintahkan untuk membayar sejumlah ganti rugi kepada pembeli karena penjual ternyata tidak memenuhi kewajibannya untuk menjual kapal M.T. BUMEUGAH kepada pembeli sebagaimana telah disepakati pada Norwegian SalethrmP, tertanggal 20 September 1991. Karena putusan tersebut tidak mau dilaksanakan oleh penjual, maka pihak pembeli mengajukan permohonan exequator melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Mahkamah Agung dalam penetapannya tanggal 6 April 1994 No.3 Pen.Ex'r/ARB.Int/PN/1993 mempertimbangkan bahwa meskipun putusan arbitrase ini adalah mengenai pembayaran sejumlah uang US$.617.046 berikut bunga 6,50% per tahun sejak tanggal 15 Desember 1991, dan sudah didaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pula tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum, namun permohonan exequator tersebut harus ditolak karena : "Memorandum ofAgreementtanggal 20 September 1991 belum ditandatangani oleh Termohon maupun Pemohon, sehingga Memorandum of Agreement ini belum merupakan suatu persetujuan yang mengikat kedua belah pihak karena of Agree-men t tersebut dipungkiri adanya oleh termohon, maka sebaiknya masalah ini diselesaikan melalui gugatan perkara perdata biasa". Pengaruh Teknologi Informasi Terhadap Hukum Dari putusan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa karena persetujuan belum ditanda tangani kedua belah pihak maka belum mengikat. Pandangan ini adalah pandangan yang masih konvensionil yang selama ini berlaku. Akan tetapi apabila kita mengikuti perkembangan sistim perdagangan yang sangat cepat berkembang, maka akan terlihat bahwa transaksi bisnis sangat inovatif dan kreatif mengikuti high-tech improvement (kemajuan teknologi tinggi) di bidang media komunikasi dan informasi. Canggihnya teknologi modern saat ini dan terbukanya jaringan informasi global yang serba transparan, yang menurut Alvin Toffler adalah gejala masyarakat gelombang ketiga.") Gejala tersebut ditandai dengan munculnya
internet, cybernet, atau world wide web (WWW0 yakni teknologi yang memungkinkan adanya transformasi informasi secara cepat keseluruh jaringan dunia melalui dunia maya. Dengan melalui teknologi internet seperti ini human act (perilaku manusia) dan human interaction (interaksi antar manusia) dan human relation (hubungan kemanusiaan) mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan interaksi dan interrelasi manusia tersebut juga memasuki hubungan dagang dan bisnis. Transaksi bisnis (ecnninenr) tidak lagi hanya bisa dilaksanakan secara langsung (fiice to thee, thin selling) melainkan bisa dilaksanakan melalui jasa layanan inferno, fax dan sebagainya. Transaksi seperti ini dikenal dengan electronic commerce, yang disingkat dengan e-commercv tentunya mempunyai keuntungan-keuntungan RCICVdlisi nunvensi New TOM dengan LkSistensi dan implementasi Keputusan Arbitrase Asing Di Indonesia Dengan e-commerce ini penjual seller tidak harus bertemu langsung dengan pembeli buyers dalam suatu transaksi dagang. Transaksi bisa terjadi hanya dengan surat menyurat, telecopy dan lain-lain. Data message (pesan data) yang berisi agreementdapat disampaikan oleh salah seorang di antara pihak yang terkait (sebagai originator) kepada pihak lain secara langsung atau melewati mediator (Intermediatory) melalui jasa internet, ekstra net, e mail dan sebagainya. Transaksi e-commerce seperti tersebut di atas, tentu saja tidak ditanda tangani oleh kedua belch pihak. Memang salah situ permasalahan hukum yang krusial dalam transaksi c-commerce tersebut adalah bagaimana apabila agreement yang tidak ditanda tangani tersebut disangkal keabsahannya. Di forum mana hal tersebut
harus dibuktikan. Karena perjanjian itu sendiri masih menjadi persoalan termasuk klausula arbitrase, maka yang berwenang adalah badan peradilan. Namun masalah ini masih terns menjadi perdebatan. Di dalam tahun 1971, pengadilan banding di Baste memutuskan bahwa suatu tukar menukar surat ada manakala surat-surat tersebut ditanda tangani oleh para pihak, tetapi juga manakala dapat menunjukkan suatu perjanjian tertulis. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jika Konvensi New York mensyaratkan suatu tanda tangan dalam surat-surat tersebut, konvensi akan menyatakan dengan tegas.") Pertimbangan yang sama terlihat juga dalam putusan Mahkamah Agung Italia pada tahun 1971 yang menyatakan : " Whenever the form of Coerspendence does not permit personal signature of the original which is reserved by the other party and, it seen in case where the agreement has taken place by exchange of letter, either one or both of Huala Adolf, Hukun Arbitrase Komersial Internasionat, op.cit. Hal.37 which do not carry a personal signature, the requirement of written form must be considered to have been met inasmuch as it may be ascertained in practice in some other way',. 32) Di dalam rumusan ketentuan Pasal 7 ayat 2 model Hukum disebutkan bahwa perjanjian arbitrase harus dibuat tertulis. Perjanjian tertulis ada apabila dicantumkan dalam suatu dokumen oleh para pihak atau dalam tukar menukar surat, telex, telegram atau cara-cara telekomunikasi lainnya yang memberikan
suatu catatan perjanjian atau dalam suatu tukar menukar surat pernyataan gugatan dan jawaban yang keberadaan suatu perjanjian dianggap ada dan tidak dibenarkan oleh pihak lain. Penunjukan suatu kontrak kepada suatu dokumen yang berisi suatu klausul arbitrase ydng merupakan suatu perjanjian arbitrase asalkan kontrak tersebut dibuat tertulis dan bahwa penunjukan tersebut dimaksudkan untuk membuat klausul tersebut sebagai bagian dari kontrak. Di dalam " UNICITRAL Model Law tentang ELECTRIC Commerce (yang ditulis dalam bahasa Arab, Cina, Inggeris, Francis, Rusia, Spanyol), diatur tentang perjanjian-perjanjian yang dilakukan dengan elektronik. Di dalam rumusan ketentuan Pasal 7 yang mengatur tanda tangan dari suatu kontrak. Pada ayat 1 ditentukan bahwa ketika hukum mempersyaratkan sebuah tanda tangan seseorang, maka 32Ibid, hal 38 "Teks dari pasal tersebut berbunyi : "The arbitration agreement shall be in writing. An agreement is in writing if it is contained in a document signed by the parties or in an exchange of letters, telex, telegrams or other means of tele-communication which provides a record of the agreement, or in an exchange of statements of claim and defence in which the existence of an agreement is alleged by one party and not denied by another. The reference in a contract to a document containing an arbitration clause constitutes an arbitration agreement provided that the contract is in writing and the reference is such as to make that clause part the contract".
persyaratan tersebut telah terpenuhi dalam hubungannya data massage 34), jika : a.
sebuah metode digunakan untuk mengidentifikasi orang tersebut dan untuk menunjukkan bahwa persetujuan orang itu terhadap informasi yang diberikannya telah termasuk dalam data massage tersebut, dan
b.
metode tersebut dapat dipertanggung jawabkan sebagai sesuatu yang sesuai dengan tujuan pembuatan dan pengkomunikasian data massage tersebut sesuai dengan seluruh kondisi, termasuk perjanjian atau kesepakatan yang relevan. Di dalam rumusan ketentuan Pasal 8 Uncitral Model Law terse-but, mengatur
tenting keaslian (original) dari perjanjian, yang menentukan bahwa ketika hukum mempersyaratkan informasi disampaikan atau disimpan dalam bentuk aslinya, maka persyaratan terse-but telah terpenuhi oleh sebuah data massage, jika : a.
disana ada keyakinan yang dapat dipertanggung jawabkan pada intsgritas informasi sejak pertama kali dibuat secara lengkap dalam bentuk final, sebagai data massage atau sebaliknya, dan
b.
ketika dipersyaratkan informasi disampaikan, bahwa informasi itu mampu ditunjukkan pada orang yang dituju sebagai penerima. Demikian beberapa informasi yang dapat menjadi pertimbangan bagi hakim,
khususnya bagi Mahkamah Agung di dalam memberikan suatu Exequatur dimasamasa yang akan datang. Pada tahun 1991 pemohon exequator ada 3 buah perkara dan telah diselesaikan seluruhnya dengan mengabulkan permohonan exequator tersebut.
Di dalam nasal 2 a ditentukan bahwa yang dimaksud dengan data massage adalah informasi yang dihasilkan, dikirimkan, diterima atau disimpan dengan peralatan-peralatan elektronik, optik atau semacamnya terma-suk tetap tidak terbatas pada pertukaran data elektronik (EDI = Electronic DATA Interchange), email, teleks clan telekopi. Hal ini bermula dari permohonan exequator yang diajukan oleh E.D & F.Man (Sugar) Limited sebagai pemohonan exequator sedangkan termohonnya adalah Y. Haryanto. Permohonan tersebut diajukan oleh Wimik E.Kusandar, SH selaku kuasa dari Andrew Hillyer Scoth and John Martinean Kinder keduanya Directors of E.D & F.Man (Sugar) Limited yang meminta agar Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia berkenan memberikan exequator terhadap perkara The Queen's Counsel of The English Bar di London tanggal 17 Nopember 1989. Dalam putusan tersebut termohon Y.Haryanto dihukum untuk membayar uang sejumlah US$.22.000.000,-. Di dalam pertimbangannya Mahkamah Agung membuat pertimbangan antara lain bahwa putusan arbitrase tersebut telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pula ternyata bahwa permohonan tersebut tidaklah bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistim hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum), oleh karena permohonan exequator dapat dikabulkan. Namun dalam pandangan penulis bahwa sangat disayangkan oleh karena di dalam pemeriksaan tersebut tidak terlihat apakah syarat-syarat untuk memberikan
exequator telah diperiksa sebelumnya atau tidak. a.
apakah materi putusan arbitrase asing tersebut menyangkut hukum dagang menurut hukum Indonesia,
b.
apakah putusan arbitrase asing tersebut memenuhi azas resiprositas. Di dalam daftar di bawah ini terlihat jumlah pemohon exequator yang
diterima oleh Mahkamah Agung.
Di dalam 2 perkara yang terakhir yang diterima oleh Mahkamah Agung yaitu dalam perkara antara : 1. Asia Most America East Bound - pemohon exequator dan PT. Intan Suar Kartika termohon exequator (No.01 Pen Ex'r/Art.Int/Pdt/1998) Permohonan tersebut telah dideponir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 11 Juni 1998 No.001/Pdt/ABR.Int/1998. Putusan dari Arbitrase yang dimohonkan exequator
adalah putusan Arbi-trase Allister George Inglis & Hongkong tanggal 1 Februari 1991. Di dalam penetapan tersebut dipertimbangkan bahwa putusan Arbitrase dari Kerajaan Inggris Raya tersebut telah disyahkan oleh Kepala Bagian Konsulen Kedutaan Besar Indonesia di London pada tanggal 14 Oktober 1997, ternyata tidak bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari sistim hukum dan masyarakat di Indonesia (Ketertiban Umum). Selain dari itu juga dipertimbangkan bahwa baik pemerintah Indonesia maupun Pemerintahan Kerajaan Inggris telah meratifikasi Konvensi New York tersebut, di mana Pemerintahan Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Kepres No.34 Tahun 1981, sedangkan pemerintah Kerajaan Inggris meratifikasi pada tanggal 23 September 1975 dan berlaku di Kerajaan Inggris Raya sejak tanggal 23 Desember 1975 (sesuai dengan surat keterangan Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Inggris tanggal 10 April 1992 No.68/L/04/Lon/1992). Di dalam pertimbangan selanjutnya disebutkan bahwa masalah yang disengketakan oleh pihak-pihak tersebut dan diputus oleh Badan Arbitrase di Kerajaan Inggris tersebut adalah masalah tuntutan pembayaran beban defisit sejumlah uang US$.198.383.77,- Mahkamah Agung dalam penetapannya tanggal 1 Agustus 1999 telah mengabulkan permohonan exequator tersebut. Hyundai Marchant Marine Co LTD of Korea pemohon exequator dan PT.Celebes Jaya Lines of Indonesia termohon exequator. (perkara No. 2 Pen.Ex'r/Arb.Int/Pdt/ 1998). Perkara exequator tersebut adalah untuk melaksanakan
putusan Arbiter Asing Mr.Bruce Harris di London yang dijatuhkan pada tanggal 9 Agustus 1996 dan tanggal 20 Desember 1996. Di dalam penetapan tersebut telah dipertimbangkan: a. azas resiprositas, yaitu bahwa baik Pemerintah Republik Indonesia maupun Pemerintah Kerajaan Inggris telah meratifikasi Konvensi New York tahun 1958 di mana Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Kepres No. 34 Tahun 1991. Sedang kerajaan Inggris Raya, sesuai dengan surat Keterangan No.68/L/04/Lon/1992 tanggal 10 April 1992 dari Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Inggris, yang menerangkan bahwa Pemerintah Kerajaan Inggris telah meratifikasi "Conven-tion on the Recognition and enforcement of foreign Arbitral Awards 1958, New York pada tanggal 23 September 1975 dan berlaku di Kerajaan Inggris Raya sejak tanggal 23 Desember 1975. Masalah yang dipersengketakan dan diputus oleh Badan Arbitrase di Kerajaan Inggris Raya tersebut mengenai tuntutan pembayaran sejumlah uang US$ 116.646.20,-yang harus dibayar oleh termohon kepada pemohon sesuai perjanjian kontrak pengangkutan kapal tanggal 8 April 1994 dari Australia Chartering Pty Limited. Di dalam pertimbangan selanjutnya Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa balk formal maupun materiil tidak bertentangan dengan sendisendi azas dari seluruh sistim hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum). Di dalam penetapan Mahkamah Agung tanggal 1 Agustus 1999 permohonan exequator dari pemohon dikabulkan dan termohon dihukum untuk membayar biaya exequator sebesar Rp.250.000,-.
Dua penetapan Mahkamah Agung yang tersebut terakhir adalah merupakan penetapan yang terakhir yang diambil oleh Mahkamah Agung sehubungan dengan permohonan exeguator atas pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, karena sejak tanggal 12 Agustus 1999 kewenangan tersebut barulah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999. Saat ini masih ada 3 (tiga) permoho-nan yang belum ditetapkan oleh Mahkamah Agung. Yang menjadi persoalan adalah apakah permohonan tersebut harus diambil oleh Mahkamah Agung ataukah permohonan tersebut dikembalikan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di dalam rumusan ketentuan Pasal 66 a ditegaskan bahwa putusan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan adanya ketentuan ini maka Mahkamah Agung tidak lagi mempunyai kewenangan untuk memberikan eksekuatur terhadap suatu eksekusi atau putusan arbitrase asing, kecuali salah situ pihak dalam sengketa menyangkut Pemerintah Republik Indone-sia. Apabila pihaknya ada yang menyangkut Pemerintah Republik Indonesia maka eksekusi tetap diberikan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Persoalan di sini adalah apakah permohonan langsung diajukan ke Mahkamah Agung ataukah harus dideponir lebih dahulu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut hemat saya, bahwa untuk menghilangkan
birokrasi yang tidak perlu, maka sebaiknya pemohon yang bersangkutan langsung diajukan kepada Mahkamah Agung. Untuk itu maka Mahkamah Agung perlu membuat peraturan Mahkamah Agung yang menyatakan tuntutan exequator yang merupakan kewenangannya. Hal ini perlu agar jangan sampai terjadi stagnasi di dalam pelaksanaannya seperti yang pernah terjadi sebelum adanya PERMA No. 1 tahun 1990. c. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing setelah Memperoleh exequator Di dalam rumusan ketentuan Pasal 67 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut disahkan dan didaftar oleh arbiter atau oleh kuasa hukumnya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disertai dengan dokumen yang diputus yaitu : a.
lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase Intern as ion al;
b.
lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase Interna-sional;
c.
keterangan dari perwakilan diplomat Republik Indonesia, yang menerangkan dipenuhinya asas resiprositas. Putusan Ketua Pengadilan Negeri yang mengakui dan melaksanakan putusan
arbitrase tidak dapat diajukan banding (Pasal 68 ayat 1) , tetapi apabila putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase Internasional tersebut, maka pihak pemohon dapat mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 68 ayat 2).
Mahkamah Agung harus mengambil putusan dalam waktu 90 hari setelah permohonan kasasi itu diterima (Pasal 68 ayat
3).
PutusanaMahkamah Agung tersebut tidak dapat diajukan pelawan (Pasal 68 ayat 4). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah putusan kasasi tersebut di dalam Pasal 68 (4) dapat dimohonkan Peninjauan Kembali. Saya berpendapat bahwa bila perlawanan tidak dimungkinkan, maka permohonan Peninjauan Kembali juga tidak dimungkinkan. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa :
a.
alasan-alasan Peninjauan Kembali sebagaimana yang disebut dalam Pasal 67 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 dapat dipakai untuk memohon pembatalan putusan arbitrase yang disebut dalam Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999.
b.
bahwa mengabulkan atau menolak suatu permohonan pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbi-trase tidak memeriksa secara materil persengketaan yang bersengketa. Putusan arbitrase asing yang telah memperoleh exequatur dilaksanakan sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku (Pasal 63 ayat 3 Un-dang-undang No.30 Tahun 1999). Di dalam PERMA No.1/1990 (yang sudah tidak berlaku lagi sejak Undang-undang No. 30 Tahun 1999 diundangkan) dinyatakan bahwa setelah Mahkamah Agung memberikan exequator maka pelaksanaan selanjutnya diserahkan kepada Ketua pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di dalam hal pelaksanaan putusan
harus dilakukan di daerah hukum lain dari daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka Pengadilan yang disebut terakhir ini meneruskannya kepada Pengadilan Negeri yang secara Relatif berwenang melaksanakannya sesuai ketentuan Pasal 195 RID/Pasal 206 (2) Rbg. Sita Eksekutorial dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi.35) Apa yang diatur di dalam PERMA tersebut juga diatur di dalam Pasal 69 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, walaupun dengan redaksi yang berbeda. Beberapa hal yang harus di perhatikan berkaitan dengan kewenangan memberikan exequator oleh Ketua Pengadilan Negeri : 1.
Exequatorbukan persoalan banding artinya adalah Ketua Pengadilan Negeri sama sekali tidak boleh menguji suatu putusan arbitrase. Ketua Pengadilan tidak boleh memeriksa materi perkara yang dimintakan exequator tersebut.
2.
exequator bukan fungsi pengawasan. Tidak ada kewenangan hakim untuk mengawas apa yang dilakukan oleh arbiter, karena pengawasan arbiter ada pada pihak berperkara sendiri.
3.
Hakim/Ketua Pengadilan dalam memeriksa dan menerima exequator bersifat formal artinya adalah bahwa penelitian dan penilaian hanya bersifat formal. Pasal 6 PERHA No.1 Tahun 1990.
D. Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing Berbicara mengenai pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing, Pasal 6 Perma No. 1 Tahun 1990 telah memberikan pedoman. Pada dasarnya pemberian
exequatur mungkin menolak atau mengabulkan. Apa pun yang menjadi isi ketetapan yang diberikan Mahkamah Agung terhadap permohonan exequatur, secepat mungkin dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sehubungan dengan kemungkinan dimaksud marl kita perhatikan uraian berikut : Penetapan pemberian exequatur segera disampaikan Apabila Mahkamah Agung telah selesai menetapkan penyelesaian permohonan pemberian exequatur, penetapan segera dikirimkan atau disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pengiriman penetapan dilakukan bersamasama dengan berkas permohunan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 1990 yang mengatakan setelah Mahkamah Agung memberikan exequatur, pelaksanaan selanjutnya "didasarkan" kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penetapan diberitahu kepada para pihak Tindak lanjut yang mesti dilakukan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sesaat setelah menerima penetapan pemberian exequatur dari Mahkamah Agung, menyampaikan pemberitahuan kepada para pihak (kepada pemohon dan termohon). Cara pemberitahuan sama dengan tata cara biasa yang ditentukan terhadap pemberitahuan putusan. Dilakukan oleh juru sita di tempat kediaman atau alamat tempat tinggal para pihak secara in person. 1. Permohonan Exequatur Ditolak Kalau permohonan exequatur ditolak oleh Mahkamah Agung, mengakibatkan
putusan arbitrase tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penolakan pemberian exequatur mengakibatkan daya binding dan daya eksekutorial putusan menjadi hilang. Dengan sendiri sengketa kembali kepada keadaan semula. Mengenai cara penyelesaian selanjutnya sengketa dalam hal suatu putusan arbitrase asing ditolak exequatur-nya, sama halnya dengan cara penyelesaian yang berlaku terhadap penolakan exequatur putusan arbitrase dalam negeri. Seperti yang pernah disinggung, Pasal 52 ayat (6) ICSID. Menurut pasal ini, If the award is annulled the dispute shall, atau the request of either party, be submitted to a new Tribunal constituted. Memperhatikan bunyi pasal dimaksud, dalam hal suatu putusan arbitrase dibatalkan: -
Perjanjian pokok (basic agreement) tetap sah dan mengikat,
-
Perjanjian arbitrase yang dilengketkan pada perjanjian pokok masih tetap sah dan mengikat kepada para pihak,
-
Sengketa semula yang timbul dari perjanjian kembali ke dalam sebelum ada putusan yang dibatalkan,
-
Pembatalan putusan tidak mengandung unsur nebis in idem
-
Penjabaran yang melekat pada pembatalan putusan diatas diterapkan secara analogis terhadap penolakan exequatur. Secara hakiki, penolakan exequatur terhadap putusan arbitrase, sama akibatnya dengan pembatalan putusan arbitrase. Dengan penolakan exequatur, putusan arbitrase, sama akibatnya
menjadi lumpuh. Hilang daya binding dan daya wujud keberadaan putusan. Sengketa kembali pada perjanjian arbitrase yang disepakati pada pihak tetap hidup secara sah dan tetap mengikat kepada para pihak. Begitu pula unsur nebis in indem, tidak melekat pada putusan yang ditolak exequatur-nya. Penjabaran analogis antara pembatalan putusan dengan penolakan exequatur dapat disimpulkan sama dan sejajar terutama bertitik tolak pada "alasan" yang dibenarkan untuk pembatalan dan penolakan. Apa yang menjadi dasar alasan pembatalan dan penolakan sama dan persis dengan alasan penolakan exequatur. Sama-sama didasarkan atas adanya pelanggaran yang disebut dalam suatu rules. Misalnya putusan yang mengandung pelanggaran terhadap ketertiban umum. Alasan tersebut dapat dipergunakan untuk menuntut, tapi sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menolak pemberian exequatur. Begitu pula pelanggaran pembatalan atau dapat digunakan untuk mengajukan permohonan penolakan exequatur. Setiap alasan yang dapat dipergunakan sebagai dasar alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase, memiliki sifat ganda. Dalam arti apabila alasan itu tidak dipergunakan untuk menuntut pembatalan putusan, para pihak masih berhak mempergunakan sebagai alasan permohonan penolakan pemberian exequatur. Dari sifat ganda alasan pembatalan putusan yang rnerangkap juga sebagai alasan penolakan exequatur, maka akibat yang terkandung pada penolakan exequatur terhadap putusan sama akibatnya dengan pembatalan putusan. Oleh karena terhadap pembatalan putusan masih dimungkinkan cara penyelesaian melalui
forum arbitrase terbuka juga terhadap penolakan exequatur.
Terhadap penolakan pemberian exequaturpara pihak dapat kembali, mengajukan sengketa kepada arbitrase,
Untuk penyelesaian dimaksud dibentuk Mahkamah arbitrase baru,
Cara pembentukan Mahkamah arbitrase baru sesuai dengan ketentuan rules yang disepakati para pihak dalam perjanjian. Jadi, pemeriksaan ulang sengketa disebabkan penolakan Untuk penyelesaian,
bukan dilakukan oleh Mahkamah arbitrase semula. Cara yang demikian dianggap tidak objektii. Tidak layak dan tidak objektif menugaskan kembali kepada suatu Mahkamah arbitrase untuk memutus sekali lagi sengketa, padahal putusan mereka tentang sengketa itu telah pernah dibatalkan atau ditolak exequatur-nya disebabkan cacat pelanggaran dalam putusan semula. Maka untuk dapat dihasilkan penyelesaian yang lebih objektif, sangat beralasan untuk menugaskan penyelesaian kembali sengketa semula kepada Mahkamah arbitrase yang baru, dan anggota arbiternya tidak boleh dimaksukkan dari anggota arbiter Mahkamah arbitrase semula. Apa yang dijelaskan di atas, merupakan tata cara penyelesaian sengketa yang dianggap paling tepat apabila permohonan exequatur ditolak. Namun demikian. tidak menutup pendapat lain. Barangkali ada yang berpendapat, cara penyelesaian sengketa dalam kasus penolakan pemberian exequatur, lebih tepat melalui forum pengadilan, bukan melalui forum arbitrase. Pendapat ini didasarkan atas alasan, pada penolakan exequatur terhadap putusan arbitrase, eksekusinnya saja yang tak
berdaya. Sedang wujud fisik putusan tetap ada. Oleh karena itu, tidak mungkin diselesaikan melalui forum arbitrase. Cara penyelesaian yang seperti itu akan menimbulkan lahirnya dua putusan arbitrase terhadap objek dan subjek sengketa yang sama. Pendapat ini kurang setuju menganalogikan penerapan pembatalan putusan arbitrase dengan penolakan pemberian exequatur. Pada pembatalan putusan benar-benar putusan semula tidak eksis lagi. Wujud fisik putusan balk secara formal dan materiil, lenyap seketika bersamaan dengan putusan pembatalan. Tidak demikian halnya dalam penolakan exequatur. Wujud fisik putusan secara formal dan materiil, tetap eksis. Hanya saja, daya eksekutorialnya yang dilumpuhkan oleh penetapan penolakan exequatur. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa selanjutnya harus melalui gugat biasa ke pengadilan. Akan tetapi kita beranggapan pendapat ini terlampau berpijak dan segi pengkajian teoritis dab kurang realistis. Secara realistis, apa makna suatu putusan yang tidak dapat dieksekusi meskipun secara fisik maupun secara formal dan materiil wujudnya masih ada? Apa artinya segudang putusan yang sah secara formal dan materiil, tapi semua putusan tersebut tidak memiliki Jaya eksekusi? Secara realistis, suatu putusan yang memiliki wujud formal dan materiil yang ditolak eksekusi atas alasan putusan mengandung pelanggaran yang serius dan fundamental, tidak berbeda keberadaannya dengan putusan yang telah dibatalkan, sehingga segala perjanjian dan sengketa yang timbul tetap keadaannya seperti dibatalkan, sehingga segala perjanjian dan sengketa yang timbul tetap hidup dan sah, penyelesaian pun harus tetap malalui forum arbitrase demi mempertahankan
asas kebebasan berkontrak. 2. Permohonan Exequatur Dikabulkan Sudah dijelaskan, Pasal 6 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 1990 tnenegaslfan, apabila Mahkamah Agung telah selesai memberikan exequatur, penetapan bersama berkas dikirimkan kembali kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Yang ingin di bahas di sini, mengenai tindakan selanjutnya dari pengabulan permohonan exequatur. Apa tindakan selanjutnya yang harus dilakukan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan exequatur- putusan arbitrase asing? Menurut Pasal 6 ayat (2), apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan exequatur, berarti putusan arbitrase asing dapat "diakuai" (recognize) dan dapat "dieksekusi" (enforcement) di Indonesia. Kalau begitu, tindak lanjut yang harus dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990 telah menggariskan tata cara pelaksanaan eksekusi yang harus dipedomani seperti yang akan diuraikan secara ringkas di bawah ini. a. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang Memerintahkan dan Memimpin Eksekusi Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing menjadi kewenangan relatif Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagai Pengadilan yang dilimpahi wewenang penuh melaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing. Hal itu ditegaskan dalam
Pasal 1 Perma No. 1 Tahun 1990. Di situ dinyatakan yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jadi, wewenang eksekusi putusan asing disentralisir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Wewenang yang seperti itu, tidak diberikan kepada Pengadilan Negeri yang lain. Karena itu sesuai dengan Pasal 195 ayat (1) HIR, eksekusi putusan arbitrase asing "atas perintah dan di bawah pimpinan" Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau op last en onder 'aiding van den voorzitter Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ini berarti secara formal maupun secara ex officio, Pasal 197 HIR telah memberi kewenangan kepadanya : -
Memerintahkan eksekusi putusan arbitrase asing,
-
Memimpin jalannya eksekusi,
-
Perintah eksekusi dituangkan dalam bentuk penetapan Yang diperintahkan menjalankan eksekusi, juru sita Pengadilan Negeri Pusat,
-
Fungsi kewenangan memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi mulai terletak sama:
-
Sejak mulai dilakukan tindakan executorial beslag (sita eksekusi)
-
Pelaksanaan executorial verkoop (pelaksanaan pelelangan),
-
Sampai kepada penyelesaian tindakan pengosongan dan penyerahan secara riil barang yang dilelang kepada pihak pembeli.
b. Tata Cara Eksekusi Mengikuti Acara Biasa Mengenai tata cara eksekusi putusan arbitrase asing diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990. tata caranya mengikuti ketentuan yang diatur dalam HIR. Berarti mengikuti tata cara yang ditentukan dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR. Penegasan Pasal 6 ayat (3) Perma, sama dengan yang dirumuskan Pasal 639 Rv., yang mengatakan putusan arbitrase dieksekusi, menurut tata cara yang bisa berlaku terhadap eksekusi putusan arbitrase dalam negeri dan putusan arbitrase asing serta tidak ada beda tata cara eksekusi dengan putusan Pengadilan, samasama tunduk pada ketentuan Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 RGB. Kalau begitu, mulai dari tindakan "aan-maning" (peringatan), serta eksekuli, pelelangan (executorial verkoop) sampai dengan pelaksanaan riel, dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan dimaksud. Tidak ada pengecualian seperti halnya pelaksanaan yang diterapkan terhadap eksekusi putusan pengadilan. Mengenai permasalahan eksekusi itu sendiri meliputi ruang lingkup yang sangat luas. Banyak problema yang sering timbul. Eksekusi mengandung selukbeluk yang memerlukan kecepatan dan ketepatan antisipasi penyelesaian. Di dalamnya, terlampau banyak lubang-lubang yang kurang pasti pengaturannya. Namun demikian, barangkali sebagai bahan penolong. memahami liku-liku ruang lingkup eksekusi, kami anjurkan untuk menelaah buku kami36 yang khusus membahas ruang lingkup permasalahan eksekusi bidang perdata.
Berhubungan oleh karena masalah eksekusi meliputi ruang lingkup yang sangat luas, tidak pada tempatnya hal itu dibahas dalam buku ini. Yang menjadi pokok pembahasan dalam eksekusi putusan arbitrase asing hanya menyangkut halhal yang telah diuraikan, mulai dari tindakan pendeponarian, pemberian exequatur; dan
penolakan
exequatur.
Karena
masalah-masalah
tersebut
merupakan
permasalahan khusus yang ada sangkut pautnya dengan eksekusi putusan arbitrase. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan tahap awal pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase, yang sama sekali tidak berlaku terhadap eksekusi putusan pengadilan. c. Pengadilan Eksekusi Masalah lain yang disinggung Perma No. 1 Tahun 1990 mengenai pendelegasian eksekusi. Pasal 6 ayat (2) menyatakan, dalam hal eksekusi harus dilakukan di luar daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pelaksanaan eksekusi didelegasikan kepada Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang untuk menjalankannya. Pendelegasian yang demikian berpedoman kepada ketentuan Pasal 195 ayat (2) HIR atau Pasal 206 ayat (2) RGB. Sebenarnya ketentuan ini terasa agak berlebihan. Bukanlah Pasal 6 ayat (3) sudah menegaskan, tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing, mengikuti tata cara sebagaimana yang diatur dalam HIR atau RGB. Atau kalau meninjau ketentuan Pasal 639 Rv., eksekusi putusan arbitrase harus dijalankan menurut cara yang bisa berlaku bagi suatu pelaksanaan putusan Pengadilan. Salah satu segi yang diatur dalam tata cara pelaksanaan eksekusi yang terdapat dalam HIR
atau RGB adalah pendelegasian oleh Pengadilan Negeri yang mengeluarkan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri lain, apabila barang yang hendak dieksekusi terletak di daerah hukum Pengadilan Negeri lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 195 ayat (2) HIR atau Pasal 206 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 1990, pendelegasian eksekusi mesti diterapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, apabila ternyata barang yang terletak dieksekusi berada di luar daerah hukumnya. Barangkali kesengajaan mencantumkan pendelegasian dalam Perma untuk menghindari terjadi salah pengertian. Mungkin pembuat Perma merasa khawatir akan timbul anggapan pada Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta Pusat, bahwa kewenangan dalam melaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing meliputi seluruh tempat tanpa memperdulikan batas-batas kewenangan relatif. Maka agar tidak timbul pengertian yang keliru tentang pelampauan batas-batas kewenangan relatif dimaksud, perlu mencantumkan masalah pendelegasian dalam Pasal 6 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 1990. dengan demikian, diharap pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing terhindar dari saling pertentangtan antara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Pengadilan Negeri lain apabila barang yang hendak dieksekusi terletak diluar wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. d. Sita Elosekutorial Dapat Dilakukan Atas Semua Harta Pernah disinggung ketentuan Pasal 26 ayat (1) UNCITRAL Arbitration Rules sewaktu membahas interim measures for the conservation of the goods. Berdasarkan ketentuan ini, tindakan penyitaan (conservation) yang dibolehkan pada
saat proses pemeriksaan berlangsung hanya terbatas pada barang yang menjadi objek sengketa. Di luar itu, tidak diperkenankan Tidak boleh menyita barang milik respondent. Yang boleh disita hanya terhadap barang yang menjadi objek sengketa. Akan tetapi apabila penyelesaian sengketa sudah sampai pada tahap pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing, dan untuk pelaksanaan diperlukan tindakan sita eksekutorial (executorial beslag)37 guna memenuhi pembayaran sejumlah uang kepada pihak claimant, penyitaan dapat dilakukan terhadap semua harta kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi (pihak respondent). Hal itu ditegaskan pada Pasal 6 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990. Dikatakan, situ eksekutorial dapat dilakukan atas hanta kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi Sebenarnya ketentuan ini pun dianggap berlebihan, Bukankah Pasal 196 HIR sendiri sudah menegaskan, guna memenuhi pelaksanaan eksekusi yang berkenaan dengan pembayaran atas sejumlah uang, dapat diletakkan sita eksekutorial atas semua harta milik kekayaan sampai jumlah yang harus dibayarkan kepada pemohon eksekusi. Lagi pula sesuai dengan doktrin ilmu hukum, semua harta kekayaan seorang debitur dapat dituntut untuk memenuhi pelunasan hutang terhadap pihak kreditur. Oleh karena itu sekiranya pun Pasal 6 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990 tidak menegaskan hal itu, tata cara atau penetapan sita ekstkutorial terhadap semua harta kekayaan guna memenuhi pelunasan terhadap pihak pemohon eksekusi atas putusan arbitrase, merupakan kebolehan yang dibenarkan hukum. Patokan atas kebolehan yang seperti itu asal putusan memuat amar yang menghukum pihak respondent untuk membayar atau melunasi hutang maupun
dihukum untuk membayar ganti rugi baik atas dasar perbuatan wanprestasi maupun atas dasar perbuatan melawan hukum, semua harta kekayaan pihak respondent dapat disita eksekutorial. Batas kebolehannya sampai penyitaan dapat diperkirakan mencapai jumlah yang hendak di bayar kepada claimant melalui executorial verkoop (penjualan lelang) dilakukan. Dari penjelasan ini, harus dibedakan antara bentuk tindakan conservation atas barang objek sengketa dengan tindakan sita eksekutorial. Tindakan conservation ialah sita yang dilakukan pada tahap proses pemeriksaan berlangsung yang khusus diletakkan terhadap barang sengketa. Sidang sita eksekutorial, dilakukan pada tahap proses eksekusi terhadap putusan arbitrase. Selanjutnya, mengenai tata cara sita eksekutorial disinggung Pula pada Pasal 6 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990. tata cara sita eksekutorial (penyitaan) mengikuti tata cara yang ditentukan dalam H1R atau RGB. Penegasan aturan ini pun dianggap sekedar penekanan saja, agar jangan timbul kerauraguan. Dengan demikian tata cara pelaksanaan sita ekskutorial dilakukan menurut ketentuan Pasal 196 sampai Pasal 199 HIR. e. Biaya Eksekusi Putusan Arbitrase Asing Mengenai masalah biaya diatur dalam Pasal 7 Perma No. 1 Tahun 1990. Menurut pasal ini, biaya permohonan eksekusi putusan arbitrase asing terdiri dari: 1) Biaya pemberian exequatur Jenis biaya yang pertama ialah biaya proses pemeriksaan "pemberian exequatur":
sebesar Rp 250.000,00
ditlayar, melalui panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
untuk diteruskan kepada Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung
Biaya pemberian exequatur, seluruhnya diserahkan kepada Mahkamah Agung. Kita berpendapat membayarkan biaya pemberian exequatur merupakan "syarat formal" permohonan. Selama biaya belum dibayar, permohonan exequatur tidak
dapat
dilayani.
Keengganan
membayar
biaya
mengakibatkan
permohonan tidak memenuhi syarat. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) kalimat terakhir, besarnya jumlah dimaksud padi prinsipnya barn merupakan "panjar". Bukan merupakan jumlah patokan yang permanen. Karena di situ dikatakan, besarnya jumlah biaya dapat ditinjau kembali". Berarti jumlah biaya sebesar Rp. 250.000,00 yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1), bukan patokan "mutlak". Besarnya jumlah biaya pemberian exequatur akan ditentukan dan tertanggung pada hasil akhir biaya yang dikeluarkan Mahkamah Agung in konkreto. Barangkali bisa lebih besar dan Rp. 250.000,00 tapi mungkin juga kurang dan itu. Kalau begitu, dapat disimpulkan, biaya yang ditentukan dalam pasal ini sebesar Rp. 250.000.00 baru merupakan panjar yang mesti di bayar merupakan panjar yang mesti dibayar untuk menyempurnakan persyaratan permohonan pemberian exequatur. 2) Biaya pelaksanaan eksekusi Jenis biaya kedua yang menyenangkan eksekusi arbitrase asing ialah "biaya eksekusi". Semua panjar biaya eksekusi merupakan syarat formal pelaksanaan
eksekusi yang dibebankan kepada pihak pemobon. Biaya pelaksanaan eksekusi atas putusan meliputi berbagai jenis. Dapat juga dikatakan, pada perinsipnya biaya eksekusi putusan tergantung pada bentuk eksekusi yang akan dijalankan. Jika eksekusi yang hendak dilaksanakan berbentuk eksekusi riil, misalnya hanya pembongkaran yang dibarengi dengan penyerahan atau pengosongan yang dibarengi dengan penyerahan, taksiran biaya eksekusi meliputi jumlah yang diperlukan untuk pembongkaran atau pengosongan dan penyerahan. Dalam eksekusi riel, tidak diperlukan biaya sita, karena dalam bentuk eksekusi riil tidak diperlukan dan tidak ada sila eksekutorial. Lewat batas tenggang "aanmaning", langsung dapat dikeluarkan surat penetapan perintah eksekusi. Dengan keluarnya penetapan perintah
eksekusi,
tanpa
tindakan
penyitaan,
langsung
dilaksanakan
pengosongan atau pembongkaran yang dibarengi dengan penyerahan. Demikian tata cara pelaksanaan bentuk eksekusi ini. Dia tidak mengenal tahap sita eksekutorial. Tata cara eksekusi ini yang didahului dengan tahap sita eksekutorial adalah tindakan yang berlebihan, dan dapat dianggap sebagai tindakan yang melampaui batas kewenangan. Lain halnya. jika eksekusi yang hendak dilakukan berbentuk executorial verkoop yakni eksekusi mengenai pembayaran sejumlah uang. Dalam hal ini eksekusi memerlukan penahapan bertingkat:
mulai dan tindakan sita eksekutorial,
diikuti dengan tindakan pengumuman lelang di surat kabar, yang dilanjutkan dengan tahap pelelangan, serta mungkin Juga akan disempurnakan lagi dengan tahap eksekusi riel barang objek yang dilelang kepada pembeli apabila pihak tereksekusi tidak mau secara sukarela mengosongkan barang yang dilelang. Semua biaya yang dibutuhkan untuk tahap-tahap tindakan dimaksud, merupakan biaya yang dianggarkan sebagai panjar biaya yang mesti dibayar lebih dulu oleh pihak pemohtn eksekusi.
Mengenai pembayaran panjar eksekusi, dibayarkan kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan apabila ada pendelegasian eksekusi kepada salah satu Pengadilan Negeri, pembayaran pan jar biaya eksekusi yang diperlukan dalam pendelegasian, di lakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang mendapat delegasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf Huala. 1994. Hukun Arbitrase Koimersial Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Agnes M.Toar. 1995. Uraian Singkat tentang Arbitrase Dagang di Indonesia, Arbitrase di Indonesia, GhaLia. Indonesia. Agus Brotosusilo. 1992. Urugay Round dan Kepentingan Indonesia, Hukum dan Pembangunan, UI, Jakarta. A.J. Van Den Berg. 1985. "Should an International Arbitor apply the New York Convention of 1958", dalam Jan C. Schultz and Albert and Jon Van Den Berg "The Art of Arbitration", kLuwer 1985. Alan, Redfem, dan Martin Hunter. 1986. "Law and Practice ofIntemational Commercial Arbitration, London Swestand Maxwell. Asikin Kusumaatmadja. 1997. ARBITRASE Perdagangan Internasional, Pustaka Peradilan, Jilid VII, Mahkamah Agung, Jakarta. A.Z. Van den Berg., "Problems In The Enforcement Of Foreign Arbitral Awards", 8 th Singapore Conference On International Business Law. Current Legal Issues in International Commercial Litigation, 30 Oktober 1966 -1 Nopember 1966, hal. 1: "More than 100 states have become parties to it, and more than 650 courts have interpreted and applied the Convention, virtually always granting enforcement of an arbi-tral award made in another (Contracting) State. Indeed, the New York Convention is probably the most successful treaty
in the field of international commercial law." Bemest J Cohn, Et all. 1977. Hand Book of Institutional Arbitration of International Trade, North Holland, 1977, dalam tulisan Subekti, Ibid, hal 7. Black's Law Dictionary, cetakan 1990, hal.287 di dalam Civil Law dikenal istilah Compromis sums yang berarti arbiter, sedang compromissum berarti "submission to arbitration". Catherine, Tay Swee Kian. Resolving Disputes by Arbitration. Eric, Robine. 1992. "What Companies Expect oflntemational Commercial Arbitration," Journal of In temation-al Commercial Arbitration. Vol.9 No.1, March 1992. Gary Goodpaster, at al. 1995. Tinjauan TerhadapArbitraseDagangsecara umurn clan arbitrase Dagang di Indo-nesia. , Ghalia Indonesia. F.F. van der Heijden. 1984. Ben eerlijk process in het social Recht Z H. Yahya Harahap. 1997. "Penerapan Klausul Arbitrase"Pustaka Peradilan Jilid VII, Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jacques, Werner, should the New York Convention be Revised to Provide for court Intervention in Arbitrase Proceedings "Journal of International Arbitration" No. 7, ________ , Supra no.6, ha1.114: "these defects prompted the International Chamber of Commerce to promote, after the end of the Second World War, a new international convention better suited to the everincreasing needs of international arbitration. The idea was taken up by the
United Nations Economic and Social Council (ECOSOC), which prepared a draft convention and called a conference in New York from 20 May to June 10, 1958. Londong, Tinneke. Memahami Arbitrase, Pustaka Peradilan Jilid VII, hal. 2, 4, 5. Martin Hunter. 1993. The freshfields Guide to Arbitration and ADR, Deventer, KLuwer. Mauro, Robino - Surnrnartono. 1996. International ARBITRA770N Law. Munir Fuady. 1996. Hukum Bisnis, Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Ottoamdt Glossner, Sociological aspects of International Commercial Arbitration, dalam Adolf Huala Adolf, Hukum Arbitrase Kommercial Internasional, hal.51 Padmo Wahyono. Kerangka Landasan Pembangunan Hukum, CV. Mukasari, Jakarta. Pieters, Sanders. 1983. Arbitrase in Bewogen Beweging, Een Goede Prosesorde, opstellen aangeboden aan in W.L. Haardt, Kluwer, Deventer. Robert N, Corley, & 0 Lee, Reed. 1986. FundementaL of the Legal Environment of Business, MC Grow - Hill Book Company. R. Subekti. 1990. Kumpulan Karangan tentang Hukum Perikatan, Arbitrase, dan Peradilan. Alumni, Bandung. . 1989. Memahami arti Arbitrase,Varia PeradHan No.40, Januari 1989. _. 1981. Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung. Setiawan. 1997. masalah-Masalah Hukum dalam Arbitrase, Pustaka Peradilan, Jilid
VII, Mahkamah Agung RI, Jakarta. Sudargo, Gautama. 1983. Capita Selekta Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung. ____________ . 1994. ARBITRAGE Bank Dunia Tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia dan Yurisprudensi Indonesia dalam Perkara Hukum Perdata, Alumni, Bandung. ________ . 1986. Indonesia dan Arbitrase Internasional, Alumni, Bandung ______ . 1986. Arbitrase Dagang Internasional, Alumni, Bandung. ___ .1985. Pelaksanaan Arbitrase Luar Negeri Di dalam Wilayah Indonesia, Hukum dan Pembangunan, UI, Jakarta. Sunarjati
Hartono.
Pembangunan
Hukum
Nasional
dalam
Merangsang
Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN, Jakarta. ___ . 1974. Masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan Modal Indonesia, Alumni, Bandung. ______ . 1994. Pembangunan Hukum Ekonomi Nasional dalam Menyongsong Pembentukan Konvensi Perdagangan Bebas ASEAN, Hukum dan Pembangunan, UI, Jakarta. Sutan Remy Syandeni. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak OaLarn Per-janjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia.
Tineke Louise Tuegeh. 1997. London, Pelaksanaan Konvensi New York 1958: Suatu tinjauan atas Putusan-putusan MA dan Pengadilan Luar Negeri mengenai Ketertiban Um um (disertasi), Universitas Indonesia. W.C.L. Ven der Grinten. 1974. Particuliere Rechtspraak, Bundel Rechtspleging, Kluwer, Deventer. Yahya Harahap. 1990. Penerapan Klausula serta Eksekusi Putusan Arbitrase Dalam dan Luar Negeri, disampaikan pada Seminar Penyelesaian Sengketa Arbitrase di Hotel Kartika Chandra, 11 Agustus 1990. Z. Asikin Kusumaatmadja. 1978. dalam ceramah yang berjudul "Ent() rc-ernent of Foreign Arbitral Awards", September 1978. Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang "Penanaman Modal Asing" Jo Undangundang No.11 tahun 1970 tentang "Perubahan dan Tambahan undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing" Undang-undang No. 14 Tabun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-undang mengenai berlakunya Konvensi Washington tentang Sengketa Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal tahun 1968 Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981 tertanggal 5 Agustus 1981 tentang Pemberlakuan Konvensi New York di Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Putusan Pengadilan Tinggi DKI Tertanggal 30 Juli 1987 No.244/Pdt/ 1987/13T.DKI. Putusan Mahkamah Agung Tertanggal 10 Februari 1983 No.3804/K/ Sip/1983.
Putusan Mahkamah Agung Tertanggal 4 Mei 1988, No.3179 K/Pdt/1984 Putusan Arbitrase BANI Ad Hoc tanggal 29 Juni 1993 Putusan BANI tanggal 29 Nopember 1995 No. 5/XI.05/ARB/BANI/95 Putusan BANI tanggal 7 Desember 1998 No.5/XII.09/ARB/BANI/98 Report of the Exertive Directors on the Convention on the Settlement of Invesment Disputes between and Nasional of Others states, March 18, 1965. III. Seminar/Lokal Karya/Temu Ilmiah 1.
Temu Karya "Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Bidang Perbankan", sebagai peserta diselenggarakan oleh IKAHI, Bank Indonesia dan PERBANAS, tanggal 13 Maret 1991 di Jakarta.
2.
Seminar" Uang Paksa (Dwangsom)
3.
Penyelenggara Universitas Nasional Jakarta, sebagai pembicara, di Jakarta 1991.
4.
Seminar "Pengarus Globalisasi PW Common Law dan Civil Law (khusus B.W), sebagai peserta diselenggarakan oleh IKAHI dan INI, tanggal 3 Maret 1992 di Jakarta.
5.
Temu Ilmiah" Masalah Yang Timbul Dalam Penanganan Kredit Macet Yang Ditangani
Oleh
PUPN
dan
Pengadilan
Negeri",
sebagai
peserta,
penyelenggara PP . IKAHI, tanggal 19 April 1994 di Jakarta. 6.
Seminar "Status Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Petani/Penggarap pada lahan di daerah Pariwisata Lombok " Penyelenggara Universitas Mataram, sebagai pembicara/ penyaji, Mataram Lombok 1996.
7.
Temu Ilmiah " Pemantapan Wawasan Strategic Di Bidang Teknis dan Administrasi Peradilan ", Penyelenggara Mahkamah Agung, sebagai penceramah, di Jakarta 1997.
8.
Penyegaran "Peraturan Kepailitan", Penyelenggara Mahkamah Agung RI, di Jakarta 1998.
9.
Komferensi 150 tahun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia "Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern" Penyelenggara BPHN dan Universitas LEIDEN Belanda, sebagai peserta, Jakarta 1999.
10. Temu
Karya "Transaksi Perivatif". Penyelenggara Centre For Legal Studies,
sebagai peserta, di Jakarta 1999. 11. Diskusi
Terbatas "Pedoman Penanggulangan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Berat", Penyelenggara Departemen Kehakiman dan HAM, sebagai pembicara, di Palu 2002. 12. Loka
Karya "Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa", Penyelenggara
Assosiasi Pewarta Pemerhati Indonesia di Jakarta, 2006. 13. Seminar
Perlindungan Tenaga Kerja, Penyelenggara KOMNAS HAM,
Sebagai Pembicara, Batam 2006. 14. Loka
Karya, Intelectual Property Right, Penyelenggara WTO, Peserta,
Hongkong, 2006. 15. Seminar
Nasional Perlindungan dan Upaya Mencari Solusi atas Mesteri Alih
Status Kepegawaian PERJAN menjadi Pegawai PERUM dibalik Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa, Penyelenggara Fakultas Hukum UGM,
Sebagai Pembicara, Yogyakarta 2006. IV. KEGIATAN ILMIAH LAINNYA 1. Sebagai Tenaga Pengajar/Penceramah : Aktif menyampaikan kuliah dan ceramah pada berbagai kampus dan forum ilmiah lainnya, diantaranya : a.
Dosen luar biasa pada Univ. Hasanuddin Makassar 2003 - sekarang
b.
Dosen luar biasa pada Universitas Nasional Jakarta 1990 - sekarang (non aktif)
c.
Pendidikan Calon Hakim di Jakarta : 1992,1993, 1998 ,1999 , dan 2000.
d.
Pelatihan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi/Hakim Tinggi : 1993 ,1994 Se Indonesia di Bandung.
e.
Pelatihan Biro Hukum Pemda Se Indonesia Jakarta 1997
f.
Pendidikan Panitera dan Jurusita se Indonesia di Jakarta: 1998 .1999
g.
Pendidikan Legal Devisi BNI Se Indonesia di Jakarta 1999 dan 2004
h.
Pendidikan Calon Pengacara di Yan Apul Associate 1997 s/d di Jakarta 2000
i.
Pelatihan Hakim Pengadilan Negeri Se Indonesia 1997 ,1998 , di beberapa tempat 1999,2000, 2002
j.
Pelatihan Hakim Tinggi Se Indonesia di Jakarta : 2000
k.
Pelatihan Asisten Hakim Agung Mahkamah Agung RI 2002 di Jakarta.
1. Pelatihan Khusus Hakim Pengadilan Negeri : 2002 (Calon Pimpinan) Se Indonesia di Batu-Malang.
m.
Pelatihan Hakim Wilayah Indonesia Timur : 2003 di Makassar.
n.
Pelatihan Hakim Wilayah Sulawesi U tara dan Tengah 2003 di Manado.
o.
Pelatihan Panitera se Jawa : 2004
p.
Pelatihan Hakim Khusus se Jawa di Yogyakarta : 2003
q.
Pelatihan Hakim Ad Hoc PHI di Jakarta : 2006
r.
Pelatihan Hakim (karier) PHI di Jakarta : 2006 Pelatihan Hakim di Medan, Jakarta, Malang, Makassar : 2006 Jayapura dan Mataram
s.
Pelatihan Ketua dan Panitera PHI se Indonesia : 2006 di Malang
t.
Kursus LEMHANAS Jakarta : 2006
2. Penulis Telah menulis berbagai artikel ilmiah clan makalah, baik di Jurnal Ilmiah yang terakreditasi secara Nasional maupun di Jurnal Ilmiah yang terakreditasi secara Internasional, diantaranya : a. Opportunity And Challenge The Existence of The Human Right Court In
Indonesia, Diterbitkan oleh Journal of Civilization, Volume III Number 7, ISSN 1675-842, April 2009, Universiti Kebangsaan Malaysia. b. Dwangsom (uang paksa) Jilid I dan II, Buku bacaan wajib bagi Hakim,
Diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI tahun 1993 c. Membuat Memori Banding dan Kasasi, diberikan pada Pelatihan Biro
Hukum Pemda Se Indonesia di Jakarta tahun 1997. Diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri RI. d. Keadilan GENDER dalam Putusan Mahkamah Agung, pada Seminar
Keadilan GENDER di Tanjung Karang, Tahun 1999, diselenggarakan oleh IWAPI dan IKAHI Pusat. e. Perkembangan Yurisprudensi-diberikan pada peserta Pelatihan Hakim Se
Indonesia, di beberapa daerah/wilayah Pengadilan Tinggi, diselengarakan oleh Mahkamah Agung tahun 1999. f. Pemeriksaan Perkara Perdata di Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali, diberikan pada Peserta Pelatihan Legal Divisi BNI tahun 1999, diselenggarakan oleh BNI Pusat. g. Pembatasan Upaya Hukum Kasasi, diberikan pada Seminar IKAHI, 1998,
diselenggarakan oleh IKAHI Pusat. h. Putusan", Mahkota Hakim, diberikan pada Pelatihan Hakim di beberapa
Daerah di Indonesia, tahun 2000, diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. i.
Tehnik membuat Resume dan Konsep Putusan Mahkamah Agung, diberikan pada Pelatihan Asisten Hakim Agung 2002, diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI.
j.
Kapita Selekta Hukum Acara Perdata, diberikan pada Pelatihan Hakim di Kupang (Juni 2002), Makassar (Juni 2002), Banjarmasin (Juli 2002), Kendari (Agustus 2002) di Malang (September 2002), diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI.
k.
Gugatan dan Putusan Provisi serta eksekusi serta merta, diberikan pada Pelatihan Khusus Hakim (Caton Pimpinan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama) di Malang (September 2002), diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. 1. Titik Singgung Arbitrase dengan Pengadilan Negeri, diberikan pada pelatihan Khusus Hakim (Caton Pimpinan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama) di Malang (September 2002), diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. m. Beber'apa tulisan pilihan yang dimuat oleh Varia Peradilan, antara lain; D
Surat Kuasa Mutlak.
D
Surat Dakwaan.
D
Gugatan Provisi.
D n.
Etika Moral Hakim.
Kajian Terhadap Pedoman Penanggulangan Pelanggaran HAM Berat, makalah dipresentasikan pada diskusi terbatas antar Pejabat dan Lembaga Masyarakat Sulawesi Tengah di Palu, tanggal 17 Oktober 2002, diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan HAM — Departemen Kehakiman dan HAM RI.
o.
Masalah Surat Gugatan, Sita Jaminan, makalah dibawakan pada Pelatihan Hakim di Menado, Juli 2003
p.
Eksekusi Putusan Hakim yang telah berkekuatan Hukum Tetap, makalah dibawakan pada Pelatihan Hakim di Makassar, Juni 2003.
q.
Masalah Perdamaian, makalah dibawakan pada Pelatihan Hakim di Manado dan Makassar 2003.
t Perilaku Kepemimpinan Pengadilan, makalah dibawakan pada Pelatihan Panitera di Yogyakarta, Maret 2004. s.
Peran Mediator Dan Arbiter Dalam Penyelesaian Sengketa", Makalah dalam diskusi tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Assosiasi Pewarta Pemerhati Indonesia, 7 Juni 2006.
t.
"Perlindungan Hak-Hak Pekerja Serta Realisasinya Di Indonesia", Makalah dalam Loka Karya, penyelenggara KOMNASHAM, 30 Mei 2006.
u.
"Sistem Dan Strategi Peradilan Indonesia", Penyelenggara LEMHANAS, Makalah dimuka kursus Lemhanas, 22 Juni 2006.
3. Anggota Tim Penyusunan : a.
Revisi Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II (MA)1998.
b.
Yurisprudensi Perbankan (BPHN), 1999-2000.
c.
Yurisprudensi Perseroan Terbatas (BPHN), 1999-2000.
d.
Yurisprudensi Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI, 19972001.
e.
Wakil Ketua Penyusunan Kode Etik Hakim Indonesia (IKAHI), 2000. 1. PERMA tentang Gijzeling (MA), 2000.
4. Anggota Kelompok Kerja Mahkamah Agung RI a.
Perdata Niaga, 1998-2000.
b.
Arbitrase (sebagai Sekretaris), 2000.
c.
Ketua Pokja PHI, 2006.
d.
Direktur Proyek Perubahan PERMA No.2 Tahun 2003, kerja sama dengan
Pemerintah Jepang, 2006. 5. Orasi Ilmiah Telah menyampaikan orasi ilmiah dengan berbagai tema/topik tentang hukum, penegakan hukum, maupun Hak Asasi Manusia dan penegakannya di berbagai kampus dan forum ilmiah lainnya, baik yang berskala nasional maupun internasional.
BIODATA EDITOR
Nama Lengkap : DR. Hamzah Halim, S.H., M.H. Tempat/Tgl Lahir : Kanang, 15 Januari 1974 Alamat
:Kompleks Perumahan Dosen UNHAS Tamalanrea KM.10 J1. Prof. Dr. Mattulada Blok C. No. 7A Makassar
Telp. 08164385633 ; Faximile: 0411-587219 Pekerjaan: 1. Dosen Tetap pada Fakultas Hukum UNHAS 2. Dosen pada beberapa Perguruan Tinggi Swasta di Makassar. 3. Penasihat/ Konsultan Hukum Tetap Gubernur/Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan. 4. Tim Unit Teknis Hukum pada BKSP Mamminasata kerjasama JICA —
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 5. Konsultan Hukum pada PT Anugerah Permata Bumi. 6. Konsultan Hukum pada PT. Lautan Permata Abadi.
Pengalaman Organisasi 1. Sekretaris Umum Badan Hukum & HAM KOSGORO 1957 Provinsi Sulawesi Selatan 2. Sekretaris IKA Fakultas Hukum UNHAS 3. Pengurus PERSAHI Cabang Sulawesi Selatan
4. Pendiri & Sekretaris Center for Empowering Legislative Drafting Studies
(CELDIS) Kerjasama Fak. Hukum UNHAS — San Francisco University USA 5. Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Hukum UNHAS
Periode 1997/1998. 6. Pendiri & Dewan Pembina Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi
(GARDA TIPIKOR) Fak. Hukum UNHAS 7. Pendiri & Dewan Pembina Hasanuddin Law Student Center (HLSC) 8. Pendiri & Konsultan Center for Law and Local Authonomy Studies (CLLAS) 9. Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) UNHAS.
10.Pemateri/ Narasumber pada Berbagai Kegiatan Kemahasiswaln di Sulawesi Selatan. Karya Buku : 1. Persekongkolan Rezim Politik Lokal Studi Atas Relasi Eksekutif dengan
Legislatif Daerah, Diterbitkan oleh PuKAP, Jogjakarta, Tahun 2009. 2. Politik Hukum Pertanahan Konsepsi Teoritik Menuju Artikulasi Empirik,
Diterbitkan oleh PuKAP, Jogjakarta, Tahun 2009. 3. Sekelumit Tentang Psikologi Hukum (Naskah siap terbit), Tahun 2009. 4. Memahami Legal Audit dan Legal Opinion (Naskah siap terbit), Tahun 2009. 5.
The Implication of Executive and Local Legislative Relationship in Enforcement Local Goverment in Local Autonomy Era, Jurnal Internasional, Journal of Civilization, Volume III Number 6. ISSN 1675-842, March 2009, Diterbitkan di Universiti Kebangsaan
Malaysia, Tahun 2009. 6. Berbagai Tulisan di Jurnal Ilmiah Hukum yang Terakreditasi Nasional.
Pengalaman Lain : 1. Menjadi Narasumber/ Fasilitator pada puluhan Kegiatan Pelatihan Penyusunan
dan Perancangan Peraturan Daerah Bagi Aparat Pemerintah Daerah & Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Timur Indonesia; 2. Menjadi Konsultan/Narasumber pada puluhan Kegiatan Bimbingan Teknis
Penyusunan Naskah Akademik suatu Peraturan Daerah Bagi Aparat Pemerintah Daerah & Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Timur Indonesia; 3. Menjadi Drafters/Konsultan pada Penyusunan Draft Naskah Akademik dan
Draft Peraturan Daerah pada beberapa Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota di Wilayah Timur Indonesia. 4. Menjadi Narasumber pada Pelatihan Pemantapan Penyelesaian Masalah yang
Berindikasi Pidana Melalui Tim Ad Hoc, Jakarta, Desember 2008. 5. Menjadi Panelis dalam Bedah Buku karya penulis "Persekongkolan Rezim
Politik Lokal; studi atas relasi eksekutif dengan legislatif", Diselenggarakan oleh Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)Indonesia kerjasama Badan Eksekutif Mahasiswa Fisipol UNISMUH, di Auditorium Universitas Muhammadiyah, Makassar, 2009. ***
Nama
:
DR. Slamet Sampumo Soewondo, SH., MH.
Tempat Tanggal lahir
: Makassar, 11 April 1968
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat
: Perum Graha Indah Family J1. Borong Raya Blok B. 25 Makassar. Tlp. 0411-4664102.
Riwayat Pendidikan 1980 : Lulus SD. Kartika Chandra Kirana, Makasssar. 1983 : Lulias SMP Negeri 2, Makassar. 1986 : Lulus SMA Kartika Chandra Kirana, Makassar. 1991: Lulus Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. 1997 : Lulus Magister Hukum di Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. 2002 : Lulus Doktor Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. 2004 :
Lulus Diploma in Forensic Madicine (DFM) Groningen State University.
Kegiatan Ilmiah 1. Lokakarya Akta V AA, Universitas Hasanuddin, Makassar, 1992. 2. Temu Ilmiah Peningkatan Pelayanan Hukum Kepada Masyarakat, Makassar,
1992. 3. Seminar Nasional Hukum Perburuhan, Fak. Hukum Unhas, Makassar, 1992.
4. Seminar Nasional Hukum Tentang Perundang-undangan di bidang Ekonomi,
Fak. Hukum Unhas-PERSAHI, Makassar, 1993. 5. Penataran Metodologi Penelitian Hukum, Fak. Hukum Unhas, Makassar,
1994. 6. Seminar Nasional Commercial Paper, Kerjasama Fak. Hukum Unhas-ELIPS,
Makassar, 1995. 7. Seminar Nasional Consumer Law, Kerjasama UnhasELIPS Project, Makassar,
1996. 8. Kongres Nasional PERHUKI IV, Surabaya, 1996. 9. Seminar Tentang Perkelahian antar Kelompok di masyarakat Perkotaan,
kerjasama POLDA Sul-SelYIPKSI, Makassar, 1997. 10.Seminar Nasional Peranan Palang Merah Internasional Dalam Pertikaian Bersenjata non-International, kerjasama Fak.Hukum Unhas-Internastonal Committee of the Red Cross (ICRC), Makassar, 1997. 11.Kursus Bahasa Belanda pada Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan IndonesiaBelanda, Surabaya, 1999. 12.Seminar Sekolah Reguler Angkatan XXVII, SESKO TNI, Bandung, 2000 13.Kongres Nasional PERHUKI V, Jakarta, 2001. Karya Buku 1. Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan Di Indonesia: Suatu Tinjauan Yuridis
(2009); 2. Pengaturan Hukum Bagi Dokter Asing di Indonesia (2009).
Data pribadi Nama
: Fajlurrahman Jurdi
Tit
: Bima, 13 Juli 1984
Agama
: Islam
Alamat
: Jalan Perintis Kemerdekaan IV. No 38 Tamalanrea Makassar
HP
: 085299262424
Jenjang Pendidikan 1992-1997 MIN-Ngali Belo, Bima 1997-200a SLTP Negeri 2 Belo, Bima 2000-2003 SMU Negeri 1 Belo, Bima 2003-2008 Si Fakultas Hukum UNHAS-Makassar
Pengalaman Organisasi 2003-2004 2005-2007 2008-2010 2003-2005
2004-2005 2006.2007 2003-2004 2007-2009 2008-2011 2008-2010 2003-2004
Sekretaris Umum IMM Komisariat FIS UNHASMakassar Sekretaris DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sul-Sel Ketua DPD IMM Sul-Sel Pimpinan Cabang IMM Makassar Perintis. 2003-2005 Anggota Lembaga Pers DPD IMM Sul-Sel. 2004-2005 Ketua Kajian Strategis Komunitas Mahasiswa Bima (KMB) Makassar. Wakil Ketua Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) Fakultas Hukum UNHAS. Ketua Badan Kehormatan Mahasiswa (BKM) Fakultas Hukum UNHAS. Sekum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat FIS UNHAS. Ketua Bidang Kader Ikatan Senat Mahsiswa Hukum Indonesia (ISMAHI) Wakil Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) UNHAS Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (LSHP) UNHAS. Ketua Kajian strategic Komunitas Intelektual Muda Muslim FIS
UNHAS 2004-2005 Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Sul-Sel. 2008-2011 Peneliti sekaligus Redaktur Jurnal Konstitusi pada Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin. 2005-2008 Surveyor PT Lingkaran Survei Indonesia (LSI) -Jakarta area Sulawesi 2007-2008 Pendiri dan sekaligus Direktur Program pada INSERT Institute, Suatu Lembaga Riset dan Konsultasi Politik. 2005-2010 Kepala Bidang Riset dan Konsultasi Politik Lembaga Peduli Pembangunan Bangsa (LP2B)- Makassar 2007-2012 Peneliti lepas Pada Centre For Freedom and Social Transformation (CONTFRONT) - Jakarta 2004-2010 Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia
Karya Tulis: Buku: 1. Komisi Yudisial: Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim (2007) 2. Aib Politik Muhammadiyah (2007) 3. Predator-Predator Pasca Orde Baru:Membongkar Aliansi Leviathan dan
Kegagalan Demokrasi di Indonesia (2008) 4. Aib Politik Islam: Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam Memenuhi
Hasrat Kekuasaan (2009) 5. Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004) 6. Paradoks Konstitusi (2009). 7. Aib Politik Indonesia (Segera Terbit) 8. Presiden Predator (Segera Terbit) 9. Partai-Partai Predator (sedang digarap)
10.Konstitusi Republicant (sedang digarap).
Editor Buku-Buku Antara Lain: 1. Feminisme Profetik (2007) 2. Trias Politica Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (2008) 3. Jalan Terj al Good Governance: Prinsip, Konsep dan Tantangan Dalam
Negara Hukum (2009) 4. Politik Hukum Pertanahan (2009). 5. Persekongkolan Rezim Politik Lokal (2009) 6. Quo Vadis Pendaftaran Tanah (2009) 7. Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan di Indonesia: Suatu Tinjauan
Yuridis (2009) 8. Pengaturan Hukum Bagi Dokter Asing di Indonesia (2009) 9. Hukum Internasional (2008)
10.Islam dan Konstitusionalisme: Kontribusi Islam Dalam Penyusunan UUD Indonesia Modern (2009). Artikel dan Makalah Puluhan Artikel yang dimuat diberbagai media massa lokal dan nasional dan ratusan Makalah yang disampaikan diberbagai forum seminar, diskusi, training dan dialog publik. Sekarang sedang melakukan riset mengenai "relasi Islam dan demokrasi lokal, studi kasus atas injeksi demokrasi liberal di Kota Palopo". Sekaligus menyelesaikan proyek pemikiran dibidang Konstitusi. ***