MUHAMMAD SEORANG PENUTUR YANG SANTUN (Sebuah Telaah Pragmatik) Muhamad Jaeni*1 Abstrak: Muhammad, sebagai orang Arab dan juga manusia utusan Allah tidak lepas dari kapasitasnya dia sebagai seorang penutur. Kemampuan bahasa beliau sudah tidak diragukan lagi. Beliau adalah seorang penyampai ajaran-ajaran Allah. Beliau sangat memperhatikan kepada pentingnya penguasaan bahasa yang fashih. Perkataannya selalu penuh kesantunan. Sejak kecil, Nabi sendiri sudah rajin berlatih untuk berbahasa dengan fashih. Beliau termasuk orang yang paling baik dalam berbahasa dibandingkan anak-anak di usianya. Oleh karena itu, Rasulullah pernah berkata; “Ana afshahul ‘Arab Baida annii min Quraisy wa nasya’tu fi bani sa’di ibni Bakr”. Beliau selalu menggunakan sedikit kata, tetapi sarat makna. Tuturannya penuh kesiapan dan tidak bersifat spontan dan selalu mengedepankan keindahan dan kasih sayang. Dalam kajian pragmatik terdapat prinsip-prinsip kesantunan, yakni maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Pertuturan Rasulullah senantiasa tidak lepas dari prinsip-prinsip kesantunan tersebut. Muhammad as an Arabian and human messanger of Allah cannot be separated from his capacity as speaker. His language ability was no doubt. He was a messanger of Allah thoughts. He was very concerned with the fluency of language acquisition. His words was very polite. Since childhood, Prophet Muhammad was very diligent to speak Arabic fluently. He was the best speaker among the children in his
* Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalaungan, Jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan. Email:
[email protected], Hp: 081575115111
28
RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 27-45
age. Therefore, Rasulullah said, “Ana afshohul ‘Arab Baida annii min Quraisy wa nasya’tu fi bani sa’di ibni Bakr”. He always used a few words, but full of meaning. His utterance was full of readiness, not spontaneous, and full of beauty and love. In pragmatics, there are politeness principles namely maxim of wisdom, maxim of generosity, maxim of acceptance, maxim of humility, maxim of agreement, and maxim of sympathy. Rasulullah’s utterance was never out of politeness principles. Kata Kunci: Pertuturan, Kesantunan, Pragmatik, Maksim.
PENDAHULUAN Tidak ada satu pun bangsa di dunia ini yang menunjukan apresiasi yang sedemikian besar terhadap ungkapan bernuansa puitis dan sangat tersentuh oleh kata-kata, baik lisan maupun tulisan, selain bangsa Arab. Kita sulit menemukan bahasa yang mampu mempengaruhi pikiran para penggunanya sedemikian dalam selain bahasa Arab. Hitti (2010:112) menyatakan bahwa orang-orang Modern di Baghdad, Damaskus, dan Kairo dapat dibangkitkan perasaannya dengan bacaan-bacaan puisi, meskipun tidak sepenuhnya mereka pahami, dan dengan pidato dalam bahasa klasik, meskipun hanya sebagian yang mereka pahami. Ritme, bait syair, dan irama bahasa itu memberikan dampak psikologis kepada mereka, layaknya hembusan “sihir yang halal” (sihr halal). Seperti menjadi ciri khas rumpun Semit, orang-orang Arab tidak menciptakan dan mengembangkan sendiri sebuah bentuk kesenian besar. Watak seni mereka dituangkan kedalam satu media, yaitu ungkapan. Jika orang-orang Yunani mengungkapkan daya seninya terutama dalam bentuk patung dan arsitektur, orang-orang Arab menuangkannya dalam bentuk Syair (qhashidah) dan orangorang Ibrani dalam bentuk lagu-lagu keagamaan (psalm), sebuah bentuk ungkapan estetis yang lebih halus. “Keelokan seseorangan”, demikian menurut pribahasa Arab, “terletak pada kefasihan lidahnya”. “Kebijakan”, menurut peribahasa yang muncul belakangan”, muncul dalam tiga hal: otak orang Prancis, tangan orang Cina, dan lidah orang Arab (Hitti, 2010: 113). Demikianlah sedikit gambaran tentang kehebatan orang Arab terutama menyangkut tradisi pertuturan bahasa mereka. Di sini kita
Muhammad Seorang Penutur yang Santun (Muhamad Jaeni)
29
dapat melihat bahwa memang sedari dulu sampai sekarang, orangorang Arab lebih senang membuat syair-syair dan sangat piawai melantunkannya. Demikian juga dalam hal berorasi, mereka (orangorang Arab) memiliki kemampuan yang luar biasa. Sampai saat ini, tradisi di kalangan mereka masih menganggap bahwa kehebatan seseorang terletak pada keindahan tuturannya. Muhammad, sebagai orang Arab dan juga manusia utusan Allah tidak lepas dari kapasitanya sebagai orang yang mampu berbahasa. Kemampuan bahasa beliau sudah tidak diragukan lagi. Beliau adalah seorang penyampai ajaran-ajaran Allah. Hal ini tentunya, beliau memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik. Beliau sendiri sangat memperhatikan kepada pentingnya penguasaan bahasa yang fashih, baik itu bahasa ibu (bahasa daerah yang biasa dipergunakan) maupun bahasa asing. Sejak kecil, Nabi sendiri sudah rajin berlatih untuk berbahasa dengan baik (fashih). Seperti halnya ketika Nabi di asuh oleh Halimah as-Sa’diyah, sekitar umur lima tahun, beliau termasuk orang yang paling baik dalam berbahasa dibandingkan anak-anak di usianya. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab murni. Kehebatan Rasulullah juga karena dia dibesarkan dan dibentuk di kalangan kabilah yang paling fasih bahasanya, paling baik ucapannya, dan paling teratur penjelasannya. Beliau lahir dari keturunan Bani Hasyim, dan memiliki paman dari Bani Zahrah, serta beliau diasuh (disusui) di kalangan Bani Sa’ad bin Bakr, dan ia tumbuh dan dibesarkan di Bani Quraisy. Dan hal ini menjadi kebiasaan antara Bani Sa’ad dan Bani Quraisy untuk melakukan apa yang dilakukan oleh keseluruhan orang Arab. Karena itu, Rasulullah pernah berkata; “Ana afshahul ‘Arab Baida annii min Quraisy wa nasya’tu fi bani sa’di ibni Bakr” (Aku yang paling fasih berbahasa Arab, karena aku dari Bani Quraisy dan aku dibesarkan di tengahtengan keluarga Sa’ad bin Bakr (Ibrahim, 2008: 14). Musthofa Shodiq ar-Rafi’I (1990: 282-283), dalam bukunya “’Ijazu al-Qur’an wa al-Balaghah an-Nabawiyah” menjelaskan mengenai kehebatan Rasulullah dalam bertutur kata. Diantaranya adalah; tuturan Rasulullah selalu menggunakan sedikit kata, tetapi sarat dengan makna. Perkataannya tidak dibuat-buat dan hampir tidak pernah melakukan kesalahan. Kata-kata yang digunakan juga sangat sederhana dan lebih suka tidak berlama-lama bicara.
30
RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 27-45
Demikian juga, dalam bicarapun Rasulullah senantiasa penuh kesiapan dan tidak bersifat spontan. Di dalamnya, beliau selalu mengedepankan keindahan dan kasih sayang. Ritme pertuturannya pun sangat seimbang, tidak terlalu cepat dan juga terlalu lambat (la yabti wa la ya’jal). Subtansi tuturnya tidak pernah menekan dan mencela (la yahmuz wa yalmuz), perkataannya tidak dibesarbesarkan/ dipanjang-panjangkan dan juga tidak terkena gagap (la yashab wa la yahshur). Selain itu Rasulullah selalu santun dalam berbicara dan senantiasa lembut dalam menyampaikannya. Demikian juga Rasulullah seringkali menganjurkan kepada umatnya untuk berbicara yang baik. Pertuturan Rasulullah senantiasa tidak lepas dari prinsip-prinsip kesantunan. Seperti contoh dalam pertuturan Nabi ketika menjawab pertanyaan dari umatnya yang menanyakan tentang bagaimana cara menanam pohon kurma? Pada saat itu, Nabi pun menjawab; “Antum a’lamu biumuri dunyakum”. Dalam analisis pragmatik, terutama menyangkut teori kesopanan, pertuturan Nabi sudah memenuhi maksim kemurahan hati (generosity maxim). Tuturan Nabi di atas merupakan bentuk maksimalisasi rasa hormat kepada orang lain, dengan meminimalisir rasa tidak hormat kepada orang lain. Pertuturan itu termasuk pertuturan yang sangat sopan karena berusaha memaksimalkan keuntungan lawan tuturnya. Tuturannya pun diungkapkan dengan bentuk ekspresif, ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Dalam hal ini, orang yang bertanya kepada Nabi merasa dihargai dengan diberikan kepercayan oleh Nabi tentang kemampuan mereka dalam bercocok tanam. Selain itu, ungkapan ini juga, dapat membantu untuk menumbuhkan kepercayaan diri (self confidence), karena itu Nabi menggunakan kata: “Antum ’alamu” (kamu sekalian lebih tahu). Demikian juga ungkapan tersebut merupakan ungkapan yang paling bijak yang sesuai dengan peristiwa tutur yang terjadi. Barangkali pada waktu itu, segala pusat pemikiran serta sabda Nabi lebih banyak dipusatkan kepada subtansi yang bersifat wahyu dari Allah dan menyangkut ajaran agama, belum sampai pada persoalanpersoalan lainnya (duniawi).
Muhammad Seorang Penutur yang Santun (Muhamad Jaeni)
31
PEMBAHASAN A. Prinsip- prinsip Kesopanan Dalam Pragmatik Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah tekstual, tetapi seringkali pula berhubungan persoalan yang bersifat interpersonal. Keduanya biasa dikaji dalam ilmu pragmatik. Pragmatik adalah kajian tentang strategi bertutur. Sementara strategi bertutur inilah yang disebut dengan retorika (Leech, 1983: 103). Pragmatik sebagai salah satu disiplin ilmu bahasa memiliki peranan cukup penting karena dengan mempelajari dan menguasainya seseorang tidak hanya memahami struktur formal sebuah bahasa, tetapi juga stuktur fungsional yang menyangkut bagaimana struktur-struktur formal itu berfungsi di dalam tindak komunikasi. Dengan pragmatik fungsi hakiki bahasa sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan menyembunyikan berbagai maksud dapat lebih terpahami. Dalam kajian pragmatik terutama dalam retorika interpersonal terdapat prinsip-prinsip kesantunan atau kesopanan (politeness principles). Prinsip kesopanan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua perserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur (Wijana, 2010: 51). Dalam memenuhi maksim-maksim kesopanan di atas terdapat beberapa bentuk ujaran. Bentuk-bentuk ujaran dimaksud adalah bentuk ujaran imposif, komisif, ekspresif, dan asertif. Ujaran imposif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Sementara ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang digunakan.
32
RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 27-45
B. Kesantunan Nabi dalam Bertutur Seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa Nabi senantiasa bertutur dengan baik dan sopan. Beliau sangat hati-hati dalam bicara. Demikian juga beliau selalu bertutur yang baik, bahkan beliau menganjurkan ketika seseorang tidak dapat bicara hal yang baik, lebih baik diam. Dalam pertuturan, Nabi selalu memperhatikan konteks tuturan serta peristiwa tuturan yang ada dalam proses komunikasi. Didalam bertutur, Nabi biasanya tidak hanya memusatkan perhatian pada lawan tuturnya akan tetapi di dalam beberapa maksimnya, sebagai penutur beliau sangat memperhatikan diri sendiri (self). Hal yang demikian sangat cocok apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip kesopanan dalam proses pertuturan (komunikasi), yaitu: 1. Maksim Kebijaksanaan Dalam tataran kesantunan, barangkali tidak ada komunikator yang dapat menandingi sifat kebijaksanaan Nabi Muhammad dalam menyampaikan ujaran-ujarannya. Tuturan serta sikap Muhammad yang bijaksana ini tidak hanya semata-mata setelah beliau menjadi Nabi, akan tetapi sedari kecil dan sebelum menerima wahyu beliau sudah mampu bertutur dan bersikap dengan baik dan bijaksana. Karena itulah, dari usianya masih kecil, beliau sudah dijuluki ”alAmin” (orang yang dapat dipercaya). Karena perkataan serta sikap Nabi selalu bijaksana, maka segala ucapan serta keputusan beliau senantiasa diterima oleh semua kalangan. Bahkan kelompok atau kalangan yang tengah konflik sekalipun, dengan tuturan serta sikap Nabi, semuanya dapat diselesaikan. Kebijaksanaan Nabi barangkali dapat dilihat pertama kali ketika terjadi perselisihan antar Bani mengenai siapa yang meletakan Hajar Aswad ketika Ka’bah dilakukan perbaikan. Banu ’Abdud-Dar dan Banu Adi bersepakat tak akan membiarkan kabilah mana pun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abdud-Dar membawa baki berisi darah. Tangan mereka dimasukan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karenanya sumpah itu diberi nama La’aqat ad-dam (jilatan darah). Kemudian muncul Abu Umayyah bin al-Mughirah dari Banu Makhzum orang yang tertua di antara mereka, yang dihormati dan
Muhammad Seorang Penutur yang Santun (Muhamad Jaeni)
33
dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka: ”Serahkanlah putusan kamu ini kepada orang yang pertama sekali memasuki pintu safa ini”. Tatkala mereka melihat Muhammad ternyata orang yang pertama kali masuk ke tempat itu, mereka berseru; ”ini al-Amin, kami dapat menerima keputusannya”. Mereka menceritakan peristiwa itu kepada Muhammad. Ia mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu berkata; ”kemarikan sehelai kain”, katanya. Setelah kain dibawakan, dihamparkannya dan diambilkannya batu itu lalu diletakkannya dengan tangan sendiri, kemudian ia berkata kembali; ”Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini”. Kemudian mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu akan diletakkan. Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan berakhir dan bencana dapat dihindarkan (Haikal, 2010: 71). Ungkapan ”Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini” merupakan bentuk ujaran imposif yang begitu santun. Dalam kaidah bahasa Arab, ungkapan tersebut biasanya menggunakan sighat fi’il mudhari yang mengandung makna perintah, bukan menggunakan shigat amar langsung. Demikian juga ungkapan tersebut relatif panjang. Nabi tidak mengatakan; ”Peganglah ujung kainnya”, atau mengungkapkan ”biar saya sendiri yang meletakannya”, atau ungkapan lainnya yang melanggar pada prinsip-prinsip kesopanan. Ungkapan Nabi di atas sudah memenuhi maksim kebijaksanaan (tact maxim), di mana ungkapan itu sudah menggambarkan kepada tuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan orang lain. Dalam hal ini, uangkapan perintah Nabi kepada para ketua kabilah segera diikuti karena ungkapan perintah tersebut sangat bersahaja dan menguntungkan bagi semuanya. Demikian juga, ungkapan Nabi sendiri dibuat panjang, seakan Nabi ingin tetap bersikap sopan pada lawan-lawan tuturnya. Dalam maksim ini, ada kaidah dasar, yakni semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang tersebut untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Kaidah ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep Ijaz dan Ithnab dalam ilmu Balaghah.
34
RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 27-45
2. Maksim Kemurahan Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Biasanya pada maksim ini, bentuk ujaran yang diungkapkan adalah kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini jelaslah bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi juga di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian. Banyak sekali pertuturan Rasulullah yang menunjukan pada prinsip kesantunan maksim kemurahan hati. Seperti halnya ujaran beliau pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari dari Abdullah bin Mas’ud bahwasannya Abu Bakar dan Umar (semoga Allah meridlai keduanya) memberikan kabar gembira kepadanya bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa yang suka membaca alQur’an dengan penuh rasa khidmat sebagaimana ia diturunkan, maka hendaklah ia membacanya berdasarkan bacaan Ibnu Ummu ’Abd”. ( HR. Ahmad). Ungkapan Rasulullah di atas merupakan ungkapan ekspresif yang ditujukan kepada Abdurrahman Ibn Mas’ud. Ungkapan tersebut merupakan rasa hormat kepadanya karena keindahannya bacaannya (al-Qur’an). Karena itulah ungkapan di atas dapat memnuhi maksim kemurahan. Rasulullah mencoba mengungkapkan perasaannya di depan Abu Bakar Radhiyallahu ’anhu (RA) da Umar bin Khatab Radhiyallahu ’anhu (RA). Secara historis, tuturan Rasulullah ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dari Umar bin Khathab: Adalah Rasulullah SAW senantiasa begadang malam hari di rumah Abu Bakar RA, hal itu berkenaan dengan satu urusan dari urusan kaum muslimin. Dan pernah pada suatu malam, beliau begadang di rumah Abu Bakar dan aku menyertainya. Lalu Rasulullah SAW keluar dan kami ikut menemaninya keluar, tiba-tiba terlihat seorang laki-laki sedang melakukan shalat malam di masjid. Lalu Rasulullah SAW beranjak untuk mendengar bacaan orang itu. Ketika kami telah mengetahui pemilik suara itu, Rasulullah SAW bersabda;” Barang siapa yang suka membaca al-Qur’an dengan penuh kelembutan
Muhammad Seorang Penutur yang Santun (Muhamad Jaeni)
35
sebagaimana diturunkan maka hendaklah ia membacanya berdasarkan bacaan Ibnu Ummu ’Abd”. (As-Suyuthi, 2010: 376). 3. Maksim Penerimaan Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan imposif. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Banyak tuturan Rasulullah yang selalu dianggap implikasinya tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri. Seperti tindak tutur beliau kepada orang Baduy yang keras ketika menagih hutang kepadanya. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW menuntut beliau membayar hutang dengan keras, maka para sahabat hendak menghukumnya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Biarkan dia, karena sesungguhnya pemilik hak berhak berkata. Beliau melanjutkan sabdanya: Berikan dia unta sepadan dengan untanya. Maka para shahabat berkata: Wahai Rasulullah, kami tidak mendapatinya kecuali lebih baik dari untanya. Beliau bersabda: Berikanlah padanya, karena sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang lebih baik pembayarannya. (HR. Bukhari dan Muslim; dengan lafadz yang berbeda-beda). Ungkapan: ”Biarkan dia, karena sesungguhnya pemilik hak berhak berkata” ini adalah ungkapan imposif yang memenuhi prinsip penerimaan. Beliau sangat memaksimalkan kerugian diri sendiri. Ketika beliau mempersilahkan si penagih hutang itu untuk bebas berbicara dan beliau sudah siap menghadapi kemungkinan celaan dan cacian yang akan dilakukannya. Demikian juga pada dua ungkapan imposif beliau ”Berikan dia unta sepadan dengan untanya”. Para shahabat berkata: ”Wahai Rasulullah, kami tidak mendapatinya kecuali lebih baik dari untanya”. Beliau bersabda: ”Berikanlah padanya, karena sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang lebih baik pembayarannya”, ungkapan ini merupakan ungkapan yang santun. Dalam hal ini, beliau melakukan minimalisasi keuntungan bagi dirinya sendiri, sekalipun beliau mampu untuk melakukan kebalikannya. Dalam transaksi pembayaran, beliau rela membayar hutang dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang sudah ia
36
RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 27-45
pinjam, dengan catatan itu semua jika tidak disyaratkan. Akan tetapi jika disyaratkan, maka hukumnya haram karena termasuk riba. Penambahan itu sama saja, baik sedikit maupun banyak dan pada suatu sifatnya maupun ukurannya. Demikianlah tambahan penjelasan dalam keterangan hadis tersebut. 4. Maksim Kerendahan Hati Prinsip kesantunan dan kesopanan selanjutnya dalam komunikasi adalah maksim kerendahan hati. Kalimat-kalimat ekspresif dan asertif juga sangat dibutuhkan pada unsur maksim ini. Bila maksim kemurahan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan rasa hormat untuk diri sendiri dan memaksimalkan rasa hormat pada orang lain. Pada maksim ini, seseorang harus mampu membahagiakan orang lain dengan cara memuji dan memperhatikannya. Rasulullah, yang kapasitasnya sebagai penutur yang baik sangat mampu melakukan prinsip kesopanan maksim kerendahan hati ini. Sekalipun beliau adalah seorang utusan Allah, tetapi beliau senantiasa merendahkan hati dan menjunjung tinggi perasaan manusia yang lain. Beliau sangat pandai mendidik dan membangun kepercayaan diri serta membesarkan hati umatnya. Seperti halnya ketika beliau berbicara kepada kaum Anshar untuk menerima keadaan dalam pembagian harta rampasan. Dalam hal ini, beliau menggunakan ungkapan prinsip kesopanan dengan memuji kaum Anshar yang mengikutinya. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ”Andaikata tidak ada hijrah, niscaya aku termasuk bagian dari orang-orang Anshar, andaikata orang-orang menempuh lembah atau lereng niscaya aku bersama orang-orang Anshar” (HR. At-Tirmidzi). Pertuturan Nabi dalam hadits di atas, dalam telaah pragmatis sangat memenuhi unsur kesopanan dalam maksim kerendahan hati (modesty maxim). Ungkapan Nabi sangat menjunjung tinggi kaum Anshar dan sedikit meminimalkan kehormatan dirinya. Hal ini bertujuan agar apa-apa yang dilakukan oleh Nabi waktu itu dapat dimengerti dan dipahami oleh kaum Anshar. Secara historis, hadits ini muncul ketika pembagian harta rampasan pada perang Hunain.
Muhammad Seorang Penutur yang Santun (Muhamad Jaeni)
37
Diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah, al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid bin ’Ashim berkata: ”Tatkala Allah memberikan rampasan perang kepada Rasul-Nya pada perang Hunain, ia (Abdullah bin Zaid) berkata, ”Beliau membagi-bagikannya kepada para Muallaf, dan beliau tidak membagikan dan tidak memberikan sedikitpun kepada orang-orang Anshar, sehingga seakan-akan mereka merasa keberatan, lantaran mereka tidak mendapatkan bagian seperti yang didapatkan oleh orang-orang itu. Kemudian Ia (Abdullah bin Zaid) berkata lagi, Setiap kali beliau mengucapkan sesuatu, mereka selalu menjawab: ”Allah dan Rasul-Nya adalah sebenar-benar pemberian, Beliau bersabda: Apa yang menghalangi kalian untuk memberikan jawaban? Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya sebenar-benar pemberi. Beliau bersabda: jika kalian mau, kalian bisa berkata: Engkau memberlakukan kami seperti ini dan itu. ’Tidaklah kalian ridha bahwa orang-orang pergi (pulang) membawa kambing dan onta, sedangkan kalian pergi (pulang) membawa Rasulullah SAW ke rumah kalian. Andaikata tidak ada hijrah, niscaya aku merupakan bagian dari orang-orang Anshar, dan andaikata orang-orang menempuh jalan lembah atau lereng niscaya aku akan menempuh lembah orang-orang Anshar dan lereng mereka. Orang-orang Anshar adalah Syi’ar, sedang orang-orang itu itu adalah ditsar (selimut), dan kalian sepeninggalku nanti bakal bertemu dengan orang-orang yang mementingkan dirinya masingmasing, maka bersabarlah sehingga kalian bertemu denganku di alHaudh (telaga)”. Dalam konteks pragmatik, Rasulullah telah melakukan strategi bertutur untuk membesarkan hati umatnya. Beliau tidak juga segan-segan memberikan penghargaan (reward) kepada mereka yang yang mendapatkan prestasi. Dalam hal ini, kaum Anshar telah diberikan penghargaan oleh Rasulullah karena telah berhasil mendapatkan prestasi dengan mengalahkan hawa nafsu yang ada pada diri mereka. 5. Maksim Kecocokan Seperti halnya maksim penerimaan dan maksim kerendahan hati, maksim kecocokan juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif, Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan
38
RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 27-45
ketidakcocokan di antara mereka. Namun demikian bukan berarti setiap orang harus setuju dengan pendapat orang lain karena menganut asas kesopanan, akan tetapi apabila tidak sependapat ia dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan atau ketidakcocokan parsial (partial agreement). Rasul, sebagai penutur yang baik selalu berusaha untuk mencocokan jawaban serta keinginan tersirat dari lawan tuturnya, selama keinginan atau pendapat yang disampaikan itu bersifat baik. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Abi Bakr dalam sahih al-Bukhari berikut ini: Asma’ binti Abi Bakr r.a. berkata: Ibuku datang kepadaku, sedangkan dia masih musyrik pada masa orang-orang Quraisy melakukan perjanjian gencatan senjata dengan Nabi Muhammad saw., lalu saya bertanya kepada Nabi dan saya berkata: ‘Sesungguhnya Ibuku mendatangiku dan dia berkeinginan (untuk menyambung persaudaraan denganku), apakah aku boleh menyambung persaudaraan dengannya?’ Nabi menjawab: “Ya, sambunglah persaudaraan dengan ibumu.” Jawaban Nabi di atas merupakan jawaban yang mengandung unsur kesopanan pada segi maksim kecocokan. Bayangkan jika Nabi mengatakan; “Tidak boleh”, atau “Nanti dulu” atau “jangan, ibumu kan masih Kafir” dan lain sebagainya. Perbincangan antara Asma’ binti Abi Bakr dengan Nabi Muhammad terjadi pada masa gencatan senjata antara kaum kafir Quraisy di Mekah dan kaum muslimin di Madinah. Asma’ merasa bahwa secara politis kaum kafir Quraisy adalah musuh kaum muslimin di Madinah. Ketika ibunya yang masih kafir mendatanginya dengan maksud melanjutkan hubungan kekerabatan, Asma’ ragu apakah menyambut kehadiran ibunya dan membalas kunjungannya diperkenankan oleh Nabi atau tidak. Sebab, bagaimanapun juga ibunya masih dalam keadaan musyrik. Jawaban kecocokan Nabi sangatlah tepat dan dalam kondisi seperti ini. Dan Rasul pun dapat membaca keinginan lawan tuturnya (Asma’) untuk dapat bertemu dengan ibunya. Demikian juga maksud dari pertemuan itu sendiri sangat baik, yaitu melanjutkan hubungan silaturahmi kekerabatan.
Muhammad Seorang Penutur yang Santun (Muhamad Jaeni)
39
Pada hadis lain, Nabi bersabda: barang siapa yang tidak mengasihani, maka dia tidak akan dikasihani” (HR. Bukhari). Secara pragmatik, tuturan Rasulullah ini merupakan ungkapan ketidakcocokan parsial (partial agreement). Ungkapan ini merupakan jawaban pada Aqra’ bin Harits, sahabatnya. Pada suatu waktu, Aqra’ bin Harits pernah melihat Nabi Muhammad SAW mencium Hasan, lalu ia berkata: ”Aku mempunyai sepuluh anak, tetapi aku tidak pernah mencium seorang pun dari mereka. Menanggapi hal tersebut, nabi bersabda ”Sesungguhnya siapa yang tidak mengasihani, maka dia tidak akan dikasihani”. Kita tidak melihat jawaban Nabi yang mengatakan; ”Itu keliru” atau ”kamu tidak punya rasa kasih sayang”, atau ungkapan yang lainnya yang mengandung ketidakcocokan secara langsung. Redaksi tuturan yang digunakan Nabi dalam hadits tersebut berbentuk uslub qashr, yakni redaksi tuturan yang sangat singkat. Pada tataran sintaksis Arab, susunan kalimat tersebut hanya terdiri dari susunan bentuk syarat (yang ditunjukan dengan adanya huruf syarat) dan jawab syarat. Pembentukan susunan sintaksis seperti ini, yakni dengan adanya huruf syarat yang diikuti jawab syarat dengan menggunakan uslub qashr menujukan bahwa informasi atau makna yang terkandung dalam redaksi tersebut sangatlah penting dan harus segera diketahui oleh siapapun yang mendengarnya. Pada redaksi yang mengandung syarat makna biasanya Nabi mengungkapkannya dengan singkat. Ar-Rafi’i (1990: 282) menyatakan bahwa salah satu kebiasaan Nabi dalam bertutur adalah selalu menggunakan sedikit kata tapi senantiasa mengandung banyak makna (Qalla ’Adadu hurufihi Wa Katsura ’Adadu Ma’aanihi). 6. Maksim Kesimpatian Maksim ini biasanya diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim ini menuntut para penuturnya untuk memaksimalkan rasa simpati bahkan empati pada lawan tuturnya, dengan meminimalkan rasa antipati kepadanya. Tuturan-tuturan simpatis Rasulullah salah satunya dapat dilihat dalam hadis beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Mus lim dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan di sisi-Mu sebuah janji yang Engkau yang tidak akan menyalahinya, aku
40
RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 27-45
hanyalah seorang manusia biasa, maka siapa saja dari orang Mukmin yang aku sakiti, aku caci atau yang aku jilid (cambuk) maka jadikanlah ia baginya sebagai do’a, pembersih, dan bentuk qurbah yang ia bertaqarub dengannya pada hari kiamat nanti”. Secara paragmatik, ungkapan Rasul di atas merupakan ungkapan kesimpatian kepada para sahabat yang barangkali pernah tersakitinya. Salah satunya adalah kepada Hafshah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah mengirim seorang tawanan ke rumah Hafsah, putri Umar, dan berkata kepadanya: “Jagalah tawanan ini”. Ia Anas berkata: “Hafshah melalaikannya, hingga laki-laki itu kabur.” Maka masuklah Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Hafshah, apa yang dilakukan laki-laki itu?” Ia menjawab: “Aku melalaikannya ya Rasulullah hingga ia berhasil kabur.” Rasulullah SAW bersabda: “Semoga Allah memotong tanganmu” lalu Hafshah pun mengangkat tangannya seperti ini. Kemudian Rasulullah SAW masuk dan berkata: “Mengapa engkau seperti itu, wahai Hafshah?” Ia berkata: “Wahai Rasulullah, tadi engkau berkata kepadaku seperti ini dan seperti ini”. Beliau berkata kepadanya: “Letakkan kedua tanganmu itu, karena sesungguhnya aku telah meminta kepada Allah bahwa siapa saja dari umatku yang aku mohonkan doa kejelekan kepada Allah ’Azza wa Jalla agar Dia menjadikannya sebagai pengampunan untuknya.” Pemenuhan pada unsur kesopanan dalam pargmatik, terdapat pada ungkapan Nabi yang secara ekspresif sebagai berikut: ”....aku hanyalah seorang manusia biasa, maka siapa saja dari orang mukmin yang aku sakiti, aku caci atau yang aku jilid (cambuk) maka jadikanlah ia baginya sebagai do’a, pembersih, dan bentuk qurbah yang ia bertaqarub dengannya pada hari kiamat nanti”. Ungkapan ini, merupakan ungkapan yang santun dan enak didengar karena ungkapan tersebut merupakan bentuk kesimpatian bagi orang-orang yang mendengarkannya. Namun demikian, dalam konteks hadits ini Imam an-Nawawi menjelaskan: Apabila ada yang berkata: “Bagaimana bisa terjadi beliau mendo’akan keburukan, mencela, melaknat, dan yang
Muhammad Seorang Penutur yang Santun (Muhamad Jaeni)
41
lainnya. Beliau memberikan penjelasan bahwa celaan, do’a kejelekan dan yang semisalnya yang beliau lontarkan kepada orang lain tidak dimaksudkan demikian, tetapi itu semata-mata adat yang berlaku di kalangan orang-orang Arab dalam menyambung perkataan mereka yang tidak disertai dengan niat apapun, seperti ungkapan beliau: “Taribat yaminuka” (semoga tangan kananmu berlumuran dengan tanah). Maka dalam hadis ini dan yang semisalnya tidak dimaksudkan sedikit pun sebagai hakikat do’a. Namun beliau SAW khawatir dari ungkapan-ungkapan yang beliau lontarkan itu menjadi kenyataan, maka ia meminta kepada Allah SWT dan berharap agar ungkapan itu menjadi kafarat, rahmat, qurbah, pembersih, dan pahala. Dan kejadian-kejadian seperti ini (mendoakan keburukan, mencela, dan semisalnya) jarang terjadi dalam kehidupan beliau (as-Syuyuti, 2010: 365). C. Kesopanan dalam Parameter Pragmatik Parameter pragmatik menunjukan bahwa semakin maksimal maksim-maksim seperti di atas diungkapkan dalam tuturan maka semakin sopan ujaran yang terbentuk, demikian pula sebaliknya. Namun demikian kesimpulan tersebut agaknya berkaitan dengan kesopanan absolut. Bila kita telaah secara seksama, penutur sebenarnya tidak semena-mena mengutarakan bentuk-bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang berbada-beda itu. Misalnya tuturan “Apakah Anda bersedia manyapu lantai itu?” tidak akan dipilih oleh tuan rumah untuk menyuruh pembantunya. Kalaupun ini dipaksa diungkapkan tentunya ini akan membuat perasaan pembantunya tidak enak. Hal-hal yang mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda ini disebut parameter Pragmatik (pragmatic parameter). Parameter pragmatik harus diamati secara cermat agar lawan tutur tidak merasa kehilangan muka (face). Dalam percakapan yang kooperatif para peserta percakapan menerima “muka” yang ditawarkan oleh lawan bicaranya (Wijana, 2010: 59). Adapun yang dimaksud dengan “muka” dalam hal ini adalah citra diri (self image) yang harus diperhatikan oleh lawan tutur. “Muka” yang ditawarkan itu berbeda-beda bergantung pada situasi pembicaraan. Pada suatu saat, “muka” itu sebagai teman dekat, orang belum kenal, dan pada saat lain sebagai guru, dan lain
42
RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 27-45
sebagainya. Pada saat “muka” itu menawarkan kegembiraan, dan pada saat lain mencerminkan kemarahan, dan lain sebagainya. Secara garis besar, muka yang ditawarkan penutur memiliki dua kemungkinan, yakni muka positif (positive face) dan muka negatif (negative face). Muka positif terwujud bila ide-ide, atribut, milik, prestasi, tujuan dan lain sebagainya yang dimiliki oleh seseorang dihargai oleh lawan tuturnya. Sementara muka negatif adalah keinginan seseorang untuk tidak diserang, diejek, atau dihinakan oleh lawan tuturnya. Istilah sederhananya, wajah negatif ialah kebutuhan untuk merdeka, sedangkan wajah positif ialah kebutuhan untuk dihubungi (Yule, 2006: 107). Kata negatif disini bukan berarti “jelek”, tetapi sebagai istilah untuk kebalikan dari kata positif pada kontek ini. Parameter kesantunan dalam pragmatik ini tentunya juga terjadi pada tindak tutur Rasulullah SAW. Terlebih lagi beliau memiliki banyak peran (muka); kapan beliau sebagai Nabi, sebagai pemimpin, sebagai ayah, sebagai teman dekat, dan lain sebagainya. Dalam kontek penggunaan muka dalam ujaran, Rasulullah sangat piawai melakukannya. Apalagi beliau sebagai seorang utusan Allah (penyampai ajaran-Nya) harus tahu bagaimana memilih tuturan, kepada siapa ia bertutur, seperti apa peristiwa tutur, dan bagaimana seharusnya beliau bertutur. Seperti ketika Rasulullah bertutur kepada orang Arab pedalaman yang buang air kecil di dalam masjid. Dalam sebuah hadits diriwayatkan: Anas bin Malik berkata: “Ketika kami berada di Masjid bersama Rasulullah saw., tiba-tiba datang seorang arab kampung. Orang tersebut kemudian berdiri dan kencing di dalam masjid. Para sahabat Nabi pun berkata (menegur): “Hai.. hai”. Lalu Nabi berkata kepada para sahabat: “Jangan kalian putus kencingnya, biarkan dia.” Lalu para sahabat meninggalkan orang itu hingga selesai kencing. Kemudian Nabi memanggil orang tersebut dan berkata kepadanya: “Sesungguhnya masjid ini tidak tepat jika terkena air kencing seperti ini, begitu juga kotoran. Sesungguhnya masjid itu untuk berdzikir kepada Allah, shalat dan membaca alQur’an.” Lalu Nabi menyuruh seorang sahabat untuk
Muhammad Seorang Penutur yang Santun (Muhamad Jaeni)
43
mengambil setimba air, kemudian menyiramkannya ke atas air kencing tersebut. Tuturan Rasulullah adalah tuturan yang sangat memperhatikan muka (face) lawan tuturnya. Perilaku yang salah yang dilakukan oleh orang tersebut tidak lantas ditegur keras oleh Rasulullah, tetapi beliau memberi tahu orang tersebut bahwa Masjid ini tempat berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al-Qur’an. Ada “muka” yang ditawarkan oleh Rasul, yaitu muka beliau sebagai orang yang baru ketemu dengan orang yang kencing di masjid tersebut. Kemudian, Rasul tahu bahwa orang tersebut belum mengerti kalau Masjid itu tidak boleh dikotori. Karena itu, ujaran yang ia ungkapkan adalah ujaran “pemberitahuan”. Berbeda kejadiannya kalau orang yang melakukan buang air kecil di masjid tersebut adalah orang yang sudah dikenal bahkan orang dekat Rasul, tentu ungkapan itu akan berbentuk larangan yang sangat tegas. KESIMPULAN Demikianlah beberapa maksim-maksim yang harus dipenuhi dalam prinsip kesopanan bertindak tutur. Namun demikian untuk melihat pertuturan itu dianggap santun atau tidak, kiranya juga perlu dilihat kontek penutur, lawan tutur, peristiwa tutur dan materi tutur yang disampaikan. Karena itu ada parameter pragmatik yang harus diperhatikan adalah: Pertama: Tingkat jarak sosial (distance rating) antara penutur dan lawan tutur yang ditentukan berdasarkan parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Barangkali kita perlu melihat lebih jauh bagaimana Rasulullah bertindak tutur pada tingkat parameter pragmatik ini. Bagaimana Rasulullah bertutur pada orang yang lebih tua, kepada kaum perempuan, dan orang-orang asing yang berbeda dengan sosiokultural beliau. Dalam hal ini, tentunya Rasulullah mempunyai strategi dan gaya bertuturnya masing-masing. Kedua: Tingkat status sosial (power rating) yang didasarkan atas kedudukan yang asimetrik antara penutur dan lawan tutur di dalam kontek pertuturan. Pada parameter ini, dalam melihat pertuturan Rasulullah perlu dilihat eksistensi beliau ketika bertutur. Gaya tuturan beliau kepada istrinya tentunya akan berbeda dengan
44
RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 27-45
gaya bertutur beliau kepada para sahabatnya. Karena itu, perlu dilihat kapan posisi beliau sebagai ayah, kakek dari cucunya, sebagai sahabat, sebagai pemimpin, sebagai utusan Allah dan lain sebagainya. Ketiga: Tingkat peringkat tindak tutur (rank rating) yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain. Dalam hal ini, terkadang Rasulullah berbicara tegas dalam tingkat pertuturan tertentu. Seperti halnya beliau selalu tegas dalam memerintah umatnya, terutama yang menyangkut keimanan (ketauhidan) kepada Allah SWT. Ketiga parameter pragmatik dalam kesopanan yang telah disebutkan di atas kiranya perlu diperhatikan untuk melihat bentuk pertuturan Rasulullah. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa kajiankajian Hadits, yang didalamnya terdapat pertuturan Rasulullah, yang ditelaah dengan kajian linguistik masih sangat jarang dilakukan. Semoga tulisan sederhana ini menjadi sumbangsih pemikiran dalam hal ini, serta menjadi stimulus untuk melakukan kajian-kajian selanjutnya baik untuk diri penulis sendiri maupun para pembaca semuanya. Wallahu ’Alam. DAFTAR PUSTAKA Al-Khuly, Muhammad Abdul ‘Aziz, Adabun Nabawy, Terj. Miftahul Khairi, Yogyakarta: Hikam Pustaka, 1999. Ar-Rafi’i, Mushtofa Shodiq, ‘Ijazul al-Qur’an wa al-Balaghah anNabawiyah, Bairur: Daaru al-Kitab al-Araby, 1990. Haikal, Muhamad Husen, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah, Cet 29. Jakarta: Pustaka Nasional, 2010. Hitti, Philip K., History Of The Arabs, Terj R.Cecep Luknan Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010. Ibrahim, Nashir Radhi az-Zuhri, Balahgatul al-Rashul Fi Taqwiimi Akhtha’i Nasi Wa Ishlahi al-Mujtama’, Al-Qahirah: Daru alBashaair, 2008. Imam As-Suyuthi, Asbabu Wurud Al-Hadits aw al-Luma’ Fi Asbabi Al-Wurud, Terj. Muhammad Ayub, Jakarta: Pustaka AsSunnah, 2010. Leech, Goeffrey, Principles of Pragmatic, London: Longman, 1983. Shahih al-Bukhari dan Muslim
Muhammad Seorang Penutur yang Santun (Muhamad Jaeni)
45
Wijana, I Dewa Putu, Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka, 2009. Yule, George, Pragmatik, Terj. Indah Fajar Wahyuni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.