Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi
TAFSIR FALSAFI: Sebuah Telaah Perbandingan Miftachur Rosyidah* Abstraksi Tafsir Falsafi berarti “Penjelasan tentang kebenaran makna ayat at Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata, serta menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar didapat satu kebenaran yang rasional”. Tafsir Falsafi sangat bertentangan dengan Agama Islam, dan penafsiran dengan metode Falsafi ini jauh dari pemahaman nash, sehingga apabila dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan agama sebagai filsafat. Di sudut lain bagi kelompok yang mendukung Tafsir dengan metode falsali ini berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasarnya wahyu Allah swt. itu tidak bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka membuat metode sinergis, dengan mengintegrasikan agama dengan filsafat, yang dimanifestasikan dalam bentuk pemberian takwil pada nas Al Quran yang tertentu dan memberikan kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar. Kata kunci: Tafsir dan Falsafi Pendahuluan AI Qur'an al Karim. dari sisi Zat penguasaan seluruh alam. Yang berkuasa atas segala hal, karenanya Dia menguasai firman-firman yang diturunkan, dan menjaganya dengan rapi, indah serta menghubungkannya antara bagian akhir dengan permulaan. Isyarat-isyaratnya amat cemerlang, juga mampu memberikan rangkaian cerita yang menarik untuk disimak, memberikan nilai hukum, suri tauladan, serta memberikan janji tentang kebaikan dan bahkan mengancam bagi pelanggarnya. Secara sepintas bisa dimengerti oleh ahlinya, bahwa al Quran al Karim dengan rumusan kalimatnya, sehingga mereka yang memiliki keahlian khusus ini, akan mampu menggali soal-soal dari dalamnya dengan sepuas-puasnya. Namun tidak bagi mereka yang kurang mampu, atau. terbatas potensi pemikirannya, sehingga memungkinkan bagi mereka yang memerlukan bantuan para ahli untuk lebih mampu mencernak *
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
1
Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi nilai-nilai Al Quran. Maka dari awal inilah berkembang bentuk-bentuk penafsiran al Quran, yang pada gilirannya semakin memperkokoh eksistensi ilmu al Quran. Setelah perkembangan Islam semakin meluas dan menyebar di seantero jagad yang tentunya nilai-nilai Islam yang ada bergesekan dengan nilai akhir kultur yang sudah mapan, maka terjadilah satu akulturasi budaya yang menyebabkan tekontaminasinya ajaran dan kemudian muncullah upaya-upaya untuk membuat tafsiran al Quran sesuai dengan kultur sosial mereka. Hal tersebut mendorong para ulama untuk berupaya menggunakan nalar pikiran tersebut sangat akrab dengan disiplin profesi keilmuannya. Secara sosiologis diungkapkan masyarakat dasarnya adalah fenomena, dialektik, dalam pengertian bahwa masyarakat adalah produk manusia, dimana produk jadi akan selalu memberi umpan balik kepada prosedurnya,1 sehingga dalam tafsirpun hukum sosial ini berlaku juga. Dengan semakin berkembangnya masyarakat terhadap Al Quran dengan menggunakan analisa nalar, dimana mereka menjawab problematika sosial yang ada dengan menggunakan yustifikasi Al Quran yang tentunya dengan menggunakan pola rafsir al Ra'yu, dari sini muncul beberapa ulama ahl al ra'yu dan di lain piliak muncul pula ulama ahl al Hadith yang mempertahankan system penafsiran dengan menggunakan al Hadith, Memang penafsiran-penafsiran bi al ma’thur lebih diakui keautentiknya ketimbang penafsiran yang lain. Namun ketika dihadapkan problematik sosial ataupun ilmu pengetahuan, maka muncullah kesulitan-kesulitan, sehingga berupa ulama yang produk nalar untuk menafsirkan al Quran berupaya mencari metode baru dan muncullah metode menafsirkan Al Quran dengan nalar yang disebut tafsir bi al Ma’qul, yang dikemudian hari berkembang pesat, namun demikian mereka banyak mendapat gugatan dari para ulama, lain yang kurang sependapat Kala itu para ulama banyak mengenal ilmu filsafat baik yang datang dari Yunani, India ataupun Cina. Di sini nilai-nilai filsafat yang banyak membahas mengenai hakekat dan yang ada semakin meluas dan upaya untuk mempelajarinya sernakin gigih pula, sehingga ajaran ini banyak digunakan sebagai argumentasi logic terutama dalam theologi Islam, dan pada giliran selanjutnya memunculkan upaya menafsirkan al Quran dengan menggunakan metode falsafi yang corak penafsirannya disebut tafsir al falsafi. Dalam makalah ini penulis memaparkan gaya tafsir Falsafi dengan menampilkan idea ulama pengikutnya dan tentunya juga pandangan orang yang menafikannya. Di sisi lain penulis juga mencoba untuk 1
Peter 1 Berger, The secred Caopony, (Jakarta : LP3ES, 1966), 4
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
2
Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi membandingkan dengan Tafsir Batini. Tafsir Ishari juga Tafsir al Ilmi dan Tafsir al Ra’yi yang merupakan frame induk dari tafsir falsafi. Perkembangan Tafsir Falsafi Sebelum Islam lahir, historis bangsa Arab yang merupakan lingkungan sosial tempat lahirnya Islam telah banyak berkembang pola pikir yang menggunakan nilai filsafat, namun penggunaan nalar filosofis tersebut masih terbatas pada debat jalanan dimana mereka belum menggunakan suatu metode dasar yang logis.2 Pola pikir filosofis yang mereka gunakan berdebat, menyangkut kehidupan sesudah mati. (tentang kiamat) dan lain sebagainya. Diantara mereka ada yang mendukung ataupun mengingkari, namun secara umum mereka mengakui adanya “Sang Penciptakan”.3 Di suni Al Quran diturunakn untuk memberikan penjelasan tentang kebenaran aqidah dan membantah pola pemikiran sesta, bahkan Al Quran juga mendorong manusia agar senantiasa menggunakan nalar pikirnya untuk menangkap ayat-ayat Allah swt. Baik yang kaumah maupun kauliah, dan tentunya menggunakan alat ilmu pengetahuan maupun filsafat. Pada awalnya orang-orang muslim kurang tertarik pada flisafat Yunani, karena mereka sudah mengetahui tentang Sang Pencipta, Alam, dan Manusia lewat Al Quran,4 namun setelah muncul perselisihan di dalam memahami teologi, dimana masing-masing kelompok banyak menggunakan argumentasi filosofis yang Yunani, yang kemudian dipicu oleh kelompok Mu’tazilah yang banyak menempatkan akal di atas wahyu dalam memahami teks-teks agama, 5 dan kesemuanya tadi menjadi lebih lancar setelah Dakwah Abbasiyah berkusas jaman khalifah Al Malemun (813-833) yang banyak menyelenggarakan penterjemahan buku-buku ilmiah kepada umat.6 Kajian filosofis dalam buku-buku fisafat Yunani tersebut mampu memberikan pengaruh kebebasan berpikir yang semakin meluas sehingga mendorong para ulama Islam berupaya untuk membuat tali penghubungan antara ajaran Islam Ibn Sina (wafat, 428 H / 1037 M) yang mengungkap pendapat bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan yang signifikan 2
Lihat Al Quran, surat al Hujarat ayat 24 Al Shahrastani, Muhammad Abd Al Karim, Al Milal wa Al Nihal, ( (Beirut : Dar Al Fikr., tt), 432. 4 Mustafa Abd Razaq, Tamhid litarihk al falsafah al Islamiah, (Kairo : Matbaah Lajnah al Ta’rif wa al arjamah wa al Nasr, 1959), 49. 5 Al Namr, Abd, Mun’im. Ilm Al Tafsir, (Beiru : Dar El Kutb Al Miahr. 1973), 92 6 Ibid. 3
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
3
Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi antara agama dengan filsafat kecuali pada segi tekanan amaliahnya belaka, dimana agama menekankan pada nilai amaliah shariah sedang. 7 Seorang Al Kindi (wafat 257 H / 870 M) yang hidup selama Ibn Sina memberikan satu diktum filosofis dengan mengkap satu pengertian, bahwa antara filsafat yang menitik beratkan kepada gaya pemikiran dan nalar, dengan ilmu agama yang menitik berakan kepada keyakinan akan wahyu, pada dasamya mempunyai sumber yang sama yaitu hidayah Ilahi, dan keduanya sama-sama merupakan ilmu pengetahuan. Pengaruh tokoh semacam AI Kindi dan Ibn Sina ini mampu melebar dan meresap ke dalam lubuk sanubari umat Islam jaman itu, yang corak penafsiran mereka memakai gaya filosofis, namun sejauh itu mereka belum mengarang kitab tafsir yang signifikan. Ketika kaum Muktazilah sedang mendapat angin dalam kekuasaan (jaman Khalifah Harun al Rashid dan Al Makmun, 170-193 H / 786-809 M dan 192-218 H / 813-833 M)8, kala itu idea yang sangat menonojol di kalangan masyarakat Islam adalah adanya suatu anggapan bahwa ulama yang alim itu adalah mereka yang mampu menguasai ilmu Agama, Filsafat dan Mantiq, hal tersebut dimungkinkan karena adanya dominasi Muktazilah dalam kekuasaan yang sepertinya menonjolkan peran nalar dalam kehidupan. Namun idea kaun muktazilah dan juga yang sealur dengannya tadi, banyak mendapatkan tantangan antagonis pada kornentar kaum muktazili. Pendapat tersebut antara lain tertuang dalam kitab Tafsir Mafatih al Gayb, yang ditulis oleh beliau ini menjadi satu kitab yang sangat dikenal karena kejelasan ungkapan serta gaya aliran falsafi yang dianutnya.9 Selain kitab tafsir Mafatih al Gayb buah karya al Imam Fahr al Din al Razi yang nama aslinya Abu Abdilah Muhammad Ibn Umar al Husain al Bakri Al Tabarsitani al Razi yang telah tersebut, ada beberapa kitab tafsir yang bercorak Falsafi namun tidak seindah Mafatih al Gayb, karena kitab-kitab tersebut hanya menafsirkan sebagian ayat dan tidak menafsirkan keseluruhan al Quran, namun bisa dimasukkan ke dalam kategori, kitab-kitab tersebut antara lain : a. Fusus al Hikam, oleh al Farabi (wafat 340 H / 950 M). b. Rasail ahkam as Safa, oleh Ihwan al Safa.10 7
Ibid, 79 Lihat ; Ir m Lupidus, A. Hystory of Islmic, (Canbridge : University Press, 1990), 180 9 Abd. Munim al Namr. Ilm, at Tafsir (Beirut : Dar el Kutb Al Misr 1985), 124. 10 Ihwan al Safa ini merupakan nama kelompok study dari orang-orang yang tertarik untuk memperdalam ilmu pengetahuan (termasuk filsafat), lihat Saeed 8
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
4
Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi c. d. e. f.
Rasail Ibn Sina oleh Ibn Sina Jami’al Badai oleh ibnu Sina Al Shifa oleh Ibn Sina Fasl al maqal wa taqrir ma bayn al Sariah wa al Hikmah min al Ittisal oleh Ibn Rusd (wafat 595 H /1198 M). g. Ithbat wa al nubuat oleh Ibn Sina (wafat 428 H / 1037 M). Para ahli tersebut di atas tidak membuat satu buku tafsir yang khusus, melainkan hanya memberikan makna-makna falsafy pada beberapa ayat yang signifikan dengan isi buku karangan mereka. Namun bagaimanapun juga buku karangan mereka sudah bisa mewakili satu gaya penafsiran falsafy, tentunya dalam perspectif historis. Pengertian Tafsir Falsafi, Hukum dan Polemik di dalamnya Tidak seorangpun dari para ahli yang memberikan satu definisi tentang tafsir falsafi, namun kita bisa mengambil satu pengertian bahwa tafsir falsafi merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata tafsir dan falsafi. Dari dua kata yang terangkai tersebut kita akan mampu memberikan satu pengertian secara tegas. Tafsir berarti “penjelasan makna ayat at Quran beserta keadaan dan kisahnya juga menjelaskan pula sebab turunnya dengan menggunakan lafaz dan memakai adalah yang jelas”.11 Sedang “filsafaf” mengandung pengertian “Mencari kebenaran dari suatu kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dipermasalahkan dengan menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis, dan universal”.12 Bertumpu kepada kedua pengertian kata pokok tersebut, maka Tafsir Falsafi berarti “Penjelasan tentang kebenaran makna ayat at Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata, serta menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar didapat satu kebenaran yang rasional”. Dari pengertian tafsir tersebut ada satu pemahaman kepada kita, bahwa antara tafsir falsafi ini, dengan tafsir-tafsir yang bercorak lain semacam Tafsir bi Al Ra'yi, Tafsir bi al Ilm. Tafsir Ishari, juga tafsir Bathini ada semacam nada yang sama, yaitu menggunakan pola nalar yang subyektif dan diterminan kepada tata pikir pemiliknya. Dan sebagian besar tafsir yang menggunakan pola nalar tersebut bersandar kepada subyektifitas pengarangnya, sedang dasar hukum penetapannya adalah Sheyh, Studies is muslim in muslim phisolofhi, (Dehli, Adam Publisher, 199), 44 11 Ali Ibn Muhammad al jarjani, Kitab al Ta’rifat) Jeddah : Al Haramain, 11), 63 12 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta : Bulan bintang, 1990), 24.
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
5
Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi “madzumumah” (baca tercela) kecuali apabila cara menafsirkannya sudah memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang membolehkannya.13 Kriteria tersebut antara lain : Penjelasannya berdasarkan ijtihad dan tidak bertentangan dengan tujuan pembuatan shariat, mengetahui bahasa Arab, memahami uslub-uslub dan dalil hukum yang dituju, serta memahami problematik penafsiran, juga tahu asbab al nuzul, nasikh dan lain sebagainya.14 Eksistensi tafsir Falsafi masih jauh dari harapan, karena semenjak keberadaannya banyak ulama yang menentang, walaupun demikian banyak juga ulama yang seide dan mendukungnya. Beberapa ulama yang menentang keberadaan tafsir Falsafi ini antara lain ulama dipelopori oleh Imam AI Ghazali (wafat 505 H / 1111 M) dan Imam Fafr al Din al Razi (wafat 606 H / 209 M). Menurut mereka yang menentang, tafsir Falsafi sangat bertentangan dengan Agama Islam, dan penafsiran dengan metode Falsafi ini jauh dari pemahaman nash, sehingga apabila dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan agama sebagai filsafat. Di sudut lain bagi kelompok yang mendukung Tafsir dengan metode falsali ini berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasarnya wahyu Allah swt. itu tidak bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka membuat metode sinergis, dengan mengintegrasikan agama dengan filsafat, yang dimanifestasikan dalam bentuk pemberian takwil pada nas Al Quran yang tertentu dan memberikan kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar.15 Walaupun banyak penentang ataupun sebagian anggota masyarakat Islam yang apatis terhadap keberadaan tafsir falsafi, namun pemikiran-pemikiran bebas gaya filsafati ini memberikan kesempatan kepada nalar seseorang untuk konsisten diarahkan kepada upaya memberikan satu kebenaran atas suatu ajaran. Tentunya koridor Islamis dan menggunakan dalil-dalil yang shohih, yang qot’I serta dasarnya merupakan upaya ijtihad manusiawi untuk menghasilkan kebenaran Ilahiah yang pada gilirannya, akan mampu menghasilkan suatu teks hukum yang mampu mengatur tata laku sosial secara benar dan rasional yang tentunya tidak melupakan penggunaan metode ilmiah, sehingga hasil penafsiran dari 13
Muhammad Ali Al sabuny . . . .Al Tibyan fi ulum al Quran (Beirut : Allam al Kutub, 1985), 157 Juga bandingan dengan hukum yang diberikan oleh Muhammad Husein dalam Al Tafsir wa al mufassirum, (Beirut : Dar al Fikr, 1976), 264. 14 Ibid, 107 15 Al Dhahabi, Al Tafsir ………, 417-419
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
6
Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi pemikiran ini akan lebih valid dan akseptable dalam perspektif ilmu pengetahuan. Tafsir Al-Ilm, Tafsir Ishary dan Tafsir Bathini sebagai Pendukung Mengingat bahwa sesungguhnya tafsir falsafi itu masuk dalam kategori frame tafsir bi Al Ra’yi, maka sebagai perbandingan perlu diungkapkan pula beberapa tafsir yang ada, pada kategori tafsir bi al Ra’yi dan apa sebenarnya tafsir yang ada dalam frame tafsir bi al Ra’yi tersebut. Tafsir bi al Ra’yi sendiri diartikan dengan “salah satu jenis penafsiran yang didasarkan kepada, pemahaman mendalam dan disadarkan pada makna-makna lafaz Al Quran setelah mengetahui madlul dan dalalah dari pernyataan-pernyataan lafaz quraniah tersebuf”.16 Salah satu dari tafsir yang ada dalam frame bi al Ra’yi ialah tafsir al Ilm, yakni suatu upaya memberikan yustifikasi teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat al Quran, yang juga memberikan kejelasan berbagai disipilin ilmu dan pemikiran filsafat yang ada kaitannya dengan ayat tersebut. 17 Tafsir bi ala llm ini merupakan tafsir yang membahas masalah dalam al Quran dengan sudut pandang ilmu pengetahuan.18 Metode tafsir yang lain (selain tafsir bi al Ilmi dan tafsir bi al Ra’yi), adalah Tafsir al Ishari yakni suatu metode penafsiran dengan berdasarkan indikasi. Di sini para ulama memberikan satu pengertian bahwa tafsir Ishari adalah "Penafsiran ayat al Quran dengan mengabaikan makna dhahirnya, dan berdasarkan indikasi (isharat). Yang dapat diterima oleh sebagian orang yang sadar, berpengetahuan dan berakhlak terpuji serta mampu melawan hawa nafsunya. Kemampuan menafsirkan ayat al Quran dengan menggunakan metode Ishari ini, hanya dimiliki oleh orang yang tertentu, karena ilmu tersebut diberikan oleh Allah langsung (tanpa belajar dengan jalan intuisi mistik dan hanya kepada hamba-Nya banyak dhikir.19 Namun seperti juga tafsir falsafi, tafsir bi al llm. dan Tafsir bi al Ra’yi, Tafsir ini banyak didukung oleh oleh orang-orang yang berpendapat bahwa tafsir tersebut sebagat wujud keteguhan dan kesempurnaan iman dari pemiliknya, juga bisa dijadikan kontribusi positif bagi ilmu pengetahuan.20 Namun perlu diketahui bahwa sebanyak itu pendukungnya, 16
Shy Kholid Abd, Usul al tafsir wal al qawaiduhu,(Beirut : Dar furwan, 1961), 2 Muhammad Husayn al Dhahabi, Al Tafsir wa al mufasirun, (Dar al Fikr al A”rabi, 1970), 171 18 Ibid. 19 Themeem ushama, Methodologi tafsir al Qoran, terjemahan Hasan bisri (Jakarta: Riora cipta, 1996), 25 20 Ibid. 17
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
7
Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi sebanyak itu pula penentangnya yang antara lain seperti, al Nasafi dan Taftazani juga al Zarqoni. Hal itu merupakan suatu kwajaran walaupun dipihak lain al Suyuti dan Muhammad Ali al Sabuni cenderung bisa menerima penafsiran gaya metode mereka. Menurut para penentang, suatu tafsir yang bertolak dari indikasi (baca ishari), bisa cenderung menjadi bid’ah dan bisa menimbulkan kemurtadan. Di bagian lain beberapa orang berusaha menafsirkan ayat-ayat al Quran yang tidak diketahui kebenaran maknanya oleh pam ahli tafsir sebelumnya dengan memberikan makna pada ayat-ayat semacam yasin, hamim, 'ain shin qaf dan lain sebagainya dengan makna yang bathini yang cenderung jauh dari arti leksikal (bahasa) ataupun arsi eksternal (arti lahir) dan cenderung kepada makna internal (batini). Sebagai misal Mazhab Bathini ini memberikan makna pada ayat awal surat maryam ()كهيعص dengan menafsirkan sebagai pesan tersembunyi Allah swt kepada Nabi Zakania as yang inti dari ide Bathiny dalam ayat tersebut adalah “kaf berarti karbela, “ha” bermaksud pemusnahan, “ya” berarti Yazid (musuh shiah, seorang penguasa yang dipandang terlalu dhalim karena telah memusnahkan putera Ali ra) “ain” berarti kehausan dan “shad” mengandung arti ketabahan Walhasil muhab Bathini ini cenderung menggunakan penafsiran ayat untuk mengokohkan ide-ide politis mereka serta taknis pembenaran kepada konsep, ajaran yang disebar luaskan kepada lingkungan sosial Islam. Dari empat jenis tafsir yang ada dalam frame tafsir “bi al Ra’yi” tersebut di atas, yang paling banyak menimbulkan polemik pada masyarakat Islam adalah tafsir “bathini” yang mana tafsir ini mengendepankan interprestasi politis dan idiologis dan tidak ditopang oleh bukti hadits yang menguatkan penafsiran tersebut. Kendatipun tafsir masuk dalam kategori tafsir bi al Ra’yi, dimana penggunaannya diperbolehkan selama menggunakan metode-mothode yang tidak bertentangan dengan syariah serta tidak bertentangan pula dengan nas yang ada, juga tafsir bi Ilm dan tafsir Ishari. Khususnya untuk tafsir yang diberikan oleh mazhab bathini, karena tafsir tersebut banyak menerapkan metode yang menyalahi aturan nas serta shariat maka tertolak. Supaya lebih mudah memahami ide-ide falsafi, di bawah ini ada beberapa contoh penafsiran saya falsafi antara lain, Dalam ayat 7 surat Hud Allah swt Berfirman :
وهى اللذي خلق السوىت واالرض فً ستة ايبم وكبى عزشه علً الوبء ليبلىكن ايكن احسي عوال ولئي قلث اًكن هبعىثىى هي بعد الوىت ليقىلىى الذيي . كفزوا اى هذا اال سحز هبيي Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
8
Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi Menurut pendapat Ibn Rusd ayat tersebut menunjukkan adanya wujud sebelum wujud. yaitu singgasana dan air, juga terdapat waktu sebelum waktu yaitu waktu yang terikat dengan wujud yang berupa gerak falakiah dalam Falsafah Ibn Rusd.21 Ihwan al Safa memberikan penafsiran kepada lafaz “al malaikaf” dalam ayat al Quran sebagai bintang-bintang di cakrawala. Hal itu mengandung makna bahwa Bintang-bintang di cakrawala adalah Malaikat-malaikat yang diciptakan oleh Allah SWT. Untuk meramaikan alam dan mengatur makhluk-Nya.22 AI Farabi memberikan makna “al malaikat” bayangan ilmiah. Dia (malaikat) ilmu-ilmu ash yang berdiri sendiri yang mengetahui persoalan Yang Maha Tinggi dan apa yang “Dia” mau. Malaikat tersebut absolu, namun roh al qudsiah berkomunikasi dan kala beristirahat ditemani oleh ruh bashariah.23 Di pihak lain Ibn Sina menafsirkan kata “al Jin” dalam ayat akhir surat an Nas bermakna tutup sedang lafaz “al Nas” bermakna kejinakan, yang dimaksudnya bahwa perkara-perkara yang tertutup-tutup sedang lafaz al Nas bermakna kejinakan, yang maksudnya bahwa perkara-perkara yang tertutupankan indera batin dan hal-hal yang jinak adalah indera lahir.24 Juga lafaz “al Kawakib” yang bergandengan dengan fiil mudhari “Yusabbihuna” memberikan makna bahwa mereka adalah makhluk yang berakal. Walaupun pendapat tersebut ditentang oleh al Razi yang berpendapat bahwa penggunaan flil mudari menyertai “al Kawatib” mengandung maksud memiliki sifat yang sama dengan orang yang berakal. yakni bahwa kawatib melakukan sujud dan bertasbih.25 Penutup Bagaimana juga munculnya tafsir Falsafi dangan segala tantangan dan dukungan yang ada merupakan fenomena kemajuan umat Islam dalam pola pemikiran filosofis yang pada gilirannya akan mampu memberikan konstribusi positif bagi kemajuan umat Islam. Selain itu nilai-nilai ijtihad yang dilakukan oleh para ulama mufassirin yang terkait dengan menggunakan dukungan yang ada merupakan fenomena kemajuan umat dalam pola pemikiran filosofis wahana methodologi filosofis akan mampu memberikan pengaruh baik bagi kemajuan masyarakat lebih lanjut. Dan 21
Lihat Ibn Rusd, Falsafah Ibn Rusd, (Beirut : Damal Afaq al Jadillah, 1978), 25 Ihwan al Safa, Rasail wa hallan al wafa, (Beirut : Dar al sadir, 1957), 98 23 Muhammad Husain al dahabi, Al tafsir wa al Mubssirum, 121 24 Ibid., 431 25 Fahral din al Rizi, Mafatin al Gaib (Veirut : Dar al Kutb al ilmia, 1990), 45 22
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
9
Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi akhirnya makalah ini dengan apa adanya dimana penulis mancoba memberikan satu ungkapan metode penafsiran dengan gaya rasional yang pernah dilakukan oleh para ulama Islam, sengaja tidak tertarik satu kesimpulan, karena analitis historis yang bertolak dari kronologis sejarah penafsiran akan hilang bila kesimpulan tersebut dibuat dan penulispun memaklumi bahwa makalah ini dibuat tidak bisa memberikan tambahan pengetahuan, sedang kedangkalan penelitiannya menorehkan satu harapan kepada peneliti lain agar mendalami konsep-konsep penafsiran gaya bi al Ra’yi, termasuk di dalamnya tafsir mendalami corak penafsiran dari beberapa perspectif. Dalam penulisan makalah ini penulis sadar bahwa kemampuan penulis masih terlalu sedikit yang tida menutup kemungkinan munculnya kesalahan baik dalam idea penulisan bahasa maupun kesalahan-kesalahan lain yang tidak sengaja untuk itu tentunya kalau ada teguran, kritikan dan saran yang semakin mempercantik bentuk dan mutu naskah ini akan sangat berguna dan sangat diharapkan- Akhirnya penulis berdo’a semoga amal, bantuan apa yang membuat makalah ini bisa menjadi lebih baik, mendapatkan balasan dari Allah swt dan penulis yakin semua pembaca naskah ini bisa memperolah hidayah Allah swt karenanya. Amin.
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
10
Miftachur Rosyidah, Tafsir Falsafi
DAFTAR PUSTKA
Al Shahrastani, Muhamamad Abd Karim, AI nilai wa al nihal, Beirut : m Dar el Fikr, t.t. Abd. AI Razaq Mustafa, Tamhid Li Tarih al Falsafah al Islamiah, Kairo : Matba'ah lajnah al ta’rif wa al tarjamah wa al nasr, 1959. Al Namr Abd. Mudim, Hm al Tafsir, Beirut: der el kutb al Misr, 1973. Al Sabuni, Muhammad Ali, AI tibyan fi ulum al Qurban, Beirut: “alam al kutb, 1985. AI Dhahabi Muhammad Huseyn, Al Tafsir wa al mufassirun, Beirut : Dar el Rr, 1976. Ali ibn Muhammad Al jarjani, Kibat al ta;rifat, Jeddah: Al Harmayn, t.t. Ibn Rusd, Falsafah ibn Rusd, Beirut. Dar al Afaq al Jadidah, 1978. Ihwan al Safa, Rasail 1hwan al Safa wa al Hallan al Wafa, Beirut: Dar el Sadr, 1957. Ir m Lupidus, A History of Islamic, Canbridge University Press, 1978. Sheyh Cholid Abd. Rahman, Ushul al Tafsir wa al qawaiduhu, Beirut: Dar el Furqan, 1996. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Tameem Usaffia, Methodologi Tafsir al Qurban, Terjemahan Hasan Bisri, Jakarta Riora Cipta, 1996. Fahr al Din al Razi, Mufatihul Ghaib, Beirut: Dar al Kutb al Ilmiah, 1990.
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
11