23
MAHAR DAN PROBLEMATIKANYA (Sebuah Telaah Menurut Syari’at Islam) Muhammad Shuhufi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Email:
[email protected]
Abstract: This article discussed the problems of dowry and wisdom of dowry in marriage. Based on some of the arguments of both the Koran and the Hadits, dowry is understood as a wife's financial rights which are the duty of man. Dowry is classified into musamma and misil. The greatest wisdom of dowry declaration for a man is as a respect for the humanity of women. Dawry is also a symbol of husband’s love given to his wife. Dawry is a sign of sincerity of a man being in charge and protector for wife. Abstrak: Tulisan ini mengkaji seputar problematika mahar dan hikmah disyariatkannya mahar dalam perkawinan. Dengan mendasarkan pada beberapa dalil baik dalam al-Qur’an maupun hadis, mahar dpahami sebagai hak finansial bagi si isteri yang menjadi kewajiban seorang laki-laki. Mahar terbagi kepada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar misil. Sedangkan hikmah terbesar disyari’atkannya mahar bagi seorang laki-laki adalah sebagai penghargaan terhadap kemanusiaan perempuan. Mahar juga merupakan lambang cinta kasih yang diberikan calon suami kepada calon isterinya. Mahar menjadi pertanda keikhlasan seorang laki-laki menjadi penanggungjawab dan pelindung bagi calon isteri. Kata Kunci: Mahar, Pernikahan, Problematika. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama Islam mensyari’atkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan wanita, kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya “perkawinan”, dan beralihlah kerisauan laki-laki dan wanita menjadi sebuah ketenteraman atau sakinah.1 Allah telah menciptakan manusia laki-laki dan wanita agar dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan, dan hidup
berdampingan secara damai dan sejahtera. Guna mencapai tujuan tersebut, al-Quran antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin melangsungkan pernikahan, meskipun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan ditolaknya peminangan atau lamaran. Sedang bagi yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk
24
menahan diri dan memelihara kesuciannya.2 Di sisi lain perlu dicatat, walaupun al-Qur’an menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasulullah saw. menegaskan bahwa “nikah adalah Sunnahnya”, tetapi pada saat yang sama al-Qur’an dan Sunnah juga menetapkan ketentuanketentuan yang harus diindahkan dalam menjalankan perintah Allah dan Sunnah Rasul tersebut. Ketentuan-ketentuan yang telah disyari’atkan oleh Islam dalam menempuh perkawinan tersebut adalah terpenuhinya beberapa syarat dan rukun yang wajib adanya. Syarat sah pernikahan itu adalah: ada calon suami dan isteri, wali, dua orang saksi, mahar, serta terlaksananya ijab qabul. Namun pembahasan dalam artikel ini penulis batasi seputar persoalan mahar atau mas kawin. Mahar adalah bagian penting bagi perkawinan seorang muslim. Mahar dalam Islam bukan sebagai adat kebiasaan, seperti orang Afrika yang memberikan karyanya kepada pengantin perempuan. Mahar juga bukan sebagai nilai tukar seorang anak perempuan kepada suaminya dalam jual beli. Mahar atau mas kawin adalah pemberian dari laki-laki kepada perempuan, dan bukan sebaliknya. Pembahasan ini sangat menarik bagi penulis dikarenakan dalam praktek yang terjadi di masyarakat sebagian kaum perempuan tidak mengetahui secara pasti kedudukan mahar dalam Islam. Ataukah hal tersebut telah diketahuinya secara pasti dari pelajaran atau mata kuliah yang diterimanya di
bangku kuliah, namun realitasnya sangat sulit melawan adat istiadat yang seakan menjadikan pernikahan itu sebagai ajang jual beli wanita melalui mahar dan uang belanja yang menjadi syarat utamanya. Dalam realitas masyarakat, terkadang ada seorang gadis yang sejak kawin hingga wafat sekalipun tidak mengetahui berapa mahar atau mas kawin yang diberikan suaminya. Hal ini disebabkan ketika ia kawin, maharnya diterima oleh orang tuanya dan keduanya menyangka bahwa mahar itu adalah hak mereka.3 Dan beragam fakta yang terjadi pada masyarakat yang membutuhkan kajian yang akurat dalam mengantisipasi permasalahan yang muncul tersebut. B. Permasalahan Adapun yang menjadi sub bahasan dalam tulisan ini adalah : 1. Apa yang dimaksud dengan mahar? 2. Sebutkan dasar hukum, bentuk, dan macam-macam mahar beserta berbagai problematikanya? 3. Sejauhmana kandungan hikmah disyari’atkannya mahar dalam Islam? Kajian yang akurat mengenai hal tersebut dipaparkan pada pembahasan selanjutnya. II. PEMBAHASAN A. Pengertian Mahar atau Mas Kawin Mahar adalah satu di antara hak isteri yang didasarkan pada al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Mahar dalam Islam sering pula dikenal dengan istilah sadaq/
25
sadaqah, nihlah, ajr, hiba’, ‘uqr, ‘ala’iq, ¯ aul, dan nikah.4 Dalam istilah bahasa Indonesia, mahar sering diistihkan dengan “mas kawin”, yaitu pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri ketika berlangsungnya acara akad nikah di antara keduanya untuk mengarungi kehidupan bersama sebagai suami isteri.5 Dalam term al-sadaq, maka yang dimaksud adalah sebagai ungkapan rasa percaya seorang laki-laki kepada perempuan dan ia merupakan sesuatu yang wajib.6 Mahar juga disebut sadaq, karena ketika perempuan diberi haknya, ia oleh laki-laki (calon suami) dipandang sebagai teman setia yang akan menjadi pendamping hidup.7 Beberapa pendapat juga dikemukakan oleh para imam mazhab, antara lain:8 - Mazhab Hanafi mendefinisikan mahar sebagai sejumlah yang menjadi hak isteri karena akad perkawinan atau disebabkan terjadinya senggama dengan sesungguhnya. - Mazhab Maliki mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang menjadikan isteri halal untuk digauli. - Mazhab Syafi’i mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. - Mazhab Hambali menyebutkan bahwa mahar adalah imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua
belah pihak maupun ditentukan oleh hakim. Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan dapat dipahami bahwa mahar atau mas kawin merupakan hak calon isteri yang menjadi kewajiban bagi calon suami sebagai salah satu syarat mengarungi sebuah bahtera rumah tangga. B. Dasar Hukum, Bentuk dan Macam-macam Mahar Perintah Allah mengenai mahar tersebut secara tegas tertuang dalam AlQur’an, antara lain : 1. QS. al-Nisa’ (4): 4 : ...واﺗﻮااﻟﻨﺴﺎء ﺻﺪﻗﺘﮭﻦ ﻧﺤﻠﺔ Terjemahnya : “…Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan…”9 2. QS. al-Nisa’ (4): 25 : اﺟﻮرھﻦ
واﺗﻮھﻦ
اھﻠﮭﻦ
ﺑﺈذن
ﻓﺎﻧﻜﺤﻮھﻦ... ...ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف
Terjemahnya : “…Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya, dan berilah mas kawinnya menurut yang patut…”10 3. QS. al-Maidah (5): 5 : ااﻟﯿﻮم اﺣﻞ ﻟﻜﻢ اﻟﻄﯿﺒﺎت وطﻌﺎم اﻟﺬﯾﻦ اوﺗﻮاﻟﻜﺘﺎب... ﺣﻞ ﻟﻜﻢ وطﻌﺎﻣﻜﻢ ﺣﻞ ﻟﮭﻢ واﻟﻤﺤﺼﻨﺎت ﻣﻦ اﻟﻤﺆﻣﻨﺎت واﻟﻤﺤﺼﻨﺎت ﻣﻦ اﻟﺬﯾﻦ اوﺗﻮا اﻟﻜﺘﺎب ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ اذا اﺗﯿﺘﻤﻮھﻦ اﺟﻮرھﻦ ﻣﺤﺼﻨﯿﻦ ﻏﯿﺮ ﻣﺴﺎﻓﺤﯿﻦ وﻻ ...ﻣﺘﺨﺬى اﺧﺪان
26
Terjemahnya : “…(Dan dihalalkan mengawini) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuanperempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum engkau, bila engkau telah membayar mahar dengan maksud menikahinya…11 Islam telah menegakkan tujuantujuan yang luhur dan mulia untuk pernikahan antara dua orang manusia. Islam juga menetapkan mahar sebagai hak ekslusif perempuan. Mahar adalah hak finansial yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.12 Meskipun mahar merupakan kewajiban calon suami terhadap calon isterinya, namun alQur’an ternyata tidak memberatkan calon suami di luar kesanggupannya. Hal ini terbukti tidak ditemukannya dalam al-Qur’an ketentuan jumlah atau bendabenda tertentu yang harus dibayarkan.13 Hal ini memberikan indikasi bahwa syari’at Islam telah memberikan keleluasaan dalam hal bentuk dan jumlah mahar tersebut. Mengenai bentuk mahar, beberapa ulama berpendapat bahwa yang terpenting adalah mahar haruslah berupa sesuatu yang berharga, halal dan suci, baik berupa benda-benda yang berharga maupun dalam bentuk jasa. Kriteria lain adalah mahar haruslah suatu benda yang boleh dimiliki dan halal diperjual belikan. Karenanya babi dan minuman keras tidak dapat dijadikan mahar, karena keduanya bukanlah harta yang
halal bagi umat Islam. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad bin Umar al-Dairabi.14 Persyaratan lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa mahar itu tidak mengandung unsur tipuan.15 Imam Syafi’i, Hambali, dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy.16 Imam Hanafi berpandangan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari sepuluh dirham, maka akad tetap sah, dan wajib membayar mahar sepuluh dirham.17 Sedang menurut Maliki bahwa jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum mencampuri, maka dia boleh memilih antara membayar tiga dirham (dengan melajutkan perkawinan) atau memfaskh akad, lalu membayar separuh mahar musamma.18 Dalam Islam dikenal dua jenis mahar, yaitu mahar musamma dan mahar misil. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan pengantin perempuan dalam redaksi akad. Sedang mahar misil ialah mahar yang jumlah, bentuk dan jenisnya ditetapkan sesuai yang berlaku pada daerah tersebut. C. Beberapa Permasalahan Mengenai Mahar 1. Membayar kontan atau menghutang mahar
27
Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar boleh dibayar kontan dan boleh pula dihutang, baik sebagian maupun seluruhnya, dengan syarat harus diketahui secara detail. Misalnya, si lakilaki mengatakan: “Saya mengawinimu dengan mahar seratus, yang lima puluh saya bayar kontan, sedang sisanya saya bayar dalam waktu setahun.19 Di bawah ini beberapa pendapat mengenai hal tersebut :20 - Hambali dan Imamiyah mengatakan bahwa manakala mahar disebutkan, tapi kontan atau dihutangnya tidak disebutkan, maka mahar harus dibayar kontan seluruhnya. - Imam Hanafi mengatakan, tergantung pada ‘urf yang berlaku. Mahar harus dibayar kontan manakala tradisi yang berlaku adalah seperti itu, dan boleh dihutang pula manakala tradisinya seperti itu pula. Menurut Imam Hanafi, bila mahar itu dihutang tanpa menyebutkan kapan waktu pembayarannya, misalnya dia mengatakan, “separuh saya bayar kontan dan separuhnya lagi saya hutang,” maka hutang tersebut dinyatakan batal, dan mahar harus dibayar kontan. - Imam Maliki berpendapat bahwa akad nikah tersebut fasid, dan harus difasakh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah terjadi percampuran, akadnya dinyatakan sah dengan menggunakan mahar misil. - Imam Syafi’i mengatakan bahwa apabila hutang tersebut tidak diketahui secara detail, tetapi
secara global, misalnya akan dibayar pada salah satu di antara dua waktu yang ditetapkan tersebut (sebelum mati, atau jatuh talak), maka mahar musammanya fasid dan ditetapkanlah mahar misil. 2. Ketidaksediaan pengantin wanita untuk digauli hingga dia menerima mahar Para ulama mazhab sepakat bahwa isteri berhak menuntut seluruh mahar yang dibayar kontan kepada suami dengan semata-mata terjadinya akad, dan dia berhak menolak digauli sebelum mahar tersebut diterimanya. Akan tetapi bila ia rela digauli sebelum menerima mahar, maka ia -menurut kesepakatan seluruh mazhab kecuali Abu Hanifah- tidak boleh menolak suaminya untuk selanjutnya. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan bahwa, dia berhak menolak digauli sesudah menerimanya.21 Imam Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa, penyerahan mahar harus didahulukan daripada penyerahan diri si wanita. Dengan demikian, suami tidak boleh mengatakan, “Saya tidak akan menyerahkan mahar sebelum saya menggauli isteri saya.” Kalau dia tetap bersiteguh, dia diharuskan memberikan nafkah. Kemudian bila ia telah menyerahkan mahar tapi si isteri tetap tidak mau digauli, maka si suami tidak boleh menarik kembali maharnya.22 Imam Hambali berpandangan lain bahwa, si suami dipaksa terlebih dahulu menyerahkan mahar, tetapi bila si isteri tetap tidak bersedia digauli sesudah ia menerima maharnya, maka si suami berhak mengambil kembali mahar tersebut.23
28
3. Ketidakmampuan suami membayar mahar Persoalan ini menimbulkan beberapa pandangan, yaitu :24 - Menurut Imamiyah dan Hanafi bahwa, apabila suami tidak mampu membayar mahar, maka si isteri tidak boleh mem-fasakh perkawinan, dan hakim pun tidak boleh menjatuhkan cerai atasnya. Isteri hanya berhak untuk tidak bersedia digauli saja. - Maliki mengatakan, apabila telah terbukti bahwa suami betul-betul tidak mampu membayar mahar, sedangkan belum pernah mencampuri isterinya, maka hakim harus memberi waktu penundaan yang sekiranya memungkinkan bagi dirinya untuk melunasi hutang maharnya itu. Kalau ia tetap juga tidak mampu, hakim bisa menetapkan cerai atas isterinya. Sedangkan apabila isterinya sudah digauli, maka isterinya tidak berhak mem-fasakh nikah sama sekali. - Syafi’i berpendapat bahwa, manakala betul-betul terbukti bahwa si suami kesulitan membayar mahar dan dia belum pula mencampuri isterinya, maka isteri berhak mem-fasakh perkawinan. Tapi apabila sudah dicampuri, dia tidak lagi berhak atas itu. - Hambali berpandangan lain, bahwa isteri berhak mem-fasakh sekalipun sudah dicampuri sepanjang dia tidak tahu tentang kesulitan tersebut sebelum perkawinan. Sedangkan apabila ia mengetahui hal tersebut
sebelum perkawinan, dia tidak berhak atas fasakh, dan dalam kasus fasakh diperbolehkan, maka yang berhak melakukan fasakh adalah hakim. 4. Memecahkan selaput dara dengan cara yang tidak lazim Jika seorang suami memecahkan selaput dara isterinya dengan jari-jarinya atau dengan sesuatu alat, apakah hal itu hukumnya sama dengan melakukan hubungan seksual dalam kaitannya dengan ketentuan membayar mahar.25 Tidaklah menjadi sebuah permasalahan apabila setelah melakukan perbuatan tersebut di atas lalu si suami mencampuri isterinya, maka berlakulah seluruh konsekuensi syar’i baik yang berkaitan dengan ketentuan mahar, iddah, nasab, dan sebagainya. Tetapi, yang menjadi problema adalah bagaimana seandainya setelah si suami melakukan hal tersebut kemudian menceraikan isterinya, dan belum mencampurinya. Apakah si isteri masih berhak terhadap keseluruhan mahar atau mahar tersebut dibagi dua? Menurut Sayyid Abu al-Qasim al-Khu’i bahwa suami harus membayar mahar secara penuh akibat pecahnya selaput dara yang dilakukannya, berdasarkan riwayat dari Ali bin Ri’ab. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa, apabila wanita-wanita tersebut sama keadaannya seperti semula, maka dia berhak atas separuh mahar yang telah ditentukan untuknya.26 Hal ini memberikan pemahaman bahwa talak menjadi sebab terbagi duanya mahar, manakala ketika diceraikan keadaannya sama seperti ia mengawininya. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa manakala keadaan
29
isteri tidak seperti ketika ia dikawini, maka suami wajib membayar seluruh mahar, dan tidak bisa dibagi dua dengan terjadinya perceraian, baik pecahnya selaput dara karena dicampuri maupun karena sebab-sebab lain (yang dilakukan suaminya).27 Besarnya Mahar Pernikahan Menurut Islam Prolem lain yang sering muncul dalam realitas masyarakat adalah bentuk dan besaran mahar yang diberikan lakilaki kepada calon isterinya. Selama ini, mahar selalu diidentikkan dengan uang, emas ataupun barang lainnya. Padahal sebenarnya, mahar itu tidak selalu identik dengan uang, emas, perak, dan seperangkat alat shalat, al-Qur’an, rumah, tanah, kebun dan berbagai barang lainnya. Mahar juga bisa dalam bentuk keimanan, dapat juga berupa ilmu dan hafalan al-Qur’an ataupun berupa pembebasan/kemerdekaan dari perbudakan dan bahkan apa saja yang bisa diambil upahnya/jasanya, Sebagaimana halnya dengan perkawinan putri nabi Syua’ib as. yang dijelaskan dalam QS. Al-Qashash/28: 27 sebagai berikut:
ﻗﺎل إﱏ أرﻳﺪ أن اﻧﻜﺤﻚ إﺣﺪي اﺑﻨﱵ ﻫﺎﺗﲔ ﻋﻠﻰ ﻋﻨﺪك وﻣﺎ أرﻳﺪان أﺷﻖ ﻋﻠﻴﻚ ﺳﺘﺠﺪﱏ ان ﺷﺎء ﷲ ﻣﻦ اﻟﺼﺎﳊﲔ Terjemahnya: Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun
dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.". Dalam hadis juga telah mengisyaratkan hal yang sama sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Nabi bersabda: bergegaslah dan ajarkanlah dia duapuluh ayat, maka dia resmi menjadi isterimu. Beberapa hadis lain juga telah menegaskan kesederhanaan mahar dalam pernikahan Islam. Di antara hadis yang dimaksud dapat kita lihat dalam sejarah Islam bahwa Rasulullah memberi mahar kepada isterinya sebanyak 12 uqiyah. Diriwayatkan bahwa Abu Salamah telah menceritakan : aku pernah bertanya kepada Aisyah ra., “ berapa mahar Nabi saw. kepada isteri-isterinya? Aisyah menjawab: mahar beliau untuk isteriisterinya adalah sebayak 12 uqiyah dan 1 nasy. Kemudian aisyah bertanya: “tahukah kamu berpapa satu uqiyah itu?’. Aku menjawab: “tidak”. Aisyah pun menjawab: “empat puluh dirham”. Aisyah bertanya lagi:”tahukah kamu berapa 1 nasy itu?”. Aku menjawab: “tidak”. Aisyah pun menjawab; ”duapuluh dirham”. (HR. Muslim). Hadis ini juga diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab yang mengatakan: “Aku tidak pernah mengetahui bahwa Rasulullah saw. menikahi seorang juga dari isterinya dengan mahar yang kurang dari 12 uqiyah. (HR. at-Tirmidzi). Dalam kisahnya yang lain Rasulullah pernah menikahkan putrinya yang bernama Fatimah dengan
30
Sayyidina Ali ra. menggunakan mahar baju besi milik sayyidina Ali. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, setelah Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah saw mengatakan kepadanya, “berikanlah sesuatu kepadanya (Fatimah). Ali menjawab; aku tidak punya sesuatupun. Maka beliau pun bersabda: dimana baju besimu? Berikan baju besimu itu kepadanya. Maka Ali pun memberikan baju besi itu kepada Fatimah. (HR. Abu Dawud dan an-Nasai). Selain itu, Nabi juga tidak pernah menolak menikahkan seorang laki-laki yang tidak memiliki sesuatu dari harta yang bisa diberikan sebagai mahar. Dikisahkan bahwa ada seorang pria yang meminta untuk dinikahkan oleh Rasulullah saw. namun dia tidak mempunyai apapun sebagai mahar, sekalipun dari sebuah cincin dari besi. Kemudian beliau bertanya kepadanya: “Apakah kamu menghafal al-Qur’an?”. Dia menjawab:” Ya, aku hafal surah ini dan surah itu (dia menyebutkan beberapa surah dalam al-Qur’an)”. Maka beliau pun bersabda:”Aku menikahkan kamu dengannya dengan mahar berupa surah al-Qur’an yang Kamu hafal itu”.28 Beberapa hadis di atas menunjukkan bahwa perkawinan dalam Islam tidak menghendaki kesulitan dalam menetapkan bentuk dan besaran nilai mahar. Mahar hanya merupakan simbol tanggung jawab pria terhadap calon istrinya. Oleh karena sifatnya hanya sebagai simbol, maka tidak dibenarkan mahar itu memberikan kesulitan bagi laki-laki. Seringkali pula dalam realitanya, seorang calon suami selalu ingin memberikan maskawin yang terbaik bagi isterinya. Bahkan kadang-kadang
diberikan sesuai yang dibutuhkan isteri dan atau bukan sesuatu yang diinginkan yang akhirnya mahar tersebut menjadi “mubazir” . misalnya pemberian mahar atau mas kawin berupa al-Qur’an dan seperangkat alat shalat. Padahal barang tersebut sudah banyak dimiliki oleh pasangan. Oleh sebab itu, sebaiknya kedua calon mempelai berdiskus terlebih dahulu tentang mahar yang akan diberikan nanti. Dan seorang wanita yang baik itu tidak akan menyusahkan calon suaminya dalam urusan mahar. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa “sebaik-baik wanita adalah yang paling murah maharnya. (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqy). D. Hikmah dan Tujuan Mahar Mahar atau mas kawin merupakan hak perempuan yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki. Mahar bukanlah sebagai pembelian atau ganti rugi. Karena itu, jika ia telah menerimanya, hal itu berarti ia suka dan rela dipimpin oleh laki-laki yang baru saja mengawininya.29 Hal ini sekaligus membuktikan bahwa mahar itu adalah lambang atau tanda cinta calon suami terhadap calon isterinya, sekaligus berfungsi sebagai pertanda ketulusan niat dari calon suami untuk membina kehidupan berumah tangga bersama calon isterinya. Pada masa Jahiliyah, hak perempuan (berupa mahar) ini disiasiakan bahkan dihilangkan, sehingga mahar yang seharusnya menjadi milik dari seorang perempuan malah diserahkan kepada ayahnya (walinya) yang lalu menggunakannya dengan semena-mena sesuai dengan
31
keinginannya. Lalu Islam datang menggugurkan kebiasaan tersebut yang sangat tidak patut dan salah.30 Menurut Wahbah al-Zuhailiy, salah satu hikmah pemberian mahar dalam prosesi pernikahan kepada pihak perempuan ialah sebagai tanda akan adanya mawaddah yang akan ditegakkan secara bersama oleh suami isteri dan juga sebagai simbol rasa cinta serta kasih sayang sang suami terhadap isterinya.31 Dengan adanya kewajiban calon suami memberikan mahar kepada calon isterinya merupakan indikasi bahwa setelah usai ijab qabul, maka seluruh beban kekeluargaan termasuk memberi nafkah -lahir batin- kepada isteri adalah sudah menjadi tanggungjawab sang suami. Juga dalam hal memberikan perlindungan dan rasa aman kepada pendamping hidupnya dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah juga sudah dibebankan kepada sang suami. Mahar dalam perkawinan Islam itu hanyalah sebuah media dan bukan menjadi tujuan utama. Tujuan menikah dalam Islam bukanlah sarana untuk mencari mahar yang mahal ataupun besar. Maskawin atau mahar bukan pula dijadikan bahan pameran bagi masyarakat melainkan bertujuan untuk memuliakan wanita. Oleh karena itu, jika seseorang hendak menikah jangan dipusingkan dengan urusan mahar, menyusahkan diri dengan urusan mahar karena tujuan utama menikah bukanlah untuk itu. Dalam al-Qur’an ditemukan beberapa ayat yang mengisyaratkan tujuan perkawinan. Khoiruddin Nasution menyimpulkan berdasarkan teks baik al-
Qur’an maupun hadis bahwa ada tiga tujuan umum dari perkawinan, yaitu: Pertama, untuk mengembangbiakkan umat manusia (reproduksi) di bumi. Di antara ayat yang mengisyaratkan hal tersebut adalah QS al-Syu>ra>/42: 11, QS al-Ru>m/30: 21, QS al-Nah}l/16: 72, QS alT{a>riq/86: 6-7, dan QS al-Nisa>’ /4 : 1. Menurut Quraish Shihab,32 al-Qur’an membedakan ayat yang berbicara pengembangbiakkan dalam konteks kehidupan binatang dengan manusia. Dalam konteks kehidupan manusia, perkembangbiakan itu diikutkan kalimat mawaddah wa rah}mah33 sedangkan dalam konteks kehidupan hewan atau binatang tidak disebutkan. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan akhir perkawinan itu adalah kehidupan keluarga saki>nah, mawaddah wa rah}mah. Kedua, Pemenuhan kebutuhan seksual. Dasar tujuan kedua ini berdasarkan pada QSal-Ma‘a>rij/70: 2931, QS al-Mu’minu>n/23: 5-7, QS alBaqarah/2: 223, dan QS al-Nu>r/24 : 33. Ketiga, memperoleh ketenangan (saki>nah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rah}mah) seperti yang dikemukakan dalam QS al-Ru>m /30\: 21. Pada dasarnya ketiga tujuan di atas bermuara pada tujuan utama perkawinan dalam Islam yakni membangun keluarga saki>nah mawaddah wa rah}mah. III. PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian terdahulu penulis simpulkan beberapa hal, antara lain :
32
1. Mahar adalah hak finansial bagi si isteri yang menjadi kewajiban seorang laki-laki. Mahar bukanlah sebagai ganti rugi dan alat jual beli bagi perempuan sebagaimana yang diperlakukan oleh orang-orang di luar Islam. 2. Dasar hukum disyari’atkannya mahar telah termaktub dalam QS. al-Nisa’ (4): 4 dan 25, QS. alMaidah (5): 5 serta beberapa hadis Nabi saw. dan ijma’ kaum muslimin. 3. Dalam Islam iidak ada batasan jumlah mahar secara jelas. Hal ini memberikan indikasi pemahaman bahwa menurut syari’at Islam, bentuk mahar yang terpenting adalah bahwa mahar haruslah berupa sesuatu yang berharga, halal dan suci, baik berupa benda-benda yang berharga maupun dalam bentuk jasa. Kriteria lain adalah mahar haruslah suatu benda yang boleh dimiliki dan halal diperjual belikan. 4. Mahar terbagi kepada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar misil. 5. Salah satu hikmah terbesar disyari’atkannya mahar bagi lakilaki adalah sebagai penghargaan terhadap kemanusiaan perempuan. Mahar juga merupakan lambang cinta kasih yang diberikan calon suami kepada calon isterinya. Mahar juga menjadi pertanda keikhlasan laki-laki menjadi penanggung jawab dan pelindung bagi calon isteri. Sebagaimana diketahui bahwa mahar merupakan kewajiban bagi mempelai laki-laki dan menjadi hak bagi mempelai perempuan. Namun pemberian mahar itu
bukanlah menjadi tujuan utama melainkan sebuah media. Tujuan menikah dalam Islam bukanlah sarana untuk mencari mahar yang mahal ataupun besar. Mahar juga bukan untuk menjadi pameran untuk khalayak ramai. Mahar bertujuan untuk memuliakan wanita. Oleh karena itu, dalam perkawinan Islam tidak pernah menyusahkan dalam urusan mahar, tidak pernah menyusahkan diri dalam dengan urusan maskawin karena tujuan utama dalam menikah Islam bukanlah mahar. B. Implikasi Allah yang Maha Bijaksana telah mensyari’atkan mahar sebagai kewajiban seorang calon suami, agar laki-laki menyadari tanggung jawabnya kepada calon isterinya, dan isteri pun memahami kewajibannya kepada calon suaminya. Mahar menjadi simbol bahwa isteri akan menerima kesetiaan, simpati, kasih sayang dan cinta suaminya, dan menjalani pernikahan mereka. Mahar juga menjadi simbol kesediaan dan keinginan suami untuk bersatu. Namun sebahagian orang mengira bahwa mahar adalah harga eceran seorang perempuan atau bahkan jaminan yang dibayarkan ayahnya atau sebuah transaksi yang menjadikan seorang perempuan halal bagi suaminya. Hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab bersama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar mendudukkan persoalan mahar ini pada proporsi yang sebenarnya. Semoga tulisan ini memberikan inspirasi dan pemahaman yang lebih sempurna mengenai makna mahar dan berupaya mempraktekkannya dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat.
33
Catatan Akhir : 1
M. Quraish Shihab, Wawasan AlQur’an: Tafsir Maudhu’iy atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. III; Bandung: Mizan, 1996), h. 192. 2
Ibid.
3
Qalyubi dan ‘Umayrah, Hasyata Qalyubiy wa ‘Umayrah ‘ala Syarh Minhaj alTalibin, Juz X (Misr: Dar Ihya al-Kutub al‘Arabiyah, t. th.), h. 275. 4
Ibnu Qudamah, al-Mugni, Juz II (Makkah al-Mukarramah: Maktabah al-Tijariyah, t. th.), h. 252. Lihat pula Muhammad ibn Isma’il al-Amin al-Yamani al-San’ani, Subul al-Salam, Juz III (Libanon: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, t. th.), h. 311. 5
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI., 1992/1993), h. 667. 6
Abu al-Husain Ahmad bin Fariz bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 339. 7
Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Ansariy, Lisan al-‘Arab, Jilid XII (Mesir: Dar al-Misriyah, t.th.), h. 65. 8
Ibnu Qudamah, loc. cit. Lihat pula Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayat alMuqtasid, Juz II (al-Qahirah: Maabi’ alIstiqamah, t. th.), h. 16. 9
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penterjemah dan Pentashih Al-Qur’an, 1980), h. 115. 10
Ibid., h. 121.
11
Ibid., h. 158.
12
Fatima Umar Nasif, Women in Islam: a Discources in Right and Obligations, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dan Kundan Du’ali dengan judul Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Islam (Cet. I; Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2003), h. 202.
13
Salih ibn Ghanim al-Sadlan, al-Ahkam al-Fiqhiyyah li al-Sadaq wa Walima¯ al-‘Ursy (Cet. I; Riyadh: Dar al-Wata, 1413 H.), h. 16. Lihat juga Ibn Rusyd, op. cit., h. 25. 14
Ahmad bin Umar al-Dairabi, Ahkam al-Zawaj ‘ala Mazahib al-Arba’ah (Cet.I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1986) diterjemahkan oleh Heri Purnomo dan Saiful Hadi dengan judul Fiqih Wanita: Panduan untuk Pengantin, Wali, dan Saksi (Cet. I; Jakarta: Mustaqim, 2003), h. 189. 15
Abd. Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid III (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1043. 16
Muhammad Jawad Mughniyah, alFiqh ‘ala Mazahib al-Khamsah, diterjemahkan oleh Masykur A.B, dkk. dengan judul Fiqhi Lima Mazhab (Cet. II, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996), h. .364. 17
Ibid. Lihat pula al-Kamal ibn alHimam al-Hanafi, Fath al-Qadir, Juz II (Cet. I; Dimasyq: t.p., 1389 H.), h. 435 dan Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukaniy, Nayl al-Authar, Juz VI (Mesir: Mustafa al-Halabiy, t. t.), h. 167. 18
Ibid., h. 365. Lihat pula al-Dardir Abu al-Barakat, al-Syarh al-Sagir ‘ala Aqrab alMasaliy, Juz II (Misr: Dar al-Ma’rif, 1392 H.), h. 28 dan Malik, Riwayah Sahnun, Juz II (Libanon: Dar al-Fikr, 1397 H.), h. 173-174. 19
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., h. 368. 20
Ibid., h. 369.
21
Pendapat ini ditentang oleh pengikut Abu Hanifah sendiri yaitu Muhammad dan Abu Yusuf. Lihat ibid., h. 370. 22
Lihat ibid., h. 370-371.
23
Lihat ibid.
24
Lihat ibid.
25
Ibid., h. 376.
26
Ibid.
34
27
Ibid.
28
Riwayat ini disarikan dari hadis yang cukup panjang di dalam Kitab Shahih Bukhari No. 1587. 29
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Semarang: asy-Syifa’, 1986), h. 373. 30
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa oleh Moh. Thalib dengan judul Fikih Sunnah, Jilid VII (Bandung: al-Ma’arif, 1996), h. 52. 31
Wahbah al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqa’idah wa Syari’ah wa Manhaj, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991), h. 235. 32
M. Quraish Shihab, Wawasan alQur’an, h. 213-214 33
Lihat QS al-Ru>m/30: 21
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim al-San’ani, Muhammad ibn Isma’il alAmin al-Yamani. Subul alSalam, Juz III. Libanon: Dar alKitab al-‘Arabiy, t. th. al-Ansariy, Jamaluddin Muhammad bin Mukarram. Lisan al-‘Arab, Jilid XII. Mesir: Dar al-Mi¡riyah, t.th. al-Barakat, al-Dardir Abu. al-Syarh alSagir ‘ala Aqrab al-Ma¡alih, Juz II (Misr: Dar al-Ma’rif, 1392 H.), h. 28 dan Malik, Riwayah Sahnun, Juz II. Libanon: Dar alFikr, 1397 H.
Dahlan, Abd. Azis, et.al. Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid III. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. al-Dairabi, Ahmad bin Umar. Ahkam alZawaj ‘ala Mazahib al-Arba’ah. Cet.I; Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, 1986, diterjemahkan oleh Heri Purnomo dan Saiful Hadi dengan judul Fiqih Wanita: Panduan untuk Pengantin, Wali, dan Saksi. Cet. I; Jakarta: Mustaqim, 2003. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penterjemah dan Pentashih AlQur’an, 1980. Fatima Umar Nasif, Women in Islam: a Discources in Right and Obligations, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dan Kundan Du’ali dengan judul Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Islam. Cet. I; Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2003. al-Hanafi, al-Kamal ibn al-Himam. Fath al-Qadir, Juz II. Cet. I; Dimasyq: t.p., 1389 H. Ibnu
Qudamah. al-Mugni, Juz II. Makkah al-Mukarramah: Maktabah al-Tijariyah, t. th.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Juz II. alQahirah: Ma¯abi’ al-Istiqamah, t. th.
35
al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqh alMar’ah al-Muslimah, Semarang: asy-Syifa’, 1986. Mughniyah, Muhammad Jawad. al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Khamsah, diterjemahkan oleh Masykur A.B, dkk. dengan judul Fiqhi Lima Mazhab. Cet. II, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996. Qalyubi dan ‘Umayrah. Hasyata Qalyubiy wa ‘Umayrah ‘ala Syarh Minhaj al-Talibin, Juz X. Misr: Dar Ihya al-Kutub al‘Arabiyah, t. th. al-Sadlan, Salih ibn Ghan³im. al-Ahkam al-Fiqhiyyah li al-Sadaq wa Walimat al-‘Ursy. Cet. I; Riyadh: Dar al-Wala, 1413 H. Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah, alih bahasa oleh Moh. Thalib dengan judul Fikih Sunnah, Jilid VII. Bandung: al-Ma’arif, 1996. Shihab, M. Quraish. Wawasan AlQur’an: Tafsir Maudhu’iy atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. III; Bandung: Mizan, 1996. al-Syaukaniy, Muhammad ibn ‘Ali. Nayl al-Authar, Juz VI. Mesir: Mustafa al-Halabiy, t. t. Tim
Penyusun. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI., 1992/1993.
Zakariya, Abu al-Husain Ahmad bin Fariz bin. Mu’jam Maqayis alLugah, Juz III. Beirut: Dar alFikr, t. th. al-Zuhailiy, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al-‘Aqa’idah wa Syari’ah wa Manhaj, Juz III. Beirut: Dar alFikr al-Mu’ashir,1991. 32
M. Quraish Shihab, Wawasan alQur’an, h. 213-214 33
Lihat QS al-Ru>m/30: 21