PEMBERIAN MAHAR NON MATERI (TELAAH HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)
Disusun oleh: YUNI NUR SAIDAH NIM: 1211060
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU) JEPARA 2015-2016
TRANSLITERASI 1 Transliterasi artinya mengalihaksarakan suatu tulisan ke dalam aksara lain; misalnya, dari aksara arab ke aksara latin. Berikut ini kami tampilkan transliterasi huruf dan madd (tanda bunyi panjang) yang diterapkan dalam nama surah dan beberapa istilah dalam buku ini. 1. Transliterasi Huruf No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Arab ﺍ ﺏ ﺕ ﺙ ﺝ ﺡ ﺥ ﺩ ﺫ ﺭ ﺯ ﺱ ﺵ ﺹ ﺽ
Latin a, b, c b t ts j h kh d dz r z s sy sh dl
No. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Arab ﻁ ﻅ ﻉ ﻍ ﻑ ﻕ ﻙ ﻝ ﻡ ﻥ ﻭ ﻩ ء ﻱ
Latin th zh ‘a ‘i ‘u gh f q k l m n w h ‘ y
2. Transliterasi Madd Banyak suku kata dalam bahasa arab yang mesti dibaca madd (dipanjangkan).
Pada
kata-kata
semacam
itu,
transliterasinya
berupa
pembubuhan garis di atas huruf hidup yang dibaca panjang. Table berikut ini menghadirkan transliterasi madd beserta contohnya: 1
Departemen Agama RI, al-Hikmah al-Qur’an dan terjemahnya, terj. Yayasan penyelenggara penterjemah al-Qur’an disempurnakan oleh lajnah pentashih Mushaf al-Qur’an, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010).
ii
No.
Huruf Madd
Transliterasi
Contoh
1.
ﺍ
ā
ﻗَﺎ َﻝ
dibaca: qāla
2.
ﻭ
ū
ﻳَﻘُﻮ ُﻝ
dibaca: yaqūlu
3.
ﻱ
ī
ﻗِ ْﻴ َﻞ
dibaca: qīla
iii
PERNYATAAN Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Jepara, 09 September 2015 Penulis,
YUNI NUR SAIDAH NIM: 1211060
vi
MOTO
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. 1 0F
1
Kementrian Agama RI, al-Qur’an Terjemah dan New Cordova dilengkapi Asbabun Nuzul, Fadhilah Ayat, Hadits tentang al-Qur’an, Blok Qur’an per Tema Ayat, dan Indeks Tematik, (Bandung: Syamil Qur’an, 2012), cet I, hlm. 77.
vii
PERSEMBAHAN Puji syukur Alhamdulillah penulis telah menyelesaikan Skripsi ini dan karya skripsi yang penulis buat ini, penulis persembahkan untuk orang-orang yang dengan ikhlas telah berkorban dan membantu penulis dalam mengarungi perjalanan panjang dalam menggapai cita-cita: Kepada kedua orang tuaku tercinta Bapak Shodiq dan Ibu Suwati adiku Nisa’ul Khasanah yang senantiasa selalu mendoakan dan menjadi kekuatan bagi penulis, Tiada henti-hentinya penulis panjatkan doa kepada Allah SWT, semoga Bapak dan Ibu selalu ada dalam rahmat dan karuniaNya di dunia dan akhirat. Amin. Abah KH. Masyhudi Nadlif
Alm yang senantiasa membina dan
mengarahkan saya sehingga menjadi insan yang lebih baik. Serta mendo’akan saya selama belajar di pesantren. Kepada keluarga besar Fak. Syari’ah dan teman-teman seperjuangan Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara angkatan 2011, serta teman-teman organisasi semoga kita menjadi kelurga, amin. Almamater Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara serta Fakultas Syari’ah Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah dan Ilmu Hukum yang telah mendidik dan mengarahkan dan membimbingku, terima kasih dan semoga tetap sukses selalu kedepannya. Kepada sahabat-sahabatku khususnya (Inah, Robiah, Ukhty Anies Naimah, Dek Epy Nur Jannah, Irna Muflihatin, Tyaz Zulmia, dek Nada, dek Ana, mb Ega Ersa, Naim, Shulton,) dan seluruh santriwati PP. AlQonitat Miftahun Najah yang selalu memberi semangat dan mensuport dalam proses penyusunan skripsi ini. Kepadamu seorang yang tak pernah lelah memberikan penulis semangat dengan penuh cinta dan kasih dalam menyelesaikan skripsi ini M. Khoironi ZA. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. viii
KATA PENGANTAR Dengan nama Allah SWT Sang Pencipta Alam semesta. Segala Puji Syukur tetap terhaturkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesehatan serta telah melimpahkan Hidayah serta Inayah-Nya sehingga penulis mampu melangkah sehingga dapat menyelesaikan skripsi tersebut sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana al-Ahwal al-Syakhshiyyah (S-I) Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara dengan sempurna tanpa ada salah satu halangan apapun. Sholawat
beserta
salam
semoga
senantiasa
tercurahkan
kepada
revolusioner Islam penggagas kedamainan dan kebenaran serta kebajikan yaitu baginda Nabi Muhammad saw yang telah memberikan satu inspirasi dalam keterasikan diri serta mampu mengaktualisasikan Rahmatan Lil ‘Alamin sebagai pesan dan cita-cita suci Islam. Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhtarom, HM, selaku Rektor Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara. 2. Bapak Drs. KH. Ahmad Barowi, TM., M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara
dan selaku Dosen pembimbing yang telah
membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Hudi S.H.I., M.Si, selaku Ka. Prodi Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara. 4. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara yang telah mendidik dan mengarahkan kepada penulis dalam menekuni Ilmu-ilmu keislaman.
ix
5. Segenap staff akademika Fakultas Syari’ah serta staff perpustakaan UNISNU Jepara yang turut pula membantu penulis sehingga menjadikan lancarnya penulisan skripsi. 6. Bapak Shodiq, Ibuku Suwati, dan adikku Nisa’ul Khasanah tercinta yang senantiasa selalu mendoakan dan menjadi inspirasi dan kekuatan bagi penulis. 7. Kepada saudara-saudaraku khususnya M. Mu’alimin yang selalu memotivasiku untuk menyelesaikan skrpisi. 8. Abah KH. Masyhudi Nadlif Alm yang senantiasa membina dan mengarahkan saya sehingga menjadi insan yang lebih baik. Serta mendo’akan saya selama belajar di pesantren. 9. Kepada Ustadz-ustadzah PP. Al-Qonitat Miftahun Najah yang selalu mengarahkan dan mengajarkan agama semoga penulis menjadi insan yang lebih berguna bagi semua orang. 10. Kepada sahabat-sahabatku (Inah, Robiah, Ukhty Anies Naimah, Dek Epy Nur Jannah, Irna Muflihatin, Tyaz Zulmia, dek Nada, dek Ana, mb Ega Ersa, Naim, Shulton) dan seluruh santriwati PP. Al-Qonitat Miftahun Najah yang selalu memberi semangat dan mensuport dalam proses penyusunan skripsi ini. 11. Kepada M. Khoironi ZA yang tak pernah sirna semangatnya untuk si penulis. 12. Kepada Ustadz M. Anas S. Pd.I. yang senantiasa membantu menyelesaikan skripsi ini. 13. Kepada seseorang yang pernah singgah dalam kehidupanku. 14. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Penulis tidak dapat membalas budi baik mereka, kecuali penyusun berdo’a semoga Allah SWT membalas budi baik mereka sebagai amal sholeh, amin ya rabbal ‘alamiin. Akhir kata semoga tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis serta pembaca yang budiman. Jepara, 09 September 2015 Penulis
YUNI NUR SAIDAH NIM: 1211060
x
ABSTRAK Penelitian ini mengkaji tentang “Pemberian Mahar Non Materi (Telaah Hukum Islam Dan Implementasinya)” dimana disini membahas tentang pendapat-pendapat para ulama’ khususnya ulama-ulama madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan juga Hambali tentang pemberian mahar non materi. Mahar merupakan pemberian dari calon memepelai laki-laki kepada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Pemberian mahar adalah suatu kewajiban yang bertujuan untuk meninggikan harkat dan martabat perempuan, tetapi saat ini mahar di anggap salah satu bagian dalam ritualitas akad nikah. Mahar yang diberikan beraneka ragam bentuknya terutama mahar berupa harta benda (materi) padahal mahar dapat pula berupa jasa atau manfaat (non materi). Pokok permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pendapat-pendapat mahar non materi menurut imam madzhab dan bagaimana keterkaitan pemberian mahar non materi pada zaman sekarang? Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan metode kualitatif, oleh karena itu data-data sebagai penunjang penelitian, penulis dapatkan dari buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini. Penulis dalam menganalisis data menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian mahar non materi menurut Imam madzhab terkait dengan pendapat ulama’ tentang mahar non materi. Pendapat-pendapat tersebut yaitu: 1). Imam Abu Hanifah, tidak membolehkan terutama mahar berupa jasa dalam membacakan atau mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an karena mahar tersebut tidak termasuk harta yang tidak boleh mengambil upah darinya, sehingga tidak sah untuk dijadikan mahar, namun darinya wajib dibayar mahar mitsil. 2). Imam Malik Hukum awalnya tidak membolehkan karena manfaat bukan termasuk harta, tetapi melihat ulama’-ulama’ yang lain membolehkan Imam Malik juga membolehkan dengan alasan mahar manfaat atau jasa patut menjadi mahar, Karena sama halnya dengan harta. 3). Imam Syafi’i membolehkan karena mahar yang berupa jasa atau manfaat yang dapat di upahkan sah dijadikan mahar. 4). Imam Ahmad Hambali membolehkan karena mahar berupa manfaat seperti halnya mahar berupa benda, dengan syarat manfaat harus diketahui. Keterkaitan pemberian mahar non materi dalam akad perkawinan dengan konteks sekarang ini sesuai dengan KHI , bahwa mahar boleh berupa barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan Hukum Islam (KHI Pasal 1 sub d). Penentuan mahar bisa berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. (KHI pasal 31). Kata kunci: Mahar, madzhab. xi
DAFTAR ISI Halaman Judul ............................................................................................... i Transliterasi .................................................................................................... ii Halaman Pengesahan .................................................................................... iv Halaman Nota Pembimbing .......................................................................... v Halaman Pernyataan....................................................................................... vi Halaman Motto .............................................................................................. vii Halaman Persembahan ................................................................................... viii Halaman Kata Pengantar ............................................................................... ix Halaman Abstrak ........................................................................................... xi Halaman Daftar Isi ........................................................................................ xii BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Penegasan Judul ..................................................................... 9 C. Rumusan Masalah .................................................................. 11 D. Tujuan Penelitian.................................................................... 11 E. Manfaat Penelitian .................................................................. .11 F. Telaah Pustaka ....................................................................... 12 G. Metodologi Penelitian ……………………………………… 14 H. Sistematika Penulisan Skripsi ……………………………… 18 xii
BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR NON MATERI A. Pengertian Mahar.................................................................... 20 B. Dasar Hukum Mahar .............................................................. 23 C. Ukuran Mahar dan Syarat Mahar ........................................... 27 D. Macam-macam Mahar dan Bentuk Mahar Non Materi.......... 30 E. Hikmah adanya Mahar Non Materi ........................................ 36
BAB III : OBJEK KAJIAN TENTANG MAHAR NON MATERI A. Pendapat Empat Imam Madzhab tentang mahar non materi dan alasan yang melatar belakanginya ........................ 44 B. Bentuk mahar non materi yang sah dalam perkawinan .......... 56
BAB IV : ANALISIS TENTANG PENDAPAT IMAM MADZHAB A. Analisis tentang pendapat Empat Imam Madzhab tentang mahar non materi ....................................................... 61 B. Analisis tentang penerapan mahar non materi pada zaman Sekarang ................................................................................. 69
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................75 B. Saran ......................................................................................76 C. Penutup ..................................................................................77 DAFTAR PUSTAKA
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama Islam sangat menganjurkan perkawinan, anjuran tersebut sudah dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits.Dalam masyarakat Indonesia, perkawinan adalah sebuah proses yang agung, yang diimpikan oleh banyak orang, dan bahkan terkesan sacral. 1 0F
Perkawinan itu merupakan suatu yang agung dan mulia yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Manusia dibekali oleh Allah akal dan syahwat dan ia merupakan makhluk yang paling sempurna yang mempunyai jasad dan roh, mempunyai panca indera, untuk berhubungan dengan sesamanya dan alam sekitarnya, mempunyai hati untuk merasakan kehidupan dan diciptakan berpasang-pasangan seperti firman Allah SWT dalam (QS. al-Hujurat/49:13).
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dariseorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
1
Ipah Jahrotunasipah, Tradisi Mahar: Pemberian ataukah pembelian’?,(Jakarta: Rahima, 2012), hlm. 9.
1
2
kamu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat/49: 13). 2
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS.Yaa Siin/36 :36). 3 2F
seperti sabda Rasulullah saw:
ٍ ﻋﻦ ﻋﺒ ِﺪ اَﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑ ِﻦ ﻣﺴﻌ ﻮل اَﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ُ ﺎل ﻟَﻨَﺎ َر ُﺳ َ َﻮد رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗ َْ ْ َ ُْ َ ْ ِ ﻓَِﺈﻧﱠﻪ أَ َﻏ ﱡ, ﺎب ! ﻣ ِﻦ اﺳﺘﻄَﺎع ِﻣْﻨ ُﻜﻢ اَﻟْﺒﺎءةَ ﻓَـﻠْﻴﺘـﺰﱠوج ِ ) ﻳﺎ ﻣ ْﻌ َﺸﺮ اَﻟﺸﱠﺒ , ﺼ ِﺮ ُ َ َﺾ ﻟﻠْﺒ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ َ َ َ َ َ ﺼ ْﻮِم ; ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ﻟَﻪُ ِو َﺟﺎءٌ ( ُﻣﺘﱠـ َﻔ ٌﻖ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َوَﻣ ْﻦ َﱂْ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱠ, ﺼ ُﻦ ﻟِْﻠ َﻔ ْﺮِج ْ َوأ َ َﺣ
“Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi. “ 4 3F
Pernikahan mempunyai beberapa nilai yang tinggi dan beberapa tujuan utama yang baik bagi manusia, makhluk yang dimuliakan Allah SWT.Untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan menjauhi dari ketimpangan dan penyimpangan, Allah telah membekali Syari’at dan Hukumhukum Islam agar dilaksanakannya manusia dengan baik.Oleh karena itu 2
Kementrian Agama RI, al-Qur’an Terjemah dan New Cordova dilengkapi Asbabun Nuzul, Fadhilah Ayat, Hadits tentang al-Qur’an, Blok Qur’an per Tema Ayat, dan Indeks Tematik,Cet I, (Bandung: Syamil Qur’an,2012), hlm.517. 3 Ibid., hlm. 442. 4 Ibnu Hajar Atsqalani, Tarjamah Hadits Bulughul Maram, (Bandung: Gema Risalah Press, 1994).
3
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk tatanan keluarga yang diliputi rasa kasih sayang, antara sesama anggota keluarga, tujuan tersebut dapat Dan juga Allah SWT : dilihat di Kompilasi Hukum Islam pasal 3 yaitu :”Perkawinan bertujuan
kehidupan tangga yang sakinah, mawaddah, untuk mewujudkan rumah dan
warohmah”. 5
Salah satu keistimewaan Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusan dan memiliki sesuatu. Pada zaman jahiliyah seorang wanita tidak ada harganya, lebih-lebih ketika ada bayi lahir perempuan akan ditiadakan, tetapi sekarang Islam sangat memperhatikan dan mengahargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya diantaranya adalah hak untuk menerima mahar (maskawin) dalam pernikahan.6Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri.Dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya.Dan kepada orang yang paling dekat sekalipuntidak
dibenarkan
menjamah
sedikitpun
harta
bendanya
tersebut.Kecuali dengan ridhanya dan kemampuannya sendiri.Tetapi dalam memberikan mahar tersebut tidak memberatkan dari pihak suami maka harus ada keridhoan dari kedua belah pihak.Allah SWT berfirman dalam (QS. anNisa’/4: 4).
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka 5
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), hlm. 2. Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 84. 6
4
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. 7 Dari adanya perintah Allah SWT dan perintah Nabi saw untuk memberikan mahar itu, maka ulama’ sepakat menetapkan hukum wajibnya memberikan mahar kepada istri.Tidak ditemukan dalam literature ulama’ yang menempatkan sebagai rukun.Mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah bagi suatu perkawinan, dalam arti perkawinan yang tidak memakai mahar adalah tidak sah.Bahkan ulama’ Zhahiriyah mengatakan bahwa bila dalam akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.8 Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. 9Tetapi Mahar menurut ulama’ Fiqih diartikan sebagai iwadh (ganti) yang wajib diberikan kepada istri sebagai konsekuensi dari menikahnya dan menyetubuhinya baik secara syubhat maupun tidak.10 Tentang semenjak kapan berlakunya kewajiban membayar mahar itu ulama’ sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar separuh dari jumlah mahar yang ditentukan waktu akad.Alasannya adalah walaupun putus perkawinan atau kematian seorang di antara suami isteri terjadi sebelum dukhul, namun suami telah wajib membayar separuh mahar yang disebutkan waktu akad. 7
Kementrian Agama, op.cit., hlm. 77. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006), hlm. 87. 9 Abdul Rahman Ghazali,op.cit., hlm.84-85. 10 Amir Syarifuddin,op.cit.,hlm. 23-24. 8
5
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya.Namun Syari’at Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu.Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Jumhur Ulama’ 11.Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al10F
Qur’an dan demikian pula dalam Hadits Nabi. Hadits yang menyatakan diperbolehkannya menggunakan mahar berupa bacaan ayat–ayat al-Qur’an, sebagaimana termaktub dalam Hadits dibawah ini,
ٍ ِ ﻮل .ﻚ اﷲ إِ ِّﱐ َ ﻳﺎََر ُﺳ:ﺖ َ َﺖ ﻧَـ ْﻔ ِﺴﻲ ﻟ ْ َﱠﱯ َﺟﺎءَﺗْﻪُ ْاﻣَﺮأَةٌ ﻓَـ َﻘﺎﻟ َﻋ ْﻦ َﺳ ْﻬ ِﻞ ﺑْ ِﻦ َﺳ ْﻌﺪ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ ُ ﻗﺪ َوَﻫْﺒ ِ ﻓَـ َﻘﺎﻣ ِ ﻓَـ َﻘ َﺎل.ﺎﺟﺔ ْ َ َ َﺎرَﺳُﻮلَ اﷲِ زَﺟوﱢْﻨِﻴـْﻬَﺎ إِنْ ﻟَـﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻟَﻚَ ﻬﺑَﺎ َﺣ: ﻓَـ َﻘ َﺎم َر ُﺟ ٌﻞ ﻓَـ َﻘ َﺎل.ًﺖ ﻗﻴَ ًﺎﻣﺎ ﻃَ ِﻮﻳْﻼ ِ ِ ِِ ِ ِ ﻫﻞ ِﻋﻨﺪ َك ِﻣﻦ ﺷﻲ ٍء ﺗ: اﷲ ِ ﻮل ﱠﱯ اِ ْن ُ َر ُﺳ ﻓَـ َﻘ َﺎل اﻟﻨِ ﱡ. َﻣﺎ ﻋْﻨﺪ ْي اﻻﱠ ا َزا ِر ْي ﻫ َﺬا:ﺼﺪﻗُـ َﻬﺎ اﻳﱠﺎﻩُ؟ ﻓَـ َﻘ َﺎل ْ ُ ْ َ ْ َْ ْ َ ِ ِ ِ ِ َ َاَ ْﻋﻄَﻴﺘَـﻬﺎ اَِزارَك ﺟﻠَﺴﺖ ﻻَ اَِزار ﻟ ﺲ َوﻟَ ْﻮ َ ْ َ َ َْ َ ْ اﻟْﺘَﻤ: ﻓَـ َﻘ َﺎل. َﻣﺎ اَﺟ ُﺪ َﺷْﻴﺌًﺎ: ﻓَـ َﻘ َﺎل.ﺲ َﺷْﻴﺌًﺎ ْ ﻚ ﻓَﺎﻟْﺘَﻤ ٍِ ِ ِ ﻚ ِﻣﻦ اْﻟ ُﻘﺮ :آن َﺷْﻴ ٌﺊ؟ ﻗَ َﺎل ﻓَـ َﻘ َﺎل ﻟَﻪُ اﻟﻨِ ﱡ.ﺲ ﻓَـﻠَ ْﻢ َِﳚ ْﺪ َﺷْﻴﺌًﺎ ْ َ َ َﻫ ْﻞ َﻣ َﻌ: ﱠﱯ َ ﻓَﺎﻟْﺘَ َﻤ.َﺧ َﺎﲤًﺎ ﻣ ْﻦ َﺣﺪﻳْﺪ ِ ِ ِ ﻚ ِﻣﻦ اْﻟ ُﻘﺮ آن ُﺳ ْﻮَرةُ َﻛ َﺬا َو ُﺳ ْﻮَرةُ َﻛ َﺬا ﻟ ُﺴ َﻮٍر ﻳُ َﺴ ﱢﻤﻴْـ َﻬﺎ ﻓَـ َﻘ َﺎل ﻟَﻪُ اﻟﻨِ ﱡ.ﻧَـ َﻌ ْﻢ ْ َ َ ﻗَ ْﺪ َزﱠو ْﺟﺘُ َﻜ َﻬﺎ ﲟَﺎ َﻣ َﻌ: ﱠﱯ ”“ ُﻣﺘـ َﱠﻔ ٌﻖ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ
“Dari Sahal Ibnu Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi saw. Pernah didatangi seorang perempuan, lalu perempuan itu berkata: ya Rosulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu, lalu perempuan itu berdiri lama, kemudian berdirilah seorang laki-laki lalu ia berkata: ya Rosulullah, kawinkannlah aku dengannya jika Engkau sendiri tidak berhajat sendiri kepadannya, kemudian Rosulullah saw. bertanya, “apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau pergunakan sebagai mahar untuknya?” Ia menjawab: aku tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini lalu nabi bersabda, jika engkau berikan pakaianmu itu kepadanya maka engkau tidak berpakaian lagi, Maka carilah sesuatu yang lain. Kemudian Nabi saw. Bersabda : “carilah meskipun cincin besi”. lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak menemukan apapun. Kemudian nabi saw bertanya kepadanya, Apakah engkau memiliki hafalan ayat alQur’an?” ia menjawab: ya, surat itu dan surat itu ia menyebutkannya nama-nama surat-surat tersebut, kemudian Nabi
11
Amir Syarifuddn, op.cit., hlm. 91.
6
saw. Bersabda kepadanya, “ sungguh aku telah menikahkan engkau dengan apa yang engkau miliki dari al-Qur’an itu”. (HR Ahmad , Bukhori dan Muslim). 12 Hadits di atas menunjukan bolehnya menjadikan jasa (manfaat) sebagai mahar walaupun jasa itu berupa mengajarkan al-Qur’an, demikian menurut pendapat Syafi’i, Ishaq, Hasan bin Shaleh dan ulama’ ahli bait.Dan Qodhi ‘Iyadh mengutip pendapat para Ulama’ selain golongan Hanafiyah yang menyatakan bolehnya minta upah dalam mengajar al-Qur’an. Mahar dalam bentuk jasa dalam al-Qur’an ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seorang perempuan. Hal ini dikisahkan Allah dalam (QS. al-Qashash/28: 27).
”Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik". 13 Para ulama’ madzhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal
dalam pemberian mahar, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi’i, Hambali, dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam pemberian mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan
12
Syehk Faishol Ibnu Abdul Aziz al-Mubarok, Nailul Autar Jilid 5 Himpunan Haditshadits Hukum, (Surabaya: PT Bina Ilmu. 2002), hlm. 2234-2236. 13 Kementrian Agama, op.cit.,hlm. 388.
7
harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy.Sementara itu Hanafi mengatakan jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham.Kalau satu akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar sepuluh dirham.Dirham adalah mata uang yang terbuat dari perak, berasal dari bahasa Persi. 14 Satu dirham berdasarkan keterangan dari kitab Fiqhul Islami sama dengan 2,675 gram perak. Sedangkan kitab Fathul Qodir menyebutkan bahwa 1 dirham menurut Abu Hanifah sama dengan 3,770 g, menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali sama dengan 2,715 g. 15harga satu dirham bila dikonversi ke dalam rupiah tergantung pada harga perak dunia ditambah biaya cetaknya. Harga beli perak pada tanggal 27 Mei 2015 berdasarkan sumber Bulan Purnama Gold and Jawelry menyebutkan bahwa pergram perak murni harganya adalah 10.000 rupiah. 16Maliki mengatakan, bahwa jumlah minimal mahar adalah tiga dirham kalau akad dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham.Tetapi bila belum mencampuri, dia boleh memilih antara membayar tiga dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau memfasakh akad, lalu membayar separuh mahar musamma. 17
14
Kelas III Aliyah 1997 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Pon.Pes Lirboyo Kediri, Mengenal Istilah dan Rumus Fuqoha, (Kediri: Pon. Pes Lirboyo,1997), hlm. 60. 15 Ibid., hlm. 91. 16 Bulan Purnama Gold and Jawelry, Harga Emas dan Perak, http://www.bulanpurnamagold.com/27 Mei 2015. 17 Muhammad Jawad Mughniyah,al-Fiqh ’ala al-madzahib al-Khomsah, terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, Fiqh Lima Madzhab, cet. 7, (Jakarta: Lentera 2001), hlm. 364365.
8
Mahar dalam kontek Hukum Islam memang bukan merupakan rukun maupun syarat dalam perkawinan dan hanya sebagai kewajiban dari mempelai laki-laki semata, apalagi dalam kenyataan sekarang yang di laksanakan masyarakat lebih banyak memberi mahar materi, uang dan barang-barang yang dipandang masyarakat mewah dikarenakan bagi masyarakat memberikan mahar materi pada perkawinan lebih memuliakan seorang wanita, tetapi mahar yang banyak hukumnya tidak menjadi makruh jika tidak bertujuan untuk berbangga diri dan sombong. Juga tidak untuk hura-hura serta tidak memberatkan pihak suami. Sampai ia harus melibatkan orang lain dalam masalah memberikan mahar, jangan sampai hal ini membuat suami disibukkan dengan tanggungan yang ia pikul, disebabkan jumlah mahar yang begitu berat, dengan berbagai bentuk hutang dan pinjaman. Inilah standar yang tepat untuk menjaga maslahat bersama dan menghindarkan manusia dari bahaya yang bisa saja timbul tidak terduga. Dari keterangan di atas sangatlah berguna bagi kebanyakan orang yang sering menentukan jumlah mahar secara berlebih-lebihan dan tidak memedulikan kondisi suami yang kurang mampu atau miskin, sehingga, tidak terasa ternyata hal ini semakin menambah kesulitan baginya untuk melakukan pernikahan tersebut.Dari jumlah yang berlebih-lebihan ini, tidak diragukan lagi bahwa hukumnya makruh. Bahkan bisa menjadi haram, terutama jika pihak istri memberikan beban-beban yang lain yang harus ditanggungnya. Berdasarkan keterangan di atas serta diperkuat adanya realita yang ada di masyarakat di mana hampir seluruhnya tidak ada yang memberikan mahar
9
non materi sehingga hal ini bisa memberikan pengertian kepada masyarakat tentang tidak sahnya pernikahan dengan mahar non materi. Apakah benar demikian? ataukah ada satu madzhab yang tidak memperbolehkan mahar non materi, ataukah hal tersebut sebagai bentuk penghargaan terhadap wanita atau hanya sekedar gengsi belaka.Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong penulis mengangkat judul skripsi : “PEMBERIAN MAHAR NON MATERI (TELAAH HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA)” B. Penegasan Judul Untuk menghindari kesalahan penafsiran tentang skripsi ini maka penulis menguraikan masing-masing istilah yang penulis pakai dalam skripsi ini : A. Pemberian
: Berasal dari kata beri yang berarti menyerahkan atau membagikan, Sedangkan pemberian berarti menyerahkan sesuatu yang ia miliki kepada orang lain. 18
B. Mahar
: Barang, Uang, atau Jasa yang berharga dan wajib diberikan oleh suami kepada istrinya karena adanya akad nikah. 19Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk
18
Pusat Bahasa PEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 1198. 19 Ahsin W al-Hafidz, Kamus Fiqh,( Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 55.
10
dapat menguasai seluruh anggota badannya. 20 Tetapi Mahar menurut ulama’ Fiqih diartikan sebagai iwadh (ganti) yang wajib diberikan kepada istri sebagai konsekuensi dari menikahinya dan menyetubuhinya baik secara syubhat maupun tidak. 21 C. Materi
: Benda, substansi yang membentuk benda-benda fisik, bahan mentah, sedangkan non adalah bukan atau tidak, jadi non-materi adalah sesuatu yang bukan benda.22 Jadi mahar non materi yang dimaksud dalam judul adalah
sesuatu
diberikan
suami
selain
berupa
kepada
istri
barang
yang
karena
telah
menikahinya. D. Hukum Islam
: Hukum dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat. 23 Islam adalahagama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw yang berpedoman pada kitab suci al-Qur’an yang diturunkan
20
kedunia
melalui
wahyu
Allah
Abdul Rahman Ghazali,Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.84-85. 21 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006),hlm. 23-24. 22 Ahmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Absolut, 2011), hlm. 295-349. 23 Ibid., hlm. 410.
11
SWT. 24Sedangkan Hukum Islam berarti peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan al-Qur’an dan Hadits. 25 E. Implementasi
: Penerapan atau pelaksanaan. Cara melaksanakan mahar non materi dalam sebuah perkawinan yang berada dalam masyarakat sekarang ini. 26
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang
penulis uraikan di atas, maka
penulis tertarik untuk membahas persoalan di atas dengan fokus permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap mahar non materi ? 2. Bagaimana penerapan mahar non materi pada zaman sekarang ? D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap mahar non materi. 2. Untuk mengetahuipenerapan mahar non materi pada zaman sekarang. E. Manfaat Penelitian Dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut: 1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah hazanah pengetahuan serta pengalaman yang bermanfaat.
24
Ibid., hlm. 444. Ibid., hlm. 411. 26 Ibid., hlm. 367. 25
12
2. Bagi pembaca/masyarakat,penelitian ini bisa memberikan pengetahuan kepada mereka tentang mahar non materi khususnya pandangan imam madzhab empat tentang hal ini. 3. Bagi kampus/almamater, penelitian ini dapat menjadi bahan refrensi bagi dosen dalam menjelaskan tentang mahar. F. Telaah Pustaka Dalam skripsi ini penulis menggunakan buku-buku atau kitab-kitab terjemahan sebagai acuan dalam mencari jawaban atas persoalan yang ada. Sampai pada bagian telaah pustaka ini, penulis telah melakukan penelusuran beberapa buku dan tulisan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan maskawin atau mahar. Adapun buku-buku dan tulisan ilmiah yang membahas tentang maskawin atau mahar diantaranya; 1. Skripsi dengan judul “Batas terendah pembayaran maskawin (studi analisis terhadap pendapat Imam Syafi’i)” Karya Wahib Ulinnuha UNISNU Jepara tahun 2010 menjelaskan bahwa tidak ada batasan untuk pemberian mahar, itu berarti orang bebas memberi sebatas kemampuannya. 2. Skripsi dengan judul “Studi analisis pendapat Imam Syafii tentang diperbolekannya mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar” Karya Syamsul Muamar IAIN Walisongo Semarang menerangkan bahwa pendapat imam Syafii tentang mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar dalam perkawinan merupakan suatu pemberian yang diwajibkan oleh Allah untuk si calon suami yang melangsungkan perkawinan, walaupun bentuk dan jumlahnya tidak ditentukan oleh syariat, tetapi calon suami harus memberikan sesuatu
13
kepada calon istrinya dan pemberian itu tidak boleh ditarik kembali oleh si calon suami terkecuali istri merelakannya. 3. Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah. Dalam Kitab ini diungkapkan bahwa Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Selain itu tiap masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri. Karena itu Islam menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masingmasing orang, atau keadaan dan tradisi keluarganya. 27 4. Muhammad Jawad Mugniyah, Al- Fiqh ‘ala al-Madzahib al- Khomsah. Menurut penyusun kitab ini , mahar berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan,atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Dari beberapa referensi di atas menunjukan bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian yang saya lakukan karena penelitian terdahulu belum mengungkap secara detail pendapat atau pandangan hukum islam dalam hal ini madzhab empat tentang mahar non materi.
G. Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya, dibandingkan dengan standart ukuran yang telah ditentukan.28
27
Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, Juz II, (Kairo: Maktabah Dar al-Taurus), hlm. 218. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 126. 28
14
1. JenisdanPendekatan Penelitian Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kepustakaan
(library
research), dimana data-data yang dipakai data kepustakaan.Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.Bogdan dan Taylor, sebagaimana dikutip oleh Moleong, mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.29 2. Fokus Penelitian Penetapan fokus penelitian berarti membatasi kajian.Dengan menetapkan fokus masalah berarti peneliti telah melakukan pembatasan bidang kajian, yang berarti pula membatasi bidang temuan.Menetapkan fokus penelitian berarti menetapkan kriteria data penelitian.30Adapun penelitian ini menfokuskan pada pembahasan tentang mahar non materi dari sudut pandang madzhab empat. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. 31Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan pengumpulan data lewat studi dan penelitian
29
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1989), hlm. 3. 30 Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 187. 31 Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarat: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 211.
15
kepustakaan terhadap buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis kaji.Termasuk di dalamnya adalah kitab-kitab klasik. Dalam mencari
data-data tentang mahar
non materi ini
menggunakan data primer dan data sekunder. a. Data primer Sumber data primer yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan obyek riset. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah 1. Buku Fiqh Munakahat karya Abdul Rahman Ghazali yang diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Group Jakarta tahun 2003. 2. Buku
dengan
judul
Tradisi
Mahar:
Pemberian
ataukah
pembelian’?karya IpahLenteraJahrotunasipahyang diterbitkan oleh Rahima Jakarta tahun 2012. 3. BukuAl- Fiqh ’ala al-madzahib al- Khomsahkarya Muhammad JawadMughniyah
yang
diterjemah
oleh
Masykur,
Afif
Muhammad, Idrus al-Kaff, Fiqh Lima Madzhab, Cet. 7, yang diterbitkan oleh Lentera Jakarta tahun 2001.
b. Data sekunder Sumber data sekunder yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi data-data primer. Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku lain yang fungsinya sebagai pelengkap diantaranya;
16
1. Fathul Baari syarah shohih Al bukhori karya Ibnu Hajar alAsqolaniditerbitkan oleh Pustaka Azzam Jakarta tahun 2008. 2. Fiqih Islam Lengkap pedoman Hukum Ibadah umat Islam dengan berbagai permasalahanya,karya Saifulloh al-Aziz yang diterbitkan oleh Terbit Terang Surabaya. 3. Fikih Sunah karya Sayyid Sabiq yang diterbitkan oleh PT. Alma’arif Bandung tahun 1981. 4. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang perkawinankarya Amir Syarifuddin yang diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Group Jakarta tahun 2006. 5. Kompilasi Hukum Islam yang diterbitkan oleh Nuansa Aulia Bandung tahun 2011 6. Dan buku-buku atau karya ilmiah lainnya. 4. Analisis Data Analisis
data
adalah
kegiatan
mengatur,
mengurutkan,
mengelompokkan, memberi tanda/kode, dan mengkategorikan data sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hipotesis kerja berdasarkan data tersebut.32 Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul maka data tersebut dianalisis. Dalam menganalisis data tersebut, penulis menggunakan tiga cara pendekatan ilmiyah, yang ketiganya digunakan oleh penulis:
32
Ibid.,hlm. 10.
17
a. Metode Deduktif Yaitu pendekatan yang terangkat dari kebenaran umum mengenai suatu teori, dengan kata lain, metode deduktif adalah metode yang berfikir dengan mengambil apa saja yang dipandang benar pada suatu peristiwa dalam suatu jenis. 33 b. Metode Induktif Proses logika yang berangkat dari data empirik menuju kepada teori, atau pengetahuan yang bersifat khusus untuk ditarik ke sifat umum. 34 c. Metode Deskriptif Metode yang berusaha menggambarkan, menganalisa dan menilai data yang terkait dengan masalah ini.Metode ini digunakan untuk memahami pendapat dan dasar hukum yang dipakai oleh Imam Madzhab mengenai Mahar Non Materi.Sedangkan langkah-langkah oleh penulis adalah dengan mendiskripsikan baik yang berkaitan dengan pendapat maupun dasar hukum yang di pakai. 35 H. Sistematika Penulisan Untuk memberikan kesan runtutnya pembahasan dan memberikan kemudahan bagi pembaca nantinya serta menelusuri pemikiran yang penulis jabarkan, maka disusunlah sistematika penulisan sebagai berikut:
33
Syaifuddin Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.40. Syaifuddin Anwar, loc. cit. 35 Ibid.,hlm. 7. 34
18
1. Bagian Muka terdiri dari: Halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, Abstrak halaman kata pengantar, halaman daftar isi yang terdiri dari beberapa bab. BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab I berisi tentang: Latar belakang masalah, Penegasan judul, Rumusan masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Telaah pustaka, Metode penelitian, Sistematika penulisan. BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR NON MATERI Dalam bab II berisi tentang: Pengertian Mahar dan Dasar Hukum Mahar, Ukuran Mahar dan Syarat Mahar, Macam-macam Mahar dan Bentuk Mahar Non Materi, Hikmah adanya Mahar Non Materi. BAB III : OBJEK KAJIAN TENTANG MAHAR NON MATERI Dalam bab III berisi tentang: Pendapat Empat Imam Madzhab tentang mahar non materi dan alasan yang melatar belakanginya, pendapat KHI tentang mahar non materi, bentuk mahar non materi yang sah dalam perkawinan. BAB IV : ANALISIS TENTANG PENDAPAT IMAM MADZHAB Dalam bab IV berisi tentang:Analisis tentang pendapat Empat Imam Madzhab tentang mahar non materi, Perbedaan pendapat para imam madzhab, Argumentasi Hukum Islam tentang mahar non materi, Analisis tentang penerapan mahar non materi pada zaman sekarang. BAB V : PENUTUP Dalam bab V berisi tentang:Kesimpulan, Saran, Penutup.
19
2. Bagian Akhir terdiri dari : Daftar Pustaka, Lampiran-lampiran
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR NON MATERI A. Pengertian mahar dan Dasar Hukum Mahar 1. Pengertian Mahar Mahar menempati posisi yang penting dan merupakan suatu yang mutlak dalam sebuah perkawinan. Sebelum membahas kedudukan mahar dalam perkawinan, terlebih dahulu membahas tentang pengertian mahar. Mahar secara etimologi artinya maskawin. Sedangkan secara terminology mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. 36 Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan budak, pembacaan atau mengajarkan ayat al-Qur’an dsb). 37 Dalam kamus besar bahasa Indonesia Maskawin atau mahar berarti pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.38 Kata maskawin dalam al-Qur’an tidak digunakan, akan tetapi menggunakan kata shoduqoh, yaitu dalam surat an-Nisa’/4: 4. 39
36
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, cet I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 105. 37 Kamus istilah Fiqh, hlm. 184. 38 Depdiknas, kamus besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 696. 39 Dalam al-Qur’an ayat-ayat maskawin dapat ditemukan dalam QS (4) : 4, 24, 25; QS. (5) : 5; QS. (33): 50 QS. (60): 10, Kementrian Agama RI, al-Qur’an Terjemah dan New Cordova
20
21
“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib, tetapi apabila istri itu dengan sukarela menyerahkannya kepada kamu, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S an-Nisa’/4: 4) 40 4F
Yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah memberi tuntunan menyangkut siapapun yang akan dinikahi. Yakni menjadi kewajiban suami memberi maskawin kepada siapa yang akan dinikahinya. Perintah ini tertuju juga para wali , yang ketika itu tidak jarang mengambil maskawin anak yang dipeliharanya dari suami sang anak. Maskawin merupakan pemberian tulus yang menyenangkan hati, tetapi maskawin juga sebagai kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT. Namun demikian, bila sang istri merelakan dengan sepenuh hati sebagian atau semua maskawin itu kepada suaminya. Maka hal tersebut dapat ditoleransi dan sang suami dipersilahkan menggunakannya secara baik dan baik pula dampaknya. 41 5F
Menurut Imam Taqi al-Din Maskawin (sadaq) ialah sebutan bagi harta yang wajib atas orang laki-laki kepada seorang perempuan sebab nikah atau bersetubuh (Wathi’). Di dalam al-Qur’an maskawin disebut : Sadaq, Nihlah, faridhah ajr, dalam sunah disebut maskawin, ‘aliqah dan dilengkapi Asbabun Nuzul, Fadhilah Ayat, Hadist tentang al-Qur’an, Blok Qur’an per Tema Ayat, dan Indeks Tematik. 40 Kementrian Agama RI, al-Qur’an Terjemah dan New Cordova dilengkapi Asbabun Nuzul, Fadhilah Ayat, Hadits tentang al-Qur’an, Blok Qur’an per Tema Ayat, dan Indeks Tematik, (Bandung : Syamil Qur’an, 2012), hlm. 77. 41 Quraish Shihab, al-Lubab Makna, tujuan dan pelajaran dari surah-surah al-Qur’an, cet I, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm. 168.
22
‘aqar. Maskawin ialah berasal dari kata sadaq artinya sangat keras karena pergantiannya (bayarannya) sangat mengikat sebab maskawin tidak dapat gugur dengan rela merelakan. 42 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria yang wajib dibayarkan kepada calon mempelai perempuan dengan jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. 43 Pengarang
kitab
al-‘Inaayah
‘Alaa
Haamisyi
al-Fathi
mendifinisikan mahar sebagai harta yang harus di keluarkan oleh suami dalam akad pernikahan sebagai imbalan persetubuhan, baik dengan penentuan maupun dengan akad. 44 Dari pengertian-pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa mahar adalah pemberian yang diberikan suami kepada istri sebagai pemberian wajib dalam ikatan perkawinan yang sah serta pertanda atas kerelaan untuk hidup sebagai suami istri. Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima maskawin. Maskawin hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya.
42
Imam Taqi al-Din, Kifayatul Akhyar, juz II, (Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiah, 1990). Kompilasi Hukum islam, ( Bandung: Nuansa Aulia, 2011), hlm. 9. 44 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, cet 1, terj. Abdul Hayyie al-kattani, dkk., ( Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 230. 43
23
Masa datangnya Islam berbeda dari masa jahiliyah yang penuh dengan kedzaliman, dimana pada saat itu kaum wanita tidak bisa bernafas lega. Bahkan hanya seperti sebuah alat yang dipergunakan pemiliknya dengan sekehendak hati. Ketika datang dengan panji-panjinya yang putih, Islam membersihkan ‘aib kebodohan yang melekat pada diri wanita melalui pemberian kembali akan haknya untuk menikah serta bercerai. Juga mewajibkan bagi laki-laki membayar mahar kepada mereka (kaum wanita).45 Islam datang menjunjung tinggi hak wanita, dimana calon suami terikat untuk memegang teguh peraturan mengenai maskawin ini, yang di berikan pada saat perkawinan. Kalau ia menolak untuk mematuhinya, wanita berhak untuk tidak mengizinkannya menyentuh dirinya. Tak ada jalan keluar bagi laki-laki itu. Akan tetapi istri dengan kemauannya sendiri, boleh memberinya kesempatan untuk beberapa waktu atau bila mengetahui bahwa laki-laki itu miskin, ia boleh mengurangi sebagian atau menghilangkan seluruh jumlah yang seharusnya ia terima. Ia pun boleh menghilangkan tuntutannya sebagai tanda kasih sayang. 46 2. Dasar Hukum Mahar Salah satu dari usaha Islam memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Salah satunya adalah memberikan hak mahar. kepada suami diwajibkan
45
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, terj. Abdul Ghofur, (Jakarta: Pusataka al-Kautsar, 1997), hlm. 411. 46 Abdul a’la al-Maududi dan Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan dalam Islam, terj. alWiyah, (Jakarta: Dar al-Ulum Perss, 1987), hlm. 20-21.
24
memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya. Dan kepada orangorang yang paling dekat kepadanya sekalipun tidak dibenarkan menjamah sedikit pun harta bendanya tersebut, kecuali dengan Ridhanya dan kemampuannya
sendiri.
Ketentuan
adanya
mahar
dalam
sebuah
perkawinan ditetapkan dalam sebuah dalil atau nash baik dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi saw dan juga Ijma’ dikalangan para Ulama’.47 1F
Perintah pembayaran mahar ini di dasarkan dalam Firman Allah SWT yaitu:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. an-Nisa’/4:4). 48 12F
Selanjutnya
kewajiban
membayar
mahar
tidak
ada
pengecualiannya meskipun perempuan yang dinikahi adalah budak atau perempuan yang status sosialnya jauh lebih rendah dari laki-laki. Sebagiamana tercantum dalam (QS. an-Nisa’/4: 25).
47 48
Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 232. Kementrian Agama, op. cit., hlm . 77.
25
“…….maka karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. an-Nisa’/4: 25). 49 13F
Dalam Hadits
Riwayat Imam Bukhori dari Sahal bin Said juga di
sebutkan:
ِ َ ﻳﺎَرﺳ:عْن ﺳﻬ ِﻞ ﺑ ِﻦ ﺳﻌ ٍﺪ أَ ﱠن اﻟﻨِﱠﱯ ﺟﺎءﺗْﻪ اﻣﺮأَةٌ ﻓَـ َﻘﺎﻟَﺖ ﺖ ﻧَـ ْﻔ ِﺴﻲ ُ ﻮل اﷲ إِ ِّﱐ َوَﻫْﺒ َْ ْ َْ َ َُ ْ َْ ُ َ َ ﱠ ﻮل اﷲِ َزﱢو ْﺟﻨِﻴْـ َﻬﺎ إِ ْن ﻟَ ْـﻢ ﻳَ ُﻜ ْﻦ َ ﻳَ َﺎر ُﺳ:ﺎل َ ﻓَـ َﻘ َﺎم َر ُﺟ ٌﻞ ﻓَـ َﻘ.ًﺖ ﻗِﻴَ ًﺎﻣﺎ ﻃَ ِﻮﻳْﻼ َ َﻟ ْ ﻓَـ َﻘ َﺎﻣ.ﻚ ٍ ِ ِ ِ ِ ُ ﺎل رﺳ َﻣﺎ:ﺎل َ ﺼ ِﺪﻗُـ َﻬﺎ اِﻳﱠﺎﻩُ؟ ﻓَـ َﻘ ْ ُ َﻫ ْﻞ ﻋْﻨ َﺪ َك ﻣ ْﻦ َﺷ ْﻲء ﺗ: ﻮل اﷲ َ َﻚَ ﻬﺑَﺎ َﺣ ُ َ َ ﻓَـ َﻘ.ﺎﺟﺔ ِ ِ ِِ ِ َ َﺎل اﻟﻨِﱠﱯ اِ ْن اَ ْﻋﻄَﻴﺘَـﻬﺎ اَِزارَك ﺟﻠَﺴﺖ ﻻَ اَِزار ﻟ ﺲ ﻓَـ َﻘ َ ﱡ.ﻋْﻨﺪ ْي اﻻﱠ ا َزا ِر ْي ﻫ َﺬا َ ْ َ َ َْ َ ْ ﻚ ﻓَﺎﻟْﺘَﻤ ٍ اِﻟْﺘ ِﻤﺲ وﻟَﻮ ﺧ َﺎﲤًﺎ ِﻣﻦ ﺣ ِﺪﻳ:ﺎل ِ َ ﻣﺎ ا:ﺎل ﺲ ﻓَـﻠَ ْﻢ ﻤ ﺘ ﻟ ﺎ ﻓ . ﺪ ﻘ ـ ﻓ .ﺎ ﺌ ﻴ ﺷ ﺪ ﺟ ْ َ َ َ َ َ ُ َ َ ً َ ْ ْ َ َ َ ﻓَـ َﻘ.َﺷْﻴﺌًﺎ ْ ْ َ َ ْ َ ِ ﻚ ِﻣﻦ اْﻟ ُﻘﺮ ُﺳ ْﻮَرةُ َﻛ َﺬا. ﻧـَ َﻌ ْﻢ:ﺎل َ َآن َﺷْﻴ ٌﺊ؟ ﻗ َ ﻓَـ َﻘ.َِﳚ ْﺪ َﺷْﻴﺌًﺎ ﺎل ﻟَﻪُ اﻟﻨِ ﱡ ْ َ َ َﻫ ْﻞ َﻣ َﻌ: ﱠﱯ ِ ﻚ ِﻣﻦ اْﻟ ُﻘﺮ ِ آن َ َو ُﺳ ْﻮَرةُ َﻛ َﺬا ﻟِ ُﺴ َﻮٍر ﻳُ َﺴ ﱢﻤْﻴـ َﻬﺎ ﻓَـ َﻘ ﺎل ﻟَﻪُ اﻟﻨِ ﱡ ْ َ َ ﻗَ ْﺪ َزﱠو ْﺟﺘُ َﻜ َﻬﺎ ﲟَﺎ َﻣ َﻌ: ﱠﱯ ُﻣﺘﱠـ َﻔ ٌﻖ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ
“Dari Sahl Ibnu Sa’ad bahwa sesungguhnya nabi saw. Pernah didatangi seorang perempuan, lalu perempuan itu berkata: ya Rosulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu, lalu perempuan itu berdiri lama, kemudian berdirilah seorang laki-laki lalu ia berkata: ya Rasulullah, kawinkannlah aku dengannya jika Engkau sendiri tidak berhajat sendiri kepadannya, kemudian
49
Kementrian Agama, op. cit., hlm. 82.
26
Rosulullah saw. bertanya, “apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau pergunakan sebagai mahar untuknya?” Ia menjawab: aku tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini lalu nabi bersabda, jika engkau berikan pakaianmu itu kepadanya maka engkau tidak berpakaian lagi, Maka carilah sesuatu yang lain. Kemudian Nabi saw. Bersabda : “carilah meskipun cincin besi”. lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak menemukan apapun. Kemudian nabi saw bertanya kepadanya, Apakah engkau memiliki hafalan ayat al-Qur’an?” ia menjawab: ya, surat itu dan surat itu ia menyebutkannya nama-nama surat-surat tersebut, kemudian Nabi saw. Bersabda kepadanya, “ sungguh aku telah menikahkan engkau dengan apa yang engkau miliki dari al-Qur’an itu”. (HR Ahmad , Bukhori dan Muslim) 50 Hadits di atas menunjukan bahwa mahar itu boleh dalam jumlah yang sedikit . dan boleh pula berupa sesuatu yang bermanfaat. Di antara yang bermanfaat itu adalah mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an dan juga menunjukan mahar sangat penting meskipun bukan sebagai rukun nikah, namun
setiap
calon
suami
wajib
memberi
maskawin
sebatas
kemampuannya. Hadits ini juga menjadi indikasi bahwa agama islam sangat memberi kemudahan dan tidak bersifat memberatkan. Itulah sebabnya ibnu Taimiyah menegaskan bahwa sebaiknya di dalam pemberian maskawin tersebut baik yang di dahulukan atau yang ditangguhkan pembayarannya, hendaklah tidak melebihi mahar yang diberikan kepada istri-istri Rasulullah saw dan putri-putri beliau, yaitu sebesar antara empat ratus sampai lima ratus dirham, bila di ukur dengan dirham yang bersih mnaka menbcapai kira-kira Sembilan belas dinar. 51
50
Syehk Faishol Ibnu Abdul Aziz al-Mubarok, Nailul Autar Jilid 5 Himpunan Haditshadits Hukum, (Surabaya: PT Bina Ilmu. 2002), hlm. 2235-2236. 51 Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa tentang nikah, Terj. Abu Fahmi Hunaidi dan Syamsuri an-Naba, (Surabaya: Islam Rahmatan Putra Azam, tth), hlm. 174.
27
B. Ukuran Mahar dan Syarat-syarat Mahar 1) Ukuran Mahar Fuqoha sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang harus dilakukan dan tidak melebihinya. Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangannya yang sesuai. Umar ketika hendak mencegah manusia untuk berlebih-lebihan dalam mahar dan melarangnya lebih dari 400 dirham dan diceramahkan di hadapan manusia. Ia berkata: “ingatlah, jangan berlebihan dalam mahar wanita, sesungguhnya jika mereka terhormat di dunia atau takwa di sisi Allah swt sungguh rasulullah saw orang yang paling utama di antara kalian.” Beliau tidak memberikan mahar kepada seorang wanita dari pada istri beliau dan putra-putri beliau lebih dari 12 Uqiyah. Barangsiapa yang memberi mahar lebih dari 400 dirham maka tambahan itu dimasukan uang kas.
52 16F
Sekalipun fuqoha’ sepakat bahwa tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi seyogyanya tidak berlebihan, khususnya di era sekarang ini. Hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw bersabada:
ًاَﻗَـﻠُ ُﻬ ﱠﻦ ُﻣ ُﻬ ْﻮًرا اَ ْﻛﺜَـ ُﺮُﻫ ﱠﻦ ﺑَـَﺮَﻛﺔ “Wanita yang sedikit maharnya lebih banyak berkahnya” Oleh karena itu, sunahnya menurut syara’ tidak berlebih-lebihan dalam mahar, karena hal itu akan mendatangkan orang berpaling dari
52
Abdul Aziz Muhammad Azam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat khitbah nikah dan talak, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 179-180.
28
nikah yang diikuti kerusakan secara umum. Ulama’ sepakat tidak ada batas maksimal dalam mahar dan berbeda dalam ukuran minimal. 53 Ulama’ Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak. Alasannya karena beberapa teks al-Qur’an yang menjelaskan tentang mahar dengan jalan kebijaksanaa, layak baginya sedikit dan banyak. 54 Sedangkan Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Karena Abdurrahman bin Auf menikah atas emas seberat biji kurma, yaitu seperempat dinar dan ukuran itulah nishab pencurian menurut mereka. 55 Menurut Syabramah, ukuran minimal mahar adalah 5 dirham, Said bin Zubair berpendapat bahwa 50 dirham, sedangkan an-Nukha’i berpendapat 40 dirham,. Ukuran tersebut didasarkan pada sebagian peristiwa kejadian yang diperkirakan pada ukuran tersebut.56 Menurut madzhab Hanafiyah yang di amalkan dalam ukuran mahar adalah 10 dirham. Dari beberapa pendapat yang sudah di jelaskan di atas yang paling banyak di ikuti adalah pendapat Imam Asyafi’i dan Ahmad, karena hadits yang disandarkan kepadanya yang paling shahih tentang hal
53
Ibid., hlm. 180-181. Ibid., hlm. 181. 55 Ibid., hlm. 182. 56 Ibid. 54
29
tersebut menurut kesepakatan para ulama’. Sedangkan yang disandarkan kepada yang tidak shahih. 2) Syarat–syarat Mahar Mahar yang di berikan kepada calon istri harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut. 57 a. Harta berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah di sebut mahar. b. Barangnya suci dan bisa di ambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga. c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya
karena
berniat
untuk
mengembalikannya
kelak.
Memberikan mahar dengan barang yang tidak jelas keadannya atau tidak disebutkan jenisnya. d. Bukan barang yang tidak jelas keadaanya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
57
Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat kajian fiqh nikah lengkap, (Jakarta: Rajawali pers, 2010), hlm. 39-40.
30
C. Macam-macam dan bentuk mahar non materi 1. Macam–macam mahar Sudah di jelaskan bahwa mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih sayang bagi seorang istri kepada calon suaminya. 58 Ulama’ fiqh sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu : A. Mahar Musamma Mahar musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah. 59 Ulama’ fiqh sepakat bahwa, dalam pelaksanaanya, mahar musamma harus di berikan secara penuh apabila : 1) Telah Bercampur (bersenggama) tentang hal ini Allah SWT. Berfirman:
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?”(QS.An-Nisa’ (4) 20). 60 24F
58
Ibid., hlm. 36. Ibid., hlm. 45-46. 60 Kementrian Agama RI, op. cit., hlm. 81. 59
31
2) Salah satu dari suami meninggal. Demikian menurut ijma’. Mahar Musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas dari suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT :
…….
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, ……” (Al- Baqarah (2) 237). 61 25F
B. Mahar Mitsli (sepadan) Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika
terjadi pernikahan. Atau mahar yang
diukur sepadan dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat,
agak
jauh
dari
tetangga
sekitarnya,
dengan
memperhatikan status social, kecantikan dan sebagainya. 62 26F
Mahar Mitsli juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut :
61 62
Kementrian Agama RI, op. cit., hlm. 38. M. Abdul Mujib, dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 185.
32
a)
Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
b) Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercmpur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah. Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid, hal ini menurut jumhur Ulama dibolehkan. Firman Allah SWT :
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya” (al-Baqarah/2: 236). 63 27F
Ayat tersebut menunjukan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlahnya mahar tertentu kepada istrinya itu. 2. Bentuk Mahar (Maskawin) Pada prinsipnya maskawin harus bermanfaat dan bukanlah sesuatu yang haram dipakai, dimiliki, atau dimakan. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat ditukar dan ini terkesan harus berbentuk benda sebab selain berbentuk benda tidak dapat ditukar tampaknya tidak dibolehkan. Namun, menurut Rahmat Hakim, sesuatu yang bermanfaat tidak di nilai dengan ukuran umum, tetapi bersifat subjektif 63
Kementrian Agama RI, op. cit., hlm. 38.
33
sehingga tidak selalu dikaitkan dengan benda. Dalam hal ini, calon istri mempunyai hak untuk menilai dan memilihnya, ini sangat kondisional, Artinya, dia mengetahui siapa dia dan siapa calon suaminya. 64 Maskawin menunjukan kebenaran dan kesungguhan cinta kasih lakilaki yang meminangnya. Ia merupakan bukti kebenaran ucapan laki-laki atas keinginannya untuk menjadi suami bagi orang yang di cintainya. Maskawin bukanlah harga atas diri seorang wanita. Wanita tidak menjual dirinya dengan maskawin. Tetapi, ia membuktikan kebenaran yang kesungguhan, cinta dan kasih sayang seorang laki-laki yang bermaksud kepadanya dengan maskawin. Jadi, makna maskawin dalam sebuah pernikahan, lebih dekat kepada syari’at agama dalam rangka menjaga kemuliaan suci. Juga sebagai ungkapan penghormatan seorang laki-laki kepada wanita yang menjadi istrinya. Pemberian maskawin merupakan ungkapan tanggungjawab kepada Allah dan kepada wanita yang dinikahinya sebagai kawan seiring dalam meniti kehidupan berumahtangga. 65 Pada umumnya mahar itu berbentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari’at Islam memungkinkan maskawin itu berbentuk jasa atau melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Jumhur ulama’. Maskawin dalam bentuk jasa ini di landaskan dalam al-Qur’an dan Hadits.
64
Tihami, Sohari Sahrani, op. cit., hlm. 48. Ibrahim Amini, Kiat Memilih Jodoh menurut al-Qur’an dan al-Hadits, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997), hlm. 195. 65
34
Contoh maskawin dalam bentuk jasa dalam al-Qur’an ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai maskawin perkawinan seorang perempuan. Hal ini dikisahkan Allah dalam (QS. al-Qashash/28:27).
“Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".(QS. alQashash/28:27). 66 30F
Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu menikahi safiyyah yang waktu itu masih berstatus hamba maskawinnya memerdekakan sofiyah tersebut. Kemudian ia menjadi Ummu al Mukminin. Ulama Hanafiyah berbeda pendapat dengan Jumhur Ulama’ dalam hal ini. Menurut Ulama’ ini bila seseorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan maskawin memberikan pelayanan kepadanya atau mengajarkan al-Qur’an. Maka maskawin itu batal dan oleh karenanya kewajiban suami adalah maskawin mitsli.67 31F
Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga, maka Nabi menghendaki maskawin itu dalam bentuk yang sederhana, hal ini tergambar
66
Kementrian Agama RI, op. cit., hlm. 388. Amir Saifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 92. 67
35
dalam sabdanya dari ‘Uqbah bin ‘Amir yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh Hakim, ucapan Nabi : yang artinya sebaik-baiknya mahar itu adalah yang paling mudah. Hal ini dikuatkan pula dengan Hadits nabi dari Sahal bin Sa’ad yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah mengawinkan seorang laki-laki dengan perempuan dengan maskawinnya adalah hafalan ayat alQur’an. Bila maskawin itu dalam bentuk barang, maka syaratnya : a. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya b. Barang itu miliknya sendiri secara pemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya. Bila salah satu saja yang yang dimiliki, seperti manfaatnya saja dan tidak zatnya, umpama barang yang dipinjam, tidak sah dijadikan maskawin. c. Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk diperjualbelikan dalam arti barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh dijadikan maskawin, seperti minuman keras. d. Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan dalam arti barang tersebut sudah berada di tangannya pada waktu diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat dijadikan maskawin, seperti burung yang terbang di udara.
36
D. Hikmah adanya mahar non materi Para fuqoha sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk mahar.68 Karena tidak disebutkan di dalam syariat yang menunjukan 32F
batasannya yang paling tinggi, berdasarkan firman Allah SWT dalam (QS. anNisa’/4: 20).
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.69 3F
Maksudnya ialah menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan. Perempuan telah diingatkan dengan ayat ini, manakala Umar Ibnul Khathab r.a ingin menetapkan batasan mahar, maka dia melarang mahar lebih dari empat ratus dirham. Dia sampaikan khutbah kepada manusia mengenai hal ini, dia berkata, jangan kalian berikan standar yang tinggi pada mahar perempuan, maka sesungguhnya jika dia dimuliakan di dunia atau ditakwakan di akhirat, maka orang yang paling berhak untuk mendapatkannya daripada kalian adalah Rosulullah. Beliau sama sekali tidak pernah 68
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, cet I, terj. Abdul Hayyie al-kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 234. 69 Kementrian Agama RI, op. cit., hlm. 81.
37
menetapkan mahar untuk para istrinya maupun anak-anak perempuannya yang melebihi dua belas uqiyah, maka barang siapa yang mendapatkan mahar lebih dari empat ratus, hendaknya dia berikan kelebihannya kepada baitul maal. 70 Hikmah-hikmah adanya mahar :71 1. Mempermudah anak muda untuk melaksanakan perkawinan agar tidak merasa berat. 2. Menunjukan kemuliaan kaum wanita. Hal ini menandakan bahwa merekalah yang di cari, bukan mencari, dan yang mencarinya adalah lakilaki. Itulah yang mencari, berusaha dan mengeluarkan hartanya untuk mendapatkan wanita. 3. Untuk menampakan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya, sehingga pemberian harta itu sebagai nihlah dari padanya, yakni sebagai pemberian hadiah, dan hibah bukan pembayaran harga sang wanita. 4. Seorang perempuan dapat mempersiapkan semua perangkat perkawinan yang terdiri darin pakaian dan nafkah. 5. Memberikan niat yang baik untuk menggaulinya. 6. Sebagai lambang kesungguhan. Pernikahan bukanlah sesuatu yang dapat dipermainkan kaum laki-laki dengan begitu saja, dengan menyatakan kepada si wanita: “saya nikahi engkau,” sehingga menjadi terikat. 7. Bahwa islam meletakan tanggung jawab keluarganya ditangan laki-laki (suami), karena kemampuan fitrahnya dalam mengendalikan emosi (perasaan), lebih besar dibandingkan kaum wanita. 70
Ibid,. hlm. 234. Ahmad al-Hajji Al-Kurdi, Hukum-hukum wanita dalam Fiqh Islam, (Semarang: Dina Utama, tth,), hlm, 35. 71
38
Hikmah-hikmah di atas, setidaknya ada beberapa hikmah adanya mahar non materi, di antarnya adalah; 1. Itba’ bil Qur’an (Mengikuti Ajaran al-Qur’an) Salah satu karakteristik ajaran Islam yang menonjol adalah mudah dan memudahkan. Ajaran (syari’at) Islam tidak datang untuk mempersulit dan menyempitkan kehidupan manusia, ia justru datang untuk menjadi rahmat dan kebaikan bagi mereka di dunia dan akhirat. Allah SWT dalam sejumlah firmam-Nya dan Rasulullah saw dalam beberapa sabdanya, yang telah mendeklarasikan sendiri Islam sebagai agama yang mudah. Allah berfiman;
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. al-Hajj/22: 78) 72 36F
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”(QS. al-Baqarah/2: 185) 73 37F
72
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Mantiq, 1997),
hlm. 523. 73
Ibid., hlm. 45.
39
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Maidah: 6) 74 2. Itba’ bi qaulin Nabi (Mengikuti Sabda Nabi saw) Dalam Hadits
Riwayat Imam Bukhori dari Sahal bin Said di
sebutkan:
ِ َ ﻳﺎَرﺳ:عْن ﺳﻬ ِﻞ ﺑ ِﻦ ﺳﻌ ٍﺪ أَ ﱠن اﻟﻨِﱠﱯ ﺟﺎءﺗْﻪ اﻣﺮأَةٌ ﻓَـ َﻘﺎﻟَﺖ ﺖ ﻧَـ ْﻔ ِﺴﻲ ُ ﻮل اﷲ إِ ِّﱐ َوَﻫْﺒ َْ ْ َْ َ َُ ْ َْ ُ َ َ ﱠ ﻮل اﷲِ َزﱢو ْﺟﻨِﻴْـ َﻬﺎ إِ ْن ﻟَ ْـﻢ ﻳَ ُﻜ ْﻦ َ ﻳَ َﺎر ُﺳ:ﺎل َ ﻓَـ َﻘ َﺎم َر ُﺟ ٌﻞ ﻓَـ َﻘ.ًﺖ ﻗِﻴَ ًﺎﻣﺎ ﻃَ ِﻮﻳْﻼ َ َﻟ ْ ﻓَـ َﻘ َﺎﻣ.ﻚ ٍ ِ ِ ِ ِ ُ ﺎل رﺳ َﻣﺎ:ﺎل َ ﺼ ِﺪﻗُـ َﻬﺎ اِﻳﱠﺎﻩُ؟ ﻓَـ َﻘ ْ ُ َﻫ ْﻞ ﻋْﻨ َﺪ َك ﻣ ْﻦ َﺷ ْﻲء ﺗ: ﻮل اﷲ َ َﻚَ ﻬﺑَﺎ َﺣ ُ َ َ ﻓَـ َﻘ.ﺎﺟﺔ ِ ِ ِِ ِ َ َﺎل اﻟﻨِﱠﱯ اِ ْن اَ ْﻋﻄَﻴﺘَـﻬﺎ اَِزارَك ﺟﻠَﺴﺖ ﻻَ اَِزار ﻟ ﺲ ﻓَـ َﻘ َ ﱡ.ﻋْﻨﺪ ْي اﻻﱠ ا َزا ِر ْي ﻫ َﺬا َ ْ َ َ َْ َ ْ ﻚ ﻓَﺎﻟْﺘَﻤ ٍِ ِ ِ ِ َ ﻓَـ َﻘ. ﻣﺎ اَ ِﺟ ُﺪ َﺷﻴﺌًﺎ:ﺎل ﺲ ﻓَـﻠَ ْﻢ ْ َ َ ﻓَـ َﻘ.َﺷْﻴﺌًﺎ ْ اﻟْﺘَﻤ:ﺎل َ ﻓَﺎﻟْﺘَ َﻤ.ﺲ َوﻟَ ْﻮ َﺧ َﺎﲤًﺎ ﻣ ْﻦ َﺣﺪﻳْﺪ ِ ﻚ ِﻣﻦ اْﻟ ُﻘﺮ ُﺳ ْﻮَرةُ َﻛ َﺬا. ﻧَـ َﻌ ْﻢ:ﺎل َ َآن َﺷْﻴ ٌﺊ؟ ﻗ َ ﻓَـ َﻘ.َِﳚ ْﺪ َﺷْﻴﺌًﺎ ﺎل ﻟَﻪُ اﻟﻨِ ﱡ ْ َ َ َﻫ ْﻞ َﻣ َﻌ: ﱠﱯ ِ ﻚ ِﻣﻦ اْﻟ ُﻘﺮ ِ آن َ َو ُﺳ ْﻮَرةُ َﻛ َﺬا ﻟِ ُﺴ َﻮٍر ﻳُ َﺴ ﱢﻤْﻴـ َﻬﺎ ﻓَـ َﻘ ﺎل ﻟَﻪُ اﻟﻨِ ﱡ ْ َ َ ﻗَ ْﺪ َزﱠو ْﺟﺘُ َﻜ َﻬﺎ ﲟَﺎ َﻣ َﻌ: ﱠﱯ ُﻣﺘﱠـ َﻔ ٌﻖ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ
“Dari Sahal Ibnu Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi saw. Pernah didatangi seorang perempuan, lalu perempuan itu berkata: ya Rosulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu, lalu perempuan itu berdiri lama, kemudian berdirilah seorang laki-laki lalu ia berkata: ya Rosulullah, kawinkannlah aku dengannya jika Engkau sendiri tidak berhajat sendiri kepadannya, kemudian Rosulullah SAW. bertanya, “apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau pergunakan sebagai mahar untuknya?” Ia menjawab: aku tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini lalu nabi bersabda, jika engkau berikan pakaianmu itu kepadanya maka engkau tidak berpakaian lagi, Maka carilah sesuatu yang lain. Kemudian Nabi saw. Bersabda : “carilah meskipun cincin besi”. lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak menemukan apapun. Kemudian nabi saw bertanya kepadanya, Apakah engkau memiliki hafalan ayat al-Qur’an?” ia menjawab: ya, surat itu dan surat itu ia menyebutkannya nama-nama surat-surat tersebut, kemudian Nabi saw. Bersabda kepadanya, “ sungguh aku telah
74
Ibid., hlm. 159.
40
menikahkan engkau dengan apa yang engkau miliki dari al-Qur’an itu”. (HR Ahmad, Bukhori dan Muslim) 75 39F
Nabi Muhammad saw dalam satu hadits telah mensandarkan adanya keberkahan yang lebih pada pernikahan dengan maskawin yang mudah dan ringan;
إِ ﱠن اَ ْﻋﻈَ َﻢ اﻟﻨِ َﺴ ِﺎء ﺑَـَﺮَﻛﺔً اَﻳْ َﺴ ُﺮُﻫ ﱠﻦ ِﺻ َﺪاﻗًﺎ “Sesungguhnya perempuan yang paling besar keberkahannya adalah orang yang maharnya paling mudah”
ِ اِ ﱠن اَ ْﻋﻈَ َﻢ اﻟﻨِ َﻜ ًﺎح ﺑَـَﺮَﻛﺔً اَﻳْ َﺴ ُﺮﻩُ ُﻣ ْﺆﻧَﺔ “Sesungguhnya keberkahan pernikahan yang paling besar adalah orang yang maharnya paling rendah” 76 40F
3. Taqlil kurbatin naas (Meringankan beban Orang) Pernikahan bagi masyarakat di manapun tidak hanya sekedar acara seremonial biasa. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang melakukannya dengan kemasan acara yang mewah dan rame. Mereka berdalih satu kali seumur hidup dan ada pula yang hanya sekedar ingin menarik sumbangan dari orang lain. Bagaimanapun dan dengan motif apapun itu dilakukan tentunya membutuhkan dana maupun materi yang banyak. Jika hal itu ditambah lagi dengan pemberian maskawin berupa materi tentunya akan menjadi beban lebih bagi mempelai laki-laki. Mahar non materi dapat meringankan beban orang yang ingin menikah. Bukankah ini yang dianjurkan Rasulullah saw untuk meringankan kesusahan orang lain. 75
Syehk Faishol Ibnu Abdul Aziz al-Mubarok, Nailul Autar Jilid 5 Himpunan Haditshadits Hukum, (Surabaya: PT Bina Ilmu. 2002), hlm. 2235-2236. 76 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, cet I, terj. Abdul Hayyie al-kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 234.
41
ِ ﻧَـ ﱠﻔﺲ اﷲ َﻋْﻨﻪُ ُﻛﺮﺑﺔً ِﻣﻦ ُﻛﺮ،ب اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴﺎ ِ ﻣﻦ ﻧَـ ﱠﻔﺲ َﻋﻦ ﻣ ْﺆِﻣ ٍﻦ ُﻛﺮﺑﺔً ِﻣﻦ ُﻛﺮ ب ﻳَـ ْﻮِم ُ َ َ ُ ْ َ َْ َ ْ َْ َ ْ َْ ِ ﻳ ﱠﺴﺮ اﷲ ﻋﻠَﻴ ِﻪ ِﰲ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴﺎ و، وﻣﻦ ﻳ ﱠﺴﺮ ﻋﻠَﻰ ﻣﻌ ِﺴ ٍﺮ،اﻟْ ِﻘﻴﺎﻣ ِﺔ َوَﻣ ْﻦ َﺳﺘَـَﺮ،ِاﻵﺧَﺮة ْ َ ُ َ َ ُْ َ َ َ ْ ََ َ َ َ َ ِ ﻣﺴﻠِﻤﺎ ﺳﺘَـﺮﻩ اﷲ ِﰲ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴﺎ و َواﷲُ ِﰲ َﻋ ْﻮ ِن اﻟْ َﻌْﺒ ِﺪ َﻣﺎ َﻛﺎ َن اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ ِﰲ َﻋ ْﻮ ِن،ِاﻵﺧَﺮة ُ َُ َ ً ْ ُ َ َ 77 ِ ِ ،أَﺧﻴﻪ F 41
“Barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin daripada satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan dunia, nescaya Allah akan melepaskannya daripada satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan di hari Qiamat. Barangsiapa yang mempermudahkan bagi orang susah, nescaya Allah akan mempermudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutup ke’aiban seorang muslim, nescaya Allah akan menutup ke’aibannya di dunia dan akhirat. Allah sentiasa bersedia menolong hambaNya selagi mana dia suka menolong saudaranya.” 4. Ta’awun ‘alal birri (Tolong Menolong dalam Kebaikan) Salah satu pilar kesuksesan dalam segala urusan termasuk dalam kehidupan keluarga adalah tolong menolong. Pernikahan merupakan suatu kebaikan yang menjadi sunah Nabi saw. Oleh karena itu, sudah sepatutnya bahkan sangat dianjurkan untuk saling tolong-menolong dalam kesuksesan dan kelancaran hal ini. Tidak membebani mahar/maskawin berupa materi bagi sang laki-laki yang ingin menikah dengan kondisi ia serba tidak punya apapun untuk dijadikan mahar kecuali hanya ilmu dan pengetahuan yang bermanfaaat merupakan salah satu bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an (QS. al-Maidah: 2).
77
Abdullah Haidir, Hadits ‘Arba’in penjelasan hadits-hadits arba’in nawawiyah, cet I, (Solo: Indiva Pustaka, 2010), hlm.159.
42
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.". 78 42F
5. Mawaddah wa rohmah bainahuma (Tanda Kasih Sayang antara Laki-Laki dan Perempuan) Islam telah memberikan panduan kehidupan yang lengkap bagi umat manusia, sampai urusan yang sangat detail dan renik dalam konteks pribadi, keluarga, masyarakat maupun urusan kenegaraan. Salah satunya adalah panduan tentang kehidupan berumah tangga, dimana Islam mengajarkan suatu interaksi yang dipenuhi cinta, kasih sayang serta kebaikan antara suami dengan istri. Allah SWT berfirman dalam (QS. ar-Rum: 21).
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istr-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benat terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” 79 43F
Bentuk kasih sayang seorang laki-laki terhadap wanita yang akan dinikahinya diwujudkan melalui beberapa hal yang diantaranya adalah 78
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Mantiq, 1997),
hlm. 156. 79
Ibid., hlm. 644.
43
mahar/maskawin. Seringkali mahar/maskawin menjadi sorotan dan perhatian masyarakat ketika menghadiri acara pernikahan, apalagi pernikahan itu dari kalangan orang-orang kaya dan terhormat. Maka, banyak laki-laki yang rela hutang atau kredit hanya untuk memberi mahar yang dianggapnya mewah. Apakah salah? Tentu jawabannya tidak, jika dimaksudkan untuk idkholus surur (membahagiakan sang istri). Jika itu dimaksudkan sebagai tanda cinta dan kasih sayang maka tidaklah benar. Secara logika ketika orang memberikan kenang-kenangan yang sifatnya awet sebagai tanda cinta maka yang menerima akan lebih mengenang bahkan terbayang-bayang dibanding yang hanya sekedar bertahan satu atau dua tahun. Mahar berupa materi bisa dipastikan hanya bertahan beberapa tahun saja setelah itu tidak berbekas sama sekali, akan tetapi mahar non materi seperti mengajarkan ilmu, membaca al-Qur’an dan halhal manfaat lainnya akan tetap langgeng bahkan setelah mati. Bukankah Allah SWT juga mencintai yang langgeng walaupun itu remeh. 80 F4
ب ْاﻻَ ْﻋ َﻤ ِﺎل اِ َﱃ اﷲِ اَ ْد َوُﻣ َﻬﺎ َواِ ْن ﻗَ ﱠﻞ – رواﻩ اﻟﺸﻴﺨﺎن ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ اَ َح ﱡ
“Amal yang paling dicintai Allah SWT adalah amal yang langgeng walaupun cuma sedikit.”
80
Sayyid Ahmad al Hasyimi Bik, Mukhtarul Ahadits an Nabawiyyah wal Hikam al Muhammadiyyah, (Surabaya: al-Hidayah, tth), hlm. 6.
BAB III OBJEK KAJIAN TENTANG MAHAR NON MATERI A. Pendapat Empat Imam Madzhab tentang mahar non materi Agama Islam adalah Agama yang ringan dimana Islam tidak memberatkan kaumnya dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam dan sunah Rasulullah saw. Salah satunya adalah perkawinan dimana Allah SWT tidak terlalu memberatkan bagi calon kedua mempelai dalam melakukan akad nikah, salah satu yang harus dipenuhi calon suami adalah mahar. Karena mahar merupakan salah satu di antara Hukum-hukum akad yang shahih. Begitu halnya dalam pemberian mahar atau maskawin tersebut, calon suami juga diberikan kemudahan dalam memberikan mahar kepada calon istri, apabila calon suami tidak mempunyai harta yang melimpah dan juga lainnya yang berbentuk materi maka bisa diganti dengan non materi, berikut adalah ketentuan-ketentuan dan pendapat-pendapat yang berbeda dalam pemberian mahar non materi dalam pernikahan dari para ulama madzhab. Dalam (QS: an-Nisa’/4: ayat 4) telah dijelaskan:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
44
45
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (QS. an-Nisa’/4:4). 81 0F
إِ ﱠن: ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل: وﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﻟﻠﺔ ﻋﻨﻬﺎ " "رواﻩ اﲪﺪ.ًاَ ْﻋﻈَ َﻢ اﻟﻨِ َﺴ ِﺎء ﺑَـَﺮَﻛﺔً اَﻳْ َﺴ ُﺮﻩُ َﻣﺌُـ ْﻮﻧَﺔ
“Dan dari Aisyah ra. Bahwa Sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda perempuan yang paling besar keberkahannya adalah orang yang maharnya paling ringan maharnya.” 82 1F
a) Imam Abu Hanafiah Namanya al-Imam al-A’zham Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha al-kufi. Dia adalah keturunan orang-orang Persia yang merdeka. Beliau lahir dan meninggal lebih dahulu dari pada Imam-imam yang lain, Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 H bersamaan 659 M. Beliau mendapat tempat yang baik dalam masyarakat pada masa itu sehingga beliau mampu menyandang gelar atau jabatan yang tertinggi yaitu Imam besar (Al-Imam al‘Adham) atau ketua Agung. 83 Nama beliau sejak kecil ialah Nu’man bin 2F
Tsabit bin Zutha bin Mah. Pada masa beliau dilahirkan pemerintahan Islam sedang ditangan kekuasaan Malik bin Marwah (raja dari Bani Umayah yang ke V). 84 3F
Setelah kita mengetahui sedikit biografi Imam Hanafi. Beliau berpendapat tentang mahar manfaat atau jasa (non materi). Beliau 81
Kementrian Agama RI, al-Qur’an Terjemah dan New Cordova dilengkapi Asbabun Nuzul, Fadhilah Ayat, Hadist tentang al-Qur’an, Blok Qur’an per Tema Ayat, dan Indeks Tematik, (Bandung: Syamil Qur’an, 2012), hlm. 77. 82 Syehk Faishol Ibnu Abdul Aziz al-Mubarok, Nailul Autar Jilid 5 Himpunan Haditshadits Hukum, (Surabaya: PT Bina Ilmu. 2002), hlm. 2230. 83 Ahmad Asy-Syurbasyi, sejarah dan biografi Imam Mazdhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, diterjemahkan oleh Sabil Huda dkk, dari Aimatul Arba’ah, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 12. 84 Moenawir Chalil, Biografi Empat serangkai Imam Mazdhab , (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet ke 9, hlm . 19.
46
menambahkan syarat dalam pernikahan sah apabila di dalam pernikahan yang fasid, tidak menjadi lazim karena nikah fasid tidak dinamakan pernikahan, dan wajib diberikan mahar mitsil dengan terjadinya persetubuhan. Dan selanjutnya mengenai mahar Imam Abu Hanifah dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa mahar adalah kewajiban tambahan dalam akad nikah, sama statusnya dengan nafkah. Mahar adalah setiap harta yang memiliki harga, yang diketahui yang mampu untuk diserahkan. Mahar manfaat atau jasa (non materi) seperti mengajarkan al-Qur’an pendapat Imam Hanafi dalam kitab Fiqh ‘ala madzhabil ‘arba’ah Karangan Syeikh Abdurrahman al-Jaziri yaitu:
ِ َﻛﺘَـﻌﻠِﻴ ِﻢ اﻟ ُﻘ،أَﱠﻣﺎ إِذَا ﺗَـﺰوﺟﻬﺎ ﻋﻠَﻰ ﻣﻨَﺎﻓِﻊ ﻣﻌﻨَ ِﻮﻳ ٍﺔ وﳓﻮ ذﻟﻚ ِﻣ ْﻦ ُﻋﻠُ ْﻮِم. َواﻟْ ِﻔ ْﻘ ِﻪ.ﺮآن ْ ْ ّ ْ َ َ َ َ َ َ َّ ِ ِ ﺎﻫﺮ اﳌ ْﺬ َﻫ ﺐ أَﻧﱠﻪُ َﻻ َﳚُ ْﻮَز ٌ ﻓَ ِﻔْﻴ ِﻪ ِﺧ َﻼ، أو َﻋﻠَﻰ ﺗَـ ْﻌﻠِْﻴ ِﻢ اﳊَ َﻼ ِل َواﳊََﺮِام،اﻟﺪﻳْ ِﻦ ّ ُ َ وﻇ.ف “Adapun ketika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan mahar hal-hal yang manfaat yang bersifat ma’nawiyah, seperti mengajarkan al-Qur’an, fiqih ataupun yang lainnya, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat. Menurut dhahirul madzhab imam Hanafi menyatakan tidak boleh”85 4F
Penjelasan dari kitab di atas adalah jika seorang merdeka menikah dengan mahar mengajarkan al-Qur’an adalah tidak boleh, maka bagi istri adalah mahar mitsil. Sedangkan perkawinan dengan mahar mengajarkan si istri semua isi al-Qur’an atau sebagiannya atau sebagian Hukum Agama yang berupa perkara yang halal atau yang haram. Maka menurut Fuqoha’ Imam Hanafi yang mutaqddim tidak sah. Berdasarkan Firman Allah SWT “Jika 85
Syeikh Abdurrahman al- Jaziri, Fiqh ‘ala madzhabil ‘arba’ah, Juz IV, (Beirut: Libanon, Darul al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), hlm. 98.
47
kamu berusaha dengan hartamu” (an-Nisa’/4 ayat 24). 86 Karena yang tadi 5F
disebutkan bukanlah harta karena mengajarkan al-Qur’an dan perkara lain yang sejenisnya yang berupa kataatan dan kedekatan kepada Allah SWT tidak sah untuk diberikan upah menurut imam madzhab Hanafi. Pengajaran dalam bidang ini tidak sah diberikan imbalan harta. Oleh karena itu tidak sah mahar yang disebutkan ini, dan diwajibkan mahar mitsil, karena itu adalah manfaat yang tidak bisa diganti dengan harta. Sedangkan para Fuqoha’ madzhab Hanafi Muta’akhirin memberikan fatwa membolehkan mengambil upah dari mengajarkan al-Qur’an dan Hukum-hukum Agama karena kebutuhan akibat perubahan kondisi dan kesibukan manusia dengan perkara kehidupan, maka sang guru tidak bisa mengajar tanpa upah. Oleh karena itu, boleh menjadikan pengajaran alQur’an dan Hukum-hukum Agama sebagai mahar. Dalil yang digunakan adalah Hadits riwayat Sahl bin Sa’ad yang berisikan bahwa Nabi saw mengawinkan seorang laki-laki dengan mahar kemampuan membaca alQur’an yang dia miliki. Beliau Nabi saw bersabda:
ِ ﻚ ِﻣﻦ اْﻟ ُﻘﺮ ِ آن ْ َ َ ﻗَ ْﺪ َزﱠو ْﺟﺘُ َﻜ َﻬﺎ ﲟَﺎ َﻣ َﻌ “ Aku telah menikahkan kamu dengan hafalan al-Qur’an yang kau miliki”87 6F
86
Kementrian Agama RI, op. cit., hlm. 82. Syehk Faishol Ibnu Abdul Aziz al-Mubarok, Nailul Autar Jilid 5 Himpunan Haditshadits Hukum, (Surabaya: PT Bina Ilmu. 2002), hlm 2235-2236. 87
48
Tidak sah jika mahar berbentuk sesuatu yang bukan merupakan harta yang dapat dihargakan. Itu seperti seorang laki-laki muslim menikahi seorang perempuan muslimah dengan mahar yang berupa debu, darah, minuman keras, babi, karena bangkai dan darah bukanlah harta dalam hak seseorang. Demikian minuman keras dan babi bukanlah harta yang dapat dihargakan dalam hak seorang laki-laki muslim, juga tidak sah perkawinan perempuan dengan syarat menceraikan perempuan yang lain, atau dengan syarat memanfaatkan Hukum qishas karena perceraian bukanlah harta, dan begitu pula dengan halnya qishas. Tidak sah pernikahan Syighar yaitu seorang laki-laki mengawinkan saudara perempuannya kepada laki-laki yang lain, dengan syarat laki-laki tersebut mengawinkan saudara perempuannya dengannya. Atau dengan syarat dengan anak perempuannya. Penyebutan syarat ini dengan merupakan suatu yang rusak karena masing-masing dari keduanya menjadikan “alat kelamin” masing-masing dari kedua perempuan tersebut sebagai mahar dengan yang lain. Karena alat kelamin bukanlah harta, maka menjadi rusaklah penyebutan mahar ini. Bagi masing-masing dari keduanya wajib mendapatkan mahar mitsil, sedangkan pernikahan adalah sah menurut mereka. Sedangkan menurut jumhur pernikahan semacam ini fasid (rusak) atau batal berdasarkan sebuah riwayat yang mengatakan bahwa nabi saw melarang pernikahan syighar.
49
Dalil madzhab Hanafi menyebutkan bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang bersifat abadi yang dimasukkan ke dalamnya syarat fasid. Karena di dalamnya disyaratkan agar alat-kelamin dari masing-masing keduanya menjadi mahar bagi yang lain dan alat kelamin tidak bisa dijadikan mahar.88 Jika laki-laki merdeka mengawini seorang perempuan dengan syarat melayaninya selama setahun, seperti menggembalakan dombanya selama setahun, penyebutan syarat ini fasid. Perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar mitsil menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf karena manfaat bukanlah harta yang dapat dihargakan menurut keduanya manfaat ini tidak terjamin dari perampasan dan kehilangan. 89 Hanya saja dapat dihargakan untuknya jika dilaksanakan akad kepadanya jika darurat, untuk mencegah kebutuhan kepadanya. b) Imam Malik Imam Malik ialah imam kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Ia dilahirkan 13 Tahun sesudah kelahiran Abu Hanifah 93H/714M. Beliau dilahirkan seorang tokoh yang ahli dibidang Fiqh dan Hadits di Darul Hijrah (Madinah) setelah zaman tabi’in. Beliau wafat di madinah pada zaman pemerintahan Harun al-Rasyid di masa pemerintahan Abbasiyyah beliau berumur hampir 90 Tahun.
88 89
Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 239. Ibib.
50
Imam Malik menuntut ilmu kepada ulama’-ulama’ Madinah, di antara mereka adalah Abdul Rahman bin Hurmuz. Dia lama berguru dengan Abdul Rahman ini. Dia juga menerima Hadits seperti Nafi’ maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Dia membangun madzhabnya berdasarkan dua puluh dasar 90. Dan juga kita mengetahui sedikit biografi Imam Malik selanjutnya Imam Malik berpendapat tentang mahar manfaat atau jasa (non materi) dalam kitab Fiqh ‘ala madzhabil arba’ah karangan Syeikh Abdurrahman al-Jaziri menjelaskan bahwa “Dan adapun hal-hal yang bermanfaat seperti mengajarkan al-Qur’an dan yang lainnya, atau menempati rumah, atau memberikan pelayanan pembantu, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat, malik berkata pada mulanya tidak patut dijadikan mahar ketika disebut sebagai mahar. Dan Ibnu Qosim berkata patut dijadikan mahar tetapi makruh dan sebagian Imam-imam malikiah memperbolehkannya tanpa ada hukum makruh. Dan yang mu’tamad adalah pendapat dari Imam malik, akan tetapi ketika seseorang menyebutkan kemanfaatan dari hal-hal ini sebagai mahar, maka sesungguhnya akad tersebut sah menurut pendapat yang mu’tamad”.91 Menurut madzhab Maliki, mahar adalah sesuatu yang dapat dihargakan secara syari’at, yang berupa barang, hewan, atau bangunan yang suci dan tidak bernajis karena yang bernajis tidak bisa dihargakan secara
90 91
Wahbah az-Zuhaili, op. cit., hlm. 41-42. Syeikh Abdurrahman al- Jaziri, op. cit., hlm. 99.
51
syari’at dan tidak bisa dimanfaatkan secara syari’at. 92 Di antara barang yang tidak bermanfaat adalah seperti peralatan hiburan yang tidak dapat dihargakan, walaupun dapat diserahkan kepada istri, dapat diketahui ukurannya, jenisnya, dan masanya. Tidak sah jika mahar bukan sesuatu yang dapat dihargakan, seperti qishas yang diwajibkan oleh seorang suami kepada istrinya, maka dia kawinkan perempuan tersebut dengan tujuan untuk meninggalkan qishas. Akad ini batal sebelum terjadi persetubuhan. Jika istri telah digauli maka dia mesti diberikan mahar mitsil, dan kembali pada diyat. Perangkat mahar dalam jumlah yang diketahui, seperti sepuluh ekor unta atau domba, dan dia diberikan standar yang pertengahan. Yang dianggap pertengahan adalah umur, kualitas, dan keburukan. Tidak boleh memberikan mahar yang berupa manfaat yang tidak berhak mendapatkan imbalan berupa harta. Manfaat yang seperti ini tidak sah sebagai mahar. 93 Misalnya, seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, dengan berupa mahar dia ceraikan madunya, atau dia tidak memadunya dengan perempuan yang lain, atau tidak membawanya keluar dari negaranya maka sesungguhnya semua manfaat ini tidak bisa dijadikan mahar. Karena manfaat ini tidak bisa diimbali dengan harta. c) Imam Syafi’i Imam Syafi’i dilahirkan di kota Gazza Palestina pada tahun 105 H (767M). dan dibesarkan Asqalan dan penduduk Asqalan semuanya dari 92 93
Ibid., hlm. 240-241. Ibid., hlm. 241.
52
penduduk kabilah orang yaman hingga beliau remaja94. Imam Syafi’i dapat menghafal al-Qur’an dengan mudah, yaitu ketika beliau masih kecil serta beliau menghafal dan menulis hadits-hadits. Imam Syafi’i menuntut ilmu di Makah sehingga beliau menjadi orang yang cakap dan disana beliau mendapat kepercayaan untuk menyampaikan fatwa dan juga hukum-hukum dari gurunya Muslim bin Khalid az-Zinji. Batasan yang bisa dijadikan mahar menurut Madzhab Syafi’i adalah beliau berpendapat bahwa semua yang bisa dijadikan barang jualan bisa dijadikan mahar. Atau semua yang bisa dijadikan harga atau sewaan, bisa dijadikan mahar, meskipun jumlahnya sedikit. Yaitu semua barang yang dapat dihargakan, baik dalam bentuk tunai maupun utang, tunai maupun dengan tempo, yang berupa pekerjaan serta manfaat yang dapat diketahui. Seperti menggembala dombanya dalam tempo yang diketahui, menjahit bajunya, mengembalikan budaknya yang kabur dari tempat tertentu, melanyaninya dalam waktu yang diketahui, mengajarkan al-Qur’an atau suatu syair yang diperbolehkan, atau sastra atau mengajarkan menulis atau suatu ketrampilan tertentu, serta berbagai manfaat lainnya yang diperbolehkan.95 Berdasarkan Firman Allah SWT menngenai kisah Syu’aib a.s bersama Musa a.s,
94 95
Ibid., hlm. 139. Wahbah az-Zuhaili, op. cit., hlm. 241.
53
“Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik". (al-Qashash/28: 27). 96 15F
Dalam kitab Fiqh ‘ala madzhabil arba’ah karangan Syeikh Abdurrahman al-Jaziri yaitu:
ِ ِ ِ ِ ﺻ َﺢ َﲦَﻨﺎً ِﰲ ُ اﻟﺼ َﺪ َ َواﻟ َﻘﺎﻋ َﺪةُ ﻋْﻨ َﺪ ُﻫ ْﻢ أً ّن ُﻛ ﱠﻞ َﻣﺎ،اق ﺑِﺎﳌْﻨـ َﻔ َﻌﺔ َ ﻳَﺼ ﱡﺢ: ﻗﺎﻟﻮا- اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ﻓﻜﺬﻟﻚ،ًﻮﻣﺔ َ ﺻ َﺢ َ اﻟَ ْﺒﻴ ِﻊ َ ُي َداراً ﲟْﻨـ َﻔ َﻌﺔ أ َْرﺿﻪ اﻟ ِﺰَراﻋﻴﱠﺔ ُﻣ ﱠﺪ ًة َﻣ ْﻌﻠ َ ﻓَـﻴَﺼ ﱡﺢ أ ْن ﻳَ ْﺸ َﱰ،ًﺻ َﺪاﻗﺎ ٍ ُ ﻓَ ُﻜ ﱡﻞ ﻋﻤ ِﻞ ﻳﺴﺘِﺄْﺟﺮ ﻋﻠَﻴﻪ ِﻣﻦ ﺗَـﻌﻠِﻴ ِﻢ ﻗ،ًﺼﺢ أَ ْن َْﲡﻌﻞ ﻫ ِﺬﻩِ اﱂْنﻓَـﻌ ِﺔ ﺻ َﺪاﻗﺎ ِ . َوﻓِ ْﻘ ِﻪ.ﺮآن َ ََ ْ ْ ْ َْ َ َْ ْ ُ َ َ َ َ ُ َﻳ ُِ أو ﻳـﺘَـﺰوﺟﻬﺎ ﻋﻠَﻰ أ ْن، وﺧﻴﺎﻃٍَﺔ. َﻛﻨَﺴ ٍﺞ، وﺗَـﻌﻠِﻴ ِﻢ ﺻﻨَﺎﻋ ٍﺔ،وﳓﻮﳘﺎ ِ ﻂ ﳍَﺎ ﺛـَ ْﻮﺑﺎً أو ﻳَـْﺒ ﳜ ﲏ ﻴ َ َ َ َ َّ َ َ َ ْْ َ ْ َ ْ َ ٍ ِ ِ ِ َﻛﻤﺎ ﻳ،ًﺼﺢ أن ﻳﻜﻮن ﺻ َﺪاﻗﺎ ِ ِ ﺼ ُﺢ أَ ْن َ َ َ ُ َ ﻓَﺈﻧّﻪُ ﻳ،ً َوﻟَ ْﻮ َﺣﺮا، أو ﻳَـ ُﻘ ْﻮَم ﳍَﺎ ﺑﺎﳋ ْﺪ َﻣﺔ،ًﳍَﺎ َدارا .ًﻳَ ُﻜ ْﻮ َن َﲦَﻨﺎ
“Syafi’iah berkata: sah maskawin atau mahar dengan hal-hal yang bermanfaat, dengan kaidah setiap hal yang dijadikan harga dalam jual beli maka bisa dijadikan maskawin atau mahar, maka sah membeli rumah, mengambil manfaat dari bumi yang ditanami dalam waktu tertentu, begitu juga boleh menjadikan manfaat tersebut sebagai maskawin. Setiap pekerjaan yang diupahkan atau member manfaat seperti mengajari al-Qur’an, Fiqh dan sebagainya, seperti menenun, menjahit, atau dengan cara menjahitkan pakaiannya atau membangunkan rumah, melayaninya wlaupun dia orang merdeka, maka semua itu sah dijadikan mahar atau maskawin sebagaimana harga”. 97 16F
96 97
Kementrian Agama RI, hlm. 98. Syeikh Abdurrahman al- Jaziri, op. cit., hlm 99.
54
Karena akad perkawinan adalah akad berdasarkan manfaat maka boleh dengan mahar yang telah dsebutkan, seperti sewa menyewa. Karena manfaat orang yang merdeka boleh diambil sebagai ganti darinya dalam sewa, maka boleh dijadikan mahar. Jika dia ceraikan istrinya sebelum sempat menggaulinya, dan sebelum terpenuhinya manfaat, maka dia harus memberikan setengah bayaran manfaat yang dia jadikan sebagai mahar si istri. d) Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal Imam Ahmad bin Hambal dilahirkan dikota Baghdad, pada bulan Rabi’ul awal tahun 164 H (780 M). Yaitu setelah ibunya pindah dari kota “Murwa” tempat tinggal ayahnya. Nama beliau adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyain bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasii bin Syaibah, beliau mendapat gelar al-Mururi kemudian al-Baghdadi 98. Beliau menghafal alQur’an dan mempelajari bahasa, beliau juga menggunakan al-Qur’an sebagai sumber pertama dan penafsirannya adalah as-Sunnah. Imam ahmad bin Hambal berpendapat bahwa beliau membolehkan mahar dengan ayat al-qur’an atau jasa bila ia tidak mampu memberikan yang lain, agar tidak ada persetubuhan antara laki-laki dan permpuan sebelum memberikan sesuatu sebagai mahar. Seorang merdeka sah menikah dengan wanita dengan mahar melayaninya dengan waktu tertentu atau dengan mendatangkan pelayan 98
Ahmad Asy-Syurbasyi, op. cit., hlm 191.
55
merdeka untuk melayani mempelai wanita dalam waktu tertentu, lebih-lebih jika yang didatangkan adalah pelayan hamba sahaya. Sah menikah dengan perbuatan yang diketahui seperti menjahit pakaian tertentu, baik ia sendiri yang melakukannya atau orang lain, jika pakaian tersebut rusak sebelum di jahit maka laki-laki tersebut wajib membayar setengah harga upahnya, meskipun ia mengeluarkan talak sebelum berhubungan suami istri.99 Menikah sah dengan mahar mengajarkan bab-bab fiqh atau hadits atau mengajarkan sesuatu yang diperbolehkan sastra, syair, atau mengajarkan ketrampilan, kepenulisan, dan pekerjaan lainnya yang boleh di mintakan upah, jika pengajran tersebut tidak mungkin dilakukan (Karena ada alasan tertentu) maka laki-laki wajib menyerahkan upah orang yang bisa mengajarkannya. Mempelai laki-laki berkewajiban menyerahkan upah pengajarannya, apabila ia belum mengajarkan dan mengeluarkan talak sebelum melakukan hubungan suami istr, serta jika talak terjadi setelah mengajarkan maka ia bisa meminta kembali setengahnya dalam bentuk upah jika perpisahan terjadi dari pihak mempelai laki-laki, jika perpisahan terjadi dari pihak mempelai perempuan maka mempelai laki-laki bisa meminta kembali seluruh upahnya. Ulama’ Hanabilah berpendapat bahwa mahar adalah satu imbalan dalam nikah baik yang disebutkan dalam akad atau yang diwajibkan sesudahnya dengan kerelaan kedua belah pihak atau hakim atau imbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah.
99
Syeikh Abdurrahman al- Jaziri, op. cit., hlm, 100.
56
Ulama’ Hanabilah juga berpendapat bahwa sah mahar berupa manfaat seperti halnya mahar berupa benda. Seorang menikah dengan seorang wanita dengan mahar menggembalakan kambingnya atau membajak tanahnya atau sebagainya maka mahar sah dengan syarat manfaat harus diketahui (ma’lumah), apabila tidak diketahui (majhulah) maka penyebutan mahar tidak sah dan diwajibkan mahar mitsli. B. Bentuk mahar non materi yang sah dalam perkawinan Jika seorang laki-laki benar-benar tidak mampu untuk memberikan mahar dalam bentuk materi (harta) maka ia bisa memberikan mahar dalam bentuk non materi (bukan harta). Hendaknya sesuatu yang berbentuk non materi itu mempunyai manfaat yang kembali kepada perempuan tersebut. Mahar tidak mesti berupa uang atau harta benda, akan tetapi boleh juga halhal lainnya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini hal-hal yang dapat dijadikan mahar atau maskawin dalam pernikahan: 1. Semua pekerjaan yang dapat di upahkan Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali pekerjaan yang dapat di upahkan, boleh juga dijadikan mahar. Misalnya mengajari membaca alQur’an, mengajari Ilmu-ilmu Agama, bekerja dipabriknya, menggembalakan ternaknya, membantu membersihkan rumah, ladang atau lainnya. Hal ini sebagaimana telah terjadi ketika Nabi Musa a.s menikahi salah seorang putri Nabi Syu’aib a.s dengan maskawin atau mahar bekerja selama delapan tahun sebagaimana firman Allah SWT dalam (QS. al-Qashash/28: 27).
57
“Berkatalah
Dia
(Syu'aib):
"Sesungguhnya
aku
bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik". (QS. al-Qashash/28: 27). 100 19F
2. Membebaskan budak Menurut Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Daud ad dhaahiry bahwa membebaskan budak dapat dijadikan sebagai maskawin. Maksudnya apabila seorang laki-laki hendak menikahi seorang wanita yang masih menjadi budak belian, kemudian ia membebaskannya dan ia menjadikan pembebasannya itu menjadi maskawinnya , maka boleh-boleh saja. Kemerdekaan dari perbudakan merupakan manfaat teramat besar yang diberikan kepada seseorang yang sebelumnya berstatus budak, sedangkan menurut ulama’ yang lain, membebaskan budak itu tidak boleh dijadikan maskawin. Dalil kelompok yang membolehkan adalah dalam sebuah Hadits dikatakan
bahwa
Rasulullah
menikahi
Safiyyah
dengan
maskawin
membebaskannya dari budak belian menjadi seorang yang merdeka dan 100
Kementrian Agama RI, op. cit., hlm. 388.
58
dalam hadits tersebut tidak ada keterangan bahwa hal itu khusus untuk Rasulullah saw, karena tidak ada keterangan kekhususan itulah, maka ia berarti berlaku dan di perbolehkan untuk seluruh umatnya termasuk kita. Hadits tersebut sebagai berikut:
ٍ ٍِ ِ اﳊْﺒﺤ ِ ﺖ و ُﺷ َﻌْﻴ ِ َﺎب َﻋ ْﻦ أَﻧ ﺲ ﺑْ ِﻦ ٌ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻗُـﺘَـْﻴﺒَﺔُ ﺑْ ُﻦ َﺳﻌِﻴﺪ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﲪﱠ َ َْ ﺐ ﺑْ ِﻦ َ ﺎد َﻋ ْﻦ ﺛَﺎﺑ ِ ﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ ﻋﻠَﻴ ِﻪ وﺳﻠﱠﻢ أَﻋﺘﻖ ِ ٍ ِﻣﺎﻟ ﺻ َﺪاﻗَـ َﻬﺎ َ ﻚ أَ ﱠن َر ُﺳ َ ﺻﻔﻴﱠﺔَ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﻋﺘْـ َﻘ َﻬﺎ َ َ َْ َ َ َ ْ َ ُ َ َ “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Hammad dari Tsabit dan Syu’aib bin Habha dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw telah memerdekakan Shofiyah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengawininya).” 101 20F
Bagi yang menolak mengatakan bahwa hadits di atas adalah khusus untuk Rasulullah saw saja, artinya maskawin dengan membebaskan budak itu hanya diperbolehkan untuk Rasulullah saw saja dan tidak yang lainnya. 3. Masuk Islam Masuknya Islam seseorang bisa dijadikan maskawin, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits yang mempunyai arti sebagai berikut: “Dari Anas, dia berkata, Abu Thalhah telah melamar Ummu Sulaim, kemudian Ummu Sulaim menjawab: Demi Allah, tidaklah seorang laki-laki sepertimu itu pantas ditolak. Tetapi kamu seorang laki-laki kafir sedang saya seorang muslim, dan tidak halal bagi saya menikah denganmu. Jika kamu masuk Islam, maka itu adalah mahar untukku dan saya tidak meminta kepadamu selain itu. Kemudian dia masuk islam dan itu sebagai maharnya.” (HR. An-Nasa’i). 102 21F
101 102
Imam al-Bhukhori, Shohih Bukhori, Juz 9, (Damaskus:1422 H), Hadits no 4696. Ahmad, Sarwat, Fiqh Islam Kitab Nikah, cet I, (Kampus Syari’ah, 2009).
59
Ulama’ yang tidak memperbolehkannya masuk Islam sebagai maskawin adalah Ibnu Hazm. Ibnu Hazm mengatakan catatan penting untuk hadits di atas dengan mengatakan: Pertama kejadian Hadits di atas terjadi beberapa saat sebelum hijrah ke Madinah, Karena Abu Thalhah termasuk sahabat Rasulullah saw dari golongan anshar yang pertama kali masuk islam, dan pada saat itu belum ada kewajiban mahar untk seorang wanita yang akan dinikahi. Kedua dalam Hadits di atas juga tidak di sebutkan bahwa kejadian itu diketahui oleh Rasulullah saw, karena tidak diketahui oleh Rasulullah saw, maka posisinya tidak mempunyai ketetapan hukum, Rasullah tidak mengiyakannya dan juga tidak melarangnya. Karena tidak ada kepastian hokum itulah, maka ia harus dikembalikan kepada asalnya, bahwa ia tidak bisa dijadikan sebagai maskawin. Manfaat yang setidak-tidaknya didapatkan oleh umu sulaim dari masuk Islamnya Abu Thalhah adalah pahala besar yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya karena ia telah mampu mengislamkan seseorang yang kafir. Sebuah riwayat disebutkan pahalanya lebih besar dari pada seekor unta merah (yang ketika itu amat mahal harganya) belum lagi manfaat-manfaat lainnya yang dirasakan oleh ummu sulaim. Ibnu qayyim mengatakan, inilah yang dipilih ummu sulaim. Dia memilih keislaman Abu Thalhah yang bermanfaat baginya dan menyerahkan dirinya kepada Abu Thalhah jika dirinya masuk Islam. Ini yang lebih di sukai ummu sulaim dari pada harta yang diserahkan oleh suami. Pada dasarnya
60
mahar ditetapkan sebagai hak perempuan agar dapat di manfaatkannya, begitu dia ridha menerima ilmu, Agama, keislaman suami dan bacaan alqur’annya, maka hal itu merupakan mahar yang paling utama, paling manfaat dan paling luhur. 103
103
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, terj, Abdurrahim dan masrukin, (Jakarta: Cakrawala Publishing. 2008), hlm 412.
BAB IV ANALISIS TENTANG PENDAPAT EMPAT IMAM MADZHAB A. Analisis tentang pendapat Empat Imam Madzhab tentang mahar non materi. Para ulama’madzhab dalam menetapkan Hukum atas masalahmasalah yang ada menggunakan ijtihad, ijtihad sendiri menurut etimologi ialah bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisikmaupun pikiran, seperti yang dikemukakan oleh Gozhali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Sedangkan ijtihad secara umum itu seperti apa yang dikemukakan oleh Abu Zahra ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-Istimbathkan hukum syara’ maupun dalam penerapannya. 104 Dalam berijtihad dasar-dasar yang digunakan ulama’ madzhab ialah: 1. Imam Abu Hanifah Secara teoritis Abu Hanifah secara berurutan didasarkan kepada: al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, dan Urf, tetapi karena Abu Hanifah menerapkan syarat yang begitu ketat maka pada kenyataannya penggunaan dasar-dasar itu ialah: al-Qur’an, qiyas, Ijma’, Sunnah, Istihsan, dan urf. 105 2.
Imam Malik
104
Satria Efendi, Ushul Fiqh,cet III, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 245-246. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu,cet I, terj, Abdul Hayyie al-kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 40. 105
61
62
Sesuai dengan volume penggunaannya maka urutan dasar-dasar yang digunakan ialah: al-Qur’an, Ijma’, Hadits, qiyas, dan mashalih mursalah.106 3. Imam Syafi’i Baik menurut urutan-urutan secara teoritis maupun dalam kenyataan penggunaan volume penggunaannya dalil-dalil yang dipakai ialah: al-Qur’an, Hadits, ijma’, qiyas. 107 4. Imam Ahmad bin Hambal Secara berurutan dalil yang digunakan ialah: al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan qiyas. 108 Dari pendapat para ulama’ Imam Madzhab terdapat pendapat yang berbeda-beda antara ulama’ satu dengan ulama’ yang lainnya, dimana dengan adanya perbedaan pendapat tersebut menunjukan betapa banyaknya pemikirpemikir Islam yang dapat kita jadikan pedoman atau sandaran dalam menjalankan ibadah kita, dimana para ulama’-ulama’ tersebut pastinya telah memiliki dasar-dasar yang tidak perlu diragukan lagi untuk kita anut. Dari pemikiran-pemikiran ulama’ madzhab tersebut mulai dari Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i,dan juga Imam Hambal dapat di analisis sebagai berikut: Rasulullah saw menyeru kepada umatnya agar memuliakan wanita, dan dalam perkawinan dengan cara memberi mahar, mahar adalah salah satu kewajiban yang harus dipikul oleh calon suami yang akan menikahi calon 106
Wahbah Az-Zuhaili, Ibid.,hlm. 42. Ibid.,hlm. 45. 108 Ibid.,hlm. 47. 107
63
istri sebagai tanda persetujuan dan kerelaan untuk hidup bersama sebagai suami istri109 pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi baik berupa uang tau barang berharga lainnya. Syari’at Islam memungkinkan maskawin itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu, bahkan meskipun hanya lantunan ayat suci al-Quran yang dihafal oleh mempelai laki-laki. Hal ini seperti mahar nabi Musa ketika menikahi putrinya Nabi Syuaib berupa jasa menggembalakan kambing selama delapan tahun atau saat Nabi Muhammad saw menikahi Safiyyah dengan maskawin membebaskan safiyyah dari status budak maupun ketika Nabi Muhammad saw menikahkan seseorang dengan hafalan al-Qur’an 110. Berdasarkan hasil pemaparan penulis di atas untuk memperjelas dan uraian bab IV, maka criteria yang dikemukakan Imam Madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, Hambali) terdapat pada table di bawah ini: Tabel:111 No
Ulama’
Hukum
Alasan
1.
Imam Hanafi
Tidak membolehkan
Karena mahar yang berupa jasa atau manfaat tidak termasuk harta yang tidak boleh mengambil upah darinya, sehingga tidak sah dijadikan mahar, namun darinya wajib dibayar dengan mahar mitsil.
109
Mustafa kamal pasha, fiqh islam, (Yogyakarta: citra karsa mandiri, 2009), hlm. 274. Amir sarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 92. 111 Syeikh Abdurrahman al- Jaziri, Fiqh‘ala madzhabil ‘arba’ah, juz IV, (Beirut: Libanon, Darul al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), hlm. 98. 110
64
a) Fuqoha Hanafi Tidak Mutaqddimin membolehkan
Karena mahar tersebut bukan termasuk harta.
b) Fuqoha Hanafi Membolehkan Muta’akhirin
Karena kebutuhan akibat perubahan kondisi dan kesibukan manusia dengan perkara kehidupan.112
2.
Imam Maliki
Pertama tidak membolehkan tetapi akhirnya membolehkan.
Karena mahar berupa manfaat atau jasa tersebut bukan termasuk harta dan setelah itu beliau menganut madzhabmadzhab yang lain membolehkan karena termasuk harta jadi beliau membolehkan.
3.
Imam Syafi’i
Membolehkan
Karena mahar yang berupa jasa atau manfaat yang dapat diupahkan sah dijadikan mahar.
4.
Imam Hambali
Membolehkan
Karena mahar berupa manfaat atau jasa sama halnya mahar berupa benda, dengan syarat manfaat harus diketahui.
Islam memberikan hak kepada kaum wanita untuk menuntut mahar dari kaum laki-laki yang akan menikahinya yang dia kehendaki, tetapi Islam memberikan motivasi bahwa wanita yang paling berkah adalah wanita yang paling ringan maskawinnya.
112
Wahbah az-Zuhaili, op. cit., hlm. 238.
65
Seorang merdeka sah menikah dengan seorang wanita dengan melayaninya dengan waktu tertentu, atau dengan mahar mendatangkan pelayan merdeka untuk melayani mempelai wanita dengan waktu tertentu, lebih-lebih jika yang didatangkan adalah pelayan hamba sahaya. Sah dengan mahar perbuatan yang diketahui seperti menjahit pakaian tertentu baik ia sendiri atau orang lain yang menjahitnya, jika pakaian itu rusak sebelum di jahit maka mempelai laki-laki wajib membayar setengah harga upahnya, meskipun ia mengeluarkan talak sebelum berhubungan suami istri. Table di atas menjelaskan pendapat-pendapat Empat Imam Madzhab tentang mahar non materi, golongan madzhab Hanafi tidak membolehkan mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar karena berdasarkan pendapat mereka bahwa mengambil mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar itu haram, dig anti dengan mahar mitsil, batas minimal pemberian mahar menurut Imam Hanafi adalah 10 dirham.113 Imam Malik mengatakan bahwa memberi mahar non materi (jasa atau manfaat) adalah tidak diperbolehkan, tapi sebagian penganut malikiyah mengatakan boleh memberikan mahar non materi tanpa ada kemakruhan, sedangkan Ibnu Qosim mengatakan boleh tanpa makruh, tetapi pada akhirnya Imam Malik membolehkan memberikan mahar non materi dengan alasan mengikuti
113
Imam-imam yang lain karena banyaknya Imam-imam atau
Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 235.
66
madzhab yang lain membolehkan. Sedangkan batasan standar menurut Imam Maliki adalah seperempat dinar atau tiga dirham perak murni.114 10F
Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hambali tersebut bila di perhatikan, maka menurut penulis bahwa Imam Syafi’i dan Imam Hambali adalah hendak meringankan kaum laki-laki yang ingin menikah dengan mahar non materi yang berupa jasa atau manfaat, dengan tidak memberi mahar yang sulit, yaitu pekerjaan atau setiap sesuatu yang dapat diupahkan atau mendatangkan manfaat yang baik bagi istri maka sah dijadikan mahar. Mahar sebenarnya memiliki nilai yang penting dalam perkawinan dan sebagai pemberian yang wajib dalam suatu akad pernikahan, dalam firman Allah SWT (QS. an-Nisa/4:4).
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(QS. an-Nisa: 4). 115 1F
Hadits
Nabi
yang
memperkuat
statemen
yang
mewajibkan
memberikan mahar berupa jasa atau manfaat kepada calon istri sebagai berikut:
ٍ ِ ﻮل .ﻚ اﷲ إِ ِّﱐ َ ﻳﺎََر ُﺳ:ﺖ َ َﺖ ﻧَـ ْﻔ ِﺴﻲ ﻟ ْ َﱠﱯ َﺟﺎءَﺗْﻪُ ْاﻣَﺮأَةٌ ﻓَـ َﻘﺎﻟ َﻋ ْﻦ َﺳ ْﻬ ِﻞ ﺑْ ِﻦ َﺳ ْﻌﺪ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ ُ ﻗﺪ َوَﻫْﺒ ِ ﻓَـ َﻘﺎﻣ ِ ْﻨِﻴ ﻓَـ َﻘ َﺎل.ﺎﺟﺔ ْ َ َ َﺎرَﺳُﻮلَ اﷲِ زَﺟوﱢ ـْﻬَﺎ إِنْ ﻟَـﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻟَﻚَ ﻬﺑَﺎ َﺣ: ﻓَـ َﻘ َﺎم َر ُﺟ ٌﻞ ﻓَـ َﻘ َﺎل.ًﺖ ﻗﻴَ ًﺎﻣﺎ ﻃَ ِﻮﻳْﻼ 114
Ibid. Kementrian Agama RI, al-Qur’an Terjemah dan New Cordova dilengkapi Asbabun Nuzul, Fadhilah Ayat, Hadits tentang al-Qur’an, Blok Qur’an per Tema Ayat, dan Indeks Tematik, (Bandung: Syamil Qur’an,2012), hlm. 77. 115
67
ِ ِ ِِ ِ ِ ﻫﻞ ِﻋﻨﺪ َك ِﻣﻦ ﺷﻲ ٍء ﺗ: اﷲ ِ ﻮل ﱠﱯ اِ ْن ُ َر ُﺳ ﻓَـ َﻘ َﺎل اﻟﻨِ ﱡ. َﻣﺎ ﻋْﻨﺪ ْي اﻻﱠ ا َزا ِر ْي ﻫ َﺬا:ﺼﺪﻗـُ َﻬﺎ اﻳﱠﺎﻩُ؟ ﻓَـ َﻘ َﺎل ْ ُ ْ َ ْ َْ ْ َ ِ ِ ِ ِ َ َاَ ْﻋﻄَﻴﺘَـﻬﺎ اَِزارَك ﺟﻠَﺴﺖ ﻻَ اَِزار ﻟ ﺲ َوﻟَ ْﻮ َ ْ َ َ َْ َ ْ اﻟْﺘَﻤ: ﻓَـ َﻘ َﺎل. َﻣﺎ اَﺟ ُﺪ َﺷْﻴﺌًﺎ: ﻓَـ َﻘ َﺎل.ﺲ َﺷْﻴﺌًﺎ ْ ﻚ ﻓَﺎﻟْﺘَﻤ ٍِ ِ ِ ﻚ ِﻣﻦ اْ ُﻟﻘﺮ :آن َﺷْﻴ ٌﺊ؟ ﻗَ َﺎل ﻓَـ َﻘ َﺎل ﻟَﻪُ اﻟﻨِ ﱡ.ﺲ ﻓَـﻠَ ْﻢ َِﳚ ْﺪ َﺷْﻴﺌًﺎ ْ َ َ َﻫ ْﻞ َﻣ َﻌ: ﱠﱯ َ ﻓَﺎﻟْﺘَ َﻤ.َﺧ َﺎﲤًﺎ ﻣ ْﻦ َﺣﺪﻳْﺪ ِ ِ ِ ﻚ ِﻣﻦ اْ ُﻟﻘﺮ آن ُﺳ ْﻮَرةُ َﻛ َﺬا َو ُﺳ ْﻮَرةُ َﻛ َﺬا ﻟ ُﺴ َﻮٍر ﻳُ َﺴﻤْﱢﻴـ َﻬﺎ ﻓَـ َﻘ َﺎل ﻟَﻪُ اﻟﻨِ ﱡ.ﻧَـ َﻌ ْﻢ ْ َ َ ﻗَ ْﺪ َزﱠو ْﺟﺘُ َﻜ َﻬﺎ ﲟَﺎ َﻣ َﻌ: ﱠﱯ ”“ ُﻣﺘـ َﱠﻔ ٌﻖ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ
“Dari Sahl Ibnu Sa’ad bahwa sesungguhnya nabi saw. Pernah didatangi seorang perempuan, lalu perempuan itu berkata: ya Rosulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu, lalu perempuan itu berdiri lama, kemudian berdirilah seorang laki-laki lalu ia berkata: ya Rosulullah, kawinkannlah aku dengannya jika Engkau sendiri tidak berhajat sendiri kepadannya, kemudian Rosulullah saw. bertanya, “apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau pergunakan sebagai mahar untuknya?” Ia menjawab: aku tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini lalu nabi bersabda, jika engkau berikan pakaianmu itu kepadanya maka engkau tidak berpakaian lagi, Maka carilah sesuatu yang lain. Kemudian Nabi saw. Bersabda : “carilah meskipun cincin besi”. lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak menemukan apapun. Kemudian nabi saw bertanya kepadanya, Apakah engkau memiliki hafalan ayat alQur’an?” ia menjawab: ya, surat itu dan surat itu ia menyebutkannya nama-nama surat-surat tersebut, kemudian Nabi saw. Bersabda kepadanya, “ sungguh aku telah menikahkan engkau dengan apa yang engkau miliki dari al-Qur’an itu”. (HR Ahmad , Bukhori dan Muslim). 116 12F
Dan ada juga hadits yang memperkuat untuk menjadikan mahar manfaat atau jasa sebagai berikut:
ِ ﺻﻠﱠﻰ اَﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ْاﻣَﺮاًَة َﻋﻠﻰ َ " َرﱠو َج َر ُﺳ ْﻮ ُل اَﷲ: وﻋﻦ اﰊ اﻟﻨﻌﻤﺎن اﻻزدي ﻗﺎل َﻻ ﻳَ ُﻜ ْﻮ ُن ِﻻَ َﺣ ٍﺪ ﺑَـ ْﻌ َﺪ َك َﻣ ْﻬًﺮا" رواﻩ ﺳﻌﺪ ﰲ ﺳﻨﻨﻪ وﻫﻮ: ﰒ ﻗﺎل,ُﺳ ْﻮَرةٍ ِﻣ َﻦ اﻟْ ُﻘ ْﺮاَ ِن .ﻣﺮﺳﻞ “Dan dari Abu Nu’man al-Azdi, ia berkata: Rasulullah saw. Pernah menikahkan seorang perempuan dengan (mahar) atau surat dari alQur’an, kemudian ia bersabda, “Tidak (boleh) lagi sesudahmu ini al-
116
Syehk Faishol Ibnu Abdul Aziz al-Mubarok, Nailul Autar Jilid 5 Himpunan Haditshadits Hukum, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002), hlm. 2234-2236.
68
Qur’an sebagai mahar” (HR Sa’id dalam sunahnya dan Hadits ini mursal). 117 Hadits di atas selain memberi penjelasan tentang wajibnya memberi mahar juga menjelaskan bahwa mahar tidak ada batasan kadarnya, sebab sebentuk cincin besi atau mengajarkan al-Qur’an bisa dijadikan alasan bahwa mahar dapat berupa harta dan dapat pula berupa jasa atau manfaat yang sah dijadikan mahar dalam pernikahan. Menurut analisis penulis, bahwa menurut pendapat-pendapat ulama di atas dan dari pembahasan bab-bab sebelumnya, bila ditinjau dari segi non materi (jasa atau manfaat), mahar dengan mengajarkan al-Qur’an, masuk Islam, memerdekakan budak, atau pengajaran ilmu-ilmu agama lainnya dapat mendatangkan banyak keuntungan.Di samping itu juga banyak mendatangkan kemanfaatan, menikah dengan mahar tersebut mendatangkan banyak pahala tersendiri bagi suami atau istrinya, yang demikian ini jauh lebih mulia dibandingkan dengan harta benda yang bernilai jutaan. Hal ini akan dirasakan bagi mereka yang mengerti dan memahami manfaat mahar tersebut. Jika diukur dengan materi, maka tidak bisa disepadankan nilanya yang penting kedua belah pihak atas dasar sukarela, sehingga boleh saja memberikan mahar berupa materi maupun non materi yang berupa jasa atau manfaat. Seperti kita ketahui bahwa pernikahan pada zaman sekarang ini adalah suatu yang sudah menjadi umum,
pastinya berhubungan yang namanya
mahar. Dan mahar dikalangan masyarakat yang lebih umum adalah
117
Ibid., hlm. 2236.
69
memberikan mahar berupa uang, tetapi agama juga membolehkan mahar berupa manfaat atau jasa dengan manfaatnya sendiri. B. Analisis tentang penerapan mahar non materi pada zaman sekarang. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1 sub d menyebutkan bahwa mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, jasa, yang tidak bertentangan dengan Hukm Islam 118. Pasal 30 merumuskan bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. 119Garis Hukum pasal 30 KHI di atas, menunjukan
bahwa
calon
mempelai
laki-laki
berkewajiban
untuk
menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan, namun jumlah, bentuk, dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dan pihakmempelai perempuan. Penentuan mahar berdasarkan kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam (pasal 31 KHI). 120 Kesederhanaan dan kemudahan penentuan mahar yang dimaksud, menunjukkan bahwa Hukum perkawinan dalam Islam berbeda dengan Hukum kontrak sewa-menyewa dalam aspek keperdataan lainnya, sehingga Hukum perkawinan mengandung nilai-nilai ibadah kepada Allah SWT yang mewujudkan hak-hak dan kewajiban yang benilai ibadah diantara pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai wanita. 118
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), hlm. 1. Ibid.,hlm. 9. 120 Ibid. 119
70
Ibnu Taimiyah berkata, “Mahar wanita boleh banyak jumlahnya, jika ia mampu dan hukumnya tidak makruh. Kecuali jika disertai dengan hal-hal atau syarat lain yang bisa menjadikan hukumnya menjadi makruh, seperti diikuti dengan rasa kebanggaan dan kesombongan. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu untuk memenuhi jumlah yang besar tersebut, maka hukumnya makruh.Bahkan bisamenjadi haram jika benar-benar pihak lakilaki tidak bisa memenuhi hal itu atau mahar itu berbentuk benda yang diharamkan. Jika jumlah mahar yang ditentukan itu besar dan ia menyanggupi dengan ditangguhkan (tidak tunai), maka hukumnya juga makruh. Karena halini juga bisa menyibukan suami dengan tanggungan yang dipikulnya.” 121 Mahar yang banyak hukumnya tidak menjadi makruh, jika tidak bertujuan untuk berbangga diri dan kesombongan. Juga tidak untuk hura-hura serta tidak memberatkan pihak suami, sampai ia harus melibatkan orang lain dalam masalah ini. Jangan sampai hal ini membuat suami disibukan dengan tanggungan yang ia pikul, disebabkan jumlah mahar yang begitu berat, dengan berbentuk utang dan pinjaman. Inilah standar yang tepat untuk menjaga mashlahat bersama dan menghindarkan manusia dari bahaya yang bisa saja timbul tanpa terduga. Dari keterangan di atas sangatlah berguna bagi kebanyakan orang khususnya untuk calon mempelai perempuan yang sering menentukan mahar secara
berlebih-lebihandan
tidak
memedulikan
kondisi
suami
yang
miskin.Sehingga tidak terasa ternyata hal ini semakin menambah kesulitan 121
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, cet I, terj. Abdul Hayyie al-Kattani,dkk, (Jakarta: Gema Isani Press, 2005), hlm. 673.
71
baginya untuk melakukn pernikahan.Dari jumlah ataupun nilai mahar yang berlebih-lebihan ini, tidak diragukan lagi bahwa hukumnya makruh.Bahkan bisa menjadi haram, terutama jika pihak istri memberikan beban-beban lain yang harus ditanggungnya, seperti harus membeli pakaian yang mahal harganya, perkakas dan perlengkapan rumahyang mahal, kendaraan mewah dan walimah atau resepsi yang mewah. Dasar kerelaan dan suka sama suka menjadi fondasi yang sangat penting dalam membina rumah tangga, apabila kaum laki-laki dipersulit dalam pernikahan melalui persyaratan yang berupa materi (benda atau harta) yang jumlahnya harus besar dan juga ditentukan, maka ini akan menjadi masalah bagi kaum pria yang tidak mampu, serta ditambah lagi dengan pemberian mahar non materi (Jasa atau manfaat) yang harus jelas mempunyai sisi manfaat yang baik. Besarnya maskawin tidak menjamin langgengnya sebuah rumah tangga, karena banyak factor lain yang mempengaruhi keutuhan rumah tangga. Dalam konteks masyarakat Islam di Indonesia, yang sebagian besar menganut faham Syafi’iyah yaitu mengenal dan memperbolehkan adanya pemberian mahar jasa atau manfaat dalam akad pernikahan, jumhur ulama’ telah sepakat bahwa mahar memang bukan salah satu rukun maupun syarat dalam sahnya sebuah perkawinan. Ketentuan yang menguatkan mengenai pemberian mahar terhadap status perkawinan dapat di lihat dalam Kompilasi
72
Hukum Islam (KHI) Pasal 34 ayat (1) yaitu kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. 122 Peristiwa yang terjadi dalam masa Rasulullah saw tentang mahar berupa cincin besi dan mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an dan juga mengajarkan Hukum-hukm agama kepada istrinya, apabila dikaitkan dengan social kultur pada zaman sekarang ini, mahar berupa cincin besi, pengajaran beberapa ayat suci al-Qur’an maupun mengajarkan hukum-hukum agama yang sangat jarang dilaksanakan, karena banyak ditemui adat pemberian mahar di Indonesia ini atau pada zaman sekarang ini memberikan mahar berupa cincin, uang, atau barang lainnya yang hampir semuanya berupa seperangkat alat shalat dan juga sebuah kitab suci al-Qur’an. Hal ini seakan-akan menjadi suatu keharusan atau kewajiban tersendiri di setiap perkawinan pada akhirnya, kebiasaan ini menjadi suatu tradisi yang seakan-akan tidak afdhal (sah) kalau tidak dilaksanakan, karena adat kebiasaan ini yang ditentukan oleh calon istri dan calon suami, dan ada juga yang kehendak calon istri dengan menyebutkan beberapa keinginan yang di minta. Melalui analisis yang telah penulis lakukan, maka mahar bukanlah suatu yang mudah dan juga bukan suatu yang sukar.Dalam artian, segala sesutau yang dijadikan sebagai mahar terdapat konsekuensinya, karena sedikit atau banyaknya mahar yang diberikan kepada calon istrinya intinya kembali pada kemanfaatan benda atau jasa itu sendiri.
122
Kompilasi Hukum Islam,op. cit., hlm.10.
73
Jika mahar yang diberikan berupa mengajarkan beberapa ayat suci alQur’an atau mengajarkan ilmu-ilmu Agama lainnya baik masalah ibadah atau masalah yang terkait dengan ubudiyah, maka ini bisa dilakukan bertahap, tidak asal meminta dan juga memberikan mahar semata, tetapi lebih kepada tujuan dan manfaat dari benda atau jasa itu sendiri dan diharapkan dapat terhindar dari hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama, serta dapat lebih menunjang tinggi ketentuan Agama yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Nabi
Muhmmad saw mengizinkan sahabat menikah
dengan
mengajarkan beberapa ayat dari al-Qur’an, karena nabi memuliakan atas hafalan tersebut, dengan demikian tidak selayaknya mushaf al-Qur’an kita jadikan trend dimasa kini dalam memberikan mahar kepada calon istri. Memberikan mahar dengan “seperangkat alat shalat”, akan membawa kebaikan dan juga mendatangkan kemashlahatan bagi mereka yang memahami akan kegunaan dan keagungannya, kecuali mereka yang memberikan mahar “seperangkat alat shalat” hanya sebagai tradisi semata. Hal ini karena kemuliaan dan keagungan al-Qur’an sebagai kitab suci umat muslim. Kecenderungan masyarakat Indonesia menganggap mahar harus berupa harta benda yang berharga, sedangkan mahar berupa jasa atau manfaat belum biasa dilakukan pada zaman sekarang khususnya di Indonesia, padahal mahar non materi bisa saja mempunyai manfaat atau nilai yang jauh lebih berguna bagi diri istri yang lebih menekankan nilai ibadah.
74
Mahar non materi ini bisa menjadi syi’ar tetapi bisa juga menjadi sarana untuk mendapatkan penilaian social.Pertama, kita mengarahkan masyarakat pada suatu kesan yang baik terhadap Agama dan mudah-mudahan hati mereka bergerak.Kedua, penilaian masyarakat mengarahkan kita untuk menetukan mahar yang layak, baik, dan pantas. Halini tidak relevan dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa mahar berupa jasa atau mahar non materi terutama dalam mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an tidak sah dijadikan mahar dalam akad perkawinan dan digantikan dengan mahar mitsil. Dan sejalan dengan pendapat Imam Madzhab yang lainnya
yang sah menjadikan mahar non
materi atau jasa atau manfaat dalam akad pernikahan. Mahar berupa jasa ini sesuai dengan KHI, bahwa mahar boleh berupa uang, barang atau jasa, asal tidak bertentangn dengan Hukum Islam berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian serta analisis-analisis yang telah penulis paparkan pada babbab terdahulu, maka dapat di ambil beberapa kesimpulan sekaligus jawaban atas rumusan masalah yang ada, uraian tersebut sebagai berikut: 1. Pemberian mahar non materi dalam Hukum Islam ini terkait dengan pendapat Imam Madzhab tentang mahar non materi. Pendapat-pendapat tersebut adalah: 1). Imam Abu Hanifah, tidak membolehkan terutama mahar berupa jasa atau manfaat dalam membacakan atau mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an karena mahar tersebut tidak termasuk harta yang tidak boleh mengambil upah darinya, sehingga tidak sah untuk dijadikan mahar, namun darinya wajib dibayar mahar mitsil. 2). Imam Malik Hukum awalnya tidak membolehkan karena manfaat bukan termasuk harta, tetapi melihat ulama’-ulama’ yang lain membolehkan Imam Malik juga membolehkan dengan alasan
mahar manfaat atau jasa patut menjadi
mahar, Karena sama halnya dengan harta. 3). Imam Syafi’i membolehkan karena mahar yang berupa jasa atau manfaat yang dapat di upahkan sah dijadikan mahar. 4). Imam Ahmad Hambali membolehkan karena mahar berupa manfaat seperti halnya mahar berupa benda, dengan syarat manfaat harus diketahui. 2. Keterkaitan pemberian mahar non materi dalam akad perkawinan dengan konteks sekarang ini sesuai dengan KHI, bahwa mahar boleh berupa 75
76
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan Hukum Islam (KHI Pasal 1 sub d). Mahar itu bisa berdasarkan atas asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam (KHI Pasal 30). B. Saran Berdasarkan atas penelitian tentang pemberian mahar non materi telaah Hukum Islam dan implementasinya, penulis memberikan beberapa saran yang berkaitan pembahasan skripsi ini: 1. Seiring perubahan zaman, maka permasalahan dalam masyarakat semakin kompleks, maka penyelesaian yang bijaksana dapat di ambil dari Hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah dan Hukum-hukum yang lahir dari keduanya. Bagaimana pun juga dasar hukum yang telah diyakini itu sebagai petunjuk dan mampu memberikan jalan keluar dari problem tersebut dan perlu di tafsirkan kembali dengan kebutuhan umat masyarakat saat ini. 2. Islam menyukai kemudahan, maka mudahkanlah urusan pernikahan kalian semua, salah satunya adalah mempermudah urusan mahar. Hal ini Islam juga memiliki aturan tersendiri dan tidak ada ketentuan yang pasti tentang kadar mahar, akan tetapi dianjurkan agar segala sesuatu yang kita jadikan mahar tersebut tidak berlebihan serta mempunyai manfaat agar tidak mubadzir. 3. Al-Qur’an sebagai kitab umat Islam yang sangat mulia, sudah sepatutnya kita menghargai dan mengagungkannya. Aktualisasi dari pengagungan itu adalah tidak menggunakan al-Quran, termasuk alat shalat sebagai mahar
77
dalam pernikahan hanya karena mengikuti tren yang berkembang di masyarakat kecuali dia paham dan yakin dapat memanfaatkan al-Qur’an atau alat shalat tersebut dengan baik dan benar, begitu pula sebaliknya dengan mahar non materi baik yang mengajarkan al-Qur’an, masuk Islam, ataupun dengan suatu pekerjaan yang lain harus mempergunakan atau memanfaatkannya dengan baik. 4. Kepada wanita-wanita solehah apabila engkau dipinang oleh seorang lakilaki dan dia hendak menikahimu, dan apabila engkau ditanya tentang mahar, katakanlah atau mintalah suatu yang tidak memberatkan laki-laki, karena Islam menyukai orang-orang yang meringankan beban sesama muslim. 5. Marilah kita selalu mendekatkan diri pada sang Ilahi Rabbi yang selalu melimpahkan rahmatNya yang tiada batas dan tiada tara pada kita dan disiplin dalam beribadah karena menikah adalah suatu ibadah yang di ajarkan oleh Rasulullah. C. Penutup Segala puji dan syukur kita persembahkan keharibaan Allah yang maha pengasih yang senantiasa melimpahkan rahmat dan pertolongannya serta memberikan kejernihan berfikir kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masih penulis harapkan demi kesempurnaan studi lebih lanjut, atau tidak menutup kemungkinan bisa dikembangkan lebih jauh, lebih mendalam apalagi secara prioritas adalah lembaga atau perguruan tinggi yang bergerak
78
dalam kajian Syari’ah. Demi menutup kekurangan yang selama ini penulis alami. Akhirnya penulis juga berharap adanya pendiskripsian yang lebih mendalam mengenai “pemberian mahar non materi (Telaah Hukum Islam dan Implementasinya)” maupun yang lainnya. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan skripsi ini, namun penulis sangat menyadari bahwa penyususnan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik, guna kesempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. Karena penulis menyakini bahwa tidak ada karya Ilmiah yang sempurna. Dengan itu penulis mohon maaf yang sebanyak-banyaknya. Akhirnya penulis mohon kepada Allah SWT semoga semua pihak yang telah membantu terselesainya penyusunan skripsi ini mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT sebagai bentuk balasan amal shalih. Dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang bijaksana dan bagi pribadi penulis khususnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA ,
Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2011.
Abdul a’la al-Maududi dan Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan dalam Islam, Terj. al-Wiyah, Jakarta: Dar al-Ulum Perss, 1987. Abdul Aziz Muhammad Azam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat khitbah nikah dan talak, Jakarta: Amzah, 2014. Abidin, Slamet dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999. Al Aziz, Saifulloh, Fiqih Islam Lengkap pedoman Hukum Ibadah umat Islam dengan berbagai permasalahanya, Surabaya: Terbit Terang, tth. Al- Hafidz, Ahsin, Kamus Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013. Al Hasyimi, Sayyid Ahmad Bik, Mukhtarul Ahadis an Nabawiyyah wal Hikam al Muhammadiyyah, Surabaya: al-Hidayah, tth. Al-Asqolani, Ibnu Hajar, Fathul Baari syarah shohih Al bukhori, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Al-Kurdi, Ahmad Al-Hajj, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqh Islam, Semarang: Dina Utama, 1995. Al-Maliki, Muhammad Alwi, Syari’at Islam Pergumulan Teks dan Realitas, Cet I, Yogyakarta: elsaQ Press, 2003. Amini, Ibrahim, Kiat Memilih Jodoh menurut al-Qur’an dan al-Hadits, Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997. Anwar, Syaifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Asrori, Ma’ruf dan Mas’ud Mubin, Merawat cinta kasih suami istri, Surabaya: Al-Miftah, cet I, 1998. Asy-Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Madzhab, diterjemahkan oleh Sabil Huda dkk, dari al- Aimatul Arba’ah, Jakarta: Amzah, 2011, cet. Ke 7. Atsqalani, Ibnu Hajar, Tarjamah Hadist Bulughul Maram, Bandung: Gema Risalah Press, 1994. Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Pres, 1990.
79
80
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqh Islam Wa adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011. Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Mantiq, 1997. Dieb al-Bigha, Musthofa, at-Tadzhib Fi Adillati Matnil Ghayah Wat Taqrib, (Taqrib Dalil (matan Taqrib dan dalilnya) ), Terj. Aliy As’ad dan Ahmad Haidar Idris, Kudus: Menara Kudus, tth. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh kaidah-kaidah Hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, Cet 4, Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2011. Effendi, Satria, Ushul Fiqh, cet k3, Jakarta: Kencana, 2009. Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003. Haidir , Abdullah, Hadits Arba’in penjelasan hadits-hadits arba’in nawawiyah, Solo: Indiva Pustaka, 2010. Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hasaini, Kifayatul Akhyar fii Alli Ghayabatil Ikhtishar, Terj. Achmad Zaidun dan Ma’ruf Asrori, Surabaya: PT. Bina Ilmu.tth. Iskandar, Syadzili Ali Maghfur, Buku Nikah Lengkap, Surabaya: Al-Miftah, 2012. Jahrotunasipah, Ipah,Tradisi Mahar: Pemberian ataukah pembelian’?, Jakarta: Rahima, 2012. Kementrian Agama RI, al-Qur’an Terjemah dan New Cordova dilengkapi Asbabun Nuzul, Fadhilah Ayat, Hadist tentang al-Qur’an, Blok Qur’an per Tema Ayat, dan Indeks Tematik, Bandung: Syamil Qur’an, 2012. Mas’ud Mubin, dan A. Ma’ruf Asrori, Merawat cinta Kasih suami istri, Surabaya: Al-Miftah, 1998 Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Mughniyah, Muhammad Jawad, Al- Fiqh ’ala al-madzahib al- Khomsah terjemah Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, Fiqh Lima Madzhab, Cet 7, Jakarta: Lentera, 2001. Mujib, M.Abdul dkk, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. Muzadi, Abdul Muchith, Fikih Perempuan Praktis, Surabaya: Khalista, 2005.
81
Naim, Ngainun, sebuah pemikiran Hukum Islam, Cet I, Yogyakarta: Teras, 2009. Nazir, Moh, Metode Penelitian, Jakarat: Ghalia Indonesia, 1988. Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqh para Mujtahid, Terj. Imam Ghazali Said, Achmad Zaidun, Jakarta: Puataka Amani, 2007. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunah. Bandung: PT. Alma’arif, 1981. Saleh, Hassan, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pres, 2008. Sarwat, Ahmad, Seri Fiqh Islam Fiqh Nikah, cet I, Kampus Syari’ah, 2009. Shihab, Quraish, al-Lubab Makna, tujuan dan pelajaran dari surah-surah alQur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2012. Syehk Faishol Ibnu Abdul Aziz al-Mubarok, Nailul Authar, Jilid 5 Himpunan Hadist-
Hadist Hukum, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2002. Syaikh al-‘Alamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, Fiqh Empat Madzhab, Terj. ‘Abdullah Zaki Alkaf, Bandung: 2012. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang perkawinan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Syeikh Abdurrahman al- Jaziri, Fiqh ‘ala madzhabil arba’ah, Juz IV, Beirut, Libanon: Darul al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth. Taimiyah, Ibnu, Majmu Fatawa tentang nikah, Terj. Abu Fahmi Hunaidi dan Syamsuri An-Naba, Surabaya: Islam Rahmatan Putra Azam, tth. Taqi al-Din, Imam, Kifayatul Akhyar, Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiah, 1990. Uwaidah, Syekh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, Terj. Abdul Ghofur, Jakarta: Pusataka Al- Kautsar, 1997.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: YUNI NUR SAIDAH
Tempat & Tgl Lahir Alamat
: Jepara, 26 Agustus 1993 : Tubanan Sekuping RT 04 RW 07 Kembang Jepara
Agama
: Islam
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum (al-Ahwal al-
Syakhsiyyah) UNISNU
Jepara NIM
Pendidikan Formal
: 1211060
:
1. SDN 04 Tubanan 2. MTs Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara 3. MA Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara 4. INISNU Ex UNISNU Jepara
Lulus 2003/2004 Lulus 2007/2008 Lulus 2010/2011 2011 – Sekarang
Pendidikan Non Formal: 1. Pon pes Al-Husna Bangsri Jepara Th. 2008-2010 2. Pon pes Al-Qonitat Miftahun Najah Tahunan Jepara Th. 2011-Sekarang 3. Organisasi : 1. BEM Fak. Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara 2. PMII 3. Anggota Racana Kalijaga UNISNU Jepara 4. Anggota Paduan Suara UNISNU Jepara 5. Pengurus Pon Pes Jepara, 09 September 2015 Penulis
YUNI NUR SAIDAH NIM: 1211060