TINJAUAN FIKIH TENTANG MAHAR SEBAGAI PEMBERIAN DAN ATAU PEMBELIAN
SKRIPSI
Dibuat guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (1) dalam Ilmu Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara
Oleh : RIADHIYATI KHAFIDHOH (1211048)
PRODI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU )JEPARA TAHUN AKADEMIK 2014/2015
i
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM TERAKREDITASI B NOMOR : 032/BAN-PT/Ak-XII/S1/X/2009 Alamat : Jalan Taman Siswa (Pekeng) no.: 09 Tahunan Jepara 59427 Telp/Fax.: (0291) 593132/085640019811
http://www.syariah.unisnu.ac.id; E-Mail :
[email protected] PERSETUJUAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan telah menyetujui skripsi saudara : Nama : Riadhiyati khafidhoh NIM
: 1211048
Fakultas
: Syari’ah dan Ilmu Hukum
Program Studi
: Al-Ahwal al-Syakhshiyyah
Judul
: TINJAUAN FIKIH TENTANG MAHAR SEBAGAI PEMBERIAN DAN ATAU PEMBELIAN
Untuk diujikan dalam munaqasah skripsi. Nama
Tanggal
Tandatangan
Riadhiyati khafidhoh Pembimbing
..................... Tanggal
.................... Tandatangan
Hudi S.H.I., M.S.I
.....................
....................
ii
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM TERAKREDITASI B NOMOR : 032/BAN-PT/Ak-XII/S1/X/2009 Alamat : Jalan Taman Siswa (Pekeng) no.: 09 Tahunan Jepara 59427 Telp/Fax.: (0291) 593132/085640019811 http://www.syariah.unisnu.ac.id; E-Mail :
[email protected]
PENGESAHAN Bismillahirrahmanirrahim Skripsi mahasiswa di bawah ini Nama : Riadhiyati khafidhoh NIM : 1211048 Tempat, tgl.lahir : jepara 19 Januari 1994 Fakultas : Syari’ah dan Hukum Judul : TINJAUAN FIKIH TENTANG MAHAR SEBAGAI PEMBERIAN DAN ATAU PEMBELIAN Telah dimunaqasahkan oleh dewan penguji fakultas syariah dan hukum universitas aslam nahdlatul ulama dan dinyatakan ....................dengan nilai; ....... pada tanggal : / /2015 Dan dapat diterima sebagai kelengkapan syarat guna memperoleh gelar Sarjana strata 1 dalam ilmu syari’ah/hukun islam program studi al-ahwal al-syakhshiyyah. Jepara 30 September 2015 Dewan sidang, Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Drs. H. Barowi, M.Ag.
Hudi, S.H.I., M.S.I
PENGUJI I
PENGUJI II
Drs. H. Barowi, M.Ag.
Noor Rohman Fauzan, B.Ed., M.A Pembimbing
Hudi, S.H.I., M.S.I
iii
PERNYATAAN KEASLIAN Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab, saya Nama: Riadhiyati khafidhoh NIM: 1211048 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini: 1. Seluruhnya merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diterbitkan dalam bentuk dan untuk keperluan apapun 2. Tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali informasi yang tedapat dalam referensi yang dijadikan rujukan dalam penulisan sekripsi ini. Saya bersedia menerima sanksi dari fakultas apabila dikemudian hari ditemukan ketidak benaran dari pernyataan ini.
Jepara, 30 September 2015
RIADHIYATI KHAFIDHOH NIM : 1211048
iv
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “TINJAUAN FIKIH TENTANG MAHAR SEBAGAI PEMBERIAN DAN ATAU PEMBELIAN” dalam karya tulis ini peneliti menyuguhkan bagaimanakah menurut pandangan fikih tentang mahar, apakah sebagai bentuk pemberian dan ataukah sebagai bentuk pemberian. Dalam temuan penulis, setidaknya ada beberapa hal menarik yang penulis paparkan, bahwa ketentuan fikih tentang mahar pada zaman dahulu atau pada zaman jahiliyah kaum wanita tidak mempunyai hak bahkan dijadikan sebagai sebuah alat yang dipergunakan pemiliknya dengan sekehendak hati, setelah islam datang membersihkan itu semua dan memberikan kembali hak-haknya untuk menikah serta bercerai, juga mewajibkan laki-laki membayar mahar kepada mereka(kaum wanita). Sedangkan tradisi mahar pada zaman dahulu bahwa dari turunnya surat AnNisa’ ayat 4 bahwa kebiasaan para bapak(wali) menggunakan dan menerima mahar(maskawin) tanpa seizin putrinya, sedangkan pada konteks masa sekarang tradisi mahar keluar dari dogma agama(dalam hal ini adalah fiqh). Maka, dalam konteks egalitarisme(kesetaraan dan keadilan gender) dan sebagai upaya keluar dari hegemoni laki-laki, tardisi mahar dapat saja ditinggalkan tanpa harus merasa berdosa atau tanpa harus merasa takut akan dikucilkan secara sosial. Atau yang lebih “arif” adalah kembali pada relativitas hukumnya itu sendiri seperti diuraikan diatas yang memungkinkan pemberian mahar bisa berhukum mubah, sunnah, wajib, makruh atau bahkan haram.Yang pasti janganlah sekali-kali mempersulit diri ketika Tuhan sendiri menghendaki kemudahan. Hal inilah yang menjadi salah satu hal menarik dalam karya tulis ini yang akan dipaparkan oleh penulis. Dalam penulisan karya tulis ini penulis menggunakan metode kualitatif, Sedangkan metode penelitian ini bersifat deskriptif artinya suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Tuajuan dari penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena.
v
MOTTO
ٗۚ ْْم ۡنهُْن َۡف ٗساْفَ ُكلُوهُْ َه ِّن ٗ ٓيْاْ َّم ِّي ٗ ْٓا ِّ عنْش َۡي ٖء ِّ ِّ صد ُ َٰقَ ِّت ِّه َّنْ ِّن ۡحلَ ٗةْفَإ ِّ َْْو َءاتُوا َ ْنْط ۡبنَ ْلَ ُك ۡم َ ٱلن َ ْسا ٓ َْء ْْ٤ “Berilah maskawin kepada wanita yang kau nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmatnya, yang telah memberikan taufiq dan inayah-nya, sehingga dapat tersusunlah karya tulis ini, salawat salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, beliaulah Nabi yang memberi jalan terang bagi kita semua, amin. Dalam penulisan karya tulis ini penulis menggunakan metode kualitatif, Sedangkan metode penelitian ini bersifat deskriptif artinya suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Tuajuan dari penelitian deskriptif ini adalah
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena. Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia secara kodrati tanpa pengecualian dan keistimewaan bagi golongan, kelompok maupun tingkat sosial tertentu. Hak-hak tersebut mencakup antara lain hak atas kehidupan, keamanan, kebebasan berpendapat dan merdeka dari segala bentuk penindasan yang wajib dijunjung tinggi, tidak saja oleh setiap individu dari suatu Negara yang mengakui keberadaan dan merdeka dari segala bentuk penindasan yang wajib dijunjung tinggi, tidak saja oleh setiap individu dari suatu Negara yang mengakui keberadaan dan menghargai HAM itu sendiri, namun harus juga dijamin oleh Negara tanpa ada perkecualianya. Jaminan yang diberikan Negara atas hak-hak tersebut tidak dapat diartikan bahwa hak-hak tersebut lahir setelah
vii
Negara meratifikasi suatu konvensi
Internasional tentang HAM atau
mengeluarkan peraturan apapun yang menjamin hak asasi warganya, namun lebih merupakan tanggung jawab Negara dalam menjamin hak-hak yang telah dimiliki oleh setiap warganya secara kodrati dan memperlihatkan penghargaan Negara atas hak-hak tersebut. Karena hak hak yang paling asasi tersebut secara kodrati dimiliki oleh tiap manusia bersamaan dengan kelahirannya didunia sebagai seorang individu yang merdeka. Hak asasi manusia itu ditemukan dalam setiap hakikat kemanusiaan dan demi kemanusiaan yang harus terpenuhi.1 Penulis menyadari bahwa dalam menyusun penelitian ini tidak akan bearti tanpa adanya dukungan, bantuan, dan kerja sama antara pihak-pihak yang berperan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh kareana itu pada kesempatan dengan penuh perasaan tulus penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat : 1. Allah SWT 2. Bapak Prof. Dr. KH. Muhtarom HM, selaku Rektor UNISNU Jepara 3. Bapak Drs. H. Ahmad Bahrowi, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah 4. Bapak Hudi S.H.I., M.S.I. selaku Dosen pembimbing yang memberikan bimbingan kepada penulis. 5. Para staf fakultas Syari’ah dan Hukum . 6. Teman-Teman yang banyak membantu penulis, walau terkadang juga kalian sering ngrepotin. 7. Semua pihak yang tidak bisa disebut satu-persatu.
1
Dr. Niken Savitri, SH., MCL. HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap Kuhap, (Bandung: PT. Refika Aditama), Hlm: 1-2
viii
Meskipun penulis telah merasa berupaya semaksimal mungkin dan dibantu oleh berbagai pihak, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu dalam penelitiam dan kemampuan penulis yang kurang maksimal. Untuk itulah, penulis mengharap kritik dan saran yang konstruktif guna perbaikan dan penyempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dan bagi pembaca yang baik. Jepara 30 September 2015 Penulis
Riadhiyati khafidhoh NIM: 1211048
ix
PERSEMBAHAN
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun penelitian ini tidak akan bearti tanpa adanya dukungan, bantuan, dan kerja sama antara pihak-pihak yang berperan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh kareana itu pada kesempatan dengan penuh perasaan tulus penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat 1. Ayahanda Ikrom dan Ibunda Siti Munayyiroh adalah orangtua penulis beliaulah yang tak henti-hentinya memberikan motifasi dan doa sehingga penulis bisa sampai pada tahap seperti ini. 2. Bapak Prof. Dr. KH. Muhtarom HM, selaku Rektor UNISNU Jepara. 3. Bapak Drs. H. Ahmad Bahrowi, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah. 4. Bapak Hudi S.H.I., M.S.I. selaku Dosen pembimbing yang memberikan bimbingan kepada penulis 5. Semua Dosen-Dosen yang telah memberi bimbingan pada perkuliahan penulis. 6. Semua staf UNISNU yang telah banyak membantu terselesaikannya kuliah penulis. 7. Suami saya yang bernama M.Syaiful kalim S.Sy yang selalu memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Seluruh Keluarga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jepara
x
9. Seluruh Sahabat-Sahabat Organisasi Intra Kampus yang selama ini menjadi phatner penulis dalam bergerak bermetamarfosa menjadi individu yang lebih berkualitas.
xi
DAFTAR ISI 1. HALAMAN JUDUL ............................................................................. 2. HALAMAN NOTA PEMBIMBING ................................................... I 3. HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... II 4. PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................... III 5. ABSTRAK ............................................................................................. IV 6. HALAMAN MOTTO ........................................................................... V 7. HALAMAN KATA PENGANTAR................................................... VI 8. HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... IX 9. HALAMAN DAFTAR ISI.................................................................... XI BAB I : PENDAHULUAN.................................................................... ..1 a. Latar Belakang Masalah.... ............................................................... 1 b. Penegasan Judul ............................................................................... 8 c. Perumusan Masalah.......................................................................... 10 d. Tujuan Penelitian.............................................................................. 10 e. Manfaat Penelitian............................................................................ 11 f. Telaah Pustaka.................................................................................. 11 g. Metode Penelitian ............................................................................. 14 1. Jenis dan pendekatan penelitian................................................. 14 2. Metode pengumpulan data......................................................... 15 3. Metode analisis data................................................................... 16 h. Sistematikan Penulisan Skripsi ........................................................ 16 BAB II : PEMBAHASAN..................................................................... 20
xii
a. Mahar menurut islam ....................................................................... 20 1. Pengertian mahar ........................................................................ 20 2. Dasar hukum mahar ................................................................... 24 3. Syarat-syarat mahar ................................................................... 26 4. Banyak sedikitnya mahar .......................................................... 27 5. Hikmah adanya mahar .............................................................. 31 6. Kompilasi hukum islam tentang mahar .................................... 34 b. Fungsi mahar .................................................................................. 36 1. Sebagai pemberian ................................................................... 36 2. Sebagai pembelian .................................................................... 38 c. Kewajiban suami istri ..................................................................... 39 BAB III : OBJEK KAJIAN.................................................................. 42 a. Pandangan fikih tentang mahar ....................................................... 42 b. Mahar menurut empat madzhab ...................................................... 45 1. Ukuran mahar ............................................................................ 46 2. Membolehkan mengajar Al-qur’an untuk dijadikan mahar ...... 46 3. Menambah atau mengurangi mahar .......................................... 48 4. Ketidak mampuan suami membayar mahar ............................. 49 5. Ketidak sediaan pengantin wanita untuk digauli hingga dia menerima mahar ....................................................................... 50 6. Mahar secara rahasia dan mahar secara terang-terangan ......... 53 c. Mahar dalam kompilasi hukum islam ............................................ 53 d. Tradisi mahar ................................................................................. 55
xiii
1. Mahar dipedalaman .................................................................. 58 2. Mahar ditengah masyarakat pedesaan ...................................... 57 3. Mahar ditengah masyarakat perkotaan ..................................... 60 e. Kedudukan mahar dalam hukum perkawinan islam ....................... 61 BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................. 66 a. Analisis mahar dalam fiqih .............................................................. 66 b. Analisis pendapat empat madzhab tentang mahar .......................... 68 1. Ukuran mahar .............................................................................. 68 2. Membolehkan mengajar Al-Qur’an untuk dijadikan mahar ...... 69 3. Menambahkan atau mengurangi mahar ...................................... 71 4. Ketidak mampuan suami membayar mahar ............................... 72 5. Ketidak sediaan pengantin wanita untuk digauli hingga dia menerima mahar ......................................................................... 73 6. Mahar
secara
rahasia
dan
mahar
secara
terang-teragan
.................................................................................................... 75 c.
Analisis tentang mahar dalam kompilasi hukum islam ................ 76
d.
Tradisi mahar sebagai pemberian atau pembelian ......................... 86
e.
Kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga ........................... 88
BAB V : PENUTUP ............................................................................. 92 a. Kesimpulan....................................................................................... 92 b. Saran-saran ...................................................................................... 95 c. Penutup ............................................................................................. 96 10. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
xiv
11. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................. 12. LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................
xv
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah kebolehan melakukan hubungan kelamin.2 Dalam bahasa indonesia perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.3 perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh.4 Menurut(lughatan) pernikahan sebagai kehalalan farj perempuan atas laki-laki dalam hubungan seksual.5 Syarat sahnya sebuah penikahan adalah adanya mahar, mahar dalam bahasa arab shadaq. Asalya isim mashdar dari kata ashdaq, masdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin(benar), Dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin.6 Sedangkan menurut syara’ mahar adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara paksa
2
Syarifuddin Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 3, hlm.75. 3 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1994), cet. 3, hlm. 456. 4 Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul Al-Salam (Bandung: Dahlan, tt), hlm.109. 5 Yulianti Muthmainnah, Memposisikan Perempuan Dalam Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Rahima, 2010), cet. 1, hlm. 10. 6 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fikih Munakahat Khitbah, Nikah, Dan Talak, (Jakarta: Amzah, 2014 ), cet. 4, hlm. 174.
1
2
seperti menyusui.7 Para fuqaha berbeda dalam status mahar apakah sebagai pengganti pemanfaatan suami terhadap organ vital wanita atau ia sebagai penghormatan atau pemberian dari Allah, Al-Bajuri telah mengompromikan dua pendapat ini yang pada intinya, orang yang melihat lahirnya mahar sebagai imbalan pemanfaatan alat seks wanita mengatakan mahar sebagai kompensasi pemanfaatan alat seks wanita tersebut. Bagi yang melihat substansi dan batin bahwa sang istri bersenang-senang pada suami sebagaimana sang suami juga bersenang-senang pada istrinya, mahar dijadikan sebagai penghormatan dan pemberian dari Allah yang dikeluarkan suami untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang antara pasangan suami istri. 8 Allah SWT berfirman:
ٗۚ ْْم ۡنهُْن َۡف ٗساْفَ ُكلُوهُْ َهنِّ ٗ ٓيْاْ َّم ِّي ٗ ْٓا ِّ عنْش َۡي ٖء ِّ ِّ صد ُ َٰقَتِّ ِّه َّنْ ِّن ۡحلَ ٗةْفَإ َ ْنْط ۡبنَ ْلَ ُك ۡم َ َِّو َءاتُواْْٱلن َ ْسا ٓ َْء ْْ٤ “Berilah maskawin kepada wanita yang kau nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah(ambillah) pemberian itu(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya ”9 Nihlah adalah pemberian. Maskawin disebut nihlah karena perempuan bersenang-senang dengan suami sebagaimana suami bersenang-senang dengan istri dengan adanya maskawin, bahkan yang lebih senang adalah si
7
Ibid., hlm. 175. Ibid., hlm. 176. 9 Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah. 1998, hlm. 115. 8
3
istri, seolah-olah istri mengambil maskawin itu tanpa memberi imbalan apaapa kepada suami. Ada hadits antara lain:
ِ َِّ يارسو َل:جاءتْه امرآَةٌ ف قالَت.عن سه ِل ب ِن سع ٍدا َّن النِِب ص م ت َ َت نَ ْف ِس ْى ل ْ فَ َق َام,ك َّ ّ َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ُ ا ِّّن قَ ْد َوَهْب,اّلل ْ ُ َ َ ْ ََ َْ ُ َ َ ِ َِّ يارسو ُل:فَ َقا َل,فَ َقام رجل,ًقِياماطَ ِويل .اّللِ ص م َّ ال َر ُس ْو ُل َ فَ َق،ٌك ِِبَاحاَ َجة َ َ َزِّو ْجنِْي َها ا ْن ََلْ يَ ُك ْن ل،اّلل ْ ًَ ُْ َ َ ٌ َُ َ ِ ِ ماعِن:ال ِ ِ هل ِعند َك ِمن شي ٍء ت "اِ ْن.َِّب ص م ُّ ِدي االَّ ا َزا ِر ْى َه َذا فَ َقا َل الن ْ ُ ْ َ ْ َْ ْ َ ْ ْ َ َ صد قُ َهاايَّاهُ ؟ فَ َق ِ ِ َ فَ َق,ً مااَ ِج ُد َشيئا:ال ِ َ َاَ ْعطَيتَ هااِزارَك جلَست الَاِزارل ,س َولَْو َخا ََتاً ِم ْن َح ِديْ ٍد ْ َ َ س َشْيئاً" فَ َق ََ َ ْ َ ََ َ ْ ْ الْتَم:ال ْ ك فَ ْلتَم نَ َع ْم:ال َ َك ِم َن الْ ُق ْر ِان َشْي ُئ؟ ق َ َه ْل َم َع.َِّب ص م ُّ ِ فَ َقا َل لَهُ الن,ًس فَلَ ْم ََِي ْد َشْيئا َ فَ ْلتَ َم =ك ِمنَا الْ ُق ْرا ِن =متفق عليه َ فَ َق,ُس ْوَرةُ َك َذ َاو ُس ْوَرةُ َك َذالِ ُس َوٍريُ َس ِّمْي َها َ قَ ْد َزّو ْجتُ َك َها ِِبَا َم َع.ِب ص م ُّ ِّال لَهُ الن “Dari Sahl bin Sa’d, bahwa sesungguhnya Nabi saw. Pernah didatangi seorang perempuan, lalu perempuan itu berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu, lalu perempuan itu berdiri lama, kemudian berdirilah seorang laki-laki lalu ia berkata: Ya Rasulullah, kawinkanlah aku dengannya jika engkau sendiri tidak berhajat kepadanya; kemudian Rasulullah saw bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau pergunakan sebagai mahar untuknya?” Ia menjawab: Aku tidak memiliki apapun melainkan pakaianmu ini lalu Nabi bersabda, jika engkau berikan pakaianmu itu kepadanya maka engkau tidak berpakaian lagi, maka carilah sesuatu yang lain. Kemudian Nabi saw bersabda, “carilah, meskipun cincin besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak menemukan apapun. Kemudian Nabi saw. Bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki hafalan ayat alQur’an? Ia menjawab: Ya, surat anu dan surat anu, ia menyebutkan nama-nama surat-surat tersebut, kemudian Nabi saw. Bersabda kepadanya, “sungguh aku telah menikahkan engkau dengan apa yang engkau miliki dari al-Qur’an itu”. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)”. 10 Perempuan itu berhak memiliki maskawin karena akad nikah yang sah, atau karena maskawinnya sudah ditentukan, sebab maskawin itu sebagai akad untuk mendapatkan ganti dan gantinya adalah manfaat kemaluan
10
Mu’amal Hamidy,Imron,Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar Himpunan HaditsHadits Hukum, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002), hlm. 2234.
4
perempuan serta manfaat-manfaat lain dari diri perempuan, maka si perempuan pun mendapat imbalan, jadi seperti masalah jual beli. Demikian itu apabila penentuan maskawinnya sah. Kalau tidak, maka si perempuan berhak mendapatkan mahar mitsil.11 Dalam sejarah keberadaan, perempuan lebih sering dikaitkan dengan mitos-mitos dan dimuati lebih banyak makna bila dibandingkan laki-laki. Bahkan menurut Nasaruddin Umar, dua cairan yang keluar dari tubuh perempuan yang berupa “darah” dan “air susu” sangat berpengaruh terhadap kebudayaan manusia. Dari keduanya mengalir mitos-mitos yang bermuara pada konstruksi ideologi gender dalam masayarakat. 12 Menurut analisis Kris, menggambarkan bahwa di dalam rumah terdapat komponen-komponen semantis(makna yang lebih luas dari rumah tangga)
yang
hirarkhis(tangga),
saling yaitu
beroposisi(berhadap-hadapan), atas
(pimpinan/pengatur)
bahkan –
bersifat
bawah(yang
dipimpin/yang diatur); luar(publik) – dalam(domestik); jantan(maskulin) – betina(feminim). Pasangan laki-laki dan perempuan dalam sebuah pernikahan selanjutnya akan menempati posisi-posisi tersebut, yaitu siapa di atas dan siapa di bawah; siapa yang mengatur dan siapa yang di atur; siapa yang bertanggung jawab urusan luar(publik) dan siapa yang bertanggung jawab atas urusan dalam(domestik). Berdasarkan pembagian tersebut, secara sosiologis, laki-laki dikonstruksikan untuk perempuan di posisi yang kedua.
11 12
1, hlm. 61.
Ibid., hlm. 417. Irwan Abdullah, Sangkaan Paran Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), Cet.
5
Penempatan ruang-ruang tersebut, disebagian masayarakat bersifat absolut, namun pada sebagian masyarakat lain bersifat relatif.13 Untuk mengukuhkan posisi-posisi tersebut, secara turun temurun, disosialisasikanlah tentang peran dan status laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga, dimana laki-laki ditempatkan sebagai the firts class(kelas sosial yang pertama) dan perempuan sebagai the second class(kelas sosial yang kedua). Semakin kuat laki-laki menempatkan diri di posisi yang pertama, maka dalam struktur sosial ia akan semakin menyingkirkan peran perempuan. Dampaknya, laki-laki memiliki banyak priviledger, akan selalu dianggap sebagai penanggung jawab, keputusannya akan selalu didengar, pendapatnya dianggap sebagai nafkah, selalu mengatur, dapat menjatuhkan talak kapanpun dia mau, menjadi saksi penuh atas dirinya dan sebagainya.14 Namun konstruksi sosiologis ini berdampak sebaliknya bagi perempuan, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, perempuan bukan yang utama, perempuan boleh dipoligami, perempuan akan dianggap nusyuz ketika tidak taat pada suaminya, pendapat perempuan tidak penting(tidak mengandung kekuatan hukum), perempuan tidak dapat menjadi saksi(kecuali dua orang), perempuan tidak bisa menjadi imam bagi laki-laki, perempuan tidak bisa menjadi wali, perempuan baru bisa menikah jika mendapat persetujuan walinya dan sebagainya.15 Relasi gender yang timpang ini menimbulkan beban psikologis baik laki-laki maupun perempuan, sebagai contoh ketika seseorang karena suatu 13
Irwan Abdullah, op. cit., hlm. 139. Ibid., hlm. 247. 15 Ibid., hlm. 248.
14
6
hambatan tidak dapat memenuhi konstruksi gender di atas, maka ia seringkali mendapatkan stigma atau pelabelan tidak baik. Misalnya, seorang laki-laki yang terkena korban PHK kemudian memilih di rumah dan melakukan beberapa pekerjaan rumah, oleh masyarakat dipandang sebelah mata, menjadi sumber gosip, direndahkan dan sebagainya. Demikian juga jika ada seorang perempuan yang bekerja di luar rumah dan sukses, gajinya tinggi, sedangkan suaminya di rumah, maka ia sering digosipkan sebagai perempuan yang “menguasai” laki-laki.16 Padahal peran-peran gender bukanlah sesuatu yang absolut. “hidup adalah kompromi-kompromi”, begitulah ungkap seorang sahabat. Baginya tidak ada kekuatan yang absolut, semua adalah relatif, semua bisa didiskusikan, bisa dikomunikasikan dan bisa didialogkan. Sayangnya, ketika sebagian orang menganggap tak ada kompromi, karena konstruksi gender dianggap berasal dari teks agama, maka hal tersebut tak dapat di bantah ataupun digugat(dikritisi), dan tak ada dialog ataupun diskusi. Dalam hal ini, penempatan relasi laki-laki dan perempuan dibangun berdasarkan oposisi binner(saling berhadap-hadapan). Berkaitan dengan kontruksi relasi gender yang timpang di dalam masyarakat, sekarang penulis akan mengaitkan antara mahar, dimanakah posisi mahar dalam kaitannya dengan urusan rumah tangga serta sex. Apa dampak mahar terhadap posisi, peran dan status perempuan di dalam rumah tangga? Apakah mahar memiliki kontribusi yang signifikan dalam 16
Ipah Jahrotunasipah, Tradisi Mahar Pemberian Ataukah Pembelian, (Jakarta: Rahima, 2012), cet. 1, hlm. 12.
7
membangun sosio-psikologis pasangan dalam memasuki rumah tangga?(alQur’an dan hadits) berbicara tentang mahar ini? penulis akan menjelaskan pada bab selanjutnya. Memasuki pernikahan adalah memasuki dunia yang masih abu-abu, belum jelas, ketidakjelasan ini apakah perempuan atau laki-laki akan memperoleh kebahagiaan ataukah sebaliknya mendapat kesengsaraan di dalam rumah tangganya. Apakah perempuan atau laki-laki memiliki kedudukan atau setara di dalam rumah tangganya ataukah justru mendapatkan relasi yang timpang akibat budaya patriarki? Apakah perempuan dan laki-laki memiliki kebebasan yang sama secara proporsional dan seimbang? Semua pertanyaan tersebut kembali kepada masing-masing individu di dalam memahami status dan peranannya di dalam rumah tangga. Pemahaman ini merujuk kepada keyakinan atau idiologi yang dibangun, presprektif yang dibentuk, dan tentu saja yang tak kalah penting adalah pengalaman hidup sehari-hari di lingkungan masing-masing. Setelah menikah perempuan dan hak-haknya terlupakan. Perempuan sebagai seorang istri seolah-olah hanya mempunyai kewajiban yaitu kewajiban untuk suami dan keluarganya, untuk pergi keluar rumah atau mengikuti kegiatan sosial haruslah seijin suami, jika suami tidak merestui atau mengijinkan maka perempuan tidak dapat berbuat apa-apa. Terjadi penguasaan atau dominasi laki-laki kepada perempuan. Perempuan tidak mempunyai kebebasan, kemerdekaan bagi dirinya sendiri. Terlebih adanya pemahaman agama yang mengatakan bahwa ijin atau restu
8
suami adalah restu tuhan, murkanya suami adalah murkanya tuhan. Pandangan atau asumsi ini seringkali dipakai untuk menguasai dan menghilangkan kemerdekaan perempuan. Maskawin adalah tradisi yang ada di banyak kebudayaan, tak terkecuali dalam kebudayaan Islam, sebutannya dikenal dengan istilah mahar. Semua madzhab fiqh sepakat memandang mahar sebagai wajib. Undangundang Pernikahan tahun 1974 yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam(KHI) pun menyebutkannya sebagai wajib, meski tanpa menyebut adanya sanksi bagi pihak yang menolak memberi mahar.17 Namun, UU pernikahan menyebutkan kalau mahar ini tidak termasuk syarat maupun rukun pernikahan. Tetapi, pernikahan tidak dapat dilangsungkan tanpa kehadiran sebuah mahar.
B. Penegasan Judul Untuk memudahkan pembahasan dan menjaga agar tidak terjadi kesalah pahaman tentang judul penelitian ini, maka perlu adanya penegasan istilah yang berkaitan dengan judul tersebut. Adapun judul skripsi ini adalah TINJAUAN FIKIH TENTANG MAHAR SEBAGAI PEMBERIAN DAN ATAU PEMBELIAN Tinjauan
: Lihat.18
Fiqih
: Pemahaman berbagai persoalan hukum Islam berdasarkan
17
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra umbara, 2013), cet. IV, hlm. 331. 18 Djaka. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masakini, (Surakarta: Pustaka Mandiri, tt), hlm. 310.
9
hasil ijtihad ulama dalam memahami alquran dan hadits yang diakaitkan dengan realitas yang ada. Fiqih mencakup tataran ibadah dan muamalah. 19 Tentang
: hal, perihal, terhadap, berhadapan dengan, tepat, kirakira, mengenai.20
Mahar
: pemberian
wajib
dari
mempelai
laki-laki
kepada
mempelai perempuan baik berupa uang atau barang dan diberikan ketika akad berlangsung; maskawin.21 Barang, uang atau jasa yang berharga dan wajib diberikan oleh suami kepada istrinya karena adanya akad nikah. Memberikan mahar hukumya wajib. Pemberian mahar merupakan bentuk kesetiaan suami terhadap istri dan membuktikan kerelaan istri menjadi pendamping hidup suami. Apabila mahar telah diberikan, maka mahar tersebut menjadi milik istri secara individual. Sebaliknya, apabila istri menyerahkan mahar tersebut kepada suami setelah
diterimanya,
maka
pemberian
itu
hanya
merupakan kemurahan hati istri kepada suami.22 Pemberian : berasal dari kata beri dan disisipkan kata PE-AN Beri yang artinya sesuatu yang di terima orang lain.
19
Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh,(Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 45. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), cet. 4, hlm. 43. 21 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 256. 22 Ahsin W. Alhafidz, op. cit., hlm. 135. 20
10
Pembelian : berasal dari kata beli dan disisipkan kata PE-AN. Beli yang artinya memiliki barang dengan menukar uangnya
dengan
barang
tersebut
sesuai
dengan
kesepakatan antara yang menukarkan uanganya dengan penjual barang tersebut.23 Studi
: Study = pelajaran
analisis
Analisis = penyidikan terhadap suatu peristiwa(karangan, perbuatan,
dsb)
untuk
mengetahui
keadaan
yang
sebenarnya(sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb).24 Terhadap
: kepada.25
C. Perumusan masalah Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam judul skripsi ini adalah: 1.
Bagaimana ketentuan fiqih tentang mahar dalam masalah nikah?
2.
Apakah tradisi mahar sebagai bentuk pemberian atau pembelian?
3.
Bagaimana implikasi mahar dalam relasi suami istri?
D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui ketentuan fiqih tentang mahar dalam masalah nikah. 2. Untuk mengetahui tradisi mahar sebagai bentuk pemberian atau pembelian.
23
Djaka. op. cit., hlm. 31. Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hlm. 43. 25 Ibid., hlm. 380. 24
11
3. Untuk mengetahui implikasi mahar dalam relasi suami istri.
E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain sebagai berikut : 1. Teoritis a.
Menambah referensi ilmu pengetahuan hukum pada umumnya.
b.
Memberikan informasi kepada masyarakat untuk mendapatkan pemahaman tentang mahar sebagai pemberian dan atau pembelian.
2. Praktis a.
Bagi umat Islam khususnya di Indonesia, tentang mahar sebagai pemberian dan atau pembelian, dengan demikian masyarakat akan mengetahui dengan jelas.
b.
Menjadi wacana bagi keluarga untuk berhati-hati dalam membina sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera dengan dilandasi cinta kasih.
3. Akademik a. Sebagai sumbangan pemikiran yang berupa karya ilmiah kepada para pembaca pada umumnya dan bagi civitas akademika UNISNU Jepara pada khususnya.
F. Telaah Pustaka
12
Beberapa penelitian yang membahas tentang mahar atau mas kawin telah cukup banyak dilakukan, ada beberapa kepustakaan yang relevan dengan tema skripsi ini diantaranya: Dalam penulisan skripsi ini penulis menemukan skripsi lain yang dijadikan sebagai kajian terdahulu yaitu skripsi dari Wahib Ulinnuha INISNU Jepara
tahun
2010
yang
berjudul
“Batas
terendah
pembayaran
maskawin(studi analisis terhadap pandangan imam As-Syafi’i)” yang berisi bahwa ia tidak memberi batasan terendah dalam memberikan mahar kepada wanita, yang penting dalam perspektif Syafi’i itu mahar mempunyai nilai harga dipasaran. Skripsi dari Mursito IAIN Walisongo Semarang tahun 2006 yang berjudul “Analisis pendapat al Syafi’i tentang persengketaan penerimaan mahar yang berisi
menurut al Syafi’i”, apabila suami istri bersengketa
mengenai masalah penerimaan mahar, si istri mengatakan belum menerima mahar, sedangkan suami mengatakan telah memberikan mahar, maka yang dipegangi adalah kata-kata istri, adapun yang menjadi dasar atau metode istinbat hukum bagi Syafi’i dalam menghadapi persengketaan suami istri tentang penerimaan mahar adalah hadits dari Amri bin Syuaib. Skripsi dari Syamsul Muamar IAIN Walisongo Semarang tahun 2004 yang
berjudul
“Studi
analisis
pendapat
imam
al
Syafi’i
tentang
diperbolehkannya mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar” dari deskripsi hasil penelitian skripsi diatas menunjukkan bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad tetapi merupakan konsekwensi adanya akad.
13
Ahmad Haris Junaidi IAIN Walisongo Semarang tahun 2006 yang berjudul “Analisis pendapat imam Syafi’i tentang sahnya nikah syighar dengan menyebutkan mahar misil” yang berisi tentang Menurut imam Syafi’i, nikah syighar itu hukumnya haram, akan tetapi nikah ini bisa menjadi sah yaitu dengan adanya pemberian mahar misil. Muhammad Abdul Hakim IAIN Walisongo Semarang tahun 2006 yang berjudul “Tinjauan hukum Islam terhadap penentuan nominal mahar di desa mororejo kec. Kaliwungu kab.kendal” yang berisi Islam tidak menentukan kadar atau besar kecilnya mahar karena adanya perbedaan kemampuan, kaya dan miskin, lapang dan sempitnya kehidupan dan banyak sedikitnya penghasilan. Selain itu, tiap masyarakat mempunyai adat istiadat sendiri-sendiri atau tradisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Islam menyerahkan masalah kadar mahar tersebut kepada kemampuan masingmasing orang atau keadaan dan tradisi keluarganya. Yang membedakan skripsi penulis dengan skripsi sebelumnya adalah tentang Mahar sebagai pembelian dan atau pembelian. Kahar masyhur, Terjemahan Bulughul Maram, dalam kitab ini dijelaskan bahwa maskawin bukanlah harga seperti menjual sesuatu, tetapi kaitan moral antara suami, isteri dan walinya. 26 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Dijelaskan juga bahwa salah satu usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Di zaman Jahiliyyah hak
26
Kahar Masyhur, Bulughul Maram, (Jakarta: Pt Melon Putra, 1999), hlm. 60.
14
perempuan itu di hilangkan dan disia-siakan. Sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu ini. Kepadanya diberi hak mahar, dan kepada orang yang paling dekat kepadanya sekalipun tidak dibenarkan menjamah sedikit pun harta bendanya tersebut, kecuali dengan ridhanya dan kemampuannya sendiri. 27 Buku lain yang lebih spesifik membahas adalah buku karya Ipah Jahrotunasipah. Yang membahas tentang mahar sebagai pembelian dan atau pemberian. Kemudian juga tentang mahar pasal 30, 31, 32, 33, 34, 38 KHI.
G. Metode Penelitian 1. Jenis dan pendekatan penelitian Penelitian ini termasuk kategori penelitian pustaka(library research), artinya penelitian ini dilakukan dengan mengadakan kajian terhadap pustaka dengan cara mengumpulkan data secukupnya yang berhubungan dengan masalah yang akan di bahas, kemudian di analisis secara sistematis dan akurat. Adapun pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan penelitian
kualitatif
yang
bersifat
deskriptif,
penerjemahan
fenomena/kejadian, memberi titik tekan pada makna dan dalam proses
27
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, juz 7, (Bandung: Alma’arif, 1981), hlm. 53.
15
analisisnya lebih cenderung menggunakan pendekatan induktif.28 pendekatan yang dimaksud yaitu pendekatan yang dimulai dari pengamatan empiris terhadap fenomena, kemudian memolakkan hasilhasilnya dengan konsep untuk menarik kesimpulan.29 Oleh karenanya, materi yang tersaji berupa eksplorasi pemaknaan penulis terhadap mahar sebagai pemberian dan atau pembelian yang di pertemukan secara dialektik dengan ketentuan fiqih tentang mahar. Dengan demikian, sebuah pengetahuan yang dapat dibangun secara bottom-up dan induktif, sedangkan penulis tidak menyusun hipotesis. 2. Metode pengumpulan data Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer: yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, data tersebut diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat, melalui penelitian. b. Bahan hukum sekunder yakni yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.30 Oleh karena sumber data yang dicari dalam penulisan skripsi ini berupa buku-buku atau data kepustakaan, maka dalam pengumpulan data penulis gunakan metode dokumentasi, yaitu mencari atau menyelidiki 28
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002),
hlm. 22. 29
W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Grasindo, 2004), cet. 3, hlm. 37. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress, 1986), hlm. 12. 30
16
benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturanperaturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya. Langkah-langkah yang dilakukan penulis adalah mencari, meneliti dan menelaah ungkapan tentang mahar sebagai pemberian dan atau pembelian dalam buku tersebut. 3. Metode analisis data Penelitian kualitatif dilaksanakan untuk membangun pengetahuan melalui pemahaman dan penemuan(meaning and discovery). Penalaran induktif dan dialektik amat dominan dalam proses studi kualitatif.31 Penalaran induktif bergerak dari pencermatan fenomena khusus ke arah konsep yang lebih umum. Sedangkan penalaran dialektik meliputi pencermatan
atau
fakta-fakta
yang
bertentangan
dan
sekaligus
menggabungkannya dalam sebuah unit tunggal yang lebih besar yang terdiri dari unsur-unsur yang bertentangan tersebut.32 Dalam prosesnya, penulis mengawali analisis dari kasus berupa dituliskannya Tinjauan fiqih tentang mahar sebagai pemberian dan atau pembelian. Selanjutnya penulis mempertemukan fenomena unik tersebut dengan kaidah-kaidah fiqih yang bersifat umum tentang mahar. Hasil analisis terhadap keduanya kemudian disusun dalam bentuk kesimpulan.
H. Sistematika Penulisan Skripsi
31 32
Sudarwan Danim, op. cit., hlm. 36. Ibid., hlm. 82.
17
Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh dan memudahkan dalam memahami skripsi ini, maka di susun sistematika penulisan sebagai berikut: 1. Bagian muka, terdiri dari: Halaman judul, Halaman nota pembimbing, Halaman pengesahan, Halaman motto, Halaman persembahan, Halaman kata pengantar, Halaman daftar isi. 2. Bagian isi terdiri dari beberapa bab: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini meliputi Bab ini meliputi: A. Latar belakang masalah. B. Penegasan judul. C. Rumusan masalah. D. Tujuan penelitian. E. Manfaat penelitian. F. Telaah pustaka. G. Metode penelitian. H.
BAB II
Sistematika penulisan skripsi.
:LANDASAN TEORI Bab ini disajikan beberapa teori yang menjadi landasan pembahasan dalam penelitian secara keseluruhan. Adapun landasan teori yang dimaksud adalah
18
A. Mahar menurut Islam mencakup tentang pengertian mahar, banyak sedikitnya mahar, dasar hukum tentang mahar, hikmah adanya mahar, kompilasi hukum Islam. B. Fungsi mahar a. Sebagai pemberian. b. Sebagai pembelian. C. Kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga. BAB III
: OBJEK KAJIAN Bab ini penulis mendeskripsikan data-data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan. Data-data yang dimaksud dijabarkan dalam beberapa bagian, yaitu: A. Data tentang pandangan fiqih tentang mahar, apakah mahar itu sebagai pemberian dan atau pembelian untuk perempuan. B. Mahar menurut empat madzhab. C. Mahar dalam Kompilasi Hukum Islam. D. Tradisi mahar sebagai pemberian atau pembelian. E. Kedudukan mahar dalam hukum perkawinan Islam.
BAB IV
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab ini membahas analisis tentang : A. Analisis mahar dalam fiqih. B. Analisis pendapat empat madzhab tentang mahar.
19
C. Analisis tentang mahar dalam Kompilasi Hukum Islam. D. tradisi mahar sebagai pembelian atau pembelian. E. Kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga. BAB V
: PENUTUP Mencakup A. Kesimpulan B. saran-saran C. penutup
I. Bagian Akhir, terdiri dari: Daftar Pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup penulis.
20
BAB II PEMBAHASAN A. Mahar menurut Islam 1. Pengertian Mahar Mahar dalam bahasa arab shadaq. Asalya isim mashdar dari kata ashdaq, masdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin(benar), Dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin.33 Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”. Atau “suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa.34 Sedangkan menurut syara’ mahar adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara paksa seperti menyusui.35 Nihlah adalah pemberian. Maskawin disebut nihlah karena perempuan bersenang-senang dengan suami sebagaimana suami bersenangsenang dengan istri dengan adanya maskawin, bahkan yang lebih
33
Abdul Aziz Muhammad Azzam, loc.cit. Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 84. 35 Ibid., hlm. 175. 34
20
21
senang adalah si istri, seolah-olah istri mengambil maskawin itu tanpa memberi imbalan apa-apa kepada suami.36 Mazhab Maliki mendefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya.37 Mazhab Hambali mendefinisikan sebagai pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar ditentutkan di dalam akad, atau ditetapkan setelah dengan keridhaan kedua belah pihak atau hakim. Atau pengganti dalam kondisi pernikahan, seperti persetubuhan yang memiliki syubhat dan persetubuhan secara paksa.38 Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.39 Dari surat An-Nisa’: 4 pengertian maskawin adalah kewajiban suami dan sebaiknya berbentuk materi. Ia adalah lambang ketulusan dan kesediaan suami menepati janjinya–termasuk memelihara rahasia istri–serta kesediaannya memenuhi kebutuhan hidup istri dan anakanaknya. Istri bebas menggunakannya, termasuk hak memberi sebagian atau seluruhnya kepada suami.40
36
Muhammad Fuad, Fiqih Wanita, (Tt:Lintas Media, 2007), hlm. 397. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Pernikahan, Talak, Khuluk, Meng Illa, Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah. (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. 1, hlm. 230. 38 Ibid., hlm. 231. 39 Abdul Rahman Ghozali op. cit., hlm. 85. 40 M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna Tujuan, Dan Pelajaran Dari Surah-Surah AlQur’an Surah Al-Fatihah-Surah Hud, (Tanggerang :Lentera hati, 2012), cet. 1, hlm. 169. 37
22
Dari surat An-Nisa’: 24 pengertian mahar adalah harta pemberian wajib dari suami kepada istri, dan merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila diberikan oleh istri dengan sukarela. 41 Mahar adalah harta yang berhak didapatkan oleh seorang istri yang harus diberikan oleh sang suami, baik karena akad maupun persetubuhan hakiki.42 Tafsir surat an-Nisa ayat 4 menurut Imam al-Qurthuby: { ْعنْْشَيءْْ ِّمن ْهُْنَفساْْفَ ُكلُو ْهُْ َه ِّنيئاْْ َم ِّي ئا َّْ صدُقَا ِّت ِّه ِّ ْ} َوآتُوا َ ْْنْ ِّنحلَةْْفَإِّنْْ ِّطبنَْْلَ ُكم َ الن َ ْسا َْء
ِ . الواحدة صدقة،ص ُدقَاِتِِ َّن } الصدقات مجع َ َ { َوآتُوا النّ َساء: قوله تعاىل: األوىل: فيه عشر مسائل قال. وإن شئت فتحت وإن شئت أسكنت، وبنو َتيم يقولون صدقة واجلمع صدقات:قال األخفش . وحكى يعقوب وأمحد بن حيىي بالفتح عن النحاس. وال يقال بالفتح، يقال صداق املرأة بالكسر:املازّن "أمرهم هللا تعاىل بأن.واخلطاب يف هذه اآلية لألزواج؛ قال ابن عباس وقتادة وابن زيد وابن جريج وكان الويل يأخذ. اخلطاب لألولياء؛ قاله أبو صاحل: وقيل."يتربعوا بإعطاء املهور حنلة منهم ألزواجهم أن أهل: قال يف رواية الكلِب. فنهوا عن ذلك وأمروا أن يدفعوا ذلك إيل هن،مهر املرأة وال يعطيها شيئا وإن كانت،اجلاهلية كان الويل إذا زوجها فإن كانت معه يف العشرة َل يعطها من مهرها كثريا وال قليل ِ ِ ًص ُدقَاِتِِ َّن ْحنلَة َ َ { َوآتُوا النّ َساء:} غريبة محلها على بعري إىل زوجها وَل يعطها شيئا غري ذلك البعري؛ فنزل Tafsir surat an-Nisa ayat 4 menurut tafsir Ibn Katsir:43 Firman Allah Ta'ala, "Berikanlah kepada wanita maharnya sebagai kewajiban."Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan
41
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Pres, 1999), hlm.
54. 42
Wahbah Al-zuhaili, op. cit., hlm. 230. Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Tafsiru Al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Syihabuddin (Jakarta:Gema Insani, 2007), hlm. 651. 43
23
nihlah ialah mahar. Ada lagi yang mengatakan bahwa nihlah berarti kewajiban yang ditentukan besarnya. Dalam percakapan orang Arab, nihlah berarti sesuatu yang wajib. Allah berfirman, "Janganlah kamu mengawini wanita kecuali dengan memberikan sesuatu kepadanya secara wajib." Tidak selayaknya menyebut mahar dengan sebutan bohong dan tidak benar. Seorang lakilaki harus memberikan mahar yang disukainya. Jika seorang istri berbaik hati dengan memberikan mahar atau memberikan sebagiannya, setelah mahar
itu disebutkan kuantitasnya, maka suami
dapat memakannya
sebagai makanan yang halal lagi baik. Oleh karena itu Allah Ta'ala berfirman, " Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan sukarela, maka makanlah pemberian itu sebagai makanan yang halal lagi baik." Hasyim menriwayatkan dari Sayar, dari Abu Shalih , dia berkata, "Ada kebiasaan jika seorang ayah mengawinkan putrinya , maka dia mengambil maharnya sedangkan anaknya sendiri tidak. Maka Allah melarang perbuatan demikian dan menurunkan ayat "Dan berikanlah kepada wanita maharnya sebagai kewajiban. " Demikian pula menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir. Mahar merupakan satu hadiah yang harus dilakukan didalam perkawinan yang sifatnya merupakan satu simbol dari nilai ikatan yang diadakan untuk menunjukkan hidup baru yang dilaksanakan
24
dengan satu upacara serah menyerahkan dari suatu kehidupan bersama. Mahar tidak musti berbentuk benda tertentu, tetapi bisa merupakan ayat-ayat suci al-Qur’an, yang mempunyai arti. Pada dasarnya kata-kata mahar dari sumber yang sama Muhr yang artinya stemple.
Maka
mahar
itu
artinya
stempel
yang
mensahkan/mengabsahkan perkawinan itu.44
2. Dasar Hukum Mahar Al-Qur’an
ٗۚ ْْم ۡنهُْن َۡف ٗساْفَ ُكلُوهُْ َهنِّ ٗ ٓيْاْ َّم ِّي ٗ ْٓا ِّ عنْش َۡي ٖء ِّ ِّ صدُ َٰقَتِّ ِّه َّنْنِّ ۡحلَ ٗةْفَإ َ ْنْط ۡبنَ ْلَ ُك ۡم َ َِّو َءاتُواْْٱلن َ ْسا ٓ َْء “Berilah maskawin kepada wanita yang kau nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya ”45 Hadist
ِ َِّ يارسو َل:جاءتْه امرآَةٌ ف قالَت.عن سه ِل ب ِن سع ٍدا َّن النِِب ص م ت َ َت نَ ْف ِس ْى ل ْ فَ َق َام,ك َّ ّ َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ُ ا ِّّن قَ ْد َوَهْب,اّلل ْ ُ َ َ ْ ََ َْ ُ َ َ ِ َِّ يارسو ُل:فَ َقا َل,فَ َقام رجل,ًقِياماطَ ِويل .اّللِ ص م َّ ال َر ُس ْو ُل َ فَ َق،ٌك ِِبَاحاَ َجة َ َ َزِّو ْجنِْي َها ا ْن ََلْ يَ ُك ْن ل،اّلل ْ ًَ ُْ َ َ ٌ َُ َ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ "ا ْن.َِّب ص م َ ص ِد قُ َهاايَّاهُ ؟ فَ َق ُّ ِدي االَّ ا َزا ِر ْى َه َذا فَ َقا َل الن ْ َُه ْل عْن َد َك م ْن َش ْيء ت ْ َماعْن:ال ِ اعطَيت هااِزارَك جلَس ِ ْك فَل ِ ِ َ فَ َق,ً مااَ ِج ُد َشيئا:ال ,س َولَ ْو َخا ََتاً ِم ْن َح ِديْ ٍد َ َ َت الَا َز َارل َ ْ َ َ َ َ َْ ْ َ ْ َ َ س َشْيئاً" فَ َق ْ الْتَم:ال ْ تم نَ َع ْم:ال َ َك ِم َن الْ ُق ْرا ِن َشْي ُئ ؟ ق َ َه ْل َم َع.َِّب ص م ُّ ِ فَ َقا َل لَهُ الن,ًس فَلَ ْم ََِي ْد َشْيئا َ فَ ْلتَ َم =ك ِمنَا الْ ُق ْرا ِن =متفق عليه َ فَ َق,ُس ْوَرةُ َك َذ َاو ُس ْوَرةُ َك َذالِ ُس َوٍريُ َس ِّمْي َها َ قَ ْد َزّو ْجتُ َك َها ِِبَا َم َع.ِب ص م ُّ ِّال لَهُ الن “Dari Sahl bin Sa’d, bahwa sesungguhnya Nabi saw. Pernah didatangi seorang perempuan, lalu perempuan itu berkata: Ya 44
Fuad Mohd Fachrudin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam: Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat Dan Anak Zina, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 2000), hlm. 8. 45 Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah. loc.cit.
25
Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu, lalu perempuan itu berdiri lama, kemudian berdirilah seorang laki-laki lalu ia berkata: Ya Rasulullah, kawinkanlah aku dengannya jika engkau sendiri tidak berhajat kepadanya; kemudian Rasulullah saw bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau pergunakan sebagai mahar untuknya?” Ia menjawab: Aku tidak memiliki apapun melainkan pakaianmu ini lalu Nabi bersabda, jika engkau berikan pakaianmu itu kepadanya maka engkau tidak berpakaian lagi, maka carilah sesuatu yang lain. Kemudian Nabi saw bersabda, “carilah, meskipun cincin besi”. Lalu lakilaki itu mencari, tetapi ia tidak menemukan apapun. Kemudian Nabi saw. Bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki hafalan ayat al-Qur’an? Ia menjawab: Ya, surat anu dan surat anu, ia menyebutkan nama-nama surat-surat tersebut, kemudian Nabi saw. Bersabda kepadanya, “sungguh aku telah menikahkan engkau dengan apa yang engkau miliki dari alQur’an itu”. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)”. 46 Para ulama muslim juga berijma’(bersepakat) akan syari’at mahar tersebut dalam pernikahan, mereka menganggap mahar sebagai salah satu hukum atau pengaruh akad nikah, bukan syarat ataupun rukunnya. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT:
ٗۚ َ ْعلَ ۡي ُك ۡم ْإِّن ْْو َم ِّتعُو ُه َّن ْ َّ ُ سو ُه َّن ْأ َ ۡو ْت َۡف ِّي ُّ سا ٓ َْء ْ َماْلَ ۡم ْت َ َم َ ضوا ْلَ ُه َّن ْفَ ِّي َ ْ ّل ْ ُجنَا َح َ ِّطلَّْۡقت ُ ُم ْٱلن َ ض ٗة ۡ ۡ َٰ ۡ ۡ َْْعلَىْٱل ُم ۡح ِّسنِّين ِّْ علَىْٱل ُم ۡقتِّ ِّْيْقَدَ ُر ْهۥُْ َمت َ َۢعَاْبِّْٱل َمعۡ ُي َ ْوفْ َحقًّا َ علَىْٱل ُمو ِّس ْعِّْقَدَ ُر ْهۥُْ َو َ “Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh(campuri) atau belum kamu tentukan maharnya.......”47 Hukumnya adalah wajib atas orang laki-laki bukannya perempuan. Dan diwajibkan sebagaimana yang ditunjukkan oleh beberapa definisi dengan salah satu dari dua perkara ini karena 46 47
Mu’amal Hamidy, Imron,Umar Fanany., loc.cit. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 39.
26
persetubuhan di negara Islam tidak terlepas dari ‘uqr(hukuman hadd), atau ‘uqr(mahar), untuk menghormati kemanusiaan perempuan.48
3. Syarat-syarat Mahar Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, akan tetapi apabila mahar sedikit tapi maka tetap sah. b. Barangnya suci dan bisa dimabil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga. c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah. d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya. 49 4. Banyak Sedikitnya Mahar
48 49
Wahbah Az-zuhaili, op. cit., hlm. 231. Abdul Rahman Ghozali, op.cit., hlm. 87.
27
Para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya.50 Bahkan, suami berhak membayarkan berapa saja mahar kepada istrinya sesuai dengan kemampuan dan kerelaan hatinya. Ia membayarkan mahar itu kepada istrinya sebagai hadiah atau pemberian saat menikahinya. Allah SWT berfirman:
َ ْو َءات َۡيت ُ ۡم ْ ِّإ ۡحدَ َٰى ُه َّن ْ ِّقن ۡ ْ ن ْأ َ َردت ُّ ُم ْْم ۡنهُْش َۡيْ ۚٗا َْ ٱستِّ ۡبدَا ْۡ َو ِّإ ِّ ط ٗاراْفَ ََل ْت َۡأ ُخذُوا َ ل ْزَ ۡو ٖج ْ َّم َكانَ ْزَ ۡو ٖج ْ٠٢ْ..... “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun darinya....”51 Atas dasar itulah, kadar maksimum mahar tidak ditentukan batasannya, tetapi disesuaikan dengan kemampuan suami dan kerelaan hatinya, dengan catatan tidak berlebihan dan tidak tergolong sikap tabzir. Islam merupakan agama yang mudah dan menyeru kepada kemudahan. Islam membenci sikap israf(berlebihan) dan tabzir(boros) serta menyeru agar tidak merugikan dan membahayakan mereka.52 Umar pernah ingin melarang sikap berlebihan dalam memberi mahar menurutnya, mahar tidak boleh lebih dari yang pernah diberikan di masa Rasulullah saw. Dan ketika ia turun dari mimbar, seorang wanita menyelanya. Wanita itu berkata, “Apakah Allah memberi kami, tetapi Umar yang menghalangi kami dari pemberian
50
Ibid., hlm. 88. Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 82. 52 Ahmad Rabi’ Jabir Ar-Rahili, Mahar Kok Mahal Menimbang Manfaat Dan Madharatnya, (Solo: Tiga Serangakai, 2014), hlm. 27. 51
28
itu? Seolah kamu belum mendengar kalam Allah ‘sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak’? akhirnya, Umar membatalkan rencanannya dan menarik pendapatnya lagi.53 Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik. Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut. Imam Abu Hanifah berbeda pendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham adalah sabda Rasulullah saw.
ِ در .اهم ََ َ
ِالَيَ ُك ْو ُن الْم ْهرأَقَ َّل ِم ْن َع َشرة َ ُ َ
“Bukanlah mahar jika kurang dari 10 dirham.”(HR Turmudzi). Ia berkata harta tersebut bisa menghalalkan salah satu organ tubuh seorang wanita, seolah ia disetarakan dengan nisab yang dapat
53
Ahmad Rabi’ Jabir ar-Rahili, op. cit., hlm. 28.
29
memotong tangan seorang pencuri. Kesimpulannya para fuqaha terbagi menjadi dua kelompok dalam menetapkan kadar minimum mahar.54 Pangkal silang pendapat ini kata Ibnu Rusyd ada dua hal yaitu: -
Ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya.
-
Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan
mahar
dengan
mahfum
hadits
yang
tidak
menghendaki adanya pembatasan.55 Adapun pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada batasan maksimum mahar, sebagaimana tidak ada batas minimumnya. Akan tetapi, suami boleh membayarkan hartanya berapapun sesuai dengan kemampuan dan kerelaan hatinya. Penulis menguatkan pendapat itu karena memandang bahwa dalil-dalil yang menyatakan pendapat tersebut lebih kuat. Allah SWT berkalam:
ْ٠٤ْ.....اْو َرآ َءْ َٰذَ ِّل ُك ۡمْأَنْت َۡبتَغُواْ ِّبأَمۡ َٰ َو ِّل ُكم َ َوأ ُ ِّح َّلْلَ ُكمْ َّم..... “......Dihalalkan bagimu selain(wanita-wanita) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu.....”56
54 55 56
Ahmad Rabi’ Jabir ar-Rahili, op. cit., hlm. 30. Abdul Rahman Ghozali, op. cit., hlm. 88-89. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 83.
30
Ayat diatas turun sehubungan dengan kemenangan kaum muslimin dalam peperangan Hunain. Pada peperangan tersebut kaum muslimin banyak mendapatkan tawanan perang berupa wanita-wanita ahli kitab, yaitu dari kalangan orang-orang Nasrani dan Yahudi. Ketika wanita-wanita itu akan dicampuri oleh orang-orang yang menawannya, mereka menolak dengan alasan masih bersuami. Oleh sebab itu kaum muslimin mengajukan pertanyaan tentang masalah ini kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw memberikan jawaban atas dasar ayat ini, yang ayat ini baru saja diturunkan oleh Allah SWT. Di dalam ayat ini ditegaskan, bahwa mereka itu tidak halal untuk digauli sebagaimana lazimnya suami istri oleh pemiliknya. Sebab mereka masih mempunyai suami yang sah. (HR. Thabrani dan Ibnu Abbas). Orang-orang Hadhrami(Hadramut) membebani kaum lelaki untuk membayar maskawin(mahar) dengan harapan untuk memperberat mereka, sehingga tidak dapat membayar pada waktu yang sudah ditentukan.
Hal
mana
dimaksudkan
agar
mendapat
tambahan
pembayaran. Sehubungan dengan kebiasaan yang seperti Allah SWT menurunkan ayat ke-24 sebagai ketentuan tentang pembayaran maskawin, yaitu dengan dasar keridhaan dari kedua belah pihak, yaitu calon suami dan calon istri. Pembayaran maskawin harus dirunding antara kedua belah pihak, sehingga mengeluarkan kesepakatan bersama
31
yang tidak saling memberatkan sebelah pihak. (HR. Ibnu Jarir dari Ma’mar bin Sulaiman dari ayahnya).57 Di dalamnya termasuk harta yang sedikit ataupun yang banyak. Jadi, dibolehkan membayar mahar berapa pun asal keduanya samasama rela. Akan tetapi, kami berpendapat bahwa sesuatu yang tidak bernilai tidak layak dijadikan mahar, sedangkan sesuatu yang memiliki nilai boleh. Itu pendapat Umar, Ibnu Abbas, al-Hasan al-Basri, Sa’id bin al-Musyyab, al-Awza’i, Ahmad, Ishaq dan Syafi’i.58
5. Hikmah adanya mahar Mahar sebagai salah satu sistem dan aturan yang ditetapkan Allah
untuk
para
hamba-Nya
juga
memiliki
hikmah
yang
dikehendaki-Nya. Yang terungkap bagi kita, di antara hikmah dari mahar itu adalah sebagai berikut. -
Mahar bertujuan untuk memuliakan wanita, artinya di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada satu sistem yang mengakui hak-hak wanita dan menempatkan mereka pada tempatnya yang layak selain sistem dan aturan Islam. Hal itu tidak lain karena sistem Islam adalah sistem rabbani, bersumber dari Tuhan Penguasa manusia dan penciptanya, Pengatur semua urusannya, sesuai dengan keadaan khusus pribadi masing-masing
57
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 1, hlm. 220.
ْAhmad Rabi’ Jabir Ar-Rahili, op. cit., hlm. 31.
58
32
dan sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri, baik laki-laki maupun wanita. Diantara bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita adalah bahwa Islam mensyari’atkan mahar sebagai sebuah kewajiban. Mahar tersebut wajib diberikan seorang laki-laki kepada seorang wanita saat ingin menikahinya. Mahar yang merupakan sejumlah harta atau yang serupa dengannya, diberikan kepada wanita sebagai hadiah atau hibah dan simbol bagi kehormatannya. Mahar juga sebagai bukti penghormatan, cinta, dan kasih sayang kaum laki-laki terhadapnya sehingga pada diri wanita itu tertanam rasa percaya diri, kehormatan, dan kebanggaan diri. Mahar pun bisa menjadi pengikat yang kuat hubungan antara suami dan istri. Mahar dapat menumbuhkan ‘rasa memiliki’ pada diri wanita karena dia adalah manusia yang fitrahnya ‘ingin memiliki’. Oleh karena itu, Islampun memuliakan wanita dengan mahar tersebut agar menjadi hak milik yang tetap baginya. Tidak seorang pun yang boleh bertindak hukum apa pun terhadap mahar itu, kecuali dirinya sendiri. Bahkan, orang yang paling dekat dengannya tidak berhak, selama ia tidak mengizinkannya. -
Mahar adalah modal seorang wanita dalam mempersiapkan dirinya sendiri. Sebelum menikah, seorang wanita tinggal di rumah bapaknya dalam keadaan terhormat dan masih dibiayai bapaknya
33
sesuai kemampuan. Jika ia sudah beralih ke rumah suaminya, tentu ia membutuhkan pakaian yang indah dan cantik. Ia juga membutuhkan perhiasan yang dikenakannya saat pernikahan, seperti parfum, benna, bedak, dan bahan kosmetik lainnya yang dibelahkan Allah SWT. Dengan demikian, ia bisa berpenampilan sebagai seorang istri yang layak untuk suami, suami pun bisa menjaga
pandangan
dan
kemaluannya
dari
hal-hal
yang
diharamkan Allah SWT. Pada kondisi ini, mahar menjadi dana pendukung baginya dalam membeli segala perlengkapan dan kebutuhannya, baik yang berupa pakaian, perhaiasan, maupun keperluan lainnya. Oleh karena itu. Allah SWT mewajibkan mahar dan disunnahkan bagi suami agar menyerahkan sebagaian mahar kepada calon istrinya walaupun sedikit, sebelum pernikahan dilangsungkan. Syeikh Muhammad Abu Zuhrah dalam kitab al-Ahwal asy-Syaikhsiyah berkata, “Jika seorang wanita berpindah dari rumah bapaknya kerumah suaminya, ia akan menghadapi kehidupan dan bahtera yang untuk itu, ia membutuhkan pakaian, perhiasan, dan parfum yang layak untuk diri dan kecantikannya. Dan selazimnya bagi suami memberikannya hal-hal yang dibutuhkan dalam mewujudkan segala keperluan itu. Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkan mahar atas suami dan tradisi juga
34
mewajibkan pembayaran mahar itu sebagiannya sebelum hari pernikahan”. 59 -
Hikmah mahar adalah menunujukkan pentingnya dan posisi akad ini, serta untuk menghormati dan memuliakan perempuan. Juga memberikan dalil bagi pembinaan kehidupan perkawinan yang mulia
bersamanya.
Memberikan
niat
yang
baik
dan
keberlangsugannya perkawinan. Dengan adanya mahar, seorang perempuan dapat mempersiapkan semua perangkat perkawinan yang terdiri dari pakaian dan nafkah.60
6. Kompilasi Hukum Islam Dalam kompilasi hukum Islam bab 5 Pasal 3 menjelaskan bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Pasal 31 menjelaskan penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Pasal 32 menjelaskan mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu menjadi hak pribadinya. Pasal 33 menjelaskan: 1.
59 60
Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
Ahmad Rabi’ Jabir Ar-Rahili, op. cit., hlm. 15-17. Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 232.
35
2.
Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria. Pasal 34 menjelaskan :
1.
Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
2.
Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. Pasal 35 menjelaskan:
1.
Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan.
2.
Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya.
3.
Apabila perceraian terjadi qobla al dukhul tetapi seluruh besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil. Pasal
36 menjelaskan
apabila
mahar
hilang sebelum
diserahkan, maka itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
36
Pasal 37 menjelaskan apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama. Pasal 38 menjelaskan 1.
Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat kurang,
tetapi
calon
mempelai
wanita
tetap
atau
bersedia
menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. 2.
Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum bayar.61
B. Fungsi Mahar -
Sebagai pemberian Untuk menghormati kemanusiaan perempuan Pertama, sekadar akad yang shahih bisa jadi hilang keseluruhannya
atau
setengahnya,
selama
ditegaskan
dengan hubungan badan atau kematian, atau dengan khalwat menurut mazhab Hanafi dan Hambali. Kedua persetubuhan itu yang bersifat hakiki sebagaimana halnya kondisi persetubuhan yang dilakukan dengan syubhat, atau dalam perkawinan yang fasid. Dalam 61
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tetang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2013), hlm. 331-333.
37
kondisi yang seperti ini mahar tidak jatuh kecuali dengan pelunasan atau dengan pembebasan. Undang-undang negara Syiria, pasal 35 telah menyebutkan, seorang istri wajib untuk mendapatkan mahar hanya dengan akad yang shahih, baik mahar tersebut ketika pelaksanaan akad atau tidak disebut atau dinafikkan sejak semula. Firman Allah SWT,
ٗۚ ْْم ۡنهُْن َۡف ٗساْفَ ُكلُوهُْ َهنِّ ٗ ٓيْا ِّ عنْش َۡي ٖء ِّ ِّ صدُ َٰقَتِّ ِّه َّنْنِّ ۡحلَ ٗة ْفَإ َ ْنْط ۡبنَ ْلَ ُك ۡم َ َِّو َءاتُواْ ْٱلن َ ْ سا ٓ َْء ْ٤َّْم ِّي ٗ ْٓا “Dan berikanlah maskawin(mahar) kepada perempuan(yang kamu nikahi) sebagai pemberian yag penuh kerelaan .” (an-nisa’: 4) Maksdunya pemberian dari Allah SWT sebagai permulaan ataupun hadiah. Ayat ini ditujukan kepada para suami menurut kebanyakan para fuqaha. Ada juga yang berpendapat, ditujukan kepada para wali karena pada masa jahiliah mereka mengambilnya dan mereka menamakannya sebagai nihlah. Hal ini merupakan dalil bahwa mahar merupakan simbol bagi kemuliaan seorang perempuan, dan keinginan untuk berpasangan. Allah SWT berfirman,
ْعلَ ۡي ُك ْۡۚٗمْ َوأ ُ ِّح َّلْلَ ُكم َّْ ْب َْ ِّ ْ َص َٰنَتُْْ ِّمن َ ِّْٱّلل َ َ سا ٓ ِّْءْ ِّإ َّّلْ َماْ َملَ َك ۡتْأ َ ۡ َٰ َمنُ ُك ۡمْ ِّك َٰت َ ٱلن َ ۞و ۡٱل ُم ۡح ٗۚ س ِّف ِّح ۡ ْينَ ْفَ َما ْٱست َمۡ ت َعۡ تُمْبِّ ِّْهۦ ِّ اْو َرآ َءْ َٰذَ ِّل ُك ۡمْأَنْت َۡبتَغُواْبِّأَمۡ َٰ َو ِّل ُكمْ ُّم ۡح َ َٰ صنِّينَ ْغ َۡي َيْ ُم َ َّم ٗۚ ْ٠٤ْ..........ْض ٗة َّْ ور ُه َ نْفَ ِّي َ ِّم ۡن ُه َّنْفَْاتُو ُه َّنْأ ُ ُج
38
“maka istri-istri yang telah kamu nikmati(campuri) diantara mereka maharnya(dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban.” (an-nisa:24). Allah SWT juga berfirman,
ْ٠٢ْ........ْْمن ُك ۡم ِّ َو َمنْلَّ ۡمْ َ ۡست َِّط ۡع “Dan berilah mereka maskawin yang pantas”(an-nisa’:25) Juga firman-Nya,
ْعلَ ۡي ُك ۡۚٗم َّْ ْ ب َْ َ ْ ِّٱّلل َ َ سا ٓ ِّْء ْإِّ َّّل ْ َما ْ َملَ َك ۡت ْأ َ ۡ َٰ َمنُ ُك ۡم ْ ِّك َٰت َ ِّص َٰنَتُْ ْ ِّمنَ ْٱلن َ ۞و ۡٱل ُم ۡح ْ٠٤ْ......... “Dan dihalalkan bagimu selain(perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina (an-nisa’:24)”62 -
Sebagai pembelian
ditujukan kepada para wali karena pada masa jahiliah mereka
mengambilnya
dan
mereka
menamakannya
sebagai nihlah.63
Apabila seorang ayah menghalangi anaknya untuk menikah karena semata-mata dia ingin mendapatkan harta yang banyak, sehingga seolah-olah anak perempuannya itu barang dagangan yang ditentukan harganya sekian dan sekian atau dengan tawar menawar.64
Sebagai pengganti kehormatan dari seorang perempuan karena perempuan mempunyai hak untuk menerima mahar
62
Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 231. Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 256. 64 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa kontenporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 63
561.
39
sebelum adanya persetubuhan. Tetapi oleh para fuqaha diperselisihkan.65
C. Kewajiban Suami Istri Karena antara suami dan istri sudah mengikat diri dalam suatu ikatan perkawinan, dan ikatan perkawinan, dan ikatan tersebut merupakan ikatan yang luhur dan suci, maka konsekuensinya, di antara kedua belah pihak tersebut(antara suami dan istri) timbullah hak dan kewajiban sesuai hukum yang berlaku. Di antara hak, kewajiban dan kedudukan dari suami yang diatur oleh hukum adalah sebagai berikut: 1. Suami mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang seimbang dengan istrinya. 2. Suami adalah cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami mempunyai kedudukan hukum sebagai kepala rumah tangga. Karena itu, dia berkewajiban untuk melindungi istri dan anak-anaknya dan memberikan nafkah. 4. Suami(bersama-sama dengan istri) berwenang untuk menentukan tempat kedudukan bersama. 5. Suami berwenang untuk mengajukan gugatan cerai terhadap istrinya jika istrinya tersebut melalaikan kewajibannya sebagai istri.
65
Wahbah Az-Zuhaili, loc.cit.
40
6. Suami berhak untuk menyangkal anak yang dilahirkan oleh istrinya jika suaminya dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dengan lakilaki lain, dan anak tersebut merupakan hasil dari perbuatan perzinahan tersebut. Sedangkan di antara hak, kewajiban dan kedudukan dari istri yang datur oleh hukum adalah sebagai berikut: 1.
Istri mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang seimbang dengan suaminya.
2.
Istri juga cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum.
3.
Istri mempunyai kedudukan hukum sebagai ibu rumah tangga, sehingga dia berkewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
4.
Istri(bersama-sama dengan suami) berwenang untuk menentukan tempat kedudukan bersama.
5.
Istri berwenang untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya jika suaminya tersebut melalaikan kewajibannya sebagai suami. 66
66
hlm. 19.
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014),
41
BAB III OBJEK KAJIAN
A. Pandangan fiqih tentang mahar Masa datangnya Islam berbeda dari masa jahiliyah yang penuh dengan kezhaliman, dimana pada saat itu kaum wanita tidak dapat bernafas lega. Bahkan hanya seperti sebuah alat yang dipergunakan pemiliknya dengan sekehendak hati. Ketika datang dengan panji-panjinya yang putih, Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri wanita melalui pemberian kembali hak-haknya untuk menikah serta bercerai.
Juga
mewajibkan
laki-laki
membayar
mahar
kepada
mereka(kaum wanita). Berkenan dengan hal ini Allah SWT berfirman:
ٗۚ ْْم ۡنهُْن َۡف ٗساْفَ ُكلُوهُْ َهنِّ ٗ ٓيْاْ َّم ِّي ٗ ْٓا ِّ عنْش َۡي ٖء ِّ ِّ صدُ َٰقَتِّ ِّه َّنْنِّ ۡحلَ ٗةْفَإ َ ْنْط ۡبنَ ْلَ ُك ۡم َ َِّو َءاتُواْْٱلن َ ْسا ٓ َْء “Berilah maskawin kepada wanita yang kau nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah(ambillah) pemberian itu(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”67
Juga dalam firman-Nya yang lain:
ْْم ۡن َّْ ْ ض َل ُْ ٱلي َجا َّ َسا ٓ ِّْء ْبِّ َما ْف ِّ ْوبِّ َما ٓ ْأَنفَقُوا َ ْ ض ُه ۡم َ ۡٱّللُ ْبَع َ ْ َل ْقَ َٰ َّو ُمون ٖ ۡعلَ َٰى ْبَع َ ِّعلَى ْٱلن ِّ َ ض ٗۚ ْ٤٤ْ......أَمۡ َٰ َو ِّل ِّه ْۡم “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka(laki-laki) atas sebagian
67
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 78.
41
42
yang lain(wanita) Juga karena mereka(laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.”68 Dalam surat yang lain, Allah berfirman:
َ ْو َءات َۡيت ُ ۡم ْ ِّإ ۡحدَ َٰى ُه َّن ْقِّن ۡ ْ ن ْأ َ َردت ُّ ُم ْْم ۡنهُ ْش َۡيْ ۚٗا َْ ٱستِّ ۡبدَا ْۡ َو ِّإ ِّ ط ٗارا ْفَ ََل ْت َۡأ ُخذُوا َ ل ْزَ ۡو ٖج ْ َّم َكانَ ْزَ ۡو ٖج ۡ ۡ َٰ ۡ ۡ ْ َْوأَخَذن َْ ْ َو َك ۡي٠٢ْاْو ِّإث ٗماْ ُّمبِّي ٗنا ُ ۡض َٰى ْ َبع َ ف ْت َأ ُخذُونَ ْهۥُْ َوقَ ۡد ْأ َ ۡف ٖ ۡض ُك ۡم ْ ِّإلَ َٰى ْ َبع َ ض َ أَت َأ ُخذُونَ ْهۥُْبُهۡ ت َ ٗن ٗ غ ِّل َ ْمْمي َٰث َقا ْ٠٢ْيظا ِّ ِّمن ُك “Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain, sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali, sedang sebagian suami-istri. Mereka(istriistri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat.”69 Dari Abdullah bin Amir bin Rubai’ah, dari ayahnya, ia berkata: ada seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Apakah engkau rela menyerahkan diri dan hartamu dengan sepasang sandal? Ya, jawabnya. Maka beliau pun membolehkan pernikahan tersebut” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi). Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berstatus hasan shahih. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah mahar ini. Sebagian dari mereka berpendapat, bahwa mahar itu diberikan sesuai dengan kesepakatan di antara calon pengantin. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyan Ats-Tsauri, Syafi’i, Ahmad dan Ishak. Sedangkan Imam Malik berpendapat: “Mahar itu tidak boleh kurang dari seperempat dinar.” Sebagian dari penduduk kaffah berpendapat: “Bahwa mahar itu
68 69
Ibid., hlm. 85. Ibid., hlm. 82.
43
tidak boleh kurang dari sepuluh dirham dan ini(mahar) wajib hukumnya menurut al-Qur’an dan As-Sunnat.” Dari ‘Uqbah bin Amir ra, ia berkata: bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling meringankan.” (HR. Abu Dawud, Al-Hakim). Sedangkan dari Aisyah ra, ia berkata: “Bahwa mahar yang diberikan oleh Nabi tidak pernah memberikan batasan pada mahar, lebih atau kurang. Karena, kebiasaan dalam memberikan perhatian sangatlah beragam dan keinginan-keinginan pun berbeda-beda. Selain itu, tingkat kesulitan yang ada pada setiap individu berbeda pula, sehingga tidak mungkin diberikan batasan kepada mereka. Sebagaimana tidak memungkinkan untuk diberikan batasan terhadap harga barang-barang yang disukai dengan batasan tertentu. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda:
ٍ الْت ِمس ولَوخاَتًَ ِامن ح ِد ) (رواه البخاري وأمحدوابن ماجه والرتمذي.يد َ ْ ََْ ْ َ “(Langsungkanlah pernikahan) meski hanya dengan(mahar) cincin yang terbuat dari besi.”(HR. Al-Bukhari, Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan ia men-shahihkannya). Janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam memberikan mahar kepada wanita. Karena, jika hal itu menjadi kemuliaan di dunia atau dapat menjadikan ketakwaan di sisi Allah, maka tentu Nabi saw yang lebih utama di dalam melakukan hal itu dari pada kalian. Aku tidak mengetahui Rasulullah menikahi isteri-isterinya dan menikahkan puteriputerinya dengan mahar yang melebihi dua belas ‘uqiyah. Demikianlah
44
dikatakan Umar ra. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi). Menurut Imam Tirmidzi. Menurut para ulama, satu ‘uqiyah
itu sama dengan empat
puluh dirham. Sedangkan dua belah ‘uqiyah sama dengan empat ratus delapan puluh dirham. Pendapat yang mengklaim, bahwa mahar itu tidak boleh diberikan kecuali dalam jumlah tertentu, maka dalam hal ini harus diberikan dalil yang shahih. Disamping itu, tidak diragukan lagi bahwa berlebih-lebihan di dalam memberikan mahar merupakan suatu hal yang dimakruhkan. Dari Umar ra, ia berkata: ketika diatas mimbar aku pernah melarang memberi mahar lebih dari empat ratus dirham. Ketika turun dari mimbar, ada seorang wanita Quraisy menyambutnya seraya berkata: tidaklah engkau mendengar Allah SWT berfirman: “sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak?” Selanjutnya ia mengucapkan: Ya Allah, maafkan aku, setiap orang lebih mengerti dari pada Umar. Lalu aku kembali menaiki mimbar dan berkata: “Sesungguhnya aku telah melarang kalian memberi mahar kepada kaum wanita lebih dari empat ratus dirham. Untuk itu, barang siapa hendak memberikan maharya lebih dari empat ratus dirham, maka yang demikian itu lebih disukai.(HR. Abu Ya’la dengan sanad jayyid).70
B. Mahar menurut empat madzhab
70
Muhammad Fuad, op.cit., hlm. 412.
45
Imam madzhab tidak membahas lebih spesifik tentang mahar sebagai bentuk pemberian atau sebagai bentuk pembelian, tetapi Imam madzhab ini membahas tentang: 1.
Ukuran mahar Para fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk mahar, karena tidak disebutkan di dalam syariat yang menunjukkan batasannya yang paling tinggi, berdasarkan firman Allah SWT,
َ ْو َءات َۡيت ُ ۡم ْ ِّإ ۡحدَ َٰى ُه َّن ْقِّن ۡ ْ ن ْأ َ َردت ُّ ُم ْْم ۡنهُ ْش َۡيْ ۚٗا َْ ٱستِّ ۡبدَا ْۡ َو ِّإ ِّ ط ٗارا ْفَ ََل ْت َۡأ ُخذُوا َ ل ْزَ ۡو ٖج ْ َّم َكانَ ْزَ ۡو ٖج ۡ َٰ ۡ ْ٠٢ْاْو ِّإث ٗماْ ُّم ِّب ٗينا َ أَت َأ ُخذُونَ ْهۥُْبُهۡ ت َ ٗن “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya.” (an-Nisaa’: 20)71 Membolehkan mengajar al-Qur’an untuk dijadikan mahar
2.
Hadist
ِ َِّ يارسو َل:جاءتْه امرآَةٌ ف قالَت.عن سه ِل ب ِن سع ٍدا َّن النِِب ص م ت َ َت نَ ْف ِس ْى ل ْ فَ َق َام,ك َّ ّ َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ُ ا ِّّن قَ ْد َوَهْب,اّلل ْ ُ َ َ ْ ََ َْ ُ َ َ ِ َِّ يارسو ُل:فَ َقا َل,فَ َقام رجل,ًقِياماطَ ِويل .اّللِ ص م َّ ال َر ُس ْو ُل َ فَ َق،ٌك ِِبَاحاَ َجة َ َ َزِّو ْجنِْي َها ا ْن ََلْ يَ ُك ْن ل،اّلل ْ ًَ ُْ َ َ ٌ َُ َ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ "ا ْن.َِّب ص م َ ص ِد قُ َهاايَّاهُ ؟ فَ َق ُّ ِدي االَّ ا َزا ِر ْى َه َذا فَ َقا َل الن ْ َُه ْل عْن َد َك م ْن َش ْيء ت ْ َماعْن:ال ِ اعطَيت هااِزارَك جلَس ِ ْك فَل ِ ِ َ فَ َق,ً مااَ ِج ُد َشيئا:ال ,س َولَ ْو َخا ََتاً ِم ْن َح ِديْ ٍد َ َ َت الَا َز َارل َ ْ َ َ َ َ َْ ْ َ ْ َ َ س َشْيئاً" فَ َق ْ الْتَم:ال ْ تم نَ َع ْم:ال َ َك ِم َن الْ ُق ْرا ِن َشْي ُئ ؟ ق َ َه ْل َم َع.َِّب ص م ُّ ِ فَ َقا َل لَهُ الن,ًس فَلَ ْم ََِي ْد َشْيئا َ فَ ْلتَ َم =ك ِمنَا الْ ُق ْرا ِن =متفق عليه َ فَ َق,ُس ْوَرةُ َك َذ َاو ُس ْوَرةُ َك َذالِ ُس َوٍريُ َس ِّمْي َها َ قَ ْد َزّو ْجتُ َك َها ِِبَا َم َع.ِب ص م ُّ ِّال لَهُ الن “Dari Sahl bin Sa’d, bahwa sesungguhnya Nabi saw. Pernah didatangi seorang perempuan, lalu perempuan itu berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu, 71
Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., hlm. 234.
46
lalu perempuan itu berdiri lama, kemudian berdirilah seorang laki-laki lalu ia berkata: Ya Rasulullah, kawinkanlah aku dengannya jika engkau sendiri tidak berhajat kepadanya; kemudian Rasulullah saw bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau pergunakan sebagai mahar untuknya?” Ia menjawab: Aku tidak memiliki apapun melainkan pakaianmu ini lalu Nabi bersabda, jika engkau berikan pakaianmu itu kepadanya maka engkau tidak berpakaian lagi, maka carilah sesuatu yang lain. Kemudian Nabi saw bersabda, “carilah, meskipun cincin besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak menemukan apapun. Kemudian Nabi saw. Bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki hafalan ayat al-Qur’an? Ia menjawab: Ya, surat anu dan surat anu, ia menyebutkan nama-nama surat-surat tersebut, kemudian Nabi saw. Bersabda kepadanya, “sungguh aku telah menikahkan engkau dengan apa yang engkau miliki dari al-Qur’an itu”. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)”. 72
ِ "رَّوج رسو ُل:ال ِ ِ َّ ِ ّ صلَّى ,مرأَةً َعلى ُس ْوَرةٍ ِم َن اْل ُقراَ ِن ّ ْ ُ َ َ َ َ َي ق َ اّلل ِّ َو َع ْن أَِِب الن ُّْع َمان اْأل َْزد َ ْاّللُ َعلَْيه َو َسل َم ا ) الَيَ ُك ْو ُن ِألَ َح ٍد بَ ْع َد َك َم ْهًرا" (رواه سعيد يف سننه وهومرسل:ال َ َُُثَّ ق “Dan dari Abu Nu’man al-Azdi, ia berkata: Rasulullah saw. Pernah menikahkan seorang perempuan dengan (mahar) satu surat dari al-Qur’an, kemudian ia bersabda, “tidak (boleh) lagi sesudahmu ini al-Qur’an sebagai mahar”. (HR Sa’id dalam Sunannya dan hadits ini Mursal)”. Syarikh rahimahullah berkata: Hadist Abu Nu’man yang mursal itu oleh Ibnu Hajar di dalam Fat-hul Bari dikatakan: dalam sanadnya ada nama yang tidak dikenal(majmul). Syarikh berkata: Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya menjadikan jasa(manfaat) sebagai mahar, walaupun jasa itu berupa mengajar al-Qur’an. Demikian menurut pendapat Syafi’i, Ishaq, Hasan bin Shahih dan Ulama ahlil bait. Dan Qadhi ‘Iyadh mengutip 72
Mu’amal Hamidy, Imron,Umar Fanany, loc.cit.
47
pendapat para Ulama selain golongan Hanafiyah yang menyatakan bolehnya minta upah dalam mengajar al-Qur’an, sedang hadits ini memiliki beberapa kandungan hukum antara lain tentang kekuasaan Imam sebagai wali bagi perempuan yang tidak berkeluarga.73
3.
Menambahkan atau mengurangi mahar Terkadang terjadi penambahan atau pengurangan pada mahar setelah akad. Yang dimaksud dengan penambahan adalah ditambahakan sesuatu pada mahar setelah akad berlangsung dengan sempurna. Sedangkan pengurangan terhadap mahar adalah mengurangi sebagian dari mahar atau menggugurkan semuanya setelah akad berlangsug dengan sempurna. Penambahan pada mahar Mazhab Hanafi berpendapat, jika suami yang telah dewasa atau wali anak kecil laki-laki(bapak atau kakek) menambah sesuatu pada mahar musamma setelah sempurnanya akad, dan kedua belah pihak saling merasa ridha terhadap mahar, maka mesti dilakukan penambahan sebab persetubuhan, atau sebab kematian si suami. Tambahan ini menjadi bagian dari asal mahar yang ditegaskan dengan sebab persetubuhan atau kematian. Menurut jumhur fuqaha selain mazhab Hanafi, mahar dibagi setengah dengan perceraian yang terjadi sebelum terjadi persetubuhan, seperti asal mahar. Penambahan ini menjadi batal dengan kematian
73
Mu’mal Hamidy Dkk. op.cit., hlm. 2236.
48
suami atau kepailitannya sebelum diterima, menurut mazhab Maliki karena tambahan ini seperti hadiah dan hadiah menjadi batal dengan kematian dan kepailitan sebelum diterima. Mazhab Hambali sepakat dengan pendapat mazhab Hanafi bahwa sesungguhnya tambahan dalam mahar setelah akad dimasukkan ke dalam akad. Mazhab Syafi’i berpendapat, tambahan tidak dimasukkan ke dalam akad. Jika dia lakukan tambahan, itu adalah hibah yang membutuhkan syarat hibah. Jika dia ceraikan istrinya setelah dia berikan hibah, maka dia tidak dapat mengambil kembali sesuatu yang dia telah hibahkan karena si suami memiliki kehormatan istri dengan mahar musamma dalam akad, maka dengan tambahan dia tidak mendapatkan sesuatu dari yang di akadkan. Jadi hibah tersebut bukanlah ‘iwadh dalam pernikahan, sebagaimana kalau dia hibahkan sesuatu.74
4.
Ketidak mampuan suami membayar mahar Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa, apabila suami tidak mampu membayar mahar, maka si istri tidak boleh mem-faskh perkawinan, dan hakim pun tidak boleh menjatuhkan cerai atasnya. Istrinya berhak untuk tidak digauli saja.
74
Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., hlm. 260.
49
Maliki mengatakan, apabila telah terbukti bahwa suami betulbetul tidak mampu membayar mahar, sedangkan dia belum pernah mencampuri istrinya, maka hakim harus memberi waktu penundaan yang sekiranya memungkinkan bagi dirinya untuk melunasi hutang maharnya itu. Kalau dia tetap juga tidak mampu, hakim bisa menetapkan cerai atas istrinya, atau si istri itu sendiri yang menceraikan dirinya, dan hakim mensahkan perceraian tersebut. Sedangkan bila si suami sudah menggaulinya, maka istrinya tersebut tidak berhak untuk mem-faskh nikah sama sekali. Sementara imam Syafi’i berpendapat bahwa, manakala betulbetul terbukti bahwa si suami kesulitan membayar mahar dan dia belum pula mencampuri istrinya, maka si istri berhak mem-faskh perkawinan, tapi bila sudah dicampuri, dia tidak lagi berhak atas itu. Hambali mengatakan bahwa, si istri berhak melakukan faskh, sekalipun sudah dicampuri sepanjang dia tidak tau tentang kesulitan tersebut sebelum perkawinan. Sedangkan bila dia mengetahui hal itu sebelum terjadi perkawinan, dia tidak berhak atau faskh, dan dalam kasus ketika faskh diperbolehkan, maka yang berhak melakukan faskh hanyalah hakim. 75
5.
Ketidak sediaan pengantin wanita untuk digauli hingga dia menerima mahar 75
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali,(Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 371.
50
Para ulama madzhab sepakat bahwa istri(pengantin perempuan) berhak menuntut seluruh mahar yang dibayar kontan kepada suami dengan semata-mata terjadinya akad, dan dia berhak menolak digauli sebelum mahar tersebut diterimanya. Akan tetapi bila ia rela digauli sebelum menerima mahar, maka menurut kesepakatan seluruh mazhab kecuali Abu Hanifah tidak boleh menolak suaminya untuk selanjutnya. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan bahwa, dia berhak menolak digauli sesudah menerimanya. Pendapat ini ditentang oleh pengikutnya, Muhammad dan Abu Yusuf. Istri berhak atas nafkah manakala dia menolak digauli suaminya sebelum menerima mahar, dan sebelum suaminya menggaulinya, sebab, dalam kasus serupa ini, penolakannya tersebut memang didasarkan atas justifikasi syar’i. Akan tetapi bila dia tetap menolak sesudah menerima mahar atau sesudah digauli, maka dia tidak berhak atas nafkah, kecuali menurut pendapat Abu Hanifah. Kalau si istri masih kecil dan belum layak digauli, sedangkan suaminya sudah dewasa, maka ayah wanita tersebut berhak meminta maharnya tanpa harus menunggu anaknya baligh. Demikian pula halnya bila si istri sudah dewasa sedangkan suaminya masih anakanak, dia(istri) berhak meminta mahar kepada wali suaminya tanpa harus menunggu suaminya baligh. Imamiyah dan Syafi’i berpendapat bahwa, apabila suami-istri bersitegang, dimana si istri mengatakan, “saya tidak mau dicampuri
51
sebelum saya menerima mahar” dan suaminya pun ngotot mengatakan “saya tidak akan membayarnya sebelum engkau bersedia kugauli,” maka si suami harus dipaksa menyerahkan mahar tersebut kepada seseorang yang bisa dipercaya, dan si istri harus bersedia digauli. Kalau si istri sudah bersedia(dan telah terjadi percampuran) mahar pun diserahkan kepadanya, dan dia berhak pula atas nafkah. Tetapi kalau dia tetap tidak bersedia, mahar tersebut tidak diserahkan kepadanya. Dan kewajiban memberi nafkah pun gugur. Tetapi bila si suami tidak bersedia menyerahkan mahar, dia tetap diharuskan memberi nafkah manakala istrinya memintanya. Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa, penyerahan mahar harus didahulukan daripada penyeraan di wanita. Dengan demikian, suami tidak boleh mengatakan, “saya tidak akan menyerahkan mahar sebelum istri saya, saya peroleh.” Kalau dia tetap bersiteguh, dia diharuskan memberikan nafkah. Kemudian bila dia telah menyerahkan mahar tapi si istri tetap tidak mau digauli, maka si suami tidak boleh menarik kembali maharnya. Sementara itu Hambali mengatakan bahwa, si suami dipaksa lebih dulu menyerahkan mahar, seperti yang dikatakan oleh Hanafi tapi bila si istri tetap tidak bersedia digauli sesudah dia menerima maharnya, maka si suami berhak mengambil kembali mahar tersebut.76
76
Muhammad Jawwad Mughniyah, op.cit., hlm. 370.
52
6. Mahar secara rahasia dan mahar secara terang-terangan Jika seorang perempuan dinikahi dengan dua mahar; mahar rahasia, dan mahar terang-terangan. Yang wajib menurut madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi adalah apa yang dilakukan di dalam akad karena mahar wajib diberikan dengan akad. Yang diwajibkan adalah yang diakadkan dengannya dan karena penampakan mahar secara terang-terangan bukanlah yang ada di dalam akad, dan tidak berkaitan dengannya kewajiban sesuatu. Menurut mazhab Hambali, yang diambil adalah yang disebutkan secara terang-terangan. Meskipun mahar yang secara rahasia telah dilaksanakan di dalam akad pernikahan karena jika dilakukan akad secara terang-terangan setelah dilakukan akad secara rahasia, maka didapatkan darinya pemberian yang bertambah terhadap mahar rahasia. Oleh karena itu, wajib untuk menambahkan sebagaimana jika dia menambahkan maharnya.77
C. Mahar dalam kompilasi hukum Islam Dalam kompilasi hukum Islam bab 5 pasal 3 menjelaskan bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
77
Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., hlm. 237.
53
Pasal 31 menjelaskan penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam . Pasal 32 menjelaskan mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu menjadi hak pribadinya. Pasal 33 menjelaskan: 3.
Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
4.
Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria. Pasal 34 menjelaskan :
3. Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. 4. Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih
terhutang, tidak mengurangi
sahnya
perkawinan. Pasal 35 menjelaskan: 4. Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan. 5. Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya,
54
6. Apabila perceraian terjadi qobla al dukhul tetapi seluruh besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil. Pasal 36 menjelaskan apabila mahar hilang sebelum diserahkan, maka itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. Pasal 37 menjelaskan apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama. Pasal 38 menjelaskan 3. Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. 4. Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum bayar.78
D. Tradisi mahar Manusia
lahir
dalam
ruang
dan
konteks
sosial
yang
membentuknya. Ia lahir di lingkungan keluarga dimana ia tumbuh dan berkembang. Di situlah ia mendapat sosialisai nilai-nilai dan norma-norma 78
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tetang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, op.cit., hlm. 331-333.
55
yang kemudian membentuk persepsi-persepsi tentang fakta-fakta dan realitas-realitas yang ditemuinya. Nilai-nilai dan norma-norma yang disosialisasikan adalah seperangkat cara untuk mewujudkan harapan masyarakat tentang peran-peran dan status seseorang. Dalam masyarakat “tertutup” yang ditandai dengan agama yang “statis”, menurut Karlina Supelli, nilai-nilai dan norma-norma sosial disosialisasikan tidak lain sebagai cara “memaksa” masyarakat kepada anggotanya supaya memiliki rasa berkewajiban dan menaatinya. Rasa berkewajiban ini dipelihara agar anggota selalu merasa bagian dari kesatuan masyarakatnya. Moralitas dasarnya adalah moralitas perintah yang tidak mengijinkan siapa pun untuk mempertanyakan kode-kode sosial yang berlaku. Maka dengan demikan, unsur yang paling pokok dalam masyarakat tertutup adalah kebutuhan mempertahankan tradisi dan konvensi, dan sekaligus mereka akan bersiaga untuk menyerang apa pun yang
dianggap
akan
meruntuhkan
keasuan(sosial)-nya.
Termasuk
masyarakat Arab atau Suku Quraisy saat itu dimana ego kabilah sangat diusung, akan sangat sulit meninggalkan praktik kehidupan yang secara sosial-budaya sudah mapan. Karena itu, jika kita menengok kepada tradisi memberi maskawin dalam seluruh kebudayaan manusia adalah tidak lain sebagai cara individu untuk memperoleh pengakuan sebagai bagian dari komunitasnya, sekaligus cara masyarakat untuk memperoleh pengakuan sebagai bagian dari komunitasnya, sekaligus cara masyarakat untuk mempertahankan apa
56
yang menjadi tradisi. Mahar hanyalah sebagai tanda bagaimana masyarakat
melanggengkan
sistem
patriarkhi.
Begitu
pentingnya
mempertahankan sebagai cara yang “arif” dalam beradaptasi dengan keadaan
lingkungannya.
Karena
itu,
fiqh
berusaha
untuk
tetap
mengakomodasi dan terbuka kepada tradisi yang berkembang di masyarakat dengan menggunakan konsep “al-‘adatu muhkkamatun” maksudnya tradisi yang berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber penetapan hukum. Tetapi, konsep ini, bukanlah konsep yang statis, justru konsep ini pada awalnya adalah konsep yang dinamis dimana fiqh berkemungkinan berubah ketika kondisi sosialnya juga berubah. Hal ini sesuai dengan salah satu kaidah fiqhiyah yaitu bahwa perubahan hukum sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, niat dan adat kebiasaan.79 Untuk itu dalam melihat tradisi mahar dalam konteks masa dahulu bahwa, dari turunnya surat An-Nisa’ ayat 4 bahwa dengan kebiasaan para Bapak(Wali) menggunakan dan menerima mahar(maskawin) dengan tanpa seizin putinya(anak yang menjadi tanggung jawabnya yang dinikahkan). Sehubungan dengan kebiasaan seperti itu Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai larangan atas perbuatan mereka tersebut. Alhasil wali tidak boleh menggunakan maskawin milik putri yang dikawininnya.(HR. Ibnu Abi Hatim dari Abi Shalih).80 Sedangkan pada konteks masa sekarang tradisi mahar keluar dari dogma agama(dalam hal ini adalah fiqh). Maka, dalam 79 80
Ipah Jahrotunasipah, op. cit., hlm. 39. A. Mudjab Mahali, op. cit., hlm. 206.
57
konteks egalitarisme(kesetaraan dan keadilan gender) dan sebagai upaya keluar dari hegemoni laki-laki, tardisi mahar dapat saja ditinggalkan tanpa harus merasa berdosa atau tanpa harus merasa takut akan dikucilkan secara sosial. Atau yang lebih “arif” adalah kembali pada relativitas hukumnya itu sendiri seperti diuraikan diatas yang memungkinkan pemberian mahar bisa berhukum mubah, sunnah, wajib, makruh atau bahkan haram. Yang pasti janganlah sekali-kali mempersulit diri ketika Tuhan sendiri menghendaki kemudahan, Allah SWT berfirman:
ْ٢٨٢......ْٱّللُْ ِّب ُك ُمْ ۡٱلي ُۡس َْيْ َو َّلْ ُِّي دُْ ِّب ُك ُمْ ۡٱلعُ ۡس َْي َّْ ُْ ُِّي د........ “......Allah mengehendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu....” Seperti di bawah ini saya contohkan: 1. Mahar di pedalaman Mahar sebagaimana kami jelaskan adalah hak waris yang diterapkan Allah untuk dirinya saat menikah. Tradisi mahar dan tata cara pelaksanaannya berbeda-beda antara satu masyarakat dan masyarakat lain. Di masa lalu, kebiasaan yang ada di masyarakat pedalaman adalah meringankan biaya mahar dan menyederhanakannya sampaisampai suami boleh memberikan istrinya apa saja sesuai kemauannya tanpa paksaan dari bapaknya. Mahar dimasa itu dapat berupa binatang ternak, yang besar ataupun kecil, seperti domba, sapi, dan unta, atau hasil produksinya yang berupa keju, butter, susu, dan sebagainya. Pesta pernikahan hanya berupa perkumpulan para tetangga dan kerabat
58
di malam bulan purnama. Di dalamnya disembelih satu dua ekor domba berikut makanan pokok yang tersedia, seperti beras dan gandum. Kemudian, pengantin di bawah rumah suaminya di malam itu sambil dihiasi dengan pakaian baru, wewangian dan hena. 2. Mahar ditengah masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan tidak berbeda jauh dengan masyarakat pedalaman. Hanya saja masyarakat pedalaman adalah masyarakat yang hidup sebagai penggembala dan nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari rerumputan, sumber air dan hujan. Adapun masyarakat pedesaan adalah masyarakat pertanian yang hidup dengan becocok tanam dan beternak hewan. Mereka menetap di satu tempat disekitar sumber air dan sungai, karena menetap di suatu tempat, mereka lebih kuat berpegang pada tradisi budaya. Mereka lebih suka menjaga tradisi dan budayanya serta takut mengalami perubahan dan akibatnya. Jika kita amati budaya masyarakat itu dalam masalah mahar, kita dapati mereka telah berubah dari sebelumnya. Dahulu mereka menyerahkan mahar yang bisa berupa tanah atau kebun kurma atau ternak. Namun sekarang, sifat saling membanggakan diri telah menjadi syair setiap keluarga di pedesaan. Syeikh Abdul Aziz al-Musnid berkata dalam bukunya Az-Zuwaj wa Al-Muhur(Pernikahan dan Mahar) tentang pernikahan masyarakat pedesaan saat ini. “Pernikahan sekarang berbeda ditinjau dari beberapa
59
sisi sekundernya. Saat ini pernikahan cenderung mengutamakan penampilan
dan
membutuhkan
banyak
biaya.
Sebab,
suami
memberikan ribuan riyal uang kepada wali istrinya dan barang-barang lainnya ditambah pakaian. Kemudian, pesta pernikahan dilangsungkan di bawah penerangan lampu ribuan watt yang menarik perhatian banyak orang. Hidangan mewah pun disediakan dengan menyembelih banyak sembelihan. Banyak yang diundang ke sana, tetapi yang hadir sedikit, akibatnya makanan banyak yang terbuang sia-sia.” 3. Mahar di tengah mayarakat perkotaan Setelah kita tahu apa yang terjadi di tengah masyarakat pedalaman dan pedesaan, yaitu fenomena tingginya kadar mahar dan beberapa contoh riil dari pernikahan yang menghabiskan biaya besar tersebut, sekarang kita akan memaparkan tentang mahar di tengah masyarakat perkotaan. Yaitu masyarakat yang telah mengenyam banyak pengetahuan dan pendidikan, masyarakat yang bagi mereka telah tersedia berbagai sarana kehidupan yang layak sarana peradaban dan kesejahteraan.
E. Kedudukan Mahar dalam Hukum Perkawinan Islam Sebagaimana telah dikemukakan bahwa mahar adalah bukan rukun nikah. Pendapat ini telah ditentukan secara tegas dalam pasal 34 ayat (KHI). Menurut As-Shan’ani dalam buku Subulus Salam, mahar adalah sebagai bukti kebenaran cinta calon suami terhadap calon istrinya.
60
Pendapat itu adalah benar, karena setiap orang pasti berkehendak memberikan dan mewujudkan cinta kasihnya berupa benda kepada orang yang dicintainya, membahagiakan belahan jiwanya, lebih lagi kepada orang yang diniatkan untuk dijadikan pasangan hidup di dunia dan akhirat dan akan melahirkan anak-anaknya sekaligus merupakan amanat Allah SWT. Jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah, maka menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Arba’a, dan dinilai sahih oleh AtTarmidzi dan dinilai hasan oleh sekelompok ulama hadits, yaitu hadits dari ‘Al-Qamah dan Ibnu Mas’ud ra: “Sesungguhnya beliau ditanyai tentang seorang lelaki yang mengawini seorang wanita dan dia belum menentukan maskawin bagi wanita itu dan dia belum menyebutkan maskawin sebagaimana maskawin perempuan-perempuan lainnya, tidak kurang dan tidak lebih, dan dia mempunyai iddah dan berhak mendapatkan warisan suaminya. Lalu Ma’qil bin Shinan Asy-Syaja’i ra. Seraya berkata: rasulullah saw. Memutuskan terhadap Barwa binti Wasyiq seorang wanita dari kami seperti apa yang telah kamu putuskan itu. Lalu Ibnu Mas’ud merasa gembira karena putusannya yang benar terhadap wanita itu.” Menurut Ash-Shan’ani, yang dimaksud ‘Al-Qamah dalam hadits tersebut adalah ‘Alqamah bin Qais, Abu Syabl bin Malik dari Bani bin Nakha’i, beliau meriwayatkan hadits tersebut dari Umar dan Ibnu Mas’ud. Adapun Ma’qil adalah Abu Muhammad, pernah mengalami penaklukan makkah dan tinggal di Kufah. beliau terbunuh pada hari kemerdekaan Makkah dengan secara zalim. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Arba’ah(yaitu Abu Daud, At-Tarmdzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah) serta dinilai sahih oleh At-Tarmidzi dan dinilai hasan oleh
61
sekelompok ulama hadits. Diantaranya adalah Ibnul Mahadi dan ibnu Hazm. Kata beliau: tidak isyarat kritikan terhadap hadits tersebut karena sahih sanadnya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Al-Baihaqi dalam al-khilafiyat. Hadits yang sama dimuat pula dalam kitab Nailul Authar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam yang lima dan dishahihkan oleh Tarmidzi: “Dari ‘Alqamah, ia berkata: Abdullah pernah datang kepada seorang perempuan yang dinikahkan oleh seseorang, kemudian orang yang mengawini perempuan tersebut meninggal, padahal ia belum menentukan mahar kepadanya dan belum bercampur dengannya. ‘Alqamah berkata: Lalu mereka berbeda pendapat tentang masalah ini. Lalu Abdullah berkata: Aku berpendapat, bahwa perempuan-perempuan lainnya dan ia juga berhak mendapatkan warisan dan ia harus ber’iddah. Kemudian Ma’qil bin Sinan Al-Syaja’i menguatkan(dengan keterangannya), bahwa sesungguhnya Nabi saw, pernah memutuskan Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang diputuskan Abdullah itu. Syarih rahimahullah mengemukakan bahwa hadits tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya sesudah akad nikah berlangsung, sebelum ditentukan maharnya dan belum dicampurinya, berhak menerima mahar dengan penuh. Hal itu adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abi Laila, Abu Hanifah dan teman-temannya, Ishaq dan Ahmad, demikian Syarih rahimahullah.
62
Kalangan Syafi’iyah, hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya dari Harmalah bin Yahya, bahwa ia pernah mendengar Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa: “jika hadits Barwa’ binti Wasyiq itu sah, maka aku berpendapat seperti itu”. Hakim mengemukakan bahwa: “Syekh kami, Abu Abdillah berkata: kalau seandainya Syafi’i berada ditempat ini tentu aku akan berdiri di hadapan orang banyak dan berkata: Hadits(Barwa’) itu adalah sah. Kedudukan hadits tersebut menurut Imam yang empat adalah shahih, kecuali Tarmidzi menilai hadits tersebut adalah hasan, maka isi hadits tersebut tidak diragukan kebenarannya. Hukum mahar, menurut hadits tersebut, adalah bukan sebagai faktor penentu atau unsur yang mengakibatkan perkawinan tanpa mahar menjadi “batal demi hukum”. Dalam hadits tersebut dikemukakan sangat jelas bahwa ketika akad nikah berlangsung, suami tidak menyebutkan mahar, tetapi perkawinannya tetap sah. Oleh karena itu ketika suami meninggal dunia, istri tetap berhak mendapatkan maskawin sebagaimana maskawin perempuan-perempuan lainnya, berhak ‘iddah, dan berhak mendapat warisan suaminya. Hal serupa, sebelumnya pernah terjadi pada kasus Barwa’ binti Wasyiq yang diputuskan Rasulullah saw dengan keputusan yang sama. Ketentuan mahar dalam hadits tersebut adalah sesuai dengan alQur’an surat al-baqarah ayat 236 yang menentukan tentang mahar sebagai berikut.
63
ٗۚ َ ْعلَ ۡي ُك ۡم ْإِّن ْْو َمتِّعُو ُه َّن ْ َّ ُ سو ُه َّن ْأ َ ۡو ْت َۡف ِّي ُّ سا ٓ َْء ْ َماْلَ ۡم ْت َ َم َ ضوا ْلَ ُه َّن ْفَ ِّي َ ْ ّل ْ ُجنَا َح َ ِّطلَّ ۡقت ُ ُم ْٱلن َ ض ٗة ْ٠٤٢َْْعلَىْ ۡٱل ُم ۡح ِّسنِّين ِّْ علَىْ ۡٱل ُم ۡقتِّ ِّْيْقَدَ ُر ْهۥُْ َم َٰت َ َۢ َعاِّْْب ۡٱل َمعۡ ُي َ ْوفْ َحقًّا َ علَىْ ۡٱل ُمو ِّس ْعِّْقَدَ ُر ْهۥُْ َو َ “Tidak ada kewajiban membayar(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah(pemberian) kepada mereka, orang-orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang-orang yang miskin menurut kemampuannya(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orangorang yang berbuat kebajikan.” Menurut para mufassir Departemen Agama Republik Indonesia, ayat tersebut didahului oleh adanya peristiwa yang terjadi pada seseorang sahabat dari kaum Anshar yang menikah dengan seorang perempuan, dan dalam akad nikahnya tidak ditentukan jumlah mahar. Sebelum ia melakukan hubungan suami-isri, istrinya ia talak. Setelah turun ayat 236 surat al-Baqarah tersebut, Nabi Muhammad saw. Memerintahkan sahabat dari kaum Anshar tersebut agar memberikan mut’ah kepada bekas istrinya. Makna yang terkandung dalam ayat tersebut dan berdasarkan hadits Nabi saw. Dan penjelasan para mufassirin tersebut, menurut penulis, perkawinan tanpa menyebut mahar ketika akad nikah berlangsung adalah tetap sah, sesuai dengan hadits tentang Barwa’ binti Wasyiq. M. Quraisy Shihab juga berpendapat dalam buku Tafsir al-Misbah bahwa surat al-Baqarah ayat 236 yang memuat firman Allah: “Selama kamu belum menyentuh mereka atau mewajibkan atas dirimu untuk mereka suatu kewajiban membayar mahar” menunjukkan bahwa, maskawin(mahar) bukanlah rukun pada akad nikah”, sehingga dengan
64
demikian, bila maskawin tidak disebut pada saat akad, pernikahan tetap sah. Pada awal pembahasan tentang rukun nikah telah dikemukakan bahwa rukun nikah bersifat wajib yang melekat pada akad nikah, maka jika salah satu rukun tidak terpenuhi berakibat pernikahan berkedudukan “batal demi hukum”. Setelah dilakukan pengkajian terhadap mahar, dapat dikemukakan bahwa mahar atau maskawin adalah bukan rukun nikah, sehingga jika akad nikah dilakukan tanpa menyebut mahar, maka perkawinan tetap sah. Akibat hukum dari perkawinannya yang akad nikahnya tanpa menyebut mahar adalah jika terjadi perceraian, maka istri berhak atas hakhak mereka, seperti hak nafkah ‘iddah, mut’ah, hak pembagian harta bersama, hak hadhanah atas anak yang belum mumayyiz, dan hak warisan jika perceraian itu karena suami meninggal dunia. 81
81
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), cet. 2, hlm. 132136.
65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
F. Analisis mahar dalam fiqih Islam berbeda dari masa jahiliyah yang penuh dengan kezhaliman, dimana pada saat itu kaum wanita tidak dapat bernafas lega. Bahkan hanya seperti sebuah alat yang dipergunakan pemiliknya dengan sekehendak hati. Ketika datang dengan panji-panjinya yang putih, Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri wanita melalui pemberian kembali hakhaknya untuk menikah serta bercerai. Juga mewajibkan laki-laki membayar mahar kepada mereka(kaum wanita). Berkenan dengan hal ini Allah SWT berfirman:
ٗۚ ْْم ۡنهُْن َۡف ٗساْفَ ُكلُوهُْ َهنِّ ٗ ٓيْاْ َّم ِّي ٗ ْٓا ِّ عنْش َۡي ٖء ِّ ِّ صدُ َٰقَتِّ ِّه َّنْنِّ ۡحلَ ٗةْفَإ َ ْنْط ۡبنَ ْلَ ُك ۡم َ َِّو َءاتُواْْٱلن َ ْسا ٓ َْء “Berilah maskawin kepada wanita yang kau nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah(ambillah) pemberian itu(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”82
Juga dalam firman-Nya yang lain:
ْْم ۡن َّْ ْ ض َل ُْ ٱلي َجا َّ َسا ٓ ِّْء ْ ِّب َما ْف ِّ ْو ِّب َما ٓ ْأَنفَقُوا َ ْ ض ُه ۡم َ ۡٱّللُ ْبَع َ ْ َل ْقَ َٰ َّو ُمون ٖ ۡعلَ َٰى ْبَع َ ِّعلَى ْٱلن ِّ َ ض ٗۚ ْ٤٤ْ......أَمۡ َٰ َو ِّل ِّه ْۡم “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain(wanita). Juga karena mereka(laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.”83
Dalam surat yang lain, Allah berfirman: 82
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 78. Ibid., hlm. 85.
83
65
66
َ ْو َءات َۡيت ُ ۡم ْ ِّإ ۡحدَ َٰى ُه َّن ْقِّن ۡ ْ ن ْأ َ َردت ُّ ُم ْْم ۡنهُ ْش َۡيْ ۚٗا َْ ٱستِّ ۡبدَا ْۡ َو ِّإ ِّ ط ٗارا ْفَ ََل ْت َۡأ ُخذُوا َ ل ْزَ ۡو ٖج ْ َّم َكانَ ْزَ ۡو ٖج ۡ ۡ َٰ ۡ ۡ ۡ َ َ ْ َْوأخَذن َْ ْ َو َك ۡي٠٢ْاْو ِّإث ٗماْ ُّمبِّ ٗينا ُ ۡض َٰى ْبَع َ ف ْت َأ ُخذُونَ ْهۥُْ َوقَ ۡد ْأف ٖ ۡض ُك ۡم ْ ِّإلَ َٰى ْبَع َ ض َ أَت َأ ُخذُونَ ْهۥُْبُهۡ ت َ ٗن ٗ غ ِّل َ ْمْمي َٰث َقا ْ٠٢ْيظا ِّ ِّمن ُك “Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain, sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di anatara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali, sedang sebagian suami-istri. Mereka(istriistri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat.”84 Dari Abdullah bin Amir bin Rubai’ah, dari ayahnya, ia berkata: ada seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah saw bersabda:“Apakah engkau rela menyerahkan diri dan hartamu dengan sepasang sandal? Ya, jawabnya. Maka beliau pun membolehkan pernikahan tersebut” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi). Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berstatus hasan shahih. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah mahar ini. Sebagian dari mereka berpendapat, bahwa mahar itu diberikan sesuai dengan kesepakatan di antara calon pengantin. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyan Ats-Tsauri, Syafi’i, Ahmad dan Ishak. Sedangkan Imam Malik berpendapat: “Mahar itu tidak boleh kurang dari sepermpat dinar.” Sebagian dari penduduk kaffah berpendapat: “Bahwa mahar itu tidak boleh kurang dari sepuluh dirham dan ini(mahar) wajib hukumnya menurut al-Qur’an dan As-Sunnat. Dari ‘Uqbah bin Amir ra, ia berkata: bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling meringankan.” (HR. Abu Dawud, Al-Hakim). Sedangkan dari Aisyah ra, ia berkata:
84
Ibid., hlm. 82.
67
“Bahwa mahar yang diberikan oleh Nabi tidak pernah memberikan batasan pada mahar, lebih atau kurang. Karena, kebiasaan dalam memberikan perhatian sangatlah beragam dan keinginan-keinginan pun berbeda-beda. Selain itu, tingkat kesulitan yang ada pada setiap individu berbeda pula, sehingga tidak mungkin diberikan batasan kepada mereka. Sebagaimana tidak memungkinkan untuk diberikan batasan terhadap harga barang-barang yang disukai dengan batasan tertentu. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda:
ٍ الْت ِمس ولَوخاَتًَ ِامن ح ِد ) (رواه البخاري وأمحدوابن ماجه والرتمذي.يد َ ْ ََْ ْ َ “(Langsungkanlah pernikahan) meski hanya dengan(mahar) cincin yang terbuat dari besi.”(HR. Al-Bukhari, Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan ia men-shahihkannya).
G. Analisis pendapat empat madzhab tentang mahar Imam madzhab tidak membahas lebih spesifik tentang mahar sebagai bentuk pemberian atau sebagai bentuk pembelian, tetapi imam madzhab ini membahas tentang: 7.
Ukuran mahar Para fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk mahar, karena tidak disebutkan di dalam syariat yang menunjukkan batasannya yang paling tinggi, berdasarkan firman Allah SWT,
َ ْو َءات َۡيت ُ ۡم ْإِّ ۡحدَ َٰى ُه َّن ْقِّن ۡ ْ ن ْأ َ َردت ُّ ُم ْْم ۡنهُ ْش َۡيْ ۚٗا َْ ٱستِّ ۡبدَا ْۡ َِّوإ ِّ ط ٗارا ْفَ ََل ْت َۡأ ُخذُوا َ ل ْزَ ۡو ٖج ْ َّم َكانَ ْزَ ۡو ٖج ۡ ْ٠٢ْاْوإِّ ۡث ٗماْ ُّمبِّ ٗينا َ أَت َأ ُخذُونَ ْهۥُْبُهۡ َٰت َ ٗن
68
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya.” (an-Nisaa’: 20)85 Membolehkan mengajar al-Qur’an untuk dijadikan mahar
8.
Hadist
ِ َِّ يارسو َل:جاءتْه امرآَةٌ ف قالَت.عن سه ِل ب ِن سع ٍدا َّن النِِب ص م ت َ َت نَ ْف ِس ْى ل ْ فَ َق َام,ك َّ ّ َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ُ ا ِّّن قَ ْد َوَهْب,اّلل ْ ُ َ َ ْ ََ َْ ُ َ َ ِ َِّ يارسو ُل:فَ َقا َل,فَ َقام رجل,ًقِياماطَ ِويل .اّللِ ص م َّ ال َر ُس ْو ُل َ فَ َق،ٌك ِِبَاحاَ َجة َ َ َزِّو ْجنِْي َها ا ْن ََلْ يَ ُك ْن ل،اّلل ْ ًَ ُْ َ َ ٌ َُ َ ِ ِ ماعِن:ال ِ ِ هل ِعند َك ِمن شي ٍء ت "اِ ْن.َِّب ص م ُّ ِدي االَّ ا َزا ِر ْى َه َذا فَ َقا َل الن ْ ُ ْ َ ْ َْ ْ َ ْ ْ َ َ صد قُ َهاايَّاهُ ؟ فَ َق ِ ِ َ فَ َق,ً مااَ ِج ُد َشيئا:ال ِ َ َاَ ْعطَيتَ هااِزارَك جلَست الَاِزارل ,س َولَْو َخا ََتاً ِم ْن َح ِديْ ٍد ْ َ َ س َشْيئاً" فَ َق ََ َ ْ َ ََ َ ْ ْ الْتَم:ال ْ ك فَ ْلتَم نَ َع ْم:ال َ َك ِم َن الْ ُق ْر ِان َشْي ُئ؟ ق َ َه ْل َم َع.َِّب ص م ُّ ِ فَ َقا َل لَهُ الن,ًس فَلَ ْم ََِي ْد َشْيئا َ فَ ْلتَ َم =ك ِمنَا الْ ُق ْرا ِن =متفق عليه َ فَ َق,ُس ْوَرةُ َك َذ َاو ُس ْوَرةُ َك َذالِ ُس َوٍريُ َس ِّمْي َها َ قَ ْد َزّو ْجتُ َك َها ِِبَا َم َع.ِب ص م ُّ ِّال لَهُ الن “Dari Sahl bin Sa’d, bahwa sesungguhnya Nabi saw. Pernah didatangi seorang perempuan, lalu perempuan itu berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu, lalu perempuan itu berdiri lama, kemudian berdirilah seorang laki-laki lalu ia berkata: Ya Rasulullah, kawinkanlah aku dengannya jika engkau sendiri tidak berhajat kepadanya; kemudian Rasulullah saw bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau pergunakan sebagai mahar untuknya?” Ia menjawab: Aku tidak memiliki apapun melainkan pakaianmu ini lalu Nabi bersabda, jika engkau berikan pakaianmu itu kepadanya maka engkau tidak berpakaian lagi, maka carilah sesuatu yang lain. Kemudian Nabi saw bersabda, “carilah, meskipun cincin besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak menemukan apapun. Kemudian Nabi saw. Bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki hafalan ayat al-Qur’an? Ia menjawab: Ya, surat anu dan surat anu, ia menyebutkan nama-nama surat-surat tersebut, kemudian Nabi saw. Bersabda kepadanya, “sungguh
85
Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 234.
69
aku telah menikahkan engkau dengan apa yang engkau miliki dari al-Qur’an itu”. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)”. 86
ِ "رَّوج رسو ُل:ال ِ ِ َّ ِ ّ صلَّى ,مرأًَة َعلى ُس ْوَرةٍ ِم َن اْل ُقراَ ِن َ ّ ْ ُ َ َ َ َ َي ق َ اّلل ِّ وع ْن أَِِب الن ُّْع َمان اْأل َْزد َ ْاّللُ َعلَْيه َو َسل َم ا ٍ ) الَيَ ُك ْو ُن ِألَ َحد بَ ْع َد َك َم ْهًرا" (رواه سعيد يف سننه وهومرسل:ال َ َُُثَّ ق “Dan dari Abu Nu’man al-Azdi, ia berkata: Rasulullah saw. Pernah menikahkan seorang perempuan dengan(mahar) satu surat dari al-Qur’an, kemudian ia bersabda, “tidak (boleh) lagi sesudahmu ini al-Qur’an sebagai mahar”. (HR Sa’id dalam Sunannya dan hadits ini Mursal)”. Syarikh rahimahullah berkata: Hadist Abu Nu’man yang Mursal itu oleh Ibnu Hajar di dalam Fat-hul Bari dikatakan: dalam sanadnya ada nama yang tidak dikenal(majmul). Syarikh berkata: Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya menjadikan jasa(manfaat) sebagai mahar, walaupun jasa itu berupa mengajar al-Qur’an. Demikian menurut pendapat Syafi’i, Ishaq, Hasan bin Shahih dan Ulama ahlil bait. Dan Qadhi ‘Iyadh mengutip pendapat para Ulama selain golongan Hanafiyah yang menyatakan bolehnya minta upah dalam mengajar al-Qur’an, sedang hadits ini memiliki beberapa kandungan hukum antara lain tentang kekuasaan Imam sebagai wali bagi perempuan yang tidak berkeluarga.87 9.
Menambahkan atau mengurangi mahar Terkadang terjadi penambahan atau pengurangan pada mahar setelah akad. Yang dimaksud dengan penambahan adalah ditambahakan sesuatu pada mahar setelah akad berlangsung dengan sempurna.
86 87
Mu’amal Hamidy, Imron,Umar Fanany, loc. cit. Ibid., hlm. 2236.
70
Sedangkan pengurangan terhadap mahar adalah mengurangi sebagian dari mahar atau menggugurkan semuanya setelah akad berlangsug dengan sempurna. Penambahan pada mahar Mazhab Hanafi berpendapat, jika suami yang telah dewasa atau wali anak kecil laki-laki(bapak atau kakek) menambah sesuatu pada mahar musamma setelah sempurnanya akad, dan kedua belah pihak saling merasa ridha terhadap mahar, maka mesti dilakukan penambahan sebab persetubuhan, atau sebab kematian si suami. Tambahan ini menjadi bagian dari asal mahar yang ditegaskan dengan sebab persetubuhan atau kematian. Menurut jumhur fuqaha selain mazhab Hanafi, mahar dibagi setengah dengan perceraian yang terjadi sebelum terjadi persetubuhan, seperti asal mahar. Penambahan ini menjadi batal dengan kematian suami atau kepailitannya sebelum diterima, menurut mazhab Maliki karena tambahan ini seperti hadiah dan hadiah menjadi batal dengan kematian dan kepailitan sebelum diterima. Mazhab Hambali sepakat dengan pendapat mazhab Hanafi bahwa sesungguhnya tambahan dalam mahar setelah akad dimasukkan ke dalam akad. Mazhab Syafi’i berpendapat, tambahan tidak dimasukkan ke dalam akad. Jika dia lakukan tambahan, itu adalah hibah yang membutuhkan syarat hibah. Jika dia ceraikan istrinya setelah dia berikan hibah, maka dia tidak dapat mengambil kembali sesuatu yang
71
dia telah hibahkan karena si suami memiliki kehormatan istri dengan mahar musamma dalam akad, maka dengan tambahan dia tidak mendapatkan sesuatu dari yang di akadkan. Jadi hibah tersebut bukanlah ‘iwadh dalam pernikahan, sebagaimana kalau dia hibahkan sesuatu.88
10. Ketidak mampuan suami membayar mahar Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa, apabila suami tidak mampu membayar mahar, maka si istri tidak boleh mem-faskh perkawinan, dan hakim pun tidak boleh menjatuhkan cerai atasnya. Istrinya berhak untuk tidak digauli saja. Maliki mengatakan, apabila telah terbukti bahwa suami betulbetul tidak mampu membayar mahar, sedangkan dia belum pernah mencampuri istrinya, maka hakim harus memberi waktu penundaan yang sekiranya memungkinkan bagi dirinya untuk melunasi hutang maharnya itu. Kalau dia tetap juga tidak mampu, hakim bisa menetapkan cerai atas istrinya, atau si istri itu sendiri yang menceraikan dirinya, dan hakim mensahkan perceraian tersebut. Sedangkan bila si suami sudah menggaulinya, maka istrinya tersebut tidak berhak untuk mem-faskh nikah sama sekali. Sementara imam Syafi’i berpendapat bahwa, manakala betulbetul terbukti bahwa si suami kesulitan membayar mahar dan dia
88
Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 260.
72
belum pula mencampuri istrinya, maka si istri berhak mem-faskh perkawinan, tapi bila sudah dicampuri, dia tidak lagi berhak atas itu. Hambali mengatakan bahwa, si istri berhak melakukan faskh, sekalipun sudah dicampuri sepanjang dia tidak tau tentang kesulitan tersebut sebelum perkawinan. Sedangkan bila dia mengetahui hal itu sebelum terjadi perkawinan, dia tidak berhak atau faskh, dan dalam kasus ketika faskh diperbolehkan, maka yang berhak melakukan faskh hanyalah hakim. 89
11. Ketidak sediaan pengantin wanita untuk digauli hingga dia menerima mahar Para ulama madzhab sepakat bahwa istri(pengantin perempuan) berhak menuntut seluruh mahar yang dibayar kontan kepada suami dengan semata-mata terjadinya akad, dan dia berhak menolak digauli sebelum mahar tersebut diterimanya. Akan tetapi bila ia rela digauli sebelum menerima mahar, maka menurut kesepakatan seluruh mazhab kecuali Abu Hanifah tidak boleh menolak suaminya untuk selanjutnya. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan bahwa, dia berhak menolak digauli sesudah menerimanya. Pendapat ini ditentang oleh pengikutnya, Muhammad dan Abu Yusuf. Istri berhak atas nafkah manakala dia menolak digauli suaminya sebelum menerima mahar, dan sebelum suaminya menggaulinya,
89
Muhammad Jawwad Mughniyah, loc. cit.
73
sebab, dalam kasus serupa ini, penolakannya tersebut memang didasarkan atas justifikasi syar’i. Akan tetapi bila dia tetap menolak sesudah menerima mahar atau sesudah digauli, maka dia tidak berhak atas nafkah, kecuali menurut pendapat Abu Hanifah. Kalau si istri masih kecil dan belum layak digauli, sedangkan suaminya sudah dewasa, maka ayah wanita tersebut berhak meminta maharnya tanpa harus menunggu anaknya baligh. Demikian pula halnya bila si istri sudah dewasa sedangkan suaminya masih anakanak, dia(istri) berhak meminta mahar kepada wali suaminya tanpa harus menunggu suaminya baligh. Imamiyah dan Syafi’i berpendapat bahwa, apabila suami-istri bersitegang, dimana si istri mengatakan, “saya tidak mau dicampuri sebelum saya menerima mahar” dan suaminya pun ngotot mengatakan “saya tidak akan membayarnya sebelum engkau bersedia kugauli,” maka si suami harus dipaksa menyerahkan mahar tersebut kepada seseorang yang bisa dipercaya, dan si istri harus bersedia digauli. Kalau si istri sudah bersedia(dan telah terjadi percampuran) mahar pun diserahkan kepadanya, dan dia berhak pula atas nafkah. Tetapi kalau dia tetap tidak bersedia, mahar tersebut tidak diserahkan kepadanya. Dan kewajiban memberi nafkah pun gugur. Tetapi bila si suami tidak bersedia menyerahkan mahar, dia tetap diharuskan memberi nafkah manakala istrinya memintanya.
74
Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa, penyerahan mahar harus didahulukan daripada penyeraan di wanita. Dengan demikian, suami tidak boleh mengatakan, “saya tidak akan menyerahkan mahar sebelum istri saya, saya peroleh.” Kalau dia tetap bersiteguh, dia diharuskan memberikan nafkah. Kemudian bila dia telah menyerahkan mahar tapi si istri tetap tidak mau digauli, maka si suami tidak boleh menarik kembali maharnya. Sementara itu Hambali mengatakan bahwa, si suami dipaksa lebih dulu menyerahkan mahar, seperti yang dikatakan oleh Hanafi tapi bila si istri tetap tidak bersedia digauli sesudah dia menerima maharnya, maka si suami berhak mengambil kembali mahar tersebut.90
12. Mahar secara rahasia dan mahar secara terang-terangan Jika seorang perempuan dinikahi dengan dua mahar; mahar rahasia, dan mahar terang-terangan. Yang wajib menurut madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi adalah apa yang dilakukan di dalam akad karena mahar wajib diberikan dengan akad. Yang diwajibkan adalah yang diakadkan dengannya dan karena penampakan mahar secara terang-terangan bukanlah yang ada di dalam akad, dan tidak berkaitan dengannya kewajiban sesuatu.
90
Ibid., hlm. 370.
75
Menurut mazhab Hambali, yang diambil adalah yang disebutkan secara terang-terangan. Meskipun mahar yang secara rahasia telah dilaksanakan di dalam akad pernikahan karena jika dilakukan akad secara terang-terangan setelah dilakukan akad secara rahasia, maka didapatkan darinya pemberian yang bertambah terhadap mahar rahasia. Oleh karena itu, wajib untuk menambahkan sebagaimana jika dia menambahkan maharnya.91
H. Analisis tentang mahar dalam Kompilasi Hukum Islam Saat ini terdapat tiga pandangan tentang kedudukan mahar dalam hukum perkawinan Islan di Indonesia, yaitu sebagai berikut. Pendapat pertama, pendapat para fuqaha yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 34 ayat(1), bahwa mahar adalah bukan rukun dalam perkawinan. Tetapi mahar merupakan kewajiban calon mempelai laki-laki atau suami untuk memberikannya kepada calon mempelai perempuan atau istri(pasal 30 KHI), dan mahar adalah menjadi hak pribadi istri(pasal 32 KHI). Pendapat kedua, sebagaimana dikembangkan oleh kalangan Islam liberal, bahwa mahar adalah suatu pemberian dari calon suami atau calon istri kepada pasangannya untuk kepentingan perkawinan(Pasal 1 angka 6 CLD-KHI). Dalam Bab IV tentang mahar, pasal 16 ayat(1) Counter Legal Draf
91
Kompilasi Hukum Islam CLD-KHI, dirumuskan bahwa “calon
Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., hlm. 237.
76
suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai kebiasaan(budaya) setempat. Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 2, bahwa kalangan Islam Liberal yang telah membuat buku Pembaruan Hukum Islam Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam berpendapat bahwa mahar tidak hanya keharusan pemberian suami terhadap istri, tetapi juga merupakan keharusan pemberian istri kepada suami sesuai dengan kebiasaan(budaya) setempat. Menurut penulis, ajaran tersebut merupakan pendapat yang tidak sesuai dengan Hukum Islam dan tujuan Kompilasi Hukum Islam. Hukum Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk terhormat dan mulia, maka diberikan hak untuk menerima mahar, bukan pihak yang sama-sama memberi mahar. Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual-beli, tetapi lambang penghormatan terhadap perempuan sekaligus sebagai lambang kewajiban dan tanggung jawab suami memberi nafkah kepada istri, selain lambang cinta dan kasih sayang suami terhadap istri, sebagaimana dikemukakan ulama Syafi’iyah. Pendapat ketiga terdapat dalam pasal 13 Rancangan UndangUndang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan(RUU-HMPA-Bperkw Tahun 2007), bahwa mahar merupakan salah satu “rukun nikah”. Jika akad nikah tidak memenuhi rukun yang ditentukan dalam pasal 13 ayat(1), antara lain pemberian mahar oleh calon mempelai lakilaki atau suami terhadap calon mempelai perempuan, maka “perkawinan
77
itu tidak sah” atau “batal demi hukum” (pasal 13 ayat(2) RUU-HM-PABperkw Tahun 2007). Pada kalangan ini mahar sebagai salah satu rukun perkawinan, yang berakibat perkawinan berstatus “batal demi hukum” jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah. Hal ini pun tidak sesuai dengan surat Al-Baqarah(2) ayat 236 dan hadits Rasulullah saw. Maskawin atau mahar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perkawinan di Indonesia, baik menurut hukum Islam maupun menurut hukum adat, sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 2, tetapi mahar bukan rukun akad nikah. Hukum perkawinan yang berlaku bagi orang Islam di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, antara lain: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1974 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah diubah; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; 4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kepada Menteri Agama Republik Indonesia mengenai Kompilasi Hukum Islam;
78
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, yang memuat Kompilasi Hukum Islam agar disebarluaskan dan dijadikan pedoman bagi masyarakat dan istansi pemerintahan; 6. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Sebagaimana telah diketahui bahwa negara kesatuan republik Indonesia merupakan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, yaitu sekitar 89% dari seluruh penduduk Indonesia. Jika di hitung nominal, maka dari sekitar 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta) penduduk Indonesia, sekitar 225.000.000 (dua ratus dua puluh lima juta) penduduk Indonesia beragama Islam. Oleh karena itu, tidak heran dan layaklah jika di Indonesia dibentuk hukum perkawinan yang khusus berlaku bagi umat Islam. Pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presidean Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama Republik Indonesia untuk: Pertama, menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri atas: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan; b. Buku II tentang Hukum Kewarisan; C. Buku III tentang Hukum Perwakafan. Sebagaimana telah diterima dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988, untuk digunakan oleh Instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.
79
Kedua, melaksanakan instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab. Dalam hal konsiderans “menimbang”. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dinyatakan: a. Bahwa Alim Ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 februari 1988 telah menerima tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, Buku III tentang Hukum Perwakafan. b. Bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh intansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalahmasalah di bidang tersebut. c. Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a perlu disebarluaskan. Dasar hukum yang dipergunakan untuk membuat Instruksi Presiden adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintah menurut undang-undang”. Sebagiamana telah diketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan, jadi masih tetap seperti rumusan asli Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., istilah “memegang” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, meskipun sebenarnya
80
tidak ada masalah, tetapi berkonotasi menjadi kekuasaan sebagai sesuatu yang “dipegang”, dan karena itu cenderung tidak akan dilepaskan lagi. Oleh karena itu, menurut Jimly Asshiddiqie, ada pendapat agar istilah “memegang” diperhalus dan diganti dengan istilah “menjalankan”. Jadi permasalahan yang dapat dimunculkan dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut hanya istilah “memegang” yang diusulkan diperluas dan diganti dengan istilah “menjalankan”. Terlepas dari istilah “memegang” atau “menjalankan” sebagaimana kritik positif dari Jimly Asshiddiqie, yang jelas Kedudukan Instruksi Presiden memegang telah menjadi suatu perdebatan, termasuk Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 yang menginstruksikan Menteri Agama Republik Indonesia agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam dan agar melaksanakan Instruksi Presiden tersebut dengan sebaik-baiknya. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat(1) telah memberikan kewenangan kepada Presiden, bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut undang-undang” Dengan demikian, materi ketentuan tentang mahar atau maskawin yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia, termasuk ketentuan yang terdapat dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, berlandasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
81
Jika ketentuan mahar itu dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, undang-undang tersebut telah memuat secara tegas dalam konsiderans mengingat bahwa: 1. Pasal 5 ayat(1), Pasal 20 ayat(1) dan Pasal 29 Undang-Undang dasar 1945. 2. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1973. Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa yang dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditentukan secara tegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagai “sumber dari segala sumber hukum negara”. Unsur-unsur Pancasila yang dimuat dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas: pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua, sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, ketiga, sila Persatuan Indonesia, keempat, sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan kelima, sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan utama adalah sebagai lanjutan alenia ketiga dari Pembukaan UUD Tahun 1945, yang memuatkan kalimat sebagai berikut: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang
82
bebas,
maka
rakyat
Indonesia
menyatakan
dengan
ini
kemerdekaannya.” Oleh karena itu, Prof. Dr. Hazairin, S.H. dalam menafsirkan Pasal 29 ayat(1) UUD 1945 adalah tepat dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 1 buku ini. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang
pria
dengan
seorang
wanita
untuk
membentuk
rumah
tangga(keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat(1) menentukan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Dalam ayat(2) Pasal 2 ditentukan, bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan demikian, jelas bahwa perkawinan yang sah bagi orang Islam adalah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam. Dalam melaksanakan Hukum Perkawinan yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari Kompilasi Hukum Islam. Pasal 14 KHI menentukan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami, b. Calon istri,
83
c. Wali nikah, d. Dua orang saksi, syarat menjadi saksi adalah dua orang laki-laki, dewasa, adil dan dapat dipercaya. e. Ijab dan kabul. Dewasa perkawinan
ini
pelaksanaan
dilakukan
antara
mengikatkan
pegantin
diri
perempuan
dalam dengan
pengantin laki-laki dengan mengadakan ijab kabul. Ijab berarti menawarkan dan kabul sebenarnya berasal dari kata-kata qabul, berarti menerima. Dalam tehnis hukum perkawinan, ijab artinya penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami. Sedangkan kabul berarti penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang dilakukan oleh pihak laki-laki. Pelaksanaan penegasan qabul ini harus diucapkan pihak laki-laki langsung sesudah ucapkan penegasan ijab pihak perempuan, tidak boleh mempunyai antara waktu yang lama. Dalam praktek kita temui hal-hal yang agak lucu atau kurang benar dalam penetrapan ketentuan ini dalam kehidupan sebenarnya. Kalau terlambat sedikit saja, calon pengantin laki-laki mengulang. Hal ini dapat terjadi berkali-kali.92 Dalam ketentuan Pasal 14 KHI tersebut tidak disebutkan mahar sebagai rukun nikah. Pasal 34 KHI ayat(1) menentukan bahwa mahar 92
hlm. 22.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986),
84
bukan merupakan rukun dalam perkawinan. Meskipun mahar bukan merupakan rukun nikah, tetapi pasal 30 KHI mennetukan bahwa calon mempelai lelaki wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. Ketentuan Pasal 30 dan Pasal 34 KHI tersebut sesuai dengan ketentuan mahar yang dimuatkan dalam surat an-Nisa ayat 4 dan ayat 20 dan surat al-Baqarah ayat 236. Dalam surat an-Nisa ayat 4 ditentukan bahwa “dan berikanlah kepada perempuan-perempuan(yang kamu kawini) maskawin mereka sebagai pemberian wajib, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka boleh kamu memakannya dengan cukup dan puas. Sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan status Hukum Perkawinan yang dimuatkan dalam Buku I Kompilasi Hukum Islam yang semula berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 agar menjadi undang-undang, maka Departemen Agama Republik Indonesia berinisiatif membentuk Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan(selanjutnya disingkat RUU-HM-PA-Bperkwn Tahun 2007). Dalam Pasal 13 ayat(1) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada: Pasal 13 ayat (2) RUU
85
I. Tradisi mahar sebagai pembelian atau pembelian. Manusia
lahir
dalam
ruang
dan
konteks
sosial
yang
membentuknya. Ia lahir di lingkungan keluarga dimana ia tumbuh dan berkembang. Di situlah ia mendapat sosialisai nilai-nilai dan norma-norma yang kemudian membentuk persepsi-persepsi tentang fakta-fakta dan realitas-realitas yang ditemuinya. Nilai-nilai dan norma-norma yang disosialisasikan adalah seperangkat cara untuk mewujudkan harapan masyarakat tentang peran-peran dan status seseorang. Dalam masyarakat “tertutup” yang ditandai dengan agama yang “statis”, menurut Karlina Supelli, nilai-nilai dan norma-norma sosial disosialisasikan tidak lain sebagai cara “memaksa” masyarakat kepada anggotanya supaya memiliki rasa berkewajiban dan menaatinya. Rasa berkewajiban ini dipelihara agar anggota selalu merasa bagian dari kesatuan masyarakatnya. Moralitas dasarnya adalah moralitas perintah yang tidak mengijinkan siapa pun untuk mempertanyakan kode-kode sosial yang berlaku. Maka dengan demikan, unsur yang paling pokok dalam masyarakat tertutup adalah kebutuhan mempertahankan tradisi dan konvensi, dan sekaligus mereka akan bersiaga untuk menyerang apa pun yang
dianggap
akan
meruntuhkan
keasuan(sosial)-nya.
Termasuk
masyarakat Arab atau Suku Quraisy saat itu dimana ego kabilah sangat diusung, akan sangat sulit meninggalkan praktik kehidupan yang secara sosial-budaya sudah mapan.
86
Karena itu, jika kita menengok kepada tradisi memberi maskawin dalam seluruh kebudayaan manusia adalah tidak lain sebagai cara individu untuk memperoleh pengakuan sebagai bagian dari komunitasnya, sekaligus cara masyarakat untuk memperoleh pengakuan sebagai bagian dari komunitasnya, sekaligus cara masyarakat untuk mempertahankan apa yang menjadi tradisi. Mahar hanyalah sebagai tanda bagaimana masyarakat
melanggengkan
sistem
patriarkhi.
Begitu
pentingnya
mempertahankan sebagai cara yang “arif” dalam beradaptasi dengan keadaan
lingkungannya.
Karena
itu,
fiqh
berusaha
untuk
tetap
mengakomodasi dan terbuka kepada tradisi yang berkembang di masyarakat dengan menggunakan konsep “al-‘adatu muhakamatun” maksudnya tradisi yang berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber penetapan hukum. Tetapi, konsep ini, bukanlah konsep yang statis, justru konsep ini pada awalnya adalah konsep yang dinamis dimana fiqh berkemungkinan berubah ketika kondisi sosialnya juga berubah. Hal ini sesuai dengan salah satu kaidah fiqhiyah yaitu bahwa perubahan hukum sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, niat dan adat kebiasaan.93 Untuk itu dalam melihat tradisi mahar dalam konteks masa dahulu bahwa, dari turunnya surat An-Nisa’ ayat 4 bahwa dengan kebiasaan para Bapak(Wali) menggunakan dan menerima mahar(maskawin) dengan tanpa seizin putrinya(anak yang menjadi tanggung jawabnya yang dinikahkan).
93
Ipah Jahrotunasipah, op. cit., hlm. 39.
87
Sehubungan dengan kebiasaan seperti itu Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai larangan atas perbuatan mereka tersebut. Alhasil wali tidak boleh menggunakan maskawin milik putri yang dikawinkannya. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Abi Shalih).94 Sedangkan pada konteks masa sekarang tradisi mahar keluar dari dogma agama(dalam hal ini adalah fiqh). Maka, dalam konteks egalitarisme(kesetaraan dan keadilan gender) dan sebagai upaya keluar dari hegemoni laki-laki, tardisi mahar dapat saja ditinggalkan tanpa harus merasa berdosa atau tanpa harus merasa takut akan dikucilkan secara sosial. Atau yang lebih “arif” adalah kembali pada relativitas hukumnya itu sendiri seperti diuraikan diatas yang memungkinkan pemberian mahar bisa berhukum mubah, sunnah, wajib, makruh atau bahkan haram. Yang pasti janganlah sekali-kali mempersulit diri ketika Tuhan sendiri menghendaki kemudahan, Allah SWT berfirman:
ْ٢٨٢......ْٱّللُْبِّ ُك ُمْ ۡٱلي ُۡس َْيْ َو َّلْ ُِّي دُْبِّ ُك ُمْ ۡٱلعُ ۡس َْي َّْ ُْ ُِّي د........
“......Allah mengehndaki kemudahan menghendaki kesulitan bagimu....”
bagimu
dan
tidak
J. Kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga Karena antara suami dan istri sudah mengikat diri dalam suatu ikatan perkawinan, dan ikatan perkawinan, dan ikatan tersebut merupakan ikatan yang luhur dan suci, maka konsekuensinya, di antara kedua belah pihak tersebut(antara suami dan istri) timbullah hak dan kewajiban sesuai hukum yang berlaku.
94
A. Mudjab Mahali, op. cit., hlm. 206.
88
Di antara hak, kewajiban dan kedudukan dari suami yang diatur oleh hukum adalah sebagai berikut: 7. Suami mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang seimbang dengan istrinya. 8. Suami adalah cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. 9. Suami mempunyai kedudukan hukum sebagai kepala rumah tangga. Karena itu, dia berkewajiban untuk melindungi istri dan anak-anaknya dan memberikan nafkah yang meliputi sandang, pangan dan tempat tinggal yang dibutuhkan istrinya, Allah SWT berfirman:95
ْْو ۡس َع َه ۚٗا ِّْٗۚ ْو ِّك ۡس َوت ُ ُه َّن ِّْْب ۡٱل َمعۡ ُي ٌ ف ْن َۡف ُ َّوف ْ َّل ْت ُ َكل َ َو.......۞ ُ س ْ ِّإ َّّل َ علَى ْ ۡٱل َم ۡولُو ِّْد ْلَ ْهۥُ ْ ِّر ۡزقُ ُه َّن ْ٠٤٤ْ...... “Dan kewajiban seorang ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu(istri) dengan cara yang baik. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (Al-Baqarah:233) Allah juga berfirman:
ٗۚ َ ْ ضيقُوا ُ ن ْ ِّم ۡن ْ َح ۡي ِّْْوإِّنْ ُك َّن ْأُو َٰلَت َّْ أ َ ۡس ِّكنُو ُه ِّ ُ س َكنت َ ُ ْو َّل ْت َ ْث ُ مْم ِّ َ ُ ضا ٓ ُّرو ُه َّن ْ ِّلت َ علَ ۡي ِّه َّن َ نْو ۡج ِّد ُك ۡم ْور ُه َّن َ ضعۡ نَ ْ َحمۡ لَ ُه ۚٗ َّن ْفَإ ِّ ۡن ْأ َ ۡر َ َ ْ علَ ۡي ِّه َّن ْ َحت َّ َٰى َ ْ َحمۡ ٖل ْفَأَن ِّفقُوا َ ضعۡ نَ ْلَ ُك ۡم ْفَْاتُو ُه َّن ْأ ُ ُج ْْ٢ْض ُعْلَ ٓهْۥُْأ ُ ۡخ َي َٰى ٖ َو ۡأت َِّم ُيواْبَْ ۡينَ ُكمْبِّ َمعۡ ُْي ِّ ست ُ ۡي َ َس ۡيت ُ ۡمْف َ ْو ِّإنْتَعَا َ وف ْٱّللُْن َۡفساْ ِّإ َّّل َّْ ْف َّْٗۚ ُْْم َّمآْ َءات ََٰىه ْۡ ِّليُن ِّف ِّ ْر ۡزقُ ْهۥُْفَ ۡليُن ِّف ۡق ِّ س َع ٖة ُ ٱّللُْ َّلْ ُ َك ِّل َ ْس َعتِّ ِّهۦْْ َو َمنْقُد َِّر َ ْْمن َ ْقْذُو ِّ علَ ۡي ِّه ْ٧ُْس ٗيا ْۡ ْع ۡس ٖي َّْ ُْسيَ ۡج َعل ُ َْٱّللُْبَعۡ د َ َْمآْ َءات ََٰى َه ۚٗا
95
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 411.
89
“Tempatkanlah mereka(para istri) dimana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Jika mereka(istri-istri yang dithalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya. Sedangkan bagi orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya. Allah tidak membebankan kepada seseorang melainkan sesuai dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya.” (At-Thalaq: 6-7) Penegasan suami menjadi kepala keluarga itu tercantum Q. IV : 34 yang berbunyi : a. Suami adalah kepala keluarga didasarkan karena kelebihan tubuh yang diberikan tuhan kepadanya dan berdasarkan ketentuan tuhan bahwa suami berkewajiban untuk membiayai kehidupan keluarga. Undang-undang perkawinan menyebutkan dalam pasal 31 ayat(3) ketentuan yang sejalan dengan kehendak ayat di atas dengan sebutan: suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.96 10.
Suami(bersama-sama
dengan
istri)
berwenang
untuk
menentukan tempat kedudukan bersama seperti dalam Q. LXV 11.
Suami berwenang untuk mengajukan gugatan cerai terhadap
istrinya jika istrinya tersebut melalaikan kewajibannya sebagai istri. 12.
Suami berhak untuk menyangkal anak yang dilahirkan oleh
istrinya jika suaminya dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain, dan anak tersebut merupakan hasil dari perbuatan perzinahan tersebut.
96
Sayuti Thalib , Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UII Press, tt), hlm. 76.
90
Sedangkan di antara hak, kewajiban dan kedudukan dari istri yang datur oleh hukum adalah sebagai berikut: 6.
Istri mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang seimbang dengan suaminya.
7.
Istri juga cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum.
8.
Istri mempunyai kedudukan hukum sebagai ibu rumah tangga, sehingga dia berkewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
9.
Istri(bersama-sama dengan suami) berwenang untuk menentukan tempat kedudukan bersama.
10. Istri berwenang untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya jika suaminya tersebut melalaikan kewajibannya sebagai suami. 97
97
hlm. 19.
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014),
91
BAB V PENUTUP
D. Kesimpulan Dari analisa di atas, penulis dapat menyimpulkan tentang kedudukan mahar sebagai pemberian dan atau pembelian, yakni: 1. Ketentuan fikih tentang mahar dalam masalah nikah Islam berbeda dari masa jahiliyah yang penuh dengan kezhaliman, dimana pada saat itu kaum wanita tidak dapat bernafas lega. Bahkan hanya seperti sebuah alat yang dipergunakan pemiliknya dengan sekehendak hati. Ketika datang dengan panji-panjinya yang putih, Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri wanita melalui pemberian kembali hak-haknya untuk menikah serta bercerai. Juga mewajibkan laki-laki membayar mahar. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah mahar ini. Sebagian dari mereka berpendapat, bahwa mahar itu diberikan sesuai dengan kesepakatan di antara calon pengantin. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyan Ats-Tsauri, Syafi’i, Ahmad dan Ishak. Sedangkan Imam Malik berpendapat: “Mahar itu tidak boleh kurang dari seperempat dinar.” Sebagian dari penduduk kaffah berpendapat: “Bahwa mahar itu tidak boleh kurang dari sepuluh dirham dan ini (mahar) wajib hukumnya menurut Al-Qur’an dan As-Sunnat.
91
92
Dari ‘Uqbah bin Amir ra, ia berkata: bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda:
“Sebaik-baik
mahar
adalah
yang
paling
meringankan.” (HR. Abu Dawud, Al-Hakim). Sedangkan dari Aisyah ra, ia berkata: “Bahwa mahar yang diberikan oleh Nabi tidak pernah memberikan batasan pada mahar, lebih atau kurang. Karena kebiasaan dalam memberikan perhatian sangatlah beragam dan keinginankeinginan pun berbeda-beda. 2. Tradisi mahar sebagai pemberian dan atau pembelian tradisi memberi maskawin dalam seluruh kebudayaan manusia adalah tidak lain sebagai cara individu untuk memperoleh pengakuan sebagai bagian dari komunitasnya, sekaligus cara masyarakat untuk memperoleh pengakuan sebagai bagian dari komunitasnya, sekaligus cara masyarakat untuk mempertahankan apa yang menjadi tradisi. Mahar hanyalah sebagai tanda bagaimana masyarakat melanggengkan sistem patriarkhi. Begitu pentingnya mempertahankan sebagai cara yang “arif” dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungannya. Karena itu, fiqh berusaha untuk tetap mengakomodasi dan terbuka kepada tradisi yang berkembang di masyarakat dengan menggunakan konsep “al-‘adatu muhakamatun” maksudnya tradisi yang berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber penetapan hukum. Tetapi, konsep ini, bukanlah konsep yang statis, justru konsep ini pada awalnya adalah konsep yang dinamis dimana fiqh berkemungkinan berubah ketika kondisi sosialnya juga berubah. Hal ini sesuai dengan salah satu
93
kaidah fiqhiyah yaitu bahwa perubahan hukum sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, niat dan adat kebiasaan.98 Untuk itu dalam melihat tradisi mahar dalam konteks masa dahulu bahwa, dari turunnya surat An-Nisa’ ayat 4 bahwa dengan kebiasaan para Bapak(Wali) menggunakan dan menerima mahar(maskawin) dengan tanpa seizin putrinya(anak yang menjadi tanggung jawabnya yang dinikahkan). Sehubungan dengan kebiasaan seperti itu Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai larangan atas perbuatan mereka tersebut. Alhasil wali tidak boleh menggunakan maskawin milik putri yang dikawinkannya. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Abi Shalih).99 Sedangkan pada konteks masa sekarang tradisi mahar keluar dari dogma agama(dalam hal ini adalah fiqh). Maka, dalam konteks egalitarisme(kesetaraan dan keadilan gender) dan sebagai upaya keluar dari hegemoni laki-laki, tardisi mahar dapat saja ditinggalkan tanpa harus merasa berdosa atau tanpa harus merasa takut akan dikucilkan secara sosial. Atau yang lebih “arif” adalah kembali pada relativitas hukumnya itu sendiri seperti diuraikan diatas yang memungkinkan pemberian mahar bisa berhukum mubah, sunnah, wajib, makruh atau bahkan haram.Yang pasti janganlah sekali-kali mempersulit diri ketika Tuhan sendiri menghendaki kemudahan,
3. implikasi mahar dalam relasi suami istri. 98 99
Ipah Jahrotunnasipah, op.cit., hlm. 39. A. Mudjab Mahali, op.cit., hlm. 206.
94
Karena antara suami dan istri sudah mengikat diri dalam suatu ikatan perkawinan, dan ikatan perkawinan, dan ikatan tersebut merupakan ikatan yang luhur dan suci, maka konsekuensinya, di antara kedua belah pihak tersebut(antara suami dan istri) timbullah hak dan kewajiban sesuai hukum yang berlaku. Di antara hak, kewajiban dan kedudukan dari suami yang diatur oleh hukum adalah sebagai berikut: 13. Suami mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang seimbang dengan istrinya. 14. Suami adalah cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. 15. Suami mempunyai kedudukan hukum sebagai kepala rumah tangga. Karena itu, dia berkewajiban untuk melindungi istri dan anak-anaknya dan memberikan nafkah yang meliputi sandang, pangan dan tempat tinggal yang dibutuhkan istrinya.100 Tidak dapat dihubungkan dengan hubungan suami istri dalam sebuah rumah tangga karena mahar adalah konsekuensi dari adanya mahar, sedangkan suami istri sudah ada hak dan kewajibannya.
E. Saran-saran Setelah memperhatikan dan menganalisa uraian di atas, yaitu penjelasan-penjelasan yang didapat dari penelitian terhadap tinjauan fikih
100
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, loc.cit.
95
tentang mahar sebagai pemberian dan atau pembelian, maka saran yang dapat ditulis penulis berikan adalah sebagai berikut: 1. Hendaknya orang tua jangan menilai anak sebagai barang dagangan karena itu hanya ada pada zaman dahulu perempuan masih di samakan dengan budak dan sekarang adalah modern zaman yang sudah berbeda pada zaman dahulu 2. Berdasarkan atas penelitian tentang mahar, bahwa mahar bukanlah suatu bentuk dari pembelian karena perempuan itu tidak seperti barang dagangan yang dapat diperjual belikan tetapi suatu bentuk dari pemberian karena mahar itu diberikan dari seorang laki-laki kepada perempuan, yang pemberiannya itu pada saat adanya akad penikahan dan pemberian itu dengan penuh kerelaan. 3. Sebaiknya mahar ditentukan oleh kedua belah pihak agar tidak memberatkan salah satu dari calon pengantin.
F. penutup Syukur Alhamdulillah segala puji bagi Allah. Karena dengan rahmat, taufiq dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam juga senantiasa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad saw, yang menjadi motifator penulis dalam menjalani kehidupan ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekuarangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat
96
membangun dari semua pihak senantiasa penulis harapkan sebagai upaya perbaikan dimasa mendatang. Rasa terima kasaih yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada para pihak yang telah membantu penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dimana penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu. Atas ketulusan serta kebaikan serta uluran tangan mereka, penulis hanya dapat meminta kepada Allah SWT, supaya membalasnya dengan balasan yang lebih baik. Dengan demikian, teriring do’a semoga hasil dari analisis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya, dan pada penulis pada khususnya, semoga Allah mencatat karya ini sebagai amal shalih penulis. Amin.
97
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, Sangkaan Paran Gender, (Yogyakarta : Pustaka pelajar, 1997), Cet ke-1 Ahmad Rabi’ Jabir ar-Rahili, Mahar kok Mahal menimbang manfaat dan mudharatnya, (Solo: tiga serangakai, 2014) Alhafidz, Ahsin w., kamus fiqh,(Jakarta: AMZAH : 2013) Alhusaini, Al-imam taqiyuddin abubakar, kifayatul akhyar, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1995) Al-kahlaniy, Muhammad bin ismail, subul al-salam (bandung; dahlan) jilid 3 Al-Syafi’i , Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bi Idris, Al-Umm (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah) , Juz. 5, Amir, Syarifuddin, Garis-garis besar fiqih, jakarta: kencana prenada media goup, 2010 cet ke 3 Azzam , Abdul Aziz Muhammad, fikih munakahat khitbah, nikah, dan talak, (Jakarta: AMZAH:, 2014 ) Cet ke 4 Azzam, Abdul aziz muhammad, fikih munakahat khitbah, nikah, dan talak, (Jakarta: AMZAH, 2014 ) Cet ke 4, Az-zuhaili, Wahbah, fiqih islam wa adilatuhu pernikahan, talak, khuluk, meng illa, istri, li’an, zhihar, masa iddah. (Jakarta: Gema Insani, 2011) cet ke 1 Basyir, Ahmad azhar, Hukum perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Pres, 1999) Danim, Sudarwan, menjadi peneliti kualitatif, (bandung; CV.Pustaka Setia, 2002) Dep Dikbud, Kamus besar bahasa indonesia, (jakarta: balai pustaka, 1994), cet ke-3, edisi ke dua Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah. 1998 Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah. 2012, Cet ke 13. Departemen pendidikan Nasional, kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), cet 4. Djaka. Kamus lengkap bahasa indonesia masakini, (pustaka mandiri surakarta, tt) Djamali, R.abdul, Hukum Islam;Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju. 1997.
98
Djubaidah, Neng, pencatatan perkawinan dan perkawinan tidak dicatat menurut hukum tertulis di Indonesia dan hukum Islam . (Jakarta: Sinar Grafika 2012), cet ke 2. Fuady, Munir, Konsep Hukum Perdata, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2014 Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana;, 2010). Jahrotunasipah, Ipah, tradisi mahar pemberian ataukah pembelian,(Jakarta: RAHIMA, 2012) cet ke -1 Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul studi pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) cet ke 1 Majelis ulama Indonesia, Himpunan fakta-fakta MUI sejak 1975, Erlangga: 2011 Masyhur, Kahar, Bulughul Maram, (Jakarta: rineka cipta, 1999) Mohd fachrudin fuad, masalah anak dalam hukum islam: anak kandung, anak tiri, anak angkat dan anak zina, Jakarta:CV pedoman ilmu jaya, 2000 Mu’amal Hamidy, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadits-Hadits Hukum, jilid 5 (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2002) Mu’amal Hamidy, Imron,Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadits-Hadits Hukum jilid 5 (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2002) Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih lima mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Jakarta: Lentera, 2001. Mughniyah, Muhammad jawwad, Fiiqih lima mazhab: Ja’far,i Hanafi, Maliki, Syafi’,i Hambali. Jakarta: Lentera, 2001 cet ke 7 Muhammad Nasib ar-Rifa'i. Tafsiru al-Aliyyul Qadir li ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Syihabuddin (Jakarta:Gema Insani, 2007). Muthmainnah, Yulianti, Memposisikan Perempuan dalam hukum perkawinan indonesia, (Jakarta: Rahima, 2010), cet ke -1 Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa kontenporer jilid 1. (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) Ramulyo, Idris, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind. Hill co : 1984/1985 Sabiq, Sayyid, Fikih sunnah, (bandung: Al-ma’arif, ) 1981 Shihab, M. Quraish, Al-Lubab makna tujuan, dan pelajaran dari surah-surah alqur’an surah al-fatihah-surah hud,Tanggerang :Lentera hati: 2012, cet ke 1
99
Soekanto, Soerjono, Pengantar penelitian hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986) Sudarsono, kamus hukum,(Jakarta:rineka cipta: 2009) Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press. Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi hukum islam, (Bandung: Citra umbara: 2013) cet ke IV Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tetang perkawinan dan kompilasi hukum islam, (Bandung; citra umbara, 2013) Uwaidah, Syaikh kamil muhammad, Fiqih wanita edisi lengkap, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006) W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Grasindo, 2004), cet. 3 Yunus , Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: PT hidakarya Agung: 1996, cet. Ke-15.
100
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Ttl Alamat Agama Ayah Ibu Jenjang Pendidikan
: Riadhiyati Khafidhoh : Jepara, 19 Januari 1994 : Kecapi Karang anyar Rt 04/Rw 01 Kec. Tahunan Kab. Jepara : Islam : Ikrom : Siti Munayyiroh :
1. MI Tsamratul Huda Kecapi Jepara 2. MTsN Bawu Jepara 3. MAN Bawu Jepara 4. S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara Pengalaman Organisasi
:
1. Bendahara BEM Fakultas Syari’ah INISNU Jepara periode 20122013 2. PMII Rayon Syari’ah INISNU Jepara 2012-2013 3. Departemen Eksternal BEM Fakultas Syari’ah INISNU Jepara Periode 2013-2014 4. Ketua FKJ PMII jepara 2014-2015 5. Komisariat Sultan Hadlirin UNISNU Jepara Periode 2014-2015 Motto Hidup : َم ْن َج َّد َو َج َّد Hobi
: jalan-jalan dan mencari ilmu baru