TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA SEBAGAI ALASAN MENIKAH
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.HI)
Oleh : DEDE SAEPULOH 204043203076
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M
TINJAUAN FIQIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA SEBAGAI ALASAN MENIKAH
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.HI)
Oleh :
DEDE SAEPULOH 204043203076
Di Bawah Bimbingan
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP:150169102
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Februari 2011 M 11 Rabi’ul Awal 1432 H
Dede Saepulloh
KATA PENGANTAR
Segala puji sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat-Nya, hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan alam Baginda Besar Nabi Muhammad SAW. Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk sekripsi ini merupakan salah satu bagian syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.HI) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orangtua, seluruh keluarga dan pihakpihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan, penulis sampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dan Sekretaris Program Studi yang telah membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan Skripsi ini.
iii
3. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA Ketua Program Non Reguler dan Drs. H. Ahmad Yani, MA. Sekretaris Program Non Reguler. 4. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya memberikan bimbingan dan pengarahan serta bantuan literatur dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. 5. Segenap pegawai Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta setaf-setafnya yang tak bosan-bosanya melayani penulis dalam proses penulisan sekripsi ini. 6. Segenap pengurus dan pegawai Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Jakarta yang telah membantu penulis dalam mencari data-data yang diperlukan. 7. Rasa ta`dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda dan Ibunda atas dukungan moril dan materiil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta dan kasih sayang yang tidak habis-habisnya bahkan Do’a-do’a munajatnya yang tak henti-hentinya siang dan malam kepada Allah SWT. Penulis persembahkan skripsi ini. untuk kedua orangtua . 8. Kakak dan adikku yang telah memberikan dukungan semangat. Terima kasih untuk semua perhatian dan kasih sayangnya. Dan akhirnya penulis akhiri dengan rasa Syukur kepada Allah SWT, Raja dari segala Raja, pencipta Jagad Raya dan penguasa Ilmu Pengetahuan, Dengan segala kelemahan dan kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
iv
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridloi setiap langkah kita. Amin.
Jakarta, 14 Februari 2011 M 11 Rabi’ul Awal 1432 H
Dede Saepulloh
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................
ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
iii
DAFTAR ISI ............................................................................................
vi
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...............................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................
9
D. Metode Penelitian .............................................................
10
E. Review Studi Terdahulu ..................................................
12
F. Sistematika Penulisan ......................................................
13
TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA A. Pengertian Zina................................................................
15
B. Sebab-Sebab Dan Akibat Perzinahan ...............................
17
C. Sanksi Perilaku Zina ........................................................
24
PERKAWINAN MENURUT HUKM ISALM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Perkawinan ....................................................
31
B. Dasar Hukum Perkawinan ...............................................
38
C. Rukun Dan Syarat Perkawinan ........................................
40
vi
D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan .....................................
BAB IV
46
KETENTUAN ZINA DALAM TINJAUAN FIQIH DAN HUKUM POSITIF A. Zina Dijadikan Alasan Seseorang Untuk Melakukan
BAB V
Perkawinan ......................................................................
52
B. Perkawinan Wanita Hamil Dalam KHI ...........................
58
C. Status Hukum Anak Hasil Perbuatan Zina ......................
64
D. Analisa Penulis ...............................................................
69
PENUTUP A. Kesimpulan .....................................................................
72
B. Saran-Saran .....................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
75
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia sebagai mahluk yang mulia, yang berbeda dengan mahluk lainnya. Karena Allah telah melebihkan manusia dengan adanya akal pikiran dan nafsu seksual sehingga bisa memilih mana yang benar dan mana yang salah. Allah menciptakan manusia juga dengan saling berpasangan dengan adanya ikatan tali pernikahan yang sah melalui prosedur yang telah ditentukan oleh utusan-utusannya agar terjalin kehidupan yang sakinah mawadah wa rahmah Fiman Allah Qs adz dzariyat 51 : 49
Artinya:
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
Allah SWT menyerukan manusia agar melakukan sunnahtullah berupa pernikahan seperti dalam firman-Nya : Qs An-Nur : 32
Artinya:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
1
2
Jalinan kasih sayang antara kedua jenis manusia laki-laki dan perempuan adalah sudah menjadi ketentuan Allah SWT. Rasa ingin mencintai dan ingin dicintai oleh pasangan jenis sudah menjadi Kodrat Iradat-Nya, karena manusia diciptakan oleh Allah bukan hanya sekedar diciptakan saja tetapi disertai dengan akal pikiran beraneka ragam sifat dan karakteristiknya. Rasa kasih sayang antar kedua jenis manusia yang diaplikasikan melalui jalan pernikahan yang sah adalah keinginan semua pihak dengan tujuan mendapatkan Ridho-Nya serta mendapatkan keturunan darinya Firman Allah Q.s An-Nisa :1
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. Pernikahan yang sah merupakan dambaan setiap orang tua, dimana ketika pernikahan tersebut orangtualah yang merupakan wali utama dari pernikahan tersebut sebagai tanggungan terakhir orang tua terhadap anak. Adapun yang disebut wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang
3
lain.1 Mengenai kedudukan wali nikah itu sendiri sebagai unsur akad nikah, menurut Imam Syafi’i wali itu sebagai unsur nikah kapanpun dan dalam kondisi bagaimanapun. Menurutnya setiap pernikahan tanpa wali adalah tidak sah dan karenanya batal demi hukum. Demikian pula menurut Imam Malik dan Imam Hanbali2. Nabi Saw bersabda :
: Artinya : Tidak sah nikah kecuali dengan wali
Pernikahan yang dilakukan antar kedua jenis anak manusia merupakan naluri Ilahiyah untuk berkembang biak dan melakukan regenerasi yang akan mewarisi tugas mulia dalam rangka mengembangkan amanat Allah sebagai khalifah dimuka bumi ini yang akan terus menerus hingga akhir jaman3. Proses modernisasi yang tidak dilandasi dengan agama telah membawa integritas manusia menurun. Anak manusia sudah tidak lagi memikirkan oleh siapa ia dilahirkan dan dikandung selama sembilan bulan, setiap keinginannya hanya mementingkan kepentingannya sendiri tanpa memperdulikan orang lain bahkan orang tuanya sekalipun. Al-Qur’an menjelaskan bahwa ridhonya Allah ada pada ridhonya orang tua. Dengan
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Mudia, 2006), cet, ke-1, h. 69. 2 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), cet, ke-1,h.44 3 Abbas Ahmad Sudirman, pengantar pernikahan (analisa perbandingan madzhab), (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), Cet, ke-1, h. 2
4
proses modernisasi ini juga menyebabkan tidak patuhnya atau tidak taatnya anak manusia terhadap hukum atau norma-norma yang mengatur manusia untuk hidup lebih bermoral dan beradab yang membedakan manusia dengan mahkluk lain ciptaan-Nya Hubungan seks misalnya, yang dijadikan sebagai ungkapan kasih sayang untuk mempersatukan yang dipersatukan. Merupakan curahan dari semua keakraban antara dua anak manusia, dua pribadi yang bertekad untuk hidup bersama. Bersama dalam suka maupun duka (karena itulah muncul istilah bersetubuh – menjadi satu tubuh), ia adalah milik saya dan saya adalah miliknya, ia adalah saya dan saya adalah dia. 4 Perzinahan merupakan salah satu contohnya. Banyak kaum muda-mudi melakukan hal tersebut demi kepuasaan keinginannya, bahkan ada juga yang sudah lanjut usia pun ikutikutan demi memenuhi kebutuhan biologisnya. Hubungan biologis atau hubungan badan antara lawan jenis yang tidak didahului dengan akad nikah yang sah merupakan suatu perbuata dosa besar yang sangat dilarang oleh Agama. Rasulullah mengajarkan manusia agar menjauhi dari perbuatan zina. Firman Allah : Qs Al-Isra 17 : 32
4
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan Keluarga, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1991), Cet, ke– 1, h. 92
5
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. Penyalauran cinta dan kasih sayang yang di ekspresikan melalui bersetubuh
tanpa adanya ikatan pernikahan terlebih dahulu merupakan
perbuatan zina. Menurut KUHP Pasal 284 Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki yang bukan dengan istrinya atau suaminya dengan dasar suka-sama suka. Sedangkan menurut para Fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan zina yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukan zakar (kelamin pria) kedalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena shubhat, dan atas dasar syahwat 5. Pasangan dua sejoli yang mengungkapkan rasa cinta dan kasih sayangnya melalui bersetubuh tanpa didahului dengan perkawinan yang sah merupakan perbuatan dosa besar setelah syirik (mempersekutukan Allah) dan membunuh. Nabi Saw bersabda :
: (
.
)
Artinya: “diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata : aku pernah
bertanya kepada Rasulullah Saw : “Wahai Rasullulah Saw apakah dosa yang paling besar disisi Allah Swt?, Raullulah Saw kemudian bersabda : “engkau menjadikan sesuatu atau beranggapan bahwa 5
37
Ali Zainudin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-1, hal.
6
ada sesuatu yang sebanding dengan Allah, sedangkan Dia-lah yang menciptakan kamu”. Aku kemudian berkata : “sesungguhnya dosa yang demikian memang besar, kemudian apalagi?”, Rasullullah Saw bersabda: “kemudian kamu membunuh anakmu karena khawatir fakir lantaran dia makan bersamamu”. Aku bertanya lagi: “kemudian apalagi?”, Rasullullah Saw kemudian bersabda : “engkau berzina dengan istri tetanggamu” (H.R Muttafaqun ‘Alaih) Menurut para ulama bahwa hukuman bagi pelaku zina yang belum kawin adalah 100 kali dera. Sesuai dengan firman Allah SWT (Qs. An-Nur: 23/2)
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (Qs. An-Nur: 23/2) Di Indonesia
khususnya yang mayoritas penduduknya beragama
Islam perbuatan tersebut sudah termasuk perbuatan yang merusak normanorma asusila di masyarakat. Tetapi hal tersebut acap kali masih sering dilakukan oleh kaum muda mudi yang sedang dimabuk asmara, kendati orang tua dari salah satu pihak atau kedua-duanya tidak menyetujui hubungan mereka dikarenakan berbagai hal, baik itu karena faktor usia mereka yang masih di bawah umur untuk menikah ataupun ketidak inginan orang tua memiliki suami atau istri dari anaknya ataupun karena adat setempat yang
7
melarang hubungan mereka sampai kepelaminan, yang akhirnya pun mereka melakukan zina terlebih dahulu sebelum menikah untuk mendapatkan restu dari orang tuanya dan pihak pengadilan bahkan dari adat pun sekalian Pernikahan melalui jalur zina terlebih dahulu dikalangan masyarakat sudah lama menjadi trend. Pernikahan semacam ini disebut sebagai nikah MBA (merit by accident) di Jakarta atau di ibukota besar lainnya. Permasalahan seperti ini sering terjadi dan sudah tidak asing lagi, mereka melangsungkan resepsi pernikahan dengan meriah walaupun dengan perut yang agak membesar Masyarakat yang demikian merupakan obyek dari skripsi yang penulis angkat. Yaitu golongan yang menganggap ringan terhadap had zina dari hukum Islam atau tidak mengetaui tentang hukum Islam, khususnya tentang had zina sehingga banyak dari mereka yang menggunakan cara ini untuk menikahkan calon istri atau suaminya. Dari uraian diatas maka penulis memilih judul “Tinjauan Fiqih Dan Hukum Positif Terhadap Zina Sebagai Alasan Menikah”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah Pernikahan yang sah merupakan dambaan setiap orang tua, dimana pasangan muda mudi ini telah direstui oleh kedua orang tuanya, maka terjadilah pernikahan yang sah yaitu adanya pelamar dan yang dilamar dan
8
sampai ke akad pernikahan. Tetapi tidak jarang pasangan muda mudi yang ingin hubungannya sampai kepelaminan terjanggal dengan tidak direstuinya hubungan mereka baik itu karena faktor usia, keturunan, ataupun lain sebagainya maka merekapun melakukan zina terlebih dahulu supaya mendapatkan restu. Dari urain latar belakang masalah diatas, dan supaya pembahasan lebih terarah maka penulis membatasi masalah pada beberapa bidang diantaranya : a. Perkawinan yang didahului dengan zina b. Zina yang dijadikan alasan untuk menikah dan mendapatkan restu orang tua. c. Dampak yang dihasilkan dari perbuatan tersebut terhadap lingkungan sekitar tempat pelaku zina tinggal
2. Perumusan masalah Adapun permasalahan yang penulis maksud dalam skripsi ini adalah : Dalam fiqih tidak disebut kebolehan zina dibuat alasan perkawinan, tapi kenyataan di lapangan banyak zina dijadikan alasan dalam melakukan suatu perkawinan. Dari permasalahan tersebut maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Mengapa
zina
perkawinan?
dijadikan
alasan
seseorang
untuk
melakukan
9
b. Bagaimana status anak dalam perkawinan wanita amil sebelum meikah? c. Bagaimana status perkawinan wanita hamil dalam KHI dan pendapat imam mazhab?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukan, maka tujuan dan manfaat dari penulisan ini adalah: a. Untuk mengetahui tujuan dan maksud perkawinan yang didahului dengan zina b. Untuk mengetahui status alasan zina dijadikan alasan seseorang untuk melakukan perkawinan. c. Mengetahui status anak dalam perkawinan wanita amil sebelum meikah dan d. Untuk mengetahui status perkawinan wanita hamil dalam KHI dan pendapat imam mazhab. 2. Manfaat penelitian Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a. Secara Akademis Secara akademis adalah untuk menambah pengetahuan dan penjelasan bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para remaja pada
10
khususnya tentang restu nikah dari orang tua akibat zina dengan calon istri atau suami. b. Secara Praktis Secara praktis adalah dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang hukum pernikahan yang didahului dengan perjinahan dan hukum orang tua yang memberikan restu nikah yang didahului dengan zina menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
D. Metode Penelitian Metode yang penulis tempuh untuk memperoleh penjelasan dalam menganalisa masalah yang terdapat dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan cara mengumpulkan beberapa sumber pustaka yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini yang kemudian dianalisa data-datanya. Adapun jenis sumber data yang digunakan didalam penulisan skripsi ini antara lain : 1. Sumber data primer yang meliputi KUHP (Perdata), UU No.1 tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) serta dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist, dan ketentuan-ketentuan fiqh. 2. Sumber data sekunder yaitu berupa buku-buku yang ada hubungannya dengan penulisan ini.
11
3. Selain itu penulis juga mengambil data dari media masa maupun artikelartikel
yang
kesemuanya
berhubungan
dengan
permasalahan-
permasalahan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Metode penyajian dan analisa dalam penulisan ini bersifat komperatif dan indukatif. Metode komperatif yaitu metode perbandingan antara Hukum Islam dan Hukum Positif yang membahas tentang permasalahn yang ada. Sedangkan metode indukatif yaitu suatu cara dalam menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus, kemudian ditarik atau diambil kesimpulan yang bersifat umum. Adapun untuk mempermudah didalam penulisan skripsi ini, penulis menempuh cara penguraian masalah bab perbab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bahasan yang dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam menjabarkan permasalahan-permasalahan yang ada, dan kemudian penulis akan dengan mudah mengkorelasikan masalah yang satu dengan yang lainnya, sehingga dalam penulisan ini mendapatkan gambaran dan penjelasan yang utuh. Teknik yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku: “Pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi UIN syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”
12
E. Studi Pustaka Dalam review study terdahulu penulis menemukan beberapa judul yang hampir sama dengan penulis buat, tetapi ada beberapa masalah yang belum tersentuh atau belum diangkat dari judul-judul terdahulu. Untuk lebih jelasnya penulis coba sebutkan beberapa judul yang hampir sama dengan penulis kerjakan diantaranya : karya Wahyudi Abdullah “pandangan masyarakat terhadap perkawinan hamil di luar nikah” dan karya Marfudi “Sanksi hukum menyetubuhi wanita di luar nikah menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”. Dari review study terdahulu, memang tidak sedikit mahasiswa di fakultas syari’ah dan hukum menulis tentang tema tersebut, tetapi mengenai hukum dan sanksi tentang cara mendapatkan restu nikah dan wali yang memberikan restu nikah menurut Hukum Positif dan Hukum Islam belumlah dijadikan sebagai judul karya tulis, padahal menurut penulis fenomena semacam ini sering kali terjadi sepeti di kota-kota besar bahkan di pelosokpelosok pedesaan. Sehingga penulis merasa perlu untuk mengangkat tema ini dan menjelaskannya dalam penulisan ini. Untuk membantu menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba mengkomplikasikan antara Hukum Islam dan Hukum Positif agar permasalahan-permasalahan ini yang masih terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat sekarang ini terjawab dan mendapatkan hikmah dari tulisan ini.
13
F. Sistematika Penulisan Penyusunan skripsi
ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab
terdiri dari beberapa sub bahasan, ini dimaksudkan untuk memudahkan jalannya penulisan, sehingga dalam penulisan ini mendapatkan gambaran dan penjelasan yang utuh. Untuk lebih jelasnya sistematika pembahasan skripsi ini penulis memberikan gambaran sebagai berikut : BAB
Pertama, memuat tentang pendahuluan yang berisikan latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, study pustaka terdahulu dan sistematika penulisan BAB
Kedua, merupakan tinjauan teoritis Tinjauan Hukum Islam dan
Hukum Positif terhadap zina sebagai alasan menikah. Pada Bab ini membahas tentang Pengertian Zinah,
Sebab-sebab serta akibat perzinahan, sanksi
perilaku zina, dan pola pembuktian atas perilaku zina. BAB
Ketiga, Membahas tentang hukum perkawinan menurut Hukum Islam
dan Hukum Positif yang terdiri dari pengertian perkawinan, hikmah dan tujuan perkawinan, dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat, dan rukun perkawinan BAB Keempat, membahas mengenai zina yang dijadikan alasan seseorang untuk melakukan perkawina, status anak dalam perkawinan wanita amil sebelum meikah dan status perkawinan wanita hamil dalam KHI dan pendapat imam mazhab.
14
BAB Kelima, bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang merupakan jawaban dari rumusan masalah secara komprehensif seluruh pembahasan dan memberikan saran-saran yang konstuktif.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Zina Dalam pembahasan mengenai pengertian Zina ada baiknya Penulis menjelaskan dua macam pengertian Zina yatu; menurut etimologi dan terminologi.1 Zina menurut etimologi adalah perbuatan bersetubuh yang tidak syah. sedangkan menrut terminogi adalah diartikan sebagai perbuatan seorang laii-laki yang melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan yang menurut naluriah kemanusiaan perbuatan itu dianggap wajar, namun diharamkan oleh syara. Pengertian Zina dalam pandangan umum mazhab, seperti ulama Malikiyah
mendefinisikan
zina
adalah
seorang
mukallaf
mewath’i
(menyetubuh) faraj yang bukan miliknya secara sah dan dilakukan dengan sengaja. Sementara ulama Syafi’iyah memandang lain yaitu zina ialah memasukan zakar ke faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri memasukan hawa nafsu.2 Senada pengertian di atas Ibnu Rusyd mengatakan bahwa zina dalam hukum Islam ialah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan
1
Risalah Nasikun, Tafsir Ahkam; Beberapa Perbuatan Pidana Dalam Hukum Islam, (Yogyakarta:CV Bina Ilmu, 1984), h.44. 2
A. Djazli, Fiqih Zinayah (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), h.35.
15
16
yang sah, bukan karena pernikahan yang meragukan (subhat) dan bukan karena kepemilkan hamba.3 Sedangkan Wabah Al-Zuhaili menyatakan bahwa pengertian zina dalam bahasa dan hukum adalah sama, yaitu persetbuhan seorang laki-laki dengan seorang perepuan pada faraj (vagina) tanpa kepemlikan maupun nikah subhat.4 Dari sekilas penjelasan diatas dapat Penulis sarikan definisi sebagai berikut ; Zina ialah memasukan hasafah dalam faraj dilakukan di luar nikah atau tanpa akad, dan itu melanggar aturan dan norma agama dan hukum yang sah, syafi’i mengatakan sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal. Berdasarkan hadis yang berbunyi: 5
Artinya : Yang haram itu tidak bisa mengharamkan (membuat haram) sesuatu yang halal Dengan demikain nampak jelas pengertian zina dalam berbagai definisi, sebagaimana pandangan dari ulama mazhab itu, yang sedikitnya harus memiliki dukungan tiga unsur yaitu; Pertama, Al-Amil, Al-Ma’mul ‘Alaih dan dengan tidak adanya nikah yang syah. Al-‘Amil artinya seorang yang melakukan perzinahan, baik laki maupun perempuan. Sedangkan Al-Ma’mul 3
Ibnu Rusyd,. Bidayatul Mujtahid Wanihayatul Muqtasid, (Semarang: Toha Putera, Tth), Jilid 2, h.324. 4
Wabah Al-Zuhaili, Al-Fiqih Al-Isami Wa Adlatuhu (Damaskus: Daar Fikr, 989), Jilid VI, Cet 3, h. 45 5
Muhammad Jawad Mughniyah,. Fiqih Lima Mazhab,. (Jakarta:Lentera, 2004), h.332.
17
Alaih artinya, alat fital yang digunakan untuk berzina, baik milik laki-laki (penis) ataupun perempuan (vagina), tidak dilakukan dengan pernikahan yang sah maksudnya melakukan persetubuhan bukan merupakan pasangan suami istri bagi masing-asing pihaknya atau dengan kata lain melakukan senggama diluar perkawinan. 6 Walapun dari pandapat para ulama mazhab berbeda dalam mendefinisikan zina tetapi mereka sepakat terhadap unsur yaitu wathi’ haram dan sengaja atau ada i’tikad jahat. Adapun kadar perstubuhan yang dianggap zina ialah wathi’ haram yaitu maksudnya kelamin laki-laki (penis) ke dalam faraj (vagina) wanita, misalnya sebagaimana masuknya timba kedalam sumur, meskipun masuknya hanya sedikit saja, maka sudah digolongkan pada pengertian persetubuhan.
B. Sebab-Sebab dan Akibat Perzinaan Di bawah ini akan menjelaskan perzinaan dilihat dalam
2 bentuk
penjelasan, yaitu: 1) sebab-sebab timbulnya perzinahan; dan 2) akibat dari perzinaan. 7
6
Asyhari Abul Ghafar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: Andes Utama 1996), Cet III, h.13. 7
Muhamad Wahyuni Nafsi dkk, ed, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: IUPHI dan Paramadina, 1995), h.405.
18
1. Sebab-Sebab Timbulnya Perzinaan Seks ialah fitrah alamiyah bagi setiap manusia baik laki-laki ataupun perempuan. 8 Manusia antara laki-laki dan perempuan dibekali oleh dorongan seksual yang berbeda sifatnya, dimana antara yang satu salig membutuhkan dengan yang lainya. Pada masa kanak-kanak dorongan seksualitas ini khusnya yang berhubungan dengan seks belum terlaksana. Tetapi setelah usia remaja dimana organ-organ seksualitas ini telah mulai matang maka kebutuhan seks itu merupakan kebutuhan yang alami, yaitu sebagai kebutuhan semangat kebutuhan dasar seks yang pada saat itu memerlukan sambutan dari luar. Hanya dalam kehidupan masyarakat pelaksanaan seksualitas ini diatur. Bila pelaksanaan perbuatan seks dilakukan di luar norma-norma yang diatur, maka perbuaan itulah yang disebut persetubuhan di luar nikah atau perzinahan.9 Menurut agama bersetubuh diluar akad perkawinan merupakan perbuatan zina. Perilaku ini sangat melanggar hukum yang tentu saja dan sudah seharusnya diberi hukuman maksial, mengingat akibat yang ditimbulkan sangatlah buruk, lagi pula mengndang kejahatan dan dosa. Lain lagi dengan hubungan (free sex) dan segala bentuk hubungan
8 9
Dari diskusi publik tentang Cinta Menurut Erik From,
Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung), h.27.
19
kelamin lainnya di luar ketentuan agama adalah perbuatan yang membahanyakan dan mengancam keutuhan masyarakat di samping perbuaatan yang sangat nista. Sebagaimana dalam firman allah swt, pada surat al-Isra ayat 32:17
( ) Aritnya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. Pada kasus seks misalnya pemerkosaan bayak melibatkan faktorfaktor yang melatar belakangi timbulnya perbuatan jahat, ini berarti sudah jelas-jelas kita rasakan melalui tanyangan-tanyangan acara berbau seks yang sangat berlebihan, pornografi dalam segala bentuknya yang paling kotor beredar secara luas atupun pengaruh obat-obatan, di samping penyebab-penyebab lainnya yang dapat mengikis habis nilai-nilai spirital rusaknya mentalitas kaum muda yang pada akhirnya banyak kasus-kasus pergaulan bebas ini hasil dari dampak dari faktor-faktor diatas. Disamping ditinjau dari pengaruh modernisasi yang kurang terkontrol dengan baik sehingga melairkan keburukan, ada faktor lain yang menyebabkan perzinahan yang timbul atau bersumber dari dalam diri pelaku diantaranya:10
10
Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h.27.
20
a. Berkenaan dengan keimanan dalam beragama pada dirinya. Ini merupakan salah satu faktor pengaruh seseorang pelaku berbuat kejahatan. Biasanya seseorang yang tidak memiliki keimanan atau ekstrimnya seseorang itu, tidak memiliki agama akan mudah sekali untuk terjerumus ke dalam lembah kemiskinan. Karena tidak ada sesuatu dalam dirinya yang menghalangi untuk berbuat kejahatan. Berbeda jika seserang memiliki keimanan pada dirinya. Ini sesuai yang di ungkapkan oleh Zakiah Daradjat, bahwa seseorang yang keimanannya telah menguasainya, walaupun yang terjadi tidak akan mengganggu atau mempengaruhunya. Ia yakin bahwa keimanan itu akan membawanya kapada ketentraman dan ketenangan bathin. 11 b. Berkenan
dalam
kepridadian.
Kepribadian
seseorang
akan
mempengaruhi segala tindak-tanduknya dimana pribadi ini biasanya menyangkut kejiwaan seseorang. Jika terdapat kekacauan pada kejiwaan seseorang maka tidak heran apaila timbul keinginan orang tersebut utuk melakukan perbuatan kejahatan yang diakibatkan oleh apa saja yang menimpa dirinya itu. c. Zaman moderen misalnya; media elektronik yang menayangkan atau mensajikan melalui media televisi yang menampilkan filem-filem yang berbau porno. Iklan yang menampilkan adegan atau dialog yang
11
Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h.27.
21
memancing knotasi porno. Kemudian musik-musik yang membawa pada dunia khayalan, bahkan sekarang lebih marak lagi dengan adanya VCD atau Internet yang menghasilkan filem-filem porno dan menapilkan seseorang dalam keadaan telanjang. d. Melalui media surat kabar. Berita-berita surat kabar mulai dari gosip sampai kenyataan dapat dilihat di surat kabar ataupun majalah-majalah yang
didalamnya
dapat
dilihat
gambar-gambar
porno
yang
memperlihatkan kemulusan dan kemolekan tubuh seorang wanita. Pornografi dalam berbagai bentuknya memang besar pengaruhnya, banyak kasus persetubuhan di luar pekawinan karena si pelaku terpengaruhi oleh adegan filem-filem porno, gambar porno atau materi pornografi lainnya yang baru saja dinikmatinya. 12 2. Akibat Dari Perzinahan Hubungan seksual berlainan jenis tidak dapat dipisahkan, karena ini merupakan tuntutan biologi untuk membangun keturunan dan juga merupakan rahmat tuhan yang tidak ternilai. Bagi makhluk selain manusia melakukan hubungan seks tidak dipermasalahkan akibat hukum yang dihasilkan. Sedangkan bagi manusia hubungan seks akan berakibat fatal
12
Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h. 33.
22
apabila tidak melalui jalan yang semestinya karena ada akibat hukum yang dihasilkan. 13 Hubungan seks sangat erat kaitannya dengan perkawinan, maka dari itu harus di awali dari perkawinan itu, baik laki-laki dan perempuan dihalalkan untuk bersetubuh. Tanpa diawali dengan perkawinan maka seorang laki-laki dan perempuan diharamkan untuk bersetubuh. Dari keterangan diatas penulis ingin mengungkapkan bahwa akibat dari persetubuhan di luar perkawinan ialah: a. Perzinaan akan mengakibatkan langsung terjadinya penyakit-penyakit menular yang sangat membahayakan, dan itu akan turun-menurun dari anak ke anak ke cucu dan seterusnya, misalnya penyakit sphilis, gonorhoe, Iympogranuloma ingunale, geanuloma venereum dan ulcusmole. b. Hubungan seks di luar perkawinan merupakan salah satu sebab terjadinya pembunuhan, karena sifat atau rasa cemburu memang sudah menjadi watak manusia yang alami. Bahkan sangat sedikit laki-laki yang baik atau perempuan yang mulia yang bisa merelakan begitu saja penyelewengan hubungan kelamin. c. Hubungan seks di luar perkawinan mengakibatkan rusaknya rumah tangga, menghilangkan harkat keluarga, memutuskan tali perkawinan
13
Sayyid Sabiq,. Fiqih Sunah, (Bairut: Daar Fikr. 1983), h.150.
23
dan membuat buruknya pendidikan yang diterima oleh anak-anak. Hal ini tak kurang menyebabkan sang anak sering memilih jalan yang sesat, melakukan penyelewengan dan melanggar hukum. d. Dalam perzinaan terselip unsur menyia-nyiakan keturunan dan pemilikan harta/warisan kepada selain orang yang berhak atasnya, yakni pewarisan harta seorang pelaku kepada anak-anak jadah (anak hasil perzinaan) e. Hubungan seks di luar perkawinan merupakan pembebanan yang justru menimpa diri pezina itu sendiri, dimana dengan hamilnya wanita yang dizinahinya, maka sang pezina terpaksa mendidik atau mengasuh anak yang secara hukum bukan anaknya. f. Hubaungan seks di luar perkawinan ialah hubungan kelamin sesaat yang tak bertanggung jawab, perbuatan semacam ini merupakan prilaku binatang yang semestinya dihindari oleh setiap manusia yang menyadarinya. g. Selain merupakan sarana penyaluran kebutuhan biologis (insting seks) perkawinan juga merupakan pencegah penyaluran pada jalan yang tidak dikehendaki agama. Perkawinan mengandung arti larangan menyaurkan potensi seks dengan cara-cara di luar ajaran agama atau menyimpang. Itulah sebabnya agama mearang pergaulan bebas, dansadansa,
gambar-gambar
porno
dan
nyanyian-nyanyian
yang
merangsang seksualitas serta cara-cara lain yang dapat mendorong
24
hawa nafsu atau menjerumuskan orang kepada kejahatan seksual yang tidak dibenarkan oleh agama. Dengan larangan ini dimaksudkan agar rumah tangga tidak dirasuki oleh hal-hal yang dapat melemahkannya sehingga suatu keluarga tidak dilandai broken home. h. Hubungan seks di luar perkawinan adalah salah satu di antara sebabsebab dominan yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran peradaban, menularkan penyakit-penyakit yang sangat mebahanyakan, mendrong orang untuk terus menerus hidup membujang serta praktek perkawinan, dengan demikian zina merupakan sebab utama dari pada kemelaratan, peborosan, kecabulan dan pelacuran.14
C. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Zina Dalam Islam zina dikenal dua ketentuan yaitu; pertama, zina muhson kedua, zina gair muhson. Zina muhsn ialah pezina yang pelakunya telah memenuhi syarat; pezina telah dewasa, pezina orang yang berakal sehat, pezina termasuk orang yang merdeka, pezina trakat, sebagai perhelah melakukan persetubuhan dalam pernikahan yang sah. Sedangng telah encukan zina goir muhson ialah; pezina yang pelakunya tidak mencukupi persyarataan muhson. 15
14 15
Sayyid Sabiq,. Fiqih Sunah, h.37.
Asyari Abdul Ghafar,. Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil (Jakarta: Andres Utama 1996). Cet III, h.13.
25
Pada sanksi pezina bagi pelaku zina baik laiki-laki maupun perempuan dibedakan menjadi dua macam, yakni; rajam dan dera ditambah dengan hukuman pengasingan. Sanksi bagi orang yang merdeka berbeda dengan orang yang tidak merdeka (budak atau hamba sahaya).16 1. Rajam Rajam merupakan hukuman para pelaku pezina baik laki-laki maupun perempun dilempari batu kerikil (koral) sampai mati.17 Penggunaan batu kecil itu dimaksudkan agar terpidana dapat merasakan kesakitan sedikit demi sedikit agar berlangsung lama rasa sakit dari penyiksaan tersebut. Hukuman itu setimpal dengan kejahatan yang ia perbuat. Hukuman rajam itu dilakukan di depan umum untuk peringatan bagi masyarakat, sebagai perhatian dan pembelajaran bagi uamat pada umumnya. Sanksi atau hukuman rajam ini hanya di peruntukan kepada para pelaku pezina yang mencukupi syarat-syarat zina itu.
2. Dera dan pengasingan Hukuman dera atau cambuk dilaksanakan sampai batas maksimal 100 kali deraan, pelaksanaan hukuman ini tidak mempunyai motif pembuuhan.
16
Wardi Muslich Ahmad, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2005) Cet. Ke. 2, h. 29 17
Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib Jilid II (Kudus: Menara Kudus,1983), h.138
26
Jadi unsurnya berbeda dengan pelaksanaan hukuman rajam karena bermotif untuk membunuh kepada terhukum. 18 Pada dasarnya hukuman dera itu, tidak menutup kemungkinan bagi orang-orang
yang
dikenakan
hukuman
tersebut
mati
dalam
pelaksanaannya. Bahkan mereka mati dalam keadaan sebelum target seratus kali dilaksanakan.19 Pelaksannan hukuman dera diatas berdasarkan firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 4:24
( ) Artinya:
dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baikbaik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Ketentuan hukum ini
menurut pendapat para ulama, Imam Abu
Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Al-Qurtubi dan lainlain bahwa berlaku bagi para pezina yang bukan muhson. Sedangkan
18
Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu rusy, Bidayatul Mujatahid wa Nihayatul Muqtashid, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani,2002), Cet. Ke-2, h.608 19
Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.101.
27
pezina yang bukan muhson mendapatkan hukuman seratus kali dera (cambuk) serta dienakan pua hukuman pengasingan selama satu tahun.20 Dalam sanksi hukum tambahan pada (hukuman pengasingan) para fuqaha berbeda pendapat:21 a. Menrut Imam Malik: dalam hukuman pengasingan (buang) hukuman dikenakan kepada laki-laki saja, sedang perempuan tidak. b. Menurut
Imam
Ahmad
Ibnu
Hambal
menyetujui
hukuman
pengasingan selama satu tahun sebagai hukman tambahan terhadap hukuman dera. c. Imam Abu Hanifah terhadap hukuman pengasingan sebagai hukuman tambahan setelah pertimbangan hakim atau kebijaksanaannya yang menangani perkara. d. Sedangkan pendapat kebanyakan para ulama sebagaimana pendapat Imam Ahmad, yang juga diantaranya Imam Syafi’i Al-Qurtubi, Atho, Thowus, dan para khulafa rassyidun mengatakan perlunya diberikan hukuman dera dan pengasingan bagi para pelaku yang tidak muhson. Melihat dari penjelasan di atas yang diberikan oleh para fuqaha maka pada dasarnya seluruh umat menyetujui hukuman pengasingan bagi pelaku laki-laki dengan memperhatikan beberapa bukti agar hukuman
20
Muhammad bin Ismail Al- Bukhari,. Saheh Bukhori (Bairut Daar wa Mathlabi assyu’ab), jilid III, h.177 21
Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.103.
28
dapat diterapkan atau dijatuhkan terhadap pelaku, bukti-bukti tersebut adalah Iqrar atau pengakuan dari orang yang berbuat. Menurut pendapat Fathurrahman dalam bukunya mengungkapkan bahwa hadis-hadis peradilan agama menyatakan bahwa pengakuan adalah pernyataan seorang baik berupa ucapan atau tulisan dan lain sebagainya bahwa orang lain mempunyai hak atas sesuatu yang berada dalam diri atau suatu pernyataan (delik) suatu perbuatan pidana. 22 Perbuatan ini dibenarkan berdasarkan firman Allah SWT surat AlImran ayat 81:3
( ) Artinya:
Dan ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi: "Sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan Hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".
Agar pengakuan dapat dijadikan sebagai bukti untuk menetapkan adanya suatu delik hendaknya dipenuhi tiga syarat yaitu:
22
h.17.
Fathur Rahman,. Hadis Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
29
a) Pengakuan harus benar, artinya diyakan oleh orang yang sehat pikirannya atau dan tidak dalam keaaan terpaksa b) Pengakuan itu baik berupa lisan atau tulisan hendaknya dikemukakan secara tegas jelas dan terperinci. c) Berdasarkan kesaksian 4 orang saksi yang adil. Eikian menurut kebanyakan para ulama23. Firman Allah SWT dalam surat An-nisa ayat 15:4
( Artinya:
) Dan terhadap Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
Kejahatan pidana dalam Islam, sudah ditentukan sanksi hukumnya. Ketentuan ini mempunyai tujuan agar manusia tidak terjerumus dalam perbuatan yang di murkai Allah. Berkaitan dengan menyetubuhi wanita di luar perkawinan yang penulis bahas dalam skripsi ini. Syyaid sabiq mengungkapkan bahwa alasan perbuatan tersebut merupakan tindakan pidana yakni:
23
Fathur Rahman,. Hadis Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),h.20.
30
a. Perbuatan zina dapat menghilangkan nasab artinya secara otomatis menyia-nyiakan harta warisan ketika orang tuanya meninggal. b. Zina dapat menyebabkan penularan penyakit yang berbahaya kepada orang yang melakukannya seperti penyakit kelamin dan sebagainya. c. Zina merupakan salah satu sebab timbulnya pembunuhan, oleh karena rasa cemburu merupakan insting yang ada pada manusia, d. Zina
dapat
menghancurkan
rumah
tangga
dan
meruntuhkan
eksistensinya, bahkan lebih dari itu dapat memutuskan hubungan keluarga termasuk anak-anaknya. e. Zina hanya ssekedar hubungan bersifat sementara, dan tidak ada masa depan dan kelanjutannya sebab hakikat dari perbuatan zina sama saja dengan perbuatan binatang24.
24
Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.340-341.
BAB III PERKAWINAN MENURUT FIQIH DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Perkawinan Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anragik atau tidak ada aturan. Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabat manusia yang mulia. Hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam suatu ikatan berupa pernikahan. 1 Allah SWT telah melengkapi manusia dengan nafsu syahwat, yakni keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologis (kelaminnya)-nya. Dalam rangka itu, Allah pun telah menciptakan segala sesuatu yang ada secara berjodoh-jodohan. Ada siang ada malam, ada besar ada kecil, ada bumi ada langit, ada surga ada neraka dan ada pria dan wanita. Dalam kaitannya tentang jodoh pada manusia dan binatang, Allah berfirman: {
:
}
Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang 1
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta:CV. Haji Masagung, 1991), Cet. II, H.10
31
32
ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. (Al-Syura : 11) Kemudian kepada manusia Allah berfirman Surat Fathir ayat 11. {
:
}
Artinya: Dan Allah menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari air mani, Kemudian dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. (al-Fathir : 11) Dalam praktiknya naluri untuk melakukan perjodohan itu sendiri di kalangan manusia tidak selamanya berjalan dengan sesuai tuntunan Allah. Hal ini ada kalanya memang belum sempat atau tidak mendapatkan dakwah agama secara komprehensif atau memang karena kerakusan mereka itu sendiri, di mana nafsu kebinatangan menguasai dirinya. Dari sini lalu ada manusia yang yang mempunyai puluhan istri atau gundik (selir). Siapa yang mempunyai harta dan kekuasaan dapat memperistri sekian banyak wanita untuk memuaskan nafsu seksualnya semata-mata. Hal-hal seperti ini sebetulnya bertentangan dengan kehormatan manusia. Karena itu Islam berkepentingan untuk mengaturnya. Sebagai agama yang menjunjung tinggi keberadaan fitrah manusia, Islam justru menganjurkan manusia untuk hidup
33
berpasang-pasangan. Namun hal itu harus dilakukan secara terhormat dan mulia. Maka Allah menurunkan hukum perkawinan secara berangsur-angsur tapi mengandung signifikansi. Pada zaman Nabi Adam a.s di mana jumlah manusia masih sedikit, aturan perkawinan yang ditetapkan Allah sangat sederhana, misal seorang kakak boleh menikah dengan adik kandungnya. Waktu terus berjalan hingga datang Rasul terakhir, yaitu Muhammad saw. Hukum perkawinan telah berkembang lebih jauh. Bukan hanya umat manusia dilarang menikahi adik kandungnya, tetapi semua perempuan yang tergolong muhrim diharamkan untuk dinikahi atau dikawini oleh laki-laki. Begitu juga jumlah istri dibatasi, di mana jumlah maksimal hanya empat orang serta harus dilakukan dengan ketentuan syarat-syarat yang ketat2. Pengertian nikah atau ziwaj dalam bahasa arab diartikan dengan kawin. Kalimat nikah atau tazwij diartikan dengan perkawinan. Abdurrahman AlJarizi dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala Mazahibil Arba’ah menyebutkan ada tiga macam makna nikah, yaitu3 :
1. Makna Lughawi menurut Bahasa Menurut bahasa nikah adalah
2
Abdul Aziz Syaikh bin Abdurahman, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta, Pustaka Al Kautsar,1993), h. 17 3 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang, Dina Utama Semarang,1993), Cet I, h. 2-3
34
(bersenggama atau bercampur). Selanjutnya dikatakan :
Artinya: Terjadinya perkawinan antara kayu-kayu apabila kayu-kayu itu saling condong dan bercampursatu dengan yang lain”. Dalam pengertian majaz orang menyebut nikah sebagai akad, sebab akad adalah sebab bolehnya bersenggama. 2. Makna Ushuli atau Makna Menurut Syar’i Para ulama berbeda pendapat tentang makna ushuli dan makna syar’i. Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah arti hakikatnya adalah watha’ (bersenggama). Dalam pengertian majaz nikah adalah akad. Bila kita menemui kalimat nikah dalam al-qur’an atau hadist itu berarti watha atau bersengama (apabila tidak ditunjukkan lain). 4 Pengetian ini dapat dijumpai dalam Al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 22 : {
:
}
Artimya :“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” (al-Nisa: 22). Pendapat kedua mengatakan bahwa makna hakikat dari nikah adalah akad, sedangkan arti majaznya adalah watha’. Pengertian ini adalah 4
Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan.t.t), Jilid 3, h. 109. lihat pula al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta’rifat (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, 1998), cet ke 3. h. 249
35
kebalikan dari pengertian menurut makna luhgawi (menurut bahasa). Pengertian pendapat kedua ini dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 230. { : } Artinya :“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui”(Q.S Al-Baqarah 230). Pendapat ketiga mengatakan bahwa hakikat dari nikah adalah musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’. Sebab untuk memaknai syarat nikah, kadang-kadang makna watha’. 3. Makna fiqh (menurut ahli fiqh) Para ulama ahli fiqh juga berbeda pendapat tentang makna nikah ini. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa nikah menurut pendapat ahli fiqh berarti: “akad nikah yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruhnya”. Berdasarkan beberapa pendapat, pengertian nikah adalah sebagai berikut : Pertama, golongan Hanafiah mendefinisikan nikah sebagai :
36
5
Artinya: Nikah itu adalah akad yang memfaedahkah memiliki, bersenang-senang dengan sengaja Kedua, golongan Asy-Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai : 6
Artinya: Nikah adalah lafadz yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha’ dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya. Ketiga, golongan Malikiyah mendefinisikan nikah sebagai : 7
Artinya: Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh dinikahinya. Keempat, golongan Hanabilah mendefinisikan nikah sebagai: 8
Artinya: Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tawwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulama zaman dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula
5
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3 7 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3. 8 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3. 6
37
dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami istri yang timbul. Para ulama Mutakhirin, dalam mendefinisikan nikah telah memasukkan unsur hak dan kewajiban suami istri kedalam pengertian nikah. Muhammad Abu Ishrah mendefinisikan nikah sebagai :
9
Artinya: Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masingmasing”. Dari pengertian ini berarti perkawinan mengandung aspek akibat hukum yaitu saling mendapat hak dan kewajiban, serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Definisi perkawinan menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia ada pada pasal 1 Undang–Undang Nomor 1 tahun 1974 serbagai berikut : “Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 10 Dan pada pasal 5 KHI sebagai berikut : ”Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah allah dan melaksanakannnya merupakan ibadah.” 11 9
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3. Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia ..., Op.Cit, h.141 11 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ..., Op.Cit, h. 114
10
38
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa sebenarnya perkawinan adalah sarana legal yang diperkenankan oleh negara dengan tata cara yang sudah ditetapkan oleh negara.
B. Dasar Hukum Perkawinan Kehidupan berkeluarga terjadi lewat perkawinan yang sah, baik menurut agama maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dari sini akan tercipta kehidupan yang harmonis, tentram dan sejahtera lahir batin yang didambakan oleh setiap insan yang normal. Dalam agama Islam dasar perkawinan telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dasar hukum perkawinan dalam Al-Qur’an dan Hadits antara lain adalah An-Nisa ayat 21: { : } Artinya :Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (Al-Nisa’: 21)
Atau surat Ar-Rum 21 : {
:
}
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
39
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Al-Rum : 21) Atau surat Asy-Syura: 11 {
:
}
Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. (Al-Syura : 11) Atau surat Ar-Ra’du : 38 {
:
}
Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteriisteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (AlRa’du : 38) Adapun berdasarkan perkawinan dari hadis dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: { } Artinya: Nikah adalah sunahku barang siapa yang benci pada sunahku bukanlah termasuk golongan umatku. (H.R Muslim)12 12
Imam Bukhari, SOHIH AL-BUKHARI, (Maktabah al-Rusyd, Nasyirun, al-Riyadh, Jami’ al-Huquq, Mahfudhah, 2004 M/1425 H), Cet. I, h. 725. lihat juga Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang, Dina Utama Semarang,1993), Cet I, h. 7
40
Dari dasar hukum perkawinan di atas baik dari Al-Quran maupun Hadits dapat dipahami bahwa perkawinan daam pandangan Islam merupakan sunatullah dan sunah Rasul. Sunatullah berarti menurut qudrah dan iradah Allah dalam pencaiptaan alam ini, sedangkan Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri maupun untuk umatnya.
C. Rukun Dan Syarat Perkawinan Rukun berarti adalah kata mufrad dari kata jama’ “arkaan”, artinya asas atau sendi atau tiang. Yaitu sesuatu yang menentukan sah (apabila dilakukan) dan tidaknya apabila ditinggalkan sesuatu pekerjaan ibadah dan sesuatu itu termasuk di dalam pekerjaan itu. Lain dengan “syarat” yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk di dalamnya13. Syarat sah nikah merupakan dasar sahnya pernikahan. Jika syarat-syarat ini terpenuhi, amal pernikahan itu sah dan akan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pernikahan. Berikut adalah bentuk sederhana dari syarat dan rukun nikah. Rukun didefinisikan sebagai rukun perkawinan menurut Islam adalah : 1. Calon pengantin pria 2. Calon pengantin wanita
13
M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), Cet. III, h. 300-301
41
3. Wali nikah 4. Dua orang saksi 5. Sighat (akad) ijab kabul14 Menurut Zuhdi Muhdlor syarat-syarat perkawinan untuk calon pengantin pria adalah beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, tidak terkena halangan perkawinan, cakap bertindak hukum untuk berumah tangga, tidak sedang mengerjakan haji atau umrah, belum mempunyai empat orang istri. Sedangkan untuk pengantin wanita adalah beragama Islam, perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuan, tidak terkena halangan perkawinan, di luar iddah (bagi janda), tidak sedang mengerjakan haji atau umarah. 15 Adapun syarat bagi seorang wali adalah laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipidana, tidak dipaksa, adil, tidak sedang dalam ihram atau haji. 16 Sedangkan menurut Zuhdi Muhdhor syarat untuk wali adalah beragama Islam,
14
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah:Hukum Perkawinan Islam (Jakarta, Pustaka Amani, 1989), Cet III, h.30, Lihat juga Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan -Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk-, Menurut Hukum Islam, UU Tentang Perkawinan, Uu Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam. (Bandung, Mizan, 1994), Cet III, h. 52. 15 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan -Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk-, Menurut Hukum Islam, UU Tentang Perkawinan, UU Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Mizan, 1994), Cet. III, h. 52. Menurut Alhamdani, Syarat-syarat bagi calon suami adalah bukan mahram dari calon istri, Tidak terpaksa atau atas kemauan sendiri, Orangnya tertentu jelas orangnya, Tidak sedang menjalankan ihram haji, Dan syarat bagi calom istri, Tidak ada halangan syar’i yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam masa iddah, Merdeka atas kemauan sendiri, Jelas orangnya, Tidak sedang dalam berihram, lihat juga H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah ..., Op.Cit, h.30 16 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah ..., Op.Cit, h.30
42
laki-laki, adil (tidak fasiq), mempunyai hak atas perwaliannya, tidak terkena halangan untuk menjadi wali, tidak sedang mengerjakan haji atau umrah.17 Para ulama sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Disyaratkan juga bahwa kedua mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik yang bersifat permanen maupun sementara. Syafi’i berpendapat jika wanita baligh dan berakal sehat ingin menikah dan masih gadis maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak mengawinkan itu ada pada keduanya wali tidak boleh mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu wali. Namun pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang diucapkan oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuan. Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pela melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan atau janda.18
17
Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ..,Op.Cit, h. 52. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab –Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali- (Jakarta, Lentera, 2001), Cet. VII, h. 318. Tentang hal baligh, para ulama mahzab sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti kebalighan seorang wanita. Sebab hamil hanya akan bisa terjadi oleh karena pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma dalam laki-laki. Imamiyah, maliki, syafi’i 18
43
Kemudian syarat-syarat seorang saksi adalah laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, bebas atau tidak dipaksa, tidak sedang menjalankan ihram atau haji, memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul. Menurut Zuhdi Muhdar syarat seorang saksi adalah dua orang laki-laki, beragama Islam, mengerti maksud akad perkawinan, hadir pada saat ijab kabul berlangsung. 19 Untuk saksi akad nikah, Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa disyaratkan harus adil. Namun mereka (Syafi’i dan Hanafi) bersepakat bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki tidak sah. Mengenai akad pernikahan para ulama mahzhab sepakat bahwa pernikahan dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan kabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau seperti pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali. Dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa disertai adanya akad. dan hambali mengatakan tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh-nya seseorang. Sedangkan hanafi menolaknya, sebab menurut beliau bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain diseluruh tubuh. Syafi’i dan Hambali mensyaratkan usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun, sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun, sedangkan bagi perempuan tujuh belas tahun. Pendapat hanafi daam usia baligh adalah batas usia maksimal sedangkan usia minimalnya adalah dua belas tahun untuk anak laki-laki dan sembilan tahun untuk enak perempuan. Sebab menurut imam hanafi pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mengeluarkan sperma, menghamili atau meneluarkan mani (diluar mimpi), sedangkan bagi perempuan dapat mimpi keluar sperma, hamil atau haid. 19 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ..., Op.Cit.,h. 52
44
Para ulama mahzab juga sepakat bahwa akad nikah itu sah bila dilakukan dengan redaksi atau lafadz “aku mengawinkan” atau “aku menikahkan” dari pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi “aku terima” atau “aku setuju” dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya 20. Menurut mahzhab Syafi’i21 bahwa redaksi akad dalam pernikahan harus merupakan kata bentukan dari lafal al-tazwij dan al-nikah saja, selain itu menurut beliau tidak sah22. Berbeda dengan pendapat dari imam Abu Hanifah23 yang berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala
20
Jawad Mughniyah Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, ( Jakarta, Lentera Basritama, 1999), h.309 21 Munculnya mazhab Imam Syafi’i di mulai pada tahun 198 H/ 815 M, yaitu pada saat beliau berusia 48 tahun (setelah belajar kurang lebih 40 tahun). Imam Syafi’i mendapat izin dari gurunya – Imam Malik – untuk berfatwa sendiri dalam Ilmu Fiqh dan tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Malik dan Imam Hanafi (sic). Imam Malik memberikan izin kepada Imam Syafi’i untuk berfatwa sendiri karena dengan ilmu yang dimilikinya ia telah dianggap mampu untuk itu. Dengan izin tersebut, Imam Syafi’i mulai berfatwa pada tahun 198 H, diawali dengan menyusun kitab-kitab yang dikarangnya sendiri. Lihat : Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1986), Cet. ke-6, h. 13. Imam Syafi’i mengatakan yang menjadi sumber (pokok) adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah barulah qiyas kepada keduanya. Kalau sebuah hadits dari Rasulullah SAW sudah shahih sanadnya maka itulah Sunnah. Ijma’ lebih besar dari kabar dari orang seorang. Hadits-hadits itu diartikan menurut dzahir lafadznya, tetapi kalau artinya banyak, maka yang dekat kepada yang dzahir itulah yang pantas. Kalau bersamaan dengan banyak hadits, maka yang paling shahih sanadnya itulah yang didahulukan. Hadits Munqathi’ (yang tidak sampai sanadnya kepada Rasulullah SAW) tidak diterima, kecuali munqathi’ yang dikatakan oleh Sahabat Said Ibnu Al-Musayyab. “Asal” tidak diqiyaskan kepada “asal”. Asal tidak ditanya “Kenapa dan bagaimana ?”. Hal ini boleh ditanyakan kepada Furu’ “Kenapa ?”. Kalau sudah ada qiyas furu’ kepada asal maka itu adalah suatu dalil (hujjah). Pengetahuan untuk beristinbat Imam Asy-Syafi’i itu adalah dari Kitab Suci (Al-Qur’an), Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas”. Lihat : Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1986), Cet. VI, h.120. 22 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab ..., Op.Cit., h. 309 23 Abu Hanifah yang nama lengkapnya adalah Al-Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zuthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun 80H; artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abd AlMalik ibn Marwan. Beliau meninggal pada kekuasaan Abbasiah.
45
redaksi yang menyatakan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafadz al-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan). Sepanjang akad tersebut menunjukkan qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah24. Selanjutnya para ulama mazhab juga bersepakat bahwa orang yang melakukan akad itu harus pasti dan tentu orangnya, sehingga dipandang tidak sah akad nikah dalam kalimat yang berbunyi, ”saya mengawinkan kamu dengan salah seorang di antar kedua wanita ini,” atau “saya nikahkan diri saya dengan salah satu diantara kedua laki-laki ini” tanpa ada kepastian yang manakah diantara kedua itu yang dinikahi. 25 Pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan beberapa syarat perkawinan. Disebutkan sebagai berikut; 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan keduan calon mempelai. 26 Cara ijtihad yang pokok dapat diringkas sebagai berikut: “Aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada sunah Rasulullah saw dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orangorang tsiqah. Apabila tidak mendapatkannya dalam Al-Quran. Apabila tidak mendapatkan dalam Al-Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku mengambil pendapat yang mana saja yang aku kehendaki, aku tidak akan pindah dari sahabat yang satu kesahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat ibrahim, al-sya’bi, dan ibn al-Musayyab, serta yang lainnya, akau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.” Lihat : (Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani, 1987:91) 24 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab ..., Op.Cit., h. 309. 25 Ibid., h. 312. Terdapat perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi mengenai syarat untuk menyegerakan akad. Imam Syafi’i mensyaratkan untuk menyegerakan akad, artinya qabul harus segera dilakukan segera setelah akad secara langsung dan tidak terpisah. Sedangkan Hanafi tidak mensyaratkan kesegeraan. Menurut Hanafi, kalau ada laki-laki yang mengirim surat lamaran kepada seorang perempuan lalu si perempuan tadi menghadirkan para saksi dan membacakan surat itu kepada mereka, kemudian mengatakan,”saya nikahkan diri saya kepadanya”, padahal lelaki yang melamarnya tersebut tidak ada di tempat maka akad tersebut menurut Imam Hanafi adalah sah. 26 Aspek kerelaan atau tidak adanya intervensi dari luar bagi pihak calon pasangan suami istri juga penting karena perkawinan adalah bagian dari urusan pihak calon suami istri, bukan
46
2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai usia 20 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat hanya dari orang tua yang masih hidup. Dalam hal salah seorang dari orang tua telah meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendaknya maka diperkenankan untuk menggunakan wali nikah. Orang yang memelihara atau orang yang mempunyai hubungan keturunan dengan yang bersangkutan.
D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan Allah swt menciptakan alam tentu mempunyai tujuan tertentu, begitu juga halnya dengan tingkah laku manusia. Dua faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah niat atau motifasi, sedangkan faktor eksternal adalah tujuan. Berbicara tujuan berarti terkait dengan persoalan kepentingan. Karena kepentingan adalah pemenuhan kebutuhan hidup. Tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan suatu aktifitas. Kepentingan hidup manusia secara sosiologis ada yang bersifat primer dan ada yang bersifat sekunder. Kepentingan yang bersifat primer (daruriyyat) ini urusan orang tua. Orang tua yang bijaksana tidak akan memaksakan kehendaknya. Karena itu meskipun orangtua mempunyai hak untuk mengawinkan anak-anaknya ia perlu meminta pertimbangan anaknya tentang pilihannya bahkan lebih bijaksana jika ia menanyakan terlebih dahulu apakah si anak sudah mempunyai calon pendamping hidup bagi dirinya. Hal ini karena anak-anaklah yang akan menjalani pernikahan itu. Di sisi lain sang anak juga perlu meminta pertimbangan kepada orang tua tentang pilihannya. Semua adalah bagian untuk mencapai kehidupan yang harmonis antara anak menantu dan mertua serta sebaliknya. Kerelaan merupakan faktor dominan yang cukup penting.
47
merupakan tujuan utama yang dipelihara oleh hukum Islam. Lima kepentingan yang harus dipelihara yaitu, pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.27 Perkawinan termasuk usaha melindungi kepentingan pemeliharaan yang keempat yaitu pemeliharaan keturunan. Tujuannya adalah agar pemeliharaan kemurnian darah dapat terus terjaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan28. Adapun tujuan perkawinan menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits. Antara lain adalah29 : 1. Untuk mendapatkan ketenangan hidup Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21, {
:
}
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Al-Rum : 21)
27 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. X, h. 56 28 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, h. 56 29 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ...,Op.Cit., h.15-16
48
2. Untuk menjaga diri dan pandangan mata.
:
: , 30{
}.
Artinya: “Dari abdullah bin mas’ud r.a. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda“ Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup untuk kawin, maka hendaklah ia kawin karena sesuungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap hal-hal yang dilarang agama), dan memelihara kemaluan (farj). Barang siapa tidak sanggup maka berpuasalah, karena puasa itu sebagaia perisai bagi dirinya” (H.R Muslim) 3. Untuk mendapatkan keturunan. Bahwasanya rasulullah menyuruh kita untuk kawin dan melarang hidup membujang atau tidak kawin. Beliau bersabda:
31
{
}.
Artinya :“Kawinilah yang beranak (bibitnya banyak sehingga dapat mempunyai banyak anak) lagi penyayang , karena aku bangga dihadapan para nabi dengan banyaknya kamu diakhirat” (H.R riwayat Ahmad dari Anas Bin Malik).
Sedangkan tujuan perkawinan menurut Undang-undang perkawinan, antara lain, yakni :
30
Imam Muslim, SAHIH MUSLIM, (Maktabah al-Rusyd, Nasyirun, al-Riyadh, Jami’ alHuquq, mahfudhah 2001 M/1422 H), h. 343 31 Imam al-Shon’ani, Subulus Salam: Syarah Bulugh al-Maram, (Daru al-Fikr, Bairut Lebanon, 1991 M/1411 H), Juz III, h. 214 - 215
49
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. 2. bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, disamping harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Asas monogami, yaitu seorang suami beristri satu orang, kecuali jika dibenarkan
menurut
hukum
agama
dan
undang-undanguntuk
berpoligami (beristri lebih dari satu orang). 4. Bahwa calon suami-istri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian. 5. Karena tujuan perkawinan untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera maka undang-undang perkawinan memnganut asas mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan atas alasan yang kuat dan dilakukan didepan sidang. 6. Hak dan kedudukan suami istri yang seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan dimasyarakat sehingga segala sesuatu yang menyangkut kepentingan keluarga dapat diputuskan oleh suami dan istri32.
32
Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ...,Op.Cit., h. 20-21
50
Sebagaimana telah dijelaskan diawal bahwa perkawinan mempunyai banyak manfaat. Kemudian, karena itulah Islam menganjurkan dan memberikan kabar gembira yang positif kepada orang yang hendak kawin. Dengan perkawinan tersebut diharapkan orang tersebut menjadi baik perilakunya, masyarakatpun menjadi baik bahkan seluruh umat manusia menjadi baik. Maka banyak sekali hikmah yang terkandung dalam suatu ikatan perkawinan baik ditinjau dari segi sosial, psikologi maupun kesehatan. Menurut Djamaan Nur, berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul, hikmah nikah antara lain : menyalurkan naluri sex, jalan untuk mendapatkan keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapakan dan keibuan, dorongan untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menghubungkan tali silahturahmi antara dua keluraga besar dari suami dan istri33. Husein Muhamad menjelaskan bahwa Imam Ghazali setidaknya menyebutkan tiga hal mengapa perkawinan menjadi peristiwa yang begitu penting. Pertama, perkawinan adalah cara atau ikhtiar manusia melestarikan dan mengembangbiakkan keturunannya dalam rangka melanjutkan kehidupan manusia di bumi. Menurut al-Ghazali tujuan ini adalah maksud paling utama perkawinan. Kedua, perkawinan menjadi cara manusia menyalurkan hasrat
33
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat ..., Op.Cit., h. 10
51
seksual dan menjaga alat kelamin. Al-Ghazali kemudian merujuk poin ini pada hadis Rasulullah yang artinya, siapa yang nikah, dia telah menjaga separuh agamanya, maka jagalah yang separuh lain. Menurut Imam Al-Ghazali yang dimaksud agama dalam hadis ini adalah lebih kepada kondisi terjaganya moralitas. Dengan begitu perkawinan bukan semata-mata memenuhi kebutuhan biologis secara seenaknya, melainkan juga menjaga alat-alat produksi agar menjadi tetap sehat dan tidak disalurkan ditempat yang salah. Ketiga, perkawinan merupakan wahana rekreasi dan tempat orang menumpahkan keresahan hati dan membebaskan diri dari kesulitan hidup secara terbuka kepada pasangannya.34
34
http://www.rahima.or.id/SR/14-05/Tafsir.htm, Rabu, 25 April 2007
BAB IV ZINA DIJADIKAN ALASAN DALAM PERKAWINAN DALAM TINJAUAN FIQIH DAN HUKUM POSITIF
A. Zina dijadikan Alasan Seseorang untuk Melakukan Perkawinan Ketentuan
perkawinan
dengan
perzinaan
terdapat
perbedaan,
perkawinan merupakan benih masyarakat dan asal ujudnya. Ia merupakan undang-undang alami yang berlaku bagi seluruh alam, dan merupakan sunnah dari makhluk Tuhan yang memberikan kepada hidup ini nilai dan harga. Perkawinan merupakan tempat memadu kasih dan cinta yang benar, dan wadah tolong menolong dalam hidup dan tempat kerja sama membina keluarga satu membangun dunia. Jika laki-laki dan perempuan zina telah berbuat dengan sungguhsungguh, minta ampun kepada Allah, menyesal, membersihkan diri dari dosa dan mulai dengan hidup yang bersih lagi menjauhkan diri dari dosa, maka allah akan menerima taubatnya, dan memasukan mereka dengan rahmat-nya kedalam hamba-hambanya yang baik, kedua pelaku zina yang melakukan perbuatan zina atas dasar suka sama suka seharusnya dinikahkan.1 Hal ini sesuai dengan firman allah surat An-Nur ayat 3;
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008), cet, 3 h. 125
52
53
Artimya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (Annur Ayat: 3) Berdasarkan isi dari surat an-nuur diatas, orang yang berzina tentu hanya bisa menikah dengan ornag yang berzina juga atau dengan orang musyrik. Jika orang yang berzina tidak dinikahkan tentu semakin terbuka kesempatan bagi mereka untuk mengulangi perbuatan zinanya apakah dengan pelaku yang sama atau dengan orang lain lagi. 2 Dalam hadis yang artinya “Dari Abu Hurairah r.a dia berkata, rasulullah SAW telah bersabda: lakilaki yang berzina yang dijatuhi hukuman cambuk tidak boleh menikah kecuali dengan pelaku zina juga.”3 Golongan Hanafi, Syafi’I dan Maliki mengatakan: boleh laki-laki zina kawin dengan perempuan zina dan sebaliknya perempuan zina boleh kawin dengan laki-laki zina. Zina menurut mereka tidak menghalangi sahnya akad nikah (perkawinan). 4
2 M. Abduh Malik, Perilaku Zina; Pandangan Hokum Islam Dan Kuhp, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 164. 3 As-San’ani, Subul Al-Salam Jilid III, h. 127-128 4 M. Bukhari,. Hubungan Seks Menurut Islam, (Jakarta: Bumi Aksara: 1994),. Cet. Ke-1 h. 67
54
Dari pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah, dapat dijelaskan bahwa dengan diperbolehkannya menikah bagi laki-laki zina dengan perempuan zina, maka perkawinan merekapun sah seperti perkawinan yang dilakukan oleh orang yang bukan pelaku zina. Karena tidak terdapat larangan yang nyata dari al-qur’an dan hadis mengenai hal itu. Dari sudut sosiologis, pendapat mereka sangat menguntungkan pihak wanita karena dapat menutup aibnya5. Alasan mereka yang membolehkan menikahi perempuan zina sebagai berikut: 1. Firman allah swt, dalam surat an-nisa ayat 24. {
} اﻟﻨﺴﺎء
Artinya: dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami. Kecuali budak-budak yang kamu miliki (allah menetapkan hokum itu) sebagai ketetapan-nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian itu (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina…. (an-Nisa Ayat:24)
5
M. Bukhari,. Hubungan Seks Menurut Islam, , , h. 67
55
Dalam surat an-nisa’ ayat 23-24 perempuan hamil karena zina tidak disebutkan dalam golongan perempuan-perempuan yang haram dinikahi, maka boleh hukumnya menikahi mereka. 2. Hadis Aisyah Binti Abu Bakar R.A, ketika Rasulullah SAW ditanyakan tentang seorang lelaki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian lelaki itu berniat menikahinya, maka nabi bersabd yang artinya “permulaan perzinaan tetapi akhirnya adalah pernikahan, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal”. (H.R Al-Daruquthni) Perzinaan itu hukumnya haram, tetapi tidak mengharamkan perbuatan yang halal yaitu menikah. 3. Seperma zina itu tidak dihargai karena dengan alasan tidak ditetapkannya ketentuan anak zina kepada ayah, tetapi hanya kepada ibunya saja. Sebda rasulullah SAW yang artinya:“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, rasulullah SAW bersabda: anak itu dinasabkan kepada ibunya (pemilik firsy), sedangkan laki-laki pezina tidak memiliki apa-apa”. (H.R AlTirmidzi).6 Dari pembahasan diatas, telah jelas bahwa pria yang berzina tidak ada larangan untuk menikahi wanita yang berzina, sehingga tidak ada sesuatu yang menghalangi kebolehan pernikahan seorang wanita yang hamil akibat zina dengan pria yang menzinahinya hingga ia hamil, dan akad nikah yang
6
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh, Sunah Al-Tirmidzi, (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), Jilid II, h.385.
56
dilakukan adalah sah, yang berakibat pada halalnya hubungan diantara mereka. Hukum perdata mengatur tentang perkawinan bagi pelaku zina dalam pasal 32, yang menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan putusan hakim telah dinyatakan salah karena berzina, sekali-kali tidak diperbolehkan kawin dengan kawan berzinanya” Yang di maksud di sini adalah apabila kedua pelaku zina yang salah satu atau keduanya sudah beristri atau bersuami sesuai dengan pasal 284 KUHP, di nyatakan bersalah oleh hakim karena melakukan perbuatan zina, maka kedua pelaku tersebut tidak boleh melakukan perkawinan. Apabila mereka melaksanakan perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah7. Tetapi apabila tidak ada pernyataan bersalah dari hakim karena perbuatan zina. Maka mereka (laki-laki dan perempuan pezina) dapat melangsungkan perkawinan, dan status perkawinan mereka dianggap sah. Dalam undang-undang No1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pasal yang mengatur secara khusus tentang status perkawinan yang dilaksanakan oleh pelaku zina. Hal ini berarti undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menganggap sah perkawinan yang dilaksanakan oleh kedua pelaku zina, karena dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan yang sah adalah 7
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serata KomentarKomentarnyalenkap pasal demi pasal (Bogar, Politeria 1983), h.284
57
apabila
dilakukan
menurut
hokum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu8. Kedua pelaku (laki-laki dan perempuan) zina tidak termasuk dalam dua orang yang dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan masalah ini dalam pasal 53: 1) seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. 3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Perkataan “dapat dikawinkan” dalam ayat (1) diatas berarti boleh dinikahkan dan boleh tidak. Jika kedua pelaku zina tersebut bujang dan gadis dan mereka melakukan perbuatan zina tersebut atas dasar suka sama suka sepanjang tidak ada halangan syar’I mereka dinikahkan dalam keadaan biasa maka seharusnya mereka dinikahkan untuk menghindarkan kemungkinan mereka berdua akan mengulangi perzinaan kembali. 9 Dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 KHI tentang: perkawinan wanita hamil akibat perbuatan zina, maka dapat kita ambil
8
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan & kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), 9 M. Abduh Malik, Perilaku Zina : Pandangan Hokum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h.168.
58
kesimpulan bahwa status perkawinan yang dilaksanakan oleh kedua pelaku zina menurut Kompilasi Hukum Islam dianggap sah.
B. Perkawinan Wanita Hamil Dalam KHI 1. Status Perkawinan Wanita Hamil Status perkawinan wanita hamil dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pada Bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2 dan 3 yaitu ;
a. Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria menghamilinya.
b. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandung lahir. Pasal 53 ayat 2 KHI menyatakan bahwa perkawinan wanita hamil itu benar-benar dilangsungkan ketika wanita itu dalam keadaan hamil Sedangkan kelahiran bayi yang dalam kandungannya tidak perlu ditunggu.Dalam KHI perkawinan wanita hamil akibat perbuatan zina tidak mengenal iddah, oleh karena itu tidak mengakibatkan adanya masa iddah. Namun perkawinan wanita hamil seperti Pasal 53 ayat 1, hanya boleh dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya 10.
10
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008), cet, 3 h. 128
59
Untuk mengetahui siapakah laki-laki yang menghamili wanita itu sangat sulit, apalagi dihubungkan dengan pembuktian menurut hukum Islam harus disaksikan oleh empat orang saksi. Pembuktian itu semakin sulit apabila kemungkinan dan usaha secara sengaja menutup-nutapi, atau orang yang pernah menzinahi beberapa orang. pasal 53 ayat 1 dan 2 tersebut semacam ada sikap yang tidak konsisten. Dikatakan demikian, karena apabila berpedoman kepada Pasal 53 ayat 2 KHI. tersebut temyata hanya berpedoman kepada formalitasnya safa, yaitu karena wanita hamil tersebut belum perah menikah. maka ketentuan yang berlaku bagin^i adalah hak kegadisan, walau keoyataannya wanita itu telah hamil.
Tetapi muncul ungkapan lain yang sebenamya tidak mampu membawa aspirasi terdahulu, yaitu wanita hamil itu hanya boleh dikawinkan dengan
laki-laki yang menghamilinya. Pada hal wanita yang dihukumkan gadis itu, dia boleh dikawinkan dengan setiap laki-laki yang diingininya sccara bebas. Inilah gambaran kurang konsistennya. Kemudian Pasal 53 ayat 3 menyatakan bahwa, dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Adanya ketentuan bahwa perkawinan tersebut tidak perlu di ulangi lagi, maka menjadi isyarat bahwa perkawinan terdahulu telah dinyatakan sah11.
11
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan & kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 245-246
60
2. Status Nasab Anak Dalam Perkawinan Wanita Hamil Menurut KHI Dengan kebolehan wanita hamil melangsungkan perkawinan seperti Pasal 53 ayat 1, 2 dan 3 KHI, maka timbul satu masalah penting, yakni pada penentuan nasab anak yang dilahirkan. Untuk mengantisipasi hal terscbut, KHI sebenamya tidak menyodorkan konsep redaksi yang tegas untuk memberikan penyelesaian hukumnya. Tetapi apabila dipahami dari Pasal 99 poin a, KHI menyatakan bahwa "anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah", bahwa pasal ini berarti mengakui kawin hamil. Pemahaman ini diambil dari teks Pasal tersebut "anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam", ini memberikan isyarat bahwa ada wanita hamil. Kemudian dalam masa hamilnya dia kawin dengan laki-laki, lalu dalam masa perkawinan tersebut lahir anak, anak tersebut dmyatakan anaknya. Dengan demikian, jelas kawin hamil telah dinyatakan boleh sebelumnya, Mengenai status nasab anak yang lahir juga dapat menjadi anak yang sah dari laki-laki yang mengawimnya, Hal ini dipahami dari teks "anak yang sah" yaitu anak sah dari suami ibunya. Jika demikian, berarti anak tersebut mempunyai nasab kepada suami ibunya 12.
Status nasab anak dalam perkawinan juga telah diatur dalam UndangUndang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 92. Undang-
12
Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan No 1 / 1974, ( Jakarta: Tinta Mas, 1996), h. 125
61
Undang ini merupakan dasar hukum dalam melangsungkan perkawinan di Indonesia. 3. Korelasi Pendapat Para Imam Mazhab Dengan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil Menyoroti pendapat para imam mazhab tentang keabsahan perkawinan wanita hamil dan menghubungkannya dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tampak keduanya masih bias dikatakan se^alan. Hal ini apabila mengambil pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi'i. Inti pendapat tersebut adalah kebolehan perkawinan wanita hamil. Adapun status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil dalam KHI dinasabkan kepada suami ibunya hal ini sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang mengaitkan nasab anak kepada pemilik bibit secara
umum. Perbedaannya adalah, apabila ternyata pemilik bibit itu bukan orang yang mengawini wanita hamil itu. Imam Hanafi menghubungkannya bukan kepada laki-laki yang mengawininya, tetapi kepada pemilik bibit yang menyebabkan lahirya anak tersebut13. Sedangkan KHI tetap menghubungkan nasab anak kepada laki-laki yang mengawini wanita hamil tersebut Dengan demikian, penulis melihat bahwa pembuat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mencerminkan sikap kehatihatian, terikat sepenuhnya dengan hokum Islam, tetapi tidak mengacu kepada
13
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan & kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 263
62
fiqh mazhab tertentu. Jika melihat kepada pendapat imam mazhab dan KHI yang berlaku di Indonesia, maka dalam hal status perkawinan wanita hamil dengan lakilaki, KHI lebih bersifat kehati-hatian, yang hanya membolehkan kawin dengan laki-laki yang mcnghamilmya. Bagaimana kalau perkawinannya itu dilangsungkan dalam keadaan hamil tua, maka pendapat Imam Syafi'i lebih menyelematkan kepada status anak. Karena menurut Imani Syafi'i bahwa pengakuan status anak itu ditentukan dengan masa kehamilan dalam perkawinannya dengan seorang laki-laki, yaitu apabila perkawmannya itu adalah enam bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut memiliki hubungan nasab kepada suaminya. Seandainya kurang dari enam bulan, maka nasab anak rersebut dihubungkan kepada ibunya. Sedangkan dalam KHI tidak ada menyebutkan usia kehamilanya, mi berarti bahwa apabila seorang wanita hamil kemudian kawin dengan laki-laki maka anak yang dalam kandungannya adalah anak laki-laki yang mengawininya. Ini berarti KHI sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang mengajLtkan nasab anak kepada pemilik bibitnya. Hanya saja Imam Hanafi membolehkan kawin dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. DaliI Yang Dipergunakan Para Ulama dalam Mendukung Pendapatnya Para ulama menggunakan dalil Alquran dalam menentukan hokum status perkawinan wanita hamil, terutama bagi Imam Hanafi dan Imam Syafi'i, yaitu memahami AIquran pada surah An-Nur ayat 2. Sedangkan Imam Malik dan Imam
Ahmad
bin Hanbal tidak memahami ayat
tersebut,
tetapi
63
memberlakukan dalil lain. Karenanya terjadilah perbedaan dalam menentukan hukum status perkavinan wanita hamiL Hanbal
Disamping dalil Alquran, para ulama menggunakan hadis Nabi Muhammad SAW. baik dalam menentukan status perkawinan, status nasab
anak maupun akibat hukum yang timbul. Baik Imam Hanafi dan Syafi'I yang membolehkan perkawinan wanita hamil, maupun Imam Malik dan Imam Abroad bin Hanbal yang melarang perkawinan wanita hamil, mereka menggunakan dalil atau alasan dari hadis-hadis Nabi SAW. Tetapi hadts-hadis yang dipergunakan berbeda bunyinya, sehingga berbeda pula kesimpulan hukumnya. Di samping kedua dalil tersebut (Alquran dan hadis) para ulama mempergunakan ijtihad. Penggunaan ijtihad tampak terlihat ketika
menentukan status nasab anak. Jumhur ulama berijtihad dengan memahami lafaz "nikah" dalam ard secara istilahi sedangkan Imam Hanafi memahami dalam arti hakiki. Dalil-dalil yang dipergunakan oleh para ulama dalam mendukung pendapat dan nya itu sesuai dengan dasar-dasar istinbath hukum Islam yang ditetapkan oleh konsensus ulama. Memperhatikan dalil-dalil atau alasan yang dipergunakan oleh para ulama dan KHI, maka pendapat ulama dan KHI yang membenarkan perkawinan wanita hamil, walaupun dengan laki-laki yang menghamilinya, maka janganlah kawin hamil semakin terbiasa, tetapi semestinya rasa tabu bagi pelakunya. Sebenamya pendapat
64
para ulama dan KHI. hanya memberikan jalan keluar bagi mereka yang telah terlanjur hamil sebelum menikah. Ini bukan berarti memberikan peluang untuk hamil sebelum menikah (berbuat zina), sebab perbuatan zina suatu perbuatan yang sangat jahat dan dosa besar.
C. Status Hukum Anak Hasil Perbuatan Zina Dalam kehidupan keluarga setiap anak yang lahir dari ikatan perkawinan,
diterima sebagai pembawa bahagia. Tetapi adakalanya anak bukan terlahir dari kedua orang tua yang sama, sebutlah si istri seorang janda dan ia membawa anak dari suami pertama. Atau sebaliknya si pria seorang duda membawa anak dari istri terdahulu, dan dari perkawinan itu terjadilah hubungan antara anak yang bersaudara kandung disamping anak saudara tiri. Kedudukan anak demikian pada umumnya tidak sama dimata kedua orang tua, baik dalam curahan kasih sayang juga kelak dengan pembagian harta waris. Masih tentang kedudukan anak. Akan terjadi kemungkinan si anak lahir dari hubungan diluar pernikahan. Banyak factor penyebab denikian sekarang ini. Anak seperti itu sering disebut “ anak haram jaddah”. Sebutan yang tidak dikenal dalam masyarakat yang beriman kepada tuhan. Walaupun kehadiran
65
sia anak tanpa hubungan perkawinan yang menjadi sebab adalah “orang tuanya”. 14 Menurut ajaran Islam bahwa setiap anak mempunyai hubungan yang erat dengan ibu dan bapaknya ( double unilateral / bilateral), sehingga kalau salah
satunya meninggal dunia maka yang satu akan menjadi ahli waris terhadap yang lainnya. 15Sejak lahir, anak mempunyai hak nasab pada orang tua sebagai buah perkawinan maka , firman Allah SWT: {٢٣٣ :} اﻟﺒﻘﺮة Artinya:
”…. Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf….”. (Al-Baqarah: 233).
Menurut pandangan Islam anak yang lahir dari rahim seorang perempuan
mempunyai hubungan nasab dengan perempuan yang mengandung dan melahirkannya itu tanpa melihat kepada cara bagaimana perempuan itu hamil, baik dalam perkawinan atau dalam perzinaan. Kalau kita menggunakan kata “anak sah’ sebagai ganti “nasab” maka bagi seorang ibu, setiap anak yang dilahirkannya adalah anak sah; karena hubungan nasab antara ibu dengan anak berlaku secara alamiah.
14
Mulyana W. Kusumah (penyuting), Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986),. Cet., h.5. 15 H. Asyhari Abdul Ghoffar, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan Muda Mudi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), Cet. Ke-1, h.46.
66
Oleh karena itu, para ulama telah sepakat bahwa anak yang dilahirkan karena hubungan suami istri didalam perkawinan yang sah, maka nasab atau hokum nasab anak tersebut mengikuti kedua orang tuanya. Untuk masalah anak zina hokum Islam tidak membatasinya apakah pelaku zina itu salah satunya atau kedua-keduanya terikat perkawinan dengan orang lain atau tidak. Karen setiap anak yang lahir diluar perkawinan yang sah maka hukum dari anak tersebut juga tidak sah. Karena dalam Islam yang dinamakan zina adalah hubungan seks antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh akad yang sah. Para ulama telah sepakat, bahwa anak yang lahir karena perzinaan tetap mempunyai hubungan keturunan dengan ibu (matrilineal). 16 Anak hasil zina tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti si anak itu tidak memiliki bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinainya, mengaku bahwa yang dikandung itu adalah anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah, karena anak tersebut hasil hubungan diluar nikah. Karena dalam hokum perdata Islam setatus anak tersebut abadi dan permanent tidak bisa diubah karena perkawinan, jadi anak itu tidak berbapak. Untuk anak yang lahir dari perempuan akibat perbuatan zina, mempunyai hubungan nasab dengan ibu yang melahirkannya dan dengan orang-orang
yang berhubungan nasab dengan ibu itu, sedangkan dengan laki-laki yang
16
H. Asyhari Abdul Ghoffar, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan Muda Mudi,, h.46.
67
berzina dengan si ibu yang menyebabkan lahirnya anak itu, ia tidak mempunyai hubungan basab. Dengan demikian status anak dalam kandungan sebelum terjadinya pernikahan, dengan suminya sudah jelas yakni bernasab kepada ibunya dan tidak bernasab kepada laki-laki manapun. Untuk masalah ini para ulama mazhab berpendapat bahwa paling sedikit batas usia kandungan adalah enam bulan. Ukuran tersebut di ambil dari firman Allah: Dalam ayat pertama di terangkan bahwa hamil dan di sapih itu berlangsung bersama-sama dalam masa 30 bulan. Sedangkan dalam ayat kedua di terangkan bahwa masa sapih saja lamanya dua tahun. Jadi, di kurangi, lalu di peroleh hasilnya, bahwa masa hamil saja berlangsung dalam enam bulan, berdasarkan ayat kedua tadi. 17 Ini berarti jika ada anak yang di lahirkan tiga bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat di nisbatkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah.18 Namun demikian, terdapat perbedaan di antara ulama dalam hal tenggang waktu enam bulan itu di hitung sejak akad nikah atau sejak berkumpul. 1) Imam Maliki dan Syafi’I berpendapat bahwa jika seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang belum pernah dikumpuli atau sudah pernah, dalam waktu kurang dari enam bulan, kemudian wanita itu 17
Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, alih Bahasa Dra. Chadijah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h.18. 18 Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1994), Cet. Ke-III,h.221.
68
melahirkan anak setelah enam bulan dari akad perkawinannya, maka anak tersebut tidak dapat di pertalikan nasabnya kepada laki-laki yang menyebabkannya lahir: Jadi menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’I perhitungan enam bulan itu di mulai dari waktu berkumpul bukan dari masa akad nikah.19 2) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap di anggap beada dalam ranjang suaminya sehingga karenanya anak yang di lahirkan itu tetap dapat di pertalikan nasabnya kepada bapaknya sebagai anak sah. 20 Imam Abu Hanaifah memandang masalah tersebut dari segi yuridis formal bukan dari segi adanya kemungkinan bersetubuh sebagaimana dasar pemikiran Imam dan Imam Syafi’i. Jadi, jika dalam suatu perkawinan yang belum dukhul kemudian setelah enam bulan dari akad nikah wanita tersebut melahirkan, maka anak tersebut tetap di hubungan nasabnya kepada laki-laki yang menyebabkan wanita itu hamil. Dalam Undang-undnag No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan kedudukan seorang anak di atur dalam Bab IX tentang kedudukan anak, pasal 42-44. Pasal 42
19 20
: Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
bnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (cairo: Dar Al-Kutub Al-Hadis, 1975), Juz II, h. 268. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h.269.
69
Pasal 43
Pasal 44
: (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawianan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.(2) kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah. : (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berbuat zina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/ tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan
Berdararkan ketetapan-ketetapan tersebut anak sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akaibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seornag wanita yang telah mengandung karena berbuat zina, kemudian dia kawin sah dengan pria yang menzinainya, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah dari perkawinan wanita itu dengan pria yang menzinainya. 21
D. Analisis Penulis Perzinaan merupakan permasalahan yang sensitif, karena terkait dengan persoalan perempuan sebagai korban utama dan persoalan hubungan negara dan agama. perzinaan sejauh ini hanya diselesaikan dengan penetapan pernikahan (itsbat nikah), di mana penetapan tersebut harus bersamaan dengan sanksi hukum. Sedangkan ketentuan dasar tetang pencatatan dalam khazanah fiqhiyah Indonesia adalah hal yang baru. Model pernikahan seperti ini sebelumnya tidak ada. Mereka yang beragama Islam yang hendak kawin 21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Pandangan Hukum Adat, Hukum Agama. (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.133-134.
70
sebelum adanya undang-undang nomor 1 tahun 1974 perkawinan, cukup dengan melangsungkan ijab kabul dihadapan penghulu. Pencatatan ini bersumber dari pandangan bahwa pencatatan perkawinan merupakan kebijakan publik, yang erat kaitannya dengan kepentingan umum (dalam hal ini kepentingan negara untuk mengaturnya). Konsep yang digunakan adalah maslahah mursalah, yakni suatu cara pengambilan keputusan hukum (ijtihad) yang didasarkan pada kepentingan umum, dimana dikembangkan pertama kali oleh mahzab Maliki dan Syafi’i. Hal ini kembali ditegaskan oleh ketua MUI, K.H.Ali Yafie yang mengatakan bahwa masalah pencatatan dalam perkawinan merupakan masalah yang penting dalam undang-undang. Meski hal itu tidak bersumber langsung pada agama, namun karena memiliki unsur kesejahteraan (kemashlahatan) umat atau masyarakat ulama memasukkannya kedalam salah satu unsur ketentuan dalam perkawinan.22 Unsur pencatatan ini juga diberlakukan di negara-negara Islam. Para ulama tersebut, menurut K.H.Ali Yafie bersepakat bahwa unsur pencatatan dalam perkawinan adalah bermanfaat bagi manusia. Hal ini kembali diperkuat dengan fatwa resmi MUI yang yang termaktub dalam himpunan fatwa desember 1977, bahwa prosedur pernikahan bagi umat Islam di Indonesia
22
Ratna Batara Munti, Hindun Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Indonesia, (Jakarta LBH APIK, 2005), Cet. I, h. 38
71
harus sesuai dengan ajaran Islam (KHI) dan ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam hal ini termasuk soal pencatatan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Pada bagian ini penulis akan menyimpulkan dari semua rumusan permasalahan diantaranya: 1. Zina dijadikan alasan seseorang untuk melakukan perkawinan terdapat banyak faktor yang mendasarinya menyangkut sekripsi ini diantaraya yang paling berpengaruh adalah tidak ada restunya dari pihak orang tua untuk melakukan pernikahan secara syah, namun selain itu kurang kuatnya dasar pengetahuan agama dan moral masyarakat dewasa ini. 2. Tentang status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil, para imam mazhab berbeda pendapat, Imam Svafi'i menetapkan bahwa anak itu dinasabkan kepada laki-laki yang mengawini ibunya jika karena kehamilan di atas enam bulan, tetapi jika lama kehamilan di bawah dari enam bulan, maka nasab anak dihubungkan kepada ibunya ibunya, Sedangkan Imam Hanafi menasabkan kepada laki-laki yang menghamilinya, Adapun menurut KHI anak tersebut diakui dalam perkawinan, karena lahir dalam perkawinan yang sah 3. Tentang status perkawinan wanita hamil, KHI sejalan dengan pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi'i yang membolehkan perkawinan wanita hamil dengan
72
73
laki-laki. Namun kebolehan perkawinan dalam KHI itu khusus dengan lakilakj yang menghamili wanita tersebut B. Saran-saran Beberapa saran untuk perbaikan kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh negara, khususnya pada persoalan hubungan perzinaan sebagai alasan untuk restu orang tua adalah sebagai berikut: 1. Dampak negatif zina secara umum dapat menimbulkan gejala ketidakpastian hukum dalam Islam. perzinaan juga menimbulkan keresahan masyarakat karena terjadi ketidak teraturan nasab bagi anak. Keresahan masyarakat juga bisa terjadi akibat problem ekonomi seorang istri dari perzinaan yang ditelantarkan laki-laki pezina karena tidak bertanggung jawab. Dalam situasi seperti ini, pezina perempuan akan menjadi ibu sekaligus ayah bagi anakanaknya dan tentu saja hal ini akan menjadi masalah sosial karena konstruksi hubungan para pezina di masyarakat secara umum akan membentuk kerusakan nilai moral dan etika dalam sosial sehingga tidak mempunyai kemampuan dasar untuk membangun keluarga. Hukum Islam tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan perdata melainkan juga persoalan-persoalan pidana. Ketimpangan akomodasi hukum Islam ini harus segera dipikirkan bagaimana mengkompilasikannya sehingga hukum Islam akan terlihat utuh. dan juga supaya menjadi boemerang tersendiri bagi muda-mudi yang hendak menikah tanpa jalan zina terlebih dahulu
74
2. Pengaruh perzinaan juga mengakibatkan pemahaman masyarakat bahwa permasalahan-permasalahan yang berkaikan dengan perempuan terutama dalam keluarga harus diselesaikan dengan cara baik-baik bukan dengan penyelesaian hukum. Dan perempuan akan selalu divonis sebagai pihak yang bersalah dan bukan sebagai pihak korban yang dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet IV Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), edisi I, Cet II Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. I, Juz I Bakri A. Rahman dan Drs. Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1993) Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007 Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. III edisi 2, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008) Cet. Ke-6 Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan: UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2001) Ghazaly, Abd Rahman, Fiqih Munakahat (Jakarta: Pranada Media Group, 2006), Cet II, Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Cet. I Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Da al-Fikr, t. th), jilid II
75
76
Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI 1993) Mohammad Anwar, Pegangan Sosiologi, (Bandung CV. Armico, 1996), Cet.I Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.t), jilid 3, Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1989 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Pasal 4 ayat (3) UU No. 1 Tahun1974 juga telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, UU No. 32 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU No. 22 Tahun 1946 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet III Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid, 2
Bab X Nilai perkawinan Dinegara republik Indonesia yang tercinta ini, berdasarkan data statistik perkawinan, tahun yang tertinggi jumlah perkaranya adalah pada tahun 1979, dimana tercatat 289.000 perkara pada data statistic pengadilan agama, pada direktorat pembinaan badan peradilan agama – departemen agama RI. Dari data tersebut dapat kita perkirakan, kira-kira setelah dikurangi perkara waris, wakaf dan hibah, maka tnggal 250.000,-perkara yang menyangkut perceraian karena umumnya perkara di Pengadilan Agama memang yang dominan adalah perkara perceraian. Nah kalau kita asumsikan tiap pasangan yang bercerai itu mempunyai anak dua saja. Maka berarti tiap dua tahun terdapat satu juta anak yang hancur lahir batinya akibat bapak ibunya bercerai. Imbas jumlah tersebut, kalau kita coba menghitungnya sejak tahun 1979 saja, maka berarti sekarang tahun 2007 sudah muncul ke permukaan sebagai berikut :
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan atau dilaksanakan, karena nikah salah satu yang harus di lakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan. Bila kita urutkan, ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus di lakukan.pertama, menurut alquran ; kedua, menurut hadist, ketiga menurut akal. Menurut Qur’an Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’raf : 189. Menyatakan bahwa tujuaan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga di larang bersenang-senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang di akui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani. Dan kedua,dalam surat Al-Ruum : 21 terkandung makna ada tiga yang dituju, satu perkawinan yakni : a. Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunu dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semuanya berarti diam. Itulah sebab pisau di namakan sikin, karena bila di arahkan keleher hewan ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam ; b. Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda yang berarti meluap tibatiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda di mana rasa cintanya sangat tinggi, termuat kandungan cemburu, sedang rahma/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi dan sering meluap luap.
c. Rahmah yang berarti saying. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedang mawadahnya semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduan, itu bukanlah gejolak ujud cinta (mawaddah) yang ada pada mereka, tetapi rahmah (sayang). Dimana rasa sayang tidak ada kandungan cemburunya, karenanya ia tidak bisa termakan gosip, sedang cinta (mawadah) yang syarat dengan cemburu karenanya gampang termakan gossip.
Menurut Hadist Ada dua hal yang di tuju perkawinan menurut hadist. Pertama, untuk menundukan pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itulah makanya Nabi Muhamad mengajurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Kedua, sebagai kebanggan Nabi di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual Nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kwalitas rendah tetap saja Nabi mencelanya. Disitulah kandungan makna bahwa kwalitas itu sangat diperlukan.
Menurut Akal Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu perkawinan : pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus di urus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan perkawinan/pernikahan. Kedua, bila manusia banyak tentunya harus di wujudkan ketertiban atau keteraraturan, terutama yang berkaitan,dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak di ketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapih tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besar bencana. Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang atau benda yang di perlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus di lakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan.