TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERNIKAHAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh : KHOIRUDDIN NIM. 102044225091
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/ 2007 M
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i DAFTAR ISI................................................................................................... iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 5 D. Metode Penelitian ....................................................................... 5 E. Sistematika Penulisan ................................................................. 6
BAB II SEKILAS TENTANG HUKUM PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. ............................................................................................ Perni kahan Menurut Hukum Islam ..................................................... 7 a. Pengertian Pernikahan........................................................... 7 b. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Pernikahan.......................... 12 c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan............................................ 16 B. ............................................................................................ Perni kahan Menurut Hukum Positif .................................................... 19 a. Pengertian Pernikahan........................................................... 19 b. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Pernikahan.......................... 20
c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan............................................ 23 BABIII PERZINAHAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Zina Menurut Hukum Islam........................................................ 25 B. Zina Menurut Hukum Positif ...................................................... 30 C. Akibat Hukum Perzinahan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ............................................................................. 31 BAB IV HUKUM PERNIKAHAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA A. ............................................................................................ M enikahi Wanita Hamil Akibat Zina Menurut Hukum Islam............................................................................................ 38 B. ............................................................................................ M enikahi Wanita Hamil Akibat Zina Menurut Hukum Positif .......................................................................................... 46 C. ............................................................................................ K edudukan Anak dari Pernikahan Wanita Hamil Akibat Zina Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ........................ 47 BAB V PENUTUP A. ............................................................................................ K esimpulan .................................................................................... 59 B. ............................................................................................ S aran-saran .................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61
BAB 11 SEKILAS TENTANG HUKUM PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pernikahan Menurut Hukum Islam a. Pengertian Pernikahan Dalam Islam 'pernikahan' berarti satu perjanjian yang mengikat perjodohan laki-laki dengan perempuan menjadi suami isteri. Lembaga Perkawinan disyariatkan oleh Islam berdasarkan Kitab Suci Al-Quran, Hadits Rasulullah s.a.w.dan Ijma / consensus para ulama Islam.1 Perkawinan tidak sah melainkan dengan adanya seorang wali dari calon isteri yang bersifat sebagai pengasuh pengantin perempuan pada ketika nikah dengan pengantin pria dan dua orang saksi, sedangkan mahar / mas kawin wajib diberikan kepada calon isteri semata untuk kepentingannya belaka. Mahar merupakan satu hadiah yang harus dilakukan di dalam perkawinan yang sifatnya merupakan satu simbol dari nilai ikatan yang diadakan untuk menunjukan hidup baru yang dilaksanakan dengan satu upacara serah-menyerahkan dari suatu kehidupan bersama. Mahar tidak musti berbentuk benda tertentu, tetapi bisa merupakan ayatayat suci Al-Qur’an, yang mempunyai arti. Pada dasarnya kata-kata mahar dari sumber yang sama Muhr yang artinya Stemple. Maka Mahar itu artinya stempel yang mensahkan / mengabsahkan perkawinan itu. Perkawinan adalah berdasarkan
1
Fuad Mohd Fachruddin., Masalah Anak dalam Hukum Islam ; Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina,(Jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya : 1991), h. 27
suka sama suka antara calon isteri, maka ijab dan qobul ialah terima sama terima antara mereka berdua.2 Perkawinan di dalam Islam tidak mempunyai syarat apapun yang melanggar suasana hidup abadi antara satu pasangan yang telah diikat oleh perjanjian yang kuat. Perkawinan di dalam Islam bukanlah hidup bergaul semata, tetapi menyatukan diri di dalam segala bidang hingga terpadu dua badan menjadi satu jiwa. Dari itu Islam menjaga perkawinan dari segala segi baik perbuatan, pakaian, pergaulan, dan tanggung jawabnya. Dewasa ini kalau ditinjau keadaan dan situasi, sewajarnyalah wanita dijaga secara ketat sehingga harus diwajibkan oleh pemerintah peraturan untuk menyelamatkan hidup bangsa dan umat agar manusia-manusia kita dimasa depan tidak menjadi anak-anak haram belaka. Islam mengajak manusia berpikir jauh dan jangan hanya menuruti hawa nafsu angkara murka atau mengikuti kemajuan Eropa yang berlainan nilai hidupnya dalam segala bidang. Perkawinan mengandung arti kasih sayang kepada Allah, karena perkawinan itu merupakan hasil dari seluruh kasih sayang antara manusia satu sama lain. Perkawinan secara langsung dapat dilihat sebagai prosedur menghasilkan manusia hamba Allah yang diserahkan tugas ini kepada manusia sebagai khalifah-Nya. Menghasilkan makhlik manusia melalui perkawinan sangat besar artinya, sebab Allah menginginkan adanya makhluk manusia ini, hingga untuk itu Allah menciptakan makhluk pertama Adam.3
2 3
Fuad Mohd Fahruddin., h. 28 Ibid, h. 28-29
Perkawinan adalah satu-satu jalan dalam sistem biasa dan lumrah bagi manusia untuk mendapatkan keturunan. Allah memberikan jalan ini kepada manusia untuk membuktikan bahwa selain dari pada jalan ini bukanlah jalan yang biasa atau lumrah. Kekuasaan Allah itu dapat menciptakan manusia tanpa ibu dan bapak atau tanpa bapak.4 Sebagai hasil usaha mempelajari Al-Quran dan Sunnah Rasullah dalam kitab-kitab hadis, para ahli hukum Islam telah menyusun suatu teori yang merupakan penilaian mengenai perbuatan manusia. Jumlahnya lima, karena itu disebut al-ahkam al-khamsah. Artinya lima kaidah, lima ukuran untuk menilai perbuatan manusia dan benda. Nikah adalah suatu perbuatan dan sebagai perbuatan (manusia) ia juga dapat dinilai menurut ukuran tesebut. Sebagai ajaran, lima kaidah itu meliputi segala aspek kehidupan yang dalam bahasa sehari-hari kadangkala disebut hukum yang lima. Kalau perbuatan nikah ditautkan dengan kaidah atau hukum yang lima itu, maka kaidah asalnya adalah ja'iz atau mubah atau ibahah, di Indonesiakan menjadi kebolehan. Tetapi, karena perubahan illat (motif, alasan)-nya, maka hukum perkawinan dapat berubah kebolehan, menjadi sunnat, wajib, makruh, atau haram. Contoh dalam uraian berikut, mungkin dapat memberi penjelasan. (A) Perbuatan nikah yang dilakukan oleh orang yang telah cukup umurnya yang hukum atau kaidah asalnya mubah atau kebolehan itu dapat berubah hukumnya menjadi anjuran atau sunnat kalau dilakukan oleh seseorang yang pertumbuhan rohani dan jasmaninya dianggap telah wajar benar untuk hidup
4
Ibid., h. 29
berumah tangga. Telah mampu membiayai atau mengurus rumah tangga. Kalau ia kawin dalam keadaan yang demikian, ia akan mendapat pahala dan kalau ia belum mau berumah tangga, asal mampu menjaga dirinya ia tidak berdosa. (B) Perbuatan nikah itu akan berubah hukumnya menjadi wajib (kewajiban) atau fardh kalau seseorang dipandang telah mampu benar mendirikan rumah tangga, sanggup memenuhi kebutuhan dan mengurus kehidupan keluarganya, telah matang betul pertumbuhan rohani dan jasmaninya. Dalam keadaan seperti ini, ia wajib kawin atau berumah tangga, sebab kalau ia tidak kawin ia akan cenderung berbuat dosa, terjerumus, misalnya, melakukan perbuatanperbuatan yang dilarang Allah, baik ia pria ataupun wanita. (C) Perbuatan nikah
berubah hukumnya menjadi makruh atau celaan bila
dilakukan oleh orang-orang yang relatif muda (belum cukup umur), belum mampu menafkahi dan mengurus rumah tangga. Kalau orang kawin juga dalam usia demikian, ia akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan keluarganya. Memang, dalam keadaan ini, ia tidak berdosa kalau berubah tangga, tetapi perbuatannya untuk menikah dapat dikelompokkan ke dalam kategori perbuatan tercela. (D) Hukumnya berubah menjadi haram kalau dilakukan oleh seorang laki-laki dengan maksud menganiyaya wanita itu. Hal ini disebutkan misalnya, dalam al-Quran surat al-Nisa (dibaca an-Nisa) ayat 24 dan 25. Atau menurut perhitungan yang umum dan wajar perkawinan itu secara langsung atau tidak langsung akan mendatangkan mala petaka bagi mitranya. Kalau perkawinan yang hukumnya dapat dimasukkan ke dalam kategori haram itu juga dilakukan
oleh seseorang, ia akan berdosa, misalnya perkawinan seorang laki-laki dengan wanita yang masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain, jumlahnya melampaui batas yang dibolehkan agama, gemar menyakiti pasangannya.5 Lebih lanjut para sarjana muslim memberikan pengertian tentang perkawinan, antara lain adalah : Prof.Dr.H.Mahmud Yunus : " Perkawinan adalah akad antara calon suami dengan calon isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur syari'at ".6 Sayuti Thalib,SH
:
" Pengertian perkawinan itu ialah perjanjian, suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan."7 M.Idris Ramulyo,S H : " Perkawinan menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama-sama secara sah antar seorang laki-laki dengan seorang permpuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram dan kekal".8 Berbagai pendapat telah dikemukakan orang tentang arti perkawinan, sudah pula diberikan rumusannya dalam versi yang berbeda-beda. Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan sebagai suatu lembaga mempunyai banyak segi dan dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan, misalnya dari sudut agama, hukum masyarakat, dan sebagainya. Jika dipandang
5
Mohammad Daud Ali., Hukum Islam dan Peradilan Agama ; Kumpulan Tulisan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada :2002), Cet. Ke- 2., h. 3-5 6 Mahmud Yunus., Hukum Perkawinan dalam Islam,(Jakarta, PT Hidakarya Agung : 1996), Cet. Ke-15. h. 1 7 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, UI Press), h. 47 8 Idris Ramulyo., Beberapa Masalah tentang Hukum Acata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta, Ind.Hill Co : 1984/1985), h. 174
dari segi ajaran agama dan hukum Islam perkawinan adalah suatu lembaga yang suci. Bahwa perkawinan merupakan lembaga yang suci dapat dibuktikan dari tata cara melangsungkannya, tata hubungan suami isteri, cara melakukan dan menyelesaikan perceraian yang pokok-pokok pengaturannya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. "Berbaktilah kamu kepada Allah yang atas (dengan) nama-Nya kamu saling meminta untuk menjadi pasangan hidup", demikian firman Tuhan dalam al-Qur'an surat 4 ayat 1. "Takutlah kamu kepada Allah mengenai urusan wanita, karena kamu telah mengambil mereka (dari orang tuanya) dengan amanat Allah", demikian pesan Nabi Muhammad 82 hari sebelum beliau barpulang ke Rahmatullah.9 Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah. Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah. Melakukan perbuatan ibadah berarti juga melaksanakan ajaran agama."Barang siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh (ajaran) agamanya, yang separuh lagi, hendaklah ia taqwa kepada Allah "demikian sunnah qauliyah (sunnah dalm bentuk perkataan) Rasulullah. Rasulullah memerintahkan orangorang yang telah mempunyai kesanggupan, kawin, hidup berumah tangga karena perkawinan akan memeliharanya dari (melakukan) perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah. 10 b. Syarat-syarat dan Rukun Pernikahan Berbicara mengenai hukum perkawinan sebenarnya kita membicarakan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bahwa bentuk masyarakat ditentukan atau 9
Mohammad Daud Ali., h. 1-2 Muhammad Daud Ali., h. 3
10
sekurang-kurangnya banyak dipengaruhi oleh bentuk dan system perkawinan, sebelum kita membicarakan tentang syarat dan rukun perkawinan tersebut alangkah lebih baik jika kita melihat bahwa perkawinan menurut Islam dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu : Pertama. Dari sudut hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian antara pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara syah dalam waktu yang tidak tertentu.11 Kedua, dari sudut agama, perkawinan itu dianggap sebagai suatu lembaga yang suci dimana antara suami dan istri agar dapat hidup tentram, saling cinta mencintai, santun menyantuni dan kasih mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan mengembangkan keturunan.12 Perkawinan adalah suatu jalan yang halal untuk melanjutkan keturunan dan dengan perkawinan itu akan terpelihara agama, kesopanan dan kehormatan. Banyak penyakit jiwa yang sembuh sesudah melakukan perkawinan, umpamanya penyakit kurang darah (anemia). Dengan demikian perkawinan dapat menimbulkan keunggulan, keberanian, dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan Negara. Perkawinan juga dapat memperhubungkan silaturrahmi, persaudaraan dan kegembiraan dalam menghadapi perjuangan hidup dalam kehidupan masyarakat dan sosial. Ketiga, dari sudut kemasyarakatan, bahwa orang-orang yang telah kawin atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dan kehendak masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari mereka yang belum kawin.13
11
Nazwar Syamsu., Al-quran tentang Manusia dan Masyarakat, (Jakarta, Ghalia Indonesia :1983), Cet. Ke-1, h. 159 12 Ibid., h. 159 13 Ibid., h. 160
Adapun mengenai syarat dan rukun perkawinan tersebut sebagai berikut : 1. Ada calon pengantin pria dan wanita, yang pria benar-benar pria dan yang wanita benar-benar wanita. Adanya calon pengantin pria dan calon pengantin wanita adalah satu hal yang logis atau rasional. Logis, karena tanpa adanya salah satu calon pengantin tersebut maka sudah barang tentu perkawinan tidak dapat dilangsungkan. 2. Calon pengantin pria dan wanita sudah aqil baligh, sehat jasmani dan rohani. Kedua calon baik pria maupun wanita harus Islam, sesuai menurut Al-quran surat ke-X1 ayat 221 dan pengecualian dalam Al-quran surat keV ayat 5 yang membolehkan pria Islam kawin dengan wanita non Islam dari golongan ahli kitab. 3. Harus ada persetujuan bebas antara calon pengantin pria dengan pengantin wanita, tidak ada paksaan dari manapun datangnya, sesuai dengan hadits Rasul diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa seorang wanita perawan telah dating kepada Rasul mengatakan bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang pria padahal ia tidak suka, malah disuruh oleh Rasul kepada wanita itu salah satu dari dua alternative, tetap sebagai istri atau minta cerai. Jadi, menurut Islam kawin paksa itu tidak sah atau dilarang. 4. Harus ada wali nikah bagi calon pengantin wanita. Menurut mazhab Syafi’I tidak sah nikah seorang wanita tanpa wali, namun sebagi unsure akad nikah tidak selalu pada mempelai perempuan, walaupun hamper semua akad nikah yang dipraktekkan dalam masyarakat penentuan wali sebagai unsur akadnya selalu untuk mempelai perempuan saja. Jadi,penentuan wali untuk mempelai laki-laki jarang terjadi.
5. Secara teoritis, sekali peristiwa mungkin saja mempelai laki-laki dalam melakukan akad menampilkan walinya yang harus bertindak, bahkan wali itu sendiri yang berinisiatif mengambil prakaranya.14 6. Harus ada sekurang-kurangnya dua orang saksi, hal ini sangat penting untuk kemaslahatan kedua belah pihak, maka para fuqaha sepakat bahwa saksi dalam majlis akad tidak bisa diabaikan dalam arti bahwa saksi menjadi bagian penting dari akad tersebut.15
ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﻻﻧﻜﺎح اﻻ ﺑﻮﻟﻲ: ﻋﻦ اﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﺑﻦ اﺑﻲ ﻣﻮس ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﻗﺎل
. ﺑﻠﻮغ اﻟﻤﺮام,اﻟﻨﻜﺎح
ﻣﺮﺷﺪ وﺷﺎهﺪي ﻋﺪل ) رواﻩ اﺣﻤﺪ واﻻرﺑﻌﺔ( آﺘﺎب
Artinya : “Dari Abu Hurairah ibn Abi Musa dari bapaknya ia berkata : “tidaklah dianggap sah suatu perkawinan kecuali dengan wali yang cakap dan dua orang saksi yang adil”. (HR. Ahmad dan al-Arba’ah). 7. Ijab dan Qabul. 8.
Meskipun pembicaraan mengenai ijab qabul diletakkan pada urutan akhir, namun kedudukan ijab qabul itu sendiri sebagai unsure akad nikah sangatlah sentral dan mendominasi. Bahkan menurut Abu Hanifah unsurunsur selain ijab qabul merupakan konsekuensi logis berhubungan adanya ijab qabul.
9. Ijab adalah perkataan yang mewujudkan kehendak pihak pertama dengan contoh sebagai berikut : زوﺟﺘﻚ واﻧﻜﺤﺘﻚ ﻣﺨﻄﻮﺑﺘﻚ ﻣﺮﻳﻢ ﺑﻨﺘﻲ اﺣﻤﺪ ﺑﻤﻬﺮ ﻣﺎﺋﺔ اﻟﻒ رﺑﻴﺔ ﺣﺎ ل 10. Sedang qabul adalah persetujuan pihak kedua terhadap isi kehendak pihak pertama. 14
Ahmad Kuzair., Nikah sebagai Perikatan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada : 1996), Cet. Ke-1, h. 41 15 As-Sayyid Imam Muh. Ibn Ismail al-Khalany, Bulughul Maram, (Bandung, Dahlan, T.th), Jilid- 1, h. 117
16
ﻗﺒﻠﺖ ﺗﺰوﺟﻬﺎ ﻟﻨﻔﺲ ﺑﺬاﻟﻚ
Adapun untuk rukun perkawinan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi saat melangsungkan perkawinan.Dalam islam sebenarnya banyak perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam Mazhab,akan tetapi pada kali ini penulis hanya mengemukakan pendapat yang berkembang di Indonesia yang juga telah menjadi hukum tertulis di Indonesia diantaranya adalah : - Calon Suami - Calon Isteri - Wali Nikah - Dua orang Saksi,dan - Ijab dan Qabul17 c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan Tujuan Perkawinan adalah : a. Mendapatkan dan melangsungkan perkawinan b. Memenuhi
hajat
manusia
untuk
menyalurkan
syahwatnya
dan
menempuhkan kasih sayang. c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungjawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh memperoleh harta yang halal. e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
16 17
Ahmad Kuzair, h. 54 Moh.Zahroh., Al-Ahwalu asy-Syahsiyah, (Kairo, Dar al-Fikr :1957), h. 45
f. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia untuk menjaga keselamatan hidup. g. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita. h. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum bahwa antara pria dan wanita utu saling membutuhkan.18 Allah telah menciptakan manusia dengan mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapatkan pemenuhan dari lawan jenisnya, pemenuhan naluri manusiawi merupakan kebutuhan pokok yang harus ada bidang dalam penyalurannya, kebutuhan itu antara lain adalah kebutuhan biologis. Agar tercipta kehidupan yang teratur maka Allah mengatur manusia dengan perkawinan, perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapatkan perhatian yang mendalam, sehingga tujuan melangsungkan perkawinan pun hendaknya untuk memenuhi kebutuhan agama. Sehingga kalau diambil intinya ada dua tujuan diballik hikmah adanya perkawinan yaitu memnuhi naluri manusiawinya dan memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis. Di sini letak arti perkawinan di dalam membentuk manusia disertai dengan lebih adanya hubungan manusia dengan Allah di mana, Allah memperlihatkan bahwa di dalam hidup ini tetap ada hubungan sebab dengan musabbab (Casuality), yang kokoh dan mendalam hubungan sebab dan musabbab inilah yang menggairahkan arti hidup dunia, dan yang merangsang manusia berusaha, bergiat dan berjuang mati-matian. Manusia yang inderteminis sifatnya hendaklah 18
R.abdul Djamali, Hukum Islam ;Berdasarkan ketentuan kurikulum konsorsium Ilmu Hukum (Bandung, Mandar Maju.1997) cet.11.Hal. 79-80
mencari, sebab ia bertanggung jawab terhadap segala langkah hidupnya, dunia merupakan instansi tempat ia bertugas mencari rezeki dan berbakti serta mengabdi. Oleh karena itu perkawinan dianjurkan oleh Islam dengan firman ِAllah dan sabda Rasul-Nya. Perkawinan diperlukan oleh masyarakat manusiawi yang beradab. Dan perkawinan itupun merupakan suatu landasan yang mengatur lembaga rumah tangga untuk menyusun masyarakat dan membentuk umat. Ikatan pria dan wanita dalam perkawinan bukanlah semat hubungan kelamin belaka, tetapi lebih jauh daripada itu yaitu menyusun rumah tangga yang menjadi soko guru dari masyarakat manusia.19 Maka perkawinan merupakan satu ikatan lahir dan bathin yang mempunyai rukun dan syarat serta tanggung jawab yang terus-menerus sekalipun suami istri telah meninggal dunia kalau manusia di kebumikan, hanya jasadnya yang di kuburkan, tetapi jiwa dan amal ibadahnya serta namanya tetap tinggal dan menjelma di dalam sejarah itu dan menjadi pusaka hidup keluarga, bangsa dan agama. Untuk itu bahwa sifat-sifat yang ada pada diri Rasullah SAW dan amal yang dilakukan Beliau itulah yang menjadi suri tauladan bagi manusia. Kita tidak dapat mencontoh kecantikan Rasulullah SAW secara lahiriyah, tetapi budi pekerti, amal ibadat, perbuatan yang baik, kata yang berguna, tetap kekal abadi dan tidak akan mati sekalipun jasmani sudah menghilang dan sudah hancur lebur. Keturunan yang ditinggalkan dan anak yang lucu yang mewarisi seseorang akan selalu menjunjung tinggi dan mencontoh suri tauladan yang telah diberikan itu.20 19 20
Fuad Mohd. Fachruddin., h. 30 Ibid., h. 31-32
Cinta kasih, mawaddah dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia. Malaikat pun berkeinginan untuk melaksanakannya, tetapi kehormatan itu diserahkan Allah kepada manusia.21 B. Pernikahan Menurut Hukum Positif a. Pengertian Pernikahan Pernikahan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Pasal tersebut hendak meyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang lakilaki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.22 Undang-undang 1 Tahun 1974 dan hukum Islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Asser, Scholten, Wirarda, Pitlo, Petit, dan Melis mengartikan perkawinan adalah : " Persekutuan antara seorang pria dan
21
Quraish Shihab., Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung, Mizan Anggota IKAPI : 1996), Cet. Ke-1. h. 214 22 Subekti., Pokok-pokok Hukum Perdata, ( Jakarta, PT Intermasa : 1994), Cet. Ke-26. h. 23
seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama / bersekutu yang kekal "(dalam R Soetojo Prawirohamidjojo, 1988 : 35). Esensi pengertian perkawinan yang dikemukakan pakar diatas adalah bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum, baik apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya. Dalam konsepsi hukum perdata barat, perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja. Maksudnya bahwa UU tidak ikut campur dalam upacara-upacara yang diadakan oleh gereja. UU hanya mengenal "perkawinan perdata", yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil (Vollmar, 1983 : 50).23 b. Syarat-syarat dan rukun pernikahan Pada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan perkawinan adalah mereka-mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi dua macam adalah : (1) syarat materiil dan (2) syarat formal. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu : 1. Syarat materiil mutlak,merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus di indahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:
23
Salim HS dan R.M Sudikno Merto Kusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, ( Jakarta, Sinar Grafika, T.th), h. 61
a.
monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,seorangwanita hanya boleh mempunyai seorang suami (pasal 27 BW);
b.
Persetujuan antara suami isteri ( pasal 28 KUH Perdata );
c.
Terpenuhinya batas umur minimal.Bagi laki-laki berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (pasal 29 KUH Perdata );
d.
Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (pasal 35 sampai dengan pasal 49 KUH Perdata ).
2. Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada dua macam, yaitu : a. larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan; b. larangan kawin karena zina; c. larangan
kawin
untuk
memperbarui
perkawinan
setelah
adanya
perceraian,jika belum lewat waktu satu tahun. Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua tahapan. Syaratsyarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah : 1.
Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud kawin (pasal 50 sampai pasal 51 KUH Perdata). Pemberitahuan untuk maksud kawin dilakukan kepada Pegawai Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register catatan
sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya selama 10 hari. Maksud pengumuman ini adalah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut karena alasan-alasan tertentu. Sebab, dapat saja terjadi bahwa sesuatu hal yang menghalangi suatu perkawinan lolos dari perhatian Pegawai Catatan Sipil. Pengumuman itu berfungsi sebagai pengawas yang dilakukan oleh masyarakat; 2. syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat di atas, baik itu syarat intern, ekstern, maupun syarat materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan. a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undangundang,yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan untuk seorang permpuan 15 tahun b. harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak ; c. untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertama ; d. tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua pihak ; e. untuk pihak yang masih dibawah umur,harus ada izin dari dari orang tua atau walinya. Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri ; seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya ; seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
Tentang hal izin dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus memberikan izin, atau ada kata sepakat antera ayah dan ibu masing-masing pihak.Jikalau ada wali, wali ini pun harus memberikan izin, dan kalau wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas ( toeziende voogd ). Kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang memberikan izin ialah kakek nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula diperlukan. Untuk anak-anak yang lahir diluar perkawinan, tetapi diakui oleh orang tuanya, berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jikalau tidak terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat diminta campur tangan, dan kakek nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin.24 c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan Yang menjadi tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu : (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami isteri membantu untuk mengembangkan diri. Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.25 Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. 24 25
Salim HS dan RM Sudikno Mertokusumo., h. 62-63 Ibid., h. 62
Perkawinan tidak begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Dalam kenyataannya, berdasarkan hasil pengamatan, tujuan perkawinan itu banyak juga yang tercapai secara tidak utuh. Tercapainya itu baru mnegenai pembentukan keluarga atau pembentukan rumah tangga, karena dapat diukur secara kuantitatif. Sedangkan predikat bahagia dan kekal belum bahkan tidak tercapai sama sekali. Hal ini terbukti dari banyaknya terjadi perceraian. Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau untuk selamanya. Dengan adanya perkawinan, maka suami istri dapat hidup bersama dengan ikatan bathin, yang tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan dalam membina keluarga bahagia.26 Dengan demikian, perkawinan yang sah bagi suami istri mempunyai hubungan yang erat dan kekal, terutama dengan adanya perkawinan ikatan lahir ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat.
26
Riduan Syahrani., Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung, Penerbit Alumni : 1992), Cet. Ke-III, h. 67
BAB IV HUKUM PERNIKAHAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA
A.
Menurut Hukum Islam Dalam bab sebelumnya telah di bahas bahwa pernikahan merupakan satu-
satunya jalan yang paling mulia dalam menyalurkan kebutuhan biologis dan menghasilkan keturunan yang sah dalam masyarakat. Maka sewajarnyalah bila masalah pernikahan menjadi perhatian khusus dalam membina sebuah rumah tangga yang bahagia. Karena pembinaan ruman tangga berdampak bagi keselamatan dan kebahagiaan individu, masyarakat, serta kemuliaan umat itu sendiri. Dalam memilih seorang suami atau istri, Islam menganjurkan hendaknya di dasari oleh Agama atau moral, yakni calon tersebut harus berakhlak mulia dan bukan berdasarkan atas kecantikan, bangsawan bahwa kepopulerannya semata. Karena agama yang baik akan membawa keberuntungan yang gemilang di dunia maupun di akhirat, dan mendapat ketenangan lahir dan batin. Perbandingan antara Agama dengan kecantikan atau harta benda atau bangsawan sebagai dasar/penentuan seorang calon pasangan hidup adalah lebih baik terletak pada nilai Agamanya. Dalam Islam, juga dikenal dengan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam keadaan hamil (kecelakaan), dengan laki-laki yang menzinai atau laki-laki yang bukan yang menzinainya. Seorang gadis bukan perawan atau janda hamil tanpa suami dalam kehidupan masyarakat biasanya dicarikan seorang calon suami yang bersedia
untuk menutupi aib atau cela yang ditanggungnya. Baik seorang calon suami sekedar untuk menutupi malu atau suami sungguh-sungguh. Baik calon suami itu orang yang menghamili ataupun bukan. Perbuatan zina yang dilakukan laki-laki dan perempuan itu tidak dilihat statusnya. Apakah telah beristri atau bersuami ataupun ia masih perawan atau perjaka, semua tetap dinamakan perzinahan. Para ulama sepakat mengenai kebolehan menikahi wanita pezina bagi orang yang menzinahi. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum menikahinya bagi orang yang bukan menzinahinya. Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memahami ”larangan menikahi pezina” yang terdapat dalam surat an-Nur ayat 3 sebagai berikut : ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴﻦ َ ﻚ َ ﺣ ﱢﺮ َم َذِﻟ ُ ك َو ٌ ﺸ ِﺮ ْ ن َأ ْو ُﻣ ٍ ﻻزَا ﺤﻬَﺂ ِإ ﱠ ُ ﻻﻳَﻨ ِﻜ َ ﺸ ِﺮ َآ ًﺔ وَاﻟﺰﱠا ِﻧ َﻴ ُﺔ ْ ﻻ زَا ِﻧ َﻴ ًﺔ َأ ْو ُﻣ ﺢ ِإ ﱠ ُ ﻻﻳَﻨ ِﻜ َ ااﻟﺰﱠاﻧِﻲ (3 :)اﻟﻨﻮر Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin. (Q.S. al-Nur :3) Mayoritas ulama berpendapat, ayat tersebut hanya menunjukkan celaan terhadap orang-orang yang melakukan pernikahan antara orang yang baik-baik dengan seorang pezina dan bukan keharaman. Sedangkan lafadz ()وﺣﺮم ذﻟﻚ ditujukan pada pelacur, pezina, kumpul kebo dan bukan kepada bentuk pernikahannya. Di dalam pernikahan wanita hamil karena zina banyak terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama sepakat bahwa laki-laki pezina halal menikahi wanita pezina, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum menikahinya bagi
orang yang bukan menzinainya. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tersebut disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memahami “larangan menikahi pezina”. Syaikhul Islam Rahimakumullah berkata: “nikah orang zina itu haram hingga dia harus taubat. Baik dengan pasangan zina atau dia itu orang lain. Inilah yang benar di ragukan lagi. Demikian pendapat segolongan salaf dan khalaf, diantara mereka yaitu Ahmad bin Hambal dan lain-lain. Tetapi kebanyakan ulama salaf dan khalaf membolehkan, yaitu pendapat imam yang tiga, hanya saja imam Malik mensyaratkan (rahimnya) bersih, sedang Imam Abu Hanifah membolehkan akad sebelum istibra (bersih) apabila dia ternyata hamil, tetapi apabila ia hamil maka tidak boleh mencampurinya, karena air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak bisa dihubungkan nasabnya, inilah pengambilan alasan Imam Syafi’i. Sedang Imam Abu Hanifah memberi rincian antara hamil dan tidak hamil, karena wanita hamil apabila dicampuri itu menghubungkan anak yang bukan anaknya sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil. Imam Malik dan Ahmad mensyaratkan istibra, dan itulah yang benar tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad dalam satu riwayat masyarakat bersih dengan haidh. Sedang riwayat yang lain dari Ahmad yaitu yang di ikuti oleh kebanyakan sahabat-sahabatnya bahwa istibra itu harus tiga kali haidh, tetapi yang benar bahwa itu tidak wajib melainkan istibra kesuciannya (beristibra) yang akan menghubungkan anaknya kepada orang tuanya, yang mana dalam hal ini siwanita itu wajib istibra, ini lebih utama.27
27
Ibnu Tamiyah, Hukum Perkawinan,(Jakarta,Pustaka al-Kausar,1997) Hal: 105
Sebagian pendapat para ulama itu telah tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 53 yang berbunyi : a. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. b. Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. c. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil,tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandungnya lahir.28 Para ulama berselisih pendapat mengenai pernikahan wanita hamil diluar nikah dengan orang yang bukan menghamilinya. Sebagian pendapat sah akah nikahnya dan sebagian lagi berpendapat tidak sah. Masing-masing mereka mempunyai argumentasi berupa ayat-ayat Al-Quran maupun hadits Nabi Saw. A. Imam Abu Yusuf dan Za’far berpendapat tidak boleh menikahi wanita hamil karena zina dan tidak boleh berhubungan seksual dengannya. Karena wanita tersebut dari hubungan tidak sah dengan laki-laki lain maka haram menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita hamil dari hubungan yang sah. Keadaan hamil mencegah bersetubuh, maka juga mencegah akad nikah sebagaimana hamil yang ada nasabnya. Oleh karena tujuan nikah itu menghalalkan hubungan kelamin, dan apabila tidak boleh berhubungan kelamin maka nikah itu tidak ada artinya.29
28
1, h. 125
29
Abdurrahman., Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Akademik Presindo : 1992), Cet. Ke-
Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Problematika Hukum Islam Kontemporer 1,(Jakarta:PT.Pustaka Firdaus,1996)cet.11, h.45
B. Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal, perempuan yang berzina baik hamil maupun tidak, tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang mengetahui keadaannya itu kecuali dengan syarat : 1). Iddahnya habis dengan melahirkan anaknya. 2). Perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan zina, dan jika ia belum betaubat maka ia tidak boleh menikahinya, meskipun telah habis masa iddahnya. Kalau ada laki-laki yang menikahinya sebelum ia bertaubat ia berarti tetap berzina dengan perempuan itu. Apabila telah sempurna kedua syarat diatas, maka halal menikah dengan perempuan itu bagi yang menzinainya atau orang lain.30 C. Menurut Imam Malik, perkawinan wanita hamil dari berzina dengan pria yang lain yang tidak menghamilinya, tidak boleh dan tidak sah. Wanita tersebut baru bisa dinikahi secara sah sesudah ia melahirkan. Bahkan menurut Imam Malik, jika pria yang dinikahi tidak mengetahui kehamilan wanita tersebut, maka setelah pria itu mengetahuinya pria tersebut wajib menceraikannya, dan jika ia telah menggaulinya, maka ia wajib memberikan mahar mitsil, hal ini didasarkan kepada: Wanita yang sedang hamil dari zina juga mempunyai masa iddah, oleh karena itu, ia tidak sah dinikahi sebelum ia melahirkan, sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat Ath-Thalaq ayat 4 yang berfirman : (4 : ﺣ ْﻤَﻠ ُﻬ ﱠﻨﺰ)اﻟﻄﻼق ِ ﻦ َ ﻀ ْﻌ َ ﺟُﻠ ُﻬﻦﱠ أَن َﻳ َ ل َأ ِ ﺣﻤَﺎ ْﻷ َ ت ْا ُ ﻻ َ … َوُأ ْو.. Artinya: “Dan wanita-wanita yang hamil, masa iddah mereka itu ialah sampai ia melahirkan (Ath-Thalaq :4) "
30
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Menurut Imam Mazhab,(Jakarta, PT. Hidakarya Agung,1996) h. 47
Dengan menikahi wanita yang sedang hamil dari zina, maka dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara sperma dua laki-laki, dengan demikian akan terjadi ketidakjelasan status anak, hal ini didasarkan sabda Rasululloh SAW: (ﻣﻦ آﺎن ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﷲ واﻟﻴﻮم اﻻﺧﺮ ﻓﻼ ﻳﺴﻘﻰ ﻣﺎءﻩ زرع ﻏﻴﺮﻩ ) رواﻩ اﺑﻮا داود
Artinya: “Barang siapa beriman kepada Allah dari hari kiamat, maka janganlah ia menyirami air spermanya keladang orang lain (H.R. Abu Daud)”.31 Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa boleh hukumnya menikahi wanita hamil karena zina, tapi dengan syarat jika laki-laki yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, ia tidak boleh menggauli istrinya sebelum melahirkan. Alasan mereka yang membolehkan menikahi wanita hamil karena zina sebagai berikut : a. Firman Allah swt. dalam Surat An-Anisa : 24 ﻞ َﻟﻜُﻢ ﻣﱠﺎ َورَﺁ َء ذَاِﻟ ُﻜ ْﻢ أَن َﺗ ْﺒ َﺘﻐُﻮا ﺣﱠ ِ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َوُأ َ ﷲ ِ با َ ﺖ َأ ْﻳﻤَﺎ ُﻧ ُﻜ ْﻢ ِآﺘَﺎ ْ ﻻ ﻣَﺎ َﻣَﻠ َﻜ ﻦ اﻟ ﱢﻨﺴَﺂ ِء ِإ ﱠ َ ت ِﻣ ُ ﺼﻨَﺎ َ ﺤ ْ َوا ْﻟ ُﻤ (24 : ﺼﻨِﻴﻦ )اﻟﻨﺴﺎء ِ ﺤ ْ ِﺑَﺄ ْﻣﻮَاِﻟ ُﻜ ْﻢ ُﻣ Artinya: “dan (diharamkan juga mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi mu selain yang demikian itu (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk mengawini bukan untuk berzina…” (Q.S. An-Nisa:24) Oleh karena perempuan hamil karena zina tidak disebutkan dalam golongan perempuan-perempuan yang haram dinikahi (lihat surat AlNisa ayat 23-24) maka hukumnya boleh dinikahi.
31
Ibid, h. 94
b. Sperma zina itu tidak dihargai dengan alasan tidak ditetapkan keturunan anak zina kepada ayah, tetapi hanya kepada ibunya saja. Kalau sperma zina tidak dihargai, maka jelas ia tidak dapat menghalangi apalagi membatalkan akad nikah wanita hamil karena zina tersebut. Namun menurut Imam Abu Hanifah, tetap saja tidak diperbolehkan menggauli istrinya hinga ia melahirkan. Alasannya pelarangan adalah hadits Nabi saw : (ﻣﻦ آﺎن ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﷲ واﻟﻴﻮم اﻻﺧﺮ ﻓﻼ ﻳﺴﻘﻰ ﻣﺎءﻩ زرع ﻏﻴﺮﻩ )رواﻩ اﺑﻮا داود Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah swt, dan Hari Akhir maka janganlah menyiramkan airnya ketanaman orang lain” (H.R. Abu Daud)32 Larangan
kawin
kepada
kiasan
ini
bertujuan
untuk
menghindari
percampuran keturunan dalam satu rahim. Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah di atas terlihat sejalan namun ada sedikit perbedaan diantara mereka, yakni dalam hal kebolehan menggauli wanita hamil akibat zina yang dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya. Pendapat Imam Abu hanifah yang melarang menggauli wanita hamil karena zina dalam pandangan penulis, terdapat inkonsistensi pemikiran Imam Abu Hanifah. Disisi lain Imam Abu Hanifah menghalalkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan alasan bahwa sperma zina tidak dihargai. Sedang disisi lain beliau melarang menggauli wanita hamil yang telah dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya, dengan alasan dikhawatirkan bercampuran keturunan dalam satu rahim. Apabila Imam Abu Hanifah melarang 32
Imam Abi Ishaq as-Sairazi.al-Muhazzab,(Bairut,Dar al-Fikr) jilid II, h.43
menggauli wanita tersebut seharusnya beliau juga melarang menikahi wanita yang hamil akibat zina oleh laki-laki lain. Pandangan Imam Syafi’i yang membolehkan menggauli istri (wanita hamil akibat zina) bagi orang lain yang menikahinya, disamping Karena tidak ada nash yang melarang hal tersebut seperti dalam analisis bantahan terhadap pendapat Imam Abu Hanifah diatas, juga pendapat Imam Syafi’i ini sejalan dengan perspektif biologis yakni seorang calon ibu yang usia kehamilan mencapai ke-36 hari, terdapat satu liter ketuban yang merendam janin, sampai janin menjadi embrio (berumur 8 minggu), ia dapat bergerak bebas dikantong ketuban. Tetapi bila terjadi benturan pada calon ibu, janin terlindungi dari cedera cairan, ia bertindak sebagai peredam goncangan.33 Dengan demikian tercampurnya keturunan dalam satu rahim seperti yang dikhawatirkan oleh Imam Abu Hanifah, tidak akan terjadi. Karena janin yang sudah menjadi embrio berada dalam kantung ketuban, yang menjadi melindunginya dari goncangan apapun termasuk dari siraman sperma yang akan datang kemudian. Setelah menelusuri pendapat para ulama mazhab diatas, penulis cenderung kepada pendapat imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah yang mengatakan sah akad nikah yang dilakukan oleh seorang wanita hamil karena zina baik laki-laki yang telah menghamilinya maupun bukan. Karena tidak terdapat larangan yang nyata dari Al-Qur’an dan hadits mengenai hal itu. Dan jika ditinjau dari sudut sosiologis, pendapat mereka sangat menguntungkan pihak wanita karena dapat menutup aibnya. Disamping itu juga terdapat unsur kemaslahatan dalam
33
Derek Liewenllyn Jones,Setiap Wanita,,(Jakarta,Delapratasa,1997) hal.155
kebolehan menikahinya, diantaranya dapat membuka jalan kearah kehidupan yang lebih baik bagi wanita tersebut. Dan tentu saja hal ini akan membawa dampak positif bagi keadaan kejiwaan anak yang akan lahir. B.
Menurut Hukum Positif Di dalam hukum perdata pernikahan tidak jauh berbeda dengan hukum
Islam, didalam hukum perdata perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas didalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan itu timbul ikatan yang berisi hak dan kewajiban misalnya; kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, yang tidak kalah penting adalah hukum yang terjadi antara anak yang lahir dari perkawinan. Menurut kitab undang-undang hukum perdata, perkawinan
adalah
persatuan seorang laki-laki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersamasama, maksudnya untuk hidup berlansung selama lamanya sampai akhir hayat. Menurut undang-undang perdata, Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan dimuka petugas kantor pencatat sipil. Perkawinan yang dilakukan oleh petugas dilakukan menurut tata cara sesuatu agama sah. Perkawinan wanita hamil karena zina itu sah selama mengikuti/memenuhi syarat-syarat dan rukun nikah yang telah ditentukan oleh undang-undang.34 Dalam pasal 32 hukum perdata dengan keputusan hakim telah dinyatakan orang yang berzina dilarang kawin dengan teman zina. Maksud pasal tersebut adalah berupa larangan, jangan terjadi hubunganhubungan yang asusila, contoh hubungan diluar nikah antara laki-laki yang belum
34
Sudarsono,.Hukum Perkawinan Nasional,(Jakarta,Rineka Cipta,1991) Cet.1, h. 112
beristri dengan perempuan yang sudah bersuami, atau hubungan antara perempuan yang belum bersuami dengan laki-laki yang sudah beristri. Dengan demikian, kalau terjadi hal-hal diatas apakah dia telah melakukan zina harus ada keputusan hakim, sehingga diantara pihak-pihak yang telah melakukan zina tadi di larang untuk melakukan perkawinan. Akan tetapi, dalam praktek ketentuan hukum pasal 32 KUHP ini jarang sekali hakim didalam menjatuhkan putusan tidak wajib menyebutkan nama orang yang diajak melakukan zina tersebut.35 C.
Kedudukan Anak Dari Pernikahan Wanita Hamil Akibat Perzinahan a. Hukum Islam Di berbagai macam lingkungan masyarakat Indonesia seorang anak
sebagai keturunan dari kedua orang tuanya. Sehingga anak tersebut mempunyai hubungan kerabat yang ditarik melalui bapak dan ibunya. Anak sebagai salah satu unsur dari sesuatu kekeluargaan mengalami hubungan-hubungan antara pribadi yang pertama adalah keluarga, misalnya hubungan anak dengan orang tua. Dalam undang-undang perkawinan No I Tahun 1974, anak yang sah adalah (1) anak yang lahir dalam perkawinan yang sah (2) anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang bukan pemberi benih kandungan wanita itu, maka jika anak itu lahir itu adalah anak sah dari pernikahan itu dengan pria lain.
35
Soedharyo Soimin..Hukum Orang dan Keluarga,Perspektif Hukum Perdata,Hukum Islam Dan Hukum Adat,(Jakarta,Sinar Grafika,2002) Cet.1, h. 16
Mengenai anak yang tidak ada berbapak ini yang dikenal sebagai anak diluar kawin, dimana si anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya,diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam sekarang ini, kemungkinan bagi seorang wanita yang hamil di luar nikah untuk kemungkinan dengan pria yang menghamilinya (pasal 53) yang perlu dicatat adalah bahwa perkawinan ini dapat segera dilaksanakan dan tidak usah menunggu sampai anak lahir. Dalam usahanya untuk menghindari keadaan seorang anak tidak mempunyai bapak. Maka seorang anak perempuan yang hamil diluar perkawinan, itu agak dipaksakan untuk kawin, sedapat mungkin tentunya dengan seorang pria yang pernah bersetubuh dengan si wanita itu juga dianggap penyebab hamilnya perempuan itu.36 Menurut ajaran Islam setiap anak mempunyai hubungan erat dengan ibunya dan bapaknya. Apabila salah satu meninggal, maka yang lain menjadi ahli warisnya. Para ulama sepakat bahwa anak yang lahir karena zina hanya mempunyai nasab kepada ibunya, namun mereka berbeda pendapat. a. Mazhab Hanafy, jika istri melahirkan anaknya dalam masa kurang dari dua tahun, dihitung dari tanggal perpisahan dengan suaminya, karena masa hamil yang paling lama adalah dua tahun, kalau wanita itu melahirkan anaknya setelah berlalu dua tahun atau lebih dari tanggal perpisahan dengan suaminya, baik perpisahan karena thalaq bain (thalaq tiga), atau suami meninggal, maka anak yang dilahirkannya itu tidak jelas diakui hubungan keturunannya dengan suaminya itu. Karena yakin, 36
Hazairin.Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan no.1 / 1974.(Jakarta,Tinta Mas,1996). h. 125
bahwa anak itu terjadi setelah berakhirnya perkawinan wanita itu dengan suaminya tadi, karena anak itu lahir setelah lewat dua tahun atau lebih dari tanggal perpisahannya dengan suaminya. Dan hanya mempunyai hubugnan dengan ibunya saja dan keluarga ibunya.37 b. Jumhur ulama berbeda pendapat, jika seorang laki-laki mengawini seorang yang sudah dikumpuli maka apabila dalam waktu kurang 6 bulan sejak dikumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat dipertalikan nasabnya kepada laki yang mengawini ibunya dan hanya mempunyai nasab kepada ibunya dan keluarga ibunya.38 c. Imam Abu Hanifah. Berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu dianggap dalam ranjang suaminya. Oleh karena itu anak yang dilahirkannya kawasannya dapat dipertalikan kepada bapak sebagai anak sah apabila anak tersebut lahir setelah waktu enam bulan sejak perkawinannya. Abu Hanifah melihat masalah ini dari tinjauan yuridis formal bulan dari segi hubungan suami istri.39 Menurut pandangan Imam Syafi’i dan Imam Maliki ialah jika seseorang laki-laki mengawini seorang wanita belum pernah dikumpuli atau sudah pernah dikumpuli, maka bila dalam waktu kurang dari enam bulan dari pada aqad pekawinan dan bukan terhitung dari masa perkumpulnya maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat dipertalikan nasab/garis keturunannya kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung. Perhitungan enam bulan itu dimulai dari waktu berkumpul bukan dari
37 38 39
Zakaria Ahmad al-Barry,Hukum Anak-anak Dalam Islam,(Jakarta,Bulan Bintang,1990) Abdurrahman. h. 113 Fathur Rahman,Ilmu Waris,(Bandung,P.T.Al-Ma'arif,1996) h. 221
aqad nikah. Masalah perbedaan pendapat itu hanya terletak pada persetubuhan dan pernikahan yang menjadi pilihan alternativ pedoman. Imam Syafi’i dan Maliki melihat sengama ialah sebagai dasar penentuan, sedangkan Imam Abu Hanifah. Memilih aqad nikah yang menjadi rujukan. Dan masing-masing pihak sependapat bahwa batas menentukan keabsahan anak itu mempunyai keturunan terhadap bapaknya ialah bila anak itu lahir sesudah enam bulan terhitung dari pernikahan kedua orang tuanya. Akan tetapi hubungan nasab anak zina dengan bapaknya tersebut hanya sebatas bahasa dan urf (tradisi), pendapat Imam Abu Hanifah di atas beralasan kepada keumuman hadits Rasul yang berbunyi sebagai berikut :
اﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮاش وﻟﻠﻌﺎهﺮ: ﻋﻦ اﺑﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل (اﻟﺤﺠﺮ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ Artinya : ”Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW bersabda : Seorang anak adalah milik orang yang seranjang dan bagi pezina hukuman rajam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Menurut Imam Abu Hanifah pada lafaz Firasyi menunjukkan terdapat dhomir ghoib untuk laki-laki yang tersembunyi. 40 Akan tetapi Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa sebenarnya nasib nasab anak tersebut tergantung kepada suami (wanita tersebut), jikalau wanita yang berzina mempunyai suami, karena ketika suami mengakui anak tersebut sebagai anaknya, maka anak tersebut menjadi anaknya yang sah secara syar’i, yang memiliki hak-hak sebagaimana mestinya anak yang sah, dan dia pun (ayah) punya hak pula atas anak-anak seperti
40
Azhari Abdul Ghofur, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan Muda-mudi, (Jakarta, Akademika Pressindo : 2000), Cet. Ke-1, h. 48
itu.41 Keadaan seperti ini adalah bagi perempuan yang berzina tetapi telah mempunyai suami. Namun, sebenarnya yang lebih mengetahui secara pasti nasab seorang anak adalah ibunya. Pendapat Syafi’i dan Maliki beranggapan bahwa wajah istidhal atau bentuk pengambilan hukum dari kata “Lil Firosy” yang tersebut dalam hadits diatas adalah bermakna ibu, sehingga garis keturunan (keluarga) anak hasil zina hanya kembali kepada ibunya saja. Demikian pula bagi pendapat yang pertama ini beranalog dengan ketentuan jumlah minimal bagi wanita hamil, yakni anak yang lahir kurang dari enam bulan sejak saat perkumpulan suami istri tanpa perhatikan perkawinan, maka anak yang lahir tesebut hanya akan diakui oleh ibunya saja, laksana kewangsaan matrinial dimana seorang anak tidak diakui sebagai kelaurga bapak. Bagi pendapat yang kedua, disamping berpegang teguh kepada yuridis formal, artinya keabsahan seorang anak sebagai keluarga yang sah dilihat dari masa lahirnya tidak kurang dari jangka wktu enam bulan terhitung sejak pernikahan ibu dengan ayahnya. Juga pendapat ini berpedoman kepada Hadits Riwayat Bukhori dari Abu Hurairoh RA yang artinya : “Jelas dari Nabi saw, Beliau telah bersabda, jika seorang laki-laki mengajak kepada istrinya keranjang tidurnya kemudia ia menolak, maka datanglah malaikat untuk melaknati sampai pagi hari (Fathul Bari XI, hal 205). Abu Hanifah, mengambil pegangan bahwa wajan istidhal (bentuk pengambilan hukum) dari keterangan kata “Firosy” yang terdapat dalam hadits tersebut tadi diartikan sebagai seorang laki-laki (bapak).42 41
Muhammad Jawad Mughniyah., Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta, PT. Lentera Basritama : 2000), Cet. Ke-V, h. 386
kehadiran seorang anak mengokohkan ikatan perkawinan, kegairahan mencari nafkah meningkat karena termotivasi oleh semangat untuk membina dan mendidik anak agar kelak menjadi manusia yang berguna. Lain halnya dengan anak yang dilahirkan dari hubungan yang tidak sah, akan dicerca dan dihina kata-kata cemooh dari lingkungan senantiasa akan diterimanya.walaupun anak yang baru dilahirkan belum mempunyai dosa,tetapi masyarakat menghukumnya secara kejam dengan istilah " Anak haram jadah,anak zina". Menurut Hukum Islam anak yang lahir diluar nikah ( anak zina ) itu suci dari segala dosa yang berdosa adalah orang yang menyebabkan eksistensinya didunia ini,ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi : (38 : ﺧﺮَى )اﻟﻨﺠﻢ ْ ﻻ َﺗ ِﺰ ُر وَا ِز َر ٌة ِو ْز َر ُأ …َأ ﱠ.. Artinya : "Bahwasanya seseorang tidak akan memikul dosa orang lain."(QS.An-Najm : 38) Rasulullah saw bersabda : 43
آﻞ ﻣﻮﻟﺪ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻲ اﻟﻔﻄﺮة ﺣﺘﻲ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ اﻧﺲ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ( ﻋﺮب ﻋﻨﻪ ﻟﺴﺎ ﻧﻪ ﻓﺎ ﺑﻮا ﻩ ﻳﻬﻮداﻧﻪ او ﻳﻨﺼﺮاﻧﻪ او ﻳﻤﺠﺴﺎ ﻧﻪ )رواﻩ اﺑﻮ ﻳﻌﻠﻲ واﻟﻄﺒﺮﻧﻲ وﺑﻴﻬﻘﻲ
Artinya : " Semua anak dilahirkan atas kesucian / kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid,sehingga ia jelas bicaranya.makanya menjadi Yahudi,Nasrani,atau Majusi"(HR.Abu Ya'la,Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena itu anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat nanti.
42
Ibid, h.313 Jalaluddin Al-suyuti,Al-jami,'AAl-Shaghir,(kairo Halabi,1954),vol.11.hal.17 43
:
Musthafa
Al-Babi
Al-
Paling tidak ada empat dampak negatif bagi anak yang lahir di luar nikah, sehingga kehilangan sebagian dari haknya : 1. Status Nasab Istilah nasab berasal dari Bahasa Arab yang berarti kerabat,sebagian ahli bahasa mengkhususkannya kepada (kerabat) ayah44. Nasab didefinisikan pertalian atau hubungan yang ada dalam keluarga."Namun Ibnu Abidin menegaskan pangkal atau sumber nasab adalah Ayah.45 2. Status Perwalian "Perwalian " dalam istilah fiqh "penguasaan "dan "perlindungan ".Menurut istilah fiqh yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali, yang dibicarakan di sini
adalah
yang
berhubungan
dengan
perwalian
atas
orang
dalam
perkawinannya.46 3. Status kewarisannya Kata waris itu berasal dari Bahasa Arab yaitu, akar kata yang berarti pusaka.Harta peninggalan si mayit47. Lafal Wirts, irts, dan tutrs itu satu arti yaitu suatu yang ditinggalkan seseorang kepada ahli warisnya.48 4. Status Nafkah
44
Ibnu Mandzur, Lisan Al-'Arobi,(Beirut : Dar Shadir,1994),jilid .1.h.755 .Ibn 'Abidin, Radd Al-Mukhtar 'ala Al-Daar Al-Mukhtar : Hasyiyah Ibn 'Abidin ,(Beirut : Daar Ihya Al-Turats Al-'Arabi,1987),juz.11,cet.11, h.623 46 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang : 1974), Cet. Ke-3, h. 92-93 47 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsiran Al-Quran : 1973). h. 496 48 Ibn Mandzur., h. 200 45
Nafkah berasal dari Bahasa Arab yaitu yang berarti belanja, atau "kebutuhan pokok". Maksudnya ialah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya. Hukum anak zina : 1. Sekiranya seorang suami menuduh isterinya melakukan perzinaan tetapi tidak dapat dibuktikan, maka anak yang lahir dalam waktu sang isteri masih di bawah tangan sang suami, anak itu adalah anak dari sang suami yang sah. Bersabda Rasulullah s.a.w. Anak itu adalah bagi ranjang (yakni bagi suami yang mempunyai ranjang itu) sedangkan sang isteri yang melacur itu dirajam"(Bukhari). 2. Bila seorang pria atau wanita dipaksa melakukan zina, maka ia tidak berdosa, kalau setelah itu ia melakukan perkawinan dengan wanita tersebut secara sah, maka tidaklah terdapat persoalan apapun dalam persoalan ini.Anak yang dilahirkan adalah anak yang sah, sebab perzinaan yang dilakukan itu tidak membawa satu kesalahan didalam hukum Islam berarti kedua pelaku perzinaan paksaan itu tidak didera atau dirajam. 3. Kalau sekiranya perzinaan itu dilakukan dengan penuh kesadaran, oleh manusia yang dewasa dan atas keinginan masing-masing dengan mengetahui
hukumannya,
maka
perbuatan
ini
mengarah
kepada
pelaksanaan hukum zina atas kedua manusia itu yakni didera masingmasing mereka jika belum pernah kawin dan dirajam / dilontar batu hingga meninggal dunia bila telah pernah kawin.
4. Dewasa ini hukum dan hukuman itu tidak berlaku, sebab tidak ada Negara Islam dimana
perbuatan itu terjadi hingga perbuatan itu terkadang
dianggap enteng belaka.Terkadang perbuatan itu dilakukan muda-mudi untuk memaksa orang tua mereka mengawinkan mereka berdua.Ini merupakan paksaan yang melanggar aturan agama dan ajaran Islam. Sekiranya mereka yang melakukan perzinaan itu mendapatkan anak, maka anak itu adalah anak zina. b. Hukum Positif Di dalam hukum perdata bahwa setiap anak yang dilahirkan atau dibesarkan dalam ikatan perkawinan, maka anak adalah anak yang sah. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dari sekurang-kurangnya 180 hari itu kemungkinan bahwa anak itu tidak sah, kecuali sebelum perkawinan si calon suami sudah tahu bahwa calon istri sudah mengandung.itu kemungkinan bahwa anak itu tidak sah, kecuali sebelum perkawinan si calon suami sudah tahu bahwa calon istri sudah mengandung. Kemudian anak yang lahir di luar perkawinan karena berbuat zina antara pria dan wanita, sebelum perkawinan telah mengakui bahwa anak yang lahir itu adalah anak mereka telah mengakui. Kemudian pria dan wanita tersebut melakukan perkawinan dan sebelum perkawinan ia telah mengakui bahwa anak yang lahir itu adalah anak mereka, maka anak itu menjadi anak yang sah. Dengan adanya pengakuan terhadap anak diluar perkawinan maka terjadilah hubungan perdata antara anak dengan bapak dan ibu yang mengakuinya.
Jika wanita yang melahirkan anak dan tidak melakukan perkawinan yang sah, maka anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dan akan hanya mendapat warisan dari ibu dan keluarga ibunya saja.49 Dan disebut juga anak diluar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya (pasal 42 BW) Di dalam hukum perdata sistem yang berbeda masalah anak mempunyai bapak, melainkan juga tidak mempunyai ibu dalam arti, bahwa antara seorang anak dengan seorang wanita yang melahirkannya itu, tidak ada hubungan hukum sama sekali, seperti mengenai pemberian nafkah, warisan dan lain-lain. Pengakuan anak yang tidak sah ini juga di kemungkinan dilakukan seorang pria, yang menyebabkan lahirnya anak itu. Cara pengakuan oleh si bapak hanya mungkin, apabila ibunya menyetujuinya (pasal 284 BW). Dengan pengakuan sebagai anak ini, tanpa diikuti dengan suatu perkawinan antara bapak dan ibu hanyalah ada anak yang diakui, anak ini belumlah dinamakan anak sah. Cara untuk mengetahui bahwa sebelum perkawinan tersebut anak itu harus diakui sebagai anak oleh ibunya dan bapaknya. Pengakuan anak itu tidak ada dan pernikahan bapak dan ibu telah berlangsung tanpa mengakui anak pada waktu pernikahan itu (akte pernikahan) atau sebelumnya pasal 274 BW.50 Anak yang lahir diluar perkawinan, dinamakan "natuurlijkkind" ia dapat diakui tidak diakui oleh ayah atau ibunya.Menurut sistem yang dianut oleh
49
Hilman Hadi Kusuma.,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Islam,Adat Dan Perdata,(Bandung,C.V Mandar Maju,1990) h.133 50
Abdul Kadir Muhammad.S.H,Hukum Perdata Indonesia (Bandung, PT. Citra Aditya,1990). H. 132
B.W.dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Barulah dengan "pengakuan" (erkenning) lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibatakibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga anak. Hubungan itu hanya dapat diletakkan dengan "pengesahan"anak (wettiging), yang merupakan suatu langkah lebih lanjut lagi dari pada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua orang tua, yang telah mengakui anaknya, kawin secara sah. Pengakuan yang dilakukan pada hari pernikahan juga membawa pengesahan anak. Jikalau kedua orang tua yang telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum pernikahan, pengesahan anak itu hanya dapat dilakukan dengan "surat-urat pengesahan" (brieven van wettiging) oleh kepala negara. Dalam hal ini presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi harus dilakukan dimuka Pegawai Pencatatan Sipil, atau dalam akte perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan) atau dalam suatu akte tersendiri dari Pegawai Pencatatan Sipil, bahkan dibolehkan juga dalam akte notaris.51 Perbuatan zina ("overspel") atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin satu sama lain. Dengan demikian anak yang lahir diluar perkawinan itu hanya dapat
mewarisi harta benda yang ditinggalkan
ibunya dan keluarga ibunya, namun tidak dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ayahnya dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain anak yang lahir di
51
Subekti,.Pokok Pokok Hukum Perdata (Jakarta,P.T Intermasa ,1985) cet.XX..h. 50
luar perkawinan tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibunya dan keluarga ibunya.tetapi tidak menjadi ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya, bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berbuat zina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah
tidaknya anak yang disangkal itu atas permintaan yang berkepentingan
dengan lebih dahulu mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah (pasal 44). Selanjutnya mengenai asal usul 'anak pasal 55 Undang-undang Perkawinan menentukan : (1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. (2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.52
52
Riduan Syahrani,Seluk Beluk Dan Asas-asas Hukum Perdata.(Bandung,Alumni.1992)
cet,III. h. 101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari seluruh pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan akhir sebagai berikut : 1. Zina menurut hukum Islam, setiap persetubuhan yang dilakukan antara pria dan wanita di luar nikah, atau persetubuhan yang dilakukan tidak dengan nikah yang sah. Sedangkan menurut hukum positif persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya atas dasar suka sama suka. 2. Wanita hamil karena zina boleh dinikahi oleh orang yang menghamilinya maupun oleh orang lain yang bukan menghamilinya, karena tidak ada laranganyang nyata dari Al-quran maupun Hadist. Dan status hukum akad nikah sah selama memenuhi rukun dan syarat-syarat nikah yang yang telah ditetapkan oleh hokum Islam, di samping itu juga terdapat unsur kemaslahatan dalam kebolehan menikahinya, diantaranya dapat membaca jalan kea rah kehidupan yang lebih baik bagi wanita tersebut. Sedangkan menurut hukum positif bahwa menikahi wanita hamil di luar nikah itu dibolehkan, kalau sudah cukup syaratnya. 3. Menurut hukum Islam, anak yang lahir di luar nikah (anak zina) itu suci dari segala dosa, tidak bersalah dan tidak bernoda, sebab keseluruhan kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan
kesalahan itu. Status anak ini tidak dapat dikatakan secara hukum Islam mempunyai ibu bapak, sebab tidak mempunyai dasar yang sah semenjak mulanya. Seuatu yang berdasarkan kepada yang bathil maka bathil pulalah hukumnya. Sedangkan menurut hukum positif anak yang lahir di luar nikah, yang berstatus tidak sah, ia bisa menjadi sah apabila ia diakui oleh ibunya, dan mendapatkan warisan sebagaimana anak yang lain. B. Saran-saran Dari kesimpulan itu penulis mengemukakan beberapa saran : 1. Untuk mencegah merebaknya praktek perzinahan dimasyarakat, perlulah kiranya dilakukan terobosan-terobosan baru dengan mempewrtimbangkan hukum pidana islam yang mampu memberikan sanksi terhadap para pezina. 2. Kepada seluruh eleman masyarakat agar berperan untuk mempersempit peluang-peluang terjadinya perzinahan. 3. Penulis menghimbau kepada muda-mudi agar berhati-hati dalam pergaulan terhadap lawan jenis karena dorongan hawa nafsu, seringkali menjerumuskan manusia ke lembah dan penyimpangan terhadap normanorma agama
DAFTAR PUATAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Akademik Presindo, 1992 Ahmad, Idris., Fiqh Syafi’I, Jakarta : Wijaya, 1969 Al-Bajuri, Hasyiyah AL-Syaikh Ibrahim Al-Bajuri., T.tp : Maktabah wa mathba’ah Sulaiman Maroi, T.th Al-Barry, Zakaria Ahmad., Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1990 Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama ; Kumpulan Tulisan, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada., 2002 Al-Munawir, Ahmad Warsom, Kamus Arab Indonesia Al-Munawir, Yogyakarta : T.tp, 1984 As-Sairazi, Imam Abi Ishaq, Al-Muhazzab, Beirut : Dar al-Fikr As-Sayyid Imam Muh. Ibn Ismail al-Khalany, Bulughul Maram, Bandung : Dahlan, T.th Audah, Abdul Qodir, at-Tasyri’al al-Jana’I al-Islami Muqoronan bi al-Qonun alWadhi, Beirut : Muassasah Ar-Risalah, 1415 H/1994 M Darul Haq, Tim., Jangan Dekati Zina, Jakarta : Darul Haq, 2002 Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993 Djamal, R. Abdul, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsersium Ilmu Hukum, Bandung : Penerbit CV.Mandar Maju., 1997 Fachruddin, Fuad Mohd., Masalah Anak dalam Hukum Islam; Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, Jakarta : CV.Pedoman Ilmu Jaya., 1991 Ghofar, Ashari Abdul., Pandangan Islam Zina dan Perkawinan sesudah Hamil, Jakarta : Citra Harta Prima, 1995 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No.1/1974, Jakarta : Tinta Mas, 1996 Ibn ’Abidin., Radd AL-Mukhtar ’ala Al-Daar Al-Mukhtar ; Hasyiyah Ibn ’Abidin, Beirut : Daar Ihya Al-Turats Al-’Arabi, 1987 Jalaluddin, Al-Suyuti, Al-Jami, Al-Shaghir, Kairo : Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1954 Jones, Derek Liewenllyn., Setiap Wanita, Jakarta : Delapratasa, 1997
Kusama, Hilman Hadi., Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Islam, Adat dan Perdata, Bandung : CV. Mandar Maju, 1990 Kuzair, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1996 Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Problematika Hukum Islam Kontemporer I, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1996 Mandzur, Ibnu., Lisan Al-’Arobi, Beirut : Dar Shadir, 1994 Mughniyah, M.Jawad., Fiqh Lima Mazhab, Jakarta : Lentera, 2000 Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya, 1990 Rahman, Fathur., Ilmu Waris, Bandung : PT.Al-Ma’arif, 1996 Ramulyo, Idris, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Ind.Hill Co, 1984/1985 R.Soesilo., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentarkomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor : Politeria, 1983 Rusyd, Ibnu., Bidayatul Mujtahid, Mekkah Riyadh : Daar al-Fikr, 1995 Sabik, Sayid., Fiqh as-Sunnah, Beirut : Daar al-Fikr, 1977 Salim HS dan RM. Sudikno Merto Kusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta : Sinar Grafika, T.th Soimin, Soedharyo., Hukum Orang dan Keluarga ; Perspektif Hukum Perdata, Hukum Islam dan Hukum Adat, Jakarta : Sinar Grafika, 2002 Subekti., Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT.Intermasa, 1994 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 1991 Syahrani, Riduan., Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni, 1992 Syamsu, Nazwar., Al-quran Tentang Manusia dan Masyarakat, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993 Tamiyah, Ibnu., Hukum Perkawinan, Jakarta : Pustaka al-Kausar, 1997 Taqiyuddin, Imam., Kifayatul Akhyar, Surabaya : al-Maktabah al-Tikofiyah, 1986 Thalib, Sayuti., Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press, T.th
Umar, M.Ali Hasan, Kejahatan Sex dan Kehamilan di Luar Nikah dalam Pandangan Islam, Semarang : CV.Panca Agung, 1990 Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta : PT.Hidakarya Agung, 1996 Zahroh, Moh., Al-Ahwalu Asy-Syahsiyah, Kairo : Dar al-Fikr, 1957