[122] Inilah Keunggulan Majelis Ummat Monday, 10 March 2014 00:47
Muhammad Ismail Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia
Yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT. Namun masih saja ada kaum Muslim yang turut dalam Pemilu legislatif (DPR/DPRD) dengan berdalih dalam sistem pemerintahan Islam pun ada yang namanya Majelis Ummat. Sehingga berkompetisi menjadi anggota legislatif seolah menjadi wajib.
Hasilnya? Yang gagal tak sedikit gila, yang berhasil tak sedikit yang korupsi. Tegaknya hukum Islam pun jauh panggang dari api. Di seputar itulah wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto berbincang. Berikut petikannya.
Bagaimana tanggapan Anda dengan banyaknya RSJ menyiapkan kamar khusus bagi calon anggota legislatif (caleg) gila?
1/6
[122] Inilah Keunggulan Majelis Ummat Monday, 10 March 2014 00:47
Ini menunjukkan bahwa kabar adanya caleg yang kemudian jadi orang gila setelah gagal terpilih itu benar adanya. Tidak mungkin kan, mereka bersiap begitu bila tidak ditemukan faktanya di masa lalu. Ini tentu sangat menyedihkan, tapi itulah kenyataannya. Bagaimana bisa, orang berusaha meraih jabatan “yang terhormat” berakhir secara “tidak terhormat”.
Apa yang salah dalam sistem pemilu legislatif? Mengingat tak sedikit yang kalah jadi gila dan tak sedikit yang menang jadi koruptor.
Pertama, jelas ini soal salah motivasi. Sudah bukan rahasia lagi, orang menjadi caleg itu memang untuk mendapatkan kedudukan dan kekayaan. Di dunia politik ada ungkapan, buat apa berpolitik bila bukan untuk meraih kedudukan dan kekuasaan. Sampai di sini masih bisa diterima karena salah satu unsur penting dari politik memang adalah kekuasaan.
Yang jadi soal kemudian adalah, lantas mau apa dan untuk apa kedudukan dan kekuasaan yang telah diraih itu? Bukan rahasia pula, bahwa mereka meraih kedudukan dan kekuasaan itu untuk mendapatkan kekayaan.
Nah, untuk mendapatkan itu semua mereka mau melakukan apa saja, termasuk menggadaikan hartanya atau berutang ke sana ke mari untuk menambah dana kampanye. Harapannya, bila berhasil, semua belanja dan utang-utang tadi akan dengan mudah dilunasi.
Dari situ, dari motivasi yang keliru ketika memasuki dunia politik, tindak korupsi sudah dimulai. Maka tak heran bila segala cara, seperti mark-up anggaran, sekongkol dengan eksekutif atau pengusaha yang menjadi cukong pencalegan dia dalam pengaturan proyek yang dibiayai negara, dilakukan. Tujuannya tak lain untuk pengembalian dana kampanye.
Dan setelah modal kampanye impas, ia kemudian berpikir untuk menambah kekayaan dan mencari modal lagi untuk pemilu yang akan datang. Di situlah mengapa koruptor tidak pernah mengenal kata akhir. Ibarat kata, seperti orang minum air laut, bukan hilang hausnya malah tambah rasa hausnya.
2/6
[122] Inilah Keunggulan Majelis Ummat Monday, 10 March 2014 00:47
Itu kalau berhasil jadi anggota legislatif, bagaimana kalau gagal?
Ketika uang sudah terlalu banyak dibuang, tapi ternyata gagal, terbayang olehnya kebangkrutan. Hartanya sudah habis dijual, masih pula bertumpuk utang. Pusing berpikir, akhirnya stres. Gila. Malah di pemilu lalu ada caleg gagal yang kemudian bunuh diri.
Apakah kembali ke sistem pemilu era Soeharto merupakan solusi?
Dari sisi kepraktisan, pemilu era Orde Baru kelihatan lebih baik. Dari segi pembiayaaan, semua ditanggung oleh partai. Beban biaya per individu sangat kecil, kalau tidak bisa disebut nol rupiah. Hanya saja, rakyat tidak bisa memilih langsung wakil yang dimauinya. Karena publik memilih partai, maka caleg yang terpilih juga ditentukan oleh partai. Biasanya berdasar nomor urut.
Maka para caleg berebut nomor urut kecil. Di situ kuasa elite partai sangat menentukan. Termasuk dalam penggalangan dana. Jadi sesungguhnya, pemilu era sekarang hanya memindahkan otoritas, dari elite partai kepada individu caleg. Bila individu caleg bisa dibeli, begitu juga elite partai. Jadi dari segi substansi sebenarnya sama saja.
Ada usulan pemilu sistem distrik dengan 2 atau 3 parpol dan dibiayai oleh warga atau APBN. Tanggapan Anda?
Ini usulan tampak ideal. Tapi bagaimana cara menentukan 2 atau 3 partai yang boleh ikut Pemilu di saat semua partai saat ini ingin jadi peserta Pemilu. Kalaupun bisa, dan andaipun
3/6
[122] Inilah Keunggulan Majelis Ummat Monday, 10 March 2014 00:47
biaya ditanggung warga atau APBN, tetap saja kompetisi untuk saling mengalahkan di antara partai peserta Pemilu akan terjadi, dan itu memerlukan biaya lebih. Karena itu, problem yang sama akan tetap terjadi.
Lantas solusi apa yang Anda tawarkan?
Sistem khilafah. Dalam sistem ini, anggota Majelis Ummat dipilih langsung oleh rakyat di daerah pemilihannya. Jadi semacam sistem distrik. Tapi berhubung Majelis Ummat tidak memiliki fungsi budgeting , juga legislating , tapi hanya berfungsi sebagai lembaga penyampai pendapat umat dan lembagai koreksi kepada penguasa, maka tidak ada kewenangan yang bisa dikomersialkan.
Jadi tidak perlu, calon anggota Majelis Ummat berpikir seperti caleg sekarang ini. Dari sini, abu se of power sudah dicegah sejak dini, dari akarnya.
Kalau tidak ada proses legislasi, bagaimana suatu UU dapat dilahirkan?
Untuk perkara-perkara yang sudah jelas hukum syara’-nya, kepala negara (khalifah) dan pejabat pemerintah lainnya tinggal melaksanakan berdasar hukum tersebut. Misal tentang haramnya riba atau bunga bank.
4/6
[122] Inilah Keunggulan Majelis Ummat Monday, 10 March 2014 00:47
Begitu juga soal bentuk hukum dan sanksi atas berbagai kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat, baik itu terkait hak orang lain seperti pembunuhan atau yang lain, semua tinggal merujuk pada hukum yang sudah jelas itu.
Adapun untuk perkara-perkara yang belum jelas hukum syara’-nya, terutama untuk masalah-masalah yang baru (di masa dulu belum ada), misalnya di bidang ekonomi seperti soal kartu debit atau kartu kredit; atau soal bayi tabung di bidang kedokteran, dan lainnya, maka dilakukan ijtihad. Para mujtahid dipersilakan berijtihad. Bila hasilnya berbeda-beda, maka khalifah akan mentabani (adopsi) salah satu hasil ijtihad yang dinilai paling kuat dalilnya.
Apa keunggulan sistem ini dibanding demokrasi dalam pembuatan suatu UU?
Keunggulan yang paling nyata, adalah cepat dan murah. Cepat karena yang sudah jelas hukumnya tidak perlu lagi ada proses legislasi. Juga murah karena untuk proses ijtihad tidaklah memerlukan biaya besar sebagaimana terjadi dalam proses legislasi yang terjadi dalam sistem yang ada sekarang yang satu UU dikabarkan memakan biaya lebih dari Rp 8 milyar.
Keunggulan lainnya?
Ketentuan hukum tidak mudah dipermainkan demi kepentingan kekuasaan atau kepentingan bisnis karena semua merujuk pada dalil syara’. Bila ada yang udang (maksud buruk) di balik pembuatan peraturan perundangan pasti akan segera ketahuan karena semua orang bisa menilai, apakah ketentuan hukum itu dihasilkan berdasar proses dan dasar yang benar atau tidak.
Dan keunggulan yang paling utama dibanding dengan sistem mana pun?
5/6
[122] Inilah Keunggulan Majelis Ummat Monday, 10 March 2014 00:47
Keunggulan utama adalah bahwa semua itu bernilai ibadah. Ibadah menurut Imam Malik artinya taat, tunduk, patuh dan berpegang teguh pada apa yang telah disyariatkan oleh Allah dalam agama-Nya. Jadi, dengan menetapkan hukum berdasar pada yang telah Allah SWT turunkan dalam Alquran maupun Sunnah, maka nilai ibadah itu akan bisa diwujudkan.
Hal ini berbeda sekali dengan proses legislasi yang ada sekarang ini. Bagaimana mau disebut ibadah bila kenyataannya proses legislasi yang dilakukan tidaklah bersumber pada dalil-dalil sy ara’ yang sah, dan hasilnya pun kemudian tidak sedikit yang justru menghalalkan yang haram, seperti soal bunga bank, atau mengharamkan yang halal, seperti soal batas nikah untuk perempuan yang 18 tahun dalam UU Perlindungan Anak.[]
6/6