M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam Monday, 10 August 2009 22:08
{mosimage}
M Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
MediaUmat- Perhelatan Pilpres 2009 telah menggambarkan betapa umat Islam tak berdaya menentukan nasibnya sendiri. Mereka hanya menjadi obyek pemilu. Ini kian kentara ketika partai-partai yang mengaku Islam terjebur dalam lumpur kekuasaan dan dengan gegap gempita merapat ke partai sekuler. Padahal sebelumnya para petinggi-petinggi partai itu mengatakan haram memilih partai sekuler.
Yang menarik arahan tokoh-tokoh umat untuk memilih calon tertentu ternyata tak digubris oleh umatnya. Mereka lebih memilih SBY meski semua tahu neoliberal di belakangnya. Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Berikut wawancara wartawan Media Umat Mujiyanto dengan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) M Ismail Yusanto.
Apakah kemenangan ini menunjukkan dukungan umat Islam?
Ya, tentu. Karena pemilih memang mayoritas umat Islam. Apalagi faktanya parpol Islam seperti PKS, PPP, PBB dan PMB, maupun parpol berbasis massa Islam seperti PAN, PKB dan PBR semua mendukung SBY. Maka, perolehan suara SBY berdasar hitung cepat yang sekitar 60 persen bisa dianggap cerminan dari tingginya dukungan umat Islam.
Artinya umat ini hanya pragmatis belaka?
Bisa ya, bisa tidak. Iya, karena kenyataannya umat memilih SBY semata berdasarkan popularitas dan kesan atau citra sebagai sosok yang meyakinkan, yang dianggap cukup berhasil memimpin Indonesia serta memuaskan rakyat banyak. Ukurannya sederhana. SBY lah yang ngasih BLT, menurunkan BBM, bikin sekolah gratis, menaikkan gaji guru dan sebagainya.
1/7
M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam Monday, 10 August 2009 22:08
Dengan memilih SBY, rakyat berharap program-program tadi bisa dilanjutkan. Mereka tidak terlalu ambil peduli soal-soal ideologis seperti isu neoliberal, pengaruh dan intervensi asing dalam pemerintahan SBY dan sebagainya. Buat mereka itu terlalu canggih untuk dipahami. Yang umat rasakan adalah bahwa SBY sangat baik kepada mereka.
Tapi mungkin umat juga merasa pilihannya tidak keliru secara ideologis mengingat pada faktanya SBY juga didukung oleh semua parpol Islam atau parpol berbasis massa Islam. Artinya, umat merasa pilihannya juga cukup Islami. Tapi apakah endorsment (dukungan. red) partai-partai itu benar-benar didasarkan pada pertimbangan ideologis yang Islami ataukah semata berdasar pertimbangan pragmatisme politis demi didapatnya kue kekuasaan bagi para elit partai, hal ini tampaknya tidak terlalu dipikirkan oleh umat? Yang mereka lihat, partai-partai itu semua mendukung SBY.
Soal kecenderungan pragmatisme politik yang terjadi pada semua partai-partai Islam, sebenarnya itu tidak terlalu mengejutkan. Dalam politik praktis di mana tujuan utamanya meraih kursi kekuasaan, sementara pilihan-pilihan politik yang ada secara faktual terbatas, misalnya dalam Pilpres lalu yang hanya dengan tiga pasang pilihan, memang akan cenderung membawa siapapun untuk bersikap lebih pragmatis. Bagaimana mau mempertahankan idealisme bila pilihan untuk itu menurutnya tidak ada? Maka, politik idealistik dalam konteks seperti itu akan dianggap tidak realistik.
Mengapa suara para kyai dan tokoh umat Islam yang telah menentukan pilihan terhadap calon lain tidak diikuti umatnya?
Karena umat sudah punya pilihan sendiri dengan pertimbangan sendiri, dan pilihan itu dirasa lebih sesuai dengan selera mereka. Boleh saja para kyai atau tokoh umat menentukan pilihan dan menyerukan umat untuk juga memilih pilihan itu, tapi ketika arahan itu tidak sesuai dengan ”selera” mereka, maka mereka lebih cenderung kepada pilihannya sendiri. Apalagi pilihan para kyai dan tokoh umat juga masih bisa dipertanyakan keislamannya. Maksudnya, umat tentu boleh bertanya apakah betul pilihan para kyai dan tokoh umat itu adalah figur yang betul-betul Islami? Umat tahu, calon pilihan kyai dan tokoh umat itu akhirnya menjadi capres adalah setelah dirinya ditolak oleh SBY. Artinya, dia menjadi calon presiden itu bukan karena sejak dari awal memang hendak memperjuangkan sesuatu yang bersifat Islami, tapi lebih karena keterpaksaan politik setelah dirinya tidak lagi bisa berpasangan dengan SBY. Karenanya, wajar jika dukungan para kyai dan tokoh umat itu dirasakan tidak cukup kuat memberikan legitimasi akan keislaman dari calon tersebut. Saya kira, hal-hal
2/7
M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam Monday, 10 August 2009 22:08
seperti ini dibaca oleh umat. Meski di sepanjang waktu kampanye ada usaha keras untuk menunjukkan bukti tentang peran beliau bagi kepentingan Islam di negeri ini, tapi tampaknya hal itu sekali lagi tidak cukup kuat menggeser ”selera” umat dari SBY yang pada saat yang sama, bersama parpol-parpol Islam atau parpol-parpol berbasis Islam, juga berusaha menunjukkan ”keIslamannya” pula.
Apakah ini berarti politik aliran telah hilang?
O, tidak. Politik aliran dalam arti politik Islam tidak pernah dan tidak akan pernah hilang. Buktinya, parpol Islam masih ada, dan masih cukup mendapat dukungan. Gabungan suara PKS, PPP, PBB, PMB dan PKNU dalam pemilu lalu saya kira masih mendekati angka 20 persen. Buktinya lagi, parpol seperti PAN dan PKB juga tetap terus berusaha menjaga indentifikasi diri sebagai partainya orang-orang Muhammadiyah atau NU, karena mereka tahu di situlah basis utama mereka. Dan gabungan suara kedua partai itu dalam Pileg lalu masih mendekati angka 10 persen. Bila angka ini digabung dengan perolehan suara parpol Islam, saya kira masih pada kisaran 30 persen. Itu artinya, 1 dari 3 orang di Indonesia masih melekatkan pilihan politiknya pada sesuatu yang berbau Islam. Jadi, politik aliran dalam arti politik yang disemangati oleh Islam itu masih ada. Hanya ekspresinya saja yang berubah-ubah, atau berbeda-beda dari waktu ke waktu. Di masa Orde Baru atau di awal era reformasi, sikap idealisme masih cukup tampak. Tapi sekarang ini, ekspresi pragmatisme yang lebih dominan. Mungkin para elit parpol merasa, bila berpolitik itu untuk mendapatkan kekuasaan, maka sikap seperti ini (pragmatis) lah yang paling tepat. Contohnya, dalam Pilpres lalu. Mereka mendukung calon presi-den dengan prinsip ”yang paling mungkin menang”. Bukan mana yang lebih Islami. Karena dalam berbagai survai, SBY lah yang paling banyak mendapat dukungan, maka ke sanalah dukungan itu diberikan. Dan ternyata pilihan itu tidak keliru. SBY menang. Satu putaran lagi, dengan angka yang cukup telak pula.
Tapi di situlah memang letak tantangannya. Meletakkan idealisme di tengah pusaran arus pragmatisme yang demikian kuat. Bila berpegang pada idealisme Islam, sebenarnya kumpulan parpol Islam dan parpol berbasis massa Islam itu punya cukup suara untuk mengajukan calonnya sendiri. Tapi, ya itu tadi, karena dorongan pragmatisme politik maka semangat idealisme Islam itu pun tergusur. Saking pragmatisnya, cawapres Boediono yang sebelumnya dikecam habis-habisan toh akhirnya didukung juga dengan berbagai dalih. Ingat ya, dalih. Bukan dalil. Dalil itu dari Alquran dan As Sunnah. Sementara dalih, ya dicari-cari atau diada-adakan untuk melegalkan pilihan politik itu. Jadi, kalau kita boleh menyebut, sekarang ini lebih deras mengalir arus politisasi Islam dari pada Islamisasi politik. Politisasi Islam itu menjadikan (massa) Islam sebagai alat untuk meraih tujuan politik, sedang Islamisasi politik itu menjadikan politik sebagai alat untuk meraih tujuan Islam.
3/7
M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam Monday, 10 August 2009 22:08
Apakah masih ada kyai/ulama yang mengemban ideologi Islam saat ini?
Tentu masih ada. Cukup banyak. Saya yakin itu. Ideologi Islam itu sekecil apapun pasti melekat erat dalam keislaman seorang Muslim, apalagi pada diri seorang kyai atau ulama. Hanya saja kadang ideologi ini kalah dengan dorongan pragmatisme politik demi kekuasaan dan uang. Karenanya, di tengah arus besar pragmatisme politik dalam tatanan yang sekularistik sekarang ini memang tidak mudah untuk kokoh memegang atau mengembang ideologi Islam, termasuk bagi seorang kyai atau ulama sekalipun.
Masihkah para ulama bisa diharapkan dalam perubahan?
Insya Allah bisa. Dan harus bisa. Kalau ulama tidak lagi bisa diharapkan, wah celaka itu. Jadi harus bisa. Bukankah ulama adalah pewaris para nabi (al ulamau waratsatul anbiya)? Dan saya yakin, masih cukup banyak figur-figur ulama yang konsisten dalam dakwahnya sehingga mereka masih bisa diharapkan fungsi, peran dan tanggung-jawabnya dalam perubahan ini. Fakta lapangan membuktikan itu.
Di mana posisi ulama dalam perubahan? Dan bagaimana seharusnya peran ulama di tengah umat?
Sebagai pemandu umat, posisi ulama dalam perubahan sangatlah sentral. Bila ulama adalah pewaris nabi, dan yang diwariskan nabi adalah risalah Islam dengan dakwahnya itu di mana inti dari dakwah adalah perubahan, maka ulama harus mampu menjadi inspirator dan motivator bagi umat untuk selalu berubah ke arah yang lebih baik menurut tolok ukur Islam. Seperti sering disebut, bahwa tidak ada yang tetap di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Tentu bukan asal berubah, tapi perubahan yang terarah. Dari yang tidak Islami menuju yang Islami. Dari yang
4/7
M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam Monday, 10 August 2009 22:08
sudah Islami menuju ke arah yang lebih Islami lagi. Begitu seterusnya. Maka, bagi seorang ulama sejati, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang final, kecuali kebenaran dari risalah Islam itu sendiri. Jadi aneh kalau ada yang bilang bahwa misalnya NKRI itu final. Masak negara dengan segudang problem seperti ini disebut final? UUD 45 saja masih terus berubah. Sudah empat kali diamandemen, dan kini sedang disiapkan amandemen yang kelima. Bagaimana sesuatu yang masih terus memerlukan perubahan itu disebut final?
Para ulama juga bisa harus menjadi teladan bagi umat. Bila perjuangan ini memerlukan kesabaran dan konsistensi serta menjauhi sikap pragmatisme yang bakal mengaburkan arah perjuangan, maka umat melihat kesabaran dan konsistensi itu pada diri para ulama. Bila untuk itu diperlukan pengorbanan, umat juga melihat ulama telah melakukan itu. Dengan keteladanan semacam ini, maka jiwa atau ruh perjuangan yang murni akan merembas kepada umat. Dan ini akan menjadi kekuatan dahsyat bagi dakwah itu sendiri, karena dakwah dipimpin oleh ulama yang dipercaya oleh umat.
Bagaimana agar mereka terhindar dari aspek pragmatisme politik?
Pertama, para ulama dengan landasan akidah Islam yang kokoh harus setia kepada fikrah dan thariqah Islam. Termasuk harus setia kepada fikrah dan thariqah dakwah yang akan menentukan arah, visi dan misi serta tujuan dari dakwah ini. Yakni untuk mengembalikan hukum-hukum Islam di tengah masyarakat. Kemudian kedua, para ulama harus selalu berusaha menghilangkan seluruh faktor-faktor, di antaranya adalah soal harta dan kekuasaan, yang biasa membuat orang menjadi pragmatis. Caranya, di antaranya dengan menciptakan kemandirian ekonomi. Ketiga, para ulama harus berjuang secara berjamaah dalam sebuah jamaah yang benar agar terlindungi dari kecenderungan sikap pragmatis. Bila jamaah itu kokoh dalam perjuangan, maka insya Allah para ulama yang ada di dalamnya juga akan turut menjadi kokoh.
Bagaimana umat harus bersikap terhadap para ulama?
Terhadap pewaris para nabi, umat sudah selayaknya menghormati para ulama, mendengarkan nasehatnya dan memperturutkan anjurannya. Tentu saja sepanjang nasihat, anjuran dan ajaran itu benar-benar bersumber dari ajaran Islam dan disampaikan secara ikhlas demi kebaikan umat. Tapi bila ternyata yang diberikan justru bertentangan dengan ajaran Islam, maka umat bukan hanya boleh mengabaikan, tapi bahkan wajib mengingatkan para ulama itu. Sebagai
5/7
M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam Monday, 10 August 2009 22:08
manusia, para ulama bisa saja salah, khilaf atau keliru. Ulama tidak maksum. Karenanya, bila tampak mereka melakukan kekeliruan, umat juga wajib mengingatkan. Dan bila ulama kebetulan melakukan sebuah kesalahan, hendaknya umat juga jangan langsung memvonis dan menyisihkan dari arena perjuangan sebagai tidak lagi pantas untuk dianut. Ingat, setiap orang, siapapun bisa melakukan kesalahan.
Bagaimana sikap ulama terhadap penguasa sekuler?
Penguasa sekuler adalah penguasa yang tidak mau menjalankan syariah Islam. Sekularisme adalah sebuah kemungkaran yang amat besar. Satu kemaksiatan yang dilakukan oleh rakyat biasa dampaknya mungkin hanya pada dirinya saja. Tapi bila kemaksiatan itu dilakukan oleh seorang penguasa, dampaknya luar biasa. Tidak hanya akan mengenai dirinya, tapi juga kepada bangsa dan negara. Karenanya, terhadap penguasa seperti ini, para ulama wajib melakukan amar makruf nahi mungkar.
Bahkan bukan hanya sekadar wajib melakukan amar makruf nahi mungkar, para ulama sebag aimana dilakukan oleh Rasulullah, semestinya juga wajib menyadarkan penguasa sekuler itu untuk turut serta mengubah negeri sekuler itu menjadi negeri Islam di mana di dalamnya diterapkan syariah. Dengan kekuasaan dan kewenangan serta kekuatan yang dimiliki, peran seorang penguasa dalam perubahan menuju masyarakat Islam akan sangat menentukan. Fakta sejarah membuktikan hal itu.
Amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa sekuler tentu akan mengundang risiko. Para ulama tentu tidak boleh takut terhadap kemungkinan risiko yang bakal dihadapi, karena ini adalah kewajiban tertinggi dari seorang ulama. Siapa saja yang dalam melaksanakan kewajiban itu mengalami risiko tertinggi, kedudukannya setara dengan orang yang mati syahid. Nabi Muhammad berkata, ”penghulu para syuhada adalah Hamzah, dan seorang lelaki yang menasihati penguasa yang lalim tapi kemudian ia dibunuh”. Terhadap semua kemungkinan risiko itu, baik kita perhatikan nasihat Ibnu Taimiyah, ”Kalau aku dipenjara, maka itu khalwatku dengan Allah SWT. Kalau aku dibuang atau diusir keluar daerah maka itu adalah siyahah atau pesiar buatku. Dan kalau aku dibunuh, maka itu syahid buatku.” Jadi apapun yang bakal terjadi, buat seorang ulama pejuang tidak ada yang buruk. Semuanya bernilai baik, asal dakwah dan perjuangan ini dijalankan dengan benar dan ikhlas. Hal-hal seperti ini tentu hanya mungkin dilakukan oleh para ulama yang konsisten berpegang teguh pada prinsip-prinsip dakwah dan perjuangan yang benar, serta tidak mudah terjebak pada pragmatisme politik dengan berbagai dalih. Dan dari keteguhan seperti ini, para ulama akan memiliki kekuatan moral untuk membawa umat kepada arah yang benar. Hanya dari
6/7
M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam Monday, 10 August 2009 22:08
ulama yang konsisten akan lahir perjuangan yang konsisten. Dan dari ulama yang konsisten pula, seruan-seruannya akan didengar oleh umat. Ulama yang sudah tercemar oleh pragmatisme duniawi, akan mudah kehilangan kewibawaan di hadapan umat. Dan itulah yang sekarang ini tengah terjadi. Sayang sekali...[]
7/7