GERAKAN POLITIK HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI) SEBAGAI ORGANISASI ISLAM EKSTRA PARLEMENTER DI INDONESIA PASCA REFORMASI
SKRIPSI Disusun Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : ZAINAL ABIDIN 2103150
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
MOTTO
Artinya : "Dan Apabila kamu dihormati dengan sesuatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu". (Q.S. An-Nisa' {4}: 86).∗
∗
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. TEHAZED, 2009, hlm.
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk :
Almamaterku IAIN Walisongo Semarang, serta Yang telah membawaku pada lautan kawah candradimuka ilmu yang tiada batas Ayahanda nan Bunda Tercinta Terimakasih atas ketulusan do'a dan kasih sayang yang tiada terbilang, Sehingga menjadi pelita dalam setiap kesuksesan dan perjalanan nanda Kakak serta adikku Kang Ahmad Fathan, Kang Ahmad Bastomi, Kang Nur Rahman, Mbak Nur Chasanah, Adik Luthfil Chakim Dirimulah kutemukan sejuta kekuatan untuk menempuh arti hidup penuh kasih Keponakanku Hena safera, Anis, Tasya, Indimazaya, Eka, Lia Khoirun Nisa' Tulusnya keceriaan memberiku arti kasih sayang yang sesungguhnya Kawan-kawan se perjuangan Di HMI, KNPI, GPN, KBM SEMARANG, HIMA KOSGORO 1957, IKHWANUL MUBALLIGHIN, PRS. MAUNATUL MUBAROK, PON-PES AL-ANWAR, dengan jalinan silaturrahmi dan komitmen kebersamaan serta semangat juang tinggi dari kawan-kawan kutemukan makna persahabatan dalam membangun rasa nasionalisme kebangsaan untuk NKRI Dan yang terakhir bagi yang tercinta "Sinok" Lilik Nur Kholidah Terima kasih atas dorongan dan motivasi yang tiada henti sehingga kudapatkan arti hidup yang sesungguhnya.
DEKLARASI
Dengan Penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa sekripsi inii tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 4 April 2010 Deklarator
ZAENAL ABIDIN NIM. 2 1 0 3 1 5 0
ABSTRAK Sejak abad XIII Hijriyah atau XIX Masehi, telah berdiri barbagai gerakan yang bertujuan untuk membangkitkan umat Islam. Upaya-upaya tersebut sejauh ini belum meraih keberhasilan, sekalipun meninggalkan pengaruh yang cukup berarti bagi generasi yang datang sesudahnya untuk mengulangi upayanya sekali lagi. Hingga saat ini di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya Muslim sedang memperjuangkan peran Islam dalam negara dan masyarakat, komunitas-komunitas muslim minoritas di Eropa dan Amerika bergulat dengan masalah-masalah asimilasi agama dan budaya, disisi lain Islam telah digunakan oleh pemerintah maupun oleh gerakan-gerakan oposisi. Para penguasa di negara-negara muslim banyak menggunakan Islam dalam tahun-tahun terakhir untuk meningkatkan legitimasi dan kebijakan mereka, begitu pula koalisi-koalisi politik berjalan dibawah bendera Islam. Di Indonesia, masuk pada era pembaruan atau lebih familier disebut era reformasi gerakan-gerakan untuk membangkitkan umat Islam mendapat ruang gerak yang begitu luas, salah satunya yakni dengan menawarkan berbagai formulasi syari’ah hingga penegakan Khilafah Islamiyah (Sistem pemerintahan Islam bersekala internasional). yang tentunya membutuhkan pengakuan atau legalitas formal dari negara. Sebuah kelompok yang mengidentifikasikan dirinya sebagai partai politik beridiologi Islam namun bergerak diluar system politik yang berlaku merupakan fenomena menarik untuk dieksplorasi. Orientasi politiknya yang lebih menekankan kesadaran masyarakat alih-alih pemenangan parlemen, pemikiran politiknya yang antidemokrasi, serta cita-citanya untuk menegakkakan Negara khilafah dan memberlakukan hukum Islam secara menyeluruh dan serentak sudah pasti menimbulkan keunikan tersendiri berkaitan dengan struktur dan kepemimpinan, fungsi politik, baziz pendukung, Ideologi, dan cara-cara dalam melakukan perubahan. Kelompok itu bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini juga merupakan gerakan politik Islam modern yang memiliki paradigma integralistik dalam memandang hubungan antara agama dan politik. Kecenderungan integralistik memandang Islam sebagai suatu agama yang lengkap dengan aturan-aturan, petunjuk, bimbingan yang mengatur segala aspek kehidupan tiap hari, termasuk kehidupan bermasyarakat dan berpolitik, artinya bahwa korelasi antara agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu, penulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui keberadaan HTI sebagai gerakan politik Islam Ekstraparlementer dan cara-cara yang mereka tempuh untuk mewujudkan citacitanya, teori dan konsep-konsep yang relevan dengan keberadaan system pemerintahan di Indonesia.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur kepada Allah SWT sebagai ungkapan terima kasih Penulis atas limpahan taufiq, hidayah, dan inayah dan maunah-Nya, sehingga jari-jari tangan ini terasa ringan dalam menulis, syaraf-syaraf otak berdesir untuk memunculkan ide-ide kreatif, serta pikiran dan hati senantiasa terkontrol untuk selalu rendah hati dan konsentrasi. Sholawat dan Salam buat kado istimewa baginda Rosulullah Muhammad saw yang menerangi dunia dengan risalah-risalah yang diembanya sehingga setiap langkah hidup dan kehidupan umat Islam di seluruh dunia terinspirasi olehnya. Penulis sadar sepenuhnya bahwa selesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak yang menjadi inspirator dan pendukung bagi penulis, baik dukungan moral maupun material. Karena skripsi sudah lama “terkubur” selama 4 semester dikarenakan terlalu membuka lebar gerakan di organisasi kemahasiswaan. Oleh karena itu, dengan rasa syukur yang tak terhingga kepada : 1. Allah SWT Sang Maha karya yang telah mebangunkan penulis dari tidur yang membekukan nalar idealisme penulis. 2. Prof. Dr. H. Abdul Jamil, M.A selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang, yang juga penulis anggap sebagai orang tua di kampus yang senantiasa memberikan motivasi kepada Penulis untuk tidak berhenti dalam memperkaya khasanah keintelektualan Islam. 3. Drs. H. Muhyiddin, M.Ag Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang turut serta memotivasi penulis untuk terus membangkitkan semangat menulis. 4. Para dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang berperan penuh dalam menggugah kesadaran intelektual kami, dari kekerdilan berfikir, cupetnya wawasan, kegersangan ilmiah, menuju terbukanya pandangan dan wawasan yang kreatif, inovatif, dan efektif. 5. Drs. Agus Nurhadi, MA selaku Wali study yang turut serta menggugah kesadaran untuk segera menyelesaikan bangku S1 demi menempuh jenjang selanjutnya. 6. Para karyawan Fakultas Syari’ah dan Pegawai Perpustakaan Fakultas, pegawai perpustakaan IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan layanan akademik dengan baik dan ramah kepada penulis.
7. Abina al-karim al-maghfurlah H. Thoha atas ketulusan dan kebaikanya semasa penulis menemani di masa hidupnya, Semoga Allah menempatkan tempat yang paling indah disisiNya, Ibunda al-karimah Hj. Istiqomah yang tak henti-hentinya memberikan dorongan baik materiil maupun moril dan tidak bosan-bosannya merangkai butiran do’a tiap hari buat penulis dalam menempuh studi dan mewujudkan cita-cita 8. Saudara-saudara Penulis yang gigih mendo’akan dan menyemangati hidup ini lebih hidup (Kang Fathan, Kang Bastomi, Kang Nur Rahman, mbak yu Hasanah, Dek Luthfi yang juga masih study di Al-Azhar Mesir) 9. Keluarga Besar Yayasan Al-Anwar Mranggen Demak, yang menjadi inspirasi ilmu pertama kali bagi penulis, KH. Abdul Basyir Hamzah dan Umi Hj. Hafidlotul Ulya, Kepala MTs Al-Anwar Ngemplak Mranggen Moch. Fateh, M.Ag guru sekaligus kawan yang tidak pernah capek memotivasi penulis dalam melewati cobaan setiap kehidupan, Dewan Guru dan Arek-arek Laskar Cinta Al-Anwar yang senantiasa menggugah inspirasi intelektual penulis. 10. Segenap Keluarga Besar HMI komisariat di lingkungan Walisongo, Korkom IAIN Walisongo, Cabang Semarang, Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) Semarang, YAKIN USAHA SAMPAI!!!, HIMA KOSGORO 1957 JATENG Salam Solidaritas!!!, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Semarang. Terima kasih juga kepada kanda dan yunda KAHMI yang rela mengorbankan sebagian besar hidupnya untuk memberikan wawasan, komentar, kritik dan saran dalam mencapai sebuah kesuksesan. 11. Lilik Nur Kholidah dan keluarga yang menjadi motivator dalam mengolah setiap kata dalam penulisan karya ini dan melangkah lebih maju untuk tetap sabar dan tawakal dengan senantiasa iringan do'a dan restu yang tak terbalaskan. 12. Teman-teman seangkatan Siyasah Jinayah 2003 dan teman terdekat Penulis (Ulil Gelek, Misbahul huda, H. Bambang, Sirojul Munir, Abdillah Munir, Zaki kriting, Zahrul, Amal, Iid Unyil, Ali Tomat, Ergun, mbak Tini, Mifrohatun ) dll. Kawan-kawan posko 42 KKN PBA Purworejo Ringinarum Kendal is the Best, serta semua pihak yang ikut membantu dalam penulisan skripsi yang tidak bisa penulis sebutkan semua. Penulis berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Barokallohu lana mina dunya Ilal Akhiroh. Amin Semarang, 4 Juni 2010 Penulis
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………………...
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ……………………………………......
ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….
iii
HALAMAN MOTTO ……………………….……………………………….
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………..
v
HALAMAN DEKLARASI …………………...……………………………..
vi
HALAMAN ABSTRAKSI …...……………………………………………..
vii
HALAMAN PENGANTAR …………………………………………………
viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………
x
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………….
1
B. Perumusan Masalah ….……………………………………...
4
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………
5
D. Telaah Pustaka …………...………………………………….
5
E. Metode Penelitian ……………………………………………
11
F. Sistematika Penulisan …………...…………………………..
16
KONSEP GERAKAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA A. Sosio Politik Islam di Indonesia Pra Reformasi dan Pasca Reformasi ..……………….………………………….
18
B. Kerangka Dasar Gerakan Politik Islam di Indonesia ……....
24
C. Konsep dan Teori Kepolitikan Organisasi Islam Ekstraparlementer di Indonesia …………………….………
29
BAB III
GERAKAN POLITIK HTI SEBAGAI ORGANISASI ISLAM EKSTRAPARLEMENTER DI INDONESIA A. Profil Hizbut Tahrir (HTI) dan perkembangannya di Indonesia ……………………………………….………..
34
B. Aktifitas Politik HTI sebagai Organisasi Islam Ekstraparlementer …………………………………………..
45
C. Format yang dibangun HTI dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia ………………………………………………..
BAB IV
54
ANALISIS TERHADAP GERAKAN POLITIK HTI SEBAGAI ORGANISASI ISLAM EKSTRAPARLEMENTER DI INDONESIA PASCA REFORMASI A. Gerakan Politik HTI Sebagai Organisasi Islam Ekstraparlementer dalam Sistem Demokrasi di Indonesia …………………….
59
B. Relevansi dan Prospek Gerakan Politik HTI dalam Sosio
BAB V
Politik di Indonesia ………………………………..………
67
C. Format Baru Politik Islam di Indonesia ……………………
74
PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………….
78
B. Saran-saran …………………………………………………..
79
C. Penutup ………………………………………………………
80
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam sebagai agama merupakan satu mata rantai ajaran tuhan (Wahyu) yang menyatu dan kehadirannya di muka bumi telah dinyatakan final serta sempurna hingga akhir zaman.1 Ajaran Islam merupakan satu kesatuan yang terdiri atas keimanan dan Amal yang dibangun diatas prinsip ibadah hanya kepada Allah Swt, bahkan ajaran tentang tauhid (prinsip keesaan tuhan) merupakan system kehidupan (manhaj al-hayat) bagi setiap muslim kapan dan dimana pun. Pendek kata Islam itu satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak dapat dipecahpecah, al-Islam kullu la yatajaza.2 Namun kenyataan hidup para pemeluknya menunjukkan ekspresi dan aktualisi yang beragam, sehingga muncul fenomena “Islam” (Nakirah) versus “Al-Islam” (Ma rifat), yang menggambarkan realitas kemajemukan Islam. Bagi kaum muslim memang hanya ada satu Islam yang diwahyukan dan dimandatkan tuhan, tetapi terdapat banyak penafsiran tentang Islam. Karena itu tidak mengherankan jika dalam kenyataan tumbuh beragam kepercayaan, praktikpraktik, masalah-masalah, perkembangan-perkembangan, dan gerakan-gerakan
1
Al-Qur’an Surat Al-Maidah (5) : Dalam bagian ayat ke 3 Surat Al-Maidah itu, Allah berfirman : alyaum akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmaty wa radlitu lakum islama dina (pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-Ridlai Islam itu jadi agama bagimu). 2 Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislman : Seputar Filsafat, Hukum Politik dan Ekonomi Bandung: Mizan, 1993, hlm. 276.
1
yang menyediakan sejumlah penilaian tentang agama yang mengilhami dan mencerahi kehidupan sebagian besar di dunia ini.3 Salah satu fenomena baru dari keragaman Islam yang kini muncul secara relatif meluas di Indonesia ialah gerakan yang memperjuangkan penerapan syari’at Islam secara formal dalam kehidupan negara atau pemerintah, yang berbeda dari arus besar Islam yang tidak formalistik sebagaimana ditampilkan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama selama ini. Gerakan Islam tersebut secara khusus disebut dengan istilah “Gerakan Islam Syari’at”, yakni suatu gerakan yang berusaha dengan gigih untuk memperjuangkan formalisasi syari’at Islam dalam institusi negara (pemerintahan).4 Selain fenomena di atas, dari sejak tahun 1980-an sampai setelah reformasi, kebangkitan Islam ini juga ditandai oleh munculnya aktor gerakan Islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor garakan Islam lama seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamaat Khair dan sebagainya. Gerakan mereka berada diluar kerangka mainstream proses politik, maupun wacana dalam gerakan Islam dominan. Fenomena munculnya aktor baru ini sering disebut “Gerakan Islam Baru” (new Islamic movement). Kelompokkelompok tarbiyah (yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela
3
Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2007, hlm. 3. 4 Ibid.
Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ) dan sebagainya, merupakan representasi baru gerakan Islam di Indonesia. Organisasi Baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter yang lebih militan, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif. Berbagai ormas baru tersebut memang memiliki platform yang beragam, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan visi, yakni pembentukan “Negara Islam” (dawlah Islamiyah) dan mewujudkan penerapan syari’at Islam, baik dalam wilayah masyarakat, maupun negara.5 Meskipun spectrum berbagai gerakan ini cukup luas dan kompleks, tetapi secara ideologis, kelompok ini secara keseluruhan menganut paham Salafisme radikal , yakni berorientasi pada penciptaan kembali masyarakat salaf (Generasi Nabi Muhammad dan para sahabatnya) dengan cara-cara keras dan radikal. Bagi mereka, Islam pada masa kaum salaf inilah yang merupakan Islam paling sempurna, masih murni dan bersih dari berbagai tambahan atau campuran (Bid ah) yang dipandang mengotori Islam. Radikalisme religio-historis ini diperkuat dengan pemahaman terhadap ayat-ayat al-qur’an dan hadits secara harfiyah.6 Meskipun dalam latar belakang sosial politik yang berbeda dengan masa dulu dengan sekarang, gerakan Islam baru ini menyamakan gagasan mereka 5
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005, hlm. 14. 6 Ibid, hlm. xi.
tentang penerapan syari’at Islam. Misalnya Hizbut Tahrir berupaya menawarkan agar sistem khilafah yang pernah diterapkan pada masa nabi dan khulafa alrosyidin dihidupkan dan diterapkan kembali. Organisasi Hizbut Tahrir berpandangan Islam telah membatasi bentuk kekuasaan yang tunggal, yaitu pemerintah yang menjalankan hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah SWT. Dalam pandangan yang sama Islam juga telah menetapkan sekaligus membatasi
bentuk
sistem
pemerintahan
dengan
sistem
khilafah
dan
menjadikannya sebagai satu-satunya sistem pemerintahan bagi daulah Islami. 7 Keberadaan sebuah sistem pemerintahan dan negara sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat. Begitu pula bagi umat Islam, diakui atau tidak Islam sangat membutuhkan sebuah sistem negara yang Islami dalam konteks agar ajaran-ajaran Islam dapat diterapkan secara menyeluruh (kaffah). Sebab, untuk mengamankan suatu kebijakan diperlukan suatu kekuatan (institusi politik). Sekedar contoh, untuk menegakkan keadilan, memelihara perdamaian dan ketertiban, mutlak diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik atau negara.8 Andaikata kebijakan-kebijakan itu mengacu pada tegaknya ajaran Islam maka perangkatperangkat peraturannya seharusnya yang Islami pula. Adalah suatu hal yang kurang
tepat
apabila
hendak
menegakkan
prinsip-prinsip
Islam tetapi
menggunakan sistem yang non Islami.
7
Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir; Partai Politik Islam Ideologis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000, hlm. 67-69. 8 Mariam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 8-9.
B. Perumusan Masalah Mengacu pada deskripsi diatas, maka masalah yang akan penulis jawab dalam skripsi ini berkisar tentang : 1.
Bagaimana Gerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia dan Upaya apa yang dilakukan HTI dalam Sistem pemerintahan Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya?
2.
Bagaimana relevansi gerakan HTI
dalam kancah Perpolitikan
sekarang ?
C. Tujuan Penelitian Dengan melihat Pokok permasalahan diatas tujuan penulisan sekripsinya diarahkan kepada : 1. Untuk mengetahui konsep dan teori gerakan politik HTI sebagai gerakan politik Islam Ekstraparlementer dan cara-cara yang mereka tempuh untuk mewujudkan cita-citanya. 2. Mengetahui
relevansi
dengan
pemerintahan di Indonesia.
D. Telaah Pustaka
keberadaan
HTI
dalam
Sistem
Studi yang yang pernah dilakukan tentang Hizbut Tahrir Indonesia sebetulnya sudah banyak yang mengkajinya, serta bisa dikategorikan dalam beberapa aspek umum (kapita selekta), aspek pendidikan, aspek pembaruan, aspek pemikiran dan aspek politik. namun dari beberapa tulisan yang telah penulis temukan baik dalam bentuk buku, karya ilmiah maupun buletin tidak menyentuh pada kerangka gerakan politik, yang merupakan cikal bakal munculnya suatu cita-cita politik, akan tetapi tinjauan penulis dari beberapa tulisan tersebut cukup membantu untuk dijadikan sebagai acuan atau referensi yang tentunya memusatkan perhatiannya pada Pandangan, Konsep dan gerakan serta perilaku politik HTI yang merupakan bagian terpenting dalam politik Islam. Berikut diantara tulisan atau hasil penelitian yang penulis jadikan tolak ukur dalam pembahasan. Ahmad Naezi dalam bukunya Agama Politik, Nalar Politik Islam. Ahmad Naezi dalam buku ini memaparkan tentang ruang lingkup pemikiran politik Islam serta menjelaskan pentingnya sistem pemerintahan pada negara muslim dan urgensitas pemimpin dalam menjalankan sistem pemerintahan. beliau juga memaparkan bahwa pengaruh agama pada politik bukanlah sebuah fenomena yang hanya terjadi di dunia Islam. Tetapi adalah tidak mungkin bagi seorang ahli teori politik akan mengabaikan peran Islam dalam kehidupan publik umat muslim. Kaitanya dengan hukum pemerintahan, ahmad Naezi menyatakan bahwa setiap sistem hukum membutuhkan sebuah pemerintahan yang mengadopsinya dan seperangkat aparat negara yang akan mengimplementasikan dan menegakkan
sangsinya. Oleh karena itu hukum Islam (Syari’ah) juga membutuhkan sebuah negara untuk menegakkan sangsinya. Dan kaitanya dengan aspek kebudayaan ahmad Naezi dikatakan bahwa Islam sesuatu yang vital dalam aspek kebudayaan muslim, dan bahwa syari’ah membutuhkan kekuasaan politik dan otoritas agar bisa di implementasikan, sehingga akan mengantar kita pada sebuah kesimpulan bahwa semua sistem politik dalam dunia Islam secara historis merupakan pemerintah religius. 9 Abdul Ghaffar Aziz dalam bukunya Islam dan Politik, pro dan kontra, menyatakan bahwa sistem pemerintahan Islam yang beragam justru ada pada masa Khulafa al-rosyidin. Keragaman itu seharusnya dijadikan sebagai rujukan metode pemerintahan Islam yang mengalami masa kejayaan dalam sejarah kepemimpinan Islam. Meskipun corak pemerintahannya beragam namun bentuk pemerintahannya tetap sama, yaitu dengan menjadikan Islam (al’Qur’an dan alHadits) sebagai rujukan dalam setiap pengambilan keputusan yang tentunya berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan.10 Abdul karim, dkk dalam bukunya Wacana politik Islam Kontemporer, dalam bukunya menyatakan bahwa ide negara Islam muncul dengan tujuan agar supaya agama Islam dapat tegak dibumi dengan melalui gerakan politik sehingga akan membawa kesejahteraan dari segenap warga negara dengan dasar atau pedoman wahyu Allah dangan model pemerintahan yang pernah dibangun oleh
9 10
Ahmed Naezi, Agama Politik, Nalar Politik Islam, Jakarta: Citra, 2006, hlm. 1-17. Abdul Ghafar Aziz, Islam Politik, Pro dan Kontra, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 34-38.
nabi Muhammad setelah di Madinah, menurut Abdul karim secara umum, ada dua kekuatan yang menjadi sumber pokok dari sosial kontrol, yaitu agama dan politik, maka dari itu agama dan politik dalam implementasinya harus seirama.11 Konsepsi kekuasaan Politik Dalam Al-Qur an oleh Abdul Muin Salim, didalamnya diterangkan bahwa tuhan memberikan kewenangan kepada manusia untuk mengaktualisasikan kodrat manusia sebagai hamba Allah, serta diberikan kekuasaan sebagai hak-hak asasi dan hak-hak politik untuk mendayagunakan potensi alam dan mengatur kehidupan mereka. Pada sisi lain juga mewajibkan pemerintah agar menegakan hukum Allah dalam dan untuk mengatur kehidupan masyarakat, dan untuk itu Allah pun memberikan kekuasaan politik kepada mereka. Kewenangan yang diberikan Allah kepada pemerintah melalui al-Qur’an tidak hanya terbatas pada penerapan pada hukum-hukum Allah, tetapi juga kewenangan membuat aturan-aturan hukum berkenaan dengan hal-hal yang tidak diatur syari’ah secara tegas dan rinci. Dalam buku ini juga secara umum dijelaskan cita-cita politik yang dijanjijan Allah kepada orang-orang beriman dan beramal sholeh dalam al-Qur’an adalah (1) terwujudnya sebuah sistem politik (2) berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap (3) terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Cita-cita politk tersebut ini tersimpul
11
Abdul Karim, dkk, Wacana politik Islam Kontemporer, Yogyakarta: SUKA Press, 2007, hlm. 1-5.
dalam ungkapan Baldatun Thoyyibabatun wa robbun ghofur, yang mengandung konsep”Negeri sejahtera dan sentosa”.12 Dalam buku Politik kebangkitan Islam, keragaman dan Kesatuan oleh Shireen T. Hunter juga menerangkan tentang faktor-faktor munculnya gerakan revivalisme, atau gerakan pembaruan yang lama sekali dirindukan oleh sebagian aktivis muslim. Gerakan revivalisme ini muncul salah satunya adalah kegagalan pemerintah sekuler di banyak negara Islam belakangan ini untuk mengakui pentingnya tempat Islam dalam struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya. Disisi lain kekecewaan umat Islam dengan akibat-akibat modernisasi dan pembangunan yang dilhami oleh model-model dan ideologi asing, kerusuhankerusuhan sosial ekonomi yang diakibatkan oleh proses ini, dan sikap yang tidak berimbang, dimana keuntungan telah dibagikan, dan di lain pihak gerakangerakan itu juga diakibatkan karena keberhasilan beberapa aspek dari proses pembangunan dan modernisasi di negara-negara Islam. 13 Berkaitan dengan pembahasan tentang gerakan Hizbut Tahrir Indonesia, penulis menemukan satu karya yang membedah tentang Hizbut Tahrir yaitu Analisis terhadap Konsep Khilafah menurut Hizbut Tahrir yang ditulis Dedy Slamet Riyadi, Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angakatan 2002 dalam bentuk Skripsi. Skripsi ini menggambarkan tentang
12
Abdul Muin Salim, Konsepsi kekuasaan Politik Dalam Al-Qur an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 290-291. 13 Shireen T. Hunter, Politik kebangkitan Islam, keragaman dan Kesatuan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001, hlm. 304-305.
gagasan pentingnya khilafah dan bentuk sistem kekholifahan, dalam gagasanya HTI khilafah merupakan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam, sehingga Sistem kholifah sangat berbeda dengan sistem lainnya yang telah poluler saat ini, misalnya bentuk pemerintahan monarchi, republik, kekaisaran atau federasi. 14 Pada pembahasan yang sama penulis juga menemukan satu karya yang membedah tentang Hizbut Tahrir yaitu Persepsi Ulama NU Tentang Sistem Khilafah yang ditulis Miftahul Ilmi, Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angakatan 2003 dalam bentuk Skripsi. Dalam Skripsi tersebut dijelaskan bahwa gagasan Hizbut Tahrir Indonesia tentang khilafah Islmiyah merupakan satu-satunya wadah yang mampu menjamin penerapan sistem pemerintahan dan penerapan hukum Islam secara total di tengah-tengah masyarakat, dimana sistem khalifah ini merupakan bentuk negara/pemerintahan universal yang meliputi seluruh dunia Islam yang mengintegrasikan agama dan politik sehingga negara merupakan lembaga politik sekaligus agama (al-din wa al-daulah), namun gagasan tersebut dalam perspektif Nahdlotul Ulama (NU) sangat tidak mungkin diterapkan, dengan alasan bahwa Indonesia merupakan negara pancasila yang dihuni oleh berbagai macam ragam budaya. Indonesia juga bukan negara yang berideologi Islam.15
14
Dedy Slamet Riyadi, Analisis terhadap Konsep Khilafah Menurut Hizbut Tahrir, Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2008, hlm. 39-42. 15 Miftahul Ilmi, Persepsi Ulama NU Tentang Sistem Khilafah, Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2008, hlm. 4-54.
Berdasarkan deskripsi diatas, menurut hemat penulis hanya memaparkan pokok-pokok pikiran politik kenegaraan versi Islam serta latar belakang urgensitas penyelenggaraan negara oleh sistem atau pelaku sistem yakni kepala negara dan semua aparatnya, namun tidak menyentuh pada gerakan ataupun prilaku politik. Menurut penulis padahal kekuatan dan stagnan atau tidaknya sebuah missi politik ditentuan oleh ekspresi dan “warna” gerakan politik melalui saluran-saluran ijtihad atau perilaku yang komprehensip, sehingga penulis mencoba meneliti sebuah gerakan revivalisme Islam melalui organisasi Islam yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan salah satu dari beberapa Organisasi Islam di Indonesia yang saat ini gencar mewacanakan dihidupkannya kembali pemerintahan Islam yang dalam gerakannya diluar sistem politik yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti semakin tertarik untuk melakukan penelitian ini seiring multi gerakan Islam di Indonesia dengan semakin gencarnya gerakan yang mengarah pada penawaran sistem kenegaraan versi Islam maupun gerakan yang menentangnya.
E. Metode Penelitian Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan beberapa metode : 1. Jenis, Sifat dan pendekatan Penelitian
Secara metodologis penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakan (Library research),16 karena sumber data yang digunakan adalah data kepustakaan, baik berupa buku atau bentuk tulisan lain. Sifat penelitian ini adalah bersifat eksploratorif yaitu penelitian untuk penjelajahan terhadap suatu konsep, pemikiran atau fenomena.17 Maka dari itu salah satu pendekatan penulis dalam penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
fenomenologis.
Pendekatan
fenomenologis adalah upaya mencari berbagai perspektif, serta apa-apa yang dapat dipahami dari realitas yang terkandung dalam ajaran agama yang esensial. 18
2. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. 19 Sesuai dengan obyek kajian skripsi ini, maka penelitian yang dilakukan ialah penelitian kepustakaan (Library research). Dalam hal ini penulis berupaya mengumpulkan data menyangkut Konsep gerakan politik HTI, yang terdiri dari kerangka dasar gerakan politik, aktifitas politik, kontribusi untuk negara dan segala sesuatu yang menyangkut obyek diatas.
16 17
Kartini Kartono, Pengantar Metodologis Riset Sosial Bandung: Mundur Maju, 1990, hlm. 33. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2006, hlm.
19. 18
Peter Conolly, Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Yokyakarta: LkiS, 2002, Cet I, hlm. 153. 19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, tt, hlm 114.
Karena banyaknya sumber data yang diperoleh, Oleh karena itu data yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer merupakan sumber utama, yaitu buku yang membahas secara langsung tentang garis perjuangan politik Hizbut Tahrir seperti buku Konsepsi
Kepolitikan
Hizbut
Tahrir,
Strategi
Dakwah
Hizbut
Tahrir,
Pembentukan Partai Politik Islam, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, yang diterbitkan Hizbut Tahrir baik dalam bentuk cetak maupun CD. Sedangkan sumber sekunder lainnya berupa buku-buku atau tulisan lain yang terdekat dengan sumber primer diatas, misalnya Gerakan Islam Syari at karangan Haedar Nashir, Arus Baru Islam Radikal karangan M. Imdadun Rahmat, Islam, Demokratisasi dan pemberdayaan civil society karangan Muhammad A.S. Hikam, ataupun buku dan tulisan lain yang terkait dengan topik yang penulis bahas. 3. Metode Pengumpulan Data Pada tahap pengumpulan data, penulis menggunakan tiga metode, yaitu : a. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah tehnik pengumpulan data melalui bahan tertulis, artifack, film, dan lain sebaginya. Yang mengandung keterangan dan penjelasan tentang suatu peristiwa atau pemikiran.20 Metode ini digunakan untuk
20
Lexy J. Moleong, Metode penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2001, hlm. 61.
mengumpulkan data tentang profil, aktifitas dan aksi-aksi yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir. b. Interview (Wawancara) Metode Interview wawancara adalah Tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian. 21 Wawancara ini dilakukan dalam rangka upaya memperoleh informasi atau data yang diperlukan dengan bertanya langsung kepada responden tentang pemikiran dan gerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia sekaligus menginformasi data yang penulis peroleh dari sumber tertulis. Wawancara penulis lakukan dengan pengurus Hizbut Tahrir Indonesia maupun orang yang pernah berkecimpung langsung dengan Hizbut Tahrir Indonesia untuk menggali informasi tambahan tentang pemikiran dan gerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia.
c.
Library Research (Kepustakaan) Library Research adalah metode penelusuran terhadap sumber-sumber
tertulis tentang suatu pemikiran atau fenomena.22 Metode ini penulis gunakan untuk menggali pemikiran Hizbut Tahrir Indonesia yang terdapat dalam buku primer maupun sekunder.
21
Ibid. hlm. 135. Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1995, hlm. 5. 22
4. Metode Analisis Data Setelah data-data diperoleh dari data primer maupun sekunder, selanjutnya akan dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, fenomenologis, content analysis dan komparatif. a. Deskriptif analisis Deskriptif analitis yaitu penyajian data guna menjelaskan suatu pemikiran atau fakta apa adanya.23 Metode ini digunakan untuk menyajikan data konsep perpolitikan dalam Islam secara umum yang dielaborasikan dalam bab II, juga menyajikan aktifitas HTI dalam kontribusi kepada bangsa Indonesia yang penulis tuangkan dalam bab III. b. Fenomenologis Fenomenologis adalah suatu penelitian yang berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu,24 atau dengan kata lain memaparkan data-data serta menguraikannya secara teratur, sehingga didapat pemahaman data yang valid dan tidak lepas dari sumber data.25 Dengan metode ini penulis berupaya mendeskripsikan fakta-fakta itu dan mengemukakan gejala-gejala secara lengkap didalam aspek yang
23
Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke 12, 1998, hlm. 18. 24 Lexy J. Moleong, op. cit., hlm 9. 25 Ibid, hlm. 19.
diselidiki agar jelas keadaan dan kondisinya.26 Sehingga untuk memahami sebuah fenomena Konsep pergerakan yang ditawarkan lebih mudah. c. Content analisis Content analisis adalah metode untuk menganalisis keseluruhan makna yang terkandung dalam data.27 Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut: menginventarisasi pokok-pokok pikiran Hizbut Tahrir Indonesia tentang perpolitikan, pandangannya terhadap ideologi ataupun sistem politik yang selama ini diterapkan, dan lain sebagainya. Selanjutnya menilai data terkait, mengidentifikasikan dan memadukan konsep-konsep yang digunakannya yang penulis tuangkan dalam bab IV. d. Komparasi Komparasi adalah suatu upaya pemaknaan dengan langkah membandingkan antara satu gagasan dengan gagasan yang lain.28 Langkah ini merupakan suatu upaya guna mengetahui relevan dan tidaknya suatu upaya atau setrategi dan gerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia dalam kancah perpolitikan di Indonesia. F. Sistematika Penulisan Sistematika Penulisan skripsi ini akan disusun dalam lima bab yang dimaksudkan agar mampu memberikan gambaran yang terpadu tentang gerakan
26
Hadati Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993, hlm. 63. 27 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002, hlm. 68-69. 28 Lexy J. Moleong, op. cit., hlm 207.
politik Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi Islam ekstraparlementer di Indonesia pasca Reformasi. Bab pertama bagian pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua memaparkan gambaran umum tentang konsep gerakan politik Islam di Indonesia. Bab ini memuat sosio politik Islam di Indonesia pra reformasi dan pasca reformasi, kerangka dasar gerakan politik Islam di Indonesi, konsep dan teori kepolitikan organisasi Islam di Indonesia. Bab Ketiga akan memaparkan Gerakan Politik Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi Islam ekstraparlementer, bab ini memuat Profil Hizbut Tahrir Indonesia dan perkembangannya di Indonesia, Aktifitas politik Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi Islam Ekstraparlementer, aksi-aksi Hizbut Tahrir Indonesia dalam kontribusi sistem pemerintahan di Indonesia. Bab Keempat merupakan analisis. Point-point yang akan dianalisis adalah analisis terhadap gerakan politik HTI sebagai organisasi Islam Ekstraparlementer di Indonesia, gerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi Islam Ekstraparlementer dalam sistem demokrasi di Indonesia, Relevansi dan prospek gerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia dalam Sosio Politik di Indonesia, dan format baru politik Islam di Indonesia.
Bab Kelima penutup, yang memuat kesimpulan sebagai penegasan dan jawaban atas permasalahan yang diangkat, kemudian akan diberikan saran-saran dan kata penutup.
BAB II KONSEP GERAKAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA
A. Sosio Politik Islam di Indonesia Pra Reformasi dan Pasca Reformasi Sebelum penulis bahas lebih jauh, perlu terlebih dahulu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan politik Islam dalam tulisan ini adalah aktifitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam. Karena itu, mereka dalam katagori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam. Sebagai pendukung cita-cita Islam, kelompok politik Islam juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana politik.29 Politik Islam merupakan hasil penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku politik (political behaviour) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap dan perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, kondisi seperti ini bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.30 Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan bangsa Indonesia mulai dari sebelum merdeka sampai saat ini.
29 30
Abuddin Nata, Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 2002, hlm. 22. Ibid.
18
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 memberiakan warisan kepada bangsa Indonesia. Warisan itu adalah keadaan yang ditinggalkan oleh penjajah Belanda selama lebih dari tiga ratus lima puluh tahun, warisan penjajah fasis Jepang, dan situasi internal bangsa Indonesia akibat gabungan dari kedua hal tersebut. Namun dalam transisi perjalanan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, gambaran panggung politik antara Islam disatu pihak dan politik modern dipihak lain cukup baik untuk digambarkan. Tiga periodisasi politik Indonesia dengan jelas mencerminkan gesekan-gesekan yang masih belum terselesaikan secara baik sehubungan dengan umat Islam vis a vis kehidupan politik nasional Indonesia.31 Periode Pertama, Pada awal kemerdekaan (1945-1970), para pemimpin muslim yang tergabung dalam masyumi, telah mengkonsentrasikan perjuangan politik mereka untuk mempromosikan Islam sebagai dasar negara. Sebaliknya, golongan Nasionalis-sekuler menolak Islam dan mengusulkan Pancasila untuk digunakan sebagai dasar negara. Terjadi perdebatan yang runcing dan panjang di Dewan konstituante antara kelompok Nasionalis-sekuler mengenai apakah Islam atau Pancasila yang akan digunakan sebagai dasar negara. Kedua kelompok ini mencapai kesepakatan politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Dalam pandangan para pemimpin Muslim, Piagam Jakarta dianggap sebagai jiwa dari UUD 1945. Kesepakatan yang lain yang dicapai oleh kelompok 31
Djayadi Hanan, Gerakan Pelajar Islam; dibawah Bayang-bayang Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm. 45
Islam dan sekuler adalah bahwa perdebatan mengenai persoalan dasar negara akan dilanjutkan setelah pemilu pertama yang akan diselenggarakan pada tahun 1955, waktu selama dimana situasi yang menguntungkan mengijinkan kedua kelompok untuk membicarakan dasar negara secara lebih dewasa.32 Hal ini justeru membawa akibat terpinggirnya peran politik umat Islam. Bahkan, politik umat Islam selalu dicurigai. Mitos yang berkembang adalah bahwa imajinasi politik umat Islam yang bergulir sejak awal kemerdekaan bersifat inimical (bermusuhan dengan konstruksi Ideologi nasional).33 Akhir dari perdebatan atara kelompok Nasionalis-Islam dan kelompok Nasionalis-Sekuler tentang dasar negara yang dijadwalkan setelah pemilu 1955, oleh Presiden Soekarno dianggap sangat signifikan. Menyadari situasi demikian, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 agar menerapkan kembali Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara. Hal ini merupakan bukti bahwa perjuangan para pemimpin muslim untuk membangun negara Islam telah gagal.34 Sejalan dengan kian menurunya posisi tawar Islam sebagai kekuatan politik, para pemimpin Masyumi yang militan dalam mendukung ide negara Islam di sidang konstituante itu dipenjarakan oleh rezim Soekarno tanpa proses pengadilan. Pada akhir 1960 Masyumi bahkan dibubarkan dengan alasan 32
Faisal Ismail, Islam Idealitas Ilahiyah Dan Realitas Insaniyah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999, hlm. 174. 33 Abuddin Nata, op. cit, hlm. 156. 34 Faisal Ismail, op. cit., hlm. 174.
beberapa pemimpin utamanya (seperti Muhammad Natsir dan Syafrudin Prawiranegara) ikut terlibat dalam pemberontakan PRRI. Ketika rezim Soekarno jatuh, dan mereka keluar dari penjara serta ingin menghidupkan kembali Masyumi, Rezim Soeharto tidak mengizinkan. Sebagai pengganti Masyumi, Soeharto mengijinkan dibentuknya partai baru yang merepresentasikan umat Islam yang kelak diberi nama Parmusi (Partai Muslimin Indonesia-dibentuk pada tahun 1968), namun belakangan diketahui bahwa izin itu diberikan bukan semata karena kebaikan rezim Soeharto terhadap komunitas Islam melainkan karena ia merasa akan lebih mudah mengontrol kekuatan politik Islam melalui partai tersebut.35 Periode kedua, (1970-1990-an) yakni masa kebangkitan Intelektual dari komunitas Muslim di Indonesia. Deliar Noer, Taufiq Abdullah, Nurcholis Madjid dan teman-teman kelompok muda, meskipun pada awal periode ini ditandai dengan memburuknya hubungan antara Islam dan Negara.36 Pada periode ini gerakan sosio-kultural dalam hal ini diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang masing-masing pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara yang kemudian kembali lagi ke UUD 1945 karena Dekrit Presiden 1955, padahal kelompok-kelompok Islam lain tidak semudah menerima dekrit tersebut. Ketika pada 1983/1984 rezim Soeharto menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan
35 36
Azyumardi Azra, dkk, Islam Negara dan Civil Society, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. xii-xiii Ibid.
organisasi keagamaan, sehingga menutup peluang organisasi lain masuk. NU pun dengan mudah menerimanya. Muhammadiyah lebih dahulu menarik diri dari arena politik praktis (1971), dan NU tahun 1984, berada di baris apa yang kemudian disebut sebagai gerakan Islam kultural. Bagi gerakan ini, Islamisasi harus mengambil bentuk kulturalisasi, bukan politisasi, gerakan Islam harus lebih menjadi gerakan budaya daripada gerakan politik.37 Mereka yang sejatinya adalah gerakan kultural mulai kembali melakukan revitalisasi kegiatan dalam bidang pendidikan, sosial dan ekonomi. Revitalisasi kultural ini mempunyai peran yang besar dalam rangka menegakkan Islamisasi baru yang membuahkan suatu proses integrasi umat Islam ke dalam negara sejak dekade 1990-an. Dalam perjalanan sejarah, catatan penting yang perlu diberikan pada periode kedua ini adalah bahwa transformasi pemikiran dan praktik politik umat Islam terjadi dalam suatu situasi di mana politik nasional bersifat tidak kompetitif. Karena itu, transformasi hanya terjadi pada sebagian pemikir dan pelaku politik. Sementara itu, mereka yang yakin benar akan kesahehan (religio-politik) paradigma lama tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan gagasangagasan politiknya. Dalam hal ini tidak diketahui secara pasti (empiris) penjabaran konkrit dalam Islam yang secara formal dikaitkan dengan kehidupan sosio-politik.38
37 38
Ibid., hlm. XIV Abuddin Nata, op. cit., hlm. 157
Periode ketiga, dimulai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatanya. Masa yang kemudian sering diasosiasikan dengan periode Reformasi, ini membuat kehidupan sosial-budaya, ekonomi-politik menjadi kompetitif. Dalam situasi seperti itu, seolah-olah apa saja dapat dilakukan. Semangat inilah yang kemudian melahirkan reformalisasi politik Islam. Tentu tidak semua pelaku politik Islam mengembangkan reformalisasi ini. Dengan itu, formalisasi pertamatama mengambil bentuk menjadikan Islam sebagai simbol dan asas partai. Munculnya partai-partai Islam merupakan bukti dari hal ini. Dalam hal ini ada yang malu-malu (timid) atau parsial melakukan reformalisasi, ada yang menunggu sampai infrastruktur undang-undang membolehkan, ada juga yang mulai sejak awal begitu periode orde baru tutup buku.39 Sehingga dalam periode ini terjadi kemajemukan dikalangan kelompok politik Islam sendiri. Hal ini merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu kelompok kepentingan tunggal. Hal ini sudah jelas dibuktikan dengan banyaknya partai-partai dikalangan kelompok Islam, baik yang mendasarkan diri pada ideologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan umat Islam. Di Era reformasi dewasa ini terdapat banyak partai Islam maupun partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Patai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan lain sebagainya. 39
Ibid., hlm. 158.
Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah euforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok, yang selama 30 tahun terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.40 Reformasi (Islah) adalah perubahan sesuatu menuju kondisi yang lebih baik. Gerakan reformasi adalah gerakan yang mengajak seluruh segmen masyarakat untuk memperbaiki apa yang telah rusak diberbagai bidang dan membawa kehidupan ke tingkat yang lebih tinggi dalam kemajuan manusia.41 Jadi, Reformasi merupakan satu-satunya kunci pembuka jalan bagi demokrasi saat ini. Ada yang mengatakan bahwa reformasi adalah proses redemokratisasi. Partai-partai politik, kekuatan sosial, dan para aktor politik kini tengah berlomba untuk menawarkan beragam konsep dan program demokrasi dalam memasuki era Indonesia baru menuju rakyat sentausa, adil dan makmur.
B. Kerangka Dasar Gerakan Politik Islam di Indonesia Pada dasarnya Allah telah memberikan ruang lingkup yang sangat luas bagi hambaNya untuk melaksanakan segala aktifitasnya sebagai kodrat manusia
40 41
Ibid., hlm. 28. Ibid, hlm. 55.
dalam rangka mengabdi pada Sang Pencipta. Kewenangan yang diberikan Allah kepada hambaNya melalui al-Qur’an tidak hanya terbatas pada penerapan pada hukum-hukum Allah, tetapi juga kewenangan membuat aturan-aturan hukum berkenaan dengan hal-hal yang tidak diatur syari’ah secara tegas dan rinci, politik salah satunya. Dalam Islam cita-cita politik yang dijanjijan Allah kepada orangorang beriman dan beramal sholeh dalam al-Qur’an adalah (1) terwujudnya sebuah sistem politik (2) berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap (3) terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Cita-cita politik tersebut ini tersimpul dalam ungkapan
.
yakni
negeri yang baik dan Tuhan yang pengampun, yang mengandung konsep ”Negeri sejahtera dan sentosa”.42 Pada dasarnya, mendirikan pemerintah Islam merupakan suatu kebutuhan Islami dan Insani yang akan menyuguhkan kepada manusia contoh hidup tentang kesatuan agama dan dunia, kemanunggalan moral dan materil, serta keserasian antara kemajuan peradaban dengan keluhuran moral. Dengan demikian fungsi dari pemerintahan Islam adalah untuk melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam, menjadikan Islam sebagai akidah dan sistem, ibadah dan moral, serta sebagai nilai-nilai kehidupan dan peradaban.43
42
Abdul Muin Salim, Konsepsi kekuasaan Politik Dalam Al-Qur an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 290-291. 43 A. Hasjmi, Di Mana Letaknya Negara Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984, hlm. 84.
Sedangkan tujuan dari pemerintahan Islam itu sendiri adalah untuk mencapai terciptanya identitas Islam dalam masyarakat. Artinya seluruh aspek kehidupan perorangan maupun pemerintahan harus berpijak pada prinsip-prinsip nilai Islam. Pijakan itu diwujudkan dalam pengikatan diri (commitment) terhadap peraturan-peraturan hukum dan sebagai aplikasi dari ajaran Islam.44 Menurut al-Mawardi, secara garis besar tugas dan tujuan pemerintahan Islam adalah melaksanakan sepenuhnya syari'ah Islam yang bersumber pada alQur'an dan as-Sunnah, untuk menjaga tegaknya agama dan menangani seluruh masalah kehidupan.45 Berarti mengurus segala tugas dan kewajiban sesuai dengan ajaran dan hukum Islam seperti memelihara iman, menegakan supremasi hukum, mengatur keamanan wilayah hingga penduduk bisa merasakan hidup tentram dan aman, menjaga perbatasan negara dengan berbagai peralatan yang dimiliki, melindungi serta melayani hak-hak perorangan maupun kolektif, memungut pajak dan mengumpulkan zakat, mengatur anggaran belanja untuk gaji karyawan atau pejabat, mengangkat pegawai berdasarkan kompetensi yang dimiliki serta mengawasi tugas-tugas seluruh personal terutama menguji para pelaksana tugastugas kemasyarakatan. Untuk dapat mengondisikan suatu negara agar sistem negara lebih baik dan merealisasikan ketertiban, al-Mawardi mengemukakan bahwa perlu adanya
44
Mohammad S. Elwa, Sistem Politik dalam Pemerintaha Islam, terj. Anshori Thalib, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hlm. 103. 45 Ali bin Muhammad Habib al-Bashri al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah, Surabaya: Syirkah Bngil Indah, tt., hlm. 5.
Imamah (pemimpin) atau Khalifah. Imamah atau Khalifah adalah pengganti posisi nabi untuk menjaga kelangsungan agama dan urusan dunia. Secara tersirat bahwa bentuk negara yang ditawarkan al-Mawardi lebih kepada Teokrasi, yakni menjadikan agama dan Tuhan sebagai pedoman dalam bernegara. Bahwa pemerintahan merupakan sarana untuk menegakkan hukum-hukum Allah, sehingga pelaksanaannya pun berdasar dan dibatasi oleh kekuasaan Tuhan.46 Sepanjang perjalanan sejarah kenegaraan Indonesia, ada beberapa upaya yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu dari masyarakat Muslim untuk mendirikan negara Islam yang mengimplementasikan syari'at Islam. Gerakangerakan seperti itu tidak jarang berupaya mencapai tujuannya dengan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah Indonesia atau menggunakan cara-cara kekerasan.47 Gerakan politik dewasa ini seringkali mendapatkan tanggapan negatif dari berbagai kalangan baik dari pihak Islam sendiri maupun dari pihak non-Islam. Pasalnya, gerakan Islam terkesan kurang menjunjung nilai "Demokrasi" atau lebih menunjukkan sikap militansinya atau fundamentalis dan konservatifnya. Anggapan semacam ini tidak selamanya dapat diterima, sebab sebuah gerakan hanya dapat menilai secara obyektif jika Islam dapat dipahami secara luas, mendalam dan benar. Di samping itu juga ditentukan oleh sejauh mana dalam melakukan interaksi dengan pelaku-pelaku gerakan Islam. Pandangan yang 46
Ibid., hlm. 29. Taufiq Adnan Amal, dkk, "Politik Syariat Islam" dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004, hlm. 65. 47
bernada minor terhadap gerakan Islam dilontarkan terutama oleh kalangan barat, yang secara umum baru diakui secara meluas oleh dunia barat pada dekade terakhir. Danial Pipes mengatakan bahwa kebangkitan Islam adalah sebuah kekuatan yang melakukan kegiatan dengan militan, serta didorong oleh kebencian terhadap pemikiran-pemikiran barat. Hal serupa diungkapkan oleh Moltimer Suckerziman, dengan menyatakan bahwa: "Kita sedang berada digaris depan pertempuran yang telah ada sejak ratusan tahun lamanya. Sebuah rintangan besar bagi para ekstrimis yang ingin membenamkan nilai-nilai barat yang dinilai jahat itu ke dalam laut, seperti yang pernah mereka lakukan terhadap para pejuang kristen.48 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pertentangan persepsi antara dunia Barat dengan dunia Islam. Dengan demikian teori sekulerisme menjadi faktor esensial dalam menelusuri akar-akar kelahiran gerakan politik Islam di negaranegara yang mayoritas Islam, termasuk Indonesia yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Meskipun, tentu saja terhadap faktor-faktor lain yang menjadi penyebab berkembangnya pergerakan Islam politik. Namun pada akhirnya adalah bahwa sekulerisme yang substansi teorinya, memisahkan antara agama dan dunia, agama dengan negara atau memisahkan politik dengan agama secara total,
48
A. Gregez Fawwaz, Amerika dan Islam Politik; Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan, Terj. M. Nuroddin Usman, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 29.
merupakan sentral pertentangan karena bertolak belakang dengan pandangan hidup Islam. Hampir semua pembahasan pergerakan Islam menemukan titik terang bahwa sekulerisme adalah masalah yang sangat krusial dalam tubuh umat Islam di era modern. Karenanya jika seorang pengkaji atau peneliti tentang sejarah keruntuhan Islam dewasa ini, umumnya tidak pernah lepas dari sorotan kepada negara Indonesia yang memang diundang-undangkan sebagai negara sekuler pasca kemerdekaan. Bagi umat Islam, kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan hal yang sangat disyukuri dan ditunggu-tunggu. Umat Islam memang memiliki legitimasi historis untuk merasa paling berkepentingan dengan kemerdekaan tersebut. Pertama, Sebagian besar wilayah nusantara dihuni oleh umat Islam dan hampir disemua wilayah yang mayoritas umat Islam terjadi perlawanan yang sangat gigih terhadap penjajah. Misalnya, perang Aceh, perang di Jawa pada umumnya, perang di Kesultanan Palembang, Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Gowa dan Tallo dan lain-lainnya. Kedua, Ajaran Islam sangat berkepentingan dengan pelaksanaan Syari'at Islam secara bebas dan diatur oleh orang Islam sendiri. Itu berarti bahwa umat Islam harus memiliki kemerdekaan sendiri dan tanah air sendiri yang berdaulat. Ketiga, Para penjajah yang menyengsarakan rakyat jelasjelas dalam pandangan Islam adalah kafir. Berjuang memerdekakan diri dari orang kafir adalah sebuah jihad yang besar dan mulia. Keempat, Umat Islam berjumlah
mayoritas
sehingga
apabila
kemerdekaan
dipandang
sebagai
penyelesaian terbaik bagi bangsa ini, maka umat Islam-lah yang akan mendapatkan kebaikan yang lebih banyak.49
C. Konsep dan Teori Kepolitikan Organisasi Islam Ekstra Parlementer di Indonesia Pemilihan umum tahun 1999 merupakan babak baru bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain sebagai instrumen penting dalam memberi legitimasi bagi pemerintahan yang tengah mengalami degradasi kepercayaan publik yang luar biasa dramatis. Sekalipun sama-sama dapat diperlakukan sebagai pemilu transisional yang melegalisasi peralihan rezim. Sebagai gambaran, Pemilu tahun 1999 yang tidak menghasilkan pemenang mayoritas merupakan salah satu implikasi digunakannya sistem pemilu multi partai. Hal yang akan terjadi kemudian adalah bahwa ketika hasil pemilu tidak memunculkan pemenang yang dominan, maka terjadi kompromi politik, baik di kalangan legislatif maupun eksekutif. Politik "dagang sapi"50 merupakan suatu kenyataan pasca pemilu 1999, berawal dari terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden, Megawati Wakil Presiden, Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR dan Amin Rais sebagai Ketua MPR, dalam sidang umum MPR 1999, keberadaanya lebih berbau kompromi politik 49
Djayadi Hanan, op. cit., hlm. 48. Politik "dagang sapi" adalah suatu Istilah sederhana yang artinya sistem politik yang disusupi jual beli kepentingan. Hal ini sering terjadi dalam sebuah struktur jabatan, dan semuanya dapat terjadi tergantung siapa yang berkepentingan. dalam Situs Internet, http://www.hizbut-tahri.co.id, diakses pada tanggal 23 Desember 2009, Jam 20.00. WIB 50
dan terkesan bagi-bagi kekuasaan daripada ketulusan untuk menciptakan proses demokrasi yang sesungguhnya. Karena mereka yang berada dipuncak lembagalembaga tinggi negara sebelumnya merupakan politisi yang mendominasi wacana politik bangsa pasca lengsernya Suharto. Pasca jatuhnya rezim Suharto sering disebut era Reformasi, ditandai dengan euforia demokrasi dan liberalisasi politik yang luar biasa. Reformasi, karenanya meretas jendela kesempatan (Windows of Opportuniy) beberapa gerakan Islam radikal, seperti Front Pembela Islam (FPI) Persaudaraan Muslim se-Dunia, dan Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), Laskar Jihad (LJ), Forum Komunikasi Ahlus Sunah Wal Jamaah (FKAWJ), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) untuk mengaplikasi suara mereka yang lama terbungkam. 51 Tuntutan umum gerakan Islam tersebut di antaranya adalah Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam amandemen UUD 1945. Gerakan Islam memandang Piagam Jakarta merupakan mahkota umat Islam. Secara umum gerakan Islam tersebut sepakat melaksanakan Syari'at
Islam secara total di
Indonesia. Usulan pelaksanaan Syari'at Islam tersebut didukung partai-partai Islam, yaitu di antaranya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Daulat Ummat (PDU). Sementara itu fraksi Reformasi yang terdiri
51
Zainul Kamal, dkk., Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 488.
dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan (PK) mengusulkan perubahan teks pada ayat 1 menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya". Usulan fraksi reformasi lebih inklusif dibandingkan dengan Piagam Jakarta.52 Sementara itu, ketika sebagian parlemen yang didominasi partai Islam mempunyai keinginan untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam amandemen UUD 1945 berbuah kegagalan. Oleh karena tidak memperoleh dukungan mayoritas parlemen maka mereka menempuh cara lain, yakni gerakan Ekstraparlementer. Yaitu membentuk gerakan bergerak diluar system politik yang berlaku dengan melakukan gerakan-gerakan pada saat yang sama secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan menggiatkan program Islamisasi masyarakat (Islamizing Society) melalui pengajian-pengajian, halaqah, Islamisasi masyarakat dapat dipahami sebagai batu loncatan untuk mewujudkan Negara Islam.53 Kebanyakan gerakan ekstraparlementer ini dilakukan Ormas Islam dan Nasionalis (LSM), Mahasiswa, Pers dan salah satu dari itu adalah Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dimana dalam posisi sebagai organisasi yang bergerak dan berjuang bersama-sama masyarakat bisa menyalurkan aspirasinya kemana-
52
Abuddin Nata, lok. cit, hlm. 27 Http://www.Detikcom-Jakarta., Ridwan Al-Makassari, Dilema HAM di Indonesia,: diakses pada Selasa 16 Desember 2008, Pukul 09.53 WIB. 53
mana, termasuk ke parlemen, ke masyarakat tanpa dicurigai ada kepentingan politik.54 Kehadiran Oposisi Ekstraparlementer yang direpresentasikan oleh Ormas, (LSM), Mahasiswa, Pers juga mempertegas bahwa melakukan oposisi terhadap pemerintah bukan hanya pekerjaan partai politik di dalam parlemen dan elit politik saja, melainkan juga pekerjaan yang bisa dilakukan oleh siapa saja baik didalam parlemen maupun di luar parlemen, baik secara individu maupun kelompok organisasi atau jaringan. Bahkan oposisi yang terserak di tengah masyarakat justru menjadi kekuatan yang besar dalam menyokong demokrasi, walaupun keberadaan oposisi ekstraparlementer tidak bisa menggantikan posisi pemerintah, lain hal oposisi yang dilakukan oleh partai politik di dalam parlemen yang suatu ketika akan mempunyai peluang untuk menjadi penguasa.55 Hak-hak dan kebebasan beroposisi dimana pun dan kapan pun merupakan gejala alamiah kebebasan berfikir, keadilan dan persamaan. Jika di masyarakat yang kebebasan berfikir atau kebebasan berkomentar terapresiasikan dan dihargai, maka tidak bisa dielakkan lagi sikap adanya oposisi ini. Jika kebebasan, keadilan dan persamaan ikut-andil dalam aturan-aturan undang-undang dasar dalam hukum Islam, maka dipastikan Islam menerima oposisi dan memeliharanya.56
54
Wawancara dengan Ust. Ir. Abdullah (Ketua HTI Jawa Tengah), pada hari Sabtu, tanggal 2 Januari 2010, Pukul 17.00-18.30 WIB di kediamannya. 55 Ibid. 56 Dimyati Rifa'I (Penj.) Tantangan politik Negara Islam, Malang: Pustaka Zamzami, 2003, hlm. 71.
Al-Qur'an menjelaskan bahwa perbedaan itu adalah tabiat manusia, sebagaimana Allah berfirman :
Artinya : "Jikalau tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat" (Q.S. Hud {11}: 118).57
57
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. TEHAZED, 2009, hlm. 315.
BAB III GERAKAN POLITIK HTI SEBAGAI ORGANISASI ISLAM EKSTRAPARLEMENTER DI INDONESIA
A. Profil Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Dan Perkembangannya Di Indonesia 1. Sejarah Berdirinya Hizbut Tahrir Hizbut Tahrir (HT) atau Liberation Party (Partai Pembebasan) merupakan organisasi Politik Islam ideologi berskala Internasional yang aktif memperjuangkan dakwah Islam, agar umat Islam kembali kepada kehidupan Islam melalui tegaknya khilafah Islamiyyah. Hizbut Tahrir didirikan oleh Taqiyyudin al-Nabhani58 (1909-1977), yang secara resmi dipublikasikan pada tahun 1953 di Al-Quds, Yerussalem.59 Kemudian pusat gerakannya berpindah ke Yordania. Sejak didirikan, Hizbut Tahrir dipimpin oleh Taqiyyudin al-Nabhani hingga wafat, yakni tanggal 20 Juni 1977 M. Taqiyyudin al-Nabhani merupakan salah seorang ulama berpengaruh di Palestina, doktor lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang sebelumnya adalah seorang hakim agung di Mahkamah Isti'naf, al-Quds, Palestina.60 Sepeninggal Taqiyyudin al-Nabhani Hizbut Tahrir dipimpin oleh Abdul Qodim Zallum hingga wafat 58
Warga Palestina yang dilahirkan di Ijzim Qadha Haifa pada tahun 1909. (Ruwaifi" bin Sulaimi, Kelompok Hizbut Tahrir dan Khilafah, Sorotan Ilmiah tentang Selubung Sesat Suatu Gerakan, http://www.asysyariah.com, diakses pada tanggal 22 Desember 2009, Jam 23.00. WIB) 59 Ihsan Samarah, Biografi Singkat Taqiyuddin al-Nabhani, Bogor: Al-Izzah Press, 2002, hlm. 4. 60 Taqiyyudin al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Terj. Nur khalish, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 359.
34
tahun 2003. saat ini kepemimpinan Hizbut Tahrir digantikan oleh Syeikh Atha' Abu Rastah secara Internasional.61 Hizbut Tahrir telah beberapa kali berupaya pengambil alihan kekuasaan di banyak negeri-negeri Arab, seperti di Yordania pada tahun 1969, Mesir pada tahun 1973, dan serentak di Irak, Sudan, Tunisia, Al-Jazair pada tahun 1973, namun semuanya gagal. Sejak saat itulah Hizbut Tahrir mulai merubah setrategi perjuangannya dengan lebih banyak melontarkan wacana dan membina masyarakat melalui dakwah.62 Kegiatan dakwah banyak dilakukan oleh Hizbut Tahrir dengan mendidik dan membina masyarakat melalui training pengenalan tsaqafah (kebudayaan) Islam, memahamkan masyarakat tentang aqidah Islamiyah yang benar. Dakwah Hizbut Tahrir lebih banyak ditampakkan dalam aspek pergolakan pemikiran (ash shira' al-fikr). Hizbut Tahrir pula yang memperkenalkan istilah ghazw alfikr (perang pikiran) sebagai upaya meluruskan pemikiran-pemikiran yang salah serta persepsi-persepsi yang keliru, membebaskannya dari pengaruh ide-ide barat, dan menjelaskannya sesuatu ketentuan Islam.63 Metode yang ditempuh dalam rekrutmen dan pembinaan anggota adalah dengan mengambil thariqah (metode) dakwah Rasulullah Muhammad saw. Menurut pemikiran Hizbut Tahrir kondisi kaum 61
Endang Turmudzi dan Riza Sihabudin (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2006, hlm. 265-266. 62 Ihsan Samarah, op. cit., hlm. 5-6 63 Hizbut Tahrir, Titik Tolak Perjalanan Dakwah Hizbut Tahrir. terj. Muhammad Maghfur, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000, hlm. 23.
muslimin saat ini hidup di darul kufur (wilayah orang-orang kafir) karena mereka menerapkan hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah swt maka keadaan mereka serupa dengan makkah ketika Rasulullah Muhammad saw diutus untuk menyampaikan risalah Islam. Untuk itu fasi makkah dijadikan tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan mensuritauladani Rasulullah Muhammad saw hingga berhasil
mendirikan suatu daulah
Islamiyah di Madinah. Dengan mencoba pola dakwah Rasulullah Muhammad saw, Hizbut Tahrir merumuskan tiga tahapan dakwah (marhalah al-da'wah) sebagai setrategi beserta cirinya, yaitu : Pertama, tahapan pembinaan dan pengkaderan (marhalah al-tatsqif), melalui halaqah-halaqah. Tahapa ini dilaksanakan untuk membentuk kaderkader yang mempercayai pemikiran dan model Hizbut Tahrir dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai. Kedua, tahapan berinteraksi dengan umat (marhalah tafa'ul 'alal ummah). Tahapan ini dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam., sehingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan umatnya, berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan.
Ketiga, tahapan pengambil alihan kekuasaan (marhalah istilam alhukm). Tahapan ini dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.64 Hizbut Tahrir berjuang dan bergerak di tengah-tengah masyarakat dengan melontarkan wacana mendirikan kembali khilafah Islamiyah. Adapun maksud dan arti didirikannya khilafah oleh Hizbut Tahrir diantaranya adalah : 1. Penegakan hukum-hukum syari'ah ditengah-tengah kaum muslim, sekaligus pencampakan hukum-hukum kufur yang diterapkan atas mereka saat ini. 2. Penyebaran Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terangbenderang. 3. Penyatuan negeri-negeri kaum muslim di dalam lindungan satu negara di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Tegaknya khalifah menandakan berakhirnya perpecahan dan ketercerai-beraian yang sengaja diadakan oleh kaum kafir dan kaki tangan mereka di negerinegeri kaum muslim. 4. Pengembalian ikatan ukhuwah islamiyah, sebagaimana sabda Nabi……"Seorang Muslim adalah saudara muslim yang lain. Karena itu, ikatan ukhuwah adalah satu-satunya ikatan yang menggantikan ikatan-ikatan Jahiliyah seperti ikatan patriotisme, nasionalisme, kesukuan dan yang lainnya, yang telah memecah belah kaum muslim saat ini. 5. Kembalinya umat mendapatkan kekuasaannya yang telah dirampas. Umat juga memegang kembali kehendak dan keputusan di tangan mereka sendiri. 6. Pembebasan negeri-negeri kaum muslim yang dikuasai oleh kekuasaan yang zolim, seperti Irak, Afganistan, Kashmir, Timor Timur dan yang lain. 7. Realisasi jaminan pemenuhan makanan pokok bagi kaum muslim dengan menempuh strategi-strategi yang bertujuan menjamin pencapaian swasembada bahkan lebih baik, baik dari hasil-pertanian, peternakan, perikanan laut maupun darat.
64
Hizbut Tahrir, Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Abu Fuad dan Abu Raihan, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000, hlm. 57-73.
8. Realisasi keamanan industrial melalui strategi politik pembangunan dan pengembangan industri berat untuk memproduksi berbagai peralatan, mesin-mesin pabrik dan persenjataan, sekaligus menghentikan sikap mengekor dan mengemis-ngemis di depan pintu negara-negara barat. 9. Pemberdayaan sumber daya umat yang amat besar melalui politik pendidikan yang bertujuan membuka ruang dan kesempatan bagi semua orang. Dengan demikian mereka menjadi orang-orang yang kreatif dan produktif demi kepentingan agama dan umat mereka. Dengan itu pula dapat mengurangi akumulasi jumlah penganguran meski berijazah tinggi. 10. Pengembalian kekuasaan umat atas kekayaan-kekayaannya sehingga umat menjadi pemilik murni akan kekayaan-kekayaan itu. 11. Penyebarluasan kebaikan, keutamaan, keadilan serta penjagaan atas darah, kekayaan, kehormatan dan kemuliaan kaum muslim.65 Secara garis besar, Agenda yang di emban oleh Hizbut Tahrir, yakni melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tinjauan ini berarti mengajak kaum muslim kembali hidup secara Islami dalam daulah Islam, di mana seluruh kegiatan kehidupannya oleh aturan Islam.66 Hingga saat ini, Hizbut Tahrir memiliki pengikut puluhan juta yang tersebar luas di 40 negara dengan membentuk cabang-cabang seperti di Suriah, Libanon, Kuwait, Irak, Arab Saudi, Afrika Utara, Tunisia, Sudan, Turki, Pakistan, Malaysia, Inggris, Perancis, Jerman, Australia, dan termasuk Indonesia. Meskipun di beberapa negara tidak mendapat pengakuan resmi.67 2. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Perkembangannya 65
Ismail al-Wahwah, "Dunia Membutuhkan Khilafah", dalam Buletin al-Wa'ie, VII, edisi 1-31 September 2007, hlm. 13. 66 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Islam Ideologis, terj. Abu Afif dan Nur khalis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000, hlm. 20. 67 John L. Esposito, (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995, hlm. 126.
Pada dekade 1980-an, beberapa organisasi radikal Internasional mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia, seiring dengan berdirinya Hizbut Tahrir berskala Internasional, organisasi ini diteruskan ke berbagai negara di penjuru dunia termasuk Indonesia. Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1982-1983, karena semangat dakwah dan dengan misi mengembalikan Islam ke dalam sistem khilafah secara International. Pada Awal 1980-an HT menyebar gagasan khilafahnya ke berbagai kampus perguruan tinggi melalui Jaringan Lembaga dakwah kampus.68 Karena pada saat itu konstelasi politik dibawah orde baru belum memungkinkan gerakan organisasi ini untuk muncul, karena terjadi ancaman intimidasi dan pembubaran dari penguasa, sehingga gerakan ini hanya melakukan aktivitas "di bawah Meja Sistem Negara". Kemudian setelah lengsernya rezim soeharto tahun 1998 oleh gerakan reformasi, terjadi perubahan konstelasi politik, yakni era keterbukaan sehingga
membuka
peluang
bagi
organisasi-organisasi
yang
lama
terkungkung oleh rezim soeharto mulai menampakkan statusnya termasuk Hizbut Tahrir. Sejak terselenggarakannya Konferensi Internasional di Istora Senayan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Hizbut Tahrir Internasional maupun Nasional, serta dihadiri tokoh-tokoh organisasi lain, Hizbut Tahrir Indonesia resmi
68
Taufiq Adnan Amal, dkk, "Politik Syariat Islam" dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004, hlm. 41.
melakukan aktifitasnya di Indonesia secara terbuka sejak tahun 2000. Hizbut Tahrir dalam konteks Indonesia kemudian dikenal dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia kemudian disingkat dengan HTI. Para Tokoh HTI banyak yang bertempat tinggal di Bogor dan upaya mereka dalam mensosialisasikan gerakannya mendapat sambutan positif dari kalangan civitas academica Institut Pertanian Bogor (IPB), sehingga salah satu pimpinan pusat HTI adalah alumnus
dan
dosen
IPB
yakni
Muhammad
al-Khattat.69
Untuk
penanggungjawab kewilayahan nasional disebut Juru Bicara (Jubir) yang saat ini untuk Indonesia dipegang oleh Ismail Yusanto. Sedangkan Ketua Umum Nasional dipegang oleh Hafidz Abdul Rahman.70 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibangun atas dasar kemandirian yang dalam pendanaan untuk operasional organisasi diperoleh dari simpatisan, dan tidak menerima bantuan dari pemerintah bahkan secara tegas menolak dan mengharamkan
penerimaan
uang
dari
pemerintah.
Untuk
menjaga
kemandirian dan independensi inilah maka setiap sumbangan yang diberikan kepada HTI harus melalui penelitian secara seksama.71 Sejak awal Hizbut Tahrir maupun HTI memang di desain sebagai organisasi politik. Tetapi berbeda dengan organisasi politik yang dikenal selama ini. HTI tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai parpol yang
69
Endang Turmudzi dan Riza Sihabudin (ed.), loc.cit. Ibid., hlm. 267. 71 Wawancara dengan Ust. Ir. Abdullah (Ketua HTI Jawa Tengah), pada hari Sabtu, tanggal 2 Januari 2010, Pukul 17.00-18.30 WIB di kediamannya. 70
ikut dalam pemilu. HTI menerjemahkan pertai politik dalam pengertian yang luas, yaitu sebagai suatu organisasi yang aktifitasnya bertujuan mengoreksi kekuasaan dan membangunnya secara benar. Hal ini dilakukan karena menurut HTI dalam situasi sekarang ini banyak partai Islam justeru membingungkan umat Islam sendiri. Oleh karena itu, HTI tidak mengikuti jejak partai-partai lain yang berdasarkan Islam untuk ikut andil dalam pemilu yang kemudian dapat menjadi anggota legislatif.72 Namun tidak menutup kemungkinan pada saatnya nanti HTI akan berubah menjadi partai politik, sebagaimana yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Yordania, Libanon, dan lain sebagainya,
karena secara tekstual dan kontekstual HT sangat mencita-
citakan pembebasan, yakni membebaskan negeri-negeri kaum muslimin dari cengkraman "Penguasa Zolim atau Penjajah". Tentunya hal tersebut bisa terwujud manakala HTI masuk dalam sistem parlemen. Namun untuk menjadi partai politik peserta pemilu memerlukan waktu yang tepat.73 Sebagai bagian dari Hizbut Tahrir, HTI juga sangat menekankan pentingnya peran negara (dawlah) atau kekhilafahan sebagai sarana penerapan syari'ah Islam. Syari'ah dalam pandangan kelompok ini harus ditopang oleh kekuatan negara. Oleh karena itu, kelompok ini mengusung ide perlunya mendirikan kembali khilafah Islamiyah atau kekhilafahan Islam. Sementara kekhilafahan dalam Islam sendiri berakhir sejak tahun 1924 dengan lenyapnya 72
Ibid., hlm. 266 Hafidz Abdurrahman, "Hizbut Tahrir Masuk Parlemen Mengapa Tidak?" dalam Majalah Hidayatullah, Surabaya: April 2005, hlm. 42. 73
khalifah Usmaniyyah dan diganti oleh sistem republik oleh kemmal Atatturk, Sejak itu negara modern dengan batas-batas teritorialnya menjadi model yang digunakan oleh masyarakat Muslim yang mendiami negara. Meskipun mereka berstatus mayoritas mutlak seperti masyarakat muslim Indonesia. Baik Hizbut Tahrir maupun HTI sendiri memang mengakui tidak ada teks al-Qur'an yang mewajibkan penganutnya mendirikan kekhalifahan, tetapi kewajiban itu diperoleh dalam perspektif
kontekstual pesan al-Qur'an.74 Menurut
Taqiyuddin al-Nabhani, Islam telah memerintahkan umatnya agar mendirikan sebuah sistem pemerintahan dan mengangkat seorang khilafah yang memerintah berdasarkan hukum-hukum Islam.75 Perintah ini berdasarkan ayat :
.....
........
Artinya : "….Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…". (Q.S. al-Maidah {5}: 48 ).76 Pemerintah atau al-hukm merupakan kekuasaan yang melaksanakan hukum dan aturan. Pemerintahan merupakan aktivitas kepemimpinan yang telah diwajibkan oleh syara' atas kaum muslimin. Aktivitas ini dipergunakan
74
Ibid., hlm. 268 Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham fi al-Islam, Beirut Libanon: Dar al-Umah, 1996, hlm. 18 76 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. TEHAZED, 2009, hlm. 154. 75
untuk menjaga terjadinya tindak kezaliman serta memutuskan masalahmasalah yang dipersengketakan seperti yang disebutkan dalam ayat :
........ Artinya : "Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah swt, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah yang telah diturunkan Allah kepadamu…". (Q.S. al-Maidah {5}: 49 ).77
...... Artinya : "….Dan barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir". (Q.S. al-Maidah {5}: 44 ).78 Menurut Taqiyuddin al-Nabhani, Islam sebagai ideologi bagi negara, telah menjadikan negara beserta kekuasaannya sebagai satu kesatuan yang integral dengan eksistensinya. Islam telah memerintahkan pemeluknya agar mendirikan negara dan pemerintahan, yang memerintah berdasarkan hukumhukum syari'at, sebab para pemimpin itulah yang secara operasional melaksanakan pelayanan terhadap urusan-urusan umat secara langsung. Menurutnya,
Islam
telah
menetapkan
sekaligus
membatasi
bentuk
pemerintahan dengan sistem khilafah. Sistem khilafah ini satu-satunya sistem
77 78
Ibid. Ibid, hlm.153
bagi daulah Islam. Khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam.79 Dalam pandangan Hizbut Tahrir Indonesia, dalam hal ini dikemukakan oleh Ir. Abdullah (Ketua HTI Jawa Tengah). Ia mengemukakan bahwa kehidupan umat Islam sekarang ini berada dalam situasi yang tidak Islami, sebagai akibat dari berlakunya sistem sekuler yang dalam banyak hal memberikan andil besar bagi terciptanya kondisi sosial yang sangat buruk. Berbagai pelanggaran, baik pelanggaran hukum pidana maupun perdata, misalnya penegakan Undang-Undang Pornoaksi dan pornografi yang sudah merebak bebas di penjuru Indonesia, namun sistem yang ada mandul untuk melakukan penegakan hukum. Sehingga HTI memberikan solusi tentang sistem islami, Islam mempunyai sistem yang bisa membawa pada kebaikan. Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan adalah mengganti sistem yang ada dengan sistem yang disediakan Islam. Islam harus ditampilkan dan menjadi agama Ideologis melalui dawlah Islamiyah dengan khalifah sebagai penguasanya. Khalifah ini yang wajib melakukan dengan mengubah pemikiran atau melakukan pertarungan (gahzw al-fikr), melaksanakan syari'ah, memimpin jihad, dan melindungi umat Islam. Dakwah merupakan satu-satunya untuk meraih keberhasilan untuk mendirikan khilafah ini. Meski demikian, para aktivis HTI tidak menerima cara-cara kekerasan, misalnya
79
Taqiyuddin al-Nabhani, op.cit., hlm. 20.
mengangkat senjata dalam upaya mendirikan khilafah itu. Dakwah dilakukan sebagai proses penyadaran agar manusia mau mengikuti hukum Allah.80 Dengan demikian, Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukannya bukan sosial keagamaan, namun demikian, sampai saat ini Hizbut Tahrir maupun HTI belum pernah mengikuti pemilu sebagaimana umumnya partai politik. Kegiatan-kegiatan politik yang dilakukan HTI lebih banyak melontarkan ide-ide/wacana, dan melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dipandang pro barat.
B. Aktifitas Politik HTI sebagai Organisasi Islam Ekstra Parlementer Aktifitas Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam untuk merubah kondisi masyarakat yang rusak menjadi masyarakat Islam, dengan merubah ideide yang ada menjadi ide Islam, sehingga akan menjadi opini umum ditengahtengah masyarakat, serta menjadi persepsi bagi mereka yang akan mendorongnya untuk merealisir dan menerapkannya sesuai dengan tuntutan Islam, juga dengan merubah perasaan yang dimiliki anggota masyarakat menjadi perasaan Islam, ridlo terhadap apa yang diridlai Allah, marah dan benci terhadap apa yang dimurkai dan dibenci Allah. Merubah hubungan/ interaksi yang ada di tengah-
80
Wawancara dengan Ust. Ir. Abdullah (Ketua HTI Jawa Tengah), pada hari Sabtu, tanggal 2 Januari 2010, Pukul 17.00-18.30 WIB di kediamannya.
tengah masyarakat menjadi hubungan/ interaksi yang Islami, berjalan sesuai dengan hukum-hukum dan pemecahan-pemecahan Islam.81 Seluruh aktifitas yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik, di mana Hizbut Tahrir memperhatikan urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan pemecahan yang syar'I. Sebab politik adalah mengatur dan memelihara urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan pemecahan Islam.82 Perjuangan politik Hizbut Tahrir Indonesia ini juga tampak jelas dalam menentang para penguasa, mengungkapkan penghianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol dan koreksi terhadap mereka, serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, atau jika mereka melalaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum Islam.83 Hal ini dilakukan HTI diluar perkara pemerintahan ataupun yang menyangkut pemerintahan. Disisi lain aktifitas HTI tidak bersifat akademik. HTI bukanlah sekolahan. Seruannya bukan berbentuk nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk (yang menjemukan
dan
kering).
Aktifitasnya
bersifat
politik,
dengan
cara
mengungkapkan fikrah-fikrah (ide) Islam beserta hukum-hukumnya, untuk dilaksanakan, diemban dan diwujudkan dalam kenyataan hidup bermasyarakat dan bernegara. Karena dengan dakwah dan penerapan hukum Islam inilah dapat
81
Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut tahrir, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, Cet. III, 2009, hlm. 29. 82 Ibid. hlm. 30. 83 Ibid. hlm. 31.
menjawab dan memecahkan problematika manusia secara keseluruhan, baik dibidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan lain-lain.84 Perjuangan harus terus berlanjut, tidak boleh berhenti, meskipun berbagai tantangan dan tekanan menghadang. Demikian prinsip penting Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam melakukan segala aktifitas. Perjuangan politik ini secara garis besar mencakup pembinaan intensif untuk mencetak kader-kader dakwah, membina umat dalam tsaqafah Islam, serta mengoreksi penguasa yang berseberangan dengan Islam dan merugikan umat, misalnya dengan mendatangi parlemen dan penguasa untuk mengkritisi kebijakan politik mereka. HTI juga selalu berusaha membongkar kebiadaban penjajah seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutunya yang selama ini mencengkeram umat Islam, termasuk kerjasama mereka dengan para penguasa di negeri-negeri Islam. Dengan aktifitas ini akan muncul kader-kader dakwah yang siap terjun untuk berdakwah sehingga terbentuk kesadaran umat untuk kembali kepada khilafah. Hal ini semakin diperkuat dengan dukungan al-Quwwah (elite politik strategis), sehingga untuk pertama kalinya secara terbuka Hizbut Tahrir mengampanyekan tentang kewajiban khilafah Islamiyah dalam konferensi International Khilafah Islamiyyah.85 Dalam melakukan segala aktivitas operasional politik, HTI merujuk Surat Ali 'Imron ayat 104 yang berbunyi : 84
Ibid, hlm. 32. DPP HTI Online, "Kaleidoskop Aktivitas Politik Dan Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia", dalam Internet, http://www.hizbut-tahrir.or.id, diakses pada tanggal 22 Desember 2009, Jam 23.00. WIB 85
Artinya : "Hendaklah ada diantara kamu umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh dengan ma'ruf (yang baik-baik) dan melarang dari yang mungkar, dan mereka itulah yang menang. (Q.S. Ali Imron {3}: 104 ).86 HTI berkeyakinan wajibnya mendirikan partai politik. untuk mendirikannya maka harus menempuh tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah atTastqif). Pada tahapan ini perhatian HTI tidak dipusatkan kepada pembinaan tauhid dan akhlak mulia, akan tetapi HTI memusatkannya akan tetapi HTI memusatkannya kepada pembinaan kerangka Hizb (partai), memperbanyak pendukung dan pengikut, serta membina para pengikutnya dengan halaqahhalaqah dengan tsaqafah (materi pembinaan) hizb secara intensif, hingga akhirnya membentuk partai.87 Setelah berdirinya partai politik dan berhasil dalam tahapan pembinaan dan pengkaderan, kemudian yang dilakukan selanjutnya adalah berinteraksi dengan umat (Tafa'ul ma'al Ummah). Tahapan ini penting untuk keberhasilan partai dalam mencapai tujuan. Karena sekalipun anggota partai banyak jumlahnya dalam masyarakat, tetapi jika tidak berinteraksi dengan umat, mereka tetap tidak akan mampu mengemban tugas sendiri sekalipun mereka kuat. Lain halnya jika
86
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. TEHAZED, 2009, hlm. 79. 87 Taqiyudin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Terj. Zakaria, Labib, Jakarta: HTIPress, Cet. II, 2007, hlm. 62.
umat bersama mereka.88 Pengertian berinteraksi dengan umat bukan berarti mengumpulkan
umat
disekitar
mereka,
tetapi
yang
dimaksud
adalah
memahamkan umat akan ideologi partai supaya menjadi ideologi umat.89 Adapun Pada tahapan ini sasaran interaksinya ada empat : Pertama : Pengikut Hizbut Tahrir, dengan mengadakan pembinaan intensif agar mampu mengemban
dakwah,
mengarungi
medan
kehidupan
dengan
pergolakan
pemikiran dan perjuangan politik. Pembinaan intensif disini tidak lain adalah doktrin fanatisme organisasi dan loyalitas terhadap HTI. Kedua : Masyarakat, dengan mengadakan pembinaan kolektif /umum yang disampaikan kepada umat Islam secara umum, berupa ide-ide dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh HTI, dan menyerang sekuat-kuatnya seluruh bentuk interaksi antar anggota masyarakat, begitu pula interaksi antara masyarakat dengan penguasanya. Taqiyudin An-Nabhani pernah menyampaikan kepada jama'ahnya, bahwa menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara sesama anggota masyarakat dalam rangka mempengaruhi masyarakat tidaklah cukup, kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian. Ketiga : Negara-negara kafir Imperialis yang menguasai dan mendominasi negeri-negeri Islam, dengan berjuang menghadapi segala bentuk makar mereka. Keempat : Para penguasa di
88 89
Ibid. hlm. 63 Ibid.
negeri-negeri Islam dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian. Menentang penguasa yang dzolim, mengungkapkan penghianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol dan koreksi terhadap penguasa serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar atau tidak menjalankan tugas dan kewajibanya terhadap umat, yaitu bila melalaikan salah satu urusan umat, atau penguasa yang menyalahi hukum-hukum Islam. Meskipun demikian, HTI telah membatasi aktivitasnya dalam dalam aspek politik tanpa menempuh cara-cara kekerasan (perjuangan bersenjata) dalam menetang para penguasa maupun orang-orang yang menghalangi dakwahnya.90 Kemudian
tahapan
selanjutnya
yakni
pengambilalihan
kekuasaan
(Istilaamul Hukmi), tahapan ini merupakan puncak dan tujuan akhir dari segala Aktivitas HTI. Tahapan ini dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh sebagai sebuah ideologi dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Inilah yang disebut metode revolusioner.91 Tahapan pengambilalihan kekuasaan ini yang sampai sekarang ini belum tercapai oleh HTI. Inilah langkahlangkah yang harus ditempuh oleh partai didalam medan kehidupan untuk membawa ideologi ke medan kehidupan.
90
Id_Online, "Sorotan Ilmiah Tentang Selubung Sesat Suatu Gerakan" dalam Situs Internet http:/www.asysyariah.com, diakses tanggal 23 Desember 2009, Jam 20.00. WIB. 91 Taqiyudin an-Nabhani, op.cit., hlm. 76
Adapun beberapa aktivitas HTI Sebagai Organisasi Islam Ekstraparlementer diantaranya adalah : 1. Maret 2002, ini merupakan pertama kalinya secara terbuka HTI mengampanyekan tentang kewajiban khilafah Islamiyah dalam konferensi International khilafah Islamiyah di Senayan Jakarta. Pada bulan yang sama HTI menyerukan penegakan Syari'at Islam sebagai solusi problem multidimensi di Indonesia dalam kunjungannya kepada Wakil Presiden Hamzah Haz. Sebagai bentuk solidaritas dan keprihatinan terhadap serangan AS ke Irak, HTI melakukan masirah (longmarch) mendatangi beberapa kedutaan besar di Jakarta, seperti kedubes Saudi Arabia, Kuwait, Yaman, Syiria, Tunisia, Inggris, Perancis dan RRC. 2. Bulan Agustus 2002, Aksi kolosal lebih dari 20.000 massa HTI menuntut penegakan Syari'at Islam di depan gedung DPR dalam Sidang Istimewa DPR. 3. Tanggal 29 April 2003, HTI menuntut agar RUU Sisdiknas tetap merujuk pada Syari'at Islam dan mengecam pihak sekular dan kristen yang berupaya mengsekularkan pendidikan nasional. 4. Tanggal 5 Oktober 2003, untuk mencegah disintegrasi negeri-negeri Islam, HTI mengadakan konferensi Islam menyambut Ramadhan 1424 H dengan tema "Menjaga kesatuan negeri-negeri Islam.". selain dijakarta konferensi serupa juga diselenggarakan di Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Banjarmasin, dan Makasar.
5. 4 Januari 2004, HTI mencanagkan Gerakan Nasional Taqarrub Ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Melalui gerakan ini HTI berharap kesadaran tauhid masyarakat makin meningkat sehingga mereka mau menyelesaikan segala persoalan dengan Syari'at Islam. Pada tanggal 15 bulan yang sama Delegasi HTI mendatangi kedubes Prancis di Jakarta menyoal larangan pemakaian jilbab di Perancis. 6. 20 Februari 2004, Aksi "Raih kepemimpinan dan tegakan syari'ah Islam dan Khilafah" di Bundaran HI Jakarta dalam rangka 80 tahun runtuhnya daulah khilafah Islamiyyah yang dihadiri lebih kurang 20.000 massa. Acara diisi dengan orasi-orasi tokoh Islam nasional seperti Ust. Irfan S. Awwas (Ketua Tanfidziyah Majlis Mujahidin Indonesia), KH. Kholil Ridwan (Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia), Ust. Hari Moekti, Ust. MR. Kurnia dan Ust. Farid Wadji (DPP HTI), Jubir HTI Ismail Yusanto dan pimpinan HTI saat itu Muhammad al-Khaththat. Aksi serupa diadakan diseluruh Indonesia. 7. 5 Maret 2004, Peluncuran buku partai politik Islam yang disusun oeh HTI serta situs www.hizbut-tahrir.or.id bersamaan dengan seminar khilafah yang diselenggarakan HTI dan Majlis ta'lim Dharmala. Pada tanggal 22 bulan yang sama HTI mengutuk sikap brutal pemerintah dan tentara Israel di daerah pendudukan Palestina. 8. 24 Juli 2004, Sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi pendidikan, HTI menyelenggarakan Lokakarya Pendidikan Nasional di Jakarta dengan
Pembicara antara lain Dr. jayeng Baskoro (Mendiknas RI), Dr. Din Syamsuddin (MUI) dan Ir. Rahmat Kurnia, Msi (HTI). 9. 25 Mei 2004, Pengurus DPP HTI berkunjung ke kantor DPP PKS di Jalan Mampang Prapatan Raya Jakarta Selatan untuk menjalin persaudaraan Islam bagi penguatan dakwah bersama. 10. 11 September 2004, HTI melakukan masirah (longmarch) dan orasi dari lapangan Monas ke bundaran HI dengan tema "Tolak kepemimpina sekular, Tegakkan Syari'ah dan Khilafah Islamiyah". Acara ini diikuti oleh puluhan ribu kaum muslimin dari berbagai kalangan, ulama, jama'ah pengajian, pelajar, mahasiswa, dosen, pengusaha, pengacara, birokrat hingga masyarakat awam. Hadir sebagai pembicara dalam aksi ini adalah Ustd. Farid Wadji (DPP HTI), A. Ahmad Sumargono (Politisi dan anggota DPR RI), H. Adhyaksa Dault (mantan ketua KNPI Pusat), KH. Mudzakir (FPI), Ahmad Michdan, Farid Poniman (FPI), Ir. Rahmat Kurnia, Msi dan Muhammad al-Khaththat (DPP HTI). 11. 24 Oktober 2004 (10 Ramadlan 1425), HTI bersama umat Islam mengadakan masirah (longmarch) dan orasi di depan Istana Negara dengan membacakan piagam Ramadlan yang isinya menuntut penegakan syari'ah Islam di Indonesia. Menyusul acara ini dilakukan kegiatan pengumpulan tanda tangan pro-syari'at Islam di seluruh Indonesia. Pada tanggal 28 bulan yang sama HTI mengutuk tindakan kekeraan atas tragedi yang terjadi di Tak Bai Provinsi Narathiwat Thailand yang menewaskan 84 Muslim Pattani.
12. 22 Desember 2004, Sebagai bentuk kesadaran politik akan keprihatinan masa depan anak-anak Indonesia, para Syabah/pemuda HTI melakukan masirah (longmarch) diseluruh Indonesia. Para ibu-ibu menyuarakan anti pornoaksi dan pornografi, kecaman terhadap eksploitasi perempuan dan mengingatkan wanita agar jangan lupa pada kodratnya sebagai ibu. Pada Bulan yang sama di beberapa tempat di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar, Kendari dan lainnya diadakan aksi penolakan kenaikan BBM. HTI menilai kebijakan ini akan menyengsarakan Rakyat dan bertentangan dengan syari'at Islam. 13. 22 Januari-Februari 2005, HTI mengirim relawan ke Aceh dan Sumut yang ditimpa bencana gelombang tsunami. Selain melakukan pelayanan medis, suplay logistik, HTI juga membantu membangun masyarakat aceh dengan program mental recovery yang berbasis Syari'at Islam. Bantuan dana mengalir dari para sahabat dan simpatisan HTI, tidakhanya di Indonesia, tetapi juga dari wilayah dunia lain, untuk membantu saudara-saudara mereka di Aceh. 92 Disamping sejumlah aktivitas diatas, sebagai partai politik Ideologis, HTI terus melakukan upaya pembinaan terhadap anggotanya berupa halaqah-halaqah dengan buku-buku yang sistematis. Penuturan Ir. Abdullah (Ketua HTI Jawa Tengah), disamping menyuarakan aspirasi masyarakat, HTI juga bergerak bersama umat dengan mengisi berbagai macam kegiatan keumatan, seperti mengisi khutbah jum'at, ceramah ramadhan, ceramah hari besar Islam, dan
92
DPP HTI Online, dalam Situs Internet, http://www.hizbut-tahrir.or.id, diakses pada tanggal 23 Desember 2009, Jam 20.00. WIB
kultum sebagai bagian dari pembinaan umum. Upaya rekrutmen juga dilakukan secara terus menerus melalui sejumlah dawrah dirasah dan training-training keIslaman. Semua itu merupakan bagian dari aktivitas politik dan dakwah HTI untuk membangun kesadaran umat dalam menegakkan syari'at dan khilafah Islamiyyah.93
C. Format yang dibangun HTI dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia Mayoritas
ulama
syari'ah dan
pakar
undang-undang
konstitusional
meletakkan musyawarah sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nas-nas al-Qur'an dan Hadist nabawi.94 Islam mewajibkan kepada penguasa untuk bermusyawarah dalam perkara-perkara umum, sebagaimana yang telah difirmankan dalam al-Qur'an : Asyuro : 38
.......
……
" Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka" (Q.S as-Syura {42}: 38).95
Jika musyawarah maksudnya adalah prinsip partisipasi politik dalam pemikiran politik barat, maka prinsip "amar ma'ruf nahi munkar" yang 93
Wawancara dengan Ust. Ir. Abdullah, pada hari Sabtu, tanggal 2 Januari 2010, Pukul 17.0018.30 WIB di kediamannya. 94 Farid Abdul Kholiq, Fikih Politik Islam, Jakarta, Amzah, 2005, hlm. 35 95 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 699.
merupakan tujuan dari semua kewenangan dalam Islam, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnu Taimiyah: "Semua kewenangan dalam Islam tujuannya hanyalah amar ma'ruf nahi munkar, pada hakikatnya tersimbol dalam tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki kekuasaan, berarti mewujudkan partisipasi politik rakyat dalam perkara-perkara umum dan juga dalam hukum, berawal dari kewajiban memberi nasehat (yang tulus) yang telah diperintahkan oleh Allah swt.96 Dalam sebuah firman Allah swt :
.......
.....
Artinya : Apabila mereka bernasehat (dengan Ikhlas) kepada Allah dan Rasul-Nya (Q.S.at-Taubah : 91).97 Sebagai ajaran yang
komprehensif,
Islam menata semua dimensi
kehidupan. Tidak dapat dibayangkan masalah pemerintahan dan menyerahkan pengelolaanya kepada orang-orang fasik dan atheis. Islam menghimbau untuk menata dan merinci tanggungjawab, sebab Islam membenci kekacauan dalam segala hal. Oleh karena itu sangat penting sekali keberadaan pemerintahan untuk mengelola suatu negara demi kebaikan negara tersebut. Melakukan koreksi terhadap penguasa diperintahkan Allah atas kaum muslimin dan merupakan tugas individu sebagai pribadi serta tugas jama'ah sebagai kelmpok. Tugas ini berkaitan dengan amar ma'ruf nahi munkar yang telah disyari'atkan oleh agama. Selain itu, mengoreksi para penguasa merupakan 96
Farid Abdul Kholiq, op. cit., hlm. 39 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. TEHAZED, 2009, hlm. 270. 97
kegiatan politik, oleh karena itu akan lebih efektif apabila dilakukan oleh sebuah jama'ah atau partai politik. Maksud partai ini untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa terhadap semua kebijakan dalam menjalankan roda pemerintahanya.98 HTI memang salah satu Organisasi Islam yang bergerak diluar sistem pemerintahan, terlebih pada parlemen yang menjadi wakil rakyat sekaligus wadah aspirasi rakyat. HTI tidak pernah berada diluar masyarakat, tapi berjuang bersama-sama masyarakat dan mendidik masyarakat. Dalam tataran obyek dakwah, HTI tidak pernah membatasi. Dalam posisi seperti ini, ada banyak hal yang bisa diperoleh. Di antaranya, bisa menyalurkan aspirasinya ke mana-mana, termasuk ke parlemen, ke masyarakat, tanpa dicurigai ada kepentingan politik. karena keberadaan dan segala sesuatu yang dilakukan HTI adalah menyampaikan fikrah (pikiran) yang sudah dilakukan sejak HTI berdiri hingga sekarang.99 Sebagai penopang stabilitas sistem pemerintahan, partai politik juga berfungsi
sebagai
jenjang
menuju
tangga
pemerintahan
melalui
umat
(perwakilan). Untuk merealisasikannya tentu partai yang dimaksud harus berdiri di atas landasan akidah Islam. Adalah hal yang sangat ironis apabila partai tersebut tidak berlandaskan Islam seperti partai komunis, sosialis, kapitalis, nasionalis, kesukuan atau partai yang menyerukan demokrasi dan sekularisasi. Parpol juga harus bersifat terbuka, bukan partai bawah tanah, karena tugas untuk mencapai kekuasaan melalui tangan umat merupakan suatu hal yang terbuka,
98 99
Hizbut Tahrir, op. cit., hlm. 85. Hafidz Abdurrahman, op. cit.,hlm. 42.
bukan dengan cara bersembunyi. Yang tidak kalah pentingnya, tugas-tugas partai dalam pemerintahan Islam bukan berupa tugas-tugas yang bersifat fisik, sehingga media-media yang digunakan bersifat damai dan tidak mempergunakan senjata serta kekerasan lainya.100 Dalam sistem yang dibangun HTI, pengontrolan dan pengawasan terhadap pemerintah juga dilakukan oleh majelis umat. Oleh karena itu, Majelis umat harus ada dalam sistem pemerintahan. Majelis umat ini berfungsi sebagai pertimbangan pemerintah dalam urusan-urusan umat. Majelis umat juga menjadi wakil dalam menyampaikan aspirasi umat baik secara individu maupun kolektif.101 Keanggotaan majelis umat ini terdiri atas orang-orang yang mewakili aspirasi warga negara, baik muslim maupun non muslim. Mereka mewakili umat dalam melakukan syura dan muhasabah (kontrol dan koreksi) terhadap para pejabat pemerintahan.102 Karena majelis ini mewakili umat, maka akan lebih ideal apabila anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, baik independen maupun mewakili parpol, bukan penunjukan maupun pengangkatan. Non muslim yang tinggal di negara Islam pun berhak dipilih menjadi anggota, termasuk menyampaian pengaduan tentang kezaliman para pejabat pemerintah terhadap mereka.
100
Ibid. Ibid. hlm 86 102 Taqiyuddin al-Nabhani, Nizam al-Hukum fi al-Islam, Beirut Libanon: Daar al-Umah, tt. hlm
101
216.
Meskipun majelis ini mewakili umat, namun mereka tidak berwenang membuat aturan sebagaimana dalam sistem demokrasi. Wewenang mereka hanya menyampaikan aspirasi umat dalam menyampaikan pendapat. Hal inilah yang menjadikan semua warga negara berhak menjadi wakil dan berhak mewakilkan kepada siapa saja , baik itu muslim maupun non muslim, pria maupun wanita. Inilah yang disebut HTI dengan sistem khilafah. Sistem khilafah memberikan hak yang sama terhadap rakyat, karena memandang rakyat semata-mata sebagai manusi, terlepas dari agama, suku, ras, maupun jenis kelamin. Khalifah tidak boleh melakukan diskriminasi antara manusia yang satu dengan yang lain, melainkan akan memperlakukannya dengan adil, di mana mereka dilihat sebagai warga daulah Islam.103
103
Ibid.
BAB IV ANALISIS TERHADAP GERAKAN POLITIK HTI SEBAGAI ORGANISASI ISLAM EKSTRA PARLEMENTER DI INDONESIA PASCA REFORMASI
A. Gerakan Politik HTI Sebagai Organisasi Islam Ekstra Parlementer dalam Sistem Demokrasi di Indonesia Demokrasi
sebagai
agenda
reformasi
pantas
untuk
digugat
dan
dipertanyakan, ketika sejumlah praktik politik yang mengatasnamakannya sering menunjukkan paradok atau ironi. Apakah demokrasi menempuh cara-cara anarkis atau cara-cara yang bersifat pemaksaan yang bermuara pada sifat antidemokratis, atau bahkan demokrasi harus diganti dengan sistem lain yang lebih Islami ? Demokrasi merupakan kata dan istilah dari barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat dianggap sebagai penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan. Rakyat berhak mengatur sendiri urusannya serta melaksanakan dan menjalankan sendiri kehendaknya. Rakyat tidak bertanggungjawab pada kekuasaan siapa pun selain kepada dirinya sendiri. Rakyat berhak membuat sendiri peraturan dan undangundang karena mereka pemilik kedaulatan melalui wakil mereka yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat itu melalui tangan para penguasa dan hakim yang mereka pilih. Keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat, sebagaimana individu lainnya, berhak 53
menyelenggarakan pemerintahan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan undang-undang.104 Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat oleh manusia dalam rangka "membebaskan manusia" dari kezaliman dan penindasan para penguasa atas nama agama. Demokrasi adalah suatu sistem yang bersumber dari manusia dan tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama.105 Untuk mewujudkan sistem demokrasi membutuhkan gerakan politik untuk membentuk stabilitas antara masyarakat dan pemerintahan, karena dalam sistem ini terjadi satu kontrak politik antara penguasa dengan masyarakat dalam menjalankan sistem pemerintahan. Di era demokrasi terpimpin (1959-1965), rezim orde lama secara formal menganut sistem demokrasi, namun pada prakteknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara justeru segala bentuk pemerintahan berpusat (sentralistik) pada Soekarno. Soekarno selaku presiden bahkan memperagakan pemerintahan yang diktatorial dengan membubarkan Konstituante, Masyumi, Partai Serikat Islam (PSI), serta meminggirkan lawan-lawan politiknya yang kritis. Yang kemudian rezim Soekarno tumbang tahun 1965.106 Rezim orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto (1965-1998), bahkan tidak jauh beda dengan pola yang diperankan Soekarno. Demokrasi Pancasila gencar dimasyarakatkan melalui penataran P4 dan pidato-pidato resmi. 104
Abdul Qadim Zallum, Demokrasi sistem Kuffur, Depok: Pustaka Thariqul Izzah, 2009, hlm. 4. Ibid, hlm. 2 106 Abuddin Nata, Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 2002,hlm. 72.
105
Demokrasi Pancasila bahkan selalu diklaim sebagai sistem yang terbaik di muka bumi. Namun kenyataan politik yang berada di lapangan justeru berlawanan. MPR, DPR, pers, partai politik, ABRI, Ormas, dan hampir seluruh institusi sosial politik kenegaraan dipasung secara sistematis di bawah kendali mutlak Soeharto sehingga melahirkan demokrasi jadi-jadian. Paradok demokrasi itu pada akhirnya juga runtuh pada 21 Mei 1998 oleh desakan gerakan ekstraparlementer.107 Aliansi-aliansi politik yang sangat pragmatis dengan mereka yang dulu antidemokrasi, mulai bermunculan dengan semangat yang sangat kental meraih kemenangan politik, diantaranya adalah HTI. Pikiran-pikiran kritis dan alternatif mulai bermunculan seiring dengan kebebasan berpendapat dan berwacana. Dalam teks dan konteks demokrasi ini, HTI menganggap bahwa gerakan demokrasi merupakan gerakan yang dimunculkan oleh para kelompok sekuler yang mencoba melakukan hegemoni serta digiring untuk memisahkan antara negara dengan agama, sehingga dengan memasukkan sistem sekuler ke dalam suatu negara, khususnya negara yang berbasis Islam, dengan tujuan agar agama tidak terlalu banyak intervensi terhadap sistem pemerintahan, dengan demikian doktrin yang dibawa kelompok sekuler dengan mudah memasukinya. Hubungan Islam dengan demokrasi, diskursus diantara dua konsep itu, bukan merupakan perkara baru dalam sejarah pemikiran Islam. Pasca runtuhnya khalifah Islam pada tahun 1924, dunia Islam memang mengalami serbuan pemikiran barat. Hal ini membuat Islam kehilangan wibawa kekuasaan di mata 107
Ibid.
dunia, umat Islam yang dulu jaya dan menjadi imam peradaban kini harus menjadi anak yatim yang selalu diperlakukan dengan tidak adil. Kaum muslimin yang kehilangan payung khilafah kini menjadi manusia paling miskin harkat dan derajatnya, hati mereka berkeping-keping, pikiran mereka terpecah oleh adanya sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan nasionalisme di mana Islam bukan lagi sebagai perekat utama bagi kehidupan mereka.108 Dengan demikian umat Islam harus berdiskusi panjang dalam menentukan sikap terhadap pemikiran barat seperti demokrasi, HAM, Pluralisme maupun sekulerisme. Dalam Islam, keragaman dalam praktek mencuatkan pola konsep dan pemikiran tidak lepas dari ijtihad para tokoh pemikir tentang politik Islam. Perbedaan konsep dan pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang tidak sama terhadap hubungan agama dengan negara yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi, dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitanya dengan politik. Dalam keragaman konsep serta dalam pemikiran tersebut, tidak hanya dipengaruhi oleh penafsiran terhadap ajaran Islam itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan seperti tuntutan zaman, sejarah, latar belakang budaya, tingkat perkembangan peradaban dan intelektual serta pengaruh peradaban dan pemikiran asing. Artinya, bahwa secara universal baik faktor internal maupun eksteral sama-sama mempengaruhi keragaman tersebut. Selalu
108
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniah, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, hlm. Xix.
ada tarik menarik antara ketentuan-ketentuan normatif dan kenyataan sosial politik dan historis. Kenyataan ini bisa dilacak pada masa pemerintahan Islam seperti pemerintahan yang dibangun Muhammad, dimana Muhammad sebagai pendiri dan teoritisnya memiliki kedudukan yang unik selaku dewan pelaksana. Prakteknya, meskipun selama kerasulan tidak pernah muncul teori-teori politik, namun segala kebijakan politik selalu dibahas bersama antara rasulullah dengan para sahabat, dengan senantiasa memperhatikan dampak yang muncul pasca kebijakan yang diambil. Masing-masing menyatakan pandangannya tentang masalah yang dibahasnya itu. Misalnya dalam kasus tawanan perang badar, Abu bakar dan mayoritas sahabat lainya lebih suka memberi maaf. Namun Umar dengan beberapa sahabat lainnya memberi hukuman mati kepada mereka. Kemudian Rasulallah bertindak sesuai pandangan Abu Bakar dan mayoritas sahabat lainnya. Meskipun demikian, nilai dari pandangan itu amat terbatas di mana konsultasi justeru merupakan masalah utamanya, dan Rasulallah menentukan kebijakannya untuk menyempurnakan pandangan-pandangan mereka itu. Itulah sistem demokrasi yang dibangun rasulallah, artinya bahwa konsep keislaman dan demokrasi pada zaman rasulullah sudah berjalan. Dengan mengutip pendapat Esposito dan Piscatori menyebut ada tiga aliran dalam menjawab hubungan Islam dan Demokrasi. Aliran pertama, menerima secara penuh bahwa demokrasi Identik dengan Islam antara lain pendapat Muhammad Assad, Jamaludin Al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Aliran
Kedua, adalah pendapat yang menyetujui adanya prinsip demokrasi dalam Islam, tetapi di pihak lain mengakui adanya perbedaan diantara keduanya seperti yang digagas oleh Maududi. Aliran ketiga adalah yang menolak secara menyeluruh gagasan bahwa Islam sama dengan demokrasi. Aliran ini antara lain diusung Hizbut Tahrir juga oleh Syaikh Fadlallah Nuri dari Iran tahun 1905-1911 dengan gerakan konstitusionalnya. Pendapat yang sama muncul dari Sayyid Qutb, tokoh Ikhwanul Muslimin. Pada tahun 1982, Syaikh Muhammad Mutawawali seorang tokoh terkemuka mesir pernah mengatakan Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi. Artinya pendapat yang menolak demokrasi sesungguhnya bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir.109 Sementara itu, yang mungkin kurang dipahami oleh banyak pihak adalah ketika Hizbut Tahrir (HT) membedakan antara as-Siyadah (kedaulatan) dan alSulthon (kekuasaan). Dalam berbagai referensi langsung buku HT disebutkan asSiyadah (kedaulatan) dalam pengertian sumber hukum (source of law) ada ditangan Syar'I (Allah SWT). Inilah menurut HT yang paling mendasar membedakan antara Islam dan demokrasi, karena dalam demokrasi kedaulatan itu ada di tangan rakyat sehingga penilaian baik dan buruk diserahkan kepada rakyat, namun HT menyatakan kekuasaan itu ada di tangan rakyat dalam pengertian source of power (sumber kekuasaan). Dalam konteks ini rakyatlah yang memiliki hak untuk memilih kepala negara (kholifah), rakyat juga berhak mengoreksi
109
DPP HTI Online, "Memahami Gagasan Hizbut Tahrir Indonesia", dalam Internet, http://www.syari'ah publications.com, diakses pada tanggal 22 Desember 2009, Jam 23.00. WIB
penguasa yang menyimpang, atau menurunkannya kalau bertentangan dengan syari'at Islam.110 Sistem yang dibangun HT bukan sistem kekuasaan teokrasi, di mana pemimpin manganggap dirinya wakil Tuhan dimuka bumi, sehingga pemimpin tidak boleh dikritik, pemimpin bukan orang-orang yang tidak bisa berbuat salah (ma'sum), dan juga perintah pemimpin tidaklah identik dengan perintah tuhan, perintah pemimpin baru dianggap dan wajib ditaati kalau merujuk kepada alQur'an dan as-Sunah. Dalam konteks ini pemimpin bisa saja keliru dalam memahami al-Qur'an dan as-Sunah atau mungkin saja menyimpang dari al-Qur'an dan as-Sunah. Oleh karena itu, dalam Islam mengoreksi penguasa (muhasabah lil hukkam) bukan saja hak rakyat, tapi merupakan kewajiban rakyat. Pemimpin juga tidak memiliki keistimewaan tertentu didepan hukum, semuanya sama.111 Dalam sebuah analisis politik dilakukan oleh Alan Samson tentang keterpaduan antara agama dan politik seperti yang dikemukakan oleh Natsir, merefleksikan hubungan formal antara Islam dan negara. Karenanya, Islam dianggap agama yang memiliki penjelasan paling lengkap tentang hubungan langsung antara agama dan kekuasaan politik. Hal ini juga diakui oleh Lukman Harun salah satu tokoh Muhammadiyah, yang berpendapat bahwa di Indonesia tidak ada batasan nilai-nilai religi dan nilai-nilai nasionalis. Menurut Harun Islam
110
Ibid. Wawancara dengan Ust. Ir. Abdullah (Ketua HTI Jawa Tengah), pada hari Sabtu, tanggal 2 Januari 2010, Pukul 17.00-18.30 WIB di kediamannya. 111
tidak memisahkan antara agama dan politik, dan hampir mayoritas umat Islam Indonesia menyepakatinya.112 Termasuk salah satu tugas HTI sebagai gerakan pengontrol dan pengoreksi penguasa dalam sistem demokrasi di Indonesia, karena HTI menganggap bahwa penguasa bukan orang-orang yang tidak bisa berbuat salah sehingga dibutuhkan gerakan penyeimbang atau garis oposisi. Karena dalam sistem Demokrasi dalam bentuk parlementer, ada hubungan yang erat antara badan perwakilan rakyat (legislatif) dengan pelaksana Pemerintah (Eksekutif), namun juga tidak terlepas dari kontrol dari berbagai pihak termasuk HTI. Legislatif atau parlemen sebagai lembaga sekaligus wadah aspirasi rakyat lazimnya mendapat kepercayaan rakyat sepenuhnya. Kepercayaan itu akan terus ada selama jalannya lembaga tersebut sesuai dengan tujuan negara sebagaimana yang telah digariskan atau dikehendaki oleh rakyat, karena lembaga ini manifestasi dari rakyat/umat. Oleh karena itu, persesuaian pemahaman atau usaha menyamakan arah politik yang dijalankan oleh pemerintah/penguasa
(selaku
pelaksana operasional negara) ke arah yang dikehendaki badan perwakilan rakyat. Jelasnya jika pemerintah menyimpang dari kemauan parlemen, maka penguasa dapat ditegur oleh parlemen dan bahkan dengan "mosi tidak percaya" bahkan parlemen dapat menjatuhkan dan sekaligus menghentikan atau langkah-langkah penguasa yang dinilai menyimpang dari kemauan rakyat. Pendeknya segala
112
Muhammad Sirozi, Catatan Kritis Politik Islam Era Reformasi, Yogyakarta: AK Group, 2004, hlm. 95
tindakan dan kebijaksanaan penguasa harus benar-benar atas persetujuan atau kehendak dari parlemen. Ini berarti bahwa dalam sistem parlementer ini kedaulatan rakyat dapat diwujudkan seluas-luasnya dan bahwa pengawasan rakyat terhadap tindakan-tindakan penguasa dapat dijalankan dengan sebaikbaiknya. Keberadaaan HTI dalam posisi sebagai Organisasi ekstraparlementer sangat besar peluangnya untuk melakukan fungsi pengawasan, kontrol, saran serta kritik dalam rangka memasukan ide-ide Islami untuk kepentingan Islam. Dari sini dapat dilihat bahwa arah gerakan politik HTI dalam tahapan pengambilalihan kekuasaan sangat tinggi dengan melakukan pendekatan terhadap masyarakat dengan menggunakan berbagai media dakwah dan melakukan berbagai kegiatan yang mengarah pada doktrin ideologi.
B. Relevansi dan Prospek Gerakan Politik HTI dalam Sosio Politik di Indonesia Tidak dapat dinafikan bahwa dalam berbagai macam penelitian tentang sistem prinsip-prinsip sistem politik Islam dan sejarahnya diperoleh sebuah kenyataan bahwa Muhammad saw adalah yang pertama kali membentuk negara Islam sesudah hijrah dari Makkah ke Madinah. Negara yang dibangun Muhammad inilah yang sampai sekarang tetap dipertimbangkan sebagai bentuk pemerintahan Islam tertua. Pertimbangan itu tentunya diperkuat dengan berbagai
karakteristik dari elemen-elemen negara itu, di mana sebuah negara layaknya selalu dilengkapi dengan konsep Ilmu Politik.113 Hal ini bisa ditemukan dalam pemerintahan negara Madina, di mana Muhammad membangun sistem pemerintahan dengan sistem teokrasi, karena nabi memang memerintah atas nama Tuhan, yang dilengkapi dengan syari'at-Nya yang diwahyukan kepadanya, baik dalam bentuk al-Qur'an maupun al-Hadits. Dalam praktek kekuasaannya baik dalam hal eksekutif, legislatif maupun yudikatif berada di tangan nabi sendiri, meskipun kadang-kadang beliau juga mendelegasikan kepada salah seorang sahabatnya. Sebagai seorang nabi yang memiliki sifat ma'shum (terjaga dari perbuatan maksiat), semua tindakan dan ucapan yang beliau lakukan selalu dikontrol Allah, sehingga loyalitas kaum muslimin kepada beliau pun bersifat absolut. Meskipun demikian, dalam memecahkan persoalan-persoalan yang muncul nabi juga sering melakukan musyawarah dengan melibatkan partisipasi para sahabatnya, dan tidak jarang beliau memutuskan secara demokrasi (suara terbanyak) dan menerima usulanusulan dari sahabatnya.114 Sesungguhnya pemahaman dan penafsiran terhadap konsep Islam dalam kaitanya dengan politik terdapat tiga golongan. Golongan pertama menyatakan bahwa dalam Islam terdapat Sistem politik dan pemerintahan, karena Islam adalah
113
Muhammad S. Elwa, Sejarah Politik dalam Pemerintahan Islam, terj. Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hlm. 19. 114 Zainul Kamal, dkk., Islam Negara dan Civil Society ;Gerakan dan pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 76
agama yang paripurna. Golongan kedua menyatakan dalam Islam tidak ada sistem politik dan pemerintahan, namun mengandung ajaran-ajaran dasar tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sedangkan golongan ketiga berpendapat Islam sama sekali tidak terkait dengan politik dan pemerintahan, dan ajaran agama hanya berkisar tentang tauhid, ritual pembinaan akhlak dan moral manusia.115 Pendapat yang sama dikemukakan oleh M. Din Syamsuddin yang sedikit berbeda tentang hubungan agama dan negara. Pertama, hubungan integralistik, yaitu agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik. Dengan kata lain negara merupakan lembaga politik dan sekaligus lembaga keagamaan. Penyelenggara pemerintahan atas dasar kedaulatan Tuhan, karena memang kedaulatan itu berada di tangan Tuhan. Artinya bahwa agama dijadikan sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aturanaturan atau hukum-hukum yang diberlakukan adalah hukum agama, yang dalam hal ini adalah hukum syari'at Islam. Paradigma ini dianut oleh kelompok syi'ah, dan juga kelompok-kelompok revivalism Islam. Kedua, Simbiosistik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan dan etika moral. Paradigma ini dipakai oleh kebanyakan
115
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993, hlm. 2.
pemikir politik Islam abad pertengahan seperti al-Mawardi, al-Ghazali dan Ibn Taimiyah. Ketiga, Paradigma sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbioistik antara agama dan negara. Bahkan mengajukan gagasan pemisahan agama dan negara secara ketat, dan menolak pendasaran negara kepada Islam. Agama tidak mengurusi negara dan negara tidak mengurusi agama. Keduanya tidak ada hubungan sama sekali, karena agama itu mengatur hubungan dengan tuhan, sementara negara mengatur hubungan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka keduanya tidak boleh saling mengintervensi, karena wilayahnya sudah berbeda. Maka dalam penyelenggaraan negara seolah-olah tidak berhadapan dengan pemeluk agama dan menganggap agama tidak ada dalam masyarakat dalam suatu negara itu. Salah seorang pemrakarsanya adalah Ali Abd al-Raziq. Di perjelas pula bahwa Islam tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan dan kekhalifahan, termasuk al-khulafa al-rasyidun bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman tetapi sistem duniawi.116 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan salah satu Organisasi Islam Indonesia yang menganut pada paradigma pertama, karena menurut HTI bahwa Islam adalah suatu agama yang lengkap dengan petunjuk, yang mengatur sagala aspek kehidupan, termasuk mengatur aspek kehidupan bermasyarakat dan
116
M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hlm. 58-64.
bernegara. Islam sendiri menjadi bagian integral dari negara, sebab negara yang memiliki tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat atau rakyat jelas tidak bisa mengabaikan orang-orang yang beragama.117 Menurut HTI, untuk mengatur kehidupan politik umat Islam tidak perlu bahkan tidak boleh meniru pola lain, dan supaya kembali pelaksanaan yang murni dari ajaran Islam, yaitu kembali kepada pola zaman al-Khulafa al-Rosyidiun. HTI menganggap implementasi syari'at sangat penting bagi pemulihan cara hidup Islami dan negara merupakan syarat yang tidak boleh dinafikan untuk mencapai tujuan ini. Di tengah sistem demokrasi Indonesia keberadaan HTI membutuhkan upaya adaptasi diri untuk melangsungkan segala aktivitasnya sampai masyarakat siap untuk melakukan perubahan, yaitu kembali ke kehidupan Islam. Karena HTI tidak akan melakukan perubahan dengan meninggalkan kultur masyarakat, yang selama ini mengalami kekurang fahaman terhadap peran dan fungsi HTI ditengah-tengah umat. Di Indonesia HTI mempunyai tugas memahamkan masyarakat tentang aqidah Islamiyah yang benar. Dakwah Hizbut Tahrir lebih banyak ditampakkan dalam aspek pergolakan pemikiran (ash shira' al-fikr). Hizbut Tahrir pula yang memperkenalkan istilah ghazw alfikr (perang pikiran) sebagai upaya meluruskan pemikiran-pemikiran
117
yang
salah
serta
persepsi-persepsi
yang
keliru,
Sudarno, Shobron, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Pentas Politik Nasional, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003, hlm, 09.
membebaskannya dari pengaruh ide-ide barat, dan menjelaskannya sesuatu ketentuan Islam. 118 Metode yang ditempuh dalam rekrutmen dan pembinaan anggota adalah dengan mengambil thariqah (metode) dakwah Rasulallah Muhammad saw. Menurut pemikiran Hizbut Tahrir kondisi kaum muslimin saat ini hidup di darul kufur (wilayah orang-orang kafir) karena mereka menerapkan hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah swt maka keadaan mereka serupa dengan makkah ketika Rasulullah Muhammad saw diutus untuk menyampaikan risalah Islam. Untuk itu fasi makkah dijadikan tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan mensuritauladani Rasulullah Muhammad saw hingga berhasil mendirikan suatu daulah Islamiyah di Madinah. Dakwah yang dibangun oleh Rasulullah tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam yang mencakup segala aspek kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, politik (sistem pemerintahan), dan sosial budaya. Tentunya dalam hal ini bagi HTI menjadi suatu barometer yang sama dalam menjalankan metode dakwah rasulullah dengan tanpa meninggalkan kultur masyarakat Indonesia. Sebagai upaya penyesuaian diri terhadap sistem yang berlaku di Indonesia, HTI berupaya melakukan rekonsiliasi dengan menyamakan gerakan politik HT internasional, yaitu dengan membentuk partai. Namun hal ini tidak serta merta langsung menjadi partai, akan tetapi perlu suatu tahapan-tahapan, mula-mula dari
118
Hizbut Tahrir, Titik Tolak Perjalanan Dakwah Hizbut Tahrir. terj. Muhammad Maghfur, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000, hlm. 23.
hilyah (sel) dulu, kemudian menjadi halaqah (lingkaran pembinaan keilmuan), kutlah (kelompok). HTI terus bergerak dalam tiap tahapan, hingga masuk ditengah-tengah masyarakat dan melakukan interaksi ideologis dengannya. Ketika sudah masuk, mempengaruhi dan memimpin perasaan masyarakat, saat itulah secara fungsional partai dibentuk dan dilaksanakan. Tidak dapat disangkal bahwa HTI walaupun semula didirikan sebagai lembaga organisasi kemasyarakatan (ormas Islam), tidak bersentuhan dengan politik praktis, namun dalam perjalanan sejarahnya skala internasional (awal berdirinya HT) aktifitas HT adalah mengemban dakwah Islam dan juga aktivitas yang bersifat politik. Motivasi non politik tidak bertahan lama, bahkan dengan terang-terangan harus diakui kelahiran HT maupun HTI merupakan langkah politis, baik untuk mempertahankan Islam maupun mengemban dakwah Islam di Seluruh penjuru Dunia. Menurut HTI sesungguhnya peran yang lebih signifikan dalam melakukan gerakan politik di Indonesia adalah sebagai gerakan ekstra parlementer, karena dalam situasi apa pun dan bagaimana pun eksistensi gerakan ekstraparlementer masih diperhatikan dan diperhitungkan, serta dinilai sebagai kekuatan yang tangguh dan handal (the fighter). Hal ini dibuktikan pada tahun 1998, pada momentum gerakan reformasi yang menggulingkan rezim soeharto. Gerakan reformasi yang dimotori oleh Gerakan mahasiswa, Ormas, LSM, Pers dan lain sebagainya memudahkan kekuatan Orde baru untuk diakhiri. Semuanya itu merupakan gerakan yang dibangun secara kolektif diluar sistem pemerintahan.
Gerakan yang dibangun dan yang ditampilkan oleh HTI merupakan gerakan kultural yang dipengaruhi oleh sifat peradaban dan nalar kritis tentang konseptualisasi keislaman, dengan cara mengungkapkan fikrah-fikrah (ide) dan menyajikan suatu sistem politik Islam yang mandiri dan lengkap yang sepenuhnya bersumber dari ajaran Islam dengan merujuk pola politik semasa generasi pertama Islam. Inilah yang membedakan HTI dengan pemikir politik Islam lainnya, seperti Jaringan Islamiyah (JI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lainnya. C. Format Baru Politik Islam di Indonesia Tidak diragukan lagi, bahwa umat (komunitas Muslim) di Indonesia merupakan kelompok mayoritas dibanding kelompok-kelompok keagamaan yang lain. Sebagai komunitas keagamaan, umat mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang dikejar
dan diupayakan sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan modernitas.
Untuk mencapai tujuan dan maksud tersebut, umat telah mendirikan berbagai asosiasi organisasi, melalui mana mereka berjuang mencapai kepentingan politik, pendidikan, sosial, kultural, keagamaan dan intelektual. Terjadinya keragaman praktek dan keragaman konsep dan pemikiran tentang politik Islam, bukan hanya dipengaruhi oleh penafsiran terhadap ajaran umat Islam itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan seperti tuntutan zaman, sejarah, latar belakang budaya, tingkat perkembangan peradaban dan intelektual serta pengaruh peradaban dan pemikiran asing. Artinya, baik faktor internal maupun eksternal sama-sama mempengaruhi keragaman tersebut.
Selalu ada tarik-menarik antara ketentuan-ketentuan normatif dan kenyataan sosial politik dan historis. HTI merupakan salah satu organisasi yang baru dan terbilang fenomenal karena sering tampil dalam memberikan kritik tajam dan mendasar disertai solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dikatakan baru, karena kemunculan HTI dalam ranah sosial politik Indonesia pertama kalinya pasca reformasi, yakni pada sekitar tahun 2000-an. Yaitu pada momentum kampanye penegakan syari'at Islam sebagai solusi krisis yang diderita bangsa Indonesia akibat diterapkannya sistem demokrasi kapitalis. Karena HTI menganggap bahwa sistem yang dibangun oleh bangsa Indonesia adalah sistem demokrasi kapitalis yang merupakan ideologi yang dianut negara-negara barat dan Amerika dengan landasan pemisahan agama dari negara. Sesungguhnya ide atau konsep (fikrah) yang diemban oleh HTI adalah konsep yang dibangun berdasarkan ideologi jelas yakni ideologi Islam. Ideologi Islam merupakan satu-satunya ideologi paling handal di dunia untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia, karena Islam sendiri merupakan agama yang sempurna. Ideologi yang diemban oleh HTI sesungguhnya merupakan Ideologi yang mampu dilawankan dengan ideologi kapitalis demokrasi maupun ideologis sosialis komunis. Ketika ideologi Islam mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi manusia, ideologis kapitalis demokrasi justru menampakkan diri sebagai "monster" jahat yang secara kasat mata telah tampak kerusakannya,
kerusakan yang ditimbulkannya, bahkan multidimensi baik di aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, pendidikan dan sebagainya. Bahkan ideologi sosialis komunis tidak mampu menyaingi ideologis kapitalis (demokrasi) yang sudah demikian kuat dan menyingkirkanya di era 1990-an. Di tengah-tengah kematian ideologi sosialis komunis serta kemerosotan yang semakin tampak mengiringi derap langkah penerapan ideologi kapitalis ini, HTI justru semakin lantang menyeru umat manusia bahwa dunia harus segera diselamatkan dan tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan dunia dari kerusakan yang sangat parah ini kecuali dengan menerapkan syari'at Islam. Syari'at Islam sebagai konstitusi tidak bisa berjalan tanpa adanya negara sebagai instansi pelaksana dari konstitusi tersebut, sebaliknya institusi juga tidak bisa berjalan dengan
baik tanpa adanya konstitusi yang mengatur sistem
berjalanya institusi. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena satu sama lain saling berkaitan. Mengenai bagaimana format yang ditawarkan HTI dalam membangun sistem perpolitikan di Indonesia, nash-nash yang ada tidak memberikan aturan yang pasti, namun HTI menganggap bahwa sistem perpolitikan di Indonesia dengan sistem demokrasi sekuler semakin tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik, sehingga menurut HTI lebih tepat Indonesia menggunakan sistem khilafah. Yang dalam prakteknya menggunakan sistem monarki, yakni mengakui adanya kedaulatan di tangan tuhan mengenai kegiatan politik dan kekuasaan
diserahkan sepenuhnya kepada umat untuk mengatur kehidupannya, dengan tanpa mengenyampingkan nilai-nilai kritis dan humanis. Konsep khilafah bila dilihat dari relasi antara agama dan negara termasuk dalam paradigma integralistik (integrated paradigm). Paradigma ini memberikan suatu konsep tentang bersatunya agama dan negara, di mana keduanya tidak dapat dipisahkan. Menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik sekaligus lembaga keagamaan sehingga dalam wilayah agama terkandung juga urusan politik. Dalam kerangka ini, pandangan bahwa syari'at Islam harus diberlakukan di Indonesia. Menurut Bachtiar Efendi
didasarkan pada tiga faktor penting.
Pertama, bahwa Islam harus dilihat sebagai sebuah agama yang menawarkan bimbingan dan solusi untuk semua aspek kehidupan sosio-kultur, ekonomi, politik, dan seterusnya. Kedua mayoritas penduduk Indonesia, sekitar 87 % adalah Muslim. Kenyataan ini seharusnya menjadi legitimasi sosio-kultur dan politik untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Ketiga, kenyataan bahwa hukum positif-sekular tidak membawa perubahan yang baik bagi bangsa, sehingga Islam bisa jadi solusi terakhir.119 Logika yang dicapai cukup sederhana, umat Islam Indonesia adalah mayoritas sehingga kebijakan politik negara tidak akan berhasil kalau mengesampingkan umat Islam, bahkan umat Islam menjadi faktor penting. Selain 119
DPP HTI Online, "Kaleidoskop Aktivitas Politik Dan Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia", dalam Internet, http://www.hizbut-tahrir.or.id, diakses pada tanggal 22 Desember 2009, Jam 23.00. WIB
masalah demokrasi dan civil society, agama sendiri menjadi bagian integral dari negara, sebab negara yang memiliki tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat atau rakyat jelas tidak bisa mengabaikan orang-orang yang beragama. Bahkan agama sering dijadikan alat negara untuk memperlancar kebijakan-kebijakannya. Begitu pula sebaliknya sering juga agama ingin mempengaruhi kebijakan negara. Maka hubungan antara agama dan negara bagaikan dua sisi mata uang, paling mengesankan dalam sejarah.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Perjalanan kelam dan pasang surutnya gerakan Politik Hizbut Tahrir Indonesia dari sejarah mulai berdiri (sebelum reformasi) hingga sekarang (era demokrasi) berpengaruh terhadap corak pemikiran gerakan-gerakan organisasi yang lain secara umum, termasuk pada diri Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia baik struktural maupun kultural. Karena kemunculan Hizbut Tahrir Indonesia ini dari awal diwarnai dengan aneka ragam gejolak situasi sosio politik yang melingkupinya. Dan yang menjadi lebih menarik dalam organisasi ini adalah keteguhannya dalam memegang prinsip dan semangat dalam memperjuangkan visi dan misi organisasi, yakni melanjutkan kembali kehidupan Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh lapisan masyarakat dipenjuru dunia dengan mengajak kaum muslim untuk kembali hidup secara Islami dalam masyarakat Islam, di mana pergerakan dalam mewujudkan visi dan misi ini bergerak ditengah-tengah "Kepungan" sistem pemerintahan yang demokrasi, yang menurut organisasi HTI disebut sistem kufur. Pada saat masyarakat mengharapkan adanya sebuah kehidupan yang setabil dalam segala sektor mikro maupun makro, namun dalam kenyataannya sistem yang dibentuk oleh penguasa dengan manifesto sistem demokrasi, belum bisa menjawab problematika tersebut. HTI sebagai gerakan revivalisme memunculkan pandangan bahwa syari'at Islam harus diberlakukan di Indonesia, mengingat kondisi Bangsa Negara Indonesia
dihegemoni oleh sistem yang kapitalis dan sekuler yang berdampak pada rusaknya tatanan Islam sampai pada perusakan akidah Islam. Oleh karena itu, Eksistenti Islam harus jelas bahwa Islam harus dilihat sebagai sebuah agama yang menawarkan bimbingan dan solusi untuk semua aspek kehidupan sosio-kultur, ekonomi, politik, dan seterusnya. Karena HTI menganggap bahwa mayoritas penduduk Indonesia, sekitar 87 % adalah Muslim, sehingga potensi dalam menegakan syari'at Islam sangat besar. Kenyataan ini seharusnya menjadi legitimasi sosio-kultur dan politik untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Karena melihat realita yang ada bahwa hukum positif-sekular tidak membawa perubahan yang baik bagi bangsa, sehingga Islam bisa jadi solusi terakhir. Setelah melakukan pembahasan pada bab-bab sebelumnya tentang Gerakan Politik HTI dengan memperhatikan pokok permasalahan yang diangkat, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan organisasi gerakan politik Islam modern Indonesia yang dalam aktivitas politiknya bergerak diluar sistem pemerintahan, sebagai pengontrol dan pengawas kebijakan dan dalam menjalankan roda pemerintahan yang apabila keluar dari koredor Syar'I, jalan ini diambil oleh HTI sebagai bentuk pendekatan politik secara kultural kepada masyarakat dan mempermudah HTI dalam menyuarakan aspirasi politik rakyat dalam segala hal, terlebih dalam penegakan khilafah Islamiah sebagai institusinya, dan syaria't Islam sebagai konstitusinya dalam mengatur segala kehidupan bermasyarakat (muamalah). Karena HTI memiliki paradigma
integralistik dalam memandang hubungan agama dan politik. Kecenderungan integralistik memandang Islam adalah suatu agama yang lengkap dengan petunjuk, mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan bersosial masyarakat dan berpolitik. Hubungan agama dan negara adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. HTI memandang negara sebagai institusi operasional dalam menjalankan konstitusi, satu-satunya yang secara syar'I dijadikan alat untuk
menerapkan
dan
memberlakukan
hukum-hukum Islam secara
menyeluruh. Implementasinya syari'at sangat penting bagi pemulihan cara hidup Islami dan negara merupakan syarat penting untuk mencapai tujuan ini. 2. Gerakan yang dilakukan oleh HTI merupakan gerakan politik, dimana HTI memperhatikan urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan mengambil solusi dengan syar'i. Sebab, dalam pandangan HTI politik adalah mengatur dan memelihara urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum dan pemecahan Islam. Namun tidak mudah merubah menjadi sistem politik khilafah dalam "kepungan" sistem demokrasi yang dinilai kufur oleh HTI. Namun
gerakan politik HTI tetap dalam kerangka negara bangsa, yakni
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, sehingga HTI berencana untuk membentuk partai politik sebagaimana HT dunia yang ada diluar Indonesia.
B. Saran-saran Kehadiran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terbukti memberikan kontribusi pasitif bagi nafas gerakan Islam ke Indonesiaan sejak masa awal berdirinya sampai masa pasca reformasi dewasa ini secara signifikan. Hasil dari penelitian terhadap gerakan politik HTI sebagai organisasi Islam Ekstra parlementer, penulis mengajukan saran : 1. Keberanian dan kedisiplinan Hizbut Tahrir Indonesia untuk membuka kran dakwah dalam berbagai bidang, seyogyanya menjadi inspirasi bagi setiap pribadi Muslim untuk senantiasa mengajak ke jalan yang digariskan oleh agama, dengan tanpa harus dibayang-bayangi ketakutan dan rasa "ewuh pekewuh". 2. Melihat kenyataan dewasa ini, kepada seluruh jajaran lapisan masyarakat yang menghendaki formalisasi syari'ah, hendaknya dapat dilakukan dengan cara mengedepankan kemaslahatan umat dan menghindari adanya anarkisme. Dialog harus dikedepankan untuk meyakinkan semua pihak, khususnya bagi kelompok yang menolak.
C. Kata Penutup Puji Syukur yang tak terhingga penulis panjatkan ke haribaan Allah SWT dengan selesainya penulisan skripsi ini. Penulis merasa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan dan kemampuan penulis sendiri. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat melakukan
penulisan/penelitian yang lebih baik di masa depan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz, "Hizbut Tahrir Masuk Parlemen Mengapa Tidak?", dalam Majalah Hidayatullah, Surabaya: April 2005. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, tt. Adnan Amal, Taufiq, dkk, "Politik Syariat Islam" dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004. Azhar Basyir, Ahmad, Refleksi atas Persoalan Keislaman : Seputar Filsafat, Hukum Politik dan Ekonomi Bandung: Mizan, 1993. Azra, Azyumardi, dkk, Islam Negara dan Civil Society, Jakarta: Paramadina, 2005. Budiardjo, Mariam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Conolly, Peter, Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Yokyakarta: LkiS, 2002. DPP HTI Online, "Kaleidoskop Aktivitas Politik Dan Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia", dalam Internet, http://www.hizbut-tahrir.or.id, diakses pada tanggal 22 Desember 2009, Jam 23.00. WIB. Esposito, John L., (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995. Fawwaz, A. Gregez, Amerika dan Islam Politik; Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan, Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Ghafar Aziz, Abdul, Islam Politik, Pro dan Kontra, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1995. Hanan, Djayadi, Gerakan Pelajar Islam; dibawah Bayang-bayang Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002. Hizbut Tahrir, Titik Tolak Perjalanan Dakwah Hizbut Tahrir. terj. Muhammad Maghfur, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000.
___________, Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Abu Fuad dan Abu Raihan, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000. ___________, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut tahrir, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, Cet. III, 2009. ___________, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Islam Ideologis, terj. Abu Afif dan Nur khalis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000. Hunter, T. Shireen, Politik kebangkitan Islam, keragaman dan Kesatuan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001. Ilmi, Miftahul, Persepsi Ulama NU Tentang Sistem Khilafah, Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2008. Ismail, Faisal, Islam Idealitas Ilahiyah Dan Realitas Insaniyah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999. Karim, Abdul, dkk, Wacana politik Islam Kontemporer, Yogyakarta: SUKA Press, 2007. Kartono, Kartini, Pengantar Metodologis Riset Sosial Bandung: Mundur Maju, 1990. Kholiq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005. Makassari, Ridwan, Dilema HAM di Indonesia, Detikcom-Jakarta: Selasa 16 Desember 2008 Pukul 09.53 WIB. Moleong, Lexy J., Metode penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2001. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002. Muin Salim, Abdul, Konsepsi kekuasaan Politik Dalam Al-Qur an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Nabhani, Taqiyyudin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Nur Khalis, Terj. Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Naezi, Ahmed, Agama Politik, Nalar Politik Islam, Jakarta: Citra, 2006.
Nashir, Haedar, Gerakan Islam Syari at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2007. Nata, Abuddin, Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 2002. Nawawi, Hadati, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993. Rahmat, Imdadun, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005. Rifa'I, Dimyati, (Penj.) Tantangan politik Negara Islam, Malang: Pustaka Zamzami, 2003. Riyadi, Selamet, Analisis terhadap Konsep Khilafah Menurut Hizbut Tahrir, Semarang: Sekripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2008. Samarah, Ihsan, Biografi Singkat Taqiyuddin al-Nabhani, Bogor: Al-Izzah Press, 2002. Salim, Muin Abdul, Konsepsi kekuasaan Politik Dalam Al-Qur an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Shalabi, Ali Muhammad, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniah, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003. Sudarno, Shobron, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Pentas Politik Nasional, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2006. Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke 12, 1998. Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002 Turmudzi, Endang, dan Riza Sihabudin (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2006. Wawancara dengan Ust. Ir. Abdullah (Ketua HTI Jawa Tengah), pada hari Sabtu, tanggal 2 Januari 2010, Pukul 17.00-18.30 WIB.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. TEHAZED, 2009.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. DATA PRIBADI Nama Tempat / tgl lahir Agama Jenis kelamin Alamat
: Zaenal Abidin : Semarang, 4 April 1983 : Islam : Laki-laki : Jl. Karangasem raya Rt 01/Rw I Kelurahan Trimulyo Kecamatan Genuk Kota Semarang
2. PENDIDIKAN FORMAL a. b. c. d. e.
TK Pertiwi Trimulyo Genuk Semarang, Lulus Tahun 1990 SDN Trimulyo 02 Genuk Semarang, Lulus Tahun 1996 MTs Futuhiyyah-1 Mranggen Demak, Lulus Tahun 1999 MA Futuhiyyah-1 Mranggen Demak, Lulus Tahun 2003 IAIN Walisongo Semarang, Fakultas Syari'ah, Lulus Tahun 2010
3. PENDIDIKAN NON FORMAL a. Pondok Pesantren PA/PI Al-Anwar Suburan Mranggen Demak 4. PENGALAMAN ORGANISASI a. b. c. d. e. f.
Sekjend BEMJ Siyasah Jinayah, Th. Periode 2006/2007 Ketua Umum HMI Korkom Walisongo Semarang, Periode 2006/2007 Ketua HMI Cabang Semarang, Th. Periode 2007/2008 Ketua MPKPC HMI Cabang Semarang, Th. Periode 2009/2010 Ketua Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) Semarang, Th. Periode 2009/2012 Ketua Umum Ikatan Alumni Santri Pondok Pesantren AL-Anwar (IKASPA) Suburan Mranggen Demak, Th. Periode 2008/2010 g. Ketua Umum HIMA KOSGORO 1957 Jawa Tengah, Th Periode 2009/2012 h. Pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Semarang, Th. 2009/2011 i. LSM HUMANIKA (Himpunan Masyarakat Untuk Keadilan dan Kemanusiaan) Jawa Tengah Tahun 2004 j. Wakil Sekjend Ikhwanul Muballighin Jawa Tengah, Th. Periode 2006/2010 Semarang, 5 Juni 2010 Hormat Saya Zaenal Abidin