LLOl sn~sn6'1 msoduaa
'''P'8"'Pl"SOS 4m1's11!tWOJUJ"l'll'I
e~epng eueuf "
JNANA BUDAYA VOLUME 16 NOMER 2 BULAN AGUSTUS TAHUN 2011 No. Akreditasi: 32/Akred-LIPl/P2MBI/04/2011 Jnana Budaya merupakan seri penerbitan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Ditjen Nilai Budaya Seni dan Film, Kementerian Budpar. Diterbitkan secara berkala dua kali dalam setahun. Jnana Budaya merupakan sebuah wadah untuk memberikan ruang dalam menyampaikan gagasan atau pun bersifat informasi berkaitan dengan bidang sejarah, sosial dan 'budaya. Fokus dari jumal Jnana Budaya merupakan basil pemikiran yang original dan aktual baik dalam tataran konsep ataupun dalam wujud yang sifatnya praktisi. Kata "Jnana" berasal dari Bahasa Jawa Kuna yang berarti pengetahuan. Sedangkan "" budaya " merupakan konstruksi dari pola kehidupan masyarakat. Secara harfiah Jnana Budaya berarti pengetahuan tentang kebudayaan yang terdapat di dalam masyarakat. Ketua Dewan Redaksi
Ors. I Wayan Rupa, M.Si (Agama dan Kebudayaan)
Dewan Penyunting
Prof. Dr. I Made Suastika, SU (Kajian Budaya) Prof. Dr. I Nengah Sudipa, MA. (Sosiolinguistik) Prof. Dr.Emiliana Mariyah, M.S. (Antropologi) Dr. I Gede Mudana, M.Si. (Kajian Budaya) Ferry Sadikin, ST., M.E. (Bahasa Inggris)
Mitra I3estari
Prof. Dr. I Gde Parimartha, MA. (llmu Sejarah) Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha, M.Si. (Teologi)
Sekretaris Dewan Redaksi
I Gusti Ngurahlayanti, S.Sos.,M.Si. (Antropologi)
Redaksi Pelaksana
I Made Dharma Suteja, S.S., M.Si (Antropologi) Ora. I Gst. Ayu Annini (Bahasa Indonesia) Ors. I Made Satyananda (Bahasa Indonesia) Nuryahman, S.S (Ilmu Sejarah)
Desai Cover
Hartono, S.S., I Wayan Suca Sumadi, SH.
Distirbutor
I Made Sedana, BA, I Kadek Dwikayana
Diterbitkan Oleh
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB clan NIT Tahun anggaran 2011
Dicetak
PT. Percetakan Bali Anggota IKAPI JI. Gajah Mada Ill Denpasar, Telp. (0361) 234 723 .
Alamat Redaksi
.
-
Kantor: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB dan NIT, Jalan Raya Dalung-Abian Base No. 107. Faks. (0361) 439547 I Tip. (0361) 439546. Website : www.bpsntbali.com . E-mail:
[email protected],
[email protected]
L
PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatbn kepada T!.lhan Yang Maha Esa, karena berkatNya, Jumal Joana Budaya dapat dipublikasikan. Penerbitan kali ini adalah volume yang ke-16 Nomer 2 Agustus 2011. Publikasi ini merupakan wadah untuk memberikan ruang menyampaikan gagasan original yang bersifat informatif berkaitan dengan bidang Sejarah, Sosial, dan, Budaya. Tulisan ini diawali oleh penulis J Nyoman Sukartha dengan judul: " Konsepsi Nilai Budaya Bali Dalam Sastra Kakawin dan Geguritan". Dijelaskan bahwa kakawin da!l geguritan di dalamnya terdapat berbagai konsepsi tentang nilai. Konsepsi nilai-nilai itu di antaranya: nilai etika berbahasa, nilai bertingkah laku yang baik atau morulitas, konsepsi hidup sederhana/bersahaja dan konsepsi belajar seumnr hidup. Aplikasi ni!ai-nilai akan merujuk dari sastra kakawin dan geguritan di antaranya : Kakawin Sutasoma, Kakawin Niti Sastra, Arjuna Wiwaha dan Geguritan Selampah Laku. Pengetahuan tentang logam, Tjokorda Udiana Nindhia Pemayun, dan Tjokorde Gde Tirta Nindhia akan membahas " Teknik Membedakan Perunggu dan Kuningan Pada Karya Seni Logam". Dijelaskan bahwa pengetahuan tentang logam berpengaruh terhadap kebudayaan umat manusia. Hal ini dibuktikan dengan penamaan jaman dengan nama-nama logam seperti jaman perunggu dan juga jaman besi. Identifikasi bahan-bahan logam untuk keperluan pembuatan karya seni logam seperti patung, area, gambelan, hiasan baik hiasan meja ataupun pintu bahkan untuk cinderamata tidaklah mudah dilakukan karena tidak bisa diidentifikasi tanpa menggunakan teknik atau peralatan uji yang tentu saja membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu yang cukup lama. Dengan teknologi ini maka identifikasi jenis perunggu dan kuningan, dengan cepat dapat dilakukan sehingga para seniman logam di Indonesia dapat mempersiapkan karya mereka dengan menggunakan bahan logam yang terjamin komposisinya. Masih kaitannya tentang penelitian logam, Cokorda Istri Surynwati akan mengangkat judul: "Uang Kepeng (Pis Bolong) Sebagai Sarana Upakara Bagi Umat Hindu". Dalam tulisannya dijelaskan bahwa uang kepeng termasuk salah satu jenis uang logam (coins) yang pemah digunakan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan transaksi pada jaman kerajaan-kerajaan di Indonesia, termasuk Bali sejak beberapa abad yang lalu sampai menjelangjaman kemerdekaan. Pemakaian pis bolong (Uang Kepeng) sebagai sarana upakara umat Hindu di Bali merupakan bukti terhadap meresapnya-budaya Cina sejak berabad-abad yang lalu. Pis Bolong diperkirakan masuk ke Bali abad ke-14 dan masih dipakai sebagai alat tukar di Bali sampai tahun 1950.Keunikan lain dari uang kepeng adalah dipakai bahan pada area pemujaan Rambut Sedana. Hasil
penelitian menunjukkan sebelum masuknya uang kepeng ke Bali area ini dibuat dari perunggu atau perak. Sehingga sejak saat itu banyak pis bolong tiruan yang beiwama hitam atau kuning dan kualitasnya rendah. Walaupun tiruan, fungsinya sebagai sarana upakara tidak dipermasalahkan. ' Selanjutnya, l Wayan Rupa akan melengkapi tulisan ini dengan judul : "Sistem Pelapisan.Sosial dan Assigned Status Pada Masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan". Dijelaskan bahwa penduduk Desa Tenganaa Pegringsingan terdiri atas dua golongan yaitu orang Tenganan asli dan penduduk pendatang yang disebut dengan wong angendok. Selain sistem pelapisan itu, juga dikenal dengan adanya assigned status yaitu kedudukan yang dibl!rikan. Assigned status memiliki kedudukan yang horisontal clan vertikal dan diberikan kepada klan tertentu untuk melengkapi struktur desa. Sistem pelapisan ini mewujudkan adanya sejumlah hak dan kewajiban tertentu terhadap orang-orang yang menempati kedudukan tersebut. Masih kaitannya dengan tradisi, I Wayan Sudanna dengan tulisan berjudul : "Upacara Tradisional Taur Agung di Pura Tri Kahyangan Desa Pakraman Bajera". D!jelaskan bahwa Upacara Taur Agung Ngenteg Linggih di Desa Pakraman Bajera Kabupaten Tabanan tersirat makna-makna spiritual yang diyakini oleh masyarakatnya. Upacara Taur Agung, Padudusan Agung, Memungkah, Ngenteg Linggih, Ngusaha Desa Lan Ngusaba Nini secara umum memiliki makna penyucian secara spiritual alam makrokosmos dan mikrokosmos. Secara makrokosmos (buana agung) adalah pembersihan atau penyucian terhadap tempat-tempat suci di khayangan dan w ilayah desa sehingga terciptanya suatu keseimbangan. Sedangkan secara mikrokosmos (buana alit) adalah membersihkan atau menyucikan jiwa dan raga manusia sebagai penghuninya sehingga dapat mewujudkan hubungan yang harmonis antar sesama, alam, dan Ida Hyang Widhi. Kemudian Ni Luh Ariani akan melengkapi jumal ini dengan tulisan berjudul : "Perang Timbung Tradisi Lokal Masyarakat Sasak" di Desa Pejanggik Praya Tengah Lombok Tengah. Dijelaskan bahwa tradisi Perang Timbung di dalamnya tersirat nilai-nilai yang menjadi panutan atau tuntunan dalam menjalani kehidupan yang perlu diteladani dan dihayati sebagai pegangan hidup lahir bathin Nilai-nilai kehidupan itu di antaranya: nilai religius, nilai etika, nilai solidaritas, dan yang lainnya. Nilainilai luhur yang terdapat dalam rangkaian tradisi upacara Perang Timbung ini perlu diperkenalkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Sasak dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tulisan· selanjutnya adalah mengenai aspek kepemimpinan dalam demokrasi akan disajikan oleh Ida Bagus Sugianto dengan judul : "Sosok Pemimpin Dalam Demokrasi". Dijelaskan bahwa sosok kepemimpinan dalam kehidupan demokrasi yang ideal dan sesuai dengan karakter bangsa, haruslah
I
I I
I
J
seseorang ataupun kelompok orang yang mengenal secara penuh kondisi bangsanya. Bangsa Indonesia yang dikenal majemuk masyarakatnya harus mempunyai pemimpin yang sanggup menjaga integritas bangsa dan di sisi lain mampu memberikan ruang atau saluran bagi masyarakat yang majemuk sesuai dengan platform dari landasan demokrasi itu sendiri. Sosok ini dapat dibentuk dengan melihat kembali perjalanan sejarah bangsa ini dari awal hingga terbentuknya negara bangsa. Demokrasi lahir dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tulisan ini akan disajikan oleh Ni Luh Ariani dan I Made Suma1ja dengan judul : "Sumbawa Pada Masa Belanda Sampai Revolusi Fisik 18751950". Dijelaskan bahwa, masuknya kekuasaan Barat ke Indonesia membawa perubahan kehidupan rakyat. Sejak abad ke-19. Belanda mulai mengadakan pembaharuan politik kolonealnya, mempraktekkan sistem ekonomi baru, hakhak yang diberikan oleh adat dihapus, upacara dan tatacara yang berlaku di istana kerajaan juga disederhanakan, sehingga ikatan tradisi dalam kehidupan pribumi menjadi lemah. Puncak kekuasaan Belanda di Sumbawa pada masa pemerintahan Sultan Amrullah II, yakni dengan ditandatanganinya pengakuan kekuasaan Belr.nda atas Sumbawa pada tahun 1875. Kedatangan Jepang yang sangat ditunggu-tunggu oleh rakyat dengan harapan berakhirnya penindasan Belanda, temyata tidak menjadi kenyataan. Pendudukan Jepang yang singkat tapi maha ganas memperkuat tekad rakyat Sumbawa untuk merebut kemerdekaan agar keadilan sesungguhnya dapat dilaksanakan. Setelah Jepang menyerah dan di proklamirkannya kemerdekaan Indonesia, temyata Belanda kembali melakukan agresi mihtemya di bawah naungan Sekutu. Perjuangan setelah kemerdekaan ini di kenal dengan revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tradisi lisan yang berkembang pada kehidupan masyarakat Indonesia adalah salah salah satu khazanah budaya bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan keberadaannya, kaitannya dengan tradisi ini Yufiza akan mengkaji dari aspek: "Mitos dan Kesehatan: Memahami Konsep Sehat Melalui Foklor". Dijelaskan bahwa, kesehatan merupakan unsur dari kehidupan setiap manusia, sehingga apabila ada ·sedikit gangguan dari sistem kesehatan dalam tubuh manusia maka berbagai macam cara dilakukan untuk dapat sembuh dari gangguan tersebut. Sehat dan sakit, merupakan konsep dari sistem kesehatan yang tidak dapat dilepaskan satu sama lainnya. Sehat-sakit tidak hanya tejadi dalam sistem biologis seseorang namun dapat terjadi dalam sistem sosial dan budaya seseorang. Kesehatan seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya yang ada dalam diri, keluarga serta lingkungannya. Sehingga seseorang dapat d.ikatakan sehat apabila kondisi biologis dan lingkungannya berimbang menurut budaya yang dilakoninya selama hidup. Budaya pada diri seseorang tidaklah sama dengan budaya yang ada pada orang lain. Sehingga konsep sehat dan cara menanggulangi
sakit juga berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lainnya. AA. Gdc Rai Gria, akan melengkapi dengan tulisan berjudul : "Catatan Sasana Sang Sulinggih dan Ekajati". Dijelaskan bahwa Sulinggih (Dwijati) dan Ekajati (Pemangku) mempunyai tugas dan fungsi seperti y'ang telah digariskan dalam Sasana. Sulinggih dan Ekajati juga berkewajiban memberikan tuntunan rokhani, bimbingan, dan muput (menyelesaikan) upacara yadnya atas permintaan masyarakat. Bali dengan segala aspek kebudayaan tradisionalnya kini hidup dan berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakatnya keberadaannya tengah dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya, satu di antaranya adalah kesenian tradisional Wayang Lemah. Bentuk Apresiasi dan Ekpresi Kesenian ini akan dibahas oleh I Gusti Ayu Agung Sumarheni dengan judul tulisan "Wayang Lemah Bentuk.Apresiasi dan Ekpresi Kesenian Bali". Dijelaskan bahwa kesenian Wayang Lemah oleh masyarakat Bali difungsikan sebagai sarana ritual dalam upacara keagamaan. Wayang Lemah dipentaskan pada siang hari menyesuaikan dengan puncak upacara keagamaan. Di dalam tema cerita banyak tersirat petuah-petuah dan nilai-nilai pendidikan bagi masyarakat pendukungnya. Nilai yang terdapat dalam ajaran agama penting untuk diayati dan diaktualisasikan ke dalam kehidupan. Akan sangat ironi bila apa yang dipahami tidak mencerminkan sikap hidup dan tidak dijadikan tuntunan sebagai pola bagi kelakuan. Banyak hal yang dapat diamati seperti halnya tabuh rah di Bali. "Tabuh rah" merupakan rangkaian upacara yadnya yang umum di Bali. Namun dalam kenyataanya "tabuh rah " perlahan berkembang menjadi perjudiaan sambung ayam. Kasus-kasus tersebut banyak terjadi di berbagai tempat di Bali. Mengenai sabung ayam akan dikaji lebih mendalam oleh I Gusti Ketut Gde Arsana dengan judul tulisan "Sabung Ayam (Tajen) di Bali: di Antara Ranah Budaya dan Hukum. Dalam pembahasannya dijelaskan bahwa dalam sudut pandang hukum, sabung ayam dapat dikatagorikan sebagai salah satu bentuk "judi", dan oleh karenanya, penegakan hukum terhadapnya tidaklah semestinya menghadapi problematikanya. Namun demikian, realitasnya tidaklah selalu demikian. Hukum dalam perkara semacam itu, dengan demikian sering menjadi gamang. Secara budaya sambung ayam menjadi sangat kompleks dalam penafsirannya. Hal ini dikaitkan dalam rar.ah religi dan budaya. Dalam ranah religi dikaitkan dengan ritual keagamaan seperti "tabuh rah" sedangkan dalam kontek budaya ditafsirkan ke dalam pola pemahaman simbolik, secara sistemik memandang bahwa esensi tajen memiliki hubungart erat dengan praktik ritual keagamaan Hindu, di Bali. Tajen adalah sintesa dari "tabuh rah"; karena dalam pertarungan ayam itu akan selalu terjadi pertumpahan darah, apalagi ayam yang bertarung itu juga dilengkapi dengan "taji". Selain itu, ayam jantan Uago) kemudian
dihubungkan secara simbolik dengan logika dalam membayangkan watak dari kekuatan makhluk yang secara kosmologi Hindu di Bali disebut "bhuta kala'', yang dipersonifikasi menyerupai sifat-sifat dari ayam jantan itu. Sedangkan yang lainnya, mengokohkan logika interpretatifnya dengan mengaitkan tajen tersebut sebagai pengungkapan simbolik yang merefleksikan tentang hakikat hidup ini adalah beroposisi biner seperti hidup/ mati, kalah/menang, baik/buruk, dan seterusnya; yang semua itu memang terdapat dalam teosofi Hindu, terutama dalam ajaran tentang "rwa bhineda"-nya. Tulisan selanjutnya berjudul "Persoalan Pariwisata serta Ruang Ekologi dan Budaya Masyarakat Bali. Tulisan ini dibuat secara berkelompok oleh I Gede Mudana dan Ni Wayan Ardini. Dalam pembahasan dijelaskan bahwa pembangunan pariwisata berdampak terhadap ekologi. Hal ini sangat terkait dengan hegemoni pemerintah. Hegemoni tampak dari Perlawanan masyarakat dalam pcmbangunan pariwisata. Hubungan yang tercipta adalah hubungan politik, mempengaruhi hubungan antara masyarakat dan pengusaha (hubungan ekonomi), hubungan antara masyarakat dan lingkungan (hubungan ekologi), dan hubungan antara masyarakat dan adat dan agama (hubungan budaya). Dengan cara yang sama, makna politik, yang lahir dari hubungan politik dalam hubungan antara masyarakat dan pemerintah, memengaruhi makna ekonomi (makna dalam hubungan antara masyarakat dan pengusaha), makna ekologi (makna dalam hubungan antara masyarakat dan ekologi), dan makna budaya (makna dalam hubungan antara masyarakat dan adat dan agama). Semua pengaruh tersebut, baik dalam hal hubungan maupun makna, mengandung hegemoni yang berlangsung dari pihak pemerintah kepada pihak masyarakat. Lebih lanjut dalam pembahasan juga dikemukakan bahwa telah terjadi komodifikasi dalam pernbangunan pariwisata di Bali. Daerah tujuan wisata Bali mengalami proses komodifikasi, yaitu secara sengaja dipikirkan dan diniatkan untuk diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan bisnis pariwisata yang dilakukannya. Proses komodifikasi di kawasan-kawasan wisata di Bali tidak menjadi dominasi pengusaha (pengembang pariwisata) karena pada dasamya masyarakat setempat pun, atau lebih tepat siapa pun yang mengais rejeki berkenaan dengan keindahan pemandangan pura, sebenarnya telah melakukan proses yang sama, meskipun dengan kadar dan tanggung jawab yang berbeda. Tulisan selanjutnya terkait dengan persoalan konftik Adat di Bali. Konflik sering terjadi dalam tataran kehidupan masyarakat. Konflik merupakan hal yang tumbuh dan berkembang sebagai syarat adanya dinamika dalam masyarakat. Namun konflik harus dikelola dengan baik agar menjadi sesuatu perubahan yang positip. Mengenai kajian konflik ini akan dibahas secara mendalam oleh I Gede Suartika dalam judul :
l
l
"Aspek-aspek Konflik Adat di Desa Palframan Pengosekan, Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar". Dalam pembahasan dijelaskan bahwa, konflik banyak ragamnya salah satunya adalah konflik adat yang terjadi di Desa Pakraman Pengosekan, Des a_ Mas, Ubud, Gianyar ( 1997-2007) menarik untuk diteliti. Konflik adat yang awalnya memiliki permasalahan yang sederhana bila tidak bisa diselesaikan dengan baik juga dalam waktu singkat membawa ketegangan tinggi, dan mencekam rasa aman bagi penduduk di sekitarnya. Konflik yang terjadi pada komunitas adat desa pekeraman pangosekan merupakan salah satu contoh yang dapat dijadikan kajian. Awalnya, konflik itu muncul karena persoalan yang relatif sederhana, tetapi ketika unsur-unsur kedinasan terlibat di dalamnya, konflik itu tampak sulit disele8aikan, bahkan sampai membawa akibat pengerusakan sarana umum pedesaan. Atas dasar situasi yang rumit dan kompleks itu, konflik adat di Desa Pakraman Pengosekan yang melibatkan warga yang dikenal sebagai Warga Desa Kaja, berhadapan dengan Desa Pakraman Pengosekan menarik diteliti. Hal ini karena juga melibatkan pihak pemerintahan dinas (Desa Mas, Kelurahan Ubud). Sebagai sebuah persyaratan Jumal ilmiah, volume ini menghadirkan Resensi buku tentang" Ekonomi Uma Penerapan Adat dalam Dinamika Ekonomi Berbasis Kekerabatan akan dibahas oleh I Gusti Ayu Annini. Dijeiaskan bahwa keberadaan uma (rumah, dalam arti luas) pada masyarakat Etnis Sumba menunjukkan adanya peran sosial, ekonomi, dan budaya di dalamnya. Posisi uma tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan hubungan kekerabatan atau keanggotaan klen yang disebut kabihu. Kabihu mempakan ciri khas masyarakat Sumba yang mengatur kekerabatan berdasarkan -garis keturunan laki-laki. Seorang laki-laki yang sudah menikah berupaya mendirikan uma sebagai tempat tinggal seluruh anggota kelu&rga. Di sini uma berfungsi sebagai rumah tempat tinggal dan seluruh aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya keluarga. Uma pun di bangun berdasarkan konsep-konsep budaya guna mengakomodir seluruh aktivitas baik aktivitas sosial maupun ekomomi. Berbagai pembahasan telah disajikan oleh para penulis pada volume 16 Nomor 2 Agustus 2011 ini, tentu masih banyak kekurangan dan perlu dibenahi sebagai penyempumaan sehingga mohon kritik dan sarannya guna penyempumaan pada penerbitan edisi berikutnya. At_as sumbangsih pemikirannya kami ucapkan terima kasih.
I I
~ ,1
l .\ I
I
Dewan Redaksi
~i
/1.1\ft::UllU:S/: :JL'I!AKrea-LJf'llf'2MBl/0412011
fi~·.·.···/~ @}£ Media lnformasl Sejarah, Sosial dan Budaya
DAFTARISI Konsepsi Nilai Budaya Bali dalam Sastra Kakawin dan Geguritan I Nyornan Sukartha ... .. .... ... ... .... ..... .. ........... .. ... . ... ...... ........ ..... ........
161 - 170
Teknik Membedakan Perunggu dan Kuningan Pada Karya Seni Logam T]okorda Udiana Nindhia Pemayun Dan Tjokorda Gde Tirta Nindhia ...............................................................
171 - 176
Uang Kepeng (Pis Bolong) Sebagai Sarana Upakara Bagi Umat U1nrln
.&..l..IJ.J.UU.
Cokorda Istri Suryawati ..... ... .............. ... ...... ... ... ..... ...... .. ......... ..........
177 - 184
Sistem Pelapisan Sosial dan Assigned Status. pada Masyarakat Desa ·· Tenganan Pegringsingan I Wayan Rupa .................................................................................... 185 - 196 Upacara Tradisional Taur Agung, Di Pura Tri Kahyangan Desa Pakraman Bajera I Wayan Sudarma ... ............ .......... ........... .. ............ ..... .... .... ... ........ ... .. 197 - 208 "Perang Timbung" Tradisi Lokal Masyarakat Sasak Di Desa Pejanggik, Praya Tengah, Lombok Tengah Ni Luh Ariani .. .. .. ..... ..... .. .. ................. .. .. ..... .. ...................... ....... .. ... .. . 209 - 218 Sosok Pemimpin Dalam Demokrasi Ida Bagus Sugianto .. .... .. ......... .... ............... .. ......... ...... .. ..... ... .. .. .. ... .. . 219 - 226 Sumbawa Pada Masa Belanda Sampai Revolusi F isik 1875 - 1950 Ni luh Ariani Dan I Made Sumarja ................................................... 227 - 242
;;;J::·.
Mitos Dan Kesehatan: Memahami·Konsep Sehat Melalui Foklor Yufiza .................................................................................................
243 - 252
Sekilas Catatan Tentang Sasana Sang Sulinggih Dan Ekajati A. A. Gde Rai Gria ...........................................................................
253 - 260
Wayang Lemah Bentuk Apresiasi Dan Ekspresi Kesenian Di Bali I Gusti Ayu Agung Sumarheni .. .... .... ... .. .... .. ...... .. .. .. ..... ... .. ..... .. .. .. ......
261 - 270
Sabung A.yam (Tajen) di Bali: di Antara Ranah Budaya dan Hukum I Gusti Ke tut Arsana ..... ... ... .... .. ............... ................. ..... .. ....... .. ..... ....
271 - 284
Persoalan Pariwisata Serta Ruang Ekologi dan Budaya Masyarakat Bali I Gede Mudana dan Ni Wayan Ardini ........... .......... ........ ......... ...... .. . 285 - 298 Aspek - aspek konflik Adat di desa Pakraman Pengosekan, Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar I Gede Suartika .. .. . .. ....... ...... ........ ..... .. .. ......... .. .. .. ........ .. .. .. ... ..... ........ 299 - 316 Ekonomi Uma Dan Pemikiran Lokal Masyarakat Sumba I Gusti Ayu Armini ............................................................................. 317 - 328 Lembar Abstrak ................................................................................ .
I - IX
lndeks Subjek ..................................................................................... .
XI - XVI
Indeks Penulis..................................................................................... xvii - xvii Ucapan Terima Kasih .........................................................................
XIX - XIX
;J
•Juu'"'/5 n.yum ! 1u1e"J
ui
vuu .-
u1
.11.mara .ouaaya aan Nutrum (I Cius ti Ketut Gde Arsana)
SABUNG AYAM (TAJEN) DI BALI: DI ANTARA RANAH BUDAYA DAN HUKUM I Gusti Ketut Gde Arsana Universitas Udayana
Naskah diterima, 3 Maret 2011, diterima setelah perbaikan 28 April 2011 disetujui untuk dicetak, 9 Juni 2011
ABSTRAK Sabung ayam (tajen) di Bali telah lama menjadi persoalan hukwn yang tampaknya terus berlanjut, sampai sekarang. Hal itu terjadi disebabkan terutama oieh adanya pengaburan batas-batas antara fungsinya sebagai tabuh rah yang terkait dengan ritus keagamaan, dan ataupun adat. Pengaburan batas-batas fungsinya seperti itu mengakibaL1
ABSTRACT Cock fighting (Fajen) in Bali has been law problem since long time ago, and continue until now. It happened primarily due to the blurring of boundaries between its function as as tabuh rah related with religious rites, and customs. Blurring the function boundaries make Tajen can be classified as tabuh rah so it is legal according to religion doctrin (sacred canopy). As the result, the law enforcement to be giddy in bid to curb cockfighting mainly coverted through the activities of religious rites. This paper will present the sorting of Tajen in Bali in its function as an integral part of religious rites (the realm of culture) based on provisions religious literature and the development of its functions that can be class~'ied as a form of criminal offenses (the realm of law) as was stipulated in KUHP. Keywords.- Cockfighting, religion, and law.
271
........ - ........ _,,. _ _..J_.. •
-·.-.··~-
----··-···--·--
A. PENDAHULUAN Trend perbincangan mengenai "tajen" (sabung ayam) di Bali sering mengalami pasang surut. Walaupun di mata hukum sabung ayam itu dapat dikatagorikan sebagai salah satu bentuk "judi", dan oleh karenanya, penegakan hukum terhadapnya tidaklah semestinya menghadapi problematikanya. Namun demikian, realitasnya tidaklah selalu demikian. Hukum dalam perkara semacam itu, dengan demikian sering menjadi gamang. Secara emik, "tajen" bagi sebagian orang di daerah Bali ini masih ada yang merasa enggan apabila dikategorikan sebagai ')udi". Dari perspektif ini, tajen sepertinya memang tidak serta merta disejajarkan dengan jenis judi yang lain. Untuk mengokohkan pandangannya itu, tajen dalam eksistensinya lalu diselubungkan dengan analogi penafsiran simbol yang secara sistemik memandang bahwa esensi tajen memiliki hubungan erat dengan praktik ritual keagamaan Hindu, di Bali. Tajen adalah sintesa dari "tabuh rah"; karena dalam pertarungan ayam itu akan selalu terjadi pertumpahan darah, apalagi ayam yang bertarung itu juga dilengkapi dengan "ta){'. Selain itu, ayam jantan Gago) kemudian dihubungkan secara simbolik dengan logika dalam membayangkan watak dari kekuatan makhluk yang secara kosmologi Hindu di Bali disebut "bhuta kala'', yang dipersonifikasi menyerupai sifat-sifat dari ayamjantan itu. Sedangkan yang lainnya, mengokohkan logika interpretatifnya dengan mengaitkan tajen tersebut sebagai pengungkapan simbolik yang merefteksikan tentang hakikat hidup ini adalah beroposisi biner seperti hidup/ mati, kalah/menang, baik/buruk, dan seterusnya; yang semua itu memang
272
terdapat dalam teosofi Hindu, terutama dalam ajaran tentang "twa bhineda"-nya. Analogi penafsiran simbolik yang bersifat eksotedk semacam itu, dari sudut pandangan kelompok tertentu tanpa mengecualikanbahwasabungayam(tajen) itu adalah bagian integral dari rangkaian ritual keagamaan. Secara imajiner mereka membayangkan bahwa praktik ritual seperti itu memiliki legalitas sacral atau menjadi sacred canopy (dipinjam dari istilah: Jim Amadudin, 2000: 6). Geertz (1992: 219) berpandangan bahwa sabung ayam (tajen) di Bali telah menjadi apa yang ia sebut sebagai "entitas sosiologis". Sabung ayam menurutnya, bukan sematamata merupakan tontonan perkelahian antara dua ekor ayam di dalam panggung, tetapi lebih jauh memiliki arti yang sangat mendalam. Dia menjadi arena pergulatan status yang dianggapnya dapat menentukan derajat atau martabat seseorang/kelompok (simbol partexcellent), yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bali. Berdasarkan eksistensinya seperti itu penen~pan pasal 303 KUHP yang berintikan tentang "pemberantasan judi" khususnya sabung ayam (tajen) di Bali seringkali menjadi problematis. Problema seperti itu bukan saja dialami oleh para penegak hukum saat ini, tetapi juga oleh pemerintah sejak lama. Geertz (1992: 207) mencatat bahwa penertiban sabung ayam di Bali sudah berlangsung sejak awal pemerintahan Republik Indonesia pascakolonial dengan penerapan sangsi hukum yang jauh lebih berat · jika dibandingkan dengan sangsi hukum seperti yang diatur di dalam pasal 303 KUHP tersebut.
.oJuuuri0 n.yum ! JUJ"'"I ui uuu . vi n.ruuru uuuuyu uuri nuttum (1 \JU:ill
Untuk. memperoleh wawasan yang lebih objektif dan netral, artikel kecil ini akan mencoba membahas secara proforsional posisi sabung ayam (tajen) tersebut sebagai ranah budaya dan hukum di daerah ini.
B. PEMBAHASAN Sejumlah sumber pustaka yang ada ketentuan meDgenai apa yang disebut dengan tabuh rah (pengorbanan darah) memang ada beberapa di antaranya ditemukan dalam prasasti-prasasti yang tergoloug kuno di daerah ini. Kegiatan tersebut biasanya dikaitkan sebagai bagian integral dari sebuah rangkaian ritusritus dan menjadi tradisi dalam upacara keagamaan di Bali. Sejumlah sumber pustaka baik itu berupa prasasti maupun lontar seringkali dapat ditemukan adanya kata tabuh rah yang kemudian dikaitkan dengan legalitasnya secara keagamaan, sosio-politik maupun hukum. 1. Prasasti Bali kuno yakni Prasasti Sukawana Al yang berangka tahun Caka 804 ditemukan adanya kata blindarah; Dan yang kemudian oleh Dr. Goris mengartikan kata blindarah itu sebagai korban darah yang biasanya menyertai sebuah rangkaian ritus keagamaan di daerah ini. 2. Prasasti Batur Abang A yang berangka tahun Caka 933 menyebutkan: .... Mwang yan pakarya karya, masanga juang wgila ya manangun makantang tlung parahatan i thaninya tan pamwita, tan pawwata ring nayaka saksi.. ...
l\.t:tUI
vue rtrsana;
Artinya: .... .lagi pula mengadakan upacaraupacara misalnya tawur kesanga, patutlah mengadakan sabungan ayam tiga angakatan (saet) di desanya tidaklah minta izin, tidaklah memberitahukan kepada pemerintah. 3. Prasasti Batuan yang berangka tahun Caka 944 ada kalimat sebagai berikut: .... .Kunang yang manawung ing pangudwan makantang ilung marahatan tan pamwinta ring nayaka sanksi mwang sawung tungur, tan kanana min ta pamli..... Artinya: ..... Adapun bila mengadu ayam di tempat suci dilakukan tiga angkatan (saet) tidak meminta izin kepada Pemerintah, dan juga kepada pengawas sabungan, tidak dikenakan pajak ........ (1.2.3. Dr. R. Goris: Prasasti Bali 1,11). 4. Lontar Ciwa Tattwa Purana disebutkan sebagai berikut: ..... Mwah ri tileming ke sanga. Hulun megawe yoga, teka wenang wang ing madhya magawe tawur kesuwang an den hana pranging sata wenang nyepi sadina ika labian sang kala daca bumi, yanora samangkana rug ikang wang ing madhya pada...... . Artinya: ...... Lagi pada tilem kesanga aku (Dewa Siwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi ini membuat · persembahan masingmasing, lalu adakan pertarungan ayam dan nyepi sehari, ketika itu
273
JflUrtu uuuuyu rv,urrn:; n.t::c;:;1'u1"vc;:;u..i.>
beri hidangan sang Kala Dasabhumi, jika tidak rusaklah manusia di Bumi ......... . 5. Dalam lontar Sundarigama disebutkan: Bahwa dalam rangkaian melakukan tawur atau butha yadnya disertai dengan tetabuhan (korban). Berdasarkan sumber-sumber semacam itu (prasasti maupun lontar) bahwa prosesi korban darah (tabuh rah) adalah bagian integral dari ritus keagamaan. Praktik ritual tersebut banyak dilakukan misalnya dalam upacara selamatan pembangunan rumah, pura dan ataup'!m bangunan lainnya yang disebut melaspas. Prosesi tersebut biasaya dilakukan ketika usai pembangunan yang di dalam rangkaian ritualnya terdapat tahap yang disebut pengurip-ngurip. Secara simbolik ritual pengurip-ngurip bermakna agar bangunan itu memberikan suasana kondusif dan terbebas dari berbagai gangguan fisik maupun spiritual. Secara memokok ritual tersebut dilakukan dengan memoles-moleskan darah ( terutama darah ayam tertentu) pada tiang-tiang atr.u dinding/ tembok bangunan. Fungsi ritual tersebut pada hakikatnya bermakna untuk memberikan persembahan (korban darah) ke pada mahluk-mahluk supra-natural yang diyakini umat beragama Hindu di Bali seperti: bhuta buhucari, kala bhucari, dan durga bucari dan ataupun nama-nama lainnya. Di batik keyakinan semacam itu me!Tiandang bahwa darah binatang adalah · sumbernya zat-zat dari kekuatan spiritual yang dianggap berfungsi untuk memperkokoh bangunan maupun menjaga keseimbangan (harmoni) antara alam mikro dan makro-kosmis.
274
Secara esoteris ritual tabuh rah hanya diwajibkan dalam ritual-ritual keagamaan yang tergolong buta yadnya. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek Agama Hindu 1XIV yang diterbitkan PHDI tahun 1988 menyebutkan tabuh rah sebagai taburan darah binatang korban sebagai bagian cfuri rangkaian ritual kegamaan hanya diwajibkan dalam pelaksanaan upacaraupacara pecaruan. Di bagian lainnya, kemudian berkembang jugu prosesi yang dimaknai secara identik dengan tabuh rah itu yakni disebut pefang sata. Berbeda halnya dengan ritual pengurip-ngurip yang dilakukan ~ngan memoles-moleskan darah di oagian-bagian tertentu dari suatu unit bangunan, perang sata selalu disertai dengan praktik mengadu buah-buahan seperti: kemiri, pangi, kelapa dan telur, di samping juga disertai dengan elemen ritual (upakara) yang lainnya. Bersamaan dengan pelalr.sanaan ritus perang sata inilah biasanya juga dibarengi dengan menggelar adu ayam jago yaug dikenal dengan sebutan tajen; yang kemudian dimaknai identik dengan tabuh rah. Dalam perkembangannya, tabuh rah dalam bentuk perang satha ternyata mengalami pembiasaan. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Dharma (LKSD) I Wayan Jondra, pembiasaan tersebut berkembang menj"adi tajen. Sejak dinamakan tajen inilah penggunaan alat mengiris (taj1) mulai dikembangkan sehingga memungkinkan pertarungan itu berakhir dengan tetesan darah. Perrtakaian taji yang terbuat dari besi sesungguhnya juga basil dari pengembangan alat pengiris yang · mulanya terbuat dari sembilu (ngaad). Bambu yang telah diiris
l
·1
LJUVH"c5 .L&.fW'" { 6..UJ~"/ WI- .L.'Wi-1- •
LJI-
.o'UUWI U
L.114WUfU UUll .1.IUf\.Uffl
sehingga permukaannya menjadi tajam itu kemudian dipasang di bagian kaki dari pasangan ayam yang akan diadu. Seiring dengan berubahnya ngaad menjadi taji, akhirnya tabuh rah pun berubah menjadi aktivitas baru yang lebih dikenal dengan nama tajen yang menekankan adanya unsur pertarungan/ pertaruhan kalah dan menang, sehingga mengarah ke dalam praktik yang dapat digolongkan sebagai judi. Sabung Ayam (tajen) di Ranah Buda ya Tulisan karya Clifford Geertz yang diterjemahkan 1 ke dalam judul : Ta/sir Kebudayaan ( 1992) mengulas tentang sabung ayam di Bali secara cukup mendalam. Uraiannya itu dimuat di dalam bah 7 (hal. 205250) dengan judul bah : "Permainan Mendalam : Catatan Tentang Sabung Ayam di Bali". Geertz dalam tulisannya itu memandang bahwa pemahaman tentang "sabung ayam" adalah unsur yang sangat penting apabila ingin mengerti tentang sesungguhnya seperti "apakah seorang Bali itu". Geertz juga menyayangkan bahwa tulisan Jane Belo, berjudul : Traditional Balinese Culture (1970) yang bermaksud memahami tentang "perangai orang Bali" itu sama sekali mengabaikan hal tersebut. Melalui pendekatan semiotikanva. 2 Geetz, selanjutnya Terjemahan dari Buku Berbahasa lnggris Berjudul : The Inteq>retation of Cultures : ,S_elected nEssays, _l 974. London, Hutchinson & CO Publisher LTD, Bab l, 2, 3, 7, 13, 14 dan 15; Basic Books Inc, oleh Francisco Budi Hardiman. 2 Pendekatannya itu dikenal dengan istilah "thick description" yang meminjam dari
{.I VU.)U
fit::JUJ
VUC::: .J"lfolUflUj
mencoba mendalami pemahamannya tentang sabung ayam untuk mencapai pengertian tentang "Orang Bali", tersebut. Seperti ~radisi semiotika, Geetz dalam mengulas tentang sabung ayam di Bali dengan membentangkannya ke dalam suatu "teks", yang demikian mendetail. Walaupun begitu, di sini hanya akan ditampilkan beberapa saja isi (content) teks itu, sesuai dengan kebutuhan analisis, selanjutnya, seperti diantaranya mengenai : analogi kata Jago, bentuk pulau Bali, hubungan intim antara orang Bali dengan ayam jagonya, serta aspek-aspek hubungan fungsional antara sabung ayam dengan karakteristik komunitas orang Bali. Kata "Jago" menurut Geetz adalah simbol part excellence yang biasanya dihubungkan dengan sifatsifat ke_jantanan; dan jika dikaitkan dengan sabung ayam maka secara metaforis dipakai untuk mengartikan : pahlawan, serdadu, pemenang, man ofparts, calon politis,jejaka, pesolek, pembunuh perempuan atau orang ku~t (Geertz, 1992 : 212). Dalam tulisan lainnya kata "Jago" analog dengan "orang yang memiliki kekuatan fisik dan magis dan sering dikaitkan dengan dunia kriminal (Nordholf, dalam : Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, 2006 : xi). 3 Oleh karena kata "jago" secara metaforis analog dengan sifat-sifat kejantanan tersebut maka, berbagai Gilb~rt
3
Ryle. Di desa-desa di Jawa menurut Nordholf pada masa kolonial Belanda selalu ditemui adanyajago-jago seperti itu; dan apabila tidak memilikinya, terasa ada yang kurang.
275
Jnana Budaya Volume Keenambetas
peristiwa yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat, seperti misalnya : perkara pengadilan, peperangan, kontes politik, sengketa waris, dan debat-debat lainnya, seringkali dihubungkan dengan analogi "sambung ayam". Bahkan menurut Geertz ( 1992 : 212) analogianalogi semacam itu juga sering dipakai untuk memberi dorongan keberanian terhadap calon mempelai yang masih malu-malu manakala menghadapi pasangannya. Walaupun Geertz tidak secara eksplisit menyebut kata (bahasa Bali), barangkali kata "jago" dalam sabung ayam yang dimaksudkan dalam contoh-contoh tersebut di atas adalah "Mruput ". 4 Artinya, tidak ada "kata mengalah"/pantang menyerah, sebelum hal itu diselesaikan dengan cara-cara kejantanan. Orang Bali dengan demikian, memiliki sifat-sifat seperti itu (Pen). Untuk memperkuat interpretasinya, Geertz (1992 : 212) menghubungkan pula dengan gambar pet a pulau Bali yang ia lukiskan sebagai sebuah pulau kecil yang menyerupai gambar seekor ayamjantan kecil yang berperangai angkuh, tenang, berleher panjang, berpunggung rapi, berekor tegak, yang seolah-olah tidak pernah gentar menghadapi tantangan yang datang dari pulau Jawa yang besar tapi kacau dan tanpa bentuk itu. 5 4 · :· "Mruput" artinya bertarung sampai darah penghabisan di dalam sebuah kurungan/sangkar. · · · 5 Geertz, ketika menganalogikan pulau Bali bagaikan seekor ayam jantan yang kecil itu terinspirasi dari legenda yang pemah ·· ditulis sebelumnya oleh C. Hooykas yang dimuat dalam bukunya : Agama Tirtha
276
l"IUfflUf
.&.I
r" .1.1...f. I
~ V.£ ..
Ketika Geertz menyaksikan orang-orang Bali begitu "menikmati" bagaimana mereka memberikan perhatiannya terhadap ayam-ayam jagonya. Tiap ia mengunjungi desa di Bali, ia selalu menemukan para lelaki sedang duduk-duduk santai di bangsal-bangsal sambil membawa ayam-ayam kesayangannya. Sambil mengelus-elus, memijit-mijit, meniup mata ayamnya, 6 dan sebagainya; Geertz membayangkan bahwa orang Bali itu sudah demikian intimnya dengan ayam (Geertz, 1992 : 213). Ayam dan orang Bali, dimata Geertz, seolah-olah tidak bisa dipisabkan lagi; ayam (ayam jago) tidak seakan menjadi ikonik penandaan yang dianggap dapat menentukan derajat atau martabat seseorang di masyarakat. Atau dengan kata lain, melalui ayam, martabat itu bisa dipertaruhkan, dan karenanya, sabung ayam adalah sebuah · "entitas sosiologis" (Geertz, 1992: 219). Karena pada hakikatnya juga, pertaruhan (toh) dalam sabung ayam memiliki arti untuk menampilkan sifat kedermawanan dalam menyumbang kepada desa/atau organisasi komunal lainnya. Realitasnya, penyelenggaraan sambung ayarn seringkali berkontribusi dan menjadi salah satu sumber pembiyaan pembangunan (1964 : 184). Dalam legenda itu diceritakan bahwa pemisahan kedua pulau itu (Bali dan Jawa) bennula dari adanya p~r bedaan pandangan religius dari seorang tokoh Jawa dengan penguasa di Bali yang dilukiskan sebagai penjudi sabung ayam yang bemafsu untuk menyerang pulau Jawa. 6 Dalam bahasa Balinya hal itu sering disebut "Magecel" dan atau "Ma-obongobong".
·~"'\,
I ~
E ~
I ;]
ti
Sabung Ayam (Tajen) di Bali: Di Antara Budaya dan Hukum (!Gusti Ketut Gde Arsana)
·. .c:14)>: ..... . - ···. . '
·.·
·.···· ••.. ··~ • -.
-··.
~
-~~· f . 1t!
. c:~ .. /• '((,. ~~$;~~1:· il-'•~'··
i
-. ...
__,:
._,, .
;; ,~;{f_~r;j;~i .· ·. .• ;,
t\ ·~ ·. ~~,· ~,,~ .. (/.:'..'., .;:~~· ~ .. ·· >~·
- '.~q .
- ·::·~ . '-'
-
,~ .~ "j
i
'"}
.
~
~- :~....
'!I'
.,-/
~-'.. ....
'
••
''x:·~--~.·.:·"·. . . ~ . '-.·.;~·.· . . ·•• . . ·~ ·.
• • • l'.i .
..· " ;t':,"'·
.
·'
·
....
-· 'I.
berbagai hprastruktur, vang amat penting artinya di pedesaan (Geertz, 1992 : 220). Berdasarkan studi itu, Geertz dapat mengerti bagaimana arti pentingnya sabung ayam dalam · kehidupan masyarakat Bali. Pajak dari pungutan sabung ayam terkadang bisa n1elampaui penghasilan dF:sa da.ri sumber lainnya. Melalui pungutan pajak taruhan yang terutama diambil dari setiap partai (saet) sekitar 45% dari toh ke tengah. Dapat dibayangkan berapa jumlah uang yang bisa terkumpulkan dalam sehari apabila ayam yang diadu terdiridari puluhan pasang. Geertz juga membandingkan dengan pendapatan harian dari pekerjaan berburuh pada masa itu yang hanya sekitar 3 ringgit dalam seharinya (Geertz, 1992: 221-222). · Ada hal yang juga am at pen ting selain fungsiflya sebagai sumber dana pembiayaan · infrastruktur, taruhari dalam sabung ayam merupakan arena bagi pertarungan martabat, kehormatan ·dan atau status (Geertz, 1992 : 228). Geertz dengan mengutip Goffman,
menganalogikan hal itu ibaratkan "mandi darah status". Dia juga adalah ungkapan representasi ikatan komunal, yakni sebagai momen untuk membela martabat (apakah keluarga, dan atau komunitasnya). Permainan pertarungan status semacam itu biasanya nampak dalam pertandinganpertandingan sepak bola, misalnya. Dapat dibayangkan bagaimana antosiasnya para pendukung (sporter) dari masing-masing kesebelasan menunjukkan pembelaannya terhadap tim yang dijagokannya (Pen). Sedangkan Geertz (I 992:216220) melukiskannya bagai pertarungan tinju di atas ring. Sorak gemuruh para pendukungnya, serta semangat para pelatihnya, dihubungkannya dengan hal itu dalam suasana pertarungan ayam jago di dalam arena yang biasanya di Bali disebut "kalangan tajen ". Keterlibatan seseorang di dalam peristiwa sabung ayam di Bali yang dilukiskan Geertz sebagai "mandi darah status" atau kalau diharfiahkan menjadi "mendarah daging" yang selanjutnya dipakai untuk memahami bagaimana orang Bali membentuk dan menemukan wataknya dan sekaligus perangai masyarakatnya, lewat sabung ayam. Geertz telah dengan tepat melalui interpretasinya melukiskan secara metaforis sabung ayam yang telah begitu melekat dalam tradisi di Bali dapat dipergunakan untuk mema~ami bagaimana proses pembentukan kepribadian bagi kalangan tertentu di daerah ini. Dia telah menjadi bagian dari aspek yang bersifat psikologis yang dianut oleh orang-orang tertentu
277
Nomor 21Vlll12011
Jnana Budaya Volume Keenambelas
yang sering d isebut "kecanduan", kegandrungan" atau sebutan lainnya, seperti "memotoh" (b.b). Sebagai suatu kegemaran (hobby s), orang yang disebut "memotoh" (atau Bebotoh," untuk sabung ayam), memang sulit untuk dipahami, terlebih-lebih apabila hat itu dipandang dari sudut orang lain yang tidak memiliki kegemaran semacam itu. Hal ini adalah fenomenologis sifatnya. Ketika hat itu diperdebatkan, kedua belah pihak pasti memiliki argumentasinya masing-rnasing. Di sinilah problem yang dihadapi,. manakala praktik sabung a yarn atau praktik judi lainnya ingin dihapuskan. Argumen yang cukup beralasan dan barangkali banyak yang rnenyetujui; bahwa, sabung ayarn (tajen) di B.ali adalah hasil dari proses rekonstruksi yang dianggap sebagai bagian integral dari ritual agama. Dan oleh karenanya, menghapuskannya dibayangkan sama dengan rnelccehkan agarn:i itu. Argumen sernacam itu hanyalah imajiner sifatnya clan kemudian dikernbangkan sebagai sebuah strategi kultural. Berdasarkan strategi inilah keinginan untuk menjaga kelestarian budaya rnenjadi"bias"). 7 Barangkali tidak perlu rnenariknya terlalu jauh semisal ke dalam tataran kitab suci (seperti Wedha) ; hanya dengan memeriksa catatan-catatan dari para ahli saja, narnpaknya cukup · tersedia alasan 7
Uraian lengkap tentang strategi kultural semacam itu telah mendapat uraian lengkap dalam buku karya C.A. Van Peursen : Strategi Kebudayaan, 1988. Penerbit Kanisius.
278
untuk menyatakan bahwa "tajen" itu tidak lain adalah hasil rekonstruksi penafsiran manusia. Dr. R. Goris misalnya, rnenyebut "tajen" di Bali itu adalah hasil dari pengembangan kegiatan ritus pada masa yang lampau (pra Hindu) yang dinarnakan "sabuhan ta/uh". 8 Dari studinya di Jawa, Goris mengemukakan bahwa, sabuhan ta/uh adalah bagian dari suatu ritual yang biasanya dilaksanakan dalam mentahbiskan tapal batas wilayahwilayah kerajaan, terutama wilayahwilayah baru yang dikuasai dari hasil pertempuran. Di bagian lain dari ritual tersebut juga ditemukan pula ritual serupa yang disebut "rnbeh rah" dan atau di Bali disebut "tab uh rah". Elem~n utama dalam ritual ini adalah penyemblihan hewan/unggas seperti : kerbau, kambing, _babi, dan ayam. Di sini yang dipentingkan terutarna adalah darah dari binatang-binatang tersebut (Goris, tt. : 33). Kemudian, dalarn perkembangan selanjutnya, di Bali di samping ritual seperti itu juga rnasih dilakukan (sabuhan ta/uh dan tabuh rah/ penyamblehan), juga diikuti pula dengan sabung ayam (tajen) yang diselenggarakan di luar jeroan pura, yakni di arena di bagian halaman depan pura yang disebut "kalangan tajen ".Berdasarkan hal itu, dengan mudah rasanya untuk menyatakan : bukankah "sabuhan ta/uh" dan "tabuh rah"/penyemblihan itu adalah bagian pelengkap terpenting dalam ritual keagamaan Hindu. Latu 8
Elemen utama dalam sabukan taluh itu terdiri dari : telor, kelapa, dan buah kemiri yang dipertaruhkan secara simbolik melalui "pipis bolong" (uang kepeng).
•
;::,a/Jung Ayam ( 1a1en) ai l:Jall : u1Amara1:1uaaya aan nuKum (1 l.TUSll Aerur uae Arsana;
kalau demikian halnya, bukankah akan menjadi bias kalau dilengkapi (ditambah) lagi dengan tajen. Di sinilah letak dari problemutiknya, ketika agama itu yang secara esoterik memiliki fungsinya sebagai penuntun moral (dharma), lalu kemudian di dalam praktiknya secara eksoterik dipergunakan untuk melegalitaskan kepentingan-kepentingan berasaskan nafsu libido yang bertentangan dengan azas dari ajaran agama itu sendiri. Apabila hal itu dibiarkan berkembang menurut Syamsul Arifin, (2005 : 3) mengindikasikan bahwa agama semakin tidak dapat lagi menjalankan fungsi pokoknya (functional imperative). Karena fungsi pokoknya dikorbankan untuk kepentingan institusi sosial lainnya yang memiliki fungsi pokok yangj auh sangat berbeda. Dalam keterjebakan seperti itu, agama semakin tidak lagi menjadi apa yang disebut sebagai institusionalizing force yang kemudian secara sistematis dan sistemik diinterpretasikan dengan aka! kecerdasan manusia (Veger, dalam Syamsul Arifin, 2005 : 3). Melihat perkembangannya seperti itu, tajen yang seakan-akan mendapat legitimasi agama atau meminjam istilah Iim Ammidudin, menjadi Sacred Canopy (Iim Ammidudin, 2000 : 6), selanjutnya oleh sebagian masyarakat di Bali memandangnya sebagai bagian dari tugas suci
( "ngayah").
•
Realitas menunjukkan misalnya bagaimana masyarakat di desa Kesiman pernah memaknai ·tradisi keagamaan tatkala menjelang penyelenggaraan upacara local yang cukup terkenal yakni "Ngrebong". Dalam upacara
itu senantiasa ditemukan adanya penyelenggaraan tajen yang dianggap sebagai bagian integral dari upacara tersebut. Berdasarkanrekonstruksin_ya, masyarakat pernah menganggap bahwa penyelenggaraan tajen sebagai rangkaian upacara Ngrebong telah mentradisi dilakukan selama 3 sampai 6 hari secara berturut-turut. Dalam upaya untuk mengokohkan pandangan itu pergelaran tajen terscbut selalu diawali dengan prosesi keagamaan yakni dengan menghadirkan pratimapratima (semacam area) di tengahtengah kalangan tajen. Lalu sesudah ritual itu selesai dilaksanakan barulah sabung ayam (tajen) itu mulai digelar selama kurun waktu itu. Untuk melegitimasi kebenarannya, penyelenggaraan tajen selama 3 atau bahkan 6 hari kemudian diidentikan melalui interpretasi berlandaskan bilangan biner. Artinya, 3 atau 6 diasoiasikan sama maknanya dengan telung perahatan (telung saet) ;dan atau tiga pasang "a.yam adalah sama dengan 3x2=6. Angka 3 ataupun angka 6 inilah kemudian memperoleh pertandaan sacral yang mendasari keyakinan yang sesungguhnya lebih personal sifatnya (subyektif) yakni utamnya bagi kalangan penggemar
(bebotoh). Sabung Ayam (tajen) di Ranah Hokum Pengertian judi dapat disimak dalam pasal 303 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: Dipidana dengan penjara selamalamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah barang siapa dengan tidak
279
<Jf,\.4fl\.4
~W\.4"4.)'W
,
\JIW061-"-'
.............. , .. ._.,,,._,._,,...,...,
berhak: Ke I Dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi sebagai mata pencaharian atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan main judi . Ke II Dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi kepada umum atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan perjudian itu biarpun diadakan atau tidak diadakan suatu syarat atau cara dalam hal memakai ksempatan itu. Ke III Turut main judi sebagai mata pencaharian Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapatdicabut haknya melakukan pekerjaan itu Main judi berarti tiap-tiap permainan yang kemungkinan akan menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja. Juga kalau kemungkinan itu bertambah besar karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Main judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu demikian pula pertaruhan lain. Penjelasan Yang diancam hukuman pada pasal ini adalah: Orang yang dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi sebagai mata pencaharian, yang dimaksud di sini misalnya seorang bandar atau orang lain yang membuka pemsahaan judi tanpa izin dari yang berwajib
Orang yang dengan sengaja mengadakan atau memberi ksempatan berjudi kepada umum atau dengan sengaja turut campur dengan perusahaanjudi itu dengan atau tanpa syarat atau cara dalam hal memakai kesempatan itu tanpa izin Orang yang main judi sebagai mata pencaharian sebagaimana ditentukan dalam ayat 3 bahwa yang dikatakan judi adalah tiap-tiap permainan dengan harapan untuk meraih kemenangan. Orang yang mengadakan permainan judi seperti dijelaskan di atas dapat dihukum menurut pasal 303. Sedangkan orang yang turut berjudi walaupun hal itu dilakukan bukan sebagai mata pencaharian sangsinya juga dapat dihukum berdasarkan pasal 303 . Pennainan dengan kartu yang tidak dapat digolongkan dengan judi adalah: bridge, domino, sedangkan yang dapat digolongkan dengan judi adalah dadu, roulette, pacuan kuda dengan taruhannya. Golongan judi semacam ini berdasarkan Pasal 303 bisa dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda setinggi-tingginya sepuluh juta rupiah. lsi pasal 303 antara laian: Ke I: Barang siapa menggunakan kesempatan untuk main judi yang diadakan dengan melanggar ketentuan-ketentuan tersebut Barang siapa pada pasal 303. Ke 2: ikut serta pennainan judi yang diadakan di jalan umum atau di pinggirnya ataupun di tempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum kecualijika untuk itu ada izin- dari pengawas yang berwenang Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap
• 280
Sabung Ayam {Tajen) di Bali: D1 Antara Budaya dan Hukum (!Gusti Ketut Gde Arsana)
karena salah satu dari pelanggaran ini dapat dikenakan pidana selamalamanya enam tahun atau denda setinggi-tingginya lima belas juta rupiah (UU No. 7/1974). Sebelum adanya undang-undang penertiban perjudian tanggal 6 Nopember 1974 orang yang mempergunakan kesempatan main judi yang diadakan dengan melanggar pasal 303 dikenakan pasal 542 KUHP. Tetapi sejak adanya Uadang-Undang Penertiban Perjudian itu, maka orang yang mempergunakan kesempatan mainjudi dianggap melanggar hukum dengan sangsi yang telah diatur di dalam pasal 303 KUHP.
P44W!IFIUI
Foto 2. Sabung Ayam Saat Upacara Agama
-
Memosisi~n Sabung Ayam: Antara Judi dan Tabuh Rah Apakah sabung ayam iiu tergolong judi ataukah tabuh rah. Untuk memosisikan secara proforsional dapat dijelaskan sebagai berikut: Sabung ayam dapat dilatakan judi apabila ada unsur pidananya. Unsur pidana tersebut antara lain: (1) sabung ayam itu merupakan suatu permainan, (2) dalam permainan itu ada harapan untuk menang/ mengadu nasib yang sifatnya untung-untungan, (3) tidak ada izin dari yang berwenang, dan (4) ada taruhan. Selain itu sabung ayam dikatakan judi
apabila: ( 1) sabung ayam dilaksanakan lebih dari tiga saet (telung perahatan), (2) tidak dilengkapi dengan adu-aduan kemiri, telur, kelapa d~m tidak disertai upakara yadnya, (3) Ada taruhan dengan harapan untuk menang, dan (4) tidak ada izin dari aparat berwenang. Sabung ayam dikatakan tabuh rah apabila: (I). sabung ayam dilaksanakan hanya tiga saet (telung perahatan: tiga babak), (2) · sabung ayam dilengkapi dengan adu-aduan kemiri, telur, dan kelapa, (3) · disertai upakara yadnya, untuk upacara pada suatu tempat, dan (4) tidak ada toh. :dedamping dan atau tidak bermotif judi serta seutuhnya merupakan bagian dari perwujudan ikhlas berkorban untuk upacara .. Pakar hukum adat dari Universitas Udayana Prof. Dr. Nyoman Sirtha, M.S. menyatakan bahwa secara sosiologis pelaksanaan tajen di Bali ada tiga macam. 1. Pertama, tajen dalam ritual (tabuh rah) yang lazim diadakan berkaitan dengan upacara agama. Tabuh berarti mencecerkan dan rah adalah darah (tabuh rah adalah bagian integral dari ritus pengorbanan darah). Dengan demikian, tajen yang tergolong tabuh rah ini tidak tergolong sebagai kegiatan pelanggaran hukum pidana. · 2. Kedua, tajen terang yang secara sengaja digelaroleh lembaga desa adat untuk mengga Jang dana. Berdasarkan hukum adat, tajen terang pernah dianggap tidak melanggar hukum pidana karena di setiap desa adat memiliki awig-mvig yang mengatur tata cara tajen kategori tersebut, meskipun tidak tertulis. Tajen terang dilakukan terbuka dengan melibatkan pecalang, saya. Bahkan didahului
281
Jnana Budaya Volume Keenambelas
dengan upacara kepada Dewa Tajen agar tidak terjadi perselisihan selama acara bedangsung. Tetapi sejak berlakunya ketentuan hukum yang terkait dengan kegiatan perjudian yakni pasal 303 KUHP, ketentuan lokal (awig desa) harus diperkuat oleh adanya izin resmi yang dikeluarkan kepolisian daerah (Polda Bali). Hal itu dimaksudkan untuk menghindari adanya berbagai penyimpangan fungsi serta berbagai penafsiran (po/isemi) kegiatan tersebut. 3. Ketiga, tajen branangan yang tanpa didahului izin kepala desa adat dan semata-mata berorientasi judi. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan posisi tajen (sabung ayan1) di Bali melalui model berikut di bawah. Rumusan Mode! Sabung Ayam (tajcn): Di Ranah Budaya dan Hukum.
Ranah Budaya (sacred
~ 1
1 ·
canopy)
, ' , I· ditolerir 3 (tiga saet) untuk yadnya/ yang dikecualikan memperoleh
Ranah Hukum
Ranah Sosioiogis (multi fungsi)
, ,, , , Melangg ar hukum KUHP: l's. 303
Berdasarkan real itas seperti itu, bahwa tajen pada hakikatnya secara internal, mendapat legitimasi, baik
282
· Nomor 21VIII12011
secara sosial, individual, maupun kultural (agama). Dengan demikian, eksistensinya menjadi mapan di dalam kebudayaan Bali. Dafam. posisinya seperti inilah sabung ayam (tajen) di Bali menjadi sulit untuk ditertibkan karena masih saja ada peluang untuk dimanipulasi sehingga mengaburkan batas antara yang tergolong bagian dari dtual keagamaan dan ataukah praktik perjudian. Belum lagi untuk kategori tujen terang yang seringkali telah diatur dan dianggap legal di dalam uger-uger desa (awig) sehingga berdasarkan statusnya seperti itu menyebabkan posisinya di ranah hukum (KUHP) masih sering menjadi dilematis. Problema hukum yang gamar.g dalam upaya untuk menertibkart sabung ayam di Bali sesungguhnya sudah berlangsung sejak dahulu kala dan berlanjut pada masa awal pemerintahan R.I. pascakolonial, sampai sekarang. Pada masa itu, pemerintah juga menyadari bahwa praktik sabung ayam memiliki implikasi luas dalam kehidupan masyarakat, seperti : kemiskinan dan ketertiban sosial. Pemerintah Hindia Belandasecara berkalajugamelakukan penertiban sabung ayam ke pelosokpelosok di Bali, yaitu dikenal dengan istilah "penggrebekan ". Bagi. mereka yang tertangkap, biasanya diberikan hukuman yang cukup keras seperti hukum cambuk sambil dipamerkan di depan umum, dijemur ditengah sinar matahari terik, disamping juga melalui hukum denda. Geertz sendiri menuturkan pengalamannya, ketika suatu saat pengamatnn sedang melakukan
•
~~v ....6 ,._, ... ,,. 1 , ...1 ,.,.1 ... , uu11 .
•
u• n.muru vuuaya aan nuKum (I l:iUStl Ketut Ude Arsana)
( observasi) di tempat sabung a yam, dan sempat diintograsi oleh polisipolisi yang umumnya adalah orang Jawa. la meyakinkan po!isi itu bahwa dirinya adalah hanya bermaksud untuk melakukan penelitian tentang kebudayaan di Bali atas ijin pemerintah, dan menyatakan bahwa dirinya adalah Profesor Antropologi (Geertz, 1992 : 207). Sikap yang terlampau represif yang diterapkan para polisi Belanda itu dalam upayanya untuk menertibkan tajen seringkali berujung terjadinya perlawanan di masyarakat. Adanya dukungan yang bersifat sosiologis semacam itu menyebabkan posisi hukum menjadi gamang. Belum lagi harus menghadapi berbagai praktik persekongkolan antara oknum penegak hukum dengan penyelenggara sabungan a yam sepertijuga dilaporkan Geertz. Dalam laporannya, Geertz melukiskan bahwa polisi-polisi itu masih bisa disogok oleh para bebotoh, sehingga menyebabkan mereka urung melakukan penertiban tajen. Dengan demikian, mereka dapat bersabung ayam secara leluasa (Geertz, 1992 : 209). Tatkala kepemimpinan Kapolda Bali yang dijabat oleh orang Bali sendiri yakni Bapak Made Mangku Pastika, wacana penertiban sabung ayam di .daerah ini sempat menggema kembali. Dalam kepemimpinannya itu, Kapolda Bali tidak mengecualikan pemberian izin bagi kegiatan sabung ayam walaupun hal itu dilaksanakan untuk kepentingan _ pengumpulan dana dari desa adat. Pengecualian hanya dapat ditolerir apabila kegiatan tersebut berfungsi secara integral dengan ritus keagamaan seperti
yang terdapat dalam sastra agama. Tetapi begitu digantikan oleh pejabat yang lainnya, wacana itu kembali meredup. Surat Kabar lokal (Bali Post) juga sering memberitakan bahwa sabung ayam (tajen) di Bali bukan saja merupakan wilayah sosio-budaya tetapi lebih jauh telah menjadi komuditas politik terutama pada masa-masa kampanye pilkada untuk memperoleh simpati dan dukungan suara. Dengan demikian, keberadaan tajen (sabung ayam) di daerah ini berdonansi secara kultural (sacred canopy), sosial (entitas sosiologis), danjuga politis.
D. PENUTUP Sabung ayam (tajen) dapat dikategorikan sebagai praktikjudi apabila sabung ayam dilaksanakan lebih dari tiga saet, tidak dilengkapi dengan adu-aduan telur, kemiri, dan kelapa. Tidak disertai upakara yadnya, ada taruhan dengan harapan untuk menang dan tidak ada izin dari aparat berwenang. Mengenai judi tertera dalam pasal 303 KUHP dan dipertegas dengan Undang-undang No 7 tahun 1974. Atau dengan perkataan lain kegiatan yang termasukjudi dalam sabung ayam memenuhi unsur-unsur pidana antara lain: (1) adanya permainan, (2) tidak adanya izin dari yang berwenang, (3) bersifat untung-untungan, dan 4) adanya taruhan Sabungan ayam dapat dikatakan tabuh rah apabila dilaksanakan hanya tiga pasang ayamjago (telung saet/ telung parahatan) yang dilengkapi dengan aduaduan kemiri, telur, dan kelapa, dan upakara yad.nya walaupun secara simbolik juga disertai toh dedamping yang tidak bermotif judi. Rangkaian kegiatan tajen yang tergolong sebagai tabuh rah ini sepenuhnya diperuntukan sebagai bagian
283
Jnana Duaaya Yotume l\.eenamoe1us
integral dari ritus keagamaan seperti . ketentuan yang terdapat dalam sastra agama. Kategori jenis tajen terang yang sebelumnya pernah memperoleh legalitas secara adat, tetapi sejak diberlakukannya KUHP pasal 303 hal itu tidak berlaku lagi. DAFTAR PUSTAKA.
Geertz,
Clifford, 1992 : Ta/sir Kebudayaan (Terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Kanisius. lmadudin, Iim, 2002 : "Meneropong Agama dalam Perspektif Perubahan : Upaya Adaptasi Agama Masyarakat Minangkabau Membangun Multikulturalisme di Era Otonomi Daerah". Maka/ah Simposium Internasional Antropologi 16-12 Juli 2002, di Bali. Kadjeng, I Nyoman dkk. 1991. Sarasamuccaya. Jakarta: Yayasan Dharma Sarati. Mantra, Ida Bagus. 1967. Bhagawad Gita. Jakarta: PHDIP. Pudja, I Gde. 1985. Suatu Studi Ilmu Weda. Mayasari. Sudharta, Cok Rai. 1997/1998. Manawa Dharma Sastra. Depag RI. Oka, IGst. Agung.1991. Slokantara. Dirjen Bimas Hindu Depag RI. PHDI Pusat. 1990. Himpunan Keputusan Tafsir. Putra, dkk !Gusti Agung Gede. 1987. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali. Denpasar: Pemda Bali. Putra, Ida Bagus Pidana dan Pandit Nym. Gunarsa. 2006. Tinjauan
284
JlVftiVI
-'1
Yll.l I
~Vll
Tabuh Rah dan Judi. Surabaya: Paramita . Somvir. 2001. I 08 Mu tiara Weda utuk krhidupan sehari-hari. Surabaya: Penerbi: Paramita. Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita. Wiana, I Ketut. 2008. Judian Tajen Melanggar Agama Hindu dan Hukum. Surabaya: Paramita. Van Peursen, C.A, 1976 : Strategi Kebudayaan. Penerbit Kanisius. Goris, R. tt: Bali Atlas Kebudayaan. Penerbit Pemerintah R.I. Bali Post. 12 Maret 2008.Tajen dijadikan Jargon Politik: Abaikan Aturan Untuk Kepentingan Sesaat. -----------13 Maret 2008. Tajen Dijadikan Jargon Politik: Bukti Belum Pahami Bali. -----------18 Maret 2008. Tajen Atraksi: Bisa Jadi Bumerang Pariwisata ·Bali .. -----------18 Juni 2005,Tajen, Penyakit Masyarakat Yang Tak Layak Dilestarikan -----------12 Oktober 2007Tentang Judi Taj en. -----------23 Agustus 2005Tajen, Mengapa Sukar Diberantas? ---------- 26 Januari 2004, Polisi Menertibkan Taj en, Mungkinkah? ----------- 2 Pebruari 2004, Tajen, Hasil Pengembangan Negatif "Tabuh . Rah". Sinar Harapan, 1 Agustus 200 l, Taj en, Antara Adat dan Penegakan Hukum Di Bali.
•