MOTIF PEMBAKARAN PADANG ALANG-ALANG (Imperata cylindrica) DI DAERAH TAPANULI SELATAN
Oleh : Abdul Manan Harahap E 14201008
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
MOTIF PEMBAKARAN PADANG ALANG-ALANG (Imperata cylindrica) DI DAERAH TAPANULI SELATAN
Abdul Manan Harahap E 14201008
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Nama NRP
: Motif Pembakaran Padang Alang-alang (Imperata cylindrica) di Daerah Tapanuli Selatan : Abdul Manan Harahap : E 14201008
Disetujui,
Dosen Pembimbing
(Ir. Endang Ahmad Husaeni) NIP : 130 338 569
Diketahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP : 131 430 799
Tanggal Lulus :
RINGKASAN Abdul Manan Harahap. E 14201008. Motif Pembakaran Padang Alang-alang (Imperata cylindrica) di Daerah Tapanuli Selatan. Dosen Pembimbing Ir. Endang Ahmad Husaeni). Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat menyebabkan pertambahan permintaan produksi pangan, sandang, papan dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka dibutuhan lahan usaha yang lebih luas. Sasaran utama adalah lahan yang kurang produktif seperti padang alang-alang karena lahan yang subur sebagian besar sudah dimanfaatkan Alasan yang paling bisa diterima untuk merehabilitasi padang alang-alang adalah agar lahan secara ekonomis menjadi lebih produktif. Sebagian besar padang alang-alang adalah milik masyarakat dan merupakan bagian dari sistem penggunaan lahan. Pembakaran padang alang-alang menyebabkan lahan tersebut menjadi lebih miskin hara dan lebih didominasi oleh alang-alang. Kebakaran juga merupakan penyebab utama gagalnya kegiatan perkebunan atau penanaman pohon di padang alang-alang. Masyarakat di suatu daerah sering menjadi penyebab timbulnya kebakaran, tetapi juga merupakan mitra terbaik untuk mencegah kebakaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui motif masyarakat dalam melakukan pembakaran padang alang-alang sehingga kegiatan konversi padang alang-alang kearah yang lebih produktif dapat berhasil dan dapat mencegah meluasnya padang alang-alang. Penelitian ini dilakukan di empat desa, yaitu Desa Baruas, Desa Siloting, Desa Ujunggurap dan Desa Aek Najaji, Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, Kotamadya Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Metode penelitian yang dilakukan adalah gabungan antara metode wawancara terstruktur dan metode observasi (pengamatan). Pemilihan responden dilakukan secara purposif. Wawancara dilakukan secara langsung dengan responden untuk menggali pengalamanpengalaman masa lampau mereka dalam melakukan pengelolaan dan pembakaran padang alang-alang. Jumlah responden yang diwawancarai adalah sebanyak 10 orang/desa. Jumlah keseluruhan responden adalah 40 responden. Sebaran umur responden dalam penelitian ini sebagian besar berada pada kelas umur 31-40 tahun dan 41-50 tahun. Tingkat pendidikan responden pada umumnya adalah sampai SD dan SMP. Mata pencaharian responden sebagian besar adalah petani, tetapi ada juga yang bekerja sebagai wiraswasta dan PNS. Tingkat penghasilan responden pada umumnya masih tergolong rendah. Sebagian besar responden memiliki penghasilan antara Rp 500.000-Rp 1.000.000 per bulan. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa padang alang-alang di daerah penelitian sudah terbentuk sejak dulu (lebih dari 50 tahun). Penggunaan padang alang-alang adalah sebagai jalan, lahan pertanian atau perkebunan dan areal perburuan. Jenis tanaman yang paling banyak ditanam di padang alang-alang adalah karet (Havea brasiliensis). Kendala utama pengelolaan padang alang-alang adalah kurangnya modal awal untuk melakukan konversi dan sering terjadinya kebakaran. Pemanfaatan alang-alang adalah sebagai bahan atap (atap gubuk) dan obat-obatan tradisional. Metoda pengendalian alang-alang yang dilakukan responden adalah penyemprotan herbisida, pembabatan dan pencangkulan.
Motif pembakaran padang alang-alang adalah untuk pembukaan lahan, memudahkan jalan dan untuk perburuan. Musim kebakaran di daerah penelitian adalah antara bulan April-September. Kebakaran paling sering terjadi pada bulan Mei-Agustus. Kebakaran biasanya terjadi pada waktu tengah hari dan sore hari. Teknik pembakaran yang dilakukan sebagian besar responden adalah dengan cara asal dibakar. Pencegahan kebakaran yang biasa dilakukan responden adalah dengan pembuatan jalur di sekeliling areal pertanaman (jalur kuning). Pemadaman kebakaran biasanya dilakukan secara pribadi/perorangan. Perhatian pemerintah untuk merehabilitasi atau mengkonversi padang alang-alang sangat kurang sekali. Peraturan adat yang mengatur tentang pengelolaan pembakaran padang alangalang tidak ada sama sekali. Harapan utama rerponden dalam melakukan pengelolaan padang alang-alang adalah adanya bantuan modal awal, penyuluhan mengenai pengelolaan lahan alang-alang dan pembibitan dan pembangunan jalan ke areal padang alang-alang.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 9 Januari 1983 di Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Ayahan baginda Harahap dan Ibunda Khoinur Harahap. Pendidikan formal yang pernah dijalani oleh penulis : 1. SD Negeri Ujunggurap, lulus tahun 1995 2. SLTP Negeri 2 Padangsidimpuan, lulus tahun 1998 3. SMU Negeri 2 Padangsidimpuan, lulus tahun 2001 4. Pada tahun 2001 penulis diterima di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Departemen Manajemen Hutan, Program Studi Budidaya Hutan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Baturraden-Cilacap, Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di Desa Getas, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur dari bulan Juli-Agustus dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, Bogor pada tahun 2005. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyusun skripsi dengan judul “Motif Pembakaran Padang Alang-alang (Imperata cylindrica) di Daerah Tapanuli Selatan”, di bawah bimbingan Ir. Endang Ahmad Husaeni.
KATA PENGANTAR Masyarakat di suatu daerah sering menjadi penyebab terjadinya kebakaran tetapi juga merupakan mitra terbaik untuk mencegah terjadinya kebakaran padang alang-alang. Motif Masyarakat dalam melakukan pembakaran padang alang-alang penting diketahui untuk menentukan metoda pengendalian kebakaran yang tepat, sehngga kegiatan rehabilitasi dan konversi padang alang-alang dapat berhasil. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian selama satu setengah bulan (April-Mei 2006) di Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan sehingga membutuhkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ayah dan ibu tercinta, atas segala doa dan dorongannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Ir. Endang Ahmad Husaeni selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Adekku Erika yang selalu ada dan mendukung penyusunan skripsi ini. 4. Bang Oms yang baik hati, Leng Crew, tema-teman dalam pengkaplingan dan semua panarik borngin yang mendukung penyelesaian skripsi ini. 5. Teman-teman BDH 38 serta semua pihak yang turut membantu penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semua serta bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Amin. Bogor, 16 Agustus 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
A. Latar Belakang ..........................................................................................
1
B. Tujuan ........................................................................................................
2
C. Manfaat ......................................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
4
A. Padang Alang-alang ..................................................................................
4
1. Ciri –ciri Padang Alang-alang........................................................
5
2. Ukuran Padang Alang-alang ..........................................................
7
3. Biologi Alang-alang .......................................................................
7
B. Pengelolaan Padang Alang-alang ............................................................. 10 1. Perkembangan Padang Alang-alang ............................................. 10 2. Alasan Rehabilitasi Padang Alang-alang ...................................... 11 3. Konsepsi Pengelolaan Padang Alang-alang .................................. 12 C. Pengendalian Alang-alang ........................................................................ 14 D. Kebakaran Padang Alang-alang ............................................................... 17 1. Penyebab Kebakaran .................................................................... 18 2. Pengaruh Kebakaran Padang Alang-alang .................................... 19 3. Pencegahan Kebakaran ................................................................. 19 III. KONDISI UMUM LOKASI ......................................................................... 24 A. Letak dan Luas ......................................................................................... 24 B. Iklim ......................................................................................................... 26 C. Geologi dan Topografi ............................................................................. 26 IV. METODE PENELITIAN.............................................................................. 21 A. Batasan Studi ............................................................................................ 21 B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 21
C. Bahan dan Alat penelitian ........................................................................ 21 D. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 22 1. Metode Wawancara.............................................................................. 2. Metode Observasi................................................................................. E. Macam Data yang Dikumpulkan .............................................................. 23 F. Pengolahan Data ....................................................................................... 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 27 A. Karakteristik Responden .......................................................................... 27 1. Sebaran Umur Responden ............................................................. 27 2. Tingkat Pendidikan Responden..................................................... 28 3. Mata Pencaharian Responden ....................................................... 28 4. Tingkat Penghasilan responden..................................................... 29 B. Sejarah Padang Alang-alang..................................................................... 30 C. Penggunaan Padang Alang-alang ............................................................. 31 1. Jenis Tanaman yang Digunakan ................................................... 32 2. Pemanfaatan Alang-alang ............................................................. 33 D. Pengendalian Alang-alang........................................................................ 34 E. Kendala Pengelolaan Padang Alang-alang ............................................... 36 F. Kebakaran Padang Alang-alang ................................................................ 38 1. Frekuensi Kebakaran ..................................................................... 38 2. Musim Kebakaran ......................................................................... 38 3. Waktu Kebakaran .......................................................................... 40 4. Tujuan Pembakaran Padang Alang-alang ..................................... 41 5. Teknik Pembakaran ....................................................................... 43 6. Pencegahan Kebakaran ................................................................. 44 7. Pemadaman Kebakaran ................................................................. 45 G. Perhatian Pemerintah ............................................................................... 46 H. Harapan Responden ................................................................................. 47 I. Peraturan Adat ........................................................................................... 48 J. Pembahasan Umum .................................................................................. 49
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 51 A. Kesimpulan ............................................................................................. 51 B. Saran ......................................................................................................... 53 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 54 LAMPIRAN ........................................................................................................ 56
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1.
Sebaran Umur Responden····································································
27
2.
Tingkat Pendidikan Responden ···························································
28
3.
Mata Pencaharian Responden ······························································
28
4.
Tingkat Penghasilan Responden ··························································
29
5.
Jenis Tanaman yang Digunakan ··························································
32
6.
Pemanfaatan Alang-alang ····································································
34
7.
Metoda Pengendalian Alang-alang ······················································
35
8.
Kendala Pengelolaan ···········································································
37
9.
Musim Kebakaran ················································································
39
10. Waktu Kebakaran ················································································
40
11. Tujuan Pembakaran ·············································································
41
12. Teknik Pembakaran ·············································································
43
13. Pencegahan Kebakaran ········································································
44
14. Pemadaman Kebakaran········································································
45
15. Perhatian Pemerintah Setempat ···························································
46
16.
Harapan Responden ············································································· 47
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1.
Padang alang-alang di lokasi penelitian .................................................. 30
2.
Jenis tanaman di padang alang-alang ...................................................... 33
3.
Kondisi padang alang-alang yang tidak terbakar habis karena alangalang masih muda dan basah ................................................................... 39
4.
Pertumbuhan alang-alang setelah terbakar.............................................. 42
5.
a. Kondisi jalan setapak yang belum terbakar ......................................... 43 b. Kondisi jalan setapak yang telah terbakar ........................................... 43
6.
Sketsa pembentukan sekat bakar............................................................. 49
7.
Teknk pembakaran terkendali ................................................................. 50
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1.
Curah hujan Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2003-2005................... 57
2.
Sketsa Lokasi penelitian .......................................................................... 58
3.
Peta Administrasi Pemko Padangsidimpuan ........................................... 59
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat menyebabkan pertambahan permintaan produksi pangan, sandang, papan dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka dibutuhan lahan usaha yang lebih luas. Sasaran utama adalah lahan yang kurang produktif seperti padang alang-alang karena lahan yang subur sebagian besar sudah dimanfaatkan. Luas padang alang-alang di Indonesia pada awal tahun 1990 adalah 8,6 juta ha (4,5% dari luas daratan). Areal alang-alang yang paling luas terdapat di Sumatera dan Kalimantan, yaitu masing-masing 2,13 dan 2,19 juta hektar. Berdasarkan Statistik Kehutanan Indonesia 1996/1997, luas lahan kritis (biasanya didominasi oleh alang-alang) adalah 12,5 juta hektar. Seluas 3,7 juta hektar diantaranya terdapat di dalam kawasan hutan (30%) dan seluas 8,1 juta hektar terdapat di luar kawasan hutan (70%). Pada akhir tahun 2000 luas lahan kritis di Indonesia mengalami peningkatan menjadi 23,2 juta hektar, terdiri dari 8,1 juta hektar (35%) terdapat di dalam kawasan hutan dan 15,1 juta hektar (65%) terdapat di luar kawasan hutan. Salah satu penyebab pertambahan luas lahan kritis ini adalah sering terjadinya kebakaran hutan (Menteri Kehutanan, 2001). Pada tahun 2005 Propinsi Sumatera Utara mempunyai sekitar 2,4 juta hektar lahan kritis. Lahan kritis yang paling luas di Sumatera Utara terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki lahan kritis seluas 490.000 hektar. Selama tahun 2003-2004 luas lahan kritis yang sudah direhabilitasi mencapai 11.435 hektar. Keterbatasan kemampuan dalam melakukan rehabilitasi mengakibatkan luas lahan kritis ini tetap tinggi (Supriadi, 2005). Apabila lahan tersebut tidak direhabilitasi dengan segera atau dibiarkan, maka kemungkinan besar lahan tersebut akan ditumbuhi alang-alang (Imperata cylindrica). Kondisi tersebut menyebabkan pentingnya peranan masyarakat dalam mengurangi jumlah lahan kritis dan padang alang-alang, terutama pada lahan milik masyarakat. Alasan yang paling bisa diterima untuk merehabilitasi padang alang-alang adalah agar lahan secara ekonomis menjadi lebih produktif. Sebagian dari padang
alang-alang adalah milik masyarakat setempat yang merupakan bagian dari sistem penggunaan lahan. Banyak masyarakat berpandangan bahwa padang alang-alang merupakan suatu lahan yang tidak berguna dan kurang disukai. Tingginya biaya yang diperlukan untuk mengubah padang alang-alang menjadi sistem yang lebih produktif merupakan faktor penghambat dalam pengelolaannya. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat membiarkan lahan tersebut tetap sebagai padang alang-alang. Pembakaran padang alang-alang oleh masyarakat menyebabkan lahan tersebut menjadi lebih miskin hara dan lebih didominasi oleh alang-alang (monokultur alang-alang). Kebakaran juga merupakan penyebab utama gagalnya berbagai kegiatan perkebunan atau penanaman pohon di areal padang alang-alang. Pencegahan kebakaran selalu ditekankan pada pencegahan api yang ditimbulkan manusia. Lebih dari 90% dari kejadian kebakaran disebabkan karena aktivitas manusia. Masyarakat di suatu daerah sering menjadi penyebab timbulnya kebakaran, tetapi masyarakat juga merupakan mitra terbaik untuk mencegah kebakaran. Karena itu, sangat penting mengetahui motif masyarakat dalam melakukan pembakaran padang alang-alang sehingga kejadian kebakaran yang menyebabkan kegagalan konversi padang alang-alang menjadi sistem yang lebih produktif dapat berhasil dan dapat mencegah meluasnya padang alang-alang.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menentukan motif pembakaran padang alang-alang yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua 2. Menggali sejarah keberadaan padang alang-alang, berbagai bentuk penggunaan padang alang-alang, metoda pengendalian alang-alang, teknik penggunaan api dan cara pengendalian kebakaran padang alang-alang yang dilakukan masyarakat di Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua.
C. Manfaat Penelitian Dengan penelitian ini diharapkan akan dapat diketahui motif dan tujuan masyarakat di Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dalam melakukan pembakaran padang alang-alang. Hasil penelitian ini akan membantu menentukan cara pengendalian kebakaran pada daerah padang alang-alang yang tepat. Hal ini sangat penting untuk diketahui dalam menunjang keberhasilan konversi padang alang-alang ke arah yang lebih produktif dan lebih bermanfaat bagi masyarakat setempat, mengurangi jumlah luasan padang alang-alang serta mendukung program rehabilitasi dan reboisasi lahan di daerah Tapanuli Selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, terdiri dari bagian yang mudah terbakar di atas permukaan tanah dan akar rimpang (rhizoma) yang menyebar luas di bawah permukaan tanah. Alang-alang dapat berkembang biak dengan biji dan akar rimpang, tetapi pertumbuhannya akan terhambat apabila ternaungi. Oleh karena itu, salah satu cara mengatasinya adalah dengan jalan menanam tanaman lain yang tumbuh lebih cepat dan dapat menaungi alang-alang (Friday et al., 2000). Alang-alang tersebar luas di daerah tropik dan sub tropik. Terdapat sekitar 500 juta hektar lahan alang-alang di seluruh dunia dan sekitar 200 juta hektar terdapat di Asia Tenggara. Nama umum dari Imperata cylindrica antara lain cogon grass, spear grass, blady grass, satintail dan di Indonesia disebut alangalang (Murniati, 2002). Secara ekologi, vegetasi alang-alang merupakan fase perkembangan suksesi yang terhalang dalam perkembangan suatu ekosistem hutan. Fase perkembangan ekosistem hutan yang terhalang adalah sebuah fase yang menghambat suatu proses menuju fase perkembangan berikutnya. Fase yang terhalang ini bisa disebabkan tidak adanya tunggak yang masih bisa tumbuh, berkurangnya sumber benih (seed bank), kurangnya benih yang masuk dari areal sekitarnya dan atau kondisi tanah yang tidak mendukung pertumbuhan benih pada tingkat yang mampu bersaing dengan alang-alang (Murniati, 2002). Menurut Natural Research Institute (NRI), International Rubber Research Institute (IRRI), dan International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) (1996) alang-alang merupakan rumput tahunan yang memerlukan nutrisi yang rendah untuk dapat tumbuh dengan baik. Alang-alang dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang subur dan tidak subur, juga pada tanah berpasir dan tanah gambut. Alang-alang dapat bertahan pada kondisi yang kering dalam waktu yang lama dan pada tanah yang basah, tetapi tidak dapat bertahan lama pada genangan air. Sebagai tumbuhan pionir, alang-alang dapat beradaptasi dengan baik pada areal yang diganggu oleh manusia. Kebakaran yang sering terjadi merubah
komposisi vegetasi suatu areal dan memberikan kesempatan bagi alang-alang untuk berkembang dan menjadi lebih rapat. Bagian rhizoma alang-alang dapat bertahan dari panas kebakaran permukaan sehingga alang-alang menjadi tahan terhadap kebakaran. Kepadatan populasi alang-alang berkisar antara 3-5 juta shoot/hektar, berat kering biomassanya mencapai 18 ton/hektar untuk bagian permukaan dan 11 ton/ hektar untuk rhizomanya. Ketika sudah berkembang, maka alang-alang merupakan bahan bakar yang sangat mudah terbakar. Kebakaran dapat mempercepat pembungaan dan pembentukan tunas akar rimpang alang-alang. Apabila sering terjadi kebakaran, maka secara bertahap alang-alang menjadi lebih dominan menutupi lahan. Seringkali yang terjadi adalah monokultur alang-alang, kecuali apabila ada pohonpohon atau semak yang tahan api yang masih dapat bertahan hidup di antara alang-alang (Friday et al., 2000).
1. Ciri-ciri Padang Alang-alang Beberapa kondisi umum padang alang-alang adalah sebagai berikut (Anonim, 1980) : 1) Kemasaman tanah relatif tinggi (pH rendah) 2) Laju pencucian tinggi dan tingkat kesuburan tanah rendah 3) Terdapat banyak rhizoma yang mungkin bersifat allelopati 4) Kandungan bahan organik rendah 5) Laju evapotranspirasi tinggi Ciri utama dari padang alang-alang adalah seringnya terjadi kebakaran. Selain itu, alang-alang bisa ditemukan pada berbagai keadaan lingkungan. Menurut Friday et al., (2000) ada beberapa ciri-ciri padang alang-alang yang umum dijumpai, yaitu : 1) Lahan berlereng. Alang-alang cenderung lebih mudah berkembang dan bertahan pada lahan berbukit dibandingkan lahan datar, karena api kebakaran pada lahan miring lebih panas dan lebih mudah menjalar.
2) Erosi tanah. Padang alang-alang di lahan miring lebih mudah tererosi dari pada di lahan datar. Adanya kebakaran secara periodik menyebabkan permukaan tanah menjadi terbuka terhadap pukulan air hujan. Sebaliknya, alang-alang menutupi tanah hampir sepanjang tahun dan akar-akarnya mengikat tanah walaupun sesudah terjadi kebakaran. Alang-alang sebagai penutup tanah masih lebih baik dari pada tanpa penutup sama sekali dan mungkin bisa melindungi tanah lebih baik dibanding sistem pertanian dengan melibatkan pengolahan/pembongkaran tanah. 3) Iklim. Alang-alang bisa ditemukan di berbagai tempat yang memiliki tipe iklim berbeda-beda. Kebanyakan padang alang-alang berkembang di daerah yang memiliki musim penghujan cukup panjang, tetapi masih memiliki bulan kering yang cukup sering sehingga memungkinkan terjadinya kebakaran. 4) Kesuburan tanah. Alang-alang bukan merupakan tumbuhan yang rakus hara dan bahkan seringkali dijumpai pada tanah yang tidak subur dan tanah masam. Kandungan bahan organik tanah semakin berkurang pada lahan alang-alang yang pernah terbakar. Alang-alang juga dijumpai pada tanah yang mempunyai tingkat kesuburan sedang sampai tinggi. Chandler et al., (1983) menyatakan bahwa jenis herba dapat berkembang pesat setelah terjadinya kebakaran, karena api dari pembakaran dapat merangsang pembungaan beberapa jenis tumbuhan. Pada umumnya padang alang-alang terjadi akibat penggunaan tanah yang kurang baik. Merosotnya tingkat kesuburan tanah merupakan faktor utama timbulnya padang alang-alang. Apabila alang-alang terdapat dalam suatu vegetasi campuran maka proses kebakaran yang reguler tidak dapat dihindarkan. Keadaan ini akan terus berlangsung membentuk suatu siklus kebakaran alang-alang (alangalang fire cycle) (Friday et al., 2000).
2. Ukuran Padang Alang-alang Menurut Friday et al., (2000) pilihan atau alternatif rehabilitasi padang alang-alang tergantung dari ukuran luasnya. Semakin luas padang alang-alang, maka semakin sulit untuk merehabilitasinya. Ukuran luasan padang alang-alang dapat dikelompokkan menjadi : 1) Padang alang-alang yang luas : “padang alang-alang” Padang alang-alang yang sangat luas, wilayahnya bisa melintasi batas desa, kecamatan, kabupaten dan bahkan propinsi. Kebakaran yang dimulai dari suatu titik yang terpencil dapat merambat ke tempat lain yang sangat jauh jaraknya. Padang alang-alang yang luas umumnya terdapat pada wilayah yang tidak subur, topografinya berombak dan sering terjadi kekeringan. Wilayah yang demikian ini sering tidak sesuai atau kurang produktif untuk hutan dan agroforestri. Areal ini sudah merupakan padang alang-alang sejak lama dan pohon-pohon asli sudah musnah. 2) Padang alang-alang berukuran sedang : ”padang alang-alang desa” Padang alang-alang berukuran sedang berada dalam wilayah satu desa saja. Pencegahan kebakaran umumnya bisa dilaksanakan dengan organisasi pada tingkat desa. Padang alang-alang berukuran sedang pada umumnya relatif masih baru berkembang dan masih memiliki sisa vegetasi hutan. 3) Padang alang-alang sempit : “petak alang-alang”. Petak alang-alang terdapat dalam lahan pertanian milik perorangan, biasanya tersembunyi di antara pohon-pohonan. Pengelolaan api sangat sederhana apabila berada dibawah kendali satu orang petani. Alang-alang sebagai gulma dapat dikendalikan dengan menggunakan teknik pemberantasan manual.
B. Biologi Alang-alang Dalam bidang pertanian, hingga saat ini alang-alang digolongkan sebagai gulma (tumbuhan pengganggu), yaitu tumbuhan bernilai negatif lebih besar dari nilai positifnya. Karena itu tumbuhan ini tidak diinginkan dan manusia berusaha memberantasnya. Soerjani (1970) menggolongkannya sebagai salah satu dari sepuluh gulma terpenting di Indonesia. Meskipun demikian, pada keadaan tertentu tumbuhan ini bermanfaat dan diperlukan kehadirannya.
Imperata cylindrica termasuk kedalam famili Poaceae (Gramineae), suku Andropogoneae, sub-suku Saccharinae. Apabila dilihat dari jauh, alang-alang ini menyerupai tebu gula atau padi gogo. Genus Imperata terbagi menjadi dua subgenus (jenis) yaitu Imperata dan Oriopogon. Sub genus Imperata hanya memiliki satu spesies yaitu Imperata cylindrica. Imperata cylindrica terdiri dari lima varietas yaitu : major, africana, europea, condensate dan latifolia. Varietas major terutama terdapat di Asia, Australia, daerah tropis Afrika timur dan India (Murniati, 2002). Alang-alang mempunyai ciri-ciri botanik sebagai berikut : tinggi buluh (shoot) di atas tanah 10-200 cm dengan jumlah buku 1-4 buah. Daun berbentuk pita, panjang 5-150 cm, lebar 2-8 mm, pinggir daun berbulu dan bergerigi dengan tulang daun tengah berwarna putih. Tempat pertemuan helai daun dengan pelepah daun berbulu sutera, buku (node) berambut, bunga majemuk berbentuk malai, panjangnya 7-30 cm berbentuk silindris. Tumbuhan baru (anakan) tumbuh dari rhizoma, diameter rhizoma alang-alang berkisar antara 2-4,5 mm. Kebanyakan rhizoma berada pada kedalaman 20 cm dari permukaan tanah (Soerjani, 1970). Alang-alang dapat berkembang biak dengan biji dan rhizoma. Biji alangalang yang sangat ringan dapat menyebar melalui angin ke tempat lain dan dapat segera tumbuh di tempat yang keadaannya baik. Alang-alang dapat menyebarkan sekitar 3000 butir biji per tanaman melalui udara. Selain oleh angin, biji alangalang juga dapat menyebar melalui air dan terbawa oleh manusia, ternak, hasil dan alat-alat pertanian. Alang-alang merupakan tumbuhan yang mudah berkembang. Pembungaan alang-alang biasanya terjadi pada musim kemarau dan paling sering terjadi setelah stres karena kebakaran, pembabatan atau kekeringan (Murniati, 2002). Biji alang-alang tidak memiliki sifat dorman, tetapi dapat bertahan di udara terbuka atau pada kelembaban yang rendah selama 16 bulan. Biji yang ditumbuhkan pada kelembaban 70-80% atau dalam keadaan cukup air akan kehilangan viabilitasnya dalam 4-6 bulan. Dilihat dari segi pertumbuhannya, kecambah alang-alang tumbuh sangat lambat. Kecambah dapat muncul ke permukaan tanah setelah 3-4 bulan. Meskipun demikian biji memegang peranan penting dalam penyebaran alang-alang (Anonim, 1980).
Dilihat dari segi morfologi dan anatomi tumbuhan, sebenarnya rhizoma adalah batang yang menyerupai akar yang tumbuh horizontal di bawah permukaan tanah sebagai batang. Rhizoma alang-alang terdiri dari tunas-tunas yang dapat menghasilkan anakan baru (Soerjani, 1970). Setiap potongan rhizoma alang-alang yang terdiri dari dua buku atau lebih dapat tumbuh menjadi tumbuhan alang-alang yang lengkap. Soerjani (1970) melihat kecederungan bahwa makin panjang potongan rhizoma alang-alang maka makin cepat pertumbuhan anakannya, walaupun tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam kemampuan berkecambahnya. Potongan rhizoma alang-alang pada saat pengolahan tanah bisa menghasilkan 350 tanaman dalam enam minggu dan bisa menutup lahan seluas 4 m2 dalam 11 minggu (NRI, IRRI dan ICRAF, 1996). Sehubungan dengan ketersediaan cadangan makanan dalam potongan rhizoma, kemampuan tumbuh kecambah yang berasal dari rhizoma dipengaruhi oleh kedalaman rhizoma dalam tanah. Soerjani (1970) menyatakan bahwa potongan rhizoma yang kurang dari 5 cm tidak dapat muncul ke permukaan tanah apabila ditanam pada kedalaman 10 cm dalam tanah. Hal ini sangat erat hubungannya dengan energi untuk pertumbuhan yang diperoleh dari rhizoma sebagai cadangan makanan. Faktor lain yang mempengaruhi daya kecambah dari mata tunas rhizoma alang-alang adalah temperatur dan kelembaban (kadar air rhizoma). Kedua faktor ini sangat erat hubungannya dengan pemberantasan alang-alang secara mekanis. Suhu untuk pertumbuhan mata tunas alang-alang adalah 30°C (Soerjani, 1970). Kelembaban udara merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan perubahan kadar air rhizoma. Daya tumbuh mata tunas sangat dipengaruhi oleh kadar air rhizoma. Pengeringan rhizoma hingga kadar air yang lebih kecil dari 712% dapat mematikan perkecambahan rhizoma. Untuk menurunkan kadar air rhizoma dari keadaan normal (82,5%) hingga 7-12%, diperlukan dua hari pengeringan dalam kelembaban udara (RH) 50% atau tiga hari dalam kelembaban udara 70% (Soerjani, 1970)
C. Pengelolaan Padang Alang-alang 1. Perkembangan Padang Alang-alang Di kawasan Asia Tenggara, hutan merupakan vegetasi klimaks yang asli dan alami, tetapi alang-alang pada saat ini sudah menyebar di mana-mana. Ketika hutan mengalami kerusakan karena adanya penebangan pohon, perladangan berpindah atau kebakaran, maka seringkali alang-alang menggantikannya (Friday et al., 2000). Biji alang-alang mudah tersebar pada wilayah yang sangat luas karena ditiup angin, dan mampu tumbuh pada tempat yang basah maupun kering, pada tanah yang subur atau tandus sekalipun. Ketika sudah berkembang, maka alang-alang merupakan bahan bakar yang sangat mudah terbakar. Hanya dalam waktu tiga hari tanpa hujan sudah mampu menyebabkan terbakarnya alang-alang dan hutan di sekitarnya. Apabila sering terjadi kebakaran, maka secara bertahap alang-alang menjadi lebih dominan menutupi lahan. Seringkali yang terjadi adalah monokultur alang-alang, kecuali apabila ada pohon-pohon dan semak yang tahan api yang masih bertahan hidup diantara alang-alang atau terjadi campuran antara alang-alang dan rerumputan yang tahan api. Padang alang-alang juga memiliki ketahanan tinggi terhadap lingkungan. Tanaman lain mengalami kesulitan ketika harus bersaing dengan alang-alang dalam memperoleh air, unsur hara dan cahaya. Beberapa jenis tanaman terganggu pertumbuhannya karena adanya zat beracun (allelopati) yang dikeluarkan oleh akar rimpang alang-alang. Bila padang alang-alang tidak terbakar maka lama kelamaan akan kembali menjadi hutan (suksesi hutan). Seringkali terdapat anggapan bahwa padang alang-alang merupakan kondisi akhir dari suatu proses suksesi yang searah (tidak dapat balik) dari penggundulan hutan atau penelantaran lahan pertanian. Hal ini menyebabkan keberadaan padang alang-alang bertambah luas. Alang-alang akan menjadi klimaks hanya apabila sering terjadi kebakaran (pyro climax) atau gangguangangguan lain. Perubahan ekosistem alang-alang secara keseluruhan menjadi ekosistem baru yang produktif dan berkelanjutan memerlukan intervensi manusia. Untuk merubah ekosistem alang-alang dapat dilakukan dengan meningkatkan interaksi yang kompleks dari semua komponen dalam suatu ekosistem. Komponen-
komponen ini harus dimasukkan kedalam ekosistem alang-alang yang terblok/terhalang dengan cara melakukan penanaman pohon, tanaman penutup tanah dan atau tanaman pangan tahunan (Murniati, 2002).
2. Alasan Rehabilitasi Padang Alang-Alang Menurut NRI, IRRI dan ICRAF (1996) kerugian ekonomi yang disebabkan oleh alang-alang pada tanaman budidaya, antara lain : 1) Kematian tanaman muda 2) Mengurangi dan menghambat pertumbuhan tanaman 3) Memperlambat awal produksi dari tanaman tahunan (2-4 tahun pada karet) 4) Mengurangi hasil panen 5) Menurunkan kualitas hasil 6) Mengurangi manfaat pemberian pupuk 7) Peningkatan serangan penyakit pada tanaman. 8) Peningkatan stres tanaman pada musim kering. 9) Kehilangan tanaman akibat kebakaran. Alasan yang paling bisa diterima untuk merehabilitasi padang alang-alang adalah agar lahan secara ekonomis menjadi lebih produktif. Namun demikian, padang alang-alang bukanlah lahan yang tidak berguna sama sekali. Seringkali padang alang-alang adalah milik masyarakat setempat yang merupakan bagian dari sistem penggunaan lahan, misalnya untuk padang penggembalaan dan huma (ladang berpindah). Penggunaan lahan semacam ini sangat penting bagi petani yang kehidupannya tergantung pada lahan-lahan tersebut, meskipun tidak dapat memberikan hasil yang mencukupi (Tjitrosoedirdjo dan Suryatna Effendi, 1983). Friday et al., (2000) mengemukakan bahwa keberhasilan rehabilitasi padang alang-alang juga tergantung pada pengendalian kebakaran dan pengendalian kebakaran tergantung pada masyarakat setempat. Seringkali proyek rehabilitasi padang alang-alang direncanakan dan dilaksanakan oleh “orang luar” tanpa pernah mengetahui alasan-alasannya apabila dipandang dari perspektif masyarakat setempat. Jika masyarakat tidak setuju dengan tujuan sebuah proyek, api kemungkinan besar akan memusnahkannya dan rehabilitasi gagal.
Rehabilitasi padang alang-alang berdasarkan alasan lingkungan semata jarang sekali dapat diterima. Alang-alang mungkin dapat menjadi penutup daerah aliran sungai yang lebih baik dibanding beberapa jenis penutup tanah lainnya untuk melindungi tanah dari kerusakan akibat erosi. Apabila alang-alang tidak ditebas dan tanah tidak diolah, maka lapisan rizhoma alang-alang yang berada di lapisan tanah paling atas mampu menghambat proses erosi. Penghutanan kembali wilayah yang sangat luas perlu biaya yang sangat mahal, untuk itu harus dipertimbangkan keuntungannya baik dari aspek ekonomi dan lingkungan.
3. Konsepsi Pengelolaan Padang Alang-alang Alang-alang merupakan gulma serius di daerah tropik. Di Asia Tenggara, alang-alang menjadi masalah dalam penanaman tanaman pertanian dan tanaman tahunan (NRI, IRRI dan ICRAF, 1996). Alang-alang muncul dan menyebar pada areal yang ditinggalkan, terutama pada tempat yang memungkinkan untuk terjadi kebakaran. Alang-alang beradaptasi dengan baik pada tempat-tempat yang sering terjadi kebakaran. Rizhoma alang-alang yang menyebar dalam tanah dapat bertahan setelah api membakar bagian atasnya dan hal ini menyebabkan alangalang menjadi makin mendominasi. Sehubungan dengan pengelolaan padang alang-alang ini Tjitrosoedirdjo dan Suryatna Effendi (1983) mengembangkan konsepsi pengelolaan padang alang-alang yang bertujuan terutama : 1) Untuk menciptakan sistem yang produktif. 2) Mencegah meluasnya padang alang-alang. Dalam konsepsi ini dibicarakan tiga macam strategi dasar dan kerangka pemikiran dalam pengelolaan padang alang-alang, yaitu : 1) Harus diketahui sebab terjadinya padang alang-alang. 2) Konversi padang alang-alang ke suatu sistem produktif, baik itu berupa pertanian, tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan ataupun tempat pemukiman. 3) Sebenarnya padang alang-alang ini apabila dibiarkan tanpa diganggu dan dijaga agar tidak terbakar akan berubah menjadi semak dan hutan sekunder.
Friday et al., (2000) menyatakan bahwa untuk mempercepat konversi padang alang-alang baik untuk agroforestri maupun untuk Pemeliharaan Permudaan Alam (PPA) dapat dilakukan dengan cara : 1) Melindungi seluruh wilayah dari kebakaran 2) Menanam pepohonan 3) Menekan pertumbuhan alang-alang sehingga tidak mampu bersaing dengan tanaman lain akan cahaya, air dan nutrisi. 4) Mempercepat pertumbuhan pepohonan dengan memberi tambahan pupuk, kapur atau bahan organik. Menurut Murniati (2002) jenis pohon yang dipilih untuk ditanam di lahan yang terdegradasi harus memiliki sifat dan kemampuan untuk tumbuh pada lahan yang terdegradasi, juga harus butuh cahaya yang banyak, cepat tumbuh, mengikat nitrogen dan jenis yang tahan kekeringan atau bisa dikatakan sebagai jenis pioner. Selanjutnya, tanaman tersebut harus mampu melakukan peranannya sebagai salah satu komponen dari ekosistem secara keseluruhan, untuk meningkatkan kesuburan tanah, sebagai pencegah erosi dan sebagai jenis multiguna. Untuk menentukan jenis pohon yang akan ditanam, karakteristik pohon dan pilihan petani harus diperhitungkan. Jenis penghasil kayu seperti jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla) dan sungkai (Peronema canescens) dan jenis pohon multi guna yaitu durian (Durio zibethinus), kemiri (Aleurites moluccana) dan sukun (Artocarpus altilis) merupakan pilihan yang baik. Pohon penghasil kayu dan pohon multiguna memiliki tingkat pertumbuhan dan biomassa yang berbeda. Selama fase perkembangan awal, jenis kayu memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dari pada pohon multiguna. Mahoni dan sungkai memiliki bentuk tajuk dan perakaran yang dapat mengoptimalkan pembentukan sistem agroforestri, karena pohon ini umumnya cocok tumbuh bersama tanaman pangan tahunan. Kemiri juga disarankan untuk menekan pertumbuhan alang-alang karena pohon ini memiliki tajuk yang tebal dan memberikan naungan yang lebih luas. Rehabilitasi padang alang-alang akan berhasil apabila tiga syarat penting dapat dipenuhi. Banyak contoh rehabilitasi padang alang-alang oleh masyarakat setempat yang berhasil tanpa bantuan pihak luar karena adanya ketiga syarat tersebut (Friday et al., 2000). Syarat tersebut adalah :
1) Petani (yang akan melakukan rehabilitasi alang-alang) harus memiliki kejelasan dan kepastian hak akan pohon dan lahannya. Petani langsung termotivasi untuk menanam dan melindungi pohon dan tanamannya apabila mereka memiliki kepastian hak dalam pengelolaan dan kepemilikannya. Kebanyakan padang alang-alang telah dikuasai oleh masyarakat setempat. 2) Transportasi dan jalan menuju pasar harus memadai. Kebanyakan padang alang-alang terletak pada lokasi yang terpencil, karena itu sebagian besar dibiarkan tetap saja sebagai padang alang-alang. 3) Masyarakat setempat harus bekerjasama dalam pencegahan kebakaran dan menjadi pemimpin dalam pengendalian kebakaran.
D. Pengendalian Alang-alang Masalah yang sangat penting dalam pembukaan lahan alang-alang menjadi lahan pertanian yang produktif adalah kesukaran memberantas alang-alang. Tidak seperti kebanyakan gulma lainnya, pemberantasan alang-alang tidak cukup hanya dengan cara memotong bagian atasnya saja, karena alang-alang mempunyai alat pembiakan yang efektif dalam tanah, yaitu rhizoma (Anonim, 1980). Menurut Turvey (1995), dalam penanaman kayu pulp (Acacia dan Eucalyptus) di lahan alang-alang perlu diperhatikan beberapa teknik pengelolaan untuk mencapai keberhasilan. Teknik pengelolaan yang berhasil dalam penanaman kayu pulp adalah sebagai berikut : 1) Pemilihan provenans yang cocok 2) Pengolahan tanah 3) Pengendalian gulma (alang-alang) dengan efektif 4) Penggunaan pupuk NPK Pengaruh negatif alang-alang pada tanaman budidaya bukanlah merupakan hal yang baru. Alang-alang bersifat sangat kompetitif terhadap tanaman budidaya sehingga dapat menurunkan produksi tanaman secara nyata. Keberadaan alangalang sering menyebabkan tanaman menjadi kerdil, tidak berbuah dan mati. Karena itu, dalam pembukaan lahan alang-alang menjadi lahan pertanian dan tempat pemukiman transmigrasi, alang-alang perlu diberantas secara tuntas.
Metoda pemberantasan alang-alang pada prinsipnya dapat digolongkan menjadi beberapa metoda, yaitu (Anonim,1980): 1) Metoda mekanis 2) Metoda kimia 3) Metoda biologis 4) Kombinasi metoda-metoda tersebut Metoda mekanis adalah cara pemberantasan alang-alang dengan menggunakan alat, baik yang sederhana maupun moderen dengan tujuan merusak atau menekan pertumbuhan alang-alang secara fisik atau mengangkat alang-alang secara menyeluruh dari tempat tumbuhnya. Beberapa cara yang banyak dikenal dalam metoda mekanis adalah pembongkaran rhizoma, pembabatan berulang dan pengolahan tanah. Pengendalian alang-alang secara kimia dilakukan dengan menyemprotkan herbisida pada alang-alang. Jenis herbisida yang digunakan terutama glyposhate (phosphono-methyl-glycine) dengan dosis 2 kg/ha yang dicampur dengan air bersih 200-600 liter/ha, kemudian disemprotkan pada alang-alang yang tumbuh subur. Kemudian juga dipakai dalapon (2,2-dichloropropionic acid) dengan dosis 17 kg/ha. Biasanya sebulan setelah penyemprotan yang berhasil, alang-alang akan mati dan kelihatan kering sehingga tanah dapat segera ditanami tanpa dilakukan pengerjaan tanah atau tanpa dibajak lebih dulu. Untuk mempertahankan lapisan tanah yang subur, perlakuan tanah tanpa diolah atau pengolahan tanah secara minimum sangat cocok untuk tanah podsolik merah kuning. Penyemprotan herbisida dapat mengurangi biomassa alang-alang dalam jumlah besar dan metode ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan penggilasan. Penyemprotan
yang
berulang mungkin akan mengganggu mikro flora dan fauna tanah yang dibutuhkan untuk membentuk ekosistem baru yang kompleks (Murniati, 2002). Pemberantasan alang-alang secara biologis dilakukan dengan menanam pohon-pohon pelindung atau tanaman penutup tanah yang dapat menaungi alangalang. Alang-alang merupakan tanaman yang intoleran terhadap naungan. Penaungan alang-alang menghasilkan pengurangan simpanan karbohidrat, mengurangi produksi rhizoma, mengurangi berat kering biomassanya, mengurangi
kemampuannya untuk bertahan hidup, menurunkan ketahanannya terhadap herbisida dan menurunkan kemampuannya untuk regenerasi (Murniati, 2002). Hasil percobaan lapang dan survei pada lahan petani di daerah Lampung Utara menunjukkan bahwa untuk membasmi alang-alang secara biologi diperlukan penaungan yang dapat mengurangi sinar matahari yang masuk minimal 80% dari jumlah total sinar matahari pada tempat-tempat terbuka, dan waktu yang diperlukan minimal 2 bulan (Purnomosidhi dkk, 2000 dalam Friday et al., 2000). Menurut Murniati (2002) tanaman herba penutup tanah yang termasuk kedalam genus Pueraria dapat mengurangi pertumbuhan alang-alang secara efektif. Pueraria javanica dapat mencegah pertumbuhan alang-alang dan dalam beberapa kasus dapat membasmi alang-alang. Tanaman ini dapat membentuk naungan yang mengurangi vitalitas alang-alang dan pada saat yang sama meningkatkan kesuburan tanah hampir di seluruh areal alang-alang yang terdegradasi. Penanaman Pueraria javanica untuk meningkatkan kandungan N dan C organik tanah pada lahan alang-alang memiliki pengaruh yang signifikan. Kandungan N bertambah lebih dari 2 kali lipat dari 0,07% pada kondisi awal menjadi 0,16% setelah 24 bulan. Tetapi jumlah ini belum cukup untuk memperkaya kandungan nitrogen tanah pada kondisi normal. Selain itu, tanaman ini membentuk iklim mikro yang baik dan meningkatkan aktivitas tumbuhan dan binatang mikro. Pueraria javanica merupakan tumbuhan berbulu tahunan dan salah satu tumbuhan legum tropis terbaik untuk melilit gulma dan memiliki perakaran yang dalam. Sebagai penutup tanah, tanaman ini dapat menutup alang-alang setelah 1 tahun dan untuk
mencegah tumbuh kembalinya alang-alang sekaligus
meningkatkan kesuburan tanah pada waktu yang sama (Murniati, 2002). Tanaman penutup tanah lain yang banyak digunakan untuk menekan alang-alang antara lain : Calopogonium mucunoides, Centrosema pubescens, Pueraria phaseloides, Pueraria triloba, Psopocarpus palustris dan Stylosanthes guyanensis (Anonim, 1980).
E. Kebakaran Padang Alang-alang Kebakaran adalah faktor ekologi yang penting dalam ekosistem padang alang-alang. Api dapat memundurkan suksesi alami menjadi semak belukar dan atau vegetasi hutan sekunder dan ini merupakan penghalang utama dalam pilihan agroforestri dalam rehabilitasi padang alang-alang. Selama musim kemarau, alang-alang menjadi sangat kering dan mudah terbakar. Pohon atau tanaman yang telah ditanam di areal padang alang-alang sering rusak karena kebakaran. Panghambatan secara ekologi terjadi karena api memusnahkan banyak spesies dan membantu alang-alang untuk berkembang (Murniati, 2002). Menurut de Groot et al., (2005) jenis rumput merupakan tipe bahan bakar yang universal, karena memiliki distribusi yang sangat luas dan biasanya dijumpai pada banyak tipe vegetasi yang berbeda-beda. Kebakaran sering terjadi di padang rumput di daerah tropis dan merupakan bioma yang paling mudah terbakar di dunia. Rumput merupakan tipe bahan bakar yang paling mudah terbakar karena cepat mengering pada seluruh kawasan yang disebabkan tidak adanya penutupan oleh tajuk pohon dan adanya tiupan angin. Bahan bakar jenis rumput penting dalam manajemen bahan bakar (tipe bahan bakar) bukan hanya karena mudah dan sering terbakar tetapi apabila rumput terbakar akan dapat menyebar dengan cepat ke seluruh areal dan sangat sulit dikontrol. Rumput (alang-alang) mulai menyala apabila kadar airnya berkisar 35%. Beberapa kebakaran terjadi pada kadar air 50% tetapi hal ini jarang sekali terjadi. Ketika kadar air rumput mencapai 31% atau kurang maka kebakaran akan terjadi dengan mudah dan cepat menyebar (de Groot et al., 2005). Kebakaran tidak akan mulai dari rumput yang masih hidup karena kadar airnya jauh lebih tinggi dari ambang batas penyalaan. Kadar air rumput hidup adalah antara 145%-175%. Kadar air rumput yang mati berkisar antara 37%-39% tetapi sering juga melebihi 50% pada musim hujan. Ambang batas penyalaan rumput mati dan hidup terjadi pada kadar air masing-masing 35,4% dan 27,8% (de Groot et al., 2005).
1. Penyebab Kebakaran Api merupakan salah satu alat paling tua yang dikenal di Indonesia. Api merupakan alat utama yang digunakan dalam penyiapan lahan di berbagai negara untuk penanaman tanaman pangan, pembuatan dan pemeliharaan padang rumput dan pembangunan hutan tanaman (Chandler et al., 1983) Menurut Brown dan Davis (1973) kebakaran hutan yang dilakukan dengan sengaja umumnya dilatar belakangi oleh motif-motif tertentu. Motif tersebut seringkali sangat kompleks dan sukar untuk ditelusuri, sehingga berbagai usaha pencegahannya sukar dilakukan. Beberapa motif pembakaran yang dilakukan oleh manusia antara lain : 1) Untuk mendapatkan keuntungan ekonomis 2) Untuk memperoleh kepuasan pribadi 3) Menghapuskan jejak kejahatan 4) Dilakukan oleh orang-orang sakit jiwa dan belum dewasa Sebab-sebab timbulnya kebakaran sangat penting untuk diketahui guna merencanakan dan menentukan cara pencegahan serta pengendalian kebakaran. Tiap-tiap daerah mempunyai penyebab terjadinya kebakaran yang berbeda-beda. Menurut Suratmo (1974) penyebab kebakaran pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : 1) Kegiatan Manusia a. Sengaja dibakar. Biasanya dilakukan oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab untuk memperoleh keuntungan pribadi. b. Sisa pembakaran. Berasal dari api suatu pembakaran yang dilakukan petani pada ladangnya yang letaknya berdekatan dengan hutan c. Api rokok. Api dari korek api dan puntung rokok orang-orang yang lewat di sekitar hutan. d. Api dari kendaraan e. Perladangan berpindah f. Rekreasi, perkemahan dan pembalakan g. Penggembalaan 2) Faktor alam 3) Sebab lain
2. Pengaruh Kebakaran Padang Alang-alang Beberapa keuntungan pembakaran padang alang-alang bagi petani antara lain menghemat tenaga dalam penyiapan lahan dan pengolahan tanah. Abu hasil pembakaran merupakan pupuk bagi tanaman sehingga hasil pertanian diharapkan meningkat. Ternak digembalakan secara liar di areal alang-alang untuk makan alang-alang yang masih muda. Untuk memperoleh alang-alang muda yaitu dengan membakar padang alang-alang yang tua. Kerugiannya cukup besar, walaupun hal ini tidak merugikan petani secara langsung. Pembakaran terjadi tidak hanya pada areal yang dibutuhkan petani tetapi tidak terkendali. Pembakaran yang tidak terkendali ini mengancam keberadaan pohon dan hutan atau pemukiman di sekitarnya, tanah menjadi kurus dan lebih asam (pH 3-4,5). Pada musim hujan erosi permukaan terjadi dan tanah tidak bisa menyimpan air. Hal ini mengakibatkan kehidupan petani peladang semakin sulit. Kegiatan pertanian di sekitar areal hutan sudah tidak menarik lagi karena lahan alang-alang semakin gersang (NRI, IRRI dan ICRAF, 1996).
3. Pencegahan Kebakaran Pencegahan kebakaran merupakan kegiatan yang terpenting dalam pengendalian kebakaran dan merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara terus menerus. Seringkali pencegahan kebakaran merupakan cara yang lebih ekonomis untuk mengurangi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran tanpa harus menggunakan peralatan yang mahal. Kebakaran menyebabkan munculnya alang-alang dan alang-alang juga menimbulkan kebakaran. Dua pernyataan ini merupakan hubungan antara alangalang dan kebakaran. Jumlah dan luasan padang alang-alang akan bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah kebakaran liar. Alang-alang mudah terbakar dan mudah menyebar atau tidak terkendali sehingga menimbulkan kerusakan. Salah satu cara terbaik untuk mengurangi kerusakan akibat kebakaran adalah dengan mengurangi jumlah areal alang-alang (NRI, IRRI dan ICRAF, 1996).
Kebakaran padang alang-alang dapat dicegah dengan cara (NRI, IRRI dan ICRAF, 1996) : 1) Mencegah timbulnya kebakaran liar 2) Mematikan api dengan cepat pada waktu api masih kecil Menurut Suratmo et al., (2003) pengendalian kebakaran hutan adalah semua aktivitas untuk melindungi hutan dari kebakaran liar dan penggunaan api untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan. Pengendalian kebakaran hutan mencakup tiga komponen kegiatan, yaitu : 1) Mencegah terjadinya kebakaran hutan 2) Memadamkan kebakaran hutan dengan segera sewaktu api masih kecil 3) Penggunaan api untuk tujuan–tujuan tertentu dalam pengelolaan hutan Menurut Suratmo et al., (2003) sekitar 99% kebakaran di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia, maka upaya pencegahan menjadi skala prioritas namun demikian upaya penanggulangan/pemadaman tetap diupayakan. Adapun pokok-pokok pencegahan kebakaran hutan berdasarkan penyebabnya dapat dikelompokkan menjadi : 1) Upaya untuk menggarap manusia sebagai sumber api dengan cara mengkontrol sumber api melalui 4 kegiatan utama, yaitu : a. Peningkatan pendapatan dan pendidikan b. Pola penyadaran dan pembinaan : penyuluhan, dialog, kampanye, penyebarluasan informasi, pembinaan dll. c. Mendorong proses peran serta masyarakat dan rekayasa sosial d. Law enforcement 2) Upaya untuk memodifikasi bahan bakar melalui teknik silvikultur, manajemen bahan bakar dan lain-lain. 3) Upaya teknis sebagai penjabaran tahap kewaspadaan : seperti penyiapan rambu, patroli, perhitungan indeks kekeringan, identifikasi daerah rawan kebakaran, pemantapan sistem peringatan dini, perancangan embungembung air, perancangan sekat bakar, jalur hijau dll. 4) Upaya untuk kesiap-siagaan : pengadaan sarana dan praasarana, metode (SOP), pendanaan, pengembangan SDM, apel siaga, pelatihan dan sebagainya.
III. KONDISI UMUM LOKASI
A. Letak dan Luas Kabupaten Tapanuli Selatan terletak pada 0º10'-1º50' Lintang Utara dan 98º50'-100º10' Bujur Timur. Luas wilayahnya adalah 12261,55 km2 dengan ketinggian tempat antara 0-1915 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Tapanuli Selatan berbatasan dengan : Sebelah Utara
: Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah
Sebelah Selatan
: Propinsi Sumatera Barat, Kabupaten Mandailing Natal
Sebelah Timur
: Propinsi Riau dan Kabupaten Labuhan Batu
Sebelah Barat
: Samudera Indonesia dan Kabupaten Mandailing Natal
Wilayah Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua terletak pada ketinggian 260-1100 meter di atas permukaan laut. Luas wilayahnya adalah 46,75 km2. Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua memiliki batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara
: Kecamatan Padangsidimpuan Timur
Sebelah Selatan
: Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara
Sebelah Barat
: Kecamatan Padangsidimpuan Selatan
Sebelah Timur
: Kecamatan Padangsidimpuan Timur
Penelitian ini dilakukan pada empat desa di Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, Kotamadya Padangsidimpuan, yaitu : Desa Ujunggurap, Desa Baruas, Desa Aek Najaji dan Desa Siloting. Desa Ujunggurap memiliki luas 199,76 hektar, terdiri dari areal pertanian seluas 59 hektar, perkebunan 135,76 hektar dan pemukiman 5 hektar. Desa Ujunggurap memiliki jumlah penduduk sebanyak 791 orang (146 kepala keluarga). Sebanyak 85% dari penduduknya adalah petani dan yang lainnya adalah wiraswasta (8%) dan PNS (7%). Desa Ujunggurap memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Desa Gunung Hasahatan
Sebelah Selatan
: Desa Baruas
Sebelah Timur
: Desa Bargottopong
Sebelah Barat
: Desa Purwodadi
Desa Siloting memiliki luas 165 hektar, terdiri dari areal pertanian (sawah) seluas 70 hektar, perkebunan 90 hektar, pemukiman 5 hektar. Desa Siloting memiliki jumlah penduduk sebanyak 548 orang (150 kepala keluarga). Sebanyak 90% dari penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani, 7% sebagai wiraswsata dan 3% adalah PNS. Desa Siloting memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Desa Baruas
Sebelah Selatan
: Desa Batang Bahal/Pudun Julu/Aek Tuhul
Sebelah Timur
: Desa Bargottopong
Sebelah Barat
: Desa Aek Bayur (Silandit)
Desa Aek Najaji memiliki luas 99,2 hektar, terdiri dari areal pertanian (sawah) seluas 13 hektar, perkebunan 10 hektar, pemukiman 1,2 hektar dan sisanya adalah hutan dan padang alang-alang. Desa Aek Najaji memiliki jumlah penduduk sebanyak 150 orang (26 kepala keluarga). Sebanyak 92% dari penduduknya adalah petani, dan lainnya adalah PNS dan wiraswasta. Desa Aek Najaji memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Desa Simirik
Sebelah Selatan
: Desa Ujunggurap, Baruas
Sebelah Timur
: Desa Bargottopong
Sebelah Barat
: Desa Gunung Hasahatan
Desa Baruas memiliki areal seluas 174 hektar, terdiri dari areal pertanian (sawah) seluas 72 hektar, perkebunan seluas 97 hektar dan pemukiman seluas 5 hektar. Jumlah penduduknya adalah sebanyak 570 orang (152 kepala keluarga). Sebanyak 94% dari penduduknya adalah sebagai petani, 5% wiraswasta dan 3% lainnya adalah PNS. Desa Baruas memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Desa Ujunggurap
Sebelah Selatan
: Desa Siloting
Sebelah Timur
: Desa Bargottopong
Sebelah Barat
: Desa Batunadua
B. Iklim Kabupaten Tapanuli Selatan mempunyai iklim tropis dengan suhu rata-rata berkisar antara 18 s/d 30°C. Berdasarkan data curah hujan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kabupaten Tapanuli Selatan dari tahun 20032005 diperoleh curah hujan tahunan rata-rata sebesar 4559 mm/tahun.
C. Geologi dan Topografi Sekitar 38,4% dari luas Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari batu lempung yang menutupi batu lain, Batu pasir terutama di Kecamatan Padang Bolak dan Sosa. Berdasarkan peta geologi Kabupaten Tapanuli Selatan dan penelitian sebelumnya daerah ini mempunyai jenis tanah Podsolik Merah Kuning yang berasal dari formasi Neogen. Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki topografi yang berbeda-beda tetapi sebagian besar wilayahnya adalah berbukit dan bergunung-gunung. Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari areal datar (flat) seluas 317.498 hektar (25,89 %), landai (rolling terrain) 154,434 hektar (12,59%), berbukit (hilly) seluas 245.214 hektar (20,00%) dan bergunung (mountainous) seluas 509.009 hektar (41,52%).
IV. METODE PENELITIAN
A. Batasan Studi Kebakaran padang alang-alang (Imperata cylindrica) terjadi setiap tahun terutama pada musim kemarau. Sebagian besar kebakaran padang alang-alang disebabkan oleh penduduk yang tinggal di sekitar padang alang-alang dengan berbagai motif tersendiri. Masyarakat setempat juga merupakan pihak yang paling memahami tentang kebakaran padang alang-alang tersebut. Penelitian yang dilakukan berkaitan dengan perilaku masyarakat dalam penggunaan, pengelolaan padang alang-alang dan pembakaran padang alang-alang. Untuk itu perlu dibuat batasan-batasan tentang apa yang perlu diketahui dan dikembangkan nantinya. Batasan-batasan dalam penelitian ini, antara lain : 1) Menyelidiki motif pembakaran padang alang-alang oleh masyarakat. 2) Mengetahui teknik penggunaan api dalam pembakaran padang alang-alang. 3) Mengetahui sejarah padang alang-alang, berbagai bentuk penggunaan padang alang-alang dan tumbuhan alang-alang oleh masyarakat. 4) Mengetahui bentuk-bentuk pengendalian kebakaran yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua. Lokasi penelitian mencakup empat desa, yaitu Desa Baruas, Desa Siloting, Desa Ujunggurap dan Desa Aek Najaji, Kotamadya Padangsidimpuan, Propinsi Sumatera Utara. Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan selama dua bulan, pada bulan Maret-April tahun 2006.
C. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : daftar pertanyaan terstruktur (kuisioner), sedangkan alat-alat yang digunakan adalah : kamera, golok, meteran, alat tulis, kalkulator dan komputer.
D. Metode Pengumpulan Data Metode penelitian yang dilakukan adalah gabungan antara metode wawancara terstruktur dan metode observasi (pengamatan). Penggabungan metode-metode ini diharapkan dapat saling melengkapi kekurangan dari masingmasing metode sehingga data yang diperoleh benar-benar sesuai dengan yang diharapkan (sesuai dengan tujuan penelitian).
1. Metode Wawancara Sasaran dari kegiatan ini adalah masyarakat desa yang tinggal di sekitar padang alang-alang. Pemilihan responden dilakukan secara purposif. Responden yang dipilih adalah anggota masyarakat yang mempunyai lahan alang-alang dan yang biasa melakukan aktivitas di padang alang-alang. Wawancara dilakukan secara langsung dengan responden untuk menggali pengalaman-pengalaman masa lampau mereka pada saat melakukan pengelolaan lahan dan pembakaran padang alang-alang. Jumlah responden yang diwawancarai adalah sebanyak 10 orang/desa. Jumlah keseluruhan responden adalah 40 responden. Hal-hal yang ditanyakan kepada responden mencakup : 1) Sejarah padang alang-alang. 2) Status kepemilikan/penguasaan padang alang-alang. 3) Pemanfaatan alang-alang dan padang alang-alang oleh masyarakat setempat. 4) Peraturan lokal dalam penggunaan dan pembakaran padang alang-alang. 5) Teknik penggunaan api oleh masyarakat 6) Motif atau alasan masyarakat melakukan pembakaran padang alang-alang 7) Pengendalian kebakaran padang alang-alang yang dilakukan masyarakat 8) Rencana dan usulan-usulan petani untuk perbaikan padang alang-alang dan pengendalian kebakaran. Wawancara juga dilakukan dengan pejabat instansi-instansi terkait, antara lain : kepala desa, tokoh masyarakat dan tokoh adat, Pemerintah Kecamatan, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Pekebunan daerah setempat untuk mengetahui berbagai informasi yang berhubungan dengan pengelolaan padang alang-alang dan kebakaran padang alang-alang.
2. Metode Observasi Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian, antara lain : 1) Pengamatan padang alang-alang yang terbakar dan yang tidak terbakar. 2) Pengamatan terhadap penggunaan padang alang-alang oleh masyarakat. 3) Pengamatan tanaman tahunan dan tanaman musiman yang ditanam oleh masyarakat di padang alang-alang.
E. Macam Data Yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan adalah data yang diperoleh melalui wawancara terstruktur dan data hasil pengamatan (observasi) di lapangan. Data ini diperlukan untuk mengetahui sejarah padang alang-alang, bentuk-bentuk penggunaan padang alang-alang, alasan pembakaran padang alang-alang, teknik penggunaan api, pengendalian kebakaran dan lain-lain. Data monografi desa-desa sekitar padang alang-alang dan keadaan agroekonomi masyarakat, diperlukan untuk memberikan gambaran umum daerah penelitian.
F. Pengolahan Data Semua data hasil wawancara terstruktur dan data hasil observasi (pengamatan) di lapangan diolah dalam bentuk tabulasi dan dianalisa serta diuraikan secara deskriptif.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah anggota masyarakat yang memiliki lahan di areal padang alang-alang dan anggota masyarakat yang biasa melakukan aktivitas di areal padang alang-alang. Responden dalam penelitian ini mengetahui sejarah padang alang-alang, memiliki pengalaman dalam mengelola lahan alang-alang dan kejadian kebakaran padang alang-alang. Sebagian besar responden adalah penduduk asli setempat (suku Batak). Jumlah responden yang dipilih secara purposif adalah sebanyak 10 orang setiap desa. Tetapi jumlah responden yang diperoleh adalah 39 orang, karena pada salah satu desa hanya ditemukan 9 responden. Semua responden dalam penelitian ini adalah laki-laki, karena orang yang melakukan aktivitas di areal padang alang-alang semuanya adalah laki-laki.
1. Sebaran Umur Responden Sebaran umur responden dalam penelitian ini adalah antara umur 21 tahun sampai dengan diatas 60 tahun. Sebagian besar responden berumur antara 41-50 tahun dan 31-40 tahun. Responden dengan umur tersebut di daerah penelitian biasanya sudah berpengalaman dalam pengelolan lahan alang-alang. Adanya responden yang berumur lebih dari 50 tahun sangat penting untuk menelusuri sejarah padang alang-alang di daerah penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran umur responden
1.
Kelas umur (tahun) 21-30
2.
31-40
9
23.08
3.
41-50
17
43.59
4.
51-60
4
10.26
5.
>60
6
15.38
39
100.00
No
Total
Jumlah Persentase responden (%) 3 7.69
2. Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan perlu diketahui untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan wawasan responden. Sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki pendidikan sampai SD dan SMP. Tetapi ada juga responden yang memiliki pendidikan sampai SMA dan perguruan tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan responden masih tergolong rendah. Tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Tingkat pendidikan responden Jumlah Persentase responden (%) 13 33.33
No
Tingkat pendidikan
1.
SD
2.
SMP
13
33.33
3.
SMA
11
28.20
4.
Perguruan tinggi
2
5.14
39
100.00
Total
Rendahnya tingkat pendidikan responden disebabkan karena warga masyarakat di daerah ini pada umumnya merasa bahwa pendidikan tidak terlalu penting. Hal ini juga disebabkan karena jarak sekolah yang cukup jauh sehingga memerlukan biaya yang besar untuk transportasi. Sebagian besar anak-anak di daerah ini biasanya bekerja membantu orang tua mereka di sawah atau di ladang.
3. Mata Pencaharian Responden Sebagian besar responden memiliki pekerjaan sebagai petani, tetapi ada juga beberapa responden yang bekerja sebagai wiraswasta dan PNS. Untuk lebih jelasnya, mata pencaharian responden dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Mata Pencaharian responden No
Mata pencaharian
Jumlah Presentase responden (%) 30 76.90
1.
Petani
2.
Wiraswasta
7
17.90
3.
PNS
2
5.20
39
100.00
Total
Responden yang bekerja sebagai petani di daerah ini pada umumnya adalah petani sawah, ladang atau penyadap karet. Warga masyarakat yang memiliki profesi sebagai wiraswasta dan PNS di daerah ini pada umumnya bekerja juga sebagai petani dan biasanya memiliki lahan pertanian yang lebih luas dibandingkan dengan warga masyarakat yang bekerja sebagai petani saja.
4. Tingkat Penghasilan Responden Tingkat penghasilan responden penting diketahui untuk mengetahui kemampuan atau kondisi perekonomian responden. Sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki penghasilan antara Rp 500.000-Rp 1.000.000 per bulan. Kemudian ada beberapa responden memiliki penghasilan lebih dari Rp 2.000.000 per bulan tetapi ada juga responden yang berpenghasilan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Untuk lebih jelasnya, tingkat penghasilan responden dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tingkat penghasilan responden
1.
Penghasilan per Jumlah bulan (x Rp1000) responden <500 3
2.
500-1000
21
53.85
3.
1100-1500
8
20.51
4.
1600-2000
4
10.26
5.
>2000
3
7.69
39
100.00
No
Total
presentase (%) 7.69
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki penghasilan yang rendah, tetapi ada juga beberapa responden yang mempunyai penghasilan yang cukup memadai. Responden yang memiliki penghasilan besar biasanya responden yang berprofesi sebagai wiraswasta dan PNS atau petani yang memiliki lahan pertanian yang luas.
B. Sejarah Padang Alang-Alang Daerah Tapanuli Selatan memiliki banyak kawasan dengan areal padang alang-alang yang luas. Dari pengamatan yang dilakukan, areal padang alang-alang banyak menyebar mulai dari Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, Kecamatan Padangsidimpuan Timur, Kecamatan Batang Onang, Kecamatan Padang Bolak Julu dan daerah-daerah lainnya. Daerah yang dipilih menjadi lokasi penelitian adalah Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua yang dulunya merupakan wilayah dari Kecamatan Padangsidimpuan Timur. Sejarah padang alang-alang penting untuk mengetahui perkembangan dan bentuk-bentuk penggunaan sebelumnya oleh masyarakat. Menurut pengakuan para tokoh adat dan tokoh masyarakat, padang alang-alang di daerah ini merupakan padang alang-alang yang sudah terbentuk dari dulu. Pada awalnya, areal padang alang-alang tersebut merupakan tanah adat, tetapi sekitar tahun 1980 masyarakat telah melakukan pembagian lahan dan sekarang ini sudah merupakan milik pribadi. Pembagian areal padang alang-alang ini dilakukan beberapa kali karena masyarakat tidak membuat batas-batas lahan yang jelas akan lahan miliknya. Pada awal dilakukannya pembagian lahan, hanya sedikit masyarakat yang berminat karena saat itu jumlah penduduk masih sedikit dan masih banyak lahan kosong yang belum dikelola yang lebih baik dari pada padang alang-alang. Data hasil wawancara diperoleh bahwa semua responden menyatakan areal padang alang-alang di daerah ini sudah merupakan padang alang-alang dari dulu. Berdasarkan umur responden dapat diperkirakan bahwa padang alang-alang tersebut sudah terbentuk lebih dari 50 tahun. Pada Gambar 1 dapat dilihat gambaran padang alang-alang di daerah penelitian.
Gambar 1. Padang alang-alang di lokasi penelitian
Dari pengamatan yang dilakukan di areal padang alang-alang, ditemukan beberapa jenis pohon lokal yang tumbuh di areal padang alang-alang, yaitu tembesu (Fragrea fragrans) dan balakka (Tetramerista glabra). Kemudian ditemukan juga jenis tumbuhan rendah harimunting (Rhodumurfus tomentosa) yang tumbuh diantara alang-alang.
C. Penggunaan Padang Alang-alang Dari hasil wawancara diperoleh bahwa semua responden menggunakan padang alang-alang sebagai lahan untuk pertanian/perkebunan dan sebagai jalan. Kemudian sebanyak 8 orang diantaranya pernah menjadikan padang alang-alang sebagai areal perburuan. Jenis tanaman yang banyak ditanam oleh masyarakat di padang alang-alang adalah karet, tetapi ada juga yang menanam kemiri, kayu manis, kelapa sawit, rambutan, kacang-kacangan dan lain-lain. Di areal padang alang-alang terdapat banyak lintasan jalan setapak dari berbagai arah yang biasa digunakan oleh masyarakat. Jalan setapak tersebut merupakan satu-satunya akses masyarakat untuk mencapai areal kebun karet campuran dan hutan di sekitarnya. Jarak antara pemukiman masyarakat dengan lokasi kebun karet campuran tersebut adalah sekitar 1-2 km. Jarak tersebut dapat ditempuh selama 20-30 menit dengan berjalan kaki. Masyarakat setempat memiliki banyak kepentingan pada kebun karet campuran yang berada di sekitar padang alang-alang. Beberapa kegiatan yang dilakukan masyarakat di kebun karet campuran tersebut adalah menyadap karet, mengambil kayu bakar, rotan, buahbuahan, getah kemenyan, anakan pohon untuk ajir tanaman pertanian, mengambil madu, obat-obatan, berburu, memancing dan lain-lain. Menurut pengakuan tokoh masyarakat, terdapat sekitar 50 orang anggota masyarakat yang beraktivitas di areal kebun karet campuran setiap hari. Penggunaan lain padang alang-alang oleh masyarakat adalah sebagai areal perburuan. Jenis hewan yang diburu di padang alang-alang adalah babi dan burung puyuh. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa perburuan babi biasanya dilakukan di padang-alang yang lebat, karena babi biasanya bersarang di areal yang alang-alangnya lebat. Perburuan burung puyuh biasanya dilakukan di areal alang-alang yang sudah menjadi semak belukar, karena burung puyuh
biasanya hidup dan bersarang pada areal tersebut. Peralatan yang digunakan untuk berburu babi adalah senapan, tombak dan perangkap, sedangkan untuk berburu burung puyuh biasanya menggunakan perangkap dan senapan angin.
1. Jenis Tanaman yang Digunakan Beberapa jenis tanaman telah banyak ditanam warga masyarakat pada areal padang alang-alang, tetapi sebagian besar mengalami kegagalan atau tidak menguntungkan. Jenis pohon yang paling disukai oleh petani adalah karet (Havea brasiliensis). Untuk sistem perladangan dan tegalan biasanya petani menggunakan jenis kacang-kacangan. Jenis-jenis tanaman yang ditanam responden di areal padang alang-alang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis tanaman yang digunakan No
Jenis tanaman
Jumlah Persentase responden (%) 27 69.23
1
Karet
2
Karet, kemiri
5
12.82
3
Kemiri
1
2.56
4
Karet, kayu manis
1
2.56
5
Karet, kacang
2
5.13
6
Karet, kelapa sawit
1
2.56
7
Karet,kemiri, kacang, singkong
1
2.56
8
Karet, kelapa, rambutan, kacang
1
2.56
39
100.00
Total
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pada umumnya responden menanam karet di lahan alang-alang mereka. Responden lebih suka menanam karet karena lebih mudah untuk dipelihara, jarang diserang hama dan penyakit dan tidak disukai oleh binatang pengganggu. Menurut responden, tanaman karet lebih menguntungkan secara ekonomi apabila dibandingkan dengan jenis tanaman lain, karena karet memberikan hasil yang terus-menerus setelah berumur 5-7 tahun. Jenis tanaman lain yang banyak ditanam oleh responden adalah kemiri (Aleurites moluccana). Petani menanam kemiri untuk memperoleh biji yang dapat dijual langsung kepada penadah. Tetapi sebagian besar kemiri yang ditanam tidak
produktif karena sering diserang tumbuhan parasit seperti benalu dan jamur, sehingga banyak masyarakat yang mengganti kemiri dengan tanaman karet. Beberapa responden juga pernah melakukan penanaman tanaman pertanian musiman, seperti jenis kacang-kacangan dan singkong. Tanaman kacang-kacangan di padang alang-alang jarang berproduksi dengan baik karena petani sulit memperoleh air untuk melakukan penyiraman. Tanaman kacangkacangan biasanya tidak tahan terhadap kekeringan terutama pada waktu baru ditanam. Tanaman kacang-kacangan ini juga disukai oleh binatang pengganggu seperti babi dan monyet yang sering menimbulkan kerusakan. Jenis tanaman lain yang pernah ditanam petani di areal alang-alang adalah kelapa, kayu manis, kelapa sawit dan rambutan. Beberapa responden menyatakan bahwa tanaman tersebut tidak cocok ditanam di lahan alang-alang. Tanaman tersebut biasanya menjadi kerdil, tidak berbuah atau mati, sehingga menimbulkan kerugian bagi petani. Pada Gambar 2 dapat dilihat beberapa jenis tanaman yang ditanam di areal padang alang-alang.
Gambar 2. Jenis tanaman di padang alang-alang
2. Pemanfaatan alang-alang Pemanfaatan alang-alang oleh masyarakat di daerah penelitian adalah untuk bahan atap (atap gubuk) dan obat-obatan tradisional. Penggunaan alangalang sebagai atap saat ini jarang ditemukan karena hanya sedikit orang yang memiliki keterampilan membuat atap dari daun alang-alang dan sulit memukan alang-alang yang masih tinggi dan lebat karena sering terjadinya kebakaran. Pada Tabel 6 dapat dilihat beberapa pemanfaatan alang-alang oleh responden.
Tabel 6. Pemanfaatan alang-alang oleh responden No Pemanfaatan alang-alang
Jumlah Persentase responden (%) 21 53.85
1
Atap
2
Atap dan obat
3
7.69
3
tidak ada
15
38.46
39
100.00
Total
Dari hasil wawancara diperoleh bahwa sebagian besar responden pernah menggunakan daun alang-alang sebagai bahan atap gubuk. Alang-alang yang digunakan untuk atap adalah alang-alang yang panjang, tua dan lebat, karena lebih efisien dan lebih mudah untuk dikerjakan. Beberapa responden juga memanfaatkan alang-alang sebagai obat-obatan tradisional. Rhizoma alang-alang sering digunakan warga masyarakat di daerah ini sebagai obat sakit perut. Alang-alang juga sering digunakan sebagai resep obat untuk berbagai penyakit dalam pengobatan perdukunan. Tetapi ada juga beberapa responden yang tidak menggunakan tumbuhan alang-alang dan menganggap alang-alang hanya sebagai gulma (tumbuhan pengganggu) yang harus diberantas.
D. Pengendalian Alang-Alang Banyak cara yang telah dilakukan oleh masyarakat di daerah penelitian untuk mengendalikan atau memberantas alang-alang, tetapi cara yang dilakukan belum efektif dan sebagian besar tidak dapat membunuh alang-alang. Masyarakat merasa kesulitan untuk mengatasi pertumbuhan kembali (recovery) alang-alang yang sangat cepat. Hal ini disebabkan karena alang-alang memiliki ketahanan atau kemampuan hidup yang tinggi, pertumbuhan yang cepat dan bijinya yang mudah menyebar karena ringan. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa sebagian besar responden melakukan pembakaran untuk memudahkan pemberantasan alang-alang dan pengelolaan lahan. Penyemprotan herbisida, pembabatan atau pencangkulan sangat sulit dilakukan pada alang-alang yang tinggi dan lebat. Setelah dibakar, alang-alang biasanya dibiarkan tumbuh kembali dan selanjutnya disemprot dengan herbisida, dibabat atau dicangkul, tetapi ada juga responden yang
langsung membuat lubang tanam atau langsung dicangkul untuk mengolah tanah. Pembakaran alang-alang juga bertujuan untuk menekan biaya yang dikeluarkan dalam pembukaan lahan dan pemberantasan alang-alang. Metoda pemberantasan alang-alang yang dilakukan responden adalah penyemprotan herbisida, pembabatan dan pencangkulan. Sebagian responden memberantas alang-alang dengan menggunakan satu metoda saja tetapi ada juga reponden yang mengkombinasi beberapa metoda untuk memberantas alang-alang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Metoda pengendalian alang-alang No
Metoda pengendalian
Jumlah responden 13
Persentase (%) 33.33
1
Herbisida
2
Dibabat
5
12.82
3
Dibabat,herbisida
8
20.51
4
Herbisida, cangkul
6
15.38
5
Dibabat, herbisida, cangkul
5
12.82
6
Dibabat, cangkul
2
5.13
39
100.00
Total
Metoda pengendalian alang-alang yang paling banyak dilakukan responden adalah dengan penyemprotan herbisida. Menurut beberapa petani, penggunaan herbisida untuk memberantas alang-alang adalah cara yang paling efektif dan mudah dilakukan, tetapi membutuhkan biaya yang besar. Penggunaan herbisida untuk memberantas alang-alang biasanya dilakukan untuk pembukaan lahan alang-alang yang luas. Metode ini biasanya langsung diikuti dengan pembuatan lubang tanam untuk menanam bibit karet tanpa pengolahan lahan. Metode lain yang dilakukan responden untuk memberantas alang-alang adalah dengan dibabat/dipotong. Petani melakukan pembabatan hanya untuk lahan yang tidak luas atau alang-alang yang berada di bawah tanaman budidaya. Cara pembabatan ini dilakukan karena hanya memerlukan sedikit tenaga kerja dan mudah dilakukan untuk alang-alang yang tumbuh di bawah tanaman budidaya. Sebagian responden mengkombinasikan beberapa metode pengendalian untuk memberantas alang-alang. Kombinasi yang dilakukan oleh responden antara
lain dengan pembabatan dan penyemprotan herbisida. Pembabatan alang-alang dilakukan pada alang-alang yang jarang atau alang-alang yang tumbuh di sekitar tanaman, sedangkan penyemprotan herbisida biasanya dilakukan di lahan alangalang agak luas yang sebelumnya dibakar. Ada juga responden yang mengkombinasikan penyemprotan herbisida dan pencangkulan. Pencangkulan hanya dapat dilakukan pada alang-alang yang pendek dan tidak lebat. Alang-alang biasanya akan layu atau tidak tegak lagi setelah 2-3 minggu penyemprotan herbisida, sehingga petani dapat langsung melakukan pencangkulan. Kombinasi lain adalah penyemprotan herbisida, pembabatan dan pencangkulan, kemudian kombinasi antara pembabatan dengan pencangkulan. Pemilihan metoda pengendalian alang-alang sangat tergantung pada ketersediaan modal petani, kondisi alang-alang yang akan diberantas dan luasan lahan alang-alang yang akan dikelola. Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, tidak ditemukan petani yang mengendalikan alang-alang dengan cara menggilas (pressing). Menurut sebagian besar responden, pembakaran tidak dapat dilakukan untuk memberantas alang-alang. Alang-alang yang dibakar akan tumbuh cepat dan lebih lebat. Pembakaran alang-alang dilakukan hanya untuk mempermudah proses pembukaan lahan dan menekan biaya yang dikeluarkan dalam pembukaan atau pengelolaan lahan alang-alang.
E. Kendala Pengelolaan Padang Alang-Alang Banyak kendala yang dihadapi masyarakat untuk mengkonversi atau mengelola lahan alang-alang mereka. Kendala utama yang dihadapi responden adalah kurangnya modal awal untuk mengelola lahan dan sering terjadinya kebakaran yang menghanguskan tanaman petani sehingga menimbulkan kerugian dalam jumlah yang besar. Kendala lain yang dianggap penting oleh petani adalah belum adanya teknologi atau suatu sistem pengelolaan yang efektif untuk mengelola lahan alang-alang dan sering terjadinya gangguan oleh binatang pengganggu. Pada Tabel 8 dapat dilihat kendala-kendala yang dihadapi responden dalam pengelolaan lahan alang-alang.
Tabel 8. Kendala pengelolaan padang alang-alang No
Jenis kendala
Jumlah Persentase responden (%) 3 7.69
1
Modal awal
2
Modal awal dan kebakaran
33
84.62
3
Modal awal, kebakaran, teknologi
2
5.13
4
Modal awal, kebakaran, binatang pengganggu
1
2.56
39
100.00
Total
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa semua responden mengalami kekurangan modal awal untuk melakukan konversi atau mengelola lahan alang-alang mereka. Dari hasil wawancara dengan beberapa responden diperoleh bahwa modal awal untuk mengelola 1 hektar lahan alang-alang adalah sekitar Rp 10 juta. Biaya tersebut digunakan untuk membeli benih karet okulasi, herbisida, pupuk, tenaga kerja dan lain-lain. Biaya tersebut sebagian besar digunakan untuk membeli bibit. Harga bibit karet okulasi di daerah penelitian adalah sekitar Rp 5000-Rp 6000 per bibit. Masyarakat biasanya memilih bibit karet okulasi karena lebih cepat berproduksi dan hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan karet lokal. Kebakaran yang sering terjadi juga merupakan kendala penting dalam pengelolaan padang alang-alang. Kebakaran di areal padang alang-alang sering menghanguskan tanaman pertanian sehingga menggagalkan kegiatan konversi atau pengelolaan lahan alang-alang. Sebagian responden mengakui pernah mengalami kegagalan pembuatan kebun karet karena terbakar dan ada juga yang melakukan beberapa kali penyulaman karena kebakaran. Banyak dari responden yang mengurungkan niatnya untuk mengkonversi lahan alang-alang miliknya dan memilih untuk menginvestasikan uangnya pada bidang lain karena seringnya terjadi kebakaran. Berdasarkan pengalaman masyarakat, kebakaran yang terjadi tidak dapat diprediksi dan biasanya berlangsung cepat sehingga sulit untuk diawasi. Pemadaman api saat terjadi kebakaran juga sulit dilakukan karena sebagian besar pemilik lahan tidak langsung mengetahui adanya kebakaran. Selain kebakaran, kendala lain yang dihadapi oleh sebagian petani adalah kurangnya informasi dan teknologi yang tepat untuk mengelola lahan alang-alang. Beberapa reponden menyatakan bahwa teknologi merupakan salah satu kendala
dalam melakukan koversi padang alang-alang. Metoda pengelolaan lahan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat masih merupakan cara tradisional. Hal ini juga disebabkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dan keterbatasan modal dan kemampuan untuk melakukan pengelolaan. Keberadaan binatang pengganggu seperti babi (Sus scrofa) dan monyet (Macaca foscicularis) yang sering merusak tanaman pertanian juga merupakan kendala dalam pengelolaan padang alang-alang. Binatang ini sering merusak tanaman pertanian yang ditanam di areal alang-alang seperti kacang-kacangan dan singkong. Binatang pengganggu ini juga sering merusak tanaman padi dan tanaman buah yang berada di sekitar padang alang-alang.
F. Kebakaran Padang Alang-alang 1. Frekuensi kebakaran Dari hasil wawancara dapat diperoleh bahwa kebakaran padang alangalang di daerah penelitian terjadi setiap tahun, tetapi jumlah kejadian kebakaran yang terjadi dalam setahun tidak dapat dipastikan. Kebakaran padang alang-alang di daerah ini terjadi pada waktu yang tidak dapat dipastikan, biasanya kebakaran terjadi tiba-tiba dan berlangsung sangat cepat sehingga sulit untuk dikendalikan. Kebakaran padang alang-alang paling sering terjadi pada saat musim kemarau. Pada musim kemarau, kondisi alang-alang biasanya sangat kering dan memiliki banyak daun mati atau serasah sehingga mudah terbakar.
2. Musim Kebakaran Kebakaran padang alang-alang di daerah ini sudah merupakan hal yang biasa bagi masyarakat setempat. Kebakaran dapat membakar seluruh areal padang alang-alang dan sering merambat ke lahan di sekitarnya. Kebakaran seperti ini sangat berbahaya karena dapat membakar habis seluruh tanaman budidaya milik masyarakat. Apabila kebakaran terjadi pada areal alang-alang yang masih muda atau tidak terlalu lebat maka api biasanya akan menjalar lambat dan akhirnya mati sendiri. Pada Gambar 3 dapat dilihat kondisi padang alang-alang yang tidak terbakar habis karena alang-alangnya masih muda dan basah.
Gambar 3. Kondisi padang alang-alang yang tidak terbakar habis karena alang-alang masih muda dan basah. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa musim kebakaran di daerah penelitian biasanya terjadi antara bulan April sampai September, tetapi masih mungkin terjadi pada bulan-bulan lainnya. Sebagian besar responden menyatakan bahwa kebakaran padang alang-alang paling sering terjadi antara bulan Mei sampai Agustus. Untuk lebih jelasnya, musim kebakaran padang alang-alang menurut pengalaman responden dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Musim kebakaran
1
April-Juni
Jumlah responden 2
2
April-Juli
1
2.56
3
Mei-Juni
7
17.95
4
Mei-Juli
7
17.95
5
Mei-Agustus
7
17.95
6
Mei-September
1
2.56
7
Juni-Juli
3
7.69
8
Juni-Agustus
2
5.13
9
Juni-September
4
10.26
10
Juli-Agustus
1
2.56
11
Agustus-September
4
10.26
Total
39
100.00
No
Bulan kebakaran
Persentase (%) 5.13
Musim kebakaran padang alang-alang ini sesuai dengan kondisi curah hujan di daerah penelitian. Berdasarkan data curah hujan dari tahun 2003 sampai tahun 2005, jumlah curah hujan antara bulan Mei-Agustus di daerah penelitian tergolong rendah apabila dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Kondisi ini mendukung terjadinya kebakaran padang alang-alang di daerah ini
3. Waktu Kebakaran Kebakaran padang alang-alang di daerah ini biasanya terjadi antara tengah hari sampai sore hari dan jarang terjadi pada pagi hari dan malam hari. Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa hampir seluruh responden menyatakan bahwa kebakaran padang alang-alang di daerah ini biasanya terjadi pada siang hari, tetapi ada juga beberapa responden yang menyatakan bahwa kebakaran biasanya terjadi pada sore hari. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Waktu terjadinya kebakaran No
Waktu kebakaran
Jumlah Persentase responden (%) -
1.
Pagi
2.
Tengah hari
37
94.87
3.
Sore
2
5.13
4.
Malam
-
-
39
100.00
Total
Kebakaran padang alang-alang biasanya terjadi pada tengah hari karena pada waktu itu petani pulang dari areal kebun karet campuran setelah menyadap karet atau melakukan kegiatan lain. Pembakaran untuk pembukaan lahan biasanya juga dilakukan pada waktu tengah hari. Kebakaran besar dan tidak terkontrol biasanya terjadi pada saat cuaca cerah dan panas. Kebakaran ini dapat berlangsung selama tiga hari berturut-turut sampai seluruh areal alang-alag tersebut habis terbakar. Salah satu akibat dari kebakaran ini selain menyebabkan kerusakan pada tanaman budidaya juga menimbulkan pencemaran udara. Abu atau sisa dari alang-alang yang terbakar sering sampai ke pemukiman masyarakat karena terbawa angin.
4. Tujuan Pembakaran Padang Alang-alang Warga masyarakat melakukan pembakaran padang alang-alang untuk berbagai tujuan, antara lain untuk memudahkan pengelolaan lahan alang-alang, memudahkan jalan dan ada juga yang melakukan pembakaran untuk melakukan perburuan. Dari hasil wawancara diperoleh sebanyak 32 orang responden pernah melakukan pembakaran alang-alang dan hanya 7 orang responden yang tidak melakukan pembakaran. Sebagian besar responden melakukan pembakaran untuk pembukaan atau pengelolaan lahan dan untuk memudahkan jalan. Ada juga responden yang melakukan pembakaran dengan tujuan perburuan. Untuk lebih jelasnya, tujuan pembakaran padang alang-alang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Tujuan pembakaran padang alang-alang No
Tujuan pembakaran
Jumlah responden 14
Persentase (%) 35.90
1
Pembukaan lahan dan jalan
2
Pembukaan lahan, jalan dan perburuan
3
7.69
3
Pembukaan lahan dan perburuan
1
2.56
4
Pembukaan lahan
9
23.08
5
Memudahkan Jalan
5
12.82
6
Tidak membakar
7
17.95
39
100.00
Total
Salah satu tujuan pembakaran yang dilakukan responden adalah untuk memudahkan pembukaan lahan alang-alang. Setelah membakar, petani biasanya akan melakukan pencangkulan, pembuatan lubang tanam atau dibiarkan tumbuh kembali untuk disemprot dengan herbisida. Pembakaran dalam pembukaan lahan biasanya dilakukan pada areal yang alang-alangnya tinggi dan lebat, karena alangalang yang tinggi menyulitkan petani dalam pembuatan lubang tanam, melakukan pembabatan, pencangkulan dan penyemprotan herbisida. Pembakaran alang-alang juga bertujuan untuk menekan biaya dalam pembukaan lahan. Alang-alang yang dibakar akan tumbuh kembali dengan sangat cepat sehingga harus segera diikuti dengan kegiatan pemberantasan alang-alang. Dari pengamatan yang dilakukan di areal alang-alang yang baru dibakar oleh salah seorang petani, dapat dilihat pertumbuhan kembali alang-alang bervariasi antara
10-60 cm dalam 2 minggu setelah terbakar. Pada Gambar 4 dapat dilihat pertumbuhan kembali alang-alang 2 minggu setelah terbakar.
Gambar 4. Pertumbuhan alang-alang setelah terbakar
Pembakaran alang-alang juga sering dilakukan masyarakat dengan tujuan untuk memudahkan jalan. Padang alang-alang merupakan satu-satunya jalan yang dapat dilewati masyarakat untuk melakukan kegiatan sehari-hari mereka di areal kebun karet campuran, seperti menyadap karet, mengambil hasil hutan seperti buah, rotan, madu, ajir untuk tanaman pertanian, memancing dan sebagainya. Masyarakat merasa kesulitan melewati jalan setapak di areal padang alang-alang sewaktu membawa karet hasil sadapan atau hasil hutan lainnya apabila alangalang tinggi dan lebat. Hal ini menyebabkan pengguna jalan setapak tersebut melakukan pembakaran dengan tujuan supaya jalan tersebut mudah dilewati. Pada Gambar 5 dapat dilihat perbedaan antara jalan setapak yang belum terbakar dengan yang telah terbakar.
a.
b.
Gambar 5. a. Kondisi jalan setapak yang belum terbakar b. Kondisi jalan setapak yang telah terbakar
Sebagian responden juga membakar alang-alang untuk perburuan atau mengusir binatang pengganggu. Pemburu melakukan pembakaran dengan tujuan untuk menggiring binatang buruan ke perangkap yang telah dibuat. Binatang yang diburu di padang alang-alang dan yang sering merusak tanaman pertanian adalah babi liar (Sus scrofa). Dengan membakar alang-alang, binatang pengganggu tersebut tidak dapat bersembunyi lagi sehingga memudahkan pengawasan bagi petani. Beberapa petani bekerja sama dengan pemburu untuk memburu babi yang sering merusak tanaman pertanian di sekitar padang alang-alang.
5. Teknik Pembakaran Teknik pembakaran alang-alang di daerah penelitian adalah dengan cara asal dibakar dan dengan dikumpul terlebih dahulu kemudian dibakar. Sebagian besar responden melakukan pembakaran dengan cara asal dibakar, tetapi ada juga responden yang membakar dengan cara dikumpul terlebih dahulu. Pembakaran dengan cara dikumpul dilakukan pada alang-alang yang sudah ditebas atau dibabat terlebih dahulu. Untuk lebih jelasnya, teknik pembakaran padang alangalang dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Teknik pembakaran padang alang-alang No
Teknik pembakaran
Jumlah Persentase responden (%) 20 51.28
1
Asal bakar
2
Asal bakar dan dikumpul
10
25.64
3
Dikumpul
2
5.13
4
Tidak membakar
7
17.95
39
100.00
Total
Pembakaran alang-alang dengan cara asal dibakar merupakan cara yang biasa dilakukan oleh masyarakat terutama untuk tujuan memudahkan jalan, perburuan dan juga dalam pembukaan lahan. Pembakaran alang-alang untuk memudahkan jalan biasanya dilakukan sewaktu melewati jalan setapak di areal padang alang-alang. Orang yang membakar biasanya langsung pergi tanpa melakukan pengawasan. Dalam pembukaan lahan, pembakaran ini biasanya
dilakukan pada lahan dengan alang-alang yang tinggi dan lebat, supaya api dapat merambat dan membakar habis alang-alang pada lahan yang akan dikelola. Teknik lain yang biasa dilakukan masyarakat adalah dengan dikumpul terlebih dahulu sebelum dibakar. Pembakaran dengan cara dikumpul (pile burning) hanya dilakukan dalam kegiatan pengelolaan lahan. Pembakaran ini dapat dilakukan setelah alang-alang dibabat terlebih dahulu. Teknik pengumpulan biasanya dilakukan pada lahan alang-alang yang tidak luas dan berada di sekitar lahan atau kebun petani lain. Cara ini dilakukan untuk memudahkan pengendalian api saat melakukan pembakaran.
6. Pencegahan Kebakaran Kebakaran merupakan ancaman serius yang sering menggagalkan konversi padang alang-alang dan menimbulkan kerugian besar bagi petani. Pencegahan kebakaran dilakukan masyarakat dengan tujuan untuk menghindari api kebakaran padang alang-alang yang dapat merusak tanaman budidaya masyarakat yang berada di sekitarnya. Dari hasil wawancara diperoleh beberapa teknik pencegahan kebakaran yang biasa dilakukan responden untuk mencegah menjalarnya api ke lahan milik mereka. Teknik pencegahan kebakaran yang dilakukan responden adalah dengan membuat jalur di sekeliling lahan atau dengan menggunakan tanaman pagar untuk menghambat penjalaran api. Untuk lebih jelasnya, teknik pencegahan kebakaran dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Teknik pencegahan kebakaran No
Teknik pencegahan
Jumlah Persentase responden (%) 36 92.31
1.
Jalur kuning
2.
Jalur hijau
1
2.56
3.
Jalur kuning dan hijau
2
5.13
39
100.00
Total
Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa hampir semua responden menggunakan jalur kuning di sekeliling lahan mereka. Jalur tersebut biasanya dibuat dengan lebar sekitar 1-2 meter dan dibersihkan dari alang-alang atau tumbuhan lain untuk mencegah penjalaran api ke lahan yang ditanami. Jalur-jalur yang telah dibuat
biasanya kurang diperhatikan, karena petani lebih mengutamakan pekerjaan mereka di sawah atau di ladang. Teknik pencegahan lain yang dilakukan responden adalah dengan menanam tanaman pagar di sekeliling lahan mereka. Jenis tanaman yang biasa digunakan sebagai tanaman pagar adalah pisang, karena tanaman ini kurang disukai oleh binatang pengganggu (babi). Sampai saat ini belum ada tindakan pencegahan kebakaran lain yang dilakukan, baik dari pihak masyarakat itu sendiri maupun dari pemerintah setempat. Banyak anggota masyarakat yang tidak memperdulikan pencegahan kebakaran karena sebagian besar lahan alang-alang mereka tidak ditanami atau masih berupa alang-alang (dibiarkan).
7. Pemadaman Kebakaran Padang alang-alang di daerah ini sebagian besar dibiarkan saja oleh pemiliknya tetap sebagai padang alang-alang karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki untuk mengelola lahan tersebut. Kebakaran yang terjadi di areal padang alang-alang ini hanya menjadi masalah bagi petani yang memiliki lahan yang sudah ditanami, sedangkan bagi petani yang lahannya masih kosong, kebakaran bukan merupakan suatu masalah penting. Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa sebagian besar responden melakukan pemadaman kebakaran padang alang-alang secara pribadi. Tetapi ada juga responden yang melakukan pemadaman api bersama-sama. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Pemadaman kebakaran No
Pemadaman api
Jumlah Persentase responden (%) 37 94.87
1.
Pribadi
2.
Bersama
1
2.56
3.
Dibiarkan saja
1
2.56
39
100.00
Total
Pemadaman kebakaran bersama-sama biasanya hanya dilakukan oleh warga masyarakat yang masih berhubungan keluarga. Warga masyarakat akan ikut melakukan pemadaman apabila kebakaran tersebut berada di sekitar lahan miliknya atau terjadi pada lahan milik keluarga dekatnya.
Pemadaman api sulit dilakukan karena petani tidak selalu bisa mengawasi lahannya dan juga disebabkan sulitnya jalan untuk mencapai lokasi yang terbakar Beberapa masyarakat yang memiliki lahan di padang alang-alang biasanya tidak mengetahui adanya kebakaran karena kebakaran sering terjadi tiba-tiba sehingga banyak petani yang tidak sempat melakukan pemadaman.Teknik pemadaman api yang biasa dilakukan oleh masyarakat adalah teknik pemadaman langsung. Petani biasanya menggunakan cabang dan ranting pohon di sekitar lokasi kebakaran sebagai alat pemukul api untuk memadamkan kebakaran.
G. Perhatian Pemerintah Perhatian atau program yang pernah dilakukan pemerintah daerah setempat di areal padang alang-alang ini tidak jelas keberadaannya. Hal ini disebabkan karena program yang dilakukan sudah lama dan hanya beberapa orang yang mengetahuinya. Sebagian besar responden menyatakan tidak pernah ada perhatian atau program yang dilakukan pemerintah daerah untuk merehabilitasi padang alang-alang, tetapi ada juga responden yang menyatakan bahwa program penghijauan pernah dilakukan di daerah penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Perhatian pemerintah No
Program
Jumlah responden 5
Persentase (%) 12.82
1.
Penghijauan
2.
Tidak ada
34
87.18
Total
39
100.00
Menurut pengakuan beberapa responden, program penghijauan ini dilakukan sekitar tahun 1983 oleh Dinas Kehutanan Tapanuli Selatan. Jenis yang ditanam dalam program ini adalah jambu mete. Setelah itu tidak ada lagi program sampai sekarang. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di areal padang alangalang, tidak terdapat adanya hasil kegiatan penghijauan atau rehabilitasi yang dilakukan pemerintah tersebut. Perhatian pemerintah tentang kebakaran padang alang-alang yang sering terjadi di daerah penelitian tidak ada sama sekali.
Dari hasil wawancara dengan Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan serta pemerintah Kecamatan Padangsidimpuan Batuanadua, diperoleh bahwa masing-masing pihak tersebut tidak mempunyai program rehabilitasi atau pengkonversian padang alang-alang dan pengendalian kebakaran padang alang-alang di daerah penelitian.
H. Harapan Responden Terdapat banyak kendala yang dihadapi masyarakat untuk mengkonversi dan mengelola lahan alang-alang mereka. Kondisi warga masyarakat di daerah penelitian yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan dan penghasilan yang rendah menyebabkan pembukaan atau pengelolaan lahan di padang alang-alang sebagian besar gagal. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa hampir seluruh responden mengaharapkan bantuan pemerintah untuk mengelola lahan alangalang mereka. Berbagai harapan responden dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Harapan responden dalam pengelolaan padang alang-alang No
Harapan
Jumlah responden 3
Persentase (%) 7.69
1
Modal
2
Modal, bibit
4
10.26
3
Modal, herbisida
3
7.69
4
Modal, penyuluhan
8
20.51
5
Modal, bibit, penyuluhan
10
25.64
6
Modal, tenaga
1
2.56
7
Modal, bibit, herbisida
2
5.13
8
Penyuluhan
1
2.56
9
Modal, jalan, bibit, penyuluhan
2
5.13
10
Modal, jalan, bibit, pupuk
1
2.56
11
Jalan, herbisida, pupuk
1
2.56
12
Jalan, bibit, penyuluhan
1
2.56
13
Bibit, penyuluhan
1
2.56
14
Tidak ada
1
2.56
39
100.00
Total
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden kekurangan modal, mengharapkan penyuluhan dan membutuhkan bibit untuk mengelola lahan alang-alang mereka. Harapan utama masyarakat adalah adanya bantuan modal awal dari pemerintah daerah setempat sehingga kegiatan konversi atau pengelolaan lahan dapat dilakukan. Beberapa responden juga mengharapkan diadakannya penyuluhan terutama mengenai metoda pengelolaan lahan alangalang yang efektif dan penyuluhan mengenai teknik pembibitan atau okulasi tanaman karet. Petani merasakan bahwa penyuluhan tersebut sangat perlu karena metoda pengelolaan lahan yang mereka lakukan tidak efektif dan jarang berhasil dengan baik. Responden juga mengharapkan diadakannya penyuluhan mengenai teknik pengokulasian bibit karet karena bibit karet okulasi yang mahal dan sulit ditemukan dipasaran. Beberapa responden juga mengharapkan adanya pembangunan jalan ke areal padang alang-alang. Pembangunan jalan sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama yang tinggal Desa Baruas, Desa Ujunggurap dan Desa Aek Najaji. Pembangunan jalan ini diharapkan akan memudahkan petani dalam melakukan pengelolaan lahan alang-alang dan memudahkan petani melakukan pemadaman api apabila terjadi kebakaran.
I. Peraturan Adat Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat di daerah penelitian diperoleh bahwa sampai sekarang ini tidak ada peraturan adat yang mengatur dalam pembukaan atau pengelolaan lahan di areal padang alang-alang. Setiap warga masyarakat tidak terikat oleh peraturan adat dalam melakukan pengelolaan padang alang-alang. Setiap anggota masyarakat juga boleh melakukan berbagai teknik atau metoda untuk mengelola lahan alang-alang miliknya, tergantung pada pengetahuan dan kemampuan petani itu sendiri. Di daerah ini juga tidak ada peraturan adat yang mengatur tentang pembakaran padang alang-alang. Setiap anggota masyarakat boleh melakukan pembakaran dalam melakukan pembukaan atau pengelolaan lahan alang-alang miliknya
J. Pembahasan Umum Masyarakat di daerah penelitian memiliki keinginan untuk menjadikan padang
alang-alang
lebih
produktif.
Sebagian
besar
masyarakat
ingin
mengkonversi lahan alang-alang mereka menjadi kebun karet. Masalah utama yang dihadapi dalam mengelola padang alang-alang adalah kurangnya modal dan sering terjadinya kebakaran yang menghanguskan tanaman budidaya masyarakat. Kebakaran ini ditimbulkan oleh masyarakat sendiri dalam melakukan pembukaan lahan, untuk memudahkan jalan dan perburuan. Untuk mencegah kebakaran yang tidak diinginkan, maka perlu dilakukan pencegahan kebakaran, yaitu : 1. Pembuatan dan pemeliharaan sekat bakar. Setiap pemilik lahan di padang alang-alang membuat sekat bakar di sekeliling lahan milik masing-masing dengan lebar 3-4 meter. Dengan demikian, sekat bakar yang terbentuk antara dua pemilik lahan adalah 6-8 meter. Sekat bakar tersebut harus dipelihara atau dibersihkan dari alang-alang paling sedikit 2 minggu sekali. Penanaman tanaman pagar seperti pisang atau tanaman penutup tanah (cover crop) dapat dilakukan untuk mencegah pertumbuhan kembali alangalang. Sketsa sekat bakar yang akan dibentuk dapat dilihat pada Gambar 16.
Milik A
Milik B
Milik C
Milik D
Keterangan : = Lahan yang akan dikelola = Sekat bakar = batas lahan Gambar 6. Sketsa pembentukan sekat bakar
2. Pembentukan kelompok-kelompok pengawasan dan pemadaman kebakaran. 3. Penggunaan teknik-teknik pembakaran terkendali yang aman, seperti pembakaran melingkar (ring fire) dan pembakaran balik (back fire). Teknik pembakaran melingkar dan pembakaran balik dapat dilihat pada Gambar 6. Teknik pembakaran melingkar
Teknik pembakaran balik
X X X X X X X X X X X X X X X X X
Arah angin
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X X X X X X X X X X X X X X
Keterangan :
Keterangan :
X
X
= Titik pembakaran = Arah penjalaran api
= Sekat bakar
= Titik pembakaran = Arah penjalaran api
= Sekat bakar
Gambar 6. Teknik pembakaran terkendali.
Kurangnya modal awal masyarakat merupakan kendala penting dalam pengelolaan padang alang-alang. Hal ini menyebabkan perlu dibentuknya kerjasama antara masyarakat dengan pihak-pihak yang dapat memberikan bantuan modal (investor). Peranan dan dukungan pemerintah untuk merehabilitasi padang alang-alang di daerah penelitian sangat kurang. Partisipasi pemerintah yang mendukung masyarakat dalam mengkonversi padang alang-alang menjadi lahan yang lebih produktif sangat diharapkan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Sebaran umur responden dalam penelitian ini sebagian besar berada pada kelas umur 31-40 tahun dan 41-50 tahun. Tingkat pendidikan responden pada umumnya adalah sampai SD dan SMP. Mata pencaharian responden sebagian besar adalah petani, tetapi ada juga yang bekerja sebagai wiraswasta dan PNS. Tingkat penghasilan responden pada umumnya masih tergolong rendah. Sebagian besar responden memiliki penghasilan antara Rp 500.000Rp 1.000.000 per bulan. 2. Padang alang-alang di lokasi penelitian sudah terbentuk sejak dulu (lebih dari 50 tahun). Areal padang alang-alang ini pada awalnya merupakan tanah adat tetapi sekarang sudah merupakan milik pribadi. Terdapat beberapa jenis pohon lokal yang tumbuh di padang alang-alang, yaitu tembesu (Fragrea fragrans) dan balakka (Tetramerista glabra). Ditemukan juga jenis tumbuhan rendah harimunting (Rhodumurfus tomentosa) yang tumbuh diantara alang-alang. 3. Penggunaan padang alang-alang oleh warga masyarakat adalah sebagai jalan, lahan pertanian atau perkebunan dan areal perburuan. Jenis tanaman yang ditanam di areal padang alang-alang sebagian besar adalah karet dan kemiri. Pemanfaatan alang-alang yang digunakan masyarakat adalah sebagai bahan atap (atap gubuk) dan obat-obatan tradisional. 4. Sebagian besar responden melakukan pembakaran dalam pembukaan lahan alang-alang untuk memudahkan pemberantasan alang-alang dan pengolahan tanah. Pembakaran juga bertujuan untuk menekan biaya yang dikeluarkan dalam pembukaan lahan dan pemberantasan alang-alang. 5. Metoda pengendalian atau pemberantasan alang-alang yang dilakukan sebagian besar responden adalah dengan penyemprotan herbisida. Metoda lain yang dilakukan adalah pembabatan dan pencangkulan. Beberapa responden mengkombinasikan metoda-metoda tersebut untuk memberantas alang-alang.
6. Kendala utama pengelolaan padang alang-alang oleh masyarakat adalah kurangnya modal untuk melakukan konversi dan sering terjadinya kebakaran yang menghanguskan tanaman petani di areal padang alang-alang. Kendala lainnya adalah masih rendahnya teknologi yang digunakan petani dan adanya binatang pengganggu yang sering merusak tanaman petani. 7. Kebakaran padang alang-alang pada lokasi penelitian terjadi setiap tahun. Kebakaran liar di padang alang-alang merupakan ancaman serius bagi tanaman milik masyarakat. Musim kebakaran di daerah ini adalah antara bulan April-September. Menurut sebagian besar responden, kejadian kebakaran yang paling sering terjadi adalah antara bulan Mei-Agustus, tetapi masih memungkinkan terjadi pada bulan-bulan lain. Kejadian kebakaran padang alang-alang biasanya terjadi pada waktu tengah hari dan sore hari. 8. Tujuan pembakaran padang alang-alang adalah untuk memudahkan pembukaan atau pengelolaan lahan, untuk memudahkan jalan dan sebagai alat dalam perburuan. Teknik pembakaran yang dilakukan sebagian besar responden adalah asal dibakar tetapi ada juga responden yang melakukan pembakaran dengan cara dikumpul (pile burning). 9. Pencegahan kebakaran yang biasa dilakukan responden adalah dengan pembuatan jalur di sekeliling areal pertanaman (jalur kuning). Tetapi ada juga responden yang menggunakan jalur hijau atau kombinasi dari kedua teknik tersebut. Pemadaman api kebakaran padang alang-alang biasanya dilakukan secara perorangan, tetapi ada juga yang melakukan pemadaman bersama-sama. 10. Perhatian pemerintah untuk merehabilitasi atau mengkonversi padang alangalang di daerah penelitian sangat kurang sekali. Sampai sekarang ini, belum ada program atau perhatian pemerintah setempat mengenai kejadian kebakaran padang alang-alang pada daerah ini. Di daerah penelitian tidak ditemukan adanya peraturan adat yang mengatur tentang pembukaan atau pengelolaan padang alang-alang, begitu juga dengan pembakaran padang alang-alang.
B. Saran 1. Pembentukan kerjasama antara kepala desa, tokoh masyarakat dan pemerintah Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dengan pihak pemberi modal (bank) untuk memberikan pinjaman modal dan bimbingan kepada masyarakat. 2. Membentuk kerjasama dengan pemerintah daerah atau Dinas-Dinas terkait untuk mengadakan penyuluhan mengenai : •
Metoda pencegahan kebakaran dengan membuat dan memelihara sekat bakar berupa jalur kuning atau jalur hijau dengan lebar 3-4 meter. Sekat bakar tersebut harus dibersihkan dari alang-alang atau menanam tanaman legum penutup tanah (cover crop) seperti Pueraria javanica dan lain-lain.
•
Teknik pembakaran terkendali yang aman, seperti pembakaran melingkar (ring fire) dan pembakaran balik (back fire).
•
Teknik pembibitan atau teknik pengokulasian tanaman karet.
3. Pembentukan kerjasama antara pemilik lahan alang-alang dan pengguna jalan setapak untuk membersihkan alang-alang di sepanjang jalan setapak yang berada di padang alang-alang dengan menggunakan herbisida, dibabat atau digilas. 4. Pembentukan kerjasama antara pemburu dan petani di sekitar padang alangalang untuk melakukan perburuan binatang pengganggu tanpa mengunakan api. 5. Pembentukan kerjasama warga masyarakat dalam melakukan pengawasan dan pemadaman kebakaran.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1980. Laporan Kemajuan I, Proyek Studi Penyiapan Lahan Alangalang Secara Mekanis untuk Pemukiman Transmigrasi. Dept. PU & IPB Bogor. Balai Penelitian Perkebunan Sembawa, 1983. Pertemuan Teknis Pengelolaan Padang Alang-alang di Daerah Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sumatera Selatan. Brown, A.A. and K.P. Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. Mc. Graw-Hill Books Company. New York. 686 pp. Chandler, C., P. Cheney, L. Tarbaud, and D. Williams. 1983. Fire in Forestry Volume 1. John Willey & Son. New York . 450 pp. de Groot, W., Wardati and Yonghe Wang. 2005. Calibrating the Fuel Moisture Code for grass ignition potential in Sumatra, Indonesia. International Journal of Wildland Fire Friday, K.S. ; M.E. Drilling and D.P. Garrity. 2000. Imperata Grassland Rehabilitation using Agroforestry and Assisted Natural regeneration. ICRAF Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor, Indonesia. Murniati. 2002. From Imperata cylindrica Grassland to Productive Agroforestry. Tropenbos-Kalimantan Series 9. NRI, IRRI and ICRAF. 1996. Imperata Management for Smallholders. Jakarta, Indonesia. 56 p. Soerjani, M. 1970. Alang-alang (Imperata cylindrica (L.) Beauv. 1812). Pattern of Growth as related to problems of control. BIOTROP Sec. publ. 1 : 80 p. Prie Supriadi, 2005. Lahan kritis di Sumateta Utara mencapai 2,6 juta hektar. http://kompas.com/kompas-cetak/0506/09/sumbagut/1801720.htm Suratmo, F.G. 1974. Perlindungan Hutan. Proyek Pengembangan Mutu Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suratmo, F.G., E.A. Husaeni, dan N. Surati Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Tjitrosoedirdo, S. dan E.Suryatna. 1983. Pengelolaan Padang Alang-alang ke arah Sistem yang Produktif. Pertemuan Teknis Pengelolaan Padang Alang-alang di Daerah Perkebunan. Balai Penelitian Perkebunan Sembawa, Sumatera Selatan. Turvey, N.D. 1995. Afforestation of Imperata Grassland in Indonesia. Result of Industrial Tree Plantation Research at Teluk Sirih on Pulau Laut, Kalimantan Selatan, Indonesia. ACIAR Technical Reports 33
Lampiran 1.
Curah hujan Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2003-2005
No.
Bulan
Curah Hujan (mm) 2003 2004 2005 719 183 878
Hari Hujan (hari) 2003 2004 2005 20 12 15
1
Januari
2
Februari
696
222
176
16
12
7
3
Maret
554
177
137
14
11
9
4
April
768
280
620
16
11
15
5
Mei
82
91
387
5
4
15
6
Juni
223
20
228
9
4
8
7
Juli
266
70
61
12
4
8
8
Agustus
227
55
161
9
6
6
9
September
542
268
519
11
12
14
10
Oktober
386
201
653
13
12
16
11
November
689
958
331
21
15
17
12
Desember
479
654
716
15
20
19
5631 469.25
3179 489.07
4867 405.58
161 13.41
123 10.25
149 12.41
Jumlah rata-tata
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kabupaten Tapanuli Selatan.
Lampiran 2
Sketsa Lokasi Penelitian