MODUL PELATIHAN DASAR Modul 6
PENGELOL A AN USAHA BERSAMA Edisi Desember 2016
LAKPESDAM P B N U
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... 1 SENI MEMFASILITASI .................................................................................................................. 1 1. Pendekatan Fasilitasi ................................................................................................................. 1 2. Kemampuan daya serap manusia atas informasi .................................................................. 1 3. Proses perubahan sosial dari pelatihan/ kegiatan yang partisipatoris ............................... 2 4. Hal yang penting untuk diperhatikan ..................................................................................... 2 MODUL 6 PENGELOLAAN USAHA BERSAMA ...................................................................... 4 Topik 1 Peta Usaha Bersama di Desa .......................................................................................... 5 Topik 2 Pola usaha bersama yang ideal berdasar prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan .... 10 Topik 3 Rencana aksi perubahan dari kondisi yang ada menjadi kondisi ideal .................. 15 BAHAN BACAAN .......................................................................................................................... 19 Bahan Bacaan 6.1. ......................................................................................................................... 19 Bahan Bacaan 6.2. ......................................................................................................................... 24 Bahan Bacaan 6.3. ......................................................................................................................... 27 Bahan Bacaan 6.4. ......................................................................................................................... 33 Bahan Bacaan 6.5. ......................................................................................................................... 36 REFERENSI...................................................................................................................................... 45
1
SENI MEMFASILITASI Memfasilitasi itu seperti menari, atau menyanyi. Memfasilitasi harus dilakukan dengan penghayatan dan kegembiraan
1. Pendekatan Fasilitasi Ada 2 pendekaan yang biasa dipakai dalam memfasilitasi yaitu pendekatan konvensional dan partisipatoris.
(a)
(b) Gambar 1 (a) Pendekatan Konvensional, (b) Pendekatan Partisipatoris
Pendekatan konvensional adalah suatu proses fasilitasi dimana proses berjalan satu arah. Fasiliator ( atau orang yang memfasilitasi) menjadi narasumber atau pusat segala informasi, sementara peserta/partisipan menjadi pihak yang menerima informasi. Pendekatan konvensional ini dahulu banyak dipakai oleh guru ketika menerangkan pelajaran pada muridnya di kelas. Pendekatan partisipatoris adalah suatu proses fasilitasi dimana semua orang baik fasilitator maupun peserta adalah nara sumber. Pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan dan pengalaman, karenanya Pendekatan partisipatorps ini sesunguhnya sebuah langhah penghargaan kepada setiap peserta. Pendekatan partisipatoris memungkinkan semua orang berkontribusi, berperan dan belajar sesuai dengan kemampuan dan pengalaman masing masing. Fasilitator, selain sebagai nara sumber sebagaimana peserta, Fasilitator membantu mengatur alur informasi sehingga semua informasi dari semua peserta tidak tercerai berai dan melebar kemana mana. Fasilitator membantu peseta untuk fokus pada setiap topik dalam pelaihan.
2. Kemampuan daya serap manusia atas informasi Berdasarkan penelitian, aktivitas selama pelatihan mempengaruhi kemampuan menyerap dan mendistribusikan kembali informasi yang didapat selama pelatihan. Gambar berikut menjelaskan bila seorang hanya mendengarkan selama pelatihan, maka dia hanya mampu menyerap 20% informasi yang disampikan selama pelatihan. Orang hanya mempu menyerap 50% informasi yang didengar dan dilihat. Peserta yang hanya melihat, mendengar atau membaca saja tergolong dalam kategori peserta pasif. Apabila diminta untuk menyampaikan ulang informasi yang didapat, maka dia kan bisa menjelaskan saja tetapi tidak cukup memahami apa yang dijelaskan . Semakin aktif sesorang dalam pelatihan baik itu mendengar, melihat, menulis dan melakukan praktek, makin banyak informasi yang diingat. Beitu juga kemampuan dalam melakukan analisa, mendefinisikan dan melakukan evaluasi.
1
Mampu Mengingat.....
Mampu Melakukan.....
10% dari yang dibaca 20% dari yang didengar 30% dari yang dilihat
Pasif
50% dari yang dilihat dan didengar 70% dari yang dikata kan dan dituliskan 90% dari yang dilakukan
Mendefinisikan Menjelaskan
Mendemonstrasikan Mengaplikasikan
Aktif
Menganalisa Mendefinisikan Mengkreasi Mengevaluasi
3. Proses perubahan sosial dari pelatihan/ kegiatan yang partisipatoris Perubahan yang bisa diharapkan dari pelatihan atau kegiatan yang partisipatoris dimana setiap orang belajar dengan lagsung praktek (learning by doing), melakukan refleksi kritis atau belajar dari pengalaman riil baik yang dialami sendiri atau dari pengalaman pihak lain, untuk menyusun agenda perubahan menuju kondisi yang lebih baik secara bersama sama.
Bekerja bersama untuk Perubahahan
Refleksi kritis
Belajar dengan bekerja
partisipatoris
4. Hal yang penting untuk diperhatikan a) Memahami tujuan dan isi materi yang akan disampaikan b) Suasana . Seorang fasilitator mengerti bagaimana menciptakan suasana yang nyaman dan memungkinkan setiap orang bisa berpartisipasi aktif selama pelatihan. c) Setting waktu dan tempat . Dengan mempertimbangkan target peserta, Fasilitator i. memastikan waktu kegiatan yang memungkinkan untuk diikui oleh calon peserta . fasilitator memastikan waktu pelatihan yang memadai dan efektif artinya tidak terlalu panjang tetapi hasilnya memadai . 2
ii. iii.
Tempat pelatihan terjangkau Pengaturan tempat duduk/ seting ruangan diatur dalam suasana yang menungkinkan setiap peserta bisa saling berinteraksi/ terhubung/melihat. Misalnya dengan mengatur tempat duduk melingkar atau berbentuk U d) Memilah informasi yang harus disampaikan dan didiskusikan selama pelatihan . Tidak semua informasi harus disampaikan dalam pelatihan. Pilihlah poin penting yang sesuai dengan tujuan pelatihan. Bahan atau materi yang lain bisa menjadi bahan bacaan yang memperkaya peserta. . metode partisipatoris justru menekankan agar peserta “menemukan sendiri kesimpulan yang benar” slama proses pelatihan e) Memilih Metode. Pilih metode yang sederhana, yang i. membuat setiap orang terlibat secara aktif serta ii. mampu menggali pendapat dan infomasi yang dimiliki peserta serta mengelaborasi pengalaman peserta f) Menghindari dominasi salah satu kelompok/pihak , dan mendorong perempuan dan kelompok rentan untuk berpartisipasi aktif dan mengemukakan pendapat. i. Misalnya dalam setiap kelompok , memastikan semua anggota kelompok punya hak yag sama untuk mengemukakan pendapat. ii. Setiap orang menghargai pendapat yang disampaikan oleh peserta lain iii. Setiap kelompok terdiri dari lak laki dan perempuan. iv. Apabila pelatihan hanya ditujukan kelompok gender tertentu, misalnya kelompok perempuan atau kelompok laki laki saja, pastikan bahwa semua orang baik muda atau lansia ( bila ada) bisa berpartisipasi aktif.
3
MODUL 6 PENGELOLAAN USAHA BERSAMA Tujuan : Membangun pengetahuan dan kesadaran warga tentang pengelolaan usaha bersama di desa
Peta usaha bersama desa
•pemetaan usaha bersama yang ada di desa •pemetaan aset desa sebagai potensi pengembangan usaha bersama di desa •tantangan membangun usaha berama di desa
Pola Usaha Bersama di Desa byang ideal ( sesuai prinsip ekonomi keraksayatan) •Keterpaduan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam usaha bersama yang ada di desa •Pengertian, nilai, dan prinsip ekonomi kerakyatan •Landasan, substansi, dan tujuan penyelenggaraan ekonomi kerakyatan •Indikator penyelenggaraan ekonomi kerakyatan di desa •Realisasi prinsip ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan usaha bersama desa
Rencana Aksi Merintis Usaha Bersama
•Koperasi , strategi merintis usaha bersama di desa •Menyusun Rencana Aksi merintis usaha bersama di Desa
4
Topik 1 Peta Usaha Bersama di Desa Tujuan instruksional Peserta mengetahui berbagai usaha bersama dan persoalannya di desa umum Tujuan instruksional khusus 1. Peserta mampu memahami kondisi riil usaha bersama yang telah ada di desa 2. Peserta mampu mengidentifikasi berbagai macam aset desa yg dapat dimanfaatkan sebagai usaha produktif bersama 3. Peserta mampu mengidentifikasi berbagai persoalan pengembangan usaha bersama Materi 1. Pengertian dan Ciri-Ciri Usaha Bersama 2. Alasan Perlunya Usaha Bersama 3. Jenis-Jenis Usaha Bersama yang sudah ada di desa 4. Potensi Aset Desa Sebagai Modalitas Usaha Bersama 5. Peluang Usaha Bersama yang dapat dikelola di desa 6. Tantangan dan kendala pengembangan usaha bersama Sarana dan prasarana yang dibutuhkan 1. Whiteboard 2. Spidol 3. Metaplan 4. Proyektor 5. Laptop Metode 1. Explorasi partisipatif 2. Pemutaran video 3. Diskusi interaktif 5. Praktek kelas Materi Pendukung 1. Video Koperasi Wanita Tani Sedya Mulyo 2. Website: www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id 3. Website: www.mubyarto.org 4. Website: www.gunungapipurba.com Waktu yang dibutuhkan) : 120 menit
5
PROSES 1. Persiapan Sebelum Pelatihan tim Fasilitator mempersiapkan perlengkapan pelatihan seperti selotip, kertas plano/flip chart, kertas metaplan, spidol, laptop, video dan proyektor 2. Pengantar, 10 menit Fasilitator membuka sesi dengan mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan memaparkan tujuan pelatihan secara ringkas. Fasilitator juga menyampaikan metode yang digunakan selama pembahasan topik 1 serta waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan pelatihan ini. 3. Paparan, waktu 10 menit Pengertian dan Ciri Usaha Bersama Istilah usaha bersama sudah muncul sejak Indonesia merrdeka sebagaimana disebut dalam UUD 45. a) Dasar Hukum : Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. b) Pengerian Usaha bersama. Mengacu pada penjelasan UUD pasal 33 maka usaha bersama adalah usaha yang kegiatan produksi, distribusi, dan pengawasannya dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat, tanpa terkecuali c) Pilar atau ciri usaha bersama Menurut Profesor Sri-Edi Swasono, usaha bersama memiliki tiga pilar atau tiga ciri yang biasa disebut sebagai Triple-co, yaitu (1) Co-ownership (kepemilikan bersama), (2) Co-determinant (pengambilan keputusan bersama), dan (3) Co-responsibility (tanggung jawab bersama). Mengapa Perlu Usaha Bersama? a) Usaha bersama merupakan perwujudan dari tiga tuntunan, yaitu tuntunan dari atas ( agama), bawah ( tradisi ), dan tengah ( sejarah). (1) Tuntunan Agama. Semua agama mengajarkan nilai-nilai persamaan, persaudaraan, dan persatuan, dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.Membangun usaha bersama adalah membangun dunia, khususnya ekonomi berdasarkan amanah dan perintah Allah SWT. Agama mengajarkan persatuan (ukhuwah), bukan perpecahan (firkoh), di mana salah satu perwujudannya adalah usaha bersama. (2) tuntunan tradisi Tradisi gotong royong sudah mendarah daging, mengurat nadi dalam sejarah dan perikehidupan masyarakat Indonesia sejak dahulu kala. Usaha bersama sesuai dengan kearifan lokal masyarakat adat kita yang menjunjung tinggi komunalitas dan kekerabatan dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam berekonomi. (3) tuntunan sejarah Bangsa Indonesia yang pernah merasakan pahitnya dijajah oleh bangsa lain, di mana yang bisa melepaskannya adalah persatuan di antara rakyat Indonesia. Oleh karenanya, usaha bersama merupakan jalan keluar terhadap keterjajahan dan keterhisapan ekonomi rakyat Indonesia. b) Tuntutan ini sesuai pesan Muhammad Hatta dimana “ekonomi rakyat belum akan keluar dari lumpur tekanan dan hisapan sebelum mereka berserikat dalam satu wadah yang disebut kooperasi”. Tentu saja maksud Hatta soal kooperasi ini co-operation yang berarti usaha bersama.
6
c) Usaha bersama akan memperbaiki harkat dan martabat ekonomi rakyat Indonesia 4. Pemutaran Video, waktu 30 menit Fasilitator kemudian memutar video ilustrasi usaha bersama selama .....mnt. video ini menceritakan tentang Koperasi Wanita Tani Sedya Mulyo. Setelah selesai pemutaran video, fasilitao meminta pendapat peserta tentang video yang baru saja diputar. Tanyakan baik kepada peserta laki laki maupun perempuan. Apa 5. Paparan dan diskusi tentang perlunya usaha bersama di desa, 60 menit Jenis Usaha yang ada di desa a) Usaha bersama perlu dan dapat dikembangkan di semua bidang, sejauh menyangkut hajat hidup orang banyak, Oleh karena itu sesungguhnya usaha bersama sudah lama hadir di tengah-tengah masyarakat, apalagi masyarakat desa yang kental dengan nuansa kebersamaan dan kekeluargaannya. b) Bidang usaha Bersama (1) Pertanian (2) Perkebunan, (3) Peternakan, (4) Keuangan, dan (5) Bidang-bidang usaha lain yang dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat desa. c). Pemahaman terhadap keberadaan usaha bersama di desa ini penting sebagai dasar untuk melangkah ke depannya. Kita akan membangun dan mengembangkan apa yang sudah ada, bukan mencari-cari apa yang belum kita punya Potensi Aset Desa Sebagai Modalitas Usaha Bersama a). Usaha bersama tidak dapat dilepaskan dari keberadaan aset desa, yang merupakan aset bersama. b). Jenis aset desa antara lain (1) aset Fisik sumber daya alam, seperti lahan , mata air, sungai, hutan, bukit, sawah, ladang, kebun, (2) sumber daya manusia, seperti -tenaga perkasa dengan berbagai jenis keahliannya,, juga anak-anak muda desa yang sekira diberi kepercayaan dan kesempatan niscaya akan mengubah keadaan desa (3) sumber daya keuangan, maupun (4) tradisi sosial budaya merupakan potensi dan modalitas usaha bersama. Fasilitator meminta peserta menuliskan dalam metaplan potensi aset desa yang berpeluang dikelola sebagai usaha bersama,. kemudian peserta diminta menceritakan bagimana kondisi atau pengelolaannya selama ini. Tempelkan metaplan tersebut dalam lembar kerja Potensi Aset Desa Lembar kerja 6.1.1 . Potensi Aset Desa ( Fisik) potensi aset desa sebagai usaha bersama kondisi / pengelolaan selama ini
Peluang Usaha Bersama yang dapat dikelola di desa Memulai dari permasalahan nyata yang ada adalah langkah awal bagi usaha bersama. Misalnya harga komoditi yang rendah dan dipermainkan oleh tengkulak atau juragan dari luar desa, renterir atau warga desa hanya mampu menjual bahan-bahan mentah ke luar desa sehingga selalu murah jatuhnya harga. Usaha bersama berpeluang dikembangkan dalam usaha tani dalam arti luas beserta pengadaan sarana produksi, produk olahan, dan pemasarannya.
7
Sekira air bersih masih menjadi masalah bagi warga desa maka disanalah terletak peluang usaha bersama air minum bagi semua. Pun sekira listrik atau energi juga menjadi kendala maka usaha bersama energi terbarukan memiliki peluang yang baik untuk hadir di tengah-tengah desa. Terlebih jika modal masih menjadi hambatan bagi tumbuh kembangnya usaha di desa maka usaha bersama dapat menaruh pula harapan kepadanya. Fasilitator menggali berbagai permasalahan ekonomi desa yang ada, siapa pegelolanya, apa bidangnya, apa kelebihan dan kekurangannya. Catat dalam flip cahart/kertas plano/ white board
Permasalahan Ekonomi Desa
Tantangan dan kendala pengembangan usaha bersama Desa dengan segenap kekayaannya telah lama menjadi ajang perebutan dan jarahan dari pihakpihak tidak bertanggungjawab dari luar desa. Menguras tambang, mengkapling tanah, menutup mata air, dan menjarah hutan demi kepentingan bisnis semata mereka. Fasilitator meminta peserta menderitakan usaha bersama yang sudah berkembang di desa dan diminta menceritakan kendala yang dihadapi oleh maisng masing usaha bersama tersebut. fasilitator membantu menuliskan usaha bersama yang disampaikan peserta dalam lembar kerja 6.1.1 Daftar Usaha Bersama yang ada di desa Lembar Kerja 6.1.1 Daftar Usaha Bersama yang ada di Desa Bidang
Usaha Bersama Yang ada
kondisi
kendala
Pertanian perkebunan Keuangan dst Fasilitator menanyakan kepada peserta, bagaimana cara mengatasi kendala yang dihadapi. Catat. Fasilitator memberi gambaran upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi masyarakat antara lain : Kendala lemah dan kurang di ilmu dan kesadaran lemahnya organisasi dan persatuan
Upaya Yang Bisa Dilakukan mengumpulkan ilmu pengetahuan merapatkan barisan dan memperluas jaringan
8
teknologi, modal, alat-alat produksi, perkakas lemahnya kepemimpinan
dan
mencari teknologi yang tepat guna, berbagai mengakses modal , atau membangun usaha bersama/ koperasi menjadikan diri kita semua sebagai pemimpinpemimpinnya.
Usaha bersama memerlukan kepemimpinan. Kader-kader hijau adalah jawabannya. Kita lah calon-calon pemimpin masa mendatang di desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan juga Indonesia. 6. Pembelajaran dan Kesimpulan Fasilitator menegaskan kesimpulan dan pembelajaran dari materi dan diskusi tentang topik 1. , Usaha bersama adalah cara yang bisa dilakukan oleh masyarakat desa untuk sejahtera Mempertahankan aset bersama adalah syarat utama bagi keberlanjutan usaha bersama. ALAT BANTU 1. Alat Bantu B.5.1.1 Video Koperasi Wanita Tani Sedya Mulyo 2. Lembar balik/poster Usaha Bersama harus dibuat
9
Topik 2 Pola usaha bersama yang ideal berdasar prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan Tujuan instruksional umum Peserta mampu memahami arti penting usaha bersama sebagai dasar pengembangan ekonomi kerakyatan Tujuan instruksional khusus (1) Peserta memahami dan mampu melakukan kalkulasi ekonomi, sosial dan lingkungan terhadap berbagai pola usaha bersama yang ada di desa, dan (2) Peserta memahami akan arti penting ekonomi kerakyatan dalam memakmurkan desa. Isi/materi 1. Keterpaduan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam usaha bersama yang ada di desa Pengertian, nilai, dan prinsip ekonomi kerakyatan 3. Landasan, substansi, dan tujuan penyelenggaraan ekonomi kerakyatan 4. Indikator penyelenggaraan ekonomi kerakyatan di desa 5. Realisasi prinsip ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan usaha bersama desa Sarana dan prasarana yang dibutuhkan 1. Whiteboard/ plano 2. Spidol 3. Metaplan 4. Proyektor 5. Laptop Metode Ceramah interaktif Materi Pendukung 1. Website: www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id 2. Website: www.mubyarto.org 3. Video 4. Buku Ekonomi Kerakyatan Time (Waktu yang dibutuhkan) : 90 menit PROSES 1. Paparan 30 menit Keterpaduan ekonomi, sosial dan lingkungan dalam usaha bersama Sejalan dengan makna usaha bersama yang sudah diterangkan di muka maka, maka usaha bersama tentu saja menjadikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai kesatuan dalam setiap gerakannya. Ketiga aspek tersebut melekat dan tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. makna usaha bersama yang sesuai dengan prinsip ekonomi kerakyatan. Masih ingat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945? Dalam bagian penjelasan disebutkan perihal demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang menaungi usaha bersama. Dengan kata lain, usaha bersama berjalan dalam kerangka dan prinsip sistem ekonomi kerakyatan. Sesuai makna dan ciri-nya, maka dalam ekonomi kerakyatan, aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Demikian halnya usaha bersama desa dikelola.
10
Fasilitator menanyakan penilaian peserta terkait kondisi usaha bersama yang sesungguhnya di desa terkait dengan aspek keterpaduan ekonomi, sosial dan lingkungan. Catat dalam kertas plano/ flip chart Pengertian, nilai, prinsip, landasan, substansi, dan tujuan penyelenggaraan ekonomi kerakyatan di desa a. Pengertian Secara umum ekonomi kerakyatan dipahami sebagai suatu struktur dan proses ekonomi yang berupaya memindahkan kedaulatan ekonomi dari oligarki pemilik modal ke seluruh anggota masyarakat. Pengertian secara lebih eksplisit diperoleh dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dimana sistem ekonomi kerakyatan diartikan sebagai sistem ekonomi di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggotaanggota masyarakat. b. Berlandaskan filosofi dan cita cita eonomi dalam konstitusi, Baswir (2002) merumuskan Substansi Ekonomi kerakyatan yang mencakup 3 aspek, sebagaimana penjabaran berikut : (1) partisipasi seluruh anggota masyarakat desa dalam proses pembentukan produksi desa. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi desa menempati kedudukan yang sangat penting dalam ekonomi kerakyatan . Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya desa, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi desa tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian." (2) partisipasi seluruh anggota masyarakat desa dalam turut menikmati hasil produksi desa. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi desa, termasuk para fakir miskin dan anakanak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di desa-desa di Indonesia. d) kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi desa itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat desa. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, anggota masyarakat desa tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walau pun kegiatan pembentukan produksi desa dapat dilakukan oleh para pemodal, tetapi penyelenggaraan kegiatankegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat.
Agenda pengembangan ekonomi kerakyatan Unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat desa dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi desa. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk a) modal material (material capital), b) modal intelektual (intelectual capital) c) modal institusional (institutional capital). Kewajiban Negara a. Negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat desa.
11
b. Negara wajib menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya sebagai berikut: (1) Demokratisasi modal material; Negara wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. (2) Demokratisasi modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya. (3) Demokratisasi modal institusional; Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat desa untuk membentuk serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha kecil-menengah, dan berbagai bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi. Realisasi prinsip ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan usaha bersama desa Instrumen penjabaran ekonomi kerakyatan yang perlu ada dalam pengelolaan usaha bersama (1) Pertama, usaha bersama hendaknya membuka kesempatan keanggotaan kepada seluruh lapisan masyarakat desa, sehingga mereka dapat berpartisipasi baik dalam kegiatan produksi, distribusi, hingga dapat turut menikmati hasil kegiatan ekonomi tersebut. Usaha bersama diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja bagi para penduduk desa. (2) Kedua, produk dan layanan usaha bersama hendaknya memberi akses kepada warga miskin desa, jangan sampai ada warga miskin tidak dapat mengakses layanan usaha bersama tersebut karena masalah tidak adanya biaya. Lebih lanjut lagi usaha bersama hendaknya memiliki misi, produk/layanan, dan program untuk menanggulangi kemiskinan di desa. (3) Ketiga, musyawarah atau pertemuan rutin bulanan yang dihadiri oleh seluruh anggota usaha bersama untuk membahas berbagai hal terkait pengembangan usaha bersama desa. Musyawarah ini adalah perwujudkan dari kepemilikan, pengambilan keputusan, dan tanggung jawab bersama. (4) Keempat, terdapat pusat pendidikan dan pelatihan yang dapat diakses oleh seluruh anggota usaha bersama sebagai sarana untuk meningkatkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan dalam mengembangkan usaha bersama. Dalam hal ini Sekolah Hijau dapat menjadi perwujudan realisasi ekonomi kerakyatan dalam penguatan modal intelektual sebagai basis pengembangan usaha bersama desa. (5) Kelima, usaha bersama dikelola dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, dengan dimotori oleh kader-kader pemuda dan perempuan desa. Usaha bersama merupakan sarana untuk mencetak kader-kader calon pemimpin desa. 2. Diskusi dan paparan 60 meit a. Diskusi indikator ekonomi kerakyatan di desa, 15 menit Fasilitator membagi peserta menjadi 3 kelompok. Tiap tiap kelompok mendiskusikan indikator ekonomi kerakyatan untuk satu prinsip ekonomi kerakyatan .
12
Kelompok 1 berdiskusi untuk indikator ekonomi kerakyatan terkait kait dengan prinsp produksi dikerjakan oleh semua Kelompok 2 berdiskusi untuk indikator ekonomi kerakyatan terkait prinsip Produksi dikerjakan untuk semua Kelompok 3 berdiskusi tentang indikator ekonomi kerakyatan terkait prinsip
Produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat Gunakan ALAT BANTU 6.2.1 sebagai panduan. Gunakan lembar kerja 6.2.1 untuk enuliskan hasil diskusi kelompok . Lembar Kerja 6.2.1 Indikator Ekonomi Kerakyatan di Desa Prinsip Indikator
b. Paparan hasil diskusi kelompok , 30 menit Setiap kelompok memaparkan hasil diskusi kelompok secara bergantian. Paparan hasl diskusi dilakukan 5 menit, selanjutnya minta tanggapan dari peserta terkait dengan paparan yang dilakukan oleh setiap kelompok, selama 5 menit c.
Diskusi Menyusun langkah langkah untuk merealisasikan ekonomi kerakyatan di desa, 15 menit Fasilitator mengajak peserta untuk mendiskusikan langkah langkah merelisasikan ekonomi kerakyatan di desa. Catatn poin poin penting hasil diskusi dalam plano/flipchart/white board
ALAT BANTU
Prinsip, Kriteria, dan Indikator Ekonomi Kerakyatan Desa Assestment Guideline PRINSIP
KRITERIA
1. Produksi dikerjakan 1.1. Keterlibatan semua oleh semua warga desa dalam proses produksi 1.2. Kebersamaan (kolektifitas) dalam kegiatan produksi
1.3. Kesalingterkaitan antarusaha kolektif di desa
INDIKATOR-INSTRUMEN 1.1.1. Adakah tenaga usia produktif di desa yang menganggur? 1.2.1. Apakah kelompok marjinal menjadi anggota koperasi atau kelompok usaha desa? 1.2.2. Bagaimana peran koperasi desa, utamanya bagi kelompok marjinal? 1.3.1. Bagaimana kerjasama (jejaring) antarusaha dan antarlembaga ekonomi (koperasi) desa? 1.3.2. Seperti apakah pola pertukaran lokal barang dan jasa di tingkat desa setempat?
13
PRINSIP
KRITERIA
2. Produksi dikerjakan 2.1. Kebersamaan untuk semua (kolektifitas) dalam distribusi hasil produksi
INDIKATOR-INSTRUMEN 2.1.1. Apakah produksi diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk desa setempat? 2.1.2. Apakah pemasaran produk di dalam/diluar desa dilakukan secara kolektif? 2.1.3. Apakah pemasaran produk dilakukan melalui koperasi desa setempat? 2.1.4. Apakah koperasi desa makin mampu menjangkau konsumen (mitra) di luar desa secara langsung?
2.2. Keterlibatan semua warga desa dalam menikmati alokasi penerimaan desa. 3.1. Penguasaan kolektif atas aset strategis desa 3. Produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggotaanggota masyarakat 3.2. Kedaulatan (kemandirian) dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi di desa.
3.3. Keterlibatan semua warga desa dalam pengambilan keputusan dan pengawasan kegiatan ekonomi desa.
2.2.1. Apakah perencanaan APBDes dilakukan secara partisipatif? 2.2.2. Apakah alokasi APBDes adil dan transparan? 3.1.1. Apakah aset strategis (SDA) dikuasai kolektif oleh masyarakat adat (desa)? 3.1.2. Apakah SDA desa (adat) dikelola oleh BUMDes dengan baik dan dapat bermitra dengan BUMD/BUMN? 3.2.1. Bagaimana layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas dapat terjangkau oleh penduduk desa? 3.2.2. Apakah sarana produksi tersedia dan berasal dari sumber daya desa setempat? 3.2.3. Apakah modal tersedia dan berasal dari sumber keuangan (LKM) setempat? 3.2.4. Apakah koperasi desa makin mampu menyediakan bahan baku, modal, teknologi, dan peningkatan skill dalam produksi desa? 3.2.5. Apakah konsumsi kebutuhan pokok makin mampu dipenuhi dari produksi setempat atau jaringan (mitra) desa? 3.2.6. Apakah koperasi makin mampu menyediakan kebutuhan konsumsi masyarakat di desa? 3.2.7. Apakah kearifan lokal dalam konservasi lingkungan tetap dipertahankan? 3.3.1. Apakah peran lembaga ekonomi lokal (koperasi desa) dan partisipasi anggotanya meningkat pesat?
14
Topik 3 Rencana aksi perubahan dari kondisi yang ada menjadi kondisi ideal Tujuaninstruksional umum Peserta mampu merumuskan strategi usaha bersama dalam membentuk koperasi Tujuan instruksional khusus (1) Peserta memahami arti penting usaha bersama di desa; (2) peserta dapat merumuskan langkah-langkah dan strategi dalam memperbaiki/merintis usaha bersama sebagai embrio usaha bersama pengelolaan ekonomi warga/koperasi. Isi/materi 1. Pengertian, asas, dan prinsip-prinsip koperasi 2. Peran koperasi dalam perekonomian desa 3. Keanggotaan koperasi 4. Pengambilan keputusan dalam koperasi 5. Partisipasi ekonomi anggota koperasi 6. Otonomi dan independensi koperasi 7. Pendidikan anggota koperasi 8. Kerjasama antarkoperasi 9. Kepedulian sosial koperasi 10. Pembentukan koperasi 11. Rencana Bisnis Koperasi Sarana dan prasarana 1. Whiteboard 2. Spidol 3. Metaplan 4. Proyektor 5. Laptop Metode 1. Ceramah interaktif 4. Diskusi 5. Praktek kelas Materi Pendukung 1. Website: www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id 2. Website: www.mubyarto.org 3. Video 4. Buku Koperasi 5. Buletin Swara 33 ( kalo ini jadi materi pendukung , maka harus dilampirkan dalam modul ini sebagai bahan bacaan ) Waktu yang dibutuhkan : 90 menit
15
PROSES 1. Paparan 30 menit Pengertian, asas, dan prinsip-prinsip, dan perlunya
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Dalam bagian Penjelasan disebutkan pula bahwa “Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”. Dengan begitu usaha bersama dapat direalisasikan dalam bangun usaha koperasi. Pengertian koperasi dari International Cooperative Alliance (ICA)“Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan –kebutuhan dan aspirasi – aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka kendalikan secara demokratis”. koperasi adalah “perkumpulan orang” dan justru di sinilah letak perbedaan mendasarnya dengan perusahaan lain (perseroan terbatas) yang merupakan kumpulan modal. Bagi koperasi yang terpenting adalah orang, yaitu manusia yang memiliki tiga elemen mikro-nya; hati, jiwa, dan akal pikiran, serta elemen meso-nya ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Seperti pesan Hatta bahwa “Bukan corak pekerjaan yang dikerjakan menjadi ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masing”. Prinsip-Prinsip Koperasi Tujuh (7) prinsip koperasi internasional, yaitu: (1) Prinsip Pertama: Keanggotaan Sukarela dan Terbuka; tanpa diskriminasi gender, sosial, rasial, politik atau agama. (2) Prinsip kedua: Pengendalian oleh Anggota Secara Demokratis; perkumpulan demokratis yang dikendalikan oleh para anggota secara aktif berpartisipasi dalam penetapan kebijakan-kebijakan perkumpulan dan mengambil keputusan-keputusan. Laki-laki dan perempuan desa mengabdi sebagai wakil-wakil yang dipilh, bertanggung jawab kepada para anggota (3) Prinsip ketiga: Partisipasi Ekonomi Anggota; Anggota-anggota menyumbang secara adil dan mengendalikan secara demokrasi modal dari koperasi mereka. Sekurang-kurangnya sebagian dari modal tersebut biasanya merupakan milik bersama dari koperasi Anggotaanggota biasanya menerima kompensasi yang terbatas, bilamana ada, terhadap modal (4) Prinsip keempat: Otonomi Dan Kebebasan; koperasi bersifat otonom, merupakan perkumpulan-perkumpulan yang menolong diri sendiri dan dikendalikan oleh anggotaanggotanya. Koperasi- koperasi mengadakan kesepakatan-kesepakatan dengan perkumpulan-perkumpulan lain, termasuk pemerintah, atau memperoleh modal dari sumber-sumber luar, dan hal itu dilakukan dengan persyaratan-persyaratan yang menjamin adanya pengendalian anggota-anggota serta dipertahankannya otonomi koperasi (5) Prinsip kelima: Pendidikan, Pelatihan Dan Informasi; koperasi menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi anggota-anggotanya, para wakil yang dipilih, manajer dan karyawan, sehingga mereka dapat memberikan sumbangan yang efektif bagi perkembangan koperasi mereka. Mereka memberi informasi kepada masyarakat umum, khususnya orang-orang muda pemimpin-pemimpin opini masyarakat mengenai sifat dan kemanfaatan-kemanfaatan kerja sama
16
(6) Prinsip Keenam: Kerjasama diantara koperasi. yang akan dapat memberikan pelayanan paling efektif kepada para anggota dan memperkuat gerakan koperasi dengan cara bekerja sama melalui struktur-struktur lokal, nasional, regional, dan internasional. (7) Prinsip Ketujuh: Kepedulian Terhadap Komunitas; koperasi bekerja bagi pembangunan yang berkesinambungan dari komunitas mereka melalui kebijakan-kebijakan yang disetujui oleh anggota-anggotanya
Strategi dan langkah pembentukan koperasi ( sisipkan gambar ttg 5 langkah , bikin yg mudah dicerna, ini sample ajah
MUSYAWARAH PEMBENTUKAN KOPERASI
PENDIDIKAN DASAR KOPERASI BAGI CALON ANGGOTA
MENJALANKAN USAHA KOPERASI YANG SUDAH DISEPAKATI
MENATA ORGANISASI DAN USAHA KOPERASI DENGAN MEMPERKUAT SEMUA LINI USAHANYA
MENYUSUN RENCANA BISINIS KOPERASI
Berdasarkan prinsip koperasi diatas, maka strategi merintis atau membentuk usaha bersama di desa adalah sebegai berikut : (1) Pertama, musyawarah pembentukan koperasi yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 20 warga desa sebagai pelopor usaha bersama desa, dan terbuka bagi siapa saja yang mau bergabung dalam keanggotaan koperasi. Dalam musyawarah diputuskan pula apa usaha koperasi yang mestinya didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan anggotanya, serta perangkat lain yang diperlukan dalam pembentukan koperasi seperti nama, kepengurusan, rapat, permodalan, dan sebagainya. (2) Kedua, menyiapkan dan menyelenggarakan pendidikan dasar koperasi bagi seluruh calon anggota agar semuanya memiliki pemahaman perihal koperasi beserta urgensi, tujuan, sistem, usaha, dan hak-kewajiban sebagai anggota koperasi. (3) Ketiga, menjalankan usaha koperasi yang sudah disepakati bersama dan paling mampu dimulai pada tahap awalnya, di mana setiap anggota akan berpartisipasi dalam kegiatan usaha tersebut, termasuk pada waktunya dan dengan sistem tertentu mengumpulkan modal melalui simpanan pokok dan simpanan wajib anggota koperasi. (4) Keempat, menyusun Rencana Bisnis Koperasi berdasar pengalaman dan pelajaran dari usaha koperasi yang sudah dijalankan sebelumnya, sebagai pedoman bagi seluruh anggota koperasi dan parapihak yang berkaitan dengan pengembangan koperasi. (5) Kelima, menata organisasi dan usaha koperasi dengan memperkuat semua lini usahanya, mulai dari pengadaan sarana produksi, produksi, pemasaran, pembukuan, permodalan, dan pemanfaatan teknologi informasi. 2. Diskusi 60 menit
17
a. Fasilitator mengajak peserta untuk mendiskusikan permasalahan ekonomi rakyat di desa yang dapat dipecahkan dengan adanya koperasi b. Fasilitator mengajak peserta untuk bersama-sama menyusun rencana bisnis koperasi Lembar Kerja 6.3.1 Rencana Bisnis Koperasi Desa Rencana Bisnis Koperasi Desa
c. Fasilitator mengajak peserta menyusun langkah-langkah untuk merintis/membentuk pra-koperasi. Tuliskan dalam plano/filp chart/white board/papan tulis Langkah langkah merintis/ membentuk koperasi langkah yang dilakukan
penangung jawab
18
BAHAN BACAAN Bahan Bacaan 6.1. MANIFESTASI USAHA BERSAMA DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM Awan Santosa, S.E, M.Sc Direktur Mubyarto Institute Dosen FE Universitas Mercu Buana Yogyakarta Email:
[email protected], Ph: 08161691650 Selama ini pembahasan soal rakyat yang menjadi pelaku utama atau pemegang kendali pengelolaan sumber daya kurang mendapat perhatian yang mendalam. Pendulum selalu diputar ekstrim di antara dua kutub pembahasan, yang pertama negara dan yang kedua swasta (pasar). Apalagi dalam konteks Indonesia, maka berbicara soal pendulum ketiga, yaitu rakyat orang cenderung menaruh kehati-hatian. Pelabelan atau asosiasinya dengan komunisme atau sekurang-kurangnya sosialisme, dengan kepentingan tertentu, sering dijadikan alasan. Padahal dalam rentetan sejarah yang sudah sangat panjang, jauh sebelum hadirnya negara (republik) seperti sekarang, rakyat yang terhimpun dalam beberapa kelompok etnis, suku, dan adat sudah menjalankan praktek-praktek keekonomian, istilah orang belakangan. Kelompok tersebut tumbuh dengan berinteraksi dengan sumber daya alam, baik tanah, air, hutan, bukit, pertanian, pangan, maupun sumber-sumber daya yang dikenal dengan istilah energi pada saat sekarang. Telah lama mereka terbiasa mengelola sumber-sumber kemakmuran tersebut secara komunal, menurut perangkat nilai dan hukum adat, dengan hasil yang nampak berlainan dengan sistem pengelolaan yang dominan berlaku sekarang. Hidup bersama dengan alam maka menghancurkannya sama saja dengan menghancurkan diri sendiri, dan masa depan. Mengambil sesuai kebutuhan, menggantinya dengan yang baru untuk hari kemudian, maka sesuatu yang “baru-baru” ini disebut dengan istilah “terbarukan” sebenarnya bukan lagi barang “baru”. Tata kelola komunal yang diikat kuat dengan hukum adat yang berlandaskan nilai-nilai dan kearifan dalam sejarahnya telah menjadi penjaga bagi keberlangsungan ekosistem, yang membawa kita pada keadaan sekarang. Bahwa saat ini semakin ramai dibincangkan soal sumber daya atau energi terbarukan maka ia bisa berarti munculnya “kesadaran” baru atau justru adanya segelintir orang yang mulai melihat perlunya “komoditi” baru. Masyarakat adat di wilayah Sulawesi Barat, yang terhimpun secara komunal, yang kemudian berkembang menjadi etnis Campalagian misalnya, telah lama memiliki tata kelola hutan yang sama sekali tidak berkaitan dengan urusan penghancuran alam. Melalui seperangkat falsafah dan nilai luhur yang dibentangkan melalui serangkaian ritual, cerita, dan peraturan hidup komunal maka bertahun-tahun mereka tumbuh menyatu dengan mengelola alam, utamanya hutan, pertanian, dan pangan yang menjadi sumber penghidupan. Kerusakan dan pembakaran hutan dewasa ini sama sekali tidak mencerminkan cara mereka mengelola hutan, yang sekaligus menjadi cara mereka melindungi diri dan berhubungan dengan Tuhan. Pada saat yang sama di tempat berbeda masyarakat suku Amungme di Papua memandang bukitbukit penuh kekayaan yang mengelilingi pemukiman mereka sebagai “ibu” yang menjadi sumber
19
penghidupan. Berbagai perangkat adat dan ritual diciptakan sebagai pengejawantahan konsepsi ini, sehingga menjaga kelestarian alam adalah menjaga diri, komunitas, dan anak cucu mereka ke depan. Mereka menumbuhkan dan merawat tanaman pangan dan mencari ikan dari sungai-sungai kecil yang mengalir di balik-balik bukit dan pegunungan. Kerusakan apalagi kehancuran lingkungan sama sekali tidak dikenal dalam tatanan masyarakat komunal tersebut. Mereka mengelola pertanian, pangan, sumber daya alam, termasuk sumber-sumber energi di dalamnya, penuh dengan nilai dan kearifan. Demikian, pada masyarakat komunal yang bertahan hidup dan tumbuh berkembang dengan mengelola sumber daya alam, maka konsepsi keterbarukan sudah melekat secara intrinsik dalam cara mereka berkehidupan. Tanpa keterbaruan maka tidak ada tempat bagi mereka, apalagi anak cucu mereka di masa mendatang. Keterbaruan menjadi bagian dari naluri alamiah masyarakat komunal untuk berkembang. Dan tentu saja naluri alamiah manusia yang terdalam pasti berkaitan dengan hubungan transedental mereka dengan Tuhan, Yang Maha Pencipta Alam. Merusak alam bukan saja membunuh kehidupan, tetapi juga mengkhianati Tuhan. Maka keterbaruan adalah elemen yang melekat erat dengan komunitas lokal, ketika rakyat yang mengelola sumber daya secara komunal. Permasalahan: Degradasi Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial Lalu darimana datangnya berbagai kerusakan dan kehancuran sekarang? Dan mengapa konsepsi keterbaruan datang belakangan, setelah berbagai sumber-sumber kekayaan dan energi tak terbarukan hampir dihabiskan? Semua bermula dari salah urus pengelolaan. Komunalitas dalam mengelola sumber daya alam, pertanian, dan pangan dihancurkan manakala terjadi ekspansi dan okupasi oleh perusahaan perorangan, baik melalui perantara negara maupun yang dilakukan melalui penjajahan. Perusahaan perorangan yang digerakkan oleh profit maksimal bagi segelintir orang mendorong mereka menguasai bahan baku, tenaga kerja, dan juga pasar. Pengelolaan sumber daya tidak lagi berdasar semangat memperbarui dan melestarikan, melainkan untuk menghabiskan demi kekayaan material sekarang. Tentu saja demikian karena mereka sama sekali tidak memiliki masa depan di wilayah kekuasaan. Pemerintahan, termasuk di dalamnya dalam pengelolaan sumber daya alam, pertanian, pangan, dan energi, yang dikendalikan oleh perusahaan swasta, yang sekarang dikenal dengan istilah korporatokrasi adalah titik balik peradaban. Korporatokrasi berkembang luas karena akumulasi kapital hanya mungkin dilakukan melalui eksploitasi baik terhadap manusia maupun alam, yang sekiranya sudah mengalami sumbatan di dalam, maka ia harus disalurkan melalui ekspansi, yang kita sebut kemudian dengan penjajahan. Perusahaan swasta, sebagian besarnya multinasional yang mengelola hutan tropis, minyak mentah, gas, batu bara, emas, dan berbagai kekayaan alam, pertanian, pangan, dan sumber energi tak terbarukan lainnya adalah pemicu kerusakan dan kehancuran alam, dan sama sekali tidak berkaitan dengan jalan keluarnya. Individualisme yang menjadi dasar, orientasi, dan perilaku mereka memang tidak memungkinkan mereka berpikir soal keterbaruan. Kerusakan yang ditimbulkan dengan mengangkut seperangkat nilai diametral dengan nilai-nilai dan kearifan setempat tersebut bahkan semakin menyebar. Bukan saja lingkungan yang semakin rusak, melainkan juga sistem nilai setempat, yang pada akhirnya merusak pula sistem moral, sosial,
20
ekonomi, dan politik pemerintahan yang seakan tidak pernah mampu keluar dari belitan korupsi di berbagai bidang dan lembaga kenegaraan. Maka dengan dalih apapun korporatokrasi tidak akan membawa kebaikan apalagi kesejahteraan. Kekuasaan dalam mengelola sumber daya alam dan energi oleh perusahaan yang demikian besar karena semakin dilemahkannya negara dan pemerintahan telah terbukti berbuah kehancuran, dan sama sekali bukan keterbaruan. Korporatokrasi dan keterbaruan tidak mungkin dapat berjalan beriringan. Kepemilikan bersama, seperti yang disematkan pada sumber daya alam tidak mungkin dibaurkan dengan pengelolaan perorangan. Sudah terlalu banyak contoh bagaimana sumber daya yang dikelola perorangan akan menghasilkan distribusi kesejahteraan yang sangat timpang. Pun seperti diuraikan di awal, pendelegasian pengelolaan kepada perusahaan perorangan oleh Pemerintah merupakan sebuah bentuk korupsi kalau tidak boleh dibilang legitimasi penjarahan. Inilah alasan kenapa korupsi begitu sulit diberantas sampai sekarang. Negara yang mendapat mandat rakyat untuk mengelola kekayaan alam karena pertimbangan skala produksi, biaya, dan teknologi justru melimpahkan mandat itu kepada perusahaan perorangan yang semestinya dijauhkan dari bisnis yang berkaitan dengan hajat hidup orang kebanyakan. Demikian, memanfaatkan sumber daya terbarukan tanpa mengubah sistem pengelolaan sumber daya yang kapitalistik, termasuk di dalamnya sumber daya tani, pangan, dan energi, baik yang terbarukan maupun tak terbarukan tidak akan membawa banyak kemanfaatan. Bukan karena komitmen terhadap masyarakat, alam, dan lingkungan perusahaan kapitalis bersedia mengelola sumber daya alam dan energi, melainkan karena keuntungan maksimal yang harus dipersembahkan kepada para pemegang saham. Tidak jadi soal kalau itu harus dilakukan dengan cara merusak, menjarah, menjajah, bahkan menghancurkan kehidupan. Pengembangan sumber daya terbarukan tanpa perubahan mendasar ini patut dicurigai sebagai upaya penyamaran dari dominasi dan okupasi sumber daya alam dan energi tak terbarukan yang tak tergoyahkan hingga sekarang. Pada saatnya, setelah negara mengeluarkan begitu banyak investasi, anggaran, teknologi, dan kebijakan untuk mengembangkan energi terbarukan, dan setelah energi tak terbarukan semakin habis mereka perdagangkan, maka mereka pula lah yang bersiap-siap menguasai energi terbarukan, bukan rakyat kebanyakan. Tentu saja ini sangat jauh berbeda dengan hakekat dan tujuan pendayagunaan sumber daya terbarukan. Solusi: Pengelolaan SDA Berbasis Komunal Pendayagunaan sumber daya terbarukan baik SDA, pertanian, energi, maupun pangan umumnya dipandang berteknologi tinggi dan berbiaya mahal. Hal ini karena mengikuti pandangan ekonomi pasar, di mana sumber daya tersebut mesti dapat dijadikan komoditi dan diperdagangkan. Tentu ini berbeda sekali dengan pemanfaatan sumber daya alam termasuk sumber energi, tani, dan pangan di era masyarakat komunal sebagai sumber pemenuhan kebutuhan langsung bagi kehidupan. Akibatnya adalah pilihan-pilihan sumber daya dan energi terbarukan yang kemudian cenderung padat teknologi dan ujung-ujungnya padat modal. Lalu ini dengan segera akan menjadi pintu masuk bagi pemilik kapital untuk menimbang investasinya bagi mereka yang berkemampuan. Pengetahuan dan teknologi SDA, pertanian, pangan, dan energi terbarukan dengan begitu tidak berkembang berdasar kebutuhan masyarakat komunal, melainkan sesuai dengan kepentingan investor dan pasar.
21
Seperti diuraikan di depan, komunalitas dalam pengelolaan sumber daya alam, pertanian, pangan, dan energi terbarukan akan menjadi penentu bagi pengembangannya ke depan. Maka dari itu, pengembangan sumber daya terbarukan berbasis komunitas lokal setidaknya mengacu pada beberapa pola berikut ini: a) Pola Kepemilikan dan Pengelolaan Perlu dipahami bahwa sumber daya alam, termasuk di dalamnya sumber daya pertanian pangan, dan energi adalah milik bersama, bukan milik negara. Negara hanya memperoleh mandat untuk menguasai dan mengelolanya melalui Badan usaha Milik Negara (BUMN), yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mandat ini khususnya berkaitan dengan sumber daya alam dan energi yang tidak memungkinkan dikelola secara kolektif oleh masyarakat karena pertimbangan skala produksi, teknologi, dan biayanya yang terlampau besar. Dalam konteks SDA dan energi tak terbarukan maka klausul ini kiranya lebih berkesesuaian, akan tetapi dalam pengembangan sumber daya terbarukan maka sangat relevan pengelolaannya secara komunal, berbasis komunitas lokal. Hal ini mengingat keterbaruan sudah menjadi bagian dari komunalitas dalam pengelolaan sumber daya alam. SDA dan energi terbarukan dikelola secara komunal sesuai dengan kebutuhan dan taraf perkembangan masyarakat setempat, mulai dari mikrohidro, biogas, tenaga surya, dan kincir angin yang terjangkau oleh masyarakat. SDA dan energi terbarukan akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan komunal dalam pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya umum (publik) lainnya. Dalam lingkup spasial yang lebih luas maka pengelolaan SDA dan energy terbarukan secara kolektif menjadi bagian dari pengembangan eco-village. Sebuah kehidupan yang tidak saja baru, namun juga terbarukan dan maju merupakan arah pengembangan perdesaan. Ia tentu saja tumbuh berkembang tanpa harus mengikuti pola pertumbuhan perkotaan yang dipenuhi dengan berbagai bentuk ketergantungan. b) Pola Produksi Bagaimana dengan pola produksi SDA, pertanian, pangan, dan energi terbarukan berbasis komunitas lokal? Tentu saja poros utama kreasi dan produktivitas bertumpu pada pertumbuhan kapasitas masyarakat dalam mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian, pangan, dan energi terbarukan. Olah karenanya, Iptek SDA dan energi terbarukan berangsur-angsur ditumbuhkan dan dialihkan kepada masyarakat komunal. Ia tidak boleh hanya dikuasai oleh segelintir elit akademisi di perkotaan, sehingga perlu kerja keras dari para ilmuwan untuk berbaur menjadi bagian dari proses perubahan sosial di tengah-tengah masyarakat. Perguruan tinggi dan lembaga pemerintah yang lebih dulu dan maju dalam penguasaan Iptek menjadi mitra produksi pertanian, pangan, dan energi terbarukan bagi masyarakat komunal, yang pembiayaannya dapat bersumber dari dana-dana masyarakat yang dipungut Pemerintah lewat pajak dan sebagian dialokasikan melalui Perguruan Tinggi. c) Pola Distribusi dan Konsumsi Bagaimana dengan pola distribusi dan konsumsi SDA, pertanian, pangan, dan energi terbarukan? Dalam hal ini alokasi dan konsumsi SDA, pertanian, pangan, dan energi terbarukan yang berasal dari produksi komunal pertamakalinya tentu akan berorientasi pada masyarakat komunal itu sendiri.
22
Pola konsumsi umumnya akan mengikuti pola produksi. Dengan demikian upaya agar masyarakat menggunakan sumber-sumber terbarukan tersebut adalah dengan menjadikan mereka sebagai penghasil sumber daya terbarukan tersebut. Tentu saja ini mensyaratkan keterjangkauan masyarakat terhadap faktor-faktor dan cara produksi SDA, pertanian, pangan, dan energi terbarukan baik dari sisi kapasitas, teknologi, maupun pendanaan. Tugas pemerintah baik pusat maupun daerah adalah bagaimana memampukan masyarakat mengelola sumber daya terbarukan secara komunal, melalui kelembagaan khas di tingkat lokal. Dalam konteks inilah relevansi Sekolah Hijau, semacam pabrik pengetahuan hijau, sebagai inisiasi awal pengembangan kewirausahaan hijau berbasis komunitas lokal. Sekolah Hijau inilah yang akan mengawal peningkatan kapasitas komunitas lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya terbarukan. Sekolah Hijau merupakan gerakan bersama yang pada saatnya nanti akan melahirkan Jaringan Hijau sebagai prasyarat terjadinya perubahan sosial di Indonesia. Semoga
23
Bahan Bacaan 6.2. POLA USAHA BERSAMA YANG IDEAL SESUAI PRINSIP EKONOMI KERAKYATAN Awan Santosa, S.E, M.Sc Direktur Mubyarto Institute Dosen FE Universitas Mercu Buana Yogyakarta Email:
[email protected], Ph: 08161691650
1) Keterpaduan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam usaha bersama yang ada di desa Sejalan dengan makna usaha bersama yang sudah diterangkan di muka maka, maka usaha bersama tentu saja menjadikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai kesatuan dalam setiap gerakannya. Ini merupakan langkah paling maju dalam integrasi ketiga aspek tersebut, di mana pada fase sebelumnya ketiga aspek dipandang sebagai bagian yang terpisah atau maksimal hanya dicari di mana letak irisannya. Dalam usaha bersama ini ketiga aspek tersebut melekat dan tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Yah, inilah makna usaha bersama yang sesuai dengan prinsip ekonomi kerakyatan. Masih ingat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945? Yah, dalam bagian penjelasan disebutkan perihal demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang menaungi usaha bersama. Dengan kata lain, usaha bersama berjalan dalam kerangka dan prinsip sistem ekonomi kerakyatan. Sesuai makna dan ciri-nya, maka dalam ekonomi kerakyatan, aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Demikian halnya usaha bersama desa dikelola. 2) Pengertian dan substansi ekonomi kerakyatan Sebelum terlalu jauh membahas perihal ekonomi kerakyatan ada baiknya memahami dulu apa itu ekonomi kerakyatan. Secara umum ekonomi kerakyatan dipahami sebagai suatu struktur dan proses ekonomi yang berupaya memindahkan kedaulatan ekonomi dari oligarki pemilik modal ke seluruh anggota masyarakat. Pengertian secara lebih eksplisit diperoleh dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dimana sistem ekonomi kerakyatan diartikan sebagai sistem ekonomi di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Berlandaskan filosofi dan cita-cita ekonomi dalam konstitusi, Baswir (2002) merumuskan substansi ekonomi kerakyatan, yang mencakup tiga aspek yang apabila diterjemahkan dalam konteks ekonomi desa adalah sebagai berikut: Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat desa dalam proses pembentukan produksi desa. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi desa menempati kedudukan yang sangat penting dalam ekonomi kerakyatan . Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya desa, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi desa tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian."
24
Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat desa dalam turut menikmati hasil produksi desa. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi desa, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di desa-desa di Indonesia. Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi desa itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat desa. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, anggota masyarakat desa tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walau pun kegiatan pembentukan produksi desa dapat dilakukan oleh para pemodal, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. 3) Agenda pengembangan ekonomi kerakyatan Unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat desa dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi desa. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan modal institusional (institutional capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat desa. Negara wajib menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya sebagai berikut: Pertama, Demokratisasi modal material; negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat desa. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat desa yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anakanak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka. Kedua, Demokratisasi modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya. Ketiga, Demokratisasi modal institusional; tidak ada keraguan sedikit pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan
25
menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat desa untuk membentuk serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha kecil-menengah, dan berbagai bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi. 4) Realisasi prinsip ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan usaha bersama desa Lalu bagaimana realisasi prinsip ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan usaha bersama desa? Yah, mari substansi ekonomi kerakyatan yang kiranya masih normatif tersebut kita operasionalkan dalam konteks pengelolaan usaha bersama. Pertanyaannya adalah apa saja instrumen penjabaran ekonomi kerakyatan yang perlu ada dalam pengelolaan usaha bersama? Mari kita runut satu per satu supaya terang. Pertama, usaha bersama hendaknya membuka kesempatan keanggotaan kepada seluruh lapisan masyarakat desa, sehingga mereka dapat berpartisipasi baik dalam kegiatan produksi, distribusi, hingga dapat turut menikmati hasil kegiatan ekonomi tersebut. Usaha bersama diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja bagi para penduduk desa. Kedua, produk dan layanan usaha bersama hendaknya memberi akses kepada warga miskin desa, semisal usaha bersama air minum / air bersih maka jangan sampai ada warga miskin tidak dapat mengakses layanan usaha bersama tersebut karena masalah tidak adanya biaya. Lebih lanjut lagi usaha bersama hendaknya memiliki misi, produk/layanan, dan program untuk menanggulangi kemiskinan di desa. Ketiga, terdapat musyawarah atau pertemuan rutin bulanan yang dihadiri oleh seluruh anggota usaha bersama untuk membahas berbagai hal terkait pengembangan usaha bersama desa.Musyawarah ini adalah perwujudkan dari kepemilikan, pengambilan keputusan, dan tanggung jawab bersama. Keempat, terdapat pusat pendidikan dan pelatihan yang dapat diakses oleh seluruh anggota usaha bersama sebagai sarana untuk meningkatkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan dalam mengembangkan usaha bersama. Dalam hal ini Sekolah Hijau dapat menjadi perwujudan realisasi ekonomi kerakyatan dalam penguatan modal intelektual sebagai basis pengembangan usaha bersama desa. Ketujuh, usaha bersama dikelola dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, dengan dimotori oleh kader-kader pemuda dan perempuan desa. Usaha bersama merupakan sarana untuk mencetak kader-kader calon pemimpin desa.
26
Bahan Bacaan 6.3. KONSEPSI EKONOMI KERAKYATAN Awan Santosa, S.E, M.Sc Direktur Mubyarto Institute Dosen FE Universitas Mercu Buana Yogyakarta Email:
[email protected], Ph: 08161691650
Pengertian Ekonomi Kerakyatan Robinson (1962) memandang bahwa penentuan sistem ekonomi tidak dapat dilepaskan dari ideologi yang diyakini oleh negara. Ideologi tertentu akan melahirkan sistem ekonomi tertentu pula karena pada dasarnya, negara melalui ideologinya telah memiliki cara pandang tertentu untuk memandang dan menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Setiap sistem ekonomi membutuhkan sekumpulan peraturan, ideologi yang mendasarinya, menjelaskan peraturan tersebut dan keyakinan individu yang akan membuatnya terus dijalankan. Dalam pada itu, Hamid (2006) mengartikan sistem ekonomi sebagai keseluruhan lembaga (pranata) ekonomi yang hidup dalam suatu masyarakat yang dijadikan acuan oleh masyarakat tersebut dalam mencapai tujuan ekonomi yang telah ditetapkan. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga (institution) adalah organisasi atau kaidah ekonomi, baik formal maupun informal yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu baik dalam melakukan kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam mencapai suatu tujuan ekonomi tertentu. Hudiyanto (2002) menekankan pengertian sistem ekonomi pada konsepsi ekonomi suatu negara untuk mengatasi beberapa persoalan ekonomi, seperti; 1) barang apa yang seharusnya dihasilkan; 2) bagaimana cara menghasilkan barang itu; dan 3) untuk siapa barang tersebut dihasilkan atau bagaimana barang tersebut didistribusikan kepada masyarakat. Pakar-pakar ekonomi dari dalam maupun luar negeri mengartikan demokrasi ekonomi sesuai dengan perspektif nilai dan konteks perekonomian masing-masing negara. Sebagai gambaran awal dapat disebutkan beberapa pengertian demokrasi ekonomi sebagai berikut: 1) Martin Carnoy & Derek Shearer (1980) Economic democracy is the transfer of economic decision making from few to many, which workers and community residents should be able to decide their economic futures and run their own economic enterprises 2) Robert A. Dahl (1985) Demokrasi ekonomi adalah sebuah sistem usaha ekonomi yang dimiliki secara kolektif dan dikelola secara demokratis oleh semua orang yang bekerja di dalamnya. 3) Williams (2002) Economic democracy is the high degree of citizen participation and control in economic destiny.
27
4) Mubyarto Demokrasi ekonomi adalah cara pewujudan ekonomi kekeluargaan atau cara pewujudan sistem ekonomi Pancasila. 5) Revrisond Baswir Demokrasi ekonomi adalah sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat (rakyat) dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian 6) Wikipedia (2007) Economic democracy is a philosophy that suggests a transfer of sosio-economic decision making from a small minority of corporate shareholder to the much larger majority of public stakeholder.
Studi Tentang Ekonomi Kerakyatan Studi tentang demokrasi ekonomi dilakukan di negara-negara Eropa dan AS dengan penekanan pada demokrasi industrial, yang ditunjukkan dengan peranan (determinasi) buruh dalam perusahaan. Studi Pontusson dan Kuruvilla (1990) dalam artikel mereka berjudul “Swedish Wage-Earner Funds: An Experiment in Economic Democracy” menggambarkan pandangan tersebut. Penerapan demokrasi ekonomi di Swedia di antaranya ditunjukkan dengan akses buruh dalam kepemilikan dan pengambilan keputusan perusahaan yang dilakukan melalui pengumpulan dana bersama buruh guna pembelian saham. Studi mereka menemukan bahwa siginifikasi pola tersebut dalam mempromosikan solidaritas upah dan pengaruh terhadap kebijakan perusahaan dibatasi oleh kecilnya saham yang dikuasai dan adanya hambatan mengalokasi penerimaan ke dalam dana bersama. Studi Hill dan Mackin (2001) yang dipaparkan dalam paper berjudul “Case Study In Economic Democracy and Cooperative Economic” memusatkan arti pentingnya distribusi kepemilikan dalam perusahaan (industri). Dalam studi tersebut mereka menemukan bahwa pola kepemilikan yang tidak demokratis akan berkaitan dengan diskriminasi ras tenaga kerja. Berdasar survey terhadap 144 perusahaan industri konstruksi di California selatan, 10 perusahaan dimiliki orang Hispanik, 130 perusahaan dimiliki orang kulit putih, dan tidak ada satu pun yang dimiliki oleh orang Amerika-Afrika (negro). Dalam pandangan mereka penerapan demokrasi ekonomi dapat dilakukan melalui perluasan share (kepemilikan) perusahaan kepada orang-orang Amerika-Afrika tersebut. Demokrasi ekonomi dalam hal ini dimaknai sebagai distribusi kekuasaan ekonomi yang lebih adil dan mampu mengurangi diskriminasi. Carberry (1999) dalam studinya “Who Benefit From Economic Democracy: The Social Stratification of Wealth and Power in Companies With Employee Ownership” menggunakan pola kepemilikan saham oleh pekerja sebagai indikator penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Beberapa pola kepemilikan saham oleh pekerja yang dikaji meliputi employee stock ownership plans (ESOPs), broadly granted stock options (ESOs), employee stock purchase plans (ESPPs), dan 401(k)
28
plans with employer stock. Penerapan demokrasi ekonomi dalam perusahaan dikaitkan dengan upaya mengurangi ketimpangan sosial terkait dengan perbedaan jenis kelamin, ras, etnis, dan kecacatan tenaga kerja. Studi Archer (1998) dalam bukunya berjudul “Economic Democracy: The Politics of Feasible Socialism” berupaya membangun sebuah model demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi diartikannya sebagai sebuah sistem di mana unit dasar dari kegiatan ekonominya, yang disebut perusahaan, dikelola menggunakan prinsip-prinsip yang demokratis. Dalam modelnya, Acher menjelaskan bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi dilakukan di dalam perusahaan yang produksi, pengelolaan, dan kepemilikannya dilakukan secara kolektif melalui sebuah ko-operasi atau asosiasi pekerja. Williams (2002) dalam studinya berjudul “Bologna and Emilia Romagna: A Model of Economic Democracy” menemukan model (ciri) penerapan demokrasi ekonomi di Kota Bologna, Italia. Praktek demokrasi ekonomi ditunjukkan dengan peranan koperasi dan usaha kecil yang besar dalam struktur perekonomian Kota Bologna. Di kota berpenduduk 4 juta jiwa tersebut terdapat 90.000 perusahaan manufaktur yang total perusahaan sebanyak 325.000 buah, terdapat banyak koperasi yang beranggotakan sepertiga dari total penduduk yang ada. Penyaluran jasa sosial di kota Bologna 85% dilakukan oleh koperasi yang secara keseluruhan menyumbang 45% dari total PDRB. Kontrol warga kota terhadap perekonomian dilakukan melalui koperasi sosial, koperasi industry, koperasi ritel, perkumpulan dan organisasi nirlaba, dan perusahaan perorangan. Entitas ekonomi tersebut terbangun dalam suatu jaringan baik formal maupun informal yang mengukuhkan mereka sebagai basis ekonomi wilayah. Ringen (2004) dalam studinya berjudul “A Distributional Theory of Economic Democracy” merumuskan pemahaman baru perihal demokrasi ekonomi yang pada umumnya dimaknai secara konvensional sebagai persoalan membawa kekuasaan ekonomi di bawah kontrol politik kolektif. Dalam studinya, ide tersebut direformulasi menjadi persoalan redistribusi kekuasaan ekonomi di antara anggota masyarakat, memberi masyarakat kontribusi dalam kekuassan ekonomi secara langsung daripada melalui perwakilan dalam pemilihan umum. Di sisi lain, demokrasi politik diasumsikan sebagai kekuasaan politik yang di bawah kontrol kelas menengah. Oleh karenanya, persoalan yang muncul adalah dalam kondisi apa kelas menengah mau melakukan redistribusi kekuasaan ekonomi. Konklusi studinya adalah bahwa demokrasi ekonomi dalam kapitalisme modern mempertimbangkan cakupan redistribusi kekuasaan ekonomi antara kaum kaya dan kelas menengah, yang dioreintasikan untuk memberdayakan kaum miskin agar terbeas dari kemiskinan mereka. Santosa dkk (2007) melakukan studi untuk mengidentifikasi realitas kondisi penerapan demokrasi ekonomi di tempat kerja melalui pelaksanaan pola pembagian keuntungan (Profit-Sharing) dan kepemilikan saham oleh pekerja (Employee-Share Ownership Plan) pada perusahaan di Propinsi DIY. Hasil studi menunjukkan bahwa kedua pola tersebut belum banyak dikembangkan perusahaan di DIY. Dari 27 perusahaan responden hanya 55,56% yang menerapkan pola yang juga baru sebatas pembagian keuntungan (profit-sharing), sedangkan 44,44% responden belum sama sekali menerapkan kedua pola tersebut. Belum ada perusahaan responden yang memiliki pola ESOP. Selain itu 77,78% responden menyatakan tidak berkeinginan menerapkan kedua pola tersebut, sementara 22,22% perusahaan masih berencana menerapkannya dalam operasional perusahaan mereka.
29
Penerapan pola PS oleh perusahaan responden didukung struktur upah perusahaan responden yang cenderung masih berada pada level moderat (menengah) dan juga didukung pemahaman responden bahwa keberadaan pola PS dan ESOP sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan karyawan. Corak pengambilan keputusan umum masih lebih banyak ditentukan oleh pihak manajemen (management heavy). Hal ini menunjukkan internalisasi pola PS sebagai instrumen demokratisasi ekonomi (industrial) yang belum optimal karena belum dapat dimanifestasikan sepenuhnya dalam kerangka sistem pengambilan keputusan umum perusahaan. Masih terlalu banyak kendala baik internal maupun eksternal yang menghambat perluasan pola PS dan ESOP di Propinsi DIY maupun di Indonesia pada umumnya. Kendala yang paling menghambat adalah belum tersedianya payung hukum bagi realisasi pola PS dan ESOP secara lebih terukur, kebijakan negara yang tidak pro-buruh, dan ketertutupan pemilik/manajemen perusahaan, khususnya terkait dengan struktur produksi dan keuangan perusahaan.
Substansi Ekonomi Kerakyatan Berlandaskan filosofi dan cita-cita ekonomi dalam konstitusi, Baswir (2002) merumuskan substansi demokrasi ekonomi Indonesia, yang mencakup tiga aspek sebagai berikut: 1) Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam demokrasi ekonomi. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian." 2) Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia. 3) Kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walau pun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. Unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi nasional. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan modal institusional (institutional capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya
30
peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Negara wajib menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya sebagai berikut: 4) Demokratisasi modal material; negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka. 5) Demokratisasi modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya. 6) Demokratisasi modal institusional; tidak ada keraguan sedikit pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikatserikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk serikatserikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha kecilmenengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi. Terkait dengan kontekstualisasi demokrasi ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, Hamid (2007) memandang bahwa barang yang harus mendapat prioritas utama untuk diproduksi adalah barang-barang dan jasa yang menyangkut kebutuhan dasar (basic need) dan memberikan manfaat bagi kepentingan/hajat hidup orang banyak (public goods), seperti pangan, sandang, sarana transportasi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Produk-produk tersebut mendapat prioritas, karena sejalan dengan butir-butir tujuan nasional dalam Pembukaan UUD 1945 (yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa), pasal 31 dan pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, serta sejalan dengan sila-sila dalam Pancasila, khususnya sila kedua dan kelima. Penekanan cara produksi yang berbasis pada prinsip kolektivitas dalam kegiatan perekonomian menurut Hamid nampak tegas terungkap dari ayat-ayat yang terkandung di dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut. Terlebih dalam bagian penjelasan diatur bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Masyarakat secara bersama-sama dilibatkan dalam proses produksi, dan dalam hal produksi yang mempunyai arti yang sangat penting (terkait hajat hidup orang banyak), penanganannya langsung di bawah negara. Kata “bersama”, “orang banyak”, dan “kemakmuran rakyat”, melukiskan betapa masyarakat luas menjadi unsur utama dalam kegiatan perekonomian yang kita harapkan. Inisiatif dan kreativitas individu tidak dibungkam, melainkan dikembang-kan dengan melihat sifat produksi
31
dan kepentingan masyarakat. Totaliterisme atau etatisme, sebagaimana lazimnya di negara komunis tidak dapat diterima oleh masyarakat kita. Masalah ketiga yang selalu ada dalam setiap sistem perekonomian menurut Hamid adalah tentang untuk siapa barang itu dihasilkan dan bagaimana pendistribusiannya. Secara tersirat, hal ini sebenarnya sudah terungkap pada uraian di muka. Karena orientasi produksi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial, maka produksi yang kita hasilkan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas (rakyat banyak), bukan untuk segelintir orang yang kebetulan mempunyai daya beli yang berlebihan. Ini masih ditambah lagi bahwa pendistribusian produksi itu harus bersifat adil dan tidak menimbulkan ketegangan dalam masyarakat.
32
Bahan Bacaan 6.4. RENCANA AKSI PERUBAHAN DARI KONDISI YANG ADA KE KONDISI IDEAL Awan Santosa, S.E, M.Sc Direktur Mubyarto Institute Dosen FE Universitas Mercu Buana Yogyakarta Email:
[email protected], Ph: 08161691650 1) Pengertian dan asas koperasi Sejenak kita segarkan kembali ingatan kita terhadap Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Dalam bagian Penjelasan disebutkan pula bahwa “Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”. Dengan begitu usaha bersama dapat direalisasikan dalam bangun usaha koperasi. Yah, disebut bangun perusahaan dan bukan bentuk perusahaan karena akan lebih penting nilai dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan yang terkandung dalam usaha bersama tersebut, bukan sekedar bentuk formalnya yang berupa koperasi. Seringkali kita dengar bagaimana praktek koperasi pun dapat saja menyimpang dari nilai-nilai tersebut, sehingga dibenci dan dijauhi oleh masyarakat. Oleh karena itu mengelola usaha bersama dengan membangun koperasi ibarat membangun rumah, yang mesti kokoh pondasi dan pilar-pilarnya. Nah, supaya runtut maka kita perlu memiliki pemahaman bersama soal apa itu koperasi? Mari kita cermati seksama pengertian koperasi dari International Cooperative Alliance (ICA)“Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan dan aspirasi – aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka kendalikan secara demokratis”. Yah, disebutkan bahwa koperasi adalah “perkumpulan orang” dan justru di sinilah letak perbedaan mendasarnya dengan perusahaan lain (perseroan terbatas) yang merupakan kumpulan modal. Bagi koperasi yang terpenting adalah orang, yaitu manusia yang memiliki tiga elemen mikro-nya; hati, jiwa, dan akal pikiran, serta elemen meso-nya ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Seperti pesan Hatta bahwa “Bukan corak pekerjaan yang dikerjakan menjadi ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masing”. 2) Prinsip-Prinsip Koperasi Koperasi memiliki prinsip-prinsip yang sekaligus menjadi strategi dalam pengembangan usahanya. Mari kita pelajari lebih jauh ke dalam prinsip-prinsip yang mencerminkan jati diri koperasi yang dibakukan oleh ICA menjadi 7 prinsip koperasi internasional, yaitu: Prinsip Pertama: Keanggotaan Sukarela dan Terbuka; koperasi adalah perkumpulan-perkumpulan sukarela, terbuka bagi semua warga desa yang mampu menggunakan jasa-jasa perkumpulan dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan, tanpa diskriminasi gender, sosial, rasial, politik atau agama.
33
Prinsip kedua: Pengendalian oleh Anggota Secara Demokratis; koperasi adalah perkumpulanperkumpulan demokratis yang dikendalikan oleh para anggota secara aktif berpartisipasi dalam penetapan kebijakan-kebijakan perkumpulan dan mengambil keputusan-keputusan. Laki-laki dan perempuan desa mengabdi sebagai wakil-wakil yang dipilh, bertanggung jawab kepada para anggota. Prinsip ketiga: Partisipasi Ekonomi Anggota; Anggota-anggota menyumbang secara adil dan mengendalikan secara demokrasi modal dari koperasi mereka. Sekurang-kurangnya sebagian dari modal tersebut biasanya merupakan milik bersama dari koperasi Anggota-anggota biasanya menerima kompensasi yang terbatas, bilamana ada, terhadap modal. Anggota-anggota membagi surplus-surplus untuk sesuatu atau tujuan-tujuan sebagai berikut: Prinsip keempat: Otonomi Dan Kebebasan; koperasi bersifat otonom, merupakan perkumpulanperkumpulan yang menolong diri sendiri dan dikendalikan oleh anggota-anggotanya. Koperasikoperasi mengadakan kesepakatan-kesepakatan dengan perkumpulan-perkumpulan lain, termasuk pemerintah, atau memperoleh modal dari sumber-sumber luar, dan hal itu dilakukan dengan persyaratan-persyaratan yang menjamin adanya pengendalian anggota-anggota serta dipertahankannya otonomi koperasi Prinsip kelima: Pendidikan, Pelatihan Dan Informasi; koperasi menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi anggota-anggotanya, para wakil yang dipilih, manajer dan karyawan, sehingga mereka dapat memberikan sumbangan yang efektif bagi perkembangan koperasi mereka. Mereka memberi informasi kepada masyarakat umum, khususnya orang-orang muda pemimpin-pemimpin opini masyarakat mengenai sifat dan kemanfaatan-kemanfaatan kerja sama. Prinsip Keenam: Kerjasama diantara koperasi; yang akan dapat memberikan pelayanan paling efektif kepada para anggota dan memperkuat gerakan koperasi dengan cara bekerja sama melalui struktur-struktur lokal, nasional, regional, dan internasional. Prinsip Ketujuh: Kepedulian Terhadap Komunitas; koperasi bekerja bagi pembangunan yang berkesinambungan dari komunitas mereka melalui kebijakan-kebijakan yang disetujui oleh anggotaanggotanya. 3) Strategi dan langkah pembentukan koperasi Berdasar prinsip-prinsip koperasi di muka maka dapat disusun strategi dan langkah-langkah dalam memperbaiki/merintis pembentukan usaha bersama melalui koperasi di desa sebagai berikut: Pertama, musyawarah pembentukan koperasi yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 20 warga desa sebagai pelopor usaha bersama desa, dan terbuka bagi siapa saja yang mau bergabung dalam keanggotaan koperasi. Dalam musyawarah diputuskan pula apa usaha koperasi yang mestinya didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan anggotanya, serta perangkat lain yang diperlukan dalam pembentukan koperasi seperti nama, kepengurusan, rapat, permodalan, dan sebagainya. Kedua, menyiapkan dan menyelenggarakan pendidikan dasar koperasi bagi seluruh calon anggota agar semuanya memiliki pemahaman perihal koperasi beserta urgensi, tujuan, sistem, usaha, dan hak-kewajiban sebagai anggota koperasi.
34
Ketiga, menjalankan usaha koperasi yang sudah disepakati bersama dan paling mampu dimulai pada tahap awalnya, di mana setiap anggota akan berpartisipasi dalam kegiatan usaha tersebut, termasuk pada waktunya dan dengan sistem tertentu mengumpulkan modal melalui simpanan pokok dan simpanan wajib anggota koperasi. Keempat, menyusun Rencana Bisnis Koperasi berdasar pengalaman dan pelajaran dari usaha koperasi yang sudah dijalankan sebelumnya, sebagai pedoman bagi seluruh anggota koperasi dan parapihak yang berkaitan dengan pengembangan koperasi. Kelima, menata organisasi dan usaha koperasi dengan memperkuat semua lini usahanya, mulai dari pengadaan sarana produksi, produksi, pemasaran, pembukuan, permodalan, dan pemanfaatan teknologi informasi.
35
Bahan Bacaan 6.5. STRATEGI MEMBANGUN KOPERASI Awan Santosa, S.E, M.Sc Direktur Mubyarto Institute Dosen FE Universitas Mercu Buana Yogyakarta Email:
[email protected], Ph: 08161691650
Apa yang terlintas dalam benak kita begitu mendengar kata “koperasi”? Yah, kebanyakan orang langsung teringat dengan “utang”, “pinjaman”, “kredit”, dan berbagai istilah sejenis lainnya. Bagaimana bisa? Tentu kita berpikir melalui apa yang kita lihat dan saksikan. Begitu banyak koperasi di sekitar kita, dan kebanyakan usahanyanya adalah, atau hanyalah, simpan pinjam, dan lebih tepatnya pinjam-pinjam. Kok bisa? Ini pertanyaan serius, yang tidak pernah mendapat jawaban sepadan serius. Bertahun-tahun kita hidup dengan tertanam, atau ditanam “dogma” bahwa usaha identik dengan modal. Kesulitan usaha adalah akibat tiadanya modal, Kalau usaha mau tambah maju maka haruslah ditambah modal. Tidak ada modal sendiri maka harus pinjam. Tidak ada yang meminjami maka dibuatlah koperasi. Maka lama-lama koperasi identik dengan uang dan modal. Padahal benarkah demikian? Kalau itu benar, pastilah kita akan melihat koperasi dengan usahanya yang berkibar-kibar. Dan kenyataannya? Terlalu sedikit koperasi yang bersinar, itupul lagi-lagi sebagian besar dengan cara memutar kapital. Sebagian besar tinggal papan nama, jadi bisnis ketuanya saja, dan tak sedikit yang berkoperasi dengan cara menyimpang. Mengapa ini terjadi? Padahal sudah 68 tahun kita mencitakan Indonesia berkoperasi? Apa yang harus kita lakukan sebagai jalan keluar? Bagian ini akan mencoba menjawab berbagai kegelisahan demikian. Yah, kita perlu lebih resah dan gelisah lagi. Mengapa? Tahun 2012 yang lalu PPB sudah mencanangkannya sebagai Tahun Koperasi. Dan, koperasi tumbuh berkembang luar biasa di banyak negara maju, yang sering kita sebut sebagai negara individualis, liberal, dan kapitalis. Nah, ini lagi bagaimana bisa? Koperasi rakyat di Jepang menguasai sektor pertanian, di Jerman mengusasi perbankan dan keuangan, di Denmark dan Swedia menguasai peternakan, di Prancis menguasai ritel dan keuangan, di Singapura menguasai perdagangan, di Amerika menguasai distribusi perlistrikan, di Italia mengusai distribusi jasa sosial, di Inggris mengusasi pasar-pasar, dan banyak lagi contoh fantastis di negara maju lain. Lagi-lagi kita perlu heran, kok bisa? Tulisan ini akan menjawab berbagai pertanyaan, persoalan, dan kegelisahan demikian. Tentunya bukan sekedar untuk dipahami, namun sebagai bekal untuk membangun gerakan koperasi sejati sesuai amanat dan cita-cita konstitusi. Dan agar kita tidak pernah melepaskan koperasi dari misi mulianya untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.
36
Pengertian dan Prinsip Kooperasi Agak aneh memang kalau koperasi di Indonesia berkembang menjadi lembaga pinjam-pinjam. Hal ini karena mau seksama menelaah pengertiannya saja maka pastilah ia tidak sekedar menjadi pemutar kapital. Bahkan seharusnya ia menjadi pelengkap saja, bukan justru dijadikan sebagai pegangan. Mari kita cermati seksama pengertian koperasi dari International Cooperative Alliance (ICA) di bawah ini: “Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan –kebutuhan dan aspirasi – aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka kendalikan secara demokratis”. Nah, disebutkan bahwa koperasi adalah “perkumpulan orang” dan justru di sinilah letak perbedaan mendasarnya dengan perusahaan lain (perseroan terbatas) yang merupakan kumpulan modal. Bagi koperasi yang terpenting adalah orang, yaitu manusia yang memiliki tiga elemen mikro-nya; hati, jiwa, dan akal pikiran, serta elemen meso-nya ekonomi, sosial, dan budaya . Lantas kenapa koperasi Indonesia sekarang justru bertolak belakang dengan pengertiannya sendiri? Mari kita cermati lebih jauh ke dalam prinsip-prinsip yang mencerminkan jati diri koperasi yang dibakukan oleh ICA menjadi 7 prinsip koperasi internasional, yaitu: Prinsip Pertama: Keanggotaan Sukarela dan Terbuka; koperasi adalah perkumpulanperkumpulan sukarela, terbuka bagi semua orang yang mampu menggunakan jasa-jasa perkumpulan dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan, tanpa diskriminasi jender, sosial, rasial, politik atau agama. 1. Prinsip kedua: Pengendalian oleh Anggota Secara Demokratis; koperasi adalah perkumpulan-perkumpulan demokratis yang dikendalikan oleh para anggota secara aktif berpartisipasi dalam penetapan kebijakan-kebijakan perkumpulan dan mengambil keputusan-keputusan. Pria dan wanita mengabdi sebagai wakil-wakil yang dipilh, bertanggung jawab kepada para anggota. Dalam koperasi primer anggota-anggota mempunyai hak-hak suara yang sama (satu anggota, satu suara), dan koperasi pada tingkatan- tingkatan lain juga diatur secara demokratis. 2. Prinsip ketiga: Partisipasi Ekonomi Anggota; Anggota-anggota menyumbang secara adil dan mengendalikan secara demokrasi modal dari koperasi mereka. Sekurangkurangnya sebagian dari modal tersebut biasanya merupakan milik bersama dari koperasi Anggota-anggota biasanya menerima kompensasi yang terbatas, bilamana ada, terhadap modal. Anggota-anggota membagi surplus-surplus untuk sesuatu atau tujuantujuan sebagai berikut: “pengembangan koperasi mereka; kemungkinan dengan membentuk cadangan sekurang-kurangnya sebagian padanya tidak dapat dibagi-bagi; pemberian manfaat kepada anggota-anggota sebanding dengan transaksi-transaksi mereka dengan koperasi; dan mendukung kegiatan-kegiatan yang disetujui oleh anggota”. 3. Prinsip keempat: Otonomi Dan Kebebasan; koperasi bersifat otonom, merupakan perkumpulan-perkumpulan yang menolong diri sendiri dan dikendalikan oleh anggotaanggotanya. Koperasi- koperasi mengadakan kesepakatan-kesepakatan dengan perkumpulan-perkumpulan lain, termasuk pemerintah, atau memperoleh modal dari sumber-sumber luar, dan hal itu dilakukan dengan persyaratan-persyaratan yang menjamin adanya pengendalian anggota-anggota serta dipertahankannya otonomi koperasi
37
4. Prinsip kelima: Pendidikan, Pelatihan Dan Informasi; koperasi menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi anggota-anggotanya, para wakil yang dipilih, manajer dan karyawan, sehingga mereka dapat memberikan sumbangan yang efektif bagi perkembangan koperasi mereka. Mereka memberi informasi kepada masyarakat umum, khususnya orang-orang muda pemimpin-pemimpin opini masyarakat mengenai sifat dan kemanfaatan-kemanfaatan kerja sama. 5. Prinsip Keenam: Kerjasama Diantara koperasi; yang akan dapat memberikan pelayanan paling efektif kepada para anggota dan memperkuat gerakan koperasi dengan cara bekerja sama melalui struktur-struktur lokal, nasional, regional, dan internasional. 6. Prinsip Ketujuh: Kepedulian Terhadap Komunitas; koperasi bekerja bagi pembangunan yang berkesinambungan dari komunitas mereka melalui kebijakankebijakan yang disetujui oleh anggota-anggotanya. Demikian, dapat disarikan bahwa koperasi adalah usaha bersama, yang dimiliki, dikendalikan, dan dipertanggungjawabkan bersama-sama oleh para anggotanya. Dalam koperasi berlaku satu orang satu suara, karena koperasi menghargai manusia lebih di atas modal yang hanya menjadi alat dan pelengkap saja. Dasar dan Cita-Cita Kooperasi Indonesia Lalu apa yang menjadi dasar bagi Hatta dan pendiri bangsa lain begitu gandrung akan koperasi? Apa sebenarnya arah perjuangan koperasi Indonesia? Mari kita kupas satu persatu mulai dengan pernyataan Hatta di bawah ini: Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia Sesuai Penjelasan Pasal 33 ayat (1), maka bangun perusahaan yang sesuai dengan amanat demokrasi ekonomi di atas adalah koperasi. Ini berarti koperasi memuat filosofi persamaan, yang sesuai dengan ajaran agama bahwa setiap manusia diciptakan sama, tidak dibeda-bedakan kecuali menurut ketakwaannya kepada Tuhan YME. Tiada kemerdekaan tanpa persamaan, demikian pesan Hatta. Sejalan dengan ajaran tauhid yang membebaskan manusia dari ketergantungan kepada manusia, karena dipandang ada ketidaksamaan derajat di antara mereka. Demikian perusahaan kapitalis membedakan segelintir orang sebagai majikan pemilik dan pengambil keputusan, sedangkan sebagian besar golongan sebagai buruhnya saja. Dalam hal ini Hatta sepakat dengan Frans Staudinger yang mendefinisikan koperasi sebagai “suatu perkumpulan orang yang merdeka keluar dan masuk, atas dasar hak yang sama dan tanggung jawab yang sama, untuk menjalankan bersama-sama perusahaan ekonomi, yang anggota-anggotanya memberikan jasanya tidak menurut besar modalnya melainkan menurut kegiatannya bertindak didalam perusahaan mereka itu”. Berdasar filosofi persamaan di muka, maka koperasi dikelola terutama untuk memenuhi keperluan hidup bersama. Dengan begitu, maju mundurnya koperasi bergantung kepada usaha dan
38
tanggungjawab seluruh anggotanya. Sesuai corak produksnya, Hatta membedakan koperasi dengan perusahaan kapitalis: Pada koperasi yang terutama adalah menyelenggarakan keperluan-hidup bersama dengan sebaik-baiknya, bukan mengejar keuntungan seperti pada firma, perseroan anonim, dan lain-lainnya itu…Berbeda dengan perseroan anonim di mana ahli pesertanya yang terbanyak tidak ikut berusaha melainkan menunggu pembagian keuntungan saja habis tahun, anggota koperasi rata-rata ikut berusaha dan bertanggungjawab (Pidato Hari Koperasi 1, 1951) Demikian koperasi sejalan dengan ajaran agama, di mana manusia adalah khalifah di muka bumi. Setiap manusia adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan kembali Hatta mengingatkan dalam Pidato Peringatan Hari Koperasi ke-II tahun 1952 bahwa “asar koperasi adalah usaha bersama sebagai auto-aktivitet dengan bersama-sama bertanggungjawab”. Dalam koperasi anggota adalah utama. Sementara itu, di sebelah persamaan barulah ada persaudaraan. Koperasi dibangun atas dasar kerjasama, bukan persaingan. Sejalan dengan ajaran agama yang meneguhkan ukhuwah, jamaah, dan menolak firkoh atau perpecahan. Pun sekali-kalinya agama menganjurkan perlombaan adalah dalam hal kebaikan. Hatta menegaskan dalam hal ini: Koperasi yang bersaing-saingan satu sama lain akan membawa kerubuhan bagi semuanya. Persaingan itu adalah dasar yang bertentangan dengan dasar koperasi. Dasar koperasi ialah kerjasama. Yang akan beruntung dengan perpecahan koperasi ialah lawannya, perusahaanperusahaan kapitalis (Pidato Hari Koperasi ke-IV, 1954) Dalam pada itu, persaudaraan akan melahirkan kebersamaan dan persatuan. Dengan itulah maka ekonomi rakyat sanggup keluar dari lumpur tekanan dan hisapan. Kemakmuran bagi semua pun mewujud menjadi kenyataan. Dengan pondasi kebersamaan dan persatuan itulah maka didirikan koperasi sebagai organisasi tolong menolong swadaya (self-help) yang berusaha meneguhkan kemandirian dan rasa percaya diri seluruh anggotanya. Koperasi sebagai wadah persatuan untuk menghadapi perusahaan kapitalis ini ditekankan lagi oleh Hatta: Orang sering-sering menjerit-jerit tentang kekuasaan perekonomian kapitalis yang masih dirasai di Indonesia. Akan tetapi organisasi yang lambat laun sanggup mengimbangi kekuasaan kapitalisme, seperti ternyata pada berbagai Negara di dunia ini, yaitu organisasi koperasi, diperlemah dengan mengadakan perpecahan (Pidato Hari Koperasi ke-IV, 1954) Lalu mau dibawa kemana koperasi Indonesia menurut pendiri bangsa? Dan bagaimana kenyataannya arah perekonomian Indonesia sekarang ini? Pada sambutan peringatan Hari Koperasi Tahun 1951 Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Hatta, yang kemudian menjadi Bapak Koperasi Indonesia menyatakan rah jelas bagaimana koperasi berusaha menghapus sistem ekonomi kapitalis, di mana menurut Hatta: “Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerja sama untuk menyelenggarakan keperluan bersama. Persekutuan koperasi adalah persekutuan sekeluarga, yang menimbulkan tanggung jawab bersama." (Hatta, 1951)
39
Perjalanan ekonomi Indonesia masih menyimpang dari cita-cita pendiri bangsa. Bagaimana bisa? Kutipan di atas bukanlah pandangan Hatta semata, melainkan sudah tercantum jelas dan tegas dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (1): “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Tafsirnya pun sudah jelas dalam bagian Penjelasan yang menyebutkan: “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”. Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi dan Wakil Presiden RI dalam setiap Pidato Hari lahir Koperasi selalu menyampaikan cita-cita Indonesia berkoperasi. Ekonomi Indonesia di masa mendatang diimpikannya sebagai “kebun koperasi”. Lalu di mana menyimpangnya? Dulu Hatta selalu mendorong perlunya Bank Koperasi Tani, Nelayan, ataupun Industri. Dan sekarang? Tak satupun tersisa. Bank kita adalah korporasi, yang menjadikan jutaan karyawan sebagai buruhnya saja. Diam tak bersuara dalam pengambilan putusan setiap tahunnya. Sedih lagi 50% lebih bank milik perusahaan di luar sana. Dulu Hatta menganjurkan pemenuhan kebutuhan masyarakat lewat ritel-ritel koperasi konsumsi. Dan hari ini? Bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa pun korporasi mendominasi. Lagi-lagi sebagian besar milik luar negeri. Jutaan masyarakat kita menjadi pasar saja. Suara-suara mereka di pasar pun berangsur sepi. Dulu Hatta mengajak rakyat kecil menabung melalui koperasi. Ini perlu agar tersedia kapital untuk berproduksi. Sekarang koperasi menjadi tempat pemutar kapital orang luar, minim tabungan anggotanya. Tinggal-lah mereka diperas bunga tinggi, meski berkedok koperasi. Pun koperasi simpan pinjam yang maju umumnya mandeg di sini. Dulu Hatta sudah mengingatkan pentingnya koperasi produksi. Agar rakyat dapat mengolah berbagai sumber daya alam menjadi barang jadi. Semua itu untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dan saat ini? Minyak, gas, batu bara, emas, dan kebun sawit sudah jatuh ke tangan korporasi luar negeri. Tiada produksi kecuali dijual mentah, untuk kebutuhan luar negeri. Impor pun menjadijadi. Dan dulu Hatta pun tak bosan-bosannya memperingatkan banyaknya koperasi yang menyimpang dari prinsip dan jatidiri. Dan sekarang? Seandainya koperasi-koperasi Indonesia ditertibkan sesuai prinsip International Cooperative Alliance (ICA), maka lebih banyak “koperasi” yang tidak patut disebut koperasi. Terlalu banyak koperasi “menyimpang” di negeri ini. Semua itu dulu, meskipun Pasal 33 UUD 1945 masih ada sampai hari ini. Dan saat ini koperasikoperasi rakyat di Jerman, Jepang, Prancis, Amerika, Finlandia, Singapura, Swedia, Spanyol, Italia, Denmark, Inggris, Belanda, China, dan Bangladesh telah menguasai sektor-sektor vital perekonomian nasional mereka. Sungguh paradoks adanya Kementerian dan UU Koperasi. Lalu apa akar masalah dari itu semua? Masalah kooperasi Indonesia Atas sebab alamiahkah masih jauhnya keadaan koperasi dari cita-cita konstitusi; ”produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”? Kiranya tidak karena ekonomi Indonesia memang tidak berkembang secara alamiah, bahkan sampai hari ini. Bagaimana bisa?
40
Koperasi diperjuangkan para Pendiri Bangsa untuk mengoreksi ketimpangan struktural warisan sistem ekonomi kolonial di masa lalu. Pada waktu itu ekonomi rakyat (pribumi) berada di bawah hisapan kaum perantara (Timur Asing) dan Bangsa Eropa. Oleh karenanya, mereka yakin bahwa tegaknya sistem ekonomi nasional (sesuai Pasal 33 UUD 1945) adalah prasyarat tumbuhkembangnya gerakan koperasi Indonesia. Kini kita menyaksikan betapa masih kukuhnya ketimpangan struktur ekonomi Indonesia hari ini. Lebih menyedihkan lagi karena lapisan atas ekonomi kita masih dikuasai ”penguasa lama”. Bagaimana bisa? Sekedar tahu saja, 67% kapitalisasi di Pasar Modal (BEJ) dikuasai oleh pemodal asing. Bukan hanya itu, korporasi asing pun sudah menguasai 85% pengelolaan migas Indonesia. Neokolonialisme ini seolah disempurnakan dengan dikuasainya lebih dari separuh perbankan di Indonesia (FRI, 2007). Keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak kian ditentukan oleh orang-perorang (asing). Tidak cukup tersedia lagi kebebasan untuk merancang masa depan sendiri. Kekuatan persamaan, kebersamaan, dan persaudaran manusia pun justru dikebiri. Dan ini adalah pukulan telak bagi gerakan koperasi! . Koperasi tidak mungkin tumbuh subur di atas tiang-tiang neokolonialisme dan panji-panji imperialisme. Lihatlah koperasi yang maju pesat di negara lain; seperti di Belanda, Italia, Norwegia, Swedia, Denmark, Spanyol, Inggris, dan masih banyak lagi di negara berbasis koperasi. Adakah ekonomi mereka tergantung pada bangsa lain? Adakah SDA mereka masih banyak dikuasai pemodal asing? Adakah mereka menelan mentah-mentah paham globalisme ekonomi? Kini siapa yang dapat diharapkan memikul kembali panji-panji demokrasi ekonomi yang diamanatkan konstitusi? Sementara jangan tanya pemerintah dan DPR lah. Alih-alih mengoreksi ketimpangan struktural ini, mereka justru telah menyediakan stempel bagi tegaknya hegemoni korporatokrasi (asing). Baru beberapa tahun lalu mereka mengesahkan UU Penanaman Modal yang makin memberi keleluasaan bagi pemodal asing untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Rasanya ini adalah puncak prestasi (kemenangan) paham individualisme yang menjadi lawan koperasi.. Selama beberapa tahun pemerintah setia mengerjakan proyek privatisasi BUMN dan aset strategis nasional (air, migas, dan hutan) dan liberalisasi (perdagangan, pertanian, dan pendidikan). Bukankah itu semua yang sangat tidak boleh terjadi dalam alam pemikiran demokrasi ekonomi? Bagaimana dengan pegiat koperasi? Rasanya saya tidak akan banyak komentar, kecuali atas kenyataan bahwa kebanyakan mereka ”mendiamkan” proses de-nasionalisasi dan korporatokrasi ini terjadi. Di bawah struktur ekonomi dan pemikiran warisan kolonial tersebut koperasi tidak dapat berkembang sewajarnya. Koperasi pun belum sepenuhnya mampu sekedar menandingi kapitalis kecil sekelas tengkulak, pengijon, dan rentenir yang masih menghantui rakyat kecil di banyak pelosok negeri. Kenapa? Lihatlah kebersatuan yang masih lemah di antara koperasi Indonesia. Koperasi terjebak pada fungsionalisme, di mana yang justru dikembangkan adalah koperasi karyawan, koperasi pegawai negeri, koperasi tentara, ataupun koperasi mahasiswa. Kelas-kelas ekonomi ini membangun sekat-
41
sekat di antara mereka. Koperasi seperti ini jelas tidak akan pernah besar dan mampu menandingi kekuasaan (modal) korporasi. Terlalu banyak pemodal besar yang berpura-pura berkoperasi. Mereka membuat koperasi angkutan, koperasi taksi, dan koperasi lainnya yang lebih cocok disebut sebagai ”persekutuan majikan”. Koperasi Indonesia tidak akan berkembang di atas penyimpangan prinsip dan kepuran-puraan ini. Koperasi harus didasarkan pada basis yang jelas; entah itu secara sektoral maupun spasial. Lihatlah koperasi di negara-negara tadi. Bukankah di sana semua pelaku ekonomi yang terkait dalam mata rantai produksi, distribusi, dan konsumsi suatu komoditi terhimpun dalam koperasi? Bukankah di negara tersebut koperasi yang maju adalah koperasi susu, koperasi karet, koperasi listrik, koperasi kopi, koperasi kayu lapis, koperasi bunga, dan koperasi berbasis komoditi lainnya. Misalnya juga lihatlah majunya koperasi berbasis wilayah (cooperative-regional) seperti wilayah berbasis koperasi dan industri manufaktu kecil di Emilia Rogmana, Italia atau koperasi wilayah yang berhasil mengintegrasikan sektor industri, pertanian, dan keuangan di Mondragon, Spanyol. Koperasi di Bologna, Emilia Rogmana menguasai 85% distribusi jasa sosial di pusat kota, menguasai 45% PDRB, menghasilkan PDRB perkapita tertinggi di Italia, duapertiga penduduknya menjadi anggota koperasi, keputusan kredit dibuat di daerah, dan didukung University of Bologna yang berspesialisasi dalam Civil Economy and Cooperatives. Memang butuh kemauan besar dari pegiat koperasi, utamanya dari kalangan intelektual, untuk tidak terjebak pada eksklusifisme kelas (elitisme). Mereka, dan melalui gerakan koperasi, dapat mulai merajut kembali jaringan kebersamaan dan kebersatuan ekonomi. Silahkan bisa diurai mulai dari mata rantai sektoral atau langsung dengan melihat keterkaitan antarsektor dalam satu wilayah. Pemerintah, perbankan, dan LSM dalam dan luar negeri kiranya masih abai dengan lemahnya kooperasi rakyat Indonesia. Walhasil berbagai program pembangunan dan pemberdayaan selalu identik dengan penetrasi modal (utang) baru dari luar teritori dan kelembagaan yang sudah sarat dengan sumber daya tersebut. Akibatnya kemudian, kebersatuan ekonomi di antara organisasi rakyat terus lemah, ketergantungan finansial masih besar, kepasrahan atas pengaruh luar yang kuat, dan rakyat banyak terus saja membiayai kemakmuran yang dikecap oleh elit-elit korporasi di kota besar. Hari ini hampir susah dijumpai satu desa yang bebas dari skim generik Pemerintah Pusat dan Bank Dunia melalui utang-utang lunaknya di berbagai program yang ada. Padahal sudah sejak lama desa dan kota-kota di sekitarnya penuh dengan para cerdik pandai, teknologi tepat guna, innovator, kapital, dan konsep-konsep yang sesuai dengan kearifan lokal. Padahal, bingkai NKRI bukan berarti selalu tergantung pada apa yang datang dari Jakarta, apalagi yang diprakarsai oleh segelintir elit di luar negeri. Lebih dari itu NKRI harus dibangun dengan kemauan kuat untuk berdiri di atas kaki sendiri.
42
Membangun Kooperasi Sejati Upaya melawan kolonisasi dan membangun kemandirian bangsa dengan memperluas peran koperasi di masa depan perlu dibangun dari dua arah, yaitu dari atas dan bawah secara simultan. Dari bawah dapat dilakukan dengan mengembangkan model daerah koperasi (cooperative-regional). Daerah koperasi dibangun berdasarkan model kerjasama antarkoperasi dalam satu siklus ekonomi yang saling berkaitan di daerah tertentu (Kabupaten/Propinsi). Dalam hal ini misalnya dapat diambil koperasi tani (koperasi produksi) dan koperasi buruh (koperasi konsumsi) di suatu daerah sebagai basis dan model awal, Di antara kedua koperasi tersebut dihubungkan dengan sebuah MoU, misalnya yang mengatur tentang pembelian beras, sayuran, dan buah-buahan. Berpijak dari pola-pola relasi demokratis antarkoperasi ini maka dapat dipetakan pola hubungan lain yang mungkin dalam satu daerah (wilayah), termasuk misalnya mengintegrasikannya dengan koperasi simpan pinjam ataupun lembaga keuangan yang lain. Peningkatan daya kerjasama (cooperativeness) ini diharapkan mampu meningkatkan peran koperasi dalam penguasaan produksi, distribusi, dan kepemilikan faktor-faktor produksi di daerah tersebut. Supaya terbangun kesamaan persepsi dan tujuan maka agenda ini kiranya dapat dirumuskan dengan indikator kinerja yang lebih terukur ke dalam suatu visi tertentu, misalnya: ”Jogja In-Cooperative 2025”. Sebagai langkah lanjutan dapat dibangun juga kerjasama antardaerah koperasi atau antara daerah koperasi tertentu dengan daerah koperasi di luar negeri (Sister Cooperative City) seperti dengan Propinsi Emilia Romagna atau Mondragon. Tanpa perlu menunggu berkembangnya daerah-daerah koperasi maka secara simultan di tingkatan makro perlu dilakukan upaya-upaya menegakkan sistem ekonomi nasional yang demokratis dan berkeadilan. Sebelumnya kiranya perlu dibangun Konsensus Koperasi Indonesia perihal gambaran seperti apa berdayanya koperasi sebagai basis demokrasi ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Kondisi ini tentu merupakan segregasi dari perluasan partisipasi koperasi dalam tiga aspek perekonomian seperti yang diperjuangkan di tiap-tiap daerah koperasi. Tentu saja indikator kinerja koperasi nasional yang lebih terukur sangat diperlukan, semisal berapa porsi partisipasi koperasi dalam produksi, distribusi, dan kepemilikan faktor-faktor produksi nasional. Untuk itulah kiranya perlu dirumuskan secara bersama-sama visi “Indonesia In-cooperative 2025” sebagai bagian dari visi kemandirian bangsa. Sementara itu, muasal dari ketertinggalan ekonomi rakyat dan koperasi adalah lemahnya keterhubungan dan redupnya kesadaran yang memperlambat penguasaan atas pengetahuan dan teknologi. Di sinilah relevansi konsep Bursa Ko-operasi (Bukopy), sebagai alat persatuan di antara koperasi sejati (koperasi rakyat) yang berjuang untuk kemandirian ekonomi. Bursa ini akan menjadi lalu lintas modal, keahlian, pendidikan, dan kemitraan di antara mereka. Pada akhirnya mereka mampu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan berbagai kekuatan dan kepentingan manapun, sehingga tidak lagi lemah dan tereksploitasi. Berdirinya bursa –sebagai alternatif Bursa Efek Indonesia- ini pada setiap wilayah hendaknya buah dari kesadaran koperasi rakyat, sehingga inisiasi dan pengelolaannya dilakukan secara kolektif dengan melibatkan berbagai jenis koperasi rakyat yang ada. Terminologi koperasi rakyat disini saya
43
gunakan untuk membedakan dengan koperasi semu yang tak lebih dari “persekutuan majikan”, yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Manajemen operasional bursa dapat diserahkan kepada para professional aktivis yang sungguh-sungguh menaruh hati bagi kedigdayaan koperasi Indonesia. Dalam pada itu, membangun koperasi sejati memerlukan reformasi pendidikan ekonomi di Indonesia. Hal ini karena pendidikan ekonomi Indonesia memiliki keanehan yang luar biasa. Betapa tidak? Sekiranya ajaran-ajarannya diimpor serta merta dari negara Barat asalnya, maka sesampainya di Indonesia ternyata mengalami perasan hebat pada esensinya. Ini nampak sekali jika kita menyoal koperasi, yang bahkan jauh-jauh hari koperasi sudah ditekadkan sebagai cita-cita ekonomi di konstitusi kita. Koperasi berkembang pesat baik di Eropa, Amerika, maupun negara-negara maju di Asia, namun kiranya tidak cukup layak ia mendapat tempat dalam pendidikan ekonomi kita. Sehingga tak banyak dari kita yang tahu, betapa koperasi menguasai keuangan dan perbankan di Jerman, Prancis, Belanda. Pun koperasi yang menguasai pertanian di Jepang, bahkan yang mampu menguasai sektor perdagangan di Singapura. Tengoklah pelajaran ekonomi kita, koperasi tidak cukup mendapat tempat yang memang sudah didominasi materi korporasi di hampir semua mata kuliahnya. Bagaimana bisa? Padahal khusus di Indonesia, koperasi adalah amanat UUD 1945, cita-cita para pendiri bangsa. Dan kini, koperasi berkembang tidak sesuai prinsip dan jati dirinya, pun makin dijauhkan dari pemikiran kaum intelegensia. Banyak koperasi pura-pura, hidup enggan mati tak mau, beroperasi hanya untuk meraih dana, dan tak sedikit yang sekedar menjadi kendaraan politik partai dan penguasa. Sementara itu, di banyak sektor strategis korporasilah yang memegang kuasa. Lebih prihatin lagi karena kebanyakan mereka berasal dari luar Indonesia. Berangkat dari itu maka pendidikan ekonomi perlu diselenggarakan dengan pola studi lapangan koperasi rakyat yang ada di berbagai pelosok wilayah. Agar anak-anak muda lebih memahami realitas kondisi dan persoalan yang dihadapi ekonomi rakyat dan koperasi disekitarnya. Agar mereka tidak putus dengan cita-cita para pendiri bangsanya. Ini sekaligus salah satu upaya reformasi pendidikan ekonomi Indonesia, yang kiranya justru menjauhkan anak-anak muda dengan realitas dan persoalan ekonomi rakyat di lapangannya. Hal ini agar mahasiswa tidak lagi sekedar menjawab soal dari buku yang mereka hapal dan akhirnya lupakan, melainkan menjawab persoalan nyata di lapangan. Demikian halnya pendidikan alternatif untuk kooperasi rakyat perlu digalakkan dengan dukungan sumber daya di perguruan tinggi. Berbagai inisiasi sekolah perubahan seperti yang sudah digerakkan oleh Sekolah Pasar Rakyat di pasar-pasar tradisional, Sekolah Hijau di pelosok-pelosok desa, Sekolah Buruh di sentra-sentra industri, dan Sekolah Koperasi di sentra-sentra ekonomi rakyat seperti di sentra gula kelapa Desa Krendetan, Purworejo perlu terus dikembangkan sampai benar-benar dapat mewujudkan perubahan seperti yang dicita-citakan.
44
REFERENSI 1) 2) 3) 4)
Website: www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id Website: www.mubyarto.org Video Buku Ekonomi Kerakyatan
45