PERTEMUAN 12 MODUL HUMAN RELATIONS (3 SKS) Oleh: Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM
POKOK BAHASAN: Memori dalam Konteks Human Relations DESKRIPSI Materi berupa uraian tentang Memori dalam Konteks Human Relations
TUJUAN INSTRUKSIONAL Setelah
mengikuti
pokok
bahasan
matakuliah
ini
mahasiswa
diharapkan
mengerti dan mampu menjelaskan Memori dalam Konteks Human Relations. REFERENSI 1. Hodges. Modern Human relations at Work.8th Edition.1993. USA: The Dryden Press. 2. Onong Uchyana Effendy. Human relations dan Public relations. 1993. 3. Scott M.Cutlip, Allen H.Center,Glen M.Broom. Effective Public Relations. 8th Edition.2000. 4. Hunsaker, Philip L. & Alessandra, Anthony J., The art of Managing People, Simon & Schuster Inc., New York, 1980.
Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 1
MEMORI DALAM KONTEKS HUMAN RELATION Dalam komunikasi Intrapersonal, memori memegang peranan penting dalam memengaruhi baik persepsi maupun berpikir. Memori adalah sistem yang sangat berstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya (Schlessinger dan Groves). Memori melewati tiga proses: 1. Perekaman (encoding) adalah pencatatan informasi melalui reseptor indera dan sirkuit saraf internal. 2. Penyimpanan (strorage) adalah menentukan berapa lama informasi itu berada beserta kita, dalam bentuk apa, dan di mana. 3. Pemanggilan (retrieval), dalam bahasa sehari-hari, mengingat lagi, adalah menggunakan informasi yang disimpan. Jenis-jenis Memori. Pemanggilan diketahui dengan empat cara : 1. Pengingatan (Recall), Proses aktif untuk menghasilkan kembali fakta dan informasi secara verbatim (kata demi kata), tanpa petunjuk yang jelas. 2. Pengenalan (Recognition), Agak sukar untuk mengingat
kembali sejumlah fakta;lebih mudah
mengenalnya. 3. Belajar lagi (Relearning), Menguasai kembali pelajaran yang sudah kita peroleh termasuk pekerjaan memori. 4. Redintergrasi (Redintergration), Merekontruksi seluruh masa lalu dari satu petunjuk memori kecil. Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 2
Mekanisme Memori Ada tiga teori yang menjelaskan memori : 1. Teori Aus (Disuse Theory), memori hilang karena waktu. William
James,
juga
Benton
J.
Underwood
membuktikan
dengan
eksperimen, bahwa “the more memorizing one does, the poorer one’s ability to memorize” – makin sering mengingat, makin jelek kemampuan mengingat. 2. Teori Interferensi (Interference Theory), memori merupakan meja lilin atau kanvas. Pengalaman adalah lukisan pada meja lilin atau kanvas itu. Ada 5 hal yang menjadi hambatan terhapusnya rekaman: Interferensi, inhibisi retroaktif (hambatan kebelakang), inhibisi proaktif (hambatan kedepan), hambatan motivasional, dan amnesia. 3. Teori Pengolahan Informasi (Information Processing Theory), menyatakan bahwa informasi mula-mula disimpan pada sensory storage (gudang inderawi), kemudian masuk short-term memory (STM, memory jangka pendek; lalu dilupakan atau dikoding untuk dimasukan pada Long-Term Memory (LTM, memori jangka panjang)
BERPIKIR DALAM KONTEKS HUMAN RELATION Dalam berpikir kita melibat semua proses yang kita sebut sensasi, persepsi, dan memori. Berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan dengan
menggunakan
lambang-lambang
sehingga
tidak
perlu
langsung
melakukan kegiatan yang tampak. Berpikir menunjukan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang, sebagai pengganti objek dan peristiwa. Berpikir kita lakukan untuk memahami relaitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving). Dan menghasilkan yang baru (creativity).
Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 3
Ada dua macam berpikir: 1. berpikir autistik, dengan melamun, berfantasi, menghayal, dan wishful thinking. Dengan berpikir autistic prang melarikan diri dari kenyataan dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis. 2. berpikir realistic, disebut juga nalar (reasoning), ialah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia mara. Floyd L. Ruch, menyebutkan tiga macam berpikir realistic: 1. Berpikir deduktif: mengambil kesimpulan dari dua pernyataan, dalam logika disebutnya silogisme. 2. Berpikir induktif: Dimulai dari hal-hal yang khusu kemundian mengambil kesimpulan umum; kita melakukan generalisasi. 3. Berpikir evaluatif: berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan, kita tidak menmbah atau mengurangi gagasan, namun menilainya menurut kriteria tertentu. Menetapkan Keputusan (Decision Making) Salah satu fungsi berpikir adalah menetapkan keputusan. Keputusan yang kita ambil beraneka ragam. Tanda-tanda umumnya: 1. Keputusan merupakan hasil berpikir, hasil usaha intelektual; 2. keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif; 3. keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaanya boleh ditangguhkan atau dilupakan. Faktor-faktor personal amat menentukan apa yang diputuskan, antara lain: 1. Kognisi, kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki 2. Motif, amat memengaruhi pengambilan keputusan 3. Sikap, juga menjadi faktor penentu lainnya.
Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 4
Memecahkan persoalan (Problem Solving) Proses memecahkan persoalan berlangsung melalui lima tahap: 1. Terjadi peristiwa ketika perilaku yang biasa dihambat Karena sebab-sebab tertentu; 2. Anda mencoba menggali memori anda untuk mengatahui cara apa saja yang efektif pada masa lalu; 3. Pada tahap ini, anda mencoba seluruh kemungkinan pemecahan yang pernah anda ingat atau yang dapat anda pikirkan; 4. Anda mulai menggunakan lambing-lambang vergal atau grafis untuk mengatasi masalah; 5. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran anda suatu pemecahan. Pemecahan masalah ini biasa disebut Aha-Erlebnis (Pengalaman Aha), atau lebih lazim disebut insight solution. Faktor-faktor yang Memengaruhi Proses Pemecahan Masalah Pemecahan masalah dipengaruhi faktor-faktor situasional dan personal. Faktorfaktor situasional terjadi, misalnya, pada stimulus yang menimbulkan masalah. Pengaruh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis terhadap proses pemecahan masalah. Contohnya: 1. Motivasi. Motivasi yang rendah lebih mengalihkan perhatian. Motivasi yang tinggi membatasi fleksibilitas. 2. Kepercayaan
dan
sikap
yang
salah.
Asumsi
yang
salah
dapat
menyesatkan kita. 3. Kebiasaan. Kecenderungan untuk memertahankan pole berpikir tertentu, atau misalnya melihat masalah dari satu sisi saja, atau kepercayaan yang berlebihan dan tanpa kritis pada pendapat otoritas, mengahambat pemecahan masalah yang efisien. 4. Emosi. Dalam menghadapi berbagai situasi, kita tanpa sadar sering terlibat secara emosional. Emosi mewarnai cara berpikir kita. Kita tidak pernah berpikir betul-betul secara objektif. Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 5
Berpikir merupakan salah satu proses yang mempengaruhi penafsiran terhadap stimuli. Dalam berpikir, kita melibatkan semua proses yang kita sebut di muka: 1. sensasi, 2. persepsi; dan 3. memori. PROSES
BERPIKIR
SEBAGAI
DASAR
HUMAN
RELATION
YANG
HARMONIS. Berpikir kreatif menurut James C. Coleman dan Coustance L. Hammen, adalah “thinking which produces new methods, new concepts, new understanding, new invebtions, new work of art.” Berpikir kreatif harus memenui tiga syarat: 1. Kreativitas melibatkan respons atau gagasan yang baru, atau yang secara statistic sangat jarang terjadi. Tetapi kebauran saja tidak cukup. 2. Kreativitas ialah dapat memecahkan persoalan secara realistis. 3. Kreativitas merupakan usaha untuk memertahankan insight yang orisinal, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin. Ketika orang berpikir kreatif, cara berpikir yang digunakan adalah berpikir analogis. Guilford membedakan antara berpikir kreatif dan tak kreatif dengan konsep konvergen dan divergen. Kata Guilford, orang kreatif ditandai dengan cara berpikir divergen. Yakni, mencoba menghasilkan sejumlah kemungkinan jawaban. Berpikir konvergen erat kaitannya dengan kecerdasan, sedangkan divergen kreativitas. Berpikir divergen dapat diukur dengan fluency, flexibility, dan originality. Proses Berpikir Kreatif Para psikolog menyebutkan lima tahap berpikir kreatif: 1. Orientasi: Masalah dirumuskan, dan aspek-aspek masalah diidentifikasi.
Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 6
2. Preparasi: Pikiran berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah. 3. Inkubasi: Pikiran beristirahat sebentar, ketika berbagai pemecahan berhadapan dengan jalan buntu. Pada tahap ini, proses pemecahan masalah berlangsung terus dalam jiwa bawah sadar kita. 4. Iluminasi: Masa Inkubasi berakhir ketika pemikir memperoleh semacam ilham, serangkaian insight yang memecahkan masalah. Ini menimbulkan Aha Erlebnis. 5. Verifikasi: Tahap terakhir untuk menguji dan secara kritis menilai pemecahan masalah yang diajukan pada tahan keempat.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Berpikir Kreatif Berpikir kreatif tumbuh subur bila ditunjang oleh faktor personal dan situasional. Menurut Coleman dan Hammen, faktor yang secara umum menandai orangorang kreatif adalah: 1. Kemampuan Kognitif: Termasuk di sini kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru, gagasan-gagasan yang berlainan, dan fleksibilitas kognitif 2. Sikap yang terbuka: orang kreatif mempersiapkan dirinya menerima stimuli internal maupun eksternal. 3. Sikap yang bebas, otonom, dan percaya pada diri sendiri: orang kreatif ingin menampilkan dirinya semampu dan semaunya, ia tidak terikat oleh konvensi-kovensi. Hal ini menyebabkan orang kreatif sering dianggap “nyentrik” atau gila.
Selain faktor lingkungan psikososial, beberapa peneliti menjukan adanya faktor situasional lainnya. Maltzman menyatakan adanya faktor peneguhan dari lingkungan. Dutton menyebutkan tersedianya hal-hal istimewa bagi manusia kreatif, dan Silvano Arieti menekankan faktor isolasi dalam menumbuhkan kreativitas. Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 7
TEKNIK-TEKNIK HUMAN RELATION “Hubungan
manusiawi
dapat
dilakukan
untuk
menghilangkan
hambatan-
hambatan komunikasi, meniadakan salah pengertian dan mengembangkan segi konstruktif sifat tabiat manusia.” Demikian kata R.F. Maier dalam bukunya, Principle of Human Relation. Dalam derajat intensitas yang tinggi, hubungan manusiawi dilakukan untuk menyembuhkan orang yang menderita frustasi. Frustasi timbul pada diri seseorang akibat suatu masalah yang tidak dapat dipecahkan olehnya. Dalam kehidupan sehari-hari siapa pun akan menjumpai masalah: ada yang mudah dipecahkan, ada yang sukar. Akan tetapi masalah yang bagaimanapun akan diusahakan supaya hilang. Orang tidak akan membiarkan dirinya digumuli masalah. Dan masalah orang yang satu tidak sama dengan masalah orang lain. Sakit, tidak lulus ujian, lamaran pekerjaan tidak diterima, mobil rusak, istri menyeleweng, anak morfinis, tidak mampu menyelesaikan tugas, permohonan tidak diterima, dan lain-lain itu semua bisa menyebabkan seseorang frustasi. Orang yang menderita frustasi dapat dilihat dari tingkah lakunya: ada yang merenung murung, lunglai tak berdaya, putus asa, mengasingkan diri, mencari dalih untuk menutupi kemampuannya, mencari kompensasi, berfantasi, atau bertingkah laku kekanak-kanakan. Yang lebih parah bagi seseorang ialah apabila frustasinya disertai agresi sehingga tingkah lakunya menjadi agresif. Ia mengambinghitamkan orang lain, menyebarkan fitnah, merusak benda, bahkan menyerang orang, baik dengan kata-kata yang menyakitkan maupun dengan tinju. Apabila frustasi itu diderita oleh karyawan, apalagi jika jumlahnya banyak ini akan mengganggu jalannya organisasi akan menjadi rintangan bagi tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi. Tidaklah bijaksana jika seorang pemimpin menangani pegawai yang frustasi dengan tindakan kekerasan. Di sinilah pentingnya peranan hubungan manusiawi. Dia harus membawa penderita dari problem situation kepada problem solving behaviour. Dalam kegiatan hubungan manusiawi ada cara untuk teknik yang bis adigunakan untuk membantu mereka yang menderita frustasi yakni apa yang disebut Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 8
counseling (karena tidak ada perkataan bahasa Indonesia yang tepat, dapat diIndonesia-kan menjadi konseling). Yang bertindak sebagai konselor (counselor) bisa pemimpin organisasi, kepala humas, atau kepala-kepala lainnya (kepala bagian, seksi, dan lain-lain). Tujuan konseling ialah membantu konseli (counselee), yakni karyawan yang menghadapi
masalah
atau
yang
menderita
frustasi,
untuk
memecahkan
masalahnya sendiri atau mengusahakan terciptanya suasana yang menimbulkan keberanian untuk memecahkan masalahnya. Ini tidak berarti bahwa konselor memberikan arah yang khusus untuk dituruti oleh konseli. Konselor hanya memberikan nasihat. Konseli sendiri yang harus mengambil kesimpulan dan keputusan berdasarkan jalan yang dipilihnya sendiri. Jadi konselor membantu konseli memperoleh pengertian tentang masalahnya. Selama masalahnya belum dimengerti dengan jelas untuk dihadapinya dengan jujur, tidak akan dapat diambil langkah-langkah pemecahannya. Aspek ini menyangkut perasaan. Konselor akan berhasil apabila ia memahami benar-benar frame of reference konseli:
pengalamannya,
taraf
pengetahuannya,
agamanya,
pandangan
hidupnya, dan sebagainya. Dalam kegiatan hubungan manusiawi terdapat dua jenis konseling, bergantung pada pendekatan (approach) yang dilakukan. Kedua jenis konseling tersebut ialah directive counseling, yakni konseling yang lansung terarah, dan non directive counseling yakni konseling yang tidak langsung terarah. a.
Konseling Langsung
Directive counseling atau konseling langsung kadang-kadang disebut juga counselor centered approach yakni konseling yang pendekatannya terpusat pada konselor. Dalam teknik konseling seperti ini aktivitas utama terletak pada konselor. Pertama-tama konselor berusaha agar terjadi hubungan yang akrab sehingga konseli menaruh kepercayaan kepadanya. Selanjutnya ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam rangka mengumpulkan informasi. Informasi yang diperolehnya itu berusaha memahami masalah yang memberati konseli. Untuk mengetahui diagnosis yang tepat, konselor harus memahami fakta yang berhubungan dengan masalah itu. Jika konseli mengemukakan kesulitannya, Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 9
konselor harus merasa pasti bahwa itulah masalah yang dihadapi oleh konseli, yang menyebabkan ia menderita frustasi. Konselor harus mengerti benar-benar mengenai informasi yang diperolehnya itu sehingga ia dapat melakukan interpretasi. Hanya bila ia mengerti dan dapat melakukan interpretasi, ia akan dapat memberikan nasihat dan sugesti kepada konseli. Syarat sugesti ialah kepercayaan. Konseli akan kena sugesti kalau ia menaruh kepercayaan kepada konselor, kalau konselor mempunyai kelebihan pengalaman dan pengetahuan daripada konseli, dan bila tingkah laku konselor tidak tercela. b.
Konseling Tidak Langsung
Non-directive counseling atau konseling tidak langsung disebut juga counselee centered approach, pendekatan yang terpusat kepada konseli. Jenis ini dapat digunakan oleh konselor yang tidak memiliki pengetahuan mendalam mengenai psikologi. Dibandingkan dengan counselor centered approach counseling yang tradisional itu, counselee centered approach counseling lebih ampuh dalam membantu seseorang yang menderita frustasi. Dalam konseling jenis ini, aktivitas utama terletak pada pihak konseli, sedangkan konselor hanya berusaha agar konseli merasa mudah memimpin dirinya sendiri. Konseli dibantu untuk merasa dirinya bebas untuk menyatakan isi hatinya, dan sebagainya. Dalam mengemukakan semua itu ia tidak merasa dipaksa. Meskipun dikatakan non-directive, maksud konselor tetap hendak membantu konseli untuk mendiagnosis gangguan jiwanyadan berusaha menghilangkan motif-motif buruk yang menyebabkan gangguan itu. Konselor berusaha agar konseli mencari jalan keluar sendiri dari kesukaran-kesukarannya. Untuk itu konselor menciptakan suasana psikologis yang memungkinkan adanya saling mengerti, antusiasme, dan sikap ramah tamah, suasana yang memungkinkan konseli menyatakan segala pikiran dan perasaannya. Dalam dialog dari hati-ke hati itu konselor mendorong konseli untuk menyelidiki dirinya lebih dalam. Dengan
mencetuskan
isi
hatinya
itu
konseli
akan
mengoreksi
dirinya,
mengingat-ingat hal-hal yang pernah dialaminya dan memahami pengalamanpengalamannya. Dengan demikian, motif-motif yang konstruktif akan lebih jelas Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 10
baginya dan ia merasakan kebutuhan akan motif-motif tersebut. Berdasarkan motif-motif itu ia akan memilih dengan bebas cara bertingkah laku yang lebih baik, dan meninggalkan cara-cara bertingkah laku yang sebelumnya telah mengganggunya. Dalam tanya jawab itu, tugas konselor memang tidak mudah. Ia harus menyingkirkan sikap super atau perasaan diri berpangkat lebih tinggi, lebih pintar, lebih berpengalaman dan sebagainya. Masalah yang sedang diperbincangkannya harus ditinjau dari dasar pihak konseli yang
sedang
dibantunya.
Konselor
harus
bersikap
empatik,
yakni
turut
merasakan yang sedang dirasakan oleh konseli, ingin membebaskan dia dari ganjalan jiwanya.
Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM | Human Relations 11