MODIFIKASI ONGGOK TAPIOKA MENJADI PRODUK HIDROFILIK MELALUI OKSIDASI-GRAFTING
AHMAD FUDHAIL MAJID
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Modifikasi Onggok Tapioka menjadi Produk Hidrofilik melalui Oksidasi-Grafting adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Ahmad Fudhail Majid NIM G451110101
RINGKASAN AHMAD FUDHAIL MAJID. Modifikasi Onggok Tapioka menjadi Produk Hidrofilik melalui Oksidasi-Grafting. Dibimbing oleh ZAINAL ALIM MAS’UD dan KOMAR SUTRIAH. Onggok dari produk samping industri tapioka terdapat dalam jumlah yang besar. Pati dalam onggok termasuk bahan baku yang sangat baik, tetapi memiliki beberapa sifat yang tidak diinginkan sehingga membatasi penggunaannya dalam aplikasi industri. Keterbatasan tersebut menjadikan riset terhadap pati terutama onggok semakin meningkat melalui modifikasi secara fisik, kimiawi dan enzimatis, sehingga menghasilkan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh kondisi optimum oksidasi onggok melalui penentuan faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap proses oksidasi dan mensintesis hidrogel berbasis onggok teroksidasi (OT) dengan karakter yang toleran terhadap larutan garam. Hidrogel dari penelitian ini diharapkan mampu bersifat sebagai superabsorben dan menjadi produk menjanjikan ke depan untuk bidang pertanian dan industri personal care. Faktor-faktor potensial yang harus dipertimbangkan dalam proses oksidasi onggok adalah suhu, pH, waktu oksidasi, jumlah oksidator dan katalis. Hasil eksperimental dari metodologi permukaan respon menunjukkan bahwa faktor yang memiliki pengaruh penting terhadap kondisi optimum oksidasi adalah suhu 78.335 oC, jumlah katalis 4.301 ml dan waktu oksidasi 83.613 menit. OT digunakan sebagai kerangka utama grafting. Oksidasi onggok menghasilkan gugus karbonil (C=O) dan karboksil (-COO-) yang akan membuatnya lebih hidrofilik. Selanjutnya, grafting OT dengan monomer asam akrilat (AA) dan akrilamida (AM) dioptimasi untuk pembuatan hidrogel. Pencirian produk oksidasi dan hidrogel melalui analisis spektrum IR dan foto SEM. Keadaan menyerap air (swelling) merupakan parameter utama sebuah hidrogel sebagai bahan kandidat absorben. Rerata daya serap air hidrogel berbasis OT lebih tinggi dua kali lipat daripada hidrogel berbasis onggok original (OO). Walau demikian, kedua jenis hidrogel yang disintesis bersifat superabsorben karena mampu menyerap air hingga lebih dari 100 kali lipat berat keringnya. Kapasitas swelling hidrogel dalam larutan garam berkurang secara signifikan dibandingkan dengan swelling dalam air destilasi. Akan tetapi, pengaruh konsentrasi NaCl terhadap daya serap air untuk hidrogel OT-AA dan OT-AM konstan masing-masing di atas 0.173 M dan 0.296 M dibandingkan dengan daya serap hidrogel OO-AA masih mengalami penurunan terus di atas konsentrasi NaCl 0.34 M. Dari perbedaan rerata daya serap dalam larutan NaCl, hidrogel OT-AA dan OT-AM memiliki swelling berturut-turut 26 dan 12.5 kali lebih besar daripada hidrogel OO-AA. Jadi, hidrogel dari onggok setelah oksidasi toleran terhadap larutan garam dibandingkan dengan hidrogel dari onggok sebelum oksidasi. Kata kunci: grafting, hidrogel, oksidasi, onggok tapioka, toleran garam
SUMMARY AHMAD FUDHAIL MAJID. Modification of Cassava Waste Pulp to Hydrophilic Products by Oxidation-Grafting. Supervised by Dibimbing oleh ZAINAL ALIM MAS’UD dan KOMAR SUTRIAH. Cassava waste pulp (CWP) from tapioca industrial byproducts present in large numbers. Native starch in CWP has the high potential to raw material, but it possess some undesirable properties limiting its use in industrial applications. These limitations make the research on native starch increased through modification by physically, chemically or enzymatically and resulting in products with a higher added value. The purpose of this study to obtain optimum oxidation conditions of oxidized cassava waste pulp (OCWP) through determining the factors that significantly affect the oxidation process and synthesize hydrogel base OCWP with a character of saline-tolerant. The hydrogels from this study is expected to be a superabsorbent and into the future promising product for agriculture and personal care industries. Potential factors that must be considered in the oxidation process of CWP are temperature, pH, oxidation time, the amount of oxidant and catalyst. The experimental results of the response surface methodology showed the factors that have an important influence on the optimum conditions of oxidation are 78.335 °C temperature, 4.301 ml catalyst and oxidation time of 83.613 minutes. The OCWP was used as the main framework of grafting. Oxidation of CWP produce carbonyl (C=O) and carboxyl (-COO) group which will make it more hydrophilic. Furthermore, the OCWP grafting with acrylic acid (AA) and acrylamide (AM) monomer was optimized for the production of hydrogels. The characterization of oxidation product and hydrogels through the analysis of the IR spectrum and SEM photos. The state of absorbing water (swelling) is the primary parameter of a hydrogel as a candidate of absorbent material. The average of water absorption the OCWP hydrogels is two times higher than the CWP hydrogels. However, both of hydrogel types which are synthesized to be a superabsorbent because it can absorb water up to more than 100 times the dry weight. The Hydrogel swelling capacity in salt solution is significantly reduced compared to swelling in distilled water. However, the effect of NaCl concentration on water absorption capacity for the OCWP-AA and CWP-AM hydrogel has been constantly respectively above of 0.173 M and 0.296 M compared with CWP-AA hydrogel absorption was continuously decreased above of 0.34 M NaCl concentrations. The absorption average difference in the NaCl solution showed the OCWP-AA and OCWP-AM hydrogel has swelling respectively 26 and 12.5 times greater than the CWP-AA hydrogel. Thus, the hydrogel of CWP after oxidation tolerant of saline solution compared with the hydrogel of CWP before oxidation. Key words: cassava waste pulp, grafting, hydrogels, oxidation, saline-tolerant
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODIFIKASI ONGGOK TAPIOKA MENJADI PRODUK HIDROFILIK MELALUI OKSIDASI-GRAFTING
AHMAD FUDHAIL MAJID
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kimia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
Judul Tesis : Modifikasi Onggok Tapioka menjadi Produk Hidrofilik melalui Oksidasi-Grafting Nama : Ahmad Fudhail Majid NIM : G451110101
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Zainal Alim Mas’ud, DEA Ketua
Dr Komar Sutriah, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Kimia
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Dyah Iswantini Pradono, MScAgr
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 20 Desember 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikut-Nya yang tetap berada dijalan-Nya hingga akhir zaman. Tema dalam penelitian ini ialah hidrofilisitas dan dilaksanakan sejak bulan Desember 2012, dengan judul Modifikasi Onggok Tapioka menjadi Produk Hidrofilik melalui Oksidasi-Grafting. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Zainal Alim Mas’ud, DEA dan Bapak Dr Komar Sutriah, MS selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi bantuan dan arahan, Ibu Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS selaku dosen penguji luar komisi, serta seluruh dosen Pascasarjana Kimia atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) atas beasiswa yang telah diberikan selama pendidikan S2 di IPB. Di samping itu, penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof (em) Dr Ir HM Anwar Nur, MSc, Bapak M. Farid, M.Si, Bapak M. Khotib, M.Si, Bapak Drs Ahmad Sjahreza, Ibu Dr Henny Purwaningsih, M.Si, dan seluruh staf Laboratorium Terpadu IPB yang telah memberi masukan dan membantu selama penelitian. Tak lupa pula, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Muh Nusrang, teman-teman UNM BU-Dikti 2011 dan 2012 (Irma, Asfar, Udin, dan Arwan), Pascasarjana Kimia (Kak Yono, Kak Ammar, Kak Titi, dan Kak Agus Malik), dan S-1 Kimia group riset onggok (Doni, Devi, Shinta, Tari, Agi dan Febry) atas masukan, saran, motivasi dan doa yang diberikan dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Untuk ayah, ibu, kedua adikku, dan seluruh keluarga terima kasih atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Desember 2013
Ahmad Fudhail Majid
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Onggok Tapioka Oksidasi Polisakarida Faktor-Faktor Oksidasi Kopolimerisasi Grafting Hidrogel Berbasis Onggok Pemilihan Rancangan Percobaan Metode Permukaan Respon
3 3 4 4 6 6 7 7
3 BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian Peralatan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Prosedur Percobaan Rancangan Percobaan Analisis Data
8 8 8 8 9 11 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penyaringan Faktor Oksidasi dan Pendugaan Daerah Optimum Pembentukan Gugus Karbonil dan Karboksil Interaksi Antarfaktor Oksidasi Titik Optimum Faktor Oksidasi Hubungan Antarfaktor Oksidasi yang Signifikan Morfologi dan Struktur Granula OT Proses Kopolimerisasi Grafting Hidrogel OT Swelling Hidrogel dalam Air Pengaruh Larutan NaCl terhadap Swelling Hidrogel Pencirian Hidrogel OT
12 12 14 17 18 20 21 22 23 25 26
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
28 28 28
DAFTAR ISI (lanjutan) DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
41
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Komposisi kimia onggok tapioka Garis pedoman pemilihan rancangan percobaan Kode dan nilai level percobaan orde pertama Output minitab dari hasil rancangan FF Output minitab persamaan model orde kedua kadar karboksil Perbandingan daya serap air setiap hidrogel
3 7 11 12 19 24
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Skema yang menampilkan oksidasi polisakarida (a) aktivasi backbone dan (b) polimerisasi monomer-backbone Pergeseran level faktor ke arah respon optimum Hubungan faktor oksidasi dengan kadar karbonil Hubungan faktor oksidasi dengan kadar karboksil Oksidasi karbonil terjadi melalui zat antara -diol Interaksi antarfaktor kadar karbonil Interaksi antarfaktor kadar karboksil Hubungan antara faktor katalis dan waktu pada rentang suhu (a) 30 oC (b) 40 oC (c) 50 oC Foto SEM (2000 x) dari onggok (a) original (b) teroksidasi H2O2 Spektrum FTIR onggok original (------) dan oksidasi (------) Perbedaan daya serap air hidrogel dalam larutan NaCl Spektrum FTIR PAM (------) dan hidrogel OT-AM (------) Foto SEM (100 x) (a) onggok teroksidasi (b) hidrogel OT-AA (c)hidrogel OT-AM
4 6 14 15 15 16 17 17 20 21 22 25 26 27
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Diagram alir penelitian Radas kopolimerisasi grafting Diagram metode permukaan respon Kadar karbonil dan karboksil rancangan fraksional faktorial Kadar karbonil dan karboksil rancangan box-behken Mekanisme reaksi kopolimerisasi grafting Perbandingan daya serap air hidrogel dalam larutan NaCl Spektrum FTIR poliakrilat dan hidrogel OT-AA
31 33 34 35 36 37 39 40
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengolahan singkong menjadi tepung tapioka menghasilkan produk samping yang disebut onggok dalam jumlah yang besar. Setiap industri tapioka untuk memproduksi tepung tapioka membutuhkan rata-rata 30 ton singkong per hari. Dengan kualitas bahan baku yang baik, satu ton singkong dapat menghasilkan 400 kg tapioka dan 160 kg onggok (DPPHP DEPTAN 2005). BPS (2012) merinci rata-rata produksi singkong di Indonesia mencapai 24.2 juta ton di tahun 2012. Dengan demikian, diasumsikan bahwa per tahunnya akan dihasilkan onggok tapioka sebanyak 3.7 juta ton. Besarnya jumlah produk samping tersebut juga membawa kandungan karbohidrat yang tinggi, sekitar 82.70% (Sari 2011). Oleh sebab itu, sangat menguntungkan sekiranya onggok dapat dimanfaatkan menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Salah satu sumber karbohidrat dalam onggok adalah pati. Pati onggok berpotensi tinggi sebagai bahan baku untuk produk biodegradabel karena merupakan biopolimer yang dapat teruraikan hayati. Meskipun termasuk bahan baku yang sangat baik, pati memiliki beberapa sifat yang tidak diinginkan sehingga membatasi penggunaannya. Penggunaan pati di banyak aplikasi industri memiliki kekurangan seperti mudah terdekomposisi pada suhu panas atau rendahnya resistensi terhadap tekanan (Sorokin et al. 2004). Sering kali diinginkan sifat fungsional seperti stabilitas tekstur dan kelarutan dalam air, tetapi tidak dapat dicapai dengan menggunakan pati biasa (Bushra et al. 2012). Keterbatasan tersebut menjadikan riset terhadap pati terutama onggok semakin meningkat melalui modifikasi secara fisik, kimiawi maupun enzimatis, sehingga menghasilkan pati termodifikasi. Sifat kimia dan fisika pati telah dipelajari secara ekstensif. Akan tetapi, baru-baru ini menjadi lebih menarik perhatian karena pati yang dimodifikasi memiliki sifat kimia dan fisika yang unik dari material awalnya dengan sifat fungsional tertentu yang ditingkatkan dan dapat terus diperbaharui (Butrim et al. 2007). Oksidasi menjadi pilihan modifikasi kimia yang tepat untuk pati. Sifat pati yang dominan adalah hidrofilik karena mempunyai tiga gugus hidroksil (-OH) pada masing-masing gugus monomernya (Kurniadi 2010). Akan tetapi, pati onggok sulit larut dalam air karena tersusun oleh amilopektin yang memberikan bentuk semi-kristalin. Oksidasi menyebabkan perubahan struktur molekul onggok yang menghasilkan onggok teroksidasi (OT) dengan sifat yang berbeda dari sebelumnya. Oksidasi gugus hidroksil pada unit glikosida menghasilkan gugus karbonil (C=O) dan karboksil (-COO-) sepanjang rantai utama polimer akan membuat OT lebih hidrofilik. Jadi, onggok yang telah teroksidasi akan memiliki beberapa sifat yang diinginkan seperti, viskositas lebih rendah, kemampuan menyerap dalam air dingin, meningkatkan subtitusi ionik, kemampuan untuk membentuk film yang baik (Bushra et al. 2012), stabilitas dan gelatinisasi pada suhu rendah.
2
Selain sifat utama tersebut, produk OT ini juga penting sebagai bahan baku sintesis superabsorben. Superabsorben termasuk bahan yang sangat menarik untuk aplikasi biomedis dan pertanian karena karakternya yang unik. Seperti, mudah terdegradasi dalam tubuh manusia, memiliki sifat hemostatik, anti bakteri, sistem pengantaran obat, pengikat air, bahan kondisioner tanah, kemampuan biodegradabilitas dalam tanah dan dapat pula digunakan sebagai pembawa pupuk untuk tanaman (Sorokin et al. 2004; Gomez-Bujedo et al. 2004; Camy et al. 2009). Suatu polimer dapat dikatakan polimer superabsorben jika memiliki kemampuan menyerap lebih dari 100 kali (>10 000%) dari berat keringnya, (Zhang et al. 2006) tetapi tidak larut dalam air dikarenakan struktur 3 dimensi pada jaringan polimernya (Erizal 2010). Pada umumnya, pembuatan polimer superabsorben dilakukan dengan cara pencangkokan monomer ke dalam substrat yang dikenal dengan istilah grafting dengan menggunakan bahan inisiator dan penaut silang. Monomer yang biasa digunakan pada kopolimerisasi grafting adalah asam akrilat (AA) dan akrilamida (AM) (Liu et al. 2007; Teli dan Waghmare 2009). Monomer AA dan AM dikembangkan sebagai bahan dasar biomaterial baru antara lain sebagai hidrogel. AA dan AM merupakan bahan baku populer untuk pembuatan masing-masing hidrogel poliakrilat (PAA) dan poliakrilamida (PAM). Hidrogel PAA dan PAM digunakan untuk matriks penyimpan air dan bahan penyerap. Walau demikian, hidrogel PAA dan PAM mempunyai kelemahan antara lain kemampuannya dalam menyerap air (swelling) terbatas dan merupakan homopolimer dengan sifat fisik yang rendah, sehingga pengembangan untuk aplikasinya juga terbatas (Erizal 2010). Untuk menaikkan daya serapnya perlu ditambahkan suatu zat lain misalnya polimer yang juga bersifat menyerap air. Dalam hal yang sama, oksidasi onggok ini bertujuan menghasilkan gugus karbonil dan karboksil yang memberikan sifat yang lebih hidrofilik, sehingga dapat meningkatkan daya serapnya. Jadi, dengan mengkombinasikan AA dan AM dengan OT diharapkan dapat diperoleh hidrogel dengan sifat superabsorben. Latar belakang dan kerangka pikir di atas dapat disimpulkan melalui penyusunan suatu hipotesis, yaitu gugus fungsi karbonil/karboksil memberikan sifat hidrofilik dan sifat hidrofilik meningkatkan daya serap, maka keberadaan gugus karbonil/karboksil pada onggok yang digunakan sebagai bahan hidrogel akan meningkatkan daya serap hidrogel tersebut.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi optimum oksidasi onggok melalui pendugaan faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap proses oksidasi dan mensintesis hidrogel berbasis OT dengan karakter yang toleran terhadap larutan garam.
3
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini merupakan terobosan untuk mengurangi kelemahan dari sifat fungsional onggok tapioka, sehingga meningkatkan potensinya sebagai bahan hidrogel yang diharapkan mampu bersifat superabsorben serta menjadi bahan menjanjikan ke depan dalam bidang pertanian dan industri personal care misalnya, sebagai absorben dalam popok bayi, pembalut wanita dan pembalut luka.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pati Onggok Tapioka Pengolahan tepung tapioka dari umbi singkong dilakukan dengan memecah dinding sel, sehingga pati yang terdapat di dalamnya dapat keluar. Hanya 70−90% pati yang diperoleh dan sisanya tertinggal di dalam ampas pemerasan (Pratama 2009). Komponen penting yang terdapat dalam onggok adalah pati dan selulosa. Menurut Susijahadi (1997), komposisi kimia onggok sangat bervariasi (Tabel 1) bergantung pada varietas umbi singkong, daerah asal, serta cara pengolahan tepung tapioka. Selain itu, komposisi juga dipengaruhi oleh kandungan mineral serta kadar air media tanam. Tabel 1 Komposisi kimia onggok tapiokaa Komposisi Kadar (%) Air 11.30 Abu 0.55 Lemak 0.21 Protein 4.56 Serat kasar 9.88 Karbohidrat 82.70 a
Sumber: Sari (2011)
Pati tapioka adalah salah satu jenis pati yang mengandung 16% amilosa dan 84% amilopektin. Amilosa adalah polimer linear dari α-D-glukopiranosil yang berikatan 1,4-glikosida (Gambar 1a), sedangkan amilopektin adalah rantai kompleks dengan tulang-punggung rantai amilosa yang bercabang dengan ikatan 1,6-glikosida sebagai titik cabangnya (Gambar 1b). Studi struktur menunjukkan pati mempunyai dua morfologi utama, yaitu bentuk kristalin yang disusun oleh amilopektin dan bentuk amorf yang disusun oleh amilosa (Kurniadi 2010).
4
(a)
(b) Gambar 1 Struktur molekul (a) amilosa dan (b) amilopektin Pati mempunyai tiga gugus hidroksil pada masing-masing gugus monomernya. Pati yang berikatan secara heliks, beberapa gugus hidroksilnya berada diluar dan bersifat hidrofilik. Pati mempunyai kecenderungan menyerap air dari udara akibat sifat hidrofiliknya. Bila suspensi pati dalam air dipanaskan hingga melewati suhu kritisnya, maka akan menyerap air dan mekar jauh melebihi ukuran aslinya. Pada umumnya ikatan α-1,4- dan α-1,6-glikosida dan gugus hidroksil pada atom karbon mempunyai peluang untuk dimodifikasi secara kimiawi (Kurniadi 2010). Reaksi modifikasi yang dapat dilakukan pada onggok ialah reaksi oksidasi gugus hidroksil dan kopolimerisasi grafting suatu monomer.
Oksidasi Pati Oksidasi terjadi jika sebuah molekul memperoleh oksigen atau kehilangan hidrogen. Gugus fungsi hidroksil dapat dioksidasi menjadi keton, aldehida atau asam karboksilat, oksidasi ini digunakan dalam laboratorium dan industri secara meluas. Oksidator dalam laboratorium mengoksidasi alkohol primer menjadi asam karboksilat dan alkohol sekunder menjadi keton. Alkohol primer mula-mula dioksidasi dulu menjadi aldehida, tetapi oksidasi tidak berhenti, melainkan terus sampai terbentuk asam karboksilat. Alkohol sekunder dioksidasi menjadi keton dengan hasil bagus pada kondisi asam karena keton dapat teroksidasi lebih lanjut pada kondisi basa (Fessenden dan Fessenden 1999). Oksidasi gugus fungsi hidroksil pada unit glikosida pati terjadi di C6 gugus hidroksil primer atau di diol pada C2 dan C3 gugus hidroksil sekunder yang melibatkan pembelahan ikatan C2-C3 untuk memberikan gugus fungsi karboksil dan karbonil (Gambar 2).
5
Gambar 2 Skema yang menampilkan oksidasi pati Oksidasi selektif terhadap gugus fungsi hidroksil primer pada polisakarida sangat penting diperhatikan karena adanya kemiripan dengan gugus hidroksil sekunder (Pagliaro 1998). Jumlah oksidator, pH dan katalis mempengaruhi keselektifan tersebut. Besarnya perubahan pada sifat struktural dan fisikokimia OT, terutama bergantung pada asal botani, jenis oksidator dan kondisi reaksi. Reaksi oksidasi ini juga menyebabkan degradasi dan putusnya ikatan glikosida molekul pati yang dihasilkan (Sangseethong et al. 2010). Oleh sebab itu, kontrol terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi oksidasi perlu dilakukan agar proses reaksi dan produk yang diperoleh optimum. Faktor-Faktor Oksidasi OT diproduksi dari reaksi antara onggok dengan oksidator di bawah kontrol suhu dan pH. Beberapa oksidator yang sering digunakan adalah HNO3/H3PO4NaNO2 (Kumar dan Yang 2002), N2O4 (Sorokin et al. 2004), NO2 (Camy et al. 2009), NaOCl (Sangseethong et al. 2010). Akan tetapi, bahan kimia tersebut membawa sejumlah besar limbah anorganik, seperti produk klor dan garam nitrit atau nitrat. Jadi, oksidasi harus menggunakan oksidator yang ramah lingkungan seperti larutan fluida CO2 kritis (Camy et al. 2009), H2O2 (Sangseethong et al. 2010) dan O2 (Biliuta et al. 2011) yang biasanya dikombinasikan dengan katalis logam transisi. Oksidasi dengan H2O2 menghasilkan gel yang lebih baik dan laju oksidasi yang lebih cepat daripada hipoklorit dengan viskositas keduanya hampir sama (Sangseethong et al. 2010). Lagi pula, suhu dan entalpi gelatinasi pati menjadi lebih rendah dibandingkan sebelum modifikasi dengan H2O2 sebagai oksidator (Costa et al. 2011). Pendekatan katalitik telah diusulkan untuk meningkatkan hasil oksidasi. 2,2,6,6-tetrametil-1-piperidiniloksi (TEMPO) diaplikasikan dalam kombinasi dengan NaOCl/NaBr untuk oksidasi selektif terhadap gugus hidroksil dalam polisakarida (Sorokin et al. 2004). Akan tetapi, metode ini tidak memecahkan masalah yang terkait dengan penggunaan NaOCl karena mengarah pada bertambahnya jumlah limbah anorganik dan harga dari katalis TEMPO yang tidak ekonomis. Beberapa katalis logam transisi, yang mengandung zat besi, tembaga dan garam tungsten telah diusulkan untuk mengaktifkan hidrogen peroksida yang
6
merupakan oksidator yang sesuai dari sudut pandang lingkungan dan lebih ekonomis (Kesselmans et al. 2004; Sorokin et al. 2004). Hasil penelitian Kesselmans et al. (2004) menunjukkan oksidasi H2O2 beberapa jenis pati yang dikatalis dengan jumlah ion Cu yang lebih kecil akan lebih efisien. Akan tetapi, konsentrasi ion logam cukup tinggi sekitar 0,01-0,1% didasarkan pada pati kering (Sorokin et al. 2004) dapat menimbulkan masalah warna produk, keracunan logam dalam produk modifikasi dan pencemaran tanaman. Sebaliknya, tanpa penambahan katalis ion Cu kinetika reaksi juga akan lambat. Oleh sebab itu, pencarian metode dan jumlah katalis yang efisien pada oksidasi pati alami dengan oksidator yang ramah lingkungan masih tetap merupakan tantangan. Oksidasi spesifik gugus hidroksil primer pada C6 menghasilkan karboksil dapat meningkatkan kelarutan banyak glukan (pati, pullulan, alternan, selulosa dan dextran) lebih dari 10%. Walau demikian, tipe dan jumlah gugus fungsi yang terbentuk bergantung pada pH reaksi. Gugus karbonil banyak terbentuk di bawah kondisi asam sedangkan jumlah gugus karboksil bertambah dengan meningkatnya pH reaksi (Sangseethong et al. 2010). Variasi kondisi pH selama proses oksidasi memegang peranan penting terhadap sifat fisikokimia tepung tapioka. Viskositas semakin berkurang jika pH bertambah, tetapi suhu dan entalpi gelatinasi menjadi lebih rendah dibandingkan dengan sebelum modifikasi. Pada tepung tapioka alami, suhu dan entalpi gelatinasi ±64oC dan ± 17 j/g, kemudian berkurang ketika oksidasi pada pH 8 dan 9 masing-masing ±61oC, ± 15 j/g dan ±60oC, ± 15 j/g (Sangseethong et al. 2009). Selain pH reaksi, faktor lain seperti jumlah oksidator, suhu dan asal pati juga diketahui dapat mempengaruhi oksidasi. Hasil penelitian Sangseethong et al. (2010) menujukkan bahwa perbedaan jumlah oksidator NaOCl yang digunakan dalam oksidasi pati menghasilkan produk oksidasi dengan sifat yang tidak sama. Oksidasi pati pada suhu tinggi menghasilkan produk dengan viskositas yang rendah. Pati dari umbi lebih mudah teroksidasi dari pada pati sereal. Kandungan amilosa pada pati juga berperan penting dalam mengontrol efisiensi oksidasi. Kopolimerisasi Grafting Kopolimerisasi grafting merupakan polimerisasi dari dua atau lebih polimer yang terdiri dari rantai utama (backbone) dan rantai cabang (monomer). Polimerisasi dimulai dengan aktivasi rantai utama yang selanjutnya digunakan untuk polimerisasi monomer yang akan membentuk grafting pada polimer (Gambar 3). Pembentukan pusat aktif pada rantai utama dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya radiasi, menggunakan sinar ultraviolet dan cara kimia menggunakan zat inisiator (Lanthong et al. 2006; Nakason et al. 2010).
Gambar 3
(a) (b) (a) aktivasi backbone dan (b) polimerisasi monomer-backbone
7
Metode kopolimerisasi grafting dengan cara kimia menggunakan zat inisiator yang telah dikembangkan meliputi metode simultan dan tidak simultan. Grafting dengan metode simultan terjadi dengan memasukkan polimer ke dalam campuran monomer dan inisiator, sedangkan metode tidak simultan dilakukan dengan cara grafting monomer pada polimer yang telah diaktifkan oleh inisiator (Bhattacharaya et al. 2009).
Hidrogel Berbasis Pati Saat ini sebagian besar hidrogel adalah polimer sintetik yang kurang biodegradabel, sehingga dapat menyebabkan masalah lingkungan karena pembuangannya. Oleh sebab itu, pengembangan polimer biodegradabel telah menarik perhatian yang cukup besar oleh kedua pihak akademisi dan industri. Salah satu pendekatan sederhana dan praktis untuk mempersiapkan hidrogel biodegradabel adalah menggabungkan polimer dengan berbagai jenis pati. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk menggunakan pati dan turunannya seperti pati tapioka dalam sintesis hidrogel. Kiatkamjornwong et al. (2000) mengembangkan hidrogel superabsorben berbasis pati tapioka dengan grafting monomer AA dan AM melalui teknik iridiasi. Selanjutnya, Nakason et al. (2010) melakukan kopolimerisasi grafting dengan monomer AM ke dalam pati tapioka secara kimia. Selain itu, onggok sebagai limbah industri tepung tapioka juga telah dikembangkan menjadi hidrogel melalui grafting monomer AA dan AM dengan inisiator APS dan penaut silang MBA (Kurniadi 2010; Mas’ud et al. 2013). Sebagai bahan penyerap air, suatu keharusan hidrogel memiliki sifat tertentu, misalnya harus hidrofilik, polimer harus mekar tapi tidak boleh larut, dan hidrogel harus memiliki beberapa karakter ionik karena tolakan merupakan faktor penting dalam mempromosikan pembengkakan dalam air. Rantai samping dapat meningkatkan karakter hidrofilik dari polimer, seperti AA dan AM yang larut dalam air dapat menyediakan rantai polimer dengan masing-masing gugus amida dan karboksilat (Lanthong et al. 2006). Selanjutnya, konversi gugus amida pada AM menjadi gugus karboksil melalui saponifikasi meningkatkan karakter ioniknya, sehingga membuat polimer lebih hidrofilik (Kiatkamjornwong et al. 2000; Lanthong et al. 2006).
Pemilihan Rancangan Percobaan Pemilihan rancangan percobaan bergantung pada tujuan dari percobaan dan sejumlah faktor yang diteliti dengan memenuhi tiga prinsip dasar yaitu harus ada ulangan, pengacakan dan pengendalian lingkungan (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Tabel 2 menunjukkan beberapa jenis rancangan sesuai dengan tujuan percobaannya.
8
Jumlah faktor 1 2-4 5 atau lebih
Tabel 2 Garis pedoman pemilihan rancangan percobaan Tujuan Tujuan Permukaan perbandingan penyaringan respon 1-factor compeletly randomized design Randomized blok Full atau fractional Central Composite atau desing faktorial design Box-Behnken fractional faktorial Disaring terlebih dahulu Randomized blok atau Plackettuntuk mereduksi jumlah desing Burman faktor
Tujuan perbandingan (comparative object): Jika memiliki satu atau beberapa faktor yang diteliti, tetapi tujuan utama dari percobaan adalah untuk membuat kesimpulan sekitar satu faktor penting yang diprioritaskan, (di hadapan, dari, dan/atau terlepas dari adanya faktor-faktor lain). Permasalahan komparatif memerlukan ada atau tidak adanya perubahan yang signifikan dalam respon untuk berbagai tingkat faktor. Tujuan penyaringan (screening object): Tujuan utama dari percobaan adalah untuk memilih atau menyaring beberapa faktor utama yang penting dari banyak yang kurang penting. Tujuan permukaan respon (optimasi): Penelitian ini dirancang untuk memungkinkan kita untuk memperkirakan interaksi dan bahkan pengaruh faktor, sehingga memberikan gambaran bentuk dari permukaan respon yang sedang diselidiki. Rancangan ini diistilahkan dengan metode permukaan respon.
Metode Permukaan Respon Metode permukaan respon merupakan suatu metode gabungan antara teknik matematika dan teknik statistik, digunakan untuk membuat model dan menganalisis suatu respon ŷ yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas/faktor X guna mengoptimalkan respon tersebut (Montgomery 1997). Hubungan antara respon ŷ dan variabel bebas X adalah ŷ = f(X1, X2,...., Xk) + ε ŷ = variabel respon Xi = variabel bebas/ faktor (i = 1, 2, 3,...., k) Ε = error Tujuan pertama metode permukaan respon adalah untuk menemukan respon optimum. Bila ada lebih dari satu respon maka penting untuk menemukan hubungan optimum yang tidak hanya mengoptimalkan satu respon. Bila ada kendala pada data rancangan, maka rancangan eksperimen harus memenuhi persyaratan kendala. Tujuan kedua adalah untuk memahami bagaimana perubahan respon dalam arah tertentu dapat menyesuaikan dengan variabel rancangan. Secara umum, metode tersebut dapat divisualisasikan secara grafis. Grafik sangat membantu untuk melihat bentuk permukaan respon.
9
Langkah pertama dari metode permukaan respon adalah menemukan hubungan antara respon ŷ dan faktor X melalui persamaan model regresi linear, atau yang lebih dikenal dengan model orde pertama. Rancangan percobaan orde pertama merupakan tahap penyaring faktor dan penentuan daerah optimasi. Langkah kedua adalah model orde kedua, biasanya digunakan model polinomial orde kedua yang fungsinya kuadratik. Rancangan percobaan orde kedua merupakan tahap untuk menentukan titik optimasi. Dari model orde kedua ditentukan titik stasioner, karakteristik permukaan respon dan model optimasinya.
3 BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk halus onggok tapioka yang diperoleh dari industri tapioka Ciluar Bogor, hidrogen peroksida (H2O2), CuSO4.5H2O, akrilamida (AM), amonium persulfat (APS), N,N’-metilenabisakrilamida (MBA), hidroksilamin (NH3OH), gas nitrogen, metanol, aseton, NaOH, HCl, AgNO3, NaCl, indikator PP, dan air distilasi.
Peralatan Penelitian Alat-alat yang digunakan pada penelitian antara lain, kondensor, pengaduk magnet, termometer, mantel pemanas, water bath, pH meter, spektrofotometer inframerah transformasi Fourier (FTIR) Prestige-21 Shimadzu, mikroskop elektron pemayaran (SEM) JSM−35 C dan alat-alat kaca lainnya.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 9 bulan mulai bulan Desember 2012 sampai dengan Agustus 2013 dan bertempat di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor (LT-IPB).
Prosedur Percobaan Penelitian ini terbagi dalam enam tahap, yaitu tahap penyiapan sampel onggok, oksidasi onggok, penentuan kadar karbonil dan karboksil, sintesis hidrogel, pengukuran daya serap air, dan pencirian oleh instrumen FTIR dan SEM. Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Preparasi Sampel Onggok Tapioka Onggok tapioka dicuci dengan air keran sampai filtrat hasil pencucian jernih, kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama 2 hari sampai kering. Setelah itu, onggok kering dihaluskan sampai ukurannya 100 mesh.
10
Oksidasi Onggok (modifikasi dari Kesselmans et al. 2004) Sebanyak 10 g onggok disuspensikan dalam 25 ml air distilasi. Suhu suspensi disesuaikan dengan rancangan percobaan. Selanjutnya, larutan 550 mg CuSO4.5H2O dalam 1 L air distilasi ditambahkan dan larutan H2O2 30% dimasukkan ke dalam campuran selama 10 menit. Pada saat proses oksidasi pH dipertahankan sesuai rancangan percobaan dengan menambahkan larutan NaOH 4.4%. Campuran diaduk selama waktu tertentu. Setelah itu, campuran dinetralkan menjadi pH 5 dengan menambahkan H2SO4 10 N, kemudian produk dicuci dengan air sebelum dikeringkan. Penentuan Gugus Karboksil (Bushra et al. 2012) Sampel OT disuspensikan dengan HCl 0,1 M (suspensi 20% b/v). Suspensi diaduk selama 30 menit, disaring dan dicuci dengan air distilasi sampai bebas dari ion klorida yang diperiksa dengan uji perak nitrat. Selanjutnya, sampel tersebut dicuci dan dipindahkan ke erlenmeyer dan didispersikan dengan 300 ml air distilasi, kemudian dipanaskan mendidih dalam water bath dengan pengadukan terus menerus selama 20 menit sampai mengalami gelatinasi. Suspensi panas tersebut dititrasi dengan NaOH 0.1 M standar dengan indikator PP. Sampel onggok sebelum oksidasi dianalisis juga dengan cara sama sebagai blangko (blank titrate). Jumlah gugus karboksil (% b/b) ditentukan dengan persamaan berikut, (titrat sampel-blangko)ml x Normalitas NaOH x 100 x 0,045 Jumlah karboksil= berat sampel (g) Penentuan Gugus Karbonil (Sangseethong et al. 2010) Sekitar 2 g sampel disuspensikan ke dalam 100 ml air distilasi. Suspensi dipanaskan menjadi gelatin dengan water bath selama 20 menit, didinginkan sampai suhu 40oC dan pH disesuaikan menjadi 3.2 dengan penambahan HCL 0.1 M. Setelah itu, 15 ml reagen NH3OH ditambahkan (reagen dibuat dengan melarutkan 25 g NH3OH dalam 100 ml NaOH 0.5 M kemudian ditambahkan 500 ml air distilasi). Labu ditempatkan pada water bath dengan suhu 40oC selama 4 jam. Setelah itu, sampel dengan cepat dititrasi dengan HCl 0.1 M standar sampai pH menjadi 3.2. Seperti halnya sampel, penentuan blangko hanya menggunakan reagen NH3OH dilakukan dengan cara yang sama. Jumlah karbonil (% b/b) dalam produk dihitung dengan menggunakan persamaan, (blangko-titrat sampel)ml x Normalitas HCl x 100 Jumlah karbonil= x 0,028 berat sampel (g)
11
Kopolimerisasi Grafting OT-AA Sebanyak 7,5 g onggok teroksidasi (OT) ditimbang dan ditambahkan 75 mL air distilasi hingga terbentuk bubur ke dalam labu leher tiga yang telah dilengkapi pengaduk, kondensor, dan saluran gas nitrogen (Lampiran 2). Selanjutnya, campuran dipanaskan sampai suhu 90±5 °C selama 30 menit dengan kondisi atmosfer nitrogen. Setelah itu, suhu diturunkan perlahan sampai mencapai suhu kamar 30 °C. Beberapa saat kemudian, sejumlah AA ditambahkan sambil diaduk selama ± 5 menit, kemudian berturut-turut ditambahkan MBA dan APS dengan waktu pengadukan masing-masing ± 5 menit. Setelah itu, secara perlahan suhu dinaikkan menjadi 70 °C selama 3 jam. Produk yang dihasilkan dicuci dengan menggunakan metanol. Setelah itu, produk direfluks dengan aseton selama 1 jam, kemudian dikeringkan pada suhu 60 oC. Akhirnya, produk kering digiling dan disaring dengan ukuran partikel 80100 mesh. Kopolimerisasi Grafting OT-AM Sebanyak 7,5 g onggok teroksidasi (OT) ditimbang dan ditambahkan 150 mL air distilasi hingga terbentuk bubur ke dalam labu leher tiga yang telah dilengkapi pengaduk, kondensor, dan saluran gas nitrogen. Selanjutnya, campuran dipanaskan sampai suhu 90±5 °C selama 30 menit dengan kondisi atmosfer nitrogen. Setelah itu, suhu diturunkan perlahan sampai mencapai 60−65 °C. Beberapa saat kemudian, sejumlah inisiator APS ditambahkan sambil diaduk selama 15 menit, kemudian ditambahkan campuran AM dan MBA sambil secara perlahan suhu dinaikkan menjadi 70 °C selama 3 jam. Produk yang dihasilkan dicuci dengan menggunakan metanol. Setelah itu, produk direfluks dengan aseton selama 1 jam, kemudian dikeringkan pada suhu 60 oC. Akhirnya, produk kering digiling dan disaring dengan ukuran partikel 80100 mesh. Saponifikasi (Nakason et al. 2010) Sebanyak 4 g hidrogel OT-AM ditambahkan 10 ml NaOH 1 M dan 10 ml akuades dan dipanaskan sampai suhu 90oC selama 2 jam. Setelah dinetralkan dengan penambahan HCl 1 M, lalu dikoagulasi dan dipresipitasi dengan metanol dan etanol. Hasil kopolimer saponifikasi dikeringkan pada suhu 60oC. Kemudian produk kering digiling dan dihaluskan hingga lolos ayakan 80 mesh. Pengukuran Daya Serap Air (Qeq) Sebanyak 0.1 g masing-masing hidrogel direndam di dalam 200 mL air distilasi pada suhu kamar selama 24 jam untuk mencapai kesetimbangan pengembangan. Sampel yang telah mengembang kemudian dipisahkan dari air yang tidak terserap, disaring dengan saringan 100 mesh, dan ditimbang. Daya serap air (Qeq) ditentukan dengan persamaan sebagai berikut, m2 - m 1 Qeq= m1 m1 = bobot sampel kering (sebelum direndam) (g) m2 = bobot setelah sampel mengembang (g)
12
Pengukuran Daya Serap dalam Larutan NaCl Sebanyak 0.1 g masing-masing hidrogel direndam di dalam 200 mL larutan NaCl 0.01, 0.02, 0.04. 0.08. 0.1, 0.2, 0.5, dan 1 M pada suhu kamar selama 24 jam untuk mencapai kesetimbangan pengembangan. Sampel yang telah mengembang kemudian dipisahkan dari air yang tidak terserap, disaring dengan saringan 100 mesh, dan ditimbang. Daya serap ditentukan dengan persamaan Qeq. Spektroskopi FTIR Pencirian dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer FTIR Prestige21 Shimadzu. Sebanyak 100 mg KBr dan 10 mg masing-masing hidrogel dicampur hingga seragam. Selanjutnya, campuran tersebut dibuat pelet dan ditempatkan pada wadah sampel kemudian dipayar pada kisaran bilangan 450−4000 cm-1. Foto SEM Pencirian dilakukan dengan menggunakan SEM JSM−35 C. Sejumlah tertentu masing-masing hidrogel ditempelkan pada tempat sampel (specimen holder), kemudian dibersihkan dan diberi lapisan tipis (coating) dari bahan PdAu (Au 80% dan Pd 20%) dengan menggunakan mesin Ion Sputter JFC−1100. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam specimen chamber dan dilakukan pengamatan dan pemotretan.
Rancangan Percobaan Pada tahap oksidasi dilakukan optimasi untuk mengetahui faktor-faktor oksidasi yang berpengaruh signifikan terhadap proses oksidasi onggok. Rancangan percobaan yang digunakan adalah metode permukaan respon (Lampiran 3). Ada 5 faktor yang digunakan, yaitu suhu, pH, waktu, jumlah oksidator, dan katalis (Tabel 3). Tahap awal adalah menyaring faktor yang signifikan dengan menggunakan rancangan faktorial fraksional (FF) 2III(5-2) dengan 2 replikat (Lampiran 4). Tabel 3 Kode dan nilai level percobaan orde pertama Kode -1 +1 Suhu (X1) 30°C 50°C pH (X2) 7 9 Waktu (X3) 60 menit 120 menit Oksidator (X4) 1.25 ml 7.50 ml Katalis (X5) 2.70 ml 5.40 ml Atas dasar hasil yang diperoleh oleh rancangan FF 2III(5-2) dipasang model orde pertama yaitu k
Y 0 i X i i 1
(1)
13
Tahap berikutnya dengan menggunakan rancangan box-behken dengan 3 tingkat kode (-1,0,+1) untuk menjelaskan sifat permukaan respon di wilayah optimum. Sesuai dengan desain ini, total kombinasi perlakuan adalah 15 dengan 3 replikat (Lampiran 5). Hasil rancangan box-behken sesuai dengan persamaan polinomial orde kedua yaitu k
k
Y 0 i X i ii X i2 ij X i X j i 1
i 1
(2)
i j
Analisis Data Semua percobaan dilakukan secara acak, dan nilai gugus karboksil atau karbonil diambil sebagai respon. Rancangan FF, box-behken dan analisis statistik data dilakukan dengan minitab (versi 16). Analisis statistik dari model dievaluasi dengan analisis varians (ANOVA). Kualitas persamaan model dinilai secara statistik dengan koefisien determinasi R2 dan signifikansi statistik ditentukan dengan nilai p (p-value).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penyaringan Faktor dan Pendugaan Daerah Optimum Meskipun tujuan eksperimental akhir oksidasi onggok adalah optimasi, percobaan pertama yang harus dilakukan adalah penyaringan faktor karena ada banyak faktor potensial yang harus dipertimbangkan. Percobaan ini mengacu pada rencana eksperimental yang bertujuan menemukan faktor-faktor yang memiliki pengaruh signifikan untuk respon kadar gugus karboksil dan karbonil (Tabel 4). Tabel 4 Output minitab dari hasil rancangan FF Gugus karboksil Gugus karbonil Source P Coef P Coef Constant 0.000 0.058 0.015 0.050 Faktor utama Suhu 0.090 -0.017 0.015 -0.050 pH 0.369 0.008 0.384 -0.015 Waktu oksidasi 0.031 0.022 0.015 -0.050 Jumlah oksidator 0.149 0.014 0.384 0.015 Jumlah katalis 0.239 -0.011 0.015 0.050 Anova parameter Regresi 0.069 0.011 Lack-of-fit 0.001 0.484 -
14
Signifikansi statistik diuji pada taraf kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan membandingkan nilai p. Dari pengolahan data, faktor yang berpengaruh signifikan dalam meningkatkan kadar gugus karboksil ditunjukkan dengan nilai p < 0.05 hanya waktu oksidasi (0.031). Begitu juga dengan kadar gugus karbonil, dipengaruhi oleh waktu oksidasi (0.015). Akan tetapi, faktor suhu dan jumlah katalis dengan nilai p yang sama turut berpengaruh signifikan untuk gugus karbonil. Sementara faktor yang tersisa dengan taraf kepercayaan < 95% dipertimbangkan tidak signifikan. Ketika suatu titik optimum akan dicari melalui percobaan yang melibatkan beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat 2013). Akan tetapi, level-level faktor yang telah ditentukan pada rancangan percobaan orde pertama dalam penelitian ini belum tentu berada di daerah optimum, sehingga titik optimum yang diperoleh dari percobaan lanjutan bisa saja jauh dari yang sebenarnya. Jadi, pendugaan daerah di sekitar titik optimum harus dilakukan. Kalau rancangan percobaan memuat area titik respon optimum diantara level-level faktor yang diselidiki, persamaan akan mengandung lack-of-fit (Myers dan Montgomery diacu dalam Hadiyat 2013). Respon yang mengandung lack-offit adalah gugus karboksil dengan nilai p < 0.05. Keberadaan lack-of-fit juga menunjukkan ketidakcocokan model regresi dari faktor-faktor bebas terhadap rancangan yang digunakan. Dari uji parameter regresi diperoleh nilai p > 0.05 untuk respon kadar karboksil. Dengan demikian, level-level faktor yang diajukan untuk gugus karboksil telah memuat daerah titik optimum, maka untuk model persamaan titik optimumnya, tidak dapat diwakili oleh rancangan percobaan orde pertama (fraksional faktorial). Langkah selanjutnya dapat langsung diterapkan, yaitu dengan memasukkan level-level faktor pada rancangan orde kedua untuk menduga titik optimum dan persamaan modelnya. Dari hasil anova untuk respon gugus karbonil, nilai p menunjukkan bahwa persamaan tidak memberikan lack-of-fit, sehingga titik optimum tidak terdapat pada level-level faktor yang diajukan dari rancangan orde pertama. Meskipun rancangan percobaan FF dapat mewakili persamaan model regresinya (nilai p = 0.011), tetapi persamaan tersebut kurang berarti karena tidak dapat menduga daerah titik optimum respon. Berikut persamaan orde pertama kadar gugus karbonil setelah memasukkan dengan nilai koefisien faktor yang signifikan. (3) ŷ = 0.050 – 0.050 X1 – 0.050 X3 + 0.050 X5 Solusi untuk melacak daerah di sekitar titik optimum respon adalah dengan menggeser (menambah atau mengurangi) level faktor yang diteliti ke arah sesuai dengan peningkatan respon kadar gugus karbonil (Xiaoyong et al. 2009; Hadiyat 2013). Proses ini disebut sebagai steepest ascent/descent, seperti yang dicontohkan pada Gambar 4. Setelah diperoleh level faktor yang menunjukkan respon optimum, percobaan dengan rancangan orde pertama diulangi kembali untuk penyaringan dan pendugaan daerah titik optimum.
15
Gambar 4 Pergeseran level faktor ke arah respon optimum “Diadaptasi dari Montgomery (1997)” Proses steepest ascent/descent untuk menentukan respon optimum kadar gugus karbonil tidak dilanjutkan dalam penelitian ini. Adanya dugaan bahwa ikatan C2-C3 banyak terputus pada unit glikosida onggok berhubungan erat dengan pembentukan gugus karbonil, sehingga dapat merusak polimer dan mengurangi derajat polimerisasi. Lagi pula, gugus karboksil lebih banyak terbentuk dengan peluang oksidasi spesifik posisi C6 dan memberikan sifat yang lebih hidrofilik daripada gugus karbonil.
Pembentukan Gugus Karbonil dan Karboksil Studi sebelumnya telah mengusulkan jalur reaksi berturutan dari oksidasi gugus hidroksil di posisi tertentu cincin glukosida membentuk gugus karbonil. Kemudian sebagian teroksidasi lanjut menjadi karboksil sehingga menghasilkan pati tapioka teroksidasi dengan dua gugus fungsi baru hasil oksidasi (Sangseethong et al. 2009). Atau dengan pendekatan katalitik dan bergantung pada jenis oksidator yang digunakan, jalur reaksi paralel yang menghasilkan gugus karboksil saja dari oksidasi selektif gugus hidroksil primer cincin glukosida polisakarida (de Nooy et al. 1997; Pagliaro 1998; Sorokin et al. 2004). Jalur reaksi selama proses oksidasi dalam penelitian ini tidak diketahui secara pasti. Walau demikian, penjelasan dari hubungan pengaruh faktor-faktor oksidasi dengan pembentukan kedua gugus karbonil dan karboksil (Gambar 5 dan 6) dapat menuntun untuk menduga jalur reaksinya. Dua gambar tersebut jelas menunjukkan bahwa pola hubungan faktor jumlah oksidator dan suhu sama kedua gugus, tetapi tidak demikian halnya dengan faktor pH, jumlah katalis dan waktu oksidasi.
16
Gambar 5 Hubungan faktor oksidasi dengan kadar karbonil
Gambar 6 Hubungan faktor oksidasi dengan kadar karboksil Jumlah oksidator sudah sewajarnya memberikan pengaruh yang sama terhadap peningkatan atau penurunan kadar setiap gugus karena merupakan faktor penting dalam reaksi kimia. Jumlah oksidator menunjukkan banyaknya molekul H2O2 yang digunakan saat oksidasi. Jumlah molekul yang lebih banyak memberikan peluang terjadinya reaksi lebih besar sehingga produk reaksinya dapat melimpah. Meskipun bukan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap respon, pH menunjukkan pola pengaruh yang berlawanan pada kedua gugus. Arah hasil reaksi dan jumlah gugus fungsional yang dibentuk dalam molekul onggok selama oksidasi peroksida bergantung pada pH reaksi. Hal tersebut menegaskan hasil penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Sandhu et al. (2008) dan Sangseethong et al. (2010). Pembentukan gugus karbonil ditemukan lebih tinggi di bawah kondisi netral sementara jumlah gugus karboksil meningkat dengan bertambahnya pH. Selama proses oksidasi, karbonil yang telah terbentuk sebelumnya bereaksi dengan air menghasilkan kesetimbangan dengan zat antara -diol, lalu teroksidasi lanjut lagi menghasilkan karboksil (Gambar 7). Adisi nukleofilik air ke gugus karbonil berjalan lambat di bawah kondisi netral, tetapi terkatalis pada suasana basa. Arah reaksi akan menuju –diol kalau pH basa dan pembentukan gugus karboksil akan semakin tinggi. Seperti halnya dalam penelitian ini jumlah gugus karboksil ditemukan tinggi dalam kondisi basa.
17
karbonil
diol
karboksil
Gambar 7 Oksidasi karbonil terjadi melalui zat antara -diol Reaksi terkatalis basa berlangsung lebih cepat karena air terkonversi menjadi ion hidroksida sebagai nukleofilik yang lebih baik. Walau demikian, level alkalinitas juga mempengaruhi jumlah gugus karboksil, seperti yang diamati oleh Sangseethong et al. (2009) pada oksidasi pati tapioka. Dalam rentang pH yang diteliti, pembentukan tertinggi gugus karboksil berada pada pH 8 dan 9. Ketika pH reaksi meningkat menjadi 10 dan 11, jumlahnya menurun. Pada awalnya reaksi oksidasi pati dipicu oleh kehadiran katalis logam melalui inisiasi H2O2 menjadi radikal hidroksil. Radikal bebas ini sangat reaktif dan mudah bereaksi dengan ikatan C-H pati yang selanjutnya mengalami pembentukan gugus karbonil selama periode awal reaksi. Semakin banyak katalis yang digunakan, akan banyak ikatan C-H yang terputus oleh radikal bebas. Jika jumlah oksidator yang digunakan sedikit dan bukan dalam kondisi basa, tahap oksidasi lanjut karbonil menjadi karboksil tidak terjadi karena sebagian besar reagen oksidan telah dikonsumsi untuk pembentukan karbonil. Oleh sebab itu, kadar karbonil dipengaruhi signifikan oleh jumlah katalis yang digunakan. Suhu memang hanya berpengaruh signifikan terhadap kadar karbonil, tetapi kedua gugus karbonil dan karboksil diproduksi selama proses oksidasi. Komposisi kedua produk bergantung pada suhu reaksi yang ditentukan oleh kendali kinetika atau kendali termodinamika. Sepertinya gugus karbonil tidak stabil di suhu tinggi, sehingga tidak terbentuk sama sekali dan atau tidak stabil sehingga semuanya berubah menjadi gugus karboksil, karena itu gugus karboksil masih terbentuk sedikit di suhu tersebut. Pada suhu rendah proporsi produk ditentukan oleh laju relatif pembentukan produk. Jika mengikuti jalur reaksi berturutan, semakin banyak karbonil terbentuk, maka semakin banyak juga yang menjadi karboksil. Karena itu, kedua gugus menunjukkan pola yang sama terhadap faktor suhu. Satu-satunya faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kedua gugus fungsi adalah waktu dan menghadirkan pola yang berbanding terbalik. Akan tetapi, jika waktu oksidasi diturunkan di bawah level rendah perlakuan, kadar gugus karbonil yang diperoleh akan lebih tinggi. Sangseethong et al. (2010) melaporkan oksidasi gugus hidroksil dalam molekul pati oleh peroksida hampir selesai dalam 30 menit pertama menghasilkan lebih banyak gugus karbonil. Oleh sebab itu, daerah yang mencakup titik optimasi tidak ada untuk kadar karbonil karena level waktu yang diberikan terlalu tinggi (60 dan 120 menit) sehingga sebagian besar telah berubah menjadi karboksil. Hubungan antara faktor dan pembentukan kedua gugus fungsi hasil oksidasi belum sepenuhnya dimengerti. Akan tetapi, dari beberapa spekulasi diatas, diusulkan jalur berturutan dengan hanya gugus karboksil saja dihasilkan bukan kedua gugus, walaupun pada dasarnya melalui tahap pembentukan karbonil terlebih dahulu. Dukungan dari data kadar yang didominasi oleh gugus karboksil dalam penelitian ini membenarkan jalur tersebut (Lampiran 4).
18
Jalur reaksi yang diperoleh berbeda dari penelitian oksidasi H2O2 pada pati tapioka oleh Sangseethong et al. (2010). Penelitian tersebut melaporkan gugus karbonil lebih dominan. Perbedaan ini berhubungan erat dengan kondisi yang digunakan dalam reaksi. Ada kondisi reaksi yang mendukung kestabilan karboksil atau karbonil saja dan ada juga yang mendukung keduanya. Kondisi yang tidak terlalu drastis akan menghasilkan hasil yang baik. Lokasi gugus hidroksil yang mengalami oksidasi dalam cincin glukosida onggok juga sangat sulit ditentukan. Akan tetapi, pemilihan kondisi yang relevan akan meningkatkan peluang terjadinya oksidasi pada posisi gugus hidroksil yang lebih reaktif.
Interaksi Antarfaktor Oksidasi Tidak hanya hubungan antara satu faktor dan kedua gugus fungsi, tetapi interaksi antarfaktor juga menentukan kadar gugus dengan hubungan yang kompleks. Gambar 8 dan 9 menunjukkan hubungan interaksi antarfaktor terhadap kadar setiap gugus. Untuk perencanaan langkah selanjutnya, pemilihan level dari interaksi antarfaktor sangat berguna pada proses optimasi, memilih kondisi reaksi, mempercepat laju reaksi dan sebagai alternatif steepest ascent/descent untuk melacak daerah titik optimasi gugus karbonil. Secara singkat, kondisi reaksi dipengaruhi oleh interaksi antar faktor dan hubungannya dapat digunakan untuk memilih level sesuai dengan produk dan lokasi oksidasi yang diinginkan.
Gambar 8 Interaksi antarfaktor kadar karbonil
Gambar 9 Interaksi antarfaktor kadar karboksil
19
Dalam penelitan ini diinginkan karboksil sebagai produk dominan dan lokasi oksidasi pada gugus hidroksil primer unit glukosida onggok. Dengan demikian, faktor signifikan karbonil harus diperhitungkan karena pembentukan karboksil melalui jalur reaksi berturutan. Katalis yang banyak, waktu singkat dan suhu rendah akan mendukung pembentukan karbonil. Akan tetapi, hubungan faktor yang berbanding terbalik perlu juga diperhatikan, seperti waktu oksidasi. Perlu diketahui, katalis mempengaruhi lokasi oksidasi. Jumlah katalis yang cukup, akan memberikan peluang besar bagi radikal bebas untuk menyerang ikatan C-H tempat hidroksil primer berada karena gugus hidroksil primer lebih reaktif dari sekunder. Dalam hal yang sama, pembentukan gugus karbonil bisa saja berkurang. Akan tetapi, Jika katalis berlebih, banyak ikatan C-H yang putus dan bisa menyerang ikatan C-H posisi gugus hidroksil sekunder. Penetapan kondisi reaksi juga dapat mempengaruhi laju reaksi produk yang diinginkan. Faktor tidak signifikan dapat diatur untuk meningkatkan laju reaksi, tanpa harus khawatir terhadap hubungan berbanding terbalik karena tidak akan memberikan perbedaan nyata. Misalnya, agar laju reaksi mengarah ke produksi gugus karboksil, faktor gugus karbonil yang tidak signifikan dapat dibuat tetap sedemikian rupa sehingga relevan dengan kondisi pembentukan gugus karboksil, seperti pH pada kondisi basa. Interaksi antarfaktor oksidasi dan pengaruhnya terhadap kondisi reaksi maupun proses optimum gugus karboksil akan dapat dipahami lebih jauh melalui pemberian perlakuan dalam rancangan percobaan. Dengan pendekatan tersebut dapat diperoleh pemahaman terhadap kondisi optimum dari suatu proses dibandingkan dengan hanya memperkirakan hasilnya.
Titik Optimum Faktor Oksidasi Meskipun kondisi reaksi telah diatur dengan cermat, penelaahan mengenai respon tidak akan luput dari gangguan berbagi faktor yang memang tidak dapat dibuat persis sama bagi setiap obyek dalam percobaan. Karena itu, penentuan respon maksimum atau minimum kadar gugus karboksil jangan hanya terbatas pada level-level yang dicobakan saja (Lampiran 5). Nilai koefisien regresi model persamaan orde kedua (Tabel 5) dari metode permukaan respon dapat digunakan untuk mendeteksi titik optimum respon yang muncul diantara selang level yang dicobakan.
20
Tabel 5 Output minitab persamaan model orde kedua kadar karboksil Source P Coef Constant 0.000 0.107 Linear 0.000 Suhu 0.000 0.031 Jumlah katalis 0.002 0.019 Waktu oksidasi 0.001 0.023 Square 0.001 Suhu*Suhu 0.895 0.0006 Katalis*Katalis 0.000 0.0398 Waktu*Waktu 0.001 0.0305 Interaction 0.006 Suhu x Katalis 0.002 -0.0242 Suhu x Waktu 0.017 0.0149 Katalis x Waktu 0.246 0.0056 Anova parameter Regresia 0.000 a
R-Sq = 98.68% R-Sq(adj) = 96.31%
Penaksiran titik optimum respon dimulai dengan memeriksa signifikansi model. Tabel 5 menunjukkan bahwa model linear, square dan interaksi berpengaruh signifikan karena nilai p ketiganya kurang dari α = 0.05 yang didukung dengan nilai R2 = 98.68%. Jadi, model yang tepat untuk persamaan orde kedua kadar gugus karboksil adalah model kuadratik. Selain signifikansi model, tabel menunjukkan pula hasil uji kecocokan faktor dan variabel lainnnya terhadap model yang dikonversi ke dalam nilai p. Uji parameter model menunjukkan faktor suhu, jumlah katalis, waktu oksidasi memiliki pengaruh penting terhadap kadar gugus karboksil. Lagi pula, uji parameter regresi serentak membuktikan bahwa semua variabel memberikan sumbangan yang berarti terhadap model (p = 0.000). Hasil analisis memberikan model seperti berikut, ŷ = 0.107 + 0.031 X1 + 0.019 X2 + 0.023 X3 + 0.0006 X12 + 0.0398 X22 + 0.0305 X32 - 0.0224 X1X2 + 0.0149 X1X3 + 0.0056 X2X3 (4) Nilai-nilai koefisien regresi pada model orde kedua dapat disusun matriks sebagaimana berikut, 11 12 / 2 13 / 2 1 B 21 / 2 22 23 / 2 b 2 31 / 2 32 / 2 33 3 β1, β2 dan β3 merupakan masing-masing koefisien dari suhu, jumlah katalis dan waktu oksidasi, sehingga matriks b dan B adalah 0,00061 0.01214 0.00748 0,0299 B 0,01214 0.03981 0.00278 b 0,0187 (5) 0,00748 0,0233 0.00278 0.03051
21
1
Dari matriks (5) dimasukkan dalam persamaan matriks 𝑋o= (2) B-1 b
(6)
2.8335 Sehingga didapatkan matriks Xo 0.7091 1.1419 Xo disebut sebagai titik stasioner yang selanjutnya digunakan untuk mencari titik optimum pada persamaan berikut, Xi- X Xoi = (7) Si Dari perhitungan persamaan (7) diperoleh nilai aktual titik optimum yang bisa menghasilkan respon semaksimum mungkin kadar gugus karboksil, yaitu suhu 78.335 oC, jumlah katalis 4.301 ml dan waktu 83.613 menit.
Hubungan Antarfaktor Oksidasi yang Signifikan Visualisasi permukaan respon kadar gugus karboksil digambarkan dalam bentuk kontur (Gambar 10). Kontur tersebut membantu untuk memahami hubungan antarfaktor signifikan selama proses oksidasi. Terlihat jelas dalam kontur bahwa interaksi antarfaktor erat hubungannya dengan pembentukan gugus karboksil maupun karbonil. Alur hijau gelap menunjukkan interaksi antar faktor yang menghasilkan jumlah kadar karboksil tertinggi dan sebaliknya pada alur biru gelap.
(a)
(b)
(c) Gambar 10 Hubungan antara faktor katalis dan waktu pada rentang suhu (a) 30 oC (b) 40 oC (c) 50 oC
22
Pada kontur tersebut terlihat perbedaan pembentukan gugus karboksil di setiap rentang suhu yang digunakan. Rentang suhu 30-40 oC kadar gugus karboksil sedikit dalam waktu singkat karena pada kisaran suhu tersebut mendukung kestabilan gugus karbonil dan juga ada pengaruh dari katalis. Akan tetapi, ketika suhu meningkat, banyak gugus karbonil telah terkonversi menjadi karboksil.
Morfologi dan Struktur Granula OT Gambar granula onggok yang diperoleh melalui pemayaran SEM (Gambar 11) tidak hanya menampilkan perbedaan bentuk dan ukuran granula, tetapi juga menunjukkan perubahan yang terjadi dalam morfologi onggok sebelum dan setelah oksidasi. Analisis SEM menunjukkan hasil aktivitas H2O2 dalam mengubah struktur dan morfologi onggok.
(a) (b) Gambar 11 Foto SEM (2000 x) dari onggok (a) original (b) teroksidasi H2O2 Granula pati onggok original memiliki bentuk bulat dengan ujung terpotong di satu sisi. Permukaan granula onggok original itu mulus tanpa retak atau celah apapun (Gambar 11a). Jika ada sedikit retak dan goresan terbentuk, paling mungkin terbentuk selama tahap preparasi sampel. Secara umum, pola yang sama ditemukan pada morfologi eksternal granula pati tepung tapioka, seperti yang diamati oleh Sangseethong et al. (2010). Tanda-tanda kerusakan berupa permukaan kasar dan banyak kerutan muncul setelah onggok dioksidasi dengan peroksida. Keriput dapat diamati pada permukaan beberapa granula besar onggok, bahkan menjadi percahan dalam granula kecil (Gambar 11b). Lipatan tambahan tidak terlihat pada semua granula, tetapi muncul terutama pada granula besar. Hasil yang sama diperoleh oleh Pietrzyk dan Fortuna (2005) yang menemukan retakan dan lipatan tambahan dalam tepung kentang, gandum dan jagung yang dioksidasi dengan peroksida. Di samping itu, Sangseethong et al. (2010) melaporkan dalam waktu oksidasi 120 dan 300 menit, permukaan granula tepung tapioka teroksidasi menjadi kasar dan muncul beberapa celah.
23
Perubahan morfologi onggok setelah oksidasi dapat dijelaskan dengan peninjauan struktur melalui spektrofotometer FTIR. Spektrum onggok original dan teroksidasi (Gambar 12) memperlihatkan jenis gugus fungsi yang dikandung berdasarkan serapan bilangan gelombangnya. Pencirian ini dapat membuktikan secara kualitatif keberhasilan proses oksidasi onggok.
Gambar 12 Spektrum FTIR onggok original (------) dan oksidasi (------) Jumlah satuan gugus fungsi antara kedua spektrum relatif sama, misalnya terdapat puncak serapan lebar pada bilangan gelombang 3437.15-3205.69 cm-1 yang merupakan pita serapan khas dari vibrasi ulur –OH dan serapan khas vibrasi ulur C-H muncul pada bilangan gelombang 2931.80 cm-1. Hasil yang serupa juga diperoleh oleh Kurniadi (2010) dan Mas’ud et al. (2013). Jadi, dengan tidak adanya perbedaan yang terlalu signifikan diantara keduanya menunjukkan tidak terjadi kerusakan yang fatal pada onggok teroksidasi. Meskipun hasil interpretasi spektrum IR memperlihatkan secara keseluruhan tidak ada perbedaan serapan gugus antara OO dan OT, beberapa pita serapan menunjukkan secara detail perubahan ongggok setelah oksidasi pada spektrum OT. Pita serapan kuat dan lebih tajam pada bilangan gelombang 1639.49 cm-1 yang mengindikasikan bahwa gugus fungsi C=O lebih banyak daripada onggok original, serapan dengan intensitas kecil pada bilangan gelombang 1338.60 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C-O gugus fungsi karboksil dan menghilangnya bilangan gelombang 1056.99 cm-1 dari serapan vibrasi ulur C-O gugus hidroksil primer. Proses Kopolimerisasi Grafting Hidrogel OT OT digunakan sebagai kerangka utama pencangkokan dan perubahan sifat fisikokimianya mendukung proses dispersi pada saat grafting. Peningkatan stabilitas dispersi pati merupakan salah satu kunci karakteristik yang diinginkan dari onggok teroksidasi. Telah dipelajari bahwa gugus karboksil yang hadir dalam molekul pati akan menghambat retrogradasi, sehingga meningkatkan stabilitas viskositas pati. Air juga dapat membentuk ikatan hidrogen dengan elektron tidak berpasangan dalam gugus karboksil pada OT, sehingga meningkatkan kelarutannya. Karena itu, OT sangat mudah terdispersi merata dalam medium air dibandingkan dengan onggok original.
24
Sintesis hidrogel dilakukan melalui kopolimerisasi pencangkokan menggunakan metode simultan untuk AA-OT dan tidak simultan untuk AM-OT. Masing-masing grafting telah dioptimasi dengan metodenya dan cocok sehingga tidak ada perbedaan diantara keduanya, kecuali perbedaan urutan penambahan bahan. Di samping itu, dalam proses grafting yang perlu dicegah adalah pembentukan homopolimer. Dengan mengondisikan grafting dalam atmosfer gas nitrogen bertujuan menghilangkan oksigen pada sistem reaksi karena akan menyebabkan terbentuknya radikal peroksida yang dapat menghambat reaksi kopolimerisasi. Dengan demikian, pembentukan homopolimer dapat dihindari (Kurniadi 2010). Radikal bebas pada tahap inisiasi dihasilkan dari dekomposisi APS dalam berbagai reaksi. Menurut Bhattacharaya et al. (2009), ada 2 cara pembentukan pusat aktif radikal oleh inisiator APS. Pertama, •OSO3− bereaksi dengan air membentuk •OH yang kemudian akan bereaksi membentuk radikal bebas pada substrat polimer. Alternatif kedua, •OSO3− langsung bereaksi membentuk radikal bebas pada substrat polimer. Pembentukan pusat aktif radikal secara keseluruhan menaikkan energi molekular pada onggok dan dapat meningkatkan kereaktifannya. Tahap selanjutnya adalah propagasi dan terminasi. Radikal OT akan bereaksi dengan monomer. Monomer yang tercangkok ini selanjutnya akan terpolimerisasi membentuk polimer hidrogel. Monomer AA dan AM yang tidak tercangkok dapat mengalami inisiasi juga, kemudian bereaksi dengan monomer lainnya dan tumbuh menjadi rantai polimer PAA dan PAM. Tahap terminasi terjadi ketika radikal OT yang tercangkok oleh monomer bereaksi dengan penautsilang MBA membentuk kopolimer bertautan silang (Lampiran 6). Hidrogel yang terbentuk diendapkan menggunakan metanol dan aseton. Metanol berfungsi mengikat air yang ditambahkan selama proses sintesis. Penggunaan metanol juga dapat mengekstraksi homopolimer karena bersifat polar. Hidrogel kemudian direfluks dengan aseton untuk memisahkan kopolimer yang terbentuk dari homopolimernya. Memisahnya homopolimer dapat dilihat dari warna keruh pada aseton dan gel yang menjadi lebih kaku dan keras. Gel kemudian dikeringkan pada suhu 60 °C, dihaluskan menjadi granula dengan ukuran 80 mesh, lalu diuji daya serap dan karakteristiknya.
Swelling Hidrogel dalam Air Rasio perbandingan berat hidrogel dalam keadaan menyerap air (swelling) terhadap berat keringnya merupakan parameter utama dari sebuah hidrogel khususnya sebagai bahan kandidat absorben. Keberhasilan grafting onggok dengan monomer juga dapat dilihat dari swelling (Tabel 6). Dengan membandingkan swelling antara hidrogel dari OO dan OT pada pengukuran daya serap air dapat membuktikan hipotesis yang diusulkan.
25
Tabel 6 Perbandingan daya serap air setiap hidrogel Hidrogel OOa Daya No Jenis Monomer Ulangan Serap Rerata (g/g) 1 341.2604 1 AA 336.2796 2 331.2987 1 39.5648 2 AM 39.1562 2 38.7475 AM saponifikasi 1 289.5280 3 296.2075 2 302.8870
Hidrogel OTa Daya Serap Rerata (g/g) 506.5877 580.7405 654.8934 40.3084 39.0143 37.7201 539.6334 538.3021 536.9708
a
berat kering 0.1 g; OO: onggok original, OT: onggok teroksidasi, AA: asam akrilat, AM: akrilamida.
Pengukuran daya serap air dilakukan terhadap hidrogel OO sebagai blangko, hidrogel OT-AA dan hidrogel OT-AM tanpa dan dengan saponifikasi menggunakan air distilasi selama 24 jam peremdaman. Hidrogel dengan monomer AA memiliki kinerja serap yang lebih baik dibandingkan dengan AM karena dari awal telah memiliki gugus karboksil lebih banyak sehingga sifatnya lebih hidrofilik. Dalam hal yang sama, daya serap air hidrogel dengan monomer AM meningkat dengan saponifikasi. Peningkatan ini berhubungan dengan bertambahnya muatan dalam sistem polimer akibat adanya konversi gugus fungsi amida (-COONH2) menjadi gugus karboksil (Willett dan Finkenstadt 2006; Teli dan Waghmare 2009). Rerata daya serap air hidrogel OT lebih tinggi dua kali lipat daripada hidrogel OO. Hal yang menarik dapat diamati pada hidrogel dengan monemer AM sebelum dan setelah saponifikasi. Kedua hidrogel memberikan daya serap air yang hampir sama sebelum saponifikasi, tetapi setelah saponifikasi peningkatan swelling keduanya berbeda siginifikan. Perbedaan ini erat hubungannya dengan bertambahnya sifat hidrofilik dari hidrogel OT. Lanthong et al. (2006) melaporkan bahwa penyerapan hidrogel meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah gugus fungsi yang bersifat hidrofilik dan ionik. Walau demikian, dengan mengabaikan perbedaannya, hasil ini telah menunjukkan bahwa semua hidrogel yang terbentuk dapat dikatakan polimer superabsorben karena mampu menyerap air hingga lebih dari 100 kali lipatnya (>10.000%) (Zhang et al. 2006). Penelitian sebelumnya telah berhasil mensintesis superabsorben dengan swelling mencapai 1040.08 g/g untuk OO-AM (Mas’ud et al. 2013) dan 761.01 g/g untuk OO-AA (Fitriyanto 2013). Perbedaan swelling dengan hidrogel dalam penelitian ini tidak hanya berhubungan dengan pengaruh jumlah gugus hidrofiliknya. Akan tetapi, faktor lain seperti proses grafting, konsentrasi inisiator dan komposisi penaut silang turut mempengaruhi kapasitas serap hidrogel. Daya serap air berkurang ketika konsentrasi APS lebih rendah dari 1.0% (%w) karena kekuatan gel bertambah akibat cabang dengan berat molekul rendah tercangkok pada pati. Demikian halnya, jika terlalu banyak titik silang akibat bertambahnya penaut silang MBA akan meningkatkan kekuatan gel dan mengurangi penyerapan air karena rantai yang kaku mengurangi tekanan osmosis gel sehingga air keluar (Lanthong et al. 2006). Oleh sebab itu, pengaruh inisiator dan penaut silang terhadap hidrogel OT perlu dikaji lebih lanjut.
26
Pengaruh Larutan NaCl terhadap Swelling Hidrogel
Daya serap air (g/g)
Karena hidrogel onggok dengan monomer AA dan AM semacam gel anionik, maka lingkungan sekitarnya termasuk konsentrasi ionik sangat mempengaruhi daya serapnya. Lampiran 7 menunjukkan perbandingan antara daya serap air setiap hidrogel OT dan hidrogel OO dengan swelling yang telah dioptimasi mencapai 761.01 g/g. Penurunan penyerapan air bergantung pada konsentrasi dari larutan NaCl seperti ditunjukkan pada Gambar 13. Terlihat dengan meningkatnya konsentrasi larutan NaCl, rasio daya serap air semua hidrogel relatif mengalami penurunan.
NaCl [M] Gambar 13 Perbedaan daya serap air hidrogel dalam larutan NaCl. hidrogel OO-AA, hidrogel OT-AM, hidrogel OT-AA. Hubungan kapasitas serap dengan konsentrasi garam dapat dijelaskan dengan persamaan berikut, Q = k [garam]n (8) Persamaan yang diperoleh dari kurva kapasitas serap dalam larutan NaCl untuk hidrogel OO-AA adalah y = 29.229 X-0.34. Nilai n menunjukkan bahwa diatas konsentrasi 0.34 M, daya serap hidrogel sudah tidak berbeda signifikan dan nilai k merupakan daya serap air ketika konsentrasi NaCl 1 M. Selanjutnya, hidrogel OTAA dan OT-AM memiliki persamaan masing-masing y = 52.919 X-0.173 dan y = 39.661 X-0.296, nilai n menunjukkan bahwa diatas konsentrasi 0.173 M untuk hidrogel OT-AA dan 0.296 M untuk hidrogel OT-AM daya serapnya sudah tidak berbeda signifikan, lebih baik dari hidrogel OO.
27
Hidrogel OT lebih toleran dalam larutan garam dibandingkan dengan hidrogel OO. Dari grafik terlihat daya serap air hidrogel dari OT cenderung konstan pada konsentrasi NaCl di atas nilai n dibandingkan dengan hidrogel OO masih terus menurun. Dari rata-rata perbedaan daya serap air di atas nilai n dalam larutan garam, hidrogel OT-AA dan hidrogel OT-AM masing-masing memiliki swelling 26 dan 12.5 kali lebih besar daripada hidogel OO-AA. Hal ini memperkuat bukti bahwa gugus fungsi hidrofilik hidrogel OT lebih banyak sehingga karakter toleran garamnya lebih baik daripada hidrogel OO. Penjelasan berkurangnya daya serap air pada larutan garam berhubungan erat dengan penurunan tekanan osmosis. Ion-ion yang terikat pada jaringan hidrogel bersifat imobil yang dapat dianggap terpisah dari larutan luar dengan adanya membran. Jika hidrogel direndam dalam air, akan terjadi perbedaan tekanan osmosis dengan larutan luar, sehingga air terdifusi ke dalam jaringan dan hidrogel jadi mengembang. Kehadiran ion di sekitar larutan jaringan hidrogel akan menetralkan saling tolakan dari ion tetap pada jaringan itu sendiri, sehingga menurunkan perbedaan tekanan osmotik antara gel dan larutan luar (Kiatkamjornwong et al. 2000; Lanthong et al. 2006; Erizal 2010).
Pencirian Hidrogel OT Analisis utama yang menyangkut keberhasilan proses grafting ini diamati pada Spektrum IR dan Foto SEM. Pada spektrum IR dicontohkan perbandingan antara hidrogel PAM dan hidrogel OT-AM (Gambar 14) dan perbandingan lainnya dapat dilihat di Lampiran 8. Analisis morfologi dari pemayaran SEM dilakukan pada onggok teroksidasi, hidrogel OT-AA dan OT-AM (Gambar 15).
Gambar 14 Spektrum FTIR PAM (------) dan hidrogel OT-AM (------)
28
Spektrum IR hidrogel OT hampir sama dengan spektrum IR PAM. Hal ini menunjukkan campuran AM lebih dominan dibandingkan dengan OT. Terjadinya pencangkokan dan penautan silang OT dengan AM dapat dilihat pada spekturm IR hidrogel OT-AM dengan (1) munculnya pita khas vibrasi ulur N-H pada bilangan gelombang 3140.11 cm-1 (2) pergeseran vibrasi ulur C=O dari 1639.49 cm-1 menjadi 1701.22 cm-1. Ketika terjadi grafting mengakibatkan perubahan energi molekul secara keseluruhan dan berdampak pada perubahan energi vibrasi gugus fungsi molekul yang ditandai dengan perubahan bilangan gelombang (Kurniadi 2010).
(a)
(b) (c) Gambar 15 Foto SEM (100 x )(a) onggok teroksidasi (b) hidrogel OT-AA (c) hidrogel OT-AM Morfologi permukaan onggok teroksidasi (Gambar 15a) yang belum membentuk grafting terlihat jelas memiliki bentuk bulat dengan ujung terpotong di satu sisi.
Setelah grafting, granula pati menjadi berkelompok dan berubah bentuk menjadi serpihan yang berpori. Penetrasi monomer AA dan AM ke dalam jaringan onggok akan membentuk kopolimer berpori yang berpengaruh erat dengan kemampuan swelling. Pori pada hidrogel OT-AA (Gambar 15b) lebih jelas dan banyak daripada pori hidrogel OT-AM (Gambar 15c). Oleh sebab itu, daya serap air hidrogel OT-AA lebih tinggi dari pada hidrogel OT-AM.
29
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap oksidasi onggok adalah suhu, jumlah katalis dan waktu oksidasi dengan kondisi oksidasi yang menghasilkan respon optimum gugus karboksil pada penelitian ini adalah suhu 78.335 oC, jumlah katalis 4.301 ml dan waktu 83.613 menit. Hasil daya serap air menunjukkan bahwa hidrogel yang disintesis melalui grafting monomer AA dan AM dengan onggok teroksidasi memiliki swelling dua kali lebih tinggi dari hidrogel onggok original. Di samping itu, hidrogel OT-AA dan OT-AM toleran dalam larutan NaCl dengan masing-masing perbedaan daya serap air 26 dan 12.5 kali lebih besar daripada hidrogel OO.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk optimasi pembuatan hidrogel OTAA dan OT-AM pada rentang konsentrasi inisiator dan penaut silang tertentu agar menghasikan hidrogel dengan daya serap air yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Bhattacharya A, Rawlins JW, Ray P. 2009. Polymer Grafting and Crosslinking. New Jersey (US): John Wiley & Sons. Biliuta G, Fras, L, Harabagiu V, Coseri S. 2011. Mild oxidation of cellulose fibers using dioxygen as ultimate oxidizing agen. Digest Journal of Nanomaterials and Biostructures. 6(1):291- 297. Box GEP, Hunter WG, Hunter JS. 1978. Statistics for Experimenters. New York (US): John Wiley & Sons. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Industrial Indonesia 2012. Jakarta (ID): BPS. Bushra M, Xu XY, Si YP, Hydamaka A, Miao Wh, Wang LF. 2012. Effect of oxidation and esterification on functional properties of mung bean (Vigna radiata (L.) Wilczek) starch. Eur Food Res Technol. doi: 10.1007/s00217.012.1857.x. Butrim SM, Bil’dyukevich TD, Butrim NS, Yurkshtovich TL. 2007. Structural modification of potato starch by solutions of nitrogen (IV) oxide in CCl4. Chemistry of Natural Compounds. 43(3):302-305. Camy S, Montanari S, Rattaz A, Vignon M, Condoret JS. 2009. Oxidation of cellulose in pressurized carbon dioxide. The Journal of Supercritical Fluids. 51(2):188-196. doi:10.1016/j.supflu.2009.09.001. Costa FJOG, Almeida RR, Lacerda LG, Carvalho-Filho MAS, Bannach G, Schnitzler E. 2011. Thermoanalytical study of native cassava starch and treated with hydrogen peroxide. Alim Nutr Araraquara. 22(1):7-15.
30
de Nooy AEJ, Pagliaro M, Bekkum H, Besemer AC. 1997. Autocatalytic oxidation of primary hydroxyl functions in glucans with nitrogen oxides. Carbohydrate Research. 304(1997):117-123. [DPPHP DEPTAN] Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. 2005. Pengembangan Usaha Pengolahan Tepung Tapioka. Jakarta (ID): DEPTAN. Erizal. 2010. Synthesis and characterization of crosslinked polyacrylamide (PAAM)-carragenan hydrogels superabsorbent prepared by gamma radiation. Indo J Chem. 10(1):12-19. Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986. Kimia Organik. Jilid 2. Pudjaatmaka AH, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry. Ed ke-3. Fitriyanto EB. 2013. Sintesis dan pencirian superabsorben onggok-g-asam akrilat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gomes-Bujedo S, Fleury E, Vignon MR. 2004. Preparation of cellouronic acids and partially acetylated cellouronic acids by TEMPO/NaClO oxidation of water-soluble cellulose acetate. Biomacromolecules. 5:565-571. doi:10.1021/bm.03.44.05y. Hadiyat MA. 2013. Response-surface dan taguchi: sebuah alternatif atau kompetisi dalam optimasi secara praktis. Repository ubaya ac id [Internet]. [diunduh 2013 Jun 24]. Tersedia pada: http://repository.ubaya.ac.id/ 3393/1/Paper%20SNIRA%20-%20Arbi%20Ubaya%20rev1.pdf. Kesselmans RPW, Annen, Bleeker IP, Boer T, penemu; Cooperative Verkoop-en Productievereniging van Aardappelmeel en Derivaten AVEBE BA. 2004 Nov 23. Oxidation of Starch. United Stated Patent US 6822091 B1. Kiatkamjornwong S, Chomsaksakul W, Sonsuk M. 2000. Radiation modification of water absorption of cassava starch by acrylic acid/acrylamide.Radiation Physics and Chemistry. 59(2000):413-427. Kumar V, Yang T. 2002. HNO3/H3PO4 ±NANO2 mediated oxidation of Dcellulose preparation andcharacterization of bioabsorbable oxidized celluloses in high yields and with different levels of oxidation. Carbohydr Polym. 48(2002):403-412. Kurniadi T. 2010. Kopolimerisasi grafting monomer asam akrilat pada onggok singkong dan sifatnya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lanthong P, Nuisin R, Kiatkamjornwong S. 2006. Graft copolymerization, characterization, and degradation of cassava starch-g-acrylamide/itaconic acid superabsorbents. Carbohydr Polym. 66(2006):229-245. doi:10.1016/j.carbpol.2006.03.006. Liu J, Wang Q, Wang A. 2007. Synthesis and characterization of chitosan-gpoly(acrylic acid)/sodium humate superabsorbent. Carbohydr Polym. 70:166173. Mas’ud ZA, Khotib M, Farid M, Nur A, Amroni M. 2013. Superabsorbent derived from cassava waste pulp. Ijrowa 2013. 2(8):1-8.doi: 10.1186/2251-7715-2-8. Mattjik A, Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Pr. Montgomery CD. 1997. Design and Analysis of Experiments. 4th edition. New York (US): John Wiley and Sons.
31
Nakason C, Wohmang T, Kaesaman A, Kiatkamjornwong. 2010. Preparation of cassava starch-graft-polyacrylamide superabsorbents and associated composites by reactive blending. Carbohydr Polym. 81(2010): 348-357. doi:10.1016/j.carbpol.2010.02.030. Pagliaro M. 1998. Autocatalytic oxidations of primary hydroxyl groups of cellulose in phosphoric acid with halogen oxides. Carbohydrate Research. 308(1998):311-317. Pietrzyk S, Fortuna T. 2005. Oxidation-induced changes in the surface structure of starch granules. Pol J Food Nutr Sci. 14/55(2):159-164. Pratama AG. 2009. Mempelajari pengaruh konsentrasi ragi instan dan waktu fermentasi terhadap pembuatan alkohol dari ampas ubi kayu (Manihot utilissima) [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Sandhu KS, Kaur M, Singh N, Seung-Taik L. 2008. A comparison of native and oxidized normal and waxy corn starch: physicochemical, thermal, morphological and pasting properties. LWT. 41(2008):1000-1010. doi:10.1016/j.lwt.2007.07.012. Sangseethong K, Lertphanich S, Sriroth K. 2009. Physicochemical properties of oxidized cassava starch prepared under various alkalinitas levels. Starch/Stärke. 61(2009):92–100. doi:10.1002/star.200800048. Sangseethong K, Termvejsayanon N, Sriroth K. 2010. Characterization of physicochemical properties of hypochlorite-and peroxide-oxidized cassava starches. Carbohydr Polym.82(2010):446–453. doi:10.1016/j.carbpol.2010.05. 003. Sari N. 2011. Sintesis polimer superabsorben onggok tapioka-akrilamida: pengaruh konsentrasi inisiator dan penaut-silang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sorokin AB, Kachkarova SL, Donzé C, Pinel C, Gallezot P. 2004. From native starch to hydrophilic and hydrophobic products: a catalytic approach. Topics in Catalysis. 27(4):67-76. Susijahadi. 1997. Hasil olahan tepung tapioka [internet]. [diunduh 2010 Nov 19]. Tersedia pada: http://www.iptekindo.com. Teli MD, Waghmare NG. 2009. Synthesis of superabsorbent from carbohydrate waste. Carbohydr Polym. 78:492-496. Willet JL, Finkenstadt VL. 2006. Reactive extrusion of starch-polyacrylamide graft copolymers using various starches. J Polym Environ. 14:125-129. Xiaoyong Z, Jinyan Z, Wen F, Zhidong L, Juan Z, Jie Y, Liang X, Hong T. 2010. Response surface methodology used for statistical optimazation of jieanpeptide production by Bacillus subtilis. Ejbiotechnology. 13(4).doi:10.2225/vol13-issue4-fulltext5. Zhang J, Li A, Wang A. 2006. Study on superabsorbent composite VI. preparation, characterization, and swelling behaviors of starch phosphategraft-acrylamide/attapulgite Superabsorbent Composite. Carbohydr Polym. 65:150-158.
32
Lampiran 1 Diagram alir penelitian Oksidasi onggok tapioka Onggok
Dicuci dan dikeringkan
Sampel onggok kering
10 g onggok atau kitin disuspensikan dalam 25 ml air distilasi (40oC)
Ditambahkan larutan 550 mg CuSO4.5H2O dalam 1 L air distilasi
larutan H2O2 30% ditambahkan
pH dipertahankan (NaOH 4.4%)
dinetralkan menjadi pH 5 (H2SO4 10 N)
dicuci dengan air
OT Pencirian
FTIR
SEM
Penentuan karbonil & karboksil
33
Lanjutan lampiran 1 Diagram alir penelitian Kopolimerisasi grafting onggok teroksidasi Onggok teroksidasi
Sejumlah onggok ditambahkan 150 ml air destilasi (penghilangan gas O2 dengan mengalrkan gas N2) (T=95oC, 30 menit)
Sejumlah onggok ditambahkan 75 ml air destilasi (penghilangan gas O2 dengan mengalirkan gas N2) (T=95oC, 30 menit)
Ditambahkan sejumlah APS ke dalam 12.5 ml air destilasi (T=60-65oC, 15 menit)
Ditambahkan sejumlah AA (T=30oC, ± 5 menit)
Ditambahkan sejumlah akrilamida dan MBA ke dalam 200 ml air destilasi (T=60-65oC, 15 menit)
Ditambahkan sejumlah APS dan MBA (T=30oC, ± 5 menit)
Dipanaskan selama 3 jam pada suhu 70oC
Swelling
Dicuci dengan metanol dan aseton
FTIR
Dikeringkan pada suhu 60oC sampai bobotnya konstan dan dihaluskan
Hidrogel OT-AA & OT-AM
SEM
Pencirian
34
Lampiran 2 Radas kopolimerisasi grafting
Keterangan: a. b. c. d. e. f.
Labu leher tiga Pengaduk Termometer Pipa penyaluran gas nitrogen Tempat pemasukan campuran monomer dan penaut-silang Mantel pemanas
35
Lampiran 3 Diagram metode permukaan respon Mulai
Tahap Penyaringan
Rancangan Fraksional Faktorial
Ya Tahap Steepest ascent/descent
Model Orde Pertama Tidak
Observasi terbaik
Rancangan BoxBehken
Pencocokan model orde kedua
Tidak Titik Stasioner
Ya Tidak Pencarian kembali titik stasioner
Titik Stasioner dekat ? Ya Menerima titik stasioner untuk titik optimum
Selesai
36
Lampiran 4 Kadar karbonil dan karboksil rancangan fraksional faktorial
Run
Suhu (OC)
pH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
30 50 50 30 30 50 50 30 50 50 50 30 30 30 50 30
7 7 9 9 9 9 9 9 9 7 7 7 9 7 7 7
Waktu Oksidasi (menit) 120 60 120 60 120 60 60 120 120 60 120 60 60 60 120 120
Jumlah Oksidator (ml) 7.50 1.25 7.50 1.25 1.25 7.50 7.50 1.25 7.50 1.25 1.25 7.50 1.25 7.50 1.25 7.50
Jumlah Katalis (ml) 2.7 2.7 5.4 5.4 2.7 2.7 2.7 2.7 5.4 2.7 5.4 5.4 5.4 5.4 5.4 2.7
Karboksil Karbonil (g/g) (g/g) 0.1189 0.0297 0.0966 0.0074 0.1189 0.0297 0.0297 0.1413 0.0966 0.0297 0.0074 0.0743 0.0074 0.0743 0.0074 0.0520
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2738 0.2748 0.2472 0.0000 0.0000
37
Lampiran 5 Kadar karbonil dan karboksil rancangan box-behken Run Suhu (oC) Jumlah Katalis (ml) Waktu Oksidasi (menit) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
40 50 50 50 50 60 60 40 50 60 60 40 50 40 50 50 40 40 60 50 40 60 40 50 60 40 60 60 50 50 40 50 60 50 50 40 50 50 60 50 60 50 50 40 50
2.70 5.40 4.05 2.70 4.05 5.40 5.40 5.40 2.70 4.05 4.05 5.40 2.70 2.70 4.05 4.05 4.05 4.05 4.05 4.05 2.70 4.05 4.05 4.05 2.70 4.05 5.40 4.05 4.05 2.70 5.40 5.40 2.70 5.40 5.40 4.05 4.05 2.70 2.70 5.40 4.05 4.05 2.70 4.05 5.40
135 90 135 90 135 135 135 135 90 90 90 135 180 135 135 135 180 180 180 135 135 180 90 135 135 90 135 180 135 90 135 180 135 180 90 180 135 180 135 90 90 135 180 90 180
Karboksil Karbonil (g/g) (g/g) 0.104577 0.0000 0.171963 0.0000 0.127078 0.0000 0.171963 0.0000 0.127091 0.0000 0.194354 0.0000 0.171868 0.0000 0.149445 0.0000 0.127072 0.0000 0.239211 0.0000 0.149513 0.0000 0.104619 0.0000 0.171817 0.0000 0.082179 0.0000 0.104697 0.0000 0.104692 0.0000 0.149423 0.0000 0.149423 0.0000 0.216814 0.0000 0.104692 0.0000 0.104577 0.0000 0.194354 0.0000 0.082241 0.0000 0.104676 0.0000 0.239008 0.0000 0.104660 0.0000 0.171868 0.0000 0.216814 0.0000 0.104676 0.0000 0.127097 0.0000 0.104619 0.0000 0.216587 0.0000 0.194334 0.0000 0.239032 0.0000 0.171963 0.0000 0.171791 0.0000 0.104676 0.0000 0.216868 0.0000 0.194334 0.0000 0.194344 0.0000 0.127072 0.0000 0.104681 0.0000 0.171817 0.0000 0.104660 0.0000 0.216554 0.0000
38
Lampiran 6 Mekanisme reaksi kopolimerisasi grafting Tahap Inisiasi
Tahap Propagasi
39
Lanjutan lampiran 6 Mekanisme reaksi kopolimerisasi grafting Tahap Terminasi
40
Lampiran 7 Perbandingan daya serap air hidrogel dalam larutan NaCl No [NaCl] (M) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 a
0.00 0.01 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.2 0.5 1
a
Hidrogel OO-AA 761.0100 92.3700 63.4550 61.9150 50.9600 41.7950 27.1600
Daya Serap (g/g) Hidrogel OT-AAa Hidrogel OT-AMab 580.7405 538.3021 203.6943 170.1978 128.5404 138.4031 102.6772 98.1993 87.6207 86.6340 82.61765 76.7094 78.01784 72.8594 56.40201 59.8997 60.60838 47.3634 58.28079 46.5469
berat kering 0.1 g; bhidrogel akrilamida yang telah disaponifikasi
41
Lampiran 8 Spektrum FTIR poliakrilat dan hidrogel OT-AA Spektrum poliakrilat
Spektrum hidrogel OT-AA
42
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bulukumba pada tanggal 12 Oktober 1988 sebagai anak sulung tiga bersaudara dari pasangan ABD Majid dan Hartatiah H. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Kimia, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar, lulus pada tahun 2011. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Kimia pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2013. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BU Dikti.