PEMURNIAN PRODUK PADA KONVERSI ENZIMATIK TAPIOKA
Dina 13012116
Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung 2015
ABSTRAK
Tahap pemurnian untuk produk dari proses konversi enzimatik tapioka merupakan hal yang penting. Hal ini berkaitan dengan upaya membuat produk memenuhi spesifikasi penjualan. Pemurnian produk umumnya terdiri dari dekolorisasi, filtrasi, dan resin penukar ion. Teknologi yang penting dan sedang berkembang adalah resin penukar ion. Kinerja resin dapat ditinjau berdasarkan karakteristiknya, khususnya kapasitas. Penentuan kapasitas resin kation memanfaatkan titrasi asam basa menggunakan 0,1 M NaOH dengan indikator metil jingga, regeneran 200 HCl 2 M, dan fluida kerja 200 mL NaCl 5%-w/v. Kapasitas resin anion memanfaatkan titrasi argentometri menggunakan 0,1 N AgNO3 dengan indikator potasium kromat, regeneran 500 mL HCl 0,5 M, dan fluida kerja 750 mL NaNO3 1%-w/v. Kandungan air dihitung dengan membandingan massa resin basah dan resin setelah pengeringan pada suhu 105⁰C selama 30 menit. Dari sini, akan tampak penurunan kapasitas resin atau peningkatan kandungan air dan ada tidaknya penyimpangan dari sepsifikasi produsen. Selanjutnya, resin dapat dioptimisasi dengan menggunakan aqua dm untuk backwash dan rinsing, melaksanakan counterflow, menambah degasser, melakukan thoroughfare regeneration, dan menggunakan konfigurasi double pass.
PENDAHULUAN Tapioka dapat diolah menjadi berbagai produk gula, mulai dari sirup pati (glukosa dan maltosa), karamel, maltodekstrin, isomalto oligosakarida (IMO), dekstrosa monohidrat, hingga sirup fruktosa. Konversi ini melalui proses hidrolisis yang memanfaatkan bantuan asam dan/atau enzim. Hidrolisis asam dilakukan dengan penambahan asam klorida hingga mencapai pH 1,8-2,3 dan kekentalan 18-19 oBe. Hasil proses ini selanjutnya dinetralisasi agar aman sebagai bahan pangan. Sementara itu, untuk hidrolisis enzim, ditambahkan enzim αamilase sebagai pengganti asam. Campuran ini harus dinetralisasi hingga pH 6-6,5 dengan NaOH 5% dengan kekentalan 19-21 oBe. Dapat digunakan bantuan direct heat exchanger berupa jet cooker untuk memastikan granula pati terlarut sempurna dan berkurang berat molekulnya [1]. Tahapan selanjutnya dalam hirolisis enzim adalah sakarifikasi, yakni penambahan enzim β-amilase atau glukoamilase untuk mengonversikan dekstrin menjadi senyawa gula yang lebih sederhana. Untuk produk IMO, pada sakarifikasi ditambahkan enzim 1
transglukosidase dan pullulanase. Selain hidrolisis, diperlukan fermentasi untuk produk IMO yang lebih murni menggunakan ragi (yeast) Saccharomyces cerevisiae. Produk yang sudah terbentuk selanjutnya harus dimurnikan agar sesuai spesifikasi permintaan produsen. Tahap pemurnian terdiri dari penghilangan warna (dekolorisasi), filtrasi, dan proses penukaran ion (ion-exchange). Meski bukan tahap utama dalam konversi tapioka, pemurnian adalah tahap yang penting sebab menjadi tolak ukur apakah produk berhasil memenuhi spesifikasi penjualan atau tidak. Maka dari itu, akan dibahas lebih lanjut proses pemurnian produk-produk tersebut.
TAHAP-TAHAP PEMURNIAN PRODUK GULA Pemurnian dilakukan untuk menghilangkan zat warna, bau, mikroba, dan logam yang masih terkandung di dalam produk. Pada tahap pertama pemurnian yakni proses dekolorisasi, digunakan serbuk karbon aktif soft wood (Tabel 1) dengan luas permukaan besar yang mengabsorb zat-zat warna sehingga diperoleh larutan gula yang berwarna jernih. Reaksi penghilangan warna ini dilakukan selama 30 menit pada temperatur 85100⁰C. Pada kondisi operasi tersebut, karbon aktif dapat bekerja dengan baik. Jumlah karbon aktif yang ditambahkan adalah sebanyak 15 kg per bejana dengan kapasitas 4,5 m3 sirup gula. Tabel 1. Karakteristik beberapa bahan baku pembuatan karbon aktif [2]. Softwood Hardwood Lignin
Karbon (%) 40-45 40-42 35-40
Densitas (kg/m3) 0,4-0,5 0,55-0,8 0,3-0,4
Softcoal
65-80
1,25-1,5
Kulit Kacang
40-45
1-4
Bahan Baku
Tekstur karbon aktif
Aplikasi
Lembut, banyak pori Lembut, banyak pori Lembut, banyak pori Agak keras, volume mikropori cukup Keras, banyak pori tak seragam
adsorpsi fasa aquous adsorpsi fasa aquous adsorpsi fasa aquous adsorbsi fasa cair dan gas adsorbsi fasa gas
Filtrasi dilakukan setelahnya, untuk memisahkan karbon aktif dalam sirup gula serta memastikan tidak ada suspended solids dalam produk gula tersebut. Salah satu jenis penyaring yang sapat digunakan adalah filter press plate and frame yang dipasang mendatar. Saringan ini memiliki 23 buah alat penyaring. Kualitas penyaringan ditingkatkan dengan pelapisan elemen penyaring dengan hyflo supercell filter aid yang dibuat dari tanah diatom. Pemasangan filter aid ini berguna untuk memperkecill ukuran pori-pori penyaring. 2
Tanah diatom tersebut pada awalnya dilarutkan dalam air dalam tangki yang terpisah, kemudian dipompakan ke dalam tangki filtrasi, lalu disirkulasikan sehingga seluruh filter aid melapisi permukaan elemen penyaring. Jumlah filter aid yang ditambahkan adalah sekitar 20-30 kg untuk sekali coating dalam menyaring 30 – 45 m3 gula. Waktu operasi penyaringan adalah 30 menit, dilangsungkan dalam temperatur 60⁰C. Proses filtrasi ini dihentikan jika cake yang menempel pada kain penyaring menyebabkan perbedaan tekanan dalam tangki penyaring melebihi 2 kg/cm2 dan tekanan keluaran pada tangki ini mencapai lebih dari 4 kg/cm2.
Gambar 1. Skema filter press plate and frame [3]. Tahap terakhir dalam pemurnian adalah penghilangan ion logam dengan resin penukar ion. Selain terhadap ion logam, resin penukar ion juga memiliki kemampuan menghilangkan warna sehingga dirasa dapat mengurangi beban dekolorisasi oleh karbon aktif. Kemampuan lain resin tersebut, serta adanya faktor seperti konfigurasi kolom resin yang mempengaruhi kinerja resin, menjadi alasan perlunya pemahaman tentang resin yang baik.
RESIN PENUKAR ION Teori Dasar Terdapat dua jenis bahan dasar resin utama, yaitu organik (struktur polimerik) dan anorganik (kristalin). Beberapa bahan anorganik yang kerap digunakan adalah mineral silikat [4] termasuk terutama zeolit [5,6], mika [7], dan kaolin [8,9]. Penukar ion anorganik adalah resin penukar kation. Namun, beberapa diantaranya dapat bersifat amfoterik, salah satu jenis resin yang dikembangkan. Misalnya adalah hydrous tantalum phosphates. Bahan ini memiliki dua tipe gugus fungsi yang berbeda, yang melekat pada jaringan polimerik yang sama [10]. Resin ini diregenerasi dengan NaCl (natrium klorida) 2 M [11]. Penukar ion anorganik mempuyai penggunaan penting dalam pemisahan radiokimia [12]. 3
Resin organik biasa dibuat dari crosslinked copolymer. Kopolimer sendiri artinya polimer yang dibuat dari dua atau lebih monomer yang berlainan. Hal ini dilakukan ketika polimer biasa menyerap air. Struktur tiga dimensi dari ikatan silang jembatan hidrokarbon mencegah itu [10]. Resin organik yang kerap digunakan saat ini di berbagai merk dagang adalah stirena-divinilbenzena yang dibuat dengan klorometilasi dan aminasi [5]. Morfologi resin juga berbeda-beda. Dua yang umum adalah makropori dengan ukuran pori 20-200 nm dan gel 0,5-20 nm. Dengan ini, luas pertukaran ion resin makropori lebih besar [10]. Berdasarkan jenis gugus fungsi yang digunakan, terdapat empat kelompok jenis resin, yakni resin penukar anion basa kuat, anion basa lemah, resin penukar kation asam kuat, dan kation asam lemah. Resin penukar kation asam kuat memiliki gugus fungsi di antara sulfonat (R-SO3H), fosfonat (R-PO3H2), fenolat (R-OH). Dalam hal ini, R akan selalu menyatakan resin. Gugus fungsi dalam resin penukar kation asam lemah adalah karboksilat (R-COOH). Resin penukar anion basa kuat memiliki gugus fungsi ammonium kuartener (R-NR’3/ tipe I, R-R’3N+OH/ tipe II). Di sini, R’ adalah radikal organik, misalnya CH3. Sementara, resin penukar anion basa lemah memiliki gugus fungsi senyawa amina (primer/ R-NH2, sekunder/ R-N2H, tersier/ R-R2’N) [13].
Gambar 2. Morfologi dan distribusi rantai polimerik pada penukaran ion: (a) resin gel; (b) resin isopori; (c) resin makropori [10]. Terdapat empat tahapan utama dalam proses keseluruhan resin penukar ion, yaitu tahap layanan (service) di mana ion di resin ditukar dengan ion di produk, pencucian balik (backwash) untuk membersihkan kotoran yang menempel pada resin, regenerasi untuk menyegarkan dan mengembalikan ion mula-mula dalam resin, dan pembilasan. Kondisi backwash, regenerasi, dan pembilasan akan menentukan tahap pelayanan.
4
Backwash dan Rinsing Backwash dilakukan sebelum regenerasi untuk melepas kotoran yang menempel pada resin. Beberapa zat kimia dapat ditambahkan untuk membersihkan kotoran organik, hal ini disebut clean in place (CIP). Senyawa pembersih basa sangat baik dalam mengambil kotoran karbohidrat, lemak, dan protein [14]. Pembersihan protein sendiri paling baik baik dengan tambahan klorin dan kaustik, dalam jumlah klorin 600 ppm dengan pH 13, dan dalam keenceran 1 ons produk dalam 1 galon air [15]. Rinsing dilakukan setelah regenerasi selesai, yakni dengan mengalirkan air ke kolom resin. Dalam melakukan backwash dan pembilasan/rinsing, perlu pula diperhatikan untuk memakai air yang cukup murni seperti air demineralisasi [16] atau air distilasi. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya perpindahan massa ion dari air ke resin, bukan sebaliknya. Sebab, peprindahan massa terjadi dari sistem dengan konsentrasi tinggi ke rendah.
Tahap Pelayanan Dalam tahap pelayanan ini, terjadi pertukaran ion di resin. Terdapat tiga prinsip dasar yang memungkinkan ion larutan menggantikan ion dalam resin, yakni deret Volta, afinitas ion, serta konsep perpindahan massa. Deret Volta adalah deret elektrokimia/ kereaktifan logam yang menunjukkan nilai potensial elektroda standar logam (E⁰). Berdasarkan deret Volta, ion yang berada di sebelah kanan deret ini akan lebih mudah tereduksi (potensial E⁰ lebih positif). Artinya, ion tersebut akan lebih mudah didesak untuk berpindah/ terlepas dari ikatannya mula-mula. Urutan pada deret Volta adalah Li-K-Ba-Ca-Na-Mg-Al-Mn-Zn-CrFe-Ni-Co-Sn-Pb-(H)-Sb-Bi-Cu-Hg-Ag-Pt-Au [17]. Afinitas berarti ketertarikan resin terhadap suatu ion. Jika ion dalam larutan memiliki afinitas yang lebih besar, ia akan berhasil menggantukan ion pada resin yang afinitasnya lebih rendah. Untuk larutan encer, urutan afinitas beberapa kation adalah Hg2+
Regenerasi Regenerasi resin kation biasanya memakai HCl 5%-w/v. Biasanya, regeneran dengan asam sulfat lebih dipilih untuk air sadah yang banyak mengandung magnesium [20]. Kondisi terbaik untuk regenerasi resin penukar kation adalah laju alir 2-8 BV/jam dengan konsentrasi 3-6 % HCl atau 0,7-3% H2SO4. Penambahan halida dapat membantu mencegah endapan karena sufat [21]. Dosis yang digunakan adalah 60-160 gram asam/liter resin. Regenerasi resin anion membutuhkan rentang 3-6%-w/v NaOH meski yang paling baik 4%-w/v [22]. Bahan lain seperti ammonia dan air lime Na2CO3 [23] bisa digunakan namun membutuhkan penanganan khusus. Jika di atas 8% NaOH, resin mengalami osmotic shock. Pengaliran yang baik 2-4 BV/jam. Cara pengaliran regeneran juga penting diperhatikan. Diusahakan agar pengaliran dilakukan secara countercurrent, yakni dengan arah berlawanan arah pengaliran fluida proses. Hal ini ditujukan supaya titik terjenuh resin dipastikan terkena seluruh regeneran.
Karakteristik Dalam meninjau kinerja resin, titik tolak yang perlu dipakai adalah karakteristiknya. Terdapat banyak karakteristik resin, antara lain kapasitas penukaran ion, selektivitas, termodinamika, derajat ikatan silang, kandungan air, rentang pH, stabilitas kimia dan termal, ukuran resin, densitas, dan bulk density. Namun demikian, karakter yang paling utama dalam resin penukar ion adalah kapasitas penukaran ion. Ada dua jenis kapasitas, yakni berat kering dan volume basah [5]. Kapasitas volume kering disebut juga kapasitas intrinsik atau spesifik dan didefinisikan sebagai jumlah total ekivalen dari ion yang dapat dipertukarkan per kilogram resin kering (meq/ gram). Kapasitas volume basah digunakan untuk resin yang berada di dalam kolom atau silinder bertekanan, yang banyak dimiliki dalam laboratorium ataupun industri. Dalam industri dan pasaran, biasa digunakan kapasitas volume basah (meq/L). Metodologi yang diberikan berikut dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kapasitas dan kandungan air berbagai merk resin. Biasanya, kapasitas resin penukar ion juga dikorelasikan dengan kurva breakthrough. . Pada Gambar 3, titik C0 dan Cx adalah konsentrasi Y- di umpan dan output. Kondisi breakthrough mulai terjadi pada titik c, dan selanjutnya breakthrough terus terjadi hingga maksimum pada titik e (titik akhir). Di atas titik e, tidak ada lagi penukaran ion yang 6
terjadi (titik jenuh total). Kapasitas breakthrough proporsional dengan luas abcd. Kapasitas keseluruhan sebanding dengan luas aecd [24].
Gambar 3. Representasi skematik dari kurva breakthrough [24]. Metodologi Kapasitas Penukaran Ion Resin Kation Asam Kuat Untuk menentukan resin penukar kation, pertama-tama siapkan 25 mL resin penukar kation asam kuat. Regenerasi dengan 200 mL HCl 2 M dengan laju alir 3 BV/3 menit. Bilas dengan aqua dm. Uji eluatnya dengan metil jingga 3-4 tetes. Jika larutan berubah menjadi oranye muda, maka eluat tersebut sudah tidak terlalu asam sehingga resin siap dipakai. Setelah itu, alirkan fluida kerja yakni 200 mL NaCl 5%-w/v ke resin dengan laju 1 BV/2 menit. Lalu, titrasi eluat dengan NaOH 0,1 M dan indikator metil jingga. Kapasitas resin dapat dihitung dengan V mL adalah volume resin, A mL adalah eluat, T mL adalah titer, dan normalitas NaOH adalah N. Maka, kapasitas seperti persamaan 1 [5]. Kapasitas resin kation = (250 T N)/(A V) eq/liter resin bentuk H
(1)
Kapasitas Penukaran Ion Resin Anion Basa Kuat dan Lemah Siapkan 25 mL resin anion dalam kolom. Regenerasi dengan HCl 0,5 M sebanyak 500 mL dengan laju alir 1 BV/2 menit. Bilas dengan HCl 0,001 M. Ambil 100 mL eluat, lalu lakukan titrasi presipitasi (argentometri CARI VOGEL) dengan 0,1 N AgNO3 dan indikator potasium kromat 10 tetes. Bilas terus hingga hanya dibutuhkan maksimal 1,5 mL 0,1 N AgNO3 untuk membuat endapan merah bata. Jika sudah selesai, resin siap digunakan. Alirkan fluida kerja yakni 750 mL NaNO3 1%-w/v ke resin dengan laju alir 1 BV/2 menit. Encerkan eluat dalam gelas ukur 1 L. Titrasi argentometri kembali dengan 0,2 N AgNO3 dan indikator potasium kromat. Hasilnya dihitung dengan koefisien V mL adalah 7
volume resin, A mL adalah volume aliquot (eluat yang dapat dibagi), N normalitas AgNO3, dan T mL adalah titer AgNO3. Maka, kapasitas ditentukan dari persamaan 2. 𝑇𝑁
𝑒𝑞
𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑠𝑖𝑛 𝑎𝑛𝑖𝑜𝑛 = 𝐴𝑉 × 1.000 𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 𝑟𝑒𝑠𝑖𝑛 𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘 𝐶𝑙
(2)
Kandungan Air Yang digunakan di sini adalah metoda gravimetri. Masukan sejumlah massa resin basah ke oven. Panaskah di 105⁰C selama 30 menit. Timbang massa resin setelah pengeringan. Perhitungan sebagai berikut. 𝑚𝑜𝑖𝑠𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑒𝑛𝑡 =
𝑚𝑟𝑒𝑠𝑖𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ −𝑚𝑟𝑒𝑠𝑖𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑚𝑟𝑒𝑠𝑖𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
𝑥100%
(3)
Dekolorisasi Warna yang ada di dalam produk turunan tapioka dapat berasal dari logam yang memiliki warnanya sendiri-sendiri yang berbeda tergantung fasanya, apakah padatan, larutan nonpolar, atau larutan polar (air), serta gas. Misalnya, iodin padat berwarna abuabu sementara larutannya ungu. Besi II (Fe2+) berwarna hijau, besi II kuning hingga cokelat, kromat (CrO42-) kuning, tembaga II (Cu2+) biru, kobalt (Co 2+) merah muda, nikel (Ni2+) hijau, zink (Zn2+) putih kebiruan, arsenik III dan IV (As3+ dan As4+) tidak berwarna, dan timbal II (Pb2+) tidak berwarna. Indikasi kehadiran berbagai ion logam dapat dilakukan dengan spektrofotometer dan alat modern. Dengan spektrofotometer, uji tembaga menggunakan panjang gelombang 426 nm, besi 508 nm, zink 540 nm, timbal 750 nm, dan arsen 556 nm [25,26,27]. Selain berasal dari berbagai kation logam, warna juga berasal dari pemrosesan gula yang dilakukan pada temperatur di atas 100⁰C selama minimal 1 jam dengan adanya reaksi pencokelatan nonenzimatik [28]. Reaksi pencokelatan gula terjadi karena karamelisasi maupun reaksi Maillard. Karamelisasi adalah suatu kondisi yang membuat gula menjadi produk berwarna cokelat atau cokelat hitam yang wangi. Temperatur karamelisasi adalah 120-240⁰C, namun paling optimum pada 150-190⁰C, selama 5-10 jam. Sakarosa, glukosa, fruktosa, sirup glukosa, dan pati dapat menjadi bahan baku karamelisasi [29]. Resin kation asam kuat dapat digunakan untuk menghilangkan warna yang dihasilkan dari reaksi pencokelatan ini. Hasil pencokelatan yang menjadikan produk gula berwarna adalah prekursor seperti hidroksi metil furfural (HMF), protein, dan asam amino [30]. Semua zat ini menyebabkan reaksi Maillard yang membuat warna dan cokelat sehingga disebut color bodies [31]. Penggunaan resin kation asam kuat akan mengurangi 8
pH dan mengurangi pembentukan warna [32]. Namun demikian, resin anion basa kuat adalah jenis resin yang dapat digunakan untuk mengambil color bodies berupa asam amino. Selain itu, jenis resin penukar kation asam lemah juga dapat digunakan untuk memisahkan berbagai asam amino. Hal ini disebabkan karena asam amino sendiri bukanlah asam saja, melainkan ada yang netral maupun bermuatan [33].
Optimalisasi Kinerja Dari kapasitas, diketahui apakah resin tersebut dapat mempertukarkan sejumlah ion sesuai spesifikasi yang dijanjikan produsen resin atau tidak. Juga, dapat diketahui nilai pasti penurunana kapasitas resin setelah pemakaian dalam kurun waktu tertentu. Di lain sisi, kandungan air memberi informasi apakah suatu resin masih dalam kondisi utuh atau tidak. Resin yang strukturnya sudah rusak akan menyerap lebih banyak air dibandingkan spesifikasi. Selain memperhatikan kondisi operasi resin penukar ion, beberapa hal juga dapat dilakukan untuk mengoptimalisasi kerja resin. Pertama adalah menggunakan degasser apabila terkandung banyak ion karbonat setelah melewati kolom resin kation [34]. Kedua, melakukan thoroughfare regeneration yakni dengan menggunakan regeneran yang telah dialirkan ke resin kuat untuk meregenerasi resin lemah. Ketiga, memastikan konfigurasi resin yang sesuai. Konfigurasi resin penukar ion lebih baik dengan sistem double pass. Hal ini disebabkan karena larutan produk gula dilewatkan pada resin penukar ion dua kali, lalu dilanjutkan lagi dengan pengaliran di mixed bed (gabungan resin anion dan kation dalam satu kolom). Hal ini memungkinkan penukaran ion berlangsung lebih maksimum, sebab apabila terdapat ion yang belum terambil saat melalui tabung pertama, dapat lebih dibersihkan di tabung kedua. Lain halnya dengan sistem single pass yang hanya dilewatkan pada satu tabung saja. Untuk pemilihan jenis resin, jika digunakan secara tunggal, dipakai resin penukar anion basa lemah, buka kuat. Hal ini disebabkan karena resin penukar anion basa lemah berfungsi mengambil anion yang berpasangan dengan logam berat. Anion ini biasanya merupakan ion dari asam kuat, sehingga dapat diambil oleh resin penukar anion basa lemah. Ini mempermudah kerja resin anion basa kuat di mixed bed dan membuatnya lebih fokus pada penghilangan warna. Sementara itu, asam lemah organik yang merupakan prekursor
9
warna tidak terambil. Itu menyebabkan perlunya resin anion basa kuat dalam mixed bed, untuk mengambil zat warna.
Gambar 4. Konfigurasi sistem aliran single pass pada proses pemurnian gula dengan K kation, A anion, dan MB mixed bed.
Gambar 5. Konfigurasi sistem aliran double pass pada proses pemurnian gula. Tidak digunakan resin penukar anion basa kuat secara mandiri sebab akan menimbulkan degradasi senyawa. Nyatanya, ketika resin dicelupkan dalam NaOH, pH dapat terus meningkat tanpa pernah berhenti. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan kecil dari karbon dioksida dari udara [35]. Sebenarnya, selain dengan bantuan resin, penghilangan asam organik berupa protein juga dapat dilakukan dengan penambahan 1 gram/liter bentonit selama 8 jam pada suhu 4⁰C. Hal ini dilakukan dengan disertai sentrifugasi [36]. Kolom resin ini bisa dirancang dengan diameter lebih besar dari tinggi (pendek) atau diameter lebih kecil dari tinggi (tinggi). Namun demikian, untuk menentukan bentuk kolom yang sesuai, perlu diketahui presisi apa saja ion-ion yang mau dipertukarka oleh resin. Hal ini ditujukan untuk mengetahui berapa volume resin yang dibutuhkan. Selain itu, uraian 10
perpindahan massa juga termasuk dalam perhitungan iteratif dalam penentuan bentuk kolom [37]. Untuk ringkasnya, biasanya lebih murah untuk membuat kolom yang tinggi dengan diameter kecil dibandingkan kolom lebar dan pendek sebab komponen kolom yang termahal adalah bagian atas dan bawah kolom, yang mana lebih kecil untuk kolom berdiameter lebih kecil Di samping itu, material yang disarankan untuk dipakai adalah yang sudah kerap digunakan seperti rubber-lined carbon steel atau fiberglass. Terdapat cara penukaran ion lain di samping resin penukar ion yakni eletrodialisis dan elektrodeionisasi. Skema alat elektrodialisis dapat dilihat di Gambar 6. Membran kation (huruf C) bermuatan negatif, sehingga dengan bantuan tarikan dari katoda (muatan negatif) melewatkan kation (muatan positif). Pada kenyataannya, terdapat ratusan membran kation dan anion [38]. Laju alir efektif untuk jenis membran mikrofiltrasi adalah 2 m/s dalam rentang 4-6 m/s [39]. Pada perkembangan berikutnya, terdapat membran bipolar. Namun, membran bipolar digunakan jika diinginkan untuk membuat asam dan basa.
Gambar 6. Diagram kerja alat elektrodialisis [40]. Kelebihan elektrodialisis adalah lebih baik dalam memisahkan dibandingkan resin penukar ion sebab selektivitas dapat lebih besar dengan membran. Selain itu, dapat dilakukan penghematan biaya zat kimia yang perlu digunakan dalam resin penukar ion untuk regenerasi dan pembersihan resin jenuh. Juga, dapat dilakukan demineralisasi larutan biologis tanpa mengubah kualitas bahan pangan. Kekurangan elektrodialisis adalah diperlukannya suplai listrik untuk elektroda. Selain itu, apabila sudah banyak ion yang melewati membran, maka suatu saat aliran di kolom konsentrat akan jenuh sehingga perbedaan di kedua sisi membran menjadi minimum. Alhasil, ion menjadi sukar atau bahkan tidak dapat lagi melewati
11
membran. Inilah kondisi jenuh yang juga dapat terjadi pada elektrodialisis. Selain itu, membran juga dapat mengalami fouling yakni tersumbatnya pori membran [41]. Salah satu cara mengatasi fouling adalah dengan hydraulic cleaning di permukaan membran setiap 1-5 detik menggunakan tekanan yang berfluktuasi dengan waktu backflush kurang dari 0,1 detik agar mengurangi hilangnya permeat/ produk [42]. Hal ini dioperasikan pada 50-80⁰C [39]. Backshock adalah teknik backwash namun dengan pengubahan tekanan transmembran yang sangat rendah yakni kurang dari 0,01 MPa [43] yang bisa mengurangi fouling protein hingga 100% [44]. Umumnya, elektrodialisis banyak digunakan untuk desalinasi air garam atau air laut. Namun, dengan pengembangan selektivitas membran yang lebih sensitif, resistansi listrik yang lebih minim, dan meningkatkan properti termal, kimia, serta mekanik, elektrodialisis juga telah digunakan dalam bidang pangan, obat-obatan, dan industri kimia [45]. Dalam bidang pangan, elektrodialisisi digunakan untuk demineralisasi susu, wine, dan jus. Konsep elektrodeionisasi mirip dengan elektrodialisis. Bedanya adalah, pada setiap kolom kecuali kolom elektroda diisi dengan resin penukar ion. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 7. Bagian purifying channel bagian bawah sudah tidak dilewati ion kontaminan. Dengan demikian, di sini terjadi konsentrasi medan listrik antara resin dengan air. Di dalam medan listrik itu, terjadi reaksi elektrokimia air menjadi ion H + dan OH-. Ion-ion ini akan dengan sendirinya meregenerasi/ menggantikan io pada resin penukar ion yang rusak. Keunggulan digunakannya tambahan resin adalah terjadi regenerasi kontinu karena arus listrik sehingga tidak dibutuhkan regenerasi dengan zat kimia. Hal ini menghemat biaya zat kimia dan pekerja. Selain itu, dibandingkan elektrodialisisi, ukuran elektrodeionisasi dapat menjadi lebih kecil dengan kemampuan pertukaran ion yang sama besar kapasitasnya. Adanya resin yang menjembatani transpor ion juga meminimalisasi suplai listrik sehingga tak sebesar elektrodialisis. Kelemahan metoda elektrodeionisasi adalah saat ini, metoda masih terbatas pada produk yang sudah bersih, namun ingin menyempurnakan pembersihan ion saja. Aplikasi CED tak lagi sebatas bidang farmasi, elektronik, dan boiler feed water, tetapi juga bisa menghilangkan komponen ionik dari larutan gula dan recover asam sitrat [46], asam humat, dan bahan organik lain [47]. Bahkan, CED dapat menghilangkan kontaminan anorganik dan warna pada proses rafinasi gula [48].
12
Gambar 7. Diagram kerja elektrodeionisasi [49]. Seiring berjalannya waktu, resin penukar ion akan semakin jenuh sehingga konsentrasi keluaran (C) menjadi begitu besar. Elektrodeionisasi tidak bisa menjapai C nol sebab metoda ini bergantung pada perbedaan konduktivitas listrik, yang mana stabil pada kesetimbangan konduktivitas tertentu. Sementara itu, fenomena jembatan ionik terjadi pada elektrodeionisasi (CED). Dalam hal ini, sebeluumnya, diperkirakan bahwa perlu dilakukan regenerasi resin sebab resin akan jenuh. Namun, kenyataannya, resin CED dapat melakukan regenerasi mandiri sehingga dapat diperoleh produk yang bersih sempurna dari ion. Maka, sebenarnya pemurnian paling baik adalah dengan CED.
Kesimpulan Kinerja resin dapat ditinjau dari karakteristiknya, terutama kapasitas. Resin penukar ion dapat digunakan tak hanya sebagai penghilangan ion metal dari produk, namun juga dapat mengeleminasi senyawa prekursor pembuat warna di produk gula. Dalam operasi resin penukar ion, kondisi mulai dari backwash sampai pembilasan harus diperhatikan agar sesuai standar yang diakui baik adanya agar membantu resin lebih awet. Kerja resin dapat diperingan dengan memanfaatkan degasser jika terkandung banyak ion karbonat di produk, melakukan thoroughfare regeneration, dan melakukan konfigurasi double pass. Untuk mendesain ukuran kolom resin, perlu diperinci kebutuhan penukaran ion dalam rangka menentukan volume operasi yang dibutuhkan.
13
Daftar Pustaka 1.
2. 3.
4.
5.
6.
7. 8. 9.
10.
11. 12. 13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Fanta, G. F., Shogren, R. L., & Salch, J. H. (1999). Steam jet cooking of high-amylose starch–fatty acid mixtures. An investigation of complex formation. Carbohydrate Polymers, 38(1), 1-6. Manocha, S. M. (2003). Porous carbons. Sadhana, 28(1-2), 335-348. Parsons, Patrick J., “Plate and frame filter press having modified flow pattern method”, US Patent 4222873, 1980. Kumar, S., & Jain, S. (2013). History, introduction, and kinetics of ion exchange materials. Journal of Chemistry, 2013. Harland, C.E., “Ion exchange: theory and practice”, 2nd Edition, The Royal Society of Chemistry, Cambridge, 1994. Carroll, D. (1959). Ion exchange in clays and other minerals. Geological Society of America Bulletin, 70(6), 749-779. Jansen, J.C., “Introduction to zeolite science and practice”, Elsevier, Amsterdam, 1991. Grimshaw, R.W., “The chemistry and physics of clays”, E. Benn, London, 1971. Harman, C. G., & Fraulini, F. (1940). Properties of Kaolinite As A Function of Its Particle Size. Journal of the American Ceramic Society, 23(9), 252-259. Zagorodni, Andrei A., “Ion exchange materials properties and applications”, Elsevier, Amsterdam, 2007. Minear, Roger, “Water analysis volume III: organic species”, Elsevier, New York, 1984. Khopkar, S.M., “Konsep dasar kimia analitik”, UI-Press, Jakarta, 2010. Setiadi, Tjandra, “Pengolahan dan penyediaan air”, Diktat Kuliah TK 2206 Sistem Utilitas, Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2007. Schmidt, Ronald H., “Basic elements of equipment cleaning and sanitizing in food processing and handling operations”, Food Science and Human Nutrition Department, Florida, 2015. Schmidt, Ronald H.; Rodrick, Gary E., “Food safety handbook”, John Wiley & Sons, New Jersey, 2003. van der Aa, M. (2003). Classification of mineral water types and comparison with drinking water standards. Environmental Geology, 44(5), 554563. Root, J. E. (1903). Electrochemical Analysis and the Voltaic Series. The Journal of Physical Chemistry, 7(6), 428-465. Chauhan, Bhanu P.S., “Hybrid nanomaterials synthesis, characterization and applications”, John Wiley & Sons, New Jersey, 2011. Slater, M.J., “Principles of ion exchange technology”, Butterworth Heinemann, Oxford, 1991.
20. Slagt, Marc, “Ion exchange resin selection”, SCI, New York, 2013. 21. Ryan, Leo F.; Westwood; Ciuba, Stanley J., “Regeneration of strong acid cation exchange resins with sulfuric acid containing a halide compound”, US Patent 3494881, 1970. 22. Al-Sabti, M. D. (2011). New technological root for regenerating demineralized water plants for safe environment. International Journal of Water Resources and Environmental Engineering, 3(2), 52-56. 23. Karsten, Odland, “Regeneration of weak base anion exchange resins”, US Patent 3429835, 1969. 24. Inamuddin; Luqman, Mohammad, “Ion exchange technology I theory and materials”, Springer, London, 2012. 25. Narayana, B., Cherian, T., Mathew, M., & Pasha, C. (2006). Spectrophotometric determination of arsenic in environmental and biological samples. Indian journal of chemical technology, 13(1), 36-40. 26. Parveen, N., & Rohan, Y. (2011). Spectrophotometric Determination of Some Environmental Samples. Journal of Environmental Research And Development Vol, 6(1). 27. Jankiewicz, B., Ptaszynski, B., & Turek, A. (1999). Spectrophotometric determination of copper (II) in samples of soil from selected allotment gardens in Lodz. Polish Journal of Environmental Studies, 8, 35-38. 28. Ranken, M.D., “Food industries manual”, Springer Science & Business Media, New York, 2012. 29. Velisek, Jan, “The Chemistry of Food”, John Wiley & Sons, New York, 2013. 30. Kearsley M.W.; Dziedzic, S.Z., “Handbook of starch hydrolysis products and their derivatives”, Springer Science+Business Media Dordrecht, London, 1995. 31. Hobbs, Larry, “Starch: chemical and technology”, 3rd edition, Elsevier, New York, 2009. 32. Hinman, C; Nelson, W., “Process for purifying glucose syrups containing fructose”, US Patent 3784409, 1974. 33. Khan, A. S., & Faiz, F. (2008). Amino acid analysis using ion exchange resins. Journal of Natural Sciences and Mathematics, 48(12), 1-17. 34. Woolley, Joe, “Ion Exchange Process Design”, SCI, New York, 2012. 35. Gustafson, R. L., Fillius, H. F., & Kunin, R. (1970). Basicities of weak base ion exchange resins. Industrial & Engineering Chemistry Fundamentals, 9(2), 221-229. 36. Lambri, M., Dordoni, R., Roda, A., & De Faveri, D. M. (2014). Process Development for Maltodextrins and Glucose Syrup from
14
Cassava. CHEMICAL ENGINEERING, 38. 37. Rodrigues, Alírio E., “Ion exchange: science and technology”, NATO ASI Series, Trioia, 1985. 38. Mintz, M. S. (1963). Electrodialysis— Principles of process design. Industrial & Engineering Chemistry, 55(6), 18-28. 39. Wenten, I. G., Taylour, J., Skou, F., Rasmussen, A., & Jonsson, G. (1996). Membrane cleaning after beer clarification. EUR, 188-195. 40. Andrés, L. J., Riera, F. A., & Alvarez, R. (1997). Recovery and concentration by electrodialysis of tartaric acid from fruit juice industries waste waters. Journal of chemical technology and biotechnology, 70(3), 247-252. 41. Noble, R.D; Stern, S.A., “Membrane separations technology principles and applications”, Elsevier, Amsterdam, 1995. 42. Wenten, I. G. (1995). Mechanisms and control of fouling in crossflow microfiltration. Filtration & separation, 32(3), 252-253. 43. Wenten, I. G., Koenhen, D. M., Roesink, H. D. W., Rasmussen, A., & Jonsson, G. (1994). The Backshock Process: A novel backflush technique in microfiltration. Proceedings of Engineering of Membrane Processes, II Environmental Applications, Ciocco, Italy. 44. Jonsson, G., & Wenten, I. G. (1994, July). Control of concentration polarization, fouling and protein transmission of microfiltration processes within the agro-based industry. In Proceedings of the ASEAN-EC Workshop on Membrane Technology in Agro-Based Industry, Kuala-Lumpur, Malaysia (pp. 157-166). 45. Sata, T. (1986). Recent trends in ion exchange membrane research. Pure and Applied Chemistry, 58(12), 1613-1626. 46. Widiasa, I. N., & Wenten, I. G. (2007). Combination of Reverse Osmosis And Electrodeionization for Simultaneous Sugar Recovery And Salts Removal From Sugary Wastewater. Reaktor, 11(2), 91-97. 47. Khoiruddin, I. S., Sucipto, J., & Wenten, I. G. (2012, November). Application of Electrodeionization (EDI) for Humic Acid Removal. In The 5th AUN/SEED-Net Regional Conference on Global Environment (pp. 920939). 48. Widiasa, I. N., & Wenten, I. G. (2014). Removal of inorganic contaminants in sugar refining process using electrodeionization. Journal of Food Engineering, 133, 40-45. 49. Widiasa, I. N., Sutrisna, P. D., & Wenten, I. G. (2004). Performance of a novel electrodeionization technique during citric acid recovery. Separation and purification technology, 39(1), 89-97.
15