MODIFIKASI KONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU
JESSY FERGIENA MUTIARA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
MODIFIKASI KONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU
JESSY FERGIENA MUTIARA C44080074
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2012
Jessy Fergiena Mutiara C44080074
ABSTRAK JESSY FERGIENA MUTIARA, C44080074. Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau. Dibimbing oleh GONDO PUSPITO dan MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.
Kepiting bakau jenis Scylla serrata sangat disukai oleh masyarakat. Penyebabnya, rasa dagingnya enak dan kandungan nutrisinya tinggi. Biota ini umumnya ditangkap dengan bubu lipat. Konstruksi bubu lipat terdiri atas pintu masuk, badan dan rangka. Pintu masuknya hanya berupa celah. Kaki jalan dan kaki renang kepiting selalu terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan masuk bubu. Ini menyebabkan kepiting bakau terkadang sulit melewatinya. Pada penelitian ini dilakukan perbaikan konstruksi pintu masuk dan lintasan masuk bubu lipat agar mudah dilewati kepiting. Tujuan penelitian ini adalah 1) menentukan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu, 2) menentukan bentuk dan ukuran pintu masuk bubu dan 3) mendapatkan bubu lipat yang efektif dalam menangkap kepiting bakau. Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi 3 tahap, yaitu 1) penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu, 2) penentuan konstruksi pintu masuk bubu dan 3) pengujian pintu masuk bubu atas dasar hasil percobaan sebelumnya. Penelitian ini mengggunakan metode percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lintasan masuk bubu yang terbuat dari jaring polyethylene (PE) dengan ukuran mata jaring 1 inci dan sudut kemiringan lintasan 40o lebih mudah dilewati kepiting. Pintu masuk bubu yang mudah dilewati kepiting berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 30,5×5 (cm). Jumlah kepiting yang tertangkap oleh bubu lipat modifikasi sebanyak 147 individu, sedangkan bubu lipat standar hanya 27 individu.
Kata kunci: Bubu lipat, kemiringan, kepiting bakau, konstruksi, pintu masuk
ABSTRACT JESSY FERGIENA MUTIARA, C44080074. Modification of Collapsible Pot’s Entrance Construction to Catch Mud Crab. Supervised by GONDO PUSPITO and MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.
Mud crab (Scylla serrata) has delicious taste of meat and high content of nutrient. Those reasons that make mud crab are favored by many people. Generally, this species is caught by collapsible pots. The pot is constructed by entrance, body, and frame. The construction of the entrance in the form of a horizontal gap and cause walking legs and swimming legs sink into the mesh of entrance line. This cause the mud crabs difficult to pass. This research fixed the construction of the entrance and entrance line to make it easier to pass. This research use experimental method. The aims of this research are 1) to determine the mesh size and slope of entrance line, 2) to determine the form and size of the entrance and 3) to create an effective in-collapsible pot to catch mud crab. The implementation of research was divided into three stages, namely the determination of mesh size and slope of entrance line, entrance construction for pots and to test the performance of the entrance base on the previous research. The results showed that the entrance made of polyethylene (PE) net with specification of 1 inches of mesh with 40° of slope is easier to pass by the crab. The crabs easily infiltrate the pots with rectangular entrance shape with specification of 30,5 × 5 (cm). The number of crabs caught by modified collapsible pot as much as 147 individuals, as for the common collapsible pot only caught 27 individuals.
Keywords: collapsible pot, construction, entrance, mud crab, slope
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
Judul Penelitian
: Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau
Nama
: Jessy Fergiena Mutiara
NRP
: C44080074
Program Studi
: Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc NIP 19630524 198803 1 010
Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si NIP 19690604 199412 1 001
Diketahui Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP 19621223 198703 1 001
Tanggal ujian: 27 November 2012
Tanggal lulus:
PRAKATA Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan (Lab TAPI) pada bulan Desember 2011 – Agustus 2012 adalah “Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau”. Penelitian ini diharapkan dapat mewujudkan perikanan tangkap yang efektif, efisien dan ramah lingkungan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc dan Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi; 2. Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi selaku Dosen Penguji Utama yang telah memberikan arahan dan saran dalam perbaikan skripsi ini; 3. Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si selaku Ketua Komisi Pendidikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan saran dan masukan dalam perbaikan skripsi ini; 4. Orang tua tercinta, Khaerul Saleh dan Tun Farida; 5. Partner penelitian (Bapak Ismawan Tallo, Kak Didin Komarudin, Mas Arrif Nugroho), Bang Edi, Bang Ono, Bang Ucha, Bang Mose teman-teman PSP 45, PSP 46, PSP 47, NJ’ers dan Al-Iffah’ers yang telah memberikan dukungan, doa serta pinjaman motor; dan 6. Pihak-pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, November 2012 Jessy Fergiena Mutiara
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, 7 Desember 1989. Putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Khaerul Saleh dan Tun Farida. Penulis lulus dari SMA Negeri 4 Bekasi pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima di Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif di berbagai kelembagaan mahasiswa selama mengikuti perkuliahan, seperti di Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama BEM TPB (2008 – 2009), Staf Departemen Keuangan LDK Al-Hurriyyah (2008 2010), Staf Kementrian Kebijakan Pertanian BEM KM Kabinet Generasi Inspirasi (2009 - 2010) dan Sekretaris Departemen Advokasi Kebijakan Perikanan dan Kelautan BEM FPIK Kabinet Ekspansi Biru (2010 - 2011). Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten Pendidikan Agama Islam Tingkat Persiapan Bersama (TPB) (2011 – 2012) Penulis juga pernah menjadi salah satu pengajar Bimbingan Belajar dan Privat di Sentral Edukatif dan Kharisma Prestasi Bogor. Selain itu, penulis pernah mendapat beasiswa selama masa perkuliahan, seperti beasiswa POM, Lembaga Amil Zakat (LAZ) Al-Hurriyyah, Kosgoro dan Yayasan Toyota Astra. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau” untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Penulis dinyatakan lulus dalam ujian akhir sarjana pada tanggal 27 November 2012.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xiv
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .....................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ..................................................................................
3
1.3 Manfaat Penelitian ................................................................................
3
1.4 Perumusan Masalah ..............................................................................
3
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau .....................................................................................
5
2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau ........................................................... 2.1.2 Morfologi kepiting bakau ............................................................ 2.1.3 Perbedaan kepiting bakau jantan dan betina ...............................
5 7 11
2.2 Habitat Kepiting Bakau ........................................................................
11
2.3 Distribusi Kepiting Bakau ....................................................................
12
2.4 Siklus Hidup Kepiting Bakau ...............................................................
12
2.5 Pemijahan .............................................................................................
15
2.6 Kematangan Gonad Kepiting Bakau ....................................................
15
2.7 Makanan dan Kebiasaan Makan ...........................................................
17
2.8 Bubu .....................................................................................................
18
2.8.1 Deskripsi bubu ............................................................................. 2.8.2 Klasifikasi bubu ........................................................................... 2.8.3 Konstruksi bubu .......................................................................... 2.8.4 Umpan ......................................................................................... 2.8.5 Metode pengoperasian bubu ........................................................
18 19 21 23 24
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ...............................................................................
25
3.2 Alat dan Bahan .....................................................................................
25
3.3 Metode Penelitian .................................................................................
26
3.3.1 Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu ................... 3.3.2 Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu ...................... 3.3.3 Penentuan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu ........................
26 27 28
ix
3.3.4 Perbandingan jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu lipat standar (S) dan bubu lipat modifikasi (M) ..........................
29
3.4 Analisis Data ........................................................................................
31
3.4.1 Analisis regresi ............................................................................ 3.4.2 Uji Kolmogorov – Smirnov .........................................................
31 32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu ..........................................
33
4.2 Sudut Kemiringan Lintasan Masuk Bubu ............................................
35
4.3 Bentuk dan Ukuran Pintu Masuk Bubu ................................................
39
4.4 Rancangan Konstruksi Bubu Lipat Hasil Modifikasi ...........................
43
4.5 Bubu Lipat Modifikasi dan Bubu Lipat Standar ..................................
47
4.5.1 Hubungan linear antara tebal dengan panjang, lebar dan berat tubuh kepiting bakau yang dijadikan sampel .............................. 4.5.2 Perbandingan jumlah kepiting bakau yang tertangkap di bubu lipat standar dan bubu lipat modifikasi ........................................
47 49
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...........................................................................................
52
5.2 Saran .....................................................................................................
52
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
53
LAMPIRAN ....................................................................................................
59
x
DAFTAR TABEL Halaman 1
Ciri – ciri morfologi kepiting bakau ........................................................
10
2
Analisis data .............................................................................................
31
3
Spesifikasi bubu .......................................................................................
46
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Scylla serrata ...........................................................................................
5
2
Spesies kepiting bakau .............................................................................
6
3
Bentuk dan bagian – bagian kaki kepiting bakau ....................................
7
4
Morfologi kepiting bakau ........................................................................
9
5
Perbedaan morfologi dari keempat spesies Scylla ...................................
10
6
Abdomen kepiting bakau betina dan jantan .............................................
11
7
Kepiting bakau yang sedang moulting .....................................................
13
8
Siklus hidup kepiting bakau .....................................................................
14
9
Pengoperasian bubu sistem tunggal .........................................................
20
10 Pengoperasian bubu sistem rawai ............................................................
20
11 Konstruksi bubu wadong .........................................................................
22
12 Konstruksi bubu pintur ............................................................................
23
13 Konstruksi bubu lipat ...............................................................................
23
14 Model lintasan berupa jaring dengan ukuran mata 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci ....................................................................................................
26
15 Ilustrasi posisi kepiting, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu .................................................
27
16 Ilustrasi posisi kepiting, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu .....................................................
28
17 Ilustrasi susunan jaring lintasan dan kepingan kaca pada penentuan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu ......................................................
29
18 Ilustrasi posisi bubu standar (S) dan bubu modifikasi (M) pada pengujian keefektifan bubu dalam menangkap kepiting bakau ...............
30
19 Posisi kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk ....................
34
20 Frekuensi kepiting bakau melintasi bidang lintasan dengan mesh size 1 inci ........................................................................................
36
21 Posisi kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk dengan sudut kemiringan yang berbeda ...............................................................
37
22 Posisi kepiting bakau di dalam bubu ........................................................
38
23 Pintu masuk bubu nelayan (standar) berupa celah ...................................
40
24 Tiga bentuk pintu masuk bubu .................................................................
41
25 Bentuk pintu masuk nomor 4 yang diterapkan pada bubu lipat ...............
42
xii
26 Jarak antar trigger dan lebar pintu masuk bubu lipat modifikasi ............
43
27 Pintu masuk bubu lipat modifikasi yang dilengkapi dengan trigger .......
43
28 Bubu lipat modifikasi ...............................................................................
43
29 Ujung trigger yang dibengkokkan ...........................................................
44
30 Kantung umpan pada bubu lipat modifikasi ............................................
45
31 Posisi kantung umpan saat bubu lipat modifikasi dioperasikan ..............
45
32 Tempat umpan pada bubu lipat standar ...................................................
46
33 Hubungan linear antara tebal T dengan panjang P, lebar L dan berat B tubuh kepiting bakau ................................................................................
48
34 Posisi kepiting bakau di depan pintu masuk bubu lipat standar ..............
50
35 Jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh bubu lipat modifikasi (M) dan bubu lipat standar (S).................................................
51
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Data ukuran kepiting bakau percobaan ....................................................
59
2
Output perhitungan uji Kolmogorov – Smirnov 2 sampel .......................
60
3
Alat dan bahan penelitian..........................................................................
61
4
Proses pengukuran tubuh kepiting bakau ................................................
63
5
Penampakan trigger pada bubu lipat modifikasi ......................................
64
xiv
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perairan Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang melimpah, diantaranya adalah moluska, krustase, ikan dan gastropoda. Krustase merupakan organisma yang banyak diperdagangkan setelah ikan dari keempat kelompok organisma tersebut. Jenisnya adalah udang, lobster, rajungan dan kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan salah satu jenis krustase yang banyak diperdagangkan. Jenisnya terdiri atas Scylla serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea (Keenan et al. 1998 diacu dalam Tuhuteru 2004). S. serrata adalah spesies yang paling dominan dibandingkan dengan ketiga jenis lainnya (Cholik dan Hanafi 2001). Keberadaanya mudah ditemukan di berbagai perairan, seperti perairan payau yang ditumbuhi tanaman bakau, pantai, teluk dan muara sungai. Kepiting bakau jenis S. serrata sangat disukai oleh konsumen. Penyebabnya adalah rasa daging yang enak dan kandungan nutrisinya tinggi. Informasi yang disampaikan oleh Motoh 1977 diacu dalam Tupan et al. (2005) menyebutkan bahwa kandungan protein dalam daging dan telur kepiting bakau jenis S. serrata sekitar 67,5 - 82,6% bobot kering, sedangkan kandungan lemaknya hanya sekitar 0,9 - 8,2% bobot kering. Hampir seluruh kepiting bakau yang dijual di pasar ditangkap oleh nelayan dari alam dengan menggunakan bubu dan jaring insang. Kondisi kepiting bakau hasil tangkapan bubu biasanya dalam keadaan hidup dan seluruh anggota tubuhnya lengkap, sehingga harga jualnya relatif tinggi. Komarudin (2012) menyatakan bahwa harga kepiting bakau di tingkat nelayan mencapai Rp 60.000,per kg, sedangkan di swalayan sebesar Rp 30.000,- per 100-150 g. Adapun kepiting bakau hasil tangkapan jaring insang sebagian besar dalam kondisi mati dan anggota tubuhnya tidak lengkap. Ini menjadi penyebab bubu lebih disukai oleh nelayan dibandingkan dengan jaring insang. Jenis bubu yang banyak digunakan oleh nelayan di beberapa daerah, seperti Subang, Cirebon dan Banten, adalah bubu lipat (Gambar 13). Tujuan utama penangkapannya adalah kepiting bakau atau rajungan. Adapun hasil tangkapan
2
sampingannya berupa beberapa jenis organisma dasar, seperti udang, lobster dan siput. Beberapa jenis ikan terkadang ikut tertangkap oleh bubu lipat. Bubu lipat nelayan atau standar memiliki pintu masuk berbentuk celah yang dibuat tanpa adanya kajian ilmiah. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa celah masuk bubu terkadang sangat sulit dilalui oleh kepiting bakau karena duri-duri pada karapas dan capit kepiting bakau tersangkut pada celah masuk bubu lipat. Kaki jalan dan kaki renang kepiting bakau sering terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan masuk bubu lipat karena ukuran mata jaring lintasan bubu lipat nelayan besar. Oleh karena itu, penentuan konstruksi pintu masuk dan lintasan masuk bubu yang meliputi ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu lipat nelayan perlu diteliti dan disesuaikan dengan tingkah laku, bentuk dan ukuran kepiting bakau. Berdasarkan alasan tersebut, maka bentuk pintu masuk bubu lipat nelayan perlu dimodifikasi agar kepiting bakau mudah melewatinya untuk masuk ke dalam bubu. Selain itu, untuk memudahkan kepiting bakau mencapai pintu masuk, maka perlu dilakukan penelitian terkait ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu. Penelitian ini terdiri atas 3 macam, yaitu penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan bidang lintasan masuk bubu, konstruksi pintu masuk dan pengujian konstruksi pintu masuk. Pustaka yang berisi kajian mengenai konstruksi bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau sulit ditemukan. Beberapa pustaka yang terkait dengan konstruksi bubu lipat ditujukan untuk menangkap rajungan. Misalnya, tingkah laku rajungan Charybdis japonica terhadap berbagai bentuk bubu dan tipe pintu masuk (Kim and Ko 1987 dan 1990), efektivitas perangkap rajungan dan lobster (Miller 1990), kajian selektivitas perangkap Blue crab: mesh size (Guillory dan Prejean 1997), pengaruh pintu masuk bubu dan tingkah laku rajungan C. japonica (Archdale et al. 2006) dan pengaruh konstruksi bubu lipat dan tingkah laku rajungan Charybdis japonica dan Portunus pelagicus yang ditulis oleh Archdale et al. (2007). Beberapa pustaka lain yang membahas bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau hanya terfokus pada pengaruh jenis umpan dan waktu pengoperasian bubu lipat terhadap hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla serrata) (Tiku 2004), celah pelolosan bubu lipat (Rusdi 2010) dan kajian mengenai perbedaan bobot dan
3
posisi umpan terhadap rajungan pada bubu lipat (Caesario 2011). Pustaka-pustaka tersebut dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan penelitian dan pembahasan hasil penelitian ini. 1.2 Tujuan Penelitian ditujukan untuk menentukan: 1. Ukuran mata jaring lintasan masuk bubu; 2. Sudut kemiringan lintasan masuk bubu yang mudah dilewati kepiting bakau; 3. Bentuk dan ukuran pintu masuk yang disesuaikan dengan tingkah laku, ukuran dan bentuk tubuh kepiting bakau; dan 4. Efektifitas bubu lipat modifikasi dibandingkan dengan bubu lipat standar dalam menangkap kepiting bakau. 1.3 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Untuk memperoleh konstruksi bubu lipat yang produktif dan dapat meningkatkan hasil tangkapan kepiting bakau; 2. Sebagai bentuk kontribusi pada kekayaan alat tangkap di Indonesia; dan 3. Sebagai masukan dan referensi topik penelitian lebih lanjut dari bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau dalam rangka kemajuan teknologi perikanan tangkap di Indonesia. 1.4 Perumusan masalah Permasalahan yang ditemukan pada bubu lipat standar adalah sulitnya kepiting melewati lintasan masuk bubu dan melewati pintu masuk. Kaki renang dan kaki jalan kepiting bakau selalu terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan. Duri-duri yang terdapat pada karapas dan capit kepiting bakau sering tersangkut pada pintu masuk bubu yang hanya berupa celah. Selain itu, kepiting bakau yang berukuran kecil masih tertangkap oleh bubu standar. Oleh karena itu, konstruksi bubu perlu dimodifikasi pada beberapa bagian, yaitu ukuran mata jaring, sudut kemiringan pada lintasan masuk bubu, bentuk dan ukuran pintu masuk bubu lipat.
4
Hal utama yang dilakukan pada penelitian ini adalah memodifikasi pintu masuk dari segi bentuk dan ukuran pintu supaya kepiting bakau mudah masuk ke dalam bubu, khususnya kepiting bakau jenis S. serrata. Kepiting bakau jenis ini dijadikan sebagai target tangkapan utama. Alasannya adalah sering tertangkap oleh nelayan. Ini berarti, kepiting bakau jenis S. serrata paling mudah didapatkan di alam. Selain itu, harga jual jenis kepiting bakau ini lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga jenis lainnya. Penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk dimaksudkan untuk mendapatkan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu yang mudah dilewati oleh kepiting bakau saat memasuki bubu lipat. Modifikasi pintu masuk, penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan bubu dimaksudkan agar kepiting tidak mengalami kesulitan saat memasuki bubu. Keseluruhan hasil percobaan akan diaplikasikan pada bubu lipat standar sehingga diperoleh bubu lipat modifikasi. Selanjutnya, bubu lipat standar dan modifikasi diuji coba bersamaan. Tujuannya untuk menentukan efektivitas masing – masing bubu dalam menangkap kepiting bakau.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau Klasifikasi kepiting menurut Kordi (1997) adalah sebagai berikut: Filum
: Arthropoda;
Subfilum
: Mandibula;
Kelas
: Crustacea;
Super ordo Ordo
: Eucarida; : Decapoda;
Subordo Famili Genus Spesies
: Branchyura; : Portunidae; : Scylla; dan : Scylla serrata (Gambar 1).
Gambar 1 Scylla serrata Penamaannya di banyak tempat di daerah Indo-Pasifik sangat beragam. Kepiting adalah nama dari kepiting bakau yang dikenal di daerah Jawa, sedangkan di Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal dengan nama ketam batu, kepiting cina atau kepiting hijau. Masyarakat Filipina mengenal kepiting bakau dengan nama alimango, sedangkan di Australia dikenal dengan nama kepiting bakau lumpur atau kepiting bakau. Adapun masyarakat Hawai menyebutnya dengan nama samoon crab (Kasry 1996).
6
Berdasarkan faktor ekologi dan faktor fisik yang mempengaruhi perkembangan kepiting, genus Scylla diklasifikasikan menjadi tiga spesies, yaitu S. serrata, S. oceanica dan S. tranquebarica) (Estamphador 1949 diacu dalam Asmara 2004). Selanjutnya Keenan (1999) menambahkan bahwa atas dasar perbedaan sifat morfologi dan ekologi, kepiting bakau yang hidup di alam dikelompokkan atas empat spesies, yaitu S. serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea (Gambar 2).
(a) S. serrata
(b) S. tranquebarica
(c) S. paramamosain
(d) S. olivacea Sumber: Keenan (1999)
Gambar 2 Spesies kepiting bakau
7
2.1.2 Morfologi kepiting bakau Ciri kepiting bakau adalah memiliki karapas berwarna seperti lumpur atau sedikit kehijauan. Lebar karapasnya kurang lebih dua pertiga dari panjangnya. Permukaan karapas hampir licin, kecuali pada beberapa lekukan yang bergranula halus di daerah branchial. Dahi di antara kedua tangkai mata terdiri atas empat duri dengan ukuran panjang yang hampir sama. Pada bagian kiri dan kanan (anterolateral) karapas terdapat duri tajam sebanyak sembilan buah dan berukuran hampir sama. Sudut pots-lateral di bawah duri anterolateral melengkung dan bagian sambungan ruas menebal (Moosa et al. 1985 diacu dalam Tuhuteru 2004). Kepiting bakau memiliki 5 pasang kaki yang terletak pada bagian kiri dan kanan tubuhnya. Urutannya adalah sepasang capit, 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang. Setiap kaki terdiri atas 6 ruas yang secara berturut-turut dari bagian dekat tubuh ke arah luar disebut coxa, basi-ischium, merus, carpus, propondus dan dactylus (Gambar 3) (Siahainenia 2008).
(a) Cheliped
(b) Kaki jalan
(c) Kaki renang Sumber: Siahainenia (2008)
Gambar 3 Bentuk dan bagian – bagian kaki kepiting bakau
8
Capit kepiting jantan dewasa memiliki panjang hampir dua kali panjang karapasnya, sedangkan capit betina dan jantan muda lebih pendek. Pada tepi anterior merus terdapat tiga duri kokoh. Bagian luar anterior merus berbentuk bulat dan kadang-kadang dilengkapi dengan satu atau dua duri kecil. Propodus memiliki tiga duri atau bentol. Satu diantaranya terletak di muka persendian karpus dan dua lainnya terletak bersisian dengan persendian daktilus (Chairunnisa 2004). Menurut Siahainenia (2008), capit sangat berfungsi ketika kepiting makan. Struktur capit sangat kokoh, terutama pada bagian chela, dilengkapi dengan duriduri tajam dan kuat yang umumnya digunakan untuk mencabik-cabik makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Selain itu, capit juga digunakan untuk pertahanan diri. Tiga pasang kaki selain capit disebut kaki jalan yang berfungsi untuk berjalan selama kepiting bakau berada di darat dan juga berguna saat reproduksi, terutama pada kepiting jantan. Pada proses percumbuan, kaki jalan digunakan oleh kepiting jantan untuk mendekap kepiting betina di bagian bawah tubuhnya, sehingga tubuh mereka menyatu. Posisi ini disebut doubllers. Pada kepiting betina, kaki berfungsi untuk membantu proses penetasan telur. Kepiting bakau betina yang sedang berkontraksi akan berdiri dengan menggunakan kedua capitnya, sedangkan bagian dactylus pada kaki jalan terakhir (kaki jalan ke-2 dan ke-3) digunakan untuk menggaruk zygote secara terus-menerus sehingga butiranbutiran telur terurai dan terlepas dari rambut-rambut pleopod (Siahainenia 2008). Kaki renang adalah sepasang kaki terakhir yang terdapat pada bagian ujung abdomen. Bentuknya agak membulat dan lebar. Bagian dactylus dan propondus berbentuk pipih. Fungsi kaki renang ini adalah sebagai alat bantu semacam dayung pada saat berenang (Siahainenia 2008). Menurut Siahainenia (2008), mulut terletak pada bagian ventral tubuh, tepatnya berada di bawah rongga mata dan di atas tulang rongga dada. Mulut kepiting bakau terdiri atas tiga pasang rahang tambahan (maxilliped) yang berbentuk lempengan. Nama setiap bagian mulut berturut-turut dari bagian terdekat dengan rongga mulut ke arah luar adalah maxilliped I, maxilliped II, maxilliped III dan rongga mulut. Ketiga pasang maxilliped menutup rongga mulut yang diduga berfungsi untuk mencegah lumpur atau air masuk ke dalam rongga
9
mulut. Rongga mulut kepiting, menurut Siahainenia (2008), selalu dalam keadaan terbuka. Kepiting memiliki sepasang antena yang berada pada bagian dahi karapas, yaitu di antara kedua rongga mata. Antena berfungsi untuk mendeteksi adanya bahaya melalui gerakan angin (Kasry 1996). Antena merupakan organ peraba dan perasa yang dapat mendeteksi secara detail perubahan pergerakan air dan kimia air (Phelan et al. 2005 diacu dalam Siahainenia 2008). Kepiting memiliki sepasang mata. Mata kepiting dilindungi oleh dinding rongga mata yang menyerupai duri-duri besar yang kokoh dan terletak pada bagian dahi karapas. Bila dalam keadaan terancam, tangkai mata akan ditempelkan rapat-rapat ke dalam rongga mata sehingga hanya tampak duri-duri yang kokoh tersebut (Siahainenia 2008). Gambar 4 menunjukkan morfologi tubuh kepiting dan Tabel 1 menjelaskan ciri-ciri morfologi dari keempat jenis kepiting bakau (Keenan et al. 1998 diacu dalam Tuhuteru 2004). Perbedaan bentuk morfologi keempat jenis kepiting bakau terletak pada bentuk duri di antara mata dan keberadaan duri pada korpus (Gambar 5) (Keenan 1999). 6 16
7
5 4
14 1
2
3 8
12 15
11
10
9 13 Gambar 4 Morfologi kepiting bakau Keterangan: 1 : Frontal spine; 2 : Antenna; 3 : Eye; 4 : Carpus; 5 : Propodus; 6 : Dactylus; 7 : Claw or Chela; 8 : Merus;
9 10 11 12 13 14 15 16
: : : : : : : :
Walking legs; Carapace length; Carapace width; Carapace; dan Swimming legs; Cheliped; Lateral spine; dan Pollex.
10
Tabel 1 Ciri - ciri morfologi kepiting bakau Uraian
Jenis kepiting bakau S. serrata
S. tranquebarica
S. paramamosain
S. olivacea
Ungu, hijau
Ungu, hijau
Ungu, hijau
Oranye,
kecoklatan
kecoklatan
kecoklatan/kehitaman
coklat/hitam
kehitaman
kehitaman
Duri pada
Agak
Tumpul, cukup
Runcing berbentuk
Kecil dan
dahi
runcing,
besar dan lebar
segitiga
tumpul
Warna
besar Duri di
Sepasang
Sepasang duri
Duri menghilang atau
Duri hilang
luar karpus
duri
menonjol
sangat kecil dan
atau sedikit
tumpul
kelihatan
Sedang dan runcing
Menghilang,
menonjol Duri di
Besar dan
Besar dan
luar
keduanya
keduanya jelas
propodus
jelas
tumpul dan menempel
S. serrata
S. paramamosain
S. tranquebarica
S. olivacea
Sumber: Keenan (1999)
Gambar 5 Perbedaan morfologi dari keempat spesies Scylla
11
2.1.3 Perbedaan kepiting bakau jantan dan betina Membedakan jenis kelamin dari kepiting bakau jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati bentuk luar tubuhnya. Hal ini dituturkan oleh Moosa et al. (1985) diacu dalam Rosmaniar (2008) yang menyebutkan bahwa organ kelamin kepiting jantan berbentuk segitiga agak runcing yang menempel di bagian perutnya, sedangkan organ kelamin kepiting betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan bagian depannya agak tumpul. Cara lain membedakan jenis kelamin kepiting adalah dengan memperhatikan ruas-ruas abdomennya. Ruas abdomen kepiting jantan jauh lebih sempit dibandingkan dengan ruas abdomen kepiting betina (Gambar 6).
(a) S. serrata betina (b) S. serrata jantan Gambar 6 Abdomen kepiting bakau betina dan jantan 2.2 Habitat Kepiting Bakau Habitat kepiting bakau sebagian besar berada di hutan-hutan bakau perairan Indonesia. Spesies ini adalah spesies khas yang berada di kawasan bakau. Kepiting bakau yang masih berupa juvenil lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur sehingga jarang terlihat di daerah bakau. Juvenil kepiting bakau lebih menyukai tempat-tempat terlindung, seperti alur-alur air laut yang menjorok ke daratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela akar pohon bakau (Kanna 2002). Hutan mangrove adalah daerah yang umumnya banyak dihuni kepiting bakau (Kordi 1997). Daerah berlumpur dan tepian muara sungai juga banyak ditemukan kepiting (Arriola 1940 diacu dalam Kasry 1985). Kepiting bakau tidak jarang tertangkap di luar bakau (Mossa et al. 1985 diacu dalam Rusdi 2010).
12
2.3 Distribusi Kepiting Bakau Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang sangat luas, meliputi pantai Timur Afrika, India, Srilangka, Indonesia, Filipina, Thailand, Cina, Taiwan, Jepang, Papua Nugini, Australia dan pulau-pulau di utara Selandia Baru. Kepiting bakau ditemukan di daerah air payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya) (Sulistiono et al. 1994 diacu dalam Asmara 2004). Penyebaran kepiting bakau yang luas menyebabkan timbulnya daerah yang menjadi pusat pengusahaan kepiting bakau. Hal ini berhubungan dengan habitat kepiting yang masih baik. Daerah-daerah yang dimaksud, antara lain terdapat di selatan Jawa (Cilacap), utara Jawa (Tanjung Pasir, Pamanukan), barat Sumatera (Bengkulu, Riau), timur Kalimantan (Kota Baru, Pasir, Balikpapan), Sulawesi (Teluk Bone, Teluk Kolono, Kendari), Nusa Tenggara Barat (Teluk Waworada, Teluk Bima) dan Irian Jaya (Teluk Bintuni, Biak Numfor) (Asmara 2004). 2.4 Siklus Hidup Kepiting Bakau Kepiting bakau mengalami beberapa fase pertumbuhan, antara lain fase zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Selain itu, kepiting juga mengalami beberapa kali proses pergantian kulit (moulting) (Gambar 7). Tubuhnya akan menjadi lebih besar setelah mengalami proses moulting. Larva tingkat I (Zoea I) muncul setelah telur menetas. Larva akan berganti kulit secara terus menerus sambil terbawa arus pantai sebanyak lima kali (Zoea V). Selanjutnya, larva akan berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa. Bagian yang masih tersisa adalah ekor yang panjang (Tiku 2004).
13
Sumber: Phelan dan Grubert (2007)
Gambar 7 Kepiting bakau yang sedang moulting Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut. Induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan bakau untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri. Kepiting melakukan perkawinan di perairan bakau, selanjutnya secara perlahan-lahan kepiting betina akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai. Apabila telah mencapai ke tengah laut, maka kepiting akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok sebagai tempat untuk memijah, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut (Kasry 1991). Kepiting pada tingkat megalopa mulai beruaya menuju pantai melewati muara sungai dan selanjutnya memasuki perairan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Gambar 8). Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan berada di perairan bakau, di tambak atau di sekitar perairan pantai yang berlumpur yang memiliki makanan berlimpah (Kasry 1991).
14
Sumber: Kasry (1991)
Gambar 8 Siklus hidup kepiting bakau Daur hidup kepiting bakau diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat pertama kali kepiting menetas, suhu air laut umumnya berkisar antara 25oC - 27oC dan salinitas 29‰ - 33‰. Kepiting muda yang baru berganti kulit dari megalopa dapat memasuki muara sungai, karena memiliki kemampuan mentolerir salinitas air yang rendah (10-24‰). Pada tingkat zoea terjadi pergantian kulit yang berlangsung lebih kurang 3-4 hari sebelum memasuki fase berikutnya. Tingkat megalopa berlangsung selama 11-12 hari pada salinitas 29‰ 33‰ sebelum berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Megalopa di alam bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau (brackish water) pada salinitas air antara 21‰ - 27‰ (Kasry 1996). Kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun pada kondisi lingkungan yang memungkinkan. Pada umur 12-14 bulan, kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat memijah. Kepiting mampu menghasilkan jutaan telur dalam sekali pemijahan (Kordi 1997).
15
2.5 Pemijahan Pemijahan adalah salah satu bagian dari reproduksi dan juga mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies (Serosero 2005). Adapun menurut Siahainenia (2008), pemijahan pada kepiting adalah proses pengeluaran telur dari kepiting bakau betina. Proses ini terjadi setelah sel telur mengalami vitelogenesis sempurna dan inti sel telur telah bergerak ke tepi atau setelah sel telur mencapai matang sempurna. Proses pemijahan umumnya berlangsung pada substrat dasar perairan berpasir atau pasir berlumpur. Apabila kepiting bakau betina telah siap memijahkan telur-telurnya, maka kepiting tersebut membuat lubang dangkal pada substrat dengan bantuan tutup abdomennya. Kepiting aktif memijah antara bulan Mei-September dengan jumlah telur yang dihasilkan sekitar dua juta butir dan selanjutnya kembali matang telur setelah lima bulan sejak telur dierami. Pemijahan kepiting umumnya berlangsung sepanjang tahun dengan masa pemijahan berlangsung selama lima bulan. Puncak pemijahan kepiting berbeda setiap tahun. Pemijahan berlangsung pada perairan yang dalam dengan mengikuti periode bulan. Jarak ruayanya tidak lebih dari satu kilometer dari pantai, namun pada saat-saat tertentu kepiting tersebut juga pernah ditemukan memijah di tambak dan estuaria (Kasry 1996). Kepiting bakau di Hawai melakukan pemijahan pada awal bulan Mei sampai akhir Oktober, yaitu saat suhu air berkisar antara 24oC - 28oC, sedangkan di Australia, pemijahan berlangsung dari awal musim semi hingga musim gugur dengan puncaknya pada bulan November-Desember (akhir musim semi hingga awal musim panas). Adapun puncak pemijahan di Thailand berlangsung dari bulan Juli-Desember (pertengahan awal musim panas hingga musim hujan) (Kasry 1996). 2.6 Kematangan Gonad Kepiting Bakau Tingkat kematangan gonad merupakan tahap perkembangan gonad sebelum dan sesudah pemijahan. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi sebelum terjadi pemijahan. Perkembangan gonad terjadi akibat adanya proses vitelogenesis, yaitu proses akumulasi kuning telur pada
16
setiap sel telur (Serosero 2005). Selama proses berlangsung, sebagian besar hasil metabolisme ditujukan untuk perkembangan gonad (Serosero 2008). Tingkat kematangan gonad dapat ditentukan secara morfologis dan histologis. Penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologis dapat dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna dan perkembangan isi gonad, sedangkan secara histologis dapat dilihat dari perkembangan bentuk anatomi gonadnya (Effendie 2002). Petunjuk penentuan tingkat kematangan gonad kepiting bakau dijelaskan oleh Kasry (1996) diacu dalam Serosero (2008) dengan sedikit modifikasi, yaitu: 1. TKG I: Belum matang (immature) a.
Ciri morfologis: Ovarium yang berwarna kuning keputihan dan berbentuk sepasang filamen ditutupi oleh selaput peritoneum tipis yang mengarah ke punggung.
b.
Ciri histologis: Epitel folikel yang menutupi sel telur tidak begitu jelas. Sitoplasma pun berwarna agak lemah, akan tetapi nukleus dan nukleolus sangat jelas. Sebagian besar ovarium yang belum matang mempunyai bentuk yang tidak beraturan dan sel telur mengalami atresia relatif banyak.
2. TKG II: Menjelang matang (maturing) a.
Ciri morfologis: Ukuran ovarium bertambah dan meluas, baik ke arah lateral maupun antero-posterior, namun butiran telur belum kelihatan hanya berwarna kuning keemasan.
b.
Ciri histologis: Kuning telur masih terlihat dengan ukuran yang kecil walaupun ovari masih kecil. Kuning telur tersebar di dalam sitoplasma.
3. TKG III: Matang (mature) a.
Ciri morfologis: Ovarium kepiting semakin membesar. Warna dari ovarium mulai dari oranye muda sehingga butiran telurnya sudah kelihatan, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak.
b.
Ciri histologis: Butiran kuning telurnya makin membesar dan hampir seluruh sitoplasma tertutup kelenjar minyak.
4. TKG IV a.
Ciri morfologis: Butir-butir telur bertambah besar dan terlihat sangat jelas berwarna oranye sehingga dapat dipisahkan dengan mudah karena lapisan
17
minyaknya sudah semakin berkurang. b.
Ciri histologis: Butiran kuning telurnya lebih besar dari TKG III dan lapisan minyaknya menutupi seluruh sitoplasma.
5. TKG V a.
Ciri morfologis: Ukuran ovarium kembali mengecil dan di bagian abdomen terdapat banyak telur. Butiran telur tersebut ada yang tidak dikeluarkan saat proses pemijahan sehingga masih terlihat keberadaan butiran telur ini.
b.
Ciri histologis: Sel-sel telurnya seperti pada TKG I, namun telah ditemukan sel telur yang sudah matang.
Ovarium berkembang menjadi matang setelah mencapai proses kopulasi. Kematangan gonad kepiting bakau dapat dicapai jika telah mengalami proses kopulasi untuk pertama kalinya. Pencapaian matang gonad biasanya ditunjukkan dengan lebar karapas kepiting bakau yang berkisar antara 105-123 mm atau 99,1114,2 mm. Keadaan tersebut dapat dicapai antara lima bulan sampai satu tahun (Hartnoll 1969 diacu dalam Serosero 2005). Kepiting bakau betina di Indonesia yang telah matang kelamin mempunyai panjang karapas 42,7 mm dan lebarnya 80 mm (Aldrianto 1994 diacu dalam Serosero 2005). Adapun Kanna (2002) berpendapat bahwa ciri kepiting bakau yang telah matang gonad memiliki lebar karapas 9-10 cm dan warna abdomen telah menyerupai warna karapasnya. Selain itu, tingkat kematangan gonad dari kepiting dapat diketahui dengan menekan batas perut bagian belakang dan karapas. Warna gonad kepiting yang telah matang gonad adalah oranye atau kuning (Syafitriyanto 2009 diacu dalam Rusdi 2010). 2.7 Makanan dan Kebiasaan Makan Kepiting bakau bersifat omnivorus scavengers atau pemakan segala makanan, cenderung pemakan bangkai dan bersifat kanibal. Kepiting bakau memakan organisma yang bergerak lambat atau diam, terutama hewan yang biasa terpendam di dasar perairan, seperti kerang-kerangan, keong-keongan, krustase lainnya dan cacing. Alga dan busukan dari potongan kayu, bambu dan benda lainnya juga dimakan oleh kepiting (Moosa et al. 1985 diacu dalam Rusdi 2010). Kepiting bakau pada tahap larva termasuk pemakan plankton. Makanan larva
18
kecil di alam terdiri atas berbagai organisme plankton, seperti diatom, moluska dan cacing (Kasry 1991). Kepiting bakau yang lebih besar menyerang kepiting bakau yang lebih kecil. Perilaku tersebut terjadi pada lingkungan hutan bakau. Kepiting besar melumpuhkan kepiting kecil dengan merusak umbai-umbainya dan kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan. Setelah itu, kepiting besar mulai memakannya dengan mengambil bagian lunak dari tubuh mangsanya (Rosmaniar 2008). Kanibalisme pada kepiting merupakan hal yang sering terjadi, terutama pada ruangan yang terbatas, baik rajungan atau kepiting dewasa maupun yang masih larva (Nontji 1993 diacu dalam Lastari 2007). Ada beberapa faktor yang menyebabkan nafsu makan kepiting bakau berkurang, yaitu suhu dan pergantian kulit. Aktivitas makan kepiting bakau menurun pada suhu di bawah 20oC (Hill 1975). Kepiting bakau termasuk hewan nokturnal dan keluar dari persembunyiannya setelah matahari terbenam. Pergerakannya berlangsung sepanjang malam, terutama untuk mencari makan. Pergerakan kepiting bakau pada malam hari dapat mencapai jarak antara 219-910 m. Kepiting kemudian akan membenamkan dirinya kembali pada saat matahari akan terbit (Kordi 1997). 2.8 Bubu 2.8.1 Deskripsi bubu Bubu merupakan alat tangkap yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan perangkap. Pengoperasian bubu menggunakan perahu. Bubu banyak digunakan pada daerah pesisir laut untuk menangkap berbagai jenis krustase, ikan, gurita dan kerang. Bubu terdiri atas berbagai ukuran dan bentuk yang dapat menarik berbagai jenis organisme yang akan tertangkap dengan menggunakan ikan (Sainsbury 1996). Alat tangkap bubu telah lama dikenal oleh nelayan. Ini disebabkan karena biaya pembuatan relatif murah, cara pembuatan dan pengoperasiannya mudah, bahan pembuatannya mudah didapat, tidak merusak organisme hasil tangkapan dan tidak merusak sumberdaya secara ekologis maupun teknis. Bubu dapat dioperasikan pada tempat-tempat yang alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan, seperti daerah karang, celah karang, lubang-lubang di antara bebatuan, perairan
19
yang sangat dalam atau perairan dengan pantai yang tinggi dan terjal. Adanya berbagai kelebihan tersebut menyebabkan nelayan-nelayan bermodal kecil sangat menyukainya (Puspito 2009). Prinsip penangkapan dengan bubu adalah memerangkap organisme laut yang masuk ke dalam bubu dan tidak dapat keluar lagi. Ada banyak penyebab organisme laut masuk ke dalam bubu, diantaranya tertarik oleh makanan, mengira bubu sebagai tempat tinggalnya, terbawa arus, sebagai tempat berlindung dari kejaran pemangsa, tidak sengaja masuk ke dalam bubu dan tergiring oleh nelayan. Oleh karena itu, pengoperasian atau pembuatan bubu umumnya didasarkan atas semua faktor penyebab tersebut (Puspito 2009). 2.8.2 Klasifikasi bubu Bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap (trap) (Brandt 1984). Berdasarkan lokasi pemasangannya, bubu diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu (Sainsbury 1996): 1. Inshore potting. Alat tangkap ini dioperasikan pada daerah yang arusnya tidak terlalu deras, seperti daerah karang, estuaria, laguna, teluk dan perairan dekat pantai sampai kedalaman 75 m. Bubu dioperasikan menggunakan perahu kecil dengan panjang antara 25-45 kaki. Nelayan yang mengoperasikan hanya berjumlah 1-2 orang. 2. Offshore potting. Alat tangkap ini dioperasikan di perairan laut dalam sampai kedalaman 900 m. Bubu dioperasikan menggunakan kapal besar menggunakan peralatan yang mendukung selama pengopersian berlangsung. Selain itu, bubu juga dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan metode pengoperasiannya, yaitu: 1. Sistem tunggal. Bubu dipasang menetap di dasar perairan secara satu per satu. Biasanya dipasang di daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup jauh antara bubu yang satu dengan lainnya. Bubu ini dilengkapi dengan pemberat agar bubu tidak berpindah. Selain itu, bubu ini juga dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali agar posisi bubu dapat diketahui. Pemasangan bubu dengan sistem tunggal dapat dilihat pada Gambar 9.
20
Sumber: Sainsbury (1996)
Gambar 9 Pengoperasian bubu sistem tunggal 2. Sistem rawai. Bubu dipasang dalam jumlah banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu yang satu dengan yang lainnya. Daerah pengoperasian biasanya pada perairan laut dalam. Setiap bubu dilengkapi tali cabang dan terhubung ke tali utama dengan pengait (snap). Satu rangkaian bubu ditandai dengan pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar bubu tidak berpindah tempat. Pemasangan bubu dengan sistem rawai dapat dilihat pada Gambar 10.
Sumber: Sainsbury (1996)
Gambar 10 Pengoperasian bubu sistem rawai Subani dan Barus (1989) membagi bubu menjadi tiga golongan, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Rinciannya adalah: 1. Bubu dasar Bubu ini dioperasikan di dasar perairan. Ukurannya bervariasi menurut kebutuhan. Bubu yang berukuran kecil umumnya memiliki panjang 100 cm, lebar 50-75 cm dan tinggi antara 25-30 cm, sedangkan bubu yang berukuran
21
besar dapat mencapai ukuran panjang 350 cm, lebar 200 cm dan tinggi 75-100 cm. Pengoperasian bubu ini dilakukan secara tunggal (untuk bubu yang berukuran besar) dan dapat pula dioperasikan secara ganda (untuk bubu berukuran kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang pada jarak tertentu dan bubu diikatkan tali tersebut. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang, di antara karang-karang atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang. 2. Bubu apung Alat tangkap ini dioperasikan dengan cara diapungkan. Bubu ini dilengkapi dengan pelampung yang terbuat dari bambu. Bentuk bubu apung ada yang silinder dan ada yang seperti kurungan. Pada pengoperasiannya ada pula bubu yang diikatkan pada rakit bambu, kemudian rakit bambu tersebut dirangkai dan diikatkan pada jangkar. Panjang tali jangkar tergantung dari kedalaman perairan, namun panjang tali umumnya 1,5 kali dalam perairan. 3. Bubu hanyut Bubu yang pengoperasiannya dengan cara dihanyutkan, yaitu mengikuti arus. Bubu ini dirangkai atas beberapa bubu berukuran kecil yang berjumlah antara 20 – 30 bubu. Pakaja, luka atau patorani adalah bubu hanyut yang umumnya dikenal. Pakaja adalah bubu berukuran kecil berbentuk silinder dengan panjang 0,75 m. Pada saat pengoperasian, beberapa bubu disatukan menjadi beberapa kelompok. Patorani adalah sebutan untuk bubu yang digunakan untuk menangkap ikan torani dan tuing-tuing atau ikan terbang (flying fish). 2.8.3 Konstruksi bubu Konstruksi bubu secara umum terdiri atas rangka, badan dan pintu masuk. Selain itu, ada yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan, kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan dan celah pelolosan (Lastari 2007). Konstruksi bukaan mulut bubu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu (Wibyosatoto 1994).
22
2.8.3.1 Bentuk Bubu Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Sainsbury (1996) mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan target tangkapan di setiap daerah. Bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda walaupun hasil tangkapan yang diperoleh sama. Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia, seperti Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia dan di pantai timur dan barat Amerika Utara, yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut Utara. Bubu berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis, sedangkan bubu berbentuk hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India dan Sri Lanka. Selain itu, terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut Antillean Zpot yang berasal dari Karibia. Bubu yang terdapat di Indonesia dan Thailand disebut dengan tubular traps yang memiliki bentuk seperti corong dan tidak mempunyai mulut (funnel) dengan bagian ujung bubu terbelah-belah (Brandt 1984). Bubu mempunyai bentuk yang beraneka ragam seperti bentuk bujur sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang, trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran (Subani dan Barus 1989). Adapun menurut Martasuganda (2003), bentuk bubu ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong dan persegi panjang. Beberapa jenis bubu yang biasa digunakan di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong (Gambar 11), pintur/rakkang (Gambar 12) dan bubu lipat (Gambar 13).
(a) Gambar 11 Konstruksi bubu wadong
23
(b) Gambar 12 Konstruksi bubu pintur Sumber: Martasuganda (2003)
3
4 5
1 2 (c) Gambar 13 Konstruksi bubu lipat standar Keterangan (a) :
Keterangan (b) :
Keterangan (c) :
1. Rangka 2. Pintu 3. Pintu masuk 4. Tiang penyangga 5. Penusuk umpan
1. Tali penyangga 2. Rangka 3. Jaring 4. Pemberat 5. Umpan
1. Rangka 2. Mulut bubu 3. Badan bubu 4. Engsel 5. Tempat umpan
2.8.4 Umpan Umpan merupakan salah satu faktor yang berpengaruhnya terhadap keberhasilan suatu usaha penangkapan (Sadhori 1985 diacu dalam Rusdi 2010). Rusdi (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi organisme tertentu pada proses penangkapannya. Penggunaaan umpan dalam proses penangkapan ikan menggunakan bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Umpan disebut baik apabila memenuhi syarat, yaitu efektif untuk menarik ikan target, mudah dipasang pada berbagai posisi di dalam bubu, tahan lama, harga murah, mudah disimpan dan diangkut. Bubu yang menggunakan umpan
24
berupa ikan yang dipotong-potong memiliki hasil tangkapan lebih baik dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan (Slack and Smith 2001). 2.8.5 Metode pengoperasian bubu Cara pengoperasian bubu dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu bubu dasar (stationary fish pots), bubu apung (floating fish pots) dan bubu hanyut (drifting fish pots). Bubu dasar biasanya dioperasikan di perairan karang atau diantara karang dan bebatuan. Agar lokasi pemasangan bubu mudah diketahui, bubu dilengkapi pelampung yang dihubungkan dengan tali panjang (Subani dan Barus 1989). Tipe bubu apung dilengkapi dengan pelampung terbuat dari bambu atau rakit bambu. Bubu diletakkan di bagian atas pelampung atau digantungkan pada rakit bambu. Hasil tangkapan bubu apung adalah jenis-jenis ikan pelagis. Bubu hanyut dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Bubu hanyut yang dikenal, yaitu pakaja, luka atau pataroni yang dikhususkan untuk menangkap ikan terbang (flying fish) (Subani dan Barus 1989). Metode pengoperasian bubu diawali dengan penentuan daerah penangkapan. Apabila telah sampai di daerah penangkapan, bubu yang dioperasikan tanpa umpan dapat langsung diturunkan. Bagi bubu yang menggunakan umpan, maka umpan terlebih dahulu diletakkan ke dalam kantung umpan atau dikaitkan pada kawat yang ada di dalam bubu. Setelah itu, bubu ditenggelamkan ke dalam perairan. Pada umumnya pengoperasian bubu dimulai dengan menurunkan pelampung tanda, kemudian dilanjutkan dengan penurunan bubu satu persatu beserta pemberat ke dalam perairan (Sudirman dan Mallawa 2004 diacu dalam Lastari 2007).
25
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu. Tahap kedua adalah penentuan konstruksi pintu masuk bubu, sedangkan tahap ketiga adalah pengujian pintu masuk bubu atas dasar hasil percobaan sebelumnya. Penelitian tahap pertama dilakukan antara bulan Desember 2011-April 2012, sedangkan penelitian tahap kedua dan ketiga dilaksanakan antara bulan Mei-Agustus 2012. Seluruh penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan (TAP), Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Peralatan yang dibutuhkan untuk menentukan ukuran mata jaring lintasan, sudut kemiringan lintasan masuk, ukuran dan bentuk pintu masuk bubu meliputi 1 unit akuarium berukuran 150×50×50 (cm) sebagai wadah percobaan, 1 unit akuarium berukuran 90×60×50 (cm) sebagai wadah filter air, 1 unit akuarium berukuran 60×60×45 (cm) sebagai wadah penampung kepiting bakau (Scylla serrata), empat model lintasan masuk bubu yang terbuat dari jaring polyethylene (PE) 210/D6 berkerangka kawat galvanis berukuran 47,5×20,5 (cm) dengan ukuran mata jaring masing-masing 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci (Gambar 14), video camera, busur derajat, penggaris, 1 unit termometer, timbangan dan jangka sorong. Pengujian pintu masuk bubu menggunakan beberapa peralatan, seperti bak percobaan berdiameter 1,5 m dengan tinggi 0,75 m, 2 unit bubu yang dimodifikasi pintu masuknya, 2 unit bubu standar (nelayan) untuk uji coba pintu masuk, 1 unit filter, busur derajat, penggaris, 1 unit termometer, timbangan dan jangka sorong. Bubu lipat nelayan dan hasil modifikasi memiliki ukuran 48×30,5×18 (cm). Bahan yang digunakan secara keselurahan dalam penelitian ini adalah 40 kepiting bakau dan 1800 l air laut.
26
Gambar 14 Model lintasan berupa jaring dengan ukuran mata 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci 3.3 Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode percobaan. Percobaan yang dilakukan meliputi penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk, sudut kemiringan lintasan masuk bubu, ukuran dan bentuk pintu masuk bubu. Selain itu, dilakukan uji coba konstruksi bubu yang telah dimodifikasi dan bubu standar di dalam bak percobaan. Seluruh proses penelitian dilakukan di laboratorium. 3.3.1 Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu Penelitian ditujukan untuk mendapatkan ukuran mata jaring yang mudah dilintasi oleh kepiting bakau. Ukuran mata jaring yang di uji coba adalah 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci. Ukuran mata jaring yang terpilih dijadikan sebagai ukuran mata jaring pada lintasan masuk bubu dan digunakan pada pengujian sudut kemiringan lintasan masuk bubu. Urutan percobaannya mengikuti tahapan berikut: 1. Percobaan diawali dengan meletakkan model lintasan masuk yang terbuat dari jaring dengan ukuran mata 0,5 inci di tengah akuarium percobaan membentuk sudut kemiringan α = 20o yang merupakan sudut kemiringan dari bubu standar; 2. Kepiting bakau diletakkan di depan model lintasan; 3. Bagian belakang model lintasan masuk ditempatkan umpan untuk menarik kepiting bakau agar mau bergerak melewati lintasan; 4. Kepiting
bakau
dibiarkan
bergerak
melintasi
lintasan
dan
seluruh
27
pergerakannya di atas lintasan diamati secara visual; 5. Pengujian diulang tiga kali untuk kepiting bakau yang sama; 6. Sebanyak enam kepiting bakau dengan ukuran lebar karapas mulai dari 6,289,8 cm digunakan untuk proses pengujian ini; dan 7. Tahapan kerja yang sama juga dilakukan dengan menggunakan lintasan yang terbuat dari jaring dengan ukuran mata 0,75; 1 dan 1,25 inci. Pada Gambar 15 dijelaskan ilustrasi posisi kepiting bakau di dalam akuarium pada uji penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu.
Arah gerak
α Gambar 15 Ilustrasi posisi kepiting bakau, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu 3.3.2 Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu Percobaan bertujuan untuk mendapatkan sudut kemiringan pada lintasan masuk bubu yang mudah dilalui kepiting bakau saat memasuki bubu. Sudut kemiringan yang digunakan sebesar 20o, 40o dan 60o. Dasar penggunaan sudutsudut tersebut untuk mendapatkan hasil yang berbeda secara signifikan. Sudut kemiringan yang terpilih dari percobaan digunakan pada lintasan masuk bubu modifikasi. Tahap percobaan dalam menentukan sudut kemiringan lintasan masuk sebagai berikut: 1. Percobaan diawali dengan meletakkan model lintasan masuk yang terbuat dari jaring dengan ukuran mata jaring 1 inci (diperoleh dari percobaan sebelumnya) di tengah akuarium dengan sudut kemiringan α = 20o; 2. Kepiting bakau diletakkan di depan model lintasan masuk; 3. Umpan diletakkan di belakang model lintasan masuk supaya kepiting bakau bergerak mendekati dan melintasi model lintasan; 4. Kepiting bakau dibiarkan bergerak melintasi model lintasan dan setiap
28
pergerakannya diamati secara visual; 5. Hasil pengujian dan pengamatan dicatat pada datasheet; 6. Pengujian dilakukan sebanyak 18 ulangan dengan menggunakan 8 kepiting bakau yang memiliki ukuran mulai dari 6,28-10,1 cm; dan 7. Tahapan uji coba yang sama dilakukan pada 2 sudut selanjutnya, yaitu 40o dan 60o. Berikut adalah ilustrasi posisi kepiting bakau dalam penentuan sudut kemiringan lintasan yang ditunjukkan pada Gambar 16.
Arah gerak
α 20o, 40o dan 60o Gambar 16 Ilustrasi posisi kepiting bakau, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu 3.3.3 Penentuan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu Percobaan dilakukan untuk mendapatkan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu yang mudah dilalui kepiting bakau, tapi kepiting bakau tidak dapat keluar dari pintu masuk bubu. Ukuran dan bentuk pintu masuk bubu disesuaikan dengan tingkah laku dan ukuran kepiting bakau, yaitu tebal tubuh kepiting bakau yang sudah layak tangkap. Urutan proses penentuan ukuran dan bentuk mulut masuk bubu sebagai berikut: 1. Percobaan diawali dengan meletakkan model lintasan di tengah akuarium membentuk sudut kemiringan α = 20o dengan jaring yang memiliki ukuran mata 1 inci; 2. Sekeping kaca diletakkan di atas model lintasan hingga membentuk sebuah celah yang lebarnya disesuaikan dengan ketebalan kepiting bakau layak tangkap; 3. Kepiting bakau diletakkan di depan model lintasan masuk;
29
4. Umpan diletakkan di belakang model lintasan supaya kepiting bakau mau bergerak dan melewati celah mulut yang terbentuk; 5. Kepiting bakau dibiarkan bergerak dan seluruh pergerakannya diamati secara visual; 6. Ketinggian dan posisi keping kaca dapat dirubah untuk membentuk suatu celah yang mudah dilewati kepiting bakau dan sulit kembali ke posisi semula; 7. Posisi keping kaca dan model lintasan yang membentuk celah masuk digambar agar tidak terjadi pengulangan; 8. Ukuran dan bentuk mulut masuk tersebut dijadikan acuan untuk merancang mulut masuk bubu; dan 9. Pengujian dilakukan tiga kali ulangan dengan menggunakan tiga kepiting bakau yang memiliki ukuran mulai dari 6,86-9,05 cm. Berikut adalah ilustrasi posisi kepiting bakau dalam menentukan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu yang ditunjukkan pada Gambar 17.
Kaca
Tinggi pintu masuk
Arah gerak
α Model lintasan masuk
Gambar 17 Ilustrasi susunan jaring lintasan dan kepingan kaca pada penentuan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu 3.3.4 Perbandingan jumlah kepiting yang tertangkap pada bubu lipat standar (S) dan bubu lipat modifikasi (M) Percobaan ini dilakukan setelah semua pengujian di atas selesai dilakukan. Percobaan yang dilakukan di dalam bak percobaan ini bertujuan untuk membandingkan jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu standar dengan bubu modifikasi. Banyaknya kepiting bakau yang tertangkap, tingkah laku dan kemudahan kepiting bakau saat memasuki bubu akan menggambarkan
30
keefektifan dari kedua bubu dalam menangkap kepiting bakau. Berikut adalah tahapan pengujian efektivitas bubu lipat: 1. Dua bubu standar dan dua bubu modifikasi ditempatkan di dalam bak percobaan dengan posisi masing-masing bubu yang sama saling berhadapan. Setiap bubu diisi umpan; 2. Sebanyak 30 kepiting bakau dengan ukuran yang bervariasi, baik ukuran kecil, sedang dan besar yang telah diketahui ukuran panjang, lebar dan tebal karapasnya dimasukkan ke dalam bak percobaan (Lampiran 1); 3. Pergerakan kepiting bakau di dalam bak percobaan diamati; 4. Percobaan dilakukan sebanyak 20 kali ulangan; 5. Setiap percobaan diberi waktu 20 menit; dan 6. Kepiting-kepiting yang tertangkap di dalam bubu dihitung dan dicatat pada datasheet. Pada Gambar 18 dijelaskan susunan dari kedua jenis bubu di dalam bak percobaan. Ø 1,5 m
Tbak = 0,75 m
S S
Tair = 0,3 m Masuk
M M
SS
M M
Gambar 18 Ilustrasi posisi bubu standar (S) dan bubu modifikasi (M) pada pengujian keefektifan bubu dalam menangkap kepiting bakau
31
3.4 Analisis Data Analisis data yang digunakan pada masing-masing perlakuan berbeda-beda. Masing-masing analisis data disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Analisis data No. Tujuan
Analisis
1. Menentukan kenormalan ukuran kepiting bakau yang Regresi akan digunakan pada percobaan di laboratorium 2. Menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu
Deskriptif
3. Menentukan sudut kemiringan lintasan masuk bubu
Deskriptif
4. Menentukan bentuk dan ukuran pintu masuk bubu
Deskriptif
5. Menentukan posisi, bentuk dan ukuran celah Deskriptif pelolosan 6. Membandingkan jumlah kepiting bakau yang Uji Kolmogorovtertangkap pada bubu lipat standar dan bubu lipat Smirnov modifikasi 3.4.1 Analisis regresi Analisis regresi digunakan terutama untuk tujuan peramalan yang di dalamnya terdapat sebuah variabel dependent (tergantung) dan variabel independent (bebas). Analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi linear tunggal. Persamaan regresi adalah formula matematika yang mencari nilai variabel dependent dari nilai variabel independent yang diketahui (Santoso 1999). Model umum untuk analisis regresi tersebut adalah (Matjik dan Sumertajaya 2000): Y = β0 + β1 x + ε Keterangan Y β0 β1 x ε
: : : : : :
Peubah tak bebas/peubah respon; Intersep/perpotongan dengan sumbu tegak; Kemiringan/gradient; Peubah bebas/peubah penjelas; dan Galat.
Analisis regresi yang digunakan pada penelitian ini untuk menentukan hubungan antara lebar L karapas-tebal T tubuh kepiting, tebal T tubuh kepitingpanjang P karapas dan tebal T tubuh kepiting-berat B tubuh kepiting bakau.
32
Variabel terikat (dependent) pada penelitian ini adalah tebal karapas kepiting bakau yang harus dicari besarannya. Adapun panjang, lebar karapas dan berat kepiting bakau menjadi variabel bebas (independent). Variabel terikat digambarkan pada sumbu y dan variabel bebas digambarkan pada sumbu x. Keeratan hubungan dari panjang P, tebal T, lebar L dan berat B kepiting bakau dilihat dari nilai koefisien korelasi (r). Apabila nilai koefisien korelasi (r) kurang dari 0,6, maka model regresi terkait hubungan antar variabel dapat dianalisis (Wicaksono 2006). 3.4.2 Uji Kolmogorov-Smirnov Uji Kolmogorov-Smirnov merupakan salah satu uji yang termasuk pada uji data dua sampel yang tidak berhubungan (independent). Uji ini berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan untuk dua sampel yang independent (Santoso 1999). Pada penelitian ini yang menjadi sampel adalah jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu modifikasi dan bubu standar. Hipotesis pada kasus ini sebagai berikut: 1. Ho : Kedua populasi identik (jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh kedua bubu tidak berbeda secara signifikan); dan 2. H1 : Kedua populasi tidak identik (jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh kedua bubu berbeda secara signifikan). Dasar pengambilan keputusan pada kasus ini sebagai berikut: 1. Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima; dan 2. Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak.
33
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk menunjukkan bahwa kepiting bakau cenderung merayapi bidang lintasan melalui bagian pinggir atau tepi lintasan. Kepiting melintasi bidang lintasan dengan berjalan miring. Posisi tubuh kepiting bakau saat melewati lintasan masuk, yaitu dengan membelakangi dinding akuarium atau menghadap dinding akuarium. Pergerakan kepiting bakau melewati bidang lintasan dibantu oleh kaki renangnya. Kaki renang kepiting bakau berpijak pada dinding akuarium saat posisi kepiting bakau membelakangi dinding akuarium. Adapun pada posisi berhadapan dengan dinding akuarium, kaki renang kepiting bakau berpijak pada bidang lintasan. Kaki renang sangat membantu kepiting bakau dalam berjalan saat merayapi jaring lintasan seperti halnya kaki jalan. Kaki jalan membantu kepiting bakau berjalan, namun kaki jalan ini tidak dapat menopang tubuh kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk. Ini disebabkan oleh bentuk kaki jalan kepiting yang kurus dan lancip pada bagian ujungnya (Gambar 3). Sementara bidang yang harus dipijak oleh kaki kepiting bakau berupa jalinan benang jaring dengan diameter yang kecil. Hasil percobaan penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk dengan menggunakan empat ukuran mata jaring, yaitu 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci, menunjukkan bahwa kepiting bakau dapat melalui semua ukuran mata jaring tersebut. Jaring dengan ukuran mata 1 inci lebih mudah dilalui kepiting bakau dibandingkan dengan ketiga ukuran mata jaring lainnya. Kepiting bakau berukuran layak tangkap dengan lebar karapas 9 cm atau diatas ukuran layak tangkap dengan lebar karapas > 9 cm tidak mengalami kesulitan saat merayapi jaring dengan ukuran mata jaring 1 inci. Kaki renang dan kaki jalan kepiting bakau tidak tergelincir ataupun terperosok masuk ke dalam mata jaring yang menyebabkan kepiting bakau sulit melintasi jaring lintasan. Hal tersebut terjadi sebaliknya pada kepiting bakau berukuran belum layak tangkap dengan lebar karapas < 9 cm. Kaki jalan dan kaki renang kepiting bakau sering terperosok
34
masuk ke mata jaring, sehingga kepiting bakau tidak dapat melanjutkan pergerakannya. Bidang lintasan yang berukuran mata jaring 0,5 dan 0,75 inci menyebabkan kepiting bakau sulit berjalan karena ukuran mata jaring yang kecil dan jaraknya agak rapat sehingga kaki renang dan kaki jalan cenderung tergelincir saat berusaha
berpijak
pada
jaring.
Akibatnya,
kepiting
bakau
kehilangan
keseimbangan tubuh dan cenderung turun dari bidang lintasan. Hal yang sama juga terjadi pada jaring berukuran mata 1,25 inci. Kepiting bakau sulit memijakkan kaki ke jaring, karena ukuran mata jaring terlalu besar. Kaki jalan dan kaki renang kepiting bakau selalu terperosok ke dalam mata jaring. Selain itu, ujung kaki jalan kepiting bakau yang lancip terkadang terkait pada benang atau simpul jaring. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pergerakan kepiting bakau sangat dibantu oleh kaki renang yang ujungnya berbentuk agak membulat, lebar dan pipih (Gambar 3) (Siahainenia 2008). Bentuk ujung kaki renang yang demikian memungkinkan kepiting bakau dapat bertopang pada dinding akuarium, jaring lintasan ataupun dasar akuarium dan menjadikan kaki renang berperan utama sebagai pendayung saat berenang. Kasry (1996) dan Siahainenia (2008) menambahkan bahwa kaki renang kepiting bakau dilengkapi dengan alat pendayung pada bagian ujungnya. Pada Gambar 19 diilustrasikan posisi kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk dengan ukuran mata jaring yang berbeda.
α Gambar 19 Posisi kepiting bakau saat melewati model lintasan masuk
35
4.2 Sudut Kemiringan Lintasan Masuk Bubu Tujuan percobaan ini adalah untuk mendapatkan sudut kemiringan bidang lintasan sehingga kepiting bakau mudah melintasinya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada sudut kemiringan 20o, kepiting bakau berhasil melintasi bidang lintasan sebanyak 15 kali dan 3 kali gagal. Pada sudut 40o, kepiting bakau berhasil melintasi bidang lintasan sebanyak 13 kali dan 5 kali gagal. Adapun pada sudut 60o, 12 kali kepiting bakau berhasil melintasi bidang lintasan dan 6 kali gagal. Frekuensi keberhasilan kepiting melewati bidang lintasan lebih besar dari kegagalan, yaitu 40 berbanding 14 (Gambar 20). Hasil percobaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ketiga sudut dapat dilewati oleh kepiting bakau. Ini menjelaskan bahwa sudut kemiringan tidak mempengaruhi kepiting bakau saat melintasi bidnag lintasan masuk. Hal ini dapat terjadi karena kaki renang kepiting bakau membantu dalam menjaga keseimbangan tubuhnya. Bidang lintasan juga dapat dilewati kepiting bakau tanpa menyentuh jaring sedikit pun. Ini artinya kepiting berenang saat melewati bidang lintasan. Fakta yang diperoleh selama penelitian berlangsung adalah kepiting bakau tidak selalu berhasil atau gagal saat melewati bidang lintasan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh faktor kelelahan yang mengakibatkan kepiting bakau sama sekali tidak bergerak. Adapula kepiting bakau yang hanya bisa mencapai bidang lintasan sampai ketinggian tertentu. Sudut kemiringan yang memiliki frekuensi keberhasilan terbanyak dicapai oleh sudut 20o. Ini disebabkan posisi bidang lintasan yang rendah atau hampir datar, sehingga kepiting bakau sangat mudah melintasinya. Keseimbangan badan kepiting bakau stabil saat melewati sudut kemiringan lintasan ini. Hal ini juga terjadi pada sudut 40o yang masih dapat dilewati dengan mudah oleh kepiting bakau, walaupun frekuensi keberhasilan sudut ini tidak sebanyak sudut 20o. Kondisi yang terjadi pada sudut 20o dan 40o tidak dialami kepiting saat melewati sudut 60o. Kepiting bakau makin kesulitan bila melewati bidang lintasan yang semakin terjal. Kepiting bakau menjadi kehilangan keseimbangan tubuhnya dan pijakan kaki-kaki kepiting bakau di jaring lintasan tidak mantap. Ilustrasi posisi kepiting bakau saat berusaha melintasi bidang lintasan ditujukan pada Gambar 21.
36
Gambar 20 Frekuensi kepiting bakau melintasi bidang lintasan dengan mesh size 1 inci
37
20o, 40o dan 60o ◊ 1 inci Gambar 21 Posisi kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk dengan sudut kemiringan yang berbeda. Hasil percobaan membuktikan bahwa semakin rendah sudut kemiringan lintasan, maka kepiting akan semakin mudah saat berusaha memasuki bubu lipat. Bubu lipat yang biasa digunakan oleh nelayan memiliki sudut kemiringan 20o. Hasil percobaan terbukti mendukung bubu lipat nelayan, namun ditemukan fakta lain terkait sudut 20o, yaitu sudut ini memperkecil volume bagian bawah bubu, sehingga mempersempit ruang gerak kepiting bakau. Gambar 22 menunjukkan keberadaan kepiting bakau saat berada di dalam bubu yang bersudut kemiringan bidang lintasan 20o dan 40o. Pada kondisi volume bubu yang kecil, kepiting bakau kurang bebas untuk bergerak sehingga mengakibatkan timbulnya kompetisi atau perkelahian dalam memperebutkan ruang. Kondisi demikian dapat terjadi karena kepiting bakau bersifat soliter dan cenderung kompetitif daripada kooperatif (Warner 1977 diacu dalam Yulianto 2011). Dampak dari perkelahian adalah hilangnya anggota tubuh
atau matinya salah satu kepiting bakau. Apabila ada yang mati, kepiting bakau lain akan memakan kepiting yang mati. Kejadian ini disebut kanibalisme. Perilaku kanibal adalah hal yang sering terjadi antar kepiting, terutama pada ruangan yang terbatas (Nontji 1993 diacu dalam Lastari 2007). Peristiwa tersebut juga dialami oleh Almada (2001) saat melakukan penelitian di laboratorium, yaitu 1 dari 3 kepiting bakau yang menjadi obyek penelitiannya ditemukan mati akibat sebagian besar anggota tubuhnya dimakan oleh kepiting bakau lainnya.
38
(a) Bubu dengan
20o
(b) Bubu dengan 40o Gambar 22 Posisi kepiting bakau di dalam bubu Gambar 22 menunjukkan perbedaan volume atau ruang dalam bubu dengan bidang lintasan bersudut 20o dengan 40o. Ruang dalam bubu (a) terlihat lebih sempit, karena posisi bidang lintasan terlalu dekat dengan dasar bubu sehingga ‘memakan’ tempat dan sulit dimasuki oleh kepiting bakau yang berukuran besar. Pergerakan kepiting bakau menjadi terbatas dan terjadi penumpukan antar kepiting bakau. Hal ini dapat membuat efisiensi penangkapan dari bubu lipat menjadi rendah. Efisiensi penangkapan juga dipengaruhi oleh jumlah kepiting bakau yang berada di dalam bubu, sehingga kepiting bakau di luar bubu enggan untuk masuk ke dalam bubu (Salthaug 2002). Ruang dalam bubu (b) terlihat lebih luas, karena posisi bidang lintasan agak tinggi dari dasar bubu sehingga tidak terlalu ‘memakan’ tempat. Hal tersebut membuat kepiting bakau leluasa bergerak sehingga celah antara bidang lintasan dan dasar bubu dapat dijangkau oleh kepiting bakau, baik yang berukuran kecil ataupun besar. Kondisi demikian ditunjukkan pada Gambar 22 dengan panah
39
merah. Berdasarkan penjelasan tersebut, sudut 40o lebih baik digunakan pada bubu lipat dibandingkan 20o. Komarudin (2012) menambahkan bahwa bubu lipat yang memiliki lintasan masuk bersudut 20o dapat menyebabkan posisi pintu masuk semakin rendah, sehingga dapat terendam atau tertutup oleh lumpur. Lintasan masuk dengan sudut 60o akan mempersulit dalam pembuatan pintu masuk, karena posisinya yang tinggi. 4.3 Bentuk dan Ukuran Pintu Masuk Bubu Jumlah hasil tangkapan dapat meningkat apabila kepiting bakau dapat dengan mudah melewati pintu masuk bubu. Pintu masuk bubu lipat standar hanya berupa celah (Gambar 23). Pintu masuk ini membuat kepiting bakau sulit untuk keluar dari dalam bubu dan juga sulit untuk dimasuki. Ini disebabkan oleh ukuran celah masuk yang terlalu sempit, terutama pada bagian sisi-sisinya. Komarudin (2012) menyatakan bahwa akibat yang ditimbulkan dari sempitnya celah masuk bubu pada bagian sisi-sisinya adalah kepiting bakau memasuki bubu melalui tengah pintu masuk, karena bukaan mulut masuk pada bagian tengah lebih lebar daripada bagian sisi-sisinya. Archdale et al. (2006) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh dan tingkah laku rajungan Charybdis japonica saat berusaha melewati pintu masuk dari bubu lipat berbentuk balok dan kubah. Pintu masuk bubu balok berbentuk celah, sedangkan pada bubu berbentuk kubah, pintu masuknya berupa corong. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya 63% rajungan dapat masuk ke dalam bubu berbentuk balok dan 37%-nya menyerah, karena kesulitan saat berusaha melewati pintu masuk yang hanya berupa celah, sedangkan pintu masuk yang berupa corong dari bubu berbentuk kubah lebih mudah dilewati oleh rajungan (100%). Ini berarti, pintu masuk berupa corong lebih efisien dibandingkan pintu masuk berupa celah dalam menangkap C. japonica atau semakin besar ukuran pintu masuk, maka target tangkapan makin mudah melewati pintu masuk tersebut. Atas dasar inilah, pintu masuk bubu lipat standar dimodifikasi dengan memperbesar ukurannya.
40
30, 5 cm
Gambar 23 Pintu masuk bubu nelayan (standar) berupa celah Berbagai macam bentuk pintu masuk diuji coba. Tinggi dari celah masuk yang terbentuk didasarkan pada tebal karapas kepiting bakau layak tangkap. Ketebalan rata-rata karapas kepiting bakau sebesar 3,5 cm. Ini dijadikan acuan dalam menentukan ketinggian minimum pintu masuk bubu yang dirancang. Oleh karena itu, tinggi pintu masuk bubu dapat lebih besar dari 3,5 cm agar mudah dilalui oleh kepiting bakau. Bentuk pintu masuk yang diuji coba selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 24. Perbedaannya terdapat pada dinding pembatas bagian atas yang diposisikan dengan sudut 180o pada pintu nomor 1, 40o (pintu nomor 2) dan 90o (pintu nomor 3). Penetapan bentuk pintu masuk nomor 2 didasari oleh bentuk pintu masuk nomor 1, sedangkan pintu masuk nomor 3 didasari oleh bentuk pintu masuk nomor 2. Ini disebabkan oleh kepiting bakau yang dapat meloloskan diri pada setiap pintu masuk yang diuji coba. Ukuran pintu masuk yang lebih besar membuat kepiting dapat lolos.
41
Bentuk pintu masuk nomor 1: Tinggi mulut masuk
α
Model lintasan masuk
Bentuk pintu masuk nomor 2:
Bentuk pintu masuk nomor 3: dinding pembatas bagian atas Model lintasan masuk
α Gambar 24 Tiga bentuk pintu masuk bubu Hasil percobaan yang kurang memuaskan menimbulkan ide lain terkait bentuk pintu masuk, sehingga tercipta bentuk pintu masuk nomor 4. Pintu masuk nomor 4 dapat diaplikasikan pada bubu lipat. Konstruksi pintu masuk tersebut ditunjukkan pada Gambar 25. Konstruksi pintu masuk ini sama dengan pintu masuk nomor 1, 2 dan 3, yaitu ukuran bukaan mulut yang besar. Hal ini yang membuat kepiting bakau dapat meloloskan diri melalui pintu masuk tersebut.
42
Gambar 25 Bentuk pintu masuk nomor 4 yang diterapkan pada bubu lipat Pintu masuk yang semakin besar akan memudahkan kepiting bakau masuk ke dalam bubu, namun juga dapat menjadi pintu pelolosan bagi kepiting. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Archdale et al. (2007) terkait kemampuan rajungan C. japonica dan Portunus pelagicus keluar dari bubu berbentuk balok dan kubah melalui pintu masuk dari kedua jenis bubu tersebut. Hasilnya adalah seluruh rajungan tidak dapat keluar dari bubu berbentuk balok, akan tetapi rajungan dapat keluar dari bubu berbentuk kubah. Ini jelas tidak sesuai dengan tujuan perancangan pintu masuk yang mudah dimasuki dan sulit dilewati oleh kepiting bakau pada penelitian ini. Atas dasar itulah pintu masuk bubu lipat dilengkapi dengan trigger atau deretan kawat besi untuk mencegah kepiting bakau meloloskan diri dari dalam bubu dengan lebar pintu masuk sebesar 5 cm. Trigger dapat digunakan sebagai alat untuk mencegah hasil tangkapan lolos dari bubu (Brandt 1984 dan High 1976 diacu dalam Salthaug 2002). Sistem kerja trigger adalah apabila kepiting melewati pintu masuk, maka trigger akan terangkat. Trigger segera tertutup kembali setelah kepiting bakau masuk ke dalam bubu akibat gaya gravitasi yang bekerja pada batang trigger (Miller 1990). Setiap pintu masuk bubu yang berbentuk empat persegi panjang tersusun atas 14 batang kawat besi yang dibuat berpasangan. Jarak setiap kawat 2 cm (Gambar 26). Ini dimaksudkan untuk mencegah kepiting bakau meloloskan diri melalui celah antar jeruji. Lebar celah yang terbentuk apabila trigger terangkat tidak besar. Gambar 27 menunjukkan pintu masuk yang telah dilengkapi dengan trigger.
43
2 cm
5 cm Gambar 26 Jarak antar trigger dan lebar pintu masuk bubu lipat modifikasi
2 cm 5 cm
Gambar 27 Pintu masuk bubu lipat modifikasi yang dilengkapi dengan trigger 4.4 Rancangan Konstruksi Bubu Lipat Hasil Modifikasi Percobaan yang telah dilakukan memperoleh hasil sebagai berikut: ukuran mata jaring lintasan sebesar 1 inci, sudut kemiringan (α) bidang lintasan 40o dan pintu masuk bubu berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 30,5 × 5 (cm). Ketiga hasil tersebut digunakan sebagai acuan dalam merancang bubu lipat modifikasi. Pada Gambar 28 ditunjukkan konstruksi bubu lipat standar yang telah dimodifikasi.
Gambar 28 Bubu lipat modifikasi Pintu masuk bubu dilengkapi dengan deretan batang kawat besi (trigger). Ini dimaksudkan agar kepiting bakau yang telah terperangkap tidak dapat meloloskan diri lagi. Bagian ujung setiap trigger dibengkokkan untuk
44
menghindari terangkatnya trigger akibat dorongan kepiting bakau yang bergerak aktif di dalam bubu (Gambar 29). Trigger berbentuk lurus akan mudah digeser atau diangkat oleh kepiting bakau dari arah dalam, sehingga akan membentuk celah dan memudahkan kepiting untuk keluar.
Gambar 29 Ujung trigger yang dibengkokkan Bubu hasil modifikasi dilengkapi dengan kantung umpan yang digantung di bagian tengah bubu. Ini ditujukan agar kondisi umpan tidak dirusak oleh kepiting bakau, sehingga bau yang dihasilkan umpan dapat bertahan lama. Selain itu, posisi umpan diletakkan berjejer di dalam kantung supaya permukaan tubuh umpan yang terkena aliran arus relatif lebih luas dibandingkan dengan posisi umpan yang diletakkan bertumpuk. Akibatnya, bau yang dikeluarkan oleh umpan menjadi lebih maksimal. Keuntungan lain adalah umpan tidak selalu termakan habis oleh kepiting bakau, sehingga nelayan dapat menghemat penggunaan umpan pada setiap pengoperasian bubu. Kantung umpan yang dirancang untuk bubu modifikasi berbentuk empat persegi panjang. Kerangka kantung umpan terbuat dari kawat besi galvanis. Kantung ini berukuran 20×8 (cm). Jaring PE (polyethylene) berukuran mata jaring 0,75 inci dijadikan sebagai pembungkus kerangka kantung umpan (Gambar 30). Mata jaring PE sengaja dipilih berukuran kecil agar sulit dirusak oleh kepiting bakau.
45
8 cm
20 cm Gambar 30 Kantung umpan pada bubu lipat modifikasi Kantung umpan diletakkan ditengah bubu. Bagian atas dan tiap sudut bawah kantung umpan dikaitkan pada kerangka bubu (Gambar 31). Ini dilakukan agar kantung umpan tetap pada posisinya saat kepiting bakau mencabik-cabik umpan. Kedua sisi kantung umpan berhadapan dengan pintu masuk bubu. Kondisi ini berbeda pada tempat umpan yang dipasang di bubu standar.
Gambar 31 Posisi kantung umpan saat bubu lipat modifikasi dioperasikan Pada bubu standar yang biasa dioperasikan oleh nelayan, umpan biasanya diletakkan di dasar bubu atau hanya ditusukkan pada sebatang kawat besi yang dibengkokkan. Kawat besi tersebut menghubungkan kerangka bawah dan atas bubu. Lalu dibengkokkan sedemikian rupa hingga dapat digunakan sebagai tempat umpan. Kawat besi tersebut dapat dilihat pada Gambar 32. Cara pemasangan umpan demikian menyebabkan umpan cepat habis dimakan oleh kepiting. Spesifikasi dari bubu standar dan modifikasi disajikan pada Tabel 3.
46
Gambar 32 Tempat umpan pada bubu lipat standar Tabel 3 Spesifikasi bubu No. Uraian 1. Badan bubu a. Bahan jaring b. Ukuran mata jaring (◊) 2. Kerangka bubu a. Bahan b. Ukuran kawat
c. Ukuran jeruji kawat besi (trigger) 3. Pintu masuk a. Bahan b. Bentuk pintu masuk
Bubu standar
Spesifikasi Bubu modifikasi
PE 210/D6
PE 210/D6
1,25 inci
Lintasan = 1 inci Dinding = 1,25 inci
Besi galvanis p: 48 cm l: 30,5 cm t: 18 cm ø 5 mm -
Besi galvanis p: 48 cm l: 30,5 cm t: 18 cm ø 5 mm ø 3 mm
PE ø: 1 mm Celah p: 30,5 cm
Kawat besi galvanis Empat persegi panjang 30,5 cm × 5 cm
47
4.5 Bubu Lipat Modifikasi dan Bubu Lipat Standar 4.5.1 Hubungan linear antara tebal dengan panjang, lebar dan berat tubuh kepiting bakau yang dijadikan sampel Uji regresi linear dilakukan pada variabel tebal karapas dengan panjang karapas, lebar karapas dan berat tubuh kepiting bakau. Tujuannya untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel dengan melihat nilai koefisien korelasi (r) dari masing-masing grafik yang terbentuk. Apabila nilai koefisien korelasi (r) mendekati 1 (Santoso 1999) atau lebih besar dari 0,6 (Wicaksono 2006), maka hubungan antar variabel sangat erat. Dengan demikian, analisis terhadap hasil penelitian dapat dilakukan, karena menunjukkan kewajaran dari ukuran tubuh kepiting bakau yang digunakan selama penelitian. Hubungan linear antara tebal T dengan panjang P, lebar L dan berat B kepiting bakau ditunjukkan oleh Gambar 33. Gambar 33 menguraikan 3 grafik yang menggambarkan hubungan antara tebal T dan panjang karapas kepiting bakau (Gambar 33-a), tebal T dan lebar karapas kepiting bakau (Gambar 33-b) serta tebal T dan berat kepiting bakau (Gambar 33-c). Masing-masing digambarkan dengan persamaan regresi T = 0,5562 P - 0,0274 dengan r sebesar 0,9821, T = 0,3547 L + 0,3529 (r = 0,9768) dan T = 0,0109 B + 2,0815 (r = 0,9722). Persamaan pada Gambar 33-a menjelaskan bahwa setiap pertambahan panjang 1 cm akan diikuti dengan peningkatan tebal kepiting bakau sebesar 0,5562 cm. Persamaan Gambar 33-b menunjukkan bahwa peningkatan tebal kepiting bakau sebesar 0,3547 cm disebabkan oleh pertambahan lebar setiap 1 cm-nya. Gambar 33-c menjelaskan bahwa setiap pertambahan berat tubuh kepiting bakau 1 g akan diikuti dengan peningkatan tebal kepiting bakau sebesar 0,0109 cm. Hubungan linear yang dimiliki oleh ketiga grafik pada Gambar 33 adalah sangat erat. Ini disebabkan oleh nilai koefisien korelasinya (r) mendekati 1 atau lebih besar dari 0,6. Berdasarkan nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa kepiting bakau yang dijadikan sampel penelitian memiliki ukuran karapas yang proporsional atau wajar.
48
(a)
(b)
(c) Gambar 33 Hubungan linear antara tebal T dengan panjang P, lebar L dan berat B tubuh kepiting bakau
49
4.5.2 Perbandingan jumlah kepiting bakau yang tertangkap di bubu lipat standar dan bubu lipat modifikasi Hasil pengujian bubu yang dilakukan sebanyak 20 ulangan didapatkan bahwa bubu modifikasi lebih banyak menangkap kepiting dibandingkan dengan bubu nelayan (standar). Jumlah total kepiting bakau yang tertangkap oleh bubu modifikasi mencapai 147 individu, sedangkan bubu standar hanya sebanyak 27 individu. Ini menunjukkan bahwa kepiting bakau yang tertangkap oleh bubu modifikasi 5,44 kali lebih banyak dari kepiting bakau yang tertangkap bubu standar. Hasil uji Kolmogorov–Smirnov menunjukkan bahwa kolom asymptotic significance untuk uji dua sisi adalah 0,000. Ini berarti probabilitas atau peluangnya kurang dari 0,05, sehingga Ho ditolak. Hal tersebut menjelaskan bahwa jumlah kepiting yang tertangkap oleh kedua bubu berbeda nyata. Kepiting bakau yang tertangkap pada bubu standar lebih sedikit dibandingkan dengan bubu modifikasi. Hal ini disebabkan oleh konstruksi pintu masuk bubu standar yang hanya berupa celah. Konstruksi pintu masuk ini menyulitkan kepiting bakau untuk melewatinya. Ini disebabkan oleh duri-duri yang terdapat pada capit dan karapasnya tersangkut pada celah masuk bubu lipat standar (Gambar 34). Akibatnya, jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu standar lebih sedikit dari bubu modifikasi. Pada Gambar 35 ditunjukkan perbedaan jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada kedua bubu tersebut. Tingkah laku tersebut juga diperlihatkan oleh rajungan Charybdis japonica pada penelitian yang dilakukan oleh Archdale et al. (2003) mengenai tingkah laku C. japonica terhadap bubu lipat berbentuk balok dan kubah yang diberi umpan. Rajungan kesulitan memasuki bubu lipat berbentuk balok dengan pintu masuk berupa celah. Kondisi tersebut disebabkan tersangkutnya duri-duri pada tubuh rajungan di jaring pintu masuk. Peristiwa tersebut tidak dialami rajungan saat melewati pintu masuk corong dari bubu lipat berbentuk kubah, karena ukuran pintu masuk bubu ini lebih besar dibandingkan pintu masuk bubu berbentuk balaok. Ukuran mata jaring bidang lintasan masuk juga mempengaruhi kepiting bakau tertangkap pada bubu. Ukuran mata jaring bidang lintasan bubu modifikasi yang sebesar 1 inci lebih mudah dilintasi kepiting bakau, karena kaki jalan dan
50
kaki renang kepiting bakau tidak terperosok masuk ke dalam mata jaring ataupun tergelincir dari jaring lintasan. Akibatnya, kepiting bakau mudah mencapai pintu masuk. Lain halnya dengan ukuran mata jaring bidang lintasan masuk bubu standar yang sebesar 1,25 inci. Ukuran mata jaring ini lebih dahulu menyulitkan kepiting bakau saat melintasinya karena kaki jalan dan kaki renangnya terperosok masuk ke dalam mata jaring, sehingga kepiting pun kesulitan untuk mencapai pintu masuk.
(a) Kepiting bakau tersangkut di pintu masuk bubu lipat standar
(b) Kepiting bertumpuk di depan pintu masuk bubu lipat standar Gambar 34 Posisi kepiting bakau di depan pintu masuk bubu lipat standar
51
Gambar 35 Jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh bubu lipat modifikasi (M) dan bubu lipat standar (S) Pada ulangan ke-4, 5, 7, 16, 19 dan 20, bubu standar tidak dapat menangkap satu kepiting bakau pun. Penyebabnya, kepiting bakau yang tersangkut pada celah bagian tengah pintu masuk bubu menghalangi kepiting bakau lainnya yang akan masuk. Pada beberapa kasus, kepiting bakau tidak jadi melintasi lintasan masuk bubu karena melihat kepiting bakau lain telah berada di depan pintu masuk sehingga cenderung menghindar.
52
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Lintasan masuk yang mudah dilalui kepiting bakau berupa jaring dengan ukuran mata jaring 1 inci dan sudut kemiringan 40o; 2. Pintu masuk bubu lipat modifikasi berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 30,5×5 (cm) yang dilengkapi dengan trigger; dan 3. Bubu lipat modifikasi lebih banyak menangkap kepiting bakau dibandingkan bubu lipat nelayan (standar). Jumlah total kepiting bakau yang tertangkap pada bubu lipat modifikasi sebanyak 147 individu, sedangkan bubu lipat nelayan 27 individu, atau bubu lipat modifikasi menangkap kepiting bakau 5,44 kali lebih banyak daripada bubu lipat nelayan. 5.2 Saran Saran untuk penelitian ini adalah: 1. Bubu lipat modifikasi perlu diuji coba di lapang untuk membuktikan keefektifan konstruksinya dalam menangkap kepiting bakau Scylla serrata; dan 2. Konstruksi bubu lipat perlu dimodifikasi berdasarkan karakteristik jenis kepiting bakau lain.
53
DAFTAR PUSTAKA Aldrianto E. 1994. Aktivitas Reproduksi Kepiting Bakau. Majalah Akuania Techner. Halaman 45 – 48. No 12. Tahun II. Almada D.P. 2001. Studi tentang Waktu Makan dan Jenis Umpan yang Disukai Kepiting Bakau (Scylla serrata). Skripsi [http://repository.ipb.ac.id/diakses tanggal 10 September 2012]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 47 hlm. Archdale M.V., Kariyazono L., and Anasco C.P. 2006. The Effect of Two Pot Types on Entrance Rate and Entrance Behaviour of the Invasive Japanese Swimming Crab Charybdis japonica. Fisheries Research. 77: 271-274. Archdale M.V., Anasco C.P., Kawamura Y., and Tomiki S. 2007. Effect of Two Collapsible Pot Design on Escape Rate and Behaviour of the Invasive Swimming Crab Charybdis japonica and Portunus pelagicus. Fisheries Research. 85: 202-209. Arriola F.J. 1940. A Preliminary Study of the Life History of Scylla serrata (Forskal). Philippine Journal of Science. 73: 437 - 456. Asmara H. 2004. Analisis Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi [http://repository.ipb.ac.id/diakses tanggal 20 September 2012]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 47 hlm. Brandt A.V. 1984. Fish Catching Methods of the World. Edisi ketiga. England: Fishing News Books Ltd. . Caesario R. 2011. Perbedaan Bobot dan Posisi Umpan terhadap Hasil Tangkapan Rajungan pada Bubu Lipat di Desa Mayangan, Kabupaten Subang. Skripsi [http://repository.ipb.ac.id/diakses tanggal 15 Januari 2012]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 174 hlm. Chairunnisa, R. 2004. Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Kawasan Hutan Mangrove KPH Batu Ampar, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Skripsi [http://repository.ipb.ac.id/diakses tanggal 25 September 2012]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 69 hlm.
54
Cholik F and Hanafi A. 2001. A Review of the Status of the Mud Crab (Scylla sp.) Fishery and Culture in Indonesia. Di dalam: C.A. Angella, editor. Report of the Seminar on the Mud Crab Culture and Trade. 1991 November 5 – 8. Swat Thani, Thailand. India: Bay of Bengal Programme (BOBP). hlm 13. Effendie M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Estamphador E.P. 1949. Studies of Scylla (Crustacea: Portunidae) I. Revision of Genus. Philippine Journal Science. 78 (3): 301 – 353. Guillory V and Prejean P. 1997. Blue Crap Callinectes sapidus Trap Selectivity Studies: Mesh Size. Marine Fisheries Review. 59 (1): 29-31. Hartnoll R.G. 1969. Mating in Brachyura. Crustaceana. 16 (2): 161-181. Hartnoll R.G. 1982. The Biology of Crustacea: Embryology, Morphology and Genetics. New York. Academic Press. 2: 111 – 196. High W.L. 1976. Escape of Dungeness Crabs from Pots. Marine Fisheries Review. 38 (4): 19-23. Hill B.J. 1975. Abundance, Breeding and Growth of the Crab Scylla serrata in Two South African Estuaries. Marine Biology. 32: 119 – 126. Kanna I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau Pembenihan dan Pembesaran. Yogyakarta: Kanisius. Kasry A. 1985. Pengaruh Antibiotik dan Makanan pada Tingkat Salinitas yang Berbeda terhadap Kelulus – Hidupan dan Perkembangan Larva Kepiting Scylla serrata (Forskal). Disertasi [http://repository.ipb.ac.id/diakses tanggal 17 Februari 2012]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 138 hlm. Kasry A. 1991. Budidaya Kepiting dan Biologi Ringkas. Jakarta: Bhratara Niaga Media. Kasry A. 1996. Budidaya Kepiting dan Biologi Ringkas. Jakarta: Bhratara Niaga Media.
55
Keenan C.P., Davie P.J.F and Mann D.L. 1998. A Revision of the Genus Scylla de Haan, 1983 (Crustacea: Decapoda: Branchyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology. 46 (1): 217 – 245. Keenan C.P. 1999. The Fourth Species of Scylla. Di dalam: Keenan C.P and A. Blackshaw, editor. Mud Crab Aquaculture and Biology. 1997 April 21 – 24. Darwin, Australia. Brisbane, Australia: PK Editorial Services. hlm 48. Komarudin D. 2012. Rancang Bangun Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau (Scylla serrata). Tesis [tidak dipublikasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 70 hlm. Kim D. and Ko K. 1987. Fishing Mechanism of Pots and Their Modification 2. Behaviour of Crab Charybdis japonica to Net Pots. Bulletin of the Korean Fisheries Society. 20 (4): 348-354. Kim D. and Ko K. 1990. Fishing Mechanism of Pots and Their Modification 4. An Experiment for Modifying the Pot for Crab Charybdis japonica. Bulletin of the Korean Fisheries Society. 23 (4): 310-314. Kordi K.M.G.H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Semarang: Dahara Prize. Lastari L. 2007. Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu Lipat, Bubu Bercelah (Escape Gap) dan Tanpa Celah (Non Escape Gap) di Perairan Kronjo. Skripsi [tidak dipublikasi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 67 hlm. Martasuganda S. 2003. Bubu (Traps). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Matjik A.A dan Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Edisi Kedua. Bogor: Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. hal 63. Miller R.J. 1990. Effectiveness of Crab and Lobster Traps. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 47 (6): 1228-1251. Moosa M.K., Aswandy I dan Kasry A. 1985. Kepiting Bakau Scylla serrata (Forskal) Through the Zoea and Megalopa Stages to the Crabs Stages. Q. Res. Rep. 1 (4): 14 – 18.
56
Motoh H. 1977. Biological Synopsis of Alimango, Genus Scylla. SEAFDEC Aquaculture Departmen. 185 p . Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. Phelan M., Errity C and Seidel K. 2005. Life of the Mud Crab. Fishnote. No. 11. November 2005. Phelan M and Grubert M. 2007. The Life Cycle of the Mud Crab. Fishnote. No. 11. March 2007. Puspito G. 2009. Perangkap Non Ikan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rosmaniar. 2008. Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp.) serta Hubungannya dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang. Tesis [http://repository.ipb.ac.id/diakses tanggal 2 Februari 2012]. Medan: Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. 63 hlm. Rusdi. 2010. Pengaruh Bentuk Celah Pelolosan (Escape Gap) pada Bubu Lipat terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Desa Mayangan, Kabupaten Subang. Skripsi [tidak dipublikasi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 192 hlm. Sadhori. 1985. Teknologi Penangkapan Ikan. Jakarta: CV Yasaguna Sainsbury J.C. 1996. Commercial Fishing Methods. Fishing News (Book). London, Tombridge: The White Friars Press Ltd. Salthaug A. 2002. Do Triggers in Crab Traps Affect the Probability of Entry?. Fisheries Research. 58: 403-405. Santoso S. 1999. SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Serosero R.H. 2005. Studi Distribusi dan Habitat Tiga Jenis Kepiting Bakau (S. serrata, S. paramamosain dan S. olivacea) di Perairan Pantai Desa Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tesis [tidak dipublikasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 134 hlm.
57
Serosero R.H. 2008. Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau (S. serrata, S. paramamosain dan S. olivacea) di Perairan Pantai Desa Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 1: 40 – 43. Siahainenia L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat. Disertasi [tidak dipublikasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 246 hlm. Slack R.J and Smith. 2001. Fishing with Traps and Pots. FAO Training Series. Italy: FAO. Subani W dan Barus H. R. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Edisi Khusus. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Sudirman H dan Mallawa A. 2004. Teknologi Penangkapan Ikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sulistiono S, Watanabe S dan Tsuchida S. 1994. Biology and Fisheries of Crab in Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture. 143 hal. Syafitriyanto I. 2009. Status Perikanan Kepiting Bakau (Scylla serrata) [internet]. http://wacanasainsperikanan.blogspot.com/2009/01/status-perikanan kepiting-bakau.html. [diunduh 21 Maret 2010]. Tiku M. 2004. Pengaruh Jenis Umpan dan Waktu Pengoperasian Bubu Lipat terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak. Tesis [http://repository.ipb.ac.id/diakses tanggal 15 Januari 2012]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 73 hlm. Tuhuteru A. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau Scylla serrata dan S. tranquebarica di Perairan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur. Skripsi [http://repository.ipb.ac.id/diakses tanggal 15 Januari 2012]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 84 hlm. Tupan I.C., Uneputty P.A dan Mamesah J.A.B. 2005. Hubungan Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla spp.) dengan Karakteristik Habitat pada Hutan Mangrove Perairan Pantai Desa Passo, Ambon. Ichthyos. 4 (2): 81 – 86.
58
Wibyosatoto B. 1994. Studi tentang Pengaruh Perbedaan Konstruksi Mulut Bubu (Funnel) pada Bubu Lipat terhadap Hasil Tangkapan di Perairan Bengkulu. Skripsi [tidak dipublikasi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 67 hlm. Wicaksono Y. 2006. Aplikasi Excel dalam Menganalisis Data. Seri Solusi Bisnis Berbasis Teknologi Informasi. Jakarta: PT Alex Media Komputindo. Yulianto T. 2011. Respons Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal 1775) terhadap Tingkat Kebusukan Umpan Keong Emas (Pomacea canaliculata Lamarck 1822). Tesis [http://repository.ipb.ac.id/diakses tanggal 10 September 2012]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 93 hlm.
LAMPIRAN
59
Lampiran 1 Data ukuran kepiting bakau percobaan Kode
Panjang (cm)
Lebar (cm)
Tebal (cm)
Berat (gram)
Jenis kelamin
1
6,93
9,80
3,80
160,37
B
2
6,60
9,60
3,76
140,10
B
3
6,50
9,55
3,80
157,41
J
4
7,15
10,03
4,00
169,87
B
5
7,15
9,76
3,94
172,03
B
6
7,00
9,70
3,80
153,08
B
7
7,07
10,1
3,98
164,57
J
8
6,94
9,74
3,74
164,83
B
9
7,02
9,72
3,79
145,34
J
10
6,22
8,80
3,44
148,14
J
11
6,20
8,56
3,50
116,38
B
12
6,05
8,53
3,15
101,02
B
13
6,05
8,53
3,22
103,70
B
14
6,38
8,83
3,50
129,60
B
15
6,34
8,90
3,36
137,99
J
16
6,20
8,60
3,57
145,42
J
17
5,63
7,82
3,12
87,11
B
18
5,46
7,81
3,05
82,26
B
19
5,50
7,61
3,07
77,34
B
20
5,29
7,25
3,05
76,94
B
21
5,20
7,26
2,73
74,23
B
22
5,42
7,42
2,97
82,67
J
23
4,97
6,77
2,69
58,42
J
24
5,14
6,65
2,88
62,26
B
25
5,21
6,95
2,89
70,09
B
26
5,06
6,86
2,80
67,08
B
27
5,22
6,81
2,86
71,89
B
28
4,49
6,28
2,46
50,71
J
29
4,83
6,48
2,65
59,34
J
30
4,48
5,77
2,46
40,90
B
31
6,70
9,45
4,00
137,78
B
32
6,22
9,05
3,55
138,83
J
33
6,14
9,00
3,50
130,08
B
34
6,74
9,15
3,54
140,42
B
35
6,30
9,10
3,58
128,30
J
36
6,08
8,33
3,28
107,01
B
37
5,22
7,20
2,94
75,72
B
38
4,95
7,03
2,84
64,59
J
39
5,36
7,04
2,97
80,17
B
40
4,64
6,42
2,68
53,38
J
60
Lampiran 2 Output perhitungan uji Kolmogorov – Smirnov 2 sampel Two-sample Kolmogorov-Smirnov test Frequencies
Jumlah_HT
Jenis_Bubu
N
Bubu M
20
Bubu N
20
Total
40 Test Statisticsa Jumlah_HT
Most Extreme Differences
Absolute
.900
Positive
.000
Negative
-.900
Kolmogorov-Smirnov Z
2.846
Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Jenis_Bubu
.000
61
Lampiran 3 Alat dan bahan penelitian
b) Timbangan
a) Video kamera
c) Refraktometer
d) Jangka sorong
e) Termometer
62
Lampiran 3 Lanjutan
f) Kepiting bakau
g) Udang sebagai umpan
h) Air laut
i) Akuarium
j) Bak percobaan
k) Filter
63
Lampiran 4 Proses pengukuran tubuh kepiting bakau
a) Lebar karapas
b) Panjang karapas
c) Tebal kepiting bakau
d) Berat tubuh kepiting bakau
64
Lampiran 5 Penampakan trigger pada bubu lipat modifikasi
a) Tampak dalam
b) Tampak luar
c) Tampak dalam samping atas
d) Tampak samping atas