1
PENGARUH BENTUK CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA BUBU LIPAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp.) DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG
RUSDI
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Bentuk Celah Pelolosan (Escape Gap)
Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau
(Scylla sp.) di Desa Mayangan Kabupaten Subang adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 30 Desember 2010 Rusdi
3
ABSTRAK RUSDI, C44061304. Pengaruh Bentuk Celah Pelolosan (Escape gap) Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Desa Mayangan, Kabupaten Subang. Dibimbing oleh MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR Kepiting bakau (Scylla sp.) merupakan salah satu komoditi perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting dan digemari oleh masyarakat. Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap komoditas kepiting bakau menyebabkan intensitas penangkapan terhadap kepiting bakau meningkat. Alat tangkap yang cukup dominan digunakan oleh nelayan Desa Mayangan adalah bubu lipat. Tertangkapnya kepiting bakau yang berukuran kecil dalam jangka panjang dapat membahayakan ketersediaan sumberdaya kepiting bakau sehingga mengancam keberlanjutan usaha penangkapan kepiting bakau. Oleh karena itu harus diupayakan agar kepiting bakau yang berukuran kecil dapat meloloskan diri ketika berada di habitatnya. Salah satu upaya yaitu dengan menggunakan celah pelolosan (escape gap) pada bubu lipat. Tujuan penelitian ini adalah menentukan jumlah, ukuran dan komposisi kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan bentuk celah pelolosan berbeda bentuk celah pelolosan yang digunakan adalah kotak, lingkaran dan ship same side corner rectangle (S3CR). Metode penelitian yang digunakan adalah experimental fishing dengan 10 kali setting. Bubu lipat dipasang dengan sistem tunggal. Kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran sebanyak 17 ekor atau 18,09%, S3CR sebanyak 21 ekor atau 22,34%, kotak sebanyak 8 ekor atau 8,51% dan bubu kontrol (non-escape gap) sebanyak 48 ekor atau 51,06% dari total hasil tangkapan. Rata-rata panjang karapas, lebar karapas dan berat kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran berturut-turut sebesar 44 mm, 66.1 mm, dan 51.76 gr. Rata-rata panjang karapas, lebar karapas dan berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak berturut-turut sebesar 35.7 mm, 51 mm, dan 27.5 gr. Rata-rata panjang karapas, lebar karapas dan berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR berturut-turut sebesar 53 mm, 74.7 mm, dan 100.48 gr. Adapun rata-rata panjang karapas, lebar karapas dan berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) berturut-turut sebesar 37.8 mm, 54.5 mm, dan 38.67 gr.
Kata kunci : bubu lipat, celah pelolosan, Scylla sp.
4
PENGARUH BENTUK CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA BUBU LIPAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp.) DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG
RUSDI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
5
Judul Penelitian
: Pengaruh Bentuk Celah Pelolosan (Escape Gap) Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Desa Mayangan, Kabupaten Subang
Nama Mahasiswa
: Rusdi
NRP
: C44061304
Program Studi
: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Disetujui : Pembimbing
Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si NIP: 19690604 199412 1 001
Diketahui : Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP: 19621223 198703 1 001
Tanggal lulus : 30 Desember 2010
6
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul Skripsi ini adalah “Pengaruh Bentuk Celah Pelolosan (Escape Gap) pada Bubu Lipat terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Desa Mayangan, Kabupaten Subang”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian pada bulan Mei 2009 hingga Juni 2009 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan arahan serta perhatian selama penelitian berlangsung hingga terselesaikannya karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis
menyadari
adanya
ketidaksempurnaan
dalam
skripsi
ini
dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan serta bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, Desember 2010
Penulis
7
UCAPAN TERIMAKASIH
1. Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si sebagai Komisi Pembimbing atas semua bimbingan, saran dan arahan serta perhatian selama penyusunan skripsi ini; 2. Dr. Ir. Muhammad Imron, M.Si sebagai Komisi Pendidikan Departemen PSP atas saran-sarannya terhadap skripsi ini; 3. Ir. Zulkarnain, M.Si yang telah berkenan menjadi penguji pada siding skripsi ini dan atas segala saran dan masukannya; 4. Ayahanda Aman Usman dan Ibunda Siti Herawati serta keluarga atas perhatian dan kasih sayangnya; 5. Bapak Warnita dan Bapak Rasa yang telah menyediakan tempat dan memberikan pengalaman baru selama penelitian di Desa Mayangan; 6. Puspalia Ayudiar Setiawati yang telah telah banyak membantu dalam proses pengolahan data dan pemahaman tentang analisis data; 7. Sahabat PSP 43 (Hanif, Arif, Bayu, Cesar, Iki, Rachman, Dedi, Troy, Adit, Gini, Mukhlis, Alfian, Ongkrek, Ryan, Rezki, Yasa, Fatra, Firman, Qbee, Qkee, Ike, Seli, Ari, Ami, Alin, Riri, Ratih, Ciwid, Alvi, Cumz, Siska. M, Miaw, Indah, Nanda, Pipih, Iniz, Lala, Viona, Nene’, Uthyla, Shinta, Icha, Esther, Enur, Anggi, Mardia, Ncek, Septa, Septi, Maria, Intan, Ghea, Rima, Refi, Mertha, Ina); 8. Penghuni Markas (Ocid, Udin, Bang Yoyo, Iqbal, Kuskus) yang telah menjadi sahabat selama penyusunan skripsi ini; 9. Pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Bogor, Desember 2010
Rusdi
8
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 6 Mei 1988 dari pasangan Bapak Aman Usman dan Ibu Siti Herawati. Penulis merupakan putra terakhir dari lima bersaudara. Pendidikan formal yang ditempuh di TK Al-Kahfi Jakarta (1995), SDN Rambutan 03 Jakarta (2000), SLTPN 103 Jakarta (2003), SMAN 93 Jakarta (2006). Pada tahun 2006, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten mata kuliah Teknologi Alat Penangkapan Ikan (2008/2009), Tingkah Laku Ikan (2009/2010), dan Eksplorasi Penangkapan Ikan (2009/2010). Selain itu penulis juga aktif di berbagai organisasi, di antaranya sebagai Staff Departemen Pengembangan Budaya Olahraga dan Seni (PBOS) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan tahun 2007/2008 dan kemudian menjadi Kepala Departemen Pengembangan Budaya, Olahraga dan Seni (PBOS) BEM-C tahun 2008/2009, pengurus Divisi Pengembangan Minat dan Bakat Himpunan Mahasiswa
Pemanfaatan
Sumberdaya
Perikanan
(HIMAFARIN)
tahun
2008/2009, serta anggota Divisi CERDAS Forum Komunikasi Muslim Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2008/2009. Penulis pernah mengikuti Kejuaraan Taekwondo Se-Bogor dan berhasil menyumbangkan medali perunggu bagi IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Pengaruh Bentuk Celah Pelolosan (Escape Gap) Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Desa Mayangan, Kabupaten Subang”.
9
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………………
i
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………...
ii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. v 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………….. 1.2 Tujuan Penelitian …………………………………………………….. 1.3 Manfaat Penelitian ……………………………………………………
1 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kepiting Bakau (Scylla sp.) ……………………………….. 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi …………………………………….. 2.1.2 Siklus hidup ....………………………………………………... 2.1.3 Tingkat kematangan gonad …………………………………... 2.1.4 Pemijahan …………………………………………………….. 2.1.5 Pertumbuhan …………………………………………………. 2.1.6 Habitat ………………………………………………………... 2.1.7 Tingkah laku …………………………………………………. 2.2 Deskripsi Bubu ……………………………………………………….. 2.3 Klasifikasi Bubu ……………………………………………………… 2.4 Konstruksi ……………………………………………………………. 2.4.1 Bentuk bubu ………………………………………………….. 2.4.2 Bahan bubu …………………………………………………... 2.4.3 Mulut bubu …………………………………………………… 2.5 Umpan ………………………………………………………………... 2.5.1 Jenis umpan ..…………………………………………………. 2.5.2 Ukuran dan bobot umpan …………………………………….. 2.5.3 Teknik pemasangan umpan …………………………………... 2.6 Celah Pelolosan ………………………………………………………. 2.6.1 Bentuk ………………………………………………………... 2.6.2 Ukuran …………………………………………………..……. 2.6.3 Posisi pemasangan …………………………………………… 2.7 Metode Penangkapan Bubu ………………………………………….. 2.8 Hasil Tangkapan Bubu ……………………………………………….. 2.9 Daerah Penangkapan …………………………………………………. 2.10 Nelayan ……………………………………………………………..
5 5 9 11 12 13 15 17 18 20 23 25 29 30 31 33 33 34 34 36 37 38 39 41 42 42
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat …………………………………………………… 44 3.2 Alat dan Bahan ……………………………………………………….. 44 3.3 Metode Penelitian ……………………………………………………. 45
10
3.3.1 Deskripsi alat yang digunakan ……………………………….. 3.3.2 Pengukuran hasil tangkapan…………………………………... 3.3.3 Penentuan ukuran layak tangkap ……………………………... 3.4 Analisis data …………………………………………………………..
45 50 52 52
4 KONDISI UMUM 4.1 Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang ..………….. 4.2 Keadaan perairan Kabupaten Subang ………………………………... 4.2.1 Faktor klimatologi perairan pantai Kabupaten Subang ...…….. 4.2.2 Karakteristik fisik perairan pantai Subang ..………………….. 4.2.3 Mangrove …………………………………………………….. 4.3 Unit Penangkapan Ikan 4.3.1 Kapal ………………………………………………………… 4.3.2 Alat tangkap ………………………………………………….. 4.3.3 Nelayan ………………………………………………………. 4.4 Potensi dan Produksi Perikanan ……………………………………… 4.5 Musim dan Daerah Penangkapan ……………………………………..
54 55 55 56 58 60 60 60 94 95 98
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ………………………………………………………………….. 5.1.1 Komposisi hasil tangkapan …………………………………... 5.1.2 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat …………………………………… 5.1.3 Komposisi hasil tangkapan yang tertangkap pada bubu dengan bentuk celah pelolosan yang berbeda dan bubu tanpa celah pelolosan ……………………………………………………... 5.1.4 Keragaman spesies hasil tangkapan ………………………….. 5.1.5 Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.) …………. 5.1.6 Distribusi ukuran hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.).. a) Panjang karapas …………………………………………... b) Lebar karapas …………………………………………….. c) Berat ……………………………………………………… 5.1.7 Hubungan antara panjang karapas dan lebar karapas ………... 5.1.8 Hubungan antara berat dan panjang karapas …………………. 5.1.9 Hubungan antara berat dan lebar karapas ……………………. 5.1.10 Rasio jenis kelamin …………………………………………... 5.2 Pembahasan ………………………………………………………..… 5.2.1 Komposisi total hasil tangkapan ……………………………... 5.2.2 Distribusi ukuran hasil tangkapan kepiting bakau …………… 5.2.3 Rasio jenis kelamin …………………………………………...
99 99 104
105 109 110 114 114 120 125 130 131 132 133 135 135 139 143
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ……………………………………………………….….. 145 6.2 Saran ………………………………………………………………….. 145 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………...
146
LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 153
11
DAFTAR TABEL
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Perbedaan morfologi pada Genus Scylla ……………………………… Spesifikasi teknis bubu lipat ………………………………………… Perkembangan jumlah kapal tahun 2006-2009 ……………………… Jenis alat tangkap di Kabupaten Subang ……………………………… Jumlah nelayan di Kabupaten Subang………………………………… Potensi perikanan Kabupaten Subang Tahun 2003 …………………… Perkembangan Produksi Ikan Kabupaten Subang …………………… Produksi Ikan Laut Kabupaten Subang Tahun 2007 …………………… Komposisi total hasil tangkapan……………………………………… Hasil uji Mann Whitney terhadap total hasil tangkapan ……………… Hasil uji Mann Whitney terhadap hasil tangkapan kepiting bakau ……
7 45 60 61 95 96 97 97 100 109 114
12 Hasil uji Mann Whitney terhadap panjang karapas kepiting bakau …...
120
13 Hasil uji Mann Whitney terhadap lebar karapas kepiting bakau ………
125
14 Hasil uji Mann Whitney terhadap berat kepiting bakau ………………
130
12
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Kepiting bakau (Scylla sp.) …………...……………………………………
8
2
Perbedaan kepiting bakau jantan dan betina ………………………………
9
3
Siklus hidup kepiting bakau …………………………………………………
11
4
Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat …………………………………
18
5
Metode pengoperasian bubu ………………………………………………
23
6
Jenis-jenis bentuk bubu ……………………………………………………
26
7
Tiga tipe bentuk bubu ………………………………………………………
27
8
Konstruksi bubu wadong ……………………………………………………
28
9
Konstruksi bubu bubu pintur ………………………………………………
28
10 Konstruksi bubu lipat ………………………………………………………
29
11 Posisi pemasangan escape gap pada bubu lipat ……………………………
39
12 Gambar konstruksi alat tangkap bubu lipat …………………………………
46
13 Rancangan pemasangan bubu lipat di perairan ……………………………
47
14 Pemasangan escape gap dengan bentuk S3CR ……………………………
48
15 Pemasangan escape gap dengan bentuk kotak ……………………………… 49 16 Pemasangan escape gap dengan bentuk lingkaran …………………………
49
17 Keterangan panjang dan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) …………
50
18 Keterangan panjang karapas udang …………………………………………
51
19 Keterangan panjang total pada ikan …………………………………………
51
20 Konstruksi payang …………………………………………………………
63
21 Konstrusi dogol ……………………………………………………………
67
22 Konstruksi jaring arad ………………………………………………………
71
23 Desain dan konstruksi gillnet millennium …………………………………
76
24 Desain dan konstruksi jaring klitik ...………………………………………
81
25 Desain dan konstruksi jaring rampus ………………………………………
85
26 Konstruksi pancing rawai …………………………………………………… 88 27 Konstruksi bubu lipat Kabupaten Subang …………………………………
91
28 Konstruksi jala tebar ………………………………………………………
94
13
29 Komposisi total hasil tangkapan bubu dengan menggunakan celah pelolosan 100 30 Komposisi total hasil tangkapan bubu tanpa celah pelolosan ……………….
101
31 Rata-rata hasil tangkapan per trip dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu per trip ……………………………………………………………………….......
102
32 Rata-rata hasil tangkapan per stasiun dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu per stasiun ………………………………………………………………….
103
33 Total hasil tangkapan pada tiap jenis bubu …………………………………
104
34 Rata-rata jumlah hasil tangkapan pada bubu non-escape gap dan bubu dengan bentuk escape gap berbeda ………………………………………… 104 35 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat ………………………………………………………………………….. 105 36 Komposisi total hasil tangkapan bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran, S3CR, kotak dan non-escape gap ………………………………
108
37 Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau per trip dan rata-rata hasil tangkapan 111 per bubu per trip …………………………………………………………… 38 Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau per trip dan rata-rata hasil tangkapan 112 per bubu per trip …………………………………………………………… 39 Total hasil tangkapan pada tiap jenis bubu ………………………………… 113 40 Rata-rata jumlah hasil tangkapan pada bubu non-escape gap dan bubu dengan bentuk escape gap berbeda ………………………………………… 113 41 Sebaran panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) ……………………… 115 42 Distribusi panjang karapas kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran, S3CR, kotak dan non-escape gap………….................................................................................................... 118 43 Rata-rata panjang karapas kepiting bakau pada bubu non- gap dan bubu dengan bentuk escape gap berbeda………………………………………… 119 44 Sebaran lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) …………………………
120
45 Distribusi lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran, S3CR, kotak dan non-escape gap………….................................................................................................... 123 46 Rata-rata lebar karapas kepiting bakau pada bubu non- gap dan bubu dengan bentuk escape gap berbeda………………………………………… 124 47 Sebaran berat kepiting bakau (Scylla sp.) …………………………………...
125
48 Distribusi berat kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran, S3CR, kotak dan non-escape gap………….................................................................................................... 128 49 Rata-rata berat kepiting bakau pada bubu non- gap dan bubu dengan bentuk 129 escape gap berbeda………………………………………………………… iii
14
50 Hubungan antara panjang karapas dengan lebar karapas kepiting bakau........
131
51 Hubungan antara berat dengan panjang karapas kepiting bakau ……………
132
52 Hubungan antara berat dengan lebar karapas kepiting bakau ………………. 133 53 Jumlah kepiting bakau jantan dan kepiting bakau betina yang tertangkap pada tiap bubu ………………………… …………………………………… 134 54 Kepiting bakau berukuran kecil yang tertangkap pada bubu non-escape gap 138 55 Kerusakan pada celah pelolosan ……………………………………………
141
56 Mekanisme keluarnya kepiting bakau melalui celah pelolosan ……………. 143
iv
15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 15 16 17 18 19 20
Peta lokasi penelitian …...…..………………………………………… Peta geografis Desa Mayangan…………….………………………… Bahan dan alat yang digunakan selama penelitian .………………… Hasil tangkapan bubu lipat selama penelitian …..…………………… Jenis dan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap trip ….…… Hasil Uji Kruskal-Wallis terhadap total hasil tangkapan pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda………………… 21 Hasil Uji Mann Whitney terhadap total hasil tangkapan pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda ………………… 22 Hasil perhitungan Indeks Shannon Wiener ............................................. 23 Hasil Uji Kruskal-Wallis terhadap hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda ………
153 154 155 157 158 172 173 175 177
24 Hasil Uji Mann Whitney terhadap hasil tangkapan kepiting bakau pada 178 bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda ………….. 25 Hasil Uji Kruskal-Wallis terhadap panjang karapas kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda ……… 181 26 Hasil Uji Mann Whitney terhadap panjang karapas kepiting bakau pada 182 bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda …………… 27 Hasil Uji Kruskal-Wallis terhadap lebar karapas kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda …………… 28 Hasil Uji Mann Whitney terhadap lebar karapas kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda ……………
185
186 29 Hasil Uji Kruskal-Wallis terhadap berat kepiting bakau pada bubu 189 yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda ………………… 30 Hasil Uji Mann Whitney terhadap berat kepiting bakau pada bubu yang 190 menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda ……………………..…
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kepiting bakau merupakan salah satu komoditi perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting dan digemari oleh masyarakat karena dagingnya yang enak dan nilai gizinya yang tinggi. Potensi kepiting bakau di Indonesia cukup besar, karena kepiting memiliki distribusi yang sangat luas dan dapat ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia terutama pada perairan yang ditumbuhi hutan mangrove. Menurut catatan Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan Laut (1998), potensi kepiting bakau di Indonesia mencapai 7.980 ton/tahun pada tahun 1995 dengan luas penyebaran 114.335 Ha. Penyebaran kepiting bakau di seluruh perairan pantai Indonesia belum seluruhnya dimanfaatkan (Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan Laut, 1998). Kepiting bakau memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga menjadikan organisme ini sebagai salah satu komoditas andalan untuk ekspor. Negara tujuan ekspor antara lain Amerika Serikat, Jepang, Australia, Benelux, Hongkong, Taiwan, Singapura, Korea Utara dan Korea Selatan (Kanna 2002). Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap komoditas kepiting bakau menyebabkan intensitas penangkapan terhadap kepiting bakau meningkat. Peningkatan intensitas penangkapan ini ditandai dengan meningkatnya nilai ekspor kepiting bakau di Indonesia. Pada tahun 2000 mencapai 12.381 ton, dan pada tahun 2007 meningkat hingga mencapai 27.726 ton (BPS 2004 vide BAPPENAS 2005). Peningakatan produksi kepiting bakau secara langsung dapat berdampak pada peningkatan pendapatan nelayan penangkap kepiting. Namun dari segi sumberdaya kepiting bakau juga dapat berdampak pada berkurangnya ketersediaan sumberdaya kepiting bakau apabila tidak dilakukan upaya untuk mencegah penangkapan yang berlebihan. Kepiting bakau saat ini ditangkap dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Di wilayah Papua, kepiting bakau banyak ditangkap dengan gae-gae. Gae-gae adalah alat yang terbuat dari ranting pohon bakau dengan diberi kait pada bagian ujungnya untuk menangkap kepiting bakau. Di wilayah Sulawesi Selatan, kepiting bakau ditangkap menggunakan rakkang. Rakkang adalah alat yang
2
terbuat dari bahan bambu dan tali plastik. Satu bilah bambu dibentuk menjadi tongkat pada bagian ujung bawah runcing, satu bilah bambu lainnya dibentuk lingkaran berfungsi sebagai tempat anyaman tali plastik. Rakkang dipasang di daerah pantai, muara sungai dan pintu masuk tambak (Soim, 1994). Adapun di Desa Mayangan Kabupaten Subang, kepiting bakau banyak ditangkap menggunakan bubu lipat. Bubu lipat adalah alat tangkap dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi yang dipasang secara pasif dan dibuat sedemikian rupa sehingga ikan masuk ke dalamnya dan sukar untuk keluar (Subani dan Barus 1989). Bubu lipat terbuat dari rangka besi dan ditutup dengan menggunakan jaring Polyethylene (PE) dengan ukuran mata jaring 1.5 x 1.5 cm. Penutupan badan bubu menggunakan jaring dengan ukuran mata jaring 1.5 cm menyebabkan kepiting bakau yang masih berukuran kecil (under size crab) turut tertangkap dan sulit meloloskan diri. Biota lainnya yang berukuran kecil yang bukan merupakan target penangkapan juga turut tertangkap. Tertangkapnya kepiting bakau yang berukuran kecil dan non-target species lainnya dalam jangka panjang dapat membahayakan ketersediaan sumberdaya
kepiting
bakau
sehingga
mengancam
keberlanjutan
usaha
penangkapan kepiting bakau. Oleh karena itu harus diupayakan agar kepiting bakau yang berukuran kecil dapat meloloskan diri ketika berada di habitatnya. Upaya untuk meloloskan kepiting bakau yang berukuran kecil ketika masih berada di habitatnya dirasa sangat penting karena apabila pelolosan dilakukan bersamaan dengan kegiatan hauling, kepiting akan mengalami luka yang dapat menyebabkan kematian atau terluka karena terkena udara terbuka (air exposure) maupun kematian akibat predator (Brown dan Caputi, 1985). Salah satu upaya untuk meloloskan kepiting bakau yang berukuran kecil dan biota lain yang merupakan non target species dapat dilakukan dengan menggunakan celah pelolosan (escape gap). Iskandar dan Lastari (2007) menyatakan bahwa celah pelolosan dapat meningkatkan hasil tangkapan rajungan yang layak tangkap sebesar 63.6 %. Iskandar dan Komarudin (2009) menyatakan bahwa penggunaan escape gap pada bubu tambun dapat meningkatkan hasil tangkapan kerapu koko layak tangkap sebesar 100 % dibandingkan dengan bubu tanpa escape gap. Penggunaan escape gap pada bubu masih belum dilakukan di Indonesia,
3
sedangkan untuk Negara maju pemasangan escape gap menjadi suatu keharusan untuk meloloskan hasil tangkapan sampingan (by catch) berupa non target species maupun hasil tangkapan yang berukuran kecil. Celah pelolosan (escape gap) merupakan celah yang dibuat pada bubu dengan letak, bentuk, dan ukuran tertentu. Escape gap berfungsi sebagai tempat keluar ikan yang tidak menjadi target tangkapan karena ukurannya di bawah ukuran pasar (Iskandar, 2006). Efektifitas escape gap dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran, lokasi pemasangan dan bentuk (Krouse, 1978). Umumya beberapa peneliti melakukan penelitian dengan escape gap brbentuk kotak dan lingkaran. Seperti penelitian yang dilakukan Lastari (2007) yang melakukan penelitian mengenai pemasangan escape gap untuk meloloskan rajungan yang berukuran di bawah 6 cm. Escape gap yang digunakan berbentuk kotak dengan ukuran panjang 5,2 cm dan lebar 3,8 cm, escape gap dipasang di sisi bubu. Hasil yang diperoleh adalah ukuran lebar dan panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan escape gap cenderung lebih besar dibandingkan bubu tanpa escape gap, masing-masing dengan rata-rata 121,4 mm dan 59,6 mm, sedangkan pada bubu tanpa escape gap rata-rata lebar dan panjang karapas sebesar 80,3 mm dan 40,45 mm. Selain itu Boutson (2004) melakukan penelitian mengenai bentuk escape gap yang efektif dalam meloloskan kepiting yang belum layak tangkap. Bentuknya antara lain kotak, persegi panjang, lingkaran, dan oval. Hasil penelitian menunjukkan bahwa escape gap berbentuk kotak paling efektif dalam meloloskan kepiting yang belum layak tangkap dengan persentase sebesar 71,9 %. Sampai saat ini penelitian tentang bentuk escape gap yang meloloskan jenis crustacea yang belum layak tangkap di Indonesia masih terbatas dengan escape gap yang berbentuk kotak dan lingkaran. Kepiting bakau yang layak tangkap dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu layak tangkap secara biologi dan ekonomi. Ukuran kepiting bakau yang layak tangkap secara biologi memiliki panjang karapas 4,27 cm (Aldrianto,1994). Adapun ukuran kepiting bakau layak tangkap secara ekonomi memiliki panjang karapas di atas 5,14 cm. Pada penelitian ini penulis tertarik untuk menganalisis kemampuan di berbagai bentuk escape gap untuk meloloskan hasil tangkapan kepiting bakau yang belum layak tangkap secara ekonomi.
4
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan antara lain adalah : 1. Menentukan
komposisi
spesies
yang
tertangkap
pada
bubu
yang
menggunakan escape gap dengan bentuk berbeda. 2. Menentukan jumlah dan ukuran kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu yang menggunakan escape gap dengan bentuk berbeda. 3. Menentukan bentuk escape gap yang optimal untuk menangkap kepiting bakau yang layak tangkap secara ekonomis.
1.3 Manfaat Penelitian 1. Mengurangi hasil tangkapan sampingan berupa kepiting bakau yang belum berukuran layak tangkap; 2. Mengurangi waktu penyortiran hasil tangkapan sampingan; 3. Memberikan peluang kepada kepiting kecil untuk melakukan pertumbuhan sehingga kelestarian tetap terjaga; 4. Dalam jangka waktu panjang diharapkan dapat menjaga kelestarian populasi kepiting bakau di perairan mangrove.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi kepiting bakau
2.1.1 Klasifikasi dan morfologi Klasifikasi kepiting bakau menurut Sulistiono et al. (1992) vide Sirait (1997) adalah sebagai berikut : Filum
: Anthropoda
Sub filum
: Mandibulata
Kelas
: Crustacea
Subkelas
: Malacostraca
Tribe
: Eumalacostraca
Superordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Pleocyemata
Infraordo
: Brachyura
Famili
: Portunidae
Subfamili
: Portuninae
Genus
: Scylla
Spesies
: Scylla sp. Kepiting bakau, pada banyak tempat di daerah Indo-Pasifik dikenal
dengan berbagai nama. Di Jawa kepiting bakau dikenal dengan nama kepiting, sedangkan di Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal dengan nama ketam batu, kepiting cina atau kepiting hijau. Di Philipina kepiting bakau dikenal dengan nama alimango, sedangkan di Hawaii kepiting bakau dikenal dengan nama samoan crab (Kasry, 1996). Kepiting bakau adalah hewan berkulit keras dari Ordo Decapoda. Ordo Decapoda ditandai dengan adanya 10 buah (lima pasang) kaki, pasangan kaki pertama disebut capit yang berperan sebagai alat penangkap/pemegang makanan, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas (pipih) yang berfungsi sebagai kaki renang dan pasangan kaki selebihnya sebagai kaki jalan. Dengan capit dan kaki jalan, kepiting bakau bisa berlari cepat di darat dan berbekal kaki renang dapat
6
berenang dengan cepat di air sehingga tergolong Swimming Crab (Portunidae) (Rangka, 2007). Kepiting bakau memiliki karapas berwarna seperti lumpur atau sedikit kehijauan. Pada bagian kiri dan kanan karapas terdapat sembilan buah duri tajam, dan pada bagian depan di antara kedua tangkai mata terdapat enam buah duri. Dalam keadaan normal capit kanannya lebih besar daripada capit kirinya dengan warna kemerahan pada masing-masing ujung capit. Kepiting bakau memiliki tiga pasang kaki jalan dan satu pasang kaki renang. Kaki renangnya terdapat pada bagian ujung abdomen dimana pada bagian ujungnya dilengkapi dengan alat pendayung (Kasry, 1996). Sulistiono et al. (1992) vide Sirait (1997) menyatakan bahwa karapas kepiting berbentuk cembung dan halus, lebar karapas satu setengah dari panjangnya, karapas memiliki bentuk alur H antara gastrik dan kardiak, empat duri triangular pada bagian lengan mempunyai ukuran sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting bakau betina berbentuk sedikit membulat. Kepiting bakau yang ada di Indonesia terdiri dari tiga spesies dan satu varietas kepiting bakau Genus Scylla, antara lain Scylla serrata, Scylla oceanic, Scylla tranquebarica, dan Scylla serrata varietas paramamosain. Perbedaan mendasar terletak pada bentuk morfologi terutama bentuk duri baik pada karapas maupun pada bagian capitnya serta warna dominan pada tubuhnya. Secara umum Scylla oceanic dan Scylla tranquebarica memiliki ukuran yang lebih besar daripada Scylla serrata pada umur yang sama (Rangka, 2007). Adapun Keenan (1997) vide Butar-butar (2006), membagi Genus Scylla ke dalam 3 spesies yaitu Scylla olivaceae, Scylla tranquebarica, dan Scylla serrata. Perbedaan morfologi untuk membedakan ketiga jenis dari genus Scylla yaitu warna, gigi depan karapas, bentuk duri pada sendi jari, dan bentuk rambut. Secara detail, perbedaan tentang morfologi dari Genus Scylla disajikan dalam Tabel 1. Kepiting bakau memiliki ukuran lebar karapas lebih besar daripada ukuran panjang tubuhnya dan permukaan karapasnya agak licin. Dahi kepiting terletak di antara kedua matanya (Gambar 1). Pada dahi terdapat enam buah duri dan disamping kanan kirinya terdapat sembilan buah duri anterolateral. Duri
7
anterolateral tersebut berfungsi untuk mendeteksi keadaan sekitar, baik keadaan mangsa maupun keadaan bahaya yang mengancam. Selain capit, kepiting memiliki tiga pasang kaki untuk berjalan dan satu pasang kaki untuk berenang. Kaki renang terletak di ujung perut, bentuknya seperti dayung. Merus adalah raus capit paling dekat dengan perut, memiliki tiga buah duri kokoh. Karpus adalah ruas kedua capit dari perut yang memiliki dua duri kokoh (Kanna, 2002). Tabel 1 Perbedaan morfologi pada Genus Scylla Karakteristik Menurut Spesies dan Varietas Scylla Scylla Scylla Scylla Scylla serrata Morfologi oceanic tranquebarica serrata olivaceae var. paramamosain Dominasi Hijau Hijau, ungu Hijau Hijau warna atau hijau kehijauan menuju coklat keabuan atau coklat hijau abumerah, ungu abu seperti karat Sumber Pigmen Pigmen pembuat polygonal dan polygonal warna berada pada termasuk kaki terakhir keliped Bentuk H Dalam Dalam Tidak Tidak begitu pada karapas begitu dalam dalam Gigi depan Tajam Tumpul Landai Sedang karapas Duri pada Kedua Kedua duri Kedua Satu duri sendi duri jelas dan satu duri runcing, jari/fingerjoint jelas dan agak tumpul tumpul satu agak runcing tumpul Rambut/setae Kedua duri Melimpah Hanya jelas dan satu pada pada agak tumpul karapas daerah hepatic Sumber : Keenan (1997) vide Butar-butar (2006) Kepiting bakau jantan dan betina dapat ditentukan secara visual. Menurut Edwards (1988), perbedaan jenis kelamin pada kepiting bakau sangat mudah ditentukan. Kepiting bakau betina memiliki abdomen yang lebar, sedangkan kepiting bakau jantan memiliki abdomen yang menyempit. Capit dari kepiting jantan ukurannya lebih panjang daripada kepiting betina. Perbedaan dari kepiting jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 2.
8
Sumber: FAO,-
Gambar 1 Kepiting bakau (Scylla serrata).
Sumber: Grie (2010)
Gambar 2 Perbedaan kepiting bakau jantan dan betina
9
2.1.2 Siklus Hidup Pada siklus hidupnya, kepiting bakau dewasa beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki perairan bakau atau tambak. Setelah melakukan perkawinan, kepiting betina perlahan-lahan akan beruaya ke perairan bakau atau tambak, ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk memijah. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak atau di sela-sela bakau atau paling jauh di sekitar periaran pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang memiliki sumber makanan melimpah (Kasry, 1996). Kepiting jantan akan mendekati sang betina dan membawanya mencari tempat yang sunyi. Lima hari kemudian atau lebih, kepiting betina berganti karapas (molting) yang disertai dengan pengeluaran hormon yang mampu menarik kepiting jantan untuk mendekatinya. Dalam kondisi demikian bisa membahayakan kepiting betina yang sedang molting dan mengeluarkan hormon tersebut. Pada konsidi molting ini, kepiting yang tertarik bukan hanya kepiting yang menjadi pasangannya saja, tetapi juga kepiting jantan lain bahkan juga kepiting betina. Kepiting lain yang tertarik untuk mendekat pada kepiting bakau yang sedang molting ini akan mendapat perlawanan dari kepiting
jantan yang menjadi
pasangannya dan tidak menutup kemungkinan terjadi perkelahian. Kepiting betina yang masih lunak tersebut tidak menutup kemungkinan terinjak-injak dan hancur oleh capit-capit tajam tanpa sengaja. Bahkan kepiting betina yang cemburu akan mengoyak-ngoyak kepiting betina yang masih lunak tersebut. Bila keadaan aman, kepiting jantan mendekati kepiting betina dan membelai-belai kepiting betina yang kulitnya sudah akan mengeras dengan perlahan sambil berusaha membalikannya. Dalam keadaan saling beradu tubuh dan perut, keduanya berenang secara perlahan dan setelah beberapa jam kemudian perkawinan berlangsung (Kordi, 1997). Perkawinan/kopulasi akan terjadi pada saat karapas kepiting betina masih dalam keadaan lunak. Proses perkawinannya dilakukan dengan cara memasukkan
10
alat kelamin jantan ke dalam spermateka kepiting betina di bagian abdomen dan kepiting jantan meletakkan spermanya di bagian tersebut. Bagian abdomen kedua kepiting saling berhadapan dengan posisi jantan tetap di atas dan tutup kelamin betina yang berbentuk seperti stupa dalam posisi terbuka (Aldrianto, 1994). Menurut Kordi (1997), perkawinan berlangsung 7-12 jam dan sesudah itu kedua kepiting berpisah. Selanjutnya kepiting betina akan beruaya ke laut untuk memijah. Seekor kepiting betina diperkirakan mengandung 2.000.000-8.000.000 telur, tergantung dari ukuran dan umur kepiting betina yang memijah. Sekali melakukan pemijahan, kepiting betina mampu menyimpan sperma jantan dan dapat melakukan pemijahan hingga 3 kali tanpa perkawinan lagi. Menurut Kasry (1996), telur kepiting yang telah dibuahi akan menetas menjadi zoea (Z I, II, III, IV, V), megapola, kepiting muda dan akhirnya menjadi kepiting dewasa. Kepiting betina dewasa beruaya ke laut lepas guna memijahkan telurnya (Gambar 3). Selanjutnya menurut Warner (1977) vide Irawati (2002), pemijahan kepiting bakau berlangsung di dasar perairan yang dalam dan mengikuti periode bulan, khususnya pada bulan-bulan baru. Jarak ruaya kepiting bakau tidak lebih dari satu kilometer dari pantai, tetapi pada saat-saat tertentu kepiting bakau juga ditemukan memijah di tambak bandeng dan estuaria. Perjalanan kepiting betina dewasa dimulai di pantai dan beruaya ke laut. Kepiting ini kemudian berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau perairan berhutan bakau. Hal ini dilakukan kepiting untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri (Kanna, 2002).
11
Peningkatan Salinitas
Hutan bakau
Kepiting muda
Estuary megalop
Menetas zoea berpasangan
Memijahkan telurnya
Betina sedang lepas cangkang
kopulasi
Telur menempel pada rambut pleopod
Sumber: Soim (1994) digambar ulang oleh: Rusdi (2010)
Gambar 3 Siklus hidup kepiting bakau 2.1.3 Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap perkembangan gonad dari awal sebelum memijah sampai sesudah memijah. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari proses produksi, perkembangan gonad terjadi akibat adanya proses vitellogenesis yaitu proses akumulasi kuning telur pada tiap-tiap sel telur (Serosero, 2005). Tingkat kematangan gonad dapat ditentukan secara morfologis dan histologis. Penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologis dapat dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna serta perkembangan isi gonad, sedangkan secara histologis dapat dilihat dari perkembangan bentuk anatomi gonadnya
12
(Effendie, 2002). Selanjutnya Kanna (2002) menyebutkan bahwa ciri kepiting bakau yang telah matang gonad memiliki lebar karapas 9-10 cm dan warna abdomen telah menyerupai warna karapasnya. Adapun Syafitriyanto (2009) menambahkan bahwa tingkat kematangan gonad dapat diketahui dengan menekan batas perut bagian belakang dan karapas. Kepiting matang gonad akan terlihat gonad yang berwarna oranye atau kuning. Hartnoll (1969) vide Serosero (2005), menyatakan bahwa perkembangan ovarium menjadi matang hanya dapat dicapai jika kepiting betina telah mengalami proses kopulasi. Pada kondisi normal kepiting bakau dapat matang gonad dan memijah di perairan payau. Kematangan gonad kepiting bakau dapat dicapai jika telah mengalami proses kopulasi yang pertama kali. Untuk mencapai kematangan gonad, biasanya lebar karapas kepiting bakau berkisar antara 105-123 mm atau 99.1-114.2 mm, sedangkan keadaan tersebut dapat dicapai antara lima bulan sampai satu tahun. Di perairan Indonesia, kepiting bakau betina yang telah matang kelamin mempunyai panjang karapas 42.7 mm dan lebarnya 80 mm (Aldrianto, 1994). 2.1.4 Pemijahan Pemijahan adalah salah satu bagian dari reproduksi dan merupakan mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies (Serosero, 2005). Adapun menurut Siahainenia (2008), pemijahan pada kepiting adalah proses pengeluaran masa telur dari kepiting bakau betina. Proses ini terjadi setelah sel telur mengalami vitelogenesis sempurna dan inti sel telur (nukleus) telah bergerak ke tepi atau terjadi setelah sel telur mencapai matang sempurna. Proses pemijahan umumnya berlangsung pada substrat perairan berpasir atau pasir berlumpur. Ketika kepiting bakau betina telah siap untuk memijahkan telur-telurnya, maka kepiting tersebut akan membuat lubang dangkal pada substrat dengan bantuan tutup abdomennya. Kepiting aktif memijah antara bulan Mei sampai September dengan jumlah telur yang dihasilkan sekitar dua juta butir dan selanjutnya akan kembali matang telur setelah lima bulan sejak telur dierami. Pemijahan kepiting umumnya berlangsung sepanjang tahun dengan puncak pemijahan yang terjadi pada waktu yang berbeda sepanjang tahun. Masa pemijahan kepiting bakau berlangsung selama lima bulan. Pemijahan berlangsung
13
pada perairan yang dalam dengan mengikuti periode bulan dan jarak ruayanya tidak lebih dari satu kilometer dari pantai. Pada saat-saat tertentu kepiting bakau juga ditemukan memijah di tambak dan muara (Kasry 1996). Selanjutnya Brick (1974) vide Serosero (2005) menambahkan bahwa pemijahan akan berlangsung pada dasar perairan yang dalam bila kondisi lingkungan telah sesuai. Di Hawai, pemijahan berlangsung pada bulan Mei sampai akhir bulan Oktober yaitu pada saat suhu air berkisar antara 240 C hingga 280 C, sedangkan di Thailand puncak kegiatan pemijahan berlangsung dari bulan Juli hingga bulan Desember yakni pada pertengahan awal musim panas hingga musim hujan (Kasry 1996). 2.1.5 Pertumbuhan Pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan panjang, volume dan bobot berat terhadap perubahan waktu (Hartnoll, 1982 vide Serosero, 2005). Pertumbuhan crustacea dapat diuraikan menjadi dua komponen, yaitu komponen laju penambahan ukuran yang terjadi pada fase molting, dan komponen periode antar molting atau fase instar. Kedua komponen pertumbuhan crustacea ini memiliki sifat yang berlainan dan sering memberi respon yang sangat berbeda antara satu dan lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan pada crustacea (Hartnoll, 1982 vide Serosero, 2005) adalah: 1) Faktor dalam, yaitu jenis kelamin, tingkat kedewasaan dan anggota tubuh yang hilang, 2) Faktor luar, yaitu ketersediaan makanan, cahaya, salinitas, suhu dan parasit. Atkinson vide Kasry (1984) mengemukakan bahwa lamanya pergantian kulit pada kepiting bakau merupakan hasil interaksi antara faktor endogen dan eksogen. Suhu, musim dan makanan merupakan faktor endogen. Autotomi dan regenerasi, ukuran, jenis kelamin dan kematangan gonad merupakan faktor eksogen. Menurut Warner (1977) vide Irawati (2002), tahap-tahap molting adalah sebagai berikut:
14
1) Tahap awal molting •
Eksoskeleton menjadi membran yang lunak. Kaki tidak sanggup mendukung bobot tubuh di air dan kepiting menjadi tidak aktif. Absorbs air berlangsung aktif, eksokutikel mulai mengalami mineralisasi;
•
Ekseoskleton menjadi seperti kertas, kepiting dapat mendukung bobot tubuhnya. Kandungan air dalam tubuh 80%, endokutikel mengeras, mineralisasi dimulai.
2) Tahap baru saja molting •
Bentuk eksoskeleton menjadi rusak, tetapi tidak pecah;
•
Bagian eksoskeleton menjadi kaku
3) Tahap intermolting •
Karapas menjadi keras, tapi bagian branchitegites, sternites, bagian merus dan karpus tetap lunak. Bagian ini adalah bagian utama dari pertumbuhan jaringan;
•
Karapas menjadi sangat keas. Branchitegites, sternites, serta kaki jalan lunak dan patah jika dibengkokan. Pertumbuhan jaringan tetap berlanjut;
•
Seluruh eksoskeleton keras, tetapi mineralisasi endokutikel tetap berlangsung. Lapisan membran yang paling dalam belum sempurna sampai akhir tahap ini;
•
Eksoskeleton sempurna, kehadiran lapisan membran dapat diduga dari pecah dan terangkatnya potongan karapas atau putusnya bagian dactylus kaki jalan. Lapisan membran akan mengangkatnya pada epidermis. Pertumbuhan jaringan sempurna dan mengumpulkan metabolism yang berbalik. Kandungan air 60%.
•
Tahap anecdysis terakhir dibedakan oleh lapisan membran yang menempel pada begian eksoskeleton. Kepiting pada saat ini sering memperlihatkan tanda berapa umurnya, eksoskeleton rusak dan mendukung epifauna.
4) Tahap premolting • Epidermis lepas dari lapisan membran dan mengeluarkan epikutikel baru. Punggung yang baru berkembang di dalam bagian yang sudah tua.bagian ini amat lunak, tetapi dapat dilihat jika dactylus patah dan jaringan
15
diambil. Cadangan makanan dikerahkan dan glycogen dibentuk dalam jaringan epidermis; 5) Tahap ecdysis Kepiting lepas dari eksoskeleton tua dan minum air. 2.1.6 Habitat Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang meliputi Indo-Pasifik, mulai dari Teluk Mosel di Afrika Selatan sampai pantai timur Afrika. Penyebaran ke arah timur mulai dari India, Srilanka, Malaysia, Indonesia dan Filipina. Ke arah utara penyebarannya meliputi Thailand, Cina serta Taiwan, sedangkan ke selatan meliputi Papua Nugini, Australia dan pulau-pulau di utara Selandia Baru. Kepiting bakau juga ditemukan di beberapa pulau di Lautan Pasifik dengan kisaran kedalaman 0 sampai 32 meter (Moosa et al, 1985). Habitat kepiting bakau di Indonesia sebagian besar berada di hutan-hutan bakau. Biota ini ditemukan hidup pada pertambakan ikan dekat pantai (air payau), hidup dalam lubang atau pada pantai yang ditumbuhi bakau dan di daerah estuaria. Pada tingkatan juvenil, kepiting bakau jarang terlihat di daerah bakau karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur. Juvenile kepiting bakau lebih menyukai berlindung di tempat-tempat seperti alur-alur air laut yang menjorok ke daratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut, dan di sela-sela akar pohon bakau (Kanna, 2002). Menurut Kasry (1996), kepiting bakau menghabiskan sebagian besar waktunya di estuaria dan rawa-rawa bakau. Setelah perkawinan berlangsung, kepiting betina berangsur-angsur akan beruaya ke arah laut untuk mencari tempat memijah. Tempat pemijahan kepiting betina umumnya kurang lebih 1 km dari pantai. Ekosistem mangrove sebagai salah satu sumberdaya wilayah pesisir yang sangat produktif memiliki beberapa karakteristik, yaitu: tumbuh pada daerah pasang surut (intertidal) dengan jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir; daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama; menerima masukan air tawar cukup dari darat; terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat (Nyabakken, 1993).
16
Kondisi fisik lingkungan untuk pertumbuhan hutan mangrove adalah adanya arus yang kecil sehingga endapan partikel yang halus cenderung berkumpul di dasar; substrat di daerah hutan mangrove pada umumnya adalah lumpur; kadar oksigen tanah mangrove rendah dan kadar garamnya tinggi; dan merupakan bagian dari daerah pasang surut (Nyabakken, 1992). Adapun menurut Berwick (1983) vide Siahainenia (2008), parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove adalah pasokan air tawar, salinitas, stabilitas substrat, dan pasokan nutrient. Ketersediaan air tawar dan parameter salinitas yang mengendalikan efesiensi metabolism dari ekosistem mangrove, dipengaruhi oleh frekwensi dan volume air tawar, frekuensi dan volume pertukaran pasang surut, dan tingkat evaporasi. Stabilitas substrat dipengaruhi oleh kecepatan aliran air tawar dan muatan sedimen yang dikandungnya, laju limpasan arus pasang surut, serta gaya gelombang. Adapun pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove, dipengaruhi oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi masukan ion-ion mineral organic dan anorganik, serta pendaur ulang nutrient secara internal melalui jaring makanan berbasis detritus. Komunitas mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia, dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasit. Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah Pesisir Indonesia adalah: bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xyclocarpus), tengar (Ceriops), dan buta-buta (Exoecaria). Pohon-pohon mangrove telah beradaptasi dengan baik secara morfologis maupun fisiologi (Nontji, 2007). Hutan mangrove mempunyai beberapa fungsi penting bagi lahan, satwa liar dan lingkungannya, yaitu fungsi fisik, fungsi biologi, dan fungsi ekonomi. Fungsi fisik dari hutan mangrove adalah dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil, mempercepat luasan lahan, melindungi pantai dan tebing sungai serta mengolah bahan limbah. Fungsi biologi hutan mangrove adalah sebagai tempat benih-benih ikan, udang, dan kerang dari lepas pantai, tempat bersarang burungburung besar dan habitat alami bagi berbagai jenis biota. Adapun fungsi
17
ekonominya adalah sebagai tambak ikan, tempat pembuatan garam, penghasil balok kayu, dan penghasil kayu energy (Anwar et al., 1984 vide Munjilah, 2005). 2.1.7 Tingkah Laku Kepiting bakau (Scylla serrata) memakan segala bangkai (Omnivorscavenger). Beberapa jenis makanan kepiting bakau adalah tumbuh-tumbuhan, bangkai hewan bangunan-bangunan kayu, bambu di tambak dan berbagai macam tumbuhan, hewan dan bangkai. Waktu makan kepiting tidak beraturan, tetapi lebih aktif pada saat air pasang atau bersamaan arus air baru, dimana matahari hendak terbenam. Kepiting bergerak sepanjang malam mencari makan dan mampu mencapai jarak 219-910 meter untuk aktivitasnya mencari makan. Ketika matahari akan terbit, kepiting bakau kembali membenamkan diri. Sehingga kepiting bakau digolongkan ke dalam hewan malam (nocturnal) (Kordi, 1997). Kepiting muda menyukai makanan berupa hewan-hewan planktonik hidup dan bergerak seperti tetraselmis, chlorella, rotifera (branchiunus sp.). Bila kondisi mendukung, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun. Pada umur 12-14 bulan, kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipjahkan. Di alam bebas, jumlah larva yang mampu menjadi kepiting muda sangat kecil karena faktor lingkungan yang tidak mendukung dan banyak musuh alami (Kordi, 1997). Archdale et al (2003) menyebutkan bahwa kepiting memberikan reaksi terhadap alat tangkap bubu yang dipasang di perairan. Kepiting akan datang dan mendekati bubu secara perlahan membentuk pola zig zag. Kemudian kepiting akan mendekati badan bubu dan memasukan capitnya ke dalam bubu. Kedua antena pada kepiting akan mendeteksi keberadaan umpan di dalam bubu. Rangsangan yang diberikan oleh umpan membuat kepiting terus berusaha mendapatkan umpan dari luar bubu. Kepiting akan bergerak perlahan menyusuri bagian kiri dan kanan bubu. Dengan cara ini kepiting akan menemukan mulut bubu dan berusaha masuk ke dalam bubu. Biasanya kepiting akan memutar badannya supaya bisa masuk ke dalam bubu. Kepiting yang berhasil masuk ke dalam bubu akan menuju ke arah umpan dan memakannya. Setelah memakan umpan tersebut, lalu kepiting menuju ke bagian sudut bubu. Tingkah laku kepiting bakau terhadap alat tangkap bubu secara detail ditunjukkan pada Gambar 4.
18
Sumber : Archdale et al (2003)
Keterangan : a. Mendekat secara perlahan b. Menyentuh badan bubu c. Menyusuri bagian samping bubu secara perlahan d. Menemukan pintu masuk
e. Memasuki bubu f. Memakan umpan g. Istirahat dan berdiam di sudut z. Tidak berhasil memasuki
Gambar 4 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat 2.2
Deskripsi Bubu Bubu adalah satu alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan,
sehingga ikan dapat masuk dengan mudah tanpa paksaan, tetapi sulit keluar atau lolos karena dihalangi dengan berbagai cara (Von Brandt, 1984). Smith dan Slack (2001) secara umum membedakan pengertian perangkap dan bubu. Perangkap merupakan alat tangkap yang bersifat pasif yang memudahkan ikan untuk masuk dan sulit untuk keluar. Perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindahpindahkan karena konstruksi dan ukurannya yang besar. Menurut Baskoro (2006), perangkap atau traps adalah salah satu alat tangkap menetap yang umumnya
19
berbentuk kurungan, dimana ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada pemaksaan, tetapi sulit keluar atau lolos karena dihalangi dengan berbagai cara. Adapun bubu yaitu alat tangkap yang ukurannya lebih kecil dan sederhana dibandingkan dengan perangkap, bersifat menetap, dapat dipindahkan, dan dapat dioperasikan dari atas kapal. Nurliani (1993) menambahkan bahwa bubu tergolong alat tangkap tradisional dan efektifitasnya sangat tergantung pada ikan yang terjebak. Menurut Miller (1990) faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan perangkap antara lain soaking time, saturation, habitat, rancangan perangkap, umpan, dan tahapan siklus hidup dari spesies target. Teknik pemasangan perangkap didasari pengetahuan tentang lintasan-lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ataupun yang berhubungan erat dengan ruaya ikan ke arah pantai pada waktu-waktu tertentu (Gunarso, 1985). Bubu dipasang secara menetap di dalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan sulit untuk keluar (Sudiman dan A. Mallawa, 2004). Adapun menurut Sainsbury (1996) bubu merupakan alat tangkap yang ukurannya lebih kecil dari perangkap dan dapat dioperasikan menggunakan kapal. Bubu banyak digunakan pada daerah pesisir laut untuk menangkap berbagai jenis crustacea, ikan, gurita, dan kerang. Bubu terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk yang dapat menarik jenis-jenis ikan yang akan tertangkap dengan menggunakan umpan. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bubu telah banyak digunakan mulai dari skala kecil, menengah, sampai skala besar. Penangkapan skala kecil dan menengah biasanya banyak dilakukan di perairan pantai di hampir seluruh negara yang masih belum maju sistem perikanannya, sedangkan untuk skala besar banyak dilakukan di negara yang sudah maju sistem perikanannya. Perikanan bubu skala kecil dioperasikan di perairan yang dangkal, sedangkan untuk skala menengah dan besar biasanya dilakukan di perairan lepas pantai pada kedalaman antara 20 m sampai 700 m (Martasuganda, 2003). Alasan nelayan menggunakan bubu karena sistem penangkapan bubu mempunyai beberapa keuntungan (Monintja dan Martasuganda, 1991) : 1. Pembuatan alatnya mudah; 2. Pengoperasiannya mudah;
20
3. Kesegaran hasil tangakapannya bagus; 4. Daya tangkapnya bisa diandalkan; dan 5. Bisa dioperasikan di tempat-tempat yang alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan. Beberapa kelemahan yang dimiliki bubu antara lain adalah hasil tangkapan yang relatif rendah. Hal ini karena bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Bubu juga umumnya berukuran besar, sehingga menyulitkan dalam transportasi. Menurut Tiku (2004), alasan ikan atau hewan laut lainnya masuk perangkap antara lain : 1. Sifat dasar ikan atau hewan laut lainnya yang selalu mencari tempat berlindung, 2. Ikan atau hewan laut lainnya masuk karena tertarik oleh umpan yang ada di dalam perangkap, 3. Ikan terkejut karena ditakuti sehingga dia mencari tempat berlindung, dan 4. Ikan masuk karena digiring oleh nelayan. 2.3
Klasifikasi Bubu Menurut Brandt (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap
(traps). Direktorat Jenderal Perikanan (1997) juga mengklasifikasikan berbagai jenis bubu dan perangkap ke dalam satu kategori yaitu perangkap. Bubu dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan lokasi pemasangannya, yaitu (Sainsbury, 1996) : 1) Inshore potting, alat tangkap bubu ini dioperasikan pada daerah yang arusnya tidak terlalu deras seperti di daerah karang, estuari, laguna, teluk, dan di perairan dekat pantai sampai pada kedalaman 75 m (40 depa). Dioperasikan menggunakan kapal kecil dengan ukuran panjang kapal sekitar 25 sampai 45 kaki. Nelayan yang mengoperasikan hanya berjumlah 1 sampai 2 orang. 2) Offshore potting, alat tangkap bubu ini dioperasikan di di perairan laut dalam sampai kedalaman 900 m. Dioperasikan menggunakan kapal besar serta peralatan
yang
pengoperasiannya.
lebih
besar
dan
lebih
berat
dalam
mendukung
21
Menurut Subani dan Barus (1989), membagi bubu menjadi tiga golongan, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot), dan bubu hanyut (drifting fishpot). 1) Bubu Dasar (Ground Fishpot) Bubu dasar adalah bubu daerah operasionalnya berada di dasar perairan. Menurut Subani dan Barus (1989), ukuran bubu dasar bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan, untuk bubu yang kecil umumnya berukuran panjang 100 cm, lebar 50-75 cm dan tinggi antara 25-30 cm. Untuk bubu yang berukuran besar dapat mencapai ukuran panjang 350 cm, lebar 200 cm, dan tinggi 75-100 cm. Dalam pengoperasian alat tangkap tersebut bisa dilakukan secara tunggal (untuk bubu yang berukuran besar), dan bisa pula dioperasikan secara ganda (untuk bubu berukuran kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang atau di antara karang-karang atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang. 2) Bubu Apung (Floating Fishpot) Bubu apung adalah bubu yang dalam operasional penangkapannya deeengan cara diapungkan. Bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Tipe bubu ini dilengkapi dengan pelampung, terbuat dari bambu. Bentuk bubu apung ada yang silindris dan ada pula yang berbentuk seperti kurung-kurung. Dalam pengoperasiannya ada pula bubu yang diikatkan pada rakit bambu, kemudian rakit bambu tersebut dirangkai dan diikatkan pada jangkar. Panjang tali jangkar tergantung dari kedalaman perairan, namun panjang tali umumnya 1.5 kali dalam perairan. 3) Bubu Hanyut Bubu hanyut adalah bubu yang dalam operasional penangkapannya dengan cara dihanyutkan.Bubu hanyut ini dioperasikan dengan cara dihanyutkan mengikuti arus, sehingga dinamakan bubu hanyut. Bubu hanyut dirangkai dari beberapa bubu yang berukuran kecil umumnya 20-30 bubu. Bubu hanyut yang umumnya dikenal dengan sebutan pakaja, luka, atau patorani. Pakaja atau luka
22
artinya sama yaitu bubu, sedangkan patorani dinamakan karena digunakan untuk menangkap ikan torani, tuing-tuing, atau ikan terbang (flying fish). Pakaja merupakan bubu ukuran kecil berbentuk silindris dengan panjang 0.75 m. pada saat operasi penangkapan dilakukan, bubu ini disatukan menjadi beberapa kelompok. Apabila dilihat dari metode pengoperasiannya, bubu dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai (Sainsbury, 1996). 1) Sistem tunggal Pengoperasian bubu pada sistem tunggal yaitu bubu dipasang menetap di dasar perairan secara satu per satu. Biasanya bubu dengan yang dioperasikan dengan sistem tunggal dipasang pada daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup jauh antara bubu yang satu dengan lainnya. Bubu ini dilengkapi dengan pemberat agar bubu tidak dapat berpindah. Selain itu bubu ini juga dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali agar untuk mengetahui posisi bubu (Gambar 5a). Komarudin (2009) melakukan penelitian mengenai pengaruh celah pelolosan pada bubu tambun dengan target spesies ikan kerapu koko. Bubu tambun ini dioperasikan dengan sistem tunggal pada perairan berterumbu karang di Kepulauan Seribu. 2) Sistem rawai Pengoperasian bubu pada sistem rawai yaitu bubu dipasang dalam jumlah banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu satu dengan bubu lainnya. Biasanya bubu dengan sistem rawai dioperasikan pada laut dalam. Hal ini didasarkan karena pada laut dalam terdapat banyak ruang dengan kontur yang sesuai untuk pengoperasian bubu dengan sistem rawai. Bubu yang dipasang dengan sistem rawai biasanya dihubungkan dengan pengait (snap) antara tali cabang dan tali utama. Kemudian ditandai dengan pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar bubu tidak berpindah tempat (Gambar 5b).
23
(a)
(b)
Keterangan : (a) = sistem tunggal (b) = sistem rawai Sumber: Sainsbury (1996) digambar ulang oleh : Rusdi (2010)
Gambar 5 Metode pengoperasian bubu 2.4
Konstruksi Bubu merupakan alat tangkap yang umum dikenal oleh nelayan. Alat
tangkap bubu mempunyai karakteristik temporer, semi permanen maupun menetap (tetap) dipasang (ditanam) di dasar laut, diapungkan atau dihanyutkan. Secara umum alat ini terdiri atas kerangka (frame), dinding (wall), ijeb/mulut (funnel), pintu (hatch), dan tempat umpan (bait case). Badan bubu berupa rongga tempat ikan-ikan terkurung. Mulut (funnel) berbentuk seperti corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tetapi tidak dapat keluar. Pintu bubu merupakan tempat pengambilan hasil tangkapan (Subani dan Barus, 1989). Schlack and Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari rangka, badan, mulut, tempat umpan, pintu, celah pelolosan dan pemberat. 1) Rangka Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan dan disimpan. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu. Di Kanada dan Barat Laut Amerika Serikat,
24
penangkapan tradisional menggunakan bubu dengan rangka kayu dan digantikan dengan rangka plastik dalam penangkapan lobster. Lain halnya di Kanada dan Barat Laut Amerika Serikat. Monintja dan Martasuganda (1991) menyatakan bahwa saat ini bubu di Indonesia sudah menggunakan besi sebagai kerangka. 2) Badan Badan pada bubu modern biasanya terbuat dari kawat, jaring, nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari kebudayaan atau kebisaaan masyarakat setempat, kemampuan pembuat, dan ketersediaan material, serta biaya dalam pembuatan. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Permatasari (2006) melakukan penelitian tentang badan bubu yang terbuat dari plastik. Hasilnya menunjukkan pola dinding plastik yang kisi dindingnya dipotong secara vertical adalah yang paling efektif dalam menangkap lobster hijau pasir. 3) Mulut Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Selain itu ada juga yang berbentuk celah. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu. Rakhmadewi (2004) melakukan penelitian menggunakan bubu lipat tiga pintu untuk menangkap kepiting bakau di Pontianak, berbeda dengan penelitian Lastari (2007) yang menggunakan bubu lipat dengan dua pintu dengan mulut berbentuk celah. 4) Tempat umpan Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Tempat umpan ini bisa terbuat dari besi, kawat ataupun kayu. Fungsinya untuk menancapkan umpan agar tidak terbawa arus. 5) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan Pintu ini terletak pada bagian atas bubu dan dilengkapi dengan penutup.
25
6) Celah pelolosan Celah pelolosan dibuat agar ikan-ikan yang belum layak tangkap dari segi ukuran dapat keluar dari bubu. Pada beberapa negara, celah pelolosan sudah menjadi keharusan pada setiap alat tangkap untuk meloloskan ikan-ikan dan crustacea yang masih berukuran kecil. Seperti pada pemerintah Australia, New Zealand, dan Kuba yang mengharuskan setiap alat tangkap bubu dipasang celah pelolosan untuk meloloskan ikan-ikan ukuran juvenil. 7) Pemberat Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang. Sehingga posisi bubu tidak berpindah-pindah dari tempat setting semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenis batuan lainnya. 2.4.1 Bentuk Bubu Pada pengoperasian alat tangkap bubu, bentuk bubu berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Bentuk bubu yang dioperasikan nelayan dari satu daerah tidak sama dengan daerah lainnya, termasuk bentuk di suatu negara dengan negara lainnya (Martasuganda, 2003). Sainsbury (1996) menambahkan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang menjadi target tangkapan di setiap daerah (Gambar 6). Akan tetapi meskipun target tangkapannya sama, terkadang bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda tergantung pada kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya (Martasuganda, 2003). Menurut Martasuganda (2003), bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Bentuknya sangat beraneka ragam, ada yang berbentuk segi empat, trapezium, silinder, lonjong, persegi panjang, atau bentuk lainnya. Adapun Subani dan Barus (1989) menambahkan bentuk bubu bervariasi, yaitu gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran dan lain-lain.
26
(a)
(b) (c)
(d) Sumber : Sainsbury (1996) digambar ulang oleh: Rusdi (2010)
Keterangan : a = Bubu kepiting di bagian tenggara Amerika Serikat b = Bubu lobster di Curacao, Amerika bagian Utara c = Bubu kepiting dan lobster di Curacao, Amerika bagian Utara d = Bubu belut di perairan Miami Gambar 6 Jenis-jenis bentuk bubu Archdale et al (2003) melakukan penelitian dengan membandingkan dua bentuk bubu yang efektif dalam penangkapan ishigani di perairan Kagoshima, Jepang. Bentuk bubu yang digunakan adalah berbentuk kotak (box shaped pot) dan berbentuk kubah (dome shaped pot). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bubu yang efektif untuk menangkap ishigani adalah bubu berbentuk kubah. Adapun Hebert et al (2000) juga melakukan penelitian menggunakan tiga bentuk bubu untuk mengetahui bentuk bubu yang efektif untuk menangkap kepiting salju di St. Lawrence. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bubu berbentuk piramid paling efektif untuk menangkap kepiting salju dibandingkan
27
dengan bubu lainnya. Gambar 7 di bawah ini merupakan bentuk bubu yang digunakan dalam penelitiannya.
Pyramidal
Rectangular
Conical
Sumber: Hebert et al (2000) digambar ulang oleh : Rusdi (2010)
Gambar 7 Tiga tipe bentuk bubu Martasuganda (2003) menyebutkan bahwa ada dua macam bentuk bubu yang digunakan untuk menangkap kepiting, yaitu bubu wadong dan bubu pintur/rakkang. Alat tangkap wadong adalah alat tangkap yang sifatnya pasif, dipasang menetap di tempat yang diperkirakan akan dilewati kepiting dan supaya kepiting mau memasuki wadong, di dalamnya diberi umpan yang ditusuk dengan bambu supaya tidak terbawa arus atau terjatuh dari bubu. Keseluruhan bagian dari alat tangkap ini terbuat dari bahan bambu termasuk alat pemancang dan alat penusuk umpan. Adapun alat tangkap pintur adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Di Sulawesi alat ini dikenal dengan sebutan bubu rakkang. Alat tangkap ini umumnya memakai rangka dari bambu dan bisa menggunakan besi sebagai rangkanya. Bahan jaring yang digunakan umumnya memakai potongan jaring bekas atau potongan dari jaring yang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena itu tidak ada spesifikasi khusus untuk membuatnya. Konstruksi bubu wadong dan bubu pintur dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
28
Keterangan : 1. Rangka 2. Pintu 3. Pintu masuk 4. Tiang penyangga 5. Penusuk umpan
Sumber: Martasuganda (2003)
Gambar 8 Konstruksi bubu wadong
Keterangan : 1. Tali penyangga 2. Rangka 3. Jaring 4. Pemberat 5. Umpan
Sumber: Martasuganda (2003)
Gambar 9 Konstruksi bubu bubu pintur Selanjutnya Lastari (2007), menyatakan bahwa terdapat bentuk bubu lipat kotak yang sering digunakan oleh nelayan di perairan Kronjo untuk menangkap rajungan. Bubu lipat adalah alat penangkapan ikan yang dipasang secara menetap dalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan sulit keluarnya (Sudirman dan Mallawa 2004). Konstruksi dari bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 10.
29
Keterangan : a. Rangka b. Mulut bubu c. Badan bubu d. Engsel e. Tempat umpan Sumber: Lastari (2007)
Gambar 10 Konstruksi bubu lipat 2.4.2 Bahan bubu Pemilihan bahan dalam pembuatan bubu ditentukan berdasarkan tujuan penangkapan dan dimana perangkap tersebut dioperasikan (Baskoro, 2006). Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap terbuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rattan netting), anyaman kawat (wire netting), kere bambu (bamboos screen). Adapun Sudirman dan Mallawa (2004) menyatakan bahwa bubu biasanya terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu, atau bahan buatan lainnya seperti jaring. Beberapa jenis bubu menggunakan bahan keramik, cangkang kerang, dan potongan paralon. Pada bagian rangka bubu biasanya terbuat dari bahan lempengan besi, besi behel, bambu serta kayu. Berbeda dengan bagian badan bubu yang tebuat dari anyaman kawat, jaring, waring maupun anyaman bambu. Bubu berbentuk lingkaran (circular conical) yang digunakan di Amerika Bagian Utara pada awalnya terbuat dari kawat yang dianyam dan rangka terbuat dari kayu. Bubu ini digunakan untuk menangkap lobster dan kepiting. Kemudian rangka bubu berkembang menjadi terbuat dari baja dan badan bubu terbuat dari jaring. Selain itu terdapat badan bubu yang terbuat dari plastik dan tanah liat
30
(Sainsbury, 1996). Berbeda dengan bubu yang digunakan nelayan Bali. Bubu di daerah ini terbuat dari rotan/bambu, selanjutnya dianyam membentuk sebuah kurungan membentuk trapesium. Bubu ini dianyam dengan hasil potongan bambu dengan ukuran 1-1.5 cm, dengan anggapan bahwa semakin besar bubu maka anyaman yang dibutuhkan juga semakin besar dan rentan terhadap goncangan arus di dasar laut. Bubu ini dioperasikan pada kedalaman 20 – 50 m menggunakan perahu sampan (Mahulette, 2004). 2.4.3 Mulut Bubu Bentuk, posisi, dan jumlah mulut pada bubu memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan. Mulut yang ideal pada perangkap yaitu membiarkan hewan target masuk dengan mudah dan mencegah untuk meloloskan diri. Menurut Iskandar dan Muldiani (2007), bubu dengan bentuk mulut corong lebih efektif daripada mulut berbentuk celah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bubu kubah dengan bentuk mulut corong dapat menangkap rajungan lebih banyak di Perairan Kronjo. Hal ini diduga karena mulut bubu berbentuk corong dapat memudahkan rajungan untuk masuk ke dalam bubu secara bergantian tanpa adanya celah terbuka akibat dorongan rajungan lain yang akan memasuki bubu. Sedangkan mulut bubu berbentuk celah yang sempit dan melebar ke samping dapat terbuka ketika ada rajungan yang mendorong celah tersebut untuk masuk, sehingga rajungan akan lebih sulit masuk ke dalam bubu. Miller (1990) menyebutkan bahwa semakin banyak jumlah mulut bubu yang dipasang, maka peluang tertangkapnya rajungan akan semakin besar. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitiannya dalam penangkapan rajungan dengan membandingkan tiga jenis bubu. Bubu pertama dan kedua dilengkapi dengan dua buah mulut,perbedaanya terletak pada peletakan umpan. Adapun bubu ketiga dilengkapi dengan tiga buah mulut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bubu ketiga mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik dibandingkan bubu lainnya. Susanto (2006) melakukan penelitian dengan membandingkan dua bentuk mulut bubu pada Teluk Palabuhanratu. Bubu pertama dipasang mulut dengan rangka besi yang membentuk persegi panjang (riggid funnel). Adapun pada bubu kedua mulut bubu tidak diberi rangka sehingga bentuk mulut menjadi elastis dan cendrung membentuk lingkaran (soft funnel). Hasil penelitian menunjukkan
31
bahwa bubu dengan riggid funnel lebih efektif digunakan di Teluk Palabuhanratu dibandingkan dengan dengan bubu soft funnel. Pengaruh perbedaan konstruksi mulut bubu juga menjadi penelitian Wibyosatoto (1994) di Perairan Bengkulu. Mulut bubu yang digunakan ada tiga jenis yaitu, mulut bundar bercorong, mulut bundar, dan mulut horizontal. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara bubu dengan mulut horizontal dan bubu dengan mulut bundar bercorong. Begitu juga dengan mulut bubu horizontal dan mulut bubu bundar yang berbeda nyata. Adapun bubu dengan mulut bundar dan bubu dengan mulut bundar bercorong tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap hasil tangkapan. 2.5
Umpan Umpan merupakan salah satu faktor yang cukup pengaruhnya pada
keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangan (Sadhori, 1985). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan menggunakan bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Menurut Ferno dan Olsen (1994) biasanya bubu menggunakan umpan untuk menarik ikan agar masuk dan terperangkap di dalam bubu. Monintja dan Martasuganda (1991) menyatakan bahwa terperangkapnya udang, kepiting atau ikan-ikan dasar pada bubu disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya dikarenakan tertarik oleh bau umpan. Umpan yang digunakan harus memenuhi syarat untuk merangsang indera penciuman dan rasa. Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahan organik maupun anorganik. Bau-bau yang terlarut di dalam air dapat merangsang reseptor pada organ olfaktorius yang merupakan bagian dari indera penciuman ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut (Syandri, 1988). Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu (perangsang) yang memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu (Rahardjo dan Linting 1993). Menurut Leksono
32
(1983), beberapa pertimbangan dalam menentukan alternatif jenis ikan sebagai umpan adalah sebagai berikut : 1. Umpan harus dapat digunakan pada alat tangkap yang telah ada; 2. Umpan harus dapat memenuhi selera ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan; 3. Umpan mudah didapat dalam jumlah banyak serta kontinuitas yang baik; 4. Lokasi sumberdaya relatif dekat serta mudah penanganannya; dan 5. Biaya pengadaan relatif murah. Syarat-syarat umpan yang baik menurut Djatikusumo 1975 adalah : 1. Tahan lama (tidak cepat busuk); 2. Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan; 3. Mempunyai bau yang spesifik sehingga merangsang ikan datang; 4. Harga terjangkau; 5. Mempunyai ukuran memadai; dan 6. Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Schlack dan Smith (2001) menyatakan syarat umpan yang baik adalah sebagai berikut: 1. Efektif untuk menarik ikan target; 2. Mudah dipasang pada berbagai posisi di dalam bubu; 3. Tahan lama; 4. Harga murah; dan 5. Mudah disimpan dan diangkut. King (1991) vide Fitri (2008) menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsipnya adalah ikan tertarik oleh umpan, lalu masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Umpan dengan menggunakan ikan cucut dan kakap dapat menghasilkan tangkapan yang banyak (Wudianto et al 1993). Bubu yang menggunakan umpan dari ikan yang dipotong-potong, hasil tangkapannya lebih baik dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan. Tidak semua jenis ikan akan merespon jenis umpan yang sama. Masing-masing spesies memiliki pilihan jenis umpan yang berbeda, seperti pinfish (Lagodon rhomboids) memperlihatkan
33
respons yang besar terhadap umpan dari udang dan pinfish (Orthopristis chysopterus), namun terkadang pinfish lebih merespons umpan dari kepiting (Yamamoto 1982 vide Fitri 2008). 2.5.1 Jenis umpan Umpan digunakan untuk membantu dalam penangkapan ikan agar ikan dapat masuk ke dalam bubu. Berdasarkan jenisnya, umpan dibagi menjadi dua, yaitu umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait). Jenis umpan yang digunakan tergantung pada spesies ikan yang akan menjadi target penangkapan (Ferno dan Olsen, 1994). Jenis umpan yang sering digunakan dalam penangkapan kepiting bakau antara lain ikan rucah, kulit sapi/kambing, jenis siput (keong), bekicot, daging ular, belut, dan kerang (Rangka, 2007). Ramdani (2007) melakukan penelitian untuk menemukan umpan yang paling baik dari empat umpan yang digunakan. Keempat umpan tersebut antara lain pepetek segar, pepetek asin, pepetek segar campur potongan rajungan, dan pepetek segar yang diolesi minyak kedelai. Penelitian ini menggunakan alat tangkap bubu lipat dengan tangkapan utama rajungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubu dengan umpan ikan pepetek segar campur potongan rajungan menangkap rajungan dengan jumlah yang lebih banyak dan ukuran yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena rajungan yang berukuran besar memiliki sifat agresivitas yang tinggi sehingga mengabaikan bau / substansi kimia yang dikeluarkan oleh rajungan yang telah mati. 2.5.2 Ukuran dan bobot umpan Ukuran dan bobot umpan merupakan faktor lain yang penting untuk menunjang keberhasilan penangkapan ikan. Ikan akan lebih mudah menemukan perangkap dengan umpan yang ukurannya lebih besar dan bobotnya yang lebih berat, karena jenis ikan menggunakan indera penciuman dan penglihatannya dalam mendeteksi makanan (Gunarso, 1985). Miller (1983) vide Krouse (1988), menjelaskan dalam hasil penelitiannya, bahwa perangkap dengan menggunakan umpan sebanyak 3 kg mendapatkan hasil tangkapan kepiting salju yang lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang menggunakan umpan sebanyak 1 kg. Selain itu dalam penelitiannya diperoleh
34
bahwa umpan jenis Myxine glutinosa dan Ampipoda merupakan umpan yang baik dan tahan lama dalam menangkap kepiting salju. 2.5.3 Teknik pemasangan umpan Pemasangan umpan dalam suatu alat tangkap dapat menentukkan keberhasilan penangkapan ikan. Martasuganda (2003) menyatakan bahwa umumnya umpan diletakkan di tengah-tengah yaitu pada bagian bawah, tengah atau bagian atas dari bubu dengan cara diikat ataupun digantung menggunakan pembungkus umpan. Bubu mempergunakan umpan baik berupa ikan yang sudah terpotong-potong atau hewan laut lainnya yang dimasukkan ke dalam kantong umpan untuk menarik jenis-jenis ikan target penangkapan (Sainsbury, 1971). Spence (1989) vide Tiku (2004) menyatakan bahwa kepiting tertarik masuk ke dalam bubu karena adanya umpan berupa ikan segar yang dipotongpotong atau dalam keadaan utuh. Selain itu meningkatnya hasil tangkapan bubu sangat tergantung pada ketahanan dan daya tarik umpan tersebut. Hal ini diperkuat dengan penelitian Miller (1990) bahwa jumlah hasil tangkapan kepiting (Cancer irronatus) pada bubu yang memakai umpan lebih baik dibandingkan dengan bubu tanpa umpan. Bau umpan yang menyebar di perairan akan menarik kepiting
(Cancer
irronatus)
untuk
mendatangi
bubu
dan
kemudian
mengarahkannya masuk ke dalam bubu. Archdale (2003) melakukan penelitian menggunakan bubu dengan teknik pemasangan umpan yang berbeda. Bubu pertama dipasang umpan yang dimasukkan ke dalam kotak dan diletakkan pada dasar bagian tengah bubu. Sementara bubu kedua dipasang umpan dengan menusukkan umpan ke kawat sebagai tempat umpan dan dilengkungkan berhadapan dengan pintu masuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik pemasangan umpan pada bubu kedua lebih baik dibandingkan bubu pertama. Hal ini disebabkan karena posisi umpan pada bubu ini dapat mengarahkan kepiting secara langsung ke dalam pintu masuk.
2.6 Celah Pelolosan (Escape gap) Keberlanjutan
perikanan
tangkap
sangat
membutuhkan
perbaikan
teknologi penangkapan ikan yang bersifat ramah lingkungan. Teknologi penangkapan ikan yang dimaksud hendaknya memiliki keragaan selektivitas yang
35
baik sehingga dapat memberikan peluang yang tinggi bagi ikan target muda dan ikan non target atau hasil tangkapan sampingan untuk meloloskan diri dari alat tangkap. Selanjutnya ikan-ikan yang telah melakukan pelolosan melalui proses selektivitas mekanik diharapkan dapat terus hidup tanpa gangguan fisiologis sehingga dapat melanjutkan rekrutmen dan menjadi bagian stok ikan yang dapat dimanfaatkan di masa mendatang (Purbayanto, 1999). Escape gap adalah celah yang dibuat pada salah satu sisi atau beberapa sisi bubu dengan bentuk segi empat, bulat, atau persegi panjang untuk meloloskan ikan atau biota lainnya yang belum layak tangkap (Iskandar, 2006). Menurut Miller (1995), penentuan bentuk, ukuran dan material dari escape gap dapat menentukan keberhasilan dalam meloloskan bycatch. Templeman (1958) yang diacu dalam Miller (1990) menyatakan bahwa keuntungan dari pengunaan escape gap pada penangkapan American lobster antara lain: 1. Mengurangi hasil tangkapan sublegal yang dijual oleh nelayan; 2. Mengurangi hasil tangkapan sublegal yang terluka akibat penanganan, terkena udara bebas dan cahaya matahari, dan menahan lobster berukuran layak tangkap tetap berada di dalam bubu; 3. Mengurangi hasil tangkapan sublegal yang mati pada bubu yang hilang; 4. Mengurangi hasil tangkapan sublegal yang dimangsa oleh predator karena dapat kembali ke dalam air; 5. Bubu dapat menangkap lebih cepat karena mampu mengurangi hasil tangkapan sublegal dan non target species lainnya; 6. Dapat mengurangi biaya karena lebih banyak bukaan pada bubu sehingga membutuhkan sedikit material untuk membuatnya. Escape gap memiliki bentuk dan ukuran bervariasi tergantung spesies yang akan ditangkap. Eldridge et al (1979), membuat suatu kriteria bahwa bubu yang dipasang escape gap seharusnya: 1. Secara substansial mengurangi hasil tangkapan kepiting yang berukuran kecil; 2. Hasil tangkapan kepiting yang berukuran ekonomis seharusnya tidak menurun secara signifikan; 3. Tidak membutuhkan biaya yang besar.
36
2.6.1 Bentuk Bentuk escape gap dapat mempengaruhi keberhasilan bubu dalam meloloskan hasil tangkapan sampingan. Bentuk escape gap sebaiknya disesuaikan dengan morfologi maupun tingkah laku dari target spesies yang akan diloloskan. Menurut Krouse (1978), celah pelolosan yang berbentuk persegi panjang efektif dalam meloloskan American lobster (Homarus americanus) yang belum layak tangkap. Namun bentuk ini justru meloloskan kepiting batu (Cancer irroratus) yang layak tangkap. Adapun celah pelolosan dengan bentuk lingkaran, memiliki efektifitas yang baik dalam meloloskan lobster yang belum layak tangkap dan mampu menahan kepiting berukuran layak tangkap. Boutson et al (2004) melakukan penelitian mengenai bentuk celah pelolosan pada bubu lipat untuk meloloskan rajungan yang belum layak tangkap. Bentuk escape gap yang digunakan yaitu kotak dengan ukuran 8cm x 8cm, persegi panjang dengan ukuran 8,5 cm x 6 cm, lingkaran dengan diameter 7,5 cm, dan oval dengan diameter panjang 8,5 cm dan diameter lebar 6 cm. Hasil penelitian menunjukkan bentuk escape gap kotak merupakan bentuk yang dominan meloloskan rajungan dengan persentase 71,9%. Diikuti dengan bentuk lain yaitu lingkaran, persegi panjang, dan oval dengan masing-masing persentase 18,7%, 9,4%, dan 0%. Kotak memiliki area yang paling luas dibandingkan dengan bentuk yang lain sehingga paling mudah meloloskan rajungan. Eldridge et al (1979) melakukan suatu penelitian berseri menggunakan escape gap untuk mendapatkan konfigurasi escape gap yang terbaik untuk menangkap blue crab (Callinectes sapidus). Pada fase kedua dilakukan pada tahun 1978 yang ditujukan untuk menentukan bentuk escape gap yang efektif untuk mengurangi hasil tangkapan blue crab yang belum layak tangkap di Pantai Charleston South California. Hasil penelitian menunjukan bahwa escape gap berbentuk kotak dengan ukuran 1.5 mm x 2.25 mm lebih efektif dari pada escape gap berbentuk lingkaran dengan diameter 2.25 mm dalam meloloskan hasil tangkapan blue crab yang belum layak tangkap. Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai rasio perbandingan antara kepiting layak tangkap dengan kepiting belum layak tangkap pada tiap-tiap bentuk escape gap. Nilai rasio perbandingan pada
37
escape gap berbentuk kotak sebesar 1.58, sedangkan pada escape gap berbentuk lingkaran bernilai 0.66. 2.6.2 Ukuran Ukuran escape gap ditentukan berdasarkan ukuran dari target spesies yang ingin diloloskan. Ukuran ikan yang layak tangkap menjadi acuan dalam penentuan ukuran escape gap yang akan dibuat. Brown (1982) melakukan penelitian tentang pengaruh escape gap terhadap selektivitas penangkapan kingdom crab (Cancer pagurus) dan lobster di Inggris. Penelitian ini menggunakan beberapa escape gap berbentuk persegi panjang sebanyak 3 buah untuk kepiting dengan masing-masing ukuran, 38 x 74 mm, 38 x 115 mm, dan 42 x 74 mm. Adapun untuk lobster menggunakan 2 buah escape gap bentuk persegi panjang dengan masing-masing ukuran 42 x 100 mm dan 42 x 74 mm. Semua escape gap yang digunakan menghasilkan penurunan yang signifikan dalam meloloskan kepiting dan lobster yang belum layak tangkap. Ukuran escape gap yang efektif dalam meloloskan kepiting yaitu 38 x 74 mm. Ukuran ini dapat mengurangi hasil tangkapan yang belum layak tangkap sampai 34 % dan meningkatkan hasil tangkapan yang berukuran ekonomis sampai 125 %. Adapun ukuran escape gap yang efektif dalam meloloskan lobster yaitu 42 x 100 mm. Pada bubu dengan escape gap ukuran ini, tidak ditemukan lobster yang belum layak tangkap dan dapat meningkatkan hasil tangkapan lobster yang ekonomis sampai 350 %. Ukuran escape gap yang efektif pada penangkapan kepiting dan lobster yaitu 42 x 74 mm. Treble et al., (1998) melakukan penelitian pada penangkapan rock lobster (Jasus edwarsi) di Perairan Teluk Apollo, Victoria Australia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa escape gap berbentuk lingkaran dengan diameter 60 mm merupakan yang paling efektif dalam penangkapan rock lobster layak tangkap. Pada daerah Victoria, ukuran lobster layak tangkap (legal size lobster) yaitu minimal mempunyai panjang karapas 105 mm untuk lobster betina dan 110 mm untuk lobster jantan. Penelitian yang dilakukan Nulk (1978) menunjukkan bahwa escape gap berbentuk kotak dengan ukuran 45 x 152 mm merupakan escape gap yang paling ideal untuk meloloskan American lobster (Homarus americanus). Escape gap ini
38
dapat menangkap lobster layak tangkap sebesar 100% dan dapat meloloskan lobster yang belum layak tangkap sebanyak 83%. Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium di Pusat Penelitian Perikanan, Amerika. Jirapunpipat et al (2008) melakukan penelitian untuk meloloskan kepiting bakau (Scylla olivacea) yang belum layak tangkap di perairan bakau Klong Ngao Thailand. Penelitian ini menggunakan bubu lipat yang dipasang escape gap berbentuk kotak dengan lima ukuran berbeda yakni, 3 x 4 cm, 3 x 4.5 cm, 3 x 5 cm, 3 x 5.5 cm dan 3 x 6 cm. Kelima escpae gap ini dipasang pada bagian bagian samping badan bubu sebelah bawah (bottom side panel). Hasil penelitian menunjukkan bahwa escape gap dengan ukuran 3 x 6 cm meloloskan lebih banyak kepiting bakau berukuran kecil 2.6.3 Posisi pemasangan Posisi pemasangan escape gap harus disesuaikan dengan tingkah laku dari spesies target yang akan diloloskan. Kepiting mempunyai sifat selalu mencari lubang dan menerobos keluar jika berada di dalam bubu. Untuk itu dibutuhkan posisi yang tepat agar kepiting yang berukuran kecil dapat mudah untuk meloloskan diri. Jirapunpipat et al (2008) melakukan penelitian tentang posisi escape gap yang optimal bagi kepiting bakau untuk meloloskan diri dengan menggunakan escape gap yang dipasang pada 5 (lima) posisi pemasangan yang berbeda. Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium di Siracha Research station, Thailand. Kelima posisi pemasangan escape gap tersebut yakni pada bagian mulut sebelah kanan (corner slope net), bagian atas badan bubu (centre top panel), bagian samping badan bubu sebelah atas (top side panel), bagian samping badan bubu sebelah bawah (bottom side panel), dan bagian tengah dinding mulut (centre slope net). Dari 100 kepiting bakau yang tertangkap pada bubu, 86 kepiting berhasil meloloskan diri melalui escape gap. Posisi pemasangan escape gap yang paling banyak meloloskan kepiting yaitu bagian samping badan bubu sebelah bawah (bottom side panel) dengan jumlah kepiting yang lolos 67 ekor, diikuti dengan posisi bagian samping badan bubu sebelah atas (top side panel). Tidak ada satupun kepiting yang belum layak tangkap dapat meloloskan diri
39
melalui escape gap yang terdapat di bagian atas badan bubu (centre top panel). Berikut adalah posisi escape gap yang dipasang pada bubu lipat.
Sumber: Jirapunpipat et al (2008)
Gambar 11 Posisi pemasangan escape gap pada bubu lipat Eldridge et al (1979) melakukan penelitian fase kedua pada tahun 1978 untuk menemukan konfigurasi terbaik dari posisi pemasangan escape gap berbentuk kotak dan lingkaran. Penelitian ini ditujukan untuk meloloskan blue crab yang belum layak tangkap di Sungai Wando, California. Hasil penelitian menunjukan bahwa konfigurasi escape gap berbentuk lingkaran yang ditempatkan dua buah di atas dan satu buah di bawah memiliki nilai rasio perbandingan kepiting layak tangkap dengan kepiting belum layak tangkap terbesar dibandingkan konfigurasi lainnya yaitu 5.82. 2.7
Metode Penangkapan bubu Metode pemasangan bubu yang diterapkan oleh nelayan biasanya
menggunakan sistem tunggal dan sistem rawai. Sistem tunggal (single trap) digunakan untuk menangkap kepiting bakau di perairan hutan bakau dan juga ikan-ikan karang di perairan yang banyak terdapat terumbu karang. Waktu pemasangan (setting) dan pengangkatan (hauling) bubu ada yang dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari, sore hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari tergantung dari nelayan yang mengoperasikannya. Lama
40
perendaman bubu di perairan ada yang hanya direndam beberapa jam, ada juga yang direndam sampai 4 hari 4 malam (Martasuganda 2008). Menurut Mariana (2005), terdapat 5 tahap yang dilakukan dalam pengoperasian bubu lipat, yaitu tahap persiapan, pencarian daerah penangkapan, penurunan bubu (setting), perendaman bubu (soaking), serta pengangkatan bubu (hauling). 1)
Tahap persiapan Tahap ini dilakukan sebelum operasi penangkapan berlangsung dan
meliputi persiapan alat tangkap bubu cadangan, pemeriksaan kondisi kapal seperti pengecekan mesin dan pengisian bahan bakar, umpan dan perbekalan selama melakukan operasi penangkapan. Tahap ini dimulai dari sehari sebelum operasi penangkapan dilakukan, diantaranya mencari umpan, sehingga pada saat akam melaut hanya melakukan persiapan di atas kapal. Persiapan di atas kapal pada trip pagi hari dilakukan pada jam 5.00, persiapan untuk penurunan dan pengangkatan berikutnya dilakukan pada jam 16.00. 2)
Tahap pencarian daerah penangkapan Pencarian daerh penangkapan didasarkan pada kebisaaan dan pengalaman
nelayan dalam melakukan operasi peangkapan, yaitu di perairan sekitar pantai terbuka yang dipengaruhi gelombang, kecepatan arus tidak terlalu besar (kuat), dasar perairan berupa pasir, pasir berlumpur dan lumpur. Tahap ini ditempuh dalam waktu 15 menit sampai dengan 2 jam bergantung pada jarak fishing ground yang dituju. 3)
Tahap penurunan bubu (Setting) Setelah sampai di daerah penangkapan, bubu diturunkan. Penurunan bubu
lipat dimulai dengan penurunan pemberat, dilanjutkan penurunan bubu yang sudah dirangkai secara sistem rawai dan sudah dipasangi umpan, hingga pemberat yang kedua. Proses ini diakhiri dengan penurunan pelampung tanda. Pada saat penurunan bubu, mesin kapal tidak dimatikan dan kapal tetap berjalan dengan kecepatan rendah. Pada tahap ini diperlukan waktu 15-25 menit untuk menurunkan semua bubu ke dalam perairan.
41
4)
Tahap perendaman bubu (Soaking) Selesai penurunan, bubu didiamkan di dalam perairan selama 11-12 jam.
Pada tahap ini target tangkapan terperangkap masuk ke dalam bubu. Pada saat bubu di perairan, nelayan dapat meninggalkan fishing ground ataupun menunggu saat pengangkatan bubu. Sehingga pada tahap ini nelayan dapat melakukan aktivitas lain, baik melakukan operasi penangkapan dengan alat tangkap lain ataupun melakukan aktivitas selain bidang perikanan. 5)
Tahap pengangkatan bubu (Hauling) Setelah masa perendaman, dilakukan pengangkatan bubu. Pengangkatan
bubu dimulai dengan pengangkatan pelampung tanda, bubu dan diakhiri pemberat. Satu orang nelayan bertugas mengangkat bubu dari perairan, satu orang nelayan lainnya mengambil hasil tangkapan dari dalam bubu untuk kemudian disimpan di tempat yang telah disediakan di atas kapal dan memasang umpan kembali serta merapikan bubu di dek kapal. Pengangkatan maupun penurunan bubu dilakukan dari bagian kiri buritan kapal. 2.8
Hasil tangkapan bubu Bubu yang diopersikan di daerah yang berbeda, akan menangkap jenis
ikan yang berbeda pula. Menurut Martasuganda (2003), biota perairan yang biasanya dijadikan target penangkapan bubu adalah ikan dasar, udang, kepiting, keong, lindung, belut laut, cumi-cumi atau gurita, baik yang hidup di perairan pantai, lepas pantai maupun yang hidup di perairan laut dalam (yang mempunyai kedalaman lebih dari 200 m). Hasil tangkapan bubu dasar terdiri atas jenis-jenis ikan, antara lain kwe (Caranx spp), baronang (Siganus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), ekor kuning (Caesio spp), ikan kaji (Diagramma spp), dan lencam (Letrinus spp), serta jenis-jenis crustacea yaitu udang paneid, udang barong, kepiting, rajungan dan lain-lain (Subani dan Barus, 1989). Iskandar dan Komarudin (2009) melakukan penelitian menggunakan bubu tambun di perairan karang Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Beberapa target species yang tertangkap pada bubu tambun ini antara lain : kerapu hitam (Epinephelus ongus), kerapu koko (Epinephelus quoyanus), kerapu lodi (Epinephelus leopardus), kerapu local (Epinephelus sexfasciatus), kerapu merah (Epinephelus fasciatus),
42
dan kerapu lada (Epinephelus merra). Adapun hasil tangkapan sampingan yang tertangkap antara lain betok hitam (Neoglyphidodon crossi), kupas-kupas (Balistes viridescenes), kepiting pasir (Portonus hastatoides), jarang gigi (Choerodon anchorago), dan marmut (Chaetodontoplus mesoleucu). Hasil tangkapan bubu permukaan terdiri dari jenis-jenis ikan pelagis, seperti tembang, japuh, julung-julung, torani, malalugis, kembung, selar dan lainlain (Subani dan Barus, 1989). Yahya (2000) menyebutkan bahwa penggunaan pakaja sangat efektif dalam menangkap telur-telur ikan torani di Selat Makasar. 2.9
Daerah Penangkapan Daerah penangkapan adalah semua tempat dimana ikan ada dan alat
penangkap ikan dapat dioperasikan (Djatikusumo, 1975). Menurut Sudjianto dan Sawon (1998) vide Muldiani (2007), bahwa bubu dapat dioperasikan di perairan dalam untuk menangkap udang dan ikan maupun di perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 m. Daerah penangkapan bubu adalah perairan yang mempunyai dasar perairan berlumpur maupun dasar pasir ataupun daerah berkarang tergantung ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Penentuan daerah penangkapan untuk perikanan bubu tidak seperti halnya menentukan daerah penangkapan untuk ikan pelagis besar seperti tuna dan ikan pelagis pada umumnya, dimana harus selalu memperhitungkan faktor oseanografi, kelimpahan plankton dan faktor lainnya yang berhubungan. Hal terpenting dalam menentukan daerah penangkapan adalah diketahuinya keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang sebelum operasi penangkapan dilakukan . keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang di suatu perairan dapat diketahui dengan alat pendeteksi ikan (fish finder), berdasarkan pada data hasil tangkapan sebelumnya di suatu perairan, atau informasi daerah penangkapan dari instansi terkait (Martasuganda, 2008). 2.10 Nelayan Nelayan adalah orang yang bekerja menangkap ikan di laut dengan alat tangkap ikan dan menggunakan kapal perikanan. Menurut (Satria, 1971) nelayan dibagi menjadi dua yaitu nelayan kecil dan nelayan besar. Nelayan kecil menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan
43
sebagian dijual yang kemudian dialokasikanuntuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan), dan bukan diinvestasikan kembali untuk melipatgandakan keuntungan. Nelayan kecil ini tidak menggunakan alat tangkap dengan kapasitas teknologi tinggi. Sedangkan nelayan besar adalah nelayan yang sudah menggunakan teknologi tinggi dalam hal alat tangkap dan armadanya. Nelayan ini berorientasi pada keuntungan dan umumnya melibatkan sejumlah buruh nelayan sabagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang semakin kompleks. Pola hubungan antarberbagai status dalam organisasi kerja tersebut juga semakin hirerarkis. Adapun
menurut
Direktorat
Jenderal
Perikanan
(1997),
nelayan
dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu: 1. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan 2. Nelayan sambilan utama nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan 3. Nelayan sambilan tambahan adalah yang nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat di perairan bakau termasuk ke dalam nelayan kecil. Jumlah nelayan yang mengoperasikan bubu lipat berjumlah 3 orang. Pembagian tugas dalam pengoperasian bubu lipat adalah 1 orang sebagai juru mudi, 1 orang menyiapkan alat dan umpan dan 1 orang lainnya sebagai penawur bubu (Mariana, 2005).
44
3. METODOLOGI
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian di lapang dilaksanakan selama 10 hari dimulai dari tanggal 22
Mei 2009 hingga tanggal 1 Juni 2009, dengan lokasi perairan bakau Desa Mayangan Kecamatan Legonkulon Subang Jawa Barat (Lampiran 1). Kegiatan penangkapan dilaksanakan pada 6 stasiun yang berbeda (Lampiran 2). 3.2
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.
Bubu yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 24 unit, dengan rincian sebagai berikut: 1) Bubu dengan escape gap berbentuk kotak sebanyak 6 unit 2) Bubu dengan escape gap berbentuk lingkaran sebanyak 6 unit 3) Bubu dengan escape gap berbentuk Ship Same Side Corner Rectangle (S3CR) sebanyak 6 unit 4) Bubu tanpa escape gap sebagai kontrol sebanyak 6 unit
2.
Kapal motor dengan dimensi panjang 5 m, lebar 1.5 meter, dalam 70 centimeter
3.
GPS (Global Positioning Sistem) untuk menentukan posisi daerah penangkapan
4.
Jangka sorong untuk mengukur panjang dan lebar karapas hasil tangkapan
5.
Meteran kain untuk mengukur body girth hasil tangkapan
6.
Papan pengukur ikan (measuring board) untuk mengukur panjang hasil tangkapan
7.
Timbangan untuk mengukur berat hasil tangkapan
8.
Kantong plastik untuk menampung hasil tangkapan
9.
Kamera digital untuk dokumentasi
10. Alat tulis Bahan yang digunakan adalah : 1.
Ikan rucah tembang sebagai umpan.
2.
Ikan rucah pepetek sebagai umpan.
45
3.3
Metode Penelitian
3.3.1 Deskripsi Alat yang Digunakan (1) Deskripsi Bubu Penelitian ini menggunakan metode experimental fishing yakni dengan melakukan percobaan penangkapan kepiting bakau di lapang. Alat utama yang digunakan untuk penelitian adalah bubu lipat berbentuk kotak dengan bentuk dan ukuran yang biasa digunakan oleh nelayan. Bubu lipat yang digunakan mempunyai dimensi p x l x t = 45 x 30 x 18 cm. Secara detail bubu lipat yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 12. Mulut bubu atau funnel berbentuk celah dengan lebar sebesar 1 cm memanjang secara horizontal dengan panjang 29 cm. Secara detail spesifikasi teknis bubu yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Spesifikasi teknis bubu lipat No
Spesifikasi Teknis
Bubu Lipat
1
Bahan
PE multifilament
2
Ukuran
45 x 30 x 18 cm
3
Mesh size
1.5 x 1.5 cm
4
Umur teknis
1 tahun
5
Sistem pemasangan
Tunggal
6
Kedalaman pemasangan
1-5 m
Pengoperasian bubu lipat dilakukan sebanyak 10 trip dengan 2 kali operasi penangkapan per trip, yaitu pada pagi dan sore. Pada penelitian ini bubu dioperasikan dengan sistem tunggal pada kedalaman 1-5 m. Lokasi bubu ditandai dengan adanya pelampung yang terbuat dari busa yang dipasang pada tali pelampung dan diikat pada tiap bubu. Selanjutnya bubu dipasang secara berselang-seling antara bubu yang menggunakan berbagai bentuk escape gap dan bubu kontrol. Bubu tersebut dipasang pada 6 (enam) stasiun yang terpisah. Pada tiap stasiun dipasang 4 (empat) buah bubu yang masing-masing menggunakan escape gap berbentuk kotak, lingkaran, S3CR, dan satu buah bubu tanpa escape gap sebagai kontrol. Rancangan pemasangan bubu dengan bentuk escape gap yang berbeda secara selang-seling disajikan pada Gambar 13.
46
(b) Ukuran mata jaring
(a) Bubu tampak dua dimensi
(c) Dimensi mulut bubu Gambar 12 Gambar konstruksi alat tangkap bubu lipat
47
Pohon bakau
Keterangan : A = Bubu dengan bentuk escape gap kotak B = Bubu dengan bentuk escape gap ship same side corner rectangle (S3CR) C = Bubu tanpa escape gap D = Bubu dengan bentuk escape gap lingkaran Gambar 13 Rancangan pemasangan bubu lipat di perairan bakau
(2) Konstruksi Celah Pelolosan Celah pelolosan yang digunakan pada penelitian ini berbentuk kotak, lingkaran, dan S3CR. Escape gap yang berbentuk kotak mempunyai dimensi p x l = 5 x 4 cm, escape gap yang berbentuk lingkaran mempunyai diameter = 5 cm, dan escape gap yang berbentuk S3CR mempunyai dimensi p x t = 5 x 6 cm. Ukuran tersebut berdasarkan atas informasi yang diperoleh nelayan Desa Mayangan bahwa kepiting bakau yang layak jual memiliki berat 80 gram. Kepiting bakau dengan bobot 80 gram memiliki panjang dan lebar karapas sekitar 51,4 mm dan lebar karapas 75,1 mm. Adapun celah pelolosan berbentuk S3CR ini merupakan modifikasi celah pelolosan yang mengakomodasi celah pelolosan berbentuk persegi panjang dan lingkaran. Bentuk ini diharapkan dapat efektif untuk meloloskan biota yang tertangkap berupa ikan dan kepiting. Celah pelolosan berbentuk ship same side corner rectangle (S3CR) tersebut
48
mengakomodasi dimensi lebar dan tinggi yang diharapkan bisa berfungsi lebih baik untuk meloloskan kepiting dan biota lainnya. Penempatan posisi escape gap dilakukan pada bagian dinding samping bagian bawah bubu. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Jirapunpipat et al (2008) yang menyatakan bahwa posisi escape gap yang terbaik untuk meloloskan kepiting bakau terletak pada dinding samping bagian bubu. Escape
gap
dibuat
dari bahan besi kemudian dibentuk, dan dijahit menggunakan jaring PE multifilament. Pemasangan escape gap pada bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 14, 15, dan 16.
Gambar 14 Pemasangan escape gap dengan bentuk S3CR
49
Gambar 15 Pemasangan escape gap dengan bentuk kotak
Gambar 16 Pemasangan escape gap dengan bentuk lingkaran
50
3.3.2
Pengukuran Hasil Tangkapan Data yang dikumpulkan pada penelitian ini dikelompokkan atas data primer
dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi jumlah, jenis dan ukuran hasil tangkapan Untuk hasil tangkapan berupa kepiting, maka dilakukan penghitungan jumlah, pengukuran panjang dan lebar karapas dan berat. Untuk hasil tangkapan berupa udang dilakukan penghitungan jumlah, pengukuran panjang karapas dan berat. Sedangkan untuk hasil tangkapan berupa ikan dilakukan penghitungan jumlah, pengukuran panjang total dan berat. Yang dimaksud dengan panjang karapas kepiting bakau adalah jarak antara tepi duri frontal margin dengan tepi bawah karapas, sedangkan lebar karapas adalah jarak antara ujung duri marginal terakhir di sebelah kanan dengan duri marginal terakhir di sebelah kiri (horizontal) (Clark et al 2001). Metode pengukuran panjang dan lebar karapas serta panjang total pada ikan disajikan pada Gambar 17, 18 dan 19.
CW
CL
Keterangan : CL : Panjang karapas CW : Lebar karapas Gambar 17 Keterangan panjang dan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.)
51
Sumber : Farmed (2009)
Keterangan : CL : Panjang karapas Gambar 18 Keterangan panjang karapas udang
Keterangan :
Sumber :Randall (2006)
TL : Panjang Total Gambar 19 Keterangan panjang total pada ikan Adapun data sekunder diperoleh melalui data statistik perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, Jawa Barat dan Laporan Tahunan Koperasi Mandiri Mina Saluyu Mulya. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi keadaan wilayah Desa Mayangan, kependudukan, alat penangkapan ikan, keadaan
52
ekonomi dan mata pencaharian penduduk, jumlah armada, dan hasil tangkapan ikan yang diperoleh. 3.3.3 Penentuan Ukuran Layak Tangkap Penelitian ini bermaksud untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan bubu yang digunakan oleh nelayan. Pengertian dari hasil tangkapan sampingan adalah hasil tangkapan berupa non target species dan hasil tangkapan kepiting bakau yang berukuran kecil (belum layak tangkap) (Iskandar, 2006). Ukuran kepiting bakau yang layak tangkap dapat ditinjau dari dua terminologi yakni layak tangkap secara biologi/ekologi dan layak tangkap secara ekonomi (dapat diterima oleh pasar). Ukuran kepiting bakau yang layak tangkap secara biologi/ekologi mengacu pada ukuran length at first maturity (Lm). Ukuran Lm kepiting bakau berbeda untuk wilayah yang berbeda. Pada penelitian ini ukuran kepiting bakau yang layak tangkap mengacu pada ukuran layak tangkap secara biologi yang mana kepiting bakau telah matang gonad. Ukuran kepiting bakau yang telah matang gonad pada penelitian ini mengacu pada Aldrianto (1994) yang menyebutkan bahwa kepiting bakau yang telah matang gonad memiliki panjang karapas 42,7 mm dan lebar karapas 80 mm. 3.4
Analisis Data Untuk menganalisis perbedaan jumlah dan ukuran hasil tangkapan pada
bubu dengan bentuk escape gap berbeda, maka penelitian ini dirancang dengan uji Kruskal Wallis. Sebagai perlakuannya adalah bubu dengan bentuk escape gap yang berbeda, dengan ulangan sebanyak 10 kali. Uji Kruskal Wallis merupakan alternatif uji nonparametrik dari analisis varian satu jalur (One-way ANOVA) dimana nilai data diganti dengan rank. Statistik uji yang digunakan adalah (Sulaiman, 2002) :
H : Nilai uji Kruskal-Wallis ni : Banyaknya nilai pengamatan (ulangan) pada tiap-tiap sampel (perlakuan) k : Banyaknya sampel (perlakuan) yang diuji Ri : Jumlah ranking tiap sampel (perlakuan) N : Total pengamatan
53
Selanjutnya hasil dari uji Kruskal Wallis, dianalisis menggunakan uji lanjut Mann Whitney. Uji Mann Whitney merupakan uji nonparametrik yang digunakan untuk menguji signifikansi hipotesis komparatif 2 sampel independen bila datanya berbentuk ordinal, dan untuk 2 sampel yang berukuran tidak sama. Statistik uji yang digunakan adalah (Sulaiman, 2002) : U1 = n1 . n2 + ½ [n1 (n1 + 1)] – R1 dan U2 = n1 . n2 + ½ [n2 (n2 + 1)] – R2 dimana : n1 : Jumlah sampel 1 n2 : Jumlah sampel 2 U1 : Jumlah peringkat 1 / U hitung 1 U2 : Jumlah peringkat 2 / U hitung 2 R1 : Jumlah ranking pada sampel n1 R2 : Jumlah ranking pada sampel n2 Data berupa spesies hasil tangkapan akan dianalisis dengan menggunakan index Shanon Wiener untuk melihat keragaman spesies. Keragaman spesies hasil tangkapan akan digunakan sebagai pendekatan analisis untuk melihat selektivitas bentuk escape gap yang berbeda terhadap spesies hasil tangkapan bubu. Bubu akan memiliki selektivitas terhadap spesies yang relatif lebih baik apabila memiliki indeks Shanon Wiener yang lebih kecil dibandingkan dengan bubu lainnya. Rumus untuk mencari keragaman spesies menggunakan index Shanon Wiener adalah sebagai berikut (Krebs, 1989):
Keterangan : H’ : Index diversitas Shanon Wiener Pi : Proporsi spesies terhadap total hasil tangkapan s : Jumlah Spesies Jika
: H’ memiliki nilai yang lebih besar maka spesies bervariasi (tidak ada dominansi)
54
4. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1
Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang Kabupaten Subang terletak antara 1070 31’ – 1070 54’ BT dan 60 11’ – 60
30’ LS. Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan dan 243 desa (Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1999). Dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang, empat kecamatan terletak di wilayah pesisir yaitu Blanakan, Legonkulon, Pusakanegara, dan Pamanukan. Secara administratif, Kabupaten Subang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : 1) sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung 2) sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa 3) sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang 4) sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta Luas wilayah Kabupaten Subang adalah 205.176,95 Ha atau 6,34% dari luas Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian tempat antara 0-1500 m dpl. Dilihat dari topografinya, Kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam tiga zona daerah yaitu (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003): 1) Daerah pegunungan dengan ketinggian 500-1500 m dpl di atas permukaan laut dengan luas wilayah 41.035,09 Ha atau 20% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang, 2) Daerah bergelombang atau berbukit dengan ketinggian 50-500 m dpl dengan luas wilayah 71.502,16 Ha atau 34,85% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang, 3) Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0-50 m dpl dengan luas wilayah 92.639,7 Ha atau 45,15% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Apabila dilihat dari kemiringan lahan, maka tercatat bahwa 80,80% wilayah Kabupaten Subang memiliki kemiringan 00-170, sedangkan sisanya memiliki kemiringan di atas 180. Secara umum Kabupaten Subang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per tahun 2.117 mm dengan jumlah hari hujan 90 hari. Kondisi iklim tersebut ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan
55
banyaknya aliran sungai, sehingga menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian. Wilayah Kabupaten Subang memiliki panjang garis pantai kurang lebih 68 km yang meliputi 4 (empat) wilayah kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Kecamatan Pamanukan, Kecamatan Legonkulon dan Kecamatan Pusakanagara. Desa
Mayangan
berada
dalam
wilayah
administrasi
Kecamatan
Legonkulon. Desa Mayangan merupakan salah satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Legonkulon. Desa ini terletak di bagian paling utara dari Kecamatan Legonkulon. Secara geografis Desa Mayangan terletak pada koordinat 60 11’ LS serta 1070 31’ dan 1070 54’BT. Secara administratif Desa Mayangan berbatasan dengan Desa Tegal Urung di sebelah Barat, Desa Legon Wetan di sebelah Timur, Desa Legonkulon di sebelah Selatan, dan Laut Jawa di sebelah Utara. Desa Mayangan memiliki luas 678.37 Ha dan sebagian besar dari luas wilayahnya merupakan areal hutan mangrove yaitu seluas 290 Ha yang dimiliki oleh Perum Perhutani. Desa Mayangan memiliki dua buah sungai yaitu Sungai Citerusan di sebelah barat dan Sungai Cigadung di sebelah timur yang menjadikan perairan pantai Desa Mayangan cukup produktif. 4.2
Keadaan Perairan Kabupaten Subang Suhu di perairan Subang rata-rata adalah 28,50C. Suhu air suatu perairan
dipengaruhi oleh suhu udara atasnya yang kisarannya relatif stabil untuk daerah tropis. Kondisi umum pantai Utara Jawa Barat adalah berupa pantai yang landai dengan kemiringan antara 0,06 % hingga 0,4 %. Diperkirakan ada jarak rata-rata 4 km dari garis pantai kedalaman mencapai 5 m, kemudian jarak rata-rata 13 km dari garis pantai menjadi 10 m, dan jarak 21 km kedalaman mencapai 20 m. Kontur kedalaman kurang dari 5 m memperlihatkan kondisi yang relatif sejajar dengan garis pantai. Demikian juga pada kedalaman antara 5 – 10 m dan 10 - 20 m (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003). 4.2.1 Faktor Klimatologi Perairan Pantai Kabupaten Subang Perairan pantai Subang yang merupakan bagian dari sistem Laut Jawa sangat dipengaruhi oleh angin muson yang berkembang secara kuat di perairan ini. Di wilayah Laut Jawa munculnya periode musim Barat terjadi pada bulan
56
Desember hingga Februari umumnya diikuti dengan adanya musim hujan. Adapun musim Timur terjadi pada bulan Juni - Agustus dengan adanya kemarau. Dalam musim Timur penguapan yang terjadi di laut lebih besar daripada curah hujannya. Kecepatan angin yang tinggi dan kelembaban yang relatif rendah menyebabkan penguapan lebih dari 100 mm/bulan. Dari bulan Juni sampai Agustus energi yang diperlukan untuk penguapan tersebut melebihi dari energi yang tersedia dari radiasi matahari, sehingga menimbulkan defisit energi sekitar 5.700 cal/cm2, atau sebanding dengan pendinginan wilayah perairan sedalam 40 m dengan penurunan suhu perairan sekitar 1,4
0
C. Pendinginan perairan dalam periode musim Barat bukan
disebabkan oleh keseimbangan energi tersebut, tetapi dalam musim ini muson Barat berkembang sangat kuat dan dengan angin yang relatif kuat membawa massa udara dingin dan hujan ke wilayah Laut Jawa ini. Fluktuasi angin muson secara nyata berhubungan dengan fluktuasi suhu perairan. Hasil pengamatan angin di wilayah pantai Mayangan dalam periode musim Peralihan (Mei) menunjukkan pada siang hari (jam 06.00 – 18.00) kecepatan angin berkisar antara 0 – 7 m/det, dan pada malam hari (jam 18.00 – 06.00) antara 0 – 3.5 m/det dengan arah angin dominan dari Timur, Timur Laut dan Barat Laut. 4.2.2 Karakteristik Fisik Perairan Pantai Subang 1) Suhu dan Salinitas Perairan Suhu dan salinitas di wilayah perairan pantai Subang berfluktuasi secara musiman yang dipengaruhi oleh dinamika perairan Laut Jawa. Secara umum fluktuasi suhu bulanan di Laut Jawa menunjukkan adanya dua suhu tertinggi (sekitar 28,7 0C) dan dua suhu terendah (sekitar 27,5 0C). Suhu tertinggi terjadi dalam periode musim peralihan yakni bulan Mei dan November. Adapun suhu terendah terjadi bulan Agustus dan Februari (puncak musim Timur dan Barat). Rata-rata suhu bulanan bervariasi antara 27,5 0C sampai 28,7 0C. Rata-rata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa berkisar antara 31,5 0/00 – 33,7 0/00. Salinitas maksimum pertama (33,7 0/00 ) dan kedua (33,3 0/00) terjadi pada bulan September dan November. Adapun salinitas minimum pertama (31,8 0
/00) dan kedua (31,3 0/00) terjadi masing-masing sekitar bulan Februari dan Mei.
57
Hasil pengukuran distribusi salinitas di beberapa muara sungai di wilayah pantai Subang menunjukkan bahwa jangkauan pengaruh rambatan pasang surut yang membawa massa air laut ke arah hulu sungai berkisar antara 1 km sampai 3,5 km. Rambatan pasang surut sungai Mayangan dapat mencapai 1,5 – 2,5 km. 2) Bathimetri Perairan Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Perairan dengan kedalaman kurang dari 5 m (disekitar Blanakan) memiliki gradien kedalaman sekitar 2,0027 dan 0,0054 yang berada di sekitar Pusakanagara. Adapun di perairan dengan kedalaman 5 - 10 m memiliki gradient kedalaman berkisar 0,00006 terdapat di sekitar Blanakan. Morfologi daratan pantainya terdiri dari pasir bercampur lumpur dan bahan organik, dengan jenis tanah gleisol hidrik. Pada pantai terdapat rawa-rawa dan vegetasi mangrove. Umumnya kawasan pantai dipergunakan oleh masyarakat sebagai kawasan pemukiman, pertambakan, dan sebagainya. Pesisir pantai Kabupaten Subang banyak yang mempunyai muara sungai kecil, sehingga terdapat kemungkinan banyaknya jumlah pengendapan di muara sungai besar dan jenis substrat dasar berupa pasir. 3) Pasang Surut Pasang surut merupakan gerakan naik-turun dari muka air laut secara periodik yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik benda angkasa seperti bulan dan matahari. Jenis pasang surut yang terjadi di wilayah pantai Subang mengikuti pola pasang surut di Laut Jawa. Tipe pasang surut (pasut) Pantai Utara Jawa Barat sebagian besar termasuk dalam kategori campuran mengarah ke semidiurnal. Kategori pasut campuran adalah daerah pantai yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dengan ketinggian yang berbeda. Adapun pasut kategori semidiurnal adalah daerah pantai yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dengan ketinggian yang sama. Pasang dan surut terbesar adalah 1 m dan kisaran tinggi pasang dan surut kedua adalah 0,5 – 0,7 m.
58
4) Arus Perairan Pantai Pola arus perairan di pantai Subang yang secara umum mengikuti pola arus Laut Jawa menunjukkan bahwa arus musiman sangat dominan di wilayah perairan ini. Periode musim Timur terjadi antara bulan Mei dan September, arus musim bergerak ke arah barat dengan kecepatan maksimum sekitar 25 cm/det. Dari bulan November sampai Maret arus musim mengalir ke arah timur dengan kecepatan maksimum sekitar 30 cm/det. Pada bulan April dan Oktober arah arus musim berubah. Pengukuran arus di wilayah pantai Subang menunjukkan bahwa di perairan pantai Mayangan arus pasang berkisar 1,4 – 31,5 cm/det mengalir dominan ke arah barat, dan arus surut berkisar antara 0,7 – 28,1 cm/det yang dominan mengalir ke arah barat. 5) Kualitas Air Perairan Subang Berdasarkan topografinya, perairan kabupaten Subang terdiri dari: (1) perairan pesisir dan laut, (2) perairan sungai dan situ. Kondisi perairan Kabupaten Subang banyak dipengaruhi oleh kondisi alam di dataran tinggi, serta pengaruh sifat oseanografi perairan dangkal Laut Jawa. Kondisi umum perairan Kabupaten Subang relatif baik. Beberapa lokasi di perairan payau dan laut mempunyai sifat kekeruhan yang cukup tinggi seperti di Pondok Bali, Mayangan dan Blanakan. Kondisi ini merupakan karakteristik perairan Laut Jawa yang banyak dipengaruhi oleh sedimen yang dibawa oleh beberapa sungai yang bermuara ke Pantai Utara Jawa. Selain itu, sifat oseanografi di daerah pasang surut (intertidal) Subang memungkinkan terjadi sedimentasi dan penggerusan
pantai
(abrasi).
Kondisi
ini
merupakan
suatu
hal
yang
menguntungkan karena perairan pesisir Subang menjadi subur karena mendapat suplai nutrient dari daratan. 4.2.3 Mangrove Kabupaten Subang memiliki hutan mangrove sebesar 6.132,8 Ha dengan tiga lokasi wisata bahari yaitu Wisata Buaya Blanakan, Pantai Pondok Bali, dan Pantai Patimban. Hutan mangrove yang terdapat di kawasan pantai utara Kabupaten Subang berada di bawah otoritas pengelola Perum Perhutani BPKH Ciasem dan Pamanukan.
59
Formasi hutan mangrove di pesisir utara Kabupaten Subang dari arah laut ke darat didominasi oleh api-api (Avicenia marina), kemudian bakau (Rhizopora mucronata) dan prepat/pepada (Sonnateratia acida). Jenis fauna yang ditemukan pada hutan mangrove adalah jenis reptile seperti ular dan kadal, katak, jenis ikan seperti belut, gabus, mujair, sepat, mujair, belanak dan sebagainya. Kondisi derajad keasaman (pH) perairan mangrove Desa Mayangan bersifat homogen dan bersifat basa. Komposisi elemen di dalam sedimen hampir menyerupai air laut pada umumnya, karena lingkungan mangrove pada umumnya memiliki interaksi yang sangat intensif dengan perairan pantai. Kandungan natrium yang terkandung pada daerah tengah petak mangrove berbeda dengan daerah lainnya yaitu sekitar 5 kali lipatnya. Hal ini disebabkan karena pada bagian tengah petak mangrove dikelilingi tambak yang tidak digunakan dan relatif tertutup. Akibat dari penguapan yang terjadi terus-menerus tetapi interaksi dengan perairan terbuka sangat minimal dan tidak ada proses pergantian massa air yang menyebabkan jumlah garam dalam perairan menjadi tinggi. Kandungan salinitas pada bagian tengah petak mangrove, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tepi sungai dan area pertambakan. Pada bagian tepi sungai dan area pertambakan lebih terbuka dengan perairan luar karena air dapat masuk melalui parit-parit dan kegiatan pertambakan menyebabkan selalu adanya pergantian air di sekitar perairan mangrove. Pada bagian tepi sungai memiliki nilai salinitas lebih rendah karena memiliki interaksi yang intensif dengan perairan terbuka dalam hal ini sungai. Kandungan kalium pada mangrove Desa Mayangan relatif tinggi. Hal ini menyebabkan komposisi elemen dalam sedimen substrat mangrove berbeda dengan komposisi air laut pada umumnya, yaitu kandungan elemen natrium lebih besar daripada kalium. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari luar seperti aktivitas pertanian dan perikanan, dalam hal ini adalah kegiatan budidaya tambak dimana petani pada umumnya melakukan pemupukan pada lahan garapannya. Kegiatan tersebut dapat merubah komposisi elemen di dalam perairan sekitar mangrove yang kemudian akan mempengaruhi kandungan elemen dalam sedimen.
60
4.3
Unit Penangkapan Ikan Unit penangkapan ikan adalah satu kesatuan teknis dalam melakukan
operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal/perahu, alat tangkap dan nelayan. 4.3.1 Kapal Kapal atau perahu penangkap ikan di Kabupaten Subang dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Perahu tanpa motor adalah perahu yang pengoperasiannya tidak menggunakan mesin tetapi menggunakan layar atau dayung. Perahu motor tempel adalah perahu atau kapal yang pengoperasiannya menggunakan mesin motor tempel (outboard engine), sedangkan kapal motor adalah kapal yang pengoperasiannya menggunakan mesin yang disimpan di dalam badan kapal (inboard engine). Perkembangan jumlah perahu/kapal motor setiap tahunnya cenderung konstan. Tabel 3 Perkembangan jumlah kapal tahun 2006-2009 Tahun 2006 2007 2008 2009
Perahu Tanpa Motor Tempel Motor (unit) (unit) 50 649 46 660 40 665 36 671
Kapal Motor (unit) 16 21 21 21
Jumlah 665 681 686 696
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2009
Secara keseluruhan jumlah kapal atau perahu di Kabupaten Subang cenderung meningkat selama periode tahun 2006 sampai 2009. Dilihat dari perkembangan tersebut, jenis kapal yang ada masih didominasi oleh perahu motor tempel. Jumlahnya cenderung meningkat dengan jumlah tertinggi pada tahun 2009 sebanyak 671 unit kapal. Berbeda dengan perahu motor tempel, perahu tanpa motor justru mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2009 jumlah perahu tanpa motor menurun hingga 36 unit kapal. 4.3.2 Alat Tangkap Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Subang terdiri dari jenis payang, pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring klitik, jaring insang tetap, pancing, alat pengumpul kerang dan alat tangkap lainnya. Pada Tabel 6
61
disajikan secara rinci tentang alat tangkap dan produksi dari tiap alat tangkap pada tahun 2008. Tabel 4 Jenis alat tangkap di Kabupaten Subang No
Jenis Alat Tangkap
Jumlah (unit)
1
Payang
52
2
Dogol
67
3
Jaring arad
79
4
Jaring Insang hanyut
122
5
Jaring insang klitik
142
6
Jaring insang tetap
165
7
Pacing lainnya
108
8
Lain-lain
135
Jumlah
870
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2009
Dari jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Subang, hanya 7 jenis alat tangkap yang dioperasikan setiap tahunnya yaitu payang, pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring klitik dan alat pengumpul kerang, sedangkan alat tangkap dogol mulai dioperasikan pada tahun 2000. Hingga saat ini alat tangkap yang dominan dioperasikan di Kabupaten Subang adalah jaring insang tetap, jaring insang hanyut dan jaring insang klitik. Pada tahun 2008 alat tangkap yang dominan di Kabupaten Subang yaitu jaring insang tetap sebanyak 165 unit. 1. Payang (1) Deskripsi Payang adalah alat penangkap ikan yang sudah lama dikenal dan digunakan oleh nelayan Indonesia. Alat tangkap ini termasuk ke dalam kelompok pukat kantong (seine net) atau lebih dikenal dengan nama Danish seine. Adapun alat tangkap ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu sayap, badan dan kantong (Subani dan Barus, 1989).
62
Payang dioperasikan di permukaan dengan tujuan untuk menangkap ikanikan pelagis. Pada pengoperasiannya, alat tangkap ini dioperasikan dengan melingkari kawanan ikan kemudian jaring ditarik ke atas geladak kapal (Subani dan Barus, 1989). Pengoperasian payang dapat dilakukan baik pada siang hari maupun pada malam hari. Adapun alat tangkap payang di Kabupaten Subang hanya dioperasikan di Perairan Ciasem pada siang hari. (2) Konstruksi Payang termasuk ke dalam alat tangkap pukat kantong yang mempunyai tiga bagian besar yaitu sayap, badan, dan kantong. Adapun bagian-bagian alat tangkap payang secara lebih rinci terdiri atas dua sayap, badan jaring, kantong, pelampung, pemberat, dua tali ris, dan tali selambar. Konstruksi payang dapat dilihat pada Gambar 20. •
Sayap Sayap pada payang digunakan untuk mengurung kawanan ikan yang akan
ditangkap. Material jaring yang digunakan pada bagian sayap adalah PA (Polyamide). Panjang sayap yaitu 200 m dengan ukuran mesh size 30 cm. Pada sayap bagian atas terdapat pelampung yang terbuat dari bambu dengan diameter sekitar 10 - 15 cm berjumlah 36 buah. Pada sayap bagian bawah terdapat pemberat sebanyak 38 buah. Pemberat ini terbuat dari bahan semen cor dengan panjang 5 cm dan berat 2 kg. •
Badan Ikan-ikan yang telah dikelilingi oleh jaring kemudian diarahkan oleh nelayan
agar masuk ke badan jaring. Material jaring yang digunakan pada bagian badan sama dengan material jaring pada bagian sayap yaitu PA (Polyamide) dengan ukuran mesh size 19 cm. Panjang badan bagian atas dan bawah pada payang berbeda. Panjang badan jaring bagian atas lebih pendek dibandingkan badan jaring bagian bawah. Hal ini bertujuan agar ikan-ikan pelagis tidak dapat meloloskan diri melalui bagian bawah payang. Panjang badan jaring bagian atas sebesar 10 meter sedangkan panjang badan jaring bagian bawah sebesar 30 m. •
Kantong Kantong merupakan bagian paling akhir atau ujung pada alat tangkap payang.
Kantong ini berfungsi sebagai tempat berkumpulnya hasil tangkapan. Material
63
jaring yang digunakan pada bagian kantong terbuat dari bahan PA (Polyamide). Kantong pada payang memiliki panjang 20 meter dengan ukuran mesh size yang berangsur-angsur mengecil mulai dari 12 cm hingga 1,5 cm. Ukuran mata jaring yang semakin mengecil ini bertujuan agar ikan-ikan tertangkap dan tidak dapat meloloskan diri dari kantong. •
Tali ris Tali ris pada payang terletak pada bagian sayap. Tali ris ini terbagi menjadi
dua jenis yaitu tali ris atas dan tali ris bawah. Tali ris atas berfungsi sebagai tempat memasang pelampung sedangkan tali ris bawah berfungsi sebagai tempat pemasangan pemberat. Baik tali ris atas maupun tali ris bawah terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter tali ris atas 4 mm dan tali ris bawah 5 mm. Panjang tali ris atas yaitu 250 m sedangkan panjang tali ris bawah yaitu 200 m. Perbedaan panjang tali ini karena menyesuaikan dengan bentuk mulut payang. •
Tali selambar Tali selambar pada payang berfungsi untuk menarik jaring saat sedang
dioperasikan dan pada saat jaring ditarik ke atas kapal. Tali ini terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter tali 16 mm. Panjang tali selambar di sayap kanan dan kiri payang berbeda. Panjang tali selambar di sayap kanan payang sebesar 200 m sedangkan panjang tali selambar di sayap kiri sebesar 20 m. Perbedaan panjang pada tali selambar ini karena sayap kiri pada payang hanya dilepaskan begitu saja sedangkan sayap kanan dilingkarkan pada kawanan ikan yang bergerak sehingga membutuhkan panjang tali selambar yang lebih besar.
Keterangan: 1. Kantong 2. Badan Jaring 3. Sayap 4. Tali Ris Atas 5. Tali Ris Bawah 6. Tali Selambar 7. Pelampung 8. Pemberat Gambar 20 Konstruksi payang
64
(3) Kapal Kapal yang digunakan untuk pengoperasian payang terbuat dari bahan kayu dengan dimensi L X B x D yaitu 9 x 2,4 x 0,6 meter. Kapal yang digunakan pada pengoperasian payang biasanya berupa perahu motor tempel yang menggunakan mesin tempel dengan merk Dongfeng. Mesin ini memiliki umur teknis ± 5 tahun dengan kekuatan mesin sebesar 24 PK. Pengoperasian kapal dilakukan secara one day fishing yaitu pergi pada pagi hari yaitu pada pukul 06.00 dan kembali pada siang atau sore hari yaitu pada pukul 16.00. (4) Nelayan Mayoritas nelayan yang ada di Kabupaten Subang adalah penduduk asli setempat dan sebagian kecil merupakan nelayan pendatang yang berasal dari Indramayu, Karawang dan Cirebon. Nelayan payang pada umumnya merupakan penduduk asli yang menjadikan usaha penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama atau termasuk ke dalam klasifikasi nelayan penuh. Adapun nelayan yang mengoperasikan payang di Kabupaten Subang berjumlah 22 orang nelayan dimana satu orang bertugas sebagai nahkoda kapal, satu orang sebagai fishing master dan sisanya bertugas mengoperasikan payang. (5) Metode pengoperasian Operasi penangkapan jaring payang dilakukan secara one day fishing. Proses pengoperasian payang dimulai pada pagi hari yaitu pada pukul 05.00 WIB. Adapun pengoperasian payang dilakukan dalam empat tahap yaitu tahap persiapan, tahap pemasangan jaring (setting), tahap penarikan jaring (hauling), dan tahap pelepasan hasil tangkapan. Tahap persiapan meliputi persiapan perbekalan seperti makanan, minuman, dan bahan bakar. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan terhadap kondisi mesin oleh juru mesin. Adapun untuk satu kali operasi penangkapan jaring payang diperlukan bahan bakar sebanyak 20 liter. Setelah semua tahap persiapan selesai dilakukan, perahu diberangkatkan menuju fishing ground. Dalam menentukan fishing ground, fishing master mencari kawanan ikan dengan melihat tanda-tanda keberadaan gerombolan ikan seperti adanya riak-riak air di permukaan atau dengan melihat adanya kawanan burung di atas permukaan. Pada proses ini kecakapan seorang fishing master sangatlah menentukan keberhasilan penangkapan.
65
Pada
saat
gerombolan
ikan
ditemukan,
fishing
master
akan
menginstruksikan kepada juru mudi agar mendekati gerombolan ikan tersebut agar proses pemasangan jaring (setting) dilakukan. Pemasangan jaring dilakukan dengan melingkari gerombolan ikan. Proses melingkari yang memerlukan waktu 20 menit ini diawali dengan penurunan pelampung tanda, tali selambar, badan jaring, dan tali selambar namun ujung dari tali selambar terakhir tetap berada di perahu. Proses berikutnya adalah penarikan jaring. Proses ini dilakukan dengan secepat mungkin. Hal ini dilakukan untuk memperkecil kemungkinan lolosnya ikan yang akan ditangkap. Adapun tahap penarikan jaring umumnya menghabiskan waktu selama 30 menit. Proses penarikan jaring dilakukan oleh ABK kapal yang berjumlah 20 orang. Tahap pelepasan hasil tangkapan dilakukan dengan membuka ikatan pada kantong. Tahap pelepasan ini umumnya dilakukan selama 15 menit. Setelah proses pelepasan selesai, kantong jaring diikat kembali dan dipersiapkan kembali untuk setting selanjutnya. Jika hasil tangkapan yang didapatkan kurang memuaskan, maka proses setting umumnya dilakukan sebanyak 3-5 kali dalam satu kali operasi penangkapan jaring payang. (6) Hasil Tangkapan Jaring payang merupakan alat tangkap yang dioperasikan di permukaan perairan. Dengan demikian jaring payang memiliki target tangkapan berupa ikanikan pelagis. Hasil tangkapan dari payang adalah tongkol (Auxis sp.), cumi (Loligo sp.), kembung (Rastrelliger sp.), tembang (Sardinella sp.), japuh (Dussumiera acuta) dan lain-lain. 2. Dogol (1) Deskripsi Dogol merupakan alat tangkap yang dioperasikan untuk menangkap ikan demersal. Pada pengoperasiannya alat ini dilingkarkan pada sasaran tertentu (umumnya dengan cara menduga-duga), kemudian pada akhir penangkapan hasilnya dinaikkan ke atas geladak perahu atau didaratkan ke pantai (Subani dan
66
Barus, 1989). Alat tangkap dogol yang ada di Kabupaten Subang tidak berbeda jauh dengan alat tangkap dogol pada umumnya. Dogol termasuk ke dalam kelompok pukat kantong atau umumnya disebut danish seine. Alat ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu kantong, sayap dan badan jaring. Konstruksi mulut jaring bagian atas dogol agak lebih menonjol kedepan sehingga menyerupai konstruksi pukat udang (trawl) tetapi ukurannya lebih kecil dari pukat udang (Subani dan barus, 1989). (2) Konstruksi Bagian-bagian alat tangkap dogol terdiri atas dua sayap, badan jaring, kantong, pelampung, pemberat, dua tali ris, dan tali selambar. Dogol termasuk ke dalam alat tangkap pukat yang terbagi atas tiga bagian utama, yaitu sayap, badan dan kantong. Konstruksi dogol dapat dilihat pada Gambar 21. •
Sayap Sayap berfungsi untuk mengarahkan hasil tangkapan masuk ke dalam jaring.
Sayap pada alat tangkap ini terbuat dari bahan PE (Polyethilene). Panjang sayap pada dogol yaitu 25 m dan ukuran mesh size sebesar 12,7 cm. Pada sayap bagian atas terdapat dua jenis pelampung yaitu pelampung plastik dan pelampung besar. Adapun pelampung plastik berjumlah 12 buah dengan ukuran panjang 15 cm dan diameter 4 cm sedangkan pelampung besar berjumlah 3 buah dengan ukuran panjang 17,5 cm dan diameter 11 cm. Selain pelampung, terdapat juga pemberat yang terpasang pada bagian bawah sayap. Pemberat pada sayap berjumlah 36 buah terbuat dari bahan timah berbentuk elips dengan panjang 7 cm dan diameter sebesar 1,5 cm. •
Badan Badan jaring berfungsi untuk mengurung ikan yang telah masuk melalui
sayap. Bahan yang digunakan pada bagian badan jaring ini adalah PE (Polyethylene). Badan dogol memiliki panjang 15 meter dengan mesh size sebesar 6,5 cm. Pada bagian pangkal badan jaring berhubungan dengan sayap sedangkan pada bagian ujung berhubungan dengan kantong. •
Kantong Bagian kantong merupakan bagian paling akhir dari alat tangkap dogol.
Material jaring yang digunakan pada bagian kantong terbuat dari bahan PE
67
(Polyethilene). Kantong pada dogol memiliki panjang 6 meter dan mesh size sebesar 2,5 cm. Pada bagian ujung kantong diikat dengan seutas tali yang menggunakan simpul cod-end knot. Adapun penggunaan simpul tersebut dimaksudkan agar kantong mudah dilepaskan saat akhir penangkapan. •
Tali ris Tali ris pada dogol terletak pada bagian sayap. Tali ris ini terbagi menjadi dua
jenis yaitu tali ris atas dan tali ris bawah. Adapun tali ris atas berfungsi sebagai tempat memasang pelampung sedangkan tali ris bawah berfungsi sebagai tempat pemasangan pemberat. Kedua jenis tali ris ini terbuat dari bahan PE multifilament. Tali ris bawah lebih memiliki panjang 25 m dan tali ris atas memiliki panjang 20 m. •
Tali selambar Tali selambar pada dogol berfungsi untuk menarik jaring pada saat
dioperasikan dan untuk menarik jaring ke atas kapal. Tali ini terbuat dari bahan PE multifilament. Panjang tali selambar yaitu sekitar 60 - 100 meter dan diameter 2,5 cm.
Gambar 21 Konstruksi dogol (3) Kapal Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan dogol terbuat dari bahan kayu dengan dimensi L x B x D yaitu 11 x 2,5 x 1,5 meter. Kapal ini memiliki dua buah mesin yang berfungsi sebagai mesin utama dan mesin cadangan. Mesin utama berfungsi untuk menjalankan kapal dengan merk Dongfeng dengan umur
68
teknis ± 5 tahun dengan kekuatan mesin 20 PK. Adapun mesin cadangan bermerk Dongfeng berkekuatan 16 PK berfungsi untuk mengaktifkan gardan. (4) Nelayan Nelayan merupakan tenaga kerja yang berperan aktif dalam kegiatan operasi penangkapan. Nelayan dogol pada umumnya merupakan penduduk asli yang menjadikan usaha penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama atau termasuk ke dalam klasifikasi nelayan penuh. Nelayan yang mengoperasikan unit penangkapan dogol di Kabupaten Subang berjumlah 6-8 orang nelayan, dimana satu orang bertugas sebagai juru mudi dan sisanya adalah ABK kapal yang bertugas sebagai juru mesin, juru masak, memperbaiki dan mengoperasikan jaring serta menyortir hasil tangkapan. (5) Metode Pengoperasian Pengoperasian dogol umumnya dilakukan pada pagi hari. Pengoperasian dogol dibagi menjadi lima tahap yaitu : persiapan, penentuan daerah penangkapan ikan, pemasangan jaring (setting), penarikan jaring (hauling), dan penyortiran serta pemindahan hasil tangkapan ke dalam palka. Pada tahap persiapan nelayan mempersiapkan perbekalan, mengecek kondisi mesin kapal, dan menyusun jaring untuk mempermudah dalam proses setting di laut. Kapal berangkat dari fishing base menuju fishing ground pada pukul 05.30 WIB. Waktu yang ditempuh dari fishing base menuju fishing ground sekitar 1– 2 jam. Umumnya nelayan menentukan fishing ground berdasarkan pengalaman dari hasil tangkapan sebelumnya dan dengan melihat jumlah kapal yang berada di daerah tersebut. Semakin banyak kapal yang beroperasi, nelayan akan berpikir bahwa banyak ikan yang dapat ditangkap di perairan tersebut. Setelah sampai di fishing ground, nelayan melakukan proses setting yang berlangsung kira-kira 10 - 20 menit. Proses setting diawali dengan penurunan pelampung tanda disisi kanan kapal. Tali terus diulur membentuk lingkaran searah jarum jam. Setelah hampir membentuk lingkaran, seluruh jaring beserta pelampungnya diturunkan secara serentak. Kemudian tali terus diulur sampai kapal kembali mencapai pelampung tanda. Kapal bergerak perlahan sekitar 5 menit, kemudian penarikan jaring dimulai dengan menaikkan pelampung tanda ke atas kapal. Setelah itu nelayan
69
memuntal sebagian tali selambar di gardan untuk penarikan jaring hingga ke atas kapal. Umumnya waktu yang diperlukan untuk melakukan proses hauling sekitar 15 - 20 menit. Hasil tangkapan dikeluarkan dari bagian kantong dan kemudian dilakukan penyortiran dan pemindahan ikan-ikan hasil hasil tangkapan ke dalam palka. Ikanikan yang tertangkap disortir berdasarkan jenis dan ukurannya. Semua hasil tangkapan dibawa kembali oleh nelayan dan tidak ada yang dibuang kembali ke laut. (6) Hasil Tangkapan Hasil tangkapan utama dari dogol adalah udang jerbung, udang bago, dan udang krosok. Adapun hasil tangkapan sampingannya terbagi menjadi dua kelompok yaitu hasil tangkapan sampingan ekonomis tinggi dan ekonomis rendah. Hasil tangkapan sampingan ekonomis tinggi antara lain kakap, kerapu, rajungan, sotong dan cumi-cumi sedangkan hasil tangkapan sampingan ekonomis rendah antara lain ikan sebelah, pari, cucut, gurita, belanak dan pepetek. 3. Jaring Arad (1) Deskripsi Jaring arad merupakan salah satu alat penangkap ikan yang dioperasikan secara aktif dengan cara ditarik oleh perahu bermesin. Alat tangkap ini biasanya dioperasikan di perairan dangkal dengan target tangkapan utama yaitu udang. Secara garis besar konstruksi jaring arad terdiri dari bagian sayap, badan, dan kantong (Hakim, 2006). Jaring arad banyak digunakan oleh nelayan di daerah perairan pantai utara Jawa dalam skala kecil. Jaring arad diklasifikasikan ke dalam pukat udang. Jaring arad banyak dikenal dengan nama cungking trawl atau mini otter trawl. Alat tangkap ini dikelompokkan ke dalam jenis otter trawl karena dilengkapi dengan alat pembuka mulut jaring (otter board) (Subani dan Barus, 1989). (2) Konstruksi Bagian alat tangkap jaring arad terdiri atas sayap, badan jaring, kantong, pelampung, pelampung besar, pemberat, palang kayu (danleno) dan papan rentang (otter board). Jaring arad termasuk ke dalam alat tangkap pukat yang terbagi atas
70
tiga bagian utama, yaitu sayap, badan dan kantong. Konstruksi dari jaring arad dapat dilihat pada Gambar 22. •
Sayap Sayap disebut juga jaring pengarah yang merupakan perpanjangan badan
jaring ke otter board. Sayap berfungsi untuk mengarahkan hasil tangkapan masuk ke dalam jaring. Sayap pada jaring arad memiliki panjang sebesar 10,5 m dengan material jaring yang digunakan yaitu PE dengan ukuran mesh size sebesar 4,4 cm. Pada sayap terdapat 2 jenis pelampung yaitu pelampung kecil dan pelampung besar. Pelampung kecil terbuat dari karet berwarna putih. Pelampung jenis ini berbentuk elips dengan ukuran panjang 16 cm dan diameter 2 cm. Jumlah pelampung kecil sebanyak 10 buah terpasang disepanjang sayap. Adapun pelampung besar terbuat dari bahan plastik berbentuk silinder. Ukuran panjang pelampung ini yaitu 30 cm dengan diameter 12,5 cm. Jumlah pelampung besar yang digunakan hanya satu buah dipasang pada bagian tengah mulut. •
Badan Badan jaring pada jaring arad berfungsi untuk mengurung obyek yang telah
digiring oleh sayap. Badan jaring terletak di bagian tengah jaring arad dimana pada sudut depan kiri dan kanan badan jaring berhubungan dengan sayap kanan dan kiri, sedangkan pada bagian belakang badan berhubungan langsung dengan bagian kantong. Adapun material jaring yang digunakan pada bagian badan jaring yaitu PE (polyethylene). Badan jaring memiliki panjang sebesar 4,5 m dengan ukuran mesh size sebesar 3,75 cm. Sepanjang badan jaring bagian atas dipasang pelampung yang terbuat dari karet dengan dimensi p x l x t yaitu 4,5 x 2,5 x 2,5 cm. Pelampung ini berjumlah sebanyak 13 buah. Adapun fungsi dari pelampung ini untuk menjaga agar mulut jaring arad tetap terbuka sempurna. •
Kantong Kantong berfungsi sebagai tempat berkumpulnya hasil tangkapan. Kantong
pada jaring arad memiliki panjang sebesar satu meter dan mesh size sebesar 20 mm. Pada bagian ujung kantong diikat dengan tali pengikat menggunakan simpul cod end knot. Adapun penggunaan simpul tersebut ialah untuk memudahkan dalam mengeluarkan hasil tangkapan.
71
•
Tali ris Tali ris pada jaring arad terletak pada bagian sayap. Tali ris ini terbagi menjadi
dua jenis yaitu tali ris atas dan tali ris bawah. Adapun tali ris atas berfungsi sebagai tempat memasang pelampung sedangkan tali ris bawah berfungsi sebagai tempat pemasangan pemberat. Tali ris atas terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter 4 cm dan panjang 9 meter. Adapun tali ris bawah terbuat dari bahan rami dengan panjang 11 meter dan diameter 1 cm. Perbedaan panjang tali ris atas dan bawah ini menyesuaikan dengan ukuran badan jaring. •
Otter board Otter board berfungsi untuk menjaga agar sayap jaring terbuka ke kanan dan
ke kiri dengan baik. Otter board terbuat dari kayu dan semen yang dicor dengan dimensi p x l x t yaitu 100 x 60 x 2 cm. Dengan adanya otterboard ini, jaring arad diklasifikasikan sebagai pukat atau trawl, namun karena ukurannya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan trawl, maka jaring arad disebut juga mini trawl.
Gambar 22 Konstruksi jaring arad (3) Kapal Kapal yang digunakan pada pengoperasian jaring arad adalah kapal motor tempel berbahan kayu jati. Ukuran kapal yang digunakan memiliki dimensi L x B x D : 8 x 2,8 x 1,5 m. Kapal ini menggunakan satu buah mesin utama dengan merk Dongfeng yang berfungsi untuk menggerakan kapal. Mesin ini memiliki umur teknis ± 5 tahun dengan kekuatan sebesar 16 PK. Adapun bahan bakar yang digunakan adalah solar dengan kebutuhan solar per trip sebanyak 15 - 20 liter.
72
(4) Nelayan Mayoritas nelayan jaring arad yang ada di Kabupaten Subang adalah penduduk asli setempat dan sebagian kecil merupakan nelayan pendatang yang berasal dari Indramayu, Karawang dan Cirebon. Nelayan jaring arad di Kabupaten Subang terbagi menjadi dua yaitu nelayan pemilik (juragan) dan nelayan buruh. Adapun pengoperasian jaring arad di Kabupaten Subang dilakukan oleh 2 - 3 orang nelayan, dimana satu orang bertugas sebagai nahkoda kapal dan sisanya bertugas mengoperasikan jaring. Jumlah nelayan yang sedikit ini dikarenakan ukuran kapal dan alat tangkap yang digunakan merupakan unit penangkapan yang masih tradisional dan memiliki ukuran yang kecil. (5) Metode Pengoperasian Pengoperasian jaring arad dilakukan secara one day fishing dimana kapal berangkat pada pagi hari yaitu pada pukul 04.00 dan kembali pada siang atau sore hari pada pukul 14.00. Jaring arad dioperasikan di daerah pantai dengan tipe dasar perairan lumpur berpasir. Kedalaman perairan berkisar antara 15 - 60 m dengan topografi dasar perairan yang relatif datar. Jaring arad dapat dioperasikan sepanjang tahun, namun intensitas pengoperasiannya dipengaruhi oleh musim penangkapan. Wilayah pengoperasian jaring arad adalah di sekitar perairan Subang seperti Pantai Blanakan, Pantai Mayangan, Perairan Legonkulon, dan Perairan Ciasem. Pada proses pengoperasian jaring arad terdapat beberapa tahap yaitu penentuan daerah penangkapan ikan, penurunan jaring (setting), penarikan jaring (hauling), dan penanganan hasil tangkapan. Nelayan terlebih dahulu menentukan tempat yang diperkirakan terdapat target tangkapan. Pada tahap penentuan daerah penangkapan ini nelayan tidak menggunakan alat Bantu seperti fish finder dan sejenisnya. Nelayan menentukan daerah penangkapan dengan menggunakan pengalamannya selama melaut. Setelah daerah penangkapan ikan ditentukan, nelayan akan menyiapkan jaring arad untuk segera disetting. Sebelum jaring arad disetting, jaring arad ditata terlebih dahulu agar tidak terbelit saat sedang dioperasikan. Jaring yang terbelit akan mengganggu proses terbukanya mulut jaring arad sehingga mulut jaring arad tidak terbuka dengan sempurna.
73
Jaring akan terpasang dengan baik di dalam perairan, kemudian nelayan akan mulai melakukan penarikan jaring arad. Penarikan jaring arad dilakukan dengan tujuan untuk menyapu dasar perairan sehingga ikan dan udang yang ada di dasar perairan dapat tertangkap. Adapun kecepatan kapal saat melakukan penarikan jaring harus konstan agar bukaan mulut jaring arad tetap terbuka dengan sempurna. Setelah dilakukan penarikan jaring, maka dilakukan pengangkatan jaring arad ke atas kapal untuk melihat hasil tangkapan. Proses penarikan jaring dimulai dengan menarik tali ris terlebih dahulu sampai dengan bagian kantong jaring. Setelah bagian kantong berhasil ditarik ke atas kapal, kemudian ikatan pada ujung kantong dilepaskan dan hasil tangkapan dikeluarkan. Setelah hasil tangkapan dikeluarkan dari dalam kantong, kemudian hasil tangkapan segera dibersihkan terlebih dahulu untuk menghilangkan lumpur yang tercampur dengan hasil tangkapan. Hal ini terjadi karena jaring arad dioperasikan di dasar perairan yang berlumpur. Adapun setelah hasil tangkapan dibersihkan, nelayan melakukan melakukan penyortiran berdasarkan jenis dan ukuran hasil tangkapan. Semua hasil tangkapan akan dibawa kembali oleh nelayan dantidak ada yang dibuang kembali ke laut. (6) Hasil tangkapan Hasil tangkapan jaring arad terbagi menjadi dua kategori yaitu hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan. Adapun hasil tangkapan utama jaring arad adalah udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang krosok (Parapenaeopsis sculptilis) dan udang bago (Pebaeus marguensis). Adapun hasil tangkapan sampingan jaring arad dibagi menjadi dua kelompok yaitu hasil tangkapan sampingan bernilai ekonomis tinggi dan hasil tangkapan sampingan bernilai ekonomis rendah. Adapun hasil tangkapan sampingan yang bernilai ekonomis tinggi yaitu rajungan (Portunus sp), sotong (Sepia sp) dan cumi-cumi (Loligo sp). Sedangkan untuk hasil tangkapan bernilai ekonomis rendah yaitu beberapa jenis ikan seperti pepetek (Leioghnatus sp), gulamah (Pseuosorena sp), beloso (Saurida tumbil), kerong-kerong (Therapon theraps), sebelah (Psettodes erumei), pari (Trygan sephen), cucut (Squalus sp), dan gurita (Octopus sp).
74
4. Jaring Millenium (1) Dekripsi Jaring millennium merupakan jenis alat tangkap gillnet yang telah dimodifikasi dari gillnet pada umumnya. Perbedaannya jaring millennium menggunakan bahan jaring yang memiliki serat pilinan monofilament serta warna jaring transparan. Jaring gillnet pada umumnya dibuat dari bahan nylon multifilament berwarna biru gelap, sementara jaring millennium dibuat dari nylon multi monofilament yang transparan. Jaring multi monofilament umumnya menggunakan bahan yang tipis, sehingga jaring lebih halus dibandingkan dengan jaring monofilament atau jaring multifilament. Hal itu membuat jaring multi monofilament lebih fleksibel ketika dioperasikan di perairan. Jaring millennium ditinjau dari metode pengoperasiannya diklasifikasikan ke dalam alat tangkap jaring insang hanyut. Adapun posisi pemasangan alat tangkap ketika di perairan, jaring millennium diklasifikasikan ke dalam jaring insang permukaan (surface gillnet) (Dirjen Perikanan, 1997). Jaring insang hanyut yaitu jaring insang yang dioperasikan dengan cara dihanyutkan mengikuti atau searah
dengan
jalannya
arus
perairan.
Dalam
pelaksanaan
operasi
penangkapannyadapat dilakukan baik di dasar maupun di bawah lapisan permukaan air (Subani dan Barus, 1989). (2) Konstruksi Bagian-bagian pada jaring millennium terdiri atas badan jaring, tali ris atas dan bawah, pelampung, dan pemberat. Desain dan konstruksi dari jaring millennium dapat dilihat pada Gambar 23. •
Badan jaring Badan jaring merupakan bagian yang berfungsi untuk menghadang ikan secara
vertikal. Bahan yang digunakan adalah Polyamide monofilament berwarna putih transparan dengan ukuran jaring satu piece yaitu yaitu 75 x 10 meter. Ukuran mata jaring pada bagian badan adalah 10 cm. Jaring millenium pada tiap piecenya memiliki jumlah mata sebanyak 1230 mata pada arah horizontal dan 90 mata pada arah vertikal. Panjang badan jaring dalam keadaan terentang adalah 125 m sedangkan dalam keadaan terpasang adalah 80 m. Hanging ratio dari jaring klitik ini sebesar 0,64. Nelayan menggunakan bahan Polyamide monofilament karena
75
bahan ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya memungkinkan ikan-ikan kecil dapat terjerat dalam serat pilinan dan menjadi umpan untuk ikan yang berukuran besar. Bahan ini relatif tahan lebih lama terhadap pembusukan atau pelapukan dan tidak berpengaruh terhadap lamanya perendaman dalam perairan. Selain itu bahan ini tidak menyerap air sehingga lebih ringan dalam proses penarikan jaring. •
Pelampung Pelampung pada jaring millennium dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
pelampung utama dan pelampung tambahan. Pelampung utama terletak pada tali ris atas. Pelampung ini berfungsi agar jaring terpasang sempurna di dalam perairan. Pelampung tersebut terbuat dari bahan PVC yang berbentuk elips. Panjang pelampung utama ini sebesar 14 cm dan diameter sebesar 3,8 cm. Jumlah pelampung dalam satu piece sebanyak 25 buah dengan jarak antar pelampung 300 cm. Pelampung tambahan biasa disebut dengan pelampung umbul. Pelampung ini berfungsi sebagai penanda pada ujung bagian jaring yang dipasang. Pelampung tambahan tersebut terbuat dari bahan plastik atau Styrofoam berbentuk elips. Tinggi pelampung tambahan ini sebesar 25 cm dan diameter 10 cm. Pelampung tanda diikatkan pada kayu dan dihubungkan ke bagian akhir jaring dengan menggunakan tali. Pelampung tanda ini pada umumnya berupa bendera atau lampu. •
Pemberat Pemberat pada jaring millennium hanya terdiri satu jenis yaitu pemberat
utama. Pemberat ini berfungsi agar jaring terpasang sempurna di dalam perairan. Pemberat ini terbuat dari semen cor berbentuk lingkaran pipih. Pemberat tersebut memiliki diameter 15 cm, tebal 2 cm dan berat 400 gram. Pemberat dipasang dengan jarak 9 meter. Pemberat tidak diikatkan dengan menggunakan tali pemberat, tetapi diikat pada badan jaring bagian bawah dengan menggunakan tali. •
Tali ris Tali ris terdiri dari tali ris atas dan tali ris bawah. Tali ris atas terbuat dari PE
multifilament dengan diameter 6 mm. Panjang tali ris atas adalah 80 m. Tali ris atas terdiri dari dua tali. Satu utas tali digunakan sebagai tali pelampung dan satu
76
utas lainnya digunakan sebagai penggantung badan jaring. Tali pelampung mempunyai karakteristik sama dengan tali penggantung yaitu terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter 6 mm dan panjang 80 m. Jaring millennium tidak dilengkapi dengan tali ris bawah, sehingga pemberat hanya diikatkan pada bagian bawah badan jaring.
(a)
(b)
Gambar 23 Desain (a) dan konstruksi (b) gillnet millennium
77
(3) Kapal Kapal yang digunakan dalam pengoperasian jaring millennium memiliki dimensi ukuran L x B x D : 12 x 2,5 x 1,5 meter. Kapal ini menggunakan satu mesin yang berfungsi sebagai mesin utama. Mesin ini memiliki tonnase sebesar 15 GT dengan merk Mitsubishi 120 PS menggunakan bahan bakar solar. Kapal ini membutuhkan 80 – 120 liter solar dalam setiap tripnya. Dalam satu trip operasi penangkapan berlangsung antara satu sampai tiga hari, bergantung pada jumlah tangkapan yang diperoleh dan banyaknya perbekalan yang dibawa. (4) Nelayan Jumlah nelayan yang mengoperasikan jaring millennium sebanyak 4 – 5 orang. Setiap nelayan mempunyai tugas masing-masing yaitu sebagai juru mudi, juru mesin, dan anak buah kapal. Juru mudi bertugas dalam pencarian fishing ground dan mengemudikan kapal dari fishing base ke fishing ground. Juru mesin bertanggung jawab atas kondisi mesin. Adapun anak buah kapal (ABK) bertugas dalam proses penurunan jaring (setting), penarikan jaring (hauling) dan memperbaiki alat tangkapan yang rusak. (5) Metode pengoperasian Jaring
millennium
biasanya
dioperasikan
pada
malam
hari.
Pengoperasiannya dibagi dalam empat tahap yaitu: persiapan, penentuan fishing ground, pemasangan jaring (setting), penarikan jaring (hauling), dan penyortiran serta pemindahan hasil tangkapan ke dalam palka. Sebelum berangkat menangkap ikan nelayan mengawali dengan mempersiapkan perbekalan, mengecek kondisi mesin kapal, dan menyusun jaring untuk mempermudah dalam penebaran jaring di laut. Kapal berangkat dari fishing base menuju fishing ground pada pukul 14.30 WIB. Waktu yang ditempuh dari fishing base menuju fishing ground sekitar 2 – 3 jam. Setelah sampai di fishing ground, jaring kemudian diturunkan. Proses penurunan jaring dilakukan dengan penurunan pelampung tanda, tali selambar dan selanjutnya badan jaring. Pada saat penurunan jaring, mesin dibiarkan dalam keadaan hidup untuk mempermudah proses penurunan jaring. Proses penurunan jaring berlangsung selama + 30 menit. Selanjutnya setelah penurunan jaring selesai, tali selambar diikat pada badan perahu. Jaring dibiarkan hanyut di
78
permukaan mengikuti arus perairan. Setelah direndam di perairan selama 6 jam, jaring kemudian diangkat (hauling). Proses hauling berlangsung selama 1,5 – 2 jam. Hasil tangkapan yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam palka. Dalam semalam proses setting-hauling dapat berlangsung 1 – 2 kali. Tahap akhir yaitu penyortiran dan pemindahan ikan-ikan hasil hasil tangkapan ke dalam palka. Ikan hasil tangkapan utama ditempatkan dalam palka yang kedap udara dengan pemberian es yang cukup guna mempertahankan mutu. Untuk hasil tangkapan sampingan, pemberian es sekedarnya saja dan dikumpulkan untuk dijual dan sebagian lagi untuk dikonsumsi. (6) Hasil Tangkapan Hasil tangkapan utama dari jaring millennium yaitu ikan tenggiri. Adapun hasil tangkapan sampingan yang ikut tertangkap antara lain golok-golok, pepetek, kembung, tetengek, dan manyung. 5. Jaring Klitik (1) Deskripsi Jaring klitik merupakan jenis alat tangkap gillnet yang dioperasikan pada dasar perairan. Perbedaannya jaring klitik dengan jenis jaring insang dasar lainnya yaitu pada proses pemasangan jaring di dasar perairan. Posisi jaring klitik di dasar perairan tidak tegak lurus terhadap dasar perairan, tetapi membentuk sudut kemiringan terhadap dasar perairan dan membentuk cekungan pada bagian tengah badan jaring. Hal itu membuat hasil tangkapan berupa udang akan tertangkap oleh jaring yang membentuk cekungan tersebut jika akan melompat. Jaring klitik ditinjau dari metode pengoperasiannya diklasifikasikan ke dalam alat tangkap jaring insang dasar (Dirjen Perikanan, 1997). Jaring insang dasar yaitu jaring insang yang dioperasikan dengan cara dilabuh (di set) di dasar. Pada pengoperasiannya jaring insang dasar ini dapat dilabuh pada lapisan tengah maupun di bawah lapisan atas perairan, tergantung dari tali yang menghubungkan pelampung dengan pemberat (jangkar) yang dipasang pada bagian ujung badan jaring (Subani dan Barus, 1989).
79
(2) Konstruksi Bagian-bagian pada jaring insang klitik terdiri atas badan jaring, tali ris atas dan bawah, pelampung, dan pemberat. Desain dan konstruksi dari jaring millennium dapat dilihat pada Gambar 24. •
Badan jaring Badan jaring merupakan bagian yang berfungsi untuk menghadang ikan secara
vertikal. Bahan yang digunakan adalah nilon monofilament. Ukuran mata jaring pada bagian badan adalah 9 cm. Jaring klitik pada tiap piecenya memiliki jumlah mata sebanyak 1125 mata pada arah horizontal dan 18 mata pada arah vertikal. Panjang badan jaring dalam keadaan terentang adalah 100 m sedangkan dalam keadaan terpasang adalah 60 m. Hanging ratio dari jaring klitik ini sebesar 0,6. Nelayan menggunakan bahan Polyamide monofilament karena relatif tahan lebih lama terhadap pembusukan atau pelapukan dan tidak berpengaruh terhadap lamanya perendaman dalam perairan. Selain itu bahan ini tidak menyerap air sehingga lebih ringan dalam proses penarikan jaring. •
Pelampung Pelampung pada jaring klitik dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pelampung
utama dan pelampung tambahan. Pelampung utama terletak pada tali ris atas. Pelampung ini berfungsi agar jaring terpasang sempurna di dalam perairan. Pelampung tersebut terbuat dari bahan PVC yang berbentuk elips. Panjang pelampung utama ini sebesar 5 cm dan diameter sebesar 1 cm. Jumlah pelampung dalam satu piece sebanyak 125 buah dengan jarak antar pelampung 80 cm. Pelampung tambahan biasa disebut dengan pelampung tanda. Pelampung ini berfungsi sebagai penanda pada ujung bagian jaring yang dipasang. Pelampung tambahan tersebut terbuat dari bahan PVC berbentuk bola. Pelampung tambahan ini mempunyai diameter sebesar 25 cm. •
Pemberat Pemberat pada jaring klitik terdiri dari dua jenis yaitu pemberat utama dan
pemberat tambahan. Pemberat utama terletak pada tali ris bawah. Pemberat ini terbuat dari bahan timah dengan berat satuan 1,5 gram. Pemberat ini berfungsi agar jaring dapat terpasang sempurna di dalam perairan. Jumlah pemberat dalam satu piece sebanyak 500 buah. Pemberat tambahan biasa disebut jangkar.
80
Pemberat ini berfungsi agar jaring yang dipasang di dasar perairan tidak berpindah tempat. Pemberat tersebut memiliki berat + 5 kg dan terbuat dari batu. Karena penempatan jaring berada di dasar perairan maka pemberat memiliki peran penting untuk menjaga kedudukan jaring agar tetap di tempat. Hal itu menjadi penting karena pengaruh arus yang dapat menggeser kedudukan jaring dari tempat semula, dan bisa mengubah kedudukan jaring dalam menghadang ikan. •
Tali ris Tali ris pada jaring klitik terdiri dari tali ris atas dan tali ris bawah. Tali ris atas
terbuat dari PE multifilament dengan diameter 3 mm. Panjang tali ris atas adalah 60 m. Tali ris atas terdiri dari dua tali. Satu utas tali digunakan sebagai tali pelampung dan satu utas lainnya digunakan sebagai penggantung badan jaring. Tali pelampung mempunyai karakteristik sama dengan tali penggantung yaitu terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter 3 mm dan panjang 60 m. Jaring klitik juga dilengkapi tali ris bawah dengan diameter 2 mm. Tali ris bawah mempunyai ukuran yang lebih panjang daripada tali ris atas yaitu 80 mm. Tali ris bawah terdiri dari dua tali. Satu utas tali berfungsi sebagai tali pengikat jaring bagian bawah dan satu utas lainnya sebagai tali pemberat. Tali pemberat memiliki karakteristik yang sama dengan tali pengikat jaring yaitu terbuat dari PE multifilament dengan diameter 2 mm dan panjang 80 m.
(a)
81
(b)
Gambar 24 Desain (a) dan konstruksi (b) jaring klitik (3) Kapal Kapal yang digunakan dalam pengoperasian jaring klitik memiliki dimensi ukuran L x B x D : 6,5 x 0,8 x 0,5 meter. Kapal ini menggunakan satu mesin yang berfungsi sebagai mesin utama. Mesin ini memiliki kekuatan sebesar 8 PK dengan merk Dongfeng menggunakan bahan bakar solar. (4) Nelayan Jumlah nelayan yang mengoperaiskan jaring klitik sebanyak 2 - 3 orang. Setiap nelayan mempunyai tugas masing-masing yaitu sebagai juru mudi dan anak buah kapal. Juru mudi bertugas dalam pencarian fishing ground dan mengemudikan kapal dari fishing base ke fishing ground. Adapun anak buah kapal (ABK) bertugas dalam proses penurunan jaring (setting), penarikan jaring (hauling) dan memperbaiki alat tangkapan yang rusak. (5) Metode pengoperasian Jaring klitik biasanya dioperasikan pada saat matahari terbenam atau sore hari. Pengoperasiannya dibagi dalam empat tahap yaitu: penentuan fishing ground, pemasangan jaring (setting), penarikan jaring (hauling), dan penyortiran serta pemindahan hasil tangkapan ke dalam palka. Sebelum berangkat menangkap
82
ikan nelayan mengawali dengan mempersiapkan perbekalan, mengecek kondisi mesin kapal, dan menyusun jaring untuk mempermudah dalam penebaran jaring di laut. Kapal berangkat dari fishing base menuju fishing ground pada pukul 17.00 WIB. Waktu yang ditempuh dari fishing base menuju fishing ground sekitar 1 – 2 jam. Setelah sampai di fishing ground, jaring kemudian diturunkan. Proses penurunan jaring dilakukan dengan penurunan pelampung tanda, jangkar, tali selambar dan selanjutnya badan jaring. Pada saat penurunan jaring, mesin dibiarkan dalam keadaan hidup untuk mempermudah proses penurunan jaring. Proses penurunan jaring berlangsung selama 15 - 20 menit. Selanjutnya setelah penurunan jaring selesai, tali selambar diikat pada badan perahu. Setelah direndam di perairan selama 6 - 7 jam, jaring kemudian diangkat (hauling). Proses hauling berlangsung selama 1 – 2 jam. Hasil tangkapan yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam palka. Dalam semalam proses setting-hauling dapat berlangsung 1 – 2 kali. Tahap akhir yaitu penyortiran dan pemindahan ikan-ikan hasil hasil tangkapan ke dalam palka. Ikan hasil tangkapan utama ditempatkan dalam palka yang kedap udara dengan pemberian es yang cukup guna mempertahankan mutu. Untuk hasil tangkapan sampingan, pemberian es sekedarnya saja dan dikumpulkan untuk dijual dan sebagian lagi untuk dikonsumsi. (6) Hasil tangkapan Hasil tangkapan utama dari jaring klitik adalah udang dan lobster. Adapun hasil tangkapan sampingan yang tertangkap antara lain ikan selar kuning, ikan sembilang, ikan teri dan rajungan. 6. Jaring Rampus (1) Deskripsi Jaring rampus merupakan jenis alat tangkap gillnet yang dioperasikan pada dasar perairan. Jaring rampus mempunyai bentuk empat persegi panjang yang memiliki mata sama pada seluruh badan jaring. Pada bagian atas dipasang pelampung dan pada bagian bawah di pasang pemberat. Hal tersebut membuat jaring akan terntang sempurna di dalam perairan.
83
Jaring rampus ditinjau dari metode pengoperasiannya diklasifikasikan ke dalam alat tangkap jaring insang dasar (Dirjen Perikanan, 1997). Jaring insang dasar yaitu jaring insang yang dioperasikan dengan cara dilabuh (di set) di dasar. Pada pengoperasiannya jaring insang dasar ini dapat dilabuh pada lapisan tengah maupun di bawah lapisan atas perairan, tergantung dari tali yang menghubungkan pelampung dengan pemberat (jangkar) yang dipasang pada bagian ujung badan jaring (Subani dan Barus, 1989). (2) Konstruksi Bagian-bagian dari jaring rampus terdiri atas tubuh jaring, tali ris atas tali ris bawah, tali pemberat, pemberat, tali pelampung dan pelampung. Desain dan konstruksi dari jaring rampus ditunjukkan pada Gambar 25. •
Badan jaring Badan jaring merupakan bagian yang berfungsi untuk menghadang ikan secara
vertikal. Bahan yang digunakan adalah Polyamide monofilament berwarna putih transparan dengan ukuran jaring satu piece yaitu yaitu 200 x 5 meter. Ukuran mata jaring pada bagian badan adalah 4,5 cm. Jaring rampus pada tiap piecenya memiliki jumlah mata sebanyak 1798 mata pada arah horizontal dan 35 mata pada arah vertikal. Panjang badan jaring dalam keadaan terentang adalah 80 m sedangkan dalam keadaan terpasang adalah 70 m. Hanging ratio dari jaring rampus ini sebesar 0,8. Nelayan menggunakan bahan Polyamide monofilament karena bahan ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya memungkinkan ikanikan kecil dapat terjerat dalam serat pilinan dan menjadi umpan untuk ikan yang berukuran besar. Bahan ini relatif tahan lebih lama terhadap pembusukan atau pelapukan dan tidak berpengaruh terhadap lamanya perendaman dalam perairan. Selain itu bahan ini tidak menyerap air sehingga lebih ringan dalam proses penarikan jaring. •
Pelampung Pelampung pada jaring rampus dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
pelampung utama dan pelampung tambahan. Pelampung utama terletak pada tali ris atas. Pelampung ini berfungsi agar jaring terpasang sempurna di dalam perairan. Pelampung tersebut terbuat dari bahan PVC yang berbentuk elips. Panjang pelampung utama ini sebesar 14 cm dan diameter sebesar 5 cm. Jumlah
84
pelampung dalam satu piece sebanyak 50 buah dengan jarak antar pelampung 1 m. Pelampung tambahan biasa disebut dengan pelampung tanda. Pelampung ini berfungsi sebagai penanda pada ujung bagian jaring yang dipasang. Pelampung tambahan tersebut terbuat dari bahan plastik atau styrofoam. Pelampung tambahan ini memiliki tinggi 30 cm dan diameter sebesar 10 cm. •
Pemberat Pemberat pada jaring rampus terdiri dari dua jenis yaitu pemberat utama dan
pemberat tambahan. Pemberat utama terletak pada tali ris bawah. Pemberat ini terbuat dari bahan timah dengan berat satuan 13 gram. Jumlah pemberat dalam satu piece sebanyak 300 buah. Pemberat ini berfungsi agar jaring dapat terpasang sempurna di dalam perairan. Pemberat tambahan biasa disebut jangkar. Pemberat tersebut memiliki berat + 3 kg dan terbuat dari batu. Karena penempatan jaring berada di dasar perairan maka pemberat memiliki peran penting untuk menjaga kedudukan jaring agar tetap di tempat. Hal itu menjadi penting karena pengaruh arus yang dapat menggeser kedudukan jaring dari tempat semula, dan bisa mengubah kedudukan jaring dalam menghadang ikan. •
Tali ris Tali ris pada jaring rampus terdiri dari tali ris atas dan tali ris bawah. Tali ris
atas terbuat dari PE multifilament dengan diameter 6 mm. Panjang tali ris atas adalah 70 m. Tali ris atas terdiri dari dua tali. Satu utas tali digunakan sebagai tali pelampung dan satu utas lainnya digunakan sebagai penggantung badan jaring. Tali pelampung berfungsi untuk memasangkan pelampung pada jaring. Tali pelampung ini memiliki diameter sebesar 8 mm dan panjang 70. Jaring rampus juga dilengkapi tali ris bawah dengan diameter 3 mm. Tali ris bawah mempunyai ukuran yang lebih panjang daripada tali ris atas yaitu 100 mm. Tali ris bawah terdiri dari dua tali. Satu utas tali berfungsi sebagai tali pengikat jaring bagian bawah dan satu utas lainnya sebagai tali pemberat. Tali pemberat memiliki karakteristik yang sama dengan tali pengikat jaring yaitu terbuat dari PE multifilament dengan diameter 3 mm dan panjang 100 m.
85
(a)
(b) Gambar 25 Desain (a) dan konstruksi (b) jaring rampus
(3) Kapal Kapal yang digunakan dalam pengoperasian jaring rampus yaitu jenis jukung yang terbuat dari bahan fiber dan dilengkapi dengan katir. Kapal ini memiliki dimensi ukuran L x B x D : 8,5 x 1,2 x 0,8 meter. Kapal ini menggunakan satu mesin yang berfungsi sebagai mesin utama. Mesin ini
86
memiliki kekuatan sebesar 15 PK dengan merk Dongfeng. Kapal jukung ini dilengkapi dengan katir di sebelah kanan dan kiri kapal. Katir berfungsi sebagai penyeimbang atau mengurangi efek gerakan oleng pada kapal, sehingga memudahkan nelayan dalam mengoperasikan kapal dalam operasi penangkapan ikan. (4) Nelayan Jumlah nelayan yang mengoperaiskan jaring rampus sebanyak 2 – 3 orang. Masing-masing nelayan mempunyai tugas yang berbeda. Satu orang sebagai pengemudi kapal dan yang lainnya menurunkan alat pada saat setting dan hauling. Pada saat musim paceklik, nelayan lebih cenderung tidak melakukan operasi penangkapan ikan melainkan hanya memperbaiki jaring yang rusak. (5) Metode pengoperasian Jaring rampus biasanya dioperasikan pada saat dini hari. Pengoperasiannya dibagi dalam empat tahap yaitu: penentuan fishing ground, pemasangan jaring (setting), penarikan jaring (hauling), dan penyortiran serta pemindahan hasil tangkapan ke dalam drum. Sebelum berangkat menangkap ikan nelayan mengawali dengan mempersiapkan perbekalan, mengecek kondisi mesin kapal, dan menyusun jaring untuk mempermudah dalam penebaran jaring di laut. Kapal berangkat dari fishing base menuju fishing ground pada pukul 02.00 WIB. Waktu yang ditempuh dari fishing base menuju fishing ground sekitar 2 – 3 jam. Setelah sampai di fishing ground, jaring kemudian diturunkan. Proses penurunan jaring dilakukan dengan penurunan pelampung tanda, jangkar, tali selambar dan selanjutnya badan jaring. Pada saat penurunan jaring, mesin dibiarkan dalam keadaan hidup untuk mempermudah proses penurunan jaring. Proses penurunan jaring berlangsung selama 15 - 20 menit. Selanjutnya setelah penurunan jaring selesai, tali selambar diikat pada badan perahu. Setelah direndam di perairan selama 1 - 2 jam, jaring kemudian diangkat (hauling). Proses hauling berlangsung selama 0,5 – 1 jam. Hasil tangkapan yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam palka. Dalam semalam proses setting-hauling dapat berlangsung 3 – 5 kali. Tahap akhir yaitu penyortiran dan pemindahan ikan-ikan hasil hasil tangkapan ke dalam drum. Ikan hasil tangkapan utama ditempatkan dalam drum
87
yang kedap udara dengan pemberian es yang cukup guna mempertahankan mutu. Untuk hasil tangkapan sampingan, pemberian es sekedarnya saja dan dikumpulkan untuk dijual dan sebagian lagi untuk dikonsumsi. (6) Hasil tangkapan Hasil tangkapan utama dari jaring rampus adalah ikan-ikan demersal. Ikan-ikan demersal tersebut antara lain gulamah (Pseudociana spp), kuro (Polynemus spp), kuwe (Caranx spp) dan tigawaja (Johnius spp). Adapun hasil tangkapan sampingan dari jaring rampus adalah selar bentong (Selaroides crumenophthalamus), beloso (Saurida spp), lemuru (Sardinella sirm) dan gadungan (Leiognathus spp). 7. Pancing Rawai (1) Deskripsi Pancing rawai atau longline adalah suatu pancing yang terdiri dari tali utama (main line) dan tali cabang (branch line). Tali cabang terletak disepanjang tali utama secara berderet dengan jarak tertentu. Pada bagian ujung tali cabang terpasang mata pancing dengan ukuran yang disesuaikan dengan ikan yang ingin ditangkap. Panjang tali utama berbanding lurus dengan banyaknya mata pancing yang digunakan. Panjang tali utama bila direntangkan secara lurus dapat mencapai ratusan meter hingga puluhan kilometer (Subani dan Barus, 1989). Pancing rawai menurut Brandt (1984) diklasifikasikan ke dalam jenis alat tangkap pancing. (2) Konstruksi Komponen utama pancing rawai yang ada di Kabupaten Subang yaitu : tali selambar (main line), tali cabang (branch line), mata pancing (hook), pemberat, dan pelampung. Konstruksi dari pancing rawai dapat dilihat pada Gambar 26. •
Tali utama (main line) Tali utama pada pancing rawai merupakan tempat memasang tali cabang. Tali
ini berfungsi sebagai tempat terikatnya tali cabang dimana mata pancing dipasang. Tali utama ini terbuat dari PA (Polyamide) dengan nomor 1500. Panjang tali utama secara keseluruhan sekitar 250 m.
88
•
Tali cabang (branch line) Tali cabang (branch line) merupakan tali tambahan yang dipasang pada tali
utama. Tali cabang terbuat dari bahan PA monofilament
dengan warna
transparan. Panjang tali cabang yaitu 1,5 meter. Tali cabang dipasang secara berderet dengan jarak 2,5 m. Pemasangan tali cabang pada tali utama menggunakan simpul. Pada tali cabang dipasang mata pancing yang ukurannya disesuaikan dengan target penangkapan. •
Mata pancing Mata pancing berfungsi sebagai tempat memasang umpan sekaligus tempat
terkaitnya ikan. Mata pancing pada rawai terbuat dari bahan stainless steel. Jenis mata pancing dengan bahan stainless ini digunakan oleh nelayan karena harganya yang relatif murah dan cukup tahan lama. Adapun ukuran mata pancing disesuaikan dengan ikan yang ingin ditangkap. Biasanya nelayan menggunakan mata pancing nomor 6 untuk menangkap kakap merah, sedangkan untuk menangkap ikan kuro nelayan menggunakan mata pancing nomor 4. Jumlah mata pancing pada tiap tali cabang hanya satu sedangkan pada satu tali utama terdapat 100 buah mata pancing.
Gambar 26 Konstruksi pancing rawai
89
(3) Kapal Kapal yang digunakan dalam pengoperasian pancing rawai adalah perahu motor tempel yang terbuat dari bahan kayu. Kapal yang digunakan memiliki dimensi L x B x D : 6 x 1,5 x 0,4 m. Kapal ini digerakkan dengan mesin tempel bermerk Honda dengan kekuatan mesin 6 PK. (4) Nelayan Mayoritas nelayan pancing rawai yang ada di Kabupaten Subang adalah penduduk asli setempat. Alat tangkap ini dioperasikan oleh nelayan berjumlah 2 3 orang, dengan satu orang sebagai nahkoda, satu orang sebagai pemasang umpan, dan satu orang lainnya bertugas memasang (setting) alat tangkap. Jumlah nelayan yang sedikit ini dikarenakan unit penangkapan pancing rawai yang masih tradisional dan berskala kecil. (5) Metode pengoperasian Pancing rawai yang ada di Kabupaten Subang merupakan jenis rawai dasar. Alat tangkap ini ditujukan untuk menangkap jenis ikan-ikan demersal. Dalam pengoperasiannya alat tangkap pancing rawai ini dibagi menjadi beberapa tahap yaitu pemasangan umpan, pemasangan alat tangkap (setting), penarikan alat tangkap (hauling) dan penyortiran hasil tangkapan. Proses pemasangan umpan dilakukan sebelum alat tangkap pancing rawai ini dioperasikan. Proses ini penting agar target yang ingin ditangkap tertarik dengan bau umpan yang dipasang dan kemudian memakan umpan tersebut. Adapun proses pemasangan umpan dilakukan oleh 1-2 orang ABK. Pemasangan alat tangkap pancing rawai dilakukan dengan melepaskan pelampung tanda, tali utama dan tali cabang beserta mata pancing yang telah dipasangi umpan. Setelah alat tangkap selesai dipasang, berikutnya alat tangkap didiamkan selama beberapa jam dengan tujuan agar terdapat jeda waktu bagi ikan untuk mendatangi dan memakan umpan. Proses penarikan alat tangkap dimulai dengan menarik pelampung tanda terlebih dahulu, diikuti dengan penarikan tali utama (main line) dan tali cabang (branch line). Adapun pembagian tugas pada proses penarikan jaring yaitu 1-2 nelayan orang menarik dan merapihkan alat tangkap sedangkan 1 orang lainnya melepaskan hasil tangkapan dari mata pancing.
90
Setelah hasil tangkapan dilepaskan dari mata pancing, nelayan akan melakukan proses penyortiran. Penyortiran dilakukan dengan mengelompokkan hasil tangkapan berdasarkan jenis dan ukurannya. Adapun semua hasil tangkapan akan dibawa pulang oleh nelayan dan tidak ada hasil tangkapan yang dilepaskan kembali ke laut. (6) Hasil tangkapan Hasil tangkapan utama alat tangkap ini adalah kakap merah (Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus spp.), sedangkan hasil tangkapan sampingannya antara lain remang (Muraema spp.), pari (rays), manyung dan lain-lainnya. 8. Bubu Lipat (1) Deskripsi Bubu lipat adalah alat penangkapan ikan yang dipasang secara menetap dalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan sulit keluarnya (Sudirman dan Mallawa 2004). Pemakaian bubu tersebar di seluruh daerah perikanan Indonesia. Bentuk bubu bermacam – macam. Ada yang berbentuk kotak, silinder dan kerucut, bergantung pada jenis ikan yang menjadi sasaran tangkapan (Subani dan Barus, 1989). Bentuk bubu lipat yang ada di Kabupaten Subang berbentuk kotak. Bubu lipat termasuk ke dalam klasifikasi perangkap. Perangkap adalah salah satu alat penangkap ikan menetap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada pemaksaan, sulit keluar atau lolos karena dihalangi dengan berbagai cara (Von Brant, 1984). (2) Konstruksi Bagian-bagian utama dari alat tangkap bubu lipat adalah badan, mulut dan rangka. Bubu lipat yang digunakan di Kabupaten Subang khususnya di Desa Mayangan memiliki dimensi panjang 40 cm, lebar 25 cm dan tinggi 12 cm. Pada bubu dipasang pelampung tanda yang terbuat dari bahan karet atau gabus yang berukuran kecil. Gambar 27 berikut adalah konstruksi dari bubu lipat. •
Badan Pemilihan bahan pada badan bubu dapat disesuaikan dengan kondisi daerah
penangkapan dan hasil tangkapan utamanya. Bahan yang digunakan pada bubu
91
lipat di Kabupaten Subang terbuat dari jaring PE multifilament. Mesh size yang digunakan pada bubu lipat ini berbentuk kotak dengan ukuran mesh size sebesar 1,5 cm. Bahan jaring PE multifilament ini dapat dirobek oleh kepiting bakau betina yang berukuran besar. Oleh karena itu nelayan sering menambal badan jaring dengan benang PE ataupun tali raffia. •
Mulut Mulut merupakan tempat dimana ikan dapat masuk ke dalam suatu alat
tangkap tetapi mencegah untuk keluar kembali atau meloloskan diri. Bentuk mulut pada bubu bermacam-macam. Mulut bubu yang ada di Kabupaten Subang berbentuk celah. Celah ini berukuran sekitar 0,5 – 1 cm. Mulut bubu pada bubu lipat berjumlah dua buah, yaitu dengan posisi saling berhadapan. Mulut bubu dibuat dari bahan PE multifilament dengan spesifikasi sama dengan bahan pembentuk badan bubu. •
Rangka Rangka pada bubu lipat terbuat dari besi dengan diameter 4 mm. rangka ini
merupakan bahan utama yang membentuk bubu. Rangka dibuat sedemikian rupa sehingga bubu bisa dilipat untuk memudahkan transportasi bubu ke daerah penangkapan ikan (fishing ground). Pada rangka bagian atas diletakkan engsel yang dapat berfungsi untuk membuka bubu sehingga memudahkan dalam pengambilan hasil tangkapan.
Gambar 27 Konstruksi bubu lipat Kabupaten Subang
92
(3) Kapal Kapal yang digunakan dalam pengoperasian bubu lipat memiliki dimensi L x B x D : 3 x 1 x 20 cm. Kapal ini menggunakan mesin dengan merk Honda berkekuatan 5 PK. Bahan pembentuk kapal terbuat dari kayu. Kapal ini dilengkapi dengan dayung yang berfungsi untuk mengatur posisi kapal pada saat pemasangan bubu. (4) Nelayan Nelayan adalah orang yang bekerja menangkap ikan di laut dengan alat tangkap ikan dan menggunakan kapal perikanan. Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat di Kabupaten Subang termasuk ke dalam nelayan kecil. Jumlah nelayan yang mengoperasikan bubu lipat ini berjumlah 2 orang. Pembagian tugas dalam pengoperasian bubu lipat tersebut adalah satu orang sebagai juru mudi dan satu orang lainnya bertugas dalam pengoperasian bubu lipat (setting-hauling). (5) Metode pengoperasian Operasi penangkapan bubu lipat dibagi menjadi beberapa tahap yakni persiapan, pemasangan umpan, pemasangan bubu, pengangkatan bubu dan penyortiran hasil tangkapan. Sebelum berangkat ke laut, nelayan mempersiapkan dan merapihkan posisi bubu di atas kapal. Kapal berangkat dari fishing base menuju fishing ground pada pukul 05.30 WIB. Waktu yang ditempuh dari fishing base menuju fishing ground sekitar 10 – 15 menit. Dalam perjalanan dari fishing base menuju fishing ground, nelayan memasangkan umpan pada bubu yang akan di setting. Setelah sampai di fishing ground, nelayan melakukan proses setting yang berlangsung kira-kira 30 – 40 menit. Dalam proses setting, kapal bergerak sesuai dengan fishing ground yang diinginkan. Kemudian menurunkan bubu secara satu per satu ke dalam perairan. Bubu dibiarkan tenggelam di dasar perairan selama + 14 jam untuk menunggu proses hauling. Proses pengangkatan bubu (hauling) dilakukan pada pukul 05.00 WIB. Pada proses hauling, kapal bergerak perlahan. Kemudian satu orang nelayan mulai mengangkat bubu secara satu per satu ke atas kapal dan satu orang nelayan lainnya mengemudikan kapal sambil membantu memisahkan hasil tangkapan. Waktu yang dibutuhkan dalam proses hauling berkisar antara 1 – 2 jam.
93
Tahap akhir yaitu penyortiran hasil tangkapan ke dalam wadah yang telah disediakan. Hasil tangkapan utama berupa kepiting bakau dipisahkan dengan hasil tangkapan lainnya. Nelayan tidak mengambil hasil tangkapan sampingan berupa kepiting wideng karena tidak memiliki nilai ekonomis dan rasanya tidak enak jika dikonsumsi. (6) Hasil tangkapan Biasanya bubu lipat digunakan untuk menangkap kepiting bakau dan rajungan pada perairan bakau. Selain itu hasil tangkapan sampingan berupa udang dan beberapa jenis ikan juga tertangkap ke dalam bubu, antara lain kepiting batu, kepiting bolem, ikan lundu, ikan beloso, ikan belodok dan udang peci.
8.1 Jala Tebar (1) Deskripsi Jala tebar merupakan alat tangkap yang umum dan hampir dapat dijumpai dimana-mana. Bentuk jala tebar seperti kerucut, terdiri dari bagian badan jaring yang sekaligus berfungsi sebagai kantong dan cincin pemberat yang terbuat dari timah yang dirangkai membentuk rantai dan diikat disekeliling mulut. Pada bagian ujung jala diikatkan tali pengikat agar tidak terlepas pada saat jala dioperasikan (Subani dan Barus, 1989). Jala tebar diklasifikasikan ke dalam jenis alat tangkap jala (cast net) (Dirjen Perikanan, 1997). Jala adalah alat tangkap yang pada prinsip penangkapannya dengan mengurung ikan dan udang dengan cara menebarkan alat tersebut sedemikian rupa sehingga menelungkup atau menutup sasaran yang dikehendaki (Subani dan Barus, 1989). (2) Konstruksi Bagian-bagian dari jala tebar yaitu badan jaring, pemberat dan tali pengikat. Jala tebar yang dioperasikan di Kabupaten Subang mempunyai keliling 4 meter, tinggi 2,5 - 3 meter, dengan ukuran mata 1,5 cm. Konstruksi dari jala tebar dapat dilihat pada Gambar 28.
94
Gambar 28 Konstruksi jala tebar (3) Metode pengoperasian Alat tangkap ini dirancang sedemikian rupa sehingga seakan-akan membentuk kantong di bagian dalam mulut jaring dan memerangkap ikan dan udang. Penangkapan dilakukan di daerah yang relatif dangkal (pantai) dengan kedalaman 1-1,5 m. Pada saat alat tangkap ini dioperasikan, jaring dilemparkan ditempat-tempat yang diperkirakan terdapat ikan, kemudian pemberat akan menutup dan membuat mulut jaring seolah-olah menjadi kantong yang memerangkap ikan atau udang. Hasil tangkapan utama alat tangkap jala tebar ini adalah udang peci (Penaeus sp). Adapun hasil tangkapan sampingannya adalah ikan belanak, bandeng, dan lain-lain.
4.3.3 Nelayan Nelayan merupakan salah satu bagian penting dari unit penangkapan ikan. Dalam aktivitas penangkapan ikan mereka terjun langsung untuk melakukan penangkapan ikan. Usaha perikanan telah memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hal ini ditandai dengan jumlah RTP dan RTPB yang selalu mengalami peningkatan di setiap tahunnya, yaitu antara tahun 1998 – 2001, yang berarti bahwa minat masyarakat pada sektor perikanan meningkat.
95
Berdasarkan kepemilikan unit penangkapan ikan, nelayan di Kabupaten Subang terbagi atas nelayan pemilik dan nelayan buruh. Secara keseluruhan warga Desa Mayangan yang berprofesi sebagai sebagai nelayan sebanyak 184 orang. Komposisi nelayan tersebut dapat dibedakan menjadi nelayan pemilik sebanyak 42 orang dan nelayan buruh sebanyak 142 orang. Jumlah nelayan yang ada di Desa Mayangan merupakan
yang tertinggi untuk kawasan Kecamatan
Legonkulon. Data mengenai jumlah nelayan di Kabupaten Subang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah nelayan di Kabupaten Subang No
Kecamatan/Desa
A
Kecamatan Blanakan Desa Cilamaya Girang Desa Rawameneng Desa Blanakan Desa Muara Ciasem Desa Tanjung Tiga Kecamatan Legonkulon Desa Pangarengan Desa Tegalurung Desa Mayangan Desa Legonwetan Desa Anggasari Kecamatan Pusakanagara Desa Patimban Jumlah
B
C
Nelayan Pemilik
Nelayan Buruh
Jumlah (orang)
Persentase (%)
24 57 219 146 65
132 124 1.024 735 256
156 181 1243 881 3321
4,55 5,28 36,37 25,71 9,37
32 28 42 16 8
87 102 142 78 51
119 130 184 94 59
3,47 3,79 5,37 2,74 1,72
8 649
51 2778
59 3427
1,72 100
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2003
4.4
Potensi dan Produksi Perikanan Kabupaten Subang memiliki potensi perikanan yang cukup besar, baik
untuk perikanan darat maupun perikanan lautnya. Perairan laut Kabupaten Subang mencapai 68 km terdapat di wilayah pantai utara Jawa dengan laut yang dapat dimanfaatkan seluas 4 mil dari garis pantai ke arah laut. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun 2003, Kabupaten Subang memiliki potensi areal penangkapan di perairan umum yang cukup luas, yaitu sungai yang melewati 17 kecamatan dengan panjang 714 km dan jumlah situ sebanyak 25 lokasi yang berada di 15 kecamatan dengan luas area 231,9 km2, dan rawa yang terdapat di 3 kecamatan dengan luas area 12,6 km2. Potensi kegiatan
96
perikanan budidaya dapat dibedakan menjadi potensi kegiatan tambak, kolam air tenang (KAT), kolam pembenihan, kolam air deras (KAD), sawah minapadi dan kolam ikan hias. Potensi untuk kegiatan tambak sebesar 10.000 Ha sedangkan pemanfaatannya sebesar 8.254,28 Ha. Potensi kegiatan kolam air tenang sebesar 900 Ha, sedangkan pemanfaatannya sebesar 33,07 Ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2003). Potensi perikanan di Kabupaten Subang secara lebih rinci disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Potensi perikanan Kabupaten Subang Tahun 2003 Jenis Kegiatan Perikanan Penangkapan Laut Sungai Situ Rawa Budidaya Tambak Kolam Air Tenang (KAT) Kolam Pembenihan Kolam Air Deras (KAD) Sawah Minapadi Kolam Ikan Hias
Potensi
Pemanfaatan
Jalur I, II dan III
Jalur I, II dan sebagian jalur III
714 km Belum dimanfaatkan 231,9 Ha secara optimal 12,6 Ha (dikelola sederhana)
10.000 Ha 900 Ha 33,07 Ha 511 unit 13.000 Ha 5 Ha
8.254,28 Ha 689 Ha 20,2 Ha 372 Unit 7.050 Ha 1,2 Ha
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun 2003
Kabupaten Subang memiliki nilai produksi perikanan yang cukup besar, hal ini sebanding dengan potensi perikanan yang dimilikinya. Pada tahun 2006 sampai 2008 nilai produksi mengalami peningkatan secara signifikan. Peningkatan ini disebabkan oleh adanya usaha intensifikasi dan ekstensifikasi di sektor perikanan dan kelautan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. Setiap tahunnya produksi perikanan mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan rata-rata produksi perikanan tahun 2006-2008 sebesar 55,5 %. Peningkatan ini disebabkan oleh bertambahnya armada kapal dan alat tangkap yang ada di Kabupaten Subang. Data perkembangan nilai produksi perikanan di Kabupaten Subang dapat dilihat pada Tabel 7.
97
Tabel 7 Perkembangan Produksi Ikan Kabupaten Subang Produksi (Ton)
Jenis Usaha Penangkapan 1. Laut 2. Perairan Umum Budidaya 1. 2. 3. 4.
Tambak Kolam air tenang Sawah Kolam air deras Total
Peningkatan Rata-rata (%)
2006 18.308,0 17.753,5 554,5
2007 18.451,9 17.914,1 537,8
2008 19.647,5 19.097,4 550,0
3.6 3.7 -0.4
18.273,9 9.940,7 4.406,3 3.407,8 519,1
18.658,5 9.947,6 4.827,5 2.895,3 998,1
19.698,9 10.089,9 5.591,6 3.311,7 705,7
3.9 0.8 12.7 -0.4 31.5
36.581,9
37.110,4
39.346,3
55.5
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Tahun 2009
Produksi perikanan tiap daerah di Kabupaten Subang memiliki produktivitas yang berbeda khususnya pada empat kecamatan yang terletak dekat pesisir. Produksi perikanan terbesar pada tahun 2007 terdapat pada Desa Blanakan Kecamatan Blanakan dengan nilai produksi sebesar 10.124,50 ton/tahun. Adapun Desa Mayangan memiliki produksi terbesar pada Kecamatan Legonkulon dengan nilai produksi sebesar 650,15 ton/tahun (Tabel 8). Tabel 8 Produksi Ikan Laut Kabupaten Subang Tahun 2007 No
Kecamatan / Kabupaten (Terletak di Pesisir)
I
KECAMATAN BLANAKAN 1. Cilamaya Girang 2. Rawa Meneung 3. Blanakan 4. Muara 5. Tanjung Tiga 6. Langensari 7. Jayamukti
II
KECAMATAN LEGON KULON 1. Pangarengan 2. Tegalurung 3. Mayangan 4. Legon Wetan 5. Legon Kulon KECAMATAN SUKASARI 1. Sukamaju 2. Batangsari 3. Anggasari
III
Hasil Ikan Laut (Ton) 427,60 315,20 10.124,50 4.015,20 251,30 tidak ada data tidak ada data 372,50 129,25 650,15 tidak ada data tidak ada data tidak ada data tidak ada data tidak ada data
98
No IV
Kecamatan / Kabupaten (Terletak di Pesisir) KECAMATAN PUSAKANAGARA 1. Patimban Jumlah
Hasil Ikan Laut (Ton) 1.628,40 17.914,10
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2007
4.5
Musim dan Daerah Penangkapan Kabupaten Subang dipengaruhi oleh angin muson yang mengakibatkan
dua musim, yaitu Musim Barat dan Musim Timur dengan kecepatan angin ratarata 3 – 6 m/det. Pada saat Musim Barat, pergerakan arus umumnya menuju kea rah timur atau arus timur dengan kecepatan berkisar antara 3 – 14 mil/hari. Adapun Musim Timur bergerak sebaliknya, yaitu menuju arah barat dengan kecepatan antara 1 – 13 mil/hari. Nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Subang menentukan daerah penangkapan ikan umumnya berdasarkan kebiasaan atau pengalaman nelayan yang melakukan trip sebelumnya. Apabila hasil tangkapan pada trip sebelumnya banyak, maka nelayan akan melakukan kegiatan penangkapan pada fishing ground yang sama. Sebaliknya, nelayan akan mencari daerah penangkapan yang baru apabila hasil tangkapan pada trip sebelumnya sedikit. Daerah penangkapan ikan nelayan pesisir Kabupaten Subang tersebar di sekitar Utara Laut Jawa.
99
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil
5.1.1 Komposisi Hasil Tangkapan Total jumlah hasil tangkapan bubu lipat yang diperoleh pada penelitian ini sebanyak 261 ekor dengan berat total 9,331 kg yang terdiri dari 6 (enam) spesies. Hasil tangkapan dominan pada penelitian ini adalah kepiting bakau (Scylla sp.) dengan jumlah 94 ekor atau 36 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh udang peci (Penaeus indicus) sebanyak 79 ekor atau setara dengan 30 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan selanjutnya adalah kepiting batu dengan jumlah 66 ekor atau setara dengan 25 % dari total hasil tangkapan. Secara detail komposisi hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian disajikan pada Tabel 9. Total hasil tangkapan bubu dengan menggunakan celah pelolosan (escape gap) yaitu sebanyak 139 ekor atau setara dengan 53,26 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang tertangkap oleh bubu dengan menggunakan celah pelolosan yang diperoleh pada penelitian ini adalah udang peci (Penaeus indicus) dengan jumlah sebanyak 57 ekor atau setara dengan 21,84 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh kepiting bakau (Scylla sp.) sebanyak 17,62 % dari total hasil tangkapan, kemudian diikuti oleh kepiting batu (Thalamita sp.) sebanyak 10,34 % dari total hasil tangkapan. Adapun total hasil tangkapan pada bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) yaitu sebanyak 122 ekor atau setara dengan 46,74 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang tertangkap pada bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) adalah kepiting bakau (Scylla sp.) sebanyak 48 ekor atau setara dengan 18,39 % dari total hasil tangkapan, diikuti dengan kepiting batu (Thalamita sp.) dengan jumlah sebanyak 39 ekor atau setara dengan 14,94 % dari total hasil tangkapan, kemudian diikuti dengan udang peci (Penaeus indicus) dengan jumlah sebanyak 22 ekor atau setara dengan 8,43 % dari total hasil tangkapan. Secara detail komposisi hasil tangkapan yang ditangkap pada bubu dengan menggunakan celah pelolosan (escape gap) dan bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) disajikan pada Gambar 29 dan Gambar 30.
100
Tabel 9 Komposisi total hasil tangkapan No
Nama Lokal
Spesies
Nama Internasional
Jumlah
%
1
Kepiting bakau
Scylla sp.
Mud crab
94
36
2
Udang peci
Penaeus indicus
White prawn
79
30
3
Kepiting batu
Thalamita sp.
Swimming crab
66
25
4
Beloso
Saurida tumbil
Greater lizardfish
9
4
5
Kepiting bolem
Leptodius sp.
Spoon pincer crab
8
3
6
Rajungan
Portunus pelagicus
Blue swimming crab
5
2
261
100
Total
Gambar 29 Komposisi total hasil tangkapan bubu dengan menggunakan celah pelolosan (escape gap)
101
Gambar 30 Komposisi total hasil tangkapan bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) Hasil tangkapan dominan yang bernilai ekonomis adalah kepiting bakau (Scylla sp.). Kepiting bakau mempunyai nilai jual yang cukup tinggi di pasar lokal maupun internasional. Kepiting bakau yang banyak tertangkap oleh nelayan Desa Mayangan memiliki berat di bawah 80 gram. Adapun kepiting bakau yang layak tangkap memiliki berat di atas 80 gram dengan ukuran panjang karapas sebesar 51,4 mm dan lebar karapas sebesar 75,1 mm. Kepiting bakau yang memiliki ukuran ekonomis selanjutnya akan dijual ke pasar lokal ataupun dikirim ke rumah makan di luar daerah Kabupaten Subang, seperti Jakarta dan Bandung. Kepiting bakau yang masih berukuran dibawah 80 gram, dijual untuk keperluan budidaya, yakni untuk dibesarkan di tambak oleh masyarakat hingga mencapai ukuran ekonomis. Kepiting batu merupakan jenis kepiting yang memiliki nilai ekonomis lebih rendah dibandingkan dengan kepiting bakau, dengan harga jual berkisar antara Rp. 3000 – Rp. 4000 per kg. Kepiting batu digunakan sebagai pakan ikan
102
pada kegiatan budidaya, yaitu dengan cara dihancurkan menjadi tepung dan kemudian dijual dalam bentuk pakan. Penelitian ini dilakukan pada 6 (enam) stasiun yang berbeda dengan 10 kali ulangan dengan tiap trip penangkapan sebagai ulangan. Total hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap bubu pada tiap trip penangkapan rata-rata berkisar antara 1 – 2 ekor. Secara detail jenis dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu pada tiap trip penangkapan dapat dilihat pada Lampiran 5. Total hasil tangkapan terendah terjadi pada trip ke 5 yaitu sebanyak 22 ekor. Adapun jumlah hasil tangkapan tertinggi terjadi pada trip ke 1 dengan jumlah sebanyak 38 ekor. Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap trip penangkapan adalah 27 ekor. Secara lebih rinci rata-rata hasil tangkapan pada tiap bubu per trip dan jumlah hasil tangkapan per trip disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31 Rata-rata total hasil tangkapan per trip dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu per trip Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian berbeda pada setiap stasiun. Rata-rata hasil tangkapan tiap bubu pada tiap stasiun berkisar antara 2 – 3 ekor. Total hasil tangkapan terendah terjadi pada stasiun ke 4 yaitu sebanyak 33 ekor atau setara dengan 12,64 % dari total hasil tangkapan. Adapun
103
jumlah hasil tangkapan tertinggi terjadi pada stasiun ke 5 dengan jumlah sebanyak 56 ekor atau setara dengan 21,46 % dari total hasil tangkapan. Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap stasiun adalah 44 ekor. Secara lebih rinci rata-rata hasil tangkapan pada tiap bubu per stasiun dan jumlah hasil tangkapan per stasiun disajikan pada Gambar 32.
Gambar 32 Rata-rata total hasil tangkapan per stasiun dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu per stasiun Total hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap bubu selama penelitian berbeda pada setiap bubu. Rata-rata total hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap bubu selama penelitian adalah 11 ekor. Total hasil tangkapan tertinggi diperoleh pada bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) yaitu sebanyak 122 ekor. Adapun total hasil tangkapan terndah diperoleh pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak dengan jumlah 36 ekor. Secara lebih detail total hasil tangkapan pada tiap bubu disajikan pada Gambar 33. Rata-rata jumlah total hasil tangkapan yang tertinggi yang tertangkap pada penelitian diperoleh pada bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) dengan rata-rata jumlah hasil tangkapan sebanyak 12 ekor dengan standar deviasi sebesar 4,3. Secara lebih detail rata jumlah total hasil tangkapan yang tertangkap dengan menggunakan celah pelolosan berbeda disajikan pada Gambar 34.
104
Gambar 33 Total hasil tangkapan pada tiap jenis bubu
Panjang Karapas (mm)
25
20
x = 10 SD = 3,8 n = 57
15
x =8 SD = 3,3 n = 46
x =6 SD = 3,2 n = 36 x = 21 SD = 5,5 n = 122
10
5 0 Lingkaran
S3CR
Kotak
Kontrol
Jenis Celah Pelolosan Gambar 34 Rata-rata jumlah total hasil tangkapan pada bubu non-escape gap dan bubu dengan bentuk escape gap berbeda 5.1.2 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat Hasil tangkapan pada bubu lipat selama penelitian berjumlah 261 ekor dengan proporsi hasil tangkapan kepiting bakau sebagai hasil tangkapan utama sebanyak 36 % dari total hasil tangkapan atau setara dengan 94 ekor. Adapun
105
hasil tangkapan sampingan selama penelitian sebanyak 64 % dari total hasil tangkapan atau setara dengan 167 ekor. Adapun untuk hasil tangkapan sampingan yang tertangkap selama penelitian antara lain udang peci (Penaeus indicus), kepiting batu (Thalamita sp.), kepiting bolem (Leptodius sp.), rajungan (Portunus pelagicus) dan beloso (Saurida tumbil). Proporsi antara hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat 5.1.3 Komposisi hasil tangkapan yang tertangkap pada bubu dengan bentuk celah pelolosan yang berbeda dan bubu tanpa celah pelolosan Jumlah hasil tangkapan bubu lipat yang diperoleh selama penelitian sebanyak 261 ekor. Berdasarkan hasil penelitian maka jumlah total hasil tangkapan terbanyak diperoleh oleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran dengan jumlah 57 ekor atau setara dengan 21,84 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR dengan jumlah 46 ekor atau setara dengan 17,62 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan terendah ditempati oleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak dengan jumlah 36 ekor atau setara dengan 13,79 % dari total hasil tangkapan.
106
Adapun jumlah hasil tangkapan yang tertangkap pada bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) sebanyak 122 ekor atau setara dengan 46,74 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran adalah udang peci (Penaeus indicus) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 21 ekor atau 37 % dari total hasil tangkapan pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran serta setara dengan 0,08 kg. Kemudian diikuti oleh kepiting bakau (Scylla sp.) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 17 ekor atau setara dengan 30 % dari total hasil tangkapan pada bubu dengan escape gap berbentuk lingkaran serta setara dengan 0,88 kg. Adapun hasil tangkapan terendah ditempati oleh ikan beloso dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 1 ekor atau 2 % dari total hasil hasil tangkapan pada bubu dengan escape gap berbentuk lingkaran serta setara dengan 0,02 kg (Gambar 36a). Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR adalah kepiting bakau (Scylla sp.) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 21 ekor atau 46 % dari total hasil tangkapan pada bubu dengan escape gap berbentuk S3CR serta setara dengan 2,11 kg, diikuti oleh udang peci (Penaeus indicus) sebanyak 14 ekor atau 30 % dari total hasil tangkapan pada bubu dengan escape gap berbentuk S3CR serta setara dengan 0,04 kg. Adapun hasil tangkapan terendah ditempati oleh rajungan (Portunus pelagicus) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 1 ekor atau 2 % dari total hasil hasil tangkapan pada bubu dengan escape gap berbentuk S3CR serta setara dengan 0,04 kg (Gambar 36b). Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak adalah udang peci (Penaeus indicus) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 22 ekor atau 61 % dari total hasil tangkapan pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak serta setara dengan 0,06 kg, diikuti oleh kepiting bakau (Scylla sp.) sebanyak 8 ekor atau 22 % dari total hasil tangkapan pada bubu dengan escape gap berbentuk kotak serta setara dengan 0,22 kg. Adapun hasil tangkapan terendah ditempati oleh ikan beloso (Saurida tumbil) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 1 ekor atau 3 % dari total hasil tangkapan pada bubu dengan escape gap berbentuk kotak serta setara dengan 0,02 kg (Gambar 36c).
107
Hasil tangkapan dominan yang tertangkap pada bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) adalah kepiting bakau (Scylla sp.) sebanyak 48 ekor atau 39 % dari total hasil tangkapan pada bubu tanpa celah pelolosan serta setara dengan 1,856 kg, diikuti dengan kepiting batu (Thalamita sp.) dengan jumlah sebanyak 39 ekor atau 32 % dari total hasil tangkapan pada bubu tanpa celah pelolosan serta setara dengan 3,55 kg. Adapun hasi tangkapan terendah ditempati oleh rajungan (Portunus pelagicus) dengan jumlah sebanyak 2 ekor dengan 2 % dari total hasil tangkapan pada bubu tanpa celah pelolosan serta setara dengan 0,115 kg (Gambar 36d).
108
Kepiting batu 17%
Kepiting batu 25%
Rajungan 2%
Rajungan, 4%
n = 57
Kepiting bolem 4%
Kepiting bakau 30%
n = 46 (b)
(a)
Kepiting batu 14%
Kepiting bakau 22%
n = 36 (c)
Kepiting bakau 46%
Kepiting batu 32%
Rajungan, 2% Kepiting bolem 5%
Kepiting bakau 39%
n = 122 (d)
Gambar 36 Komposisi total hasil tangkapan bubu dengan celah pelolosan berbentuk (a) lingkaran, (b) S3CR, (c) kotak dan (d) non-escape gap Berdasarkan uji Kruskal-Wallis terhadap total hasil tangkapan bubu yang menggunakan celah pelolosan berbeda, diperoleh nilai Chi-Square 22,659 dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 6). Hal ini
109
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap hasil tangkapan bubu dengan menggunakan celah pelolosan yang berbeda. Bubu yang menggunakan celah pelolosan berbentuk lingkaran cenderung menangkap hasil tangkapan lebih banyak, sedangkan celah pelolosan berbentuk kotak cenderung menangkap lebih sedikit. Selanjutnya untuk mengetahui jenis perlakuan yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap total hasil tangkapan bubu, maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji Mann Whitney. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa total hasil tangkapan antara bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR dan bubu dengan celah pelolosan lingkaran berbeda nyata dengan nilai probabilitas sebesar 0,002 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 7). Secara lebih detail, hasil uji Mann Whitney pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil uji Mann Whitney pada tiap perlakuan No
Perlakuan
Probabilitas
Keterangan
1
Lingkaran – S3CR
0,002
Berbeda nyata
2
Kotak - Kontrol
0,001
Berbeda nyata
3
Lingkaran - Kotak
0,000
Berbeda nyata
4
S3CR - Kontrol
0,037
Berbeda nyata
5
Lingkaran - Kontrol
0,592
Tidak berbeda nyata
6
S3CR - Kotak
0,004
Berbeda nyata
5.1.4 Keragaman spesies hasil tangkapan Secara keseluruhan hasil tangkapan bubu selama penelitian sebanyak 6 (enam) spesies. Bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran memperoleh 6 spesies, diikuti oleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR sebanyak 5 spesies. Adapun spesies hasil tangkapan terendah ditempati oleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak yaitu sebanyak 4 spesies. Keragaman spesies yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Index Shannon Wiener sebagai bentuk pendekatan selektivitas celah pelolosan terhadap spesies. Bubu dengan nilai Index Shannon Wiener lebih kecil merupakan bubu
110
yang menangkap ikan dengan keberagaman lebih sedikit sehingga relatif lebih selektif terhadap spesies dibandingkan dengan bubu lainnya. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan pada bubu dengan bentuk celah pelolosan berbeda, diperoleh nilai Index Shannon Wiener yang menunjukkan keragaman spesies yang tertangkap pada bubu. Nilai Index Shannon Wiener terbesar ditempati oleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran yakni sebesar 1,3860, diikuti oleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR dengan nilai sebesar 1,2437. Adapun nilai Index Shannon Wiener terkecil ditempati oleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak yakni sebesar 1,0089 (Lampiran 8). Berdasarkan nilai Index Shannon Wiener tersebut menunjukkan bahwa bubu dengan escape gap berbentuk kotak merupakan bentuk celah pelolosan yang memiliki keragaman spesies terkecil. Hal ini berarti bahwa ditinjau dari selektivitas terhadap spesies, celah pelolosan berbentuk kotak relatif lebih baik dibandingkan bubu lainnya. 5.1.5 Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.) Total hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.) yang diperoleh selama penelitian adalah 94 ekor. Kepiting bakau tersebut tertangkap pada semua stasiun yang dijadikan daerah penangkapan ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau terbanyak diperoleh pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR sebanyak 21 ekor atau 22,34 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau, diikuti oleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran sebanyak 17 ekor atau 18,09 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau. jumlah hasil tangkapan kepiting bakau terendah diperoleh pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak sebanyak 8 ekor atau 8,51 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau. Adapun jumlah hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non-escape gap) sebanyak 48 ekor atau 51,06 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau. Rata-rata jumlah hasil tangkapan kepiting bakau pada tiap bubu per trip berkisar 1 – 2 ekor. Hasil tangkapan kepiting bakau tertinggi terjadi pada trip pertama sedangkan hasil tangkapan kepiting bakau terendah terjadi pada trip kelima. Rata-rata hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.) tiap bubu per trip dan jumlah hasil tangkapan per trip disajikan pada Gambar 37.
111
Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau yang diperoleh selama penelitian memiliki jumlah yang berbeda pada setiap stasiun. Rata-rata hasil tangkapan kepiting bakau tiap bubu pada tiap stasiun berkisar antara 1 – 5 ekor. Hasil tangkapan terendah terjadi pada stasiun ke 4 yaitu sebanyak 2 ekor atau setara dengan 2,13 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau. Adapun jumlah hasil tangkapan tertinggi terjadi pada stasiun ke 5 dengan jumlah sebanyak 28 ekor atau setara dengan 29,79 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau. Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap stasiun adalah 16 ekor. Secara lebih rinci rata-rata hasil tangkapan pada tiap bubu per stasiun dan jumlah hasil tangkapan per stasiun disajikan pada Gambar 38.
Gambar 37 Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau per trip dan rata-rata hasil tangkapan per bubu per trip
112
Gambar 38 Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau per trip dan rata-rata hasil tangkapan per bubu per trip Total hasil tangkapan kepiting bakau yang diperoleh pada tiap bubu selama penelitian berbeda pada setiap bubu. Rata-rata total hasil tangkapan kepiting bakau yang diperoleh pada tiap bubu selama penelitian adalah 4 ekor. Total hasil tangkapan kepiting bakau tertinggi diperoleh pada bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) yaitu sebanyak 48 ekor. Adapun total hasil tangkapan kepiting bakau terendah diperoleh pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak dengan jumlah 8 ekor. Secara lebih detail total hasil tangkapan kepiting bakau pada tiap bubu disajikan pada Gambar 39. Rata-rata jumlah hasil tangkapan kepiting bakau yang tertinggi yang tertangkap selama penelitian diperoleh pada bubu tanpa celah pelolosan (nonescape gap) dengan rata-rata jumlah kepiting bakau sebanyak 8 ekor dengan standar deviasi sebesar 5.7. Secara lebih detail rata-rata jumlah hasil tangkapan kepiting bakau yang tertangkap dengan menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda disajikan pada Gambar 40.
113
Gambar 39 Total hasil tangkapan pada tiap jenis bubu
18 x =8 SD = 5,7 n = 48
Panjang Karapas (mm)
16 14 12 10 8
x =3 SD = 2,6 n = 17
x =4 SD = 3 n = 21 x =2 SD = 1,2 n =8
6 4 2 0
Lingkaran
S3CR
Kotak
Kontrol
Jenis Celah Pelolosan Gambar 40 Rata-rata jumlah kepiting bakau pada bubu non-escape gap dan bubu dengan bentuk escape gap berbeda Berdasarkan uji Kruskal-Wallis terhadap total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu yang menggunakan celah pelolosan berbeda, diperoleh nilai ChiSquare 12,667 dengan nilai probabilitas sebesar 0,005 pada taraf nyata 0,05
114
(Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap hasil tangkapan kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan menggunakan celah pelolosan yang berbeda. Bubu yang menggunakan celah pelolosan berbentuk S3CR cenderung menangkap hasil tangkapan lebih banyak, sedangkan celah pelolosan berbentuk kotak cenderung menangkap lebih sedikit. Selanjutnya untuk mengetahui jenis perlakuan yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan kepiting bakau, maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji Mann Whitney. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa total hasil tangkapan kepiting bakau antara bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR dan bubu dengan celah pelolosan lingkaran berbeda nyata dengan nilai probabilitas sebesar 0,842 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 10). Secara lebih detail, hasil uji Mann Whitney pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil uji Mann Whitney pada hubungan tiap perlakuan No
Perlakuan
Probabilitas
Keterangan
1
Lingkaran – S3CR
0,842
Tidak berbeda nyata
2
Kotak - Kontrol
0,001
Berbeda nyata
3
Lingkaran - Kotak
0,078
Tidak berbeda nyata
4
S3CR - Kontrol
0,037
Berbeda nyata
5
Lingkaran - Kontrol
0,018
Berbeda nyata
6
S3CR - Kotak
0,004
Berbeda nyata
5.1.6 Distribusi ukuran hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.) a) Panjang karapas (Carapace Length / CL) Panjang karapas kepiting bakau yang tertangkap selama penelitian berkisar antara 20 – 80 mm. Ukuran panjang karapas kepiting bakau yang dominan tertangkap berada pada selang 30 – 40 mm dengan jumlah 29 ekor atau setara dengan 31 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau, sedangkan ukuran yang paling sedikit tertangkap berkisar antara 70 – 80 mm dengan jumlah 2 ekor atau setara dengan 2 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau. Secara lebih detail distribusi panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar 41.
115
Gambar 41 Sebaran panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) Panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk lingkaran berada pada kisaran antara 20 – 70 mm. Ukuran panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 30 – 40 mm atau 35,29 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk lingkaran. Ukuran yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 60 – 70 mm atau 5,88 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk lingkaran. Jumlah kepiting bakau yang layak tangkap pada bubu dengan bentuk celah pelolosan berbentuk lingkaran berada pada kisaran panjang karapas 40-80 mm. Ukuran layak tangkap yang dimaksud pada penelitian ini adalah kepiting bakau yang telah matang gonad menurut Aldrianto (1994) yakni memiliki panjang karapas 42,7 mm dan lebar karapas 80 mm. Berdasarkan Gambar 42 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran sebanyak 9 ekor atau 52,94 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran. Distribusi panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk lingkaran disajikan pada Gambar 42a. Panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk S3CR berada pada kisaran antara
116
20 – 80 mm. Ukuran panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 50 – 60 mm atau 42,68 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk lingkaran. Ukuran yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 30 – 40 mm atau 4,76 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk S3CR. Berdasarkan Gambar 42 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR sebanyak 18 ekor atau 85,71 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR. Distribusi panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk S3CR disajikan pada Gambar 42b. Panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk kotak berada pada kisaran antara 20 – 60 mm. Ukuran panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 30 – 40 mm atau 62,5 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk kotak. Ukuran yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 20 – 30 mm, 40 – 50 mm dan 50 – 60 mm atau 12,5 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk kotak. Berdasarkan Gambar 42 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak sebanyak 2 ekor atau 25 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak. Distribusi panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk kotak disajikan pada Gambar 42c. Adapun panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non-escape gap) berada pada kisaran antara 20 – 70 mm. Ukuran panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 30 – 40 mm atau 35,42 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (escape gap). Ukuran yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 60 – 70 mm atau 6,25 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau
117
pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non-escape gap). Berdasarkan Gambar 42 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu tanpa celah pelolosan sebanyak 17 ekor atau 35,42 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu tanpa celah pelolosan. Distribusi panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non-escape gap) disajikan pada Gambar 42d. Rata-rata ukuran panjang karapas kepiting bakau yang tertinggi yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh bubu dengan menggunakan celah pelolosan berbentuk S3CR dengan rata-rata panjang karapas sebesar 53,0 mm dengan standar deviasi sebesar 13,07. Secara lebih detail rata-rata ukuran panjang karapas kepiting bakau yang tertangkap dengan menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda disajikan pada Gambar 43.
118
52,94 % = 9 ekor (Layak tangkap)
(a)
85,71 % (Layak tangkap) 18 ekor
(b)
35,42 % = 17 ekor (Layak tangkap) 25 % = 2 ekor (Layak tangkap)
(c)
(d)
Gambar 42 Distribusi panjang karapas (CL) kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada (a) bubu dengan pelolosan berbentuk lingkaran, (b) S3CR, (c) kotak, dan (d) bubu tanpa celah pelolosan Berdasarkan Gambar 42 terlihat bahwa bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR menangkap kepiting bakau yang layak tangkap lebih besar dibandingkan dengan bubu yang menggunakan celah pelolosan lainnya. Hasil tangkapan kepiting bakau yang layak tangkap dengan menggunakan celah
119
pelolosan berbentuk S3CR sebanyak 18 ekor atau 85,71 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan menggunakan celah pelolosan berbentuk S3CR. Hasil tangkapan kepiting bakau yang layak tangkap terendah diperoleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak dengan jumlah 2 ekor atau 25 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan menggunakan celah pelolosan berbentuk kotak. 80
Panjang Karapas (mm)
70
x = 53,0 SD = 13,07 n = 21
x = 44 SD = 12,15 n = 17 x = 35,7 SD = 9,53 n =8
60
x = 37,8 SD = 11,14 n = 48
50 40 30 20
Lingkaran
S3CR
Kotak
Kontrol
Jenis Celah Pelolosan Gambar 43 Rata-rata panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) pada bubu nonescape gap dan bubu dengan bentuk escape gap berbeda Berdasarkan uji Kruskal-Wallis terhadap panjang karapas kepiting bakau dengan menggunakan celah pelolosan yang berbeda diperoleh nilai Chi-square 16,141 dengan nilai probabilitas 0,001 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 11). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang nyata terhadap panjang karapas kepiting bakau pada bubu dengan menggunakan celah pelolosan yang berbeda. Bubu yang menggunakan celah pelolosan berbentuk S3CR cenderung menangkap kepiting bakau dengan ukuran lebih besar. Adapun bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak cenderung menangkap kepiting bakau dengan ukuran lebih kecil. Selanjutnya untuk mengetahui jenis perlakuan yang memberikan perbedaan nyata terhadap ukuran panjang karapas kepiting bakau maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji Mann Whitney. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa panjang karapas kepiting bakau antara bubu dengan celah pelolosan
120
berbentuk S3CR dan bubu dengan celah pelolosan lingkaran berbeda nyata dengan nilai probabilitas sebesar 0,015 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 12). Secara lebih detail, hasil uji Mann Whitney pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil uji Mann Whitney terhadap panjang karapas kepiting bakau No
Perlakuan
Probabilitas
Keterangan
1
Lingkaran – S3CR
0,015
Berbeda nyata
2
Kotak – Kontrol
0,111
Tidak berbeda nyata
3
Lingkaran – Kotak
0,338
Tidak berbeda nyata
4
S3CR – Kontrol
0,000
Berbeda nyata
5
Lingkaran – Kontrol
0,940
Tidak berbeda nyata
6
S3CR – Kotak
0,001
Berbeda nyata
b) Lebar karapas (Carapace Witdh / CW) Lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada penelitian ini berada pada kisaran 15 – 120 mm. Ukuran lebar karapas kepiting bakau yang dominan tertangkap yaitu pada selang 45 – 60 mm dengan jumlah 25 ekor atau 26,20 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau, sedangkan ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berkisar antara 105 – 120 mm dengan jumlah 1 ekor atau 1 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau. Secara lebih detail distribusi lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar 44.
Gambar 44. Sebaran lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.)
121
Lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran berada pada kisaran antara 30 – 90 mm. Ukuran lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 45 – 60 mm atau 35,29 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran. Ukuran lebar karapas kepiting bakau yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 30 – 45 mm dan 60 – 75 mm atau 17,65 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran. Jumlah kepiting bakau yang layak tangkap pada bubu dengan bentuk celah pelolosan berbentuk lingkaran berada pada kisaran panjang karapas 75 - 120 mm. Berdasarkan Gambar 45 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran sebanyak 5 ekor atau 29,41 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran. Distribusi lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran disajikan pada Gambar 45a. Lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR berada pada kisaran antara 30 – 120 mm. Ukuran lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 75 – 90 mm atau 38,10 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR. Ukuran lebar karapas kepiting bakau yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 45 – 60 mm dan 105 – 120 mm atau 4,76 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR. Berdasarkan Gambar 45 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR sebanyak 11 ekor atau 52,38 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR. Distribusi lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR disajikan pada Gambar 45b. Lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak berada pada kisaran antara 15 – 90 mm. Ukuran lebar karapas kepiting bakau yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 45 – 60 mm atau 50 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu
122
dengan celah pelolosan berbentuk kotak. Ukuran lebar karapas kepiting bakau yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 15 – 30 mm, 30 – 45 mm, 60 – 75 mm, dan 75 – 90 mm atau 12,5 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak. Berdasarkan Gambar 45 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak sebanyak 1 ekor atau 12,5 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak. Distribusi lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak disajikan pada Gambar 45c. Adapun lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non-escape gap) berada pada kisaran antara 15 – 105 mm. Ukuran lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 30 – 45 mm atau 35,42 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan. Ukuran lebar karapas kepiting bakau yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 15 – 30 mm dan 90 – 105 mm atau 2,08 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan. Berdasarkan Gambar 45 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu tanpa celah pelolosan sebanyak 5 ekor atau 10,41 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu tanpa celah pelolosan. Distribusi lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan disajikan pada Gambar 45d. Rata-rata ukuran lebar karapas kepiting bakau yang tertinggi yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh bubu dengan menggunakan celah pelolosan berbentuk S3CR dengan rata-rata panjang karapas sebesar 74,7 mm dengan standar deviasi 18,2. Secara lebih detail rata-rata ukuran panjang karapas kepiting bakau yang tertangkap dengan menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda disajikan pada Gambar 46.
123
29,41 % = 5 ekor (Layak tangkap)
52,38 % = 11 ekor (Layak tangkap)
(b)
(a)
10,41 % = 5 ekor (Layak tangkap) 12,5 % = 1 ekor (Layak tangkap)
(c)
(d)
Gambar 45 Distribusi lebar karapas (CW) kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada (a) bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran, (b) S3CR, (c) kotak, dan (d) bubu tanpa celah pelolosan
124
x = 74,7 SD = 18,2 n = 21
80
Lebar Karapas (mm)
70
x = 61,1 SD = 15,9 n = 17
60
x = 54,5 SD = 16,1 n = 48
x = 51 SD = 13,6 n =8
50 40 30 20
Lingkaran
S3CR
Kotak
Kontrol
Jenis Celah Pelolosan Gambar 46 Rata-rata lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) pada bubu nonescape gap dan bubu dengan bentuk escape gap berbeda Berdasarkan uji Kruskal-Wallis terhadap lebar karapas kepiting bakau dengan menggunakan celah pelolosan yang berbeda diperoleh nilai Chi-square 16,506 dengan nilai probabilitas 0,001 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 13). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang nyata pada lebar karapas kepiting bakau yang menggunakan celah pelolosan yang berbeda dengan kecenderungan bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR menangkap kepiting bakau dengan ukuran lebih besar. Adapun bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak cenderung menangkap kepiting bakau dengan ukuran lebih kecil. Selanjutnya untuk mengetahui jenis perlakuan yang memberikan perbedaan nyata pada ukuran lebar karapas kepiting bakau maka dilakukan uji Mann Whitney. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa lebar karapas kepiting bakau antara bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR dan bubu dengan celah pelolosan lingkaran memiliki nilai probabilitas sebesar 0,010 pada taraf 0,05 (Lampiran 14). Secara lebih detail, hasil uji Mann Whitney pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 13.
125
Tabel 13 Hasil uji Mann Whitney terhadap lebar karapas kepiting bakau No
Perlakuan
Probabilitas
Keterangan
1
Lingkaran – S3CR
0,010
Berbeda nyata
2
Kotak - Kontrol
0,130
Tidak berbeda nyata
3
Lingkaran - Kotak
0,467
Tidak berbeda nyata
4
S3CR - Kontrol
0,000
Berbeda nyata
5
Lingkaran - Kontrol
0,705
Tidak berbeda nyata
6
S3CR - Kotak
0,001
Berbeda nyata
c) Berat Berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada penelitian ini berada pada kisaran 0 – 300 gram. Ukuran lebar karapas kepiting bakau yang dominan tertangkap yaitu pada selang 0 – 25 gram dengan jumlah 36 ekor, sedangkan ukuran yang paling sedikit tertangkap berkisar antara 125 – 150 gram, 225 – 250 gram, dan 275 – 300 gram dengan jumlah 1 ekor. Secara lebih detail distribusi lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar 47.
Gambar 47. Sebaran lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) Berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran berada pada kisaran antara 0 – 125 gram. Ukuran
126
berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 25 – 50 gram atau 41,18 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran. Ukuran berat kepiting bakau yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 75 gram, 75 – 100 gram dan `100 – 125 gram atau 11,76 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran. Jumlah kepiting bakau yang layak tangkap pada bubu dengan bentuk celah pelolosan berbentuk lingkaran berada pada kisaran panjang karapas 75 - 300 gram. Berdasarkan Gambar 48 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran sebanyak 6 ekor atau 23,52 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran. Distribusi lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran disajikan pada Gambar 48a. Berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR berada pada kisaran antara 0 – 300 gram. Ukuran berat kepiting bakau yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 75 – 100 gram atau 28,57 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR. Ukuran berat kepiting bakau yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 125 – 150 gram, 150 - 175 gram, 225 – 250 gram dan `275 – 300 gram atau 4,76 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR. Berdasarkan Gambar 48 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR sebanyak 15 ekor atau 33,33 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR. Distribusi lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk S3CR disajikan pada Gambar 48b. Berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan (escape gap) berbentuk kotak berada pada kisaran antara 0 – 100 gram. Ukuran berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 0 – 25 gram atau 75 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak. Ukuran berat kepiting bakau yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 25 – 50 gram dan 75 – 100
127
gram atau 12,5 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak. Berdasarkan Gambar 48 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak sebanyak 1 ekor atau 12,5 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak. Distribusi lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak disajikan pada Gambar 48c. Adapun berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non-escape gap) berada pada kisaran antara 0 - 175 gram. Ukuran berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 0 – 25 gram atau 50 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non-escape gap). Ukuran berat kepiting bakau yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 150 – 175 gram atau 2,08 % dari total hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non-escape gap). Berdasarkan Gambar 48 jumlah kepiting bakau layak tangkap yang tertangkap pada bubu tanpa celah pelolosan sebanyak 10 ekor atau 14,58 % dari hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu tanpa celah pelolosan. Distribusi berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non-escape gap) disajikan pada Gambar 48d. Rata-rata ukuran berat kepiting bakau yang tertinggi yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh bubu dengan menggunakan celah pelolosan berbentuk S3CR dengan rata-rata berat sebesar 100,48 mm dengan standar deviasi 69,96. Secara lebih detail rata-rata ukuran berat kepiting bakau yang tertangkap dengan menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda disajikan pada Gambar 49.
128
33,33 % = 15 ekor (Layak tangkap) 23,52 % = 8 ekor (Layak tangkap)
(a)
12,5 % = 1 ekor (Layak tangkap)
(c)
(b)
14,58 % = 10 ekor (Layak tangkap)
(d)
Gambar 48 Distribusi berat kepiting bakau (Scylla sp.) yang tertangkap pada (a) bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran, (b) S3CR, (c) kotak, dan (d) bubu tanpa celah pelolosan
129
300 x = 100,48 SD = 69,96 n = 21
Berat (gram)
250 200 150 100
x = 51,76 SD = 32,88 n = 17
x = 38,67 SD = 33,49 n = 48 x = 27,5 SD = 20 n =8
50 0
Lingkaran
S3CR
Kotak
Kontrol
Jenis Celah Pelolosan Gambar 49 Rata-rata berat kepiting bakau (Scylla sp.) pada bubu non-escape gap dan bubu dengan bentuk escape gap berbeda Berdasarkan uji Kruskal-Wallis terhadap berat kepiting bakau dengan menggunakan celah pelolosan yang berbeda diperoleh nilai Chi-square 20,254 dengan nilai probabilitas 0,000 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 15). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang nyata pada berat kepiting bakau yang menggunakan celah pelolosan yang berbeda dengan kecenderungan bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR menangkap kepiting bakau dengan ukuran lebih besar. Adapun bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak cenderung menangkap kepiting bakau dengan ukuran lebih kecil. Selanjutnya untuk mengetahui jenis perlakuan yang memberikan perbedaan nyata pada ukuran berat kepiting bakau maka dilakukan uji Mann Whitney. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa berat kepiting bakau antara bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR dan bubu dengan celah pelolosan lingkaran memiliki nilai probabilitas sebesar 0,003 pada traf nyata 0,05 (Lampiran 16). Secara lebih detail, hasil uji Mann Whitney pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 14.
130
Tabel 14 Hasil uji Mann Whitney terhadap berat kepiting bakau No
Perlakuan
Probabilitas
Keterangan
1
Lingkaran – S3CR
0,003
Berbeda nyata
2
Kotak - Kontrol
0,088
Tidak berbeda nyata
3
Lingkaran - Kotak
0,338
Tidak berbeda nyata
4
S3CR - Kontrol
0,000
Berbeda nyata
5
Lingkaran - Kontrol
0,667
Tidak berbeda nyata
6
S3CR - Kotak
0,000
Berbeda nyata
5.1.7 Hubungan antara panjang karapas dan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) Berdasarkan analisis regresi linier terhadap panjang karapas dengan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) diperoleh persamaan sebagai berikut: y = 1,350 x + 0,299 R2 = 0,952 r = 0,97 dimana y adalah lebar karapas dan x adalah panjang karapas Persamaan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan panjang karapas sebesar satu satuan akan meningkatkan lebar karapas sebesar 1,350 satuan (mm). Nilai koefisien determinasi (R2) pada persamaan ini sebesar 0,952 atau sebesar 95,2 %. Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 95,2 %. Nilai koefisien korelasi (r) pada persamaan ini sebesar 0,97. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan panjang karapas dan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) sangat kuat. Sebaran data yang menunjukkan hubungan antara panjang karapas dengan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) disajikan pada Gambar 50.
131
Gambar 50 Hubungan antara panjang karapas dengan lebar karapas seluruh hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.) 5.1.8 Hubungan antara berat dan panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) Berdasarkan analisis regresi linier terhadap berat dengan panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) diperoleh persamaan sebagai berikut: y = 2,563 x – 5,841 R2 = 0,849 r = 0,921 dimana y adalah lebar karapas dan x adalah panjang karapas Persamaan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan ln panjang karapas sebesar satu satuan (mm) akan meningkatkan ln berat sebesar 2,563 satuan (gram). Nilai koefisien determinasi (R2) pada persamaan ini sebesar 0,849 atau sebesar 84,9 %. Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 84,9 %. Nilai koefisien korelasi (r) pada persamaan ini sebesar 0,921. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan berat dan panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) sangat kuat. Sebaran data yang menunjukkan hubungan antara berat dengan panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) disajikan pada Gambar 51.
132
r = 0.921
Gambar 51 Hubungan antara berat dengan panjang karapas seluruh hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.) 5.1.9 Hubungan antara berat dan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) Berdasarkan analisis regresi linier terhadap berat dengan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) diperoleh persamaan sebagai berikut: y = 0,326 x + 2,863 R2 = 0,871 r = 0,933 dimana y adalah lebar karapas dan x adalah panjang karapas Persamaan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan ln lebar sebesar satu satuan (mm) akan meningkatkan ln berat sebesar 0,326 satuan (gram). Nilai koefisien determinasi (R2) pada persamaan ini sebesar 0,871 atau sebesar 87,1 %. Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 87,1 %. Nilai koefisien korelasi (r) pada persamaan ini sebesar 0,933. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan berat dan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) sangat kuat. Sebaran data yang menunjukkan hubungan antara berat dengan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) disajikan pada Gambar 52.
133
Gambar 52 Hubungan antara berat dengan lebar karapas seluruh hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.) 5.1.10 Rasio Jenis Kelamin Jumlah kepiting bakau yang tertangkap selama penelitian adalah sebanyak 94 ekor dengan komposisi kepiting bakau jantan sebanyak 88 ekor dan kepiting betina sebanyak 16 ekor. Jumlah kepiting bakau jantan pada bubu dengan celah escape gap berbentuk lingkaran sebanyak 1 ekor, sedangkan jumlah kepiting bakau betina sebanyak 1 ekor. Jumlah kepiting bakau jantan pada bubu dengan celah escape gap berbentuk kotak sebanyak 8 ekor, sedangkan kepiting bakau betina tidak tertangkap pada bubu ini. Jumlah kepiting bakau jantan pada bubu dengan celah escape gap berbentuk S3CR sebanyak 19 ekor, sedangkan jumlah kepiting bakau betina sebanyak 2 ekor. Jumlah kepiting bakau jantan pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non-escape gap) sebanyak 45 ekor, sedangkan jumlah kepiting bakau betina sebanyak 3 ekor. Secara lebih detail, jumlah kepiting bakau jantan dan kepiting bakau betina yang tertangkap pada tiap bubu disajikan pada Gambar 53.
134
S3CR
(a)
S3CR
(b) Gambar 53 Jumlah kepiting bakau jantan (a) dan kepiting bakau betina (b) yang tertangkap pada tiap bubu Berdasarkan uji Chi-square terhadap rasio jenis kelamin kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan menggunakan celah pelolosan yang berbeda diperoleh nilai Chi-square 71,532 dengan nilai probabilitas 0,000. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang nyata pada rasio jenis kelamin kepiting bakau pada bubu yang menggunakan celah pelolosan yang berbeda dengan kecenderungan bubu
135
dengan celah pelolosan berbentuk S3CR menangkap kepiting bakau jantan dan betina lebih banyak. Adapun bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak cenderung menangkap kepiting bakau jantan dan betina lebih sedikit. 5.2 Pembahasan 5.2.1 Komposisi total hasil tangkapan Total hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian sebanyak 261 ekor dengan jumlah spesies sebanyak enam jenis. Hasil tangkapan tersebut antara lain adalah kepiting bakau (Scylla sp.), udang peci (Penaeus indicus), kepiting batu (Thalamita sp.), kepiting bolem (Leptodius sp.), rajungan (Portunus pelagicus) dan beloso (Saurida tumbil). Jumlah spesies yang tertangkap pada perairan tidak sebanyak pada perairan lainnya, misalnya pada perairan karang. Pada penelitian Komarudin (2009) yang dilakukan di perairan karang Kepulauan Seribu, diperoleh hasil tangkapan dengan jumlah spesies sebanyak 63 spesies, sedangkan Iskandar dan Lanti memperoleh 15 spesies ketika melakukan penelitian dengan menggunakan bubu lipat di perairan Kronjo. Selanjutnya Iskandar dan Ramdani (2009) menjelaskan bahwa pada penangkapan bubu di Perairan Kronjo, bubu tersebut memperoleh hasil tangkapan sebanyak 12 spesies. Hasil penelitian yang dilakukan di perairan Desa Mayangan menunjukkan bahwa keragaman spesies yang tertangkap relatif lebih sedikit. Hal ini karena operasi penangkapan dilakukan di sekitar hutan bakau sehingga diduga berakibat pada jumlah keragaman spesies yang diperoleh. Seluruh hasil tangkapan yang diperoleh pada penelitian ini ditangkap menggunakan bubu lipat dengan dimensi p x l x t = 45 x 30 x 18 cm. Ukuran bubu lipat ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan bubu lipat yang dioperasikan di beberapa daerah. Perbedaan ukuran bubu lipat yang digunakan disesuaikan dengan target sp.esies yang ditangkap dan daerah penangkapannya. Sebagai contoh bubu lipat yang dioperasikan di Perairan Kronjo untuk menangkap rajungan memiliki dimensi p x l x t = 52 x 35 x 17,9 cm (Iskandar dan Ramdani, 2009), dan bubu lipat yang dioperasikan di Perairan Palabuhanratu, Sukabumi untuk menangkap rajungan memiliki dimensi p x l x t = 75 x 50 x 35 cm (Setiawan, 2006). Selanjutnya Tiku (2004) menggunakan bubu lipat tiga pintu
136
untuk menangkap kepiting bakau di Kabupaten Pontianak, bentuk bubu tersebut menyerupai silinder dengan dimensi ukuran diameter 60 cm dan tinggi 25 cm. Daerah operasi penangkapan dilakukan pada enam stasiun berbeda. Dari keenam stasiun tersebut, stasiun kelima merupakan daerah penangkapan yang paling baik dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini disebabkan karena jumlah pohon bakau yang ada di stasiun lima masih relatif banyak dibandingkan dengan stasiun lainnya, sehingga perairan di stasiun lima menjadi lebih banyak mengandung makanan bagi ikan-ikan yang ada disekitar perairan. Selain itu banyaknya pohon bakau yang ada juga dapat meningkatkan populasi kepiting bakau. Akar-akar bakau ini akan menahan substrat berupa lumpur yang berasal dari muara sungai. merupakan habitat yang disenangi kepiting bakau. Substrat di sekitar mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau terutama dalam melangsungkan perkawinan (Snedaker dan Getter, 1985 vide Siahainenia, 2008). Muldiani (2007) menambahkan bahwa daerah penangkapan bubu adalah perairan yang mempunyai dasar perairan berlumpur maupun pasir ataupun daerah berkarang tergantung ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Ditinjau dari bentuk celah pelolosan yang digunakan maka bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak memiliki nilai Index Shannon Wiener yang paling kecil yakni 1,0089. Hal ini berarti bahwa ditinjau dari keragaman spesies yang tertangkap, bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak menangkap hasil tangkapan dengan keragaman spesies yang paling sedikit. Dengan demikian maka bubu dengan celah pelolosan menangkap lebih sedikit hasil tangkapan berupa berbagai jenis non target spesies yang tidak memiliki nilai ekonomis penting. Hal ini sesuai dengan penelitian Iskandar dan Komarudin (2009) yang juga berhasil mengurangi jumlah spesies hasil tangkapan di Kepulauan Seribu dengan menggunakan bubu tambun yang dilengkapi celah pelolosan berbentuk lingkaran. Ditinjau dari selektivitas alat tangkap terhadap spesies, bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak relatif lebih baik dibandingkan dengan bubu lainnya. Namun demikian bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak juga menangkap total hasil tangkapan paling sedikit dibandingkan dengan bubu lainnya. Hal ini diduga karena banyaknya hasil tangkapan yang meloloskan diri melalui celah pelolosan berbentuk segi empat. Lolosnya hasil tangkapan dari bubu dengan celah
137
pelolosan berbentuk segi empat ditandai dengan kerusakan pada celah pelolosan akibat upaya dari kepiting untuk meloloskan diri (Gambar 55). Total jumlah hasil tangkapan yang paling sedikit terdapat pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak. Hal ini diduga kuat karena ikan yang telah tertangkap mampu meloloskan diri melalui celah pelolosan berbentuk kotak karena pada celah pelolosan berbentuk kotak tidak dilengkapi dengan rangka (frame) sehingga memberikan peluang yang besar pada ikan untuk meloloskan diri, karena bukaan jaring (mesh opening) pada celah pelolosan tersebut dapat meregang (flexible) jika ikan akan memaksa keluar dari bubu (Miller 1990). Celah pelolosan dapat berfungsi sebagai tempat untuk lolosnya hasil tangkapan yang berukuran kecil maupun pintu masuk bagi biota yang berukuran kecil ke dalam bubu. Kondisi ini juga terjadi pada By catch Excluder Device (BED) pada trawl yang dapat digunakan sebagai tempat masuk maupun keluarnya hasil tangkapan yang berukuran kecil. Namun hasil penelitian yang ada menunjukkan bahwa dengan pemasangan celah pelolosan dapat mengurangi hasil tangkapan bubu yang berukuran kecil (Jirapunpipat, 2008 ; Treble et al, 1998 ; Nulk, 1978; Krouse, 1978). Menurut Komarudin (2009), penyebab ikan yang berukuran kecil masuk ke dalam bubu yang menggunakan escape gap karena ikan-ikan tersebut menjadikan bubu sebagai shelter atau tempat berlindung. Hasil tangkapan utama pada penelitian ini adalah kepiting bakau dengan jumlah sebanyak 94 ekor atau setara dengan 36 % dari total hasil tangkapan. Kepiting bakau juga merupakan hasil tangkapan yang paling dominan selama penelitian. Hal ini disebabkan karena perairan mangrove merupakan habitat asli dari kepiting bakau (Kanna, 2002). Menurut nelayan Desa Mayangan, semua kepiting bakau yang berukuran besar maupun kecil yang tertangkap pada bubu lipat akan tetap dijual. Kepiting bakau yang berukuran besar dijual ke pasar lokal maupun ke luar kota, sedangkan kepiting bakau yang berukuran kecil (under size crab) dijual kepada pembudidaya kepiting bakau. Untuk kepiting bakau berukuran kecil yang terluka akibat proses hauling yang salah, tidak dijual tetapi akan dibuang kembali ke perairan. Jika pemanfaatan kepiting bakau berukuran kecil tetap terus dilakukan dalam jangka waktu yang lama, kelimpahan kepiting bakau di perairan mangrove akan semakin berkurang. Menurut Alverson et al (1996),
138
salah satu penyebab menurunnya stok sumberdaya perikanan di berbagai wilayah di dunia adalah banyaknya hasil tangkapan sampingan yang dibuang ke laut (discarded spesies). Kennely dan Craig (1989) menduga bahwa sekitar 75% spanner crab yang tertangkap pada tangle net di New South Wales dibuang ke laut. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis antara bubu dengan bentuk celah pelolosan berbeda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.). Hal ini ditunjukkan dengan nilai Chi-Square yang diperoleh sebesar 12,667 dan nilai probabilitas sebesar 0,005 pada taraf kepercayaan 95 %. Selanjutnya dengan uji lanjut Mann Whitney diperoleh hasil bahwa bubu tanpa celah pelolosan secara signifikan menangkap kepiting bakau dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan bubu lainnya. Jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) yaitu sebanyak 48 ekor, sedangkan pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR, lingkaran dan kotak yaitu masing-masing sebanyak 21 ekor, 17 ekor, dan 8 ekor. Namun demikian jumlah kepiting bakau yang banyak tertangkap pada bubu tanpa celah pelolosan (non-escape gap) masih berukuran kecil (Gambar 54). Dengan demikian ditinjau dari aspek jumlah hasil tangkapan sampingan berupa kepiting bakau yang berukuran kecil, maka penggunaan celah pelolosan dapat mengurangi jumlah kepiting bakau yang masih berukuran kecil.
Gambar 54 Kepiting bakau berukuran kecil yang tertangkap pada bubu non-escape gap
139
5.2.2 Distribusi ukuran hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla sp.) Ukuran kepiting bakau yang tertangkap pada penelitian ini berkisar pada ukuran panjang karapas 20 – 80 mm dan lebar karapas 15 – 120 mm. Uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa dengan menggunakan celah pelolosan ukuran kepiting bakau yang tertangkap secara signifikan berbeda nyata (P < 0,05 dengan Chi-Square terhadap panjang karapas 16,141 dan Chi-Square terhadap lebar karapas 16,506). Hal ini berarti bahwa penggunaan celah pelolosan secara signifikan dapat memperbaiki ukuran kepiting bakau yang tertangkap. Bubu dengan dengan celah pelolosan berbentuk S3CR merupakan bentuk celah pelolosan yang paling efektif dalam menangkap kepiting bakau yang layak tangkap. Kepiting bakau layak tangkap yang dimaksud pada penelitian ini adalah layak tangkap secara biologi. Yang dimaksud dengan kepiting layak tangkap secara biologi adalah telah matang gonad. Aldrianto (1994) menyebutkan bahwa kepiting bakau yang sudah matang gonad minimal memiliki ukuran panjang karapas sebesar 42,7 mm dan lebar karapas 80 mm. Ukuran layak tangkap secara biologi di Kabupaten Subang sebenarnya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran kepiting bakau yang layak tangkap secara ekonomi. Secara ekonomi, yakni ukuran kepiting yang bisa diterima secara luas di pasaran Kabupaten Subang memiliki bobot minimal 80 gram yang setara dengan kepiting bakau yang memiliki ukuran panjang karapas 51,4 mm dan lebar karapas 75,1 mm. Penelitian ini membuktikan bahwa celah pelolosan berbentuk S3CR menangkap hasil tangkapan kepiting bakau berukuran layak tangkap dengan jumlah yang secara signifikan lebih banyak dengan bubu lainnya. Bentuk S3CR ini memberikan peluang yang lebih besar bagi kepiting bakau yang belum layak tangkap untuk meloloskan diri karena bentuk bidangnya yang lebih luas. Bentuk S3CR ini merupakan pengembangan dari bentuk kotak dan lingkaran yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kepiting dan ikan yang berukuran kecil dapat meloloskan diri. Bentuk ini memberikan peluang secara horizontal dan secara vertikal kepada kepiting bakau untuk meloloskan diri. Banyaknya kepiting bakau yang secara signifikan tertangkap pada bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR akan memberikan dampak yang baik terhadap keberlanjutan
140
sumberdaya kepiting bakau di perairan Desa Mayangan. Karena hal ini berarti bahwa kepiting-kepiting yang berukuran kecil akan dapat meloloskan diri untuk tumbuh dan berkembang menjadi kepiting dewasa. Penggunaan beberapa bentuk dan ukuran celah pelolosan untuk menyesuaikan dengan orientasi target penangkapan juga pernah dilakukan Fogarty dan Borden (1980). Mereka menggunakan celah pelolosan dengan orientasi celah berbentuk vertikal dan horizontal untuk menangkap lobster yang layak tangkap.Hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi celah pelolosan dapat mempengaruhi lobster untuk menemukan lokasi celah pelolosan dan waktu yang diperlukan untuk menemukan celah pelolosan tersebut. Hasil yang diperoleh yaitu bahwa celah pelolosan dengan orientasi horizontal adalah yang paling efektif dalam menangkap American lobster yang layak tangkap dengan persentase sebesar 70,29 %. Adapun bubu yang menangkap kepiting bakau dengan ukuran layak tangkap paling sedikit adalah bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak. Hasil ini berbeda dengan Jirapunpipat et al (2008) yang menyatakan bahwa bubu dengan celah pelolosan berbentuk segi empat efektif untuk meloloskan kepiting bakau yang berukuran kecil. Hal ini diduga celah pelolosan yang digunakan pada penelitian ini tidak dilengkapi dengan rangka (frame) pada bagian sisi-sisi celah pelolosan sehingga memungkinkan kepiting bakau untuk merusak celah pelolosan dan memungkinkan kepiting bakau di berbagai ukuran untuk meloloskan diri (Gambar 55). Pertimbangan pemasangan celah pelolosan tanpa menggunakan frame adalah sesuai dengan penelitian Lastari (2007). Pada penelitian Lastari (2007), celah pelolosan yang dipasang tanpa menggunakan frame dapat meloloskan rajungan yang layak tangkap tanpa menimbulkan kerusakan pada bagian celah pelolosan.
141
Gambar 55 Kerusakan pada celah pelolosan Berbagai bentuk celah pelolosan terbukti dapat meningkatkan peluang kepiting bakau untuk melolosakan diri. Eldridge et al (1979) menyebutkan bahwa bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak lebih efektif daripada celah pelolosan berbentuk lingkaran dalam meloloskan hasil tangkapan blue crab yang belum layak tangkap di Pantai Charleston South California. Adapun menurut Everson et al (1992), bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran lebih efektif daripada bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak dalam meloloskan sublegal lobster. Hasil penelitian ini juga tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh Krouse (1978) yang menyebutkan bahwa bubu dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran menangkap sublegal lobster dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak. Selanjutnya beberapa penelitian tentang perbedaan bentuk celah pelolosan dalam meloloskan hasil tangkapan sampingan diantaranya Brown (1982) berhasil mengurangi hasil tangkapan kepiting (Cancer pagurus) yang belum layak tangkap sebesar 34 % dan berhasil meningkatkan hasil tangkapan lobster (Homarus gammarus) yang layak tangkap hingga 125 %. Selain itu Boutson et al (2004) juga melakukan penelitian tentang bentuk celah pelolosan pada bubu lipat untuk meloloskan rajungan yang belum layak tangkap. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa celah pelolosan berbentuk kotak paling efektif untuk meloloskan rajungan yang berukuran layak tangkap dibandingkan dengan celah pelolosan berbentuk lingkaran dan oval. Iskandar dan Komarudin melakukan penelitian tentang penggunaan celah pelolosan berbentuk lingkaran pada bubu tambun. Hasil
142
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan celah pelolosan pada bubu tambun dapat meningkatkan hasil tangkapan kerapu koko layak tangkap sebesar 100 % lebih. Berdasarkan pengamatan pada saat penelitian, mekanisme lolosnya kepiting bakau melalui celah pelolosan (escape gap) adalah sebagai berikut : setelah kepiting bakau memakan umpan yang berada di dalam bubu, kepiting bakau akan berdiam diri pada bagian sudut bubu. Kemudian kepiting bakau akan bergerak menyusuri dinding bubu untuk mencari celah untuk meloloskan diri. Setelah menemukan celah pelolosan untuk meloloskan diri, kepiting bakau selanjutnya keluar dari celah pelolosan tersebut. Kepiting bakau yang ada di dalam bubu akan memaksa keluar melalui celah pelolosan yang ada, namun untuk kepiting bakau yang berukuran lebih besar dari ukuran celah pelolosan akan tertahan pada bagian karapas. Kepiting ini akan berdiam diri menutupi celah pelolosan dan akan menghalangi kepiting bakau berukuran kecil untuk keluar melalui celah pelolosan. Hal ini diduga menjadi penyebab lain ditemukannya kepiting berukuran kecil pada bubu yang menggunakan escape gap selain escape gap menjadi pintu masuk bagi kepiting berukuran kecil. Ilustrasi tentang mekanisme keluarnya kepiting bakau dari bubu melalui celah pelolosan disajikan pada Gambar 56.
143
Keterangan : a. b. c. d. e.
Kepiting memakan umpan Kepiting bergerak ke arah sudut dan berdiam diri Kepiting bergerak menyusuri dinding bubu Kepiting menemukan celah dan berusaha keluar dari celah pelolosan Kepiting berhasil keluar
Gambar 56 Mekanisme keluarnya kepiting bakau melalui celah pelolosan 5.2.3 Rasio jenis kelamin kepiting bakau (Scylla sp.) Seluruh hasil tangkapan kepiting bakau memiliki keragaman dalam hal ukuran dan jenis kelamin. Ditinjau dari jenis kelamin, kepiting bakau yang tertangkap selama penelitian lebih didominasi oleh kepiting bakau jantan. Jumlah kepiting bakau jantan yang tertangkap sebanyak 88 ekor, sedangkan jumlah kepiting betina yang tertangkap sebanyak 6 ekor. Perbandingan jenis kelamin yang signifikan tersebut disebabkan karena populasi kepiting betina pada daerah operasi penangkapan sangat sedikit. Hal ini diduga karena selama operasi penangkapan yang berlangsung pada bulan Mei hingga Juni, kepiting betina sedang melakukan proses pemijahan di perairan pantai ataupun di laut sehingga populasi kepiting bakau betina di hutan mangrove menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan kepiting bakau jantan. Menurut Smit
144
et al (2004) vide Butar-butar (2006), kepiting bakau betina akan memijah pada bulan-bulan yang memiliki suhu perairan lebih hangat. Pada bulan Mei – Juni, perairan di pantai Mayangan sudah relatif lebih hangat dibandingkan bulan Februari – September. Adapun bagi kepiting bakau jantan yang telah melakukan perkawinan, justru akan tetap berada pada perairan hutan mangrove untuk tetap melanjutkan aktivitas hidupnya. Begitu juga dengan juvenil kepiting bakau ketika sedang dalam proses pembesaran lebih memilih berada di lingkungan perairan yang tertutupi oleh lamun, alga, dan akar mangrove (Chandrasekaran & Natarajan, 1994) vide Le Vay (2001) vide Rachmawati (2009).
145
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian didominasi oleh kepiting bakau sebesar 36%, udang peci sebesar 30%, kepiting batu sebesar 25%, ikan beloso sebesar 4%, kepiting bolem sebesar 3%, dan rajungan sebesar 2%. Keragaman hasil tangkapan terkecil diperoleh bubu dengan celah pelolosan berbentuk kotak, adapun keragaman hasil tangkapan terbesar diperoleh bubu tanpa celah pelolosan. 2. Rata-rata panjang dan lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan escape gap berbentuk S3CR sebesar 53 mm dan 74,7 mm dengan jumlah 21 ekor. Rata-rata panjang dan lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan escape gap berbentuk lingkaran sebesar 44 mm dan 61,1 mm dengan jumlah 17 ekor. Rata-rata panjang dan lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap pada bubu dengan escape gap berbentuk kotak sebesar 35,7 mm dan 51 mm dengan jumlah 8 ekor. 3. Bubu dengan celah pelolosan berbentuk S3CR merupakan bentuk yang paling optimal dalam menangkap kepiting bakau yang berukuran layak tangkap.
6.2 Saran Untuk menindaklanjuti hasil yang telah diperoleh pada penelitian ini maka diperlukan: 1. Penelitian lanjutan untuk mengetahui jumlah celah pelolosan (escape gap) untuk menangkap kepiting bakau yang layak tangkap; 2. Penelitian lanjutan untuk mengetahui ukuran celah pelolosan (escape gap) pada bubu lipat yang efektif untuk menangkap kepiting bakau yang layak tangkap.
146
DAFTAR PUSTAKA
Aldrianto E. 1994. Aktivitas Reproduksi Kepting Bakau. Majalah Akuania Techner No. 12. Tahun II. 45 – 48. Archadale, M. V, K Anraku, T Yamamoto, and N Higashitani. 2003. Behaviour of the Japanese Rock Crab “Ishigani” Charybdis japonica Towards Two Collabsible Baited Pots: Evaluation of Capture Effectiveness. Marine Fisheries Research Journal. No. 69: 789-791. Aziz, K.A, M. Boer, J. Widodo, N. Naamin, M.H. Amrullah, B. Hasyim, A. Djamali dan B.E. Priyono. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut-Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 117-127. Alverson, D.L., Freberg, M.H., Murawski, S.A., Pope, J.G. 1996. Global assessment of fisheries by catch and discards. FAO Fish. Tech.Pap; No. 339. 233p BAPPENAS. 2005. Perspektif Strategi Pembangunan Perikanan Indonesia (20052010). Baskoro M S. 2006. Alat Penangkap Ikan yang Berwawasan Lingkungan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No 16: 19-21. Boutson A, Mahasawasde C, Mahasawade S. 2004. The Suitable Escape Gap of Selective Collapsible Crab Trap and Appropriated Bait for Blue Swimming Crab Trap Fishery. Fisheries Jurnal. Bangkok: Department of Marine Science, Faculty of Fisheries, Kasetsart University, Thailand. 1-8. Brandt A.V. 1984. Fishing Catching Methods of the World. England: Fishing New Books Ltd. Brown C.G. 1982. The Effect of Escape gap on Trap Selectivity in The United Kingdom Crab (Cancer pagarus L.) and Lobster (Homarus gammarus L.) Fisheries. Jurnal. England: Fisheries Laboratory. No.40 :127-134. Brown, R.S and Caputi, N., 1985. Factors affecting the growth of undersize western rock lobster, Panulirus Cygnus Goerge, returned by fishermen to the sea. Fish. Bull. 1985; Vol. 83 No.4: 567-574 Butar-butar, Hasudungan. 2006. Keterkaitan Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla spp.) dengan Ketersediaan Makanan Alami di Kawasan Hutan Mangrove (Studi Kasus di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Clark FP, M Neale, PS Rainbow. 2001. A morphometric analysis of regional variation in Carcinus Leach, 1814 (Brachiura: Portunidae: Carcininae) with particular reference to the status of the two species C. Maenas (Linnaeus, 1785) and C. Estuarii Nardo, 1847. Journal of Crustacean Biology 21(1): 288-303.
147
Direktorat Jenderal Perikanan. 1997. Statistik Perikanan Indonesia (Fisheries Statistic of Indonesia). Jakarta: Departemen Peranian. Djatikusumo EW. 1975. Dinamika Populasi Ikan (bahan kuliah). Jakarta. Akademi Usaha Perikanan. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2003. Potensi dan Pemetaan Kabupaten Subang: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2006. Data Produksi Berdasarkan Jenis Ikan di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2005. http://dkp.go.id/SIMPATIK. [5 April 2010]. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2007. Produksi Ikan Laut di Kabupaten Subang pada tahun 2007. http://dkp.go.id/SIMPATIK. [5 April 2010]. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2009. Makalah Rencana Tata Ruang Wilayah Laut Kabupaten Subang. Jawa Barat: DKP Kabupaten Subang. Edwars, E. 1988. Crab Fisheries and Their Management in the British Islands Shellfish Assosiation of Great Britain London, England. Marine Invertebrate Fisheries. Effendie MI. 2002 Biologi Perikanan. Yogyakarta Yayasan Pustaka Nusatama. 163. Eldridge, P.J, V.G. Burrel and Steele, G. 1979. Development of a Self Culling Blue Crab Pot. J. const. int. Explor. Mer. 21-27. Everson, A.R., Skillman, R.A and Polovina, J.J. 1992. Evaluation of rectangular and circular escape vents in the Northwestern Hawaiian Island lobster fishery. N. Am. J. of Fish. Manage. 12:161-171 Ferno A, Olsen S. 1994. Marine Fish Behaviour in Capture and Abudance Estimation. Fishing News Books. England. 221. Fitri, Aristi DP. 2008. Respons Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu terhadap Umpan Terkait dengan Efektivitas Penangkapan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Farmed, Wild. 2009. Sustainable Sushie. Ebi Shirmp.www.sustainablesushi.net/fish. [15 Juni 2010] [FAO]. - . Groupers of the World. [terhubung berkala]. www.fao.org. [19 Februari 2010]/ Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode, dan Teknik Penangkapan. Bogor: IPB Press. Grie, Moehammad. Perbedaan Kepiting Jantan dan Betina. It’s all about fishery. Agriefishery http://zonaikan.wordpress.com/2010/01/21/perbedaan-kepitingjantan-dan-betina/. [15 Juni 2010]
148
Hakim, Rahman. 2006. Penggunaan JTED (Juvenile and Trash Exluder Device) Pada Jaring Arad (Mini Trawl) di Perairan Tegal, Jawa Tengah. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hebert M. Miron G. Moriyasu M. Vienneau R. DeGrace P. 2000. Efficiency and Ghost Fishing of Snow Crab (Chionoecetes opilio) Traps in Gulf of St. Lawrence. Marine Fisheries Research Journal. No. 52: 143-153. Irawati R. 2002. Studi Tingkah Laku Pelolosan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus) pada Bubu yang Dilengkapi dengan Celah Pelolosan (Escaping Gap) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Iskandar M D. 2006. Selektivitas Bubu: Sebuah review. Di dalam : Sondita F. A,. Solihin I., editor. Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab. Hal: 29-35. Iskandar, M.D and Lanti. 2007. Effect of Escape Gap on Catch of Swimming Crab. Proceeding on The 2nd International Symposium on Food Security, Agricultural Development and Enviromental Conservation In Southeast and East Asia. Bogor ; 85-90. Iskandar, M.D dan Muldiani. 2007. Analisa Hasil Tangkapan Rajungan dengan Menggunakan Konstruksi Bubu yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponogoro ; 38-45. Iskandar, M.D dan Komarudin. 2009. Pengaruh Celah Pelolosan Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Berkala Ilmiah Penelitian dan Kelautan. Vol. 5, No. 2: 123-132. Iskandar, M.D dan Ramdani. 2009. Analisis Hasil Tangkapan Rajungan pada Bubu Lipat dengan Menggunakan Jenis Umpan yang Berbeda. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Berkala Ilmiah Penelitian dan Kelautan. Vol. 12, No. 1: 35-39. Jirapunpipat, Kanchana., Phomikong, Pisit.,Yokota, Masashi., Watanabe, Seiichi. 2008. The Effect of Escape Vents in Collapsible Pots on Catch and Size of The Mud Crab Scylla olivacea. Marine Fisheries Research Journal. Vol. 94, No. 1: 73-78. Kanna I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau (Pembenihan dan Pembesaran). Yogyakarta. Kanisius. 80. Kasry A. 1984. Pengaruh antibiotik dan makanan pada tingkat salinitas yang berbeda terhadap kelulusan hidup dan perkembangan larva kepiting, Scylla serrata (Forskal). Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 37: 1-16 Kasry A. 1991. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Jakarta. Bharata. 87. Kasry A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Jakarta. Bharata. 93.
149
Kennelly, S.J and Craig, J.R. 1989. Effect of trap design, independence of traps and bait on sampling populations of spanner crabs Ranina ranina. Mar. Ecol. Prog. Ser. 51: 49-56 Komarudin, Didin. 2009. Penggunaan Celah Pelolosan pada Bubu Tambun terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. 1998. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kordi MGH. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Semarang. Dahara Prize. 272. Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. New York:Harper Collins Publisher. 654p Krouse, J,S. 1978. Effectiveness of Escape Vent Shape in Traps for Catching Legal-Sized Lobster, Homarus Americanus,and Harvestable-Sized Crabs, Cancer Borealis,and Cancer Irroratus. Fishery Bulletin. Vol. 76, No. 2 :425432. Krouse, J.S. 1988. Performance and Selectivityof Traps Fisheries for Crustacean. Departement of Marine Resources West Boothbay Harbor, Maine. Marine Invertebrate Fisheries. 307-325. Lastari, Lanti. 2007. Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu Lipat Bubu Bercelah (Escape Gap) dan Tanpa Celah (Non Escape Gap) di Perairan Kronjo.[Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Leksono U. 1983. Suatu Studi tentang Penggunaan Umpan Ikan Lemuru sebagai Umpan pada Perikanan Rawai Tuna di PT. Perikanan Samudera Besar, Benoa, Bali [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Mahulette, Thomas R. 2004. Analisa Komparasi Teknologi Bubu Dasar dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Nelayan di Klungkung Bali. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mariana. 2006. Uji Coba Bubu Lipat di Perairan Palabuhanratu Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Martasuganda S. 1990. Bubu dan Ghost Fishing. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. 52. Martasuganda S. 2003. Bubu (Traps). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Martasuganda S. 2008. Bubu (Traps). Cetakan ketiga. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Miller R J. 1990. Effectiveness of crab and Lobster Trap. Marine Fisheries Research Journal. No. 47: 1228-1249.
150
Miller R J. 1995. Option for Reducing Bycatch in Lobster and Crab Pots. Proceedings of the International Symposium on Biology, Management and Economics of Crabs from High Latitude Habitats. Anchorage, Alaska, USA :163-168. Moosa MK, 1. Aswandy A. Kasry. 1985. Kepiting Bakau, Scylla serrata (Forskal) di Perairan Indonesia. Jakarta LON-LIPI. 18. Monintja D R dan Martasuganda S. 1991. Teknologi Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut II. Bogor: IPB Press. Muldiani, Dini. 2007. Analisis Hasil Tangkapan Rajungan pada Bubu Lipat dengan Konstruksi yang Berbeda di Perairan Kronjo, Kabupaten Tanggerang. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Munjilah, Siti. 2005. Kondisi Ekosistem Mangrove Berdasarkan Indikator Kualitas Lingkungan dan Pengukuran Morfometrik Daun di Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang. [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. viii : 372. Nugraha, Angga. 2008. Efektivitas Penangkapan Ikan Karang Konsumsi Menggunakan Bubu dengan Umpan yang Berbeda di Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Nulk, Vernon E. 1978. The Effects of Different Escape Vents on the Selectivity of Lobster Traps. Marine Fisheries Review. Vol. 40, No. 5 – 6. Nurliani, Henny. 1993. Studi Tentang Pengaruh Jenis Umpan terhadap Hasil Tangkapan Ikan Hias Laut dengan Menggunakan Bubu Plastik di Palabuhanratu, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Nyabakken, J.W. 1993. Marine Biology : an ecological approach. Third edition. California State University at Hayward and the Moss Landing Marine Laboratories. New York. Permatasari, Niken Pratiwi. 2006. Seleksi Pola Dinding Bubu Plastik untuk Menangkap Lobster Hijau Pasir. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Purbayanto A. 1999. Behavioural Studies for Improving Survival of Fish in Mesh Selectivity of Sweeping Trammel Net. [Ph.D. Tesis]. Tokyo: Graduate School of Fisheries. Tokyo University of Fisheries. Rakhmadewi, Carolina Catur. 2004. Waktu Perendaman dan Periode Bulan: Pengaruhnya Kepiting Bakau Hasil Tangkapan Bubu di Sungai Radak, Pontianak. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
151
Ramdani, Deni. 2007. Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan pada Bubu Lipat dengan Menggunakan Umpan yang Berbeda. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Randall, J. E. Terapon Jarbua. www.fishbase.org/Summary/speciesSummary.php ID=4458&genusname=Terapon&species=jarbua. [28 Mei 2010]. Rangka, Nur Ansari. 2007. Status Usaha Kepiting Bakau Ditinjau dari Aspek Peluang dan Prospeknya. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Vol. 14. Neptunus. Rahardjo P, Linting ML. 1993. Penelitian Jenis Umpan Untuk Bubu Laut. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (77): 72-77. Sadhori. 1985. Teknologi Penangkapan Ikan. CV. Yasaguna. Jakarta. Sainsbury J C. 1971. Commercial Fishing Methods. Introduction to Vessel and Gear. London : Fishing News (Book) Ltd. 285 Sainsbury J C. 1996. Commercial Fishing Methods. Fishing News (Book). The White Friars Press Ltd. London, Tombridge Satria, Arif. 1971. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Bogor Serosero R H. 2005. Studi Distribusi dan Habitat Tiga Jenis Kepiting Bakau (S. serrata, S. paramamosain dan S. olivacea) di Perairan Pantai Desa Mayangan Kabupaten Subang, Jawa Barat [Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setiawan, Prihadi Adi Kusuma. 2006. Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu Bambu dan Bubu Lipat di Perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Siahainenia, Laura. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Simonson, Jenny L and Hochberg, Randall J. 1986. Effects of Air Exposure and Claw Breaks on Survival of Stone Crabs Menippe mercenaria. Florida Department of Natural Resources. American Fisheries Society.115: 471-477. Sirait, Julita M. 1997. Kualitas Habitat Kepiting Bakau Scylla serrata. S. oceanic dan Scylla tranquebarica di Hutan Mangrove RPH Cibuaya, Karawang. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Slack R J, Smith. 2001 Fishing With Traps and Pots. FAO Training Series. Italy: FAO. Soim. 1994. Pembesaran Kepiting. Jakarta. Penebar Swadaya. 21 hal. Subani, W dan Barus, H.R. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Edisi Khusus. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
152
Sudirman, H dan A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Jakarta. Rineka Cipta. Sulaiman, Wahid. 2002. Statistik Non-Parametrik: Contoh Pemecahannya dengan SPSS. Andi. Yogyakarta. 46 hal.
Kasus
dan
Sulistiono S Watabene, S. Tsuchida. 1994. Biology and Fisheries of Crabs in Segara Anakan Lagoon Di dalam: F. Takasima and K. Soewardi , editor. “Ecologycal Assesment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap,Central Java”. NODAI Centre for International Program, Tokyo University of Agriculture, JSPS-DGHE Program. Susanto, Adi. 2006. Hasil Tangkapan Bubu Laut Dalam di Teluk Palabuhanratu Berdasarkan Perbedaan Konstruksi Funnel dan Umpan. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Syafitriyanto, Irmawan. 2009. Status Perikanan Kepiting Bakau (Scylla serrata). www.wacanasainsperikanan.blogspot.com/2009/01/status-perikanankepiting-bakau.html. [21 Maret 2010]. Syandri H. 1988. Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta, Padang. Tiku, Mathius. 2004. Pengaruh Jenis Umpan dan Waktu Pengoperasian Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Treble, R.J., Millar, R.B., Walker, T.i. 1998. Size Selectivity of Lobster Pots With Escape Gaps: application of the SELECT method to the southern rock lobster (Jasus edwardsii) fishery in Victoria, Australia. Fish Res. No.34: 289-305. Wibyosatoto, Budi. 1994. Studi tentang Pengaruh Perbedaan Konstruksi Mulut Bubu (Funnel) pada Bubu Lipat terhadap Hasil Tangkapan di Perairan Bengkulu. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Wudianto, Mahiswara, Agustinus P, Anung W. 1993. Memancing di Perairan Tawar dan di Laut. Penebar Swadaya, Jakarta. Yahya, Muhamad Ali. 2000. Hubungan Karakteristik Fisik-Kimia Laut dengan Produksi Hasil Tangkapan Ikan Terbang (Cypselurus spp) di Selat Makasar. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
60 35’3 0” LS 60 7’ 30” LS
107052’30” BT
153
107045’00” BT
60 0’ 0” LS
107037’30” BT
Lampiran 2. Peta Geografis Desa Mayangan
Keterangan : = Fishing base = Jembatan = Pohon bakau = Sawah
Angka 1 – 6 = Plot stasiun yang digunakan untuk pemasangan bubu
154
= Sungai
155
Lampiran 3 Bahan dan alat yang digunakan selama penelitian
1. Ikan rucah tembang, sebagai umpan
3.Bubu tanpa escape gap
5. Bubu ber-escape gap lingkaran
2. Ikan rucah pepetek, sebagai umpan
4. Bubu ber-escape gap kotak
6. Bubu ber-escape gap S3CR
156
Lanjutan Lampiran 3
7. Kaitan
9. Jangka sorong
11. Measuring board
8. Kapal bubu
10. Meteran kain
12. Timbangan
157
Lampiran 4 Hasil tangkapan bubu lipat selama penelitian
Nama Nama lokal : Kepiting bakau Nama internasional : Mud Crab Nama latin : Scylla serrata Nama lokal : Kepiting batu Nama internasional : Swimming Crab Nama latin : Thalamita sp Nama lokal : Kepiting bolem Nama internasional : Spoon Piner Crab Nama latin : Leptodius sp Nama lokal : Rajungan Nama internasional : Blue Swimming Crab Nama latin : Portunus pelagicus Nama lokal : Udang peci Nama internasional : White Tiger Prawn Nama latin : Penaeus sp Nama lokal : Beloso Nama internasional : Greater Lizardfish Nama latin : Saurida tumbil
Gambar
158
Lampiran 5 Jenis dan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap trip
A. Setting ke-1
No L
Udang peci Udang peci Kepiting Bakau
S K
-
T
Kepiting bakau Kepiting bakau
No
Kepiting batu Kepiting batu Kepiting bakau Udang peci Kepiting batu Kepiting batu Kepiting batu Kepiting batu Kepiting batu Kepiting batu Kepiting batu
No
Jenis Hasil Tangkapan
L
-
K
-
T
Beloso Beloso Beloso Kepiting batu Kepiting batu
No
Jenis Hasil Tangkapan -
CW (cm)
5.15
5 5 30
3.08 4.68
4.23 6.34
40 50
CW (cm)
4.50 4.19 3.55 1.94 3.00 4.15 3.48 4.58 3.80 5.90 4.30
CL (cm)
Stasiun 4 CL (cm)
60 45 25 2 15 30 25 35 30 35 45
4.30 5.70 5.30 5.70 5.29 5.40 6.10
Stasiun 3 CW Berat (cm) (gram)
5.8 4.76
Berat (gram)
6.19 5.90 5.28
TL (cm)
16.00 17.50 13.00 3.80 3.27
Berat (gram)
3. 47 3.70 3.72
Stasiun 2 CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan
L S K T
L S
Stasiun 1 CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan
BodyGirth Berat (cm) (gram)
9.00 9.50 7.5
30 20
CW (cm)
Berat (gram)
40 60 25
159
Lanjutan Lampiran 5 No K
T
Jenis Hasil Tangkapan Udang peci Udang peci Kepiting batu Kepiting batu Kepiting batu
No
Jenis Hasil Tangkapan
L S
Kepiting bakau Udang peci Beloso Udang peci Udang peci Kepiting bakau
K T
No L S K T
CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan Udang peci Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau
CW (cm)
3.00 3.50 3.10 4.00 3.57
CL (cm) 4.76 3.56
TL (cm)
BodyGirth Berat (cm) (gram)
45 3 17
2.60 3.13 2.40
2 3 20 20 20
4.40 5.37 4.60
Stasiun 5 CW Berat (cm) (gram) 6.57
Berat (gram)
10
60
2 3 20
3.98
Stasiun 6 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
3.70 5.20
7.63
4 80
3.76 2.87 6.15 5.96
5.34 4.1 8.50 8.58
10 8 105 100
B. Setting ke-2
No
Jenis Hasil
Stasiun 1 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
Tangkapan L S K T
No
Kepiting batu Udang peci Udang peci Kepiting bakau Kepiting bakau
Jenis Hasil
3.90 2.60 3.05 2.96 2.70
Stasiun 2 CL (cm)
5.13
4.40 3.90
CW (cm)
35 2 3 10 8
Berat (gram)
Tangkapan L
Kepiting bakau
5.75
8.36
120
160
Lanjutan Lampiran 5 No
Jenis Hasil
CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
Tangkapan S K T
No L S K T
No L S K T
No L S K T
No
Kepiting bakau Kepiting batu Kepiting batu Kepiting batu
3.60 4.54 4.37 3.70
Stasiun 3 CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Udang peci -
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Beloso
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Udang peci Udang peci Kepiting bakau Udang peci Udang peci Udang peci
Jenis Hasil
5.05 6.33 6.24 4.94
CW (cm)
6.30 3.2
CL (cm)
4.66
Berat (gram)
8.95
Stasiun 4 CW Berat (cm) (gram)
6.80
35 50 50 40
TL (cm)
145 3
BodyGirth Berat (cm) (gram)
55 16
Stasiun 5 CL (cm) 5.74 3.50 3.65 2.76 2.90 3.50 3.20
Stasiun 6 CL (cm)
CW (cm) 8.04
3.94
CW (cm)
8.5
47
Berat (gram) 90 3 4 10 2 3 3
Berat (gram)
Tangkapan L S K T
Kepiting bakau Kepiting bakau
5.50
8.20
85
5.70
8.09
90
161
Lanjutan Lampiran 5 C. Setting ke-3 No L
S K T
No L
S K T
No L S K T
T
No L S K T
No L S
Stasiun 1 CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting batu Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting batu
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting batu Kepiting batu Beloso Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting batu
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting batu Kepiting batu Kepiting batu Udang peci
Jenis Hasil Tangkapan Udang peci -
Jenis Hasil Tangkapan Udang peci
CW (cm)
3.40 3.80 3.29 2.70 3.00 3.77
CL (cm) 4.86 4.92
4.70 5.50 4.60 4.15 4.20 5.87
Stasiun 2 CW Berat (cm) (gram) 6.84 6.44
Berat (gram)
TL (cm)
20 25 20 15 15 40
BodyGirth (cm)
Berat (cm)
6.00
25
80 45 13.5
7.27
9.99
250
4.26 3.65
6.07 5.20
35 30
Stasiun 3 CL (cm)
4.04 4.15 3.80 2.80
Stasiun 4 CL (cm)
CW (cm)
5.72 5.84 5.27
CW (cm)
2.6
Stasiun 5 CL (cm) 3.04
Berat (gram)
35 35 30 2
Berat (gram) 3
CW (cm)
Berat (gram) 5
162
Lanjutan Lampiran 5 No K T
No L S K T
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Udang peci Kepiting bakau
Jenis Hasil Tangkapan Udang peci Kepiting bakau Kepiting bakau Udang peci
CL (cm)
CW (cm)
3.40 3.67 2.54
Stasiun 6 CL (cm)
4.80 3.6
CW (cm)
3.67
2.77 2.80 2.07
Berat (gram) 15 4 10
Berat (gram) 4
3.94 4.10
10 10 2
D. Setting ke-4 No
Jenis Hasil
Stasiun 1 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
Tangkapan L S K T
No L S K T
No L S K T
Kepiting batu Kepiting batu Kepiting bakau Udang peci Kepiting bakau Kepiting bakau
2.27 3.41 5.63 3.05
3.47 4.61 7.74
10 25 100 2
2.47 2.11
3.33 2.97
10 5
Stasiun 2 Jenis Hasil Tangkapan CL (cm) Kepiting bakau Udang peci Kepiting batu
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting batu Udang peci Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau Rajungan
4.90 2.05 3.46
Stasiun 3 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
6.88
65
4.70
2 25
CW (cm)
Berat (gram)
4.10 3.04
5.80
50 3
3.20 3.20 6.34 4.38
4.50 4.40 9.90 8.55
25 25 160 45
163
Lanjutan Lampiran 5
No L S K T
No L
S K T
No L S K T
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Udang peci Kepiting bolem
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Kepiting batu Udang peci Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau
Jenis Hasil Tangkapan Udang peci Kepiting bakau Kepiting bakau
Stasiun 4 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
6.60 3.05
8.00
60 3
4.20
5.68
50
Stasiun 5 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
4.59 3.60 3.20
5.94 5.33
35 25 3
4.59 6.10 3.90
6.70 8.66 5.61
50 115 25
Stasiun 6 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
2.50 5.40
7.50
2 75
4.00
5.75
25
E. Setting ke-5 No L S K T
No L S K T
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting batu Udang peci Udang peci Udang peci Udang peci -
Stasiun 1 CL (cm)
CW (cm)
3.35 2.96 2.86 3.20 2.45
Stasiun 2 Jenis Hasil Tangkapan CL (cm) Kepiting batu Kepiting bakau -
4.90 7.36
Berat (gram)
4.70
CW (cm) 6.70 10.86
40 2 2 3 2
Berat (gram) 90 300
164
Lanjutan Lampiran 5
No L S K T
No L S K T
No L
S K T
No L S
K T
Stasiun 3 CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting batu Kepiting batu
4.24 4.24
Udang peci Rajungan
Berat (gram)
6.00 6.16
Stasiun 4 CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan
Jenis Hasil Tangkapan
CW (cm)
CW (cm)
55 55
Berat (gram)
2.40
2
4.77
CL (cm)
Udang peci Udang peci Udang peci Beloso Udang peci
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Udang peci Udang peci Kepiting bakau Udang peci Kepiting bakau
9.18
Stasiun 5 CW Berat (cm) (gram)
3.13 3.83 2.77
3 4 2
3.70
4
TL (cm)
BodyGirth (cm)
Berat (cm)
5.60
20
11
Stasiun 6 CL (cm) 5.00 2.76 2.70 2.15 3.75 2.70
70
CW (cm) 6.80
2.97 3.60
Berat (gram) 75 2 2 5 4 10
F. Setting ke-6 No L S K T
Jenis Hasil Tangkapan Udang peci Kepiting bakau Udang peci Kepiting bakau
Stasiun 1 CL (cm)
CW (cm)
3.50 3.20 3.12 3.10
Berat (gram) 3
4.75 6.40
25 3 50
165
Lanutan Lampiran 5
No L S K T
No L S K T
No L S K T
No L S K T
No L S
K
Jenis Hasil Tangkapan
Stasiun 2 CL (cm)
Kepiting bakau Kepiting bolem
4.10 5.00
Stasiun 3 CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Kepiting batu Kepiting batu
Kepiting batu Udang peci Udang peci Kepiting batu Kepiting batu
Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau Udang peci Beloso Kepiting bakau Udang peci
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau -
45 80
Berat (gram)
6.26
8.50
115
4.23 4.00
5.29 5.10
30 35
CW (cm)
2.85 3.3 3.05 4.50 3.20
CL (cm)
Berat (gram)
6.20 6.50
CW (cm)
Stasiun 4 CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan
Jenis Hasil Tangkapan
CW (cm)
Berat (gram)
3.55
6.55 4.50
Stasiun 5 CW Berat (cm) (gram)
3.20 2.30 2.40 2.47
4.50 3.30 3.50
30 20 20 2
4.10 3.80
6.10
30 4
TL (cm)
Body Girth (cm)
Berat (cm)
7.00
25
15.5
Stasiun 6 CL (cm) 2.90 5.20 5.60 3.35
15 3 3 80 20
CW (cm) 4.15 7.30 7.60 4.75
Berat (gram) 25 85 110 30
166
Lanjutan Lampiran 5 No T
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau
CL (cm)
CW (cm)
3.90 3.50 4.90
Berat (gram)
5.10 6.20 5.25
45 50 45
G. Setting ke-7 No L S K T
No L S K T
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Kepiting bakau Udang peci Udang peci Kepiting bakau
Jenis Hasil Tangkapan
No L S K T
No L S K
Jenis Hasil Tangkapan
CW (cm)
3.77 5.80 3.50 3.80 2.30
Stasiun 2 CL (cm)
Rajungan Rajungan Kepiting batu Kepiting batu
No L S K T
Stasiun 1 CL (cm)
Berat (gram)
5.26 8.15
30 100 3 4 10
3.33
CW (cm)
Berat (gram)
5.30 5.10
10.40 11.00
75 90
3.30 4.60
4.80 6.90
20 50
Stasiun 3 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
Stasiun 4 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
-
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting batu Udang peci -
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Udang peci -
3.83 3.8
Stasiun 5 CL (cm) 3.40 2.20
5.24
CW (cm) 4.80
30 4
Berat (gram) 30 2
167
Lanjutan Lampiran 5 No T
No L S K T
Jenis Hasil Tangkapan
CL (cm)
Kepiting bakau Kepiting batu Udang peci Udang peci
CW (cm)
4.10 3.60 2.95 3.70
5.80 5.20
Stasiun 6 CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan Udang peci Udang peci Kepiting bakau Udang peci Kepiting batu Udang peci Udang peci
Berat (gram)
CW (cm)
3.30 3.00 5.00 3.80
40 20 3 4
Berat (gram) 3 3 50 4
7.20
2.60 3.40 3.20
3.60
15 3 3
H. Setting ke-8 No L S K T
No L S K T
No L S K T
Stasiun 1 CL (cm)
Jenis Hasil Tangkapan Udang peci Kepiting Bakau Kepiting Bakau
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Beloso Kepiting batu Kepiting Batu Kepiting bakau
2.76 5.24 4.20
CL (cm)
Stasiun 2 CW Berat (cm) (gram)
TL (cm)
9.90
170
4.16 4.66 3.58
5.78 6.86 5.25
50 80 30
14.50
Stasiun 3 CL (cm)
Berat (gram) 3 65 40
7.26 5.98
6.80
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting batu Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting batu Kepiting batu
CW (cm)
CW (cm)
BodyGirth (cm)
Berat (cm)
7.50
40
Berat (gram)
3.87
5.40
40
3.40 3.35 2.50 3.50
4.97 4.97 3.56 5.15
20 20 10 30
168
Lanjutan Lampiran 5
No L S K T
No L S K T
No L S K T
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bolem Udang peci Kepiting batu
Jenis Hasil Tangkapan
Stasiun 4 CL (cm)
Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau
Berat (gram)
5.99
7.78
170
3.80 3.24
4.60
10 20
Stasiun 5 CL (cm)
Udang peci Udang peci Udang peci Kepiting bakau
Jenis Hasil Tangkapan
CW (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
2.58
3
3.28 3.77 2.56
5 10 20
Stasiun 6 CL (cm)
5.08 4.90 5.40
3.60
CW (cm)
Berat (gram)
7.39 6.73 7.44
80 70 90
I. Setting ke-9 No L S K T
No L S K
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau Udang peci
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting batu Kepiting batu -
Stasiun 1 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
5.74
8.08
100
4.57 3.66 3.40
6.53 5.25
60 20 4
Stasiun 2 CL (cm) 3.64 3.75
CW (cm) 5.15 5.15
Berat (gram) 30 35
169
Lanjutan Lampiran 5 No T
No L S K T
No L
S K T
No L S K T
No L S K T
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting batu Kepiting batu Kepiting batu Kepiting batu Kepiting bolem
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting batu Udang peci Udang peci -
Jenis Hasil Tangkapan Udang peci Udang peci Udang peci Udang peci Kepiting batu Kepiting bolem
Jenis Hasil Tangkapan
CL (cm)
Stasiun 3 CL (cm)
Kepiting bakau Kepiting bakau Kepiting bakau Udang peci
Berat (gram)
6.24 6.76 5.76 6.27 7.67
CW (cm)
2.96 2.76 3.27
Stasiun 4 CL (cm)
50 60 45 30 220
Berat (gram)
3.90
CW (cm)
20 2 3
Berat (gram)
3.60 4.00 3.60 2.70 5.07
7.17
8 8 6 2 70
5.80
7.50
175
Stasiun 5 CL (cm)
Kepiting batu Kepiting bakau Kepiting bakau Udang peci
Jenis Hasil Tangkapan
CW (cm)
4.50 4.77 4.10 4.38 5.98
CW (cm)
Berat (gram)
4.13 4.46
5.96 6.36
45 50
2.56 3.53
3.98
10 4
Stasiun 6 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
4.36
6.18
50
3.24 3.56 2.48
4.48 5.53
15 40 2
170
Lanjutan Lampiran 5 J. Setting ke-10 No L S K T
No L S K T
No L S K T
No L S K T
No L S K T
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Kepiting batu Kepiting bakau Udang peci Udang peci
Jenis Hasil Tangkapan
Stasiun 1 CL (cm)
Kepiting bakau Kepiting batu Kepiting bakau Kepiting batu Kepiting batu
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bolem Udang peci Kepiting bolem Kepiting bolem
Jenis Hasil Tangkapan Kepiting bakau Udang peci Kepiting bakau Rajungan Udang peci Udang peci
Berat (gram)
5.5 4.36
7.9 6.14
95 60
6.76 3.36 3.10
9.74
190 3 3
Stasiun 2 CL (cm)
Kepiting batu Udang peci Kepiting bakau Kepiting batu
Jenis Hasil Tangkapan
CW (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
4.16 3.34
5.99
55 3
3.42 2.66
4.86 3.86
20 10
Stasiun 3 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
5.88 3.86
8.08 5.55
110 40
3.48 3.04 3.07
4.99 4.45 4.10
20 15 10
Stasiun 4 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
5.47
7.26
140
3.66 4.16 4.04
5.4 5.17
3 50 40
Stasiun 5 CL (cm) 4.59 3.10 5.96 4.35 2.50 3.15
CW (cm) 6.70 7.80 8.28
Berat (gram) 50 3 105 40 2 3
171
Lanjutan Lampiran 5
No
Jenis Hasil Tangkapan
L S K T
-
Stasiun 6 CL (cm)
CW (cm)
Berat (gram)
172
Lampiran 6 Hasil Uji Kruskal-Wallis terhadap total hasil tangkapan pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda Descriptive Statistics N Jumlah Bentuk
40 40
Mean 3.3500 2.5000
Std. Deviation Minimum Maximum 2.76934 .00 11.00 1.13228 1.00 4.00
Ranks Bentuk Jumlah Lingkaran Kotak S3CR Kontrol Total
N 10 10 10 10 40
Mean Rank 30.10 7.90 17.35 26.65
Test Statistics(a,b) Jumlah Chi-Square 22.659 df 3 Asymp. Sig. .000 Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka Tolak Ho Nilai Chi-Square tabel = 7.815 < Chi-square Hitung tolak Ho
173
Lampiran 7 Hasil Uji Mann Whitney terhadap total hasil tangkapan pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda Lingkaran Vs Kotak Bentuk Jumlah Lingkaran Kotak Total
N 10 10 20
Mean Rank Sum of Ranks 15.40 154.00 5.60 56.00
Test Statistics(b) Jumlah 1.000 56.000 -3.774 .000
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.000(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho Kotak Vs S3CR Bentuk Jumlah Kotak S3CR Total
N 10 10 20
Mean Rank 6.95 14.05
Sum of Ranks 69.50 140.50
Test Statistics(b) Jumlah 14.500 69.500 -2.860 .004
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.005(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho S3CR Vs Kontrol Bentuk Jumlah S3CR Kontrol Total
N 10 10 20
Mean Rank 7.80 13.20
Sum of Ranks 78.00 132.00
174
Lanjutan Lampiran 7 Test Statistics(b) Jumlah 23.000 78.000 -2.087 .037
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.043(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho Lingkaran Vs Kontrol Bentuk N Jumlah Lingkaran 10 Kontrol 10 Total 20 Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Mean Rank 11.20 9.80
Sum of Ranks 112.00 98.00
Jumlah 43.000 98.000 -.536 .592 .631(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho Lingkaran Vs S3CR Bentuk N Jumlah Lingkaran 10 10 S3CR Total 20 Test Statistics(b)
Mean Rank 14.50 6.50
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho
Sum of Ranks 145.00 65.00
Jumlah 10.000 65.000 -3.105 .002 .002(a)
175
Lampiran 8 Hasil perhitungan Indeks Shannon Wiener Jumlah spesies pada tiap bubu S3CR lingkaran kepiting bakau 21 17 kepiting batu 8 14 udang peci 14 21 Rajungan 1 2 kepiting bolem 0 2 Beloso 2 1 Jumlah 46 57 Proporsi tiap spesies pada tiap bubu S3CR lingkaran kepiting bakau 0.457 0.298 kepiting batu 0.174 0.246 udang peci 0.304 0.368 Rajungan 0.022 0.035 kepiting bolem 0.000 0.035 Beloso 0.043 0.018 Ln dari proporsi spesies pada tiap bubu S3CR lingkaran kepiting bakau -0.784 -1.210 kepiting batu -1.749 -1.404 udang peci -1.190 -0.999 Rajungan -3.829 -3.350 kepiting bolem 0.000 -3.350 Beloso -3.135 -4.043
Kotak 8 5 22 0
kontrol 48 39 22 2
jumlah 94 66 79 5
0 1 36
6 5 122
8 9 261
Kotak 0.222 0.139 0.611 0.000
kontrol 0.393 0.320 0.180 0.016
0.000 0.028
0.049 0.041
Kotak -1.504 -1.974 -0.492 0.000
Kontrol -0.933 -1.140 -1.713 -4.111
0.000 -3.584
-3.012 -3.195
176
Lanjutan Lampiran 8 Hasil kali antara proporsi dengan Ln proporsi spesies pada tiap bubu Pi*ln Pi S3CR lingkaran kotak kepiting bakau -0.357967351 -0.360828854 -0.334239422 kepiting batu -0.30420867 -0.344840616 -0.27417792 udang peci -0.362047325 -0.367879043 -0.300957852 Rajungan -0.083231335 -0.117540494 0 kepiting bolem 0 -0.117540494 0 Beloso -0.136325835 -0.070930724 -0.099542193 Total -1.243780516 -1.379560226 -1.008917387
Kontrol -0.367011161 -0.364573086 -0.308897779 -0.067391375 -0.148144012 -0.130925538 -1.386942951
Index Shannon Wiener Index SH
S3CR 1.243780516
lingkaran 1.379560226
kotak 1.008917387
Kontrol 1.386942951
177
Lampiran 9 Hasil Uji Kruskal-Wallis terhadap hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda
N bentuxx nilai
bentuxx
40 40
Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Minimum 2.5000 1.13228 1.00 2.350 2.1786 .0
Maximu m 4.00 8.0
Ranks nilai N Mean Rank 1.0 11 18.82 2.0 11 11.05 3.0 4 6.00 4.0 1 25.50 Total 27
Test Statistics(a,b) Chi-Square Df Asymp. Sig.
bentuxx 12.677 3 .005
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka Tolak Ho Nilai Chi-Square tabel = 7.815 < Chi-square Hitung tolak H0
178
Lampiran 10 Hasil Uji Mann Whitney terhadap hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda Lingkaran Vs S3CR
nilai
Bentuxx Lingkaran S3CR Total
N 10 10 20
Mean Rank 10.25 10.75
Sum of Ranks 102.50 107.50
Test Statistics(b) nilai 47.500 102.500 -.200 .842
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.853(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho Kotak Vs Kontrol
Var2
VAR00001 Kotak Kontrol Total
N 10 10 20
Mean Rank 6.35 14.65
Sum of Ranks 63.50 146.50
Test Statistics(b) Var2 Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
8.500 63.500 -3.250 .001 .001(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho Lingkaran Vs Kotak Bentuxx nilai Lingkaran Kotak Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 12.75 127.50 10 8.25 82.50 20
179
Lanjutan Lampiran 10 Test Statistics(b) nilai 27.500 82.500 -1.764 .078
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.089(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho S3CR Vs Kontrol VAR00001 Var2 S3CR Kontrol Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 7.80 78.00 10 13.20 132.00 20
Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Var2 23.000 78.000 -2.087 .037 .043(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho Lingkaran Vs Kontrol bentuxx N Mean Rank Sum of Ranks nilai Lingkaran 10 7.40 74.00 kontrol 10 13.60 136.00 Total 20 Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho
nilai 19.000 74.000 -2.371 .018 .019(a)
180
Lanjutan Lampiran 10 S3CR Vs Kotak VAR00001 Var2 S3CR Kotak Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 14.05 140.50 10 6.95 69.50 20
Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Var2 14.500 69.500 -2.860 .004
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho
.005(a)
181
Lampiran 11 Hasil Uji Kruskal-Wallis terhadap panjang karapas kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda Descriptive Statistics Std. Minimu Maximu Mean Deviation m m 3.6350 1.84642 .00 6.80 2.5000 1.13228 1.00 4.00
N Respon Bentuk
40 40
Ranks Respon
Bentuk Lingkaran Kotak S3CR Kontrol Total
N 10 10 10 10 40
Mean Rank 18.45 12.95 32.80 17.80
Test Statistics(a,b) Respon Chi-Square 16.141 Df 3 Asymp. Sig. .001 Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka Tolak Ho Nilai Chi-Square tabel = 7.815 < Chi-square Hitung tolak H0
182
Lampiran 12 Hasil Uji Mann Whitney terhadap panjang karapas kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda Lingkaran Vs Kotak Bentuk Respon Lingkaran Kotak Total
N
Mean Rank 11.75 9.25
10 10 20
Sum of Ranks 117.50 92.50
Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 37.500 92.500 -.958 .338 .353(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho Lingkaran Vs S3CR Bentuk Respon Lingkaran S3CR Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 7.30 73.00 10 13.70 137.00 20
Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 18.000 73.000 -2.423 .015 .015(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho Lingkaran Vs Kontrol Bentuk Respon Lingkaran Control Total
N
Mean Rank 10 10.40 10 10.60 20
Sum of Ranks 104.00 106.00
183
Lanjutan Lampiran 12 Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 49.000 104.000 -.076 .940 .971(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho Kotak Vs S3CR Bentuk Respon kotak S3CR Total
N 10 10 20
Mean Rank 6.30 14.70
Sum of Ranks 63.00 147.00
Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 8.000 63.000 -3.181 .001 .001(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho Kotak Vs Kontrol Bentuk Respon Kotak kontrol Total
N 10 10 20
Mean Rank 8.40 12.60
Sum of Ranks 84.00 126.00
184
Lanjutan Lampiran 12 Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 29.000 84.000 -1.592 .111 .123(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho S3CR Vs Kontrol Bentuk Respon S3CR kontrol Total
N 10 10 20
Mean Rank 15.40 5.60
Sum of Ranks 154.00 56.00
Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 1.000 56.000 -3.704 .000 .000(a)
Nilai Asymp. Sig.< 0.05 maka tolak Ho
185
Lampiran 13 Hasil Uji Kruskal-Wallis terhadap lebar karapas kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda Descriptive Statistics Std. Minimu Maximu Mean Deviation m m 5.1443 2.59589 .00 9.90 2.5000 1.13228 1.00 4.00
N Respon Bentuk
40 40
Ranks Respon
Bentuk Lingkaran Kotak S3CR Kontrol Total
N 10 10 10 10 40
Mean Rank 17.55 13.35 33.10 18.00
Test Statistics(a,b) Respon Chi-Square 16.506 Df 3 Asymp. Sig. .001 Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka Tolak Ho Nilai Chi-Square tabel = 7.815 < Chi-square Hitung tolak Ho
186
Lampiran 14 Hasil Uji Mann Whitney terhadap lebar karapas kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda Lingkaran Vs Kotak
Respon
Bentuk lingkaran kotak Total
Mean Rank 11.45 9.55
N 10 10 20
Sum of Ranks 114.50 95.50
Test Statistics(b) Respon 40.500 95.500 -.728 .467
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.481(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho Lingkaran Vs S3CR Bentuk Respon Lingkaran S3CR Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 7.10 71.00 10 13.90 139.00 20
Test Statistics(b) Respon 16.000 71.000 -2.574 .010
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.009(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho Lingkaran Vs Kontrol Bentuk Respon Lingkaran kontrol Total
N 10 10 20
Mean Rank 10.00 11.00
Sum of Ranks 100.00 110.00
187
Lanjutan Lampiran 14 Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 45.000 100.000 -.379 .705 .739(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho Kotak Vs S3CR Bentuk Respon Kotak S3CR Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 6.30 63.00 10 14.70 147.00 20
Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 8.000 63.000 -3.180 .001 .001(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho Kotak Vs Kontrol Bentuk Respon Kotak Kontrol Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 8.50 85.00 10 12.50 125.00 20
Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 30.000 85.000 -1.514 .130 .143(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho
188
Lanjutan Lampiran 14 S3CR Vs Kontrol Bentuk Respon S3CR kontrol Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 15.50 155.00 10 5.50 55.00 20
Test Statistics(b) Respon .000 55.000 -3.780 .000
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed .000(a) Sig.)] Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho
189
Lampiran 15 Hasil Uji Kruskal-Wallis terhadap berat kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda
N Respon Bentuk
Respon
40 40
Descriptive Statistics Std. Minimu Maximu Mean Deviation m m 50.1060 47.12737 .00 187.50 2.5000 1.13228 1.00 4.00
Ranks Bentuk Lingkaran Kotak S3CR Kontrol Total
N 10 10 10 10 40
Mean Rank 17.25 12.15 34.30 18.30
Test Statistics(a,b) Respon Chi-Square 20.254 Df 3 Asymp. Sig. .000 Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka Tolak Ho Nilai Chi-Square tabel = 7.815 < Chi-square Hitung tolak Ho
190
Lampiran 16 Hasil Uji Mann Whitney terhadap berat kepiting bakau pada bubu yang menggunakan bentuk celah pelolosan berbeda
Lingkaran Vs Kotak Bentuk Respon lingkaran kotak Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 11.75 117.50 10 9.25 92.50 20
Test Statistics(b) Respon 37.500 92.500 -.959 .338
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.353(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho Lingkaran Vs S3CR Bentuk Respon lingkaran S3CR Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 6.55 65.50 10 14.45 144.50 20
Test Statistics(b) Respon 10.500 65.500 -2.992 .003
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.002(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho Lingkaran Vs Kontrol Bentuk Respon Lingkaran kontrol Total
N 10 10 20
Mean Rank 9.95 11.05
Sum of Ranks 99.50 110.50
191
Lanjutan Lampiran 16 Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 44.500 99.500 -.417 .677 .684(a)
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho Kotak Vs S3CR Bentuk Respon Kotak S3CR Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 5.65 56.50 10 15.35 153.50 20
Test Statistics(b) Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Respon 1.500 56.500 -3.675 .000 .000(a)
Nilai Asymp. Sig. < 0.05 maka tolak Ho Kotak Vs Kontrol
Respon
Bentuk N Kotak 10 kontrol 10 Total 20 Test Statistics(b)
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Mean Rank 8.25 12.75
Sum of Ranks 82.50 127.50
Respon 27.500 82.500 -1.707 .088
Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho
.089(a)
192
Lanjutan Lampiran 16 S3CR Vs Kontrol Bentuk Respon S3CR kontrol Total
N
Mean Rank Sum of Ranks 10 15.50 155.00 10 5.50 55.00 20
Test Statistics(b) Respon Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 55.000 Z -3.780 Asymp. Sig. (2.000 tailed) Exact Sig. [2*(1.000(a) tailed Sig.)] Nilai Asymp. Sig. > 0.05 maka terima Ho