PERBEDAAN BOBOT DAN POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN PADA BUBU LIPAT DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG
RACHMAD CAESARIO
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRAK RACHMAD CAESARIO, C44060513. Perbedaan Bobot dan Posisi Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat di Desa Mayangan, Kabupaten Subang. Dibimbing oleh MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan posisi dan bobot umpan yang paling efektif untuk menangkap rajungan serta menentukan komposisi spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan bobot dan posisi umpan yang berbeda. Penelitian dilakukan dengan metode experimental fishing menggunakan bubu lipat berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran panjang x lebar x tinggi: 45 cm x 30 cm x 18 cm. Umpan yang digunakan berupa ikan rucah dengan bobot 50 gram , 100 gram , dan 150 gram. Adapun posisi umpan dipasang pada dua tempat yang berbeda yaitu di bagian pengait umpan (di atas) dan diletakkan di dasar bubu (di bawah). Total hasil tangkapan bubu lipat yang diperoleh pada penelitian ini sebanyak 240 ekor dengan berat total 12,689 kg yang terdiri dari 6 (enam) spesies. Hasil tangkapan dominan pada penelitian ini adalah kepiting batu (Thalamita sp.) dengan jumlah 87 ekor atau 36 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh rajungan (Portunus pelagicus) sebanyak 49 ekor atau setara dengan 20 % dari total hasil tangkapan. Posisi dan bobot umpan yang berbeda tidak menunjukan perbedaan yang nyata terhadap jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan yang diperoleh selama penelitian, namun memberikan perbedaan yang nyata terhadap bobot rata-rata, CL rata-rata, dan CW rata-rata hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 gram. Adapun perbedaan posisi umpan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah total, bobot total, bobot rata-rata, CL rata-rata, dan CW rata-rata hasil tangkapan rajungan.
Kata kunci: Bubu lipat, hasil tangkapan, posisi umpan, bobot umpan, rajungan
PERBEDAAN BOBOT DAN POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN PADA BUBU LIPAT DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG
RACHMAD CAESARIO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Perbedaan Bobot dan Posisi Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat di Desa Mayangan, Kabupaten Subang adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 18 September 2011
Rachmad Caesario
© Hak cipta IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
Judul Skripsi
: Perbedaan Bobot dan Posisi Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat di Desa Mayangan, Kabupaten Subang
Nama Mahasiswa
: Rachmad Caesario
NRP
: C44060513
Mayor
: Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Program Studi
: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Disetujui : Pembimbing
Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si NIP: 19690604 199412 1 001
Diketahui: Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: 19621223 198703 1 001
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2010 ini adalah Hasil Tangkapan Rajungan (Portunus pelagicus) Pada Bubu Lipat Dengan Menggunakan Posisi dan Bobot Umpan Berbeda di Desa Mayangan, Kabupaten Subang. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga hasil penelitian dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan di kemudian hari.
Bogor, 18 September 2011
Rachmad Caesario
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan penulis kepada: 1. Bapak Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 2. Bapak Dr. Muhammad Imron, M.Si sebagai Komisi Pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan; 3. Bapak Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc sebagai penguji tamu pada sidang ujian skripsi; 4. Pihak Desa Mayangan khususnya Bapak Warnita atas segala bantuannya selama penelitian berlangsung; 5. Ayahanda (Zainuddin), Ibunda (Nurhayati), saudara dan sahabatsahabatku yang telah memberikan dorongan, dukungan serta doanya kepada penulis; 6. Seluruh civitas PSP yang telah memberikan kebersamaan yang tidak terlupakan; 7. Pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 25 Mei 1988. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Zainuddin dan Zurhayati.
Pada tahun 1994
penulus lulus dari TK-AL AZHAR Bandar Lampung kemudian pada tahun 2000 penulis lulus dari SD AL-AZHAR Bandar Lampung dan pada tahun 2003 penulis lulus dari SLTPN 16 Bandar Lampung, selanjutnya pada tahun 2006 penulis lulus dari SMAN 2 Bandar Lampung dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menjadi mahasiswa, penulis merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) tahun 2007 – 2008 serta Ketua Badan Pengawas Himpunan Keprofesian (BPHIMPRO) pada tahun 2008 – 2009. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum di lingkungan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Dasar-dasar Perikanan Tangkap pada tahun ajaran 2008/2009, asisten praktikum Metode Observasi Bawah Air pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011, asisten praktikum Teknologi Alat Penangkapan Ikan pada tahun ajaran 2009/2010.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ....................................................................................................... i DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vi 1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Tujuan ................................................................................................... 3 1.3 Manfaat ................................................................................................. 3
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Rajungan ................................................................................. 4 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi ................................................................. 4 2.1.2 Habitat .............................................................................................. 10 2.1.3 Daur hidup........................................................................................ 11 2.1.4 Reproduksi ....................................................................................... 13 2.1.5 Makanan ........................................................................................... 14 2.1.6 Tingkah laku..................................................................................... 15 2.2 Bubu ........................................................................................................ 18 2.2.1 Deskripsi bubu ................................................................................. 18 2.2.2 Klasifikasi alat tangkap bubu ........................................................... 20 2.2.3 Konstruksi bubu ............................................................................... 23 2.2.3.1 Bahan ................................................................................... 25 2.2.3.2 Bentuk alat tangkap bubu ..................................................... 26 2.2.3.3 Umpan .................................................................................. 30 2.2.4 Metode penangkapan bubu .............................................................. 35 2.2.5 Daerah penangkapan bubu ............................................................... 37 2.2.6 Nelayan ............................................................................................ 38
3
METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 40 3.2 Alat dan Bahan .......................................................................................... 40 3.2.1. Peralatan .......................................................................................... 40 3.2.2. Bahan .............................................................................................. 41 3.3 Metode Penelitian ..................................................................................... 41 3.3.1 Deskripsi alat yang digunakan ......................................................... 41 3.3.2 Metode pengoperasian bubu ............................................................ 43 3.3.3 Metode pengumpulan data ............................................................... 46 3.4 Rancangan Penelitian ................................................................................ 48
4
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang ...................... 51
i
4.2 Keadaan Perairan Kabupaten Subang ..................................................... 4.2.1 Faktor klimatologi perairan pantai Kabupaten Subang ............... 4.2.2 Karakteristik fisik perairan pantai Subang .................................. 4.2.3 Mangrove .................................................................................... 4.3 Unit Penangkapan Ikan ........................................................................... 4.3.1 Kapal ........................................................................................... 4.3.2 Alat tangkap ................................................................................ 4.4 Potensi dan Produksi Perikanan ............................................................. 4.5 Musim dan Daerah Penangkapan ........................................................... 5
52 53 53 55 57 57 58 90 92
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ........................................................................................................ 94 5.1.1 Komposisi hasil tangkapan ......................................................... 94 5.1.2 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat .......................................................... 98 5.1.3 Jumlah dan bobot total hasil tangkapan ....................................... 99 5.1.3.1 Jumlah dan bobot total hasil tangkapan pada posisi umpan berbeda ................................................................ 99 5.1.3.2 Jumlah dan bobot total hasil tangkapan pada tiap perlakuan ........................................................................ 103 5.1.4 Keragaman spesies hasil tangkapan ............................................ 109 5.1.5 Total jumlah dan bobot hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) ................................................................................... 110 5.1.5.1 Total jumlah hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) ....................................................................... 110 5.1.5.2 Total bobot hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) ....................................................................... 112 5.1.6 Distribusi ukuran hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)114 5.1.6.1 Sebaran berat .................................................................. 114 5.1.6.2 Sebaran panjang karapas (Carapace length / CL) ......... 120 5.1.6.3 Sebaran lebar karapas (Carapace width / CW) .............. 127 5.1.7 Hubungan antara panjang karapas dan lebar karapas ................. 133 5.1.8 Hubungan antara berat dan panjang karapas ............................... 134 5.1.9 Hubungan antara berat dan lebar karapas ................................... 135 5.1.10 Rasio jenis kelamin ..................................................................... 136 5.2 Pembahasan ............................................................................................ 138 5.2.1 Komposisi total hasil tangkapan .................................................. 138 5.2.2 Distribusi ukuran hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)142 5.2.3 Rasio jenis kelamin rajungan ....................................................... 144
6
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 146 6.2 Saran....................................................................................................... 146
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 147 LAMPIRAN ..................................................................................................... 152
ii
DAFTAR TABEL 1 Umur dan ciri khas burayak dari tingkat Zoea I sampai Zoea IV ................. 11 2 Spesifikasi teknis bubu lipat ......................................................................... 41 3 Perkembangan jumlah kapal tahun 2006-2009 ............................................. 57 4 Jenis alat tangkap di Kabupaten Subang ...................................................... 58 5 Jumlah nelayan di Kabupaten Subang ......................................................... 89 6 Potensi perikanan Kabupaten Subang Tahun 2003 ....................................... 90 7 Perkembangan Produksi Ikan Kabupaten Subang ....................................... 91 8 Produksi Ikan Laut Kabupaten Subang Tahun 2007..................................... 92 9 Komposisi total hasil tangkapan .................................................................. 95 10 Jumlah dan bobot hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan berbeda ..... 100 11 Jumlah dan bobot hasil tangkapan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda ............................................................................................ 107 12 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap berat hasil tangkapan rajungan pada tiap perlakuan ...................................................................... 120 13 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap panjang karapas hasil tangkapan rajungan pada tiap perlakuan ..................................................... 127 14 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap lebar karapas hasil tangkapan rajungan pada tiap perlakuan ..................................................... 133
iii
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Morfologi dan anatomi rajungan .................................................................. 6 Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar Indonesia .............................. 9 Perkembangan larva rajungan ....................................................................... 12 Siklus hidup rajungan.................................................................................... 13 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kotak......................... 17 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kubah ........................ 18 Pengoperasian bubu dengan sistem tunggal.................................................. 21 Pengoperasian Bubu dengan sistem rawai .................................................... 22 Perbedaan bentuk bubu berdasarkan target tangkapan ................................. 27 Konstruksi bubu wadong .............................................................................. 28 Konstruksi bubu pintur.................................................................................. 29 Konstruksi bubu lipat .................................................................................... 29 Persentase dan jumlah kepiting yang mendekati bubu yang diberi umpan berdasarkan pada arus air .............................................................................. 33 Desain dan konstruksi bubu yang digunakan selama penelitian ................... 42 Bubu lipat yang digunakan dalam penelitian ................................................ 43 Rancangan pemasangan bubu lipat di perairan ............................................. 44 Cara pemasangan umpan pada bubu ............................................................. 45 Contoh pengukuran rajungan ........................................................................ 47 Contoh pengukuran udang ............................................................................ 47 Contoh pengukuran ikan ............................................................................... 48 Konstruksi payang......................................................................................... 61 Konstruksi dogol ........................................................................................... 64 Konstruksi jaring arad ................................................................................... 68 Desain (a) dan konstruksi (b) gillnet millennium .......................................... 73 Desain (a) dan konstruksi (b) jaring klitik .................................................... 77 Desain (a) dan konstruksi (b) jaring rampus ................................................. 80 Konstruksi pancing rawai.............................................................................. 83 Konstruksi bubu lipat .................................................................................... 86 Konstruksi jala tebar ..................................................................................... 88 Komposisi total hasil tangkapan bubu selama penelitian ............................. 94 Jumlah hasil tangkapan per trip dan rata-rata hasil tangkapan tiap bubu per trip ........................................................................................................... 96 Rata-rata hasil tangkapan per stasiun dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu per stasiun ............................................................................................ 97 Jumlah hasil tangkapan rajungan per trip dan rata-rata hasil tangkapan rajungan per bubu per trip ............................................................................. 97 Jumlah hasil tangkapan rajungan per stasiun dan rata-rata hasil tangkapan rajungan per bubu per stasiun ....................................................................... 98 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat....................................................................................................... 99 Komposisi total jumlah hasil tangkapan bubu dengan posisi pemasangan umpan di atas ................................................................................................ 101 Komposisi total jumlah hasil tangkapan bubu dengan posisi pemasangan umpan di bawah ............................................................................................ 101
iv
38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Komposisi total bobot hasil tangkapan pada bubu dengan posisi pemasangan umpan di atas (a) dan di bawah (b) .......................................... 103 Total hasil tangkapan pada tiap jenis bubu ................................................... 103 Komposisi total hasil tangkapan bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda .......................................................................................................... 108 Jumlah hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di atas dan di bawah ................................................................................................. 110 Jumlah hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu................................ 111 Bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di atas dan di bawah ................................................................................................. 112 Bobot total hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu ......................... 114 Sebaran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap selama penelitian ....................................................................................................... 115 Distribusi berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dan di bawah .......................................... 116 Distribusi berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda ............................................. 119 Rata-rata berat rajungan (Portunus pelagicus.) pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda..................................................................... 119 Sebaran panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus) ............................. 121 Distribusi panjang karapas (CL) rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot umpan di atas dan di bawah ................ 122 Distribusi panjang karapas (CL) rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda ................... 125 Rata-rata panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus.) pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda.............................................. 126 Sebaran lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) .................................. 127 Distribusi CW rajungan (Portunus pelagicus) pada bubu dengan posisi umpan di atas dan di bawah .......................................................................... 128 Distribusi lebar karapas (CW) rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda ................... 131 Rata-rata lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda .......................................................... 132 Hubungan antara panjang karapas dengan lebar karapas seluruh hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)..................................................... 134 Hubungan antara berat dengan panjang karapas seluruh hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) ...................................................................... 135 Hubungan antara berat dengan lebar karapas seluruh hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) ...................................................................... 136 Jumlah rajungan jantan dan rajungan betina yang tertangkap pada tiap jenis perlakuan .............................................................................................. 137
v
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
8 9 10
11 12 13 14 15 16
Peta lokasi penelitian ................................................................................... 152 Unit penangkapan bubu................................................................................ 153 Kegiatan pengoperasian alat tangkap ........................................................... 154 Gambar hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian ......................... 155 Jenis dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu pada tiap trip penangkapan ..... 156 Nilai uji Mann-Whitney terhadap jumlah hasil tangkapan total serta bobot total hasil tangkapan pada bubu dengan posisi umpan berbeda.................. 158 Nilai uji Mann-Whitney terhadap jumlah total hasil tangkapan rajungan serta bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan berbeda ............................................................................................. 159 Nilai uji Mann-Whitney terhadap sebaran bobot, CL, dan CW hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan berbeda .................... 160 Nilai uji Friedman terhadap Jumlah total hasil tangkapan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda ..................................................... 162 Nilai uji Friedman terhadap jumlah total hasil tangkapan rajungan dan bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda ............................................................................................. 163 Nilai uji Friedman terhadap sebaran bobot, CL, dan CW hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda ..................... 164 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran bobot rajungan pada posisi dan bobot umpan berbeda ............................................................................ 166 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran CL rajungan pada posisi dan bobot umpan berbeda ............................................................................ 168 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran CW rajungan pada posisi dan bobot umpan berbeda ................................................................................... 170 Nilai Index Shannon-Wiener ....................................................................... 172 Nilai Chi – square proporsi rajungan betina dan jantan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda .................................................................. 174
vi
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan spesies yang hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka (Nontji, 2005).
Hewan ini pada umumnya ditangkap dengan
menggunakan alat tangkap bubu (Iskandar dan Ramdani, 2009). Bubu merupakan alat penangkap ikan yang tergolong kedalam kelompok perangkap (traps). Alat ini bersifat pasif, yakni memerangkap ikan untuk masuk ke dalamnya namun sulit untuk meloloskan diri. Bubu terbagi atas tiga jenis berdasarkan cara pengoperasiannya, yaitu : bubu dasar (ground fishpots), bubu apung (floating fishpots), dan bubu hanyut (drifting fishpots) (Subani dan Barus, 1989).
Cara pengoperasian bubu ini ditujukan untuk menangkap sasaran
tangkapan yang diinginkan. Adapun bubu yang digunakan untuk menangkap rajungan termasuk ke dalam jenis bubu dasar. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu seperti; lama perendaman, tingkat kejenuhan perangkap (gear saturation), habitat, desain bubu, dan umpan (Miller, 1990). Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan di atas, penggunaan umpan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu. Keberadaan umpan sangat penting dalam memikat ikan-ikan di sekitar bubu agar masuk ke dalam bubu. Ada beragam jenis umpan yang digunakan dalam aktifitas penangkapan ikan, diantaranya adalah umpan alami dan buatan. Adapun pada alat tangkap bubu yang dioperasikan untuk menangkap rajungan biasanya menggunakan umpan alami berupa ikan rucah. Ikan rucah banyak dipakai karena harganya yang murah, mudah diperoleh, dan masih memiliki kesegaran yang baik. Rajungan di Subang ditangkap dengan menggunakan bubu lipat segi empat dengan diberi umpan berupa ikan rucah. Namun penggunaan jumlah umpan bervariasi pada setiap bubu yang digunakan. Nelayan menggunakan umpan pada bubu yang dioperasikan sesuai dengan keinginan mereka.
Beberapa nelayan
berpikir bahwa penggunaan umpan yang lebih banyak akan meningkatkan hasil
1
tangkapan rajungan. Oleh karena itu beberapa nelayan ada yang menggunakan umpan dengan jumlah yang cukup banyak untuk menarik rajungan agar memasuki perangkap. Namun ada pula nelayan yang beranggapan bahwa jumlah umpan tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil tangkapan rajungan, sehingga mereka hanya menggunakan umpan seadanya. Hingga saat ini masih jarang penelitian yang mengkaitkan antara jumlah umpan dengan hasil tangkapan bubu. Padahal jumlah umpan yang digunakan sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan (Sainte-Marie, 1994).
Adapun
Miller (1983) mengatakan bahwa penambahan bobot umpan pada bubu dapat meningkatkan hasil tangkapan secara signifikan. Penelitian tentang umpan di Indonesia hingga saat ini lebih memfokuskan pada jenis umpan untuk meningkatkan hasil tangkapan. Iskandar dan Ramdani (2009) menggunakan jenis umpan yang berbeda yaitu ikan pepetek segar, ikan pepetek asin, pepetek segar dengan potongan rajungan, serta pepetek segar yang diolesi minyak kedelai. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rata-rata
jumlah
rajungan
secara
keseluruhan
yang
tertangkap
dengan
menggunakan umpan ikan segar campur minyak kedelai relatif lebih besar dibandingkan dengan rajungan yang tertangkap dengan jenis umpan lainnya, namun ditinjau dari segi ukuran rajungan yang tertangkap, bubu dengan umpan ikan segar campur potongan rajungan menangkap rajungan dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan jenis umpan lainnya.
Adapun Tiku (2004)
dalam penelitiannya mencoba untuk mengkaji jenis umpan yang paling disukai kepiting bakau dengan menggunakan empat jenis umpan berbeda yaitu kulit kambing, ikan remang, ikan rucah dan kelapa bakar.
Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa hasil tangkapan kepiting bakau dengan menggunakan umpan berupa ikan remang menunjukkan nilai yang berbeda nyata dibandingkan ketiga jenis umpan lainnya. Saat sedang melakukan survey, penulis menemukan bahwa beberapa bubu lipat yang digunakan sudah tidak memiliki pengait umpan. Hal ini berakibat terjadinya perbedaan posisi umpan yang dipasang pada bubu. Beberapa nelayan beranggapan bahwa posisi umpan tidak terlalu memberi pengaruh terhadap hasil tangkapan. Namun ada juga nelayan yang beranggapan bahwa perbedaan posisi
2
umpan memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh. Miller (1990) mengatakan bahwa jika jejak bau umpan tidak menarik kepiting menuju mulut bubu, maka kepiting akan berusaha memasuki bubu melalui badan jaring dimana aroma umpan yang paling kuat berasal. Untuk itulah posisi pemasangan umpan yang baik yang dapat menuntun kepiting menuju mulut bubu merupakan suatu hal yang penting untuk diketahui. Penelitian tentang pengaruh posisi pemasangan serta bobot umpan terhadap hasil tangkapan masih jarang dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh posisi maupun jumlah umpan terhadap hasil tangkapan rajungan.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menentukan komposisi spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan bobot dan posisi umpan yang berbeda. 2. Menentukan bobot umpan yang paling efektif untuk menangkap rajungan (Portunus pelagicus) dengan menggunakan bobot yang berbeda yaitu sebesar 50 gram, 100 gram, dan 150 gram. 3. Menentukan posisi umpan yang efektif untuk menangkap rajungan.
1.3 Manfaat Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1.
Memberikan informasi mengenai bobot dan posisi umpan yang efektif untuk menangkap rajungan (Portunus pelagicus) atau yang sejenisnya;
2.
Meningkatkan hasil tangkapan bubu lipat dengan pemberian jumlah umpan dan posisi pemasangan yang tepat.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Rajungan 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi Klasifikasi rajungan menurut Stephanuson dan Chambel (1959) yang dikutip oleh Hermanto (2004) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Eumetazoa Grade : Bilateria Divisi : Eucelomata Section : Prostomia Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata Kelas : Crustacea Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Sub Ordo : Reptantia Seksi : Brachyura Sub Seksi : Brachyrhyncha Famili : Portunidae Sub Famili : Portuninae Genus : Portunus Species : Portunus pelagicus Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan famili Portunidae dari seksi Brachyura. Hewan ini memiliki sapit yang memanjang, kokoh dan berduri. Pada hewan ini terdapat perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar, sapitnya pun lebih panjang dari yang betina. Rajungan jantan memiliki warna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan pada rajungan betina memiliki warna dasar kehijauhijauan dan bercak-bercak keputih-putihan agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar, walaupun belum dewasa (Nontji, 2007).
4
Secara umum rajungan memiliki ciri khas berupa sepasang sapit berduri yang memanjang, tiga pasang kaki jalan, dan sepasang kaki renang. Pada rajungan terdapat 5 pasang kaki jalan. Pasangan pertama berubah menjadi sapit (cheliped), sedangkan pasangan kaki jalan ke-5 berubah fungsi sebagai alat pendayung. Kaki renang tereduksi dan tersembunyi di balik abdomen. Pada hewan betina, kaki renang berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Sapit pada rajungan digunakan untuk menangkap dan memegang makanan. Kaki jalan digunakan untuk berjalan di dasar perairan. Sedangkan kaki renang dipergunakan untuk berenang dengan cepat di air sehingga tergolong kedalam Swimming Crab (Portunidae) (Rangka, 2007). Oemarjati dan Wardhana (1990) mengatakan bahwa rajungan mempunyai karapas yang sangat menonjol dibandingkan abdomennya. Abdomen berbentuk segitiga dan melipat ke sisi ventral karapas. Pada kedua sisi muka (anterolateral) karapas terdapat 9 (sembilan) buah duri. Duri pertama di anterior berukuran lebih besar daripada ketujuh buah duri di belakangnya, sedangkan duri ke-9 yang terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar. Rajungan memiliki tiga pasang duri frontal dan sembilan pasang duri anterolateral pada bagian dorsal. Adapun duri kesembilan pada antero-lateral memiliki ukuran paling besar dan panjang. Abdomen pada rajungan jantan berbentuk segitiga yang meruncing ke depan sedangkan pada rajungan betina berbentuk segitiga yang lebih lebar dan membulat (Schmitt, 1973). Juwana dan Romimohtarto (2000) yang dikutip oleh Ramdani (2007) mengatakan bahwa rajungan dapat mencapai ukuran 18 cm dengan capit yang memanjang, kokoh, dan berduri. Rajungan yang ditangkap di perairan pantai umumnya mempunyai kisaran lebar karapas 8-13 cm dengan rata-rata berat ± 100 gram, sedangkan rajungan yang ditangkap pada perairan yang lebih dalam mempunyai kisaran lebar karapas 12-15 cm dengan berat rata-rata ±150 gram.
5
Tampak Dorsal
Abdomen jantan
Abdomen betina Sumber : www.sea-ex.com/fishphotos/crab.htm
Gambar 1 Morfologi dan anatomi rajungan. Dalam pertumbuhannya, rajungan sering berganti kulit (molting). Kulit kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur sehingga tidak dapat terus tumbuh. Jika rajungan akan tumbuh besar maka rajungan akan berganti kulit sehingga kulit lamanya akan ditanggalkan. Rajungan ketika baru berganti kulit memiliki karapas yang sangat lunak dan dibutuhkan beberapa waktu untuk dapat membentuk pelindung yang keras. Masa ini merupakan masa yang rawan pada
6
rajungan. Tidak jarang rajungan disergap, dirobek, dan dimakan oleh sesama jenisnya. Kanibalisme pada rajungan merupakan hal yang sering terjadi terutama dalam ruangan yang terbatas, baik pada rajungan dewasa maupun dalam tahap larva (Nontji, 2007). Menurut Warner (1977) yang dikutip oleh Hermanto (2004) tahap-tahap molting adalah sebagai berikut: 1) Tahap awal molting -
Eksoskeleton menjadi membran yang lunak. Kaki tidak sanggup mendukung bobot tubuh di air dan kepiting menjadi tidak aktif. Absorbs air berlangsung aktif, eksokutikel mulai mengalami mineralisasi;
-
Ekseoskleton menjadi seperti kertas, kepiting dapat mendukung bobot tubuhnya. Kandungan air dalam tubuh 80%, endokutikel mengeras, mineralisasi dimulai.
2) Tahap baru saja molting -
Bentuk eksoskeleton menjadi rusak, tetapi tidak pecah;
-
Bagian eksoskeleton menjadi kaku
3) Tahap intermolting -
Karapas menjadi keras, tapi bagian branchitegites, sternites, bagian merus dan karpus tetap lunak. Bagian ini adalah bagian utama dari pertumbuhan jaringan;
-
Karapas menjadi sangat keas. Branchitegites, sternites, serta kaki jalan lunak dan patah jika dibengkokan. Pertumbuhan jaringan tetap berlanjut;
-
Seluruh eksoskeleton keras, tetapi mineralisasi endokutikel tetap berlangsung. Lapisan membran yang paling dalam belum sempurna sampai akhir tahap ini;
-
Eksoskeleton sempurna, kehadiran lapisan membran dapat diduga dari pecah dan terangkatnya potongan karapas atau putusnya bagian dactylus kaki jalan. Lapisan membran akan mengangkatnya pada epidermis. Pertumbuhan jaringan sempurna dan mengumpulkan metabolism yang berbalik. Kandungan air 60%.
7
-
Tahap anecdysis terakhir dibedakan oleh lapisan membran yang menempel pada begian eksoskeleton. Kepiting pada saat ini sering memperlihatkan tanda berapa umurnya, eksoskeleton rusak dan mendukung epifauna.
4) Tahap premolting -
Epidermis lepas dari lapisan membran dan mengeluarkan epikutikel baru. Punggung yang baru berkembang di dalam bagian yang sudah tua.bagian ini amat lunak, tetapi dapat dilihat jika dactylus patah dan jaringan diambil. Cadangan makanan dikerahkan dan glycogen dibentuk dalam jaringan epidermis;
5) Tahap ecdysis -
Kepiting lepas dari eksoskeleton tua dan minum air. Menurut Thompson (1974) yang dikutip oleh Hermanto (2004) rajungan
besar biasanya tidak menanggalkan karapasnya untuk jangka waktu yang lama. Rajungan seperti ini memiliki warna yang memudar dan karapasnya sering ditempeli oleh remis/teritip atau sulur rumput laut. Rajungan dapat berjalan sangat baik pada dasar perairan dan daerah interdal berlumpur yang lembab, dan jjuga perenang yang baik. Menurut Moosa (1996) yang dikutip oleh Nontji (2007) di Indo-pasifik Barat diperkirakan terdapat 234 jenis hewan dari suku Portunidae. Di Indonesia terdapat 124 jenis kepiting dari suku tersebut. Di Teluk Jakarta dan Pulau-pulau Seribu diperkirakan terdapat 46 jenis. Dari sekian jenis tersebut, hanya beberapa jenis yang dikenal oleh banyak orang karena bisa dimakan. Kepiting yang biasanya dimakan adalah kepiting yang memiliki ukuran agak besar. Jenis kepiting yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena tidak memiliki daging yang berarti. Menurut Hermanto (2004) jenis rajungan yang umum dimakan (edible crab) ialah jenis-jenis yang termasuk cukup besar yaitu sub famili Portunidae atau prodopthalnae. Adapun jenis-jenis lainnya walaupun dapat dimakan tetapi berukuran kecil dan tidak memiliki daging yang berarti. Hal ini menyebabkan jenis kepiting tersebut tidak umum untuk dimakan.
8
Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar indonesia ada empat spesies yaitu
:
rajungan
(portunus
pelagicus),
rajungan
bintang
(Portunus
sanguinolentus), rajungan angin (Podopthalmus vigil), dan rajungan karang (Charybdis feriatus). Menurut Nontji (2007) rajungan bintang mudah dikenali dengan adanya tiga bintik berwarna merah coklat dipunggungnya. Rajungan jenis ini memiliki ukuran lebih kecil dari P. pelagicus, hidup di laut terbuka mulai dari tepi pantai hingga kedalaman lebih dari 30 m. Rajungan karang mempunyai warna yang khas, coklat kemerah-merahan dan di punggungnya terdapat gambaran pucat menyerupai salib. Rajungan angin mempunyai ukuran yang lebih kecil lagi, jenis rajungan ini hidup di laut terbuka sampai kedalaman 70 m. Ciri yang menonjol pada rajungan jenis ini adalah matanya yang mempunyai tangkai yang amat panjang dan bisa direbahkan. Adapun keempat jenis rajungan tersebut dapat dilihat secara lebih jelas pada Gambar 2.
(a) sumber : www.dpi.nsw.gov.au/fisheries/crab
(c) sumber : www.seafood.nmmba.gov.tw
(b) sumber : www.hk-fish.net/eng/database/crabs
(d) sumber : www.cookislands.bishopmuseum.org
Gambar 2 Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar Indonesia: (a) Portunus pelagicus; (b) Portunus sanguinolentus; (c) Charibydis feriatus; (d) Podopthalmus vigil.
9
2.1.2 Habitat Rajungan hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka. Hewan ini hidup dengan membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, atau kadang-kadang dijumpai berenang-renang di permukaan (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Dalam keadaan biasa, ia diam di dasar laut hingga kedalaman lebih dari 65 m, tetapi sesekali ia juga terlihat berenang dekat ke permukaan laut (Nontji, 2007). Menurut Thomson (1974) yang dikutip oleh Saedi (1997) rajungan dapat merayap dengan baik di dasar dan daerah intertidal (pasang surut) sampai pada lumpur basah yang terbuka. Rajungan juga dapat menguibur diri di bawah pasir dalam sekejap mata untuk menghindari musuh-musuhnya. Seperti kebanyakan penghuni laut aktif lainnya, rajungan menjadikan muara sebagai tempat mencari makan (feeding place) dan pergi ke laut untuk memijah. Hutan bakau merupakan komunitas laut dangkal yang didominasi oleh beberapa jenis pohon atau semak-semak yang mempunya kemampuan untuk tumbuh di air asin. Hutan bakau dapat terbentuk dengan sendirinya apabila kondisi fisik lingkungan memilki arus yang kecil sehingga endapan partikel yang halus cenderung berkumpul di dasar; substrat di daerah hutan mangrove pada umumnya adalah lumpur; kadar oksigen tanah mangrove rendah dan kadar garamnya tinggi; dan merupakan bagian dari daerah pasang surut (Nyabakken, 1993). Menurut Nyabakken (1993) hutan bakau dihuni oleh berbagai jenis makhluk hidup. Sementara di bagian atasnya hidup beberapa organisme terestrial, terdapat hewan-hewan laut yang tinggal di bawahnya. Kelompok hewan laut dominan yang hidup di hutan bakau adalah jenis moluska, beberapa krustasea dan jenis ikan-ikan tertentu. Dengan banyaknya sumberdaya yang terdapat pada hutan bakau, menjadikannya sebagai salah satu tempat yang baik untuk perkembangan rajungan.
10
2.1.3
Daur hidup Menurut Nontji (2007) seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi
larva dengan jumlah hingga lebih dari sejuta ekor. Bentuk larva yg baru menetas sangatlah berbeda dengan bentuk dewasa. Larva yang baru menetas mengalami beberapa kali perubahan bentuk hingga pada akhirnya memiliki bentuk yang sama dengan rajungan dewasa. Larva rajungan yang baru menetas (zoea) memiliki bentuk yang lebih mirip udang daripada rajungan. Di kepalanya terdapat semacam tanduk memanjang, matanya besar dan di ujung kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoea ini terdiri dari 4 tingkat dan kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang berbeda. Ciri-ciri tingkat perkembangan Zoea dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Umur dan ciri khas burayak dari tingkat Zoea I sampai Zoea IV Zoea I Umur (hari) Panjang karapas (cm) Ruas abdomen (ruas) Seta pada telson
2 0.3-0.5 5 6s*
Zoea II 2 0.5-0.7 5 6s+2h*
Zoea Zoea III IV 2-3 6 0.7-0.8 0.8-0.9 6 6 6s+2h * 6s+2h *
Seta pada masing-masing ujung 4 6-8 10 pelopod maksiliped Sumber : Panggabean dan Aswandy (1982) dikutip oleh Saedi (1997)
12-14
Keterangan : s adalah serrate seta; h adalah simple seta Pada saat larva rajungan memasuki tahap megalopa, bentuknya sudah mulai mirip dengan rajungan dewasa. Tubuh larva pada tahap ini sudah mulai melebar, kaki dan sapitnya sudah memiliki wujud yang semakin jelas. Kemudian pada tahap berikutnya terbentuklah juvenile yang sudah merupakan tahap rajungan muda (Nontji, 2007). Tahapan perkembangan larva rajungan dapat dilihat pada Gambar 3.
11
(a)
(b)
(c) Digambar ulang oleh Caesario (2010) Keterangan : (a) Larva rajungan pada tahap zoea; (b) Larva rajungan pada tahap megalopa; (c) Juvenile (rajungan muda). Gambar 3 Perkembangan larva rajungan. Nontji (2005) mengatakan bahwa larva rajungan hidup sebagai plankton, berenang-renang dan terbawa arus, berbeda dengan rajungan dewasa yang hidup di dasar perairan. Selanjutnya Juwana dan Romimohtarto (2000) dikutip oleh Ramdani (2007) menambahkan bahwa larva rajungan memiliki ukuran yang sangat kecil sekali dan berenang-renang lemah dalam air laut sebagai plankton. Pada tahap ini larva rajungan bersifat planktonik pemakan plankton (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Daur hidup rajungan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 4.
12
Digambar ulang oleh Caesario (2010) Gambar 4 Siklus hidup rajungan.
2.1.4 Reproduksi Rajungan muda mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 37 mm. Dengan demikian rajungan dapat melakukan proses reproduksi ketika mencapai ukuran tersebut (Rousefell, 1975 in Darya, 2002). Pada rajungan betina terdapat tahap perkembangan gonad sejak awal hingga selesai memijah. Tahap perkembangan gonad ini disebut sebagai Tingkat Kematangan Gonad (TKG). Penentuan TKG dapat dilihat secara morfologi dan histologi. Penentuan secara morfologi dapat dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna serta perkembangan isi gonad, sedangkan secara histologis dapat dilihat dari anatomi perkembangan gonadnya (Effendie, 1997 dikutip oleh Hermanto, 2004).
13
Pada kepiting, telur dalam tubuh betina yang sudah matang akan turun ke oviduct dan dibuahi sperma, kemudian dipijahkan dan akan melekat pada rambutrambut pleopod. Jumlah telur yang dikeluarkan di alam berkisar antara 1-8 juta butir tergantung ukuran induk kepiting, namun hanya sepertiganya yang menempel pada rambut-rambut pleopod (Fielder dan Heasman, 1982; Rukmana, 1992 dalam Hermanto, 2004). Rajungan betina dapat bertelur antara 180.000 sampai 200.000 telur setiap memijah. Telur dibentuk lebih dari satu periode yang lamanya lebih dari satu hari sebelum dibuahi. Beberapa ratus telur disematkan di bagian bawah tubuh betina yaitu pada bagian perut dengan maksud untuk melindunginya. Perlindungan dilakukan induk betina (maternal care) dengan cara selalu membersihkan telur yang saling menempel ketika induk betinanya keluar dari pasir. Pemijahan dapat terjadi lebih dari sekali dalam satu musim dengan menggunakan sperma dari perkawinan yang pertama. Telur akan menetas kira-kira selama 15 hari pada perairan dengan suhu 24 ˚C (West Australia goverment, 1997; Darya, 2002 dalam Hermanto, 2004).
2.1.5
Makanan Rajungan (Portunus pelagicus) adalah hewan karnifor yang mencari makan
di dasar perairan. Hewan ini memakan bermacam jenis hewan invertebrata yang berifat menetap dan bergerak lambat. Kebutuhan makannya sangat tergantung pada ketersediaaan spesies lokal yang menjadi mangsanya. Makanan utama untuk rajungan pada daerah pasang surut adalah kepiting kecil dan gastropoda, sedangkan untuk rajungan pada daerah sub pasang surut adalah hewan-hewan dari kelas bivalvia dan ophiuridea (Williams, 1982). Patel et al. (1979) yang dikutip oleh Williams (1982) menguji isi perut dari beberapa ratus rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap di Sikka , India. Adapun hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa isi perut rajungan (Portunus pelagicus) sebagian besar terdiri dari potongan kepiting, cangkang gastropoda dan bivalvia, dan seringkali ditemukan ikan yang merupakan jenis makanan utama. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan 3948 perut kepiting yang dikumpulkan dari perairan dangkal sub-litoral di Kunduchi, teluk Msasani dan
14
sungai Mzinga yang terletak di sepanjang pantai Dar es Salaam diketahui bahwa makanan utama rajungan (Portunus pelagicus) terdiri dari Moluska (51.3%), Krustasea (24.1%), tulang ikan (18%) dan bahan makanan yang tidak dapat diidentifikasi (6.6%). Adapun bahan makanan yang paling dominan diantaranya Bivalvia Arcuatula arcuatula dan beberapa jenis Moluska lain yang termasuk ke dalam kelompok Gastropoda seperti genus Nassarius, Littoraria, dan Conus sp. (Chande and Mgaya, 2004). Menurut Prasad and Tampi (1953) yang dikutip oleh Williams (1982) rajungan adalah hewan pemakan bangkai dan bersifat kanibal. Selain itu Williams (1982) menambahkan bahwa rajungan merupakan hewan yang hampir sepenuhnya bersifat karnifora. Adapun material makanan berupa tanaman sangat jarang ditemukan sebagai makanan dan mungkin dicerna secara tidak sengaja pada saat mangsa diperoleh diantara alga atau rumput laut.
2.1.6
Tingkah laku Rajungan aktif di malam hari, berenang mengikuti arus pasang menuju
pantai, pemakan bangkai dan kanibal, meskipun kadang-kadang memakan tumbuhan air. Menurut Thomson (1974) yang dikutip oleh Hermanto (2004) rajungan sering berenang melewati kapal pada malam hari, sehingga mereka mendapatkan keuntungan untuk ikut bersama. Rajungan juga dapat menggali pasir dalam sekejap untuk menghindari musuh-musuhnya. Daerah estuari merupakan tempat berkembang biak atau memijah rajungan. Kemudian rajungan betina akan membawa telurnya ke daerah pesisir pantai daerah teluk. Rajungan tumbuh dengan berganti karapas secara berkala (molting) seperti udang-udangan lainnya. Rajungan betina kadang-kadang kawin pada saat karapasnya masih lunak setelah berganti kulit ( Thompson, 1974 dikutip oleh Hermanto, 2004 ). Archdale, et al (2003) menyebutkan bahwa kepiting memberikan reaksi terhadap alat tangkap bubu yang dipasang di dasar perairan. Kepiting akan datang dan mendekati bubu secara perlahan dengan membentuk pola zig zag. Kemudian kepiting akan melakukan kontak secara langsung terdahap bubu, menunjukkan tanda-tanda sedang mencari makan. Kedua antena pada kepiting akan mendeteksi
15
keberadaan umpan di dalam bubu. Rangsangan yang diberikan oleh umpan membuat kepiting terus berusaha mendapatkan umpan dari luar bubu. Kepiting akan bergerak perlahan ke kanan dan kiri menyusuri bagian bubu untuk mencari jalan menuju kedalam bubu untuk dapat meraih umpan. Dengan cara ini kepiting akan menemukan mulut bubu dan berusaha masuk ke dalam bubu. Kepiting yang berhasil masuk ke dalam bubu akan menuju ke arah umpan dan memakannya. Setelah memakan umpan tersebut, lalu kepiting menuju ke bagian sudut bubu. Dalam penelitiannya untuk menentukan efektifitas penangkapan, Archdale, et al (2003) menemukan bahwa terdapat perbedaan tingkah laku kepiting terhadap dua jenis bubu yang diberi umpan. Adapun bubu yang digunakan dalam penelitiannya adalah bubu berbentuk kotak dengan dua celah pada bagian ujungnya. Adapun bubu lainnya berbentuk kubah dengan pintu masuk berbentuk corong yang terbuka. Selanjutnya Archdale, et al (2003) menyimpulkan bahwa pada bubu berbentuk kotak, kepiting akan melakukan beberapa usaha sampai akhirnya berhasil masuk kedalam bubu atau menyerah untuk memasuki bubu. Hal ini dikarenakan pintu masuk bubu yang berbentuk celah serta material jaring yang mencegah kepiting untuk masuk karena mengakibatkan duri-duri mereka terjerat pada jaring sehingga kepiting harus berusaha keras untuk mendorong tubuhnya masuk kedalam bubu. Sedangkan pada bubu berbentuk kubah, kepiting dapat masuk dengan mudah dengan cara merayap menyamping. Tingkah laku kepiting terhadap dua jenis alat tangkap bubu secara detail ditunjukkan pada Gambar 5 dan Gambar 6.
16
Sumber : Archdale et al (2003) Keterangan : a. Mendekat perlahan b. Kontak dengan jaring atau frame c. Berusaha menjangkau umpan melalui jaring dan pergerakan lateral d. Menemukan pintu masuk
e. f. g. z.
Memasuki bubu Memakan umpan Istirahat dan berdiam di sudut Tidak berhasil memasuki bubu
Gambar 5 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kotak.
17
Sumber : Archdale et al (2003) Keterangan : a. Mendekat perlahan b. Kontak dengan jaring atau frame c. Berusaha menjangkau umpan melalui jaring dan pergerakan lateral
d. e. f. g.
Menemukan pintu masuk Memasuki bubu Memakan umpan Istirahat dan berdiam di sudut
Gambar 6 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kubah.
2.2
Bubu
2.2.1
Deskripsi Bubu Bubu adalah alat tangkap sejenis perangkap dimana ikan atau target lainnya
dapat memasuki ruangan penangkapan namun sulit untuk keluar, khususnya ketika jalan keluar dilengkapi dengan alat pencegah hasil tangkapan untuk meloloskan diri (non-return device) (Brandt, 1984). Selanjutnya Brandt (1984) membedakan pengertian perangkap dan bubu. Perangkap merupakan alat tangkap
18
dua dimensi, kadang-kadang pagar perangkap dibuat lebih tinggi dari permukaan air untuk mencegah ikan-ikan lolos dengan cara melompati pagar tersebut. Berbeda dengan perangkap, bubu merupakan alat tangkap tiga dimensi yang memiliki ruangan yang sepenuhnya tertutup, dengan pengecualian, satu atau lebih pintu masuk dilengkapi dengan alat pencegah ikan lolos (non-return device). Perangkap terbuat dari pagar-pagar dimana terdapat satu atau lebih ruangan penangkapan yang terhubung satu dengan yang lain, dan pada tiap ruangan penangkapan tersebut memiliki pintu masuk yang berbentuk corong. Semua jenis bubu merupakan alat tangkap yang dapat dibawa dan dipindah-pindahkan, sedangkan perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindah-pindahkan karena konstruksi dan ukurannya yang besar. Perikanan bubu skala kecil dioperasikan di perairan yang dangkal, sedangkan untuk skala menengah dan besar biasanya dilakukan di perairan lepas pantai pada kedalaman antara 20 m sampai 700 m (Martasuganda, 2003). Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bubu telah banyak digunakan mulai dari skala kecil, menengah, sampai skala besar. Penangkapan skala kecil dan menengah biasanya banyak dilakukan di perairan pantai di hampir seluruh negara yang masih belum maju sistem perikanannya, sedangkan untuk skala besar banyak dilakukan di negara yang sudah maju sistem perikanannya. Penggunaan bubu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan alat tangkap lain . Adapun kelebihan dari penggunaan bubu menurut Martasuganda (2003) adalah: 1) Pembuatan alatnya mudah; 2) Pengoperasiannya mudah; 3) Memiliki tingkat kesegaran hasil tangakapan yang tinggi; 4) Daya tangkapnya bisa diandalkan; dan 5) Bisa dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan. Menurut Martasuganda (2003), secara umum bubu terdiri atas bagian-bagian rangka, badan, dan mulut. Ada juga bubu yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan. Bubu memiliki beberapa bagian secara umum. Alat tangkap ini umumnya
19
terdiri atas kerangka (frame), dinding (wall), mulut (funnel), pintu (hatch), dan tempat umpan (bait case) (Subani dan Barus, 1989).
2.2.2
Klasifikasi alat tangkap bubu Menurut Brandt (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap
(traps). Subani dan Barus (1989) junga mengelompokkan bubu kedalam kategori perangkap. Pengelompokan bubu kedalam golongan perangkap dikarenakan alat tangkap ini berusaha untuk memerangkap ikan-ikan yang masuk kedalamnya. Secara umum Sainsbury (1996) membagi bubu kedalam dua klasifikasi berdasarkan lokasi pemasangannya yaitu : 1) Bubu laut dangkal (Inshore potting) Alat tangkap bubu ini dioperasikan dengan menggunakan kapal yang berukuran kecil. Bubu ini dioperasikan hingga kedalaman 50 depa (75 meter). 2) Bubu laut dalam (Offshore potting) Alat tangkap bubu ini dioperasikan di perairan laut dalam sampai kedalaman 300 depa (450 m). Pengoperasian alat tangkap ini melibatkan peralatan dan kapal yang berukuran jauh lebih besar dibandingkan dengan bubu laut dangkal. Selain itu, ukuran bubu yang dioperasikan juga jauh lebih besar dibandingkan dengan bubu laut dangkal. Selanjutnya Sainsbury (1996) membagi bubu kedalam dua kategori berdasarkan metode pengoperasiannya, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai. 1) Sistem tunggal Pada pengoperasian bubu dengan menggunakan sistem tunggal, bubu dipasang di dasar perairan secara satu per satu. Bubu jenis ini biasanya dioperasikan pada daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup jauh antara bubu yang satu dengan lainnya. Pada bubu dilengkapi dengan pemberat agar posisi bubu tidak tersapu oleh arus dan berpindah posisi. Untuk dapat mengetahui posisi pemasangan bubu ini, dipasang pelampung tanda untuk memudahkan dalam pencarian bubu. Pemasangan bubu dengan sistem tunggal dapat dilihat pada Gambar 7.
20
Sumber : Sainsbury (1996) Gambar 7 Pengoperasian bubu dengan sistem tunggal. 2) Sistem rawai Pengoperasian bubu pada sistem rawai yaitu bubu dipasang dalam jumlah banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu satu dengan bubu lainnya. Biasanya bubu dengan system rawai dioperasikan pada laut dalam. Bubu yang dipasang dengan sistem rawai biasanya dihubungkan dengan pengait (snap) antara tali cabang dan tali utama. Kemudian ditandai dengan pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar bubu tidak berpindah tempat. Pemasangan bubu dengan system rawai dapat dilihat pada Gambar 8
21
Sumber : Sainsbury (1996) Gambar 8 Pengoperasian Bubu dengan sistem rawai.
Subani dan Barus (1989), membagi bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara pengoperasiannya yaitu: bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot), dan bubu hanyut (drifting fishpot). 1) Bubu Dasar (Ground Fishpot) Bubu dasar adalah bubu dioperasikan di dasar perairan. Pengoperasian bubu jenis ini bisa dilakukan secara tunggal dan bisa pula dioperasikan secara rawai. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang atau di antara karangkarang atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang. Sasaran tangkapan bubu ini adalah jenis ikan demersal. 2) Bubu Apung (Floating Fishpot) Bubu apung adalah bubu yang dioperasikan dengan cara diapungkan di permukaan perairan. Bubu ini umumnya terbuat dari bambu dan dilengkapi dengan pelampung. Bentuk bubu apung ada yang silindris dan ada pula yang berbentuk seperti kurung-kurung. Bubu jenis ini menangkap jenis ikan pelagis.
22
3) Bubu Hanyut Bubu hanyut adalah bubu yang dioperasikan di permukaan air. Ditinjau dari kedudukannya di air, bubu hanyut sama dengan bubu apung, namun bubu ini kemudian dihanyutkan mengikuti arus air. Bubu jenis ini umumnya dirangkai dari beberapa bubu yang berukuran kecil berjumlah 20-30 buah. Bubu hanyut di Indonesia umumnya dikenal dengan sebutan pakaja, luka, atau patorani. Pakaja atau luka artinya sama yaitu bubu, sedangkan patorani merupakan penamaan bubu karena bubu ini menangkap ikan torani atau ikan terbang (flying fish).
2.2.3 Konstruksi bubu Menurut Subani dan Barus (1989) bubu secara umum terdiri atas kerangka (frame), dinding (wall), ijeb/mulut (funnel), pintu (hatch), dan tempat umpan (bait case). Slack and Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari rangka, badan, mulut, tempat umpan, pintu, celah pelolosan dan pemberat. 1) Rangka Rangka bubu berfungsi memberi bentuk pada bubu. Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan. Rangka bubu dapat terbuat dari kayu, besi, baja atau bahkan terbuat dari plastik. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu. Di Kanada dan Timur Laut Amerika Serikat, penangkapan lobster tradisional menggunakan bubu dengan rangka kayu dan kini digantikan dengan rangka besi yang dilapisi plastik. Lain halnya di Kanada dan Barat Laut Amerika Serikat. Di Australia dan New Zealand, bubu dan perangkap kini dibuat dengan menggunakan
mata jaring yang terbuat dari baja sehingga tidak
memerlukan rangka untuk menjaga bentuknya.
Bubu di Indonesia masih
banyak yang menggunakan rangka berbahan rotan atau bambu seperti bubu tambun yang digunakan di kepulauan seribu untuk menangkap jenis ikan karang serta bubu wadong untuk menangkap kepiting. Monintja dan Martasuganda (1991) menyatakan bahwa saat ini bubu di Indonesia sudah menggunakan besi sebagai kerangka.
23
2) Badan Badan bubu pada alat tangkap bubu modern biasanya terbuat dari kawat, jaring nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari penggunaan tradisional, dan ketersediaan material, serta biaya dalam pembuatan. Pada beberapa daerah, bambu dan anyaman rotan masih digunakan dalam pembuatan badan bubu. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. 3) Mulut Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Selain itu ada juga yang berbentuk celah seperti pada bubu lipat segi empat serta berbentuk horse neck pada jenis bubu tambun. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bubu yang memiliki lebih dari satu mulut menangkap lebih banyak dibandingkan bubu dengan satu mulut (Miller, 1990). Archdale et al (2003) melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting dengan menggunakan dua jenis bubu yang memiliki mulut berbentuk corong dan bubu berbentuk celah. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa bubu dengan mulut berbentuk corong lebih memudahkan kepiting untuk masuk kedalam bubu dibandingkan dengan bubu dengan mulut berbentuk celah. Hal ini dikarenakan mulut bubu berbentuk celah dapat menyebabkan duri kepiting terjerat serta menyulitkan kepiting untuk masuk kedalam bubu. 4) Tempat umpan Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Tempat umpan ini bisa terbuat dari kawat, plastik ataupun jaring sintetis. Fungsinya untuk menahan umpan agar tidak terpisah dan tetap pada tempatnya. Dalam beberapa kasus, umpan diletakkan pada ruangan yang terbuat dari besi atau plastik dengan beberapa lubang kecil untuk mengamankan umpan. Cara ini hanya bisa dilakukan apabila umpan yang digunakan sangat atraktif pada ikan yang ingin ditangkap
24
5) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan Pintu biasanya terletak pada bagian tengah badan bubu agar mudah untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Kebanyakan perangkap dilengkapi dengan pintu untuk memudahkan dalam mengeluarkan hasil tangkapan. 6) Celah pelolosan Celah pelolosan dibuat agar ikan-ikan yang belum layak tangkap dari segi ukuran dapat keluar dari bubu. Bentuk celah pelolosan dapat mempengaruhi keberhasilan bubu dalam meloloskan hasil tangkapan sampingan. Bentuk escape gap sebaiknya disesuaikan dengan morfologi maupun tingkah laku dari target spesies yang akan diloloskan. Adapun bentuk celah pelolosan yang umum digunakan yaitu kotak, persegi panjang, lingkaran, dan oval. Pada beberapa negara, celah pelolosan sudah menjadi keharusan pada setiap alat tangkap untuk meloloskan ikan-ikan dan crustacea yang masih berukuran kecil. Seperti pada pemerintah Australia, New Zealand, dan Kuba yang mengharuskan setiap alat tangkap bubu dipasang celah pelolosan untuk meloloskan ikan-ikan ukuran juvenile. Di Australia dan New Zealand, lobster batu dengan panjang karapas kurang dari 7.6 cm harus dibebaskan atau diperbolehkan untuk meloloskan diri. 7) Pemberat Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang. Sehingga posisi bubu tidak berpindah-pindah dari tempat setting semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenis batuan lainnya. 2.2.3.1 Bahan Pemilihan bahan dalam pembuatan bubu tergantung pada tipe bubu yang ingin dibuat dan jenis tangkapan yang diinginkan (Slack and Smith, 2001). Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap terbuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rattan netting), anyaman kawat (wire netting), kere bambu (bamboos screen). Adapun Sudirman dan Mallawa (2004) menyatakan bahwa bubu biasanya terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu,
25
atau bahan buatan lainnya seperti jaring. Beberapa jenis bubu menggunakan bahan keramik, cangkang kerang, dan potongan paralon. Pada bagian rangka bubu biasanya terbuat dari bahan lempengan besi, besi behel, bambu serta kayu. Berbeda dengan bagian badan bubu yang tebuat dari anyaman kawat, jaring, waring
maupun
anyaman
bambu.
Selanjutnya
Martasuganda
(2003),
menambahkan bahwa kantong umpan pada bubu kebanyakan menggunakan bahan kawat kasa. Brandt (1984) mengatakan bahwa bahan pembuatan bubu umumnya terbuat dari kayu, kawat besi dan plastik. Kayu merupakan jenis bahan yang pertama kali digunakan untuk membuat bubu. Bubu yang terbuat dari bahan kayu biasanya terbuat dari potongan alang-alang, bambu, rotan, ataupun bilah kayu. Bubu dengan bahan kawat merupakan pengembangan lanjutan dari bubu yang terbuat dari bahan kayu. Bahan kawat dapat digunakan untuk membuat bubu dengan bentuk yang bervariasi. Kekurangan dari bubu yang menggunakan bahan kawat besi adalah rentan terhadap karat. Bubu berbahan kawat yang digunakan pada perikanan laut umumnya dilengkapi dengan anode timah atau aluminium yang berfungsi untuk mengeluarkan arus listrik, mencegah korosi dan meningkatkan kualitas bubu. Adapun bubu dengan bahan plastik awalnya dibuat untuk sport fishing yang menginginkan perangkap yang ringan dan mudah dibawa menggantikan botol kaca yang bagian bawahnya dilubangi secara tradisional untuk menangkap ikan umpan. Walaupun penggunaan bahan plastik sangat menarik untuk diterapkan dalam sport fishing, namun bahan plastik sangatlah mahal untuk digunakan dalam perikanan komersial yang secara umum membutuhkan bubu dengan ukuran lebih besar, jumlah yang lebih banyak, dan harga yang lebih terjangkau. Penggunaan plastik sebagai bahan pembuatan bubu dalam perikanan komersial dapat bernilai ekonomis apabila bubu diproduksi dalam jumlah yang besar. 2.2.3.2 Bentuk alat tangkap bubu Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Sainsbury (1996) mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang menjadi target tangkapan di setiap daerah
26
(Gambar9). Akan tetapi bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda walaupun hasil tangkapan yang diperoleh sama, hal ini tergantung pada kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya (Martasuganda, 2003).
Sumber : Sainsbury (1996) Keterangan : a = Bubu kepiting di bagian tenggara Amerika Serikat b = Bubu lobster di Curacao, Amerika bagian Utara c = Bubu kepiting dan lobster di Curacao, Amerika bagian Utara d = Bubu belut di perairan Miami Gambar 9 Perbedaan bentuk bubu berdasarkan target tangkapan. Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia seperti halnya di Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia serta di pantai timur dan barat Amerika Utara yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut Utara. Bubu berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis sedangkan bubu berbentuk hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India
27
dan Sri Lanka, selain itu terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut Antillean Z-pot yang berasal dari Karibia. Di Indonesia dan Thailand terdapat bubu yang disebut dengan tubular traps. Bubu tersebut berbentuk seperti corong dan tidak mempunyai mulut (funnel) dengan bagian ujung bebu terbelah-belah (Brandt 1984). Menurut Subani dan Barus (1989), bubu mempunyai bentuk yang beraneka ragam seperti bentuk bujur sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang, trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran. Adapun menurut Martasuganda (2003), bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Bentuknya sangat beraneka ragam, ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong, persegi panjang, atau bentuk lainnya. Beberapa jenis bubu yang biasa digunakan di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong, pintur/rakkang, dan bubu lipat. a) Wadong Wadong adalah alat tangkap yang sifatnya pasif, dipasang menetap di tempat yang diperkirakan akan dilewati kepiting dan supaya kepiting mau memasuki wadong, di dalamnya diberi umpan yang ditusuk dengan bambu supaya tidak terbawa arus atau terjatuh dari bubu. Keseluruhan bagian dari alat tangkap ini terbuat dari bahan bambu termasuk alat pemancang dan alat penusuk umpan. Konstruksi bubu wadong dapat dilihat pada Gambar 10. Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5.
Rangka Pintu Pintu masuk Tiang penyangga Penusuk umpan
Sumber: Martasuganda (2003) Gambar 10 Konstruksi bubu wadong. b) Pintur/rakkang Adapun alat tangkap pintur adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Di Sulawesi alat ini
28
dikenal dengan sebutan bubu rakkang. Alat tangkap ini umumnya memakai rangka dari bambu dan bisa menggunakan besi sebagai rangkanya. Bahan jaring yang digunakan umumnya memakai potongan jaring bekas atau potongan dari jaring yang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena itu tidak ada spesifikasi khusus untuk membuatnya. Konstruksi bubu pintur/rakkang dapat dilihat pada Gambar 11. Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5.
Tali penyangga Rangka Jaring Pemberat Umpan
Sumber: Martasuganda (2003) Gambar 11 Konstruksi bubu pintur.
Selanjutnya Lastari (2007) menyatakan bahwa terdapat bentuk bubu lipat kotak yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap rajungan. Iskandar dan Ramdani (2009), juga melakukan penelitian mengenai jenis umpan untuk menangkap rajungan dengan menggunakan bubu lipat berbentuk kotak. Konstruksi dari bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 12.
Keterangan : a. b. c. d. e.
Rangka Mulut bubu Badan bubu Engsel Tempat umpan
Sumber: Lastari (2007) Gambar 12 Konstruksi bubu lipat.
29
2.2.3.3 Umpan Menurut Miller (1990), salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu adalah umpan. Umpan berperan sebagai salah satu bentuk pemikat (atractant) yang memberikan rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Bau-bau yang terlarut di dalam air dapat merangsang reseptor pada organ olfaktorius yang merupakan bagian dari indera penciuman ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut (Syandri, 1988). King (1991) yang dikutip oleh Fitri (2008) menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsip kerja umpan adalah menarik ikan mendekati bubu kemudian masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Selanjutnya menurut Slack and Smith (2001), umpan yang baik dibutuhkan untuk penangkapan ikan yang efektif menggunakan bubu. Tipe umpan bervariasi tergantung tipe ikan yang ingin
ditangkap.
Penggunaan
umpan
dalam
proses
penangkapan
ikan
menggunakan bubu sudah dilakukan sejak lama oleh nelayan. Monintja dan Martasuganda (1991), menyatakan bahwa terperangkapnya udang, kepiting atau ikan-ikan dasar pada bubu disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya dikarenakan tertarik oleh bau umpan. Penciuman crustasea sangat sensitif dan akurat ketika mereka mencari sumber bau-bauan walaupun bau tersebut telah dikacaukan oleh turbulensi lingkungan pada saat bau tersebut didistribusikan (Grasso, 2002). Menurut Miller (1990), umpan dapat dipilih guna mengurangi spesies tangkapan yang tidak diinginkan. Terdapat empat cara untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan pada bubu dan salah satunya adalah pemilihan umpan dengan bau yang dapat menolak spesies yang tidak diinginkan. Slack dan Smith (2001), menyatakan syarat umpan yang baik adalah sebagai berikut: 1) Efektif untuk menarik ikan target; 2) Ketersediiannya melimpah; 3) Mudah untuk disimpan dan diawetkan dan, 4) Harganya murah agar operasi penangkapan menguntungkan;
30
Martasuganda (2003) mengatakan bahwa umpan yang baik memiliki karakteristik yaitu : 1) Efektif dalam menarik ikan; 2) mudah diperoleh; 3) Murah; 4) Mudah disimpan dan, 5) Tahan lama;
(1) Jenis-jenis umpan Umpan digunakan untuk membantu agar ikan masuk ke dalam bubu. Jenis umpan yang sering digunakan beraneka ragam, ada yang menggunakan umpan hidup, ikan rucah, atau jenis umpan lainnya (Martasuganda, 2003). Berdasarkan sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Miller 1990). Umpan alami merupakan irisan-irisan daging, sedangkan umpan buatan merupakan campuran substrat kimia yang dibuat menyerupai struktur kimia umpan asli (Mackie, 1973). Berdasarkan kondisinya, umpan dibagi menjadi dua, yaitu umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait) (Leksono, 1983). Jenis umpan yang digunakan tergantung pada spesies ikan yang akan menjadi target penangkapan (Ferno dan Olsen, 1994) Jenis umpan yang sering digunakan dalam penangkapan yaitu ikan herring (Daniel and Bayer, 1989), potongan mackerel (Lokkeborg, 1989), serta potongan kepiting atau lobster (Miller, 1995). Menurut Miller (1995), Penggunaan umpan yang dicampur dengan potongan kepiting atau lobster akan menurunkan hasil tangkapan spesies sejenis secara drastis. Ramdani (2007), melakukan penelitian untuk menentukan umpan yang paling baik dalam menangkap rajungan dengan menggunakan empat umpan yang berbeda yaitu pepetek segar, pepetek asin, pepetek segar campur potongan rajungan, dan pepetek segar yang diolesi minyak kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubu dengan umpan ikan pepetek segar campur potongan rajungan menangkap rajungan dengan jumlah yang lebih banyak dan ukuran yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena rajungan yang berukuran besar memiliki sifat agresivitas yang tinggi sehingga mengabaikan bau / substansi kimia yang
31
dikeluarkan oleh rajungan yang telah mati. Adapun Komarudin (2009) dalam penelitiannya mengenai celah pelolosan pada bubu tambun, menggunakan bulu babi (diadema sp.) yang dihancurkan sebagai umpan untuk menangkap kerapu koko. Umpan tersebut digunakan berdasarkan kebiasaan nelayan kepulauan seribu yang selalu menggunakan bulu babi dalam pengoperasian bubu tambun.
(2) Posisi umpan Menurut Martasuganda (2003) umumnya umpan diletakkan di tengahtengah yaitu pada bagian bawah, tengah atau bagian atas dari bubu baik dengan cara diikat ataupun digantung menggunakan pembungkus umpan. Archdale et al. (2003) mengatakan bahwa bau umpan akan terdifusi oleh arus air dan akan menyebabkan area yang dipengaruhi oleh aroma umpan akan menjadi daerah aktif. Archdale, et al. (2003) melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting batu jepang ’ishigani’ Charybdis japonica terhadap dua jenis bubu yang diberi umpan. Dalam penelitiannya, ia menggunakan dua jenis bubu yang berbentuk kotak serta bubu yang berbentuk kubah. Kedua bubu yang digunakan memiliki bentuk yang memanjang, sehingga menyebabkan jarak antara mulut bubu dengan umpan akan lebih jauh dibandingkan dengan kedua sisi dinding bubu. Hal ini akan menyebabkan konsentrasi bau umpan yang dilepaskan akan lebih tinggi pada bagian dinding bubu dibandingkan pada bagian mulut bubu. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama penelitiannya, Archdale, et al. (2003) menemukan bahwa kepiting mendatangi bubu dari arah yang berlawanan dengan arah arus (75%). Hal ini menunjukkan adanya dominasi dari peran aroma yang dikeluarkan oleh umpan yang berfungsi sebagai pemikat. Kepiting yang mendatangi bubu dari arah arus berasal tidak menunjukkan adanya pergerakan bagian mulut dan tidak melakukan gerakan zigzag, hal ini mengindikasikan bahwa kepiting tersebut tidak mengikuti jejak aroma umpan dan hanya bertemu dengan bubu secara tidak disengaja (Gambar 13).
32
Sumber : Archdale, et al. (2003) Gambar 13 Persentase dan jumlah kepiting yang mendekati bubu yang diberi umpan berdasarkan pada arus air. Archdale, et al. (2003) memasang umpan pada kedua jenis bubu yang diujicobakan dengan cara yang berbeda. Pada bubu berbentuk kotak, umpan dimasukkan kedalam kantong umpan dan kemudian diletakkan di dasar bagian tengah bubu. sedangkan pada bubu berbentuk kubah, umpan dipasang ditusukkan pada kawan dan dilengkungkan di bagian tengah bubu berhadapan dengan arah pintu masuk. Pada bubu kotak, peletakkan umpan pada bagian dasar bubu akan menyesatkan kepiting. Kepiting kerap mendatangi bubu pada bagian samping karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan jarak umpan ke mulut bubu. Peletakan posisi umpan pada bubu berbentuk kubah lebih baik karena mengarahkan kepiting secara langsung ke dalam pintu masuk berbentuk corong. Daerah aktif umpan termasuk dalam bagian-bagian bubu yang berhubungan dengan aroma umpan, dan biasanya terletak berlawanan dengan arus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh kepiting datang menuju bubu dengan mengikuti jejak aroma umpan (75%), dan kepiting lain yang datang dari arah yang berlawanan kemungkinan terjadi secara tidak sengaja saat kepiting sedang mencari tempat untuk bersembunyi (Archdale, 2003). Nelayan berpendapat bahwa meletakkan mulut bubu searah arus dapat meningkatkan hasil tangkapan. Archdale (2003) mengatakan bahwa tingkat kesuksesan masuknya seekor Cancer productus pada saat pintu masuk bubu diletakkan berlawanan arah dengan arah arus hanyalah sekitar 7%, tetapi ketika pintu masuk bubu dibuat
33
pararel terhadap arah arus akan mengakibatkan tingkat kesuksesan meningkat menjadi 65%. Berdasarkan hal ini maka peletakan mulut bubu searah dengan arus air sangatlah penting agar kepiting dapat merndatangi umpan dari arah yang berlawanan dengan arah arus.
(3) Bobot umpan Bobot umpan merupakan faktor lain yang penting untuk menunjang keberhasilan penangkapan ikan. Miller (1983), menyatakan bahwa perangkap dengan bobot umpan 3 kg dapat menangkap 50% kepiting lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang hanya menggunakan umpan dengan bobot 1 kg dengan waktu perendaman 1 hari dan 4 hari. Sainte-Marie (1994), melakukan penelitian mengenai hubungan bobot serta pembungkusan umpan terhadap hasil tangkapan dengan menggunakan bubu kepiting yang berasal dari Jepang. Dalam penelitiannya diketahui bahwa penambahan umpan akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan H. araneus dan C. irrotatus secara nyata. Lebih jauh Sainte-Marie (1994) menyimpulkan bahwa peningkatan bobot umpan akan meningkatkan hasil tangkapan pada level tertentu. Bobot umpan optimal akan bervariasi dengan daerah penangkapan, musim penangkapan, dan harga umpan terhadap hasil tangkapan bubu. Miller (1983), menjelaskan bahwa perangkap dengan menggunakan umpan sebanyak 3 kg mendapatkan hasil tangkapan C. opilio yang lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang menggunakan umpan sebanyak 1 kg. Banyak faktor yang dapat menjelaskan hubungan positif antara hasil tangkapan dengan jumlah umpan yang digunakan. Secara teoritis dapat diduga bahwa wilayah yang dapat dipengaruhi oleh bubu yang diberi umpan dan rata-rata konsentrasi atraktant pada jarak tertentu dari arah sumber umpan akan meningkat seiring dengan peningkatan bobot umpan (Sainte-Marie and Hargrave, 1987 diacu oleh Marie, 1995). Hal ini terjadi karena pengaruh daya tarik kimia yang berasal dari umpan sebanding secara langsung terhadap kualitas umpan (Zimmer-Faust and Case, 1983 dikutip oleh Sainte-Marie, 2005). Area daya tarik yang lebih luas akan menyebabkan lebih banyak hewan yang menyadari keberadaan umpan dan memungkinkan mereka untuk bergerak mendekati umpan (Sainte-Marie and
34
Hargrave, 1987 diacu dalam Sainte-Marie, 1995). Selain itu, konsentrasi umpan (attractant) yang lebih besar dapat meningkatkan respons individual terhadap umpan, dan hal ini akan berakibat meningkatnya persentase individu yang bergerak menuju bubu (McLeese, 1973; Fuzessery and Childress, 1975; Pearson et al., 11979; Zimmer-Faust and Case, 1983; Miller, 1990; Sainte-Marie, 1994). Pada akhirnya, ketika waktu perendaman bukanlah sebagai faktor pembatas, umpan dalam jumlah yang besar dapat berkurang lebih lambat dan menangkap ikan lebih lama dibandingkan dengan umpan dalam jumlah yang sedikit dan berakibat langsung pada kecepatan penangkapan.
2.2.4 Metode penangkapan bubu Metode pemasangan bubu yang diterapkan oleh nelayan biasanya menggunakan sistem tunggal dan sistem rawai. Menurut Sainsbury (1996), bubu dioperasikan secara single atau dengan metode rawai, tergantung dari kedalaman, ruang yang dibutuhkan, serta pola pemasangan bubu. Bubu yang dipasang dengan jarak yang jauh atau yang disetting di sekitar daerah berbatu/karang biasanya disetting secara sendiri-sendiri, terutama di daerah dangkal tanpa arus yang deras. Di wilayah perairan yang lebih dalam, dimana terdapat banyak ruang di sepanjang kontur kedalaman, atau di daerah tertentu yang lebih tinggi, bubu lebih sering disetting dengan cara rawai. Menurut
Martasuganda
(2008),
waktu
pemasangan
(setting)
dan
pengangkatan (hauling) bubu ada yang dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari, sore hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari. Proses pemasangan (setting) dan pengangkatan (hauling) bubu tergantung pada nelayan yang mengoperasikannya. Lama perendaman (soaking time) bubu di perairan ada yang hanya direndam beberapa jam, ada juga yang direndam sampai 7 hari 7 malam. Metode pengoperasian bubu menurut FAO (1968) yang dikutip oleh Pramono (2006) meliputi : 1)
Rigging atau pengikatan tali-temali Proses ini berupa pemasangan tali-temali pada bubu terutama pemasangan
pelampung tanda. 2)
Baiting atau pemasangan umpan
35
Proses ini adalah proses dipasangnya umpan yang digunakan untuk memikat ikan masuk kedalam bubu. 3)
Pemasangan (setting) Keberhasilan
penangkapan
ikan
sangat
bergantung
pada
lokasi
penanempatan bubu. Adapun posisi penempatan bergantung pada jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan. 4)
Lama perendaman (soaking time) Lamanya perendaman bubu bergantung pada tingkah laku dari ikan sasaran
penangkapan dan daya tahan umpan. Saat ikan sangat aktif mencari makan, maka lama perendaman hanya membutuhkan waktu beberapa menit. 5)
Pengangkatan (hauling) Proses pengangkatan (hauling) bubu dilakukan baik secara manual oleh
nelayan maupun dengan menggunakan bantuan mesin line hauler. Setelah bubu diangkat, hasil tangkapan dipindahkan ke palka atau keranjang yang telah disiapkan sebelumnya. Menurut Mariana (2006), terdapat 5 tahap pada pengoperasian bubu lipat, yaitu tahap persiapan, pencarian daerah penangkapan ikan, pemasangan bubu (setting), perendaman bubu (soaking), serta pengangkatan bubu (hauling). 1)
Tahap persiapan Tahap ini dilakukan sebelum operasi penangkapan berlangsung dan meliputi persiapan alat tangkap bubu cadangan, pemeriksaan kondisi kapal seperti pengecekan mesin dan pengisian bahan bakar, umpan dan perbekalan selama melakukan operasi penangkapan. Tahap ini dimulai sehari sebelum operasi penangkapan dilakukan, diantaranya mencari umpan, sehingga pada saat akan melaut hanya melakukan persiapan di atas kapal.
2)
Tahap pencarian daerah penangkapan ikan Tahap pencarian daerah penangkapan ikan umumnya dilakukan berdasarkan pada kebisaaan dan pengalaman nelayan dalam melakukan operasi peangkapan, umumnya lokasi pemasangan bubu berada pada perairan sekitar pantai terbuka yang dipengaruhi gelombang, kecepatan arus tidak terlalu besar, dasar perairan berupa pasir, pasir berlumpur dan lumpur.
3)
Tahap pemasangan bubu (setting)
36
Setelah sampai di daerah penangkapan, bubu diturunkan. Penurunan bubu lipat dimulai dengan menurunkan pemberat pertama, dilanjutkan penurunan bubu yang sudah dipasangi umpan dan sudah dirangkai dengan menggunakan sistem rawai, hingga penurunan pemberat kedua. Proses ini diakhiri dengan penurunan pelampung tanda. Pada saat penurunan bubu, mesin kapal tidak dimatikan dan kapal tetap berjalan dengan kecepatan rendah. 4)
Tahap perendaman bubu (soaking) Tahap perendaman merupakan tahap dimana bubu dibiarkan di dalam perairan selama 11-12 jam. Pada tahap ini target tangkapan yang masuk ke dalam bubu akan terperangkap di dalam bubu dan tidak dapat meloloskan diri. Pada saat bubu disetting, nelayan dapat meninggalkan fishing ground ataupun menunggu saat pengangkatan bubu. Sehingga pada tahap ini nelayan dapat melakukan aktivitas lain, baik melakukan operasi penangkapan dengan alat tangkap lain ataupun melakukan aktivitas selain bidang perikanan.
5)
Tahap pengangkatan bubu (hauling) Tahap terakhir yang dilakukan dalam pengoperasian bubu adalah tahap pengangkatan bubu. Proses pengangkatan bubu dimulai dengan pengangkatan pelampung tanda, pemberat kedua, bubu dan diakhiri pemberat pertama. Adapun pembagian kerja dari nelayan yang melakukan operasi pengangkatan (hauling) yaitu: satu orang nelayan bertugas mengangkat bubu dari perairan, satu orang nelayan lainnya mengambil hasil tangkapan dari dalam bubu untuk kemudian disimpan di tempat yang telah disediakan di atas kapal dan memasang umpan kembali serta merapikan bubu di dek kapal.
2.2.5 Daerah penangkapan bubu Daerah penangkapan adalah semua tempat dimana ikan ada dan alat penangkap ikan dapat dioperasikan (Djatikusumo, 1975). Menurut Sainsbury (1986) bubu dapat diaplikasikan untuk menangkap hewan-hewan krustasea seperti lobster dan kepiting yang bergerak dengan menggunakan kakinya pada dasar perairan. Daerah penangkapan bubu adalah perairan yang mempunyai dasar perairan berlumpur maupun dasar pasir ataupun daerah berkarang tergantung ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
37
Penentuan daerah penangkapan untuk perikanan bubu tidak seperti halnya menentukan daerah penangkapan untuk ikan pelagis besar seperti tuna dan ikan pelagis pada umumnya, dimana harus selalu memperhitungkan faktor oseanografi, kelimpahan plankton dan faktor lainnya yang berhubungan. Keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang dalam suatu daerah penangkapan ikan sangat penting untuk diketahui sebelum operasi penangkapan dilakukan . keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang di suatu perairan dapat diketahui dengan alat pendeteksi ikan (fish finder), berdasarkan pada data hasil tangkapan sebelumnya di suatu perairan, atau informasi daerah penangkapan dari instansi terkait (Martasuganda, 2008). Daerah penangkapan rajungan adalah wilayah pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Adapun menurut Ramdani (2007), daerah penangkapan rajungan adalah dasar perairan dengan kisaran kedalaman 6-16 m.
2.2.6 Nelayan Nelayan adalah orang yang bermatapencaharian melakukan usaha penangkapan ikan. Berdasarkan waktu kerjanya, nelayan dikelompokkan menjadi dua, yaitu nelayan penuh dan nelayan sambilan. Nelayan penuh adalah nelayan yang menggunakan seluruh waktu kerjanya sebagai nelayan. Nelayan sambilan adalah nelayan yang sebagian waktu kerjanya sebagai nelayan disamping pekerjaan lain (UU no.31, 2004). Menurut Direktorat Jendral Perikanan (2000), nelayan dikelompokkan kedalam 3 jenis yaitu nelayan penuh, nelayan sambilanan utama, serta nelayan sambilan tambahan. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk operasi penangkapan. Sedangkan nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan. Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat di perairan bakau termasuk ke dalam nelayan penuh. Jumlah nelayan yang mengoperasikan bubu lipat berjumlah 1-3 orang. Pembagian tugas dalam pengoperasian bubu lipat adalah 1 orang
38
sebagai juru mudi, 1 orang menyiapkan alat dan umpan dan 1 orang lainnya sebagai penawur bubu.
39
3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan sejak tahun 2009 hingga April 2010 dengan pengambilan data penelitian berupa operasi penangkapan berlangsung pada bulan Maret-April 2010.
Lokasi penelitian berada di perairan Desa Mayangan
Kecamatan Legonkulon Kabupaten Subang Jawa Barat (Lampiran 1). Kegiatan operasi penangkapan dilakukan pada 5 stasiun yang berbeda (Lampiran 1). 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Bubu yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 30 unit, dengan rincian sebagai berikut : (1) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di atas sebanyak 5 unit (2) Bubu dengan bobot umpan 100 gram dan posisi pemasangan umpan di atas sebanyak 5 unit (3) Bubu dengan bobot umpan 150 gram dan posisi pemasangan umpan di atas sebanyak 5 unit (4) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di bawah sebanyak 5 unit (5) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di bawah sebanyak 5 unit (6) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di bawah sebanyak 5 unit 2) Satu unit perahu motor tempel dengan dimensi panjang 5m, lebar 1,5 meter, dalam 0,7 meter kekuatan mesin 16 PK; 3) Timbangan ukuran 5 kg untuk mengukur hasil tangkapan; 4) Kantong plastik untuk menampung hasil tangkapan; 5) Jangka Sorong untuk mengukur panjang dan lebar karapas hasil tangkapan;
40
6) Papan pengukur (measurement board) untuk mengukur panjang hasil tangkapan; 7) GPS (Global Positioning System) untuk melihat posisi daerah penangkapan; 8) Kamera digital untuk pembuatan dokumentasi penelitian; 9) Alat tulis;
3.2.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umpan berupa ikan rucah dengan bobot 50 gram, 100 gram, dan 150 gram.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Deskripsi alat yang digunakan Alat tangkap yang digunakan untuk penelitian ini adalah bubu lipat berbentuk kotak dengan bentuk dan ukuran yang biasa digunakan oleh nelayan Desa Mayangan untuk menangkap rajungan. Bubu yang digunakan dalam penelitian ini memiliki dimensi p x l x t = 45 x 30 x 18 cm. Bubu lipat tersebut menggunakan rangka yan terbuat dari besi berdiameter 0.35 cm. Selanjutnya bubu ditutup dengan menggunakan jaring polyethilene multifilament dengan mesh size berukuran 1.5 x 1.5 cm. Spesifikasi bubu lipat yang digunakan dalam penelitian secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun desain dan konstruksi bubu lipat serta foto bubu yang digunakan sealama penelitian ini dapat dilihat secara detil pada Gambar 14 dan Gambar 15. Tabel 2 Spesifikasi teknis bubu lipat No
Spesifikasi teknis
Bubu Lipat
Bahan -Rangka -Diameter rangka
Besi Ø 0.35 cm
-Badan jaring
PE multifilament
-Mulut
PE multifilament
2
Mesh Size
1.5 x 1.5 cm
3
Dimensi (p x l x t)
45 x 30 x 18 cm
1
41
Bubu lipat
Mulut bubu Keterangan : a : Rangka bubu b : Badan jaring c : Mulut bubu d : Engsel e : Pengait Umpan
42
Gambar 14 Desain dan konstruksi bubu yang digunakan selama penelitian.
Bubu tampak depan
Bubu tampan samping
Gambar 15 Bubu lipat yang digunakan dalam penelitian.
3.3.2 Metode pengoperasian bubu 1) Sistem pengoperasian bubu Pengoperasian bubu lipat dilakukan sebanyak 10 trip yang dilakukan setiap hari secara berturut-turut selama sepuluh hari dan pada tiap trip penangkapan dilakukan satu kali operasi penangkapan. Operasi pemasangan bubu dilakukan pada sore hari sedangkan pengangkatan bubu (hauling) dilakukan pada pagi keesokan harinya. Dengan demikin lama perendaman (soaking time) bubu adalah ±15 jam. Pengoperasian bubu dilakukan dengan sistem tunggal pada kedalaman 15 meter. Bubu yang akan dioperasikan dipasang pada 5 (lima) stasiun yang terpisah secara berselang-seling antara bubu yang menggunakan berbagai jenis bobot dan posisi umpan. Jumlah bubu yang dioperasikan pada tiap stasiun berjumlah 6 buah yang masing-masing dipasangi umpan dengan bobot dan posisi yang berbeda. Adapun lokasi pemasangan bubu ditandai dengan pelampung tanda yang terbuat dari busa dan diikat pada tiap bubu. Untuk lebih memperjelas pola pemasangan bubu, maka rancangan pemasangan bubu lipat pada tiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 16.
43
Keterangan: A = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 50 gram B = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 100 gram C = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 150 gram D = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 50 gram E = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 100 gram F = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 150 gram Gambar 16 Rancangan pemasangan bubu lipat di perairan.
2) Cara pemasangan umpan Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan berupa bobot dan posisi pemasangan umpan yang berbeda pada tiap bubu. Bobot umpan yang digunakan dalam penelitian yaitu 50 gram, 100 gram, dan 150 gram. Adapun bobot umpan yang biasa digunakan oleh nelayan bervariasi antara 80-100 gram. Posisi umpan dipasang pada dua tempat yang berbeda yaitu di bagian pengait umpan (di atas) dan di letakkan di dasar bubu (di bawah). Untuk lebih memperjelas maka cara pemasangan umpan pada bubu dapat dilihat pada Gambar 17.
44
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Keterangan : a = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 50 gram b = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 100 gram c = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 150 gram d = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 50 gram e = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 100 gram f = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 150 gram Gambar 17 Cara pemasangan umpan pada bubu
45
3.3.3 Metode pengumpulan data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini dikelompokkan atas data primer dan data sekunder. Data perimer yang dikumpulkan meliputi jumlah, jenis dan ukuran hasil tangkapan.
Untuk hasil tangkapan jenis kepiting dilakukan
penghitungan jumlah individu dan pengukuran panjang karapas, lebar karapas, berat, dan identifikasi jenis kelamin. Jenis kelamin pada rajungan jantan dan rajungan betina dapat dibedakan dari bentuk abdomennya.
Rajungan jantan
memiliki abdomen berbentuk segitiga yang meruncing, sedangkan pada rajungan betina memiliki abdomen berbentuk segitiga yang melebar (Oemarjati dan Wardhana, 1990).
Adapun pada hasil tangkapan berupa udang dilakukan
penghitungan jumlah individu, pengukuran panjang karapas dan berat, untuk hasil tangkapan berupa ikan dilakukan penghitungan jumlah individu, pengukuran panjang total, dan berat. Panjang karapas rajungan diukur dari duri frontal hingga tepi bawah abdomen, sedangkan lebar karapas diukur dari ujung duri marginal terakhir sebelah kiri hingga ujung duri marginal terakhir sebelah kanan. Panjang karapas pada udang diukur dari bagian pangkal cephalothorax hingga ujung rostrum. Adapun panjang total pada ikan diukur dari bagian ujung kepala hingga bagian ujung ekor. Pengukuran panjang karapas dan lebar karapas pada rajungan dapat dilihat pada Gambar 18, pengukuran panjang karapas pada udang dapat dilihat pada Gambar 19, dan pengukuran panjang total tubuh ikan dapat dilihat pada Gambar 20.
.
46
Keterangan : CW : Lebar karapas CL : Panjang karapas Sumber : www.anima.net.au/illustrations_crustaceans.htm (2008) Gambar 18 Contoh pengukuran rajungan
Keterangan : CL : Panjang karapas Sumber: http://iodeweb2.vliz.be.htm(2010) Gambar 19 Contoh pengukuran udang.
47
Keterangan : TL : Panjang Total
Sumber: Randall (2006) Gambar 20 Contoh pengukuran ikan.
Data sekunder yang diperlukan pada penelitian ini berupa data keadaan wilayah Desa Mayangan, kependudukan, alat penangkapan ikan, keadaan ekonomi dan mata pencaharian penduduk, jumlah armada, serta hasil tangkapan ikan yang diperoleh. Data tersebut diperoleh melalui data statistik perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, Jawa Barat dan Laporan Tahunan Koperasi Mandiri Mina Saluyu Mulya.
3.4 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Kaidah yang harus dipenuhi pada RAK adalah adanya pengamatan pada dua kriteria. Adapun dua kriteria yang diamati adalah posisi umpan serta bobot umpan. Posisi umpan dinyatakan sebagai kelompok, sedangkan bobot umpan yang berbeda dinyatakan sebagai perlakuan. Bahan percobaan dibagi menjadi beberapa grup atau kelompok sedemikian rupa sehingga petak atau satuan yang menyusun suatu kelompok tertentu adalah homogen. Setiap kelompok menyusun sebuah ulangan bagi perlakuannya. Perlakuannya diberikan pada satuan-satuan di dalam setiap kelompok. Adapun model RAK tersebut adalah sebagai berikut (Walpole 1982):
48
yij = μ + τi + βj + ∑ij Keterangan : yij = Pengamatan pada perlakuan ke i pada kelompok ke j μ = Rataan umum populasi τi = Pengaruh perlakuan ke-i βj = Pengaruh kelompok ke-j ∑ij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j Data hasil penelitian ini kemudian diolah dengan menggunakan statistika non-parametrik, adapun uji non-parametrik digunakan karena data hasil penelitian ini tidak menyebar seraca normal. Uji non-parametrik yang digunakan untuk mengolah data berdasarkan posisi umpan adalah uji Mann-Whitney, sedangkan uji non-parametrik yang digunakan untuk mengolah data berdasarkan posisi dan bobot umpan adalah uji Friedman. Untuk proses pengolahan data hasil penelitian digunakan software microsoft excel dan SPSS 12. Bila hasil uji Friedman yang diperoleh berbeda nyata maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut perbandingan berganda. Rumus uji lanjut perbandingan berganda adalah sebagai berikut :
D ≥z
(bp( p + 1)) 6
Keterangan :
|D| z b p
= Harga mutlak selisih nilai total rank dari dua perlakuan = Nilai distribusi z pada suatu nilai α tertentu = Banyaknya blok = Banyaknya perlakuan Selanjutnya data berupa spesies hasil tangkapan akan dianalisis dengan
menggunakan index Shanon Wiener untuk melihat keragaman spesies. Keragaman spesies hasil tangkapan akan digunakan untuk melihat variasi hasil tangkapan tiap bubu. Rumus untuk mencari keragaman spesies menggunakan index
Shannon
Wiener
adalah
sebagai
berikut
(http://en.wikipedia.org/wiki/Shannon_index) :
49
H’ = ∑(Pi) (ln.Pi) Keterangan : H’ : Index diversitas Shannon Wiener Pi : Proporsi spesies terhadap total hasil tangkapan s : Jumlah spesies Jika : H’ memiliki nilai yang lebih besar maka spesies bervariasi (tidak ada Dominansi Untuk
melihat
perbedaan
jenis
kelamin
hasil
tangkapan
dengan
menggunakan perlakuan yang berbeda, maka dilakukan uji Chi-Square. Uji ini nantinya akan digunakan untuk melihat perbedaan kebiasaan makan antara rajungan jantan dan rajungan betina.
Adapun model matematika Chi-square
adalah sebagai berikut:
Keterangan : X² = Nilai Chi-Square o = Nilai yang diamati e = Nilai yang diharapkan
50
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang Kabupaten Subang terletak antara 1070 31’ – 1070 54’ BT dan 60 11’ – 60 30’ LS. Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan dan 243 desa (Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1999). Dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang, empat kecamatan terletak di wilayah pesisir yaitu Blanakan, Legonkulon, Pusakanegara, dan Pamanukan. Secara administratif, Kabupaten Subang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : •
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung
•
sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa
•
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang
•
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta Luas wilayah Kabupaten Subang adalah 205.176,95 Ha atau 6,34% dari luas
Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian tempat antara 0-1500 m dpl. Dilihat dari topografinya, Kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam tiga zona daerah yaitu (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003): 1) Daerah pegunungan dengan ketinggian 500-1500 m dpl di atas permukaan laut dengan luas wilayah 41.035,09 Ha atau 20% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang, 2) Daerah bergelombang atau berbukit dengan ketinggian 50-500 m dpl dengan luas wilayah 71.502,16 Ha atau 34,85% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang, 3) Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0-50 m dpl dengan luas wilayah 92.639,7 Ha atau 45,15% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Apabila dilihat dari kemiringan lahan, maka tercatat bahwa 80,80% wilayah Kabupaten Subang memiliki kemiringan 00-170, sedangkan sisanya memiliki kemiringan di atas 180. Secara umum Kabupaten Subang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per tahun 2.117 mm dengan jumlah hari hujan 90 hari. Kondisi iklim tersebut ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya
51
aliran sungai, sehingga menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian. Wilayah Kabupaten Subang memiliki panjang garis pantai kurang lebih 68 km yang meliputi 4 (empat) wilayah kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Kecamatan Pamanukan, Kecamatan Legonkulon dan Kecamatan Pusakanagara. Desa Mayangan berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Legonkulon. Desa Mayangan merupakan salah satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Legonkulon. Desa ini terletak di bagian paling utara dari Kecamatan Legonkulon. Secara geografis Desa Mayangan terletak pada koordinat 60 11’ LS serta 1070 31’ dan 1070 54’BT. Secara administratif Desa Mayangan berbatasan dengan Desa Tegal Urung di sebelah Barat, Desa Legon Wetan di sebelah Timur, Desa Legonkulon di sebelah Selatan, dan Laut Jawa di sebelah Utara. Desa Mayangan memiliki luas 678.37 Ha dan sebagian besar dari luas wilayahnya merupakan areal hutan mangrove yaitu seluas 290 Ha yang dimiliki oleh Perum Perhutani. Desa Mayangan memiliki dua buah sungai yaitu Sungai Citerusan di sebelah barat dan Sungai Cigadung di sebelah timur yang menjadikan perairan pantai Desa Mayangan cukup produktif.
4.2 Keadaan Perairan Kabupaten Subang Suhu di perairan Subang rata-rata adalah 28,50C. Suhu air suatu perairan dipengaruhi oleh suhu udara atasnya yang kisarannya relatif stabil untuk daerah tropis. Kondisi umum pantai Utara Jawa Barat adalah berupa pantai yang landai dengan kemiringan antara 0,06 % hingga 0,4 %. Diperkirakan ada jarak rata-rata 4 km dari garis pantai kedalaman mencapai 5 m, kemudian jarak rata-rata 13 km dari garis pantai menjadi 10 m, dan jarak 21 km kedalaman mencapai 20 m. Kontur kedalaman kurang dari 5 m memperlihatkan kondisi yang relatif sejajar dengan garis pantai. Demikian juga pada kedalaman antara 5 – 10 m dan 10 - 20 m (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003).
52
4.2.1 Faktor klimatologi perairan pantai Kabupaten Subang Perairan pantai Subang yang merupakan bagian dari sistem Laut Jawa sangat dipengaruhi oleh angin muson yang berkembang secara kuat di perairan ini. Di wilayah Laut Jawa munculnya periode musim Barat terjadi pada bulan Desember hingga Februari umumnya diikuti dengan adanya musim hujan. Adapun musim Timur terjadi pada bulan Juni - Agustus dengan adanya kemarau. Dalam musim Timur penguapan yang terjadi di laut lebih besar daripada curah hujannya. Kecepatan angin yang tinggi dan kelembaban yang relatif rendah menyebabkan penguapan lebih dari 100 mm/bulan. Dari bulan Juni sampai Agustus energi yang diperlukan untuk penguapan tersebut melebihi dari energi yang tersedia dari radiasi matahari, sehingga menimbulkan defisit energi sekitar 5.700 cal/cm2, atau sebanding dengan pendinginan wilayah perairan sedalam 40 m dengan penurunan suhu perairan sekitar 1,4
0
C. Pendinginan perairan dalam periode musim Barat bukan
disebabkan oleh keseimbangan energi tersebut, tetapi dalam musim ini muson Barat berkembang sangat kuat dan dengan angin yang relatif kuat membawa massa udara dingin dan hujan ke wilayah Laut Jawa ini. Fluktuasi angin muson secara nyata berhubungan dengan fluktuasi suhu perairan. Hasil pengamatan angin di wilayah pantai Mayangan dalam periode musim Peralihan (Mei) menunjukkan pada siang hari (jam 06.00 – 18.00) kecepatan angin berkisar antara 0 – 7 m/det, dan pada malam hari (jam 18.00 – 06.00) antara 0 – 3.5 m/det dengan arah angin dominan dari Timur, Timur Laut dan Barat Laut.
4.2.2 Karakteristik fisik perairan pantai Subang 1) Suhu dan salinitas perairan Suhu dan salinitas di wilayah perairan pantai Subang berfluktuasi secara musiman yang dipengaruhi oleh dinamika perairan Laut Jawa. Secara umum fluktuasi suhu bulanan di Laut Jawa menunjukkan adanya dua suhu tertinggi (sekitar 28,7 0C) dan dua suhu terendah (sekitar 27,5 0C). Suhu tertinggi terjadi dalam periode musim peralihan yakni bulan Mei dan November. Adapun suhu terendah terjadi bulan Agustus dan Februari (puncak musim Timur dan Barat). Rata-rata suhu bulanan bervariasi antara 27,5 0C sampai 28,7 0C.
53
Rata-rata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa berkisar antara 31,5 0/00 – 33,7 0/00. Salinitas maksimum pertama (33,7 0/00 ) dan kedua (33,3 0/00) terjadi pada bulan September dan November. Adapun salinitas minimum pertama (31,8 0
/00) dan kedua (31,3 0/00) terjadi masing-masing sekitar bulan Februari dan Mei.
Hasil pengukuran distribusi salinitas di beberapa muara sungai di wilayah pantai Subang menunjukkan bahwa jangkauan pengaruh rambatan pasang surut yang membawa massa air laut ke arah hulu sungai berkisar antara 1 km sampai 3,5 km. Rambatan pasang surut sungai Mayangan dapat mencapai 1,5 – 2,5 km. 2) Bathimetri perairan Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Perairan dengan kedalaman kurang dari 5 m (disekitar Blanakan) memiliki gradien kedalaman sekitar 2,0027 dan 0,0054 yang berada di sekitar Pusakanagara. Adapun di perairan dengan kedalaman
5 - 10 m memiliki gradient kedalaman berkisar
0,00006 terdapat di sekitar Blanakan. Morfologi daratan pantainya terdiri dari pasir bercampur lumpur dan bahan organik, dengan jenis tanah gleisol hidrik. Pada pantai terdapat rawa-rawa dan vegetasi mangrove. Umumnya kawasan pantai dipergunakan oleh masyarakat sebagai kawasan pemukiman, pertambakan, dan sebagainya. Pesisir pantai Kabupaten Subang banyak yang mempunyai muara sungai kecil, sehingga terdapat kemungkinan banyaknya jumlah pengendapan di muara sungai besar dan jenis substrat dasar berupa pasir. 3) Pasang surut Pasang surut merupakan gerakan naik-turun dari muka air laut secara periodik yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik benda angkasa seperti bulan dan matahari. Jenis pasang surut yang terjadi di wilayah pantai Subang mengikuti pola pasang surut di Laut Jawa. Tipe pasang surut (pasut) Pantai Utara Jawa Barat sebagian besar termasuk dalam kategori campuran mengarah ke semidiurnal. Kategori pasut campuran adalah daerah pantai yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dengan ketinggian yang berbeda. Adapun pasut kategori semidiurnal adalah daerah pantai yang mengalami dua kali pasang dan dua kali
54
surut dengan ketinggian yang sama. Pasang dan surut terbesar adalah 1 m dan kisaran tinggi pasang dan surut kedua adalah 0,5 – 0,7 m. 4) Arus perairan pantai Pola arus perairan di pantai Subang yang secara umum mengikuti pola arus Laut Jawa menunjukkan bahwa arus musiman sangat dominan di wilayah perairan ini. Periode musim Timur terjadi antara bulan Mei dan September, arus musim bergerak ke arah barat dengan kecepatan maksimum sekitar 25 cm/det. Dari bulan November sampai Maret arus musim mengalir ke arah timur dengan kecepatan maksimum sekitar 30 cm/det. Pada bulan April dan Oktober arah arus musim berubah. Pengukuran arus di wilayah pantai Subang menunjukkan bahwa di perairan pantai Mayangan arus pasang berkisar 1,4 – 31,5 cm/det mengalir dominan ke arah barat, dan arus surut berkisar antara 0,7 – 28,1 cm/det yang dominan mengalir ke arah barat. 5) Kualitas air perairan Subang Berdasarkan topografinya, perairan kabupaten Subang terdiri dari: (1) perairan pesisir dan laut, (2) perairan sungai dan situ. Kondisi perairan Kabupaten Subang banyak dipengaruhi oleh kondisi alam di dataran tinggi, serta pengaruh sifat oseanografi perairan dangkal Laut Jawa. Kondisi umum perairan Kabupaten Subang relatif baik. Beberapa lokasi di perairan payau dan laut mempunyai sifat kekeruhan yang cukup tinggi seperti di Pondok Bali, Mayangan dan Blanakan. Kondisi ini merupakan karakteristik perairan Laut Jawa yang banyak dipengaruhi oleh sedimen yang dibawa oleh beberapa sungai yang bermuara ke Pantai Utara Jawa. Selain itu, sifat oseanografi di daerah pasang surut (intertidal) Subang memungkinkan terjadi sedimentasi dan penggerusan
pantai
(abrasi).
Kondisi
ini
merupakan
suatu
hal
yang
menguntungkan karena perairan pesisir Subang menjadi subur karena mendapat suplai nutrient dari daratan.
4.2.3 Mangrove Kabupaten Subang memiliki hutan mangrove sebesar 6.132,8 Ha dengan tiga lokasi wisata bahari yaitu Wisata Buaya Blanakan, Pantai Pondok Bali, dan Pantai Patimban. Hutan mangrove yang terdapat di kawasan pantai utara
55
Kabupaten Subang berada di bawah otoritas pengelola Perum Perhutani BPKH Ciasem dan Pamanukan. Formasi hutan mangrove di pesisir utara Kabupaten Subang dari arah laut ke darat didominasi oleh api-api (Avicenia marina), kemudian bakau (Rhizopora mucronata) dan prepat/pepada (Sonnateratia acida). Jenis fauna yang ditemukan pada hutan mangrove adalah jenis reptile seperti ular dan kadal, katak, jenis ikan seperti belut, gabus, mujair, sepat, mujair, belanak dan sebagainya. Kondisi derajad keasaman (pH) perairan mangrove Desa Mayangan bersifat homogen dan bersifat basa. Komposisi elemen di dalam sedimen hampir menyerupai air laut pada umumnya, karena lingkungan mangrove pada umumnya memiliki interaksi yang sangat intensif dengan perairan pantai. Kandungan natrium yang terkandung pada daerah tengah petak mangrove berbeda dengan daerah lainnya yaitu sekitar 5 kali lipatnya. Hal ini disebabkan karena pada bagian tengah petak mangrove dikelilingi tambak yang tidak digunakan dan relatif tertutup. Akibat dari penguapan yang terjadi terus-menerus tetapi interaksi dengan perairan terbuka sangat minimal dan tidak ada proses pergantian massa air yang menyebabkan jumlah garam dalam perairan menjadi tinggi. Kandungan salinitas pada bagian tengah petak mangrove, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tepi sungai dan area pertambakan. Pada bagian tepi sungai dan area pertambakan lebih terbuka dengan perairan luar karena air dapat masuk melalui parit-parit dan kegiatan pertambakan menyebabkan selalu adanya pergantian air di sekitar perairan mangrove. Pada bagian tepi sungai memiliki nilai salinitas lebih rendah karena memiliki interaksi yang intensif dengan perairan terbuka dalam hal ini sungai. Kandungan kalium pada mangrove Desa Mayangan relatif tinggi. Hal ini menyebabkan komposisi elemen dalam sedimen substrat mangrove berbeda dengan komposisi air laut pada umumnya, yaitu kandungan elemen natrium lebih besar daripada kalium. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari luar seperti aktivitas pertanian dan perikanan, dalam hal ini adalah kegiatan budidaya tambak dimanan petani pada umumnya melakukan pemupukan pada lahan garapannya. Kegiatan tersebut dapat merubah komposisi elemen di dalam perairan
56
sekitar mangrove yang kemudian akan mempengaruhi kandungan elemen dalam sedimen.
4.3 Unit Penangkapan Ikan Unit penangkapan ikan adalah satu kesatuan teknis dalam melakukan operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal/perahu, alat tangkap dan nelayan.
4.3.1 Kapal Kapal atau perahu penangkap ikan di Kabupaten Subang dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Perahu tanpa motor adalah perahu yang pengoperasiannya tidak menggunakan mesin tetapi menggunakan layar atau dayung. Perahu motor tempel adalah perahu atau kapal yang pengoperasiannya menggunakan mesin motor tempel (outboard engine), sedangkan kapal motor adalah kapal yang pengoperasiannya menggunakan mesin yang disimpan di dalam badan kapal (inboard engine). Perkembangan jumlah perahu/kapal motor setiap tahunnya cenderung konstan. Tabel 3 Perkembangan jumlah kapal tahun 2006-2009 Tahun
Perahu Tanpa Motor (unit)
Motor Tempel (unit)
Kapal Motor (unit)
Jumlah
2006 50 649 16 665 2007 46 660 21 681 2008 40 665 21 686 2009 36 671 21 696 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2009
Secara keseluruhan jumlah kapal atau perahu di Kabupaten Subang cenderung meningkat selama periode tahun 2006 sampai 2009. Dilihat dari perkembangan tersebut, jenis kapal yang ada masih didominasi oleh perahu motor tempel. Jumlahnya cenderung meningkat dengan jumlah tertinggi pada tahun 2009 sebanyak 671 unit kapal. Berbeda dengan perahu motor tempel, perahu
57
tanpa motor justru mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2009 jumlah perahu tanpa motor menurun hingga 36 unit kapal.
4.3.2 Alat tangkap Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Subang terdiri dari jenis payang, pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring klitik, jaring insang tetap, pancing, alat pengumpul kerang dan alat tangkap lainnya. Pada Tabel 6 disajikan secara rinci tentang alat tangkap dan produksi dari tiap alat tangkap pada tahun 2008. Tabel 4 Jenis alat tangkap di Kabupaten Subang No
Jenis Alat Tangkap
Jumlah (unit)
1
Payang
52
2
Dogol
67
3
Jaring arad
79
4
Jaring Insang hanyut
122
5
Jaring insang klitik
142
6
Jaring insang tetap
165
7
Pacing lainnya
108
8
Lain-lain
135
Jumlah
870
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2008 Dari jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Subang, hanya 7 jenis alat tangkap yang dioperasikan setiap tahunnya yaitu payang, pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring klitik dan alat pengumpul kerang, sedangkan alat tangkap dogol mulai dioperasikan pada tahun 2000. Hingga saat ini alat tangkap yang dominan dioperasikan di Kabupaten Subang adalah jaring insang tetap, jaring insang hanyut dan jaring insang klitik. Pada tahun 2008 alat tangkap yang dominan di Kabupaten Subang yaitu jaring insang tetap sebanyak 165 unit.
58
1. Payang 1) Deskripsi Payang adalah alat penangkap ikan yang sudah lama dikenal dan digunakan oleh nelayan Indonesia. Alat tangkap ini termasuk ke dalam kelompok pukat kantong (seine net) atau lebih dikenal dengan nama Danish seine. Adapun alat tangkap ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu sayap, badan dan kantong (Subani dan Barus, 1989). Payang merupakan alat tangkap yang dioperasikan di permukaan dengan tujuan untuk menangkap ikan-ikan pelagis. Pada pengoperasiannya, alat tangkap ini disetting melingkari kawanan ikan kemudian jaring ditarik ke atas geladak kapal(Subani dan Barus,1989). Pengoperasian payang dapat dilakukan baik pada siang hari maupun pada malam hari. Adapun alat tangkap payang di Kabupaten Subang hanya dioperasikan di Perairan Ciasem. 2) Konstruksi Bagian-bagian alat tangkap payang terdiri atas dua sayap, badan jaring, kantong, pelampung, pemberat, dua tali ris, dan tali selambar. Payang termasuk ke dalam alat tangkap pukat kantong yang mempunyai tiga bagian besar yaitu sayap, badan, dan kantong. Konstruksi dari payang dapat dilihat pada Gambar 21. •
Sayap Sayap pada payang digunakan untuk mengurung kawanan ikan yang hendak
ditangkap. Adapun material jaring yang digunakan pada bagian sayap yaitu PA (Polyamide) dengan panjang sayap sekitar 200 m dan ukuran mesh size 30 cm. Pada sayap bagian atas terdapat pelampung yang terbuat dari bambu dengan diameter sekitar 10-15 cm berjumlah sebanyak 36 buah. Adapun pada sayap bagian bawah terdapat pemberat sebanyak 38 buah. Pemberat ini terbuat dari bahan semen cor dengan panjang 5 cm dan berat 2 kg. •
Badan Ikan-ikan yang telah dikelilingi oleh jaring kemudian diarahkan oleh
nelayan agar masuk ke badan jaring. Adapun material jaring yang digunakan pada bagian badan sama dengan material jaring pada bgian sayap yaitu PA (Polyamide) dengan ukuran mesh size 19 cm dan panjang bagian badan yaitu 30 m. Adapun panjang mulut jaring payang bagian bawah lebih panjang dibandingkan bagian
59
atas, hal ini untuk mencegah kemungkinan ikan lolos ke arah bawah, karena pada umumnya payang digunakan untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang cenderung bergerak ke bagian bawah bila terkurung jaring. •
Kantong Kantong merupakan bagian paling akhir atau ujung alat tangkap payang.
Kantong merupakan tempat berkumpulnya hasil tangkapan. Material jaring yang digunakan pada bagian kantong terbuat dari bahan PA (Polyamide) dengan ukuran mesh size yang berangsur-angsur mengecil mulai dari 12 cm hingga 1,5 cm. Ukuran mata jaring yang semakin mengecil ini bertujuan agar ikan-ikan tertangkap dan tidak dapat meloloskan diri dari kantong. •
Tali ris Tali ris pada payang terbagi menjadi dua jenis yaitu tali ris atas dan tali ris
bawah. Baik tali ris atas maupun tali ris bawah terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter tali ris atas 4 mm, dan tali ris bawah 5 mm. Tali ris atas lebih panjang dari tali ris bawah yaitu 250 m sedangkan panjang tali ris bawah yaitu 200 m. Pada tali ris atas inilah pelampung dipasang, sedangkan pada tali ris bawah dipasang pemberat. •
Tali Selambar Tali selambar pada payang berfungsi untuk menarik jaring saat sedang
dioperasikan dan pada saat jaring ditarik ke atas kapal. Tali ini terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter tali 16 mm. Panjang tali selambar di sayap kanan dan kiri payang berbeda. Adapun panjang tali selambar di sayap kanan payang sebesar 200 m sedangkan panjang tali selambar di sayap kiri sebesar 20 m, hal ini disebabkan agar sayap kanan dapat melingkari kawanan ikan seluasluasnya sehingga kawanan ikan tidak dapat meloloskan diri.
60
Keterangan: 1. Kantong 2. Badan Jaring 3. Sayap 4. Tali Ris Atas 5. Tali Ris Bawah 6. Tali Selambar 7. Pelampung 8. Pemberat
Gambar 21 Konstruksi payang 3) Kapal Kapal yang digunakan untuk pengoperasian payang terbuat dari bahan kayu dengan dimensi L X B x D yaitu 9 x 2,4 x 0,6 meter. Kapal yang digunakan pada pengoperasian payang biasanya berupa perahu motor tempel yang menggunakan mesin tempel dengan merk Dongfeng. Mesin ini memiliki umur teknis ± 5 tahun dengan kekuatan mesin sebesar 24 PK. Pengoperasian kapal dilakukan secara one day fishing yaitu pergi pada pagi hari yaitu pada pukul 06.00 dan kembali pada siang atau sore hari yaitu pada pukul 16.00. 4) Nelayan Mayoritas nelayan yang ada di Kabupaten Subang adalah penduduk asli setempat dan sebagian kecil merupakan nelayan pendatang yang berasal dari Indramayu, Karawang dan Cirebon. Nelayan payang pada umumnya merupakan penduduk asli yang menjadikan usaha penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama atau termasuk ke dalam klasifikasi nelayan penuh. Adapun nelayan yang mengoperasikan payang di Kabupaten Subang berjumlah 22 orang nelayan dimana satu orang bertugas sebagai nahkoda kapal, satu orang sebagai fishing master dan sisanya bertugas mengoperasikan payang. 5) Metode pengoperasian Operasi penangkapan jaring payang dilakukan secara one day fishing. Proses pengoperasian payang dimulai pada pagi hari yaitu pada pukul 05.00 WIB.
61
Adapun pengoperasian payang dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap persiapan, tahap pemasangan jaring (setting), tahap penarikan jaring (hauling), dan tahap pelepasan hasil tangkapan. Tahap persiapan meliputi persiapan perbekalan seperti makanan, minuman, dan bahan bakar. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan terhadap kondisi mesin oleh juru mesin. Adapun untuk satu kali operasi penangkapan jaring payang diperlukan bahan bakar sebanyak 20 liter. Setelah semua tahap persiapan selesai dilakukan, perahu diberangkatkan menuju fishing ground. Dalam menentukan fishing ground, fishing master mencari kawanan ikan dengan melihat tanda-tanda keberadaan gerombolan ikan seperti adanya riak-riak air di permukaan, atau dengan melihat adanya kawanan burung di atas permukaan. Pada proses ini kecakapan seorang fishing master sangatlah menentukan keberhasilan penangkapan. Setelah gerombolan ikan ditemukan, tekong akan menginstruksikan kepada juru mudi agar mendekati gerombolan ikan tersebut agar proses pemasangan jaring (setting) dilakukan. Pemasangan jaring dilakukan dengan melingkari gerombolan ikan. Proses melingkari yang memerlukan waktu 20 menit ini diawali dengan penurunan pelampung tanda, tali selambar, badan jaring, dan tali selambar namun ujung dari tali selambar terakhir tetap berada di perahu. Setelah proses pemasangan selesai dilakukan, kemudian nelayan akan melakukan proses penarikan jaring secepat mungkin. Hal ini dilakukan untuk memperkecil kemungkinan lolosnya ikan yang akan ditangkap. Adapun tahap penarikan jaring umumnya menghabiskan waktu selama 30 menit. Proses penarikan jaring dilakukan oleh ABK kapal yang berjumlah 20 orang. Tahap pelepasan hasil tangkapan dilakukan dengan membuka ikatan pada kantong. Tahap pelepasan ini umumnya dilakukan selama 15 menit. Setelah proses pelepasan selesai, kantong jaring diikat kembali dan dipersiapkan kembali untuk setting selanjutnya. Jika hasil tangkapan yang didapatkan kurang memuaskan, maka proses setting umumnya dilakukan sebanyak 3-5 kali dalam satu kali operasi penangkapan jaring payang. 6) Hasil tangkapan Jaring payang merupakan alat tangkap yang dioperasikan di permukaan perairan. Dengan demikian jaring payang memiliki target tangkapan berupa ikan-
62
ikan pelagis. Adapun hasil tangkapan dari payang adalah tongkol (Auxis sp.), cumi (Loligo sp.), kembung (Rastrelliger sp.), tembang (Sardinella sp.), japuh (Dussumiera acuta) dan lain-lain.
2. Dogol 1) Deskripsi Dogol termasuk ke dalam kelompok pukat kantong lingkar atau umumnya disebut danish seine. Alat ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu kantong, sayap dan badan jaring. Konstruksi mulut jaring bagian atas dogol agak lebih menonjol kedepan sehingga menyerupai konstruksi pukat udang (trawl) tetapi ukurannya lebih kecil dari pukat udang (Subani dan barus, 1989). Menurut Subani dan Barus (1989), dogol merupakan alat tangkap yang dioperasikan
untuk
menangkap
sumberdaya
perikanan
demersal.
Pada
pengoperasiannya alat ini dilingkarkan pada sasaran tertentu (umumnya dengan cara menduga-duga), kemudian pada akhir penangkapan hasilnya dinaikkan ke atas geladak perahu atau didaratkan ke pantai. Alat tangkap dogol yang ada di Kabupaten Subang tidak berbeda jauh dengan alat tangkap dogol pada umumnya. 2) Konstruksi Bagian-bagian alat tangkap dogol terdiri atas dua sayap, badan jaring, kantong, pelampung, pemberat, dua tali ris, dan tali selambar. Dogol termasuk ke dalam alat tangkap pukat kantong yang terbagi atas tiga bagian utama, yaitu sayap, badan dan kantong. Konstruksi dogol dapat dilihat pada Gambar 22. •
Sayap Sayap berfungsi untuk mengarahkan hasil tangkapan masuk ke dalam jaring.
Sayap pada alat tangkap ini terbuat dari bahan PE (Polyethilene) dengan panjang 25 m dan ukuran mesh size sebesar 12,7 cm. Pada bagian sayap terdapat dua jenis pelampung yaitu pelampung plastik dan pelampung besar. Adapun pelampung plastik berjumlah 12 buah dengan ukuran panjang 15 cm dan diameter 4 cm sedangkan pelampung besar berjumlah 3 buah dengan ukuran panjan 17,5 cm dan diameter 11 cm. Selain pelampung, terdapat juga pemberat yang terpasang pada bagian bawah sayap. Pemberat pada sayap berjumlah 36 buah terbuat dari bahan timah berbentuk elips dengan panjang 7 cm dan diameter sebesar 1,5 cm.
63
•
Badan Badan jaring berfungsi untuk mengurung ikan yang telah masuk melalui
sayap. Bahan yang digunakan pada bagian badan jaring adalah PE (Polyethylene) dengan panjang 15 meter dan mesh size sebesar 6,5 inci. Pada bagian pangkal badan jaring berhubungan dengan sayap sedangkan pada bagian ujung berhubungan dengan kantong. •
Kantong Bagian kantong merupakan bagian paling akhir dari alat tangkap dogol.
Material jaring yang digunakan pada bagian kantong terbuat dari bahan PE (Polyethilene) dengan panjang kantong 6 meter dan mesh size sebesar satu inci. Pada bagian ujung kantong diikat dengan seutas tali yang menggunakan simpul cod-end knot. Adapun penggunaan simpul tersebut dimaksudkan agar kantong mudah dilepaskan saat akhir penangkapan. •
Tali ris bagian sayap Tali ris pada dogol terdiri dari dua jenis yaitu tali ris atas dan tali ris bawah.
Adapun tali ris pada alat tangkap ini terbuat dari bahan PE multifilamen. Tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas. Panjang tali ris bawah yaitu 25 m, dan panjang tali ris atasnya 20 m. •
Tali Selambar Tali selambar pada dogol berfungsi untuk menarik jaring pada saat
dioperasikan dan untuk menarik jaring ke atas kapal. Tali selambar pada alat ini terbuat dari bahan PE Multifilament dengan panjang sekitar 60-100 meter dan memiliki diameter 2,5 cm.
Gambar 22 Konstruksi dogol
64
3) Kapal Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan dogol terbuat dari bahan kayu dengan dimensi L x B x D yaitu 11 x 2,5 x 1,5 meter. Kapal ini memiliki dua buah mesin yang berfungsi sebagai mesin utama dan mesin cadangan. Mesin utama berfungsi untuk menjalankan kapal dengan merk Dongfeng dengan umur teknis ± 5 tahun dengan kekuatan mesin 20 PK. Adapun mesin cadangan bermerk Dongfeng berkekuatan 16 PK berfungsi untuk mengaktifkan gardan. 4) Nelayan Nelayan merupakan tenaga kerja yang berperan aktif dalam kegiatan operasi penangkapan. Nelayan dogol pada umumnya merupakan penduduk asli yang menjadikan usaha penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama atau termasuk ke dalam klasifikasi nelayan penuh. Nelayan yang mengoperasikan unit penangkapan dogol di Kabupaten Subang berjumlah 6-8 orang nelayan, dimana satu orang bertugas sebagai juru mudi dan sisanya adalah ABK kapal yang bertugas sebagai juru mesin, juru masak, memperbaiki dan mengoperasikan jaring serta menyortir hasil tangkapan. 5) Metode pengoperasian Pengoperasian
dogol
umumnya
dilakukan
pada
pagi
hari.
Pada
pengoperasiannya dibagi menjadi lima tahap yaitu : persiapan, penentuan daerah penangkapan ikan, pemasangan jaring (setting), penarikan jaring (hauling), dan penyortiran serta pemindahan hasil tangkapan ke dalam palka. Pada tahap persiapan nelayan mempersiapkan perbekalan, mengecek kondisi mesin kapal, dan menyusun jaring untuk mempermudah dalam proses setting di laut. Kapal berangkat dari fishing base menuju fishing ground pada pukul 05.30 WIB. Waktu yang ditempuh dari fishing base menuju fishing ground sekitar 1– 2 jam. Umumnya nelayan menentukan fishing ground berdasarkan pengalaman dari hasil tangkapan sebelumnya dan dengan melihat jumlah kapal yang berada di daerah tersebut. Semakin banyak kapal yang beroperasi, nelayan akan berpikir bahwa banyak ikan yang dapat ditangkap di perairan tersebut. Setelah sampai di fishing ground, nelayan melakukan proses setting yang berlangsung kira-kira 10-20 menit. Proses setting diawali dengan penurunan pelampung tanda disisi kanan kapal. Tali terus diulur membentuk lingkaran searah
65
jarum jam. Setelah hampir membentuk lingkaran, seluruh jaring beserta pelampungnya diturunkan secara serentak. Kemudian tali terus diulur sampai kapal kembali mencapai pelampung tanda. Setelah setting selesai dilakukan, kapal bergerak perlahan sekitar 5 menit, kemudian penarikan jaring dimulai dengan menaikkan pelampung tanda ke atas kapal. Setelah itu nelayan memuntal sebagian tali selambar di gardan untuk penarikan jaring hingga ke atas kapal. Umumnya waktu yang diperlukan untuk melakukan proses hauling sekitar 15-20 menit. Setelah hasil tangkapan dikeluarkan dari bagian kantong maka dilakukan penyortiran dan pemindahan ikan-ikan hasil hasil tangkapan ke dalam palka. Ikanikan yang tertangkap disortir bedasarkan jenis dan ukurannya. Semua hasil tangkapan dibawa kembali oleh nelayan dan tidak ada yang dibuang kembali ke laut. 6) Hasil tangkapan Hasil tangkapan utama dari dogol adalah udang jerbung, udang bago, dan udang krosok. Adapun hasil tangkapan sampingannya terbagi menjadi dua kelompok yaitu hasil tangkapan sampingan ekonomis tinggi dan ekonomis rendah. Hasil tangkapan sampingan ekonomis tinggi antara lain kakap, kerapu, rajungan, sotong dan cumi-cumi sedangkan hasil tangkapan sampingan ekonomis rendah antara lain ikan sebelah, pari, cucut, gurita, belanak dan pepetek.
3. Jaring Arad 1) Deskripsi Jaring arad diklasifikasikan ke dalam pukat udang. Alat tangkap ini banyak dikenal dengan nama cungking trawl atau mini otter trawl. Jaring arad dikelompokkan ke dalam jenis otter trawl karena pada alat ini dilengkapi dengan alat pembuka mulut jaring (otter board) (Subani dan Barus, 1989). Alat tangkap ini merupakan salah satu alat penangkap ikan yang dioperasikan secara aktif dengan cara ditarik oleh perahu bermesin. Alat tangkap ini biasanya dioperasikan di perairan dangkal dengan target tangkapan utama yaitu udang. Secara garis besar konstruksi jaring arad terdiri dari bagian sayap, badan, dan kantong (Hakim,
66
2006). Jaring arad banyak digunakan oleh nelayan di daerah perairan pantai utara Jawa dalam skala kecil. 2) Konstruksi Bagian alat tangkap jaring arad terdiri atas sayap, badan jaring, kantong, pelampung, pelampung besar, pemberat, palang kayu (danleno) dan papan rentang (otter board). Jaring arad termasuk ke dalam alat tangkap pukat yang terbagi atas tiga bagian utama, yaitu sayap, badan dan kantong. Konstruksi dari jaring arad dapat dilihat pada Gambar 23. •
Sayap Sayap disebut juga jaring pengarah yang merupakan perpanjangan badan
jaring ke otter board. Sayap berfungsi untuk mengarahkan hasil tangkapan masuk ke dalam jaring. Sayap pada jaring arad memiliki panjang sebesar 10,5 m dengan material jaring yang digunakan yaitu PE dengan ukuran mesh size sebesar 43.75 mm. Pada sayap terdapat 2 jenis pelampung yang dipasang yaitu pelampung jenis I dan pelampung besar. Pelampung jenis I terbuat dari karet berwarna putih. Pelampung jenis ini berbentuk elips dengan ukuran panjang 16 cm dan diameter 2 cm. Jumlah pelampung jenis I ini sebanyak 10 buah terpasang disepanjang sayap. Adapun pelampung besar terbuat dari bahan plastik berbentuk silinder. Ukuran panjang pelampung ini yaitu 30 cm dengan diameter 12.5 cm. Jumlah pelampung besar yang digunakan hanya satu buah dipasang pada bagian tengah mulut. •
Badan Badan jaring pada jaring arad berfungsi untuk mengurung obyek yang telah
digiring oleh sayap. Badan jaring terletak di bagian tengah jaring arad dimana pada sudut depan kiri dan kanan badan jaring berhubungan dengan sayap kanan dan kiri, sedangkan pada bagian belakang badan berhubungan langsung dengan bagian kantong. Adapun material jaring yang digunakan pada bagian badan jaring yaitu PE dengan dengan panjang sebesar 4,5 m dan ukuran mata jaring (mesh size) sebesar 37.5 mm. Disepanjang badan jaring bagian atas terpasang pelampung jenis II untuk menjaga agar mulut jaring arad tetap terbuka sempurna. Pelampung jenis ini terbuat dari karet berbentuk kubus dengan dimensi p x l x t yaitu 4,5 x 2,5 x 2,5 cm. Jumlah pelampung jenis ini sebanyak 13 buah.
67
•
Kantong Kantong berfungsi sebagai tempat berkumpulnya hasil tangkapan. Kantong
pada jaring arad memiliki panjang sebesar satu meter dan mesh size sebesar 20 mm. Pada bagian ujung kantong diikat dengan tali pengikat menggunakan simpul cod end knot. Adapun penggunaan simpul tersebut ialah untuk memudahkan dalam mengeluarkan hasil tangkapan. •
Tali ris bagian sayap Tali ris atas dipergunakan untuk menghubungjan kedua sayap jaring bagian
atas melalui mulut bagian atas. Tali ris atas terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter 4 cm dan panjang 9 meter. Adapun tali ris bawah digunakan untuk menghubungkan kedua sayap jaring bagian bawah melalui mulut bagian bawah. Tali ris bawah pada alat tangkap jaring arad terbuat dari bahan rami dengan panjang 11 meter dan diameter 1 cm. Adapun perbedaan panjang tali ris atas dan bawah ini menyesuaikan dengan ukuran badan jaring. •
Otter board Otter board berfungsi untuk menjaga agar sayap jaring terbuka ke kanan dan
ke kiri dengan baik. Otter board terbuat dari kayu dan semen yang dicor dengan dimensi p x l x t yaitu 100 x 60 x 2 cm. Dengan adanya otterboard ini, jaring arad diklasifikasikan sebagai pukat tarik (trawl), namun karena ukurannya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan trawl, maka jaring arad disebut juga mini trawl.
Gambar 23 Konstruksi jaring arad
3) Kapal
68
Kapal yang digunakan pada pengoperasian jaring arad adalah kapal motor tempel berbahan kayu jati dengan dimensi L x B x D yaitu 8 x 2,8 x 1,5 meter. Kapal ini digerakkan dengan menggunakan mesin dengan merk Dongfeng. Mesin ini memiliki umur teknis ±5 tahun dengan kekuatan sebesar 16 PK. Adapun bahan bakar yang digunakan adalah solar dengan kebutuhan solar per trip sebanyak 1520 liter. 4) Nelayan Mayoritas nelayan jaring arad yang ada di Kabupaten Subang adalah penduduk asli setempat dan sebagian kecil merupakan nelayan pendatang yang berasal dari Indramayu, Karawang dan Cirebon. Nelayan jaring arad di Kabupaten Subang terbagi menjadi dua yaitu nelayan pemilik (juragan) dan nelayan buruh. Adapun pengoperasian jaring arad di Kabupaten Subang dilakukan oleh 2-3 orang nelayan, dimana satu orang bertugas sebagai nahkoda kapal dan sisanya bertugas mengoperasikan jaring. Jumlah nelayan yang sedikit ini dikarenakan ukuran kapal dan alat tangkap yang digunakan merupakan unit penangkapan yang masih tradisional dan memiliki ukuran yang kecil. 5) Metode pengoperasian Pengoperasian jaring arad dilakukan secara one day fishing dimana kapal berangkat pada pagi hari yaitu pada pukul 04.00 dan kembali pada siang atau sore hari pada pukul 14.00. Jaring arad dioperasikan di daerah pantai dengan tipe dasar perairan lumpur berpasir. Kedalaman perairan berkisar antara 15-60 m dengan topografi dasar perairan yang relatif datar. Jaring arad dapat dioperasikan sepanjang tahun, namun intensitas pengoperasiannya dipengaruhi oleh musim penangkapan. Wilayah pengoperasian jaring arad adalah di sekitar perairan Subang seperti Pantai Blanakan, Pantai Mayangan, Perairan Legonkulon, dan Perairan Ciasem. Pada proses pengoperasian jaring arad terdapat beberapa tahap yaitu: 1) Penentuan daerah penangkapan ikan (Fishing ground) Sebelum alat tangkap disetting, nelayan terlebih dahulu menentukan tempat yang diperkirakan terdapat target tangkapan. Pada tahap penentuan daerah penangkapan ini nelayan tidak menggunakan alat Bantu seperti fish finder dan
69
sejenisnya. Nelayan menentukan daerah penangkapan dengan menggunakan pengalamannya selama melaut. 2) Setting alat tangkap Setelah daerah penangkapan ikan ditentukan, nelayan akan menyiapkan jaring arad untuk segera disetting. Sebelum jaring arad disetting, jaring arad ditata terlebih dahulu agar tidak terbelit saat sedang dioperasikan. Jaring yang terbelit akan mengganggu proses terbukanya mulut jaring arad sehingga mulut jaring arad tidak terbuka dengan sempurna. 3) Penarikan jaring arad (towing) Setelah jaring tertata dengan baik di dalam perairan, kemudian nelayan akan mulai melakukan penarikan jaring arad. Penarikan jaring arad dilakukan dengan tujuan untuk menyapu dasar perairan sehingga ikan dan udang yang ada di dasar perairan dapat tertangkap. Adapun kecepatan kapal saat melakukan penarikan jaring harus konstan agar bukaan mulut jaring arad tetap terbuka dengan sempurna. 4) Pengangkatan jaring (hauling) Setelah dilakukan penarikan jaring, maka dilakukan pengangkatan jaring arad ke atas kapal untuk melihat hasil tangkapan. Proses penarikan jaring dimulai dengan menarik tali ris terlebih dahulu sampai dengan bagian kantong jaring. Setelah bagian kantong berhasil ditarik ke atas kapal, kemudian ikatan pada ujung kantong dilepaskan dan hasil tangkapan dikeluarkan. 5) Penanganan hasil tangkapan. Setelah hasil tangkapan dikeluarkan dari dalam kantong, kemudian hasil tangkapan segera dibersihkan terlebih dahulu untuk menghilangkan lumpur yang tercampur dengan hasil tangkapan. Hal ini terjadi karena jaring arad dioperasikan di dasar perairan yang berlumpur. Adapun setelah hasil tangkapan dibersihkan, nelayan melakukan melakukan penyortiran berdasarkan jenis dan ukuran hasil tangkapan. Semua hasil tangkapan akan dibawa kembali oleh nelayan dantidak ada yang dibuang kembali ke laut. 6) Hasil tangkapan Hasil tangkapan jaring arad terbagi menjadi dua kategori yaitu hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan. Adapun hasil tangkapan utama
70
jaring arad adalah udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang krosok (Parapenaeopsis sculptilis) dan udang bago (Pebaeus marguensis). Adapun hasil tangkapan sampingan jaring arad dibagi menjadi dua kelompok yaitu hasil tangkapan sampingan bernilai ekonomis tinggi dan hasil tangkapan sampingan bernilai ekonomis rendah. Adapun hasil tangkapan sampingan yang bernilai ekonomis tinggi yaitu rajungan (Portunus sp), sotong (Sepia sp) dan cumi-cumi (Loligo sp). Sedangkan untuk hasil tangkapan bernilai ekonomis rendah yaitu beberapa jenis ikan seperti pepetek (Leioghnatus sp), gulamah (Pseuosorena sp), beloso (Saurida tumbil), kerong-kerong (Therapon theraps), sebelah (Psettodes erumei), pari (Trygan sephen), cucut (Squalus sp), dan gurita (Octopus sp).
4. Jaring Millenium 1) Dekripsi Jaring millennium merupakan jenis alat tangkap gillnet yang telah dimodifikasi dari gillnet pada umumnya, perbedaannya terdapat
pada bahan
jaring yang memiliki serat pilinan monofilament serta warna jaringnya. Jaring gillnet pada umumnya dibuat dari bahan nylon multifilament berwarna biru gelap, sementara jaring millennium dibuat dari nylon multi monofilament yang transparan. Jaring multi monofilament umumnya menggunakan bahan yang tipis, sehingga jaring lebih halus dibandingkan dengan jaring monofilament atau jaring multifilament. Hal itu membuat jaring multi monofilament
lebih fleksibel di
bawah air. 2) Konstruksi Bagian-bagian pada jaring millennium terdiri atas badan jaring, tali ris atas dan bawah, pelampung, dan pemberat. Desain dan konstruksi dari jaring millennium dapat dilihat pada Gambar 24. •
Badan jaring Badan jaring merupakan bagian yang berfungsi untuk menghadang ikan
secara vertikal. Bahan yang digunakan adalah Polyamide monofilament berwarna putih transparan dengan ukuran jaring satu piece yaitu yaitu 75 x 10 meter. Dalam keadaan terentang, jaring millennium pada tiap piecenya memiliki jumlah mata jaring sebanyak 1230 mata pada arah horizontal dan 90 mata pada arah vertikal.
71
Nelayan menggunakan bahan Polyamide monofilament karena bahan ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya memungkinkan ikan-ikan kecil dapat terjerat dalam serat pilinan dan menjadi umpan untuk ikan yang berukuran besar. Bahan ini relatif tahan lebih lama terhadap pembusukan atau pelapukan dan tidak berpengaruh terhadap lamanya perendaman dalam perairan. Selain itu bahan ini tidak menyerap air sehingga lebih ringan dalam proses penarikan jaring. •
Pelampung Pelampung jaring yang digunakan terbuat dari bahan plastik. Pelampung ini
berbentuk elips dengan ukuran panjang 139 mm dan diameter 38 mm. Jumlah pelampung dalam satu piece sebanyak 25 buah dengan jarak antar pelampung 300 cm. Jaring millennium memiliki pelampung tambahan yang disebut pelampung umbul. Pelampung ini berbentuk elips yang terbuat dari plastik atau Styrofoam. Pelampung umbul memiliki ukuran tinggi 25 cm dan diameter 10 cm. Pelampung tanda diikatkan pada kayu dan dihubungkan ke bagian akhir jaring dengan menggunakan tali. Pelampung tanda ini pada umumnya berupa bendera atau lampu. •
Pemberat Pemberat yang digunakan terbuat dari semen cor berbentuk lingkaran pipih
dengan diameter 15 cm tebal 2 cm dan berat 400 gram. Pemberat dipasang dengan jarak 9 meter. Pemberat tidak diikatkan dengan menggunakan tali pemberat, tetapi diikat pada badan jaring bagian bawah dengan menggunakan tali. •
Tali ris Tali ris terdiri dari tali ris atas dan tali ris bawah. Tal iris atas terbuat dari PE
multifilament dengan diameter 6 mm. panjang tali ris atas adalah 80 m. Tal iris atas terdiri dari dua tali. Satu utas tali digunakan sebagai tali pelampung dan satu utas lainnya digunakan sebagai penggantung badan jaring. Tali pelampung mempunyai karakteristik sama dengan tali penggantung yaitu terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter 6 mm dan panjang 80 m. Jaring millennium tidak dilengkapi dengan tali ris bawah, sehingga pemberat hanya diikatkan pada bagian bawah badan jaring.
72
(a)
(b) Gambar 24 Desain (a) dan konstruksi (b) gillnet millennium
73
3) Kapal Kapal yang digunakan dalam pengoperasian jaring millennium memiliki dimensi ukuran L x B x D : 12 x 2,5 x 1,5 meter. Kapal ini menggunakan satu mesin yang berfungsi sebagai mesin utama. Mesin ini memiliki tonnase sebesar 15 GT dengan merk Mitsubishi 120 PS menggunakan bahan bakar solar. Kapal ini membutuhkan 80 – 120 liter solar dalam setiap tripnya. Dalam satu trip operasi penangkapan berlangsung antara satu sampai tiga hari, bergantung pada jumlah tangkapan yang diperoleh dan banyaknya perbekalan yang dibawa. 4) Nelayan Jumlah nelayan yang mengoperaiskan jaring millennium sebanyak 4 – 5 orang. Setiap nelayan mempunyai tugas masing-masing yaitu sebagai juru mudi, juru mesin, dan anak buah kapal. Juru mudi bertugas dalam pencarian fishing ground dan mengemudikan kapal dari fishing base ke fishing ground. Juru mesin bertanggung jawab atas kondisi mesin. Adapun anak buah kapal (ABK) bertugas dalam proses penurunan jaring (setting), penarikan jaring (hauling) dan memperbaiki alat tangkpa yang rusak. 5) Metode pengoperasian Jaring
millennium
biasanya
dioperasikan
pada
malam
hari.
Pengoperasiannya dibagi dalam empat tahap yaitu: penentuan fishing ground, pemasangan jaring (setting), penarikan jaring (hauling), dan penyortiran serta pemindahan hasil tangkapan ke dalam palka. Sebelum berangkat menangkap ikan nelayan mengawali dengan mempersiapkan perbekalan, mengecek kondisi mesin kapal, dan menyusun jaring untuk mempermudah dalam penebaran jaring di laut. Kapal berangkat dari fishing base menuju fishing ground pada pukul 14.30 WIB. Waktu yang ditempuh dari fishing base menuju fishing ground sekitar 2 – 3 jam. Setelah sampai di fishing ground, nelayan melakukan proses setting yang berlangsung kira-kira 30 menit. Dalam proses setting, jaring dipasang pada posisi permukaan. Jaring dan kapal dibiarkan hanyut mengikuti arus perairan dan didiamkan selama + 6 jam untuk menunggu proses hauling. Setting dapat dilakukan sebanyak 1 -2 kali setiap malamnya tergantung hasil tangkapan yang diperoleh. Pada penarikan jaring, kapal bergerak maju perlahan. Kemudian tiga orang nelayan mulai menarik jaring di haluan kanan tanpa menggunakan alat
74
bantu penarik. Masing-masing menarik bagian atas, tengah dan bawah jaring. Waktu yang dibutuhkan untuk sekali penarikan jaring (hauling) berkisar antara 1,5 – 2 jam, tergantung pada banyaknya hasil tangkapan yang tertangkap dan sampah yang tersangkut pada jaring. Tahap akhir yaitu penyortiran dan pemindahan ikan-ikan hasil hasil tangkapan ke dalam palka. Ikan hasil tangkapan utama ditempatkan dalam palka yang kedap udara dengan pemberian es yang cukup guna mempertahankan mutu. Untuk hasil tangkapan sampingan, pemberian es sekedarnya saja dan dikumpulkan untuk dijual dan sebagian lagi untuk dikonsumsi. 6) Hasil tangkapan Hasil tangkapan utama dari jaring millennium yaitu ikan tenggiri. Adapun hasil tangkapan sampingan yang ikut tertangkap antara lain golok-golok, pepetek, kembung, tetengek, dan manyung.
5. Jaring Klitik 1) Deskripsi Jaring insang klitik merupakan salah satu jenis gillnet atau jaring insang. Jaring klitik dioperasikan di dasar perairan yang ditujukan untuk menangkap udang dan lobster. Jumlah alat tangkap jaring klitik di Kabupaten Subang menempati urutan kedua setelah jaring rampus. Jaring klitik yang terdapat memiliki konstruksi yang hampir sama dengan jaring insang lainnya. 2) Konstruksi Bagian-bagian pada jaring insang klitik terdiri atas badan jaring, tali ris atas dan bawah, pelampung, dan pemberat. Desain dan konstruksi dari jaring millennium dapat dilihat pada Gambar 25. •
Badan jaring Badan jaring merupakan bagian yang berfungsi untuk menghadang ikan
secara vertikal. Bahan yang digunakan adalah nilon monofilament. dengan ukuran mata jaring yaitu 3,5 inchi. Dalam keadaan terentang, jaring klitik pada tiap piecenya memiliki jumlah mata jaring sebanyak 1125 mata pada arah horizontal dan 18 mata pada arah vertikal. Nelayan menggunakan bahan Polyamide monofilament karena relatif tahan lebih lama terhadap pembusukan atau
75
pelapukan dan tidak berpengaruh terhadap lamanya perendaman dalam perairan. Selain itu bahan ini tidak menyerap air sehingga lebih ringan dalam proses penarikan jaring. •
Pelampung Pelampung jaring yang digunakan terbuat dari bahan PVC. Pelampung ini
berbentuk elips atau lonjong dengan ukuran panjang 50 mm dan diameter 10 mm. Jumlah pelampung dalam satu piece sebanyak 125 buah dengan jarak antar pelampung 80 cm. •
Pemberat Pemberat yang digunakan terbuat dari bahan timah dengan berat satuan 1.5
gram. Jumlah pemberat dalam satu piece sebanyak 500 buah. Jaring insang klitik juga dilengkapi dengan pemberat jangkar yang berfungsi supaya alat tangkap tetap berada di dasar perairan dan tidak berpindah tempat. •
Tali ris Tali ris terdiri dari tali ris atas dan tali ris bawah. Tal iris atas terbuat dari PE
multifilament dengan diameter 3 mm. panjang tali ris atas adalah 60 m. Tali ris atas terdiri dari dua tali. Satu utas tali digunakan sebagai tali pelampung dan satu utas lainnya digunakan sebagai penggantung badan jaring. Tali pelampung mempunyai karakteristik sama dengan tali penggantung yaitu terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter 3 mm dan panjang 60 m. Jaring klitik juga dilengkapi tali ris bawah dengan diameter 2 mm. Tali ris bawah mempunyai ukuran yang lebih panjang daripada tali ris atas yaitu 80 mm. Tali ris bawah terdiri dari dua tali. Satu utas tali berfungsi sebagai tali pengikat jaring bagian bawah dan satu utas lainnya sebagai tali pemberat. Tali pemberat memiliki karakteristik yang sama dengan tali pengikat jaring yaitu terbuat dari PE multifilament dengan diameter 2 mm dan panjang 80 m.
76
(a)
(b) Gambar 25 Desain (a) dan konstruksi (b) jaring klitik
3) Kapal Kapal yang digunakan dalam pengoperasikan jaring klitik memiliki dimensi ukuran L x B x D : 6,5 x 0,8 x 0,5 meter. Kapal ini menggunakan satu mesin yang berfungsi sebagai mesin utama. Mesin ini memiliki ukuran sebesar 8 PK dengan merk Dongfeng menggunakan bahan bakar solar.
77
4) Nelayan Jumlah nelayan yang mengoperasikan jaring klitik sebanyak 2 – 3 orang. Setiap nelayan mempunyai tugas masing-masing yaitu sebagai juru mudi dan anak buah kapal. Juru mudi bertugas dalam pencarian fishing ground dan mengemudikan kapal dari fishing base ke fishing ground. Adapun anak buah kapal (ABK) bertugas dalam proses penurunan jaring (setting), penarikan jaring (hauling) dan memperbaiki alat tangkapan yang rusak.
5) Metode pengoperasian Operasi penangkapan dengan jaring klitik menggunakan perahu motor tempel. Kegiatan setting dimulai pada saat matahari terbenam sekitar pukul 17.00 WIB. Kemudian jaring dibiarkan terendam di dasar perairan selama satu mala dan baru diangkat keesokan paginya. Kegiatan setting dilakukan dengan menurunkan jaring di sebelah kanan lambung kapal. Hauling dilakukan setelah jaring direndam selama 10 – 13 jam. Penarikan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 04.00 WIB. Kegiatan hauling dimulai dengan pengangkatan pelampung tanda, kemudian secara bertahap dilakukan pengangkatan badan jaring. Hasil tangkapan yang tertangkap umumnya tertangkap dengan cara terpuntal. 6) Hasil tangkapan Hasil tangkapan utama dari jaring klitik adalah udang dan lobster. Adapun hasil tangkapan sampingan yang tertangkap antara lain ikan selar kuning, ikan sembilang, ikan teri dan rajungan.
6. Jaring Rampus 1) Deskripsi Jaring rampus termasuk dalam klasifikasi jaring insang tetap. Jaring insang tetap adalah salah satu jenis jaring insang yang dioperasikan pada dasar perairan. Hasil tangkapan utama dari jaring insang tetap adalah ikan bawal putih. Adapun hasil tangkapan sampingannya antara lain manyung, gulamah, selar, kuniran, dan kuro. Jaring rampus di Kabupaten Subang tidak berbeda jauh dengan jaring rampus pada umumnya. Jaring rampus hampir ditemukan di semua kecamatan di Kabupaten Subang yang berada di wilayah pesisir.
78
2) Konstruksi Bagian-bagian dari jaring rampus terdiri atas tubuh jaring, tali ris atas tali ris bawah, tali pemberat, pemberat, tali pelampung dan pelampung. Desain dan konstruksi dari jaring rampus ditunjukkan pada Gambar 26. •
Badan jaring Tubuh jaring terbuat dari bahan PA monofilament berdiameter 0,2 mm dan
ukuran mata jaring 4,5 inchi. Warna bahan jaring adalah putih transparan agar alat tangkap yang dipasang di dasar perairan akan tersamar sehingga tidak menakuti ikan dan ikan akan terjerat. Jumlah mata jaring vertikal sebanyak 35 mata, sedangkan jumlah mata horizontal sebanyak 1798 mata. •
Pelampung Pelampung terbuat dari bahan PVC berbentuk lonjong dengan ukuran panjang
14 cm. Jumlah pelampung sebanyak 50 buah dalam satu piece. Jarak antar pelampung 1 m. Penggunaan pelampung sangat penting, agar mata jaring dapat terbuka di dalam air. •
Pemberat Pemberat terbuat dari bahan dengan berat satuan 13 gram. Pemberat tambahan
berfungsi sebagai jangkar, yaitu batu besar dengan berat sekitar 3 kg. Jumlah pemberat dalam satu piece sebanyak 300 buah. Karena penempatan jaring berada di dasar perairan maka pemberat memiliki peran penting untuk menjaga kedudukan jaring agar tetap di tempat. Hal itu menjadi penting karena pengaruh arus yang dapat menggeser kedudukan jaring dari tempat semula, dan bisa mengubah kedudukan jaring dalam menghadang ikan. •
Tali ris Tali ris atas terbuat dari bahan PE berdiameter 6 mm dengan panjang 70 m
berwarna hijau. Pada tali ris atas diikatkan tali pelampung yang berfungsi untuk memasangkan pelampung pada jaring. Adapun tali pelampung terbuat dari bahan PE berdiameter 8 mm dengan panjang 70 m berwarna hijau. Jaring rampus juga dilengkapi tali ris bawah terbuat dari bahan PE berdiameter 3 mm dengan panjang 100 m berwarna hijau. Pada tali ris bawah diikatkan tali pemberat yang berfungsi untuk memasangkan pemberat pada jaring. Adapun tali pemberat terbuat dari bahan PE berdiameter 3 mm dengan panjang 100 m.
79
(a)
(b) Gambar 26 Desain (a) dan konstruksi (b) jaring rampus
80
3) Kapal Kapal yang digunakan dalam pengoperasian jaring insang tetap di Kabupaten Subang yaitu jenis jukung yang terbuat dari fiber dan dilengkapai dengan katir. Kapal ini menggunakan mesin berkekuatan 15 PK. Kapal yang digunakan mempunyai ukuran panjang 8,5 m; lebar 1,2 m; dan dalam 0,8 m. katir di sebelah kanan dan kiri kapal berfungsi sebagai penyeimbang atau mengurangi efek gerakan oleng pada kapal, sehingga memudahkan nelayan dalam mengoperasikan kapal dalam operasi penangkapan ikan. 4) Nelayan Jumlah nelayan dalam pengoperasian jaring insang tetap di Kabupaten Subang sebanyak 2 – 3 orang. Masing-masing nelayan mempunyai tugas yang berbeda. Satu orang sebagai pengemudi kapal dan yang lainnya menurunkan alat pada saat setting dan hauling. Pada saat musim paceklik, nelayan lebih cenderung tidak melakukan operasi penangkapan ikan melainkan hanya memperbaiki jaring yang rusak. 5) Metode Pengoperasian Operasi penangkapan dimulai saat berangkat dari fishing base ke fishing ground. Nelayan berangkat menuju fishing ground sekitar pukul 02.00 WIB dan waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke fishing ground sekitar 2 jam. Setelah tiba di fishing ground, pelampung tanda dan jangkar diturunkan, selanjutnya dilakukan penurunan jaring (setting). Setelah semua jaring terentang sempurna nelayan menunggu selama setengah jam sampai satu jam, kemudian dilakukan penarikan jaring (hauling). Hasil tangkapan yang didapat dimasukkan ke dalam drum yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Hasil tangkapan disimpan menggunakan es untuk proses pengawetan agar tetap segar.
7. Pancing Rawai 1) Deskripsi Pancing rawai diklasifikasikan kedalam kelompok alat tangkap pancing. Pancing rawai atau longline adalah suatu pancing yang terdiri dari tali utama (main line), kemudian disepanjang tali utama tersebut digantungkan tali cabang
81
(branch line) yang di ujungnya diberi mata pancing secara berderet pada jarak tertentu. Panjang tali utama pada rawai berkisar ratusan meter hingga mencapai puluhan kilometer (Subani dan Barus, 1989).
2) Konstruksi Komponen utama pancing rawai yang ada di Kabupaten Subang adalah : tali selambar (main line), tali cabang (branch line), mata pancing (hook), pemberat, dan pelampung. Konstruksi dari pancing rawai dapat dilihat pada Gambar 27. •
Tali utama (main line) Tali utama pada pancing rawai ini terbuat dari bahan PA (Polyamide)
dengan nomor 1500. Panjang tali utama secara keseluruhan sekitar 250 m. Tali utama pada rawai berfungsi sebagai tempat terikatnya tali cabang dimana mata pancing dipasang. •
Tali cabang (branch line) Tali cabang (branch line) merupakan tali yang dipasang disepanjang tali
utama pada rawai dan di bagian ujungnya terdapat mata pancing. Tali cabang dipasang secara berderet dengan jarak 2,5 m untuk menghindari terbelitnya tali cabang yang satu dengan tali cabang yang lainnya. Pemasangan tali cabang pada tali utama menggunakan simpul. Pada alat tangkap ini dipasang sebuah pelampung berbahan styrofoam pada salah satu ujungnya, sedangkan bagian ujung lainnya diikatkan pada bagian perahu. •
Mata pancing Mata pancing yang digunakan pada pancing rawai ini terbuat dari bahan
stainless steel. Jenis mata pancing yang berbahan stainless digunakan oleh nelayan karena harganya yang relatif murah dan cukup tahan lama. Adapun ukuran mata pancing yang digunakan disesuaikan dengan ikan yang ingin ditangkap. Biasanya nelayan menggunakan mata pancing nomor 6 untuk menangkap kakap merah, sedangkan untuk menangkap ikan kuro nelayan menggunakan mata pancing nomor 4. Jumlah mata pancing yang dioperasikan sebanyak 100 buah mata pancing.
82
Gambar 27 Konstruksi pancing rawai 3) Kapal Kapal yang digunakan dalam pengoperasian pancing rawai merupakan jenis perahu motor tempel. Perahu motor temple tersebut terbuat dari bahan kayu dengan dimensi L x B x D yaitu 9 x 1,2 x 0,8 meter. Adapun mesin yang digunakan adalah jenis mesin tempel dengan merk Giandong berkekuatan 6 PK. 4) Nelayan Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap pancing rawai ini berjumlah 2 3 orang, dengan satu orang sebagai nahkoda, satu orang sebagai pemasang umpan, dan satu orang lainnya bertugas memasang (setting) alat tangkap. Nelayan pancing rawai di Kabupaten Subang merupakan penduduk setempat yang bekerja sebagai nelayan penuh. 5) Metode pengoperasian Pancing rawai yang ada di Kabupaten Subang merupakan jenis rawai dasar. Alat tangkap ini ditujukan untuk menangkap jenis ikan-ikan demersal. Dalam pengoperasiannya alat tangkap pancing rawai ini dibagi menjadi beberapa tahap yaitu pemasangan umpan, pemasangan alat tangkap (setting), penarikan alat tangkap (hauling) dan penyortiran hasil tangkapan. Proses pemasangan umpan dilakukan sebelum alat tangkap pancing rawai ini dioperasikan. Proses ini penting agar target yang ingin ditangkap tertarik
83
dengan bau umpan yang dipasang dan kemudian memakan umpan tersebut. Adapun proses pemasangan umpan dilakukan oleh 1-2 orang ABK. Setelah umpan dipasang pada tiap mata pancing, maka proses pemasangan pancing rawai (setting) siap untuk dilakukan. Pemasangan alat tangkap ini dilakukan dengan melepaskan pelampung tanda, tali utama dan tali cabang beserta mata pancing yang telah dipasangi umpan. Setelah alat tangkap selesai dipasang, berikutnya alat tangkap didiamkan selama beberapa jam dengan tujuan agar terdapat jeda waktu bagi ikan untuk mendatangi dan memakan umpan. Setelah alat tangkap dipasang dalam waktu yang cukup lama, nelayan akan melakukan proses penarikan alat tangkap (hauling).Proses penarikan alat tangkap dimulai dengan menarik pelampung tanda terlebih dahulu, diikuti dengan penarikan tali utama (main line) dan tali cabang (branch line). Adapun pembagian tugas pada proses penarikan jaring yaitu 1-2 nelayan orang menarik dan merapihkan alat tangkap sedangkan 1 orang lainnya melepaskan hasil tangkapan dari mata pancing. Setelah hasil tangkapan dilepaskan dari mata pancing, nelayan akan melakukan proses penyortiran. Penyortiran dilakukan dengan mengelompokkan hasil tangkapan berdasarkan jenis dan ukurannya. Adapun semua hasil tangkapan akan dibawa pulang oleh nelayan dan tidak ada hasil tangkapan yang dilepaskan kembali ke laut. 6) Hasil tangkapan Pancing rawai yang dioperasikan di Kabupaten Subang merupakan jenis rawai dasar yang menangkap jenis ikan-ikan demersal. Adapun hasil tangkapan utama alat tangkap ini adalah kakap merah (Lutjanus sp.) dan kerapu (Epinephelus spp.), sedangkan hasil tangkapan sampingannya antara lain remang (Muraema spp.), pari (rays), manyung dan lain-lain.
8. Bubu Lipat 1) Deskripsi Bubu lipat adalah alat tangkap ikan yang dipasang secara menetap dalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan sulit keluarnya (Sudirman dan Mallawa 2004).
Pemakaian bubu tersebar di seluruh daerah
84
perikanan Indonesia. Bentuk bubu bermacam – macam. Ada yang berbentuk kotak, silinder dan kerucut, bergantung pada jenis ikan yang menjadi sasaran tangkapan (Subani dan Barus, 1989). Bentuk bubu lipat yang ada di Kabupaten Subang berbentuk kotak. Bubu lipat termasuk ke dalam klasifikasi perangkap. Perangkap adalah salah satu alat penangkap ikan menetap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan dapat masuk dengan mudah tanpa paksaan, sulit keluar atau lolos karena dihalangi berbagai cara (Von Brant, 1984). 2) Konstruksi Bubu lipat yang digunakan di Kabupaten Subang khususnya di Desa Mayangan memiliki dimensi panjang 40 cm, lebar 25 cm dan tinggi 12 cm. Pada bubu dipasang pelampung tanda yang terbuat dari bahan karet atau gabus yang berukuran kecil. Gambar 28 berikut adalah konstruksi dari bubu lipat. •
Bahan Bahan pembentuk bubu lipat terbuat dari bahan jaring PE multifilament
dengan mesh size 1,5 cm. Bentuk mesh size pada badan jaring berbentuk kotak. Bahan jaring PE multifilament ini dapat dirobek oleh kepiting bakau betina yang berukuran besar. Maka dari itu nelayan sering menambal badan jaring dengan benang PE ataupun tali raffia. •
Mulut Bentuk mulut bubu pada bubu lipat di Kabupaten Subang yaitu berbentuk
celah. Besarnya celah pada mulut ini mempunyai ukuran sekitar 0,5 – 1 cm. Mulut bubu dapat merenggang saat kepiting masuk ke dalam bubu. •
Rangka Rangka bubu terbuat dari besi dengan diameter sekitar 4 mm. Bentuk bubu
yang ada di Kabupaten Subang yaitu berbentuk kubus. Kekuatan dari rangka bubu lipat ini sekitar satu tahun, jika sudah melebihi umur teknis maka rangka akan berkarat dan mudah patah. Pada rangka bagian atas diletakkan engsel yang dapat berfungsi untuk membuka bubu sehingga memudahkan dalam pengambilan hasil tangkapan.
85
Sumber: Lastari (2007) Gambar 28 Konstruksi bubu lipat
3) Kapal Kapal yang digunakan dalam pengoperasian bubu lipat memiliki dimensi L x B x D : 3 x 1 x 20 cm. Bahan dominan pembentuk kapal yaitu kayu. Kapal ini menggunakan mesin dengan merk Honda berkekuatan 5 PK.
Kapal ini
dilengkapi dengan dayung untuk mengatur posisi kapal saat pemasangan bubu. 4) Nelayan Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat di Kabupaten Subang termasuk ke dalam nelayan kecil. Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat sebanyak 2 orang. Satu orang bertugas mengemudikan kapal menggunakan dayung dan satu orang lainnya memasang dan mengangkat bubu saat operasi berlangsung. 5) Metode pengoperasian Operasi penangkapan dimulai dengan keberangkatan dari fishing base menuju perairan bakau sekitar pukul 16.00 WIB. Selama perjalanan, nelayan memasang umpan pada bubu yang akan dipasang. Setelah sampai di fishing ground, satu per satu bubu dipasang dengan cara melemparkan ke dalam sungai bakau maupun tambak. Bubu dipasang dengan sistem tunggal sampai bubu terakhir. Bubu akan direndam selama kurang setengah hari sampai pagi hari. Proses pengangkatan bubu (hauling) dilakukan pada pukul 05.00 WIB. Bubu
86
diangkat satu per satu ke atas kapal, kemudian hasil tangkapan berupa kepiting dan rajungan diikat (dibanda) sedemikian rupa agar capitnya tidak melukai nelayan. 6) Hasil tangkapan Biasanya bubu lipat digunakan untuk menangkap kepiting bakau dan rajungan pada perairan bakau. Selain itu hasil tangkapan sampingan berupa udang dan beberapa jenis ikan juga tertangkap ke dalam bubu, antara lain kepiting batu, kepiting bolem, ikan lundu, ikan beloso, ikan belodok dan udang peci.
9. Jala Tebar 1) Deskripsi Jala tebar merupakan alat tangkap yang umum dan hampir dapat dijumpai dimana-mana. Bentuk jala seperti kerucut, terdiri dari bagian-bagian jaring yang sekaligus merupakan kantong, cincin pemberat yang terbuat dari timah yang dirangkai membentuk rantai dan yang diikat disekeliling mulut, dan tali yang diikat pada bagian ujung jala agar tidak terlepas pada saat jala dioperasikan (Subani dan Barus, 1989). 2) Konstruksi Bagian-bagian dari jala tebar yaitu badan jaring, pemberat dan tali pengikat. Jala tebar yang dioperasikan di Kabupaten Subang mempunyai keliling 4 meter, tinggi 2,5 - 3 meter, dan dengan ukuran mata 1,5 meter. Konstruksi dari jala tebar dapat dilihat pada Gambar 29.
87
Gambar 29 Konstruksi jala tebar 3) Metode pengoperasian Alat tangkap ini dirancang sedemikian rupa sehingga seakan-akan membentuk kantong di bagian dalam mulut jaring dan memerangkap ikan dan udang. Penangkapan dilakukan di daerah yang relatif dangkal (pantai) yang kedalamannya tidak melebihi tinggi dada si nelayan. Pada saat alat tangkap ini dioperasikan, jaring dilemparkan ditempat-tempat yang mungkin terdapat ikannya, kemudian pemberat akan menutup dan membuat mulut jaring seolaholah menjadi kantong yang memerangkap ikan atau udang yang ada di dalamnya. Hasil tangkapan utama alat tangkap jala tebar ini adalah udang peci, udang PK. Adapun hasil tangkapan sampingannya adalah ikan belanak, bandeng, dan lainlain.
4.3.3 Nelayan Nelayan merupakan salah satu bagian penting dari unit penangkapan ikan. Dalam aktivitas penangkapan ikan mereka terjun langsung untuk melakukan penangkapan ikan. Usaha perikanan telah memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hal ini ditandai dengan jumlah RTP dan RTPB yang selalu mengalami peningkatan di setiap tahunnya, yaitu
88
antara tahun 1998 – 2001, yang berarti bahwa minat masyarakat pada sektor perikanan meningkat. Berdasarkan kepemilikan unit penangkapan ikan, nelayan di Kabupaten Subang terbagi atas nelayan pemilik dan nelayan buruh. Jumlah total warga Desa Mayangan yang berprofesi sebagai sebagai nelayan tercatat sebanyak 184 orang. Dari jumlah tersebut terbagi lagi menjadi nelayan pemilik sebanyak 42 orang dan nelayan buruh sebanyak 142 orang. Jumlah tersebut merupakan jumlah tertinggi untuk kawasan Kecamatan Legonkulon. Data mengenai jumlah nelayan di Kabupaten Subang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah nelayan di Kabupaten Subang
N o A
B
Nelaya n Pemilik
Nelaya n Buruh
Jumla h (orang )
Persentas e (%)
Desa Cilamaya Girang
24
132
156
4,55
Desa Rawameneng
57
124
181
5,28
Desa Blanakan Desa Muara Ciasem
219 146
1.024 735
1243 881
36,37 25,71
Desa Tanjung Tiga
65
256
3321
9,37
Desa Pangarengan
32
87
119
3,47
Desa Tegalurung
28
102
130
3,79
Desa Mayangan
42
142
184
5,37
Desa Legonwetan
16
78
94
2,74
8
51
59
1,72
Kecamatan/Desa Kecamatan Blanakan
Kecamatan Legonkulon
Desa Anggasari C
Kecamatan Pusakanagara
Desa Patimban 8 51 59 Jumlah 649 2778 3427 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2003
1,72 100
4.4 Potensi dan Produksi Perikanan Kabupaten Subang memiliki potensi perikanan yang cukup besar, baik untuk perikanan darat maupun perikanan lautnya. Perairan laut Kabupaten Subang
89
mencapai 68 km terdapat di wilayah pantura (pantai utara Jawa) dengan laut yang dapat dimanfaatkan seluas 4 mil dari garis pantai ke arah laut. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun 2003, Kabupaten Subang memiliki potensi areal penangkapan di perairan umum yang cukup luas, yaitu sungai yang melewati 17 kecamatan dengan panjang 714 km dan jumlah situ sebanyak 25 lokasi yang berada di 15 kecamatan dengan luas area 231,9 km2, dan rawa yang terdapat di 3 kecamatan dengan luas area 12,6 km2. Untuk budidaya, luas tambak 10.000 Ha dan yang baru dimanfaatkan 8.254,28 Ha, kolam air tenang 900 Ha, kolam pembenihan 33,07 Ha, kolam air deras 372 unit dan sawah untuk mina padi 13.000 Ha yang baru dimanfaatkan 7.050 Ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2003). Potensi perikanan di Kabupaten Subang secara lebih rinci disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Potensi perikanan Kabupaten Subang Tahun 2003 Jenis Kegiatan Perikanan Penangkapan Laut
Potensi Jalur I, II dan III
Sungai
714 km
Situ Rawa
231,9 Ha 12,6 Ha
Budidaya Tambak Kolam Air Tenang (KAT) Kolam Pembenihan Kolam Air Deras (KAD) Sawah Minapadi Kolam Ikan Hias
Pemanfaatan Jalur I, II dan sebagian jalur III Belum dimanfaatkan secara optimal (dikelola sederhana)
10.000 Ha 900 Ha 33,07 Ha 511 unit 13.000 Ha 5 Ha
8.254,28 Ha 689 Ha 20,2 Ha 372 Unit 7.050 Ha 1,2 Ha Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun 2003 Kabupaten Subang memiliki nilai produksi perikanan yang cukup besar, hal
ini sebanding dengan potensi perikanan yang dimilikinya. Pada tahun 2006 sampai 2008 nilai produksi mengalami peningkatan secara signifikan. Peningkatan ini disebabkan oleh adanya usaha intensifikasi dan ekstensifikasi di sektor perikanan dan kelautan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
90
Subang. Setiap tahunnya produksi perikanan mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan rata-rata produksi perikanan tahun 2006-2008 sebesar 55,5 %. Peningkatan ini disebabkan oleh bertambahnya armada kapal dan alat tangkap yang ada di Kabupaten Subang. Data perkembangan nilai produksi perikanan di Kabupaten Subang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perkembangan Produksi Ikan Kabupaten Subang Produksi (Ton)
Jenis Usaha Penangkapan 1. Laut 2. Perairan Umum Budidaya 1. Tambak 2. Kolam air tenang 3. Sawah 4. Kolam air deras Total
2006 18.308,0 17.753,5 554,5 18.273,9 9.940,7 4.406,3 3.407,8 519,1 36.581,9
2007 18.451,9 17.914,1 537,8 18.658,5 9.947,6 4.827,5 2.895,3 998,1 37.110,4
Peningkatan Rata-rata (%) 2008 19.647,5 19.097,4 550,0 19.698,9 10.089,9 5.591,6 3.311,7 705,7 39.346,3
3.6 3.7 -0.4 3.9 0.8 12.7 -0.4 31.5 55.5
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Tahun 2008 Produksi perikanan tiap daerah di Kabupaten Subang memiliki produktivitas yang berbeda khususnya pada empat kecamatan yang terletak dekat pesisir. Produksi perikanan terbesar pada tahun 2007 terdapat pada Desa Blanakan Kecamatan Blanakan dengan nilai produksi sebesar 10.124,50 ton/tahun. Adapun Desa Mayangan memiliki produksi terbesar pada Kecamatan Legonkulon dengan nilai produksi sebesar 650,15 ton/tahun (Tabel 8).
91
Tabel 8 Produksi Ikan Laut Kabupaten Subang Tahun 2007 No I
II
III
IV
Kecamatan / Kabupaten (Terletak di Pesisir)
Hasil Ikan Laut (Ton)
KECAMATAN BLANAKAN 1. Cilamaya Girang 2. Rawa Meneung 3. Blanakan 4. Muara 5. Tanjung Tiga 6. Langensari 7. Jayamukti
427,60 315,20 10.124,50 4.015,20 251,30 tidak ada data tidak ada data
KECAMATAN LEGON KULON 1. Pangarengan 2. Tegalurung 3. Mayangan 4. Legon Wetan 5. Legon Kulon
372,50 129,25 650,15 tidak ada data tidak ada data
KECAMATAN SUKASARI tidak ada data 1. Sukamaju tidak ada data 2. Batangsari tidak ada data 3. Anggasari KECAMATAN PUSAKANAGARA 1. Patimban 1.628,40 Jumlah 17.914,10
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Tahun 2007
4.5 Musim dan Daerah Penangkapan Kabupaten Subang dipengaruhi oleh angin muson yang mengakibatkan dua musim, yaitu Musim Barat dan Musim Timur dengan kecepatan angin rata-rata 3 – 6 m/det. Pada saat Musim Barat, pergerakan arus umumnya menuju kea rah timur atau arus timur dengan kecepatan berkisar antara 3 – 14 mil/hari. Adapun Musim Timur bergerak sebaliknya, yaitu menuju arah barat dengan kecepatan antara 1 – 13 mil/hari.
92
Nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Subang menentukan daerah penangkapan ikan umumnya berdasarkan kebiasaan atau pengalaman nelayan yang melakukan trip sebelumnya. Apabila hasil tangkapan pada trip sebelumnya banyak, maka nelayan akan melakukan kegiatan penangkapan pada fishing ground yang sama. Sebaliknya, nelayan akan mencari daerah penangkapan yang baru apabila hasil tangkapan pada trip sebelumnya sedikit. Daerah penangkapan ikan nelayan pesisir Kabupaten Subang tersebar di sekitar Utara Laut Jawa.
93
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Komposisi hasil tangkapan Total hasil tangkapan bubu lipat yang diperoleh pada penelitian ini sebanyak 240 ekor dengan berat total 12,689 kg yang terdiri dari 6 (enam) spesies. Hasil tangkapan dominan pada penelitian ini adalah kepiting batu (Thalamita sp.) dengan jumlah 87 ekor atau 36 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh rajungan (Portunus pelagicus) sebanyak 49 ekor atau setara dengan 20 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan berikutnya adalah udang peci (Penaeus indicus) dengan jumlah 34 ekor atau setara dengan 14 % dari total hasil tangkapan. Secara detail komposisi hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian disajikan pada Gambar 30 dan Tabel 9. Adapun hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian secara visual disajikan pada Lampiran 4.
n=240
Gambar 30 Komposisi total hasil tangkapan bubu selama penelitian
94
Tabel 9 Komposisi total hasil tangkapan Nama Nama Jumlah Bobot % No Spesies % bobot Lokal Internasional (ekor) (g) jumlah 1 Kepiting Swimming Thalamita sp. 87 3755 36 29.6 batu crab 2 Rajungan Blue Portunus swimming 49 2305 20 18.16 pelagicus crab 3 Udang White prawn 36 159 14 1.26 Penaeus indicus peci 4 Kepiting Mud crab Scylla sp. 28 3165 12 24.94 bakau 5 Kepiting Spoon Leptodius sp. 23 2540 10 20.01 bolem pincer crab 6 Beloso Blue Cryptocentrus speckled 19 765 8 6.03 caeruleomaculatus shrimpgoby Total 240 12689 100 100 Hasil tangkapan dominan yang bernilai ekonomis tinggi selama penelitian adalah rajungan (Portunus pelagicus). Rajungan memiliki nilai yang cukup tinggi baik di pasar lokal maupun internasional.
Kisaran harga rajungan di Desa
Mayangan adalah Rp 15.000/kg. Rajungan yang memiliki ukuran ekonomis akan dijual oleh nelayan ke pengumpul, selanjutnya pengumpul akan menjual rajungan tersebut ke pasar lokal atau ke pengumpul yang lebih besar lagi. Rajungan yang masih belum layak tangkap biasanya tidak dijual oleh nelayan, melainkan dikumpulkan dan dibesarkan kembali di tambak hingga mencapai ukuran ekonomis. Kepiting batu merupakan jenis kepiting yang memiliki nilai ekonomis rendah, dengan harga jual berkisar antara Rp. 3000 – Rp. 4000 per kg. Kepiting batu biasanya digunakan sebagai pakan ikan untuk kegiatan budidaya, yaitu dengan cara dihancurkan menjadi tepung dan kemudian dijual dalam bentuk pakan. Selain itu kepiting batu juga dijajakan kepada masyarakat umum dalam keadaan sudah matang, namun hal tersebut hanya dilakukan pada hari sabtu dan minggu dimana banyak masyarakat dari luar datang untuk tujuan rekreasi dan kegiatan memancing. Penelitian ini dilakukan pada 5 (lima) stasiun yang berbeda dengan 10 kali ulangan. Operasi penangkapan yang dilakukan satu kali setiap harinya dinyatakan
95
sebagai ulangan. Total hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap jenis bubu untuk tiap trip penangkapan rata-rata berkisar antara 3 – 4 ekor. Secara detail jenis dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu pada tiap trip penangkapan dapat dilihat pada Lampiran 5.
Jumlah hasil tangkapan tertinggi terjadi pada trip ke 3 dengan
jumlah sebanyak 29 ekor. Adapun total hasil tangkapan terendah terjadi pada trip ke 5 yaitu sebanyak 20 ekor. Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap trip penangkapan adalah 24 ekor. Secara lebih rinci rata-rata hasil tangkapan pada tiap bubu per trip dan jumlah hasil tangkapan per trip disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31 Jumlah hasil tangkapan per trip dan rata-rata hasil tangkapan tiap bubu per trip Hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap stasiun selama penelitian berlangsung berbeda-beda jumlahnya. Rata-rata hasil tangkapan tiap bubu pada tiap stasiun berkisar antara 1 – 2 ekor. Jumlah hasil tangkapan tertinggi terjadi pada stasiun ke 5 dengan jumlah tangkapan sebanyak 62 ekor atau setara dengan 25,83 %. Adapun jumlah hasil tangkapan terendah diperoleh pada stasiun ke 3 yaitu sebanyak 29 ekor atau setara dengan 12,08 % dari total hasil tangkapan. Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap stasiun adalah 48 ekor. Secara lebih rinci rata-rata hasil tangkapan pada tiap bubu per stasiun dan jumlah hasil tangkapan per stasiun disajikan pada Gambar 32.
96
Gambar 32 Rata-rata hasil tangkapan per stasiun dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu per stasiun Rata-rata jumlah hasil tangkapan rajungan pada tiap bubu per trip berkisar 0 – 1 ekor. Hasil tangkapan rajungan tertinggi terjadi pada trip kedua, kelima dan kesembilan dengan jumlah tangkapan rajungan masing-masing sebanyak 7 ekor, sedangkan hasil tangkapan rajungan terendah terjadi pada trip ketiga yaitu sebanyak 2 ekor. Jumlah hasil tangkapan rajungan per trip dan rata-rata hasil tangkapan rajungan tiap bubu per trip disajikan pada Gambar 33.
Gambar 33 Jumlah hasil tangkapan rajungan per trip dan rata-rata hasil tangkapan rajungan per bubu per trip Rata-rata hasil tangkapan rajungan tiap bubu pada tiap stasiun berkisar antara 1 – 5 ekor. Hasil tangkapan terendah terjadi pada stasiun ke 4 yaitu
97
sebanyak 1 ekor atau setara dengan 2.04 % dari total hasil tangkapan rajungan. Adapun jumlah hasil tangkapan tertinggi terjadi pada stasiun ke 5 dengan jumlah sebanyak 30 ekor atau setara dengan 61.22 % dari total hasil tangkapan rajungan. Rata-rata hasil tangkapan rajungan yang diperoleh pada setiap stasiun adalah 10 ekor. Secara lebih rinci jumlah hasil tangkapan rajungan per stasiun dan rata-rata hasil tangkapan rajungan pada tiap bubu per stasiun disajikan pada Gambar 34.
Gambar 34
Jumlah hasil tangkapan rajungan per stasiun dan rata-rata hasil tangkapan rajungan per bubu per stasiun
5.1.2 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat Hasil tangkapan pada bubu lipat selama penelitian berjumlah 240 ekor dengan proporsi hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) sebagai hasil tangkapan utama sebanyak 49 ekor atau setara dengan 20 % dari total hasil tangkapan. Adapun hasil tangkapan sampingan selama penelitian sebanyak 91 ekor atau setara dengan 80 % dari total hasil tangkapan. Adapun untuk hasil tangkapan sampingan yang tertangkap selama penelitian antara lain kepiting batu (Thalamita sp), udang peci (Penaeus indicus), kepiting bakau (Scylla sp), kepiting bolem (Leptodius sp), dan beloso (Cryptocentrus caeruleomaculatus). Proporsi antara hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 35.
98
n=240
Gambar 35 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat 5.1.3 Jumlah dan bobot total hasil tangkapan Jumlah keseluruhan hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian adalah sebanyak 240 ekor jika ditinjau dari segi jumlah. Ditinjau dari segi bobot hasil tangkapan, total bobot hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian adalah sebesar 12.689 g. Hasil tangkapan yang paling dominan ditinjau dari segi jumlah dan bobot adalah jenis kepiting batu (Thalamita sp.) dengan jumlah 87 ekor dan bobot sebesar 3.775 g atau setara dengan 36% dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan paling sedikit jika ditinjau dari segi jumlah adalah jenis ikan beloso (Cryptocentrus caeruleomaculatus) sebanyak 8 ekor. Adapun jika ditinjau dari segi bobot, maka hasil tangkapan yang paling sedikit adalah udang peci (Pennaeus indicus) dengan bobot sebesar 159 g. 5.1.3.1 Jumlah dan bobot total hasil tangkapan pada posisi umpan berbeda (1) Jumlah hasil tangkapan Total hasil tangkapan bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi pemasangan umpan di atas yaitu sebanyak 124 ekor atau setara dengan 51,67 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang
99
tertangkap oleh bubu dengan posisi umpan di atas ini adalah kepiting batu (Thalamita sp.) dengan jumlah sebanyak 45 ekor atau setara dengan 18.75 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh rajungan (Portunus pelagicus) sebanyak 24 ekor atau setara dengan 10 % dari total hasil tangkapan, kemudian diikuti oleh udang peci (Pennaeus indicus) sebanyak 15 ekor atau setara dengan 7.9 % dari total hasil tangkapan. Adapun total hasil tangkapan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang di bawah yaitu sebanyak 116 ekor atau setara dengan 48,33 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang tertangkap pada bubu ini adalah kepiting batu (Thalamita sp.) sebanyak 42 ekor atau setara dengan 17,5 % dari total hasil tangkapan, diikuti dengan rajungan (Portunus pelagicus) dengan jumlah sebanyak 45 ekor atau setara dengan 18.75 % dari total hasil tangkapan, kemudian diikuti dengan udang peci (Penaeus indicus) dan kepiting bolem dengan jumlah masing-masing sebanyak 15 ekor atau setara dengan 6,25 % dari total hasil tangkapan. Secara detail komposisi hasil tangkapan yang ditangkap pada bubu dengan posisi peletakan umpan di atas dan bubu dengan posisi peletakan umpan di bawah disajikan pada Gambar 36, Gambar 37, dan Tabel 10. Tabel 10 Jumlah dan bobot hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan berbeda Posisi Umpan Atas Bobot Jumlah (g)
Jenis hasil tangkapan Nama indonesia Rajungan Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Peci Ikan Beloso
Nama internasional
Bawah Bobot Jumlah (g)
nama latin
Blue swimming crab
Portunus pelagicus
24
1320
25
985
Mud crab
Scylla sp
17
2280
11
885
Swimming crab
Thalamita sp
45
1815
42
1940
Rock crab
Leptodius sp
Indian white prawn Blue-speckled shrimp goby
Pennaeus indicus Cryptocentrus caeruleomaculatus
total
8
940
15
1600
19
97
15
62
11
455
8
310
124
6907
116
5782
100
n=124
Gambar 36 Komposisi total jumlah hasil tangkapan bubu dengan posisi pemasangan umpan di atas
n=116
Gambar 37 Komposisi total jumlah hasil tangkapan bubu dengan posisi pemasangan umpan di bawah.
101
Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap total hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp.Sig.(2-tailed) sebesar 0.761 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan yang berbeda. (2) Bobot hasil tangkapan Ditinjau dari segi bobot total hasil tangkapan, bobot hasil tangkapan total pada bubu dengan posisi umpan di atas sebesar 6.907 g atau setara dengan 54.43 % dari bobot total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang tertangkap oleh bubu dengan posisi umpan di atas adalah kepiting bakau (Scylla sp.) dengan bobot sebesar 2.280 g atau setara dengan 17.97 % dari bobot hasil tangkapan keseluruhan, diikuti oleh kepiting batu (Thalamita sp.) dengan bobot sebesar 1.815 g atau setara dengan 14.3 % dari total bobot hasil tangkapan, dan rajungan (Portunus pelagicus) dengan bobot sebesar 1.320 g atau setara dengan 10.4 % dari total bobot hasil tangkapan.
Adapun total bobot hasil tangkapan pada bubu
dengan posisi umpan di bawah yaitu sebesar 5782 g atau setara dengan 45,57 % dari bobot total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang tertangkap pada bubu ini adalah kepiting batu (Thalamita sp.) dengan bobot sebesar 1940 g, setara dengan 15.29 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh kepiting bolem (Leptodius sp) dengan bobot sebesar 1.600 g atau setara dengan 12.6% dari bobot total hasil tangkapan, dan rajungan (Portunus pelagicus) dengan bobot sebesar 985 g atau setara dengan 7.76 % dari bobot total hasil tangkapan. Secara detail komposisi bobot hasil tangkapan yang ditangkap pada bubu dengan posisi umpan berbeda disajikan pada Gambar 38.
102
(a)
(b)
Gambar 38 Komposisi total bobot hasil tangkapan pada bubu dengan posisi pemasangan umpan di atas (a) dan di bawah (b) Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap total bobot hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp. Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.450 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap bobot total hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan yang berbeda. 5.1.3.2 Jumlah dan bobot keseluruhan hasil tangkapan pada tiap perlakuan Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap bubu selama penelitian berbeda-beda. Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap jenis bubu selama penelitian adalah 8 ekor. Total hasil tangkapan tertinggi diperoleh bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan 100 g yaitu sebanyak 54 ekor. Total bobot yang deperoleh pada bubu jenis tersebut adalah sebesar 3084 g. Adapun total hasil tangkapan terendah diperoleh pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan 50 g yaitu sebanyak 28 ekor. Total bobot yang diperoleh pada bubu jenis tersebut adalah sebesar 2000 g. Secara lebih detail total hasil tangkapan pada tiap bubu disajikan pada Gambar 39.
103
Gambar 39 Total hasil tangkapan pada tiap jenis bubu Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g adalah kepiting batu (Thalamita sp) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 11 ekor, dengan total bobot sebesar 365 g. Persentase jumlah hasil tangkapan kepiting batu pada bubu jenis ini setara dengan 39 % dari total hasil tangkapan pada bubu jenis tersebut. Jumlah hasil tangkapan terbanyak kedua adalah kepiting bakau (Scylla sp) sebanyak 7 ekor, dengan total bobot sebesar 1040 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan kepiting bakau pada bubu ini setara dengan 25 % dari total hasil tangkapan pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g.
Adapun hasil tangkapan
terendah ditempati oleh kepiting bolem (Leptodius sp) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 1 ekor, dengan bobot total sebesar 90 g. Persentasi hasil tangkapan kepiting bolem setara dengan 4 % dari total hasil hasil tangkapan pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g. Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan sebesar 50 g adalah kepiting batu (Thalamita sp) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 15 ekor, dengan bobot total sebesar 615 g. Persentase jumlah hasil tangkapan kepiting batu pada bubu jenis ini setara dengan 50 % dari total hasil tangkapan pada bubu jenis tersebut. Jumlah hasil tangkapan terbanyak kedua adalah rajungan (Portunus pelagicus) sebanyak 8 ekor, dengan bobot total sebesar 285 g.
Persentasi jumlah hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini setara dengan 27% dari total hasil tangkapan pada bubu jenis tersebut. Adapun hasil tangkapan terendah ditempati oleh udang peci
104
(Penaeus indicus) dan kepiting bakau (Scylla sp) dengan jumlah hasil tangkapan masing-masing sebanyak 1, dengan bobot total sebesar 5 g untuk udang peci dan 50 g untuk kepiting bakau. Persentasi hasil tangkapan udang peci dan kepiting bakau masing-masing setara dengan 3 % dari total hasil hasil tangkapan pada bubu tersebut. Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 100 g adalah kepiting batu (Thalamita sp) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 25 ekor, dengan bobot total sebesar 615 g. Persentase jumlah hasil tangkapan kepiting batu pada bubu jenis ini setara dengan 47 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut.
Jumlah hasil
tangkapan terbanyak kedua adalah rajungan (Portunus pelagicus) sebanyak 7 ekor, dengan bobot total sebesar 285 g.
Persentasi jumlah hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini setara dengan 13 % dari total hasil tangkapan pada bubu jenis tersebut. Adapun hasil tangkapan terendah ditempati oleh kepiting bakau (Scylla sp), udang peci (Pennaeus indicus) dan ikan beloso (Cryptocentrus caeruleomaculatus) dengan jumlah hasil tangkapan masing-masing sebanyak 555 g untuk kepiting bakau, 24 g untuk udang peci, serta 200 g untuk bobo ikan beloso. Persentasi hasil tangkapan kepiting bakau, udang peci, dan ikan beloso masing-masing setara dengan 9 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut. Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan sebesar 100 g adalah kepiting batu (Thalamita sp) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 13 ekor, dengan bobot total sebesar 585 g. Persentase jumlah hasil tangkapan kepiting batu pada bubu jenis ini setara dengan 32 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut.
Jumlah hasil
tangkapan terbanyak kedua adalah rajungan (Portunus pelagicus) dengan jumlah sebanyak 12 ekor, dengan bobot sebesar 575 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini setara dengan 29 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut.
Adapun hasil tangkapan terendah ditempati oleh udang peci
(Pennaeus indicus) dan kepiting bolem (Leptodius sp) dengan jumlah masingmasing sebesar 3 ekor, dengan bobot sebesar 10 g untuk udang peci dan 330 g untuk kepiting bolem. Persentasi hasil tangkapan udang peci dan kepiting bolem masing-masing setara dengan 7 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut.
105
Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 150 g adalah rajungan (Portunus pelagicus) dan udang peci (Pennaeus indicus) dengan jumlah hasil tangkapan masing-masing sebanyak 12 ekor, dengan bobot total sebesar 630g untuk rajungan dan 63 g untuk udang peci. Persentasi jumlah hasil tangkapan rajungan dan udang peci pada bubu jenis ini masing-masing setara dengan 29 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut.
Hasil tangkapan terendah ditempati oleh ikan beloso
(Cryptocentrus caeruleomaculatus) dengan jumlah sebanyak 4 ekor, dengan bobot total sebesar 150 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan ikan beloso setara dengan 9 % dari total hasil tangkapan bubu jenis tersebut. Adapun jenis hasil tangkapan kepiting bolem (Leptodius sp) tidak tertangkap pada bubu jenis ini. Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan sebesar 150 g adalah kepiting batu (Thalamita sp) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 14 ekor, dengan bobot total sebesar 740 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan kepiting batu pada bubu jenis ini setara dengan 31 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut.
Jumlah hasil
tangkapan terbanyak kedua adalah udang peci (Pennaeus indicus) dengan jumlah sebanyak 11 ekor, dengan bobot sebesar 47 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan udang peci pada bubu jenis ini setara dengan 23 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut.
Hasil tangkapan terendah ditempati oleh ikan beloso
(Cryptocentrus caeruleomaculatus) dengan jumlah sebanyak 1 ekor, dengan bobot total sebesar 50 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan ikan beloso pada bubu jenis ini setara dengan 1 % dari total hasil tangkapan bubu jenis tersebut. Secara detail jumlah dan bobot ikan yang tertangkap pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda disajikan pada tabel 11. Diag komposisi hasil tangkapan masing-masing bubu disajikan pada gambar 40.
106
Tabel 11 Jumlah dan bobot hasil tangkapan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda Posisi dan bobot Jenis hasil tangkapan Bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g Nama Nama Indonesia Internasional Nama Latin Blue swimming Portunus Rajungan crab pelagicus Kepiting Bakau Mud crab Scylla sp Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Peci Ikan Beloso
Ikan Beloso
Ikan Beloso
Bobot (g)
% Jumlah
5
390
17.85
8
285
26.67
7
1040
25
1
50
3.33
365
39.28
15
615
50
Rock crab Indian white prawn Blue-speckled shrimp goby
Leptodius sp
1
90
3.57
2
200
6.67
Pennaeus indicus Cryptocentrus caeruleomaculatus
2
10
7.14
1
5
3.33
2
105
7.14
3
130
10
28
2000
100
30
1285
100
7
300
25
12
575
40
5
555
17.87
6
475
20
Swimming crab
Thalamita sp
25
1155
89.28
13
585
43.33
Rock crab Indian white prawn Blue-speckled shrimp goby
Leptodius sp
7
850
25
3
330
10
Pennaeus indicus Cryptocentrus caeruleomaculatus
5
24
17.87
3
10
10
5
200
17.87
4
130
13.33
54
3084
100
41
2105
100
12
630
42.85
5
125
16.67
5
685
17.85
4
360
13.33
Bubu dengan bobot umpan sebesar 150 g Nama Nama Indonesia Internasional Nama Latin Blue swimming Portunus Rajungan crab pelagicus Kepiting Bakau Mud crab Scylla sp
Udang Peci
Jumlah (ekor)
11
Total
Kepiting Batu Kepiting Bolem
% Jumlah
Thalamita sp
Bubu dengan bobot umpan sebesar 100 g Nama Nama Indonesia Internasional Nama Latin Blue swimming Portunus Rajungan crab pelagicus Kepiting Bakau Mud crab Scylla sp
Udang Peci
Bawah
Bobot (g)
Swimming crab
Total
Kepiting Batu Kepiting Bolem
Atas Jumlah (ekor)
Swimming crab
Thalamita sp
9
295
32.14
14
740
46.67
Rock crab Indian white prawn Blue-speckled shrimp goby
Leptodius sp
0
0
0
10
1070
33.33
12
63
42.85
11
47
36.67
4
150
14.28
1
50
3.33
42
1823
100
45
2392
100
Total
Pennaeus indicus Cryptocentrus caeruleomaculatus
107
Atas
Bawah
n=30
n=28 Bobot 50 g
Bobot 50 g
n=54
n=42
n=41 Bobot 100 g
Bobot 100 g
Bobot 150 g
Bobot 150 g
n=45
Gambar 40 Komposisi total hasil tangkapan bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda
108
Berdasarkan uji Friedman terhadap total hasil tangkapan bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda, diperoleh nilai Chi-Square 4.043 dengan nilai probabilitas sebesar 0,543 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 9).
Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap jumlah total hasil tangkapan bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda. 5.1.4 Keragaman spesies hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu selama penelitian secara keseluruhan yaitu sebanyak 6 (enam) spesies. Hampir semua jenis bubu yang dioperasikan selama penelitian berlangsung menangkap sebanyak 6 species. Adapun spesies hasil tangkapan terendah ditempati oleh bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 150 g yaitu sebanyak 5 spesies.
Keragaman spesies yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan Index Shannon Wiener untuk melihat variasi spesies yang tertangkap. Bubu dengan nilai Index Shannon Wiener lebih kecil merupakan bubu yang menangkap ikan dengan keberagaman lebih sedikit atau memiliki variasi hasil tangkapan yang lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lainnya. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda, diperoleh nilai Index Shannon Wiener yang menunjukkan keragaman spesies yang tertangkap pada bubu. Nilai Index Shannon Wiener terbesar ditempati oleh bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan 100 g yakni sebesar 1.6147, diikuti oleh bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan 150 g dengan nilai sebesar 1,5857. Nilai Index Shannon Wiener terkecil ditempati oleh bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan 50 g yakni sebesar 1,3581 (Lampiran 15). Nilai Index Shannon Wiener tersebut menunjukkan bahwa bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan 50 g memiliki keragaman spesies terkecil. Hal ini berarti bahwa variasi spesies yang tertangkap pada bubu jenis ini tidak sebesar bubu lainnya.
109
5.1.5
Total jumlah dan bobot hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)
5.1.5.1 Total jumlah hasil tangkapan rajungan a. Pada bubu dengan posisi umpan berbeda Total hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang diperoleh selama penelitian adalah 49 ekor. Total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi di atas yaitu sebanyak 24 ekor atau setara dengan 48,97 % dari total hasil tangkapan rajungan. Adapun total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang di bawah yaitu sebanyak 25 ekor atau setara dengan 51,03 % dari total hasil tangkapan rajungan. Secara detail hasil tangkapan rajungan yang diperoleh pada bubu dengan posisi peletakan umpan di atas dan bubu dengan posisi peletakan umpan di bawah disajikan pada Gambar 41.
Gambar 41 Jumlah hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di atas dan di bawah Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp-Sig. (2-tailed)
110
dengan nilai probabilitas sebesar 1.000 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda. b. Pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda Rajungan yang tertangkap selama penelitian diperoleh pada semua stasiun yang dijadikan daerah penangkapan ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah hasil tangkapan rajungan terbanyak diperoleh pada dua jenis bubu dengan bobot umpan sebesar 150 g yang diletakan pada posisi umpan di atas dan bubu dengan bobot umpan sebesar 100 g yang diletakan dengan posisi umpan di bawah. Hasil tangkapan bubu tersebut masing-masing sebanyak 12 ekor atau dengan proporsi sebesar 24.49 % dari total hasil tangkapan rajungan.
Jumlah hasil
tangkapan rajungan terendah diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g yang diletakkan pada posisi umpan di atas dan bubu dengan bobot umpan sebesar 150 g yang diletakkan pada posisi umpan di bawah.
Adapun hasil
tangkapan rajungan pada bubu tersebut masing- masing adalah sebanyak 5 ekor atau dengan proporsi sebesar 10.20 % dari total hasil tangkapan rajungan. Jumlah hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu secara keseluruhan dapat dilihat secara lebih rinci pada Gambar 42.
Gambar 42 Jumlah hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu Berdasarkan uji Friedman terhadap total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda, diperoleh nilai Chi-Square 8.105 dengan
111
nilai probabilitas sebesar 0,151 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap total hasil tangkapan rajungan yang tertangkap pada bubu dengan bobot umpan yang berbeda. 5.1.5.2 Total bobot hasil tangkapan rajungan a. Pada bubu dengan posisi umpan berbeda Total bobot hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang diperoleh selama penelitian adalah 2305 g. Total bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi di atas yaitu sebesar 1320 g atau setara dengan 57,27 % dari total bobot hasil tangkapan rajungan. Adapun total bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang di bawah yaitu sebesar 985 g atau setara dengan 42,73 % dari total bobot hasil tangkapan rajungan. Secara detail bobot hasil tangkapan rajungan yang diperoleh pada bubu dengan posisi peletakan umpan di atas dan bubu dengan posisi peletakan umpan di bawah disajikan pada Gambar 43.
Gambar 43 Bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di atas dan di bawah
112
Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai AsympSig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.307 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda. b. Pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda Berdasarkan data bobot total rajungan dari tiap jenis bubu yang diperoleh selama penelitian, maka dapat dilakukan uji friedmann untuk melihat adanya perbedaan pada tiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot hasil tangkapan rajungan terbanyak diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 150 g yang diletakan pada posisi umpan di atas. Total bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu tersebut adalah sebesar 630 g atau dengan proporsi sebesar 27.33 % dari bobot total hasil tangkapan rajungan selama penelitian.
Hasil
tangkapan terbesar berikutnya diperoleh bubu dengan bobot umpan sebesar 100 g yang diletakan pada posisi umpan di bawah. Aapun total bobot hasil tangkapan yang diperoleh pada bubu tersebut adalah sebesar 575 g dengan proporsi 24.95 % dari bobot total hasil tangkapan rajungan.
Jumlah hasil tangkapan rajungan
terendah diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 150 g yang diletakkan pada posisi umpan di bawah. Adapun bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu tersebut adalah sebesar 125 g atau dengan proporsi sebesar 5.42 % dari bobot total hasil tangkapan rajungan. Bobot total hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu secara keseluruhan dapat dilihat secara lebih rinci pada Gambar 44.
113
Gambar 44 Bobot total hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu Berdasarkan uji Friedman terhadap bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda, diperoleh nilai Chi-Square 7.800 dengan nilai probabilitas sebesar 0,168 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap bobot total hasil tangkapan rajungan yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan yang berbeda.
5.1.6
Distribusi ukuran hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)
5.1.6.1 Sebaran berat Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada penelitian ini berada pada kisaran 5 – 160 g. Ukuran berat rajungan yang dominan tertangkap berada pada selang 20 – 60 g dengan jumlah 30 ekor, sedangkan ukuran yang paling sedikit tertangkap berkisar antara 5 – 10 g, 90 – 100 g, dan 150 – 160 g dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor. Secara lebih detail distribusi bobot rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar 45.
114
Gambar 45 Sebaran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap selama penelitian a) Sebaran berat rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi umpan Berat rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi di atas sangat bervariasi yaitu berkisar antara 5 - 160 g. Adapun berat rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi di bawah hanya berkisar antara 0-90 g. Bobot rajungan yang banyak tertangkap pada bubu dengan posisi di atas berada pada kisaran 30.1-50 g yaitu sebanyak 7 ekor. Adapun bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di atas paling sedikit berada pada kisaran 130.1-150 dan 150.1-170 dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor. Bobot rajungan paling banyak tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah berada pada kisaran 30.1-50 g yaitu sebanya 8 ekor. Adapun bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di bawah paling sedikit berada pada kisaran 70.1-90 g yaitu sebanyak 3 ekor. Secara detail bobot hasil tangkapan rajungan yang diperoleh pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bubu dengan posisi umpan di bawah disajikan pada Gambar 46.
115
Gambar 46 Distribusi berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dan di bawah Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap bobot rata-rata hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai AsympSig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.130 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 8).
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat rata-rata rajungan yang tertangkap. b) Sebaran berat rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi dan bobot umpan Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 0 – 150 g.
Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan
tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 90 – 110 g yakni sebanyak 2 ekor atau 40 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 0 – 30 g, 50 – 70 g, dan 130 – 150 g dengan jumlah masing-masing sebanyak 1
116
ekor dengan persentase masing-masing sebesar 20 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 0 – 70 g. Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 30 – 50 g dan 50 – 70 g dengan jumlah masing-masing sebanyak 3 ekor atau 37.5 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 0 – 30 g yakni sebanyak 2 ekor dengan persentase sebesar 25 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 0 – 110 g.
Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan
tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 30 – 50 g yakni sebanyak 3 ekor atau 42.85 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 70 – 90 g, dan 90 – 110 g dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 14.28 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 0 – 90 g. Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 30 – 50 g yakni sebanyak 4 ekor atau 33.33 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 0 – 30 g yakni sebanyak 2 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 16.67 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 0 – 170 g.
Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan
tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 30 – 50 g yakni sebanyak
117
4 ekor atau 33.33 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 70 g, dan 150 – 170 g dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 8.33 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 0 – 70 g. Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 0 – 30 g yakni sebanyak 3 ekor atau 60 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 30 – 50 g, dan 50 – 70 g dengan jumlah masing-masing sebanyalyakni sebanyak 1 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 20 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Distribusi berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda disajikan secara lebih detail pada gambar 47. Rata-rata ukuran berat rajungan terbesar yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g dan posisi umpan di atas. Rata-rata bobot rajungan pada jenis bubu tersebut yakni sebesar 78 g dan standar deviasi sebesar 45.49. Rata-rata ukuran berat rajungan terkecil yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 150 g dan posisi umpan di bawah. Rata-rata bobot rajungan pada jenis bubu tersebut yakni sebesar 25 g dan standar deviasi sebesar 15.81. Secara lebih detail rata-rata bobot rajungan yang tertangkap dengan menggunakan bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda disajikan pada Gambar 48.
118
Gambar 47 Distribusi berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda
Gambar 48 Rata-rata berat rajungan (Portunus pelagicus.) pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda
119
Berdasarkan uji Friedman terhadap berat rajungan dengan menggunakan bobot umpan yang berbeda diperoleh nilai Chi-square 32.687 dengan nilai probabilitas 0.000 pada taraf nyata 0.05 (Lampiran 11). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang nyata pada berat rajungan yang menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda.
Selanjutnya untuk mengetahui jenis perlakuan yang
memberikan perbedaan nyata terhadap bobot hasil tangkapan rajungan maka dilakukan uji lanjut perbandingan berganda (Multiple comparison). Hasil uji perbandingan berganda menunjukkan bahwa bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap bobot hasil tangkapan rajungan yang diperoleh jika dibandingkan dengan bubu jenis lainnya. Secara lebih detail, hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12. perbandingan berganda
Adapun perhitungan uji lanjut
untuk sebaran bobot hasil tangkapan rajungan dapat
dilihat pada Lampiran 12. Tabel 12 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap berat rajungan pada tiap perlakuan A50 A100 A150 B50 A50 Beda nyata Beda nyata Beda nyata tidak berbeda tidak berbeda A100 nyata nyata A150
Beda nyata
B50 B100 B150
hasil tangkapan B100 Beda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata
B150 Beda nyata Beda nyata Beda nyata Beda nyata Beda nyata
5.1.6.2 Sebaran panjang karapas (carapace length / CL) Panjang karapas rajungan yang tertangkap selama penelitian berkisar antara 15 – 70 mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang dominan tertangkap berada pada selang 30 – 50 mm dengan jumlah 39 ekor. Ukuran panjang karapas yang paling sedikit tertangkap berkisar antara 15 – 20 mm, 55 – 60 mm, 65 – 70 mm dengan jumlah masing - masing 1 ekor. Secara lebih detail distribusi panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus.) yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar 49.
120
Gambar 49 Sebaran panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus) a) Sebaran panjang karapas rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi umpan Panjang karapas rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi di atas sangat bervariasi yaitu berkisar antara 20-70 mm. Adapun panjang karapas rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi di bawah hanya berkisar antara 0-60 g. Panjang karapas rajungan yang banyak tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas berada pada kisaran 30 – 50 mm yaitu sebanyak 16 ekor. Adapun panjang karapas hasil tangkapan rajungan yang paling sedikit berada pada selang 60 - 70 mm yaitu sebanyak 1 ekor. Panjang karapas rajungan yang paling banyak tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah berada pada kisaran 30 - 50 mm yaitu sebanyak 23 ekor. Adapun panjang karapas hasil tangkapan rajungan yang paling sedikit berada pada selang 0 - 20 dan 50 – 60 dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor. Secara detail sebaran panjang karapas hasil tangkapan rajungan yang diperoleh pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bubu dengan posisi umpan di bawah disajikan pada Gambar 50.
121
Gambar 50
Distribusi panjang karapas (CL) rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot umpan di atas dan di bawah
Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap CL rata-rata hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai AsympSig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.406 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 8).
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap CL rata-rata rajungan yang tertangkap. b) Sebaran panjang karapas rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi dan bobot umpan Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 20 – 70 mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap pada bubu jenis ini berada pada kisaran 50 – 60 mm yakni sebanyak 2 ekor atau 40 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 20 – 30 mm,
122
40 – 50 mm, dan 60 – 70 mm dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 20 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 0 – 50 mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 40 – 50 mm yakni sebanyak 5 ekor atau 62.5 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 0 – 20 mm yakni sebanyak 1 ekor dengan persentase sebesar 12.5 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 20 – 60 mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 20 – 30 mm, 30 – 40 mm, dan 40 – 50 mm dengan jumlah masingmasing sebanyak 2 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 28.57 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 60 mm sebanyak 1 ekor dengan persentase sebesar 14.29 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 30 – 60 mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 30 – 40 mm dengan jumlah sebanyak 6 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 50 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 60 mm yakni sebanyak 1 ekor dengan persentase sebesar 8.33 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis tersebut. Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 30 – 60 mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 30 – 40 mm yakni sebanyak 6 ekor atau sebesar 50 % dari total hasil
123
tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 60 mm yakni sebanyak 1 ekor atau sebesar 8.33 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 30 – 50 mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 30 – 40 mm yakni sebanyak 4 ekor atau sebesar 80 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 40 – 50 mm yakni sebanyak 1 ekor atau sebesar 10 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran rajungan yang layak tangkap, paling banyak tertangkap pada bubu dengan umpan berbobot 50 g dengan posisi umpan di atas dengan persentase 80% dari total hasil tangkapan rajungan yang tertangkap pada bubu tersebut. Yang dimaksud rajungan yang berukuran layak tangkap adalah rajungan yang memiliki ukuran panjang karapas sekitar 37 mm ke atas. Adapun rajungan yang layak tangkap paling sedikit tertangkap pada bubu dengan umpan berbobot 150 g dengan posisi umpan di bawah yakni sebanyak 40% dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan perlakuan tersebut.
Distribusi panjang karapas
rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda disajikan secara lebih detail pada Gambar 51.
124
Gambar 51 Distribusi panjang karapas (CL) rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda Rata-rata ukuran panjang karapas rajungan yang tertinggi yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g. Rata-rata panjang karapas rajungan pada jenis bubu tersebut yakni sebesar 47.72 mm dan standar deviasi sebesar 15.55. Rata-rata ukuran panjang karapas terkecil yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 150 g dan posisi umpan di bawah. Rata-rata panjang karapas rajungan pada jenis bubu tersebut yakni 37.55 mm dengan standar deviasi sebesar 3.95.
Secara lebih detail rata-rata ukuran panjang karapas rajungan yang
tertangkap dengan menggunakan bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda disajikan pada Gambar 52.
125
Gambar 52 Rata-rata panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus.) pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda Berdasarkan uji Friedman terhadap panjang karapas rajungan dengan menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda diperoleh nilai Chi-square 29.814 dengan nilai probabilitas 0,000 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 11). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang nyata terhadap panjang karapas rajungan pada bubu dengan menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda. Selanjutnya untuk mengetahui jenis perlakuan yang memberikan perbedaan nyata terhadap panjang karapas hasil tangkapan rajungan maka dilakukan uji lanjut perbandingan berganda (Multiple comparison). Hasil uji perbandingan berganda menunjukkan bahwa bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap panjang karapas hasil tangkapan rajungan yang diperoleh jika dibandingkan dengan bubu jenis lainnya. Secara lebih detail, hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13. Adapun perhitungan uji lanjut perbandingan berganda untuk sebaran panjang karapas (CL) hasil tangkapan rajungan dapat dilihat pada Lampiran 13.
126
Tabel 13 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap panjang karapas hasil tangkapan rajungan pada tiap perlakuan A50 A50
A100 Beda nyata
A150 Beda nyata
B50 Beda nyata
B100
B150
Beda nyata
Beda nyata
tidak berbeda tidak berbeda tidak berbeda nyata nyata nyata tidak berbeda Beda nyata nyata tidak berbeda nyata
A100 A150 B50 B100 B150
Beda nyata Beda nyata tidak berbeda nyata Beda nyata
5.1.6.3 Sebaran lebar karapas (carapace witdh / CW) Lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada penelitian ini berada pada kisaran 30 – 130 mm. Ukuran lebar karapas rajungan yang dominan tertangkap berada pada selang 70 – 100 mm dengan jumlah 32 ekor. Adapun ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berkisar antara 30 – 40 mm, 110 – 120 mm, dan 120 – 130 mm dengan jumlah masing-masing sebanyak 1.
Secara lebih detail distribusi lebar karapas rajungan (Portunus
pelagicus) yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar 53.
Gambar 53 Sebaran lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus)
127
a) Sebaran lebar karapas rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi umpan Lebar karapas rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi di atas sangat bervariasi yaitu berkisar antara 50-130 mm. Adapun lebar karapas rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi di bawah hanya berkisar antara 30-110 g. Lebar karapas rajungan yang banyak tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas berada pada kisaran 70.1 – 90 mm yaitu sebanyak 10 ekor. Adapun lebar karapas hasil tangkapan rajungan yang paling sedikit berada pada selang 110.1 - 130 mm yaitu sebanyak 2 ekor.
Lebar rajungan yang paling banyak tertangkap pada bubu
dengan posisi umpan di bawah berada pada kisaran 70.1 - 90 mm yaitu sebanyak 12 ekor. Adapun lebar karapas hasil tangkapan rajungan yang paling sedikit berada pada selang 30 – 50 mm yaitu sebanyak 1 ekor. Secara detail sebaran lebar karapas hasil tangkapan rajungan yang diperoleh pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bubu dengan posisi umpan di bawah disajikan pada Gambar 54.
Gambar 54 Distribusi CW rajungan (Portunus pelagicus) pada bubu dengan posisi umpan di atas dan di bawah
128
Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap CW rata-rata hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai AsympSig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.364 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 8).
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap CW rata-rata rajungan yang tertangkap. b) Sebaran lebar karapas rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi dan bobot umpan Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 50 – 130 mm. Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 90 –110 mm yakni sebanyak 2 ekor atau 40 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 70 mm, 70.1 – 90 mm, dan 110 – 130 mm dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 20 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 30 – 110 mm. Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 70 – 90 mm yakni sebanyak 5 ekor atau 62.5 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 30 – 50 mm, 50 – 70 mm, dan 90 – 110 mm dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 12.5 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 50 – 110 mm. Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 70 – 90 mm yakni sebanyak 3 ekor atau 42.85 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 70 mm dan 90 – 110 mm dengan jumlah masingmasing sebanyak 2 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 28.57 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis.ini
129
Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 50 – 110 mm. Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 90 – 110 mm yakni sebanyak 5 ekor atau 41.67 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 70 mm yakni sebanyak 3 ekor atau 25 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 50 – 130 mm. Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 70 – 90 mm yakni sebanyak 6 ekor atau 50 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 70 mm dan 110 – 130 mm dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 8.33 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 50 – 110 mm. Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran 70 – 90 mm yakni sebanyak 3 ekor atau 60 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 70 mm dan 90 – 110 mm dengan jumlah masingmasing sebanyak 1 ekor dergan persentase masing-masing sebesar 20 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Distribusi lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda disajikan secara lebih detail pada Gambar 55.
130
Gambar 55 Distribusi lebar karapas (CW) rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda Rata-rata ukuran lebar karapas rajungan yang tertinggi yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g. Rata-rata lebar karapas rajungan pada jenis bubu tersebut yakni sebesar 93.88 mm dan standar deviasi sebesar 25.86. Rata-rata ukuran lebar karapas terkecil yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g dan posisi umpan di bawah. Rata-rata lebar karapas rajungan pada jenis bubu tersebut yakni 75.02 mm dengan standar deviasi sebesar 17.66. Secara lebih detail rata-rata ukuran lebar karapas rajungan yang tertangkap
131
dengan menggunakan bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda disajikan pada Gambar 56.
Gambar 56 Rata-rata lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda Berdasarkan uji Friedman terhadap lebar karapas rajungan dengan menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda, diperoleh nilai Chi-square 28.381 dengan nilai probabilitas 0.000 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 11). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang nyata pada lebar karapas hasil tangkapan rajungan dengan menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda. Selanjutnya untuk mengetahui jenis perlakuan yang memberikan perbedaan nyata terhadap lebar karapas hasil tangkapan rajungan maka dilakukan uji lanjut perbandingan berganda (Multiple comparison). Hasil uji perbandingan berganda menunjukkan bahwa bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap lebar karapas hasil tangkapan rajungan yang diperoleh jika dibandingkan dengan bubu jenis lainnya. Secara lebih detail, hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 14. berganda
Adapun perhitungan uji lanjut perbandingan
untuk sebaran lebar karapas (CW) hasil tangkapan rajungan dapat
dilihat pada Lampiran 14.
132
Tabel 14 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap lebar karapas hasil tangkapan rajungan pada tiap perlakuan A50 A50 A100 A150
A100 Beda nyata
A150 Beda nyata tidak berbeda nyata
B50 Beda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata
B50
B100 Beda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata
B100 B150
B150 Beda nyata Beda nyata Beda nyata tidak berbeda nyata Beda nyata
5.1.7 Hubungan antara panjang karapas dan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) Berdasarkan analisis regresi linier terhadap panjang karapas dengan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) diperoleh persamaan sebagai berikut: y = 6,89 + 1,88 x R2= 92,3% r=0.96 dimana y adalah lebar karapas dan x adalah panjang karapas Persamaan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan panjang karapas sebesar satu satuan akan meningkatkan lebar karapas sebesar 1,88 satuan (mm). Nilai koefisien determinasi (R2) pada persamaan ini sebesar 0,923 atau sebesar 92,3 %. Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 92,3 %. Nilai koefisien korelasi (r) pada persamaan ini sebesar 0,96. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan panjang karapas dan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) sangat kuat. Sebaran data yang menunjukkan hubungan antara panjang karapas dengan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) disajikan pada Gambar 57.
133
y = 6,89 + 1,88 x R2= 92,3% r=0.96
Gambar 57 Hubungan antara panjang karapas dengan lebar karapas seluruh hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) 5.1.8 Hubungan antara berat dan panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus) Berdasarkan analisis regresi linier terhadap berat dengan panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus) diperoleh persamaan sebagai berikut: y = - 6,12 + 2,64 ln x R2= 76,6% r=0.87 dimana y adalah berat karapas dan x adalah panjang karapas Persamaan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan ln panjang karapas sebesar satu satuan (mm) akan meningkatkan ln berat sebesar 2,64 satuan (g). Nilai koefisien determinasi (R2) pada persamaan ini sebesar 0,766 atau sebesar 76.6 %. Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 76.6 %. Koefisien korelasi (r) pada persamaan ini sebesar 0,87. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan panjang karapas dan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) sangat kuat. Sebaran data yang menunjukkan hubungan antara berat dengan panjang karapas kepiting bakau (Scylla sp.) disajikan pada Gambar 58.
134
y = - 6,12 + 2,64 ln x R2= 76,6% r=0,87
Gambar 58 Hubungan antara berat dengan panjang karapas seluruh hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) 5.1.9 Hubungan antara berat dan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) Berdasarkan analisis regresi linier terhadap berat dengan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) diperoleh persamaan sebagai berikut: y = - 8,42 + 2,73 ln x R2 = 82% r=0,90 dimana y adalah berat dan x adalah lebar karapas Persamaan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan ln lebar sebesar satu satuan (mm) akan meningkatkan ln berat sebesar 2.73 satuan (g). Nilai koefisien determinasi (R2) pada persamaan ini sebesar 0,82 atau sebesar 82 %. Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 82 %.
Nilai koefisien korelasi (r) pada
persamaan ini sebesar 0,96. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan panjang karapas dan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) sangat kuat. Sebaran data yang menunjukkan hubungan antara berat dengan lebar karapas kepiting bakau (Scylla sp.) disajikan pada Gambar 59.
135
y = - 8,42 + 2,73 ln x R2 = 82% r=0,90
Gambar 59 Hubungan antara berat dengan lebar karapas seluruh hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) 5.1.10 Rasio jenis kelamin Jumlah rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap selama penelitian adalah sebanyak 49 ekor dengan komposisi rajungan jantan sebanyak 33 ekor dan rajungan betina sebanyak 16 ekor. Jumlah rajungan jantan paling banyak tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar 100 g yakni sebanyak 15 ekor. Adapun rajungan jantan lebih banyak tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar 100 g dengan posisi umpan di bawah. Rajungan jantan paling sedikit tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g yakni sebanyak 7 ekor. Adapun rajungan jantan lebih sedikit tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g dan 150 g dengan jumlah tangkapan masing-masing sebanyak 3 ekor. Rajungan betina paling banyak tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g dan 150 g dengan jumlah masing-masing sebanyak 6 ekor. Adapun rajungan betina paling banyak tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g dengan posisi umpan di bawah. Rajungan betina paling sedikit tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar 100 g yakni sebanyak 4 ekor. Adapun rajungan betina lebih sedikit tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g dan 100 g dengan jumlah tangkapan masing masing sebanyak 1 ekor. Secara lebih detail, jumlah rajungan jantan dan rajungan betina yang tertangkap pada tiap bubu disajikan pada Gambar 60.
136
Gambar 60 Jumlah rajungan jantan dan rajungan betina yang tertangkap pada tiap jenis perlakuan Berdasarkan uji Chi-square terhadap rasio jenis kelamin rajungan yang tertangkap pada bubu dengan menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda, diperoleh nilai Chi-square 5,898 dengan nilai probabilitas 0,015. Hal ini menandakan bahwa populasi rajungan jantan dan betina tidak homogen. Adapun hasil uji chi – square terhadap rasio jenis kelamin rajungan yang tertangkap selama penelitian berlangsung secara detail dapat dilihat pada Lampiran 16.
137
5.2 Pembahasan 5.2.1 Komposisi total hasil tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian berlangsung adalah sebanyak 240 ekor yang terdiri dari enam spesies.
Adapun keenam spesies
tersebut adalah rajungan (Portunus pelagicus), kepiting bakau (Scylla sp), udang peci (Penaeus indicus), kepiting batu (Thalamita sp), kepiting bolem (Leptodius sp), dan beloso (Cryptocentrus caeruleomaculatus).
Jumlah spesies yang
tertangkap pada lokasi penelitian tidak sebanyak pada penelitian yang dilakukan di lokasi lainnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Iskandar dan Lastari (2008) yang memperoleh hasil tangkapan sebanyak 15 spesies dengan menggunakan bubu lipat dengan target tangkapan rajungan di Perairan Kronjo, serta Iskandar dan Ramdani (2009) yang juga melakukan penelitian terkait jenis umpan di Perairan Kronjo dan menangkap hasil tangkapan sebanyak 12 spesies. Hasil penelitian yang dilakukan di perairan Desa Mayangan menunjukkan bahwa keragaman spesies yang tertangkap relatif lebih sedikit. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Rusdi (2010) di lokasi yang sama yaitu Mayangan yang juga menagkap jenis hasil tangkapan sebanyak 6 spesies. Hal ini karena operasi penangkapan dilakukan di perairan sekitar hutan bakau sehingga diduga berakibat pada jumlah keragaman spesies yang diperoleh.
Perbedaan keragaman jenis
spesies ini diduga terjadi karena adanya perbedaan lokasi penangkapan. Iskandar dan Lastari (2008) melakukan pengangkapan rajungan dengan bubu di wilayah laut terbuka sehingga variasi jumlah spesies lebih banyak. Adapun penelitian ini dilakukan di perairan mangrove dengan hutan bakau yang merupakan habitat yang spesifik. Hutan bakau merupakan komunitas laut dangkal yang didominasi oleh beberapa jenis pohon atau semak-semak yang mempunya kemampuan untuk tumbuh di air asin. Kondisi fisik lingkungan mangrove adalah memiliki arus yang kecil sehingga endapan partikel cenderung mengendap di dasar, kadar oksigen di perairan mangrove relatif rendah serta memiliki kadar garam yang tinggi. Oleh karenanya hanya beberapa biota laut yang bisa hidup di perairan mangrove (Nyabakken, 1993). Hutan mangrove memiliki fungsi biologis sebagai tempat pembesaran benih bagi spesies ikan, udang dan rajungan dari lepas pantai, tempat bersarang burung-burung besar dan habitat alami berbagai jenis biota. Kelompok
138
hewan laut dominan yang hidup di hutan bakau adalah jenis moluska, beberapa krustasea dan jenis ikan-ikan tertentu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bubu lipat berdimensi p x l x t = 45 x 30 x 18 cm. Ukuran bubu lipat ini lebih kecil dibandingkan dengan bubu lipat yang dioperasikan di beberapa daerah. Sebagai contoh bubu lipat yang dioperasikan di Perairan Kronjo dengan target tangkapan rajungan memiliki dimensi p x l x t = 50.5 x 34.5 x 19 cm (Iskandar dan Lastari 2007). Perbedaan ukuran bubu yang dioperasikan pada berbagai daerah disesuaikan dengan daerah pengoperasian bubu serta target spesies yang ingin ditangkap. Operasi penangkapan pada penelitian ini dilakukan pada lima stasiun yang berbeda. Dari kelima stasiun tersebut, stasiun kelima merupakan daerah penangkapan rajungan yang paling baik dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini disebabkan karena lokasinya yang lebih mendekati ke arah laut dibandingkan stasiun lainnya. Selain itu jumlah pohon bakau yang ada di stasiun lima lebih banyak dibandingkan dengan stasiun lainnya, sehingga perairan di stasiun lima menjadi lebih banyak mengandung makanan bagi rajungan yang ada disekitar perairan tersebut. Ditinjau dari posisi dan bobot umpan yang digunakan maka bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan 50 g memiliki nilai Index Shannon Wiener yang paling kecil yakni sebesar 1,3581. Hal ini berarti bahwa bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan 50 g menangkap hasil tangkapan dengan keragaman spesies yang paling sedikit.
Indeks Shannon
Wiener merupakan indikator yang menunjukkan spesies yang tertangkap oleh bubu dengan menggunakan kategori umpan yang berbeda. Apabila nilai indeks Shannon Wiener yang diperoleh kecil, maka berarti bahwa keragaman spesies yang tertangkap dengan kategori umpan tersebut relatif kecil. Semakin besar nilai indeks Shannon Wiener maka keragaman spesies yang tertangkap relatif besar. Umpan berperan dalam menarik ikan dan biota lain untuk masuk ke dalam bubu. Bobot umpan yang lebih sedikit berarti bahwa jumlah bau yang dilepas relatif lebih sedikit dibanding umpan dengan bobot yang lebih besar (Marie and Cyr, 1995).
Biota mendekat kepada umpan sebagai bentuk respon terhadap
keberadaan asam amino di perairan (Laverach, 1963 diacu oleh Mackie, 1973).
139
McLeese (1970) memperoleh fakta bahwa beberapa campuran asam amino merupakan zat yang dapat memikat lobster Homarus americanus. Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap total hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp.Sig.(2-tailed) sebesar 0.761 pada taraf nyata 0,05. Nilai tersebut menunjukkan bahwa posisi umpan tidak memberikan berbedaan total hasil tangkapan secara signifikan. Dengan kata lain, dalam penelitian ini, posisi
umpan baik di atas maupun di bawah tidak
memberikan perbedaan secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan yang diperoleh secara keseluruhan. Umpan juga berperan dalam meningkatkan hasil tangkapan . Engas et al (2000) menemukan bahwa penggunaan umpan pada gillnet berhasil meningkatkan hasil tangkapan ikan cod sebesar 61%. Hasil yang diperoleh berbeda dengan Archdale et al (2003).
Pada pengamatan yang
dilakukan oleh Archdale et al (2003) diperoleh hasil bahwa posisi umpan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan bubu. Umpan yang dipasang di bagian atas bubu dengan posisi melengkung memperoleh hasil tangkapan kepiting ”ishigami” dalam jumlah yang lebih banyak dibanding dengan bubu yang menggunakan umpan dengan posisi dihamparkan di bagian dasar bubu. Perbedaan hasil penelitan ini dengan hasil penelitian Archdale et al (2003) kemungkinan diakibatkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1. Perlakuan posisi umpan pada penelitian yang dilakukan oleh Archdale et al (2003) lebih tinggi posisinya dibanding dengan posisi umpan pada penelitian ini. Apabila posisi umpan lebih tinggi maka bau umpan dapat tersebar dengan jarak yang lebih luas. 2. Posisi pemasangan umpan pada Archdale et al (2003) melengkung di atas sehingga bau umpan menyebar dalam jangkauan yang luas.
Adapun
dalam penelitian ini umpan dipasang pada posisi bagian atas dengan posisi tegak. Total hasil tangkapan yang paling sedikit terdapat pada bubu dengan posisi umpan di atas dengan jumlah bobot umpan sebesar 50 g dengan total hasil tangkapan sebanyak 28 ekor.
Setelah itu diikuti dengan bubu dengan posisi
umpan di bawah dengan bobot umpan sebesar 50 g dengan total hasil tangkapan sebanyak 30 ekor.
Adanya penambahan bobot umpan yang diberikan,
140
mengakibatkan terjadinya peningkatan total hasil tangkapan. Walaupun total hasil tangkapan yang diperoleh mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya bobot umpan yang dipasang pada bubu, namun total hasil tangkapan yang diperoleh tidak berbeda secara signifikan. Adapun total hasil tangkapan terbesar diperoleh bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 100 g dengan jumlah sebanyak 54 ekor. Hal ini sesuai dengan hasil yang deiperoleh Sainte-Marie (1995) bahwa peningkatan kuantitas umpan akan meningkatkan hasil tangkapan pada level tertentu. Hasil tangkapan utama pada penelitian ini adalah rajungan (Portunus pelagicus) dengan jumlah 49 ekor atau setara dengan 20 % dari total hasil tangkapan. Nilai ini berada di urutan ke-2 setelah hasil tangkapan kepiting batu (Thalamita sp) yang berjumlah 87 ekor atau setara dengan 36 %. Hasil uji Mann Whitney terhadap posisi umpan berbeda menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap total jumlah serta bobot total hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang diperoleh selama penelitian.
Hal ini ditunjukkan
dengan nilai Asymp-Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 1.000 pada taraf nyata 0,05 untuk jumlah hasil tangkapan, dan nilai Asymp-Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.307 pada taraf nyata 0,05 untuk bobot total hasil tangkapan rajungan. Adapun uji Friedman digunakan untuk menentukan adanya perbedaan jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan jika ditinjau dari segi posisi dan bobot umpan berbeda. Berdasarkan uji Friedman diperoleh nilai Chi-Square sebesar 8.105 dengan nilai probabilitas sebesar 0,151 pada taraf nyata 0,05 untuk jumlah hasil tangkapan rajungan, dan nilai Chi-Square sebesar 7.800 dengan nilai probabilitas sebesar 0,168 pada taraf nyata 0,05 untuk bobot total hasil tangkapan rajungan. Nilai tersebut menunjukkan bahwa perbedaan posisi dan bobot umpan yang diberikan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan posisi serta penambahan bobot umpan pada bubu tidak memberikan perbedaan jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang cukup signifikan. Pada beberapa penelitian terdahulu, bobot umpan berpengaruh terhadap hasil tangkapan bubu.
Miller (1990) menyatakan bahwa penambahan bobot
141
umpan berpengaruh terhadap hasil tangkapan bubu.
Hal ini karena dengan
bertambahnya bobot umpan maka pelepasan bau umpan akan semakin bertambah banyak. Bau umpan yang diduga menjadi penyebab berkumpulnya kepiting dan biota lainnya ke dalam bubu adalah asam amino. Semakin lama umpan direndam di dalam air maka proses pelepasan asam amino akan semakin lama sehingga berakibat terkurasnya kandungan asam amino (Mackie, 1973). Pada penelitian ini jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan pada posisi dan bobot umpan berbeda tidak berbeda secara signifikan pada taraf nyata 0,05. Hal ini diduga dapat terjadi karena beberapa faktor. Faktor yang pertama mungkin disebabkan oleh adanya saturasi (kejenuhan) pada proses penangkapan dengan bubu. Saturasi terjadi pada saat proses penangkapan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Proses pertambahan hasil tangkapan tidak be rbanding lurus dengan waktu penangkapan karena adanya loss bait odor (kehilangan bau umpan) (Miller, 1990). Kemungkinan yang lain adalah karena jumlah populasi rajungan di lokasi pemasangan bubu tidak cukup banyak sehingga penambahan bobot umpan tidak berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan.
5.2.2 Distribusi ukuran hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) Bobot rajungan yang tertangkap selama penelitian berkisar pada 5 – 160 g. Ukuran bobot rajungan yang dominan tertangkap yaitu pada selang 20 – 60 g dengan jumlah 30 ekor. Berdasarkan posisi umpan yang dipasang pada bubu, bubu dengan posisi umpan di atas menangkap rajungan dengan selang bobot 10 – 160 g, sedangkan bubu dengan posisi umpan di bawah hanya menangkap rajungan dengan selang bobot antara 5 – 90 g. Hasil uji Mann-Whitney terhadap sebaran bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda menunjukkan nilai Asymp-Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.130 pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat rata-rata rajungan yang tertangkap. Bobot hasil tangkapan rajungan ditinjau berdasarkan posisi dan bobot umpan menunjukkan bahwa bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g menangkap rajungan dengan rata-rata bobot yang lebih besar
142
dibandingkan bubu jenis lainnya. Hal ini cukup mengejutkan karena penggunaan umpan yang lebih sedikit justru menangkap rajungan dengan bobot rata-rata yang lebih besar dibandingkan dengan bubu jenis lainnya. Studi mengenai bagaimana lobster, udang karang, dan kepiting menentukan lokasi sumber bau yang dilakukan oleh Grasso dan Basil (2002) menemukan bahwa crustacea decapoda dapat menemukan sumber bau yang telah dikacaukan oleh efek turbulensi arus dan distribusi bau berdasarkan ruang dan waktu dengan menggunakan antena luar yang dilengkapi sensor kimia dan mekanik.
Dalam penelitian terhadap tiga
spesies lobster pasir diketahui bahwa peningkatan panjang antennule akan meningkatkan efektifitas area efektif reseptor. Dengan demikian rajungan dengan ukuran yang lebih besar akan memiliki antennule yang lebih panjang sehingga mampu melacak keberadaan umpan dengan jumlah yang lebih sedikit dengan lebih baik dibandingkan rajungan dengan ukuran yang masih kecil. Hal inilah yang diduga menyebabkan rajungan dengan rata-rata bobot yang lebih besar cenderung tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g. Adapun ukuran panjang karapas (CL) dan lebar karapas (CW) rajungan yang tertangkap selama penelitian berkisar antara 15 – 70 mm (untuk CL) dan 30 – 130 mm (untuk CW). Ditinjau dari segi perbedaan posisi umpan pada bubu dengan menggunakan uji Mann-Whitney terhadap CL rata-rata hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp-Sig. (2tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.406 pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap CL rata-rata rajungan yang tertangkap. Adapun uji MannWhitney terhadap CW rata-rata hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp-Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.364 pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap CL rata-rata rajungan yang tertangkap. Ditinjau dari segi posisi dan bobot umpan yang berbeda pada bubu dengan menggunakan uji Friedman, dapat diketahui bahwa dengan menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda akan menyebabkan ukuran panjang karapas (CL)
143
dan kebar karapas (CW) rajungan yang tertangkap secara signifikan berbeda nyata (P < 0,05 dengan Chi-Square terhadap panjang karapas 29.814 dan Chi-Square terhadap lebar karapas 28.381). Hal ini menunjukkan bahwa pemasangan umpan dengan posisi dan bobot tertentu dapat meberikan hasil tangkapan rajungan dengan ukuran yang lebih besar. Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g menangkap rajungan dengan rata-rata panjang karapas (CL) dan lebar karapas (CW) paling baik dibandingkan dengan bubu dengan posisi dan bobot umpan lainnya. Sama seperti dugaan terhadaap hasil tangkapan rajungan berdasarkan bobot rajungan rata-rata yang diperoleh, kemungkinan besar rajungan dengan ukuran yang lebih besar akan memiliki antenule yang lebih panjang dibandingkan rajungan yang masih kecil sehingga mampu melacak keberadaan umpan yang lebih sedikit dengan lebih baik dibandingkan rajungan dengan ukuran yang masih kecil. Hazlett, 1971; Arche, 1972 dalam Mackie, 1973 mengatakan bahwa jarak receptor kimia pada crustasea decapoda ditentukan oleh antennules sehingga memungkinkan hewan-hewan tersebut untuk dapat bergerak mendekati sumber bau yang telah dideteksi oleh antennules. Hal inilah yang diduga menyebabkan rajungan dengan rata-rata CL dan CW yang lebih besar cenderung tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g. Bubu dengan posisi dan bobot umpan lainnya menangkap rajungan dengan ukuran yang jauh lebih bervariasi dibandingkan bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g.
Hal ini diduga karena bobot umpan yang
digunakan lebih banyak sehingga menyebabkan bau umpan (bait’s odor) yang dilepaskan cenderung lebih banyak. Hal ini mengakibatkan rajungan dengan ukuran yang lebih kecil dapat dengan lebih mudah melacak posisi umpan dengan lebih akurat sehingga menyebabkan ukuran rajungan yang tertangkap menjadi lebih bervariasi.
5.2.3 Rasio jenis kelamin rajungan (Portunus pelagicus) Rajungan yang tertangkap salama penelitian berlangsung berjumlah 49 ekor. Ditinjau dari rasio jenis kelamin, rajungan yang tertangkap selama penelitian lebih didominasi oleh rajungan jantan dibandingkan dengan rajungan betina. Adapun
144
jumlah rajungan jantan yang tertangkap selama penelitian berlangsung adalah sebanyak 33 ekor, sedangkan jumlah rajungan betina yang tertangkap sebanyak 16 ekor. Jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian ini memiliki rasio 2:1. Hasil yang diperoleh ini mirip dengan hasil [enelitian yang dilakukan Skinner and Hill (1986). Skinner and Hill (1986) menyatakan bahwa hasil tangkapan kepiting Ranina ranina jantan dengan menggunakan bubu lebih tinggi di banding hasil tangkapan kepiting betina.
Nurhalim (2001) juga
mendapatkan hasil bahwa rajugan jantan yang tertangkap pada saat operasi penangkapan dengan menggunakan gillnet sebanyak 77% sedangkan jumlah rajungan betina yang tertangkap sebanyak 23% dari total hasil tangkapan. Miller (1990) menduga bahwa jangkauan kepiting jantan dalam mencari makan lebih luas dibanding kepiting betina sehingga mampu mendeteksi umpan dalam jarak yang lebih luas. Oleh karenanya kepiting jantan lebih banyak tertangkap oleh bubu. Ukuran rajungan betina yang tertangkap selama penelitian berlangsung, menandakan bahwa rajungan betina yang tertangkap cenderung berukuran kecil yaitu dengan panjang karapas dibawah 50 mm. Hal ini menandakan bahwa rajungan betina yang berukuran lebih besar cenderung lebih sedikit jumlahnya dibandingkan rajungan jantan yang berukuran besar.
Penyebab sedikitnya
rajungan betina berukuran besar yang tertangkap adalah kecenderungan rajungan betina yang sedang bertelur untuk membawa telurnya ke daerah pesisir pantai daerah teluk ( Thompson, 1974 dikutip oleh Hermanto, 2004 ). Adapun bagi rajungan jantan yang telah melakukan perkawinan akan tetap berada pada perairan hutan mangrove dan tetap melanjutkan aktivitas hidupnya. Hal serupa juga terjadi pada juvenil rajungan ketika sedang dalam proses pembesaran. Juvenil-juvenil rajungan yang dilahirkan di pesisir pantai akan memilih untuk berenang menuju mangrove karena banyaknya sumberdaya yang terdapat pada hutan bakau. Hal tersebut menjadikan hutan bakau sebagai salah satu tempat yang baik untuk perkembangan rajungan. Banyaknya rajungan jantan dan betina yang tertangkap tergantung dari keberadaan, aktivitasnya, serta kelincahan rajungan di fishing ground tersebut (Suadela, 2004).
145
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1) Komposisi spesies hasil tangkapan secara keseluruhan didominasi oleh kepiting batu, disusul oleh rajungan, udang peci, kepiting bakau, kepiting bolem, dan ikan beloso. Selanjutnya berdasarkan indeks Shannon wiener diketahui bahwa bubu dengan bobot umpan 100 g dengan posisi umpan di bawah memiliki nilai keragaman spesies terbesar dengan nilai indeks sebesar 1,6147. Adapun indeks Shannon wiener terkecil diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g dengan posisi umpan di bawah dengan nilai indeks sebesar 1,3581. 2) Jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan yang diperoleh selama penelitian tidak menunjukan perbedaan yang nyata terhadap posisi dan bobot umpan yang berbeda, namun dari segi bobot rata-rata, CL rata-rata, dan CW rata-rata hasil tangkapan rajungan, diperoleh perbedaan yang nyata pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g. Adapun hasil uji Friedman untuk bobot rata-rata, CL rata-rata, dan CW rata-rata masing-masing adalah: Chi-square 32.687 dengan nilai probabilitas 0.000 pada taraf nyata 0.05 untuk bobot rata-rata HT rajungan, Chi-square 29.814 dengan nilai probabilitas 0,000 pada taraf nyata 0,05 untuk CL rata-rata rajungan, dan Chisquare 28.381 dengan nilai probabilitas 0.000 pada taraf nyata 0,05 untuk CW rata-rata rajungan. 3) Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perbedaan posisi umpan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah total, bobot total, bobot rata-rata, CL rata-rata, maupun CW rata-rata hasil tangkapan rajungan.
6.2 Saran 1. Perlu penelitian lanjutan dengan skala laboratorium untuk menentukan orientasi rajungan (Portunus pelagicus) terhadap umpan; 2. Perlu Penelitian lebih lanjut untuk menentukan berbagai posisi umpan di dalam bubu terhadap hasil tangkapan rajungan.
146
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2007. Rajungan (Portunus pelagicus). [terhubung http://www.dpi.nsw.gov.au/fisheries/crab [25 Desember 2009]
berkala].
[Anonim]. 2007. Shrimp Animation. [terhubung http://iodeweb2.vliz.be.htm [25 Desember 2009]
berkala].
[Anonim]. 2007. Rajungan Bintang (Portunus sanguinolentus). [terhubung berkala]. http://www.hk-fish.net/eng/database.htm [25 Desember 2009] [Anonim]. 2007. Rajungan Angin (Podopthalmus vigil). [terhubung berkala]. http:// www.seafood.nmmba.gov.tw [25 Desember 2009] [Anonim]. 2008. Rajungan Karang (Charybdis feriatus). [terhubung berkala]. http://www.cookislands.bishopmuseum.org [25 Desember 2009] [Anonim]. 2008. Morfologi dan Anatomi Rajungan. [terhubung berkala]. http://www.sea-ex.com/fishphotos/crab,.htm [25 Desember 2009] [Anonim]. 2008. Blue Swimming Crabs. [terhubung berkala]. http://www.anima.net.au/illustrations_crustaceans.htm [25 Desember 2009] [Anonim]. 2008. Shannon index. [terhubung berkala]. http://en.wikipedia.org/wiki/Shannon_index. [25 Desember 2009] Archdale, M. V, K Anraku, T Yamamoto, and N Higashitani. 2003. Behaviour of the Japanese Rock Crac “Ishigani” Caribdis japonica Towards Two Collapsible Baited Pots: Evaluation of Capture Effectiveness. Marine Fisheries Research Journal. No. 69: 789-791 Brandt, A.V. 1984. Fishing Catching Methods of the World. England: Fishing New Books Ltd Chande A.I. and Y.D. Mgaya. 2004. Food Habits of Blue Swimming Crab Portunus pelagicus along the Coast of Dar es Salaam, Tanzania. Western Indian Ocean Journal Marine Science. No 3: 37-42. Daniel, P.C and R.C. Bayer 1989. Fish Byproduct as Chemo-Attractant Substrates for the American Lobster (Homarus americanus): Concentration, Quality and Releasw Characteristics. Fisheries Research. No 7: 367-383 Darya. 2002. Pengaruh Lama Perendaman (Soaking Time) Jaring Kejer Terhadapa Tangkapan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Gebang Mekar, Cirebon. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
147
Direktorat Jendral Perikanan. 2000. Statistik Perikanan Indonesia (Fisheries Statistic of Indonesia). Jakarta: Departemen Pertanian. Djatikusumo EW. 1975. Dinamika Populasi Ikan (bahan kuliah). Jakarta. Akademi Usaha Perikanan. Engas, A., T.Jorgensen , K.K. Angelsen. Effects on catch rates of baiting gillnets. Fish. Res. 2000; 45:265-270. Ferno A, S. Olsen. 1994. Marine Fisheries Behavior in Capture and Abundance Estimation. Fishing News Books. Egland. 221. Fitri, A.D.P. 2008. Respon Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu terhadap Umpan Terkait dengan Efektivitas Penangkapan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Grasso F.W. and J.A. Basil 2002. How Lobsters, Crayfishes, and Crabs Locate Sources of Odor: Current Perspective and Future Directions. Opinion in Neurobiology: Usa. No 12: 721-727. Hermanto D.T. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Mayangn, Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Iskandar, M.D dan L. Lastari, 2008. Effect of Escape Gap on Catch of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus). Proceedings of The 2nd International Symposium on Food Security Agricultural Development and Environmental Conservation in Southeast and East Asia. Vol 2:85-90. Iskandar, M.D dan D. Ramdani, 2009. Analisis Hasil Tangkapan Rajungan pada Bubu Lipat Menggunakan Jenis Umpan yang Berbeda Dengan Menggunakan Empat Jenis Umpan. Jurnal Penelitian Perikanan. Vol. 12: 35-39. Komarudin , D. Komarudin 2009. Penggunaan Celah Pelolosan pada Bubu Tambun terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Lastari, L. 2007. Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu Lipat Bubu Bercelah (Escape Gap) dan Tanpa Celah (Non Escape Gap) di Perairan Kronjo. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Leksono U. 1983. Suatu Studi tentang Penggunaan Umpan Ikan Lemuru sebagai Umpan pada Perikanan Rawai Tuna di PT. Perikanan Samudera Besar, Benoa, Bali [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
148
Lokkeborg, S. 1989. Rate of Release of Potential Feeding Attractants from Natural and Artificial Bait. Elsevier Publisher B.V., Amsterdam. Fisheries Research. No 8: 253-261. Mackie, A. M. 1973. The Chemical Basis of Food in the Lobster Homarus Gammarus. Natural Environment Research Council. Institute of Marine Biochemistry; Torry, Aberdeen, Scotland. Marine Biology. No 21: 103-108 Mariana. 2006. Uji Coba Bubu Lipat di Perairan Palabuhanratu Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Martasuganda, S. 2003. Bubu (Traps). Cetakan ketiga. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Miller, R.J. 1983. How Many Traps Should a Crab Fiaherman Fish?. North American Journal Fisheries Management. No. 3: 1-8 Miller, R.J. 1990. Effectiveness of Crab and Lobster Trap. Marine Fisheries Research Journal. No. 47: 1228-1249 Miller, R.J. 1995. Option for Reducing Bycatch in Lobster and Crab Pots. Proceesings of the International Symposium on Biology, Management and Economics of Crabs from High Latitude Habitats. Anchorage, Alaska, USA: 163-168 Monintja, D.R dan S. Martasuganda. 1991. Teknologi Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut II. Bogor:IPB Press Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. viii: 372. Nyabakken, W.J. 1993. Marine Biology an Ecological Approach Third Edition. California: Harper Collins College Publishers. Oemarjati, B. S. dan W. Wardhana. 1990. Taksonomi Avertebrata (Pengantar Praktikum Laboratorium). Jakarta: UI Press. Pramono, Joko. 2006. Perikanan Bubu dan Peluang Pengembangan di Sekitar Lokasi Sea Farming Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Randall, J. E. dan J. Heemstra. 1993. Grouper of The World (Family Serranidae Sub Family Epinephelinae). FAO Fisheries Synopsis. [terhubung berkala]. http://www.fishbase.sinica.edu.tw. [1 Desember 2009]
149
Ramdani, D. 2007. Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan pada Bubu Lipat dengan Menggunakan Umpan yang Berbeda. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. No : Rangka, N.A. 2007. Status Usaha Kepiting Bakau Ditunjang dari Aspek Peluang dan Prospeknya. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Vol. 14. Neptunus. Ronald, E.W. 1982. Pengantar Statistika , Edisi ketiga, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. Saedi, E. 1997. Studi Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan (Portunus Pelagicus L.) di Dua Lokasi Penangkapan Perairan Pantai Utara Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Sainsbury, J.C. 1996. Commercial Fishing Methods. Fishing News (Book). The White Friars Press Ltd. London, Tombridge. Sainte-Marie, B and Cyr. 1994. Catch of Japanese Crab Traps in Relation to Bait Quantity and Shielding. Fisheries Research No 24:129-139. Slack, R.J, Smith. 2001. Fishing With Traps and Pots. FAO Training Series. Italy: FAO Santoso, S. 1999. SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Jakarta. Elex Media Komputindo Gramedia. Subani, W dan H.R.Barus 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Edisi Khusus. Jornal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Sudirman, H dan A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Jakarta. Rineka Cipta. Syandri, H. 1988. Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta, Padang. Tiku , M. 2004. Pengaruh Jenis Umpan dan Waktu Pengoperasian Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
150
Williams, M.J. 1982. Natural Food and Feeding in the Comercial Sand Crab Portunus pelagicus Linnaeus, 1766 (Crustacea: Decapoda: Portunidae) in Moreton Bay, Queensland. Elsevier Biomedical Press. J. Exp Marine Biol. Ecology. No 59: 165-176.
151
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian a. Peta Desa Mayangan Kabupaten Subang
b. Peta stasiun pengoperasian bubu lipat
152
Lampiran 2 Unit penangkapan bubu
Perahu
Alat Tangkap Bubu
Nelayan
Umpan
153
Lampiran 3 Kegiatan pengoperasian alat tangkap
Keberangkatan menuju fishing ground
Setting alat tangkap bubu
Pengangkatan bubu (hauling)
Hasil tangkapan
Pengukuran hasil tangkapan
154
Lampiran 4 Gambar hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian
Rajungan (Portunus pelagicus)
Kepiting bakau (Scylla sp)
Kepiting batu (Thalamita sp)
Kepiting bolem (Leptodius
sp)
Udang peci (Penaeus indicus)
Ikan beloso (Cryptocentrus aeruleomaculatus)
155
Lampiran 5 Jenis dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu pada tiap trip penangkapan 50 Gram Atas H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10 Rajungan 0 1 0 0 3 0 1 0 0 0 Kepiting Bakau 2 1 2 0 0 0 0 2 0 0 Kepiting Batu 0 2 0 3 1 1 0 2 1 1 Kepiting Bolem 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Udang Peci 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 Ikan Beloso 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 3 4 2 4 3 2 1 5 1 1 50 Gram Bawah H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10 Rajungan 1 3 0 0 1 0 1 0 2 0 Kepiting Bakau 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 Kepiting Batu 1 1 1 2 1 1 2 3 1 2 Kepiting Bolem 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 Udang Peci 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 Ikan Beloso 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0 2 4 3 2 3 2 4 4 3 2 100 Gram Atas H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10 Rajungan 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 Kepiting Bakau 1 1 0 0 0 2 0 0 1 0 Kepiting Batu 5 4 1 5 4 2 0 0 2 2 Kepiting Bolem 2 1 0 1 0 1 1 1 0 0 Udang Peci 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 Ikan Beloso 0 0 0 0 0 3 1 0 0 1 10 6 1 8 6 9 2 2 5 5 100 Gram Bawah H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10 Rajungan 2 0 2 0 2 1 2 1 1 1 Kepiting Bakau 1 1 0 0 0 1 0 1 0 2 Kepiting Batu 1 1 1 3 0 0 0 2 3 2 Kepiting Bolem 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 Udang Peci 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Ikan Beloso 0 1 1 0 0 0 0 1 0 1 6 4 4 3 2 2 3 5 4 8
156
150 Gram Atas Rajungan Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Peci Ikan Beloso
150 Gram Bawah Rajungan Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Peci Ikan Beloso
H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10 0 3 0 4 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 3 0 0 0 0 1 1 0 2 2 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 2 2 0 2 0 1 1 0 0 2 1 0 0 0 1 0 0 2 3 8 9 6 1 3 3 3 4 H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10 2 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 2 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 3 4 3 0 0 1 0 0 0 4 4 1 0 0 0 0 0 0 3 3 0 0 5 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2 3 2 2 0 4 9 7 8 8
157
Lampiran 6 Nilai uji Mann-Whitney terhadap jumlah hasil tangkapan total serta bobot total hasil tangkapan pada bubu dengan posisi umpan berbeda NPar Tests Mann-Whitney Test Jumlah hasil tangkapan total Ranks Jumlah_total_HT
kelompok atas bawah Total
N 10 10 20
Mean Rank 10.90 10.10
Sum of Ranks 109.00 101.00
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Jumlah_total_ HT 46.000 101.000 -.304 .761 .796
a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: kelompok
Bobot total hasil tangkapan Ranks Bobot_total_HT
kelompok atas bawah Total
N 10 10 20
Mean Rank 11.50 9.50
Sum of Ranks 115.00 95.00
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Bobot_total_ HT 40.000 95.000 -.756 .450 .481
a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: kelompok
158
Lampiran 7 Nilai uji Mann-Whitney terhadap jumlah total hasil tangkapan rajungan serta bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan berbeda NPar Tests Mann-Whitney Test Jumlah total hasil tangkapan rajungan Ranks Jumlah_total_rajungan
kelompok atas bawah Total
N 10 10 20
Mean Rank 10.50 10.50
Sum of Ranks 105.00 105.00
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Jumlah_total_ rajungan 50.000 105.000 .000 1.000 1.000
a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: kelompok
Bobot total hasil tangkapan rajungan Ranks Bobot_total_rajungan
kelompok atas bawah Total
N 10 10 20
Mean Rank 11.85 9.15
Sum of Ranks 118.50 91.50
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Bobot_total_ rajungan 36.500 91.500 -1.021 .307 .315
a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: kelompok
159
Lampiran 8 Nilai uji Mann-Whitney terhadap sebaran bobot, CL, dan CW hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan berbeda NPar Tests Mann-Whitney Test Sebaran Bobot rajungan Ranks Sebaran_bobot_ rajungan_blok
kelompok atas bawah Total
N 10 10 20
Mean Rank 12.50 8.50
Sum of Ranks 125.00 85.00
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Sebaran_ bobot_ rajungan_blok 30.000 85.000 -1.514 .130 .143
a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: kelompok
Sebaran CL rajungan Ranks Sebaran_CL_ rajungan_blok
kelompok atas bawah Total
N 10 10 20
Mean Rank 11.60 9.40
Sum of Ranks 116.00 94.00
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Sebaran_CL_ rajungan_blok 39.000 94.000 -.832 .406 .436
a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: kelompok
160
Sebaran CW rajungan Ranks Sebaran_CW_ rajungan_blok
kelompok atas bawah Total
N 10 10 20
Mean Rank 11.70 9.30
Sum of Ranks 117.00 93.00
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Sebaran_ CW_ rajungan_blok 38.000 93.000 -.907 .364 .393
a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: kelompok
161
Lampiran 9 Nilai uji Friedman terhadap Jumlah total hasil tangkapan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda NPar Tests Friedman Test Jumlah total hasil tangkapan Ranks Jml_tot_HTA50 Jml_tot_HTA100 Jml_tot_HTA150 Jml_tot_HTB50 Jml_tot_HTB100 Jml_tot_HTB150
Mean Rank 2.85 4.15 3.30 3.05 3.95 3.70
Test Statisticsa N Chi-Square df Asymp. Sig.
10 4.043 5 .543
a. Friedman Test
162
Lampiran 10 Nilai uji Friedman terhadap jumlah total hasil tangkapan rajungan dan bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda NPar Tests Friedman Test Jumlah total rajungan Ranks jmltotRjungan_A50 jmltotRjungan_A100 jmltotRjungan_A150 jmltotRjungan_B50 jmltotRjungan_B100 jmltotRjungan_B150
Mean Rank 2.80 3.65 3.95 3.30 4.50 2.80
Test Statisticsa N Chi-Square df Asymp. Sig.
10 8.105 5 .151
a. Friedman Test
Bobot total rajungan Ranks bobot_total_rjunganA50 bobot_total_ rajunganA100 bobot_total_ rajunganA150 bobot_total_rajunganB50 bobot_total_ rajunganB100 bobot_total_ rajunganB150
Mean Rank 3.00 3.75 4.15 3.25 4.30 2.55
Test Statisticsa N Chi-Square df Asymp. Sig.
10 7.800 5 .168
a. Friedman Test
163
Lampiran 11 Nilai uji Friedman terhadap sebaran bobot, CL, dan CW hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda NPar Tests Friedman Test Sebaran bobot rajungan Ranks Mean Rank sebaran_bobot_ rajungan_50gram_atas Sebaran_bobot_ rajungan_100gram_atas Sebaran_bobot_ rajungan_150gram_atas Sebaran_bobot_ rajungan_50gram_bawah Sebaran_bobot_ rajungan_100gram_ bawah Sebaran_bobot_ rajungan_150gram_ bawah
5.90 3.20 4.20 2.60
3.65
1.45
Test Statisticsa N Chi-Square df Asymp. Sig.
10 32.687 5 .000
a. Friedman Test
164
Sebaran CL rajungan Ranks Mean Rank Sebaran_CL_rajungan_ 50gram_atas Sebaran_CL_rajungan_ 100gram_atas Sebaran_CL_rajungan_ 150gram_atas Sebaran_CL_rajungan_ 50gram_bawah Sebaran_CL_rajungan_ 100gram_bawah Sebaran_CL_rajungan_ 150gram_bawah
5.80 3.00 4.25 2.80 3.60 1.55
Test Statisticsa N Chi-Square df Asymp. Sig.
10 29.814 5 .000
a. Friedman Test
Sebaran CW rajungan Ranks Mean Rank Sebaran_CW_rajungan_ 50gram_atas Sebaran_CW_rajungan_ 100gram_atas Sebaran_CW_rajungan_ 150gram_atas Sebaran_CW_rajungan_ 50gram_bawah Sebaran_CW_rajungan_ 100gram_bawah Sebaran_CW_rajungan_ 150gram_bawah
5.80 3.40 3.85 2.70 3.70 1.55
Test Statisticsa N Chi-Square df Asymp. Sig.
10 28.381 5 .000
a. Friedman Test
165
Lampiran 12 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran bobot rajungan pada posisi dan bobot umpan berbeda Bobot rata-rata rajungan (gram) A50 95.83 90 95.83 95.83 67.5 95.83 130 95.83 95.83 95.83
A100 10 42.86 42.86 30 10 40 42.86 40 80 90
A150 64.17 42.5 64.17 52.5 64.17 64.17 40 80 150 20
B50
B100
30 33.3 34.66 34.66 5 34.66 60 34.66 45 34.66
35 49.69 42.5 49.69 50 20 50 80 60 60
B150 12.5 21.93 21.93 21.93 21.93 21.93 21.93 21.93 33.3 20
Grading A50
sums means
Α= Z= |D|≥ |D|≥
A100
A150
6 6 6 6 6 6 6 6 5 6
1 4 2 2 2 4 3 3 4 5
59 5.9
30 3
B50 5 3 5 5 5 5 2 5.5 6 1.5 43 4.3
B100 3 2 3 3 1 3 5 2 2 3 27 2.7
B150 4 5 4 4 4 1 4 5.5 3 4
2 1 1 1 3 2 1 1 1 1.5
38.5 3.85
14.5 1.45
0.05 1.645 Z*sqrt(blok*perlakuan(perlakuan+1))/6 13.7630574
166
Hasil uji lanjut perbandingan berganda: A50-A100 A50-A150 A50-B50 A50-B100 A50-B150 A100-A150 A100-B50 A100-B100 A100-B150 A150-B50 A150-B100 A150-B150 B50-B100 B50-B150 B100-B150
29 16 32 20.5 44.5 13 3 8.5 15.5 16 4.5 28.5 11.5 14.5 24
≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥
13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744
= = = = = = = = = = = = = = =
Beda nyata Beda nyata Beda nyata Beda nyata Beda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata Beda nyata Beda nyata tidak berbeda nyata Beda nyata tidak berbeda nyata Beda nyata Beda nyata
167
Lampiran 13 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran CL rajungan pada posisi dan bobot umpan berbeda Panjang karapas rata-rata (mm) CLA50 CLA100 CLA150 CLB50 CLB100 CLB150 54.23 28 42.67 46.6 37.4 35.35 52.03 39.06 40.5 36.53 40.73 35.12 54.23 39.06 42.67 37.51 38.53 35.12 54.23 34.5 42.45 37.51 40.73 35.12 42 27.6 42.67 19.4 39.25 35.12 54.23 42.5 42.67 37.51 31.5 35.12 68.65 39.06 38.2 45 39.17 35.12 54.23 39.8 45 37.51 50 35.12 54.23 48 58.85 40 43.95 39.02 54.23 53 31 37.51 46.04 31
Grading CLA50
sums means
α= Z= |D|≥ |D|≥
CLA100
CLA150
CLB50
CLB100
CLB150
6 6 6 6 5 6 6 6 5 6
1 3 4 1 2 4 3 3 4 5
4 4 5 5 6 5 2 4 6 1.5
5 2 2 3 1 3 5 2 2 3
3 5 3 4 4 1 4 5 3 4
2 1 1 2 3 2 1 1 1 1.5
58 5.8
30 3
42.5 4.25
28 2.8
36 3.6
15.5 1.55
0.05 1.645 Z*sqrt(blok*perlakuan(perlakuan+1))/6 13.7630574
168
Hasil uji lanjut perbandingan berganda: A50-A100 A50-A150 A50-B50 A50-B100 A50-B150 A100-A150 A100-B50 A100-B100 A100-B150 A150-B50 A150-B100 A150-B150 B50-B100 B50-B150 B100-B150
28 15.5 30 22 42.5 12.5 2 6 14.5 14.5 6.5 27 8 12.5 20.5
≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥
13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744
= = = = = = = = = = = = = = =
beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata beda nyata beda nyata tidak berbeda nyata beda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata beda nyata
169
Lampiran 14 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran CW rajungan pada posisi dan bobot umpan berbeda Lebar karapas rata-rata (mm) CWA50 CWA100 CWA150 CWB50 CWB100 CWB150 103.97 58.5 95.82 74 77.9 72.02 105.4 80.65 50.37 75.41 85.43 71.83 103.97 80.65 95.82 73.23 79.13 71.83 103.97 72.7 90.13 73.23 85.43 71.83 87.5 56.9 83.38 37.45 83.44 71.83 103.97 86.3 95.82 73.23 67 71.83 119.01 80.65 78 96.04 80.3 71.83 103.97 84.02 97.3 73.23 103.7 71.83 103.97 98.5 122.02 83.25 94 80.97 103.97 107.6 62.5 73.23 98.01 62.5
Grading CWA50
sums means
α= Z= |D|≥ |D|≥
CWA100
CWA150
CWB50
CWB100
CWB150
6 6 6 6 6 6 6 6 5 5
1 4 4 2 2 4 4 3 4 6
5 1 5 5 4 5 2 4 6 1.5
3 3 2 3 1 3 5 2 2 3
4 5 3 4 5 1 3 5 3 4
2 2 1 1 3 2 1 1 1 1.5
58 5.8
34 3.4
38.5 3.85
27 2.7
37 3.7
15.5 1.55
0.05 1.645 Z*sqrt(blok*perlakuan(perlakuan+1))/6 13.7630574
170
Hasil uji lanjut perbandingan berganda: A50-A100 A50-A150 A50-B50 A50-B100 A50-B150 A100-A150 A100-B50 A100-B100 A100-B150 A150-B50 A150-B100 A150-B150 B50-B100 B50-B150 B100-B150
24 19.5 31 21 42.5 4.5 7 3 18.5 11.5 1.5 23 10 11.5 21.5
≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥
13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744 13.76305744
= = = = = = = = = = = = = = =
beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata beda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata beda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata beda nyata
171
Lampiran 15 Nilai Index Shannon-Wiener Hasil tangkapan Hasil tangkapan Rajungan Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Peci Ikan Beloso total
50 gram Atas 5
50 Gram Bawah 8
100 Gram Atas 7
100 Gram Bawah 12
150 Gram Atas 12
150 Gram Bawah
7
1
5
6
5
4
11
15
25
13
9
14
1 2
2 1
7 5
3 3
0 12
10 11
2 28
3 30
5 54
4 41
4 42
1 45
50 gram Atas 0.1785
50 Gram Bawah 0.2857
100 Gram Atas 0.1296
100 Gram Bawah 0.2926
150 Gram Atas 0.2857
150 Gram Bawah 0.1111
0.25
0.0357
0.0925
0.1463
0.1190
0.0888
0.3928
0.5357
0.4629
0.3170
0.2142
0.3111
0.0357 0.0714
0.0714 0.0357
0.1296 0.0925
0.0731 0.0731
0 0.2857
0.2222 0.2444
0.0714
0.1071
0.0925
0.0975
0.0952
0.0222
50 gram Atas -1.7227
50 Gram Bawah -1.2527
100 Gram Atas -2.0430
100 Gram Bawah -1.2286
150 Gram Atas -1.2527
150 Gram Bawah -2.1972
-1.3862
-3.3322
-2.3795
-1.9218
-2.1282
-2.4203
-0.9343
-0.6241
-0.7701
-1.1486
-1.5404
-1.1676
-3.3322 -2.6390
-2.6390 -3.3322
-2.0430 -2.3795
-2.6149 -2.6149
0 -1.2527
-1.5040 -1.4087
-2.6390
-2.2335
-2.3795
-2.3272
-2.3513
-3.8066
5
pi pi Rajungan Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Peci Ikan Beloso
ln(pi) ln(pi) Rajungan Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Peci Ikan Beloso
172
pi x ln(pi) pi x ln(pi) Rajungan Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Peci Ikan Beloso index
50 gram Atas -0.3076
50 Gram Bawah -0.3579
100 Gram Atas -0.2648
100 Gram Bawah -0.3596
150 Gram Atas -0.3579
150 Gram Bawah -0.2441
-0.3465
-0.1190
-0.2203
-0.2812
-0.2533
-0.2151
-0.3670
-0.3343
-0.3565
-0.3641
-0.3300
-0.3632
-0.1190 -0.1885
-0.1885 -0.1190
-0.2648 -0.2203
-0.1913 -0.1913
0 -0.3579
-0.3342 -0.3443
-0.1885 -1.5172
-0.2393 -1.3581
-0.2203 -1.5472
-0.2270 -1.6147
-0.2239 -1.5232
-0.0845 -1.5857
Indeks Shannon Wiener Index
1.5172
1.3581
1.5472
1.6147
1.5232
1.5857
173
Lampiran 16 Nilai Chi – square proporsi rajungan betina dan jantan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda Chi-Square Test Frequencies Proporsi Rajungan Jantan dan Betina Observed N
Expected N
Residual
Jantan
33
24.5
8.5
Betina
16
24.5
-8.5
Total
49
Test Statistics Proporsi rajungan jantan dan betina Chi-Square Df Asymp. Sig.
5.898a 1 .015
a. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 24,5.
174