SELEKSI POLA DINDING BUBU PLASTIK UNTUK MENANGKAP LOBSTER HIJAU PASIR
Oleh:
Niken Pratiwi Permatasari C54102053
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
SELEKSI POLA DINDING BUBU PLASTIK UNTUK MENANGKAP LOBSTER HIJAU PASIR adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2006
Niken Pratiwi Permatasari C54102053
ABSTRAK NIKEN PRATIWI PERMATASARI. Seleksi Pola Dinding Bubu Plastik untuk Menangkap Lobster Hijau Pasir. Dibimbing oleh GONDO PUSPITO. Produksi lobster hijau pasir di Indonesia dapat ditingkatkan dengan cara melakukan inovasi terhadap alat tangkap yang telah ada. Penelitian ini menguji coba jenis bubu plastik yang terbuat dari tudung saji berbentuk kubah. Dalam penguj ian, dinding bubu dimodifikasi dengan membentuk pola-pola kisi yang berbeda-beda. Empat pola kisi yang diuji coba dan dijadikan perlakuan adalah (1) pola I, bentuk kisi apa adanya, (2) pola II, kisi dipotong horizontal, (3) pola III, kisi dipotong vertikal, dan (4) pola IV, kisi dipotong persegi pada pertengahan tulangnya. Pola kisi yang termudah dan tercepat dirayapi lobster hijau pasir dianggap sebagai pola dinding yang terbaik. Berdasarkan pengamatan mengenai pola lintasan, panjang lintasan, dan lama waktu merayap lobster hijau pasir maka dapat diketahui bentuk dinding yang paling mudah dirayapi lobster hijau pasir. Dinding yang mudah dirayapi lobster hijau pasir ukuran A (1020 g) adalah pola IV, semua pola untuk lobster hijau pasir ukuran B (50–90 g), dan pola III untuk lobster lobster hijau pasir ukuran C (100-110 g). Secara umum, dinding yang mudah dirayapi lobster hijau pasir semua ukuran adalah pola III.
Judul
: SELEKSI
POLA
DINDING
BUBU PLASTIK
MENANGKAP LOBSTER HIJAU PASIR Nama
: Niken Pratiwi Permatasari
NRP
: C54102053
Disetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc NIP. 131 953 483
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Tanggal lulus : 1 Februari 2006
UNTUK
SELEKSI POLA DINDING BUBU PLASTIK UNTUK MENANGKAP LOBSTER HIJAU PASIR
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Niken Pratiwi Permatasari C54102053
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Maros, Propinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 9 Mei 1984 dari pasangan Wibowo danWiwik Ariyani. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1989 dengan bersekolah di Taman Kanak – Kanak Purwotomo, Surakarta dan lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1990 penulis melanjutkan Sekolah Dasar (SD) Negeri 97 Purwotomo dan lulus pada tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri III Surakarta dan lulus pada tahun 1999. Kemudian pada tahun 1999 penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 7 Surakarta dan lulus pada tahun 2002. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2002 pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan di IPB penulis pernah aktif dalam organisasi sebagai pengurus Himpunan Profesi Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) periode 2004–2005 sebagai anggota Departemen Minat Bakat dan Keprofesian. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi ini dengan judul “Seleksi Pola Dinding Bubu Plastik untuk Menangkap Lobster Hijau Pasir”.
PRAKATA Penyusunan skripsi yang berjudul ”Seleksi Pola Dinding Bubu Plastik untuk Menangkap Lobster Hijau Pasir” merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juli-September 2005 di Kolam Penampungan Lobster CV. Mutiara Dua, Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat dan Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan (TAP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc. sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada penulis selama penelitian dan pada saat penulisan skripsi; 2. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc., Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si.,Ir. Diniah, M.Si. dan Ir. Wazir Mawardi,M.Si. atas kritik dan saran yang diberikan; 3. CV Mutiara Dua Palabuhanratu, Sukabumi yang telah memberikan izin dan tempat kepada penulis untuk melaksanakan penelitian; 4. Kedua orangtua serta kedua adikku yang telah memberikan doa, dan dukungannya, baik moral maupun material kepada penulis;dan 5. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis sangat memerlukan masukan- masukan yang konstruktif untuk penyempurnaan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Februari 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………….
iii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………
iv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………
v
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………….. 1.2 Tujuan ………………………………………………………... 1.3 Manfaat ……………………………………………………… 1.4 Hipotesis …………….………………………………………..
1 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lobster Hijau Pasir .………………………………
4
2.1.1 Biologi lobster hijau pasir ……………………………. 2.1.2 Habitat dan tingkah laku lobster ……………………... 2.1.3 Daerah penyebaran lobster …………………………...
4 5 6
2.2 Alat Tangkap ………………………………………………..
6
3 METODOLOGI 3.1 3.2 3.3 3.4
Metode Penelitian .................................................................... Penentuan Jenis Umpan ............................................................ Penentuan Jenis Warna ............................................................ Uji Coba Konstruksi Dinding Perangkap Plastik .....................
8 8 11 12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Jenis Umpan yang Paling Disukai ………………. 4.2 Penentuan Warna Perangkap yang Paling Disukai ………….. 4.3 Lintasan Lobster ……………………………………………..
15 20 22
4.3.1 Pola lintasan …………………………………………... 4.3.2 Panjang lintasan ………………………………………. 4.3.3 Waktu merayap ………………………………………..
22 27 31
4.4 Kriteria Penilaian Jenis Dinding ……………………………..
35
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan …...……………………………………………... 5.2 Saran ………………………………………………………….
37 37
DAFTAR PUSTAKA
38
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Ukuran panjang dan berat lobster hijau pasir ...................................
11
2
Hasil penentuan jenis umpan ……………………………………...
17
3
Prosentase pola lintasan tiap ukuran lobster hijau pasir ..................
22
4
Panjang lintasan lobster hijau pasir ……………………………….
27
5
Lama waktu lobster hijau pasir merayap ………………………….
31
6
Kriteria penilaian bentuk dinding .....................................................
35
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Lobster hijau pasir (Panulirus homarus) ………………………….
8
2
Bak percobaan pada penelitian ……………………………………
9
3
Posisi peletakan umpan …………………………………………...
10
4
Posisi pemasangan bubu …….………………………………….....
12
5
Pola dinding bubu ..................................…………………………..
13
6
Penentuan jenis umpan ……………………………………………
19
7
Pengujian terhadap warna ……..…………………………………..
21
8
Posisi merayap lobster hijau pasir pada bubu I …………………...
23
9
Posisi merayap lobster hijau pasir pada bubu II …………………..
25
10 Posisi merayap lobster hijau pasir pada bubu III ………………….
26
11 Posisi merayap lobster hijau pasir pada bubu IV …………………
27
12 Panjang lintasan lobster pada setiap dinding ………………………
28
13 Waktu merayap lobster ……………………………………………
32
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Bentuk pola perlakuan pada dinding bubu .........………………..
41
2
Data panjang lintasan lobster hijau pasir ………………………..
42
3
Data lama waktu merayap lobster hijau pasir ..............................
43
4
Pola lintasan lobster hijau pasir ketika merayapi dinding .………
44
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lobster hijau pasir adalah salah satu hewan laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Lobster hijau pasir bernilai jual tinggi apabila masih dalam keadaan hidup. Untuk mendapatkan lobster hijau pasir dalam keadaan hidup, maka salah satu hal yang harus diperhatikan adalah penggunaan alat tangkapnya. Penangkapan lobster hijau pasir yang hidup di daerah karang sangat menyulitkan nelayan. Tidak semua alat tangkap dapat dioperasikan di daerah tersebut. Alat tangkap yang dapat digunakanpun masih mempunyai kendala, yaitu hasil tangkapannya relatif sedikit. Penangkapan lobster hijau pasir biasanya masih bersifat tradisional. Alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan adalah jaring insang, kait, pancing, dan bubu. Dari sekian banyak alat tangkap tersebut, yang paling baik dari segi kualitas hasil tangkapan adalah bubu. Penangkapan dengan menggunakan bubu tidak melukai lobster hijau pasir yang masuk ke dalamnya. Selain itu, lobster hijau pasir dapat bergerak bebas di dalam bubu. Keuntungan
dari
penggunaan
bubu
adalah
cara
pembuatan
dan
pengoperasiannya mudah, dapat dioperasikan di tempat dimana alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan, hasil tangkapannya masih dalam keadaan hidup, dan biaya operasinya lebih murah. Kelemahannya, jumlah tangkapannya relatif sedikit. Bubu yang digunakan untuk menangkap lobster antara lain berbentuk empat persegi panjang, silinder, gendang, limas terpancung, dan kubah. Bahan utama pembentuknya dapat terbuat dari bambu, besi, jaring, kawat, dan plastik. Adapun di Indonesia, yang umum digunakan adalah yang berbentuk empat persegi panjang, dengan bahan utama pembentuknya terbuat dari bambu (Budihardjo, 1981). Dalam penelitian ini diuji coba jenis bubu berbentuk kubah yang terbuat dari plastik. Pemilihan bahan berdasarkan pertimbangan bahwa bahan plastik harganya lebih murah, mudah diperoleh di pasaran, dan tahan lama. Bubu plastik dapat dibuat
dari tudung saji berbentuk kubah dengan lubang mulut terletak di atas. Bagian dinding tudung saji terdiri dari kisi-kisi. Hal ini memudahkan lobster hijau pasir merayap hingga ke mulut bubu. Dalam penggunaannya, permukaan dinding bubu perlu dimodifikasi untuk mengefektifkan waktu yang digunakan lobster hijau pasir merayapi bubu. Tetapi sebelumnya akan dicoba terlebih dahulu menentukan jenis umpan dan warna yang paling disuka lobster hijau pasir. Jenis umpan yang diuji coba adalah yang mengandung unsur lemak, protein, dan chitine, serta bau yang menyengat yaitu ikan rucah, kulit sapi, kulit kambing, cucut, dan rajungan. Penelitian umpan kulit sapi dan kulit kambing telah dilakukan oleh Kholifah (1998) dan Febrianti (2000). Akan tetapi belum ditentukan jenis mana yang terbaik diantara keduanya untuk penangkapan lobster hijau pasir di Palabuhanratu. Adapun jenis-jenis umpan, seperti yang biasa digunakan nelayan Palabuhanratu, adalah ikan rucah, potongan ikan cucut, dan rajungan. Pemilihan warna dala m pembuatan bubu plastik juga penting dilakukan. Warna yang dapat memberikan reaksi positif terhadap lobster hijau pasir untuk mendekatinya dapat dijadikan acuan dalam pemilihan warna tudung saji yang akan digunakan dalam penelitian ini. Penelitian mengena i warna yang berpengaruh positif terhadap lobster hijau pasir belum pernah dilakukan. Untuk itu, maka perlu dilakukan penelitian pendahuluan mengenai warna yang paling efektif untuk pembuatan bubu plastik, sehingga penelitian utama dapat lebih optimal. Jenis-jenis bubu lobster hijau pasir yang telah diteliti umumnya terbuat dari bambu, kawat, besi, dan jaring. Sebelumnya, pernah dilakukan penelitian menggunakan bubu plastik untuk lobster hijau pasir, akan tetapi hanya mengenai letak mulutnya saja. Beberapa publikasi yang dapat mendukung penelitian ini adalah (1.) Studi perbandingan jenis alat tangkap lobster pot dengan bubu tradisional untuk menangkap udang barong (Panulirus spp) di Pelabuhan Ratu (Budihardjo, 1981), dan (2.) Studi pendahuluan letak mulut bubu dan tingkah laku udang karang hijau pasir (Panulirus homarus) (Nurafiah, 2001).
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pola dinding tudung saji yang paling efektif untuk menangkap lobster hijau pasir.
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi mengenai alat tangkap alternatif kepada nelayan lobster di Palabuhanratu, selain bubu yang biasa digunakan oleh mereka.
1.4 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1) Modifikasi pada permukaan
dinding
perangkap
plastik
akan
semakin
mempermudah lobster hijau pasir merayap; dan 2) Umpan dan warna berpengaruh terhadap kecepatan lobster hijau pasir memasuki bubu.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Lobster Hijau Pasir 2.1.1 Biologi lobster hijau pasir Klasifikasi Lobster Hijau Pasir (Panulirus homarus) menurut Lovett (1981) adalah: Kelas : Crustacea Sub Kelas : Malacostraca Ordo
: Reptantia
Seksi
: Macrura
Tribe : Scyllaridae Family Genus
: Palinuridae : Panulirus
Species
: Panulirus homarus
Lobster mempunyai tubuh besar yang diselubungi dengan kerangka kulit dan berzat kapur, serta terdapat duri-duri keras dan tajam terutama di bagian atas kepala dan antena atau sungut. Antena pada lobster tumbuh baik terutama antena kedua yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya. Pasangan kaki jalannya tidak mempunyai chela atau capit, kecuali pasangan kaki lima pada lobster betina. Dalam periode pertumbuhannya, lobster selalu berganti kulit (moulting). Lobster mudah dibedakan dari jenis udang lain karena kulitnya yang kaku, keras, dan berzat kapur, sementara udang biasanya berkulit tipis, bening, dan tembus cahaya yang terdiri atas chitine. Lobster memiliki warna yang bermacam- macam, seperti ungu, hijau, merah, dan abu-abu, serta membentuk pola yang indah. Kerangka kulit lobster yang keras tersebut sebenarnya tidak mengandung zat-zat warna hidup. Sifat-sifat pewarnaan yang indah tidak lain disebabkan oleh zat warna yang dipancarkan oleh but ir-butir warna (chromatoblast) pada lapisan kulit lunak yang ada di bawahnya (Subani, 1978).
2.1.2 Habitat dan tingkah laku lobster Habitat lobster adalah daerah-daerah yang banyak terdapat karang-karang, terumbu karang, batuan granit, atau batuan vulkanis (Subani, 1983). Umumnya mereka hidup pada tempat yang dalam pada siang hari. Pada malam hari biasanya mereka akan menuju perairan yang lebih dangkal sampai kedalaman 1 meter untuk mencari makan. Kadang-kadang lobster juga ditemukan di dasar perairan yang berpasir halus. Siang hari lobster berlindung di lubang- lubang atau gua karang (Direktorat Jendral Perikanan, 1989). Menurut Fauzi (1990), lobster hijau hidup di perairan yang dangkal sampai kedalaman + 15 meter. Mereka suka hidup dalam kelompok yang besar. Lobster dewasa lebih menyukai perairan yang cerah, sedangkan lobster muda dapat mentolerir perairan yang keruh. Menurut Moosa dan Aswandy (1984), lobster merupakan hewan nokturnal yang aktif
pada
malam
hari.
Binatang
ini
keluar
atau
meninggalkan
tempat
persembunyiannya untuk mencari makan, berpijah, atau bertelur yang umumnya dilakukan pada waktu terjadi perubahan kekeruhan air. Dalam usaha mencari makan, lobster memangsa organisme dasar yang sangat tergantung pada kondisi perairan. Makanan yang digemari lobster terutama dari jenis Mollusca dan Echinodermata. Makanan lainnya adalah ikan dan sejenis hewan lain yang mengandung protein dan lemak. Lobster dapat merespon bubu atau umpan dengan panca inderanya. Lobster mempunyai indera penglihatan dan penciuman yang sangat tajam (Smith, 1958 diacu dalam Nurafiah, 2001). Walaupun penglihatan secara tidak langsung tidak penting untuk pergerakan lobster akan tetapi sebagai tambahan untuk pergerakannya pada jarak yang pendek (Cobb & Phillips, 1980).
2.1.3 Daerah penyebaran lobster Perairan Indonesia termasuk daerah penyebaran lobster. Penyebarannyapun sangat luas. Indonesia diperkirakan memiliki luas sebaran lobster mencapai 6.799.000 km2 yang tersebar di 21 propinsi. Propinsi-propinsi yang produktif adalah Simayra Utara, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Balj, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Perairan wilayah Indonesia bagian barat yang potensial akan sumberdaya lobster menurut Direktorat Jendral Perikanan (1992) meliputi Perairan Barat Sumatra, sebagian Selatan Bengkulu, Perairan Selatan Jawa, dan Perairan Bali. Penyebaran lobster di Perairan Selatan Jawa meliputi Pangandaran, Pameungpeuk, dan Pelabuhan Ratu (Subani, 1983).
2.2 Alat Tangkap Alat tangkap lobster yang digunakan di Indonesia umumnya masih bersifat tradisional, seperti tombak, pancing, bubu, jaring udang karang (spinny lobster), atau dengan cara menyelam. Alat tangkap yang paling efisien dari segi kuantitas adalah jaring insang karang, tetapi lobster yang ditangkap umumnya sudah cacat sehingga mengurangi kualitasnya (Subani,1983). Sedangkan alat tangkap yang paling baik dari segi kualitas adalah bubu. Perangkap atau bubu lobster adalah alat tangkap yang bersifat pasif cara pengoperasiannya, yaitu dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk ke dalamnya. Prinsip penangkapan menggunakan bubu adalah membuat ikan atau lobster dapat masuk ke dalam dan tidak dapat keluar dari bubu. Faktor yang menyebabkan ikan karang atau lobster terperangkap ke dalam bubu adalah karena tertarik oleh bau umpan, untuk tempat berlindung, sebagai tempat beristirahat, dan karena sifat thigmotaxis dari ikan itu sendiri (Monintja dan Martasuganda, 1990). Menurut Martasuganda (1990), bubu merupakan alat tangkap tradisional yang memiliki banyak keistimewaan, antara lain pembuatan alat tangkap mudah dan murah, pengoperasian mudah, kesegaran hasil tangkapan bagus, tidak merusak
sumberdaya, baik secara ekologi maupun teknik, dan dapat dioperasikan di tempattempat yang alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan. Keefektifan metode penangkapan bubu tergantung pada tingkah laku ikan sebagai obyek penangkapan, besar kecilnya ukuran celah pada bubu, dan mulut bubu yang dioperasikan (Reppi, 1989 diacu dalam Suci, 1993). Ukuran pintu masuk berhubungan langsung dengan ukuran dan sifat lobster yang akan ditangkap. Selain itu, jarak jeruji atau ukuran mata jaring juga berpengaruh terhadap lobster yang ditangkap (BPPI, 1991). Ukuran pintu masuk yang umum digunakan untuk perangkap lobster adalah 100 – 230 mm, sedangkan ukuran mata jaringnya berkisar antara 30 – 40 nbar.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penentuan Jenis Umpan yang Paling Disuka Umpan merupakan salah satu faktor penting dalam memikat lobster hijau pasir. Lobster hijau pasir menyukai makanan yang mengandung protein dan lemak, terutama dari jenis mollusca, echinodermata, ikan, dan sejenis hewan lainnya (Moosa dan Aswandy, 1984). Selain kandungan tersebut, menurut Smith (1958) diacu dalam Nurafiah, (2001), lobster hijau pasir juga merupakan hewan yang mempunyai indera penciuman yang sangat tajam. Dalam merespon makanan, lobster hijau pasir menggunakan indera penciumannya tersebut. Untuk itu pada penelitian ini diujikan umpan yang mengandung unsur-unsur tersebut seperti ikan ruc ah, kulit sapi, kulit kambing, potongan ikan cucut lanyam (Carcharinus limbatus), dan rajungan bintang (Portunus sanguilentud). Kulit sapi dan kulit kambing dipilih menjadi umpan karena mengandung unsur yang disukai lobster hijau pasir yaitu protein, lemak, air, dan kitin (Febrianti, 2000). Adapun ikan rucah dan potongan ikan cucut adalah umpan yang biasa digunakan oleh nelayan Palabuhanratu (Budihardjo, 1981). Demikan juga halnya dengan rajungan. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat, hasil tangkapan yang didapat akan lebih banyak apabila menggunakan umpan rajungan. Setiap umpan yang diujikan dibandingkan dengan umpan lainnya. Pada pengujian umpan kulit kambing dengan kulit sapi, lobster hijau pasir lebih memilih memakan kulit kambing. Berdasarkan uji secara fisik (organoleptik), bau kulit kambing memang lebih menyengat dibandingkan bau kulit sapi. Berbeda halnya ketika kulit kambing dibandingkan dengan hewan laut. Ketika dibandingkan dengan ikan rucah, lobster hijau pasir menyukai ikan rucah. Bau hewan darat dan bau hewan laut berbeda. Sebagai hewan laut, lobster hijau pasir tidak terbiasa mencium bau kulit kambing meskipun baunya sangat menyengat. Berbeda dengan ikan rucah, lobster telah terbiasa dengan baunya dan merupakan makanan sehari- harinya. Begitu juga ketika pengujian umpan kulit kambing dengan potongan ikan cucut, lobster hijau
pasir lebih memilih potongan ikan cucut. Pada saat diujikan dengan rajungan, lobster hijau pasir juga lebih memilih rajungan. Pengujian umpan kulit sapi dengan kulit kambing menunjukkan bahwa kulit kambing lebih disukai oleh lobster hijau pasir, seperti yang telah dijelaskan diatas. Sedangkan pada pengujian antara kulit sapi dengan ikan rucah, lobster hijau pasir lebih memilih memakan ikan rucah. Sama halnya dengan kulit kambing, bau kulit sapi terasa asing bagi lobster hijau pasir tersebut, karena pada habitatnya lobster hijau pasir tidak pernah mencium bau tersebut. Demikian pula halnya ketika diujikan bersama potongan ikan cucut. Lobster hijau pasir lebih memilih potongan ikan cucut. Selain itu, bau potongan ikan cucut juga lebih menyengat dibandingkan bau kulit sapi. Pada pengujian umpan ikan rucah dan kulit kambing, lobster hijau pasir lebih memilih ikan rucah. Penyebabnya adalah bau dari ikan rucah lebih dikenal dibandingkan bau dari kulit kambing. Hal ini juga berlaku pada pengujian ikan rucah dan kulit sapi, bahkan kulit sapi tidak didatangi sama sekali oleh lobster hijau pasir. Adapun pada pengujian antara umpan ikan rucah dengan potongan ikan cucut, ternyata lobster hijau pasir lebih menyukai umpan ikan rucah. Tubuh ikan cucut lebih besar daripada tubuh lobster, bahkan ikan cucut termasuk salah satu musuh alaminya (Diteroktorat Jenderal Perikanan, 1989). Oleh karena itu, lobster hijau pasir tidak terbiasa memakan potongan ikan cucut. Ikan rucah merupakan makanan sehariharinya. Lain halnya dengan pengujian antara umpan ikan rucah dengan rajungan. Lobster hijau pasir lebih memilih memakan umpan rajungan, walaupun ada sebagian lobster hijau pasir yang lebih memilih umpan ikan rucah. Lobster hijau pasir yang memakan umpan ikan rucah hanya memakannya sedikit saja, sedangkan ketika memakan rajungan, lobster hijau pasir akan memakan rajungan tersebut sampai habis. Pengujian berikutnya adalah antara umpan potongan ikan cucut dengan rajungan. Lobster hijau pasir lebih memilih memakan umpan rajungan, walaupun keduanya sama-sama hewan laut. Bahkan ikan cucut mempunyai bau yang lebih menyengat dibandingkan rajungan. Ikan cucut lanyam (Carcharinus limbatus) termasuk tipe ikan cucut yang sangat aktif dan tipe perenang cepat. Makanan ikan
cucut adalah ikan, cephalopoda, dan crustacea (Compagno, 1984 diacu dalam Rospita, 2003). Jadi, dalam kehidupan sehari-hari ikan cucutlah yang memangsa lobster. Selain itu, rajungan adalah makanan alami lobster hijau pasir tersebut. Pada pengujian antara potongan ikan cucut dengan ikan rucah, lobster hijau pasir juga lebih memilih ikan rucah. Seperti yang telah dijelaskan di atas, ikan cucut adalah musuh alami lobster hijau pasir itu sendiri, sehingga lobster hijau pasir tidak biasa memangsa ikan cucut. Pada pengujian antara umpan potongan ikan cucut dengan kulit hewan darat yaitu kulit kambing dan kulit sapi, lobster hijau pasir lebih memilih umpan potongan ikan cucut. Untuk lebih jelasnya, hasil perlakuan dari tiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil penentuan jenis umpan Perlakuan KK KS IR IC R KK dengan KS KK dengan IR KK dengan IC KK dengan R KS dengan IR KS dengan IC KS dengan R IR dengan IC IR dengan R IC dengan R Keterangan: KK: kulit kambing; KS: kulit sapi; IR : ikan rucah; IC: ikan cucut; dan R: rajungan. Dari semua perlakuan, dapat diketahui bahwa umpan rajungan lebih menarik dan disukai oleh lobster hijau pasir dibandingkan dengan umpan yang lainnya. Lobster adalah hewan nokturnal yang aktif mencari makan pada malam hari. Umumnya mereka hidup pada tempat yang dalam pada siang hari. Pada malam hari biasanya mereka akan menuju perairan yang lebih dangkal sampai kedalaman 1 meter untuk mencari makan. Pada sore dan malam hari, rajungan berada pada daerah pantai, sehingga kemungkinan lobster hijau pasir memang terbiasa memakan rajungan ketika keluar pada malam hari tersebut. Dengan menggunakan indera penciumannya yang
tajam, maka lobster hijau pasir dengan mudah membedakan bau rajungan dengan bau umpan yang lainnya. Dalam setiap umpan yang diujikan mempunyai kandungan zat-zat tertentu dalam tubuhnya seperti protein, lemak, air, mineral, kitin, dan abu. Kandungan zat tersebut berbeda pada tiap jenis organisme. Kulit kambing dan kulit sapi mempunyai kandungan protein sebesar 30-33 %, lemak 2-5 %, mineral 0,1-0,3%, air 60-65 %, dan zat kitin 0,2-2 % (Wahyudin, 1994). Adapun dalam tubuh ikan rucah terkandung protein sebesar 15-24 %, lemak 0,1-0,7 %, mineral 1-2 %, air 66-84 %, dan abu 1,21% (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Ikan cucut mempunyai kandungan protein 20%, lemak 0,3%, mineral 1,3%, dan air 76,9% (Kreuzer dan Ahmed, 1978 diacu dalam Rospita, 2003). Sedangkan rajungan mempunyai kandungan protein sebesar 16,17-16,85%, lemak 0,1-0,35%, air 78,78-81,27%, dan abu sebesar 1,82-2,04% (BBPMHP, 1995). Berdasarkan keterangan tersebut, lobster hijau pasir lebih menyukai makanan yang mengandung protein, lemak, air dan kitin. Kandungan protein dan lemak dari kulit kambing dan kulit sapi lebih besar daripada rajungan, tetapi lobster hijau pasir lebih memilih rajungan dibandingkan keduanya. Hal ini lebih disebabkan lobster hijau pasir lebih mengenal bau rajungan, dan bentuk dari kulit sapi dan kulit kambing terlihat asing bagi lobster hijau pasir. Kandungan protein ikan cucut juga lebih besar dibandingkan rajungan, tetapi karena ikan cucut merupakan musuh alami atau predatornya, maka lobster hijau pasir tidak terbiasa memakan ikan cucut. Dibandingkan dengan umpan yang lainnya, kandungan air dari rajungan memang lebih tinggi. Pada Gambar 6, dapat dilihat tingkah laku lobster ketika memilih umpan yang disukai. Rajungan yang dipakai sebagai umpan adalah rajungan bintang (Portunus sanguinolentud) yang dapat mudah ditemukan di pantai pada waktu sore hari. Rajungan bintang tersebut mempunyai ciri-ciri warna dasar punggungnya hijau kotor, dan pada bagian punggung belakangnya terdapat tiga bulatan merah coklat berjajar melintang. Rajungan bintang ini bukan merupakan komoditas ekspor, sehingga
harganya murah (Soim A, 1996). Jadi nelayan dapat menggunakannya sebagai umpan pada bubu lobster.
Rajungan Kulit sapi
Kulit sapi
Ikan rucah
Ikan rucah vs Kulit sapi
Kulit sapi vs Rajungan
Kulit kambing
Rajungan
Ikan cucut
Ikan rucah
Rajungan vs Kulit kambing
Ikan rucah vs ikan cucut
Gambar 6 Penentuan jenis umpan.
4.2 Penentuan Warna Bubu Daya tarik yang menyebabkan ikan masuk ke dalam perangkap ada dua macam, yaitu daya tarik penciuman (sense of smell) dan penglihatan (sense of vision), tergantung dari spesies ikan dan kondisi perairan. Ikan dapat membedakan warna cahaya asal cukup terang dan masing- masing jenis ikan menyukai warna cahaya yang berbeda-beda (Ayodhoyoa, 1981). Indera penglihatan ikan akan mempunyai sifat khas tertentu karena adanya beberapa faktor, seperti misalnya jarak penglihatan yang jelas, warna yang jelas, kekontrasan, dan lain- lain. Menurut Waterman (1961) diacu dalam Husni (2002), crustacea yang bersifat fototaksis positif seperti decapoda cenderung mengumpul pada panjang gelombang cahaya hijau (520 nm) sampai dengan panjang gelombang cahaya hijau kekuning-kuningan (560 nm). Indera penglihatan juga berperan bagi lobster hijau pasir untuk mendeteksi perangkap dan umpan. Walaupun penglihatan secara langsung tidak penting untuk pergerakan lobster akan tetapi berfungsi sebagai tambahan untuk pergerakannya pada jarak yang pendek (Cobb dan Phillips, 1980). Hal ini disebabkan karena lobster adalah hewan nokturnal yang aktif pada malam hari, dimana keadaan disekitarnya gelap. Namun, karena penelitian ini diadakan pada siang dan malam hari, maka untuk mengefektifkan waktu perlu ditambahkan pengujian tentang warna bubu ini. Apabila ada kecenderungan lobster hijau pasir memilih warna tertentu, maka diharapkan dapat mempercepat ketertarikan lobster hijau pasir memasuki bubu. Berdasarkan penga matan secara langsung, bubu yang paling banyak didatangi oleh lobster hijau pasir adalah bubu warna merah. Warna kedua yang banyak didatangi oleh lobster hijau pasir adalah warna biru, kemudian warna hijau. Menurut Wetzel (1975) diacu dalam Husni (2002), Reseptor visual hewan air memiliki besaran efisiensi cahaya maksimum yang mudah dicapai warna cahaya mempengaruhi mekanisme fisiologis crustacea melalui rangsangan panjang gelombang yang diterima oleh reseptor cahaya pada mata. Bagi ikan, cahaya juga merupakan indikasi adanya makanan. Ikan lapar lebih mudah terpikat oleh cahaya (Mubarok, 2003). Warna merah memberikan nuansa redup dimana pantulan cahaya yang ditimbulkannya memberikan kontras terhadap
umpan, sehingga umpan didalam bubu dapat terlihat (Husni, 2002). Berdasarkan keterangan diatas, maka pada penelitian selanjutnya tentang uji coba bubu plastik menggunakan tudung saji warna merah. Pada Gambar 7, dapat dilihat reaksi lobster hijau pasir terhadap warna bubu yang diujikan.
Gambar 7 Pengujian terhadap warna.
4.3
Lintasan Lobster hijau pasir Arah lintasan lobster hijau pasir pada tiap satu perlakuan pola dinding bubu
mempunyai pola dan panjang lintasan yang berbeda-beda. Setiap ukuran lobster hijau pasir juga mempunyai pola dan panjang lintasan yang berbeda. Berikut ini dibahas mengenai bentuk pola lintasan, panjang lintasan, dan lamanya waktu yang diperlukan lobster hijau pasir untuk merayapi dinding tersebut.
4.3.1
Pola lintasan lobster hijau pasir Lobster hijau pasir pada berbagai ukuran mempunyai tingkah laku yang
berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan pola lintasannya ketika merayapi sebuah dinding tudung saji. Pola lintasan pada masing- masing lobster hijau pasir dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan prosentase masing- masing lintasan dapat dilihat pada Tabel 3. Pola lintasan pada masing- masing perlakuan bubu penting diperhatikan untuk mengetahui letak kesulitan lobster hijau pasir ketika merayapi bubu. Tabel 3 Prosentase pola lintasan tiap ukuran lobster hijau pasir Pola dinding bubu
I
II
Bentuk pola lintasan
Ukuran lobster
Pendek
Memutar
A
25%
75%
B
75%
25%
C
100%
A
50%
50%
B
75%
25%
C A III
IV
100% 25%
75%
B
100%
C
100%
A
75%
B
100%
C
25%
100%
Lobster hijau pasir pada ukuran A (10-50 g) adalah lobster hijau pasir yang paling aktif dibandingkan dengan lobster hijau pasir ukuran yang lebih besar. Berdasarkan pengamatan, 75% lobster hijau pasir ukuran tersebut ketika merayapi dinding I yang paling senang mengitari bubu terlebih dahulu, sedangkan 25% yang lainnya mempunyai pola lintasan yang pendek. Pada lobster hijau pasir yang mengitari bubu terlebih dahulu, setelah sampai di bagian tengah lobster hijau pasir akan berbelok arah, baik ke kanan maupun ke kiri. Bagian tengah adalah bagian yang mempunyai kemiringan sekitar 60o . Kemungkinan besar lobster hijau pasir tersebut mengalami kelelahan untuk mendaki lagi, atau sedang melakukan orientasi untuk mencari jalan menuju umpan. Pada dinding I tersebut, lobster hijau pasir berukuran B (50–90 g) mempunyai pola lintasan yang cenderung pendek, yaitu 75% dari jumlah total. Hal ini mungkin disebabkan karena lobster mempunyai indra penciuman dan indra penglihatan yang tajam (Smith, 1958 diacu dalam Nurafiah, 2001), sehingga orientasinya merayapi dinding adalah untuk mencari makanan. Setelah melihat umpan, maka mereka langsung menuju tempat tersebut. Lobster hijau pasir ukuran C (100-110 g) mempunyai pola lintasan yang relatif pendek. Sama halnya dengan lobster hijau pasir ukuran B, indra penciuman dan indra penglihatannya diduga telah berfungsi dengan baik, sehingga dapat dengan mudah menemukan jalan menuju umpan. Pola lintasan dinding I cocok untuk mengarahkan lobster hijau pasir ukuran B dan C. Hal ini dapat dilihat dari pola lintasan lobster hijau pasir yang lebih pendek. Pada Gambar 8 dapat dilihat posisi merayap lobster hijau pasir ketika merayapi bubu I.
Gambar 8 Posisi merayap lobster hija u pasir pada bubu I. Ketika merayapi dinding II, lobster hijau pasir ukuran A mempunyai pola lintasan yang berbeda-beda. Ada sebagian yang berpola lurus (50%), tetapi ada sebagian yang memutari bubu (25%), dan menyamping (25%). Lobster hijau pasir yang mempunyai pola lurus, diduga karena kakinya sudah dapat mencapai mencapai pijakan berikutnya, sehingga dapat menuju mulut bubu secara mudah. Adapun lobster hijau pasir yang mempunyai pola memutar dan menyamping adalah karena kakinya belum mampu mencapai pijakan berikutnya, sehingga untuk mencapai mulut bubu harus melalui jalan menyamping. Lobster hijau pasir ukuran B mempunyai pola lintasan yang lebih singkat, sebagian besar berpola pendek, yaitu 75 %. Hal ini dikarenakan kaki lobster hijau pasir tersebut telah cukup panjang untuk mencapai pijakan di atasnya, sehingga tanpa berputar lobster hijau pasir tersebut dapat sampai di mulut bubu. Berdasarkan pengamatan dan informasi dari nelayan, lobster hijau pasir ukuran B ini juga paling rakus dibanding ukuran la innya, sehingga dengan adanya lubang yang lebih besar pada dindingnya, maka umpan di dalam bubu
dapat lebih terlihat. Hal ini
menyebabkan lobster hijau pasir lebih mudah menemukan umpan. Pola lintasan lobster hijau pasir ukuran C (100-110 g) pada pola dinding II adalah berpola agak menyamping. Hal ini dikarenakan kemungkinan lobster hijau pasir ukuran C tersebut ketika merayapi dinding tersebut tidak hanya ingin memakan umpan tersebut. Diduga, lobster hijau pasir tersebut merasa nyaman berada pada sisi
dinding luar bubu tersebut. Kemungkinan yang lain adalah lobster hijau pasir ukuran C mempunyai tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi, sehingga lobster hijau pasir tersebut cenderung mencari daerah yang lebih gelap supaya aman dan terhindar dari bahaya. Denga n demikian, sebelum naik ke atas lobster hijau pasir berputar untuk mencari daerah dinding yang tidak terkena cahaya secara langsung. Pola dinding II lebih cocok untuk menangkap lobster hijau pasir ukuran B, karena lobster hijau pasir ini mempunyai lintasan yang relatif pendek dan sederhana. Selain itu, tingkat kewaspadaan lobster hijau pasir B belum terlalu tinggi dibandingkan lobster hijau pasir C. Tingkah laku lobster hijau pasir ketika merayapi bubu II dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Posisi merayap lobster hijau pasir pada bubu II.
Pada dinding III, 75% lobster hijau pasir ukuran A mempunyai pola lintasan yang agak menyamping. Pola dinding III mempunyai lubang yang tinggi ke arah vertikal, sehingga kaki lobster hijau pasir ukuran A belum cukup untuk melangkah ke pijakan berikutnya. Jika ingin sampai hingga ke atas, maka perlu mencari pijakan dari arah samping. Pada lobster hijau pasir ukuran B, pola awalnya adalah lurus, tetapi ketika sudah sampai pada daerah puncak dinding, lobster hijau pasir mulai berputar mengelilingi mulut tersebut. Hal ini diduga karena lobster hijau pasir takut masuk melalui mulut tersebut. Begitu juga dengan lobster hijau pasir uk uran C. Pada
awalnya pola lobster adalah lurus, setela h sampai di sekitar mulut, lobster mulai berputar. Berdasarkan keterangan tersebut, maka dinding III lebih cocok untuk dirayapi lobster hijau pasir ukuran B dan C. Hal ini karena besarnya lubang vertikal yang dibuat telah mampu dijangkau oleh lobster hijau pasir, sehingga pola lintasannya dapat lebih pendek dan sederhana. Pada Gambar 10, dapat dilihat tingkah laku lobster hijau pasir ketika merayapi bubu III.
Gambar 10 Posisi merayap lobster hijau pasir pada bubu III.
Pada dinding IV, lobster hijau pasir ukuran A ada yang mempunyai pola lurus (75%) dan mengitari bubu (25%). Lobster hijau pasir yang mempunyai pola lurus atau pendek melewati bagian dinding yang tidak berlubang. Hal ini dikarenakan bagian untuk pijakan pada dinding IV lebih lebar, sehingga lobster hijau pasir ukuran A dapat melaluinya. lobster hijau pasir yang mempunyai pola berputar dikarenakan melewati bagian berlubang yang besarnya tidak terjangkau oleh langkah kakinya. Sewaktu menghindari lubang tersebut, lobster hijau pasir lebih memilih berputar mencari daerah yang tidak berlubang. Lobster hijau pasir ukuran B mempunyai pola lintasan yang relatif sederhana dan pendek. Lintasan yang singkat dikarenakan pijakan yang lebar dan terbatas dapat mengarahkan lobster hijau pasir cepat sampai pada puncak dinding. Adapun lintasan
lobster hijau pasir ukuran C cenderung memutar. Hal ini diduga karena lobster hijau pasir mencari daerah yang terlindung, sehingga berputar-putar untuk menghindar dari cahaya. Berdasarkan keterangan tersebut, maka dinding yang paling baik untuk dirayapi lobster hijau pasir ukuran A berdasarkan pola lintasannya adalah dinding IV. Hal ini karena dinding dapat dilalui dengan mudah oleh lobster hijau pasir, meskipun ada yang memutar terlebih dahulu. Adapun untuk lobster hijau pasir ukuran B, semua dinding dapat digunakan. Lobster hijau pasir ini dapat melewati semua perlakuan dinding dengan mudah. Untuk lobster hijau pasir ukuran C, dinding yang paling cocok dirayapi adalah dinding I dan III. Pada kedua dinding tersebut, lobster hijau pasir ukuran C mempunyai lintasan yang lurus dan pendek. Dibawah ini, dapat dilihat tingkah laku lobster hijau pasir ketika merayapi bubu IV.
Gambar 11 Posisi merayap lobster hijau pasir pada bubu IV.
4.3.2
Panjang lintasan lobster Panjang lintasan yang dilalui oleh lobster ketika merayapi dinding berbeda-
beda. Hal ini sesuai dengan tingkah laku dan kemampuan masing- masing ukuran lobster untuk mendatangi bubu maupun umpan di dalamnya. Berikut ini disajikan
Tabel 4 dan Gambar 12 mengenai panjang lintasan lobster ketika merayapi dinding bubu berdasarkan tiga ukuran lobster. Tabel 4 Panjang lintasan lobster hijau pasir Pola Dinding Bubu I
II
III
IV
Ukuran Lobster A (10-20 g) B (50-90 g) C (100-110 g) A (10-20 g) B (50-90 g) C (100-110 g) A (10-20 g) B (50-90 g) C (100-110 g) A (10-20 g) B (50-90 g) C (100-110 g)
Rata-rata (cm) 61,60 35,50 37 43,80 34,13 40 47,80 46,50 39,50 56,80 36 60,50
Panjang lintasan (cm)
70 60 50 40 30 20 10 0 I
Lobster A
II
Pola dinding
Lobster B
III
IV
Lobster C
Gambar 12 Panjang lintasan lobster pada setiap dinding.
Ketika merayapi dinding I, lintasan lobster ukuran A adalah yang paling terpanjang dibandingkan lobster ukuran lainnya. Hal ini dikarenakan lobster terkecil tersebut adalah yang paling aktif, dan cenderung sering memutari bubu. Selain itu,
tingkat kewaspadaan mereka masih kurang, sehingga tidak takut terhadap benda asing. Jumlah kisi-kisi yang sangat rapat juga membuat langkah kaki lobster menjadi lebih kecil, sehingga sering berhenti dan menjadi tidak lurus teratur ke atas. Lobster ukuran B mempunyai panjang lintasan yang paling pendek untuk dinding I. Hal ini diduga karena indra penciuman dan indra penglihatannya lebih sempurna dibandingkan ukuran yang lebih kecil. Lobster ukuran ini lebih rakus dibanding uk uran yang lain. Ketika umpan yang berada di dalam telah terdeteksi keberadaannya, maka lobster tersebut langsung merayapi dinding untuk menemukan umpan tersebut. Lintasan lobster ukuran C ketika merayapi dinding I relatif pendek. Seperti halnya dengan lobster B, indra penciuman mereka lebih tajam, sehingga ketika telah mengetahui letak umpan maka mereka langsung menuju ke tempat tersebut, tanpa harusmemutari bubu. Dengan menggunakan kakinya yang panjang, maka dinding I dapat dilaluinya hanya dengan beberapa langkah saja. Seperti halnya dengan pola lintasan, dinding I lebih cocok untuk menangkap ukuranB dan C. Hal ini dikarenakan lobster pada ukuran tersebut mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap adanya umpan. Dengan kecepatannya mendeteksi umpan maka diharapkan lobster lebih mudah mencapai puncak dinding bubu dan masuk ke dalamnya. Pada dinding II, lobster hijau pasir ukuran A juga mempunyai lintasan yang paling panjang. Sama halnya dengan dinding I, lobster hijau pasir tersebut cenderung memutari bubu. Selain itu, faktor perlakuan pada dinding II juga ikut berpengaruh. Dinding II mempunyai lintasan ke arah horizontal atau menyamping. Untuk menghindari lubang tersebut, maka lobster hijau pasir ukuran A harus mengikuti lintasan menyamping tersebut. Dengan demikian, lintasan lobster hijau pasir ukuran A untuk mencapai puncak menjadi panjang. Lintasan terpendek pada dinding II juga dimiliki oleh lobster hijau pasir ukuran B. Hal ini dikarenakan lobster hijau pasir tersebut berorientasi pada umpan, sehingga
ketika telah mengetahui keberadaan umpan maka mereka langsung menuju ke tempat tersebut. Selain itu, kaki lobster hijau pasir ukuran B juga lebih panjang daripada kaki lobster hijau pasir ukuran A, sehingga lobster hijau pasir ukuran B telah dapat menjangkau pijakan berikutnya tanpa harus mengikuti alur menyamping tersebut. Tabel 5 Lama waktu merayap lobster hijau pasir Pola Dinding Bubu I II III IV
Ukuran Lobster A (10-20 g) B (50-90 g) C (100-110 g) A (10-20 g) B (50-90 g) C (100-110 g) A (10-20 g) B (50-90 g) C (100-110 g) A (10-20 g) B (50-90 g) C (100-110 g)
Rata-rata (detik) 110,5 37,5 255,0 49,4 27,8 26,0 64,4 25,5 10,0 24,2 30,3 28,5
300 250
Waktu (detik)
200 150 100 50 0 I
II
III
IV
Pola dinding
Lobster A
Lobster B
Lobster C
Gambar 13 Waktu yang diperlukan lobs ter hijau pasir merayapi dinding.
Pada dinding I, dapat dilihat bahwa lobster hijau pasir ukuran A memerlukan waktu yang relatif lama untuk sampai pada mulut bubu. Hal ini dikarenakan lobster hijau pasir tersebut lintasannya berputar-putar terlebih dahulu, sehingga memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Perputaran itu dilakukan untuk menemukan jalan masuk ke bubu. Lobster hijau pasir ukuran B memerlukan waktu yang relatif cepat dibandingkan ukuran lobster hijau pasir yang lain. Hal ini karena lobster hijau pasir ukuran B mempunyai tujuan merayapi dinding untuk mendapatkan umpan yang ada di dalamnya. Dengan menggunakan indra penciuman dan indra penglihatannya, maka dapat dengan cepat sampai ke puncak dinding. Lobster hijau pasir ukuran C memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi, sehingga lebih berhati- hati dalam merayapi dinding. Berdasarkan dugaan tersebut, maka pada pengamatan terlihat lobster hijau pasir ukuran C lebih senang berdiam diri di bagian bawah dinding untuk menghindari kelihatan oleh pemangsanya. Jika keadaan memungkinkan maka lobster hijau pasir ukuran C baru bergerak dengan cepat keatas. Selain itu, lobster hijau pasir ukuran C juga memilih daerah yang terlindung dari cahaya untuk menyembunyikan diri. Walaupun lintasannya relatif lebih pendek, akan tetapi waktu yang dibutuhkan lebih lama. Berdasarkan waktu yang diperlukan seekor lobster hijau pasir untuk dapat sampai pada puncak dinding I, maka dapat dilihat bahwa lobster hijau pasir ukuran B memerlukan waktu yang paling cepat. Waktu cepat itu dikarenakan lobster hijau pasir tersebut telah mampu mendeteksi umpan yang ada di dalamnya. Selain itu, faktor ketertarikan terhadap umpan juga menjadi pemicu cepatnya waktu yang diperlukan lobster hijau pasir tersebut. Pada pola dinding II, waktu yang diperlukan oleh lobster hijau pasir ukuran A tidak sebanyak pada pola dinding I. Hal ini diduga karena lintasan horizontal atau menyamping yang dimiliki pola dinding II sebenarnya lebih mengarahkan lobster hijau pasir ukuran A untuk cepat sampai ke atas. Selain itu, dengan berjalan
menyamping maka lobster hijau pasir tersebut tidak akan memerlukan tenaga yang banyak dibandingkan harus berjalan kearah vertikal yang lebih mendaki. Waktu yang dibutuhkan oleh lobster hijau pasir ukuran B untuk sampai pada mulut bubu terlihat relatif cepat dibandingkan yang lain. Seperti halnya pada pola dinding I, faktor ketertarikan kepada umpan mendorong lobster hijau pasir untuk bergerak lebih cepat. Potongan pada dinding II tidak menghalanginya karena masih dapat dijangkau dengan mudah oleh kakinya. Waktu yang dibutuhkan oleh lobster hijau pasir ukuran C juga relatif cepat. Meskipun lintasannya lebih panjang, karena ukuran tubuh yang lebih besar maka dinding tersebut dapat dilaluinya hanya dengan beberapa langkah saja. Dengan ukuran tubuh yang lebih besar tersebut, maka perlakuan pada dinding tidak menyulitkan baginya. Waktu yang diperlukan oleh lobster hijau pasir ukuran A pada dinding III adalah paling lama dibanding ukuran yang lain. Hal ini dikarenakan lintasan ya ng digunakannya juga lebih panjang, sehingga waktu yang digunakan juga lebih lama. Lobster hijau pasir ukuran B memerlukan waktu yang relatif cepat ketika merayapi dinding III. Akan tetapi kalah cepat dengan lobster hijau pasir ukuran C. Hal ini diduga karena potongan dinding III yang memanjang ke arah vertikal agak menyulitkan lobster hijau pasir ukuran B untuk melangkah, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk sampai di mulut bubu. Setelah sampai pada mulut bubu, lobster hijau pasir tersebut mengalami kesulitan untuk memasukinya, sehingga berputar terlebih dahulu untuk mendapatkan posisi yang aman untuk masuk ke dalam bubu. Lobster hijau pasir ukuran C dapat lebih cepat sampai di mulut bubu dan memasukinya dengan mudah sehingga tidak memerlukan waktu yang lama. Apabila melihat dari cepatnya waktu yang dibutuhkan, maka dinding II lebih cocok untuk dirayapi lobster hijau pasir ukuran C. Dengan potongan yang lebar ke arah vertikal,
maka memaksa lobster hijau pasir untuk melangkah lebih lebar sehingga lebih cepat sampai di mulut bubu. Pada dinding IV, lobster hijau pasir ukuran A mempunyai catatan waktu yang paling cepat. Meskipun lobster hijau pasir tersebut masih senangmemutari bubu, tetapi karena pijakan pada dinding IV lebih terbatas, maka supaya tidak tergelincir lobster hijau pasir harus mengikuti daerah pijakan tersebut. Dengan daerah yang terbatas tersebut, maka lobster hijau pasir lebih mudah terarah menuju ke mulut bubu. Lobster hijau pasir ukuran C memerlukan waktu yang paling lama untuk sampai pada mulut bubu IV. Walaupun lintasannya relatif pendek, tetapi karena banyak berdiam diri maka waktu yang diperlukan menjadi lama. Lobster hijau pasir tersebut kemungkinan agak kesulitan berada pada daerah yang dibatasi, sehingga jika terbentur pada bagian pinggir, maka memilih untuk berhenti sejenak. Pada lobster hijau pasir ukuran C, lama waktu yang diperlukan sesuai dengan panjang lintasannya. Karena berputar pada bagian bawah bubu, maka waktu yang dibutuhkan juga menjadi lebih lama. Berdasarkan pernyataan di atas, maka bubu yang baik untuk menangkap lobster hijau pasir berukuran A berdasarkan waktu adalah pola dinding IV. Karena dengan adanya pijakan yang terbatas tersebut, maka lobster hijau pasir lebih mudah terarah menuju ke mulut bubu. Untuk lobster hijau pasir ukuran B, bubu yang mudah dirayapi adalah yang berpola dinding III. Meskipun kalah cepat dengan lobster hijau pasir ukuran C, tetapi dibandingkan dengan dinding lain, catatan waktu lobster hijau pasir ukuran B lebih cepat pada dind ing III. Adapun untuk lobster hijau pasir ukuran C, bubu yang mudah dirayapi adalah yang berpola dinding III. Hal ini dikarenakan lobster hijau pasir harus melangkah lebih lebar supaya tidak terperosok ke dalam lubang.
4.4 Kriteria Penilaian Jenis Dinding Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diketahui bentuk dinding yang tepat untuk merayap lobster hijau pasir. Pada Tabel 6, ditentukan kriteria penilaian bentuk dinding berdasarkan pola, panjang lintasan, dan waktu merayapinya. Tabel 6 Kriteria penilaian bentuk dinding Pola dinding bubu
Lobster A pola
panjang
Lobster B waktu
pola
panjang
Lobster C waktu
pola
panjang
waktu
I II III IV
Berdasarkan Tabel 6, maka dapat dilihat bahwa pola dinding yang paling baik untuk mengumpulkan lobster hijau pasir ukuran A adalah pola dinding IV. Lobster hijau pasir ukuran A ini mempunyai pola dan waktu yang lebih singkat ketika merayapi pola dinding IV. Lobster hijau pasir ukuran B dapat merayapi semua pola dinding dengan baik. Pola lintasan lobster hijau pasir ukuran B pada semua dinding adalah sederhana dan relatif singkat. Sedangkan panjang lintasan yang cepat dilintasi oleh lobster hijau pasir ukuran B adalah dinding I, II, dan IV. Waktu yang diperlukan lobster hijau pasir untuk sampai ke puncak paling cepat adalah pada dinding III. Lobster hijau pasir ukuran C lebih mudah merayapi dinding III. Pola lintasan lobster hijau pasir ukuran C yang sederhana adalah ketika merayapi dinding I dan III. Sedangkan panjang lintasan, dan waktu tercepat lobster hijau pasir ukuran C adalah pada pola dinding III. Berdasarkan Tabel 6, untuk mengumpulkan lobster secara umum, lebih baik menggunakan bubu berpola dinding III. Keuntungan menggunakan pola dinding III adalah pola lobster hijau pasir pada dinding ini lebih pendek, lobster hijau pasir ukuran C lebih mudah merayap, lintasannya termasuk pendek dibandingkan pola dinding yang lain, waktu yang diperlukan lobster hijau pasir pada berbagai ukuran termasuk cepat.
5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1.Pola dinding pada bubu plastik tudung saji berbentuk kubah yang mudah untuk dirayapi lobster hijau pasir ukuran A (10-20 g) adalah pola dinding IV, yaitu pola kisi yang dipotong persegi pada pertengahan tulangnya; 2.Untuk lobster hijau pasir ukuran B (50-90 g) mudah merayapi semua pola dinding; 3.Pola dinding pada bubu plastik yang mudah untuk dirayapi lobster hijau pasir ukuran C (100-110 g) adalah pola dinding III, yaitu pola kisi yang dipotong vertikal pada dindingnya ; dan 4.Untuk mengumpulkan lobster hijau pasir secara umum, lebih baik menggunakan pola dinding III.
5.2 Saran Saran yang dapat dikemukakan pada penelitian ini adalah perlu dilakukan uji lapangan menggunakan bubu plastik tudung saji berbentuk kubah dengan pola dinding disesuaikan dengan target tangkapan.
DAFTAR PUSTAKA Afrianto E, E Liviawaty.1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius. Ayodhyoa AU. 1981. Metode Pena ngkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. BPPI. 1991. Petunjuk Praktis Bagi Nelayan. Semarang: BPPI. BBPMHP. 1995. Petunjuk Teknis Pengolahan Kepiting dan Rajungan. Jakarta: BBPMHP. Febrianti L. 2000. Pengaruh Umpan Pikatan Kulit Hewan (Kulit Sapi dan Kuilt Kambing) terhadap Hasil Tangkapan Menggunakan Krendet dan Tingkah Laku Mencari Udang Karang (Lobster) di Perairan Baron Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. [Skripsi] tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan. Compagno LJV. 1984. Shark of The World Vol IV. United Nations Development Programme. Roma: FAO diacu dalam Rospita L. 2003. Formulasi dan Uji Aktivitas Antifouling dari Biji Jarak (Rinicus communis linn), Kulit Pohon Mangrove (Xylocarpus granautum), dan Hati Ikan Cucut Lanyam (Charcharinus limbatus). [Skripsi] tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Budihardjo S. 1981. Studi Perbandingan Jenis Alat Tangkap Lobster Pot dengan Bubu Tradisional untuk Menangkap Udang Barong (Panulirus spp). [Skripsi] tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor Direktorat Jendral Perikanan. 1989. Mengenal Udang Barong (Lobster) Komoditi Ekspor yang Potensial untuk Dikembangkan. Warta Mina, Th Ke III No. 30. Jakarta: Departemen Pertanian. Hal 1-7. . 1992. Udang Barong. Warta Mina, Th Ke IV No. 63. Jakarta: Departemen Pertanian. Fauzi HIS, Gomal HT, Abib T. 1990. Perikanan Lobster Indonesia. Semarang: Badan Penggembangan Perikanan Indonesia. Husni MB. 2002. Pengaruh Perbedaan Warna Wadah terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man). [Skripsi] tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Budidaya Perairan.
Kholifah N. 1998. Pengaruh Pikatan dengan Umpan Kulit Kambing terhadap Hasil Tangkapan Lobster Menggunakan Jaring Krendet di Perairan Baron Gunung Kidul, Yogyakarta. [Skripsi] tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Lovett DL. 1981. A Guide to the Shrimp, Prawn, Lobster, Crabs of Fisheries an Marine Science. Malaysia: University Pertanian. Martasuganda S. 1990. Bubu dan Ghost Fishing. [Artikel] tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Monintja RD, Martasuganda S. 1990. Teknologi Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut II. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Moosa MK, Aswandy I. 1984. Udang Karang (Panulirus spp) dari Perairan Indonesia. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan. Jakarta: LIPI. Mubarok, HA. 2003. Pengaruh Warna Cahaya yang Berbeda terhadap Tingkah Laku Berkumpulnya Juvenil Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). [Skripsi] tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Nurafiah A. 2001. Studi Pendahuluan Letak Mulut Bubu dan Tingkah Laku Udang Karang Hijau Pasir (Panulirus homarus). [Skripsi] tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Rospita L. 2003. Formulasi dan Uji Aktivitas Antifouling dari Biji Jarak (Rinicus communis linn), Kulit Pohon Mangrove (Xylocarpus granautum), dan Hati Ikan Cucut Lanyam (Charcharinus limbatus). [Skripsi] tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Smith FGW. 1958. The Spiny Lobster of Florida. Education Series, No. 11, June 1958. Virginia: University of Miamy diacu dalam Nurafiah A. 2001. Studi Pendahuluan Letak Mulut Bubu dan Tingkah Laku Udang Karang Hijau Pasir (Panulirus homarus). [Skripsi] tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Soim, A. 1996. Pembesaran Kepiting. Jakarta: Penebar Swadaya.
Subani W. 1978. Perikanan Udang Barong (Spiny Lobster) dan Prospek Masa Depannya. Prosiding Seminar Ke II Perikanan Udang 15-18 Maret 1977. Jakarta: Badan Penelitian Pengembangan Perikanan.Hal 39-53. . 1983. Survey Alat Penangkapan Udang Barong di Pantai Selatan Bali. Laporan Penelitian Perikanan Laut, No. 25. Jakarta: BPPL. Suci LH. 1993. Studi Te ntang Perbedaan Jenis Bubu Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Hias di Perairan Citeureup, Pandeglang, Jawa Barat.. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Wahyudin. 1994. Pembuatan Lem Kulit dari Limbah Kulit Hewan sebagai Bahan Baku Perekat Kayu. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian, JurusanTeknologi Industri Pertanian.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Bentuk pola perlakuan pada dinding bubu plastik
Perangkap A
Perangkap C
Perangkap B
Perangkap D
Lampiran 2 Data panjang lintasan lobster hijau pasir
Pola Dinding Bubu
I
II
III
IV
Ukuran lobster (g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) C (100-110 g) C (100-110 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) C (100-110 g) C (100-110 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) C (100-110 g) C (100-110 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) C (100-110 g) C (100-110 g)
Panjang lintasan (cm) 97 30,5 67 52 34 49,5 29 28 39 35 30 63,5 52,5 29 31 28 38,5 39 44 36 31 31 28 101,5 41,5 31,5 58 50 40,5 38,5 63 27 36 101,5 44 33,5 30,5 36 73,5 47,5
Lampiran 3 Data lama waktu merayap lobster hijau pasir
Pola Dinding Bubu
I
II
III
IV
Ukuran lobster (g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) C (100-110 g) C (100-110 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) C (100-110 g) C (100-110 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) C (100-110 g) C (100-110 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) A (10-20 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) B (50-90 g) C (100-110 g) C (100-110 g)
Lama waktu merayap lobster (detik) 236 45 89 72 19 66 35 30 240 270 20 127 28 22 15 23 46 27 32 20 83 10 21 143 61 4 12 25 7 13 9 11 16 60 8 60 23 30 29 28
Lampiran 4 Pola lintasan lobster hijau pasir ketika merayapi dinding
1 Pola lintasan lobster hijau pasir pada dinding I 1.1 Lobster hijau pasir ukuran A (10-20 g)
1.2 Lobster hijau pasir ukuran B (50–90 g)
1.3 Lobster hijau pasir ukuran C ( 100-110 g)
Lampiran 4 (lanjutan)
2 Pola lintasan lobster hijau pasir pada dinding II 2.1 Lobster hijau pasir ukuran A (10-20 g)
2.2 Lobster hijau pasir ukuran B (50 – 90 g)
2.3 Lobster hijau pasir ukuran C (100-110 g)
Lampiran 4 (lanjutan)
3 Pola lintasan lobster hijau pasir pada dinding III 3.1 Lobster hijau pasir ukuran A (10-20 g)
3.2 Lobster hijau pasir ukuran B (50 – 90 g)
3.3 Lobster hijau pasir ukuran C ( 100-110 g)
Lampiran 4 (lanjutan)
4 Pola lintasan lobster hijau pasir pada dinding IV 4.1 Lobster hijau pasir ukuran A (10-20 g)
4.2 Lobster hijau pasir ukuran B (50–90 g)
4.3 Lobster hijau pasir ukuran C (100-110 g)