Modernisasi Ekologi: Kasus Teluk Jakarta (Sudahkah Terjadi Reformasi Lingkungan dan Kelembagaan?)1 Rokhani,
[email protected] Andi Ishak,
[email protected] Pengantar Kerusakan lingkungan di berbagai tipe ekosistem telah terjadi di Indonesia, baik pada ekosistem pertanian, hutan, pesisir, laut hingga teluk. Salah satu teluk yang mengalami kerusakan parah adalah Teluk Jakarta. Konsep yang lahir untuk mengatasi kerusakan lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan yang merupakan cerminan paradigma modernisasi ekologi. Selama lebih dari dua dasawarsa, mazhab pembangunan yang dianut oleh Indonesia adalah developmentalis (“pembangunan-isme”) yang sangat kuat dan mengedepankan pertumbuhan ekonomi. Sekalipun mazhab ini telah membawa pertumbuhan ekonomi, namun karena memandang alam secara anthroposentris3 sehingga cenderung menempatkan manusia diposisi yang lebih tinggi dibandingkan alam. Alam hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga berbuah kerusakan alam. Modernisasi ekologi yang tercermin dalam konsep pembangunan berkelanjutan hadir sebagai solusi yang selama ini digunakan untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Konsep modernisasi ekologi diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi apabila dibarengi dengan manajemen lingkungan. Sekalipun modernisasi ekologi sudah tercermin dalam pengelolaan sumber daya laut termasuk Teluk, namun apakah sudah terjadi revolusi lingkungan dan kelembagaan untuk mengatur dan mengatasi pencemaran di Teluk Jakarta? Makalah ini berusaha untuk menelaah permasalahan tersebut. Lahirnya konsep pembangunan berkelanjutan merupakan babak baru dari teori pembangunan dan mengakhiri perdebatan antara pertumbuhan ekonomi dan penyelamatan lingkungan. Selama ini pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia mengikuti mazhab Neo-klasik yang menekankan pertumbuhan dan efisiensi ekonomi namun sering mengabaikan aspek lingkungan. Mazhab Klasik semula memasukkan tiga unsur ke dalam modelnya, yaitu: sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kapital buatan manusia (man made capital). Seabad kemudian mazhab Neo-klasik menghilangkan faktor sumberdaya dari modelnya sehingga hanya berkonsentrasi pada dua faktor yaitu sumberdaya manusia (labour) dan man made capital. Penghilangan faktor sumberdaya karena diasumsikan bahwa sumberdaya alam dapat diperoleh secara gratis dari alam (free gift of nature). Model ini berimplikasi pada pemberian nilai yang berlebih (over-value) terhadap man made capital dan 1
Makalah Seminar “Membangun Teori Sosial Hijau Keindonesiaan”. Seminar diselenggarakan oleh PS S3 Sosiologi Pedesaan IPB dan Forum Ekologi, Kebudayaan, dan Pembangunan, Departemen SKPM FEMA IPB, Kampus IPB Dramaga. Tanggal 27 Januari 2014. 2
Mahasiswa Program Doktoral PS Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB.
3
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Alam dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam tidak mempunyai nilai untuk dirinya sendiri. (Keraf, 2002) hal 33.
1
sebaliknya menilai rendah (under value) terhadap sumberdaya alam sedangkan lingkungan merupakan sistem penunjang kehidupan yang mendasar. Pembangunan dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah melahirkan lingkungan yang rusak karena menempatkan manusia “di atas” alam. Sebaliknya teori sosial hijau dengan konsep pembangunan berkelanjutan berusaha memberikan perhatian utama pada upaya untuk mengatasi pemisahan manusia dari alam dan mematahkan persepsi bahwa manusia lebih unggul daripada alam (Barry, 1999). Mendewakan pertumbuhan ekonomi tak ubahnya seperti mazhab kapitalis maupun sosialis. Lester Brown (1989 dalam Barry, 1999) menyatakan bahwa baik kapitalis maupun sosialis percaya bahwa manusia harus mendominasi alam. Keduanya menganggap alam sebagai basis sumberdaya yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kenyamanan manusia. Pembangunan berkelanjutan yang seringkali disinonimkan dengan modernisasi ekologi (Buttel, 1998) pertama kali dipublikasikan dalam laporan utama yang telah disampaikan oleh World Commision on Environment, Growth and Development (WCED) sebagai berikut: Sustainable development is development that meets the needs of the present without ompromising the ability of future generations to meet their own needs. It contains within it two key concepts:—the concept of ‘needs’, in particular the essential needs of the world’s poor, to which overriding priority should be given; and the idea of limitations imposed by the state of technology and social organisation in the environment’s ability to meet present and future needs. (WCED, 1987 dalam Barry, 1999) Pembangunan berkelanjutan yang diartikan sebagai pembangunan yang bisa dinikmati generasi sekarang dan mendatang merupakan respon dari pembangunan gaya kapitalis yang destruktif terhadap lingkungan. Makalah ini berusaha mengkritisi konsep pembangunan berkelanjutan yang menjadi cerminan paradigma modernisasi ekologi. Makalah ini berusaha untuk mengupas modernisasi ekologi dengan kasus Teluk Jakarta. Modernisasi dengan tujuan pertumbuhan ekonomi dan penggunaan teknologi modern telah mengakibatkan kerusakan lingkungan. Berbagai upaya telah dilakukan, namun apakah sudah terjadi reformasi lingkungan dan kelembagaan. Makalah ini berusaha menelaahnya lebih lanjut. Teori Modernisasi Ekologi dan Beberapa Kritiknya Reformasi lingkungan baik di tataran praktis maupun institusional merupakan jantung atau fokus utama kajian modernisasi ekologi. Reformasi lingkungan dalam perspektif modernisasi ekologi dikategorikan dalam lima tema; pertama, peran iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dalam perbaikan lingkungan dengan pendekatan sosioteknologi. Kedua, pentingnya pertumbuhan dan pengaruh ekonomi, dinamika pasar, institusi dan agen dalam perbaikan lingkungan. Ketiga, perubahan peran, posisi dan kinerja negara. Keempat, modifikasi posisi, peran dan ideologi gerakan sosial dalam proses transformasi ekologi. Kelima, pentingnya perubahan praktek discursive dan pentingnya ideologi baru dalam arena politik dan sosial. Kunci dari teori Modernisasi ekologi adalah industrialisasi dilakukan dengan mengindahkan keberlanjutan. Tesis utama Modernisasi ekologi adalah masalah lingkungan dapat diatasi oleh inovasi iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) tanpa meninggalkan modernisasi, melalui tiga fase: yaitu (1) terobosan industri; (2) konstruksi masyarakat industri
2
dan (3) pengalihan secara ekologis sistem industri melalui proses superindustrialisasi (Mol, 2009). Kalangan sosiolog telah mengembangkan dua generasi teori atau pendekatan modernisasi ekologi dan kini tengah merintis generasi ketiga pendekatan modernisasi ekologi. Sejarah analisis tiga generasi dari ilmu sosial yang memberi kontribusi untuk memahami perbaikan lingkungan, adalah dengan melakukan analisis kebijakan Negara berkaitan dengan lingkungan, mempelajari lembaga swadaya (NGOs) dan protes yang dilakukan, sikap ekologi individu dan hubungan dengan perilaku. Mol (2009) memberikan gambaran mengenai pengembangan teori dari generasi ke satu sampai dengan ke tiga sebagai berikut. Tekanan teori generasi-pertama terletak pada kebijakan dan protes. Generasi ini muncul sejak tahun 1970-an dan terus berkembang hingga tahun 1980-an. Sosiologi Lingkungan dan Ilmu Politik Amerika dan Eropa mengembangkan reformasi lingkungan terutama melalui dua jalur yaitu menganalisa kebijakan nasional tentang lingkungan, dan mengkaji NGO lingkungan dan protes-protesnya. Krisis lingkungan dikonsepsikan sebagai kegagalan pasar (kapitalis), kegagalan kepentingan institusi ekologi Negara. Hal ini mendorong ilmu sosial dan politik menganalisis dan meneliti proses perbaikan lingkungan. Dalam perspektif neo Marxian, krisis lingkungan sangat berhubungan dengan sruktur ekonomi kapitalis dan “Negara kapitalis” yang tidak mampu merubah struktur ekonomi kapitalis. Ilmu sosiologi lingkungan dan politik, menganalisis negara lingkungan sebagai kritik penting bagi perbaikan lingkungan, dimana dalam kebijakan terdapat kasus tragedy of the common/free rider. Gerakan lingkungan oleh NGOs dan masyarakat sipil untuk perbaikan lingkungan menjadi objek penelitian sosial. Protes dan perlawanan dilihat sebagai akar fundamental, dimana kontribusi penting gerakan lingkungan untuk perbaikan institusi modern agar bisa melawan dominasi ekonomi melalui kampanye melawan poluter dengan melakukan lobi dan mempengaruhi proses politik,atau melalui peningkatan kesadaran perubahan sikap warga Negara dan konsumer. Tekanan teori generasi -kedua adalah teori modernisasi ekologi. Generasi kedua ini muncul sejak pertengahan dekade1980-an dan makin popular pada awal 1990-an ditandai dengan lonjakan kajian-kajian empiris mengenai perbaikan lingkungan, restrukturisasi ekologi atau reformasi lingkungan. Kajian-kajian difokuskan pada beragam tingkat analisis (produsen individu, rumahtangga, rantai, jaringan; negara ; regional dan global). Kajiankajian ini berusaha menilai apakah pengurangan dalam penggunaan sumberdaya alam dan pelepasan emisi dapat diidentifikasi, selanjutnya dibandingkan dengan indikator ekonomi seperti GNP. Kajian-kajian diwujudkan dalam bentuk kajian tentang produksi yang lebih bersih, ekologi industri, perspektif menghijaukan konsumsi, gaya-hidup dan rumahtangga, penyelidikan terhadap dematerialisasi. Modernisasi ekologi merupakan dinamika proses perbaikan lingkungan di era modern. Ide dasar modernisasi ekologi adalah bahwa di akhir millenium dua masyarakat modern tergerak untuk memperhatikan kepentingan ekologi, menggagas dan mempertimbangkannya dalam desain institusi mereka. Karenanya stuktur ekologi menginspirasi proses transformasi dan perbaikan institusi modern. Studi modernisasi ekologi digagas tahun 1980an dan matang sebagai tradisi penelitian pada tahun 1990an, tahun-tahun terakhir memiliki sejumlah trend baru sebagai formulasi hasil penelitian. Pertama, terdapat peningkatan sejumlah agenda riset pada modernisasi ekologi dari praktik konsumsi. Kedua, trend utama studi modernisasi ekologi berkaitan
3
dengan kepentingan kerangka kerja geografi. Ketiga, riset modernisasi ekologi berkembang tidak hanya pada tingkat Negara tetapi meningkat ke tataran regional dan global. Sebagai sebuah perspektif (teoritis) ide-ide dan studi modernisasi ekologi juga mendapatkan berbagai kritik dari gagasan yang bertentangan. Tekanan teori generasi-ketiga adalah pada sosiologi jaringan (networks) dan arus (flows). Generasi ketiga ini muncul pada dekade 1990-an. Yang paling krusial dalam pengembangan sosiologi jaringan dan arus ini adalah pada pergeseran unit dan konsep utama analisisnya. Unit dan konsep analisisnya bergeser dari negara dan masyarakat ke jaringan dan arus modal, orang, uang, informasi, image, barang/materi dan lain-lain. Pertanyaan pokok yang diajukan dalam modernisasi ekologi adalah: Apakah modernisasi ekologi dapat membawa perubahan sosial dan individu? Perubahan sosial berupa proses pembangunan kelembagaan, sedangkan perubahan individu adalah apakah modernisasi dapat merubah cara pandang dari yang bersifat tradisional menjadi modern? (Inkeles and Smith, 1974 dalam Hannigan, 2006) Dalam perkembangannya, perspektif modernisasi ekologi menuai kritik. Menurut Buttel (1998), teori modernisasi ekologi terlalu menekankan pada determinisme teknologi, terlalu berorientasi produktivitas dan cenderung mengabaikan konsumen, dan tekanan pada peran “kekuasaan” sangat kurang. Teori modernisasi ekologi bias Eurocentricity, karena akar teoritis modernisasi ekologi dibangun dari pengalaman-pengalaman empiris industri transformatif di negara-negara Eropa Utara, yang kondisinya jelas berbeda dengan negaranegara lain pada umumnya. Pengendalian pencemaran yang lebih luas atas keprihatinan tentang konsumsi sumberdaya agregat dan dampak lingkungan serta pertanyaan mendasar tentang modernisasi belum banyak dibahas dalam teori modernisasi ekologi (Buttel, 1998). Kaum terpelajar yang terinspirasi oleh aliran deep ecology4 mengkritik pilihan agenda reformasi dari modernisasi ekologi yang kurang radikal untuk merubah tatanan masyarakat kapitalis modern. Human-ecologist yang terinspirasi oleh neo-Malthusian, mengkritik perspektif modernisasi ekologi atas pengabaiannya pada kuantitas (pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan kuantitas konsumsinya). Penganut neo-Marxis mengkritik modernisasi ekologi pada kenaifannya tentang tatanan kapitalis yang pada dasarnya tidak menghendaki reformasi lingkungan. Modernisasi ekologi dikritik karena adanya pemisahan yang kuat antara alam/fisik dan sosial, dan berlanjutnya perbedaan konseptual negara, pasar, aktor masyarakat sipil dan lembaga-lembaga (Mol 2009). Menurut Low dan Gleeson, 1998 (dalam Satria 2010), asumsi utama modernisasi ekologi adalah pertumbuhan ekonomi dapat direkonsiliasikan dengan kelestarian ekologis, dengan bertumpu pada tiga strategi. Pertama, ekologisasi produksi, yang berarti pengurangan limbah dan pencemaran melalui perbaikan teknologi ramah lingkungan. Kedua, perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk proekologis. Ketiga, menghijaukan nilai sosial dan korporat beserta praktiknya. Beberapa upaya kultural dari modernisasi ekologi adalah: 4
Deep ecology atau ecologism adalah sebuah gagasan (ideologi politik) yang selalu berusaha hendak membentuk dan memandu cara berfikir masyarakat untuk melakukan perubahan mendasar mentalitas individu dan kelompok dari etika tradisonal antropocentrism kepada etika biocentrism atau etika ecocentrism. Deep ecology memandang dan menilai sebuah tindakan sosial dari perspektif lingkungan alam secara keseluruhan, dan tidak secara parsial dari kacamata manusia semata-mata. Secara khusus, dalam sistem gagasan ini termasuk juga upaya advokasi terhadap eksistensi sistem sosio budaya lokal yang seringkali diabaikan dan dimatikan vis a vis sistem pengetahuan barat. Para penganut paham ini hendak mengubah tatanan ekonomi sosial dan politik dunia secara fundamentalistik-radikal-struktural. Mereka memperjuangkan terbentuknya struktur tatanan dunia “baru” dan sistem kemasyarakatan baru yang menghargai alam demi kelangsungan hidup keseluruhan sistem ekologi itu sendiri (Dharmawan, 2007) dalam Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia Vol I 2007. Hal 30-31.
4
penggunaan teknologi ramah lingkungan, misalnya teknologi asap cair, penggunaan instrumen amdal, kampanye earth hour, jalur bebas mobil pada hari-hari tertentu, serta mengatur suhu sedang untuk pendingin ruangan adalah upaya kultural dari modernisasi ekologi. Mengatasi perubahan iklim dengan solusi perdagangan karbon. Artinya solusi krisis ekologis adalah manajemen lingkungan melalui teknologi, pasar, dan intervensi negara. Modernisasi ekologi juga tercermin dalam pengelolaan sumber daya. Cirinya adalah pendekatan teknokratik yang berbasis sains dan pasar untuk mengatasi krisis ekologis (ekolabeling untuk produk hutan, ikan, serta pertanian) dan mengembangkan kawasan konservasi untuk kelestarian sumber daya. Kritik terhadap Modernisasi ekologi adalah melupakan konflik kepentingan antar aktor, yakni antara industri yang satu dan industri lain, industri dengan masyarakat, negara dengan masyarakat, serta antara negara maju dan berkembang. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara keduanya akan menimbulkan dominasi satu atas lainnya dan berujung pada marginalisasi pihak yang lemah. Kasus Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak antara Tanjung Karawang di sebelah Timur dan Tanjung Pasir di Sebelah Barat. Luas teluk adalah 285 km2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan ratarata kedalaman perairan 8,4 m. Teluk Jakarta adalah pintu gerbang ibukota Jakarta dari sisi utara. Di sekitar teluk terdapat gugusan kepulauan Seribu, yang terdiri dari rangkaian mata rantai 105 pulau yang membentang dari Teluk Jakarta hingga Pulau Sebira di arah Utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih 150km dari pantai Jakarta Utara. Menurut Rochyatun dan Rozak (2007), perairan Teluk Jakarta tergolong padat dengan berbagai jenis kegiatan seperti menjadi lokasi rekreasi (Ancol), pabrik atau industri, tempat penangkapan ikan serta terdapatnya 4 (empat) pelabuhan besar, yaitu Tanjung Priok, dua buah pelabuhan perikanan dan pelabuhan kayu. Artinya, selain berperan strategis bagi perekonomian Indonesia, Teluk Jakarta juga dijadikan nelayan dan petambak sebagai tempat budidaya. Perairan Teluk Jakarta merupakan badan air yang menampung limbah dari industri-industri dan pembuangan sampah di Jakarta dan sekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) utama yang bermuara di Teluk Jakarta adalah DAS Ciliwung, Citarum dan Cisadane. Total debit air dari 13 sungai tersebut rata-rata 112,7 m3 /detik mengalir ke Teluk Jakarta. Dalam Harian Media Indonesia (Senin, 27 April 2009) disebutkan bahwa terumbu karang di Teluk Jakarta tersisa tinggal 2%. Sementara terumbu karang merupakan bagian ekosistem laut yang penting karena rusaknya terumbu karang mengakibatkan sumber rantai makanan hilang dan nelayan kian sulit menangkap ikan, udang, atau biota laut lainnya. Teluk Jakarta dipenuhi oleh berbagai macam limbah, mulai dari limbah rumah tangga, industri dan sampah datang melalui 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta mencapai 161 ton/hari (Indo Maritim Institute, 2011). Menurut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kandungan logam berat di Teluk Jakarta sudah mencapai 1,8-2 ppm dan memastikan bahwa kerang maupun ikan di perairan Teluk Jakarta tidak amam untuk dikonsumsi. Batas maksimum yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup tentang baku mutu air laut disebutkan bahwa batas maksimum logam berat di wilayah biota laut, pelabuhan, dan wisata bahari masing-masing tak boleh melewati 0,01; 0,03; dan 0,02 ppm. Terlebih kerang yang bernama latin Perna veridis memiliki kemampuan menyaring seluruh kandungan zat berbahaya pada cangkangnya. Kerang mampu bertahan hidup meski mengakumulasi logam berat, sehingga kerang bermanfaat sebagai bioindikator pencemaran di perairan. Bahkan
5
sejak tahun 1979, peneliti di Batan Atom Nasional (Batan) telah mendapati bahwa kadar logam berat dalam air di Teluk Jakarta sudah tergolong tinggi. Senada dengan hasil penelitian LIPI, hasil penelitian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2011 juga menunjukkan bahwa sedikitnya 21 perusahaan besar membuang limbahnya ke perairan Teluk Jakarta. Sebagian dari 6.500 ton sampah yang dihasilkan di Jakarta per harinya masuk ke 13 aliran sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta. Sekitar 40 persen penduduk Jakarta (empat juta orang) membuang sampah domestik langsung ke sungai-sungai yang bermuara di teluk Jakarta. Menurut Deputi Menneg LH Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, 60-70% total volume pencemaran yang masuk ke sungai-sungai Jakarta berasal dari limbah domestik berupa sampah rumahtangga, dan sisanya (30-40%) berasal dari sektor industri. Data FAO tahun 1998 menunjukkan bahwa konsentrasi rerata logam berat (mg/kg) berupa merkuri (Hg) dalam sedimen di Teluk Jakarta, adalah 0,6 sedangkan konsentrasi alami dan baku mutu maksimal adalah 0,5. Pencemaran dari daratan atau land base pollution menyumbang 80 persen terhadap pencemaran perairan teluk Jakarta. Baik akibat bahan organik, bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti logam dan pestisida, pencemaran minyak dan sedimen, pencemaran organisme patogen dan eksotik, serta detergen (Kompas, 5 Juni 2007). Pencemaran di Teluk Jakarta diperparah oleh tumpahan minyak. Sumber tumpahan minyak tidak hanya berasal dari aktivitas penambangan minyak, akan tetapi juga dari pihak konsumen minyak baik yang berasal dari aliran sungai (DAS), pemikiman kota, pemukiman pantai, pabrik-pabrik industri dan kapal-kapal yang langsung membuang sisa (ballast)nya ke laut. Sebesar 61,5% tumpahan minyak ke laut berasal dari konsumen minyak, yakni 34,9% dari transportasi dan 26,6% dari aliran sungai dan sebesar 1,3% verasal dari aktivitas produksi lepas pantai (Coutrier, 1976 dalam Salim, 2000). Dilihat dari frekuensi kejadian, sebelum tahun 2004, rata-rata pencemaran minyak terjadi 2 kali setahun. Pada 2004 terjadi 5 kali, yaitu pada 28 Maret 2004 terdapat pencemaran minyak yang mengotori 78 pulau, pada 24 April mencemari 37 pulau, 2 Mei mencemari Pulau Pramuka dan Peniki, pada 5 Mei minyak juga mencemari Pulau Pari, Panjang, dan Kelapa, dan pada 1 Oktober pencemaran menimpa 5 pulau (Suharjono, 2004). Upaya untuk menanggulangi pencemaran oleh tumpahan minyak telah dilakukan oleh para ahli, baik yang bersifat kimia maupun fisik. Cara penanggulangan yang bersifat kimia dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan menyemprotkan dispersan.5 Kedua dengan cara mengembangbiakkan bakteri atau mikroba pemakan atau pemecah minyak pada daerahdaerah dimana terdapat gumpalan minyak pada wilayah peraian yang tercemar. Namun demikian cara ini masih ada pada tahap penelitian laboratorium dan belum dapat direalisasikan penggunaannya. Hendaknya cara ini dapat terus dikembangkan karena lebih efisien dari sisi waktu, biaya dan tenaga. Penanggulangan secara fisik dapat dilakukan dengan cara: melokalisir tumpahan minyak agar tidak meluas, mengumpulkan minyak tumpahan dan membersihkan daerah sekitar tumpahan minyak. Sedangkan upaya preventif dapat dilakukan dengan program monitoring serta rencana untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya tumpahan minyak di perairan laut (Dahuri, et all 1996). 5
Dispersan adalah senyawa kimia yang bersifat aktif permukaan dan digunakan untuk mendispersikan tumpahan minyak di laut agar tumpahan minyak tidak mengotori pantai. Pemberian dispersan pada tumpahan minyak ini pada dasarnya adalah menambah jumlah zat-zat surfaktan sehingga tegangan permukaan antara minyak dan air menjadi sangat kecil dan minyak dapat terpecah menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Selain itu dispersan dapat mencegah bergabungnya kembali butiran-butiran yang terdispersi (Mulyono, 1995 dalam Agus Salim, 2000)
6
Penyelidikan atas kasus pencemaran oleh tumpahan minyak maupun sebab lain tidak pernah terungkap. Diperlukan kebijakan berupa penegakan hukum yang mencakup penyediaan perangkat hukum yang tepat, dimana penegakan hukum dapat dilakukan dengan mekanisme reward and punishment. Untuk menghindari ketimpangan dan konflik kepentingan, pelaksanaan kebijakan dan strategi pengelolaan diperlukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah. Penegakan hukum ini sangat penting agar kebijakan dilaksanakan secara konsisten dan terhindar dari konflik baik vertikal maupun horisontal. Salah satu cara untuk menumbuhkan kembali terumbu karang dan mengatasi pencemaran baik oleh limbah maupun tumpahan minyak adalah dengan memperbaiki kualitas perairan di Teluk Jakarta, lalu upaya apa yang telah dilakukan oleh pemerintah? Selama ini pemerintah DKI telah melakukan berbagai macam cara untuk mengatasi permasalahan di Teluk Jakarta, antara lain: mewajibkan pengolahan limbah, melarang membuang sampah sembarangan, menata permukiman dan normalisasi DAS (Koran Jakarta Kuantum, 2013). Focus Group Discussion (FGD) yang digagas oleh Direktorat Pesisir dan Lautan pada Departemen Perikanan dan Kelautan, serta Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB) berusaha untuk merumuskan rencana strategis mitigasi pencemaran guna mengatasi problem lingkungan di laut, termasuk Teluk Jakarta. Dari FGD dirumuskan 11 isu penting terkait program mitigasi pencemaran Teluk Jakarta, dan dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu lingkungan dan teknologi, kelembagaan, dan sosial ekonomi. Isu terkait persoalan kelembagaan, adalah masih lemahnya penegakan hukum lingkungan, kurangnya komitmen antarlembaga, serta kurangnya komunikasi antarsektor terkait6. Isu terkait teknologi, adalah: degradasi fisik habitat, pencemaran perairan, pencemaran dari daratan, dan kurangnya prasarana dan sarana Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). Apabila ditelaah lebih lanjut, kebijakan untuk mengatasi pencemaran di Teluk Jakarta adalah dengan mengendalikan pencemaran sungai dan Teluk Jakarta dengan menekan pencemaran dari sumbernya, agar limbah yang dibuang ke perairan tidak terlalu banyak. Beberapa diantaranya adalah dengan program kali bersih dan untuk kalangan industri menengah dan besar dengan proper, serta memaksimalkan 3R (kurangi, gunakan ulang dan daur ulang). Dari uraian tersebut terlihat bahwa selama ini gerakan reformasi baru sebatas himbauan untuk budaya bersih, sehat, produktif, dan aman. Namun belum diikuti dengan reformasi lingkungan dan kelembagaan. Penutup Selama ini modernisasi ekologi yang dilakukan oleh pemerintah hanya menyentuh aspek teknologi saja, namun belum ada reformasi lingkungan dan kelembagaan untuk mengatur dan mengatasi pencemaran di Teluk Jakarta. Kebijakan mengatasi pencemaran sudah ada, namun baru sebatas ad hoc saja, sedangkan reformasi lingkungan dan kelembagaan belum dilakukan. Upaya untuk mengatasi permasalahan ini tidak selesai pada pembuatan peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) namun harus diatasi oleh semua pihak (stakeholders) secara terpadu dalam bingkai reformasi lingkungan. 6
Pernyataan ini senada dengan hasil penelitian Parawansa (2007) yang menyatakan bahwa implementasi strategi pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan memerlukan dukungan programprogram berbagai instansi terkait dari tingkat pusat sampai tingkat desa. Seringkali berbagai macam kegiatan sudah direncanakan tetapi dalam waktu dan tempat yang berbeda, sehingga masing-masing sektor berjalan sendiri. Diperlukan koordinasi baik pada tahap perencanaan maupun implementasi di lapangan. Artinya masih ada egoisme sektoral tugas dan kewenangan dari masing-masing instansi terkait.
7
Pustaka Barry, John. 1999. Greening Social Theory. in Environment and Social Theory. New York: Routledge Buttel, F H. 1998. Ecological Modernization as Social Theory. Geoforum 31 (2000) 57-65. Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dharmawan, A.H. 2007. Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan: Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik dalam Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Vol I April 2007 hal 1-40. Hannigan, John. 2006. Environmental Sociology. 2nd ed. London: Routledge http://Indomaritimeinstitute.org/2011/10/teluk-jakarta-merintih-tertindih-polutan/Teluk Jakarta, Merintih Tertindih Polutan. Diakses Tanggal 7 Desember 2013. http://www.stp.kkp.go.id/index.php/arsip/c/360/Rumah-Ikan-di-Teluk-Jakarta-Tersisa2/Harian Media Indonesia Senin, 27 April 2009. Diakses Tanggal 7 Desember 2013. Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Mol, Arthur PJ. 2009. Social Theories of Environmental Reform: Towards a Third Generation dalam Environmental Sociology: European Perspectives and Interdisciplinary Challenges. Eds Gross, Mathias and Harald Heinrichs. LondonNew York : Springer. Mol, Arthur P.J. 2010. Ecological Modernization as a Social Theory of Environmental Reform, in The International Handbook of Environmental Sociology, Second Edition. UK: Edward Elgar Parawansa, Indar. 2007. Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta Secara Berkelanjutan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. IPB. Rochyatun, E dan A.Rozak. 2007. Pemantauan Kadar Logam Berat Dalam Sedimen di Perairan Teluk Jakarta. Jakarta: J. Makara, Sains, 11 (1): 28-36 Salim, Agus. 2000. Model Pengkajian Resiko Ekologis Akibat Tumpahan Minyak di Perairan Teluk Jakarta. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. IPB. Satria, Arif. 2010. Keadilan Ekologis. Diunduh dari http://fema.ipb.ac.id/index.php/keadilan-ekologis/. Diakses tanggal 10 Desember 2013.
8