STUDI PENDAHULUAN PEMODELAN EKOLOGI DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
Oleh : Yudha Bayu Nursalam C64104029
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
STUDI PENDAHULUAN PEMODELAN EKOLOGI DI PERAIRAN TELUK JAKARTA adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
YUDHA BAYU NURSALAM C64104029
iii
RINGKASAN YUDHA BAYU NURSALAM. Studi pendahuluan pemodelan ekologi di perairan Teluk Jakarta. Dibimbing oleh RICHARDUS F. KASWADJI dan HADIKUSUMAH. Model ekologi telah banyak dibangun dengan salah satu tujuannya adalah untuk mengetahui, memprediksi ataupun menganalisis interaksi yang terjadi di antara komponen-komponen ekologi. Melalui penelitian ini telah dibangun sebuah model ekologi yang mewakili struktur trofik minimum di permukaan perairan Teluk Jakarta dengan nitrogen sebagai elemen dasar siklus model. Variabel tetap yang bekerja dalam siklus model diantaranya adalah nitrat (NO3), amonium (NH4), fitoplankton (CHL), zooplankton (ZOO) serta nitrogen organik terlarut dan partikel (PON dan DON). Faktor yang bekerja dalam model adalah fisika (suhu dan cahaya) serta biologi dan kimia perairan (fotosintesis, respirasi, dekomposisi, grazing, eksresi dan mortalitas). Penelitian dilakukan selama 7 (tujuh) bulan mulai dari bulan Juni 2008 sampai dengan Desember 2008 bertempat di Laboratorium Oseanografi Fisika P2O-LIPI. Model dibangun dalam bahasa pemrograman Fortran 90 pada perangkat lunak Compaq Visual Fortran Ver. 6.5 sedangkan untuk menampilkan hasil model digunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2003. Desain model meliputi proses perumusan masalah, pembuatan model konseptual, penulisan persamaan matematis, parameterisasi, solusi numerik, kalibrasi hingga validasi model. Faktor suhu dan cahaya yang digunakan mewakili tren/pola sebenarnya yang terjadi di Teluk Jakarta sedangkan persamaan untuk beberapa proses lain dan juga nilai parameter bersumber pada beberapa literatur yang disesuaikan dengan daerah simulasi melalui proses kalibrasi. Solusi numerik ditentukan melalui metode numerik beda hingga (finite difference). Validasi terhadap hasil model menunjukkan tren yang beragam. Hasil model untuk faktor fisika menunjukkan persamaan dengan data yang digunakan untuk validasi. Persamaan ditunjukkan baik pada nilai maupun pola dari suhu dan cahaya perairan. Nilai rata-rata suhu perairan dalam satu tahun antara 28 – 30 oC dan cahaya perairan antara 0.2 – 0.25 ly/min. Validasi untuk variabel tetap secara umum menunjukkan persamaan. Rata-rata konsentrasi nitrat hasil model adalah 0.038 mg/l dan validasinya sekitar 0.037 mg/l, hasil model amonium sekitar 0.13 mg/l dan validasinya sekitar 0.17 mg/l dan hasil model untuk fitoplankton adalah 0.52 mg/m3 dan validasinya sekitar 0.57 mg/m3. Keterbatasan data validasi dan faktor yang mempengaruhi model mengakibatkan tidak adanya validasi terhadap variabel lain dan pola musiman dari konsentrasi variabel serta masih terdapatnya beberapa data dengan konsentrasi berbeda. Analisa terhadap hasil model menunjukkan bahwa terbentuknya pola konsentrasi untuk variabel tetap nutrien lebih dipengaruhi oleh faktor suhu perairan yang memodulasi proses perairan yang menjadi sumber nutrien sedangkan pola untuk variabel fitoplankton lebih dipengaruhi oleh cahaya perairan sebagai faktor utama fotosintesis. Flux nitrogen terbesar di perairan terjadi pada saat fotosintesis oleh fitoplankton berlangsung.
iv
STUDI PENDAHULUAN PEMODELAN EKOLOGI DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Yudha Bayu Nursalam C64104029
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
© Hak cipta milik Yudha Bayu Nursalam, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya
vi
Judul Skripsi Nama NIM
: STUDI PENDAHULUAN PEMODELAN EKOLOGI DI PERAIRAN TELUK JAKARTA : Yudha Bayu Nursalam : C64104029
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc NIP. 19450405 197301 1 001
Drs. Hadikusumah NIP. 19470729 197403 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002
Tanggal lulus: 06 Agustus 2009
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang selalu mencurahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Studi Pendahuluan Pemodelan Ekologi di Perairan Teluk Jakarta” dapat terselesaikan. Pembuatan model ekologi ini diharapkan menjadi salah satu gambaran awal metode yang dapat digunakan dalam pemantauan kestabilan ekologi di perairan Teluk Jakarta. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada 1. Dr.Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc dan Drs. Hadikusumah (P2O-LIPI) selaku komisi pembimbing atas ilmu, arahan, motivasi serta pelajaran hidup kepada penulis selama penyelesaian skripsi. 2. Dr.Ir. Djisman Manurung, M.Sc selaku penguji tamu serta Dr.Ir. Henry M. Manik, M.T. selaku ketua komisi pendidikan S1 ITK. 3. Dr.Ir. Sri Pujiyati, M.Si selaku pembimbing akademis yang selalu memberikan arahan dan motivasi kepada penulis. 4. Seluruh pengajar dan pegawai Dept. ITK IPB atas ilmu dan kerjasamanya. 5. Kedua orang tua dan adik tercinta serta keluarga besar penulis atas doa dan dukungannya. 6. Dr.Ir. Alan F. Koropitan (ITK-IPB) dan Ir.Aris Subarkah, MT (BPPT) atas ilmu dan motivasi kepada penulis. 7. Seluruh staff dari instansi terkait diantaranya BMKG, SEAWATCH BPPT, BPLHD DKI Jakarta, P2O-LIPI atas kerjasamanya. 8. Teman-teman dan sahabat ITK 41 atas doa dan dukungannya selama ini. Penulis menyadari masih terdapatnya beberapa kekurangan dalam penyusunan skripsi ini dan semoga skripsi ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk turut memajukan ilmu pengetahuan Indonesia.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..........................................................................
vii
DAFTAR TABEL ................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xii
1. PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Tujuan ........................................................................................
1 1 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1 Fitoplankton ............................................................................... 2.2 Zooplankton ............................................................................... 2.3 Nitrogen di laut ........................................................................... 2.3.1 Amonia ............................................................................ 2.3.2 Nitrit ................................................................................ 2.3.3 Nitrat ................................................................................ 2.3.4 Nitrogen organik .............................................................. 2.4 Model .......................................................................................... 2.4.1 Definisi model .................................................................. 2.4.2 Tujuan pemodelan ............................................................. 2.4.3 Model ekologi ................................................................... 2.4.4 Formulasi model ...............................................................
4 4 12 14 16 17 17 18 20 20 21 21 23
3. METODE ......................................................................................... 3.1 Waktu dan lokasi simulasi model ................................................ 3.2 Alat dan bahan ............................................................................ 3.3 Desain model .............................................................................. 3.3.1 Variabel tetap .................................................................... 3.3.2 Variabel luar ..................................................................... 3.3.3 Persamaan model .............................................................. 3.3.4 Parameterisasi ................................................................... 3.3.5 Solusi numerik ................................................................. 3.3.6 Verifikasi dan validasi ....................................................... 3.4 Nilai awal ................................................................................... 3.5 Asumsi model .............................................................................
28 28 28 29 31 32 33 38 39 40 41 41
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 4.1 Kalibrasi model .......................................................................... 4.1.1 Kalibrasi parameter nutrien ............................................... 4.1.2 Kalibrasi parameter fitoplankton .......................................
43 43 44 46
ix
4.2 Variabel luar .............................................................................. 4.2.1 Suhu perairan .................................................................... 4.2.2 Cahaya .............................................................................. 4.3 Variasi musiman variabel ekologi................................................ 4.4 Validasi ...................................................................................... 4.4.1 Amonium ......................................................................... 4.4.2 Nitrat ................................................................................ 4.4.3 Fitoplankton ..................................................................... 4.4.4 Pembahasan ....................................................................... 4.5 Flux Nitrogen ............................................................................. 4.6 Perlakuan Model ........................................................................
47 47 51 54 58 59 61 62 63 68 69
5. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 5.2 Saran ...........................................................................................
71 71 72
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
73
LAMPIRAN ..........................................................................................
76
RIWAYAT HIDUP ..............................................................................
79
x
DAFTAR TABEL Halaman 1. Notasi dan nilai parameter/konstanta yang digunakan dalam model ekologi .................................................................................
26
2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam model ekologi ............
29
3. Nilai awal variabel dalam model .....................................................
41
4. Nilai parameter hasil kalibrasi model ..............................................
43
5. Validasi nilai rata-rata dan rentang konsentrasi variabel selama satu tahun ............................................................................
59
6. Rata-rata nilai konsentrasi variabel hasil perlakuan ..........................
70
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Hubungan fotosintesis dan cahaya.....................................................
8
2. Tahapan perumusan/pembuatan model ............................................
30
3. Skema model ekologi ......................................................................
31
4. Rata-rata nilai intensitas cahaya pada tahun 1991 - 1995 di perairan Teluk Jakarta ..................................................................
32
5. Rata-rata nilai suhu perairan pada tahun 1997 – 1998 di perairan Teluk Jakarta ...................................................................
33
6. Pola sebaran suhu perairan (oC) Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya ................................................
47
7. Pola sebaran intensitas cahaya perairan (ly/min) Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya ..........................
51
8. Pola konsentrasi nutrien (a) dan plankton (b) hasil running model di perairan Teluk Jakarta...........................................
54
9. Time lag antara fitoplankton dan zooplankton di perairan Teluk Jakarta hasil running model ...................................
57
10. Konsentrasi amonium di perairan Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya ................................................
59
11. Konsentrasi nitrat di perairan Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya ................................................
61
12. Konsentrasi fitoplankton di perairan Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya .................................................
62
13. Hubungan amonium dan suhu perairan .............................................
65
14. Hubungan nitrifikasi dengan suhu (a) dan cahaya (b) ........................
66
15. Hubungan fitoplankton dengan suhu (a) dan cahaya (b) ....................
67
16. Aliran flux nitrogen tahunan hasil running model .............................
68
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data yang digunakan dalam model dan konversi ...............................
77
2. Penyelesaian persamaan diferensial dengan beda hingga ...................
78
1
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Ekologi didefinisikan sebagai pengkajian hubungan organisme atau
kelompok organisme terhadap lingkungannya, atau ilmu hubungan timbal balik antara organisme hidup dan lingkungannya (Odum, 1993). Dalam suatu perairan hubungan atau interaksi seperti predasi (pemangsaan), fotosintesis ataupun nitrifikasi, menimbulkan arus energi yang mengarah pada struktur makanan, keanekaragaman biotik, dan daur-daur bahan yang jelas di dalam sistem. Hal ini menunjukkan bahwa perairan merupakan suatu sistem ekologi atau disebut sebagai suatu ekosistem (Odum, 1993). Dinamika ekologi di perairan menekankan pada suatu perubahan biomassa atau energi. Misalnya, pertumbuhan alga yang dipengaruhi oleh penyerapan nutrien dari lingkungan, proses pemangsaan alga yang menyebabkan terjadinya transfer biomassa fitoplankton menuju zooplankton, dan juga proses eksresi yang menyebabkan berpindahnya biomassa hewan menuju detritus. Proses-proses tersebut di atas tidak lepas dari beberapa faktor antara lain, faktor fisik perairan (suhu, arus, kedalaman, cahaya, angin, dan difusi-adveksi), faktor kimia (keberadaan nitrogen, karbon, fosfor dan unsur lainnya beserta reaksi yang terjadi didalamnya) serta faktor biologi yang menunjang kehidupan organisme di dalamnya. Ketiganya berinteraksi satu sama lain menunjang kehidupan di perairan dalam sebuah daur interaksi.
2
Sebuah metode pendekatan dapat digunakan dalam menjelaskan interaksi yang terjadi dalam sebuah ekosistem yaitu melalui model ekologi. Soetaert and Herman (2004) menjelaskan bahwa model merupakan bentuk sederhana dari fenomena yang lebih kompleks, dan dengan batasan-batasan tertentu akan dapat dijelaskan dan diprediksi hubungan yang terjadi serta pengaruhnya dalam sebuah ekosistem. Daur kehidupan yang terjadi di ekosistem perairan sangat kompleks sehingga dalam meramalkannya pun diperlukan suatu batasan atau simplifikasi yang disesuaikan dengan informasi yang ingin didapatkan dari interaksi ekosistem tersebut. Model ekologi dalam laporan ini merupakan model konseptual yang mewakili struktur trofik minimum di permukaan serta menjelaskan hubungan antara variabel ekologi yang dianggap penting dalam perairan. Pembatasan model dilakukan yaitu dengan hanya memasukkan nitrogen sebagai elemen dasar penentuan biomassa variabel. Keberadaan nitrogen di perairan menjadi salah satu faktor pembatas dalam daur bahan-bahan organik, salah satu fungsinya adalah untuk sintesis protein. Baik di alam maupun dalam model ekologi nitrogen biasanya berada dalam bentuk organik (partikel dan terlarut) dan juga inorganik (amonium, nitrit dan nitrat). Setiap proses ekologi yang terjadi di alam direpresentasikan sebagai sebuah persamaan matematis yang akan membangun sebuah model. Persamaan matematis ini dapat ditentukan solusinya dengan bantuan teknik komputasi (metode numerik). Persamaan yang telah diformulasikan disesuaikan dengan keadaan suatu perairan dan disimulasikan dengan bantuan komputer. Dalam simulasi digunakan juga beberapa data awal (inisial) dari daerah penelitian
3
sebagai dasar dalam meramalkan pola konsentrasi setiap variabelnya. Simulasi yang dilakukan ini bertujuan untuk mendapatkan beberapa data, yang kemudian bila memungkinkan dapat dibandingkan dengan data lapangan yang tersedia sehingga model tersebut dapat dievaluasi kebenarannya. Daerah model yang diamati adalah perairan Teluk Jakarta yang memiliki beranekaragam fungsi, mulai dari fungsi ekologi bagi biota yang ada di dalamnya sampai fungsi sebagai media penghubung laut, penangkapan ikan serta kegiatan manusia lainnya. Berdasarkan besarnya pengaruh perairan Teluk Jakarta bagi ekosistem di sekililingnya, diperlukan suatu pendekatan ekologi untuk mengetahui kestabilan perairan tersebut.
1.2
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun sebuah model ekologi
kaitan antara parameter atau variabel biomassa, kimia dan fisika.
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Fitoplankton Istilah plankton pertama kali dikemukakan pada pertengahan abad 19 oleh
seorang ahli biologi Jerman bernama Viktor Hensen yang memulai ekspedisi untuk melihat distribusi, kelimpahan dan komposisi dari organisme mikroskopik yang berada di lautan terbuka. Menurut Hensen, plankton termasuk seluruh partikel organik yang mengapung dengan bebas dan tanpa sengaja di perairan terbuka mulai dari pantai sampai ke dasar (Reynolds, 1990). Menurut Odum (1993) plankton didefinisikan sebagai organisme mengapung yang pergerakannya tergantung pada arus. Fitoplankton merupakan salah satu jenis plankton yang bersifat autotrof atau dapat menghasilkan makanan dari bahan terlarut dalam air (Reynolds, 1990). Algae autotrof ini melimpah di daerah eutrofik (zona fotik), zona ini dimulai dari permukaan sampai suatu kedalaman, dimana intensitas sinar matahari masih memungkinkan pembentukan bahan organik oleh tumbuhan melalui fotosintesis. Bagian terdalam (dasar) dari zona fotik disebut batas kompensasi (zona disfotik) atau zona keseimbangan antara asimilasi dan respirasi fitoplankton. Kemampuan fitoplankton untuk mengubah zat anorganik menjadi zat organik bergantung kepada cahaya matahari dan pigmen fotosintesis. Klorofil merupakan pigmen hijau yang terdapat pada fitoplankton untuk membantu proses fotosintesis. Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa klorofil-a merupakan pigmen paling dominan yang terdapat dalam fitoplankton, sehingga dapat digunakan sebagai indikator kelimpahan fitoplankton dalam perairan.
5
Fotosintesis melibatkan reaksi antara molekul karbondioksida dengan hidrogen yang kemudian menghasilkan suatu bahan dengan formula empiris n(CH2O) (Barnes dan Hughes, 1999), sesuai dengan persamaan berikut
nCO 2 + 2nH 2 X → n(CH 2 O ) + 2nX + nH 2 O Proses fiksasi karbon yang paling banyak terjadi di lautan adalah dengan menggunakan air (H2O) sebagai pendonor hidrogen, sehingga variabel X dapat dirubah dengan oksigen (O) dan persamaannya menjadi
nCO2 + 2nH 2 X → n(CH 2 O ) + nO2 + nH 2 O persamaan diatas secara umum telah banyak diketahui dan merupakan simplifikasi dari reaksi biokimia kompleks. Pada daerah dengan kandungan oksigen yang rendah, proses fiksasi karbon dilakukan dengan mengunakan hidrogen sulfida sebagai pendonor hidrogen sehingga fotosintesis dapat berlangsung (Barnes dan Hughes, 1999). Reaksi kimia yang terjadi pada semua jasad fotosintetik untuk mendapatkan makanannya dengan bantuan cahaya (fotosintesis) merupakan dasar bagi semua kehidupan di laut. Organisme yang melakukan proses itu disebut sebagai produsen primer. Di laut, khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan produsen primer yang menentukan produktivitas primer perairan dengan melakukan fotosintesis. Proses sebaliknya terjadi pada respirasi, yang mengoksidasi produk dari fotosintesis sehingga menghasilkan energi yang akan digunakan dalam proses metabolisme jaringan tubuh (Millero dan Sohn, 1992).
6
Parsons et al. (1984) menyebutkan faktor utama yang mempengaruhi fotosintesis dalam menentukan produktivitas primer di laut adalah cahaya, nutrien, dan suhu. 1. Cahaya Ketersediaan cahaya di dalam perairan baik secara kuantitatif maupun kualitatif sangat bergantung pada waktu (harian, musiman, tahunan), tempat (letak geografis, kedalaman), kondisi prevalen di atas permukaan perairan (penutupan awan, inklinasi matahari) atau kondisi di dalam perairan (absorpsi oleh air dan material terlarut, serta penghamburan oleh partikel-partikel tersuspensi) (Parsons et al., 1984). Secara kualitatif cahaya dicirikan oleh distribusi spektral dengan panjang gelombang yang berbeda. Sinar matahari yang mencapai permukaan perairan terdiri atas spektrum cahaya yang luas. Cahaya dengan panjang gelombang (λ) lebih dari 760 nm disebut sebagai cahaya inframerah (IR) dan cahaya dengan panjang gelombang lebih pendek dari 300 nm disebut sebagai ultraviolet (UV), cahaya antara 300 – 760 nm disebut dengan sinar tampak, merupakan cahaya yang sangat penting untuk fotosintesis dan secara visual direspon oleh organisme. Panjang gelombang antara 400 dan 720 nm dibutuhkan alga untuk fotosintesis dan total radiasi dalam gelombang ini disebut Photosynthetic Available Radiation (PAR/PhAR) (Parsons et al., 1984). Panjang gelombang yang lebih pendek dari 400 nm atau lebih panjang dari 700 nm secara efektif diabsorpsi oleh lapisan atas dekat permukaan perairan. Sedangkan PAR dapat menembus hingga lapisan yang lebih dalam.
7
Menurut Parsons et al. (1984), besarnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan mengalami penurunan, hal ini merupakan pengaruh baik dari kondisi atmosferik di atas laut (debu, angin, awan, dan sudut datang matahari) maupun dari kondisi di dalam air (absorpsi dan scattering), pengurangan intensitas ini berkisar antara 5 – 30 % dari total radiasi yang masuk ke bumi, hingga kedalaman tertentu besarnya intensitas cahaya dapat diketahui dengan menggunakan persamaan:
I d = I o e − kd
................................................ (1)
keterangan: Io = intensitas cahaya pada permukaan perairan Id = intensitas cahaya pada suatu kedalaman (d) k = koefisien peredaman (extinction) d = kedalaman Nilai koefisien peredaman, k, berpengaruh dalam sebuah pemodelan sistem ekologi, karena dalam sistem ekologi tersebut terdapat proses fotosintesis yang dipengaruhi oleh cahaya. Heyman dan Lundgren (1988) mengatakan bahwa laju pertumbuhan maksimum fitoplankton akan mengalami penurunan bila perairan berada pada kondisi ketersediaan cahaya yang rendah. Parsons et al. (1984) memperlihatkan adanya hubungan antara cahaya dan laju fotosintesis fitoplankton (Gambar 1).
8
Gambar 1. Hubungan fotosintesis dan cahaya (Pmax , fotosintesis maksimum; Ic , intensitas cahaya pada titik kompensasi; R, respirasi; Pn, fotosintesis bersih; Pg, fotosintesis kotor; Iopt, intensitas cahaya pada Pmax; Ik, intensitas cahaya saturasi (modifikasi dari Parsons et al., 1984) Gambar 1 memperlihatkan bahwa fotosintesis akan meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas cahaya hingga mencapai nilai asimptot, Pmax, dimana sistem menjadi jenuh cahaya. Fotosintesis akan menurun hingga cahaya melalui suatu batas dimana produksi dan respirasi memiliki nilai yang sama. Keadaan ini disebut titik kompensasi. Kedalaman kompensasi bervariasi mulai dari beberapa meter pada perairan lintang tinggi sampai 150 meter di beberapa perairan tropis. Intensitas cahaya yang lebih tinggi dari titik saturasi cahaya dapat menghambat fotosintesis dan akhirnya produksi akan semakin berkurang. Wilayah perairan tropis seperti di Indonesia menerima cahaya dengan intensitas yang lebih besar dibandingkan dengan daerah subtropis, hal ini dikarenakan adanya perbedaan lintang yang menyebabkan perbedaan sudut datang sinar matahari dan berdampak pada menurunnya turbiditas perairan serta
9
meningkatkan laju fotosintesis (Parsons et al., 1984). Hasil penelitian P2O-LIPI pada tahun 2008 menunjukkan bahwa di perairan Teluk Jakarta, transmissi cahaya dari lapisan permukaan hingga ke lapisan dekat dasar bervariasi antara 5.9 – 54.5 %, secara umum makin ke dasar nilai transmisi cahaya semakin rendah, transmissi rendah (<15 %) terjadi di lapisan 10 m hingga ke lapisan dekat dasar, makin ke tengah teluk transmisi cahaya makin besar. 2. Suhu Penyebaran suhu air laut di suatu perairan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti radiasi sinar matahari, letak geografis perairan, sirkulasi arus, kedalaman laut, angin, dan musim. Di perairan teluk, suhu umumnya sangat dipengaruhi oleh radiasi panas matahari dan variabilitas suhu secara temporal maupun spasial dipengaruhi oleh angin. Suhu secara langsung berperan dalam mengontrol reaksi enzimatik dalam proses fotosintesis dan secara tidak langsung berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton. Keragaman musiman yang diakibatkan oleh suhu, memicu hilangnya termoklin dan mendorong permukaan massa air yang menyediakan zat hara untuk fotosintesis. Suhu juga mempengaruhi laju pertumbuhan bakteri nitrifikasi yang berperan dalam penyedia nutrien di perairan. Reynolds (1990) mengatakan bahwa suhu yang baik untuk kehidupan fitoplankton adalah 20 – 30 oC dan proses fotosintesis terjadi pada selang suhu antara 25 – 40 oC. Pengukuran laju fotosintesis in situ pada suhu tertentu adalah indikator yang baik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi fotosintesis di perairan tersebut selain cahaya. Pada perairan lintang tinggi
10
dengan suhu rendah dan kandungan nutrien yang besar, laju fotosintesis akan sangat dipengaruhi oleh suhu perairan, sedangkan untuk daerah tropis dan subtropis laju fotosintesis dapat dimungkinkan lebih dipengaruhi oleh kandungan nutrien (Parsons et al., 1984). Valiela (1984) mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan produktivitas primer di laut, suhu lebih berperan sebagai kovarian dengan faktor lain daripada sebagai faktor bebas. Sebagai contoh, plankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar. Ini disebebakan karena lebih efisiennya fitoplankton menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Perubahan laju penggandaan sel hanya terjadi pada suhu yang tinggi. Tingginya suhu memudahkan terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton. Dalam kondisi konsentrasi fosfat sedang di kolom perairan, laju fotosintesis maksimum akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Perairan Pasifik yang suhunya bervariasi antara -0.9 – 17.9 oC nilai laju fotosintesis terbesarnya mencapai 2 mgC/mgChl a/jam didapatkan saat musim panas dengan suhu 20 oC (Aruga et al., 1968 dalam Parsons et al., 1984). Perairan tropis seperti di Indonesia memiliki suhu yang lebih besar dengan perubahan yang kecil, nilai laju fotosintesisnya pun akan lebih besar dibandingkan dengan daerah lintang tinggi yaitu mencapai 8 mgC/ mgChl a/jam (Parsons et al., 1984). Suhu permukaan di perairan Teluk Jakarta yang tercatat pada bulan Maret & Mei adalah sekitar 28.88 – 31.27°C dengan rata-rata suhu sekitar 29.77°C.
11
Pola penyebaran suhu cukup beragam dan berlapis-lapis. Suhu relatif besar terjadi di lapisan permukaan, tingginya nilai suhu yang terjadi di perairan Teluk Jakarta mencerminkan efek pengaruh musim dan faktor lokal. Dalam pola suhu tahunan, menurut data SEAWATCH tahun1996 – 1997 (BPPT, tidak dipubilkasikan), perairan Teluk Jakarta mencapai suhu minimum (28.5 °C) pada bulan Agustus dan maksimum (31.3 °C) pada bulan April. 3. Nutrien Nutrien yang dibutuhkan oleh semua tumbuhan sangatlah komplek, untuk menentukannya dapat dilihat dari komposisi tumbuhan itu sendiri (Basmi, 1995). Parsons et al. (1984) menyebutkan unsur utama yang dibutuhkan oleh alga dalam jumlah yang relatif besar diantaranya C, H, O, N, Si, P, Mg, K dan Ca atau campuran antara elemen-elemen lain di perairan. Sumber nutrien-nutrien tersebut antara lain berasal dari daratan melalui masukkan sungai, atmosfer melalui difusi dan juga dari dalam perairan itu sendiri (dekomposisi). Brown et al. (1989) mengatakan bahwa nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrasi maksimum pada kedalaman 500 - 1500 m. Parsons et al. (1984) mengatakan bahwa baik di perairan tropis maupun saat musim panas di subtropis, bentuk nutrien dari nitrogen dan fosfor akan menjadi faktor pembatas sepanjang tahun. Di perairan perbandingan atau rasio dari nitrogen dengan fosfor (N:P) dijelaskan oleh Redfield dalam penelitiannya mencapai 16 : 1 rasio ini disebut juga sebagai Redfield ratio, dalam keadaan tertentu sesuai dengan ketersediaan spesies dan nutrien rasio untuk beberapa jenis Chlorophyceae adalah 7 :1.
12
Leterlier dan Karl (1996) dalam Sediadi (2004) menyebutkan bahwa komposisi nitrogen pada alga di laut utara Pasifik adalah sekitar 10% sedangkan fosfor sekitar 5%.
2.2
Zooplankton Zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, sangat
beranekaragam dan terdiri dari bermacam-macam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Odum (1993) mengatakan bahwa secara menyeluruh zooplankton didominasi oleh jenis-jenis Crustacea, baik dalam jumlah individu maupun jumlah spesiesnya. Zooplankton merupakan organisme yang memiliki peranan penting dalam pemanfaatan dan pemindahan energi karena merupakan herbivora primer dalam laut, sehingga berperan sebagai mata rantai yang menghubungkan antara produsen primer fitoplankton dengan hewan lain dari tingkat trofik yang lebih tinggi yang berupa karnivora besar dan kecil (Nybakken, 1992). Struktur komunitas dan pola distribusi zooplankton dapat dijadikan sebagai salah satu indikator biologi dalam menentukan perubahan suatu kondisi perairan. Sebagai mata rantai dalam sistem permakanan di perairan, hubungan herbivora renik umumnya zooplankton dan ikan kecil dengan fitoplankton dapat sangat kompleks. Hubungan antara zooplankton dan fitoplankton ini merupakan hubungan berisolasi yakni hubungan antara biota pemangsa dan mangsa yang terjadi secara bergantian dan berulang, terjadi jika terdapat gejala yang menunjukkan jumlah hewan bertambah dan makanan menjadi berkurang (Romimohtarto, 1998). Bila jumlah predator meningkat akan membuat mangsa
13
menjadi berkurang karena daya saing yang besar, begitu juga sebaliknya bila persediaan makanan bagi predator berkurang maka terjadi penurunan populasi predator dan seiring dengan pertumbuhan akan membuat jumlah mangsa menjadi bertambah, kedua hal tersebut terjadi secara bergantian dan berulang. Harvey et al. (1935) dalam Juliana (2007) menjelaskan bahwa apabila populasi zooplankton meningkat, maka proses pemangsaan fitoplankton akan sampai pada suatu kecepatan tertentu, sehingga kecepatan membelah diri fitoplankton tidak mampu mengimbangi kecepatan pertumbuhan zooplankton. Bila populasi zooplankton menurun, maka fitoplankton akan berkembang sehingga populasinya akan melimpah. Hal tersebut dapat menimbulkan time lag atau perbedaan masa puncak pada fitoplankton dan zooplankton. Teori tersebut dinamakan dengan teori pemangsaan (theory of grazing). Seperti halnya fitoplankton, kehidupan zooplankton juga dipengaruhi oleh faktor fisik perairan seperti cahaya dan suhu, hal ini karena zooplankton juga merupakan bagian dari rantai makanan yang menentukan produktivitas primer perairan. Cahaya berpengaruh pada zooplankton dalam rangka menentukkan migrasi vertikal maupun horizontal harian. Suhu yang baik untuk pertumbuhan zooplankton adalah 20 – 30 oC (Nybakken, 1992). Suhu perairan akan berpengaruh pada peningkatan metabolisme zooplankton, hukum Van’t Hoff menyatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 10o C akan meningkatkan kecepatan metabolisme sebesar dua kali lipat. Di perairan, zooplankton merupakan salah satu bentuk Particulate Organic atau bahan organik (C, N, P ) dalam bentuk partikel yang kemudian akan didekomposisi menjadi nutrien yang diperlukan.
14
Elemen kimia utama yang terdapat dalam zooplankton dapat berbeda-beda sesuai dengan jenis dan juga lingkungan perairannya. Beers (1966) dalam Parsons et al. (1984) memberikan contoh di Laut Sargasso bahwa kandungan nitrogen dan fosfor dalam zooplankton masing-masing berkisar antara 5 – 10 % dan 0.5 – 1 % dari total berat kering. Penelitian lain di Pasifik Utara menunjukkan bahwa nitrogen berkisar antara 5.1 – 13.1 % sedangkan kandungan fosfor jauh lebih kecil (Omori, 1969 dalam Parsons et al., 1984). Terlihat bahwa nitrogen bersama-sama dengan karbon menjadi salah satu konstituen utama dalam biomassa zooplankton dan konsentrasinya relatif lebih besar dibandingkan dengan fosfor, sama halnya dengan yang terjadi pada komposisi nitrogen fitoplankton.
2.3
Nitrogen di laut Komposisi gas di atmosfer didominasi oleh nitrogen yang jumlahnya dapat
mencapai 80% dari keseluruhan gas yang tersebar luas. Tingginya konsentrasi nitrogen di atmosfer membuat unsur ini menjadi penting di perairan karena melalui difusi maupun pemanfaatan langsung oleh beberapa organisme, nitrogen dapat masuk ke perairan. Nitrogen berperan besar bagi organisme perairan karena turut digunakan dalam metabolisme tubuh seperti sintesis protein. Selanjutnya nitrogen akan mempengaruhi produktivitas suatu perairan yang digunakan sebagai indikator baik buruknya kualitas suatu perairan (Mulya, 2002). Tiga input utama masuknya nitrogen ke perairan antara lain melalui aktivitas volkanik, atmosferik (fiksasi nitrogen), dan masukan sungai (Millero dan Sohn, 1992). Presipitasi dan dekomposisi serta ekskresi organisme juga merupakan sumber nitrogen di perairan.
15
Di perairan, nitrogen berada dalam bentuk molekul bebas (N2), anorganik (amonia, nitrit dan nitrat), dan juga organik yaitu PON (Particulate Organic Nitrogen) dan DON (Dissolved Organic Nitrogen). Keseimbangan ketiga bentuk nitrogen anorganik dipengaruhi oleh keberadaan oksigen melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat yang berlangsung dalam kondisi aerob, sedangkan denitrifikasi adalah reduksi nitrat menjadi nitrit, dinitrogen oksida (N2O) dan molekul nitrogen (N2) yang berjalan optimum pada kondisi anaerob (Effendi, 2003). Organisme lautan tidak banyak yang dapat memanfatkan langsung nitrogen bebas di atmosfer, sebagian besar memanfaatkan nitrogen dalam bentuk senyawa yang jumlahnya terbatas seperti amonium, nitrat dan urea. Dalam daur atau siklus nitrogen, tumbuh-tumbuhan menyerap nitrogen anorganik dalam bentuk gabungan (nitrat dan amonium) atau sebagai nitrogen molekuler (N2). Tumbuh-tumbuhan ini kemudian membuat protein dan hewan herbivor mengkonsumsi protein tersebut lalu mengubahnya menjadi protein hewani. Jaringan organik hewan yang mati akan melepaskan nitrogen dan kemudian partikel nitrogen organik tersebut akan didekomposisi oleh berbagai jenis bakteri, termasuk di dalamnya bakteri pengikat nitrogen yang mengikat nitrogen molekuler menjadi bentuk-bentuk gabungan (amonium, nitrit dan nitrat) dan bakteri denitrifikasi yang melakukan sebaliknya (Romimohtarto, 2001).
16
2.3.1 Amonia Senyawa amonia (NH3) yang terdapat dalam air laut antara lain merupakan hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea), reduksi senyawa nitrat (NO3) atau senyawa nitrit (NO2) oleh mikroorganisme, dan juga berasal dari hasil ekskresi fitoplankton (Hutagalung et al., 1997). Menurut Metcalf dan Eddy dalam Afief (2006), dekomposisi dari matinya tanaman maupun binatang oleh bakteri dapat meningkatkan jumlah amonia. Amonia yang terukur di lautan terdapat dalam bentuk ion amonium (NH4+) maupun amonia bebas (NH3). Dalam perairan dengan pH 8.1, sekitar 95 % dari nilai total amonia berada dalam bentuk amonium (NH4+) dan 5 % -nya adalah amonia bebas (NH3) (Millero dan Sohn, 1992). Amonia bebas tidak dapat terionisasi dan bersifat toksik terhadap organisme, perbandingan jumlah kedua bentuk tersebut tergantung dari pH dan suhu perairan (Effendi, 2000). Dalam sintesis asam amino, amonium langsung digunakan sedangkan nitrat dan nitrit harus direduksi menjadi enzim nitrat reduktasi dan nitrit reduktase. Kosentrasi amonia dalam air dapat mencapai kisaran 0-2 mg/l (Reeve, 1994 dalam Dahuri, 1997). Hasil pengamatan amonia di Teluk Jakarta oleh BPLHD pada tahun 1997 menunjukkan konsentrasi amonia mencapai rata-rata 0.372 mg/l dengan kisaran 0.008 – 0.414 mg/l. Dari data tersebut terdapat wilayah tertentu dengan amonia yang lebih rendah dari nilai baku yaitu 0.3 mg/l (Kepmen LH No.51/2004) yang diperuntukkan untuk kehidupan biota laut, namun juga terdapat konsentrasi amonia yang melebihi batas nilai baku tersebut pada beberapa pengamatan. Pengamatan yang lain oleh P2O LIPI tahun 2008 menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi amonia di Teluk Jakarta adalah 0.06 –
17
0.08 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa amonia di perairan Teluk Jakarta sangat berfluktuasi dan berpotensi untuk mengalami penurunan kualitas.
2.3.2 Nitrit Dalam air laut senyawa nitrit tidak stabil, mudah teroksidasi menjadi nitrat bila kadar oksigen dalam air tinggi atau tereduksi menjadi amonia bila kadar oksigen dalam air rendah (Hutagalung et al., 1997). Di perairan kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/l (Effendi, 2003). Konsentrasi nitrit yang kecil bukan berarti tidak berbahaya terhadap lingkungan perairan karena nitrit sangat beracun terhadap ikan dan spesies air lainnya (Metcalf dan Eddy dalam Afief, 2006).
2.3.3 Nitrat Nitrat merupakan sumber utama nitrogen di perairan walaupun secara umum amonium lebih disukai oleh fitoplankton (Zehr dan Ward, 2008). Nitrat sangat mudah larut dalam air, bersifat stabil dan merupakan unsur hara bagi perkembangan dan pertumbuhan populasi fitoplankton, sebagai makanan bagi zooplankton, ikan dan organisme dasar. Pada beberapa perairan laut, nitrat merupakan senyawa mikronutrien pengontrol produktivitas primer di lapisan permukaan daerah eufotik. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar amonium. Sumber utama nitrat berasal dari erosi tanah, limpasan (run off) dari daratan termasuk pupuk di tanah dan dari buangan limbah. Selama proses nitrifikasi kadar nitrat akan terus meningkat hingga melebihi batas yang ditentukan. Nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan
18
ganggang berlebih, sehingga perairan kekurangan oksigen terlarut yang menyebabkan kematian ikan. Dahuri (1997) menyatakan bahwa kosentrasi nitrat Teluk Jakarta mencapai 0.082 mg/l ± 0.02. Menurut Ilahude (1995) dalam Dahuri (1997) konsentrasi nitrat teluk jakarta memiliki pola musiman. Sebagai contoh pada musim barat kandungan nitrat tertinggi mencapai >0.001 mg/l pada hampir seluruh perairan teluk kecuali pada daerah tengah teluk seperti Pulau Nirwana. Sesuai dengan pengamatan BPLHD DKI Jakarta pada bulan November 1990, Januari 1991, November 1991 kisaran nitrat relatif besar yaitu 0.005 – 0.8 mg/l. Data P2O LIPI tahun 2008 menunjukkan bahwa konsentrasi nitrat juga cenderung meningkat yaitu mencapai sekitar 0.029 mg/l, sedangkan menurun Kepmen LH No.51/2004 baku mutu nitrat untuk kebutuhan biota laut adalah 0.008 mg/l. Hal tersebut memungkinkan terjadinya ledakan populasi fitoplankton (blooming) di perairan Teluk Jakarta.
2.3.4 Nitrogen Organik Mulya (2002) mengatakan bahwa bahan organik di perairan memiliki manfaat antara lain: 1. Sumber energi (makanan) 2. Sumber bahan keperluan bakteri, tumbuhan maupun hewan 3. Sumber vitamin 4. Sebagai zat yang dapat mempercepat dan menghambat pertumbuhan sehingga memiliki peranan penting dalam mengatur kehidupan fitoplankton di laut.
19
Salah satu bentuk dari bahan organik di perairan adalah nitrogen organik. Nitrogen dalam bentuk organik dibedakan atas PON (Particulate Organic Nitrogen) dan DON (Dissolved Organic Nitrogen), kedua bentuk nitrogen ini banyak berperan dalam siklus atau daur nitrogen, baik secara langsung ataupun dengan bantuan mikroorganisme seperti bakteri. Ekskresi ataupun pembusukan dari organisme tidak hanya merupakan salah satu sumber nitrogen dalam bentuk anorganik (amonium) tetapi juga organik (DON), sumber lainnya dari DON didapatkan dari daratan melalui angin ataupun masukan sungai. Zehr dan Ward (2008) mengemukakan bahwa nitrogen terlarut (DON) termasuk di dalamnya adalah senyawa-senyawa kimia yang beranekaragam baik dari segi ukuran maupun kerumitan bahan pembangunnya. Berbeda dengan DON, bahan organik dalam bentuk partikulat memiliki ukuran yang lebih besar. Mulya (2002) menambahkan bahwa bahan organik terlarut ukurannya < 0.5 µm sedangkan organik partikulat ukurannya > 0.5 µm. Sebagian besar PON dilaut dihasilkan oleh beberapa organisme penghasil utama seperti fitoplankton, makroalga dan bakteri kemoautotrofik. Produksi utama ini dihasilkan oleh fotoautotrofik nanoplankton (berdiameter 2.0 – 20 µm). Melalui bakteri dan fungi, bahan-bahan partikulat (PON) dapat dirubah menjadi bahan-bahan organik (DON) maupun amonium di perairan. Proses ini biasa disebut sebagai dekomposisi. Dekomposisi sangat besar peranannya dalam siklus energi dan rantai makanan pada ekosistem. Terhambatnya proses ini akan berakibat pada terakumulasinya bahan organik yang tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh produsen (Sunarto, 2003).
20
Pada perairan oligotrofik nitrogen lebih banyak disediakan dalam bentuk organik contohnya asam amino dan urea, karena kerumitannya kedua bentuk DON yang dapat terdeteksi ini hanya mewakili sekitar 20% dari bentuk DON secara keseluruhan. Konsentrasi nitrogen organik di perairan berkisar 0,1 sampai 5 mg/l, sedangkan di perairan tercemar berat kadar nitrogen organik mencapai 100 mg/l. Middelburg et al. (2008) melakukan penelitian bahwa pada permukaan perairan kandungan amonium, nitrat, nitrit dan urea berturut-turut (dalam µmol/L) adalah 0.67 ; 0.51 ; 0.03 ; 0.99 , hal ini menunjukkan bahwa kandungan nitrogen organik lebih besar dibandingkan nitrogen anorganik.
2.4
Model
2.4.1 Definisi model Model merupakan suatu abstraksi atau penyederhanan dari sebuah sistem yang lebih kompleks (Soetaert dan Herman, 2001). Model-model suatu ekosistem umumnya lebih sederhana dari arti sesungguhnya. Proses kegiatan yang menggunakan pendekatan sistem sebagai kerangka bahasan dikenal dengan istilah pemodelan (modelling). Dalam model digunakan pendekatan matematik, seluruh proses yang terjadi dijelaskan dalam bahasa matematika (Soetaert dan Herman, 2001). Proses matematis ini akan menghasilkan sebuah prediksi yang dapat diuji melalui observasi lapangan dan hal inilah yang akan menjelaskan apakah sebuah konsep ekologi yang dimodelkan benar atau perlu dilakukan perbaikan.
21
2.4.2 Tujuan pemodelan Berdasarkan pandangan Nasendi dalam Salim (1997) penggunaan permodelan memiliki tujuan antara lain : 1. Menganalisis dan mengidentifikasi pola hubungan antara input dengan parameter kualitas lingkungan yang diamati 2. Menyusun suatu strategi optimal dalam sistem pengendalian 3. Mengidentifikasi kondisi-kondisi saat suatu alternatif kebijakan dapat diterima Proses pembentukan model yang sederhana pada dasarnya merupakan pengembangan proses-proses ilmiah yang didasari oleh logika berfikir murni yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya (Jeffer, 1978). Model konseptual yang terbentuk kemudian dilanjutkan dengan penggambaran model diagramatik. Tujuan model diagram ini adalah menjelaskan keseluruhan konsep yang dikembangkan pada tahap sebelumnya karena dalam penggambaran tahapan konstruksi sistem didasari pada logika, pengalaman, dan pengetahuan, maka konstruksi sistem dipengaruhi oleh berbagai variabel sehingga pembentukan model secara matematik (analitik) dapat membantu memecahkan masalah. Akhirnya dengan bantuan model komputer yang terprogram, suatu alternatif solusi dapat dihitung lebih jauh dalam upaya mencapai tujuan yang sebenarnya (Salim, 1997).
2.4.3 Model ekologi Model dari siklus nitrogen di lautan merupakan salah satu contoh dari model ekologi. Model ekologi menjelaskan proses-proses yang terjadi dalam suatu ekosistem seperti dalam model ekologi di perairan maka proses yang terjadi
22
adalah fotosintesis, dinamika plankton dan juga siklus dari bahan organik (Baird, 1999). Sebuah model terutama model mengenai lingkungan (environment) memiliki lima hal utama yang harus diperhatikan, antara lain (Jorgensen dan Bendoricchio, 2001) : 1. Variabel tetap yaitu bagian utama dari sebuah model yang akan dicari pola perubahannya, misalnya fitoplankton, zooplankton, nutrien, dll. 2. External function yaitu fungsi atau variabel luar yang mempengaruhi perubahan Variabel Tetap, misalnya cahaya, input nutrien, suhu, dan faktor atmosferik lainnya. Faktor luar disesuaikan dengan tujuan dan daerah model. 3. Persamaan matematis yaitu persamaan yang digunakan untuk merepresentasikan proses-proses biologi antara setiap variabel, fisika dan kimia dalam model. 4. Parameter yaitu koefisien-koefisien yang digunakan dalam persamaaan matematis, misalnya laju fotosintesis, laju mortalitas dll. Soetaert dan Herman (2004) menambahkan bahwa ada tiga cara dalam mendapatkan paremeter ekologi (parameterisasi) yaitu dengan pengukuran langsung di lapangan, melalui literatur dan dengan kalibrasi. 5. Konstanta universal misalnya konstanta gas dan berat atom. Sebagian besar dari model ekologi, seperti model dinamika plankton merupakan model empiris, yaitu model yang berdasarkan pada data lapangan, menjelaskan kesimpulan dari hasil analisis terhadap data-data di lapangan dan digunakan untuk membuat prediksi di daerah tersebut tetapi tidak selalu dapat menjelaskan proses secara keseluruhan dari sistem ekologi di daerah lain. Model
23
empiris terdiri dari fungsi-fungsi yang menangkap trend (kecenderungan) dari data, oleh karena itu data sangat penting dalam model empiris.
2.4.4 Formulasi model Dalam model ekologi, interaksi yang terjadi antara variabel pada umumnya mengakibatkan adanya perubahan biomassa atau energi dari kedua variabel yang berinteraksi. Sebagai contoh, pertumbuhan algae atau fitoplankton dalam sebuah perairan akan merubah konsentrasi dari nutrien sebagai penyedia bahan fotosintesis dan juga merubah konsentrasi zooplankton melalui grazing yang terjadi. Setiap proses yang mempengaruhi pertumbuhan algae tersebut memiliki persamaan matematis yang dapat digunakan dalam membangun sebuah model. Soetaert dan Herman (2004) menyebutkan bahwa sebagian besar proses atau interaksi dalam ekosistem dapat dituliskan kedalam sebuah persamaan dasar matematis sebagai berikut: Interaction = maxRate x WORK x Rate Limiting Term x Inhibition .............. (2) Faktor luar seperti faktor fisika (suhu, cahaya, arus dll) yang biasa disebut sebagai forcing functions turut dapat dimasukkan kedalam persamaan sebuah interaksi. Berikut dijelaskan masing-masing komponen dari persamaan 2. 1. maxRate x WORK Dasar dari setiap interaksi yang terjadi adalah adanya maximal interaction strength yang mengatur kekuatan sebuah interaksi dan biasanya dipengaruhi oleh laju maksimal pemanfaatan (maxRate) dan usaha (work) yang dilakukan. Nilai maxRate setiap proses dapat berbeda-beda sedangkan usaha (work) dalam sebuah
24
interaksi di perairan untuk pemanfaatan sumber/pakan biasanya dilakukan oleh konsumen/predatornya.
2. Rate Limiting Term Rate Limiting Term adalah fungsi matematis yang menjelaskan bagaimana laju interaksi/konsumsi dipengaruhi oleh perubahan dari sumber/pakannya. Sehingga ketika sumber/pakan melimpah maka interaksi yang terjadi menjadi kuat dan nilai Rate Limiting Term-nya menjadi besar begitu pun sebaliknya. Terdapat beberapa fungsi yang menjelaskan mengenai Rate Limiting Term dan fungsi yang umum digunakan adalah fungsi Michaelis-Menten sebagai berikut : Rate Limiting Term =
R R + ks
.......................................................... (3)
dimana R merupakan konsentrasi dari sumber/pakan dan ks adalah koefisien halfsaturation yaitu konsentrasi ketika lajunya setengah dari nilai maksimal.
3. Inhibition Inhibition dalam model biologi dapat terjadi ketika pemanfaatan nitrat dan amonium oleh alga dilakukan secara bersama-sama. Zehr dan Ward (2008) menyatakan bahwa amonium lebih disukai oleh fitoplankton sehingga pemanfaatan nitrat akan berakibat negatif karena keberadaan amonium dan dalam persamaan hal tersebut biasa ditampilkan sebagai berikut Pemanfaatan nitrat =
NO 3 exp ( − inhibition NO 3 + ks
⋅ NH 4 )
.................... (4)
4. Hubungan antar proses Beberapa proses lebih cocok di representasikan sebagai bagian dari proses yang lain dalam sebuah faktor atau rasio. Respirasi, ekskresi dan egestion
25
merupakan contoh proses tersebut. Ketiga proses terjadi dalam satu alur sebagai akibat dari pemanfaatan/ pemangsaan yang dilakukan organisme.
5. Reaksi Kimia Salah satu contoh reaksi kimia yang terjadi dalam model ekologi adalah nitrifikasi. Walaupun proses ini dilakukan oleh bakteri, dalam model variabel bakteri sering diabaikan sehingga persamaan untuk nitrifikasi umumnya diberikan sebagai fungsi dari variabel kimia yang bereaksi seperti amonium dan oksigen. Salah satu persamaan proses yang menggabungkan beberapa komponen yang telah disebutkan diatas adalah fotosintesis (GPP) yang dikemukakan oleh Kawamiya et al. (1995). Persamaannya adalah sebagai berikut: (GPP) = f (Chl , NH 4 , NO3 , T , l ) ................................................................(5) NO3 NH4 I I = V max exp(−ψNH4 ) + exp1 − Chl, x exp(kT ) NH4 + Kn I opt I opt NO3 + K N
I = I O exp(− Λ z ), ...............................................................................(6)
Λ = α 1 + α 2 Chl , ..................................................................................(7) Keterangan : T = suhu perairan (0C) z = kedalaman (m) I = intensitas cahaya
Λ = dissipasi/pelemahan cahaya Faktor luar yang bekerja adalah suhu dan cahaya. Persamaan 6 mengadopsi persamaan Steele untuk menentukan intensitas cahaya perairan. Persamaan untuk setiap proses memerlukan parameter atau konstanta yang digunakan untuk melengkapi perhitungan. Berikut diberikan nilai-nilai tersebut.
26
Tabel 1. Notasi dan nilai parameter/konstanta yang digunakan dalam model ekologi (Kishi et al., 2006) Notasi
Keterangan
Nilai o
Satuan
Vmax
laju maksimum fotosintesis pada 0 C
0.1 – 16.9
mgC mgChla-1 hari-1
K
koef. Suhu untuk laju fotosintesis
0.04 – 4.21
mgC mgChla-1 hari-1 oC-1
kNN
koef. paruh-jenuh untuk nitrat
0.1 – 0.62
µmol/l
kNA
koef. paruh-jenuh untuk amonium
0.1
µmol/l
ψ
koef. inhibisi amonium
1.5
1/µmolN
Iopt
intensitas cahaya optimum
0.15
ly/min
α1
koef. disipasi cahaya untuk air laut
0.04
m-1
α2
koef. self shading
0.04
1/µmolN m
γ
Rasio ekskresi ekstraseluler : fotosintesis
0.135
-
R0
Laju respirasi pada 0o C
0.05 – 0.25
Hari-1
kR
koef. Suhu untuk respirasi
0.0519
o
MP0
Laju kematian fitoplankton pada 0o C
0.0585
1/µmolN hari
kMP
koef. Suhu untuk kematian fitoplankton
0.069
o
GRmax
Laju grazing maksimum pada 0o C
0.013 – 2.5
hari-1
kg
koef. suhu untuk grazing
0.0693
o
λ
konstanta Ivlev
0.037 – 2.347
l/µmolN
Chl*
Nilai treshold untuk grazing
0.043
µmolN/l
α
efisiensi asimilasi untuk zooplankton
0.5 – 0.6
-
β
efisiensi pertumbuhan untuk zooplankton
0.048 – 0.489
-
MZ0
Laju kematian zooplankton pada 0o C
0.0585
1/µmolN hari
kMZ
koef. suhu untuk kematian zooplankton
0.0693
o
VPI0
laju dekomposisi PON – NH4 pada 0o C
0.05 – 0.074
hari-1
VPIT
koef. suhu untuk dekomposisi PON – NH4 0.0693
VPD0
laju dekomposisi PON – DON pada 0o C
VPDT
koef. suhu untuk dekomposisi PON – DON 0.0693
o
VDI0
Laju dekomposisi DON pada 0o C
0.02
hari-1
VDIT
koef. suhu untuk dekomposisi DON
0.0693
o
kN0
Laju nitrifikasi pada 0o C
0.030
hari-1
kNT
koef. suhu untuk nitrifikasi
0.0693
o
0.05 – 0.074
o
C-1
C-1
C-1
C-1
C-1
hari-1 C-1
C-1
C-1
27
Tabel 1 memperlihatkan beberapa nilai parameter yang digunakan dalam sebuah model ekosistem. Nilai-nilai tersebut ditetapkan baik dalam bentuk rentang nilai maupun nilai tetap yang biasa digunakan dalam model ekologi.
28
3. METODE
3.1
Waktu dan lokasi penelitian Daerah yang digunakan dalam simulasi model adalah perairan Teluk
Jakarta yang secara geografis terletak pada 050 48’ 30” LS - 060 10’ 30” LS dan 1060 33’ - 1070 03’BT. Kegiatan penelitian mencakup tahap pengumpulan data, pembuatan model serta analisis model yang dilakukan selama 7 (tujuh) bulan, mulai dari bulan Juni 2008 sampai dengan Desember 2008, bertempat di Laboratorium Oseanografi Fisika, Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI – Ancol, Jakarta Utara.
3.2
Alat dan bahan
3.2.1 Alat 1. Perangkat keras yaitu : a. Seperangkat PC (Personal computer) berbasis Intel dengan sistem operasi Windows yang digunakan untuk membangun model. b. Printer sebagai pencetak data c. Flash disk sebagai media penyimpan data 2. Perangkat lunak berupa software yaitu a. Compaq Visual Fortran Version 6.5 yang digunakan untuk membangun model dengan output file berekstensi *.f90 / *.for b. Microsoft Excel 2003 untuk menampilkan hasil model
29
3.2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam pengembangan model ini adalah data lingkungan perairan Teluk Jakarta yang dibagi ke dalam dua kelompok data, pertama adalah data awal yang digunakan dalam pembangunan model dan kedua adalah data lapangan untuk validasi model. Sumber data diantaranya berasal dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), SEAWATCH BPPT, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta dan Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI. Tabel 2 menunjukkan pengelompokan sumber dan jenis data tersebut : Tabel 2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam model ekologi Data
Jenis Data
Sumber Data Data awal
Data Validasi
Intensitas Cahaya (cal/cm2/hari)
Harian
BMKG 1991 - 1995
BMKG 1997 - 1998
Suhu Perairan (oC)
Harian
BPPT 1997 - 1998
BPPT & BPLHD 1999 - 2008
Amonium (mg/l)
Bulanan
BPLHD 1990 - 1994
P2O LIPI & BPLHD 2002 - 2008
Nitrat (mg/l)
Bulanan
P2O LIPI 1975 - 1994
P2O LIPI & BPLHD 2002 - 2008
Bulanan
P2O LIPI 1975 - 1994
P2O LIPI & BPLHD 2002 - 2008
3
Klorofil-a (mgChl/m )
Jenis data yang disebutkan pada Tabel 2 tidak sepenuhnya lengkap selama rentang tahun yang disebutkan. Beberapa data merupakan data pada bulan-bulan tertentu. Konversi satuan intensitas cahaya (cal/cm2/hari) dilakukan untuk menyesuaikan dengan satuan cahaya yang digunakan dalam model yaitu langleys/minute (ly/min). Contoh data dan konversinya dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.3
Desain model Model ekologi ini model konseptual berdasarkan studi literatur untuk
meramalkan/memprediksi nilai dan pola biomassa berbasis nitrogen pada setiap
30
variabel ekologi di perairan Teluk Jakarta selama satu tahun serta menganalisa hubungan plankton sebagai produsen utama dengan variabel lainnya. Model dibangun sedemikian rupa dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan di perairan seperti suhu dan cahaya Teluk Jakarta. Input model merupakan data lapangan hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya di perairan tersebut. Model ini dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman Fortran pada perangkat lunak Compaq Visual Fortran Ver. 6.5. Proses pembuatan model dimulai dari perumusan masalah, pembuatan model konseptual hingga penulisan persamaan matematis pada program. Pada tahap akhir dilakukan validasi model dengan data lapangan sehingga dapat diketahui keakuratan model. Pada Gambar 2 diberikan gambaran dari tahap pembuatan model. Perumusan Masalah Konsep Model Persamaan Matematis Parameterisasi Solusi matematika Kalibrasi, Sensitifitas, Verifikasi, Validasi Hasil Model Cukup Baik ? Tidak
Ya
Prediksi / Analisis
Gambar 2. Tahapan perumusan/pembuatan model
31
3.3.1 Variabel Tetap Model ini terdiri dari 6 (enam) kompartemen/Variabel Tetap yang merupakan bagian dari ekosistem dan membangun suatu siklus dasar nitrogen di perairan Teluk Jakarta. Berikut adalah variabel dalam model : 1. Fitoplankton (CHL) 2. Zooplankton (ZOO) 3. Nitrat (NO3) 4. Amonium (NH4) 5. Particulate Organic Nitrogen (PON) 6. Dissolved Organic Nitrogen (DON) Fitoplankton direpresentasikan dengan klorofil-a di perairan. Bagian dalam kurung menyatakan simbol matematika yang digunakan dalam model. Hubungan antar variabel dijelaskan sebagai sebuah proses yang berkaitan satu sama lain sehingga membuat sebuah siklus yang ditunjukkan dalam model konseptual (Gambar 3).
Gambar 3. Skema model ekologi (modifikasi dari Kawamiya et al., 1995)
32
3.3.2 Variabel Luar Variabel luar yang bekerja pada model ini adalah cahaya dan suhu karena keduanya merupakan faktor utama yang berpengaruh pada berlangsungnya berbagai proses di perairan. Persamaan suhu dan cahaya yang digunakan dalam model dibangun berdasarkan data awal yang telah disebutkan pada Tabel 2. Kedua persamaan diatas didapatkan dari hasil modifikasi persamaan Kremer dan Nixon (1978). Untuk cahaya, persamaan yang dibangun mengacu pada data cahaya BMKG tahun 1991 – 1995, data tersebut ditampilkan dalam Gambar 4.
cahaya (langleys/min)
0.29 0.27 0.25 0.23 0.21 0.19 0.17 0.15 Jan Feb Mar Apr May Jun
Jul Aug Sep Oct Nov Dec
bulan
Gambar 4. Rata-rata nilai intensitas cahaya (ly/min) pada tahun 1991 – 1995 di perairan Teluk Jakarta Berdasarkan data diatas maka dibangun sebuah persamaan yang dapat digunakan dalam model dan mewakili pola intensitas cahaya Teluk Jakarta, berikut persamaannya :
2.9π (day + 100) + [0.015ln(day) + 0.19]* 2 0.18 − 0.1Cos 365 I= 3 Keterangan : I = Intensitas cahaya (ly/min) day = Hari saat perhitungan (1-365)
...............(8)
33
Untuk suhu, persamaan yang dibangun mengacu pada data SEAWATCH BPPT tahun 1997 – 1998, data tersebut ditampilkan dalam Gambar 5: 31
suhu air ( oC)
30.5 30 29.5 29 28.5 28 27.5 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec bulan
Gambar 5. Rata-rata nilai suhu perairan (oC) pada tahun 1997 – 1998 di perairan Teluk Jakarta Berdasarkan data diatas maka persamaan suhu yang digunakan dalam model ditetapkan sebagai berikut
3.3π (day − 10) + [− 1.5 ln(day + 200) + 35] * 2 35 − 2.8Cos 365 ........................(9) T= 3 Keterangan : T
= Temperature (oC)
day = Hari saat perhitungan (1-365)
3.3.3 Persamaan model Setiap proses yang ditunjukan dalam Gambar 3 direpresentasikan ke dalam sebuah persamaan matematis yang kemudian digunakan untuk menentukan perubahan konsentrasi setiap variabel. Dasar yang digunakan dalam penentuan persamaan tersebut telah dijelaskan sebelumnya dan berikut diberikan persamaan setiap proses dalam Gambar 3.
34
1. Fotosintesis dan Respirasi Fotosintesis dalam model direpresentasikan sebagai sebuah fungsi matematis yang dipengaruhi oleh nutrien (amonium dan nitrat) serta suhu dan cahaya sebagai forcing functions. Berikut diberikan persamaanya (Kawamiya et al., 1995) : Fotosintesis = f (Chl , NH 4 , NO3 , T , l ) ....................................................... (10) NO3 NH4 I I = V max exp(−ψNH4 ) + exp1 − Chl, x exp(kT ) NH4 + Kn I opt NO3 + K N I opt
I = I O exp(− Λ z ), ......................................................................... (11) Λ = α 1 + α 2 Chl , ............................................................................ (12) Keterangan : T = suhu perairan (0C) z = kedalaman (m) I = intensitas cahaya
Λ = dissipasi/pelemahan cahaya
Fotosintesis terjadi di zona fotik, tetapi respirasi terjadi dimana saja di dalam perairan (diseluruh kolom air bahkan sampai ke dasar perairan) (Seller dan Markland, 1990) sehingga respirasi tidak banyak dipengaruhi faktor lingkungan. Soetaert dan Herman (2004) juga menyebutkan bahwa respirasi merupakan proses yang tidak dimodulasi atau diatur oleh kondisi eksternal dan dimodelkan secara langsung dalam orde pertama terhadap biomassa. (Respirasi Fitoplankton) = Ro ⋅ Chl .................................................... (13)
35
2. Grazing Pemangsaan yang dilakukan oleh zooplankton diasumsikan sebagai proses yang dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi mangsa (fitoplankton) dan zooplankton itu sendiri. Lebih lanjut Neumann dan Fennel (2004) menyatakan bahwa laju grazing biasa dimodelkan dengan faktor pembatas sesuai dengan Ivlev Function yang berasal dari eksperimen variasi makan ikan. Dasar fungsi tersebut adalah persamaan berikut : G(P) = GRmax(1 - exp (-λ.Chl )) ........................................................(14) Dimana G(P) adalah laju grazing dan λ adalah konstanta ivlev. Berdasarkan hal tersebut maka persamaan untuk grazing selengkapnya adalah sebagai berikut: Grazing = f (T , Chl , ZOO )
{
{
((
= Max 0, GR max exp (k g T ) 1 − exp λ Chl * − Chl
))}ZOO }......(15)
3. Eksresi plankton Seperti halnya respirasi, eksresi pada fitoplankton dan zooplankton tidak dipengaruhi oleh faktor luar. Soetaert dan Herman (2004) menyatakan bahwa eksresi lebih tepat dijelaskan sebagai sebuah alur dari proses yang lain. Faeces yang biasa dikeluarkan dalam eksresi dimodelkan sebagai fraksi/bagian dari pemangsaan/grazing yang dilakukan organisme atau hasil dari asimilasi yang tidak digunakan dalam pertumbuhan. Ekskresi Ekstraseluler = γ . Fotosintesis ............................................... (16) Ekskresi zooplankton = (α − β ) ⋅ Grazing ............................................. (17)
4. Mortalitas Mortalitas merupakan salah satu faktor utama berkurangnya plankton di perairan, walaupun demikian sama halnya dengan data parameter lain data laju
36
kematian plankton di perairan Teluk Jakarta masih sulit ditemukan. Soetaert dan Herman (2004) menyatakan persamaan mortalitas sebagai fungsi orde dua dari biomassa. Mortalitas Fitoplankton = M po ⋅ exp(k MPT )Chl 2 ...................................... (18) Mortalitas Zooplankton = M ZO ⋅ exp(k MZ T )ZOO 2 .................................. (19)
5. Dekomposisi Bahan Organik Dekomposisi yang terjadi di perairan dimodelkan sebagai fungsi terhadap bahan organik dan juga suhu. Godshalk dan Wetzel (1978) dalam Sunarto (2003) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi adalah suhu yang secara langsung akan mempengaruhi oksigen sebagai komponen dekomposisi. Persamaan untuk dekomposisi dan juga nitrifikasi diberikan sebagai berikut: Dekomposisi PON menuju Amonium = VPI 0 exp(VPIT T )PON ................. (20) Dekomposisi PON menuju DON = V PD 0 exp(V PDT T )PON ...................... (21) Dekomposisi DON menuju Amonium = V DI 0 exp(V DIT T )DON ................ (22) Untuk nitrifikasi berikut persamaannya : Nitrifikasi = k N 0 exp(k NT T )NH 4 ............................................................ (23)
6. Sinking PON Bahan-bahan organik partikel cenderung memiliki massa yang lebih besar dibandingkan dengan bahan organik terlarut di perairan. Salah satu akibatnya adalah terjadinya sinking (penenggelaman) dari bahan organik tersebut. Sinking bagi variabel yang lain tidak dimasukan dalam model.
37
Dalam model ini sinking dari PON dirumuskan sebagai berikut : Sinking PON = −
∂ (S ⋅ PON ) ............................................................... (24) ∂z
Parameter atau konstanta awal yang digunakan dalam persamaan proses diatas diberikan pada Tabel 1. Selanjutnya persamaan model dibangun untuk menentukan laju perubahan setiap Variabel Tetap terhadap waktu. Persamaan diferensial yang terbentuk ditampilkan berikut ini:
∂NO3 = ∂t
-{{Fotosintesis)-(Respirasi)}RNO3 + (Nitrifikasi) .......................... (25)
∂NH4 = -{(Fotosintesis)-(Respirasi)}(1-RNO3) – (Nitrifikasi) ∂t
+ (Dekomposisi PON – NH4) + (Dekomposisi DON – NH4) +(Ekskresi).................................................................................... (26)
∂CHL = (Fotosintesis) – (Respirasi ) - (Eksresi Ekstraseluler) – (Mortalitas ∂t
Fitoplankton) - (Grazing) ............................................................(27)
∂PON = (Mortalitas Fitoplankton) + (Mortalitas Zooplankton) ∂t + (Egestion)+ (Sinking dari PON...................................................(28)
∂DON = (Ekskresi Ekstraseluler) + (Dekomposisi DON - DON) ∂t (Dekomposisi DON – NH4) ........................................................... (29) ∂ZOO = (Grazing) - (Egestion) – (Ekskresi) – (Mortalitas Zooplankton) .... (30) ∂t
38
3.3.4 Parameterisasi Penentuan parameter yang digunakan dalam model dapat dilakukan dalam tiga cara yaitu pengukuran in situ, melalui literatur, dan kalibrasi (Soetaert dan Herman, 2004). Karena terbatasnya data dan penelitian mengenai parameterparameter biologi dan kimia di perairan Teluk Jakarta maka sebagian besar parameter model didapatkan melalui literatur terkait yang telah disajikan dalam Tabel 1 dan sebagian lainnya disesuaikan dengan kondisi lingkungan daerah simulasi model (in situ). Selain suhu dan cahaya, parameter yang disesuaikan adalah nilai koefisien extinction (α1). Dengan mengadopsi persamaan Parsons et al. (1984), nilai koefisien extinction didapatkan melalui persamaan :
k' =
1. 7 Ds
..................................................... (31)
Keterangan : k’ = koefisien extinction / α1 (m-1) Ds = pembacaan secchi disc (m) Dengan kedalaman perairan yang relatif dangkal (mencapai 24 meter), pembacaan secchi disk rata-rata di Teluk Jakarta adalah sekitar 4 (empat) meter (Kurniawan, 2008), sehingga melalui persamaan 3.24 didapatkan nilai koefisien extinction sebesar 0.425 m-1. Proses kalibrasi juga dilakukan agar hasil model mendekati nilai di lapangan. Kalibrasi dilakukan dengan merubah satu-persatu nilai-nilai parameter yang sensitivitanya tinggi terhadap output model, perubahan nilai dilakukan sesuai rentang nilai yang diberikan. Metode kalibrasi ini disebut juga dengan trial and error (Jorgensen dan Bendoricchio, 2001).
39
3.3.5 Solusi numerik Pada umumnya untuk mencari solusi persamaan diferensial digunakan metode numerik beda hingga (finite difference). Notasi pada metode analisis numerik beda hingga sering ditulis fi,j dimana f adalah variabel suatu fungsi dan subskrip i,j menunjukkan nomor sel dimana variabel tersebut berada. Subskrip i menunjukkan nomor sel pada arah-x dan subskrip j menunjukkan nomor sel pada arah sumbu-y. Jarak antara dua titik dalam arah-x adalah ∆x dan jarak antara dua titik dalam arah-y adalah ∆y. Untuk fungsi yang berubah terhadap waktu serta berubah terhadap jarak, notasi skema numeriknya ditulis seperti fi,jn dimana n adalah langkah waktu ke-n. Metode numerik beda hingga didasari pada persamaan matematik dalam bentuk deret yang disebut deret Taylor. Tiga cara pendekatan dalam deret Taylor yaitu hampiran beda maju (forward difference), hampiran beda mundur (backward difference) dan hampiran beda tengah (central difference). Bila suatu fungsi y(x) diketahui nilainya pada kedudukan awal = x0, maka nilainya pada kedudukan x = (x0 + ∆x) dapat diramalkan dengan menuliskannya dalam deret Taylor sebagai berikut (Purcell, 1972) :
f ( x + ∆x) = f ( x) +
∆x (∆x) 2 (∆x) 3 f ′( x) + f ′′( x) + f ′′′( x) + ... .............. (32) 1! 2! 3!
sedangkan nilainya pada kedudukan x = (x0 - ∆x) dapat diramalkan dengan menggunakan deret Taylor sebagai berikut :
f ( x − ∆x) = f ( x) −
∆x ( ∆x ) 2 ( ∆x ) 3 f ′( x) + f ′′( x) − f ′′′( x) + ... .............. (33) 1! 2! 3!
Persamaan deret Taylor di atas dapat diturunkan dengan pemenggalan pada suku kedua ruas kanan (ordo kedua dan ketiga ditiadakan) sehingga menjadi :
40
-
hampiran beda maju (forward difference) :
f ( x + ∆x) = f ( x) + f ′( x) =
∆x f ′( x) atau, 1!
f ( x + ∆x) − f ( x) + Ǿ (∆x)...................................................... (34) ∆x
dengan kesalahan memutus (Ǿ (∆x)) berorde ∆x -
hampiran beda mundur (backward difference) : f ( x − ∆x) = f ( x) −
f ′( x) =
∆x f ′( x) atau, 1!
f ( x) − f ( x − ∆x) + Ǿ (∆x)..................................................... (35) ∆x
dengan kesalahan memutus (Ǿ (∆x)) berorde ∆x -
hampiran beda tengah (central difference) persamaannya didapatkan melalui operasi pengurangan antara persamaan (34) dan (35) dengan mengabaikan suku-suku yang mengandung orde (∆x)2 dan yang lebih tinggi, maka akan diperoleh :
f ( x + ∆x) − f ( x − ∆x) = 2∆x. f ′( x) atau, f ′( x) =
f ( x + ∆x) − f ( x − ∆x) + Ǿ ((∆x)2) ......................................... (36) 2 ∆x
dengan kesalahan memutus (Ǿ (∆x)2) berorde (∆x2). Contoh penyelesaian persamaan diferensial ditampilkan dalam Lampiran 2.
3.3.6 Verifikasi dan validasi Dalam prakteknya, verifikasi model dilakukan dengan cara mengamati apakah model bereaksi seperti yang diinginkan, melihat logika internal model dan juga kestabilan model dalam jangka waktu yang ditetapkan. Bila terdapat
41
ketidaksesuaian maka dapat dilakukan perubahan terhadap parameter yang digunakan, external function yang bekerja (suhu dan cahaya) atau pun submodelnya. Validasi merupakan proses membandingkan data model dengan data di lapangan. Apabila terdapat perbedaan maka dapat dilakukan kalibrasi terhadap nilai parameter dengan cara merubahnya (subbab 3.3.4) sampai didapatkan nilai yang sesuai dengan data lapangan. Setelah cukup mendekati maka model dapat digunakan dalam memprediksi pola variabel ekologi di perairan Teluk Jakarta.
3.4
Nilai awal Tabel 3 menampilkan nilai awal variabel dalam model, nilai tersebut
disesuaikan dengan data awal pada Tabel 2. Tabel 3. Nilai awal variabel dalam model Variabel Nilai awal NO3 0.377 mg/l NH4 0.115 mg/l CHL 1.338 mg Chl a /m3 Nilai konsentrasi variabel lainnya (PON, DON dan ZOO) tidak tersedia untuk perairan Teluk Jakarta sehingga dalam model diasumsikan nilainya setara dengan 0.5 µmolN/l (Middelburg et al., 2008).
3.5
Asumsi model Asumsi yang digunakan dalam model adalah : 1. Faktor luar yang bekerja selain dari yang ditetapkan tidak berpengaruh nyata atau tetap sepanjang tahun.
42
2. Proses lain yang terjadi antar Variabel Tetap (di luar skema) dalam ekosistem tidak berpengaruh nyata atau tetap sepanjang tahun. 3. Setiap Variabel Tetap yang ada dalam ekosistem tersebut seragam dengan laju pertumbuhan yang tetap sepanjang tahun. 4. Parameter yang digunakan dalam model dan tidak ditentukan melalui parameterisasi merupakan parameter yang relevan digunakan untuk perairan Teluk Jakarta. 5. Data validasi yang digunakan dalam model baik data pada waktu dan tempat tertentu maupun data secara keseluruhan perairan mewakili data lingkungan perairan Teluk Jakarta secara umum.
43
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kalibrasi model Melalui running awal model ekologi dihasilkan data biomassa variabel ekologi. Beberapa dari data tersebut menunjukkan pola yang berbeda dengan data validasi di lapangan sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap parameter yang digunakan (parameterisasi). Salah satu cara parameterisasi adalah melalui kalibrasi karena data dan penelitian langsung mengenai parameter-parameter terkait di Teluk Jakarta masih sangat terbatas. Kalibrasi terhadap parameter yang bersumber dari literatur dilakukan karena nilainya tidak selalu sesuai untuk digunakan di perairan Teluk Jakarta. Kalibrasi tersebut juga dimungkinkan karena pada beberapa parameter penting tersedia rentang nilai yang relevan untuk diterapkan dalam kondisi perairan yang berbeda. Hasil kalibrasi untuk beberapa parameter yang digunakan dalam model ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai parameter hasil kalibrasi model Notasi
Keterangan
Nilai
Satuan
Vmax
laju maksimum fotosintesis
0.65 (0.5 – 1.1) hari-1
kNN
Koefisien paruh-jenuh untuk nitrat
0.3 (0.04 – 1.8) µmol/l
kNA
Koefisien paruh-jenuh untuk amonium
0.5 (0.1 – 0.62) µmol/l
ψ
Koefisien inhibisi amonium
0.1 (0.1 – 0.33) 1/µmolN
Iopt
Intensitas cahaya optimum
α1
Koefisien disipasi cahaya untuk air laut
R0
laju respirasi
GRmax laju grazing maksimum λ
Konstanta Ivlev
kN0
laju nitrifikasi
1.3 0.425
ly/min m-1
-1 0.05 (0.04 – 0.1) hari -1 0.35 (0.3 – 0.35) hari
1 (1 – 1.4) 0.001
l/µmolN hari-1
44
Perubahan atau kalibrasi dilakukan pada parameter yang berhubungan dengan nutrien dan fitoplankton dikarenakan hanya variabel tersebut yang memiliki data validasi yang cukup. Parameter yang diubah merupakan parameter dengan sensitifitas tinggi terhadap hasil model. Selanjutnya nilai parameter inilah yang digunakan dalam memodelkan pola konsentrasi setiap variabel. Data validasi dari setiap variabel cenderung menunjukkan sebaran yang tinggi seperti pada data validasi amonium (0.07 – 0.039 mg/l) sehingga model juga dituntut untuk dapat menghasilkan data yang sesuai. Tabel 4 juga menunjukkan rentang nilai parameter yang dapat digunakan (bagian dalam kurung) sehingga model dapat menghasilkan data maksimum dan minimum.
4.1.1 Kalibrasi parameter nutrien 1. Amonium inhibition (ψ) Amonium inhibition adalah parameter yang membatasi penggunaan nitrat karena keberadaan amonium dalam fotosintesis di perairan. Dalam persamaan fotosintesis (pers. 3.1) baik nitrat maupun amonium bersama-sama digunakan dalam proses tetapi dengan adanya parameter amonium inhibition maka pengaruh nitrat dibatasi. Zehr dan Ward (2008) menyatakan bahwa amonium lebih disukai oleh fitoplankton karena dapat langsung digunakan. Semakin kecilnya nilai parameter ini maka semakin kecil hambatan bagi amonium untuk digunakan dalam fotosintesis. Kishi et al. (2006) menyebutkan nilai amonium inhibition di perairan sebesar 1.4 l/µmolN. Melalui running model dihasilkan konsentrasi amonium rata-rata dalam setahun sebesar 0.005 mg/l dan nilai ini lebih rendah dari nilai nitrat di perairan Teluk Jakarta. Penelitian P2O-LIPI pada Mei 2008
45
menyebutkan bahwa konsentrasi amonium mencapai 0.06 mg/l. Kecenderungan konsentrasi amonium yang besar juga disebutkan oleh Dahuri (1997) bahwa perairan Teluk Jakarta memungkinkan untuk terjadinya penurunan kualitas dilihat dari besarnya masukan limbah nitrogen organik ke dalam teluk yang merupakan sumber dari amonia di perairan, ditambahkan juga bahwa konsentrasi amonia cenderung besar bahkan beberapa tempat melebihi baku mutu perairan (>0.3 mg/l) sesuai Kepmen LH No.51/2004. Walaupun tidak memodelkan pengaruh limbah dan sumber amonium lainnya dan juga karena konsentrasi amonium di Teluk Jakarta cukup besar sehingga diduga fotosintesis seharusnya banyak dilakukan melalui pemanfaatan amonium maka dilakukan penyesuaian terhadap model dengan menurunkan nilai koefisien amonium inhibition menjadi 0.1 – 0.33 l/µmolN agar pembatasan terhadap amonium dapat dikurangi dan fotosintesis dapat berlangsung baik melalui pengaruh amonium maupun nitrat.
2. Laju nitrifikasi (kN0) Parameter lain yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap nutrien adalah laju nitrifikasi yang mengatur keberadaan nitrat di perairan. Nilai awal untuk parameter ini adalah 0.01 perhari (Kishi et al., 2006) dan setelah disimulasikan menghasilkan konsentrasi nitrat sebesar 1.8 mg/l. Data validasi P2O-LIPI menyebutkan konsentrasi nitrat pada bulan Maret adalah sekitar 0.029 mg/l dan nilai ini masih lebih rendah dari nilai yang dihasilkan oleh model awal. Sebagai sumber utama nitrat dalam model maka laju nitrifikasi diturunkan menjadi 0.001 mg/l dengan tujuan dapat menghasilkan data-data yang sesuai.
46
Nursyirwani (1999) mengatakan bahwa aktivitas bakteri nitrifikasi lebih tinggi di dasar perairan dibandingkan dengan di permukaan sehingga penurunan laju nitrifikasi dalam model cukup beralasan karena model disimulasikan di permukaan laut.
4.1.2 Kalibrasi parameter fitoplankton Kalibrasi parameter untuk nutrien harus seimbang dengan perubahan parameter lainnya termasuk fitoplankton yang merupakan konsumen utama nutrien sehingga dapat dihasilkan data yang stabil dan sesuai dengan data in situ. Beberapa parameter untuk fitoplankton yang berubah adalah laju fotosintesis, laju respirasi dan juga laju grazing. Laju fotosintesis ditetapkan sebesar 0.65 per hari sedikit berubah dari nilai awal yaitu 0.4 per hari (Kishi et al., 2006). Peningkatan pada laju fotosintesis ditetapkan karena perairan Teluk Jakarta memiliki asupan bahan organik yang besar dari lingkungan sekitarnya, sedikitnya terdapat 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta dan juga tersedianya cahaya yang besar dan merata sepanjang tahun diduga akan meningkatkan kecepatan fotosintesis, bukti lainnya adalah terjadinya kematian massa ikan pada tahun 2004, 2005, dan 2007 di Teluk Jakarta (Wouthuyzen, 2007) yang juga mengindikasikan adanya kecepatan pertumbuhan sehingga terjadi blooming alga. Laju respirasi ditetapkan sebesar 0.05 per hari sesuai dengan pernyataan Parsons et al. (1984) bahwa laju respirasi merupakan rasio dari laju fotosintesis yang disebut dengan ‘loss factor’, nilainya sekitar 0.1 atau 10% dari laju fotosintesis. Sedangkan laju grazing ditetapkan lebih rendah dari laju fotosintesis fitoplankton karena melihat kondisi Teluk Jakarta yang berpotensi untuk terjadi
47
blooming alga yang diduga karena lebih rendahnya pemangsaan dan juga karena lebih cepatnya reproduksi fitoplankton.
4.2 Variabel luar Suhu dan cahaya merupakan faktor luar yang bekerja dalam model ini, hal tersebut didasarkan pada fungsi keduanya yang berperan penting baik dalam fotosintesis maupun dalam proses lainnya. Melalui model dihasilkan nilai prediksi suhu dan cahaya di perairan Teluk Jakarta selama 1 (satu) tahun, diharapkan data hasil model ini serupa atau mendekati data validasi dari SEAWATCH BPPT dan BMKG sehingga model dapat dikatakan mewakili proses alam yang sebenarnya. Berikut ditampilkan grafik pola sebaran suhu dan cahaya permukaan hasil running model beserta data validasinya selama 1 (satu) tahun.
4.2.1 Suhu Perairan
31 30.5
suhu (celcius)
30 29.5 29 validasi
28.5
model
28 27.5 27 26.5 Jan Feb Mar Apr May Jun
Jul Aug Sep Oct Nov Dec
waktu
Gambar 6. Pola sebaran suhu perairan (oC) Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya
48
1. Nilai suhu perairan Suhu perairan di sebagian besar wilayah tropis termasuk indonesia tidak begitu banyak mengalami perubahan (konstan). Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 6 bahwa suhu berubah sekitar 1 – 2 oC dalam satu tahun, berbeda dengan perairan subtropis yang dapat mencapai perbedaan 8 oC dalam satu tahun. Nilai suhu perairan hasil running model menunjukkan persamaan dengan nilai validasinya, hal tersebut dapat dilihat pada bulan-bulan dengan puncak terendah atau tertinggi suhu perairan. Nilai suhu model pada bulan Mei adalah 30.0 oC sedangkan data validasi menunjukkan nilai suhu sebesar 30.1 oC, begitu juga pada bulan Januari dan Agustus, model menunjukkan nilai suhu yang mencapai 28.7 oC dan 28 oC sedangkan data validasi menunjukkan nilai suhu sebesar 29 oC dan 28.5 oC. Perbedaan nilai suhu model hanya terlihat di bulan Agustus yang lebih rendah dari suhu di bulan Januari, tidak demikian halnya dengan data validasi. Hal tersebut lebih disebabkan oleh persamaan matematis suhu yang digunakan dalam model, walaupun demikian fenomena serupa juga terjadi di perairan Teluk Ambon seperti yang dilaporkan oleh Wenno (1986) bahwa di perairan Teluk Ambon pada bulan Agustus suhu permukaan mencapai 26 oC, lebih rendah dari musim barat yaitu sekitar 29 oC pada bulan Januari. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai in situ suhu perairan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan nilai tersebut dapat berubah-ubah, relatif lebih cepat dari perubahan pola musiman suhu itu sendiri.
49
2. Pola suhu perairan Secara umum pola suhu perairan hasil running model sama dengan pola suhu hasil pengamatan di lapangan. Pola suhu yang relatif rendah terjadi di awal tahun antara bulan Januari dan Februari serta pada pertengahan tahun yaitu sekitar bulan Agustus. Suhu rendah pada bulan Januari dan Februari diduga karena pengaruh musim barat (penghujan) sedangkan pada bulan agustus diduga karena adanya pengaruh musim timur yang relatif memiliki kecepatan angin yang lebih besar dibandingkan musim peralihan sehingga memungkinkan terjadinya pengadukan massa air permukaan sehingga suhu relatif menjadi lebih rendah. Memasuki bulan April dan Mei suhu perairan cenderung meningkat karena merupakan musim peralihan menuju musim Timur (kemarau) sehingga suhu cenderung meningkat, pada bulan Oktober dan November peningkatan cenderung lebih rendah dari bulan April dan Mei dikarenakan perairan Indonesia mulai memasuki musim barat . Pada akhir tahun suhu perairan cenderung menurun dari bulan sebelumnya (musim barat) dan kemudian diduga pola suhu kembali menurun memasuki awal tahun dan berulang seperti yang dijelaskan sebelumnya. Pola suhu perairan yang terbentuk ini juga disebutkan oleh Dahuri (1997) bahwa perairan Teluk Jakarta mengalami dua kali nilai maksimum dan dua kali nilai minimum dalam satu tahun tetapi secara global nilai suhu di awal tahun dan akhir tahun lebih rendah dari nilai di bulan lainnya. Perbedaan pola suhu perairan antara data model dan validasi hanya terlihat di awal tahun, dimana pola suhu model yang rendah terjadi di bulan Januari sedangkan pada data validasi terjadi di bulan Februari, hal tersebut dapat disebabakan oleh beberapa hal diantaranya pertama, suhu perairan Indonesia
50
seperti telah diketahui dipengaruhi oleh angin musim dimana pada musim barat (Desember-Januari) suhu perairan lebih rendah (Arinardi et al., 1996) dan puncak rendahnya dapat terjadi diantara bulan-bulan tersebut. Kedua, sebagaian besar perairan tropis seperti Teluk Jakarta memiliki pola suhu seragam yang dapat berubah-ubah, artinya dalam rentang nilai suhu yang rendah periode ulang pola suhu tidak selalu terjadi dalam waktu yang singkat seperti 1 (satu) tahun, contohnya adalah nilai terendah atau tertinggi suhu perairan pada suatu musim dapat berubah atau bergeser diantara bulan-bulan pada musim tersebut dan periode musim itu sendiri dapat berubah seiring perubahan alam baik secara lokal maupun global. Data yang digunakan sebagai acuan untuk membuat rumus suhu perairan juga mempengaruhi pola yang dihasilkan. Data suhu yang digunakan sebagai acuan untuk membuat rumus pola suhu adalah data tahun 1997 – 1998 kemudian data ini divalidasikan dengan data suhu perairan sampai tahun 2008, walaupun secara umum pola yang dihasilkan sama tetapi terdapat beberapa perbedaan pola terutama pada akhir tahun dan hal ini diduga karena kecenderungan pola suhu berulang yang tidak hanya terjadi pada 1 (satu) atau 2 (dua) tahun sehingga untuk selanjutnya diperlukan data acuan dalam rentang waktu yang lebih besar. Terbatasnya data yang ada baik dalam hal rentang perekaman data maupun kelengkapan data terbaru menjadi salah satu kendala dalam perumusan nilai suhu perairan yang lebih baik. Walaupun demikian perbandingan suhu model dan validasinya secara umum menunjukkan persamaan terutama dalam pola suhu yang dihasilkan, hal tersebut mengindikasikan bahwa persamaan matematis suhu yang digunakan (pers. 9) dapat mewakili pola suhu musiman yang terjadi di alam Teluk
51
Jakarta dengan mengasumsikan bahwa faktor lain yang berpengaruh dalam perubahan suhu dianggap konstan.
4.2.2 Cahaya Cahaya seperti halnya suhu juga tidak memiliki perbedaan intensitas yang besar sepanjang tahun karena wilayah tropis menerima radiasi matahari yang merata sepanjang tahun. Cahaya dalam perjalanannya dari atmosfer ke dalam laut mengalami banyak pelemahan (atenuasi), Parsons et al. (1984) mengatakan pelemahan ini bisa mengurangi radiasi cahaya yang masuk ke bumi menuju perairan hingga 30%. Pada bulan Mei 2008 perairan Teluk Jakarta mentransmisikan radiasi matahari rata-rata sebesar 43%, sedangkan pada bulan Maret sekitar 41 % dengan rentang antara 18 – 53 % (P2O-LIPI). Kecilnya perbedaan diantara kedua bulan tersebut menunjukkan keseragaman intensitas cahaya matahari di perairan tropis. Hasil model dan validasi untuk intensitas cahaya di perairan Teluk Jakarta ditampilkan sebagai berikut
cahaya (langleys/min)
0.3 0.25 0.2 0.15 validasi 0.1
model
0.05 0 Jan Feb Mar Apr May Jun
Jul Aug Sep Oct Nov Dec
waktu
Gambar 7. Pola sebaran intensitas cahaya perairan (ly/min) Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya
52
1. Nilai intensitas cahaya perairan Gambar 7 menunjukkan keseragaman intensitas cahaya perairan Teluk Jakarta, hal ini sesuai dengan sifat-sifat perairan tropis pada umumnya. Melalui model diketahui rata-rata intensitas cahaya yang masuk ke perairan Teluk Jakarta dalam setahun berkisar antara 0.2 – 0.25 ly/min (288 – 360 cal/cm2/hari), hal serupa juga ditunjukkan oleh data validasi (Gambar 7). Keseragaman intensitas cahaya yang ditunjukkan oleh kedua data tersebut dikarenakan data penunjang yang digunakan untuk membangun model maupun validasinya cukup lengkap (± 10 tahun) tidak seperti data suhu perairan yang masih terbatas sehingga dapat memodelkan intensitas cahaya dengan baik. Menurut Parsons et al. (1984) cahaya optimum untuk proses dalam perairan berkisar antara 0.03 – 0.2 ly/min. Gambar 7 menunjukkan intensitas cahaya perairan yang berada pada kisaran tinggi (0.2 – 0.25 ly/min), hal ini dikarenakan sifat perairan tropis yang menerima radiasi matahari sepanjang tahun. Walaupun demikian, intensitas yang tinggi tersebut tetap cukup bagi keberlangsungan metabolisme makhluk hidup, terbukti dari masih banyaknya laporan penelitian mengenai kandungan biota di perairan Teluk Jakarta (Riksawati, 2008 ; Kurniawan, 2008; Juliana, 2007) dan juga penelitian oleh instansi terkait (P2O-LIPI).
2. Pola intensitas cahaya perairan Pola grafik yang ditunjukkan oleh kedua data relatif sama. Secara umum intensitas cahaya relatif lebih besar pada bulan Agustus – Oktober, sedangkan pada bulan lainnya relatif lebih rendah. Sedikit peningkatan juga terjadi pada bulan Februari – Maret, tetapi tidak sebesar pada bulan Agustus-Oktober.
53
Terjadinya peningkatan pada bulan-bulan tersebut diduga disebabkan karena pengaruh angin musim di perairan Teluk Jakarta. Arinardi et al. (1996) menyatakan bahwa pada bulan September – Oktober perairan Indonesia mengalami musim peralihan II (pancaroba) dimana angin yang berhembus tidak lagi sekencang musim sebelumnya (musim timur) yaitu pada bulan Juni, begitu pun pada bulan Maret yang sudah memasuki musim peralihan I. Dengan semakin rendahnya kecepatan angin yang berhembus maka partikel-partikel di udara yang dapat menghalangi radiasi matahari semakin berkurang sehingga radiasi berjalan optimal. Lebih rendahnya peningkatan intensitas pada bulan Maret (peralihan I) dikarenakan masih besarnya pengaruh musim barat yang membawa musim penghujan sehingga membuat radiasi yang terjadi tidak optimal. Bila dibandingkan dengan pola grafik suhu perairan terdapat perbedaan puncak radiasi matahari dengan pola maksimum suhu perairan walaupun diketahui bahwa meningkatnya radiasi cenderung meningkatkan suhu di perairan. Hal tersebut dikarenakan sifat suhu perairan yang tidak hanya dipengaruhi oleh lamanya radiasi matahari melainkan juga faktor lain seperti metabolisme biota yang terjadi di dalam perairan dan untuk kasus Teluk Jakarta banyak faktor luar yang berpengaruh seperti aliran bahang yang diberikan oleh industri sekitar yang membuat suhu dapat berubah-ubah. Kendala dalam mengolah data cahaya terdapat pada ketersediaan data lapangan terbaru dan juga keakuratan data. Data yang digunakan hanya sampai pada tahun 2000 dan juga data yang digunakan tidak diukur langsung di dalam permukaan laut melainkan melaui persamaan konversi intensitas cahaya lapisan di atasnya. Walaupun demikian secara umum persamaan cahaya yang digunakan
54
dapat mewakili intensitas cahaya di lapangan sehingga cukup relevan untuk digunakan dalam model.
4.3 Variasi musiman variabel ekologi Setelah didapatkan nilai parameter baru melalui proses kalibrasi maka berikut ditampilkan hasil running model dalam satu tahun untuk setiap variabel ekologi (NO3, NH4, CHL, ZOO, PON, dan DON) dalam Gambar 8. Data yang ditampilkan merupakan data rata-rata bulanan konsentrasi setiap variabel. Satuan yang digunakan adalah satuan awal model µmolN/l agar dapat diketahui lebih jelas hubungan antar variabel. NO3
NH4
(a)
6.20 6.00
0.20
5.80 0.15 5.60 0.10 5.40 0.05
5.20
0.00
5.00 Jan
Feb Mar Apr May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct Nov Dec
waktu
NO3 NH4
(b)
1.20
konsentrasi ( molN/l)
konsentrasi (mmolN/l)
konsentrasi ( molN/l)
0.25
1.00 0.80 CHL ZOO
0.60
PON 0.40
DON
0.20 0.00 Jan
Feb Mar
Apr May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov Dec
waktu
Gambar 8. Pola konsentrasi nutrien (a) dan plankton – nitrogen organik (b) hasil running model di perairan Teluk Jakarta
55
Dari Gambar 8 diketahui bahwa secara umum pola konsentrasi nutrien antara nitrat dan amonium di Teluk Jakarta menunjukkan persamaan. Pola data antara plankton dan nitrogen organik (PON dan DON) juga menunjukkan persamaan. Perbedaan terlihat antara dua kelompok grafik yaitu grafik nutrien dan plankton-nitrogen organik (Gambar 8). Grafik untuk plankton menunjukkan adanya penurunan konsentrasi pada awal tahun sampai bulan Mei, begitu juga untuk data nitrogen organik. Kemudian kosentrasi meningkat sampai bulan Oktober dan menurun kembali memasuki akhir tahun. Sedangkan pada grafik data nutrien terjadi hal yang sebaliknya. Persamaan kedua kelompok data antara plankton dan nitrogen organik dikarenakan fitoplankton sebagai produsen dan variabel utama memegang peran penting dalam mengatur keberadaan nitrogen dalam siklus. Proses-proses yang mempengaruhi keberadaan nitrogen organik di perairan sebagian besar berasal dari proses yang dilakukan oleh plankton seperti ekskresi fitoplankton dan juga mortalitas sehingga perubahan pada plankton akan diikuti oleh perubahan yang sama pada PON dan DON di perairan. Berperannya fitoplankton dalam regulasi nitrogen tidak ditunjukkan secara langsung oleh pola nutrien yang terjadi. Nutrien merupakan salah satu faktor utama dalam fotosintesis bersama-sama dengan suhu dan cahaya tetapi pola nutrien cenderung berbanding terbalik dengan fitoplankton. Hal tersebut mengindikasikan adanya hubungan yang tidak langsung. Bila meninjau pada Gambar 6 (suhu) dan Gambar 8 (cahaya) maka terlihat bahwa pola grafik fitoplankton relatif lebih sama dengan grafik cahaya, hal tersebut memperlihatkan
56
bahwa fotosintesis yang terjadi lebih dipengaruhi secara langsung oleh cahaya dibandingkan dengan suhu dan nutrien. Sedangkan terbentuknya pola nutrien yang terlihat pada Gambar 8 lebih disebabkan oleh faktor suhu yang mempengaruhi proses pembentukan nutrien, terlihat dengan adanya persamaan pola grafik suhu dan nutrien. Seperti diketahui bahwa proses yang menjadi sumber nutrien terutama nitrat adalah nitrifikasi yang dipengaruhi oleh suhu dan juga faktor yang menjadi sumber amonium adalah dekomposisi bahan organik yang juga dipengaruhi oleh suhu. Grafik antara suhu dan cahaya sendiri berbeda seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan grafik fitoplankton dan nutrien. Secara umum disimpulkan bahwa keberadaan nutrien di perairan dapat secara langsung dipengaruhi oleh suhu dibandingkan dengan keberadaan fitoplankton karena suhu mengatur laju-laju proses yang menjadi sumber nutrien (Soetaert, 2004), sedangkan plankton lebih dipengaruhi oleh keberadaan fitoplankton sebagai produsen utama yang keberadaannya secara langsung dipengaruhi oleh cahaya. Pola suhu dan cahaya perairan sendiri lebih dipengaruhi oleh angin musim yang berperan penting dalam perairan Teluk Jakarta. Pola konsentrasi variabel seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 8 bisa terjadi di alam sebenarnya jika hanya faktor-faktor lingkungan yang diperhatikan (suhu, cahaya dan proses dasar biokimia) seperti halnya dalam sistem model yang disimulasikan. Hubungan antara fitoplankton dan zooplankton juga telah ditunjukkan melalui hasil model, walaupun hubungannya telah terlihat cukup jelas pada Gambar 8 tetapi terdapat dinamika yang biasa terjadi di setiap perairan atau biasa
57
disebut dengan time lag antara fitoplankton dan zooplankton. Hal tersebut juga dapat ditunjukkan oleh hasil model seperti dalam Gambar 9. 1
konsentrasi ( molN/l)
0.9 0.8 0.7 0.6 0.5
CHL
0.4
ZOO
0.3 0.2 0.1 0 1Jan
8Jan
15Jan
22Jan
29Jan
5Feb
12Feb
19Feb
26Feb
waktu
Gambar 9. Time lag antara fitoplankton dan zooplankton di perairan Teluk Jakarta hasil running model
Gambar 9 menampilkan data harian hasil running model pada dua bulan di awal tahun (Januari – Februari), data yang digunakan hanya dua bulan karena data pada bulan-bulan berikutnya tidak menunjukkan fenomena time lag secara jelas, data pada bulan-bulan berikutnya dapat dilihat kembali pada Gambar 8. Tingginya nilai fitoplankton pada awal bulan Januari dikarenakan nilai inisial yang dimasukkan dalam model memang besar sesuai dengan data yang didapatkan pada tahun 1974 – 1995. Time lag secara jelas terlihat dalam Gambar 9 dimana puncak pertumbuhan fitoplankton terjadi terlebih dahulu contohnya pada 15 Januari dan kemudian diikuti oleh puncak pertumbuhan zooplankton pada 18 Januari, hal yang sama terjadi ketika konsentrasi mengalami penurunan. Fenomena time lag ini juga dapat dijelaskan sesuai dengan teori ‘grazing’ yang dikemukakan oleh Harvey et al. (1935), dalam gambar diatas diberikan contoh ketika fitoplankton meningkat pada tanggal 15 Januari konsentrasi zooplankton cenderung rendah
58
sehingga fitoplankton dapat mengalami pertumbuhan dengan cepat (grazing rendah), seiring waktu tersebut konsentrasi zooplankton akan meningkat dan puncaknya terjadi ketika pertumbuhan fitoplankton tidak lagi dapat mengimbangi grazing oleh zooplankton. Arinardi et al. (1996) menambahkan bahwa time lag biasanya terjadi dalam rentang satu sampai dua bulan. Pada data diatas rentang terjadinya time lag berkisar pada hitungan hari atau minggu, hal ini dikarenakan konsentrasi awal yang diberikan untuk zooplankton relatif besar (setara dengan 0.3 µmolN/l), sehingga untuk mencapai konsentrasi puncak zooplankton tidak dibutuhkan waktu yang terlalu lama, fakor lain juga karena laju-laju pertumbuhan plankton yang diberikan dalam model tidak terlalu berbeda signifikan sehingga pada bulan-bulan selanjutnya fenomena time lag tidak terlihat secara jelas karena konsentrasi plankton sudah cenderung stabil. Skenario seperti ini dapat saja terjadi jika diperairan Teluk Jakarta konsentrasi zooplanktonnya relatif besar sesuai dengan nilai yang diterapkan dalam model dan juga terdapatnya kesesuaian lingkungan dengan model. Data validasi untuk zooplankton tidak didapatkan sehingga tidak diketahui pasti keakuratan pola kecenderungan time lag yang terjadi.
4.4 Validasi Melalui Tabel 5 diberikan rata-rata dan rentang nilai konsentrasi dari amonium, nitrat, dan fitoplankton hasil running model baru selama satu tahun dan juga validasinya. Validasi hanya dilakukan pada ketiga variabel utama yaitu amonium, nitrat, dan fitoplankton karena data validasinya cukup tersedia sedangkan untuk variabel lainnya data validasi tidak ditemukan.
59
Tabel 5. Validasi nilai rata-rata dan rentang konsentrasi variabel selama satu tahun Variabel
Validasi
Model
NO3 (mg/l)
0.037 (0.01 – 0.07)
0.0385 ( 0 – 0 .07)
NH4 (mg/l)
0.176 (0.07 – 0.39)
0.1338 (0.07 – 0.36)
CHL (mg/m3)
0.577 (0.4 – 0.9)
0.5274 (0.45 – 0.93)
Dari data diatas terlihat bahwa secara umum nilai parameter baru yang digunakan cukup baik untuk memodelkan variabel ekologi di perairan Teluk Jakarta terutama untuk variabel nitrat, amonium dan fitoplankton terbukti dengan adanya keseragaman nilai ketiga variabel tersebut antara hasil model dengan data di lapangan. Keseragaman nilai juga ditunjukkan pada nilai minimum dan maksimum ketiga variabel. Penjelasan rinci untuk setiap variabel diberikan selanjutnya.
4.4.1 Amonium Hasil model dan validasi untuk konsentrasi amonium ditampilkan dalam grafik dibawah ini. 0.3
konsentrasi (mg/l)
0.25 0.2 0.15
validasi
0.1
model
0.05 0 Jan Feb Mar Apr May Jun
Jul Aug Sep Oct Nov Dec
waktu
Gambar 10. Konsentrasi amonium di perairan Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya
60
Data validasi yang digunakan adalah data selama 10 bulan dikarenakan keterbatasan data di lingkungan Teluk Jakarta. Konsentrasi amonium menurut data validasi berkisar antara 0.07 – 0.39 mg/l dengan rata-rata sebesar 0.176 mg/l ± 0.11. Adapun nilai amonium hasil model adalah 0.13 mg/l ± 0.005 dan nilai tersebut mendekati nilai rata-rata yang ditunjukkan oleh data validasi. Konsentrasi yang cenderung sama antara kedua data ditunjukkan pada bulan Mei sampai dengan Agustus dan juga pada bulan November – Desember. Bila melihat pola konsentrasi amonium yang dihasilkan, maka pada setengah tahun awal konsentrasi amonium cenderung meningkat dan memasuki setengah tahun berikutnya konsentrasi amonium kembali menurun. Puncak tertinggi konsentrasi terjadi pada bulan Mei sedangkan yang terendah terjadi pada bulan Oktober. Pola tersebut ditunjukkan oleh data model sedangkan pada data validasi pola konsentrasi amonium cenderung acak, sebagian data berkisar pada nilai 0.1 – 0.15 mg/l dan sebagian lainnya lebih beragam mencapai 0.4 mg/l, dengan pola yang demikian maka tidak dapat dilakukan validasi terhadap pola dari data model. Diperlukan data-data yang lebih lengkap melalui pengamatan secara berkala (time series) di daerah Teluk Jakarta jika akan dilakukan validasi pola konsentrasi amonium.
61
4.4.2 Nitrat 0.08
konsentrasi (mg/l)
0.07 0.06 0.05 0.04
validasi
0.03
model
0.02 0.01 0 Jan
Feb Mar Apr May Jun
Jul Aug Sep Oct Nov Dec
waktu
Gambar 11. Konsentrasi nitrat di perairan Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya Data validasi untuk nitrat jumlahnya lebih sedikit dibandingkan data amonium yaitu sekitar 6 bulan, hal serupa menjadi penyebabnya yaitu kurangnya data pengamatan berkala di lapangan. Walaupun demikian rata-rata nilai nitrat yang didapatkan sesuai dengan kondisi perairan Teluk Jakarta. Data validasi nitrat menunjukkan bahwa konsentrasi nitrat berada pada 0.01 – 0.07 mg/l dengan rata-rata sebesar 0.037 mg/l ± 0.02. Adapun data model menunjukkan konsentrasi nitrat dengan rata-rata sebesar 0.038 mg/l ± 0.01, nilai tersebut berada pada kisaran nilai data validasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. Keseragaman data antara model dan validasi tidak ditunjukkan secara nyata, beberapa data memang menunjukkan persamaan seperti pada bulan Maret dan Agustus yang berada pada kisaran konsentrasi 0.03 mg/l sedangkan data pada bulan lainnya cenderung beragam. Keberagaman data ini dapat dikarenakan berbagai faktor di alam yang belum dimodelkan. Pola konsentrasi pada data validasi nitrat tidak dapat dipastikan karena terbatasnya data sama halnya dengan pola pada data amonium. Bila melihat data
62
model, pola konsentrasi yang terbentuk memperlihatkan pola yang juga sama dengan amonium. Puncak konsentrasi terjadi pada bulan Mei dan semakin menurun pada bulan berikutnya sampai dengan bulan Oktober, kemudian konsentrasi kembali meningkat (Gambar 11).
4.4.3 Fitoplankton Berikut ini ditampilkan grafik konsentrasi fitoplankton dari hasil model dan validasinya.
0.8
konsentrasi (mg/m3)
0.75 0.7 0.65 0.6
validasi
0.55
model
0.5 0.45 0.4 Jan Feb Mar Apr May Jun
Jul
Aug Sep Oct Nov Dec
waktu
Gambar 12. Konsentrasi fitoplankton di perairan Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya Data yang digunakan dalam pengolahan maupun analisa fitoplankton adalah data klorofil-a. Menurut Parsons et al. (1984) klorofil-a dapat digunakan dalam merepresentasikan fitoplankton di perairan sehingga dalam pembahasan selanjutnya klorofil-a ini akan disebut sebagai fitoplankton. Hasil model memperlihatkan bahwa konsentrasi fitoplankton rata-rata dalam setahun berkisar pada 0.422 – 0.622 mg/m3, bila dibandingkan dengan data lapangan maka terdapat beberapa persamaan dan juga perbedaan. Persamaan terlihat pada bulan Juli sampai dengan Oktober dimana kisaran konsentrasi
63
fitoplankton yaitu 0.4 – 0.5 mg/m3, persamaan yang lain ditunjukkan pada bulan Mei dengan kisaran yang sama yaitu 0.47 mg/m3. Beberapa perbedaan ditunjukkan pada data di bulan Juni dan November dimana data validasi lebih besar yaitu mencapai 0.93 dan 0.68 mg/m3. Pada bulan Juni – Oktober selain nilai konsentrasi yang cenderung sama, pola yang dihasilkan model juga sama dengan pola fitoplankton di lapangan. Konsentrasi di awal tahun paling besar dan kemudian akan cenderung menurun sampai bulan Mei dan meningkat memasuki bulan Juli dan September kemudian mulai menurun kembali ketika memasuki bulan Oktober. Terbatasnya data serta keberagaman data pada beberapa tempat atau waktu menjadi salah satu kendala dalam pengamatan pola fitoplankton di lapangan. Penelitian lain oleh Prihartato (2009) mengenai pola konsentrasi fitoplankton di Teluk Jakarta mengatakan bahwa konsentrasi terbesar terjadi pada awal tahun (musim barat) dan kemudian menurun sampai memasuki bulan April, pada bulan Juni konsentrasi meningkat lagi dan kembali menurun memasuki akhir tahun. Walaupun terdapat sedikit perbedaan waktu minimum dan maksimum tetapi pola fitoplankton cenderung sama dengan data model yang ditunjukkan Gambar 12 .
4.4.4 Pembahasan Nilai validasi pada variabel nitrat, amonium maupun fitoplankton tidak semuanya menunjukkan persamaan dengan data model, hal tersebut dapat dikarenakan kondisi perairan yang berbeda pada saat pengambilan data validasi dengan kondisi model. Perbedaan juga dapat disebabkan karena perairan Teluk
64
Jakarta merupakan perairan yang dinamis dengan segala kegiatan industri, rumah tangga bahkan rekreasi di sekitarnya yang membuat perairan ini dapat mengalami perubahan dengan cepat serta banyaknya faktor lain yang mempengaruhi keberadaan nutrien dan biota di Teluk Jakarta seperti faktor fisika-biologi-kimia perairan lainnya, asupan nutrien dari sungai atau darat serta limbah yang mengandung bahan organik. Faktor-faktor diatas belum dapat dimodelkan dengan baik sehingga memungkinkan terdapatnya data model yang berbeda dengan data di lapangan. Data yang dihasilkan model dapat saja sesuai dengan data di lapangan jika hanya kondisi alami yang diperhatikan. Dinamisnya perairan Teluk Jakarta misalnya ditunjukkan dengan beberapa laporan penelitian yang menyebutkan bahwa di perairan Muara Angke Teluk Jakarta konsentrasi amonia mencapai 4 mg/l (Riksawati, 2008), dan melalui mekanisme transport massa air dapat dimungkinkan terjadinya peningkatan konsentrasi nutrien dan fitoplankton di beberapa tempat akibat dari tingginya konsentrasi di tempat yang lain. Terjadinya blooming alga di perairan Teluk Jakarta juga menunjukkan adanya kedinamisan perairan yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Lebih lanjut pendekatan model dapat dilakukan dengan merubah (kalibrasi) nilai parameter lainnya sehingga model lebih sensitif. Faktor lain yaitu digunakannya data input dengan rentang waktu yang lebih besar serta bila memungkinkan yaitu penggunaan data validasi yang kondisi perairannya serupa dengan kondisi model (skala laboratorium).
65
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa terbentuknya pola konsentrasi amonium maupun nitrat lebih dipengaruhi oleh faktor suhu perairan Teluk Jakarta seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 13 dibawah ini. 0.145
30.5
NH4 (mg/l)
29.5
0.135
29 0.13 28.5 0.125
28
0.12
suhu (celcius)
30
0.14
27.5
0.115
27 Jan
M ar
M ay
Jul
waktu
Sep
Nov
NH4 Suhu
Gambar 13. Hubungan amonium dengan suhu perairan
Pola grafik suhu dan amonium dalam satu tahun memiliki persamaan. Hal tersebut karena semakin besar suhu seperti saat memasuki bulan Mei maka proses-proses di perairan cenderung meningkat. Soetaert (2004) menyatakan bahwa sebagian besar laju-laju proses (fisis, kimia dan juga fisiologis) diatur oleh suhu perairan. Proses yang secara langsung berkaitan dengan amonium adalah dekomposisi sehingga bila suhu meningkatkan laju proses tersebut maka konsentrasi amonium di perairan juga cenderung meningkat. Meningkatnya suhu pada bulan Mei dikarenakan pada bulan tersebut perairan Indonesia mengalami musim peralihan menuju musim Timur atau musim kemarau sehingga suhu cenderung lebih besar. Hal yang serupa juga terjadi pada nitrat dimana sumber utamanya adalah nitrifikasi. Seiring meningkatnya suhu maka nitrifikasi yang terjadi di perairan akan semakin besar sehingga konsentrasi nitrat pun meningkat seiring dengan
66
meningkatnya amonium. Grafik dari nitrifikasi dan suhu-cahaya ditunjukkan dalam Gambar 14.
0.06
30
0.05
29
0.04
28
0.03
27
0.02
26
0.01
25
Nitrifikasi ( molN/l/hr)
31
o
Suhu ( C)
(a)- suhu Nitrifikasi
0 Jan
Feb
Mar Apr May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov Dec
suhu
waktu
Nf
0.3
0.06
0.25
0.05
0.2
0.04
0.15
0.03
0.1
0.02
0.05
0.01
0
Nitrifikasi ( molN/l/hr)
Cahaya (ly/min)
Nitrifikasi (b)- Cahaya
0 Jan Feb Mar Apr M ay Jun
Jul Aug Sep Oct Nov Dec
waktu
chy Nf
Gambar 14. Hubungan nitrifikasi dengan suhu (a) dan cahaya (b) Data untuk plot nitrifikasi didapatkan dari hasil model. Dari data terlihat bahwa pola dari nitrifikasi yang terjadi mengikuti pola suhu di perairan Teluk Jakarta sehingga dapat dikatakan bahwa nutrien lebih dipengaruhi oleh suhu dibandingkan dengan cahaya. Tingginya konsentrasi fitoplankton di bulan Juni dan November pada data validasi (Gambar 12) mengindikasikan terjadinya blooming di Teluk Jakarta yang diduga karena adanya masukkan nutrien yang besar ataupun pengaruh faktor
67
lainnya seperti sumber nutrien dari daratan dimana faktor-faktor tersebut tidak diikutsertakan dalam model ini. Telah dijelaskan bahwa pola konsentrasi fitoplankton yang terjadi lebih dipengaruhi oleh intensitas cahaya perairan dibandingkan dengan suhu perairan walaupun kedua faktor (suhu dan cahaya) diikutsertakan dalam persamaan fotosintesis. Hubungannya ditunjukkan dalam Gambar 15
0.650
30.5
(a)
30 29.5 0.550
29
0.500
28.5 28
suhu (celcius)
fitoplankton (mg/m3)
0.600
0.450 27.5 0.400
27 Jan Feb Mar Apr May Jun
Jul
Aug Sep Oct Nov Dec Fitoplankton
waktu
0.650
0.3
(b)
0.2 0.550 0.15 0.500 0.1 0.450
cahaya (ly/min)
0.25
0.600 fitoplankton (mg/m3)
Suhu
0.05
0.400
0 Jan Feb Mar Apr May Jun
Jul Aug Sep Oct Nov Dec Fitoplankton
waktu
Cahaya
Gambar 15. Hubungan fitoplankton dengan suhu (a) dan cahaya (b)
Memasuki bulan Mei saat cahaya berkurang maka konsentrasi fitoplankton akan menurun berbeda dengan data suhu perairan yang cenderung meningkat. Meningkatnya intensitas cahaya pada bulan Mei lebih dikarenakan pengaruh
68
musim peralihan menuju musim timur dimana pada musim peralihan kondisi angin relatif lebih tenang sehingga faktor penghambat radiasi matahari di udara yaitu partikel yang dibawa angin jauh lebih berkurang dan radiasi dapat berjalan optimal. Lebih kecilnya peran suhu juga sesuai dengan pernyataan Parsons et al. (1984) bahwa pada perairan tropis laju fotosintesis lebih dipengaruhi oleh kandungan nutrien daripada oleh suhu perairan. Valiela (1984) juga mengatakan bahwa suhu berperan sebagai kovarian dengan faktor lain daripada sebagai faktor bebas, artinya perannya tidak terjadi secara langsung.
4.5 Flux Nitrogen Flux nitrogen tahunan dalam sistem berdasarkan hasil running model ditampilkan dalam Gambar 16. 0.36
NO3
FITO FITOTOPLANKTON
0.064
0.212
0.05 0.044
0.037
NH4 0.08
ZOOZOOPLANKTON
0.081 0.129
0.064
DON 0.081
0.064
PON 0.002
Gambar 16. Aliran flux nitrogen tahunan hasil running model Satuan dari flux nitrogen setiap proses sama yaitu µmolN liter-1 tahun-1. Nilai yang tertera dalam siklus tersebut mewakili setiap proses dalam model
69
sesuai dengan proses yang ditunjukkan pada siklus model (Gambar 3). Secara umum nilai aliran nitrogen dalam siklus tersebut seimbang antara input dan juga output pada setiap variabel, sedikit perbedaan terjadi karena faktor pembulatan yang dilakukan. Dalam sistem model aliran nitrogen terbesar terjadi saat fotosintesis berlangsung yaitu sekitar 0.36 µmolN liter-1 tahun-1 nilai ini didapatkan dari pemanfaatan nitrat dan amonium. Besarnya kandungan nitrogen saat fotosintesis sesuai dengan fungsi fitoplankton sebagai produsen utama yang juga mengatur keberlangsungan bahan-bahan organik dan anorganik di perairan. Sinking PON menjadi satu-satunya sistem yang menguhubungkan model dengan tingkatan atau trofik level yang lebih tinggi. Sinking PON terjadi karena ukuran bahan partikel yang cenderung lebih besar sehingga memungkinkan terjadinya penenggelaman. Flux nitrogen yang hilang melalui sinking ini relatif kecil (0.002 µmolN liter-1 tahun-1), hal tersebut lebih disebabkan untuk menjaga keseimbangan model karena dalam model tidak terdapat masukkan nitrogen dari luar seperti sungai ataupun pasang surut.
4.6 Perlakuan model Pelakuan pada model dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut faktorfaktor dalam model yang mempengaruhi perubahan konsentrasi setiap variabel. Faktor tersebut diantaranya adalah suhu dan cahaya. Perlakuan dilakukan dengan menghilangkan fungsi suhu dalam model sehingga dapat diketahui variabel yang lebih sensitif terhadap suhu perairan. Hasil rata-rata nilai setiap variabel setelah dilakukan perlakuan ditunjukkan dalam Tabel 6.
70
Tabel 6. Rata-rata nilai konsentrasi variabel hasil perlakuan model Variabel NO3 NH4 CHL ZOO PON DON
konsentrasi (µmolN/l/tahun) awal perlakuan 0.140 5.779 0.281 0.377 0.107 0.850
0.298 5.591 0.275 0.363 0.098 0.789
Perubahan rata-rata (%/tahun) 112.31 3.25 2.13 3.79 8.08 7.17
Dari Tabel 6 ditunjukkan bahwa variabel nitrat merupakan variabel yang mengalami perubahan paling besar terhadap suhu perairan. Pengaruh suhu dalam sistem model terhadap nitrat terjadi secara tidak langsung melalui mekanisme fitoplankton dan juga amonium. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa fotosintesis lebih dipengaruhi oleh cahaya perairan tetapi suhu tetap turut berperan dalam dinamika konsentrasi fitoplankton walaupun tidak sebesar perubahan oleh cahaya (terlihat dari perubahan konsentrasi yang terjadi hanya sekitar 2.13 % dalam satu tahun), dengan berkurangnya fitoplankton ini maka pemanfaatan akan nitrat menjadi berkurang sehingga konsentrasi nitrat menjadi besar dan di sisi lain nitrat bertambah dikarenakan amonium sebagai sumber utama nitrat tidak mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari adanya proses sumber amonium yang tidak dimodulasi oleh suhu seperti eksresi. Hubungan variabel lain terhadap suhu perairan seperti ditunjukkan pada Tabel 6 tidak mengalami banyak perubahan sehingga dapat dikatakan bahwa suhu perairan tidak terlalu banyak merubah nilai yang terjadi.
71
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Model ekologi untuk perairan Teluk Jakarta dalam penelitian ini telah
berhasil dibangun dengan nitrogen sebagai dasar model dan juga memasukkan faktor-faktor alami seperti suhu dan intensitas cahaya perairan serta proses dasar biologi dan kimia di perairan seperti respirasi, fotosintesis, dekomposisi dan nitrifikasi. Selanjutnya dilakukan kalibrasi parameter model karena tidak adanya data parameter in situ yang memadai. Melalui kalibrasi beberapa parameter mengalami perubahan sehingga dihasilkan data model yang sesuai dengan validasi. Pola konsentrasi plankton dan nitrogen organik (PON dan DON) menurun pada awal tahun hingga bulan Mei dan meningkat memasuki bulan Oktober, pada akhir tahun konsentrasi menurun kembali. Pada pola nutrien terjadi hal sebaliknya. Dari hasil model diketahui bahwa pola konsentrasi nutrien di Teluk Jakarta lebih dipengaruhi oleh suhu perairan sedangkan pola konsentrasi pada fitoplankton lebih dipengaruhi oleh intensitas cahaya sebagai faktor utama fotosintesis. Pola suhu dan cahaya sendiri lebih dipengaruhi oleh faktor musim di perairan Teluk Jakarta. Suhu berperan terhadap keberadaan nutrien terutama pada nitrat di perairan karena proses utama yang menjadi sumber nutrien lebih banyak diatur oleh suhu perairan seperti nitrifikasi dan dekomposisi. Hubungan antara fitoplankton dan nutrien terjadi secara tidak langsung. Validasi yang dilakukan terhadap pola data model tidak menunjukkan hasil yang maksimal dikarenakan keterbatasan data validasi di lapangan tetapi
72
model dapat menunjukkan nilai konsentrasi yang relatif mendekati dengan nilai sebenarnya di alam. Begitu juga untuk faktor suhu dan cahaya telah dengan baik dimodelkan karena sesuai dengan data validasi. Aliran nitrogen yang terjadi dalam sistem telah diperlihatkan dan dapat disimpulkan bahwa flux nitrogen di perairan terbesar didapatkan saat fotosintesis berlangsung, hal tersebut sesuai dengan fungsi fitoplankton sebagai produsen utama yang juga mengatur keberlangsungan bahan-bahan organik dan anorganik di perairan.
5.2
Saran Pengembangan model lebih lanjut dapat dilakukan seperti penambahan
parameter dan faktor luar yang bekerja (arus, angin, difusi dan adveksi) maupun penambahan varaibel baru (ikan atau dekomposer) serta aplikasi model terhadap model lainnya seperti model aliran bahang atau nutrien dari daratan dan sungai. Hal lain yang dapat dilakukan adalah adanya monitoring data secara berkala dalam rentang waktu yang diperlukan model sehingga dapat dilakukan validasi dengan maksimal.
73
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2006. Sistem filtersi akuarium air laut untuk pengendalian senyawa nitrogen dalam air. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 67h. Arinardi. O. H., Trimaningsih, dan Sumijo H. R. 1996. Kisaran kelimpahan dan komposisi plankton predominan di perairan kawasan tengah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan (P2O). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 94h. Baird, M. 1999. Towards a verified mechanistic model of plankton population dynamics. Tesis. Departemen of Biological Sciences. University of Warwick. 150h. Barnes, R. S. K dan R. N. Hughes. 1999. An introduction to marine ecology (third ed.). Blackwell Publishing. Oxford. 351 h. Basmi, J. 1995. Planktonologi : produktifitas primer. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 44h. Dahuri, R. 1997. Final report : studi potensi kawasan perairan teluk jakarta. KPPL DKI Jakarta dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Lenelitian IPB. Bogor. Effendi, M. 2000. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Bogor. 258h. Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar ekologi tropika. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 369h. Jeffers. 1978. An introduction to system analysis with ecological applications. Edward Arnold. London. 198h. Jorgensen, S. E dan Bendoricchio, G. 2001. Fundamentals of ecological modelling (third ed.). Elsevier Science Ltd. Oxford. 530h. Juliana. 2007. Kelimpahan zooplankton serta hubungannya dengan parameter fisika, kimia, dan biologi di Pantai Indah Kapuk, Kapuk Muara, perairan Teluk Jakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 68h. Kawamiya, M., M. J. Kishi, Y. Yamanaka, dan N. Suginohara. 1995. An ecological-physical coupled model applied to Station Papa. Journal of Oceanography. 51: 635-664
74
Kishi, M. J., Makoto K., dan Daniel M. Ware. 2006. Nemuro-a lower trophic level model for the North Pacific marine ecosystem. Eco. Mod. 202 : 12-25 Kremer, J. N dan Nixon, S. W. 1978. A coastal marine ecosystem : simulation and analysis. Springer-Verlag Berlin-Heidelberg. Kurniawan, G. 2008. Studi ekologi kista Dinoflagellata spesies penyebab HAB (Harmful Algae Bloom) di sedimen pada perairan Teluk Jakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 101h. Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater engineering: treatment, disposal and reuse. Direvisi oleh G. Tchobanoglous dan F.L. Burton. McGraw Hill. New York. Middelburg, J. J., Johan S., dan Jan Arie Vonk1. 2008. Dissolved organic nitrogen uptake by seagrasses. Limnol. Oceanogr. 53(2) : 542 – 548 Millero, F. J. dan Mary L. S. 1992. Chemical oceanography. CRC Press. London. 496h. Mulya, M. B. 2002. Bahan organik terlarut dan tidak terlarut dalam air laut. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. 6h. Nasution. 1998. Pola penyebaran zooplankton serta hubungannya dengan parameter fisika-kimia perairan Teluk Jakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 89h. Neumann, T dan Fenel, W. 2004. Introduction to the modelling marine ecosystems. Elsevier Oceanogrphy Series. Oxford. 308h. Nybakken, J. N. 1992. Biologi laut: suatu pendekatan ekologi. Diterjemahkan oleh H.M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, S. Subarjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 579h. Nursyirwani. 1999. Aktivitas bakteri nitrifikasi pada ekosistem laut di Pulau Bengkalis. http://ik-ijms.com/2008/10/07/aktivitas-bakteri-nitrifikasipada-ekosistem-laut-di-pulau-bengkalis. (14 Mei 2009) Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar ekologi. UGM Press. Yogyakarta. Parsons, T. M., Takashi, dan B. Hargrave. 1984. Biological oceanographic processes (third ed.). Pergamon Press. 65-111h.
75
Reynolds, C. S. 1990. The ecology of freshwater phytoplankton. Cambridge University Press. London. 384h. Riksawati, A. 2008. Kandungan nutrien dan produktivitas primer perairan Muara Angke Teluk Jakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 115h. Romimohtarto, K dan S. Juwana. 1998. Plankon larva, hewan laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. Jakarta Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2001. Biologi laut : ilmu pengetahuan tentang biota laut. Djambatan. Jakarta. 540h. Salim, A. 1997. Simulasi model pergerakan tumpahan minyak di perairan Kepulauan Seribu. Tesis (tidak dipublikasikan). Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 119h. Soetaert, K dan P. Herman. 2004. Ecological modelling lecture notes. Centre for Estuarine and Marine Ecology. Netherlands Institut of Ecology. 92h. Sunarto. 1993. Peranan dekomposisi dalam proses produksi pada ekosistem laut. Program Pasca sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 17h. Wenno, L. F. 1986. Suatu Pendekatan fisika-matematika utuk menghitung suhu air pada lapisan dekat dasar di Teluk Ambon bagian dalam. Oseanologi di Indonesia. 21:65-76. Wiadnyana, N. N. 1998. Kesuburan dan komunitas plankton di perairan pesisir Digul, Irian Jaya. Balitbang sumberdaya Laut. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Wiesman, U. 1994. Biological nitrogen removal from wastewater. Advances in biochemical enginering. Vol. 51. A. Fiechter (ed.). Springer-Verlage, Berlin Heidelberg. Wouthuyzen, S. 2007. Pendeteksian Dini Kejadian Marak Alga (Harmful Algal Blooms/HAB) Perairan Teluk Jakarta and Sekitarnya. Laporan Akhir Tahun. P20-LIPI. Jakarta Zehr, J. P dan Bess B. Ward. Nitrogen cycling in the ocean : new perspective on processes and paradigms. http://aem.asm.org (16 Januari 2009).
76
LAMPIRAN
77
Lampiran 1. Data yang digunakan dalam model dan konversinya •
Contoh data cahaya BMKG Agustus – September 1998
Intensitas cahaya (cal/cm2/hari) Tgl Aug-98 Sep-98 Oct-98 1 288 378 306 2 300 372 246 3 270 390 318 4 360 228 414 5 348 324 312 6 282 372 168 7 372 393 306 8 306 414 306 9 324 312 276 10 384 432 330 11 420 414 276 12 336 438 330 13 402 378 372 14 336 414 342 15 348 222 306 16 414 426 246
Intensitas cahaya (cal/cm2/hari) tgl Aug-98 Sep-98 Oct-98 17 342 324 237 18 378 246 228 19 348 312 324 20 273 468 324 21 198 354 366 22 378 276 324 23 336 270 342 24 366 174 246 25 348 348 276 26 342 312 198 27 318 312 240 28 330 312 312 29 414 276 300 30 372 426 306 31 444 306
Konversi data 1 cal/cm2/hari = 0.0006927344 ly/min •
Contoh data lingkungan BPLHD di perairan Teluk Jakarta Th.2007
Juli No. St A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 C2 C3 C4 C5 C6 D3 D4 D5 D6
November Suhu 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49 29.49
pH 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73 7.73
NH3 0.03 0.08 0.03 0.07 0.03 0.05 0.12 0.03 0.05 0.05 0.04 0.06 0.06 0.79 0.44 0.22 0.06 0.09 0.04 0.06 0.45 0.02 -
NH4 0.029 0.077 0.029 0.067 0.029 0.048 0.115 0.029 0.048 0.048 0.038 0.057 0.057 0.757 0.422 0.211 0.057 0.086 0.038 0.057 0.431 0.019 -
NO3 0.04 0.11 0.09 0.23 0.12 0.04 0.02 0.06 0.14 0.02 0.01 0.04 0.02 -
No. St A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 C2 C3 C4 C5 C6 D3 D4 D5 D6
Suhu 30.45 30.59 30.72 31.19 31.14 29.93 30.28 30.44 30.59 30.95 30.69 29.56 29.88 30.45 30.1 30.57 30.65 30.39 31.01 30.1 30.85 31.01 31.29
pH 7.82 7.61 7.76 7.8 7.72 7.7 7.67 7.38 7.52 8.15 7.88 7.12 7.05 7.22 7.43 7.41 8.1 7.22 7.28 6.97 8.07 7.71 7.55
NH3 0.15 0.15 0.06 0.32 0.26 0.26 0.07 0.17 0.49 0.10 0.11 0.08 0.13 0.09 0.48 0.39 0.11 0.07 0.10 0.16 0.10 0.28 0.04
NH4 NO3 0.142 0.01 0.145 0.09 0.057 0.304 0.249 0.250 0.067 0.167 0.477 0.090 0.104 0.079 0.129 0.089 0.470 0.382 0.100 0.069 0.098 0.159 0.091 0.269 0.039 -
78
Lampiran 2. Penyelesaian persamaan diferensial dengan beda hingga Misalkan persamaan yang membangun perubahan nitrat (NO3) adalah fungsi g dari NO3 atau g(NO3), maka dengan metode beda hingga forward diferences perubahan nilai variabel NO3 di setiap langkah waktu atau iterasi yaitu:
∂NO3 = ∂t
-{(Fotosintesis)-(Respirasi)}RNO3 + (Nitrifikasi)
∂NO3 = g (NO3) ∂t
∂NO3 = g ( NO3) ∗ ∂t NO3(t + 1) − NO3(t ) = g (NO3) ∗ ∂t NO3(t + 1) = NO3(t ) + g (NO3) ∗ ∂t NO3(t + 1) = NO3(t ) + (-{(Fotosintesis)-(Respirasi)}RNO3 + (Nitrifikasi)) * ∂t Dimana : •
Simbol ‘ t ‘ digunakan untuk menujukkan waktu iterasi yang sedang berlangsung
•
NO3(t) adalah nilai awal variabel NO3 pada iterasi ke-t atau langkah waktu yang sedang dikerjakan
•
NO3(t +1) adalah nilai variabel NO3 yang akan dicari pada iterasi selanjutnya. Iterasi selanjutnya ditulis sebagai (t +1) yang artinya waktu ditambahkan satu satuan (1 hari). Nilai konsentrasi NO3 pada (t +1) ini didapatkan dengan menambahkan nilai sebelumnya NO3 (t) dengan g(NO3) atau prosesprosesnya. Variabel yang lain diselesaikan dengan langkah yang serupa.
79
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tegal, 26 Nopember 1986 dari pasangan Bapak Mukhidin dan Ibu Tasminah. Lulus dari SMA Negeri 39 Jakarta Timur pada tahun 2004, penulis langsung melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan HIMITEKA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan) sebagai Anggota Divisi Hubungan Luar Negeri dan Komunikasi periode 2005-2006 dan Anggota Divisi Penelitian dan Kebijakan periode 20062007. Selain itu, penulis juga aktif menjadi Asisten Praktikum pada mata kuliah Persamaan Differensial Biasa 2007-2008 dan Ekologi Laut Tropis 2007-2008. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun skripsi dengan judul
“Studi Pendahuluan Pemodelan Ekologi di Perairan Teluk Jakarta”.