PEMODELAN PASANG SURUT DI TELUK BONE
OLIVIER YONATHAN
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PEMODELAN PASANG SURUT DI TELUK BONE
Olivier Yonathan
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: PEMODELAN PASANG SURUT DI TELUK BONE adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip pada karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
Olivier Yonathan C54061443
RINGKASAN OLIVIER YONATHAN. Pemodelan Pasut di Teluk Bone. Dibimbing oleh JOHN ISKANDAR PARIWONO dan ALAN FRENDY KOROPITAN. Perairan Teluk Bone menjadi lokasi penelitian pemodelan pasang surut karena dari bentukan perairan ini yang setengah tertutup yang dikelilingi sebagian besar oleh daratan. Penelitian ini ditujukan mengkaji perambatan gelombang pasut dan pola arus residu yang terbentuk di perairan Teluk Bone. Lokasi penelitian berada di Perairan Teluk Bone, yang terletak pada koordinat 2,6o LS – 5,4o LS dan 120,1o BT - 122o BT. Model hidrodinamika yang digunakan pada penelitian ini dikembangkan oleh Chris Dallimore, Centre for Water Research (CWR) dan dinamakkan Estuary Lake Coastal Ocean Model (ELCOM). Hasil pemodelan perambatan gelombang pasut K1 terwakili secara cukup baik dengan hasil elevasi amplitudo yang kurang dari 10 cm, dan perbedaan nilai fase terbesar mencapai 58 menit, bila dibandingkan dengan komponen pasut K1 di kedua stasiun lapang milik DISHIDROS. Pada hasil pemodelan perambatan gelombang pasut M2 juga terwakili secara cukup dari hasil elevasi amplitudo yang kurang dari 10 cm dan perbedaan nilai fase terbesarnya 39 menit, dibandingkan dengan DISHIDROS. Pola perambatan gelombang komponen M2 menunjukkan pola yang teratur, yakni dari mulut teluk, bagian selatan, gelombang pasut masuk dan menyebar secara merata dari bagian timur lalu ke bagian barat Teluk Bone. Nilai amplitudo terendah berada pada bagian selatan teluk yakni sebesar 0,56 m dan nilai yang tertinggi berada pada bagian kepala teluk sebesar 0,68 m. Pola arus residu M2 paling cepat pada daerah kepala teluk dengan gradien kedalaman perairan paling besar, yakni sebesar 0,1 m/s, dan paling lambat berada di perairan dekat dengan daratan, sebesar 0,005 m/s. Pola perambatan gelombang pasut K1 menunjukkan bahwa nilai amplitudo yang paling kecil berada di paling selatan/mulut teluk dan nilainya meningkat seiring keberadaannya sampai di posisi kepala teluk/di bagian utara. Secara umum pola perambatan gelombang K1 yang dibentuk mirip dengan pola perambatan gelombang M2. Nilai amplitudo terkecil sebesar 0,313 m dan nilai amplitudo yang paling besar sebesar 0,33 m. Pola arus residu K1 paling cepat pada daerah kepala teluk dengan gradien kedalaman paling besar, yakni sebesar 0,02 m/s dan paling lambat berada di perairan dekat dengan daratan, sebesar 0,015 m/s.
© Hak
cipta milik Olivier Yonathan, tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMODELAN PASANG SURUT DI TELUK BONE
Oleh:
Olivier Yonathan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SKRIPSI
Judul
: PEMODELAN PASANG SURUT DI TELUK BONE
Nama
: Olivier Yonathan
NRP
: C54061443
Departemen
: Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. John I. Pariwono
Dr. Alan F. Koropitan, S.Pi, M.Si
NIP. 130 536 686
NIP. 19751103 199903 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Lulus : 11 April 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas bimbingan rahmat dan karunia-Nya skripsi mengenai “Pemodelan Pasut di Teluk Bone” dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca untuk perbaikan di masa mendatang. Terakhir penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua, ayah dan ibu, dan kakak perempuan saya yang telah mendukung dalam hal mental dan materi. 2. Dr. I Wayan Nurjaya selaku Pembimbing Akademik penulis selama menyelesaikan masa studi di Departemen ITK. 3. Dr. John Iskandar Pariwono dan Dr. Alan Frendy Koropitan yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi. 4. Prof. Dr. Mulia Purba atas pinjaman pustaka, kesediaannya menampung penulis di Laboratorium Osenografi Data Procesing selama menyelesaikan skripsi, memberikan kritik saran serta pola pikir yang baru, dan juga menjadi penguji tamu pada saat sidang. 5. M. Tri Hartanto, Santoso, Erwin Maulana, A. Adisaputra, Acta Withamana, Pramudyo Dipo, Krisdiantoro, Eko Effendi, dan anggota lab Data Processing atas tutorial, masukan, diskusi dan pertolongannya selama ini dan Adriani S. atas bantuannya dalam memberikan pandangan dan masukan dalam skripsi 6. Seluruh teman dan warga ITK secara umum dan angkatan 43 secara khusus, terima kasih atas pertemanan dan rasa kekeluargaannya yang telah dijalin selama ini. 7. Para asisten matakuliah yang pernah memberikan ilmu dan waktunya dalam mengajar di matakuliah yang pernah saya ambil dan terlebih lagi Rekanrekan asisten berbagai matakuliah (Oseanografi Umum, Selam Ilmiah, Biologi Laut, Oseanografi Kimia, Ekologi Laut Tropis dan Oseanografi Terapan) yang pernah bekerja sama. 8. Semua orang yang telah membantu saya pada tahapan hidup saya sebelumnya dari instansi manapun, karena saya tidak akan bisa sampai di tahap ini tanpa melalui tahap-tahap sebelumnya. i
9. Terakhir, saya ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang belum disebutkan satu persatu disini. Terima kasih dan Tuhan memberkati kita semua.
Bogor, Juni 2012
Olivier Yonathan
ii
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................. ii DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... v 1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2. Tujuan ............................................................................................. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone ....................................... 4 2.2. Pasang Surut ................................................................................... 8 2.2.1. Perambatan gelombang pasut ................................................. 8 2.2.2. Arus pasut dan arus residu ....................................................... 11 2.3. Persamaan Hidrodinamika 2 Dimensi .............................................. 14 3. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 16 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 16 3.2. Solusi Numerik dan Asumsi Model Hidrodinamika 2 Dimensi .......... 17 3.3. Desain Model Hidrodinamika ........................................................... 18 3.3.1. Syarat batas terbuka .................................................................. 20 3.3.2. Syarat batas tertutup .................................................................. 21 3.4. Analisis Komponen Pasang Surut (Least Square Methods) ............. 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 24 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan Data DISHIDROS ..................... 24 4.2. Komponen Pasut M2 ....................................................................... 28 4.2.1. Perilaku rambatan gelombang pasut ........................................ 28 4.2.2. Pola Arus Residu M2 ................................................................ 32 4.3. Komponen Pasut K1......................................................................... 34 4.3.1. Perilaku rambatan gelombang pasut ........................................ 34 4.3.2. Pola Arus Residu K1 ................................................................ 39 5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 42 5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 42 5.2. Saran ............................................................................................... 43 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44 LAMPIRAN ................................................................................................... 46 RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... 57
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Perbandingan antara data hasil model ELCOM dengan data lapang (DISHIDROS) .......................................................................................... 24
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Peta sifat-sifat pasut di Perairan ASEAN ................................................. 5 2. Amplitudo dan Beda fase dari komponen M2 .......................................... 6 3. Amplitudo dan Beda fase dari komponen K1 ........................................... 7 4. Klasifikasi Gelombang pasut sederhana................................................... 9 5. Pembentukan sirkulasi amphidromic ....................................................... 10 6. Peta Lokasi Penelitian Teluk Bone dan sekitarnya, Indonesia ................. 16 7. Skema hasil diskretisasi daerah model..................................................... 19 8. Sketsa stasiun penelitian pasang surut di Teluk Bone ............................. 21 9. Pola perambatan amplitudo komponen pasang surut M2 ........................ 29 10. Pola perambatan fase komponen pasang surut M2 ................................. 30 11. Pola perambatan arus residu komponen pasut M2 di Teluk Bone ........... 33 12. Pola perambatan amplitudo komponen pasang surut K1.......................... 36 13. Pola perambatan fase komponen pasang surut K1 ................................. 37 14. Pola perambatan arus residu komponen pasut K1 di Teluk Bone ............ 40
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS .................................................. 46 2. Perhitungan nilai bilangan formzahl ......................................................... 47 3. Diagram alir penelitian secara singkat ..................................................... 48 4. Diagram alir penelitian secara lengkap .................................................... 49 5. Penjelasan Simulasi Pasut M2 pada 4 kondisi muka air laut ................... 50 6. Penjelasan Simulasi Pasut K1 pada 4 kondisi muka air laut .................... 54
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinamika oseanografi merupakan salah satu pengetahuan mengenai mekanisme yang terjadi saat laut bergerak, bukan hanya yang terjadi pada lapisan permukaan saja tetapi juga lapisan pertengahan, bahkan hingga ke dasar apabila ada proses pengadukan yang kuat dan kedalaman perairan yang mendukung (Pariwono et al., 2005). Indonesia, negara dengan luas laut yang lebih besar dibandingkan dengan daratannya, memiliki dinamika oseanografi yang kompleks di antara masing-masing pulaunya. Setiap pulau memiliki karakter yang khas karena memiliki perbedaan geomorfologi, posisi lintang, bujur, batimetri, pola angin dan pengaruh lainnya. Pemodelan merupakan metode matematika yang digunakan untuk mencari solusi dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pendekatan atau asumsi tertentu. Pendekatan tersebut dibangun sedemikain rupa untuk mendekati kondisi nyata, berdasarkan variabel yang didefinisikan sebagai komponen-komponen kejadian tertentu. Semakin banyak variabel yang didefinisikan, maka suatu model akan semakin mendekati kondisi yang sebenarnya namun akan semakin sulit untuk mencapai solusi pada saat proses memecahkan masalah. Untuk memperlancar proses ditetapkanlah sejumlah asumsi, sehingga tidak terlalu banyak variabel yang didefinisikan dan model yang dihasilkan mendekati kondisi sebenarnya. Pasang surut (pasut) merupakan salah satu fenomena yang terjadi di bagian permukaan bumi (meliputi atmosfer, hidrosfer dan litosfer) (Ingmanson, 1985). Gelombang pasut merambat di laut, dengan periode penjalaran yang cukup panjang dan bergerak dari daerah sekitar ke daerah pusat yang memiliki energi gelombang yang cukup rendah dibanding di perairan sekitarnya. Pasut 1
2 dapat merambat dalam jarak mencapai dari puluhan hingga ratusan km dalam sekali rambatannya. Pemodelan pasang surut yang menjadi topik penelitian dibuat pada daerah perairan Teluk Bone dengan waktu simulasi yang digunakan selama satu bulan. Data pasut yang digunakan sebagai data bandingan lapangan berasal dari Buku Peramalan Pasut DISHIDROS tahun 2010 dan data masukan model yang digunakan pada model ini berasal dari NAO Tide. Kombinasi ini dapat memberikan gambaran mengenai dampak yang diberikan oleh pasut terhadap distribusi materi yang terjadi di perairan (Koropitan, 2007). Pemodelan pasang surut hidrodinamika 2 dimensi dilakukan dengan tidak memperhitungkan perubahan nilai tekanan di setiap kedalaman, atau dengan kata lain secara matematis pemodelan ini dilakukan hanya dilakukan di sumbu x dan y tetapi tidak pada sumbu z. Perairan Teluk Bone menjadi lokasi penelitian pemodelan pasang surut karena penelitian mengenai pola yang terbentuk dari penjalaran pasut dengan menggunakan grid tertentu dan fokus hanya pada teluk ini masih cukup jarang. Selain itu bentuk perairan setengah tertutup yang dikelilingi sebagian besar oleh daratan (Bagian Utara oleh Sulawesi Tengah, Bagian Barat oleh Sulawesi Selatan, dan Bagian Timur oleh Sulawesi Tenggara), dan batimetri perairan ini, yang dangkal pada daerah pesisir namun semakin dalam pada bagian tengah, hingga mencapai dua ribu meter, menjadi permasalahan tersendiri dalam memodelkan pola penjalaran gelombang pasut yang terbentuk.
3
1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji perambatan gelombang pasut dan pola arus residu yang terbentuk di perairan Teluk Bone.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah Timur, dan sebelah Selatan dengan Laut Banda. Kedalaman perarian di daerah pesisir mulai dari lima hingga puluhan meter, agak ke tengah maka kedalaman langsung bertambah dari ratusan meter hingga ribuan meter. Pada bagian tengah perairan kedalaman mencapai 2420 meter. Menurut Pariwono (1987), tipe pasang surut yang terbentuk pada Perairan Timur Indonesia (Gambar 1), memiliki tipe pasang surut campuran dominan ganda. Hal ini disebabkan oleh penjalaran gelombang pasang surut yang mendominasi dari Samudera Pasifik yang masuk ke Perairan Indonesia dari bagian Timur di sebelah Utara yakni melalui perairan Selat Makasar, Laut Sulawesi, dan Laut Arafura. Gelombang pasang surut antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik memilki selisih waktu 5 jam pada konstanta ganda (semidiurnal constituents) dan selisih 4 jam pada konstanta tunggal (diurnal consitutents) (Hatamaya, 1996). Sistem pasut di kedua samudera ini berinteraksi dengan perairan nusantara. Topografi dasar perairan juga menyebabkan kondisi pasut di Indonesia semakin kompleks (Pariwono,1987). Secara umum pergerakan arus di Teluk Bone pada kondisi pasang purnama semakin ke arah tengah perairan arus begerak lebih cepat sedangkan pada bagian pesisir arus yang terbentuk bergerak dengan kecepatan yang lebih lambat.
4
5
Sumber : Pariwono (1985) Gambar 1. Peta tipe pasut di Perairan ASEAN Hal ini diakibatkan arus yang terbentuk lebih banyak mengalami rintangan pada daerah pesisir diakibatkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain batimetri dan kegiatan manusia (pembangunan pelabuhan) di daerah pesisir. Pembangunan pelabuhan mempengaruhi arus pasut yang terbentuk dari pembangunan breakwater, sehingga hal ini akan menyebabkan penumpukan sedimen dan perubahan kedalaman dalam jangka panjang (BRKP, 2004). Kondisi pasang surut di daerah Teluk Bone dari Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa komponen M2 memberikan pengaruh lebih dibandingkan dengan komponen K1. Komponen M2 memiliki kisaran amplitudo 50-60 cm
4
Sumber: Egbert dan Erofeeva, 2002 Gambar 2. Amplitudo (kiri) dan Beda fase Greenwich (kanan) dari komponen M2 berdasarkan asimilasi data 10 tahun satelit altimetry dari Topex/Poseidon menjadi model hidrodinamika. Kontur beda fase sebesar 30o sebanding dengan 1 jam waktu bulan
6
5
Sumber: Egbert dan Erofeeva, 2002 Gambar 3. Amplitudo (kiri) dan Beda fase Greenwich (kanan) dari komponen K1 berdasarkan asimilasi data 10 tahun satelit altimetry dari Topex/Poseidon menjadi model hidrodinamika. Kontur beda fase sebesar 30o sebanding dengan 2 jam waktu sidereals
7
8 dengan kisaran nilai fase sebesar 90o -120o. Sedangkan untuk komponen K1, kisaran nilai amplitudonya sebesar 30-35 cm dengan kisaran nilai fase sebesar 180o. Gelombang pasut yang menjalar masuk ke dalam Teluk Bone berasal dari gelombang pasut yang menjalar melalui Laut Flores dan Laut Banda. Kedua laut ini memiliki batimetri yang dalam sehingga pasut dengan amplitudo yang tinggi secara simultan akan melewati kedua laut ini. Di Perairan Timur Indonesia memiliki karakteristik bahwa pasut ganda berperan lebih besar karena adanya pertemuan penjalaran gelombang dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sedangkan komponen pasut diurnal lebih mendominasi di Perairan Indonesia bagian Barat seperti di Laut Jawa dan Laut Cina Selatan (Ray, 2005).
2.2. Pasang Surut 2.2.1. Perambatan gelombang pasut Gelombang pasut menjalar pada samudera di bumi sebagai gelombang panjang yang bersifat progresif, yang dapat termodifikasi oleh refleksi (pantulan) balik, gaya Coriolis dan friksi. Gaya-gaya dan gelombang ini yang paling memberikan pengaruh terhadap kehidupan di daerah pesisir, dari semua gelombang panjang yang ada di samudera. Gelombang pasang surut dibentuk dari gaya gravitasi yang terbentuk dari posisi matahari dan bulan serta gayagaya lainnya yang mempengaruhi gelombang ini. Periode dari semua gaya yang bekerja pada gelombang ini harus diketahui untuk dapat memahami fenomena pasang surut yang terjadi. Beberapa hal tersebut yang menyebabkan gelombang pasang surut memerlukan perlakuan yang istimewa daripada gelombang lainnya (Dietrich, 1963).
HW
HW
HW
LW DIURNAL (jarang) (a)
LHW
24 h
24 h 0
9
HHW
0
LW LW SEMI-DIURNAL (equal) (cth: Atlantic) (b)
HLW 24 h 0
LLW SEMI-DIURNAL (unequal) (cth: Pasific) (c)
Sumber: Modifikasi dari Pond dan Pickard (1983) Gambar 4. Klasifikasi Gelombang pasut sederhana: (a) diurnal, (b) semi-diurnal (equal), (c) semi-diurnal (unequal). HW = high water, LW = low water, HHW = higher high water, LLW = lower low water, LHW = lower high water, HLW = higher low water Penjalaran gelombang pasut di bagian pesisir, secara sederhana dibedakan atas konstanta pasut tunggal dan ganda yang disebabkan oleh gaya pembangkit pasut yang bekerja. Pada Gambar 4, untuk pasut tunggal terdapat satu puncak dan satu lembah di setiap satu hari periode bulan (24.8 jam), sementara untuk pasut ganda terdapat dua pasang dan dua lembah dalam selang waktu interval yang sama. Untuk pasut ganda, di beberapa daerah akan memiliki nilai pasang tertinggi yang sama dan nilai surut terendah yang juga sama, sehingga disebut juga pasang ganda equal. Di beberapa daerah lainnya pasang tertinggi tidak selalu memiliki nilai yang sama begitu pula nilai surut terendah, sehingga disebut juga pasut ganda unequal. Pada waktu neap tide, di beberapa lokasi pasut campuran dominan ganda berubah menjadi pasut tunggal dalam waktu yang singkat di setiap bulannya (Pond dan Pickard, 1983). Gambar 5 menunjukkan pola pembentukan sirkulasi amphidromic yang terjadi di lautan pada Belahan Bumi Utara (BBU). Titik amphidromic adalah posisi atau daerah basin di lautan, yang memiliki pengaruh pasut paling kecil, dimana puncak dari gelombang pasut berotasi melewati satu siklus pasut.
8
Pasang tinggi Pasut Naik
Pasut turun
Pasut Naik Pasut turun Surut rendah
Pasang tinggi
AP = Titik Amphidromic
Pasang tinggi
Surut rendah
Puncak dari gelombang pasut masuk ke dalam basin dan dibelokkan ke kanan (BBU) akibat gaya coriolis
Sumber: Modifikasi dari Garrison (2006) Gambar 5. Pembentukan Sirkulasi Amphidromic. (a) Satu puncak gelombang pasut masut ke dalam basin samudera pada BBU. (b) Gelombang yang terbentuk bergerak ke arah kanan dikarenakan efek gaya Coriolis, menyebabkan pasang tinggi pada daerah basin di pesisir bagian Timur. (c) Gelombang tidak dapat bergerak terus ke arah kanan yang disebabkan adanya daratan, sehingga puncak gelombang bergerak ke arah Utara, mengikuti garis pantai dan menyebabkan pasang tinggi pada daerah basin di pesisir bagian Utara. (d) Gelombang bergerak secara terus menerus dalam sebuah basin berlawanan arah jarum jam, membentuk pasang tinggi pada pesisir bagian barat dan melengkapi siklus tertutupnya. 10
11 Akibat dari bentuk dan posisi dari daratan di sekitar basin samudera, puncak dan lembah pasut saling menghilangkan pada titik ini. Gelombang pasut yang dipengaruhi oleh gaya Coriolis dikarenakan volume yang cukup besar dari pergerakan air laut dengan gelombang pasut. Gelombang pasut bergerak berlawanan arah dengan jarum jam di sekitar titik amphidromic pada BBU dan searah dengan jarum jam pada BBS. Amplitudo pasut semakin besar apabila semakin jauh dengan titik amphidromic (Garrison, 2006). 2.2.2. Arus pasut dan arus residu Arus pasut adalah pergerakan air secara horizontal yang disebabkan oleh pasang surut akan tetapi, antara arus pasut dengan pasut tidak selalu memiliki hubungan yang dapat dikaitkan satu dengan yang lainnya. Terkadang di beberapa pesisir perairan tidak memiliki arus pasut, dan yang lainnya memiliki arus pasut tetapi tidak ada pasut (Gross, 1990). Arus pasut terjadi pada daerah perairan yang umumnya semi tertutup (Ali, 1994). Arus pasut memiliki fenomena yang lebih rumit dibandingkan dengan gelombang pasang surut karena arus pasut secara umum mewakili proses yang dua dimensi, sedangkan gelombang pasut hanya mewakili proses yang satu dimensi. Proses dua dimensi dari arus pasut yang merambat di suatu wilayah, mewakili pergerakan arus terhadap luasan perairan dan waktu. Hanya dalam kasus-kasus tertentu arus pasut dapat bersifat satu dimensi, contohnya pada sungai (Dietrich,1963). Daerah lautan terbuka arus pasut bersifat lebih rumit. Posisi relatif terhadap titik amphidromic , bentuk dari basin, dan magnitude dari gaya gravitasi dan inertia, semua hal tersebut harus diperhitungkan dalam perhitungan kecepatan dan arah dari arus pasut dibandingkan faktor kedalaman dasar laut.
12 Kecepatan arus pasut pada lautan terbuka diukur dalam sentimeter per detik dan umumnya kecepatannya berkurang seiring dengan semakin dalamnya perairan (Garrison, 2006). Salah satu arus pasut yang terkenal adalah arus pasut yang bolak-balik. Hal ini umumnya terjadi di daerah pelabuhan. Bila gelombang pasut datang dan masuk ke dalam pelabuhan maka akan terjadi kenaikan muka air laut di pelabuhan, hal ini disebut flood current. Sewaktu gelombang air bergerak kembali pergi keluar dari pelabuhan maka akan terjadi penyusutan tinggi muka air laut yang disebut ebb current. Ketika arus berganti arah maka akan menimbulkan waktu dimana ketika tidak terjadi arus sama sekali di perairan, dinamakan slack water (Gross, 1990). Arus pasut dapat dipengaruhi oleh runoff dari sungai dan angin. Masukan dari sungai dapat juga memperbesar arus pasut yang terjadi. Misal ketika terjadi ebb current, maka masukan dari sungai ini dapat memperbesar dan mempercepat pergerakan massa air meninggalkan pesisir (Gross, 1990). Kekuatan dari arus pasut ini bergantung dari volume air yang dibawanya dan bukaan mulut dari suatu perairan yang semi tertutup. Ada beberapa hal yang tidak mungkin dilakukan antara lain ialah memperkirakan besarnya kekuatan dari arus pasut ini, namun dapat dilihat dari besarnya tidal range yang ada. Semakin besar tunggang pasut yang terjadi maka arus pasut yang terbentuk akan semakin lemah dan begitu pula sebaliknya. Pada saat pasang purnama memiliki arus pasut yang lebih kuat dibanding pada saat pasang perbani. Secara umum, arus pasut merupakan arus berkekuatan besar di daerah pesisir (Gross, 1990).
13 Arus residu memiliki pengertian sebagai besar nilai arus yang diamati dikurang dengan besar nilai arus pasut astronomi (Spring, 2000). Arus residu memiliki peranan penting dalam pemindahan material di estuari dan penting dalam proses biologi-kimia dalam perairan (Manda, 2010). Pemodelan arus residu yang dihasilkan tidak memiliki validasi data terhadap kondisi yang terjadi di lapangan, sehingga pola arus yang terbentuk masih harus dikaji ulang terhadap pengukuran arus dari data lapang. Pengukuran arus residu secara observasi di lapangan cukup sulit dilakukan di perairan yang memiliki arus pasut. Arus residu umumnya ditemukan pada daerah perairan pesisir (Guo, 2004). Pemodelan arus residu disimulasikan selama 30 hari dan yang ditampilkan menjadi pola arusnya hanya satu siklus M2 saja, diintegrasikan selama 12,4 jam terakhir. Dan untuk Pemodelan arus residu K1 yang ditampilkan menjadi pola arusnya hanya satu siklus K1 saja, diintegrasikan selama 24 jam terakhir. Pengintegrasian nilai kecepatan arus residu (u dan v) untuk komponen pasut M2 dan K1 mengikuti persamaan (Hearn, 2008):
dimana: adalah nilai pengintegrasian komponen u selama satu siklus komponen pasut M2 dan K1. adalah nilai pengintegrasian komponen v selama satu siklus komponen pasut M2 dan K1. T adalah waktu (dalam jam) yang diperlukan komponen pasut M2 dan K1 untuk berosilasi selama 1 siklus. u dan v adalah komponen arus residu yang dihitung.
14
2.3. Persamaan Hidrodinamika ELCOM Persamaan transpor elcom berdasarkan persamaan Reynolds - rerata Navier-Stokes (RANS) dan transpor scalar yang tidak stabil menggunakan Boussinesq dan menolak kondisi tekanan non-hidrostatik. Persamaan RANS yang tak stabil dibentuk dari menapis persamaan Navier-Stokes yang tak stabil dalam sebuah periode waktu yang relative cukup panjang dalam skala proses sub-grid, tetapi relative lebih kecil dibanding proses skala grid dalam area penelitian. Dalam metode numerik RANS yang tidak stabil, skala waktu yang digunakan untuk merata-ratakan adalah langkah waktu yang digunakan dalam kemajuan di persamaan-persamaan evolusi. Sehingga, langkah waktu maksimum yang diberikan dari setiap resolusi grid secara mendasar dibatasi oleh ukuran fisik dari grid , tanpa memperhatikan metode numerik (Hodges dan Dallimore, 2009). Berikut ini adalah Ringkasan dari Persamaan Hidrodinamika yang digunakan dalam ELCOM Transport momentum
.................................................................. (1)
Kontinuitas ......................................................................................................... (2)
Kondisi batas momentum – kondisi free surface ......................................................................................................... (3)
15 Kondisi batas momentum – bagian dasar dan samping .......................................................................................................... (4)
Transport skalar .......... (5)
Kondisi batas skalar ......................................................................................................... (6)
Evolusi free-surface .................................................................................... (7)
Free-Surface wind shear .................................................................. (8)
Masukan momentum dari angin ................................................................................................... (9)
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Bone, Perairan Sulawesi dan sekitarnya, Indonesia (Gambar 6).
Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian Teluk Bone, Indonesia
16
17 Lokasi penelitian berada di perairan di antara tiga provinsi yakni propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan bagian Selatan berbatasan dengan Laut Banda. Lama waktu penelitian dari Oktober 2010 – Januari 2012.
3.2. Asumsi Model Hidrodinamika ELCOM Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model hidrodinamika ELCOM 2 dimensi antara lain:
Tekanan atmosfer di permukaan (Pa) memiliki nilai yang konstan (Pond dan Pickard,1983).
Tidak ada sumber (source) dan kebocoran (sink) air laut yang terjadi di dalam area, yakni evaporasi (penguapan) dan presipitasi (curah hujan) diabaikan, dan dasar laut dianggap kedap sehingga tidak terjadi penyerapan air di dasar laut (Bishop, 1984).
Batas tertutup tidak bergeser dengan naik turunnya permukaan laut (Bishop, 1984).
Nilai dari kecepatan arus dianggap sama dari permukaan hingga dasar perairan, pengaruh dari tekanan di setiap lapisan kedalaman pada perairan diabaikan (kondisi barotropik) (Pond dan Pickard,1983).
Numerical Filtering untuk suku-suku linier, yaitu untuk menghilangkan solusi numerik yang keliru, yakni ketidakstabilan numerik akibat munculnya gelombang pendek dengan panjang gelombang mencapai dua kali lebar grid. Ketidakstabilan ini umumnya disebabkan oleh garis pantai yang berlekuk, gradien dasar perairan, yang merupakan faktor non linier (Ramming dan Kowalik, 1980).
18
3.3. Desain Model Hidrodinamika Daerah model Perairan Teluk Bone merupakan model perairan semi tertutup, berbentuk persegi panjang, yang memanjang dari Utara ke Selatan, dengan luas ± 1.400 km2 yaitu pada posisi 2,6°- 5,4° LS dan 120°-122° BT. Batas terbuka bagian Timur dimulai dari daratan bagian Timur Pulau Sulawesi sampai Pulau Kabaena di bujur 122°, batas terbuka bagian Selatan adalah bagian mulut Teluk Bone pada posisi 5,4° LS. Batas tertutup dari model ini adalah sepanjang pantai perairan Teluk Bone atau daratan Pulau Sulawesi. Perairan Teluk Bone memiliki dasar perairan yang rumit. Hal ini disebabkan kedalaman di sepanjang garis pantai relatif dangkal dan semakin dalam pada bagian tengah hingga mulut teluk, yang mencapai 2400 meter. Kedalaman pada perairan dangkal dibatasi oleh kedalaman 200 meter yang digambarkan pada Gambar 6. Daerah model dibagi menjadi 125 x 94 sel yang berbentuk matriks dengan lebar (grid) sel Δx = Δy = 2000 m. Skema hasil diskretisasi daerah model dapat dilihat pada Gambar 7. Perhitungan terhadap komponen gesekan dasar harus memperhatikan perubahan nilai koefisien gesekan dasar terhadap perubahan kedalaman dan jenis material dasar laut. Nilai koefisien gesekan dasar diasumsikan tetap sebesar 0.003 pada penelitian ini, sehingga nilai ini merupakan nilai yang umum digunakan dalam perhitungan komputasi. Tidak ada nilai langkah waktu (Δt) yang memenuhi kriteria stabilitas Courant-Frederich-Lewy (CFL), yang digunakan pada model ELCOM selama dalam kondisi barotropik. Hal ini disebabkan karena persamaan semi-implisit yang digunakan dalam komputasinya sehingga model akan tetap mengeluarkan hasil dengan nilai langkah waktu tertentu. Hal ini akan berbeda bila
19 menggunakan kondisi baroklinik, akan ada beberapa persamaan yang harus dihitung untuk menghasilkan nilai langkah waktu yang optimal. Proses simulasi model pasang surut dimulai dengan mempersiapkan data batimetri dan data elevasi muka air laut di daerah batas terbuka yang telah diinterpolasi sebagai data masukan yang disimpan dalam bentuk text (tab delimited) yang akan dihitung pada saat simulasi berlangsung. Data akan disimulasikan pada setiap sel yang terdiri dari 125x94 sel matriks. Proses perhitungan saat mulai simulasi merupakan proses iterasi setiap 1 menit, yang hasil perhitungan sebelumnya akan menjadi data masukan pada perhitungan
Gambar 7. Skema hasil diskretisasi daerah model
20 selanjutnya. Proses simulasi akan berhenti sampai mencapai batas waktu yang telah ditentukan (30 hari). Untuk mengontrol perhitungan di sel tertentu, seperti daratan (kedalaman nol), maka dalam algortima komputasi dibuat suatu prosedur, sehingga proses perhitungan hanya terjadi di perairan saja atau sel yang mempunyai kedalaman di atas nol. Data perbandingan yang diasumsikan sebagai data kondisi lapang yang sebenarnya berasal dari Buku Peramalan Pasang Surut tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro Oseanografi (DISHIDROS) TNI – AL. Stasiun pasang surut yang diambil sebagai perbandingan adalah Stasiun Pasut Tanjung Mangkasa dan Stasiun Pasut Kolaka. Data kedalaman perairan (batimetri) Perairan Teluk Bone dan sekitarnya diperoleh dari digitasi peta Batimetri DISHIDROS TNI – AL peta no 54, wilayah Sulawesi dan Pantai Tenggara (bagian Utara) tahun 1988, peta no 55, wilayah Sulawesi dan Pantai Tenggara (bagian Selatan) tahun 1993. 3.3.1. Syarat batas terbuka Batas terbuka dari model simulasi ini adalah perairan terbuka yang memiliki perubahan velositas terhadap arah aliran diasumsikan sangat kecil untuk arah sumbu x dan y, sehingga berlaku open_cell pada model ELCOM. Perintah ini digunakan apabila pada batas terbuka nilai arus dan elevasi yang terbentuk akan diteruskan dan bukan menjadi menumpuk pada daerah ini. Syarat batas ini baik digunakan bila kedalaman perairan di daerah batas terbuka cukup dalam, sehingga nilai gradien kecepatannya cukup kecil. Syarat batas terbuka diberlakukan di bagian Selatan Perairan Teluk Bone yang mempunyai dasar perairan rata-rata mencapai 2000 meter.
21
Gambar 8. Sketsa stasiun penelitian pasang surut di Teluk Bone Nilai dari batas terbuka didapat dari model NAO Tide, dengan memasukkan total nilai elevasi komponen pasang surut yang terdapat pada daerah batas terbuka. Bagian Selatan batas terbuka dibagi menjadi lima daerah yang mempunyai nilai elevasi tertentu berdasarkan posisi bujur (Gambar 8). 3.3.2. Syarat batas tertutup Batas tertutup yang digunakan pada model simulasi program ini adalah garis pantai yang tidak memungkinkan air laut melewatinya. Bila batas tertutup
22 sejajar sumbu x maka nilai komponen kecepatan pada sumbu y sama dengan nol (V=0) dan bila batas tertutup sejajar sumbu y maka nilai komponen kecepata pada sumbu x sama dengan nol (U=0). Nilai dari elevasi dari muka air laut dilakukan sesuai dengan persamaan numeriknya.
3.4. Analisis Komponen Pasut (Least Square Methods) Analisis komponen pasang surut dilakukan untuk mendapatkan nilai fase dan amplitudo di setiap grid dari komponen pasut M2 dan K1 yang berasal dari nilai elevasi permukaan laut. Analisis harmonik dibentuk dari demodulasi sinyal yang memiliki frekuensi spesifik yang telah diperiksa dan diaplikasikan dengan metode least-square untuk mencari nilai konstituennya. Analisis harmonik pada awalnya didisain untuk menganalisis variabilitas pasut tetapi justru dapat diaplikasikan untuk menganalisis periode tahunan dan tengah tahunan atau osilasi tertutup yang dikenal lainnya (Emery dan Thomson, 1998). Nilai dari variabel
diperoleh melalui beberapa tahap dengan
menggunakan persamaan Emery dan Thomson (1997) :
dengan
.
23 Penghitungan di atas menghasilkan matriks
. Elemen matriks
diperoleh melalui persamaan :
Elemen matriks
dan
dihitung menggunakan metode Ghausian,
sehingga diperoleh matriks . Hasil matriks
dimasukkan dalam tabel koefisien
amplitude dan fase K1 dan M2, sehingga diperoleh nilai
dan
dengan
= 0,
1, 2. Setelah itu, nilai fitting data dihitung dengan persamaan :
dengan
adalah residu time series.
bentuk grafik bersama dengan nilai
Hasil
divisualisasikan dalam
. Dimana :
adalah rata-rata dari nilai data dan
adalah koefisien fourier adalah perkalian integer dari frekuensi fundamental
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan di antara komponen pasang surut lainnya. Komponen pasut M2 mewakili komponen pasang surut ganda dan begitu juga dengan komponen pasut K1 yang mewakili komponen pasang surut tunggal yang mempengaruhi di perairan. Komponen M2 dan K1 disebut demikian karena nilai dari periode harian komponen pasut M2 sebesar 12,42 jam sedangkan untuk komponen pasut K1 sebesar 23,93 jam. Perairan Teluk Bone memiliki tipe pasut campuran dominan ganda. Hal ini didapat dari perhitungan nilai bilangan Formzahl yang didapat dari pembagian jumlah amplitudo dari komponen tunggal dibagi komponen ganda pasut (Lampiran 2). Data ampitudo pasang surut didapat dari data peramalan gelombang pasut DISHIDROS. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan perbandingan data hasil olahan model ELCOM dengan data lapang. Data lapang diperoleh dari Buku Peramalan Pasang Surut Tahun 2010 yang dilakukan oleh DISHIDROS. Tabel 1. Perbandingan antara data hasil model dengan data lapang (DISHIDROS) Stasiun Pasut
Komponen Pasut K1
Tanjung Mangkasa M2 K1 Kolaka M2
DISHIDROS
Model
Δ
Elevasi (cm) Pha-Ø ( 0 ) Elevasi (cm) Pha-Ø ( 0 ) Elevasi (cm)
33 180,67 60 108,75 34
32,9 0,1 195,29 -14,62 68 -8 90 18,75 31,8 2,2
Pha-Ø ( 0 )
182,67
195,34 -12,67
Elevasi (cm) 0
Pha-Ø ( ) 24
55
59,2
-4,2
108,75
89,86
18,89
25 Kedua stasiun pasut yang dimiliki DISHIDROS dianggap sebagai data pembanding dari lapang. Hal ini dilakukan karena pada penelitian tidak dilakukan pengukuran pasut secara langsung dan peramalan data pasut yang dilakukan oleh DISHIDROS memiliki keakuratan yang cukup tinggi. DISHIDROS melakukan pengukuran data lapang pada sepanjang tahun. Data hasil pengukuran ini akan digunakan untuk memverifikasi hasil peramalan sebelumnya dan digunakan untuk meramalkan data pasut untuk tahun berikutnya. Stasiun Pasut Tanjung Mangkasa terletak pada posisi 2°44'17,59" LS 121°04'06,22" BT atau secara umum terletak di kepala Teluk Bone (Gambar 9). Nilai amplitudo komponen pasut K1 yang didapat dari stasiun pengukuran sebesar 33 cm dan dari model pada area yang sama sebesar 32,9 cm. Model memiliki nilai amplitudo yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai amplitudo dari stasiun pengamatan. Selisih antara kedua nilai amplitudo sebesar 0,1 cm, nilai ini menunjukkan bahwa hasil amplitudo dari model dengan amplitudo dari data lapang nilainya amat sangat dekat. Nilai fase (phase) K1 di stasiun pengamatan Tanjung Mangkasa sebesar 180,670 dan dari model sebesar 195,290. Nilai fase dari model jauh lebih besar dari nilai fase stasiun pengamatan dan memiliki selisih sebesar -14,620. Nilai fase komponen pasut menunjukkan bahwa waktu yang ditempuh gelombang pasut untuk merambat ke daerah perairan tersebut. Selisih waktu yang ditunjukkan dari komponen K1 antara model dan stasiun pengamatan sebesar 58 menit 19,21 detik. Gelombang pasut K1 dari model memiliki waktu yang lebih besar sekitar dibanding gelombang pasut dari stasiun pengamatan DISHIDROS. Nilai amplitudo dari komponen pasut M2 di stasiun pengamatan Tanjung Mangkasa DISHIDROS sebesar 60 cm dan dari model di area yang sama
26 sebesar 68 cm. Model memiliki nilai amplitudo yang lebih besar 8 cm dibandingkan dengan nilai amplitudo dari stasiun pengamatan. Selisih nilai yang cukup kecil ini (< 10 cm) menunjukkan bahwa model cukup baik untuk digunakan pada perambatan amplitudo M2 di area penelitian. Nilai fase dari dari komponen M2 di stasiun pengamatan Tanjung Mangkasa DISHIDROS sebesar 108,750 dan dari model sebesar 900. Model memiliki nilai fase yang yang lebih kecil sekitar 18,750 dibandingkan dengan DISHIDROS. Gelombang pasut M2 DISHIDROS memiliki fase yang lebih besar sekitar dibandingkan gelombang pasut M2 model di stasiun pasut Tanjung Mangkasa. Stasiun Pasut Kolaka terletak pada posisi 4°3'6.65" LS 121°34'54.5" BT atau secara umum stasiun pasut ini terletak lebih ke arah luar/selatan Perairan Teluk Bone (Gambar 9). Nilai amplitudo komponen pasut K1 yang didapat dari stasiun pengukuran sebesar 34 cm dan dari model pada area yang sama sebesar 31,8 cm. Model memiliki nilai amplitudo yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai amplitudo dari stasiun pengamatan. Selisih antara nilai amplitudo DISHIDROS dengan model sebesar 2,2 cm. Selisih kedua nilai amplitudo komponen pasut yang kurang dari 10 cm ini, menunjukkan bahwa model memiliki perbedaan nilai ampllitudo yang cukup kecil dengan data lapang. Nilai fase dari dari komponen K1 di stasiun pengamatan Kolaka DISHIDROS sebesar 182,670 dan dari model sebesar 195,340. Model memiliki nilai fase K1 yang yang lebih besar dibandingkan dengan DISHIDROS sekitar 12,670. Gelombang pasut K1 model memiliki fase yang lebih besar sekitar dibandingkan gelombang pasut K1 DISHIDROS.
27 Komponen pasut M2 di stasiun pasut ini, nilai amplitudo yang terbentuk antara DISHIDROS dengan model hanya memiliki selisih yang kecil yakni sekitar 4,2 cm. Nilai amplitudo dari model sebesar 59,2 cm dan dari data lapang sebesar 55 cm. Untuk nilai fase dari komponen M2 di stasiun ini, perbedaan dari model dan data lapang juga cukup kecil yakni sekitar 18,860 atau sekitar 39 menit 2,53 detik. Model memiliki fase yang lebih kecil, sebesar 89,860, dibandingkan dengan nilai fase dari data lapang, sebesar 108,750. Perambatan gelombang pasut K1 terwakili secara cukup baik dari hasil elevasi amplitudo yang kurang dari 10 cm, dan perbedaan nilai fase yang mencapai 58 menit, bila dibandingkan dengan komponen pasut K1 di kedua stasiun lapang milik DISHIDROS. Pada perambatan gelombang pasut M2 juga terwakili secara cukup dari hasil elevasi amplitudo yang kurang dari 10 cm. Meski demikian perbedaan nilai fase yang ditunjukkan masih kurang optimal karena perbedaannya untuk kedua komponen mencapai 39 menit, bila dibandingkan dengan komponen pasut M2 di kedua stasiun lapang milik DISHIDROS. Perbedaan nilai fase dan amplitudo yang terbentuk diduga disebabkan oleh nilai batimetri yang digunakan dan koefisien gesek dasar perairan, sebesar 0,025, yang menjadi masukkan pada model. Secara keseluruhan dari tabel 1 dan uraian di atas, hasil perambatan gelombang pasang surut dari model yang dianalisis lebih lanjut dengan mengeluarkan kedua nilai komponennya, M2 dan K1. Setiap nilai amplitudo dan fase dari komponen pasutnya, menunjukkan bahwa perambatan gelombang pasut komponen M2 dan K1 mewakili dengan kondisi yang sebenarnya, ditinjau dari elevasi amplitudo dan nilai fase yang dihasilkan dan dibandingkan dengan data DISHIDROS. Perbedaan amplitudo kurang dari 10 cm dan perbedaan nilai
28 fase yang mencapai: 58 menit untuk komponen K1 dan 39 menit untuk komponen M2.
4.2. Komponen Pasut M2 4.2.1. Perilaku rambatan gelombang pasut M2 Pola perambatan amplitudo komponen M2 yang digambarkan pada Gambar 9, halaman berikutnya, menunjukkan pola yang teratur, yakni dari mulut teluk, bagian selatan, amplitudo gelombang pasut masuk dan menyebar secara merata dari bagian timur lalu ke bagian barat Teluk Bone. Nilai amplitudo masuk dari nilai yang lebih rendah di bagian bawah dan meningkat semakin besar di bagian utara/dalam Teluk Bone. Nilai amplitudo terendah berada pada bagian selatan teluk yakni sebesar 0,56 m dan nilai yang tertinggi berada pada bagian dalam/utara sebesar 0,68 m. Pola perambatan amplitudo gelombang M2, menunjukkan penumpukan amplitudo gelombang di bagian kepala teluk diakibatkan nilai kedalaman perairan yang semakin dangkal di bagian kepala dan juga bentukan dari Teluk Bone yang semakin menyempit apabila semakin ke arah kepala teluk. Faktor lainnya yang menyebabkan nilai amplitudo semakin tinggi di kepala teluk adalah gelombang M2 yang menabrak daratan dipantulkan balik ke perairan. Pantulan dari gelombang yang menabrak daratan Pulau Sulawesi dilihat dari kontur amplitudo yang terbentuk semakin rapat di kepala teluk dibandingkan di bagian pertengahan dan selatan Teluk Bone. Nilai amplitudo M2 ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hatamaya (1996) yang menunjukkan bahwa nilai amplitudo M2 yang berada di bagian paling selatan Teluk Bone sekitar 50 cm. Gelombang pasut yang
29
Gambar 9. Pola perambatan amplitudo komponen pasut M2 di Teluk Bone
30
Gambar 10. Pola perambatan fase komponen pasut M2 di Teluk Bone
31 merambat masuk ke dalam Teluk Bone diduga berasal dari propagasi dari Samudera Hindia yang masuk ke dalam Perairan Indonesia melalui Celah Timor lalu kemudian belok ke arah barat masuk Laut Banda, Laut Flores dan masuk ke Laut Jawa (Hatamaya, 1996). Pola perambatan fase M2 di Teluk Bone pada bagian selatan sampai dengan pertengahan menunjukkan bahwa gelombang pasut M2 dimulai dari sebelah timur (Gambar 10). Di bagian pertengahan, perambatan gelombang pasut M2 tidak lagi dari bagian timur tetapi berpindah ke bagian barat perairan hingga dibagian utara/kepala perairan. Gelombang pasut M2 berpropagasi mengelilingi bagian utara perairan searah dengan arah jarum jam dan keluar dari bagian timur perairan masuk ke bagian tengah Teluk Bone dan keluar menuju mulut teluk melalui bagian barat perairan Teluk Bone. Perambatan gelombang pasut M2 masuk dari mulut teluk sampai ke kepala teluk membutuhkan waktu sekitar 2 menit 4,2 detik. Gelombang pasut M2 merambat masuk ke dalam teluk dengan waktu yang cukup singkat, dari mulut teluk hingga kepala teluk. Bagian tengah perairan kontur co-tidal terlihat lebih renggang kemungkinan disebabkan nilai kedalaman perairan di bagian tersebut masih tergolong perairan dalam, kurang lebih sekitar 1000-2000 meter. Semakin mendekati daerah dengan kedalaman perairan yang cukup dangkal, kontur co-tidal terlihat semakin rapat, dapat dilihat pada bagian utara dari Perairan Teluk Bone. Hal ini juga dipengaruhi dari gradien dasar perairan yang berubah-ubah, semakin besar nilai gradien dasar perairan maka kontur co-tidal yang terbentuk akan semakin rapat. Nilai fase M2 di stasiun pasut Kolaka lebih besar dibandingkan dengan stasiun pasut Tanjung Mangkasa. Hal ini menjelaskan bahwa gelombang pasut M2 merambat di bagian sebelah Timur terlebih dahulu.
32 Gelombang pasut M2 merambat masuk ke dalam mulut Teluk Bone, kemudian mengalami perubahan fase di posisi 4,4 LS dan nilainya sama sampai posisi 3,7 LS. Perubahan fase ini terjadi di bagian barat terlebih dahulu lalu diikuti di bagian timur teluk. Perubahan nilai fase menjadi lebih besar di posisi ini , dari yang sebelumnya bernilai 900 menjadi 90,20. Amplitudo gelombang pasut M2 baru mengalami perubahan di posisi 4,2 LS sampai 3,8 LS. Nilai amplitudo berubah secara bertahap dari 57- 60 cm, di fase yang sama. Perubahan nilai amplitudo, sama seperti fase, terjadi pada bagian timur terlebih dahulu kemudian disusul di bagian sebelah barat. Hal ini disebabkan daerah di bagian timur terluk jauh lebih dangkal dibanding daerah di sebelah barat, sehingga penjalaran amplitudo dan fase lebih dahulu berubah di bagian timur dibanding di sebelah barat. Bagian leher teluk, nilai amplitudo berubah secara bertahap namun tidak terlalu banyak dari 61-62 cm. Pada bagian leher teluk pun nilai fase berkurang menjadi 900. Kepala teluk memiliki nilai fase yang berbeda-beda di bagian timur, tengah dan barat. Nilai fase di bagian timur lebih besar dibanding di sebelah barat, dan di bagian pertengahan memiliki nilai fase yang paling kecil di antara ketiganya. Untuk nilai amplitudo, semakin ke arah kepala teluk nilainya semakin besar. Saat memasuki daerah kepala teluk nilai amplitudo sebesar 63 cm dan semakin meningkat menuju ke arah utara bagian kepala teluk, yakni sebesar 68 cm. 4.2.2. Pola Arus Residu M2 Selama satu siklus komponen M2 pola arus residu yang terbentuk (Gambar 11) di Perairan Teluk Bone memiliki kisaran kecepatan 0,001 – 0,05 m/s. Kecepatan arus residu M2 cukup lambat di dekat dengan daratan, diakibatkan gesekan dengan dasar perairan yang terlalu besar dan perairan dengan
33
Gambar 11. Pola perambatan arus residu di Teluk Bone pada satu siklus pasut komponen pasut M2
34 perubahan kedalaman yang bertahap. Nilai kecepatan arus residu M2 yang cukup besar terjadi apabila gradien dasar perairan berkurang secara signifikan, terlihat pada bagian kepala teluk bahwa arus residu berputar searah jarum jam dan memiliki kecepatan yang cukup besar dibandingkan pada area lainnya. Pada bagian kepala teluk, terlihat bahwa arus membentuk pusaran di daerah pertengahan. Hal ini disebabkan perubahan nilai kedalaman yang cukup signifikan, dimulai dari kedalaman ratusan meter hingga mencapai kedalaman maksimum di bagian pertengahan kepala teluk yang mencapai 2000 meter. Secara umum, pola arus residu M2 masuk dari bagian timur perairan, kemudian bergerak ke atas hingga di bagian tengah. Arus sebagian ada yang bergerak ke arah kanan, masuk menuju teluk dekat stasiun pengamatan Kolaka dan berputar berbalik arah keluar dari teluk kecil di sebelah kanan. Sebagian arus, kemudian bergerak ke arah atas lagi menuju kepala teluk namun arus berpindah dari sebelah timur bergerak ke arah barat, bersamaan dengan bergerak menuju ke arah kepala teluk. Arus residu M2 bergerak mengelilingi kepala teluk searah jarum jam, dengan kecepatan terbesar di daerah dengan kedalaman sekitar 200 meter, namun arus paling lemah di daerah dengan kedalaman sampai 1000 meter di bagian kepala teluk. Arus residu keluar dari bagian timur kepala teluk menuju bagian pertengahan dan bergerak ke arah barat perairan teluk, bersamaan dengan bergerak menuju ke arah mulut teluk. Bagian barat mulut Teluk Bone menjadi tempat keluaran arus residu M2.
4.3. Komponen K1 4.3.1. Perilaku rambatan gelombang pasut K1 Pola perambatan amplitudo gelombang pasut K1, pada Gambar 12, menunjukkan bahwa nilai amplitudo yang paling kecil berada di paling selatan/mulut teluk dan nilainya meningkat seiring keberadaannya sampai di
35 posisi kepala teluk/di bagian utara. Pola perambatan yang ditunjukkan ini bergerak secara beraturan dari arah mulut teluk, masuk dari sebelah timur terlebih dahulu kemudian menyebar ke arah barat. Secara sekilas pola perambatan amplitudo K1 yang dibentuk mirip dengan pola perambatan amplitudo M2. Nilai amplitudo terkecil sebesar 0,313 m dan nilai amplitudo yang paling besar sebesar 0,33 m. Pola perambatan amplitudo K1 ini memiliki kemiripan dengan yang terbentuk di perambatan amplitudo M2. Faktor yang menyebabkan hal ini adalah perubahan nilai kedalaman secara signifikan di bagian kepala teluk dan juga bentukan dari Teluk Bone itu sendiri. Menurut Hatamaya (1996), propagasi gelombang pasut K1 dengan nilai amplitudo yang tidak cukup besar ini, diduga berasal dari Samudera Pasifik masuk melalui daerah Timur Indonesia lalu bergerak ke arah Barat. Nilai amplitudo K1 yang bergerak di perairan Indonesia, memiliki kisaran nilai amplitudo yang tidak begitu besar antara 10–30 cm, serta perbedaan nilai amplitudonya tidak begitu besar. Perbedaan amplitudo yang terjadi di Teluk Bone hanya sebesar 0,017 m. Nilai perbedaan ini cukup jauh dengan perbedaan amplitudo M2 yang mencapai 0,12 m di perairan ini. Pola perambatan fase K1 di Perairan Teluk Bone (Gambar 13), menunjukkan bahwa kontur co-tidal yang terbentuk pada perairan semakin merapat apabila gradien kedalaman berubah secara signifikan. Dekat stasiun pasut Kolaka, nilai yang terbentuk lebih rapat dibandingkan di daerah tengah tengah perairan.Di bagian ini juga dapat terlihat bahwa gelombang pasut berpropagasi masuk dari sebelah timur kepala teluk kemudian bergerak mengelilingi seluruh bagian kepala teluk dan keluar di bagian baratnya. Fase berubah secara cukup cepat dilihat dari semakin rapatnya kontur co-tidal yang terbentuk di area bagian utara/kepala teluk. Perambatan gelombang pasut K1
36
Gambar 12. Pola perambatan amplitudo komponen pasut K1 di Teluk Bone
37
Gambar 13. Pola perambatan fase komponen pasut K1 di Teluk Bone
38 masuk dari mulut teluk sampai ke kepala teluk membutuhkan waktu sekitar 1 menit 11,8 detik. Gelombang pasut K1 merambat masuk ke dalam teluk dengan waktu yang cukup singkat, dari mulut teluk hingga kepala teluk. Perambatan gelombang pasut K1 masuk ke dalam Teluk Bone lebih cepat dibandingkan dengan perambatan gelombang pasut M2. Pola perambatan fase K1 yang dibentuk dari model memiliki selisih 12 detik antara stasiun pasut Kolaka dengan Tanjung Mangkasa. Pola perambatan pasut K1 bergerak dari stasiun Kolaka terlebih dahulu sekitar 12 detik lebih awal daripada di stasiun Tanjung Mangkasa. Hal ini diduga akibat letak stasiun pasut Kolaka yang terletetak lebih dekat dengan mulut teluk dibanding stasiun pasut Tanjung Mangkasa. Gelombang pasut K1 merambat masuk ke dalam mulut Teluk Bone, kemudian mengalami perubahan fase di posisi 3,4 LS. Perubahan fase ini terjadi pada bagian leher teluk dan di bagian timur terlebih dahulu lalu diikuti di bagian barat teluk. Pada bagian pertengahan teluk dekat dengan stasiun kolaka terdapat kontur yang membentuk lingkaran yang cukup rapat, dengan nilai fase yang berubah menjadi semakin lebih besar dibanding daerah disekitarnya. Kontur lingkaran ini diduga merupakan pusaran arus residu K1 yang terbentuk didaerah teluk. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan nilai gradien kedalaman yang terbentuk pada daerah tersebut. Amplitudo gelombang pasut M2 baru mengalami perubahan di posisi 4,2 LS sampai 3,7 LS. Nilai amplitudo berubah secara bertahap dari 31,55- 31,7 cm, difase yang sama. Perubahan nilai amplitudo terjadi pada bagian timur terlebih dahulu kemudian disusul di bagian sebelah barat. Hal ini disebabkan daerah di bagian timur terluk jauh lebih dangkal dibanding daerah di sebelah barat, sehingga penjalaran amplitudo lebih dahulu berubah di bagian timur dibanding di sebelah barat.
39 Bagian leher teluk, nilai amplitudo berubah secara bertahap namun tidak terlalu banyak dari 31,9-32,1 cm. Pada bagian leher teluk pun nilai fase bertambah menjadi 195,30. Kepala teluk memiliki nilai fase yang berbeda-beda di bagian timur, tengah dan barat. Nilai fase di bagian barat lebih besar dibanding di bagian tengah, dan di bagian timur memiliki nilai fase yang paling kecil diantara ketiganya. Untuk nilai amplitudo, semakin ke arah kepala teluk nilainya semakin besar. Saat memasuki daerah kepala teluk nilai amplitudo sebesar 32,3 cm dan semakin meningkat menuju ke arah utara bagian kepala teluk, yakni sebesar 33 cm. 4.3.2. Pemodelan Pola Arus Residu K1 Selama satu siklus komponen K1 pola arus residu yang terbentuk (Gambar 14) di Perairan Teluk Bone memiliki kisaran kecepatan 0,001 – 0,015 m/s. Kecepatan arus residu K1 cukup lambat di dekat dengan daratan, diakibatkan gesekan dengan dasar perairan yang terlalu besar dan perairan dengan perubahan kedalaman yang bertahap. Nilai kecepatan arus residu K1 yang cukup besar terjadi apabila gradien dasar perairan berkurang secara signifikan, terlihat pada bagian kepala teluk bahwa arus residu berputar searah jarum jam dan memiliki kecepatan yang cukup besar dibandingkan pada area lainnya. Pada bagian kepala teluk, terlihat bahwa arus membentuk pusaran setengah lingkaran di daerah pertengahan. Hal ini disebabkan perubahan nilai kedalaman yang cukup signifikan, dimulai dari kedalaman ratusan meter hingga mencapai kedalaman maksimum di bagian pertengahan kepala teluk yang mencapai 2000 meter.
40
Gambar 14. Pola perambatan arus residu di Teluk Bone pada satu siklus pasut komponen pasut K1
41 Secara umum, pola arus residu K1 masuk dari bagian timur perairan, kemudian bergerak ke atas hingga di bagian tengah. Arus sebagian ada yang bergerak ke arah kanan, masuk menuju teluk dekat stasiun pengamatan Kolaka dan berputar berbalik arah keluar dari teluk kecil di sebelah kanan. Arus residu K1 bergerak mengelilingi kepala teluk searah jarum jam, dengan kecepatan terbesar di daerah dengan kedalaman sekitar 200 meter, namun arus paling lemah di daerah dengan kedalaman sampai 1000 meter di bagian kepala teluk. Arus residu keluar dari bagian timur kepala teluk menuju bagian pertengahan dan bergerak ke arah barat perairan teluk, bersamaan dengan bergerak menuju ke arah mulut teluk. Bagian pertengahan mulut Teluk Bone menjadi tempat keluaran arus residu K1.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Perbedaan nilai amplitudo komponen pasut M2 dan K1 kurang dari 10 cm, dan fase, berkisar antara 39 menit untuk komponen M2 dan 58 menit untuk komponen K1, dengan menggunakan model ELCOM dibanding DISHIDROS. Pola perambatan amplitudo dari K1 dan M2 memiliki nilai amplitudo yang rendah di mulut teluk dan semakin besar ke arah kepala teluk. Perbedaan nilai amplitudo K1 di mulut dan kepala teluk terlihat lebih kecil atau berubah secara perlahan, sebesar 17 cm. Hal ini berbeda dengan nilai amplitudo M2 yang terlihat signifikan perubahannya antara di mulut dan kepala teluk, mencapai 12 cm. Perambatan gelombang pasut M2 masuk dari mulut teluk sampai ke kepala teluk membutuhkan waktu sekitar 2 menit 4,2 detik sedangkan untuk gelombang pasut K1 sekitar 1 menit 11,8 detik, berdasarkan hasil perhitungan ELCOM. Tidak dilakukan penghitungan terhadapa pola perambatan gelombang pasut yang berasal dari DISHIDROS. Pola perambatan fase M2 dan K1 membentuk kontur co-tidal yang lebih rapat di perairan dengan gradien dasar perairan yang lebih curam dibanding dengan gradien dasar perairan yang lebih landai. Perbedaan nilai fase dan amplitudo yang terbentuk diduga disebabkan oleh nilai batimetri dan koefisien gesek dasar perairan yang menjadi masukkan pada model. Pola arus residu M2 yang terbentuk sama dengan pola penjalaran gelombang komponen pasut yang terbentuk. Kecepatan arus residu paling cepat pada daerah kepala teluk dengan gradien kedalaman paling besar, yakni sebesar 0,1 m/s dan paling lambat berada di perairan dekat dengan daratan, sebesar 0,005 m/s. Untuk pola arus residu K1 yang terbentuk juga mirip dengan 42
43 pola penjalaran gelombang pasut K1. Nilai dari kecepatan arus residu berkisar antara 0,001 m/s – 0,015 m/s. Kecepatan arus residu yang dibentuk K1 lebih lambat dibandingkan kecepatan arus residu dari M2.
5.2. Saran Pengukuran elevasi muka air laut secara langsung dan arus pasut, di daerah yang paling sedikit terpengaruh akibat pantai, diperlukan dalam kelanjutan penelitian selanjutnya. Hal ini ditujukan agar mendapatkan data lapang yang sesuai dengan kondisi secara nyata. Kemudian agar dilakukan pemodelan pasut secara 3 dimensi agar hasil penelitian yang diperoleh, dapat diaplikasikan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. 1994. Pasang Surut Laut. Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). 2004. Laporan Akhir Kegiatan Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone. Kementerian Kelautan Perikanan (DKP),Jakarta. Bishop, J.M. 1984. Applied Oceanography. John Wiley & Sons, Inc., Washington DC, USA. Dietrich, G. 1963. General Oceanography. Interscience Publisher, New York, USA. Dinas Hidro Oseanografi (DISHIDROS). 2010. Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia 2010. DISHIDROS TNI AL, Jakarta, Indonesia. Dronkers, J.J. 1964. Tidal Computation in Rivers and Coastal Waters. North Holland Publishing Company, Amsterdam. Duxbury, A.B. dan A.C.Duxbury. 1993. Fundamentals of Oceanography. Wm. C. Brown Publishers, Dubuque, Iowa, USA. Egbert, G.D. dan S.Y. Erofeeva. 2002. Efficient inversemodeling of barotropic ocean tides. Journal of Atmospheric and Oceanic Technology, 19:183204. Emery, W.J. dan R.E. Thomson. 1998. Data Analysis Methods in Physical Oceanography. Pergamon, USA. Hearn, C.J. 2008. The Dynamics of Coastal Models. Cambridge University Press, USA Hodges, B. dan C. Dallimore. 2009. ELCOM v2.2 Science Manual. CWR, University of Western Australia, Australia. Garrison, T. 2006. Essentials of Oceanography, 4th edition. Thomson learning Inc., Miami, USA. Guo, X., Akira F., dan Hidetaka T. 2004. Residual Currents in a Semi-enclosed Bay of the Seto Inland Sea, Japan. Journal of Geophysical Research, 109:12,008-12,031. Gross, M.G. 1990. Oceanography: A View of the Earth, 5th edition. Prentice Hall, London, UK. Hatamaya, T., T. Awaji, K. Akitomo. 1996. Tidal Currents in the Indonesian Seas and Their Effect on Transport and Mixing. Journal of Geophysical Research, 101:12,353-12,373. 44
45 Ingmanson, D.E. dan W.J. Wallace. 1985. An Introduction to Oceanography. Wadsworth Pub Co, California, USA. Koropitan, A.F. dan M. Ikeda. 2007. Three Dimensional Modeling of Tidal Circulation and Mixing over the Java Sea. Journal of Oceanography, 64:61-80. Manda, A., A. Yamaguchi dan H. Nakata. 2010. Numerical Experiment on the Fortnight Variation of the Residual Current in the Ariake Sea. Journal of Coastal Environmental and Ecosystem Issues of the East China Sea. 1:41–48. Mihardja, D.K. dan S. Hadi. 1987. Dinamika Pasang Surut di Perairan Pantai. O.S. R. Ongkosongo dan Suyarso (Ed). Pasang Surut. Pusat Pengembangan dan Penelitian – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P3O-LIPI), Jakarta. Pariwono, J.I. 1985. Australian co-operative programmes in marine sciences : tides and Tidal phenomena in the ASEAN region. Flinders Univ. Of S. Australia, Queensland, Australia. Pariwono, J.I. 1989. Kondisi Pasang Surut di Indonesia. O.S. R. Ongkosongo dan Suyarso (Ed). Pasang Surut. Pusat Pengembangan dan Penelitian – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P3O-LIPI), Jakarta. Pariwono, J.I., A.G. Ilahude, dan M. Hutomo. 2005. Progress Oceanography of the Indonesia Seas. The Oceanography Society, 18(4):42-50. Pond, S. dan G.L. Pickard. 1983. Introductory to Dynamical Oceanography, 2nd edition.Pergamon Press Ltd, New York. Ramming, H.G. dan Kowalik Z. 1980. Numerical Modelling of Marine Hydrodynamics Applications to Dynamic Physical Processes. Elsevier Scientific Publishing Company, New York. Ray, R.D., G.D. Egbert, dan S.Y. Erofeeva. 2005. A Brief Overview of Tides in The Indonesian Seas. The Oceanography Society, 18(4):74-80. Spring, S. 2000. Tide and Current Glossary. U.S. Department of Commerce, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), USA. Stewart, R.H. 2004. Introduction to Physical Oceanography. Texas A & M University, Texas.
LAMPIRAN
46 Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS KOLAKA Posisi waktu
4°3'6.65" 121°34'54.5" GMT + 08.00
Gerakan pasut diramalkan terhadap suatu Muka Surutan yang letaknya 9 dm di bawah DT (prediction are reffered to chart datum 9 dms below MSL). Tetapan yang digunakan
M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1
M4
MS4
Zo
Amplitudo dalam cm (amplitude in cm)
55
14
10
4
34
22
11
1
1
140
360°-g
355
292
38
292
59
83
59
85
26
(Tidal constants)
Tanjung Mangkasa Posisi
2°44'17.59" 121°04'06.22"
waktu
GMT + 08.00
Gerakan pasut diramalkan terhadap suatu Muka Surutan yang letaknya 9 dm di bawah DT (prediction are reffered to chart datum 9 dms below MSL). Tetapan yang digunakan
M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1
M4
MS4
Zo
60
18
10
5
33
19
11
1
1
150
355
287
18
287
57
76
57
235
89
(Tidal constants) Amplitudo dalam cm (amplitude in cm) 360°-g
47 Lampiran 2. Perhitungan nilai bilangan formzahl
Untuk nilai di Stasiun Pasut Kolaka
Untuk nilai di Stasiun Pasut Tanjung Mangkasa
48 Lampiran 3. Diagram alir penelitian secara singkat
Data Batimetri dan Garis Pantai, DISHIDROS
Elevasi muka air laut, pada batas terbuka, NAO Tide, Sepanjang januari 2010, setiap jam
ARMS Lite, CWR – ELCOM
WORLD Tide, MATLAB
Komponen M2, K1: Co-phase Co-amplitude
Pola arus residu M2
Bandingan Komponen M2 dan K1 di titik stasiun DISHIDROS
53
Lampiran 4. Diagram alir penelitian secara lengkap Peta Batimetri Daerah Penelitian DISHIDROS
Elevasi pasut di batas terbuka, 1 jam selama januari 2010, NAO Tide (*.dat)
Data Pasang Surut, DISHIDROS, 2010 Elevasi Komponen M2 di batas terbuka perairan
Batas terbuka perairan (*.dat)
Batimetri Perairan (*.dat)
Garis Pantai, batas tertutup (*.dat)
Garis Pantai, Batimetri, Batas Terbuka ELCOM (*.unf) Model ELCOM (*.nc)
Ekstrak data, MATLAB
Elevasi U, 1 siklus pasut M2
V, 1 siklus pasut M2
Worldtide, MATLAB
Penjalaran gelombang pasut M2 K1 Surfer 9
Pola Penyebaran Arus Residu M2 Pengolahan dasar dalam ELCOM
Fase dan amplitudo
Verifikasi Komponen M2 dan K1, di 2 stasiun pasut DISHIDROS
Komponen pasut M2: Co-fase Co-amplitudo
Komponen pasut K1: Co-fase Co-amplitudo
Pola Arus Residu komponen pasut M2
49
50
Lampiran 5. Penjelasan Mengenai Simulasi Pasang Surut M2 pada 4 kondisi muka air laut
Pola arus pasut komponen M2 di Perairan Teluk Bone disimulasikan pada kondisi air pasang (flood time) dan kondisi air surut (ebb tide). Pada saat kondisi pasang terdapat dua tinjauan terhadap muka air, yaitu saat air pasang (posisi mean sea level, Gambar i) dan saat pasang tertinggi (Gambar ii). Saat kondisi air surut terdapat dua tinjauan pula: yakni pada saat air surut (posisi mean sea level, Gambar iii) dan saat surut terendah (Gambar iv). Data kecepatan arus residu merupakan kecepatan rata-rata untuk seluruh kolom perairan yang diintegrasikan terhadap kedalaman, yaitu integrasi arus dari dasar perairan hingga ke muka air laut. Pada kondisi muka air rata-rata (Gambar i), terlihat arus keluar dari bagian barat di mulut Teluk Bone. Arus yang keluar dari teluk, bergerak sepanjang bagian barat teluk sampai di bagian mulut teluk. Bagian pertengahan teluk menunjukkan arus yang bergerak dari bagian sebelah timur menuju ke arah barat dan dekat dengan stasiun Kolaka arus bergerak ke arah selatan teluk. Di bagian kepala teluk, arus bergerak ke arah barat. Pada bagian tengah kepala teluk terbentuk semacam pusaran, pergerakan air yang berputar di daerah yang cukup kecil dibandingkan dengan arus yang terbentuk disekitarnya (Spring, 2000). Bagian kepala teluk yang terbentuk pusaran, terbentuk di daerah dengan batimetri yang cukup dalam mencapai 2000 m. Di daerah disekitar pusaran, nilai kecepatan arus mencapai nilai maksimum sekitar 0,025 m/s. Daerah tengah perairan, arus bergerak dari timur ke arah barat dan barat laut dengan nilai kecepatan arus sebesar antara 0,01-0,015 m/s. Rata-rata kecepatan arus yang dihasilkan sebesar 0,01 m/s.
51 Pada kondisi pasang tertinggi (Gambar ii), terlihat bahwa arus berbalik arah. Pada posisi sebelumnya (pasang-MSL) bergerak dari arah timur menuju arah barat, namun di pada kondisi ini arus bergerak dari arah barat menuju ke arah timur. Pergerakan yang berbalik arah ini diikuti juga dengan masuknya massa air dari mulut teluk di daerah yang sama dengan keluarnya massa air pada kondisi pasang-MSL. Pada kondisi pasang tertinggi arus masuk dari sebelah barat dan bergerak ke bagian timur perairan. Di bagian kepala teluk tidak terbentuk pusaran seperti pada kondisi sebelumnya. Arus bergerak dari sebelah barat menuju timur dengan kecepatan yang maksimum di daerah pertengahan kepala teluk. Pada bagian pertengahan teluk, arus bergerak dengan kecepatan yang tetap, sebesar 0,03 m/s. Kecepatan arus paling cepat pada kondisi ini terletak di daerah kepala teluk sekitar 0,1 m/s dan yang lambat berada di bagian pesisir dekat dengan daratan sekitar 0,01 m/s. Daerah dekat dengan darat memiliki nilai kecepatan arus yang cukkup lambat disebabkan nilai gaya gesekan dasar dan perubahan nilai kedalaman yang semakin dangkal secara bertahap. Pola arus pada kondisi air surut (pada posisi MSL, Gambar iii), menunjukkan pola yang mirip dengan pada saat kondisi pasang teritinggi. Nilai kecepatan arus di bagian mulut sampai dengan pertengahan teluk sebesar 0,01 m/s. Arus yang bergerak di bagian pertengahan mengalami pelemahan akibat perubahan kondisi dari pasang tertinggi menuju ke posisi surut (MSL). Kecepatan arus di bagian kepala teluk juga mengalami pelemahan, dengan nilai kecepatan sebesar 0,05 m/s. Di daerah dekat dengan daratan pada kondisi ini memiliki kecepatan arus yang terlemah dan sama seperti pada pola sebelumnya.
52 Pola arus residu yang dibentuk pada saat surut terendah (Gambar iv), menunjukkan pola yang hampir mirip dengan kondisi saat muka air rata-rata (Gambar i). Perbedaan utamanya adalah nilai kecepatan arus pada kondisi surut terendah lebih besar dibandingkan pada saat MSL (gambar i). Pada kondisi surut terendah ini, arus bergerak keluar teluk dari bagian barat mulut Teluk Bone. Daerah pertengahan teluk, arus bergerak dari bagian sebelah timur teluk menuju ke bagian sebelah barat dan barat daya Teluk Bone. Bagian kepala teluk, menunjukkan bahwa arus bergerak paling cepat di daerah dekat dengan tengah kepala teluk dan arus cukup lambat di perairan dekat dengan darat. Pada kondisi ini, di bagian kepala teluk tidak terbentuk pusaran seperti pada gambar i. Hal ini mungkin disebabkan akibat nilai kecepatan arus yang lebih kuat pada kondisi ini dibandingkan pada kondisi muka air laut rata-rata (Gambar i). Meski demikian, bagian yang paling dalam dekat di kepala teluk memiliki kcepatan yang lebih lemah dibandingkan dengan sekelilingnya, yakni sebesar 0,05 m/s. Kecepatan arus paling besar berada di daerah pertengahan kepala teluk dengan nilai sebesar 0,09 m/s. Di daerah pertengahan teluk, kecepatan arus berkisar antara 0,02-0,05 m/s.
53
(i)
(ii)
(iii)
(iv)
Cuplikan perambatan arus residu komponen pasut M2 di Teluk Bone pada: (i) saat air pasang (MSL), (ii) saat pasang tertinggi, (iii) saat air surut (MSL), dan (iv) saat surut terendah
54
Lampiran 6. Penjelasan Mengenai Simulasi Pasang Surut K1 pada 4 kondisi muka air laut
Pola arus pasut komponen K1 di Perairan Teluk Bone disimulasikan pada kondisi air pasang (flood time) dan kondisi air surut (ebb tide). Pada saat kondisi pasang terdapat dua tinjauan terhadap muka air, yaitu saat air pasang (posisi mean sea level, Gambar v) dan saat pasang tertinggi (Gambar vi). Saat kondisi air surut terdapat dua tinjauan pula: yakni pada saat air surut (posisi mean sea level, Gambar vii) dan saat surut terendah (Gambar viii). Data kecepatan arus residu merupakan kecepatan rata-rata untuk seluruh kolom perairan yang diintegrasikan terhadap kedalaman, yaitu integrasi arus dari dasar perairan hingga ke muka air laut. Pada kondisi muka air rata-rata (Gambar v), terlihat arus keluar dari bagian barat di mulut Teluk Bone. Arus yang keluar dari teluk, bergerak sepanjang bagian barat teluk sampai di bagian mulut teluk. Bagian pertengahan teluk menunjukkan arus yang bergerak dari bagian sebelah timur menuju ke arah barat dan dekat dengan stasiun Kolaka arus bergerak ke arah utara teluk. Di bagian kepala teluk, arus bergerak ke arah barat. Daerah tengah perairan, arus bergerak dari timur ke arah barat dan barat laut dengan nilai kecepatan arus sebesar antara 0,001-0,007 m/s. Rata-rata kecepatan arus yang dihasilkan sebesar 0,004 m/s. Pada kondisi pasang tertinggi (Gambar vi), terlihat bahwa arus tetap menuju arah yang sama. Pergerakan yang sama arah ini diikuti juga dengan tetap keluarnya massa air dari mulut teluk di daerah yang sama dengan kondisi sebelumnya. Arus bergerak dari sebelah timur menuju barat dengan kecepatan yang maksimum di daerah pertengahan kepala teluk. Pada bagian pertengahan teluk, arus bergerak dengan kecepatan yang tetap, sebesar 0,007 m/s. Kecepatan arus paling cepat pada kondisi ini terletak di daerah kepala teluk sekitar 0,007 m/s dan yang lambat berada di bagian pesisir dekat dengan daratan sekitar 0,001 m/s. Daerah dekat dengan darat memiliki nilai kecepatan arus yang cukkup lambat disebabkan nilai
55 gaya gesekan dasar dan perubahan nilai kedalaman yang semakin dangkal secara bertahap. Pola arus pada kondisi air surut (pada posisi MSL, Gambar vii), menunjukkan pola yang berubah terhadap kondisi sebelumnya. Nilai kecepatan arus di bagian mulut sampai dengan pertengahan teluk sebesar 0,004 m/s. Arus yang bergerak di bagian pertengahan mengalami pelemahan akibat perubahan kondisi dari pasang tertinggi menuju ke posisi surut (MSL). Kecepatan arus di bagian kepala teluk juga mengalami penguatan, dengan nilai kecepatan sebesar 0,014 m/s. Di daerah dekat dengan daratan pada kondisi ini memiliki kecepatan arus yang terlemah dan sama seperti pada pola sebelumnya. Pola arus residu yang dibentuk pada saat surut terendah (Gambar viii), menunjukkan pola yang hampir mirip dengan kondisi saat muka air rata-rata (Gambar vii). Perbedaan utamanya adalah nilai kecepatan arus pada kondisi surut terendah lebih besar dibandingkan pada kondisi sebelumnya. Pada kondisi surut terendah ini, arus bergerak masuk teluk dari bagian barat mulut Teluk Bone. Daerah pertengahan teluk, arus bergerak dari bagian sebelah barat teluk menuju ke bagian sebelah timur dan timur laut Teluk Bone. Bagian kepala teluk, menunjukkan bahwa arus bergerak paling cepat di daerah dekat dengan tengah kepala teluk dan arus cukup lambat di perairan dekat dengan darat. Meski demikian, bagian yang paling dalam dekat di kepala teluk memiliki kcepatan yang lebih lemah dibandingkan dengan sekelilingnya, yakni sebesar 0,002 m/s. Kecepatan arus paling besar berada di daerah dekat pertengahan kepala teluk dengan nilai sebesar 0,014 m/s. Di daerah pertengahan teluk, kecepatan arus berkisar antara 0,002-0,02 m/s.
56
(v)
(vi)
(vii) (viii) Cuplikan perambatan arus residu komponen pasut K1 di Teluk Bone pada: (v) saat air pasang (MSL), (vi) saat pasang tertinggi, (vii) saat air surut (MSL), dan (viii) saat surut terendah
57
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, 8 September 1988 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Capt. MakahekungPetrus Yohanes dan Ny. Maria Onna Da Santo. Pada tahun 2003-2006 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum Negeri 13 (SMUN 13) Jakarta. Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), dan di tahun berikutnya penulis memilih mayor Depertemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten beberapa mata kuliah, seperti Asisten mata kuliah Oseanografi Umum periode 2008/2010, Biologi Laut periode 2009-2010, Selam Ilmiah periode 2009, Oseanografi Kimia periode 2009/2010, Ekologi Laut Tropis periode 2010/2011 dan Oseanografi Terapan periode 2011 bagian pemodelan. Selain itu penulis juga aktif terlibat dalam berbagai kepengurusan organisasi seperti KEMAKI (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB) sebagai staff Departemen Hubungan Luar Organisasi periode 2006/2007 dan HIMPRO HIMITEKA ( Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan) sebagai staff Departemen Hubungan Luar dan Komunikasi periode 2009/2010. Penulis juga turut aktif dalam beberapa kegiatan lainnya seperti sebagai peserta dalam Seminar World Ocean Conference di Manado, dan sebagai junior scientist dalam Kegiatan Sail Banda 2010 di atas kapal Baruna Jaya III. Penulis juga mengikuti Marine Science Technology Training Course tahun 2010, kerjasama antara Departemen ITK, FPIK, IPB dengan DAAD, Jerman. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pemodelan Pasang Surut di Teluk Bone”.