Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
BAB II KONDISI FISIK 2 .1 .
PASANG SURUT
2 .1 .1
Umum
Pengetahuan tentang pasang surut penting di dalam penentuan elevasi muka air rencana untuk perencanaan bangunan pantai dan pelabuhan, mengetahui tipe pasang surut yang terjadi dan peramalan fluktuasi muka air. Data masukan untuk analisa pasang surut ini adalah data hasil pengamatan pasang surut di lapangan. Tahapan analisa pasang surut adalah sebagai berikut: 1. Menguraikan komponen-komponen pasang surut. 2. Penentuan tipe pasang surut yang terjadi. 3. Meramalkan fluktuasi muka air akibat pasang surut. 4. Menghitung elevasi muka air penting. Fluktuasi muka air akibat pasang surut diuraikan menjadi komponen-komponen harmonik penyusunnya. Besaran yang diperoleh adalah amplitudo dan fasa setiap komponen. Metode yang biasa digunakan untuk menguraikan komponen-komponen pasang surut adalah metode admiralty dan least square. Bagan alir analisa data pasang surut dapat dilihat pada Gambar 2. 1. Pengamatan pasang surut dilakukan pada lokasi yang representatif dengan lama pengamatan 15 x 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan cara memasang alat duga muka air yang dibaca setiap jam. Elevasi hasil pengamatan muka air selanjutnya diikatkan pada bench mark.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 1
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Mulai
Data Pengamatan pasang surut 15 x 24 jam
Komponen pasang surut
Amplitudo dan beda fasa
Tipe pasang surut
Peramalan fluktuasi
(Bil. Formzahl)
muka air
Klasifikasi
Grafik fluktuasi
pasang surut
muka air
Elevasi muka air
HHWL (Highest High Water Level) MHWS (Mean High Water Spring) MHWL (Mean High Water Level) MSL (Mean Sea Level) MLWL (Mean Low Water Level) MLWS (Mean Low Water Spring) LLWL (Lowest Low Water Level)
Elevasi muka air rencana
Hasil Tipe pasang surut Grafik fluktuasi muka air Elevasi muka air rencana
Selesai
Gambar 2. 1
Bagan Alir Analisa Data Pasang Surut
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 2
Laporan Tugas Akhir
2.1.1.1
Kondisi Fisik
Gaya Pembangkit Pasang Surut
Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Bumi berotasi sendiri dalam mengelilingi matahari dalam waktu 24 jam, sedangkan bulan berotasi sendiri dalam mengelilingi bumi pada saat yang bersamaan dalam waktu 24 jam 50 menit. Selisih 50 menit ini menyebabkan besar gaya tarik bulan bergeser terlambat 50 menit dari tinggi air yang ditimbulkan oleh gaya tarik matahari. Besar pengaruh bulan dan matahari terhadap permukaan air laut di bumi disesuaikan dengan gaya-gaya yang bekerja satu sama lainnya. Adanya gaya tarik bulan dan matahari menyebabkan lapisan air yang semula berbentuk bola menjadi ellips. Peredaran bumi dan bulan pada orbitnya menyebabkan posisi bumi-bulan-matahari selalu berubah setiap saat. Revolusi bulan terhadap bumi ditempuh dalam waktu 29.5 hari (jumlah hari dalam satu bulan menurut kalender tahun kamariah, yaitu tahun yang didasarkan pada peredaran bulan). Pada sekitar tanggal 1 dan 15 (bulan muda dan purnama) posisi bumi-bulanmatahari kira-kira berada pada satu garis lurus (Gambar 2. 2) sehingga gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling memperkuat. Dalam keadaan ini terjadi pasang surut purnama (pasang besar, spring tide), di mana tinggi pasang surut lebih besar dibandingkan pada hari-hari yang lain. Sedangkan sekitar tanggal 7 dan 21 (seperempat dan tiga perempat revolusi bulan terhadap bumi) di mana bulan dan matahari membentuk sudut siku-siku terhadap bumi (Gambar 2. 3) maka gaya tarik bulan terhadap bumi saling mengurangi. Dalam keadaan ini terjadi pasang surut perbani (pasang kecil, neap tide) di mana tinggi pasang surut kecil dibandingkan dengan hari-hari yang lain.
Bulan Purnama
Bulan Mati
M
Bm Bl
d
Bl
c
a : tanpa pengaruh bulan dan matahari b : pengaruh matahari c : pengaruh bulan d : pengaruh bulan dan matahari
Gambar 2. 2
b a
Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Purnama
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 3
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Seperempat Pertama
Bl
M
Bm b a d c
Seperempat Akhir
Bl
a : tanpa pengaruh bulan dan matahari b : pengaruh matahari c : pengaruh bulan d : pengaruh bulan dan matahari
Gambar 2. 3
2.1.1.2
Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Perbani
Komponen Pasang Surut
Dalam memperkirakan keadaan pasang surut terdapat banyak komponen-komponen yang mempengaruhi pasang surut. Komponen utama adalah akibat gaya tarik bulan dan matahari (lunar dan solar komponen). Komponen lainnya adalah komponen non astronomis. Komponen pasang surut yang ada sebanyak 9 (sembilan). Penjabaran ke delapan komponen pasang surut tersebut seperti pada Tabel 2. 1. Hasil penguraian pasang surut adalah parameter amplitudo dan beda fasa masing-masing komponen pasang surut. Tabel 2. 1
Komponen Pasang Surut Simbol
Periode (jam)
Keterangan
Utama bulan Utama matahari Bulan akibat variasi bulanan jarak bumi-bulan Matahari-bulan akibat perubahan sudut deklinasi matahari-bulan
M2 S2 N2 K2
12.4106 12.0000 12.6592 11.9673
Pasang Surut Semi Diurnal
Matahari-bulan Utama bulan Utama matahari
K1 O1 P1
23.9346 25.8194 24.0658
Pasang Surut Diurnal
Utama bulan Matahari-bulan
M4 MS4
6.2103 6.1033
Perairan Dangkal
Komponen
2.1.1.3
Metoda Peramalan Pasang Surut
Ada beberapa metoda yang biasa digunakan dalam peramalan pasang surut diantaranya adalah metoda admiralty, metoda harmonik, dan metoda kuadrat terkecil (least square). Dalam penyelesaian tugas akhir ini metoda peramalan pasang surut yang digunakan adalah metoda least square. Metoda ini menggunakan prinsip bahwa kesalahan Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 4
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
peramalan harus sekecil-kecilnya, sehingga jumlah selisih kuadrat antara peramalan dengan data pengamatan harus minimum. Kita misalkan jumlah konstituen adalah satu, sehingga persamaan modelnya menjadi: k
k
i =1
i =1
Z t = Z 0 + ∑ Ai cos ω1t + ∑ Bi sin ω1t
2. 1
Misalkan data pengamatan kita adalah D, maka persamaan errornya akan menjadi:
ε 2 = ( Z t − D) 2 k
k
i =1
i =1
ε 2 = ( Z 0 + ∑ Ai cos ω1t + ∑ Bi sin ω1t − D) 2
2. 2
berhubung jumlah konstituen, k=1, maka persamaan di atas menjadi:
ε 2 = ( Z 0 + A1 cosω1t + B1 sin ω1t − D) 2 Untuk mendapatkan harga minimum, maka persamaan di atas diturunkan secara parsial untuk setiap variabelnya.
δ (ε 2 ) = 0 → Z 0 + A1 cos ω1t + B1 sin ω1t = D δZ 0 δ (ε 2 ) = 0 → ( Z 0 + A1 cos ω1t + B1 sin ω1t ) cos ω1t = D cos ω1t δA1 δ (ε 2 ) = 0 → ( Z 0 + A1 cos ω1t + B1 sin ω1t ) sin ω1t = D sin ω1t δB1 Misalkan q adalah jumlah pengamatan dan p adalah nomor pengamatan, maka ketiga persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut: q
q
p =1
p =1
∑ (Z 0 + A1 cosω1t p + B1 sin ω1t p ) = ∑ Dp ∑ [(Z q
p =1
∑ [(Z
]
q
0
+ A1 cos ω1t p + B1 sin ω1t p ) cos ω1t p = ∑ D p cos ω1t p
0
+ A1 cos ω1t p + B1 sin ω1t p ) sin ω1t p = ∑ D p sin ω1t p
q
p =1
2. 3
2. 4
p =1
]
q
2. 5
p =1
Ketiga persamaan di atas bila ditampilkan dalam bentuk matriks akan seperti di bawah ini:
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 5
Laporan Tugas Akhir
⎡ q ⎢ ⎢ ⎢q ⎢∑ cos ω1t p ⎢ p q=1 ⎢ ⎢ ∑ sin ω1t p ⎣ p =1
Kondisi Fisik
q
∑ cosω t
1 p
p =1
q
∑ cosω t
cos ω1t p
∑ cosω t
sin ω1t p
p =1 q
p =1
1 p
1 p
q ⎧ ⎤ ⎫ Dp ⎥ ⎪ ⎪ ∑ p =1 p =1 ⎥ ⎧Z 0 ⎫ ⎪ ⎪ q ⎥⎪ ⎪ ⎪ q ⎪ sin ω1t p cos ω1t p ⎥ ⎨ A1 ⎬ = ⎨∑ D p cos ω1t p ⎬ ∑ p =1 ⎪ ⎥ ⎪⎩ B1 ⎪⎭ ⎪ p q=1 q ⎪ ⎪ ⎥ sin ω1t p sin ω1t p ⎥ ∑ ⎪ ∑ D p sin ω1t p ⎪ p =1 ⎦ ⎩ p =1 ⎭ q
∑ sin ω t
1 p
2. 6
Matriks di atas dapat diselesaikan dengan bantuan Eliminasi Gauss sehingga nilai Z0, A1, dan B1 dapat ditemukan. Penyelesaian di atas dapat pula diterapkan pada persamaan gerak harmonik dengan 9 buah konstanta. Untuk mempermudah, penyelesaian di atas dapat dilakukan dengan bantuan komputer. 2.1.1.4
Tipe Pasang Surut
Dengan didapatkannya nilai amplitudo dari komponen pasang surut, dapat ditentukan tipe pasang surut yang terjadi pada lokasi, yaitu dengan menghitung bilangan Formzahl (F) dengan persamaan sebagai berikut: F=
AO1 + AK 1 AM 2 + AS 2
2. 7
di mana: AO
= amplitudo komponen O1
AK1 = amplitudo komponen K1 AM2 = amplitudo komponen M2 AS2 = amplitudo komponen S2 Macam tipe pasang surut berdasarkan bilangan Formzahl dapat dilihat pada Tabel 2. 2 berikut.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 6
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik Tabel 2. 2
Bilangan Formzall (F)
Tipe Pasang Surut
Tipe Pasang Surut
Keterangan
F < 0.25
Pasang harian ganda (semidiurnal)
Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan ketinggian yang hampir sama dan terjadi berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.
0.25 < F < 1.5
Campuran, condong ke semi diurnal
Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan ketinggian dan periode yang berbeda.
1.5
Campuran, condong ke diurnal
Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut dengan ketinggian yang berbeda. Kadang-kadang terjadi 2 kali air pasang dalam 1 hari dengan perbedaan yang besar pada tinggi dan waktu.
F < 3.0
Pasang harian tunggal (diurnal)
Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit
2.1.1.5
Elevasi Muka Air Rencana
Penentuan muka air dilakukan dengan menggunakan komponen pasang surut yang telah dihasilkan. Dari penentuan tersebut dapat ditentukan beberapa elevasi muka air penting seperti pada Tabel 2. 3. Dari beberapa elevasi muka air tersebut, dipilih salah satu muka air yang akan digunakan sebagai acuan dalam perencanaan yang disebut elevasi muka air rencana. Tabel 2. 3 Elevasi Muka Air
2 .1 .2
Elevasi Muka Air Keterangan
HHWL (Highest High Water Level)
Air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
MHWS (Mean High Water Spring)
Rata-rata muka air tinggi saat purnama.
MHWL (Mean High Water Level)
Rerata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun.
MSL (Mean Sea Level)
Muka air rerata antara muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata.
MLWL (Mean Low Water Level)
Rerata dari muka air rendah selama periode 19 tahun.
MLWS (Mean Low Water Spring)
Rata-rata muka air rendah saat purnama.
LLWL (Lowest Low Water Level)
Air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
Analisa Data Pasang Surut Lokasi Studi
Pengamatan pasang surut muka air laut telah dilaksanakan di lokasi studi dari tanggal 23 Maret 2004 s.d 5 April 2004 (Tabel 2.4).
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 7
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Tabel 2.4
Data Pengamatan Pasang Surut (cm) Tanggal
Jam 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00
22 130 140 135 99 53 31 25 39 58 80 127 162 182 175 162 111 76 36 25 20 26 44 60 84
23 98 104 103 96 72 49 39 27 31 60 95 153 169 177 163 134 118 80 38 31 30 35 45 68
24 80 86 84 79 71 59 55 51 67 86 103 131 161 167 160 147 131 111 69 44 40 43 50 59
25 65 68 70 69 68 61 65 64 67 85 108 125 140 156 160 152 140 131 124 115 89 67 58 57
Maret 2003 26 27 60 88 73 96 79 101 81 101 82 99 81 96 78 92 75 89 75 87 80 89 101 94 117 102 129 112 142 124 150 137 157 148 145 150 124 135 113 120 95 105 80 92 75 81 75 77 81 76
28 76 79 85 92 100 111 125 126 125 111 105 102 101 103 108 117 129 138 129 131 110 93 84 74
29 68 65 63 65 70 82 90 102 108 109 108 105 96 84 83 85 101 114 122 129 123 97 81 64
30 58 52 48 52 55 74 85 105 115 114 110 94 86 79 76 76 80 93 114 129 135 135 130 119
31 107 81 64 47 38 37 49 79 100 119 120 111 97 81 73 64 58 60 84 118 143 144 136 112
1 96 86 75 57 41 30 29 31 60 123 125 138 134 121 105 83 71 56 44 45 108 151 151 133
April 2003 2 3 4 118 130 141 93 100 97 80 87 38 58 73 23 43 56 21 26 43 22 23 32 30 67 19 70 105 22 97 151 150 150 159 168 174 140 165 177 118 150 167 82 120 108 60 105 80 47 77 46 32 59 30 27 42 11 26 30 8 30 19 10 38 30 40 91 77 92 147 110 135 146 144 140
5 133 102 85 60 38 26 22 25 52 127 160 186 181 141 112 70 40 26 14 9 35 75 107 135
Data kondisi pasang surut pada lokasi studi diolah dari data hasil pengamatan elevasi muka air yang didapat dari survey. Kondisi hasil pengamatan terhadap perubahan tinggi muka air jam-jaman tersebut kemudian diolah dengan menggunakan metode Least
square. Dengan bantuan komputer maka dapat dihitung komponen pasang surut dan hasilnya disajikan pada Tabel 2.5.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 8
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Tabel 2.5
Komponen Pasang Surut di Lokasi Studi Konstanta S0 M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4 K2 P1
Amplitudo (cm) 89.9 40.4 20.6 5.0 26.2 13.0 4.7 5.4 5.6 8.7
Fasa (°) 284.6 278.9 349.2 337.2 291.8 284.6 181.1 202.4 349.2 291.8
di mana:
M2
= komponen utama bulan (semi diurnal)
S2
= komponen utama matahari (semi diurnal)
N2
= komponen bulan akibat variasi bulanan jarak bumi-bulan (semi diurnal)
K2
= komponen matahari-bulan akibat perubahan sudut deklinasi matahari-bulan (semi diurnal)
K1
= komponen matahari-bulan (diurnal)
O1
= komponen utama bulan (diurnal)
P1
= komponen utama matahari (diurnal)
M4
= komponen utama bulan (kuartel diurnal)
MS4 = komponen matahari-bulan Dengan didapatkannya nilai amplitudo dari komponen pasang surut, dapat ditentukan tipe pasang surut yang terjadi pada lokasi, yaitu dengan melakukan perhitungan Formzahl (F) dengan persamaan 2.7 sebagai berikut:
F=
A01 + AK1 AM 2 + AS 2
Hasil penentuan tipe pasang surut untuk lokasi studi berdasarkan bilangan Formzahl (F) dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.6 Amplitudo A (cm) O1 13.0
K1 26.2
M2 40.4
S2 20.6
Tipe Pasang Surut Lokasi Studi Bilangan Formzahl F = O1 + K1 M2 + S2 0.643
Tipe Pasang Surut Campuran Semi diurnal
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 9
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Hasil penaksiran pasang surut dibandingkan dengan data pengamatan pasang surut lokasi survei dapat disimak pada gambar berikut ini.
200 180 160
Tinggi Muka Air (cm)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
50
100
150
200
250
300
350
400
Jam keJam
Gambar 2.4
Data asli
Ramalan
Perbandingan Pasang Surut Hasil Survei dan Hasil Peramalan Pantai Nusa Penida
Hasil penaksiran dibaca untuk menentukan elevasi-elevasi acuan pasang surut disajikan pada Tabel 2.7. Dari elevasi penting pasang surut yang ada, maka ditetapkan nilai LLWL sebagai datum (elevasi nol acuan).
Tabel 2.7
Elevasi Muka Air Acuan Nusa Penida
No
Jenis Elevasi Acuan
Referensi MSL (m)
Referensi LLWL (m)
1 2 3 4 5 6 7
Highest High Water Level Mean High Water Spring Mean High Water Level Mean Sea Level Mean Low Water Level Mean Low Water Spring Lowest Low Water Level
1.103 0.926 0.480 0.000 -0.427 -0.811 -1.047
2.150 1.973 1.527 1.047 0.620 0.236 0.000
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 10
Laporan Tugas Akhir
2 .2
ANGIN
2 .2 .1 .
Umum
Kondisi Fisik
Posisi bumi terhadap matahari yang berbeda-beda dan berubah-ubah sepanjang tahun akan menyebabkan perbedaan temperatur pada beberapa bagian bumi. Hal ini akan menciptakan perbedaan tekanan udara pada bagian-bagian bumi tersebut. Gerakan udara dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah disebut dengan angin. Angin merupakan pembangkit gelombang laut. Oleh karena itu data angin dapat digunakan untuk memperkirakan tinggi dan arah gelombang di lokasi. Data angin yang diperlukan adalah data angin maksimum harian tiap jam berikut informasi mengenai arahnya yang diperoleh dari Badan Geofisika dan Meteorologi setempat. Data angin diklasifikasikan berdasarkan kecepatan dan arah yang kemudian dihitung besarnya persentase kejadiannya. Arah angin dinyatakan dalam bentuk delapan penjuru arah mata angin (Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat dan Barat Laut). Kecepatan angin disajikan dalam satuan knot, di mana: 1 knot
= 1 mil laut / jam
1 mil laut = 6080 kaki (feet) = 1853,18 meter 1 knot
= 0,515 meter / detik
Pengolahan data angin dilakukan mengikuti pola yang diberikan pada Gambar 2.5
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 11
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Mulai
Data Angin harian maksimum (15 tahun)
Pengelompokan menurut bulan
Pengelompokan menurut interval kecepatan
Persentase kejadian harian maksimum bulanan
Hasil Gambar Windrose tiap bulan selama 15 tahun
Selesai
Gambar 2. 5
2.2.2.
Bagan Alir Analisa Data Angin.
Analisa Data Angin pada Lokasi Studi
Data yang digunakan adalah data angin harian maksimum tahun 1980 – 1994 dari Stasiun Klimatologi Bandara Ngurah Rai Denpasar.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 12
Laporan Tugas Akhir Tabel 2.8.
Kondisi Fisik Persentase Kejadian Data Angin berdasarkan Kejadian Musiman Persentase Kejadian Angin dalam Persen (%) Musim Angin Barat
Transisi
Arah
Jan
Feb
Rata-rata
Mar 0.00
Calm
0.00
0.24
0.12
Utara
2.80
0.47
1.63
0.65
Timur Laut
0.43
0.47
0.45
0.86
Timur
8.60
9.91
9.25
27.10
Tenggara
7.53
4.48
6.00
16.13
Selatan
2.58
1.89
2.23
3.87
Barat Daya
26.24
21.46
23.85
21.51
Barat
46.45
55.66
51.06
24.73
Barat Laut
5.38
5.42
5.40
5.16
100.00
100.00
Total
Persentase Kejadian Angin dalam Persen (%) Musim Angin Timur
Transisi
Arah
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Rata-rata
Nov
Des
Rata-rata
Calm
0.00
0.00
0.22
0.00
0.22
0.00
0.00
0.06
0.00
0.22
0.11
Utara
1.56
0.22
0.44
0.00
0.65
0.44
0.65
0.54
0.00
0.00
0.00
Timur Laut
0.44
0.00
0.00
0.00
0.65
0.00
0.00
0.00
0.00
0.43
0.22
Timur
42.22
49.89
51.78
47.53
49.03
37.78
32.04
34.91
20.67
9.46
15.06
Tenggara
33.11
44.09
44.22
49.46
48.17
51.56
43.87
47.71
26.89
3.44
15.16
Selatan
4.67
1.29
0.89
1.08
0.86
4.44
6.24
5.34
8.89
3.87
6.38
Barat Daya
5.78
1.29
0.89
0.43
0.22
2.44
8.17
5.31
22.22
30.75
26.49
Barat
10.44
3.23
1.11
1.51
0.22
3.33
9.03
6.18
19.56
47.10
33.33
Barat Laut
1.78
0.00
0.44
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.78
4.73
Total
100.00
3.25 100.00
Dari Tabel 2.8. dapat dilihat beberapa hal sebagai berikut:
Pada musim angin Utara di bulan Januari hingga Februari, angin bertiup dominan dari arah Barat (rata-rata 51.06 %) dengan kecepatan rata-rata 5 - 9 m/det.
Saat transisi menuju musim angin Timur di bulan Maret dimana komponen angin arah Barat agak melemah (24.73%) dan angin dari Timur menguat (27.10%).
Dari bulan April hingga Oktober di mana terjadi musim angin Timur sebagian besar angin dominan bertiup dari arah Tenggara (rata-rata 47.71%) dengan kecepatan ratarata 5 - 7 m/det.
Pada bulan November terjadi kondisi transisi menuju musim angin Barat di mana komponen angin arah Barat menguat (30.33%), sebaliknya dari arah Tenggara melemah (15.16%).
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 13
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Hasil analisa data angin disajikan dalam bentuk persentase kejadian statistik total (semua tahun data yang berhasil dikumpulkan) sebagaimana Tabel 2.9. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa angin Timur merupakan angin dominan (34.69%) dengan kecepatan 9 – 11 meter/detik.
Tabel 2.9 Total Presentase Kejadian Angin Maksimum Ngurah Rai Tahun 1980 – 1994
Arah Utara Timur Laut Timur Tenggara Selatan Barat Daya Barat Barat Laut Total Kumulatif
Frekuensi Kejadian Angin dalam Persen Kecepatan Angin (m/detik) Calm 1-3 3-5 5-7 7-9 9-11 >11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.14 0.14 0.21 0.14 0.00 0.00 0.03 0.07 0.14 0.02 0.00 0.09 1.62 9.52 12.45 11.02 0.00 0.02 1.21 6.51 10.50 11.17 0.00 0.02 0.60 1.10 1.07 0.48 0.00 0.07 1.02 2.91 3.82 3.37 0.00 0.07 1.31 3.72 4.29 9.14 0.00 0.00 0.24 0.48 0.40 0.90 0.00 0.26 6.16 24.45 32.87 36.24 0.00 0.00 0.26 6.42 30.87 63.75 100.00
Jumlah 0.00 0.62 0.26 34.69 29.41 3.27 11.19 18.53 2.01 100.00 100.00
Hasil pengolahan persentase kejadian angin yang telah dilakukan, kemudian disajikan dalam bentuk visual yang dikenal dengan nama windrose. Penggambaran windrose dilakukan untuk tiap bulannya, yang dapat dilihat di Lampiran A. Berikut dapat disimak mawar angin (windrose) maksimum harian selama 15 tahun.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 14
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Windrose Angin Maksimum Harian 1980 – 1994
Gambar 2.6
2 .3
Windrose 15 Tahun Ngurah Rai
GELOMBANG
2.3.1 Umum Gelombang pada perairan dapat didefinisikan sebagai perubahan elevasi perairan secara harmonik yang ditimbulkan oleh beberapa gaya, yaitu gaya angin, gaya gempa di laut, kapal yang bergerak, dan lain-lain. Sketsa definisi gelombang dapat dilihat pada Gambar 2. 3 C
Z
η H=a/2
X
SWL
d atau h L z = -d
Gambar 2. 7 Sketsa definisi gelombang Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 15
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Dari gambar di atas, dapat dilihat beberapa hal: x
=
koordinat horizontal
z
=
koordinat vertikal
h
=
kedalaman dihitung dari SWL
SWL
=
Still Water Level (muka air rata-rata)
n ( x, t ) =
a cos (kx-ωt) = elevasi muka air terhadap muka air rerata
a
=
amplitudo gelombang = (H/2)
H
=
tinggi gelombang = 2 a
L
=
panjang gelombang
T
=
periode gelombang, interval waktu yang diperlukan oleh partikel kembali pada kedudukan yang sama dengan kedudukan sebelumnya.
C
=
kecepatan rambat gelombang = L/T
k
=
angka gelombang = jumlah gelombang = (2π/L)
ω
=
frekuensi gelombang = (2π/T)
Beberapa karakteristik gelombang yang sering digunakan dalam berbagai analisa gelombang adalah perioda gelombang (T), tinggi gelombang (H), kecepatan gelombang (C), kecepatan sudut gelombang (ϖ), bilangan gelombang (k), dan arah gelombang. Perioda gelombang selalu merupakan besaran yang diketahui dan selalu tetap besarnya pada seluruh medan gelombang. Tinggi gelombang dapat diketahui pada suatu posisi dan pada posisi lain adalah merupakan suatu besaran yang dicari melalui analisa transformasi gelombang. Dengan diketahuinya perioda gelombang (T) dan kedalaman perairan (h), dapat dicari karakteristik gelombang yang lainnya. Persamaan yang menghubungkan antara T dan k dinyatakan dalam suatu persamaan implisit yang disebut dengan persamaan dispersi seperti di bawah ini:
σ 2 = gk tanh (kh )
2. 8
di mana: g = percepatan gravitasi h = kedalaman perairan
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 16
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Dengan diketahuinya T dan h, maka k dapat dicari melalui persamaan dispersi di atas dengan bantuan metoda iterasi. Selanjutnya panjang gelombang dapat dicari sebagai berikut:
k=
2π 2π dan σ = , maka persamaan dispersi di atas menjadi: L T 2
2π 2π ⎛ 2π ⎞ tanh ⎜ ⎟ =g L L ⎝T ⎠
2. 9
Bila panjang gelombang di laut dalam diketahui, maka panjang gelombang di kedalaman perairan tertentu dapat ditentukan dengan bantuan tabel panjang gelombang yang dapat dilihat pada SPM Volume 1, 1984. Dengan substitusi L = C x T ke persamaan panjang gelombang di atas, maka akan diperoleh:
C=
gT 2πh tanh CT 2π
2. 10
Sementara itu kecepatan grup gelombang, Cg, dapat dicari dengan persamaan di bawah ini:
Cg =
1 ⎡ ⎛ 2kh ⎞⎤ ⎟⎥ C ⎢1 + ⎜ 2 ⎣ ⎜⎝ sinh(2kh) ⎟⎠⎦
2. 11
Di antara beberapa bentuk gelombang tersebut, yang paling dominan adalah gelombang angin (gelombang yang dibangkitkan oleh gaya angin). Gelombang merupakan faktor penting di dalam perencanaan pelabuhan. Gelombang mempunyai energi, maka semua bangunan dalam perencanaan pelabuhan harus dapat memikul gaya gelombang tersebut. Fasilitas pelabuhan direncanakan dengan menggunakan gaya perencanaan tersebut. Selain itu, gelombang juga bisa menimbulkan arus dan transpor sedimen di sekitar daerah pantai. Layout pelabuhan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga sedimentasi di pelabuhan dapat dihindarkan. 2.3.2 Klasifikasi Gelombang Berdasarkan kedalaman relatif, yaitu perbandingan antara kedalaman air d dan panjang gelombang L, gelombang dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam seperti pada Tabel 2.10.
Klasifikasi
ini
dilakukan
untuk
menyederhanakan
rumus-rumus
yang
merepresentasikan karakteristik gelombang. Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 17
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Tabel 2.10 Klasifikasi Gelombang Menurut Kedalaman Relatif
Klasifikasi Laut dalam Laut transisi Laut dangkal
d/L
2πd/L
Tanh (2πd/L)
D/L > ½
>π
≈1
1/4 sampai π
Tanh (2πd/L)
<¼
≈ 2πd/L
1/25 < d/L < ½ d/L < 1/25
2.3.3 Karakteristik Gelombang Seperti pasang surut, angin, dan fenomena proses fisik lainnya gelombang juga memiliki beberapa karakteristik, seperti cepat rambat gelombang, panjang gelombang, kecepatan gelombang, percepatan gelombang, dan lain-lain. Setiap karakteristik ini diwakili masingmasing oleh sebuah persamaan matematik tertentu. Persamaan-persamaan tersebut didapat dari penurunan persamaan dispersi. Adapun persamaan karakteristik gelombang yang akan umum digunakan dalam perencanaan pelabuhan studi kasus secara lengkap berdasarkan kedalaman relatifnya dapat dilihat pada Tabel 2.11
Tabel 2.11 Persamaan Cepat Rambat dan Panjang Gelombang Menurut Kedalaman Relatif
Cepat rambat gelombang Panjang gelombang
Laut Dalam
Laut Transisi
Laut Dangkal
(d/L > ½)
(1/25 < d/L < ½)
(d/L < 1/25)
C0 =
gT 2π
C=
gT ⎛ 2 πd ⎞ tanh⎜ ⎟ 2π ⎝ L ⎠
C = gd
L0 =
gT 2 2π
L=
gT 2 ⎛ 2 πd ⎞ tanh ⎜ ⎟ 2π ⎝ L ⎠
L = T gd
2.3.4 Analisa Data Gelombang 2.3.4.1
Hindcasting
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 18
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Salah satu cara peramalan gelombang adalah dengan melakukan pengolahan data angin. Prediksi gelombang disebut hindcasting jika dihitung berdasarkan kondisi meteorologi yang telah lampau dan forecasting jika dihitung berdasarkan kondisi meteorologi hasil prediksi. Prosedur penghitungan keduanya sama, perbedaannya hanya pada sumber data meteorologinya. Gelombang laut yang akan diramal adalah gelombang di laut dalam suatu perairan yang dibangkitkan oleh angin, kemudian merambat ke arah pantai dan pecah seiring dengan mendangkalnya perairan di dekat pantai. Hasil peramalan gelombang berupa tinggi dan perioda gelombang signifikan untuk setiap data angin. Data-data yang dibutuhkan untuk meramal gelombang terdiri dari: 1.
Data angin yang telah dikonversi menjadi wind stress factor (UA).
2.
Panjang fetch efektif.
Perhitungan gelombang rencana mengikuti pola yang diberikan pada Gambar 2.8
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 19
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Mulai
Data: Fetch efektif, Kecepatan angin max, Arah angin, Durasi
Konversi kecepatan angin
Durasi angin minimum
Penentuan jenis pembentuk gelombang
Terbatas fetch
Pembentukan sempurna
Terbatas waktu
H1/3 & T1/3 max
H1/3 → 12 gelombang (H1/12.....H1)
Penentuan H maksimum untuk periode ulang 25 thn
Hasil H rencana untuk periode ulang 25 tahun
Selesai
Gambar 2.8
Bagan Alir Analisa Data Gelombang (Hindcasting)
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 20
Laporan Tugas Akhir
a.
Kondisi Fisik
Penentuan Wind Stress Factor (UA)
Data angin yang berupa kecepatan perlu dikoreksi untuk mendapatkan wind stress factor (UA). Adapun koreksi tersebut meliputi: 1.
Koreksi Elevasi Data angin yang digunakan adalah data angin yang diukur pada elevasi 10 m dari permukaan tanah. Apabila angin tidak diukur pada elevasi tersebut, maka harus dikoreksi dengan persamaan: 1
⎛ 10 ⎞ 7 u10 = u z ⎜ ⎟ ⎝ z ⎠
2. 12
di mana:
2.
u10
=
kecepatan angin hasil koreksi elevasi (m/s)
uz
=
kecepatan angin yang tidak diukur pada ketinggian 10 m (m/s)
z
=
elevasi alat ukur (m)
Koreksi Durasi Data angin yang tersedia biasanya tidak disebutkan durasinya atau merupakan data hasil pengamatan sesaat. Kondisi sebenarnya kecepatan angin adalah selalu berubah-ubah meskipun pada arah yang sama. Untuk melakukan hindcasting, diperlukan juga durasi atau lama angin bertiup, di mana selama dalam durasi tersebut dianggap kecepatan angin adalah konstan. Oleh karena itu, koreksi durasi ini dilakukan untuk mendapatkan kecepatan angin rata-rata selama durasi angin bertiup yang diinginkan. Berdasarkan data hasil pengamatan angin sesaat, dapat dihitung kecepatan angin rata-rata untuk suatu durasi angin tertentu, dengan prosedur sebagai berikut: a. Diketahui kecepatan angin sesaat adalah uf. Akan ditentukan kecepatan angin dengan durasi t detik (ut). b. t1 =
1609 det uf
2. 13
c. Menghitung u3600.
uf u3600
=c
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 21
Laporan Tugas Akhir
d. u3600 =
uf c
Kondisi Fisik
2. 14
dengan:
⎛ ⎛ 45 ⎞ ⎞ c = 1.277 + 0.296 tanh⎜⎜ 0.9 log⎜ ⎟ ⎟⎟ ⎝ t ⎠ ⎠ untuk 1 < t < 3600 detik ⎝ c = −0.15 log t1 + 1.5334 untuk 3600 < t < 36000 detik e. Menghitung ut, t = durasi yang ditentukan.
ut =c u3600
u3600 =
ut c
2. 15
dengan:
⎛ ⎛ 45 ⎞ ⎞ c = 1.277 + 0.296 tanh⎜⎜ 0.9 log⎜ ⎟ ⎟⎟ ⎝ t ⎠ ⎠ untuk 1 < t < 3600 detik ⎝ c = −0.15 log t1 + 1.5334 untuk 3600 < t < 36000 detik di mana
3.
uf =
kecepatan angin maksimum hasil koreksi elevasi (m/s)
ut =
kecepatan angin rata-rata untuk durasi angin yang diinginkan (m/s)
t
durasi waktu yang diinginkan (detik)
=
Koreksi Stabilitas Apabila terdapat perbedaan temperatur antara udara dan laut, maka kecepatan angin efektif dapat diperoleh dengan melakukan koreksi stabilitas sebagai berikut:
u = ut .Rt
2. 16
di mana: Rt
=
rasio amplifikasi
ut
=
kecepatan angin hasil koreksi durasi (m/s)
Apabila data perbedaan temperatur tidak diketahui, maka SPM 1984 menyarankan penggunaan RT = 1,1.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 22
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Setelah data kecepatan angin melalui koreksi-koreksi di atas, maka data tersebut dikonversi menjadi wind stress factor (UA) dengan menggunakan persamaan di bawah ini:
U A = 0.71U 1.23
2. 18
di mana:
b.
U
=
kecepatan angin hasil koreksi-koreksi sebelumnya (m/s)
UA
=
wind stress factor (m/s)
Daerah Pembentukan Gelombang (Fetch Efektif)
Fetch adalah daerah pembentukan gelombang yang diasumsikan memiliki arah dan kecepatan angin yang relatif konstan. Karakteristik gelombang yang ditimbulkan oleh angin ditentukan juga oleh panjang fetch. Fetch efektif di titik tertentu adalah area dalam radius perairan yang melingkupi titik tersebut di mana dalam area tersebut angin bertiup dengan kecepatan konstan dari arah manapun menuju titik tersebut. Penghitungan panjang fetch efektif ini dilakukan dengan menggunakan bantuan peta topografi lokasi dengan skala yang cukup besar, sehingga dapat terlihat pulau-pulau atau daratan yang mempengaruhi pembentukan gelombang di suatu lokasi. Penentuan titik fetch diambil pada posisi laut dalam dari lokasi perairan yang ditinjau. Ini karena gelombang yang dibangkitkan oleh angin terbentuk di laut dalam suatu perairan, kemudian merambat ke arah pantai dan pecah seiring dengan mendangkalnya dasar perairan di dekat pantai. Pada peramalan gelombang, data yang digunakan adalah data-data besar kecepatan angin maksimum harian berikut arahnya yang kemudian diproyeksi ke delapan arah mata angin utama. Selain itu juga dibutuhkan informasi tentang panjang fetch efektif untuk delapan arah mata angin utama. Untuk menghitung panjang fetch digunakan prosedur sebagai berikut: 1.
Tarik garis fetch untuk suatu arah.
2.
Tarik garis fetch dengan penyimpangan sebesar 50 dan –50 dari suatu arah sampai pada batas areal yang lain. Pengambilan nilai 50 ini dilakukan mengingat adanya keadaan bahwa angin bertiup dalam arah yang bervariasi atau sembarang, maka panjang fetch diukur dari titik pengamatan dengan interval 50. Tiap garis pada
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 24
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
akhirnya memiliki 9 garis fetch. 3.
Ukur panjang fetch tersebut sampai menyentuh daratan terdekat, kalikan dengan skala peta.
4.
Panjang fetch efektif adalah: k
Feff =
∑ F cosα i =1 k
i
∑ cosα i =1
i
2. 19
i
di mana:
c.
Fi
=
panjang fetch ke-i
αi
=
sudut pengukuran fetch ke-i
i
=
nomor pengukuran fetch
k
=
jumlah pengukuran fetch
Peramalan Tinggi dan Perioda Gelombang
Untuk menentukan tinggi gelombang dan perioda gelombang, digunakan data hasil hindcasting yang berupa Feff dan UA. Kedua parameter tersebut digunakan ke dalam tiga persamaan berikut sesuai dengan prosedur peramalan gelombang dari SPM 1984:
H mo
0.0016 xU A = g
2
⎛ gxFeff ⎜ ⎜ U 2 ⎝ A
0.2857 xU A ⎛ gxFeff ⎜ Tp = ⎜ U 2 g ⎝ A
⎛ gxFeff gxt = 68.8 x⎜⎜ 2 UA ⎝ UA
1
⎞2 ⎟ ⎟ ⎠
2. 20
1
⎞3 ⎟ ⎟ ⎠
2. 21
2
⎞3 ⎟ ≤ 7.15 x104 ⎟ ⎠
2. 22
di mana: Hmo
=
tinggi gelombang signifikan menurut energi spektral (m)
TP
=
perioda puncak spektrum (detik)
g
=
percepatan gravitasi bumi = 9.81 (m/s2)
UA
=
wind stress factor (m/s)
Feff
=
panjang fetch efektif (m)
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 25
Laporan Tugas Akhir
T
=
Kondisi Fisik
durasi angin yang bertiup (detik)
Adapun prosedur peramalan gelombang adalah sebagai berikut: 1.
Analisa perbandingan pada persamaan 2.22 di atas. Jika tidak memenuhi persamaan tersebut, maka gelombang yang terjadi merupakan hasil pembentukan gelombang
sempurna.
Penghitungan
tinggi
dan
perioda
gelombangnya
menggunakan persamaan-persamaan berikut:
H mo = Tp =
0.2433xU A g
2
2. 23
8.134 xU A g
2. 24
Jika hasil analisa perbandingan memenuhi persamaan 2.22 di atas, maka gelombang yang terjadi merupakan hasil pembentukan gelombang tidak sempurna. Pembentukan gelombang tidak sempurna ini ada 2 (dua) jenis, yaitu pembentukan gelombang terbatas fetch dan terbatas durasi. Untuk membedakannya perlu diketahui terlebih dahulu durasi kritis (tc), sebagai berikut:
68.8 xU A ⎛ gxFeff ⎜ tc = ⎜ U 2 g ⎝ A 2.
2
⎞3 ⎟ ⎟ ⎠
2. 25
Periksa durasi data yang ditentukan (t), lalu bandingkan terhadap durasi kritis (tc). d. Jika t
≥ tc, maka gelombang yang terjadi merupakan gelombang hasil
pembentukan terbatas fetch. Pada pembentukan jenis ini, durasi angin yang bertiup cukup lama. Penghitungan tinggi dan perioda gelombangnya dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.20 dan 2.21. e. Jika t < tc, maka gelombang yang terjadi merupakan gelombang hasil pembentukan terbatas durasi. Pada pembentukan ini, durasi angin yang bertiup tidak cukup lama. Penghitungan tinggi dan perioda gelombangnya dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.20 dan 2.21 dengan terlebih dahulu mengganti panjang Feff dengan Fmin berikut ini:
Fmin
3
U ⎛ gxt ⎞ 2 ⎟ = A ⎜⎜ g ⎝ 68.6 xU A ⎟⎠ 2
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
2. 26
Bab II - 26
Laporan Tugas Akhir
2.3.4.2
Kondisi Fisik
Statistik Gelombang dengan Metode Rayleigh
Salah satu kontribusi berharga dalam deskripsi statistik gelombang laut adalah bahwa distribusi tinggi gelombang dapat didekati dengan distribusi Rayleigh (LonguetHiggins,1952). Kondisi gelombang pada suatu perairan bersifat acak. Untuk perencanaan bangunan pantai diperlukan suatu tinggi gelombang tertentu yang mewakili. Untuk mendapatkan gelombang monokromatik tersebut dilakukan analisis statistik untuk memperoleh Hp. Setelah data diurutkan dari terbesar ke terkecil, maka Hp adalah harga rata-rata m data terbesar, dimana p adalh m/N. Tahapan analisis tersebut adalah : 1. Mengurutkan data dari terbesar ke terkecil 2. Menjumlahkan data m terbesar 3. Menghitung Hp Bila terdapat 15 data (N = 15) yang telah diurutkan dari besar ke kecil maka
H1 / 3 = ( H1 + H 2 + H 3 + H 4 + H 5 )/5, dimana m = 5 sehingga p = 5/15 = 1/3. Hp dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:
H p = C p . H rms
2.27
dimana: Hp
= tinggi gelombang m maksimum dari N data
Cp
= koefisien koreksi untuk Hp =
Hrms
ln
⎛ π 1 1⎞ + erfc⎜⎜ ln ⎟⎟ p 2p p⎠ ⎝
= tinggi gelombang root mean square 1/ 2
⎤ ⎡1 N = ⎢ ∑ Hi 2 ⎥ ⎦ ⎣ N i =1
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 27
Laporan Tugas Akhir
Gambar 2.11
Kondisi Fisik
Bagan Alir Analisa Statistik Gelombang dengan Metode Rayleigh
Untuk mempermudah perhitungan, nilai Cp dihitung dengan bantuan komputer (software Fortran). Nilai Cp dapat dilihat pada Tabel 2.12 berikut ini.
Tabel 2.12 1/p 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nilai koefisien Cp Hp/Hrms 1.851 1.649 1.517 1.416 1.331 1.256 1.189 1.126 1.066 1.008 0.949 0.886
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 28
Laporan Tugas Akhir
2.3.4.3
Kondisi Fisik
Analisa Frekuensi Gelombang
Penentuan tinggi gelombang rencana dengan periode ulang
tertentu dapat dihitung
menggunakan metode analisa frekuensi. Beberapa metoda yang sangat dikenal antara lain adalah Metoda Normal, Log Normal, Gumbell, Pearson Type III dan , Log Pearson Type III. Metoda yang dipakai nantinya harus ditentukan dengan melihat karakteristik distribusi gelombang daerah setempat. Periode ulang yang akan dihitung pada masingmasing metode adalah untuk periode ulang 2, 3, 5, 10, 25, 50,100 serta 200 tahun. a.
Metode Distribusi Normal
Distribusi normal atau kurva normal dikenal pula dengan nama distribusi Gauss yang mempunyai rumus sebagai berikut: Xt
=
X + K. SX
2. 28
di mana: Xt
=
tinggi gelombang untuk periode ulang T tahun (m)
X
=
gelombang maksimum rata-rata
SX
=
standar deviasi
K
=
faktor variabel reduksi Gauss untuk Distribusi Normal
b.
Metode Distribusi Log Normal 2 Parameter
Distribusi log normal merupakan hasil transformasi dari distribusi normal, yaitu dengan mengubah nilai variat X menjadi nilai logaritmik variat X. Untuk distribusi log normal dua parameter mempunyai persamaan transformasi: Log Xt = LogX + K. SlogX
2. 29
di mana: Log Xt =
nilai logaritmik tinggi gelombang untuk periode ulang T tahun (m)
LogX
=
nilai logaritmik tinggi gelombang maksimum rata-rata
SlogX
=
standar deviasi logaritmik nilai X
k
=
faktor variabel reduksi Gauss untuk distribusi Log Normal 2 Parameter
Apabila perhitungan tanpa nilai logaritmik, dapat digunakan persamaan berikut: Xt
=
X + k. SX
2. 30
di mana: Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 29
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Xt
=
nilai tinggi gelombang untuk periode ulang T tahun (m)
X
=
nilai tinggi gelombang maksimum rata-rata
SX
=
standar deviasi nilai X
k
=
nilai karakteristik distribusi Log Normal 2 Parameter yang nilainya bergantung dari koefisien variasi (CV) SX
CV
=
c.
Metode Distribusi Log Normal 3 Parameter
X
2. 31
Distribusi Log Normal 3 Parameter dapat dituliskan sebagai: Xt
=
X + K.SX
2. 32
di mana: Xt
=
nilai tinggi gelombang untuk periode ulang T tahun (m)
X
=
nilai tinggi gelombang maksimum rata-rata
SX
=
standar deviasi nilai X
k
=
nilai karakteristik distibusi Log Normal 3 Parameter yang nilainya bergantung dari koefisien kemencengan (CS)
d.
Metode Distribusi Gumbell.
Metoda distribusi Gumbell yang banyak digunakan dalam analisa frekuensi mempunyai rumus: Xt
=
X + K. Sx
2. 33
K
=
(Yt - Yn)/Sn.
2. 34
Yt
=
T ⎞ ⎛ - ⎜ 0.834 + 2.303 log ⎟ T -1⎠ ⎝
2. 35
di mana: Xt
=
tinggi gelombang untuk periode ulang T tahun (m)
X
=
tinggi gelombang maksimum rata-rata
Sx
=
standar deviasi
K
=
faktor frekuensi
Yn
=
nilai rata-rata dari reduksi variat, nilainya tergantung dari jumlah data
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 30
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Sn
=
deviasi standar dari reduksi variat, nilainya tergantung dari jumlah data
e.
Metode Distribusi Pearson III
Metode ini memiliki bentuk kurva seperti bel. Mode terletak pada titik nol dan nilai X terletak − a ≤ X ≤ ∞ . Persamaan distribusi Pearson III dapat dijelaskan sebagai berikut: Xt
= X + K.Sx
2.36
dimana: Xt
= tinggi gelombang untuk periode ulang T tahun (m)
X
= tinggi gelombang maksimum rata-rata
Sx
= standar deviasi
K
= faktor sifat distribusi Pearson III yang merupakan fungsi dari Cs (koefisien skewness)
Nilai Cs yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan nilai KT dari tabel. Persamaan distribusi Pearson III akan merupakan garis lengkung apabila digambarkan pada kertas peluang normal. f.
Metode Distribusi Log Pearson Type III
Metoda ini mempunyai persamaan sebagai berikut: Log Xt = logX + K.S
2. 37
dimana: Log Xt = logX
= =
logaritmik tinggi gelombang untuk periode ulang T tahun logaritmik tinggi gelombang maksimum rata-rata.
∑ log X n
2. 38 (logX− logX) 2 n− 1
S logX =
standar deviasi =
K
karakteristik dari distribusi Log Pearson III yang nilainya bergantung pada
=
2. 39
harga CS
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 31
Laporan Tugas Akhir
CS
=
Kondisi Fisik
koefisien skewness =
∑(logX − logX) 2 (n − 1).(n − 2) Si 3
2. 40
Apabila nilai CS = 0, maka distribusi Log Pearson III identik dengan distribusi Log Normal sehingga distribusi kumulatifnya akan tergambar sebagai garis lurus pada kertas grafik log normal. Perioda gelombang rencana bisa didapatkan dengan cara memetakan tinggi gelombang yang didapat dari analisa frekuensi di atas ke scatter diagram perioda gelombang.
2.3.4.4 A.
Analisa Data Gelombang pada Lokasi Studi
Fetch Efektif
Fetch angin perairan masing-masing lokasi studi dibuat dengan titik pusat yang dianggap mewakili koordinat zona perairan laut dalam. Penggambaran fetch angin untuk lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 2.12 berikut ini.
Gambar 2.12
Fetch Daerah Mentigi, Kutampi, Nusa Penida
Panjang fetch efektif untuk masing-masing arah mata angin pada lokasi studi dapat dilihat pada Tabel 2.13 berikut ini.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 32
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik Tabel 2.13
Panjang Fetch Efektif Lokasi Studi
Arah Utara Timur Laut Timur Tenggara Selatan Barat Daya Barat Barat Laut
B.
Fetch eff (m) 35,472.000 63,603.000 64,201.000 42,285.000 0.000 0.000 0.000 9,996.000
Gelombang Rencana
Perhitungan atau peramalan gelombang rencana dilakukan dengan menggunakan data angin harian maksimum yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Bandara Ngurah Rai Denpasar. Hasil peramalan tinggi gelombang maksimum untuk tiap tahun berdasarkan arah dapat dilihat pada Tabel 2.14.
Tabel 2.14. Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994
Harga Tinggi Gelombang Maksimum Tahunan Per Arah
Utara 0.374 0.000 0.649 0.000 0.000 0.470 0.470 0.370 0.562 0.562 0.391 0.352 0.436 0.480 0.606
Timur Laut 0.758 0.000 0.420 0.290 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.390 0.000 0.185 0.390 0.577
Timur 1.050 1.050 1.730 1.590 1.730 1.730 1.730 1.730 1.730 1.730 1.590 1.460 1.460 1.050 1.460
Tenggara 1.072 1.170 1.021 1.021 0.915 0.915 0.915 0.915 0.915 0.915 1.054 0.695 0.802 0.855 1.191
Barat Laut 0.696 0.805 0.857 0.857 0.857 0.696 0.696 0.857 0.696 0.696 0.801 0.294 0.648 0.987 1.418
Untuk menentukan tinggi gelombang dengan perioda ulang tertentu digunakan analisa frekuensi dengan menggunakan metode distribusi Normal, Normal 2 parameter, Normal 3 parameter, Gumbel, Pearson III, Log Pearson III. Data masukkan untuk analisa adalah gelombang tertinggi. Hasil perhitungan analisa frekuensi tinggi gelombang dengan
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 33
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
beberapa metode untuk periode ulang H2, H5, H10, H25, H50 dan H100 dapat dilihat pada Lampiran B. Dari analisa, maka tinggi gelombang berdasarkan perioda ulang untuk lokasi Nusa Penida adalah sebagai berikut Tabel 2.15
Tr 200 100 50 25 10 5 3 2
Tinggi Gelombang Berdasarkan Perioda Ulang
Utara 0.66 0.65 0.64 0.63 0.60 0.56 0.51 0.43
Timur Laut 1.37 1.20 1.03 0.86 0.63 0.44 0.30 0.17
H (m) Timur 1.83 1.83 1.82 1.81 1.78 1.74 1.68 1.59
Tenggara 1.31 1.27 1.23 1.19 1.13 1.07 1.01 0.95
Barat Laut 1.54 1.45 1.35 1.25 1.10 0.98 0.87 0.77
Dalam perencanaan dermaga ini digunakan periode ulang 25 tahun. Untuk gelombang dengan fetch tertentu, perioda gelombang dicari berdasarkan tinggi gelombang rencana dengan menggunakan rumus
H mo
0.0016 xU A = g
2
⎛ gxFeff ⎜ ⎜ U 2 ⎝ A
0.2857 xU A ⎛ gxFeff ⎜ Tp = ⎜ U 2 g ⎝ A
1
⎞2 ⎟ ⎟ ⎠
2.41
1
⎞3 ⎟ ⎟ ⎠
2.42
Sedangkan untuk gelombang yang panjang fetch-nya tidak terbatas digunakan rumus dari Pierson – Moskovitz
T2 = 19,66 H
2.43
Dengan menggunakan rumus diatas diperoleh harga perioda gelombang rencana untuk ke-5 arah datang gelombang seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.16
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 34
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Tabel 2.16
Tinggi dan Periode Gelombang Rencana
Arah Utara Timur Laut Timur Tenggara Barat Laut
C.
H (m) 0.63 0.86 1.81 1.19 1.25
T (dtk) 3.654 4.364 6.674 5.253 5.403
Waverose
Tinggi gelombang yang diperoleh dari hasil peramalan gelombang dengan menggunakan data angin yang ada kemudian dikelompokkan menurut bulan kejadian. Langkah selanjutnya dicari persentase kejadian tinggi dan periode gelombang setiap bulannya menurut besar dan arahnya. Hasil peramalan gelombang disajikan dalam bentuk persentase kejadian statistik total tahun 1980 – 1994 sebagaimana Tabel 2.17. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa selama kurun waktu sesuai dengan tahun data yang diperoleh terlihat gelombang dominan untuk Nusa Penida berasal dari arah Timur (34,18%) dengan tinggi gelombang antara 1,4 – 1,8 m.
Tabel 2.17
Presentase Kejadian Gelombang Total Nusa Penida Tahun 1980 – 1994
Arah Utara Timur Laut Timur Tenggara Selatan Barat Daya Barat Barat Laut Total Kumulatif
Calm 33.50 33.50
Persentase Kejadian Tinggi Gelombang Tinggi Gelombang (m) 0.2-0.6 0.6-1.0 1.0-1.4 1.4-1.8 1.8-2.2 0.10 0.17 0.26 0.10 0.03 0.00 0.03 0.07 0.14 0.00 0.09 1.61 9.43 12.25 5.49 0.02 3.03 6.68 13.43 3.42 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.72 0.80 0.43 0.05 0.00 0.92 5.64 8.87 25.98 0.00 34.42 40.06 71.61 82.91 91.85
Persentase Kejadian Ada Gelombang
>2.2 0.26 0.02 5.32 2.56 0.00 0.00 0.00 0.00 8.15 100.00
Jumlah 33.50 0.92 0.26 34.18 29.14 0.00 0.00 0.00 2.00 100.00 100.00
: 66.50%
Persentase Kejadian Tidak Ada Gelombang : 33.50%
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 35
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Berikut dapat disimak mawar gelombang (waverose) selama 15 tahun di lokasi studi.
Waverose Gelombang Maksimum Harian Tahun 1980 – 1994
Gambar 2.13
Waverose 15 Tahun di Nusa Penida
2.4.
TRANSFORMASI GELOMBANG
2.4.1.
Umum
Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju laut dangkal akan mengalami transformasi yang diakibatkan oleh adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Di laut dalam, gelombang menjalar tanpa dipengaruhi oleh dasar laut. Namun di laut transisi dan laut dangkal, dasar laut mempengaruhi pergerakan gelombang. Gelombang yang merambat dari perairan dalam menuju perairan dangkal akan mengalami 3 peristiwa utama, yaitu refraksi, shoaling, dan breaking, di mana ketiga peristiwa tersebut mengakibatkan perubahan pada arah perambatan dan tinggi gelombang. a.
Refraksi
Refraksi adalah pembelokan arah gelombang akibat perubahan kedalaman. Seperti diketahui bahwa C adalah fungsi dari T dan h, yaitu C = f(T,h). Makin dangkal atau makin kecil h, akan makin kecil kecepatan. Kondisi ini menyebabkan gelombang yang datang Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 36
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
dengan membentuk sudut terhadap batimetri berubah arah dan front gelombang cenderung berevolusi sejajar pantai atau ray akan tegak lurus pantai. Di daerah perairan dangkal, apabila ditinjau suatu garis puncak gelombang, bagian puncak gelombang yang berada di air yang lebih dangkal akan menjalar dengan kecepatan yang lebih kecil daripada bagian dari puncak gelombang yang berada di air yang lebih dalam. Akibatnya garis puncak gelombang akan membelok dan berusaha untuk sejajar dengan garis kedalaman laut. Garis orthogonal gelombang, garis yang tegak lurus dengan garis puncak gelombang dan menunjukkan arah penjalaran gelombang, juga akan membelok dan berusaha untuk menuju tegak lurus garis kontur dasar laut. Efek pembelokan ini disebut sebagai refraksi. Sketsa deskripsi refraksi gelombang pada kontur lurus dan sejajar dapat dilihat pada Gambar 2.14
Ortogonal gelombang
L0
b0 α0 x
L
Kontur kedalaman
b α x
Pantai
Gambar 2. 14
Refraksi Gelombang pada Kontur Lurus dan Sejajar
Fenomena refraksi ini sangat penting untuk dipelajari dalam teknik pantai dan pelabuhan karena: 1.
Transpor sedimen pantai sangat bergantung pada arah gelombang, sehingga dalam melakukan analisa transpor sedimen pantai harus benar-benar diketahui sudut datang gelombang. Demikian juga halnya dengan analisa gelombang, perlu diketahui sudut datang gelombang.
2.
Peristiwa refraksi juga dapat mengakibatkan perubahan tinggi gelombang. Untuk kondisi suatu kontur dapat mengakibatkan pengkonsentrasian energi gelombang
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 37
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
(konvergen), dan pada kondisi kontur lain dapat mengakibatkan penyebaran energi gelombang (divergen). Kondisi konvergen dapat menyebabkan tinggi gelombang makin besar, sedangkan pada kondisi divergen terjadi pengurangan tinggi gelombang. Hal yang penting dari analisa refraksi adalah pengaruh refraksi terhadap tinggi, arah dan distribusi energi gelombang yang terjadi di perairan dangkal. Analisa penghitungan refraksi dimulai dengan menentukan tinggi gelombang terbesar beserta perioda dan arah gelombang tersebut. Dilatarbelakangi oleh hukum konservasi energi, di mana energi gelombang di perairan dalam sama dengan energi gelombang di perairan dangkal, dapat ditentukan tinggi gelombang yang terjadi di perairan dangkal. Analisa refraksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam SPM 1984. Untuk garis kontur yang sederhana dan sejajar pantai, parameter-parameter yang penting dalam analisa refraksi ini adalah: 1.
Persamaan Hukum Snellius.
⎛C ⎞ sin α 2 = ⎜⎜ 2 ⎟⎟ sin α1 ⎝ C1 ⎠ 2.
Koefisien Refraksi.
Kr = 3.
2. 44
b0 = b
cosα 0 cosα
2. 45
Tinggi gelombang akibat refraksi.
H 2 = K r H1
2. 46
di mana:
α1
=
sudut antara garis puncak gelombang dengan kontur dasar di mana gelombang melintas.
α2
=
sudut yang sama diukur saat garis puncak gelombang melintas dasar kontur berikutnya.
C1
=
kecepatan gelombang pada kedalaman kontur pertama.
C2
=
kecepatan gelombang pada kedalaman kontur kedua.
b0
=
jarak antara garis orthogonal di laut dalam.
b1
=
jarak antara garis orthogonal di titik 1.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 38
Laporan Tugas Akhir
b.
Kondisi Fisik
Shoaling
Dalam perjalanan gelombang dari perairan dalam menuju perairan dangkal terjadi perubahan kecepatan, yaitu menjadi lebih lambat. Perubahan ini selain mengakibatkan perubahan arah, juga mengakibatkan pembesaran tinggi gelombang, di mana peristiwa tersebut dikenal sebagai shoaling. Penghitungan koefisien tinggi gelombang akibat shoaling ini dinyatakan dengan persamaan berikut: 1
⎡ ⎤2 ⎢ ⎥ 1 ⎥ Ks = ⎢ ⎢ ⎛ 2kh ⎞ ⎥ ⎟⎟ tanh(2kh) ⎥ ⎢1 + ⎜⎜ ⎢⎣ ⎝ sinh( 2kh) ⎠ ⎥⎦
2. 47
atau dapat juga dihitung dengan:
KS =
C g1
2. 48
Cg 2
Tinggi gelombang akibat refraksi dan shoaling adalah:
H 2 = K r K S H1 c.
2. 49
Breaking
Gelombang memasuki perairan yang lebih dangkal akan mengalami shoaling dan pada akhirnya akan pecah. Peristiwa pecah ini akan terjadi terus menerus sampai mencapai tinggi gelombang stabil, yaitu pada tinggi gelombang HS = 0.4 h. Jarak mulai pecah sampai dengan menjadi stabil pada umumnya adalah 0.5 L. Hal ini terjadi terus menerus sampai gelombang mencapai pantai. Gelombang pecah terjadi di laut dalam dan laut dangkal. Kapan gelombang mulai pecah di laut dalam dinyatakan oleh Michell (1893) dengan persamaan berikut:
H0 ⎛ 2πh ⎞ ≥ 0.142 tanh⎜ ⎟ L0 ⎝ L ⎠
2. 50
Hal ini dapat terjadi bila sudut yang dibentuk oleh puncak gelombang sebesar 1200. Pada sudut batas ini, kecepatan partikel di puncak gelombang hampir sama dengan kecepatan rambat
gelombang.
Penambahan
kecuraman
sudut
puncak
gelombang
akan
mengakibatkan kecepatan partikel di puncak gelombang lebih besar daripada cepat Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 39
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
rambat gelombang, sehingga terjadilah ketidakstabilan yang menyebabkan gelombang pecah. Persamaan ini juga menyatakan tinggi gelombang maksimum yang dapat terjadi pada suatu kedalaman untuk suatu perioda gelombang. Sementara itu, kriteria gelombang pecah di laut dangkal secara umum adalah sebagai berikut:
H ≥ 0.78 h d.
2. 51
Wave Set-up dan Wave Set-down
Akibat adanya gelombang, maka akan terjadi perubahan elevasi muka air rata-rata atau kedalaman rata-rata. Perubahan tersebut dengan wave set-up atau wave set-down. Wave set-up atau wave set-down ini dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut:
3 1 δH 2 δη = η1 − η2 = − δx 16 (h + η ) δx
2. 52
Kehilangan Energi akibat Friksi Pada perairan pantai, friksi dengan dasar perairan cukup berpengaruh dalam mereduksi tinggi gelombang. Kehilangan energi akibat friksi dapat dihitung dengan persamaan:
Eloss =
4 f ( Hσ )3 ∆x 3πgh sinh 3 (kh' )
2. 53
Tinggi gelombang yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 2
H f = H1 − Eloss
2. 54
di mana: f
=
koefisien gesek yang berkisar antara 0.010-0.015
h’= h + η e.
2. 55
Difraksi Gelombang
Difraksi adalah fenomena di mana energi dialihkan secara lateral sepanjang puncak gelombang apabila gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan seperti pemecah gelombang atau pulau. Pada Gambar 2.27.a ditunjukkan apabila tidak terjadi difraksi gelombang maka daerah di belakang rintangan akan tenang. Bila terjadi difraksi (Gambar 2.27.b), maka daerah di belakang rintangan akan terpengaruh oleh gelombang
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 40
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
datang. Garis puncak gelombang di belakang rintangan akan membelok dan mempunyai busur lingkaran dengan pusatnya pada ujung rintangan. Pada daerah ini, tinggi gelombang akan berkurang, semakin jauh dari ujung rintangan maka berkurangnya tinggi gelombang akan semakin besar. Sedangkan untuk daerah di depan rintangan akan terjadi superposisi antara gelombang datang dan gelombang balik yang dikenal dengan short crested
waves
(gelombang
hasil
superposisi
beberapa
gelombang
yang
sudut
datang/perginya tidak sama).
Puncak gelombang
Puncak gelombang
Arah Gelombang
Arah Gelombang
Perairan tenang
θ
K' Titik tinjau
r L
L
P
P Rintangan
a. Tidak Terjadi Difraksi
Gambar 2. 15
β
Rintangan
b. Terjadi Difraksi
Pola Gelombang di Belakang Rintangan
Untuk mendapatkan model difraksi, maka perlu digunakan beberapa asumsi sebagai berikut: 1.
Fluida adalah ideal (tidak mempunyai kekentalan dan tidak mampu mampat).
2.
Gelombang amplitudo kecil (Teori Gelombang Linier).
3.
Aliran tidak berputar.
4.
Kedalaman di belakang rintangan adalah konstan.
5.
Gelombang dipantulkan sempurna oleh rintangan.
Berdasarkan asumsi di atas, penghitungan difraksi gelombang berdasarkan jenis rintangan yang dilalui dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu difraksi gelombang melewati celah tunggal dan melewati dua celah.
Difraksi Gelombang Melewati Celah Tunggal
Contoh difraksi gelombang melewati celah tunggal dapat dilihat pada Gambar 2.27.a. Tinggi gelombang di suatu tempat di daerah terlindung tergantung kepada: Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 41
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
1. Jarak titik tersebut terhadap ujung rintangan r. 2. Sudut antara rintangan dan garis yang menghubungkan titik tersebut dengan ujung rintangan β. 3. Sudut antara arah penjalaran gelombang dan rintangan θ. Dengan demikian koefisien difraksi dapat didefinisi sebagai: 2. 56
H = K'.H i
dimana: H
=
tinggi gelombang setelah difraksi
HI
=
tinggi gelombang datang
K’
=
koefisien difraksi = f’(θ,β,r/L)
Nilai K’ untuk θ,β,r/L tertentu dapat dicari dengan menggunakan diagram difraksi. Langkah-langkah untuk menggunakan diagram difraksi adalah: 1. Hitung panjang gelombang (L). 2. Hitung jarak lokasi dari ujung rintangan (r). 3. Hitung r/L. 4. Tentukan arah gelombang. 5. Gunakan diagram difraksi untuk arah gelombang yang sesuai. 6. Bila arah gelombang tidak sama dengan yang ada pada diagram, lakukan interpolasi.
Difraksi Gelombang Melewati Dua Celah
Untuk menentukan koefisien difraksi gelombang yang melewati dua celah digunakan grafik yang dikembangkan oleh Johnson (1952, 1953; dalam Wiegel 1964) yang menunjukkan kurva difraksi yang sama untuk arah gelombang datang tegak lurus sisi celah dan untuk berbagai perbandingan antara lebar celah B dan panjang gelombang L (B/L). Apabila lebar celah sama dengan lima kali panjang gelombang atau lebih, maka difraksi oleh kedua ujung celah tidak saling mempengaruhi sehingga teori difraksi untuk gelombang melewati celah tunggal dapat digunakan untuk kedua sisi.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 42
Laporan Tugas Akhir
2 .4 .2
Simulasi Transformasi Gelombang
2.4.2.1
Umum
Kondisi Fisik
Pada mulanya model numerik untuk simulasi proses refraksi menggunakan pendekatan lintasan gelombang (Wilson, 1996), di mana penghitungannya dilakukan dengan mengikuti lintasan gelombang mulai dari perairan dalam menuju perairan dangkal sampai syarat batas (gelombang pecah atau lintasan telah sampai pada batas perairan). Pada prakteknya, pendekatan ini sulit dilakukan karena dari awal pemodel tidak tahu akan menuju ke mana lintasan gelombang yang akan diikutinya. Bila keadaan gelombang di suatu titik ingin diketahui maka harus ada lintasan yang menuju ke titik atau dekat titik tersebut. Oleh karena itu, harus dicoba banyak lintasan gelombang dan biasanya dibutuhkan interpolasi serta penyesuaian dari pemodel dalam menginterpretasikan pola lintasan gelombang di perairan yang ditinjau. Peneliti numerik (Berkhoff, 1972 dan Lozano & Liu, 1980) mengembangkan model yang mampu memperhitungkan proses refraksi dan difraksi. Hal ini mengingat bahwa bila tinjauan model numerik melibatkan suatu konstruksi bangunan laut, konsep refraksi tidak berlaku di daerah yang terlindung oleh bangunan laut tersebut.
2.4.2.2
Prosedur Pemodelan
Adapun langkah-langkah untuk melakukan simulasi transformasi gelombang ini adalah sebagai berikut: 1.
Membuat grid referensi. Grid yang dibuat berbentuk persegi empat, dengan sumbu x membesar searah dengan arah datangnya gelombang dan sumbu y tegak lurus terhadap sumbu x.
2.
Membuat data masukan. Data masukan yang dibutuhkan berupa kedalaman di setiap titik grid referensi dan parameter gelombang di lokasi studi. Parameter gelombang di lokasi studi yang dimaksud adalah tinggi, perioda, dan arah datang gelombang dan disesuaikan dengan hasil analisa sebelumnya. Kedua data tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam dua file yang berbeda.
3.
Menjalankan program.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 43
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Setelah semua data masukan disiapkan, maka selanjutnya adalah menjalankan program. Simulasi dijalankan untuk setiap arah gelombang datang yang berbeda. 4.
Plot kontur tinggi gelombang. Tinggi gelombang yang dihasilkan oleh program masih berbentuk deretan angkaangka spesifik berupa nilai tinggi gelombang untuk setiap titik grid referensi. Untuk lebih memudahkan maka hasil simulasi ditampilkan dalam bentuk peta kontur.
Prosedur pemodelan transformasi gelombang secara umum dirangkum dalam sebuah bagan alir yang dapat dilihat pada Gambar 2.16 berikut ini. Mulai
Membuat Grid untuk Kawasan Studi
Input Data 1.
Batimetri di Tiap Node
2.
H, T dan arah datang gelombang di lokasi studi
Run Ref/Dif
Output Kontur Tinggi gelombang dan Arah di setiap node
Plot Kontur Tinggi Gelombang dengan Surfer
Selesai
Gambar 2.16
Bagan Alir Pemodelan Transformasi Gelombang
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 44
Laporan Tugas Akhir
2.4.2.3. A.
Kondisi Fisik
Data Masukan dan Hasil Pemodelan
Data Masukan
Untuk membuat pemodelan transformasi gelombang yang terjadi di lokasi, dibutuhkan data-data yang mempengaruhi karakteristik perilaku gelombang di lokasi tersebut. Data yang digunakan dalam pemodelan transformasi gelombang ini antara lain adalah:
1.
Peta Batimetri
Peta batimetri yang digunakan berasal dari hasil survei topografi dan batimetri yang telah dilaksanakan seperti yang disajikan pada gambar berikut ini.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 45
Kondisi Fisik
Gambar 2.17
Peta Batimetri Nusa Penida
Laporan Tugas Akhir
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 46
Laporan Tugas Akhir
2.
Kondisi Fisik
Data Gelombang di Laut Dalam
Data gelombang laut dalam yang digunakan adalah data gelombang maksimum untuk perioda ulang 25 tahun yang diperoleh dari hasil peramalan gelombang dari data angin maksimum harian untuk lokasi Mentigi, Kutampi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.18 ini.
Tabel 2.18 Utara Timur Laut Timur Tenggara Barat Laut
Tinggi dan Periode Gelombang Rencana
Arah (0) 0 45 90 135 315
H (m) 0.63 0.86 1.81 1.19 1.25
T (dtk) 3.65 4.36 6.67 5.25 5.40
L (m) 20.85 29.74 69.54 43.09 45.58
h (m) 10.42 14.87 34.77 21.54 22.79
Dikarenakan peta batimetri yang digunakan memiliki kedalaman maksimum hingga 50 m maka tidak perlu dilakukan transformasi gelombang secara manual untuk mencari tinggi gelombang di laut dalam, sehingga data tinggi dan periode gelombang dapat digunakan sebagai input pemodelan transformasi gelombang. 3.
Grid Pemodelan
Grid yang digunakan dalam pemodelan ini dibuat pada peta batimetri di atas dan dapat dilihat pada Gambar 2.18 berikut ini.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 47
Kondisi Fisik
Gambar 2.18
Grid yang Digunakan di Lokasi Studi
Laporan Tugas Akhir
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 48
Laporan Tugas Akhir
B.
Kondisi Fisik
Hasil Pemodelan
Hasil simulasi tranformasi gelombang pada pekerjaan ini di lokasi Mentigi, Kutampi dapat dilihat pada Gambar2.19 – 2.23 berikut ini.
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 49
Kondisi Fisik
Gambar 2.19
Kontur Gelombang untuk Arah Datang Utara
Laporan Tugas Akhir
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 50
Kondisi Fisik
Gambar 2.20
Kontur Gelombang untuk Arah Datang Timur Laut
Laporan Tugas Akhir
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 51
Kondisi Fisik
Gambar 2.21
Kontur Gelombang untuk Arah Datang Timur
Laporan Tugas Akhir
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 52
Kondisi Fisik
Gambar 2.22
Kontur Gelombang untuk Arah Datang Tenggara
Laporan Tugas Akhir
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 53
Kondisi Fisik
Gambar 2.23
Kontur Gelombang untuk Arah Datang Barat Laut
Laporan Tugas Akhir
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 54
Laporan Tugas Akhir
Kondisi Fisik
Dari kontur gelombang hasil pemodelan transformasi gelombang di atas, dapat dilihat tinggi gelombang di garis pantai daerah yang akan dijadikan dermaga adalah sebagai berikut:
Tabel 2.19
Tinggi Gelombang Hasil Pemodelan Ref-Dif Arah
Tinggi Gelombang (m)
Utara
0.463
Timur Laut
0.535
Timur
0.741
Tenggara
0.605
Barat Laut
0.623
Maksimum
0.741
Perencanaan Pembangunan Dermaga Penyeberangan Ferry di Nusa Penida
Bab II - 55