PASANG SURUT INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1898-1936
TESIS yang diajukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Pascasarjana Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
SHANTY SETYAWATI NPM 6705040091
UNIVERSITAS INDONESIA 2008
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini telah diujikan pada hari Senin, tanggal 28 Juli 2008, pukul 17.00 WIB.
1. Prof. Dr. Susanto Zuhdi Ketua Penguji …………………………. 2. Dr. Priyanto Wibowo Pembimbing I …………………………. 3. Dr. Masyhuri Pembimbing II ……………………......... 4. Dr. Magdalia Alfian Anggota …………………………. 5. Dr. Mohammad Iskandar Anggota …………………………. 6. Tri Wahyuning M. Irsyam, M.Si. Panitera ………………………….
Disahkan oleh Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Dr. Priyanto Wibowo NIP. 131689560
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
Dekan ProgramPascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
Dr. Bambang Wibawarta NIP. 131882265
i
LEMBAR PERNYATAAN
Seluruh tesis ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Depok, 28 Juli 2008
Shanty Setyawati NPM. 6705040091
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas limpahan karunia-Nya, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat dan pengikut-pengikut beliau. Penulis memilih industri perikanan Bagansiapiapi sebagai topik penelitian karena rasa penasaran bagaimana sih Bagansiapiapi ketika menjadi penghasil ikan terbesar kedua di dunia. Topik ini menjadi lebih menarik ketika penulis mengetahui bahwa Mama waktu kuliah juga melakukan penelitian di Bagansiapiapi. Maka jadilah kunjungan pertama dan studi lapangan penulis ke Bagansiapiapi ditemani Mama yang ingin bernostalgia. Namun penulis berharap semoga hasil penelitian yang diawali dengan alasan sangat subyektif ini bisa bermanfaat bagi banyak orang. Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah selayaknya dan seharusnya penulis mengucapkan banyak terima kasih, antara lain kepada: 1. Bapak Dr. Bambang Wibawawarta selaku Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2. Bapak Dr. Priyanto Wibowo selaku Ketua Departemen Sejarah sekaligus pembimbing yang dengan sabar membantu dan mendorong penulis agar segera menyelesaikan tesis. 3. Ibu Tri Wahyuning M. Irsyam, M.Si. selaku pembimbing akademik 4. Para dosen di Departemen Sejarah dan Fakultas Ilmu Budaya yang pernah
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
- -
v
mengajar penulis. 5. Para penguji Prof. Dr. Susanto Zuhdi, Dr. Masyhuri, Dr. Magdalia Alfian dan Dr. Mohammad Iskandar atas saran dan kritik untuk perbaikan tesis ini. 6. Teman-teman di Program Pascasarjana Sejarah Albiner, Humaidi, Nur’aeni Marta, Hiroshi, Mbak Nessa dan Nurdiana. 7. Teman-temanku yang baik Siska Widyawati, Wiendy Widasari, Budhita Arini, Yoshiko Hikariati dan Olvi Pristina. 8. And most of all my beloved family Papa H. Marhen Thamsoer, Mama Hj. Nurhayati, Shinta Putrinanda, Sari Puspa Dewi, Siska Noviaristanti dan Muhammad Ariano, Andri, Heru Aditya dan Sanny serta Natasha Puspa Kencana, Umar Abdurrahman dan Qeyra Azzahra Putri Ariano yang selalu menceriakan hari-hari penulis.
Jakarta, 28 Juli 2008
Shanty Setyawati
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
- -
vi
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan…………………………………………………………….….i Lembar Pernyataan………………………………………………………………..ii Abstraction………………………………………………………………………..iii Abstraksi………………………………………………………………………….iv Ucapan Terima Kasih……………………………………………………………..v BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang………………………………………………………………...1 I.2. Perumusan Masalah…………………………………………………………...5 I.3. Kerangka Pemikiran…………………………………………………………. 7 I.4. Metodologi…………………………………………………………………… 9 I.5. Sistematika Penulisan………………………………………………………..10 BAB II FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI II.1. Keadaan Alam………………………………………………………………13 II.2. Penduduk……………………………………………………………………18 II.3. Pelaku Industri………………………...…………………………………….23 II.4. Alat Tangkap………………………………………………………………..26 II.5. Pengolahan Ikan dan Udang……………………………………………….. 29 BAB III PERTUMBUHAN INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1898-1909 III.1. Pertumbuhan Pesat dan Garam Murah…………………………………….32 III.2. Pasar yang Besar…………………………………………………………...35 III.3. Peran Pachter………………………………………………………………37 III.4. Keuntungan Pemerintah dan Pachter……………………………………...41 BAB IV INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1910-1919 IV.1. Stagnasi Ekspor Ikan dan Perubahan di Muara……………………………44 IV.2. Ekspor Terasi Naik, Harga Turun………………………………………….51 IV.3. Penggunaan dan Harga Garam…………………………………………….53 IV.4. Pendapatan Pemerintah dan Pachter………………………………………56
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
vii
IV.5. Pacht Dihapus……………………………………………………………..58 BAB V PERKEMBANGAN INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1920-1936 V.1. Ekspor Terasi Meningkat, Ikan Tetap Stagnan……………………………. 61 V.2. Organisasi Pedagang….…………………………………………………… 64 V.3. Peningkatan Jumlah Bubu…….…………………………………………….66 V.4. Dampak Krisis Ekonomi Dunia…………………………………………….69 V.5. Munculnya Nelayan Cici…………………………………………………...72 V.6. Bank Bagan Madjoe dan Visscherijfonds…………………………………..74 V.7. Sumbangan Industri Perikanan pada Kota Bagansiapiapi………………….77 BAB VI KESIMPULAN………………………………………………………...80 BIBLIOGRAFI…………………………………………………………………..83
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
viii
DAFTAR TABEL
Tabel.1 Eskpor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1909………………. ...33 Tabel.2 Produksi dan Penggunaan Garam 1898-1909……….………………... 34 Tabel.3 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1910-1919……………….... 44 Tabel.4 Harga Produk Perikanan Bagansiapiapi 1910-1919…………………...52 Tabel.5 Produksi dan Penggunaan Garam 1910-1919…………………….........54 Tabel.6 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1920-1930……………….....62 Tabel.7 Produksi dan Penggunaan Garam 1920-1930……………………….....64 Tabel.8 Jumlah Alat Tangkap dan Perahu 1919-1930……………………….....67 Tabel.9 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1931-1936………………….70 Tabel.10 Kredit Bank Bagan Madjoe……………………………………………74
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
ix
DAFTAR PETA
Peta Bagansiapiapi……….………………………………………………………14 Peta Muara Sungai Rokan 1893………………………………………………….46 Peta Muara Sungai Rokan 1913………………………………………………….47
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
x
Abstraksi
Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936. Penelitian bertujuan mencari faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, stagnasi dan kemunduran industri perikanan Bagansiapiapi. Analisa penelitian ditempatkan dalam kerangka kausalitas atau keterkaitan sebab-akibat antar peristiwa. Selama kurun waktu 1898 sampai 1936, industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pasang surut. Pertumbuhan, stagnasi dan kemunduran dipengaruhi oleh keadaan muara Sungai Rokan, ketersediaan dan harga garam, ketersediaan modal, keadaan pasar dan tingkat permintaan di Jawa. Industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pertumbuhan pesat pada tahun 1898-1909 karena kekayaan ikan dan udang di muara Sungai Rokan, tersedia garam murah, modal yang cukup dan pasar yang besar dan terbuka yaitu Jawa. Pada tahun 1910-1919 ekspor ikan kering mengalami stagnasi disebabkan tangkapan ikan berkurang karena pendangkalan di muara Sungai Rokan, kenaikan harga garam dan pachter memperketat pinjaman. Ekspor terasi meningkat tapi harga turun karena dicampur dengan tepung sagu. Pada tahun 1920-1930 secara umum industri perikanan mengalami pertumbuhan. Ekpor terasi meningkat karena penangkapan udang meningkat sedangkan ekspor ikan tetap stagnan. Pedangkalan tidak menyebabkan jumlah udang berkurang. Ekspor kulit udang dan isi perut ikan meningkat tajam karena permintaan meningkat. Pada tahun 1920 pemerintah menghapus pacht dan menunjuk sebuah perusahaan di Bagansiapiapi untuk mendistribusikan garam dengan harga tetap. Kebijakan pemerintah menstabilkan harga garam membuat industri perikanan Bagansiapiapi bisa mempertahankan ekspor. Pemerintah mendirikan bank yang memberi pinjaman dengan bunga rendah. Untuk mencegah harga ikan jatuh, para pedagang ikan membentuk sebuah organisasi untuk mengatur ekspor ikan ke Jawa dan mendirikan kantor pemasaran di Batavia. Sebagai dampak dari krisis ekonomi dunia, industri perikanan Bagansiapiapi mengalami kemunduran. Mulai tahun 1931 sampai 1936 ekspor ikan kering, terasi dan udang kering mengalami penurunan tajam karena kenaikan harga garam dan bank mengurangi pemberian kredit. Harga ikan dan terasi di Jawa mengalami penurunan karena daya beli penduduk Jawa menurun. Pada tahun 1932 dan 1933 ekspor ikan meningkat karena hasil tangkapan nelayan meningkat setelah menggunakan alat tangkap yang disebut cici. Ekspor terasi terus menurun karena nelayan udang memilih menangkap ikan. Untuk membantu nelayan membeli garam, pemerintah membentuk visscherijfonds dengan memberikan pinjaman.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
iii
Abstraction
The Up and Down of the Fishing Industry of Bagansiapiapi 1898-1936. This research aims to find factors that control the growth, stagnation and set back of Bagansiapiapi fishing industry using the causality analysis or the cause and effect correlation of events. Between 1898 and 1936, the the fishing industry of Bagansiapiapi experienced the up and down of export. The growth, stagnation and set back controlled by the condition of the estuary of Rokan river, the supply and the price of salt, the availability of capital, the condition of market and demand in Jawa. The fishing industry of Bagansiapiapi experienced rapid growth in 1898 and 1909 due to the richness of fish and shrimp in Rokan river estuary, cheap salt, high investment and big and open market in Jawa. In the years of 1910-1919, export of dried fish was stagnant due to sedimentation in Rokan river estuary, high price of salt and reduction of credit by pachter. Export of terasi increased but the price felled because terasi was mixed with sago flour. In general in 1920-1930 the fishing industry experienced growth. Export of terasi increased because the catch of shrimp was raised but the export of dried fish was remaining stagnant. The sedimentation did not decrease the amount of shrimp. The export of shrimp-waste and fish-refuse increased. The government abolished pacht in 1920 and appointed a company in Bagansiapiapi to distributed salt in fixed price. This policy enabled the fishing industry to sustain its export. The government established a bank that granted low rent credit. To prevent the reduction of price, the fish dealer established an organization which regulates the export of dried fish and opened a sales agent in Batavia. As the effect of world economic crisis, the fishing industry of Bagansiapiapi experienced set back. From 1931 to 1936 the export of dried fish, terasi and dried shrimp decreased because of the high price of salt and bank reduced its credit. The price of dried fish and terasi in Jawa sank because the purchasing power of Jawa reduced. In 1932 and 1933 the export of dried fish increased because the increase of catch since the fishermen used cici. The export of terasi remaining decreased because the fishermen prefer to catch fish over shrimp. To help the fishermen bought salt, the government established visscherijfonds which grants loan.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
iv
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Setiap tahun pada tanggal 15 dan 16 bulan kelima penanggalan Imlek, masyarakat Cina di Bagansiapiapi menyelenggarakan upacara ritual keagamaan Go Ge Cap Lak atau Bakar Tongkang. Upacara ini diadakan untuk memperingati ulang tahun dewa laut Kie Ong Ya serta untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada para dewa yang telah memberi kemakmuran dan keselamatan kepada penduduk Bagansiapiapi. Upacara Bakar Tongkang sudah diadakan orang-orang Cina sejak menetap di Bagansiapiapi pada akhir abad ke-19 sebagai rasa syukur atas hasil perikanan yang berlimpah. Pada awalnya upacara Bakar Tongkang dilaksanakan di masingmasing bangliau tapi sejak 1928, kegiatan ini dipusatkan di sebuah kelenteng di kota Bagansiapiapi. Pada saat itu hampir seluruh penduduk kota Bagansiapiapi adalah
orang
Cina.
Mereka
menguasai
industri
perikanan1.
Mereka
mengembangkan Bagansiapiapi menjadi pusat perikanan yang terpenting di kepulauan2. Industri perikanan adalah jantung kehidupan perekonomian di Bagansiapiapi. Kegiatan perekonomian lain seperti perdagangan dan industri lain
1
Fukuda Shozo, With Sweat and Abacus: Economic Role of Southeast Asian Chinese on The Eve of World War III, (Singapore: Select Book Pte. Ltd. 1995), hlm. 128. 2 K.J. Boeijinga, ‘De Visscherij van Bagan Si Api Api’, Kolonial Tijdschrift 1926, hlm. 451; W.J. Cator, The Economic Position of the Chinese in the Nederlands Indie, (Oxford: Basil Blackwell & Mott Ltd, 1936), hlm. 211.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
1
sangat tergantung pada industri perikanan3. Surat kabar Indische Mercuur menulis bahwa pada tahun 1928, Bagansiapiaspi adalah kota ikan kedua di dunia setelah kota Bergen di Norwegia4. Industri perikanan Bagansiapiapi mengekspor ikan kering ke Jawa dan Semenanjung Malaya. Sebagian besar terasi diekspor ke Jawa dan hampir seluruh udang kering dikirim ke Singapura dan Strait Settlement. Sementara kulit udang dan isi perut ikan diekspor ke Bangka, Lampung dan Riau untuk dijadikan pupuk di perkebunan lada5. Industri perikanan Bagansiapiapi memiliki hasil yang besar karena kekayaan flora dan fauna muara Sungai Rokan yang sangat luar biasa. Muara Sungai Rokan merupakan perairan yang kaya akan ikan dan udang6. Sejumlah faktor alam menjadikan muara Sungai Rokan lingkungan hidup yang baik bagi bermacam-macam jenis ikan dan udang. Perairannya mengandung lumpur yang kaya akan material organik dan mineral yang berasal dari daun-daun hutan mangrove yang membusuk dan jatuh ke sungai. Arus Sungai Rokan yang deras membawa lumpur kaya nutrisi dari hulu sungai masuk ke muara7. Orang-orang Cina yang pertama datang ke Bagansiapiapi adalah sejumlah bajak laut pada tahun 1875. Karena kekayaan ikan dan udang di muara Sungai Rokan mereka memutuskan untuk menjadi nelayan dan membuka pemukiman Cina pertama di Bagansiapiapi8. Potensi yang luar biasa dari industri perikanan di
3
Cator, ibid., hlm. 211. De Indische Mercuur, 51, No. 14, 1928: 259, ‘Bagan Si Api Api de Tweede Vischstad der Wereld’. 5 Cator, ibid., hlm. 217. 6 Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI) VII, 1918, Martinus Nijhoff, hlm. 103. 7 John G. Butcher, ‘The Salt Farm and Fishing Industry of Bagan Si Api Api’, Indonesia, Vol. 62 (Oct., 1996), hlm. 93. 8 J.L. Vleming Jr., Het Chineesche Zaken-Laven in Nederlandsch-Indie, (Wetevreden: Landsdrukkerij, 1926), hlm. 234. 4
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
2
Bagansiapiapi mendorong pemerintahan kolonial Hindia Belanda memindahkan kantor Controleur dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi pada tahun 19009. Dalam
perkembangannya,
industri
perikanan
telah
menjadikan
Bagansiapiapi sebuah kota modern. Pada tahun 1934 Bagansiapiapi sudah memiliki fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam kebakaran10. Karena kemajuan yang dicapai kota ini dibandingkan daerah-daerah lain di afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi disebut “Ville Lumiere” (Kota Cahaya)11. Pencapaian istimewa di masa lalu sebagai daerah penghasil ikan menjadi kebanggaan pemerintah dan masyarakat Kabupaten Rokan Hilir, khususnya Bagansiapiapi. Dalam sejumlah publikasi yang dikeluarkan pemerintah daerah, disebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II, Bagansiapiapi adalah penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Hasil perikanannya diekspor ke Singapura dan Malaysia12. Sementara dalam pelajaran sekolah, para guru Sekolah Dasar di provinsi Riau melalui kurikulum tahun 1994 Pendidikan Dasar Sembilan Tahun mengajarkan kepada murid-murid mereka bahwa Bagansiapiapi adalah penghasil
ikan
terbesar
di
Riau13.
Upacara
Bakar
Tongkang
masih
diselenggarakan hingga sekarang meskipun hasil perikanan Bagansiapiapi tidak
9
Butcher, ibid., hlm. 92. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI) VII, 1935, Martinus Nijhoff, hlm. 1362. 11 ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 30/8/1934. 12 Di antaranya buku dan brosur acara Bakar Tongkang yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Seni Budaya Pemuda dan Olahraga Kabupaten Rokan Hilir tahun 2005, 2006 dan 2007. Buku mengenai profil Kabupaten Rokan Hilir menuliskan, menjelang Peran Dunia I, Bagansiapiapi adalah kota ikan terbesar di dunia setelah Peru dan pelabuhan Bagansiapiapi merupakan pelabuhan samudra tersibuk di bidang ekspor dan impor setelah Pelabuhan Sunda Kelapa. Buku mengenai peluang investasi Kabupaten Rokan Hilir yang dikeluarkan oleh Badan Promosi dan Investasi Kabupaten Rokan Hilir menyebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II, kota Bagansiapiapi terkenal sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia. 13 Kompas, 31 Oktober 1995, hlm. 2, ‘Julukan Kota Ikan Itu Kini Hanya Tinggal Nama…’. 10
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
3
sebanyak dulu. Bahwa Bagansiapiapi adalah pusat perikanan terpenting di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda sudah menjadi pengetahuan sejarah yang umumnya diketahui masyarakat dan pemerintah daerah. Kebesaran nama Bagansiapiapi tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Cina tapi seluruh masyarakat Bagansiapiapi. Namun sampai saat ini penulisan sejarah mengenai industri perikanan di Bagansiapiapi masih sangat sedikit. Di antaranya adalah karya John G. Butcher. Dalam tulisannya, Butcher (1996) menelaah hubungan antara pacht dalam pengadaan garam dengan industri perikanan Bagansiapiapi. Menurutnya pada awal masa berlakunya, pacht berperan dalam mendorong pertumbuhan industri perikanan Bagansiapiapi tapi sejak 1910 tidak lagi karena industri perikanan Bagansiapiapi telah dieksploitasi hingga mendekati ambang batas kapasitasnya14. Karena itu pemilihan industri perikanan Bagansiapiapi sebagai topik penelitian masih sangat relevan dan sangat penting untuk menambah khasanah penulisan sejarah mengenai industri perikanan Bagansiapiapi yang telah ada sebelumnya. Ruang lingkup penelitian adalah periode antara tahun 1898 – 1936 dengan pertimbangan selama periode ini terjadi sejumlah perubahan besar dalam industri perikanan Bagansiapiapi yaitu diberlakukannya pacht dalam pengadaan garam, pertumbuhan pesat industri perikanan Bagansiapiapi, dihapuskannya pacht dan krisis ekonomi dunia. Pertimbangan praktis dalam pemilihan ini adalah ketersediaan sumber material untuk periode ini cukup memadai. Di antaranya sumber-sumber tertulis seperti bahan-bahan arsip, laporan serah terima jabatan,
14
Butcher, ibid., hlm. 94.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
4
penerbitan resmi sejaman, artikel dan buku-buku yang relevan.
I.2. Perumusan Masalah
Industri perikanan Bagansiapiapi mengalami kemajuan yang pesat di awal abad ke-20. Kemajuan tersebut bisa dilihat dari volume ekspornya. Antara tahun 1898 dan 1904 ekspor ikan kering industri perikanan Bagansiapiapi meningkat dua kali lipat, dari 12,7 juta kg menjadi 25,9 juta kg. Begitu juga dengan ekspor udang keringnya. Dari 0,1 juta kg pada tahun 1904 menjadi 0,2 juta kg pada tahun 1904. Sementara ekspor terasi melonjak tajam dari 0,1 juta kg pada tahun 1899 menjadi 2,7 juta kg pada 190415. Untuk mengolah hasil perikanan yang berlimpah menjadi komoditas ekspor, industri perikanan Bagansiapiapi membutuhkan garam dalam jumlah yang besar. Kebutuhan garam ini dipenuhi melalui sebuah sistem yang disebut pacht atau sistem sewa. Selain menyediakan garam dengan harga murah secara kredit, pachter juga meminjamkan uang kepada nelayan, taukeh dan pedagang untuk modal usaha, mendirikan perusahaan transportasi laut dan menyediakan tenaga kerja dengan mendatangkan imigran dari Cina untuk bekerja sebagai nelayan. Pada tahun 1910 hingga 1919, ekspor ikan kering dan udang kering mengalami stagnasi. Ekspor terasi mengalami sedikit peningkatan tapi kemudian kembali menurun16. Pada saat itu muara Sungai Rokan mengalami pendangkalan. Berdasarkan peta hidrografi, dalam kurun waktu 25 tahun (1893 – 1918) telah terjadi pendangkalan yang ditandai dengan luas Pulau Halang Besar dan Pulau 15 ANRI, MvO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936. 16 Ibid.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
5
Halang Kecil yang terletak di muara Sungai Rokan bertambah secara signifikan17. Harga garam mengalami kenaikan karena pemerintah menaikkan uang sewa pacht sehingga pachter menaikkan harga garam. Pada tahun 1920 pemerintah menghapuskan pacht di industri perikanan Bagansiapiapi. Pemerintah menunjuk sebuah perusahaan di Bagansiapiapi untuk menggantikan peran pachter menjual garam. Peningkatan ekspor terasi kembali terjadi mulai tahun 1920 hingga tahun 1930. Sementara ekspor ikan kering dan udang kering mengalami stagnasi. Selama periode ini harga garam stabil f 3 per pikul. Keadaan ini hanya berlangsung sampai tahun 1930 saat terjadi krisis ekonomi dunia. Mulai tahun 1931 industri perikanan Bagansiapiapi mengalami penurunan. Selama periode ini harga garam naik dari f 3 per pikul menjadi f 4 per pikul. Hasil penelitian ahli perikanan Hardenberg pada tahun 1933 menunjukkan telah terjadi perubahan cukup besar pada konfigurasi dasar muara. Luas bagian barat daya kota bertambah dengan sebuah pulau baru dengan luas beberapa hektar yang ditumbuhi pohon api-api (Avicennia). Akibat pertambahan luas ini terjadi perubahan gerakan arus saat air pasang surut yaitu percampuran terbesar air laut dengan air sungai terjadi lebih jauh ke arah laut. Ia juga menemukan kondisi biologis beberapa bagian muara telah berubah18. Berdasarkan paparan di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan, stagnasi dan kemunduran industri perikanan Bagansiapiapi? Apa yang mendorong pertumbuhan industri perikanan Bagansiapiapi pada awal abad ke-20? Apa yang 17 18
Butcher, ibid., hlm. 107. Butcher, ibid., hlm. 111.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
6
menyebabkan pertumbuhan ekspor ikan kering kemudian berhenti dan mengalami stagnasi? Mengapa industri perikanan Bagansiapiapi bisa bertahan setelah pacht dihapus? Apa yang menyebabkan ekspor terasi mengalami peningkatan? Apa dampak krisis ekonomi dunia pada industri perikanan Bagansiapiapi?
I.3. Kerangka Pemikiran
Sejumlah pertanyaan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah menyangkut produksi, permodalan dan pemasaran. Masalah produksi akan menyangkut sumber daya alam dan efisiensi penggunaan peralatan. Mengenai masalah permodalan, penelitian ini akan membahas tentang masalah ketersediaan modal dan penyaluran modal. Sementara yang berkaitan dengan pemasaran, pembahasan akan menyangkut keadaan pasar dan harga. Menurut Thee Kian Wie (1988) faktor-faktor pokok yang mendorong atau memungkinkan pertumbuhan industri yang pesat adalah adanya produksi industri yang besar, tersedianya modal, kenaikan permintaan, kebijakan pemerintah yang mendukung dan kemampuan menghadapi persaingan19. Sumber produksi industri perikanan Bagansiapiapi adalah muara Sungai Rokan yang kaya akan ikan dan udang. Tinggi rendahnya produksi industri perikanan Bagansiapiapi akan dipengaruhi oleh keadaan muara Sungai Rokan. Penelitian
Soegiarto
menunjukkan
bahwa
keberadaan
usaha
perikanan,
berkembang atau runtuhnya usaha tersebut berkaitan dengan kelestarian alam atau
19
Thee Kian Wie, Industrialisasi Indonesia: Analisis dan Catatan Kritis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 47.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
7
kerusakan alam habitat ikan20. Keterlibatan nelayan dalam proses produksi terbatas. Apabila hasil tangkapan berkurang, yang bisa dilakukan nelayan adalah berusaha mencari daerah tangkapan baru. Perbaikan teknik dan sarana dalam industri perikanan tidak serta merta meningkatkan hasil produksi. Artinya banyak sedikitnya ikan yang tersedia di suatu tempat tertentu sangat mempengaruhi tingkat produksi yang dapat dicapai21. Menurut De Jonge, usaha penangkapan ikan adalah usaha ekonomi yang padat modal. Dalam melakukan usahanya para nelayan umumnya bermodalkan pinjaman dan karenanya mereka kebanyakan tergantung kepada pedagang atau pemberi modal22. Ketersediaan modal akan menentukan kemampuan nelayan dalam meningkatkan produksi. Ketika pacht diberlakukan di Jawa, pachter menempati posisi sentral. Tidak hanya sebagai penyedia modal usaha untuk nelayan tapi juga sebagai penampung, pengusaha
pengolahan ikan dan sebagai penyalur pemasaran
produksi ikan. Ketika pacht dihapus, usaha penangkapan ikan di Jawa mengalami perubahan struktural yang mendasar dan menyebabkan usaha penangkapan ikannya mengalami kemunduran23. Jawa adalah pasar utama industri perikanan Bagansiapiapi. Sejak kira-kira akhir 1880an, usaha penangkapan ikan di Jawa mengalami kemunduran dan tidak mengalami perkembangan yang berarti sampai akhir tahun 1930an24. Pengamatan terhadap struktur pasar yaitu kejadian-kejadian di Jawa menjadi ukuran penting
20
Masyhuri, Pasang Surut Usaha Perikanan Laut di Jawa dan Maduru 1880 – 1940, (Leiden: Vrej Universiteit, 1996), hlm. 9. 21 Masyhuri, ibid., hlm. 4. 22 Masyhuri, ibid., hlm. 11. 23 Masyhuri, ibid., hlm. 230. 24 Masyhuri, ibid., hlm. 229.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
8
dalam mengamati variasi perilaku industri karena secara strategis dapat mempengaruhi persaingan serta tingkat harga. Prilaku industri adalah pola tanggapan dan penyesuaian suatu industri di dalam pasar untuk mencapai tujuannya25.
I.4. Metodologi
Analisa dalam penelitian ini akan ditempatkan dalam kerangka kausalitas. Mengacu pada pandangan John Stuard Mill, dalam mengemukakan kausalitas atau keterkaitan sebab-akibat antar peristiwa, seorang ahli sejarah harus bisa menunjukkan semua kausa yang terkait dengan suatu peristiwa (total cause). Menurut Chris Lorenz, ahli sejarah tidak mungkin mengetahui semua sebab sekaligus. Pada dasarnya, menurut Mill, kausa bisa dibedakan antara sufficient cause (prasyarat yang memadai) dan necessary cause (prasyarat yang mutlak). a. Sufficient cause A adalah prasyarat atau sebab yang memadai yang mengakibatkan munculnya B kalau: 1. B selalu muncul kalau ada A, tetapi 2. masih ada prasyarat atau sebab-sebab lain. b. Necessary cause A adalah prasyarat atau sebab mutlak yang mengakibatkan B kalau: 1. B selalu muncul kalau A, walau 25
Nurimansjah Hasibuan, Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi (Jakarta: LP3ES, 1994) hlm. 13-16
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
9
2. masih ada sebab-sebab lain26. Penelitian ini akan mengikuti ‘sufficient cause’ dan mengemukakan beberapa sebab saja dari pasang surut industri perikanan Bagansiapiapi. B adalah pasang surut industri perikanan Bagansiapiapi dan A adalah sebab terjadinya pertumbuhan, stagnasi dan penurunan industri perikanan Bagansiapiapi yaitu kekayaan ikan dan udang di muara Sungai Rokan. Tetapi selain A masih ada sebab-sebab lain yaitu ketersediaan dan harga garam, ketersediaan modal serta keadaan pasar dan tingkat permintaan di Jawa.
I.5. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab pertama ini memaparkan latar belakang penelitian, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, perumusan masalah, kerangka pemikiran, metodologi dan sistematika penulisan.
Bab II Faktor-Faktor Pendukung Industri Perikanan Bagansiapiapi
Pembahasan dalam bab ini mengenai keadaan alam muara Sungai Rokan yang menjadi sumber ikan dan udang untuk industri perikanan Bagansiapiapi serta para pelakunya. Penjelasan menyangkut bagaimana para pelaku yaitu nelayan, taukeh dan pedagang menjalankan perannya tersebut. Hal-hal seperti jenis-jenis alat 26
Leirissa, R.Z., Metodologi Sejarah, Diktat Perkuliahan Program Pasca Sarjana Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, (Jakarta: 2002)
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
10
tangkap serta pengolahan dan pengawetan ikan dan udang akan dibahas dalam bab ini. Bab ini juga akan membahas tentang penduduk Bagansiapiapi khususnya orang-orang Cina yang menguasai industri perikanan Bagansiapiapi.
Bab III Pertumbuhan Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1909
Bab ini akan membahas mengenai pertumbuhan pesat yang dialami industri perikanan Bagansiapiapi. Pembahasan akan menyangkut faktor-faktor apa yang mendorong pertumbuhan tersebut. Selama periode ini, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan pacht untuk pengadaan garam. Dalam bab ini akan dibahas peran pachter sebagai pendorong pertumbuhan, pengaruh ketersediaan dan harga garam serta keadaan pasar utama yaitu Jawa terhadap industri perikanan. Selain sebagai penyedia garam, pachter menjalankan peran penting sebagai penyedia modal, penyalur hasil produksi dan penyedia usaha penunjang industri perikanan yaitu transportasi. Pembahasan juga menyangkut pemasukan yang diterima pemerintah Hindia Belanda dan keuntungan yang diperoleh pachter.
Bab IV Industri Perikanan Bagansiapiapi 1910-1919
Setelah mengalami kemajuan pesat, ekspor ikan kering, terasi dan udang kering industri perikanan Bagansiapiapi mengalami kemunduran yang kemudian stagnan selama beberapa tahun. Sejumlah faktor menyebabkannya yaitu kenaikan harga garam dan penurunan hasil tangkap nelayan karena perubahan keadaan muara Sungai Rokan dibahas dalam bab ini. Kenaikan harga garam terjadi karena
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
11
pemerintah menaikkan uang sewa. Sementara Jawa sebagai pasar utama belum bisa memenuhi kebutuhannya sehingga masih melakukan impor.
Bab V Perkembangan Industri Perikanan Bagansiapiapi 1920-1936
Dalam bab ini dibahas mengenai industri perikanan Bagansiapiapi setelah pacht dihapus serta pengganti peran pachter sebagai penyedia modal usaha. Pembahasan dalam bab ini menyangkut faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan ekspor terasi serta stagnasi ekspor ikan dan udang kering. Perubahan yang terjadi di muara Sungai Rokan mendorong sejumlah nelayan untuk mengubah alat tangkap yang digunakan. Namun usaha ini menimbulkan konflik sehingga pemerintah harus membuat aturan untuk mengatur penempatan alat tangkap. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai dampak krisis ekonomi dunia terhadap industri perikanan Bagansiapiapi dan sumbangan industri perikanan pada kota Bagansiapiapi.
Bab V Kesimpulan
Bab ini berisi kesimpulan atas penelitian yang dilakukan, yang merupakan jawaban dari perumusan masalah.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
12
BAB II
FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI
II.1. Keadaan Alam
Bagansiapiapi terletak di pantai timur Pulau Sumatra dengan luas 9.708,13 km2 27 . Sebagai sebuah onderafdeeling Bagansiapiapi termasuk dalam afdeeling Bengkalis, Ooskust van Sumatra. Terdiri dari tiga subdistrik yaitu Bangka, Kubu dan Tanah Putih. Ibukota onderafdeeling Bagansiapiapi juga bernama Bagansiapiapi, terletak di tepi muara Sungai Rokan, di pantai timur Pulau Sumatra. Bagansiapiapi menjadi lokasi kantor Controleur pada tahun 1900 saat Pemerintah Hindia Belanda memindahkannya dari Tanah Putih28. Industri perikanan berkembang di Bagansiapiapi karena kekayaan ikan dan udang yang luar biasa dari Sungai Rokan. Sentra produksi industri perikanan Bagansiapiapi meliputi Panipahan, Kubu, Sinaboi, Sungai Siandam dan Pulau Halang29. Perairan muara sungai Rokan adalah muara yang kaya mengandung plankton yang merupakan makanan penting bagi ikan dan udang. Volume zooplanktonnya lebih dari 500 cc (volume zooplankton cc/1000m3). Angka ini lebih besar dari volume zooplankton di Laut Jawa dan di sekitar Kepulauan Seribu
27
ANRI, MVO 1e Reel 17, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 27/10/1938. 28 Staatsblad 1894 No.94. 29 Vleming, op cit., hlm. 234.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
13
yang berjumlah 334 – 358 serta di Laut Cina Selatan yang rata-rata berjumlah 273 cc. Apalagi jika dibandingkan dengan volume zooplankton di sepanjang pantai Kalimantan yang berjumlah 101 – 200 cc, Laut Seram 104 -142 cc dan Laut Maluku 83 – 100 cc. Sementara di Selat Bali dan di pantai Selatan Irian Barat volume zooplankton berjumlah 210 – 293 cc dan 200 cc. Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa semakin kaya kandungan plankton suatu perairan maka semakin kaya pula sumber daya ikan daerah itu30. Sungai Rokan terdiri dari Rokan Kanan dan Rokan Kiri yang berhulu di Gunung Gadang di Sumatra Barat. Di tepi muara Sungai Rokan terdapat hutan mangrove. Keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi industri perikanan Bagansiapiapi. Hutan mangrove menyediakan makanan bagi ikan, udang dan kerang-kerangan dalam bentuk material organik dan merupakan daerah asuhan (nursery ground) yaitu tempat pembesaran anak-anak ikan. Material organik terbentuk melalui proses penguraian oleh bakteri. Bagian terbesar dari reruntuhan (serasah) mangrove adalah bahan pokok untuk tempat berkumpulnya mikroorganisme pengurai (jamur dan bakteri). Daun, bunga, buah dan ranting kulit kayu dan lain-lain akan gugur dan jatuh ke dalam perairan. Bahan-bahan tersebut mengalami penguraian menjadi partikel bahan organik. Bagian-bagian partikel yang kaya protein ini diurai oleh bakteri dan seterusnya dimakan oleh ikan-ikan kecil. Selama penguraian ini, substansi organik terlarut tersebut sebagian besar dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton31.
30
Masyhuri, op cit., hlm. 19. Hakim, Iman, Hubungan Kerusakan Hutan Mangrove dengan Abrasi, Tesis, Universitas Indonesia, 2003, hlm. 24.
31
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
14
Peta Bagansiapiapi
Sumber: John G. Butcher, ‘The Salt Farm and Fishing Industry of Bagan Si Api Api’, Indonesia, Vol. 62 (Oct., 1996), hlm. 91.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
15
Material organik terkandung dalam lumpur Sungai Rokan. Arus Sungai Rokan yang deras membawa lumpur masuk ke muara Sungai Rokan. Lumpur kaya nutrisi ini paling banyak masuk ke muara pada musim hujan. Pada musim kemarau lumpur terkumpul di hulu sungai dan akan dibawa arus masuk ke muara di musim hujan32. Arus deras yang dimiliki Sungai Rokan disebabkan oleh perbedaan pasang naik dan pasang surut yang tingginya bisa mencapai enam meter. Pada saat pasang naik, air mengalir dari Selat Malaka menuju muara sungai. Air pasang dengan kecepatan tinggi 6 mil/jam kemudian membentur pantai dan membentuk ombak. Pergerakan ombak diikuti air dengan arus deras membentuk turbulensi seperti pusaran air. Turbulensi menjadi semacam proses pengadukan yang mengangkat material organik dan mineral ke permukaan. Ditambah arus yang terbentuk karena banyaknya kelokan di pinggir sungai, pergerakan air sungai membuat lumpur kaya nutrisi tertahan di dalam air. Dengan cara ini air membawa lumpur yang kaya nutrisi masuk ke muara33. Derasnya arus dan turbulensi oleh air pasang ini juga membuat Sungai Rokan mempunyai kandungan oksigen yang tinggi34. Jenis-jenis ikan yang ditemukan di bagian tertentu dari Sungai Rokan tergantung dari level turbulensi, kedalaman air, jenis dan jumlah nutrisi. Muara Sungai Rokan sangat kaya akan ikan meskipun jumlah spesiesnya tidak banyak bila dibandingkan dengan jumlah spesies di perairan daerah tropis lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ahli kelautan J.D.F Hardenberg terdapat 149 jenis ikan hidup di muara Sungai Rokan. Dari jumlah ini, sebanyak 80 spesies dapat ditemukan setiap saat di daerah muara. Dari 80 spesies ini sekitar 32
Boeijinga, op cit., hlm. 451. Boeijinga, op cit., hlm. 452. 34 Butcher, op cit., hlm. 96. 33
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
16
50 spesies dikenal secara umum. Sementara spesies sisanya merupakan tamutamu musiman35. Jenis-jenis ikan yang menjadi komoditas ekspor ditemukan di bagian sungai yang mempunyai dasar berlumpur, dengan kedalaman dua sampai enam meter saat pasang surut dan terdapat percampuran antara air sungai dan air laut. Jenis-jenis ikan tersebut di antaranya adalah ikan senangin (Polynemus Tetradactylus), ikan kuro (Polynemus Indicus), ikan talang (Scomberoides), ikan bago (Arius), ikan duri, ikan parang (Chiro Centrus), ikan timal (Trichiurus), ikan bimbiang, teri (Stolephorus Baganensis) dan selar (Magalaspis Cordyla)36. Menurut Hardenberg karena banyaknya lumpur yang masuk ke muara dan karena muara terkena arus yang sangat kuat, muara Sungai Rokan berubah seiring dengan waktu. Pada tahun 1929 distribusi dan komposisi spesies ikan di sungai Rokan telah berubah karena penangkapan ikan secara intensif dan karena perubahan arus serta lumpur muara37. Selain sebagai sumber nutrisi bagi ikan dan udang, hutan mangrove juga merupakan sumber kayu untuk pembuatan serta pemeliharaan alat tangkap dan tempat penjemuran ikan. Kayu yang digunakan berasal dari pohon bakau dan nibung. Kayu juga diperoleh dari hutan di daerah hulu Sungai Rokan38.
35
Masyhuri, op cit., hlm. 20. P.N. van Kampen, ‘Aanteekeningen omtrent de Visscherij van Sumatra en Riouw’, Mededeelingen van het Visscherij-Station te Batavia 3, 1909, hlm. 15; Masyhuri, op cit., hlm. 37. 37 Butcher, op cit., hlm. 126. 38 ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 14/5/1931. 36
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
17
II.2. Penduduk
Industri perikanan Bagansiapiapi dikuasai oleh orang-orang Cina. Hampir seluruh orang Cina yang tinggal di kota Bagansiapiapi bekerja di industri perikanan. Sebelum orang-orang Cina datang ke Bagansiapiapi, orang Melayu sudah melakukan penangkapan ikan namun hasilnya belum diperdagangkan secara luas. Pada mulanya nelayan Cina menjual hasil tangkapannya ke Semenanjung Malaya. Mereka membawa ikan dan udang dengan menggunakan sampan sekoci39. Sebagian besar orang Cina di onderafdeeling Bagansiapiapi tinggal di ibukota Bagansiapipi. Pemukiman orang Cina dalam jumlah lebih sedikit juga bisa ditemui di Panipahan, Sinaboi, Sungai Tengah, Pulau Halang, Kubu dan Tanah Putih. Mayoritas orang Cina di Bagansiapiapi merupakan suku Hokkian. Mereka berasal dari Amoy dan distrik Tang Wa di Coan Cui Hu yang merupakan daerah perikanan. Suku-suku lain yang ada di Bagansiapiapi adalah suku Teochiu, Hakka dan Kanton. Mereka berasal dari daerah Shantung, Hailam dan Kanton40. Hampir seluruh orang Cina di Bagansiapiapi adalah singkeh dan tidak bisa berbahasa Melayu41. Sebagian besar nelayan Bagansiapiapi adalah suku Hokkian. Orang Cina dari suku Teochiu bekerja sebagai pembuat jaring, juru ketik, akuntan dan pedagang. Sementara orang Cina suku Hakka berprofesi sebagai penjahit pakaian
39
Masset G., ‘Het Visscherij Bedrijf te Bagan Si Api Api’, De Indische Gids 1, 1937, hlm. 129. ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936. 41 Vleming., op cit., hlm. 235. 40
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
18
dan tukang kaleng42. Ada juga orang Cina yang bekerja sebagai pembuat sampan, tukang bangunan, tukang besi serta pembuat mebel dan bingkai. Sejumlah orang Cina membuka toko, menjual opium, mengelola tempat pertunjukan wayang dan tempat-tempat perjudian. Sebagian dari mereka sebelumnya bekerja di industri perikanan dan kemudian memulai usaha baru43. Orang Cina yang tinggal di kota Bagansiapiapi memiliki keadaan ekonomi lebih baik dibandingkan orang Cina yang tinggal di kampung-kampung. Rumah orang Cina di kota yang lebih bagus dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kampung-kampung. Rumah orang Cina di kota sudah banyak yang menggunakan seng sedangkan mereka yang tinggal di kampung masih beratap daun44. Ada beberapa versi mengenai awal kedatangan orang-orang Cina di Bagansiapiapi. Potensi perikanan merupakan daya tarik satu-satunya kedatangan mereka. Menurut Van Kampen mereka sudah ada di Bagansiapiapi sejak 186045. Versi lain mengenai pendatang awal Cina ke Bagansiapiapi adalah pada tahun 1875 saat sejumlah bajak laut tiba di Bagansiapiapi. Karena kekayaan ikan yang berlimpah di daerah ini, mereka memutuskan untuk menetap dan menjadi nelayan46. Kelompok bajak laut ini datang dengan menggunakan empat buah kapal dipimpin Si Bajak Laut Tua Kakek Wang. Sebelum ke Bagansiapiapi, mereka sempat menetap sebentar di Songkla, Thailand dan hidup dari hasil menangkap ikan. Kehadiran mereka tidak disukai penduduk Songkla karena banyak
42
Vleming, op cit., hlm. 235. ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderfdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936; 14/5/1931. 44 Ibid. 45 Kampen, ibid., hlm. 8 46 Vleming, op cit., hlm. 234. 43
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
19
perempuan Songkla yang menyukai mereka. Banyak penduduk lokal yang tidak suka jika ada anggota keluarga mereka menikah dengan orang Cina. Mereka kemudian diusir dari Songkla dengan dibekali alat-alat untuk menangkap ikan. Saat berlayar meninggalkan Songkla terjadi badai. Kapal mereka dihantam badai dan hanya tiga buah kapal yang selamat. Mereka mengikuti cahaya yang menuntun mereka sampai ke tepi sungai Rokan. Di daerah ini pendatang Cina ini menyaksikan penduduk setempat menangkap udang dan memperoleh hasil yang menakjubkan mereka. Ketika mencoba menangkap udang, mereka mendapatkan udang berukuran besar dalam jumlah yang banyak. Atas nasehat Kakek Wang mereka selanjutnya memutuskan untuk tinggal dan menetap. Mereka kemudian membakar kapal yang mereka gunakan sebagai bukti tekad bulat mereka untuk menetap di Bagansiapiapi dan tidak akan kembali ke negeri Cina. Aksi membakar kapal atau tongkang ini yang kemudian menjadi salah satu ritual dalam upacara tahunan yang disebut Bakar Tongkang47. Pada tahun 1886 pemukiman Cina di Bagansiapiapi baru ditinggali sejumlah kecil orang. Pertambahan penduduk Cina berlangsung cepat. Pada tahun 1889 populasi orang Cina di Bagansiapiapi dilaporkan berjumlah 4.000 orang48. Sementara pada tahun 1916 ada sekitar 8.800 orang Cina di Bagansiapiapi dimana 3.000 di antara mereka berprofesi sebagai nelayan49. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1920, orang Cina di onderafdeeling Bagansiapiapi berjumlah 11.089 orang. Sebagian besar dari mereka tinggal di
47
Harian Indonesia, ‘Kakek Wang Si Bajak Laut Tua dan Ao Ke (Leluhur yang Terhormat)’, Jumat 3 Maret 2000, hlm. 3; Wawancara dengan Sudarno Mahyudin, Juli 2007. 48 Phoa Liong Gie, ‘De Economische Positie der Chineezen in Nederlands-Indie’, Koloniale Studien 5 en 6, 1935, hlm. 117. 49 P.N. Van Kampen, Visscherij en Vischteelt in Nederlands-Indie, (Harlem: Onze Koloniale Dierenteelt II, 1922), hlm. 6.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
20
kota Bagansiapiapi. Dengan jumlah total penduduk 27.967 jiwa maka komposisi orang Cina di onderafdeeling Bagansiapiapi 39,65% sedangkan orang Melayu 60,42% atau 16.898 jiwa50. Sepuluh tahun kemudian jumlah penduduk Cina di onderafdeeling Bagansiapiapi bertambah lebih dari 5.000 orang. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930, penduduk Cina di onderafdeling Bagansiapiapi berjumlah 16.375 jiwa atau mengalami peningkatan sebesar 147,79% dibandingkan sensus tahun 1920. Namun persentasenya sedikit menurun yaitu 37,49%. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah laki-laki Cina 9.999 jiwa atau bertambah 138,16% sementara perempuan berjumlah 6.376 jiwa atau bertambah 165,91%. Jumlah penduduk di onderafdeeling Bagansiapiapi berjumlah 43.682 jiwa dengan orang Melayu berjumlah 27.229 jiwa atau 62,34%. Jumlah ini meningkat 161,14% dari jumlah sebelumnya menurut sensus penduduk tahun 1920. Mayoritas penduduk ibukota Bagansiapiapi adalah orang-orang Cina. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930 jumlah orang Cina di Bagansiapiapi mencapai 11.998 jiwa atau 78,31 % dari total 15.261 jiwa jumlah penduduk kota Bagansiapiapi. Jumlah laki-laki 7.033 jiwa dan perempuan 4.965 jiwa. Penduduk pribumi yang tinggal di kota Bagansiapiapi hanya 21,32% atau 3.266 jiwa51. Sementara di Panipahan, Sinaboi, Sungai Tengah, Pulau Halang, Kubu dan Tanah Putih terdapat sekitar 3.000 orang Cina terutama suku Hokkian. Di Sungai Tengah juga terdapat sekitar 160 orang Cina suku Teochiu52. Orang Cina dan orang Melayu tidak tinggal bersama atau bercampur tapi 50
ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936. 51 Volkstelling 1930, IV, Departement van Economisch Zaken (Batavia: Landsdrukkerij, 1935). 52 ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 14/5/1931.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
21
mempunyai desa atau kampung sendiri. Di Bagansiapiapi terdapat orang Jawa yang datang sebagai kuli kontrak. Jumlah mereka pada tahun 1931 sekitar 500 orang, terutama berasal dari Yogyakarta dan Semarang. Mereka tinggal di kampung Jawa di kota Bagansiapiapi atau tinggal di kampung Melayu53. Orang-orang Melayu mendiami daerah pinggir sungai yang lebih ke hulu dan di pedalaman di subdistrik Kubu dan Tanah Putih. Untuk hidup sehari-hari orang-orang Melayu menangkap ikan, bertani di ladang, menanam karet, pinang dan kelapa serta dan mencari hasil hutan. Mereka juga bekerja sebagai tukang bangunan, pembuat mebel, pengrajin ukiran kayu, tembikar dan perak. Dalam industri perikanan Bagansiapiapi mereka berperan sebagai penyedia kayu dan rotan untuk membuat jermal, ambei dan jaring54. Peran perempuan Cina dalam industri perikanan Bagansiapiapi selain mengurus keluarga, adalah membantu melakukan pekerjaan di bangliau seperti memilah udang. Menurut kepercayaan nelayan Cina Bagansiapiapi, perempuan tidak boleh ikut melaut karena akan membawa sial seperti hasil tangkapan yang sedikit dan mengancam keselamatan dan keaman kapal dan nelayan55. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930, sebanyak 5.368 orang Cina yang tinggal di pantai timur Sumatra bekerja sebagai nelayan. Karena Bagansiapiapi merupakan pusat penangkapan ikan terpenting di kepulauan maka bisa dikatakan, sebagian besar dari jumlah di atas adalah nelayan Bagansiapiapi56. Industri perikanan Bagansiapiapi yang sedang berkembang pesat
53
ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 14/5/1931. 54 Ibid.; 1/11/1936. 55 ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936. 56 Cator, op cit., hlm. 213.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
22
membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk bekerja sebagai nelayan atau kuli darat.
Pemenuhan
kebutuhan
tenaga
kerja
tersebut
dilakukan
dengan
mendatangkan tenaga kerja yang berasal dari Cina bagian selatan. Pada umumnya tenaga kerja ini tidak datang ke Bagansiapiapi langsung dari Cina tapi melalui Singapura. Kedatangan tenaga kerja ini diusahakan oleh pengusaha yang bertindak sebagai agen tenaga kerja imigran. Agen ini yang membayar biaya perjalanan tenaga kerja dari Cina ke Bagansiapiapi kemudian menyalurkan mereka untuk bekerja sebagai nelayan atau kuli darat di bangliau-bangliau. Para taukeh pemilik bangliau yang ingin memperkerjakan mereka membayar sejumlah uang kepada agen57. Sebagian lainnya datang sendiri didorong oleh berita mengenai keberhasilan nelayan-nelayan Cina di Bagansiapiapi yang sampai ke daerah asal mereka. Mereka datang untuk mencari uang sebanyak-banyaknya agar bisa pulang dengan keadaan keuangan yang lebih baik58.
II.3. Pelaku Industri
Para pelaku dalam industri perikanan Bagansiapiapi terdiri dari nelayan, taukeh, pedagang dan pachter. Nelayan-nelayan Bagansiapiapi tidak bekerja sendiri tetapi tergabung dalam bangliau yang dipimpin oleh seorang taukeh. Bangliau adalah tempat pengolahan dan pengawetan ikan dan terasi sekaligus menjadi tempat tinggal nelayan yang belum menikah59. Bangliau terdiri dari kata bang yang berarti jaring dan liau yang artinya tempat. Peran para taukeh sangat penting dalam industri perikanan Bagansiapiapi. 57
Shozo, op cit., hlm. 119. Cator, op cit. hlm. 55. 59 Boeijinga, op cit., hln. 469. 58
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
23
Nelayan mendapatkan modal dari taukeh untuk membeli perahu dan peralatan yang dibutuhkan60. Nelayan yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap bekerja pada taukeh mengoperasikan perahu dan alat tangkap milik taukeh. Pengembalian pinjaman dalam bentuk pembagian keuntungan yaitu taukeh mengambil 30% dari hasil kotor penjualan. Setelah dipotong biaya pembelian garam dan makan para nelayan maka sisanya menjadi bagian nelayan yang kemudian dibagi rata di antara mereka. Dengan uang bagian ini kemudian nelayan membayar pinjaman yang diperoleh dari taukeh61. Sebagai imbalan atas pinjaman yang diberikan, nelayan harus menjual tangkapan mereka kepada taukeh dengan harga yang ditetapkan taukeh. Dengan begitu taukeh yang menanggung resiko pasar dan para nelayan tidak perlu bersusah payah mencari pembeli62. Taukeh mengolah ikan menjadi ikan asin dan ikan kering setengah jadi. Hasil olahan ini kemudian dibeli oleh pedagang yang melanjutkan proses pengeringan dan kemudian menjualnya. Taukeh juga mendapat modal dari pedagang. Karena itu mereka kemudian sangat tergantung pada bantuan pedagang. Selain pedagang dari Bagansiapiapi, sebagian pedagang adalah Cina peranakan dari Jawa63. Namun pengaruh terbesar menyangkut ekspor bukan pada pedagang tapi pada pachter yang menguasai sebagian besar transportasi untuk pengiriman produk ekspor64. Pachter mempunyai posisi sentral dalam industri perikanan Bagansiapiapi. Pachter menyediakan garam, meminjamkan modal, membeli hasil
60
Butcher, op cit. hlm. 97. Kampen, ‘Aanteekeningen…’, hlm. 8. 62 Raymond Firth, Malay Fisherman: Their Peasant Economy, (London: Kegan Paul, Trench, Truber & Co., 1946), hlm. 12. 63 Butcher, op cit., hlm. 98. 64 Kampen, ibid., hlm. 8. 61
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
24
tangkapan nelayan dan mengusahakan transportasi untuk mengirimkan produk ekspor. Garam untuk mengolah ikan dan udang ini dibeli nelayan dan pedagang secara kredit. Pachter mendapatkan hak monopoli dari pemerintah untuk menyediakan garam, mengimpor dan menjual garam. Pachter memberi pinjaman kepada pedagang untuk membeli ikan, terasi dan udang kering. Jadi pachter tak hanya memonopoli pengadaan garam tapi juga pemberian kredit65. Pengusaha yang menjadi pachter adalah pengusaha besar dari Sumatra Timur, Medan dan Bengkalis yang didukung pengusaha-pengusaha lain termasuk dari Straits Settlement. Mereka bergabung dalam sebuah sindikasi66. Hubungan kerja nelayan dengan taukeh dan pachter memungkinkan nelayan melakukan pekerjaan mereka dengan resiko yang kecil. Karena pachter atau taukeh yang menanggung alat tangkap yang rusak atau hilang. Dengan hubungan kerja seperti ini, nelayan mempunyai kemungkinan besar untuk memiliki alat tangkap sendiri. Sehingga banyak nelayan yang sebelumnya tidak memiliki perahu dan alat tangkap menjadi nelayan pemilik perahu. Pachter dan nelayan mempunyai kepentingan yang sama dan hidup berdampingan secara simbiotik, ada saling ketergantungan secara organik. Sehingga eksistensi salah satu pihak tergantung pada pihak lain67. Di saat produksi menurun, pachter menerapkan strategi tertentu. Pachter tetap memberi kredit kepada pedagang untuk membeli garam. Namun akan menghentikan kredit jika ada indikasi pedagang tidak akan mampu melunasi pinjaman. Meskipun itu akan mengakibatkan pedagang tersebut bangkrut. Sementara itu, agar nelayan tetap mampu memenuhi kebutuhan garam, pedagang 65
Butcher, op cit., hlm. 129. Butcher, op cit., hlm. 98. 67 Masyhuri, op cit., hlm. 229. 66
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
25
pun mempertahankan sistem kredit bagi mereka. Bahkan demi memenangkan persaingan dengan pedagang lain, mereka membayar ikan yang akan dibeli dari nelayan sebelum ikan-ikan ditangkap nelayan68. Jadi meskipun hasil tangkap berkurang namun karena persaingan antar pedagang,
nelayan
mendapatkan
harga
yang
bagus
untuk
ikan-ikan
tangkapannya69. Nelayan mengalami nasib lebih baik sebab harga jual ikan tangkapan mereka meningkat. Ketika taukeh tempat mereka bernaung bangkrut, nelayan mengorganisir ulang kelompok mereka dengan membentuk kelompokkelompok yang lebih kecil dan independen yang memiliki perahu dan jermal sendiri. Namun demikian biaya operasional penangkapan ikan telah meningkat karena harga kayu naik. Meski demikian sebagian besar nelayan mampu menutupinya dan memperoleh sedikit keuntungan70.
II.4. Alat Tangkap
Nelayan-nelayan Cina Bagansiapiapi meniru metode untuk menangkap ikan dan udang dari nelayan-nelayan Melayu. Ketika datang ke Bagansiapiapi, nelayan Cina tidak membawa metode sendiri tetapi mengembangkan metode yang digunakan nelayan Melayu. Alat tangkap yang digunakan nelayan Cina adalah jermal, pukat, ambei, pancing dan belat. Alat tangkap terpenting dan paling banyak digunakan adalah jermal atau champe dalam bahasa Cina. Untuk memperoleh hasil lebih banyak, nelayan Cina membuat jermal dengan ukuran lebih besar. Prinsip kerja jermal sama dengan turus, yang digunakan nelayan di 68
Butcher, op cit., hlm. 114. Vleming, op cit., hlm. 237. 70 Butcher, op cit., hlm. 114-115. 69
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
26
Surabaya71. Jermal terdiri dari sebuah jaring yang digantung pada kerangka dengan tiang-tiang yang ditanamkan ke dasar sungai. Kerangka terbuat dari kayu bakau (Rhizophoren). Jaring diikatkan pada dua palang panjang (jajar) yang menyatu di salah satu ujungnya dengan jarak setengah meter sehingga membentuk huruf V. Ikan-ikan yang terperangkap akan semakin masuk ke bagian jaring dalam karena gerakan dan suara yang dibuat kedua palang jajar ini. Jaring jermal terbuat dari rotan yang tipis sehingga tidak mudah pecah. Jermal ditempatkan di perairan dekat pantai dan menangkap ikan pada saat air pasang surut. Biasanya jermal tidak dipindah-pindah. Dua orang nelayan menggunakan perahu sampan kotak mengangkat jaring dan mengumpulkan ikan72. Keefektifan jermal dipengaruhi kekuatan arus sungai. Makin deras arus sungai makin efektif alat ini beroperasi. Arus sungai Rokan mempunyai kecepatan sekitar 5 sampai 6 meter per detik. Jenis ikan terpenting yang ditangkap dengan jermal adalah ikan teri (Stolephorus Baganensis) dan selar (Magalaspis Cordyla)73. Ketika di muara Sungai Rokan terjadi pendangkalan sehingga jermal tidak lagi bekerja dengan efektif, sebagian nelayan memodifikasi jermal mereka dengan menambahkan jaring panjang yang lebih halus di bagian belakang jermal sehingga bisa menangkap belacan dan udang-udang kecil74. Untuk menangkap udang, nelayan menggunakan ambai yang terdiri dari jaring halus berbentuk kantong. Jaring ini digantungkan di dalam air pada dua
71
Kampen, ibid., hlm. 10. Kampen, ibid., hlm. 9; Vleming, op cit., hlm. 235. 73 Boeijinga, op cit., hlm. 455; Masyhuri, op cit., hlm. 37. 74 Butcher, op cit., hlm. 110. 72
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
27
tiang yang ditanamkan di dasar muara. Ambai bisa dioperasikan saat pasang naik dan pasang surut75. Untuk menangkap ikan ukuran besar, nelayan Cina banyak menggunakan pancing. Ada dua jenis pancing yang digunakan yaitu kon dan kanteo. Kon digunakan juga oleh nelayan Melayu di Selat Malaka sementara di Jawa, kon disebut rawe76. Rawe terdiri dari 200 – 600 mata pancing dari berbagai ukuran. Tiap-tiap pancing diikatkan pada tali sepanjang lebih kurang 20 meter. Tali ini diikatkan pada satu tali panjang yang dengan konstruksi tertentu dapat memanjang di dalam air sejajar dengan permukaan air. Jarak antara satu pancing dengan pancing yang lain sekitar 1,5m. Jaring apung terdiri dari ruas-ruas jaring yang bersambung-sambung. Yang berukuran kecil umumnya terdiri dari 16 ruas dengan ukuran masing-masing ruas 14m dan 16m. Jaring apung dengan panjang 800m biasanya dioperasikan oleh sekitar 30 orang nelayan. Mereka menggunakan perahu nelayan yang berukuran besar. Alat tangkap yang disebut belat sama dengan sero di Jawa. Belat ditempatkan di perairan dangkal dekat pantai. Bila dipotong secara horizontal alat ini mempunyai bentuk huruf V yang bersambung-sambung. Dinding-dinding dari bilik-bilik atau penyekat dibuat dari bambu atau rotan. Dinding diikatkan pada tiang-tiang yang ditanamkan di dasar sungai. Pintu dari setiap bilik selalu terbuka. Hanya pintu bilik terakhir yang dapat dibuka dan ditutup. Bilik terakhir adalah tempat berkumpulnya ikan. Ikan yang terjebak masuk belat berkumpul di bilik terakhir ini. Kemudian nelayan menangkap ikan-ikan dengan menggunakan 75 76
Vleming, op cit., hlm. 235. Kampen, ibid., hlm. 14.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
28
jaring77. Jaring yang digunakan nelayan Bagansiapiapi dianggap berkualitas baik. Jaring penangkap ikan dibuat dari agil (serat daun pohon geang), rami dan benang. Jermal, ambei atau bubu, kelong dan belat adalah alat tangkap yang mahal. Pada tahun 1908, harga rata-rata sebuah jermal 590 dolar sedangkan perahu sekitar 520 dolar, jadi nelayan membutuhkan 1.110 dolar untuk bisa menangkap ikan atau f 1.540. Harga sebuah ambai lebih murah. Untuk memiliki sebuah ambai dan perahu dibutuhkan dana f 91 sampai f 244. Harga jaring apung terbuat dari katun sekita 130 dolar sedangkan harga sampan kotak kecil 300 dolar78. Tahun 1916, biaya untuk membangun sebuah jermal adalah f 5.000. Sementara pada tahun 1926, harga sebuah jermal mencapai f 7.000 sampai f 8.00079. Pada tahun 1937 biaya untuk membangun sebuah jermal besar mencapai f 6.400. Untuk jermal kecil dibutuhkan biaya f 3.850. Biaya untuk jermal udang berjumlah f 4.100. Untuk sebuah bubu dibutuhkan biaya lebih murah yaitu f 731,50. Untuk cici biaya yang dibutuhkan lebih murah yaitu f 61580.
II.5. Pengolahan Ikan dan Udang
Produk utama industri perikanan Bagansiapiapi adalah ikan kering, terasi dan udang kering. Untuk mengolah ketiga produk ini, nelayan, taukeh dan pedagang membutuhkan garam. Garam sangat penting bagi industri perikanan
77
Masyhuri, op cit., hlm. 28. Kampen, ibid., hlm. 13. 79 Vleming, op cit., hlm. 236. 80 Masset, ibid., hlm. 130. 78
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
29
Bagansiapiapi. Harga garam yang tinggi bisa mempengaruhi perkembangan industri perikanan karena garam menentukan keuntungan yang bisa diraih para pelakunya. Harga garam menentukan 20% dari harga ikan kering sedangkan harga garam hanya menentukan 13% dari harga terasi81. Di daerah tropis ikan hasil tangkapan akan membusuk dalam waktu beberapa jam. Untuk mempertahankan ikan dalan keadaan baik dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat diperjualbelikan maka ikan harus diolah atau diawetkan. Proses pengawetan yang biasa dilakukan nelayan Bagansiapiapi adalah pengasinan dan pengeringan. Untuk mengolah ikan menjadi ikan kering, setelah ikan diangkat dari jermal, nelayan kemudian membersihkan ikan ukuran besar dengan membuang isi perut. Ikan kemudian diberi garam dan dibawa ke bangliau. Proses pengolahan ikan dilanjutkan di bangliau dimana ikan-ikan ini kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari. Untuk mengolah 200 kg ikan segar menjadi ikan kering dibutuhkan 100 kg garam . Kualitas ikan kering ditentukan oleh panas matahari. Makin panas terik matahari dan makin banyak garam yang dibubuhkan maka makin gampang dan cepat ikan menjadi kering. Semakin cepat ikan kering semakin baik pula kualitasnya. Proses pengolahan ikan segar menjadi ikan asin dimulai dengan membersihkan ikan secukupnya. Umumnya tanpa membuang isi perut. Kemudian ikan diatur secara berlapis di suatu tempat tertentu biasanya tong atau kotak dari kayu dengan dibubuhkan garam secukupnya pada setiap lapisan. Setelah 48 jam yakni waktu tersingkat yang diperlukan dalam pengolahan, ikan sudah dapat
81
Kampen, ibid., hlm. 15.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
30
dipasarkan. Namun garam masih perlu ditambahkan pada waktu pengepakan. Sementara ikan-ikan kecil tanpa dibersihkan dulu dimasukkan ke dalam tong dan diberi garam. Hasilnya adalah produk perikanan yang disebut ikan busuk82. Terasi dibuat dari belacan atau anak udang dan jenis udang yang berukuran kecil (planktonic shrimp). Proses pengolahan udang menjadi terasi lebih rumit daripada pengolahan ikan menjadi ikan asin. Mula-mula nelayan menaruh belacan yang berhasil mereka tangkap ke dalam tong dan diberi garam. Setelah sampai di bangliau, belacan yang telah berbau busuk dikeluarkan dari tong, diberi garam lagi dan kemudian dijemur di bawah sinar matahari dan proses fermentasi berlanjut. Setelah kering, belacan ditumbuk dan dijemur kembali. Setelah itu ditumbuk sekali lagi sambil ditambahkan anilin sebagai zat pewarna. Proses pewarnaan dengan anilin dan penumbukan dilakukan berulang sebanyak tiga kali. Untuk membuat terasi dari 100 kg udang kecil (belacan) dibutuhkan 20 kg garam. Sementara untuk membuat terasi berkualitas baik dari 56,5 kg udang segar dibutuhkan 25 kg garam. Selain diolah menjadi terasi, udang kecil juga diolah menjadi cincalok. Proses pengolahannya dengan dimasak dalam tong. Cincalok terutama diekspor ke Siam . Udang kering dibuat dari udang yang berukuran besar. Udang yang diberi garam dan dimasak sebentar dalam air mendidih. Pengolahan udang segar menjad udang kering membutuhkan garam sebanyak 15 kg. Kemudian kulitnya dikupas dan dijemur. Kulit udang dan isi perut ikan tidak dibuang tapi diekspor ke Bangka, Lampung dan Riau untuk digunakan sebagai pupuk di perkebunan lada83. 82 83
Butcher, op cit., hlm. 113; Masyhuri, op cit., hlm. 51. Boeijinga, op cit., hlm. 454; Masset, ibid., hlm. 130.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
31
BAB III
PERTUMBUHAN INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1898-1909
III.1. Pertumbuhan Pesat dan Garam Murah
Selama periode 1898 sampai 1909, industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pertumbuhan yang pesat. Pada tahun 1898 ekspor ikan kering berjumlah 12.7 kg. Industri perikanan Bagansiapiapi mulai mengekspor terasi tahun 1899. Ekspor pertama tersebut berjumlah 0,1 juta kg. Setiap tahun ekspor ikan kering, terasi dan udang mengalami peningkatan. Tahun 1905 ekspor ikan kering dan udang kering meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 1900. Ekspor ikan kering tahun 1900 berjumlah 12 juta kg. Tahun 1905 ekspor ikan kering meningkat dua kali lipat menjadi 24,1 juta kg. Ekspor udang kering tahun 1900 berjumlah 0,2 juta kg dan tahun 1905 meningkat dua kali lipat menjadi 0,5 juta kg. Sementara ekspor terasi meningkat lebih dari 20 kali. Pada tahun 1900, ekspor terasi berjumlah 0,1 juta kg. Jumlah ini meningkat menjadi 2,7 juta kg pada tahun 1905. Peningkatan ekspor ikan kering, terasi dan udang dimungkinkan karena sumber daya ikan dan udang yang berlimpah. Jumlah jermal meningkat sehingga pada tahun 1908 jumlah jermal yang ada di muara Sungai Rokan telah mencapai ratusan buah dengan posisi yang sudah sangat berdekatan84.
84
Butcher, op cit., hlm. 105.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
32
Tabel.1 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1909 (juta kg) Tahun 1898 1899 1900 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1907 1908 1909
Ikan Kering 12,7 12,5 12,0 18,0 19,7 23,8 25,9 24,1 23,8 23,2 20,4 20,0
Terasi
0,1 0,1 0,6 1,4 2 2,7 4,1 6,6 7,1 8,3 10,1
Udang Kering 0,2 0,2 0,3 0,4 0,6 0,4 0,5 0,6 0,8 1,2 1,2
Total 12,7 12,8 12,3 18,9 21,5 26,4 29,0 28,7 31,0 31,1 29,9 31,3
Sumber: ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936; Masyhuri, hlm. 123.
Selain karena kekayaan alam, pertumbuhan terjadi karena garam yang dibutuhkan untuk mengolah tersedia dengan banyak dan dengan harga yang murah serta dapat dibeli nelayan dan taukeh dari pachter secara kredit. Pada tahun 1900 harga garam f 2,8 per pikul. Untuk produksi tahun 1900 yang berjumlah 24,1 juta kg digunakan 10.3 kg garam. Tahun 1905 penggunaan garam mencapai 14.3 kg dengan harga f 2.3 per pikul. Harga garam di Bagansiapiapi lebih murah dibandingkan dengan harga garam di Jawa yang pada waktu yang sama mencapai f 8 per pikul85. Seiring dengan peningkatan produksi, pengunaan garam juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1900, garam yang digunakan 10,3 juta kg sedangkan pada tahun 1905 meningkat menjadi 14,3 juta kg. Namun mulai tahun 1906 penggunaan garam mengalami penurunan menjadi 11,3 juta kg. Penurunan ini terjadi karena produksi ikan mengalami penurunan mulai tahun 1906 hingga tahun
85
Masyhuri, op cit., hlm. 122.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
33
1909 dari 23, 8 juta kg menjadi 20,0 juta kg. Tapi produksi terasi dan udang kering terus mengalami peningkatan. Tahun 1906 produksi terasi berjumlah 6,6 juta kg dan tahun 1909 mencapai 10,1 juta kg. Begitu juga dengan udang kering. Tahun 1909 ekspor udang kering mencapai 1,2 juta kg, naik dua kali lipat dibandingkan tahun 1906 yang berjumlah 0,6 juta kg. Pengolahan terasi dan udang kering membutuhkan garam yang lebih sedikit sehingga penggunaan garam mengalami penurunan.
Tabel.2 Produksi dan Penggunaan Garam 1898-1909 (juta kg)
1898 1899 1900 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1907 1908 1909
Produksi Perikanan (Ikan kering, terasi dan udang kering) 12,7 12,8 12,3 18,9 21,5 26,4 29,0 28,7 31,0 31,1 29,9 31,3
Penggunaan Garam Harga Garam per pikul (gulden) 8,0 10,6 10,3 12,3 14,4 15,17 14,3 14,3 11,3 10,4 10,8 9,3
1,96 1,82 2,83 2,03 2,38 2,59 3,08 3,22 2,80 3,20 3,25 3,40
Sumber: ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936
Peningkatan produksi dari tahun 1898 hingga tahun 1905 ternyata diikuti dengan kenaikan harga garam. Pachter sebagai satu-satunya penyedia garam memanfaatkan pertumbuhan pesat industri perikanan untuk mendapatkan keuntungan. Nelayan, taukeh dan pedagang tidak mempunyai pilihan lain kecuali membeli garam dari pachter meskipun harganya selalu naik. Namun karena produksi sedang meningkat dan garam bisa dibeli secara kredit mereka masih bisa
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
34
memperoleh keuntungan. Mulai tahun 1907 kenaikan harga garam dipicu oleh penurunan penggunaan garam dan kenaikan uang sewa pacht. Pachter menaikkan harga garam karena harus membayar uang sewa pacht yang terus mengalami kenaikan. Tahun 1905 uang sewa naik dua kali lipat menjadi f 13.550 per bulan dibandingkan tahun 1904 f 6.060 per bulan. Pada tahun 1907 uang sewa naik lagi menjadi f 15.630 per bulan86. Meskipun selalu mengalami kenaikan tapi bila dibandingkan dengan di Jawa, harga garam di Bagansiapiapi masih jauh lebih murah.
III.2. Pasar yang Besar
Pasar utama ekspor ikan kering dan terasi industri perikanan Bagansiapiapi adalah Jawa. Jawa merupakan pasar yang besar dan terbuka bagi ekspor industri perikanan Bagansiapiapi. Jumlah penduduknya terus bertambah dan ikan adalah sumber protein utama penduduknya. Sedangkan usaha penangkapan ikan di Jawa, sejak tahun 1880 mulai mengalami kemunduran dan sampai akhir tahun 1930an tidak pernah mengalami perkembangan yang berarti sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduknya87. Untuk itu impor masih dibutuhkan bahkan jumlahnya meningkat. Tidak terjadinya pertumbuhan usaha penangkapan ikan di Jawa ditandai dengan armada perahu dan jumlah yang berkurang. Usaha penangkapan ikan dinilai tidak lagi menguntungkan sebab biaya produksi yang tinggi karena 86 87
Butcher, op cit., hlm. 112. Masyhuri, op cit., hlm. 229.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
35
mahalnya harga garam. Banyak nelayan yang berganti profesi dan bekerja di sektor pertanian dan perkebunan yang tengah berkembang pesat88. Tahun 1904 ekspor ikan kering industri perikanan Bagansiapiapi berjumlah 25,9 juta kg89. Dari jumlah ini 14 juta kg diekspor ke Pulau Jawa. Sementara sisanya yang mempunyai kualitas lebih rendah diekspor ke Semenanjung Malaya90. Tahun 1907 ekspor ikan kering berjumlah 23,7 juta kg. Dari jumlah ini 56% diekspor ke Jawa, 25% ke Semenanjung Malaya dan 19% ke Sumatra Timur91. Terasi dari Bagansiapiapi 90% diekspor ke Jawa92. Penduduk Jawa mengkonsumsi terasi karena terasi mengandung protein. Terasi juga menjadi penyedap makanan yang bisa mendorong konsumsi beras, jagung dan produk kedelai sebagai sumber energi penduduknya93. Tujuan ekspor ikan dan terasi lain yaitu Semenanjung Malaya dan Sumatra Timur juga mengalami pertambahan penduduk. Pertambahan terjadi karena kegiatan
pertambangan
dan
perkebunan
sedang
berkembang
sehingga
membutuhkan banyak tenaga kerja. Ikan dari Bagansiapiapi bersaing dengan ikan asin dari Siam yang telah lebih dulu memasuki pasar Jawa. Sebelum ikan dari Bagansiapiapi masuk ke Jawa, impor Jawa dari Siam selalu meningkat. Pada tahun 1899 jumlahnya mencapai 34,42 juta kg. Namun sejak 1900 hingga 1904 jumlahnya terus menurun. Dari 33,72 juta kg menjadi 19,53 juta kg. Ikan dari Bagansiapiapi 88
Masyhuri, op cit., hlm. 224. ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936 90 Butcher, op cit., hlm. 96. 91 Kampen, ibid., hlm. 17. 92 ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 5/1/1925. 93 Butcher, op cit., hlm. 97. 89
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
36
berhasil mengambil pasar ikan Jawa yang dikuasai ikan dari Siam. Ekspor ikan Bagansiapiapi ke Jawa setiap tahun meningkat. Dari tahun 1900 hingga tahun 1904 masing-masing berjumlah 1,36 juta kg, 7,75 juta kg, 10,89 juta kg, 13,14 juta kg dan 14 juta kg94. Ikan Bagansiapiapi bisa merebut pasar Jawa dari ikan Siam adalah karena harganya lebih murah95. Ikan asin dari Siam mempunyai kualitas lebih baik dengan rasa yang khas. Dengan begitu harga ikan Bagansiapiapi dipengaruhi jumlah ikan dari Siam yang tersedia di pasar di Jawa. Jika Siam mengekspor ikan lebih banyak maka harga ikan dari Bagansiapiapi akan jatuh terutama kalau harganya lebih murah. Jika produksi ikan Siam turun maka harga ikan Bagansiapiapi menjadi lebih baik.
III.3. Peran Pachter
Peningkatan ekspor ikan kering, terasi dan udang terjadi karena garam yang dibutuhkan untuk mengolah tersedia dengan banyak dan dengan harga yang murah. Pemenuhan kebutuhan garam untuk industri perikanan Bagansiapiapi dilakukan pemerintah Hindia Belanda dengan memberlakukan pacht atau sistem sewa. Pemerintah memberikan hak monopoli kepada seorang pengusaha Cina untuk mengimpor dan menjual garam. Pachter kemudian menjual garam kepada nelayan, taukeh dan pedagang secara kredit. Pemerintah memberlakukan pacht juga untuk mengutip pajak karena kemampuan pemerintah untuk mengelola sendiri pengumpulan pendapatan dari 94 95
Masyhuri, op cit., hlm. 114. Masyhuri, op cit., hlm. 119.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
37
sektor pajak masih terbatas. Oleh sebab itu, pemerintah harus melakukan aliansi dengan pihak kedua untuk melakukan penarikan pajak. Dalam aliansi ini, pemerintah sebagai pihak yang memberikan izin sewa memperoleh uang sewa. Sementara pachter atau pengusaha yang menjadi penyewa mempunyai hak untuk melakukan penarikan pajak dan mendapat hak istimewa berupa hak monopoli pada sektor usaha yang ditetapkan. Hak monopoli diberikan untuk jangka waktu tertentu dan ditetapkan bagi sebuah wilayah yang ditentukan dengan sangat ketat. Sektor-sektor usaha yang ditetapkan dalam pacht antara lain hak monopoli dalam penjualan hasil perkebunan seperti biji pinang dan karet, penjualan garam, opium dan minuman keras, pengelolaan pasar, rumah gadai, tempat perjudian, rumah bordil. Hak menarik pajak mencakup pajak atas tanah, binatang dan tanaman, pajak barang di tempat-tempat transit di jalan dan pelabuhan96. Hak sewa pacht ditawarkan pemerintah melalui pelelangan yang bersifat terbuka dam dilakukan secara berkala. Pelelangan diikuti oleh pengusaha yang semuanya orang Cina. Pemenangnya adalah pengusaha yang memberi harga tertinggi. Pelelangan hak sewa atas berbagai sektor usaha biasanya dilakukan pada waktu bersamaan sehingga seorang pachter bisa menguasai hak sewa atas sejumlah sektor usaha yang berbeda97. Pemerintah memanfaatkan pengusaha Cina dalam pacht sejak jaman VOC. Sistem ini mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kedudukan ekonomi Cina di kepulauan98. Bagansiapiapi termasuk dalam wilayah pachter Bengkalis. Hak sewa
96
James R. Rush, Opium to Java: Java dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina 1800 – 1910 (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000), hlm. 4-7. 97 Butcher, op cit., hlm. 94. 98 Phoa, ibid., hlm. 111.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
38
biasanya berlaku selama tiga tahun. Selain mendapatkan hak monopoli untuk mengimpor dan menjual garam, pachter juga diberi wewenang untuk menarik pajak ekspor dan impor serta pajak atas produk perikanan99. Untuk memperoleh hak sewa, seorang pengusaha harus bersaing ketat dengan memberi uang sewa tertinggi dan harus membentuk kelompok atau sindikasi atau kongsi dengan pengusaha lain untuk menggalang modal. Pengusaha yang menjadi pachter atau tergabung dalam sindikasi pachter sebagian besar adalah pengusaha dari Medan, Sumatra Timur dan dan Straits Settlement100. Peran pachter dalam industri perikanan Bagansiapiapi sangat dominan. Pachter mengimpor garam yang berasal dari Laut Merah di Singapura101. Impor juga dilakukan langsung dari Aden, Mesir102. Dengan hak monopoli yang dimilikinya, pachter menjual garam dengan harga murah secara kredit. Selain berperan dalam pengadaan garam, pachter juga meminjamkan uang kepada nelayan, taukeh dan pedagang. Pachter juga menampung hasil tangkapan nelayan dengan menjadi pemilik tempat pengolahan ikan sekaligus sebagai pedagang yang menyalurkan hasil produksi industri perikanan Bagansiapiapi. Pachter menanamkan modal dalam bentuk peralatan penangkapan ikan yang
dijual
kepada
pembayarannya,
maka
nelayan nelayan
secara terikat
kredit. kepada
Selama pachter.
belum
melunasi
Mereka
harus
menyerahkan sebagian besar hasil tangkapan sebagai pembayaran alat tangkap dan juga menjual perolehan ikan selebihnya kepada pachter dengan harga yang ditentukan pachter. Pachter menikmati keuntungan yang cukup besar. Karena itu
99
Butcher, op cit., hlm. 94. Butcher, op cit., hlm. 99. 101 Kampen, ibid., hlm. 14. 102 Butcher, op cit., hlm. 99 100
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
39
meskipun usaha yang dijalankan mengandung resiko besar, pachter tetap menanamkan modal untuk alat tangkap baru. Dengan demikian pachter tidak hanya memonopoli pengadaan garam tapi juga pemberian kredit. Pachter juga menyediakan transportasi dengan mendirikan perusahaan perkapalan. Karena menguasai sebagian besar transportasi untuk mengirimkan produk ekspor, pachter mempunyai pengaruh terbesar menyangkut ekspor industri perikanan Bagansiapiapi. Pachter yang lain menjadi agen maskapai Belanda Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang membuka pelayaran dari Bagansiapiapi ke Singapura dan Jawa103. Pachter juga berperan sebagai agen yang mendatangkan tenaga kerja dari Cina. Sebagai agen pachter membayar biaya perjalanan calon tenaga kerja dari Cina ke Bagansiapiapi dan kemudian menyalurkan mereka untuk bekerja sebagai nelayan atau kuli darat di bangliau. Pada umumnya calon tenaga kerja ini tidak datang ke Bagansiapiapi langsung dari Cina tetapi melaluli Singapura. Para taukeh yang ingin memperkerjakan mereka harus membayar kepada agen104 yaitu pachter. Masalah penyelundupan garam juga ditangani oleh pachter. Bersama pengusaha yang bergabung dalam sindikasinya. Mereka melakukan berbagai cara untuk
mengatasi
penyelundupan.
Diantaranya
dengan
membayar
para
penyelundup untuk menghentikan kegiatan mereka, mengajak mereka bergabung dalam sindikasi atau dengan saling mengawinkan anak mereka. Misalnya untuk mengatasi penyelundup besar di Singapura, anak perempuan dari salah satu anggota sindikasi dikawinkan dengan anak penyelundup tersebut yang kemudian 103 104
Butcher, op cit., hlm. 123. Shozo, op cit., hlm. 119.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
40
menjadi agen perwakilan mereka di Singapura105. Pachter bisa menentukan harga jual garam kepada nelayan, taukeh dan pedagang tetapi tidak boleh lebih besar dari harga jual tertinggi yang ditetapkan pemerintah sesuai dalam kontrak yaitu 4,24 dolar atau f 5 per pikul. Pachter menjual garam dengan harga harga murah yaitu 2,40 dolar per pikul di bawah harga tertinggi yang dibolehkan. Alasan pertama adalah untuk mencegah terjadi penyelundupan. Kedua dan yang paling penting adalah untuk menggairahkan nelayan menangkap ikan dan udang. Jika hasil tangkapan tinggi maka konsumsi garam untuk mengolahnya juga akan tinggi. Produksi yang tinggi berarti ekspor juga meningkat. Kegiatan ekspor akan menggunakan perusahaan perkapalan yang dimiliki pachter. Jadi pachter menjual garam dengan harga murah untuk mendapatkan keuntungan dari bidang usaha lain yang dijalankannnya. Menurut Butcher keuntungan yang diperoleh pachter dengan menjual garam dengan harga murah lebih besar daripada menjual garam dengan harga tertinggi sesuai kontrak106.
III.4. Keuntungan Pemerintah dan Pachter
Dengan hak monopolinya pachter mendapatkan keuntungan baik langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung diperoleh pachter melalui penjualan garam dan penarikan pajak. Sementara pendapatan tidak langsung diperoleh melalui bunga pinjaman yang diberikannya kepada nelayan untuk membeli garam dan pedagang untuk membeli ikan serta dari usaha pelayarannya. 105 106
Butcher, op cit., hlm. 122. Butcher, op cit., hlm. 110.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
41
Tahun 1908 pengusaha yang mendapat hak sewa adalah mantan Kapiten Cina Bengkalis Oey I Tam. Sebelumnya Oey adalah pachter pengadaan garam yang sukses di Panai107. Ia mempunyai usaha perkapalan yang melayani pelayaran Bagansiapiapi dan Jawa. Pengusaha yang terlibat dalam sindikasinya adalah Kapiten Cina di Medan yaitu Tjong A Fie, seorang pengusaha besar dan pachter opium dan perjudian. Pendapatan bersih pachter Oey pada tahun 1908 berjumlah f 112.000. Pendapatan ini berasal dari penjualan garam. Sedangkan dari penarikan pajak ekspor terasi Oey memperoleh f 14.000 dan dari pajak ekspor udang kering f 5.350108. Pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pacht pada tahun 1905 adalah f 162.600. Pendapatan lain berasal dari pajak usaha sebesar f 35.000, pajak ekspor dan impor f 65.000 dan f 110.000 dari pacht opium. Dari pacht di Bagansiapiapi setidaknya pemerintah memperoleh pendapatan f 350.000. Setelah dikurangi pengeluaran operasional termasuk gaji pegawai sebesar f 25.000 maka pendapatan bersih pemerintah mencapai f 325.000. Pada tahun 1910 pemasukan pemerintah meningkat lebih dari dua kali lipat yaitu mencapai f 1.000.000109. Pendapatan yang diperoleh pemerintah meningkat karena uang sewa yang ditetapkan selalu naik. Pada tahun 1896 uang sewa per bulan adalah f 3.500. Tahun 1904 meningkat menjadi f 6.060 per bulan. Sedangkan pada tahun 1905 sewa bulanan naik dua kali lipat menjadi f 13.550 per bulan. Tahun 1907 uang sewa naik lagi menjadi f 15.630 dan tahun 1910 naik dua kali lipat menjadi f 32.000110.
107
Kampen, ibid., hlm. 7. Butcher, op cit., hlm. 99. 109 Butcher, op cit., hlm. 118. 110 Butcher, op cit., hlm. 112. 108
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
42
Karena besarnya sumbangan pacht di Bagansiapiapi terhadap pendapatan pemerintah, Kapten H. Colijn menyebut Bagansiapiapi sebagai “tambang emas kecil” bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemasukan ini diperoleh dari uang sewa pengadaan garam, penjualan opium, pajak ekspor dan impor dan dari pajak-pajak lain111. Bila dibandingkan dengan pendapatan pemerintah saat memberlakukan pacht sektor perikanan di Jawa, industri perikanan Bagansiapiapi memberi pemasukan jauh lebih besar. Saat usaha penangkapan ikan di Jawa mencapai tingkat perkembangan yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri pada tahun 1849, pemasukan pemerintah dari pacht sebesar f 143.762. Tahun 1862 meningkat menjadi f 519.972 dan tahun 1863 jumlahnya mencapai f 551.544112.
111 112
Butcher, op cit., hlm. 118. Masyhuri, op cit., hlm. 69.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
43
BAB IV
INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1910 – 1919
IV.1. Stagnasi Ekspor Ikan dan Perubahan di Muara
Secara umum industri perikanan Bagansiapiapi selama periode 1911 sampai 1919 mengalami peningkatan ekspor. Namun ekspor ikan kering dan udang kering mengalami stagnasi. Mulai tahun 1915 peningkatan ekspor terjadi karena sumbangan tiga komoditas lain yaitu cincalok, kulit udang, isi perut ikan dan sisik ikan. Cincalok diekspor ke Siam sedangkan kulit udang, isi perut ikan dan sisik ikan diekspor ke Bangka, Lampung dan Riau untuk dijadikan pupuk di perkebunan lada.
Tabel.3 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1910-1919 (juta kg) Tahun
Ikan Kering
Terasi
Udang Kering
1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919
18,2 18,3 19,2 20,4 19,2 19,9 19,1 19,1 21,7 21,7
8,7 9,4 11,3 12,7 12,5 11,3 8,4 9,7 8,7 10,3
1,1 1,1 0,9 0,8 1,0 1,2 1,4 1,4 1,6 1,3
Cincalok
1,38 0,38 0,19 0,26 0,77
Isi perut ikan, kulit udang
2,4 3,2 3,5 3,3 2,6
Sisik ikan
0,040 0,032 0,033 0,025 0,032
Total
28 28,8 31,4 33,9 32,7 36,22 32,512 33,923 35,585 36,702
Sumber: ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
44
Pada saat produksi industri perikanan Bagansiapiapi mengalami stagnasi, Jawa yang menjadi pasar utama belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Artinya tidak ada penurunan permintaan yang bisa menjadi penyebab produksi berkurang. Bahkan kebutuhan ikan dan terasi di Jawa terus meningkat. Menurut Yearbook of the Nederlands East Indies tahun 1920, karena pertambahan penduduknya maka Jawa perlu melakukan impor ikan lebih banyak untuk menutupi kekurangan bahan makanan dari ikan113. Stagnasi produksi ikan kering yang terjadi berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada muara Sungai Rokan. Berdasarkan peta hidrografi, dari tahun 1893 hingga 1918 proses pendangkalan atau sedimentasi di muara Sungai Rokan terjadi dengan cepat. Sejumlah daerah yang sebelumnya berada di bawah permukaan air kini berada di atas permukaan air. Luas Pulau Halang Besar bertambah secara signifikan sedangkan Pulau Halang Kecil tak lagi hanya muncul saat pasang surut. Sebuah pulau baru juga muncul di mulut Sungai Rokan yaitu Pulau Perdamaran. Sedimentasi merupakan proses yang alami namun penebangan hutan di hulu Sungai Rokan dan hutan mangrove telah menyebabkan proses sedimentasi berlangsung cepat114. Percepatan juga terjadi karena muara Sungai Rokan terletak di kawasan teluk karena teluk berfurngsi sebagai kantung perairan (reservoir) dari lumpur dari hulu yang terbawa arus sungai maupun oleh arus pasang surut. Selain
menyebabkan
sedimentasi,
penebangan
hutan
mangrove
mempengaruhi jumlah ikan karena hutan mangrove merupakan sumber nutrisi dan nursery ground bagi ikan dan udang. Kandungan material organik lumpur Sungai 113 114
Butcher., op cit., hlm. 114. Butcher, op cit., hlm. 107.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
45
Peta Muara Sungai Rokan 1893
Sumber: John G. Butcher, ‘The Salt Farm and Fishing Industry of Bagan Si Api Api’, Indonesia, Vol. 62 (Oct., 1996), hlm. 96.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
46
Peta Muara Sungai Rokan 1913
Sumber: John G. Butcher, ‘The Salt Farm and Fishing Industry of Bagan Si Api Api’, Indonesia, Vol. 62 (Oct., 1996), hlm. 97.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
47
Rokan berkurang sehingga kandungan plankton Sungai Rokan pun berkurang. Jumlah plankton akan mempengaruhi jumlah ikan dan udang yang akhirnya mempengaruhi jumlah hasil tangkap dan ekspor industri perikanan Bagansiapiapi. Sementara itu penggunaan jermal dan ambai telah menimbulkan efek merusak pada ekosistem muara. Menggunakan jermal untuk menangkap ikan adalah cara yang brutal. Jermal menangkap semua binatang yang masuk. Ikanikan kecil akan dilepas tapi sudah dalam keadaan terluka atau mati. Sementara menurut penelitian yang dilakukan Inggris di pantai barat Malaya yang juga menggunakan jermal menunjukkan, bukan hanya menangkap ikan-ikan kecil tapi juga menjaring ikan-ikan yang menyimpan telur-telur mereka di perairan yang keruh dan berlumpur115. Kayu nibung dan bakau dari hutan mangrove adalah bahan baku untuk membuat jermal. Sebuah jermal membutuhkan beberapa lusin kayu bakau atau Rhizopora sebagai tiang pancang dan ribuan kayu kecil untuk bahan kerangka utamanya. Sebuah jermal besar membutuhkan 60 buah kayu sepanjang 16 – 24 meter untuk digunakan sebagai tiang pancang dan 2.000 buah kayu sepanjang 14 meter untuk kerangka utamanya. Kayu-kayu pada jermal harus sering diganti karena rusak dimakan cacing. Setiap tahun kayu untuk jajar yang jumlahnya ribuan tersebut harus diganti 2 sampai 3 kali116. Selain untuk membuat jermal, kayu bakau juga digunakan untuk membuat tempat menjemur ikan dan terasi serta untuk membangun rumah penduduk. Pada tahun 1908 terjadi kebakaran besar di kota Bagansiapiapi yang menghanguskan
115 116
Butcher, op cit., hlm. 99. Masset, op cit., hlm. 129.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
48
235 toko, 15 gudang, 80 rumah dan sekitar 100 gubuk117. Untuk membangun kembali rumah dan bangunan lain dibutuhkan jumlah kayu yang banyak karena semua bangunan di Bagansiapiapi terbuat dari kayu. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk maka kayu dari hutan mangrove ditebang untuk membangun rumah baru. Dengan demikian intensitas penangkapan ikan telah mengakibatkan perubahan pada lingkungan hidup ikan, pengrusakan sumber nutrisi dan nursery ground serta terganggunya perkembangbiakan ikan sehingga mengakibatkan produksi ikan tidak mengalami peningkatan. Pendangkalan menyebabkan hasil tangkapan jermal berkurang karena ikan-ikan pindah ke perairan yang lebih dalam. Karena jermal tidak bisa dipindahpindah, nelayan membuat jermal baru di perairan yang lebih dalam. Dengan begitu, produksi ikan bisa dipertahankan. Ahli perikanan Bottemanne menyatakan kemungkinan perpindahan lokasi jermal bukan hanya karena pendangkalan tapi hanya karena secara umum hasil tangkapan di muara memang sedikit. Tapi yang pasti perpindahan lokasi membuat nelayan bisa mempertahankan produksinya118. Berkurangnya jumlah ikan menyebabkan bertambahnya jumlah udang dan belacan karena beberapa jenis ikan merupakan predator bagi udang. Produksi udang meningkat bukan karena nelayan lebih memilih menangkap udang tapi karena jumlah udang yang sangat banyak. Nelayan jermal melakukan modifikasi pada jermalnya dengan menambah jaring ambai di bagian belakang jermal. Nelayan yang tidak mempu membuat jermal baru karena membutuhkan biaya yang besar, jermal mereka dan beralih mencari udang. 117 ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 5/1/1925. 118 Butcher, op cit., hlm. 111.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
49
Masalah pendangkalan belum dipandang pemerintah sebagai penyebab penurunan produksi ikan. Menurut ajun kepala bagian di Het Visscherij Station di Jakarta E. A. A. Gobee, pendangkalan bukanlah penyebab turunnya produksi ikan karena pedangkalan adalah suatu proses yang berlangsung sejak lama bahkan saat produksi ikan tinggi, sementara penurunan produksi terjadi tiba-tiba. Ia juga menentang pendapat yang menyatakan penurunan jumlah ikan yang ditangkap di Sungai Rokan karena telah terjadi overfishing sebagai akibat penggunaan jermal yang berlebihan119. Peningkatan jumlah jermal menjadi perhatian pemerintah bukan karena alasan overfishing tapi karena keberadaannya mulai mengganggu lalu lintas pelayaran. Tahun 1916, pemerintah memberlakukan peraturan yang mengatur kegiatan perikanan di afdeeling Bengkalis termasuk Bagansiapiapi. Peraturan tersebut disebut Bengkalisvisscherijkeur dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 Januari 1916. Peraturan ini dibuat untuk mengamankan lalu lintas kapal di Sungai Rokan yang mulai terganggu karena banyaknya jumlah jermal, bubu dan kelong. Menurut peraturan ini jermal tidak boleh dibangun di jalur pelayaran. Setiap jermal yang digunakan di wilayah Bengkalis termasuk Bagansiapiapi harus didaftarkan dan mendapat ijin tertulis dari pejabat daerah. Untuk keamanan pelayaran dibuat peta lokasi jermal yang diberikan kepada nakhoda kapal. Bukan hanya jermal yang masih digunakan tapi juga jermal yang sudah ditinggalkan karena dikhawatirkan bisa membahayakan pelayaran. Pelanggaran terhadap peraturan ini akan mendapat hukuman denda
119
Butcher, op cit., hlm. 126; Boeijinga, op cit., hlm. 460.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
50
maksimal sebesar f100 atau kurungan maksimal selama tiga bulan. Namun penerapan peraturan ini tidak berjalan baik. Banyak jermal yang dibangun di jalur pelayaran dan pembangunan jermal tidak meminta ijin pejabat daerah120.
IV.2. Ekspor Terasi Naik tapi Harga Turun
Peningkatan ekspor terjadi pada terasi. Ekspor terasi mengalami peningkatan pada tahun 1912 – 1915 karena sejumlah pedagang mencampur terasi dengan tepung sagu dan kulit udang. Jumlah ekspor pada tahun-tahun tersebut masing-masing 11,3 juta kg, 12,7 juta kg, 12,5 juta kg dan 11,3 juta kg. Karena berkualitas buruk harga terasi Bagansiapiapi turun dari f 8,5 pada tahun 1912 menjadi f 7,8 pada tahun 1913. Pada tahun 1914 dan 1915 harga terpuruk pada angka f 6,9 dan f 6. Pada saat industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pertumbuhan pesat pada tahun 1905, 1906, 1907 dan 1908 harga terasi per pikul masing-masing f 8,5, f 8, f 8,65 dan f 9,50. Untuk mengatasi penurunan harga ini, para pedagang yang merasa dirugikan mengajukan petisi kepada pemerintah agar melarang pencampuran terasi dengan tepung sagu121. Pemerintah menanggapinya dengan mengeluarkan larangan penambahan tepung sagu dalam terasi melalui keputusan Gubernur Sumatra Timur tanggal 4 Desember 1915122. Pada saat produksi ikan mengalami stagnasi dan harga jual ikan dan terasi di Jawa mengalami penurunan, pedagang Bagansiapiapi menjual ikan dan terasi
120
Boeijinga, op cit., 456-460. Butcher, op cit., hlm. 121. 122 ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 30/8/1934; Boeijinga, op cit., hlm. 470. 121
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
51
tanpa mengetahui perkembangan harga di Jawa sebab belum ada jaringan telegram yang menghubungkan Bagansiapiapi dengan Jawa. Bagansiapiapi terhubung dengan jaringan telegram pada tahun 1916. Keberadaan telegram juga membuat transaksi keuangan berlangsung lebih cepat karena tidak perlu menunggu surat perjanjian yang dibawa kapal. Pada tahun yang sama untuk mengurangi dominasi pachter dalam transportasi ekspor, pemerintah membuka jalur pelayaran Bagansiapiapi – Jawa oleh KPM dua kali sebulan. Kapal KPM juga melayani rute Bagansiapiapi – Singapura dua belas kali sebulan serta rute Bagansiapiapi – Penang dan Bagansiapiapi – Belawan satu bulan sekali123.
Tabel.4 Harga Produk Perikanan Baganasiapiapi 1910-1919 (gulden/per pikul) Tahun
Ikan Kering
Terasi
Udang Kering
Cincalok
Isi perut ikan dan kulit udang
Sisik ikan
1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919
7 6,80 7,50 8,0 7,90 7,0 8,0 8,0 8,50 15,0
7,6 6,90 8,50 7,80 6,90 6 7 7,50 7,50 10
40 42 41 39,50 38 38,50 36 42,50 45 45
4 4 3,80 4,25 4 4,50 4 4,75 4,50 4,25
5 5 5,25 5,25 5 5 5 5,50 5,75 5,50
0,4 0,42 0,42 0,425 0,41 0,41 0,4 0,41 0,425 0,48
Sumber: ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936
Controleur Bagansiapiapi melakukan pengawasan ketat terhadap produksi terasi untuk mencegah pencampuran124. Hasilnya harga terasi membaik. Jumlah ekspor terasi menurun tapi mempunyai kualitas lebih bagus. Ekspor terasi tahun 123
ANRI, MVO 1e Reel 17, Memorie van overgave van de afdeeling Bengkalis 27/10/1938 ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936 124
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
52
1916 berjumlah 8,4 juta kg dengan harga f 7 per pikul. Sampai tahun 1919 harga terasi terus membaik dengan produksi yang juga meningkat.
IV.3. Penggunaan dan Harga Garam
Garam sangat dibutuhkan oleh industri perikanan Bagansiapiapi. Oleh karena itu harga garam sangat mempengaruhi jumlah produksi. Harga garam ditentukan oleh pachter tapi tidak boleh melebihi harga tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Harga garam sebenarnya setiap tahun mengalami kenaikan sejak tahun 1898. Bahkan saat industri perikanan mengalami pertumbuhan pesat. Namun kenaikan ini tidak mempengaruhi pertumbuhan industri perikanan karena jumlah produksi setiap tahun mengalami peningkatan dengan harga jual yang bagus. Pada tahun 1910 harga garam naik menjadi f 3,85 per pikul dan tahun 1911 naik lagi menjadi f 4 per pikul125. Kenaikan ini menyulitkan nelayan dan pedagang karena harga ikan dan terasi di Jawa mengalami penurunan sehingga pendapatan mereka berkurang. Sedangkan hasil tangkapan tidak mengalami kenaikan. Kenaikan harga garam berhubungan dengan kenaikan uang sewa yang dibayarkan pachter kepada pemerintah. Untuk memenuhi kewajiban membayar uang sewa sesuai kontrak dan tetap mendapatkan keuntungan pachter menaikkan harga garam. Para pedagang kemudian mengajukan petisi kepada pemerintah untuk
125
ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
53
menurunkan harga garam dan menghapus pajak ekspor terasi dan udang kering126. Tahun 1916 hingga 1920 harga garam turun menjadi f 3 per pikul127 tetapi tidak terjadi peningkatan yang berarti dalam produksi. Hal ini karena turunnya harga ikan Bagansiapiapi di Jawa sehingga keuntungan yang diperoleh nelayan dan pedagang berkurang. Pada tahun 1911 untuk mendorong konsumsi garam, pachter Oei Koen Poey semakin banyak menjual garam secara kredit kepada pedagang dan bukan kepada nelayan dan taukeh. Pedagang yang kemudian menjual garam kepada nelayan dan taukeh. Penggunaan garam meningkat sebanyak 9,5 juta kg pada tahun 1910 menjadi 13,1 juta kg pada tahun 1911. Peningkatan penggunaan garam berlangsung sampai 1914.
Tabel.5 Produksi dan Penggunaan Garam 1910-1919 (juta kg) Tahun
1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919
Produksi Perikanan (ikan kering, terasi dan udang kering) 28 28,7 30,14 32,19 32,7 34,96 31,81 32,69 33,74 35,28
Penggunaan Garam
Harga Garam per pikul (gulden)
9,5 13,1 14,7 13,8 16,7
3,85 4,0 4,0 3,50 3,50 3,50 3 3 3 3
Sumber: ANRI MVO 1 e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936
Karena pendapatan berkurang, sejumlah pedagang tidak bisa membayar 126
Butcher, op cit., hlm. 121. ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936 127
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
54
hutangnya kepada pachter. Akibatnya pachter mengalami kerugian dan meminta keringan pembayaran uang sewa kepada pemerintah. Tahun 1912 uang sewa turun menjadi f 26.000 per bulan lebih rendah dari sebelumnya f 32.000 per bulan. Pachter menjual garam dengan harga garam tertinggi yang boleh dijualnya yaitu f 4 per pikul. Namun ternyata pengurangan uang sewa tidak mengurangi kerugian pachter sehingga tidak mempertahankan hak sewanya yang berakhir pada Maret 1913. Hal ini karena pedagang yang berhutang padanya tidak bisa membayar hutang dan dinyatakan bangkrut128. Karena konsumsi garam berkurang, pachter menurunkan jumlah impor. Karena tidak mampu membeli garam, sejumlah nelayan mengurangi penggunaan garam dalam mengawetkan ikan sehingga ikan menjadi lebih cepat busuk dan akhirnya membuat harga ikan dari Bagansiapiapi jatuh di Jawa. Sementara taukeh ada yang berhenti mengolah ikan kering dan memilih mengolah udang kering dan terasi karena membutuhkan garam lebih sedikit. Bahkan terasi bisa diolah dengan menggunakan air laut129. Pada saat produksi ikan stagnan, agar nelayan tetap mampu memenuhi kebutuhan garam, pedagang mempertahankan sistem kredit bagi mereka untuk memperoleh garam. Bahkan demi memenangkan persaingan dengan pedagang lain mereka membayar ikan yang akan dibeli dari nelayan sebelum ikan ditangkap. Ini menunjukkan bahwa tangkapan ikan stagnan sehingga pedagang harus bersaing untuk mendapatkannya. Karena persaingan ini, nelayan mengalami nasib yang lebih baik sebab harga jual ikan tangkapan mereka meningkat. Ketika taukeh tempat mereka bernaung bangkrut, nelayan mengorganisir ulang kelompok 128 129
Butcher, op cit., hlm. 113 Butcher, op cit., hlm. 105.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
55
mereka dengan membentuk kelompok baru yang lebih kecil dan independen yang memiliki perahu dan jermal sendiri. Karena pachter tidak memberi kredit baru kepada pedagang, banyak pedagang yang jatuh bangkrut. Pada tahun 1915, dari 50 pedagang ikan dan terasi Bagansiapipi, 23 diantaranya mengalami kebangkrutan130. Sementara sejumlah taukeh yang mendapatkan kredit dari pedagang juga mengalami kebangkrutan. Akibatnya banyak bangliau yang tidak lagi aktif, jumlahnya sekitar 30 buah131. Untuk mengatasi masalah permodalan karena kredit dari pachter berkurang, pemerintah mendirikan Bank Bagan Madjoe pada tahun 1916. Bank memberi kredit kepada pedagang dan nelayan untuk melakukan ekspor ke Jawa.
III.4. Pendapatan Pemerintah dan Pachter
Saat pedagang, taukeh dan nelayan menghadapi kesulitan karena pendapatan berkurang, pemerintah dan pachter tetap bisa memperoleh keuntungan. Pemegang hak sewa tahun 1914 adalah Khoe Tjin Tek, seorang pengusaha dari Medan. Pemerintah menaikkan uang sewa menjadi f 36.200 per bulan. Harga garam tertinggi yang dijinkan adalah f 3,5 per pikul. Pemerintah menyadari bahwa tingginya harga garam ada hubungannya dengan penurunan produksi sehingga mengatur dalam kontrak agar harga garam tidak melambung. Tapi pada saat yang sama tetap ingin mendapat pemasukan yang besar dari pacht dengan menetapkan uang sewa yang tinggi. Selama masa stagnasi ini dari onderafdeling Bagansiapiapi, pemerintah 130 131
Butcher, op cit., hlm. 114-115. B.J. Haga. ‘De Garnalenvisscherij van Bagan Si Api Api’, Kolonial Studien 3, 1919, hlm. 158.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
56
memperoleh pemasukan f 1.000.000 sampai f 1.200.000 setiap tahun. Pemasukan ini diperoleh dari uang sewa hak monopoli pengadaan garam, penjualan opium, pajak ekspor dan impor dan pajak-pajak lainnya. Pada tahun 1914, pendapatan bersih pemerintah dari Bagansiapiapi mencapai 40% dari total nilai pemasukan industri perikanan Bagansiapiapi dari penualan ikan kering dan terasi. Pachter Khoe lebih berhati-hati dalam memberi kredit kepada pedagang. Jika ada indikasi seorang pedagang tidak mampu lagi membayar hutangnya, Khoe akan menghentikan kreditnya dan membiarkan pedagang tersebut jatuh bangkrut. Khoe mendirikan perusahaan impor di Singapura agar bisa melakukan impor garam ke Bagansiapiapi sendiri. Dengan cara ini Khoe membeli garam dengan harga lebih murah daripada pachter sebelumnya. Untuk satu pikul garam, Khoe mengeluarkan biasa operasional f 1,00 (dari membeli, mengimpor dan mendistribusikan). Ini berarti dia memperoleh untung besar meskipun dia menjual harga garam di bawah harga maksimum sesuai dengan kontraknya yaitu f 3,50 per pikul. Khoe juga menjadi pedagang ikan besar sehingga bisa menjual garam kepada nelayan dengan harga lebih murah daripada pedagang lain yang membeli garam darinya. Khoe tidak mempunyai perusahaan kapal sendiri tapi menjadi agen KPM. Ia menarik bunga 30% per tahun atas pinjaman kepada pedagang sebagai jaminan atas barang kiriman mereka. Tak lama setelah perang Eropa pecah pada 1914, Khoe memperoleh kontrak delapan bulan untuk mengimpor garam dalam jumlah besar dengan harga murah. Impor garam ke Bagansiapiapi meningkat dari 13,8 kilogram tahun 1914 menjadi 16,7 pada tahun 1915. Selama awal perang Eropa harga garam dunia meningkat tajam karena adanya gangguan dalam pengiriman.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
57
Sehingga ketika persediaannya habis, pachter harus mengimpor garam dengan harga lebih tinggi. Biaya yang dikeluarkannya untuk satu pikul garam menjadi f 1,78. Dengan hak sewa yang dimilikinya, Khoe memanfaatkannya untuk mengambil keuntungan lebih besar. Khoe menarik pajak yang bukan wewenangnya yaitu menarik retribusi atas produk ekspor udang kalengan dan ikan segar yang dijual nelayan langsung di jermal mereka kepada pedagang dari Malaya yang melengkapi kapal mereka dengan es. Pemerintah mengetahui ulah Khoe sehingga memperketat pengawasan terhadap kontraknya. Tahun 1915, Khoe dikenai denda karena menjual garam kurang dari yang seharusnya dan karena menarik retribusi ekspor atas ikan segar dan udang kalengan yang bukan wewenangnya. Di tahun ketiga kontraknya, keuntungan yang diperoleh Khoe menurun tajam132.
IV.5. Pacht Dihapus
Sistem pacht di Jawa dihapus menurut alasan pemerintah karena pemasukan pemerintah dari pacht kecil sedangkan keuntungan yang diambil pachter terlalu banyak. Pacht mempunyai pengaruh yang negatif terhadap usaha penangkapan ikan di Jawa dan memberi kesempatan bagi pachter untuk melakukan pemerasan terhadap nelayan. Sebab nelayan harus membayar pajak yang 3 – 4 kali lebih besar dari jumlah yang ditetapkan. Pemerintah berpendapat jika pacht dihapus maka hubungan ketergantungan nelayan kepada pachter akan
132
Butcher, op cit., hlm. 116-117.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
58
terputus dan praktek-praktek pemerasan pachter dengan sendirinya akan terhenti. Diharapkan beban nelayan berkurang sehingga pendapatan dan kesejahteraan nelayan akan meningkat dan mendorong tumbuhnya usaha penangkapan ikan dan perdagangan ikan133. Departemen Pertanian dan Departemen Keuangan mempunyai pandangan yang berbeda mengenai keberadaan pacht pada industri perikanan Bagansiapiapi. Departemen Pertanianan yang membawahi perikanan berpendapat pacht telah menyebabkan penurunan produksi karena pachter menetapkan harga garam yang tinggi. Sehingga pacht harus dihapus dan pemerintah bisa memperoleh pemasukan yang lebih besar. Departemen Keuangan yang membawahi pacht tidak setuju dengan ide tersebut. Sejumlah saran disampaikan kepada pemerintah untuk menggantikan pacht di industri perikanan Bagansiapiapi. Antara lain, pemerintah memperluas regi yang selama ini menyediakan kebutuhan garam untuk Kalimantan, Sumatra bagian utara dan selatan serta Jawa dan Madura. Saran lain adalah dengan mengijinkan impor garam kepada siapa saja dengan menerapkan pajak. Namun saran ini dianggap tidak akan menjamin ketersediaan garam yang sangat penting bagi industri Bagansiapiapi dan pemerintah harus menerapkan pajak impor yang rendah agar pedagang kecil mampu membelinya. Akibatnya pendapatan pemerintah dari impor akan berkurang.
133
Masyhuri, op cit., hlm. 87.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
59
Berdasarkan Staatsblad 1920 No. 123, pacht untuk afdeeling Bengkalis termasuk Bagansiapiapi dihapuskan mulai 1 April 1920. Menurut Butcher, pemerintah menghapus pacht karena alasan politis. Pemerintah yang berkuasa ketika itu bersifat lebih birokratis dan tidak mendukung organisasi semi independen. Pacht di Bagansiapiapi menurutnya dihapus karena bentuknya.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
60
BAB V
PERKEMBANGAN INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1920-1936
V.1. Ekspor Terasi Meningkat, Ikan Tetap Stagnan
Untuk menggantikan peran pachter sebagai penyedia garam pemerintah menunjuk sebuah perusahaan Bagansiapiapi N.V. Handel Mij Tjin Tong untuk menjual garam dengan harga tetap. Pengadaan garam menjadi monopoli pemerintah. Perusahaan ini tidak memiliki hak monopoli tapi hanya menjadi distributor yang menjual garam kepada nelayan dan pedagang. Perusahaan ini memiliki modal f 100.000 yang sahamnya hanya boleh dimiliki pedagangpedagang yang berdomisili di Bagansiapiapi. Selembar saham mempunyai nilai f 100 dan f 50. Kepemilikan saham dibatasi. Setiap anggota hanya boleh memiliki saham hingga f 3.000. Hampir semua pedagang Bagansiapiapi adalah pemegang saham134. Harga garam ditetapkan pemerintah f 3 per pikul dan tetap stabil sampai 1930. Kebijakan pemerintah menstabilkan harga garam ini membuat industri perikanan Bagansiapiapi bisa mempertahankan pertumbuhannya. Karena harga garam sangat mempengaruhi produksi dan perkembangan industri perikanan. Akibat tingginya harga garam, usaha usaha penangkapan ikan di Jawa mengalami kemunduran. Tingginya harga garam mengakibatkan usaha penangkapan ikan tidak lagi mendatangkan keuntungan.
134
Vleming, op cit., hlm. 237.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
61
Setelah pacht dihapus secara umum industri perikanan Bagansiapiapi mengalami peningkatan. Produksi ikan kering, terasi dan udang kering tahun 1920 berjumlah 38 juta lebih tinggi dari produksi tahun 1919 yaitu 31,3 juta kg. Namun jumlah ini mengalami penurunan hingga tahun 1923 menjadi 33,40 juta kg. Selama tahun 1924 sampai 1926 terjadi peningkatan hingga mencapai jumlah 43,35 juta kg. Bila ditambah dengan ekspor cincalok, isi perut ikan, kulit udang dan sisik ikan, maka ekspor industri Bagansiapiapi menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Pada tahun 1937 ekspor Bagansiapiapi sebesar 37, 809 juta kg maka pada tahun 1925 meningkat menjadi 42, 806 juta kg dan pada tahun 1930 mencapai 59,413 juta kg.
Tabel.6 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1920-1930 (juta kg) Tahun
1920 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930
Ikan Kering
Terasi
Udang Kering
Cincalok
Isi perut ikan dan kulit udang
Kulit Ikan
Total
22,8 22,6 22,5 21,2 21,7 24,0 26,0 21,0 21,3 20,3 19,4
9,6 9,7 8,9 10,5 12,0 13,3 14,3 12,6 17,5 17,2 20,8
1,1 0,7 0,8 0,8 1,7 0,7 1,1 0,7 1,2 1,3 1,3
2,0 1,2 1,1 0,9 0,8 1,2 1,95 1,04 1,32 2,4 1,1
2,3 1,8 2,0 2,1 3,5 3,6 5,0 6,7 9,4 10,9 16,8
0,009 0,007 0,006 0,009 0,011 0,006 0,020 0,019 0,031 0,020 0,013
37,809 36,007 35,306 35,509 39,711 42,806 48,37 42,059 50,751 52,120 59,413
Sumber: ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936; MVO 1 e Reel 17 Memorie van overgave van de afdeeling Bengkalis 1926; MVO 1 e Reel 17 Memorie van overgave van de afdeeling Bengkalis 1/1929
Sejak tahun 1921 hingga 1930, produksi terasi setiap tahun mengalami peningkatan. Dari jumlah 9,7 juta kg hingga mencapai 20,8 juta kg. Keadaan ini
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
62
berbeda dengan produksi ikan kering yang dari tahun 1920 hingga 1930 mengalami stagnasi. Bahkan dibandingkan dengan periode 1911 sampai 1920, produksi ikan kering tidak mengalami peningkatan berarti bahkan cenderung stagnan. Begitu juga dengan ekspor udang kering. Namun peningkatan ekspor terasi sekali lagi dilakukan dengan pencampuran terasi dengan bahan-bahan lain oleh pedagang. Selain dengan tepung sagu, terasi juga dicampur dengan isi perut ikan, ikan-ikan kecil dan kulit udang. Pencampuran ini menyebabkan harga terasi turun. Pada tahun 1921, harga terasi f 9,20 per pikul. Pada tahun 1922 – 1924 pedagang melakukan pencampuran terasi sehingga harga terasi anjlok menjadi f 6 per pikul. Menurut Konsultan Perikanan dari Zee Visscherij Institute H. De Boer, harga terasi Bagansiapiapi tergantung pada kejujuran pedagang Bagansiapiapi135. Selain ekspor terasi, peningkatan juga terjadi pada ekspor isi perut ikan dan kulit udang karena permintaan meningkat. Tampaknya nelayan dan pedagang memaksimalkan ekspor isi perut ikan dan kulit udang untuk menambah pendapatan saat ekspor ikan kering mengalami stagnasi. Setiap tahun ekspor isi perut ikan dan udang kering mengalami peningkatan. Pada tahun 1921, ekspor berjumlah 1,8 juta kg. Tahun 1925 ekspor isi perut ikan dan udang naik dua kali lipat menjadi 3,6 juta kg. Pada tahun 1930 peningkatannya mencapai empat kali menjadi 16, 8 juta kg. Isi perut ikan dan udang kering diekspor ke Bangka, Lampung dan Riau untuk digunakan sebagai pupuk di perkebunan lada. Karena yang mengalami peningkatan jumlah produksi adalah terasi maka penggunaan garam tidak mengalami peningkatan yang tajam. Pengolahan terasi 135
ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
63
membutuhkan garam lebih sedikit dibandingkan dengan pengolahan ikan kering.
Tabel.7 Produksi dan Penggunaan Garam 1920-1930 (juta kg)
Tahun
1920 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930
Produksi Perikanan (Ikan kering, terasi dan udang kering) 33,5 34.20 33.30 33.40 36.20 39.20 43.35 35.34 41.32 41.20 42.60
Penggunaan Garam Harga Garam per pikul (gulden) 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
18 17,9 18,5 18,8 23,0 22,7
Sumber: ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936; MVO 1 e Reel 17 Memorie van de afdeeling Bengkalis 1/1929
Penghapusan pacht di Bagansiapiapi tidak menyebabkan industri perikanan
mengalami
kemunduran.
Bahkan
secara
umum
mengalami
pertumbuhan. Ekspor terasi dan kulit udang mengalami peningkatan. Ekspor ikan kering dan udang kering mengalami stagnasi tapi bukan disebabkan oleh dihapuskannya pacht tapi karena tidak ada peningkatan pada hasil tangkapan nelayan.
VI.2. Organisasi Pedagang
Penduduk Jawa yang terus meningkat menyebabkan terus meningkatnya permintaan konsumsi ikan dan terasi sehingga Jawa tetap sebagai pusat pemasaran
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
64
terpenting bagi industri perikanan Bagansiapiapi. Ikan merupakan sumber protein hewani
terpenting
penduduk
Jawa.
Het
Institute
voor
Zeevisscherij
memperkirakan konsumsi ikan penduduk Jawa pada tahun 1930an pertahun mencapai 6 kg per tahun (konsumsi ikan perhari per 1.000 orang). Menurut perkiraan lembaga ini, Jawa kekurangan sekitar 60 juta kg ikan setiap tahun. Dari jumlah kebutuhan ini hanya 40% yang mampu dipenuhi oleh usaha penangkapan ikan di Jawa136. Tahun 1920 nilai ekspor ikan Bagansiapiapi ke Jawa sebesar f 1.489.000, dengan harga ikan 20 sen per kg137. Total ekspor produk perikanan Bagansiapiapai (ikan kering, udang dan terasi) tahun 1924 berjumlah 35 juta kg. Dari jumlah ini sebanyak sekitar 15 juta kg ikan kering diekspor ke Jawa138. Sementara itu sebanyak 90% terasi yang dijual di Jawa pada tahun 1924 berasal dari Bagansiapiapi139. Pada tahun 1928, 14,024 juta kg terasi Bagansiapiapi diekspor ke Jawa. Total ekspor terasi tahun 1928 berjumlah 17,5 juta kg140. Tahun 1932 ikan Bagansiapiapi yang masuk ke Jawa berjumlah 15,712 juta kg dan tahun 1935 jumlahnya mencapai 22,671 juta kg141. Pedagang Bagansiapiapi membentuk sebuah organisasi yang disebut Tjin Ek untuk mengatur kegiatan ekspor ikan kering ke Jawa. Pedagang yang mengekspor ikan ke Jawa tanpa izin dari organisasi ini dikenai denda f 20 per keranjang ikan kering. Pengaturan ini bertujuan untuk menghadapi persaingan
136
Indisch Verslag 2, 1939, hlm. 13 Boeijinga, op cit., hlm. 454. 138 Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI) VII, 1927, Martinus Nijhoff, hlm. 233. 139 ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936 140 Ibid. 141 Masyhuri, op cit., hlm. 221. 137
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
65
dengan ikan dari Siam dan mencegah harga jatuh142. Namun organsasi ini tidak berhasil memperoleh hasil yang baik karena terjadi perselisihan di antara mereka yang dipicu rasa saling curiga143. Sejumlah pembeli di Jawa menurunkan harga dan secara tidak etis membatalkan pembelian dengan menyatakan ikan berkualitas buruk. Untuk menghindari kejadian seperti itu, pedagang Bagansiapiapi membuka kantor pemasaran di Batavia yaitu Keng Lam Kongsi144. Kantor agen pemasaran juga dibuka di Semarang, Cirebon dan Surabaya145.
V.3. Peningkatkan Jumlah Bubu
Peningkatan produksi terasi terjadi karena nelayan lebih banyak menangkap udang. Jumlah bubu yang beroperasi pada tahun 1926 mencapai 535, dua kali lebih banyak dari jumlah bubu pada tahun 1920. Bubu adalah alat tangkap untuk menangkap udang. Hingga tahun 1929, jumlah bubu yang beroperasi tetap dan bertambah banyak pada tahun 1930. Sementara jumlah jermal yang beroperasi berkurang. Pada tahun 1919 hingga tahun 1922 jermal berjumlah 400an buah maka pada tahun 1923 turun menjadi 300 buah.
142
Vleming, op cit., 236 ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936 144 Vleming, op cit., 237. 145 ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936 143
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
66
Tabel.8 Jumlah Alat Tangkap dan Perahu 1919-1930 Tahun
Perahu
1919 1920 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930
1200 1200 1200 1200 1200 1200 1300 1300 1200 1150 1000 950
Jermal Besar 405 438 +-430 +-400 300 +-325 +-350 +-321 339 +-400 300 +-300
Bubu
276
535 535 535 521 583
Sumber: ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936; MVO 1 e Reel 17 Memorie van overgave van de afdeeling Bengkalis 1929; G. Masset, ‘Het Visscherij Bedrijft te Bagan Si Api Api’, hlm. 132
Berkurangnya jumlah jermal yang beroperasi karena hasil tangkapan berkurang. Hal ini disebabkan telah terjadi perubahan pada muara sungai Rokan yang menyebabkan jumlah ikan berkurang. Dalam laporannya setelah berkunjung ke Bagansiapiapi pada tahun 1933, Hardenberg mengatakan telah terjadi perubahan cukup besar pada konfigurasi dasar muara Sungai Rokan dibandingkan saat kunjungannya empat tahun sebelumnya. Luas bagian barat daya kota bertambah dengan sebuah pulau baru dengan luas beberapa hektar yang ditumbuhi pohon api-api (Avicennia). Akibat pertambahan luas ini terjadi perubahan gerakan arus saat air pasang surut yaitu percampuran terbesar air laut dengan air sungai terjadi lebih jauh ke arah laut. Ia juga menemukan kondisi biologis beberapa bagian muara telah berubah146. Laporan Controleur Bagansiapiapi tahun 1934 menyebutkan dataran di Bagansiapiapi bertambah dengan terbentuknya Pulau Barkey di muara Sungai 146
Butcher, op cit., hlm. 111.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
67
Rokan. Pembentukan ini mempengaruhi lalu lintas pelayaran. Nakhoda kapal KPM memberitaukan bahwa kedalaman Sungai Rokan berkurang setengah hingga dua setengah meter. Kapal-kapal harus mengubah alur pelayaran karena alur yang biasa dilalui berlumpur147. Kerusakan
yang
dialami
hutan
mangrove
Sungai
Rokan
tidak
mendapatkan penanganan sehingga kerusakannya semakin serius. Pertambahan penduduk dan pembangunan rumah membutuhkan banyak kayu. Kebutuhan ini untuk tiang alat alat tangkap, pelataran tempat menjemur dan membangun rumah. Kayu-kayu ini diperoleh dari hutan di daerah Bangko yaitu dari Bagansiapiapi hingga Dumai. Kayu nibung diperoleh dari hutan mangrove di tepi Sungai Rokan. Peraturan pemerintah yang dikeluarkan berkaitan dengan pemeliharaan hutan nibung bertujuan untuk menjamin ketersediaan kayu bagi industri perikanan dalam hal ini sebagai bahan baku pembuatan alat tangkap. Tujuannya agar kayukayu nibung tidak diekspor ke luar negeri. Di Bengkalis terdapat banyak perusahaan perkayuan yang sebagian produksinya diekspor ke luar negeri. Pemerintah mengeluarkan peraturan sebanyak tiga kali yaitu pada tanggal 16 Mei 1924, 18 Februari 1930 dan 19 Juni 1936148. Kegiatan penebangan ini telah meyebabkan erosi, mempercepat proses pendangkalan dan menyebabkan perubahan pada ekosistem sungai. Perubahan yang terjadi menyebabkan muara Sungai Rokan bukan lagi lingkungan hidup yang baik buat ikan yang menjadi tangkapan nelayan. Sejumlah ikan hidup di perairan dengan kedalaman lebih dari dua meter. Supaya bisa bertahan hidup,
147
ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 30/8/1934 148 ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
68
ikan-ikan pindah ke perairan yang lebih dalam dan mencari perairan dimana terjadi pencampuran air laut dengan air tawar. Menurut Hardenberg pada tahun 1929 distribusi dan komposisi spesies ikan di sungai Rokan telah berubah karena penangkapan ikan secara intensif dan karena perubahan arus serta lumpur muara149. Jermal adalah alat tangkap yang tidak bisa dipindah-pindahkan sehingga tidak bisa mengikuti perpindahan ikan. Untuk membangun jermal di lokasi baru dibutuhkan biaya yang besar. Sementara bank sebagai penyedia modal mengurangi pemberian kredit karena tidak lancanya pembayaran oleh para nelayan dan pedagang. Sepertinya muara Sungai Rokan yang mengalami pendangkalan tetap menjadi lingkungan hidup yang baik bagi udang karena udang bisa hidup di perairan dangkal150. Karena ikan juga merupakan predator udang maka dengan berkurangnya jumlah ikan maka jumlah udang bertambah.
V.3. Dampak Krisis Ekonomi Dunia
Industri perikanan Bagansiapiapi mengalami kemunduran pada tahun 1931. Mulai tahun 1931 hingga 1936 produksi ikan kering, terasi dan udang kering mengalami penurunan tajam. Keadaan ini merupakan dampak dari krisis ekonomi dunia yang menyebabkan harga garam naik dari f 3 per pikul menjadi f 4 per pikul. Krisis ekonomi dunia menaikkan harga garam dunia dan biaya pengiriman.
149
Butcher, op cit., hlm. 126. ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936 150
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
69
Pada tahun 1931 terjadi penurunan produksi secara tajam bila dibandingkan dengan produksi tahun 1930, dari 42,60 juta kg menjadi 32,50 juta kg. Produksi kembali mengalami sedikit peningkatan hingga tahun 1934 dengan jumlah produksi ikan kering, terasi dan udang kering 35,85 juta kg. Namun tahun 1935 kembali terjadi penurunan.
Tabel.9 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1931-1936 (juta kg)
Tahun
Ikan Kering
Terasi
Udang Kering
Cincalok
Isi Perut ikan dan kulit udang
Kulit Ikan
Total
1931 1932 1933 1934 1935 1936 Jan-Sep
15,9 17,26 21,46 21,91 18,35 18,03
15,5 15,36 13,53 13,08 11,34 10,82
0,8 0,78 0,82 0,85 0,86 1,05
0,3 0,38 0,14 0,009 0,002 -
9,1 7,10 5,17 5,02 5,58 3,85
0,010 0,008 0,007 0,007 0,011 0,039
41,610 40,888 41,127 40,876 36,143 34,699
Sumber: ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936; MVO 1e Reel 17 Memorie van overgave van de afdeeling Bengkalis 1926; MVO 1e Reel 17 Memorie van overgave van de afdeeling Bengkalis 1/1929
Harga garam yang tinggi menyebabkan nelayan dan pedagang mengurangi produksi karena keuntungan yang diperoleh kecil. Selain harga garam, penurunan produksi juga disebabkan oleh penurunan harga produk perikanan Bagansiapiapi di Jawa. Pada tahun 1933 terjadi penurunan harga ikan secara drastis di Jawa. Dari tahun 1920 hingga 1933, harga jual ikan kering di Jawa turun tajam dari 44 sen menjadi 14 sen per kati151. Harga ikan di Bagansiapiapi tahun 1935 sebesar f 7 – f 8 per pikul152. Penurunan harga ikan Bagansiapiapi di Jawa karena turunnya daya beli 151 152
Cator, op cit., hlm. 215. Masyhuri, op cit., hlm. 195.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
70
penduduk Jawa. Harga hasil perkebunan seperti tebu, kopi, teh dan karet di Jawa mengalami penurunan sehingga pendapatan penduduk Jawa berkurang153. Pada tahun 1926 dan 1929 harga karet 146 sen per kg. Sebagai dampak depresi harga turun menjadi 83 sen per kg pada 1930 dan 31 sen per kg pada 1931. Sementara harga teh pada tahun 1930 hanya seperempat harga teh pada tahun 1926154. Ditambah lagi ikan Bagansiapiapi harus bersaing dengan ikan asap dari Jepang yang pada tahun 1935 dijual dengan harga lebih murah dari harga ikan asin Bagansiapiapi155. Ikan Bagansiapiapi juga tetap harus bersaing dengan ikan dari Siam. Impor ikan dari Siam dilakukan pada bulan Agustus-November. Harga ikan dari Bagansiapiapi akan lebih baik bila jumlah impor ikan dari Siam kecil156. Krisis ekonomi dunia menyebabkan nilai mata uang Cina turun. Siam dan Jepang yang mengekspor ikannya ke Amoy mengubah tujuan ekspornya ke Jawa sehingga menambah jumlah ikan dari luar Hindia Belanda yang masuk ke pasar Jawa157. Pada tahun 1933 dan 1934 ekspor ikan kering mengalami kenaikan karena hasil tangkapan nelayan meningkat setelah nelayan menggunakan alat tangkap yang disebut cici. Sedangkan ekspor terasi setiap tahun terus mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan, nelayan udang memilih untuk menangkap ikan yang mempunyai harga yang lebih tinggi. Pembuatan cici tidak membutuhkan biaya yang tinggi. Dengan harga garam yang tinggi, nelayan akan memperoleh
153
ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936. 154 The Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth and Economic History of East Sumatra (Jakarta: Leknas LIPI, 1977), hlm. 23 155 Cator, op cit., hlm. 215. 156 ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 30/8/1934. 157 ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
71
keuntungan yang lebih besar jika menangkap ikan. Meskipun harga turun tapi permintaan ikan di Jawa meningkat. Keuntungan yang diperoleh nelayan dan pedagang lebih besar jika menjual ikan dibandingkan terasi. Nelayan-nelayan Bagansiapiapi ada yang menjual ikan segar langsung di atas kapal kepada pedagang Cina dari Kelang untuk konsumsi penduduk Kelang dan Kuala Lumpur. Ikan hiu diambil siripnya dan diekspor ke Cina sebagai makanan yang bisa menambah tenaga. Pada tahun 1936 perdagangan ikan segar mencapai jumlah 300.000 kg. Dengan harga ikan segar f 8 – f 12 per pikul atau f 12,50 – f 19 per 100 kg, total nilai ekspor f 48.000158.
V.5. Munculnya Nelayan Cici
Penurunan hasil tangkap jermal menyebabkan banyak nelayan yang kehilangan pekerja. Pendapatan taukeh berkurang sehingga memecatkan sebagian nelayan. Para nelayan ini kemudian berusaha sendiri, menangkap ikan dengan menggunakan alat yang disebut cici159. Cici merupakan alat yang digunakan nelayan di negeri Cina untuk menangkap ikan di perairan dangkal. Cici terdiri dari jaring berbentuk kantong yang digantung pada sebuah tiang yang ditanamkan di dasar sungai. Cici hanya bisa digunakan di perairan dangkal dengan kedalaman maksimal 3 depa160. Berbeda dengan jermal yang hanya menangkap ikan saat pasang naik, cici bisa menangkap ikan pada saat pasang naik dan pasang surut. Cici juga bisa 158
ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936. 159 Cator, op cit., hlm. 213 160 ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 30/8/1934.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
72
dipindah-pindah dan pembangunannya membutuhkan biaya jauh lebih kecil daripada jermal161. Pada tahun 1937 biaya untuk membuat satu cici f 615 sedangkan jermal mencapai f 6.400162. Cici digunakan oleh nelayan Sinaboi dan Pulau Halang163. Tahun 1932 jumlah cici sudah mencapai dua kali jumlah jermal164. Penggunaan mampu cici meningkatkan ekspor ikan kering. Tahun 1932 ekspor ikan kering 17,26 juta kg. Tahun 1933 dan 1934 meningkat menjadi masing-masing 21,26 juta kg dan 21,91 juta kg165. Saat jumlah cici semakin banyak dan ditempatkan di perairan dimana terdapat jermal, terjadi konflik antar nelayan jermal dan cici. Di antaranya terjadi sabotase, pencurian hingga perkelahian. Untuk mengatasinya pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur pembagian wilayah tangkap untuk jermal dan cici. Nelayan cici tidak boleh menempatkan alat tangkapnya berdekatan dengan jermal. Namun banyak nelayan cici yang tidak mematuhi aturan ini166. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan menyangkut pembagian wilayah berdasarkan asal nelayan. Perairan di sekitar Sungai Serusa, Sungai Siandam dan Sungai Tengah diperuntukkan bagi nelayan bubu dari Bagansiapiapi. Perairan di sekitar Sungai Raja Bejamu menjadi wilayah tangkap nelayan jermal udang dari Bagansiapiapi. Perairan antara Kubu dan Pulau Halang diperuntukkan bagi nelayan bubu dari Kubu. Perairan di sekitar Pulau Halang menjadi wilayah tangkap nelayan bubu dan cici dari Pulau Halang. Perairan di sekitar Sinaboi 161
Cator, op cit., hlm. 214. Masset, op cit., hlm.232. 163 ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 30/8/1934. 164 Cator, op cit., 213. 165 ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936. 166 Cator, op cit., 214. 162
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
73
untuk nelayan bubu dari Sinaboi dan Sungai Bakau. Perairan di sekitar Ujung Simbul untuk nelayan cici dari Ujung Simbul dan perairan antara Panipahan dan Sungai Tawar menjadi wilayah tangkap nelayan jermal dari Panipahan. Peraturan ini juga mengatur jarak antar alat tangkap. Jarak antar jermal diatur untuk bagian depan dan belakang sejauh 2.000 depa dan bagian kiri dan kanan sejauh 500 depa. Jarak antar cici, untuk bagian depan dan belakang sejauh 300 depa dan bagian kanan dan kiri sejauh 20 depa. Jarak antar bubu, untuk bagian depan dan belakang sejauh 300 depa dan bagian kanan dan kiri sejauh 20 depa. Sementara jarak antara jermal dan cici, jarak bagian depan dan belakang sejauh 1.500 depa dan jarak bagian kanan dan kiri sejauh 500 depa167.
V.6. Bank Bagan Madjoe dan Visscherijfonds
Pada tahun 1916, pemerintah mendirikan Bank Bagan Madjoe untuk menggantikan peran pachter sebagai penyedia modal usaha bagi nelayan, taukeh dan pedagang. Kegiatan bank terutama untuk membiayai kegiatan ekspor ikan ke Jawa. Nelayan memanfaatkan kredit yang diberikan Bank Bagan Majoe terutama karena bunga pinjaman yang dikenakan pachter memberatkan. Kehadiran bank sebagai pemberi kredit membebaskan pedagang dari lintah darat168. Sesuai dengan Staatsblad 1934 No. 82 bank memberi pinjaman kepada nelayan dan pedagang senilai 125 hingga lebih dari 1.000 gulden dengan bunga yang sedang. Bank juga memberi pinjaman senilai 80% dari nilai produk ekspor. Bank bukan hanya memberi pinjaman untuk kegiatan perikanan tapi juga 167 ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 30/8/1934. 168 Boeijinga, op cit., hlm. 474.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
74
meminjamkan uang kepada penduduk untuk memperbaiki rumah mereka yang rusak karena bencana alam. Pada tahun 1920 terjadi dua kali kebakaran besar pada bulan April dan Juni serta angin topan pada bulan November169. Kebakaran kembali terjadi pada tahun 1932 dan 1934170. Jumlah pinjaman yang diberikan Bank Bagan Madjoe pada tahun 1919 untuk industri perikanan dan perdagangan perikanan berjumlah f 233.000171. Pada tahun 1923 dan 1924, bank memberikan pinjaman lebih dari 100.100 gulden untuk biaya pembangunan rumah akibat bencana kebakaran172.
Tabel.10 Kredit Bank Bagan Madjoe Tahun 1919 1923 1924 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1934 1935
Jumlah Kredit f 233.000 f 420.000 f 673.000 f 417.600 f 458.800 f 218.200 f 164.080 f 96.737 f 77.538 f 73.095 f 88.729,50
Sumber: ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936; Kolonial Verslag 1920, hlm. 283; Cator, The Economic Position of Chinese in the Nederlands Indie, hlm. 216.
Industri perikanan Bagansiapiapi mengalami penurunan dan berdampak pada kinerja bank. Pada tahun 1930, bank masih memperoleh laba sekitar f 4.630. Namun tahun berikutnya mengalami kerugian sebesar f 241. Begitu juga pada
169
Masset, op cit., hlm. 228. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI) VII, 1935, Martinus Nijhoff, hlm. 1362. 171 Kolonial Verslag 1920, hlm. 283. 172 Cator, op cit., 216. 170
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
75
tahun 1932, kerugian yang dialami mencapai jumlah f 9.080. Tahun 1933 jumlah kerugian turun menjadi hanya f 285,27. Keadaan lebih baik pada tahun 1935 saat bank mencatat laba f 11.916,14173. Bank mengurangi jumlah kredit yang disalurkan kepada nelayan dan pedagang sehingga menambah sulit keadaan mereka. Pada tahun 1930, kredit yang disalurkan berjumlah f 218.200 dan tahun 1931 turun menjadi f 164.080. Selanjutnya sampai tahun 1935 kredit yang disalurkan kurang dari f 100.000. Padahal nelayan membutuhkan dana untuk memindahkan jermal ke perairan lebih dalam jika ingin memperoleh ikan lebih banyak dan untuk membeli garam yang harganya naik. Dengan demikian nelayan dan pedagang mendapatkan pinjaman dari lintah darat atau pengusaha lain. Modal yang dibutuhkan untuk membangun alat tangkap baru dan memelihara alat tangkap tidak sedikit. Pada tahun 1935 biaya untuk membangun sebuah jermal besar mencapai f 6.400. Biaya ini untuk membeli tiang pancang f 360, tiang jajar f 4.400 jaring rotan f 140 dan 2 buah perahu f 1.500. Untuk jermal kecil dibutuhkan biaya f 3.850. Biaya untuk jermal udang berjumlah f 4.100 yang terdiri dari f 600 untuk tiang pancang, f 2.000 untuk pelataran tempat menjemur, f 600 untuk jaring dan f 900 untuk 3 buah sampan. Untuk sebuah bubu dibutuhkan biaya lebih murah yaitu f 731,50 yang terdiri dari f 31,5 untuk tiang yang terbuat dari kayu nibung, f 300 untuk jaring dan f 400 untuk perahu. Untuk cici biaya yang dibutuhkan lebih murah yaitu f 615. Biaya ini untuk tiang f 15, jaring f 200 dan perahu f 400174. Pada tahun 1935 pemerintah membentuk lembaga ‘visscherijfonds’. 173 ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936. 174 Masset, op cit., 232.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
76
Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk membantu nelayan membeli garam. Lembaga ini membantu membayarkan dua sen untuk setiap 100 kg garam yang dibeli nelayan. Pada tahun 1935 harga garam f 4 per 100 kg. Untuk bisa mendapatkan bantuan, nelayan harus mempunyai tabungan di bank dan mendapat rekomendasi dari Tjin Goan yaitu organisasi para pelaku industri perikanan Bagansiapiapi. Lewat lembaga ini, nelayan juga mendapatkan kredit untuk membangun bubu, cici dan kelong baru. Untuk nilai kredit yang kurang dari f 300, nelayan tidak perlu memberikan jaminan. Nelayan dikenakan bunga 7,5% pertahun sedangkan bunga tabungan sebesar 2,4%. Pada tahun 1935 lembaga ini menjamin 31 peminjam dengan jumlah pinjaman f 8.500175.
V.7. Sumbangan Industri Perikanan Pada Kota Bagansiapiapi
Industri perikanan telah menjadikan Bagansiapiapi sebuah kota yang modern. Sejak tahun 1934 Bagansiapiapi sudah diterangi listrik. Pembangkit tenaga listrik dikelola oleh Electriciteit Mastchappij Balik Papan. Bagansiapiapi memiliki perusahaan pengolahan air yang mengolah air Sungai Rokan menjadi air minum dan unit pemadan kebakaran. Pada tahun 1936 pengoperasian pengolahan air minum dan pemadam kebakaran menggunakan listrik. Penyaluran air ledeng mendapat tenaga tambahan sehingga mencapai 25 m3 per jam. Dengan adanya listrik, pemadam kebakaran mempunyai mekanisme peringatan berupa sirene yang diletakkan di atap kantor 175
ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
77
pembangkit tenaga listrik di ketinggian 5 meter. Suara sirene bisa didengar hingga jarak 30 km. Pada malam hari jalan-jalan diterangi lampu jalan. Pengelolaan perusahaan air minum dilakukan oleh lembaga daerah yang diketuai Controleur yang juga bertindak sebagai bendahara. Pembentukannya diatur dalam keputusan Gubernur Sumatra Timur tanggal 13 Oktober 1922. Lembaga daerah memiliki komisi pengawas yang terdiri dari tiga orang Melayu dan delapan orang Cina. Anggaran belanjanya pada tahun 1931 f 77.500176. Sejumlah pedagang yang memperoleh keuntungan dari industri perikanan Bagansiapiapi mendanai pembangunan sekolah untuk anak-anak. Diantaranya Tjin Tjoan School yang didirikan oleh pedagang Bagansiapiapi, Kiaw Lam Sieng oleh pedagang Sinaboy dan sebuah sekolah oleh pedagang dari Panipahan. Di Bagansiapiapi juga terdapat sekolah yang dijalankan oleh misi katolik Methodist Episcopal Church yaitu Bie Haw School. Sekolah lain yang ada di Bagansiapiapi adalah Bin Tok School yang dibangun oleh tokoh pergerakan Bin Tok Soe Po Sia. Sejak tahun 1928, Bin Tok School mendapat subsidi dari misi katolik. Sekolah ini memiliki 145 siswa dengan 3 orang guru. Bersama dengan Keng Tjoen, Bin Tok School adalah sebuah sekolah modern. Keng Tjoen mempunyai 272 siswa dengan 8 tenaga pengajar177. Kesejahteraan masyarakat ditandai dengan tidak hanya kemampuan membeli rumah dan tanah tapi juga dilihat dari konsumsi opium daerah ini. Impor opium dari tahun 1925 sampai 1930 masing-masing bernilai f 1.234.729, f 1.466.068, f 1.402.584, f 1.415.191, f 1.380.130 dan f 999.058. Penurunan nilai
176
ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeling Bagan Si Api Api, 14/5/1931. 177 ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
78
impor selain karena krisis ekonomi dunia juga karena gencarnya propaganda anti opium dan pendirian dua rumah sakit anti opium milik orang Cina178. Pada tahun 1935, untuk pembelian opium mencapai f 278.643,06 atau rata-rata konsumsi kota Bagansiapiapi f 774 per hari.
Tingginya konsumsi mendorong terjadinya
penyelundupan opium ke Bagansiapiapi. Industri perikanan juga memajukan usaha perekonomian lain di Bagansiapiapi.
Meningkatnya
pendapatan
nelayan
meningkatkan
tingkat
konsumsi mereka. Nelayan Bagansiapiapi berada di laut selama empat belas hari dan beristirahat selama empat belas hari untuk menunggu pasang. Saat tidak berada di laut nelayan menggunakan uangnya untuk bersenang-senang di kota. Mereka membelanjakan uang mereka dengan makan di restoran, mengunjungi klub dan tempat perjudian dan menonton pertunjukan wayang179.
178 ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeling Bagan Si Api Api, 14/5/1931. 179 Vleming, op cit., hlm. 236.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
79
BAB VI
KESIMPULAN
Industri perikanan Bagansiapiapi merupakan pusat perikanan terpenting di kepulauan. Selama kurun waktu 1898 sampai 1936, industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pasang surut. Bagansiapiapi berkembang menjadi industri perikanan karena kekayaan ikan dan udang muara Sungai Rokan. Pertumbuhan, stagnasi dan kemunduran industri perikanan Bagansiapiapi dipengaruhi oleh keadaan muara Sungai Rokan, ketersediaan dan harga garam, ketersediaan modal, keadaan pasar dan tingkat permintaan di Jawa. Industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pertumbuhan pesat pada tahun 1898-1909 karena kekayaan ikan dan udang di muara Sungai Rokan yang berlimpah. Ekspor ikan kering, terasi dan udang kering setiap tahun mengalami peningkatan. Muara Sungai Rokan kaya akan ikan dan udang karena perairannya mengandung lumpur yang kaya akan material organik dan mineral yang dibawa masuk ke muara oleh arus sungai yang deras. Di muara Sungai Rokan terdapat hutan mangrove yang merupakan sumber material organik dan mineral serta sumber kayu untuk pembuatan alat tangkap. Industri perikanan Bagansiapiapi sangat memerlukan garam untuk mengolah ikan dan udang menjadi komoditas ekspor yaitu ikan kering, terasi dan udang kering. Industri perikanan mengalami pertumbuhan pesat karena garam tersedia dalam jumlah yang banyak dan dengan harga yang murah. Nelayan dan pedagang tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan modal. Jawa sebagai
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
80
tujuan ekspor merupakan pasar yang besar dan terbuka karena usaha perikanannya mengalami
kemunduran
sehingga
tidak
mampu
memenuhi
kebutuhan
penduduknya yang selalu meningkat. Pachter mempunyai peran penting dalam pertumbuhan pesat industri perikanan karena menyediakan garam murah secara kredit, memberikan pinjaman dan menyediakan transportasi untuk ekspor. Pada tahun 1910-1919 ekspor ikan kering mengalami stagnasi karena terjadi pendangkalan pada muara Sungai Rokan yang mengakibatkan tidak terjadi peningkatan hasil tangkapan. Pendangkalan terjadi karena penebangan hutan di hulu sungai dan hutan mangrove untuk pembuatan alat tangkap dan pembangunan rumah. Penebangan hutan mangrove mengurangi jumlah material organik dan mineral serta nursery ground. Harga garam mengalami kenaikan sementara harga ikan di Jawa turun sehingga pendapatan berkurang. Pachter memperketat pemberian pinjaman karena pembayaran nelayan dan pedagang tidak lancar. Karena konsumsi garam berkurang, pachter mengurangi ekspor. Ekspor terasi mengalami peningkatan tapi karena pedagang mencampur terasi dengan tepung sagu, harga terasi di Jawa turun. Setelah pemerintah mengeluarkan larangan pencampuran terasi meskipun jumlah ekspor menurun tapi harga terasi di Jawa membaik. Pada tahun 1920-1930 secara umum industri perikanan mengalami pertumbuhan. Ekpor terasi mengalami peningkatan karena penangkapan udang meningkat sementara ekspor ikan tetap stagnan. Pendangkalan di muara Sungai Rokan tidak menyebabkan jumlah udang berkurang. Ekspor kulit udang dan isi perut ikan yang digunakan sebagai pupuk di perkebunan lada di Bangka, Lampung dan Riau mengalami peningkatan tajam karena permintaan meningkat.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
81
Pada tahun 1920 pemerintah menghapus pacht dan menunjuk sebuah perusahaan di Bagansiapiapi untuk mendistribusikan garam dengan harga tetap. Kebijakan pemerintah menstabilkan harga garam membuat industri perikanan Bagansiapiapi bisa mempertahankan ekspor. Untuk menggantikan peran pachter sebagai penyedia modal, pemerintah mendirikan bank yang memberi pinjaman dengan bunga rendah. Para pedagang ikan membentuk sebuah organisasi untuk mengatur ekspor ikan ke Jawa agar harga tidak jatuh karena persaingan di antara mereka. Para pedagang ikan juga mendirikan kantor pemasaran di Batavia untuk mengatasi pembeli di Jawa yang menurunkan harga dan menolak pembelian. Sebagai
dampak
dari
krisis
ekonomi
dunia,
industri
perikanan
Bagansiapiapi mengalami kemunduran. Mulai tahun 1931 sampai 1936 produksi ikan kering, terasi dan udang kering mengalami penurunan tajam karena kenaikan harga garam. Krisis ekonomi dunia menaikkan harga garam dunia dan biaya pengiriman. Keadaan makin sulit karena bank mengurangi pemberian kredit. Untuk membantu nelayan membeli garam, pemerintah membentuk visscherijfonds dengan memberikan pinjaman. Harga ikan dan terasi di Jawa mengalami penurunan karena daya beli penduduk Jawa menurun. Pendapatan penduduk Jawa berkurang karena harga hasil perkebunan mengalami penurunan akibat krisis ekonomi dunia. Pada tahun 1932 dan 1933 ekspor ikan meningkat karena hasil tangkapan nelayan meningkat setelah menggunakan alat tangkap yang disebut cici untuk menangkap ikan. Keberadaan nelayan cici menimbulkan konflik dengan nelayan jermal sehingga pemerintah mengeluarkan peraturan yang membagi wilayah tangkap untuk cici dan jermal.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
82
BIBLIOGRAFI
Sumber-sumber Arsip: Arsip Nasional Republik Indonesia Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Bagan Si Api Api: A. Velde, 5 Januari 1925 C. Daalbergen, 14 Mei 1931 Boudewijn van Duuren J.C. Haar, 1 November 1936
Memorie van Overgave van de Afdeeling Bengkalis: A.H. Nijs, 1926 The W. Grendjis, 7 April 1926 A.F.A. Van Jong, Januari 1929 J.J.J. Noeven, Maret 1931 G.W. Meindersma, 2 Mei 1933 A.L. Plaat, 2 Mei 1935 Dr. H.D. van Moyenfoldt, 27 October 1934 J.P. Patter, 4 Mei 1938
Artikel: Besseling, O.P., ‘De Visscherij Bank “Bagan Madjoe” en Visscherij Industrie te Bagan Si Api Api’, Koloniale Studien 1, 1916, 1916-1917. Boijinga, K.J., ‘De Visscherij van Bagan Si Api Api’, Koloniaal Tidschrift, 1926. Bottemanne, C.J., ‘ De Indische Zeevisscherij’, Koloniaal Tijdschrift, 1935. Butcher, John G., ‘The Salt Farm and Fishing Industry of Bagan Si Api Api’, Indonesia, Vol. 62 Edisi October 1996. Haga, B.J., ‘De Garnalen Visscherij van Bagan Si Api Api’, Koloniale Studien, 1, 1937.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
83
Kampen, P.N van, ‘Aanteekeningen omtrent de Visscherij van Sumatra en Riouw’, Mededeelingen van het Visscherij-Station te Batavia 3, 1909, Masset, G., ‘Het Visscherij Bedfrijf te Bagan Si Api Api’, Indische Gids, 1, 1937 Nij Bik, P.A., ‘Visscherij in Nederlands-Indie’, Koloniale Studien, 3, 1917. Phoa Liong Gie, ‘De Economische Positie der Chineezen in Nederlands-Indie’, Koloniale Studien, 5 en 6, 1935.
Surat Kabar: De Indische Mercuur, 1928, ‘Bagan Si Api Api de Tweede Vischstad der Wereld’. Harian Indonesia, 3 Maret 2000, ‘Kakek Wang Si Bajak Laut Tua dan Ao Ke (Leluhur yang Terhormat)’. Kompas, 31 Oktober 1995, ‘Julukan Kota Ikan Itu Kini Hanya Tinggal Nama…’. Buku: Burke, Peter (2003) Sejarah dan Teori Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Cator, W.J. (1936) The Economic Position of the Chinese in Nederlands-Indie, Basil Blackwell & Mott Ltd., Oxford. Coppel, Charles A. (1983) Indonesian Chinese in Crisis, Oxford University, Kuala Lumpur. Elfindri (2002) Ekonomi “Patron-Client”: Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dalam Kebijakan Makro, Andalas University Press, Padang. Fernando, M.R. and David Bulbeck (ed) (1992) Chinese Economic Activity in Netherlands India (Selected Translations from the Dutch), Institute of South East Asia Studie, Singapore. Firth, Raymond (1946) Malay Fisherman: Their Peasant Economy, Kegan Paul, Trench, Truber & Co., London. Fortier, David H. (1964) Cultural Change Among Chinese Agricultural Settlers in British North Borneo, Tesis, Colombia University. Hadikusuma, Hartono (1990) Talcott Parsons and Pemikirannya: Sebuah Pengantar, PT Tiara Wacana, Yogyakarta.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
84
Hakim, Iman (2001) Hubungan Kerusakan Hutan Mangrove dengan Abrasi, Tesis, Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok. Hasibuan, Nurimansjah (1994) Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi, LP3ES, Jakarta Kampen, P.N. van (1922) Visscherij and Vishteelt in Nederlands-Indie, Onze Kolonial Dierenteelt II, Harlem. Leirissa, R.Z. (2002) Metodologi Sejarah, Diktat Perkuliahan Program Pascasarjana Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Masyhuri (1996) Pasang Surut Usaha Perikanan Laut di Jawa dan Madura 18801940, Vrej Universiteit, Leiden. McCullagh, C. Behan (1998) The Truth of History, Routledge, London-New York. Purwanto, Hari (2005) Orang Khek dari Singkawang, Komunitas Bambu, Depok. Rasyid, Asba (2007) Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Rush, James R. (2000) Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina 1860-1910, Mata Bangsa, Yogyakart. Shozo, Fukuda (1995) With Sweat and Abacus: Economic Role of Southeast Asian Chinese on The Eve of World War II, Select Book Pte. Ltd., Singapore. Thee Kian Wie (1977) Plantation Agriculture and Export Growth, an Economic History of East Sumatra 1863-1942, National Institute of Economic and Sosial Research (Leknas LIPI), Jakarta. Thee Kian Wie (1988) Industrialisasi Indonesia: Analisis dan Catatan Kritis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Vleming Jr., J.L. (1926) Het Chineesche Zaken-Laven in Nederlandsch-Indie, Landsdrukkerij, Weltevreden. Willmott, Donald E. (1958) Sociocultural Change among the Chinese of Semarang, Tesis, Cornell University, New York.
Pasang surut..., Shanty Setyawati, FIB UI, 2008
85