599
Unmas Denpasar
MODEL PENGUASAAN TANAH PAUMAN UNTUK KESEJAHTERAAN KRAMA PAUMAN DI KABUPATEN KARANGASEM 1)
I Made Suwitra, 2)I Made Minggu Widyantara, 3) I Nyoman Sujana
Fakultas Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Warmadewa Email:
[email protected] HP: 081805597794
ABSTRAK Pada masa kerajaan tanah pauman dikuasai secara koletif oleh suatu kemunitas yang disebut “pauman”. Setelah kemerdekaan dan dengan diundangkannya UUPA penguasaannya mengalami perubahan. Di beberapa desa tanah pauman tersebut telah didaftarkan sebagai hak milik individu dan sebagian lagi sudah dijual. Dari kondisi tersebut ada beberapa isu hukum sebagai permasalahan penelitian, yaitu bagaimana model penguasaan hak atas tanah pauman dan pengelolaannya setelah berlakunya UUPA. Jenis penelitian yang digunakan berupa penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konsep, analitik, dan kasus. Sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang dikumpulkan dengan teknik Wawancara (affirmasi), pencatatan dan dokumentasi. Data atau bahan hukum tersebut dianalisis dengan teknik interpretasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penguasaan tanah pauman masih bersifat kolektif yang jumlah keaggotaannya bersifat tetap dan ada yang bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan anggota inti secara genealogis. Sementara di beberapa desa cendrung mengarah individualisasi sekuler dengan mengusung kepastian hukum dalam konteks UUPA, sehingga beberapa pauman sudah bubar karena tanah pauman sebagai dasar pengikatan ayanah dan kesatuan kelompok sudah tidak ada lagi sebagai akibat terjadinya pengalihan penguasaan dan pemilikan tanah pauman melalui jual beli kepada pihak lain. Oleh karena itu diperlukan upaya yang sungguh dalam pelestariannya. Kata Kunci: pauman, penguasaan hak atas tanah ABSTRACT In the period of kingdom, Pauman land was collectively owned by the community called pauman. After the independence and at the time Land Law had been imposed, even in some villages the land had been proposed to be owned individually and some of the land had been sold, so the problem discussed were; what model was applied for the pauman land ownership and how the management was done when the Land Law had been imposed. The model of the research was a research of normative law with legislation, concept, analytic, and case approach. The sources of the regulation which were used in this research were primary law sources, secondary law sources, and tertiary law sources which were collected by interview (affirmation), note taking and document. And then it was done interpretation technique. The result of the research showed that there was still collective ownership for pauman land in which the members of the owners were permanent and some were dynamic depended upon the development of the genealogical main owners. Meanwhile, in some villages the ownership tended to be secularly individualization through having the legality of the law in context of Land Law so that some pauman lands dismissed, infect the pauman land was the basic of the managing commitment and there was no more unity of community as the result of authority and ownership transference through trading them to other people. That’s why serious efforts are needed to preserve the pauman lands. Key words: pauman, authority, land tenure. Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
600
Unmas Denpasar
PENDAHULUAN Tanah pauman yang dikuasasi kelompok pauman hanya dapat dijumpai di Kabupaten Karangasem. Keanggotaannya berasal dari berbagai banjar atau desa adat atau komunitas muslim yang terdiri dari 20 sampai 40 orang dan mempunyai pengurus sendiri yang otonom.Tanah pauman dipercayai sebagai pemberian Raja Karangasem dengan hak untuk menikmati hasil dari tanah pauman yang dilekati kewajiban (ayahan) untuk Raja (Puri). Penguasaannya dilakukan secara permanen (turun temurun) agar bisa dikelola untuk kesejahteraannya termasuk keluarganya. Hubungan penguasaan antara Puri dengan kelompok pauman bersidat mulurmungkret artinya penguasaan Puri akan semakin tipis bahkan hilang sama sekali, sedangkan penguasaan komunitas pauman atau individu sebagai anggota pauman semakin tebal atau nyata (I Made Suwitra, I Nyoman Sukandia, dan I Made Minggu Widyantara, 2014: 10 ). Perubahan penguasaan dari komunitas pauman menjadi banjar menunjuk pergeseran model kearah “terbuka” secara territorial dengan kosekuensi tanah pauman menjadi tanah laba banjar. Fenomena ini bersifat faktual, spesifik dan menarik dirumusakan sebagai masalah peneltian, yaitu: Bagaimanakah hak penguasaan dan dinamisasi model pengelolaan tanah pauman dikaitkan dengan kewajiban (ayahan) yang melekatinya bagi anggota sebagai krama pauman dalam konteks kesejahteraan?. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan berupa penelitian hukum normatif dengan pendekatan masalah berupa pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah, pendekatan kasus (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93). Pendekatan analitis (Johnny Ibrahim, 2006: 98)., dan pendekatan hukum adat (R. Soepomo, 1979: 32). Data primer dan sekunder dalam bentuk bahan dikumpulkna dengan teknik dokumentasi dan pencatatan melalui sistem file (I Made Suwitra, 2009: 51), yang selanjutnya dianalisis dengan teknik hermeneutic (Ahmad Rifai, 2011: 45), dan analisis kualitatif (Zainuddin Ali, 2013: 107). HASIL DAN PEMBAHASAN Tanah Pauman dalam Perspektif Tanah Ulayat di Bali Sampai saat ini tanah-tanah adat atau tanah ulayat yang dikuasai oleh Desa Adat di Bali masih eksis, walaupun mengenai jenis penguasaannya tidak sama antara desa adat yang satu dengan yang lainnya. Tanah-tanah adat dikuasai secara individual atau secara komunal. Dalam perkembangannya sebagian dari tanah-tanah adat baik yang dikuasai secara individual maupun secara kolektif sudah ada yang berubah menjadi tanah individu penuh menurut UUPA. Tanah adat yang dikuasai secara individual bersifat turun-temurun namun masih dalam ikatan komunal, sehingga ada hubungan yang bersifat menebal dan menipis antara penguasaan individual dengan penguasaan kolektif, yaitu relevan dengan Teori Balon dari Ter Haar, atau “Mulur Mungkret” (Iman Sudiyat, 1981: 3). Untuk memahami pemilikan tanah secara perorangan menurut hukum adat, terlebih dahulu harus mengenal jalinan timbal balik hubungan antara hak masyarakat dan hak perorangan (individu) menurut alam pikiran masyarakat adat (Herman Soesang Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
601
Unmas Denpasar
Obeng, 1975: 51). Ter Haar menyebut dengan “Participerend denken”, yaitu menunjuk adanya hubungan antara mansuia dan tanah sebagai suatu hubungan magisch religius yang mengandung unsur kekuatan gaib (mistik) sebagai perwujudan daripada dialog antara manusia dengan alam gaib, seperti adanya penghargaan kepada roh-roh. Hubungan hidup antara umat manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain di satu fihak dan tanah di lain pihak, yaitu tanah di mana mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah di mana mereka dimakamkan dan yang menjadi tempat kediaman orangorang halus (roh leluhur) pelindungnya berserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya hidup, termasuk juga hidupnya umat itu dan karenanya tergantung dari padanya, maka pertalian demikian itu yang dirasakan dan berakar dalam alam pikirannya “serba berpasangan” (participerend denken) itu dapat dan seharusnya dianggap sebagai pertalian hukum (rechtsbetreckking) umat manusia terhadap tanah (Ter Haar, 1974: 71). Sifat yang menonjol dalam pemilikan secara individual menurut hukum adat, antara lain: (1) Bahwa pemilikan tanah hanya dapat dipunyai oleh warga masyarakat hukum saja. (2) Pemilikan tanah lahir berdasarkan pada keputusan atau izin daripada kepala adat. Keputusan atau izin kepala adat hanya berfungsi sebagai pembuka jalan kearah kemungkinan menguasai tanah dengan hak milik. Pemilikan lahir berdasar pengakuan masyarakat. Yang disebabkan oleh kenyataan erat tidaknya hubungan seseorang atas tanah. Erat dalam arti tanah senantiasa di kerjakan, dirawat dengan baik dan tidak diabaikan. (3) Pemilikan hanya timbul bilaman syarat de facto berupa bertempat tinggal dalam masyarakat hukum, mengerjakan tanah secara terus menerus dan syarat de jure berupa pengakuand dari masyarakat akan pemilikan tersebut, berlaku secara bersamaan dalam diri pribadi yang bersangkutan. Jadi hak milik tidak timbul, bila salah satu syarat de facto atau de jure diabaikan (4) Berakhirnya hak milik atas tanah, berarti berhentinya pengakuan masyarakat atau hak orang yang bersangkutan (Herman Soesang Obeng, 1975: 51). Dari jalinan pemilikan ini dapat ditafsirkan bahwa pemilikan tanah dipandang sebagai suatu perhubungan yang membathin. Jadi bukan sebagai suatu hubungan yang didasarkan pada pertimbangan akal pikiran (ratio) saja seperti dalam hubungan ekonomi. Atas jalan jalinan pikiran ini, berarti pula bahwa bagi individu yang bersangkutan, tanah bukanlah semata-mata berfungsi sebagai alat produksi. Konsekuensi dari adanya hubungan yang mambathin ini, maka pelepasan milik dipandang sebagai suatu pengorbanan yang besar, hingga orang sukar sekali melepaskannya (Herman Soesang Obeng, 1975: 53). Hak penguasaan masyarakat atas tanah disebut “eigendomsrecht”, communal bezitsrecht atau “hak yasan komunal”oleh Poesponoto dan Van Vollenhoven menyebut “beschikkingsreht” atau hak pertuanan atau hak ulayat. G.v. den Steenhoven menyebutkan, bahwa hak ulayat itu lahir dan hanya ada, karena dibuat oleh masyarakat hukum itu sendiri, bukan oleh masyarakat di luar persekutuan hukum, yaitu karena ada pengakuan masyarakat hukum yang bersangkutan Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
602
Unmas Denpasar
tentang wilayah ulayatnya (Herman Soesang Obeng, 1975: 53 ). Walaupun masyarakat menguasai tanah dengan sepenuhnya dan berwenang mengatur penggunaan serta pemungutan hasil tanah oleh warganya bahkan berhak membatasi tuntutan-tuntuatan dan hak-hak perorangan untuk kepentingan masyarakat, tetapi masyarakat tidak berstatus sebagai pemilik atas tanah ulayat. Karena itu masyarakat tidak berwenang untuk memindahtangankan tanah ulayat. Bahkan Ter Haar menegaskan bahwa daerah pertuanan (beschikking gebied) tidak dapat dipindah tangan, tetap pertama-tama berlaku, walaupun ada perkecualian. Karena itu dapat disimpulkan, bahwa: (1) Hak ulayat hanya ada dalam suatu suasana masyarakat hukum adat (2) Hak ulayat berfungsi sebagai suatu wadah di dalam mana hak-hak perorangan bisa diperkembangkan (3) Melaui konsepsi hak ulayat dipeliharalah suatu asas keseimbangan dalam menikmati hasil alam oleh para warga masyarakat, yaitu setiap orang hanya diizinkan mengambil hasil alam sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekelaurga. Ia dilarang memungut hasil untuk tujuan berdagang. Jadi ide persaingan atau kompetisi dalam mana seorang sebagai individu mungkin menguasai tanah atau kekayaan yang lebih banyak daripada warga lainnya, adalah bertentanagnd engan konsepsi berulayat dalam masyarakat hukum (4) Masyarakat bukan pemilik tanah dan tanah masyarakat tak dapat dijadikan objek perdagangan (Herman Soesang Obeng, 1975: 54). Tanah pauman yang yang dikuasai secara kolektif dan hanya ada di Kabupaten Karangasem mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak dapat dipadankan dengan tanah ulayat. Namun dalam dinamisasi penguasaan dan pengelolaannya dapat lebur sebagai tanah adat, seperti sebagai tanah laba pura, tanah banjar. Di Kabupaten Karangasem selain ada tanah-tanah adat yang dikuasai oleh desa adat seperti tanah AYDS, tanah laba pura, tanah setra, tanah pasar, juga dikenal jenis tanah lain, yaitu tanah pauman yang dikuasai oleh kelompok tertentu (sekeha) sebagai sebuah komunitas yang bersifat turun temurun. Tanah pauman diakui sebagai pemberian dari Raja Karangasem pada masa lalu dalam konteks “mitra kerja” agar raja dengan mudah mendapat dukungan tenaga kerja suatu saat diperlukan in casu ada kegiatan keagamaan di Puri (Keraton), atau karena dilekati ayahan (kewajiban) ngemong Pura (penangungjawab keberlangsungan Pura). Tanah-tanah pauman ini hampir ada di setiap desa adat di Kabupaten Karangasem. Penguatan terhadap keberadaan tanah pauman ini ditempuh melalui pengalihan subjek, yaitu dari komunitas pauman kepada lembaga keagamaan, yaitu “Pura” seperti yang terjadi di Desa Asak. Hak Penguasaan dan Dinamisasi Model Pengelolaan Tanah Pauman Tanah pauman merupakan tanah yang diperuntukaan bagi komunitas (sekeha) yang penguasaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip musyawarah baik untuk melaksanakan kewajiban “ayahan” yang melekati tanah pauman dimaksud maupun untuk
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
603
Unmas Denpasar
menikmati hasil panen dari tanahnya. Komunitas tersebut kemudian dikenal dengan nama “pauman”. Sedangkan tanah yang dikuasainya disebut “tanah pauman”. Semua kegiatan dan regulasi (awig) yang dijadikan dasar bertindak oleh kelompok pauman didasarkan pada hasil musyawarah melalui paruman (rapat). Karena penguasaan dan pengelolaan tanah dilandasi oleh proses musyawarah melaluai paruman, maka tanah dimaksud kemudian dikenal dengan tanah pauman. Pengurus pauman dikenal dengan nama prajuru pauman yang terdiri dari Klian (ketua), Penyarikan (sekretaris), Saye/juru raksa (Bendahara), dan anggota. Pola kepengurusan pauman terutama “kelihan” sangat bervariasi antara pauman yang satu dengan pauman yang lain, yaitu ada yang bersifat genealogis, ada atas dasar pemilihan dengan masa bakti bervariasi pula, yaitu mengikuti masa panen, lima tahunan, atau sepanjang masih kuat secara fisik untuk mengurusnya, yaitu yang disebabkan karena faktor nilai, yaitu antara memperthankan tradisi atau mengikuti perkembangan kekinian. Keanggotaan pauman ada yang bersifat tetap karena menggunakan model perwakilan, da nada yang bersifat selalu berubah dan bertambah karena didasarkan pada adanya perkawinan baru (somah) dari keturunan anggota pauman. Dalam konteks teori keadilan komutatif seperti yang diungkapkan Aristoteles, keadilan ini tampak telah diterapkan dalam pembagian hasil panen tanah pauman, karena setiap anggota memperoleh bagian yang sama tanpa membedakan masa waktu sebagai anggota pauman. Keadilan ini awalnya akan relevan dengan makna teorinya Bentham tentang kemanfaatan yang dipadankan dengan kebahagiaan: the greatest happiness for the greatest number of people (Darji Darmidiharjo dan Shidarta, 1996: 116). Di beberapa desa seperti Pauman di Desa Seraya memilih menuual tanah paumannya, karena tidak lagi dirasakan memberikan kesejahteraan, yaitu dengan semakin bertambahnya anggota pauman sebagi pembagi hasil dari tanah dimaksud. Tanah yang dimiliki komunitas (sekeha) pauman tampak relevan dengan konsep penguasaan seperti diungkapkan Satjipto Rahardjo, yaitu dalam penguasaan mempunyai dua unsur, yaitu faktual dan sikap batin (Satjipto Rahardjo, 1982: 104). Dua unsur inilah yang dipenuhi oleh komuniats pauman untuk mengklaim tanah yang dikuasainya sebagai milik pauman. Dalam perkembangnnya penyebutan nama pauman menggunakan “pauman dan nama klian pada saat diadakan klasiran tanah”, seperti “Pauman I Murti” di Desa Tanganan Pagringsingan, “Pauman I Suki” di Desa Sibetan yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan surat pipil tanah. Pengelolaan tanah pauman bertujuan menyejahterakan anggotanya, sehingga semua kegiatan pengelolaannya diutamakan untuk dapat dilakukan oleh para anggota pauman dengan syarat dan ketentuan berlaku secara sama ketika dihadapkan dengan pihak lain di luar anggota (out sider). Dalam kontek ini dapat ditemukan “budaya mutu” sistem pengelolaan, yaitu kesungguhan dan prinsip profesionalisme dengan maksud memaksimalkan produktivitas hasil dalam pengelolaan tanah pauman.Tidak demikian bagi pauman dengan keanggotaan dinamis. Penguasaan dan pemilikan tanah pauman ini dapat dinyatakan merupakan refleksi semi-autonomous social field seperti diungkapkan Sally Falk Moore dengan karakter, bahwa ada kemampuan untuk menciptakan aturan-aturan yang berlaku dalam Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
604
Unmas Denpasar
lingkungannya sendiri, mendorong bahkan memaksa warganya agar mentaati aturan tersebut. Selain itu mempunyai strategi untuk memilih dan menggunakan aturan-aturan dari negara maupun hukum adat (lokal) menurut manfaat yang diperolehnya (Sally Falk Moore, 1983: 55-56). Dalam perkembagannya kelompok “pauman” ini ada yang berubah menjadi “banjar yang kemudian diberi nama “Banjar Pauman”.kelompok Pauman sebelum berubah menjadi “Banjar Pauman”, awalnya keanggotaannya bersifat tertutup, artinya anggota (krama) pauman hanya berasal dari keturunan anggota inti. Dengan demikian tidak mungkin ada penambahan jumlah anggota di luar garis keturunan anggota inti. Kondisi ini terjadi dengan mengingat, bahwa hasil dari tanah pauman akan dibagi secara rutin dan berkala melalui paruman (rapat anggota pauman). Tanah-tahah pauman yang masih dikuasai secara kolektif, belum ada yang didaftarkan untuk memperoleh sertipikat, walaupun menurut Pasal II ketentuan Konversi dalam UUPA memberi kemungkinan untuk dilakukan pendaftaran, karena terbentur pada subjek yang akan menjadi pemilik dari tanah kolektif tersebut. Walapun selama ini dalam kenyataannya SPPT tanah pauman mencantumkan Nama Klian seperti Pauman I Murti, namun belum pernah ada upaya untuk mengklaim bahwa tanah pauman dimaksud merupakan “milik” perorangan I Murti. Oleh karena itu sampai saat ini belum ada tanahtanah pauman yang disertipikatkan, kecuali sudah dijual, atau beralih kepemilikan menjadi milik perorangan diantara anggota pauman dengan cara dibagi (kapling). Tanah pauman akan tetap dapat dilestarikan ketika penguasaannya tetap dapat dipertahankan secara kolektif , yaitu relevan dengan pandangan kaum Stoa sebagai penganut awal hukum alam yang dipelopori Cicero yang menyatakan, bahwa tidak ada hak pribadi secara alamiah. Hanya hak milik bersama. Secara alamiah hak yang dimiliki oleh manusia atas benda atau barang-barang di dunia ini adalah hak milik bersama, sedangkan hak milik pribadi hanyalah hak artificial yang ditetapkan oleh hukum sipil atau hukum positif. Konsekuensinya pemerintah bertugas untuk menjaga dan melindungi hak milik pribadi (A. Sonny Keraf, 2001: 54). Menurut Thomas Aquinas hak pribadi ada dalam semangat komunal. Karena itu, ia membedakan dua macam hak pribadi: (1) Hak memperoleh dan mengurus barang milik; (2) Hak menggunakan milik pribadi. Terhadap hak menggunakan barang milik pribadi, manusia tidak boleh melihat barang milik sebagai pemilikan pribadi secara eksklusif, melainkan sebagai barang milik pribadi yang secara sukarela akan digunakan bersama dengan orang lain dan juga untuk mereka yang membutuhkannya. Hak milik pribadi hanya berlaku dalam pengertian hak memperoleh dan mengurus atau mengelolanya. Bagi Thomas, hak milik pribadi mempunyai fungsi sosial, dan jika fungsi ini tidak dilaksanakan, negara diperbolehkan campur tangan dan bertindak demi kepentingan bersama, yaitu demi kepentingan mereka yang berkekurangan. Jadi hak milik tidak bersifat eksklusif melainkan inklusif, artinya bahwa hak milik pribadi selalu terbuka untuk digunakan oleh dan untuk orang lain. Keberadaan tanah pauman dalam konteks teori Cicero dan Thoman Aquinas ini, dapat dinyatakan, bahwa tanah pauman merupakan tanah kolektif, namun secara langsung dapat memberikan manfaat ekonomi secara individual karena setiap anggota pauman Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
605
Unmas Denpasar
berhak atas hasil dari tanah pauman yang dikuasainya, namun masih dilekati ayahan secara kolektif. Artinya para individu dalam melakukan kewajiban yang disebut ayahan yang ditujukan untuk merepresentasikan komunitas paumannya bukan untuk dirinya sendiri. Pengelolaan tanah pauman dapat dinyatakan mengalami dinamisasi, yaitu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan kemampuan dan cara berpikir komunitas pauman, namun semua itu masih didasarkan pada nilai kearifan lokal, yaitu melalui musyawarah mufakat. Artinya segala tindakan dari anggota pauman didasarkan pada hasil paruman (rapat bersama) melalui musyaawarah mufakat. Jadi bukan merupakan hasil keputusan pengurus (prajuru) pauman sehingga tetap mempertahankan corak komunal. SIMPULAN Penguasaan tanah pauman sampai saat ini masih dilakukan secara komunal sehingga masih mampu memberikan manfaat ekonomi secara individual walaupun nilainya tidak begitu besar. Semua tindakan dari anggota pauman merupakan representasi dari komunitas pauman sebagai akibat adanya asas perlekatan kewajiban yang disebut “ayahan” dari tanah pauman. Model pengelolaannya awalnya dikerjakan sendiri diantara anggota pauman dengan sistem bagi hasil dan dapat mengalami perubahan sesuai dengan kondisi kekinian. Sementara model regulasi kebijakan masih bersifat lokal, yaitu hanya dipayungi oleh awig-awig pauman. Keberadaan tanah pauman di beberapa desa ada yang masih lestari, namun di beberapa desa lainnya sudah beralih menjadi tanah individu penuh yang bercorak sekularistik. Oleh karena itu tanah-tanah pauman yang masih ada perlu dilestarikan untuk mempertahankan salah satu identitas budaya daerah. Untuk itu diperlukan komitmen dari komunitas pauman, pemerintahan desa baik adat maupun dinas, termasuk pemerintahan daerah. Selain itu diperlukan model regulasi kebijakan yang mampu mengoeksitensikan hukum adat dan hukum Negara dalam pendaftarannya, sehingga keberadaan status penguasaan tanah pauman tidak berubah dari komunal religious menjadi individual sekularistik. DAFTAR PUSTAKA Buku Teks Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Aslan Noor. 2006. Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Cetakan I. Mandar Maju. Bandung. Darji Darmidiharjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Cetakan Kedua, Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan Pertama. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta. Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Liberty. Yogyakarta. Irianto, Sulistyowati. 2005. “Sejarah Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologinya,” dalam Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Eds. Eddie Riyadi Terre, Cetakan Pertama. Huma. Jakarta. Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
606
Unmas Denpasar
Jan Michiel Otto, 2003, Reele rechtszakerheid in ontewikkellingslanden, terjem. Trsitam Moeliono: Kepastian Hukum yang Nyata di Negara Berkembang, Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN-RI), Jakarta. Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, Cetakan Pertama. UII Press. Yogyakarta. Johnny Ibrahim. 2006. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Edisi Revisi. Cetakan Kedua. Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur. Manullang, E. Fernando M. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum kodrat dan Antinomi Nilai. Cetakan 1. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto. 2008. Mediasi Sengketa Tanah, Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Pertanahan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum, Cetakan I. Fajar Interpratama, Surabaya. Nader, Laura and Harry F. Todd Jr. 1978. The Disputing Process Law in Ten Societies, Columbia University Press. New York. Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Cetakan Pertama. PT. Bina Ilmu, Surabaya. Ronny Hanitijo Soemitro, 1983 Metodelogi Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia. Jakarta. Sally Falk Moore, 1983. Law as Process An Anthropological Approach, Routledge & Kegen Paul, London Henley and Boston. Satjipto Rahardjo. 1982. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung. Soepomo, R. 1979. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Cetakan Ketiga. Pradnya Paramita. Jakarta. Sonny Keraf. A, 2001. Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi, Cetakan 5. Kanisius. Yogyakarta. Sorojo Wignjodipuro, 1979, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Edisi III, Alumni, Bandung. Ter Haar, 1974, Beginselen En Stlsel Van Het Adatrecht. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Terjem. K.ng. Soebakti Poesponoto. Cetakan ke-2. Pradnya paramita. Jakarta. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Cetakan kedelapan. Balai Pustaka. Jakarta, Utrecht, E. 1959, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan Ke Enam, P.T. Penerbitan dan Balai Buku Ichtia, Jakarta. Wirata Dwikora, Putu. 2003. Peradilan Dagelan, Catatan Hasil Eksaminasi Publik dalam Perkara Korupsi Yayasan Bali Dwipa. Zainuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta. Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah Achmad Sodiki . 1994. “Penataan pemilikan hak Atas tanah di daerah perkebunan Kabupaten Malang (Studi tentang Dinamika Hukum)”. Disertasi, Universitas Airlangga. Surabaya. Greenberg, David F. 1983. “Donald Black’s Sociology of Law: A Critique”. Law and Society Review. 17 (2).
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
607
Unmas Denpasar
Herman Soesang Obeng, 1975, “ Pertumbuhan Hak mIlik Individuil menurut Hukum Adat dan menurut UUPA di Jawa Timur”, Majalah Hukum, No.3 Tahun ke dua. Penerbitan Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Lawa Center). Media Handayani. 2003. “Aku membeli, maka aku ada; kritik terhadap konsumerisme menurut pandangan Baudrillard dan Marcuse” . Majalah Respons. Volume 8. Nomor 01. Juni. Suwitra, I Made, I Nyoman Sukandia, dan I Made Minggu Widyantara, 2014, Implikasi Konflik Penguasaan Tanah Pauman di Desa Adat Sibetan, dan Subagan. Makalah disampaikan dalam Seminar hasil-hasil penelitian di Program Pascasarjana, Universitas Warmadewa. Suwitra, I Made. 2009, “Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Surat Keputusan menteri Dalam Negeri No. SK 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai Hak milik Atas Tanah. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Jo Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1992 tentang Pemakaian tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016