IMPLIKASI KONFLIK PENGUASAAN TANAH PAUMAN DI DESA SIBETAN, SUBAGAN DAN DESA ASAK KABUPATEN KARANGASEM1 Oleh I Made Suwitra I Nyoman Sukandia I Made Minggu Widyantara Abstrak Tanah pauman sebagai bagian tanah adat hanya ada di Kabupaten Karangasem dan mempunyai karakteristik dimasing-masing desa terutama terhadap kepastian hukum dalam penguasaan hak atas tanah pauman dan dapat memunculkan konflik ketika didaftarkan untuk memperoleh sertipikat, sehingga dianggap penting diteliti aspek kepastian hukum penguasaan tanah pauman juga terhadap penyelesaian konflik yang terjadi dengan tujuan memahami aspek kepastian hukum penguasaan hak atas tanah pauman, dan model penylesaian konflik agar dapat bermanfaat dalam pelestarian tanah pauman dalam konteks UUPA. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dan penelitian hukum empiris dengan pendekatan perundang-undangan, historis, analitik, kasus, antropologi hukum dan hukum adat. Bahan Hukum dan atau data diukumpulkan dengan dokumentasi dan pencatatan yang kemudian dianalisis secara hermeneutik dan kualitatif. Secara sosiologis kepastian hukum hak milik atas tanah memiliki dimensi, proses penerbitan sertipikat dan proses pengujian sertipikat oleh Lembaga Peradilan. Sementara hukum adat memandang kepastian hukum dari kenyataan hukum, yaitu adanya hubungan secara langsung dan terus nenerus antara pauman dan tanahnya dan akhirnya menimbulkan kewajiban hukum. Saat terjadi konflik diutamakan diselesaikan secara musyawarah sesuai awig-awig pauman, juga tidak menutup kemungkinan dilakukan secara litigasi. Kata Kunci: kepastian hukum, tanah pauman. 1. Pendahuluan Tanah pauman sebagai bagian tanah adat hanya dapat dijumpai di Kabupaten Karangasem dan mempunyai karakteristik. Penguasaannya dilakukan oleh sekelompok orang sebagai komunitas yang disebut “pauman”. Keanggotaan
pauman berasal dari berbagai banjar dalam satu desa adat, komunitas muslim yang biasanya terdiri dari 20 sampai 30 orang bankan bisa lebih. Pauman ini mempunyai pengurus yang dapat bertindak ke dalam maupun ke luar terhadap tanah pauman ini. Biasanya para anggota pauman menaruh kepercayaan besar kepada pengurus (kepala) yang selalu bertindak untuk kemanfaatan atau kesejahteraan anggotanya. 1
Naskah ini pernah disampaikan dalam seminar hasil penelitian di Gedung Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar, 15 November 2014.
1
Tanah
pauman
diyakini
sebagai
anugrah
atau
pemberian
Raja
Karangasem kepada pauman yang ada di desa adat atau lingkungan muslim dengan hak untuk menikmati hasil dari tanah pauman dan sekaligus dilekati kewajiban (ayahan) untuk memberikan tenaganya atau sebagian dari hasil tanah
pauman (kado) ketika diselenggarakan semacam gawe (upacara keagamaan) di Puri, seperti perkawinan, pelebon (ngaben), atau manusa yadnya yang lainnya. Dalam perkembangannya
kelompok pauman ada yang membentuk
Banjar Pauman untuk menguatkan hak pengelolaannya dan penguasaannya terhadap tanah pauman sebagai hak yang bersifat kolektif, namun di pihak lain ada juga komunitas pauman yang membagi-bagi hak penguasaannya secara individual terhadap tanah pauman yang pengurusannya diserahkan kepada pengurus (prajuru) pauman. Implikasinya terjadi pergeseran model atas hak penguasaan. Artinya penguasaan puri akan semakin tipis bahkan hilang sama sekali, sedangkan penguasaan komunitas pauman atau individu sebagai anggota pauman semakin tebal. Implikasi konflik juga dapat terjadi ketika komunitas pauman menjadi
banjar dengan konsekuensi tanah pauman menjadi tanah laba banjar. Dengan adanya perubahan dari komunitas pauman menjadi banjar berarti ada pergeseran model penguasaan, yaitu dari yang awalnya bersifat tertutup hanya dalam pauman yang jumlah keanggotaanya relatif bersifat tetap, artinya keanggotaannya bersifat genealogis dan patrialineal, yang hanya bisa digantikan oleh anak laki-lakinya sesuai dengan kesepaktan dalam masing-masing kelaurganya, kemudianmenjadi bersifat “terbuka” dalam wadah banjar karena keanggotaan banjar selalu berkembang atau bertambah ketika ada krama (ikatan perkawinan baru) dalam wilayah banjar. Konsekuensinya semua krama (warga)
banjar berhak menikmati atas hasil dari tanah pauman yang sudah berubah menjadi tanah laba banjar (hak pakai banjar) dalam penguasaan menurut UUPA. Berubahnya model hak penguasaan tanah pauman dari yang bersifat kolektif menjadi individual berimplikasi pada timbulnya konflik, karena ada berbagai karakter dengan berbagai kepentingan yang harus diakomodir oleh pengurusnya. Konflik akan lebih bersifat terbuka, ketika ada penyalahgunaan kepercayaan oleh pengurus terhadap penguasaan tanah pauman dengan
2
menjual sebagian tanah pauman yang sudah didaftarkan melalui dikonversi menjadi hak milik inidividu menurut UUPA, sehingga lama kelamaan tanah
pauman akan punah sehingga tidak akan dikenal oleh generasi berikutnya. Fenomena tersebut di atas mengindikasikan adanya pergeseran model hak penguasaan yang berorientasi pada bukti pemilikan dalam konteks kepastian hukum terhadap penguasaan tanah-tanah pauman yang mendorong untuk diadakan penelitian ilmiah karena bersifat 3actual, spesifik dan menarik dengan beberapa isu hukum sebagai permasalahan penelitian, yaitu sebagai berikut: a. Bagaimanakah aspek kepastian hukum penguasaan tanah pauman di Desa Sibetan, Subagan dan Desa Asak? b. Bagaimanakah penyelesaian konflik penguasaan tanah pauman yang ada di Desa Sibetan, Subagan, dan Desa Asak? 2. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan berupa penelitian hukum normatif dengan dasar pertimbangan masih ditemukan adanya kekaburan norma terutama dalam kepastian hukum penguasaan tanah pauman ketika hak atas tanah dimaksud belum didaftarkan menurut UUPA untuk memperoleh sertipikat hak milik. Selain itu penelitian ini juga menggunakan penelitian hukum empirik karena disinyalir adanya kesenjangan antara keharusan yang diamanatkan oleh UUPA dengan perilaku hukum warga masyarakat terutama dalam bidang pendaftaran hak atas tanah. Juga adanya kesenjangan terhadap tujuan penyelesaian sengketa, yaitu keadilan dengan kemenangan. 2 Pendekatan yang digunakan berupa
pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah
(hukum). 3 Juga dipergunakan pendekatan analitik, 4 pendekatan antropologi hukum,5 terutama terhadap penerapan norma dalam penyelesaian sengketa dan 2
Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodelogi Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia. Jakarta, hal. 15. 3
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan I. Fajar Interpratama, Surabaya, hal.
93. 4
Johnny Ibrahim. 2006. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Edisi Revisi. Cetakan Kedua. Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur. Hal. 98. 5
Sulistyowati Irianto, 2005. “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologinya”. dalam Pluralisme Hukum sebuiah Pendekatan Interdisiplin. Eds. Riyadi Terre, Didin Surtadin. Cetakan Pertama. Huma. Jakarta. Hal. 56.
3
memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam masyarakat,6 juga untuk mengetahui latar belakang dibalik terjadinya sengketa,7 dengan mengingat adanya aneka ragam lingkungan-lingkungan hukum adat di Indonesia.8 Bahan hukum dan data diperoleh dari sumber pertama (primer) dan sumber kedua (sekunder) dengan lokasi penelitian di dua desa adat, yaitu Desa Adat Sibetan dan Desa Adat Asak, serta satu Lingkungan Karangsokong di Kelurahan Subagan sebagai warga Muslim. Data dan bahan hukum ini dikumpulkan dengan studi dokumentasi, pencatatan dengan sistem file, dan wawancara. Selanjutnya dianalisis dengan teknik,
9
dan kualitatif. artinya
dilakukan secara holistis dalam frame keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi.10 Selain itu juga dibarengi dengan analisis kasus hukum (case
law analsys).11 Earl Babbie menyebutkan perkembangan hermeneutika sebagai berikut: “Jurgen Habermas and others have adapted the process of hermeneutics,
which originally referred to the interpretation of religius texts, to the understanding of social life. As used in the social sciensces, hermeneutics aim at understanding the process of understanding. Whereas the interpretativist seeks to discover how the subject interprets his or her experience of life, the hermeneuticst is more interested in the interpretivist’s process of discovery”.12
6
Roger Cotterrell. 1995. Law’s Community, Legal Theory in Sociological Perspektive. Oxford, USA. Clarenco Press. P.306. 7
Laura Nader and Harry F. Todd, Jr. 1978. The Disputing Process Law in Ten Societies, Columbia University Press. New York . P. 2. 8 9
Ibid. Hal. 47.
Johnny Ibrahim. 2006. Op.cit. Hal. 102.
10
Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, Cetakan Pertama. UII Press. Yogyakarta. Hal. 45. 11
Edmund M.A. Kwaw. 1992. The Guide to Analisys, Legal Methodology and Legal Writing. Emond Montgomery Publications Limited. Canada. P. 93. 12
Earl Babbie. 1999. The Basics of Social Research. Wadsworth Publishing Company. Amerika. P. 260.
4
3. Pembahasan 3.1 Kepastian Hukum Penguasaan Tanah Pauman Sampai saat ini hampir disetiap desa di Kabupaten karangasem terdapat kelompok atau lembaga “pauman” yang menguasai tanah secara kolektif yang dikenal dengan tanah pauman. Bukti penguasaannya dapat berupa
girik,
Petuk
D,
Surat
Pembayaran
Pajak,
bahkan
dalam
perkembangannya dapat berupa sertipikat. Tanah-tanah pauman yang sudah disertipikatkan melalui konversi diyakini dapat menjamin nilai kepastian hukum dalam kepemilikan hak atas tanah. Untuk melakukan konversi hak atas tanah pauman menurut UUPA dikenal pendaftaran tanah dengan tujuan dapat menjamin adanya kepastian hukum sekaligus perlindungannya kepada setiap orang atau badan yang menguasai dan memiliki hak atas tanah. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang dapat dijadikan referensi untuk ditaati manakala menginginkan kepastian akan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah. Regulasi pendaftaran tanah setelah merdeka baru diadakan melalui PP Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan PP Nomor 24 Tahun 1997. Secara sosiologis kepastian hukum hak milik atas tanah memiliki dua dimensi, yaitu: pertama, berupa proses penerbitan sertipikat hak milik atas tanah oleh institusi pertanahan dan kedua, berupa proses pengujian sertipikat hak milik atas tanah di Lembaga Peradilan yang berfungsi sebagai penyaring. 13 Oleh karena itu lembaga peradilan dapat berfungsi sebagai penyaring kepastian hukum hak milik atas tanah melalui putusan hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun pengadilan umum. Sertipikat hak milik atas tanah yang diterbitkan, dalam realitasnya mengandung kelemahan terhadap kepastian haknya karena masih dapat dipersoalkan oleh masyarakat di lembaga peradilan. Oleh karena itu, sertipikat hak milik atas tanah memiliki kekuatan hukum pasti setelah memperoleh putusan hakim.14
13
Muchtar Wahid. 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Republika, Jakarta, hal.111. 14 Ibid, hal 112.
5
Dalam proses penerbitan sertipikat hak milik atas tanah, kultur hukum masyarakat berperan dalam memberikan keterangan kebenaran data fisik dan data yuridis tanah. Kultur hukum masyarakat juga berperan dalam proses peradilan sebagai tempat mencari keadilan. Dalam esensi hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia yang disana sini mengandung unsur agama, konsep kepastian hukumnya tidak sama dengan padangan hukum Barat yang lebih mementingkan aspek bentuk (formal), tapi yang dipentingkan adalah adanya pengakuan dari masyarakat, dan ada perasaan hukum dari warga masyarakat, dan keyakinan (psikologis)
bahwa
memang
demikian
sepantasnya
(opinio
yuris
necessitatis), artinya adanya keyakinan rakyat bahwa model penguasan yang telah ada mempunyai kekuatan hukum. Unsur ini pula yang menimbulkan kewajiban hukum (opinio yuris necessitatis).15 Menurut Gustav Radbruch, ada dua konsep tentang kepastian hukum, yaitu kepastian oleh karena hukum, dan kepastian dalam atau diri hukum. 16 Menjamin Kepastian oleh karena hukum menjadi tugas dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepasatian dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan adalah hukum yang berguna. Kepastian dalam hukum tercapai apabila hukum itu sebanyak-banyaknya hukum Undang-Undang, dalam
Undang-undang
tersebut
tidak
ada
ketentuan
yang
saling
bertentangan (undang-undang berdasarkan pada sistem logis dan pasti), undang-undang
tersebut
dibuat
berdasarkan
kenyataan
hukum
(rechtswerkelijheid) dan dalam Undang-undang tersebut tidak ada istilahistilah hukum yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan. Selain itu disebutkan, bahwa kepastian mempunyai arti, bahwa dalam hal konkrit kedua pihak yang berselisih dapat menentukan kedudukan mereka. Dalam pengertian ini bermakna keamanan hukum, yakni mengandung perlindungan bagi kedua belah pihak yang berselisih terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang. Sedangkan kepastian oleh karena hukum dimaksudkan, 15
Surojo Wignjodipuro, 1979, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Edisi III, Alumni, Bandung, hal.8. 16
E. Utrecht, 1959, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan Ke Enam, P.T. Penerbitan dan Balai Buku Ichtia, Jakarta, hal. 26.
6
bahwa hukum menjamin kepastian pada pihak yang satu terhadap pihak yang lain. 17 Tugas hukum menjamin kepastian hukum dalam hubunganhubungan yang kedapatan dalam pergaulan kemasyarakatan. Dalam konsep CBPRs (Community-Based Property Rights atau hak kepemilikan berbasis komunitas) pada dasarnya diciptakan dengan tujuan untuk (masyarakat) lokal, dan membantu masyarakat lokal untuk melindungi hak masyarakat lokal dalam mengatur dan mengontrol (mengawasi) sumber daya alamnya. 18 Jadi otonomi desa adat dan Pauman dalam mengatur pemanfaatan tanah-tanahnya untuk kelestarian dan kemanfaatan bagi angotanya (krama) menjadi wewenang penuh dari desa adat atau kelompok
pauman tanpa terintervensi oleh hukum negara, kecuali krama (warga) yang menghendaki lain melalui paruman (rapat desa/rapat pauman). Jadi
paruman merupakan kedaulatan tertinggi. Kondisi ini relevan dengan apa yang pernah dinyatakan Jan Michiel Otto, bahwa ”Yuris di negara berkembang mengalami kesulitan dalam menemukan aturan hukum yang dapat
diberlakukan
dalam
situasi
konkrit,
lebih-lebih
tatkala
akan
menggunakan jenis interpretasi hukum yang akan dilakukan karena kekurangan
dalam
sumber-sumber
hukum”.
Implikasinya
ada
ketidakpasatian tentang apa yang seharusnya menjadi hukum. Artinya ada ketidakpastian hukum dalam arti formal yuridik.19 Lebih lanjut diungkapkan, bahwa kepasatian hukum yang ada hanya berupa kepastian hukum yuridis atau teoritikel belaka, karena ditemukan kesenjangan antara perundang-undangan dengan kenyataan hukum. Oleh karena itu hanya ada sedikit “kepastian hukum yang nyata” atau kepastian
17
Ibid, hal. 25. Lynch, Owen J. And Emily Harwell. 2002. Whose Resources? Whose Common Good? Towards a New Paradigm of Environmental Justice and the Netional Interest in Indonesia. Center for International Environmental (CIEL), Huma. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Association for Community and Ecologically-Based Law Reform), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) (Institut for Policy Research and Advocasy) Indonesien Center for Environmental Law (ICEL), Internasional Centre for Research in Agroforestry ICRAF). Jakarta. Hal.2. 18
19
Jan Michiel Otto, 2003, Reele rechtszakerheid in ontewikkellingslanden, terjem. Trsitam Moeliono: Kepastian Hukum yang Nyata di Negara Berkembang, Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN-RI), Jakarta, hal. 5.
7
hukum yuridik yang dalam situasi tertentu memenuhi beberapa indikator, yaitu: 1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan) negara; 2. Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk serta taat terhadapnya; 3. Kebanyakan warga secara prinsipiil menyesuaikan perilakunya terhadap aturan-aturan tersebut; 4. Para hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengekata hukum; 5. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.20 Lebih lanjut diungkapkan, bahwa semakin baik suatu negara hukum berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang berfungsi secara otonom, maka kecil pula tingkat kepastian hukumnya. Dalam menganalisis kepastian hukum penguasaan tanah pauman di Desa Sibetan, Desa Asak dan Desa Subagan, sebelumnya akan dideskripsikan penguasaan tanah pauman di masing-masing desa. Tanah Pauman Manca ada di Desa Sibetan sebagai hadiah istimewa pemberian raja Karangasem pada jamannya dengan jumlah krama (anggota) sebanyak 40 orang karena memperoleh kepercayaan Puri Karangasem dalam melaksanakan
kewajiban
untuk
mendukung
segala
kegiatan
dalam
pelaksanaan upacara adat yang dikenal dengan “ngayah”, sebagai simbul kebanggaan masyarakat karena telah diberikan kepercayaan oleh raja. Jumlah tanah pauman berupa sawah 45 are, sedangkan tegalan yang sekrang ditanami pohon Salak sebanyak 126 are. Bukti penguasaan tanah pauman berupa Surat Pajak (SPPT), Pipil atas nama Kelihan Pauman pada masa penguasaan pertama didaftarkan sebagai objek pajak. Sementara nama-nama krama pauman yang ditulis dalam daun lontar merupakan anggota sejak penguasaan pertama jaman
20
Ibid, hal. 5.
8
kerajaan, seperti I Suki, I sepal, Nana. SPPT atas nama Pauman Manca Kelihan I Geger (Kelihan dahulu). Keanggotaan pauman bersifat tetap (40 orang). Apabila dalam generasi selanjutnya dalam satu Kepala Keluarga ada lebih dari satu anak laki, maka untuk menentukan salah satu anak yang menggantikan orang tuanya sebagai anggota pauman dapat dilakukan secara bergilir dalam waktu satu tahun, atau sesuai dengan kesepakatan dalam keluarga yang bersangkutan. Penentuan giliran dikaitkan dengan ayahan sebagai bentuk kewajiban dan hasil pembagian tanah pauman sebagai hak. Pengelolaan tanah pauman dilakukan dengan cara dikontrakkan diantara krama pauman dengan cara lelang, artinya yang berhak atas kontrak dalam satu tahun, yaitu mereka yang berani memberikan nilai paling besar. Kisaran nilai kontrak tegalan sebesar 7 (tujuh) juta rupiah setiap tahun, dan sawah sebesar 700 ribu rupiah setiap tahun. Bentuk kewajiban ngayah ke Puri saat ini hampir tidak ada, namun krama pauman tetap menyatakan siap apabila diperlukan oleh puri. Keanggotaan pauman berasal dari Banjar (Br) Kalanganyar, Dukuh, Telutug, Telaga , Pengawan, dan Banjar Tengah di wilayah Desa Sibetan. Sementara pengurus pauman terdiri dari kelihan, penyarikan dan juru raksa (Ketua, Sekretaris, dan Bendahara) yang lainnya sebagai krama (anggota). Sistem pengurus awalnya berdasarkan keturunan atau genealogis, namun
dalam
perkembangannya
sistem
genealogis
tidak
mungkin
dipertahankan dengan mengingat bahwa keturunan Kelihan tidak selalu berkualitas SDMnya, baik dari aspek pendidikan formal, maupun dari aspek sosial kemasyarakatan. Sistem pengurus kemudian dilakukan melalui pemilihan dintara krama pauman dengan tanpa imbalan. Jadi pengurus betul-betul mengabdi (ngayah). Paruman/sangkepan (rapat) dilaksanakan setiap bulan (Bali), yaitu setiap Redite Umanis bertempat di Bale Pauman. Desa Adat asak terdiri dari Br. Asak kangin dan Br. Asak Kauh. Di masing-masing banjar mempunyai tanah pauman (Asak Kawan dan Asak kangin). Struktur pengurus tidak berbeda dengan yang ada di Desa Sibetan.
9
Jumlah krama pauman sebanyak 104 orang yang menguaisai tanah pauman berupa tanah sawah sejumlah 9 hektar. Masing-masing krama yang tinggal di desa memperoleh tanah pauman sebesar 5 are untuk dihasili sendiri dengan kewajiban melakukan ayahan di desa berupa ayanah fisik (gotong royong). Status sebagai Krama pauman masih akan melekat ketika mereka masih tinggal di desa dan masih terikat perkawinan dengan istrinya (tidak bercerai). Jadi setiap krama banjar yang telah kawin (berkeluarga) secara ortomatis akan memperoleh bagian tanah pauman sebesar 5 are. Hak ini kemudian dapat gugur apabila yang bersangkutan tidaklagi tinggal di desa, atau ikatan perkawinannya putus (cerai). Sisa tanah setelah dibagi diantara para krama pauman dikontrakkan kepada krama pauman untuk satu kali panen. Bukti penguasaana dari tanah pauman berupa sertipikat atas nama Pura Patokan sebagai Pura Banjar Pauman. Paruman/sangkep (rapat) pauman dilakukan setiap tahun untuk menyampaikan keadaan keuangan
pauman. Sedangka untuk pembagian hasil tanah pauman dilakukan setiap 3 (tiga) bulan, atau setiap ada perubahan dalam arti tambahan anggota sebagai akibat adanya perkawinan atau pengurangan karena meninggalkan desa (merantau) yang disebut dengan nilar kedaton, sudah tidak terikat lagi dengan perkawinannya (cerai). sebagai penglingsir (tetua desa) yang dikenal dengan krama saing berjumlah 24 orang di Pura Desa.
Krama saing adalah krama desa nyoman yang sudah mencapai usia 60 tahun (pensiun) dan sudah dilaksanakan upacara penyucian diri (mewinten) untuk disiapakan sebagai jan banggul di Pura Desa
yang
berjumlah 24 orang dan diberikan tanah catu. Selanjutkan ketika sudah habis masa jabatannya sebagai jan banggul disebut dengan krama desalah. Banjar Asak Kangin memiliki tanah pauman kurang lebih 13 hektar yang diyakini berasal dari pemberian Raja Karangasem karena diberikan kewajiban untuk memelihara (emponan) Pura Bukit Kangin, dan juga ngayah ke puri jika diperlukan. Walaupun saat ini sudah tidak ada lagi kewajiban
ayahan seperti dahulu, tetapi jika
diperlukan oleh puri warga siap
memberikan ayahan. Jumlah anggota pauman ada 117. Krama pauman
10
jumlahnya relatif tetap, sementara yang berhak atas bagian tanah pauman jumlahnya relatif tidak tetap, karena haknya didasarkan pada status perkawinan dan masih tinggal di Desa Adat dengan kisaran 5 are setiap KK selama mereka tinggal di desa, tidak putus perkawinannya, dan meningkat status keanggotaanya desanya menjadi krama saing. Bukti penguasaan tanah pauman berupa sertipikat atas nama Pura Patokan Banjar Pauman. Tanah Pauman di lingkungan Muslim terutama di Lingkungan Karangsokong Kelurahan Subagan juga diyakini berasal dari pemberian Raja Karangasem karena sebagai abdi raja (pengayah di puri) pada saat ada segala upacara adat. Sekarang memang tidak ada lagi kewajiban ayahan tersebut, namun warga yang tergabung dalam krama pauman di lingkungan Karangsokong juga menyatakan siap membantu segala bentuk kegiatan ayahan ketika diperluakn oleh Puri Karangasem. Sampai saat ini silaturahmi yang masih bisa dipelihara ketika ada acara Mauludan atau ada Upacara Adat di puri. Biasanya saling mengundang pada saat acara dimaksud. Tanah pauman Karangsokong yang dikuasai Pauman Karangsokong sebesar 6 hektar terdiri dari 15 pipil dengan jumlah anggota 55 orang dan bersifat tidak tetap tetap. Artinya keanggotaan pauman didasarkan pada keturunan laki-laki dari para anggota pauman secara turun temurun. Jadi anggota pauman akan bertambah jika anggota pauman asal mempunyai lebih dari satu anak-laki-laki dan sudah kawin dan tinggal di Lingkungan Karangsokong. Demikian juga anggota pauman dapat berkurang apabila ada anggota pauman yang telah bercerai, tidak lagi tinggal di Lingkungan Karangsokong, atau meninggal dunia. Pegelolaan tanah pauman dilakukan dengan cara bagi hasil antara pauman dengan penggarap dengan hak pengutamaan diusahakan diantara
krama pauman, jika tidak ada baru diberikan kepada orang lain. Hasil dari pengelolaan tanah pauman dibagi setiap 6 bulan menjelang puasa, dan hari besar Isam seperti Maulud. Bukti penguasaannya berupa pipil atas nama Pauman
Karangsokong.
Kepengurusan
pauman
terdiri
dari
Kelihan,
Sekretaris, Bendahara yang dipilih setiap 5 tahun secara tertutup atau aklamasi dengan masa jabatan paling lama 2 kali masa jabatan (Wawancara
11
dengan Kepala Lingkungan Karangsokong Kelurahan Subagan tanggal 26 Oktober 2014). Mencermati bukti penguasaan di masing-masing pauman yang ada di Sibetan, Asak dan Karangsokong, pada awalnya sebelum diadakan konversi terhadap hak atas tanah pauman, kepastian hukum dalam penguasaan tanah
pauman hanya didasarkan pada surat pajak, pengeling-ngeling ketika tanah pauman itu diatasnamakan salah satu prajurunya, seperti kelihan Pauman Manca di Desa Sibetan (wawancara dengan prajuru pauman Manca Desa Sibetan, 7 September dan 19 Oktober 2014). Sementara di Desa Adat Asak bukti penguasaan tanah pauman saat ini sudah berupa sertipikat atas nama Pura Banjar Patokan, dimana krama Banjar Patokan seluruhnya sebagai
krama pauman (wawancara dengan prajuru Pauman Asak 26 Oktober 2014). Di lingkungan Muslim penguasaan tanah pauman didasarkan pada pipil atas nama Pauman Karangsokong yang jumlahnya ada 15 pipil. Penguasaan tanah pauman di beberapa desa yang dijadikan subjek penelitian dapat dinyatakan telah mempunyai nilai kepastian hukum yang dalam perkembangannya bersifat dinamis, karena dibeberapa pauman berupaya mengikuti perkembangan kepastian hukum dalam penguasaan untuk dijadikan pemilikan melalui pendaftaran hak atas tanahnya sesuai denagn tuntutan UUPA dengan peraturan pelaksananya, seperti “nilai” kepastian hukum yang disampaikan
Gustav Radbrugh, yaitu aspek
pengaturan hukumnya sudah jelas baik tertulis mapun tidak tertulis (hukum adat) dengan memperhatikan aspek konsistensinya. Kepastian hukum penguasaan tanah pauman juga relevan dengan beberapa nilai yang dijadikan indikator dari Jan Michiel Otto sebagai kepastian hukum yuridis atau teoritikel, yaitu: telah tersedianya aturan dalam hukum adat masyarakat, dan juga disertai dengan diterbitkannya UUPA sejak Tahun 1960 jo PP 24 tahun 1997, penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk serta taat terhadapnya, adanya kemampuan dari beberapa krama pauman menyesuaikan perilakunay dengan aturan hukum negara yang dibuktikan dengan adanya upaya menyertipikatkan tanah pauman seperti di Desa Adat
12
Asak (Asak Kangin dan Asak Kawan), dan ketika terjadi sengketa yang diselesaikan melalui pengadilan, hakim betul-betul otonom dan konsisten, serta putusannya dapat dilaksanakan, seperti sengketa di Lingkungan Karangsokong. Kepastian hukum nyata juga dapat diukur ketika sistem hukum berfungsi
secara
otonom.
Pauman
sebagai
lembaga
yang
dapat
dipersamakan dengan banjar, dan bahkan beberapa pauman sudah menjadi
Banjar Pauman bertindak ke dalam dan keluar dalam pengelolaan tanahtanah paumannya. Oleh karena itu pauman juga mempunyai otonomi, karena punya aturan sendiri, tanah sendiri, krama (anggota/warga) sendiri, dan pengurus sendiri. Secara sosiologis tanah pauman telah diakui keberadaannya oleh masyarakat, dan ada perasaan hukum dari warga masyarakat,
dan
keyakinan
(psikologis)
bahwa
memang
demikian
sepantasnya (opinio yuris necessitatis), artinya adanya keyakinan rakyat bahwa model penguasan yang telah ada mempunyai kekuatan hukum. Unsur
ini
pula yang
menimbulkan kewajiban
hukum
(opinio yuris
necessitates). Dengan demikian penguasaan tanah pauman di ketiga desa yang dijadikan tempat penelitian telah mempunyai nilai kepastian hukum baik dalam perspektif hukum adat maupun hukum negara. Nilai kepastian hukum dalam perspektif hukum negara secara limitatif ditegaskan dalam Pasal 3 PP 24 Tahun 1997, bahwa tujuan pendaftaran tanah dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Tanah-tanah pauman yang telah didaftarkan menurut perkembangan peraturan perundang-undangan menurut UUPA dan peraturan organiknya mempunyai
nilai
kepastian
hukum
dalam
bidang
pembuktian
hak
kepemilikan. Juga sekaligus diberikan perlindungan hukum dalam arti ada jaminan akan pelaksanaan hak-haknya, dan ada jaminan pula adanya penegakan hukum ketika ada pelanggaran hak. Jadi jaminan kepastian hukum akan lebih nyata ada ketika hak penguasaan atas tanah telah mempunyai bukti (tertulis) atas penguasaannya.
13
Pengakuan penguasaan menurut hukum adat secara limitatif ditegaskan dalam Pasal 56 UUPA, bahwa selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan Undang-
undang ini. Dengan demikian penguasaan menurut hukum adat juga mempunyai aspek kepastian hukum yang didasarkan pada nilai keadilan menurut pandangan hukum alam, yaitu sesuai dengan volkgeist masyarakat penduung hukum itu sendiri. 3.2 Penyelesaian Konflik Penguasaan tanah Pauman Konflik adalah suatu perbedaan atau pertentangan ide, persepsi, dan kepentingan diantara dua pihak atau lebih, baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik, baik yang sudah terbuka maupun yang belum terbuka. 21 Untuk menyelesaikan konflik dapat dilakukan secara litigasi (ajudikasi/pengadilan) atau non litigasi (non ajudikasi/di luar pengadilan). Pada dasarnya para pihak yang bersengketa mempunyai opsi dalam memilih prosedur, lembaga dan model penyelesaian mengenai sengketanya. Salah satu lembaga yang secara formal dianggap paling representatif dapat menyelesaikan suatu sengketa adalah lembaga pengadilan. Adanya lembaga peradilan negara dimaksudkan untuk dapat memberikan keputusan yang adil bagi para pencari keadilan. Namun secara empiris dalam perkembangannya masalah “keadilan” yang secara pokok wajib dijadikan Kepala dalam setiap putusannya hanya ada dalam anganangan. Karena yang terjadi adalah kalah dan menang, dan secara ekstrem disebut sebagai mafia peradilan.22
21
Munir Fuady. 2007. Sosiologi Kontemporer Interaksi Kekuasaan, dan Masyarakat. Cetakan ke I. PT. Citra Aditya Bakti.Bandung, hal. 95. 22
Putu Wirata Dwikora. 2003. Peradilan Dagelan, Catatan Hasil Eksaminasi Publik dalam Perkara Korupsi Yayasan Bali Dwipa. Indonesia Corruption Watch. Jakarta. Hal. vii.
14
Hukum biasanya hanya berlaku pada masyarakat miskin (golongan bawah) seperti yang diungkapkan David F. Greenberg: “Downward law is greater than upward law”.23 Oleh karenanya banyak orang merasa prihatin jika dihadapkan dengan sengketa yang ditangani lembaga peradilan karena diragukan memperoleh kepastian dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri. Persekutuan masyarakat hukum adat lebih awal mengenal model penyelesaian masalah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat dan pengambilan Keputusan yang dianggap berakar pada berbagai masyarakat hukum adat.24 Alternatif lain dalam menyelesaikan sengketanya saat ini kembali dimunculkan disebabkan model penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat
menimbulkan
biaya
besar,
waktu
panjang
dan
menciptakan
permusuhan yang permanen. Oleh karena ada baiknya diberikan pilihan lain dalam
penyelesaian sengketa yang
lebih dikenal dengan alternatif
penyelesaian sengketa sesuai dengan gaya prosedural seperti diungkapkan Nader dan Todd, seperti Coercion, negotiation, mediation.25 1. Coercion (tindakan kekerasan) sebagai aksi yang bersifat unilateral dengan mengandalkan kekuatan fisik dan kekerasan, seperti "melakukan tindakan hukum sendiri (self helf)" atau dalam bentuk perang antar suku (warfare); 2. Negotiation, artinya ada dua kelompok utama sebagai pembuat keputusan dalam penyelesaian satu masalah untuk mana kedua belah pihak setuju tanpa bantuan kelompok ketiga. Dalam situasi ini kedua belah pihak mencoba untuk membujuk satu sama lain. " Mereka mencari tidak untuk meraih suatu solusi dalam kaitan dengan aturan, tetapi untuk menciptakan aturan di mana mereka dapat mengorganisir hubungan mereka dengan yang lainnya. Selanjutnya dikenal dengan pengaturan diadik.
23
David F. Greenberg. 1983. “Donald Black’s Sociology of Law: A Critique”. Law and Society
Review. 17 (2). P. 357. 24
Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan Pertama. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta. hal. xiii. 25
Laura Nader and Harry F. Todd, Jr. 1978. Op.cit. P. 9-10.
15
3. Mediation, artinya sudah melibatkan campur tangan pihak ketiga dalam sengketa untuk menopang prinsip-prinsip dalam mencapai persetujuan. Dengan mengabaikan apakah prinsip-prinsip
memohon bantuan
mediator/penengah atau apakah ia ditugaskan oleh seseorang dalam wewenang.
Kedua
belah
pihak
secara
prinsip
setuju
untuk
diintervensi/dicampuri. Penengah biasanya sebuah lembaga yang netral, atau seseorang yang berwibawa/bermartabat. Munculnya
sengketa
tentang
penguasaan
tanah
pauman
di
Lingkungan Karangsokong Kelurahan Subagan disebabakan karena ada upaya dari Kelihan Pauman yang diberikan kepercayaan untuk mengurus penyertipikatan tanah pauman yang dikuasainya. Namun yang terjadi bahwa Kelihan tersebut telah menyalahgunakan kepercayaan krama (anggota)
pauman dimana tanah pauman tersebut ternyata disertipikatkan atas nama pribadinya dan tanah tersebut kemudian direncanakan untuk dikapling. Mengetahui kondisi tersebut, krama pauman menyatakan mosi tidak percaya dan meminta melalui paruman agar tanah yang telah disertipikatkan dibatalkan. Karena menolak, sengketanya kemudian oleh krama pauman dilaporkan melakukan tindak pidana penipuan. Di pauman lain, seperti di Sibetan pernah terjadi penjualan tanah
pauman kurang lebih 5 are tanpa sepengetahun krama pauman oleh Kelihan pauman. Kebetulan yang membeli salah satu krama pauman sehingga tanah tersebut secara sukarela dikembalikan sebagai tanah pauman. Selain itu pernah disampaikan niat atau pemikiran dari salah satu krama pauman agar tanah pauman dikapling dengan tujuan nilai ekonomisnya meningkat dan segera dijual. Saat paruman pauman oleh prajuru
diupayakan diberikan
pengertian bahwa tanah pauman yang ada sekarang diperoleh dari pemberian raja Karangasem, sehingga perlu dilestarikan agar ikatan antara
krama dan puri tidak hilang dan krama pauman tidak durhaka (alpaka) kepada Raja Karangasem dan keturunannya. Sengketa lain yang pernah terjadi berupa pemanfaatan hasil dari tanah pauman yang dinikmati sendiri oleh Kelihan Pauman seperti yang terjadi di Pauman Manca Desa Sibetan. Penyelesaiannya melalui paruman
16
diminta
agar
hasil-hasil
dari
pauman
tanah
yang
telah
dinikmati
dikembalikan. Karena manolak yang bersangkutan diberhentikan sebagai
Kelihan dan krama pauman. Sementara di pauman lain sampai sekarang masih berjalan dengan baik sesuai dengan awig-awig yang ada. Mencermati sengketa yang terjadi di Sibetan dan di Lingkungan Karangsokong Kelurahan Subagan, penyelesaian sengketanya diupayakan melalui paruman dengan menerapkan awig-awig pauman. Penyelesaiannya disesuaikan dengan hukum adat (awig-awig) pauman. Dalam konteks Alternatif penyelesaian sengketa, untuk bidang perdata diselesaikan melalui negosiasi. Sedangkan untuk aspek pidananya, ketika tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah dalam paruman diserahkan pada hukum negara, seperti yang terjadi terhadap sengketa di Pauman Karangsokong diselesaikan melalui litigasi. Model litigasi juga dipilih terhadap gugatan pembatalan sertipikat. Hal utama yang perlu disikapi bersama, yaitu kejelasan tugas pengelola (pauman) seperti halnya pada pengelolaan tanah adat oleh masyarakat hukum adat (desa Adat) Culik yang selama ini dikuasainya, sehingga disatu sisi dapat memberi manfaat bagi kepentingan desa adat sekaligus dapat menjamin pemanfaatan dan penggunaan secara individual dalam perkembangan hukum saat ini.26 4. Simpulan dan Saran Kepastian
hukum
penguasaan
tanah
pauman
mempunyai
dua
perspektif, yaitu hukum adat sebagai hukum lokal dan UUPA beserta aturan organiknya sebagai hukum negara. Kedua hukum ini dapat berkoeksistensi untuk memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi pauman. Namun demikian ada kalanya pengurus (Klihan) yang diberikan mandat mengurus proses pendaftaran
tanah
pauman
untuk
disertipikatkan
menyalahgunakan
kewenangannya sehingga rentan menimbulkan konflik, karena menurut kemauan krama pauman , tanah pauman
yang didaftarkan tetap sebagai
tanah pauman yang dikuasai secara kolektif, namun justru menjadi tanah individu penuh dari pengurusnya (klihan). Konflik juga dapat ditimbulkan 26
I Made Suwitra, I Nyoman Sujana, I Made Minggu Widyantara, 2012. “Dampak Pendaftaran Hak Atas Tanah Adat di Bali”, Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Universitas Warmadewa, Denpasar , hal. 57.
17
karena pengurus in casu Klihan Pauman mengambil sendiri hasil dari tanah
pauman
tersebut, sehingga diselesaikan melalui paruman. Tapi tidak
menutup kemungkinan untuk diselesaikan secara litigasi apabila secara musyawarah melalui paruman tidak bisa selesai atau tidak mau diselesaikan secara musyawarah . Oleh karena itu disarankan kepada pengurus (Klihan) agar mampu mengemban amanat yang diberikan oleh krama (anggota)
pauman. Sementara kepada pemerintah agar mampu membantu memberikan nilai kepastian hukum terhadap penguasaan tanah pauman agar tetap bisa dilestarikan. Ketika terjadi konflik diupayakan agar dapat diselesaikan menurut
awig-awig pauman.
18
DAFTAR PUSTAKA David F. Greenberg. 1983. “Donald Black’s Sociology of Law: A Critique”. Law and Society Review. 17 (2). Earl Babbie. 1999. The Basics of Company. Amerika.
Social Research. Wadsworth Publishing
Edmund M.A. Kwaw. 1992. The Guide to Analisys, Legal Methodology and Legal Writing. Emond Montgomery Publications Limited. Canada. Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan Pertama. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta. Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, Cetakan Pertama. UII Press. Yogyakarta. Jan Maichiel Otto, 2003, Reele rechtszakerheid in ontewikkellingslanden, terjem. Trsitam Moeliono: Kepastian Hukum yang Nyata di Negara Berkembang, Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN-RI), Jakarta. Johnny Ibrahim. 2006. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Edisi Revisi. Cetakan Kedua. Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur. Kwaw, Edmund M.A. 1992. The Guide to Analisys, Legal Methodology and Legal Writing. Emond Montgomery Publications Limited. Canada. Laura Nader and Harry F. Todd, Jr. 1978. The Disputing Process Law in Ten Societies, Columbia University Press. New York . Lynch, Owen J. And Emily Harwell. 2002. Whose Resources? Whose Common
Good? Towards a New Paradigm of Environmental Justice and the Netional Interest in Indonesia. Center for International Environmental
(CIEL), Huma. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Association for Community and EcologicallyBased Law Reform), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) (Institut for Policy Research and Advocasy) Indonesien Center for Environmental Law (ICEL), Internasional Centre for Research in Agroforestry ICRAF). Jakarta. Muchtar Wahid. 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Republika, Jakarta Munir Fuady. 2007. Sosiologi Kontemporer Interaksi Kekuasaan, dan Masyarakat. Cetakan ke I. PT. Citra Aditya Bakti.Bandung.
19
Nader, Laura and Harry F. Todd, Jr. 1978. The Disputing Process Law in Ten Societies, Columbia University Press. New York. Nurjaya, I Nyoman. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Cetakan I. Kerjasama Progran Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unibraw, ARENA HUKUM Majalah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan Penerbit Universitas Negeri Malang (UM PRESS. Malang). Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan I. Fajar Interpratama, Surabaya. Roger Cotterrell. 1995. Law’s Community, Legal Theory in Sociological Perspektive. Oxford, USA. Clarenco Press. Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodelogi Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia. Jakarta. Sulistyowati Irianto, 2005. “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologinya”. dalam Pluralisme Hukum sebuiah Pendekatan Interdisiplin. Eds. Riyadi Terre, Didin Surtadin. Cetakan Pertama. Huma. Jakarta. Supomo, R. 1983. Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat. Cetakan ke-4. Pradnya Paramita. Jakarta. Surojo Wignjodipuro. 1979. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Edisi ke tiga. Alumni, Bandung. Suwitra, I Made, I Nyoman Sujana, I Made Minggu Widyantara. 2012. “Dampak Pendaftaran Hak Atas Tanah Adat di Bali”, Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Universitas Warmadewa, Denpasar. Utrecht, E. 1959, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan Ke Enam, P.T. Penerbitan dan Balai Buku Ichtia, Jakarta. Wirata Dwikora, Putu. 2003. Peradilan Dagelan, Catatan Hasil Eksaminasi Publik dalam Perkara Korupsi Yayasan Bali Dwipa. Indonesia Corruption Watch. Jakarta. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Awig-Awig Pauman Sibetan Karangasem. Awig-Awig Pauman Asak Karangasem.
20