MODEL KEMITRAAN INTI – PLASMA AYAM POTONG (STUDI KASUS DI KABUPATEN LAMONGAN) Mufid Dahlan Dosen Fakultas Peternakan Universitas Islam Lamongan Abstrak Pola kemitraan menempatkan peternak sebagai pengelola atau buruh pelihara, sehingga peningkatan produktifitas, efesiensi faktor produksi dan performa ayam merupakan faktor penentu pendapatan. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran pola kemitraan yang sedang berkembang, sehingga terjadi perbaikan posisi tawar peternak lebih tinggi. Penelitian di lakukan di kabupaten Lamongan, Dari 25 kecamatan di kabupaten Lamongan digunakan 5 kecamatan terpilih (sampling) yaitu : Sugio, Kembangbahu, Modo, Ngimbang dan Mantup. Penelitian bersifat eksploratif menggunakan metode survey. Berdasarkan analisa data lapangan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Tingkat laba bersih Rp. 394,22; Rp. 437,85 Rp. 604,95 dengan rentabilitas 4,15 %; 5,49 % dan 5,40 % serta break event point adalah 1.334 ekor atau Rp. 15.170.923; 922,184 ekor atau Rp. 10.844.330 dan 1.205,961 atau Rp. 13.896.173 masing masing untuk populasi 3000, 4000 dan 5000. Kebutuhan HOK tenaga kerja per 1000 ekor adalah 0,38 HOK per hari atau 15,22 HOK per periode. Total kebutuhan kabupaten Lamongan dalam satu bulan dengan kapasitas 326.000 adalah kurang lebih 4.961.720 HOK per periode. Tingkat performa zooteknis adalah pada umur panen 39 rataan 1,83 dan umur 40 bobot badan 1,912 sampai 1,94 kg. Tingkat mortalitas 3,22 sampai 6,06 dan FCR adalah 1,82 sampai 1,87. Diperlukan perbaikan sistem pola kemitraan dengan mulai memberikan Proxy atau andil modal usaha yang lebih ditingkat petani dengan power sharing, capital sharing secara proporsional baik keuntungan dan kerugian. Pembinaan tranfer teknologi dan rekayasa IPTEK hendaknya diarahkan terbentuknya peternak mandiri untuk menghindari pola kartel maupun monopoli usaha dari hulu hingga hilir Kata-Kata Kunci : Budidaya Ayam Potong, Kemitraan Inti-Plasma eksploitasi legal atas peternak kecil dan oleh peternak kecil masih sukar dijadikan instrument untuk PENDAHULUAN mengakumulasi kapital ( T. Pranadji dan B. Sudaryanto, Penghasil daging atu sumber protein hewani terdiri dari 1994). ruminansia dan unggas. pemberlakuan KEPPRES 50 / 1981 Perkembangan menunjukkan perbaikan, dimana pertumbuhan ayam broiler di Indonesia mengalami peningkatan jumlah peternak dan ayam pedaging yang penurunan. Dimana KEPPRES ini dikeluarkan untuk secara tidak langsung memberikan peningkatan melindungi usaha ayam broiler rakyat (skala kecil) dan pendapatan dan kesejahteraan, tetapi hal ini dituntut pembatasan bagi pengusaha besar. Namun harapan ini tidak adanya penggunaan faktor produksi lebih efesien. terpenuhi karena peternak skala kecil belum mampu mengatasi Pencapaian efesiensi terjadi bila faktor produksi, harga sarana produksi. (B. Umar, Moch. Rum Alim, Helma meningkatkan performa ayam, menekan mortalitas, Usman, 2000). Akhir tahun 90-an menjelang terjadinya krisis teknologi yang tepat. ekonomi terjadi pukulan berat bagi dunia usaha pakan, breeding, Poultry Equipment karena menggunakan bahan Pola kemitraan menempatkan peternak sebagai pengelola import. atau buruh pelihara; sehingga peningkatan produktifitas, Krisis ekonomi rupiah terdepresiasi terhadap dolar US mengakibatkan naiknya sarana produksi usaha broiler, usaha hilir tidak mampu menyerap komponen produksi dan hal ini mengakibatkan juga terhentinya proses produksi ditingkat hulu. Hal ini mengakibatkan banyak kandang yang tidak terpakai, sehingga pemerintah mendorong swasta besar untuk membantu bangkitnya kembali usaha peternakan rakyat. Salah satu upaya adalah mendorong swasta untuk bekerja sama dengan peternak rakyat dalam bentuk kemitraan. Namun di satu sisi upaya ini disorot karena kemitraan hanya digunakan
efesiensi faktor produksi dan performa ayam merupakan faktor penentu pendapatan. Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa permasalahan yakni : 1. apakah dengan adanya penerapan pola kemitraan ayam broiler dapat memberikan peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja 2. seberapa besar efesiensi dan produktifitas peternakan ayam broiler dengan adanya pola kemitraan ayam broiler. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran pola kemitraan yang sedang berkembang,
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
1
sehingga terjadi perbaikan posisi tawar peternak lebih tinggi.
MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian di lakukan di Kabupaten Lamongan, dengan pemilihan lokasi didasarkan semua perusahaan pelaku inti plasma dalam system kemitraan yang terdapat di Kabupaten Lamongan. Dari 25 kecamatan di kabupaten Lamongan digunakan 5 kecamatan terpilih (sampling) yaitu : Sugio, Kembangbahu, Modo, Ngimbang dan Mantup. Penelitian dilakukan mulai bulan April sampai dengan Agustus 2001 Jenis Penelitian Penelitian bersifat eksploratif menggunakan metode survey. Metode ini merupakan bagian dari studi deskriptif yang bertujuan mencari kedudukan fenomena dan menentukan kesamaan kedudukan dengan membandingkan dengan standar yang sudah ada. Materi yang digunakan yakni plasma dari perusahaan inti : PT. Japfa Mitra Sentosa (JMS), PT. Nusantara Unggas Jaya (NUJ), PT. Anwar Sierad (AS), PT. Wonokoyo Rojokoyo.
Gambaran ekonomis dari usaha peternakan dilakukan analisa: 1. Profitabilitas yang berhubungan dengan penjualan. 1. Net Profit Margin (NPM) Laba bersih - Pajak NPM = -------------------------Hasil penjualan 2. Operating Rasio (OR) Biaya Operasi OR = --------------------Hasil Penjualan NPM dan OR merupakan indikator kemampuan dalam mengelola laba dalam hubungannya dengan hasil penjualan. Untuk melihat terjadinya perbedaan profitabilitas antar cuplikan dari masing masing strata, dianalisa Hasil Penjualan per satuan: (Hj x Vp) – Pp Vp Dimana : Hj Vp Pp
: Harga jual : Volume penjualan : Potongan penjualan
Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sample Stratified proporsional Random Sampling. Menurut Soekartawi, A. Soeharjo, John L., Dillon dan J Brian Hardaker (1986) teknik ini digunakan sebagai penyempurnaan penggunaan startifi sampling dan probability sampling. Plasma sample tiap strata dari perusahaan inti diambil secara acak (random). dengan strata kepemilikan 3000, 4000 dan 5000 ekor dengan total 60 peternak sample. Teknik Pengambilan Data Data berupa data primer dan sekunder. Data primer dari pengamatan, wawancara yang dipandu kuosioner dan catatan peternak. Data sekunder dari Dinas Peternakan Kabupaten Lamongan, Perusahaan Inti dan beberapa intansi terkait. Sumber data dari kepala keluarga, suami atau isteri dan anggota keluarga lainnya berupa : jumlah sumber daya, penggunaan sumber, koofisien out put - input, biaya, penerimaan, pendapatan, sikap / penerimaan menajemen pemeliharaan. Analisis Data Beberapa data yang akan dianalisis antara lain: 1. Perkembangan dan peran industri perunggasan termasuk industri pendukung dan organisasi pelaksana didalam pembangunan ekonomi dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan data sekunder. 2. Performa usaha, parameter meliputi: a. Aspek teknis : managemen zooteknis, pakan, pengendalian penyakit, serta penampilan atau performance dari ayam potong yang dipelihara. b. Aspek ekonomis (efesiensi dan produktifitas).
Biaya produksi per satuan = Bt + Bv Volume Hasil penjualan Dimana : Bt Bv
: Biaya Tetap : Biaya Variabel
3. Analissa Profitabilitas yang terkait dengan investasi Analisa Rentabilitas. - Rentabilitas Modal usaha : Laba Bersih x 100 % Modal Usaha Rentabilitas ini dipengaruhi oleh 2 faktor : Hasil Usaha - Profit Margin = Hasil Penjualan
x 100 %
- Analisis Break Event Point (BEP) Biaya Tetap BEP = Biaya Varibel 1– Hasil Penjualan
3. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
2
Penyerapan tenaga kerja dianalisis berdasarkan data primer, meliputi: a. Tenaga Kerja Keluarga b. Tenaga kerja tetap diluar keluarga c. Tenaga tidak tetap diluar keluarga 4. Pola PIR dan Integrasi a. Inti b. Plasma (ratio dan kesepakatan) 5. Perjanjian / Kontrak antara Inti dan Plasma HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kabupaten Lamongan Letak Geografis Letak geografis Lamongan adalah 6o 51 ‘ 54’’ – 7o 23 ‘ 6’’ Lintang selatan dan 112o 4’ 41’’ – 112o 35’ 45’’ Bujur Timur mempunyai luas 1.669,55 KM2. Kabupaten lamongan berupa tanah sawah 51,71 % dari seluruh luas wilayah atau 86.348 Ha. Tekstur tanah 63,38 % bertekstur sedang. Sedangkan kedalaman spektif tanah 90 cm atau lebih adalah 70,46 %. Jenis tanah 43,57 % adalah jenis tanah Kpl. Grumosol kelabu Litosol. Sedangkan berdasarkan jenis batuannya terbanyak berjenis Allufium (37,39 %) dan Flitosen Fasies Sedimen yaitu 36,96 %. Geografis Lamongan berpotensi sebagai alternative pengembangan ayam pedaging, karena jarak terdekat dengan Surabaya pasar terbesar ke dua Indonesia. Lokasi produksi yang dekat dengan daerah pasar, bahan baku, tenaga kerja yang murah akan memacu produktifitas dan efesiensi produksi. Tata Guna Lahan Tanah sawah 2.643.315 Ha terdiri dari sawah beririgasi teknis 14.685.894 Ha, irigasi setengah teknis 17.515.190 Ha dan sawah pasang surut 22.253.752 ha. Luas tanah kering 439.422 ha terdiri lahan pekarangan bangunan emplasemen 13.488.991 ha, tegalan atau kebun 24.804.148 ha, ladang 6.669.047 ha dan penggembalaan 147.133 ha. Tanah hutan seluas 6.122.780 ha yang terdiri dari hutan lindung 1.479 ha dan hutan produktif 6.121,78 ha. Kependudukan Penduduk Lamongan tahun 2007 berjumlah 1.200.667 jiwa, terdiri dari 585.559 laki-laki dan 615.108 perempuan. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian adalah : Petani Sawah 64,89 persen, Nelayan 7,05 persen, dan Pedagang 12,86 persen, lain lain 15,2 persen. Karakteristik pendidikan responden adalah SD 12,28 %, SLTP 14,03 %, dan lulusan SLTA sebesar 45,61 persen, dan 28,07 persen dari perguruan tinggi. Karakter ini mempermudah
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
proses transfer teknologi dan rekayasa IPTEK untuk meningkatkan performance produksi yang lebih baik. Di samping itu usaha pola kemitraan dapat memberikan pekerjaan dan perluasan kesempatan bekerja. Peternakan Ayam Potong Sejarah ayam potong di Lamongan dimulai tahun 1970 dengan introdusir peternak ayam ras melalui Bimas / Inmas. Anonimus (1998) menyebutkan ternak unggas di kabupaten Lamongan sebanyak 1.091.504 ekor dengan rincian 730.015 ekor ayam buras, 314.200 ekor ayam ras dan 47.289 ekor itik. Populasi terbanyak dikecamatan Turi sebanyak 68.494 ekor dan Modo 58.578 ekor. Populasi ayam ras terbanyak di kecamatan Mantup berjumlah 225.000 ekor dan di kecamatan tikung 25.000 ekor. Populasi itik terbanyak di kecamatan Deket sebanyak 12.524 ekor. Tabel 1. Perkembangan populasi ayam di kabupaten Lamongan sempat mengalami keterpurukan sebagai dampak krisis ekonomi. No. Tahun
Peternak Populasi / Produksi/Tahun (orang) Bln (Ton) (000) ekor 181 452,5 1. 1996 – 1997 8.688 64 160 2. 1997- 1998 3.072 94 235 3. 1998 – 1999 4.512 145 362,5 4. 1999 – 2000 6.960 5. 2000 306 792 15.135 Sumber : Dinas PPK Kab.Lamongan
Dari table tersebut diatas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan jumlah populasi sebesar 64,64 persen dan penurunan jumlah peternak sebesar 117 orang. Setelah tahun 1998 populasi mulai naik seiring dengan masuknya beberapa perusahaan Inti yang menerapkan system kontrak inti plasma atau sering disebut pola kemitraan ayam potong. Beberapa perusahaan inti yang melakukan pola kerja sama kemitraan ayam potong diwilayah Kabupaten Lamongan adalah seperti pada table 2. Tabel 2. Data perusahaan inti yang beropasi di Kabupaten Lamongan sampai dengan Tahun 2001 No. Perusahan Inti 1. 2. 3. 4.
Peternak Populasi Produksi Plasma per Bulan(Ton/Bulan) PT. WONOKOYO 43 65.000 117 PT. NUJ 73 157.000 290 PT. AS 45 53.000 79,5 PT. JMS 28 51.000 84
3
Dari data tersebut diatas masih terdapat kurang lebih 57 peternak yang mengikuti pola dengan poultry shop besar dari Surabaya seperti Maria PS, Reza Perkasa, Herman Subur yang semua system yang dipakai dalam kontrak sama dengan kontrak pada perusahaan Inti besar.
Beberapa model penerapan pola kemitraan Inti – Plasma ayam pedaging mempunyai beberapa karakter tersendiri dalam kontrak kerja dengan plasma, secara garis besar dibedakan sebagai berikut pada table 3.
Karakteristik Model Penerapan Pola Kemitraan Kerja sama pola kemitraan merupakan bentuk kerjasama yang didasarkan pendekatan agribisnis. Sehingga inti memegang peranan penting dalam mensuplai sarana produksi dan subsistem sarana tataniaga. Sedangkan peternak plasma berperanan pada subsistem usaha ternak ayam potong, yaitu sebagai pengelola. Sarana produksi yang dipasok dan harga jual produksi telah menjadi kesepakatan dimuka, hal ini yang memberikan kepastian usaha bagi plasma; dimana selama ini kepastian harga pasar menjadi kendala utama peternakan ayam potong.
Tabel 3. Karakter Model Kemitraan Perusahaan Inti yang terdapat di Kabupaten Lamongan No. Inti 1. 2. 3. 4.
AS Wonokoyo NUJ JMS
Selisih harga pasar (%) 30 40 Tdk ada 35
Target Daging (Ton) Tdk ada 7.500 Tdk ada Tdk ada
Target Pakan(Ton) Tdk ada 14,25 Tdk ada Tdk ada
Dari table di atas dapat dilihat dalam system pemberian silisih harga pasar hanya PT NUJ yang tidak memberikan selisih harga pasar. Sedang perusahaan lain memberikan selisih harga pasar yang bervariasi antara 30 samapi 40 persen. Pemberian selisih harga pasar masih terdapat syarat yang harus dipenuhi; yaitu FCR (feed Ratio Standart) harus standar atau lebih. Standart FCR yang digunakan bervariasi antara 1,7 sampai 2 kg, tergantung dari bobot dan umur panen. PT Wonokoyo memberikan bantuan biaya operasional sebesar Rp. 600,- per ekor sebagai dana awal operasional, namun dalam prakteknya biaya ini sering dikeluhkan peternak karena tidak jelas waktu pemberiannya. Tingkat menanggung resiko usaha ketika mengalami kerugian masing masing perusahaan mempunyai karakter yang berbeda, sebagai berikut: 1. PT Anwar Sierad; peternak akan menanggung seluruh beban kerugian kepada Inti; Jaminan berupa akta tanah akan ditahan ; apabila tidak terdapat kesanggupan maka kandang akan disewa kelola oleh inti sampai kerugian tertutup. 2. PT Wonokoyo; apabila terjadi kerugian maka peternak harus mengembalikan kerugian untuk diisi kembali. Apabila tidak sanggup mengembalikan maka kandang akan ditutup. 3. PT NUJ; apabila terjadi kerugian maka peternak tidak dibebani kerugian; Apabila selisih FCR lebih dari 0,400
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
Standar Kematian 6,00 6,25 5,00 Ada
Bonus FCR Bonus Kematian Ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada 110 - 180 Tdk ada Tdk ada Tdk ada
Lain lain 5000 ekor
maka kandang akan ditutup satu periode. Apabila terulang kedua kali maka kandang akan ditutup dua periode dan untuk ketiga kali kandang akan ditutup. 4. PT JMS; apabila terjadi kerugian, peternak menanggung seluruh kerugian dan jaminan sertifikat akan ditahan. Analisis Ekonomi Analisis Biaya Perusahaan peternakan memerlukan sumber sumber factor produksi. Jumlah kebutuhan sumber produksi berbeda beda tergantung pada skala dan wilayah usaha. Secara garis besar nilai biaya dalam pengelolaan usaha ayam potong di kabupaten Lamongan dapat dibagi menjadi dua; yaitu Biaya tetap dan Biaya Variabel. Biaya Tetap Biaya ini berupa biaya yang tidak terpengaruh oleh berapapun besarnya output. Termasuk dalam biaya ini adalah: Biaya sewa kandang atau penyusutan kandang, yaitu biaya yang dibebankan pada nilai kandang dan umur penggunaan kandang dibebankan pada jumlah siklus per tahun Biaya sewa lahan, yaitu harga sewa lahan yang dibebankan pada nilai sewa tanah yang berlaku di lokasi penelitian
4
Penyusutan peralatan; yaitu nilai pengadaan yang dibandingkan dengan umur pakai peralatan dalam tahun. Biaya social; yaitu biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan lingkungan; baik berupa ayam maupun sumbangan uang ke kampung atau lingkungan, namun besarnya biaya ini tidak dapat ditentukan secara pasti dan tidak semua lingkungan memungut biaya ini.
Biaya Variabel / ekor
Tabel 4. Rataan biaya tetap usaha pola kemitraan ayam potong dalam satuan rupiah.
Penyustan kandang Penyusutan Peralatan Total Rataan biaya tetap/ekor
Kapasitas Produksi (ekor) 3000 4000 5000 292.600 364.120 481.083 85.311 113.750 142.184 377.911 477.870 623.267 125.900 119.46 124.65
Dari data table kisaran biaya tetap per ekor per periode adalah antara Rp. 119.46 sampai Rp. 125.9,-. Perbedaan ini disebabkan oleh asal bahan baku kandang; akan terjadi perbedaan terhadap daya tahan atau umur penggunaan antara bahan kayu dengan bambu; welit dengan genting atau asbes, serta harga lokal bahan baku masing masing daerah kecamatan. Biaya ini lebih ringan dibandingkan biaya sewa kandang dan peralatan milik orang lain; yaitu sebesar Rp. 200,Biaya Variabel Biaya variable adalah biaya yang nilainya tergantung pada jumlah output produksi. Beberapa biaya yang termasuk biaya variable yaitu; biaya pakan, obat- obatan, tenaga kerja, bahan bakar, listrik, air, sekam, biaya panen. Dari data responden yang diolah didapatkan rataan biaya variable usaha ayam potong pola kemitraan adalahseperti table 5 berikut. Tabel 5. Rataan biaya variable usaha ayam potong pola kemitraan (satuan dalam ribuan rupiah) Uraian
Kapasitas Produksi (Ekor) 3000 4000 5000 8100 10400 DOC (Rp) 14000 24.399,5 34.242,5 Pakan (Rp) 38.541,42 916.592 Obat – obatan / vaksin 673.731 1.091,183 622.6 766 Tenaga Kerja 867.5 319.88 Minyak tanah/Gas (Rp) 221.55 373.45 66.6 64.45 Listrik dan Air (Rp) 148.80 41.5 45.16 Sekam 86.20 20.60 21.40 Biaya Portal 22.20 108.00 114.00 Biaya social 124.00 61.00 74.00 Biaya Panen 85 34315.081 46.964,932 55.30776 Total Biaya Variabel
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
7316862 11.061,55
Dari table diatas bahwa kisaran biaya variable adalah antara Rp. 8.293,2,- sampai Rp. 12.508,-. Beberapa factor yang menyebabkan perbedaan pada komponen biaya variable per ekor adalah kebutuhan tenaga angkut saat panen; dimana untuk ayam kapasitas 3000 dan 4000 jumlah tenaga angkut adalah sama yaitu 3 keranjang angkut; hal ini terkait dengan waktu tunggu pengisian untuk mengurangi susut, mati kepanansan didalam keranjang pedagang sedang ongkos angkat tidak berdasarkan beban tonase daging yang dipanen, tetapi berdasarkan ongkos harian.
Dari data primer yang diolah; dapat ditampilkan tabulasi biaya tetap responden seperti pada table 4.
Uraian
2808,744 6387015 11.438,36 11.741,23
Biaya Total Usaha Ayam Potong Pola Kemitraan Biaya total adalah merupakan hasil penjumlahan dari biaya Variabel dan Biaya Tetap yang digunakan dalam usaha ayam potong. Hasil pengolahan data Biaya Total dapat dilihat seperti Tabel 6. Tabel 6. Rataan Biaya Total Usaha Peternakan Ayam Potong Pola Kemitraan No
Uraian
Populasi Ayam (ekor) 3000 4000 5000 Biaya Tetap 377.911 477.870 1. 623.267 Biaya Variabel 34.315.081 46.964.932 55.307.760 2. 34.692.992 47.442.802 55.931.027 Bia.Total Biaya 11.564,33 11.860,70 11.186,20 Per Ekor
Biaya populasi ayam 5000 ternyata lebih rendah, hal ini terkait dengan penggunaan biaya yang sangat dipengaruhi skala usaha. Biaya populasi 4000 ekor mempunyai beban biaya per ekor yang paling tinggi. Persentase biaya tetap terhadap biaya total adalah sebesar 1,07 persen dan sisanya adalah biaya variable. Persentase penggunaan input variable terletak pada penggunaan biaya pakan 70,62 persen pada populasi 3000 ekor, mencapai 72,58 persen pada populasi 4000 ekor dan 69,20 persen pada populasi 5000 ekor. Biaya total terhadap total populasi masih terjadi bias, namun setelah dikonversikan ke biaya produksi berat daging maka akan lebih jelas. Dimana besar total biaya produksi per satuan berat (Rp/kg) masing masing populasi terlihat pada table 7 berikut:
5
Tabel
7. Total biaya Produksi Usaha Peternakan Ayam Potong Pola Kemitraan
Uraian Umur Panen Mortalitas Produksi Daging (Kg) Biaya Tetap (Rp) Biaya Variabel (Rp) Total Biaya (Rp) Biaya Produksi per Kg
3000 40 4,25 5393,14
Populasi Ayam (ekor) 4000 5000 41 39 3,22 4,36 7502,20 8753,14
377.911 477.870 623.267 34.315.081 46.964.932 55.307.760 34.692.992 47.442.802 55.931.027 6432,8 6323,85 6389,82
Dari table diatas tampak bahwa biaya produksi per kg daging ayam potong yang paling rendah adalah populasi 4000 ekor yaitu Rp. 6.323,85 dan biaya paling tinggi pada populasi 3000 yaitu Rp. 6.432,8. Biaya paling rendah diatas dikarenakan rendahnya mortalitas pada populasi 4000 ekor yaitu 3,22 persen. Sehingga tonase atau produksi per kilo yang diproduksi akan naik. Angka mortalitas tersebut tidak terlepas dari tingkat efisiensi penggunaan tenaga kerja dan beban tenaga kerja anak kandang yang kan mempengaruhi performance produksi ayam. Sedang pada populasi 3000 terdapat kelebihan biaya yang harus ditanggung total produksi. Biaya tersebut adalah biaya tenaga kerja panen, biaya social, biaya angkutan pakan, biaya obat atau vaksin yang menggunakan kemasan botol maupun kantong plastic, sehingga terjadi en-efisiensi penggunaan input. Mengacu pada table 8 tentang curahan tenaga kerja paling rendah pada populasi 4000. Bila dibandingkan dengan populasi 5000 ekor selisih kematian 1,14 persen, bila dikonversikan ke biaya per kg setara dengan Rp. 72,09,- Sehingga apabila angka mortalitas yang sama populasi 5000 seharusnya biaya produksi Rp. 6.395,Imbangan Biaya Plasma dan Inti Struktur perimbangan pembaiyaan usaha ayam pedaging pola kemitraan dapat disajikan seperti pada table 8.
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
Tabel 8. Struktur rataan perimbangan biaya antara pihak inti dan plasma. Uraian 3000
Jumlah Populasi (ekor) 4000 5000
Biaya Plasma Tenaga Kerja 622.600 766.000 857.500 Gas 221.550 319.880 373.450 Listrik 42.500 42.950 74.700 Air 24.100 21.450 42.100 Sewa Kandang 292.600 364.120 481.083 Peralatan 85.311 113.750 142.184 Sewa Lahan 61.500 83.350 111.000 Sekam 41.500 46.160 86.200 Biaya Sosial 20.600 114.000 124.000 Biaya Panen 108.000 21.400 85.000 Portal 61.000 74.000 22.200 Sub Total 1.581.261 1.967.060 2.178.217 Biaya Inti DOC 8.400.000 10.400.000 14.000.000 Vaksin / Obat 673.731 916.591,6 1.091.183 Pakan 24.437.500 34.242.500 38.541.428 Sub Total 33.211.231 45.559.091,6 53.632.611 Total Biaya 34.792.492 47.526.152 55.810.828 Persentase Total biaya operasional yang dikeluarkan Inti Plasma rataannya adalah 95,44 : 4,56 persen; 95,8 : 4,2 persen dan 96,05 : 3,95 persen untuk masing masing populasi 3000, 4000 dan 5000 ekor. Biaya ini terdiri dari biaya pakan, doc dan obat / vaksin. Di mana biaya ini semua merupakan biaya terutang yang diperoleh dari inti. Dengan posisi perimbangan ini menyebabkan posisi plasma seringkali menjadi superior dalam pengambilan kebijakan harga sapronak, umur panen jumlah bibit yang dipasok sesuai jatah. Dari segi biaya yang ditanggung inti terdapat dua perbedaan system yang ada, dimana pada PT NUJ terdapat biaya kompensasi ketika plasma terjadi kerugian yang nilainya sebesar Rp. 100,- sampai 250; dan PT Wonokoyo terdapat biaya operasional yang diberikan setelah panen sebagai biaya tambahan untuk opersional sebesar Rp. 600,- per ekor; namun pada kenyataan di lapangan dana ini dapat dicairkan apabila peternak tidak mengalami kerugian; karena sebetulnya dana ini berasal dari pendapatan usaha yang dibayarkan dimuka sambil menunggu perhitungan secara rinci / detil dari pihak inti yang membutuhkan waktu kurang lebih 21 hari. Biaya tersebut meliputi biaya tenaga kerja, listrik, air, minyak tanah, sewa kandang dan peralatan, sekam, portal dan biaya social. Disamping hal tersebut pada beberapa peternak inti memberikan pinjaman lunak berupa pengembangan kandang dan peralatan dengan bunga nol persen dengan tujuan peningkatan kualitas produksi. Perbandingan biaya yang sangat mencolok antara plasma
6
dan inti, resiko di tingkat inti ketika terjadi kerugian baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja karena penyakit sangat tinggi. Besarnya perbandingan modal pihak inti dan plasma sifatnya tidak permanent, hal ini dikarenakan modal inti sangat dipengaruhi harga sarana produksi yang dipasok, sedangkan harga ditingkat plasma relative tetap karena tidak mengalami perubahan. Pendapatan Usaha Peternakan Ayam Potong Pola Kemitraan Penerimaan adalah semua yang didapatkan dari proses produksi yang dihargai dengan uang. Jenis penerimaan dalam ternak ayam potong berasal dari hasil penjualan daging, sak pakan dan kotoran ayam sebagai pupuk. Nilai penerimaannya usaha dapat dilihat tabel 9 berikut: Tabel 9. Nilai Penerimaan Uraian Hasil Penjualan Insentif / Bonus Kotoran Sak pakan Total
Populasi Ayam (ekor) 3000 4000 5000 36.156.146 50.360.107 59.348.627 460.324 634.360 576.672 73.500 182.910 122.500 131.040 98.000 191.987 34.602.392 51.275.377 60.239.786
Modal Usaha, Asal Modal Modal usaha ayam potong terdiri dari modal kerja, yaitu modal habis pakai dalam satu siklus usaha ayam potong. Hasil dari kedua usaha tersebut digunakan untuk membiayai proses produksi dan usaha berikutnya. Faktor produksi ayam potong pola kemitraan ini tidak semua bentuk modal usaha secara langsung dikeluarkan oleh peternak. Terdapat beberapa elemen modal kerja yang dikeluarkan oleh inti. Status modal kerja adalah terutang. Elemen modal tetap adalah investasi yang ditanam untuk mendirikan kandang, pembelian peralatan, sewa tanah atau membeli tanah. Modal kerja yang dikeluarkan langsung oleh peternak adalah tenaga kerja, pembelian desinfektan, sanitasi kandang, angkutan, listrik dan air. Modal kerja inti terdiri dari bibit (DOC), obat-obatan dan vaksin, pakan (starter, grower dan finisher). Asal permodalan peternak tidak ada yang menggunakan modal dari perbankan. Salah satu alasan tidak menggunakan pinjaman bank adalah usaha ini terlalu mengandung resiko meskipun telah mengikuti pola kemitraan inti – plasma. Asal modal dari modal sendiri, dan modal yang diperoleh dari inti yang berupa sarana produksi peternakan yang akan dikembalikan dalam bentuk produksi daging. Modal sendiri dapat berasal dari usaha sendiri dari usaha tani tanaman pangan maupun penjualan ternak besar dan barang berharga maupun berasal dari nilai keuntungan periode sebelumnya. Struktur modal usaha dan besarnya dapat dilihat pada tabel 10 berikut:
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
Tabel 10. Struktur modal usaha Uraian Modal kerja Modal Tetap Modal Usaha Penjualan Perputaran Aktiva (100 x %) Operational Ratio
Populasi Ayam (ekor) 3000 4000 5000 34.315.081 46964932 55307760 16914520 22795680 28628575 51229601 69760612 83936335 36156146 50360107 59348527 0,705 0,72 0,707 0,949
0,932
0,931
Tingkat perputaran aktiva yang paling tinggi adalah pada populasi 4000 ekor, yaitu 72,18 persen. Sedangkan populasi 3000 ekor dan 5000 ekor tingkat perputaran aktivanya berbeda sangat kecil sekali yaitu 70,57 untuk 3000 ekor dan 70,70 untuk 5000 ekor. Nilai operating ratio adalah 0,94 untuk populasi 3000 , 0,932 untuk populasi 4000, dan 0,931 untuk populasi 5000. Secara umum dikatakan apabila makin tinggi populasi pemeliharaan ayam pedaging maka operating ratio akan makin meningkat, sehingga semakin besar skala usaha untuk setiap satuan rupiah penjualan akan diikuti dengan penurunan biaya operasi yang dikeluarkan. Laba Usaha Dalam usaha peternakan ayam pedaging laba usaha diperoleh dari penjualan ayam hidup (live bird) , kotoran atau pupuk dan karung bekas. Analisis yang dilakukan adalah melihat net profit Margin (laba bersih) usaha. Untuk mengukur kemampuan suatu usaha ayam pedaging dalam menghasilkan keuntungan dalam periode tertentu. Oleh karena itu diperlukan perbandingan antara laba dibandingkan dengan aktiva atau modal yang digunakan. Data tersebut dapat dilihat pada trabel 11. Tabel 11. Laba bersih (Net profit Margin) dan Rentabilitas Uraian 3000 5393,15 Volume Usaha (Kg) 51229601 Modal Usaha 34730992 Biaya Produksi 36360686 Penerimaan Usaha Penerimaan diluar Usaha 496440 2126134 Laba bersih / Siklus 394,22 Laba Bersih / Kg Rentabilitas / Siklus % 4,15
Populasi (ekor) 4000 5000 8753,14 7502,21 69760612 83936335 47442802 55699525 50641017 59661314,25 634360 576672 3832575,2 4538461,25 437,85 604,95 5,493 5,407
7
Dari analisis perhitungan menunjukkan laba bersih tertinggi yang diperoleh pada populasi 5000 ekor sebesar Rp. 604,95 dan terendah pada populasi 3000 ekor sebesar Rp. 394,22. Hal ini berarti terjadi peningkatan laba bersih seiring dengan peningkatan jumlah populasi yang dipelihara. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai rentabilitas adalah 4,15 %, 5,49 %, dan 5,40 % masing masing untuk populasi 3000, 4000 dan 5000 ekor. Sehingga populasi 4000 mempunyai nilai rentabilitas yang cukup tinggi. Antara populasi 4000 dan 5000 nilai rentabilitasnya hanya selisih 0,09 %, sedangkan rentabilitas populasi 3000 paling rendah. Tingkat rentabilitas populasi 3000 yang rendah dapat dimungkinkan karena penggunaan input tenaga kerja yang lebih. Oleh karena itu dalam penggunaan faktor-faktor produksi peternak yang paling rendah dan pengorbanan biaya paling murah (Kusumosuwido,1990). Selanjutnya kendala yang dihadapi adalah upaya kombinasi faktor produksi, namun dalam pola kemitraan ini faktor-faktor tersebut agak sulit dilakukan karena aturan-aturan inti yang melarang menggunakan beberapa faktor produksi terutama faktor yang paling dominan yaitu pakan, bibit maupun obat dan vaksin. Namun pengalaman lapangan untuk menaikkan laba bersihnya peternak terkadang melakukan praktek memasukkan input produksi dari non inti. Faktor tersebut biasanya adalah pakan dan obat, dimana faktor ini mendominasi hampir 60 sampai 70 persen dari total biaya produksi. Disamping hal tersebut diatas masih terdapat beberapa yang sangat terkait dengan tingkat pengembalian modal usaha disamping profit margin per periode dan tingkat rentabilitas; yaitu kebijakan inti yang hal tersebut sangat terkait dengan kebijakan teknis perusahaan inti. Beberapa hal tersebut adalah : a. Kemampuan pengisian oleh inti dalam satu tahun; karena hampir semua inti memberlakukan sangsi yang bervariasi; yaitu skorsing pengisian satu periode atau dua periode, pengurangan jumlah kapasitas kandang atau bahkan penghentian pengisian kandang. b. Tingkat kemapuan pengisian kandang yang disebabkan jumlah DOC yang dimiliki oleh perusahaan inti terbatas, hal ini berpengaruh pada jumlah kapasitas kandang dan jumlah periode pengisian kandang dalam satu tahun. Variasi jumlah DOC berdampak pengurangan populasi dan lama masa istirahat kandang dalam satu siklus. c. Performance atau prestasi peternak selama satu tahun; hal ini terkait dengan kemampuan manajemen pemeliharaan yang berdmpak pada kualitas manajemen pemeliharaan; tingkat FCR; persentase standart kematian; pencegahan penyakit. d. Tingkat harga pakan tambahan yang berupa dedak padi maupun jagung dan pakan buras, pakan puyuh yang sengaja dimasukkan oleh plasma tanpa sepengetahuan inti. e. Tingkat harga daging dipasar, hal ini terkait dengan adanya pendapatan selisih harga pasar yang ditawarkan PT Wonokoyo, Japfaa Mitra Sentosa, dan Anwar Sierad.
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
Sedangkan PT Nusantara Unggas Jaya tidak memberikan selisih harga pasar dari harga kontrak. Analisa Break Event Point Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel, laba dan volume usaha. Hasil analisis ini merupakan gambaran volume aktifitas dimana laba mulai diperoleh, sehingga apabila titik impas yang dicapai terlalu tinggi maka usaha tersebut dapat dipertimbangkan untuk evaluasi produksi atau faktor biaya variabel yang lain. Hasil perhitungan break event point baik dalam bentuk rupiah dan satuan dapat dihasilkan seperti pada tabel 12. Tabel 12. Break Event Point Usaha Peternakan Ayam Pedaging Pola Kemitraan Uraian 3000 439,411 Biaya Tetap 36156146 Penerimaan penjualan 12052,05 Penjualn per satuan 34315081 Biaya Variabel Biaya Variabel per satuan 11438,36 1334 BEP (ekor) BEP (rupiah) 15170923
Populasi (ekor) 4000 5000 561,220 734.267,2 50360107 59348627 12590,03 11869,73 46964932 55307760 11741233 11061,55 922,19 1205,96 10844,330 13896.173
Break event point dalam satuan ekor dan dalam rupiah dihasilkan adalah 1.334 ekor/Rp. 15.170923; 922,184 ekor/Rp. 10.844.330 dan 1.205,961/ Rp. 13.896.173 masing masing untuk popiulasi 3000, 4000 dan 5000 ekor. Sehingga populasi 4000 akan lebih cepat untuk mencapai titik impas dalam melakukan usahanya. Sedangkan untuk populasi 3000 mempunyai nilai BEP yang paling tinggi; artinya peternak baru akan mencapai titik impas pada nilai 1334 ekor atau pada nilai penerimaan Rp. 15.000,Analisis Penyerapan tenaga Kerja melalui usaha ayam pedaging Penggunaan tenaga kerja disektor ini hampir sama dengan kebutuhan tenaga kerja disektor yang lain. Usaha peternakan salah satu sektor yang mampu menyerap tenaga kerja . Dengan berkembangnya usaha peternakan ayam pedaging dengan pola kemitraan yang awalnya muncul ditengah keterpurukan ekonomi dan meningkatnya angka pengangguran. Dengan makin meningkatnya usaha ini di pedesaan yang telah mengalami penyusutan luas ;lahan pertanian, setidaknya sektor ini dapat memberikan aktifitas alternatif untuk menunjang pergerakan perekonomian pedesaan. Kebutuhan Tenaga Kerja Jenis kegiatan dan curahan jam kerja sangat berbeda. Dalam penyediaan tenaga kerja di usaha ayam pedaging terdapat dua jenis tenaga kerja yang digunakan; yaitu
8
tenaga kerja tetap dan tenaga kerja musiman. Tenaga kerja tetap yaitu tenaga kerja yang bekerja secara rutin dalam pengelolaan ayam dikandang dari sterilisasi kandang sampai panen. Tenaga musiman atau tenaga tidak tetap yaitu tenaga kerja yang penggunaannya hanya pada waktu waktu tertentu dalam satu siklus produksi. Tenaga musiman banyak digunakan dalam kegiatan : persiapan DOC datang, vaksinasi, proses panen dan sterilisasi kandang. Ditinjau dari pengadaan tenaga dapat dibagi menjadi beberapa bagian asal tenaga kerja, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Tenaga kerja tetap diluar keluarga Tenaga musiman atau tidak tetap diluar keluarga Tenaga kerja ahli Tenaga kerja dari keluarga
Dari 42 responden adalah menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga dan hanya 15 yang menggunakan tenaga dalam keluarga. Penggunaan tenaga dalam keluarga cenderung bersifat insidentil; sebagai misal saat DOC datang, vaksinasi dan membantu proses panen. Sedangkan pekerjaan pokok sterilisasi, pemeliharaan setiap hari dilakukan oleh pekerja. Dan tidak ada peternak yang menggunakan tenaga ahli, minimal SNAKMA. Kebutuhan tenaga kerja dihitung berdasarkan kelayakan hari orang kerja dalam satu hari atau HOK, setara dengan 8 jam sehari. Nilai ini kadang sulit diterapkan secara murni; hal dikarenakan setelah DOC masuk maka anak kandang sudah tidak dapat meninggalkan kandang. Sehingga kebutuhan jam kerja akan bias, karena hampir 20 jam terutama fase pekerjaan brooding dan ayam finisher yang membutuhkan kontrol secara rutin. Data kebutuhan curahan jam kerja yang hanya diambil pada aktifitas rutin kebutuhan curahan hari kerja dan berbagai aktifitasnya dapat diliht pada tabel 13. sebagai berikut: Tabel 13. Curahan tenaga kerja masing masing populasi dalam satu periode (dalam jam) Jenis Pekerjaan
Jumlah Populasi (ekor) 3000 4000 5000 Jam (%) Jam (%) Jam (%) 1,5 0,42 2 0,45 3 Steril kandang 0,43 2,5 0,7 3 0,68 3,5 Persiapan DOC 0,50 120 33,66 160 36,36 320 46,20 Cuci - Minum 4,5 1,26 9 2,04 18 Vaksin 2,59 180 50,4 215 48,86 280 40,43 Pakan 48 13,46 56 12,72 68 Panen 9,81 Jam Kerja/ periode356,5 100 440 100 692,5 100 8,91 11 17,31 Jam Keja / Hari HOK/1000/hari 0,37 0,34 0,432 Tabel menunjukkan bahwa populasi 5000 ekor mempunyai beban jam kerja paling tinggi yaitu 137,5 / periode dan beban jam terkecil adalah populasi 4000 yaitu 117,5. Hal menunjukkan terdapat sisa jam kerja yang tidak digunakan.
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
Persentase penggunaan jam kerja berdasarkan jenis pekerjaan adalah pekerjaan pemberian pakan yaitu tertinggi 51,06 persen dan kegiatan dengan jam kerja terkecil adalah vaksinasi 1,27 persen. Jenis pekerjaan panen per jam, hitungan biayanya tidak berdasarkan jam kerja tetapi dibayar harian, hal ini menyebabkan persentase kegiatan panen pada populasi 3000 ekor (13,6) persen dan terendah pada populasi 5000 ekor (9,91 persen). Dari tabel 13. diatas dilihat per 1000 ekor membutuhkan 0,38 HOK per hari atau 15,22 HOK per periode. Apabila diasumsikan jumlah populasi ayam pedaging pola kemitraan dalam 1 bulan berdasarkan tabel 7. populasi ayam pedaging pola kemitraan adalah 326.000 per bulan, maka dibutuhkan 4.961.720 HOK per periode. Curahan jam kerja berdasarkan asal tenaga kerja yang digunakan dalam satu periode pemeliharaan dikelompokkan seperti tabel berikut: Tabel 14. Curahan jam kerja berdasarkan pada asal tenaga kerja yang digunakan dalam satu periode pemeliharaan. Jenis Pekerjaan
Jumlah Populasi (ekor) 3000 4000 5000 Jam Asal Jam Asal Jam Asal 1,5 TLK-TDK 2 TLK 3 Steril kandang TLK Persiapan DOC 2,5 TLK-TDK 3 TLK-TDK 3,5 TLK-TDK 120 TLK 160 TLK 320 Cuci - Minum TLK 4,5 TLK-TDK 9 TLK-TDK 18 TLK-TDK Vaksin 180 TLK 215 TLK 280 Pakan TLK 48 TLK-TDK 56 TLK-TDK 68 TLK-TDK Panen Jam Kerja/periode 356,5 440 692,5 Keterangan: - TLK = Tenaga luar keluarga - TTLK = Tenaga tetap luar keluarga - TDK = Tenaga dalam keluarga Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada populasi 3000 rataan struktur penggunaan tenaga kerja adalah 84 persen untuk TLK dan 16 persen untuk kombinasi TLK-TDK; pada populasi 4000 adalah 36 persen TLK, 2,7 persen kombinasi TLK-TDK dan 12,7 persen kombinasi TLKTTLK; pada populasi 5000 ekor adalah 87 persen TLK dan 12,9 persen TLK-TTLK. Hal ini memberikan indikasi bahwa keterlibatan tenaga kerja yang berasal dari keluarga sendiri paling banyak digunakan pada populasi 3000 dan akan mengalami pergeseran keterlibatan tenaga kerja ke luar keluarga ke populasi 4000 serta hampir seluruhnya menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga baik tidak tetap maupun tetap pada populasi 5000. Dari hal ini dapat dilihat bahwa semakin tinggi jumlah populasi yang dipelihara dalam usaha ayam pedaging pola kemitraan maka penggunaan tenaga
9
kerja yang berasal dari dalam keluarga sendiri akan semakin berkurang. Analisa Performa Produksi Analisa performa teknis ini meliuti manajemen zooteknis, manajemen pakan, dan pengendalian penyalkit yang dalam hal ini akan dianalisis dari beberapa indikator yang terkait langsung dengan hal tersebutdiatas. Indikator yang digunakan adalah tingkat mortalitas, bobot badan yang dicapai, dalam rataan umur panen. Tingkat performa zooteknis dapat dilihat pada tabel 15 sebagai berikut:
2.
3.
Tabel 15. Tingkat performa produksi ayam pedaging pola kemitraan Plasma – Inti. Uraian 3000 Umur panen (hari) 40 3000 Chick in (ekor) 2818 Chick out (ekor) 6,06 Mortality (%) Total Weight (Kg) 5393,15 10080 Pakan (Kg) Average body Weight1,912 1,86 FCR
Populasi (EKOR) 4000 5000 40 39 4000 5000 3871 4782 3,22 4,36 7502,21 8753,14 14080 15954,6 1,94 1,83 1,87 1,82
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa rataan umur panen yang digunakan dibandingkan dengan bobot badan yang dicapai termasuk optimal. Bobot badan yang dihasilkan dengan umur panen terdapat kesesuaian, dimana menurut pengalaman dan standar bobot badan pada umur 39 adalah 1,8 sampai 1,9 kg dan umur 40 adalah 1,9 sampai 2 kg. Tingkat mortalitas yang dicapai termasuk baik, karena rataan tingkat mortalitas yang dicapai dibawah 5 persen; dimana mortalitas standar yang digunakan oleh semua perusahaan inti berkisar antara 1 sampai dengan 6,25 persen. Tingkat perolehan FCR juga dapat memenuhi target, karena standar FCR yang diberlakukan untuk berat 1,8 sampai 1,9 kg adalah berkisar1,82 sampai 1,95. Dari hasil analisa performa diatas diperoleh performa yang standar. Dengan rendahnya tingkat kematian, rendahnya nilai FCR yang dicapai maka hal ini akan sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dalam usaha peternakan ayam pedaging. KESIMPULAN
437,85 Rp. 604,95 dengan rentabilitas 4,15 %; 5,49 % dan 5,40 % serta break event point adalah 1.334 ekor atau Rp. 15.170.923; 922,184 ekor atau Rp. 10.844.330 dan 1.205,961 atau Rp. 13.896.173 masing masing untuk populasi 3000, 4000 dan 5000. Kebutuhan HOK tenaga kerja per 1000 ekor adalah 0,38 HOK per hari atau 15,22 HOK per periode. Total kebutuhan kabupaten Lamongan dalam satu bulan dengan kapasitas 326.000 adalah kurang lebih 4.961.720 HOK per periode. Tingkat performa zooteknis adalah pada umur panen 39 rataan 1,83 dan umur 40 bobot badan 1,912 sampai 1,94 kg. Tingkat mortalitas 3,22 sampai 6,06 dan FCR adalah 1,82 sampai 1,87.
Dalam pelaksanaan pola kemitraan ayam pedaging pola inti plasma di Kabupaten Lamongan maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1.
2.
3.
Perbaikan sistem pola kemitraan dengan mulai memberikan Proxy atau andil modal usaha yang lebih ditingkat petani dengan power sharing, capital sharing secara proporcional baik keuntungan dan kerugian. Pembinaan transfer teknologi dan rekayasa IPTEK hendaknya diarahkan terbentuknya peternak mandiri untuk menghindari pola kartel maupun monopoli usaha dari hulu hingga hilir Peran aktif dinas peternakan tingkat II dalam pengawasan pelaksanaan pola kemitraan sesuai dengan Kepmen No. 472 tahun 1990 lebih ditingkatkan sebagai lembaga penengah dalam pola Inti – Plasma.
REFERENSI Anonimus, 1998. Lamongan Dalam Angka 1998. Badan Statitstik Kabupaten Lamongan. Lamongan Anonimus, 1988. Studi Pelaksanaan KEPPRES 50/1981 di Indonesia. Kerja sama Kantor Menko Ekuin dan Wasbang dengan Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta Arsyad Lincolin. 1999. Ekonomi Manajerial Ekonomi Mikro Terapan Untuk Manajemen Bisnis. Edisi ke-3. BPFE. Universitas Gadjah Mada Mada. Yogyakarta
Berdasarkan analisa data lapangan dan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan penerapan pola kemitraan ayam pedaging di kabupaten lamongan sebagai berikut:
Bambang S. 1992. Kalkulasi dan Pengendalian Biaya Produksi. Rineka Cipta. Jakarta
1.
Boediono. 1983. Ekonomi Makro. Cetakan IV. Penerbit BPFE. Yogyakarta
Tingkat perputaran aktiva, yaitu 72,18; 70,57; 70,70 persen pada populasi 3000, 4000 dan 5000. Tingkat operating ratio 0,94; 0,932; 0,931 untuk populasi 3000, 4000 dan 5000. Tingkat laba bersih Rp. 394,22; Rp.
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
Bambang S. 1994. Kalkulasi dan Pengendalian Biaya Produksi. Rineka Cipta. Jakarta
B. Umar, Alim Rum Moch, Helma Oesman, 2000. Perekonomian Indonesia, Krisis dan Strategi
10
Alternatif. Kerjasama Universitas Nasional Jakarta dan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta
Pengembangan Petani Kecil. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta
Dumairy. 1999. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga. Jakarta
Soetawi 2000. Pola kemitraan ayam potong, akankah Menguntungkan Bagi Peternak. Majalah Poultry Indonesia Edisi 89 tahun 2000. Jakarta
Fuad. 1989. Usaha Peternakan Ayam Potong. Akademika Pressindo. Jakarta Herli D. 2000. Kajian Pola Kemitraan Peternakan Ayam Pedaging di Kabupaten Malang. Skripsi Fakultas Peternakan Brawijaya. Malang Karta Saputra, A.G. 1988. Pengantar Ekonomi Produksi. Penerbit Bina Aksara. Jakarta
Soetawi 2000. Penilaian Plasma Terhadap Inti pada Kemitraan Ayam Pedaging. Poultry Indonesia Edisi 79 tahun 2000. Jakarta Suyoto. 1984. Petunjuk Pembinaan Kelompok Peternak / Koperasi PIR Perunggasan. Jakarta
Kusumosuwido S. 1990. Sajian Dasar Dalam Pengantar Teori Ekonomi Mikro. Bina Aksara Jakarta Mahcfoed. 1984. Akuntasi Manajemen. Edisi revisi II. Penerbit Fakultas Ekonomi Universita Gadjah Mada. Yogyakarta Manass. 1985. Metode Penelitian Sosial. Penerbit Karunia Jakarta Universitas Terbuka. Jakarta Mubyarto.1977. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT. Yasaguna Anggota IKAPI. Jakarta Pranadji Tri dan Sudaryanto Bambang, 1994. Perspektif Instutusi Kemitraan Dalam Pengembangan Bisnis Peternakan Rakyat Secara Berkelanjutan (Suatu Kajian Untuk Menempatkan Ternak Kecil Sebagai Penggerak Ekonomi Pedesaan Beragroekosistem Lahan Kering), Proceeding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering, Sub Balai Penelitian Ternak Grati, Pasuruan, Malang 26-27 Oktober 1994. Jakarta Rijanto. 1991. Dasar – Dasar Pembelanjaan Perunggasan. Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada. Yogyakarta Saptana dan Pranadji Tri. 1999. Kewirausahaan dan Kemitraan Usaha Untuk Maningkatkan Daya Saing, Majalah Poultry Indonesia. Edisi no. 246 Tahun 1999. Jakarta Simatupang P. 1995. Industrialisasi Pertanian sebagai strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam era globalisasi. Orasi pengukuhan sebagai ahli peneliti utama. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian Suhendar, 1997. Evaluasi Pola Kerjasama Inti Pada Kelompok Peternak Ayam Pedaging di Kabupaten Bogor dan Sukabumi (studi kasus di PT. Agro Utomo). Skripsi Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian, Teori dan Aplikasi. Penerbit Rajawali. Jakarta Soekartawi, Soeharjo A., Dillon L. John, Hardaker Brian J. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
11