MODEL BISNIS KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG
HARNITA HADIASTUTY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Bisnis Kemitraan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013 Harnita Hadiastuty NIM H451110131
RINGKASAN HARNITA HADIASTUTY. Bisnis Model Kemitraan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang. Dibimbing oleh SUHARNO and ANNA FARIYANTI Topik dari penelitian ini adalah mencari bentuk ideal dari kemitraan diantara stakeholders disepanjang rantai nilai usaha garam rakyat. Usaha garam rakyat merupakan mata pencaharian utama mayarakat pesisir di Kabupaten Rembang.Rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang meliputi petani garam, pedagang perantara, perusahaan pengolahan garam briket dan halus serta pedagang pengumpul besar.Petani garam dibedakan atas penggarap, pemilik lahan dan pemilik lahan sekaligus penggarap.Terdapat ikatan kerjasama jual beli hasil garam yang kuat antara pelaku usaha yaitu antara penggarap dengan pemilik lahan, pemilik lahan/pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara dan pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan atau pedagang pengumpul besar.Gejala ini mengindikasikan kuatnya asimetrisme informasi pasar yang menyebabkan pihak yang kurang informasi, yaitu produsen garam rakyat, menerima fakta bahwa harga yang diterima merupakan harga terbaik.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana karakteristik kelembagaan kemitraan yang terjalin antar pelaku usaha garam rakyat, menganalisis kinerja kelembagaan kemitraan dan merumuskan model bisnis berbasis kemitraan yang mampu meningkatkan kinerja usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang. Hasil penelitian menunjukkan dua bentuk pola kemitraan yaitu (1) kemitraan bagi hasil antara penggarap dengan pemilik lahan dan (2) kemitraan pemasaran antara petani pemilik/petani pemilik sekaligus dengan pedagang perantara, pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan dan pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar.Karakteristik kelembagaan menunjukkan bahwa kemitraan yang berjalan saat ini belum mencerminkan kemitraan yang ideal karena tidak ada kebebasan dalam melakukan pilihan untuk bertransaksi dan posisi tawar yang tidak seimbang disebabkan kemitraan yang terbentuk diikat dengan bantuan permodalan.Keseluruhan kemitraan yang terjalin bersifat informal berupa aturan main yang disepakati bersama.Sanksi atas penyimpangan yang terjadi adalah sanksi sosial berupa tersisih dari rantai nilai usaha garam rakyat. Berdasarkan hasil analisis pendapatan, analisis kerja ekonomi kelembagaan dan analisis efisiensi pemasaran menunjukkan bahwa penggarap dan pemilik lahan sekaligus penggarap merupakan pelaku usaha yang dirugikan dalam transaksi ekonomi yang berjalan saat ini di Rembang, sedangkan pelaku usaha lainnya yaitu pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pengumpul besar memperoleh keuntungan dari transaksi ekonomi yang ada.Posisi tawar petani yang lemah karena adanya kemitraan yang terikat dengan permodalan menyulitkan petani untuk memperbaiki tingkat ekonomi. Desain model bisnis yang diusulkan adalah dengan menghadirkan kelembagaan koperasi sebagai mitra petani sekaligus mitra bagi perusahaan pengolahan maupun pedagang perantara.Pada desain model bisnis yang baru petani menjual garamnya ke koperasi, sedangkan bagi petani yang memproduksi garam spesifik yang ditujukan untuk industri pengguna (industri pakan ternak, pupuk dan pengasinan ikan) dapat memasarkan ke pedagang perantara.Upaya
yang dapat dilakukan koperasi untuk bersaing dengan pedagang perantara maka produk garam yang ditawarkan koperasi harus memiliki nilai tambah berupa garam yang telah difortifikasi, kemudian garam dipasarkan ke perusahaan pengolahan.Koperasi yang dibangun harus memiliki tata kelola yang baik yaitu transparan, akuntabel, mandiri, adil dan partisipasi aktif dari anggota serta adanya peningkatan nilai tambah atas produk yang dihasilkan.Adanya koperasi karena kebutuhan kolektif para petani garam untuk memperbaiki ekonominya, sehingga berdirinya koperasi dari bottom up bisa menjadi salah satu faktor keberhasilan koperasi. Keberadaan koperasi mampu meningkatkan pendapatan penggarap sebesar 49.19 persen, 38.36 persen bagi pemilik lahan sekaligus penggarap dan 2.01 persen bagi perusahaan pengolahan, sementara pemilik lahan dan pedagang perantara mengalami penurunan pendapatan masing-masing 3.01 persen dan 25.40 persen. Kerja kelembagaan lebih efektif karena adanya penurunan nilai biaya transaksi sebesar 30.63 persen petani penggarap; 79.54 persen pemilik lahan; 76.26 persen petani pemilik sekaligus penggarap; 58.89 persen pedagang perantara dan 34.74 persen perusahaan pengolahan. Sedangkan bagi pedagang pengumpul besar keberadaan koperasi tidak memberikan keuntungan maupun kerugian karena produk yang dihasilkan koperasi tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pengumpul besar.Hasil analisis marjin pemasaran menunjukkan bahwa saluran pemasaran yang diusulkan (petani-koperasi-perusahaan pengolahan memiliki marjin biaya total (biaya pemasaran) paling rendah, sehingga secara operasional dapat dikatakan sebagai saluran yang paling efisien. Selain itu, share harga yang akan diterima petani jauh lebih baik (30.43 %) dibandingkan dengan share harga yang saat ini diterima sebagian besar petani garam (25.62%), sehingga secara relatif mampu meningkatkan motivasi petani untuk meningkatkan produksi. Pada model bisnis yang baru keberadaan koperasi dalam rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang memberikan keuntungan kepada penggarap, pemilik lahan sekaligus penggarap dan perusahaan pengolahan namun disatu pihak merugikan pemilik lahan dan pedagang perantara. Sesuai dengan prinsip pareto kompensasi, maka pemilik lahan dan pedagang perantara sebagai pihak yang dirugikan atas kebijakan baru harus mendapatkan kompensasi. Kerugian yang diterima pemilik lahan dapat digantikan dengan penurunan biaya transaksi yang cukup besar. Sedangkan bentuk kompensasi yang diberikan kepada pedagang perantara berupa perbaikan reputasi sehingga dapat diperhitungkan dalam setiap pengambilan kebijakan, memperoleh kemudahan akses pembiayaan dari lembaga perbankan dan memperoleh fasilitas pemerintah terkait pelaksanaan industrialisasi usaha garam rakyat salah satunya adalah dorongan untuk meningkatkan skala usaha menjadi industri pengolahan garam Kata kunci : usaha garam rakyat, kemitraan, karakteristik kelembagaan, kinerja kelembagaan kemitraan, model bisnis, koperasi
SUMMARY HARNITA HADIASTUTY Business Model of Salt Business Partnership of Rembang District. Supervisied by SUHARNO and ANNA FARIYANTI Inquiry on the ideal form of business partnership among constituents along the value chain of salt business is the main theme of this study. Majority of Rembang Residents’ coastal community depend on salt business. Salt farmers, middleman, salt processing companies and large traders involve in such business. Salt farmers themselves can be divided into three groups, they are salt field labour, field owner and field owner-labour. In addition, there are business bond between salt farmers-field owner, field owner-middleman and middleman-salt processing companies or middleman-large traders. This phenomenon indicates that asymmetric market information accepted by salt farmers mislead them to take the actual price as the best share. This study aims to identify how partnership institutional among stakeholders in salt business perform. Moreover, the study tries to analyse and formulate a business model that is able to provide welfare improvement for business constituents proportionately, especially salt producing households (“salt farmers”) in the District of Rembang. The results of this study show two patterns of partnership as the following :(1) profit-sharing partnership between salt farmers-field owner; and (2) marketing partnership between field owner-middleman, middleman- salt processing companies and middleman-large traders. All partnerships, which are based on verbal/handshake deals, are yet ideal since partly members have weak bargaining position and could not freely choose a fair transaction due to bonded capital system. Income analysis, institution analysis and marketing efficiency find that middleman, processing industries and large traders gain larger profit than salt farmers and field owner. Bonded capital system put farmers in a weak position hence, the profit unfairly shared among constituents. An alternative business model is proposed. That is, involving the establishment of farmers cooperative as the new partner for farmers, salt processing companies and middleman. In this new model, the farmers sell their products to cooperative directly. On the other hand, specific products for certain industries (feed industries, fertilizer industries and salty-fish industries) can be offered to middleman by the farmers. In order to ensure the salt processing companies as a potential partner, cooperative group has to compete with middleman by producing fortified salts which has better quality. This established cooperative group should be transparent, accountable, independent, fair, active and able to create value added of its products. If the cooperative group exists and conducting all the rules above, it is predicted that level of income would rise by 49,19% for farmers, 38,36% for field owner-farmer and 2.01 for salt processing companies. In contrast, field owner and middleman would gain lower income by 3,01% and 25,40%. Moreover, it is calculated that transaction cost decreased by 30,63% for farmers; 79,54% for field owner; 76,26% for field owner-labour; 58,89% for middleman; and 34,74% for salt processing companies. In particular, establishing the cooperative group will not affect large traders since cooperative group is not targeting large partneships.
The marketing margin analysis shows while the proposed channel marketing (salt farmers-cooperative-processing industry) has the least marketing costs, it is operationally most efficient channel. Moreover, the farmers will receive the share price better (30.43%) compared to the current share price of most farmers received (25.62%), so it is relatively able to increase the motivation of farmers to increase production. The farmers cooperative appearance along the value chain of salt business in Rembang District provide more advantages for farmers, field owner-labour and salt processing companies while field owner and middleman got less benefit. According to pareto compensation theory,the field owner and middleman as the loss party should receive compensation as the new regulation imposed by the government. A significant lower of transaction cost could be the compensation for the field owner. The government should compensate the middleman for its loss by giving recommendation in accessing bank funding and giving opportunities to increase its business scale through government facilities. Keywords : small holding salt farmers, partnerships performance, business model, farmers marketing cooperative.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apa pun tanpa izin IPB
MODEL BISNIS KEMITRAAN USAHA GARAM DI KABUPATEN REMBANG
HARNITA HADIASTUTY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc
Penguji Program Studi
: Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS
Judul Tesis : Model Bisnis Kemitraan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang : Hamita Hadiastuty Nama : H45111 0 131 NIM
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota
Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Tanggal Ujian : 31 Juli 2013
,
Tanggal Lulus :
18 SEP L013
Judul Tesis : Model Bisnis Kemitraan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang Nama : Harnita Hadiastuty NIM : H451110131
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Suharno, M.Adev Ketua
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 31 Juli 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Model Bisnis Kemitraan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang”dapat diselesaikan.Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada: 1. Dr. Ir. Suharno M.Adev selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr. Ir. Anna Fariyanti MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Ir Luky Adrianto MSc selaku Dosen Penguji Luar Komisi pada pelaksanaan ujian tesis dan Dr. Ratna Winandi MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitianatas segala masukan untuk penyempurnaan tesis ini. 3. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina MSselaku Ketua Program Studi Agribisnis sekaligus Dosen Penguji Perwakilan Program Studi pada ujian tesis serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis. 4. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis. 5. Direktorat Jenderal P2HP dan BPSDMKP, Kementerian Kelautan dan Perikanan atas kesempatan tugas belajar yang diberikan. 6. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembangdan seluruh stakeholders garam di Kabupaten Rembang atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini. 7. Teman-teman seperjuangan Angkatan II pada Program Studi Agribisnis atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan serta Tim garam atas semangat dan dukungannya. 8. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamidan kedua buah hati tercinta yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan.
Bogor, Agustus 2013
Harnita Hadiastuty
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 4 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Usaha Garam Rakyat Penerapan Model Bisnis Penerapan Kelembagaan Kemitraan
6 7 9
3 KERANGKA PEMIKIRAN Teori Model Bisnis Teori Ketidakpastian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Teori Kemintraan dan Kontrak Teori Pendapatan Teori Ekonomi Biaya Transaksi Teori Kinerja Pemasaran Teori Perubahan Kelembagaan Kerangka Pemikiran Operasional
11 12 12 14 15 16 18 19
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Sampel Teknik Pengolahan dan Analisis Data
21 21 21 22
5 GAMBARAN UMUM USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN Kondisi Usaha Tambak Garam Rakyat di Kabupaten Rembang Aktivitas Pengolahan Garam di Kabupaten Rembang Aktivitas Pemasaran Garam Rakyat di Kabupaten Rembang Karakteristik Pelaku Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang
25 30 31 33
6 KARAKTERISTIK KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG Kemitraan Penggarap dengan Pemilik Lahan Kemitraan Pemilik Lahan dengan Pedagang Perantara Kemitraan Pemilik Lahan sekaligus Penggarap dengan Pedagang Perantara
37 39 40
Kemitraan antara Pedagang perantara dengan Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus Kemitraan antara Pedagang Perantara dengan Pedagang PengumpulBesar
42 44
7 KINERJA KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG AnalisisPendapatan Usaha Garam Rakyat Analisis Biaya Transaksi Usaha Garam Rakyat Analisis Efisiensi Pemasaran Usaha Garam Rakyat
46 55 62
8 MODEL BISNIS BERBASIS KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYATDI KABUPATEN REMBANG
65
9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
77 77
DAFTAR PUSTAKA
78
LAMPIRAN
79
RIWAYAT HIDUP
102
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tingkatkebutuhan, produksi dan impor garam nasional tahun 2008-2011 Jumlah responden dalam penelitian Perbedaan kualitas garam Kapasitas produksi perusahaan pengolahan garam Fungsi pemasaran pada setiap lembaga pemasaran garam Jumlah responden petani garamdan lokasi penelitian Identitas petani garam di Kecamatan Kaliori, Lasem dan Rembang Profil perusahaan pengolahan usaha garam rakyat Karakteristik kelembagaan kemitraan antara petani penggarap dengan pemilik lahan Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan dengan pedagang perantara Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara denganperusahaan pengolah Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar Analisis pendapatan atas biaya total petani garam
1 22 29 31 32 33 34 36 38 40 42 44 45 47
15 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari pedagang perantara di Kabupaten Rembang 16 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari perusahaan pengolahangaram briket dan halus di Kabupaten Rembang 17 Analisis pendapatan pedagang pengumpul besar 18 Komponen biaya transaksi pemilik lahan 19 Komponen biaya transaksi petani pemilik sekaligus penggarap 20 Komponen biaya transaksi pedagang perantara 21 Komponen biaya transaksi perusahaan pengolahan 22 Komponen biaya transaksi pedagang pengumpul besar 23 Rasio biaya transaksi – penerimaan usaha garam rakyat 24 Sebaran marjin pemasaran garam dan share harga pada setiap saluran pemasaran garam rakyat di Kabupaten Rembang 25 Opsi kelembagaan kemitraan usaha garam rakyat 26 Perbandingan pendapatan antar model bisnis lama dan baru 27 Desain koperasi pemasaran untuk usaha garam rakyat 28 Perbandingan pendapatan pedagang perantara dan perusahaan pengolahan dalam model bisnis lama dan baru 29 Perbedaan atas biaya transaksi pada model bisnis lama dan baru 30 Perbandingan nilai sebaran marjin pemasaran dan farmer share antara model bisnis yang lama dan baru
50 52 54 57 58 59 60 60 61 65 69 72 73 74 75 76
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Perkembangan produksi garam nasional tahun 2001-2011 Fungsi model bisnis menurut Chesbrough dan Rosenbloom Kurvamarjin pemasaran Kerangka pemikiran operasional modelbisnis usaha garam rakyat Luas lahan garam di Kabupaten Rembang Jumlah petani pemilik dan penggarap di Kabupaten Rembang Proses produksi garam di Kabupaten Rembang. Lahan garam di Kabupaten Rembang Data produksi garam tahun 2012 di Kabupaten Rembang Proses pembuatan garam briket di Kabupaten Rembang Produk garam briket dan halus Persentase pekerjaan sampingan petani garam Komparasi keuntungan relatif antar pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang Saluran pemasaran garam di Kabupaten Rembang Model bisnis usaha garam rakyat saat ini Usulan desain model bisnis usaha garam rakyat Desain saluran pemasaran yang diusulkan
2 11 17 20 26 26 27 28 29 30 31 35 54 62 66 70 76
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Luas lahan garam di Kabupaten Rembang 81 Karakteristik responden pelaku usaha garam rakyat 82 Karakteristik responden perusahaan pengolahan 83 Nilai penyusutan masing –masing pelaku usaha garam rakyat 84 Analisis pendapatan pemilik lahan sekaligus penggarap(aktual) 86 Analisis pendapatan pemilik lahan sekaligus penggarap(usulan) 87 Analisis pendapatan penggarap-pemilik lahan pola bagi hasil(aktual) 88 Analisis pendapatan penggarap-pemilik lahan pola bagi hasil (usulan) 89 Analisis pendapatan pedagang perantara (aktual) 90 Analisis pendapatan pedagang perantara (usulan) 91 Analisis pendapatan perusahaanpengolahan garam briket/halus (aktual) 92 Analisis pendapatan perusahaanpengolahan garam briket dan halus 93 Analisis pendapatan pedagang pengumpul besar 94 Analisis pendapatan koperasi garam di Kabupaten Rembang 95 Analisis biaya transaksi yang dikeluarkan pelaku usaha garam 96 Analisis sebaran marjin pemasaran dan share harga 97 Aturan yang dipergunakan dalam penyusunan kontrak kemitraan antara petani garam dengan koperasi 98 18 Peta potensi garam Kabupaten Rembang 100
1
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pada saat ini dan masa mendatang peran dan fungsi garam sangat penting untuk konsumsi sehari-hari maupun industri. Fungsi garam dibedakan atas garam iodisasi atau yang dikenal sebagai garam konsumsi dan garam non iodisasi atau garam industri. Garam iodisasi atau garam konsumsi adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku produksi bagi industri garam konsumsi beryodium (garam meja), untuk aneka pangan dengan NaCl minimal 94.7 persen dan pengasinan ikan, sedangkan garam non iodisasi atau garam industri adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri antara lain digunakan industri soda kostik atau Chlor Alkali Plant (CAP) dengan kadar NaCl minimal 97 persen, industri farmasi dengan kadar NaCl minimal 99 persen, industri kulit, industri tekstil dan industri pengeboran minyak (Kementerian Perindustrian 2012). Besarnya peranan garam memperlihatkan bahwa garam merupakan komoditas yang sangat strategis. Di Indonesia kebutuhan garam secara nasional pada tahun 2011 sebanyak 2.9 juta ton ton dengan rincian 1.1 juta ton untuk kebutuhan konsumsi dan 1.8 juta ton untuk kebutuhan industri. Sedangkan kemampuan produksi nasional hanya mencapai 1.4 juta ton. Apabila dibandingkan antara kebutuhan nasional dan kemampuan produksi maka produksi nasional belum mampu memenuhi kebutuhan baik konsumsi maupun industri. Saat ini kebutuhan garam nasional dipenuhi melalui impor sebesar 1.7 juta ton yang berasal dari China, India dan Australia. Kebutuhan impor garam ditunjukkan pada Tabel 1 (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012). Tabel 1 Tingkat kebutuhan, produksi dan impor garam nasional tahun 2008-2011 (ton) URAIAN/TAHUN
2008
2009
2010
2011
KEBUTUHAN GARAM
2 888 920
2 960 250
3 003 550
2 900 000
A. Garam Konsumsi a. Rumah Tangga b. Industri Aneka Pangan c. Industri Pengasinan Ikan
1 140 920 687 000 154 920 299 000
1 160 150 700 000 160 150 300 000
1 200 800 720 000 165 800 315 000
1 100 000 750 000 250 000 100 000
B. Garam Industri a. Industri CAP b. Industri NON CAP
1 748 000 1 550 000 198 000
1 800 100 1 600 000 200 100
1 802 750 1 600 000 202 750
1 800 000 1 600 000 200 000
PRODUKSI GARAM A. Garam Konsumsi B. Garam Industri
1 199 000 1 199 000 0
1 371 000 1 371 000 0
30 600 30 600 0
1 400 000 1 400 000 0
IMPOR GARAM 1 630 793 1 736 453 (REALISASI) A. Garam Konsumsi 88 500 99 754 B. Garam Industri 1 542 293 1 636 699 Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012)
2 187 632
1 707 509
597 583 1 590 049
923 756 783 753
2
Pemerintah menetapkan wilayah sentra garam di 7 kabupaten/kota di Pulau Jawa yaitu Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Sampang, Sumenep dan Pamekasan sebagai upaya meningkatkan produksi garam nasional. Total luas lahan produksi di 7 kabupaten/kota tersebut sebesar 15 040.69 Ha. Selain itu ditetapkan juga wilayah penyangga usaha garam rakyat di 31 kabupaten/kota dengan total luas lahan produksi sebesar 9 342.61 Ha (KKP, 2012). Saat ini pengusahaan garam di Indonesia diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu usaha garam yang dikelola oleh PT. Garam dan usaha yang dikelola oleh rakyat. Luas areal lahan garam yang dikelola oleh usaha garam rakyat sebesar 73 persen, sedangkan sisanya adalah milik PT Garam (Kementerian Perindustrian 2011) Produksi garam di Indonesia masih dilakukan secara konvensional dan mengunakan teknologi sederhana, dimana hasil produksi garam sangat tergantung pada sinar matahari (solar evaporation). Sesuai dengan kondisi iklim yang ada di Indonesia maka dalam kondisi normal panen garam rakyat berlangsung selama 4.5-5 bulan dimulai pada bulan Juli sampai dengan pertengahan Nopember. Pada tahun 2001-2011 tingkat produksi garam nasional per hektar cenderung stabil dikisaran 1-1,5 juta ton, kecuali pada tahun 2010 dimana terjadi penurunan produksi luar biasa yang disebabkan gagal panen akibat iklim yang tidak mendukung dalam pelaksanaan produksi. Pada tahun 2010 terjadi anomali cuaca disebabkan adanya fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation), IOD (Indian Ocean Dipole), dan pengaruh interaksi atmosfer perairan lokal di wilayah Benua Maritim Indonesia yang mengakibatkan curah hujan turun berlebih di sebagian besar Benua Maritim Indonesia terutama diwilayah Pulau Jawa. Curah hujan maksimum bahkan terjadi selama periode musim kemarau yaitu bulan juni hingga agustus. Curah hujan positif di kawasan BMI selama tahun 2010 antara 50 hingga 200 milimeter (Fathrio dan Yuliastin 2011). Kondisi ini tentunya berdampak pada penurunan jumlah produksi garam yang sangat besar di tahun 2010. Tingkat produksi garam pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.
1600000
Produksi (ton)
1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 20012002200320042005200620072008200920102011
Tahun
Gambar 1 Perkembangan produksi garam nasional tahun 2001-2011
3
Secara umum kegiatan usaha garam di Indonesia masih didominasi oleh usaha garam yang dikelola oleh petani dengan luasan lahan sempit (<1Ha) dengan rata-rata tingkat produktivitas hanya sekitar 40-60 ton/ha/tahun. Hal ini menjadi salah satu alasan kurang berkembangnya usaha garam rakyat dan sulit bagi petani untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya. Menurut Satria (2011) petani garam dan nelayan umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Kawasan pesisir merupakan salah satu pusat konsentrasi penyebaran kemiskinan di Indonesia. Rata-rata penghasilan masyarakat kawasan pesisir per hari di bawah 1 dolar AS atau di bawah Rp9 000. Berarti dalam sebulan penghasilannya di bawah Rp270 000. Pemerintah dengan program pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGAR) berusaha membantu petani garam untuk dapat meningkatkan kesejahteraan melalui bantuan sarana produksi dan perbaikan kualitas sumberdaya petani, namun hal ini tidak akan banyak artinya apabila struktur ekonomi yang melingkupinya masih memposisikan petani garam hanya sebagai penghasil surplus namun tidak menikmati surplus yang dihasilkannya. Sepanjang struktur ekonomi yang terbangun masih bersifat monopsonistik maka sulit mengharapkan adanya pengurangan kemiskinan secara nyata bagi petani garam. Sebagai upaya membantu petani garam keluar dari kemiskinan dibutuhkan solusi bisnis yang mampu memberikan kesempatan bagi petani garam untuk memperoleh insentif dalam melakukan kegiatan usahanya dan dapat membatasi tindakan-tindakan kelompok tertentu yang berupaya untuk memperoleh keuntungan tanpa prosedur yang benar. Vermulen dan Cotula (2011) merumuskan model bisnis inklusif yaitu dengan membangun kelembagaan kemitraan antara petani dengan pelaku pemasaran dengan tujuan membantu petani dalam meningkatkan pendapatannya. Dengan kemitraan terjadi pembagian beban resiko produksi dan pemasaran diantara pelaku agribisnis dan petani kecil. Menurut Yustika (2010) apabila suatu negara memiliki kondisi geografis yang baik, sumberdaya alam yang melimpah, teknologi yang memadai dan penduduk yang bermutu sehingga sangat mungkin menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, namun semua tidak bisa menjadi pemicu kesejahteraan apabila tidak dipandu dengan sistem kelembagaan ekonomi yang baik. Oleh karena itu untuk dapat membantu petani keluar dari jeratan kemiskinan adalah dengan membangun kelembagaan, dimana kelembagaan merupakan unsur terpenting dari pencapaian kemajuan ekonomi suatu negara. Salah satu wilayah sentra garam adalah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Total luas lahan garam di Kabupaten Rembang sebesar 1 998.3 Ha. Tingkat produktivitas usaha garam berkisar 60 ton/hektar/musim. Petani garam di kabupaten Rembang didominasi oleh buruh garap dan petani penggarap yang merupakan pemilik lahan sempit (< 0.5 ha). Pemilikan lahan > 1 Ha biasanya dikuasai oleh pelaku usaha yang bergerak dijalur pemasaran. Dari total petani garam yang ada yaitu 5 178 petani sebanyak 80% adalah petani penggarap dengan tingkat pendapatan yang rendah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang, 2013). Menurut Rochwulaningsih (2008) dalam rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang, penggarap merupakan pihak yang paling kecil memperoleh keuntungan. Kesepakatan bisnis yang terjalin antara petani garam dengan pelaku usaha lainnya yang bergerak dijalur pemasaran dapat dikatakan belum ideal karena masih terdapat pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini adalah
4
rendahnya posisi tawar petani sehingga tidak dapat menikmati surplus value yang seharusnya diterima. Disisi lain terdapat juga bentuk relasi usaha antara pedagang dengan pihak industri, dimana kontinyuitas pasokan bahan baku untuk pabrik garam sangat tergantung dengan keberadaan pedagang. Pihak pabrikan lebih memilih bekerjasama dengan pedagang perantara dibandingkan bekerjasama langsung dengan pihak petani karena petani seringkali kesulitan dalam memenuhi persyaratan jumlah yang dibutuhkan dan kualitas yang ditentukan. Menurut Vermulen dan Cotula (2011) kemitraan ideal adalah terciptanya kesetaraan dalam pengambilan keputusan, pembagian risiko dan distribusi keuntungan yang proporsional. Untuk keberlanjutan kemitraan usaha garam rakyat maka perlu dirumuskan model bisnis. Model bisnis yang dikembangkan bertujuan untuk dapat menciptakan manfaat ekonomi bagi pelaku usaha garam rakyat melalui keberadaan sistem kelembagaan kemitraan yang dapat memperbaiki kualitas interaksi/transaksi ekonomi antar pelaku menuju keseimbangan baru yang lebih efisien dan berkeadilan. Perumusan Masalah Kabupaten Rembang merupakan salah satu daerah penghasil garam di Indonesia. Tingkat produksi garam pada tahun 2012 mencapai 163 487.43 ton (DKP Rembang, 2013). Dalam konteks perdagangan garam di Kabupaten Rembang, petani sebagai produsen garam krosok posisinya termarjinalkan karena adanya penutupan akses pasar oleh pelaku ekonomi yang bergerak di jalur pemasaran. Pemilik lahan sempit dan penggarap hanya diposisikan sebagai produsen. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya eksploitasi yang berwujud relasi usaha antara penggarap dengan pemilik lahan dan antara petani kecil dengan pelaku usaha lain di jalur pemasaran dan permodalan serta dengan pabrikan. Pelaku ekonomi yang bergerak dijalur pemasaran cenderung menikmati surplus value yang seharusnya dimiliki oleh petani garam (Rocwulaningsih 2008). Kondisi ini mengakibatkan petani semakin sulit keluar dari kemiskinan. Intervensi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani garam melalui penetapan harga dasar yaitu Rp 750 per kg untuk garam kualitas 1 dan Rp 550 per kg untuk kualitas 2 tidak berjalan efektif di Kabupaten Rembang. Harga garam di tingkat petani berada dikisaran Rp 250 hingga Rp 350 per kg nya. Penyediaan subsidi berupa bantuan peralatan produksi kepada petani garam terbukti mampu memotivasi petani untuk meningkatkan produksi garam, namun belum adanya lembaga penyangga mengakibatkan penawaran garam yang berlebih berdampak pada semakin rendahnya harga garam yang diterima petani. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pelaku pemasaran untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang saat ini dilakukan pemerintah belum mampu memperbaiki interaksi ekonomi diantara pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang, khususnya untuk peningkatan kesejahteraan petani garam. Berdasarkan kondisi diatas maka diperlukan opsi intevensi lainnya yang mampu memperbaiki interaksi ekonomi antara pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang. Vermulen dan Cotula (2011) merumuskan model bisnis inklusif bagi petani dan usaha kecil, yaitu dengan membangun kelembagaan kemitraan sebagai pengganti mekanisme penawaran dan permintaan on the spot
5
dimana setiap transaksi yang dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara petani dengan pelaku pemasaran sehingga terjadi pembagian beban risiko baik produksi maupun pemasaran dan pembagian keuntungan secara proporsional sesuai dengan korbanan yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak. Kemitraan merupakan suatu terobosan untuk mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah dalam menyediakan sarana yang diperlukan seperti kredit, asuransi, informasi, prasarana dan faktor-faktor produksi (Patrick, 2004) Penelitian ini merumuskan model bisnis berbasis kemitraan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang yang dapat memberikan perbaikan ekonomi menuju pareto improvement, yaitu adanya perbaikan ekonomi khususnya bagi petani garam dan juga bagi pelaku usaha lain serta dapat menjamin pelaku usaha lain tidak mengalami kerugian. Sebelum merumuskan model bisnis yang sesuai, maka perlu menganalisis kinerja kemitraan yang telah terbangun saat ini untuk mengetahui apakah kelembagaan kemitraan yang ada telah mencapai kondisi ideal yaitu adanya posisi tawar yang setara, adanya kebebasan untuk melakukan pilihan transaksi dan tercapainya efisiensi dalam transaksi ekonomi yang dilakukan oleh masing-masing pelaku usaha garam rakyat. Berdasarkan uraian diatas permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah karakteristik kelembagaan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang mendukung terlaksananya kemitraan yang ideal? 2. Bagaimana kinerja kemitraan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang? 3. Bagaimana model bisnis usaha garam rakyat berbasis kemitraan yang dapat meningkatkan kinerja usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : 1. Menganalisis karakteristik kelembagaan kemitraan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang 2. Menganalisis kinerja kelembagaan kemitraan usaha garam rakyat 3. Merumuskan model bisnis usaha garam rakyat berbasis kemitraan di Kabupaten Rembang Manfaat Penelitian Kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan khususnya Tim Swasembada garam untuk penyempurnaan kebijakan garam nasional 2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Rembang dalam mengembangkan usaha garam rakyat 3. Sebagai bahan masukan petani, pedagang dan perusahaan pengolahan dalam mencari alternatif model bisnis, 4. Bagi kalangan akademisi dan peneliti dalam mengembangkan penelitian lanjutan dan menjadi bahan pembanding tentang kelembagaan kemitraan, berdasarkan konsep atau teori kontrak kemitraan dan adopsinya di lapangan. 5. Bagi Penulis, untuk melatih kemampuan menganalisis permasalahan usaha garam rakyat
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Usaha Garam Rakyat Usaha garam rakyat adalah usaha memproduksi garam yang pengelolaannya dilakukan oleh rakyat. Pelaku usaha garam rakyat terdiri dari petani garam rakyat yang memproduksi garam krosok, perusahaan pengolahan garam briket dan halus yang umumnya berlokasi di pusat tambak garam dan pelaku pemasaran. Kesuksesan usaha garam ditingkat petani sangat ditentukan oleh tingkat penguasaan lahan garam, semakin luas area tambak garam tentunya akan menghasilkan jumlah produksi garam yang semakin banyak (Sukesi (2011); Rochwulaningsih (2008); Hasan (2011)). Kajian Sukesi (2011) menunjukkan bahwa petani bisa berhasil walaupun dengan tingkat pendidikan yang rendah, pola penguasaan lahan menjadi faktor dominan keberhasilan usaha garam. Rochwulaningsih (2008) membedakan petani garam sesuai dengan kepemilikan lahan yaitu penggarap yang mengelola lahan garam milik orang lain, petani kecil yang memiliki lahan kurang dari 1 Ha dan biasanya mengelola lahannya sendiri dan petani besar yang memiliki lahan lebih dari 1 Ha. Dalam mata rantai usaha garam penggarap merupakan pihak yang paling kecil mendapatkan keuntungan, penggarap/buruh sangat tergantung dan ditentukan secara sepihak oleh pemilik, mereka hanya memiliki hak untuk memproduksi garam dengan kewajiban menyerahkan sepenuhnya hak penjualan pada pemilik dan pemiliklah yang menentukan harga. Hasan (2011) mengidentifikasi luasan lahan yang dimiliki petani garam di Kabupaten Biruen Aceh sebagian besar kurang dari 1 Ha. Besarnya hasil produksi garam ditentukan oleh luas lahan yang mampu di olah untuk setiap kali proses produksi. Terbatasnya akses permodalan menjadikan usaha garam rakyat sulit berkembang. Lembaga Pembiayaan melihat usaha garam memiliki risiko yang tinggi karena keberhasilan produksi sangat tergantung oleh faktor cuaca. Hal ini menyebabkan sebagian besar petani garam menggunakan jasa tengkulak dalam membantu memecahkan permasalahan modal untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi (Suherman 2011; Rochwulaningsih 2008). Untuk membayar pinjaman modal, petani menjual hasil produksi garamnya kepada tengkulak dengan harga yang ditentukan tengkulak, disini petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Menurut Rochwulaningsih (2008) petani hanya dapat menjual pada pedagang yang telah dikenal yang bergerak di jalur pemasaran dan permodalan dan mereka ini yang cenderung mempermainkan harga. Berbeda dengan hasil kajian Sukesi (2011) dimana petambak garam di Pasuruan justru paling banyak memanfaatkan jasa para petambak lain yang sukses untuk meminjam modal usaha. Hal itu disampaikan oleh 59.46 persen responden, dan hanya sekitar 4 persen yang meminjam di tengkulak. Petani garam di Kabupaten Pasuruan menginginkan adanya lembaga koperasi yang dapat membantu permasalahan permodalan sekaligus sebagai lembaga pendamping untuk dapat memberikan informasi teknologi, harga dan informasi pasar. Sedangkan modal yang digunakan oleh petani garam di Kabupaten Bieruen sebagian besar menggunakan modal pribadi (Suherman et al 2011) Permasalahan lain terkait garam adalah rendahnya kualitas garam yang diproduksi petani (Suherman et al 2010; Apriliani 2007). Sejumlah garam yang
7
diproduksi petani garam di Kabupaten Sumenep tidak laku dijual karena PT. Garam tidak bersedia membeli karena tidak memenuhi persyaratan kualitas (Suherman 2010). Sama halnya dengan produksi garam di Kabupaten JenepontoSulawesi Selatan dimana kualitas yang dihasilkan sangat rendah karena waktu kristalisasi relatif singkat dan penanganan pasca panen yang buruk (Apriliani 2007). Produksi garam di Indonesia sebagian besar melalui proses evaporasi yaitu dengan pemanasan sinar matahari, proses produksi sangat sederhana yaitu tahap persiapan dengan membuat saluran air dan pematang, kemudian tahap pemasukan air laut dan membuat meja garam kemudian dilakukan kristalisasi, umur kristal garam sampai dengan 10 hari dan seterusnya secara rutin dapat dipanen selama 34 hari apabila didukung oleh cuaca (Purbani 2003), kemudian dilakukan proses pencucian untuk meningkatkan mutu garam. Kelembagaan yang terbangun dalam usaha garam rakyat di wilayah sentra garam sebagian besar berdasarkan hubungan principle-agent yaitu hubungan kontrak kerja yang disepakati oleh dua belah pihak, dimana principle dalam hal ini adalah pemilik lahan sepakat memberikan insentif kepada agent yaitu penggarap dan agent sepakat melakukan tindakan atas nama kepentingan principle. Insentif berupa bagi hasil sesuai kesepakatan antara pemilik lahan dan penggarap. Munadiyanto dan Pranowo (2007) mengidentifikasi kerjasama sistem bagi hasil yang dilakukan petani garam di Kabupaten Sumenep, dimana lahan tambak yang diusahakan cukup lama menggunakan sistem bagi hasil 3 bagian yaitu pemilik memperoleh 2 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih, sedangkan lahan yang masih baru diusahakan pemilik 1 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih. Pelaksanaan sistem bagi hasil dilakukan tanpa tertulis dan hanya didasarkan pada kesepakatan bersama sehingga tidak ada aturan yang jelas. Hasil penelitian yang dilakukan Suherman et al (2011) menunjukkan saluran pemasaran garam di Kecamatan Kalianget meliputi Petani – Tengkulak – Pabrik – Agen – Pengecer – Konsumen. Hasil penelitian menunjukkan pemasaran garam tidak efesien, beberapa tingkat pasar bersifat monopsoni. Terdapat hambatan keluar masuk pasar bagi petani garam, hal ini disebabkan petani garam memiliki pinjaman kepada tengkulak sehingga tidak dapat memilih untuk menjual garam kepada tengkulak lain yang bisa memberikan harga lebih baik. Berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran yang dilakukan oleh Suherman et al (2011) diketahui margin terbesar terdapat pada pihak pabrik sedangkan farmer share yang diterima petani sangat rendah. Penerapan Model Bisnis Setiap usaha atau organisasi agar dapat bertahan dan terus berkembang harus memiliki keinginan untuk dapat menciptakan nilai tambah dan memenuhi keinginan para pelangganya, dalam hal ini perusahaan akan menyusun konsep bisnis yang diikuti dengan rencana bisnis, dengan konsep bisnis berarti perusahaan atau organisasi sedang menciptakan suatu model bisnis untuk usahanya. Model bisnis tidak hanya berlaku bagi usaha baru namun juga untuk usaha yang sudah lama berdiri namun belum memiliki konsep bisnis yang tepat dalam mengoperasikan usahanya. Menurut Osterwalder (2005), model bisnis perlu dipahami sebagai konsep holistik yang mencakup semua unsur seperti mekanisme harga, hubungan pelanggan, kemitraan, dan pembagian pendapatan.
8
Casadesus et al (2009) mengadopsi model bisnis sebagai logika perusahaan, cara beroperasi dan bagaimana menciptakan nilai bagi para stakeholder. Zott dan Amit (2010) mengemukakan pandangan aktivitas sistem untuk mendesain model bisnis. Mereka berpendapat bahwa aktivitas sistem menangkap inti dari model bisnis. Model bisnis tidak statis namun harus di kelola dan dikembangkan dari waktu ke waktu karena adanya tantangan persaingan, pergeseran pasar dan perubahan teknologi. Perusahaan harus menyesuaikan model bisnis untuk tetap layak digunakan (Gasman et al 2012). Definisi model bisnis cukup luas tergantung cara pandang peneliti. Saunders (2007) menelaah 30 konsep model bisnis yang berbeda dan membagi menjadi ekonomi, operasional dan strategis. Sebagian besar peneliti menjelaskan model bisnis sebagai strategi bisnis (Osterwalder 2005; Vermulen dan Cotula 2012; Eriyatno 2011), namun beberapa peneliti membedakan antara model bisnis dan strategi. Perbedaan praktis menjelaskan model bisnis sebagai suatu sistem yang menunjukkan bagaimana bagian-bagian yang searah dan sejalan dengan bisnis, sedangkan strategi didalamnya terdapat kompetisi. Perbedaan lain antara strategi dan model bisnis bahwa strategi mencakup pelaksanaan dan implementasi, sementara model bisnis menggambarkan bagaimana bisnis bekerja sebagai suatu sistem (Zot and Amit 2010). Casadesus et al (2009) mengintegrasikan konsep strategi, bisnis model dan taktik. Strategi mengacu pada pilihan model bisnis di mana perusahaan akan bersaing di pasar. Taktik mengacu pada terbukanya sisa pilihan untuk perusahaan dengan berdasarkan model bisnis. Pandangan atas bisnis model juga berbeda antara pelaku bisnis dengan peneliti, pelaku bisnis memandang bisnis model sebagai cara melakukan bisnis yang dapat menghasilkan keuntungan lebih sedangkan peneliti melihat bisnis model dengan mempertimbangkan komponen-komponen pembentuk bisnis model. Kunci dari model bisnis bagi pelaku bisnis adalah bagaimana cara perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Untuk mencapai tujuan tersebut dirumuskan berbagai strategi usaha, strategi inilah yang menjadi rumusan model bisnis. Model bisnis bisa berbagai bentuk misalnya dengan melakukan inovasi produk dan jasa seperti yang dilakukan oleh Allianz dalam menawarkan asuransi mikro kepada kelompok masyarakat kalangan bawah yang tidak pernah mengakses asuransi untuk membuka bisnis baru atau E24 yang menawarkan inovasi layanan ponsel secara komprehensif di Swiss dengan memberikan kemudahan transaksi melalui pembayaran secara elektronik (Osterwalder 2005). Vermulen dan Cotula (2010) menganalisis model bisnis dalam lingkup agribisnis, yaitu dengan menawarkan bagaimana perusahaan dalam memanfaatkan sumberdaya, melakukan kemitraan dan menjalin hubungan dengan pelanggan untuk menciptakan dan menangkap nilai dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Ukuran model bisnis meliputi bagaimana kepemilikan bisnis, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keputusan bisnis, mampu meminimalisir risiko dan pembagian keuntungan yang merata antara mitra bisnis. Model bisnis biasanya melibatkan lebih dari dua pihak yaitu petani, pedagang ("perantara"), pemodal dan pihak swasta sebagai pengolah. Vermulen dan Cotula membagi model bisnis menjadi contract farming, contract management, tenant farming dan sharecropping, joint venture, farmer own business serta upstream dan down stream business link.
9
Berbeda dengan model bisnis yang dirumuskan Eriyatno dan Najikh (2011) dimana tidak hanya bertujuan untuk meraih keuntungan bagi perusahaan Kelola Mina Laut, namun juga bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan nelayan. Terdapat empat model bisnis yang ditawarkan yaitu (1) Model diferensiasi praktik bisnis yang merupakan sistem pengembangan produk yang menyangkut proses bisnis yang memadukan antara manajemen perusahaan, teknologi pengolahan dan tenaga kerja lokal yang saling berkaitan dengan permintaan pasar sehingga mampu bersaing tanpa merugi, (2) Model diversifikasi produk ikutan dimana industri mengembangkan jejaring produk olahan lanjutan dan hasil ikutan, hasil samping maupun limbah, (3) Model desentralisasi proses industri yaitu suatu sistem penyebaran kegiatan produksi, (4) Model dekonsentrasi usaha penunjang dimana industri memfasilitasi unsur pendukung dan pelengkap aktivitas itu sendiri yang memerlukan penanganan dan pelayanan khusus di wilayah sekitar. Penerapan Kelembagaan Kemitraan Berbagai bentuk kelembagaan ekonomi petani telah banyak berkembang di pedesaan. Namun, eksistensi dan kinerjanya masih kurang menggembirakan, bahkan keberadaannya dalam menopang perekonomian di pedesaan cenderung tidak berkesinambungan. Hal ini karena kebanyakan kelembagaan yang ditumbuhkan tersebut lebih bersifat “top down” dan bahkan cenderung menggeneralisasikan suatu bentuk kelembagaan untuk diintroduksikan tanpa memperhatikan struktur sosial dan kebutuhan masyarakat setempat. Akibatnya banyak kelembagaan baru yang masuk di pedesaan tidak memperoleh respon dan konsensus dari masyarakat. Oleh karena itu, introduksi kelembagaan baru ke dalam masyarakat perlu menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk kelembagaan tradisional yang telah ada (Hermanto 2007). Beberapa bentuk kelembagaan yang dibutuhkan petani menurut Hermanto (2007) antara lain: (1) kelembagaan keuangan mikro (micro-finance) untuk mengatasi kelangkaan modal usaha dan kebutuhan konsumsi, (2) kelembagaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), (3) kelembagaan klinik agribisnis, dan (4) kelembagaan Kemitraan Bermediasi. Sedangkan menurut Lopulalan (2010) terdapat empat sistem kelembagaan ditingkat masyarakat nelayan yang banyak ditemui yaitu 1) kelembagaan bagi hasil, 2) kelembagaan hubungan kerja, 3) kelembagaan pemasaran dan 4) kelembagaan perkreditan. Masing-masing kelembagaan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait satu sama lain dalam kerangka sistem dan usaha agribisnis (Hermanto 2007), Lopulalan (2010). Namun demikian, kelembagaan keuangan mikro merupakan sentral dari pengembangan kelembagaan secara keseluruhan. Kelembagaan keuangan mikro merupakan pilihan utama petani untuk mengatasi permasalahan permodalan yang selama ini menyulitkan petani untuk mengembangkan usahanya. Adyana (2005) memperkenalkan suatu kelembagaan petani yang disebut “Sistem Agribisnis Korporasi Terpadu (Integrated Corporate Agribusiness System, ICAS). Inti dari bentuk kelembagaan ini adalah: (1) petani melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang memenuhi skala usaha, misalnya 50-100 hektar; (2) konsolidasi manajemen dituangkan dalam bentuk UAT, sistem kebersamaan ekonomi dan lainnya; (3) kelompok usaha tersebut
10
sebaiknya berbentuk korporasi, asosiasi, atau koperasi yang berbadan hukum; (4) penerapan manajemen korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis; dan (5) pengembangan pola kemitraan terpadu secara tidak langsung dengan mitra. Kelembagaan kemitraaan yang memiliki keunggulan adalah contract farming yang diketahui memiliki dampak positif terhadap produktivitas dan pendapatan petani. Contract farming memiliki keunggulan seperti efisiensi pengumpulan dan pengangkutan hasil, harga relatif stabil, mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, memudahkan petani mendapat fasilitas kredit, serta menjamin kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra. Beberapa review mengenai hasil kajian contract farming menunjukkan bahwa contract farming membuat petani kecil dapat mencapai panen lebih tinggi, diversifikasi ke produk baru dan meningkatkan pendapatan. Contract farming sukses dijalankan oleh Luveko (perusahaan BUMN Vietnam) dengan petani sayur-sayuran di Provinsi Nam Dinh Vietnam. Luveko menyediakan input produksi, pelatihan dan kepastian harga, sedangkan petani menghasilkan produk berupa ketimun, tomat dan jagung manis dengan kualitas yang terjaga, sesuai ukuran dan sesuai dengan strandar produk yang diinginkan perusahaan, produk yang tidak sesuai akan ditolak oleh Luveko. Contract farming yang dijalankan perusahaan Blue Sky yang bergerak pada pengolahan buah-buahan berhasil meningkatkan pendapatan petani buah di Ghana. Blue Sky tidak memberikan bantuan input dan kredit melainkan melakukan pelatihan dan pendampingan sehingga petani mampu menghasilkan produk dengan kualitas sangat baik sehingga perusahaan bersedia membayar mahal untuk produk tersebut (Vermulen dan Cotula 2010). Hasil kajian Patrick et al (2004) mengenai dampak contract farming terhadap unggas, benih jagung dan benih beras di Indonesia ditemukan bahwa kontrak secara positif mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani. Kontrak untuk benih dan broiler menghasilkan peningkatan atas pengembalian modal sedangkan untuk benih padi dapat menjamin akses pasar. Namun contract farming juga memiliki kelemahan dan ancaman seperti pembatasan inkuslifitas skema (hanya terbatas pada produsen kecil yang berkualitas), hubungan yang tidak seimbang antara kontraktor yang bersifat monopsonistik dengan petani, petani menanggung risiko lebih tinggi dan adanya moral hazard (Sirajudin 2010). Eksploitasi monopsonistik oleh perusahaan inti terhadap perusahaan plasma akan mempengaruhi tingkat pendapatan petani dan akhirnya akan menurunkan produktivitas. Sirajudin (2010) menunjukkan adanya moral hazard pada petani dengan perusahaan inti bisa saja terjadi, dimana petani ingkar pada kewajibannya untuk menjual hasil produksinya ke perusahaan inti namun menjual ke pedagang desa atau pasar karena adanya selisih harga yang menggiurkan. Tidak semua petani menginginkan adanya kemitraan secara formal dan merasa kemitraan informal jauh lebih menguntungkan. Kajian Marganda (2006) pada agribisnis nenas, menunjukkan bahwa sebagian besar (67%) petani nanas lebih memilih untuk menjual nanas kepada pedagang pengumpul dibandingkan ke koperasi. Dalam proses transaksi umumnya pedagang pengumpul mendatangi rumah petani guna melakukan transaksi, sehingga menguntungkan petani dalam hal efisiensi pemasaran dan pengurangan biaya transaksi. Variabel-variabel karakteristik petani yang paling krusial berpengaruh terhadap opsi kelembagaan tataniaga baik formal maupun informal meliputi jumlah keluarga, jumlah produksi, informasi harga dan ketidakpastian.
11
3. KERANGKA PEMIKIRAN
Teori Model Bisnis Zoots (2001) mereview kontribusi beberapa teori model bisnis diantaranya terkait analisis rantai nilai dengan melihat sumberdaya perusahaan, transaksi biaya, dan strategi jaringan pemasaran. Menurut Chesbrough and Rosenbloom (2002) fungsi dari model bisnis yaitu (1) mengartikulasikan value proposition sebuah organisasi yaitu bagaimana organisasi tersebut menciptakan nilai tambah, (2) mengidentifikasi target pasar, (3) menentukan bagaimana menciptakan rantai nilai dalam proses operasionalisasi organisasi, (4) memperkirakan besaran biaya dan pendapatan akibat ditetapkannya value proposition dan value chain, (5) menciptakan kerjasama dan (6) memformulasikan strategi bisnis. Fungsi dari model bisnis dapat dilihat pada Gambar 2.
Technical inputs : Feasibility, performence
Business Model : Market Value proposition Value chain Cost and profit Value network Competitive strategy
Economic Output : Value, profit
Gambar 2 Fungsi model bisnis menurut Chesbrough dan Rosenbloom, 2002
Vermeulen dan Cotula (2010) menggunakan pendekatan model bisnis dengan mempertimbangkan aturan kepemilikan, hak suara, risiko dan reward dibagi diantara partner usaha. Model bisnis yang dirumuskan oleh Vermeulen dan Cotula adalah bagaimana strategi perusahaan dalam mengelola sumberdaya dan menjalin kemitraan untuk menciptakan dan meraih keuntungan. Ostenwalder et al (2005) menjelaskan posisi model bisnis dalam perusahaan sebagai blue print tentang bagaimana perusahaan melakukan bisnis. Model ini memungkinkan perusahaan untuk menganalisis struktur sektor tertentu, usaha rencana bisnis, dan memonitor kinerja. Vermeulen dan Cotula (2010) menyusun model bisnis untuk petani atau industri kecil sebagai cara petani atau usaha kecil menangkap dan mengkreasi nilai-nilai dalam satu jaringan pasar. Vermeulen dan Cotula membagi model bisnis menjadi : 1. Contract Farming, menggambarkan perjanjian pasokan yang disepakati antara petani dan pembeli. Dalam perjanjian tersebut biasanya ditetapkan harga beli, dapat juga memuat perjanjian waktu pengiriman, persyaratan jumlah dan kualitas. Dalam beberapa kasus, pembeli yang merupakan industri pengolah menawarkan faktor input seperti kredit, benih, pupuk, pestisida dan konsultasi teknis. 2. Management Contract, mengacu pada bermacam aturan bagaimana petani atau perusahaan pertanian menjalankan usahanya jika menggunakan lahan pertanian
12
3.
4.
5.
6.
7.
yang tidak dimiliki sendiri. Bentuk manajemen kontrak bisa berupa sistem sewa dimana petani mengelola lahan atas nama pemilik. Dalam kontrak manajemen juga sering dicantumkan pembagian keuntungan antara pemilik lahan dan penyewa. Marketing contract merupakan bagian dari contract farming, dimana didalam kontrak terkandung ketentuan bagaimana menentukan jenis dan atau jumlah produk pertanian yang akan diserahkan, tetapi jarang menyebut kegiatankegiatan atau metode-metode khusus mana yang harus diikuti dalam proses produksi, juga tidak mengharuskan pihak inti untuk menyediakan masukanmasukan tertentu. Tenant farming dan sharecropping merupakan versi kontrak manajemen di mana petani-petani kecil menggarap lahan milik petani lainnya yang lebih besar dan melakukan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya. Pada tenant farming biasanya berlaku biaya sewa tetap, sedangkan sharecropping memberlakukan bagi hasil panen. Joint venture menggambarkan perjanjian kerjasama dua pelaku pasar seperti perusahaan pengolah dengan organisasi petani (koperasi) yang saling berbagi risiko finansial dan keuntungan dan biasanya pengambilan otoritas keputusan sebanding dengan kepemilikan saham. Farmer-owned business adalah struktur bisnis formal bagi petani untuk menghimpun aset-asetnya guna membangun bisnis tertentu (misalnya usaha pengolahan dan pemasaran), kemudahan untuk mendapatkan akses pembiayaan dan membatasi tanggung jawab individu. Bisnis tersebut biasanya dalam bentuk koperasi yang dapat memfasilitasi transaksi bisnis. Upstream and downstream business link adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan beberapa peluang bisnis di bidang produksi pertanian yang terbuka bagi perusahaan besar, kecil maupun menengah.
Teori Ketidakpastian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Charles (2001) menguraikan pentingnya pendekatan sistem bagi pengelolaan perikanan dan kelautan. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan terdapat berbagai macam ketidakpastian sehingga sangat diperlukan pengelolaan yang tepat dan cermat. Karakteristik dari komoditas perikanan sangat berbeda dengan komoditas pertanian, dimana tidak ada satu orang pun yang dapat memastikan berapa banyak sumberdaya perikanan setiap tahunnya, berapa banyak produksi yang harus dihasilkan setiap tahun, atau apa akibatnya terhadap produksi dimasa yang akan datang yang terkait dengan ketersediaan ikan. Sumber ketidakpastian yang luas senantiasa muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah maupun dari sisi manusia dan manajemen. Dampak dari adanya ketidakpastian akan menimbulkan resiko di dalam sistem perikanan, sehingga apabila tidak diatasi akan mengancam sistem perikanan. Sumber-sumber ketidakpastian menurut Charles (2001) meliputi : 1. Sumber ketidakpastian yang bersifat alamiah meliputi ukuran stok dan struktur umur ikan, mortalitas alami, predator-prey, heterogenitas ruang, migrasi, interaksi multispesies dan interaksi ikan dengan lingkungan
13
2. Sumber ketidakpastian yang berasal dari manusia diantaranya harga ikan dan struktur pasar, biaya operasional dan biaya korbanan, perubahan teknologi, sasaran pengelolaan, respon nelayan terhadap peraturan dan perilaku konsumen Sumber ketidakpastian untuk usaha garam muncul karena adanya faktor alamiah yaitu tidak terjadinya proses kristalisasi karena faktor cuaca, sedangkan ketidakpastian yang berasal dari manusia meliputi harga, biaya, teknologi dan respon pelaku usaha terhadap peraturan yang ada. Terdapat 3 macam tipologi ketidakpastian dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Charles 2001) yaitu : 1. Randomness / Process Uncertainty, merupakan tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak). 2. Parameter and State Uncertainty, merupakan ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan parameter atau status yang diestimasi. Tipologi seperti ini dapat dibedakan menjadi tiga macam ketidakpastian : a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variabel perikanan) yang dapat mengakibatkan terjadinya mis-management. b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model system perikanan. c. Estimation uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi. 3. Structural Uncertainty, ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan yang meliputi : a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi pengelolaan perikanan. b. Institutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi, ketidakpastian ”value system” dalam perikanan
Teori Kontrak/Kemitraan Permasalahan krusial dalam kegiatan ekonomi adalah adanya ketidaksetaraan antara pelaku ekonomi yang diwujudkan dalam posisi tawar maupun informasi yang asimetris sehingga terjadi ketimpangan dimana salah satu/beberapa pihak memperoleh keuntungan dan pihak lainnya mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa aktvitas ekonomi tersebut tidak ideal sehingga perlu didesain aturan main (kelembagaan) yang bertujuan untuk membangun kesetaraan antara pelaku ekonomi baik dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi. Untuk dapat mendesain aturan main tersebut sangat diperlukan teori kontrak. Dalam pendekatan ekonomi biaya transaksi basis dari unit analisis adalah kontrak antara kedua pihak yang melakukan hubungan ekonomi. Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain tentunya terdapat konsekuensi tindakan balasan (pembayaran). Furubothn dan Ritcher (2000) membagi teori kontrak kedalam 3 jenis yaitu teori kontrak agen (agency-contract theory), teori kesepakatan otomatis (selfenforcing agreements theory) dan teori kontrak relasional (relational-contract theory). Teori kontrak agen diasumsikan terdapat dua pelaku yang berhubungan
14
yakni prinsipal dan agen. Prinsipal adalah pihak yang memperkerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau layanan yang diinginkan oleh prinsipal, diluar itu prinsipal juga memfasilitasi keberhasilan sebuah aktivitas yang didelegasikan kepada agen. Dalam teori agency diasumsikan kesepakatan dapat ditegakkan secara hukum, maka dalam teori kesepakatan otomatis tidak seluruh transaksi dapat ditegakkan secara hukum. Teori kontrak otomatis didesain untuk memastikan keuntungan untuk berbuat curang lebih rendah dari keuntungan yang diperoleh apabila mematuhi kontrak yang telah disepakati. Dalam hal ini tidak ada pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada kontrak kesepakatan otomatis lebih banyak mencakup norma-norma perilaku ketimbang pembagian risiko. Teori kontrak relasional memainkan peranan penting dalam ekonomi modern dimana permasalahan yang terjadi dalam hubungan kontrak dapat diselesaikan melalui keseimbangan kerjasama dan pemaksaan. Kontrak relasional biasanya diaplikasikan dalam situasi dimana terdapat ketergantungan dua pihak pelaku transaksi karena eksistensi dari transaksi investasi yang spesifik. Kontrak menghubungkan antara satu pelaku dengan mitra lainnya karena adanya asas saling menguntungkan, tetapi pada saat yang sama kontrak berisiko melalui praktik opportunisme, sehingga prosedur penegakan menjadi kunci untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu kesepakatan (Menard, 2000). Kontrak harus dapat mencapai kesepakatan optimal yaitu kontrak didesain sebegitu rupa sehingga pelaku memiliki insentif yang memadai untuk mematuhi kontrak yang telah disepakati. Terdapat 4 aspek yang dapat disimpulkan menjadi faktor pembeda dalam menentukan suatu kontrak yaitu (1) jangka waktu dari kontrak, dimana jangka waktu ini sangat berhubungan dengan atribut biaya transaksi dan sekaligus menggambarkan komitmen dari mitranya, (2) derajat kelengkapan yang meliputi variabel harga, kualitas, aturan keterlambatan dan penalti, (3) mekanisme insentif misalnya upah berdasarkan jam kerja, distribusi bagian kepada pekerja, mengembalikan aset yang dibayarkan kepada pemilik dan sewa yang dibagikan antara mitranya dan (4) prosedur penegakan yang berlaku. Hubungan kontrak akan menjadi efisien jika tingkat harapan manfaat dan keuntungan (rewards) kedua pihak seimbang dengan korbanan masing-masing dan biaya yang minimal untuk pembuatan kontrak atau kesepakatan. Kontrak juga menjadi lebih efisien untuk ditegakkan jika pelaku tidak sepenuhnya bergantung ke pihak lain, karena apabila terjadi maka memudahkan adanya eksploitasi oleh pihak yang menjadi gantungannya. Kontrak juga harus dapat menjamin bahwa keuntungan dari berbuat curang adalah lebih rendah dari manfaat mematuhi kontrak (Yustika, 2010). Teori Pendapatan Analisis pendapatan usahatani pada umumnya digunakan untuk mengevaluasi kegiatan suatu usaha pertanian dalam jangka pendek. Tujuan utama dalam analisis pendapatan adalah untuk mengukur apakah usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Dalam suatu usahatani semakin tinggi tingkat pendapatan maka akan semakin menarik bagi petani untuk mengusahakan usahatani tersebut. Analisis pendapatan memerlukan dua informasi yaitu jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran. Menurut Soekartawi (1985) pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan (input) yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam
15
produksi. Pengeluaran total usahatani mencakup pengeluaran tunai dan pengeluaran tidak tunai. Pengeluaran tunai usahatani (farm payment) adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Nilai kerja yang dibayar dengan benda tidak termasuk pengeluaran tunai. Sedangkan pengeluaran tidak tunai (diperhitungkan) adalah nilai semua input yang digunakan untuk usahatani bukan dalam bentuk uang misalnya nilai barang atau jasa yang untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau kredit. Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya (Soerkatawi 2002). Pendapatan usahatani merupakan ukuran kemampuan usahatani tunai namun besarnya tidak selalu mampu menggambarkan kondisi yang seharusnya. Jika penerimaan dan biaya hanya menggambarkan jumlah uang tunai yang masuk dan keluar, maka hasil pendapatan yang diperoleh petani akan bias, banyak biaya yang dibayarkan secara tidak tunai sehingga perhitungan biaya ini harus dipertimbangkan dalam analisis. Untuk mengetahui tingkat efisiensi usaha dilakukan analisis rasio penerimaan dan total biaya (R/C ratio). Kriteria dari R/C ratio > 1 maka usaha tani tersebut menguntungkan sedangkan apabila R/C ratio = 1 menunjukkan usaha tani tersebut impas.
Teori Ekonomi Biaya Transaksi Ekonomi klasik/neoklasik berasumsi bahwa transaksi bersifat free of cost. Dengan kata lain, transaksi dapat berlangsung mengikuti mekanisme pasar tanpa perlu keluar biaya. Pandangan ini bertolak belakang dengan pemikiran ekonomi kelembagaan baru yang beranggapan sebaliknya. Pasar tidak akan berjalan sempurna bila pelaku ekonomi tidak memiliki informasi mengenai barang yang akan ditransaksikan. Untuk itu, sebagian ekonom berkeyakinan bahwa transaksi dapat berjalan bila ada informasi. Pengumpulan informasi memerlukan biaya. Karena itu, asumsi bahwa transaksi dapat berjalan tanpa biaya menjadi tergoyahkan. Dengan demikian, biaya transaksi menjadi unit analisis penting dalam ekonomi kelembagaan. Teori ekonomi biaya transaksi (transaction cost economics) dikembangkan oleh Ronald Coase, Douglass North dan Oliver Wiliamson (Yustika, 2010). Teori Coase mengklarifikasi tentang biaya transaksi didalam pandangan ekonomi neoklasik. Coase menjelaskan bahwa terjadinya inefisiensi ekonomi bukan hanya disebabkan struktur pasar yang tidak sempurna melainkan karena adanya kehadiran secara implisit biaya transaksi. Oliver Williamson mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya untuk menjalankan sistem ekonomi. Doglas North menyebutnya sebagai biaya untuk menspesifikasi dan memaksakan kontrak yang mendasari pertukaran yang memungkinkan dapat mengutip laba dari perdagangan. Secara ringkas biaya transaksi adalah biaya untuk melakukan negosiasi dan memaksakan pertukaran Biaya transaksi digunakan sebagai alat analisis untuk mengukur efisien tidaknya desain kelembagaan. Semakin tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi berarti kian tidak efisiennya kelembagaan yang didesain. Menurut Williamson (1981) terdapat dua asumsi perilaku dimana biaya transaksi beroperasi, yaitu rasionalitas terbatas (bounded rationality) dan perilaku opportunis. Bounded rasionality merupakan tingkat dan batas kemampuan individu untuk memproses dan menggunakan informasi yang tersedia,
16
implikasinya adalah setiap pelaku ekonomi akan menghadapi informasi yang tidak lengkap. Sedangkan perilaku oportunis adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui praktik yang tidak jujur dalam kegiatan transaksi. Dalam situasi tertentu perilaku oportunis bisa menutup informasi dengan cara mendistori informasi. Jika salah satu pihak memegang informasi secara pribadi pada waktu negosiasi kontrak, maka pihak ini bisa tergoda untuk menyimpangkan informasi demi mendapatkan kontrak yang lebih menguntungkan. Bounded rasionality dan perilaku oportunis dapat digunakan sebagai variabel dalam pengukuran biaya transaksi (Beckman dalam Yustika 2010). Menurut Williamson inti dari dari ekonomi biaya transaksi adalah biaya-biaya yang muncul karena berkenaan dengan keberadaan informasi yang tidak sempurna. Desain kelembagaan pertukaran pada akhirnya akan menetukan seberapa besar tingkat biaya transaksi yang ditimbulkan. Disamping itu menurut Wiliamson besaran biaya transaksi juga dapat diukur dengan adanya penyimpangan dalam wujud (1) lemahnya jaminan hak kepemilikan, (2) penyimpangan pengukuran atas tugas yang kompleks dan prinsip yang beragam, (3) penyimpangan intertemporal yang dapat berbentuk kontrak yang timpang dan ketersembunyian informasi yang panjang, (4) penyimpangan yang muncul karena kelemahan dalam kebijakan kelembagaan dan (5) kelemahan integritas.
Teori Kinerja Pasar (Market Performance) Dalam pandangan ekonomi kelembagaan, kinerja pasar yang kompetitif sebagai outcome dari adanya suatu hubungan kemitraan, dimana bercirikan kemampuan melarang penggunaan oleh yang tidak berhak, dapat dipindahtangankan secara mudah dan diinternalisasi oleh semua pelaku yang terlibat. Suatu pasar yang secara klasik diasumsikan bersifat kompetitif, namun apabila karakteristik kelembagaan tidak memotivasi individu untuk memproduksi, mengkonsumsi dan mengalokasikan barang dengan mudah, maka hal tersebut mencirikan kegagalan pasar, sebaliknya apabila barang yang dihasilkan memenuhi ketiga kriteria tersebut dan kelembagaan terbukti memotivasi perilaku untuk memproduksi dan memasarkan komoditas secara efisien dan mudah maka ekonomi kelembagaan mengasumsikan sebagai pasar yang kompetitif. Efisiensi pemasaran merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi pemasaran dapat tercapai apabila sistem pemasaran dapat memberikan kepuasan bagi pihak-pihak yang terlibat yaitu produsen, lembaga pemasaran dan konsumen akhir. Efisiensi pemasaran dapat diukur dengan dua cara yaitu efisiensi operasional dan harga. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik lainnya. Sedangkan efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjual serta memberikan tanda kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumber daya produksi dari sisi produksi dan tataniaga, (Dahl dan Hammond, 1977). Sepadan dengan Kohls dan Uhls (2002), pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi pemasaran yaitu: (1) efisiensi operasional; dan (2) efisiensi harga. Efisiensi operasional
17
berhubungan dengan penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input pemasaran. Efisiensi operasional biasanya dapat diukur dari margin pemasaran, analisis farmer’s share,analisis rasio keuntungan atas biaya serta analisis fungsi-fungsi pemasaran. Sedangkan efisiensi harga mengukur seberapa kuat harga pasar menggambarkan sistem produksi dan biaya pemasaran. Dengan menggunakan konsep biaya, suatu sistem pemasaran dikatakan efisien bila dapat dilaksanakan dengan biaya yang rendah. Dahl dan Hammond (1977), menyatakan bahwa marjin pemasaran menggambarkan perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran (Pr) dengan harga di tingkat produsen (Pf). Nilai marjin pemasaran (value of marketing margin) merupakan perkalian antara margin pemasaran dengan volume produk yang terjual [(Pr – Pf). Qrf] yang mengandung pengertian marketing cost dan marketing charge. Jadi pendekatan terhadap nilai marjin pemasaran dapat melalui returns to factor (marketing cost) yaitu penjumlahan dari biaya pemasaran, yang merupakan balas jasa terhadap input yang digunakan seperti tenaga kerja, modal, investasi yang diberikan untuk lancarnya proses pemasaran dan input-input lainnya, serta dengan pendekatan returns to institution (marketing charge), yaitu pendekatan melalui lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses penyaluran atau pengolahan komoditi yang dipasarkan. Gambar 3 terlihat bahwa marjin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayarkan konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf).
Harga (P) Sr Sf Pr Marjin Pemasaran
Pf
Dr Df
Qr,f
Jumlah Produk (Q)
Gambar 3 Marjin pemasaran Sumber : Dahl dan Hammond (1977)
Keterangan : Pf : Harga di tingkat petani Pr : Harga di tingkat pedagang Sf : Kurva penawaran petani Sr : Kurva penawaran pedagang Df : Kurva permintaan petani Dr : Kurva permintaan pedagang Qr, f : Jumlah keseimbangan ditingkat petani dan pedagang
18
Besar kecil marjin pemasaran sering digunakan sebagai kriteria untuk menilai apakah pasar tersebut sudah atau tidak efisien. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses pemasaran antara lain ketersediaan fasilitas fisik pemasaran yaitu pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain. Konsep marjin pemasaran erat kaitannya dengan bagian harga yang diterima pertani atau farmer’s share. Farmer’s share merupakan bagian harga dari konsumen yang diterima petani yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang berlaku ditingkat konsumen dinikmati oleh petani. Farmer’s share (FS) didapatkan dari hasil bagi antara Pf dan Pr, dimana Pf adalah harga di tingkat petani dan Pr adalah harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Besarnya farmer’s share biasanya dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan, (2) biaya transpotasi, (3) keawetan, dan (4) jumlah produk (Kohls dan Uhl, 1990) Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem pemasaran, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan produknya. Farmer’s share mumpunyai hubungan negatif dengan marjin pemasaran. Sehingga semakin tinggi marjin pemasaran, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah. Pengukuran efisiensi pemasaran pada usaha garam rakyat didasarkan pada efisiensi operasional dimana pemasaran akan efisien bila penggunaan biaya pemasaran rendah dan petani memiliki bagian (share) paling besar terhadap harga yang diterima konsumen akhir. Analisis efisiensi pemasaran usaha garam rakyat menggunakan pendekatan margin pemasaran dan farmer’s share.
Teori Perubahan Kelembagaan Kelembagaan memiliki sifat dinamis, dimana kelembagaan dapat berubah seiring perkembangan waktu. terdapat dua dimensi dalam terjadinya perubahan kelembagaan yaitu 1) adanya perubahan kepentingan antar pelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan dan 2) perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mengatur kegiatan ekonomi. Perubahan kelembagaan bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi antar pelaku ekonominya. Perubahan kelembagaan terjadi disebabkan karena munculnya masalah kelangkaan dan perilaku yang sulit ditebak. Kelangkaan disini tidak sekedar persoalan keterbatasan sumberdaya (ekonomi) yang tersedia namun juga keterbatasan aturan main yang mengakibatkan pelaku ekonomi tidak memiliki akses untuk melakukan transaksi secara sepadan. Sedangkan menyangkut perilaku individu yang sulit dikontrol seperti perilaku oportunis, perubahan kelembagaan harus dilakukan supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Terdapat dua cara yang berbeda untuk menganalisis perubahan kelembagaan yaitu : (1) melihat aspek biaya dan manfaat dan meyakini bahwa kekuatan motif seperti perubahan harga relatif dalam jangka panjang dapat membangun kelembagaan yang efisien, (2) perubahan kelembagaan dianalisis
19
berdasarkan hasil dari perjuangan antara kelompok kepentingan yang berharap mendapatkan pembagian lebih baik didalam pemanfaatan sumber daya dan distribusi pendapatan (Yustika 2008). Selain itu perubahan kelembagaan dapat dilakukan dengan formalisasi penulisan kembali peraturan, mengkomunikasikan perubahan kepada mereka yang dipengaruhi dan mengawasi serta menegakkan perilaku yang bertentangan dengan aturan baru yang telah disepakati. Menurut para ahli ekonomi kelembagaan tuntutan efektif terhadap perubahan kelembagaan pada dasarnya digunakan untuk mengubah (menurunkan) biaya transaksi. Setiap perubahan kelembagaan diperlukan alat ukur dan variabel yang terfokus sehingga memudahkan setiap pengambil kebijakan merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. North (1990) memetakan perubahan kelembagaan menjadi dua tahap yaitu peningkatan pendapatan dan pasar tidak sempurna yang mengakibatkan tingginya biaya transaksi. Dalam kasus ekspektasi atas peningkatan pendapatan, perubahan kelembagaan didasari atas besarnya manfaat yang diterima lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan, sedangkan dalam kasus pasar yang tidak sempurna yaitu adanya informasi yang asimetris maka perubahan kelembagaan bereaksi terhadap transaksi yang tidak efesien. Perubahan kelembagaan ini dapat dikerjakan melalui koordinasi pasar maupun organisasi. Kerangka Pemikiran Operasional Kelembagaan adalah suatu instrumen yang dibuat oleh manusia untuk mengatur interaksi/hubungan antara individu atau kelompok, dilengkapi dengan aturan penegakan dan sanksi terhadap pelanggaran dan perilaku oportunis. Hubungan kemitraan merupakan suatu bentuk kelembagaan karena adanya sifat saling ketergantungan. Pada usaha garam rakyat, terdapat kemitraan antara penggarap dengan pemilik lahan, pemilik lahan/ pemilik sekaligus penggarap dengan pedagang perantara dan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan. Selama ini tidak ada kemitraan secara langsung antara petani dengan perusahaan pengolah garam di Rembang. Petani lebih memilih menjual hasil produksinya kepada pedagang perantara karena tidak memerlukan biaya transportasi dan pergudangan, selain itu adanya kemudahan bantuan pinjaman modal yang diberikan oleh pedagang perantara memperkuat ikatan kemitraan antara petani dengan pedagang perantara. Petani sangat terbantu dengan keberadaan pedagang perantara, namun menurut Rocwulaningsih (2008) pedagang perantara cenderung menetapkan harga secara sepihak. Hal ini terjadi karena tidak adanya mekanisme aturan main yang lengkap. Kondisi demikian menunjukkan bahwa kemitraan yang terjalin dalam usaha garam rakyat belum ideal karena masih terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan. Kebijakan atas penetapan harga dasar garam yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan tidak berjalan efektif di Kabupetan Rembang. Kebijakan lain berupa program pemberdayaan usaha garam rakyat dengan memberikan bantuan langsung ke masyarakat dalam bentuk peralatan produksi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan mampu meningkatkan produksi garam petani, namun peningkatan produksi ini tidak dilengkapi dengan lembaga penyangga yang dapat mengontrol harga, sehingga terjadi over supply yang dampaknya adalah harga garam ditingkat petani semakin rendah. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pelaku pemasaran untuk mengambil keuntungan sebesar-
20
besarnya. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang saat ini dilakukan pemerintah belum mampu memperbaiki interaksi ekonomi diantara pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang. Berdasarkan kondisi diatas maka hipotesis penelitian menyatakan bahwa adanya indikasi kegagalan pasar dan tidak efektifnya kebijakan pemerintah untuk memperbaiki interaksi ekonomi antar pelaku usaha garam rakyat di Rembang maka diperlukan perbaikan struktur ekonomi dengan merumuskan model bisnis kemitraan untuk usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang. Sebelum merumuskan model bisnis kemitraan yang lebih baik bagi pelaku usaha garam rakyat maka perlu dianalisis kinerja kelembagaan kemitraan yang ada saat ini. Menurut Schmid (1987), kinerja kelembagaan dapat diukur dari kebebasan melakukan pilihan untuk bertransaksi dan tercipatnya efisiensi (pilihan untuk mengoptimalkan pengeluaran dan pemasukan). Dengan demikian maka evaluasi kinerja kemitraan yang saat ini dijalankan oleh pelaku usaha garam rakyat akan diukur berdasarkan (1) analasis karakteristik kelembagaan untuk mengetahui pola interaksi (bentuk kemitraan, pembagian risiko, identifikasi perilaku oportunis dan mekanisme penegakan) yang terjalin antara petani, pedagang perantara dan pengolah, (2) analisis pendapatan untuk mengetahui tingkat pendapatan dan keuntungan relatif dari masing-masing pelaku usaha garam rakyat, (3) analisis biaya transaksi untuk mengetahui efektivitas kerja kelembagaan yang dijalankan saat ini dan (4) analisis efisiensi pemasaran dengan membandingkan sebaran marjin antar pelaku pemasaran dan share harga yang diterima petani. Dari keempat analisis ini akan dapat dirumuskan model bisnis yang ideal bagi usaha garam rakyat. Pengertian ideal disini adalah kemitraan yang terbentuk harus menjamin bahwa masing-masing pelaku usaha diuntungkan dan tidak ada pihak yang dirugikan sehingga kemitraan (kerjasama ekonomi) layak untuk dilakukan secara berkelanjutan. Kerangka operasional dari penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Aturan dan norma yang diterapkan (kelembagaan)
Aktor /Pelaku kemitraan Petani - Pedagang Perantara - pengolah
Pola interaksi antara pelaku kemitraan
- Manfaat ekonomi (Margin & Pendapatan)
- Biaya transaksi
Evaluasi performa kelembagaan kemitraan -
Peningkatan pendapatan Biaya transaksi menurun Efisiensi pemasaran Perbaikan kontrak (kesepakatan kerjasama)
Rekomendasi model bisnis usaha garam rakyat berbasis kemitraan
Kemitraan berkelanjutan
Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional model bisnis usaha garam rakyat
21
4 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang secara purposive dilakukan di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Rembang merupakan satu dari tujuh wilayah sentra garam. Selain itu penelitian terkait usaha garam di Kabupaten Rembang masih sangat terbatas. Pengumpulan data primer dilakukan pada bulan Februari 2013
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui tehnik wawancara dengan menggunakan kuesioner dan focus group discussion dari pelaku yang terlibat dalam kemitraan, sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan instansi lainnya serta hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian dan sumber lainnya. Data primer yang dikumpulkan berupa data karakteristik kelembagaan (aturan main, hubungan kontraktual, perilaku oportunis), pemasaran garam, struktur biaya dan penerimaan di sepanjang rantai nilai usaha garam rakyat. Sedangkan data sekunder mencakup keadaan umum daerah, konsep pengembangan usaha garam rakyat dan dokumen pendukung lainnya.
Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel menggunakan tehnik penelusuran (snowball sampling). Snowball sampling digunakan untuk menentukan responden yang telah melakukan kemitraan. Dalam tehnik ini penentuan informan berikutnya berasal dari informan awal (informan kunci) dan begitu seterusnya. Tehnik pengumpulan data dimulai dengan mengobservasi 4 perusahaan pengolahan garam yang saat ini ada di Kabupaten Rembang berikutnya ditentukan responden secara purposive sampling dari masing-masing pedagang perantara yang melakukan mitra dengan keempat industri pengolah tersebut. Responden untuk pedagang perantara ditentukan berdasarkan jumlah pemasok terbesar dan telah melakukan kemitraan lebih dari 3 tahun. Total responden pedagang perantara sebanyak 6 orang, kemudian responden petani dipilih secara purposive sampling dari masing-masing mitra pedagang perantara. Responden petani dipilih berdasarkan peran dan pengaruhnya terhadap usaha (misalnya ketua kelompok tani) dan telah melakukan kemitraan lebih dari 3 tahun. Jumlah pedagang perantara yang menjadi responden dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak 6 orang dan pedagang pengumpul besar sebanyak 2 orang. Jumlah keseluruhan responden petani dalam penelitian ini sebanyak 30 orang terdiri dari pemilik lahan sebanyak 4 orang, penggarap 14 orang dan pemilik lahan sekaligus penggarap sebanyak 12 orang. Guna melengkapi informasi terkait karakteristik kelembagaan dilakukan juga wawancara dengan stakeholder terkait
22
seperti petugas pendamping (penyuluh) dan Kepala bidang yang menangani garam di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rembang. Secara rinci responden pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah responden dalam penelitian No Responden
Jumlah
1
Perusahaan
4 unit
2 3
Pedagang peratara Petani
6 orang 30 orang
4
Pedagang pengumpul besar Petugas pendamping Pejabat Pemerintah Daerah
2 orang
5 6
3 orang 1 orang
Keterangan PT Apel Merah, PT Ndandut Ria, PT Garam Mas dan PT Suka Maju Pemilik lahan (4), penggarap (14), petani sekaligus penggarap (12)
Penyuluh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rembang
Tehnik Pengolahan dan Analisis Data Analisis penelitian dilakukan untuk dapat merumuskan model bisnis berbasis kemitraan yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas interaksi/transaksi ekonomi dalam rantai nilai usaha garam rakyat menuju keseimbangan baru yang lebih efisien dan berkeadilan. Untuk merumuskan model bisnis tersebut terlebih dahulu dilakukan analisis karakteristik kelembagaan dan kinerja kemitraan yang selama ini telah berjalan.
Analisis Karakteristik Kelembagaan Identifikasi data dan analisis dilakukan secara deskriptif, tabulasi dan grafis berdasarkan hasil olahan data yang diberikan responden. Karakteristik kelembagaan yang dianalisis mencakup aturan yang dipergunakan (formal dan informal), pelaku yang terlibat (petani, pedagang perantara dan perusahaan pengolah), bentuk kontraktual antar pelaku, identifikasi konflik dan analisis perilaku oportunis pasca kontrak Analisis Kinerja Kelembagaan Analisis ini ditujukan untuk membuktikan apakah kemitraan usaha garam rakyat ada yang saat ini telah berjalan efisien bagi setiap pelaku usaha yang terlibat dalam rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang. Analisis kinerja kelembagaan kemitraan terdiri dari : a.
Analisis Pendapatan Penelitian ini akan menghitung besarnya pendapatan petani garam, pedagang perantara dan perusahaan pengolahan garam, dengan persamaan :
23
Π = TR – TC dimana : π (Pendapatan) TR (Total Revenue) TC (Total Cost)
: Pendapatan : Total Penerimaan : Total Biaya
Sementara untuk melihat berapa penerimaan yang diperoleh petani dari setiap rupiah yang telah dikeluarkan untuk usahataninya dilakukan analisis R/C ratio. Adapun rumus R/C ratio sebagai berikut :
R/C ratio = TR/TC dimana kriteria keputusan yang digunakan untuk melihat hasil analisis R/C ratio yaitu R/C ratio > 1 : usahatani menguntungkan, R/C ratio < 1 : usahatani rugi dan R/C ratio = 1 : usahatani impas (Soekartawi 2002)
b.
Analisis Biaya Transaksi Biaya transaksi (TrC) mencakup biaya (1) biaya asimetris informasi yaitu apabila salah satu pihak transaksi memiliki informasi yang terbatas tentang pembelian dan penjualan potensial daripada yang lain dan (2) Biaya implementasi atas kesepakatan kelembagaan dan (3) biaya pengawasan untuk menghindari terjadinya penyimpangan (North 1990, Williamson 1981). Secara matematis rumus untuk biaya transaksi yaitu : j
TrC j = ∑ Z ij i=1
dimana : TrCj : Total Biaya transaksi Z1j : Biaya asimetris informasi (selisih harga yang dibayarkan pedagang perantara dengan harga pasar yang ditanggung petani ) Z2j : Biaya kesepakatan kelembagaan (pemberian pinjaman modal, biaya penyediaan sarana produksi, biaya pelaksanaan kontrak kerja) Z3j : Biaya pengawasan (biaya pemantauan proses produksi dan pemasaran) Tingkat efisiensi ekonomi usaha petani garam dilihat dari rasio nilai biaya transaksi terhadap penerimaan. Rasio biaya tansaksi dan penerimaan dihitung dengan rumus : Z ij = TrC j Bj dimana : Z ij : Nilai rasio biaya transaksi (Rp/tahun) TrC j : Total Biaya transaksi (Rp/tahun) B j : Penerimaan (Rp/tahun)
24
c.
Analisis Marjin Pemasaran Efisiensi pemasaran dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan margin pemasaran. Dahl dan Hammond (1977) menjelaskan marjin pemasaran dihitung dari harga ditingkat petani dengan harga ditingkat lembaga pemasaran. Sementara besarnya bagian yang diterima petani akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan farmer’s share. Secara matematis marjin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut : M = Pr – Pf dimana : M: Marjin Pemasaran garam Pr : Harga garam di tingkat konsumen (Rp/ton) Pf : Harga garam ditingkat petani (Rp/ton) Untuk margin pada setiap lembaga pemasaran dapat diketahui dengan jalan menghitung selisih harga jual dengan harga beli pada setiap tingkat lembaga pemasaran. Dalam penelitian ini hanya dibatasi antara petani-pedagang perantaraindustri pengolah/pedagang pengumpul besar. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : Mm = Ps – Pb dimana : Mm : Marjin Pemasaran pada setiap tingkat lembaga pemasaran (Rp/ton) Ps : Harga jual garam pada setiap tingkat lembaga pemasaran (Rp/ton) Pb : Harga beli garam pada setiap lembaga pemasaran (Rp/ton) Salah satu ukuran yang perlu diperhatikan dalam analisis marjin adalah persentase bagian yang diterima produsen (petani garam) dari harga konsemen akhir. Untuk menentukan nilai farmer share adalah sebagai berikut : FS = Pf x100% Pr dimana : Fs : Bagi harga yang diterima petani garam (Rp/ton) Pf : Harga garam di tingkat petani garam (Rp/ton) Pr : Harga garam ditingkat konsumen akhir (Rp/ton)
Perumusan Model Bisnis Perumusan model bisnis pada kemitraan usaha garam rakyat berdasarkan : 1. Memetakan perubahan kelembagaan yang mampu memperbaiki transaksi ekonomi (North, 1990) yaitu terwujudnya peningkatan pendapatan, penurunan biaya transaksi dan tercapainya efisiensi pemasaran. 2. Memformalisasikan kelembagaan (peraturan, aturan main) berdasarkan pareto improvement yaitu perubahan kelembagaan memberikan perbaikan kepada pelaku usaha namun tidak memberikan kerugian kepada pihak lain
25
5 GAMBARAN UMUM USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN Kabupaten Rembang merupakan kabupaten yang terletak di pantai utara Provinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah sekitar 1 014 km2 dan panjang pantai 63.5 km. 35 persen dari luas wilayah Kabupaten Rembang merupakan kawasan pesisir atau seluas 355.95 km2. Secara geografis Kabupaten Rembang terletak diantara 1110 00’ sampai 1110 30’ bujur timur dan 060 30’ sampai 070 00’ lintang selatan. Adapun batas-batas geografis Kabupaten Rembang sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Blora; di sebelah barat dengan Kabupaten Pati; di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tuban, dan di sebelah utara berbatasaan dengan Laut Jawa. Secara administrasi, Kabupaten Rembang terbagi dalam 14 kecamatan, 287 desa dan 7 kelurahan dengan luas wilayah secara keseluruhan 101 408 283 hektar. 14 wilayah kecamatan terdiri dari 6 kecamatan pantai dan 8 kecamatan pedalaman yaitu Rembang, Kaliori, Sumber, Sulang, Sale, Bulu, Gunem, Lasem, Sluke, Pancur, Pamotan, Sedan, Kragan, dan Sarang. Kabupaten Rembang memiliki kondisi iklim yang relatif panas. Kecepatan angin rata-rata tahunan berkisar antara 0.97 sampai 3.3 km/jam dengan rata-rata perbulan 2.09 km/jam. Kecepatan angin rata-rata ini masih dibawah kriteria yang dipersyaratkan untuk area penggaraman yang sebesar 15 sampai 25 km/jam. Kelembaban rata-rata di kabupaten Rembang tercatat relatif tinggi dimana kelembaban berkisar antara 36.4 sampai 66.7 persen sedangkan kelembaban ratarata bulanan sebesar 55.25 persen. Rata-rata curah hujan tahunan di Kabupaten Rembang sebanyak 1.500 mm, kondisi ini diatas ambang batas yang dipersyaratkan untuk area penggaraman maksimal 1.300 mm, kondisi curah hujan yang tinggi berpengaruh pada proses penguapan
Kondisi Usaha Tambak Garam Rakyat Berdasarkan letak Kabupaten Rembang sektor perikanan dan kelautan merupakan sektor yang paling diunggulkan, terutama untuk komoditas garam. Kondisi geografis dan ekologis kawasan pantai Kabupaten Rembang sangat potensial bagi usaha tambak garam. Dari 14 wilayah kecamatan terdapat 5 kecamatan yang merupakan penghasil garam yaitu Rembang, Kaliori, Lasem, Sluke dan Sarang. Total luas lahan garam di 5 kecamatan tersebut sebesar 1 988.3 Ha, dimana lahan terbanyak terdapat di wilayah kecamatan Kaliori (1 210.79 Ha), kemudian diikuti dengan Lasem (458.24 Ha), Rembang (252.44 Ha), Sarang (44.09 Ha) dan Sluke (14.15 Ha). Pada tahun 2012 lahan garam yang telah dimanfaatkan sebanyak 1 714.3 Ha sehingga masih dapat dilakukan ekstensifikasi lahan seluas 283.99 Ha. Pada Gambar 5 menunjukkan total pemanfaatan lahan garam dan potensi lahan yang belum dimanfaatkan per masing-masing kecamatan (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rembang 2012).
Luas Lahan (Ha)
26
Potensi pengembangan (Ha) Pemanfaatan lahan (Ha)
1200 1000 800 600 400 200 0 Kaliori
Lasem
Rembang
Sluke
Sarang
Kecamatan
Gambar 5 Luas lahan garam per kecamatan di Kabupaten Rembang. Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang (2012)
Jumlah petani garam di Kabupaten Rembang pada tahun 2012 sebanyak 5 178 orang yang terdiri dari pemilik lahan sebanyak 1 058 orang dan petani penggarap sebanyak 4 120 orang. Petani garam dibedakan atas (1) pemilik lahan yang tidak mengusahakan garamnya dan menyerahkan lahanya kepada penggarap dengan sistem bagi hasil, (2) pemilik lahan sekaligus penggarap yang menggarap lahannya dengan dibantu oleh beberapa orang tenaga kerja tergantung luas garapan, umumnya 1 ha garapan dikelola oleh 2 orang (3) penggarap yang merupakan petani yang tidak memiliki lahan dan menggarap lahan orang lain. Pada Gambar 6 dapat dilihat petani garam di Rembang didominasi oleh penggarap, sedangkan pemilik lahan jumlahnya hanya sedikit disebabkan semakin terbatasnya ketersediaan lahan garam. Jumlah petani garam menurun pada tahun 2010 disebabkan fator cuaca yang tidak mendukung untuk memproduksi garam. Pada tahun 2012 telah teridentifikasi sekitar 3 580 petani garam yang telah terbentuk dalam kelompok. Total kelompok sebanyak 358 kelompok dengan anggota kelompok masing-masing sebanyak 10 orang. Sebagian besar merupakan kelompok yang baru terbentuk dengan tujuan untuk mengakomodir persyaratan atas bantuan pemberdayaan dari program pemerintah.
6000
Orang
5000 4000 3000
Penggarap
2000
Pemilik lahan
1000 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun
Gambar 6. Jumlah petani pemilik dan penggarap di Kabupaten Rembang Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang (2012)
27
Proses produksi garam di Kabupaten Rembang sangat mengandalkan sinar matahari, sehingga proses produksi hanya berlangsung pada saat musim kemarau yaitu pada bulan Juli hingga November. Teknologi yang digunakan juga sangat sederhana tanpa sentuhan teknologi tinggi seperti kincir angin dan ebor untuk memindahkan air dari petakan ke petakan yang lain, silinder atau gilidan yang digunakan untuk mengeraskan meja garam dan garuk yang digunakan dalam proses pemanenan. Satu-satunya alat mekanis adalah mesin diesel yang digunakan petani untuk menyedot air laut dari saluran air agar bisa masuk kedalam petak penampungan. Aktifitas produksi garam dimulai dengan menormalisasikan saluran dari laut, kemudian dengan memanfaatkan mesin diesel, air laut ditarik untuk masuk kedalam petakan-petakan. Petakan dibagi menjadi 3 bagian yaitu petakan penampung air, petakan peminihan untuk mengalirkan air tua dan petakan meja garam yang digunakan untuk proses kristalisasi garam. Petakan peminihan dibagi lagi menjadi 6-8 petak dan petakan meja garam sebanyak 6-8 petak dengan asumsi satu lahan garapan seluas 1 ha. Untuk mengalirkan air antar petakan masing-masing petani menggunakan alat yang berbeda. Petani di wilayah Lasem menggunakan pipa paralon dengan ukuran 2 dim dan 1 dim, petani di Dusun Dresikulon Kaliori menggunakan selang, dan petani di Dusun Puworejo menggunakan bambu atau hanya sekedar lubang untuk saluran air. Perbedaan ini ditentukan oleh faktor modal yang dimiliki masing-masing petani. Proses pembuatan garam diawali dengan memasukan air laut kedalam kolam penampungan melalui mesin diesel, kemudian air laut dialirkan kedalam kolam peminihan selama 10 hari hingga mencapai 22 Be kemudian dialirkan ke meja garam untuk proses kritalisasi garam. Apabila sampai dengan 10 hari kadar NaCL air belum mencapai 22 Be maka air dialirkan kembali kesaluran air dan masuk kembali ke kolam peminihan. Garam yang telah mencapai kadar 28 Be siap dipanen. Air tua yang memiliki salinitas lebih dari 29 Be merupakan limbah dan dibuang. Alat pengukur kadar garam dengan menggunakan Beumemeter. Untuk mengalirkan air dari saluran air peminihan ke meja garam menggunakan kincir angin, namun sebagian kecil petani garam menggunakan peralatan ebor seperti timba. Lamanya proses persiapan hingga proses pemanenan berlangsung kurang lebih selama 1 bulan, dimana persiapan saluran dan petakan sekitar 14 hari, proses peminihan berlangsung selama 10 hari dan proses kristalisasi garam berlangsung antara 3 hingga 7 hari. Setelah itu panen dapat berlangsung 3-4 hari dengan mengatur jadwal panen per petakan meja garam. Proses produksi garam dapat dilihat pada Gambar 7.
Pompa untuk menyedot air laut dari saluran
Bak penampungan air laut (Waduk) untuk pengendapan partikel lumpur (salinitas 3-3,5 Be)
Kolam peminihan 1 untuk pengendapan CO2 lumpur (salinitas 3-3,5 Be)
Kolam Peminihan 2 untuk pengendapan Ca (salinitas 15 Be)
Air bitter (senyawa Mg) dibuang salinitas > 29 Be
Kolam kristalisasi garam 2 (salinitas 28 Be)
Kolam kristalisasi garam 1 (salinitas 25 Be)
Gambar 7 Proses produksi garam di Kabupaten Rembang.
28
Proses produksi ini telah dilakukan secara turun temurun. Penerapan teknologi baru seperti geomembran masih dirasakan belum diperlukan bagi petani contoh. Dari 30 responden petani hanya 3 orang yang mengetahui informasi terkait manfaat geomembran, sisanya belum pernah mendengar. Dari 3 orang yang mengetahui geomembran menyatakan bahwa teknologi tersebut tidak diperlukan karena yakin bahwa jumlah garam yang dihasilkan sangat tergantung cuaca dan kualitas yang dihasilkan sangat tergantung oleh kualitas lahan dan lamanya hari panen. Sedangkan bagi petani contoh yang baru mendengar geomembran tidak begitu tertarik untuk mengetahui lebih mendalam manfaat teknologi tersebut karena menganggap proses produksi yang telah dilakukan selama turun temurun sudah cukup baik.
Gambar 8 Lahan garam di Kabupaten Rembang.
Produksi garam di Kabupaten Rembang untuk 1 ha lahan garapan menghasilkan 1-2 ton perharinya. Umumnya petani menghasilkan garam kualitas 2 yang diistilahkan oleh para petani adalah jenis UP yaitu umum putih sedangkan untuk garam kualitas 1 dikenal sebagai garam premium. Hanya sedikit petani yang bersedia memproduksi garam dengan kualitas 1. Terdapat tiga alasan yang dikemukakan oleh petani contoh untuk lebih memilih memproduksi kualitas 2 yaitu (1) karena petani membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari, apabila memproduksi kualitas 1 membutuhkan waktu selama 5 hingga 7 hari baru bisa panen, sedangkan untuk menghasilkan kualitas 2 cukup membutuhkan 3 hingga 4 hari untuk panen, (2) Selisih harga jual yang tidak terlalu besar, harga garam kualitas 1 dengan kualitas 2 hanya selisih sekitar 40-50 rupiah, sehingga tidak memberikan insentif bagi petani untuk tertarik menghasilkan kualitas 1, (3) kualitas lahan garapan, jika lahan garam memiliki dasar berpasir maka mudah untuk menghasilkan kualitas 1 sedangkan untuk lahan garap dengan dasar lahan tanah sangat tidak memungkinkan untuk menghasilkan garam dengan kualitas 1. Dari 30 petani garam yang digunakan sebagai responden diketahui kualitas garam yang dihasilkan petani contoh sebagian besar adalah kualitas 2 dan hanya 2 orang yang menghasilkan kualitas 1. Perbedaan antara kualitas 1 dan 2 yaitu pada besaran butiran garam, kejernihan warna garam dan jumlah kandungan NaCL dan air. Tabel 3 menunjukkan perbedaan kualitas garam yang dihasilkan oleh petani dengan garam berstandar nasional
29
Tabel 3 Perbedaan kualitas garam No Uraian SNI Garam Rakyat (KP1) (KP2) 1 Visual a. Bentuk Kristal Besar Kecil-Besar b. Keselarasan Keras Rapuh-Cukup Keras c. Warna Putih Putih agak buram / Putih Kekuningan 2 Komposisi a. NaCL (%) >94.7 80-95 b. Air (%) <7 7-11 c. As (ppm) < 0.1 n/a d. Hg (ppm) < 0.1 n/a e. Cu (ppm) < 10 n/a f. Pb (ppm) < 10 n/a Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011
Total produksi garam (ton)
Total produksi garam di Kabupaten Rembang pada tahun 2012 sebesar 163 487.43 ton. Produksi terbesar adalah kecamatan Kaliori sebesar 100 855.9 ton, diikuti Kecamatan Lasem sebesar 44 668.42 ton, Rembang sebesar 34 446.1 ton, Sarang 4 044 ton dan Sluke 2 517.5 ton. Berdasarkan data tahunan produksi garam pada tahun 2012 diketahui produksi garam baru dihasilkan pada bulan Juli hingga November sedangkan pada bulan desember hingga juni garam tidak diproduksi. Hal ini disebabkan aktivitas produksi garam sangat tergantung oleh cuaca, sehingga proses produksi hanya bisa berlangsung pada musim kemarau. Gambar 9 memperlihatkan bahwa panen raya di Kabupaten Rembang terjadi pada bulan Agustus dengan total produksi mampu mencapai 53 574.67 ton. Produksi garam yang dihasilkan petani berupa garam krosok tanpa melalui proses pengolahan.
60000 50000 40000 30000 20000 10000 0
Bulan produksi garam tahun 2012
Gambar 9. Data produksi garam tahun 2012 di Kabupaten Rembang Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang (2012)
30
Aktivitas Pengolahan Garam di Kabupaten Rembang Proses pengolahan garam baru dilakukan pada saat garam masuk ke pabrik. Garam krosok yang dihasilkan petani diolah menjadi garam briket dan halus melalui beberapa tahapan. Untuk menghasilkan garam briket tahap awal garam dicuci hingga 3 kali dengan tujuan bahan baku garam menjadi bersih dan warna menjadi lebih putih, kemudian ditiriskan, setelah garam agak kering dengan kadar air sekitar 5 hingga 7 persen kemudian dimasukkan ke mesin penyelipan yang berfungsi untuk menghaluskan garam, setelah garam menjadi halus di semprotkan yodium secara merata. Pemberian yodium menjadi syarat wajib bagi industri garam konsumsi dengan ketentuan minimum yodium 30ppm. Setelah itu garam dicetak, ada dua tehnik pencetakan yaitu pencetakan dengan menggunakan mesin dan pencetakan dengan alat cetak manual yang terbuat dari baja. Cetakan dengan mesin mampu memproduksi garam briket 10 kali lipat dibandingkan secara manual. Rata-rata produksi garam briket per hari dengan menggunakan mesin mampu mengolah hingga 10 ton bahan baku garam, sedangkan garam yang dicetak manual hanya mencapai 1 ton per hari. Beberapa perusahaan yang masih menggunakan cetakan manual menyebutkan bahwa cetakan manual masih dipertahankan karena keterbatasan mesin yang dimiliki. Garam yang telah dicetak kemudian dipanaskan melalui oven. Proses pemanasan bertujuan untuk memanaskan garam sehingga menghilangkan kadar air dalam garam. Untuk menghasilkan garam halus tahapannya hampir sama, perbedaan hanya pada oven yang digunakan. Pada garam briket oven yang digunakan merupakan bangunan bata berukuran 4m2 yang dipanaskan dengan api, sedangkan untuk garam halus menggunakan alat pemanas khusus yang terbuat dari tembaga berbentuk cerobong. Setelah proses pemanasan garam siap dikemas dan dipasarkan. Proses pembuatan garam dapat dilihat pada Gambar 10 . Garam dicuci dan ditiriskan
Garam siap dikemas
Garam dihaluskan dengan mesin selip
Garam disemprotkan yodium
Garam dipanaskan dengan oven untuk mengurangi kadar air
Garam dicetak dengan mesin pencetak/ alat cetak manual
Gambar 10. Proses pembuatan garam briket di Kabupaten Rembang
Kabupaten Rembang memiliki 5 perusahaan pengolahan garam yang seluruhnya berlokasi di Kecamatan Kaliori. Ke lima perusahaan tersebut menghasilkan garam briket dan halus. Tiga perusahaan terbesar adalah PT. Apel Merah, PT. Garam Mas dan PT. Ndandut Ria dengan kapasitas produksi masingmasing sebesar 50 ton/hari, sedangkan PT. Sukamaju dan PT. Finaba Mandiri memiliki kapasitas produksi sebesar 25 ton/hari. Adapun jumlah perusahaan garam rakyat di Kabupaten Rembang cenderung menurun, pada tahun 1990 terdapat 12 perusahaan, pada tahun 2000 berkurang menjadi 6 perusahaan dan saat ini hanya terdapat 5 perusahaan (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rembang 2012). Kapasitas produksi dari masing-masing perusahaan pengolahan
31
garam briket dan halus yang terdapat di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kapasitas produksi perusahaan pengolahan garam briket dan halus Nama Perusahaan Lokasi PT. Apel Merah Desa Purworejo, Kec Kaliori PT. Garam Mas Desa Tambakagung, Kec Kaliori PT. Ndandut Ria Desa Purworejo, Kec Kaliori PT. Suka Maju Desa Purworejo, Kec Kaliori PT. Finaba Mandiri Desa Dresi Kulon, Kec Kaliori Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan, 2013
Kapasitas Produksi 50 ton/hari 50 ton/hari 50 ton/hari 25 ton/hari 25 ton/hari
Gambar 11. Produk garam briket dan halus
Aktivitas Pemasaran Garam Rakyat Saluran pemasaran garam melibatkan enam lembaga pemasaran yaitu penggarap, pemilik lahan, pemilik lahan sekaligus penggarap, pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pedagang pengumpul besar. Masing-masing lembaga pemasaran melakukan fungsi pemasaran yang berbeda. Fungsi pemasaran merupakan aktivitas-aktivitas yang ditampilkan oleh perusahaan atau organisasi ketika menciptakan nilai (value) secara spesifik untuk produk atau jasa yang ditawarkannya. Menurut Kohls dan Uhl (2002) fungsi pemasaran dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu fungsi pertukaran (pembelian, penjualan), fungsi fisik (pengolahan, pengangkutan, penyimpanan), dan fungsi fasilitas (standarisasi, penanggungan risiko, pembiayaan, informasi pasar). Pada petani garam terdapat fungsi pertukaran yaitu penjualan dan fungsi fasilitas berupa penanggungan risiko apabila cuaca tidak mendukung maka bisa saja terjadi gagal panen seperti pada tahun 2010. Fungsi penanggungan biaya juga dialami oleh petani yang meminjam uang kepada pedagang pengumpul, dimana petani harus membayar pinjamannya walaupun tanpa bunga namun petani harus menerima harga jual garam dibawah harga yang seharusnya diterima. Selanjutnya, fungsi fasilitas lainnya yaitu informasi pasar berupa harga. Petani mendapatkan informasi harga dan kebutuhan garam oleh pasar dari petani lainnya. Informasi ini berguna untuk menentukan harga penjualan garam. Pedagang perantara melakukan seluruh fungsi pemasaran yaitu fungsi pertukaran (jual-beli), fungsi fisik yaitu melakukan proses penyimpanan garam digudang sampai pada kuantitas tertentu baru dilakukan pengangkutan ke gudang milik perusahaan pengolahan. Terdapat penanggungan risiko yaitu pedagang memiliki penanggungan risiko atas garam yang disimpan digudang dengan penyusutan berat hingga 10 persen. Fungsi fasilitas lainnya yang dilakukan
32
pedagang adalah dengan melakukan sortasi standarisasi atas produk yang dibeli dari para petani, sortasi atas kualitas ini dilakukan berdasarkan permintaan dari konsumen yaitu perusahaan pengolahan garam maupun pedagang besar. Sedangkan informasi pasar atas harga dan kualitas diperoleh dari sesama pedagang maupun industri, informasi ini sangat berguna untuk mengetahui peluang pasar. Fungsi pemasaran dari pedagang perantara hampir sama dengan pedagang besar. Fungsi pemasaran pada perusahaan pengolahan meliputi fungsi pertukaran, yaitu dengan membeli bahan baku berupa garam krosok dari pedagang perantara dan menjual garam briket dan halus kepada agen. Selanjutnya untuk fungsi fisik perusahaan pengolahan melakukan proses pengolahan garam krosok menjadi garam briket atau halus, kemudian garam olahan tersebut sebagian besar didistribusikan kepada agen dan sebagian disimpan. Untuk fungsi fasilitas pihak perusahaan juga melakukan standarisasi atas produk yang dihasilkan, selain itu juga perusahaan menanggung risiko, apabila hasil pengecekan oleh Tim pemeriksan garam konsumsi beryodium (GAKY), garam yang dihasilkan mengandung yodium kurang dari 30 ppm maka harus ditarik dari pasaran sedangkan untuk produk yang disimpan di gudang apabila lebih dari seminggu maka garam briket bisa remuk sehingga tidak laku dijual. Sedangkan untuk informasi pasar pihak perusahaan pengolahan memperoleh dari para agen untuk menentukan waktu penjualan dari garam briket atau halus tersebut. Tabel 5 memperlihatkan fungsi pemasaran dari masing-masing lembaga pemasaran. Tabel 5 Fungsi pemasaran pada setiap lembaga pemasaran garam Lembaga Pemasaran a. Petani
Fungsi Pemasaran Fungsi pertukaran Fungsi fasilitas
b. Pedagang perantara
Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas
c. Pedagang besar
Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas
d. Perusahaan pengolahan
Fungsi pertukaran Fungsi fisik
Fungsi fasilitas
Keterangan Penjualan Penanggungan risiko Pembiayaan Informasi pasar Pembelian dan penjualan Pengangkutan Penyimpanan Standarisasi Penanggungan risiko Pembiayaan Informasi pasar Pembelian dan penjualan Pengangkutan Penyimpanan Standarisasi Penanggungan risiko Pembiayaan Informasi pasar Pembelian dan penjualan Pengolahan Pengangkutan Penyimpanan Standarisasi Penanggungan risiko Informasi pasar
33
Karakteristik Pelaku Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang Pelaku yang terlibat dalam kelembagaan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang adalah (i) petani, (ii) pedagang perantara, (iii) pedagang pengumpul besar, (iv) perusahaan pengolahan garam. Berdasarkan teori kontrak agen Furubothn dan Ritcher (2000) 1 petani merupakan agen, pedagang pengumpul besar dan perusahaan pengolahan merupakan prinsipal, sedangkan pedagang perantara merupakan mitra antara yang bertindak sebagai prinsipal pada hubungan tingkat pertama dan menjadi agen pada hubungan tingkat kedua.
Karakteristik Petani Garam di Kabupaten Rembang Total petani contoh sebanyak 30 orang terdiri dari 4 pemilik lahan, 12 pemilik lahan sekaligus penggarap dan 14 orang adalah penggarap. Responden petani diambil dari 3 kecamatan yaitu Kaliori, Lasem dan Rembang. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan tingkat produksi yang relatif tinggi dibandingkan Kecamatan lainnya, selain itu lokasi industri pengolahan garam menjadi dasar pemilihan lokasi penelitian. Dalam penelitian ini responden diambil dari 3 kecamatan terbesar yaitu Kecamatan Kalori dengan Desa Tambakagung, Dresikulon, Dresiwetan, Tasikharjo dan Purworejo, untuk Kecamatan Lasem penelitian dilakukan di Desa Gedongmulyo, Dorokandang dan Dasun dan di Kecamatan Rembang dilakukan di Desa Punjulharjo. Tabel 6 memperlihatkan jumlah responden petani garam berdasarkan lokasi penelitian. Tabel 6 Jumlah responden petani garam dan lokasi penelitian No.
Kecamatan
1.
Kaliori
2.
3
Lasem
Rembang Jumlah
Desa
Purworejo Dresikulon Tambakagung Tasikharjo Dresiwetan Gedungmulyo Tasiksono Dorokandang Dasun Punjulharjo
Pemilik lahan
Penggarap
4
2 2 1 2 2 2 2 1
4
14
Pemilik lahan sekaligus penggarap 3 1 1
2 2 1 1 1 12
Mayoritas (60%) umur petani contoh berada pada usia diatas 50 tahun. Temuan ini memperkuat fenomena yang umum disinyalir bahwa telah terjadi pergeseran budaya dimana petani didominasi oleh penduduk tua, jika pun terdapat usia muda jumlahnya sangat sedikit dan biasanya karena terpaksa atau tidak ada 1
Teori kontrak agen diasumsikan terdapat dua pelaku yang berhubungan yakni prinsipal dan agen. Prinsipal adalah pihak yang memperkerjakan agen untuk melaksanakan layanan yang diinginkan prinsipal
34
alternatif pekerjaan lain 2. Hasil diskusi dengan petani contoh menyimpulkan sebagian besar pemuda didesanya lebih memilih untuk menjadi buruh bangunan atau buruh ke kota-kota besar dibandingkan menjadi petani penggarap. Proses untuk memperoleh dan memanfaatkan informasi pengetahuan dan teknologi sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Petani pemilik contoh yang menyerahkan sepenuhnya lahannya kepada penggarap umumnya adalah pengusaha atau perangkat pemerintah dengan tingkat pendidikan SMA dan S1, sedangkan pemilik lahan sekaligus penggarap memiliki tingkat pendidikan SMP dan SMA. Sedangkan penggarap memiliki tingkat pendidikan SMP dan SD. Berdasarkan tingkat pengalaman kerja, 70 persen petani responden telah bekerja sebagai petani garam lebih dari 10 tahun. Bagi usaha tambak garam rakyat, lahan merupakan investasi yang paling penting karena menyangkut keberlangsungan usaha. Lahan memiliki fungsi penting bagi petani karena selain sebagai faktor produksi yang memberikan keamanan jangka panjang bagi keluarga namun juga merupakan bagian dari status sosial. Di Kabupaten Rembang status sosial sangat berkorelasi positif dengan status ekonomi. Petani yang memiliki lahan garam > 1 ha pada umumnya memiliki kemampuan ekonomi yang baik sehingga dalam masyarakat memiliki status sosial yang tinggi dan pengelolaan lahan dilakukan oleh penggarap, sedangkan pemilik lahan sempit dengan luasan < 1 ha menggarap lahannya sendiri dengan dibantu satu orang penggarap. Secara umum identitas petani garam dapat digambarkan berdasarkan kelompok umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan luas lahan yang dimiliki petani dapat dilihat pada Tabel 7 Tabel 7 Identitas responden petani garam di Kabupaten Rembang No. 1.
2.
3.
4.
2
Keterangan
Jumlah Petani (Orang)
Kelompok Umur (Tahun) 25-39 40-49 > 50 Jumlah Tingkat Pendidikan SD SMP SMA S1 Jumlah Pengalaman Usaha Tambak garam (Tahun) < 10 >10 Jumlah Luas lahan Petani (Ha) 0 0.5 - 1.0 >1.0 Jumlah
Persentase (%)
4 8 18 30
13.33 26.67 60.00 100
11 11 6 2 30
36.67 36.67 20.00 6.67 100
9 21 30
30.00 70.00 100
14 12 4 30
46.67 40.00 13.33 100
Dananjoyo Kusumo. Indonesia hadapi krisis petani muda. http ://www.jurnas.com. diunduh [19 juli 2011]
35
Para petani garam umumnya memiliki profesi sampingan, karena aktifitas garam hanya dilakukan pada bulan Mei sampai dengan November. Gambar 12 menunjukkan bahwa dari 30 petani contoh diketahui sebanyak 4 orang bekerja sebagai petani tebu, 1 orang sebagai eksportir rajungan, 11 orang merupakan nelayan, 8 orang merupakan petani sawah dan 3 orang bekerja sebagai pembudidaya ikan bandeng. Sisanya 3 orang yang semuanya merupakan petani pemilik bekerja sebagai perangkat desa. Sebagian besar petani contoh mengungkapkan bahwa dibandingkan dengan aktifitas sampingan yang mereka geluti, usaha tambak garam jauh lebih menguntungkan, namun karena usaha tersebut sangat tergantung musim maka untuk menutupi biaya hidup para petani garam harus melakukan usaha sampingan diluar musim kemarau. Perangkat desa 10% Pembudidaya bandeng 10%
Petani sawah 27%
Petani Tebu 13% Eksportir rajungan 3%
Nelayan 37%
Gambar 12 Persentase pekerjaan sampingan petani garam
Karakteristik Pedagang Perantara Pedagang perantara merupakan mitra antara yang berperan mendistribusikan bahan baku garam krosok ke perusahaan pengolahan garam briket atau ke pedagang pengumpul besar. Didalam satu kecamatan umumnya terdapat 2-3 orang pedagang perantara. Responden yang menjadi pedagang perantara berusia antara 40 sampai 50 tahun dan memiliki pengalaman selama 6 sampai 20 tahun dengan tingkat pendidikan beragam SD,SMP dan SMA. Dalam aktivitas pengumpulan garam, pedagang memiliki tenaga kerja tidak tetap sebanyak 2 hingga 3 orang. Pedagang perantara juga memiliki petani mitra tetap sebagai sumber bahan pasokan garam. Rata-rata jumlah petani yang telah bekerjasama sebanyak 10 sampai 15 orang per kecamatan. Dari 6 orang pedagang perantara contoh menyatakan memilih menjadi pedagang perantara karena melihat besarnya keuntungan yang diperoleh tanpa harus mengeluarkan investasi dan biaya operasional yang besar. Masing-masing pedagang perantara memiliki wilayah pembelian masing-masing, antara satu pedagang dengan pedagang lainya tidak bisa saling berpindah petani. Terdapat hambatan masuk bagi pedagang baru kecuali pedagang tersebut bekerjasama terlebih dahulu dengan pedagang yang sudah lama. Seperti halnya dengan petani, para pedagang perantara ini memiliki profesi yang berbeda setelah musim produksi garam berakhir yaitu menjadi pedagang pengumpul untuk komoditas yang berbeda seperti ikan dan padi.
36
Karakteristik Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus Perusahaan pengolahan garam contoh diambil 4 unit dari 5 unit perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Rembang yaitu PT. Apel Merah PT. Garam Mas, PT. Ndandut Ria dan PT. Suka Maju. Perusahaan pengolahan garam pertama kali berdiri adalah PT Garam Mas yang berdiri pada tahun 1969, kemudian PT Apel Merah berdiri pada tahun 1993, PT. Ndandut Ria pada tahun 2002, dan terakhir adalah PT Suka Maju yang baru berdiri pada tahun 2011. Sebelum mendirikan usaha pengolahan garam, keempat pemilik usaha ini mengakui bergerak terlebih dahulu sebagai pedagang perantara kemudian tertarik untuk meningkatkan nilai tambah atas produk garam setelah mengetahui kebutuhan pasar atas produk garam briket dan garam halus. Keempat perusahaan pengolahan di Kabupaten Rembang memproduksi garam briket dan halus. Proses pengolahan keempat perusahaan kurang lebih sama, alat yang digunakan juga sama, tidak terdapat teknologi terbaru untuk mengolah garam krosok menjadi produk garam briket dan halus. Jumlah tenaga kerja yang dimiliki PT Ndandut Ria dan PT Garam Mas masing-masing sebanyak 30 orang, sedangkan PT Apel merah memiliki tenaga kerja sebanyak 39 orang dan PT Sukamaju sebanyak 23 orang. Tingkat produksi garam per hari masing-masing perusahaan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 No
1 2 3 4
Profil perusahaan pengolahan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang Nama Perusahaan
PT. Ndandut Ria PT. Garam Mas PT. Apel Merah PT. Sukamaju
Tahun berdiri
2002 1969 1993 2011
Jumlah Produksi (ton/hari) Garam Garam Briket Halus 9 1 10 5 10 5 10 1
Jumlah Tenaga Kerja (orang) 30 30 39 23
Masing-masing perusahaan memiliki pasar yang berbeda, PT Apel Merah memasarkan produknya ke wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Lampung dan pasar tradisional di wilayah Rembang, sedangkan PT. Ndandut Ria memasarkan produk garamnya ke Ambarawa, Sragen, Lamongan dan Purwakarta dan PT Sukamaju memasarkan produknya ke wilayah Bandung, Jakarta dan Lampung. Rata-rata total penjualan garam industri ke masing-masing wilayah pemasaran berkisar 20 ton per minggu
Karakteristik Pedagang Pengumpul Besar Jumlah pedagang pengumpul besar di Kabupaten Rembang sangat terbatas, jumlahnya kurang lebih 5 orang. Pedagang pengumpul besar berperan untuk memenuhi kebutuhan industri pengguna garam seperti untuk industri pupuk, industri pakan ternak dan industri pengolahan ikan yang lokasinya berada di luar Kabupaten Rembang. Pedagang pengumpul besar memperoleh garam dari para pedagang perantara dengan jenis dan mutu yang berbeda. Kualitas garam yang
37
dipasarkan sangat tergantung permintaan konsumen, dimana untuk industri pupuk dan pakan ternak lebih mengutamakan garam dengan butiran besar tapi tidak terlalu mempermasalahkan warna garam, namun berbeda dengan industri pengasinan ikan yang meminta garam dengan butiran halus, putih dan masih mengandung kadar air yang tinggi. Jumlah responden pedagang pengumpul besar sebanyak 2 orang dengan tingkat pendidikan adalah SMA. Satu orang responden pedagang pengumpul besar adalah wanita yang telah bekerja sebagai pengumpul besar lebih dari 10 tahun. Dari pedagang pengumpul besar contoh teridentifikasi adanya saling kerjasama antara pedagang pengumpul besar untuk saling membantu memenuhi kebutuhan pelanggannya dan berusaha menghambat adanya pemain baru untuk bisa masuk kedalam pasar. Hambatan ini berupa sulitnya memperoleh garam dari pedagang perantara maupun dari petani langsung bagi pemain baru, masingmasing pelaku yaitu petani maupun pedagang perantara telah menjalin kerjasama yang kuat dengan para pedagang pengumpul besar.
6 KARAKTERISTIK KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG Kemitraan antara pelaku pasar pada usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang terjadi dalam tiga tingkatan yaitu antara penggarap dengan pemilik, pemilik lahan/pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara dan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan garam atau dengan pedagang pengumpul besar yang menyuplai garam ke industri pengguna garam (industri pupuk, industri pakan ternak dan pengolahan ikan). Analisis karakteristik kelembagaan meliputi identifikasi model kelembagaan kemitraan yang terjalin, aturan yang dipergunakan (formal dan informal) dan identifikasi konflik serta analisis perilaku oportunis pasca kontrak
Kemitraan Penggarap dengan Pemilik Lahan Bentuk kemitraan antara penggarap dengan pemilik lahan berupa sistem bagi hasil maro (1:1) dengan mekanisme seluruh hasil panen yang dihasilkan penggarap diberikan kepada pemilik lahan, dan pemilik lahan membayar setengah dari hasil produksi. Harga jual garam ditentukan oleh pemilik lahan. Kesepakatan kontrak yang diatur dalam sistem bagi hasil maro yaitu pemilik lahan memiliki kewajiban untuk menyediakan segala keperluan peralatan untuk memproduksi garam (mesin diesel, silinder/gilidan, garuk, kincir angin) serta mengeluarkan alokasi biaya untuk menormalisasi saluran air. Sedangkan penggarap memiliki kewajiban untuk mempersiapkan petakan peminihan dan meja kristalisasi, mengelola lahan sampai pada proses pemanenan. Pemilik lahan memiliki hak untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan proses produksi yang dilakukan oleh penggarap agar hasil produksi sesuai dengan target yang diharapkan. Sedangkan penggarap memiliki hak untuk mempergunakan waktu sesuai kebutuhan, tidak ada aturan baku berapa jam perhari penggarap harus berada di lahan garam.
38
Model kontrak bagi hasil maro antara penggarap dengan pemilik lahan telah berlangsung cukup lama (>3 tahun). Kemitraan antara penggarap dengan pemilik lahan diperkuat dengan adanya pemberian pinjaman uang tunai oleh pemilik lahan kepada penggarap pada saat persiapan lahan, yaitu sekitar bulan Mei-Juni. Pinjaman ini digunakan oleh penggarap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena pada saat persiapan lahan garam, penggarap belum memiliki pendapatan. Penggarap akan melunasi pinjaman pada saat menerima pembayaran bagi hasil dari pemilik. Kemudahan atas pinjaman uang tunai pada saat yang dibutuhkan menyebabkan penggarap memiliki ketergantungan yang tinggi dengan pemilik lahan. Ketergantungan ini menciptakan posisi tawar pemilik lahan lebih baik dibandingkan penggarap. Usaha garam tidak luput dari risiko produksi maupun risiko pemasaran. Dalam menghadapi risiko produksi terdapat pembagian risiko yang adil antara pemilik lahan dan penggarap, apabila terjadi penurunan tingkat produksi karena faktor natural hazard seperti cuaca maka risiko tersebut dibebankan bersama, namun dalam menghadapi risiko pemasaran berupa harga garam yang fluktuatif dibebankan sepenuhnya kepada penggarap. Pemilik lahan menetapkan harga beli kepada penggarap dengan harga terendah pada saat transaksi berlangsung, sedangkan pemilik lahan menghindari risiko dengan menyimpan hasil panen dan menjualnya pada saat harga garam lebih baik. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara petani dengan pemilik lahan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara petani penggarap dengan pemilik lahan No Uraian 1 Model kontrak 2 3
Perjanjian Aturan main (Hak-Kewajiban)
4
Pola interaksi Kesepakatan harga Kesepakatan jumlah Kesepakatan mutu Informasi asimetris Pembagian risiko Perilaku oportunis
5
Mekanisme penegakan
Sistem Kontrak Bagi hasil maro (penerimaan hasil panen dibagi 50% untuk pemilik lahan dan 50% untuk penggarap) Tidak Tertulis - Pemilik lahan memiliki hak menjual seluruh hasil panen dan mendapatkan 50% dari hasil penjualan - Penggarap memiliki hak menerima 50 % dari hasil penjualan - Pemilik lahan berkewajiban menyediakan peralatan produksi yang dibutuhkan penggarap - Penggarap berkewajiban mengelola lahan pemilik sampai proses pemanenan Harga garam ditentukan oleh pemilik lahan Jumlah produksi 1.5-2 ton perhektar per panen Memproduksi garam kualitas 1 dan 2 Informasi tidak sepadan antara penggarap dan pemilik lahan Risiko produksi dibagi bersama, risiko harga dibebankan sepenuhnya ke penggarap - Penggarap menghasilkan garam kualitas 2 karena kebutuhan - Pemilik lahan menetapkan harga jual garam lebih rendah Sanksi sosial
39
Kelembagaan yang diatur dalam sistem bagi hasil tidak dilakukan secara tertulis atau bersifat informal dan tidak memiliki mekanisme penegakan sehingga sangat mudah munculnya perilaku oportunis. Perilaku oportunis pasca kontrak terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara penggarap dan pemilik lahan. Misalnya kepentingan dari pemilik lahan adalah menginginkan memanen garam dalam waktu 5-7 hari sehingga dapat menghasilkan kualitas 1, namun penggarap hanya memanen selama 3-4 hari tanpa seijin pemilik lahan sehingga menghasilkan kualitas 2. Pemanenan awal dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Semua petani penggarap contoh (100%) mengakui bahwa pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup diperoleh dengan memanen garam lebih cepat. Sebaliknya perilaku oportunis juga diterima penggarap dalam bentuk bagi hasil yang rendah, dimana petani penggarap menerima harga jual garam lebih rendah dari harga yang diterima pemilik dari pedagang perantara. Mekanisme penegakan atas pelanggaran yang dilakukan berupa sanksi sosial yaitu apabila penggarap melakukan tindakan moral hazard maka tidak akan ada yang mau memperkerjakannya sebagai penggarap sebaliknya jika pemilik yang berbuat curang maka tidak ada penggarap yang mau mengelola lahannya. Kemitraan Pemilik Lahan dengan Pedagang Perantara Bentuk kemitraan antara pemilik lahan dengan pedagang perantara berupa kontrak Pemasaran dengan mekanisme pedagang perantara membeli garam dari pemilik lahan sesuai dengan kesepakatan kontrak yang meliputi jumlah produk, kualitas dan waktu pembelian. Dalam setiap transaksi pemilik lahan tidak mengeluarkan biaya pemasaran, namun biaya tersebut (biaya pengemasan dan pengangkutan) dibebankan kepada pedagang perantara. Proses transaksi berlangsung setiap dua minggu sekali, dimana pedagang perantara mendatangi gudang-gudang pemilik lahan yang berlokasi disekitar tambak garam. Proses penentuan harga garam disepakati bersama, namun bagi pemilik lahan yang memiliki pinjaman modal kepada pedagang perantara umumnya memperoleh harga sedikit lebih rendah dibandingkan pemilik lahan yang tidak memiliki ikatan hutang. Bagi pemilik lahan yang tidak memiliki ikatan hutang dapat menjual garam dengan harga Rp 350 000 per ton, sedangkan bagi pemilik lahan yang memiliki ikatan hutang, harga jual garam hanya berkisar Rp 300 000 per ton. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan permodalan digunakan sebagai strategi bagi pedagang perantara untuk melemahkan posisi tawar. Kondisi asimetris informasi juga dihadapi oleh pemilik lahan. Informasi yang seringkali terlambat diperoleh menyebabkan pemilik lahan bersedia menerima harga garam lebih rendah dari yang seharusnya dimiliki. Begitu juga dengan penentuan kualitas garam, pedagang perantara lebih mendominasi dalam menentukan kualitas dari garam yang dijual karena keterbatasan informasi yang dimiliki pemilik lahan dalam menentukan kualitas garam yang dihasilkan. Pemilik lahan contoh mengungkapkan bahwa seringkali pedagang perantara tidak menyepakati garam yang dijual pemilik lahan dengan kualitas1, namun dinilai sebagai kualitas2. Kemitraan yang selama ini berjalan bersifat informal, setiap kesepakatan dibuat secara lisan. Dalam kemitraan yang berjalan tidak terdapat konflik,
40
masing-masing pelaku usaha berusaha menjaga hubungan sehingga terjadi ikatan kerjasama yang baik. Perilaku oportunis terjadi pada pemilik lahan yang memiliki hutang yaitu dengan menjadikan hutang sebagai alat untuk menekan harga beli garam. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan dengan pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan dengan pedagang perantara No Uraian 1 Model kontrak 2 Perjanjian 3 Aturan main
4
Pola interaksi Kesepakatan harga Kesepakatan jumlah Kesepakatan mutu Informasi asimetris Pembagian risiko Perilaku oportunis
5
Mekanisme penegakan
Sistem Kontrak Kontrak pemasaran Tidak Tertulis - Pemilik lahan dan pedagang perantara sama-sama memiliki hak menetukan harga jual dan kualitas garam - Pedagang perantara berkewajiban mengeluarkan biaya pengemasan dan pengangkutan ada, harga garam ditentukan oleh bersama Ada, disesuaikan kebutuhan pedagang perantara dengan tingkat produksi garam oleh petani Ada, seringkali tidak sesuai kesepakatan Ada, informasi lengkap dimiliki perantara Risiko produksi dan risiko harga dibebankan sepenuhnya ke pemilik lahan Hasil timbangan yang dilakukan pedagang perantara lebih kecil daripada hasil timbangan pemilik lahan Sanksi sosial
Kemitraan Pemilik Lahan sekaligus Penggarap dengan Pedagang Perantara Pemilik lahan sekaligus penggarap merupakan definisi yang melekat bagi petani yang memiliki lahan garam sempit < 1Ha dan ikut menggarap lahannya sendiri. Kemitraan antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara berupa kontrak pemasaran. Pemilik lahan menjual garam kepada pedagang perantara dengan harga ditetapkan pedagang perantara. Transaksi pemasaran berlangsung seminggu sekali dan dilakukan di lahan tambak petani maupun digudang-gudang milik petani. Dalam transaksi pemasaran, pemilik lahan sekaligus penggarap tidak mengeluarkan biaya pemasaran, namun biaya tersebut (biaya pengemasan dan pengangkutan) dibebankan kepada pedagang perantara. Kontrak pemasaran antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara berlangsung secara informal dan tidak secara eksplisit tertulis baik mengenai proses transaksi maupun perjanjian lainnya, namun aturan-aturan yang menjadi hak dan kewajiban kedua pihak telah diketahui secara luas dan disepakati secara konsesus bersama. Dalam kontrak pemasaran tidak terdapat aturan terkait syarat mutu dan penetapan harga garam. Penilaian mutu ditentukan secara visual oleh pedagang perantara dan dari hasil penilaian tersebut akan menentukan harga garam.
41
Pembayaran oleh pedagang perantara dilakukan secara tunai maupun tempo setelah diperoleh estimasi hasil secara visual berdasarkan kualitas dan hasil timbangan. Hal ini menunjukan bahwa pemilik lahan sekaligus penggarap tidak memiliki posisi tawar untuk menentukan kualitas dan harga garam yang akan dijual kepada pedagang perantara. Kondisi ini disebabkan adanya ikatan kerjasama yang kuat dimana pedagang perantara memberikan pinjaman yang dibutuhkan pada saat mengalami masalah finansial dan pinjaman tersebut akan dibayarkan pada saat panen, maka secara moral petani berkewajiban menjual hasil panen kepada pedagang perantara tersebut. Dilain pihak walaupun memperoleh pinjaman tanpa bunga namun secara implisit petani mengalami kerugian dimana pedagang perantara dapat menekan harga serendah mungkin. Hasil penelitian menunjukkan responden pemilik lahan sekaligus penggarap yang memiliki ikatan pinjaman dengan pedagang perantara memperoleh harga rata-rata sebesar Rp 304 167 per ton. Adanya asumsi perilaku bounded rasionality menyebabkan petani tetap mempertahankan kerjasama yang ada saat ini meskipun beberapa kali mengalami tindakan moral hazard. Perilaku oportunis yang dilakukan oleh pedagang perantara berupa hasil perhitungan timbangan garam yang tidak sesuai dengan berat sebenarnya maupun harga jual garam yang relatif lebih rendah dibandingkan harga yang sebenarnya. Dari hasil wawancara dengan petani pemilik sekaligus penggarap (12 orang) yang bekerjasama langsung dengan pedagang perantara terungkap sebanyak 2 orang atau 16.67 persen responden petani berkeinginan untuk beralih kepada perantara lain yang bisa membeli dengan harga lebih baik, sisanya sudah merasa cukup puas telah bekerjasama dengan pedagang perantara tersebut. Pada saat panen raya umumnya pedagang perantara melakukan pembelian garam sebanyak-banyaknya untuk sebagian disimpan dan akan dijual kembali pada saat tidak musim garam. Hal ini dilakukan dengan dalih menjaga harga garam agar tidak jatuh pada saat panen raya, namun pada kenyataannya kegiatan penimbunan sengaja dilakukan untuk memperoleh keuntungan berlipat pada saat ketersediaan garam langka. Pengalaman di tahun 2010 kegiatan penimbunan garam menjadikan pedagang pengumpul kaya raya, karena harga garam melonjak 4 kali lipat yaitu mencapai Rp. 1200 pada saat terjadi kelangkaan ketersediaan garam (Dinas Perikanan Kabupaten Rembang, 2013). Pemilik lahan sekaligus penggarap maupun pedagang perantara yang melanggar kesepakatan tidak dikenakan sanksi dalam bentuk uang, namun mendapatkan sanksi sosial berupa reputasi yang buruk, apabila pemilik lahan sekaligus penggarap tidak melunasi pinjaman maka sanksi berupa tertutupnya akses pasar kepada pedagang perantara manapun, sedangkan bagi perantara yang melakukan kecurangan maka petani secara berkelompok akan menolak kehadiran pedagang perantara tersebut dan beralih ke pedagang lainnya. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara Pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 11
42
Tabel 11 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara No Uraian 1 Model kontrak 2 Perjanjian 3 Aturan main
4
Pola interaksi Kesepakatan harga Kesepakatan jumlah Kesepakatan mutu Informasi asimetris Pembagian risiko Perilaku oportunis
5
Mekanisme penegakan
Sistem Kontrak Kontrak pemasaran Tidak Tertulis - Petani memiliki hak untuk menjual garam dengan kuantitas dan kualitas yang diinginkan petani - Petani berkewajiban menjual garam kepada pedagang perantara yang memberikan pinjaman modal - Pedagang perantara memiliki hak menetukan harga jual garam berdasarkan penilaian secara visual atas kualitas garam yang dihasilkan petani - Pedagang perantara berkewajiban mengeluarkan biaya pengemasan dan pengangkutan Tidak ada, harga garam ditentukan oleh pedagang perantara Tidak ada, tergantung hasil produksi petani Tidak ada, tergantung hasil produksi petani Informasi yang dimiliki pedagang perantara lebih baik Risiko produksi dan risiko harga dibebankan sepenuhnya ke petani - Pedagang perantara menetapkan harga jual garam lebih rendah kepada petani yang memiliki ikatan pinjaman - Jumlah bobot garam yang ditimbang oleh pedagang perantara lebih kecil dibandingkan hasil timbangan petani - Penilaian kualitas secara visual yang tidak jujur, menurut petani menghasilkan kualitas 1, namun pedagang perantara menilainya sebagai kualitas 2 - Pedagang perantara melakukan penimbunan garam pada saat panen raya dan akan dijual pada saat garam langka untuk memperoleh keuntungan lebih besar Sanksi sosial
Kemitraan Pedagang Perantara dengan Perusahaan Pengolahan Kontrak yang terjalin antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan garam briket dan halus berupa kontrak pemasaran. Pedagang perantara melakukan 4 kali transaksi penjualan garam per bulan ke perusahaan. Rata-rata penjualan garam setiap kali transaksi sekitar 30 hingga 40 ton. Peran pedagang perantara sangat penting bagi perusahaan karena memasok kebutuhan bahan baku garam secara kontinyu. Kemitraan yang terjalin antara pihak pedagang perantara contoh dengan perusahaan pengolahan cukup lama yaitu lebih dari 10 tahun. Masing-masing perusahaan memiliki pedagang perantara tertentu, tidak semua pedagang perantara di Rembang dapat memasok ke perusahaan,
43
karena adanya faktor kepercayaan yang kuat sehingga sulit bagi pemain baru bermitra dengan pihak perusahaan. Seperti halnya kemitraan dengan pelaku usaha garam lainnya, kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan dilakukan secara informal dan tidak ada aturan tertulis, kelembagaan yang ada saat ini merupakan hasil kesepakatan yang telah lama disetujui oleh kedua belah pihak. Kesepakatan kontrak yaitu perusahaan memiliki hak untuk menentukan kualitas garam yang diterima dari pedagang perantara dan berdasarkan kualitas tersebut pihak perusahaan dapat menentukan harga beli garam. Penetuan harga dan kualitas dilakukan oleh manajer operasional atau pemilik pada saat bongkar muat digudang pabrik. Seluruh biaya pemasaran berupa biaya pengemasan, pengangkutan, distribusi dari gudang pedagang perantara ke gudang pabrik menjadi tanggung jawab pedagang perantara sedangkan biaya bongkar muat dari truk ke gudang pabrik menjadi tanggung jawab pihak perusahaan. Sebelum dilakukan proses transaksi jual beli, umumnya pihak perusahaan pengolahan menentukan permintaan bahan baku garam berdasarkan kuantitas, kualitas dan waktu pengiriman, setelah itu pihak pedagang perantara akan mengirimkan sampel garam kepada perusahaan dan melakukan kesepakatan harga, jika perusahaan menyepakati sampel yang dikirim maka pedagang perantara akan mengirimkan sesuai kuantitas dan waktu yang telah disepakati dan menerima harga yang telah disepakati, namun apabila kualitas garam yang dikirim tidak sesuai dengan sampel yang disepakati maka pihak perusahaan berhak menolak membeli atau menentukan secara sepihak harga beli garam tersebut. Pedagang perantara menghadapi risiko produksi maupun harga, pada saat harga garam rendah pedagang perantara tetap secara kontinyu memasok bahan baku ke industri untuk menjaga kerjasama supaya dapat berkelanjutan, sedangkan risiko produksi yang dihadapi berupa penyusutan bobot garam yang disimpan lama digudang. Pada saat panen raya pedagang perantara akan membeli sebanyakbanyaknya garam dari petani, namun penyimpanan garam lebih dari 3 bulan digudang akan terjadi penyusutan bobot garam hingga 10 persen. Sebagai upaya menjaga kemitraan bisa berlangsung kerkelanjutan maka pihak industri berusaha memberikan jaminan\pemasaran diantaranya adalah penawaran berupa pengunaan sarana gudang untuk penyimpanan garam bila diperlukan oleh pedagang perantara dan kemudahan pinjaman tanpa bunga. Pembayaran pinjaman dilakukan dengan memotong hasil penerimaan pada saat transaksi penjualan garam. Adanya pinjaman memperkuat ikatan kerjasama dan menyebabkan pedagang perantara tidak memiliki pilihan untuk beralih ke industri pengolahan lain. Hasil identifikasi atas perilaku oportunis dan konflik tidak ditemukan, perusahaan sebisa mungkin menjaga hubungan kerjasama secara baik dengan pedagang perantara dan sebisa mungkin keputusan bisnis disepakati bersama. Sanksi yang diberikan kepada pedagang perantara yang melanggar kesepakatan adalah sanksi sosial berupa pemutusan hubungan kerjasama. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolah dapat dilihat pada Tabel 12.
44
Tabel 12 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolah garam briket dan halus No Uraian 1 Model kontrak 2 Perjanjian 3 Aturan main
4
Pola interaksi Kesepakatan harga Kesepakatan jumlah Kesepakatan mutu Informasi asimetris Pembagian risiko
5
Perilaku opportunis Mekanisme penegakan
Sistem Kontrak Kontrak pemasaran Tidak Tertulis - Pedagang perantara memiliki hak menetapkan kualitas dan harga garam yang akan dijual dan memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan bahan baku garam perusahaan pengolahan secara kontinyu dan betanggung jawab atas biaya pengiriman ke gudang pabrik - Perusahaan pengolahan memiliki hak yang sama dalam menetapkan kualitas dan harga beli garam dan memiliki kewajiban membayar seluruh hasil pembelian garam secara tunai/tempo sesuai kesepakatan ada, harga garam sesuai kesepakatan ada, tergantung permintaan perusahaan pengolahan ada, tergantung permintaan perusahaan pengolahan Tidak ada, perusahaan memberikan informasi secara langsung kepada pedagang perantara Risiko produksi dan risiko harga dibebankan sepenuhnya ke pedagang perantara Tidak ada Sanksi sosial
Kemitraan Pedagang Perantara dengan Pedagang Pengumpul Besar Kemitraan yang berlangsung antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar berupa kontrak pemasaran. Seperti kontrak yang dilakukan dengan pelaku usaha lainnya bahwa kontrak yang ada bersifat informal berupa aturan main yang disepakati bersama. Pedagang perantara memasok kebutuhan bahan baku ke pedagang pengumpul besar sangat tergantung pada kesepakatan yang dilakukan. Hal ini disebabkan bahan baku garam bersifat spesifik karena sangat tergantung pada tujuan pasar. Tujuan pasar dari pedagang pengumpul besar adalah industri pengguna garam seperti industri pupuk, pakan ternak dan industri pengasinan ikan, sehingga garam yang ditawarkan berbeda dengan garam yang dikirim ke industri pengolahan. Secara spesifik garam yang dibutuhkan untuk industri pengasinan ikan harus memiliki warna putih, butiran garam yang kecil dan mengandung kadar air tinggi, sedangkan untuk industri pakan ternak, jenis garam yang dibutuhkan tidak memperhatikan warna dan butiran garam yang besar. Kesulitan yang seringkali dihadapi pedagang perantara untuk memasok ke pedagang pengumpul adalah tidak semua hasil produksi petani sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan pedagang pengumpul besar. Penetapan harga garam disepakati bersama, posisi tawar antara pedagang pengumpul besar dengan pedagang perantara seimbang, karena tidak adanya ikatan berupa pinjaman uang maupun hubungan kekerabatan. Keduanya memiliki informasi pasar yang baik, sehingga kesepakatan yang dibuat diusahakan
45
memberikan keuntungan yang proporsional. Perilaku oportunis seminimal mungkin dihindari dan tidak pernah terdapat konflik selama kemitraan tersebut dilakukan. Sanksi atas penyimpangan kesepakatan berupa pemutusan kontrak kerjasama. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar ditunjukka pada Tabel 13. Tabel 13 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar No Uraian 1 Model kontrak 2 Perjanjian 3 Aturan main
4
5
Pola interaksi Kesepakatan harga Kesepakatan jumlah Kesepakatan mutu Informasi asimetris Pembagian risiko Perilaku opportunis Mekanisme penegakan
Sistem Kontrak Kontrak pemasaran Tidak Tertulis - Pedagang perantara memiliki hak menetapkan harga garam yang dijual dan memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan bahan baku garam yang dibutuhkan pengumpul besar - Pedagang pengumpul besar memiliki hak yang sama dalam menetapkan kualitas dan harga beli garam dan memiliki kewajiban membayar seluruh hasil pembelian garam secara tunai ada, harga garam sesuai kesepakatan ada, tergantung permintaan pedagang pengumpul ada, tergantung permintaan pengumpul Tidak ada, pedagang pengumpul dan pedagang perantara memiliki informasi yang sepadan Tidak ada Tidak ada Pemutusan kontrak kerjasama
Hasil analisis karakteristik kelembagaan kemitraan antara pelaku usaha dapat disimpulkan bahwa terdapat dominasi partisipan yang bermitra dimana kekuatan dari salah satu pihak yaitu pemilik lahan, pedagang perantara dan perusahaan pengolahan menyebabkan posisi tawar yang tidak seimbang. Ketersediaan akses pasar dan permodalan kepada pihak mitranya tidak pada tataran kesadaran yang saling menguntungkan, bahkan bantuan modal yang senantiasa diberikan justru dijadikan sebagai strategi untuk mengikat mitra sehingga terbentuk ketergantungan.
6. KINERJA KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG Analisis ini ditujukan untuk membuktikan apakah kemitraan usaha garam rakyat yang berjalan saat ini memiliki kinerja yang menunjukkan tercapainya efisiensi bagi para pelaku yang terlibat. Analisis kinerja kelembagaan kemitraan terdiri dari analisis pendapatan, analisis ekonomi kelembagaan dan kinerja pemasaran.
46
Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang Usaha garam rakyat merupakan mata pencaharian utama mayarakat pesisir di Kabupaten Rembang. Dalam rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang meliputi petani garam, pedagang perantara, perusahaan pengolahan garam, agen dan pengecer serta pedagang pengumpul besar. Pada penelitian ini lingkup rantai nilai hanya meliputi petani garam, pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pedagang pengumpul besar Pendapatan Usaha Petani garam Pendapatan petani garam dibedakan atas pendapatan pemilik lahan sekaligus penggarap dan pendapatan pemilik lahan yang melakukan bagi hasil dengan penggarap. Pendapatan merupakan hasil akhir yang diperoleh petani sebagai bentuk imbalan atas pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dalam usahanya. Oleh karena itu petani harus mampu melakukan tindakan efisiensi dalam menggunakan sumberdaya dimana total penerimaan harus melebihi dari total pengeluaran. Penerimaan yang diperoleh petani garam merupakan nilai dari total produksi garam yang dihasilkan petani dalam satu musim (6 bulan) dengan asumsi luasan lahan per 1hektar. Dalam menganalisis penerimaan petani garam asumsi yang digunakan bahwa garam yang dihasilkan petani seluruhnya dijual. Petani menjual dengan bentuk garam krosok. Kualitas yang dihasilkan petani sebagian besar adalah kualitas 2, sehingga dalam analisis ini penjualan garam berupa garam kualitas 2. Berdasarkan data yang diperoleh, hasil panen rata-rata yang diperoleh responden pemilik lahan sekaligus penggarap pada musim garam yaitu bulan Juli hingga November 2012 (5 bulan) sebesar 66.67 ton per hektar. Tingkat produksi rata-rata sekali panen 1.67 ton per hektar dan dalam satu musim panen dapat dilakukan sebanyak 40 kali panen. Tingkat harga rata- rata garam yang diperoleh pemilik lahan sekaligus penggarap sebesar Rp304 167per ton sehingga total penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 20 277 778. Total pengeluaran dalam satu musim sebanyak Rp 15 368 679 yang terdiri dari pembuatan saluran dan tanggul (12.74%), tenaga kerja pengelolaan lahan (46.36%), tenaga kerja pemanenan (12.62%), pembelian solar (12.09%), pajak lahan (0.72%), pemeliharaan peralatan (5.75%) dan biaya penyusutan gudang dan peralatan (9.72%). Total pendapatan yang diperoleh responden petani pemilik sekaligus penggarap contoh permusimnya sebesar Rp4 909 099. Secara rinci analisis pendapatan petani pemilik sekaligus penggarap dapat dilihat pada Lampiran 5 Penerimaan yang diperoleh pemilik lahan yang melakukan pola kerjasama bagi hasil dengan penggarap menerima bagian 1:1. Berdasarkan data responden penggarap rata-rata tingkat produksi garam sebesar 1.56 ton per panen per hektar dengan jumlah panen dalam satu musim sebanyak 40 kali sehingga total produksi garam permusimnya yang diperoleh penggarap sebesar 62.50 ton. Pemilik lahan menetapkan harga beli garam kepada penggarap sebesar Rp 294 643 sehingga total penerimaan yang diperoleh penggarap sebesar Rp 18 415 179, dengan sistem bagi hasil maka penggarap harus menyerahkan setengah penerimaanya kepada pemilik lahan, sehingga penerimaan yang diperoleh hanya sebesar Rp 9 207 589. Total pengeluaran yang dibebankan penggarap terdiri dari pembayaran 1 orang tenaga kerja yang membantu penggarap mengelola lahan (25.83%), pembelian solar untuk menjalankan mesin diesel yang berguna untuk mengalirkan air laut
47
dari saluran ke petakan (6.75%) dan biaya pemeliharaan peralatan (4.51%). Biaya pengeluaran terbesar adalah nilai bagi hasil yang diberikan kepada pemilik lahan (62.91%). Pendapatan rata-rata responden petani penggarap sebesar Rp 3 779 687 per musimnya. Analisis pendapatan petani penggarap dapat dilihat pada Lampiran 7. Pemilik lahan memperoleh penerimaan jauh lebih besar dari penggarap yaitu Rp 20 312 500, hal ini disebabkan pemilik memperoleh nilai jual garam ke pedagang perantara lebih besar dibandingkan nilai penjualan yang diperoleh penggarap dari pemilik lahan. Rata-rata penjualan garam dari responden pemilik sebesar Rp 325 000 per tonnya. Posisi tawar yang dimiliki pemilik lahan kepada pedagang perantara jauh lebih baik karena tidak adanya ikatan hutang, pemilik lahan bisa memilih pedagang perantara yang mau menawarkan harga lebih tinggi. Pengeluaran yang dibebankan pedagang pemilik terdiri dari pengeluaran untuk menormalisasi saluran air (13.72%), pajak lahan (0.74%), pembayaran bagi hasil untuk penggarap (63.17%), pembelian solar (6.78%) dan biaya penyusutan (15.59%). Pengeluaran atas pembelian solar diasumsikan dibagi dua antara pemilik lahan dan penggarap. Pendapatan rata-rata yang diperoleh pemilik lahan setiap tahunnya sebesar Rp 5 737 201. Analisis pendapatan pemilk lahan dapat dilihat pada Lampiran 7. Selisih biaya yang dikeluarkan petani pemilik maupun petani penggarap tidak berbeda jauh karena dalam sistem bagi hasil, pemilik hanya menyerahkan tanggung jawab kepada satu orang penggarap untuk mengelola lahan hingga pemanenan, namun untuk mengelola 1 hektar lahan penggarap tidak bisa bekerja sendiri sehingga perlu melibatkan 1 orang tenaga kerja tambahan untuk membantunya selama persiapan hingga pemanenan kurang lebih 6 bulan. Upah kerja atas tenaga kerja tambahan menjadi tanggung jawab dari penggarap itu sendiri. Umumnya tenaga kerja tersebut masih merupakan kerabat atau tetangga terdekat. Pembayaran upah dilakukan pada saat penggarap menerima bagi hasil dari pemilik lahan. Analisis pendapatan petani garam dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Analisis pendapatan atas biaya total petani garam di Rembang No
1 2 3 4 5 6
Uraian
Satuan
Produksi Harga jual garam Nilai Produksi Biaya Total Pendapatan R/C
ton/ha/ musim Rp/ton Rp/musim Rp/ha/musim Rp/tahun
Petani Pemilik sekaligus penggarap 66.67 304 167 20 277 778 15 368 679 4 909 099 1.32
Petani penggarap 62.50 294 643 18 415 179 14 635 492 3 779 687 1.26
Petani Pemilik lahan 62.50 325 000 20 312 500 14 575 299 5 737 201 1.39
Tabel 14 memperlihatkan pendapatan terkecil diperoleh penggarap dan pendapatan terbesar diterima oleh pemilik lahan. Dengan pendapatan penggarap hanya sebesar Rp 3 779 687 maka dalam 1 musim (6 bulan) pendapatan petani penggarap hanya sebesar 629 948 per bulan. Nilai ini masih jauh dari standar UMR Kabupaten Rembang pada tahun 2012 sebesar Rp 816 000. Hasil ini memperkuat pendapat Satria (2011) yang menyatakan petani garam hidup
48
dibawah garis kemiskinan. Dengan tingkat pendapatan tersebut sulit bagi petani untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga termasuk juga untuk pendidikan dan kesehatan. Rendahnya pendapatan yang diperoleh petani disebabkan harga jual garam yang sangat rendah ditingkat petani. Adanya asimetris informasi terutama informasi harga dan perilaku oportunis dari pelaku pasar menyebabkan pasar gagal memberikan distribusi pendapatan yang adil kepada petani garam. Adanya intervensi pemerintah berupa kebijakan harga dasar garam untuk kualitas dua sebesar Rp 550 000 perton tidak berjalan efektif di Kabupaten Rembang, faktanya harga rata-rata garam kualitas dua ditingkat petani di Kabupaten Rembang pada tahun 2012 hanya sekitar Rp 300 000 hingga Rp 350 000 per tonnya. Tidak efektifnya penerapan harga dasar di Kabupetan Rembang disebabkan belum adanya kelembagaan yang mampu mengontrol harga garam dan lemahnya pengawasan dan mekanisme penegakan/sanksi bagi pelaku pasar. Saat ini harga garam ditentukan penuh oleh pelaku yang bergerak dijalur pemasaran. Berdasarkan tingkat keuntungan relatif dilihat dari nilai R/C seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14, dimana masing-masing petani memperoleh keuntungan, namun keuntungan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan yang diterima pelaku usaha lainnya. Keuntungan terkecil diperoleh penggarap dan keuntungan terbesar diperoleh pemilik lahan. Setiap pengeluaran yang dilakukan masing-masing petani sebesar Rp 1000 maka penggarap memperoleh penerimaan sebesar Rp 1 260, pemilik lahan sebesar Rp Rp 1 390 dan pemilik lahan sekaligus penggarap sebesar Rp 1 320. Komparasi keuntungan dari ketiga petani garam dapat disimpulkan bahwa kemitraan yang dilakukan antara pemilik lahan dengan penggarap belum memberikan keuntungan yang proporsional karena keuntungan yang diterima penggarap lebih kecil dibandingkan pemilik lahan. Sementara bagi pemilik lahan sekaligus penggarap memiliki keuntungan lebih rendah dibandingkan pemilik lahan yang tidak menggarap lahannya, karena adanya ikatan pinjaman sehingga pedagang perantara mampu menekan harga, sedangkan bagi pemilik lahan tidak adanya ikatan pinjaman memberikan kekuatan tawar yang jauh lebih baik dan dapat memilih pembeli yang mau membeli garam dengan harga lebih tinggi. Berdasarkan Tabel 14 dapat disimpulkan bahwa dalam mata rantai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang, penggarap merupakan pihak yang paling kecil mendapatkan keuntungan baru berikutnya petani yang memiliki lahan sempit yang menggarap lahannya sendiri dan pemilik lahan. Penggarap sangat tergantung dan ditentukan secara sepihak oleh pemilik, mereka hanya memiliki hak untuk memproduksi garam dengan kewajiban menyerahkan sepenuhnya hak penjualan kepada pemilik dan pemiliklah yang menentukan harga. Adapun pemilik lahan sekaligus penggarap hanya dapat menjual pada pedagang perantara tertentu dan pedagang tersebut cenderung menentukan harga secara sepihak. Pendapatan Usaha Pedagang Perantara Pedagang perantara memasok kebutuhan bahan baku dari petani ke perusahaan pengolahan atau ke pedagang pengumpul besar. Umumnya 1 orang pedagang perantara bekerjasama dengan 10-15 petani yang berada di 2-3 desa. Pedagang perantara contoh membeli garam langsung ditambak-tambak petani atau gudang petani setiap 4-5 kali dalam sebulan selama musim panen garam (5
49
bulan). Rata-rata total penjualan garam yang dilakukan pedagang perantara pertahunnya sebesar 1083 ton dengan harga rata-rata penjualan pedagang perantara contoh ke perusahaan pengolahan sebesar Rp458 333 per ton, sehingga rata-rata penerimaan yang diperoleh per tahunnya sebesar Rp 496 375 000. Selain itu pedagang perantara memperoleh penerimaan tidak tunai dari penimbunan garam sebesar 500 ton yang akan dijual pada saat harga garam tinggi yaitu pada saat harga mencapai Rp 550 000 per tonnya, sehingga penerimaan tidak tunai sebesar Rp 275 000 000. Total penerimaan yang diperoleh pedagang perantara setiap tahunnya mencapai Rp 771 375 000. Pedagang perantara melakukan proses grading, pengemasan dan pendistribusian garam dari tambak petani ke gudang kemudian setelah sesuai dengan kuantitas tertentu garam didistribusikan ke gudang pabrik pengolahan. Garam krosok yang dibeli dari petani dikemas dalam karung. Biaya pengangkutan garam berbeda tergantung jauh dekat lokasi tambak dengan jalan raya, apabila dekat dengan jalan raya biaya angkut dan pengemasan untuk 1 ton garam sebesar Rp 18 000, sedangkan apabila lokasi jauh sebesar Rp 20 000. Ratarata biaya pengangkutan dan pengemasan yang dibayarkan repsonden pedagang perantara sebesar Rp 18 667 per tonnya. Total biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutan dan pengemasan per tahunnya sebesar Rp 20 216 361 (3.89%). Komponen biaya terbesar adalah pembelian garam dari petani. Harga ratarata pembelian garam ditingkat petani per tonnya sebesar Rp 307 937 dengan total pembelian permusim sebanyak 1583 ton maka total pengeluaran untuk pembelian garam dari petani sebesar Rp 487 463 492 (93.89%). Komponen biaya lainnya yang harus dikeluarkan meliputi biaya tunai yang terdiri atas biaya rata-rata pembelian karung sebesar Rp744 563 (0.14%). Transaksi pembelian garam dari petani dilakukan setiap seminggu sekali dalam kurun waktu 5 bulan. Setiap kali pengiriman dari gudang ke gudang milik industri menghabiskan biaya bahan bakar sekitar Rp 200 000 per bulan, sehingga total biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk aktivitas pengiriman garam ke gudang industri sebanyak Rp 4 050 000 (0.78%). Rincian biaya produksi yang dikeluarkan oleh pedagang perantara dapat dilihat pada Lampiran 9. Biaya yang diperhitungkan berupa biaya penyusutan peralatan sebesar 8 487 333 (1.63%). Peralatan yang digunakan oleh pedagang perantara diantaranya mesin jahit sebanyak 2 unit, genset untuk menyalakan mesin jahit, genset sangat dibutuhkan pedagang perantara karena proses pengemasan berlangsung di lokasi tambak dan tidak terdapat fasilitas listrik, gerobak untuk mengangkut garam ke truk, gudang sebagai sarana penyimpanan dan truk untuk mendistribusikan garam kegudang Total biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh pedagang perantara setiap tahunnya sebesar Rp520 961 749. Hasil analisis menunjukkan tingkat pendapatan atas biaya total yang diperoleh pedagang perantara Rp 250 413 251 dengan nilai R/C 1.48. Hasil perhitungan pendapatan pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 15.
50
Tabel 15 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari pedagang perantara di Kabupaten Rembang No 1 2 3 4 5 6 7 8
Uraian Penjualan garam Harga jual garam Stok garam (penimbunan) Harga jual garam Penerimaan Biaya Total Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya total
Satuan ton/tahun Rp/ton Ton/tahun Rp/ton Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Nilai 1083 458 333 500 500 000 771 375 000 520 961 749 250 413 251 1.48
Keuntungan relatif yang diperoleh pedagang perantara lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh petani. Hal ini membuktikan bahwa yang menikmati surplus value adalah pelaku usaha yang bergerak dijalur pemasaran bukan petani. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rochwulaningsih (2008) dimana petani (lahan sempit dan penggarap) di Kabupaten Rembang hanya diposisikan sebagai produsen yang tidak menikmati keuntungan dari hasil usahanya. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya eksploitasi yang terwujud dalam bentuk relasi usaha antara penggarap dengan pemilik lahan dan antara petani kecil dengan pelaku usaha lain di jalur pemasaran dan permodalan serta dengan pabrikan sebagai produsen jadi. Pendapatan Usaha Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus Perusahaan pengolahan garam mengolah garam krosok menjadi garam briket dan halus. Bahan baku yang digunakan industri sebagian besar diperoleh dari pedagang perantara dan sisanya diperoleh dari lahan tambak yang dimiliki sendiri oleh perusahaan. Rata-rata produksi garam briket yang dihasilkan responden industri pengolahan sebesar 9.75 ton per hari dan produksi rata-rata untuk produk garam halus sebesar 1.50 ton per hari. Dalam setahun rata-rata produksi garam briket sebesar 2 634 ton dan garam halus 1 184 ton. Harga jual rata-rata untuk garam briket per kg sebesar Rp 1 100 dan garam halus Rp 1 200 per kg. Penerimaan yang diperoleh perusahaan pengolahan atas penjualan garam briket sebesar Rp 2 897 4000 dan garam halus sebesar Rp 1 420 800 000, sehingga total penerimaan rata-rata perusahaan pengolahan contoh setiap tahunnya sebesar Rp4 318 200 000. Bahan baku garam krosok yang diterima oleh perusahaan pengolahan di Rembang sebagian besar adalah kualitas dua yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan garam briket, sedangkan kualitas satu yang diperoleh dimanfaatkan untuk menghasilkan garam halus. Perusahaan pengolahan seringkali kesulitan memperoleh bahan baku garam krosok kualitas satu sehingga alternatif yang digunakan untuk tetap memproduksi garam halus adalah dengan membeli garam impor. Kelebihan garam impor dimana perusahaan tidak perlu lagi melakukan proses pengolahan seperti penyelipan dan pengovenan namun langsung dapat dikemas. Namun kelebihan yang dimiliki dari garam impor tidak merubah komitmen responden perusahaan pengolahan di Rembang untuk lebih mengutamakan garam lokal dibandingkan garam impor. Kesulitan lain untuk memperoleh kualitas satu adalah kurang baiknya proses grading yang dilakukan
51
pedagang perantara, sehingga pada saat bongkar muat pihak perusahaan sulit memisahkan garam yang berkualitas satu atau dua, akibatnya perusahaan menetapkan harga beli garam kepada pedagang perantara berupa kualitas dua. Harga jual rata-rata garam krosok yang dibeli perusahaan pengolahan sebesar Rp 458 333 per tonnya. Berbeda dengan kemitraan yang berlaku antara pedagang perantara dengan petani dimana pedagang yang berhak menetapkan harga, namun pada kemitraan antara pedagang dan pihak perusahaan terjadi kesepakatan harga berdasarkan kesepakatan penilaian mutu yang ditentukan bersama. Umumnya perusahaan pengolahan bermitra dengan 5-6 pedagang perantara yang memasok garam krosok 20 hingga 30 ton perminggunya. Total pembelian garam responden perusahaan pengolahan pertahunnya sebesar 4200 ton, sehingga rata-rata pengeluaran perusahaan untuk pembelian bahan baku garam krosok per tahunnya mencapai Rp 1 925 000 000 (72.62%). Alokasi pembelian bahan baku garam merupakan pengeluaran terbesar dari seluruh biaya produksi yang dikeluarkan. Komponen pengeluaran lainnya adalah pembelian iodium. Perusahaan seringkali kesulitan memperoleh iodium karena penyediaan ioduim diatur oleh asosiasi yang tergabung dalam GAKY dan harganya cukup mahal, dimana harga untuk 1 kg iodium sebesar Rp 625 000. Setiap harinya pihak perusahaan menggunakan 1 kg iodium yang disemprotkan ke garam yang telah melalui proses pencucian. Dalam satu tahun rata-rata perusahaan pengolahan membutuhkan iodium sebesar 264 kg. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian iodium dalam satu tahun sebesar Rp 165 000 000 (6.22%). Bahan baku yang juga sangat diperlukan adalah plastik, kebutuhan plastik masing-masing perusahaan berbeda karena kemasan produk garam briket dan garam halus sangat beragam. Untuk garam briket dikemas dalam ukuran 1 kg dan 2 kg, begitu juga dengan garam halus. Estimasi kebutuhan plastik perharinya sebanyak 5000 buah, sehingga dalam setahun dibutuhkan 1.32 juta buah plastik dengan harga persatuan Rp 50, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk pembelian plastik dalam satu tahun sebesar Rp 66 000 000 (2.49%). Perusahaan pengolahan garam membutuhkan solar untuk digunakan dalam proses pemanasan oven dan menjalan mesin selip setiap harinya sebesar 100 liter, sehingga dalam setahun total kebutuhan solar sebanyak 24 000 liter dengan harga solar Rp 4500 per liter maka perusahaan mengeluarkan biaya untuk pembelian solar pertahunnya sebesar Rp 108 000 000 (4.07%). Perusahaan pengolahan menerapkan upah yang berbeda bagi tenaga kerja berdasarkan tugas yang dijalankan. Upah dihitung berdasarkan jumlah hari kerja dan dibayarkan setiap minggu. Mekanisme pengupahan berdasarkan jumlah hari kerja dianggap paling efektif karena banyaknya kegiatan sosial yang menyebabkan sejumlah pekerja tidak masuk. Tenaga kerja yang bekerja di pabrik pengolahan garam sebagian besar adalah wanita dan merupakan istri petani garam. Jumlah tenaga kerja laki-laki hanya sepertiga dari keseluruhan tenaga kerja yang bertugas dibagian pengovenan, penyelipan garam dan iodisasi. Jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan garam briket 9.75 ton dan garam halus 1.50 ton sebanyak 30 orang terdiri dari 4 orang tenaga kerja pencucian dan penyelipan, 2 orang tenaga kerja iodisasi, 9 orang tenaga kerja mencetak garam dengan mesin dimana 1 mesin pencetak dikelola 3 orang, 5 orang tenaga kerja yang mencetak garam secara manual, 4 orang bekerja di ruang pemanasan, 4 orang tenaga kerja pegemasan sekaligus pengepakan dan 2 orang
52
tenaga kerja pengawas sekaligus administrasi. Alokasi pengeluaran untuk upah tenaga kerja sebesar Rp 317 460 000 (11. 98%) Komponen biaya lainnya yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan meliputi pembayaran pajak bumi (0.01%) dan bangunan, listrik (0.05%), serta pemeliharaan peralatan (0.94%). Pemeliharaan peralatan menjadi hal yang sangat penting karena bahan baku garam yang berasal dari air laut menyebabkan mesin sangat mudah berkarat atau rusak apabila tidak dirawat dengan baik. Sedangkan biaya yang tidak diperhitungkan yaitu biaya penyusutan mesin dan peralatan pengolahan sebesar Rp 42 479 167 (1.60%). Total biaya yang dikeluarkan oleh industri garam per tahunnya sebesar Rp 2 650 762 500. Secara rinci biaya pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil perhitungan pendapatan atas biaya total yang diperoleh perusahaan pengolahan garam setiap tahunnya sebesar Rp 1 667 437 500 dan nilai R/C sebesar 1.63. Keuntungan relatif yang diperoleh jauh lebih besar dari pelaku usaha lainnya karena perusahaan melakukan aktivitas penambahan nilai terhadap produk garam yang dihasilkan. Adanya peningkatan nilai tambah maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Hasil perhitungan tingkat pendapatan perusahaan pengolahan garam dapat dilihat pada Tabel 16 Tabel 16 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari perusahaan pengolahan garam briket dan halus di Kabupaten Rembang No 1 2 3 4 5 6 7 8
Uraian Penjualan garam briket Harga jual garam briket Penjualan garam halus Harga jual garam halus Penerimaan Biaya Total Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya total
Satuan ton/tahun Rp/ton ton/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Nilai 2 634 1 100 000 1184 1 200 000 4 318 200 000 2 650 762 500 1 667 437 500 1.63
Pendapatan Usaha Pedagang Pengumpul Besar Pedagang pengumpul besar berperan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengguna garam, seperti industri pupuk, pakan ternak dan pengasinan ikan. Bahan baku yang dibutuhkan sedikit berbeda dengan bahan baku yang ditawarkan pedagang perantara ke perusahaan pengolahan, terdapat spesifikasi tertentu tergantung kebutuhan dari pelanggan. Garam yang dibeli dari pedagang perantara umumnya disimpan di gudang pengumpul besar dengan kapasitas yang cukup besar. 2 responden pedagang pengumpul besar tidak memiliki gudang sendiri namun menyewa gudang milik pedagang perantara dengan alasan pembelian garam oleh pihak konsumen tidak dilakukan secara kontinyu, sehingga dengan menyewa jauh lebih efesien. Proses pengiriman garam biasanya dilakukan 1 bulan sekali selama musim garam (5bulan). Rata-rata penjualan garam dari pedagang pengumpul besar contoh pertahunnya sebesar 967 ton dengan harga rata-rata penjualan garam per tonnya mencapai Rp 666 667, sehingga rata-rata total penerimaan pedagang pengumpul besar setiap tahunnya sebesar Rp644 000 000.
53
Pedagang pengumpul besar memperoleh harga beli garam per tonnya dari pedagang perantara jauh lebih murah (Rp 383 333) dibandingkan harga yang ditawarkan ke pabrikan (Rp 466 667), selisih harga ini disebabkan adanya perbedaan biaya distribusi dan pengemasan. Penjualan garam ke perusahaan pengolahan mengeluarkan biaya distribusi dari gudang perantara ke gudang industri serta biaya pembelian karung dan pengemasan, sementara penjualan kepada pedagang pengumpul besar tidak perlu mengeluarkan biaya distribusi karena pihak pengumpul besar yang mengambil langsung dari gudang-gudang pedagang perantara dan melakukan pengemasan sendiri. Selain itu adanya hubungan kekerabatan antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar maka marjin harga diusahakan seminim mungkin. Total pembelian garam rata-rata pedagang pengumpul besar contoh sebesar 1 083 ton per tahun. Sehingga total biaya yang dikeluarkan unuk pembelian garam setiap tahun sebesar Rp 411 316 617 (92.23%). Dalam setiap kali proses pengiriman ke tujuan pemasaran, pedagang pengumpul besar selalu mengalami risiko produksi berupa penyusutan bobot garam antara 10-15%. Sehingga dari pengiriman 1 083 ton setelah sampai ke konsumen bobot garam hanya sebesar 967 ton. Biaya operasional lain yang dikeluarkan berupa biaya pembelian karung sebesar Rp 1 609 500 (0.37%), biaya pengangkutan dan pengemasan Rp 20 744 667 (4.64%), biaya distribusi dari gudang perantara ke gudang pengumpul besar Rp 4 500 000 (1.01%). Biaya pengiriman dari Rembang ke tujuan pemasaran yaitu industri pengguna (pupuk, pakan ternak, pengolahan ikan) yang lokasinya berada diluar Kabupetan Rembang seluruhnya menjadi tanggung jawab pihak pembeli. Pedagang pengumpul hanya mencari truk yang dapat disewa untuk pengiriman dan pembayaran atas sewa truk dibebankan pihak pembeli. Biaya lainnya berupa biaya yang diperhitungkan berupa sewa gudang pedagang perantara sebesar Rp 7 000 000 pertahun dan biaya penyusutan peralatan Rp 1 533 333. Biaya total yang dikeluarkan pedagang pengumpul besar setiap tahunnya sebesar Rp 438 974 167. Pendapatan yang diperoleh pedagang pengumpul besar setiap tahunnya sebesar Rp 197 295 833 dengan keuntungan relatif yang diperoleh berdasarkan R/C sebesar 1.44. Apabila dibandingkan dengan keuntungan relatif yang diperoleh pedagang perantara, maka pedagang perantara memiliki keuntungan lebih baik. Risiko yang dihadapi pedagang pengumpul besar jauh lebih besar dibandingkan pedagang perantara. Umumnya pedagang pengumpul besar tidak mengetahui secara pasti pihak pembeli, proses transaksi hanya berlangsung via telepon. Dengan jaminan kepercayaan pengumpul besar berani mengambil risiko penjualan karena memperhitungkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh. Satu dari dua responden pedagang pengumpul besar pernah mengalami kerugian hingga Rp 40 juta karena pihak pembeli tidak melunasi pembayarannya. Kekurangan lainnya adalah frekuensi pembelian yang tidak menentu setiap bulannya, tidak seperti pembelian yang dilakukan perusahaan pengolahan yang melakukan pembelian garam secara kontinyu dan pasti dalam pembayarannya. Analisis pendapatan yang diusahakan oleh pedagang pengumpul besar dapat dilihat pada Tabel 17, dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 13.
54
Tabel 17 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari pedagang pengumpul besar di Kabupaten Rembang No 1 2 3 4 5 6
Uraian Penjualan garam Harga jual garam Penerimaan Biaya Total Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya total
Satuan ton/tahun Rp/ton Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Nilai 967 383 333 644 000 000 446 704 167 197 295 833 1.44
Berdasarkan nilai R/C yang diperoleh, seluruh pelaku usaha dalam rantai nilai usaha garam rakyat menguntungkan dengan nilai R/C>1. Menurut Soekartawi (2002) nilai R/C > 1 maka usaha tersebut dapat dikatakan menguntungkan. Dalam rantai nilai usaha garam rakyat penggarap dan pemilik lahan yang ikut menggarap lahannya merupakan pihak yang memperoleh keuntungan terkecil, sedangkan pemilik lahan dan pelaku usaha yang bergerak dijalur pemasaran memiliki keuntungan lebih besar, terutama pada perusahaan pengolahan garam. Adanya peningkatan nilai tambah memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang perantara dan pengumpul besar yang tidak melakukan proses peningkatan nilai tambah. Dalam kemitraan yang terjalin antara pelaku usaha garam rakyat, penggarap dan pemilik lahan sekaligus penggarap merupakan pihak yang mengalami kerugian disebabkan tidak adanya kesetaraan dalam pengambilan keputusan sehingga menghasilkan pembagian keuntungan yang lebih kecil. Kondisi demikian menunjukkan bahwa kemitraan yang terjalin saat ini belum ideal karena belum adanya distribusi keuntungan yang merata. Perbandingan keuntungan relatif antara pelaku usaha garam rakyat di Kabupetan Rembang dapat dilihat pada Gambar 13.
R/C 1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
1.26
Penggarap
1.39
Pemilik lahan
1.32
Pemilik lahan sekaligus penggarap
1.49
1.63 1.44
Pedagang Perusahaan Pedagang perantara pegolahan Pengumpul besar
Gambar 13. Komparasi keuntungan relatif antar pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang
55
Analisis Biaya Transaksi Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang Biaya transaksi adalah biaya yang muncul karena adanya transfer kepemilikan. Biaya transaksi digunakan sebagai alat analisis untuk mengukur efesien tidaknya desain kelembagaan. Semakin tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi menunjukkan semakin tidak efesiennya kelembagaan yang didesain. Menurut Yustika 2010, analisis ini dalam operasionalisasi masih mengalami hambatan karena belum adanya makna yang definitif dimana antar ahli ekonomi kelembagaan memiliki pandangan yang berbeda dalam mengukur biaya transaksi. Analisis yang digunakan untuk mengukur besaran biaya transaksi yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku usaha garam rakyat meliputi (1) biaya asimetris informasi yaitu apabila salah satu pihak transaksi memiliki informasi yang terbatas tentang pembelian dan penjualan potensial daripada yang lain dan (2) biaya penyimpangan yang muncul karena adanya moral hazard dan (3) Biaya implementasi atas kesepakatan kelembagaan dan biaya pengawasan (North 1990, Williamson 1981). Komponen biaya transaksi yang terdapat disetiap pelaku usaha garam rakyat yaitu : Petani Penggarap Kesepakatan kontrak bagi hasil yang dijalankan antara penggarap dan pemilik lahan tidak luput dari biaya transaksi. Dalam kesepakatan kontrak penggarap memiliki kewajiban untuk memberikan seluruh hasil panennya kepada pemilik lahan dan pemilik lahan membayarkan setengah dari hasil panen. Tertutupnya akses pasar oleh pemilik lahan dan posisi tawar yang lemah menyebabkan penggarap tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh harga lebih baik. Informasi pasar yang terbatas yang diperoleh penggarap dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk memberikan harga lebih rendah dari yang seharusnya diterima. Harga garam rata-rata yang dibayarkan pemilik lahan kepada penggarap sebesar Rp 294 643 per tonnya sedangkan pemilik lahan dapat menjual garam kepada pedagang perantara bisa mencapai Rp 350 000 per ton, selisih harga tersebut merupakan keuntungan yang hilang karena adanya kontrak yang dilakukan dengan pemilik lahan. Melalui pola bagi hasil maka penggarap menerima pembayaran setengah dari hasil panen, jumlah produksi per tahunnya sebesar 62.5 ton dengan harga Rp 350 000 per ton maka total penerimaan sebesar Rp 21 875 000, sehingga penggarap seharusnya memperoleh penerimaan dari bagi hasil maro sebesar Rp 10 937 500, namun faktanya responden penggarap hanya menerima sebesar Rp 9 207 589. Selisih penerimaan sebesar Rp 1 729 911 merupakan biaya transaksi yang diterima oleh penggarap karena adanya pemaksaan kontrak yang dilakukan dengan pemilik lahan. Pemilik lahan Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan meliputi biaya implementasi dari kesepakatan kelembagaan, biaya asimetris informasi dan biaya pengawasan. Biaya pelaksanaan kontrak yang harus dikeluarkan oleh petani adalah iuran bersama untuk menormalisasi saluran air. Ketersediaan air laut secara kontinyu sangat penting pada usaha garam rakyat. Sebagai barang public air laut tidak bersifat komersial sehingga untuk memperolehnya tidak perlu mengeluarkan
56
sejumlah uang. Namun demikian penggunaan air laut yang berlebihan pada satu lokasi tambak garam dapat mengurangi aliran air laut bagi tambak garam lainnya terutama pada lokasi tambak garam yang berada jauh dari laut. Oleh karena itu distribusi air laut perlu diatur agar semua tambak garam dapat teraliri air laut secara baik. Pengaturan distribusi air laut sebagai bahan baku garam di kenal masyarakat petani garam di Kabupaten Rembang dengan kegiatan menormalisasi saluran air. Pelaksanaan menormalisasi saluran air dimulai pada awal musim garam yaitu bulan April dan Mei. Biaya yang dikeluarkan untuk menormalisasi saluran ini tidak murah karena perlu menyewa alat berat. Perhitungan biaya yang dikeluarkan berdasarkan luasan lahan tambak garam yang dimiliki. Untuk 1 Ha lahan garam pemilik lahan dikenai iuran sebesar Rp2 000 000, sedangkan untuk penggarap diwajibkan membantu tenaga apabila diperlukan. Kontrak bagi hasil yang dilakukan pemilik lahan dan penggarap umumnya penggarap mengetahui secara teknis bagaimana menghasilkan garam dengan baik dibandingkan pemilik lahan. Dalam kemitraan tersebut pemilik lahan menginginkan penggarap dapat menghasilkan kualitas satu untuk dapat meningkatkan harga jual, namun penggarap tetap menghasilkan kualitas dua karena waktu panen lebih cepat. Untuk menghasilkan kualitas dua dalam satu musim dapat melakukan 40 kali panen dengan hasil produksi 62.50 ton, sedangkan untuk menghasilkan kualitas satu hanya 35 kali panen dengan total produksi 54.68 ton. Harga garam kualitas satu sebesar Rp 400 000 per tonnya sedangkan kualitas dua menghasilkan Rp 350 000. Selisih Rp 50 000 per tonnya merupakan biaya oportunitas yang dimiliki oleh pemilik lahan. Penerimaan pemilik lahan kualitas dua sebesar Rp 10 156 250, sedangkan apabila menghasilkan kualitas satu pemilik lahan dapat memperoleh penerimaan sebesar Rp 10 937 500, sehingga biaya transaksi yang dikeluarkan pemilik lahan akibat adanya kontrak dengan penggarap sebesar Rp 781 250. Dalam implementasi kesepakatan kelembagaan, pemilik lahan mengeluarkan biaya negosiasi berupa pemberian pinjaman uang tunai kepada penggarap dan penyediaan mesin diesel untuk meringankan tenaga penggarap dalam memproduksi garam. Pada awal persiapan musim garam petani penggarap tidak memiliki pemasukan, sehingga bantuan finansial sangat dibutuhkan petani penggarap. Rata-rata pinjaman yang diberikan oleh responden pemilik lahan sebesar Rp 545 000. Sedangkan penyediaan mesin diesel dibutuhkan oleh penggarap untuk menyedot air laut masuk kedalam petakan. Tanpa ketersediaan mesin diesel petani sedianya dapat menggunakan kincir angin atau pompa manual/ebor. Menurut responden pemilik lahan, saat ini penggarap menuntut ketersediaan mesin diesel dalam aktivitas produksi garam. Apabila tidak disediakan maka pemilik seringkali kesulitan memperoleh tenaga penggarap. Biaya rata-rata yang dikeluarkan pemilik untuk mesin diesel sebesar Rp2 000 000 per unitnya. Dalam pelaksanaan kontrak perlu dilakukan pengawasan supaya implementasi dari kesepakatan kelembagaan yang telah dibuat dapat berjalan optimal, artinya terhindar dari tindakan moral hazard atau perilaku opportunis penggarap. Pemilik lahan melakukan pengawasan dengan turun ke tambak sekitar 2 kali dalam sebulan. Untuk memperat jalinan kemitraan petani pemilik contoh mengeluarkan biaya rata-rata untuk rokok atau minum kurang lebih Rp45 000 untuk setiap kali pertemuan, sehingga masa produksi selama 6 bulan maka total
57
biaya yang dikeluarkan untuk pengawasan sebesar Rp540 000 permusim. Total biaya transaksi yang dikeluarkan pemilik lahan sebesar Rp 5 866 250 per tahun. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan dapat dilihat pada Tabel 18 Tabel 18 Komponen biaya transaksi pemilik lahan Komponen Biaya Transaksi a. Biaya asimetris informasi b. Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan - Pemberian pinjaman kepada penggarap - Biaya menormalisasi saluran air - Penyediaan mesin diesel - Biaya pengawasan Total
Nilai (Rp/tahun) 781 250
545 000 2 000 000 2 000 000 540 000 5 866 250
% 13.32
9.29 34.09 34.09 9.21 100.00
Pemilik lahan sekaligus penggarap Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan sekaligus penggarap meliputi biaya implementasi dari kesepakatan kelembagaan dan biaya asimetris informasi. Seperti halnya dengan pemilik lahan, biaya yang dikeluarkan oleh pemilik lahan sekaligus penggarap untuk kegiatan menormalisasi saluran air sebesar Rp2 000 000. Iuran ini menjadi kesepakatan kelembagaan bagi petani yang memiliki lahan, dengan perhitungan 1 hektar lahan dibebankan biaya sebesar Rp 2 000 000. Pemilik lahan sekaligus penggarap di Kabupaten Rembang menjual hasil panennya kepada pedagang perantara setiap satu atau dua minggu sekali. Kontrak pemasaran yang dijalankan petani dengan pedagang perantara telah berlangsung cukup lama. Keberadaan pedagang perantara selain sebagai pelaku pemasaran juga memberikan jaminan sosial pada saat petani menghadapi kesulitan finansial. Kondisi ini dengan mudah menciptakan ketergantungan antara petani garam dengan pedagang perantara. Bentuk kompensasi dari ketergantungan ini adalah terciptanya kewajiban bagi petani untuk menjual garamnya kepada pedagang perantara dengan harga yang ditetapkan pedagang perantara. Kondisi asimetris informasi yang dihadapi pemilik lahan sekaligus penggarap dimanfaatkan oleh pedagang perantara dengan melakukan perilaku oportunis yaitu dengan menetapkan harga dibawah harga jual garam yang seharusnya. Rata-rata harga garam responden pemilik lahan sekaligus penggarap untuk kualitas 2 dibeli harga Rp304 167 per tonnya sedangkan harga jual garam maksimal yang bersedia dibayarkan pedagang perantara mencapai Rp350 000 per ton. Dengan tingkat rata-rata produksi garam untuk 1 hektar lahan menghasilkan 66.67 ton permusimnya, maka total biaya transaksi yang dikeluarkan petani pemilik sekaligus penggarap sebesar Rp3 055 566. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan sekaligus penggarap dapat dilihat pada Tabel 19.
58
Tabel 19 Komponen biaya transaksi petani pemilik sekaligus penggarap Komponen Biaya Transaksi - Biaya asimetris informasi (Selisih harga jual garam) - Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan (Menormalisasi saluran air) Jumlah
Nilai (Rp/tahun) 3 055 566
% 60.44
2 000 000
39.56
5 055 566
100
Pedagang Perantara Pedagang perantara merupakan pelaku ekonomi didalam usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang memiliki biaya transaksi terbesar karena proses transaksi berlangsung dengan petani dan perusahaan pengolahan garam. Biaya transaksi atas implementasi dari kesepakatan kelembagaan dengan petani garam berupa penyediaan gudang-gudang garam semi permanen berkapasitas 10 hingga 30 di lokasi sekitar tambak garam. Ketersediaan gudang akan memudahkan petani dalam mengumpulkan hasil panen garam tanpa harus mengganggu proses kristalisasi garam berikutnya. Pedagang perantara membangun dua unit gudang untuk satu desa dan bermitra dengan sejumlah petani yang tersebar di empat desa, sehingga total gudang yang dibangun mencapai 8 unit. Gudang tersebut dapat dimanfaatkan setiap waktu oleh petani mitra. Biaya pembangunan satu unit gudang tidak permanen sebesar Rp 3 000 000, maka biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan gudang sebesar Rp 24 000 000 Biaya transaksi lainnya adalah uang pengikat transaksi yang dikeluarkan oleh pedagang perantara berupa kemudahan pinjaman uang untuk awal persiapan lahan yang diberikan kepada pemilik lahan atau pemilik lahan sekaligus penggarap. Rata-rata pinjaman responden pedagang perantara sebesar Rp730 000 per petani dan akan dibayarkan oleh petani dengan memotong hasil penjualan, namun terdapat beberapa responden pedagang perantara menyatakan bahwa pinjaman tersebut tidak perlu dibayarkan namun terdapat kesepakatan untuk menjual garam hanya kepada pedagang perantara tersebut. Setiap satu orang pedagang perantara melakukan mitra minimal dengan 10 orang petani maka biaya transaksi yang harus dikeluarkan sebesar Rp7 300 000. Biaya transaksi yang dikeluarkan pedagang perantara karena adanya kontrak kemitraan dengan perusahaan pengolahan garam meliputi biaya asimetris informasi dan biaya implementasi kesepakatan kelembagaan. Biaya asimetris informasi berupa tidak lengkapnya informasi atas kualitas garam yang diinginkan perusahaan, menyebabkan penilaian atas kualitas 1 yang ditetapkan oleh pedagang perantara tidak diterima oleh perusahaan pengolah, pihak perusahaan menilai garam yang diterima merupakan kualitas 2. Selisih harga garam kuliatas 1 dan 2 dikisaran Rp 50per kg. Jika diasumsikan setengah dari total garam yang dijual ke peusahaan diasumsikan pedagang perantara sebagai kualitas 1, maka kerugian yang diterima pedagang perantara terhadap 1083 ton sebesar Rp 27 075 000. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 20.
59
Tabel 20 Komponen biaya transaksi pedagang perantara Komponen Biaya Transaksi Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan - Pembangunan fasilitas gudang - Pemberian pinjaman modal Biaya asimetri informasi - Penetapan kualitas garam Total
Nilai (Rp/tahun)
%
24 000 000 7 300 000
41.11 12.51
27 075 000 58 375 000
46.38 100.00
Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus Biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan garam briket dan halus untuk tetap berproduksi dan melaksanakan kontrak kerja adalah dengan membayar pengurusan produk garam berstandar nasional setiap 3 (tiga) tahun sekali. pembayaran untuk SNI sebesar Rp5 000 000, biaya ijin usaha yaitu pengurusan SIUP sebesar Rp350 000 per 5 (lima) tahun serta biaya perpanjangan merk dagang sebesar Rp 3 000 000 per tahunnya. Untuk tetap menjalin hubungan kemitraan dengan pedagang perantara secara berkelanjutan, perusahaan pengolahan membantu kemudahan pinjaman tanpa bunga kepada para pedagang perantara. Sedianya pedagang perantara dapat mengakses pinjaman dari lembaga pembiayaan namun prosedur peminjaman dan besarnya bunga pinjaman dirasakan sangat memberatkan. Kondisi ini dimanfaatkan pihak perusahaan untuk memberikan bantuan modal sehingga dapat mengikat kerjasama dengan pedagang perantara. Nilai pinjaman pedagang pengumpul kecil responden kepada pihak perusahaan rata-rata sebesar Rp4 333 333 per pedagang perantara. Setiap perusahaan pengolahan garam minimal memiliki 5 pedagang perantara maka biaya transaksi yang dikeluarkan untuk melanggengkan kontrak dengan para perantara sebesar Rp 21 666 667. Biaya transaksi terbesar yang dikeluarkan pihak perusahaan adalah tindakan moral hazard berupa plagiat merek dagang yang dilakukan oleh perusahaan pesaing yang berada diluar Kabupaten Rembang. Plagiat merek dagang diterima tiga dari empat responden perusahaan pengolahan di Rembang. Adanya kemiripan merek diduga menyebabkan turunnya omset perusahaan mencapai Rp100 000 000 pertahunnya. Kemiripan merk dagang dilakukan oleh perusahaan pengolahan yang berada di luar Kabupetan Rembang sangat merugikan pihak perusahaan. Kegiatan pengawasaan dilakukan oleh pihak industri dengan melakukan pemantauan pada saat terjadi bongkar muat yang dilakukan pihak pedagang perantara di gudang, namun tidak ada biaya yang dikeluarkan. Biaya transaksi untuk pengawasan adalah dengan menyertakan staf pabrik untuk ikut dalam distribusi garam olahan ke agen. Pengawasan sangat diperlukan karena perilaku moral hazard dalam setiap proses pengiriman seringkali terjadi, seperti menjual sejumlah kecil garam briket atau halus yang bukan tujuan pasar atau ketidak tepatan waktu pengiriman sesuai kesepakatan. Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan untuk setiap transaksi jula beli ke agen dan pengecer diperkirakan Rp 1 000 000. Dalam setahun proses pengiriman berlangsung 12 kali dengan 3 wilayah pemasaran, sehingga total biaya yang dikeluarkan untuk biaya pengawasan sebesar Rp36 000 000. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan dapat dilihat pada Tabel 21.
60
Tabel 21 Komponen biaya transaksi perusahaan pengolahan Komponen Biaya Transaksi Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan - Pemberian pinjaman ke perantara - Pembayaran SNI - Pembayaran SIUP - Perpanjangan merk Biaya penyimpangan - Plagiat merek dagang Biaya pengawasan Total
Nilai (Rp/tahun)
%
21 666 667 5 000 000 350 000 3 000 000
13.05 3.01 0.21 1.08
100 000 000 36 000 000 166 016 667
60.23 21.68 100.00
Pedagang Pengumpul Besar Proses transaksi antara pedagang pengumpul besar dengan pedagang perantara berjalan dengan baik. Dalam menentukan harga jual garam berdasarkan kesepakatan bersama, masing-masing pihak memiliki informasi yang baik mengenai harga dan kualitas garam yang ditransaksikan. Kondisi ini mampu meminimalisir biaya asimetris informasi. Perilaku opportunis dan penyimpangan lainnya juga dapat dihindari karena baik pedagang perantara maupun pedagang pengumpul besar saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang spesifik. Biaya transaksi yang dikeluarkan pedagang pengumpul besar diperoleh dari proses transaksi dengan pelanggan (industri pengguna garam). Ketidaklengkapan informasi yang diperoleh menyebabkan kesepakatan yang dibuat tidak sempurna. Khusunya pada informasi jenis kualitas yang diinginkan pelanggan dan dampaknya turunnya harga beli garam dari kesepakatan yang telah dibuat. Biaya transaksi yang dikeluarkan karena adanya asimetris informasi diasumsikan oleh responden pedagang pengumpul besar sebesar Rp 10 000 000 berupa kerugian yang diterima atas impelementasi kesepakatan kontrak yang dilakukan dengan pihak pembeli yaitu pembayaran atas garam oleh pembeli sesuai dengan bobot timbangan yang dihitung oleh pihak pembeli. Dalam proses pengiriman terjadi penyusutan bobot garam hingga 10%. Pada saat garam akan dikirim ke pelanggaan berat garam sebesar 1073 ton, namun setelah sampai di gudang pelanggan terjadi penyusutan bobot garam garam hanya sebesar 906 ton. Dengan harga jual garam untuk industri pengguna sebesar Rp 666 667, maka kerugian akibat penyusutan bobot garam yang dimiliki pengumpul besar mencapai Rp 71 333 333. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul besar dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Komponen biaya transaksi pedagang pengumpul besar Komponen Biaya Transaksi Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan - Penyusutan bobot garam Biaya asimetris informasi Total
Nilai (Rp/tahun) 71 333 333 10 000 000 81 333 333
%
87.70 12.30 100.00
61
Setiap organisasi/bisnis berusaha menciptakan kondisi dimana setiap pihak dapat berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan pihak lain pada biaya transaksi yang ekonomis dan efisien (Yustika, 2010), untuk mengetahui tingkat efisiensi ekonomi dari pelaksanaan kontrak pemasaran antara pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang menggunakan nilai rasio biaya transaksi terhadap penerimaan. Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan petani merupakan pelaku usaha yang memperoleh rasio terbesar, artinya bahwa interaksi ekonomi yang terjadi antara penggarap dengan pemilik lahan dan pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang pengumpul besar kurang efisien seperti pada transaksi ekonomi yang berlangsung antara pedagang perantara dengan pihak perusahaan pengolahan yang memiliki nilai rasio biaya transaksi terhadap penerimaan yang rendah. Tabel 23 Rasio biaya transaksi – penerimaan usaha garam rakyat No
1 2 3 4 5 6
Pelaku Usaha Garam Rakyat Petani Penggarap Petani pemilik Petani penggarap sekaligus pemilik Pedagang perantara Perusahaan pengolahan Pedagang pengumpul besar
Biaya Transaksi (Rp/tahun)
Penerimaan (Rp/tahun)
1 729 911 5 866 250
9 207 589 10 156 250
Rasio Biaya Transaksi Penerimaan 0.19 0.38
5 055 556
20 277 778
0.25
58 375 000 166 016 667 81 333 333
771 375 000 4 318 200 000 644 000 000
0.08 0.04 0.11
Kerja kelembagaan dari perusahaan pengolahan merupakan yang paling efisien dengan nilai rasio sebesar 0.04 dimana setiap penerimaan perusahaan pengolahan sebesar Rp100 maka perusahaan pengolahan menanggung biaya transaksi sebesar Rp 4. Sedangkan aktivitas transaksi ekonomi yang paling tidak efisien adalah pemilik lahan dan pemilik lahan sekaligus penggarap. Rasio biaya transaksi-penerimaan juga menunjukkan besaran transfer surplus yang terjadi pada masing-masing usaha. Nilai rasio biaya transaksi-penerimaan petani pemilik sekaligus penggarap sebesar 0.25 berarti bahwa 25 persen dari penerimaan pemilik lahan sekaligus penggarap tersebut dinikmati oleh pelaku lain bukan oleh petani itu sendiri. Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa dari seluruh usaha garam rakyat dapat dilihat bahwa usaha yang memiliki kelembagaan paling efisien adalah pengolahan garam briket, sedangkan yang paling tidak efisien adalah petani. Ketergantungan yang tinggi antara penggarap dengan pemilik lahan dan antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara menciptakan posisi tawar yang tidak setara. Hal ini menyebabkan harga jual lebih rendah dibandingkan harga yang seharusnya diterima. Perbedaan harga dari pedagang perantara dengan harga pasar merupakan biaya transaksi yang harus ditanggung petani garam. Hal ini sesuai dengan teori Wang (2003) bahwa nilai yang dibayarkan oleh konsumen terhadap suatu barang yang tidak seluruhnya diterima oleh penjual dan selisihnya disebut sebagai biaya transaksi. Selain itu struktur pasar komoditas garam yang tidak sempurna dimana banyak penjual sedikit pembeli menyebabkan terciptanya pasar yang tidak sempurna, dimana petani bertindak sebagai penerima harga dan pedagang perantara sebagai penentu harga.
62
Analisis Kinerja Pemasaran Usaha Garam Rakyat Beberapa lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran usaha garam rakyat meliputi penggarap, pemilik lahan, pemilik lahan sekaligus penggarap, pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pedagang pengumpul besar. Dalam proses pendistribusiannya, setiap pelaku dalam rantai nilai memiliki pilihan untuk memasarkan garamnya. Analisis saluran pemasaran akan menggambarkan macam saluran dan volume garam yang keluar dan masuk melalui saluran pemasaran tertentu. Berdasarkan data petani sampel yaitu penggarap (n=14) pemilik lahan (n=4), pemilik lahan sekaligus penggarap (n=12), pedagang perantara (n=6), perusahaan pengolahan (n=4) dan pedagang pengumpul besar (n=2) dapat digambarkan dalam saluran pemasaran yang diperlihatkan pada Gambar 14. Saluran pemasaran yang dianalisis hanya terdiri dari rantai atau jalur yang dilalui dalam proses penyampaian garam dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir (pabrik pengolahan/pedagang pengumpul besar).
Penggarap (n=14) Vol GK 62.5 ton/thn/penggarap 85.72%
Pemilik Lahan sekaligus Penggarap (n= 12) Vol GK 66.67 ton/thn/petani
14.28 % 25%
Pemilik Lahan (n=4) Vol GK 300 ton/thn 75%
25%
Pedagang Perantara (n=6) Vol GK 1583 ton/thn
100%
Perusahaan Pengolahan (n=4) Vol GB 2634 ton/thn Vol GH 1184 ton/thn
Konsumen (Agen dan Pengecer) Keterangan :
75%
33.33%
Pedagang Pengumpul Besar (n= 2) Vol GS 1073 ton/thn
Konsumen (Industri Pupuk, pakan ternak, pengolahan ikan)
Saluran 1; Saluran 2; Saluran 3; Saluran4 GK (Garam krosok), GH (Garam halus), GB (Garam briket), GS (Garam spesifik)
Gambar 14. Saluran pemasaran garam di Kabupaten Rembang
63
Pada Gambar 14 dapat diketahui terdapat 4 macam saluran pemasaran yaitu Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4
: Penggarap – pemilik lahan – pedagang perantara – perusahaan pengolahan : Penggarap – pemilik lahan – pedagang perantara – pengumpul besar : Pemilik lahan sekaligus penggarap – pedagang perantara – perusahaan pengolahan : Pemilik lahan sekaligus penggarap – pemilik lahan – pedagang perantara – pengumpul besar
Perbedaan dari keempat saluran adalah sumber kepemilikan garam yang terbagi atas penggarap dan pemilik lahan sekaligus penggarap dan tujuan akhir pemasaran garam yaitu perusahaan pengolahan dan pengumpul besar, persamaanya bahwa semua rantai pemasaran harus melalui pedagang perantara. Kondisi ini menunjukkan pedagang perantara memiliki peran penting dalam memasarkan garam petani dan memasok kebutuhan bahan baku baik ke perusahaan pengolahan maupun ke pedagang pengumpul besar. Petani tidak memiliki akses langsung ke perusahaan pengolahan karena tidak mampu memenuhi persyaratan kuantitas yang diminta perusahaan, sedangkan pedagang pengumpul besar kesulitan menemukan petani yang dapat memenuhi syarat kualitas dan kuantitas yang diminta, sehingga lebih memudahkan untuk mendapatkan sumber bahan baku langsung dari pedagang perantara. Garam krosok untuk pedagang pengumpul besar disesuaikan dengan spesifik kebutuhan industri pengguna. Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa saluran pemasaran 1 dan 2 garam krosok yang dihasilkan oleh penggarap kemudian dibayarkan pemilik lahan dengan pola bagi hasil, kemudian garam oleh pemilik lahan dijual ke pedagang perantara dan oleh pedagang perantara diseleksi kembali untuk memisahkan garam krosok yang nantinya akan dijual ke perusahaan pengolahan atau ke pedagang pengumpul besar. Garam krosok yang dihasilkan oleh responden penggarap terdapat 12 orang (85.72%) menghasilkan garam untuk kebutuhan perusahaan pengolahan dan 2 orang (14.28%) menghasilkan garam untuk kebutuhan pengumpul besar, kemudian garam diserahkan kepada pemilik lahan. Dari 4 responden pemilik lahan hanya 1 orang (25%) yang memenuhi kebutuhan garam krosok untuk pedagang pengumpul besar sisanya untuk kebutuhan garam perusahaan pengolahan. Pada saluran pemasaran 3 dan 4, garam krosok dihasilkan oleh 12 responden pemilik lahan sekaligus penggarap. Sebanyak 2 orang (25%) menghasilkan garam untuk pedagang pengumpul besar dan 9 orang (75%) menghasilkan kualitas garam untuk perusahaan pengolahan. Selanjutnya garam dijual ke pedagang perantara, dari 6 responden pedagang perantara keseluruhannya (100%) menyuplai kebutuhan bahan baku garam untuk perusahaan pengolahan, dan 2 orang (33.33%) selain menyuplai garam ke perusahaan pengolahan juga menyuplai ke pedagang pengumpul besar. Kondisi diatas menunjukkan bahwa sebagian besar petani melakukan pemasaran pada saluran 1 dan 3. Analisis yang digunakan untuk mengukur kinerja pasar usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang adalah marjin pemasaran dan farmer share.
64
Pengertian marjin disini adalah selisih harga beli dan harga jual disetiap tingkat lembaga pemasaran. Dengan demikian marjin total merupakan selisih harga ditingkat petani dengan harga ditingkat perusahaan pengolahan atau pedagang pengumpul besar. Komponen marjin pemasaran ini terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran. Efisiensi pemasaran terjadi jika mampu menekan biaya pemasaran sehingga keuntungan pemasaran lebih tinggi, persentase perbedaan harga yang di bayarkan tidak terlalu tinggi, menciptakan nilai tambah yang tinggi terhadap produk agribisnis dan bagian harga yang diterima produsen relatif merangsang produsen untuk berproduksi. Berdasarkan hasil analisis sebaran marjin yang ditunjukkan pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa saluran pemasaran 1 memiliki keuntungan paling besar (Rp 750 620 per ton) dan mampu menekan biaya pemasaran (Rp 104 737 per ton). Sedangkan keuntungan terkecil terdapat pada saluran 4 (Rp 253 175 per ton) dengan biaya pemasaran yang lebih besar dibandingkan pada saluran 1 (Rp 109 325 per ton). Besarnya marjin yang diperoleh pada saluran pemasaran 1 disebabkan adanya peningkatan nilai tambah garam yang dilakukan oleh perusahaan pengolahan yaitu garam krosok menjadi garam briket dan halus. Peningkatan nilai tambah garam akan meningkatkan marjin pemasaran. Marjin tertinggi diperoleh pada saluran pemasaran 1 yaitu sebesar Rp 855 357 per ton, kemudian diikuti oleh saluran pemasaran 3 (Rp 845 833). Pada saluran 2 dan 4 nilai marjin relatif kecil disebabkan tidak adanya peningkatan nilai tambah garam, dimana garam langsung dijual kepada industri pengguna. Pada saluran 3 dan 4 dapat dilihat lembaga pemasaran yaitu perusahaan pengolahan melakukan fungsi pemasaran yang cukup banyak yaitu bongkar muat dan pencucian (Rp 6223/ton), pencetakan dengan mesin (Rp 3116/ton), pencetakan manual (Rp12 965/ton), iodisasi (Rp5 186/ton), pengovenan (Rp13 829/ton), pengemasan (Rp5 532/ton) dan biaya administrasi (Rp8 298/ton). Banyaknya fungsi pemasaran yang dilakukan menyebabkan marjin pemasaran yang terbentuk juga besar. Hasil analisis pemasaran yang dilakukan pada usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suherman et al (2011) dimana marjin pemasaran usaha garam rakyat di Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep distribusi marjin yang panjang terletak di lembaga pemasaran pabrik karena melakukan banyak sekali fungsi pemasaran, sehingga terbentuk marjin pemasaran terbesar pada pabrik. Biaya pemasaran pada saluran 2 dan 4 jauh lebih kecil karena pedagang pengumpul besar tidak melakukan proses pengolahan. Biaya pemasaran yang dikeluarkan hanya terdiri dari biaya pengemasan dan pengangkutan (Rp19 333/ton), biaya distribusi dari gudang-gudang milik pedagang perantara ke gudang pengumpul besar (Rp4658/ton) dan biaya penyusutan bobot garam selama proses distribusi sebesar 10 persen (Rp66 667). Dari hasil analisis marjin pemasaran garam rakyat di Kabupaten Rembang dapat ditunjukkan bahwa adanya peningkatan nilai tambah dapat meningkatkan nilai marjin pemasaran, namun dengan nilai marjin pemasaran belum cukup untuk menunjukkan kinerja pasar tergolong efisien atau tidak. Perlu kajian lebih lanjut terhadap share harga yang diterima oleh petani garam. Pemasaran dianggap efisien bila masing-masing pelaku pasar menerima bagian keuntungan yang layak atas pengorbanan biaya yang telah dikeluarkan selama kegiatan pemasaran dan bagian harga yang
65
diterima produsen (petani) mampu merangsang petani untuk meningkatkan produksi. Sebaran marjin pemasaran garam dan share harga pada setiap saluran pemasaran garam rakyat di Kabupaten Rembang ditunjukkan pada Tabel 24 Tabel 24 Sebaran marjin pemasaran garam dan share harga pada setiap saluran pemasaran garam rakyat di Kabupaten Rembang Uraian Biaya pemasaran Keuntungan pemasaran Total Marjin Share harga
Satuan Rp/ton Rp/ton
Saluran 1 104 737 750 620
Saluran 2 109 325 262 698
Saluran 3 104 737 741 096
Saluran4 109 325 253 175
Rp/ton %
855 357 25.62
372 024 44.20
845 833 26.45
362 500 45.62
Tabel 24 memperlihatkan bahwa share harga yang diterima petani (farmer’s share) pada saluran 4 (45.63%) dan 2 (44.20%) jauh lebih besar dibandingkan saluran 1(25.62%) dan 3(26.45%), artinya bahwa saluran 2 dan 4 memberikan manfaat bagi petani lebih baik dibandingkan saluran pemasaran 1 dan 3. Sementara itu, sebagian besar petani garam (75% responden petani pemilik sekaligus penggarap, 85.72% responden penggarap) melakukan aktivitas pemasaran pada saluran 1 dan 3, sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja pemasaran yang saat ini dijalankan sebagian besar pelaku usaha garam rakyat relatif belum efisien karena kepuasan tidak dinikmati oleh seluruh lembaga pemasaran. Dengan share harga yang rendah diterima petani, berarti petani belum menikmati tingginya harga jual garam olahan yang dipasarkan pihak perusahaan. Berdasarkan hasil analisis pendapatan, analisis kerja ekonomi kelembagaan dan analisis efisiensi pemasaran dapat disimpulkan bahwa petani penggarap dan pemilik lahan sekaligus penggarap merupakan pelaku usaha yang dirugikan dalam transaksi ekonomi yang berjalan saat ini di Rembang, sedangkan pelaku usaha lainnya yaitu pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pengumpul besar memperoleh keuntungan dari transaksi ekonomi yang ada. Posisi tawar petani yang lemah karena adanya kemitraan yang terikat dengan permodalan menyulitkan petani untuk memperbaiki tingkat ekonomi. Oleh karena itu perlu dirumuskan model bisnis yang dapat memberikan perbaikan ekonomi bagi petani.
7 MODEL BISNIS BERBASIS KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT di KABUPATEN REMBANG Pada usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang terdapat keterikatan antara petani garam dengan perusahaan pengolahan. Hal ini dikarenakan pada tingkat petani memiliki keahlian untuk memproduksi garam, namun memiliki keterbatasan dalam mengakses pasar dan teknologi. Sebaliknya di tingkat pengolah membutuhkan kontinuitas bahan baku dan memiliki kekuatan dalam hal teknologi dan akses pasar. Kebutuhan yang berbeda antara petani dengan perusahaan selama ini dijembatani oleh pedagang perantara. Keberadaan pedagang perantara selain membantu menjamin pasar juga membantu petani dalam mengatasi permasalahan finansial. Bantuan pinjaman untuk modal usaha sekaligus pemenuhan kebutuhan sehari-hari memperkuat ikatan kemitraan.
66
Namun kondisi demikian mengakibatkan posisi tawar petani semakin lemah ditambah asimetri informasi yang dimiliki petani sehingga memberikan kesempatan untuk pedagang perantara memperoleh keuntungan dengan menekan harga jual garam petani dan petani cenderung sebagai penerima harga (price taker). Model bisnis kemitraan garam rakyat saat ini dapat dilihat pada Gambar 15.
Petani
Pemerintah
Pedagang pengumpul kecil
Lembaga Pembiayaan
Keterangan:
Industri pengolahan garam briket dan halus
Pedagang Pengumpul besar
Kerjasama permodalan Kerjasama pemasaran
Gambar 15 Model bisnis usaha garam rakyat saat ini Pada rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang petani merupakan pelaku usaha yang memiliki pendapatan yang rendah terutama bagi penggarap, jika membandingkan keuntungan relatif (R/C) maka petani memperoleh keuntungan terkecil dibandingkan pelaku usaha lainnya. Sementara berdasarkan kelembagaan petani, dilihat dari hasil rasio biaya transaksi dengan penerimaan, petani memperoleh nilai terbesar dibandingkan pelaku usaha lainnya, artinya bahwa kelembagaan yang dijalankan petani saat ini belum efisien. Tidak adanya desain aturan (kontrak formal) maka petani garam dapat dengan mudah mengalami kerugian. Kemitraan yang dijalankan petani dengan pedagang perantara belum mencerminkan kemitraan ideal karena tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dan pembagian keuntungan yang belum proporsional. Aktifitas pemasaran relatif belum efektif dilihat dari share harga yang diterima sebagian besar petani rendah (<30%). Seharusnya, dalam aktivitas pemasaran komoditas pertanian, share harga yang diterima petani dapat mencapai 40 persen atau lebih dari harga yang dibayarkan oleh konsumen (Kohl dan Uhls 2002). Kondisi demikian apabila terus dibiarkan maka sulit bagi petani garam untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pemerintah sedianya telah berusaha mengatasi permasalahan yang terjadi pada usaha garam rakyat dengan melakukan intervensi berupa penetapan harga dasar garam ditingkat petani (Rp 550 per kg untuk garam kualitas 2 dan Rp 750 per kg untuk kualitas 1), namun kebijakan ini tidak berjalan dengan baik di Kabupaten Rembang. Tidak efektifnya pemerintah atas implementasi penerapan
67
harga dasar ini menurut sebagian besar responden disebabkan terbatasnya pengawasan dan mekanisme sanksi dan penegakan serta belum adanya lembaga yang mampu mengontrol harga. Intervensi lainnya berupa pemberian subsidi berupa bantuan langsung tunai yang digunakan untuk penyediaan sarana peralatan produksi bagi petani. Namun 43.33% responden petani mengungkapkan bantuan tersebut tidak sepenuhnya tepat sasaran karena saat ini kebutuhan mendesak petani adalah kemudahan akses pembiayaan dan perbaikan kelembagaan untuk meningkatkan posisi tawar petani. Adanya subsidi tersebut memotivasi tumbuhnya petani garam dadakan dan terjadi peningkatan produksi yang sangat besar namun tidak adanya lembaga penyangga maka kondisi ini dimanfaatkan pelaku pemasaran untuk memberikan harga yang rendah. Selain itu bantuan tersebut diberikan kepada penggarap, padahal ketersediaan peralatan menjadi tanggung jawab pemilik, tentu saja adanya bantuan peralatan memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bukan kepada penggarap. Menurut Kelly (2012), permasalahan terhadap akses pembiayaan tidak sebaiknya diselesaikan melalui subsidi dan dalam bentuk input pertanian, peralatan, dana bergulir atau hibah, melainkan Pemerintah dapat menggunakan alternatif atas akses pembiayaan yang dianggap lebih baik. Desain model bisnis yang yang diusulkan untuk memperbaiki interaksi ekonomi usaha garam rakyat berdasarkan hasil focus group discussion antara petani, pedagang perantara dan perusahaan pengolahan adalah dibentuknya kelembagaan ekonomi yang berperan sebagai mitra petani sekaligus mitra bagi industri pengolahan maupun pedagang perantara. Beberapa opsi lembaga ekonomi yang ditawarkan diantaranya (1) penguatan kelompok tani, (2) pembentukan lembaga koperasi, (3) penerapan sistem resi gudang, (4) kemitraan pola inti plasma antara perusahaan pengolah dengan petani garam. Opsi pertama yaitu penguatan kelompok tani dalam bentuk program pemberdayaan usaha garam rakyat telah dilakukan oleh pemerintah selama dua tahun terakhir, namun pembentukan kelompok tersebut terbukti belum mampu memperbaiki posisi tawar petani. Opsi kedua adalah pembentukan lembaga koperasi. Opsi koperasi tidak terlalu melenceng mengingat tingkat akseptabilitas yang tinggi diantara petani dan feasibilitas kelembagaan yang tinggi untuk implementasinya (diantaranya karena prosedur pendiriannya relatif dikenal dan bisa dilakukan). Secara teoretik koperasi mewujudkan prinsip ekonomi economies of scale and economies of size, efisiensi dalam pengurusan produksi dan pemasaran bisa ditingkatkan karena biaya overhead rata rata yang lebih rendah. Disamping itu peningkatan skala dan ukuran usaha melalui koperasi (bila dibanding dengan tindakan individu petani garam) akan memperbaiki posisi petani di pasar. Koperasi dapat menghimpun garam dari petani dan menjualnya secara kolektif ke perusahaan pengolahan. Pengelompokan petani garam rakyat melalui koperasi dapat mengatasi dominasi peran pedagang perantara dalam mengendalikan pasar garam di Kabupaten Rembang. Selain membantu anggota dalam pembentukan kekuatan tawar untuk menentukan harga garam, kehadiran koperasi bagi perusahaan pengolahan diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan garam terutama untuk garam kualitas 1 dari pasokan lokal yang selama ini sulit diperoleh dari pedagang perantara. Sedangkan pedagang perantara bisa memanfaatkan kehadiran koperasi salah satunya dalam
68
bentuk menyewakan gudang-gudang yang dimiliki pedagang perantara kepada koperasi. Opsi ketiga sesuai dengan rekomendasi Kementerian Perdagangan 3 untuk membentuk lembaga penyangga melalui “penerapan resi gudang” dengan tujuan membantu petani memperoleh modal, namun opsi kelembagaan ini kurang cocok diterapkan untuk petani garam, kemungkinan karena persoalan feasibility. Kelebihan dari skema pembiayaan resi gudang yang ditawarkan adalah bunga kredit yang dibayarkan hanya sebesar 6%, namun untuk memperoleh resi gudang tidak mudah, banyak sekali biaya transaksi (kesepakatan kelembagaan) yang harus dipenuhi petani, diantaranya biaya untuk menyimpan garam di gudang meliputi biaya transportasi, biaya pengujian mutu di laboratorium yang ditunjuk, biaya pengeringan, biaya gudang, biaya bunga kredit dan biaya asuransi atas barang komoditi. Syarat ini tentu saja sangat memberatkan para petani garam dan menurut hemat penulis, hal ini tidak mudah diterapkan untuk usaha garam rakyat, dan petani akan mudah kembali beralih dengan model bisnis lama. Opsi terakhir adalah kemitraan inti plasma antara petani garam dengan perusahaan pengolahan. Kelebihan yang diperoleh dari kemitraan pola inti plasma adalah adanya jaminan pasar bagi petani, sedangkan bagi perusahaan pengolahan memperoleh jaminan pasokan bahan baku garam krosok, namun opsi ini tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Perusahaan pengolahan menolak untuk melakukan pembinaan dan menyediakan lahan serta sarana produksi untuk petani garam yang akan menjadi plasma, sedangkan bagi petani dengan bermitra langsung dengan perusahaan pengolahan diyakini tidak akan dapat meningkatkan posisi tawar karena dominasi peran perusahaan pengolah terhadap petani garam. Dari keempat opsi yang ditawarkan kepada petani garam, pembentukan koperasi merupakan opsi solusi terbaik dari kelembagaan yang ditawarkan karena mampu meningkatkan daya tawar petani dan mampu mengeliminasi biaya transaksi. Menurut Kelly dalam FAO (2012) untuk dapat meningkatkan daya tawar, petani harus dapat berpartisipasi dalam struktur organisasi formal maupun informal, salah satunya dalam bentuk koperasi pemasaran. Dengan melakukan pemasaran secara kolektif maka petani memiliki kemampuan untuk tawar menawar. Untuk memberikan dorongan kepada petani agar mau bergabung dalam organisasi maka harus ada kontrak pertanian yang jelas. Desain kontrak kerjasama antara petani dengan koperasi dapat dilihat pada lampiran 13. Organisasi petani tradisonal seperti koperasi merupakan salah satu cara untuk mengatur pasokan produk petani kecil melalui rantai nilai pasar sekaligus menawarkan petani ruang untuk bersama-sama menghadapi tuntutan pertanian modern, dengan koordinasi kegiatan, seperti pembelian massal input, pemasaran bersama, negosiasi kredit dan kontrak, dan melobi pembuat kebijakan/hukum/peraturan. Jika berhasil, tindakan kolektif dapat mengatasi hambatan utama yang terkait dengan biaya transaksi yang tinggi, masuk ke pasar bernilai tinggi, dan kemudahan akses ke lembaga pembiayaan dan perbankan. Penentuan atas opsi kelembagaan kemitraan yang mampu memperbaiki transaksi ekonomi usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Tabel 25.
3 Komoditas garam diminta manfaatkan resi gudang diunduh. http://www.bi-online.com. [20 September 2012]
69
Tabel 25. Opsi kelembagaan kemitraan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang No Opsi Positif (+) Negatif (-) 1 Penguatan - Dukungan penuh oleh - Ketergantungan yang kelompok tani pemerintah (program tinggi atas bantuan pengembangan usaha pemerintah garam rakyat) berupa - Terbukti tidak mampu penyediaan bantuan meningkatkan posisi peralatan produksi tawar petani 2 Koperasi - Mewujudkan prinsip - Kemampuan manajerial ekonomi economies of sumberdaya manusia scale dan economies of untuk mengelola size koperasi terbatas - Dapat mengatasi hambatan utama yang terkait dengan biaya transaksi yang tinggi - Peningkatan posisi tawar - Kemudahan akses ke lembaga pembiayaan 3 Resi gudang - Kemudahaan atas - Biaya transaksi tinggi pinjaman dengan bunga meliputi biaya transportasi, pengujian rendah (6%) mutu di laboratorium yang ditunjuk, biaya pengeringan, biaya gudang, biaya bunga kredit dan biaya asuransi atas barang komoditi 4 Inti plasma - Adanya jaminan pasar - Adanya dominasi peran inti terhadap semua - Penyediaan modal dan keputusan bisnis sarana produksi bagi petani (plasma) - Petani tidak dapat meningkatan posisi tawar Bentuk koperasi yang diusulkan adalah koperasi pemasaran dan pengolahan secara terbatas, dalam hal ini berupa fortifikasi melalui iodisasi. Untuk dapat bersaing dengan pedagang perantara, maka koperasi dapat meningkatkan nilai tambah yaitu garam yang telah melalui proses fortifikasi/iodisasi, kemudian dari koperasi garam dipasarkan ke perusahaan pengolahan. Pemerintah tidak lagi langsung memberikan bantuan subsidi ke petani namun bantuan diarahkan ke koperasi dalam bentuk pelatihan manajerial bagi pengurus, kemudahan akses ke lembaga pembiayaan dan memfasilitasi kemitraan dengan industri pengolahan lainnya. Lembaga pembiayaan yang sebelumnya lebih memperhatikan industri pengolahan kini beraliah ke koperasi
70
dengan jaminan kepercayaan dari pemerintah. Usulan desain model bisnis baru untuk usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Gambar 16.
Petani (garam spesifik)
Petani
Pemerintah Pedagang Perantara
Pedagang Pengumpul Besar
Koperasi Perbankan
Industri Pengolahan
Gambar 16 Usulan desain Model bisnis usaha garam rakyat Koperasi yang akan dibangun harus dapat menerapkan prinsip tata kelola koperasi yang baik/good governance cooperative sebagai solusi untuk mengantisipasi kegagalan-kegagalan koperasi terdahulu (Prijambodo, 2012). Good governance cooperative meliputi (1) transparansi yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi material dan relevan mengenai koperasi. Informasi dapat diakses oleh seluruh anggota koperasi diantaranya berkaitan dengan informasi kinerja koperasi, kinerja keuangan dan resiko yang dihadapi, (2) Akuntabilitas yaitu adanya kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban manajemen koperasi sehingga pengelolaan koperasi dapat berjalan efektif, (3) Kemandirian, yaitu koperasi dikelola secara profesional, tanpa benturan kepentingan/ pengaruh dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi yang sehat. Dalam prinsip kemandirian ini tidak ada dominasi satu pihak kepada pihak lain, dan koperasi tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. (4) pertanggungjawaban yaitu kepatuhan atas peraturan aturan main yang disepakati bersama, (5) Adanya tingkat partisipasi anggota yang tinggi dengan secara berkala memberikan saran demi kemajuan koperasi serta memiliki hak mengawasi kinerja pengurus dan (6) koperasi yang mampu mengembangkan usahanya melalui peningkatan nilai tambah. Adanya koperasi karena kebutuhan kolektif para petani garam untuk memperbaiki ekonominya, sehingga berdirinya koperasi dari bottom up bisa menjadi salah satu faktor keberhasilan koperasi. Representasi dari koperasi ideal saat ini telah memudar di Indonesia dan menimbulkan stigma atas pendirian koperasi. Kondisi ini disebabkan banyaknya koperasi yang berdiri di Indonesia tidak mampu menjadi penyokong ekonomi usaha kecil dan menengah karena menyimpang dari azas koperasi itu sendiri. Sebagai sebuah lembaga usaha, koperasi seharusnya memiliki tujuan ekonomi meraih keuntungan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, namun ternyata semakin banyak koperasi yang gagal mewujudkan tujuannya. Sebaliknya
71
di banyak negara maju koperasi terbukti memiliki kemampuan dan kinerja usaha yang berhasil. Koperasi pertanian Amerika Serikat mampu memasarkan 86 persen dari total susu yang dihasilkan, 40 persen total biji-bijian, 41 persen total kapas, 20 persen total buah dan sayuran, serta 13 persen dari seluruh produksi peternakan. Sekitar separuh penduduknya merupakan pelanggan tetap koperasi produksi dan konsumsi dan setiap tahunnya, barang kebutuhan pokok senilai ratusan miliar dolar diperjualbelikan dari toko-toko milik koperasi (Saragih 2010). Menurut FAO (2013) di Brasil 37 persen dari PDB pertanian dihasilkan melalui koperasi, 4 juta petani di Mesir memperoleh pendapatan mereka melalui keanggotaan koperasi, dan di India sebanyak 16.5 juta liter susu dikumpulkan setiap hari yang diperoleh dari 12 juta petani di koperasi susu. Di Eropa, koperasi pertanian memiliki pangsa pasar secara keseluruhan sekitar 60 persen dari pengolahan dan pemasaran komoditas pertanian dan sekitar 50 persen dari pasokan input. Sukses pertanian China, tidak lepas dari kawalan koperasi, yang sudah menjadi bagian dari kehidupan petani sejak lebih dari 80 tahun lalu. Koperasi dengan nama Supply and Marketing Cooperative (SMC) berperan penting dalam melakukan pengadaan untuk semua kebutuhan usaha tani seperti bibit, pupuk, peralatan dan lainnya, serta pemasaran komoditi pertanian yang dihasilkan. Kegiatan pengadaan dan pemasaran tersebut bisa dilakukan secara sangat efisien, karena SMC sudah membentuk jaringan yang sangat luas dan solid. Di level nasional, koperasi petani tersebut mempunyai sekunder bernama All-China Federation of Supply and Marketing Cooperatives (ACFSMC). Secara keseluruhan, ACFSMC menghimpun 22.537 SMC, dengan anggota perorangan mencapai 160 juta petani. Sedangkan di New Zeland terdapat Formerly Primary Producers Cooperative Society (FPPCS) yang merupakan contoh dari koperasi yang sangat berhasil. Koperasi ini mampu mengekspor untuk sekitar 60 negara dengan pangsa pasar meliputi 37% ekspor daging domba, 35% ekspor daging sapi dan 54% ekspor daging rusa dan memiliki omset tahunan 2007 melebihi 2 miliar US$. Saat ini memiliki jumlah anggota sebanyak 900 orang (Woodford 2010). Kunci keberhasilan koperasi pertanian di Uni Eropa (UE), menurut Nello (2000) antara lain adalah (1) menghilangkan ketidakunggulan dari petani-petani skala kecil yang terfragmentasi dengan cara membantu mereka untuk mengkonsentrasi suplai, menstabilkan harga produsen, dan meningkatkan kekuatan tawar dari petani-petani (anggotanya); (2) menciptakan kesempatan atau kemampuan petani untuk mencapai skala ekonomis dan meningkatkan kapasitas mereka untuk bersaing pada suatu pasar yang lebih besar (misalnya pasar ekspor); (3) memperbaiki kualitas dan meningkatkan orientasi pasar, dan dengan cara itu menolong petani untuk memenuhi permintaan-permintaan yang meningkat dari konsumen untuk produk-produk makanan yang bervariasi, aman, dan spesifik regional (spesialisasi); (4) membantu petani untuk bisa memperbaiki kualitas dalam proses produksi, pembungkusan, penyimpanan dan lain sebagainya sesuai standar-standar internasional yang berlaku; (5) memperbaiki kinerja manajemen, dewan direktur dan organisasi koperasi untuk meningkatkan kepuasan anggota; dan (6) menjamin sumber pendanaan yang cukup. Sedangkan menurut McKenna (2001) keberhasilan koperasi di Amerika Serikat yaitu (1) menerapkan strategi yang rasional yang cocok dengan lingkungan bisnisnya yang berlaku untuk bisa tetap beroperasi; (2) mempunyai suatu visi yang lebih luas dari hanya
72
memproduksi bahan baku (produsen perlu memahami apa artinya menanam dalam nilai tambah); (3) keputusan-keputusan didasarkan pada informasi yang kredibel; (4) keuangan baik; (5) pemilik atau dewan direktur bisa memimpin dengan baik (dewan direktur yang lebih banyak diambil dari luar bisa meningkatkan kemampuannya untuk membuat keputusan-keputusan strategis); (6) mempekerjakan manajer profesional dan (6) berkeinginan menjadi “yang paling hebat di kelompoknya” vs. “menambah rantai nilai”. Keberadaan koperasi sebagai desain model bisnis baru untuk usaha garam rakyat harus mampu meningkatan pendapatan, meminimalisir biaya transaksi, mencapai efisiensi pemasaran. Pada model bisnis berbasis kemitraan antara petani garam dengan koperasi maka harga, kualitas dan kuantitas penjualan garam dapat disepakati bersama. Dengan asumsi koperasi akan membeli harga garam petani untuk kualitas 2 sesuai harga pasar yang disepakati yaitu Rp 350 per kg 4 dan biaya produksi tetap maka tingkat pendapatan petani meningkat. Persentase peningkatan pendapatan untuk penggarap 49,19 persen dan pemilik lahan sekaligus penggarap sebesar 38.36 persen. Sedangkan pendapatan dari pemilik lahan menurun sebesar 3.01 persen. Dengan demikian adanya koperasi memberikan perbaikan bagi petani khususnya petani penggarap dan petani pemilik sekaligus penggarap, sedangkan bagi pemilik lahan penurunan tingkat pendapatan dapat dikompensasikan dengan besarnya penurunan atas biaya transaksi. Perubahan tingkat pendapatan karena penerapan model bisnis baru dapat dilihat pada Tabel 26, sedangkan perubahan atas biaya transaksi dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 26. Perbandingan pendapatan antar model bisnis lama dan baru No
Uraian
1
Pemilik lahan sekaligus penggarap Pemilik lahan Penggarap
2 3
Pendapatan (Rp/tahun) Model bisnis lama Model bisnis baru 4 909 099 7 964 655 5 737 201 3 779 687
5 569 791 5 509 644
Persentase (%) Peningkatan 38.36 -3.01 49.19
Pada kenyataannya petani garam yang berada pada subsistem produksi menghadapi kondisi asimetris informasi dimana tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang situasi pada subsistem pemasaran sehingga memunculkan biaya transaksi bagi petani, maka dengan adanya mitra koperasi maka asimetris informasi yang selama ini dihadapi petani dapat ditiadakan. Informasi pasar yang dibutuhkan petani dapat diperoleh langsung dari koperasi. Melalui koperasi maka terjadi penggabungan usaha berskala kecil menjadi usaha bersama yang berskala lebih besar dan sangat mungkin untuk mencapai efisiensi yang lebih besar karena adanya penggunaan secara bersama atas faktor produksi. Seperti halnya dengan ketersediaan peralatan mesin diesel yang tidak setiap waktu digunakan petani dalam operasional produksi, diesel umumnya hanya digunakan saat memasukan air laut dari saluran kekolam petakan sehingga jauh lebih efisien apabila ketersediaan mesin diesel dilakukan melalui koperasi sehingga bisa dimanfaatkan secara bergantian oleh para petani mitra. Pelaksanaan normalisasi yang dilakukan 4
Harga garam Rp 350 per kg sesuai dengan harga yang diberikan pedagang perantara kepada pemilik lahan yang tidak memiliki ikatan pinjaman
73
kurang terorganisir sehingga sering menimbulkan konflik, namun dengan adanya koperasi pelaksanaan menormalisasi saluran air dapat dikelola lebih baik. Jumlah anggota koperasi yang dibentuk sebanyak 20 orang, dengan dasar pertimbangan bahwa pembentukan koperasi primer minimal sebanyak 20 orang (UU Koperasi No 17 tahun 2012). Syarat sebagai anggota koperasi, petani memiliki kewajiban untuk membayar setoran pokok anggota yang nantinya akan digunakan untuk memberikan pelayanan bagi anggota koperasi. Setoran pokok di asumsikan sebesar Rp 30 000 dan dibayarkan dengan dipotong setiap penjualan hasil panen ke koperasi. Dalam satu musim garam panen dapat dilakukan selama 40 kali sehingga sehingga penerimaan koperasi dari iuran anggota sebesar Rp 24 000 000 per tahun. Jumlah iuran sebesar Rp 30 000 berdasarkan batas maksimal kesediaan responden petani membayar apabila terdapat organisasi koperasi dan pembayaran hanya dilakukan pada saat panen berdasarkan hasil kesepakatan dari responden petani. Untuk dapat bersaing dengan pedagang perantara maka koperasi harus memberikan nilai tambah atas produknya. Garam yang dijual bukan lagi garam krosok melainkan garam yang telah melalui proses pencucian dan pemberian yodium. Harga jual garam ke pihak perusahaan diasumsikan sebesar Rp 500 000 per tonnya, dimana harga jual ini merupakan kesediaan perusahaan pengolahan membayar untuk garam yang telah difortifikasi. Total penerimaan koperasi setiap tahunnya sebesar Rp 692 000 000 dan total pengeluaran sebesar Rp 636 804 723. Alokasi pengeluaran terbesar adalah pembelian garam dari petani (76.25%), pembelian iodium (11.35%) dan gaji pengurus dan pengawas koperasi (7.83%). Hasil perhitungan yang ditunjukkan pada Tabel 26 diperoleh pendapatan koperasi sebesar Rp 55 195 277 dengan nilai R/C sebesar 1.1. Secara rinci analisis pendapatan koperasi dapat di lihat pada Lampiran 14. Untuk dapat meningkatkan pendapatan, koperasi dapat meningkatkan jumlah produksi dan menambah jumlah anggota koperasi. Permasalahan utama dari kegagalan koperasi adalah kepengurusan yang tidak profesional, maka koperasi yang diusulkan harus memiliki pengurus yang memiliki kemampuan manajerial yang baik yaitu dengan pendidikan minimal adalah sarjana. Desain koperasi bagi usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Desain koperasi pemasaran untuk usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang Keterangan Desain Koperasi Bentuk Jumlah anggota Manajer profesional Iuran anggota Produk Harga beli garam minimal Harga jual garam Pendapatan R/C Kontrak formal
Koperasi Pemasaran (pengolahan terbatas) Min 20 org Min S1 Rp 30rb/org/ panen Garam beryodium Rp 350/kg Rp 500/kg Rp 55,19 juta 1.1 Hak dan kewajiban dari masing-masing pelaku usaha yang melakukan kemitraan
74
Keberadaan koperasi dalam desain model bisnis berbasis kemitraan ini penerima manfaat diharapkan bukan hanya petani namun juga pedagang perantara dan perusahaan pengolahan. Dalam perspektif ekonomi kesejahteraan dimana suatu kebijakan ekonomi dikatakan tepat, jika kebijakan tersebut dalam implementasinya memenuhi tujuan yang disebut pareto optimum. Pareto optimum adalah suatu kondisi saat diintroduksikan kebijakan tersebut menyebabkan ada pihak yang diuntungkan, tanpa menyebabkan satu pihak pun yang dirugikan. Namun pada umumnya jarang dan sukar sekali untuk memenuhi kategori pareto optimum. Umumnya suatu implementasi kebijakan ekonomi akan berakibat ada yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Kondisi ini terjadi dengan opsi keberadaan koperasi akan memberikan keuntungan kepada petani dan perusahaan pengolahan namun merugikan pedagang perantara. Sesuai dengan prinsip pareto optimum maka pedagang perantara sebagai pihak dirugikan atas kebijakan baru harus mendapatkan kompesasi. Keberadaan koperasi menghalangi pedagang perantara untuk dapat memperoleh harga yang rendah dari petani, adanya peningkatan harga beli dari Rp 307 973 menjadi Rp 350 000 per tonnya akan menurunkan pendapatan pedagang perantara sebesar Rp 66 586 508 (25%). Sedangkan bagi perusahaan pengolah, Penawaran produk garam beryodium oleh koperasi akan mengurangi beban biaya perusahaan pengolahan atas pembelian yodium dan alokasi tenaga kerja untuk proses iodisasi. Dengan asumsi koperasi mampu memenuhi kebutuhan bahan baku garam beryodium pertahun untuk perusahaan maka terjadi pengurangan atas pembelian yodium dan upah tenaga kerja yang melakukan fortifikasi. Adanya kemitraan dengan koperasi memberikan peningkatan pendapatan sebesar Rp 33 560 000 (2.01%). Perbandingan pendapatan dengan adanya model bisnis baru dan kondisi aktual dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Perbandingan pendapatan Pedagang Perantara dan Perusahaan Pengolahan dalam model bisnis lama dan barua No
Uraian
1 2
Pedagang Perantara Perusahaan Pengolahan
Pendapatan (Rp/tahun) Model bisnis lama Model bisnis baru 262 171 432 195 584 924 1 667 437 500 1 700 997 500
(%) Peningkatan -25.40 2.01
Bentuk kompensasi yang diperoleh pedagang perantara akibat adanya kerugian yang diterima karena keberadaan koperasi meliputi (1) koperasi memastikan hanya memproduksi garam yang ditujukan untuk perusahaan pengolahan garam briket dan halus, sehingga pedagang perantara dapat mengambil keuntungan yang lebih besar dari penjualan ke pedagang pengumpul besar, (2) Perbaikan reputasi pedagang perantara yang sebelumnya dikenal sebagai rent seeking dan memiliki citra buruk sebagai faktor penghambat pengembangan usaha garam rakyat oleh pemerintah sehingga sebisa mungkin ditiadakan dari rantai nilai sekarang menjadi mitra petani dan koperasi yang diperhitungkan dalam setiap pengambilan kebijakan,(3) memperoleh fasilitas pemerintah terkait pelaksanaan industrialisasi usaha garam rakyat salah satunya adalah dorongan untuk meningkatkan skala usaha menjadi perusahaan pengolahan garam, (4) koperasi bekerjasama dengan pedagang perantara dengan
75
memanfaatkan gudang milik pedagang perantara yang tersebar di desa-desa dengan sistem sewa. Kelembagaan kemitraan antara petani dengan koperasi dapat dikatakan lebih efisien karena biaya transaksi yang dikeluarkan hanya berupa setoran pokok sebagai anggota koperasi yang dibayarkan setiap panen dan iuran tersebut ditujukan untuk kepentingan bersama, sedangkan biaya transaksi lainnya yang dikeluarkan petani dapat diminimumkan disebabkan adanya faktor kepercayaan yang sempurna dikedua belah pihak, biaya oportunitas dan asimetris informasi dapat dihilangkan setelah bermitra dengan koperasi. Petani dapat dengan mudah memperoleh informasi baik harga, kualitas dan teknis produksi dari koperasi. Pemilik lahan juga memiliki keuntungan dengan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk memberikan pinjaman kepada penggarap, biaya pengawasan dan pembelian mesin diesel, karena sepenuhnya dibebankan kepada koperasi. Sementara bagi pedagang perantara dan industri pengolahan tidak lagi mengeluarkan biaya untuk memberikan pinjaman sebagai ikatan kontrak dengan mitranya. Sedangkan bagi pedagang pengumpul besar keberadaan koperasi tidak memberikan keuntungan maupun kerugian bagi usahanya karena produk yang dihasilkan koperasi tidak diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pengumpul besar. Persentase penurunan biaya transaksi yang dikeluarkan masing-masing pelaku usaha dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Perbedaan atas biaya transaksi pada model bisnis lama dan baru No
1 2 3 4 5 6
Uraian
Pemilik lahan sekaligus penggarap Pemilik lahan Penggarap Pedagang perantara Perusahaan pengolahan Pengumpul besar
Biaya transaksi (Rp/tahun) Model bisnis Model bisnis lama baru 5 055 556 1 200 000 5 866 250 1 729 911 58 375 000 166 016 6667 81 333 333
1 200 000 1 200 000 24 000 000 108 350 000 81 333 333
Persentase (%) Penurunan 76.26 79.54 30.63 58.89 34.74 -
Dalam model bisnis yang baru terdapat saluran pemasaran yang berbeda dari sebelumnya yaitu saluran 5 yang terdiri dari petani-koperasi-perusahaan pengolahan. Sebagai mitra yang memiliki kesepakatan terutama atas harga jual, maka petani dapat menawarkan garam krosok dengan harga jual sebesar Rp350 000 per ton, kemudian koperasi menawarkan produk garam beryodium kepada pihak industri pengolahan sebesar Rp500 000 per ton. Harga yang ditawarkan koperasi lebih tinggi Rp 41 667 per tonnya dibandingkan harga jual yang ditawarkan pedagang perantara kepada pengolah, namun diprediksi perusahaan pengolahan akan lebih memilih untuk membeli ke koperasi karena pihak industri tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk proses pencucian dan iodisasi. Analisis margin pemasaran apabila dibandingkan antara saluran pemasaran yang diusulkan relatif lebih efisien bagi petani dibandingkan saluran pemasaran yang sebagian besar dilakukan oleh pelaku usaha garam rakyat (saluran 1 dan 3). Gambar 17 memperlihatkan desain saluran pemasaran 5
76
Penggarap/Pemilik lahan/Pemilik lahan sekaligus penggarap
Koperasi
Perusahaan pengolahan garam briket dan halus
Gambar 17 Desain saluran pemasaran garam yang diusulkan (saluran pemasaran 5)
Pada Tabel 30 dapat dilihat nilai marjin pada saluran pemasaran 5 lebih kecil dibandingkan saluran pemasaran 1 dan 3, hal ini disebabkan karena harga garam ditingkat petani pada saluran 5 lebih kompetitif dibandingkan pada saluran pemasaran 1 dan 3. Pada saluran pemasaran 5 dapat dilihat share harga yang diterima petani lebih baik dibandingkan pada saluran pemasaran yang lain yaitu 30.43 persen artinya bahwa petani menikmati harga yang dibayarkan konsumen lebih tinggi dibandingkan pada saluran 1 dan 3. Selain itu aktivitas pemasaran 5 dapat memberikan kepuasan dari masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan koperasi akan menjadikan aktivitas pemasaran usaha garam rakyat relatif lebih efisien dibandingkan kondisi saat ini.
Tabel 30 Perbandingan nilai sebaran marjin pemasaran dan farmer share antara model bisnis yang lama dan baru Uraian Biaya pemasaran Keuntungan pemasaran Marjin pemasaran Share harga
Satuan Rp/ton Rp/ton Rp/ton %
Model bisnis lama Saluran 1 Saluran 3 104 737 104 737 750 620 741 096 855 357 845 833 25.62 26.45
Model bisnis baru Saluran 5 97 078 702 922 800 000 30.43
Untuk menguatkan kemitraan antara petani dan koperasi maka perlu disusun kontrak. Kontrak harus dapat menjamin bahwa keuntungan dari berbuat curang adalah lebih rendah dari manfaat mematuhi kontrak. Hal-hal yang diatur dalam kontrak meliputi pembagian tanggung jawab, komitmen yang disepakati bersama dan adanya penyeleseian sengketa. Aturan yang dipergunakan dalam penyusunan kontrak dapat dilihat pada Lampiran 17. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model bisnis usaha garam rakyat yang dapat meningkatkan pendapatan dan meminimalisir biaya transaksi bagi pelaku usaha garam rakyat serta menjadikan aktivitas pemasaran lebih efisien maka model bisnis yang direkomendasikan untuk usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang adalah dengan menghadirkan koperasi sebagai mitra petani sekaligus mitra dari pedagang perantara dan perusahaan pengolahan. Dengan demikian usulan kebijakan untuk pengembangan usaha garam rakyat adalah dengan membentuk kelembagaan ekonomi yaitu koperasi. Harapan atas kelembagaan ekonomi yang baru dapat memperbaiki kualitas interaksi ekonomi antar pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang menuju keseimbangan baru yang lebih efisien dan berkeadilan.
77
8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Karakteristik kelembagaan kemitraan belum mencerminkan kemitraan yang ideal karena tidak ada kebebasan dalam melakukan pilihan untuk bertransaksi, posisi tawar tidak seimbang karena kemitraan diikat dengan bantuan permodalan dan tidak berdasarkan kesadaran untuk saling menguntungkan. 2. Hasil pengukuran kinerja kemitraan belum memberikan keuntungan yang proporsional, ditunjukkan oleh keuntungan petani yang relatif kecil, kerja kelembagaan yang tidak efisien dan pembagian marjin yang belum adil bagi semua pelaku pemasaran. 3. Model bisnis kemitraan yang paling layak adalah koperasi. Skema koperasi pemasaran merupakan representasi kepentingan sosial ekonomi bersama antara pelaku usaha garam rakyat yang terikat dalam hubungan kontraktual, dan terbukti mampu meningkatkan pendapatan, mengurangi biaya transaksi dan mencapai pemasaran yang relatif lebih efisien. Saran 1. Solusi alternatif untuk meningkatkan posisi tawar petani adalah dengan membentuk koperasi pemasaran. Untuk dapat bersaing dengan pedagang perantara maka produk garam yang dijual harus memiliki nilai tambah yaitu garam yang dijual tidak dalam bentuk garam krosok namun sudah melalui tahap fortifikasi. Peningkatan nilai tambah ini tidak membutuhkan investasi modal berbiaya tinggi, namun secara signifikan mampu meningkatkan harga jual. 2. Dukungan pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan petani garam tidak lagi pada pemberian bantuan langsung ke petani. Setiap dukungan langsung kepada petani dalam bentuk subsidi seringkali dapat menciptakan ketergantungan pada dukungan publik dan mengancam keberlanjutan jangka panjang bisnis, sehingga bantuan lebih kepada penguatan kapasitas kelembagaan ekonomi petani dengan memfasilitasi kemudahan akses permodalan ke lembaga perbankan. 3. Perlunya penelitian lanjutan terkait aplikasi usulan design model bisnis usaha garam rakyat sekaligus menganalisis peluang kemitraan antara koperasi dengan lembaga perbankan.
78
DAFTAR PUSTAKA Aninditia R dan Heriyanto. 2004. Industrialisasi Pertanian, Mau Dibawa Kemana Petani Kita?. Malang (ID) : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi umbian. Andayani W. 2008. Pengelolaan Agroforestry (Aspek Ekonomi). Yogyakarta (ID) : Universitas Gadjah Mada Ardi. 2011. Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun Jambi) [disertasi]. Bogor. (ID): Institut Pertanian Bogor Anggraini E. 2005. Analisis Biaya Transaksi dan Penerimaan Nelayan dan Petani di Pelabuhan Ratu Sukabumi [tesis]. Bogor. (ID) : Institut Pertanian Bogor Aprilliani A dan Yulisti M. 2007. Pengembangan Penggaraman Rakyat di Kelurahan Palenggu, Kabupatem Jeneponto, Sulawesi Selatan. 1(7). Jakarta (ID): Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Casadesus R dan Ricart E. 2009. From Strategy to Business Models and to Tactics. Working Paper (USA) : Harvard Business School Charles T. 2001. Sustainable fishery systems. London (GB) : Blackwell Science Ltd Chesbrough H dan Rosenbloom. 2002. The Role of Business Model in Capturing Value from Innovation. Dahl DC dan Hammond JW. 1977. Market and Price Analysis. Newyork (US): McGraw-Hill. Da Silva JG. 2013. Cooperative and Producer Organization. [diunduh 2013 Juli10]. Tersedia pada : http://www.fao.org/ partnerships/cooperatives/en [Dislatkan] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang. 2012. Data Produksi Garam. Rembang. Rembang (ID) : Dislatkan Eriyatno dan Najikh. 2011. Solusi Bisnis untuk Kemiskinan- Model dan Formula Bisnis Konkret dan Sustainable. Jakarta (ID) : PT. Elex Media Komputindo. Furubotn, Eirik, Ritcher R. 2000. Institutioons and Economic Theory : The contributioon of the New Institutional Economics. Cheltenham. (UK) : Edward Elgar. Gasman O, Eisert U, Bucherer E. 2012. Towards Systematic Business Model Innovation: Lessons from Product Innovation Management. 21(12). Blackwell Publishing Ltd. Hermanto. 2007. Rancangan Kelembagaan Tani Dalam Implementasi Prima Tani di Sumatera Selatan. Analisis Kebijakan Pertanian. 5(2):110-125. (ID): Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Selatan Kohl dan Uhls. 2002. Marketing of Agricultural Product. (9). New Jersey (USA) : Prentice Hall. Kelly S. 2012. Smallholder Business Models for Agribusiness-led Development. Good Practice and Policy Guidance. Food and Agriculture of The United Nations. Rome (IT) : FAO [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Menuju Swasembada Garam Nasional. Jakarta (ID) : KKP
79
Kusumo D. 2011. Indonesia hadapi krisis petani muda. [diunduh 2011 juli19]. Tersedia pada http://www.jurnas.com/news/34795/Indonesia_Hadapi_ Krisis_Petani_Muda/1/Ekonomi/1347907996000 Lopulalan Y. 2009. Kapasitas Kelembagaan Kemitraan Perikanan tangkap dalam Pemberdayaan Nelayan Kota Ambon [disertasi]. Bogor. (ID) : Institut Pertanian Bogor Manadiyato dan Pranowo SA. 2007. Profil Sosial Ekonomi Petambak Garam di Kabupaten Sumenep. 2(2) Jakarta (ID): Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Marganda P. 2006. Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal Dalam Usaha Tani Nenas di kabupaten Subang [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor McKenna T. 2001. What’s the Value of Cooperatives?. Las Vegas (USA) : Paper of Farmer Cooperatives Conference Nello S. 2000. The Role of Agricultural Cooperatives in the European Union: A Strategy for Cypriot Accession. EUI Working Paper. Robert Schuman Centre for Advanced Studies. Florence : European University Institute North DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economics Performance. Sidney (AU): Cambridge University Press. Osterwalder, Pigneur L, Tucci. 2005. Clarifying Business Models: Origins, Present, and Future of the Concept. 15(1) : Communications of AIS Ostrom E. 2005. Institutional Analysis and Development : Elements of The Framework in Historical Perspective. Workshop in Political Theory and Policy Analysis. (USA) : Indiana University Patrick I. 2004. Contract farming in Indonesia: Smallholders and agribusiness working together. Canberra (AU) : ACIAR Prijambodo. 2012. Good Governance Cooperative : Satu Kebutuhan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Koperasi. Jakarta (ID). Kementerian Koperasi dan UKM. Purbani D. 2003. Proses Pembentukan Kristalisasi Garam.. Jakarta. (ID) : Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Rochwulaningsih Y. 2008. Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang, Jawa Tengah. (ID) : Universitas Diponegoro. Saragih B. 2010. Koperasi, kenapa tidak? [diunduh 2012 November1]. Tersedia pada http://www.trobos.com/show_article.php?rid=22&aid=3635 Satria A. 2011. Swasembada Garam harus berorientasi pada kesejahteraan petani. [diunduh 2011 November 2]. Tersedia pada http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/6506/Program-swasembada-garamharus-berorientasi-petani/ Sauders C, Blake WK, Hayes P, Shadbolt N. 2007. Business Models and Performance Indicators for AgriBusinesses. The Agribusiness and Economics Research Unit (AERU) Schmid A. 1987. Property, Power and Public Choice: An Inquiry into Law and Economics. Second Edition. New York (USA): Preager Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta (ID) : UI Press
80
Syahyuti. 2004. Model Kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian di Lahan Lebak. Bogor (ID) : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta (ID) : UI Press Suherman T, Fauzyah E, Halim. E. 2011. Analisis Pemasaran Garam Rakyat di Kab Sumenep (ID) : Jurnal embryo 8(2) Sukesi. Analisis Perilaku Masyarakat Petambak Garam Terhadap Hasil Usaha di Kota Pasuruan, Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis. 2(2). ISSN 2087-1090. Surabaya (ID) : Universitas Dr. Soetono Sirajudin SN. 2010 Analisis Biaya Transaksi Sapi Perah Sistem Kemitraan dan Sistem Mandiri dan strategi Pengembangannya. [disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Vermeulen S, Cotula L. 2010. Making The Most Of Agricultural Investment: A Survey Of Business Models That Provide Opportunities For Smallholders. Rome (IT) : FAO Williamson, Oliver E. 1998. The Institutions of Governance. 88 (USA) : The American Economic Review Wang N. 2003. Measuring Transaction Cost : An Incomplete Survey. Ronal Coase Institute Working Paper. Woodford K. 2010. The Diversity of Co-operative Structures in New Zeland Agribusiness. Christchurch (NZ) : Farm Management and Agribusiness Lincoln University Yustika AE. 2008. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi. Malang, (ID) : Bayumedia Publishing Yulihastin E, Fathrio E. 2011. Anmali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia berdasarkan Satelit TRMM terkait ITCZ. Bandung (ID) : Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2011 Zott C. dan Amit R. (2009): Designing Your Future Business Model: An Activity System Perspective. IESE Working Paper, No. WP-781. Barcelona (ES): IESE Business School of Navarra.
81
Lampiran 1. Luas Lahan Garam di Kabupaten Rembang No
Kecamatan
Desa
Potensi Pengembangan (Ha) 40.95 33.80 52.09 45.76 19.22 8.40 25.10 0.72 14.51 -
Total (Ha)
1
Kaliori
Tunggulsari Tambakagung Mojowarno Dresikulon Dresiwetan Tasikharjo Purworejo Karangsekar Bogoharjo Banyudono
27.20 89.60 157.65 296.65 103.35 95.20 113.20 28.98 41.91 16.50
2
Lasem
Gedongmulyo Dorokandang Dasun Tasiksono Sendangsari
197.41 66.84 73.78 47.63 40.96
10.00 21.62 -
197.41 76.84 73.78 69.25 40.96
3
Rembang
Kabongan Lor Kabongan Kidul Tireman Pasarbanggi Tritunggal Punjulharjo
3.00 2.80 51.94 62.00 30.43 92.10
4.02 1.92 4.23 -
7.02 4.72 51.94 66.23 30.43 92.10
4
Sarang
Kalipang Sendangmulyo Temperak
9.54 29.00 5.55
-
9.54 29.00 5.55
5
Sluke
Sluke Trahan Pangkalan
18.59 3.80 8.70
1.65
18.59 3.80 10.35
1 714.31
283.99
1 998.3
Jumlah a
Luas (Ha)
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan, 2013
68.15 123.40 209.74 342.41 122.57 103.60 138.30 29.70 56.42 16.50
Lampiran 2. Karakteristik Responden Pelaku Usaha Garam Rakyat No
Nama
Desa. Kecamatan
Umur (Thn)
Tingkat Pendidikan
Mulai Usaha
Kepemilikan lahan (Ha)
Pekerjaan sampingan
Petani Pemilik sekaligus Penggarap 1
Djasmani
Ds Gd Mulyo, Lasem
52
SMA
1986
2 3
Ds Purworejo, Kaliori Ds Dresikulon
58 59
SMP SD
1971 1972
1 0.5
Ds Purworejo, Kaliori
34
SMA
2010
1
petani padi
5
Asfaat Sumani Adi Rukyanto Yudiono
perangkat desa/pbddy bandeng nelayan nelayan
43
SMP
2003
1
6
Sujiyanto
51
SMP
1998
1
7 8 9
Suwarno Jumari Rasiadi
54 48 51
SMA SMP S1
1992 1999 1986
1 0.5 1
petani tebu pembudidaya bandeng petani tebu petani padi eksportir rajungan
10
Sudadi
34
SMA
2007
0.5
petani padi
11
Supriono
Ds Purworejo, Kaliori Ds Punjulharjo, Rembang Ds. Tasiksono, lasem Ds. Gd Mulyo, lasem Dasun, Lasem Ds Tambak agung, Kaliori Dorokandang, Lasem
35
SMP
2003
1
12
Sumani
Tasiksono, Lasem
53
SD
1980
0.5
petani tebu pembudidaya bandeng
Ds Tasikharjo, Kaliori Dresi wetan, Kaliori Tambak Agung, Kaliori Dresikulon, Kaliori Gd Mulyo, lasem gd Mulyo, lasem Dresi Wetan, Kaliori Dresi Kulon, Kaliori Ds Purworejo, Kaliori Ds. Puworejo, Kaliori Ds Dorokandang, lasem Ds Tasiksono, Lasem Ds Tasiksono, Lasem Tasikharjo, Kaliori
49 29
SD SMA
1991 2005
-
nelayan Petani tebu
48
SD
2003
-
petani padi
52 55 34 43 52 42 64
SD SD SMP SMP SD SMP SD
1998 2001 1996 1998 1992 2005 1998
-
nelayan nelayan nelayan nelayan petani padi nelayan petani padi
61 52 53 47
SD SD SD SMP
1996 2003 1980 1998
-
petani padi nelayan nelayan nelayan
Kaliori Kaliori Kaliori Kaliori
56 48 64 60
SMA S1 SMP SMP
2002 1999 1969 1993
4 4 5 5
Pengusaha Pengusaha Pengusaha Pengusaha
Margoyoso Dresiwetan-Kaliori
43 43
SMA SMP
1999 1998
pengumpul beras
Lasem lasem Lasem Rembang
43 49 50 48
SMP SMA SD SMA
1993 2000 2007 1995
perangkat desa pengumpul ikan pengumpul beras -
Pedagang Pengumpul Besar 1 Emi Rembang 2 Yudi Kaliori
46 50
SMA SMA
2004 2000
4
Penggarap 1 Wastono 2 Tarsipin 3
Mujayadi
4 5 6 7 8 9 10
Suwito Jumarno Solikan Yusman Parlan Sugiman Suyitno
11 12 13 14
Yasmani Sutomo Yustami Mastur
Pemilik Lahan 1 Sutopo 2 Rasmani 3 Suryana 4 Hj Popon Pedagang Perantara 1 Mustofa 2 Yusman Agus Hadi 3 Purwanto 4 Joko Santoso 5 Untung 6 Giman
1
83
Lampiran 3. Karakteristik Responden Industri Pengolahan No
Nama Perusahaan
Alamat
Tahun Berdiri
1
PT. Garam Mas
Ds Tambak Agung, Kec Kaliori
1969
2
PT. Ndandut Ria
Ds Purworejo, Kec Kaliori
2002
3
PT. Apel Merah
Ds Purworejo, Kec Kaliori
4
PT. Suka Maju
Ds Purworejo, Kec Kaliori
1993
2011
Produk Garam briket dan halus Garam briket dan halus Garam briket dan halus Garam briket dan halus
Jumlah Tenaga Kerja
Kapasitas Produksi (Ton)
Tujuan Pemasaran
30
50
-
30
50
Ambarawa, Sragen, Lamongan dan Purwakarta
39
50
Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Lampung dan pasar tradisional di wilayah Rembang
23
25
Bandung, Jakarta dan Lampung.
Lampiran 4. Nilai Penyusutan Masing –Masing Pelaku Usaha Garam Rakyat 1. Nilai Penyusutan Gudang dan Peralatan Usaha Tambak Garam (Petani Pemilik sekaligus Penggarap) No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2. No
1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Peralatan
Gudang Kincir angin Slender/gilidan Garuk Cangkul Pipa Paralon Baumemeter Keranjang pikul Sepeda Total
Harga (Rp/unit)
Jumlah (unit)
6 062 500 1 041 667 110 417 46 667 69 583 825 000 17 273 58 333 175 000
1 2 2 2 2 1 1 2 1
Umur ekonomis (tahun) 10 5 2 3 2 5 2 2 5
Nilai
6 062 500 2 083333 220 883 93 333 139 167 825 000 17 237 116 667 175 000 9 733 600
Penyusutan (Rp/tahun) 606 250 416 667 110 417 46 389 46 667 165 000 8636 58 333 35 000 1 439 359
Persentase (%) 62.29 21.40 2.27 1.43 0.96 8.48 0.18 1.20 1.80 100.00
Nilai Penyusutan Gudang dan Peralatan Usaha Tambak Garam (Pemilik lahan) Jenis Peralatan
Gudang Kincir angin Slender/gilidan Garuk Cangkul Pipa Paralon Baumemeter Gerobak Total
Harga (Rp/unit) 13 750 000 1 250 000 50 000 25 000 81 250 937 500 16 250 250 000
Jumlah (unit) 1 2 2 2 2 1 1 1
Umur ekonomis (tahun) 10 5 2 3 2 5 2 5
Nilai
13 750 000 2 500 000 100 000 50 000 81 250 937 500 16 250 500 000 17 935 000
Penyusutan (Rp/tahun) 606 250 416 667 110 417 46 389 46 667 165 000 8636 35 000 2 272 808
Persentase (%) 76.67 13.94 0.56 0.45 0.28 5.23 0.09 2.79 100
3. Nilai Penyusutan Gudang, Kendaraan dan Peralatan Pedagang Perantara No
1 2 3 4 5
Jenis Peralatan
Gudang Mesin Jahit Genset Gerobak Truk Total
Harga (Rp/unit)
Jumlah (unit)
12 500 000 1 408 333 1 483 333 471 667 115 000 000
1 3 3 4 1
Umur ekonomis (tahun) 20 5 5 5 20
Nilai
12 500 000 4 225 000 4 450 000 1 886 667 5 750 000
Penyusutan (Rp/tahun) 625 000 845 000 890 000 377 333 5 750 000
Persentase (%) 7.36 9.96 10.49 4.45 67.75 100.00
85
4. No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nilai Penyusutan Industri Pengolahan Garam Briket dan Halus Jenis Peralatan
Gudang permanen Mesin Selip Mesin cetakan Alat iodisasi Mesin pengemasan Oven garam briket Oven garam halus Nampan Alat cetak manual Diesel (utk pencucian ) Timbangan Truk Total
Harga (Rp/unit)
Jumlah (unit)
Nilai
25 000 000
2
50 000 000
21 250 000 45 000 000 237 500 52 500 000
2 2 2 1
5 875 000 8 333 333 26 250 150 000 2 000 000 1 375 000 225 000 000
Umur ekonomis (tahun) 10
Penyusutan (Rp/tahun)
Persentase (%)
5 000 000
21.06
42 500 000 90 000 000 475 000 52 500 000
10 10 3 10
4 250 000 9 000 000 158 333 5 250 000
8.95 18.96 0.33 11.06
5
29 375 000
10
2 937 500
6.19
1 500 15 1
8 333 333 13 125 000 2 250 000 2 000 000
10 5 10 5
833 333 2 625 000 225 000 400 000
1.76 5.53 0.47 0.84
2 1
2 750 000 225 000 000 568 308 333
5 20
550 000 11 250 000 42 479 167
1.16 23.69 100.00
5. Nilai Penyusutan Pedagang Pengumpul Besar No
Jenis Peralatan
1 2
Mesin jahit Genset Total
Harga (Rp/unit) 1 000 000 1 133 333
Jumlah (unit)
Nilai
2 3
2 000 000 3 400 000 568 308 333
Umur ekonomis (tahun) 5 3
Penyusutan (Rp/tahun)
Persentase (%)
400 000 1 133 333 1 533 333
26.09 73.91 100.00
Lampiran 5. Analisis Pendapatan Pemilik Lahan sekaligus Penggarap (Aktual) No A
B C 1 2 3 4 5 6 D 1
E F G H I
Uraian Penerimaan Produksi/panen Jumlah Panen Penerimaan Total Penerimaan Biaya Tunai Perbaikan saluran TK pengelolaan lahan TK Pemanenan Solar Pajak lahan Pemeliharaan peralatan Total Biaya Tunai Biaya diperhitungkan Penyusutan alat Total Biaya yang diperhitungkan Total Biaya pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Satuan
Volume
ton Musim Ton/musim
1.67 40.00 66.67
Harga (Rp/satuan)
304 167
Nilai (Rp)
Persentase (%)
20 277 778 20 277 778
Rp/musim OHK OHK Rp/musim Rp/tahun Rp/tahun
Rp/tahun
1 150 40 6 2 1
1 958 333 47 500 48 500 309 720 110 333 883 333
1 958 333 7 125 000 1 940 000 1 858 320 110 333 883 333 13 875 320
12.37 44.99 12.25 11.74 0.70 5.58
1 493 359
1 493 359
9.70
1 493 359 15 368 679 6 402 458 4 909 099 1.46 1.32
87
Lampiran 6. Analisis Pendapatan Pemilik Lahan sekaligus Penggarap (Model Bisnis yang diusulkan) No A
B C 1 2 3 4 5 6 D
E F G H I
Uraian Penerimaan Produksi/panen Jumlah Panen Penerimaan Total Penerimaan Biaya Tunai Perbaikan saluran TK pengelolaan lahan TK Pemanenan Solar Pajak lahan Pemeliharaan peralatan Total Biaya Tunai Biaya diperhitungkan Penyusutan alat Total Biaya yang diperhitungkan Total Biaya pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Satuan
Volume
ton Musim Ton/musim
1.67 40.00 66.67
Rp/musim OHK OHK Rp/musim Rp/tahun Rp/tahun
Rp/tahun
1 150 40 6 2 1
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp)
Persentase (%)
350 000
23 333 333 23 333 333
1 958 333 47 500 48 500 309 720 110 333 883 333
1 958 333 7 125 000 1 940 000 1 858 320 110 333 883 333 13 875 320
12.37 44.99 12.25 11.74 0.70 5.58
1 493 359
1 493 359
9.70
1 493 359 15 368 679 9 458 013 7 964 655 1.68 1.52
Lampiran 7. Analisis Pendapatan Penggarap dan Pemilik Lahan dengan Pola Bagi Hasil (Kondisi Aktual) a. Penggarap No A
B C 1 2 3 4 D E F
Uraian Penerimaan Produksi/panen Jumlah Panen Penerimaan Penggarap Total Penerimaan Biaya Tunai Tenaga kerja keluarga Solar Pemeliharaan peralatan Pembayaran bagi hasil ke pemilik Total Biaya Tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya total
Satuan
Volume
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp)
Persentase
Ton Musim Rp/musim
1.56 40.00 62.50
294 643
18 415 179 18 415 179
OHK Rp/musim Rp/musim Rp/musim
180 3 5 31.25
20 998 329 167 132 143 294 643
3 779 687 987 501 660 715 9 207 589 14 635 492 3 779 687 1.26
Satuan
Volume
Ton
1.56 40 62.50
325 000
20 312 500 20 312 500
31.25 3
2 000 000 107 500 294 643 329 167
2 000 000 107 500 9 207 589 987 501 12 302 590
13.72 0.74 63.17 6.78
2 272 708
2 272 708
15.59 100.00
21.29 12.47 4.43 61.80 100.00
b. Pemilik Lahan No A
B C
D E F
Uraian Penerimaan Produksi/panen Jumlah Panen Penerimaan Pemilik Total Penerimaan Biaya Tunai Perbaikan saluran Pajak lahan Pembayaran bagi hasil penggarap Solar Total biaya tunai Biaya diperhitungkan Biaya Penyusutan Total Biaya diperhitungkan Total biaya Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Rp/tahun Rp/tahun Rp/musim Rp/musim
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp)
14 575 299 8 009 910 5 737 201 1.65 1.39
Persentase
89
Lampiran 8. Analisis Pendapatan Penggarap dan Pemilik Lahan dengan Pola Bagi Hasil (Model Bisnis yang diusulkan) a. Penggarap No A
B C 1 2 3 4 D E F
Uraian Penerimaan Produksi/panen Jumlah Panen Penerimaan Penggarap Total Penerimaan Biaya Tunai Tenaga kerja keluarga Solar Pemeliharaan peralatan Pembayaran bagi hasil ke pemilik Total Biaya Tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya total
Satuan
Volume
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp)
Persentase
Ton Musim Rp/musim
1.56 40.00 62.50
350 000
21 875 000 21 875 000
OHK Rp/musim Rp/musim
180 3 5
20 998 329 167 132 143
3 779 687 987 501 660 715
23.10 6.03 4. 04
Rp/musim
31.25
350 000
10 937 500 16 365 356
66.83 100.00
5 509 644 1.34
b. Pemilik Lahan No
Uraian
A
Penerimaan Produksi/panen Jumlah Panen Penerimaan Pemilik Total Penerimaan Biaya Tunai Perbaikan saluran Pajak Lahan Pembayaran Bagi Hasil ke Penggarap Solar Total biaya tunai Biaya diperhitungkan Biaya Penyusutan Total Biaya diperhitungkan Total biaya Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
B C
D E F
Satuan
Volume
Ton
1.56 40 62.50
Rp/tahun Rp/tahun Rp/musim Rp/musim
31.25 3
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp)
Persentase
350 000
21 875 000 21 875 000
2 000 000 107 500
2 000 000 107 500
12.27 0.66
350 000 329 167
10 937 500 987 501 14 032 501
67.08 6.706
2 272 708
2 272 708 2 272 708 16 305 209 7 842 499 5 569 791 1.56 1.34
15.59 100.00
Lampiran 9. Analisis Pendapatan Pedagang Perantara (Aktual) No A
B C
D E F G H I J K
Uraian Penerimaan Tunai Penjualan garam ke Industri Peneriman Non Tunai Penimbunan garam Total Penerimaan Biaya tunai Pembelian garam pembelian Karung pengakutan dan pengemasan Distribusi ke gudang industri Total biaya tunai Biaya diperhitungkan Penyusutan peralatan Total Biaya diperhitungkan Total Biaya pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Satuan
Volume
ton/th
1 083
458 333
496 375 000
ton/th
500
550 000
275 000 000 771 375 000
ton/thn buah/tahun ton/thn liter/tahun
1 583 1 083 1 083 900
307 937 688 18 667 4 500
487 463 492 744 563 20 216 361 4 050 000 512 474 416
93.57 0.14 3.88 0.78
8 487 333 8 487 333 520 961 749 258 900 584 250 413 251 1.51 1.48
1.63
Rp/thn
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp)
Persentase (%)
100.00
91
Lampiran 10. Analisis Pendapatan Pedagang Perantara (Model Bisnis yang diusulkan) No A
B C
D E F G H I J K
Uraian Penerimaan Tunai Penjualan garam ke Industri Peneriman Non Tunai Penimbunan garam Total Penerimaan Biaya tunai Pembelian garam pembelian karung pengakutan dan pengemasan Distribusi ke gudang industri Total biaya tunai Biaya diperhitungkan Penyusutan peralatan Total Biaya diperhitungkan Total Biaya pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Satuan
Volume
ton/th
1 083
458 333
496 375 000
ton/th
500
550 000
275 000 000 771 375 000
ton/thn buah/tahun ton/thn liter/tahun
1 583 1 083 1 083 900
350 000 688 18 667 4 500
554 050 000 744 563 20 216 361 4 050 000 567 302 743
96.22 0.13 1.76 0.42
8 487 333 8 487 333 575 790 076 204 072 257 195 584 924 1.36 1.34
1.47
Rp/thn
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp)
Persentase (%)
100.00
Lampiran 11. Analisis Pendapatan Industri Pengolahan Garam Briket dan Halus (Aktual) No A
B C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 D E F G H I J K
Uraian Penerimaan Penjualan garam briket Penjualan garam halus Total Penerimaan Industri Biaya Tunai Pembelian garam krosok Pembelian Iodium Plastik BBM TK Bongkar muat & Pencucian TK Iodisasi TK Pencetakan dengan mesin TK Pencetakan manual TK Pengovenan TK Pengemasan TK Pengawas dan administrasi Listrik Pajak Bumi dan Bangunan Pemeliharaan peralatan Total Biaya Tunai Biaya diperhitungkan Biaya Penyusutan Total Biaya di Perhitungkan Total Biaya Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Satuan
ton/th ton/th
ton/thn kg/th buah/th liter/thn OHK OHK OHK OHK OHK OHK OHK Rp/bulan Rp/tahun Rp/tahun
Rp/tahun
Volume
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp)
Persentase (%)
2634 1184 3818
1 100 000 1 200 000
2 897 400 000 1 420 800 000 4 318 200 000
4 200 264 1 320 000 24 000 1 056 528 2 376 1 320 1 056 1 056 528 12 1 1
458 333 625 000 50 4 500 22 500 37 500 50 000 37 500 50 000 20 000 60 000 120 000 383 333 25 000 000
1 925 000 000 165 000 000 66 000 000 108 000 000 23 760 000 19 800 000 118 800 000 49 500 000 52 800 000 21 120 000 31 680 000 1 440 000 383 333 25 000 000 2 608 283 333
72.62 6.22 2.49 4.06 0.89 0.74 4.48 1.87 1.99 0.80 1.20 0.05 0.01 0.94
42 479 167
42 479 167 42 479 167 2 650 762 500 1 709 916 667 1 667 437 500 1.66 1.63
1.60 100.00
93
Lampiran 12 Analisis Pendapatan Industri Pengolahan Garam Briket dan Halus (Model Bisnis yang diusulkan) No A
B C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 D E F G H I J K
Uraian Penerimaan Penjualan garam briket Penjualan garam halus Total Penerimaan Industri Biaya Tunai Pembelian garam krosok Plastik BBM TK Pencetakan dengan mesin TK Pencetakan manual TK Pengovenan TK Pengemasan TK Pengawas dan administrasi Listrik Pajak Bumi dan Bangunan Pemeliharaan peralatan Total Biaya Tunai Biaya diperhitungkan Biaya Penyusutan Total Biaya di Perhitungkan Total Biaya Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Satuan
ton/th ton/th
ton/thn buah/th liter/thn OHK OHK OHK OHK OHK Rp/bulan Rp/tahun Rp/tahun
Rp/tahun
Volume
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp)
Persentase (%)
2634 1184 3818
1 100 000 1 200 000
2 897 400 000 1 420 800 000 4 318 200 000
4 200 1 320 000 24 000 2 376 1 320 1 056 1 056 528 12 1 1
458 333 50 4 500 50 000 37 500 50 000 20 000 60 000 120 000 383 333 25 000 000
1 925 000 000 66 000 000 108 000 000 118 800 000 49 500 000 52 800 000 21 120 000 31 680 000 1 440 000 383 333 25 000 000 2 574 723 333
80.24 2.52 4.13 4.54 1.89 2.02 0.81 1.21 0.06 0.01 0.96
42 479 167
42 479 167 42 479 167 2 617 202 500 1 743 476 667 1 700 997 500 1.68 1.65
1.62 100.00
Lampiran 13. Analisis Pendapatan Pedagang Pengumpul Besar No
A
B C
D E
F G H I J K
Uraian
Penerimaan Penjualan garam ke Industri pengguna Total Penerimaan Biaya Tunai Pembelian garam Karung TK pengakutan dan pengemasan Distribusi ke gudang (BBM) Total Biaya Tunai Biaya yang diperhitungkan Penyusutan peralatan Sewa gudang Total Biaya diperhitungkan Total Biaya Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Satuan
ton/th
ton/thn Buah ton/thn liter/tahun
Rp/tahun Rp/tahun
Volume
Harga
Nilai
Persentase
(Rp/satuan)
(Rp)
(%)
966
666 667
644 000 000 644 000 000
1.073 1.073 1.073 1.000
383 333 1 500 19 333 4 500
411 316 667 1 609 500 20 744 667 4 500 000 438 170 833
92.08 0.36 4.64 1.01
1 533.333 7 000 000 8 533 333 446 704 167 205 829 167 197 295 833 1.47 1.44
0.34 1.57 100.00
95
Lampiran 14. Analisis Pendapatan Koperasi Garam di Kabupaten Rembang No A
B 1 2 3 4 5 6 8 9 10 C
Uraian
Satuan
Penerimaan penjualan garam Jumlah Panen Jumlah petani anggota Penerimaan penjualan jumlah iuran penerimaan iuran anggota Total Penerimaan Biaya Tunai Pembelian garam dr anggota Pembelian Iodium Karung Honor Pengurus Koperasi TK pengolahan garam Pengangkutan&pengemasan Pemeliharaan peralatan BBM Biaya listrik Total Biaya Tunai Biaya diperhitungkan Penyusutan alat Total Biaya diperhitungkan Total Biaya Pendapatan atas biaya tunai R/C atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya total
ton org Per tahun
Rp/ton Rp/kg Rp/buah OHK OHK Rp/ton Rp/bulan Rp/bulan Rp/bln
Volume
Harga (Rp/satuan)
1,67 40 20 1.336 40 800
1.336 111 1.336 48 150 667 12 12 12
Nilai (Rp)
Persentase (%)
500 000
668.000.000
30 000
24 000 000 692 000 000
350 000 625 000 688 1 000 000 50 000 18 667 300 000 200 000 100 000
467 600 000 69 583 333 918 500 48 000 000 7 500 000 12 444 667 3 600 000 2 400 000 1 200 000 613 271 389
76,53 11,39 0,15 7,87 1,23 2,04 0,19 0,37 0,19
23 533 333 23 533 333 636 804 723 78 728 611 1,12 55 195 277 1,10
4,84
Rp/musim
100.00
Estimasi Rincian Biaya Penyusutan Koperasi No
1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Peralatan
Gudang Diesel Mesin selip Sprayer (iodisasi) Timbangan Mesin jahit Genset Truk Total
Harga (Rp/unit) 25 000 000 2 500 000 25 000 000 250 000 1 500 000 1 000 000 1 500 000 150 000 000
Jumlah (unit) 1 2 1 2 2 2 2 1
Umur ekonomis (tahun) 10 5 3 5 5 5 5 20
Nilai
25 000 000 5 000 000 25 000 000 500 000 3 000 000 2 000 000 3 000 000 150 000 000 238 500 000
Penyusutan (Rp/tahun) 5 000 000 1 000 000 8 333 333 100 000 600 000 400 000 600 000 750 000 23 533 333
Lampiran 15. Analisis Biaya Transaksi yang dikeluarkan Pelaku Usaha Garam Pelaku Usaha 1. Penggarap Biaya asimetris infomasi Iuran koperasi Total Biaya Transaksi Penerimaan Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan 2. Pemilik Lahan Asimetris informasi Pemberian pinjaman Penyediaan mesin diesel Iuran menormalisasi saluran Pengawasan Iuran Koperasi Total Biaya Transaksi Penerimaan Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan 3. Pemilik lahan sekaligus penggarap Asimetris informasi Iuran menormalisasi saluran air Iuran Koperasi Total Biaya Transaksi Penerimaan Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan 4. Pedagang perantara Asimetris informasi Pembangunan gudang pinjaman petani Total Biaya Transaksi Penerimaan
Kondisi saat ini
Model bisnis baru kelembagaan koperasi
1 729 911 1 729 911 9 207 589 0.19
1 200 000 1 200 000 9 207 589 0.13
781 250 545 000 2 000 000 2 000 000 540 000 1 200 000 5 866 250 10 156 250 0.58
10 156 250 0.12
3 055 556 2 000 000 5 055 556 20 277 778 0.25
1 200 000 1 200 000 20 277 778 0.06
27 075 000 24 000 000 7 300 000 58 375 000 771 375 000
24 000 000 771 375 000
Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan
0.08
0.03
5. Perusahaan pengolahan pemberian pinjaman ke pengumpul Pembayaran SNI Pembayaran SIUP Perpanjangan merk dagang Plagiat merek dagang Biaya pengawasan pengiriman Total Biaya Transaksi Penerimaan Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan
21 666 667 5 000 000 350 000 3 000 000 100 000 000 36 000 000 166 016 667 4 318 200 000 0.04
5 000 000 350 000 3 000 000 100 000 000 36 000 000 108 350 000 4 318 200 000 0.025
6. Pedagang pengumpul besar penyusutan bobot garam Asimetris informasi penerimaan Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan
71 333 333 10 000 000 644 000 000 0.11
71 333 333 10 000 000 644 000 000 0.11
24 000 000
97
Lampiran 16. Analisis Sebaran Marjin Pemasaran dan Share Harga No
Uraian 1
1
saluran Pemasaran (Rp/ton) 2 3
4
5
Penggarap Harga jual
294 643
294 643
350 000
2
Pemilik Lahan Keuntungan pemilik lahan
325 000 30 357
325 000 30 357
350 000
3
Pemilik lahan sekaligus penggarap Harga jual
4
Pedagang Perantara Harga beli Biaya kemas dan pengangkutan Biaya distribusi kegudang industri Keuntungan Harga jual
325 000 18 667 2 922 111 744 458 333
Marjin pedagang perantara
133 333
5
6
5
304 167
304 167
325 000 18 667 39 666 383 333
304 167 18 667 2 922 132 578 458 333
304 167 18 667 60 500 383 333
58 333
154 167
79 167
Koperasi Harga beli di tk petani Biaya pencucian dan iodisasi Pengemasan dan pengangkutan Distribusi Keuntungan Harga Jual Marjin koperasi Industri Pengolahan Harga beli Pencucian Cetak mesin Iodisasi Cetak manual Pengovenan Pengemasan Administrasi Keuntungan Harga jual Marjin pengolahan
350 000 3 750 18 667 2 922 124 661 500 000 150 000 458 333 6 223 31 116 5 186 12 965 13 829 5 532 8 298 608 518 1 150 000 691 667
Pedagang Pengumpul Besar Harga beli Pengemasan dan pengangkutan Distribusi Biaya susut bobot garam Keuntungan Harga jual Marjin pengumpul besar Total Biaya Pemasaran Total Keuntungan Total Marjin Farmer Share petani
350 000
458 333 6 223 31 116 5 186 12 965 13 829 5 532 8 298 608 518 1 150 000 691 667
383 333 19 333 4 658 66 667 192 675 666 667 283 333 104 737 750 620 855 357 25.62
109 325 262 698 372 024 44.20
500 000 31 116 12 965 13 829 5 532 8 298 578 261 1 150 000 650 000
383 333 19 333 4 658 66 667 192 675 666 667 283 333 104 737 741 096 845 833 26.45
109 325 253 175 362 500 45.625
97 078 702 922 800 000 30.43
Lampiran 17 Aturan yang dipergunakan dalam penyusunan kontrak kemitraan antara petani garam (petani pemilik, penggarap dan petani pemilik sekaligus penggarap dengan koperasi) Aturan Uraian a. Aturan tentang posisi (position rules) - Petani - Sebagai agen - Koperasi - Selaku principal - Pihak lain - Pedagang perantara, industri pengolahan, pedagang pengumpul besar adalah pihak yang tidak diatur dalam kontrak tetapi ada keterlibatanya dalam pemasaran - Bank – penyedia modal kredit ke petani yang disalurkan melalui koperasi dalam bentuk pinjaman - Pemerintah – sebagai pendamping serta fasilitasi/ insentif/subsidi yang disalurkan melalui koperasi dalam bentuk bantuan penyediaan sarana produksi b. Aturan pembatasan (boundary rules) - Petani - Mendaftar sebagai anggota koperasi - Menyediakan lahan, menyewa lahan, melakukan persiapan lahan, mengolah dan memanen garam - Melakukan penjualan garam hanya kepada koperasi - Menerima hasil penjualan setelah dipotong kewajiban/pinjaman dengan koperasi - Membayar iuran/simpanan pokok yang disepakati anggotanya -
Koperasi
-
Kontribusi terhadap input produksi
- Menyediakan sarana produksi yang dibutuhkan petani - Menyediakan sarana gudang penyimpanan - Memberikan pinjaman modal untuk kebutuhan produksi maupun kebutuhan sehari-hari - Mengangkut hasil panen garam dari lokasi tambak garam milik petani ke gudang koperasi. - Memiliki kemampuan managerial untuk mengadministrasikan pelaksanaan kegiatan dan mengorganisasikan petani - Kontribusi input produksi berupa sarana produksi yang dibutuhkan seperti kincir, selender, cangkul, garuk dan mesin diesel sesuai ketentuan yang disepakati oleh pemerintah
c. Aturan Kewenangan (authority rules) - Petani - Menentukan waktu pemanenan dan kualitas garam yang dipanen dengan mempertimbangkan saran koperasi atau menetapkan secara bersama-sama - Mendapatkan jaminan pasar dan harga wajar dari Koperasi -
Koperasi
- Mempunyai kewenangan terhadap hasil panen petani dan menetapkan harga sesuai dengan kesepakatan dengan petani - Membantu memberikan bimbingan teknis, penyuluhan dan sosialisasi kegiatan pemerintah terkait usaha garam - Berwenang menjual garam hasil pembelian dari petani kepada siapapun (industri pengolahan, pedagang perantara kecil/besar dan industri pengguna)
99
d Aturan pencakupan (scope rules) Pemasaran - Penjualan garam hasil panen harus dipasarkan ke pihak koperasi - Pemberian harga yang lebih baik bagi garam yang memiliki kualitas 1 e Agregation rules Ikatan kontraktual
- Kontrak tertulis secara formal dapat menjadi akta autentik di pengadilan - Disusun oleh semua pihak secara proporsional antara hak dan kewajiban pelaku, transparan dan bertujuan untuk keberlanjutan usaha
f Aturan kejelasan kegiatan dan informasi - Kejelasan kegiatan - Bantuan input produksi yang diberikan koperasi kepada petani anggota tidak dapat dipergunakan pada petani lain yang bukan anggota - Adanya rapat anggota secara berkala untuk mengetahui kebehasilan pengelolaan koperasi -
Kejelasan informasi
- Melakukan sosialisasi secara berkala terkait perbaikan metode tambak garam dan perbaikan kualitas - Kesepakatan penetapan harga bedasarkan kesepakatan bersama - Adanya kesepakatan kualitas mutu garam yang diinginkan - Adanya jaminan pasar bagi petani
g Aturan pembiayaan dan keuntungan - Biaya - Biaya pengemasan dan pengangkutan input produksi ke lokasi tambak garam ditanggung pihak petani - Biaya pengelolaan lahan garam dan pemanenan ditanggung oleh petani - Biaya monev dan pembinaan ditanggung oleh pihak koperasi - Biaya pemanenan dan pengiriman garam dari tambak ke gudang koperasi ditanggung oleh pihak koperasi -
Keuntungan
- Seluruh hasil panen menjadi hak petani - Seluruh penjualan garam oleh koperasi menjadi keuntungan koperasi - Sisa hasil usaha dibagi setiap tahunnya setelah dikurangi dana cadangan dan keperluan lainya berdasarkan rapat anggota
-
Sengketa/sanksi
- Pelaku tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati mendapatkan sanksi sesuai ketentuan hukun yang berlaku - Menjual garam sebagian/seluruhnya kepada pihak lain selain koperasi - Sengketa diseleseikan secara musyawarah mufakat.
101
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 April 1981 dari Bapak Kadar Hadi Sukayat dan Ibu Endah Suwarni. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal penulis diawali di TK Karyawan Putra pada tahun 19861987 di Jakarta. Kemudian penulis melanjutkan studi di SD Negeri 04 Jakarta dan lulus tahun 1993. Pada tahun 1996 penulis lulus dari SLTP Muhammadiyah 09 Jakarta dan pada tahun 1999 penulis lulus dari SMU 46 Jakarta. Pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan lulus pada tahun 2003. Delapan tahun kemudian penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Program Studi Magister Sains Agribisnis melalui Beasiswa Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011. Selama tahun 2003 hingga sekarang penulis bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2010 penulis dipromosikan menjadi Kepala Seksi Informasi Usaha dan Investasi, Direktorat Usaha dan Investasi, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Penulis menikah dengan Heru Sulistyo SPi, MSE, MA dan dikarunia dua orang anak laki-laki bernama Rizqy Pandu Habiburrahman (6 tahun) dan Rifqy Bayu Muzakki (4 tahun).