MODEL ANAK-ANAK DALAM IKLAN PRODUK UNTUK DEWASA Penulis : Alit Kumala Dewi 1, Didit Widiatmoko Suwardikun2 Jurusan Desain Komunikasi Visual , FSRD, ISI Denpasar, Jl. Nusa Indah, Denpasar -
[email protected] 1,
Program studi DKV, SKM, Telkom University, Jl. Telekomunikasi, Buahbatu, Bandung -
[email protected]
2
ABSTRACT Numbers of children as talents in national television commercials tend to increase in 2008-2010, those are not limited to children’s consumer goods such as snacks, milk, medicines, there are also tendency of children are used as models of television commercials for adult‘s consumer goods, by utilizing the characteristics of their innocent and cute appeal to pose for the target audience. What exactly is the role of children’s figure which appears in advertisements for adult’s consumer goods? Purposive sampling to four TV commercials that aired on national TV broadcast in 2008 and 2010 is selected according to the criteria of the study such as, Television commercials that use children as model for adult‘s consumer goods in terms of narrative and its visual aspect is thought to contain the positive or negative values and the product is restricted from food products, cellular phone providers, cosmetics and cleaning clothes, represented a more dominant advertisements, deemed contains the values that want to revealed in the research and deserves represent one type of product which aired on national television stations like Indosiar, RCTI, SCTV, TRANS TV. Interpretive semiotic analysis of signification models through denotation and connotation, to gain an overview of the relationship between visual and verbal elements. Advertising theory approach, body language and cinematography are used to analyze the components contained in the ads, to find out the role of models and to reveal the raised values. The result finds that children had the role as the influencer, the originator of the idea, and advocating the product purchase decisions. The values contain in the fourth television advertisements are associated with positive values such as modesty, decency or fairness as well as negative values, contrary to prevailing norms in society such as lying and demeaning behavior of others. These results benefit for assessing and refining the things that can impact positively or negatively in television commercials. Keywords: advertising, children , talent artist, TV commercials, semiotics
129 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Pendahuluan Salah satu ide kreatif iklan yang menarik minat produser atau desainer periklanan adalah ide penggunaan model anak-anak pada tampilan iklan televisi, yang kini dapat mudah dijumpai dalam tayangan televisi nasional. Anak-anak diasumsikan mempunyai sifat lucu, polos, menggemaskan dengan tingkah laku yang apa adanya, sehingga secara tidak langsung tampilan anak, contohnya di layar televisi cenderung mengingatkan orang pada anaknya sendiri, menurut Kartini (1995:108) bahwa penghayatan anak terhadap sesuatu diekpresikan secara spontan dan jujur dalam setiap mimik, gerakan, tingkah laku dan bahasanya. Anak tidak bisa berbohong atau bertingkah laku berpura-pura. Anak menampilkan kehidupan bathiniahnya secara terbuka. Oleh karena itu pribadi anak tampak polos, jelas pada tingkah laku lahiriahnya. Bermodalkan asumsi di atas diperkirakan produser atau desainer periklanan mengharapkan tampilan anak-anak dalam iklan televisi dapat lebih mudah menarik simpati, menyentuh serta mempengaruhi emosi masyarakat terutama wanita atau kaum ibu. Penggunaan model anak-anak dalam iklan televisi nasional akhir-akhir ini jumlahnya cenderung meningkat, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bekerja sama dengan Consumer International-Regional Office for Asia and the Pacific (CI-ROAP) tahun 2002, disebutkan bahwa anak menduduki posisi kedua dalam mempengaruhi seseorang untuk membeli produk makanan yang diiklankan. Bahkan di samping itu pula, menurut hasil survei di Amerika (1990) menemukan bahwa peluang anak sebagai influencer market yang mempengaruhi keputusan pembelian orang tua ternyata cenderung lebih besar dibandingkan sebagai primary market. (http://swadigital.com, diakses 18 Juni 2011). Di satu sisi, iklan merupakan sebuah hiburan yang ditayangkan di televisi namun di sisi lainnya, kegiatan persuasi iklan merupakan kegiatan potensial untuk menciptakan citra dan nilai-nilai, baik itu nilai positif maupun nilai negatif yang dapat mempengaruhi perilaku berbagai kalangan masyarakat khususnya anak-anak. Permasalahan dirasakan akan muncul bila anakanak dilirik oleh produsen untuk dijadikan model iklan televisi, diduga hanya sebagai pemikat saja dalam meningkatkan penjualan atau hanya untuk mencari keuntungan dengan secara tidak langsung mengabaikan etika moral. Menurut Ibrahim (2007:293-296) ada beberapa iklan yang menggunakan anak-anak untuk produk barang yang bukan dimaksudkan secara langsung untuk anak-anak. seperti contoh iklan produk pemutih wajah dan kulit yang menggunakan anak-anak untuk menilai keindahan dan kecantikkan wanita setelah memakai suatu produk kosmetik. Dalam hal ini, anak menjadi objek, belum sebagai subjek. Anak-anak pun ditempatkan tak lebih sebagai konsumen dan mereka diposisikan semata-mata sebagai
130 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
pembeli bukan sebagai anak dengan hak-hak yang dimilikinya sebagai warganegara pada lapis usia yang masih menjadi tanggung jawab orang dewasa. Kemunculan anak dalam iklan televisi, tidak hanya terbatas pada iklan produk untuk anak-anak seperti makanan ringan, susu, obat-obatan, ada kecenderungan anak-anak digunakan juga sebagai model iklan televisi produk untuk orang dewasa, contohnya dapat dilihat dari tayangan iklan televisi kecantikan ponds (versi : Cute girl, beautiful girl & a boy-2008) iklan produk makanan dan perabotan rumah tangga, iklan deterjen, iklan provider telepon seluler XL (versi: Baim2010). Walaupun telah ada pedoman atau Etika Periklanan Indonesia (EPI) yang merupakan penyempurnaan atas Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia ( TKTCPI), diikrarkan tanggal 19 Agustus 1996, yang mengatur dengan jelas mengenai tata krama penggunaan pemeran iklan khususnya anak-anak (EPI Bab III.A. No. 3.1), namun disayangkan masih belum dapat diterapkan dengan baik oleh para praktisi periklanan. Ini dibuktikan dengan masih ada iklan televisi dengan model anak-anak yang cenderung tidak mendidik, karena mengesampingkan nilai-nilai edukatif serta mengandung unsur-unsur perilaku negatif seperti kekerasan, berbohong, menghina dan melanggar kode etik periklanan, sehingga dikhawatirkan anak-anak akan cenderung meniru, mengikuti perilaku dan sikap model dalam iklan televisi. Seperti salah satu contoh Iklan televisi T V Zee Platinum Milk versi ”HujanBrain-Body-Bone” (2010), durasi: 31 detik. BPP (Badan Pengawas Periklanan) berdasarkan pedoman atau Etika Periklanan Indonesia, menyatakan pelanggaran yang terdapat pada iklan tersebut adalah dengan menampilan anak yang melakukan adegan (tayangan iklan pada detik ke 11-17). melompati pagar-pagar rumah orang lain, dianggap adegan tersebut tidak layak dilakukan oleh anak-anak BPP memutuskan bahwa iklan tersebut melanggar EPI Bab III.A. No. 3.1.2., yang menyatakan bahwa Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-adegan yang berbahaya, menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak (sumber: http:// www.p3i-pusat.com/rambu-rambu/kasus, diakses 12 Juni 2011.)
Didukung oleh pendapat Hurlock (1998:344) bahwa cara berbicara anakanak dan perilaku serta sikap sangat dipengaruhi oleh apa yang didengarnya, dilihatnya, dilakukan orang di televisi maka banyak anak yang yakin bahwa apa saja yang dikatakan di televisi merupakan hal yang benar.
131 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Tayangan iklan di televisi tidak hanya menawarkan produk semata, tetapi juga melekatkan sistem keyakinan dan nilai tertentu yang disisipkan di balik tayangan iklan. Dalam tayangan iklan televisi yang menghibur dengan menggunakan model anak yang lucu dapat terselip nilai-nilai negatif yang membahayakan perkembangan perilaku anak.
nilai-nilai positif maupun negatif yang berlaku di masyarakat seperti moral, tata krama, norma yang tidak tertulis secara formal seperti nilai kesopanan, kejujuran, menghargai orang lain, serta norma tertulis kaitannya dengan Etika Pariwara Indonesia yang mengatur tampilan visual dan narasi pada iklan-iklan televisi.
Bagaimana peran model anak dalam iklan televisi produk untuk dewasa, dan nilai-nilai apa yang dimunculkan dalam hubungannya dengan anak-anak serta Etika Pariwara Indonesia? Untuk mengetahui nilai-nilai tersebut dilakukan analisis visual dengan pendekatan semiotika Roland Barthes (Piliang (2003), Sobur (2006), Fiske (2007),Thwaites (2009)) untuk menganalisis unsur-unsur penyusun iklan secara denotasi dan konotasi kemudian menginterpretasikan dan mengungkapkan nilai-nilai yang ada dalam iklan televisi.
Peran model anak dalam iklan televisi produk untuk dewasa, dengan cara apakah anak tersebut memberi pengaruh tertentu kepada pemirsa, apakah dengan menjadi salah satu selebritis cilik yang lucu, iklan menggunakan kategori daya tarik selebritis, ataukah dengan cara menggugah emosi, iklan menggunakan daya tarik emosional. Analisis
Fokus Kajian dan Cara Telaah Kriteria dari pengumpulan iklan televisi, sebagai obyek penelitian adalah: a. Iklan televisi yang ditayangkan di beberapa stasiun televisi nasional seperti Indosiar, RCTI, SCTV, TRANS T V b. Iklan televisi yang menggunakan model anak-anak dalam produk untuk dewasa. c. Iklan televisi yang dari segi narasi dan aspek visualnya mengandung nilainilai, baik itu nilai positif maupun nilai negatif. d. Produk dibatasi dari jenis produk makanan, provider telepon seluler, kosmetik dan pembersih pakaian, diwakili satu iklan yang dianggap lebih dominan mengandung nilai-nilai yang ingin diungkap dalam penelitian dan layak mewakili satu jenis produk. Dari kriteria tersebut terpilih empat iklan televisi sebagai obyek penelitian, yaitu : Iklan televisi Mie Sedap versi: “gak punya papa”(2010), Iklan televisi Ponds versi: “Guru TK” (2008), Iklan televisi XL versi : “Baim” (2010), Iklan televisi BuKrim versi: “jadi Dokter”(2008). Telaah dengan cara mendeskripsikan kemudian menganalisis denotasi dan konotasi dari tiga unsur iklan (visual, verbal, non verbal), serta hubungan antara unsur satu dengan unsur lainnya. Beberapa yang termasuk dalam ketiga unsur tersebut meliputi, sinematografi, bahasa tubuh, gestur, ekspresi. Salah satu contoh, menganalisis denotasi dan konotasi hubungan antara model dengan produk, hubungan antara camera angle dengan ukuran shot dan yang lainnya. Di samping itu, strategi kreatif (daya tarik iklan dan pendekatan) dalam tiap iklan juga perlu diketahui, dengan alasan memperkuat argumentasi setelah diketahuinya peran model anak pada masing-masing iklan. Nilai (values) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
132 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Gambar 1. Cuplikan iklan Mie Sedaap Gak punya Papa Sumber/Link : https://www.youtube.com/watch?v=JpsoR-cRVmc
1. Berdasarkan analisis Iklan Televisi Mie Sedaap (versi : “Gak Punya Papa” 2010, durasi: 30 detik ) diketahui bahwa target sasarannya adalah orang dewasa, tetapi dengan menampilkan anak-anak pada iklan produk mie instan, secara tidak langsung mensosialisasikan anak sebagai konsumen mie instan. Seperti yang diketahui, anak-anak tidak baik mengkonsumsi mie instan yang mengandung bahan pengawet, penyedap (MSG), jika digunakan secara berlebihan, MSG mempunyai efek negatif terhadap tubuh. Mengkonsumsi MSG sebanyak 12 gram per hari dapat menimbulkan gangguan lambung, gangguan tidur dan mual-mual. Bahkan beberapa orang ada yang mengalami reaksi alergi berupa gatal, mual dan panas. Bukan hanya itu saja MSG juga dapat memicu hipertensi, asma, kanker serta diabetes, kelumpuhan serta penurunan kecerdasan. Kandungan natrium karbonat dalam mie instan yang mencapai 30 - 40 persen, bisa meningkatkan resiko tekanan darah tinggi, dan bila dikonsumsi secara
133 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
terus menerus dapat mengganggu kesehatan khususnya anak-anak yang membutuhkan banyak nutrisi dan gizi pada masa pertumbuhannya. (sumber: http://tabloidnova.net, diakses 15 Juni 2011).
Daya tarik yang digunakan dalam iklan adalah daya tarik humor yakni dengan melebih-lebihkan sesuatu dan stupidity (perilaku bodoh) atau
bahkan model dalam iklan televisi. Hal ini juga cenderung melanggar Etika Pariwara Indonesia (EPI Bab III.A. No. 3.1.2.), menuliskan bahwa iklan tidak boleh menayangkan adegan atau perilaku yang menyesatkan (tidak pantas), seperti perilaku berbohong yang dapat memberikan pengaruh yang negatif khususnya kepada anak-anak
tidak pantas (tidak wajar) yang dilakukan seorang di usianya.
Model anak yang ditayangkan dalam iklan tersebut, hanya untuk membantu dalam eksekusi pendekatan dalam iklan, yakni pendekatan normatif (normative approach) dengan menyinggung nilai atau norma yang ada dalam masyarakat seperti berbohong yang dilakukan oleh model anak. Dari sisi sinematografi, yakni dari sudut camera angle, ukuran shot dan bahasa tubuh yang digunakan memperlihatkan kesengajaan untuk menonjolkan ekspresi tertekan, muram, dramatisasi yang ditunjukkan oleh model anak dalam upaya berbohong demi kepentingan orang tuanya.
Iklan memakai mitos digunakan untuk menarik perhatian bahwa “anak kecil tidak bisa berbohong, bila tidak diminta”, sesuai dengan konsep yang ingin diciptakan oleh iklan tersebut yakni “Soal kata lidah bisa berbohong, soal rasa lidah tidak bisa bohong”. Tetapi bila dilihat dari norma yang ada pada masyarakat Indonesia, kata “berbohong” cenderung mengandung makna konotasi atau nilai yang buruk atau tidak baik.
Nilai positif dapat dilihat dari aksi anak kecil yang sedang duduk rapi, melipat kedua tangannya di atas meja, sambil bertanya kepada orang tuanya. Hal ini memberikan nilai kesopanan, nilai tersebut harus tetap dijaga, karena akan memupuk perasaan susila yang positif yakni perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik seperti rasa menghargai dan menghormati orang yang lebih tua khususnya orang tua. Nilai negatif ditunjukkan juga oleh anak kecil saat sedang berbohong berkaitan dengan keberadaan papanya, hal ini dapat memberikan dampak buruk karena memberikan contoh berbohong demi kepentingan orang tuanya, sehingga secara tidak langsung adegan (tayangan iklan pada detik ke 12-15) tersebut mengajarkan anak cara berbohong dan memberikan pandangan bahwa berbohong merupakan sesuatu yang wajar atau sudah biasa. Hal inilah yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi moral, perilaku, dan pola pikir anak-anak, apalagi adegan negatif tersebut diperagakan oleh anak seusianya, karena salah satu proses perkembangan anak adalah dengan cara identifikasi, yakni dengan meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang dilihatnya atau diidolakan seperti contohnya orang tua, saudara, orang dewasa, teman sebaya, artis atau
134 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Gambar 2. cuplikan iklan Ponds guru TK Sumber/Link: https://www.youtube.com/watch?v=TZXMvy6n5-g
2. Berdasarkan analisis dari iklan televisi Ponds (versi : “Guru TK” 2010, durasi 27 detik), diketahui bahwa wanita muda atau sosok guru diposisikan sebagai satu-satunya user dari produk yang diiklankan. Sedangkan model anak berperan sebagai Influencer, yakni memberikan pengaruh tertentu, seperti halnya adegan model anak yang mendeskripsikan penampilan wajah guru TK, membuat guru tersebut tidak percaya diri, perilaku anak tersebut dapat mempengaruhi sehingga mencetuskan ide atau pemikiran bagi si guru untuk merawat wajahnya yang memerah karena iritasi, dengan cara menggunakan produk ponds. Hal ini menunjukkan bahwa iklan menggunakan model anak-anak tapi tidak menargetkan sasaran untuk anak-anak, namun lebih kepada wanita dewasa. Model anak digunakan untuk membantu dalam mengeksekusi strategi kreatif iklan. Dengan menunjukkan konsekuensi negatif jika tidak menggunakan produk, berawal dari guru tersebut cemas karena muridnya “mengkritik” penampilan wajahnya. Rasa takut bermuka buruk digunakan sebagai daya tarik untuk memotivasi pemirsa untuk menggunakan poduk Ponds. Hal ini dapat dilihat juga dari segi sinematografi (camera angle dan ukuran shot) serta bahasa tubuh yang dapat menegaskan atau menekankan pada perbedaan ekspresi dan respon antara model anak dan guru TK. Sedangkan daya tarik emosional yang digunakan berhubungan dengan kebutuhan psikologis, bila dikaitkan dengan iklan, yakni kebutuhan berpenampilan yang sempurna (termasuk wajah) dihadapan murid-
135 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
muridnya sehingga akan menumbuhkan kepercayaan terhadap dirinya sebagai seorang guru. Iklan mencoba menggunakan mitos “kecantikan seorang perempuan”, dimana sosok perempuan yang dapat dikatakan cantik, diidentikkan dengan kulit yang halus, mulus, putih tanpa noda. Wajah perempuan “sempurna” yang dapat menarik perhatian para lelaki, jika dihubungkan dengan iklan ini, pesona wajah perempuan yang dapat pula menarik perhatian anak-anak.
Iklan mencoba memberikan pandangan baru, bahwa tidak hanya lakilaki dewasa saja yang peduli dan memperhatikan standar “kecantikan” seorang wanita, namun juga anak-anak yang masih kecil.
Iklan mengandung nilai positif diantaranya, adegan atau sikap anak-anak yang duduk rapi sambil menyimak, memberikan nilai yang baik yakni nilai kepatuhan, rasa hormat terhadap sosok seorang guru. Sedangkan nilai negatif, ditunjukkan pada adegan (tayangan iklan pada detik ke 6-11), saat anak kecil laki-laki mengkritik penampilan wajah gurunya melalui media gambar, dengan menggambar wajah gurunya, secara tidak langsung mengkritik penampilan gurunya, hal ini kurang pantas dilakukan oleh seorang anak didik terhadap gurunya, dapat memberikan pengertian bahwa anak-anak boleh mengkritik penampilan wajah siapa pun termasuk orang yang lebih dewasa bahkan pada sosok panutan (guru). Nilai negatif yang ditunjukkan dalam iklan, cenderung melanggar Etika Pariwara Indonesia karena iklan tidak boleh menayangkan adegan yang menyesatkan atau dapat memberikan pemahaman yang salah khususnya kepada anak-anak (EPI Bab III.A. No. 3.1.2.),
Gambar 3. cuplikan iklan XL Baim Sumber/Link: https://www.youtube.com/watch?v=Gf1ntVj9Tpw
136 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
3. Berdasarkan analisis iklan televisi XL (versi: “Ba’im” 2010, durasi: 46 detik) diketahui bahwa model anak (si Ba’im) dalam iklan bukan sebagai user, namun dapat dikatakan bahwa model anak berperan untuk memberikan pengaruh tertentu, terlihat dari adegan (tayangan iklan pada detik ke 18-21) ketika perilaku model anak, berdasarkan “kejujurannya” menyampaikan secara langsung atau menerangkan kelebihan dari provider XL, sehingga secara tidak langsung menganjurkan, memberikan gagasan atau pemikiran kepada pemirsa untuk memilih atau mempengaruhi keputusan pemirsa untuk menggunakan provider XL daripada yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa target utama iklan tersebut adalah orang dewasa. Model anak dalam iklan ini digunakan untuk membantu eksekusi strategi kreatif iklan, model anak digunakan untuk daya tarik selebritis dengan menampilkan tiga bintang yaitu, Baim, Sule dan Tia. Dengan memunculkan bintang-bintang yang sudah dikenal oleh pemirsa khususnya Baim yang lucu dan menggemaskan, berupaya untuk lebih menarik perhatian dan mempengaruhi pemirsa. Daya tarik humor juga digunakan yaitu melebih-lebihkan sesuatu dan stupidity (perilaku bodoh) dengan cara membuat mimik muka yang lucu. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah testimonial dengan menunjuk Baim sebagai penyampai langsung (penganjur) seolah Baim mengerti tentang produk XL. Iklan mencoba menggunakan mitos “anak kecil selalu jujur”, konsep tersebut direpresentasikan melalui model anak (Baim). Konsep “kejujuran” kemungkinan dapat menarik perhatian atau respon dari pemirsa, Penampilan model anak laki-laki (Baim) selain merepresentasikan anak kecil yang polos dan lucu juga tata bahasa yang blak-blakan, dan “jujur”, mampu menarik perhatian pemirsa serta mewujudkan konsep “kejujuran” yang dimaksudkan dalam iklan. Hal di atas dapat dilihat pula dari segi sinematografi (camera angle dan ukuran shot) serta bahasa tubuh yang dapat menegaskan atau menekankan pada ekspresi dan respon antara model. Iklan ini ternyata mengandung nilai positif diantaranya perilaku yang mengemukakan sifat anak kecil yang lugu, polos dan jujur, mengajarkan untuk selalu jujur, tidak berbohong. Namun juga mengandung nilai yang negatif, yaitu adegan (tayangan iklan pada detik ke 7, 14-16) dimana Baim mengatakan bahwa Sule jelek, memberi kesan bahwa setiap anak kecil berhak mengatakan seseorang itu jelek atau buruk rupa, meskipun atas dalih kejujuran. Hal ini memberikan nilai yang tidak sopan dari segi tata krama, karena dapat mengajarkan anak-anak untuk terbiasa tidak menghargai dan merendahkan orang yang lebih tua. Nilai tersebut juga dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan bahasa serta moral anak, karena kemampuan anak meniru orang lain, baik itu orang sebayanya atau yang lebih dewasa (orang tua). Nilai tersebut juga dapat menanamkan kebiasaan bertingkah laku yang buruk (agresif ) berupa serangan mental
137 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan). Dari segi Etika Pariwara, perilaku yang ditampilkan oleh anak (Baim) cenderung melanggar Etika Pariwara Indonesia (EPI Bab III.A. No. 3.1.2.), karena iklan tidak boleh menampilkan atau menayangkan adegan atau perilaku dan bahasa yang menyesatkan (tidak pantas), serta model anak-anak juga tidak boleh ditampilkan sebagai penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak. (EPI Bab III.A. No. 3.1.3.)
kupon beasiswa sekolah untuk anak dengan cuma-cuma, karena para ibu dan anak-anaklah yang paling banyak menghabiskan waktu di depan televisi, maka konsep ini digunakan berupaya untuk menarik minat dan perhatian pemirsa. Hal ini menunjukkan bahwa model anak digunakan pula untuk membantu mengeksekusi strategi kreatif iklan, dengan pendekatan show the benefit yakni menyuguhkan apa manfaat yang diberikan oleh produk BuKrim jika pemirsa menggunakannya, yakni mendapatkan kupon beasiswa untuk anak. Model anak hanya membantu dalam mengeksekusi strategi kreatif berupa daya tarik emosional, berhubungan dengan kasih sayang dan impian seorang ibu yang ingin menyekolahkan dan mewujudkan impian anaknya, menjadi minat pemirsa untuk membeli produk dan berharap mendapatkan kupon beasiswa untuk menyekolahkan anaknya. Anak dalam iklan ditampilkan sederhana dengan tatanan rambut berponi dan dikepang, dalam tayangan iklan, adegan (tayangan iklan pada detik ke 1-11) anak-anak tersebut sedang bermain sebagai dokter dan pasien, mempresentasikan ketertarikan mereka pada profesi yang ingin dijalankannya setelah dewasa, semua dapat dilihat dari segi sinematografi camera angle dan ukuran shot serta bahasa tubuh. Iklan ini mengandung nilai positif yakni mengizinkan anak-anak untuk mempunyai mimpi atau cita-cita setingginya. Anak-anak diharapkan tertarik dengan iklannya apalagi dalam iklan tersebut diperagakan oleh anak-anak dengan aktivitas yang membuat anak-anak berkeinginan melakukan apa yang ada dalam iklan tersebut, karena proses perkembangan anak selalu cenderung diawali dengan proses identifikasi atau peniruan tingkah laku, penampilan serta bahasa dari seseorang, khususnya anak-anak seusianya. Hal inilah yang dapat memberikan pengaruh positif sehingga anak-anak diharapkan berkeinginan untuk memiliki cita-cita setinggi mungkin.
Gambar 4. cuplikan iklan Bukrim Jadi Dokter Sumber /Link: https://www.youtube.com/watch?v=z5mJpHhXwQs
4. Berdasarkan analisis iklan Televisi BuKrim(versi: “Jadi Dokter”2008, durasi: 18 detik ), dapat diketahui dengan jelas bahwa anak-anak bukan sebagai user dari produk tersebut. Target utamanya adalah ibu rumah tangga, namun anak-anak merupakan target tambahan karena produk menawarkan kupon hadiah beasiswa untuk anak-anak. Model anak dalam iklan hanya sebagai Influencer untuk menggugah atau merangsang hasrat para ibu untuk menyekolahkan anak-anaknya dengan jalan membeli produk yang diiklankannya, karena produk tersebut menawarkan kupon hadiah beasiswa yang ditujukan untuk anak-anak. Jadi adegan pada iklan (detik ke 12-18), lebih menonjolkan kupon hadiah beasiswa yang didapat ketika membeli produk daripada manfaat yang dihasilkan dari menggunakan produk tersebut. Iklan mencoba mematahkan mitos tentang “biaya pendidikan anak sangat mahal”, dengan cara setiap pembelian produk BuKrim akan diberikan
138 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Walaupun tayang iklan di atas memberikan nilai yang positif, namun berdasarkan kode etik pariwara , iklan cenderung melanggar Etika Pariwara Indonesia (EPI Bab III.A. No. 3.1.1.) karena model anak-anak digunakan untuk mengiklankan produk untuk dewasa, dan adegan dari awal sampai akhir, model anak-anak tidak didampingi oleh model orang dewasa.
Hasil a. Kepolosan, kelucuan, dan keluguan dari model anak digunakan sebagai pelengkap atau berperan untuk membantu dalam mempresentasikan atau eksekusi dari daya tarik dan pendekatan yang digunakan pada iklan televisi diantaranya, daya tarik emosional, daya tarik rasa takut, daya tarik humor, daya tarik selebritis, dan yang paling dominan digunakan ketika iklan menayangkan model anak adalah daya tarik emosional dan daya tarik humor. Sedangkan pendekatan yang digunakan diantaranya,
139 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
normative approach, show the benefit dan Testimonial. b. Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dan hubungannya dengan Etika Pariwara Indonesia yang terdapat pada keempat iklan yang diteliti, dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai positif dan nilai negatif. Nilai yang dianggap positif yaitu kesopanan, kebersamaan, kepatuhan, rasa hormat terhadap sosok yang diteladani (guru), kebebasan berkreatifitas menggambar, kejujuran, dan memiliki cita-cita setinggi mungkin. Nilai negatif yang dapat memberikan pengaruh buruk dan bertentangan dengan Etika Pariwara Indonesia, diantaranya bahasa dan perilaku tidak pantas, seperti berbohong, tidak menghargai orang yang lebih dewasa, cara makan yang tidak sopan, mengkritik penampilan wajah orang yang lebih dewasa. Selain itu juga menampilkan model anak sebagai penganjur atau testimonial bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak serta menampilkan model anak pada iklan produk untuk dewasa, namun tanpa didampingi atau menghadirkan model orang dewasa sebagai pendamping merupakan nilai yang negatif. c. Hubungan antara iklan televisi, model anak dan nilai-nilai adalah ketiga hal tersebut memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Model anak berperan sebagai influencer dalam tayangan iklan televisi dan berperan pula untuk mengeksekusi daya tarik dan pendekatan yang digunakan masingmasing iklan. Sedangkan diciptakannya sebuah norma tertulis yang khusus mengatur tentang periklanan di Indonesia, yakni Etika Pariwara Indonesia, berfungsi sebagai pembatas untuk melindungi konsumen khususnya anak-anak, hendaknya dipatuhi oleh para pembuat iklan untuk menjaga agar para produsen dan pembuat iklan dapat berprofesi secara wajar dan pantas.
gagasan yang ingin dituangkan untuk menarik minat dan perhatian pemirsa. akan mempengaruhi sikap, dan perilaku, anak-anak yang menonton iklan tersebut. Agar hubungan antara iklan televisi dengan model anak serta nilai-nilai tetap terjaga dengan baik, maka orang tua perlu memberikan bimbingan dan ulasan tentang misi iklan kepada anak-anak sambil mereka menonton iklan. Manfaat penelitian ini untuk masyarakat, agar dapat menilai dan menyaring tayangan iklan.
DAFTAR PUSTAKA Altstiel, Tom and Jean Grow. 2007. Advertising Strategy. Sage Publication Inc: United States. Bignell, Jonathan. 1997. Media Semiotics: An Introduction. Manchester and New York: Manchester University Press. Dewi, Alit Kumala, 2011, Peran model anak dalam iklan produk untuk dewasa, Tesis, Bandung : Program Magister Desain, FSRD ITB. Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta : Jalasutra. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Simpulan
Hurlock, Elizabeth B. 1998. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Peran model anak dalam iklan adalah sebagai influencer, yaitu mempengaruhi, pencetus ide, penganjur dalam keputusan pembelian produk, serta sebagai pelengkap eksekusi iklan, ditemukan pula nilai-nilai yang berhubungan dengan nilai positif seperti kesopanan, kepantasan atau kewajaran dan juga nilai negatif, bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat seperti perilaku berbohong dan merendahkan orang lain.
Ibrahim, Idi Subandi. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Iklan baik dari segi adegan (aspek visual) maupun narasi mengandung nilai-nilai positif dan negatif, berkaitan langsung dengan konsep, ide atau
Kartini,Kartono. 1995. Psikologi Anak. Bandung: Mandar Maju Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesiatera. Moriarty, Sandra. Mitchell and Wells. 2011. Advertising. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Semedhi, Bambang. 2011. Sinematografi-Videografi. Bogor: Ghalia Indonesia Shimp.Terence A. 2003. Periklanan Promosi: Aspek tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Erlangga
140 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
141 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi Visual. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sumartono. 2002. Terperangkap Dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi. Bandung: Alfabeta. Thwaites, Tony. Davis and Mules. 2009. Introducing Cultural and Media Studies.Yogyakarta : Jalasutra. Tolson, Andrew. 1993. Mediations: Text and Discourse ini Media Studies. London: Arnold. Williamson, Judith. 2007. Decoding Advertisements. Yogyakarta : Jalasutra. Sumber film iklan (diakses 17 Juni 2011): https://www.youtube.com/watch?v=JpsoR-cRVmc https://www.youtube.com/watch?v=TZXMvy6n5-g https://www.youtube.com/watch?v=Gf1ntVj9Tpw https://www.youtube.com/watch?v=z5mJpHhXwQs Sumber Etika Pariwara Indonesia: http://www.p3i-pusat.com/rambu-rambu/kasus, diakses 12 Juni 2011. Sumber berupa pernyataan: (http://swadigital.com, diakses 18 Juni 2011). (sumber:http://www.p3i-pusat.com/rambu-rambu/kasus, diakses 12 Juni 2011.)
142 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013