MISI …
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
Oleh karena itu, dalam rangka membahas judul tersebut, berturut-turut akan dibahas: 1. Paradigma Pancasila terhadap konsep manusia. 2. Paradigma Pancasila terhadap nilai kehidupan dan ilmu Pengetahuan serta teknologi, 3. Misi dasar pendidikan Nasional, dan (4) Revitalisasi/Re-Defenisi Pendidikan Misi Pendidikan Nasional.
MISI DASAR PEDIDIKAN NASIONAL H. Hilmi
Abstrak Pendidikan dapat diartikan sebagai proses traspormasi budaya dan ilmu pengetahuan dari guru ke murid dalam rangka mengembangkan aspek Kognitif (pengetahuan), aspek Apektif (perasaan), aspek Psikomotorik (penampilan). Tugas pendidikan ialah mengantar individu mencapai kedewasaan mewujudkan potensi manusiawi dalam dirinya menjadi nilai yang nyata. Dengan demikian, tugas pokok pendidikan nasional adalah membantu setiap warga Negara Indonesia untuk menjadi manusia Pancasilais, yaitu manusia yang mempunyai dasar agama yang kuat, diatas mana mereka meletakkan, mengembangkan dan mengendalikan kecakapan intelektualnya. Fenomena yang berkembang sekarang produk pendidikan kita masih relative rendah kualitasnya terutama aspek Apektif. Oleh karena itu, semua kebijakan pendidikan Nasional baik perencanaan, pelaksanaan, tujuan pendidikan, kurikulum, metode, materi, alat, sistem evaluasi dan lainlain, terutama produk-produk pendidikan kita haruslah berkarakter bangsa Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan tidak boleh bergeser sedikitpun dari prinsip-prinsip dan atau nilainilai yang terkandung dalam Pancasila. Kata Kunci : Revitalisasi, Pendidikan
A. Pendahuluan Pendidikan merupakan arena studi yang tidak pernah kering karena ia membicarakan masalah yang amat mendasar dan komplek yaitu manusia itu sendiri lengkap dengan eksistensi peranan, keyakinan, agama, dan kebudayaannya. Bagaimana konsep suatu bangsa mengenai pendidikan nasionalnya, sangat tergantung pada bagaimana konsep bangsa itu mengenai manusia. Perumusan mengenai siapun manusia itu dan apa fungsi dan peranannya di dunia ini tidak pernah selesai dan tidak pernah tuntas. Justru di sinilah letak rahasia kelebihan manusia di atas makhlukmakhluk lain sesama ciptaan Tuhan. Namun demikian kita tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak membicarakan konsep manusia dan pendidikan. Manfaat kita membicarakan hal ini ialah untuk mempertajam orientasi agar kita lebih mampu melayani tuntutan jaman. Tidak satu periode zaman pun lewat begitu saja tanpa memberikan tantangan dan keluhan terhadap pendidikan.
103
B. Paradigma Pancasila Terhadap Manusia. Bagaimana pandangan bangsa Indonesia terhadap manusia, dapat dilihat dari domkumen-dokumen resmi seperti tertuang dalam ke 5 sila dari Pancasila dan dalam UUD 1945. Dari bahan-bahan resmi itu dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya konsep manusia seutuhnya adalah makhluk Allah yang mempunyai unsur tubuh, hayat, dan jiwa, serta aspek-aspek kehidupannya sebagai makhluk individu, social, susila dan agama (Lembaga Penelitian IAIN-Jakarta : 1983) Kesemuanya ini berada dalam keutuhan dan kebulatan yang dinamis. Unsur tubuh dan hayat, hidup sebatas dalam tata ruang dan waktu. Kedua unsur ini sepenuhnya dikuasi oleh hukum alam. Unsur tubuh sama dengan benda mati, seperti batu, pasir, tanah, dan sebagainya. Unsur hayat berarti hidup, tetapi ia juga sepenuhnya dikuasai oleh hukum alam, seperti tumbuhtumbuhan dan binatang. Kedua makhluk ini (tumbuh-tumbuhan dan binatang) tingkatnya lebih tinggi dari benda mati. Mereka dapat bergerak, berkembang biak dan bereaksi terhadap alam yang mengitarinya. Tetapi derajat reaksinya terbatas hanya menyesuaikan diri, tidak mempunyai kemampuan merobah, apalagi mengolahnya. Perjalanan hidupnya mekanis, sudah dipastikan menurut sunnatullah yang begitu sistematis teratur dan solid. Eko sistemnya berjalan menurut hukum-hukum yang sudah pasti. Misalnya perputaran kehidupan kupu-kupu. Dari telur berubah menjadji ulat. Ulat memakan daun berubah menjadi kepompong berubah lagi menjadi kupu-kupu, kemudian bertelur dan kembali menjadi ulat dan seterusnya. Pada waktu ia menjadi kepompong, daun telah mulai bersemi kembali dan siap dimakan ulat, dan seterusnya. Demikian pula system kehidupan masyarakat rayap, di mana organisasi dan mekanisme pembagian kerja sangat teratur: Ada yang bertugas sebagai pencari makan, ada yang bertugas sebagai penjaga, ada yang bertugas sebagai tentara raja, dan sebagainya. Lebih dari itu, pada unsur hayat ini system kehidupan yang berlaku di luar yang bersangkutan juga sangat teratur dan dalam kaitan waktu yang amat tepat momentumnya. Misalnya kapan ulat harus menjadi kepompong, dan kapan daun harus mulai bersemi kembali. Siklus kepompong dan siklus daun terjadi dalam relevensi waktu 104
MISI …
yang amat harmonis dan tepat. Bilamana suatu siklus atau sub system mengalami gangguan atau penyimpangan, sub system yang lain pun akan tergangu pula, tetapi cepat menyesuaikan diri, sehingga dengan cepat terdapat keseimbangan atau keharmonisan hukum alam kembali. Demikian unsur hayat selalu tunduk pada hukum alam dan hukum alam ini tunduk pada penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Adanya unsur jiwa pada manusia, menandakan bahwa manusia itu merupakan makhluk ciptaan Allah yang tertinggi di atas makhluk-makhluk lain. Pantas kiranya kalau mereka disebut khalifah atau pemimpin di muka bumi ini. Dengan “jiwa” dimaksudkan manusia mempunyai akal, rasa, dan keimanan. Di dalam jiwa, manusia juga mempunyai kata hati atau kalbu, dan kemampuan menghayati rahasia alam dan menyerahkan diri kepada penciptaNya. Manusia mampu merasakan adanya sesuatu sekalipun hal itu berada di luar jangkauan akalnya. Itulah sebabnya kalau manusia sudah mati, tubuh dan hayatnya ikut mati kembali ke tanah, sedang jiwanya menghadap Tuhan, menunggu perhitungan-Nya (Harun Nasution, 1983). Dengan adanya unsur jiwa ini, membuat manusia memperoleh predikat mahluk bersejarah. (Maritain J : 1972). Hanya manusia yang mampu membuat sejarah, karena manusia dengan jiwanya itu mampu menengok masa lampaunya, menatap masa kininya, dan menentang masa depannya. Hal ini berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan yang hanya mampu menatap masa kininya. Sebagai makhluk sejarah, manusia mampu merubah dan mengolah lingkungan alam yang mengitarinya demi untuk hidupnya lebih baik. Keledai tidak ingin dua kali tersandung batu yang sama. Sekali tersandung ia menghindarkan diri dan mencari penyesuaian. Sebaliknya manusia begitu ia tersandung batu, begitu ia bertanya mengapa demikian dan untuk itu ia sering mau tersandung beberapa kali, karena ia ingin belajar, mengapa sampai tersandung (baca: gagal dalam kehidupan), dan selanjutnya mengantisipasi tingkah lakunya dimasa mendatang. Bintang melihat kenyataan dalam bentuk selesai. Manusia melihat kenyataan dalam bentuk belum selesai. (Jeffreys, MVC : 1972) Dilihat dari aspek lain, secara kodrati manusia adalah makhluk beragama. Bersumber dari keyakinan agamanya, manusia adalah mahluk susila, yang selanjutnya hal ini menyebabkan ia adalah makhluk sosial, yang akan tiba gilirannya untuk menetapkan dirinya bahwa ia adalah makhluk individual. Inilah sebabnya maka nampak adanya perbedaan tekanan antara konsep manusia menurut kita dan konsep manusia menurut konsep barat. Konsep manusia menurut Barat meletakkan kepentingan individu di atas kepentingan sosial. Sebaliknya menurut konsep kita, meletakkan 105
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
kepentingan umum atau kepentingan bersama di atas kepentingan diri sendiri. Barat memberikan penghargaan yang tinggi kepada nilai kompetensi perorangan, kurang melihat kepentingan umum, sebaliknya kita memberikan penghargaan yang seimbang antara nilai-nilai kolektif dan individu. Orientasi barat dalam memahami manusia, berkisar pada manusia itu sendiri sebagai titik sentralnya; sejak dari konsep cagito ergo sum (saya berpikir maka saya ada), disempurnakan menjadi konsep “respondeo ergo sum” (saya bereaksi maka saya ada), dan disempurnakan lagi menjadi “Eligo ergo sum” (saya memilih maka saya ada) (Fuad Hasan, 1983). Sebaliknya konsep kita dalam memahami manusia, selalu mengkaitkannya dengan kebesaran Tuhan pencipta alam semesta. Paradigma (jendela pandangan) Pancasila dalam merumuskan konsep manusia yang diidealkan adalah sebagai berikut : “Manusia Indonesia adalah manusia yang percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sifat luhur, suasana kekeluargaan dan gotong royong, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Dalam rangka inilah perlu dikembangkan sikap tenggang rasa dan tepa salira, serta tidak semena-mena terhadap orang lain. Bagi bangsa Indonesia, kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas asas keselarasan dan keseimbangan hidup antara manusia sebagai makhluk individu-sosial-susila dan agama. Dengan kata lain, adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya, dalam mencapai kemajuan lahiriyah dan kebahagiaan batiniah. Dari jendela pandang seperti itu, sama sekali tidak berarti bahwa kita kurang menonjolkan segi-segi rasionalisme, professionalisme, diferensialisme, dan hal-hal lain yang termasuk rumpun pendidikan berfikir. Tetapi kita ingin meletakkan posisi dan porsi yang benar dan seimbang antara kemajuan berfikir dan kata hati atau kalbu. Kemajuan berfikir akan menjadi liar dan tidak terkendali apabila tidak dilandasi dengan kemajuan kata hati yang memadai, dan sebaliknya kemajuan dan kebaikan kata hati tidak akan ada gunanya tanpa diiringi dengan kemajuan akal atau intelektual yang memadai pula. Dari jendela pandang terhadap manusia seperti itulah, kita akan membicarakan misi dasar pendidikan Nasional. Namun demikian, lebih dulu akan kita bicarakan bagaimana paradigma Pancasila terhadap nilai-nilai kehidupan, ilmu dan teknologi yang 106
MISI …
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
akan disampaikan kepada didik untuk dikembangkan dijadikan pedoman dalam hidupnya.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam AlQur’an Surat Al-Mujadalah ayat 11 :
C. Paradigma Pancasila Terhadap Nilai Kehidupan, Ilmu dan Teknologi 1. Paradigma Pancasila Terhadap Nilai Kehidupan Paradigma Pancasila terhadap nilai-nilai kehidupan adalah memandang luhur secara implicit sudah disebutkan dalam uraian mengenai paradigma Pancasila terhadap manusia tersebut di atas, yaitu: selaras, seimbang, serasi antara kemajuan berfikir dan kata hati, tenggang rasa, tepa salira, gotong royong, mengutamakan kepenting umum di atas kepentingan pribadi atau golongan, berlomba dalam kebajikan, dan sebagainya. 2. Paradigma Pancasila Terhadap Ilmu dan Tekhnologi. Paradigma Pancasila terhadap ilmu dan tekhnologi adalah sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara keduanya (ilmu dan teknologi) dengan agama. Bagi bangsa Indonesia tidak ada dichotomi antara agama dan ilmu pengetahuan (A. Baiquni : 1983). Ilmu pengetahuan bersumber dari ajaran agama. Misalnya agama Islam yang pemeluknya merupakan golongan mayoritas di bumi Pancasila ini, mengajarkan bahwa ilmu itu datang dari Tuhan Yang Maha Esa, dan karena itu Islam mewajibkan umatnya untuk belajar secara terus menerus sampai kapan dan kemanapun. (A. Baiquni : 1983). Sebagaimana hadist Nabi Muhammad ASW sebagai berikut:
... ..... Artinya : Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman daripada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Al-Mujadalah ayat 11) Saat ini kita tidak dapat menghindarkan diri dari kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan teknologi sekalipun kita menyadari kebenaran sinyalemen Albert Einstein dihadapkan para mahasiswa California dari Institiut Of Technology: “Dalam peperangan ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjegal. Dalam perdamaian dia membikin hidup kita dikejar waktu dan penuh tidak menentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin, di mana setelah hari-hari yang panjang dan monoton kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual dan harus terus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan yang tidak seberapa” (Jujun S Suriasumantri : 1981). Karena itu, bagi bangsa Indonesia masalahnya tidak hanya memahami ilmu dan memanfaatkannya untuk mengangkat derajat dan harkat manusia, tapi lebih dari itu ialah menangkap sesuatu yang bermakna manusiawi dan hal yang demikian ini hanya mungkin kalau kita mampu menangkap bahwa ilmu itu harus dilandasi dan dijiwai oleh agama, karena memang ia dilahirkan dari kandungan agama. Untuk itu, bagi kita bangsa Indonesia ada seperangkat nilai atau kebiasaan-kebiasaan lama yang perlu dirubah, disempurnakan, diganti, dan diperbaiki agar lebih sesuai dengan kebutuhan modern dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya pendirian “Lambat asal selamat” perlu diganti dengan semboyan “cepat dan selamat”, “yang penting berkumpul sekalipun kurang makan” perlu diganti dengan semboyan “produktif dan terkoordinir”. Kebiasaan santai perlu dirubah dengan “kompetisi, disiplin dan sungguh-sungguh”. “Kebiasaan menilai dengan dasar emosi semata-mata”, perlu diganti dengan “dasar-dasar yang obyektif dan rasional”. Pemborosan diganti dengan hemat dan efisien. Hubungan primordial yang sempit dan tradisional perlu diganti dengan “model hubungan yang
ِﺑِﺎْﻟﻌِ ﻠِْﻢ ََوْﻣﻦ َاَرَاد ﳘَُ ﺎ َﻓـَﻌﻠَﻴ ْ ﻪ ﻌِِﻢ َ َوﻣْﻦ اَََاداْرﻷَِﺧةَ َﻌَﺮﻓَـ ْﻠَﻴِﻪ َ ْﻣﻦ َاَرَاداﻟُْﺪْﻧـﻴﺎَ َﻓَـﻌْﻠَﻴِﻪ ﺎﺑِﻟْ ْﻠ ﺑِﻌِ ﻠِْﻤَﻬِﻤﺎ Artinya: “Barang siapa menghendaki keberhasilan dunia, maka haruslah memiliki ilmunya : dan barang siapa menghendaki keberhasilan akherat maka ia harus memiliki ilmunya juga: dan barang siapa menghendaki keduanya maka haruslah ia menguasai kedua ilmu itu pula”.
107
108
MISI …
bersifat luas, nasional dan modern atas dasar yang dapat diterima oleh akal dan kenyataan”. Re-orientasi nilai-nilai kehidupan semacam itu perlu dan merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Ciri-ciri modernisasi, sudah nyata dalam kehdupan sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus dapat menyesuaikan sehingga kita tenggelam dan tidak tertinggal oleh kemajuan modern dan tidak lebih baik bersiap-siap menyambutnya. Nilai-nilai masyarakat kita dimasa mendatang akan didominasi oleh nilai-nilai: rasional, diferensial, kompetitif, produktif, koordinatif, integrative dan komputerisasi. Bentuk masyarakat kita yang akan datang adalah masyarakat informatif sebagai bentuk lanjut dari masyarakat industri, dan masyarakat industri ini merupakan bentuk lanjut dari masyarakat agraris. Dalam masyarakat informatif, akan berlaku rumus siapa yang memiliki informasi, dialah yang akan menguasai keadaan. Oleh karena itu informasi dan komunikasi akan menjadi bidang studi yang amat penting untuk saat ini. Namun demikian, nilai modernisasi seperti tersebut di atas akan mengundang bencana bila pertumbuhannya tidak dilandasi dan dijawai dengan nilai-nilai moral agama. D. Misi dasar Pendidikan Nasional Bertolak dari uraian paradigma pancasila terhadap konsep manusia dan nilai-nilai kehidupan, ilmu pengetahuan dan teknologi seperti diuraikan diatas, kiranya jelas apa yang menjadi tugas dasar pendidikan nasional bangsa kita : Pertama, pedidikan nasional harus mampu mengangkat harkat dan martabat warga negaranya secara individual, untuk menjadi warga Negara yang penuh kemerdekaan dan kehormatan baik di tengah pergaulan lokal, nasional maupun internasional. Dari segi filsafat pendidikan, tugas pendidikan ialah mengantar individu mencapai kedewasaan. Membantu mewujudkan potensi manusiawi dalam dirinya menjadi nilai yang nyata. Dengan demikian, tugas pokok pendidikan nasional adalah membantu setiap warga Negara Indonesia untuk menjadi manusia yang berkarakter Pancasilais, yaitu manusia yang mempunyai dasar agama yang kuat, diatas mana mereka meletakkan, mengembangkan dan mengendalikan kecakapan intelektualnya, Kedua, pendidikan nasional sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang mampu mendukung dan mengembangkan manusia Pancasila. Masyarakat yang demikian itu tidak lain adalah masyarakat Pancasila, masyarakat yang adil dan
109
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
makmur dengan penuh rasa takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT, Ketiga, pendidikan nasional harus mampu “membudayakan” lingkungan hidup atau sumber daya alam, demi untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik (Mastuhu : 1983). Dengan istilah “membudayakan”, yang dimaksudkan disini ialah memelihara, mengembangkan, dan memanfaatkan lingkungan untuk kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, membudayakan lingkungan tanpa merusaknya. Keempat, pendidikan nasional harus mampu mengantarkan warga negaranya untuk benar-benar menjadi manusia yang mampu membuat sejarah. Mampu menengok dan menghargai masa lampaunya, mampu menatap dan menganalisa masa kininya, dan mampu menentang dan memprediksi masa depannya, dalam arti mampu menetapkan perencanaan dan program-program pembangunan yang lebih besar dan positif. Kelima, pendidikan nasional harus mampu mengembangkan nilai-nilai kehidupan, ilmu pengetahuan, dan tekhnologi yang positif dan relevan dengan tuntutan pembangunan. Untuk itu pendidikan nasional harus mampu menggali dan mengembangkannya dari ajaran-ajaran yang paling dalam dipeluk oleh bangsa Indonesia yaitu agama dan kebudayaannya. Keenam, pendidikan nasional harus mampu menanamkan dan mengembangkan ethos kerja yang tangguh dan disiplin serta ethnic nasional yang kuat dikalangan warga negaranya. Bahwa nilai dan harga diri manusia itu terletak pada pribadinya, identitasnya, integritasnya, semangatnya dan disiplin kerjanya; yang semuanya itu menunjukkan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tinggi rendahnya suatu pekerjaan, hina tidaknya lapangan kerja bukan terletak pada wujud “kasar”-“halusnya” pekerjaan, tetapi terletak pada “halal”-”haramnya” pekerjaan itu. Pekerjaan yang sehari-harinya bergelimang dengan lumpur dan kotoran, baju penuh debu dan sebagainya dapat saja merupakan pekerjaan yang mulia dan terhormat sepanjang hal itu halal dan manusiawi. Sebaliknya pekerjaan dibelakang meja, berdasi, berada dalam ruang penuh AC dan berkarpet, dapat saja merupakan pekerjaan yang hina dan rendah sepanjang hal itu haram dan tidak manusiawi atau merupakan tempat korupsi. E. Revitalisasi/ Re-Defenisi Pendidikan Nasional Dalam perspektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam, tergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan suatu 110
MISI …
yang lumrah, bahkan dapat semakin memperkaya khazanah berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan teori itu sendiri. Tetapi untuk kepentingan nasional, seharusnya pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan mudah dipahami oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap proses pendidikan. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dengan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dari satu segi sesuai metode yang diterapkan: “Pendidikan dapat diartikan sebagai proses interaksi budaya dan ilmu pengetahuan antara guru dan murid dalam rangka mengimplementasikan sifat-sifat Allah yang ada di dalam diri manusia kecuali sifat mutakabbir.” Dari segi yang sesuai metode yang diterapkan: “pendidikan dapat diartikan sebagai proses traspormasi budaya dan ilmu pengetahuan dari guru ke murid dalam rangka mengembangkan aspek Kognitif (pengetahuan), aspek Apketif (perasaan), aspek Psikomotorik (penampilan)”. Sebagaimana dalam gambar.
Akan tetapi, penomena yang berkembang sekarang produk pendidikan kita masih relatif rendah kualitasnya terutama aspek Apektif, contohnya banyak produk pendidikan yang mengetahui bahwa Tuhan itu melihat, Tuhan itu mendengar, dan Tuhan itu lebih dekat dari urat leher, tapi dia tidak merasakan Tuhan itu melihat, tidak merasakan Tuhan itu mendengar, dan tidak merasakan Tuhan itu dekat. Dia tahu bahwanya korupsi itu tidak baik tapi dia tidak 111
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
merasakan bahwa korupsi itu tidak baik, maka tingkah laku dan penampilannya, yang tidak baik itu dikerjakannya. Oleh karena itu, semua kebijakan pendidikan Nasional baik perencanaan, pelaksanaan, tujuan pendidikan, kurikulum, metode, materi, alat, sistem evaluasi dan lain-lain tidak boleh bergeser sedikitpun dari prinsif-prinsif atau nilai-nilai Pancasila tersebut, yakni keseimbangan dan keselarasan antara aspek Kognitif (Pengetahuan), Apektif (Perasaan) dan Psikomotorik (penampilan). Kenyataan yangnterjadi sekarang proses pendidikan kita lebih menekankan pada aspek Kognitif (knowledge) dan sangat kurang aspek pembudayaan, pembiasaan, dan pengembangan aspek Apektif (perasaan), sehingga melahirkan produk pendidikan yang lemah karakternya/ tidak berkarakter. Idealnya pendidikan kita menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang berkepribadian pancasila sebagai dasar dan landasan pembentukan karakter bangsa Indonesia. Oleh karena itu, apabila tingkah laku, perangai, kebijakan, keputusan dan lain-lain tidak boleh bertentangan dengan rasa Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh bertentangan dengan rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak boleh bertentangan rasa persatuan dan kesatuan Indonesia, tidak boleh bertentangan dengan rasa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan tidak boleh bertentangan dengan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu korupsi, kolusi dan nepotisme bukanlah budaya bangsa Indonesia. Itu adalah penyimpangan budaya bangsa Indonesia karena lari dari landasan dasar budayanya. Dengan demikian, maka agar pendidikan nasional dapat melaksanakan misi dasarnya seperti dilukiskan tersebut di atas, pada tingkat-tingkat dasar perlu ditanamkan dan dibiasakan dengan kuat landasan Pancasila yang kokoh kepada anak didik yaitu agama, moral, dan kebudayaan, sejarah kebangsaan, filsafat, seni, bahasa (nasional dan daerah), dan aspek-aspek humaniora lainnya; bersamaan dengan ini, secara seimbang dan bertahap ditanamkan pendidikan berfikir dan aspek-aspek intelektual serta kecakapanketerampilan lainnya sebagai suatu kesatuan. Pendidikan humaniora dan pendidikan berfikir merupakan suatu kesatuan, bukan dichotomy atau bukah dua hal yang dijumlahkan. F. Penutup Pendidikan merupakan sebagai proses transformasi budaya dan ilmu pengetahuan dari guru ke murid dalam rangka mengembangkan aspek Kognitif (pengetahuan), aspek Apektif (perasaan), aspek Psikomotorik (penampilan). Sehingga tugas 112
MISI …
pendidikan ialah mengantar individu mencapai kedewasaan dalam rangka membantu mewujudkan potensi manusiawi dalam dirinya menjadi nilai yang nyata. Dengan demikian, tugas pokok pendidikan nasional adalah membantu setiap warga Negara Indonesia untuk menjadi manusia Pancasilais, yaitu manusia yang mempunyai dasar agama yang kuat, diatas mana mereka meletakkan, mengembangkan dan mengendalikan kecakapan intelektualnya. Akan tetapi, fenomena yang berkembang sekarang, produk pendidikan kita masih relatif rendah kualitasnya terutama aspek Apektif. Oleh karena itu, semua kebijakan pendidikan Nasional baik perencanaan, pelaksanaan, tujuan pendidikan, kurikulum, metode, materi, alat, sistem evaluasi, produk dan lain-lain tidak boleh bergeser sedikitpun dari prinsip-prinsip atau nilai-nilai Pancasila.
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
Mastuhu, Partisipasi Perguruan Swasta dalam Pendidikan Nasional, makalah disampaikan dalam Rakernas L.P. Maarif Pusat, di Jakarta, 1983 Nainggolan, S.C. Dr, MPH, dipublikasikan, 1983.
DAFTAR PUSTAKA Anomin, Al-Qur’an dan Terjemahan, Departemen Agama Islam, Jakarta, 1980. An-Nawawi, Hadist Riyadhushsholihin, Al-Matba’ah, Surabaya. UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Hasil seminar nasional Islam dan Pendidikan Nasional, Lembaga Penelitian IAIN, Jakarta, 1983. Harun Nasution, Prof. DR, Manusia Menurut Konsep Islam, Makalah disampaikan dalam seminar Nasional, “Islam dan Pendidikan Nasional”, Lembaga Penelitian IAIN, Jakarta, 1983. Maritain J., Education at The Crossroads, Yale University Press, 25th printing, 1972 Jeffreys, MVC, The Aims of Education (glancon), Pitman Publshing, 1972 Paperback edition ISBN : 0273361635 Fuad Hasan, Respondeo, Ergo Sum, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Islam dan Pendidikan Nasional”, Lembaga Penelitian IAIN-Jakarta, 1983 Bahan-bahan penataran P4, Edisi Pertama 1972. A. Baiquni, Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, makalah disampaikan dalam seminar nasional “Islam dan Pendidikan Nasional”, Lembaga penelitian IAIN-Jakarta, 1983 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam perspektif, Yayasan Obor Indonesia dan Leknas –LIPI, 1981 113
114
Misi
Pendidikan
Nasional,
tidak